FUNGSI FATIS PARTIKEL BAHASA SAMIN
Mixghan Norman Antono Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak. Bojonegoro merupakan kabupaten yang berada di wilayah propinsi Jawa Timur. Sama dengan kabupaten lain di propinsi Jawa Timur, Bojonegoro juga menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa untuk berkomunikasi sehari-hari. Pada dasarnya bahasa jawa yang digunakan di Bojonegoro tidak berbeda jauh dengan bahasa jawa di tempat lain, hanya saja masyarakat Bojonegoro sering menggunakan partikel yang berbeda dengan daerah lain yang pada akhirnya membuat bahasa Jawa subdialek Bojonegoro ini menjadi berbeda. Setidaknya terdapat enam partikel dalam bahasa Jawa subdialek Bojonegoro ini, diantaranya leh, je, jal, jan, em, dan nem. Masing- masing partikel memiliki fungsi yang berbeda, partikel leh, je, dan jan memiliki fungsi penegasan dan penguatan, partikel jal memiliki fungsi penghalus, dan partikel em dan nem memiliki fungsi kepemilikan. Kata Kunci: partikel, fungsi fatis, bahasa daerah, Samin, konteks Komunikasi PENDAHULUAN Bahasa Jawa subdialek Bojonegoro merupakan bagian dari bahasa-bahasa daerah yang hidup di Indonesia. Sama dengan bahasa lainnya, bahasa Jawa subdialek Bojonegoro juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar individu bagi masyarakat penggunanya. Pada skala yang lebih luas, Bojonegoro yang merupakan kabupaten di Propinsi Jawa Timur menggunakan bahasa Jawa yang juga digunakan oleh banyak subdialek pada dialek yang sama. Masing-masing subdialek pengguna dialek Jawa memiliki tingkat diferensiasi yang berbeda,
hanya saja beberapa subdialek memiliki tingkat diferensiasi yang cukup rendah bahkan hampir setara. Hal inilah yang membuat bahasa Jawa subdialek Bojonegoro pada akhirnya menjadi bahasa yang harus dikesampingkan. Pada satu medan bahasa, bahasa Jawa subdialek Bojonegoro memiliki tingkat diferensiasi yang cukup tinggi jika dikomparasikan dengan subdialek pada dialek yang sama. Sebagian besar diferensiasi ini disebabkan oleh penggunaan partikel dalam tuturan masyarakat Bojonegoro, yang dianggap nyeleneh dan asing bagi pengguna dialek yang sama.
Pada dasarnya, partikel merupakan fenomena lazim dalam setiap penggunaan bahasa. Menurut Wollams (2011:356) partikel tidak dapat digunakan sebagai bentuk bebas yang terisolasi dan penggunaannya diatur berdasarkan batasan-batasan distribusional yang ketat. Hal senada juga disampaikan oleh Ritonga dalam melakukan penganalisisan partikel bahasa Indonesia. Ritonga membedakan antara partikel yang dapat dirangkai dengan kata sebelumnya dan partikel yang keberadaannya harus dipisah dari kata sebelumnya (2008:77). Beberapa pendapat ini merujuk pada hal yang sama, bahwa partikel tidak dapat berdiri sendiri. Partikel akan bermakna jika keberadaannya menyatu pada struktur kalimat tertentu. Bahasa Indonesia sendiri memiliki empat kategori partikel diantaranya, -lah, -kah, -tah, dan pun (Hasan, 1997: 307). Diantara empat kategori tersebut, tiga kategori lazim kita jumpai dalam setiap percakapan, hanya partikel –tah yang keberadaannya mulai diragukan, partikel tersebut mulai jarang digunakan. Keempat kategori partikel ini keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari unsur kata pada kalimat sebelumnya. Partikel – lah, -kah, dan -tah, mutlak harus ditulis serangkai dengan kalimat yang diikutinya, sedangkan partikel pun lebih bebas, karena partikel ini dapat ditulis serangkai atau dipisah dari kalimat yang diikutinya. Karakteistik ini juga ditunjukan oleh penggunaan partikel pada bahasa Jawa Subdialek Bojonegoro. Partikel pada bahasa Jawa Subdialek Bojonegoro ada yang
