FOBI(A)KUNTANSI: PUISISASI DAN REFLEKSI HAKIKAT
Ari Kamayanti Peneleh Research Institute, Jalan Warung Buncit Raya 405, Jakarta Selatan. Surel:
[email protected]
http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2016.04.7001 Abstrak: Fobi(a)kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat. Ketakutan untuk menerima akuntansi “lain” atau disebut di artikel ini seba gai fobi(a)kuntansi, di luar akuntansi umum, menimbulkan pengaruh keperilakuan yang beragam. Pada ekstrim tertentu, serangan atas akuntansi “lain” diekspresikan dalam gerakan takfiri; akuntansi sesat atau kafir. Reaksi yang lebih lembut mengambil bentuk diam atau kepurapuraan. Puisisasi atas reaksi ini mampu memberikan potret terbaik atas ketakutan-ketakutan yang ada. Sebuah pandangan reflektif dari Prolegomena Al Attas ditawarkan untuk menghentikan fobi(a)kuntansi; sekaligus mengafirmasi bahwa akuntansi tidak akan dapat dipisahkan dari konsep tauhid. Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 7 Nomor 1 Halaman 1-155 Malang, April 2016 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Tanggal Masuk: 01 Maret 2016 Tanggal Revisi: 05 April 2016 Tanggal Diterima: 25 April 2016
Abstract: Phobi(a)ccounting: Poemization and Reflection of Essence. The fear of accepting “other” accounting or phobi(a)ccounting, besides the mainstream accounting science, results in various behavioural effects. At the utmost active reaction, the assault on alternative accounting was expressed in takfiri; a claim that accounting has gone astray or become infidel. Subtler reaction takes the form of silence or pretense. Poem-ization of these reactions best portrays the state of phobic minds. A reflective view of accounting through the lens of Al Attas’ Prolegomena is offered to halt the plague of phobi(a)ccounting; and to affirm that the essence of accounting can not be separated from the concept of tawhid. Kata kunci: fobi(a)kuntansi, takfiri, puisi, emosi, perilaku, New Age Movement
Chua (1986) khusus untuk bidang ilmu akuntansi, memperluas diskursus ontologi akuntansi. Dialektika jawaban atas perta nyaan-pertanyaan berikut memenuhi ruang diskusi. Apakah akuntansi sains alam atau sains sosial (Stamp 1981; Sterling 1975)? Apakah akuntansi sekadar alat (Amernic dan Craig 2009)? Apakah akuntansi menciptakan atau diciptakan realita (Hines et al. 2001; Morgan 1988)? Hingga apakah akuntansi menggambarkan realita sebenar nya atau hanya simulakra (Macintosh et al. 2000; Mattessich, 2003)? Di Indonesia, khususnya, sejak paradigma non mainstream diperkenalkan melalui pendidikan tinggi (Suyunus 2011), perdebatan tentang hakikat akuntansi menjadi semakin menjadi-jadi. Menariknya, hal
“Sedang tesis ya?” “Benar, Prof.” “Ambil tema apa?” “Akuntabilitas masjid, Prof.” “Ooo… ya ya… yang bukan akuntansi itu ya.” Sebenarnya perdebatan “apa sih akuntansi?” bukan suatu hal yang baru. Gerakan saling menyalahkan tentang mana akuntansi dan mana yang bukan, sudah menjadi pertarungan antar akademisi di perguruan tinggi seperti Rochester, Berkeley, Stanford, Illinois, Texas, UCLA, NYU di Amerika Serikat (Tinker and Puxty 1979). Kemunculan tulisan Burrell dan Morgan (1979) yang kemudian dikritisi dan dikembangkan oleh 1
2
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16
ini memicu gerakan takfiri1 atas akuntansi non mainstream, yang dalam artikel ini disebut sebagai akuntansi “lain” atau vice versa. Penghakiman kekafiran akuntansi “lain”, khususnya, kian banyak didapati dalam ruang-ruang diskusi akademik, sebagaimana percakapan nyata antara seorang profesor dan mahasiswanya pada pembukaan artikel ini. Ada sebagian yang mempercayai bahwa penelitian di bidang akuntansi keuang an dan audit adalah penelitian sejati yang merupakan penelitian akuntansi, sedangkan di luar itu bukan. Pandangan ini cenderung “mengafirkan” akuntansi non keuangan, seperti akuntansi manajemen, akuntansi perpajakan, apalagi akuntansi dan relasinya dengan budaya. Sebagian lain mengambil posisi yang lebih fleksibel. Akuntansi manajemen, akuntansi sektor publik, atau akuntansi perpajakan masih dilabeli akuntansi, sedangkan kajian sistem informasi akuntansi atau pendidikan akuntansi tidak dianggap sebagai akuntansi. Gejala penolakan atas akuntansi “lain” ini, dalam pandangan saya, adalah bentuk ketakutan berlebihan atas definisi akuntansi yang tidak sesuai dengan harapan atau persepsi. Dalam ilmu psikologi, gejala ini disebut fobia yaitu suatu kondisi akan ketakutan yang abnormal. Fobi(a)kuntansi adalah sebuah metafora yang saya rasa tepat untuk menggambarkan penolakan atas keberadaan akuntansi “lain”. Sayangnya, gejala ini memiliki dampak bukan hanya pada individu, namun juga pada kelompok. Dalam ranah akademik, penularan fobi(a)kuntansi, terjadi di ruang kelas dan ranah publik saat akademisi berinteraksi. Mahasiswa adalah pihak yang pa ling terdampak fobi(a)kuntansi karena kuasa pendidik yang lebih kuat daripada kuasa mahasiswa. Artikel ini bertujuan mengeks plorasi keberadaan ketakutan-ketakutan atau fobi(a)kuntansi dari dua sisi, baik dari sisi pendidik maupun mahasiswa, kemudian mengembangkannya ke sebuah puisi sebagai alat terbaik dalam mengekspresikan rasa (Onkas 2012), termasuk rasa takut akan keberadaan akuntansi “lain”. Terakhir, sebuah usulan reflektif tentang lingkup dan realitas akuntansi diajukan melalui diskursus onto
1 Takfiri adalah gerakan mengkafirkan atau menganggap apa yang dilakukan orang lain sebagai suatu kesesatan.
logis kesatuan sains dan agama dalam perspektif Prolegomena (Al Attas 2001). METODE Marks (1969) menjelaskan bahwa saat seseorang mengalami ketakutan, ada dua bentuk perilaku yang muncul. Pertama, perilaku diam atau pasif, yang kedua perilaku reaktif yang bisa mewujud pada penarikan diri, hingga vokalisasi (melakukan aksi). Melalui sebuah interaksi langsung dengan mahasiswa dan pendidik dalam berbagai situasi: perkuliahan, seminar, rapat, dan pertemuan organisasi, saya mendapatkan indeks ungkapan bentuk ketakutan akan keberadaan akuntansi “lain” baik pasif maupun reaktif sebagaimana diperlihatkan di Tabel 1. Ungkapan reaktif cenderung melakukan “penyerangan” terhadap akuntansi yang tidak sesuai dengan kebenaran pribadi, sedangkan ungkapan pasif cen derung menghindari atau menerima dengan apatis keberadaan akuntansi “lain”. Indeks ini adalah ungkapan emosi atau rasa yang berkali-kali terucap dalam ber bagai situasi. Kompilasi indeks ini kemudian didiskusikan dengan mahasiswa magister akuntansi pada sebuah sesi perkuliahan yang pada saat tersebut membicarakan perbedaan cara pandang atas akuntansi. Sebanyak 16 mahasiswa turut mengonfirmasi serta memberikan masukan, dan mereka turut menambahkan beberapa ungkapan curahan hati (bertanda *). Dua mahasiswa program doktor ilmu akuntansi turut meng akui keberadaaan indeks ini. Ungkapanungkapan ini selanjutnya digunakan untuk merangkai fobi(a)kuntansi sebagai ekspresi state of minds dari para akademisi yang harus berhadapan dengan “sang lain” di akuntansi. Penggunaan puisi dalam artikel ini dilandasi pernyataan bahwa: “The most effective means of expressing feelings, thoughts and dreams is poetry. Poems are the reflections of life and they deal with various feelings in an effective and smooth way. Poetry is a magical world embracing the feeling and dreams of people…”. (Onkas 2012) Tulisan ini tidak hanya merefleksikan fenomena yang ada dengan puisi, namun juga menggunakan puisi/syair Molisa
Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat
3
Tabel 1. Kompilasi Indeks Perilaku Indeks Perilaku
Pengungkap
Pasif: “Jadi bunglon aja”
Mahasiswa
“Cari aman”
Mahasiswa
“Yang penting lulus”
Mahasiswa
“Tekanan batin”
Mahasiswa
“Bingung”
Mahasiswa
“Kita ini munafik”
Mahasiswa
“Bermuka dua”
Mahasiswa
“Pasrah”*
Mahasiswa
“Untukmu agamamu, untukku agamaku”
Pendidik dan Mahasiswa
Reaktif: “Tidak berguna”
Pendidik
“Tidak perlu dipelajari”
Pendidik
“Tidak ilmiah”
Pendidik
“Sesat; tersesat”
Pendidik
“Kembalikan akuntansi ke khittahnya*”
Pendidik
“Ngawur”
Pendidik
“Subjektif, tidak netral”
Pendidik
“NAM (New Age Movement) itu!”
