For those who believe that time is the perfect healer.
1
Satu
“Sometimes I wish I were a little kid again, skinned knees are easier to fix than broken hearts.” - Author Unknown
Jenna “Semua laki-laki itu kambing, Ken.” kelima kalinya, aku, Jenna Felicia Adrian dikecewakan oleh laki-laki. Aku nggak habis pikir, sudah kelima kalinya! Lima kali! Ini aku yang keterlaluan polos, terlalu bego, atau memang aku terlalu mudah percaya pada lakilaki? Gosh! Boys are such a pain in the ass! Ken mendesah, tetapi matanya masih fokus kepada reality show yang sedang hits banget di televisi. “Kendall! Eyes on me!” kataku, ketus. Ken mendecak, lalu ia segera mematikan televisi. “Astaga, Jenna, cerewet deh!” dan akhirnya, ia pindah dan duduk di sampingku. Dengan wajah dan gesture yang sudah sangat kukenal. Ekspresi dan gesturenya yang akan menasihatiku panjang lebar. “Gue kan dari awal udah bilang sama lo, Jen. Sebaik apapun, se-well-mannered apapun cowok itu, tetap aja dia manusia yang bisa ngecewain lo juga.” Sebenarnya aku paling merasa kesal kalau dia merespon curhatanku dengan awalan ‘Kan gue udah bilang sama lo’. Yes, ‘I told you so’ always pisses me off. “Kayaknya dulu lo yang ketar-ketir takut gue yang bosan terus ninggalin dia, Ken. Malah sekarang kayaknya gue yang terlalu ngebosenin buat dia.” keluhku dengan bibir yang selalu manyun setiap menceritakan hal ini kepada Ken. Ken tertawa mendengar kesewotanku. “Menurut gue, Angga itu orang yang selalu memikirkan segalanya matang-matang, Jen. Maybe he truly did, didn’t want to hurt you at 2
the beginning. Gue bisa lihat kok, dia juga suka banget sama lo.Dia berubah pikiran aja. That’s it.” “Kayaknya gampang banget ya, buat dia tiba-tiba berubah pikiran begitu?” “Gue tahu, susah banget buat lo untuk ngerti maksud dia. But he is also human being like us, Jen. He makes mistake, and he hurts people. Dengan dia yang mengakhiri ini semua dengan alasan lebih memprioritaskan masa depan lo, itu cara halusnya supaya lo nggak jauh lebih dalam lagi cinta sama dia, begitu juga dia. Terus, dia juga bilang kan, dia mau sukses dulu? Baru ngurusin cinta-cintaan?” Aku memutar kedua bola mataku. “Girl, seriously? I respect his principle thinking and those entire mainstream ideas of him wanting both of us to be success first, I agree. Tapi gue nggak bakalan naik ke pelaminan besok siang juga kali.” Ken tertawa. “Jen, what should you do to change his mind now? Nothing, right? Terima aja, Jen. Terima.” Aku diam, malah memainkan ujung rambutku. “Jen, laki-laki mana sih yang nggak jatuh cinta sama lo? Maksud gue, Angga juga nggak mau terlalu dalam cinta sama lo. Dia juga udah terperangkap sama lo yang segitunya sama dia. Dia nggak mau kedepannya, kalian jadi sama-sama menutup diri untuk kemungkinan yang lebih baik.” “Maksudnya nyari aman kali, ya,” ujarku, masih menyindir. Ken mendesah lagi. “Intinya Ken, tetap aja kambing.” Ken tersenyum. “Hei, udah lewat kan masalahnya? Udahlah, lupain aja. Sumpah, Jen, cowok ganteng di dunia ini yang nggak akan nyakitin lo masih ada. Tenang aja.Lo pantas dapetin orang yang lebih baik dari Angga atau kambing-kambing manapun yang udah nyakitin lo. Jadiin aja ini pelajaran buat lo. Nanti kedepannya, lo bakal jadi lebih kuat lagi
3
