FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS PATI GANYONG (Canna edulis Kerr.) TERMODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT DAN TEPUNG KACANG TUNGGAK (Vigna unguiculata) PADA PEMBUATAN MI KERING
SKRIPSI
RINA BUDIYATI F24060756
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
COMPOSITE FLOUR FORMULATION FROM HMT (HEAT MOISTURE TREATMENT) MODIFIED CANNA STARCH AND COWPEA FLOUR FOR DRY NOODLE MAKING Rina Budiyati1 , Subarna1 , Winda Haliza2 1
)Departemen of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural Un iversity, IPB Darmaga Campus, Bogor, Indonesia. 2 ) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pas capanen Pertanian Bogor.
ABSTRACT The objectives of this research were to optimize the HMT (Heat Moisture Treatment) condition for canna starch modification in order to reach the optimum properties of canna starch as a noodle raw material and to optimize the proportion of optimum modified canna starch, wheat flour and cowpea flour as a good dry noodle. Combination of three parameters (temperature, moisture content, and time) gave change in gelatinization temperature. Combinations of temperature and time modification changed the gelatinization temperature, setback viscosity and final viscosity. The combination s of temperaturemoisture content and moisture content-time modification changed the swelling power. Whereas, the gel strength only altered by increased in moisture content of modification. The optimum condition of canna starch was reached by HMT modification temperature at 100 oC, with 25% moisture content for 8 hours. The granule shape remain unchanged after HMT whereas the optimum HMT process decreased swelling power, but increased gelatinization temperatures, viscosity profile, setback viscosity, final viscosity and gel strength from the native starch. Changes in phy sicochemical properties on HMT were influenced by the interplayed of crystallite change, starch chain associations and rigidity of starch granules. Noodles formulation was optimized using Response Surface Method with Mixture D-Optimal Design from Design Expert 7 programs. The noodles formulations were optimized with three different components i.e. optimum HMT modified canna starch, wheat flour, and cowpea flour. The proportion combination from these three components gave 16 formulas. These formula then evaluated of their cooking and texture properties. The selected formula contained 50% wheat flour, 17.72% optimum HMT canna starch, and 32.28% cowpea flour. The validations result from the selected formula showed that the actual value was not different from the prediction value that suggested by the programs.
Keywords: Canna, noodle, heat-moisture, cowpea, composite
Rina Budiyati. F24060756. Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna edulis Kerr) Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) Pada Pembuatan Mi Kering. Dibawah bimb ingan: Subarna dan Winda Haliza.
RINGKASAN Mi merupakan salah satu jenis produk makanan pokok selain nasi yang sering dikonsumsi masyarakat di Indonesia. Produksi mi yang biasanya menggunakan bahan baku tepung terigu membuat Indonesia harus mengimpor gandum. Diversivikasi bahan baku mi dilaku kan dengan menggunakan bahan-bahan dari Indonesia, salah satunya adalah pati ganyong dan tepung kacang tunggak. Mi dengan menggunakan bahan baku selain tepung terigu memberikan sifat yang kurang baik sehingga perlu dilakukan fo rmulasi dan proses yang optimu m untuk produknya. Pati ganyong perlu dimod ifikasi terleb ih dahulu agar sifatnya men jadi lebih baik untuk mi. Penelit ian ini bertu juan untuk menentukan perlakuan modifikasi HMT yaitu suhu, waktu modifikasi, dan kadar air bahan, sehingga optimu m untuk bahan baku mi. Selanjutnya juga bertujuan untuk mendapatkan formu la tepung komposit terbaik untuk mi dengan bahan baku tepung terigu, pati ganyong termodifikasi HMT optimu m, dan tepung kacang tunggak. Penelitian in i dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahapan optimasi modifikasi HMT pati ganyong, dan tahapan optimasi formu lasi tepung komposit untuk produk mi kering. Modifikasi pati ganyong HMT dilaku kan dengan beberapa perlakuan. Perlakuan yang diterapkan adalah suhu, waktu, dan kadar air. Suhu yang digunakan adalah 100o C dan 110o C, dengan lama waktu 4, 8, dan 16 jam, juga dengan kadar air 20, 25, dan 30%. Modifikasi HMT optimu m yang didapatkan adalah dengan kombinasi suhu 100o C, lama 8jam dan kadar air 25%. Pati ganyong yang dimodifikasi dengan perlakuan tersebut memberikan karakteristik fisikokimia yang berbeda dengan pati alami. Perbedaan tersebut antara lain peningkatan ukuran rata-rata granula pati dari 24.87μm men jadi 34.10μm, peningkatan suhu awal gelatinisasi sebesar 4.85o C, swelling yang terbatas dari 9.6906 g/g men jadi 7.5427 g/g, viskositas setback pati ganyong HMT lebih tinggi hampir dua kali lipat, yang awalnya pati alami memiliki viskositas setback 735.2 cP men jadi 1440 cP. Nilai yang men ingkat juga terjadi pada kekuatan gel dari 400.40 g men jadi 693.75 g. Perubahan juga terjadi pada sifat kimia yaitu kadar pati yang menurun, dan kadar amilosa yang meningkat. Kadar amilosa pati ganyong alami 31.84% sedangkan pati ganyong HMT terpilih memiliki kadar amilosa 34.78%. Hasil dari pati ganyong termodifikasi optimu m kemudian digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi kering. Optimasi formu lasi tepung komposit untuk mi kering dilaku kan dengan Respon Surface Method (RSM). Optimasi dilaku kan pada variabel respon waktu pemasakan (cooking time), KPAP (cooking loss), berat rehidrasi (rehydration weight), persentase pemanjangan, kekuatan tarik, kekerasan (hardness), kelengketan (adhesiveness), dan elastisitas. Berdasarkan hasil optimasi dengan RSM d idapatkan formu la optimu m dengan perbandingan tepung terigu 50%, pati ganyong HMT tepilih 17.72% dan tepung kacang tunggak 32.28%. Validasi mi terbaik memberikan nilai variabel respon aktual yang tidak jauh berbeda dengan nilai variabel respon prediksi RSM dan dengan nilai yang ditargetkan.
FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS PATI GANYONG (Canna edulis Kerr.) TERMODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT DAN TEPUNG KACANG TUNGGAK (Vigna unguiculata) PADA PEMBUATAN MI KERING
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh RINA BUDIYATI F24060756
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna edulis Kerr.) Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) Pada Pembuatan Mi Kering
Nama
: Rina Buidyati
NIM
: F24060756
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Subarna, M.Si.
Winda Haliza SP, M.Si
NIP 19600629 198803 1 001
NIP. 19780706 200501 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen ITP
Dr. Ir. Dahrul Syah NIP. 19650814 199002 1 001
Tanggal Lulus : 20 Desember 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna edulis Kerr.) Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) Pada Pe mbuatan Mi Kering adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010 Yang membuat pernyataan
Rina Budiyati F 24060756
BIODATA PENULIS Penulis bernama Rina Budiyati, dilahirkan pada tanggal 6 Oktober 1988 di Jakarta dan merupakan putri pertama pasangan Budi Hadi Sumarto dan Paryati. Penulis menempuh pendidikan di TK KIGR (1993), pendidikan dasar di SDN 04 pagi Menteng Atas, Jakarta Selatan (1994-2000), pendidikan menengah pertama di SLTPN 3 Jakarta (2000-2003), dan pendidikan menengah atas di SMUN 68 Jakarta (20032006). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (2006-2007) dan pengurus HIMITEPA (2007-2009). Ice Cream Day , 2006 dan 2007 merupakan kegiatan yang pernah diikuti penulis dalam kegiatan kepanitiaan. Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan Supersemar pada tahun 2008 dan 2009 dan beasiswa pendidikan dari PT Pacific Paint pada tahun 2007-2010. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan Judul “Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna edulis Kerr) Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) Pada Pembuatan Mi Kering” dibawah bimbingan Ir. Subarna, M.Si dan Winda Haliza SP, M. Si.
COMPOSITE FLOUR FORMULATION FROM HMT (HEAT MOISTURE TREATMENT) MODIFIED CANNA STARCH AND COWPEA FLOUR FOR DRY NOODLE MAKING Subarna1 , Winda Haliza2 , Rina Budiyati3 1
)Lecture of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, IPB 2 ) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor. 3) Student of Food Science and Technology, IPB
ABSTRACT The objectives of this research were to optimize the HMT (Heat Moisture Treatment) condition for canna starch modification in order to reach the optimum properties of canna starch as a noodle raw material and to optimize the proportion of optimum modified canna starch, wheat flour and cowpea flour as a good dry noodle. Combination of three parameters (temperature, moisture content, and time) gave change in gelatinization temperature. Combinations of temperature and time modification changed the gelatinization temperature, setback viscosity and final viscosity. The combinations of temperature-moisture content and moisture contenttime modification changed the swelling power. Whereas, the gel strength only altered by increased in moisture content of modification. The optimum condition of canna starch was reached by HMT modification temperature at 100 o C, with 25% moisture content for 8 hours. The granule shape remain unchanged after HMT whereas the optimum HMT process decreased swelling power, but increased gelatinization temperatures, viscosity profile, setback viscosity, final viscosity and gel strength from the native starch. Changes in physicochemical properties on HMT were influenced by the interplayed of crystallite change, starch chain associations and rigidity of starch granules. Noodles formulation was optimized using Response Surface Method with Mixture D-Optimal Design from Design Expert 7 programs. The noodles formulations were optimized with three different components i.e. optimum HMT modified canna starch, wheat flour, and cowpea flour. The proportion combination from these three components gave 16 formulas. These formula then evaluated of their cooking and texture properties. The selected formula contained 50% wheat flour, 17.72% optimum HMT canna starch, and 32.28% cowpea flour. The validations result from the selected formula showed that the actual value was not different from the prediction value that suggested by the programs.
Keywords: Canna, noodle, heat-moisture, cowpea, composite
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur, tak henti penulis panjatkan hanya ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati Ganyong (Canna edulis Kerr) Termodifikasi Heat Moisture Treatment dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata) Pada Pembuatan Mi Kering.”. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan pula kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada : 1.
Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu sabar dalam mendidik penulis menjadi manusia yang berguna. Terima kasih atas kasih sayang, motivasi dan doa untuk penulis. Untuk adik tersayang; Ismail Aulia Rahman terima kasih atas kasih sayang, dukungan, dan kehangatan keluarga yang indah.
2.
Ir. Subarna M.Si sebagai dosen pembimbing, atas kesabaran, nasihat, motivasi serta segala pelajaran hidup yang telah diberikan kepada penulis selama 3 tahun ini.
3.
Winda Haliza SP,M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu memberikan masukan- masukan hingga terselesaikannya skripsi ini serta kelembutan dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
4.
Dr. Ir Sugiyono M.App.Sc selaku dosen penguji, atas saran-saran yang membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
5.
Balai Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Bogor
6.
Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis, serta laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Bu Sri, Bu Rub, Pak Ro jak, Pak Ilyas dan Pak Jun) yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.
7.
Siti Sri Utami STP sebagai rekan satu tim yang memberikan semangat dan motivasi selama penulis melakukan penelitian.
8.
Teman-teman se-bimbingan, Risma Solehatunisa, atas kebersamaan, dukungan dan kerja sama yang indah.
9.
Syahri Siky Saputra SKom, terimakasih atas kasih sayang, doa, dukungan, dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis.
10. Teman-teman terbaik, terutama Bintang Endah Lestari, Hasti Wiaranti, Dewi Puji Lestari, Wahyu Anggarini, Lingga Bayu Saputra, Roni Septiawan, Rijali Aroni, Rina Nur Apriani, Tito Tegar, dan Teman-teman ITP 43 lainnya terima kasih atas dukungan dan kebersamaan kalian yang mewarnai. 11. Teman-teman tercinta wisma rosa khususnya untuk Pravita Widiastana, Charisna , Prameswari, Ega, Helga, Suzyant, Eki, Nunu, Adit, Mba Fitri, Ridwan dan teman-teman wisma rosa, terima kasih atas kasih sayang kalian. 12. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, 20 Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1. LATAR BELAKANG ........................................................................
1
1.2. TUJUAN PENELITIAN .....................................................................
2
1.3. MANFAAT PENELITIAN .................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
3
2.1 GANYONG ..........................................................................................
3
2.1.1. Tanaman Ganyong ...................................................................
3
2.1.2. Umbi Ganyong .........................................................................
4
2.1.3. Karakteristik Pati Ganyong .....................................................
6
2.1.4. Karakteristik Gelatinisasi Pati Ganyong .................................
7
2.1.5. Swelling Power atau Pembengkakan Pati Ganyong ................
8
2.1.6. Kekuatan Gel Pati Ganyong ....................................................
9
2.2.KACANG TUNGGAK .......................................................................
9
2.3.KARAKTERISTIK PATI UNTUK PRODUK MI .............................
11
2.4.MODIFIKASI PATI METODE HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) ................................................................................................
12
2.5.MI KERING .......................................................................................
13
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
...................................................
15
3.1.ALAT DAN BAHAN ........................................................................
15
3.2.METODE PENELITIAN .....................................................................
15
3.2.1. Optimasi Modifikasi Pati dengan Metode HMT ....................
16
3.2.2. Optimasi Formulasi Tepung Komposit untuk Mi Kering dengan Response Surface Method (RSM) dan Pembuatan Mi Kering .............................................................................. 19
3.3.METODE ANALISIS .........................................................................
21
3.3.1. Analisis Proksimat ...................................................................
21
3.3.2. Analisis Fisiko-Kimia Pati Ganyong dan Tepung Kacang Tunggak .................................................................................. 3.3.3. Analisis Karakteristik Pemasakan dan Karakteristik Fisik Mi
22
Kering ......................................................................................
24
3.3.4. Analisis Statistik.......................................................................
25
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................
26
4.1.KARAKTERISTIK PATI GANYONG ALAMI DAN PATI GANYONG HMT ................................................................................ 4.1.1. Morfologi Granula Pati ............................................................
26 26
4.1.2. Profil Gelainisasi Pati ..............................................................
28
4.1.2.1.Profil Viskositas Pati............................................................
28
4.1.2.2.Suhu Awal Gelatinisasi .......................................................
28
4.1.2.3.Viskositas Akhir (VA) ........................................................
31
4.1.2.4.Viskositas Setback (VS).......................................................
32
4.1.3. Daya Pengembangan Pati (Swelling Power) ............................
33
4.1.4. Kekuatan Gel (Gel Strength) ....................................................
35
4.2.PENENTUAN KONDISI HMT OPTIMUM ......................................
36
4.3.INFORMASI KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG KACANG TUNGGAK ....................................................................... 4.4.OPTIMASI FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM RESPONSE SURFACE METHOD (RSM) ................................................................................................. Hasil Analisis dan Optimasi Variabel Respon ....................................
39
40 40
4.4.1. Waktu Pemasakan (Cooking Time) .........................................
40
4.4.2. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) .....................
42
4.4.3. Berat Rehidrasi ........................................................................
43
4.4.4. Persentase Pemanjangan...........................................................
44
4.4.5. Kekuatan Tarik ........................................................................
46
4.4.6. Analisis Tekstur Mi ..................................................................
47
4.4.6.1.Kekerasan mi (Hardness).....................................................
47
4.4.6.2.Kelengketan mi (Adhesiveness) ..........................................
48
4.4.6.3.Elastisitas mi (Springiness) ..................................................
48
Optimasi Formula Tepung Komposit ..................................................
49
4.5. VALIDASI MI HASIL OPTIMASI RSM ..................................
51
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
54
5.1.KESIMPULAN ...................................................................................
54
5.2.SARAN ................................................................................................
54
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
55
LAMPIRAN .....................................................................................................
61
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Tingkat pemeliharaan tanaman ganyong ......................................
4
Tabel 2.
Komposisi kimia umbi ganyong (Damayanti, 2002) ...................
6
Tabel 3.
Komposisi kimia pati ganyong beberapa varietas di Indonesia ....
7
Tabel 4.
Komposisi zat gizi kacang tunggak (Depkes RI, 1990) ...............
10
Tabel 5.
Disain perlakuan HMT .................................................................
17
Tabel 6.
Perbandingan bahan baku terhadap total tepung dalam adonan ...
20
Tabel 7.
Profil amilografi pati ganyong alami dan hasil modifikasinya ....
29
Tabel 8.
Tabulasi data optimasi proses modifikasi HMT pati ganyong......
37
Tabel 9.
Karakteristik fisikokimia pati ganyong alami dan pati HMT terpilih ......................................................................................
38
Tabel 10.
Karakteristik fisikokimia tepung kacang tunggak.........................
39
Tabel 11.
Hasil analisis parameter sifat pemasakan mi kering .....................
41
Tabel 12.
Hasil analisis parameter sifat fisik mi kering ................................
45
Tabel 13.
Formula terpilih hasil optimasi dengan RSM ...............................
50
Tabel 14.
Nilai prediksi variabel respon dari formula optimal ....................
50
Tabel 15.
Nilai mi terigu sebagai target, nilai prediksi dan nilai aktual hasil optimasi formula ........................................................................ Komposisi kimia mi kering formula optimum ..............................
52 53
Tabel 16.
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Bentuk daun dan tanaman ganyong (Wikipedia, 2010) .............
3
Gambar 2.
Bentuk fisik umbi ganyong (Puncha-arnon et al 2001) ..............
5
Gambar 3.
Tanaman kacang tunggak
.......................................................
9
Gambar 4.
Bentuk dan ukuran biji kacang tunggak ....................................
10
Gambar 5.
Diagram alir penelitian
............................................................
16
Gambar 6.
Diagram alir HMT pati ganyong ................................................
18
Gambar 7.
Diagram alir pembuatan mi kering .............................................
20
Gambar 8.
Granula pati ganyong alami dan pati ganyong termodifikasi HMT 26
Gambar 9.
Pengaruh interaksi suhu-waktu-kadar air HMT terhadap suhu awal gelatinisasi (SAG) ...................................................................... 30
Gambar 10. Pola respon SAG pada kombinasi perlakuan suhu dan waktu yang berbeda ..................................................................................... 30 Gambar 11. Pola respon viskositas akhir (VA) pada kombinasi perlakuan suhu dan waktu yang berbeda.............................................................. 31 Gambar 12. Pola respon viskositas setback (VS) pada kombinasi perlakuan suhu dan waktu yang berbeda .....................................................
33
Gambar 13. Pola respon swelling power (SP) pada kombinasi perlakuan suhu dan kadar air yang berbeda .........................................................
34
Gambar 14. Pola respon swelling power (SP) pada kombinasi perlakuan waktu (jam) dan kadar air yang berbeda .....................................
35
Gambar 15. Diagram pengaruh kadar air terhadap kekuatan gel ..................
36
Gambar 16. Profil amilografi pati ganyong alami dan termodifikasi HMT optimum .....................................................................................
38
Gambar 17. (a) Profil gelatinisasi tepung kacang tunggak (b)granula pati kacang tunggak ...........................................................................
40
Gambar 18. Hasil optimasi varibel respon waktu pemasakan
....................
42
Gambar 19. Hasil optimasi variabel respon KPAP .......................................
43
Gambar 20. Hasil optimasi variabel respon berat rehidrasi .........................
43
Gambar 21. Hasil optimasi variabel respon persentase pemanjangan ............
45
Gambar 22. Hasil optimasi variabel respon kekuatan tarik ..........................
46
Gambar 23. Hasil optimasi variabel respon kekerasan mi (hardness) ..........
47
Gambar 24. Hasil optimasi variabel respon kelengketan mi (adhesiveness)..
48
Gambar 25. Hasil optimasi variabel respon elastisitas mi (springiness) .......
49
Gambar 26. Grafik desirability optimasi formula
.......................................
51
Gambar 27. Aliran mi keluar dari mesin pencetak mi ....................................
52
Gambar 28. Mi kering (A) terigu 100% dan (B) formula optimum hasil RSM
52
Gambar 29. Hasil pemasakan mi kering dengan formula optimum ...............
53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Contoh perhitungan kesetimbangan masa ...............................
62
Lampiran 2.
Contoh pembuktian kadar air conditioning sesuai target (20%) ........................................................................................
63
Data sebaran ukuran granula pati ganyong alami termodifikasi dan kacang tunggak ............................................
64
Lampiran 4.
Profil amilografi pati ganyong alami dan termodifikasi HMT.
65
Lampiran 5.
Hasil olah data SAG pati ganyong HMT dengan SPSS ...........
66
Lampiran 6.
Hasil olah data viskositas akhir dengan SPSS..........................
69
Lampiran 7.
Hasil olah data viskositas setback dengan SPSS .....................
70
Lampiran 8.
Data hasil analisis swelling power............................................
72
Lampiran 3.
Lampiran 9.
o
Hasil olah data nilai swelling power 90 C dengan SPSS .........
73
Lampiran 10. Hasil olah data kekuatan gel dengan SPSS ..............................
75
Lampiran 11. Hasil analisis sidik ragam variabel respon waktu pemasakan dengan RSM ............................................................................
76
Lampiran 12. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) .......................................................
76
Lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam variabel respon berat rehidrasi dengan RSM ............................................................................
77
Lampiran 14. Hasil analisis sidik ragam variabel respon persentase elongasi dengan RSM ..............................................................
77
Lampiran 15. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kekuatan tarik dengan RSM ........................................................................
78
Lampiran 16. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kekerasan mi (hardness) dengan RSM ...........................................................
78
Lampiran 17. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kelengketan (adhesiveness) dengan RSM.....................................................
79
Lampiran 18. Hasil analisis sidik ragam variabel respon elastisitas dengan RSM..........................................................................................
79
Lampiran 19. Data hasil analisis kekerasan gel ..............................................
80
I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara agraris dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Hal ini tentunya memerlukan kebutuhan pangan yang tinggi pula. Pertambahan penduduk meningkatkan kebutuhan pangan pokok ko moditas beras, jagung, dan kedelai. Kebutuhan akan makanan pokok yang kebanyakan adalah nasi yang berasal dari beras menjadi tidak terpenuhi dengan baik terutama pada daerah kering yang tidak dapat ditumbuhi padi dengan baik. Perkembangan sosial budaya telah menu mbuhkan diversifikasi pola pangan utama dari nasi ke bentuk mi dan rerotian yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan terigu di Indonesia dan berimplikasi pada tingginya kebutuhan gandum. Menurut data dari BPS (2008), impor gandum Indonesia mencapai 4 juta ton yang menyerap devisa negara sebesar US $ 1.3 juta dan ju mlahnya men ingkat menjadi 5.3 – 5.5 juta ton pada tahun 2008 dengan menyerap devisa negara sebesar US $ 1.8 juta. Indonesia kaya akan serealia, u mb i-u mbian, dan kacang-kacangan asli Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti atau sebagai substitusi tepung terigu pada beberapa produk. Penelit ian-penelit ian sebelumnya telah berhasil membuat tepung dari bahan dasar selain gandum sebagai bahan dasar produk-produk yang berbahan dasar tepung terigu, seperti mie, rot i, cookies, dan lain-lain. Salah satu ko modit i pangan umbi-u mbian yang dapat menggantikan atau mensubstitusi tepung terigu adalah umbi ganyong. Pembuatan dan pemanfaatan pati ganyong sebagai bahan baku pembuatan produk pangan dapat menambah alternatif bahan dasar tepung -tepungan. Pemanfaatan umbi ganyong sebagai bahan pangan telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, walau masih sedikit variasi pemanfaatannya. Masyarakat biasa mengonsumsinya sebagai campuran nasi jagung agar nasi jagung terasa lebih enak (Idrawati, 1988). Umb i yang masih muda bisa dimakan dengan cara dibakar atau direbus dan terkadang juga disayur, bahan makanan campuran atau dibuat pati. Sisa u mbi setelah diamb il patinya digunakan sebagai ko mpos (Ro isah, 2009). Selain diolah dalam bentuk umbi, u mbi ganyong juga bisa diolah menjadi tepung ganyong ataupun pati ganyong. Menurut Damayanti (2002), tepung ganyong dapat dimanfaatkan sebaga i tepung ko mposit atau campuran dalam pembuatan produk pangan. Ditin jau dari sifat fungsional dan ko mposisi kimia, tepung dan pati ganyong mampu dijad ikan sebagai tepung komposit produk pangan. Umbi ganyong memiliki kadar karbohidrat yang tinggi sehingga d apat diproduksi menjadi tepung ataupun tepung pati ganyong. Tepung pati tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pengganti atau sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam beberapa produk pangan. Salah satu produk yang potensial menggunakan bahan pati ganyong adalah produk mi (Roisah, 2009). Pat i ganyong lebih baik dari tepung ganyong karena tidak memiliki serat sebanyak tepung ganyong. Serat yang terlalu banyak pada tepung ganyong akan memberikan tekstur yang tidak diingin kan pada produk mi. Mi adalah salah satu produk yang menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utamanya. Namun akh ir-akhir ini mi telah banyak menggunakan campuran tepung lain dengan tujuan substitusi tepung terigu. Beberapa diantaranya adalah mi jagung, dan mi sagu. Sehingga tidak mustahil pati ganyong dapat dijadikan bahan substitusi terigu karena kadar karbohidratnya yang tinggi. Pemanfaatan pati ganyong sebagai bahan baku pembuatan mi dapat diko mbinasikan dengan tepung yang bersumber dari bahan lain sehingga menjadi tepung komposit. Ko mb inasi tersebut dilakukan untuk melengkapi gizi yang terdapat didalam produk tersebut. Produk mi yang dihasilkan
dari pati ganyong dan tepung terigu memiliki sedikit kandungan protein, sehingga perlu ditambahkan bahan lain agar kandungan gizi d i dalam produk seimbang. Salah satu produknya adalah tepung kacang-kacangan. Tepung kacang tunggak dipilih sebagai pelengkap gizi produk mi. Tepung kacang tunggak memiliki protein yang cukup tinggi (22,9%) sehingga secara tidak langsung dapat melengkapi gizi produk. Selain itu tepung kacang tunggak mengandung asam fo lat yang lebih tinggi, zat antinutrisi dan faktor produksi flatulensi yang lebih rendah daripada tepung kacang kedelai (Eh lers, 1997). Kandungan karbohidratnya juga cukup tinggi sehingga cocok untuk dijadikan bahan baku tepung komposit. Menurut Saifudin (1998) sohun yang dibuat dari pati kacang tunggak telah memenuhi syarat yang ditetapkan SII 1982, sehingga tepung kacang tunggak berpotensi sebagai bahan baku campuran tepung ko mposit untuk produk mi Tepung kacang tunggak lebih mudah diproduksi daripada pati kacang tunggak, sehingga penggunaan tepung kacang tunggak lebih dipilih daripada pati kacang tunggak. Pembuatan sohun ganyong dari 100% pati ganyong alami memberikan hasil yang lengket dan sulit keluar dari ekstruder. Selain itu, kelemahan produk mi yang menggunakan tepung non -gluten salah satunya adalah tekstur dan elastisitasnya, sehingga perlu dilakukan modifikasi terhadap pati ganyong untuk meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas ini dilakukan dengan cara modifikasi pati metode HMT untuk mendapatkan pati yang lebih baik untuk produk mi.
1.2. TUJUAN PENELITIAN Tujuan peneilitian ini adalah untuk : 1.
Menentukan kadar air, waktu modifikasi, dan suhu modifikasi HMT, untuk menghasilkan pati ganyong termodifikasi yang baik untuk produk mi.