ditulis serangkai atau dipisah dengan kata yang mendahuluinya. Walaupun demikian, penggunaan partikel ini tetap memiliki fungsi yang sama yakni menerangkan unsur yang terletak pada kalimat yang menjadi kombinasi dalam membentuk suatu frase yang secara fonologis terpisahkan dari sisa kalimatnya pada pengucapan verbal yang diisyaratkan dengan perhentian sementara. Unsur demikian kerap berupa nomina namun dapat juga konstituen biasa yang terintegrasi secara erat pada kalimat (Woollams, 2011: 375). Pada sebuah konteks komunikasi yang utuh, penggunaan partikel ini kerap kali menimbulkan berbagai kesalahan penafsiran. Beberapa partikel mengandung daya ambiguitas sedangkan beberapa partikel yang lain memiliki makna konotasi yang berbeda. Sehingga, penyampaian informasi ini harus disampaikan untuk meminimalisasikan terjadinya kesalahan dalam berkomunikasi, terutama komunikasi antar masyarakat Bojonegoro dengan masyarakat luar Bojonegoro. Penelitian mengenai penggunaan partikel, secara umum sudah sering dilakukan. Namun, sedikit sekali dijumpai penelitian yang membahas mengenai penggunaan partikel dalam bahasa daerah, bahkan penelitian penggunaan partikel bahasa Jawa subdialek Bojonegoro belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian mengenai penggunaan partikel bahasa daerah seyogyanya harus dilakukan, karena tidak menutup kemungkinan bahwa setiap bahasa daerah memiliki partikel yang berbeda. Oleh karena itu penelitian
mengenai penggunaan partikel dalam bahasa Jawa subdialek Bojonegoro ini layak untuk dilakukan guna memperjelas fungsi fatis penggunaan partikel dan mempermudah pemahaman petutur luar subdialek ini memahami unsur-unsur fatis yang terkandung dalam kalimat berpartikel pada bahasa Jawa subdialek Bojonegoro ini agar tidak terjadi kesalahan selama komunikasi berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk (a) mendeskripsikan model language maintenance pada bahasa Samin yang digunakan oleh anak suku Samin, yang sedang menempuh pendidikan pada sekolah multikultural melalui berbagai faktor dan motivasi yang digunakan dalam melakukan perawatan bahasa; dan (b) mendeskripsikan secara utuh mengenai strategi yang digunakan sebagai langkah perawatan bahasa. Selanjutnya memberikan beberapa contoh implementasi strategi yang digunakan oleh anak Suku Samin dalam melakukan perawatan bahasa. METODE PENELITIAN Penelitian ini dirancang sebagai penelitian dengan pendekatan kualitatif, dengan fokus kajian pemetaan model dan strategi language maintenance tuturan anak suku Samin pada sekolah multikultural. Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih memungkinkan untuk melakukan analisis data secara induktif. Maksudnya, pemberian makna terhadap data dan informasi lebih ditonjolkan. Hal ini dikarenakan penganalisisan data yang berupa tuturan memerlukan kreatifitas mendalam untuk menghasilkan data
yang bersifat naturalistik. Selain itu, pendekatan ini juga akan menambah kepekaan untuk melihat setiap gejala yang ada pada objek penelitian (Sugiyono, 2014: 26). Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian etnografi dan interaksi. Jenis penelitian etnografi digunakan untuk mengumpulkan dan mengolah data lapangan seperti kondisi wilayah, struktur sosial, dan keadaaan buday suku Samin masa kini. Sedangkan jenis penelitian interaksi digunakan saat melakukan pengumpulan dan penganalisisan data tuturan yang diperoleh dari interaksi anak suku Samin yang tengah menempuh pendidikan pada sekolah multikultural dengan semua aspek penunjang saat terlaksananya proses belajar mengajar. Kehadiran peneliti pada penelitian ini memiliki sifat multiplecharacter. Maksudnya, kehadiran peneliti memiliki lebih dari satu peran. Secara keseluruhan peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai pengamat penuh, pengamat partisipan, dan partisipan penuh. Peneliti sebagai pengamat penuh terjadi saat akan dilakukan penelitian. Peneliti menentukan sekolah-sekolah yang layak untuk dijadikan tempat penelitian, tentu penentuan sekolah sebagai tempat penelitian didasarkan criteria penelitian yang telah ditentutakn sebelumnya. Peran peneliti sebagai pengamat partisipan dilakukan saat terjadi interaksi antara anak suku Samin yang bersekolah di sekolah multikultural dengan orang-orang diluar suku, seperti guru dan rekan sejawatnya. Pada bagian ini peneliti bertugas untuk mencatat semua
