ISSN 1978-6506
Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012
Vol. 8 No. 2 Agustus 2015 Hal. 125 - 249
FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM
I
Jurnal isi edit arnis ok.indd 1
10/1/2015 11:48:29 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 2
10/1/2015 11:48:29 AM
ISSN 1978-6506
Vol. 8 No. 2 Agustus 2015 Hal. 125 - 249
J
urnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.
Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI
Redaktur:
1.
Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)
2.
Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi)
Penyunting:
1.
Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)
2.
Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)
3.
Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Hukum Internasional)
4.
Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)
5.
Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)
Mitra Bestari:
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)
5.
Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M. (Hukum Perdata)
6.
Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)
7.
Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)
III
Jurnal isi edit arnis ok.indd 3
10/1/2015 11:48:29 AM
8.
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional)
9.
Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)
10.
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum)
11.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)
12.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)
13.
Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. (Hukum Perdata/Hukum Agraria)
Sekretariat:
1.
Agus Susanto, S.Sos., M.Si.
2.
Arnis Duwita Purnama, S.Kom.
3.
Yuni Yulianita, S.S.
4.
Wirawan Negoro, A.Md.
5.
Didik Prayitno, A.Md.
6.
Eka Desmi Hayati, A.Md.
7.
Lia Puspitasari, S.IP.
dan Fotografer:
1.
Dinal Fedrian, S.IP.
2.
Widya Eka Putra, A.Md.
Desain Grafis
Alamat: Sekretariat Jurnal Yudisial Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat,Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189 E-mail:
[email protected] Website: www.komisiyudisial.go.id
IV
Jurnal isi edit arnis ok.indd 4
10/1/2015 11:48:29 AM
PENGANTAR
H
FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM
ukum sesungguhnya tidak sekadar teks yang mati karena tatkala teks ini dibentuk dan dipositifkan, di dalamnya sudah terkandung tatanan nilai dan asas yang siap menyongsong konteks. Teks memang bisa saja bertahan sebagai rumusan tunggal yang bertahan dalam khazanah ius constitutum, namun konteks tidak pernah tunggal. Setiap kasus menyajikan fakta-fakta yang terikat pada ruang dan waktunya sendiri-sendiri. Dengan demikian setiap teks selalu dipersiapkan untuk menyosong konteks-konteks, bahkan dengan target konteks yang berjumlah sebanyak-banyak. Makin banyak konteks yang bisa dicakupi oleh suatu teks, maka dipersepsikan makin baik kualitas perumusan teks tadi sebagai hukum positif yang berlaku prospektif. Di sini kita melihat betapa konteks-konteks yang ditemukan di lapangan, menuntut kejelian bagi para penyandang profesi hukum untuk mencermati pola-pola kesesuaiannya satu sama lain. Setiap konteks seperti menagih daya nalar penyandang profesi hukum itu untuk membuka kemungkinan terjadinya kegiatan pemaknaan teks, baik upaya yang produktif atau sekadar reproduktif. Artinya, terjadi pergumulan di antara unsur-unsur konstruksi dan/atau penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontekstualisasi. Kegiatan yang produktif memperlihatkan adanya fleksibilitas teks, sedangkan kegiatan yang sekadar reproduktif menunjukkan suatu rigiditas di dalam teks. Hakim-hakim yang terkukung pada rutinitas berkarya dan senang berada di wilayah “aman” biasanya akan terjebak pada rigiditas berhukum dan membiarkan berlalunya kesempatan emas melakukan penemuan hukum, mengisi kekosongan makna teks tertulis hukum positif. Tulisan-tulisan yang hadir dalam edisi kali ini memperagakan dinamika pemaknaan hakim dalam teks, konteks, dan kontekstualisasi. Area hukumnya ada di berbagai bidang, mencakup hukum internasional, hukum konstitusi, hukum acara, hukum lingkungan, hukum agraria, dan hukum tata usaha negara. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi berupa pengujian undang-undang, masih menjadi daya tarik penulis untuk mengulasnya. Demikian juga dengan putusan-putusan kasasi yang dijatuhkan oleh majelis hakim agung. Dua puncak kekuasaan kehakiman ini menjadi batu penguji terakhir yang menentukan tepat tidaknya pilihan mereka, para penyandang profesi hukum, untuk berada di kubu fleksibilitas atau kubu rigiditas dalam berhukum. Pilihan ini layak untuk dikritisi karena setiap putusan yang dilahirkan dari rahim lembaga yudikatif tersebut akan langsung mengalir menjadi domain publik. Sudah menjadi tekad Jurnal Yudisial untuk menyediakan forum yang terhormat dan ilmiah dalam rangka mempertemukan suara-suara kritis ini. Selamat membaca! Terima kasih. Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial V
Jurnal isi edit arnis ok.indd 5
10/1/2015 11:48:29 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 6
10/1/2015 11:48:29 AM
DAFTAR ISI
Vol. 8 No. 2 Agustus 2015
ISSN 1978-6505
PENAFSIRAN MOU HELSINKI TERKAIT KEBERADAAN CALON INDEPENDEN DALAM KAITAN MAKNA OTONOMI KHUSUS DI ACEH ........................... 125 - 143 Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 Zaki ‘Ulya, Fakultas Hukum Universitas Samudra, Aceh PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA YANG BERKEADILAN DAN BERKEPASTIAN HUKUM ............ 145 - 166 Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Arfan Faiz Muhlizi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK GUGATAN PRAPERADILAN ........................... 167 - 189 Kajian Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel Ramiyanto, Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang PELENTURAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM .................................................... 191 - 207 Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 PK/Pid/2009 Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Jakarta DELIK IZIN LINGKUNGAN YANG TERABAIKAN ............................ 209 - 228 Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 Derita Prapti Rahayu Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Bangka PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA BERBASIS METODE ANTINOMI NILAI DALAM PENEGAKAN HUKUM .......................................................... 229 - 249 Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag Ali Imron, Fakultas Hukum Universitas Merdeka, Malang
VII
Jurnal isi edit arnis ok.indd 7
10/1/2015 11:48:29 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 8
10/1/2015 11:48:29 AM
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506..............................................................................
Vol. 8 No. 2 Agustus 2015
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.
terkait hak politik di Aceh. Adapun inti dari Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 yaitu memperjelas makna otonomi khusus terkait hak politik yang disebutkan oleh MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 bagi Aceh. Kemudian Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran bahwa pelaksanaan MoU tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
UDC 347.993 (910.11) ‘Ulya Z (Fakultas Hukum, Universitas Samudra, Aceh) Penafsiran Mou Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen dalam Kaitan Makna Otonomi Khusus di Aceh Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ PUU-VIII/2010
(Zaki ‘Ulya)
Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 125 - 143
Kata kunci: pemilukada.
Aceh merupakan salah satu daerah provinsi dalam lingkup Negara Indonesia yang memperoleh status otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus diatur menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, melalui semangat MoU Helsinki. Salah satu kekhususan Aceh terkait dengan otonomi khusus yaitu hak bidang politik seperti keikutsertaan calon independen dan partai politik lokal. Kedua hal tersebut merupakan perintah langsung dari MoU Helsinki. Namun, kedua hal tersebut terkendala dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12
otonomi
khusus,
hak
politik,
UDC 343.1; 347.993 Muhlizi AF (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN, Jakarta) Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan dan Berkepastian Hukum Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/ PUU-XI/2013
Tahun 2008, memerintahkan setiap daerah provinsi dapat mengikutsertakan calon independen dalam pemilukada. Kendala Aceh, keikutsertaan calon independen dalam pemilukada menurut MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 hanya satu kali. Oleh karena itu, pertentangan politik terjadi diakibatkan karena pelaksanaan seluruh butir MoU Helsinki belum diselesaikan oleh pemerintah pusat, dan adanya upaya menggagalkan pelaksanaan pemilukada akibat MoU Helsinki tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Maka permasalahan tersebut dimohonkan untuk diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/ PUU-VIII/2010. Mahkamah Konstitusi menilai terjadi perbedaan penafsiran atas MoU, khususnya
Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 145 - 166 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/ PUU-XI/2013 pada prinsipnya membolehkan peninjauan kembali (PK) dilakukan lebih dari satu kali. Putusan MK tersebut menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja,” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasca putusan tersebut, Mahkamah Agung (MA) justru menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam
IX
Jurnal isi edit arnis ok.indd 9
10/1/2015 11:48:29 AM
perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Tulisan ini mengkaji solusi atas polemik peninjauan kembali dalam perkara pidana. Pembahasannya diawali dengan pemenuhan unsur keadilan dan kepastian hukum dalam PK seiring terbitnya Putusan MK dan SEMA tersebut. Pembahasan selanjutnya mengenai apakah pengaturan upaya PK selaras dengan prinsip perlindungan HAM. Dalam analisis disimpulkan bahwa: 1) pemenuhan keadilan (doelmatigheid) dalam upaya PK harus dilaksanakan dengan bingkai kepastian hukum (rechtmatigheid); 2) Putusan MK telah memberikan perlindungan HAM dan selaras dengan Statuta Roma 1998, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan koreksi dan rekoreksi terhadap putusan yang dipandang tidak adil; dan 3) dengan menggunakan asas res judicata pro veritate habetur maka dasar pengajuan PK harus berpedoman pada Putusan MK. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membuat mekanisme untuk mempercepat proses pemeriksaan PK dan mempercepat eksekusinya.
Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menerima dan mengabulkan penetapan tersangka BG yang dilakukan oleh penyidik KPK tidak sah. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hakim adalah Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Menurut hakim, penetapan tersangka terhadap BG oleh penyidik KPK merupakan bentuk dari “tindakan lain” aparat penegak hukum yang sewenang-wenang sebagaimana dimaksud Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Kedua pasal tersebut sebenarnya lebih kuat digunakan sebagai salah satu alasan untuk menuntut ganti rugi karena seorang tersangka perkaranya dihentikan baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan. Oleh karena itu, tidak tepat apabila kata “tindakan lain” yang dimaksud dijadikan dasar sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Pertimbangan hakim dalam memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan seharusnya adalah atas dasar keadilan dengan keluar dari ketentuan KUHAP.
(Arfan Faiz Muhlizi)
(Ramiyanto)
Kata kunci: peninjauan kembali, keadilan, kepastian hukum.
Kata kunci: status tersangka, praperadilan, objek gugatan.
UDC 343.165
UDC 343.163; 347.991
Ramiyanto (Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang)
Suhariyanto B (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, MA RI, Jakarta) Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan Kajian Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 PK/ Pid/2009
Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 167 - 189
Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 191 - 207
Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 ayat (2) KUHAP tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Namun dalam Putusan Nomor 04/
Secara eksplisit Pasal 263 KUHAP tidak memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Berdasarkan pasal tersebut, Mahkamah Agung dalam putusannya
X
Jurnal isi edit arnis ok.indd 10
10/1/2015 11:48:29 AM
membenarkan Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 357/PID.B/2010/ PN.Mdo tanggal 24 Mei 2011. Putusan itu menetapkan terdakwa VP bebas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum yaitu Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dalam kasus ini dakwaan penuntut umum dinilai tidak cermat dengan tidak mencantumkan delik yang berkaitan dengan pasal yang didakwakan, selain itu putusan hakim dinilai tidak memberikan perlindungan hukum pada masyarakat, cenderung berpikiran sempit dengan telah mengabaikan delik izin lingkungan yang terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, tetapi hal itu tidak terdapat dalam dakwaan jaksa/penuntut umum. Hakim seharusnya tidak mengabaikan hal itu, karena tugas hakim adalah untuk mendapatkan kebenaran materiil yang pada hakikatnya untuk keadilan. Putusan ini juga bisa menjadi dasar bagi kasus-kasus selanjutnya, di mana pihak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal dan UKL/UPL tidak akan mengurus izin, mereka akan mengurus izin lingkungan dan izin usahanya jika sudah ada tuntutan delik di salah satu pasal dalam UUPPLH dan hal ini berakibat masyarakat tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum atas kejahatan lingkungan.
menyatakan tidak dapat menerima upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dengan mendasarkan pada nilai kepastian hukum, namun dalam putusannya yang lain menyatakan dapat menerima peninjauan kembali dari jaksa penuntut umum dengan mendasarkan pada nilai keadilan sehingga menyeimbangkan hak terpidana dengan korban/negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum. Berbeda halnya dengan Putusan Nomor 57 PK/Pid/2009, Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan Pasal 263 KUHAP dapat dilenturkan apabila ada hal yang dapat menyatakan bilamana bahwa permohonan peninjauan kembali jaksa/ penuntut umum tersebut untuk melindungi suatu kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar. Atas upaya pelenturan hukum yang demikian, Mahkamah Agung pada hakikatnya telah melakukan penciptaan hukum yang berorientasi pada kemanfaatan hukum yang notabene dalam konteks tertentu mengesampingkan kepastian hukum. (Budi Suhariyanto) Kata kunci: peninjauan kembali, jaksa penuntut umum, pelenturan hukum.
UDC 343.77; 347.991 Rahayu DP (Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung, Bangka)
(Derita Prapti Rahayu)
Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan
Kata kunci: delik lingkungan, izin lingkungan, amdal.
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/ Pid.Sus/2012 Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 209 - 228
UDC 340.131; 343.4
Delik izin lingkungan dalam Pasal 109 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) akan dipidana. Terdapat aspek kontroversi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 yang
Imron A (Fakultas Hukum, Universitas Merdeka Malang, Malang) Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi Nilai dalam Penegakan Hukum Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 229 - 249
XI
Jurnal isi edit arnis ok.indd 11
10/1/2015 11:48:29 AM
Bercermin pada putusan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. tanggal 25 November 2014 yang mengadili konflik agraria di Desa SS, dapat dipetik suatu pelajaran betapa lemahnya peran pengadilan sebagai lembaga penegakan hukum yang visioner dalam melindungi kelompok masyarakat petani yang tidak berdaya. Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 telah memberikan mandat yang jelas, baik yang ditujukan kepada DPR, presiden, dan lembaga yudikatif (pengadilan), yaitu pertama, menjalankan pembaruan agraria; dan kedua, menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Amanah tersebut menginspirasi pengadilan agar dalam menyelesaikan konflik agraria, bukan hanya mengandalkan legalisme/ formalisme, tetapi melalui paradigma hukum progresif yang mengedepankan keadilan substansial. Berpegang pada prinsip kebebasan hakim dalam penegakan hukum, peluang terbuka lebar untuk memadukan ketegangan –melalui metode antinominilai antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan, agar lebih mengedepankan nilai manfaat bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh kekuatan dan kekuasaan pemodal besar di dalam kancah konflik agraria. (Ali Imron) Kata kunci: konflik agraria, antinomi nilai, penegakan hukum.
XII
Jurnal isi edit arnis ok.indd 12
10/1/2015 11:48:30 AM
JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506..............................................................................
Vol. 8 No. 2 Agustus 2015
The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
UDC 347.993 (910.11) ‘Ulya Z (Fakultas Hukum, Universitas Samudra, Aceh) The Interpretation of Helsinki Memorandum of Understanding on the Issue of Aceh’s Special Autonomy in Relation to Political Rights An Analysis of Constitutional Court Decision Number 35/PUU-VIII/2010 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 125 - 143 Aceh is one of the provinces within the territory of Indonesia which obtained special status of regional autonomy. The provision of special autonomy region is stipulated on Law Number 11 of 2006, through the spirit of the Helsinki Memorandum of Understanding. One of the specificities associated with Aceh’s special status of regional autonomy is the rights in politics, especially in the participation of independent candidates and the local political parties. Those two dictums are the basics of a deal on Helsinki Memorandum of Understanding. However, both cases are constrained by the enactment of Law Number 12 of 2008, which instructs that each of the provinces may involve the independent candidates in the election. The problem is that the participation of independent candidates in the election in Aceh, under Helsinki Memorandum of Understanding and the Law Number 11 of 2006, shall be only performed one time. It is therefore political conflicts occurred, due to the implementation of all points of agreement in Helsinki Memorandum of Understanding has not been followed up by the National Government, and that there are attempts to thwart the implementation of the election because the Helsinki Memorandum of Understanding is not realized as should be. This issue is then filed to the Constitutional Court and
decided through the Constitutional Court Decision Number 35/PUU-VIII/2010. The essence of the Constitutional Court Decision Number 35/PUUVIII/2010 is to clarify the issue of special autonomy of Aceh related to political rights established in Helsinki Memorandum of Understanding and Law Number 11 of 2006. On the whole, the Constitutional Court interprets that the implementation of the Memorandum of Understanding does not conflict with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. (Zaki ‘Ulya) Keywords: special autonomy, political rights, regional election.
UDC 343.1; 347.993 Muhlizi AF (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN, Jakarta) Extraordinary Request to Judicial Review in Criminal Cases Aimed to Justice and Legal Certanty An Analysis of Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 145 - 166 The Constitutional Court Decision Number 34/ PUU-XI/2013 principally approves the petitioner’s extraordinary request for review more than once. The court decision argues that Article 268 paragraph (3) of Law Number 8 of 1981 regarding Code of Criminal Procedure which states, “the petition for extraordinary request for review a court decision shall only been filed once,” does not have a binding legal force. After the issuance of the decision, the Supreme Court in point of fact releases the Circular
XIII
Jurnal isi edit arnis ok.indd 13
10/1/2015 11:48:30 AM
Letter of the Supreme Court (SEMA) Number 7 of 2014 concerning the Extraordinary Request for Review Petition in Criminal Cases, settling that the petitioner’s extraordinary request for review in criminal cases filed more than once is unacceptable and not in line with the law. This leads to confusion for law enforcement officials and justice seekers. Therefore, this analysis brings forth the resolution to the polemical notion of the Extraordinary Request for Review Petition in criminal cases. The discussion is started by the fulfillment of the element of justice and legal certainty in the Extraordinary Request for Review Petition in keeping with the Supreme Court’s Circular Letter, and subsequently on whether the preparation of the petition of case review has been aligned with the principles of human rights protection. The analysis comes to resolve that: 1) the fulfillment of justice (doelmatigheid) in the Extraordinary Request for Review Petition shall be implemented through the framework of legal certainty (rechtmatigheid); 2) the decision of Constitutional Court has provided human rights protection complying to the Rome Statute of 1998, which give the widest possible opportunity to apply for correction and re-correction of the decision deemed unjust; and 3) in accordance with the principle of “res judicata pro veritate habetur,” the Extraordinary Request for Review Petition shall refer to the Constitutional Court’s Decision. The next step is to create a mechanism to speed up the process of examination of the review and accelerate the execution. (Arfan Faiz Muhlizi) Keywords: extraordinary request for review petition, justice, legal certainty.
UDC 343.165 Ramiyanto (Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang)
The Legitimacy of Suspect Status as an Object of Pretrial Petition An Analysis of Court Decision Number 04/Pid. Prap/2015/PN.Jkt.Sel (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 167 - 189 Article 1 point 10 in conjunction with Article 77 paragraph (2) of Criminal Procedure Code does not clearly and explicitly regulates on the legitimacy of suspect status determination as an object of pretrial petition. However, the suspect status of BG submitted by the Corruption Eradication Commission was received and approved as illegitimate by the pretrial panel of judges though the Court Decision Number 04/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel. To analyze, it is resolved that the legal basis of the judgment consideration is Article 77 in conjunction with Article 82 paragraph (1) in conjunction with Article 95 paragraph (1) and (2) of the Criminal Procedure Code. Determining BG as a graft suspect in the investigation of corruption cases conducted by the Corruption Eradication Commission was regarded by the judges as a form of “measure” referring to the phrase in Article 95 paragraph (1) and (2) of Criminal Procedure Code, that is “‘other measures’ conducted by the arbitrary law enforcement officials.” These two articles are actually more appropriate when used by the suspect to seek redress, in the event that the case was stopped either at the level of investigation or prosecution. For that reason, it is not suitable if the term “other measure” issued as the legal basis of the determination of the suspect as the object of pretrial petition. The consideration of the pretrial panel of judges in deciding the legitimacy of suspect status as the object of pretrial petition shall be made on the basis of justice at the first place by putting aside the provisions of the Criminal Procedure Code. (Ramiyanto) Keywords: status of suspect, pretrial, object of petition.
XIV
Jurnal isi edit arnis ok.indd 14
10/1/2015 11:48:30 AM
UDC 343.163; 347.991 Suhariyanto B (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, MA RI, Jakarta) Legal Flexibility in a Petition of Case Review by Public Prosecutor An Analysis of Supreme Court Decison Number 57 PK/Pid/2009 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 191 - 207 It is expressly stated on Article 263 of Criminal Procedure Law that a public prosecutor is not entitled to file an Extraordinary Request for Review Petition. Referring to the article, the Supreme Court in its judgment approves that a public prosecutor shall not be legalized to file an Extraordinary Request for Review Petition petition by basing on the outset of legal certainty; however in other judgments, the Supreme Court may accept the request so long as justice serves as the basis to keep the rights of the convict with the victim/state represented by public prosecutor in balance. Contrasting with the Court Decision Number 57/PK/Pid/2009, the Supreme Court views that the stipulation in Article 263 of Criminal Procedure Law may be flexible in a certain condition where the Extraordinary Request for Review Petition is filed for the sake of the public and the state urgency. Accordingly, such flexible law implies that the Supreme Court is eventually considered to have taken legal measure that law is oriented to the principle of merit, which incidentally in certain contexts should override legal certainty. (Budi Suhariyanto) Keywords: extraordinary request for review petition, public prosecutor, legal flexibility.
UDC 343.77; 347.991 Rahayu DP (Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung, Bangka) Disregarded Offense of Environmental Permit
An Analysis of Supreme Court Decision Number 258 K/Pid.Sus/2012 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 209 - 228 The environmental offense concerning environmental permit in Article 109 of Law Number 32 of 2009 on Environmental Conservation and Preservation states that any person running any business and/ or activities without an environmental permit as referred to in Article 36 paragraph (1) shall be subject to criminal offense. There is a controversial aspect in the Court Decision Number 258K/Pid. Sus/2012 justifying the Court Decision Number 357/Pid.B/2010/PN.Mdo issued on May 24, 2011. The Defendant VP was acquitted, not proven legally and convincingly guilty of any offense as accused by the public prosecutor, referring to Article 99, paragraph (1) in conjunction to Article 36, paragraph (1) of Law Number 32 of 2009. In this case, the accusation of the prosecutor is considered inaccurate because it does not point to the offense in the article prosecuted. Moreover, the court decision is deemed incapable of giving legal protection to the public, and apt to be narrow-minded disregarding the environmental offense on environmental permit which is proven in the examination at court, yet not indicated in the accusation. The judge shall not disregard it for taking into account that a judge is responsible to obtain material truth for the sake of justice. This decision may also be the basis for subsequent cases, in the event that the parties running business and/or activities that are subject to liability of Environmental Impact Assessment (EIA) and Environmental Management Effort (UKL) and Environmental Monitoring (UPL) but disregard the environmental permit, and will only take care of environmental permit and the operational authorization if there have been claim for environmental offense in one article in the Law on Environmental Conservation and Preservation (UUPPLH), thus cause damages to the community to obtain legal certainty and the protection of the
XV
Jurnal isi edit arnis ok.indd 15
10/1/2015 11:48:30 AM
environmental offenses. (Derita Prapti Rahayu)
Keywords: agrarian disputes, antinomy of values, law enforcement.
Keywords: environmental offense, environmental permit, environmental impact analysis.
UDC 340.131; 343.4 Imron A (Fakultas Hukum, Universitas Merdeka Malang, Malang) Agrarian Disputes Resolution Through Antinomy of Values Methodology in Law Enforcement An Analysis of Court Decisions Number 06/ Pdt.G/2014/PN.Kag (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(2), halaman 229 - 249 Court Decision Number 06/Pdt.G/2014/PN.Kag issued on November 25, 2014, which tried the case of agrarian disputes in SS, reflects the poor role of the judiciary as the law enforcement agency whose vision is to protect helpless the society group of farmers. The People’s Consultative Assembly Decree Number IX of 2001 has given a clear mandate, addressed both to the House of Representatives, the president, and the judicial agency (courts), that are firstly, to implement the agrarian reform, and secondly, to uphold the equitable and sustainable principles of natural resources management. The mandate inspires the courts to not only rely on legalism/formalism in resolving agrarian disputes, but also on the progressive law paradigm which promote substantial justice. Adhering to the principle of independence of judiciary in law enforcement, chances are wide open to chime strain value -through a method of antinomy- between the demands of legal certainty and the demands of justice, which emphasizes value of merit o the communities marginalized by the authority and power of the capitalists in the arena of agrarian disputes. (Ali Imron)
XVI
Jurnal isi edit arnis ok.indd 16
10/1/2015 11:48:30 AM
PENAFSIRAN MOU HELSINKI TERKAIT KEBERADAAN CALON INDEPENDEN DALAM KAITAN MAKNA OTONOMI KHUSUS DI ACEH Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010
THE INTERPRETATION OF HELSINKI MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ON THE ISSUE OF ACEH’S SPECIAL AUTONOMY IN RELATION TO POLITICAL RIGHTS An Analysis of Constitutional Court Decision Number 35/PUU-VIII/2010 ZAKI ‘ULYA Fakultas Hukum Universitas Samudra Jl. Meurandeh, Langsa, Aceh, 24416 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 23 Agustus 2014; revisi: 18 Agustus 2015; disetujui: 21 Agustus 2015 ABSTRAK Aceh merupakan salah satu daerah provinsi dalam lingkup Negara Indonesia yang memperoleh status otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus diatur menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, melalui semangat MoU Helsinki. Salah satu kekhususan Aceh terkait dengan otonomi khusus yaitu hak bidang politik seperti keikutsertaan calon independen dan partai politik lokal. Kedua hal tersebut merupakan perintah langsung dari MoU Helsinki. Namun, kedua hal tersebut terkendala dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, memerintahkan setiap daerah provinsi dapat mengikutsertakan calon independen dalam pemilukada. Kendala Aceh, keikutsertaan calon independen dalam pemilukada menurut MoU Helsinki dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 hanya satu kali. Oleh karena itu, pertentangan politik terjadi diakibatkan karena pelaksanaan seluruh butir MoU Helsinki belum diselesaikan oleh pemerintah pusat dan adanya upaya menggagalkan pelaksanaan pemilukada akibat MoU Helsinki tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Maka permasalahan tersebut dimohonkan untuk diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/
PUU-VIII/2010. Mahkamah Konstitusi menilai terjadi perbedaan penafsiran atas MoU, khususnya terkait hak politik di Aceh. Adapun inti dari Putusan Nomor 35/ PUU-VIII/2010 yaitu memperjelas makna otonomi khusus terkait hak politik yang disebutkan oleh MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 bagi Aceh. Kemudian Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran bahwa pelaksanaan MoU tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Kata kunci: otonomi khusus, hak politik, pemilukada. ABSTRACT Aceh is one of the provinces within the territory of Indonesia which obtained special status of regional autonomy. The provision of special autonomy region is stipulated on Law Number 11 of 2006, through the spirit of the Helsinki Memorandum of Understanding. One of the specificities associated with Aceh’s special status of regional autonomy is the rights in politics, especially in the participation of independent candidates and the local political parties. Those two dictums are the basics of a deal on Helsinki Memorandum of Understanding. However, both cases are constrained by the enactment
Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 125
| 125
10/1/2015 11:48:30 AM
of Law Number 12 of 2008, which instructs that each of the provinces may involve the independent candidates in the election. The problem is that the participation of independent candidates in the election in Aceh, under Helsinki Memorandum of Understanding and the Law Number 11 of 2006, shall be only performed one time. It is therefore political conflicts occurred, due to the implementation of all points of agreement in Helsinki Memorandum of Understanding has not been followed up by the National Government, and that there are attempts to thwart the implementation of the election because the Helsinki Memorandum of Understanding is not realized as should be. This issue is then filed to the Constitutional
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peristiwa reformasi tahun 1998 telah mengubah wajah politik nasional soal hubungan pusat-daerah. Perubahan paling utama dalam konteks tersebut yaitu pelaksanaan otonomi daerah dengan cita-cita menjamin kemandirian daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri dan melindungi kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. UUD NRI 1945 hasil amandemen mengatur pelaksanaan otonomi daerah dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah yang terdiri dari Pasal 18, 18A, dan 18B. Pada pelaksanaannya otonomi daerah tidak lepas dari kendala misalnya ketidaksiapan daerah hingga adanya gerakan separatisme seperti terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua yang menyebabkan gangguan keamanan di daerah tersebut. Alasan ketidakadilan pembagian hasil sumber daya alam oleh pemerintah pusat menjadi sebab munculnya gerakan pemisahan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (Aceh Institute, 2010, hal. 41). 126 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 126
Court and decided through the Constitutional Court Decision Number 35/PUU-VIII/2010. The essence of the Constitutional Court Decision Number 35/PUUVIII/2010 is to clarify the issue of special autonomy of Aceh related to political rights established in Helsinki Memorandum of Understanding and Law Number 11 of 2006. On the whole, the Constitutional Court interprets that the implementation of the Memorandum of Understanding does not conflict with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Keywords: special autonomy, political rights, regional election.
Gerakan separatisme yang terjadi di Aceh menyebabkan konflik berkepanjangan, sekitar 30 tahun, walaupun sesungguhnya Aceh telah ditetapkan sebagai daerah istimewa. Masalah ini pun mendapat sorotan dari masyarakat internasional. Dilihat dari sejarah, Aceh selalu diliputi konflik dan peperangan selama lebih kurang 125 tahun. Kronologisnya dimulai dengan gerakan perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonial Belanda pada perang kemerdekaan RI. Pada masa pemerintahan Soekarno muncul perlawanan dari Teungku Muhammad Daud Beureu’eh. Kemudian muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan oleh cucu pahlawan nasional Tgk. Cik Di Tiro yaitu Hasan Tiro yang sekaligus menandai puncak kekecewaan rakyat Aceh atas Jakarta di bawah pemerintahan Soeharto. Perlawanan GAM berakhir sejak ditandatangani MoU perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki Finlandia (Yoesoef et.al., 2009, hal. 13-14). Gejolak yang ada berdampak pada aturan hukum di Aceh. Selain diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh, telah disahkan pula Undang-Undang Nomor 18 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:30 AM
Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hingga akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 merupakan manifestasi dari Memorandum of Understanding (MoU) yang telah disepakati oleh pihak GAM dengan perwakilan pemerintah di Helsinki (Aguswandi & Large, 2008, hal. 9).
sama dengan provinsi lainnya. Aceh dapat mengikutsertakan calon independen dalam pilkada. Sesungguhnya, ketentuan Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemilu, calon independen di Aceh hanya dapat mengikuti satu kali pilkada, yaitu pada tahun 2006. Tetapi, MK memutuskan bahwa akibat adanya perkembangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pengaturan di atas merupakan Pemerintahan Daerah, maka calon independen pengejawantahan konsep otonomi khusus di Aceh dapat kembali mengikuti pilkada yang dikehendaki oleh MoU Helsinki. Dalam sebagaimana provinsi lainnya. pelaksanaannya, otonomi khusus Aceh mengalami kendala yaitu butir-butir pasal Undang-Undang Pada Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh perihal yang diajukan pihak pemohon yaitu masih belum dapat dilaksanakan karena aturan menguji Pasal 256 Undang-Undang Nomor pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah (PP) 11 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa dan peraturan presiden (Perpres) belum disahkan penyelenggaraan pilkada di Aceh hanya dapat hingga kini. Dalam bidang politik, adanya satu kali mengikutsertakan calon independen dan partai politik lokal dan calon independen dalam telah selesai dilaksanakan pada tahun 2007 dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh ternyata menimbulkan persoalan dan beberapa periode 2007-2012, melalui jalur independen. di antaranya telah diajukan penyelesaiannya ke MK memberikan penafsiran khusus terkait Mahkamah Konstitusi (MK). MoU Helsinki, yang menjadi objek perdebatan Kasus politik Aceh yang diselesaikan oleh sebelum pelaksanaan pilkada tahun 2012. Menurut MK di antaranya terdapat dalam Putusan Nomor MK dalam Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, 05/PUU-V/2007, Putusan Nomor 35/PUU- bagian pendapat Mahkamah halaman 16-17, poin VIII/2010, dan Putusan Nomor 108/PHPU.D- [3.13.6] menyebutkan bahwa “calon perseorangan IX/2011. Putusan MK tersebut, memuat makna dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala otonomi khusus Aceh pada pertimbangan daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya, hukumnya. Hal tersebut menandakan banyaknya karena jika hal demikian diberlakukan maka instrumen yang digunakan dalam menafsirkan akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil otonomi khusus di Aceh, baik dengan melihat dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum MoU Helsinki maupun Undang-Undang Nomor dan pemerintahan antara warga negara Indonesia 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya. Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, Warga negara Indonesia yang bertempat tinggal digambarkan secara jelas pada pertimbangan di Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih MK bahwa Aceh mempunyai hak politik yang sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 127
| 127
10/1/2015 11:48:30 AM
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan 2. pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI 1945.” Penafsiran hukum oleh MK setidaknya memberikan gambaran hubungan antara MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait makna otonomi khusus di Aceh, khususnya terkait keberadaan calon independen (Syahuri, 2011, hal. 143) sehingga pelaksanaan otonomi khusus di Aceh sesuai dengan kehendak Pasal 18, 18A, dan 18B UUD NRI 1945. Manifestasi dari putusan tersebut memberikan pengertian yang berbeda tentang otonomi khusus bagi Aceh. Putusan MK menegaskan pemahaman dan kedudukan MoU Helsinki dalam kerangka otonomi khusus di Aceh. B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah yaitu: 1.
Bagaimanakah penafsiran hukum Mahkamah Konstitusi terhadap calon independen menurut MoU Helsinki terkait makna otonomi khusus di Aceh?
2.
Bagaimanakah pelaksanaan otonomi khusus di Aceh menurut kehendak UUD NRI 1945?
C.
1.
independen menurut MoU Helsinki terkait makna otonomi khusus di Aceh. Untuk menjelaskan pelaksanaan otonomi khusus di Aceh menurut kehendak UUD NRI 1945.
Kegunaan yang diharapkan dalam penulisan ini adalah dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang ketatanegaraan, khususnya dalam memaknai hak politik bagi calon independen sebagai bagian otonomi khusus menurut MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. D.
Studi Pustaka
1.
Konsep MoU Helsinki dalam Kaitannya dengan Otonomi Khusus
Tahapan dalam membuat suatu perjanjian internasional diatur dalam Bab II Konvensi Wina 1969 yang mengatur tentang pembuatan dan berlakunya suatu perjanjian internasional. Pasal 6 Konvensi Wina menegaskan bahwa setiap negara memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian internasional. Kapasitas yang dimaksud dalam konteks ini adalah melalui proses negosiasi untuk membuat perjanjian internasional. Proses negosiasi adalah tahap pertama yang dilakukan oleh utusan resmi dari negara-negara yang bersangkutan (Pratomo, 2011, hal. 67).
