FLEKSIBILITAS PEMILIHAN SPECIAL PRODUCT (SP) USULAN INDONESIA: MAMPUKAH MENCAPAI SASARANNYA? M. Husein Sawit, Budiman Hutabarat, Adi Setyanto, Helena J. Purba, Sri Nuryanti dan Juni Hestina Tim Peneliti Perdagangan Internasional, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jl. A. Yani 70 Bogor
PENDAHULUAN Negara berkembang (NB) telah melaksanakan reformasi perdagangan produk pertanian sesuai dengan Perjanjian Pertanian WTO, sejak persetujuan itu diimplementasi Januari 1995. Setelah melaksanakannya, negara berkembang merasa bahwa kemiskinan yang dominan di perdesaan semakin sulit dikurangi, ditambah redupnya pembangunan perdesaan serta telah memperlemah ketahanan pangan. Hal itu terkait dengan perilaku subsidi baik subsidi dalam negeri maupun ekspor yang dilakukan oleh banyak negara maju, dan itu memang dilegalisir di Perjanjian Pertanian WTO. Sejak tahun 2000, berbagai usulan telah dilakukan oleh NB, agar Perjanjian Pertanian WTO disempurnakan. Di antara yang terpenting adalah usulan tentang Development Box dan Food Security Box. Usulan tersebut ternyata belum berhasil disepakati dalam berbagai Konperensi Tingkat Menteri (KTM), terutama KTM di Doha. Salah satu kelemahan yang melekat pada negara berkembang adalah mereka cenderung berjuang sendiri-sendiri, dan kurang kompak. Ketidakkompakan ini tentu telah diperparah lagi oleh politik adu domba yang sering dilakukan oleh sejumlah negara maju terhadap negara berkembang. Namun, sejak negara berkembang membuat kelompok sendiri seperti G-33 dan G-20, kekuatan mereka mulai diperhitungkan oleh negara maju, terutama negara yang paling berpengaruh yaitu Amerika Serikat dan Uni Eropa. Salah satu hasil dari perjuangan negara berkembang adalah mendapat perlakuan khusus dalam Akses Pasar. Perlakuan khusus tersebut adalah berupa special product (SP) dan special safeguard mechanism (SSM), yang kemudian masuk dalam Kerangka Kerja Paket Juli (the July framework) tahun 2004. Paket Juli ini dijadikan dasar untuk penyusunan modalitas dan hal lainnya. Dalam para 41 dari paket Juli1 dinyatakan sebagai berikut: Developing country Members will have the flexibility to designate an appropriate number of products as Special Products, based on criteria of food security, livelihood security and rural development needs. This products will be eligible for more flexible treatment. The criteria and 1
WTO (2004), “Decisions Adopted by the General Council on 1 August 2004”, WT/L/579.
FLEKSIBILITAS PEMILIHAN SPECIAL PRODUCT (SP) USULAN INDONESIA: MAMPUKAH MENCAPAI SASARANNYA? M. Husein Sawit, Budiman Hutabarat, Adi Setyanto, Helena J. Purba, Sri Nuryanti dan Juni Hestina
95
treatment of these products will be further specified during the negotiation phase and will recognize the fundamental importance of Special Products to developing countries. Oleh karena itu, tujuan SP adalah adanya fleksibilitas dalam reformasi perdagangan, sehingga negara berkembang lebih mampu menyesuaikan diri dalam usaha untuk memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kemiskinan yang erat kaitannya dengan livelihood security dan pembangunan perdesaan. Fleksibilitas tersebut menjadi penting, mengingat Perjanjian Pertanian WTO, khususnya perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment / S&DT) yang diberikan kepada negara berkembang, belum membuahkan keseimbangan seperti yang diharapkan. Demikian juga sejumlah ketentuan dalam Perjanjian Pertanian WTO melegalisir sehingga memungkinkan negara maju untuk terus melakukan subsidi domestik dan subsidi ekspor. Akibatnya adalah telah menyulitkan negara berkembang untuk bersaing, walau di dalam negeri sendiri. Tujuan tulisan ini adalah untuk membahas pemilihan SP yang fleksibel dan mampu mencapai tujuan dan sasarannya. Analisa diutamakan pada usulan Indonesia, seperti yang disampaikan dalam KTM G-33 di Jakarta tgl 11-12 Juni 2005 yang lalu. POSISI G-33 Negara berkembang telah mengeluarkan sejumlah proposal tentang bagaimana pemilihan SP yang diajukan oleh 12 