tuturan anak suku Samin yang merepresentasikan language maintenance. Sedangkan peran peneliti sebagai partisipan penuh adalah peneliti turut serta dalam sebuah pembicaraan yang sedang terjadi dan terdapat indikasi representasi language maintenance di dalamnya. Pada penelitian ini, peneliti merupakan instrument kunci dalam pengumpulan data (human instrument). Peneliti mempunyai kebijakan penuh dalam penentuan jenis data yang dikumpulkan sekaligus menentukan teknik yang tepat dalam penganalisisannya. Kehadiran peneliti dalam penelitian ini tidak diketahui oleh subjek penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang terjaring terjaga tingkat kepercayaannya. Penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada daerah sekitar objek vital penelitian, yakni wilayah tinggal suku Samin. Sesuai dengan topik penelitian, penelitian ini akan dikonsentrasikan pada sekolahsekolah terdekat di sekitar wilayah tinggal suku Samin. Pemilihan ini didasarkan pada asumsi, bahwa pada sekolah-sokolah tersebut terdapat banyak peserta didik yang merupakan anak-anak dari suku Samin serta peserta-peserta didik dari latar belakang yang berbeda. Setidaknya terdapat tiga sekolah yang dijadikan tempat pegumpulan data pada penelitian ini. Sekolahsekolah tersebut dipilih berdasarkan jenjang pendidikan yang berbeda diantaranya, (1) SDN 1 Geneng, (2) SMPN 1 Tinggang, dan (3) SMAN 1 Tambakrejo. Pada penelitian ini, sumber data dibagi berdasarkan dua jenis,
yakni data lapangan dan data tuturan. Data lapangan merupakan data yang diperoleh dari observasi awal yang dilakukan pada tempat tinggal masyarakat suku Samin. Data ini merupakan data yang dihimpun dari bebarapa informan yang merupakan penduduk asli serta pengguna aktif bahasa suku Samin. Wawancara tidak terstruktur menjadi bagian penting dalam menjaring data ini. Informan diberikan beberapa tanyaan yang berupa gloss atau deret kata yang akan dijawab dalam bahasa Samin. Data-data ini juga lah yang pada akhirnya menjadi salah satu cara untuk menguji keabsahan data tuturan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dalam beberapa teknik yang didasarkan pada beberapa metode pengumpulan data pada penelitian kualitatif. Analisis data yang dilakukan terdiri atas dua jenis, yakni analisis data lapangan dan analisis data tuturan. Analisis data lapangan dilakukan sesuai dengan prosedur penelitian linguistik yang berlaku, seperti transkripsi fonetis. Sedangkan analisis data tuturan dilakukan dengan menerapkan beberapa prosedur sebagai berikut. (a) Peneliti melakukan seleksi data terhaadap data yang tekah terkumpul. (b) Peneliti menulis data yang terkumpul dalam bentuk verbatim (hard copy). (c) Perlakuan teknik Probing untuk menjaga keaslian data dengan tidak membuang data aslinya. (d) Setelah melakukan beberapa tahapan tersebut, peneliti kembali melakukan
pendalaman terhadap teoriteori yang digunakan untuk memastikan apakah data yang telah terkumpul sudah memenuhi standar kebutuhan atau belum. (e) Peneliti melakukan coding dengan melakukan beberapa tahap penyeleksian data ulang. (f) Prosedur terakhir yang harus dilakukan adalah menulis berbagai temuan dan jawaban dari permasalahan penelitian serta membuat simpulan akhir penelitian ini. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Mengacu pada kerangka konseptual yang telah dibentuk diawal, artikel ini akan memaparkan mengenai fungsi partikel fatis BJSB dalam konteks komunikasi. Guna mempermudah penganalisisan, partikel-partikel fatis BJSB ini akan dibagi berdasarkan letak pendistribusiannya. Partikel Fatis Leh Partikel ini biasa digunakan pada akhir kalimat. Secara umum, partikel ini berfungsi sebagai partikel penegas dan memiliki nada akhir sebagai kalimat tanya juga sebagai bentuk larangan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan konteks yang digunakan daalam pemakaiannya. Berikut adalah contoh penggunaan partikel fatis leh beserta fungsinya. Contoh Konteks: Yuli dan Tutik sedang berbincang mengenai cara penggunaan telepon genggam yang baru Tutik beli kemarin sore. Tutik mengalami kesulitan saat hendak
mengaktifkan kartu telepon di telepon genggam baru miliknya. Tutik bertanya kepada Yuli yang lebih mengerti cara pengoperasian telepon genggam. Tutik : Yul, ngene ki carane piye leh? (Yul, ini bagaimana caranya?) Yuli : Tarik sik, lagek lebokno (tarik dulu baru dimasukkan) Ujaran yang dilontarkan Tutik merupakan contoh kalimat interogatif dengan menggunakan partikel leh dalam BJSB. Kalimat ini mengungkapkan makna keingintahuan Tutik sebagai penutur dalam konteks pengoperasian telepon genggam. Partikel dalam contoh kalimat ini memiliki fungsi penegas mengenai rasa keingintahuan penutur terhadap sesuatu hal. Contoh Konteks: Yuli dan Tutik sedang melihat sebuah perayaan yang diselenggarakan di tempat tinggal mereka.Pada saat itu pertunjukan dimulai dengan atraksi Reog Ponorogo. Yuli sangat takut dengan Reog, sedangkan Tutik tidak dan ingin meliuhat reog pada jarak yang lebih dekat. Saat Tutik ingin mendekat, tangannya ditarik oleh Yuli dan Yuli berkata, Yuli : Kowe ki ojo rono-rono leh. (kamu jangan terlalu kesana) Tutik : La nopo leh? (memangnya kenapa?) Ujaran Yuli kepada Tutik merupakan contoh subversiv dari penggunaan partikel leh dalam BJSB. Pada konteks wacana ini, Yuli secara tegas melarang Tutik untuk melihat parade dengan jarak yang lebih dekat. Pada konteks semacam
ini, partikel leh berfungsi sebagai penegas dalam kalimat larangan. Partikel Fatis Je Berdasarkan sisi historisnya, partikel Je berasal dari kebiasaan berbicara masyarakat daerah pinggiran kota Tuban yang berbatasan langsung dengan kota Bojonegoro. Karena seringnya masyarakat ini berkomunikasi langsung dengan masyarakat Bojonegoro, lambat laun partikel ini mulai berakulturasi dengan baik dan diadopsi sebagai partikel BJSB. Sama dengan partikel leh, partikel je berfungsi sebagai partikel penegas, hanya saja penegasan ini lebih terlihat untuk menyatakan pernyataan penguatan atau pemertahanan (positif) dan pernyataan negasi atau ingkaran (negatif). Berikut adalah contoh penggunaan partikel je berdasarkan fungsi letak pendistribusiannya. Contoh Konteks: Rina dan Dewi sedang berbincang mengenai warna baju yang mereka beli. Menurut Dewi baju yang dibeli Rina terlalu menyolok., sedangkan Rina berpendapat bahwa baju Dewi lah yang terlihat sangat menyolok, Dewi berkata, Dewi : Rin, klambimu iku lo delok’en rupane abang koyo lipen londo (Rin, lihatlah bajumu warnanya sangat merah seperti pewarna bibir orang belanda) Rina : yo ora je, wong klambi apik’e ngene (ya tidak lah, baju ini sangat bagus. Ujaran Rina kepada dewi merupakan bentuk dreklaratif. Dalam konteks ini, Rina menegaskan argumennya dengan menggunakan
partikel fatis Je untuk menggugurkan argument Dewi dan mempertahankan argumennya bahwa baju yang dibelinya merupakan baju yang bagus. Contoh Konteks: Fatin marah saat mengetahui ada bekas baret di body motornya. Ia merasa tidak pernah menggoreskan benda apapun hingga membuat bekas baret di motornya. Sebelumnya, motor tersebut dipakai oleh Novita. Novita lah yang tidak sengaja menggoresakan motor Fatin saat hendak memasukkan motor tersebut ke garasi. Dikarenakan Fatin terlihat sangat marah, Novita takut untuk mengakui perbuatannya hingga saat ditanya Fatin, Novita pun tidak berani menjawab yang sebenarnya. Fatin : Nov, kowe yo seng mberetno montorku? (Nov, kamu ya yang membuat motorku tergores?) Novita : Yo ogak je, aku malah gak ngerti je (ya bukan saya, saya malah tidak tahu) Penggunaan partikel fatis Je oleh Novita untuk menyangkal pertanyaan Fatin merupakan bentuk negasi. Novita seolah menegaskan bahwa dirinya bukanlah orang yang merusakan motor milik Fatin, padahal ialah yang melakukannya. Pada contoh konteks ini, partikel Je secara utuh dapat digunakan dalam sebuah kalimat imperatif. Kalimat ini cocok digunakan untuk mengakhiri sebuah percakapan, sehingga mitra tutur tidak akan mencerca penutur dengan berbagai pertanyaan lagi. Partikel Fatis Jal
Senada dengan partikel leh, partikel jal juga memiliki nada akhir kalimat tanya. Keberadaannya mengantikan kedudukan kata tanya. Partikel fatis ini secara umum berfungsi sebagai partikel penghalus. Pendistribusiannya selalu pada akhir kalimat, sehingga partikel ini selalu mengikuti konstituen-konstituen yang ada walaupun keberadaannya tidak dirangkai dengan konstituen sebelumnya. Berikut adalah contoh konteks komunikasi penggunaan parrtikel fatis Jal. Contoh Konteks: Sinta datang sambil menangis kerumah Dea. Sinta menangisi uang yang disimpan di sakunya hilang entah kemana. Saat melihat Sinta dari kejauhan, Dea heran kenapa Sinta menagis. Dea : La kowe knopo leh? (kamu kenapa?) Sinta : Duwek ku ilang, ngene ki piye jal? (uang ku hilang, bagaimana ini?) Partikel fatis Jal muncul dalam kalimat imperatif yang dituturkan Sinta kepada Dea sebagai mitra tutur. Partikel jal dalam konteks ini berfungsi sebagai penghalus tuturan Sinta yang merasa kecewa karena kehilangan uang. Kesan berbeda akan diterima Dea jika konteks pembicaraan Sinta berbeda, misalnya Sinta mengatakan “duwek ku ilang, ngene ki piye?” dalam BJSB tuturan tersebut tidak memuat unsur keakraban, sehingga jika dituturkan oleh seorang penutur yang dikenal sebeliumnya, tuturan tersebut akan terkesan kasar. Penjelasan ini juga sekaligus memaparkan bahwa partikel fatis jal mengandung muatan emotif yang cukup dalam. Contoh konteks
komunikasi pada percakapan ini menunjukkan bahwa keberadaan partikel jal bergantung pada keadaan emosional seseorang. Partikel jal dapat memperhalus konteks ujaran walaupun diujarkan pada kondisi emosi yang labil. Partikel Fatis Jan Berbeda dengan ketiga partikel sebelumnya, partikel jan tidak didistribusikan pada akhir kalimat melainkan pada awal kalimat. Partikel ini berfungsi menyatakan kekaguman atau kekecewaan yang sangat dalam pada sesuatu hal. Meskipun ditulis terpisah dengan konstituen setelahnya, partikel ini tetap tidak dapat berdiri sendiri. Dalam BJSB partikel ini dibedakan berdasarkan dua jenis berdasarkan muatan emotifnya. Pertama, partikel ini digunakan untuk menyatakan suatu kekaguman (emotif positif) dan kedua partikel ini digunakan untuk mengungkapkan rasa kekecewaan (emotif negatif), diikuti dengan kata umpatan atau makian. Berikut adalah contoh penggunaan partikel fatis jan berdasarkan pendistribusian dan fungsi emotifnya. Cotnoh Konteks: Robi dan Rio sedang duduk di depan teras rumah Robi. Saat mereka asyik duduk, ada seorang perempuan melenggang di depan teras rumah Rio. Perempuan tersebut memiliki perawakan yang tinggi dan berparas cantik. Sontak Robi dan Rio berceloteh, Robi : Yo rio, delok’en iku bodine semlohei. (Rio, lihat itu badannya seksi banget) Rio : Jan, ayu tenan rob (memang cantik sekali rob)