Dasar hukum dari Konvensi Wina 1969, menegaskan bahwa tahapan-tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional, menjadi Tujuan dan Kegunaan parameter, perjanjian tersebut dikategorikan sebagai perjanjian internasional dan negosiasi Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu: adalah tahapan pertama, di mana masing-masing Untuk menjelaskan penafsiran hukum pihak mengutus utusan guna menegosiasikan Mahkamah Konstitusi terhadap calon objek dalam perjanjian. Proses negosiasi dalam
128 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 128
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:30 AM
perjanjian Helsinki, terjadi sebanyak lima putaran yang mengutip pendapat Mahfud MD dalam antara wakil dari Pemerintah RI dan wakil dari karya ilmiahnya bahwa: GAM, negosiasi di mulai dari bulan Januari Negara Kesatuan adalah negara yang hingga Juli 2005. kekuasaannya di pencar ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk Adapun tahapan akhir dalam menentukan mengurus dan mengatur rumah tangga sebuah perjanjian internasional dijelaskan menurut mereka sendiri melalui desentralisasi atau penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 melalui dekonsentrasi. Ini berarti daerahdaerah otonom mendapat hak yang datang Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dari, dan diberikan oleh pemerintah pusat penandatanganan merupakan tahap akhir dalam berdasarkan konstitusi dan undang-undang perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu (Angkat, 2010, hal. 72). naskah perjanjian internasional yang telah Adapun pengertian “otonom” secara bahasa disepakati oleh kedua belah pihak (Agusman, adalah “berdiri sendiri” atau “dengan pemerintahan 2010, hal. 44). Merujuk pada pasal tersebut di atas, sendiri.” Sedangkan “daerah” adalah suatu pihak Pemerintah RI menyampaikan beberapa “wilayah” atau “lingkungan pemerintah.” Dengan poin akhir dari perundingan damai tersebut, yang demikian pengertian secara istilah “otonomi kemudian pada akhirnya tepat tanggal 15 Agustus daerah” adalah “wewenang/kekuasaan pada suatu 2005, pihak GAM dan Pemerintah RI, kembali wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola ke Helsinki untuk menandatangani perjanjian, untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu yang kemudian disebut dengan Memorandum of sendiri.” Pengertian yang lebih luas lagi adalah Understanding (MoU) Helsinki. wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah MoU ini dinilai sebagai langkah awal yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan pembangunan otonomi di Aceh dalam kerangka wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan kesatuan merupakan landasan batas dari isi keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan pengertian otonomi, di mana dikembangkan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat berbagai peraturan (rules) yang mengatur daerah lingkungannya (Marzuki, 2006, hal. 37). mekanisme keseimbangan antara otonomi pada Seperti halnya otonomi istimewa, otonomi satu sisi dan kesatuan bangsa dalam sisi yang khusus merupakan otonomi yang diberikan lain. Di dalam negara kesatuan, tanggung jawab pada suatu daerah tertentu untuk menjalankan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada pemerintahan (mengurus dan mengatur rumah prinsipnya tetap berada di tangan pemerintah tangganya sendiri) dengan pemberian hak-hak pusat. Namun, dikarenakan sistem pemerintahan khusus yang derajat kemandiriannya lebih tinggi di Indonesia menganut prinsip desentralisasi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Menurut kekuasaan, maka terdapat tugas-tugas tertentu Kausar A.S. yang dikutip oleh Angkat menyatakan bahkan tugas-tugas istimewa dan khusus yang (2010): diurus oleh pemerintahan lokal sendiri. Hal ini Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation pada dasarnya akan menimbulkan hubungan state), mewadahi banyak keragaman budaya timbal balik yang melahirkan hubungan yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap kewenangan dan pengawasan. Menurut Angkat keragaman budaya yang tumbuh di Indonesia Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 129
| 129
10/1/2015 11:48:30 AM
terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang yang kemudian melembaga dan diyakini oleh masyarakatnya. Termasuk di dalamnya adalah lembaga-lembaga yang berupa institusi pemerintahan yang bercorak khusus di setiap daerah. Oleh karena itu UUD NRI 1945 sebagai konstitusi NKRI mengakui keberadaan dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa (hal. 72-73). Pembagian kekuasaan secara vertikal yang dibangun pemerintah pusat pada setiap daerah, bertujuan untuk menyederhanakan administrasi pemerintahan dalam rangka melayani kepentingan warga masyarakat di daerah. Dalam hal ini para petugas atau pejabat administrasi menjalankan tugas dekonsentrasi, tidak memiliki kewenangan mandiri seperti aparat pemerintah daerah yang memiliki otonomi, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai bagian dari administrasi pemerintah pusat. Pandangan ini dapat dibenarkan bila diingat dalam sejarah kekuasaan, di mana kekuasaan yang berada pada satu orang atau satu pihak saja telah menimbulkan kencenderungan sikap otoriter dan semena-mena yang menyebabkan penderitaan rakyat. Untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu pusat kekuasaan, kiranya kekuasaan ini dapat dibagi secara horizontal (antara lembagalembaga negara tingkat pusat) dan vertikal yakni di antara tingkatan pemerintahan yang ada dari pemerintahan pusat kepada bagian dari pemerintahan yang menjadi bagian dari negara (pemerintahan lokal) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nasution, 2009, hal. 49-50).
berbeda, sejumlah normanya berlaku untuk seluruh teritorial, kalau tidak teritorial ini bukan merupakan teritorial dari satu tatanan hukum, sedangkan sejumlah norma lain berlaku hanya untuk bagian-bagian teritorial yang berbeda. Norma yang berlaku bagi seluruh teritorial diusulkan disebut norma pusat, sedangkan norma yang berlaku bagi sebagian teritorial disebut norma daerah (Kelsen, 2010, hal. 431). Angkat (2010, hal. 68) menyatakan bahwa hukum internasional secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam suatu negara pada tiga kategori, yaitu: 1.
Masyarakat yang berada di bawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain.
2.
Masyarakat yang berada di pendudukan pemerintahan asing.
3.
Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
bawah
Adanya bentuk otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukanlah mengandung pengertian diterapkannya sistem federal dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Aceh pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap kekhususan daerah Aceh sebagai subsistem pemerintahan secara nasional. Konsekuensi logis otonomi khusus dalam negara kesatuan berarti sebagai subsistem dalam sistem pemerintahan nasional dengan pola hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, di mana adanya bentuk pengawasan (controlling) dan keselarasan pembangunan yang diletakkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Kelsen menjelaskan desentralisasi terdiri Indonesia berdasarkan UUD NRI 1945 sebagai dari norma-norma yang memiliki bidang satu kesatuan organisasi (badan hukum publik) validitas teritorial (wilayah keabsahan) yang yang tunggal (Fatwa, 2009, hal. 31). 130 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 130
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:30 AM
Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model bentuk susunan negara federal. Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan argumentasi yang ditemukan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun dalam undangundang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah itu sendiri (Hendratno, 2009, hal. 238).
daerah merupakan suatu otonomi (Hadjon, 2008, hal. 112). Salah satu hasil perubahan UUD NRI 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara lebih rinci mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18. Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD NRI 1945, baik secara struktur maupun substansi sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (2003, hal. 102-103) dalam terbitan resminya mengenai panduan dalam memasyarakatkan UUD NRI Apabila dilihat dengan cermat, secara 1945 menyatakan bahwa ada tujuh prinsip umum Undang-Undang Otonomi Daerah telah yang menjadi paradigma dan arah politik yang memberikan banyak celah dalam mengembangkan mendasari Pasal 18, 18A, dan Pasal 18B UUD kekhususan suatu daerah, hal tersebut disebabkan NRI 1945, yaitu: karena setiap daerah mempunyai kekhususan 1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus masing-masing. Jika hampir semua provinsi sendiri urusan pemerintahan menurut asas menuntut untuk diberikan otonomi khusus maka otonomi dan tugas pembantuan { Pasal 18 ayat (2) }; merupakan tanda tanya besar dalam membangun 2. Prinsip menjalankan otonomi seluaspersatuan Indonesia. Jika hal ini harus menjadi luasnya { Pasal 18 ayat (5) }; pilihan bagi tegaknya persatuan Indonesia, 3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah { Pasal 18A ayat (1) }; reposisi bentuk negara merupakan suatu 4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan keharusan (Prasojo, 2009, hal. 44). masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya { Pasal 18B ayat (2) }; Konsekuensi otonomi daerah di Indonesia 5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus adalah adanya pembagian kewenangan antara dan istimewa { Pasal 18 B ayat (1) }; pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. 6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat dalam suatu pemilihan umum { Pasal 18 ayat (3) }; diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar 7. Prinsip hubungan pusat dan daerah negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter, dilaksanakan secara selaras dan adil { Pasal 18A ayat (2) }. fiskal nasional, dan agama. Hal ini menimbulkan peningkatan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar (Astawa, 2009, hal. 55). Termasuk bagi daerah dengan status otonomi khusus maupun status istimewa. Penyerahan atau membiarkan mengatur, mengurus asas, dan cara menjalankan kewenangan pemerintahan di
Keberadaan Aceh sebagai salah satu provinsi yang mendapatkan status otonomi khusus telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di mana sebelumnya juga tetap berlaku Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh. Undang-Undang
Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 131
| 131
10/1/2015 11:48:30 AM
Nomor 11 Tahun 2006 tidak bisa dipungkiri dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006, akhirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan. Sehingga dapat ditegaskan bahwa MoU Helsinki adalah uraian butir kesepahaman antara pemerintah pusat dengan Aceh sebagai wujud nyata untuk menegakkan perdamaian di Aceh. 2.
Konsep Penafsiran Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan mengenai teks undangundang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang (Aldyan, 2014). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Padanan kata dari penafsiran adalah interpretasi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, hal. 336). Sementara Loth (2007, hal. 81) menyebutkan bahwa:
Interpretasi dapat atau sama halnya dengan argumentasi yang menimbulkan suatu ambiguitas proses/produk. Proses menginterpretasi harus dibedakan dari proses atau produk. Interpretasi sebagai proses adalah pemberian suatu makna kepada suatu pernyataan lain atau alternatif rumusan yang mempunyai makna termaksud. Kegiatan menginterpretasikan akan menghasilkan suatu interpretasi sebagai produk.
132 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 132
Ketika hakim dihadapkan pada masalah hukum konkret yang tidak dapat disesuaikan dengan maksud pembentuk undang-undang sebagaimana yang telah ditetapkan undangundang, maka hakim dari sudut pandang semantik adalah bebas untuk menyimpang. Apakah interpretasi yang menyimpang tersebut dapat dibenarkan juga dari sudut pandang yuridis, politik hukum atau moral, hal tersebut merupakan masalah yang sama sekali tidak berhubungan (Mahkamah Konstitusi RI (MK RI), 2010, hal. 55). Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Menurut Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu (MK RI, 2006, hal. 196). Sedangkan menurut Asshiddiqie, penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas halhal yang dihadapi secara konkret. Penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:30 AM
untuk membentuk pengertian-pengertian hukum orang Barat memulai petualangannya di Timur, baru (Asshiddiqie, 2006, hal. 15-16). banyak wilayah di Nusantara yang dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan Teori penafsiran hukum juga diperkenalkan yang berdaulat (Bahri TOB, 2010, hal. 1). oleh Savigny. Menurut Savigny lebih lanjut dalam tulisan Isra menyatakan bahwa “penafsiran Pasca diberlakukannya Undang-Undang hukum bukanlah metode yang dapat digunakan Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan semaunya melainkan harus terpusat kepada Aceh, pelaksanaan otonomi khusus di Aceh telah penafsiran undang-undang. Interpretasi atau dapat diterapkan. Namun, dalam pelaksanaannya menafsir undang-undang (wetsuitleg) menurut tidak semua berjalan dengan baik. Adapun pasalajaran hukum sebenarnya adalah alat pembantu pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun dalam memberi arti, maksud atau rasio terhadap 2006, yang langsung dilaksanakan langsung oleh suatu ketentuan undang-undang” (Isra, 2010, hal. pemerintah pusat dengan menerbitkan peraturan 76). pemerintah sebagai aturan pelaksana adalah PP Adapun kaitannya konsep penafsiran yang dilakukan oleh MK dalam memaknai otonomi khusus di Aceh dilakukan dengan menggunakan aspek historis dari Aceh dan mengkaji makna MoU Helsinki menurut sistem hukum Indonesia. Selain itu MK juga melakukan penafsiran terhadap undang-undang terkait dengan memberikan pengertian resmi dan konstitusional terkait otonomi khusus di Aceh.
Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh, sebagai dasar hukum pendirian partai politik lokal di Aceh, serta keikutsertaan calon independen dalam pelaksanaan pilkada di Aceh.
Dalam pilkada Aceh, keikutsertaan calon independen dan partai politik lokal terjadi pada tahun 2007. Gubernur Aceh terpilih pada saat itu merupakan calon dari perseorangan. Sementara itu, lembaga legislatif Aceh (DPRA) dimenangkan oleh kontestan partai politik lokal, yaitu Partai 3. Makna Otonomi Khusus dalam Aceh. Apabila dilihat dari keistimewaannya, Penafsiran Hukum Mahkamah pelaksanaan demokrasi di Aceh menjadi cerminan nasional, sehingga provinsi lain pun menggelar Konstitusi pilkada dengan mengikutsertakan calon Dua abad sebelum masehi, Aceh dalam independen, setelah berlakunya Undang-Undang sejarahnya dikenal sebagai pusat perdagangan Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua di Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Timur Tengah menuju ke negeri China. Ketika tentang Pemerintahan Daerah. Islam lahir pada abad ke-6 Masehi, Aceh menjadi Keikutsertaan calon independen dalam wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Setelah melalui proses yang panjang, pilkada secara nasional diawali dengan adanya Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad Putusan Nomor 05/PUU-V/2007. Analisis 13 Masehi, yang kemudian berkembang menjadi didasarkan pada pertimbangan Putusan Nomor sebuah kerajaan yang maju pada abad 14 Masehi. 05/PUU-V/2007 yang menyatakan: Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh Asia “Bahwa penentuan syarat dukungan minimal bagi calon perseorangan sepenuhnya Tenggara. Pada sekitar abad 15, ketika orangPenafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 133
| 133
10/1/2015 11:48:30 AM
menjadi kewenangan pembentuk undangundang, apakah akan menggunakan ketentuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 68 Undang-Undang Pemerintahan Aceh ataukah dengan syarat berbeda. Untuk menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, Mahkamah berpendapat bahwa KPU berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf f Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum berwenang mengadakan pengaturan atau regulasi tentang hal dimaksud dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara penyelenggaraan Pilkada. Dalam hal ini, KPU dapat menggunakan ketentuan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai acuan.” Guna menghindari kekosongan hukum tersebut, maka disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Pemda, dengan mencantumkan keberadaan calon independen secara nasional. Selanjutnya Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, dengan menguji salah satu pasal di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu Pasal 256, menguatkan kembali posisi calon independen di Aceh secara nasional dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Pemda.
Mahkamah menyatakan bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Aceh tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya penelaahan dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi di atas, dapat dipahami bahwa pemberian status otonomi khusus di Aceh tidak menghilangkan status Aceh sendiri sebagai bagian dari daerah provinsi di Indonesia. Pertimbangan hukum yang tertuang dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga menegaskan bahwa dalam pelaksanaan demokrasi lokal, Aceh tidak hanya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 saja, namun juga tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan nasional. II.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau studi kepustakaan, dengan menelaah Putusan Nomor 35/PUUVIII/2010 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dengan dasar permohonan yaitu pengujian Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Calon Independen di Aceh. Data yang digunakan dalam menganalisis Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 yaitu data Selain dari kedua putusan Mahkamah sekunder dengan bahan hukum primer (bukuKonstitusi tersebut, pada tahun 2011, Mahkamah buku, peraturan perundang-undangan, putusan Konstitusi juga menyelesaikan kasus perselisihan pengadilan), sekunder (jurnal, karya ilmiah yang pemilihan umum daerah (PHPU.D) Aceh dengan dipublikasikan), dan tersier (internet). Putusan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011. Dalam pertimbangan hukumnya, secara garis besar III. HASIL DAN PEMBAHASAN menyatakan bahwa pelaksanaan demokrasi lokal dalam wujud pilkada dengan keikutsertaan calon A. Penafsiran Hukum Mahkamah independen serta korelasi dengan aturan nasional Konstitusi Atas Calon Independen yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Menurut MoU Helsinki dalam Kaitan tidaklah bertentangan dengan MoU Helsinki. Makna Otonomi Khusus Aceh 134 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 134
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:30 AM
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor beberapa muatan pasal undang-undang tersebut 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi yaitu: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang a. Pembagian urusan kewenangan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor pemerintah provinsi, kabupaten/ kota; 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh b. Hak khusus DPRA sebagai lembaga mempunyai makna tersendiri dalam kaitannya perwakilan rakyat di Aceh; c. Pengakuan terhadap keberadaan dengan otonomi daerah. Sebagaimana pendapat calon independen dalam pilkada; Jalil (2005, hal. 143) bahwa pemberian status d. Penegakan syariat Islam; otonomi bagi Provinsi Aceh diawali dengan e. Menghidupkan lembaga adat serta menjaga kelestarian adat istiadat di adanya konsensus politik yang terjadi, diakibatkan Aceh; ketegangan situasi keamanan di Aceh. f. Adanya peradilan syariat Islam; g. Pengaturan dan lambang simbol Hendratno (2009, hal. 238) juga menyatakan daerah; bahwa pemberian status otonomi khusus maupun h. Qanun sebagai aturan daerah yang berfungsi melaksanakan Undangstatus keistimewaan terhadap daerah-daerah Undang Nomor 11 Tahun 2006 seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada tentang Pemerintahan Aceh. model bentuk susunan negara federal. Pandangan Atas dasar klasifikasi muatan otonomi khusus tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan argumentasi yang ditemukan dalam Undang- yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Undang Pemerintahan Daerah maupun dalam Tahun 2006 sesuai empat prinsip yang mendasari undang-undang yang menjadi landasan yuridis ketentuan Pasal 18 UUD NRI 1945, yaitu: bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di 1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat kedua daerah otonomi khusus tersebut. Misalnya hirarkis pada ayat (1); diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal, maupun 2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada ayat (2); disyaratkan bahwa hanya orang asli papua yang dapat mencalonkan diri sebagai gubernur Papua 3. dan sebagainya. Konsideran menimbang huruf e UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun penekanan otonomi khusus dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 dapat dilihat dari
4.
Prinsip demokrasi pada ayat (3) dan ayat (4); dan Prinsip otonomi seluas-luasnya pada ayat (5).
Sama halnya seperti Provinsi Papua yang menggunakan istilah “DPRP” untuk menyebut dewan perwakilan rakyat tingkat provinsinya, NAD juga menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sedangkan untuk menyebut DPRD tingkat kabupaten/ kotanya, digunakan istilah “DPRK” atau Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, tanpa menggunakan kata “daerah.”
Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 135
| 135
10/1/2015 11:48:30 AM
Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dengan undang-undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum presiden/wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang, dan himne daerah sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Ketentuan tersebut sama dengan yang terdapat di Papua seperti penjelasan sebelumnya. Merujuk pada Putusan Nomor 108/ PHPU.D-IX/2011 yang merupakan cerminan dan menguatkan putusan sebelumnya yaitu Putusan Nomor 05/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, dapat ditekankan bahwa Aceh merupakan daerah otonomi khusus yang mempunyai hak politik yang berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Selain itu, Aceh juga mempunyai beberapa keistimewaan tersendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. Faktor historis di Aceh yang mengukuhkan Aceh sebagai daerah otonomi khusus selain Papua, tidak menjadikan Aceh terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dengan terikatnya Aceh dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. 136 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 136
Pada Putusan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 juga telah ditegaskan makna otonomi bagi Aceh di bidang politik, baik dengan penguatan lembaga politik seperti gubernur, DPRA, KIP Aceh, dan calon independen. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang telah diakomodir ketentuan MoU Helsinki seperti Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne (Artikel 1.1.5 MoU, sebagaimana diakomodir dalam Pasal 246 sampai dengan Pasal 248 UU PA), mengenai Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya (Artikel 1.1.7 MoU, sebagaimana diakomodir dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 97 UU PA), kemudian mengenai sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan nota kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partaipartai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional (Artikel 1.2.1 MoU, sebagaimana diakomodir dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 79 UU PA), mengenai penandatanganan nota kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan caloncalon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya (Artikel 1.2.2 MoU, sebagaimana diakomodir dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 64 UU PA), mengenai Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh (Artikel 1.3.3 MoU, sebagaimana diakomodir dalam bagian kelima Pasal 162 UU PA). Mengenai suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia (Artikel 1.4.3 MoU, sebagaimana diakomodir
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:30 AM
dalam Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU peraturan perundang-undangan. Putusan PA). tersebut juga mengakomodir beberapa putusan sebelumnya yang telah diputuskan dan dijadikan Terkait materi-materi yang diatur dalam sebagai yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi. MoU Helsinki dan telah dituangkan dalam Pertimbangan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 calon independen yang dipermasalahkan di merupakan hak daerah Aceh dalam menentukan Aceh, dapat diselesaikan dengan mengacu pada rumah tangga daerah sendiri. Selain itu, cakupan ketentuan umum yaitu Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 juga 12 Tahun 2008 dan terkait lembaga penyelesai memuat nilai-nilai keistimewaan yang telah diatur hasil pemilukada di Aceh, ditetapkan Mahkamah sebelumnya melalui Undang-Undang Nomor 44 Konstitusi sebagai lembaga pemutusnya. Tahun 1999, tanpa harus menghapuskan undangundang tersebut (Piliang, 2010, hal. 13). Mahkamah Konstitusi menentukan dalam Perdebatan politik yang mencuat terjadi akibat kesalahan penafsiran terkait hak Aceh dalam bidang politik, yaitu keberadaan calon independen dan pelaksanaan pemilukada di Aceh. Di mana pengaturan calon independen dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 hanya dapat diselenggarakan satu kali pemilihan dan penetapan lembaga penyelesai hasil pemilukada Aceh masih dititikberatkan pada Mahkamah Agung, berdasarkan Qanun Aceh tentang Pelaksanaan Pemilukada. Atas dasar dua hal yang diperdebatkan tersebut, menyebabkan salah satu partai politik lokal di Aceh tidak ikut serta sebagai peserta pemilukada. Sehingga hal tersebut dapat menyebabkan polemik politik di Aceh dan atas inisiatif para pihak yang berkepentingan dalam pemilukada melayangkan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.
Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, pada amar putusan, halaman 17-18 yaitu:
Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan amar putusan tersebut menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, tanpa mengucilkan ketentuan yang termuat dalam MoU Helsinki. Di mana calon independen dapat diikutsertakan kembali dalam Adapun Mahkamah Konstitusi penyelenggaraan pemilukada untuk seterusnya. memutuskan perkara Nomor 35/PUU-VIII/2010 Sebagaimana disebutkan oleh Suprantio yaitu menyatakan bahwa keikutsertaan calon terkait sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang independen pada pemilukada pasca tahun 2006 final dan mengikat berpengaruh sangat luas, oleh tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karena itu setiap putusannya haruslah didasari MoU Helsinki, dan menetapkan Mahkamah nilai-nilai filosofi dan mempunyai nilai kepastian Konstitusi sebagai lembaga penyelesai sengketa hukum yang mengikat, yang bertengger nilaipemilukada di Aceh sebagaimana diatur dalam nilai keadilan (Suprantio, 2014, hal. 40). Selain Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 137
| 137
10/1/2015 11:48:31 AM
itu juga, menurut Mahfud MD menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi mengemban tugas mulia untuk menjaga agar semua produk hukum di negara ini tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, apalagi melanggar konstitusi (Mahfud MD, 2009, hal. 7).
dijalankan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari. Dalam MoU Pasal 1 tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh disebutkan bahwa Pemerintah RI dan GAM menyepakati undangundang tentang penyelenggaraan pemerintahan Apabila ditinjau lebih lanjut dan dianalisis Aceh yang harus mendasarkan pada prinsip, secara fakta dan nyata ditentukan bahwa Aceh melaksanakan kewenangan dalam semua kewenangan daerah otonomi khusus tersebut sektor publik yang diselenggarakan bersama bertentangan dengan kewenangan pemerintah dengan administrasi dan sipil peradilan kecuali daerah sebagaimana dimaksud dalam Undangkewenangan Pemerintahan RI yang dijamin Undang Nomor 32 Tahun 2004, tetapi tetaplah dalam konstitusi. Persetujuan internasional RI, status otonomi khusus tersebut berada dalam keputusan DPR, kebijakan administratif RI, ketika kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. menyangkut tentang Aceh, harus dikonsultasikan Pemberian status otonomi khusus dengan berbagai dan mendapat persetujuan dari legislatif Aceh. macam kewenangan istimewa yang diatur dalam undang-undang khusus, namun secara regulasi Guna melihat hubungan antara MoU perundang-undangan tetap dibatasi dengan aturan Helsinki dengan Undang-Undang Nomor 11 hukum tingkat nasional. Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka B.
dapat ditarik komparasi materi muatan dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh Undang-Undang PA terhadap MoU Helsinki, sebagaimana dituangkan dalam tabel berikut: Menurut Kehendak UUD NRI 1945
Menurut Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Implikasi dari penerapan negara kesatuan ini pada prinsipnya ialah pemegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara adalah pemerintah pusat tanpa ada suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Huda, 2009, hal. 54). Namun dengan adanya Pasal 18, 18A, dan 18B UUD NRI 1945 menekankan bahwa selain negara kesatuan, Indonesia juga memberikan keluasan bagi daerah dengan menerapkan konsep otonomi. Keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tidak bisa dilepaskan dari nota kesepahaman yang 138 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 138
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:31 AM
Tabel 1. Komparasi Materi Muatan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap MoU Helsinki Materi Muatan MoU
Materi Muatan UU PA
KETERANGAN
1.
1.1.5 Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
diatur dalam BAB XXXVI tentang Bendera, Lambang, dan Himne dalam Pasal 246 sampai dengan Pasal 248 UU PA.
Diakomodir.
2.
1.1.7 Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.
diatur dalam BAB XII tentang Lembaga Wali Nanggroe dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 97 UU PA.
Diakomodir.
3.
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan nota kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partaipartai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.
diatur dalam BAB XI tentang Partai Politik Lokal dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 79 UU PA.
Diakomodir.
4.
1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.
diatur dalam BAB IX tentang Penyelenggaraan Pemilihan dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 64 UU PA.
Diakomodir.
5.
1.3.1 Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia.
diatur dalam BAB XXIV tentang Keuangan dalam Pasal 178 sampai dengan Pasal 201 UU PA.
Terdapat ketidaksesuaian dengan Pasal 186 UU PA.
6.
1.3.3 Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.
diatur dalam BAB XXII tentang Perekonomian, bagian kelima dalam Pasal 162 UU PA.
Diakomodir.
7.
1.3.5 Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.
diatur dalam BAB XXII tentang Perekonomian dalam Pasal 167 sampai dengan Pasal 170 UU PA.
Pengaturan hal tersebut tidak secara tegas diatur dalam UU PA.
8.
1.3.7 Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.
Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 139
Belum diakomodir dan tidak diatur dalam UU PA.
| 139
10/1/2015 11:48:31 AM
9.
1.4.3 Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
diatur dalam BAB XVIII tentang Mahkamah Syar’iyah dalam Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU PA.
Diakomodir.
2.3 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
diatur dalam BAB XXXIV tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 227 sampai dengan Pasal 231 UU PA.
Sampai saat ini Pasal 229 ayat (1) tentang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum diakomodir.
Sumber: Lusia (2010, hal. 46)
Penuangan butir MoU Helsinki dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, merupakan manifestasi dari kesepakatan politik guna menghindari perpecahan dua kubu dalam negara yang sama. Dalam kerangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 merupakan perwujudan keistimewaan Aceh sebagai provinsi yang dilandasi dengan penegakan syari’at Islam. Daerah Istimewa Aceh bertalian dengan pelaksanaan syari’at Islam. Hal ini bisa kita telaah dalam diktum beberapa pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Beberapa bunyi pasal semakin menguatkan akan pendapat dari ahli hukum pemerintahan daerah tersebut.
Serta orang yang bertempat tinggal maupun sedang berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam.
Selain aspek keislaman, keistimewaan yang dimiliki Aceh menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, yaitu terkait lambang dan bendera Aceh yang diatur di Pasal 246. Diktum pasal tersebut mengemukakan bendera Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh. Lambang dan bendera yang dimaksud tidak merupakan simbol kedaulatan daerah. Sedangkan dalam Qanun bendera dan lambang Aceh, tujuan dibuatnya bendera dan lambang aceh adalah untuk melambangkan syiar Islam, juga menegakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi Berdasarkan undang-undang yang sama di dan golongan, meningkatkan ketenteraman dan Bab XVII tercantum dengan jelas aturan tentang ketertiban dalam mewujudkan kedamaian Aceh. syari’at Islam dan pelaksanaannya yang memiliki Selain itu untuk memperkuat persatuan dan tiga pasal. Dalam diktum tersebut menyatakan kesatuan masyarakat Aceh dalam bingkai Negara bahwa syari’at yang dilaksanakan di Aceh Kesatuan Republik Indonesia, menjunjung meliputi aqidah, syari’ah, dan akhlak, meliputi tinggi kehormatan dan martabat rakyat Aceh ibadah, hukum keluarga, hukum perdata, hukum sebagai salah satu pejuang kemerdekaan Negara pidana, peradilan, pendidikan, dakwah, syiar serta Kesatuan Republik Indonesia serta sebagai kilas pembelaan Islam. Bukan hanya mengatur tentang baru sejarah perjalanan kehidupan masyarakat peraturan pelaksanaan syari’at Islam, namun juga Aceh yang serasi, selaras, dan seimbang dengan mencantumkan pemeluk agama Islam di Aceh daerah-daerah lain menuju keadaan yang damai, wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam. adil, makmur, sejahtera, dan bahagia.
140 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 140
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:31 AM
Memang benar, bahwa semua upaya yang dilakukan pemerintah pusat guna pemberian otonomi khusus di Aceh bertujuan untuk meredam gejolak panjang dari gerakan separatis. Namun tidak lantas negara kehilangan kewibawaan serta kekuasaan dalam suatu wilayah. Menurut penulis, pemberian otonomi tentang bendera ini menjadi pintu masuk bagi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka untuk membangkitkan nuansa herotisme perjuangan masa lalu manakala pihak tersebut melakukan perlawanan terhadap Jakarta. Hal ini jelas mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
nilai-nilai keistimewaan yang ada di Aceh tetap terakomodir sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.
Sebagaimana cita-cita dari Pasal 18, 18A, dan 18B UUD NRI 1945 bahwa penerapan otonomi khusus di Aceh bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia dan meredam gerakan separatis. Diberikannya kewenangan yang luas bagi Aceh baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota tidak lain adalah bertujuan untuk peningkatan pembangunan masyarakat Aceh yang berindentitaskan keislaman. Adapun keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat, pranata adat di Aceh dapat dipertahankan dengan adanya kelembagaan wali nanggroe. Selain itu,
Otonomi khusus di Aceh menurut MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 lebih mencerminkan pada aspek politik, HAM, urusan pemerintah Aceh, adanya nilai syari’at Islam serta adat istiadat. Adapun pelaksanaan otonomi khusus di Aceh yang diakomodir dalam MoU Helsinki merupakan cerminan kesepakatan damai antara dua belah pihak yang sedang bertikai. Sejatinya, MoU Helsinki, menurut Putusan Nomor 35/PUUVIII/2010, sudah mencerminkan otonomi khusus
IV. KESIMPULAN
Penafsiran hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, menitikberatkan pada aspek konstitusionalitas MoU Helsinki dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 dengan konsep otonomi dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD NRI 1945. Penekanan Putusan Nomor 35/PUUAtas dasar tersebut pula, dengan argumentasi VIII/2010 yaitu otonomi khusus bagi Aceh di atas, maka dapat ditentukan bahwa ciri khas bidang politik, dengan keikutsertaan calon dari pemberlakuan otonomi khusus Aceh dari independen dalam pemilukada yang mengikuti pemberlakuan otonomi di daerah lain ialah: perkembangan Undang-Undang Nomor 12 pemberlakuan syari’at Islam secara legal formal Tahun 2008. Pemberian otonomi khusus bagi beserta segala perangkatnya. Daerah lain dalam Aceh merupakan manifestasi dari kesepakatan hal hukumnya, mengacu pada ketentuan hukum damai bagi Aceh melalui MoU Helsinki yang positif. Namun di Aceh, terdapat pemberlakuan dipenuhi oleh pemerintah dengan wujud otonomi syari’at Islam yang dijadikan dasar masyarakat khusus, dan otonomi khusus lebih bercirikan dalam melakukan tindakan sehari-hari. Selain pada kewenangan pemerintah Aceh dalam hal itu bolehnya partai politik lokal Aceh untuk pembangunan dan politik daerah melalui Undangberkompetisi di pemilukada dan pemilu legislatif Undang Nomor 11 Tahun 2006. Sementara nilai tingkat Aceh dan kabupaten/kota menjadi ciri keistimewaan Aceh tetap berpedoman pada lain. Undang-UndangNomor 44 Tahun 1999.
Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 141
| 141
10/1/2015 11:48:31 AM
dan hak-hak politik yang ada di Aceh dan tidak Agusman, D. D. (2010). Hukum perjanjian internasional kajian teori & praktek Indonesia. bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun Bandung: PT. Refika Aditama. terdapat beberapa butir-butir yang tertuang dalam MoU Helsinki yang diejewantahkan dalam Aguswandi & Large, L. (2008). Rekonfigurasi politik: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 belum Proses perdamaian Aceh. London: Conciliation sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah, sehingga Resource. menghambat pelaksanaan otonomi khusus selain Aldyan, M. (2014). Penafsiran & konstruksi hukum. bidang politik. Diakses
V.
dari
blogspot.com/2008/03/macam-macam-
SARAN
penemuan-hukum.html>
Disarankan kepada Pemerintah Aceh agar dapat mematuhi Putusan Nomor 35/PUUVIII/2010, dengan merevisi ketentuan QanunAceh Nomor 7 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemilu di Aceh, dengan mengakomodir ketentuan calon independen agar selaras dengan ketentuan MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Angkat, N. A. (2010). Analisis yuridis pengelolaan dana otonomi khusus di provinsi Aceh berdasarkan undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara. Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara. Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Disarankan kepada Pemerintah Aceh, Astawa, I. G. P. (2009). Problematika hukum otonomi dan pemerintah pusat khususnya agar dapat daerah di Indonesia. Bandung: Alumni. menghormati hak-hak politik warga Aceh yang hendak mengikuti pemilukada lewat jalur Bahri TOB, H. (2010, Juli 28). Otonomi khusus Aceh, Makalah Pembahas Khusus disampaikan pada independen tanpa terhalangi oleh kebijakan daerah FGD tentang “Kedudukan Daerah Istimewa/ maupun kebijakan nasional. Serta diharapkan Daerah Khusus Dalam Konstitusi Negara seluruh komponen negara agar mensukseskan Republik Indonesia.” Jakarta: BPHN. segala aturan hukum yang diamanahkan oleh MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1990). Tahun 2006 agar cepat terealisasi sebagaimana Kamus besar bahasa Indonesia. Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. mestinya. Fatwa, A. M. (2009). Potret konstitusi pasca amandemen UUD 1945. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hadjon, P. M. (2008). Pengantar hukum administrasi DAFTAR ACUAN Aceh Institute. (2010). Rangkeum 2009, (Olah-pikir Aceh Institute di media). Banda Aceh: Aceh Institute Press.
142 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 142
Indonesia. Cet. 10. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hendratno,
E.
T.
(2009).
Negara
kesatuan,
desentralisasi & federalisme. Jakarta: Graha
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 125 - 143
10/1/2015 11:48:31 AM
Ilmu dan Universitas Pancasila Press. Huda, N. (2009). Otonomi daerah filosofi, sejarah perkembangan & problematika. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Isra, S. (2010). Purifikasi proses legislasi melalui pengujian undang-undang. Jurnal Legislasi Indonesia, 7(1) Maret 2010. Jalil, H. (2005). Eksistensi otonomi khusus provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam negara kesatuan RI berdasarkan UUD 1945. Bandung: CV Utomo. Kelsen, H. (2010). General theory of law & state. Muttaqien, R. (Ed.). Cet. V. Bandung: Nusa Media. Loth, M. A. (2007). Bahasa & hukum, sebuah metodologi kecil. Doludjawa, L. (Ed.) Jakarta: Direktorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lusia, H. (2010). Mediasi yang efektif dalam konflik internal studi kasus: Mediasi crisis management initiative dalam proses perdamaian gerakan Aceh merdeka & pemerintah Republik Indonesia.
___________. (2010). Perkembangan pengujian perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari berpikir hukum tekstual ke hukum progresif). Hasil Penelitian. Padang: Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI). (2003). Panduan
dalam
memasyarakatkan
UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. Marzuki, L. (2006). Berjalan-jalan di ranah hukum, pikiran lepas Prof. DR. Laica Marzuki, S.H. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Nasution, F. A. (2009). Pemerintahan daerah & sumber-sumber pendapatan daerah. Jakarta: PT. Sofmedia. Piliang, I. J. (2010). Pengaruh sistem lambang & separatiesme GAM terhadap RI. Yogyakarta: Ombak. Prasojo, E. (2009). Reformasi kedua melanjutkan estafet reformasi. Jakarta: Salemba.
Tesis. Jakarta: Fakultas Sosial dan Ilmu Politik
Pratomo, E. (2011). Hukum perjanjian internasional
Program Pasca sarjana Departemen Hubungan
(pengertian, status hukum & ratifikasi).
Internasional, Universitas Indonesia.
Bandung: PT Alumni.
Mahfud MD, Moh. (2009). Konstitusi & hukum dalam kontroversi isu. Jakarta, Rajawali Press. ___________. (2009, September 8). Konstitusi Negara. Makalah disampaikan dalam Acara Orientasi Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan 2009-2014. Jakarta: Ball Room Hotel Harris Tebet.
Suprantio, S. (2014). Daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi tentang “testimonium de auditu” dalam peradilan pidana: Kajian putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor
65/PUU-
VIII/2010). Jurnal Yudisial, 7(1), 34-52. Syahuri, T. (2011). Tafsir konstitusi berbagai aspek hukum. Jakarta: Kencana.
Mahkamah Konstitusi RI (MK RI). (2006). Menelisik
Yoesoef, M. D. et.al. (2009). Sejarah lahirnya UU
tafsir konstitusi. Jurnal Konstitusi, 3(3).
PA. Banda Aceh: Kerjasama Fakultas Hukum
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Unsyiah dan Sekretaris Dewan Rakyat Aceh.
Mahkamah Konstitusi RI.