2.
Menentukan formula optimum tepung komposit berbasis tepung ganyong ter modifikasi dengan tepung kacang tunggak dan tepung terigu dalam pembuatan mi kering
1.3. MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: Mendapatkan informasi mengenai kondisi perlakuan HMT optimum yang dapat menghasilkan pati ganyong termodifikasi dengan karakteristik yang baik untuk mi. Mengaplikasikan pati ganyong termodifikasi dalam produk mi. Meningkatkan pemanfaatan pati ganyong dan tepung kacang tunggak sehingga dapat meningkatkan penggunaannya dalam produk pangan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. GANYONG 2.1.1. Tanaman Ganyong Ganyong (Canna edulis Kerr.) adalah tanaman yang termasuk kedalam tanaman jen is umbi umbian. Bagian tanaman ganyong yang sering dimanfaatkan adalah bagian umbinya, sehingga tanaman in i dimasukkan kedalam jenis u mbi-u mbian. Tanaman ganyong telah dikenal oleh seluruh masyarakat di d aerah asal Amerika Selatan sekitar tahun 2500 sebelum masehi. Saat in i tanaman ganyong sudah menyebar di seluruh belahan dunia yang memiliki iklim trop is dan hangat seperti daerah Asia Tenggara (Flach dan Rumawas, 1996). Di Indonesia ganyong sudah dikenal oleh masyarakat dan telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali (Damayanti, 2002). Menurut Ropiq (1988) tanaman ganyong telah tumbuh di Pu lau Jawa sejak tahun 1905. Tanaman ini dikenal dengan nama bunga tasbeh, ubi pikul (Su matera) dan ganyong di Indonesia, sedangkan di Malaysia lebih dikenal dengan nama pisang sebiak (Flach dan Rumawas, 1996). Thailand menyebut tanaman ini dengan nama phutharaksa dan phuttason sedangkan secara internasional dikenal dengan canna. Tanaman yang mudah tumbuh di berbagai tempat berdaerah tropis ini termasuk dalam : Div isi : Spermatophyte Sub Div isi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Canaceae Gennus : Canna Spesies : Canna edulis Kerr. (Lingga, 1986) Menurut Sastrapradja et al. (1977) dalam Damayanti (2002), ganyong mempunyai batang yang berwarna ungu, tingginya mencapai 0.9 m atau dapat mencapai 3.0 m. Daunnya besar dan lebar, pada umu mnya daun dapat tumbuh hingga panjangnya 30 cm dan lebar 12.5 cm, tebal dan bertulang daun tebal ditengahnya, pada salah satu jenis ganyong pada bagian bawah dan tepi daunnya berwarna keunguan. Warna daun beragam dari hijau muda sampai hijau tua. Daun muda berwarna leb ih muda dan menggulung. Gambar tanaman Ganyong dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bentuk daun dan tanaman Ganyong (Wikipedia, 2010) Tanaman Ganyong di Indonesia dikenal ada dua jenis yaitu jenis ganyong merah dan ganyong putih. Menurut Damayanti (2002) tanaman ganyong merah dicirikan dengan adanya warna ungu pada tepian daun, tulang daun, dan batang serta sisiknya berwarna ungu (Lathifah, 2009), sedangkan tanaman umbi ganyong putih dicirikan dengan daun dan batangnya yang berwarna hijau muda hingga
hijau tua serta sisik umbinya kecoklatan. Perbedaan lainnya juga terletak pada ukuran batang. Ukuran batang ganyong merah lebih besar dan tinggi sedangkan ganyong putih lebih kecil dan pendek. Tanaman umb i ganyong merah tidak tahan terhadap kekeringan, sulit menghasilkan biji, dan biasanya umbinya dikonsumsi dengan cara langsung dimakan. Tanaman umb i ganyong putih lebih tahan terhadap kekeringan, selalu menghasilkan biji, dan umbinya biasa diproses untuk diambil patinya (Lingga et al., 1996). Selain di Indonesia tanaman ganyong juga dibudidayakan di Thailand. Terdapat dua jenis ganyong di Thailand yaitu Thai-purple dan Thai-g reen. Thai purple memiliki ciri-ciri yang sama dengan ganyong merah di Indonesia dan Thai-green memiliki ciri-ciri yang sama dengan ganyong putih di Indonesia juga Japanese-green di Jepang. Tanaman ganyong di Indonesia banyak yang tumbuh liar, dapat dilihat pada data dari Nuryadin (2008) pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat pemeliharaan tanaman ganyong Budidaya Budidaya tidak Tumbuhan liar (%) teratur (%) teratur (%) 1. Jawa Barat 10 90 2. Jawa Tengah 100 0 3. Jawa Timur 83 17 4. D.I. Yogya 0 100 0 5. Sumatera Barat 0 0 100 di pekarangan dan di pinggir hutan 6. Jamb i 0 100 100 di pekarangan dan di pinggir hutan 7. Riau 0 0 100 di pekarangan dan di pinggir sungai 8. Lampung 10 90 0 9. Kalimantan Selatan 0 0 Banyak terdapat di pinggir jalan raya, 100 liar di ladang belum dikenal 10. Sulawesi Tenggara 2.5 0 11. Sulawesi Selatan 0 0 100 di pinggir kebun dekat rumah 12. Sulawesi Tengah 0 20 80 di hutan dan ladang Nuryadin, 2008 Propinsi
Tanaman ganyong bukan tanaman yang manja, mudah untuk membudidayakannya. Umb i ganyong biasanya dipanen dan pada usia 8 bulan akan memberikan produkt ivitas yang tinggi karena rhizo ma mengalami perbesaran maksimu m, bulan selanjutnya umbi menjad i keras dan tidak d ipanen pada umur lebih dari 10 bulan (Flach dan Ru mawas 1996, dan Kay 1973 dalam Ro isah 2009). Pemanenan dapat dilakukan d i segala musim karena tanaman ganyong merupakan tanaman yang tidak mengenal musim. Produksi optimu m akan dicapai apabila ditanam pada tanah liat yang berpasir (Sastrapadja 1977, dalam Damayanti 2002). Kemudian lan jut Azahari (2008) satu hektar lahan dapat ditanam sekitar 10 ribu tunas ganyong dan dalam waktu 8 bulan dapat dihasilkan 50 ton umbi ganyong.
2.1.2. Umbi Ganyong Umbi ganyong adalah rhizo me yang merupakan batang yang tinggal di dalam tanah, sehingga umbi ganyong merupakan umb i batang (Lingga dkk 1989). Panjang ru mpun umbi dapat mencapai 60 cm (Kay 1973). Tanaman Ganyong berumbi besar dengan diameter antara 5 – 8,75 cm dan panjangnya 10 – 15 cm, bahkan bisa mencapai 60 cm. Umb i ini biasanya bagian tengahnya tebal dengan kedua ujung dan pangkalnya menyempit. Bag ian luar u mbi d ikelilingi berkas -berkas sisik dengan akar serabut tebal yang panjang dan ukurannya tidak seragam. Warna sisik umb i ada yang ungu ada juga yang coklat (Azahari, 2008) dengan daging umbi berwarna putih dan jika dilukai akan tampak berlendir
(Damayanti, 2002). Menurut pengamatan yang dilaku kan Damayanti (2002) u mb i ganyong memiliki bagian kulit luar yang keras dan bagian daging yang berserat dengan bentuk seperti lengkuas. Bagian luar u mb i ganyong ditutupi oleh kelopak-kelopak tipis pada tiap-t iap ruasnya. Bentuk yang seperti lengkuas itu, menunjukkan bahwa umb i ganyong berbuku -buku. Setiap u mbi terdiri dari 3 sampai 7 ruas umbi (buku-buku) dan tiap ruas ditutupi oleh 1 sampai 3 helai kelopak t ipis yang berwarna coklat tua. Di bawah kelopak-kelopak tersebut ialah bagian kulit u mbi yang berwarna leb ih terang dari kelopaknya yaitu coklat muda (Damayanti, 2002). Pada tanaman yang tua, umbi ganyong memiliki beberapa segment. Setiap segment bervariasi dalam u mur dan ukurannya. Setiap segment memiliki beberapa buku-buku. Penyebaran granula pati berbeda pada setiap segment walaupun dalam satu umbi yang sama. Terdapat pula perbedaan komposisi kimia dan sifat fisikokimia pada segment yang berbeda disebabkan oleh tahapan pertumbuhan yang berbeda pada tiap segment yang dibagi men jadi empat tahapan segment yaitu induk (mother), premature, mature, dan immature. Gambar umbi ganyong yang memiliki beberapa ruas (segment) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bentuk fisik umbi ganyong (Puncha-arnon et al. 2001) Bagian dalam daging u mbi berwarna putih dengan bau khas ganyong. Jika dipotong, dalam waktu 5-10 menit, irisan umbi akan berwarna kecoklatan. Apabila daging u mbi d isayat maka akan keluar getah dan lender yang kemungkinan mengandung fenol. Menurut Damayanti (2002) seperti halnya kentang, umbi ganyong juga mengalami reaksi pencoklatan enzimatis jika u mb i dilu kai atau dikupas. Secara tidak langsung reaksi pencoklatan itu akan mempengaruhi derajat putih tepung yang dihasilkan. Reaksi pencoklatan enzimat is ini dikarenakan adanya kandungan fenol pada umbi ganyong. Kandungan fenol umb i ganyong cukup besar, yaitu 17,7-46,9 pp m. Kandungan fenol ini selain dapat mempengaruhi derajat putih tepung juga dapat bereaksi dengan bahan tambahan pada saat penggunaan tepung untuk pembuatan produk makanan. Umbi ganyong sangat baik digunakan sebagai sumber energ i karena memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. Menurut Lingga (1986) perbedaan komposisi kimia u mbi ganyong selain dipengaruhi varietas, juga u mur dan iklim tempat tu mbuh umb i. Hal tersebut dapat dilihat pada data ko mposisi kimia empat varietas umbi ganyong yang berasal dari empat varietas di Jawa Barat pada Tabel 2. Menurut Ropiq (1988) kandungan karbohidrat umbi ganyong cukup tinggi, setara dengan umbi-u mbi yang lain sehingga cocok dijadikan sebagai sumber energi. Umb i ganyong juga termasuk umbi yang mengandung kalsiu m, fosfor, dan besi, walaupun dalam ju mlah yang ke cil. Hal ini diperkuat dengan data dari Departemen Kesehatan (1981) yang menyatakan didalam 100 g u mbi ganyong terdapat 21 mg kalsium, 70 mg fosfor, dan 20 mg besi. Selain itu u mbi ganyong juga memiliki kandungan beberapa vitamin yaitu vitamin B1 (100mg ) d an vitamin C (10 mg) dalam 100 g umbi ganyong (Departemen Kesehatan RI, 1981).
Ko mposisi kimia (%) Kadar air Abu Protein Lemak Serat Karbohidrat* Total fenol (ppm)
Tabel 2. Ko mposisi kimia u mb i ganyong (Damayanti, 2002). Varietas Karang Leuwi Ganyong 1 kebumen Ciamis gayam damar 76.1 69.2 72.4 63.4 74.64 0.7 1.3 1 0.8 0.84 1.4 1.3 1.3 1.4 0.16 0.8 0.4 0.2 0.1 0.23 4.14 2.0 2.1 1.5 2.12 18.8 27.9 25.1 34.3 24.13 23.8
46.9
17.9
17.7
-
Ganyong 2 75.00 1.00 0.10 22.60 -
1
Idrawati, 1988 Dep Kes, 1992
2
Umbi ganyong sangat baik digunakan sebagai sumber karbohidrat untuk penyediaan energi (Ro isah, 2002). Umbi in i juga dapat dijadikan sebagai campuran nasi jagung agar nasi jagung terasa lebih enak (Idrawat i, 1988). Umb i yang masih muda bisa d imakan dengan cara dibakar atau d irebus dan terkadang juga disayur, bahan makanan campuran atau dibuat pati. Sisa umbi setelah diamb il patinya digunakan sebagai ko mpos (Roisah, 2009). Selain d iolah dalam bentuk u mbi, u mbi ganyong juga bisa diolah menjadi tepung ganyong ataupun pati ganyong. Menurut Damayanti (2002), ditin jau dari sifat fungsional dan komposisi kimia, tepung ganyong dapat dimanfaatkan sebagai tepung ko mposit atau campuran dalam pembuatan produk pangan Ganyong porspektif dikembangkan untuk produk tepung pati. Pati dari u mbi ganyong dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat yang banyak digunakan sebagai produk antara untuk dijadikan produk olahan lanjutan. Pati ganyong dapat digunakan sebagai bahan campuran dalam membuat mie, bihun, sohun (Roisah, 2009, dan Chansri, 2005), cendol, atau juga dibuat sebagai bubur pati ganyong.
2.1.3. Karakteristik Pati Ganyong Pati merupakan bahan organik polisakarida pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondioksida dari udara dan air dari dalam tanah, pad a suatu proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari (Hodge dan Osman, 1976 didalam Muchtadi et al., 1976). Pati d isimpan dalam tumbuhan sebagai cadangan makanan antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum, jewawut, sorghum), di dalam u mbi (ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Akhir-akh ir in i pati ganyong telah diperdagangkan secara Internasional sebagai Queensland Arrowroot Starch, namun pati ganyong di Indonesia masih dihasilkan dalam skala kecil dan ru mah tangga yang memiliki mutu rendah (Ropiq, 1988). Zat pati terdiri dari butir-butiran kecil yang disebut granula. Pada umu mnya granula pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena adanya zat antara misalnya protein dan lemak. Bentuk g ranula pati ganyong bervariasi dari bulat sampai oval, dengan ukuran 5 0 sampai 145 mikron (Ropiq, 1988) dan 50% granula pati ganyong varietas ciamis berukuran antara 15-29 μm (Damayanti, 2009). Sedangkan menurut Thitip raphunkul (2003) g ranula pati ganyong varietas Thai-purple, Thai-g reen, dan Japanese-green memiliki sebaran ukuran 10-100 μm. Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda dan khas tergantung dari sumbernya (Rop iq, 1988). Granula pati ganyong alami memiliki sifat birefringence yang tampak bila diamati dengan mikroskop polarisasi. Ciri birefringence pada pati ganyong ditunjukkan oleh garis gelap seperti huruf V dengan ujung runcing bertumpu pada garis yang melintang di ujung tiram, sedang letak hilum sebagai pusat titik pertu mbuhan asal granula terletak ditengah -tengah sentris dengan bentuk titik atau 1-4 helai rambut yang saling bertemu ujungnya (Damayanti, 2002). Menurut Roisah (2009) umu mnya pati tersusun oleh komponen utama yaitu amilosa (15-30%), amilopektin (70-85%), dan komponen minor seperti lemak dan protein (5-10%). Lanjut Ro isah (2009) dengan adanya komponen minor protein dan komponen mayor pati berupa amilosa dan amilopekt in sebagai komponen karbohidrat yang dapat terhidrolisis, memunculkan adanya peluang terjadinya reaksi bro wning atau pencoklatan non-enzimatis. Secara umu m pati ganyong termasuk pati yang memiliki kandungan amilosa besar 25-30% (Marchylo et al., 2004, dan Watcharatewinkul, 2009) namun berdasarkan penelit ian Thit ipraphunkul
et al., (2003) kadar amilosa pati ganyong (18-25%) masih lebih rendah dari pati kacang hijau (28%). Pada dasarnya amilosa akan leb ih berperan saat proses gelatinisasi dan lebih menentukan karakter dari pasta pati. Amilosa juga dapat mengkokohkan kekuatan gel karena daya tahan molekul d i dalam granula meningkat (Satin, 2001). Semakin t inggi kandungan amilo sa maka akan semakin mudah produk mengalami retrogradasi. Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi sangat cocok untuk pembuatan mi pati (Herman, 1996 dalam Roisah, 2009).
Ko mposisi kimia (%) Air Karbohidrat Protein Lemak Abu Serat kasar Pati Amilosa Total gula
Tabel 3. Ko mposisi kimia pati ganyong beberapa varietas di Indonesia Kebumen 1 Ciamis 1 Karang Leuwi Ganyong Ganyong gayam1 dammar1 merah 2 putih 2 10.86 11.26 11.34 11.75 13.76 9.21 88.22 87.45 87.72 87.29 96.83 97.63 0.39 0.48 0.39 0.39 0.05 0.05 0.33 0.64 0.37 0.37 1.93 2.67 0.2 0.17 0.18 0.2 0.17 0.33 0.26 0..2 0.24 0.36 1.02 0.44 84.14 79.57 75.89 75.84 89.65 81.89 35.74 35.61 35.43 33.81 33.22 30.28 0.23 0.21 0.24 0.09 -
Keterangan : 1 Damayanti (2002) 2 Roisah (2009)
Ko mposisi kimia pati ganyong berbeda-beda tergantung dari jenis dan varietas sumber pati ganyong tersebut. Komposisi kimia pati ganyong dari berbagai sumber dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Puncha-arnon (2007) kadar pati berbeda pada segmen yang berbeda. Kadar pati pada segmen immature (13,7%), premature (19,5%) mature (18,6%) dan induk (7,9%) berbeda-beda. Rata-rata 1 kg (956 g) pati d ihasilkan dari satu rhizo me yang berumur 7 bulan (5324 g). Selain kandungan nutrisi terdapat juga kandungan fosfor dalam pati ganyong sebesar 371-399 pp m dan ju mlah ini lebih t inggi dari singkong dan kacang hijau (Thitip raphunkul, 2003).
2.1.4. Karakteristik Gelatinisasi Pati Ganyong Ko mposisi kimia pati ganyong akan mempengaruhi karakteristik fisik pati tersebut. Salah satu karakteristik fisik yang penting pada pati adalah karakteristik profil gelat inisasi. Ketika pati dipanaskan bersama air, pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Fenomena ini d isebut dengan gelatinisasi pati, sedangkan suhu pada saat awal gelatinisasi berlangsung yaitu saat mulai terjadinya peningkatan viskositas disebut suhu awal gelat inisasi (Muchtadi et al, 1987). Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan viskositas pati akan membentuk pro fil yang berbeda-beda tergantung kepada jenis pati (Herawati, 2009). Pengukuran profil gelatinisasi pasta pati dapat menggunakan instrument Brabender Amilograph ataupun Rapid Visco Analayzer (RVA). Pengukuran menggunakan alat tersebut dapat memberikan informasi tentang suhu awal gelatinisasi (SAG), viskositas puncak (VP), viskositas break down (VB) yaitu perubahan viskositas selama pemanasan, viskositas setback (VS) yaitu perubahan viskositas selama pendinginan dan viskositas akhir (VA) (Herawat i, 2009). Soni et al (1990) melaporkan bahwa viskositas dari suspensi pati ganyong lebih tinggi tiga kali dari pada pati jagung dan menunjukkan t idak adanya penurunan , dan lebih tinggi juga dari pati singkong dengan konsentrasi yang sama (Perez et al, 1998) jika dilihat menggunakan Brabender Amilograph. Profil gelatinisasi pati ganyong yang telah diteliti oleh Chansri (2003) memperlihatkan viskositas yang tinggi, tidak ada viskositas breakdown (VB), relatif stabil selama holding 95o C, dan memiliki viskositas setback (VS) yang tinggi. Suhu awal gelatinisasi pati ganyong berkisar antara 74-75o C leb ih rendah dari pati kacang hijau ko mersial (80o C). Namun menurut Thitipraphunkul (2003) dengan susp ense pati 6% (b/b), suhu gelatinisasi dari pati ganyong berkisar antara 71-72o C yang lebih t inggi dari pati singkong (68o C). Sedangkan menurut Damayanti (2002) suhu awal gelatinisasi pati ganyong berkisar antara 69-72o C. Adanya perbedaan SAG ini d iperkirakan oleh Damayanti (2002) karena perbedaan ukuran dan sebaran granula pati ganyong, juga kandungan amilosa.
Beberapa varietas pati ganyong ada yang memiliki v iskositas puncak pasta pati (Ciamis dan Kebumen) ada pula yang tidak (Karang Gayam dan Leu wi Dammar). Dengan tidak adanya viskositas puncak pati maka tidak ada juga viskositas break down seperti yang diungkapkan oleh Chansri (2003). Menurut Gunaratne dan Corke (2007) viskositas breakdown dapat memperlihatkan kestabilan suspensi pati selama pemanasan dan pengadukan. Semakin kecil nilai viskositas breakdown maka semakin stabil pasta pati terhadap proses pemanasan dan pengadukan. Seperti yang diungkapkan oleh Chansri (2003) dan Damayanti (2009), pati ganyong memiliki nilai viskositas setback yang tinggi. Nilai viskositas balik (VS) mencerminkan kemampuan asosiasi atau retrogradasi mo leku l pati pada proses pendinginan. Semakin t inggi nilai VS berarti semakin tinggi kemampuan pati untuk mengalami retrogradasi. Begitu pula dengan kandungan amilosa. Semakin tinggi kandungan amilosa maka d iharapkan semakin tinggi n ilai VS. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pati dalam retrogradasi, diantaranya adalah kandungan lemak, protein, serat dan amilosa (Damayanti, 2002). Menurut Schoch dan Maywald (1968) yang dikutip oleh Purwani et al. (2006) penggolongan pasta pati atau profil gelatinisasi pati dibagi menjad i 4 yaitu tipe A, tipe B, t ipe C, dan tipe D. tipe A adalah tipe pasta yang mengalami pembengkakan yang tinggi deng an memperhatikan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran dengan cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter pembengkakan yang sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah. Tipe C adalah p asta yang memiliki sifat dengan pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimu m namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan sulit mengental pada konsentrasi yang sama dengan pati tipe lainnya. Pati ganyong tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe B ( moderate swelling) atau C (swelling terbatas) menurut klasifikasi pola viskositas pati Schoch, tapi profil pasta pati gany ong berada diantara B dan C (Scoch dan Maywald 1968). Hal tersebut tergambarkan dalam profil gelatin isasi pati ganyong varietas Karang Gayam dan Leu wi Damar yang tidak memiliki puncak dan viskositasnya stabil atau terus meningkat setelah pendinginan yang dapat diklasifikasikan profil gelatin isasi tipe C. Lanjut Chansri et al (2003) pati ganyong menunjukkan shear yang bagus dan ketahanan terhadap panas yang sama dengan sifat pasta dari pati cross-linked dan pati kacang hijau. Pati ganyong juga menunjukkan setback yang signifikan, dan pastanya sangat bening dan elastis. Hasil ini menunjukkan bahwa pati canna memiliki karakter spesisfik yang baik yang dibutuhkan untuk pembuatan clear noodle.
2.1.5. Swelling Power atau Pembengkakan Pati Ganyong Pengukuran swelling power dapat menentukan kemampuan granula pati untuk mengembang. Swelling power adalah perbandingan antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Schoch 1964 dalam Wattanachant et al.,2002). Secara umu m swelling power pati umb i-u mb ian meningkat dengan cepat pada kisaran suhu 50-90o C (Hung, 2005). Seperti yang diungkapkan pula o leh Damayanti (2002) adanya peningkatan pembengkakan pati secara tajam pada suhu 60-70o C. Pembengkakan 3-4 kali lipat, diduga pada kisaran suhu tersebut ikatan antar molekul pati sudah melemah dan pati sudah tergelatinisasi, sehingga terjadi penyerapan air pada granula. Pada suhu diatas 70o C pembengkakan hanya bertambah sedikit karena pati sudah sangat mengembang, sehingga kemampuan pati untuk menyerap air t inggal sedikit. Namun pembengkakan akan terus terjadi sampai suhu 90o C karena pati akan terus tergelatinisasi dan membengkak sampai suhu maksimu m, yaitu 95.25o C. Menurut Hung (2005) swelling power pati ganyong masih lebih rendah dibandingkan pati kentang, ubi dan singkong. Hal ini menggambarkan bahwa pati ganyong memiliki kapasitas daya ikat air yang rendah selama pemanasan dikarenakan kadar amilosanya. Hal ini juga yang mempengaruhi kualitas baik dari mi pati dengan bahan baku yang berasal dari pati yang memiliki sifat yang sama (Hung, 2005). Swelling power pati umbi-u mbian berkorelasi negatif dengan kadar amilosa dan suhu gelatinisasi, namun ukuran rata-rata pati menunjukkan korelasi positif terhadap swelling power pada suhu 75o C (Li, 2001). Pat i dengan swelling power yang terbatas akan memberikan sifat mi yang tidak terlalu mengembang (Ah mad, 2009). Pat i yang terlalu mengembang akan mudah hancur.
2.1.6. Kekuatan Gel Pati Ganyong Gel adalah bentukan yang dihasilkan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Menurut Ahmad (2009) gel pati merupakan sistem padat-cair yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dimana fase cair terjebak dalam fase padatan. Saat pendinginan berlangsung, rantai amilosa yang telah keluar dari granula membentuk matriks dan dibantu dengan amilopekt in membentuk gel (Eliasson 2000). Molekul amilosa bebas dapat membentuk ikatan hidrogen tidak hanya dengan molekul amilosa lainnya tetapi juga dengan rantai cabang amilopektin dari granula yang mengembang sehingga men jadi bagian jaringan padat yang saling berhubungan. Keberadaan amilosa dalam fase in i menyebabkan gel menjadi kuat (Collado dan Corke, 1999, diacu oleh Ahmad, 2009). Menurut Hoover dan Vasanthan (1994 ), peningkatan rekristalisasi ko mponen molekul amilosa yang mengalami leaching akan meningkatkan kekuatan gel. Pembentukan gel juga diakibatkan oleh terjad inya retrogradasi (Roisah, 2009). Menurut Richana dan Titi (2004) dalam Ah mad (2009) retrogradasi me rupakan kecenderungan amilosaamilosa pada pasta pati untuk berikatan kembali satu sama lain melalui ikatan hidrogen diantara gugus hidroksilnya men jadi kristal yang tidak larut.
2.2. KACANG TUNGGAK Kacang tunggak (Vigna unguiculata) adalah tanaman herba, merambat, memanjat, atau semusim tegak, tumbuh setinggi 15-80 cm. Daun berselang, dan panjang daun 5-25 cm. Tanaman ini memiliki bunga dengan warna yang beragam mu lai dari ptuih, krem, kuning, ungu kemerahan hingga ungu. Buah berupa polong dengan panjang 10-23cm dengan 10-15 biji polong. Biji kacang tunggak juga memiliki keragaman bentuk mulai dari kotak hingga bulat dengan warna yang beragam termasuk putih, coklat, marun, krem dan hijau. Biji tanaman ini u mu mnya 5000 -12000 b iji/kg. Ga mbar tanaman kacang tunggak dapat dilihat pada Gambar 3. Kacang tunggak (Vigna unguiculata) termasuk dalam famili leguminoceae. Kacang tunggak dikenal juga dengan nama cowpea, southern pea, black -eye pea, crowder pea, lubia, niebe, coupea, frijole (Davis et al, 2003) dan kacang tolo (Biogen, 2010). Kacang tunggak berasal dari Afrika, yang umu m tersebar luas di seluruh wilayah tropik (30o LU-10o LS) dan subtropik terutama d i Afrika, juga tumbuh di Asia terutama di India, Australia, Karibia, A merika Serikat bagian selatan dan daerah dataran rendah dan pesisir Amerika selatan serta Amerika Tengah. Tanaman ini telah lama dibudidayakan di Indonesia dikenal dengan nama kacang tolo. Menurut Kasno et al (1991), areal penanaman potensial kacang tunggak berada di daerah Jawa Tengah, Jawa Timu r, Bali, NTB, sebagian Kalimantan, Su matera, Malu ku, dan Papua. Kacang tunggak biasanya tumbuh pada area equatorial dan subtropical pada ketinggian 1300 m walaupun kacang tungak biasa ditanam pada ketinggian 1600 m di Kenya dan pada dataran tinggi di Kamerun (Ehlers, 1997). Kacang tunggak mampu tu mbuh pada lahan marjinal seperti tanah sulfat masam,tahan terhadap kekeringan dan serangan hama penyakit (Kasno et al., 1991). Disamping toleran terhadap kekeringan kacang tunggak juga mampu mengikat nitrogen dari udara (Saifudin, 1998). Tanaman ini dapat menghasilkan 1000 kg biji kering per hektar di lingkungan Sahelian yang hanya dengan curah hujan 181 mm.