negara berkembang pada Special Session dalam Committee on Agriculture (CoA), WTO di Jenewa tgl 20 Maret 2003. Keduabelas negara berkembang itulah yang kemudian menjadi cikal bakal kelompok negara G-33 yang sekarang telah bertambah menjadi 42 negara2. Dalam proposal tersebut, negara berkembang menginginkan indikator SP haruslah sederhana, mudah dilaksanakan serta mempertimbangkan aspek ketersediaan data. Mereka mengusulkan agar menggunakan indikator kombinasi antara number-base approach dan self-selection. Kepada negara berkembang diberikan, misalnya sejumlah x% pos tarif untuk SP, dan kemudian mereka dibebaskan untuk memilih komoditas sesuai dengan pertimbangan politik dan ekonomi masing-masing negara bekembang. G-33 kemudian melangkah lebih jauh lagi dalam penyusunan kriteria tersebut, seperti yang disampaikan pada pertemuan CoA-WTO di Jenewa, tanggal 2
Antigua and Barbuda, Barbados, Belize, Benin, Botswana, China, Cote d’Ivoire, Congo, Cuba, Dominican Republic, Grenada, Guyana, Haiti, Honduras, India, Indonesia, Jamaica, Kenya, Korea, Madagascar, Mauritius, Mongolia, Mozambique, Nicaragua, Nigeria, Pakistan, Panama, The Philippines, Peru, Saint Kitts, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Senegal, Sri Lanka, Suriname, Tanzania, Trinidad and Tobago, Turkey, Uganda, Venezuela, Zambia, and Zimbabwe.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 2, Juni 2005 : 95-107
96
3 Juni 2005 (JOB(05)/91)3. Kriteria umum di bawah ini dibuat atas dasar utama food security and livelihood security, dan rural development, yaitu: The importance of a product for subsistence strategies of the rural poor and small and vulnerable farmers; The importance that a product may represent as a source of livelihood for the population in a disadvantage region; The significance of a crop or product for consumption profile of the country or for specific communities within a country; The potential structural effects of an import substitute in the consumption profile of the country; The contribution of a product to the economy as a whole, including from the perspective of GDP, employment and food procurement; and The role that a product may play in the wider domestic policy context of the country concerned, etc. Negara berkembang menganggap sangatlah sulit untuk membuat satu set indikator umum untuk pemilihan SP yang berlaku untuk semua anggota negara berkembang. Demikian juga membuat batasan jumlah (threshold level) untuk tiap kemungkinan indikator guna menampung perbedaan, juga akan menimbulkan kesulitan yang lebih besar. Oleh karena itu, dalam pemilihan SP diperlukan perlakuan fleksibilitas maksimum, sebagai unsur penting dalam pemilihan SP untuk negara berkembang sesuai dengan bunyi Para 41 Kerangka Kerja Paket Juli. Negera berkembang menyatakan bahwa hal itu tidak berarti dilakukan secara sembarang (arbitrary), karena telah ada pijakan kriteria dasar yaitu ketahanan pangan, livelihood security dan rural development. Selanjutnya, G-33 sepakat bahwa dalam penentuan SP agar dihindari penggunaan metoda kuantitatif4, karena hal itu dianggap dapat memasung fleksibilitas, sehingga dapat memperlemah posisi negara berkembang itu sendiri. Kekhawatiran itu seharusnya tidak perlu terjadi, asalkan negara berkembang melakukan riset terlebih dahulu sebelum menolaknya. Filipina5 dalam statement Tingkat Menteri di Jakarta tanggal 11 Juni 2005 yang lalu, membuat yang lebih rinci lagi indikator sederhana pada masing-masing kriteria untuk SP yaitu:
3 4
5
WTO (2005), “G33 Proposal on Special Products”, Committee on Agriculture, JOB(05)/91. Indonesia pernah mengajukan proposal pemilihan SP kombinasi antara metoda kuantitatif dan metoda sederhana, ternyata itu belum mendapat tempat di G33, lihat tulisan M. Husein Sawit dkk (2004), “Penyaringan SP dengan Metoda I/O untuk Indonesia”, laporan no.3(rev.1), October 2004. SP and SSM: State of Play, Outstanding Issues, lead discussion paper by the Philippines, G33 Ministerial Meeting, Jakarta 11-12 June 2005.
FLEKSIBILITAS PEMILIHAN SPECIAL PRODUCT (SP) USULAN INDONESIA: MAMPUKAH MENCAPAI SASARANNYA? M. Husein Sawit, Budiman Hutabarat, Adi Setyanto, Helena J. Purba, Sri Nuryanti dan Juni Hestina
97
Kriteria Food Security, dengan indikatornya antara lain: o
Strategic food commodities and staples, or staples consumed by at least a___% of the national or regional population
o
Or those food commodities belonging a basket considered essential to food security as may be enshrined in a country’s law(s) and statutes
o
Any agricultural product the income derived from which determines to a large extent the food security and subsistence of farm families in a sector or region
Kriteria Livelihood Security, dengan indikatornya: o
Proportion of poor, subsistence or resource poor farmers dependent on cultivation of the product, at national or regional scale
o
Proportion hectarage or some other indicator of relative sector/sub sector size to national and regional aggregate.
o
Average or a threshold proportion of farmers or farm households below some poverty or income level threshold, the thresholds can either be domestic statistically generated or internationally accepted threshold (eq, FOA)
o
Proportion or contribution to employment at the national or regional levels
o
Indicators of threat to rural livelihood security- products whose import competition, inclusive of close substitute, are recipients of trading distorting domestic support
Kriteria Rural Development, dengan indikatornya: o
Contribution of the sector or product to national or regional agriculture GVA/GDP and its growth rate
o
Products the production systems of which dominate the agriculture economy of particular defined sectors of the population such as indigenous peoples and threatened/vulnerable groups that are the focus of government preferential option development programs, including peace and reconciliation initiatives to protect social stability and order
o
Product clearly identified in a country’s development programs and statutes as critical and strategic to national development or development or a region within the country.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 2, Juni 2005 : 95-107
98
POSISI INDONESIA Pada tanggal 11-12 Juni 2005 di Jakarta, kelompok G-33 telah melaksanakan pertemuan Tingkat Menteri yang dihadiri hampir setengah dari 42 negara anggotanya. Tujuan pertemuan itu adalah mempertegas sikap dan memperkecil perbedaan sehingga perjuangan di Jenewa akan lebih solid, khususnya dalam menghadapi bulan Juli 2005 dan KTM VI WTO di Hongkong, Desember 2005. Hasil pertemuan itu kemudian menjadi komunike bersama antar Menteri G-336. Di dalam komunike tersebut, sebagian butir-butir kesepakatan tersebut mempertegas kembali7, apa yang telah disampaikan di Jenewa awal Juni yang lalu atau posisi selama ini yang terus disuarakan oleh G-33. Seperti yang telah disebutkan di atas, setiap negara berkembang diminta untuk merancang metoda pemilihan SP yang sesuai dengan kebutuhan masingmasing anggotanya. Namun rancangan tersebut harus tetap berpijak pada tujuan dasar yaitu ketahanan pangan, livelihood security dan pembangunan perdesaan. Sehubungan itu, Indonesia mengambil inisiatif untuk memilihan SP dengan cara yang lebih fleksibel, bukan dengan metoda kuantitatif. Indonesia mengusulkan, empat indikator yang dapat dipakai untuk keperluan pemilihan SP, yaitu: (1) Share of the product in total agricultural production is more than 5%; OR/AND (2) Share of the product in total calorie or protein domestic consumption more than 5%; OR/AND (3) Share of the product in total agricultural employment more than 5%; AND (4) The product is net imported or its export value is less than 5% of total world export. Indonesia belum sampai pada penentuan produk/komoditas SP sesuai dengan indikator yang telah disampaikan pada pertemuan Tingkat Menteri G-338. Oleh karena itu, di bawah ini dicoba menggali berapa banyak SP yang dapat 6 7
8
Lihat G-33 Ministrial Communique, adopted in Jakarta, 12 Juni 2005. Lihat antara lain: “G33 Proposal on Special Products”, JOB(05)/91, Committee on Agriculture, Special Session (3 June 2005); “G33 Proposal on Special Safeguard Measures”, JOB(05)/92, Committee on Agriculture, Special Session (3 June 2005); dan “G-33 Views on the Market Access Pillar”, JOB(04)/65, Committee on Agriculture, Special Session (1 June 2004) Statement tertulis Menteri Pertanian RI, Discussion Brief on SP and SSM, yang disampaikan pada pertemuan Tingkat Menteri di Jakarta tgl 11 Juni 2005. Indikator itu masih ada kaitannya dengan Non Paper by Indonesia, “Spesific Modalities input on Special Products” yang disampaikan at G33 Countries Meeting in Geneva, 8 Desember 2003. Bahan itu, hampir seluruhnya diambil dari P.Simatupang (2003), “Justifikasi dan Metoda Penetapan Komoditas Strategis”. Sayang makalah tersebut tidak pernah dibahas/didiskusikan secara terbuka, dan ternyata langsung diadopsi oleh Pemerintah Indonesia.
FLEKSIBILITAS PEMILIHAN SPECIAL PRODUCT (SP) USULAN INDONESIA: MAMPUKAH MENCAPAI SASARANNYA? M. Husein Sawit, Budiman Hutabarat, Adi Setyanto, Helena J. Purba, Sri Nuryanti dan Juni Hestina
99
dipilih sesuai dengan indikator seperti yang telah disebut di atas. Indikator ke-4 adalah indikator amat penting dalam pemilihan tersebut, dan dalam makalah ini hanya dipusatkan pada net import, dengan pertimbangan ketersediaan datanya. Apabila indikator ke-4 terpilih, kemudian ditambah dengan salah satu dari indikator ke-1, atau ke-2, atau ke-3, maka produk tersebut layak diperlukan sebagai SP. Khusus indikator ke-2, dirinci lagi lebih lanjut yaitu kalori atau protein.
HASIL PERHITUNGAN Data yang digunakan untuk menguji ke-4 indikator tersebut adalah berasal dari BPS yang dipakai dalam penyusunan I/O tahun 2000 dan data Susenas 2003. Kedua jenis data ini dipilih karena paling lengkap, sehingga tidak perlu mencarinya secara terpilah-pilah. Sedangkan data perdagangan tahun 2000-2003 diperoleh dari Departemen Perdagangan. Tahap pertama, dihitung komoditas/produk pertanian yang menjadi net import rata-rata periode terakhir 2000-2003. Apabila produk/komoditas net import dirinci dalam HS 4 digit, maka tersaring 84 jenis produk net importir (Tabel Lampiran 1). Hampir seluruhnya adalah berupa pangan, termasuk di dalamnya buah-buahan dan sayuran, daging, serta susu/keju, dan makanan jadi. Tahap kedua, dipilih produk/komoditas yang pangsanya terhadap GDP pertanian 5 persen atau lebih. Dari indikator ini, maka terpilih 12 komoditas/ produk yang memenuhi indikator tersebut (Tabel 1). Produk tersebut adalah beras, kapuk, kelapa, tembakau, buah-buahan, unggas, sayuran, manakan/minuman lainnya, minyak hewani/nabati, jagung, ubijalar, daging, dan sebagainya. Tahap ketiga, dipilih produk/komoditas pertanian yang memenuhi indikator konsumsi kalori 5 persen atau lebih. Hasilnya terpilih 4 produk yang memenuhi syarat sebagai SP yaitu beras, kelapa, kelapa sawit, dan gula (Tabel 2). Tahap keempat, dipilih produk/komoditas pertanian yang memenuhi indikator konsumsi protein 5 persen atau lebih. Hasilnya terpilih hanya 3 produk yang memenuhi syarat sebagai SP, yaitu beras, kedelai dan unggas (Tabel 3). Tahap kelima, dipilih produk/komoditas pertanian yang menyerap tenaga kerja 5 persen atau lebih. Produk yang terpilih sejumlah 5 jenis yaitu beras, sayuran, buah-buahan, ubijalar, dan jagung (Tabel 4). Tahap terakhir, penggabungan ke semua indikator di atas seperti yang diperlihatkan dalam Tabel Lampiran 2. Ada 12 produk/komoditas yang berhak mendapatkan SP sesuai dengan indikator seperti yang telah di bahas di atas yaitu: beras, jagung, kedelai, sayuran, buah-buahan, gula, tembakau, daging ternak besar, unggas, minyak hewani/nabati, makanan lainnya/minuman beralkohol, dan kapuk/benang. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 2, Juni 2005 : 95-107
100
Tabel 1. Komoditas Terpilih sebagai SP Berdasarkan Kriteria GDP Pertanian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Komoditas/Produk Olahan Padi dan beras Kapuk bersih dan benang Kelapa dan kopra Tembakau dan tembakau olahan Buah-buahan Unggas dan hasil-hasilnya Sayur-sayuran Makanan lainnya dan minuman beralkohol Minyak hewani dan minyak nabati Jagung dan pakan ternak Ubi jalar dan umbi-umbi lainnya Ternak dan hasil-hasilnya kecuali susu segar dan daging/jeroan sejenisnya dan daging olahan/awetan
Pangsa thd PDB pertanian (%) 28,80 21,41 14,35 12,52 12,18 9,67 7,23 6,25 5,57 5,51 5,31 5,24
Tabel 2. Komoditas Terpilih sebagai SP Berdasarkan Kriteria Konsumsi Kalori No 1. 2. 3. 4.
Komoditas/Produk Olahan Padi dan beras Kelapa dan kopra Kelapa sawit Tebu dan gula
Pangsa terhadap kalori (%) 51,60 7,11 5,59 5,58
Tabel 3. Komoditas Terpilih sebagai SP Berdasarkan Konsumsi Protein No 1. 2. 3.
Komoditas/Produk Olahan Padi dan beras Kedelai dan olahannya Unggas dan hasil-hasilnya
Pangsa terhadap protein (%) 44,59 9,66 6,06
Tabel 4. Komoditas Terpilih sebagai SP Berdasarkan Kriteria Tenaga Kerja Pertanian
No 1. 2. 3. 4. 5.
Komoditas/Produk Olahan Padi dan beras Sayur-sayuran Buah-buahan Ubi jalar dan umbi-umbi lainnya Jagung dan pakan ternak
Pangsa thd tenaga kerja pertanian (%) 28,79 13,92 12,25 6,43 5,92
FLEKSIBILITAS PEMILIHAN SPECIAL PRODUCT (SP) USULAN INDONESIA: MAMPUKAH MENCAPAI SASARANNYA? M. Husein Sawit, Budiman Hutabarat, Adi Setyanto, Helena J. Purba, Sri Nuryanti dan Juni Hestina
101
KESIMPULAN DAN SARAN Indikator yang amat menentukan dalam pemilihan produk SP adalah posisinya sebagai net importir atau net exportir. Apabila produk itu adalah net exportir, maka tidak masuk sebagai SP, kecuali nilainya kurang dari 5% perdagangan dunia. Ketentuan terakhir ini tidak dipakai, karena kesulitan data. Apabila produk adalah net importir maka produk itu adalah salah satu calon sebagai SP. Apapun indikator yang dipakai, ternyata beras selalu muncul, sehingga produk ini tidak terbantahkan untuk dijadikan SP. Sesuai dengan indikator di atas, maka terpilih sejumlah 11 produk/komoditas yang berhak mendapatkan SP, yaitu: beras, jagung, kedelai, sayuran, buah-buahan, gula, tembakau, daging ternak besar, unggas, minyak hewani/nabati, makanan lainnya/minuman beralkohol, dan kapuk/ benang. Ada beberapa saran atas indikator yang telah dibuat tersebut yaitu: Terlalu berfokus pada NI, sehingga itu belum menggambarkan tentang livelihood dan rural development. Seharusnya titik berat harus diberikan pada GDP pertanian, employment dan net food importer, agar lebih mengena dengan tujuan SP. Di antara yang terpilih sebagai SP adalah produk yang bukan pangan, seperti tembakau, minuman beralkohol, kapuk. Kalau ini terpilih, diperkirakan akan mendapat serangan, karena tidak terkait dengan pangan. Oleh karena itu, disarankan agar memakai net food importir9, dari pada net importir. Threshold >5 persen yang dipakai tampaknya, terlalu ad-hoc, tidak kuat argumentasi ilmiahnya maupun agrumentasi kepentingan ekonomi politik. Kalau mau ad hoc, dapat saja dipakai threshold >2,5 persen.
9
Seharusnya, setiap proposal tidak terkecuali dalam pemilihan SP, dibahas secara terbuka, dengan mengundang banyak ahli dan peminat seperti lembaga swadaya masyarakat/NGO dll. Pemerintah tidak boleh secara diam-diam memilih dan menentukannya sendiri. Karena menyangkut kepentingan publik, maka publik juga harus terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, setidak-tidaknya dibuat agar transparan.
Cara ini pernah dipakai oleh M.Husein Sawit dkk (2004), “Penyaringan SP dengan Metoda I/O untuk Indonesia”, laporan no.3(rev.1), October 2004.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 2, Juni 2005 : 95-107
102
Tabel Lampiran 1. Komoditas Terpilih sebagai SP Berdasarkan Kriteria Net Impor No
Komoditas/Produk Olahan
Kode HS 4 digit 0201
1.
Daging binatang jenis lembu, segar atau dingin
2.
Daging binatang jenis lembu, beku
0202
3.
Daging biri-biri atau kambing, segar, dingin atau beku
0204
4.
0206
5.
Sisa yang dapat dimakan dari binatang jenis lembu, babi, biri-biri, kambing, kuda, keledai, bagal, atau hinnie, segar,dingin atau beku Lemak babi tanpa daging dan lemak unggas
6.
Daging dan sisanya yang dapat dimakan
0210
7.
Susu dan kepala susu, tidak dipekatkan maupun tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya Susu dan kepala susu, dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya Susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan, yoghurt, kefir
0401
0404
11.
Whey, dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya Mentega dan lemak lainnya yang diperoleh dari susu
12.
Keju dan dadih susu
0406
13.
Telur unggas, tanpa kulit, dan kunig telur, segar atau kering, mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya atau tidak Madu alam
0408
Bawang, bawang merah, bawang putih, bawang bakung/perai dan sayuran lainnya, segar atau dingin Selada dan chicory, segar atau dingin
0703
Wortel, lobak cina, akar bit untuk salad, salsify, celeriac, lobak dan akar sejenis yang dapat dimakan, segar atau dingin Sayuran polongan, dikupas atau tidak, segar atau dingin
0706
0710
21.
Sayuran (tidak dimasak atau dimasak dengan dikukus atau direbus), beku Sayuran kering, utuh atau potongan, irisan, patahan atau dalam bentuk bubuk, tetapi tidak diolah lebih lanjut Sayuran polongan kering, dikupas, dikuliti, atau dibelah maupun tidak
22.
Buah jeruk, segar atau kering
0805
23.
Anggur, segar atau kering
0806
24.
Apel, pir, dan quince, segar
0808
25.
Aprikot, ceri, persik (termasuk nektarin), plum dan sloe, segar
0809
26.
Buah lainnya,segar
0810
27.
Buah dan buah bertempurung, diawetkan sementara tetapi tidak cocok untuk untuk konsumsi langsung Cengkeh (utuh, bunga dan tangkai)
0812
8. 9. 10.
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
28.
0209
0402 0403
0405
0409
0705
0708
0712 0713
0907
FLEKSIBILITAS PEMILIHAN SPECIAL PRODUCT (SP) USULAN INDONESIA: MAMPUKAH MENCAPAI SASARANNYA? M. Husein Sawit, Budiman Hutabarat, Adi Setyanto, Helena J. Purba, Sri Nuryanti dan Juni Hestina
103
Tabel Lampiran 1. Lanjutan Kode HS 4 digit 0909
No
Komoditas/Produk Olahan
29.
Biji adas manis, badian, adas pedas, ketumbar, jintan hitam atau jintan
30.
Barli
1003
31.
Oat
1004
32.
Beras
1006
33.
Butiran sorghum
1007
34.
Buckwheat, millet, dan biji canary, serealia lainnya
1008
35.
Tepung gandum atau tepung meslin
1101
36.
Menir, tepung kasar, dan pelet serealia
1103
37.
1104
38.
Butir serealia dikerjakan secara lain, kecuali beras, lembaga serealia, utuh, diigiling, dipipihkan, atau ditumbuk Tepung, tepung kasar, bubuk, serpih, butir dan pelet kentang
39.
Malt, digongseng maupun tidak
1107
40.
Pati, inulin
1108
41.
Gluten gandum, kering maupun tidak
1109
42.
Kacang kedelai, pecah maupun tidak
1201
43.
Kacang tanah
1202
44.
Biji bunga matahari, pecah maupun tidak
1206
45.
1208
46.
Tepung halus dan tepung kasar dari biji atau buah yang mengandung minyak, selain tepung moster Kerucut buah hop
47.
Lemak babi (termasuk lard) dan lemak unggas
1501
48.
Lemak dari binatang jenis lembu, biri-biri, atau kambing
1502
49.
Lard stearin, minyak lard, oleo stearin, minyak oleo dan minyak tallow
1503
50.
1504
51.
Lemak dan minyak serta fraksinya, dari ikan atau binatang laut menyusui, dimurnikan maupun tidak Wool grease dan zat lemak turunannya (termasuk lanolin)
52.
Lemak dan binatang lainnya serta fraksinya, dimurnikan maupun tidak
1506
53.
Minyak kedelai dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak
1507
54.
Minyak kacang tanah dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak
1508
55.
Minyak zaitun dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak
1509
56.
Minyak lain dan fraksinya, diperoleh semata-mata dari zaitun, dimurnikan maupun tidak Minyak kelapa sawit dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak
1510
Minyak biji bunga matahari, safflower atau biji kapas dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak
1512
57. 58.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 2, Juni 2005 : 95-107
104
1105
1210
1505
1511
Tabel Lampiran 1. Lanjutan
62.
Kode HS 4 digit 1513 Minyak kelapa (kopra), kernel kelapa sawit atau babassu dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak 1514 Minyak lobak, colza atau moster dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak 1515 Lemak dan minyak nabati tertentu lainnya (termasuk minyak jojoba) dan fraksinya, dimurnikan maupun tidak Lemak dan minyak hewani atau nabati dan fraksinya 1516
63.
Lemak dan minyak hewani atau nabati serta fraksinya
1518
64.
Daging, sisanya daging atau darah lainnya yang diolah atau diawetkan
1602
65.
Gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi, dalam bentuk padat
1701
66.
Gula lainnya
1702
67.
Tetes dari hasil ekstraksi atau pemurnian gula
1703
68.
Ekstrak malt, olahan makanan dari tepung, menir, tepung kasar, pati
1901
69.
Makanan olahan yang diperoleh dengan cara menggembungkan atau menggongseng serealia atau produk serealia Tomat diolah atau diawetkan selain dengan cuka atau asam asetat
1904
2004
73.
Sayuran lainnya yang diolah atau diawetkan selain dengan cuka atau asam asetat Sayuran lainnya yang diolah atau diawetkan selain dengan cuka atau asam asetat Ragi
74.
Sop dan kaldu serta olahannya
2104
75.
Es krim dan es lainnya yang dapat dimakan, mengandung kakao maupun tidak Olahan makanan yang tidak dirinci atau termasuk dalam pos lainnya
2105
Air, termasuk air mineral dan air soda mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya atau pemberi rasa Minuman fermentasi dari buah anggur segar, termasuk minuman fermentasi yang diperkuat Etil alkohol yang tidak didenaturasi dengan kadar alkohol kurang dari 80% menurut volumenya Cuka dan pengganti cuka diperoleh dari asam asetat
2202
2301
82.
Tepung, tepung kasar dan pelet dari daging atau sisanya, dari ikan, krustasea, moluska, atau invertebrata air lainnya, tidak untuk dikonsumsi manusia Endapan minuman fermentasi; kerak minuman fermentasi
83.
Tembakau belum dipabrikasi dan sisa tembakau
2401
84.
Tembakau dipabrikasi lainnya dan pengganti tembakau dipabrikasi
2403
No 59. 60. 61.
70. 71. 72.
76. 77. 78. 79. 80. 81.
Komoditas/Produk Olahan
2002
2005 2102
2106
2204 2208 2209
2307
FLEKSIBILITAS PEMILIHAN SPECIAL PRODUCT (SP) USULAN INDONESIA: MAMPUKAH MENCAPAI SASARANNYA? M. Husein Sawit, Budiman Hutabarat, Adi Setyanto, Helena J. Purba, Sri Nuryanti dan Juni Hestina
105
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 2, Juni 2005 : 95-107
106
FLEKSIBILITAS PEMILIHAN SPECIAL PRODUCT (SP) USULAN INDONESIA: MAMPUKAH MENCAPAI SASARANNYA? M. Husein Sawit, Budiman Hutabarat, Adi Setyanto, Helena J. Purba, Sri Nuryanti dan Juni Hestina
107
Tabel Lampiran 2. Pemilihan SP dengan 4 atau 5 Indikator
No
Komoditas/Produk Olahan
HS (2 s/d 4 digit)
NI or NE2)
1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Padi dan beras Jagung dan pakan ternak Kedelai dan olahannya Sayur-sayuran Buah-buahan Tebu dan gula Tembakau dan tembakau olahan Ternak dan hasil-hasilnya kecuali susu segar dan daging/jeroan sejenisnya dan daging olahan/awean Unggas dan hasil-hasilnya Minyak hewani dan minyak nabati Makanan lainnya dan minuman beralkohol Kapuk bersih dan benang Ketela pohon Ubi jalar dan umbi-umbi lainnya Kacang tanah Kacang-kacangan lainnya Padi-padian dan bahan makanan lainnya Karet Kelapa dan kopra
Pangsa thd Pangsa thd kalori PDB pertanian (%)1) (%)1)
1006 1108 1201 08 07 1701 24 02
NI NI NI NI NI NI NI NI
28,8 5,51 3,55 7,23 12,18 2,72 12,52 5,24
51,6 1,39 2,8 1,74 0,28 5,58 0,00 0,38
4 44,59 1,28 9,66 4,32 0,82 0,16 0,00 2,29
207 15
NI NI
9,67 5,57
2,46 0
6,25 21,41 2,65 5,31 1,74 0,51 0,05 4,91 14,35
1,12 0 1,95 0,69 0,41 0,44 0,02 0 7,11
22 5203 & 5206 0714 0601 1202 1207 1008 40 1503 & 1203
2
NI(?) NI NE NE NI ? NI NE NE
3
Pangsa thd Protein (%)1)
Pangsa thd tenaga kerja pertanian (%)1) 5
Produk SP
28,79 5,92 2,49 13,92 12,25 2,35 1,63 3,99
6 * * * * * * * *
6,06 0,01
3,67 0,48
* *
1,93 0 0,41 0,37 0,92 0,45 0,01 0 1,04
0,34 0,78 2,13 6,43 2,62 0,71 0,42 1,28 1,75
* *
Tabel Lampiran 2. Lanjutan
No
Komoditas/Produk Olahan
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Kelapa sawit Hasil tanaman serat Kopi, kopi giling dan kupasan Teh dan the olahan Cengkeh Kakao, coklat dan kembang gula Jambu mete Hasil perkebunan lainnya Hasil pertanian lainnya Susu segar Hasil pemeliharaan hewan lainnya Makanan dan minuman terbuat dari susu Buah-buahan dan sayur-sayuran olahan dan awetan Tepung terigu Tepung lainnya Roti, biskuit dan sejenisnya Mie, makaroni dan sejenisnya Biji-bijian kupasan
HS (2 s/d 4 digit)
NI or NE2)
1
33. 34. 35. 36. 37.
Keterangan:
1511
NE NE(?) NE NE NE NE NE NE ?
0901 0902 0907 18 ?
0402 0410 0402
NI ? NI
07 atau 08 1101 1106 19
NI NI
1104 Jumlah
NE(?) NI(?) NI(?) NI
1) nilainya >5% 2) NI=net import; NE=net export 3) Untuk yg tidak jelas posisinya, dibuat tanda tanya (?).
Pangsa thd Pangsa thd kalori PDB pertanian (%)1) (%)1) 2
3
Pangsa thd Protein (%)1)
Pangsa thd tenaga kerja pertanian (%)1)
4
5
Produk SP 6
2,05 0,17 1,40 2,37 0,76 3,32 1,13 1,05 0,35 0,30 0,09 0,66
5,59 0 0,67 0,15 0,00 0,02 0,29 0,66 0,16 0,03 0,00 0,97
0,00 0 1,21 0,81 0,00 0,02 0,62 0,67 0,00 0,08 0,02 1,29
1,52 0,09 1,89 0,76 0,68 0,35 0,21 0,10 0,13 0,18 0,07 0,27
1,92 0,75 1,68 1,71 1,13 1,2 12
0,28 0,52 0,02 4,53 2,84 0 4
0,35 0,51 0,71 3,26 2,4 0 3
0,14 0,12 0,06 0,36 0,25 0,05 5
12