dengan terjadinya ini.” Ken ini memang paling bisa menceramahiku dengan gaya bicaranya yang seperti Mario Teguh. “Harusnya sekarang gue udah kekar kali, kayak Ade Rai.” Ken tertawa. Kendall Aurel adalah sahabatku sejak SD. Saat kelas tiga, aku bertemu Ken di lorong sekolah, dulu Ken ini nggak punya teman, kuper, alias kurang pergaulan. We met at school’s corridor that time. When every kidwas getting to know each other, Ken malah mojok di dekat pintu kelas dengan wajah melas. Akhirnya, aku yang menghampirinya dan mengajak Ken kenalan. Si cewek manis berdarah Sunda-Bali ini adalah manusia paling heboh dan bawel sedunia angkasa. Analogi yang gampangnya gini deh, ya, bayangin Ibu-ibu arisan sama Ibuibu lagi beli sayur jadi satu. Tuh, Kendall Aurel tuh seribet dan serempong segerombolan Ibu-ibu itu. Tapi, Ken untukku adalah seorang dokter hati. Meaning ; seseorang yang selalu ada untuk mengobati rasa sakit yang mostly ada di hatiku. She means a lot to me. Orang ini paling ribet dan memang doyan banget mengurusi hidupku. Ken itu kayak Bunda keduaku. Dia yang selalu make sure kalau semuanya aman terkendali kalau dia yang mengendalikan. Ribet memang, tapi sekali ngomong, bijaknya ngalahin Oprah, lho.But I love her the way she is. Anyway, why am I here, talking about this guy called Angga anyway?Mungkin karena cowok itu baru saja merusak penilaianku tentang bahagiaselamalamanya. Aku nggak pernah percaya, kalau ‘you don’t know if you don’t try’ itu berlaku untuk hati seseorang. Contohnya, kayak yang sering sekali terjadi, seorang laki-laki mencoba mendekati perempuan, lalu dia merasa tidak cocok, bosan, lalu ditinggalkan. Kelar.Man, please give me explanation for that one. Teori ini mungkin nggak berlaku untuk pria manapun, ya. Kalau aku bahas ini dengan teman laki-lakiku, mereka pasti pasang statement ; ‘Ya, emang itu kan,
4
tujuan pedekate? Deketin, cocok, jadi. Nggak, ya udah, tinggalin’. Kurang kambing apa lelaki di era millennium ini? He was just like a time bomb. Meledak di saat yang salah. Berubah pikiran di saat semuanya terasa begitu benar. Nggak perlu deh, ya, aku ceritain gimana sweet-nya Angga dulu ke aku. Kekinya aku saja sudah sampai pada level melabelkan dia sebagai kambing. That, for me, sudah bete setengah mati. Angga memang sudah resmi menjadi salah satu dari cowok-cowok kambing di hidupku, biarpun aku dan dia masih tetap berteman. Tapi tetap saja, nasi sudah jadi bubur, something will never happen twice, Darling. “Most importantly, don’t be traumatic because of this.” tambah Ken. Ucapannya yang satu ini mungkin sudah kudengar seribu kali. Aku sampai bosan mendengarnya. Maka aku hanya mengangkat bahu, menunjukan kepada Ken kalau aku sungguh bosan dengan ucapannya. “Yee, gue serius nih. Jangan lo musuhin semua cowok gitu, kali.” Aku terkekeh. “Iya Kendall, iya. Berdoa aja ya, semoga di hari berikutnya Bundabunda cantik manapun nggak akan melahirkan bayi laki-laki yang gedenya nanti bakal kasih harapan palsu buat perempuan di sekitarnya. Semoga mereka kalau deketin cewek, ditembak ya, Kendall. Nggak dikasih harapan doang. Amin.” Ken tertawa geli kali ini. Aku pun ikut terkekeh melihat tawa Ken yang geli begitu. “Anyway, where’s Luca? Kok nggak nongol di jendela dari tadi?” Aku menggeleng tidak tahu, sembari melirik jendela tepat di sebelah kamarku. Tirainya tertutup, tidak terbuka sama sekali sejak pagi. Luca Kenta Antonio, kalau yang satu ini adalah sahabatku sejak. . . Katakanlah kami ditakdirkan untuk bersahabat sejak lahir. Laki-laki berdarah Jepang-Padang yang satu ini terkenal sekali di sekolahku. Katanya sih, ganteng, dia juga ketua ekskul musik. Humble, tapi usil. Charming, tapi kepedean. Agak dingin kalau sama perempuan yang baru ia kenal, kayak kulkas.
5