Penafsiran MoU Helsinki Terkait Keberadaan Calon Independen (Zaki ‘Ulya)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 143
| 143
10/1/2015 11:48:31 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 144
10/1/2015 11:48:31 AM
PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA YANG BERKEADILAN DAN BERKEPASTIAN HUKUM Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
EXTRAORDINARY REQUEST TO JUDICIAL REVIEW IN CRIMINAL CASES AIMED TO JUSTICE AND LEGAL CERTAINTY An Analysis of Constitutional Court Decision Number 34/PUU-XI/2013 Arfan Faiz Muhlizi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta 13630 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 9 Januari 2015; revisi: 19 Agustus 2015; disetujui: 21 Agustus 2015 ABSTRAK Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUUXI/2013 pada prinsipnya membolehkan peninjauan kembali (PK) dilakukan lebih dari satu kali. Putusan MK tersebut menyatakan Pasal 268 ayat (3) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja,” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasca putusan tersebut, Mahkamah Agung (MA) justru menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Tulisan ini mengkaji solusi atas polemik peninjauan kembali dalam perkara pidana. Pembahasannya diawali dengan pemenuhan unsur keadilan dan kepastian hukum dalam PK seiring terbitnya Putusan MK dan SEMA tersebut. Pembahasan selanjutnya mengenai apakah pengaturan upaya PK selaras dengan prinsip perlindungan HAM. Dalam analisis disimpulkan bahwa: 1) pemenuhan keadilan
(doelmatigheid) dalam upaya PK harus dilaksanakan dengan bingkai kepastian hukum (rechtmatigheid); 2) Putusan MK telah memberikan perlindungan HAM dan selaras dengan Statuta Roma 1998, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan koreksi dan rekoreksi terhadap putusan yang dipandang tidak adil; dan 3) dengan menggunakan asas res judicata pro veritate habetur maka dasar pengajuan PK harus berpedoman pada Putusan MK. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membuat mekanisme untuk mempercepat proses pemeriksaan PK dan mempercepat eksekusinya. Kata kunci: peninjauan kembali, keadilan, kepastian hukum. ABSTRACT The Constitutional Court Decision Number 34/ PUU-XI/2013 principally approves the petitioner’s extraordinary request for review more than once. The court decision argues that Article 268 paragraph (3) of Law Number 8 of 1981 regarding Code of Criminal Procedure which states, “the petition for extraordinary request for review a court decision shall only been filed once,” does not have a binding legal force. After the
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 145
| 145
10/1/2015 11:48:31 AM
issuance of the decision, the Supreme Court in point of fact releases the Circular Letter of the Supreme Court (SEMA) Number 7 of 2014 concerning the Extraordinary Request for Review Petition in Criminal Cases, settling that the petitioner’s extraordinary request for review in criminal cases filed more than once is unacceptable and not in line with the law. This leads to confusion for law enforcement officials and justice seekers. Therefore, this analysis brings forth the resolution to the polemical notion of the Extraordinary Request for Review Petition in criminal cases. The discussion is started by the fulfillment of the element of justice and legal certainty in the Extraordinary Request for Review Petition in keeping with the Supreme Court’s Circular Letter, and subsequently on whether the preparation of the petition of case review has been aligned with the principles of
I.
human rights protection. The analysis comes to resolve that: 1) the fulfillment of justice (doelmatigheid) in the Extraordinary Request for Review Petition shall be implemented through the framework of legal certainty (rechtmatigheid); 2) the decision of Constitutional Court has provided human rights protection complying to the Rome Statute of 1998, which give the widest possible opportunity to apply for correction and re-correction of the decision deemed unjust; and 3) in accordance with the principle of “res judicata pro veritate habetur,” the Extraordinary Request for Review Petition shall refer to the Constitutional Court’s Decision. The next step is to create a mechanism to speed up the process of examination of the review and accelerate the execution. Keywords: extraordinary request for review petition, justice, legal certainty.
PENDAHULUAN
formalitas, yang membatasi PK hanya dapat diajukan satu kali. Karena masih terdapat A. Latar Belakang kemungkinan setelah putusan PK, ada keadaan Pasca terbit Surat Edaran Mahkamah Agung baru (novum) yang substansial ditemukan. Hal (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan ini berbeda dengan upaya hukum biasa seperti Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan Pidana, muncul polemik di masyarakat. SEMA limitasi waktu demi kepastian hukum. tersebut dianggap bertentangan dengan Putusan Meski upaya PK seharusnya tidak Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUUmenghambat ataupun menunda eksekusi, XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang pada nyatanya Kejaksaan Agung (Kejagung) prinsipnya membolehkan peninjauan kembali memberi perlakuan berbeda bagi terpidana mati. (PK) dilakukan lebih dari satu kali karena Pasal Kejaksaan lebih memilih menunggu terpidana 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun mati kehabisan seluruh haknya, baru setelah itu 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sudah tidak dieksekusi. Padahal, ketentuan Pasal 66 ayat mempunyai kekuatan hukum mengikat. (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 PK yang boleh diajukan lebih dari satu kali tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah ini dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun tetapi MK dalam putusannya berpendapat PK 2004 dan perubahan kedua dengan Undangsebagai upaya hukum luar biasa secara historis- Undang Nomor 3 Tahun 2009 menyebutkan filosofis lahir demi melindungi kepentingan bahwa: “Permohonan peninjauan kembali tidak terpidana dalam rangka memenuhi keadilan dan menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan kebenaran materiil (doelmatigheid). Keadilan putusan pengadilan.” tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan 146 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 146
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:31 AM
Berbeda dengan grasi, dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, terpidana mati hanya diberi waktu satu tahun untuk mengajukan grasi setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Bila lebih dari tenggat waktu yang disediakan, terpidana mati tidak dapat lagi mengajukan grasi. Dalam praktik, Putusan MK ini menyebabkan ketidakpastian bagi aparat penegak hukum (khususnya jaksa) yang harus mengeksekusi putusan hakim (Saputra, 2015). Misalnya eksekusi mati bagi terpidana kasus narkotika yang ditolak grasinya oleh presiden. Dampak dari ketidakpastian eksekusi putusan hakim ini akan menyebabkan terpidana menjalankan double punishment (Aries, 2015). Double punishment ini oleh beberapa kalangan dianggap menimbulkan pelanggaran HAM, sementara kalangan lain mencurigai hal ini sekedar sebagai upaya untuk mengulur-ulur waktu eksekusi hukuman mati (Nov, 2012).
2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali.
Sekalipun ada Putusan MK yang menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang masih diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali hanya terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara Persoalan yang dimunculkan kemudian perdata maupun perkara pidana. Oleh karena itu adalah norma hukum pengaturan upaya hukum permohonan PK yang tidak sesuai dengan SEMA PK tidak hanya diatur dalam Pasal 268 ayat (3) Nomor 10 Tahun 2009 tidak dapat diterima dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetapi juga berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke MA. diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Berkenaan dengan terbitnya SEMA ini Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kemudian justru muncul polemik bahwa SEMA Kehakiman yang berbunyi: “Terhadap putusan dianggap oleh berbagai kalangan hanya untuk peninjauan kembali tidak dapat dilakukan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai peninjauan kembali;” serta Pasal 66 ayat (1) suatu norma peraturan perundang-undangan yang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang bersifat umum dan berkaitan dengan administrasi Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah pengadilan. SEMA tidak dapat menyampingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Putusan MK ataupun membentuk norma hukum perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor baru selayaknya peraturan perundang-undangan 3 Tahun 2009 yang berbunyi: “Permohonan meskipun terbitnya SEMA ini dimaksudkan untuk peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) menyelesaikan persoalan ketidakpastian hukum kali.” Atas dasar ketentuan dua undang-undang yang diakibatkan oleh Putusan MK tersebut. ini MA menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun Oleh karena itu, tulisan ini berusaha membahas Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 147
| 147
10/1/2015 11:48:31 AM
berbagai aspek yang terkait PK dengan bersandar pada SEMA Nomor 7 Tahun 2014 dan Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, terutama pada sisi keadilan, kepastian hukum serta perlindungan HAM dalam kerangka negara hukum Indonesia. B.
legislatif dalam merumuskan kembali kebijakan atau pengaturan PK, sehingga peraturan perundangundangan terkait PK ke depan dapat dilaksanakan dan memiliki nilai kedayagunaan dan kehasilgunaan yang dapat mendorong sistem penegakan hukum yang lebih baik;
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana solusi atas polemik PK dalam perkara pidana pasca Putusan MK Nomor 34/ PUU-XI/2013 dan SEMA Nomor 7 Tahun 2014?
4.
Menambah referensi bagi para akademisi dan praktisi dalam melakukan kajian akademis terkait PK.
C.
Tujuan dan Kegunaan
D.
1.
Tujuan
PK adalah hak terpidana untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan putusannya (Hamzah & Dahlan, 1987, hal. 4). PK pertama kali diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung dan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965), namun karena peraturan pelaksanaannya (hukum acaranya) belum diadakan, maka ia tidak dilaksanakan. PK ini, kemudian diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969, baik dalam perkara perdata atau pidana. Akan tetapi dalam SEMA Nomor 18 Tahun 1969 tanggal 23 Oktober 1969, Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 1969 tersebut dinyatakan belum dapat dijalankan karena masih diperlukan peraturan lebih lanjut mengenai beberapa soal (Prasetyo, 2010, hal. 8).
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menemukan solusi atas polemik PK dalam perkara pidana pasca Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 dan SEMA Nomor 7 Tahun 2014. 2.
Kegunaan
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini memiliki nilai kegunaan sebagai berikut: 1.
Membantu lembaga penegak hukum terkait memetakan persoalan yuridis dan praktis terkait PK;
2.
Membantu DPR dan pemerintah dalam melakukan evaluasi atas peraturan perundang-undangan terkait PK;
3.
148 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 148
Sebagai salah satu bahan naskah akademik bagi eksekutif dan
Studi Pustaka
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, lembaga peninjauan kembali diatur dalam Pasal 21 yang berbunyi: ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:31 AM
yang ditentukan dengan undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada MA, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.”
maka ketentuan mengenai peninjauan kembali ditampung di dalam Pasal 263-269. Adanya PK dalam KUHAP menimbulkan perbedaaan pendapat di antara para pakar. Para pakar yang menyetujui adanya PK, mengutarakan bahwa para hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan, karena manusia tidak sempurna. Para pakar yang tidak menyetujui berpendapat bahwa mustahil penuntut umum dan para hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan MA semuanya khilaf. Yang penting, baik penuntut umum maupun para hakim dapat bekerja secara profesional sehingga benar-benar secara saksama memahami perundang-undangan sehingga dapat menerapkannya dengan tepat (Marpaung, 2000, hal. 71-72).
Berdasarkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1971 tanggal 30 November 1971, peninjauan kembali terhadap perkara perdata dapat diajukan lagi menurut cara gugatan biasa dengan berpedoman pada peraturan burgerlijk rechtsvordering. Sedangkan terhadap putusan pengadilan pidana tidak dapat dilakukan karena belum ada undang-undangnya. Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 1971 dicabut lagi berdasarkan Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 1976, tanggal 31 Juli 1976, dengan alasan penggarisan di dalam Dalam pelaksanaannya, lembaga PK telah Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 1971 belum menimbulkan berbagai silang pendapat. Hal ini mendapat pelaksanaan dalam undang-undang terkait dengan kompetensi penuntut umum dalam hingga saat itu (tahun 1976). mengajukan PK dan boleh tidaknya putusan bebas diajukan PK. Pada akhir tahun 1996, Mahkamah Kemudian keberadaan lembaga peninjauan Agung memberikan putusan PK terhadap MP kembali diperdebatkan kembali karena adanya berupa hukuman empat tahun penjara. PK Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 2/ diajukan oleh penuntut umum terhadap putusan KTS/Bks/1977 tanggal 20 Oktober 1977 yang bebas dari hakim kasasi Mahkamah Agung. MP dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan Bandung Nomor 38/1978/pid/PT. Bks. tanggal Nomor 966/Pid.B/1994/PN.Mdn tanggal 7 25 Mei 1978, atas nama terdakwa S dan K. MA November 1994, telah dijatuhi pidana penjara menilai perlu adanya peraturan yang mengatur selama tiga tahun atas kesalahan melakukan tentang tata cara PK, sehingga dikeluarkan tindak pidana Pasal 160 jo. Pasal 64 KUHP dan Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 1980 tanggal Pasal 161 ayat (1) KUHP. Terhadap putusan PN 1 Desember 1980 yang menghidupkan kembali tersebut, terdakwa mengajukan banding dan lembaga PK. Kemudian terhadap putusan yang diputuskan pidana penjara empat tahun melalui menyangkut S dan K ini maka terbit Putusan MA Putusan Nomor 188/Pid/1994/PT.Mdn tertanggal RI tanggal 24 Januari 1981, yang membebaskan 16 Januari 1995. Terdakwa kemudian mengajukan kedua terpidana (Prasetyo, 2010, hal. 18). permohonan kasasi atas putusan tersebut dan Dengan diundangkannya Undang-Undang hakim kasasi menjatuhkan putusan bebas melalui Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Putusan Nomor 395 K/Pid/1995 tertanggal 29 Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) September 1995. Namun, putusan kasasi bebas
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 149
| 149
10/1/2015 11:48:31 AM
ini, diajukan PK oleh penuntut umum sehingga keluarlah Putusan PK Nomor 55 PK/Pid/1996 tertanggal 25 Oktober 1996 yang menjatuhkan pidana penjara empat tahun kepada MP. Dengan demikian, berdasarkan putusan PK tersebut telah menimbulkan suatu keadaan baru, yaitu: 1.
PK bukan hanya hak terpidana atau ahli warisnya saja melainkan juga hak penuntut umum;
2.
PK dapat diajukan terhadap putusan bebas. Dalam hal ini, putusan PK sudah merugikan terpidana.
Selanjutnya, berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 butir 1.2 dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini dibuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi pada tanggal 22 Juli 2013 dikeluarkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada tanggal 6 Maret 2014. MK berpendapat upaya hukum luar biasa peninjauan kembali secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil (doelmatigheid). Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum PK hanya dapat diajukan satu kali. Hal ini karena masih terdapat kemungkinan setelah putusan PK, ada keadaan baru (novum) yang substansial ditemukan.
150 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 150
Berbeda dengan upaya hukum biasa seperti banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum (rechtmatigheid). Sebab, tanpa kepastian hukum berupa penentuan limitasi waktu pengajuannya justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai. Selain itu, jika dikaji lebih jauh KUHAP sendiri pada dasarnya bertujuan melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental seperti dijamin Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945. Karenanya, PK sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum. Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang dikeluarkan pada 31 Desember 2014. Dalam SEMA tersebut MA berpendapat bahwa pengaturan upaya hukum peninjauan kembali, selain diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang normanya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK, juga diatur dalam beberapa undang-undang, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:31 AM
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) Pasal 24 ayat (2), yang berbunyi: “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali;” serta 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1), yang berbunyi: “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.” Dengan demikian putusan MK yang menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tersebut.
diterima dan berkas perkaranya bahkan tidak perlu dikirim ke MA. Meski terdapat beberapa kali perubahan pengaturan terkait dengan upaya PK ini, tetapi pada dasarnya alasan diajukannya permohonan PK ini tidak berubah. Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dilakukan terhadap perkara yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu bila semua upaya hukum biasa untuk merubah putusan telah digunakan atau jangka waktu yang disediakan undang-undang untuk menggunakan upaya hukum biasa telah lewat. Selain itu, bisa pula terjadi putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap bila terdakwa dan jaksa sama-sama menerima putusan pengadilan. Untuk mengoreksi dan meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan-putusan tersebut demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan dilakukanlah peninjauan kembali. Permintaan peninjauan kembali harus dilakukan berdasarkan alasan-alasan kuat yang diatur secara rinci dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu: 1.
Hal ini berarti bahwa MA berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana tetap dibatasi hanya satu kali. Permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat dua 2. atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Oleh karena itu permohonan PK yang tidak sesuai dengan SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tidak dapat
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 151
| 151
10/1/2015 11:48:31 AM
3.
Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
II.
METODE
Berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan di muka, maka penelitian
kembali. SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari penelusuran data internet.
Seluruh data yang berhasil dikumpulkan ini mempergunakan metode penelitian normatif kemudian disortir dan diklasifikasikan, kemudian (Soekanto & Mamudji, 2001, hal. 13-15). Metode disusun melalui susunan yang komprehensif. yang digunakan dalam penelitian ini dipilih untuk Proses analisis diawali dari premis-premis yang dapat memberikan uraian analisis atas terbitnya berupa norma hukum positif yang diketahui dan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan berakhir pada analisis dengan menggunakan asasPermohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara asas hukum, doktrin-doktrin serta teori-teori. Pidana yang bertujuan memecahkan asumsi ketidakpastian hukum yang disebabkan Putusan III. HASIL DAN PEMBAHASAN Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Terdapat kesan bahwa pertarungan tanggal 6 Maret 2014. keadilan dan kepastian hukum terjadi antara MK Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dan MA. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yakni akan menggambarkan secara keseluruhan tanggal 6 Maret 2014 cenderung mengedepankan objek yang diteliti secara sistematis dengan keadilan, sedangkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 menganalisis data-data yang diperoleh. Dalam cenderung mengedepankan kepastian hukum. Hal penelitian ini digunakan bahan pustaka yang ini terlihat dari argumentasi yang diberikan. MK berupa data sekunder sebagai sumber utamanya. berpendapat bahwa PK secara historis-filosofis Data sekunder mencakup: 1) bahan hukum merupakan upaya hukum yang lahir demi primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, melindungi kepentingan terpidana. Upaya hukum mulai dari Undang-Undang Dasar dan peraturan luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan terkait lainnya; 2) bahan hukum sekunder, yaitu dan kebenaran materiil (doelmatigheid). yang memberikan penjelasan mengenai bahan Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu hukum primer; 3) bahan hukum tertier, yaitu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya yang memberikan petunjuk bahan hukum primer hukum PK hanya dapat diajukan satu kali. Hal dan sekunder, seperti kamus, buku saku, agenda ini karena masih terdapat kemungkinan setelah resmi, dan sebagainya (Soekanto, 1982, hal. 52). putusan PK, ada keadaan baru (novum) yang Teknik pengumpulan data dilakukan substansial baru ditemukan. Hal ini berbeda melalui studi kepustakaan, yang diperoleh dengan upaya hukum biasa seperti banding melalui penelusuran manual maupun elektronik atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip berupa peraturan perundang-undangan, buku- kepastian hukum (rechtmatigheid). Sebab, tanpa buku, jurnal serta koran atau majalah, dan juga kepastian hukum berupa penentuan limitasi data internet yang terkait dengan peninjauan waktu pengajuannya justru akan menimbulkan 152 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 152
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:31 AM
ketidakpastian hukum yang melahirkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai. dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi Selain itu, jika dikaji lebih jauh KUHAP norma. Jadi kepastian hukum adalah kepastian sendiri pada dasarnya bertujuan melindungi aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap HAM dari kesewenang-wenangan negara terkait atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak dan cenderung serba formal prosedural (Rifai, fundamental seperti dijamin Pasal 28 I ayat (4) dan 2010, hal. 37). Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945. Karenanya, PK sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam Hal ini disebabkan oleh klaim bahwa negara KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, mempunyai hak sekaligus kewajiban “mengelola” yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki nilai Mahkamah menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum. Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Prinsip keadilan adalah upaya untuk menemukan keadilan yang mutlak, serta merupakan manifestasi upaya manusia yang merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum positif (Salman & Susanto, 2004, hal. 156). Sedangkan MA melalui SEMA Nomor 7 Tahun 2014 cenderung mengedepankan kepastian hukum dengan menyandarkan pada bunyi pasal Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Di sini kepastian hukum diartikan secara normatif sebagai suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keraguraguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
keadilan yang plural lebih sulit dikelola daripada masyarakat yang memiliki nilai keadilan yang homogen. Pada situasi inilah negara mengambil jalan pintas dengan merekayasa perasaan keadilan melalui hukum yang berlaku umum dan ukuran keadilan yang baku, yang disebut undangundang. Pound menyebut upaya perekayasaan ini sebagai misi suci hukum: “law as tool as social engineering” (Rahardjo, 2006, hal. 5). Seringkali pada situasi semacam ini negara tergelincir pada anggapan bahwa hukum adalah sekadar kehendak penguasa: “princep legibus solutus est.” Kepastian yang diharapkan dapat diperoleh dengan adanya undang-undang ini masih harus disertai oleh setidaknya tiga syarat. Pertama, terdapat konsistensi perumusan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut. Kedua, terdapat keselarasan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang lainnya. Meskipun demikian rumusan undang-undang yang bersifat umum tidak pernah menampung secara pasti setiap peristiwa hukum. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelasjelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 153
| 153
10/1/2015 11:48:32 AM
(Mertokusumo, 2007, hal. 37). Hakimlah yang berperan menghubungkan atau menyambungkan peristiwa hukum yang konkret dengan ketentuan hukum yang abstrak (Manan, 2005, hal. 209).
Aliran freie rechtslehre ini bertolak belakang dengan aliran legisme. Aliran ini lahir karena melihat kekurangan-kekurangan dalam aliran legisme yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan baru. Ciri utama pada aliran ini adalah hukum tidak dibuat oleh legislatif. Hakim menentukan dan menciptakan hukum (judge made law), karena keputusannya didasarkan pada keyakinan hakim. Yurisprudensi adalah sumber hukum primer, sedangkan undang-undang adalah sekunder. Keputusan hakim lebih dinamis dan up to date karena senantiasa mengikuti keadaan perkembangan di masyarakat dan bertitik tolak pada kegunaan sosial (social doelmatigheid) (Soeroso, 1993, hal. 88-89).
Pertarungan antara keadilan dan kepastian hukum ini mengingatkan pada pertarungan dua aliran besar, yaitu aliran legisme dan aliran freie rechtslehre atau freie rechtsbewegung atau freie rechtsschule (Soeroso, 1993, hal. 87). Aliran legisme muncul setelah Perancis melakukan kodifikasi hukum dengan adanya Code Civil Perancis yang dianggap telah sempurna, lengkap serta dapat menampung seluruh masalah hukum. Aliran ini berpendapat bahwa: satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang dan di luar undang-undang tidak ada hukum. Dalam aliran legisme, hakim hanya merupakan “corong undang-undang,” di mana ia hanya memutus Pertarungan kedua aliran ini dalam perkara berdasarkan undang-undang saja. perkembangan selanjutnya melahirkan aliran baru yang disebut aliran rechtsvinding (Soeroso, Pengikut aliran ini memandang bahwa 1993, hal. 89-91). Aliran ini pada dasarnya kepastian hukum lebih penting daripada merupakan pengembangan dari aliran legisme keadilan, karena sifat keadilan yang sangat dengan dipengaruhi oleh aliran freie rechtslehre. relatif. Bagi aliran ini keadilan hanyalah perasaan Perkembangan ini terjadi karena pemikiran sentimentil individu yang ukurannya pun sangat hukum harus berdasarkan asas keadilan individual. Jika “perasaan” keadilan ini dibiarkan masyarakat yang terus berkembang, karena mengambang di tiap individu, maka negara adalah ternyata pembuat undang-undang tidak dapat pihak yang paling direpotkan dengan situasi ini. mengikuti kecepatan gerak masyarakat atau Oleh karena itu prinsip yang dianut adalah “lex proses perkembangan sosial, sehingga undangdura sed tamen scripta.” Hukum adalah apa undang selalu ketinggalan. Undang-undang yang tertuang dalam undang-undang, tak peduli tidak dapat menyelesaikan tiap masalah yang apakah adil atau tidak. Namun ternyata setelah timbul. Undang-undang tidak dapat terinci berjalan kurang dari 40-50 tahun, aliran legisme (detil) melainkan hanya memberikan algemeene menunjukkan kekurangan-kekurangannya, yaitu richtlijnen (pedoman umum) saja. Undangbahwa permasalahan-permasalahan hukum yang undang tidak dapat sempurna, kadang-kadang timbul kemudian tidak dapat dipecahkan oleh dipergunakan istilah-istilah yang kabur dan hakim undang-undang yang telah dibentuk. Akibat harus memberikan makna yang lebih jauh dengan kekurangan-kekurangan yang ditemui dalam cara memberi penafsiran. Undang-undang tidak perjalanan aliran legisme ini kemudian lahirlah dapat lengkap dan tidak dapat mencakup segalaaliran freie rechtslehre. 154 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 154
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:32 AM
PK yang boleh diajukan lebih dari satu kali ini pada dasarnya merupakan upaya melindungi kepentingan terpidana dalam rangka memenuhi keadilan dan kebenaran materiil (doelmatigheid). Hal ini tidak menghilangkan sisi kepastian hukumnya jika Kejaksaan Agung tidak Aliran ini pada dasarnya merupakan menghambat ataupun menunda eksekusi, karena perpaduan antara aliran legisme dan freie ketentuan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang rechtslehre. Tugas hakim di sini adalah Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyelaraskan undang-undang dengan sociale sebagaimana telah diubah dengan Undangwerkelijkheid (keadaan masyarakat yang Undang Nomor 5 Tahun 2004 pun menyebutkan nyata). Posisi hakim adalah “bebas tapi terikat.” bahwa: “Permohonan peninjauan kembali tidak Yurisprudensi (atau di Indonesia menganut menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan “precedent”) mempunyai arti penting di samping putusan pengadilan.” Dari ketentuan pasal undang-undang. Indonesia adalah salah satu tersebut dan dari penjelasan pasalnya yang juga negara yang mengikuti aliran ini. Hal ini tercermin berbunyi “cukup jelas,” maka dapat disimpulkan dari Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa upaya PK tidak akan menunda pelaksanaan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 putusan kasasi. Tahun 1970, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Meski demikian, dalam keadaan yang Tahun 2004, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Hakim dan sangat mendasar dan beralasan, permohonan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan peninjauan kembali dapat dipergunakan sebagai memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan alasan menunda atau menghentikan eksekusi. Menurut Harahap, peninjauan kembali dapat yang hidup dalam masyarakat.” dianggap sungguh-sungguh dan mendasar apabila Keadilan (doelmatigheid) dan kepastian alasan yang diajukan: hukum (rechtmatigheid) pada hakikatnya merupakan sisi mata uang yang tidak dapat 1. Benar-benar sesuai dengan alasan Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Agung, yaitu: dipisahkan. Tidak ada keadilan tanpa kepastian galanya. Di sini selalu ada leemten (kekosongan dalam undang-undang), sehingga hakim harus menyusunnya dengan jalan mengadakan rekonstruksi hukum (selanjutnya akan dibahas dalam model-model penafsiran hukum).
hukum dan tidak ada kepastian hukum tanpa keadilan. Sebab pada dasarnya, adanya ketidakpastian hukum merupakan pangkal dari timbulnya ketidakadilan. Kedua hal tersebut merupakan tujuan utama dari sebuah sistem hukum yang harus diwujudkan secara bersama. Oleh karena itu pameo yang mengatakan bahwa ”semakin kita mendekati keadilan akan semakin jauh dari kepastian dan sebaliknya, semakin kita mendekati kepastian semakin jauh dari keadilan” sudah tidak lagi relevan.
a.
Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.
Setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 155
| 155
10/1/2015 11:48:32 AM
c.
d.
e.
Telah dikabulkan suatu hal yang tidak merupakan sarana bagi upaya yang mengarah dituntut atau lebih dari pada yang pada cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan dituntut; makmur berdasarkan Pancasila (Ali, 2009, hal. 50-51). Dengan demikian hukum tidak akan Apabila mengenai sesuatu bagian berada pada keadaan yang disebut ”hukum yang dari tuntutan belum diputus tanpa tidur” (statutory dormancy) (Anggoro, 2014, hal. dipertimbangkan sebab-sebabnya; 145). Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f.
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
2.
Alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna.
3.
Dapat diduga majelis hakim yang akan memeriksa PK besar kemungkinan akan mengabulkannya (Harahap, 2007, hal. 323).
Dengan berpedoman pada hal ini maka sebenarnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana tidak perlu lagi diterbitkan. Hal terpenting dalam penegakan hukum sesungguhnya adalah dengan ditegakkannya hukum tujuan hukum itu terlaksana. Setidaknya menurut Mertokusumo dan Pitlo, dalam bukunya yang berjudul Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, terdapat tiga unsur yang harus selalu diperhatikan dalam melaksanakan penegakan hukum, yaitu: kepastian hukum (rechtszeherheid), keadilan (gerichtigheid), dan kemanfaatan (rechtsmatigheid) (Mertokusumo & Pitlo, 1993, hal. 1). Harus diingat kembali bahwa hukum 156 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 156
Dengan demikian, dibatasi atau tidak pengajuan PK pada dasarnya tidak prinsipil. Yang perlu dihadirkan adalah keadilan dalam proses hukum tersebut. Apabila cara mengadili telah dilaksanakan, code of conduct diindahkan, penegak hukum tidak perlu lagi ragu-ragu menjatuhkan putusan dan mengeksekusinya segera. Ketegasan harus diikuti kecerdasan dalam batas-batas manusiawi karena KUHAP ketika disahkan telah menyadari kebenaran sesungguhnya adalah milik Tuhan. Penegak hukum hanya dapat mengusahakan atau setidaknya mendekati kebenaran materiil (Zaidan, 2015, hal. 7). Sebagaimana telah diuraikan pada bagian Pendahuluan, saat ini terdapat dua pendapat hukum yang berbeda terkait dengan PK. MK berpendapat bahwa PK dapat diajukan lebih dari satu kali, sementara MA berpendapat bahwa PK hanya dapat diajukan satu kali. Dari sisi norma peraturan perundangundangan, apabila dicermati sebelum adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, pengaturan mengenai permohonan PK dalam perkara pidana sudah sinkron antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain, yaitu Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 24 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:32 AM
Apabila memperhatikan tahun pengundangannya, maka ketentuan mengenai permohonan PK dalam perkara pidana dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung tersebut merujuk pada Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. Aturan pembatasan yang diatur ketiga undang-undang tersebut tidak menyimpangi satu sama lain karena sama-sama bertujuan memberikan kepastian hukum dan prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Walaupun demikian prinsip tersebut tetap tidak boleh mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 telah menciptakan adanya pengaturan ganda mengenai pembatasan permohonan peninjauan kembali. Setidaknya masih ada dua undang-undang yang mengatur permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan satu kali saja. Kondisi ini yang menimbulkan adanya disharmoni hukum yang berdampak adanya ketidakpastian hukum. Oleh karena itu ke depan perlu dilakukan harmonisasi hukum terkait aturan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana. Tidak hanya memperhatikan kepastian hukum dan keadilan saja, tetapi juga memperhatikan segi kemanfaatan, terutama dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana yang meresahkan dan menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Dalam konteks ini maka proses harmonisasi norma-norma dalam RUU tentang KUHAP yang sekarang sedang disusun dengan putusan MK dan undang-undang yang lain mutlak untuk dilakukan.
peraturan yang lain bisa diuji dengan dua asas dalam teori hukum seperti lex posterior derogat legi priori dan lex superior derogat legi inferiori. Menurut asas lex posterior derogat legi priori, dalam hirarki peraturan yang sama maka bila terjadi polemik maka peraturan yang terbarulah yang digunakan. Sedangkan lex superior derogat legi inferiori menentukan bahwa peraturan yang lebih tinggilah yang dimenangkan. Tetapi dalam konteks pertentangan Putusan MK dengan Undang-Undang Mahkamah Agung dan UndangUndang Kekuasaan Kehakiman, maka yang digunakan adalah asas res judicata pro veritate habetur, yang bermakna “jika putusan hakim bertentangan dengan undang-undang, putusan hakim yang dimenangkan.” Meski pada umumnya putusan hakim bersifat kasuistis (berlaku hanya untuk para pihak), tetapi putusan hakim untuk pengujian peraturan perundang-undangan bersifat erga omnes. Setiap Putusan MK bersifat erga omnes, yaitu berlaku tidak hanya bagi pemohon yang memohonkan pengujian undang-undang tersebut, tetapi juga bagi seluruh pejabat publik dan komponen masyarakat dari berbagai latar belakang.
Erga omnes sering digunakan dalam hukum untuk menjelaskan terminologi kewajiban dan hak terhadap semua. Sebagai contoh sebuah hak kepemilikan adalah sebuah hak erga omnes, dan karena itu dilaksanakan terhadap siapa pun yang melanggar hak itu. Sebuah hak erga omnes (a statutory right/hak undang-undang) di sini dapat dibedakan dari hak yang timbul berdasarkan kontrak, yang hanya dilaksanakan terhadap pihak yang membuat kontrak (inter partes). Putusan MK oleh karena objeknya menyangkut Dalam teori perundang-undangan, kepentingan bersama dan semua orang, sehingga pertentangan antara satu peraturan dengan sifat permohonan di MK tidak bersifat berhadapPeninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 157
| 157
10/1/2015 11:48:32 AM
hadapan sebagaimana sengketa di pengadilan perdata atau tata usaha negara. Termasuk putusan yang dijatuhkan MK misalkan terkait pengujian undang-undang di mana undang-undang sendiri adalah mengikat secara umum kepada semua warga negara, maka dengan dinyatakan tidak mengikat, maka undang-undang tersebut tidak hanya memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pihak yang memohonkan di MK, akan tetapi juga semua warga negara (Sutiyoso, 2006, hal. 43-44). Sehingga pada dasarnya karena hakikat perkara yang diadili di MK tersebut, maka putusan yang dijatuhkan oleh MK bersifat erga omnes. Putusan MK bersifat erga omnes mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya (Thalib, 2006, hal. 55). Dengan demikian, putusan MK, yang merupakan putusan hakim mengalahkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung. Putusan MK yang telah mengalahkan undang-undang tersebut seharusnya lebih kuat daripada SEMA yang hanya mengikat secara internal dan tidak termasuk kategori peraturan perundang-undangan atau regeling (vide Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam Pasal 8 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang,
158 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 158
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat). SEMA merupakan bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi. Dilihat dari objek norma, SEMA ditujukan kepada hakim, ketua pengadilan, panitera, ataupun pejabat lainnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara sehingga bersifat sebagai kebijakan yang mengatur ke dalam/internal. Dengan menggunakan asas ini maka secara teoritis sebenarnya polemik tersebut telah dianggap selesai dan dengan demikian yang diikuti oleh masyarakat dan aparat penegak hukum adalah Putusan MK yang menyatakan bahwa permohonan PK dapat diajukan lebih dari satu kali. Namun, jika mengikuti pendapat MK tersebut maka persoalan yang muncul dalam praktik hukum adalah terjadinya “ketidakpastian” hukum karena hal ini berarti bahwa proses mencari keadilan seolah tidak pernah selesai dengan dibukanya pintu PK yang lebih dari satu kali. Keadilan harus ditegakkan tetapi kepastian hukum pun harus diwujudkan dalam suatu negara hukum. Penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, sehingga keadilan dan perlindungan hukum benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat (Goesniadhie, 2006, hal. 3). Dengan demikian, penegak hukum tidak dapat hanya memperhatikan hak-hak terpidana tetapi juga harus memperhatikan hakhak korban serta masyarakat secara keseluruhan (terutama generasi masa depan bangsa) demi tegaknya keadilan secara menyeluruh. Hal ini Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:32 AM
selaras dengan pandangan Pound bahwa hukum haruslah mempelajari apa efek sosial yang mungkin ditimbulkan oleh institusi dan doktrin hukum, berbanding dengan efek yang mungkin ditimbulkan oleh sarana kontrol atau sarana rekayasa lain yang bukan hukum (Wignjosoebroto, 2002, hal. 48). Apabila due process of law telah dilaksanakan begitu juga hak-hak terpidana telah dipenuhi berarti putusan yang telah dijatuhkan merupakan putusan yang sah dan eksekusinya condition sine qua non demi menjaga martabat pengadilan dan kewibawaan negara. Merujuk pendapat hakim di Inggris bahwa “anda dihukum bukan karena mencuri domba, tetapi agar domba lain tidak dicuri,” maka hal yang sama dapat juga dikatakan “anda dihukum bukan karena mengedarkan narkoba tetapi untuk menyelamatkan masa depan bangsa dari kehancuran akibat narkoba” (Zaidan, 2015, hal. 7). Keadilan dan kepastian hukum tersebut ditegakkan dengan bersandar pada tiga prinsip yang harus dilaksanakan dalam suatu negara hukum, yaitu: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di depan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law) (Fuady, 2009, hal. 46). Dalam pelaksanaannya ketiga hal tersebut dijabarkan dalam bentuk: 1) jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia; 2) kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; dan 3) legalitas hukum dalam segala bentuknya (setiap tindakan negara/ pemerintah dan masyarakat harus berdasar atas dan melalui hukum). Dengan demikian, hukum dan hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan, keduanya seperti dua sisi dalam
satu mata uang. Apabila suatu bangunan hukum dibangun tanpa memperhatikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip dalam HAM, maka hukum tersebut dapat menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya (abuse of power). Sebaliknya, apabila HAM dibangun tanpa didasarkan pada suatu komitmen hukum yang jelas, maka HAM tersebut hanya akan menjadi bangunan yang rapuh dan mudah untuk disimpangi. Oleh karena itu dalam sebuah negara hukum, muncul sebuah korelasi yang sangat erat antara penerapan hukum dan penegakan HAM. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan cerminan tekad para pendiri bangsa dalam membentuk negara Indonesia, telah memberikan sinyal yang tegas bahwa hukum dan HAM adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan di negara ini. Dalam alinea pertama Pembukaan UUD NRI 1945, kata ”peri-kemanusiaan” adalah menunjukkan inti dari HAM, sedangkan ”perikeadilan” merupakan inti dari hukum yang ada di Indonesia. Dalam pelaksanaannya aturan-aturan tentang HAM diaplikasikan ke dalam Pasal 28A hingga Pasal 28J yang pada hakikatnya diadopsi dari the Universal Declaration of Human Rights. Walaupun keseluruhan Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J tersebut saling berkaitan, tetapi dalam pelaksanaannya ketentuan yang menyatakan bahwa hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I) tetap harus dibatasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Bangsa Indonesia beranggapan bahwa pelaksanaan
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 159
| 159
10/1/2015 11:48:32 AM
HAM tetap harus memperhatikan karakteristik Indonesia. Selain itu, pelaksanaan hak asasi juga harus diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban masing-masing individu sehingga dapat tercipta saling menghargai dan menghormati hak asasi tiap-tiap warga. Pembatasan tersebut diatur dalam Pasal 28J dan dilaksanakan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Prinsip Universal juga mengakui bahwa semua orang sama dan mempunyai hak sama di hadapan hukum serta berhak atas perlindungan hukum tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap orang berhak atas peradilan yang efektif dari pengadilan nasional jika ada pelanggaran hak-hak asasi yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Sejalan dengan asas tersebut, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau diperlakukan secara sewenangwenang. Setiap orang berhak untuk didengar pendapatnya di muka umum. Diadili secara adil oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak-hak dan kewajibannya, maupun dalam tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 8-10 the Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, December, 10th, 1948, yang lazim disebut dengan Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Asas tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang dijamin dengan adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam wujud pergeseran sistem pemeriksaan peradilan pidana dari sistem inquisitoir menjadi sistem accusatoir. Sistem inquisitoir adalah pemeriksaan yang memandang terdakwa sebagai “objek,” di mana proses pemeriksaan dilakukan 160 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 160
secara tertutup, tuduhannya rahasia, dan untuk mendapatkan keterangan terdakwa, tidak jarang dilakukan melalui tekanan fisik. Sistem inquisitoir telah ditinggalkan seiring dengan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat dari proses pemeriksaan yang dilakukan secara transparan, dalam proses pemeriksaan pendahuluan, di mana penasihat hukum dapat menghadiri pemeriksaan dengan mendengar dan melihat tersangka. Penasihat hukum tersangka memperoleh hak yang tidak terbatas, untuk meneliti berkas perkara, sedangkan di persidangan baik jaksa penuntut umum, maupun terdakwa memiliki kesempatan sama untuk mengajukan argumentasi dan kepentingannya (Atmasasmita, 1996, hal. 48-49). Bagi seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah, hingga dapat dibuktikan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya tidak boleh mempersalahkan seseorang melakukan tindak pidana, jika ternyata perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, baik menurut peraturan perundangundangan nasional maupun internasional. Hal ini telah menjadi asas utama dalam sistem peraturan perundang-undangan kita, yang disebut dengan asas legalitas, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 8 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia menyatakan perlunya memperoleh hak atas ganti rugi (remedy) yang efektif, karena kesewenangan atas perbuatan yang melanggar hak-hak asasi. Malahan, prinsip yang lebih ekstrim yang dianut menurut ”caselaw” Inter Amerika, keberlarutan pemeriksaan pengadilan yang tidak menentu bagi kejahatan melawan ketertiban umum dan keamanan negara, Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:32 AM
merupakan pelanggaran Pasal XVIII Deklarasi Amerika (Baehr, 1997, hal. 202). Suatu lembaga peradilan disebut baik, bukan saja jika prosesnya berlangsung secara jujur, bersih, dan tidak memihak. Namun di samping itu ada lagi kriteria yang harus dipenuhi, yakni prinsip-prinsip yang sifatnya terbuka, korektif, dan rekorektif. Dalam kriteria ini, salah satu sisi yang patut menjadi perhatian manajemen peradilan adalah adanya sistem upaya hukum yang baik sebagai bagian dari prinsip fairness dan trial independency menjadi prinsip-prinsip yang diakui secara universal. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 10 the Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, December 10th, 1948 (Prasetyo, 2010, hal. 1-2). Oleh karena itu, suatu negara hukum akan memperhatikan sistem upaya hukumnya sebagai bagian dari penegakan hukum yang jujur dan tidak memihak. Ciri ini kemudian termasuk sebagai bagian penilaian atas demokrasi hukum. Dalam asas demikian, perlu kiranya dihubungkan dengan apa yang dikatakan oleh Muladi bahwa doktrin dasar di mana negara kita sebagai negara hukum harus tercemin dalam struktur, substansi, dan kultur hukum. Hal ini kiranya dapat dilihat melalui corak-corak antara lain berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior); pendekatan yang bersifat menyeluruh (wholism); keterbukaan dalam rangka interaksi dengan sistem yang lebih besar (openness); transformasi nilai antar subsistem (transformation); keterkaitan antar subsistem (interrelatedness), dan adanya mekanisme kontrol (control mechanism) efektif yang berperan menjaga dynamic equilibrium (Muladi, 1997, hal. 8).
Statute of International Criminal Court (17 July 1998), yang lazim disebut dengan Statuta Roma 1998 (Article 84 Rome Statute of International Criminal Court (July, 17th 1998), telah ditegaskan pula nilai-nilai atau prinsip demikian ke dalam rangkaian penegasannya mengenai jaminan bahwa seseorang dapat mengajukan revisi atas putusan akhir mengenai hukuman atau vonis, atas dasar adanya penemuan bukti baru. Hanya saja, prinsip yang diakomodir Artikel 84 Statuta ini, rupanya menimbulkan penafsiran ganda bila dibandingkan dengan sistem hukum kita yang relevan dengan itu. Sebab, Artikel 84 ini belum jelas apakah “revision of conviction or sentence” menunjuk kepada suatu sistem upaya hukum biasa yang kita kenal dengan banding dan kasasi atau menunjuk kepada upaya hukum luar biasa, yang disebut dengan sistem peninjauan kembali (herzeining); ataupun sekaligus baik banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
Terlepas dari penafsiran demikian, sudah jelas bahwa Statuta Roma hendak menundukkan suatu nilai dalam setiap proses peradilan pidana yang diambil. Di mana setiap pihak yang mengalami proses peradilan, termasuk dalam upaya peninjauan kembali, diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan koreksi dan rekoreksi terhadap putusan yang diambil dipandang tidak adil. Sebelum ditetapkannya Statuta Roma, di berbagai negara telah menetapkan prinsip hukumnya dengan revisi putusan hakim yang sudah pasti. Misalnya Australia persisnya di negara bagian Victoria, berdasarkan the Crimes Act 1958 di dalam Section 584 menentukan tentang permohonan peninjauan kembali atas putusan pemidanaan atau penghukuman, di mana jaksa agung (attorney general) dapat Kerangka prinsip korektif (correctiveness) menyerahkan kepada Mahkamah Agung Banding dan rekorektif (recorrectiveness) pada Rome (Court of Appeal) untuk disidangkan, atau boleh
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 161
| 161
10/1/2015 11:48:32 AM
mendapatkan pendapat hukum dari para hakim Supreme Court (Fox, 1994, hal. 411).
tradisi yang sudah mengikat masyarakat; karena ilmu (wetenschap). Hal ini tercermin dari Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun Dengan demikian Putusan MK yang 1970, 2004, dan 2009. Dalam Pasal 5 Undangmemperbolehkan PK lebih dari satu kali sejalan Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan dengan prinsip korektif (correctiveness) dan bahwa: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib rekorektif (recorrectiveness), pada Rome Statute menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai of International Criminal Court (17 July 1998), dan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam menegaskan mengenai jaminan bahwa seseorang masyarakat.” Undang-Undang Nomor 14 Tahun dapat mengajukan revisi atas putusan akhir 1970 mengatur ini di Pasal 27, dan Undangmengenai hukuman atau vonis, atas dasar adanya Undang Nomor 4 Tahun 2004 menyebut hal yang penemuan bukti baru. Statuta Roma menghendaki sama di Pasal 28. setiap proses peradilan pidana yang diambil, di mana setiap pihak yang mengalami proses Meski dapat dipahami secara teoritis, peradilan, termasuk dalam upaya peninjauan tetapi polemik yang terjadi antara MK dan kembali, diberikan kesempatan seluas-luasnya MA ini berimbas pada “kebingungan” aparat untuk mengajukan koreksi dan rekoreksi terhadap penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan putusan yang diambil dipandang tidak adil. sehingga “mengganggu” sistem peradilan. Bagi Polemik antara MK dan MA bukan satu kali ini saja. Sebelumnya telah beberapa kali ditemukan bahwa dalam putusan-putusan MA teridentifikasi beberapa argumentasi dan dasar hukum yang digunakan berbeda dengan MK. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya para hakim memiliki otoritas dan independensi dalam membuat putusan. Indonesia termasuk negara yang mengikuti aliran rechtsvinding. Menurut aliran rechtsvinding ini, hakim bukanlah corong undang-undang (la bouche de la loi). Dengan demikian, hakim tidak terikat dengan undangundang sepanjang melihat bahwa undang-undang tersebut tidak selaras dengan keadilan (Putusan MK terkait pengujian undang-undang dapat dikategorikan sebagai undang-undang juga).
hakim yang menghadapi langsung problematik pengajuan PK akan kesulitan menangani PK jika dibolehkan diajukan berkali-kali untuk semua jenis perkara. Kalau pengajuan PK dapat diajukan berkali-kali, maka bagi para terpidana bandar narkoba yang sudah ditolak PK dan grasinya, tetapi masih PK kedua dan seterusnya akan melanggar prinsip justice delay and justice denied karena prosesnya tidak ada batas. Sebab, sebagian besar pihak yang mengajukan PK pada umumnya melakukan pengulangan PK pertama untuk sekadar menunda-nunda eksekusi.
Hal ini mendorong pemikiran bahwa tugas peradilan tidak sekadar menyelenggarakan aktivitas interpretasi, tetapi juga memikul tanggung jawab besar agar ketentuan-ketentuan konstitusi implementatif. Implementasi adalah fungsi yang Aliran rechtsvinding memandang bahwa memerlukan tindakan kolaboratif dan koordinatif hukum terbentuk dengan beberapa cara, yaitu: sehingga proses pengejewantahan kaidah-kaidah karena wetgeving (pembentukan undangkonstitusi dalam kehidupan nyata tidak bisa undang); karena administrasi (TUN); karena diwujudkan tanpa ada tindakan dan kesepakatan rechspraak atau peradilan; karena kebiasaan/ kolektif dari institusi-institusi dan aktor negara. 162 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 162
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:32 AM
Terdapat dua solusi yang diajukan untuk mengatasi polemik PK ini. Pertama, membuat lembaga yang memiliki kewenangan atau mekanisme untuk menangani masyarakat pencari “keadilan” untuk mengakomodir putusan MK yang mengatakan pencarian keadilan tersebut tidak dapat dibatasi. Lembaga ini dapat dibuat menyatu dengan MA atau terpisah.
kepentingan terpidana dalam rangka memenuhi keadilan dan kebenaran materiil (doelmatigheid). Putusan MK yang memperbolehkan PK lebih dari satu kali ini juga sejalan dengan prinsip korektif (correctiveness) dan rekorektif (recorrectiveness), pada Rome Statute of International Criminal Court (17 July 1998), dan menegaskan mengenai jaminan bahwa seseorang dapat mengajukan revisi atas putusan akhir mengenai hukuman Kedua, dengan mempercepat proses PK atau vonis, atas dasar adanya penemuan bukti dan eksekusinya. Hal ini jika perlu dituangkan baru. Statuta Roma menghendaki setiap proses dalam norma undang-undang yang mempertegas peradilan pidana yang diambil, di mana setiap kembali bahwa meskipun PK boleh dilakukan pihak yang mengalami proses peradilan, termasuk lebih dari satu kali, tetapi setelah PK pertama, dalam upaya peninjauan kembali, diberikan pengajuan PK selanjutnya tidak menghalangi kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan pelaksanaan eksekusi. Hal ini sejalan dengan koreksi dan rekoreksi terhadap putusan yang asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus diambil dipandang tidak adil. ada akhirnya. Artinya secara kepastian hukum hal ini diperlukan meski masih dibuka ruang Polemik pengajuan permohonan untuk mendapatkan keadilan setelah eksekusi peninjauan kembali dalam perkara pidana dilaksanakan. Ketika terjadi gesekan antara tersebut dapat diuji dengan asas “res judicata kepentingan kepastian hukum dengan kepastian pro veritate habetur,” yang bermakna “jika keadilan, maka hukum seharusnya memberikan putusan hakim bertentangan dengan undangruang agar kepastian keadilan dapat tercapai. undang, putusan hakim yang dimenangkan.” IV. KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan simpulan bahwa kepastian hukum (rechtmatigheid) dan keadilan (doelmatigheid) pada hakikatnya merupakan sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada keadilan tanpa kepastian hukum dan tidak ada kepastian hukum tanpa keadilan. Sebab pada dasarnya, adanya ketidakpastian hukum merupakan pangkal dari timbulnya ketidakadilan. Kedua hal tersebut merupakan tujuan utama dari sebuah sistem hukum yang harus diwujudkan secara bersama. PK yang boleh diajukan lebih dari satu kali ini pada dasarnya merupakan upaya melindungi
Artinya, putusan MK, yang merupakan putusan hakim mengalahkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung. Dengan menggunakan asas ini maka secara hukum sebenarnya polemik tersebut telah dianggap selesai dan dengan demikian yang diikuti oleh masyarakat dan aparat penegak hukum adalah Putusan MK yang menyatakan bahwa permohonan PK dapat diajukan lebih dari satu kali. Namun, jika mengikuti pendapat MK tersebut maka persoalan yang muncul dalam praktik hukum adalah terjadinya “ketidakpastian” hukum karena hal ini berarti bahwa proses mencari keadilan seolah tidak pernah selesai dengan dibukanya pintu PK yang lebih dari satu kali. Oleh karena itu perlu dipertegas bahwa
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 163
| 163
10/1/2015 11:48:32 AM
meskipun PK boleh dilakukan lebih dari satu investigasi atas kasus-kasus yang sudah selesai kali, tetapi setelah PK pertama, pengajuan PK diputuskan pengadilan (inkrach). tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Innocence Inquiry Commission mulai bekerja pada 2007 dan hingga Januari 2015 V. SARAN sudah menyelesaikan evaluasi terhadap 1.500 Terdapat dua rekomendasi sebagai solusi kasus. Pada 23 Januari 2015 lalu Komisi ini untuk mengatasi polemik PK ini. Pertama, dengan telah membebaskan seorang pria bernama Joseph mempercepat proses PK dan eksekusinya. Hal Sledge yang mendekam selama 40 tahun di penjara ini jika perlu dituangkan dalam norma undang- setelah divonis bersalah membunuh seorang ibu undang yang mempertegas kembali bahwa dan anaknya, setelah ditemukan bukti baru yang meskipun PK boleh dilakukan lebih dari satu membuktikan dirinya tak bersalah. Sledge adalah kali, tetapi setelah PK pertama, pengajuan PK orang kedelapan yang mendapat pengampunan tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Dengan setelah negara bagian Carolina Utara membentuk demikian, sisi kepastian hukumnya tidak akan sebuah komisi untuk menyelidiki ulang sejumlah hilang jika Kejaksaan Agung tidak menghambat kasus kriminal yang diduga menghukum orang ataupun menunda eksekusi setelah PK pertama. yang tak bersalah. Sementara itu sebuah lembaga Hal ini dikuatkan dengan ketentuan Pasal 66 non-profit Innocence Project mengatakan ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebanyak 325 terpidana dibebaskan setelah tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah pemeriksaan ulang DNA dilakukan. Jika diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun Innocence Inquiry Commission di Carolina Utara 2004 yang menyebutkan bahwa: “Permohonan merupakan lembaga independen yang berada peninjauan kembali tidak menangguhkan atau di bawah Judicial Department, maka lembaga menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.” semacam Innocence Inquiry Commission yang Ke depan rumusan pasal ini bisa dipertegas nantinya akan dibentuk di Indonesia perlu dibuat dengan menyatakan: “Permohonan peninjauan lebih independen agar putusan yang dikeluarkan kembali yang kedua dan seterusnya tidak kelak memiliki kekuatan daya ikat yang lebih menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan kuat. putusan pengadilan.”
Dari dua solusi yang ditawarkan tersebut, Kedua, membuat lembaga yang penulis menyarankan untuk mengambil opsi memiliki kewenangan atau mekanisme untuk pertama terlebih dulu, yaitu mempercepat proses menangani masyarakat pencari “keadilan” untuk PK dan eksekusinya. Pilihan ini diambil untuk mengakomodir putusan MK yang mengatakan menghilangkan kesan adanya double punishment pencarian keadilan tersebut tidak dapat dibatasi. yang selama ini dianggap sebagai pelanggaran Lembaga ini dapat dibuat menyatu dengan MA HAM. Sedangkan untuk opsi kedua, yaitu atau lembaga tersendiri semacam Innocence membuat lembaga yang memiliki kewenangan Inquiry Commission di Carolina Utara (North atau mekanisme PK, hanya perlu dilakukan jika Carolina). Lembaga ini memiliki kewenangan MA benar-benar merasa bahwa PK yang berkalimelakukan peninjauan kembali dan melakukan kali tersebut membebani tugas lembaga ini, serta tidak mungkin dilaksanakan mengingat jumlah
164 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 164
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:32 AM
hakim agung yang sangat terbatas dan beban perkara yang sudah terlalu banyak. Tetapi jika tidak maka hal ini dapat dilakukan dengan membangun mekanisme yang lebih disederhanakan sehingga proses pemeriksaan upaya PK menjadi lebih cepat, serta dapat dieksekusi lebih cepat juga.
Hamzah, A., & Dahlan, I. (1987). Upaya hukum dalam perkara pidana. Jakarta: Bina Aksara. Harahap, M. Y. (2007). Ruang lingkup permasalahan eksekusi
bidang
perdata.
Jakarta:
Sinar
Grafika. Manan, B. (2005). Suatu tinjauan terhadap kekuasaan kehakiman dalam undang-undang nomor 4 tahun 2004. Jakarta: Mahkamah Agung RI. Marpaung, L. (2000). Perumusan memori kasasi & peninjauan kembali perkara pidana. Jakarta:
DAFTAR ACUAN
Sinar Grafika.
Ali, A. S. (2009). Negara Pancasila. Jakarta: LP3ES. Anggoro, B. D. (2014). Perkembangan pembentukan undang-undang
di
Indonesia.
Jakarta:
Konstitusi Press.
pengantar.
Cetakan
Kelima.
Yogyakarta:
Liberty. Mertokusumo, S., & Pitlo, A. (1993). Bab-bab tentang
Aries, A. (2015). Menguji efektivitas SEMA Nomor 7 Tahun 2014. Diakses dari http:// www.hukumonline.com/ lt54ae37fc15e14/
Mertokusumo, S. (2007). Penemuan hukum sebuah
berita/
penemuan hukum. Yogyakarta: Citra Aditya Bakti.
baca/
Muladi. (1997). Hak asasi manusia, politik & sistem
menguji-efektivitas-sema-
peradilan pidana. Semarang: Badan Penerbit
nomor-7-tahun-2014-broleh--albert-aries-sh-mh-.
Universitas Diponegoro. Nov. (2012). PK ‘senjata’ mengulur waktu eksekusi
Atmasasmita, R. (1996). Sistem peradilan pidana-
mati. Diakses dari http://www.hukumonline.
perspektif eksistensialisme & abolisionisme.
com/berita/baca/lt4f3b42b6818ca/pk-senjata-
Cetakan Kedua. Penerbit Putra Abardin.
mengulur-waktu-eksekusi-mati.
Baehr, P. (Ed.). (1997). Instrument internasional pokok hak-hak asasi manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fox, R. G. (1994). Victorion criminal procedure,
Prasetyo, R. (2010). Lembaga peninjauan kembali (PK) oleh Kejaksaan Agung. Jakarta: BPHN. Rahardjo, S. (2006). Hukum progresif sebagai dasar pembangunan ilmu hukum Indonesia,
state & federal. Victoria: Monash Law Book
sebagaimana
Co-operative Limited Faculty of Law, Monash
hukum
University Clayton.
Pustaka Pelajar.
Fuady, M. (2009). Teori negara hukum modern (rehctstaat). Bandung: Refika Aditama. Goesniadhie, K. S. (2006). Harmonisasi hukum dalam perspektif perundang-undangan (lex specialis suatu masalah). Surabaya: JP-Books.
terdapat
progresif
menggagas Yogyakarta:
Indonesia.
Rifai, A. (2010). Penemuan hukum oleh hakim dalam perspektif hukum progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Salman, O., & Susanto, A. F. (2004). Teori hukum mengingat
mengumpulkan
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang Berkeadilan (Arfan Faiz Muhlizi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 165
dalam
&
membuka | 165
10/1/2015 11:48:32 AM
kembali. Bandung: Refika Aditama. Saputra, A. (2015). Putusan MK jadi biang kerok gembong narkoba tak kunjung didor. Diakses dari http://news.detik.com/read/2015/01/01/14 0700/2791858/10/. Soekanto, S. (1982). Pengantar penelitian hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Edisi 1, Cet. V. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soeroso, R. (1993). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Sutiyoso, B. (2006). Hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Thalib, A. R. (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi & implikasinya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Wignjosoebroto, S. (2002). Hukum, paradigma, metode & dinamika masalahnya. Cet. 1. Jakarta:: ELSAM dan HUMA. Zaidan, M. A. (2015, Januari 7). PK untuk keadilan. Opini Kompas, hal. 7.
166 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 166
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 145 - 166
10/1/2015 11:48:32 AM
SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK GUGATAN PRAPERADILAN Kajian Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
THE LEGITIMACY OF SUSPECT STATUS AS AN OBJECT OF PRETRIAL PETITION An Analysis of Court Decision Number 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel Ramiyanto Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 1 Semarang 50241 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 22 April 2015; revisi: 18 Agustus 2015; disetujui: 21 Agustus 2015 ABSTRAK Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 ayat (2) KUHAP tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Namun dalam Putusan Nomor 04/Pid. Prap/2015/PN.Jkt.Sel, hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menerima dan mengabulkan penetapan tersangka BG yang dilakukan oleh penyidik KPK tidak sah. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hakim adalah Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Menurut hakim, penetapan tersangka terhadap BG oleh penyidik KPK merupakan bentuk dari “tindakan lain” aparat penegak hukum yang sewenang-wenang sebagaimana dimaksud Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Kedua pasal tersebut sebenarnya lebih kuat digunakan sebagai salah satu alasan untuk menuntut ganti rugi karena seorang tersangka perkaranya dihentikan baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan. Oleh karena itu, tidak tepat apabila kata “tindakan lain” yang dimaksud dijadikan dasar sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Pertimbangan hakim dalam memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan seharusnya
adalah atas dasar keadilan dengan keluar dari ketentuan KUHAP. Kata kunci: status tersangka, praperadilan, objek gugatan. ABSTRACT Article 1 point (10) in conjunction with Article 77 paragraph (2) of Criminal Procedure Code does not clearly and explicitly regulates on the legitimacy of suspect status determination as an object of pretrial petition. However, the suspect status of BG submitted by the Corruption Eradication Commission was received and approved as illegitimate by the pretrial panel of judges though the Court Decision Number 04/Pid. Prap/2015/PN.Jkt.Sel. To analyze, it is resolved that the legal basis of the judgment consideration is Article 77 in conjunction with Article 82 paragraph (1) in conjunction with Article 95 paragraph (1) and (2) of the Criminal Procedure Code. Determining BG as a graft suspect in the investigation of corruption cases conducted by the Corruption Eradication Commission was regarded by the judges as a form of “measure” referring to the phrase in Article 95 paragraph (1) and (2) of Criminal Procedure Code, that is “‘other measures’ conducted by the arbitrary law enforcement officials.” These two
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 167
| 167
10/1/2015 11:48:32 AM
articles are actually more appropriate when used by the suspect to seek redress, in the event that the case was stopped either at the level of investigation or prosecution. For that reason, it is not suitable if the term “other measure” issued as the legal basis of the determination of the suspect as the object of pretrial petition. The
consideration of the pretrial panel of judges in deciding the legitimacy of suspect status as the object of pretrial petition shall be made on the basis of justice at the first place by putting aside the provisions of the Criminal Procedure Code.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Praktik praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP, belakangan memunculkan permasalahan ketika ada putusan yang menyatakan penetapan tersangka oleh penyidik tidak sah. Hal itu dilakukan oleh hakim SR, yang dalam putusannya Nomor 04/Pid.Prap/2015/ PN. Jkt.Sel mengabulkan gugatan yang diajukan oleh BG. BG ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di Kepolisian (Novianti, 2015, hal. 1). Menurut kuasa hukumnya, permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam Pasal 95 KUHAP.
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia yang diperkenalkan oleh KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum (Harahap, 2012, hal. 1). Praperadilan merupakan suatu pemeriksaan perkara di sidang pengadilan bidang hukum pidana yang dilakukan oleh hakim tunggal. Pemeriksaan itu tidak pada pokok perkara, tetapi hanya pada prosedur yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelum berkas dilimpahkan ke pengadilan. Praperadilan telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazimnya disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keywords: status of suspect, pretrial, object of petition.
Pengaturan tentang praperadilan telah dicantumkan dalam Pasal 1 angka 10 dan dipertegas dalam Bab X Bagian Kesatu, yaitu: Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Menurut Hamzah dan Surachman (2015, hal. 106), kelahiran praperadilan dalam KUHAP merupakan adaptasi atas lembaga habeas corpus dari sistem Selanjutnya dengan berpedoman pada peradilan pidana anglo-saxon. Wewenang yang diberikan kepada hakim dalam proses alasannya tersebut, kuasa hukum BG memberikan peradilan ini jauh lebih terbatas dibandingkan penjelasan sebagai berikut: dengan wewenang hakim komisaris di negaraa. Tindakan lain dalam hal ini menyangkut negara dengan tradisi civil law di Eropa Daratan pelaksanaan wewenang penyidik maupun (rechter-commissaris, judge d’instruction, juez penuntut umum di antaranya berupa de intrucion, juiz intrucao, dan sebagainya). penggeledahan, penyitaan, maupun 168 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 168
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:32 AM
menetapkan seseorang menjadi tersangka. b.
Penetapan seseorang sebagai tersangka, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, lebih khusus lagi yang prosesnya dijalankan oleh KPK/termohon, akan menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak maupun harkat martabat seseorang in casu pemohon.
c.
Dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka in casu pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, maka nama baik dan kebebasan seseorang in casu pemohon telah dirampas.
d.
Tindakan lain yang dilakukan oleh termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah cacat yuridis, tindakan termohon tersebut masih diikuti tindakan lain berupa pencekalan, adalah merupakan pembunuhan karakter yang berdampak tercemarnya nama baik pemohon, keluarga, institusi Polri sebagai lembaga negara yang sah menurut Pasal 30 UUD NRI 1945.
of innocence (praduga tak bersalah) yang mengungkapkan kepada publik status pemohon sebagai tersangka yang sama sekali tuduhan tersebut tidak pernah dikonfirmasi kepada pemohon dan/atau institusi pemohon, bahkan saksi-saksi yang terkait dengan perkara a quo belum ada yang diperiksa termohon. g.
Tindakan termohon yang cacat yuridis sebagaimana yang dimaksud huruf e di atas dibuktikan dengan perkara a quo yang diawali dengan tindakan yuridis berupa dibuatnya Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi Nomor LKTPK-04/KPK/01/2015 tanggal 12 Januari 2015, dan pada hari yang sama diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015. Kemudian esok harinya pada tanggal 13 Januari 2015 sekitar pukul 15.00 WIB termohon mengumumkan melalui media massa tentang status tersangka pemohon, dengan menyatakan bahwa penyidik KPK telah mempunyai lebih dari dua alat bukti.
e.
Akibat tindakan hukum yang dilakukan h. oleh termohon secara sewenang-wenang kepada pemohon telah mengakibatkan kerugian baik moril maupun materiil. Kerugian moril sulit ditentukan besarnya untuk seorang calon Kapolri yang telah mempunyai legitimasi melalui lembaga Kompolnas, Polri, Lembaga Kepresidenan, DPR RI, sedangkan kerugian materiil Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
Dalam waktu satu hari, yaitu pada tanggal 12 Januari 2015, termohon baru membuat laporan kejadian tindak pidana korupsi bersamaan dengan penerbitan surat perintah penyidikan, dan satu hari kemudian yaitu pada tanggal 13 Januari 2015 termohon telah menetapkan pemohon dengan status sebagai tersangka, sehingga ada beberapa prosedur yang seharusnya dilakukan sesuai dengan KUHAP, tetapi tidak dilakukan oleh termohon.
f.
Tindakan lain yang dilakukan oleh Terhadap gugatan praperadilan BG tersebut, termohon berupa pembeberan kepada media massa secara tendensius merupakan hakim SR mengabulkan dengan memutuskan, tindakan yang melanggar asas presumption bahwa penetapan tersangka yang dilakukan
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 169
| 169
10/1/2015 11:48:33 AM
oleh KPK tidak sah. Hal itu berarti hakim SR telah memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Apabila dilihat dari rumusan Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP tidak disebutkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Dalam hal ini, hakim merujuk pada frasa “tindakan lain” dalam rumusan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 04/ Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan.
yang memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Penelitian ini juga ditujukan untuk menjelaskan dan menemukan pertimbangan yang seharusnya dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt. Sel dalam upaya memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan 2.
Kegunaan Penelitian
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, khususnya hukum acara pidana di Indonesia terkait dengan masalah objek gugatan praperadilan. Kemudian diharapkan juga B. Rumusan Masalah dapat digunakan sebagai referensi yang dapat Adapun yang menjadi rumusan masalah ikut menunjang ilmu pengetahuan khususnya dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: ilmu pengetahuan hukum pidana Indonesia. Selanjutnya penelitian ini diharapkan juga dapat 1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam berguna secara praktis, yaitu menjadi pegangan Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt. dan pedoman bagi praktisi hukum terutama Sel yang memasukkan sah atau tidaknya hakim dalam memeriksa gugatan praperadilan penetapan tersangka sebagai objek gugatan yang objeknya tidak diatur di dalam hukum praperadilan? acara pidana positif di Indonesia. Penelitian ini 2. Bagaimana pertimbangan hakim yang juga diharapkan dapat berguna bagi kalangan seharusnya dalam Putusan Nomor 04/ masyarakat luas ketika hendak mengajukan Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dalam upaya gugatan praperadilan dan alasannya tidak diatur di memasukkan sah atau tidaknya penetapan dalam hukum acara pidana positif di Indonesia. tersangka sebagai praperadilan?
objek
gugatan D.
Studi Pustaka
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Sebelum amandemen 1. Tujuan Penelitian keempat, mengenai Indonesia sebagai negara Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah hukum dicantumkan dalam Penjelasan UUD untuk mengetahui, menjelaskan, menganalisis, NRI 1945 dengan menggunakan istilah dan mengkaji pertimbangan hakim dalam rechtsstaat. Rechtsstaat merupakan suatu istilah Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang berasal dari bahasa Jerman. Selain itu, ada C.
Tujuan dan Kegunaan
170 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 170
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:33 AM
juga istilah dalam bahasa lain seperti rechtstaat dari negara kesejahteraan (welfare state) adalah (Belanda), Etat de Droit (Perancis), dan Statoa sebagai berikut: di Diritto (Italia) (Qamar, 2013, hal. 23). Konsep 1. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias rechtsstaat dilahirkan oleh Freidrich Julius Stahl politica dipandang tidak prinsipil lagi. yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant Pertimbangan-pertimbangan efisiensi kerja (HR, 2011, hal. 3). lebih penting daripada pertimbanganUtrecht membedakan dua macam negara pertimbangan dari sudut politis, sehingga hukum, yaitu negara hukum formil atau negara peranan dari organ-organ eksekutif lebih hukum klasik dan negara hukum materiil penting daripada organ legislatif; atau negara hukum modern. Negara hukum 2. Peranan negara tidak terbatas pada penjaga formil menyangkut pengertian hukum yang keamanan dan ketertiban saja, akan bersifat formil dan sempit, dalam arti peraturan tetapi negara secara aktif berperan dalam perundang-undangan tertulis. Tugas negara adalah penyelenggaraan kepentingan rakyat melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang-bidang sosial, ekonomi, dan untuk menegakkan ketertiban. Tipe negara budaya, sehingga perencanaan (planning) tradisional itu dikenal dengan istilah negara merupakan alat yang penting dalam welfare penjaga malam. Negara hukum materiil mencakup state; pengertian yang luas, tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, 3. Welfare state merupakan negara hukum tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai materiil yang mementingkan keadilan bentuk keadilan (Asshiddiqie, 2012, hal. 31). sosial dan bukan persamaan formil; Negara hukum materiil yang juga untuk mencapai kesejahteraan selain menjaga ketertiban itu disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Menurut Asshiddiqie (Muntoha, 2009, hal. 386), di dalam konsepsi negara kesejahteraan ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh rakyat banyak, peran personal untuk menguasai hajat hidup orang banyak dihilangkan. Perkembangkan itulah yang memberikan legislasi bagi negara intervensionis pada abad ke-20. Negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama di masyarakat. Soekanto (Muntoha, 2009, hal. 386) mengatakan, bahwa yang menjadi ciri-ciri pokok
4.
Hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang mempunyai fungsi sosial, yang berarti ada batas-batas dalam kebebasan penggunaannya; dan
5.
Adanya kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan semakin mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan karena semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Berdasarkan pada berbagai prinsip negara hukum dan melihat kecenderungan perkembangan negara hukum modern yang melahirkan prinsipprinsip penting baru untuk mewujudkan negara hukum, maka terdapat dua belas prinsip pokok
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 171
| 171
10/1/2015 11:48:33 AM
sebagai pilar-pilar utama yang menyangga menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum berdirinya negara hukum. Kedua belas prinsip tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan tersebut adalah: ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan semata (maachtsstaat). Sebaliknya, 1. Supremasi hukum (supremacy of law); demokratis haruslah diatur berdasar atas hukum. 2. Persamaan dalam hukum (equality before Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya the law); mobokrasi (bentuk pemerosotan dari demokrasi 3. Asas legalitas (due process of law); dalam terminologi Aristoteles) yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri (Asshiddiqie, 4. Pembatasan kekuasaan; 2012, hal. 32-33). 5. Organ-organ penunjang yang independen; Dalam konsep negara hukum sebagaimana 6. Peradilan bebas dan tidak memihak; dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 itu diidealkan, bahwa yang harus dijadikan 7. Pengadilan tata usaha negara; panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan 8. Mahkamah Konstitusi (constitutional adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. court); Jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah 9. Perlindungan hak asasi manusia; “the rule of law, not of man.” Pada pokoknya, 10. Bersifat demokratis (democratische yang disebut dengan pemerintahan adalah hukum rechtsstaat); sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario sistem 11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan yang mengatur (Asshiddiqie, 2011, hal. 1). tujuan negara (welfare rechtsstaat); dan 12. Transparansi dan kontrol (Asshiddiqie, 2012, hal. 31-32).
sosial
Perkembangan prinsip-prinsip negara hukum dipengaruhi oleh semakin kuatnya penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam kehidupan bernegara menggantikan model-model negara tradisional. Prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum demikian dikenal dengan sebutan negara hukum yang demokratis (democratische reshtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy. Hukum dibangun dan ditegakkan 172 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 172
Gagasan negara hukum tersebut dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi, dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:33 AM
Konstitusi yang berfungsi sebagai “the guardian” keputusan atau perkataan seseorang. Dengan dan sekaligus “the ultimate interpreter of the mensyaratkan semua tindakan pemerintah constitution” (Asshiddiqie, 2011, hal. 1). berdasarkan aturan hukum, maka prinsip itu hendak mencegah pemerintah bertindak atas Salah satu prinsip atau asas yang berkaitan dasar kekuasaan ataupun berlandaskan diskresi dengan konsep negara hukum adalah asas (Gunawan et.al., 2014, hal. 15). legalitas (due process of law atau legaliteits beginsel). Asas legalitas berarti setiap tindakan Prinsip pemerintahan berdasarkan hukum pemerintah harus didasarkan atas perundang- terdiri dari tiga indikator, yaitu: 1) Tindakan/ undangan yang sah dan tertulis. Setiap tindakan perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum; administrasi harus didasarkan atas aturan atau 2) Sistem pengawasan yang efektif; serta 3) rules and procedurs (regels). Di samping prinsip Keseimbangan eksekutif dan legislatif. Indikator itu ada asas friejsermessen yang memungkinkan tindakan/perbuatan pemerintah sesuai dengan para pejabat administrasi negara mengembangkan hukum hendak mengukur praktik-praktik dan menetapkan sendiri beleid-regels atau policy pemerintah (pusat/daerah) yang berkesesuaian rules yang berlaku secara bebas dan mandiri dengan hukum melalui kinerja dan perilaku dalam rangka menjalankan tugas yang dibebankan pejabat yang terindikasi atau terbukti bersalah oleh peraturan yang sah. (Asshiddiqie dalam melakukan perbuatan melawan hukum. Simangunsong, 2006, hal. 14). Sedangkan indikator sistem pengawasan Asas legalitas merupakan salah satu yang efektif hendak mengukur pelaksanaan prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap mekanisme pengawasan internal maupun penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan eksternal yang dilakukan oleh sejumlah di setiap negara hukum terutama di negara- lembaga yang telah dibentuk. Terakhir, indikator negara hukum dalam sistem Eropa Kontinental keseimbangan eksekutif dan legislatif, hendak (HR, 2011, hal. 90). Dalam kedudukan seperti mengukur apakah pelaksanaan dari mekanisme itu, maka asas pemerintahan berdasarkan hukum yang sudah ada telah dilaksanakan sesuai dengan disebut sebagai syarat minimal negara hukum. hukum (Gunawan et.al., 2014, hal. 15-16). Negara yang hanya menjalankan prinsip tersebut Asas legalitas di dalam KUHAP menurut dikatakan memiliki rule of law versi yang paling Harahap (2012, hal. 36) dicantumkan dalam tipis (thin). Secara esensial, prinsip dimaksud konsiderans menimbang huruf a. Konsiderans berarti semua tindakan pemerintah harus tersebut rumusannya adalah: “Bahwa negara didasarkan atau diotorisasi pada dan oleh aturan Republik Indonesia adalah negara hukum hukum (Gunawan et.al, 2014, hal. 15). berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Hukum merupakan satu-satunya Dasar NRI 1945 yang menjunjung tinggi hak instrumen bagi pemerintahan untuk menjalankan asasi manusia serta yang menjamin segala warga kegiatannya. Cara paling mudah untuk mamahami negara bersamaan kedudukannya di dalam esensi prinsip pemerintahan berdasarkan hukum hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung adalah dengan membuat pernyataan pendukung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada bahwa aturan hukum tidak didasarkan pada pengecualiannya.”
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 173
| 173
10/1/2015 11:48:33 AM
Dari konsiderans huruf a KUHAP, jelaslah asas legalitas merupakan salah satu asas yang ada di bidang hukum acara pidana. Pelaksanaan penerapan KUHAP bersumber pada titik tolak the rule of law. Semua tindakan penegakan hukum harus:
harus bertumpu pada kewenangan yang sah, tanpa adanya kewenangan itu seorang pejabat atau badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah. Oleh karena itu, kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap badan pemerintah maupun pejabat.
1.
Berdasarkan ketentuan hukum dan undangundang.
2.
Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segalagalanya sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.
Istilah praperadilan merupakan gabungan dari dua unsur kata, yaitu: “Pra” dan “Peradilan.” Menurut Hamzah (2014, hal. 187), “pra” artinya “sebelum atau mendahului” yang berarti praperadilan sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Merujuk pada rumusan Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, maka praperadilan merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh pengadilan negeri. Hal itu ditunjukkan dari kalimat “Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri....” di dalam rumusan kedua pasal tersebut. Harahap (2012, hal. 1) mengatakan, bahwa ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, maka praperadilan bukan lembaga peradilan yang berdiri sendiri. Bukan juga sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana.
Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang, dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat bangsa lain, tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin berupa penindasan (Harahap, 2012, hal. 36). Dengan demikian, asas legalitas (legalitiets beginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur) merupakan pilar utama dalam negara hukum. Berdasarkan prinsip tersebut tersirat, bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Artinya, sumber wewenang dari pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat (HR, 2011, hal. 101). Menurut Effendi (2004, hal. 77), suatu perbuatan pemerintah disyaratkan
174 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 174
Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada pengadilan negeri, serta sebagai lembaga pengadilan hanya dijumpai pada tingkat pengadilan negeri sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah dari pengadilan negeri. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan pengadilan negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari pengadilan negeri. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:33 AM
yustisial pengadilan negeri itu sendiri (Harahap, 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), 2012, hal. 1). Putusan Pengadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/ PN. Jkt.Sel. Kedua, bahan hukum sekunder yang Apabila praperadilan merupakan salah meliputi literatur berupa kajian-kajian para pakar satu kewenangan dari pengadilan negeri, maka hukum, dan lainnya yang memiliki hubungan pemeriksaannya juga harus didasarkan pada dengan pembahasan makalah ini. Ketiga, bahan ketentuan-ketentuan yang dicantumkan di dalam hukum tersier yang berupa ensiklopedia dan KUHAP. Pemeriksaan perkara praperadilan kamus-kamus. sepatutnya berdasarkan hukum sesuai dengan asas legalitas sebagai salah satu prinsip dalam Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul konsep negara hukum. Berkaitan dengan objek kemudian diolah dan dianalisis dengan gugatan praperadilan telah ditentukan dalam menggunakan metode penafsiran hukum dan Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, sehingga metode konstruksi hukum. Selanjutnya dilakukan penentuan alasan pemohon termasuk ke dalam penarikan kesimpulan dengan menggunakan objek gugatan praperadilan atau tidak didasarkan logika berpikir deduktif, yaitu penalaran yang pada kedua pasal tersebut. berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi (Ibrahim, 2006, hal. 197). Apabila dihubungkan dengan permasalahan, maka II. METODE KUHAP adalah aturan hukum yang bersifat Penulisan penelitian ini menggunakan umum, kemudian dijabarkan dan diterapkan metode penelitian hukum normatif, yaitu untuk menjawab persoalan dalam penelitian ini. penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif (Soekanto & Mamudji, 2011, hal. 13). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kemudian metode pendekatan yang digunakan adalah statute approach (pendekatan undang- 1. Pertimbangan Hakim dalam Putusan undang) dan case approach (pendekatan kasus). Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel Statute approach dilakukan dengan menelaah yang Memasukkan Sah atau Tidaknya regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang Penetapan Tersangka sebagai Objek dikaji (Ibrahim, 2006, hal. 248). Sedangkan case Gugatan Praperadilan approach dilakukan dengan melakukan telaah Putusan hakim dalam perkara praperadilan kasus berkaitan dengan isu hukum (Marzuki, merupakan salah satu putusan yang dikenal 2011, hal. 119). dalam hukum acara pidana Indonesia. Menurut Data yang digunakan dalam penelitian ini Mertokusumo, suatu putusan hakim pada adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari pokoknya terdiri dari empat bagian, yaitu: kepala bahan pustaka. Data sekunder itu berasal dari tiga putusan, identitas para pihak, pertimbangan, sumber, yaitu: Pertama, bahan hukum primer dan amar (Wijayanta & Firmansyah, 2011, yang meliputi: Undang-Undang Dasar Negara hal. 31). Jadi, pertimbangan hakim merupakan Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang salah satu bagian yang terdapat di dalam setiap Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan putusan hakim, termasuk putusan dalam perkara Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun praperadilan. Pertimbangan itu dijadikan sebagai Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 175
| 175
10/1/2015 11:48:33 AM
dasar dan alasan bagi hakim sehingga memutuskan seperti yang dicantumkan di dalam putusannya. Dalam konteks putusan perkara praperadilan, maka dasar dan alasan hakim itu harus dimuat di dalam putusannya (vide Pasal 82 ayat (2) KUHAP). Kata “harus” menunjukkan, bahwa dasar dan alasan hakim sebagai pertimbangan, wajib dimuat di dalam putusannya.
diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: 1.
Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
Dengan demikian, hakim yang memeriksa dan mengadili gugatan praperadilan yang diajukan 2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan oleh BG wajib memuat pertimbangan sebagai perbuatan sebagaimana dimaksud pada dasar dan alasannya dalam Putusan Nomor 04/ ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Adapun pertimbangan peraturan perundang-undangan. hakim di dalam putusannya tersebut memuat dua bagian, yaitu pertimbangan tentang duduk 3. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan perkaranya (feitelijke gronden) dan pertimbangan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan tentang hukumnya (rechts gronden). Dari kedua ganti kerugian diatur dalam undang-undang. pertimbangan itu, maka dalam pembahasan ini Penerapan lebih lanjut terhadap Pasal 9 hanya akan diuraikan pertimbangan tentang Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hukumnya. berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Berkaitan dengan pertimbangan tentang Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP, dan hukumnya, Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/ Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. PN.Jkt.Sel memuat dua bagian, yaitu: dalam Berdasarkan penjelasan di atas, maka eksepsi dan dalam pokok perkara. Dari kedua harus dipahami bahwa kewenangan praperadilan bagian pertimbangan hukum tersebut yang hanyalah menguji dan menilai tentang kebenaran dimuat dalam eksepsi yaitu objek permohonan dan ketepatan tindakan upaya paksa yang praperadilan bukan kewenangan hakim dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal praperadilan. Seperti diketahui, bahwa terhadap menyangkut ketepatan penangkapan, penahanan, gugatan praperadilan yang diajukan oleh BG, penghentian penyidikan, dan penuntutan serta termohon telah mengajukan jawaban dan salah ganti kerugian dan rehabilitasi. satu jawabannya berupa eksepsi mengenai objek praperadilan bukan kewenangan hakim Kemudian berkaitan dengan eksepsi praperadilan. termohon itu, hakim yang memeriksa perkara praperadilan yang diajukan BG di dalam Putusan Di dalam jawabannya mengenai eksepsi Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel memberikan tersebut termohon menyatakan, bahwa lembaga pertimbangan hukum sebagai berikut: praperadilan tertulis secara tegas dan jelas di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Ketentuan 1. Menimbang, bahwa Pasal 1 angka yang menjadi dasar praperadilan tersebut juga 10 KUHAP merumuskan pengertian 176 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 176
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:33 AM
“praperadilan” adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
2.
3.
a.
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c.
Permintaan ganti kerugian rehabilitasi oleh tersangka keluarganya atau pihak lain kuasanya yang perkaranya diajukan ke pengadilan.
atau atau atas tidak
4.
Menimbang, bahwa demikian pula halnya dengan segala ketentuan peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia juga tidak ada ditemukan aturan yang mengatur kalau pengujian tentang “sah atau tidaknya penetapan tersangka” menjadi objek praperadilan.
5.
Menimbang, bahwa masalahnya sekarang adalah: karena hukumnya tidak mengatur, apakah hakim boleh menolak suatu perkara dengan alasan pertimbangan bahwa “hukum tidak mengatur” atau “hukumnya tidak ada?”
6.
Menimbang,
Menimbang, bahwa rumusan Pasal 77 KUHAPadalah sebagai berikut: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a.
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya 7. dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Menimbang, bahwa dari rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dapat diketahui dengan jelas bahwa “sah atau tidaknya penetapan tersangka” tidak termasuk sebagai objek praperadilan, karena hal itu tidak diatur.
bahwa
tentang Kekuasaan Kehakiman melarang hakim untuk menolak suatu perkara dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya, sebagaimana dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Menimbang, bahwa larangan menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara itu dibarengi dengan kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 177
Undang-Undang
| 177
10/1/2015 11:48:33 AM
menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 8.
Menimbang, bahwa larangan bagi hakim menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dengan dalih atau alasan bahwa hukumnya tidak ada, tentunya melahirkan kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada atau yang semula hukumnya kurang jelas menjadi jelas.
9.
pengertian praperadilan pada Pasal 1 angka 10 KUHAP dan norma hukum pengaturan kewenangan praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 KUHAP dapat disimpulkan keberadaan lembaga praperadilan adalah sebagai sarana atau tempat menguji tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik pada tingkat penyidikan dan oleh penuntut umum pada tingkat penuntutan sudah dilakukan menurut ketentuan dan tata cara yang diatur dalam undang-undang atau tidak.
Menimbang, bahwa kewenangan hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, dilakukan 14. Menimbang, bahwa dalam kaitannya dengan menggunakan metode penemuan dengan permohonan dari pemohon hukum (rechtsvinding), yang jika dikaji praperadilan ini, maka timbul pertanyaan, secara ilmiah (keilmuan) dan secara yuridis “apakah penetapan tersangka terhadap diri harus dapat dipertanggungjawabkan. pemohon yang dilakukan oleh termohon dapat dikualifisir sebagai tindakan upaya 10. Menimbang, bahwa kewenangan hakim paksa?” untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak jelas menjadi jelas dilakukan 15. Menimbang, bahwa termohon di dalam dengan menggunakan dan menerapkan jawabannya berpendapat bahwa penetapan metode penafsiran (interprestasi). tersangka terhadap pemohon bukanlah tindakan upaya paksa dengan alasan bahwa 11. Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, sampai dengan disidangkannya permohonan permohonan dari pemohon adalah tentang praperadilan a quo. Termohon belum “sah atau tidaknya penetapan tersangka” terhadap pemohon yang dilakukan oleh termohon. 12. Menimbang, bahwa penetapan tersangka adalah merupakan bagian dari proses penyidikan, bahkan ahli hukum pidana, Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H., berpendapat bahwa penetapan tersangka adalah merupakan hasil dari penyidikan. 13. Menimbang,
178 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 178
bahwa
dari
rumusan
melakukan upaya paksa apapun terhadap diri pemohon, baik berupa penangkapan, penahanan, pemasukan rumah, penyitaan atau penggeledahan terhadap diri pemohon, bahkan di persidangan kuasa termohon mempertanyakan apakah penetapan tersangka merupakan tindakan upaya paksa. 16. Menimbang, bahwa pendapat termohon tersebut di atas secara hukum tidak dapat
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:33 AM
dibenarkan, karena harus dipahami arti keabsahan “penetapan tersangka” dan makna “tindakan upaya paksa” secara adalah lembaga praperadilan. benar, bahwa segala tindakan penyidik 18. Menimbang, bahwa tentang penerapan dalam proses penyidikan dan segala asas legalitas dalam Hukum Acara Pidana tindakan penuntut umum dalam proses sebagai salah satu dasar dan alasan penuntutan adalah merupakan tindakan dalam mengajukan eksepsi ini tidak upaya paksa, karena telah menempatkan dapat dibenarkan, karena asas legalitas atau menggunakan label “pro justisia” pada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 setiap tindakan. ayat (1) KUHP hanya berlaku dalam 17. Menimbang, bahwa terkait dengan penerapan Hukum Pidana Materiil, bahkan permohonan pemohon, karena hukum dalam perkembangannya dimungkinkan positif Indonesia tidak mengatur lembaga dilakukan penafsiran dengan pembatasan mana yang dapat menguji keabsahan sebagaimana pendapat ahli hukum pidana penetapan tersangka atas diri pemohon, Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H. maka hakim harus menetapkan hukumnya 19. Menimbang, bahwa pendapat ahli sebagaimana akan ditetapkan dalam tersebut sejalan dengan yurisprudensi, di pertimbangan berikut ini: antaranya: a. Menimbang, bahwa segala tindakan a. Penerapan penafsiran pengertian penyidik dalam proses penyidikan “barang” dalam tindak pidana dan segala tindakan penuntut umum pencurian; dalam proses penuntutan yang belum diatur dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 b. Penerapan penafsiran penghalusan ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan hukum (rechtverfijning) dan ayat (2) KUHAP, ditetapkan menjadi penafsiran secara luas (extensieve objek praperadilan dan lembaga interpretatie) dalam penegakan hukum yang berwenang menguji Hukum Pidana Materiil tindak pidana keabsahan segala tindakan penyidik subversi di masa lalu. dalam proses penyidikan dan segala 20. Menimbang, bahwa menyangkut alasantindakan penuntut umum dalam alasan termohon sebagaimana tercantum proses penuntutan adalah lembaga dalam jawaban angka 14 s.d angka 17 praperadilan. halaman 10 s.d halaman 13, pengadilan b. Menimbang, bahwa terkait langsung negeri mempertimbangkannya sebagaimana dengan permohonan pemohon, tercantum dalam pertimbangankarena “penetapan tersangka” pertimbangan berikut ini: merupakan bagian dari rangkaian a. Menimbang, bahwa Hukum Indonesia tindakan penyidik dalam proses tidak menganut sistem precedent yang penyidikan, maka lembaga hukum dianut dan berlaku di negara-negara yang berwenang menguji dan menilai
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 179
| 179
10/1/2015 11:48:33 AM
Anglo-Saxon, akan tetapi jangan lupa bahwa yurisprudensi diterima dan diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia; b.
PN.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012 dapat diterima sebagai yurisprudensi atau tidak, namun yang pasti adalah bahwa hakim yang memeriksa perkara a quo tidak akan menggunakan putusan-putusan tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara a quo.
Menimbang, bahwa oleh karena Hukum Indonesia tidak menganut sistem precedent, maka tidak ada bahwa berdasarkan keharusan bagi Hakim Indonesia 24. Menimbang, pertimbangan di atas, maka eksepsi untuk mengikuti putusan-putusan termohon tentang hal ini haruslah ditolak. hakim terdahulu.
Dari uraian mengenai pertimbangan hakim 21. Menimbang, bahwa pemohon di dalam permohonannya mengemukakan beberapa di atas, maka dapat dikatakan, bahwa hakim yang putusan praperadilan sebagai dasar hukum memeriksa dan mengadili gugatan praperadilan BG jelas memasukkan penetapan tersangka permohonannya, yaitu: sebagai objek gugatan praperadilan. Hal itu terlihat a. Putusan Pengadilan Negeri dari pertimbangan yang secara tegas menolak Bengkayang Nomor 01/Pid. eksepsi yang diajukan oleh termohon. Adapun Prap/2011/PN.Bky tanggal 18 Mei dasar hukum yang digunakan oleh hakim adalah 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung Pasal 77 jo. Pasal 85 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) Nomor 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 dan ayat (2) KUHAP. Penggunaan dasar hukum Januari 2012; tersebut, karena penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, maka lembaga yang berwenang menguji dan melihat keabsahan “penetapan tersangka” adalah lembaga praperadilan. Jadi, hakim memasukkan penetapan tersangka sebagai 22. Menimbang, bahwa dari jawaban termohon objek praperadilan karena dikategorikan sebagai pada halaman 10 s.d 13 angka 14 s.d 17 bentuk “tindakan lain” dari upaya paksa dalam dapat disimpulkan bahwa termohon tidak penyidikan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal menerima kalau putusan-putusan tersebut di 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. atas disebut sebagai suatu yurisprudensi. Pertanyaannya adalah: “Apakah tepat 23. Menimbang, bahwa terlepas dari apakah penafsiran hakim yang memasukkan penetapan Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang tersangka sebagai objek praperadilan dengan Nomor 01/Pid.Prap/2011/PN.Bky tanggal mengacu pada Pasal 95 ayat (1) dan ayat 18 Mei 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung (2) KUHAP?” Telah dijelaskan di halaman Nomor 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari sebelumnya, bahwa Indonesia adalah negara 2012 dan Putusan Pengadilan Negeri hukum (vide Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945). Jakarta Selatan Nomor 38/Pid.Prap/2012/ Salah satu prinsip yang berkaitan dengan konsep b.
180 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 180
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 38/Pid.Prap/2012/ PN.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:33 AM
negara hukum adalah asas legalitas. Di dalam asas itu terkandung prinsip, bahwa suatu tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Merujuk pada prinsip tersebut, maka hakim yang memeriksa dan mengadili perkara termasuk perkara pidana harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Apabila hukum acara pidana Indonesia dengan jelas dan tegas memuat asas legalitas, maka penyelenggaraan proses pidana harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada di dalam KUHAP, termasuk yang berkaitan dengan praperadilan. Adapun ketentuan KUHAP yang digunakan oleh hakim dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, sehingga penetapan tersangka dimasukkan ke dalam objek Seperti yang dijelaskan oleh Harahap di praperadilan adalah Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) halaman sebelumnya, bahwa asas legalitas dalam jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dari hukum acara pidana Indonesia dapat dilihat ketiga ketentuan KUHAP tersebut yang digunakan dari rumusan konsiderans menimbang huruf a oleh hakim sebagai dasar hukumnya adalah Pasal KUHAP. Konsekuensinya adalah penegakan 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini, hukum pidana harus didasarkan pada ketentuan hakim mengategorikan penetapan tersangka yang ada di dalam KUHAP. Hal itu selaras dengan sebagai salah satu bentuk “tindakan lain” berupa pendapat yang dikemukakan oleh Hamzah & upaya paksa yang dilakukan penyidik. Surachman (2015, hal. 27), bahwa berdasarkan pada asas legalitas, maka cara mengadili dalam Selanjutnya untuk menjawab mengenai proses pidana di suatu negara yang menganutnya tepat atau tidaknya penafsiran hakim yang harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang, memasukkan penetapan tersangka sebagai objek bukan berdasarkan peraturan di bawah undang- gugatan praperadilan, maka akan dilihat rumusan undang. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP sebagai berikut: Di dalam bentuk pasal-pasal, asas legalitas dalam hukum acara pidana Indonesia 1. Tersangka, terdakwa atau terpidana telah dicantumkan pada Pasal 3 KUHAP yang berhak menuntut ganti kerugian karena rumusannya “Peradilan dilakukan menurut cara ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili yang diatur dalam undang-undang ini.” Hamzah atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan & Surachman (2015, hal. 28) mengatakan, bahwa yang berdasarkan undang-undang atau yang dimaksud dengan frasa “diatur dalam karena kekeliruan mengenai orangnya atau undang-undang ini” adalah “diatur dalam Undanghukum yang ditetapkan. Undang Nomor 8 Tahun 1981” atau “diatur 2. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka dalam KUHAP.” Kemudian menurut Lamintang atau ahli warisnya atas penangkapan & Lamintang (2010, hal. 45), Pasal 3 KUHAP atau penahanan serta tindakan lain tanpa itu ingin mengatakan bahwa peradilan yang alasan yang berdasarkan undang-undang dilakukan dalam lingkungan pengadilan negeri, atau karena kekeliruan mengenai orang pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung serta atau hukum yang diterapkan sebagaimana pengadilan lain yang merupakan pengkhususan dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya dari peradilan umum harus dilakukan menurut tidak diajukan ke pengadilan negeri, cara yang telah diatur dalam KUHAP. Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 181
| 181
10/1/2015 11:48:33 AM
diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. Frasa “tindakan lain” tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Yang dimaksud dengan “kerugian karena tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.” Merujuk pada penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP itu, maka dapat penulis katakan, bahwa penetapan tersangka tidak termasuk dalam kategori tindakan lain. Adapun yang termasuk dalam kategori tindakan lain hanya meliputi: pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan, serta penahanan tanpa alasan yang sah atau tidak sah.
keabsahan tindakan di dalam pemeriksaan pendahuluan sebelum pemeriksaan pokok perkara di persidangan. Pengujian atas keabsahan tindakan dimaksud, seperti penangkapan merupakan bagian dari objek gugatan praperadilan. Hubungan di antara kedua pasal tersebut hanya terbatas pada permintaan ganti rugi yang juga sebagai bagian dari objek gugatan praperadilan. Dalam hal ini, apabila tuntutan ganti rugi yang perkara pokoknya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka diputus di sidang praperadilan. Perlu diingat, bahwa ganti rugi yang dapat diminta ke lembaga praperadilan telah dibatasi oleh Pasal 77 huruf b KUHAP, yaitu untuk perkara pidana yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Argumentasi penulis tersebut sesuai dengan argumen termohon di dalam jawabannya sebagai berikut:
Kemudian perlu juga diketahui, bahwa sebenarnya Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP a. merupakan ketentuan yang berada di dalam Bab XII tentang Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Bagian Kesatu tentang Ganti Rugi. Apabila dilihat dari segi sistematikanya, maka Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP berkaitan dengan masalah ganti rugi. Selanjutnya apabila diperhatikan rumusan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP di atas, maka secara substansi memuat ketentuan b. mengenai objek yang dapat diajukan tuntutan ganti rugi. Dengan demikian dapat penulis simpulkan, bahwa ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai objek gugatan praperadilan. Menurut penulis, objek gugatan praperadilan telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Penulis tidak menafikkan, bahwa Pasal 77 KUHAP mempunyai hubungan dengan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, namun hubungan itu tidak ada kaitannya dengan pengujian atas
182 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 182
Perlu dipahami pula bahwa konteks “tindakan lain” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP serta penjelasannya hanya dapat digunakan sebagai alasan dalam pengajuan tuntutan ganti kerugian bukan dalam rangka mengajukan keberatan terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 95 ayat (1) KUHAP diajukan ke pengadilan yang memeriksa perkara pokoknya setelah perkaranya diadili dan diputus (vide Pasal 95 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHAP), sedangkan dalam hal perkara pokoknya tidak diajukan ke pengadilan negeri maka tuntutan ganti kerugian atas “tindakan lain” berdasarkan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, diputus dan disidang oleh praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 77 KUHAP.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:33 AM
Merujuk pada argumentasi yang telah dipaparkan di atas, maka dapatlah dipahami, bahwa penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim dalam putusannya yang memeriksa dan mengadili gugatan praperadilan BG adalah tidak tepat. Ketidaktepatan itu karena telah memasukkan penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan dengan menggunakan dasar hukum Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini, hakim tidak memperhatikan penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang secara tegas tidak memasukkan penetapan tersangka dari frasa “tindakan lain” dan hakim juga tidak memperhatikan hubungan antara Pasal 77 dengan Pasal 95 berdasarkan sistematikanya. Walaupun demikian, penulis sepakat dengan pertimbangan hakim yang menyatakan penetapan tersangka sebagai bagian dari proses penyidikan.
disebut dengan istilah “mrojol.” Apabila dikaitkan dengan asas legalitas dalam penerapan KUHAP, maka hakim harus menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh BG untuk menguji keabsahan penetapan tersangka oleh penyidik KPK atas dirinya. Penolakan itu didasarkan pada alasan, bahwa hakim praperadilan pada pengadilan negeri yang bersangkutan tidak berwenang karena sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak diatur oleh Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Tindakan hakim seperti itu selaras dengan pemikiran positivisme hukum.
Bagi aliran positivisme hukum (hukum positif) perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam kaca mata positivis, tiada 2. Pertimbangan Hakim yang Seharusnya hukum lain kecuali perintah penguasa (law in dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/ a command of the law givers). Bahkan bagian PN.Jkt.Sel. dalam Upaya Memasukkan dari aliran tersebut yang dikenal dengan legisme Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang (Darmodihardjo sebagai Objek Gugatan Praperadilan & Sidharta, 2008, hal. 113-114). Positivisme Pada sub-bahasan sebelumnya telah hukum memahami hukum sebagai suatu norma dipaparkan, bahwa objek gugatan praperadilan yang telah dinyatakan sebagai hukum (as posited) telah diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal yang diakui di dalam sistem hukum tertentu 77 KUHAP. Kedua pasal itu tidak menyebutkan (Atmasasmita, 2012, hal. 12). dengan jelas dan tegas mengenai sah atau tidaknya Jadi, dengan bertumpu pada asas penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan. Hal itu berarti menunjukkan tidak legalitas dan pemikiran positivisme hukum, sempurnanya rumusan Pasal 1 angka 10 jo. maka pemeriksaan gugatan praperadilan harus Pasal 77 KUHAP. Dengan meminjam kalimat didasarkan pada ketentuan-ketentuan di dalam yang digunakan oleh Rahardjo (2009, hal. 14) KUHAP. Apabila alasan-alasan yang dijadikan berarti ada bagian, unsur, ciri yang tercecer, sebagai dasar pengajuan gugatan praperadilan yang tidak terkatakan dengan baik dan utuh di tidak diatur oleh KUHAP, maka hakim yang dalam rumusan kedua pasal tersebut. Dalam memeriksa dan mengadili gugatan dimaksud bahasa jawa, tercecernya bagian, unsur, ciri suatu harus menolaknya. Walaupun demikian gugatan rumusan pasal dalam perundangan-undangan praperadilan yang diajukan oleh BG dengan
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 183
| 183
10/1/2015 11:48:33 AM
alasan dimaksud, hakim tetap memeriksa dan terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan mengadilinya. Hal itu disebabkan di dalam Pasal perlakuan yang bersifat: 48 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang a. Tindakan paksa yang dibenarkan oleh Kekuasaan Kehakiman, hakim diwajibkan untuk undang-undang demi kepentingan menerima, memeriksa, dan mengadili setiap pemeriksaan tindak pidana yang perkara yang diajukan kepadanya. disangkakan kepada tersangka; Hasil pemeriksaan atas gugatan praperadilan b. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan yang diajukan oleh BG kemudian dituangkan oleh hukum dan undang-undang, dengan dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/ sendirinya merupakan perampasan PN.Jkt.Sel. Di dalam pertimbangannya, hakim kemerdekaan dan kebebasan serta telah memasukkan sah atau tidaknya penetapan pembatasan terhadap hak asasi tersangka. tersangka dengan menafsirkan frasa “tindakan lain” pada Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Apabila tindakan upaya paksa yang Sebagaimana telah dipaparkan pada sub-bahasan dikenakan oleh instansi penegak hukum sebelumnya, bahwa pertimbangan hakim tersebut merupakan pengurangan dan pembatasan tidak tepat karena Pasal 95 ayat (1) dan ayat kemerdekaan dan hak asasi tersangka, maka (2) KUHAP tidak ada kaitannya dengan objek tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung gugatan praperadilan, melainkan hanya memuat jawab menurut ketentuan hukum dan undangobjek tuntutan ganti kerugian. undang (due process of law). Apabila tindakan Pertanyaannya adalah: “Bagaimana pertimbangan hakim yang seharusnya pada Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dalam rangka memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan?” Menurut Harahap (2012, hal. 3), maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dengan pelembagaan praperadilan di dalam KUHAP, yaitu tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
upaya paksa dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang maka merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka dan merupakan tindakan tidak sah (ilegal) (Harahap, 2012, hal. 3-4).
Sesuai dengan Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, maka yang termasuk ke dalam objek gugatan praperadilan sebagai upaya paksa, yaitu penangkapan dan penahanan. Walaupun demikian, bukan berarti penetapan tersangka tidak dapat dimasukkan ke dalam objek gugatan praperadilan karena KUHAP juga mengakui objek Lebih lanjut Harahap (2012, hal. 3) lainnya selain upaya paksa, seperti penghentian mengatakan, bahwa demi untuk terlaksananya penyidikan. Di dalam praktik, dimungkinkan kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undangterjadi penetapan tersangka yang dilakukan undang memberi kewenangan kepada penyidik tidak berdasarkan pada undang-undang yang dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa berlaku. Penetapan tersangka tersebut dapat berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, dan disebut sebagai tindakan sewenang-wenang sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan yang melanggar hak asasi manusia. Dalam hal oleh pejabat penyidik atau penuntut umum demikian, maka pengujiannya harus dilakukan 184 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 184
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:34 AM
oleh lembaga praperadilan sesuai dengan tujuan b. pelembagaannya di dalam KUHAP. Apabila aturan mengenai objek gugatan praperadilan di dalam KUHAP dengan tegas tidak memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka, maka seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dengan tidak berdasarkan pada undang-undang yang berlaku berarti tidak dapat meminta lembaga praperadilan untuk menguji keabsahannya. Oleh karena itu, aturan mengenai objek gugatan praperadilan di dalam KUHAP dapat dikatakan tidak memberikan perlindungan hukum terhadap hak asasi tersangka, sehingga tidak sesuai dengan tujuan pelembagaan praperadilan itu sendiri. Pengaturan tentang objek gugatan praperadilan di dalam KUHAP tentu dimaksudkan agar dapat memberikan kepastian hukum. Kemudian apabila aturan di dalam KUHAP tidak adil berarti tidak ada kepastian hukum yang adil.
c.
Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia, terhadap diri sendiri, alam sekitar, dan Tuhan; Manusia sebagai mahluk beradab atau berbudaya yang memiliki daya cipta, rasa, karsa, dan keyakinan.
Sila kedua Pancasila pada prinsipnya menegaskan, bahwa kita memiliki Indonesia merdeka yang berada juga di lingkungan kekeluargaan bangsa-bangsa. Prinsip internasionalisme dan kebangsaan Indonesia adalah internasionalisme yang berakar di dalam buminya nasionalisme dan nasionalisme yang hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Dalam hal ini, hak asasi manusia akan dijunjung
tinggi. Kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari kemanusiaan universal, yang dituntut mengembangkan persaudaraan dunia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban (Pimpinan MPR dan Tim Kerja UUD NRI 1945 dengan jelas menentukan Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2014, hal. bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum 51). merupakan hak asasi manusia. Hal itu ditentukan Kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang rumusannya: “Setiap orang berhak atas yang didasarkan pada potensi akal budi dan hati pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian nurani manusia dalam hubungan dengan normahukum yang adil serta perlakuan yang sama di norma dan kesusilaan umun, baik terhadap diri hadapan hukum.” Ketentuan tersebut merupakan pribadi, sesama manusia maupun terhadap alam penjabaran lebih lanjut dari nilai kemanusiaan dan hewan. Kemanusiaan yang adil dan beradab yang tercantum pada sila kedua Pancasila yaitu adalah akhlak mulia yang dicerminkan dalam “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan Menurut Darmodiharjo & Sidharta (1996, kodrat, hakikat, dan martabat manusia. Potensi hal. 106), sila kedua Pancasila mengandung nilai kemanusiaan tersebut dimiliki oleh manusia, kemanusiaan antara lain: tanpa kecuali. Mereka harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sesuai a. Pengakuan terhadap harkat dan martabat dengan fitrahnya, sebagai makhluk Tuhan yang manusia dengan segala hak dan kewajiban mulia. Kemanusiaan yang adil dan beradab asasinya; diejawantahkan dalam impelementasi hak
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 185
| 185
10/1/2015 11:48:34 AM
dan kewajiban asasi manusia serta komitmen terhadap penegakan hukum (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2014, hal. 52).
persidangan, serta terciptanya kepastian hukum yang adil. Penyesuaian aturan tentang objek gugatan praperadilan di dalam KUHAP dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 merupakan upaya sinkronisasi perundang-undangan secara vertikal. Merujuk pada sila kedua Pancasila, Dengan aturan seperti itu, maka setiap tindakan maka seorang tersangka sebagai manusia aparat penegak hukum di dalam pemeriksaan harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai pendahuluan sebelum pemeriksaan pokok perkara kemanusiaan. Dalam hal ini, harkat dan martabat di persidangan, baik sebagai upaya paksa maupun seorang tersangka dengan segala hak dan bukan, yang tidak dilakukan berdasarkan undangkewajiban asasinya harus diakui dan dihormati. undang yang berlaku dapat diuji keabsahannya Selain itu, seorang tersangka sebagai manusia juga melalui lembaga praperadilan. harus diperlakukan secara adil di bidang hukum. Berkaitan dengan aturan tentang objek gugatan Berkaitan dengan pertimbangan hakim praperadilan, maka juga harus mencerminkan yang seharusnya dalam upaya memasukkan sah nilai-nilai kemanusian yang dimaksud dalam sila atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek kedua Pancasila. gugatan praperadilan di dalam putusannya, maka Sila kedua Pancasila tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD NRI 1945 yang selaras dengan prinsip HAM yang berlaku universal (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2014, hal. 55). Jadi, jelaslah bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan bagian dari ketentuan tentang hak asasi manusia yang dicantumkan di dalam Bab XI. Dengan demikian, aturan tentang objek gugatan praperadilan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 berarti juga bertentangan dengan nilai kemanusiaan sebagaimana dicantumkan pada sila kedua Pancasila. Apabila aturan tentang objek gugatan praperadilan di dalam KUHAP tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, maka perlu untuk disesuaikan agar tercipta suatu aturan yang memberikan perlindungan hukum terhadap setiap orang yang terkait dalam proses pidana, khususnya dalam pemeriksaan pendahuluan sebelum pemeriksaan pokok perkara di
186 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 186
menurut penulis cara berpikir aparat penegak hukum pidana (terutama hakim praperadilan) harus didasarkan pada pemikiran hukum progresif. Menurut Atmasasmita (2012, hal. 86), hukum progresif merupakan suatu teori di bidang hukum yang dikemukakan oleh Rahardjo. Teori tersebut berawal dari kegelisahan Rahardjo, bahwa setelah 60 tahun usia negara hukum, terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan yang lebih baik. Rahardjo mengatakan, bahwa hukum progresif memilih untuk membiarkan dirinya terbuka dan cair, sehingga selalu dapat menangkap dan mencerna perubahan yang terjadi (Gunawan & Ramadhan, 2012, hal. 5). Salah satu kata kunci dalam hukum progresif adalah hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum (Sidharta dalam Mahfud MD et.al., 2013, hal. 24). Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas. Setiap kali ada masalah di dalam hukum, maka hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:34 AM
untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum (Atmasasmita, 2012, hal. 89). Dalam proses penegakan hukum, maka hukum harus pro rakyat dan meletakkan keadilan di atas peraturan (undang-undang). Para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan teks peraturan (mobilitas hukum) apabila teks itu mencederai rasa keadilan rakyat (Sidharta dalam Mahfud MD et.al., 2013, hal. 24). Jadi, apabila KUHAP tidak mengatur mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan, maka hakim harus berani keluar dari ketentuan yang ada. Ketika hakim praperadilan melakukan itu maka dasar yang digunakan sebagai pertimbangan di dalam putusannya adalah KUHAP tidak pro rakyat dan tidak mencerminkan keadilan, khususnya bagi tersangka. Pengutamaan keadilan dalam menerobos hukum positif yang bersifat kaku itu berkaitan dengan tiga nilai dasar dalam hukum yang dikemukakan oleh Radbruch, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Radbruch mengatakan, bahwa di dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Ketiga aspek tersebut adalah keadilan, tujuan keadilan atau kemanfaatan (finalitas), dan kepastian hukum (legalitas) (Huijbers, 1982, hal. 163). Ketiga nilai dasar itu sangat sulit untuk disatukan, sehingga sering terjadi pertentangan. Dalam perkara gugatan praperadilan yang diajukan oleh BG melalui kuasa hukumnya itu telah menunjukkan terjadinya pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum. Dalam hal ini, maka Radbruch telah memberikan jalan keluarnya dengan mengatakan, apabila pertentangan antara
isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum yang terlihat tidak adil boleh dilepaskan (Huijbers, 1982, hal. 165). Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah dipahami, bahwa pertimbangan hakim yang seharusnya dalam Putusan Nomor 04/Pid. Prap/2015/PN.Jkt.Sel didasarkan pada alasan objek gugatan praperadilan di dalam KUHAP yang tidak memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan adalah tidak adil. Dikatakan tidak adil karena seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka yang tidak didasarkan pada undang-undang yang berlaku, tidak dapat mengajukan gugatan praperadilan. Oleh karena itu, hakim dalam memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan, pertimbangannya harus didasarkan pada nilai keadilan karena tidak diatur di dalam KUHAP. IV. KESIMPULAN Berdasarkan pada pembahasan masalah yang telah diuraikan di halaman sebelumnya, maka kesimpulannya adalah sebagai berikut: Pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan didasarkan pada alasan, yaitu penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan sehingga disebut upaya paksa. Setiap pengujian terhadap sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik adalah kewenangan lembaga praperadilan. Dasar hukum yang digunakan oleh hakim tersebut adalah Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini, hakim memasukkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 187
| 187
10/1/2015 11:48:34 AM
objek gugatan praperadilan karena dikategorikan Darmodihardjo, D., & Sidharta. (1996). Penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam sistem hukum sebagai bentuk tindakan lain dari upaya paksa Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. yang dimaksud pada Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. ____________. (2008). Pokok-pokok filsafat hukum
(Apa & bagaimana filsafat hukum Indonesia). Pertimbangan hakim yang seharusnya Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. dalam Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt. Sel didasarkan pada nilai keadilan. Dengan dasar Effendi, L. (2004). Pokok-pokok hukum administrasi. keadilan maka aturan tentang objek gugatan Malang: Bayumedia Publishing. praperadilan di dalam KUHAP yang tidak Gunawan, A., et.al. (2014). Indeks negara hukum mencakup masalah sah atau tidaknya penetapan Indonesia 2013. Jakarta: Indonesia Legal tersangka harus ditinggalkan. Oleh karena itu, Roundtable. demi wewujudkan keadilan maka sah atau tidaknya penetapan tersangka harus dimasukkan Hamzah, A. (2014). Hukum acara pidana. Jakarta: Sinar Grafika. sebagai objek gugatan praperadilan, walaupun tidak diatur secara tegas di dalam KUHAP. Dengan Hamzah, A., & Surachman, R. M. (2015). Pre-trial pertimbangan tersebut, maka hak asasi tersangka justice & discretionary justice dalam KUHAP dalam proses pidana benar-benar terlindungi, berbagai negara. Jakarta: Sinar Grafika. sehingga tujuan dari pelembagaan praperadilan Harahap, M. Y. (2012). Pembahasan permasalahan & di dalam KUHAP dapat juga tercapai. penerapan KUHAP: Penyidikan & penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. ____________. (2012). Pembahasan permasalahan & penerapan KUHAP (Pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi & peninjauan DAFTAR ACUAN Asshiddiqie,
J.
Gagasan
(2011, negara
kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
November hukum
22-24). Indonesia.
Makalah Disampaikan dalam Forum Dialog Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional yang Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta.
pilar demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika.
teori
hukum
pembangunan & teori hukum progresif. Yogyakarta: Genta Publishing.
188 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 188
Huijbers, T. (1982). Filsafat hukum dalam lintas sejarah. Yogyakarta: Kanisius. Ibrahim, J. (2006). Teori & metode penelitian hukum
Lamintang, P. A. F., & Lamintang, T. (2010). Pembahasan
Atmasasmita, R. (2012). Teori hukum integratif: terhadap
Rajawali Pers.
normatif. Malang: Bayumedia.
___________. (2012). Hukum tata negara & pilar-
Rekonstruksi
HR, R. (2011). Hukum administrasi negara. Jakarta:
KUHAP
menurut
ilmu
pengetahuan hukum pidana & yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika. Marzuki, P. M. (2011). Penelitian hukum. Jakarta: Kencana.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 167 - 189
10/1/2015 11:48:34 AM
Muntoha. (2009). Demokrasi & negara hukum. Jurnal Hukum, 16(3) Juli 2009, 379-395. Novianti.
(2015).
praperadilan
Wijayanta, T., & Firmansyah, H. (2011). Perbedaan pendapat
Implikasi
hukum
putusan
penetapan
tersangka
dalam
putusan
pengadilan.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Budi
Gunawan. Info Singkat Hukum: Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual & Strategis, Vol. VII, No. 04/II/P3DI/Februari 2015. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. (2014). Empat pilar kehidupan berbangsa & bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. Qamar, N. (2013). Hak asasi manusia dalam negara hukum demokrasi (Human rights in democratiche rechsstaat). Jakarta: Sinar Grafika. Rahardjo, S. (2009). Hukum & perilaku: Hidup baik adalah dasar hukum yang baik. Jakarta: Kompas. ___________. Hukum progresif sebagai dasar pengembangan ilmu hukum Indonesia, dalam Gunawan, B. S. A., & Ramadhan, M. (2012). Menggagas
hukum
progesif
Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sidharta.
Pendekatan
hukum
progresif
dalam
mencairkan kebekuan produk legislasi, dalam Mahfud MD, M., et.al. (2013). Dekonstruksi dan gerakan pemikiran hukum progesif. Yogyakarta: Thafa Media. Simangunsong, M. (2006). Analisis yuridis penerapan konsep negara hukum dalam mewujudkan pemerintahan yang adil & bertanggung jawab (Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen). Medan: Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nommensen. Soekanto, S., & Mamudji, S. (2011). Penelitian hukum normatif (Suatu tinjauan singkat). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan (Ramiyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 189
| 189
10/1/2015 11:48:34 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 190
10/1/2015 11:48:34 AM
PELENTURAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 PK/Pid/2009
LEGAL FLEXIBILITY IN A PETITION OF CASE REVIEW BY PUBLIC PROSECUTOR An Analysis of Supreme Court Decision Number 57 PK/Pid/2009 Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Jakarta Pusat 10510 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 24 Juni 2015; revisi: 20 Agustus 2015; disetujui: 21 Agustus 2015 ABSTRAK Secara eksplisit Pasal 263 KUHAP tidak memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Berdasarkan pasal tersebut, MahkamahAgung dalam putusannya menyatakan tidak dapat menerima upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dengan mendasarkan pada nilai kepastian hukum, namun dalam putusannya yang lain menyatakan dapat menerima peninjauan kembali dari jaksa penuntut umum dengan mendasarkan pada nilai keadilan sehingga menyeimbangkan hak terpidana dengan korban/negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum. Berbeda halnya dengan Putusan Nomor 57 PK/Pid/2009, Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan Pasal 263 KUHAP dapat dilenturkan apabila ada hal yang dapat menyatakan bilamana bahwa permohonan peninjauan kembali jaksa/penuntut umum tersebut untuk melindungi suatu kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar. Atas upaya pelenturan hukum yang demikian, Mahkamah Agung pada hakikatnya telah melakukan penciptaan hukum yang berorientasi pada kemanfaatan hukum yang notabene dalam konteks tertentu mengesampingkan kepastian hukum. Kata kunci: peninjauan kembali, jaksa penuntut umum,
pelenturan hukum. ABSTRACT It is expressly stated on Article 263 of Criminal Procedure Law that a public prosecutor is not entitled to file an Extraordinary Request for Review Petition. Referring to the article, the Supreme Court in its judgment approves that a public prosecutor shall not be legalized to file an Extraordinary Request for Review Petition petition by basing on the outset of legal certainty; however in other judgments, the Supreme Court may accept the request so long as justice serves as the basis to keep the right of the convict with the victim/state represented by public prosecutor in balance. Contrasting with the Court Decision Number 57/PK/Pid/2009, the Supreme Court views that the stipulation in Article 263 of Criminal Procedure Law may be flexible in a certain condition where the Extraordinary Request for Review Petition is filed for the sake of the public and the state urgency. Accordingly, such flexible law implies that the Supreme Court is eventually considered to have taken legal measure that law is oriented to the principle of merit, which incidentally in certain contexts should override legal certainty. Keywords: extraordinary request for review petition, public prosecutor, legal flexibility.
Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 191
| 191
10/1/2015 11:48:34 AM
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peninjauan Kembali (PK) atau herziening telah lama dikenal, yaitu setidak-tidaknya telah ada sejak tahun 1848 dengan diundangkannya Reglement op de Strafvordering (Sofyan & Asis, 2014, hal. 289). Adapun tujuan yang terutama dari lembaga PK adalah agar kesalahan atau kelalaian yang mungkin telah dilakukan oleh para hakim dalam memeriksa dan mengadili orang-orang yang didakwa telah melakukan tindak pidana itu dapat diperbaiki oleh Mahkamah Agung (Lamintang & Lamintang, 2010, hal. 528). PK putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) merupakan upaya hukum luar biasa yang berbeda dengan upaya hukum biasa (Harahap, 2009, hal. 607).
Dalam putusan lainnya, Mahkamah Agung telah membuka pihak lain selain terpidana dan ahli warisnya, yaitu JPU. Permohonan PK yang diajukan oleh JPU diterima. Sebagaimana Putusan Nomor 55 PK/Pid/1996, Putusan Nomor 3 PK/Pid/2001, Putusan Nomor 15 PK/Pid/2006, Putusan Nomor 109 PK/Pid/2007, Putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009, dll. Dalam konteks diterimanya JPU dapat mengajukan PK dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut, alasan dasarnya adalah untuk memberikan dan mewujudkan keadilan bagi pihak korban, masyarakat/kepentingan umum, atau negara (Kuffal, 2002, hal. 140). Dari kedua jenis putusan diterima dan tidak dapat diterimanya PK yang diajukan oleh JPU tersebut di atas yang notabene berlandaskan pada nilai kepastian hukum dan keadilan, ternyata Mahkamah Agung dalam putusannya yang lain yaitu Putusan Nomor 57 PK/Pid/2009 berupaya menciptakan pelenturan hukum di antara keduanya. Dengan menyatakan:
Berdasarkan aspek luar biasanya tersebut maka PK diatur secara khusus dalam Bab XVIII KUHAP (Hamzah, 2011, hal. 339-342). Sebagai upaya hukum yang luar biasa, PK diatur secara sangat limitatif (Simanjuntak, 2012, hal. 308). Dari segi subjek pemohon PK misalnya, secara eksplisit Pasal 263 KUHAP hanya mengatur terpidana atau ahli warisnya saja yang dapat mengajukan PK kepada Mahkamah Agung. Penuntut umum tidak diperkenankan untuk melakukan PK (Effendi, 2014, hal. 196). Dalam konteks legal formal inilah maka Mahkamah Agung memutuskan dan menyatakan tidak dapat menerima permohonan PK dari jaksa penuntut umum (JPU), sebagaimana Putusan Nomor 84 PK/Pid/2006. Adapun nilai yang ingin diwujudkan dengan diputuskan tidak dapat diterimanya PK dari JPU tersebut adalah kepastian hukum dan pembatasan kekuasaan negara agar tidak sewenang-wenang (Chazawi, 2010, hal. 13).
192 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 192
Bahwa Pasal 263 KUHAP pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau oleh ahli warisnya. Namun Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan tersebut dapat “dilenturkan” apabila ada hal yang dapat menyatakan bilamana bahwa permohonan peninjauan kembali jaksa/ penuntut umum tersebut untuk melindungi suatu kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar; Bahwa di dalam perkara a quo ternyata jaksa/penuntut umum tidak dapat menunjukkan adanya kepentingan umum atau kepentingan negara yang harus dilindungi; Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Utara tersebut tidak dapat dibenarkan, karena selain tidak Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 191 - 207
10/1/2015 11:48:34 AM
memenuhi ketentuan Pasal 263 KUHAP kedudukan hukum pengajuan PK dari JPU, juga tidak adanya kepentingan negara dan ternyata masih terdapat satu bentuk penafsiran kepentingan umum yang harus dilindungi. hukum pada putusan majelis hakim PK terkait Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, diterima atau tidak diterimanya permintaan majelis hakim PK memutuskan dan menyatakan PK dari JPU, yaitu didasarkan pada perspektif permohonan PK dari JPU tidak dapat diterima. kemanfaatan hukum (Suhariyanto, 2012, hal. 302). Sebelumnya Putusan Nomor 140/Pid/B/2007/ Dengan demikian menunjukkan bahwa keadilan PN.Jkt.Ut menyatakan terdakwa R terbukti atau kemanfaatan hukum sebagai pandangan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan sociological jurisprudence diposisikan di atas tindak pidana penipuan secara bersama-sama kepastian hukum sebagai pandangan analitycal sehingga dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) jurisprudence atau yuridis normatif di dalam tahun 8 (delapan) bulan. Selanjutnya di tingkat penyelesaian berbagai perkara (Effendy, 2012, banding (Putusan Nomor 230/PID/2007/PT.DKI) hal. 39). Oleh karenanya upaya pelenturan hukum menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. dalam putusan PK yang diajukan JPU tersebut Kemudian di tingkat kasasi (Putusan Nomor 123 menarik untuk dikaji dan diteliti. K/Pid/2008) memutuskan membatalkan putusan tingkat banding yang menguatkan putusan tingkat pertama dan mengadili sendiri dengan menyatakan terdakwa R tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu dan dalam alternatif kedua dan membebaskan oleh karena itu, terdakwa dari dakwaan-dakwaan tersebut. Atas putusan tersebut, JPU mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung. Namun akhirnya permohonan PK dari JPU tersebut diputus dan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan pertimbangan putusan tersebut yang menyatakan “dilenturkan”-nya Pasal 263 KUHAP atas dasar PK dari JPU adalah untuk “melindungi suatu kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar” maka senyatanya Mahkamah Agung telah melakukan upaya pembentukan hukum melalui pelenturan hukum dengan memberikan syarat atas diterima dan tidak dapat diterimanya JPU mengajukan PK. Selain dari perspektif kepastian hukum dan keadilan dalam penafsiran hukum terhadap
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan ketiga jenis paradigma putusan PK yang diajukan JPU sebagaimana dijelaskan di atas maka patut dipermasalahkan dan identifikasi suatu rumusan masalah utama yaitu bagaimanakah penafsiran hakim tentang pelenturan hukum dalam putusan PK yang diajukan oleh JPU? C.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari kajian putusan tentang pelenturan hukum dalam putusan PK yang diajukan oleh JPU ini adalah untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis putusanputusan Mahkamah Agung yang terkait dengan PK yang diajukan oleh JPU khususnya yang mengandung pembentukan hukum a quo pelenturan hukum. Adapun kegunaan/manfaat yang ingin diperoleh di antaranya: 1) Secara teoritis, untuk pengembangan ilmu hukum khususnya hukum acara pidana Indonesia; dan 2) Secara praktis, untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi penegak hukum khususnya
Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 193
| 193
10/1/2015 11:48:34 AM
JPU dan hakim serta pembentuk undang-undang tata cara praktik litigasi (litigation procedure and (revisi KUHAP). practice) dalam rangka kekuasaan mengadili (judicial power). Kekuasaan mengadili berhubungan erat dengan proses penegakan D. Studi Pustaka hukum (law enforcement) (Fachmi, 2011, hal. Pada dasarnya tidak ada hukum atau 36). Maka dari itu peran hakim yang besar dalam perundang-undangan yang sangat lengkap. mengisi kekosongan hukum ini harus diimbangi Peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, dengan pengetahuan dan kemampuan hukum yang tidak lengkap harus dilengkapi dengan jalan serta perasaan keadilan hakim yang terbingkai menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dalam sebuah kreativitas penegakan hukum. dapat diterapkan terhadap peristiwanya (Sutiyoso, Kreativitas dalam konteks penegakan 2012, hal. 50-51). Jika tidak dilakukan upaya penemuan hukum maka akan terjadi kekosongan hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi hukum. Kekosongan hukum yang terjadi akibat ketertinggalan dan ketimpangan hukum, juga tidak sempurnanya undang-undang tersebut akan dimaksudkan untuk membuat terobosandapat berubah menjadi kekacauan (Ansyahrul, terobosan hukum dan jika diperlukan juga dilakukan rule-breaking (Syamsudin, 2012, hal. 2011, hal. 134) 230). Termasuk di antaranya selain menjelaskan Pembentukan hukum adalah apa yang dan melengkapi suatu norma, juga dimungkinkan dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya menciptakan dan melenturkan hukum. Pelenturan adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, hukum yang dimaksud adalah memutuskan atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan hukum terhadap suatu perkara secara berbeda untuk penerapan peraturan hukum umum pada dengan undang-undang dengan cara memberikan peristiwa konkret (Mertokusumo, 2014, hal. 49). syarat atau kualifikasi unsur tambahan sesuai Dalam melakukan usaha pencapaian terhadap konteks perkembangan keadilan di masyarakat nilai-nilai keadilan, hakim diberikan keleluasaan dengan menggunakan metode penafsiran hukum untuk melakukan penafsiran-penafsiran, tertentu. penemuan-penemuan hukum bahkan menurut Secara fungsional, hakim bebas aliran progresif hakim dimungkinkan untuk melakukan penciptaan hukum jika kenyataan menentukan metode interpretasi atau konstruksi telah mengharuskan itu (Witanto & Kutawaringin, hukum yang bagaimanakah yang dianggap 2013, hal. 26). Dalam konteks yang demikian, paling tepat, meyakinkan dan memuaskan. muncul pemikiran yang berpendapat bahwa adil Hakim dalam hal ini bersikap otonom dalam tidaknya suatu undang-undang berada di pundak menentukan pilihannya (Rifai, 2011, hal. 91-92). Dalam konteks kebebasan penafsiran hukum hakim (Kamil, 2012, hal. 211). yang dimiliki oleh hakim, sangat dimungkinkan Sehubungan dengan tugas dan fungsi dengan mengatasnamakan kebebasan tersebut, lembaga peradilan bukan semata-mata hanya hakim dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan sebagai court administration, namun juga sebagai bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah administration of justice yang mencakup proses hal ini harus diciptakan batasan-batasan tertentu penanganan perkara (cashflow management) dan tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sabagai 194 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 194
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 191 - 207
10/1/2015 11:48:34 AM
hakikat kekuasaan kehakiman (Renggong, 2014, hal. 225). Menurut Bagir Manan, setidaknya terdapat beberapa batasan penafsiran hakim, di 6. antaranya: 1.
Dalam hal kata atau kata-kata dan susunan kaidah sudah jelas, hakim wajib menerapkan undang-undang menurut bunyi dan susunan kaidah kecuali didapati hal-hal seperti inkonsistensi, pertentangan 7. atau ketentuan tidak dapat menjangkau peristiwa hukum yang sedang diadili, atau dapat menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan tujuan hukum, atau bertentangan dengan ketertiban umum, bertentangan dengan keyakinan yang hidup dalam masyarakat, kesusilaan atau II. kepentingan umum yang lebih besar;
2.
Wajib memperhatikan maksud dan tujuan pembentuk undang-undang, kecuali maksud dan tujuan sudah usang, terlalu sempit sehingga perlu ada penafsiran yang lebih longgar;
3.
Penafsiran semata-mata demi memberi kepuasan kepada pencari keadilan. Kepentingan masyarakat diperhatikan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan pencari keadilan;
4.
5.
ketertiban hukum, kemaslahatan hukum, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum; Dalam penafsiran, hakim dapat mempergunakan ajaran hukum sepanjang ajaran tersebut relevan dengan persoalan hukum yang akan diselesaikan dan tidak merugikan kepentingan pencari keadilan; dan Penafsiran harus bersifat progresif yaitu berorientasi ke masa depan (future oriented), tidak menarik mundur keadaan di masa lalu yang bertentangan dengan keadaan yang hidup dan perkembangan hukum (Idris et al., 2012, hal. 86-87). METODE
Pengkajian putusan tentang pelenturan hukum dalam putusan PK yang diajukan oleh JPU ini, menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Adapun sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta bahan hukum sekunder berupa literatur dan hasil penelitian.
Data tersebut dikumpulkan melalui metode Penafsiran semata-mata dilakukan dalam sistematis dan dicatat dalam kartu antara lain rangka aktualisasi penerapan undangpermasalahannya, asas-asas, argumentasi, undang bukan untuk mengubah undangimplementasi yang ditempuh, alternatif undang; pemecahannya, dan lain sebagainya. Data yang Mengingat hakim hanya memutus menurut telah dikumpulkan kemudian dideskripsikan dan hukum, maka penafsiran harus mengikuti diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan metode penafsiran menurut hukum dan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan memperhatikan asas-asas hukum umum, diberikan argumentasi. Metode analisis yang
Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 195
| 195
10/1/2015 11:48:34 AM
diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif.
negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Majelis hakim PK dalam Putusan Nomor A. Eksistensi Putusan Mahkamah Agung 84 PK/Pid/2006 ini berpendapat bahwa KUHAP yang Tidak Dapat Menerima PK dari telah menentukan secara limitatif tentang pihakpihak yang dapat mengajukan permohonan PK JPU Berdasar Kepastian Hukum kepada Mahkamah Agung. Pihak yang disebutkan Secara positivis, Pasal 263 KUHAP dalam pasal tersebut adalah terpidana atau ahli hanya menyebutkan dua pihak saja yang dapat warisnya, sementara JPU tidak disebutkan. mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Dapat dimaknai bahwa kepentingan dasar Agung yaitu terpidana atau ahli warisnya. Selain dari keduanya tidak berwenang mengajukan PK, yang dilindungi adalah kepentingan hukum dari termasuk JPU. Jika terdapat pengajuan PK dari terpidana atau ahli warisnya, sehingga apabila JPU maka harus dinyatakan tidak dapat diterima. JPU mengajukan PK baik atas dasar kepentingan Hal inilah yang dijadikan acuan dasar oleh hukumnya yang mewakili negara atau kepentingan Mahkamah Agung melalui salah satu putusannya umum atau juga korban terhadap putusan yang Nomor 84 PK/Pid/2006 untuk memutuskan berkekuatan hukum tetap yang membebaskan tidak dapat menerima PK yang diajukan oleh dan lepas dari segala tuntutan hukum, maka JPU. Adapun pertimbangan hukum dari putusan ditinjau dari perspektif legal formal dinilai telah menyimpangi atau melanggar. tersebut antara lain: Disebutkan pula dalam pertimbangan hukum putusan di atas bahwa langkah JPU mengajukan PK merupakan suatu kesalahan penerapan hukum. Dalam konteks ini telah jelas terjadi pelanggaran terhadap norma hukum acara pidana yang notabene tidak dapat ditafsirkan dan disimpangi selain daripada yang terumuskan dalam KUHAP. Ditegaskan pula bahwa pelanggaran terhadap hukum acara pidana akan berakibat pada tercerabutnya kepastian hukum. Selanjutnya ketika kepentingan hukum dalam hukum acara pidana terlanggar maka keadilan pun akan tercerabut juga secara formal (keadilan formal).
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung;
Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitatif bahwa yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauan kembali. Dengan adanya ketentuan yang tegas dan limitatif tersebut, tidak diperlukan lagi ketentuan khusus, yang mengatur bahwa yang bukan terpidana Apalagi jika diinsafi bahwa sendi dasar atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauan kembali; negara Indonesia yang merupakan negara hukum. Bahwa “due proses of law” tersebut Ketergangguan terhadap asas kepastian hukum berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan akan berdampak pada eksistensi dari unsur-
196 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 196
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 191 - 207
10/1/2015 11:48:34 AM
unsur negara hukum Indonesia. Pada asasnya hukum dibentuk bukan hanya untuk kepentingan penguasa, tetapi untuk kepentingan perlindungan rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa/ negara. Tidak dibenarkan negara bertindak menerobos hukum yang telah dibentuknya. Apalagi menerobos dan melanggar hukum acara pidana. Jangankan melanggar hukum acara, pelanggaran terhadap hukum materiil saja sudah dinilai kesewenang-wenangan penguasa/negara. Misalnya menghukum warga negaranya tanpa ada aturan tentang perbuatan yang dilanggar tersebut dalam suatu perundang-undangan terlebih dahulu sebagaimana asas legalitas dalam KUHP. Pada hakikatnya asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari ide/nilai dasar kepastian hukum. Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP asas ini ditampung keberadaannya. Tidak dapat dibenarkan aparat penegak hukum yang mewakili negara menyampingkan asas legalitas yang berporoskan kepastian hukum sehingga melakukan penghukuman atau pemidanaan yang notabene secara materiil tidak ada aturannya sama sekali dalam hukum pidana materiilnya.
kecepatan larinya, maka tidaklah mungkin wasit tersebut akan memberikan putusan agar pemain yang bertubuh pendek-pendek di salah satu tim tersebut ditambahkan jadi 12 (dua belas) orang. Penambahan atas orang atau pihak tersebut adalah pelanggaran serius yang dilakukan oleh wasit jika itu dilakukan dan bisa jadi permainan ini bukanlah sepak bola lagi tentunya, karena tidak sesuai dengan mekanisme dan aturan standar bersepak bola. Sesuai dengan tujuan pengaturan tentang cara pelaksanaan peradilan pidana berdasarkan KUHAP yaitu perlindungan atas harkat dan martabat manusia, atau yang lebih dikenal dengan pelanggaran hak asasi manusia, maka jika terjadi pelanggaran terhadap KUHAP oleh aparat penegak hukum secara qonditio sine quanon tercerabutlah hak asasi manusia yang terdapat dan menyatu dalam rumusan pasal KUHAP. Termasuk di antaranya tercerabutnya hak asasi manusia terpidana atau ahli warisnya saat JPU diterima sebagai pihak yang berwenang mengajukan PK hingga muncul putusan yang tidak menguntungkan terpidana atau ahli warisnya. Bisa jadi setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, pihak terpidana atau ahli warisnya belum bisa tenang dan aman karena akan selalu terbayangi ketakutan dan waswas bilamana JPU mengajukan PK. Kondisi di mana rakyat a quo terpidana atau ahli warisnya mengalami kondisi demikian maka sesungguhnya telah terjadi pencabutan hak asasi manusia atas proses hukum yang berkepastian dan memiliki akhir. Sebagaimana dikenal dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya.
Apalagi jika terkait dengan pelanggaran atau penerobosan terhadap mekanisme peradilan pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP yang notabene adalah hukum pidana formal. Pada dasarnya hukum pidana formal yang notabene merupakan mekanisme atau prosedur peradilan yang harus diikuti dan ditaati baik oleh para pihak maupun oleh para hakim. Sebagaimana diibaratkan permainan sepak bola yang mengharuskan jumlah pemain di antara kedua tim yang berlawanan adalah 11 (sebelas) orang, maka meskipun menurut wasit atau pengatur pertandingan, tinggi Persoalan lain juga akan muncul tentang badan dari kedua tim berbeda jauh sehingga tidak potensi penyalahgunaan wewenang atau dalam seimbang dalam hal penguasaan bola atas dan Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 197
| 197
10/1/2015 11:48:34 AM
arti lain dikatakan juga sebagai upaya politisasi hukum oleh penguasa. Sebagaimana JPU yang berada di bawah kekuasaan eksekutif maka hal tersebut dapat dimungkinkan terjadi. Dalam konteks ini ruang ketidakberdayaan rakyat atas potensi kesewenang-wenangan penguasa akan semakin terbuka dan tirani akan terjadi, akibat tidak terjaganya kepastian hukum dalam 2. penegakan hukum acara. B.
Kontroversi Putusan Mahkamah Agung Menerima PK dari JPU Berdasar Keadilan
Berkaitan dengan permohonan PK yang diajukan oleh JPU, meskipun normanya tidak menyatakan secara eksplisit bahwa JPU atau pihak lain selain terpidana atau ahli warisnya berwenang mengajukan PK, namun secara implisit menurut penafsiran beberapa putusan Mahkamah Agung dinyatakan bahwa JPU dapat diterima jika mengajukan PK. Awal putusan PK yang menerima pengajuan PK yang diajukan oleh JPU adalah dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 55/PK/Pid/1996. Adapun dasar pertimbangan hukum dari diterimanya PK dari JPU menurut Putusan Nomor 55/PK/Pid/1996 yaitu: Belum adanya pengaturan yang tegas dalam 3. KUHAP mengenai hak jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali, memerlukan suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak jaksa penuntut umum/kejaksaan mengajukan peninjauan kembali yang tersirat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Selanjutnya berikut ini kami mengutip beberapa ketentuan undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi jaksa penuntut umum/kejaksaan di dalam mengajukan permintaan peninjauan kembali dimaksud itu: 1.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970: “Apabila terdapat hal-hal atau keadaankeadaan yang ditentukan dengan undang-
198 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 198
undang, terhadap putusan pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.” Siapa yang dimaksudkan sebagai yang berkepentingan dalam proses penyelesaian dalam perkara pidana? ialah tiada lain adalah jaksa penuntut umum di satu pihak dan terpidana di pihak lainnya. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan: ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” Walaupun di dalam ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas menyatakan bahwa jaksa penuntut umum/kejaksaan berhak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas ketentuan pasal ini tidak melarang jaksa penuntut umum/kejaksaan untuk melaksanakan hal tersebut. Adalah wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan tersebut (putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum) adalah menjadi hak jaksa penuntut umum/kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan, sepanjang terdapat dasar atau alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menyatakan: “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Memperhatikan ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP ini tentunya tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan menggunakan ketentuan pasal ini sebagai dasar untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali, mengingat tidak akan menguntungkan bagi dirinya.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 191 - 207
10/1/2015 11:48:34 AM
Kalau memang perumusan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah untuk terpidana atau ahli warisnya, sebenarnya sudah cukup tertampung oleh ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf c. Jelas nampak bahwa pengaturannya berlebihan. Dengan demikian menjadi pertanyaan mengapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri, dan untuk siapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri dan untuk siapa ketentuan pasal ini dibuat/disisipkan pengaturannya? Jawaban yang paling tepat, tiada lain kecuali untuk jaksa penuntut umum sebagai pihak yang berkepentingan (di luar terpidana dan ahli warisnya). Kesimpulan ini diperkuat oleh pendapat DR. Andi Hamzah, S.H. Dalam bukunya “Upaya Hukum dalam Perkara Pidana” yang menyatakan bahwa adalah kurang adil apabila dalam keputusan itu jaksa penuntut umum/kejaksaan tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali. Lagi pula di dalam peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum KUHAP) yaitu di dalam Reglement op de dtraf vordering dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1969 serta Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1980, terdapat ketentuan bahwa yang harus mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah Jaksa Agung, terpidana atau pihak yang berkepentingan. Dapat diyakini bahwa pemikiran yang terkandung dalam perundang-undangan lama tersebut tetap menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan ketentuan-ketentuan KUHAP, sehingga seyogianya apabila permintaan peninjauan kembali dapat pula diajukan oleh jaksa penuntut umum/kejaksaan.
jaksa/penuntut umum sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah dari Kejaksaan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Jaksa Agung RI, Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali ini selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil, lagi pula mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara ini masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidak pastian hukum, maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini ingin menciptakan hukum acara sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa/penuntut umum tersebut dengan menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali jaksa penuntut umum secara formal dapat diterima, sehingga dapat diperiksa apakah pihak yang mohon peninjauan kembali dapat membuktikan apakah putusan bebas tersebut sudah tepat dan adil.
Berdasarkan pertimbangan hukum dari putusan Mahkamah Agung di atas dalam menerima permintaan PK dari JPU, majelis hakim PK secara cermat menilai bahwa secara tersirat KUHAP mengakomodir JPU dapat mengajukan PK. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” Yang berarti bahwa Menimbang, bahwa oleh karena itu berdasarkan putusan pengadilan yang bukan putusan bebas hal-hal dan landasan-landasan hukum yang atau lepas dari tuntutan hukum dapat diajukan dipertimbangkan di atas, dan berdasarkan asas permohonan PK oleh terpidana atau ahli warisnya, legalitas dan dalam rangka menerapkan asas keseimbangan antara hak asasi dari termohon sedang putusan bebas atau lepas dari segala peninjauan kembali sebagai perseorangan tuntutan hukum tidak dengan tegas ditentukan atau sebagai manusia seutuhnya berwujud kepentingan perseorangan atau golongan atau tidak diatur, dengan perkataan lain tidak ada tertentu sebagai satu pihak dan kepentingan larangan untuk dimintakan peninjauan kembali umum, bangsa, dan masyarakat luas termasuk oleh jaksa/penuntut umum. kepentingan “Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia” sebagai kepentingan Tidak adanya larangan dan tidak masyarakat Indonesia seluruhnya pada pihak lainnya yang dalam perkara ini diwakili oleh diaturnya JPU untuk PK ini telah membuat
Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 199
| 199
10/1/2015 11:48:34 AM
pintu masuk bagi JPU diperkenankan untuk mengajukan PK. Apalagi majelis hakim PK ini juga mengkomparasikan dan menafsir secara sistematis dengan menggunakan acuan dari Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya mengatur mengenai pihakpihak yang berkepentingan dapat mengajukan PK, dan tentu jika dalam konteks pidana selain terpidana atau ahli warisnya, pihak lain itu adalah JPU yang mewakili kepentingan umum/negara a quo korban tindak pidana. Selain dari perspektif normatif di atas, majelis PK juga menegaskan dari optik filosofis bahwa kepentingan yang diusung oleh JPU dalam PK adalah semata mewakili korban a quo kepentingan umum/negara. Diperkenankannya JPU untuk PK ditujukan untuk terciptanya “keseimbangan” hak di antara dua pihak yaitu terpidana dengan JPU.
yurisprudensi (pembentukan hukum). Langkah ini sama dengan putusan Mahkamah Agung yang menerima kasasi putusan bebas (sebagaimana diatur Pasal 244 KUHAP) yang notabene ditafsir oleh Mahkamah Agung terdapat pemilahan antara bebas murni dengan bebas tidak murni. Tafsir Mahkamah Agung berpendapat bahwa terhadap putusan bebas murni tidak dapat kasasi, namun untuk bebas tidak murni dapat dinyatakan diterima kasasinya. Selanjutnya baik putusan diterimanya PK dari JPU dan kasasi putusan bebas tidak murni ini di kemudian hari diikuti oleh putusan hakim sampai sekarang.
Setelah adanya Putusan MA Nomor 55/PK/Pid/1996, terdapat beberapa putusan tersebut lain yang berpendapat sama bahwa PK dari JPU dapat diterima di antaranya: Putusan Nomor 3 PK/Pid/2001, Putusan Nomor 15 PK/ Pid/2006, Putusan Nomor 109 PK/Pid/2007, Putusan Nomor 12PK/Pid.Sus/2009, dll. Dari putusan-putusan yang menerima JPU dapat Ukuran keseimbangan ini menjadi landasan mengajukan PK tersebut, senyatanya mengikuti keadilan yang hendak diwujudkan oleh putusan pertimbangan hukum dari Putusan Nomor 55/ tersebut. Bahwa dengan tidak seimbangnya hak PK/Pid/1996. Dalam konteks ini tertegaskan dan kewenangan untuk mengajukan PK yang bahwa putusan hakim adalah hukum. Sehingga sebelumnya hanya terpidana saja dinilai tidak adil putusan yang mengandung pembentukan hukum, dan cenderung terdapat keberpihakan. Padahal bagi hakim dapat diikuti meskipun tidak sesuai di hadapan hukum dan peradilan secara asasi secara eksplisit dengan norma atau peraturan kemanusiaan harus diperlakukan sama termasuk perundang-undangan yang ada. dalam konteks bargaining position para pihak untuk mengajukan upaya hukum luar biasa PK. Jika dibandingkan dengan putusan-putusan Oleh karenanya dinilai sangat tepat bila JPU juga Mahkamah Agung yang menyatakan tidak diberikan hak yang sama dengan terpidana untuk menerima PK dari JPU didasarkan atas sifat mengajukan PK. limitatif dari Pasal 263 KUHAP serta bervisi Ditinjau dari perspektif penemuan hukum, putusan yang secara tegas menerima PK dari JPU ini senyatanya melakukan penciptaan hukum dengan asumsi dasar bahwa di masa yang akan datang hal ini dapat berfungsi sebagai
200 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 200
kepastian hukum (sebagaimana diuraikan dalam subbab sebelumnya) senyatanya menimbulkan kontroversi. Di satu sisi Mahkamah Agung menerima dengan perspektif keadilan, namun di sisi lain putusan Mahkamah Agung menyatakan tidak dapat menerima PK dari JPU dengan Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 191 - 207
10/1/2015 11:48:34 AM
perspektif kepastian hukum. Atas perbedaan putusan tersebut (disparitas) dan bahkan dalam optik penafsiran hukum dapat dikatakan saling berseberangan atau bertentangan ini menimbulkan polemik juga di kalangan ahli hukum maupun masyarakat luas. Dengan demikian tidak terhindarkan pro dan kontra terkait PK dari JPU.
menggunakan doktrin lex posteriori derogat legi priori. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 16/PUU-VI/2008 menolak permohonan dari Pollycarpus tersebut. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:
Adanya putusan-putusan Mahkamah Agung Puncak dari pro kontra terkait PK dari JPU yang menerima permohonan PK yang diajukan jaksa/penuntut umum berdasarkan ini sampai pada Mahkamah Konstitusi. Adalah tafsir yang luas atas frasa “pihak-pihak Pollycarpus sebagai pemohon judicial review yang bersangkutan,” dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 atas Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 dengan mengesampingkan Pasal 263 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun menyatakan “terhadap putusan pengadilan yang 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menentukan secara limitatif siapa yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, berhak mengajukan PK dalam perkara pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan pidana, adalah menyangkut penerapan atau peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, implementasi undang-undang, yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang a ditentukan oleh undang-undang.” Pasal tersebut quo. digunakan dasar hukum dalam putusan PK Tertegaskan dalam pertimbangan perkaranya (Putusan Nomor 109 PK/Pid/2007) di mana JPU kemudian diterima permohonan hukumnyanya bahwa majelis hakim Mahkamah PK-nya oleh Mahkamah Agung sehingga dinilai Konstitusi pada dasarnya tidak sependapat dengan pertimbangan Mahkamah Agung dalam menerima merugikan dirinya. pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa Jika dibandingkan, pertimbangan hukum penuntut umum. Sebagaimana pertimbangannya dari putusan ini dengan Putusan PK Nomor 55/PK/ yang berbunyi sebagai berikut: Pid/1996 yang menggunakan Pasal 21 Undang Terlepas dari sejarah terbentuknya Pasal 23 Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokokayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatur 2004 yang dipengaruhi putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan PK pihak-pihak berkepentingan yang dibolehkan jaksa/penuntut umum dalam perkara PK kepada Mahkamah Agung. Oleh karena telah tertentu sebelum dan pada saat terjadinya revisi undang-undang yang menyangkut ada perubahan undang-undang tersebut dengan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang pada tahun 2003, sebagaimana diterangkan Kekuasaan Kehakiman dengan Pasal 23 ayat (1) oleh DPR, sehingga untuk keadilan perlu dirumuskan kewenangan atau hak untuk maka putusan PK Pollycarpus ini menggunakan mengajukan PK yang memungkinkan penafsiran terhadap pasal tersebut. Pasal ini tafsiran secara luas demikian dalam ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “pihakUndang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Mahkamah tidak sependapat dengan tafsir pihak yang bersangkutan” di antaranya adalah historis demikian yang membenarkan jaksa penuntut umum. Dengan demikian Pasal praktik menyampingkan Pasal 263 ayat 263 ayat (1) KUHAP dikesampingkan dengan (1) KUHAP dengan menggunakan doktrin Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 201
| 201
10/1/2015 11:48:35 AM
lex posteriori derogat legi priori, karena Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 bukanlah mengatur materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa hakim mempunyai wewenang untuk secara independen melakukan penafsiran terhadap ketentuan undang-undang yang belum jelas. Hal yang demikian, seandainya pun benar dianggap melanggar ketentuan dalam UUD NRI 1945, semata-mata merupakan masalah penerapan atau implementasi undangundang.
Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Jika pun praktik peradilan sebagaimana ternyata dalam dua putusan yang diajukan pemohon sebagai alat bukti dapat menunjukkan inkonsistensi yang telah terjadi, dan seandainya praktik demikian juga menimbulkan ketidakpastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, sehingga merugikan hak konstitusional pemohon, Mahkamah tetap berpendapat bahwa hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah. Hal demikian baru dapat menjadi kewenangan Mahkamah apabila Mahkamah diberi kewenangan oleh UUD NRI 1945 untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengaduan konstitusional (constitutional complaint) sebagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi di banyak negara lain.
dipermasalahkan kembali. Oleh karenanya tidak dapat dipungkiri bahwa realitasnya meskipun sudah disidangkan dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan dan pertimbangan hukum yang demikian, senyatanya masih akan terus terjadi polemik tentang kedudukan hukum pengajuan PK oleh JPU. Tidak saja bagi kalangan ahli hukum atau praktisi hukum saja, bahkan di dalam tubuh Mahkamah Agung sendiri juga akan terdapat kontraversi. Tidak heran jika bandul paradigma yang menetap dalam putusan-putusan Mahkamah Agung terkait diterima atau tidaknya PK dari JPU akan selalu bergerak dinamis di antara kepastian hukum dan keadilan. Dissenting opinion pun tidak akan dapat terelakkan. Bahkan seolah tercipta dua kubu atau kelompok hakim Mahkamah Agung dalam menyikapi PK yang diajukan oleh JPU.
Lebih ironis lagi jika di tingkat PK terbuka PK dua kali yaitu yang pertama dari JPU diterima PK-nya oleh majelis hakim yang berparadigma keadilan (penciptaan hukum). Kemudian PK yang kedua diajukan oleh terpidana dan dinyatakan diterima oleh majelis PK (yang bervisi kepastian hukum) dengan menyatakan bahwa PK pertama yang diajukan oleh JPU adalah sebuah kekeliruan dan melanggar ketentuan KUHAP. Sebagaimana Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa yang termuat dalam pertimbangan hukum Putusan tafsir hakim PK adalah wilayah penerapan atau Nomor 133 PK/Pid/2011 yang membatalkan implementasi undang-undang yang notabene putusan PK Nomor 109 PK/Pid/2007: bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi atau Bahwa oleh karenanya telah jelas di dalam dengan kata lain tidak terkait uji konstitusionalitas KUHAP, jaksa penuntut umum tidak dapat norma. Dengan pertimbangan hukum Mahkamah mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, sehingga dalam perkara ini judex Konstitusi yang demikian maka apabila juris dalam peninjauan kembali jaksa Mahkamah Konstitusi suatu saat memiliki penuntut umum telah melakukan kekeliruan kewenangan memutus perkara pengaduan karena menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut konstitusional (constitutional complaint), dapat umum sehingga melanggar ketentuan dipastikan putusan Mahkamah Agung yang dalam KUHAP. menerima pengajuan PK dari JPU tersebut dapat 202 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 202
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 191 - 207
10/1/2015 11:48:35 AM
Bahwa oleh karena judex juris telah melakukan kekeliruan karena menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, maka sudah sepatutnya berdasarkan Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh peninjauan kembali/terpidana dikabulkan untuk seluruhnya.
umum atau kepentingan negara yang harus dilindungi. Mejelis hakim PK dalam perkara ini berpendapat bahwa pada dasarnya permohonan PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau oleh ahli warisnya. Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan tersebut dapat “dilenturkan” apabila ada hal yang dapat menyatakan bilamana bahwa permohonan PK dari JPU tersebut untuk melindungi suatu kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar. Secara rinci berikut uraian pertimbangan hukum dari majelis hakim PK pada Putusan Nomor 57 PK/Pid/2009:
Berdasarkan salah satu pertimbangan hukum putusan PK yang demikian maka dampak lanjutan atas keadaan kontroversi tersebut akan menghasilkan disharmoni penafsiran hakim yang secara conditio sine quanon menimbulkan kegalauan dan kebingungan di masyarakat khususnya para pencari keadilan. Revisi terhadap KUHAP yang mengandung penegasan dapat atau tidak dapatnya JPU mengajukan PK akan menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan polemik dan kontroversi tersebut. C.
Pelenturan Hukum dalam Putusan PK yang Diajukan oleh JPU
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa terdapat dua variasi putusan hakim dalam menyikapi permintaan PK dari JPU yang saling “berseberangan.” Kedua variasi tersebut dapat ditinjau dari dua perspektif yang berbeda yaitu perspektif kepastian hukum dan keadilan hukum. Ternyata masih terdapat satu bentuk penafsiran hukum pada putusan majelis hakim PK terkait diterima atau tidak diterimanya permintaan PK dari JPU, yang didasarkan pada perspektif kemanfaatan hukum yang notabene termanifestasi dalam kepentingan umum dan kepentingan negara yang diperjuangkan atau diwakili oleh JPU. Dalam Putusan Nomor 57 PK/Pid/2009, majelis hakim PK memutuskan tidak dapat menerima permintaan PK dari JPU disebabkan JPU tidak dapat menunjukkan adanya kepentingan
Bahwa Pasal 263 KUHAP pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau oleh ahli warisnya. Namun Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan tersebut dapat dilenturkan apabila ada hal yang dapat menyatakan bilamana bahwa permohonan peninjauan kembali jaksa/ penuntut umum tersebut untuk melindungi suatu kepentingan umum dan kepentingan negara yang lebih besar; Bahwa di dalam perkara a quo ternyata jaksa/penuntut umum tidak dapat menunjukkan adanya kepentingan umum atau kepentingan negara yang harus dilindungi; Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Utara tersebut tidak dapat dibenarkan, karena selain tidak memenuhi ketentuan Pasal 263 KUHAP juga tidak adanya kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi; Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan Pasal 266 ayat (2) huruf a KUHAP permohonan peninjauan kembali tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima dan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dinyatakan tidak dapat diterima, maka biaya perkara
Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 203
| 203
10/1/2015 11:48:35 AM
dalam pemeriksaan peninjauan kembali oleh JPU dibatasi pada kasus-kasus tertentu saja, dibebankan kepada negara; yaitu berkenaan dengan kepentingan umum atau Memperhatikan Undang-Undang Nomor kepentingan negara. Dengan demikian dalam hal 4 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 8 kasus yang tidak terkait dengan kepentingan umum Tahun 1981, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah atau kepentingan negara maka dikesampingkan diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 atau tidak diberikan landasan untuk dapat diterima Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan permintaan PK dari JPU. Jadi terdapat pemilahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain antara tindak pidana yang terkait kepentingan yang bersangkutan; negara/umumnya lebih besar dengan yang lebih kecil, misalnya terkait dengan tindak pidana Mengadili: penipuan sebagaimana dalam putusan ini. Menyatakan tidak dapat diterima permohonan peninjauan kembali dari Timbul pertanyaan, ketika kepentingan pemohon peninjauan kembali/jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri personal atau perorangan korban dikesampingkan Jakarta Utara tersebut. dan kepentingan umum atau negara yang besar diutamakan, maka akan timbul bias tafsir apakah Berdasarkan argumentasi hukum tersebut JPU adalah wakil dan pengusung kepentingan maka dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung negara atau umum saja dan tidak mewakili telah melakukan penciptaan hukum atau membuat kepentingan korban? Lalu pertanyaan selanjutnya hukumnya sendiri. Seolah-olah perspektif bagaimana dengan nasib korban yang perorangan putusan jenis ini berada di tengah-tengah atau di atau individu misalnya dalam mendapatkan akses antara pertentangan dua kutub tafsir yang bervisi terhadap PK? Berhakkah mereka mengajukan PK kepastian hukum dan keadilan. Bahkan dalam tanpa melalui JPU, jika memang JPU diarahkan kondisi tertentu melentur di antara kedua kutub PK-nya diterima jika mewakili negara atau umum? tafsir di atas. Hal ini sering diistilahkan sebagai Dalam konteks ini, paradigma pelenturan hukum pelenturan hukum. Di satu sisi jika terdapat yang diacu oleh Putusan Nomor 57 PK/Pid/2009 kepentingan umum dan negara yang besar dan senyatanya dirasa kurang memberikan porsi dapat dibuktikan serta diyakini oleh hakim maka keadilan kepada korban individu/perorangan. PK dari JPU diterima. Namun di sisi lain jika tidak terbukti dan tidak diyakini oleh hakim Seolah-olah melalui pelenturan hukum adanya kepentingan umum dan negara maka PK yang demikian, senyatanya majelis hakim dari JPU tidak dapat diterima. PK telah melakukan kanalisasi di tengah Merupakan hak JPU dapat mengajukan PK dan diperlukan sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum untuk melindungi kepentingan umum dan negara yang lebih besar. Hak ini diperlukan dalam kasus yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa dan merugikan kepentingan umum, seperti korupsi. Dengan demikian, pemikiran yang mendukung adanya pengajuan PK
204 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 204
persimpangan jalan proses peradilan. JPU di awal proses peradilan mewakili kepentingan korban perorangan/individu dan merupakan manifestasi kepentingan negara/umum a quo. Tetapi di saat upaya puncak yaitu PK, perwakilan kepentingan tersebut dibelah dan dipilah oleh hakim majelis PK yaitu hanya kepentingan umum/negara yang lebih besar semata misalnya tindak pidana korupsi. Sementara kepentingan Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 191 - 207
10/1/2015 11:48:35 AM
perorangan/individu korban misalnya penipuan akan dikesampingkan.
ada dengan memberikan hak dan perlindungan terhadap pelaku tindak pidana. Selanjutnya setelah KUHAP diberlakukan, senyatanya dirasa masih terdapat kekurangan di dalamnya di antaranya tentang hak dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana. Apalagi dengan didorong oleh perkembangan ilmu viktimologi dan pergerakan aktivis hak asasi manusia maka semakin jelas kekurang sempurnaan dari KUHAP sehingga penegak hukum khususnya hakim terdorong untuk melakukan upaya-upaya penemuan dan pembentukan hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dibuatnya.
Melalui paradigma putusan yang demikian tentu akan membuat posisi korban a quo individu dalam proses peradilan pidana melemah. Di mana jika sebelumnya, melalui visi keadilan Mahkamah Agung pada beberapa putusan yang terkait PK dari JPU melakukan penyeimbangan hak antara terpidana dengan korban/masyarakat/ negara secara adil, namun dengan pelenturan hukum yang demikian posisi korban individu masih sama dengan apa yang diatur dalam KUHAP. Sebagaimana diketahui bahwa dalam konteks hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP, sangat disadari bahwa belum Meskipun dalam pelenturan hukum sepenuhnya berorientasi pada perlindungan sebagaimana yang dianut oleh Putusan Nomor 57 hukum terhadap korban secara maksimal. PK/Pid/2009 masih memilah kepentingan korban antara yang umum/masyarakat/negara yang KUHAP sebagai sebuah undang-undang konteksnya cukup luas dan masif dengan korban pada dasarnya bersifat konservatif sehingga yang individu, senyatanya dapat dikatakan masih apabila KUHAP itu tidak merepresentasikan berpihak pada korban dalam arti tertentu yang keadilan yang notabene berkembang seiring kualifikasinya adalah dampak atau kegunaan dengan perkembangan masyarakat maka patut yang didapat. Oleh karenanya paradigma dari kiranya hakim sebagai garda depan keadilan, pemilahan tersebut dititik beratkan pada daya berkewajiban menciptakan atau membentuk guna atau manfaat dari suatu kasus, yaitu sebesar hukum yang merepresentasikan keadilan melalui atau seluas bagi kepentingan yang utama atau upaya penemuan hukum. Peradilan harus prioritas. mengedepankan dan mengupayakan dengan sungguh-sungguh bahwa tujuan dari hukum yaitu Dalam perspektif kemanfaatan hukum terwujudnya keadilan, baik yang seirama ataupun yang mempunyai pandangan bahwa hukum itu yang belum diakomodir oleh undang-undang digunakan untuk sebanyak-banyaknya manfaat yang dalam konteks ini ditujukan untuk mengisi dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya kekosongan hukum. orang. Maka dalam hal pelenturan hukum pada Seiring dengan perkembangan waktu dan paradigma hukum dari masyarakat, jika sebelum KUHAP diberlakukan, kepentingan pelaku mulai dari terlapor, tersangka, terdakwa hingga terpidana adalah cukup minim. Oleh karenanya KUHAP hadir untuk menjawab celah hukum yang
putusan PK yang diajukan oleh JPU ini dapat terlihat bahwa kepentingan bangsa dan negara maupun masyarakat luas lebih diprioritaskan atau diutamakan, sehingga permohonan PK mempunyai sifat yang eksepsional yang notabene membatasi JPU dalam mengajukan permohonan PK dalam perkara pidana. Dengan demikian
Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 205
| 205
10/1/2015 11:48:35 AM
tidak dapat serta merta terhadap seluruh perkara notabene korbannya individu maka sebagaimana pidana, JPU mengajukan permohonan PK dan dalam putusan ini dinyatakan PK dari JPU tidak diterima oleh Mahkamah Agung. dapat diterima. Dalam konteks ini Mahkamah Agung mendasarkan pada nilai kemanfaatan hukum yang berpandangan bahwa kepentingan IV. KESIMPULAN bangsa dan negara maupun masyarakat luas Terdapat tiga jenis putusan Mahkamah lebih diprioritaskan atau diutamakan, sehingga Agung terkait dapat diterima atau tidak dapat permohonan PK mempunyai sifat yang diterimanya PK yang diajukan oleh JPU. Jenis eksepsional yang notabene membatasi JPU dalam yang pertama (Putusan Nomor 84 PK/Pid/2006), mengajukan permohonan PK dalam perkara memutuskan secara tegas berdasarkan atas nilai pidana tertentu. kepastian hukum dengan menyatakan tidak dapat menerima PK yang diajukan oleh JPU. Adapun jenis kedua (semisal Putusan Nomor 55/PK/ Pid/1996), memutuskan menerima PK yang diajukan oleh JPU demi keseimbangan hak asasi manusia dan keadilan. Sedangkan jenis yang DAFTAR ACUAN ketiga (semisal Putusan Nomor 57 PK/Pid/2009), menyatakan dapat diterima dan tidak dapat Ansyahrul. (2011). Pemuliaan peradilan: Dari dimensi integritas hakim, pengawasan & hukum acara. diterimanya PK dari JPU adalah bergantung pada Jakarta: Mahkamah Agung. sejauh mana JPU dapat menunjukkan adanya kepentingan umum atau kepentingan negara yang Chazawi, A. (2010). Lembaga peninjauan kembali harus dilindungi, dalam konteks ini Mahkamah (PK) perkara pidana: Penegakan hukum dalam penyimpangan praktik & peradilan sesat. Agung melenturkan hukum PK yang diajukan Jakarta: Sinar Grafika. oleh JPU. Perspektif putusan jenis ketiga ini berada di tengah-tengah atau di antara pertentangan dua kutub tafsir yang bervisi kepastian hukum dan keadilan sebagaimana pada putusan jenis pertama dan kedua. Bahkan melentur di antara kedua kutub tafsir. Jika terdapat kepentingan umum atau negara yang besar dan dapat dibuktikan serta diyakini oleh hakim maka PK dari JPU dapat diterima. Namun jika tidak terbukti adanya kepentingan umum dan negara maka PK dari JPU dinyatakan tidak dapat diterima. Jadi terdapat pemilahan antara tindak pidana yang terkait kepentingan negara/umumnya lebih besar dengan yang lebih kecil, misalnya tindak pidana penipuan yang
206 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 206
Effendi, T. (2014). Dasar-dasar hukum acara pidana: Perkembangan & pembaharuannya di Indonesia. Malang: Setara Press. Effendy, M. (2012). Diskresi, penemuan hukum, korporasi & tax amnesty dalam penegakan hukum. Jakarta: Referensi. Fachmi. (2011). Kepastian hukum mengenai putusan batal demi hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Hamzah, A. (2011). KUHP & KUHAP. Cetakan Ketujuh Belas. Jakarta: Rineka Cipta. Harahap, M. Y. (2009). Pembahasan permasalahan & penerapan KUHAP: Pemeriksaan sidang
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 191 - 207
10/1/2015 11:48:35 AM
pengadilan, banding, kasasi & peninjauan
hukum hakim berbasis hukum progresif.
kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
Jakarta: Kencana.
Idris et.al. (Ed). 2012. Penemuan hukum nasional
Witanto, D., & Kutawaringin, A. P. N. (2013). Diskresi
& internasional (dalam rangka purna bakti
hakim: Sebuah instrumen menegakkan keadilan
Prof.Dr. Yudha Bhakti, S.H., M.H.). Bandung:
substantif dalam perkara-perkara pidana.
Fikahati Aneska.
Bandung: Alfabeta.
Kamil, A. (2012). Filsafat kebebasan hakim. Jakarta: Kencana Prenada Media. Kuffal, H. M. A. (2002). Penerapan KUHAP dalam praktik hukum. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Lamintang, P. A. F., & Lamintang, T. (2010). Pembahasan
KUHAP:
Menurut
ilmu
pengetahuan hukum pidana & yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika. Mertokusumo, S. (2014). Penemuan hukum: Sebuah pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Renggong, R. (2014). Hukum acara pidana: Memahami perlindungan HAM dalam proses penahanan di Indonesia. Jakarta: Kencana. Rifai, A. (2011). Penemuan hukum oleh hakim dalam perspektif hukum progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Simanjuntak, N. (2012). Acara pidana Indonesia dalam sirkus hukum. Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Sofyan, A., & Asis, A. (2014). Hukum acara pidana: Suatu pengantar. Jakarta: Kencana. Suhariyanto, B. (2012). Peninjauan kembali putusan pidana oleh jaksa penuntut umum. Laporan Penelitian. Jakarta: Mahkamah Agung Sutiyoso, B. (2012). Metode penemuan hukum: Upaya mewujudkan hukum yang pasti & berkeadilan. Yogyakarta: UII Press. Syamsudin, M. (2012). Konstruksi baru budaya
Pelenturan Hukum dalam Putusan Peninjauan Kembali (Budi Suhariyanto)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 207
| 207
10/1/2015 11:48:35 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 208
10/1/2015 11:48:35 AM
DELIK IZIN LINGKUNGAN YANG TERABAIKAN Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012
DISREGARDED OFFENSE OF ENVIRONMENTAL PERMIT An Analysis of Supreme Court Decision Number 258 K/Pid.Sus/2012 Derita Prapti Rahayu Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung Kampus Terpadu Universitas Bangka Belitung, Balunijuk, Merawang-Bangka 33172 E-mail:
[email protected] atau
[email protected] Naskah diterima: 8 Maret 2015; revisi: 18 Agustus 2015; disetujui: 21 Agustus 2015 ABSTRAK Delik izin lingkungan dalam Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) akan dipidana. Terdapat aspek kontroversi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 yang membenarkan Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 357/PID.B/2010/ PN.Mdo tanggal 24 Mei 2011. Putusan itu menetapkan terdakwa VP bebas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum yaitu Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dalam kasus ini dakwaan penuntut umum dinilai tidak cermat dengan tidak mencantumkan delik yang berkaitan dengan pasal yang didakwakan, selain itu putusan hakim dinilai tidak memberikan perlindungan hukum pada masyarakat, cenderung berpikiran sempit dengan telah mengabaikan delik izin lingkungan yang terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, tetapi hal itu tidak terdapat dalam dakwaan jaksa/penuntut umum. Hakim seharusnya tidak mengabaikan hal itu, karena tugas hakim adalah untuk mendapatkan kebenaran materiil yang pada hakikatnya untuk keadilan. Putusan ini juga bisa menjadi dasar bagi kasus-kasus selanjutnya, di mana pihak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang wajib amdal dan UKL/UPL tidak akan mengurus izin, mereka akan mengurus izin lingkungan dan izin usahanya jika sudah ada tuntutan delik di salah satu pasal dalam UUPPLH dan hal ini berakibat masyarakat tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum atas kejahatan lingkungan. Kata kunci: delik lingkungan, izin lingkungan, amdal. ABSTRACT The environmental offense concerning environmental permit in Article 109 of Law Number 32 of 2009 on Environmental Conservation and Preservation states that any person running any business and/or activities without an environmental permit as referred to in Article 36 paragraph (1) shall be subject to criminal offense. There is a controversial aspect in the Court Decision Number 258K/Pid.Sus/2012 justifying the Court Decision Number 357/Pid.B/2010/PN.Mdo issued on May 24, 2011. The Defendant VP was acquitted, not proven legally and convincingly guilty of any offense as accused by the public prosecutor, referring to Article 99, paragraph (1) in conjunction to Article 36, paragraph (1) of Law Number 32 of 2009. In this case, the accusation of the prosecutor is considered inaccurate because it does not point to the offense in the article prosecuted. Moreover, the court decision is deemed incapable of giving legal protection to the public, and apt to be narrow-minded disregarding the
Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 209
| 209
10/1/2015 11:48:35 AM
environmental offense on environmental permit which is proven in the examination at court, yet not indicated in the accusation. The judge shall not disregard it for taking into account that a judge is responsible to obtain material truth for the sake of justice. This decision may also be the basis for subsequent cases, in the event that the parties running business and/or activities that are subject to liability of Environmental Impact Assessment (EIA) and Environmental Management Effort (UKL) and Environmental Monitoring (UPL) but disregard
the environmental permit, and will only take care of environmental permit and the operational authorization if there have been claim for environmental offense in one article in the Law on Environmental Conservation and Preservation (UUPPLH), thus cause damages to the community to obtain legal certainty and the protection of the environmental offenses.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya (Hardjasoemantri, 2009, hal. 120-121).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat
Keywords: environmental offense, environmental permit, environmental impact analysis.
Kegiatan usaha telah berjasa meningkatkan kesejahteraan, kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat, namun menimbulkan berbagai dampak lingkungan yang mengancam masyarakat dan generasi yang akan datang, mencemari lingkungan serta dengan cepat mengikis sumbersumber daya alam. Tata kehidupan tersebut menguntungkan, tetapi tidak menunjukkan ciri keberlanjutan (sustainable) sebagai akibat negatif dari gerak tata ekonomi (Suteki, 2013, hal. 253). Kemajuan usaha memang bersifat dilema, di satu sisi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi di sisi lain justru menimbulkan ancaman kelangsungan hidup akibat pencemaran yang ditimbulkan.
merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain (Angka I Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan selanjutnya dalam tulisan ini akan menggunakan Berdasarkan konferensi lingkungan di istilah UUPPLH). Stockholm 1972, yang menyatakan ”.... both aspects of man’s environment, the natural and the Heinhard Steiger c.s menyatakan bahwa apa man-made, are essential to his well-being and to yang dinamakan hak subjektif (subjective rights) the enjoyment of basic human right-even the right adalah bentuk yang paling luas dari perlindungan to life itself“ (Warassih & Bowo, 2013, hal. 882) seseorang. Hak tersebut memberikan suatu kedua aspek lingkungan manusia, alam dan buatan tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya manusia itu, sangat penting untuk kesejahteraan akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat dan kenikmatan dasar manusia bahkan hak untuk itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung hidup itu sendiri, di mana pencemaran lingkungan oleh prosedur hukum dengan perlindungan hukum merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi 210 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 210
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:35 AM
manusia yaitu hak asasi menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup bukanlah masalah baru, yang dapat menimbulkan berbagai implikasi. Di satu pihak, dari segi ekologis, masalah ini merupakan ancaman serius terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup. Di lain pihak, juga merupakan masalah hukum, khususnya hukum lingkungan. Artinya hukum ini dilanggar sedemikian rupa, sehingga terjadilah pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
individual to demand the performance of an act in order to preserver, to restore or to improve his environment. Fungsi pertama, yang berkaitan dengan hak individu untuk mempertahankan dirinya terhadap gangguan pihak lain atas kenikmatan lingkungan yang bersih dan sehat. Fungsi kedua, bertalian dengan hak seseorang untuk menuntut atau mengajukan klaim atas dilakukannya suatu tindakan pelestarian atau perbaikan lingkungan oleh individu atau kelompok orang ke pengadilan.
Terdapat berbagai upaya untuk menghindarkan dari kegiatan yang menyebabkan Salah satu tuntutan yang diajukan adalah pencemaran lingkungan, salah satunya melalui kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor pengaturan dalam perundang-undangan, yaitu 258 K/Pid.Sus/2012 yang menetapkan terdakwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 bebas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan melakukan tindak pidana sebagaimana yang Lingkungan Hidup yang menggantikan Undang- didakwakan. Penuntut Umum sebagai pemohon Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang kasasi, pada Kejaksaan Negeri Tondano tanggal Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana terdapat 24 Februari 2011, menyatakan terdakwa VP telah ketentuan penegakannya dengan mengajukan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah tuntutan hukum, dapat menggunakan instrumen- melakukan tindak pidana “Perlindungan dan instrumen dan sanksi hukum administrasi, hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup” sebagaimana perdata dan hukum pidana. dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) UUPPLH jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana; Wijoyo yang dikutip oleh Maryani dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa VP tulisannya pada Jurnal Masalah-Masalah Hukum selama 2 (dua) tahun penjara dan denda sebesar Universitas Diponegoro (Maryani, 2009, hal. Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsidair 227), legal claim dapat dilaksanakan melalui 6 (enam) bulan kurungan, menetapkan agar sarana prosedur peradilan ataupun perangkat terdakwa dibebani membayar biaya perkara kelembagaan lainnya yang mempunyai fungsi, sebesar Rp.3.000,- (tiga ribu rupiah). yaitu: a.
b.
Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor The function of defense (abwehhrfunktion) 357/PID.B/2010/PN.Mdo tanggal 24 Mei 2011, is the right of the individual to depend menyatakan terdakwa VP tidak terbukti secara himself against an interference with his sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana environmet which is to advantage; sebagaimana yang didakwakan penuntut umum, The function of performance membebaskan terdakwa dari dakwaan yang (leistungfunktion) is the right of the diajukan penuntut umum kepada terdakwa.
Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 211
| 211
10/1/2015 11:48:35 AM
Pertimbangan hukum putusan ini menyampaikan bahwa, berdasarkan hasil pemantauan UKL(Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) terhadap peternakan VP, yang dilakukan dengan kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (PPLH-SDA) Lembaga Penelitian Universitas Sam Ratulangi Manado di mana menunjukkan tidak ada pencemaran lingkungan yang melebihi batas baku mutu dan juga dikuatkan dengan keluarnya Surat Rekomendasi Nomor 660/BLH/38/III-2010 tanggal 23 Maret 2010 yang dikeluarkan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Minahasa yang mengacu pada dokumen UKL dan UPL.
delik izin lingkungan sebagaimana yang menjadi tuntutan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUPPLH yang menentukan bahwa: “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) wajib memiliki izin lingkungan, sehingga putusan hakim tersebut telah bertentangan dengan akses keadilan dalam memenuhi hak masyarakat akan lingkungan yang bersih dan sehat. B.
Rumusan Masalah
Apakah Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 telah mengabaikan delik Berdasarkan bukti di persidangan bahwa izin lingkungan sehingga tidak memberikan izin usaha yang dikeluarkan Departemen perlindungan hukum bagi masyarakat? Perdagangan dengan Tanda Daftar Perusahaan Nomor 18025101774 tertanggal 28 Januari 1989 C. Tujuan dan Kegunaan berakhir tanggal 28 Januari 1994 dengan ketentuan Tujuan analisis ini adalah ingin mengetahui tanda daftar perusahaan berlaku hanya lima tahun dan selambat-lambatnya tiga bulan sebelum dan mengungkap indikasi Putusan Mahkamah masa berlaku berakhir wajib diperbaharui. Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 telah Sesuai dengan ihwal tuntutan, bahwa sampai mengabaikan izin lingkungan dan tidak memberikan perkara ini diajukan yaitu tahun 2010 terdakwa perlindungan hukum bagi masyarakat. tidak memperbaharuinya, demikian juga dengan izin dari Departemen Perindustrian Republik Indonesia Direktorat Jenderal Industri Kecil dalam Surat Tanda Pedaftaran Industri Kecil Nomor 71-I/Kandep.02/Iz.00.01/X/1993 tanggal 21 Oktober 1993, dengan ketentuan pemegang surat tanda pendaftaran industri kecil ini agar menyampaikan informasi industri dengan mengisi formulir Pdf.III.IK pada setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dan hal ini juga terdakwa tidak dilakukan.
Kegunaan analisis ini adalah dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran secara teoritis dan praktis dalam penyelesaian perkara mengenai izin lingkungan di Indonesia, peran hakim agar mampu menemukan dan menciptakan hukum dengan berdasarkan nilai-nilai hukum di Indonesia, melahirkan putusan yang rasional, praktis dan aktual sehingga dapat dirasakan adil. D.
Kasus di atas dirasa sangat kontroversi 1. karena hakim mulai judex facti dan judex juris telah membebaskan terdakwa dengan telah mengabaikan 212 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 212
Studi Pustaka Delik Izin Lingkungan Delik izin lingkungan mempunyai esensi
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:35 AM
dasar yang sama dengan delik lainnya pada Delik yang dilakukan di sini adalah tidak hukum pidana di mana dalam hal ini hanya melakukan izin lingkungan. Konsep izin oleh khusus mengenai delik kaitannya dengan izin Spelt & ten Berge sebagaimana dikutip oleh Akib, lingkungan yang bersumber pada UUPPLH. mengemukakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga (Akib, 2014, hal. Delik ialah perbuatan yang dilarang oleh 113). Secara sederhana, perizinan diberikan makna aturan hukum dan barang siapa yang melanggar sebagai tindakan pemerintah berupa perizinan. larangan tersebut dikenakan sanksi pidana Motif atau tujuan perizinan lebih diarahkan pada (Soeharto, 1993, hal. 22). Selain itu perbuatan perlindungan objek perizinan. Motif atau tujuan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang perizinan juga berkaitan dengan perlindungan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam subjek atau pihak yang menerima perizinan sebagi pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan bagian dari produk hukum, perizinan tentunya pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana juga memberikan jaminan kepastian hukum bagi itu (Moeljatno, 2008, hal. 59). Pengertian delik pihak yang menjadi subjek atau penerima suatu menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum perizinan berkenaan dengan keberlangsungan yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun kegiatan atau usaha yang menjadi objek perizinan tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya dari gangguan pihak lain. tersebut dapat dipertangggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai Mengenai izin lingkungan, dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum (Moeljatno, 2008, oleh Drupsteen dikutip oleh Akib bahwa izin hal. 60). lingkungan merupakan alat untuk menstimulasi perilaku yang baik untuk lingkungan (Akib, Delik dalam hukum pidana dapat dibagi 2013, hal. 151). Jadi, segala aktivitas terhadap menjadi delik formil dan delik materiil. Delik suatu objek tertentu yang pada dasarnya dilarang formil adalah delik yang perumusannya lebih jika tidak mendapatkan izin dari pemerintah/ menekankan pada perbuatan tanpa mensyaratkan pemerintah daerah yang mengikatkan perannya terjadinya akibat apapun dari perbuatan itu. dalam kegiatan yang dilakukan oleh seorang Jadi delik formil dianggap telah dilakukan bila atau pihak yang bersangkutan. Van Der Pot, pelakunya telah melakukan serangkaian perbuatan izin dalam arti yang luas merupakan keputusan yang dirumuskan dalam rumusan delik. Akibat yang memperkenankan dilakukan perbuatan apa bukan suatu ukuran delik telah dilakukan atau saja yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh tidak tapi pada perbuatannya (Prastowo, 2006, pembuat. hal. 214). Misalnya perbuatan pencurian yang meskipun tidak berhasil mencuri sudah dianggap Setiap orang yang melakukan usaha dan/ melakukan perbuatan pencurian. Sedang delik atau kegiatan yang wajib amdal atau UKLmateriil adalah delik yang perumusannya UPL wajib memiliki izin lingkungan, sebagaimana menekankan pada akibat, dianggap sudah diatur dalam UUPPLH Pasal 36 ayat (1) yang melakukan delik jika akibatnya sudah terjadi, menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan misalnya salah membunuh orang, tetap dihukum yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib pembunuhan karena sudah menyebabkan matinya memiliki izin lingkungan. Ketentuan dalam Pasal orang. 109 UUPPLH menentukan dapat dipidana dengan Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 213
| 213
10/1/2015 11:48:35 AM
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) yang bisa disebut telah melakukan tindak pidana izin lingkungan. Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materiil yang tidak hanya diatur bagi pelaku tetapi juga bagi pejabat negara. Menurut Rahmadi (2014, hal. 224-233) delik materiil (generic crime) adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap sudah sempurna atau terpenuhi bila perbuatan itu menimbulkan akibat, sedang delik formil (specific crime) adalah delik yang sudah dianggap sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan adanya akibat dari perbuatan.
dalam delik formil dalam UUPPLH yaitu Pasal 100-111 dan Pasal 113-115. Berikut ini akan dikutip delik materiil dan delik formil yang ditegaskan dalam UUPPLH adalah, yang termasuk delik materiil yaitu pada Pasal 98 dan Pasal 99 UUPPLH Tahun 2009 merumuskan delik lingkungan “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaiannya yang mengakibatkan baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku mutu lingkungan hidup” selain itu, perbuatan itu juga dapat mengakibatkan orang luka atau luka berat dan/atau bahaya kesehatan manusia atau matinya orang. Sementara itu Pasal 112 merumuskan delik lingkungan sebagai “kesengajaan pejabat berwenang tidak melakukan pengawasan yang berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.”
Delik materiil dalam UUPPLH adalah tentang perbuatan yang menyebabkan pencemaran Delik formil sebagimana diatur dalam Pasal atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu 100-111 dan Pasal 113-115, yaitu: memerlukan pembuktian pelanggaran aturana. Pasal 100 ayat (1), melanggar baku mutu aturan hukum administrasi seperti izin. Dalam air limbah, baku mutu emisi atau baku mutu hal ini yang diancam pidana adalah “akibat dari gangguan. perbuatan,” yang termasuk dalam delik materiil dalam UUPPLH yaitu Pasal 98, 99, dan 112. b. Pasal 101, melepaskan dan/atau Rumusan Pasal 98 ayat (1) untuk perbuatan yang mengedarkan produk rekayasa genetik ke dilakukan dengan sengaja, Pasal 99 ayat (1) media lingkungan hidup yang bertentangan perbuatan terjadi akibat kelalaian si pelaku. dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. Delik formil dalam UUPPLH adalah tentang perbuatan yang melanggar hukum c. Pasal 102, melakukan pengelolaan limbah terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi B3 tanpa izin. untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak d. Pasal 103, menghasilkan limbah B3 dan diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan tidak melakukan pengelolaan. hidup seperti delik materiil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi. e. Pasal 104, melakukan dumping limbah dan/ Dalam hal ini menunjuk pada “perbuatan yang atau bahan media lingkungan hidup tanpa dilarang dan diancam pidana,” yang termasuk izin. 214 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 214
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:35 AM
f.
g.
h. i. j. k.
l.
Pasal 105 dan Pasal 106, memasukkan substansi, wewenang kelembagaan, dan prosedur limbah atau limbah B3 ke dalam wilayah yang digunakan menggunakan ketentuan hukum Indonesia. lingkungan kecuali jika hal itu tidak diatur secara khusus dalam hukum lingkungan, maka yang Pasal 107, memasukkan B3 yang dilarang digunakan adalah ketentuan hukum pidana pada menurut peraturan perundang-undangan ke umumnya, misalnya mengenai lembaga peradilan, dalam wilayah Indonesia. personil dan hukum acara yang berlaku (Akib, 2011, hal. 48-49). Pasal 108, melakukan pembakaran lahan. Delik izin lingkungan juga tidak terlepas dari asas legalitas yang berarti pembuat pidana hanya akan dipidana, jika ia mempunyai Pasal 110, menyusun amdal tanpa memiliki kesalahan dalam melakukan tindak pidana sertifikat kompetensi penyusunan amdal. tersebut sehingga yang bersangkutan harus Pasal 111 ayat (1), pemberian izin mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi lingkungan oleh pejabat tanpa dilengkapi seseorang dimintai pertanggungjawaban pidana dengan amdal atau UKL-UPL atau izin jika sebelumnya terbukti melakukan perbuatan usaha tanpa dilengkapi dengan izin yang dilarang dalam peraturan perundangundangan (Ali & Elvany, 2014, hal. 23). lingkungan. Pasal 109, melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan.
Pasal 113, memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Ketentuan pidana dalam UUPPLH meliputi penyidikan, pembuktian, dan ketentuan mengenai sanksi atau ancaman pidana. Kewenangan penyidikan dalam UUPPLH dilakukan secara terpadu oleh PPNS, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri.
Pasal 96 UUPPLH menentukan macammacam alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak m. Pasal 114, penanggung jawab usaha dan/ pidana lingkungan hidup terdiri atas: a) keterangan atau kegiatan yang tidak melaksanakan saksi, b) keterangan ahli, c) surat, d) petunjuk, e) keterangan terdakwa, dan atau f) alat bukti lain, paksaan pemerintah. termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan n. Pasal 115, mencegah, menghalang-halangi perundang-undangan. Alat bukti lain meliputi: atau menggagalkan pelaksanaan tugas informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima pejabat pengawas lingkungan hidup dan/ atau disimpan secara elektronik, magnetik, atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil. optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau Terhadap perbuatan delik materiil atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang delik formil dalam ranah UUPPLH di atas bisa dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat diupayakan penegakan hukum lingkungan dengan dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu menggunakan instrumen hukum pidana di mana sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 215
| 215
10/1/2015 11:48:35 AM
fisik apa pun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca (Penjelasan Pasal 96 huruf f UUPPLH).
process) dapat dikonsepkan sebagai proses kerja aparat penegak hukum pidana dalam memeriksa terdakwa diduga melakukan kejahatan bersalah atau tidak secara hukum yang bertahap mulai dari penyelidikan/penyidikan, penuntutan sampai pada penentuan hukuman/putusan hakim. Kepolisian bertanggung jawab melaksanakan Sanksi atau ancaman pidananya dapat penyelidikan/penyidikan di luar pengadilan, berupa pidana penjara, denda dan tindakan tata kejaksaan melaksanakan penuntutan dan hakim tertib sebagaimana telah dimuat dalam Pasal 119 memberikan putusan bersalah tidaknya terdakwa UUPPLH yaitu: (Prasetyo & Tanya, 2011, hal. 26). a.
Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
b.
Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan,
c.
Perbaikan akibat tindak pidana,
d.
Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau
e.
Penempatan perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 (tiga) tahun.
2.
Putusan Hakim
Putusan hakim (vonnis) sejatinya merupakan proses terakhir dari penegakan hukum khususnya di sini hukum pidana dalam proses peradilan pidana. Soekanto mendefinisikan penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidahkaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup (Rahayu, 2014, hal. 34).
Jaksa penuntut umum memiliki tugas dan wewenang di bidang pidana untuk melakukan penuntutan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14 huruf g jo. Pasal 137 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di mana jaksa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa haruslah membuat surat dakwaan yang isinya memuat uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan mengenai pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya serta peraturan yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis agar putusan hakim menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan (Syahrani, 1998, hal. 124).
Penegakan hukum pidana dilaksanakan melalui proses peradilan pidana. Secara singkat KUHAP Indonesia memberi definisi tentang proses peradilan pidana (criminal justice putusan pengadilan (vonnis) adalah pernyataan
216 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 216
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:35 AM
hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 1 butir 11 KUHAP). Dalam praktik pemeriksaan perkara pidana, hal yang paling mendasar dikedepankan adalah mengenai hak-hak tersangka atau terdakwa baik dari tingkat penyidikan sampai dengan tingkat peradilan, untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, ia dapat menggunakan alat bukti sebagaimana telah ditentukan yang pada akhirnya berdasar alat bukti tersebut akan diambil keputusan oleh hakim yang memeriksa perkara. Khususnya dalam perkara pidana sesuai Pasal 184 KUHAP macam alat bukti adalah keterangan saksi (baik yang memberatkan (a charge) ataupun yang meringankan terdakwa (a de charge), keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan pada alat bukti yang sah tersebut, agar hakim dapat memberikan putusan yang menjiwai nilai keadilan, ide hakim yang berpikiran progresif juga sangat menentukan. Ide berhukum progresif yang dicetuskan oleh Rahardjo menitikberatkan bahwa hukum untuk manusia. Kejujuran dan ketulusan menjadi hal utama putusan hakim. Kepentingan manusia (kesejahteraan, kebahagiaannya, dan harga diri serta kemuliaan manusia) menjadi titik tujuan hakim memutuskan perkara (Rahardjo, 2006, hal. 188). Putusan hakim yang progresif bisa dilakukan melalui metode penemuan hukum yang bersifat visioner untuk kepentingan jangka panjang, melakukan terobosan (rule breaking) berpedoman pada hukum, kebenaran, dan
keadilan (Rifai, 2011, hal. 93). Salah satu bentuk sikap hakim tersebut adalah dengan cara ultra petita yaitu bertindak melebihi dari yang dituntut demi keadilan. Perlindungan hukum khususnya dalam aspek lingkungan dapat diberikan oleh pengadilan melalui putusan hakim, dalam setiap penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan atas gugatan masyarakat baik secara administrasi, perdata maupun tuntutan pidana terhadap tindak pidana (delik) lingkungan yang diatur dalam UUPPLH. UUPPLH ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem (konsideran menimbang huruf f UUPPLH). Pasal 65 ayat (1) UUPPLH menetapkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, di samping itu pula dalam Pasal 67 UUPPLH mengatur bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. II.
Metode penulisan yang digunakan adalah kajian normatif yaitu hukum dipandang sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan (Ali & Heryani, 2012, hal. 1). Dalam kajian hukum normatif, hukum dipandang sebagai norma baik yang berwujud positif (ius constitutum) ataupun yang belum dipositifkan (ius constituendum) (Wignjosoebroto, 2013, hal. 77). Pandangan senada juga dijelaskan oleh Sidharta yang dikutip oleh Susanto, metode penelitian
Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 217
METODE
| 217
10/1/2015 11:48:35 AM
normatif adalah metode penelitian doktrinal dengan optik perspektif untuk secara hermeneutik menemukan kaidah hukum yang menentukan apa yang menjadi kewajiban dan hak yuridis subjek hukum dalam situasi kemasyarakatan tertentu berdasarkan dan dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku yang dalam implementasinya dapat memanfaatkan ilmu-ilmu sosial (Susanto, 2015, hal. 7). Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yakni melalui pendekatan undangundang (statute approach) dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani dan pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach) beranjak dari pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum (Marzuki, 2010, hal. 93). Mempelajari pandangan dan doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan memikirkan ide-ide yang melahirkan pengertian, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pendekatan dilakukan dengan menelaah konsepkonsep tentang analisis yuridis normatif terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid. Sus/2012.
Bahan hukum sekunder yang digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal, buku-buku, makalah, serta karya ilmiah lainnya mengenai konsep delik izin lingkungan, putusan hakim serta sanksi pidana lingkungan dalam kaitannya dengan delik izin lingkungan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Analisis dilakukan secara yuridis kualitatif yaitu analisis hukum yang mendasarkan pada penalaran hukum (legal reasoning) dan argumentasi hukum (legal argumentation) mengingat data yang terkumpul adalah data kualitatif. Diuraikan secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, dan logis sehingga memudahkan pemahaman data (Muhammad, 2004, hal. 127). III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hukum adalah sebuah instrumen untuk mengarahkan manusia di dalam hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan bersama dan yang umum bagi mereka. Hukum hanya menyoroti Langkah penulisan dengan penelusuran nilai-nilai yang mendekati kebutuhan umum secara teoritik dan asas-asas preferensi hukum dan bersama seperti perlindungan, keteraturan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum (Davitt, 2012, hal. 41, 43). sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan Pada masa kini kaidah hukum itu banyak hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum dan sumber bahan hukum primer ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang yang tersebut berupa keputusan pengadilan dan terkait dirumuskan dalam bentuk kaidah hukum tertentu dengan keputusan tersebut akan dianalisis yang (Sidharta, 2013, hal. 7). Bentuk kaidah hukum akan dijadikan pertimbangan hakim dalam tersebut dalam hal ini antara lain adalah UUPPLH memutuskan perkara yang berkaitan dengan ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum dan delik izin lingkungan, penegakan sanksi pidana memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan yang lingkungan. baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan 218 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 218
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:36 AM
terhadap keseluruhan ekosistem (konsideran atau delik formil sebagaimana diatur dalam Pasal menimbang huruf f UUPPLH). 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1) sampai dengan Pasal 109. Pasal 65 ayat (1) UUPPLH menetapkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan Dalam UUPPLH, izin lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha hak asasi manusia, di samping itu pula dalam dan/atau kegiatan. Untuk memperoleh izin usaha Pasal 67 UUPPLH mengatur bahwa setiap dan/atau kegiatan, orang atau badan hukum, orang berkewajiban memelihara kelestarian terlebih dahulu mengurus dan mendapatkan izin fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan lingkungan. Untuk mendapatkan izin lingkungan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan maupun izin usaha dan/atau kegiatan, orang atau hidup. badan hukum tersebut harus memenuhi syaratsyarat dan memenuhi prosedur administrasi. Menurut Utama yang dikutip oleh Helmi, bahwa pembebanan untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam proses pembangunan, dalam hal ini termasuk di masyarakat secara administrasi, perdata maupun dalamnya perizinan kegiatan atau usaha yang tuntutan pidana terhadap tindak pidana (delik) memanfaatkan lingkungan hidup (Helmi, 2012, UUPPLH sebagai upaya penegakan hukum hal. 164). lingkungan. Perlindungan hukum khususnya oleh pengadilan dapat dirasakan dalam setiap penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui putusan hakim pengadilan atas gugatan
Ketentuan izin lingkungan sebagai syarat izin usaha sebagai upaya preventif. Demikian pula pejabat pengawas yang tidak melakukan pengawasan dengan baik sehingga suatu usaha melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, selanjutnya memberi informasi palsu, menghilangkan atau merusak informasi yang diperlukan dalam pengawasan dan penegakan hukum juga dapat dipidana. Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH yang baru sebagaimana telah diuraikan tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan/atau perusakan (generic crimes) atau delik materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (2) dan (3); Pasal 99 ayat (2) dan (3); dan Pasal 108, akan tetapi mengatur juga perbuatan pelepasan, pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes)
Terkait dengan Putusan Nomor 357/ Pid.B/2010 PN.Manado dalam memori kasasinya menurut jaksa/penuntut umum berpendapat pembebasan terdakwa VP dari segala dakwaan adalah bukan merupakan pembebasan murni, karena dalam tanggapan jaksa penuntut umum bahwa dalam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Manado hanya menilai penjelasan saksi a de charge terdakwa dan tidak menilai keterangan saksi-saksi sesuai berkas perkara yang diajukan di dalam persidangan. Ditinjau dari hak terdakwa untuk mengajukan saksi a de charge, hal itu bisa dibenarkan karena dalam proses pemeriksaan di persidangan, penyidik dapat meminta keterangan dari saksi yang memberatkan terdakwa dan terdakwa pun berhak meminta agar dihadirkan saksi yang meringankan atau a de charge. Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP menerangkan, dalam
Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 219
| 219
10/1/2015 11:48:36 AM
pemeriksaan tersangka atau terdakwa dinyatakan apakah menghendaki saksi yang meringankan atau saksi yang dapat menguntungkan baginya atau yang disebut saksi a de charge. Hal ini dilakukan dengan alasan karena tersangka berhak melakukan pembelaan terhadap dakwaan yang dituduhkan kepadanya dengan mengajukan seorang saksi, dan karena pada umumnya para saksi itu memberatkan tersangka. Bila terdakwa menghendaki adanya saksi yang meringankan atau a de charge, maka penyidik wajib memeriksanya dicatat dalam berita acara, dengan memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
(1) UUPPLH, sedangkan Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 109 UUPPLH berkaitan.
Jadi bisa dikatakan bahwa jaksa/penuntut umum dalam hal ini tidak cermat. Pasal 143 KUHAP telah memperingatkan supaya hal yang harus dimuat dalam surat dakwaan harus cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan. Bagaimana cara menguraikan secara cermat dan jelas, hal itu tidak ditentukan dalam KUHAP. Penunjukan pada pasal-pasal yang didakwakan juga menjadi hal yang harus dicermati berdasar penguraian fakta-fakta karena sangat penting untuk mengetahui pasal yang Pengertian dari saksi a de charge adalah mana yang didakwakan dan arti perbuatannya saksi yang diajukan oleh terdakwa di dalam menurut pasal dalam ranah hukum pidana. persidangan ataupun tahap pemeriksaan untuk Jika hanya Pasal 99 ayat (1) UUPPLH memberikan keterangan yang menguntungkan yang didakwakan oleh jaksa, dalam hal ini sama bagi dirinya. Saksi a de charge dalam KUHAP sekali tidak berkorelasi dengan Pasal 36 ayat (1) diatur dalam Pasal 65 KUHAP yang berbunyi: UUPPLH karena Pasal 99 UUPPLH termasuk “Tersangka atau terdakwa berhak untuk delik materiil (generic crime) di mana perbuatan mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau melawan hukum yang menyebabkan pencemaran seorang yang memiliki keahlian khusus guna atau perusakan lingkungan hidup yang tidak memberikan keterangan yang menguntungkan memerlukan pembuktian pelanggaran aturanbagi dirinya.” aturan hukum administrasi seperti izin. Menjadi hal yang kontroversi jika membaca Pasal 99 ayat (1) UUPPLH merupakan tuntutan pidana jaksa/penuntut umum pada delik materiil karena yang diancam pidana adalah Kejaksaan Negeri Tondano tanggal 24 Februari akibat dari kelalaian berupa dilampauinya baku 2011 yaitu menyatakan terdakwa VP telah terbukti mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan laut atau kriteria baku mutu lingkungan hidup, tindak pidana “Perlindungan dan Pengelolaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka atau Lingkungan Hidup” sebagaimana dimaksud gangguan kesehatan. Harus dibuktikan adalah dalam Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) perbuatannya apakah benar mengakibatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang hilangnya nyawa, luka atau gangguan kesehatan. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Di mana dalam amar putusan judex facti unsur Hidup jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, jaksa dilampaui mutu udara ambeien serta baku mutu tidak menyertakan terdakwa telah melakukan lainnya tidak terbukti. tindak pidana yang diancam dengan Pasal 109 UUPPLH padahal dalam tuntutannya jaksa Pasal 36 ayat (1) merupakan perintah atau menyebutkan terdakwa melanggar Pasal 36 ayat suruhan yang menentukan setiap usaha dan/ 220 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 220
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:36 AM
atau kegiatan yang wajib memiliki amdal dan UKL/UPL wajib memiliki izin lingkungan. Harus dibuktikan adalah apakah usaha dan/atau kegiatan itu memiliki izin atau tidak. Jadi tidak ada korelasi antara pembuktian perbuatan berupa kelalaian dengan membuktikan izin. Apalagi berdasar hasil pembuktian di pengadilan ternyata terdakwa dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya tidak mempunyai izin.
terkesan berpandangan sempit juga ditemukan dalam putusan yang ditetapkan oleh hakim. Jika kita tinjau tuntutan jaksa, yaitu selain terdakwa telah didakwa melanggar Pasal 99 ayat (1) UUPPLH, juga didakwa dengan Pasal 36 ayat (1) UUPPLH yang sebenarnya terkait dengan Pasal 109 UUPPLH, tetapi dalam putusan itu ternyata hakim hanya memutus tindak pidana pada Pasal 99 ayat (1) UUPPLH dengan mengabaikan Pasal 109 UUPPLH yang berkaitan dengan Pasal 36 Terdakwa lebih tepat seharusnya juga ayat (1) UUPPLH. didakwa dengan Pasal 109 UUPPLH, yang menentukan setiap orang yang melakukan usaha Pertimbangan hukum putusan yang dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan membebaskan terdakwa ini menyampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), bahwa, berdasarkan hasil pemantauan UKL dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar terhadap peternakan VP, yang dilakukan dengan rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,- kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (tiga miliar rupiah). Pasal tersebut merupakan dan Sumber Daya Alam (PPLH-SDA) Lembaga delik formil (specific crime) yaitu perbuatan yang Penelitian Universitas Sam Ratulangi Manado melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum di mana menunjukkan tidak ada pencemaran administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya lingkungan yang melebihi batas baku mutu delik formil tidak diperlukan pembuktian telah dan juga dikuatkan dengan keluarnya Surat terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan Rekomendasi Nomor 660/BLH/38/III-2010 hidup seperti delik materiil (dalam hal ini Pasal 99 tanggal 23 Maret 2010 yang dikeluarkan Kepala UUPPLH yang didakwakan), tetapi cukup dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Minahasa membuktikan pelanggaran hukum administrasi yang mengacu pada dokumen UKL dan UPL. dalam hal ini izin. Jadi dengan kata lain harus Berdasarkan bukti di persidangan bahwa dibuktikan dulu apakah tindakannya mempunyai izin usaha yang dikeluarkan Departemen izin, dan pada kasus ini terbukti terdakwa selama Perdagangan dengan Tanda Daftar Perusahaan ini tidak mempunyai izin lingkungan yang Nomor 18025101774 tertanggal 28 Januari 1989 berakibat juga tidak memiliki izin usaha. Bisa berakhir tanggal 28 Januari 1994 dengan ketentuan diperjelas, usahanya tidak akan beroperasi atau tanda daftar perusahaan berlaku hanya lima tahun dicabut dan berakibat delik Pasal 99 ayat (1) dan selambat-lambatnya tiga bulan sebelum UUPPLH tidak akan terjadi. masa berlaku berakhir wajib diperbaharui. Sesuai Hal yang kontroversi pada Putusan dengan ihwal tuntutan, bahwa sampai perkara Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 ini diajukan yaitu tahun 2010 terdakwa tidak tersebut selain kekurangcermatan dakwaan dari memperbaharuinya, demikian juga dengan izin jaksa/penuntut umum, hal kurang cermat dan dari Departemen Perindustrian Republik Indonesia Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 221
| 221
10/1/2015 11:48:36 AM
Direktorat Jenderal Industri Kecil dalam Surat Tanda Pedaftaran Industri Kecil Nomor 71-I/ Kandep.02/Iz.00.01/X/1993 tanggal 21 Oktober 1993, dengan ketentuan pemegang surat tanda pendaftaran industri kecil ini agar menyampaikan informasi industri dengan mengisi formulir Pdf. III.IK pada setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dan hal ini juga tidak dilakukan terdakwa. Semua saksi, baik saksi dari penuntut umum dan yang dihadirkan oleh terdakwa (saksi a de charge) menyatakan tidak tahu jika usaha terdakwa mempunyai izin dan hal tersebut dibenarkan oleh terdakwa yang diperkuat oleh saksi ahli RAW dan MAA, yang dibenarkan oleh terdakwa. Saksi ahli tersebut telah melakukan peninjauan dan pemeriksaan terhadap usaha peternakan ayam milik terdakwa di mana dalam usaha peternakan ayam tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL/ IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah), UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup), dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup). Izin usaha peternakan ayam milik terdakwa sejak tahun 1991 tidak pernah diperpanjang, dan tidak pernah membuat laporan secara tertulis ke Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Minahasa. Temuan yang ada di lokasi dan izin usaha yang diberikan hanyalah untuk usaha peternakan ayam yang berakhir tahun 1994, namun kenyataan di dalamnya sudah ada peternakan burung walet yang belum ada izin usahanya. Izin usaha peternakan kandang ayam milik terdakwa hanya berlaku sampai dengan tahun 1994 dan tidak pernah memberikan laporan secara periodik ataupun memperpanjang izin usaha kepada instansi yang berwenang, setelah masyarakat melakukan komplain terhadap usaha peternakan kandang ayam milik terdakwa pada 222 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 222
tanggal 11 September 2009 barulah terdakwa mengurus atau memperpanjang izin usaha peternakan kandang ayam, sedangkan peternakan sarang burung walet tidak ada izin dari yang berwenang. Jadi pengoperasian peternakan ayam terdakwa terus berlanjut sampai pada tahun 2010, sedangkan selama tahun 1994 s.d. 2009 setelah masyarakat Desa Tateli melaporkan ke pihak kepolisian, terdakwa tidak pernah mengurus izin dari pemerintah dalam pembuatan AMDAL/ UKL/UPL. Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/ Pid.Sus/2012 yang membenarkan Putusan Nomor 357/Pid.B/2010 PN.Manado, membebaskan terdakwa VP dari segala dakwaan berdasarkan hasil pemantauan UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) terhadap peternakan VP, yang dilakukan dengan kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (PPLH-SDA) Lembaga Penelitian Universitas Sam Ratulangi Manado di mana menunjukkan tidak ada pencemaran lingkungan yang melebihi batas baku mutu dan juga dikuatkan dengan keluarnya Surat Rekomendasi Nomor 660/ BLH/38/III-2010 tanggal 23 Maret 2010 yang dikeluarkan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Minahasa yang mengacu pada dokumen UKL dan UPL. Putusan tersebut tidak dapat diterima karena semua izin di atas yang menjadi dasar putusan, diperoleh terdakwa pada saat pemeriksaan kasus di pengadilan untuk keperluan pembuktian apakah memenuhi unsur Pasal 99 ayat (1) atau tidak. Dengan demikian usaha yang selama ini dijalankan oleh terdakwa tidak pernah memiliki izin usaha, yang berarti telah melanggar Pasal 36 ayat (1) UUPPLH yang didakwakan dan berakibat bisa dipidana sesuai Pasal 109 UUPPLH. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:36 AM
Pasal 36 ayat (1) UUPPLH menetapkan bahwa izin lingkungan wajib dimiliki oleh setiap orang yang dalam kegiatan usahanya wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL. Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang menyelenggarakan usaha/kegiatan. Sedangkan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPLUKL) adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha/kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Konsekuensi bagi pihak yang tidak memenuhi izin lingkungan yang telah ditentukan dalam Pasal 36 ayat (1) UUPPLH diatur pada Pasal 109 UUPPLH yang menetapkan bahwa: “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,(tiga miliar rupiah).” Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 109 UUPPLH tersebut, yang oleh ketentuan Pasal 97 UUPPLH dinyatakan hal itu merupakan kejahatan, ada dua unsur dalam rumusan Pasal 109 UUPPLH tersebut, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif berupa melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin ‘lingkungan,’ sedangkan unsur subjektif adalah setiap orang (Ali & Elvany, 2014, hal. 24).
Pengusaha yang tidak memiliki izin lingkungan dikategorikan telah melakukan tindakan pidana (delik). Apalagi berdasar faktanya sangat memperkuat Pasal 109 UUPPLH, ini dapat dikenakan pada terdakwa karena sebelumnya terdakwa telah melakukan perbuatan aktif berupa melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa izin lingkungan. Jadi seharusnya secara logika bagaimana mungkin terdakwa diperiksa terbukti atau tidak melakukan delik pada Pasal 99 ayat (1) UUPPLH sedangkan usaha yang dilakukan tidak mempunyai izin atau kegiatan usahanya tidak memenuhi Pasal 36 ayat (1) UUPPLH, bisa ditafsirkan kegiatan usahanya batal demi hukum. Menurut Rifai, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana pada dasarnya harus mempertimbangkan segala aspek tujuan, pertama sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal ini ancaman dari polusi dan pencemaran lingkungan. Kedua sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku, jadi dalam hal ini pelaku usaha akan mematuhi untuk mengurus izin usahanya. Ketiga, mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan, pelaku masih bisa diterima dalam masyarakat (Rifai, 2011, hal. 112). Begitu pula apa yang diungkapkan oleh Soetono yang dikutip oleh Mulyadi tentang sikap seorang hakim secara idealis cukup penting eksistensinya yaitu sikap seorang hakim yang bisa berpikir ilmiah: logis, sistematis, tertib, Sabda Pandita Ratu: putusannya harus bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis, sosiologis dan filosofis (Mulyadi, 2012, hal. 143). Dengan
Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 223
| 223
10/1/2015 11:48:36 AM
berpijak pada pendapat tersebut hakim dalam kasus di atas tentu bisa lebih mendahulukan kepentingan masyarakat dengan memperhatikan bukti-bukti di pengadilan agar didapat putusan hakim yang adil. Keadilan adalah perjuangan, hakim seharusnya mengidentifikasi dirinya sebagai pejuang hukum. Sebagai pejuang, hakim tidak hanya menjalankan hukum secara rutin, tetapi selalu berusaha mendekatkan hukum kepada keadilan. Kearifan hakim bila membaca kaidah dengan berusaha menyelam ke dalam spirit, asas, tujuan hukum, dan mendialogkannya dengan konteks (Putro, 2011, hal. 261).
paling banyak Rp.3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).” Jadi dalam hal ini hakim diperbolehkan memutus lebih dari yang diminta oleh jaksa/ penuntut umum, di mana jaksa tidak memberikan dakwaan Pasal 109 UUPPLH pada terdakwa tetapi hakim memutus bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana Pasal 109 UUPPLH. Tugas hakim sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bisa diwujudkan dengan cara berhukum hakim yang progresif. Hakim yang progresif beranjak pada pengertian pertama, penegakan hukum yang progresif memiliki dasar filosofi bahwa hadirnya hukum adalah sebagai institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia. Berdasarkan hal itu, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu: untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia (Rahardjo, 2010, hal. 61). Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum (Rahayu, 2014, hal. 113).
Bila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 ini, hakim bisa menggunakan interpretasi sistematis yaitu penafsiran dengan menghubungkan antar pasal dalam suatu peraturan hukum serta mengaitkan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang. Pasal yang terdapat dalam sebuah undang-undang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya atau menjelaskan antara pasal yang satu dengan yang lainnya. Hakim harus membaca undang-undang dalam keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya Apabila dikaitkan dengan Putusan dalam hubungannya dengan pasal lain agar Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012, mengerti maksudnya. maka hakim dinilai tidak berhukum yang progresif, Jadi apa yang menjadi dakwaan jaksa/ putusan tersebut tidak mempertimbangkan penuntut umum dalam hal ini yaitu Pasal 36 bukti yang ada berupa izin lingkungan yang ayat (1) UUPPLH secara sistematis hakim dimiliki terdakwa kapan pembutannya, hakim dapat menafsirkan sebagai dasar bagi Pasal 109 hanya memperhatikan adanya surat izin yang UUPPLH, yang menentukan: “Setiap orang dimiliki terdakwa padahal pembuatan izin itu yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa setelah perkara diajukan. Hakim terjebak pada memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud skema adanya izin yang dimiliki terdakwa tanpa dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana meninjau kapan pembuatan izinnya. penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling Kedua, hakim yang progresif akan lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit senantiasa menolak segala anggapan bahwa Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan 224 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 224
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:36 AM
institusi hukum sebagai institusi yang telah final dan mutlak, sebaliknya penegakan hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam “kepastian undang-undang,” status quo dalam hukum. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian undang-undang (Rahardjo, 2010, hal. vii). Hal ini bisa ditunjukkan secara spesifik dan konkret pada penerapan atau pelaksanaan undang-undangnya (UUPPLH) dalam suatu kasus di pengadilan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012) karena putusan ini bisa jadi dasar hukum terhadap kasus-kasus yang sama lainnya. Dalam hal ini hakim hanya terjebak pada pasal yang didakwakan tanpa mau menelusuri lebih lanjut kaitan pasal yang didakwakan dengan pasal lainnya. Ketiga, penegak hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berfikir, asas, dan teori hukum yang legal-positivis. Ada keberanian melakukan rule breaking dan keluar dari rutinitas penerapan hukum, out of the box lawyering. Penegakan hukum tidak berhenti pada menjalankan hukum secara apa adanya, melainkan menjadi tindakan kreatif demi penegakan hukum yang penuh keadilan (Rahardjo, 2010, hal. 169).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, hakim hanya memutus perkara berdasar bunyi dakwaan tanpa ada tindakan kreatif menelusuri pasal lainnya yang terkait dengan dakwaan yaitu terdakwa juga telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan Pasal 109 UUPPLH yang berkaitan dengan Pasal 36 ayat (1) UUPPLH. Khususnya dalam hal ini dengan putusan hakim yang progresif, masyarakat mendapatkan perlindungan hukum berupa akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dengan tidak mengabaikan izin lingkungan terhadap usaha/kegiatan yang memerlukan izin lingkungan. Secara internasional hak ini juga mendapat pengakuan mulai dari Deklarasi Stockholm, Deklarasi Rio, sampai pada pengakuan terakhir dalam sidang Komisi Tinggi HAM bulan April 2001 yang disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup (Akib, 2013, hal. 107). Upaya mencapai keadilan dalam memutus perkara, hakim dituntut untuk lebih progresif dengan cara memutus tidak hanya dengan melihat apa yang didakwakan tetapi bisa melakukan lompatan terhadap kasus yang terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan demi keadilan, dan hal itu bisa dilakukan melalui ultra petita.
Hakim dalam perkara pidana tidak hanya bertujuan mendapatkan kebenaran formil tapi juga kebenaran materiil, oleh karena itu dalam Putusan hakim ini hanya berdasar pada perkara pidana dibolehkan melakukan ultra petita. tuntutan pidana jaksa/penuntut umum yang Ultra Petita dalam hukum formil mengandung menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pengertian sebagai penjatuhan putusan atas pidana dalam Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan
Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 225
| 225
10/1/2015 11:48:36 AM
lebih daripada yang diminta. Ketentuan ini berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. 27, yang melarang hakim memutus perkara melebihi yang dituntut/yang berarti non ultra petita (Siallagan, 2010, hal. 74).
tidak berlaku secara mutlak sebab hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertindak secara aktif dan selalu harus berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar adil.
Hal ini juga bisa dijadikan dasar juga untuk kasus-kasus selanjutnya, di mana usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal dan UKL/UPL baru akan urus izin lingkungan dan izin usahanya jika sudah ada tuntutan delik di salah satu pasal dalam UUPPLH yang berakibat masyarakat tidak mendapatkan kepastian hukum atas kejahatan lingkungan.
Hakim harus mengupayakan keadilan, sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Susanto, bahwa sebuah keputusan akan menjadi adil apabila diambil melalui sebuah proses interpretasi hukum. Interpretasi hukum harus dilakukan terus menerus agar sebuah keputusan adil dapat diambil tanpa hal tersebut keputusan tidak dianggap adil meskipun sahih. Artinya setiap keputusan adalah peristiwa yang dijamin dengan sebuah aturan. Lebih lanjut lagi menurut Susanto momen pengambilan keputusan bukanlah kontinum di mana orang mempertahankan waktu tetapi sebuah keputusan yang adil harus merobek dan membangkang terhadap berbagai dialektika. Meskipun dalam pendapatnya yang
Pada hakikatnya tugas hakim adalah untuk menegakkan keadilan. Hakim dalam menjalankan Seharusnya hakim tidak memutus perkara tugasnya diberikan kebebasan kemandirian yang terdakwa dengan putusan bebas, tetapi terdakwa dijamin undang-undang (Rifai, 2011, hal. 104). telah terbukti melakukan delik pada Pasal Selain itu hakim wajib menggali, mengikuti, 109 UUPPLH karena selama ini kegiatannya dan memahami nilai-nilai luhur dan keadilan memang tidak mempunyai izin, meskipun hal yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak dicantumkan dalam tuntutan jaksa/ Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang penuntut umum. Dalam kasus ini ultra petita bisa Kekuasaan Kehakiman). Hukum dituntut untuk dilakukan hakim di mana terdakwa yang dituntut memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch dengan Pasal 99 ayat (1) UUPPLH yang ternyata disebut nilai-nilai dasar dari hukum yaitu tidak terbukti tetapi dalam pemeriksaan perkara keadilan, kegunaan, dan kepastian (Rahardjo, di pengadilan terdakwa terbukti melanggar Pasal 2010, hal. 18). Khususnya di sini akan lebih 36 ayat (1) UUPPLH hal itu berdasar pengakuan mengedepankan keadilan karena keadilan akan terdakwa bahwa segala perizinan masih dalam menjadi ruh yang mampu mengarahkan dan proses dan diakui selama ini tidak mempunyai memberi kehidupan pada norma sehingga jika izin lingkungan terlebih izin usaha sehingga bisa keadilan ini menjadi ruh maka hukum menjadi diputus melakukan tindak pidana Pasal 109 ayat tubuhnya. Tanpa ruh tubuh akan mati, jika ruh (1) yang tidak menjadi tuntutan jaksa/penuntut dan tubuh dapat berjalan seiring akan ada harmoni umum. dalam kehidupan (Mahmutarom, 2009, hal. 33).
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Maret 1971 Nomor 499 K/Sip/1970, yang berpendapat bahwa pengadilan negeri boleh memberi putusan yang melebihi apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya. Dalam hal ini asas non ultra petita
226 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 226
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:36 AM
lain Susanto mengatakan bahwa makna keadilan tidak menentu, keadilan tidak dapat dilukiskan, keadilan tidak hadir tetapi juga tidak absen, keadilan adalah sebuah gerakan yang tidak dapat dibekukan (Susanto, 2010, hal. 289-290). Jadi untuk mengupayakan keadilan hakim harus lebih berani dan aktif dengan tidak mengesampingkan hati nurani karena sebuah keputusan adil ataukah tidak bisa dirasakan dengan hati.
mereka baru akan mengurus izin lingkungan dan izin usahanya jika sudah ada tuntutan delik di salah satu pasal dalam UUPPLH yang berakibat masyarakat tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum atas kejahatan lingkungan
DAFTAR ACUAN
IV. KESIMPULAN Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 yang membenarkan Putusan Nomor 357/Pid.B/2010 PN.Manado, dengan membebaskan terdakwa VP dari segala dakwaan karena delik dalam pasal yang didakwakan tidak terbukti (Pasal 99 ayat (1) UUPPLH, tapi ternyata dalam pemeriksaan perkara di pengadilan delik dalam pasal lainnya terbukti (Pasal 109 UUPPLH). Dalam hal ini hakim telah mengabaikan delik izin lingkungan yang telah terbukti di persidangan sehingga tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Terkait akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hakim cenderung berpikiran sempit tidak mempertimbangkan dari aspek tujuan penegakan hukum pidana, antara lain sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelaku karena ancaman tidak melaksanakan Pasal 36 ayat (1) UUPPLH adalah ancaman pidana Pasal 109 UUPPLH dan seluruh tindak pidana dalam UUPPLH adalah kejahatan (Pasal 97 UUPPLH).
Akib, M. (2014). Hukum lingkungan perspektif global & nasional. Jakarta: Rajawali Pers. _________. (2011). Penegakan hukum lingkungan dalam perspektif holistik-ekologis. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung. _________. (2013). Politik hukum lingkungan dinamika & refleksinya dalam produk hukum otonomi daerah. Jakarta: Rajawali Pers. Ali, A., & Heryani, W. (2012). Menjelajahi kajian empiris terhadap hukum. Jakarta: Kencana. Ali, M., & Elvany, A. I. (2014). