FOTOSINTESIS, LAJU PERTUMBUHAN, DAN AKUMULASI FOTOSINTAT TANAMAN GARUT (Maranta arundinacea L.) PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA
LAKSMI PUSPITASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fotosintesis, Laju Pertumbuhan, dan Akumulasi Fotosintat Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.) pada Ketinggian Tempat yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2017 Laksmi Puspitasari NIM G353130191
RINGKASAN LAKSMI PUSPITASARI. Fotosintesis, Laju Pertumbuhan, dan Akumulasi Fotosintat Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.) pada Ketinggian Tempat yang Berbeda. Dibimbing oleh TRIADIATI dan SULISTIJORINI. Tanaman garut (Maranta arundinacea L.) merupakan tanaman berumbi yang dapat dikonsumsi sebagai pangan alternatif. Tanaman garut dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0 m di atas permukaan laut (m dpl) hingga 1000 m dpl. Tanaman garut menghasilkan umbi dengan kandungan pati lebih dari 20%. Tepung umbi garut dapat digunakan untuk membuat biskuit, kue, puding, dan bubur. Tepung umbi garut juga dapat digunakan untuk mengobati beberapa penyakit seperti stomatitis, diare, disentri, dan kolatitis. Produksi umbi tanaman garut perlu ditingkatkan mengingat nilai ekonomi dan manfaat untuk kesehatan yang dimiliki umbi garut cukup tinggi. Peningkatan produksi umbi tanaman garut juga dapat mendorong tercapainya ketahanan pangan. Perluasan area budi daya baik di dataran rendah maupun dataran tinggi merupakan langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi umbi garut. Namun, informasi mengenai faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman garut masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian yang membandingkan fisiologi, pertumbuhan, dan produksi umbi tanaman garut di kondisi lingkungan yang berbeda seperti di ketinggian tempat yang berbeda perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fotosintesis, laju pertumbuhan, dan akumulasi fotosintat tanaman garut pada ketinggian tempat yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada September 2014 hingga Desember 2015 di Kebun Percobaan Sindang Barang, Bogor Barat, Bogor dengan ketinggian 250 m dpl; Kebun Percobaan Pasir Sarongge, Pacet, Cianjur dengan ketinggian 1100 m dpl; Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor; dan Laboratorium BB-Pascapanen Cimanggu, Bogor. Penelitian ini menggunakan metode rancangan petak terbagi dalam rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Ketinggian tempat sebagai petak utama dan aksesi tanaman garut sebagai anak petak. Ketinggian tempat terdiri dari 2 taraf yaitu ketinggian 250 dan 1100 m dpl. Aksesi tanaman garut terdiri dari 4 taraf yaitu aksesi Bantul, Krajan, Kemalang, dan Begawat. Peubah fisiologi yang diukur meliputi konduktansi stomata, laju transpirasi, dan laju fotosintesis pada daun dewasa atau lebar penuh saat tanaman garut berumur 2, 5, dan 7 bulan setelah tanam (BST) menggunakan alat LI-COR 6400XT Portable Photosynthesis System (LI-COR Biosciences, Lincoln, Nebraska, USA) pada PAR 2000 µmol m-2 detik-1. Kadar gula terlarut pada daun diukur menggunakan metode fenol-asam sulfat saat tanaman garut berumur 2 dan 5 BST. Peubah pertumbuhan yang diukur ialah pertambahan tinggi tajuk, pertambahan jumlah daun per rumpun, pertambahan jumlah anakan per rumpun pada umur 2, 5, dan 7 BST, luas daun per tanaman, laju pertumbuhan relatif, dan laju pertumbuhan umbi tanaman garut. Pengukuran bobot kering tajuk dan umbi tanaman garut dilakukan saat 2, 5, dan 7 BST. Pengukuran produksi umbi basah dilakukan pada saat panen 7 BST. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian tempat berpengaruh signifikan terhadap fotosintesis, laju pertumbuhan, dan akumulasi fotosintat tanaman garut. Konduktansi stomata, laju transpirasi, dan laju fotosintesis tanaman
garut di lokasi 1100 m dpl lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl. Akumulasi gula terlarut pada daun tanaman garut saat 5 BST lebih tinggi dibandingkan dengan saat 2 BST di dua lokasi ketinggian. Tanaman garut di lokasi 250 m dpl memiliki laju pertambahan tinggi tajuk, luas daun per tanaman, dan laju pertumbuhan umbi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di lokasi 1100 m dpl. Laju pertambahan tinggi tajuk dan laju pertumbuhan umbi aksesi Bantul paling rendah dan berbeda dengan aksesi Krajan, Kemalang, dan Begawat. Disisi lain, pertambahan jumlah daun dan jumlah anakan per rumpun empat aksesi tanaman garut tidak terdapat perbedaan yang signifikan di dua lokasi ketinggian. Laju pertumbuhan relatif tanaman garut di lokasi 1100 m dpl lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl. Fotosintat tanaman garut di lokasi 1100 m dpl cenderung didistribusikan ke pertumbuhan tajuk, sehingga produksi umbi garut di lokasi 1100 m dpl lebih rendah dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl. Produksi umbi tanaman garut di lokasi 250 m dpl lebih tinggi (43.07%) dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl disebabkan oleh kemampuan distribusi fotosintat ke arah umbi tanaman garut yang lebih tinggi di lokasi 250 m dpl. Hal ini mengindikasikan bahwa budi daya tanaman garut di dataran rendah akan menghasilkan produksi umbi yang cukup tinggi karena didukung oleh faktor lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman garut. Aksesi Begawat, Kemalang, dan Krajan berpotensi untuk dibudidayakan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan produksi umbi yang tinggi. Kata kunci: distribusi fotosintat, ketinggian tempat, laju fotosintesis, Maranta arundinacea, produksi umbi
SUMMARY LAKSMI PUSPITASARI. Photosynthesis, Growth Rate, and Photosynthate Accumulation of Arrowroot (Maranta arundinacea L.) at Different Altitudes. Supervised by TRIADIATI and SULISTIJORINI. West Indian arrowroot (Maranta arundinacea L.) is a tuber crop that is consumed as an alternative food. It can grow in an area with altitude range from 0 to 1000 m above sea level (m asl). The West Indian arrowroot tubers contain more than 20% starch. The flour from tuber of West Indian arrowroot has been widely used in culinary such as crackers, cookies, cakes, puddings, and porridge. The flour is used to treat some diseases like stomatitis, diarrhea, dysentry, and colatitis. Its production needs to be improved considering the high economic and health value of West Indian arrowroot. In addition, improving of West Indian arrowroot production may contribute to achieve food security. Expansion of planting area to lowland and highland might be a way to improve production of West Indian arrowroot. However, knowledge on the effect of environmental factors on growth and development of West Indian arrowroot is still limited. Therefore, the studies comparing physiology, growth, and tuber yield of West Indian arrowroot on different environmental condition, i.e.: altitude are needed. This study aimed to analyse photosynthesis, growth rate, and tuber yield of West Indian arrowroot at two different altitudes. This research was conducted from September 2014 to December 2015 at the Sindang Barang experimental garden, West Bogor, Bogor with an altitude of 250 m asl; Pasir Sarongge experimental garden, Pacet, Cianjur with an altitude of 1100 m asl; Laboratory of Plant Physiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University; and Laboratory of Indonesian Center for Agricultural Post Harvest Research and Development, Cimanggu Agricultural Research Campus, Bogor. This study used a split plot design in a randomized block design with three replications. Altitude was the main plot and accessions of West Indian arrowroot were the subplots. The altitudes consist of 2 levels that is 250 and 1100 m asl. Accessions of West Indian arrowroot consist of four levels i.e. accessions of Bantul, Krajan, Kemalang, and Begawat. Physiological responses such as stomatal conductance, rate of transpiration, and photosynthesis were measured using LI-COR 6400XT portable photosynthesis system (LI-COR Biosciences, Lincoln, Nebraska, USA) at 2, 5, and 7 months after planting on fully expanded leaves at 2000 µmol m-2 s-1 of photosynthetically active radiation (PAR). Growth variables measured were the growth of plant height, leaf, and tiller per clump at 2, 5, and 7 months after planting, leaf area per plant, relative growth rate, and tuber growth rate. Measuring shoot and tuber dry weight was done at 2, 5, and 7 months after planting. Fresh tuber yield was measured at 7 month after planting. The results showed that altitudes significantly affected on photosynthesis, growth rate, and photosynthate accumulation of West Indian arrowroot. The stomatal conductance, transpiration rate, and photosynthesis rate of West Indian arrowroot in location 1100 m asl were higher than that in location 250 m asl. Accumulation of soluble sugar in the leaves of West Indian arrowroot at 5 month after planting was higher than those at 2 month after planting in both location. The
West Indian arrowroot in location 250 m asl exhibited the higher height growth rate, leaf area per plant, and tuber growth rate than that in location 1100 m asl. The height growth rate of Bantul accession was the lowest and different with Krajan, Kemalang, and Begawat accession. On the other hand, there was no significant differences on leaf growth and tiller number per clump at two locations. Relative growth rate of West Indian arrowroot in location 1100 m asl was higher than that in location 250 m asl. Photosynthate of West Indian arrowroot was predominantly distributed in shoot growth, as a result, the tuber yield of West Indian arrowroot in location 1100 m asl was lower than those in location 250 m asl. The tuber yield of West Indian arrowroot in location 250 m asl was higher (43.07%) than that in location 1100 m asl, it was due to the higher distribution of photosynthate to the tuber. Thus it showed that the cultivation of West Indian arrowroot would have a higher tuber yield in lowland because of suitable environmental factors for their growth. Accessions of Begawat, Kemalang, and Krajan have the potential to be cultivated both in the lowland and highland with high tuber yield. Key words: altitude, Maranta arundinacea, photosynthate distribution, photosynthesis rate, tuber yield.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FOTOSINTESIS, LAJU PERTUMBUHAN, DAN AKUMULASI FOTOSINTAT TANAMAN GARUT (Maranta arundinacea L.) PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA
LAKSMI PUSPITASARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Rita Megia, DEA
Judul Tesis : Fotosintesis, Laju Pertumbuhan, dan Akumulasi Fotosintat Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.) pada Ketinggian Tempat yang Berbeda Nama : Laksmi Puspitasari NIM : G353130191
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Dra Triadiati, MSi Ketua
Dr Ir Sulistijorini, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Miftahudin, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 9 Februari 2017
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Fotosintesis, Laju Pertumbuhan, dan Akumulasi Fotosintat Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.) pada Ketinggian Tempat yang Berbeda telah berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Dra Triadiati, MSi dan Dr Ir Sulistijorini, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi ide, saran, dan arahan selama proses penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Rita Megia, DEA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan pada saat ujian tesis untuk membuat karya ilmiah ini menjadi lebih baik. Terima kasih kepada Dirjen DIKTI atas beasiswa kuliah dan penelitian selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB melalui BPPDN Calon Dosen 2013. Terima kasih kepada teman-teman Pascasarjana Biologi Tumbuhan IPB 2013 atas kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin. Terima kasih kepada Bapak Gito Wiyono, Bapak dan Ibu Tugiyo, Bapak Sorikhati Pranoto, Bapak Jamal, dan Bapak Atip yang telah membantu penulis dalam proses pengumpulan sampel penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada segenap staf Kebun Percobaan Sindang Barang Bogor dan Pasir Sarongge Cianjur yang telah membantu selama penelitian di lapang. Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Haris Maulani, Delfi Trisnawati, Rosyunita, Yuang Dinni Aksari, Arlinda Puspita Sari, Fitri Yuliani, Melisnawati H. Angio, Susan Helmi, M. Rifki Hariri, Marzuki Rahman Siregar, M. Adenk Fadhila, dan Ulil Albab atas kesediaannya membantu penulis dalam pengumpulan data di lapang. Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada suami Ferry Dwi Cahyadi, ayahanda Kusnendar, ibunda Dwiningsih, adik Dewi Putri Lestari dan Agung Wicaksono, kakak Tri Harnani dan keluarga, dan seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, semangat, dukungan, dan motivasi bagi penulis selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2017 Laksmi Puspitasari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.) Fotosintesis pada Tanaman Mekanisme Translokasi Fotosintat Tanaman Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Fisiologi dan Pertumbuhan Tanaman
3 3 4 5 6
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Rancangan Percobaan Pelaksanaan Penelitian di Lapang Pengukuran Peubah Fisiologi Analisis Kadar Gula Terlarut Daun Pengukuran Peubah Pertumbuhan Analisis Data
8 8 8 9 9 10 10 10 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan
12 12 18
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
24 24 24
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
32
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Kondisi iklim lokasi penanaman di ketinggian 250 m dpl dan 1100 m dpl dari bulan Oktober 2014 hingga Juni 2015 Aksesi-aksesi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) beserta asal daerah dan ketinggian tempatnya Laju pertumbuhan umbi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda Bobot kering tajuk dan umbi per rumpun tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda Produksi umbi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) pada panen 7 BST
8 8 16 17 18
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
8 9
Tanaman garut (Maranta arundinacea L.) umur 2 bulan setelah tanam (a), perbungaan (b), dan umbi tanaman garut (c) Morfologi bunga tanaman garut (Maranta arundinacea L.) Konduktansi stomata tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda Laju transpirasi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) pada ketinggian tempat dan umur tanaman yang berbeda Laju fotosintesis tanaman garut (Maranta arundinacea L.) pada ketinggian tempat dan umur tanaman yang berbeda Kadar gula terlarut tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda saat 2 BST dan 5 BST Pertambahan tinggi tajuk (a), jumlah daun per rumpun (b), dan jumlah anakan per rumpun (c) tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda Luas daun tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda Laju pertumbuhan relatif tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda
3 4 12 13 13 14 15
16 17
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Garut (Maranta arundinacea L.) merupakan salah satu jenis tanaman berumbi anggota famili Marantaceae yang berpotensi sebagai sumber pangan alternatif. Umbi tanaman garut menghasilkan pati yang potensial dengan kandungan pati mencapai lebih dari 20% (Rahman et al. 2015). Kandungan pati pada umbi garut lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lain dari anggota famili Marantaceae yaitu Calathea allouia dengan kandungan pati sebesar 6.6% (Bridgemohan 2011). Umbi tanaman garut dapat dikonsumsi dengan cara direbus, dibuat emping atau keripik, dan diolah menjadi tepung. Tepung garut dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan biskuit, kue, puding, dan bubur (Djaafar et al. 2010; Harmayani et al. 2011). Tepung garut juga dapat bermanfaat di bidang kesehatan yaitu untuk mengobati penyakit stomatitis, diare, disentri, dan kolatitis (Harshan et al. 2012). Pati dari tepung garut memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi yaitu amilosa sebesar 25.9%, protein sebesar 0.14%, lemak sebesar 0.84%, air sebesar 11.9%, abu sebesar 0.58%, serat terlarut sebesar 5%, dan serat tak terlarut sebesar 8.7% (Kumalasari et al. 2012). Tanaman garut dapat ditemui di beberapa daerah di Indonesia seperti Jawa, Sulawesi, dan Maluku. Tanaman garut umumnya ditemukan tumbuh liar di hutan, pekarangan, dan ladang. Tanaman garut dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian mulai dari 0 m dpl hingga 1000 m dpl (Villamayor dan Jukema 1996). Produktivitas umbi tanaman garut di Indonesia sebesar 9-12 ton ha-1 dengan kandungan pati sebesar 1.92-2.56 ton ha-1 (Djaafar et al. 2010). Peningkatan produktivitas umbi perlu dilakukan mengingat potensi nilai ekonomi dan kesehatan yang dimiliki tanaman garut cukup potensial. Saat ini, tanaman garut mulai banyak dibudidayakan secara luas di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembudidayaan tanaman garut di beberapa wilayah tersebut sebagian besar dilakukan di daerah dataran rendah. Upaya peningkatan produktivitas umbi garut ini turut berkontribusi dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui upaya diversifikasi pangan. Produktivitas umbi yang dihasilkan tanaman ditentukan oleh pola distribusi fotosintat di antara organ-organ tanaman (Tekalign dan Hammes 2005). Pola distribusi fotosintat sangat dipengaruhi oleh kemampuan organ-organ sink dalam menarik fotosintat (sink strength) dan faktor lingkungan melalui perubahan laju fotosintesis (Fujimura et al. 2010; Bridgemohan 2011; Lemoine et al. 2013). Pertumbuhan dan akumulasi biomassa pada tanaman dilaporkan berbeda jika tumbuh di kondisi agroekologi yang berbeda (Cai et al. 2012; Keveshk 2013; Zheng et al. 2016). Kondisi ekologi yang berbeda seperti gradien ketinggian tempat menyebabkan perbedaan kondisi lingkungan meliputi intensitas cahaya matahari, suhu, dan kecepatan angin (Kumar et al. 2006; Shi et al. 2015). Faktor lingkungan yaitu intensitas cahaya matahari dapat mempengaruhi akumulasi biomassa pada leren atau Guinea arrowroot (Calathea allouia [Aubl.] Lindl., Marantaceae) (Bridgemohan 2011).
2 Perluasan daerah penanaman baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dan pencarian bibit unggul dapat dilakukan dalam rangka pengembangan budi daya dan peningkatan produktivitas tanaman garut. Akan tetapi, informasi mengenai faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman garut masih sangat terbatas dan belum ada kajian yang meneliti pertumbuhan dan produksi umbi tanaman garut di ketinggian yang berbeda. Informasi tentang respon fotosintesis, laju pertumbuhan, dan akumulasi fotosintat tanaman garut di ketinggian tempat yang berbeda sangat diperlukan dalam rangka pengembangan budi daya tanaman garut. Oleh karena itu, penelitian yang membandingkan fisiologi, pertumbuhan, dan produksi umbi tanaman garut pada kondisi lingkungan ketinggian tempat yang berbeda perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fotosintesis, laju pertumbuhan, dan akumulasi fotosintat tanaman garut (Maranta arundinacea L.) pada ketinggian tempat yang berbeda.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan data awal bagi pihak terkait dalam upaya pengembangan budi daya tanaman garut meliputi aksesi tanaman garut yang berproduksi umbi tinggi dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi fisiologi dan pertumbuhan tanaman garut. Informasi-informasi tersebut diharapkan dapat mendorong munculnya ide-ide baru dalam pembudidayaan tanaman garut sehingga upaya diversifikasi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dapat tercapai.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.) Tanaman garut merupakan tanaman berumbi anggota famili Marantaceae yang berasal dari Amerika tropis (Tan dan Zaharah 2015). Daerah persebaran tanaman garut ini meliputi Hawai, Australia, St. Vincent, India, Sri Lanka, Filipina, dan Indonesia (Djaafar et al. 2010). Tanaman garut dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia yaitu Jawa, Sulawesi, dan Maluku. Nama lokal tanaman garut di masing-masing daerah di Indonesia berbeda-beda yaitu arut/ jelarut/ irut/ larut/ garut (Jawa Timur), larut/pata sagu (Jawa Barat), labia walanta (Gorontalo), dan huda sula (Ternate) (Djaafar et al. 2010). Habitus tanaman garut berupa herba dengan tinggi 30-130 cm; batang tipis, tegak, percabangan batang menggarpu; umbi merupakan rimpang yang membesar, simpodial, silindris, berdaging, berpati, dilindungi sisik yang tumpang tindih berwarna putih hingga coklat, dan berukuran 5-40 cm 2-5 cm; helaian daun berbentuk ovate-oblong; terdapat beberapa perbungaan per leafy shoot pada bagian terminal, braktea berjumlah 1, 2, atau 3, setiap perbungaan terdiri dari 2 atau 3 pasang bunga, kelopak bunga berwarna hijau, dan mahkota bunga berwarna putih membentuk seperti tabung (Wu dan Kennedy 2000; Lim 2016). Habitus tanaman garut, perbungaan, dan umbi tanaman garut dapat dilihat pada Gambar 1. Morfologi bunga tanaman garut dapat dilihat pada Gambar 2. Umbi tanaman garut dapat dimanfaatkan dengan diolah menjadi emping dan tepung. Tepung garut dapat digunakan sebagai bahan pembuat makanan (kue, biskuit, bubur, dan puding) dan sebagai bahan pembuat lem, sabun, dan bedak (Suhertini dan Lukman 2003; Djaafar et al. 2010; Harmayani et al. 2011). Kandungan pati dan amilosa pada pati garut yang tinggi sangat berperan dalam membentuk susunan polimer yang kuat sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan membran (Gordillo et al. 2014). Umbi garut juga memiliki kandungan frukto-oligosakarida dengan komponen prebiotik yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan bio-yoghurt (Abesinghe et al. 2012).
(a)
(b)
(c)
Gambar 1 Tanaman garut (Maranta arundinacea L.) umur 2 bulan setelah tanam (a), perbungaan (b), dan umbi tanaman garut (c)
4
Gambar 2 Morfologi bunga tanaman garut (Maranta arundinacea L.) (Hayden 2005)
Fotosintesis pada Tanaman Proses fotosintesis berperan penting bagi kelangsungan hidup tanaman. Proses ini penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena sekitar 40% karbon penyusun biomassa tanaman dibuat melalui proses fotosintesis (Lambers et al. 2008). Organisme fotosintetik menggunakan energi matahari untuk mensintesis karbohidrat dari karbondioksida dan air, dan dalam proses fotosintesis ini dihasilkan oksigen. Secara umum, reaksi kimia proses fotosintesis menurut Taiz dan Zeiger (2010): 6 CO2 + Karbon dioksida
6 H2 O air
C6H12O6 + karbohidrat
6 O2 oksigen
Energi yang tersimpan dalam molekul-molekul tersebut dapat digunakan selanjutnya untuk proses-proses seluler tanaman. Proses-proses utama dalam fotosintesis dibagi menjadi 3 bagian yaitu penyerapan foton oleh pigmen-pigmen fotosintesis, reaksi terang yang menghasilkan NADPH dan ATP, dan reaksi gelap atau siklus Calvin yang menghasilkan komponen triosa-fosfat (Lambers et al. 2008) Performa fotosintesis tanaman ditentukan oleh kapasitas pengambilan CO2. Difusi CO2 melalui stomata hingga masuk ke ruang mesofil untuk proses fotosintesis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konduktansi lapisan batas (boundary layer) daun, konduktansi stomata, dan konduktansi mesofil daun. Lapisan batas (boundary layer) daun ialah lapisan tipis udara yang berdekatan dengan permukaan daun. Konduktansi stomata merupakan suplai CO2 dari atmosfer menuju ruang interseluler sel, sedangkan konduktansi mesofil daun merupakan difusi CO2 dari ruang interseluler menuju ruang mesofil tempat siklus Calvin berlangsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju fotosintesis tanaman antara lain kapasitas reaksi karboksilasi ribulosa-1,5-bisfosfat (RuBP) oleh enzim Rubisco,
5 metabolisme triosa fosfat, dan regenerasi RuBP (Lambers et al. 2008; Shi et al. 2015). Rubisco (ribulosa-1,5-bisfosfat karboksilase/oksigenase) merupakan enzim yang berperan mengkatalisis dua reaksi yaitu reaksi karboksilasi dan oksigenasi. Reaksi karboksilasi terjadi apabila konsentrasi CO2 di dalam ruang mesofil lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi O2. Peningkatan reaksi karboksilasi akan mendorong laju fotosintesis semakin cepat. Sebaliknya, apabila konsentrasi O2 di ruang mesofil lebih tinggi, reaksi yang terjadi adalah reaksi oksigenasi oleh enzim Rubisco. Proses ini disebut dengan fotorespirasi dan proses ini dapat menjadi faktor pembatas bagi laju fotosintesis tanaman (Taiz dan Zeiger 2010). Sebagian besar hasil fotosintesis dikirim keluar dari kloroplas menuju sitosol. Pada saat proses ini, terjadi pertukaran antara triosa-fosfat dengan Pi (intermediet fosfat). Pembagian fotosintat di dalam sel sangat bergantung pada konsentrasi Pi di sitosol. Konsentrasi Pi di sitosol yang tinggi akan mempercepat laju pertukaran Pi dengan triosa-fosfat. Sebaliknya, jika konsentrasi Pi di sitosol rendah maka laju pertukaran Pi dengan triosa-fosfat akan menurun dan berdampak pada peningkatan triosa-fosfat di dalam kloroplas. Hal ini akan mendorong terjadinya feedbackinhibition. Penurunan konsentrasi Pi di kloroplas berdampak pada penurunan pembentukan ATP dan aktivitas siklus Calvin menjadi menurun. Regenerasi RuBP menurun dan ketersediaan intermediet yang terbatas berdampak pada penurunan reaksi karboksilasi oleh enzim Rubisco sehingga laju fotosintesis menurun (Paul dan Foyer 2001).
Mekanisme Translokasi Fotosintat Tanaman Translokasi fotosintat didefinisikan sebagai proses pengangkutan hasil fotosintesis yang diatur oleh transport membran melalui pembuluh floem dari organ source menuju organ sink (Taiz dan Zeiger 2010). Organ source merupakan organ penyedia dan pengirim fotosintat yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan organ sink ialah organ-organ penerima fotosintat yang dikirimkan dari organ source (White et al. 2016). Daun dewasa yang aktif melakukan fotosintesis merupakan organ source, sedangkan umbi, meristem, akar, daun muda, dan organorgan reproduksi seperti bunga dan buah yang sedang berkembang merupakan organ-organ sink (Taiz dan Zeiger 2010; Osorio et al. 2014). Fotosintat atau hasil fotosintesis yang ditranslokasikan berupa gula terlarut yang meliputi monosakarida dan oligosakarida (Luo dan Huang 2011; Dallagnol et al. 2013). Sukrosa merupakan bentuk karbohidrat yang paling banyak ditranslokasikan ke jaringan sink melalui floem pada sebagian besar jenis tanaman (Duan et al. 2014). Translokasi fotosintat dari jaringan source menuju jaringan sink melalui beberapa proses yaitu phloem loading dan phloem unloading. Phloem loading ialah proses pengangkutan fotosintat dari kloroplas mesofil menuju berkas pembuluh floem daun dewasa, sedangkan phloem unloading merupakan proses pengangkutan fotosintat dari berkas pembuluh floem menuju jaringan-jaringan sink yang sedang berkembang (Taiz dan Zeiger 2010). Floem di sepanjang jalur translokasi fotosintat dibagi menjadi tiga bagian fungsional yang memiliki fungsi masing-masing, secara berturut-turut ialah floem pengumpul fotosintat (collection phloem), floem pengangkut fotosintat (transport phloem), dan floem pelepas fotosintat (release
6 phloem). Fotosintat yang diproduksi pada mesofil daun selanjutnya dimasukkan ke dalam komplek unsur pembuluh-sel pengiring atau disebut dengan sieve elementcompanion cell (SECC) yang terletak pada pembuluh-pembuluh kecil daun melalui floem pengumpul. Selanjutnya, fotosintat diangkut menuju sink melalui floem pengangkut yang terletak di pembuluh-pembuluh utama tangkai daun, cabang, batang, dan akar. Floem pengangkut tidak hanya mengangkut fotosintat menuju organ sink ke arah terminal (akar dan tajuk) tetapi juga mengangkut fotosintat ke arah lateral (kambium) yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan. Fotosintat selanjutnya dilepas dari komplek unsur pembuluh-sel pengiring (sieve element-companion cell) menuju ke sel-sel untuk pertumbuhan ataupun penyimpanan. Rasio volume antara sel-sel pengiring (companion cells) dan unsur-unsur pembuluh (sieve elements) mengalami penurunan sepanjang jalur translokasi fotosintat melalui floem. Hal ini berhubungan dengan penurunan kebutuhan energi untuk penyimpanan fotosintat pada floem pengumpul (collection), pengangkut (transport), dan pelepas (release) (De Schepper et al. 2013). Alokasi dan distribusi fotosintat menuju organ sink berkaitan erat dengan laju produksi fotosintat melalui proses fotosintesis (source strength) dan kekuatan sink dalam menarik fotosintat tersebut (sink strength) (Bridgemohan 2011). Kebutuhan fotosintat yang tinggi dari organ sink yang sedang berkembang dapat berpengaruh terhadap peningkatan laju fotosintesis tanaman (McCormick et al. 2006). Keseimbangan dan kekuatan source-sink dapat mempengaruhi kandungan karbon pada tanaman dan berdampak pada pertumbuhan tanaman ( Li et al. 2015).
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Fisiologi dan Pertumbuhan Tanaman Ketinggian tempat yang berbeda mengakibatkan adanya perbedaan karakteristik kondisi lingkungan yang meliputi intensitas cahaya matahari, kandungan CO2 di atmosfer, suhu udara, kelembapan relatif, dan kecepatan angin (Unal et al. 2013). Faktor lingkungan tersebut berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Joshi et al. 2007). Intensitas cahaya matahari dan kandungan karbondioksida di udara berperan penting dalam proses fotosintesis tanaman. Kedua faktor lingkungan tersebut dapat menjadi faktor pembatas laju fotosintesis. Intensitas cahaya matahari dan CO2 atmosfer yang masuk ke ruang mesofil melalui stomata yang tinggi akan memungkinkan reaksi karboksilasi oleh enzim Rubisco tinggi pula sehingga laju fotosintesis akan meningkat. Laju fotosintesis yang tinggi akan menghasilkan fotosintat yang cukup untuk pertumbuhan tanaman (Lin et al. 2014). Peningkatan CO2 atmosfer dapat berpengaruh pada kapasitas fotosintesis dan translokasi fotosintat dari organ source (Duan et al. 2014). Tanaman garut merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh pada kondisi terbuka dengan pencahayaan sinar matahari secara langsung dan dapat pula bertahan pada kondisi naungan 30-70%. Intensitas cahaya matahari dapat mempengaruhi hasil umbi tanaman garut. Tanaman garut yang tumbuh di kondisi naungan < 30% memiliki hasil umbi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tumbuh di kondisi naungan > 30% pada umur panen 7 dan 9 bulan (Djaafar et al. 2010).
7 Suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Suhu optimal untuk proses metabolisme masing-masing tanaman berbeda-beda dan proses metabolisme yang optimal akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebaliknya, proses metabolisme tanaman seperti fotosintesis akan terganggu akibat suhu rendah ataupun suhu tinggi. Suhu rendah dapat mempengaruhi laju fotosintesis melalui penurunan aktivitas enzim-enzim fotosintesis (Smith dan Ennos 2003). Pengangkutan gula melalui pembuluh floem atau phloem loading juga dipengaruhi oleh suhu rendah yang dapat memperlambat phloem loading (Bilska-Kos et al. 2016). Penurunan laju fotosintesis dan pengangkutan gula yang terhambat tentu berdampak pula pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena suplai gula sebagai sumber energi untuk pertumbuhan organ sink terbatas. Proses metabolisme tanaman garut diketahui juga dipengaruhi oleh suhu, terutama suhu tanah pada pertumbuhan awal saat munculnya tunas dari umbi. Suhu lingkungan yang optimal untuk proses metabolisme tanaman garut berkisar antara 25-30 ºC (Djaafar et al. 2010). Kelembapan udara relatif ialah jumlah absolut dari uap air di dalam udara. Daerah dataran tinggi umumnya memiliki kelembapan relatif yang lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah. Kelembapan relatif yang rendah menandakan bahwa kandungan uap air di udara lebih sedikit sehingga potensial airnya menjadi negatif. Kondisi kelembapan relatif yang lebih rendah akan mempercepat hilangnya air melalui proses transpirasi karena potensial air di udara lebih negatif dibandingkan dengan potensial air di dalam sel tanaman (Liu et al. 2012). Kecepatan angin yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan mekanik pada tanaman. Daerah dataran tinggi umumnya memiliki kecepatan angin yang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah. Angin memiliki beberapa pengaruh pada tanaman yaitu mengurangi hambatan berupa lapisan batas (boundary layer) daun, sehingga akan meningkatkan konduktansi stomata, laju pertukaran panas (heat exchange rate), dan laju transpirasi tanaman. Hal ini akan menyebabkan peningkatan difusi CO2 yang akan masuk ke mesofil dan mendorong reaksi karboksilasi oleh enzim Rubisco sehingga laju fotosintesis akan meningkat. Akan tetapi, angin juga dapat menyebabkan penurunan laju fotosintesis pada tanaman melalui penurunan suhu daun. Suhu daun sangat dipengaruhi oleh sensible heat flux, sehingga saat terjadi peningkatan kecepatan angin terjadi pula peningkatan efisiensi pendinginan oleh sensible heat flux. Peningkatan pendinginan ini umumnya diikuti oleh penutupan stomata dan penggulungan daun untuk mengurangi laju transpirasi tanaman (Schymanski dan Or 2016). Stomata yang menutup mengakibatkan difusi CO2 ke ruang mesofil menjadi berkurang, begitu pula dengan daun yang menggulung menyebabkan luas area untuk berfotosintesis menjadi berkurang. Kandungan CO2 di ruang mesofil yang menurun tentunya berpengaruh terhadap penurunan reaksi karboksilasi oleh enzim Rubisco dan berdampak pada penurunan laju fotosintesis. Penurunan laju fotosintesis akan mengakibatkan distribusi fotosintat ke organ-organ yang sedang tumbuh dan berkembang mengalami penurunan (Anten et al. 2010).
8
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 hingga Desember 2015 di Kebun Percobaan Sindang Barang, Bogor Barat, Bogor dengan ketinggian 250 m dpl dan Kebun Percobaan Pasir Sarongge, Pacet, Cianjur dengan ketinggian 1100 m dpl. Perbedaan kondisi iklim dua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Pengukuran kadar gula terlarut daun tanaman garut dilakukan di Laboratorium BBPascapanen Cimanggu, Bogor. Pengukuran bobot kering tajuk dan umbi tanaman garut dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Tabel 1 Kondisi iklim lokasi penanaman di ketinggian 250 m dpl dan 1100 m dpl dari bulan Oktober 2014 hingga Juni 2015 Lokasi Lamanya penyinaran Suhu harian Kelembapan Kecepatan (m dpl) matahari selama 8 (ºC) udara relatif angin jam (%) (%) (km jam-1) 250 39.0-84.0 25.0-26.8 75.0-88.0 3.7-4.7 1100 54.0-79.0 21.0-23.0 65.0-81.0 47.0-58.0 Sumber: Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor dan Pasir Sarongge Cianjur. Nilai menunjukkan nilai terendah – tertinggi.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini ialah empat aksesi tanaman garut yang berasal dari daerah dan ketinggian tempat yang berbeda-beda. Aksesi-aksesi tanaman garut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Aksesi-aksesi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) beserta asal daerah dan ketinggian tempatnya Ketinggian tempat Nama aksesi Asal daerah (m dpl) Dusun Brongkol, Desa Argodadi, Bantul (BT) Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa 60 Yogyakarta Dukuh Krajan, Desa Danawarih, Krajan (KR) 270 Balapulang, Tegal, Jawa Tengah Desa Kendalsari, Kemalang, Kemalang (KM) 680 Klaten, Jawa Tengah Desa Begawat, Bumijawa, Tegal, Begawat (BG) 854 Jawa Tengah Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah LI-COR 6400XT Portable Photosynthesis System (LI-COR Inc., Lincoln, Nebraska, USA) untuk pengukuran fotosintesis tanaman garut.
9 Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan metode rancangan petak terbagi dalam rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Ketinggian tempat sebagai petak utama dan aksesi tanaman garut sebagai anak petak. Ketinggian tempat terdiri dari 2 taraf yaitu 250 m dpl dan 1100 m dpl. Aksesi tanaman garut terdiri atas 4 taraf yaitu Bantul, Krajan, Kemalang, dan Begawat. Populasi tanaman di tiap petak percobaan ialah 84 tanaman. Tata letak penanaman masing-masing aksesi tanaman garut di lapang dapat dilihat pada Lampiran 1.
Pelaksanaan Penelitian di Lapang
Persiapan Bahan Tanam dan Pembibitan Bahan tanam berupa potongan umbi dengan jumlah mata tunas berkisar 6 buah terlebih dahulu direndam selama 5 menit dalam larutan fungisida merk Dithane M-45 80WP dengan konsentrasi 1 g l-1 air (Suhertini dan Lukman 2003). Potongan umbi dibenamkan di lahan pembibitan berukuran 5 m × 2 m yang telah diberi pupuk kandang berupa kotoran sapi dengan naungan 60% dan jarak tanam 10 cm × 10 cm.
Penanaman dan Pemupukan Pindah tanam bibit garut dilakukan pada saat bibit berumur 7 minggu. Bibit garut dipilih dengan kriteria tinggi dan jumlah daun yang relatif seragam. Bibit garut ditanam pada lahan tanam berupa bedengan berukuran 9 m × 3.2 m dengan jarak tanam 60 cm × 40 cm dan kedalaman 7 cm (Sutoro dan Hadiatmi 2011). Jarak antar bedengan atau petak percobaan adalah 50 cm. Lahan tanam diberi pupuk dasar yaitu pupuk kandang (20 ton ha-1), pupuk urea (290 kg ha-1), SP 36 (375 kg ha-1), dan KCl (300 kg ha-1) (Djaafar et al. 2010) atau setara dengan 58.8 kg pupuk kandang petak-1, 0.835 kg urea petak-1, 1.08 kg SP36 petak-1, dan 0.864 kg KCl petak-1. Pupuk yang diberikan saat penanaman adalah seluruh pupuk kandang dan SP36, 1/3 dosis urea, dan 1/3 dosis KCl. Pemupukan urea dan KCl sebanyak 2/3 dosis diberikan saat 3.5 BST (Suhartini dan Hadiatmi 2011). Pemeliharaan dan Pemanenan Penyiangan secara periodik dilakukan hingga tanaman garut berumur 2 BST. Selanjutnya, penyiangan hanya dilakukan di tepi-tepi petak percobaan saat tanaman garut memasuki umur 4 BST. Penanggulangan hama dengan penyemprotan pestisida dilakukan bila ada serangan. Pemanenan dilakukan pada saat tanaman garut berumur 7 BST, karena petani garut umumnya memanen garut mulai umur 6 hingga 8 bulan untuk diolah menjadi emping dan tepung.
10 Pengukuran Peubah Fisiologi Peubah fisiologi yang diukur pada penelitian meliputi konduktansi stomata, laju transpirasi, dan laju fotosintesis tanaman garut. Pengukuran dilakukan pada daun dewasa yang lebar penuh menggunakan alat LI-COR 6400XT Portable Photosynthesis System (LI-COR Inc., Lincoln, Nebraska, USA) pada PAR (Photosynthetically Active Radiation) 2000 µmol m-2 detik-1. Pengukuran peubah fisiologi dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2, 5, dan 7 BST.
Analisis Kadar Gula Terlarut Daun Sampel daun yang digunakan untuk pengukuran kadar gula terlarut daun diambil dari 3 rumpun tanaman garut pada masing-masing aksesi di tiap ulangan. Tiap rumpun tanaman garut diambil sebanyak 3 helai daun dewasa yang lebar penuh dan masih aktif melakukan fotosintesis. Sampel daun kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 80ºC hingga mencapai bobot kering konstan. Sampel daun kering kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk. Sampel padat berupa serbuk daun kemudian dianalisis kadar gula terlarutnya dengan menggunakan metode fenol-asam sulfat (Dubois et al. 1956). Pengukuran kadar gula terlarut daun dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada umur 2 dan 5 BST.
Pengukuran Peubah Pertumbuhan Peubah pertumbuhan yang diukur pada penelitian ialah pertambahan tinggi tajuk, pertambahan jumlah daun per rumpun, pertambahan jumlah anakan per rumpun, luas daun per tanaman, laju pertumbuhan relatif, dan laju pertumbuhan umbi. Hasil pengukuran peubah pertumbuhan diperoleh dari rata-rata 5 rumpun tanaman di tiap-tiap aksesi tanaman garut pada masing-masing ulangan (petak percobaan). Tinggi tajuk, jumlah daun per rumpun, dan jumlah anakan per rumpun diukur mulai awal penanaman saat 0 BST, kemudian diukur pertambahannya saat umur 2, 5, dan 7 BST. Pengukuran luas daun dilakukan pada daun yang lebar sempurna saat 2, 5, dan 7 BST. Sampel daun diambil dan dibuat replika daun di atas kertas putih, yang selanjutnya replika daun tersebut dipindai menggunakan alat pemindai dan diukur luasnya dengan bantuan software ImageJ. Data luas daun per tanaman diperoleh dari rata-rata pengukuran saat 2, 5, dan 7 BST. Pengambilan sampel untuk pengukuran laju pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan umbi menggunakan metode destruktif yaitu pengambilan 5 rumpun tanaman garut yang masing-masing dipisahkan antara bagian daun, batang, dan umbi. Bagian daun, batang, dan umbi selanjutnya dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 80ºC hingga mencapai bobot kering. Bobot kering tajuk per rumpun diperoleh dari penjumlahan bobot kering daun dan batang per rumpun tanaman garut, sedangkan bobot kering tanaman per rumpun diperoleh dari penjumlahan bobot kering tajuk dan umbi per rumpun tanaman garut. Pengambilan sampel untuk mengukur bobot kering per rumpun tanaman garut dilakukan sebanyak 3 kali yaitu saat 2, 5, dan 7 BST. Laju pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan umbi diukur pada 2 BST hingga 7 BST menggunakan persamaan menurut Tekalign dan Hammes (2005):
11 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = [(ln𝑊2 − ln𝑊1 )/(𝑡2 − 𝑡1 )]𝑥 1000 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑢𝑚𝑏𝑖 = [ Keterangan: W1, W2 T1, T2 t1, t2 GA
(
1 )(𝑇2 −𝑇1 ) 𝐺𝐴
𝑡2 −𝑡1
] 𝑥 1000
: total bobot kering tanaman per rumpun (g) pada pengamatan pertama (2 BST), kedua (7 BST) : bobot kering umbi per rumpun (g) pada pengamatan pertama (2 BST), kedua (7 BST) : waktu pengamatan pertama (2 BST), kedua (7 BST) : luas daerah yang ditanami
Produksi umbi tanaman garut diukur saat panen akhir 7 BST dengan mengukur bobot basah umbi seluruh tanaman pada masing-masing aksesi di tiaptiap ulangan.
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan Analysis of Varians (ANOVA) pada taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT) dengan taraf α=5% apabila terdapat perbedaan yang nyata.
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Respon Fisiologi Tanaman Garut Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian tempat mempengaruhi (p<0.05) konduktansi stomata tanaman garut. Konduktansi stomata tanaman garut di lokasi 1100 m dpl lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl. Konduktansi tanaman garut di lokasi 250 dan 1100 m dpl berturut-turut sebesar 0.08 dan 0.78 mol H2O m-2 detik-1 (Gambar 3).
Gambar 3 Konduktansi stomata tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SD. Laju transpirasi tanaman garut dipengaruhi oleh interaksi antara ketinggian tempat dan umur tanaman (p<0.05). Laju transpirasi tertinggi dan terendah berturut-turut pada umur tanaman 2 BST di lokasi 1100 dan lokasi 250 m dpl sebesar 18.28 dan 0.30 mmol H2O m-2 detik-1 (Gambar 4).
Laju transpirasi (mmol H2O m-2 detik-1)
13
25 20 15 10 5 0 -5
2 5 7 Umur tanaman (bulan setelah tanam) 250 m dpl
Gambar 4
1100 m dpl
Laju transpirasi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) pada ketinggian tempat dan umur tanaman yang berbeda. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SD.
Laju fotosintesis (µmol CO2 m-2 detik-1)
Interaksi ketinggian tempat dan umur tanaman juga mempengaruhi laju fotosintesis tanaman garut (p<0.05). Laju fotosintesis tanaman garut tertinggi dan terendah berturut-turut pada umur 7 BST di lokasi 1100 m dpl sebesar 120.45 µmol CO2 m-2 detik-1 dan umur 2 BST di lokasi 250 m dpl sebesar 5.74 µmol CO2 m-2 detik-1 (Gambar 5). 150 100 50 0 2 -50
5
Umur tanaman (bulan setelah tanam) 250 m dpl
Gambar 5
7
1100 m dpl
Laju fotosintesis tanaman garut (Maranta arundinacea L.) pada ketinggian tempat dan umur tanaman yang berbeda. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SD.
14
8
8 7 6 5 4 3 2 1 0
6
Axis Title
Kadar gula terlarut daun (%)
Kadar Gula Terlarut Daun Kadar gula terlarut pada daun dipengaruhi oleh interaksi antara ketinggian tempat dan aksesi tanaman garut (p<0.05) baik pada 2 BST maupun 5 BST. Kadar gula terlarut tanaman garut pada umur 5 BST lebih tinggi dibandingkan dengan umur 2 BST di dua lokasi (Gambar 6).
4 2 0 BT KR KM BG Aksesi tanaman garut ( 2 BST)
250 m dpl 1100 m dpl
BT
KR KM BG
Aksesi tanaman garut ( 5 BST)
a. Gambar 6 Kadar gula terlarut pada daun tanaman garut (Maranta arundinacea L.) b. di ketinggian tempat yang berbeda saat 2 BST dan 5 BST. BT: aksesi Bantul; KR: aksesi Krajan; KM: aksesi Kemalang; BG: aksesi Begawat. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SD. Pertumbuhan Tanaman Garut Pertumbuhan tajuk yang ditandai dengan pertambahan tinggi tajuk dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan aksesi tanaman garut secara terpisah. Pertambahan tinggi tajuk (Gambar 7a) di lokasi 250 m dpl nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl, pertambahan tinggi tajuk aksesi Bantul berbeda (p<0.05) dan paling rendah dibandingkan dengan aksesi Krajan, Kemalang, dan Begawat. Pertambahan tinggi tajuk aksesi Krajan tidak berbeda (p>0.05) dengan aksesi Kemalang dan Begawat. Pertambahan tinggi tajuk tanaman garut di lokasi 250 m dpl memiliki laju yang lebih cepat dibandingkan dengan di lokasi 1100 m dpl. Laju pertambahan tinggi tajuk di lokasi 250 dan 1100 m dpl berturut-turut sebesar 20.00 dan 9.11 cm bulan-1. Pertambahan jumlah daun dan jumlah anakan per rumpun empat aksesi tanaman garut tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara lokasi 250 dan lokasi 1100 m dpl (Gambar 7b dan 7c).
15
Tinggi tajuk (cm)
a.
b.
0
120
Jumlah daun/rumpun (helai)
a.
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2
5
7
BT (250 m dpl) 100
KR (250 m dpl)
Umur tanaman (bulan setelah tanam)
80
KM (250 m dpl) BG (250 m dpl)
60
BT (1100 m dpl)
40
KR (1100 m dpl) 20
KM (1100 m dpl)
0 c.
BG (1100 m dpl)
14 Jumlah anakan/ rumpun
b.
Keterangan :
0
2
5
7
12 10 8
Umur tanaman (bulan setelah tanam)
6 4 2 0 0
Gambar 7
2 5 Umur tanaman (bulan setelah tanam)
7
Pertambahan tinggi tajuk (a), jumlah daun per rumpun (b), dan jumlah anakan per rumpun (c) tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda. BT: aksesi Bantul; KR: aksesi Krajan; KM: aksesi Kemalang; BG: aksesi Begawat. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SD.
16 Luas daun tanaman garut juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat (p<0.05). Luas daun tanaman garut di lokasi 250 m dpl nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan di lokasi 1100 m dpl (Gambar 8).
Luas daun/tanamn (cm2)
250 200 150 100 50 0
250 m dpl
1100 m dpl Lokasi
Gambar 8
Luas daun tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SD.
Ketinggian tempat dan aksesi tanaman garut secara terpisah mempengaruhi laju pertumbuhan umbi tanaman garut. Laju pertumbuhan umbi di lokasi 250 m dpl nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl, laju pertumbuhan umbi aksesi Krajan berbeda (p<0.05) dengan aksesi Bantul dan tidak berbeda (p>0.05) dengan aksesi Kemalang dan Begawat. Laju pertumbuhan umbi tanaman garut di lokasi 250 m dpl 30% lebih tinggi dibandingkan dengan di lokasi 1100 m dpl (Tabel 3). Tabel 3 Laju pertumbuhan umbi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda Perlakuan Laju pertumbuhan umbi (mg m-2 hari -1) Lokasi 250 m dpl 39 a 1100 m dpl 30 b Aksesi Bantul 27 b Krajan 41 a Kemalang 37 a Begawat 35 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT (α=5%).
Laju pertumbuhan relatif tanaman garut dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Laju pertumbuhan relatif tanaman garut di lokasi 1100 m dpl nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl (Gambar 9).
Laju pertumbuhan relatif (mg g-1 hari-1)
17 25 20 15 10 5 0 250 m dpl
1100 m dpl Lokasi
Gambar 9 Laju pertumbuhan relatif tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SD. Akumulasi Fotosintat Tanaman Garut Akumulasi fotosintat tanaman garut digambarkan melalui bobot kering yang terdapat pada bagian tajuk dan umbi. Bobot kering tajuk per rumpun dipengaruhi oleh ketinggian tempat, sedangkan bobot kering umbi per rumpun dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan aksesi tanaman garut secara terpisah. Bobot kering tajuk dan umbi per rumpun di lokasi 250 m dpl nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl. Bobot kering umbi per rumpun aksesi Krajan tidak berbeda (p>0.05) dengan aksesi Kemalang dan berbeda (p<0.05) dengan aksesi Begawat dan Bantul (Tabel 4). Tabel 4 Bobot kering tajuk dan umbi per rumpun tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di ketinggian tempat yang berbeda Bobot kering tajuk per rumpun Bobot kering umbi per (g) rumpun (g) Perlakuan 2 BST 5 BST 7 BST 5 BST 7 BST Lokasi 250 m dpl 78.75 a 166.94 a 152.79 a 99.61 a 165.04 a 1100 m dpl 60.01 b 78.92 b 64.31 b 57.49 b 125.59 b Aksesi Bantul 42.66 a 106.96 a 101.89 a 61.46 a 109.74 b Krajan 48.01 a 130.53 a 110.51 a 86.34 a 169.71 a Kemalang 44.44 a 127.61 a 112.81 a 84.36 a 153.90 a Begawat 52.40 a 126.61 a 108.98 a 82.04 a 147.91 ab Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT (α=5%).
Produksi umbi Hasil penelitian menunjukkan produksi umbi dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan aksesi tanaman garut secara terpisah. Produksi umbi garut di lokasi 250 m dpl nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl. Produksi umbi tanaman garut di lokasi 250 m dpl 43.07% lebih tinggi dibandingkan di lokasi
18 1100 m dpl. Produksi umbi aksesi Krajan berbeda (p<0.05) dengan Bantul dan tidak berbeda (p>0.05) dengan Kemalang dan Begawat. Produksi umbi aksesi Bantul paling rendah dibandingkan dengan aksesi Krajan, Kemalang, dan Begawat (Tabel 5). Tabel 5 Produksi umbi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) pada panen 7 BST Perlakuan Produksi umbi (ton ha-1) Lokasi 250 m dpl 27.04 a 1100 m dpl 18.90 b Aksesi Bantul 17.53 b Krajan 23.14 a Kemalang 24.73 a Begawat 26.48 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT (α=5%).
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman garut yang ditanam di lokasi 1100 m dpl memiliki konduktansi stomata dan laju transpirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di ketinggian tempat yang berbeda meliputi kecepatan angin, dan kelembapan udara relatif. Perbedaan faktor-faktor lingkungan tersebut mempengaruhi pertukaran gas pada daun (leaf gas exchange) (Yasutake et al. 2001; Sendall et al. 2009). Kecepatan angin mempengaruhi pertukaran gas pada daun melalui perubahan konduktansi boundary layer. Kecepatan angin yang cenderung lebih tinggi di lokasi 1100 m dpl berdampak pada penurunan hambatan luar berupa turbulensi pada lapisan batas (boundary layer) daun, sehingga meningkatkan konduktansi difusi gas CO2 melalui stomata (Anten et al. 2010; Schymanski dan Or 2016). Kondisi stomata yang terbuka dan konduktansi stomata yang lebih tinggi di lokasi 1100 m dpl diikuti dengan laju transpirasi yang tinggi pula (Shi et al. 2015). Laju transpirasi yang lebih tinggi di lokasi 1100 m dpl diduga juga dipengaruhi oleh kelembapan relatif yang lebih rendah di lokasi tersebut. Kondisi kelembapan udara relatif di lokasi 1100 m dpl yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl mengakibatkan potensial air di udara menjadi lebih negatif karena mengandung lebih sedikit uap air. Kondisi potensial air di udara yang lebih negatif akan mendorong peningkatan laju transpirasi (Lambers et al. 2008). Hasil ini sejalan dengan pernyataan Gale (2004) bahwa tanaman yang tumbuh di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 1000 m dpl dengan ketersediaan air yang cukup dan kondisi stomata tetap membuka cenderung memiliki laju transpirasi yang berlipat ganda. Laju transpirasi dan konduktansi stomata tanaman diketahui memiliki hubungan yang erat dan berpengaruh terhadap fotosintesis tanaman (Xie dan Luo 2003).
19 Tanaman garut di lokasi 1100 m dpl menunjukkan kecenderungan laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl. Adapun penurunan laju fotosintesis di lokasi 1100 m dpl terjadi saat 5 BST, sehingga laju fotosintesis tanaman garut di lokasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl. Laju fotosintesis tanaman garut yang cenderung lebih tinggi di lokasi 1100 m dpl diduga disebabkan oleh konduktansi stomata yang lebih tinggi di lokasi tersebut dan berdampak pada peningkatan difusi CO2 yang masuk melalui stomata. Difusi CO2 yang lebih tinggi memungkinkan reaksi karboksilasi oleh enzim Rubisco di ruang mesofil juga lebih tinggi, dan hal ini dapat mendorong peningkatan laju fotosintesis (Fujimura et al. 2010; Kostopoulou dan Karatassiou 2016). Adapun penurunan laju fotosintesis saat 5 BST di lokasi 1100 m dpl diduga disebabkan oleh tanaman garut yang tercekam. Kondisi angin yang kencang dan suhu rendah dalam kurun waktu yang cukup lama di lokasi tersebut diduga menjadi penyebab tanaman garut mengalami cekaman. Kecepatan angin yang lebih tinggi di lokasi 1100 m dpl mengakibatkan peningkatan efisiensi pendinginan oleh sensible heat flux. Peningkatan pendinginan ini umumnya diikuti oleh penutupan stomata dan penggulungan daun untuk mengurangi laju transpirasi tanaman (Schymanski dan Or 2016). Stomata yang menutup mengakibatkan difusi CO2 ke ruang mesofil menjadi berkurang, begitu pula dengan daun yang menggulung menyebabkan luas area untuk berfotosintesis menjadi berkurang. Kandungan CO2 di ruang mesofil yang menurun tentunya berpengaruh terhadap penurunan reaksi karboksilasi oleh enzim Rubisco dan berdampak pada penurunan laju fotosintesis. Saat kondisi suhu rendah, tanaman akan cenderung menyimpan lebih banyak nitrogen untuk proses regenerasi ribulosa-1,5-bisfosfat (RuBP) dibandingkan dengan ribulosa-1,5-bisfosfat karboksilase/oksigenase (Rubisco) sehingga ketersediaan enzim Rubisco juga dapat menjadi faktor pembatas laju fotosintesis (Yamori et al. 2013). Laju fotosintesis tanaman garut di lokasi 1100 m dpl kembali mengalami peningkatan dan lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl saat berumur 7 BST. Hal ini diduga disebabkan oleh tanaman garut yang sudah mampu menyesuaikan diri di lokasi tersebut. Tanaman yang sudah mampu menyesuaikan diri dengan kondisi suhu rendah cenderung akan meningkatkan jumlah enzimenzim yang berperan dalam proses fotosintesis seperti Rubisco, sedoheptulosa-1,7bisfosfatase (SBPase), dan fruktosa-1,6-bisfosfatase (Yamori et al. 2013). Peningkatan jumlah enzim-enzim fotosintesis ini tentunya mendorong peningkatan laju fotosintesis. Tanaman yang tumbuh di dataran tinggi umumnya memiliki kapasitas fotosintesis yang lebih tinggi meskipun kondisi suhu dan tekanan parsial CO2 di dataran tinggi lebih rendah (Körner dan Diemer 1987; Strand et al. 1997; Atkin et al. 2006; Shi et al. 2006). Daun tanaman cenderung memiliki kapasitas fotosintesis yang lebih kuat pada kondisi yang kurang menguntungkan untuk menyuplai karbohidrat dan bahan organik yang cukup sehingga tanaman dapat melangsungkan proses-proses biokimia dan fisiologinya (Xie dan Luo 2003). Tanaman garut mencapai laju fotosintesis tertinggi saat 7 BST di lokasi 1100 m dpl dan memiliki laju fotosintesis terendah saat 2 BST di lokasi 250 m dpl. Laju fotosintesis tertinggi tanaman garut di lokasi 1100 m dpl saat 7 BST menunjukkan bahwa fotosintat yang dibutuhkan tanaman garut masih cukup tinggi untuk didistribusikan ke arah pembesaran umbi karena hingga memasuki umur 7 BST, umbi masih memiliki kapasitas yang kuat dalam menarik fotosintat yang
20 ditandai adanya penambahan bobot kering pada umbi saat 7 BST (Li et al. 2016). Laju fotosintesis terendah tanaman garut di lokasi 250 m dpl saat 2 BST diduga disebabkan oleh konduktansi stomata yang lebih rendah di lokasi tersebut dan kebutuhan fotosintat belum terlalu tinggi, masih sebatas pada pertumbuhan organorgan vegetatif. Laju fotosintesis tanaman garut secara umum meningkat seiring bertambahnya umur tanaman di dua lokasi ketinggian, kecuali saat 5 BST di lokasi 1100 m dpl mengalami penurunan. Peningkatan laju fotosintesis tanaman garut baik di lokasi 250 maupun 1100 m dpl diduga disebabkan oleh adanya proses-proses terbentuknya organ reproduksi (bunga) dan pembentukan umbi yang terjadi seiring bertambahnya umur tanaman, sehingga kebutuhan fotosintat untuk pertumbuhan organ-organ sink meningkat. Peningkatan permintaan fotosintat akan mendorong peningkatan kemampuan organ-organ sink dalam menarik fotosintat (sink strength), sehingga akan mempengaruhi laju fotosintesis (Marcelis 1996; McCormick et al. 2006). Tanaman garut yang ditanam di lokasi 1100 m dpl mengakumulasi gula terlarut pada daun yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 250 m dpl saat 5 BST. Hal ini memperkuat dugaan tanaman garut di lokasi 1100 m dpl mengalami cekaman lingkungan akibat angin kencang dan suhu rendah saat berumur 5 BST. Gula terlarut berperan sebagai osmoprotektan dan pelindung membran sel dari kerusakan (Yuanyuan et al. 2009). Ma et al. (2015) melaporkan bahwa tanaman yang tumbuh di dataran tinggi membutuhkan energi yang lebih tinggi untuk menanggapi cekaman lingkungan dan umumnya mengakumulasi gula terlarut daun yang tinggi sebagai salah satu mekanisme toleransi terhadap cekaman. Kadar gula terlarut tanaman garut saat berumur 5 BST lebih tinggi dibandingkan dengan 2 BST di dua lokasi ketinggian. Hal ini berkaitan dengan peningkatan laju fotosintesis dan kebutuhan organ sink seiring dengan pertambahan umur tanaman garut. Laju fotosintesis tanaman garut yang cenderung meningkat seiring bertambahnya umur tanaman, menghasilkan fotosintat berupa gula terlarut yang selanjutnya ditranslokasikan ke organ sink dan digunakan untuk pertumbuhan tanaman (Hossain et al. 2012; Braun et al. 2014). Tanaman garut yang ditanam di lokasi 250 m dpl memiliki laju pertambahan tinggi tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan kecenderungan alokasi fotosintat tanaman garut di dua lokasi tersebut. Fotosintat (gula terlarut) yang dihasilkan tanaman garut di lokasi 250 m dpl diduga dialokasikan ke arah pertumbuhan vertikal untuk pertambahan tinggi tajuk, sedangkan fotosintat cenderung dialokasikan untuk pertumbuhan radial pada tanaman garut di lokasi 1100 m dpl. Perbedaan alokasi fotosintat ini diduga berkaitan dengan strategi tanaman garut dalam menghadapi kondisi kecepatan angin yang berbeda di dua lokasi ketinggian. Kecepatan angin yang lebih tinggi di lokasi 1100 m dpl mendorong tanaman garut untuk meningkatkan kemampuan bertahan menghadapi kondisi tersebut dengan cara mengalokasikan fotosintat ke arah pertumbuhan radial dan berakibat pada ukuran tanaman garut yang cenderung lebih pendek. Pertumbuhan tajuk di lokasi 1100 m dpl yang lebih rendah diduga disebabkan juga oleh kondisi suhu rendah yang mengakibatkan terhambatnya penyimpanan karbon untuk pertumbuhan (Loveys et al. 2002; Scheidel dan Bruelheide 2004; Atkin et al. 2006). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Keveshk (2013) dan Ma et al. (2015) bahwa tinggi tanaman Euphorbia macrostegia dan Potentilla saundersiana
21 menurun seiring dengan kenaikan ketinggian tempat. Hasil serupa juga dilaporkan Yaqoob dan Nawchoo (2017) bahwa ukuran tanaman Ferula jaeschkeana mengalami penurunan seiring dengan peningkatan ketinggian tempat, tinggi tanaman Ferula jaeschkeana di dataran tinggi lebih pendek dibandingkan dengan di dataran rendah. Penurunan laju pertambahan tinggi tajuk merupakan strategi tanaman untuk mempertahankan diri dari kondisi ekstrim seperti angin kencang dan suhu rendah di dataran tinggi (Willis dan Hulme 2004; Dierig et al. 2006; Onoda dan Anten 2011). Aksesi Begawat, Kemalang, dan Krajan menunjukkan pertambahan tinggi tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Bantul. Perbedaan pertambahan tinggi tajuk ini diduga disebabkan oleh perbedaan laju pembelahan sel diantara aksesi-aksesi tanaman garut. Aksesi Begawat, Kemalang, dan Krajan diduga memiliki laju pembelahan sel yang lebih cepat sehingga memiliki laju pertambahan tinggi tajuk yang lebih cepat dibandingkan dengan aksesi Bantul. Mengesha et al. (2012) melaporkan bahwa perbedaan tinggi tanaman antar aksesi akibat kondisi lingkungan tertentu dapat menyebabkan variasi dalam keseimbangan hormon dan laju pembelahan sel. Faktor asal ketinggian tempat masing-masing aksesi diduga juga dapat mempengaruhi pertambahan tinggi tajuk tanaman garut. Kondisi iklim dari asal ketinggian aksesi berperan penting sebagai faktor yang dapat mempengaruhi karakter morfo-fisiologi dan performa pertumbuhan tanaman (Saikia et al. 2009). Aksesi Bantul yang telah dibudidayakan dalam waktu yang cukup lama di daerah dataran rendah (60 m dpl) dimungkinkan mengalami kesulitan dalam beradaptasi di daerah dataran tinggi (1100 m dpl) sehingga mengalami pertumbuhan yang lebih lambat akibat rendahnya laju pemanjangan sel. Pemanjangan sel aksesi-aksesi yang berasal dari dataran rendah yang tumbuh di dataran tinggi terhambat karena rendahnya kapasitas ektensibilitas dinding sel, yaitu kemampuan dinding sel dapat tetap meregang atau memanjang karena tekanan turgor (Friend dan Woodward 1990). Tanaman garut yang ditanam di lokasi 1100 m dpl memiliki luas daun yang lebih rendah dibandingkan dengan yang ditanam di lokasi 250 m dpl. Hal ini diduga berkaitan dengan mekanisme pertahanan terhadap kondisi angin yang kencang di lokasi 1100 m dpl. Seiring kenaikan ketinggian suatu tempat, ukuran daun cenderung akan semakin kecil sebagai respon menghadapi angin yang kuat (Pan et al. 2009). Ukuran daun yang lebih kecil menguntungkan bagi tanaman karena dapat terhindar dari kerusakan parah akibat angin kencang, dan cenderung membutuhkan alokasi biomassa yang lebih sedikit untuk menyokong jaringan-jaringan pada lamina daun (Pan et al. 2013). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Zhong et al. (2014) bahwa luas daun Elymus nutans dan Carex moorcroftii menurun seiring peningkatan ketinggian tempat. Tanaman garut di lokasi 250 m dpl memiliki laju pertumbuhan umbi yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh laju fotosintesis yang tinggi saat umur 5 BST, sehingga fotosintat yang dialokasikan ke umbi cenderung lebih tinggi. Kondisi suhu di lokasi 250 m dpl diduga sesuai untuk tanaman garut terutama dalam mendukung proses phloem loading (Bilska-Kos et al. 2016), sehingga distribusi fotosintat yang dihasilkan dari proses fotosintesis menuju organ sink (umbi) tidak terhambat. Umbi menjadi salah satu sink yang kuat saat fase ini, sehingga kebutuhan fotosintat untuk pertumbuhan umbi cukup besar. Laju pertumbuhan umbi aksesi Bantul paling
22 rendah di antara tiga aksesi lainnya diduga karena adanya perbedaan kemampuan aksesi dalam mentranslokasikan fotosintat ke bagian umbi (Lambers et al. 2008). Tanaman garut menunjukkan laju pertumbuhan relatif yang lebih tinggi di lokasi 1100 m dpl. Hal ini diduga berkaitan dengan laju fotosintesis di lokasi tersebut yang cenderung lebih tinggi sampai umur 7 BST, sehingga fotosintat yang didistribusikan untuk pertumbuhan lebih tinggi. Pertumbuhan tanaman garut di lokasi 1100 m dpl lebih cenderung ke arah tajuk yaitu peningkatan jumlah daun dan jumlah anakan yang cukup tinggi yang mulai tampak setelah umur 2 BST memasuki 5 BST. Tanaman yang tumbuh pada kondisi dingin atau bersuhu rendah umumnya mengalokasikan fotosintat ke arah pertumbuhan tajuk (Luo et al. 2013). Tajuk merupakan sink yang kuat saat tanaman garut berumur 2 BST, sehingga sebagian besar fotosintat diakumulasikan ke arah tajuk dan mulai diarahkan ke umbi yang berkembang saat umur 5 BST. Tajuk mengalami penurunan akumulasi fotosintat saat tanaman garut berumur 7 BST, sedangkan umbi cenderung menjadi sink yang kuat. Hal ini terjadi karena adanya proses nutrient remobilization yaitu pengangkutan nutrien dari pembuluh floem daun dan batang senesen (saat umur 7 BST) menuju organ penyimpanan, dalam hal ini adalah umbi (Maillard et al. 2015). Akumulasi fotosintat di bagian tajuk dan umbi tanaman garut di lokasi 250 m dpl lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl. Akumulasi fotosintat yang lebih tinggi di bagian tajuk tanaman garut di lokasi 250 m dpl disebabkan oleh ukuran tanaman yang lebih tinggi sebagai akibat dari laju pertambahan tinggi tajuk yang tinggi. Tinggi tanaman dan laju pertumbuhan umbi tanaman garut berperan dalam akumulasi fotosintat ke bagian umbi tanaman garut, sehingga tinggi tanaman dan laju pertumbuhan umbi yang lebih tinggi di lokasi 250 m dpl mendorong akumulasi fotosintat yang lebih tinggi pula di bagian umbi. Tanaman yang memiliki potensi pertumbuhan lebih tinggi cenderung mengakumulasi fotosintat yang tinggi pula (Foolad dan Lin 2000). Tanaman yang berukuran lebih tinggi memiliki kapasitas penyimpanan yang lebih besar, sehingga mendukung dalam pengisian cadangan makanan (Dordas dan Sioulas 2009). Aksesi-aksesi tanaman garut memiliki akumulasi fotosintat di bagian umbi yang berbeda-beda dan aksesi Bantul memiliki akumulasi fotosintat terendah. Aksesi Krajan, Kemalang, dan Begawat diduga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mentranslokasikan fotosintat ke arah umbi yang didukung dengan nilai laju pertumbuhan umbi dan akumulasi bobot kering umbi yang lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Bantul. Perbedaan translokasi fotosintat ke bagian umbi dipengaruhi oleh perbedaan masing-masing aksesi memulai proses translokasi fotosintat ke arah umbi dan kemampuan aksesi dalam mendistribusikan fotosintat tersebut (Condori et al. 2008). Tanaman garut yang ditanam di lokasi 250 m dpl memiliki produksi umbi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl. Umbi yang dihasilkan tanaman garut saat panen 7 BST diduga dipengaruhi oleh laju fotosintesis, produksi fotosintat, dan distribusi fotosintat ke arah organ sink (umbi). Produksi umbi tanaman garut di lokasi 250 m dpl yang lebih tinggi diduga akibat laju fotosintesis tanaman garut di lokasi tersebut yang cukup tinggi saat umbi mulai terbentuk dan berkembang (5 BST), sehingga menghasilkan fotosintat yang cukup tinggi untuk didistribusikan menuju umbi. Jumlah fotosintat yang diakumulasikan ke arah umbi per hari yang digambarkan melalui laju pertumbuhan umbi tanaman garut di lokasi
23 250 m dpl juga lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl. Kadar gula terlarut (fotosintat) yang didistribusikan dalam jumlah yang tinggi menuju organ sink umbi menentukan produksi umbi yang dihasilkan (Sujatha et al. 2008). Hubungan source-sink memiliki peranan penting dalam menentukan produksi umbi yang dihasilkan (Li et al. 2016). Produksi umbi tanaman garut di lokasi 1100 m dpl yang lebih rendah diduga disebabkan oleh tanaman garut yang tercekam kondisi suhu rendah dan angin kencang. Laju fotosintesis, kadar gula terlarut, dan laju pertumbuhan relatif yang secara umum lebih tinggi di lokasi 1100 m dpl, tidak diikuti dengan produksi umbi yang tinggi. Penurunan laju fotosintesis saat memasuki 5 BST di lokasi 1100 m dpl diduga berpengaruh terhadap tahap awal perkembangan umbi. Gula terlarut (fotosintat) yang dihasilkan melalui proses fotosintesis saat memasuki 5 BST diduga tidak mampu memenuhi kebutuhan organ sink umbi yang mulai berkembang saat itu. Adapun laju fotosintesis tanaman garut yang mengalami peningkatan dan menghasilkan gula terlarut yang tinggi tidak serta merta didistribusikan ke arah perkembangan umbi sepenuhnya, melainkan digunakan pula untuk perlindungan membran sel dari kerusakan akibat kondisi yang kurang menguntungkan (angin kencang dan suhu rendah). Tanaman yang tumbuh di kondisi lingkungan yang ekstrim seperti dataran tinggi membutuhkan karbohidrat yang cukup untuk menjaga pertumbuhan dan juga gula terlarut yang cukup untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidup (Pan et al. 2011). Suhu rendah diketahui dapat menghambat proses phloem-loading, sehingga laju distribusi fotosintat ke arah umbi lebih lambat yang ditandai dengan rendahnya nilai laju pertumbuhan umbi tanaman garut di lokasi 1100 m dpl. Kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dapat mendorong tanaman mengubah prioritas pertumbuhannya melalui perubahan laju fotosintesis dan organ sink umbi yang terbentuk (ukuran dan jumlah). Hal ini akan mengakibatkan perubahan besar pada hubungan source-sink tanaman dan mempengaruhi fluktuasi hasil (yield) tanaman itu sendiri (Roitsch 1999). Hubungan source-sink yang menentukan produksi hasil tanaman tidak bersifat tetap, melainkan dapat berubah dan dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Li et al. 2016). Pengaruh faktor lingkungan terhadap produksi hasil tanaman telah dilaporkan oleh Cossens (1982) bahwa produksi hasil tanaman kale, pasture, oats, turnips, dan ryecorn menurun seiring kenaikan ketinggian tempat akibat kecepatan angin yang tinggi. Aksesi Begawat, Kemalang, dan Krajan memiliki produksi umbi yang lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Bantul. Perbedaan produksi umbi di antara aksesi tanaman garut ini diduga disebabkan oleh perbedaan kemampuan masingmasing aksesi dalam mentranslokasikan fotosintat ke bagian umbi. Kecepatan translokasi fotosintat ke bagian umbi per hari yang ditunjukkan dengan nilai laju pertumbuhan umbi, aksesi Bantul memiliki laju yang paling lambat di antara tiga aksesi lainnya. Rendahnya produksi umbi yang dihasilkan aksesi Bantul diduga berkaitan dengan kapasitas sinknya (bobot kering umbi). Bobot kering umbi aksesi Bantul yang paling rendah di antara tiga aksesi lainnya menunjukkan rendahnya ruang yang tersedia untuk mengakumulasi fotosintat. Kapasitas sink umbi dapat mempengaruhi potensi umbi yang dihasilkan, terbatasnya kapasitas sink umbi dimungkinkan menghasilkan produksi umbi yang rendah pula (Reynolds et al. 2005; Fischer 2007).
24
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Faktor-faktor lingkungan seperti kecepatan angin, suhu, dan kelembapan udara relatif di ketinggian tempat yang berbeda mempengaruhi laju fotosintesis, laju pertumbuhan, dan akumulasi fotosintat tanaman garut. Laju pertambahan tinggi tajuk dan laju pertumbuhan umbi tanaman garut di lokasi 250 m dpl lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl, dan aksesi Krajan, Kemalang, dan Begawat menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Bantul. Laju pertumbuhan umbi tanaman garut di lokasi 250 m dpl 30% lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl, sehingga bobot kering umbi yang dihasilkan di lokasi 250 m dpl juga lebih tinggi. Kemampuan aksesi Krajan, Kemalang, dan Begawat dalam translokasi fotosintat ke bagian umbi cenderung lebih tinggi dibandingkan aksesi Bantul. Produksi umbi yang dihasilkan tanaman garut di lokasi 250 m dpl 43.07% lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi 1100 m dpl. Hal ini mengindikasikan bahwa budi daya tanaman garut di dataran rendah akan menghasilkan produksi yang cukup tinggi karena didukung oleh faktor lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman garut. Aksesi Begawat, Kemalang, dan Krajan berpotensi untuk dibudidayakan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan produksi umbi yang cukup tinggi.
Saran Perlu dilakukan uji lanjut pengukuran fotosintesis tanaman garut setelah umur 7 BST sehingga akan diketahui umur tanaman saat mencapai puncak laju fotosintesis dan pengaruhnya terhadap umbi yang dihasilkan. Peubah laju respirasi tanaman garut perlu diuji untuk mengetahui keseimbangan karbon pada tanaman garut dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman garut.
25
DAFTAR PUSTAKA Abesinghe N, Vidanarachchi J, Silva S. 2012. The effect of arrowroot (Maranta arundinacea) extract on the survival of probiotic bacteria in set yogurt. IJSRP. 2:1-4. Anten NPR, Alcalá-Herrera R, Schieving F, Onoda Y. 2010. Wind and mechanical stimuli differentially affect leaf traits in Plantago major. New Phytol. 188:554564. Atkin OK, Loveys BR, Atkinson LJ, Pons TL. 2006. Phenotypic plasticity and growth temperature: understanding interspecific variability. J Exp Bot. 57:267281. Bilska-Kos A, Grzybowski M, Jończyk M, Sowiński P. 2016. In situ localization and changes in the expression level of transcripts related to intercellular transport and phloem loading in leaves of maize (Zea mays L.) treated with low temperature. Acta Physiol Plant. 38:1-10. Braun DM, Wang L, Ruan YL. 2014. Understanding and manipulating sucrose phloem loading, unloading, metabolism, and signalling to enhance crop yield and food security. J Exp Bot. 65:1713-1735. Bridgemohan P. 2011. Production and partitioning of dry matter in leren [Calathea allouia (Aubl.) Lindl]. J Agric Univ PR. 95:35-44. Cai ZQ, Jiao DY, Tang SX, Dao XS, Lei YB, Cai CT. 2012. Leaf photosynthesis, growth, and seed chemicals of sacha inchi plants cultivated along an altitude gradient. Crop Sci. 52:1-9. Condori B, Mamani P, Botello R, Patiño F, Devaux A, Ledent JF. 2008. Agrophysiological characterisation and parametrisation of Andean tubers: potato (Solanum sp.), oca (Oxalis tuberosa), isaño (Tropaeolum tuberosum), and papalisa (Ullucus tuberosus). Eur J Agron. 28:526-540. Cossens GG. 1982. Effect of altitude on cereal, brassica, and grass growth in Otago. P Agron Soc New Zeal. 12:51-56. Dallagnol LJ, Rodrigues FA, Chaves ARM, Vale FXR, DaMatta FM. 2013. Photosynthesis and sugar concentration are impaired by the defective active silicon uptake in rice plants infected with Bipolaris oryzae. Plant Pathol. 62:120129. De Schepper V, De Swaef T, Bauweraerts I, Steppe K. 2013. Phloem transport: a review of mechanisms and controls. J Exp Bot. 64:4839-4850. Dierig DA, Adam NR, Mackey BE, Dahlquist GH, Coffelt TA. 2006. Temperature and elevation effects on plant growth, development, and seed production of two Lesquerella species. Ind Crops Prod. 24:17-25. Djaafar TF, Sarjiman, Pustika AB. 2010. Pengembangan budi daya tanaman garut dan teknologi pengolahannya untuk mendukung ketahanan pangan. J Litbang Pertan. 29:25-33. Dordas CA, Sioulas C. 2009. Dry matter and nitrogen accumulation, partitioning, and retranslocation in safflower (Carthamus tinctorius L.) as affected by nitrogen fertilization. Field Crop Res. 110:35-43. Duan Z, Homma A, Kobayashi M, Nagata N, Kaneko Y, Fujiki Y, Nishida I. 2014. Photoassimilation, assimilate translocation, and plasmodesmal biogenesis in the
26 source leaves of Arabidopsis thaliana grown under an increased atmospheric CO2 concentration. Plant Cell Physiol. 55:358-369. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. Anal Chem. 28:350356. Fischer RA. 2007. Understanding the physiological basis of yield potential in wheat. J Agr Sci. 145:99-113. Foolad MR, Lin GY. 2000. Relationship between cold tolerance during seed germination and vegetative growth in tomato: germplasm evaluation. J Am Soc Hort Sci. 125:679-683. Friend AD, Woodward FI. 1990. Evolutionary and ecophysiological responses of mountain plants to the growing season environment. Di dalam: Begon M, Fitter A, Macfadyen A, editor. Advances in Ecological Research. Volume 20 Ed ke-1. London (GB): Academic Pr. hlm 59-124. Fujimura S, Shi P, Iwama K, Zhang X, Gopal J, Jitsuyama Y. 2010. Effect of altitude on the response of net photosynthetic rate to carbon dioxide increase by spring wheat. Plant Prod Sci. 13:141-149. Gale J. 2004. Plants and altitude-revisited. Ann Bot. 94:199. Gordillo CAS, Valencia GA, Zapata RAV, Henao ACA. 2014. Physicochemical characterization of arrowroot starch (Maranta arundinacea Linn) and glycerol/arrowroot starch membranes. IJFE. 10:727-735. Harmayani E, Kumalasari ID, Marsono Y. 2011. Effect of arrowroot (Maranta arundinacea L.) diet on the selected bacterial population and chemical properties of caecal digesta of Sprague Dawley rats. IRJM . 2:278-284. Harshan P, Muchrikar M, Nagwanshi U, Chourasiya M. 2012. Application of solar energy for semiprocessing of Curcuma longa (Haldi) and Maranta arundinacea (Arrowroot) as a source of additional live hood and entrepreneur activity in the selected villages of Phanda Block of Bhopal District. J Today’s Biol Sci: Res Rev. 1:20-27. Hayden WJ. 2005. Maranta arundinacea L.; chaank ‘ala, arrowroot. Flora of Kaxil Kiuic [Internet]. [diunduh 2017 Apr 20]. Tersedia pada: http://chalk.richmond. edu/flora-kaxil-kiuic/m/maranta_arundinacea_01s.JPG. Hossain MD, Hanafi MM, Saleh G, Foroughi M, Behmaram R, Noori Z. 2012. Growth, photosynthesis, and biomass allocation of different kenaf (Hibiscus cannabinus L.) accessions grown on sandy soil. Aust J Crop Sci. 6:480-487. Joshi SC, Chandra S, Palni LMS. 2007. Differences in photosynthetic characteristics and accumulation of osmoprotectants in saplings of evergreen plants grown inside and outside a glasshouse during the winter season. Photosynthetica. 45:594-600. Keveshk NM. 2013. Investigation of effect of altitude in some morphological characteristics and yield in Euphorbia macrostegia. Intl J Agri Crop Sci. 5:17791783. Körner C, Diemer M. 1987. In situ photosynthetic responses to light, temperature, and carbon dioxide in herbaceous plants from low and high altitude. Funct Ecol. 1:179-194. Kostopoulou P, Karatassiou M. 2016. Photosynthetic response of Bromus inermis in grasslands of different altitudes. Turk J Agric For. 40:642-653.
