FORMALISME Sylvie Meiliana Pelawi ABSTRAK Formalisme adalah suatu mazhab dalam teori sastra modern. Formalisme tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran Ferdinant de Saussure yang bertolak dari dikotomi langue dan parole serta significant dan signifie. Hal ini terlihat dari kecenderungan kaum formalis untuk mengkaji teks sastra secara formal. Bentuk karya sastra memperoleh kekhususan dari unsure-unsur yang membangunnya, yakni sejumlah sarana yang mempersulit komunikasi. Kaum formalis cenderung membuat karya sastra menjadi aneh. Konsep defamiliarisasi dan deotomatisasi adalah dua konsep yang digunakan untuk mempertentangkan karya sastra dengan kehidupan sehari-hari.
Kata kunci : defamiliarisasi, deotomatisasi, formalis. I. PENDAHULAUN Formalisme adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern.
Kelahiran
mazhab ini dirintis oleh sejumlah ahli linguistik dan ahli sastra di Rusia., seperti Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky, Roman Jakobson, Boris Tomasjevsky, dan
Juri
Tynyanov. Para ahli ini berkumpul dalam dua kelompok, yaitu The Moscow Linguistics Circle (1915) yang anggotanya sebagian besar para ahli linguistik, dan The Opojaz Group (1916) yang anggotanya sebagian besar para ahli sastra. Sebutan lain kelompok Opojaz adalah Society for the Study of Poetic Language. ________________ Dra. Sylvie Meiliana Pelawi, M. Hum. Staf Pengajar dan Wakil Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional Jakarta.
1
Tokoh utama kelompok pertama adalah Roman Jakobson, seorang linguis kenamaan yang juga pendiri Prague Linguistics Circle (1926-1939). Tokoh utama kelompok kedua adalah Victor Shlovsky. ‘The only organizational bases of the ‘movement’ were the Moscow Linguistic Circle, founded in 1915 and headed by Jakobson, and the Society for the Study of Poetic Language (Opoyaz), founded in 1916 and dominated by Shklovsky” (Bennet, 1979: 18) Kedua kelompok ini bergabung dan menetapkan dua hal sebagai dasar formalisme: (1) Mereka bersatu untuk suatu studi sastra yang ilmiah, sebagai pengetahuan yang otonom dengan menggunakan metode dan prosedurnya sendiri. “First, they were united in their wish to establish the study of literature on a scientific footing, to constitute it as an automomous science using methods and procedures of its own.” (Bennet, 1979: 20) (2) Mereka cenderung membuat karya sastra menjadi aneh, yaitu suatu bentuk defamiliarisasi. “Second, …the Formalist argued, literary texts tend to ‘make it strange’, …it was this ability to defamiliarize the forms …” (Bennet, 1979: 20)
II. PENGARUH PEMIKIRAN FERDINAND DE SAUSSURE Asumsi dasar formalisme itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran Ferdinant de Saussure (1857-1913), seorang linguis kenamaan dari Perancis yang kumpulan bahan kuliahnya dipublikasikan dalam Cours de Linguistique Generale (1916). Pengertian dasar linguistik de Saussure bertolak dari dikotomi yang dalam bahasa Perancis disebut langue dan parole serta signifiant dan signifie. Langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat, sementara parole adalah
2
penggunaan bahasa secara individual. Adapun signifiant (bahasa Inggris : signifier “penanda”) adalah aspek formal atau citra akustik, bunyi bahasa sebagai tanda, sedangkan signifie (bahasa Inggris: signified “petanda”) adalah aspek kemaknaan atau konseptual. Dua aspek signifiant dan signifie ini membentuk suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang disebut tanda. Namun, hubungan antara dwitunggal ini bersifat arbitrer, yaitu tanpa dasar penalaran. Artinya , tidak ada dasar apa pun untuk menghubungkan sederetan lambang bunyi/fonem sebagai kata. Kemandirian hubungan dua aspek yang tak terpisahkan itulah yang disebut hubungan arbitrer, namun dapat berfungsi sebagai tanda berkat adanya konvensi atau kesepakatan sosial, yaitu kombinasi tertentu antara aspek formal dan konseptual berdasarkan kesepakatan yang berlaku di antara anggota masyarakat bahasa. Menurut Saussure, tanda mempunyai beberapa aspek yang khas, yakni bahwa tanda itu arbitrer, konvensional, dan sistematis. Hubungan arbitrer antara penanda dan petanda inilah yang sering dimanfaatkan oleh pengarang karya sastra dengan memanipulasi kesepakatan pemakaian bahasa sebagai sistem tanda. Saussure menunjukkan perputaran perspektif yang radikal dalam ilmu bahasa, yaitu dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Menurut Saussure, bahasa dapat dianggap ‘benda’ yang terlepas dari pemakaian penuturnya karena diwariskan dari penutur lain sebelumnya, bukan merupakan ciptaan baru sama sekali dari penutur tersebut. Pengaruh Saussure terhadap kaum formalis tersebut tampak pada kecenderungan mereka untuk mengkaji teks karya sastra secara formal, yaitu dalam kaitannya dengan struktur bahasa. Bentuk karya sastra itu memperoleh kekhususan dari unsur-unsur yang membangunnya, yakni sejumlah sarana yang mempersulit komunikasi (devices of making
3
it strange). Sarana itu meliputi bunyi (rima, matra, irama, aliterasi, dan asonansi), morfologi, sintaksis, dan semantik. Keseluruhan sarana itulah yang sesungguhnya menimbulkan sifat kesastraan sebuah teks karya sastra.
III. TUJUAN FORMALISME Tujuan utama formalisme adalah studi ilmiah mengenai sastra. Hal ini didasarkan pada keyakinan para formalis bahwa studi seperti itu sangat mungkin dan memang pantas dilakukan. Kaum formalis yakin bahwa studi-studi mereka akan meningkatkan kemampuan pembaca untuk membaca teks-teks sastra dengan cara yang tepat, yaitu dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap ‘artistik’ dan ‘sastrawi’. Dalam hal ini Sklovki tertarik pada ‘hukum bahasa puitik’; Jakobson menekankan pentingnya ‘ilmu sastra’ sementara Tynjanov mengungkapkan bahwa untuk menjadi cabang ilmu tersendiri, sejarah sastra harus mengajukan tuntutan atas keterandalan (realibility). Roman Jakobson memandang teori sastra dan puitika sebagai bagian integral linguistik. Pandangannya bahwa puisi adalah bahasa dalam fungsi estetis dipublikasikan pada tahun 1921. Empat puluh tahun kemudian, pendirian ini diulangi dalam bentuk yang agak berbeda dalam esainya mengenai “Linguistik dan Puitika” (1960). Dengan demikian Literariness yang berhubungan dengan penggunaan bahasa di dalam karya sastra ini merupakan fokus kaum formalis. Mereka beranggapan bahwa bahasa sastra tidak sama dengan bahasa praktis yang digunakan sehari-hari. Hal ini seperti diungkapkan Jakobson bahwa subjek ilmu sastra bukan kesusastraan, tetapi literariness, yaitu yang membuat suatu karya sebagai karya sastra. “The subject of literary science is not literature, but literariness, i.e. that which makes a
4
given work a literary work”( Newton, 1990: 21) Literariness berhubungan dengan penggunaan bahasa di dalam karya sastra dan ini merupakan fokus kaum Formalis. Mereka beranggapan bahwa sastra tidak sama dengan bahasa praktis yang digunakan sehari-hari. Kaum formalis dituntut untuk memperlakukan kesusastraan sebagai satu pemakaian bahasa yang khas, yang mencapai perwujudannya lewat deviasi dan distorsi dari bahasa praktis. Bahasa praktis digunakan untuk komunikasi, sementara bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis sehingga membuat kita melihatnya secara berbeda. “The Formalists’ technical focus led them to treat literature as a special use of language which achieves its distinctness by deviating from and distorting ‘practical’ language. Practical language is used for acts of communication, while literary anguage has no practical function at all and simply makes us see differently.” (Selden, 1986:8) Kaum formalis cenderung untuk mengkaji teks sastra secara formal, yaitu dalam kaitannya dengan struktur bahasa. Bentuk karya sastra itu memperoleh kekhususannya dari unsur-unsur yang membangunnya, yakni sejumlah sarana yang mempersulit komunikasi (devices of making it strange). Sarana ini meliputi bunyi seperti rima, matra, irama, aliterasi, dan asonansi. Keseluruhan sarana itulah yang sesungguhnya menimbulkan sifat kesastraan sebuah teks sastra. Singkatnya, yang membedakan kesusastraan dari bahasa praktis adalah kualitas yang dibangunnya. Kaum formalis mempergunakan bahasa sastra secara menginti di dalam puisi. “What distinguishes literature from ‘practical’ language is its constructed quality. Poetry was treated by the Formalists as the quintessentially literary use of language.” (Selden, 1986: 9) Puisi adalah susunan tuturan yang ke dalamnya terjaring keseluruhan tekstur bunyi. Faktor pembangunnya yang paling penting adalah ritme.
5
Victor Shklovsky mendominasi fase awal Formalisme. Teorinya yang cemerlang dan bertentangan dipengaruhi oleh kaum Futuris. Ketika kaum Simbolis memandang puisi sebagai ekspresi yang tidak berhingga atau suatu realitas yang tidak kasat mata, justru Victor Shklovsky mengambil suatu pendekatan bersahaja, mencoba teknik-teknik yang dipergunakan oleh para sastrawan untuk menghasilkan efek-efek yang khusus. Shklovsky menyebut salah satu konsepnya yang paling menarik itu “defamiliarisasi” (ostranenie, ‘ membuat aneh’).
Menurut Shklovsky dalam tulisannya “Art as
Technique” , maksud seni adalah untuk memberikan penginderaan benda-benda sebagaimana dirasakan, dan bukan sebagaimana benda-benda itu diketahui. Menurutnya teknik seni adalah untuk membuat objek-objek menjadi ‘tidak biasa’, untuk menghadirkan bentuk-bentuk yang sukar, untuk menambah tingkat kesukaran dan memperpanjang persepsi, karena proses persepsi adalah suatu tujuan estetik dalam dirinya dan harus diperpanjang. “The purpose of art is to impart the sensation of things as they are perceived, and not as they are known. The technique of art is to make objects ‘unfamiliar’, to make forms difficult, to increase the difficulty and length of perception, because the process of perception is an aesthetic end in itself and must be prolonged. Art is a way of experiencing the artfulness of an object; the object is not important” ( Selden, 1986: 10) Shklovsky mengemukakan bahwa kita tidak pernah dapat memelihara kesegaran persepsi kita atas objek-objek; tuntutan eksistensi ‘normal’ itu diperlukan agar mereka menjadi sejumlah besar yang ‘diotomatisasikan’. Dalam tulisannya ‘art for art’s sake’, ia mengungkapkan bahwa teknik seni adalah membuat objek-objek menjadi ‘tidak biasa’ dengan menghadirkan bentuk-bentuk yang sukar untuk menambah tingkat kesukaran dan memperpanjang persepsi karena proses persepsi adalah suatu tujuan estetik dan harus
6
diperjanjang. “The technique of art is to make objects ‘unfamiliar’, to increase the difficulty and length of perception because the process of perception is an aesthetic end in itself and must be prolonged.” (Bennet, 1979: 31) Dalam monografnya tentang Tristram Shandy, karya Sterne Shklovsky menfokuskan perhatiannya
pada cara yang ditempuh pengarang di dalam
mendefamiliarisasi lakuan-lakuan biasa dengan memperlambat, mengulur, atau menyisipinya. Teknik penundaan dan perpanjangan lakuan itu memancing perhatian kita, sehingga pemandangan-pemandangan dan gerakan-gerakan biasa tidak mungkin lagi ditanggapi secara otomatis dan begitulah ‘defamiliarisasi’ itu. “In his monograph on Sterne’s Tristram Shandy, Shklovsky draws attention to the ways in which familiar actions are defamiliarised by being slowed down, drawn out or interrupted. This technique of delaying and protracting actions makes us attend to them, so that familiar sights and movements cease to be perceived automatically and are thus ‘defamiliarised’. (Newton, 1986: 10) Bentuk defamiliarisasi terlihat ketika Sterne mengungkapkan ‘Mr. Shandy, lying despondently on his bed after hearing of his son Tristram’s broken nose, …’ (Selden, 1986: 10-11) Shandy terbaring sedih di tempat tidurnya setelah mendengar berita tentang putranya, Tristam mengalami patah hitung. Secara konvensional, ini seharusnya dapat diungkapkan ‘ he lay mournfully upon his bed’ (Selden, 1986: 11), ia berbaring dengan sangat sedih di tempat tidurnya’. Namun Sterne mendefamiliarisasikan sikap Shandy dengan mengungkapkannya seperti berikut ; “The palm of his right hand, as he fell upon the bed, receiving his forehead, and covering the greatest part of both his eyes, gently sunk down with his head (his elbow giving way backwards) till his nose touch’d the quilt; - his left arm hung insensible over the side of the bed, his knuckles reclining upon the handle of the chamber pot …” (Newton, 1986: 11)
7
Ketika ia menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur, telapak tangan kanannya menutupi kedua matanya, perlahan-lahan tertelungkup dengan siku menghadap ke belakang hingga hidungnya menyentuh selimut: -lengan kirinya terjuntai lunglai di sisi tempat tidur, bukubuku jarinya tersandar lesu pada pegangan pispot. Ini adalah contoh menarik yang memperlihatkan betapa seringnya defamiliarisasi mempengaruhi tidak hanya persepsi tetapi juga presentasi suatu persepsi. Pada awalnya para formalis pertama-tama ingin membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sejarah atau penelitian kebudayaan. Mereka mencari ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lain, ciri itu disebut literariness: “The material of poetry is neither images not emotions, but words … Poetry is verbal act” (Zirmunsky, dalam Teeuw) Artinya bahan puisi bukanlah imaji atau emosi, melainkan kata-kata.
Puisi adalah tindak bahasa atau kata.
Puisi adalah
pemakaian bahasa yang sign-oriented, terarah pada tanda-tanda, bukan kenyataan. Kaum Formalis menolak anggapan bahwa teks karya sastra adalah pencerminan individu atau pun gambaran masyarakat. Menurut mereka, teks karya sastra adalah fakta kebendaan yang terbangun atas kata-kata. Bangunan kata-kata itu memiliki kaidah, struktur, dan peralatan khusus yang harus dikaji dengan tujuan untuk memahaminya, bukan untuk menjelmakan dalam bentuk lain, seperti sebagai pengetahuan psikologis, sosiologis, atau historis. Jadi, teks karya sastra adalah objek tersendiri yang dikaji secara khusus. Kaum formalis lebih memusatkan perhatian pada ‘keganjilan’ teks sastra dalam upaya menampilkan kekhasan karya sastra. Konsep ‘defamilarisasi’ dan ‘deotomatisasi’
8
merupakan dua konsep yang digunakan kaum formalis untuk mempertentangkan karya sastra dengan kehidupan atau kenyataan sehari-hari. Apa yang sudah biasa dan secara otomatis diserap, dalam karya sastra dipersulit atau ditunda pemahamannya sehingga terasa asing dan ganjil atau aneh. Tujuannya adalah agar pembaca lebih tertarik pada bentuk, dan lebih menyadari hal-hal di sekitarnya. Pada mulanya kaum formalis terkesan semata-mata hanya membicarakan puisi. Misalnya, Jakobson lebih sering berbicara tentang puisi dalam kaitannya dengan fungsi puitik bahasa “poetry is an utterance oriented towards the mode of expression”. Namun demikian, di sisi lain kaum formalis lebih menfokuskan perhatiannya pada ‘keganjilan’ teks sastra dalam upaya menampilkan kekhasan karya sastra. Victor Shlovsky, misalnya, dalam tulisannya yang berjudul Art as Technique menyatakan bahwa “defamilliarization is found almost everywhere form is found.” Pemikiran formalis antara tahun 1914 – 1930 secara jelas menunjukkan perkembangan tertentu. Pengaruh Edmund Husserl, Broder Christiansen dan Ferdinant de Saussure meresap sedikit demi sedikit ke dalam tulisan-tulisan kaum formalis. Salah satu ciri yang kuat dalam aliran formalis adalah hubungannya yang dekat dengan penulisan kreatif. Beberapa kritik formalis dihubungkan erat dengan penulis-penulis futuris. Tynjanov beralih ke penulisan fiksi ketika berteori telah menjadi sangat berbahaya secara politis. Kaum formalis benar-benar mencurahkan sebagian besar perhatian mereka pada aspek-aspek sastra. Dalam naratologi, mereka mencari cara bagaimana berbagai macam episode cerita dihubungkan; mereka meneliti teknik cerita berbingkai dana relasi antara tokoh-tokohnya, terutama yang mempunyai hubungan kekeluargaan. Sarana utama
9
mereka adalah menemukan teknik bagaimana sebuah cerita dibuat. Percakapan di antara tokoh-tokoh tidak diinterpretasikan secara terpisah-pisah, tetapi dilihat sebagai sarana untuk melakukan tindakan dengan memperkenalkan materi baru. “Distinguishing between the concepts of fabula (or story) that is, the temporal-causal sequence of narrated events which comprise the raw materials of the work, and sjuzet (or plot) as the way in which these materials are formally manipulated.” (Bennet 1979: 23) Dalam formalisme Rusia, plot adalah sebuah konsep yang memiliki aspek semantik dan aspek formal. Sementara fabula merupakan produk abstraksi yang agak tinggi, konsep plot tetap lebih dekat pada teks dan kurang memerlukan abstraksi. Fabula diabstraksikan dari materi semantik sehingga merupakan faktor konstituen plot. Kaum formalis sering menghubungkan teori alur dengan gagasan defamiliarisasi: alur mencegah kita dari cara memandang peristiwa-peristiwa sebagai hal yang khas dan yang sudah lazim. Ejchenbaum menjelaskan konsep plot lewat motif. Oleh karena itu, plot meliputi ‘jalinan dan hubungan antara motif-motif lewat motivasi mereka’. Pengertian tradisional mengenai motif sebagai konsep tematik telah berubah menjadi konsep komposisional. Orang bisa mendeskripsikan pergeseran dan penekanan ini sebagai perkembangan pengertian tentang motif, dari ‘unit terkecil fabula’ menjadi ‘prinsip konstruksi terkecil plot’. Kemudian kaum formalis mendapatkan bahwa faktor-faktor konstituen cerita tidak terbatas pada motif dan motivasinya. Tokoh-tokoh dan juga latar bisa memegang peranan. Pada tahun 1929 terjadi tekanan politik di Rusia. Shklovsky dan Eichenbaum tetap tinggal di Rusia dengan aktivitas kritik rutin yang terbatas dimana mereka harus
10
bertahan di bawah tekanan Stalin. “Shklovsky and Eichenbaum remained in Rusia where, by limiting their activities to routine textual criticism, they managed to survive the years of Stalinist repression.” (Bennet. 1979: 26 ) Sementara Jakobson pergi meninggalkan Rusia dan menetap di Ceko yang kemudian melahirkan strukturalisme Ceko. “Jakobson migrated westward, eventually reaching Prague where he was to become the doyen of nascent Czech structuralism.” (Bennet. 1979: 26 ) Sekitar tahun 1930 sejarah formalisme secara tiba-tiba berakhir karena situasi politik. “By 1930, Formalism was effectively dead,... (Bennet,1979: 26) Sembilan tesis mengenai ‘Masalah-masalah dalam Studi Sastra dana Bahasa’, yang dirumuskan Tynyanov dan Roman Jakobson pada tahun 1928 menggambarkan posisi tahap akhir formalisme dan pada waktu yang sama memuat pandangan-pandangan awal Strukturalisme Ceko. Istilah- istilah teknis yang bermacam-macam diperkenalkan dan digunakan oleh Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dan lain-lain untuk membedakan faktor-faktor utama yang konstruktif dalam sebuah karya sastra. Perbedaan antara konsep ‘cerita’ (fabula) dan alur’ (sjuzet) mendapat tempat yang sangat penting di dalam teori naratif formalis Rusia. Fabula didefinisikan sebagai ‘deskripsi rangkaian peristiwa’ atau lebih tepatnya sebagai penggambaran rangkaian kejadian dalam tatanan yang urut dan relasi-relasi kausal. Fabula bisa dikenali semata-mata dari sarana-sarana semantic. Konsep fabula digunakan sebagai lawan konsep sjuzet yang biasanya diterjemahkan sebagai ‘plot’ atau ‘struktur naratif’. Menurut kaum formalis, ‘alur’ (sjuzet) adalah cara penyajian materi semantik dalam teks tertentu, sedangkan ‘cerita’ (fabula) hanyalah materi bagi formasi plot. Fabula adalah bahan mentah yang menanti pengelolaan tangan penulis.
11
Kaum Formalis berupaya mengkaji karya sastra genre fiksi dan mencoba lebih memadukan unsur-unsur yang membentuk karya sastra ke dalam suatu sistem yang padu dan menyeluruh. Mereka tidak lagi menjadikan puisi sebagai satu-satunya objek pengkajian, juga tidak lagi terpaku pada sarana-sarana yang ‘mengganjilkan’ atau ‘mengasingkan’ karya sastra. Untuk struktur naratif, Shlovsky mengembangkan teori oposisi ‘fabula (story) dengan
sjuzet (plot). Fabula adalah bahan dasar berupa jalan
cerita menurut logika dan kronologi peristiwa, sedang
sjuzet merupakan sarana untuk
menjadikan jalan cerita menjadi ‘ganjil’ atau ‘aneh’. Dalam teori naratif kaum Formalis Rusia, perbedaan antara ‘story’ (cerita) dan ‘ plot’ (alur) mempunyai peranan yang penting. Mereka menekankan bahwa hanya alur (sjuzet) yang sungguh-sungguh bersifat kesusastraan sedangkan cerita (fabula) hanyalah bahan mentah yang menanti pengolahan tangan penulis. “The distinction between ‘story’ and ‘plot’ is given a prominent place in the Russian Formalists’ theory of narrative. They stress that only ‘plot’ (sjuzet) is strictly literary, while ‘story’ (fabula) is merely raw material awaiting the organizing hand of the writer.” (Selden, 1986: 12) Shklovsky dalam esainya tentang Sterne menyatakan bahwa kaum Formalis mempunyai konsep alur yang lebih revolusioner. Alur dalam Tristam Shandy bukan hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita, melainkan juga semua ‘sarana’ dipergunakan untuk menyela dan menunda perceritaan. Digresi-digresi, permainan-permainan tipografis, pemindahan bagian-bagian, serta deskripsi-deskripsi yang diperluas; semuanya merupakan pemerkosaan susunan peristiwa-peristiwa formal yang diharapkan. Dengan menyimpangi penyusunan alur yang biasa, Sterne menarik perhatian terhadap penciptaan alur
itu
sendiri
sebagai
sebuah
objek
kesusastraan.
Kaum
formalis
sering
12
menghubungkan teori alur dengan gagasan defamiliarisasi; alur mencegah kita dari cara memandang peristiwa-peristiwa sebagai hal yang khas dan yang sudah lazim. “The plot of Tristram Shandy is not merely the arrangement of story-incidents but also all the ‘devices’ used to interrupt and delay the narration. Digressions, typographical games, displacement of parts of the book (preface, dedication, etc.), and extended descriptions, are all devices for making us attend to the novel’s form. … The Formalists, …, often linked theory of plot with the notion of defamiliarisation: the plot prevents us from regarding us from regarding the incidents as typical and familiar. (Selden, 1986: 12) Dalam hal ini justru sjuzet (plot) itulah yang utama di dalam karya sastra. Plot yang bersifat wajar dibuat menjadi ‘ruwet’ atau kacau balau, menimbulkan degresi yang justru dinilai positif oleh kaum formalis. Bagi mereka, penyimpangan dan deotomatisasi dianggap sebagai proses sastra yang mendasar. Boris Tomasheysky menyebut satuan alur yang terkecil sebagai ‘motif’ yang kita pahami sebagai pernyataan tunggal atau lakuan tunggal. Ia membedakan motif ‘terikat’ dan motif ‘bebas’. Motif terikat adalah motif yang diperlukan oleh cerita, sedangkan motif bebas merupakan aspek yang tidak penting ditinjau dari sudut pandang cerita. Namun demikian, dilihat dari sudut pandang kesusastraan motif-motif bebas tersebut secara potensial merupakan fokus seni. Tipe ‘motivasi’ yang paling dikenal adalah apa yang biasa disebut ‘realisme’. Tidak menjadi soal bagaimana sebuah karya sastra secara formal mungkin disusun, namun masih sering diharapkan karya tersebut dapat memberikan ilusi yang nyata. Diharapkan kesusastraan menjadi seperti kehidupan dan dapat diganggu oleh pelakupelaku atau deskripsi-deskripsi yang gagal memenuhi harapan-harapan pembaca secara wajar tentang bagaimana wujud dunia nyata itu.
13
IV. SIMPULAN 1. Berdasarkan uraian-uraian yang terdahulu dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa formalis adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern kaum formalis yang dipengaruhi oleh pemikiran Ferdinand de Saussure. 2. Kaum formalis tidak lagi pusing dengan penolakan ‘isi’ yang tidak terpecahkan, tetapi dapat menghayati prinsip utama ‘defamiliarisasi’, yaitu sebagai perbincangan tentang kesusastraan yang mendefamiliarisasi kenyataan, mereka dapat mulai dengan menunjuk pendefamiliaaarsasian kesusastraan itu sendiri. Unsur-unsur dalam sebuah karya sastra dapat ‘diotomatiskan’; atau mungkin mempunyai sebuah fungsi estetik yang positif. Sarana yang sama dapat mempunyai fungsi estetik yang berbeda dalam karya-karya yang berbeda atau dapat secara total diotomatiskan. 3. Untuk menciptakan pola-pola di dalam suatu karya sastra, pengarang menggunakan metode literary devices. Tujuan metode ini adalah untuk memungkinkan pembaca melihat kenyataan melalui kacamata pengarang, pembaca dapat melihat apa arti kenyataan. Dengan demikian, ia dapat memadukannya dengan pengalamanpengalamannya. Beberapa devices yang ditemukan di dalam setiap cerita adalah konflik, klimaks, nada, gaya, dan sudut pandang. Di dalam cerita terdapat kesatuan cerita yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan yang membentuk cerita. Bagian-bagian tersebut dapat dibedakan menjadi dua. Pertama adalah tiga unsur penting sebagai inti cerita, yaitu tokoh sentral (utama), konflik sentral, dan tema sentral. Kedua terdiri atas unsur- unsur lain yang mendukung ketiga unsur sentral di atas. Namun formalisme tidak menggarap faktor pengarang (author) dan pembaca (reader). Hal itu bertolak dari anggapan bahwa apabila dua faktor itu
14
diperhitungkan, maka pengkajian sastra menjadi tidak bebas lagi sehingga semakin jauh dari taraf ilmiah. Adapun terhadap realitas, kaum formalis melihatnya sebagai berhubungan secara negatif dengan karya sastra, bahkan cenderung bersifat subversif.
DAFTAR PUSTAKA Abbot, H. Porter. 2002. The Cambridge Introduction to Narrative. Cambridge: University Press. Bennet, Tony. 1979. Formalism and Marxism. Great Britain: Richard Clay (The Chaucer Press) Ltd. Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua puluh. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kenan, Rimmon & Shomith. 1983. Narrative Fiction, Contemporary Pietics. Great Britain: Richard Clay (The Chaucer Press) Ltd. Newton, K. M. 1990. Twentieth-Century Literary Theory. Great Britain: Macmillan Education Ltd. Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Great Britain: The Harvester Press Limited. Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini (terj. A Reader’s Guide To Contemporary Literary Theory). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Stanton, Robert.1965. An Introduction to Fiction. USA: Holt, Rinehard and Winston, Inc. Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
15