Pendidik
“Kehilangan arah”*
Pendidik
“Aneh-aneh aja”*
Pendidik
“Trus buat apa?”*
Pendidik
“Dukun”*
Pendidik
“Jujur aja”*
Mahasiswa
“Minta ganti dosen”*
Mahasiswa
“Otak atik gathuk”
Pendidik dan Mahasiswa
“Akuntansinya mana?”
Pendidik dan Mahasiswa
(2010) dan juga syair termasyhur almarhum Gus Dur untuk menggugah kesadaran akan keesaan Tuhan. Suatu ketakutan muncul karena ketidaktahuan atau ketidakpastian, demikian pula dengan fobi(a)kuntansi. Ketidaktahuan, atau apa yang disebut Ibnu Khaldun sebagai kebodohan atau “ignorance” adalah hal terkuat yang mampu menghalangi manusia dalam melihat totalitas (Khaldun 1672:7). Dalam rangka mengatasi ketidaktahuan atau ketidakpastian akan akuntansi “lain” maka perlu dijabarkan hakikat akuntansi
melalui perspektif Al Attas (1981, 2001) yang dapat menunjukkan realitas yang utuh antara Tuhan dan pengetahuan. karena “…indeed,… all nature…proclaims the sacred to those who see the reality behind the appearance [akuntansi]” (Al Attas 2001). Melalui pendedahan tingkatan realitas, reklasifikasi akuntansi disusun mulai dari akuntansi yang bersifat praktis, hingga teoretis. Argumentasi tingkatan realitas ini dilakukan menggunakan silogisme rasional dengan menjabarkan berbagai preposisi sehingga suatu simpulan dapat diambil. Silo-
4
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16
gisme adalah sebuah tradisi yang berangkat dari penalaran deduktif atau normatif yang diturunkan dari scientific methodology positivisme (Ghozali 2004). Teori himpunan, yang juga menggunakan pendekatan rasional, digunakan untuk memperkuat letak akuntansi “lain” dalam realitas. Pendekatan ini sengaja digunakan untuk mempertegas argumentasi atas penyerangan pihak positivis sendiri tentang “kekafiran” akuntansi lain. Hal ini dilakukan untuk semakin mengukuhkan bahwa fobi(a)kuntansi adalah fenomena yang muncul karena ketakutan yang justru tidak logis atau tidak rasional, yang muncul karena keterjebakan seseorang dalam satu tingkatan realitas saja. HASIL DAN PEMBAHASAN Fobi(a)kuntansi Mahasiswa: Aku cuma bisa pasrah dan jemu Lebih baik sepi dalam bingung Terkadang manggut-manggut setuju Tak apa Toh cuma satu semester ini Segera lulus Jarum detik jam mengapa lambat benar berlalu? Lagi-lagi akuntansi disalahkan dan aku terkurung Tekanan batin menyesaki hingga beku kelu Sabar Toh cuma satu semester ini Segera lulus Ah.. percuma berdebat pula Jadi puing tak bersisa Baiknya cari aman saja jadi bunglon berubah warna Inginnya jujur saja Tetapi kejujuran menakutkan Inginnya ganti dosen saja Tetapi kuasa milikku bukan Peduli apa?! Toh cuma satu semester ini Segera lulus Mungkin aku perlu jadi munafik Agar hidup tak lagi pelik Bermuka dua hindari delik Apatis saja ‘tuk bungkam pekik
Akuntansinya mana? Mungkin tersebar di sisa serpih egoku? Biarlah pada akhirnya Untukmu agamamu, untukku agamaku Fobi(a)kuntansi Pendidik: Kalau yang diajarkan Tidak diajarkan di tempat lain Itu ilmu tiada guna kar’na salah kaprah kreatif Tidak perlu dipelajari hal yang tersirat Celoteh ngawur diteruskan Otak atik gathuk kau bermain Ilmu tak seharusnya objektif, tak subjektif Kau sesat, menyesatkan, dan tersesat Satu semester ini Harus segera kusadarkan Sebelum mereka lulus New Age Movement itu! Aneh-aneh saja! Toh kau hanya bisu Saat kutanya “terus buat apa?”! Satu semester ini Harus segera kuhancurkan Sebelum mereka lulus Kita tinggalkan yang tidak ilmiah Belajar ilmu dukun membuat jengah Kita kembalikan akuntansi ke khittahnya Angka, uang, laporan keuangan, itu harusnya mudah! Satu semester ini Harus segera kuluruskan Sebelum mereka lulus Untukmu agamamu, untukku agamaku? Ya! Tapi agamaku yang benar jua Karena kau tak lihat beda api dan abu Tak mampu jawab: Akuntansinya mana? Jawaban atas: “Akuntansinya mana?” Siapakah Anda?. Apakah “Anda” adalah apa yang Anda lihat saat bercermin? Apakah “Anda” adalah apa yang Anda rasakan atau pikirkan? Atau apakah “Anda” adalah ruh yang bahkan tidak pernah Anda lihat? Apa kah Anda adalah semua realitas dari yang tampak (tersurat), hingga yang tak tampak (tersirat)? Atau bahkan mungkin apakah “Anda” bukan Anda? Ini semua adalah pertanyaan tentang hakikat, yang dapat pula
Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat
dipertanyakan pula pada akuntansi: Apa kah “akuntansi” adalah laporan keuangan? Apakah “akuntansi” adalah perilaku yang ditimbulkan praktik akuntansi? Apakah “akuntansi” adalah pemikiran yang mendasari praktik akuntansi? Pertanyaan yang tidak terjawab akan menyebabkan ketidak tahuan, sedangkan ketidaktahuan akan menyebabkan ketakutan untuk menerima akuntansi “lain” atau fobi(a)kuntansi. Pertanyaan-pertanyaan ini sejatinya adalah pertanyaan mengenai hakikat. Orang Yunani mengistilahkannya dengan pertanyaan ontologis tentang keberadaan atau realitas. Diskusi tentang akuntansi dan realitaspun bukanlah sesuatu yang baru sejak Morgan menulis artikel di Accounting, Organisation, and Society dengan judul “Accounting as Reality Construction: Towards a New Epistemology for Accounting Practice” di tahun 1988, dan Hines di jurnal dan tahun yang sama yaitu “Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct Reality”. Baik Morgan (1988) maupun Hines (1988) masih mendiskusikan “praktik” akuntansi pada dua tingkatan realitas yang sama, dan menyerang satu isu utama yaitu keberadaan objektivitas. Menurut Morgan (1988) objektivitas adalah sebuah konsep yang kadaluwarsa, oleh karena itu akuntan perlu menengok subjektivitas untuk mengatasi “mitos” objektivitas. Ya. Objektivitas pada akhirnya hanya menjadi sebuah mitos karena dalam praktiknya, penentuan standar akuntansi yang digunakan sangat tergantung pada kepen tingan tertentu. Akuntan dan pengguna laporan keuangan menjadi mudah terjebak menganggap akuntansi “objektif” dikarenakan angka akuntansi yang dipandang mewakili netralitas. Angka-angka ini mendistraksi fakta yang lebih besar di balik angka, bahwa mereka muncul karena kebijakan tertentu digunakan, sedangkan kebijakan ditetapkan dalam rangka meraih tujuan tertentu (yang tidak netral). Misalnya, mahasiswa yang telah lulus kelas Akuntansi Keuangan I akan tahu bahwa perusahaan dapat menampakkan laba yang semakin meningkat, apabila ia menggunakan metode depresiasi menurun berganda (double declining balance), daripada metode garis lurus (straight line depreciation) dengan catatan semua faktor ceteris paribus. Angka akhir laba, karena sifat kuantitatifnya, dianggap objektif, walaupun proses menuju akhir tersebut sebenarnya subjektif.
5
“Rather than cling an outdated concept of objectivity, they should confront the basic subjectivity of their craft and develop means of coping with these limitations” (Morgan 1988:484) Oleh karena itu, pada artikelnya, Morgan (1988) menawarkan sebuah pendekatan interpretif menggunakan metafora agar subjektivitas dapat menanggulangi apa yang tidak dapat ditangkap oleh angka semata. Ia menyebutnya sebagai “accounting as an interpretive art”. Dengan demikian, Morgan (1988) mengajukan beberapa tema seperti akuntansi dan budaya organisasi, akuntansi dan perubahan teknologi, dan akuntansi dan kebijakan ekonomi-politik. Hines (1988) juga tidak jauh berbeda. Seperti Morgan (1988), ia menggunakan ide tentang objektivitas realitas dan membawanya ke diskusi yang lebih dalam dengan menyampaikan bahwa justru karena realitas itu subjektif (pada akuntan) maka sebenar nya, akuntanlah yang memiliki kekuasaan besar dalam menciptakan realitas. “It seems to me, the power, because people only think of you as communicating reality, but in communicating reality, you construct reality.” (Hines 1988:257) Keduanya sudah bisa melihat bahwa realitas akuntansi tidak hanya pada tataran realitas fisik semata, namun juga realitas non-fisik (ide). Tulisan ini ingin mengekstensi lebih jauh tingkatan realitas akuntansi dan juga memberikan pandangan alternatif bagaimana realitas dapat dipandang secara lebih holistik, bukan parsial. Realitas menjadi parsial atau tidak utuh bagi manusia apabila ia tidak mampu melihat pusat eksistensi yang bersifat metafisika (melewati realitas fisik). Pada tingkat pandangan ini, maka realitas hanya dianggap sebuah realitas apabila ia memiliki eksistensi fisik. Ketidakmampuan ini bahkan sudah pernah diangkat jauh sebelum Morgan (1988) dan Hines (1988), yaitu oleh Christenson (1983) sebagai awareness atau self-consciousness yang mewujud pada pemilihan metodologi tertentu dalam membangun akuntansi. Sayangnya, pembahasan keberadaan ketidaksadaran ini hanya berhenti pada kegalauan yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, walau sebenarnya manusia memahami ada
6
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16
nya sesuatu di balik realitas yang tampak, sebagaimana yang terefleksikan dalam puisi Molisa (2010). “Sesuatu” di balik yang tampak ini oleh Molisa (2010) sudah melampaui tataran fisik, bahkan tidak lagi berada pada tataran “ide” saja, namun pada tataran “the One Life” (atau Tuhan?): “As academics We deal in thoughts But can our thoughts touch the One Life beneath it? We are constantly calling for The need to develop social movements But what if the ‘moving’ is much less important than the Being? We seem To always want change But what if the eternal is where true liberation lies? We seem to love naming I am ‘critical accounting’ I am ‘social accounting’ But what if It is enough To just say ‘I am’? What if It is enough To simply Be?” (Molisa 2010:533–534) Kegundahan Molisa (2010) atas sekadar “naming” atau penamaan merupakan bentuk kesadaran bahwa ada realitas lain daripada realitas fisik. Puisi di atas meref leksikan realitas substantif. Puisi ini menggelitik kesadaran pembacanya bahwa subs tansi akuntansi tidak terletak pada nama “critical accounting” atau “social accounting”, namun “eternal” atau sesuatu yang abadi. Bagi mereka yang berTuhan, hanya Tuhanlah yang abadi, hanya Tuhanlah yang memiliki esensi. Molisa (2010) sepertinya mengajak kita memahami ini, namun sekali lagi ia tidak memberikan jawaban justru mengakhirinya dengan pertanyaan “what if it is enough to simply be?”. Jadi, mau tidak mau, jawaban atas akuntansinya mana harus dimulai dengan pembahasan tentang realitas, sedangkan realitas yang dibahas tidak mungkin hanya berada pada tataran fisik, apabila kita meyakini keberadaan Tuhan. Realitas, menurut Al Attas (2001:117), adalah “coherent metaphysical system” yang tidak hanya merupa kan realitas fisik atau eksternal, namun juga meliputi realitas melampaui realitas fisik.
Saya meletakkan tiga proposisi dari “Islam and the Philosophy of Science” Al Attas (2001) di Prolegomena sebagai berikut: Proposisi 1 “Nature can still be regarded as a manifestation form of the sacred” (Al Attas 2001) yang artinya alam masih dapat dilihat sebagai manifestasi dari yang sakral. Proposisi 2 “Nature is not a divine entity, but a symbolic form which manifest the Divine” (Al Attas 2001) yang artinya alam (fisik) bukan entitas murni (Ilahiyah) namun merupakan simbol di mana ada manifestasi Illah. Proposisi 3 “He is Reality itself” (Al Attas 2001) yang artinya hanya Tuhan yang merupakan realitas Tiga proposisi ini memunculkan analogi deduktif melalui ketauhidan yaitu afirmasi keberadaan Tuhan dengan menegasikan hal selain Tuhan (Laa illa ha illAllah)*. a) Alam adalah manifestasi Tuhan/ Nature is a manifestation of the sacred b) Tuhan termanifestasi di semua realitas/ The sacred manifests in everything c) Tuhan adalah REALITAS/ He is REALITY itself Bagaimana jika proposisi ini kita substitusikan dengan akuntansi? Jika akuntansi adalah realitas dan Tuhan termanifestasi di semua realitas, maka Tuhan termanifestasi di akuntansi. Semua praktik akuntansi adalah manifestasi Tuhan, namun bukan Tuhan. Dengan menggunakan proses deduktif maka proposisi selanjutnyapun terbentuk untuk menjelaskan letak akuntansi dan relasinya dengan Tuhan. a) Selain Tuhan bukan REALITAS/ Other than Him is not REALITY* b) Akuntansi bukan REALITAS/ Accounting is not REALITY c) Akuntansi adalah simbol manifestasi Tuhan/ Accounting is a symbol that manifests the Divine. Proposisi-proposisi ini, khususnya yang menyatakan “akuntansi bukan realitas”, mungkin menjadi sesuatu yang mengejutkan. Ini tentu sebuah pemikiran yang berbeda dengan pemikiran Hines (1988) dan
Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat
Morgan (1998) yang mengamini keberadaan akuntansi sebagai konstruksi realitas. Bagi para rasionalis, proposisi-proposisi ini dapat dipertajam pula melalui teori himpunan sebagai representasi logika matematis. Katakan saja, akuntansi disimbolisasi dengan A sedangkan Tuhan disimbolisasi dengan B. Berbasis proposisi di atas, maka: a) Tuhan termanifestasi di akuntansi meng arah pada pemikiran bahwa akuntansi adalah subset dari realitas absolut. A⊆B b) Namun, pada saat yang sama, akuntansi bukanlah realitas absolut. A⊆B c) Dengan menggunakan perkembangan berikut, di mana tauhid dijadikan landasan berpikir, maka tidak ada realitas selain realitas Tuhan. A adalah himpunan kosong tanpa realitas, sehingga menyisakan B sebagai satu-satunya realitas absolut. {} ⊆ B atau ∅ ⊆ B Jadi, dengan berbasis ketauhidan yaitu mengakui tiada Tuhan selain Allah artinya meniadakan akuntansi sebagai REALITAS. Akuntansi tidak REAL; akuntansi adalah the (un)real. Ini seharusnya menjadi kesadaran tertinggi yang dimiliki setiap manusia yang mengakui keberadaan Tuhan. Mungkin di sini kita perlu berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan pragmatis yang muncul dari sebagian besar kita. “Akuntansi dinyatakan tidak nyata atau (UN)REAL, padahal bukankah akuntansi ada dan dipraktikkan? Jika benar bahwa akuntansi tidak nyata, lalu untuk apa perlu ada riset akuntansi?” Di sinilah sebuah pemahaman lebih mendalam tentang realitas dibutuhkan dan kini saatnya pemikiran Al Attas (2001) tentang realitas digunakan. Manusia yang memegang teguh secular rationalism (Al Attas 2001), memahami eksistensi fisik akuntansi, yaitu praktik dan hasil dari praktik akuntansi (laporan keuangan), sebagai sebuah hal yang paling nyata; yang paling riil, dan yang paling “akuntansi”. Bahkan perdebatan berlanjut pada ranah subjektivitas-objektivitas de ngan meletakkan argumentasi asumsi keilmuan berbasis pemikiran Burrell dan Morgan (1979), padahal dikotomi subjektif dan objektif justru
7
tidak semakin mendekatkan kita pada realitas absolut: “the truth is at once objective and subjective, like religion and belief, are inseparable aspects of one reality. True religion is then not something that can succumb to the confusion arising from objective-subjective dichotomy of the Greek philosophical tradition…that emerges out of the secularizing process…” (Al Attas 2001) Ketidakmampuan manusia dalam melihat realitas absolutlah yang menyebabkan terjadinya pengotak-kotakkan ilmu, termasuk ilmu akuntansi. Muncullah kemudian akuntansi objektif/kuantitatif dengan akuntansi subjektif/kualitatif. Kecintaan manusia terhadap materi serta pengarusutamaannya semakin meneguhkan keobjektifan akuntansi. Inilah “berhala” yang telah dicoba untuk diruntuhkan oleh Morgan (1988) dan Hines (1988). Namun baik Morgan (1988) dan Hines (1988) masih menempatkan keberadaan akuntansi pada tingkatan realitas fisik yang tidak absolut. Jadi, tulisan ini menyatakan bahwa jika realitas absolut; atau sesungguh-sungguhnya realitas adalah Tuhan, maka akuntansi bukan realitas. Ini bukan mengatakan bahwa akuntansi tidak ada; ini hanya mengatakan bahwa akuntansi bukan keadaan yang sesungguhnya. Jika konsep ini sulit untuk dipahami, maka mungkin pertanyaan metaforis berikut bisa menjawab keraguan tentang realitas absolut: a) Apakah bayangan Anda nyata? Ya. b) Apakah bayangan Anda adalah Anda yang sebenarnya? Tidak. Berbasis hasil analogi reflektif tersebut, maka realitas “akuntansi”, yang sebenarnya tidak riil, dapat dipetakan dengan memperlihatkan “specific difference” dan “essential relation” (Al Attas 2001) antara akuntansi sebagai simbol manifestasi Tuhan dengan sang Realitas sendiri (lihat Gambar 1). Al Attas (2001) menjelaskan bahwa realitas dibagi menjadi tiga tingkatan: realitas fisik (huwwiyah), realitas akal/ide (nutq), dan realitas hakikat/absout (haqiqah). Adalah tugas manusia yang memiliki kesadaran untuk mengaitkan huwiyyah dengan haqiqah. Realitas manifestasi Tuhan dalam akuntansi (atau akuntansi pada tingkat realitas fisik), disebut realitas huwiyyah karena perbedaannya dengan realitas fisik lain.
8
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16
Poin yang perlu ditekankan kembali adalah manusia yang memiliki kesadaranlah yang memiliki tanggung jawab melakukan essensial relation. Siapa manusia-manusia itu? Sebenarnya tugas tersebut bukanlah tugas yang dibebankan hanya pada satudua orang saja, namun pada semua manusia. Dalam setiap detik napas, manusia harus selalu mengingat Tuhannya. ُ صلا ُم ف ّ َ ف ة ََال َ ي ْ ت َ ضَق اذَِإ َ ق هَّللا ْاوُرُكْذا ِ ي َ اًما ْ ْ َ ُ ُ ُ ْم عُقَو ل ى ج ن بو ك م ف إ ذ ا طا م أ ن تن ُ عَو اًدو َ َ ُ ِ ْ َ ِ َ َ َ ْ َ َ ّ ْ َ َ ف أ ق مي او صلا َ ال ة إ ن َ صلا َ ال ة ك نا ت ع ل َ َ َ ّ ّ َ ى َ ِ ُ ِ ُ ً ا تِك َنيِنِمْؤُمْلا ا م َو ق َ با ً ّ ْ تو Maka apabila kamu telah menye lesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (Q.S. An-Nisa’ ayat 103). Manusia yang mengingat Tuhan, akan selalu merelasikan apapun yang ia lihat, rasa, dengar, sentuh hitung dengan Tuhan. Saat ia melihat daun yang gugur ia merelasikan fenomena itu dengan Tuhan. َ ي ْ َوهُ الِإ اهَُمَل فَم هُدَْنعَِو ِ غْلا ُح ِ ي ال ْ ب َ تا َ ع ُ ْنِم ْ ْ ْ يَو ع ل م م ا ف ي لا ب ر و لا ب ح ر و م ا ْ َ َ س ِ ّ ْ طُق َ َ ِ ِ ُ َ ََ ت َ َ ُ ُ ْ ي الإِ ٍةَقَرَو ع ل م ه ا و ال ح ب ّة ف ي ظ ل م تا رألا ِ َ ٍ َ ِ ْض ِ َ َ ُ َ َ َ ْ ب ي ك ت با م ب ني طَر الَو با س إ ال ف َ ِ ِ ٍ ٍ ٍ ي الَو ِ ِ ٍ ُ ِ َ Dan pada sisi Allah-lah kuncikunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz). (Q.S. Al An’am ayat 59) Manusia-manusia yang selalu mengingat keberadaan Tuhan kapanpun dan di manapunlah yang mampu melakukan essential relation. Dalam hal ini, demikian pula akuntan. Akuntansi akan dipandang seba gai representasi dari Tuhan apabila akun-
tan adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk merelasikan akuntansi dengan Tuhan. Mungkin pada poin ini kita akan dihadapkan pada pertanyaan lain: jika akuntansi adalah representasi Tuhan, mengapa masih ada akuntansi yang masih mengakomodasi perhitungan bunga (riba) yang dilarang Tuhan? Bukankah jika demikian, akuntansi yang ribawipun juga manifestasi dari Tuhan? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan kembali pada kapasitas manusia itu sendiri. Sebelum memberikan jawaban yang ilmiah dengan pendekatan Al Attas (2001), saya akan mencoba memberikan jawaban metaforis dari sebuah cerita yang saya dengar beberapa waktu silam. Alkisah terdapat dua orang sahabat. Sahabat pertama adalah seorang tukang cukur, dan sahabat yang kedua sedang berada di toko pangkas rambut sahabat pertama, mencukur rambutnya. Terlibatlah keduanya dalam perbincangan hangat. Sahabat pertama mengatakan; “Saya tidak percaya ada Tuhan”. “Mengapa?” Tanya sahabat kedua. “Kalau Tuhan ada, mengapa masih ada kejahatan, kemiskinan, dan hal-hal buruk lain di dunia ini? Untuk itulah saya menolak keberadaan Tuhan.” Sahabat kedua diam. Setelah rambutnya dicukur dan ia membayar jasa sahabat pertama, ia mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan toko tersebut. Sesaat kemudian ia kembali masuk ke toko cukur sahabat pertama sambil menggandeng seseorang berambut gondrong. “Saya juga tidak percaya kalau tukang cukur itu ada di dunia ini,” kata sahabat pertama, “Jika tukang cukur ada, mengapa masih banyak orang di luar sana yang berambut gondrong?” Giliran sahabat pertama terdiam mencerna.
Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat
Moral dari cerita ini adalah bahwa kesadaran mengakui dan merelasikan Tuhan dengan apapun berbeda dari satu manusia dengan manusia lain. Kapasitas ini disebut Al Attas (2001) sebagai mafhum (yang di Indonesia dicerap sebagai kata “paham”) dan mahiyah. Idealnya, jika kita mengakui keberadaan Sang Hakikat dan mampu melihat bagaimana imanensi Hakikat ada di setiap huwiyyah, simbol akan benar-benar menjadi representasi Hakikat. Namun bagi yang tidak mampu merelasikan Hakikat dan simbol, ia akan terus berputar di tataran realitas fisik. Manifestasi Tuhan dalam simbol tetap ada, namun bagi manusia yang tidak sadar, tidak ada manifestasi Tuhan di sana. Katakan saja, praktik perhitungan riba adalah realitas fisik atau huwiyyah. Hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan: jika semua simbol fisik adalah manifestasi Tuhan, apakah mungkin Tuhan termanifestasi dalam praktik yang dilarangNya? Bagi saya, jawabannya adalah “ya”. Tuhan yang termanifestasi dalam praktik riba adalah sifatNya yang membenci riba. Manusia yang sadar akan relasi fisik dan hakikat akan segera melakukan pensucian terhadap praktik riba karena membaca kebencian Allah yang termanifestasi pada riba. Di sisi lain, manusia yang tidak sadar dan tidak bisa membaca kebencian Tuhan akan praktik riba akan tetap mengembangkan ilmu riba dan se-
9
gala turunannya. Baginya itu semua hanya praktik, dan tidak menyangkut masalah ketuhanan sama sekali. Gambar 1 menjelaskan bahwa manusia akan semakin memahami realitas absolut apabila ia mampu menggerakkan kesadarannya ke tingkat yang lebih tinggi. Apabila ia sadar bahwa dalam praktik ada keberadaan ide/konsep/notion, maka ia sudah mendapatkan kesadaran untuk memahami atau mafhum. Pada tingkatan yang lebih jauh, jika manusia, melalui kapasitasnya untuk melakukan rasionalisasi (sound reason) dan mengaktifkan indera dan intuisinya (sound senses), mampu melihat bahwa ide/konsep terkait dengan Tuhan maka ia telah mendapatkan mahiyah. Dapat disintesiskan bahwa tingkat kesadaran/pemahaman manusialah yang mengarahkannya mendapatkan pengetahuan, apakah itu parsial atau utuh (mafhum/mahiyah). Artinya, jika seorang peneliti meneliti simbol akuntansi, yaitu akuntansi yang harus terpisah dari aspek selain akuntansi (specific difference) atau realitas fisik semata (huwiyyah) maka sebenarnya ia meneliti sesuatu yang jauh dari realitas absolut (haqiqah). Pada akhirnya, setelah penelitian selesai, ia harus menyampaikan “kebenaran” hasil dari sound reason dan sound sensesnya. Manusia memiliki kapasitas ekspresi linguistik (Al Attas 2001) untuk menerjemahkan dan menyampaikan apa yang ia dapat-
Gambar 1. Realitas “Akuntansi”
10
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16
kan. Kapasitas ini sangat tergantung pula pada tingkat kesadaran yang dimilikinya. Nasr (1988) menjelaskan kondisi kesadaran manusia tertinggi adalah saat ia mampu melihat pusat eksistensi, yaitu saat ia menjadi ulul albab. Jika pemahaman akan realitas ini dibawa ke akuntansi, bentuk fisik akuntansi yang tampak dan berwujud akan menjadi realitas fisik/huwiyyah. Pada realitas fisik terdapat bidang kajian pengakuan, pengukuran, penyajian, pengungkapan laporan dan pelaporan baik dari akuntansi keuang an, akuntansi biaya, akuntansi manajemen, dan lain-lain. Praktik nyata tersebut, jika dipahami dasar-dasar pemikiran atau perkembangan pemikiran, akan mengarah pada kajian ide, realitas ‘aql, seperti pemikiran akuntansi, kesejarahan akuntansi, dan akuntansi serta budaya. Semakin bergeser ke kanan (ke realitas hakikat), maka akuntansi fisik semakin tidak tampak, namun semua masih akuntansi hingga akhirnya akuntansi meniada saat mencapai kesadaran puncak. Peta “realitas” akuntansi ini memberikan suatu usulan lingkup dan makna akuntansi berbasis tauhid sebagai dasar argumentasi fundamental untuk menjawab “mana akuntansinya”. Walau demikian, jika setelah segala daya upaya dilakukan untuk menjelaskan realitas akuntansi tetap ada saja yang mempertanyakan “mana akuntansinya?”, hal ini bisa saja jadi karena dua skenario berikut: Ia belum berhasil menampilkan essential relation antara apa yang ia teliti dengan realitas fisik akuntansi (huwiyyah). Misal nya saja, apabila seseorang mengambil tema akuntabilitas berbasis budaya dengan mengeksplorasi nilai-nilai budaya, digugat karena belum menampilkan akuntansi, maka peneliti tersebut bisa jadi belum menampilkan keterkaitan antara ide atau nilai budaya dengan implikasi praktis pada akuntansi. Penanya belum mencapai tingkat kesadaran akan realitas di luar realitas fisik atau terlampau takut untuk menerima realitas lain di luar realitas yang ia yakini benar. Pada kondisi ini, jika skenario pertama telah dipenuhi, maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali memahami ketakutan atau ketidaksadaran penanya. Lalu apa masalahnya jika seseorang tidak berkenan melihat realitas lain? Pada
posisi pragmatis, tentu saja kita bisa me ngatakan “suka-suka mereka” atau “apa urusannya dengan saya?” Ya. Setiap orang bebas memilih realitas mana yang paling disu kainya. Masalahnya, pilihan untuk meyakini hanya keberadaan realitas fisik, atau meng akui realitas fisik dan hakikat namun tidak bisa melihat relasi di antara keduanya, memiliki implikasi yang tidak ringan. Implikasi peradaban! Mengapa demikian? Pemisahan dua realitas ekstrem: huwiyyah dan haqiqah, adalah sekularisme. Sekularisme yang merasuki cara membangun ilmu (Al Attas 1981), termasuk akuntansi, adalah modus untuk menjauhkan kesadaran akan keberadaan realitas fisik yang sebenarnya tidak nyata dengan keberadaan realitas hakikat. Jikapun sese orang menyadari keberadaan realitas fisik dan keberadaan realitas hakikat, namun gagal mendapatkan essential relation antara keduanya, maka sekularisme telah dapat dikatakan berhasil. Era modernitas telah memisahkan keduanya dalam rangka mencapai puncak keilmiahan dengan menjauhkan pemikiran kekanak-kanakan karena mempercayai Tuhan yang imajiner: “The origin is always the same; and it is connected with that inquisition into the essence of things which characterize the infancy of the human mind, occasioning, first, the conception of God,…which became in time imaginary fluids… ”(Comte 1896:228). Kepada siapa kita harus “berterimakasih” (?) atas sebagian besar parsialitas cara pandang? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus mengajak Anda berkelana ke masa lalu, ke tahun 1637 dan 1848; tahun di mana filosofi rasionalisme dan positivisme lahir. Adalah seorang filsuf Prancis, René Descartes, penulis buku Discours de la methode, yang melahirkan konsep pemusat an kebenaran pada manusia melalui Cogito Ergo Sum/Je pense donc je suis; yang artinya kata “Aku ada karena Aku berpikir”. Penekanan pada “Aku dan pikiran” ini menasbihkan cara pandang Descartes sebagai flosofi Rasionalisme, dan para pengikutnya disebut dengan para Cartesian. Dalam hal ini, banyak pemikir yang melakukan pembacaan yang salah atas kepercayaan Descartes tentang Tuhan.
Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat
“Part of the answer is that Descartes believed—and there is no good reason to doubt his sincerity—that there was another source of clarity and transparency besides the natural light…he articulates the idea of a ‘double source’ of clarity or transparency (duplex claritas sive perspicuitas), one coming from the natural light, the other from divine grace…[however] someone taking the Cartesian line seems to face the challenge of showing how submitting oneself to the supernatural light in the first place can be rationally defensible, given that the objects of faith are, ex hypothesi, not susceptible of confirmation by the light of reason (Cottingham 2008:228-229). Sebenarnya, Descartes sendiri tidak pernah menegasikan Tuhan dalam penca rian ilmu pengetahuan. Konsep “kebenaran” atau “kejelasan” (clarity), dalam mensahihkan ilmu harus melewati apa yang disampaikan Descartes sebagai Duplex Claritas Sive Perspicuitas. Duplex mengisyaratkan dua kebenaran: yaitu kebenaran “natural light” atau kebenaran empiris dan kebenaran Ilahiyah atau kebenaran “divine grace”. Walaupun demikian, kesalahan mendasar yang disadari akibat penekanan yang terlalu besar pada akal, pada akhirnya menciptakan ambiguitas bagi para pengikutnya. Pertanyaan mulai bermunculan, “bagaimana mungkin seseorang yang rasional bisa meyakini Tuhan apabila Tuhan sendiri tidak bisa dirasionalisasi? Bagaimana iman yang “not susceptible of confirmation by the light of reason” (tidak bisa dikonfirmasi melalui rasionalisasi) diyakini sebagai sumber kebenaran bagi orang-orang yang mementingkan rasionalisme? Terlepas dari ambiguitas tersebut, Cogito Ergo Sum menjadi filosofi rasiona lisme yang akhirnya merajai pembangunan ilmu pengetahuan. Kegamangan akan keberadaan Tuhan dan posisiNya dalam sains akhirnya terselesaikan saat Positivisme lahir di tahun 1848. Positivisme adalah aliran kepercayaan yang dibawa oleh “nabi” positivisme yaitu Auguste Comte. Pada tahun 1848, Comte menegaskan bahwa untuk mencapai tingkat intelektual yang tertinggi, manusia harus membebaskan dirinya dari agama atau ke-
11
percayaan pada Tuhan yang “fictitious” (fiktif) (Comte 1896:7) dan konsep Tuhan yang hanya merupakan “imaginary fluids” (karangan imajiner) (Comte, 1896:228). Dunia ideal bagi Comte adalah dunia yang memusatkan kebenaran pada rasionalitas manusia. Comte tidak menolak moralitas universal, namun ia menolak moralitas yang bersandar pada agama. Moralitas Positivisme harus bersandar pada kebermanfaatan sosial, dan inilah yang menjadikannya “agama baru” yaitu The Religion of Humanity (Comte, 1848:340). "Positive morality differs therefore from that of theological as well as of metaphysical systems. Its primary principle is the preponderance of Social Sympathy... The intuitive methods of metaphysics could never advance with any consistency beyond the sphere of the individual. Theology, especially Christian theology, could only rise to social conceptions by an indirect process, forced upon it, not by its principles, but by its practical functions… It is true that the first training of our higher feelings is due to theological systems; but their moral value depended mainly on the wisdom of the priesthood… The moral value of Positivism, on the contrary, is inherent in its doctrine, and can be largely developed, independently of any spiritual discipline, though not so far as to dispense with the necessity for such discipline. Thus, while Morality as a science is made far more consistent by being placed in its true connection with the rest of our knowledge, the sphere of natural morality is widened by bringing human life, individually and collectively, under the direct and continuous influence of Social Feeling" (Comte, 1848:99). Tuhan digantikan oleh zat yang dianggap Comte lebih tinggi. Hal ini terbukti dari penggunaan huruf kapital untuk mene gaskan Social Sympathy dan Social Feeling. Melalui sains positiflah, manusia dapat bermanfaat lebih banyak bagi orang lain, akhirnya menjadi agama yang menuntun manusia kepada fungsi kemanusiaannya (humanisme). Dalam penegasan ini, bahkan Comte meletakkan teologi Kristen inferior dari moralitas positivisme. Bagi Comte,
12
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16
agama hanya melatih “rasa” subjektif individual keberadaan tentang Tuhan, namun akhirnya nilai moral hanya dapat tergantung pada kebijakan para pendetanya. Jika pendeta mengatakan sesuatu dianggap baik, barulah kemudian sesuatu tersebut dipraktikkan. Atas dasar argumentasi inilah, Comte menyatakan bahwa agama (Katolik dan Kristen) tidak bisa digunakan lagi karena tidak bisa memuaskan keinginan intelektual dan sosial. “In the ancient world Catholic education would have been too revolutionary; at the present time it would be servile and inadequate. Its function was that of directing the long and difficult transition from the social life of Antiquity to that of Mo dern times. Personal emancipation once obtained, the working classes began to develop their powers … they soon became conscious of intellectual and social wants which Catholicism was wholly incapable of satisfying”. (Comte 1848:182) Jadi, inilah kesuksesan positivisme sebagai pemicu perpisahan antara manusia dan Tuhan yang menjadi fase awal pembentukan manusia-manusia “mesin”. Sebagaimana yang dijelaskan Comte di atas, positivisme menjadi gerbang masuk ke cara pandang modernisme; sebuah transisi dari kelawasan “antiquity” menuju modernitas Pendidikan akuntansi sebagai pembebas fobi(a)kuntansi. Perlu dipahami, bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi ketakutan, ketidaksadaran, atau menurut Khaldun (1672), kebodohan, adalah melalui pendidikan. Pendidikan Barat yang menjunjung tinggi modernism dan positivisme tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan peradaban namun justru akan menimbulkan krisis: “Much has been written in the West itself, ... the basis of these teachings many have come to understand the deeper reasons for the crises of modernism, … [it] has resulted in unprecedented conflicts on so many levels, in the rise of individualism resulting in the weakening of the social order, in the spread of psychological imbalance among so many members (Nasr 2013:11).
Oleh karena itu, dalam rangka meng utuhkan pendidikan (akuntansi) untuk membentuk manusia yang mampu memahami Realitas Absolut, sebuah upaya yang kreatif dan tidak meletakkan Barat sebagai benchmarking pendidikan perlu disegerakan. Konsep pendidikan utuh tidak hanya meletakkan akal sebagai sound reason, namun mengembalikan sound senses dalam ranah pencarian dan pemahaman akuntansi. Sound senses atau kekuatan indra dalam memahami ilmu serta menemukan hakikat bukan tidak bisa dilatih. Metode pembelajaran non-mainstream yang me ngolah rasa, batin, serta intuisi sebenarnya memicu senses yang akan membangun daya aql yang utuh untuk masuk ke tingkat kesa daran yang lebih tinggi. Beberapa bentuk alternatif pendidikan akuntansi telah ditawarkan dan dijalankan di tingkat perguruan tinggi seperti pensucian pendidikan akuntansi melalui cinta kepada Tuhan (Mulawarman 2008); pengaktifan intuisi atau mata ketiga (Triyuwono 2010), dan pemba ngunan kesadaran spiritual, kritis, selain rasional (Kamayanti et al. 2012). Hal ini menegaskan kembali apa yang disampaikan Al Attas (2001:124) bahwa “al fikr is the soul movement towards meaning…needs imagination (al-khayal), or in the sense of illuminative experience (al-wijdan).” Manusia selayaknya menggunakan seluruh kapasitas diri, tak hanya otak semata. Usaha ini semua bukanlah usaha untuk memperkenalkan New Age Movement (NAM), sebagaimana dikritisi sebagian praktisi pendidikan, yang merupakan pratikpraktik pembangkitan kesadaran melalui: “…meditation techniques, and mediumship… as tools to assist personal transformation. Transpersonal psychology (an approach combining Eastern mysticism and Western rationalism to understand psychological health and spiritual well-being) and other new academic disciplines that study states of consciousness encouraged the belief that consciousness-altering practices” (Melton 2014). NAM meletakkan “Tuhan” pada sebuah model baru, dan oleh karena itu agama baru. Universalitas moral dan relativitas dianggap menghancurkan dogma-dogma agama karena mereka digantikan spiritualitas yang bisa dilakukan tanpa Tuhan. Sayangnya,
Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat
penghakiman kesesatan NAM diarahkan pula ke akuntansi karena terkungkungnya mereka dalam penandingan realitas fisik (huwiyyah), bukan realitas ide atau bahkan realitas absolut (haqiqah). Ironisnya, justru akuntansi positif yang jelas-jelas berakar pada positivisme August Comte yang menolak Tuhan, dianggap menjadi akuntansi yang paling benar. Fobi(a)kuntansi “lain”, termasuk pendidikan akuntansi “lain”, terjadi karena tidak bisa dipungkiri keutuhan Islam mengarah pada seluruh reason dan senses (rasionalitas dan pengindraan/rasa) untuk mendapatkan pemahaman yang utuh pula. Namun menjadi sungguh naïf, jika hanya karena akuntansi serta pendidikan akuntansi yang mentransfer nilai akuntansi “lain” diarahkan ke spiritualitas dan toleransi, maka pendidikan semacam ini dicap sesat atas dasar silogisme hipotetik. Manusia yang melakukan gerakan takfiri atas akuntansi “lain” adalah mereka yang tidak mampu beranjak dari sound reason realitas fisik menuju sound senses realitas hakikat. Ketakutan terjadi karena mereka meyakini logika deduktif yang kuat, yang justru menghalangi mereka dari kebenaran. Mungkin cara yang paling sederhana menjelaskan penjara logika ini adalah melalui analisis Silogisme Hipotetik I: a) Premis mayor: “NAM sesat karena menggunakan pendekatan spiritual” b) Premis minor: “Pendidikan akuntansi “lain” menggunakan pendekatan spiritual” c) Konklusi: Pendidikan akuntansi “lain” sesat Bandingkan dengan Silogisme Hipotetik II berbasis realitas notion/aql: nutq berikut: a) Premis mayor: “NAM merelatifkan tuhan dengan semua bentuk kebenaran” b) Premis minor: “Akuntansi “lain” merelatifkan semua kebenaran kecuali Tuhan” c) Konklusi: Akuntansi lain tidak sama dengan NAM Silogisme di atas dapat memberikan gambaran bahwa penalaran rasional tidak selalu dapat memberikan kebenaran, apalagi jika penalaran hanya dilakukan pada tataran realitas fisik saja.
13
Kembali pada ide di awal tulisan ini tentang gerakan takfiri, yaitu gerakan yang dengan mudah mengafirkan akuntansi lain, maka sebenarnya secara logis dan rasional, justru akuntansi positiflah yang “kafir”. Bagaimana bila akuntansi positif masuk didedah dengan pendekatan yang sama? Perhatikan Silogisme Hipotetik III: a) Premis mayor: Segala sesuatu yang menolak keberadaan Tuhan adalah kafir b) Premis minor: Akuntansi positif menolak keberadaan Tuhan c) Konklusi: Akuntansi positif adalah kafir Bersama ini pula, saya ingin mengutip syair yang digubah almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agar tidak dengan mudah mengafirkan hal-hal yang tidak sama de ngan apa yang diyakini benar: Astagfirullah robbal baroya… Astagfirulloh minal khootooya… Robbi zidni `ilmannaafii’a… Wawaffikni `amalan sholiha… Yaa rosulallah salammun’alaik… Yaa rofi’asaaniwaddaaroji… `atfatayaji rotall `aalami… Yauhailaljuu diwaalkaromi… Ngawiti ingsun nglarasa syi’iran Kelawan muji maring pingeran Kang paring rohmat lan kenikmatan Rino wengine tanpo petungan Duh bolo konco priyo wanito Ojo mung ngaji syare’at bloko Gur pinter ndongeng nulis lan moco Tembe mburine bakal sangsoro Akeh kang apal Qur’an haditse Seneng ngafirke marang liyane Kafire dewe dak digatekke Yen isih kotor ati akale Gampang kabujuk nafsu angkoro Ing pepaese gebyare ndunyo Iri lan meri sugihe tonggo Mulo atine peteng lan nistho Ayo sedulur jo nglaleake Wajibe ngaji sak pranatane Nggo ngandelake iman tauhite Baguse sangu mulyo matine
14
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16
Kang aran soleh bagus atine Kerono mapan seri ngelmune Laku thoriqot lan ma’rifate Ugo hakekot manjing rasane
wahai para teman pria dan wanita jangan hanya belajar syari’at saja hanya pandai bicara, menulis dan membaca esok hari bakal sengsara
Alquran qodim wahyu minulyo Tanpo dinulis biso diwoco Iku wejangan guru waskito Den tancepake ing jero dodo
Banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnya senang mengkafirkan kepada orang lain kafirnya sendiri tak dihiraukan jika masih kotor hati dan akalnya Gampang terbujuk nafsu angkara dalam hiasan gemerlapnya dunia iri dan dengki kekayaan tetangga maka hatinya gelap dan nista
Kumantil ati lan pikiran Mrasuk ing badan kabeh jeroan Mu’jizat rosul dadi pedoman Minongko dalan manjing iman Kelawan Alloh kang moho suci Kudu rangkulan rino lan wengi Ditirakati diriyadhohi Dzikir lan suluk jo nganti lali
ayo saudara jangan melupakan wajibnya mengkaji lengkap dengan aturannya untuk mempertebal iman tauhidnya bagusnya bekal mulia matinya
Uripe ayem rumongso aman Dununge roso tondo yen iman Sabar narimo najan pas pasan Kabeh tinakdir saking pengeran
Yang disebut sholeh adalah bagus hatinya karena mapan sari ilmunya menjalankan tarekat dan ma’rifatnya juga hakikat meresap rasanya
Kelawan konco dulur lan tonggo Kang podho rukun podho trapsilo Iku sunnahe, Rasul kang mulyo Nabi Muhammad, Panutan Kito
Al Qur’an qodim wahyu yang mulia tanpa ditulis bisa dibaca itulah nasihat guru mumpuni Ditancapkan di dalam dada
Ayo nglakoni sakabehane Allah kang bakal ngangkat drajate Senajan ashor toto dhohire Ananging mulyo maqom drajate
Menempel di hati dan pikiran merasuk dalam badan dan seluruh hati mukjizat Rosul(Al-Qur’an) jadi pedoman sebagai sarana jalan masuknya iman
Lamun palarasto ing pungkasane Ora kesasar roh lan sukmane Den gadang Allah swargo manggone Utuh mayite ugo ulese
Kepada Allah Yang Maha Suci harus mendekatkan diri siang dan malam diusahakan dengan sungguh - sungguh secara ikhlas dzikir dan suluk jangan sampai lupa
Artinya: Astagfirullah robbal baroya… Astagfirulloh minal khootooya… Robbi zidni `ilmannaafii’a… Wawaffikni `amalansholiha… Yarosulalloh salammun’alaik… Yaarofi’asaaniwaddaaroji… `atfatayaji rotall `aalami… Yauhailaljuu diwaalkaromi… Aku memulai menembangkan syi’ir dengan memuji kepada Tuhan yang memberi rohmat dan kenikmatan siang dan malamnya tanpa terhitung
Hidupnya tentram merasa aman mantabnya rasa tandanya iman sabar menerima meski hidupnya pas-pasan semua adalah takdir dari Tuhan Terhadap teman, saudara dan tetangga yang rukun jangan bertengkar itu sunnahnya Rosul yang mulia Nabi Muhammad tauladan kita Ayo jalani semuanya Allah yang akan mengangkat derajatnya Walaupun rendah tampilan dhohirnya namun mulia maqam derajatnya disisi Allah
Kamayanti, Fobi(A)Kuntansi: Puisisasi dan Refleksi Hakikat
Ketika ajal telah datang di akhir hayatnya tidak tersesat ruh dan sukmanya dirindukan Allah surga tempatnya utuh jasadnya juga kain kafannya Artinya, akuntansi yang paling “akuntansi” perlu dipertanyakan kembali maksudnya. Jika akuntansi yang dimaksud adalah simbol fisik terluar, maka ia adalah realitas fisik yang semakin jauh dari kebenaran hakiki. Objektivikasi abstrak hakikat adalah reifikasi yang sudah semakin sarat dengan kepentingan dominasi (Bourguignon 2005). Namun jika yang dimaksud adalah akuntansi yang nyata/riil, maka sebenarnya hal semacam itu juga tidak pernah ada, karena semakin kita memahami keberadaan Tuhan, dan meletakkan tauhid sebagai cara keilmuan kita, maka akuntansi yang nyata tidaklah ada, yang ada adalah Allah dan ilmuNya. Laa illa ha illallah. SIMPULAN “Phobias are persistent fears in abnormal context… The more primitive the species, …the less is its capacity of learning” (Marks 1969). Kutipan dari Marks (1969), seorang ahli psikologi, di atas akan bisa membuat ba nyak orang marah karena mengklaim hanya spesies primitiflah yang tidak mampu memiliki kapasitas belajar dan meningkatkan kesadaran. Kesadaran, khususnya yang dimaksud dalam artikel ini, di sini adalah kemampuan mengaitkan keberadaan berbagai bentuk realitas dengan Tuhannya. Mana akuntansinya? Pertanyaan para penderita fobi(a)akuntansi ini telah terjawab di pemetaan realitas akuntansi. Realitas fisik akuntansi mengada saat Tuhan berimanensi dan memanifestasikan dirinya pada simbolsimbol fisik, sedang realitas fisik akuntansi akan meniada sehingga yang ada hanya realitas hakikat saat essential relation terungkap. Kesadaran atau pengetahuan menjadi kata kunci penyelesaian fobi(a)kuntansi. Perubahan kesadaran hanya akan tercapai apabila pendidikan yang memicu terasahnya sound senses maupun sound reason secara bersamaan dilaksanakan. Penderita fobi(a)kuntansi, yang karena terjebaknya ia di realitas huwiyyah, tidak mampu pula melihat koneksitas, dan secara tergesa-gesa melabeli akuntansi “lain” sebagai sebuah kesesatan, saat mereka merelasikannya dengan gerakan universal kebaikan tanpa
15
perlu bertuhan (NAM) dengan silogis hipotetik pada tataran realitas fisik. Akhirnya, peletakan tauhid sebagai landasan berpikir tentang realitas sudah seharusnya membuka mata kita bahwa apa yang kita sebut dengan akuntansi serta apa yang kita banggakan sebagai akuntansi, sejatinya merupakan ketiadaan yang telah dengan begitu bodohnya kita banggakan serta perdebatkan. Keputusan untuk meyakini apa yang saya sampaikan di artikel ini, juga sepenuhnya hak Anda. Bukankah apa yang saya tulis adalah simbol fisik manifestasi Tuhan yang sebenarnya “tidak ada” saat Tuhan ada? Billahi fi sabilil haq DAFTAR RUJUKAN Amernic, J. and R. Craig. 2009. “Understanding Accounting through Conceptual Metaphor: ACCOUNTING IS AN INSTRUMENT?” Critical Perspectives on Accounting, Vol. 20, No. 8, hlm 875–83. Al Attas, SMN. 1981. Islam Dan Sekularisme. Penerbit Pustaka. Bandung. Al Attas, SMN. 2001. Prolegomena: To The Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. International Institute of Islamic Thought and Civilization. Malaysia. Bourguignon, A. 2005. Management Accounting and Value Creation: The Profit and Loss of Reification. Diunduh July 7, 2013
. Burrell, G. and G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. Great Britain: Arena. Christenson, C. 1983. “The Methodology of Positive Accounting.” The Accounting Review, Vol. LVIII, No. 1, hlm 1–22. Chua, WF. 1986. “Radical Developments in Accounting Thought.” The Accounting Review, Vol. 6, No. 4, hlm 601–32. Comte, A. 1896. The Positive Philosophy of Auguste Comte. George Bells & Sons. London. Ghozali, I. 2004. “Pergeseran Paradigma Akuntansi Dari Positivisme Ke Perspektif Sosiologis Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akuntansi Indonesia.” Pidato Guru Besar. Hines, RD. 1988. “Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct
16
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 7, Nomor 1, April 2016, Hlm. 1-16
Reality.” Accounting, Organizations and Society, Vol. 13, No. 3, hlm 251–61. Hines, T., K. Mcbride, S. Fearnley, and R. Brandt. 2001. “We ’ Re off to See the Wizard.” Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 14, No. 1, hlm 53–84. Kamayanti, A., I. Triyuwono, G. Irianto, and AD. Mulawarman. 2012. “Philosophical Reconstruction of Accounting Education : Liberation through Beauty.” World Journal of Social Science, Vol. 2, No. 7, hlm 222–33. Khaldun, AAM. 1672. The Muqaddimah. Macintosh, NB., T. Shearer, DB. Thornton, and M. Welker. 2000. “Accounting as Simulacrum and Hyperreality: Perspectives on Income and Capital.” Accounting, Organizations and Society, Vol. 25, No. 1, hlm 13–50. Marks, IM. 1969. Fears and Phobias. Academic Press. London. Mattessich, R. 2003. “Accounting Representation and the Onion Model of Reality: A Comparison with Baudrillard’s Orders of Simulacra and His Hyperreality.” Accounting, Organizations and Society, Vol. 28, No. 5, hlm 443–70. Melton, JG. 2014. “New Age Movement: Religious Movement.” Diunduh Januari 14, 2016 . Molisa, P. 2010. “Don’t Look at My Finger; Look at the Moon.” Critical Perspectives on Accounting, Vol. 21, No. 6, hlm 533– 35. Morgan, G. 1988. “Accounting as Reality Construction: Towards a New Epistemology for Accounting Practice.” Ac-
counting, Organizations and Society, Vol. 13, No. 5, hlm 477–85. Mulawarman, AD. 2008. “Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta: Lepas Dari Hegemoni Korporasi Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan Dan Konsepsi Pembelajaran Yang Melampaui.” Ekuitas, Vol. 12, No. 2, hlm 142–58. Nasr, SH. 1988. Man and Nature. Iranian Academy Studies. Washington Nasr, SH. 2013. “Harmony of Heaven, Earth and Man—Harmony of Civilizations.” Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 77, hlm10–14. Onkas, NA. 2012. “The Phonetics and Semantics Relationship in Poems.” Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 46, No. 47, hlm 18–30. Stamp, E. 1981. “Why Can Accounting Not Become a Science Like Physics?” Abacus Vol. 17, No. 1, hlm 13–27. Sterling, Robert. 1975. “Toward a Science of Accounting.” Financial Analyst Journal, (September-October), hlm 28–36. Suyunus, Mohamad. 2011. “Mengikuti Perjalanan Pembawa Bendera Penyebaran Pemikiran Radikal Riset Akuntansi Multiparadigma.” Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 2, No. 1, hlm 104– 25. Tinker, T. and T. Puxty. 1979. Policing Accounting Knowledge: The Market Excuses Affair. Princeton New York: Markus Wiener Publisher. Triyuwono, I. 2010. “‘Mata Ketiga’: Se Laen, Sang Pembebas Sistem Pendidikan Tinggi Akuntansi.” Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 1, No. 1, hlm 1–23.