27 Kumalasari ID, Harmayani E, Lestari LA, Raharjo S, Asmara W, Nishi K, Sugahara T. 2012. Evaluation of immunostimulatory effect of the arrowroot (Maranta arundinacea L.) in vitro and in vivo. Cytotechnology. 64:131-137. Kumar N, Kumar S, Vats SK, Ahuja PS. 2006. Effect of altitude on the primary products of photosynthesis and the associated enzymes in barley and wheat. Photosynth Res. 88:63-71. Lambers H, Chapin FS III, Pons TL. 2008. Plant Physiological Ecology. Ed ke-2. New York (US): Springer. Lemoine R, La Camera S, Atanassova R, Dédaldéchamp F, Allario T, Pourtau N, Bonnemain JL, Laloi M, Coutos-Thévenot P, Maurousset L, et al. 2013. Source to sink transport of sugar and regulation by environmental factors. Front Plant Sci. 4:1-21. Li T, Heuvelink E, Marcelis LFM. 2015. Quantifying the source-sink balance and carbohydrate content in three tomato cultivars. Front Plant Sci. 6:1-10. Li W, Xiong B, Wang S, Deng X, Yin L, Li H. 2016. Regulation effects of water and nitrogen on the source-sink relationship in potato during the tuber bulking stage. PLoS ONE. 11:1-18. Lim TK. 2016. Edible medicinal and non-medicinal plants. Volume 11. Modified stems, roots, bulbs. Switzerland (CH): Springer Publishing. Lin MT, Occhialini A, Andralojc PJ, Parry MAJ, Hanson MR. 2014. A faster rubisco with potential to increase photosynthesis in crops. Nature. 513:547-550. Liu G, Li Y, Alva AK. 2012. Water potential vs. pressure in relation to water movement transpiration in plants. Intl J Agron Plant Prod. 3:369-373. Loveys BR, Scheurwater I, Pons TL, Fitter AH, Atkin OK. 2002. Growth temperature influences the underlying components of relative growth rate: an investigation using inherently fast- and slow-growing plant species. Plant Cell Environ. 25: 975-987. Luo W, Jiang Y, Lü X, Wang X, Li MH, Bai E, Han X, Xu Z. 2013. Patterns of plant biomass allocation in temperate grasslands across a 2500-km transect in Northern China. PLoS ONE. 8:1-8. Luo X, Huang Q. 2011. Relationships between leaf and stem soluble sugar content and tuberous root starch accumulation in cassava. J Agr Sci. 3: 64-72. Ma L, Sun X, Kong X, Galvan JV, Li X, Yang S, Yang Y, Yang Y, Hu X. 2015. Physiological, biochemical, and proteomics analysis reveals the adaptation strategies of the alpine plant Potentilla saundersiana at altitude gradient of the Northwestern Tibetan Plateau. J Proteomics. 112:63-82. Maillard A, Diquélou S, Billard V, Laîné P, Garnica M, Prudent M, Garcia-Mina J, Yvin J, Ourry A. 2015. Leaf mineral nutrient remobilization during leaf senescence and modulation by nutrient deficiency. Front Plant Sci. 6:1-15. Marcelis LFM. 1996. Sink strength as a determinant of dry matter partitioning in the whole plant. J Exp Bot. 47:1281-1291. McCormick AJ, Cramer MD, Watt DA. 2006. Sink strength regulates photosynthesis in sugarcane. New Phytol. 171:759-770. Mengesha D, Belew D, Gebreselassie W, Sori W. 2012. Growth and yield performance of anchote [Coccinia abyssinica (Lam.) Cogn.] in response to contrasting environment. Asian J Plant Sci. 11:172-181. Onoda Y, Anten NPR. 2011. Challenges to understand plant responses to wind. Plant Signal Behav. 6:1057-1059.
28 Osorio S, Ruan YL, Fernie AR. 2014. An update on source-to-sink carbon partitioning in tomato. Front Plant Sci. 5:1-11. Pan H, Tian Y, Wang S, Du Z, Liu X, Li M. 2011. Responses of the non-structural carbohydrates in Fargesia nitida to elevation in Wolong Nature Reserve. Di dalam: Lin S, Huang X, editor. Advances in Computer Science, Environment, Ecoinformatics, and Education, Part II. International Conference on Computer Science, Environment, Ecoinformatics, and Education, CSEE; 2011 Agu 21-22; Wuhan, China. Wuhan (CN): Springer. hlm 380-385. Pan HL, Liu XL, Cai XH, Du Z, He F, Wang L, Jia C, Li MH. 2009. Growth and morphological responses of Fargesia angustissima to altitude in the Wolong Nature Reserve, Southwestern China. Acta Ecol Sin. 29:144-149. Pan S, Liu C, Zhang W, Xu S, Wang N, Li Y, Gao J, Wang Y, Wang G. 2013. The scaling relationships between leaf mass and leaf area of vascular plant species change with altitude. PLoS ONE. 8:1-4. Paul MJ, Foyer CH. 2001. Sink regulation of photosynthesis. J Exp Bot. 52:13831400. Rahman MK, Chowdhury MAU, Islam MT, Chowdhury MA, Uddin ME, Sumi CD. 2015. Evaluation of antidiarrheal activity of methanolic extract of Maranta arundinacea Linn. leaves. Adv Pharmacol Sci. 2015:1-6. Reynolds MP, Pellegrineschi A, Skovmand B. 2005. Sink-limitation to yield and biomass: a summary of some investigations in spring wheat. Ann Appl Biol. 146:39-49. Roitsch T. 1999. Source-sink regulation by sugar and stress. Curr Opin Plant Biol. 2:198-206. Saikia SP, Bhau BS, Rabha A, Dutta SP, Choudhari RK, Chetia M, Mishra BP, Kanjilal PB. 2009. Study of accession source variation in morpho-physiological parameters and growth performance of Jatropha curcas Linn. Curr Sci. 96:16311636. Scheidel U, Bruelheide H. 2004. The impact of altitude and simulated herbivory on the growth and carbohydrate storage of Petasites albus. Plant Biol. 6:740-745. Schymanski SJ, Or D. 2016. Wind increases leaf water use efficiency. Plant Cell Environ. 39:1448-1459. Sendall KM, Vourlitis GL, Lobo FA. 2009. Seasonal variation in the maximum rate of leaf gas exchange of canopy and understory tree species in an Amazonian semi-deciduous forest. Braz J Plant Physiol. 21:65-74. Shi Z, Haworth M, Feng Q, Cheng R, Centritto M. 2015. Growth habit and leaf economics determine gas exchange responses to high elevation in an evergreen tree, a deciduous shrub, and a herbaceous annual. AoB Plants. 7:1-14. Shi Z, Liu S, Liu X, Centritto M. 2006. Altitudinal variation in photosynthetic capacity, diffusional conductance, and 13C of butterfly bush (Buddleja davidii) plants growing at high elevations. Physiol Plant. 128:722-731. Smith VC, Ennos AR. 2003. The effects of air flow and stem flexure on the mechanical and hidraulic properties of the stems of sunflowers Helianthus annuus L. J Exp Bot. 54:845-849. Strand Å, Hurry V, Gustafsson P, Gardeström P. 1997. Development of Arabidopsis thaliana leaves at low temperatures releases the suppression of photosynthesis and photosynthetic gene expression despite the accumulation of soluble carbohydrates. Plant J. 12:605-614.
29 Suhartini T, Hadiatmi. 2011. Keragaman karakter morfologis garut (Maranta arundinacea L.). Bul Plas Nut. 17:12-18. Suhertini E, Lukman W. 2003. Teknik pembibitan tanaman garut dari rimpang. Bul Tek Pertan. 8:11-14. Sujatha KB, Uprety DC, Rao DN, Rao PR, Dwivedi N. 2008. Up-regulation of photosynthesis and sucrose-P synthase in rice under elevated carbon dioxide and temperature conditions. Plant Soil Environ. 54:155-162 Sutoro, Hadiatmi. 2011. Perbanyakan bibit stek umbi dan uji adaptabilitas plasma nutfah garut (Maranta arundinacea L.). Bul Plas Nut. 17:1-11. Taiz L, Zeiger E. 2010. Plant Physiology. Massachusetts (US): Sinauer. Tan SL, Zaharah A. 2015. Tuber crops. UTAR Agric Sci J. 1:41-48. Tekalign T, Hammes PS. 2005. Growth and productivity of potato as influenced by cultivar and reproductive growth.II.Growth analysis, tuber yield, and quality. Sci Hort. 105:29-44. Unal BT, Guvensen A, Dereboylu AE, Ozturk M. 2013. Variations in the proline and total protein contents in Origanum sipyleum L. from different altitudes of spil mountain, Turkey. Pak J Bot. 45:571-576. Villamayor FG, Jukema J. 1996. Maranta arundinacea L. Di dalam: Rumawas F, Flach M, editor. Plants resources of South-East Asia. Volume 9 .Plants yielding non-seed carbohydrates. Wageningen (NL): Prosea. hlm 113-116. White AC, Rogers A, Rees M, Osborne CP. 2016. How can we make plants grow faster? A source-sink perspective on growth rate. J Exp Bot. 67:31-45. Willis SG, Hulme PE. 2004. Environmental severity and variation in the reproductive traits of Impatiens glandulifera. Funct Ecol. 18:887-898. Wu D, Kennedy H. 2000. Marantaceae. Di dalam: Wu ZY, Raven PH, editor. Flora of China. Volume 24. Flagellariaceae through Marantaceae. St. Louis (US): Missouri Botanical Garden Pr. hlm 379-382. Xie S, Luo X. 2003. Effect of leaf position and age on anatomical structure, photosynthesis, stomatal conductance, and transpiration of Asian pear. Bot Bull Acad Sin. 44:297-303. Yamori W, Hikosaka K, Way DA. 2013. Temperature response of photosynthesis in C3, C4, and CAM plants: temperature acclimation and temperature adaptation. Photosynth Res. 119:101-117. Yaqoob U, Nawchoo IA. 2017. Impact of habitat variability and altitude on growth dynamics and reproductive allocation in Ferula jaeschkeana Vatke. J King Saud Univ Sci. 29:19-27. Yasutake D, Kitano M, Araki T, Nagasuga K, Kawano T, Hamakoga M. 2001. Stomatal response to wind on abaxial and adaxial surfaces of cucumber leaf under different humidity conditions. Biotronics. 30:103-114. Yuanyuan M, Yali Z, Jiang L, Hongbo S. 2009. Roles of plant soluble sugars and their responses to plant cold stress. Afr J Biotechnol. 8:2004-2010. Zheng SL, Wang LJ, Wan NX, Zhong L, Zhou SM, He W, Yuan JC. 2016. Response of potato tuber number and spatial distribution to plant density in different growing seasons in Southwest China. Front Plant Sci. 7:1-8. Zhong M, Wang J, Liu K, Wu R, Liu Y, Wei X, Pan D, Shao X. 2014. Leaf morphology shift of three dominant species along altitudinal gradient in an alpine meadow of The Qinghai-Tibetan Plateau. Pol J Ecol. 62:639-648.
30
LAMPIRAN
31 Lampiran 1 Tata letak penanaman masing-masing aksesi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di lapang
A. Tata letak penanaman masing-masing aksesi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di Kebun Percobaan Sindang Barang Bogor (250 m dpl)
B. Tata letak penanaman masing-masing aksesi tanaman garut (Maranta arundinacea L.) di Kebun Percobaan Pasir Sarongge Cianjur (1100 m dpl)
Keterangan :
: Aksesi Bantul : Aksesi Krajan : Aksesi Kemalang : Aksesi Begawat
32
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 23 Januari 1991 di Tegal, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Kusnendar dan Dwiningsih. Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Slawi dan lulus pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan lulus pada tahun 2012. Penulis pernah bekerja sebagai guru di SMK Negeri 2 Slawi pada tahun 2012-2013. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) melalui program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) Calon Dosen. Penulis melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Biologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis melakukan penelitian dengan judul “Fotosintesis, Laju Pertumbuhan, dan Akumulasi Fotosintat Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.) Pada Ketinggian Tempat Yang Berbeda” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si). Penelitian ini dibimbing oleh Dr Dra Triadiati MSi dan Dr Ir Sulistijorini MSi. Artikel penelitian ini sedang dalam proses publikasi tahap in review di AGRIVITA Journal of Agricultural Science dengan judul artikel “Physiological response and photosynthate distribution of West Indian Arrowroot (Maranta arundinacea L.) at different altitudes”.