Gambar 3. Tanaman Kacang tunggak Biasanya pembudidayaan kacang tunggak dilaku kan untuk dimanfaatkan bijinya dalam bentuk biji segar (utara US dan Senegal) atau biji kering (Sebagian besar timur Afrika), polongnya yang masih muda cukup nikmat bila dikonsumsi sebagai sayuran (daerah lembab Asia dan Kepulauan
Karibia), daunnya (pada sebagian besar timur Afrika) dikonsumsi sebagai lalapan atau sebagai pakan hijauan, pakan kering atau pupuk hijauan (Biogen 2010, Hms 2009, Eh lers 1997). Menurut Eh lers (1997) biji kacang tunggak kering dapat dimasak dengan cepat, yang merupakan pertimbangan penting bagi Negara berkembang yang memiliki keterbatasan bahan bakar. Di Afrika kacang ini merupakan polong-polongan pangan yang disenangi dan dikonsumsi dalam tiga bentuk dasar yaitu dimasak dalam bentuk sayur berbumbu ditambah minyak goreng (sop kacang) sebagai pengiring pangan pokok, dikupas dan ditumbuk men jadi tepung dicampur dengan irisan bawang merah serta bumbu dijadikan adonan yang kemudian digoreng (bola akara), dan dikukus menjadi mo in-mo in (Maesen dan Somaatmad ja, 1993). Bentuk salah satu jenis kacang tunggak dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk dan ukuran biji kacang tunggak Kacang tunggak merupakan salah satu jenis kacang -kacangan yang bermutu tinggi dan merupakan sayuran yang memiliki ko mponen gizi yang baik bagi diet manusia. Kacang tunggak tidak populer dibandingkan kacang kedelai dalam pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia, akan tetapi kandungan gizi kacang tunggak lengkap dan tidak jauh berbeda dengan kacang kedelai (Kay 1979, dan Kasno et al. 1991). Menurut Ehlers (1997) kacang tunggak memiliki nilai asam fo lat yang lebih tinggi, zat antinutrisi dan faktor produksi flatulensi yang lebih rendah. Ko mposisi biji kacang tunggak terutama kandungan protein, pati dan vitamin B, sangat bervariasi tergantung pada kultivar dan asal bijinya (Kay, 1979). Menurut Balai Penelit ian Kacangkacangan dan Umb i-u mb ian (2008), varietas unggul kacang tunggak di Indonesia memiliki kandungan protein 20,5 - 22,11%. Ko mponen kimia dalam tepung kacang tunggak dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Ko mposisi zat g izi kacang tunggak (Departemen Kesehatan RI, 1990) Ko mponen Air Protein Lemak Karbohidrat Kalsiu m Fosfor Besi Vitamin a Vitamin c Vitamin B1
satuan g g g g mg mg mg RE mg mg
Jumlah 11.00 22.9 1.40 61.6 77 449 6.5 4 2 0.92
Menurut Sa’adah (2009) jika d ibandingkan dengan protein jagung kuning, protein kacang tunggak kaya akan asam amino lisin. Namun, jika dibandingkan dengan protein telur, protein kacang tunggak defisien dalam asam amino metionin dan sistin, sehingga kacang t unggak lebih bernilai sebagai suplemen nutritional untuk serealia dan extender untuk protein hewani. Kacang tunggak memiliki kadar protein yang cukup tinggi dan bila ditepungkan dapat menjad i sumber protein tambahan sebagai dampak positif dalam pembuatan mi (Saifudin, 1998). Kadar karbohidrat yang cukup tinggi memungkinkan adanya kandungan pati yang tinggi sehingga kacang tunggak dapat diekstraksi men jadi tepung pati. Berdasarkan penelitian Saifudin
(1998) pati kacang tunggak memiliki n ilai kadar pati antara 84.34-92.9 % dengan nilai rata-rata adalah 87.22%. Nilai rata-rata serat kasar kacang ini adalah sebesar 5.50 persen. Bahan pangan dengan serat kasar yang tinggi sangat cocok dikonsumsi oleh mereka yang mempunyai masalah dengan berat badan. Karena serat tidak akan dikonversi menjadi timbunan lemak jika terjadi kelebihan dalam tubuh. Karakteristik pati kacang tunggak adalah memiliki suhu awal gelatin isasi 74.7 o C, suhu gelatinisasi maksimu m sebesar 83.7-84.75o C, dan viskositas maksimu m sebesar 1610-1680BU, dengan tipe gelatinisasi tipe A. Selain itu, ditin jau dari sifat kimia dan ko mponen kimia, kacang tunggak dapat diolah seperti kedelai yaitu berpotensi sebagai bahan baku pembuatan tempe, kecap, tauco, tahu, tepung komposit, isolate dan konsentrat protein. Menurut Saifudin (1998) sohun yang dibuat dari pati kacang tunggak telah memenuhi syarat yang ditetapkan SII 1982. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pengolahan kacang tunggak adalah terdapatnya senyawa anti nutrisi yang dapat mempengaruhi produk olahan kacang tunggak. Pengupasan kulit biji kacang tunggak merupakan tahap kritis dalam proses pengolahan kacang tunggak lebih lanjut. Proses pengupasan dapat menurunkan senyawa anti nutrisi yang terdapat pada kacang tunggak. Kandungan tripsin inhibitor, tannin, asam fitat dapat turun lebih dari 50 %. Selain itu pengupasan dapat memberikan warna dan aro ma yang lebih baik untuk produk olahan yang dihasilkan.
2.3. KARAKTERISTIK PATI UNTUK PRODUK MI Sifat fungsional pati akan sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena sifat fungsional ini berkaitan erat dengan pembentukan adonan (reologi) dan kualitas tekstur mi. Menurut Lii dan Chang (1981) dalam Collado et al (2001), tipe pati yang ideal untuk pembuatan mi berbasis pati adalah pati yang memiliki kadar amilosa yang tinggi, swelling dan kelarutan yang terbatas, dan memiliki profil gelatinisasi tipe C. Karakter lain dari pati yang baik untuk mi adalah pati dengan viskositas yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta persen sineresis yang rendah (Chen et al 2003, Purwani et al 2006) dan viskositas yang tinggi pada suhu rendah juga cepat mengalami retrogradasi (Tam et al, 2004). Selain itu juga pati yang cenderung cepat mengalami retrogradasi atau nilai v iskositas akhir yang tinggi juga sangat baik untuk kualitas akhir produk mi (Ahmad, 2009). Hal ini juga diperkuat dengan pendapat bahwa mi yang berbasis pati artinya adalah pati yang terretrogradasi. Retrogradasi yang cepat dibutuhkan dalam pembuatan mi karena dengan kemampuan retrogradasi yang tinggi akan dapat membentuk gel yang baik. Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan untuk pembentukan tekstur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi pun turut bertanggung jawab terhadap tingkat kekerasan dan penampakan starch noodle. Pati dengan viskositas setback yang tinggi mudah mengalami ret rogradasi sehingga lebih baik digunakan seb agai bahan baku pembuat mi atau bihun dibanding dengan viskositas setback yang rendah (Colado et al., 2001 dan Herawati, 2009). Menurut kesimpulan Ah mad (2009) mi yang dihasilkan dari pati dengan karakter seperti di atas memiliki kualitas cooking loss yang rendah, untaian mi yang kuat dan kompak, elastis serta kelengketan yang rendah. Selain itu berkurangnya leaching amilosa akan mengurangi kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) pada produk mi (Ah mad, 2009). Pati ganyong memiliki kandungan amilosa yang tinggi, rentang suhu gelatinisasi yang luas, viskositas pasta yang rendah dan stabil dalam keadaan panas sedangkan viskositas pasta dinginnya tinggi, serta mudah terretrogradasi. Semua sifat-sifat ini sangat menguntungkan dalam pembuatan sohun (Hung dan Morita, 2005 dalam Roisah, 2009).
2.4. MODIFIKASI PATI METODE HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) Modifikasi pati metode heat moisture treatment merupakan salah satu modifikasi hid rotermal. Menurut Stute (1992) yang diacu dalam Co llado et al. (2001) modifikasi pati secara hidrotermal adalah modifikasi fisik pati yang mengko mb inasikan kadar air dan kondisi suhu yang mempengaruhi sifat pati tanpa merubah penampakan granula pati. Sedangkan HMT ( Heat moisture treatment) itu sendiri adalah perlakuan pemanasan terhadap pati pada suhu yang lebih tinggi dari suhu gelatinisasi pati (80-120o C) dan pada kadar air yang sangat terbatas (<35%). Modifikasi fisik pati dipertimbangkan lebih aman dan alami dibandingkan dengan modifikasi pati secara kimia (Collado et al, 2001). Metode HMT dapat merubah tipe profil gelatin isasi pati, seperti pada pati sagu (Purwani et al, 2006), ubi (Collado et al, 2001), dan jagung (Ahmad, 2009). HMT merubah profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi tipe B setelah dimodifikasi dengan HMT. Perubahan ini kemungkinan dikarenakan terjad inya perubahan didalam granula. Hal yang sama juga terjad i pada SPS (sweet potato starch). SPS alami sebelum dimodifikasi HMT memiliki tipe profil gelatin isasi tipe A dan setelah dilakukan modifikasi, SPS termodifikasi HMT memperlihatkan profil gelatinisasi yang mendekat i tipe C (Collado et al, 2001). Modifikasi pati dengan HMT menggunakan kadar air yang sangat terbatas. Menurut Herawati (2009), ju mlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan moleku l amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati didalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, lan jut Herawati (2009), keberadaan air yang terbatas s elama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belu m mampu membuat pati mengalami gelat inisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT. Pat i yang mengalami gelatin isasi akan keh ilangan seluruh bagian kristalny a (Zobel et al., 1988 dalam Herawati, 2009). Perubahan fisik maupun kimia pati dapat terjadi setelah pati tersebut dimodifikasi dengan metode HMT. Salah satu perubahan fisik yang terjadi adalah perubahan karakteristik gelatinisasi pati. Seperti yang dilaporkan oleh Ah mad (2009) terjad i peningkatan su hu awal gelatinisasi pati jagung setelah mengalami modifikasi HM T dari pati alaminya. Terjad i peningkatan suhu gelatinisasi lebih dari 10% dari pati jagung tanpa HMT. Menurut Gunaratne dan Corke (2007) peningkatan suhu gelatinisasi ini disebabkan karena proses modifikasi HMT menyebabkan rekristalisasi ko mponen granula pati sehingga menyebabkan pati yang dimodifikasi HMT menjadi lebih tahan terhadap panas sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menggelatinisasi. Viskositas puncak dari profil gelatinisasi pati yang telah mengalami mod ifikasi HMT akan mengalami penurunan dikarenakan pembengkakan granula yang terbatas (Hormdok, 2007). Menurut Hoover dan Gunaratne dalam Ah mad (2009) penurunan viskositas maksimu m disebabkan karena interaksi rantai amilosa-amilosa, dengan rantai amilosa-amilopekt in yang terjadi selama proses modifikasi, sehingga antara moleku l menjad i leb ih rapat dan air lebih sulit untuk berpenetrasi ke dalam granula. HMT juga dapat meningkatkan viskositas pati seperti yang terjadi pada pati gandum (Hoover dan Vasanthan 1994). Menurut Adebowale et al (2005), rig iditas dari granula akan men ingkat setelah dimodifikasi dengan HMT akibat dari tidak tercukupinya proses gelatinisasi. Granula yang rigid akan lebih tahan terhadap pengadukan dan mengakibatkan nilai viskositas yang lebih tinggi. Pati hasil modifikasi HMT memiliki pasta yang lebih stabil dengan viskositas pasta yang tetap konstan dibandingkan dengan pasta pati yang tidak dimodifikasi (Ah mad, 2009, dan Hormdok, 2007). Kestabilan suspensi pati selama pemanasan dan pengadukan dapat dilihat dari n ilai breakdown pasta pati. Gunaratne dan Corke (2007) melaporkan bahwa viskositas breakdown pati HMT lebih rendah daripada viskositas breakdown pati tanpa HMT. Pati ganyong juga memiliki breakdown yang rendah. Beberapa varietas ganyong bahkan tidak memiliki breakdown (Damayanti, 2009). Modifikasi pati ganyong dengan HMT yang dilaku kan oleh Watcharatewinkul (2009) memperlihatkan nilai breakdown yang semakin kecil bahkan tidak ada dengan semakin t ingginya kadar air. Setelah mengalami pemanasan pati kemudian d idinginkan untuk diketahui profil gelatinisasinya akibat pendinginan. Pada pendinginan pasta pati ini HMT biasanya men ingkatkan viskositas akhir dari pasta pati alaminya, seperti yang terjadi p ada HMT pati sagu (Herawati, 2009, Purwani, et al, 2006), millet (Adebowale et al. 2005), sorgun merah dan sorgum putih (Adebowale et
al. 2005 dan Olayin ka et al. 2008), dan new cocoyam (Lawal, 2005). Gunaratne dan Corke (2007) melaporkan terjadinya peningkatan nilai viskositas akhir dan viskositas setback pada pati jagung. Modifikasi HMT meningkatkan kekerasan gel dari pati (Hormdok, 2007; Collado dan Corke, 1999; Adebowale et al, 2005). Gel pati adalah sistem padat cair yang memiliki jaringan kontinu yang memerangkap fase cairan didalamnya. Adanya amilosa dalam fase kontinus menyebabkan pembentukan gel yang kuat saat pendinginan (Collado dan Corke, 1999). Meningkatnya kekuatan pati juga terjadi karena adanya pengaturan dan penyusunan kembali bagian amilos a dan amilopektin yang men ingkatkan gaya ikat intragranular (Adebowale et al, 2005). Kekerasan gel semakin men ingkat dengan semakin meningkatnya suhu dan lama modifikasi (Ho rmdok, 2007). Selain itu swelling power (SP) atau pembengkakan pati juga dipengaruhi oleh perlakuan modifikasi pati dengan HMT. Modifikasi pati dengan metode HMT menurunkan nilai swelling power sehingga nilai SP lebih rendah dari pati alaminya (Adebowale et al, 2005; Lawal dan Adebowale, 2005; Collado dan Corke, 1999; Olayinka et al, 2008, Lawal 2005; Herawat i, 2009; Ahmad, 2009). Hasil dari HMT dan annealing meningkatkan kekerasan gel dari pati beras. Menurut Adebowale et al. (2005), menurunnya nilai swelling power dikarenakan men ingkatnya kristalin itas pati setelah modifikasi sehingga membatasi air yang masuk kedalam pati dan membuat pati menjad i leb ih terbatas saat membengkak. Pembentukan ko mpleks amilosa-lemak dalam granula pati mungkin menyebabkan penurunan kapasitas swelling pati karena telah ditunjukkan bahwa amilosa menghambat pengembangan granula dibawah kondisi terbentuknya ko mpleks amilosa lemak (Tester & morison, 1990, dalam Olayinka et al., 2008) Penggunaan pati sagu yang dimodifikasi HMT dalam pembuatan mi o leh Purwan i et al (2006) menghasilkan mi yang dapat diperbaiki sifat kekerasan dan elastisitasnya, serta mengurangi kelengletan mi dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP/ cooking loss). Collado et al. (2001) juga melaporkan bahwa pati HMT menghasilkan sifat fisik mi yang tidak lengket.
2.5. MI KERING Mi merupakan salah satu jenis produk pasta yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia dan telah dikenal oleh seluruh masyarakat indonesia. Menurut Suyanti (2008) dalam Ahmad (2009) produk mi terdiri dari empat jenis yaitu mi segar, mi basah, mi kering, dan mi instan. Mi segar adalah mi dari proses pemotongan lembaran adonan atau ekstrusi adonan dengan kadar air 35% dengan daya simpan 50-60 jam dalam refrigerator. Mi basah adalah mi yang mengalami proses perebusan setelah pemotongan atau ekstrusi adonan. Masa simpannya singkat, hanya 40 jam pada suhu 28-30o C, yang dikarenakan kadar air mi ini mencapai 52%. Mi kering adalah mi segar yang dikeringkan dengan kadar air sekitar 8-10% sedangkan mi instan adalah mi matang yang dikeringkan dengan cara digoreng maupun dengan aliran udara panas. Berdasarkan bahan bakunya, mi dapat dibagi menjadi 2 jen is mi yaitu mi terigu dan mi non terigu. Mi terigu yaitu mi yang bahan baku utamanya menggunakan terigu atau campuran dengan tepung yang lain. Mi non-terigu terkadang disebut juga dengan mi berbasis pati. Yang tergolong ke dalam mi non terigu antara lain bihun, soun, dan mi gleser (bogor). Bihun merupakan makanan yang terbuat dari beras, sedangkan sohun terbuat dari pati kacang hijau atau pati kentang dan terkadang juga terbuat dari pati ubi jalar (di Korea disebut dangmyun atau tangmyon). Pembuatan mi terigu melibatkan bahan-bahan tepung terigu, air, garam, dan guargum atau cmc. Menurut Sunaryo (1985) dalam Muchtadi (1991), fungsi dari te rigu dalam pembuatan mie adalah sebagai bahan pembentuk struktur dan sumber karbohidrat serta protein. Pada mi non -terigu sumber karbohidrat didapat dari pati ataupun tepung selain terigu yang digunakan. Air berfungsi sebagai media reaksi antara g luten dengan karbohidrat, pelarut garam, dan pembentukan sifat kenyal gluten. Fungsi garam adalah memberi rasa, memperkuat tekstur, men gikat air, serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi. Widowati dan Buckle (1991) men jelaskan proses pembuatan mi terd ir i dari beberapa tahapan yaitu pencampuran, pembentukan adonan, pembentukan mi, pengukusan atau penguapan dan pengeringan. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Oh et al (1985) menerangkan bahwa u mu mnya air yang ditambahkan sekitar 2838% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran, sedangkan bila lebih dari 38% adonan menjadi basah dan lengket. Namun pada pembuatan mi berbasis pati kadar air yang digunakan justru lebih banyak sekitar 66-70% (Chansri et al, 2005).
Proses pembuatan mi non-terigu biasanya berbeda pada tahap pencampuran dan pembentukan mi yang biasanya menggunakan cara ekstrusi (Vasanthan dan Li, 2003). Cara pencampuran dan pembentukan adonan yang dilakukan oleh Chansri et al (2005) adalah dengan penggunaan binder (adonan pengikat dari pati tergelatinisasi). Proses pembutan mi pati adalah dengan mencampurkan pati kering dan pati yang sudah tergelatinisasi sehingga membentuk adonan yang tebal kemudian adonan diekstrusikan kedalam air yang mendid ih, didinginkan kedalam air dingin, pembekuan pada freezer, thawing pada air dingin dan pengeringan (Chansri et al, 2005). Proses pembuatan mi pati secara tradisional juga menggunakan pencampuran pati kering dan pati tergelatinisasi sebanyak 5 - 10% dengan 90-95% pati kering dilu mat kan sebagai adonan pasta dan memiliki kadar air 55%. Pembekuan pada freezer seperti yang dilakukan o leh Chansri dapat tidak diterapkan karena menurut Kusnandar et al (1998) pembekuan pada freezer menjadikan sohun bersifat porous dan berwarna opaque. Selain itu proses non-freezing lebih sederhana dan efektif dalam hal biaya produksi, serta lebih banyak untaian sohun yang lurus daripada menggunakan metode freezing (Ro isah, 2009). Karakteristik mi yang diinginkan adalah mi yang memiliki derajat putih tinggi (Muchtadi, 1991), keh ilangan padatan akibat pemasakan atau KPAP rendah, kekerasan yang cukup, kelengketan yang rendah, elastisitas yang tinggi, berat rehidrasi terbatas, persen pemanjangan yang tinggi dan kekuatan tarik yang tinggi (Muchtadi, 1991; Purwani, 2006; Ah mad, 2009; Hormdok, 2006; Lorlowhakarn, 2006; Roisah 2009; Chansri et al, 2005). Namun nilai target dari parameter tersebut dapat diambil dengan membandingkan nilai parameter produk target (mi terigu 100%).
III. METODE PENELITIAN
3.1.
ALAT DAN BAHAN Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan digital dengan
kapasitas maksimu m 1 kg, oven HMT, oven pengering dan multifunctional noodle machine. Peralatan pendukung yang digunakan antara lain : timbangan analitik, ayakan tepung, sentrifuse, oven kadar air, mikroskop polarisasi cahaya, RVA (Rapid Visco Analyzer), texture analyzer, freezer/refrigerator, spektrofotometer, pH meter, gelas jar, shaker waterbath, dan alat memasak, serta alat-alat lain yang digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel. Bahan utama penelitian ini adalah pati ganyong dari Kabupaten Ciamis (Harapan Mulya) dan kacang tunggak yang diperoleh dari D.I. Yogyakarta juga tepu ng terigu Cakra Kembar dari PT Bogasari Flour M ills. Pembuatan mi membutuhkan bahan tambahan berupa NaCl, Guar gu m, STPP, air, dan bahan-bahan kimia yang dibutuhkan dalam pengujian karakterisaasi pati ganyong, tepung kacang tunggak dan mi kering.
3.2.
METODE PENELITIAN
Penelit ian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah optimasi kondisi HMT (Heat Moisture Treatment) pati ganyong yang menghasilkan pati ganyong yang memiliki karakteristik terbaik untuk pembuatan mi. Tahap selanjutnya adalah formulasi tepung ko mposit berbahan pati ganyong termodifikasi terpilih, tepung kacang tunggak, dan tepung terigu, untuk pembuatan mi. Tahap penelitian pertama d ilakukan untuk mendapatkan pati ganyong termodifikasi yang optimal yang memiliki karakteristik yang baik sebagai bahan baku pembuatan mi. Sebelu mnya dilakukan analisis proksimat pati ganyong alami dan tepung kacang tunggak. Modifikasi pati dilakukan dengan metode Heat Moisture Treatment (HMT). Perlakuan yang diterapkan pada pembuatan HMT pati ganyong adalah suhu dengan taraf 100o C dan 110o C, kadar air 20%, 25%, dan 30%, dan lama waktu pemanasan 4jam, 8jam, dan 16jam. Parameter yang diu kur dari pati HMT adalah morfologi granula pati dengan mikroskop polarisasi, profil gelat inisasi dengan Rapid Visco Analyzer (RVA), swelling power (Riley et al., 2006), kekuatan gel (gel strength), analisis kandungan pati, kandungan amilosa, dan amilopekt in (AOAC, 1995), kandungan proksimat untuk pati ganyong alami dan termodifikasi terp ilih (A OAC, 1995). Kemudian dilakuakan pemilihan perlakuan HMT yang optimal berdasarkan pengukuran parameter yang telah dilakukan. Pada tahap kedua yaitu pembuatan tepung komposit untuk mi dengan menggunakan bahan baku pati hasil modifikasi HMT terpilih, tepung kacang tunggak dan tepung terigu. Digunakan juga bahan tambahan seperti guargum, garam, dan STPP. Formula tepung komposit dibuat dengan mengko mb inasikan tiga tepung tersebut menggunakan metode respon permukaan (Response Surface Method) atau RSM dari program ko mputer Design Expert 7 (DX7). Setelah proses pembuatan mi, dilakukan karakterisasi sifat fisik dan pemasakan untuk mengetahui formula mi terbaik sesuai target dengan menggunakan mi terigu sebagai standar. Setelah didapatkan formu la terbaik dari analisis metode RSM , formu la tepung komposit tersebut diproses menjadi mi dan divalidasi dengan karakteristik prediksi respon.
Pati ganyong alami
Modifikasi HMT ( ko mb inasi perlakuan suhu, waktu, dan kadar air)
Karakterisasi pati ganyong alami, pati ganyong HMT, dan tepung kacang tunggak
Tahap 1
Pemilihan kondisi HMT optimu m
Pati termodi fikasi opti mum
Formulasi tepung ko mposit untuk mi kering dengan RSM
Produksi mi sesuai formulasi
Karakterisasi sifat fisik dan pemasakan mi
Tahap 2
Penentuan Formula Optimu m dengan RSM
Produksi dan Validasi mi formu la optimu m
Formul a yang menghasilkan mi deng an kualitas opti mum Gambar 5. Diagram alir penelitian
3.2.1. Optimasi Modifikasi Pati dengan Metode Heat Moisture Treatment (HMT) Prosedur teknik HMT mengacu pada Adebowale et al (2005). Optimasi metode HMT dilakukan untuk mendapatkan perlakuan suhu, kadar air, dan waktu HMT yang optimu m, menghasilkan pati dengan karakteristik yang baik untuk mi. Metode HMT yang dilakukan adalah
metode HMT dengan oven. Pada tahap ini Metode HMT oven dilaku kan dengan memanaskan sampel pati menggunakan oven pada loyang tertutup. Perlakuan y ang dikombinasikan pada pembuatan HMT pati ganyong adalah suhu dengan taraf 100o C dan 110o C, kadar air 20%, 25%, dan 30%, dan lama waktu pemanasan 4jam, 8jam, dan 16jam. Tiga perlakuan tersebut kemudian diko mbinasikan dan menghasilkan ko mb inasi perlakuan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Disain perlakuan Heat Moisture Treatment Perlakuan
Kadar Air Pat i (%)
Suhu (o C)
Waktu (jam)
1 2 3 4
20 25 30 20
100 100 100 110
4 4 4 4
5 6 7 8 9 10
25 30 20 25 30 20
110 110 100 100 100 110
4 4 8 8 8 8
11 12 13 14 15 16
25 30 20 25 30 20
110 110 100 100 100 110
8 8 16 16 16 16
17 18
25 30
110 110
16 16
Sebelu m modifikasi pati dengan HMT, dilakukan penimbangan pati sebanyak 100g dan ditepatkan kadar airnya sesuai perlakuan dengan menambahkan air sesuai perhitungan kesetimbangan masa. Pati d imasukkan kedalam wadah bertutup dan dikondisikan selama satu malam dalam refrigerator agar kadar airnya merata dan homogen (conditioning). Setelah dilaku kan conditioning, pati dimasukkan kedalam loyang bertutup. Kemudian pati didalam wadah tertutup dimasukkan kedalam oven yang sudah dikondisikan suhunya sesuai perlakuan dan selama waktu sesuai perlakuan. Sesekali d ilakukan pengadukan untuk lebih menyeragamkan distribusi panas pada bahan. Setelah itu loyang dikeluarkan dari dalam oven dan didinginkan selama 15 - 30 menit pada suhu ruang. Pati yang telah mengalami proses modifikasi kemudian digiling dan diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh.
Pati ganyong alami
Pengaturan kadar air sesuai perlakuan (20%, 25%, 30%)
Penyimpanan dalam wadah tertutup
Conditioning selama semalam dalam refrigerator
Pati ganyong dipindahkan dalam loyang HMT bertutup
Pemanasan loyang pada suhu sesuai perlakuan (100o C, 110 o C) selama waktu yang ditentukan sesuai perlakuan (4, 8, dan 16 jam)
Pendinginan selama 15-30 men it
Penggilingan dan pengayakan dengan ayakan 100 mesh
Pengemasan Gambar 6. Diagram alir HMT pati ganyong
Parameter yang diu kur dari pati HMT adalah morfologi granula pati dengan mikroskop polarisasi, profil gelat inisasi dengan Rapid Visco Analyzer (RVA), swelling power (Riley et al., 2006) dan kekuatan gel (gel strength). Hasil analisis digunakan untuk menentukan kondisi HMT optimu m yang menghasilkan karakteris tik pati yang baik untuk pembuatan mi. Pati hasil modifikasi dengan kondisi HMT optimu m kemud ian dianalis a ko mposisi kimia dan fisiknya dan dibandingkan dengan pati alaminya. Analis a yang dilakukan adalah analisa kandungan pati, kandungan amilosa dan amilopektin (AOA C, 1995), dan kandungan proksimat (AOA C, 1995). Data setiap parameter dianalisa untuk melihat pengaruh dari perlakuan, interaksi antara dua perlakuan atau ketiganya. Kemudian dipilih ko mbinasi perlakuan yang optimu m yang memiliki paling banyak memenuhi kriteria yang diinginkan untuk bahan baku mi. Selain pati, tepung kacang tunggak juga dianalisis sama seperti pati ganyong HMT untuk mengetahui gambaran karakteristik tepung kacang tunggak seb agai salah satu bahan baku tepung ko mposit dalam pembuatan mi.
3.2.2. Optimasi Formulasi Tepung Komposit Untuk Mi Kering dengan Response Surface Method (RSM) dan Pembuatan Mi Kering Pada tahap ini d ilakukan formu lasi mi berbasis tepung komposit yang sebelumnya diidentifikasi. Tahap ini dilaku kan untuk mendapatkan komposisi optimu m tepung komposit yang berbahan dasar terigu, pati ganyong dan tepung kacang tunggak. Optimasi dilakukan de ngan menggunakan program ko mputer yaitu Design Expert 7, dengan spesifikasi Mixture D-Optimal Design. Identifikasi bahan dilakukan dengan menganalisis kadar pro ksimat untuk pati ganyong termodifikasi hasil optimasi pada tahap pertama, dilakukan juga analis is proksimat (AOA C, 1995) dan analisis protein terlarut (metode Lowry) untuk identifikasi tepung kacang tunggak. Perlakuan yang digunakan dalam pembuatan tepung komposit adalah rasio tepung terigu, pati ganyong termodifikasi optimu m dan tepung kacang tun ggak. Perbandingan bahan baku untuk formulasi pembuatan mi in i didapat dengan memasukkan batas minimal dan maksimal dari masing masing tepung pada permulaan program. Batas minimal dan maksimal yang digunakan pada setiap tepung adalah sama yaitu min imal 10% dan maksimal 50%. Kemud ian evaluasi model, pemilihan ordo kuadratik, memasukan nama dan unit dari masing -masing respon yang kemudian akan menghasilkan ko mb inasi ko mposisi formu la seperti pada Tabel 6. Pembuatan mi dilaku kan dengan pembuatan binder yang terdiri dari sepuluh persen pati ganyong dari total keseluruhan tepung, stpp (0.6%), garam (1%) dan air 40-50% dari total tepung. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur dan dipanaskan diatas api sehingga konsistensinya menyerupai lem. Kemud ian ditambahkan bahan-bahan sisa yang telah dicampur kering dengan guar gum (1%), d iuleni sampai kalis. Penentuan jumlah air yang ditambahkn d ilakukan secara subjektif selama penanganan adonan dengan memperhatikan sifat adonan pada saat pengadukan lalu dicetak dengan cara ekstrusi vertikal. Setelah keluar dari mesin ekstrusi, mi yang telah dicetak d iku kus dengan menggunakan mesin penguap selama 15 men it dan dikeringkan pada oven udara bersuhu 50 o C selama 5 jam. Kemudian mi kering dikemas dalam plastik. Diagram alir pembuatan mi dapat dilihat pada Gambar 7. Mi yang dibuat dari masing-masing formu lasi d ianalisa sifat pemasakan dan teksturnya. Sifat pemasakan mi yang dianalis a adalah analisis lama pemasakan optimal (Cooking time), kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan berat rehidrasi. Sedangkan analisis sifat fisik meliputi analisis persen pemanjangan (elongasi), analisis kekuatan tarik (tensile strength), dan analisis tekstur mi (kekerasan, kelengketan, dan elastisitas) dengan menggunakan alat TexturePro CT VI.2 Build 9, Brookfield. Data dari hasil analisis kemudian d imasukan dalam kolo m respon sesuai dengan formula dan responnya. Setiap variabel respon kemudian dianalis a ANOVA satu persatu. Model ANOVA yang digunakan dapat dipilih yang memiliki tingkat tertinggi atau disarankan oleh program yang masih menghasilkan nilai signifikan ANOVA. Model ANOVA yang terd apat pada design ini adalah Linear, Quadratic, Special Cubic, dan Cubic. Model yang memberikan signifikansi pada anova dan nonsignifikansi pada Lack of fit yang dipilih untuk menganalisis variab le. Setelah dilaku kakn analisis ANOVA, selan jutnya dilaku kan optimasi formu la. Optimasi formula dilaku kan dengan menetapkan nilai karakteristik yang diingin kan dari variab el respon. Penetapan nilai karakteristik variabel respon yang diinginkan dilakukan dengan menggunakan nilai karakteristik variabel respon dari mi terigu 100%. Optimasi d ilakukan untuk mendapatkan formula tepung yang memiliki nilai karakteristik yang sesuai dengan nilai karakteristik target. Desirability menunjukkan kesesuaian antara nilai karakteristik variabel respon yang diprediksi dengan nilai variabel yang diinginkan.
Tabel 6. Perbandingan bahan baku terhadap total tepung dalam adonan Formula
tepung terigu (%)
pati ganyong termodifikasi (%)
tepung kacang tunggak (%)
1
50
10
40
2 3
40 50
50 25
10 25
4
10
50
40
5
25
25
50
6
50
10
40
7
50
40
10
8 9
40 21.67
50 41.67
10 36.67
10
41.67
36.67
21.67
11
25
25
50
12
50
40
10
13
33.33
33.33
33.33
14 15
25 41.67
50 21.67
25 36.67
16
10
50
40
Pencampuran bahan kering Sisa pati + terigu + tepung kacang tunggak + 1% guar gu m
Pencampuran 10% pati ganyong + 0.6% stpp +1% garam + air 40-50%
Pemasakan hingga membentuk gel seperti lem
pencampuran
Pengulenan hingga kalis penambahan air sesuai adonan (10 -15%)
Pencetakan dengan mesin ekstrusi
Pengukusan 100o C selama 15 menit
Pengeringan dengan Cabinet Dryer 50o C selama 5 Jam
Lembaran M i Kering
Gambar 7. Diagram alir pembuatan mi kering Selanjutnya produksi mi dilakukan sesuai dengan formulasi terbaik yang didapatkan dari hasil optimasi RSM. Hasil optimasi formu la kemudian d ivalidasi dengan analisis yang sama dengan yang digunakan untuk karakterisasi mi untuk menghasilkan variabel respon aktual. Hasil yang didapat kemudian dibandingkan dengan nilai variabel respon yang diprediksi oleh RSM.
3.3.
METODE ANALISIS
3.3.1. Analisis Proksimat 3.3.1.1. Analisis kadar air metode oven (AOAC 1995) Cawan alu miniu m kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama ±10 men it. Sebanyak 5 gram pati dimasukkan ke dalam cawan kering yang telah ditimbang sebelumnya. Cawan yang telah berisi sampel kemud ian dimasukkan ke dalam oven 100 – 105o C selama 6 jam. Cawan yang berisi sampel kering dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator untuk didingikan kemudian ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.0003 g ram). Kadar air d ihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir.
3.3.1.2. Analisis kadar abu metode pengabuan kering (AOAC 1995) Cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven kemudian did inginkan dalam desikator. Sebanyak 3-5 gram sampel d itimbang dan dimasukkan ke dalam cawan kemud ian dibakar di atas pembakar sampai t idak berasap. Sampel yang berada di dalam cawan porselen kemudian diabukan di dalam tanur bersuhu 400-600o C selama 4- 6 jam sampai abu berwarna putih dan beratnya konstan. Setelah mencapai berat konstan, cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang.
Kadar abu
berat abu X 100% berat contoh
3.3.1.3. Analisis kadar protein metode mikro-kjeldahl (AOAC 960.52 dengan modifikasi) Sebanyak 0.1 - 0.25 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2 SO4 , 40 + 10 mg HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2 SO4 . Setelah itu contoh dididihkan/didestruksi selama 1 - 1.5 jam sampai cairan jernih. Sampel didinginkan, lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl d icuci dengan air 5 - 6 kali dengan 1 - 2 ml air. Air cuciannnya dimasukan kedalam alat destilasi dan ditambahkan 8 - 10 ml larutan NaOHNa2 S2 O3 .
Di bawah kondensor diletakan Erlen meyer yang berisi 5 ml larutan H 3 BO3 3 % dan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2 % dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H 3 BO3 kemudian isi Erlemeyer diencerkan sampai 50 ml. Setelah itu d ilakukan tit rasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi. Titrasi dihentikan sampai terjadi perubahan warna menjadi abu -abu. Hal yang sama dilakukan pula terhadap blanko.
Kadar protein (%) = kadar nitrogen (%) x 6.25
3.3.1.4. Analisis kadar lemak metode ekstraksi soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak dikeringkan dalam oven kemudian d ikeringkan dalam desikator dan dit imbang. Sebanyak 5 gram pati dibungkus menggunakan kertas saring bebas lemak sebanyak 5 gram. Sampel dalam kertas saring (timbel) diletakkan pada alat ekstraksi so xhlet, kemud ian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak d i bawahnya. Reflu ks dilaku kan minimal 5 jam dengan pelarut dietil eter hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105o C, kemud ian didingin kan dalam desikator dan ditimbang (hal ini dilakukan smpai berat konstan). Presentase kadar lemak dapat diketahui dengan menggunakan ru mus sebagai berikut :
Kadar lemak (%)=
berat lemak hasil ekstraksi
X 100%
berat contoh 3.3.1.5. Analisis kadar karbohidrat (by difference) Perhitungan kadar karbohidrat dilaku kan dengan cara by difference dengan persamaan : Kadar karbohidrat (%) =100%-(% air+ % abu+ % protein+ % lemak)
3.3.2. Analisis Fisiko-Kimia Pati Ganyong dan Tepung Kacang Tunggak 3.3.2.1. Analisis morfologi granula pati Pati/tepung dibuat suspensi dan dilihat dibawah mikroskop polarisasi cahaya. Bentuk dan sifat birefringence granula pati dapat langsung dilihat dibawah mikroskop. Ukuran diameter granula pati ditentukan berdasarkan rata-rata diameter dari granula pati yang berhasil didoku mentasikan oleh kamera.
3.3.2.2. Profil gelatinisasi dengan Rapid Visco Analyzer (Wattanachant et al. 2002 dengan modifikasi) Karakteristik gelat inisasi dapat dilihat dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer. Sebanyak 10 ml suspensi pati (10% pati) dipanaskan dari suhu 30 0 C sampai 950 C dengan kecepatan
peningkatan suhu sebesar 40 C/ menit. Setelah mencapai suhu 950 C, suhu dipertahankan selama 10 men it. Suhu pasta pati kemudian diturunkan sampai 500 C dan dipertahankan kembali selama 10 men it. Informasi yang dapat diperoleh antara lain suhu awal gelatinisasi yaitu suhu saat viskositas pasta mulai naik, viskositas pasta pati meliputi viskositas pasta panas (VPP) yaitu viskositas setelah dipertahankan pada suhu 950 C dan viskositas pasta dingin (VPD) yaitu viskositas setelah suhu dipertahankan 500 C, viskositas breakdown yaitu perubahan viskositas selama pemanasan, viskositas setback yaitu perubahan viskositas selama pendinginan, dan viskositas akhir (VA ).
3.3.2.3. Analisis swelling power (Leach et al. 1959; Riley et al. 2006 Dengan modifikasi) Sebanyak masing-masing 1 g pati/tepung dimasukkan kedalam 2 tabung sent rifuse yang diketahui beratnya. Volu me suspensi ditepatkan sampai 50 ml dengan menggunakan air destilata. Tabung sentrifuse ditutup rapat, kemudian diin kubasi pada suhu 30, 60, dan 95 o C selama 30 menit. Tabung disentrifuse pada 4000 rp m selama 30 men it. Setelah disentrifuse didalam tabung akan terdapat dua fase yaitu fase endapan pati dan fase air. Air dikeluarkan dari tabung dengan cara tabung dimiringkan terbalik 45o dan air dibiarkan keluar. Sisa-sisa air yang berada di tepian tabung dikeringkan dengan kertas tisu. Kemudian berat pati dan tabung ditimbang untuk mengetahui berat pati setelah mengembang. Kekuatan pembengkakan (swelling power) dihitung berdasarkan penambahan berat pati membengkak terhadap berat awal pati atau tepung yang digunakan.
3.3.2.4. Kekuatan gel pati/ gel strength (Wattanachant et al. 2002 dengan modifikasi)
Suspensi pati sebesar 18% (18 gram pati dalam 100 mL air) d ipanaskan hingga mencapai 950 C dan dipertahankan selama 30 menit kemudian didingin kan sampai suhu 50 0 C. Pasta dituang setinggi ± 5 cm ke dalam tabung plastik kemudian tabung disimpan pada suhu 4 0 C selama 24 jam. Pengukuran kekuatan gel d ilakukan dengan menggunakan texture analyzer pada kondisi kecepatan probe 2 mm/s sampai jarak 15 mm dengan ukuran diameter probe 10 mm. Penentuan kekuatan gel didasarkan pada maksimu m gaya pada ko mpresi pertama dengan satuan gram force (gf).
3.3.2.5. Analisis total pati Nelson-Smogyl (Hidayat,1988) Sebanyak 0.1 g pati dit imbang dan dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian d itambahkan etanol 80% sebanyak 20 ml dan dipanaskan dalam waterbath bersuhu 100o C selama 15 menit sampai etanol menguap. Endapan yang terbentuk dalam tabung dibiarkan mengering. Sisa endapan dilarutkan dengan aquades 2 ml dan dipanaskan selama 3 menit, d itambah HClO 4 9.2 N sebanyak 2 ml, kemudian dipanaskan kembali selama 15 men it. Setelah itu ditambahkan 25 ml aquades kemudian didiamkan 30 menit. Larutan sampel disaring ke dalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan aquades sampai tanda tera. Larutan sampel dipipet 1 ml ke dalam tabung reaksi 50 ml, ditambahkan 1 tetes indikator phenol red, kemud ian netralisasi dengan NaOH 1 N. Setelah itu, d itambahkan pereaksi Cu sebanyak 2 ml, dipanaskan dalam waterbath selama 10 men it kemudian dinginkan selama 10 menit. Setelah cukup dingin ditambahkan 2 ml pereaksi nelson dan ditepatkan volumenya sampai 50 ml dengan aquades. Setelah itu ukur absorbansi larutan sampel dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 n m. Konsentrasi pati total pati ditentukan dengan perhitungan di bawah ini menggunakan kurva standar glukosa.
3.3.2.6. Analisis kadar amilosa amilopektin (AOAC, 1984; Riley et al., 2006) Lemak dari pati/tepung diekstrak dengan heksan (AOAC, 1990). Sebanyak 100 mg pati/tepung bebas lemak did ispersikan didalam 1,0 ml etanol dan 9,0 ml NaOH 1 M . Vo lu me ditepatkan men jadi 100 ml dengan menggunakan air destilat. Sebanyak 5 ml aliquot ditransfer kedalam labu takar 50 ml yang berisi 25 ml air destilat. Sebanyak 0,5 ml asam asetat 1 M dan 1 ml larutan iod (0,2% iod dalam 2% potasium iodida) ditambahkan kedalam labu takar. Vo lu me a liquot ditepatkan sampai tanda tera dengan menggunakan aquades. Aliquot diukur absorbansinya pada panjang gelombang 620 n m. Sebagai standar digunakan amilosa mu rni dari kentang. Kandungan amilopektin dalam sampel dih itung berdasarkan selisih antara total kandungan pati dengan amilosa.
3.3.2.7. Analisis protein terlarut tepung kacang tunggak metode Lowry (Owusu, 2002) Campuran dari larutan Cu2+ sulfat dan NaK-Tartarat bereaksi dengan protein. Kemud ian reagen Folin ciocalteau ditambahkan. Warna biru keunguan akan terbentuk dan diukur pada panjang gelombang 750n m. Tahapan pertama adalah menyiapkan larutan reagen A, B, C dan E. reagen A dibuat dengan cara melarutkan 2 g Na2CO3 dalam 100 ml NaOH 0,1 M . Reagen B dibuat dengan cara menambahkan 0.5 g tembaga sulfat (CuSO4) dan 1 g Tartarat dalam 100 ml air destilata. Reagen C adalah campuran antara reagen A dan Reagen B dengan cara mencampurkan 50 m l Reagent A dan 1ml Reagent B. Reagen C harus dibuat pada hari yang sama dengan hari pengukuran. Reagen E adalah reagen folin ciocalteau ko mersial (2N) yang dilarutkan dengan air destilata dengan perbandingan 1:1. Pengukuran sampel dilaku kan dengan cara menimbang sampel tepung kacang tunggak sebanyak 0.1 g dan dilarutkan dalam 100 ml air destilat dalam labu takar. Suspens i kemudian disentrifus pada kecepatan 4000 rp m selama 15 menit. Supernatan dikumpulkan dan diamb il 0,2 ml larutan sampel kedalam labu takar, d itambahkan 1 ml Reagen C, kemudian diinkubasi selama 10 men it pada suhu ruang. Kemudian ditambahkan 0,1 ml reagen E (fo lin ), aduk cepat, diamkan 30 men it dan baca hasilnya pada panjang gelombang 750n m. Sebagai standar digunakan BSA.
3.3.3. Analisis Karakteristik Pemasakan dan Karakteristik Fisik Mi Kering 3.3.3.1. Analisis lama pemasakan optimal (Ahmad, 2009) Waktu pemasakan diuku r dengan cara merebus 5 g mi dengan ukuran 2-3 cm d idalam 200 ml air mendid ih. Mi diamb il setiap 30 detik dan ditekan diantara 2 batang gelas pengaduk. Waktu pemasakan optimu m tercapai ket ika bagian tengah mi sudah terehidrasi sempurna.
3.3.3.2. Analisis berat rehidrasi dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
Penentuan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dilaku kan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 200 ml air. Setelah mencapai waktu optimu m perebusan, mi ditiriskan dan dibilas dengan air, kemud ian dit iriskan kembali selama 3 menit. Mi kemudian dit imbang dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan pada suhu 100o C sampai beratnya konstan, lalu dit imbang kembali. Berat reh idrasi dan KPAP dih itung dengan rumus berikut: Berat Rehid rasi (%) =
KPAP (%) = 1-
berat sampel setelah dikeringkan berat sampel awal (1- fraksi air contoh)
x 100
3.3.3.3. Analisis kekuatan tarik (tensile strength) dan pemanjangan (elongasi) menggunakan Teksture Analyzer TexturePro CT V1.2 Build 9 Brookfield Kekuatan tarik (Tensile strength) adalah resistensi dari sampel terhadap penarikan sedangkan pemanjangan (elongasi) adalah seberapa panjang mi dapat diregangkan sebelum putus. Sampel mi dijepit kan pada probe secara vertikal dengan jarak probe sebesar 4 cm dan kecepatan probe 0,3 cm/s. Hasil pengukuran berupa grafik dan data numerik hubungan waktu dan kekuatan tarik. Kekuatan tarik tergambar dari puncak grafik paling tinggi sesaat sebelum mi putus dengan satuan g f. Sedangkan persen pemanjangan didapat dengan menggunakan ru mus: (% ) pemanjangan = waktu putus sampel (s) x 0,3 cm/s x 100% 4 cm
3.3.3.4. Analisis tekstur mi dengan menggunakan Texture Analyzer TexturePro CT V1.2 Build 9 Brookfield Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 38 mm. Pengaturan TexturePro CT V1.2 Build 9 yang digunakan adalah sebagai berikut: test type TPA, target deformation 50%, hold time 0 s, trigger load 4.5 g, pretest speed 2.0 mm/s, test speed 0.1 mm/s, dan return speed 0.1 mm/s. Mi diletakkan di atas landasan lalu diberikan gaya kompresi sebanyak dua kali. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan dan waktu, dan data angka yang sudah dikalku lasi oleh program tersebut. Nilai yang didapatkan adalah nilai kekerasan (hardness, gf), kelengketan (adhesiveness, mJ), dan elastisitas (springiness, mm).
3.3.4. Analisis Statistik Analisis statistik dilaku kan terhadap data sifat fisiko-kimia pati ganyong HMT dan sifat karakteristik mi. Analisis untuk sifat fisiko kimia pati ganyong alami dan termodifikasi HMT adalah ANOVA faktorial dan uji lan jut Duncan untuk mengetahui perlakuan HMT yang memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diinginkan pada taraf kepercayaan 95% dan menentukan perlakuan HMT terbaik untuk produksi mi. Analisis statistik kedua, yaitu analisis ANOVA yang dilakukan pada data nilai karakteristik mi dengan program RSM Design Expert 7 pada model Mixture Design.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
KARAKTERISTIK PATI GANYONG ALAMI DAN PATI GANYONG HMT
4.1.1. Morfologi Granula Pati (Bentuk, ukuran, dan sifat Birefringence) Morfologi granula pati ganyong alami dan termodifikasi dilihat dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Bentuk granula pati ganyong baik alami maupun termodifikasi adalah bulat hingga lonjong (Gambar 8). Bentuk yang sama ini menunjukkan HMT tidak merubah bentuk granula pati. Namun, terdapat perbedaan ukuran pati ganyong alami dan termod ifikasi secara u mu m. Secara u mu m pati ganyong termodifikasi HMT memiliki ukuran granula pati yang lebih besar dari ukuran granula pati ganyong alami. Pati ganyong alami memiliki rata-rata u kuran granula 24.87 μm, sedangkan pati ganyong HMT memiliki rata-rata ukuran granula pati 29.95 μm. Pati ganyong memiliki ukuran granula yang termasuk dalam golongan sedang (15-49 μm) dengan sebaran yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Pati ganyong memiliki u kuran granula pati yang sangat beragam dan menyebar. Hal in i mungkin dikarenakan pati ganyong dihasilkan dari se mua bagian u mbi. Menurut Puncha-arnon (2007) pada tanaman yang tua, umbi ganyong memiliki beberapa segmen. Segmen -segmen tersebut memiliki tingkat kematangan yang berbeda sehinga menyebabkan tingkat ukuran granula yang berbeda pula. Hal itu juga yang memungkinkan ukuran pati ganyong yang tidak seragam. Ketidakseragaman ukuran granula membuat parameter ukuran granula tidak dipert imbangkan dalam pengamb ilan keputusan optimasi perlakuan HMT. Pati ganyong memiliki sifat birefringence yang ditunjukkan dengan warna biru-kuning pada pati (Gambar 8). Pati ganyong termodifikasi dengan kadar air 20% dan 25% pada semua perlakuan suhu dan waktu modifikasi tidak memperlihatkan adanya kerusakan granula pati, namun hanya terjadi pelemahan sifat birefringence yang mulai me mudar pada HMT kadar air 25%. Pati hasil modifikasi HMT dengan kadar air 30% pada semua perlakuan suhu dan waktu modifikasi memperlihatkan terjadinya kerusakan pati. Sebagian pati HMT dengan perlakuan kadar air 30%, telah kehilangan sifat birefringence dan telah pecah. Pecah dan rusaknya granula ini disebabkan oleh terjadinya proses gelatinisasi akibat kadar air yang mencukupi untuk gelatinisasi.
100o C,4jam,20%
100o C,4jam,25%
100o C,4jam,30%
Gambar 8. Granula pati ganyong alami, dan pati ganyong termodifikasi HMT
100o C,8jam,20%
100o C,8jam,25%
100o C,8jam,30%
100o C,16jam,20%
100o C,16jam,25%
100o C,16jam,30%
110o C,4jam,20%
110o C,4jam,25%
110o C,4jam,30%
110o C,8jam,20%
110o C,8jam,25%
110o C,8jam,30%
110o C,16jam,20%
110o C,16jam,25%
110o C,16jam,30%
Pati ganyong alami Gambar 8. Granula pati ganyong alami, dan pati ganyong termodifikasi HMT (lanjutan)
4.1.2. Profil Gelatinisasi Pati Hasil analisis profil gelatinisasi pati ganyong dengan menggunakan instrument Rapid Visco Analyzer Wingather V2.5 Brookfield memberikan gambaran mengenai profil viskositas pati, suhu awal gelatin isasi (SA G), viskositas akhir (VA), dan viskositas setback (VS)
4.1.2.1. Profil Viskositas Pati
Dari grafik profil gelatin isasi pati ganyong alami dan HMT (Lampiran 4) terlihat bahwa pati ganyong memiliki viskositas yang tinggi, kurvanya selalu menaik selama pemanasan maupun pendinginan sehingga tidak ada breakdown dan memiliki viskositas akhir yang tinggi. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Chansri et all. (2005) bahwa pati ganyong memiliki viskositas yang tinggi, tidak ada breakdown, relatif stabil selama pemanasan, dan setback yang tinggi. Lan jutnya lagi menurut klasifikasi Schoch untuk pola viskositas (Schoch dan Maywald 1968), pati ganyong tidak dapat diklasifikasikan secara khusus kedalam profil gelatin isasi tipe B ataupun C, tetapi profilnya berada diantara B dan C. Pati yang digunakan pada penelitian in i adalah pati ganyong dari kabupaten Ciamis. Profil pasta pati pada pati alami (Lampiran 4) merupakan t ipe profil pasta pati C menurut klasifikasi Schoch dan Maywald (1968). Profil gelatin isasi tipe C tidak memiliki puncak viskositas, memiliki viskositas yang tinggi dan bertahan konstan atau bahkan meningkat selama pemasakan. Secara umu m proses modifikasi pati ganyong menyebabkan viskositas pati yang lebih tinggi (kecuali kondisi perlakuan 110o C-8jam-20%; 110o C-8jam-25%; 110o C-8jam-30%) dibandingkan pati alaminya. Ko mbinasi perlakuan pemanasan 110o C selama 8 jam pada kadar air 20%, 25%, dan 30% menurunkan v iskositas pati termodifikasi lebih rendah dari pati alaminya selama pemanasan, namun viskositasnya sedikit lebih t inggi dari pati alaminya selama pendinginan. Rendahnya viskositas panas yang terjadi pada ketiga kondisi proses tersebut kemungkinan karena bertambahnya molekul pati dengan berat molekul rendah (amilosa) yang memiliki kemampuan pengembangan yang terbatas. Profil viskositas pati ganyong alami dan pati ganyong termodifikasi HMT pada semua perlakuan suhu, waktu dan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.1.2.2. Suhu Awal Gelatinisasi (SAG)
HMT dapat merubah profil gelatinisasi pati salah satunya adalah suhu awal gelatinisasi (SA G). Data suhu awal gelat inisasi dapat dilihat pada Tabel 7. Analisis data yang disajikan pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan suhu-waktu-kadar air, interaksi antar perlakuan suhuwaktu, perlakuan waktu dan perlakuan kadar air HMT berpengaruh nyata terhadap suhu awal gelatinisasi (SA G) pati ganyong (p<0.05). Grafik pengaruh interaksi antar perlakuan suhu-waktukadar air terhadap SA G dapat dilihat pada Gambar 9. Uji lanjut dengan metode Duncan terhadap pengaruh interaksi suhu -waktu-kadar air HMT (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pati ganyong HMT dengan suhu 100 o C selama 16 jam dengan kadar air 30% memberikan nilai SA G tert inggi, namun tidak berbeda nyata dengan 110o C-8 jam-25%, 110o C-8jam-30%, 100o C-8jam-25%, 100o C-16jam-25% dan 110o C-4jam-25%, dan berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya. Perbedaan pola SA G pada perlakuan suhu 100o C dan 110o C pada tiga taraf waktu dan kadar air dapat dilihat pada Gambar 9 . Hasil u ji lan jut Duncan pengaruh interaksi suhu-waktu terhadap SA G (Lampiran 5 )
menunjukkan ko mbinasi suhu 110o C waktu HMT 8 jam memiliki nilai SA G paling tinggi namun tidak berbeda signifikan dengan perlakuan suhu 100o C waktu 16 jam dan suhu 100o C waktu 8 jam. Perbedaan pola respon SAG pada perlakuan suhu 100o C dan 110o C pada tiga taraf waktu dapat dilihat pada Gambar 10. Tabel 7. Profil amilografi pati ganyong alami dan hasil modifikasinya Suhu HMT (0 C)
Waktu modifikasi (jam)
Kadar air (%)
SA G (0 C)
VA (cP)
VS (cP)
4
20
67.70
4438.40
1542.40
25
67.80
5103.80
1686.20
30
69.40
4764.40
1583.60
20
69.50
5561.60
1747.20
25
76.05
4816.00
1440.00
30
69.20
4991.70
1596.50
20
69.20
3673.40
979.00
25
75.15
2476.80
761.60
30
79.05
4230.20
1231.80
20
67.75
4627.20
1507.20
25
73.60
3792.00
1232.00
30
67.95
4832.00
1699.20
20
68.30
1958.40
646.40
25
79.05
3417.60
1056.00
30
76.80
2950.40
1161.60
20
69.40
3075.20
841.70
25
69.85
4294.40
956.80
30
68.10
4070.40
1328.00
71.20
2092.00
735.20
8 100 16
4
8 110 16
Pati alami Keterangan : SAG : Suhu Awal Gelatinisasi VA : Viskositas Akhir VS
: Viskositas Setback
Pengaruh interaksi perlakuan waktu dan suhu pada suhu 100o C terhadap SAG cenderung memperlihatkan peningkatan SAG dengan semakin lamanya waktu modifikasi ( Gambar 11). Peningkatan nilai SA G dengan semakin lamanya waktu HMT juga ditunjukkan pada HMT pati ubi jalar pada pH 10 (Collado dan Corke 1999). Suhu modifikasi HMT 110 o C memberikan nilai SA G yang lebih tinggi dari perlakuan suhu 100o C pada waktu modifikasi 4 jam dan 8 jam. Peningkatan SA G kemungkinan dikarenakan granula yang lebih rigid. Perubahan daerah kristalin pati yang menyebabkan perubahan rigiditas granula. Perubahan daerah kristalin terbentuk oleh cabang amilopektin yang membentuk double heliks dari struktur yang berikatan (Zondag, 2003). HMT meningkatkan daerah kristalin dengan menguatkan ikatan intragranular yang menyusun bagian kristalin. Peningkatan daerah kristalin menyebabkan pati membutuhkan panas yang lebih tinggi untuk memungkin kan terjadinya disintegrasi struktur dan pembentukan pasta dalam proses gelatinisasi. Selain peningkatan daerah kristalin, peningkatan SAG
pada pati HMT juga dikarenakan interaksi amilosa-amilosa dan amilosa-lemak yang mengurangi mobilitas daerah amorphous (Adebowale dan Lawal, 2003).
suhu 100 110
Dot/Lines s how Means
o
C
20
16
8
25 30
4
SAG (oC)
Gambar 9. Pengaruh interaksi suhu-waktu-kadar air HMT terhadap suhu awal gelatinisasi (SAG).
76 75 74 73 72 71 70 69 68 67
100◦C 110◦C
0
4
8
12
16
Waktu (jam) Gambar 10. Pola respon SAG pada ko mb inasi perlakuan suhu dan waktu yang berbeda Modifikasi yang dilakukan pada suhu 110o C menyebabkan peningkatan SAG pada peningkatan waktu modifikasi dari 4 jam men jadi 8 jam namun mengalami penurunan setelah waktu ditingkatkan men jadi 16 jam (Gambar 10). Hal yang sama juga terjadi pada pati ubi varietas Vietnam pada kondisi alkali (Co llado dan Corke, 1999). Pada pati ubi yang dimodifikasi Collado dan Corke (1999) terjadi peningkatan SAG dengan semakin meningkatnya lama HMT dari 4 jam menjad i 8 jam dan kemudian terjadi penurunan yang signifikan setelah lama pemanasan dinaikkan menjadi 16 ja m. Hal in i mungkin dikarenakan suhu yang terlalu tinggi dan waktu pemanasan terlalu lama membuat integritas granula pati hilang dan suhu gelatinisasi yang dibutuhkan menurun. Seperti yang diungkapkan Herawati (2009) bahwa integritas granula pati termodifikasi pada suhu 130o C telah hilang sebagian. Lebih tingginya SAG pati ganyong HMT dibandingkan pati ganyong alami juga dikarenakan
perubahan daerah kristalin pati atau interaksi amilosa-amilosa dan amilosa-lemak seperti yang diungkapkan sebelumnya. Hasil uji lanjut Duncan pada pengaruh kadar air terhadap SAG (Lampiran 5) menunjukkan pati ganyong HMT kadar air 25% memberikan SA G yang paling t inggi dari perlakuan kadar air 20% dan 30%. SA G yang lebih rendah akibat proses HMT pada kadar air 30% mungkin dikarenakan sebagian granula pati HMT dengan kadar air 30% telah mengalami gelatinisasi saat proses HMT yang ditunjukkan dengan rusaknya granula pati dilihat dengan mikroskop polarisasi (Gambar 8).
4.1.2.3. Viskositas Akhir (VA)
Viskositas akhir (VA ) pati ganyong termodifikasi HMT sangat bervariasi dari 1958.4 cP hingga 5103.8 cP. Secara u mu m pati ganyong termodifikasi HMT memiliki nilai viskositas akhir yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati alami (2092.0 cP). Peningkatan nila VA kemungkinan dikarenakan hal yang sama seperti pada peningkatan viskositas setback, yaitu terjadinya peningkatan ikatan silang selama proses HMT. Hasil uji sidik ragam pada data viskositas akhir ( Lampiran 6) menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari interaksi suhu -waktu-kadar air, namun terdapat pengaruh antara interaksi suhu dan waktu HMT (p<0.05). Pengaruh interaksi suhu dan waktu HMT terhadap nilai v iskositas akhir (VA) dapat dilihat pada Gambar 11. Nilai VA tertinggi ditunjukkan oleh pati yang dimodifikasi pada suhu dan waktu 100o C selama 8 jam namun tidak berbeda nyata dengan hasil dari perlakuan 100 o C selama 4jam, 110o C selama 4jam dan 110o C selama 16jam dan berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan suhu dan waktu lainnya. Kedua grafik memberikan trend viskositas akhir yang menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan dan semakin tingginya suhu pemanasan. Hal yang sama juga terjadi pada HMT pati ubi taiwan dalam kondisi p H netral, dan kondisi suhu yang tetap (Collado dan Corke 1999).
6000 5000
VA (cP)
4000 3000 100◦C 2000
110◦C
1000 0
0
4
8
12
16
waktu (jam)
Gambar 11. Po la respon viskositas akhir (VA) pada ko mbinasi perlakuan suhu dan waktu yang berbeda VA pati ganyong menurun setelah proses HMT selama 8 jam pada suhu 110 o C namun tidak menurun pada suhu 100o C. Hal ini mungkin dikarenakan pada suhu 110o C penetrasi panas kedalam
pati lebih tinggi dari suhu 100o C yang menyebabkan integritas pati menjadi hilang sebagian. Nilai VA menunjukkan kemampuan pati ganyong untuk cepat mengalami proses retrogradasi. Semakin men ingkat VA, maka suspens i pati cenderung lebih mudah dalam membentuk gel. Dalam hal ini pati ganyong HMT secara umu m berpotensi dapat membentuk gel lebih mudah dibandingkan dengan pati ganyong alami karena viskositas akhir yang lebih t inggi.
4.1.2.4. Viskositas Setback (VS) Setelah melewati kenaikan viskositas yang sangat tajam, granula pati akan pecah karena pemanasan yang terus berlangsung dan juga karena pengadukan. Kestabilan suspens i pati selama pemanasan dan pengadukan dapat dilihat dari nilai viskositas breakdown (BDV). Hasil penelit ian menunjukkan tidak adanya viskositas breakdown pada pati alami dan pati termodifikasi HMT. Tidak adanya breakdown ditunjukkan dengan tidak adanya penurunan selama pemanasan maupun pengadukan. Setelah pemanasan dipertahankan kemudian suhu suspensi pati diturunkan untuk melihat profil viskositas pati saat didinginkan (viskositas setback). Hasil analisis keragaman data nilai viskositas setback (Lampiran 7) menunjukkan adanya pengaruh perlakuan suhu, waktu, kadar air dan interaksi perlakuan suhu -waktu terhadap nilai viskositas setback (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan yang dilaku kan terhadap pengaruh interaksi perlakuan suhu-waktu (Lampiran 7) menunjukkan bahwa pati ganyong termodifikasi HMT dengan suhu pemanasan 100o C dan waktu pemanasan 4 jam memiliki n ilai viskositas setback yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu pemanasan 100o C dan waktu 8 jam, namun leb ih tinggi dari ko mbinasi perlakuan lainnya. Perbedaan pola respon VS pada perlakuan suhu 100o C dan 110o C pada tiga taraf waktu dapat dilihat pada Gambar 12. Pengaruh interaksi suhu dan waktu terhadap viskositas setback cenderung memperlihatkan bahwa modifikasi yang dilaku kan pada pati yang dipanas kan 100o C dan waktu leb ih singkat dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan VS yang lebih tinggi. Tren yang terlihat pada grafik suhu 110o C menunjukkan penurunan tajam pada peningkatan pemanasan dari 4 jam menjad i 8 jam namun VS pada 8 jam dan 16 jam tidak berbeda nyata. Proses HMT pada suhu 110o C dapat menurunkan VS hanya dalam waktu 8 jam sedangkan proses HMT pada suhu 100 o C baru dapat menurunkan VS setelah pemanasan diteruskan dari 8 jam menjad i 16 jam. Pola respon VS pada perlakuan suhu 100o C dan 110o C pada tiga taraf waktu menyerupai pola respon viskositas akhir pada perlakuan suhu dan taraf waktu yang sama karena viskositas setback merupakan hasil dari pengurangan VA dengan viskositas pasta panas. Penurunan viskositas setback dengan semakin lamanya mod ifikasi juga terjadi pada pati sagu dengan pencucian dan tanpa pencucian (Herawat i, 2009). Hasil uji lanjut Duncan pada pengaruh kadar air terhadap viskositas setback (Lampiran 7) menunjukkan pati ganyong HMT dengan kadar air 25% memberikan nilai setback yang tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan perlakuan kadar air 20% dan keduanya berbeda signifikan terhadap perlakuan kadar air 30% yang memberikan nilai setback paling tinggi. Peningkatan nilai setback pada kadar air 30% dapat dikarenakan telah tergelat inisasinya sebagian granula pati yang memungkinkan terjadinya amilosa leaching saat modifikasi. A milosa leaching dapat meningkatkan viskositas setback pati karena semakin banyaknya ko mponen amilosa yang larut dan membentuk matriks saat didinginkan.
2000
VS (cP)
1500 1000
100◦C 500
110◦C
0
0
4
8
12
16
waktu (jam) Gambar 12. Pola respon viskositas setback (VS) pada ko mbinasi perlakuan suhu dan waktu yang berbeda Peningkatan nilai viskositas setback pati ganyong termodifikasi HMT dari n ilai setback pati alaminya (753.2 cP) juga terjadi. Peningkatan nilai setback dikarenakan selama proses HMT terjadi peningkatan ikatan silang di antara rantai pati terutama pada fraksi amilosa. Hal in i menyebabkan terbentuknya junction zone pada fase kontinu gel sehingga meningkatkan viskositas setback (Hormdo k dan Noo mhorm, 2007).
4.1.3.Daya Pembengkakan Pati (Swelling Power) Modifikasi HMT menyebabkan molekul granula pati menjadi leb ih rapat sehingga granula memiliki kemampuan membengkak yang terbatas. Oleh sebab itu pati ganyong HMT memiliki swelling power yang lebih rendah (6.79-8.56 ) dibandingkan dengan pati ganyong alami (9.97). Karakteristik pati yang diinginkan dalam p roduksi mi adalah pati ganyong dengan swelling power (SP) dan kelarutan yang rendah (Ahmad, 2009). Analisis ini dilaku kan pada tiga suhu yang berbeda yaitu pada suhu 30o C, 60o C, dan 90o C. Penggunaan suhu 30o C dapat memberikan nilai swelling power yang menggambarkan pengembangan granula pada suhu ruang, sedangkan suhu 60o C dapat memberikan nilai pengembangan pada suhu panas dibawah suhu gelatinisasi dan penggunaan suhu 90o C dapat memberikan gambaran nilai pengembangan granula diatas suhu gelatinisasi. Swelling power pati HMT pada suhu 30o C dan 60o C lebih besar daripada pati alami dan nilainya men ingkat dengan semakin men ingkatnya kadar air perlakuan HMT, se dangkan pada suhu 90o C pati HMT memiliki nilai swelling power yang lebih kecil dari pati ganyong alami dan nilainya semakin rendah dengan semakin tingginya kadar air perlakuan HMT. Nilai pembengkakan granula pati HMT pada suhu 30o C dan 60o C berkisar antara 0.95-1.93 dan 0.96-2.03, sedangkan nilai pembengkakan granula pati ala mi 0.77 dan 0.67. Pada suhu 90o C pati HMT memiliki nilai swelling yang berkisar 6.68-8.56 dan swelling pati alami sebesar 9.97 (Lampiran 8). Pada swelling power suhu 90o C terlihat penurunan swelling power dari pati alami menjad i pati HMT. Hal in i dikarenakan men ingkatnya kristalinitas pati setelah modifikasi sehingga membatasi air yang masuk kedalam pati dan membuat pati menjadi membengkak (Adebowale et al., 2005). Menurut Miyoshi (2001) pati yang dimodifikasi HMT mengalami perubahan susunan struktur dan kristalin itas. Hal in i memungkinkan pembentukan ikatan hidrogen antara air yang berada diluar granula dengan mo leku l pati baik amilosa ataupun amilopektin men jadi lebih sulit, sehingga kemampuan granula
untuk membengkak menjadi terbatas. Kristalinasi ini juga yang meningkatkan viskositas pati ganyong termodifikasi. Pengujian data analisis nilai pengembangan granula pati hanya dilaku kan pada suhu swelling o 90 C karena dianggap lebih relevan dengan kondisi proses pembuatan pati yang melibatkan proses gelatinisasi. Hasil u ji A NOVA (Lampiran 9) untuk nilai swelling power 90o C menunjukkan ada interaksi yang nyata (p<0.05) antara suhu-kadar air dan antara waktu-kadar air yang selanjutnya dianalisis dengan uji lanjut Duncan. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa secara umu m swelling power semakin menurun dengan semakin meningkatnya kadar air perlakuan pada kedua perlakuan suhu. Perilaku swelling power yang sama juga terjadi pada HMT finger millet yang juga semakin menurun dengan semakin men ingkatnya kadar air. Hal ini mungkin dikarenakan adanya peningkatan stabilitas pemasakan pati dan kristalin itas pati yang meningkat setelah modifikasi (Adebowale et al., 2005). Hasil u ji lanjut Duncan menunjukkan interaksi perlakuan suhu -kadar air pada ko mbinasi 100o C-20% dan ko mbinasi 110o C-20% memiliki n ilai swelling power yang paling tinggi, dan nilai swelling power paling rendah pada kombinasi suhu-kadar air 100o C-30%. Perbedaan suhu pada setiap taraf kadar air menghasilkan SP tidak berbeda nyata yang dapat dilihat terletak dalam subset yang sama pada hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9).
swelling power (g/g)
9
8.5 8 100◦C
7.5
110◦C 7 6.5 6 15%
20%
25% kadar air
30%
35%
Gambar 13. Pola respon swelling power (SP) pada ko mbinasi perlakuan suhu dan kadar air yang berbeda Pada interaksi kadar air-waktu yang ditunjukkan pada Gambar 14 dan hasil uji lan jut Duncan (Lampiran 9) menunjukkan nilai tertinggi dimiliki pati modifikasi HMT pada kadar air 20% -waktu 4 jam, sedangkan perlakuan kadar air 30%-waktu 16 jam menunjukkan nilai swelling power paling kecil. Trend SP pengaruh waktu berbeda antara kadar air 20%, 25%, dan 30% ( Gambar 14). Pada kadar air 20%, swelling power terlihat menurun dengan menaiknya waktu namun tidak signifikan yang dapat dilihat pada hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9) berada didalam subset yang sama. Pola grafik pada pati HMT dengan kadar air 25% menunjukkan penurunan yang signifikan dari waktu 4 jam menjadi 8 jam dan kemudian t idak berubah signifikan dengan penambahan waktu menjad i 16 jam. Sedangkan kadar air 30% menunjukkan tren SP yang semakin menurun dengan semakin men ingkatnya lama modifikasi. Penurunan SP semakin terlihat signifikan dengan semakin men ingkatnya kadar air dan semakin lamanya proses HMT.
Hal in i memiliki pola yang berbanding terbalik dengan SA G. SA G semakin menaik dengan menaiknya kadar air dari 20% ke 25% yang disebabkan semakin rigidnya granula yang juga menyebabkan pembengkakannya lebih terbatas ditunjukkan dengan semakin menurunnya SP pada kadar air 20% dan 25%. Sedangkan kadar air 30% swelling power-nya semakin menurun disebabkan karena telah tergelatinisasinya sebagian granula selama modifikasi sehingga granula yang telah pecah tidak dapat memerangkap air seperti granula yang utuh.
9
Swelling power (g/g)
8.5 8 7.5
20%
7
25% 30%
6.5 6
0
4
8
12
16
waktu (jam) Gambar 14. Pola respon swelling power (SP) pada ko mb inasi perlakuan waktu (jam) dan kadar air yang berbeda
4.1.4. Kekuatan Gel (Gel Strength) Kekuatan gel pati ganyog termodifikasi (541.00-1128.10 gf) secara umu m jauh lebih t inggi dibandingkan dengan kekuatan gel pati alami (400.40 gf). Peningkatan nilai kekuatan gel ini dikarenakan teraturnya kembali molekul-mo lekul dalam granula pati yang akan berikatan semakin kuat selama proses modifikasi (Ahmad 2009). Pat i ganyong yang dingin akan membentuk gel yang kuat. Dengan adanya ikatan antara amilosa dan komponen pati lainnya dalam fase ini menyebabkan kekuatan gel lebih t inggi (Collado & Corke 1999). Hanya perlakuan kadar air yang memberikan perbedaan nilai kekuatan gel secara signifikan, sedangkan perlakuan suhu, lama dan interaksinya tidak berbeda nyata (Lampiran 10). Seperti terlihat pada Gambar 15, semakin meningkatnya kadar air maka semakin meningkat kekerasan gel pati ganyong termodifikasi HMT. Kadar air 20%, 25% dan 30% memberikan nilai kekerasan gel yang berbeda nyata. Kadar air 30% memberikan n ilai kekerasan gel paling tinggi d iikuti oleh kadar air 25% dan 20%. Sebagai tambahan menurut Hormdok (2007), kekerasan gel semakin meningkat dengan semakin meningkatnya suhu dan lama mod ifikasi. Perlakuan kadar air 30% pada proses HMT memberikan nilai kekuatan gel yang paling tinggi walaupun sebagaian besar granula patinya telah termodifikasi. Hal ini d ikarenakan HMT dapat men ingkatkan nilai leaching amilosa (keluarnya mo leku l amilosa dari granula). Suspensi pati yang dipanaskan sampai terjadi gelatinisasi akan mengalami leaching sehingga melarutkan mo lekul pati seperti amilosa. Karena pati HMT dengan kadar air perlakuan 30% telah mengalami gelatinisasi selama modifikasi yang memungkin kan leaching juga telah terjadi selama modifikasi. Dengan
semakin meningkatnya nilai leaching amilosa maka dapat memungkin kan pati HMT kadar air 30% dapat menjadi leb ih keras.
Kekuatan Gel 958.25 a
Kekuatan gel (g)
1000
819.8167 ab
679.3333 b
500
0
20
25 Kadar air (% bb)
30
Gambar 15. Diagram pengaruh kadar air terhadap kekuatan gel Pola yang ditunjukkan pada pengaruh kadar air terhadap kekuatan gel berbanding terbalik dengan pola pengaruh interaksi suhu-kadar air dan waktu-kadar air terhadap swelling power. Hal ini dikarenakan semakin besar swelling power berarti pati semakin banyak menyerap air dan granula yang banyak menyerap air akan semakin lunak (Ah mad, 2009). Sehingga semakin kecil swelling power semakin t idak lunak g ranula yang mungkin menyebabkan semakin tinggi kekuatan gel.
4.2.
PENENTUAN KONDISI HMT OPTIMUM
Modifikasi dengan HMT memungkinkan perubahan -perubahan sifat alami seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut memiliki karakteristik pati terbaik untuk produk mi. Karakteristik pati yang adalah pati yang masih memiliki integritas granula, profil gelatinisasi tipe
fisiko kimia pada pati kemudian dipilih yang baik untuk produk mi C, SA G yang tinggi,
viskositas Setback (VS) dan viskositas akhir (VA ) yang tinggi, swelling dan kelarutan yang terbatas, dan pati yang cepat teretrogradasi yang digambarkan dengan nilai VS yang tinggi dan kekerasan gel yang tinggi (Ahmad 2009; Co llado et al 2001; Lii dan Chang 1981). Sebagian besar pati termodifikasi menunjukkan integritas granula yang masih baik namun pada perlakuan kadar air 30% semua perlakuan lama dan suhu pemanasan sebagian besar granulanya telah pecah dan tergelatinisasi sehingga tidak dipertimbangkan dalam pemilihan keputusan optimasi HMT. Profil gelat inisasi pati ganyong termodifikasi semuanya memiliki profil gelatinisasi tipe C yaitu profil pasta pati atau profil gelatin isasi yang tidak memiliki puncak viskositas, memiliki viskositas yang tinggi dan bertahan konstan atau bahkan meningkat selama pemasakan dan pendinginan. Hasil analisis dan pengujian terhadap profil amilografi menunju kkan bahwa sebagian besar profil amilografi pati termodifikasi HMT memiliki viskositas yang lebih tinggi dari pati alami. Profil amilografi pati HMT juga menggambarkan pengaruh yang berbeda pada beberapa profil pati yaitu suhu awal gelat inisasi (SA G), viskositas setback (VS), dan viskositas akhir (VA). Pengujian analisis ragam dan statistik lanjut dengan Duncan menunjukkan terdapat pengaruh interaksi antara perlakuan suhu-waktu-kadar air terhadap suhu awal gelatinisasi (SA G) (p<0.05). SA G paling tinggi terdapat pada kombinasi perlakuan 100o C-16jam-30% namun karena sebagian besar
granula pati kadar air 30% telah tergelatinisasi maka interaksi yang melibatkan kadar air 30% tidak dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan. Selanjutnya nilai yang terdapat pada satu subset (kolo m yang sama dengan nilai yang tidak berbeda nyata) dengan nilai SA G tert inggi selain kadar air 30% dari yang tertinggi adalah 110o C-8jam-25% dan 100o C-8jam-25%. Kedua ko mbinasi perlakuan tersebut dapat dipilih untuk optimasi perlakuan HMT karena memiliki n ilai SA G yang tinggi. Nilai viskositas setback signifikan (p<0.05) pada perlakuan kadar air dan interaksi suhu-waktu. Dari hasil u ji lanjut Duncan pada interaksi suhu-waktu diketahui ko mbinasi perlakuan 100o C-4jam menghasilkan pati dengan setback yang paling tinggi diikuti dengan 100o C-8jam dan 110o C-4jam namun tidak berbeda nyata. Sehingga ketiga perlakuan tersebut dapat menjadi pert imbangan dalam optimasi perlakuan HMT. Kekuatan gel hanya menunjukkan signifikansi pada perlakuan kadar air. Kadar air 30% memberikan nilai kekuatan gel yang paling tinggi namun karena kadar air 30% sebagaian granulanya telah tergelatinisasi saat modifikasi sehingga tidak dipertimbangkan dalam pemilihan. Selain itu kadar air 25% memberikan nilai kekuatan gel kedua tertinggi dari pati termodifikasi dan kekuatan gel yang moderat. Kadar air 25% dip ilih dalam penentuan optimasi perlakuan HMT. Berdasarkan analisis setiap parameter pati dan pemilihan perlakuan optimu m dari tiap parameter pati dibuat tabulasinya seperti pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa perlakuan yang paling banyak memenuhi kriteria yang diinginkan adalah pati hasil perlakuan suhu pemanasan 100o C selama 8 jam dengan kadar air modifikasi 25%. Pat i dengan perlakuan terpilih tersebut memiliki karakteristik yang baik untuk pembuatan mi. Karakteristik fisiko kimia pati ganyong termodifikasi terpilih dan pati ganyong alami dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 8. Tabulasi data optimasi p roses modifikasi HMT pati ganyong * Parameter Perlakuan
Swelling power
SA G
Viskositas setback
100-4-20
√
100-4-25
√
100-8-20
√
100-8-25
√
√
100-16-20 100-16-25
√
√
√
Kekuatan gel
Viskositas akhir
√ √ √
√
√ √
110-4-20 √
110-4-25
√
√
110-8-20 110-8-25
√
110-16-20 110-16-25
√
*
√
√ √
Tanda check (√) menunjukkan perlakuan yang dipilih memenuhi kondisi HMT optimu m
Pati ganyong termodifikasi optimu m (100o C, 8jam, 25%) menunjukkan kurva viskositas yang lebih t inggi dari pati alami (Gambar 16). Pen ingkatan viskositas pasta pati yang dikarenakan modifikasi dengan metode HMT juga terjadi pada pati terigu yang dimodifikasi HMT (Hoover dan Vasanthan 1994) dan pati shorgum merah pada waktu HMT 16 jam pada kondisi alkali (Adebowale et
al.,2005). Menurut Adebowale et al.(2005), rigiditas dari granula akan meningkat setelah dimodifikasi dengan HMT akibat dari t idak tercukupinya proses gelatinisasi. Granula yang rig id akan lebih tahan terhadap pengadukan dan mengakibatkan nilai viskositas yang lebih tinggi. Pati yang mengalami mod ifikasi HMT dapat mengalami perubahan kandungan pati, amilosa, dan amilopektin akibat adanya hidrolisis selama mod ifikasi berlangsung (Herawati, 2009). Kadar pati ganyong alami dan pati ganyong HMT terpilih tidak jauh berbeda, namun kadar amilosa pa ti ganyong termodifikasi lebih tinggi dari pati ganyong alami. Meningkatnya kadar amilosa setelah HMT dikarenakan proses HMT dapat meningkatkan kandungan amilosa dengan membentuk rantai amilosa baru yang berasal dari degradasi rantai lin ier terluar dari rantai cabang amilopektin. Pada beberapa jenis pati, tingginya kandungan amilosa yang terdapat pada pati hasil modifikasi mengakibatkan tingginya viskositas puncak selama gelat inisasi. 5000 4500
4000 3500
Viskositas (cP)
3000 2500 2000 1500 1000 alami
500
100,8,25
0
0
10
20
30
40
50
waktu (menit) Gambar 16. Profil amlografi pati ganyong alami dan termodifikasi HMT optimu m (Angka pada legenda merupakan besaran suhuo C, waktu jam, dan % kadar air)
Tabel 9. Karakteristik fisikokimia pati ganyong alami dan pati HMT terpillih (100-8-25) Parameter
Pati alami
Pati HMT terp ilih
Ukuran granula (µm)
24.87
34.1
Swelling power (g/g)
9.59
7.54
Suhu awal gelatinisasi (0 C)
71.2
76.05
Viskositas setback (cP)
735.2
1440
400.40
693.75
Kadar Pat i (%)
78.44
70.63
Amilosa (%)
31.84
34.78
Amilopekt in (%)
68.16
65.22
Kekuatan gel (gf)
4.3.
INFORMASI KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG KACANG TUNGGAK
Karakteristik fisiko kimia tepung kacang tunggak dapat dilihat pada Tabel 10. Ukuran pati kacang tunggak termasuk dalam ukuran g ranula pati beru kuran kecil (<15μm) dengan ukuran rata-rata granula hanya 2.60 μm. Bentuk dan penampakan sifat birefringence pati kacang tunggak dapat dilihat pada Gambar 17. Profil viskositas tepung kacang tunggak menunjukkan profil viskositas khas pati kacang-kacangan yang memiliki puncak viskositas dan setback yang tinggi. Setback yang tinggi juga terdapat pada pati kacang hijau yang biasa digunakan sebagai bahan baku bihun. Viskositas yang cukup tinggi bahkan lebih tinggi dari pati ganyong termodifikasi terp ilih menunjukkan profil gelatinisasi tepung kacang tunggak kurang stabil terhadap pemanasan. Tabel 10. Karakteristik fisikokimia tepung kacang tunggak Parameter
Tepung Kacang Tunggak
Ukuran granula (µm)
2.60
Swelling power (g/g)
4.7117
Suhu awal gelatinisasi (0 C) Viskositas setback (cP)
67.75 864
Viskositas akhir (cP)
4281.6
Kekuatan gel (gf)
483.45
Karakteristik Kimi a Kadar pati (%)
45.49
Amilosa (%)
31.63
Amilopekt in (%)
13.86
Protein terlarut (%)
18.30
Tepung kacang tunggak memiliki swelling power yang rendah (4.7117 g/g). sifat in i dibutuhkan dalam pembuatan mi agar mi t idak terlalu mengembang. Kadar amilosa tepung kacang tunggak cukup tinggi. Kadar amilosa yang tinggi juga dimiliki o leh kacang-kacangan seperti kacang hijau yang biasa dijadikan bahan baku pembuatan sohun. Kelarutan protein kacang tunggak dalam air destilata dengan pH netral tidak tinggi, hanya 18.30% dan diharapkan dengan kelarutan yang rendah ini, protein tidak dapat mudah keluar dan larut dalam air selama proses pembuatan ataupun pemasakan mi.
4500 4000
viskositas (cP)
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0
20 40 waktu (menit)
60
(a) (b) Gambar 17. (a) Profil gelatinisasi tepung kacang tunggak, (b) granula pati kacang tunggak.
4.4.
OPTIMASI FORMULASI TEPUNG KOMPOSIT DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM RESPONSE SURFACE METHOD (RSM)
RSM (Response Surface Method) merupakan metode analisis regresi yang digunakan untuk memp rediksi nilai dari variabel respon berdasarkan variabel eksperimental terkontrol (Meilgaard et al., 2007; Lenth, 2009). RSM biasa digunakan dalam mengembangkan, men ingkatkan atau mengoptimalkan kualitas proses atau produk (Myers dan Montgomery 2002; Raissi 2009). Sebelu m dilakukan optimasi, terlebih dahulu dilakukan karakterisasi mi dari ke -16 formu la yang dibuat. Karakterisasi yang dilakukan adalah karakterisasi sifat pemasakan (Tabel 11) dan sifat fisik (Tabel 12). Parameter yang dianalisis dalam karakterisasi sifat pemasakan adalah analisis lama pemasakan optimal (cooking time), kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan berat rehidrasi. Sedangkan analisis sifat fisik meliputi analisis persen pemanjangan, analisis kekuatan tarik, dan analisis tekstur mi (kekerasan, kelengketan, dan elastisitas) dengan menggunakan alat TexturePro CT VI.2 Build 9, Brookfield.
Hasil Analisis dan Optimasi Variabel Respon Formula Tepung Komposit untuk Mi dengan me nggunakan RSM 4.4.1. Waktu Pemasakan (Cooking Time) Setiap formu lasi memiliki waktu pemasakan masing-masing. Perbedaan waktu pemasakan in i dikarenakan perbedaan perbandingan bahan baku yang digunakan dalam pembuatan mi. Waktu pemasakan 16 formu lasi berkisar antara 8 men it (40% terigu, 50% pati ganyong HMT, dan 10% tepung kacang tunggak) hingga 10.3 menit (50% terigu, 10% pati ganyong HMT dan 40% tepung kacang tunggak). Waktu pemasakan tersebut didapat dari pemasakan 5 g ram mi dalam 200 ml air dengan menggunakan gelas piala diatas hot plate.
Tabel 11. Hasil analisis parameter sifat pemasakan mi kering A:tepung terigu
B:pati ganyong hmt
(%)
(%)
C:Tepung Kacang tunggak (%)
1
50
10
2
40
3 4
Waktu Pemasakan
KPAP
Berat rehidrasi
men it
(%)
(%)
40
10.3
7.3
276.9
50
10
8.4
9.6
369.1
50
25
25
10.0
8.9
247.2
10
50
40
7.4
11.9
383.0
5
25
25
50
9.1
11.5
297.9
6
50
10
40
10.0
7.9
277.5
7
50
40
10
8.6
7.2
345.3
Formula
8
40
50
10
8.0
7.4
406.6
9
21.67
41.67
36.67
8.0
8.7
224.0
10
41.67
36.67
21.67
8.6
8.7
291.3
11
25
25
50
9.4
13.1
380.2
12
50
40
10
9.0
5.8
306.3
13
33.33
33.33
33.33
8.8
9.9
297.0
14
25
50
25
7.4
10.3
329.2
15
41.67
21.67
36.67
9.0
7.7
188.4
16
10
50
40
8.0
7.4
301.1
Hasil optimasi variabel respon waktu pemasakan terdapat pada Gambar 18. Gambar in i menunjukkan area yang nilai responnya memenuhi kriteria. Kriteria yang diingin kan pada waktu pemasakan adalah 10 men it sesuai dengan karakteristik mi terigu yang telah dianalisis sebelumnya. Lamanya waktu pemasakan pada mi terigu 100% dikarenakan diameter mi yang lebih besar dibandingkan dengan mi ko mersial. Diameter mi terigu sebesar 2 mm. Optimasi dilakukan dengan model data quadratic, karena model tersebut adalah model pada level paling tinggi yang masih memberikan hasil signifikan pada model formu lasi. Dari Gambar 18 terlihat grafik tiga dimensi yang memiliki gradien warna. Warna berurutan dari biru, hijau, kuning, dan merah. Semakin mendekati merah berarti formula tersebut memberikan nilai semakin tinggi terhadap respon dan sebaliknya bila semakin mendekati warna biru nilai respon semakin kecil. Optimasi variabel respon waktu pemasakan memberikan trend waktu pemasakan semakin tinggi dengan semakin tingginya porsi tepung terigu, semakin rendahnya porsi pati ganyong dan tepung kacang tunggak. Hasil analisis ragam variabel respon waktu pemasakan dapat dilihat pada Lampiran 11. Semakin banyaknya pati ganyong dan tepung kacang tunggak terlihat menghasilkan waktu pemasakan leb ih singkat. Proporsi pati ganyong yang tinggi menurunkan waktu pemasakan disebabkan oleh pati ganyong merupakan tepung pati yang memiliki ko mponen konstituen (lemak, protein) yang rendah daripada tepung. Keberadaan komponen konstituen dapat memperlambat pengikatan molekul pati dengan air karena ko mponen konstituen dan molekul pati akan berko mpet isi untuk mengikat air (Fennema 1985).
Waktu Pemasakan (menit) Design points above predicted value Design points below predicted value 10.25 7.375 Warning! 3 design points outside Y axis range X1 = A: tepung terigu X2 = B: pati ganyong hmt X3 = C: Tp Kacang tunggak
W ak tu P em as ak an (m enit)
Design-Expert® Software
10.2
9.5
X1 = A: Tepung terigu X2 = B: Pati ganyong HMT X3 = C: Tepung kacang tunggak
8.8
8.1
7.4
C (0.000)
A (50.000)
B (0.000)
B (50.000) C (50.000)
A (0.000)
Gambar 18. Hasil optimasi variabel respon waktu pemasakan
4.4.2. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)/Cooking Loss Nilai KPAP menunjukkan banyaknya padatan mie kering yang keluar selama pemasakan. Perbedaan perbandingan komponen bahan mi dalam formu lasi memberikan pengaruh yang signifikan (p<0.05) terhadap KPAP (Lampiran 12). Nilai KPAP dari 16 formu lasi berkisar antara 5.82% (formu la 12) hingga 13.13% (formu la 11) yang dapat dilihat pada Tabel 11. Hal in i ditunjukkan dengan hasil ANOVA yang signifikan pada Lampiran 12. Model yang digunakan adalah linear. Hasil optimasi variabel respon KPAP dapat dilihat pada Gambar 19. Optimasi dari respon variabel KPAP adalah diminumkan karena mi yang baik adalah mi yang memiliki KPAP rendah. Gambar tiga dimensi tersebut menunjukkan semakin tinggi persentasi pati ganyong dan kacang tunggak mengakibatkan semakin tingginya cooking loss. Sedangkan dengan semakin tingginya persentasi tepung terigu memberikan nilai cooking loss yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyaknya pati ganyong belum mampu menahan keluarnya ko mponen tepung dari dalam granula pati selama pemasakan. Kemungkinan lainnya juga dikarenakan kemudahan terjadinya gelatinisasi sebagian moleku l pati dari mi yang persentasi pati ganyongnya lebih banyak, karena berkurangnya gluten yang dapat membentuk lapisan penahan laju penetrasi kedalam granula pati. Hasil penelit ian Yustiareni (2000) juga menunjukkan semakin meningkatnya KPAP dengan semakin men ingkatnya substitusi tepung garut. Dengan semakin meningkatnya tepung kacang tunggak berpengaruh terha dap semakin kecilnya persentase terigu dan pati yang digunakan. Tingginya pesentase tepung kacang tunggak juga men ingkatkan nilai KPAP. Walaupun tepung kacang tunggak memiliki protein yang cukup tinggi namun bukan sebagai sumber protein gluten. Protein glu ten akan membentuk jaringan yang dapat menahan laju penetrasi kedalam granula pati dan mengurangi KPAP, yang tidak dimiliki oleh tepung kacang tunggak. Selain itu larutnya protein kacang tunggak atau ko mponen tepung lainnya juga mempengaruhi semakin men ingkatnya KPAP mi kering bila persentase tepung kacang tunggak sebagai bahan formu lasi tepung untuk mi kering semakin banyak.
Design-Expert® Software KPAP (%) Design points above predicted value Design points below predicted value 13.13
11.5
5.82
X1 = A: tepung terigu X2 = B: pati ganyong hmt X3 = C: Tp Kacang tunggak
K P A P (% )
10.4
Warning! 3 design points outside Y axis range
9.3
X1 = A: Tepung terigu X2 = B: Pati ganyong HMT X3 = C: Tepung kacang tunggak
8.2
7.1
B (0.000) C (50.000) A (0.000) A (50.000) B (50.000) C (0.000)
Gambar 19. Hasil optimasi variabel respon KPAP
4.4.3. Berat Rehidrasi (Rehidration Weight). Berat rehidrasi mi terkait dengan kemampuan mi dalam menyerap air saat rehidrasi atau pemasakan berlangsung. Menurut Herawati (2009) untaian bihun yang dapat menyerap air lebih banyak akan mempunyai berat rehidrasi yang leb ih tinggi dan sebaliknya untaian bihun yang kurang mampu menyerap air akan mempunyai berat rehidrasi yang lebih rendah. Dari analisis ANOVA didapatkan bahwa 16 formulasi menghasilkan mi dengan berat rehidrasi yang berbeda. Data analisis Design-Expert® Software
ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 13. Berat rehidrasi mi kering berkisar antara 188.38 % (formu la 15) - 406.62% (formu la 8) yang dapat dilihat pada Tabel 11 .
188.38 Warning! 2 design points outside Y axis range X1 = A: tepung terigu X2 = B: pati ganyong hmt X3 = C: Tp Kacang tunggak
B e r a t r e h id r a s i ( % )
Berat rehidrasi (%) Design points above predicted value Design points below predicted value 406.62
400
355
X1 = A: Tepung terigu X2 = B: Pati ganyong HMT X3 = C: Tepung kacang tunggak
310
265
220
C (0.000)
B (50.000)
A (0.000)
C (50.000)
A (50.000)
B (0.000)
Gambar 20. Hasil optimasi variabel respon berat rehidrasi Hasil optimasi variabel respon berat rehidrasi dapat dilihat pada Gambar 20. Optimasi dilakukan dengan meminimu mkan nilai berat reh idrasi, karena mi yang baik adalah yang memiliki berat rehidrasi terbatas. Seperti yang diungkapkan oleh Ahmad (2009), bahwa bihun dengan berat rehidrasi cenderung mengalami pembengkakan, baik selama pemasakan maupun setelah pemasakan. Pembengkakan yang berlebih akan membuat mi cepat lunak dan berkurang elastisitasnya. Berat rehid rasi semakin rendah dengan semakin tingginya kadar tepung terigu. Hal in i dapat dilihat dari Gambar 20 dengan bentuk grafik t iga dimensi yang menurun ke arah sisi 50% tepung terigu. Sedangkan pati ganyong dan tepung kacang tunggak memberikan int eraksi yang berbeda. Hasil
minimu m didapatkan pada pertengahan persentase pati ganyong dan kacang tunggak sehingga didapat tampilan seperti pada gambar. Dari gambar dapat dilihat tren yang menurun dari persentase pati ganyong 50% namun kemudian menaik kembali sekitar pertengahan menuju persentase pati ganyong mendekat i 10%. Hal tersebut disebabkan adanya interaksi antara kacang tunggak dan pati ganyong. Pada proporsi terigu yang sama dan proporsi pati ganyong HMT lebih tinggi dari proporsi kacang tunggak, berat rehidrasi yang dihasilkan bernilai t inggi. Namun pada saat proporsi kacang tunggak lebih tinggi dari proporsi pati ganyong HMT maka kacang tunggak yang memberikan pengaruhnya pada berat rehidrasi. Semakin tinggi proporsi tepung kacang tunggak terhadap proporsi pati ganyong maka berat rehidrasi tetap meningkat.
4.4.4. Persentase Pemanjangan Pemanjangan (elongasi) dapat menggambarkan seberapa panjang mi dapat ditarik h ingga akhirnya putus. Persentase pemanjangan dari 16 sampel (Tabel 12) berkisar antara 5.45 %(formu la 4) - 25.36% (formu la 7). Persentase pemanjangan didapat dari analisis elongasi 16 sampel yang dililit kan dan diuji satu persatu pada probe penjepit yang kemudian ditarik hingga putus. Optimasi dilaku kan dengan memaksimalkan persentase pemanjangan. Hasil analisis ANOVA pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa perbandingan bahan baku dalam 16 formu la yang berbeda memberikan hasil persentase pemanjangan yang berbeda nyata (p<0.05). Bila dilihat pada Gambar 21, grafik tiga dimensi memberikan gambaran yang semakin menaik dengan semakin tingginya bagian perbandingan dari tepung terigu. Namun hal in i juga karena dipengaruhi oleh bahan lainnya, yaitu pati ganyong dan kacang tunggak. Kacang tunggak memberikan hasil yang tinggi bila perbandingannya berada dikisaran pertengahan yang diperkirakan dari grafik respon tiga dimensi pada perbandingan tepung terigu, pati ganyong, dan kacang tunggak sebesar 50:25:25 (Gambar 21). Begitu pula dengan pati ganyong, namun terlihat kecenderungan grafik yang semakin menurun dengan semakin men ingkatnya bagian perbandingan hingga 50% Terdapat trend peningkatan pemanjangan pada meningkatnya proporsi pati ganyong HMT namun menurun kembali. Hal in i diduga karena terjadi interkasi antara pati ganyong HMT dengan tepung kacang tunggak. Semakin tinggi proporsi pati ganyong terhadap tepung kaca ng tunggak men ingkatkan persen pemanjanhan hingga proporsi kedua bahan hampir sama. Kemud ian persen pemanjangan menurun kembali dengan menurunnya proporsi pati ganyong terhadap tepung kacang tunggak.
Design-Expert® Software
P e m a n ja n g a n ( % )
Pemanjangan (%) Design points above predicted value Design points below predicted value 25.3563 5.45 Warning! 1 design point outside Y axis range X1 = A: tepung terigu X2 = B: pati ganyong hmt X3 = C: Tp Kacang tunggak
26
21.25
16.5
X1 = A: Tepung terigu X2 = B: Pati ganyong HMT X3 = C: Tepung kacang tunggak
11.75
7
A (0.000)
B (50.000)
C (50.000)
C (0.000)
A (50.000)
B (0.000)
Gambar 21. Hasil optimasi variabel respon persentase pemanjangan
Dengan semakin tingginya ko mposisi tepung terigu dalam perbandingan formula si maka semakin tinggi peman jangan yang terjadi. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya protein glutein yang membuat jaringan elastis pada mi sehingga mi dapat meregang lebih panjang. Penggunaan pati yang lebih banyak akan menurunkan ko mposisi tepung terigu atau kacang tunggak. Pati ganyong tidak memiliki g luten yang dapat menahan peregangan mi, namun sifat pati ganyong HMT yang tidak memiliki breakdown dapat meningkatkan keko mpakan serta meningkatkan elastisitas mi Ganyong (Indrawuri, 2009). Tabel 12. Hasil analisis parameter sifat fisik mi kering A
B
C
Pemanjangan
%
%
%
%
Kekuatan tarik gF
1
50
10
40
24.4
2
40
50
10
3
50
25
25
4
10
50
40
5
25
25
6
50
7 8
Formula
Kekerasan
Kelengketan
Elastisitas
gF
mJ
mm
31.8
1186.5
0.0
0.7
9.0
19.1
687.9
0.0
0.7
21.7
25.5
960.8
0.1
0.7
5.5
16.6
626.4
0.0
0.6
50
14.7
23.4
1007.6
0.0
0.7
10
40
23.1
32.6
1197.3
0.0
0.7
50
40
10
25.4
25.9
948.6
0.0
0.7
40
50
10
13.0
22.9
787.8
0.1
0.7
9
21.67
41.67
36.67
13.8
18.6
1165.0
0.1
0.7
10
41.67
36.67
21.67
22.1
19.5
1032.9
0.1
0.7
11
25
25
50
11.7
18.3
942.5
0.1
0.7
12
50
40
10
19.6
25.4
1021.5
0.1
0.7
13
33.33
33.33
33.33
20.2
25.5
986.3
0.1
0.7
14
25
50
25
10.5
18.0
920.8
0.1
0.7
15
41.67
21.67
36.67
14.3
22.5
1232.9
0.1
0.7
16
10
50
40
10.4
16.6
826.4
0.1
0.7
Keterangan : A: Tepung terigu B: Pati ganong HM T C: Tepung kacang tunggak
4.4.5. Kekuatan Tarik Pengukuran kekuatan tarik (Tensile strength) menggunakan alat yang sama yang digunakan dalam pengukuran tekstur mi, namun dengan probe yang berbeda (tipe penjepit) dan cara kerja yang berbeda. Pengukuran peregangan memberikan nilai kekuatan tarik dan kekuatan pemanjangan. Ukuran pemanjangan telah dibahas sebelumnya dalam persentase elongasi. Kekuatan tarik kali ini memberikan nilai gaya tarik maksimu m yang masih dapat diterima mi sebelum akh irnya putus. Kekuatan tarik d itunjukkan dengan puncak kurva hasil pengukuran dengan satuan gf. Data hasil analisis ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 15. Nilai hasil pengukuran kekuatan tarik dari 16 mi (Tabel 12) berkisar antara 16.55gf (formula 4)-32.625 gf (formula 6). Berdasarkan analisis ANOVA (p<0.05), ko mbinasi model formu lasi memberikan pengaruh pada respon kekuatan tarik. Kekuatan Tarik (gF) Design points above predicted value Design points below predicted value 32.625 16.55 Warning! 1 design point outside Y axis range X1 = A: tepung terigu X2 = B: pati ganyong hmt X3 = C: Tp Kacang tunggak
K e k u a ta n T a r ik ( g F )
Design-Expert® Software
32
28
24
X1 = A: Tepung terigu X2 = B: Pati ganyong HMT X3 = C: Tepung kacang tunggak
20
16
B (0.000) C (50.000) A (0.000) A (50.000) B (50.000) C (0.000)
Gambar 22. Hasil optimasi variabel respon kekuatan tarik Hasil optimasi variabel respon kekuatan tarik dapat dilihat pada grafik t iga dimensi pada Gambar 22. Dari gambar tersebut terlihat bahwa grafik semakin meninggi ke arah tepung terigu 50% dan pati ganyong 10%, sedangkan tepung kacang tunggak memberikan hasil yang tidak terlalu berpengaruh pada grafik. Hal ini terlihat dari lengkungan yang tidak terlalu men garah ke salah satu sisi tepung kacang tunggak, namun grafik semakin tinggi pada sisi kacang tunggak 50% yang mengarah pada sudut pati kacang tunggak 0%. Semakin tingginya proporsi tepung terigu akan memberikan semakin banyak proporsi gluten dalam adonan dan membuat mi menjadi leb ih tahan terhadap tarikan. Sedangkan pati ganyong termodifikasi tidak memiliki gluten, sehingga sifat pati ganyong HMT terbaik yang dibutuhkan untuk mi yaitu yang memiliki kekuatan gel tinggi untuk dijad ikan bahan baku pembuat mi. Tepung kacang tunggak juga tidak memiliki proporsi gluten namun dengan semakin tingginya proporsi tepung kacang tunggak dan semakin sedikitnya proporsi pati ganyong memberikan n ilai kekuatan tarik yang tinggi.
4.4.6. Analisis Tekstur Mi Hasil analisis tekstur mi dengan menggunakan Texture Analyzer TexturePro CT V1.2 Build9 Brookfield memberikan nilai dari tiga variabel tekstur yaitu nilai kekerasan (hardness), nilai kelengketan (adhesivness), dan elastisitas mi (springiness).
4.4.6.1. Kekerasan mi (Hardness) Kekerasan mi menggambarkan daya tahan mi untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Gaya tekan dari probe memberikan simulasi g igitan pertama dan secara sensori didefinisikan sebagai tenaga yang dibutuhkan untuk menembus mi dengan gigi. Proporsi ket iga bahan dalam 16 formula memberikan hasil nilai kekerasan mi yang berbeda nyata (p<0.05). Hasil analisis ANOVA terhadap nilai kekerasan mi dapat dilihat pada Lampiran 16. Nilai kekerasan mi berkisar antara 626.38gf (formu la 4) – 1232.88 gf (fo rmula 15) yang dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil optimasi dapat dilihat dalam bentuk grafik permu kaan respon pada Gambar 23. Respon dioptimu mkan dengan target mi terigu 100% dengan nilai rata-rata kekerasan 1208 gf. Penetapan target dalam optimasi dikarenakan tekstur yang terlalu keras atau terlalu lunak t idak d iingin kan dalam tekstur mi, sehingga diamb il target mi terigu. Tepung terigu adalah bahan baku utama dan umum dalam pembuatan mi dan masyarakat indonesia lebih u mu m terhadap mi terigu. Dari gambar dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya proporsi tepung terigu, kacang tunggak dan dengan menurunnya proporsi pati ganyong me mberikan nilai kekerasan yang semakin tinggi. Kekerasan yang rendah dengan semakin t ingginya proporsi pati ganyong dalam formu lasi d ikarenakan pati ganyong merupakan tepung pati. Pada proses pemasakan, pati akan tergelat inisasi dan akan menyerap air, semakin banyak pati menyerap air menyebabkan mie yang direbus semakin lunak.
Design points below predicted value 1232.88 626.375 Warning! 5 design points outside Y axis range X1 = A: tepung terigu X2 = B: pati ganyong hmt X3 = C: Tp Kacang tunggak
K e ke ra sa n (g F )
Semakin banyak proporsi pati, mi akan semakin lunak. Kemampuan gel pati dan nilai setback pati berpengaruh terhadap kekerasan mi sehingga saat pemilihan perlakuan optimu m HMT pati ganyong, dipilih pati ganyong termodifikasi yang memiliki kekuatan gel dan nilai setback yang tinggi. Menurut Herawat i (2009) pati dengan kekuatan gel yang Design-Expert® Software tinggi kemungkinan akan membentuk tekstur bihun yang lebih kokoh dalam meningkatkan mouthfeel Kekerasan (gF) pada saat bihun dikonsumsi. Hal tersebut juga mungkin berlaku pada mi. Design points above predicted value 1180
1070
X1 = A: Tepung terigu X2 = B: Pati ganyong HMT X3 = C: Tepung kacang tunggak
960
850
740
B (0.000)
C (50.000) A (0.000)
A (50.000) B (50.000) C (0.000)
Gambar 23. Optimasi variabel respon kekerasan mi (hardness).
4.4.6.2. Kelengketan mi (Adhesiveness)
esign-Expert® Software
Kelengketan mi merupakan sifat perubahan bentuk benda yang dipengaruhi oleh gaya adhesi. Nilai kelengketan juga didapat dari analisis mi dengan menggunakan alat yang sama yang digunakan dalam pengukuran nilai kekerasan. Nilai kelengketan yang didapat dari 16 sampel mi (Tabel 12) berkisar antara 0.023mJ (formu la 4) - 0.118 mJ (formu la 13). Proporsi yang berbeda dari t iap bahan pada formulasi yang berbeda memberikan n ilai kelengketan yang berbeda secara siginifikan pada taraf
0.023
1 = A: tepung terigu 2 = B: pati ganyong hmt 3 = C: Tp Kacang tunggak
Hasil analisis ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 17. 0.12
K elen gketan (m J)
elengketan (mJ) Design points above predicted value95%. Design points below predicted value 0.118
0.09
0.06
X1 = A: Tepung terigu X2 = B: Pati ganyong HMT X3 = C: Tepung kacang tunggak
0.03
0
A (0.000) B (50.000) C (0.000) C (50.000) A (50.000) B (0.000)
Gambar 24. Hasil optimasi variabel respon kelengketan mi (adhesiveness).
Hasil optimasi variabel respon kelengketan mi dapat dilihat pada Gambar 24. Optimasi kelengketan dilakukan dengan menetapkan target nilai kelengketan yang didapat dari hasil analisis mi terigu. Dari hasil analisis mi terigu didapat nilai rata-rata kelengketan sebesar 0.045. Kelengketan adalah salah satu variabel mi yang dipertimbangkan. Karakteristik mi yang terlalu lengket tidak diinginkan dalam produk mi. Kelengketan terendah terlihat pada ujung berwarna biru yang mengarah pada sudut tepung terigu 0%, sedangkan kelengketan tertinggi terlihat pada pertemuan antara ketiga bahan yang hampir berada ditengah namun condong kearah pati ganyong 50%. Hal in i menunju kkan bahwa interaksi ketiga bahan pada proporsi yang hampir sama membuat tekstur mi meningkat kelengketannya. Walaupun masih tinggi namun nilai kelengketan sedikit menurun pada sisi 50% pati ganyong termodifikasi. Hal ini mungkin dikarenakan nilai setback yang tinggi pada pati ganyong terpilih. Nilai setback yang tinggi dapat membuat pati menjad i lebih cepat mengalami retrogradasi yang dibutuhkan dalam pembentukan tekstur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan (Herawat i 2009). Tekstur mi menjadi tidak terlalu lengket karena bagian luar mi terbentuk lapisan yang baik dari pati yang sudah teretrogradasi.
4.4.6.3. Elastisitas mi (Springiness)
Hasil analisis ANOVA dari nilai elastisitas mi dapat dilihat pada Lampiran 18. Elastisitas menggambarkan seberapa jauh dapat kembali setelah deformasi karena gaya yang diberikan. Nilai elastisitas mi dari 16 fo rmula berkisar antara 0.64 mm (formu la 4) - 0.72 mm (formu la 1) dapat dilihat
pada Tabel 12. Perbedaan proporsi bahan dalam 16 formu lasi tepung komposit untuk mi memb erikan
Elastisitas (mm) Design points above predicted value Design points below predicted value 0.72 0.64
Warning! 1 design point outside Y axis range
X1 = A: tepung terigu X2 = B: pati ganyong hmt X3 = C: Tp Kacang tunggak
0.72
E lastisitas (m m )
Design-Expert® Software
hasil yang berbeda nyata pada nilai elastisitas. Optimasi dilakukan pada nilai elastisitas mi dan ditunjukkan pada Gambar 25 yang berupa grafik tiga dimensi respon permu kaan. Optimasi dilakukan dengan penetapan target yang didapat dari analisis mi terigu 100%. Nilai yang didapat adalah 0.71 sebagai target optimasi. Hal in i dilaku kan karena sifat yang terlalu elastis tidak diingin kan dalam sifat terkstur mi. Bila mi terlalu elastis maka mi akan lama hancur didalam mu lut dan menyulitkan pengecilan u ku ran.
0.7005
0.681
X1 = A: Tepung terigu X2 = B: Pati ganyong HMT X3 = C: Tepung kacang tunggak
0.6615
0.642
C (0.000)
A (50.000)
B (0.000)
B (50.000) C (50.000) A (0.000)
Gambar 25. Hasil optimasi variabel respon elastisitas mi (s pringiness) Dari Gambar 25 terlihat bahwa grafik tiga dimensi men inggi kearah sudut pati ganyong dengan proporsi terkecil. Grafik tiga dimensi respon permukaan meninggi dengan semakin menurunnya proporsi pati ganyong, meningkatnya proporsi tepung terigu dan tepung kacang tunggak. Hal in i d ikarenakan pati ganyong tidak memiliki protein gluten yang dapat membentuk tekstur yang ko mpak dan elastis. Hal ini yang menyebabakan pemilihan pati ganyong terpilh sebelumnya adalah pati ganyong yang profil gelatinisasinya tidak memiliki nilai breakdown atau bahkan viskositasnya cenderung meningkat selama pemanasan dan pendinginan. Seperti yang dilaporkan oleh Indrawuri (2010), bahwa dengan tidak adanya breakdown pada tepung jagun g HMT menunjukkan bahwa granula pati stabil dan dapat meningkat kan ke ko mpakan serta elastisitas mi jagung.
Optimasi Formula Tepung Komposit Hasil optimasi dari 16 formu la pada tiap respon yang telah dianalisis ragam kemudian dioptimasi secara numerical. Optimasi numerical dilakukan program dengan menganalisis tingkat desirability dari tiap-tiap respondengan target yang telah ditentukan. Program akan mengko mb inasikan desirability yang didapat dari tiap-tiap respon menjadi satu nilai dan mencari desirability secara keseluruhan. Program akan mencari perbandingan komposisi yang memiliki desirability keseluruhan paling tinggi dan menghasilkan fo rmula optimu m. Target variabel respon yang diinginkan didapat dari n ilai variabel respon mi berbahan baku 100% tepung terigu. Cara pembuatan mi terigu sama dengan cara pembuatan mi g anyong namun tidak melalui tahap gelatinisasi sebagian tepung, melainkan langsung dilakukan penambahan air karena tepung terigu memiliki gluten sebagai pengikat. Perbandingan komposisi dari formula optimal yang direko mendasikan o leh metode RSM dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Formula terpilih hasil optimasi dengan RSM Komposisi Formula Opti mal Tepung Terigu
Juml ah 50%
Pati ganyong HMT
17,72%
Tepung kacang tunggak
32,28%
Formula optimal yang direko mendasikan response surface method (RSM ) menggunakan tepung terigu sebanyak 50%, pati ganyong HMT sebanyak 17,72%, dan tepung kacang tunggak sebanyak 32,28% dari total berat keseluruhan tepung. Formu la tersebut diprediksikan dapat menghasilkan mi yang memiliki variabel respon dengan nilai KPAP sebesar 8,20%, lama pemasakan (cooking time) selama 9,81 men it, kekuatan tarik sebesar 28,68gf, n ilai kekerasan sebesar 1173,11gf, kelengketan sebesar 0,07 mJ, elastisitas 0,71 mm, berat rehidrasi 233,89%, dan persen peman jangan sebesar 24,46%. Formu la tersebut memiliki n ilai desirability 0,821. Variabel response yang digunakan berupa parameter pemasakan dan tekstur dengan menggunakan texture profil analysis. Tabel 14 menunjukkan prediksi n ilai variabel responnya. Tabel 14. Nilai prediksi variabel respon dari formu la optimal Vari abel Respon
Nilai Prediksi
Lama pemasakan (menit ) KPAP (%) Berat rehidrasi (%) Kekuatan tarik (gf)
9.81 8.20 233.89 28.68
Persen pemanjangan (%) Kekerasan (gf) Kelengketan (mJ) Elastisitas (mm)
24.46 1173.11 0.07 0.71
Nilai desirability menunjukkan kesesuaian antara nilai variabel respon yang diinginkan dengan nilai variabel respon yang diprediksi dari formu la optimal yang direko mendasikan Respon Surface Method (RSM). Gambar 26 menunjukkan desirability yang diperoleh dari hasil optimasi. Nilai desirability pada optimasi berkisar antara 0 hingga 1. Nilai yang mendekati 1 berart i formula yang didapat paling sesuai dengan karakteristik parameter respon yang diinginkan. Namun, tujuan optimasi bukan hanya sekedar mencari desirability dengan nilai 1, tetapi juga mencari kod isi optimal dari semua fungsi dari variabel respon. Optimasi dilakukan dengan penetapan target nilai variabel yang didapat berdasarkan pengukuran variabel tersebut terhadap sampel mi berbahan baku terigu . Dalam pengukuran tersebut didapat nilai variabel untuk waktu pemasakan selama 10 men it, kekuatan tarik 30.83 gf, kekerasan1208 gf, kelengketan 0.045 mJ, dan elastisitas 0.71mm. Variabel KPAP dan berat rehidrasi dimin imu mkan sedangkan persen pemanjangan dimaksimu mkan.
Desirability
tepung terigu
1
pati ganyong hmt
1
Tp Kacang tunggak
1 0.674358
KPAP (%)
0.927348
Waktu Pemasakan (menit)
0.849669
Kekuatan Tarik (gF) 0.56385
Kekerasan (gF)
0.647625
Kelengketan (mJ)
1
Elastisitas (mm) 0.791474
Berat rehidrasi (%)
0.955027
Pemanjangan (%) 0.820862
Combined
0.000
0.250
0.500
0.750
1.000
Gambar 26. Grafik desirability optimasi fo rmula
4.5.
VALIDASI MI HASIL OPTIMASI RESPONSE SURFACE METHOD (RSM)
Nilai variabel respon mi hasil optimasi RSM dipero leh dari formu la dengan proporsi bahan tepung terigu 50%, proporsi pati ganyong HMT terpilih sebanyak 17.72%, dan proporsi tepung kacang tunggak sebanyak 32.28%. Formula optimu m didapat dari pemilihan formu la yang memiliki desirability keseluruhan responnya mendekati 1 dan sesuai dengan target yang ditetapkan pada optimasi numerical. Fo rmula in i kemudian diproduksi dan dianalisis sesuai dengan analisis yang men jadi variabel respon optimasi RSM sebelu mnya. Produksi yang dilakukan mengikuti prosedur yang sama dengan pembuatan mi dari 16 formu lasi tepung komposit yang dibuat untuk optimasi, perbedaan hanya terletak pada proporsi bahan. Analisis dilakukan pada formula optimu m untuk melihat kesesuaian antara nilai variabel respon optimu m yang berupa prediksi dari RSM dengan nilai variabel respon aktual yang diperoleh dari analisis mi formulasi terbaik. Dari hasil analisis semua variabel respon, nilai variabel respon aktual mendekati nilai variabel respon prediksi. Nilai aktual yang didapat juga berada diantara selang antara nilai prediksi minimal dan nilai prediksi maksimal. Selang nilai p rediksi didapatkan dari penetapan nilai prediksi minimal dan maksimal yang ditetapkan berdasarkan selang kepercayaan 95%. Perbandingan nilai target, nilai prediksi dan nilai aktual hasil optimasi fo rmula dapat dilihat pada Tabel 15. Pengujian formu la terpilih dengan analisis yang dilakukan dari semua variabel respon yang didapatkan tidak meleb ihi batas maksimal dan tidak kurang dari batas minimal dari nilai yang diprediksi, sehingga formu la optimu m terpilih dapat diterima pada selang kepercayaan 95%. Nilai aktual yang didapat juga tidak jauh berbeda dengan nilai rata-rata target, sehingga didapatkan mi dengan formulasi 50% tepung terigu, 17.72% pati ganyong dan 32.28% tepung kacang tunggak memberikan karakteristik yang mendekat i karakteristik mi terigu 100% . Gambar 27 memperlihatkan aliran mi formu la optimu m yang keluar dari mesin pencetak mi. Mi dengan formula optimu m dapat memberikan hasil aliran yang panjang dan tidak putus.
Tabel 15. Nilai mi terigu sebagai target, nilai pred iksi dan nilai aktual hasil optimasi formula
Variabel respon Lama pemasakan (menit ) KPAP (%) Berat rehidrasi (%) Kekuatan tarik (gf) Persen pemanjangan (%) Kekerasan (gf) Kelengketan (mJ) Elastisitas (mm)
Mi terigu
Prediksi
Aktual
Rata-rata
Minimal
Maksimal
10 7.50 248.09 28.72 30.83
9.81 8.20 233.89 24.461 28.68
9.44 6.71 181.69 20.26 25.65
10.18 9.69 286.09 28.66 31.72
9.75 9.13 207.90 24.75 27.75
1208 0.045 0.71
1173.11 0.07 0.71
1027.52 0.045 0.70
1318.70 0.097 0.72
1275 0.09 0.71
Gambar 27. Aliran mi keluar dari mesin pencetak mi Dapat dilihat pada Gambar 28 mi kering yang dihasilkan dari 100% tepung terigu dan mi kering yang dihasilkan dari formu la terbaik hasil RSM. M i kering terigu memiliki warna yang leb ih kuning dan lebih cerah, sedangkan warna mi hasil optimasi memiliki warna yang agak kusam dan sedikit merah. Warna kusam ini dikarenakan proporsi tepung terigu yang hanya 50% ditambah dengan persentasi tepung pati ganyong dan tepung kacang tunggak yang tidak memiliki pig men warna kuning seperti tepung terigu. Warna kusam tersebut kemungkinan diakibatkan oleh adanya gelatinisasi pati yang berlebih oleh pati ganyong. Seperti yang diungkapkan oleh Muchtadi dan Soeryo (1991), warna kusam yang terjad i pada mi substitusi 50% tepung singkong dikarenakan adanya gelatinisasi yang berlebihan, yang disebabkan oleh men ingkatnya kadar pati akibat penambahan tepung singkong.
A
B
Gambar 28. Mi kering (A) terigu 100% dan (B) formu la optimu m hasil RSM.
Hasil pemasakan mi kering memberikan penampakan mi yang halus seperti yang ditunjukkan pada Gambar 29. Warna mi setelah pemasakan menjadi lebih pucat dibanding mi keringnya yang berwarna kusam. Nilai p roksimat mi kering fo rmula optimu m disajikan pada Tabel 16.
Gambar 29. Hasil pemasakan mi kering dengan formu la optimu m Tabel 16. Ko mposisi kimia mi kering formu la optimu m
Komponen Kadar (%) 10.0 kadar air 2.8 kadar abu 16.2 protein 0.8 lemak 70.2 karbohidrat
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
KESIMPULAN
Modifikasi HMT dengan menggunakan kombinasi suhu 100o C, selama 8 jam dengan kadar air 25% memberikan hasil yang optimu m dan dapat memodifikasi pati ganyong menjadi lebih baik untuk produk mi atau sejenisnya. Pati ganyong hasil HMT dengan perlakuan tersebut menghasilkan pati ganyong termodifikasi dengan nilai swelling power yang rendah, suhu awal gelatinisasi dan viskositas setback yang tinggi, kekuatan gel yang moderat dan viskositas akhir yang juga tinggi. Modifikasi HMT memberikan pengaruh terhadap sifat fisikokimia pati ganyong. Ukuran rata rata granula pati ganyong termodifikasi HMT (34.10μm) leb ih besar daripada pati ganyong alami (24.87μm). Nilai swelling power pati ganyong termodifikasi menjadi lebih terbatas, yang tadinya 9.59 men jadi 7.54. SA G pati ganyong juga meningkat sebesar 4.85o C. Viskositas setback pati ganyong HMT lebih tinggi hampir dua kali lipat, yang awalnya pati alami memiliki viskositas setback 735.2 cP men jadi 1440 cP. Nilai yang meningkat juga terjadi pada kekuatan gel dari 400.40 menjad i 693.75. Perubahan juga terjadi pada sifat kimia yaitu kadar pati yang menurun, dan kadar amilosa yang men ingkat. Kadar amilosa pati ganyong alami 31.84% sedangkan pati ganyong HMT terpilih memiliki kadar amilosa 34.78%. Hasil optimasi formu la tepung komposit dengan mneggunakan response surface method memberikan satu formu la terbaik. Fo rmula terbaik untuk mi yang berbahan baku tepung terigu, pati ganyong termodifikasi HMT terpilih dan tepung kacang tungg ak didapatkan dengan perbandingan ko mposisinya masing-masing 50, 17.72 dan 32.28%. Hasil validasi respon yang didapat dari RSM dengan nilai aktual juga memberikan n ilai yang tidak jauh berbeda dan masih dalam interval yang diprediksikan. Nilai aktual dari hasil validasi mi berbahan tepung komposit terbaik pada waktu pemasakan selama 9.75 menit, KPAP 9.13%, berat reh idrasi 207.9%, persen pemanjangan 24.75%, nilai kekuatan tarik 27.75gf, kekerasan 1275g f, kelengketan 0.09 mJ, dan elastisitas 0.71mm.
5.2. SARAN Hasil yang didapatkan dari metode HMT dapat dibuat dengan cara yang lebih efisien bila terdapat alat untuk melaku kan modifikasi tekn ik HMT, karena diperlu kan pengadukan namun kondisi perlakuan tetap terjaga. M i dari tepung ko mposit ini masih memerlukan metode proses yang lebih baik, mungkin proses pembuatannya dengan teknik pembentukan dan pemotongan lembaran adonan mi (sheeting) dapat dilakukan dan juga dibutuhkan informasi mengenai proses pemasakan yang lebih baik untuk mi dengan formu lasi terbaik.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Adebowale KO, Olayide SL. 2003. M icrostructure, physicochemical propert ies and retrogradation behavior of Mucuna bean (Mucuna pruriens) starch on heat moisture treatments. Food Hydrocolloids 17 : 265-272 Adebowale KO, Bamidele LO-O, Olu funmi OO, Olayide SL. 2005. Effect of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red sorghum starch. J Af Biotech 4 (9) : 928933. Ahmad, L. 2009. Modifikasi Fisik Pati Jagung dan Aplikasinya untuk Perbaikan Kualitas Mi Jagun g [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Anonim. 1990. Daftar Ko mposisi Bahan Makanan. Jakarta : Bhratara Karya A ksara Anonim. 1992. Daftar Ko mposisi Bahan Makanan. Jakarta : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI Anonim. 2008. Daftar Ko mposisi Bahan Makanan. Jakarta : Balai Penelitian Kacang -kacangan dan Umbi-u mbian Anonimus.2010.http://biogen.litbang.deptan.go.id. Diakses:28Agustus 2010. [AOAC]. 1995. Methods of analysis. Association of Official Analytical Chemistry. Washington D.C.AOA C official Methods 925.10. Ed ke-16. 1999. Solids (Total) and Moisture in Flour, Air Oven Methods, Final Action. AOAC International. USA. Azahari, Helmi. 2008. www.indosiar.com. Diakses tanggal 21 januari 2009. Di dalam Lathifah, Han ik Nur. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Sirup Glukosa Umb i Ganyong (Canna edulis Kerr.) Menggunakan Khamir Shizosaccharomyces pombe. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Chansri R, Chureerat P, Vilai R, Dudsadee U. Characteristics of Clear Noodles Prepared fro m Edible Canna Starch. 2005. J Food Sci 70 (5) : S337-S342 Chen Z, Schols HA, Viragen AGJ. 2003.Starch granule size strongly determines starch noodle processing and noodle quality. J Food Sci 68 (5) : 1584-1589 Collado LS, Corke H. 1999. Heat-mo isture treatment effects on sweetpotato starches differing in amy lose content. Food Chem 65 (3):339-346 Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-type of noodles from heat-mo isture treated sweetpotato starch. J. Food Sci 66(4):604-609 Collison R. 1968. Swelling and Gelat ion of Starch. Dalam J.a. Rad ley. Starch and Its Derrivatives. London: Chap man and Hall, Ltd. Damayanti N. 2002. Karakterisasi Sifat fisikokimia Tepung dan Pati ganyong (Canna edulis Kerr) Varietas Lokal [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Davis DW, Oelke EA, Oplinger ES, Doll JD, Hanson CV, Putnam DH. 2003. Alternative field crops manual cowpea. Di dalam Kabas O, Yilmaz E, Ozmerzi A, dan Akinci I. So me physical and nutritional properties of cowpea seed (Vigna sinensis L.) J. Food Eng 79: 1405-1409 Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Ko mposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Eh lers JD, Hall A E. 1997. Cowpea (Vigna Unguiculata L. Walp.). J Field Crops Res . 53 : 187-204 Eliasson AC. 2004. Starch in Food (Structure, function and applications). Woodhead Publishing Limited. New York : CRC Press. Febriyanti T. 1990. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Beberapa Varietas Tepung Singkong (Manihot esculenta Crantz). [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Fennema OR. 1985. Food Chemistry. New York : Marcel Dekker. Flach M, Ru mawas F. 1996. Plant Resources of South East Asia. Backhuys. Gunaratne A, Corke H. 2007. Effect of Hydro xypropylation and alkaline treat ments in hydroxypropylation on some structural and physicochemical properties of heat -moisture treated wheat, potato and waxy maize starch. J. Carb Poly 68: 305-313. Harper, JM. 1981. Extrution of Food. Florida : CRC Press, Inc. Boca Raton. Herawati D. 2009. Modifikasi Pat i Sagu Dengan Teknik Heat-Moisture Treat ment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Hermann, M. 1996. Starch Noodles fro m edible canna P. 507-508 didalam J Janick ed. Progress in New Crops. Arlington : ASHS Press. Hodge JE, Os man EM . 1976. Carbohydrates. Dalam OR Fennema Ed. Princip les of Food Science. Part I. Food Chemistry. New York : Mercel Dekker Inc. Hoover R, Gunaratne A. 2002. Effect of heat mo isture treatment on the structure and phsicochemical properties of tubber and roots starches. J Carb Poly mers 49: 425-437. Hoover R, Vasanthan T. 1994. The effect of heat moisture treatment on the structure and physico properties of cereals, tuber and legum starches. J Carb. 252:33-53 Hormdok R, Noomhorm A. 2007. Hydrothermal treat ments of rice starch for imp rovement of rice noodle quality. LWT 40 (2007): 1723-1731 Hung, Van P, Morita N. 2005. Physicochemical properties and enzymatic digestability o f starch from edible canna (Canna edulis) grown in Vietnam. J Carb poly m . 61:314-321 Idrawati I. 1988. Perubahan Karbohidrat Umb i Ganyong (Canna edulis kerr) Selama Penyimpanan [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Indrawuri I. 2010. Peranan Tepung Jagung Termodifikasi Terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Kay DE. 1973. Root Crops. London : The Tropical Products Institute Kay DE. 1979. Food Legu mes. London : The Tropical Product Institute,.
Kusnandar F, Kharidah M, Dzulkifly MH, Russly AR. 1998. Effects of mo isture content of dough and freezing temperature on the characteristics of potato starch noodle. Bu letin Tek dan Ind Pang. Vo l. IX. No 2. Kim YS, Wiesenborn DP, Loren zen JH, Berglund P. 1996. Suitable o f edib le bean and potato starches for starch noodles. Cereal Chem 73(3): 302-308. Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW editor. 1996. Pasta and Noodle Technology. Minnesota : American Association of Cereal Chemist, Inc. Lathifah HN. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Sirup Glukosa Umb i Ganyong (Canna edulis Kerr.) Menggunakan Khamir Shizosaccharomyces pombe. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Lawal OS. 2005. Studies on The Hydrothermal Modifications of New Cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) Starch. 2005. Inter J of Biol Macromolecule 37 : 268-277 Lawal OS, Adebowale KO. 2005. An assessment of changes in thermal and physico -chemical parameter of jack bean (Canavila ensiformis) starch following hidrotermal modificat ion. Eur Food Res Technol 221: 631-638 Leach HW, Mccowen LD, Schoch TJ. 1959. Structure of the starch granule I. Swelling and solubility pattern of various starches. Cereal Chem 36: 534-544 Lenth, Russel V. 2009. Response-surface methods in R, unsing rsm updated to Vversion 1.30. The University of Iowa. J Stat So ftware. Lii C-Y, Chang SM. 1981. Characterization of Red Bean (Phaseolus radiatus var. auea) starch and its noodle quality. J Food Sci 46: 78-81. Li Jeng-Yune, An-I Yeh. 2001. Relationship between thermal, rheological character istics swelling power for various starches. J Food Eng. 50 :141-148. Lingga PB, Sarwono, Rahard i F, Raharja C, Anfiastini JJ, Rin i W , Apriadji WH. 1986. Bertanam Umbi-u mbian. Jakarta : Penebar Swadaya. Lorlowhakarn K, Naivikul O. 2006. Modificat ion of rice flour by heat moisture treatment (HMT) to produce rice noodle. Kasetsart J (Nat Sci) 40 (Suppl.): 135-143 Lu Shin, Ch ing-Yung Chen, Cheng-Yi Lii. 1996. Gel-chro matography fraction and thermal characterizat ion of rice starch affected by hydrothermal threatment. Cereal Chem 73(1): 5-11 Maesen LJG, So maat madja S. 1993. Su mber Daya Nabati Asia Tenggara 1. Kacang -kacangan. Jakarta : Gramed ia Pustaka Utama. Marchylo BA, Dexter JE, Malcolmson LJ. 2004. Imp roving the Texture of Pasta. Di dalam Roisah. 2009. Produksi dan Karakterisasi Sohun dari Pati Ganyong (Canna edulis Ker). [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Mattjik AA, Su mertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor : IPB Press. Meilgaard, M C, Civ ille GV, Carr BT, 2007. Sensory Evaluation Techniques, 4th edition. Boca Raton : CRC Press.
Miyoshi E. 2001. Effect of heat-moisture treatment and lip ids on gelatinizat ion and retrogradation of maize and potato starches. Cereal Chem 79(1): 72-77. Muchtadi D, Soeryo PS. 1991. Pemanfaatan tepung singkong sebagai bahan pesubstitusi terigu dalam pembuatan mie yang difort ifikasi dengan tepung tempe. Bogor: Institut Pertanian Bogor Myers, Raymond H, Montgomery DC. 2002. Response Surface Methodology: Process and Product Optimization Using Designed Experiment. A Wiley-Interscience Publicat ion Oh NH, PA Seib, DS Chung. 1985. Noodles III. Effect of processing variables on the quality characteristics of dry noodles. Cereal Chem 62(6) : 437-440 Olay inka OO, Adebowale KO, Olu-Owo labi BI. 2008. Effect of heat-moisture treatment on physicochemical properties of white sorgum starch. Food Hydrocolloids 22 : 225 -230 Owusu A RK. 2002. Food Protein Analysis: Quantitative Effects on Processing. New Yo rk : Marcel Deker Inc. Perez E, Breene WM, Bahnasey YA. 1998. Variations in the gelatinization profiles of cassava and arrowroot native starches as measured with different thermal and mechanical methods. Starch-starke 50: 70-72 Perez, Lu is AB, Karina M L, Silv ia CR, Octavio PL. 2001. Functional properties of corn, banana and potato starch blends. Food Tech. ActaCientifica Venezolana 52: (2001) 62 -67. Pukkahuta C, Varavin it S. 2007. Structural transformation of sago starch heat -moisture and osmoticpressure treatment. Starch-starke 59 (12): 624-631. Puncha-arnon S, Puttanlek C, Rungsardthong V, Pathipanawat W, Uttapap D. 2007. Changes in physicochemical properties and morphology of canna starches during rhizo mal development. Carb Poly mers, 10 :206-217. Purwani EY, Widaningru m, Thahrir R, Muchlis. 2006. Effect of heat mo isture treatment of sago starch on its noodle quality. Indonesian J Agri Sci 7 (1). 2006. 8-14 Raissi S. 2009. Developing New Processes and Optimizing Performance Using Response Surface Methodology. World academy of science, engineering and technology. Richana N, Tit i CS. 2004. Karakterisasi sifat fisiko-kimia tepung umbi dan tepung pati umb i ganyong, suweg, ubi kelapa, dan gemb ili. J Pascapanen (1) :29-37. Riley CK, Wheatley AO, Asemota HN. 2006. Isolation and characterization of starches from eight Dioscorea alata cultivars grown in Jamaica. African J of Biotech 5 (17): 1528-1536. Roisah. 2009. Produksi dan Karakterisasi Sohun dari Pati Ganyong (Canna edulis Ker) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Ropiq S. 1988. Ekstraksi dan Karakterisasi Pati Ganyong (Canna edulis Kerr) [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Sa’adah, F. 2009. Pembuatan Cookies Campuran Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata L. Walp.) dan Tepung Beras Sebagai Pangan Tambahan bagi Ibu Hamil [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Saifud in. 1998. Ekstraksi dan Karakterisasi Pati Kacang Tunggak (Vigna unguiculata L. (Walp.)) Serta Uji Mutu Sohun Sebagai Produk Olahan [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Sastrapradja S, Ninik WS, Sarkat D, Ru kmini S. 1977. Ubi-ubian. Bogor: Lembaga Biologi Nasional (LBN) LIPI Satin M. 2001. Functional Properties of Starches. A GSI ho mepage. http://www.fao.org Schoch TJ. 1964. In RL Whistler (ed), Methods in Carbohydrate Chemistry, Vol IV. (pp. 106-108) New York: Academic Press. Schoch TJ, Maywald EC. 1968. Preparation and properties of various legume starches. In Collado, LS, Mabesa LB, Oates CG, and Corke H. 2001. Bihon-type of noodles from heat-moisture treated sweetpotato starch. J Food Sci 66 (4) :604-609 Schultz HW. 1969. Sy mposium on Foods : Carbohydrates and Their Ro les. Connecticut: Avi Publishing Co mpany. Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor Suyanti S. 2008. Membuat Mi Sehat Berg izi dan Bebas Pengawet. Jakarta: Penebar Swadaya. Stute R. 1992. Hydrothermal mod ification of starches: The difference between annealing and heat mo isture treatment. Starch-starke 6 :205-214 Tam LM , Wilson TT, Jiansheng L, Lilia SC, Corke H. 2004. Production of byhon -type noodles from maize starch differing in amy lose content. Cereal Chem. 81 (4) :475-480 Tester RF, Morrison WR. 1990. Swelling and gelatinization of cereal starch es. II. Waxy rice starches. Cereal Chemistry 67: 558-563. Thitipraphunkul, Kittiwut, Uttapap D, Piyachomkwan K, Takeda Y. 2003. A co mparative study of edible canna (Canna edulis) starch from different cultivars. Part I. Chemical composition and physicochemical properties. J Carbo Poly mers. 53 :317-324 Vasanthan T, Li JH. 2003. Hypochlorite o xidation of field pea starch and its suitability for noodle making using an extrution cooker. Food Res Inter. 36: 381 -386. Vermey len RB, Goderis, Delcour JA. 2006. An X-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbo Po ly mers 64 (2) : 364-375. Virtucio L. 2004. Oriental Noodles. www.pavan.co m. Diakses tanggal 20 september 2010. Watcharatewinkul, Yanika, Puttanlek C, Rungsardthong V, Uttapap D. 2009. Pasting properties of a heat-moisture treated canna starch in relation to its structural characteristics. Carbo Poly mers 5 :505-511 Wattanachant S, Muhammad SKS, Hasyim DM, Rah man RA. 2002. Suitability of sago starch as a base for dual-modification. Songklanakarin J Sci Technol 24(3): 432-438 Widaningrum, Pu rwani EY. 2006. Karakterisasi serta studi pengaruh perlakuan panas annealing dan heat moisture treatment (HMT) terhadap sifat fisikokimia pati jagung. J Pascapanen 3(2) : 109-118 Winarno, F.G 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Yustiaren i E. 2000. Kajian Substitusi terigu Oleh Tepung Garut dan Penambahan Tepung Kedelai pada Pembuatan Mie Kering [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Zhang J, Feng C, Feng L, Zhwng-wu W. 2010. Study on structural changes of microwave heatmo isture treated resistant Canna edulis Ker starch during digestion in vitro. Food Hydrocoloids. 24 :27-34 Zobel HF, Young SN, Rocca LA. 1988. Starch gelat inization: an X-ray diffraction study. Cereal Chem 65(6): 443-446. Zondag MD. 2003. Effect of micro wave heat-moisture and annealing treatments on buckwheat starch characteristics. Stout : University of Wisconsin.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh perhitungan kesetimbangan masa
Air (A)
Pati ganyong alami (KA1 13.8%) dengan berat (BP1 ) 650g
Pati ganyong kadar air 25% (KA2 25%) dengan berat BP2
Pencampuran
(100% - KA1 ) x BP1 = (100% - KA2 ) x BP2 (100% - 13.8%) x 650 g = (100% - 25%) x BP2 86.2% x 650 g = 75% x BP2 560.3 = 0.75 x BP2 BP2 = 747.067 Jumlah aquades yang ditambahkan (A) = 747.067 - 650 = 89.7 mL Keterangan : KA1
= Kadar air pati native
KA2
= Kadar air pati yang diinginkan
BP1
= Bobot pati pada kondisi awal
BP2
= Bobot pati setelah mencapai KA2
Lampiran 2. Contoh pembuktian kadar air conditioning sesuai target (20%)
kadar air pati ganyong setelah ulangan sebelum conditioning 1 13.65 19.78 2 13.71 19.59 3 14.08 19.78 4 13.76 19.75 13.8 19.72 rata-rata
kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Lampiran 3. Data sebaran ukuran granula pati ganyong alami termodifikasi dan kacang tunggak ukuran diameter granula (μm) sampel <15 15-29 30-49 >50 min max rata-rata 100o C 4 jam 20% u1 14.38 68.75 16.88 0.00 10.00 40.00 20.52 u2 5.83 61.67 32.50 0.83 5.00 55.00 24.85 25% u1 6.67 50.00 40.00 3.33 10.00 60.00 26.08 u2 9.33 46.67 41.33 2.67 10.00 50.00 27.07 30% u1 0.00 30.00 57.50 12.50 15.00 50.00 34.63 u2 5.33 36.00 52.00 6.67 10.00 55.00 30.80 o 100 C 8 jam 20% u1 5.00 61.00 32.00 2.00 10.00 50.00 25.15 u2 5.56 68.89 24.44 1.11 10.00 50.00 23.28 25% u1 1.82 40.00 51.82 6.36 10.00 55.00 30.91 u2 0.00 32.50 62.50 5.00 15.00 50.00 32.13 30% u1 0.00 22.00 62.00 16.00 15.00 55.00 37.20 u2 0.00 35.00 52.50 12.50 15.00 75.00 33.56 o 100 C 16 jam 20% u1 8.57 54.29 37.14 0.00 10.00 40.00 25.43 u2 4.35 60.00 35.65 0.00 10.00 45.00 26.04 25% u1 1.33 40.00 52.67 6.00 10.00 55.00 31.03 u2 0.00 47.37 45.26 7.37 15.00 60.00 29.84 30% u1 0.00 12.73 52.73 34.55 20.00 65.00 41.18 u2 0.00 20.00 62.86 17.14 20.00 60.00 36.57 o 110 C 4jam 20% u1 4.82 44.58 49.40 1.20 10.00 50.00 26.45 u2 6.19 61.95 30.97 0.88 10.00 40.00 24.56 25% u1 1.52 28.79 56.06 13.64 10.00 60.00 33.75 u2 3.66 60.98 31.71 3.66 10.00 50.00 26.46 30% u1 2.00 41.00 43.00 14.00 10.00 80.00 31.15 u2 1.75 47.37 40.35 10.53 10.00 55.00 30.26 o 110 C 8jam 20% u1 4.88 48.78 47.56 2.44 10.00 50.00 26.28 u2 6.50 52.85 39.02 0.00 10.00 40.00 25.37 25% u1 0.00 38.89 44.44 16.67 15.00 55.00 33.47 u2 0.00 44.00 50.67 5.33 15.00 55.00 30.73 30% u1 0.00 10.00 70.00 20.00 25.00 50.00 37.00 u2 0.00 22.50 60.00 17.50 20.00 60.00 35.50 o 110 C 16jam 20% u1 3.17 44.44 46.03 6.35 10.00 55.00 29.05 u2 2.94 58.82 38.24 0.00 10.00 40.00 25.74 25% u1 7.32 53.66 26.83 12.20 5.00 60.00 28.66 u2 7.78 47.78 42.22 2.22 10.00 50.00 26.17 30% u1 0.00 25.00 57.14 17.86 20.00 50.00 35.71 u2 0.00 24.07 57.41 18.52 15.00 65.00 35.65 Ganyong alami 6.67 58.67 34.67 0.00 10.00 45.00 24.87 Kacang tunggak 100 0 0 0 2.00 10.00 2.60
Lampiran 4. Profil amilografi pati ganyong alami dan termodifikasi HMT (Angka pada legenda merupakan besaran suhuo C, waktu jam, dan % kadar air) 7000 30
Suhu (o C) 95
95
50
50
45
100,4,20 alami
6000
100,4,25 100,4,30
100,8,20 5000
100,8,25 100,8,30
Viskositas (cP)
100,16,20
4000
100,16,25 100,16,30
3000
110,4,20 110,4,25
110,4,30 2000
110,8,20 110,8,25 110,8,30
1000
110,16,20 110,16,25
0
110,16,30
0
10
20
30
waktu (menit)
40
50
Lampiran 5. Hasil olah data SAG pati ganyong HMT dengan SPSS SAG Between-Subjects Factors
Suhu Waktu
kadar_air
1.00 2.00 1.00 2.00 3.00 1.00 2.00 3.00
Value Label 100 110 4 8 16 20% 25% 30%
N 18 18 12 12 12 12 12 12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SAG Type III S um of Squares 565.393(a)
17
Mean Square 33.258
183141.202
1
183141.202
.563 105.602 149.772 121.212 11.502 58.042
1 2 2 2 2 4
.563 52.801 74.886 60.606 5.751 14.510
118.702
4
29.675
164.515 18 183871.110 36 729.907 35 a R Squared = .775 (Adjusted R Squared = .562)
9.140
Source Corrected Model Intercept Suhu Waktu kadar_air suhu * waktu suhu * kadar_air waktu * kadar_air suhu * waktu * kadar_air Error Total Corrected Total
df
Uji Lanjut Duncan Waktu Homogeneous Subsets Dunc an N waktu 4 16 8 Sig.
Subset
1 12 12 12
2 69.0333
1
71.7917 73.1500 1.000 .286 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 9.140. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b Alpha = .05.
F 3.639 20037.94 0 .062 5.777 8.193 6.631 .629 1.588
Sig. .005* .000 .807 .012* .003* .007* .544 .221
3.247 .036*
Perlakuan Kadar Air Homogeneous Subsets Dunc an N kadar_air 20% 30% 25% Sig.
Subset
1
2 68.6417
12 12 12
1
71.7500 73.5833 1.000 .155 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 9.140. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b Alpha = .05. o
Interaksi perlakuan suhu -waktu ( C, jam) Homogenous Subsets Dunc an N suhu_waktu 100,4 110,16 110,4 100,8 100,16 110,8 Sig.
Subset
1 6 6 6 6 6 6
2 68.3000 69.1167 69.7667 71.5833
1
71.5833 74.4667 74.7167 .100 .105 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 9.140. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
o
Interaksi perlakuan suhu ( C)-waktu(jam)-kadar air(%) HMT Dunc an suhu_waktu_kadarai r 100,4, 20 110,4, 20 100,4, 25 110,4, 30 110,16,30 110,8, 20 100,8, 30 100,16,20 100,4, 30 110,16,20 100,8, 20 110,16,25 110,4, 25 100,16,25 100,8, 25 110,8, 30 110,8, 25 100,16,30 Sig.
N
Subset
1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
2 67.7000 67.7500 67.8000 67.9500 68.1000 68.3000 69.2000 69.2000 69.4000 69.4000 69.5000 69.8500 73.6000
3
67.8000 67.9500 68.1000 68.3000 69.2000 69.2000 69.4000 69.4000 69.5000 69.8500 73.6000 75.1500
.109 .050 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 9.140. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
4
5
69.2000 69.2000 69.4000 69.4000 69.5000 69.8500 73.6000 75.1500 76.0500
.064
1
69.8500 73.6000 75.1500 76.0500 76.8000
.051
73.6000 75.1500 76.0500 76.8000 79.0500 79.0500 .125
Lampiran 6. Hasil olah data viskositas akhir dengan SPSS Between-Subjects Factors Suhu Waktu
kadar_air
1.00 2.00 1.00 2.00 3.00 1.00 2.00 3.00
Value Label 100 110 4 8 16 20% 25% 30%
N 18 18 12 12 12 12 12 12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: V_akhir Type III S um of Squares df 32366508.926(a) 17 593310540.134 1 5504810.854 1 5705591.696 2 1150346.136 2 11774876.389 2 1645027.736 2 957009.124 4 5628846.991 4 22291187.940 18 647968237.000 36 54657696.866 35 a R Squared = .592 (Adjusted R Squared = .207) Source Corrected Model Intercept Suhu Waktu kadar_air suhu * waktu suhu * kadar_air waktu * kadar_air suhu * waktu * kadar_air Error Total Corrected Total
Mean Square 1903912.290 593310540.134 5504810.854 2852795.848 575173.068 5887438.194 822513.868 239252.281 1407211.748 1238399.330
UJI LANJUT DUNCAN Interaksi perlakuan suhu-waktu Homogeneous Subsets Dunc an suhu_waktu
N
Subset
1 110,8 100,16 110,16 110,4 100,4 100,8 Sig.
6 6 6 6 6 6
2 2775.4667 3460.1333 3813.3333
3 3460.1333 3813.3333 4417.0667 4768.8667
.108 .051 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1055747.264. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
1
3813.3333 4417.0667 4768.8667 5123.1000 .051
F 1.537 479.095 4.445 2.304 .464 4.754 .664 .193 1.136
Sig. .187 .000 .049* .129 .636 .022* .527 .939 .371
Lampiran 7. Hasil olah data viskositas setback dengan SPSS Between-Subjects Factors
Suhu Waktu
kadar_air
Value Label 100 110 4 8 16 20% 25% 30%
1.00 2.00 1.00 2.00 3.00 1.00 2.00 3.00
N 18 18 12 12 12 12 12 12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: VS Type III S um of Squares df 4051598.822(a) 17 58763467.538 1 508559.151 1 1655698.082 2 439954.616 2 774347.962 2 186279.349 2 120482.664 4 366276.998 4 1045945.080 18 63861011.440 36 5097543.902 35 a R Squared = .795 (Adjusted R Squared = .601) Source Corrected Model Intercept Suhu Waktu kadar_air suhu * waktu suhu * kadar_air waktu * kadar_air suhu * waktu * kadar_air Error Total Corrected Total
Mean Square 238329.342 58763467.538 508559.151 827849.041 219977.308 387173.981 93139.674 30120.666 91569.249 58108.060
UJI LANJUT DUNCAN Perlakuan kadar air Dunc an N kadar_air 25% 20% 30%
Subset
1 12 12
2 1188.766 7 1210.650 0
1
1433.450 0 Sig. .827 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 58108.060. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b Alpha = .05. 12
F 4.101 1011.279 8.752 14.247 3.786 6.663 1.603 .518 1.576
Sig. .002* .000* .008* .000* .042* .007* .229 .723 .224
o
Interaksi perlakuan suhu -waktu ( C, jam) Homogenous Subsets Dunc an N suhu_waktu 110,8 100,16 110,16 110,4
Subset
1 6 6 6
2 954.6667 990.8000 1042.166 7
1
1479.466 7 100,8 1594.566 6 7 100,4 1604.066 6 7 Sig. .560 .408 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 58108.060. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. 6
Lampiran 8. Data hasil analisis swelling power suhu hmt (o C)
lama hmt 4 jam
8 jam 100 16 jam
4 jam
8 jam 110 16 jam
pati alami Tp Kc Tunggak
kadar air 20% 25% 30% 20% 25% 30% 20% 25% 30% 20% 25% 30% 20% 25% 30% 20% 25% 30%
Swelling power 30oC 60oC 90oC 0.97 1.01 8.56 1.16 1.38 7.93 1.62 1.86 7.26 1.06 0.96 8.53 1.39 1.22 7.50 1.69 1.92 7.02 0.67 1.07 8.38 1.34 1.41 7.67 1.93 2.01 6.79 0.95 1.01 8.28 1.15 1.34 8.29 1.50 1.66 7.42 1.01 1.04 7.87 1.17 1.29 7.34 1.65 2.03 7.21 1.07 1.14 8.23 1.22 1.30 7.21 1.49 1.60 6.68 0.77 0.67 9.97 1.12 0.97 4.71
Lampiran 9. Hasil olah data nilai swelling power 90o C dengan SPSS
Swelling Power Between-Subjects Factors Suhu Waktu
kadar_air
1.00 2.00 1.00 2.00 3.00 1.00 2.00 3.00
Value Label 100 110 4 8 16 20% 25% 30%
N 18 18 12 12 12 12 12 12
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: swelling power Type III S um of Squares 12.344(a)
df 17
Mean Square .726
2121.561
1
2121.561
.139 1 1.452 2 9.308 2 .185 2 .303 2 .610 4 .349 4 .607 18 2134.512 36 12.951 35 a R Squared = .953 (Adjusted R Squared = .909)
.139 .726 4.654 .092 .151 .152 .087 .034
Source Corrected Model Intercept suhu waktu kadar_air suhu * waktu suhu * kadar_air waktu * kadar_air suhu * waktu * kadar_air Error Total Corrected Total
UJI LANJUT DUNCAN Interaksi perlakuan suhu(oC)-kadar air (%) Duncan
N suhu_kadarair 100,30 110,30 110,25 100,25 110,20 100,20 Sig.
Subset
1 6 6 6 6 6 6
2 7.0227 7.1035
3
1
7.6144 7.7034
8.1261 8.4903 .671 .641 .063 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
F 21.524 62888.92 2 4.108 21.523 137.955 2.735 4.485 4.520 2.583
Sig. .000* .000 .058 .000* .000* .092 .026* .011* .072
Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .107. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05. sweling2 Interaksi perlakuan waktu (jam)-kadar air (%) Duncan N waktu_kadarair 16-30 8-30
Subset
1
2 4 4
3
1
6.7355 7.1144
4-30 8-25 16-25
4 4
7.3394 7.4239
4
7.4437
4-25
4
8.1091
8-20
4 4 4
8.1976 8.3056 8.4214
16-20 4-20 Sig.
1.000 .088 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .059. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b Alpha = .05.
.105
Lampiran 10. Hasil olah data kekuatan gel dengan SPSS KEKUATAN GEL Between-Subjects Factors Suhu Waktu
kadar_air
Value Label 100 110 4 8 16 20% 25% 30%
1.00 2.00 1.00 2.00 3.00 1.00 2.00 3.00
N 18 18 12 12 12 12 12 12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: gel_strength Type III S um of Squares df 1088491.660(a) 17 24155259.040 1 186105.960 1 176819.355 2 466775.447 2 206.112 2 7490.907 2 209238.338 4 41855.542 4 1127673.200 18 26371423.900 36 2216164.860 35 a R Squared = .491 (Adjusted R Squared = .011) Source Corrected Model Intercept Suhu waktu kadar_air suhu * waktu suhu * kadar_air waktu * kadar_air suhu * waktu * kadar_air Error Total Corrected Total
Mean Square 64028.921 24155259.040 186105.960 88409.677 233387.723 103.056 3745.453 52309.585 10463.885 62648.511
UJI LANJUT DUNCAN Perlakuan kadar air Homogeneous Subsets Dunc an N kadar_air 20% 25% 30% Sig.
Subset
1 12 12 12
2 679.3333 819.8167
1
819.8167 958.2500 .186 .192 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 62648.511. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000. b Alpha = .05.
F 1.022 385.568 2.971 1.411 3.725 .002 .060 .835 .167
Sig. .480 .000 .102 .270 .044* .998 .942 .521 .952
Lampiran 11. Hasil analisis sidik ragam variabel respon waktu pemasakan dengan RSM Response 1 Waktu Pemasakan ANOVA for Mixture Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F p-value Squares df Square Value Prob > F Source 10.7175 5 2.1435 22.4832 < 0.0001 Model Linear 10.3430 2 5.1715 54.2442 < 0.0001 Mixture AB 0.0238 1 0.0238 0.2504 0.6276 AC 0.3467 1 0.3467 3.6369 0.0856 BC 0.0099 1 0.0099 0.1042 0.7535 Residual 0.9533 10 0.0953 Lack of Fit Pure Error Cor Total
0.5549
5
0.1109
0.3984 11.6709
5 15
0.0796
1.3927
0.3625
significant
not significant
Lampiran 12. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dengan RSM Response 2 KPAP ANOVA for Mixture Linear Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F p-value Source Squares df Square Value Prob > F Model 24.3654 2 12.1827 4.5966 0.0309 Linear Mixture 24.3654 2 12.1827 4.5966 0.0309 Residual 34.4547 13 2.6504 Lack of Fit 19.7882 8 2.4735 0.8433 0.6055 Pure Error 14.6665 5 2.9333 Cor Total 58.8201 15
significant
not significant
Lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam variabel respon berat rehidrasi dengan RSM Response 3 Berat rehidrasi ANOVA for Mixture Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F p-value Source Squares df Square Value Prob > F Model 34693.30 5 6938.66 3.6613 0.0383 Linear Mixture 14227.28 2 7113.64 3.7537 0.0608 AB 2511.41 1 2511.41 1.3252 0.2764 AC 6126.85 1 6126.85 3.2330 0.1024 BC 18308.00 1 18308.00 9.6606 0.0111 Residual 18951.20 10 1895.12 Lack of Fit Pure Error Cor Total
10747.80 5 8203.40 5 53644.50 15
2149.56 1640.68
1.3102 0.3871
significant
not significant
Lampiran 14. Hasil analisis sidik ragam variabel respon persentase pemanjangan dengan RSM Persen Response 4 pemanjangan ANOVA for Mixture Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F p-value Source Squares df Square Value Prob > F Model 444.3995 5 88.8799 7.2428 0.0041 Linear Mixture 389.8100 2 194.9050 15.8827 0.0008 AB 0.9272 1 0.9272 0.0756 0.7890 AC 0.7781 1 0.7781 0.0634 0.8063 BC 41.9863 1 41.9863 3.4214 0.0941 Residual 122.7153 10 12.2715
significant
Lack of Fit
81.0704
5
16.2141
not significant
Pure Error Cor Total
41.6449 567.1148
5 15
8.3290
1.9467
0.2411
Lampiran 15. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kekuatan tarik dengan RSM Response 5 Kekuatan tarik ANOVA for Mixture Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F p-value Squares df Square Value Prob > F Source 306.0356 5 61.2071 9.5667 0.0014 Model Linear 285.2113 2 142.6057 22.2893 0.0002 Mixture 20.3041 1 20.3041 3.1735 0.1052 AB 2.9655 1 2.9655 0.4635 0.5114 AC 6.0280 1 6.0280 0.9422 0.3546 BC 63.9793 10 6.3979 Residual Lack of Fit
43.3046
5
8.6609
Pure Error Cor Total
20.6747 5 4.1349 370.0148 15
2.0946
significant
0.2182
not significant
Lampiran 16. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kekerasan mi (Hardness) dengan RSM Response 6 Kekerasan ANOVA for Mixture Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F Source Squares df Square Value Model 321758.6 5 64351.7 4.3657 Linear Mixture 270816.5 2 135408.3 9.1863 AB 23351.1 1 23351.1 1.5842 AC 33113.8 1 33113.8 2.2465 BC 34674.8 1 34674.8 2.3524 Residual 147401.9 10 14740.2 Lack of Fit Pure Error Cor Total
117580.6 29821.3 469160.5
5 5 15
23516.1 5964.3
p-value Prob > F 0.0228
significant
0.0054 0.2367 0.1648 0.1561
3.9428 0.0792
not significant
Lampiran 17. Hasil analisis sidik ragam variabel respon kelengketan (Adhesiveness) dengan RSM Response 7 Kelengketan ANOVA for Mixture Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F Source Squares df Square Value Model 0.0087 5 0.0017 3.7841 Linear Mixture 0.0002 2 0.0001 0.2145 AB 0.0048 1 0.0048 10.3176 AC 0.0069 1 0.0069 14.8386 BC 0.0039 1 0.0039 8.3503 Residual 0.0046 10 0.0005 Lack of Fit Pure Error Cor Total
0.0021 0.0026 0.0134
5 5 15
0.0004 0.0005
0.8091
p-value Prob > F 0.0349 significant 0.8106 0.0093 0.0032 0.0161 not 0.5891 significant
Lampiran 18. Hasil analisis sidik ragam variabel respon elastisitas dengan RSM Response 8 elastisitas ANOVA for Mixture Quadratic Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F p-value Source Squares df Square Value Prob > F Model 0.0090 5 0.0018 18.2187 < 0.0001 Linear Mixture 0.0087 2 0.0044 44.1929 < 0.0001 AB 0.0000 1 0.0000 0.0002 0.9901 AC 0.0001 1 0.0001 1.1550 0.3077 BC 0.0001 1 0.0001 1.1918 0.3006 Residual 0.0010 10 0.0001 Lack of Fit Pure Error Cor Total
0.0003 0.0007 0.0100
5 5 15
0.0001 0.0001
0.4122 0.8235
significant
not significant
Lampiran 19. Data hasil analisis kekerasan gel
suhu hmt (o C)
lama hmt 4 jam
8 jam 100.00 16 jam
4 jam
8 jam 110.00 16 jam
pati alami tepung kc tunggak
kadar air 20% 25% 30% 20% 25% 30% 20% 25% 30% 20% 25% 30% 20% 25% 30% 20% 25% 30%
rata-rata kekerasan (gF) 541.00 ± 275.35 787.95 ± 41.93 748.70 ± 38.18 553.45 ± 113.91 693.75 ± 368.05 862.15 ± 63.43 789.05 ± 585.98 731.55 ± 175.15 1017.50 ± 359.35 545.75 ± 5.59 1041.45 ± 207.11 938.55 ± 148.42 726.75 ± 382.76 741.15 ± 177.41 1054.50 ± 337.15 920.00 ± 104.79 923.05 ± 145.03 1128.10 ± 66.19 400.40 ± 0.00 483.45