Penggunaan partikel pada ujaran Rio merupakan contoh penggunaan partikel fatis dengan emotif positif. Pada konteks ini, Rio sangat mengagumi kecantikan perempuan yang melintas di depan teras rumahnya, sehingga ia menggunakan partikel yang bila digabung dengan kata cantik akan menghasilkan pemaknaan lebih dari kata cantik itu sendiri. Tuturan Rio ini dapat digolongkan sebagai tuturan deklaratif, dimana Rio menyatakan bahwa perempuan tersebut sangat cantik sekali. Contoh Konteks: Radit bercerita kepada Rendi mengenai kejadian yang baru ditimpanya tadi pagi. Radit dipukul oleh seorang preman yang tak lain adalah musuh Rendi, seketika Rendi marah. Radit : Ren, aku bar digitik ambek Bagong. (Ren, aku habis dipukul Bagong) Rendi : Jan asu tenan! (bentuk umpatan) Tuturan Rendi merupakan contoh penggunaan partikel fatis jan dengan emotif negatif. Dalam konteks ini, Rendi mengungkapkan kekecewaan yang sangat dalam atas apa yang menimpa Radit. Secara eksplisit, tuturan tersebut tertuju untuk Bagong oleh Rendi. Rendi menggap bahwa Bagong sama atu bahkan lebih hina disbanding umpatan yang diujarkannya untuk Bagong. Partikel Fatis Em dan Nem Partikel fatis em dan nem pada dasarnya memiliki fungsi yang sama. Keduanya merupakan partikel yang menyatakan suatu kepemilikan atas sesuatu. Meskipun memiliki fungsi yang sama, namun kedua partikel ini
memiliki teknik penulisan yang berbeda. Partikel em digunakan apabila konstituen yang diikutinya merupakan silaba tertutup, sedangkan partikel nem digunakan saat konstituen yang diikutinya merupakan silaba terbuka Pendistribusian partikelpartikel ini lebih fleksibel jika dibandingkan dengan partikelpartikel yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dilihat dari pendistribusiannya, partikel-partikel ini bisa ditempatkan pada awal, tengah, maupun akhir kalimat meskipun keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari kata yang menjadi konstituen sebelumnya. Berikut adalah contoh penggunaan partikel berdasarkan fungsi dan pendistribusiannya. Konteks: Saat Dinda datang dari sekolah, tidak ada orang di rumah. Bu Ratna datang dan menanyakan keberaadaan ibu Dinda. Bu Ratna : Mbok’em neng ndi Din? (Ibumu kemana Din?) Dinda : Kulo mboten ngertos Bu (saya tidak tahu bu) Pertikel em pada kata mbok’em yang diujarkan bu Ratna menyatakan kepemilikan sesuatu oleh Dinda sebagai mitra tutur. Partikel ini di tulis terpisah darti konstituen yang diikutinya. Apabila dilakukan transkripsi fonetis, seolah terdapat fon glottal (?) diantara konstituen dan partikel. Hal demikian ini tidak akan ditemukan saat penggunaan partikel nem pada konstituen dengan silaba terbuka. Berikut adalah contoh penggunaan partikel nem pada BJSB. Konteks: Dinda menemukan sebuah telpon genggam terjatuh di depan kelas, saat ia
hendak masuk kelas. Ia tahu bahwa telepon genggam itu milik Wati, maka ia segera mengembalikannya. Dinda : Wat, ki lo hapenem ceblok. (Wat, ini lo hape kamu jatuh) Wati : Oh iyo je, suwun yo Din. (oh iya, terimakasih ya Din) Tuturan Dinda dengan menggunakan partikel nem pada konteks wacana tersebut menegaskan bahwa telpon genggam yang ditemukannya adalah milik Wati. Oleh karena itu, partikel ini merupakan partikel dengan kalimat deklaratif yang menyatakan suatu kepemilikan tertentu dengan objek tertentu pula. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa BJSB memiliki enam jenis partikel diantaranya, partikel leh, je, jal, jan, em, dan nem. Setiap partikel memiliki fungsi masing-masing pada konteks komunikasi. Fungsi ini ditentukan berdasarkan letak pendistribusian partikel serta dimana dan bagaimana partikel tersebut diujarkan. Partikel je, jal, dan leh selalu didistribusikan pada akhir kalimat. Ketiganya ditulis terpisah dengan konstituen yang diikutinya. Partikel leh berfungsi sebagai partikel penegas dengan menggantikan kata tanya. Partikel je juga memiliki fungsi serupa, hanya saja partikel ini digunakan untuk memberikan penguatan atau membentuk kalimat ingkaran, sedangkan partikel jal berfungsi sebagai penghalus dan mengandung unsure emotif yang tinggi. Penggunaan partikel jal akan
