Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
Suatu hari, usai menghadang para penebang hutan, Chico Mendes berdiskusi dengan Wilson Pinheiro di kedai kopi. Kata Chico, “Apalah artinya pengorganisasian tanpa pendidikan.” “Apa pula artinya pendidikan tanpa pengorganisasian,” balas Pinheiro. “Seratus orang tanpa pendidikan, itu pemberontakan. Dan satu orang dengan pendidikan dan pengorganisasian, adalah awal dari pergerakan dan pembebasan”, tegas Chico.
Dialog tersebut, hanya ada di film The Burning Season (1993). Sebuah film yang berangkat dari kisah nyata Chico Mendes, seorang pahlawan hutan tropis Amazon, Brazil. Chico bersama komunitas masyarakatnya yang bekerja sebagai penyadap karet, berjuang melawan penebangan hutan oleh pemilik modal yang menginginkan kawasan itu jadi lahan industri.
Perlawanan Chico dengan mengorganisir komunitasnya, bersama kawan aktivis serikat pekerja, Wilson Pinheiro, dianggap menghambat kemajuan Amazon oleh para kapitalis. Tapi, Chico tidak menyerah begitu saja untuk menyadarkan masyarakatnya tentang realitas yang merampas hak-hak hidup mereka. Meski akhirnya sebutir peluru para kaki tangan kapitalis menembus jantung Chico dan Pinheiro, tapi perjuangan mereka bersama masyarakat membuahkan hasil. Pemerintah federal Brazil akhirnya merestui kawasan hutan hujan itu (sekitar 2,5 juta hektar), menjadi Suaka Alam Chico Mendes. Kini kegigihan dan keterampilan Chico dalam mengorganisir masyarakat, menginspirasi banyak orang untuk berbuat yang sama, bergerak melawan kesewenang-wenangan.
Selain kisah Chico, barangkali masih melekat dalam ingatan kita peristiwa 1998 yang mengiringi reformasi di negara kita, Indonesia. Dalam peristiwa ini, tiga orang ibu, Karlina Supelli, Gadis Arivia, dan Wilasih, ditangkap. Sebelumnya mereka telah melakukan demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, mempertanyakan naiknya harga-harga susu. Siapa menyangka, demonstrasi tentang harga susu oleh segelintir orang ini, mampu menggerakkan gelombang aksi protes besar- besaran sesudahnya, dari hampir semua elemen masyarakat, untuk mengkritisi carut-marutnya sistem politik negara Orde Baru.
Kisah-kisah tersebut di atas setidaknya cukup menginspirasi kita tentang pentingnya pengorganisasian dalam kehidupan masyarakat. Apalagi jika pengorganisasian itu ditujukan untuk membangun keadilan sosial. Dalam semboyan Islam, ’isy kariiman au mut syahiidan.
1 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
Jika hidup, manusia harus hidup sebagai manusia yang mulia, tanpa diskriminasi dan pelanggaran hak-hak dasar lelaki dan perempuan; atau jika mati, matilah sebagai orang yang telah memberi manfaat bagi kehidupan, karena memperjuangkan keadilan bagi masyarakat umum. Reflek si Pengorganisasian dalam Sejarah Islam Kita sering mendengar adagium, “suatu kebaikan yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh suatu keburukan yang terorganisir”. Dahulu di jaman Rasulullah, Muhammad saw., barangkali istilah pengorganisasian masyarakat di tingkat basis ini, atau CO (Community Organizing), tidaklah dikenal. Apalagi Rasulullah saw. digambarkan sebagai ummi. Ia bukanlah orang yang “berpendidikan” lagi pandai baca-tulis, ataupun ahli kajian analisis sosial kemasyarakatan dari sebuah perguruan tinggi ternama dunia. Tapi faktanya, apa yang dilakukan Nabi saw. adalah sebentuk upaya penyadaran masyarakat untuk bergerak keluar dari kondisi hidup yang penuh ketimpangan di mana- mana.
Tidak hanya Nabi Muhammad saw., pendahulunya, Nabi Musa dan Isa as. juga dikenal luas sebagai tonggak utama gerakan pembelaan umat yang tertindas, suku-suku yang terhina, dan kelompok-kelompok yang semakin terdesak ke pinggiran (termarjinalkan). Bagi komunitas masyarakat saat itu, mereka berperan sebagai penggerak, pendamping, sekaligus orang yang memfasilitasi apa yang menjadi harapan dan kebutuhan umat untuk keluar dari kungkungan kejahiliyah an, penderitaan, dan penistaan hak-hak asasi manusia. Konsep agama yang mereka bawa merupakan gerakan kritik sosial yang kritis atas penistaan umat manusia, lelaki dan perempuan di dunia. 1
Sebelum menjadi utusan Allah swt., Nabi Muhammad saw. telah hidup di tengah masyarakat Arab yang melanggengkan kondisi jahiliyah; sebuah kondisi hidup yang jauh dari moralitas; tidak mengenal keadilan; masyarakatnya patriarki dan penyembah berhala. Pembunuhan dan penistaanterhadap perempuan, serta perbudakan mewarnai kehidupan masyarakat. Mereka tidak peduli pada nilai kesetaraan dan hak-hak dasar lelaki dan perempuan. Bagi mereka saat itu, perempuan adalah makhluk hina, tak berguna dan hanya jadi beban keluarga. Eksistensi perempuan tak dianggap dan hanya dijadikan barang milik yang dapat diwariskan.
Di tengah masyarakat jahiliyah itu, Nabi Muhammad saw. hadir membawa misi pembebasan bagi manusia dari kegelapan menuju kehidupan yang terang-benderang. “Alif, laam raa.(Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelapgulita kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 1)
2 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
Jauh sebelumnya, di masa Nabi Musa as., kehidupan masyarakat Bani Israil juga dibuat resah oleh kebijakan seorang raja zalim bernama Fir’aun. Ia memerintah negaranya dengan kekerasan dan penindasan. Rakyatnya, terutama bangsa Nabi Musa, suku Bani Israil yang jadi sasaran kekejaman, hidup dalam ketakutan dan rasa tidak aman tentang jiwa bayi-bayi lelaki mereka. Sebab, setelah seorang ahli nujum kerajaan meramal akan lahir bayi lelaki dari kalangan Bani Israil yang kelak jadi musuh kerajaan dan membinasakan Fir’aun; ia lalu memerintahkan tentaranya untuk membunuh setiap bayi lelaki dari penduduk Bani Israil.
Namun, dengan segala upayanya, seorang perempuan bernama Yukabad, istri Imron bin Qahat bin Lawi bin Ya’qub, berhasil menyelamatkan bayi laki-lakinya. Bayi yang akhirnya kita kenal sebagai Nabi Musa as. ini, hadir pula untuk membebaskan masyarakatnya dari penindasan penguasa.
Demikian, pada dasarnya di setiap komunitas masyarakat atau sekelompok umat akan selalu ada seseorang atau sekelompok orang yang hadir sebagai pembebas. Alquran sendiri telah menghimbau agar tiap umat Islam menjadi pembebas sekaligus pembela kelompok tertindas dan golongan lemah (QS. An-Nisa: 75). Upaya pembelaan ini tidak lain untuk menegakkan keadilan bagi seluruh masyarakat dalam semua sistem sosial. Apa yang telah dilakukan para Nabi itu,adalah termasuk upaya penggorganisasian untuk menolak segala bentuk ketidakadilan.
Selanjutnya, bagaimana dengan realitas umat saat ini? Bagaimana pemberdayaan masyarakat di tingkat basis digalang untuk menegakkan hak asasi umat manusia, lelaki dan perempuan? Bagaimana pula refleksi komunitas agama atas upaya pendidikan dan pengorganisasian umat ini? Pengertian Pengorganisasian Pengorganisasian komunitas adalah suatu kegiatan yang dilakukan individu-individu atau sekumpulan orang, yang didorong oleh kesadaran tentang persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat tertentu. Lalu mereka bersama-sama berupaya melakukan perubahan, atau memecahkan persoalan dengan menggunakan segala potensi yang dimiliki masyarakat tersebut. 2
3 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
Dalam pengorganisasian komunitas atau Community Organizing (CO), pemeran utama dari perubahan adalah masyarakat itu sendiri. Sedang Community Organizer atau pengorganisir mengambil peran sebagai katalisator yang mempercepat perubahan. Pengorganisir berperan merangsang tumbuhnya kemampuan masyarakat untuk menentukan langkahnya sendiri dan menolong dirinya sendiri. 3 Ini tidak lain agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar; mengembangkan diri melalui pemikiran dan tindakan yang dirumuskan sendiri secara kolektif, sesuai kebutuhan dan cita-cita mereka bersama.
Dave Beckwith dan Cristina Lopes pernah mengemukakan, intinya pengorganisasian merupakan agenda pemberdayaan masyarakat melalui pengorganisasian komunitas sebagai proses membangun kekuatan, dengan melibatkan konstituen masyarakat sebanyak mungkin. Konstituen ini diajak untuk menemu-kenali permasalahan dan penyelesaiannya. Mereka biasanya juga diajak menemu-kenali orang atau struktur birokrasi dan perangkat yang ada, agar proses penyelesaian yang dipilih bersama mungkin untuk dilakukan. Selain itu, menurut Dave dan Cristina, dalam proses pengorganisasian konstituen juga diajak membangun institusi dan ruang publik yang lebih demokratis. 4 Paulo Freire, pencetus konsep pendidikan untuk pembebasan asal Brazilia berpendapat, strategi pengorganisasian komunitas harus berangkat dari kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Pengorganisasian juga harus menekankan kolektivitas dalam semua penyelesaian masalah, membuat keputusan, dan merencanakan kegiatan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengembangkan potensi kepemimpinan masyarakat setempat untuk membangun organisasi atau ruang publik yang lebih terbuka dan legal; dapat diketahui siapa pemimpin, anggota, dan apa kegiatannya. Namun, institusi atau organisasi ini hanya alat mencapai tujuan, bukan tujuan dari pengorganisasian itu sendiri. 5
Menurut Freire, “pengorganisasian” juga bagian dari bentuk “pendidikan” yang membebaskan, yang memiliki tujuan mulia, memanusiakan manusia. Ini sebagaimana yang diresapi oleh Chico Mendes dan Pinheiro. Sebab itu, pengorganisasian komunitas harus mengutamakan pembangunan kesadaran kritis dan penggalian potensi pengetahuan masyarakat, melaui dialog-dialog atau musyawarah yang lebih demokratis. Karena pengorganisasian komunitas sesungguhnya bertujuan membentuk tatanan masyarakat yang berperikemanusiaan; menjunjung nilai-nilai demokrasi; adil; terbuka; berkesejahteraan ekonomi, politik dan budaya; tanpa diskriminasi ras, kelompok, agama, dan jenis kelamin. 6 Pengorganisasian untuk Hak-hak Perempuan H.A.R. Tilaar berpendapat, dalam kerja pengorganisasian untuk penguatan hak-hak perempuan ini, perempuan harus terlibat langsung dalam upaya perubahan sosial tersebut. Mereka harus terlibat dalam pemberdayaan komunitasnya dan bukan hanya menjadi obyek perubahan sosial. Sehingga, seluruh potensi perempuan dapat berkembang tanpa mengalami diskriminasi. 7
4 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
Mengapa dalam pengorganisasian, perempuan harus terlibat langsung baik secara individu maupun kolektif? Sebab, dalam pandangan Midgley, sebagai- mana dikutip Rr. Suhartini, pemberdayaan untuk perubahan sosial itu dapat menggunakan tiga strategi. a) Melalui individu dengan tanpa membeda- bedakan jenis kelamin. Individu-individu ini secara swadaya bisa membentuk upaya bersama, memberdayakan masyarakatnya. b) Melalui komunitas. Di sini kelompok masyarakat secara bersama-sama bisa berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. c) Melalui pemerintah. Di sini, pemberdayaan dilakukan lembaga-lembaga yang ada dalam organisasi pemerintah. Meski strategi terakhir ini bisa dilakukan, tapi biasanya akan menemui kendala-kendala yang kontra-produktif terhadap penguatan hak-hak perempuan; semisal, masih tingginya bias gender dalam institusi pemerintah. 8 Dalam pengorganisasian masyarakat berdimensi gender ini, pemberdayaan juga diarahkan untuk membangun relasi setara antara laki-laki dan perempuan. Sebab, selama ini perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan cenderung dijadikan alasan pembeda antara peran laki-laki dan perempuan untuk terlibat aktif dalam proses-proses pemberdayaan masyarakat. Padahal, perempuan perlu mengambil sikap atas berbagai persoalan sosial dan lingkungannya yang bisa mengurangi atau mengancam hak-hak dasar mereka. Perempuan berhak mengontrol kehidupan mereka sendiri, dan berusaha membentuk masa depan sesuai keinginan dan cita-cita luhur bersama, melalui proses-proses pengorganisasian komunitas. 9 *** Selain hal-hal tersebut, secara statistik dan mungkin realitas, jumlah perempuan lebih besar dari laki-laki. Namun proses pemberdayaan dan pembangunan sosial yang melibatkan keduanya, masih susah dikembangkan. Kalaupun bisa diupayakan, perubahan yang dihasilkan tidak bisa langsung jadi. Perubahan itu baru bisa dirasakan setelah beberapa generasi. Artinya, meski perempuan terlibat pemberdayaan untuk perubahan sosial hari ini, ia tidak serta merta bisa me- nikmatinya. Bisa jadi ia tidak merasakan hasilnya sama sekali, kecuali anak-cucu dan cicitnya, yang tetap mau meneruskan upayanya di kemudian hari. 10
Itu sebabnya, meski masih banyak kendala, perempuan harus ikut ambil bagian dalam kerjakerja pengorganisasian.Dalam pandangan Mansour Faqih, ada beberapa kendala yang dialami perempuan untuk terlibat langsung dalam proses pemberdayaan masyarakat. 11
a) Kendala struktur sosial, yang masih memperhadapkan perempuan dan laki-laki; yang menempatkan lelaki dalam wilayah publik, dan perempuan di wilayah domestik. b) Kendala minoritas unik. Posisi lemah perempuan kurang disadari perempuan sendiri. Selain itu masih ada kelompok perempuan yang tetap tenang walau kelompok perempuan lain sedang prihatin, terhegemoni dan terpinggirkan. Apa yang dipandang sebagai persoalan oleh
5 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
sekelompok perempuan, kadang tidak dianggap persoalan oleh kelompok perempuan lainnya. c) Kendala mitos. Mitos-mitos yang membuat perempuan makin tersubordinat biasanya telah lama mengendap dalam pemahaman masyarakat luas. Sehingga perempuan sendiri menerima dirinya sebagai subordinat. Perbedaan lelaki dan perempuan mestinya tidak jadi pembeda yang menguntungkan satu pihak dari keduanya. Tapi harusnya, mampu menciptakan hubungan harmonis yang didasari sikap setara penuh kasih sayang, untuk membentuk komunitas masyarakat ideal dalam negeri yang damai (QS. Ar- Rum: 21). Berangkat dari kesadaran itu, beragam inisiatif telah dilakukan perempuan yang berada di tingkat akar rumput. Sebagai contoh, PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) yang dulu bernama “Widows Project” (Proyek untuk Janda). Upaya komunitas perempuan kepala keluarga ini, perlahan telah mampu membuat perubahan sosial dengan mengangkat martabat janda dalam masyarakat yang selama ini terlanjur mempunyai stereotip negatif terhadap mereka. Di Indonesia pada 2007, jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan mencapai 13.60 persen atau sekitar 6 juta rumah tangga, atau lebih dari 30 juta penduduk. Karenanya, PEKKA menggunakan empat pilar pemberdayaan untuk turut ambil bagian dalam perubahan sosial, yaitu pembentukan visi (vision- ing); peningkatan kemampuan (capacity building); pengembangan organisasi dan jaringan; serta advokasi untuk perubahan. 12
Selain PEKKA, ada pula Urban Poor Consortium (UPC). Organisasi yang diketuai Wardah Hafidz yang berdiri pada 1997 ini, menumpukan gerakannya pada penumbuhan kesadaran kritis rakyat melalui penyebarluasan informasi. Selain mengkritisi kasus-kasus penggusuran di pemukiman masyarakat miskin kota, UPC juga mengembangkan inisiatif-inisiatif kegiatan ekonomi berbasis pengetahuan dan sumberdaya komunitas. Seperti berjualan minuman segar buatan sendiri, semisal beras kencur dan wornas (wortel nanas) di sekitar Kelompok Belajar Anak (KBA). Mereka, para ibu-ibu dampingan UPC, juga aktif mengadvokasi makanan anak-anak yang berpewarna sintetis dan mengandung zat adiktif. 13 Selain dua komunitas tersebut, masih banyak komunitas-komunitas masyarakat yang telah menunjukkan keberhasilan keterlibatan perempuan dalam proses CO. Karenanya, pengorganisasian berbasis (hak-hak) perempuan bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Pesantren, Basis Penguatan Hak-hak Perempuan Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan agama Islam yang biasanya terletak di pedesaan,dengan peserta didiknya juga masyarakat pedesaan. Meskipun saat ini telah banyak pesantren modern yang terletak di perkotaan, dengan peserta didik masyarakat kota yang haus ilmu-ilmu agama. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, secara sederhana pernah memperkenalkan pesantren sebagai a place where santri (student) live. 14 Pesantren menurutnya juga sebagai subkultur, karena memiliki tiga elemen utama. Yaitu, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptasi negara; kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan yang diambil dari berbagai abad; dan sistem nilai yang dianut. 15
6 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
Dengan menyatakan pesantren sebagai subkultur, artinya pesantren tidak hanya diidentifikasi sebagai kenyataan fisikal, seperti adanya pondok yaitu tempat tinggal kyai dan santri, masjid, kitab- kitab klasik yang dikaji, santri sebagai pelajarnya, atau kyai dan ulama sebagai pengasuhnya. Tapi juga, tradisi-tradisi dan nilai-nilai yang ada membuatnya berbeda dengan lembaga pendidikan lain. Tradisi, pola hidup, serta relasi pesantren tersebut realitasnya tidak hanya dianut komuni- tasnya saja, tapi juga masyarakat sekitar yang tradisional dan bersahaja. Sehingga pesantren jadi sebuah lembaga yang paling banyak berhubungan dengan rakyat, karena jadi sarana informasi dan komunikasi timbal balik secara kultural dengan umat. 16 Dengan relasinya bersama masyarakat yang kompleks itu, Mansour Faqih telah menyebut pesantren sebagai lembaga pemberdayaan, pembebasan, dan pendampingan umat. Tentunya, hal ini dilakukan dengan membuka peluang dan refleksi bagi pesantren itu sendiri, untuk turut aktif melakukan penyadaran terhadap masyarakatnya, guna melanjutkan tegaknya masyarakat adil, sejahtera, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi umat, lelaki dan perempuan.
Pengorganisasian dan pemberdayaan komunitas masyarakat ini menjadi menarik karena berbasis pada pesantren. 17 Sebab, selama ini kerja- kerja pengorganisasian lebih banyak berbasis pada komunitas tertentu, semisal tani, nelayan, dagang, atau buruh di pabrik-pabrik industri yang banyak mengalami eksploitasi dan pelanggaran hak-hak kerja.
Dengan berbasis pesantren, Sukidi berpendapat, kerja-kerja pengorganisasian untuk pemberdayaan dan penguatan hak-hak perempuan, serta upaya membangun relasi adil dan setara antara lelaki dan perempuan akan lebih kuat dan mengakar ke masyarakat. Alasannya, dari segi jumlah, pesantren ada dan tersebar hampir di seluruh Indonesia. Sedang, dari segi sumberdaya, komunitas pesantren sarat dengan potensi-potensi yang siap ‘berdaya’ menjadi agen pemberdayaan masyarakat. Seperti para kyai, nyai, santri, dan komunitas sekitarnya.
Upaya pengorganisasian berbasis pesantren ini telah banyak dilakukan bersama-sama organisasi non-pemerintah. Sekitar 1990-an, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) bersama komunitas pesantren memperkenalkan program pemberdayaan ekonomi, fiqh siyasah, dan fiqh al-nisa di kalangan kyai dan nyai pesantren. Selanjutnya, pada 2000-an, Puan Amal Hayati dengan FK3-nya (Forum Kajian Kitab Kuning) juga melakukan kerja-kerja pemberdayaan, mengkritisi teks-teks misoginis dalam Kitab Uqud al- Lujjayn. Belakangan, Puan juga berkonsentasi pada pembangunan Women Crisis Center (WCC) berbasis pesantren. Kehadiran lembaga semacam ini diteruskan oleh Rahima, dengan berupaya membangun kesetaraan gender melalui penyemaian kader-kader ulama atau tokoh
7 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
agama yang memiliki perspektif kuat tentang keadilan dan kesetaraan relasi antara lelaki-perempuan; dengan berbasis referensi maupun kekhasan komunitas pesantren. *** Berbagai upaya pengornaisasian masyarakat berbasis pesantren ini bukannya tanpa hambatan. Hambatan dasar itu tidak lain adalah mapannya stereotip-stereotip negatif tentang perempuan. Apalagi stereotip itu didukung teks-teks klasik yang bersumber dari Kitab Kuning.
Namun beruntung, walau beragam stereotip itu selama puluhan tahun telah lebih dulu mengakar dalam pemahaman masyarakat dan komunitas pesantren akibat penafsiran yang bias gender dan patriarki, hal ini telah mulai bisa “diadvokasi” oleh komunitas pesantren sendiri. Misalnya saja, saat ini dari komunitas-komunitas pesantren mitra Rahima, telah banyak muncul pesantren penggerak pemberdayaan masyarakat untuk hak-hak perempuan. Seperti, PP. Al-Hamidiyah, Depok-Jabar; PP. An-Nizhomiyyah, Pandeglang-Banten; PP. Aqidah Usymuni, Sumenep-Madura; PP. Nurul Huda, Garut- Jabar; PP. Al-Ittihad, Rawabango-Cianjur-Jabar; atau PP. Nurul Islam, Jember-Jatim; dan sebagainya. Pesantren-pesantren ini telah melakukan upaya penyadaran terhadap masyarakat tentang nilai-nilai kesetaraan antara lelaki dan perempuan.
Selain hal tersebut, upaya pemberdayaan berbasis pesantren juga telah menghasilkan kitabkitab yang lebih berperspektif keadilan, yang diprakarsai sejumlah ulama Indonesia seperti Nyai Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid; KH. Husein Muhammad; Badriyah Fayumi; Faqihuddin Abdul Kodir; dan lainnya. Karya mereka ini seperti yang tertuang dalam buku tentang analisis kritis Syarh ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huquq al-Zawjayn karya Muhammad Ibn Umar al-Banteny al-Jawy (1230/1813-1316/1898). Tampak dari sini, pengorganisasian berbasis komunitas pesantren ini, juga bukan hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan. Pengorganisasian, Sebuah Pilihan Sadar Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah pilihan sadar yang harus terus-menerus dikembangkan untuk mewujudkan masyarakat demokratis, berkeadilan dan setara dalam membangun hak-hak asasi manusia. Kita ketahui perempuan adalah salah satu kelompok masyarakat yang mengalami peminggiran dan kerap mendapat pengurangan hak-hak dasar sebagai manusia seutuhnya. Karenanya, penguatan dan penegakkan hak-hak perempuan perlu menjadi satu keber- pihakan yang harus dilakukan dalam beragam upaya oleh segenap elemen masyarakat. Baik itu individu, akademisi, organisasi masyarakat, maupun organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya, dan juga institusi-institusi pendidikan di sekitar kita.
8 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
Secara individu, Rasulullah saw. juga para utusan Tuhan lainnya telah mencontohkan bagaimana melakukan pemberdayaan terhadap umat ini. Secara sadar mereka telah memilih jalan pembebasan manusia itu sebagai pilihan hidup, untuk menjadikan masyarakatnya lebih berkualitas; tercerahkan; keluar dari kegelapan hidup menuju kondisi yang terang-benderang. Sebab upaya ini akan bisa jadi ukuran ketakwaan individu; dan ukuran takwa itu adalah keadilan. “Berlaku adillah, dan itu lebih dekat kepada ketakwaan” (QS. Al- Maidah: 8). Artinya, takwa tidaklah berhenti pada ibadah ritual semata, tapi harus disertai upaya tegaknya keadilan. Sedang keadilan tidak akan tercipta tanpa “pembebasan” masyarakat yang lemah, tertindas, dan terpinggirkan.
Bukankah keadilan yang dicapai melalui proses pengorganisasian dan pembebasan adalah tujuan puncak, al-ghayat al-maqshudat, dari syariat Islam? Dan Alquran telah meminta agar setiap muslim menjadi pembela kelompok tertindas dari golongan lemah, sebagaimana para Nabi berasal dan memulai misi kenabiannya.18 Semoga dengan pengorganisasian yang terbangun, setiap kita benar-benar menjadi pewaris mereka, warasatu al- anbiyaa wa al-mursaliin, untuk membangun tatanan sosial hingga mendekati keadilan. Amin. Dari berbagai Sumber, Hafidzoh Almawaliy
Catatan akhir 1. Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Alquran, Depok: KataKita, 2009. 2. Budi Yana Saefullah, dkk, Pengertian Pengorganisasian Rakyat, Indonesian Institute Civil Society (INCIS), Jakarta, 2003. 3. Tb Ace Hasan Syadzily, Pengorganisasian Rakyat sebagai Penguatan Masyarakat Sipil: Sebuah Pengantar, INCIS, Jakarta, 2003. 4. Dave Beckwith dan Cristina Lopez, 1997, dalam A. Wazir Wicaksono dan Taryono D: Catatan Pertama, Pengalaman Belajar Praktek Pengorganisasian Masyarakat di Simpul Belajar, Yayasan Puter, Bogor, 2001. 5. Paulo Fraire, dalam Helmi Ali: Modul Pengorganisasian Masyarakat, Jakarta, 2008. 6. Aritonang, Esrom, Hegel Teremo, dan Syaiful Bahari, Pendampingan Komunitas Pedesaan, Sekretariat Bina Desa, Jakarta, 2001. 7. H.A.R. Tilaar, Pengembangan SDM dalam Era Globalisasi; Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020, Grasindo, Jakarta, 1997. 8. Rr. Suhartini, Pemberdayaan Perempuan,dalam Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi, Dakwah Press Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2005. 9. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender
9 / 10
Fokus Edisi 29 :Pengorganisasian Umat: Upaya Sadar membela Hak-hak Perempuan Ditulis oleh Hafidzoh Almawaliy Kamis, 15 Juli 2010 06:31 - Terakhir Diperbaharui Minggu, 15 Agustus 2010 03:40
(Perspektif Alquran), Paramadina, Jakarta, 1999. 10. Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis,Universitas Indonesia, Jakarta, 2003. 11. Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996. 12. http://www.pekka.or.id 13. http://www.urbanpoor.or.id/id/tentang-upc-2.html 14. Ismail SM., dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. 15. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, LKiS, Yogyakarta, 2001. 16. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2005. 17. Sukidi, Pemberdayaan Perempuan Berbasis Pesantren, dalam http://islamlib.com/id/artikel/pemberdayaan- perempuan-berbasis-pesantren/ 18. Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi,LKiS, Yogyakarta, 2000.
10 / 10