membedakan konteks keakraban pada sebuah komunikasi. Partikel Jan didistribusikan pada awal kalimat. Partikel ini ditulis terpisah dengan konstituenkonstituen setelahnya. Partikel ini memiliki fungsi deklaratif untuk menyampaikan suatu kekaguman atau kekecewaan yang dalam terhadap sesuatu hal. Senada dengan partikel ini, partikel em dan nem juga memiliki fungsi deklaratif, namun fungsi deklaratif disini digunakan untuk menyatakan kepemilikan atas sesuatu. Partikel em dan nem dibedaakan berdasarkan teknis penulisan. Partikel digunkan untuk konstituen dengan silaba tertutup dan ditulis terpisah, sedangkan partikel nem digunakan untuk silaba terbuka dan ditulis serangkai. SARAN Penelitian mengenai language maintenance bahasa Samin yang dilakukan oleh anak-anak Samin ketika mengikuti proses belajar disekolah yang memiliki keragaman budaya, sebenarnya dapat lebih dikembangkan dan tidak hanya berbatas pada hasil penelitian ini saja. Oleh karena itu, beberapa saran berikut ini mungkin dapat menjadi bahan pertimbngan bagi siapa saja yang membaca dan berkeinginan untuk melakukan penelitian yang serupa. Bagi peneliti, pengembangan yang mungkin dapat dilakukan adalah melebarkan jangkauan lokasi penelitian. Mengingat penyebaran suku Samin tidak hanya di Bojonegoro, melainkan beberapa wilayah lainnya seperti Blora, Kudus, dan Demak, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Namun jika hal ini dilakukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya, maka dimungkinkan hasil penelitianpenelitian selanjutnya akan jauh lebih sempurna. Bagi anak-anak Suku Samin yang tengah menempuh pendidikan di sekolah-sekolah luar wilayah sukunya, disarankan untuk terus berusaha menjaga keutuhan bahasanya dan mengembangkan bahasa yang dimilikinya, sebagai bagian dari aset budaya bangsa melalui berbagai model dan strategi perawatan bahasa yang telah tertuang dalam hasil penelitian ini. Meskipun hasil penelitian ini jauh dari kata sempurna, namun hasil peneitian ini dapat sedikit menambah wawasan yang berikutnya dapat dikembangkan dengan menggali potensi diri masing-masing. Bagi tenaga pendidik yang tengah mengabdi pada sekolahsekolah sekitar wilayah suku Samin, disarankan untuk memahami model maupun strategi perawatan bahasa yang tengah dilakukan oleh anakanak Suku Samin sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam penyampaian materi ajar, serta disaankan dapat membantu dengan memberikan fasilitas bagi anak-anak Samin dalam memperoleh hak kultural dan lingualnya. Bagi anak-anak luar suku yang berinteraksi langsung dengan anakanak Samin, disarankan untuk membuka wawasan budaya lebih luas dengan memahami bahwa upaya perawatan bahasa yang dilakukan oleh anak-anak Samin merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya. DAFTAR RUJUKAN
Alwi, Hasan dkk, 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Helbig, Gerhard. 1994. Lexikon der Deutscher Partikeln. München: Klett. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Malinowski, B. 1923. The Problem of Meaning in Primitive Languages (The Meaning of Meaning). London: Routledge & kegan Paul ltd. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat). Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Balai Bahasa RI. Ritonga, Perlaungan. 2002. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Medan: YAndira Agung. Sutami, Hermina (Ed). 2004. Ungkapan fatis dalam Pelbagai Bahasa. Depok: PLL FIB-UI. Woollams, Goeff. 2011. The Language Gramatical of Batak Karo (2nd edition). Medan: Bina Media Perintis.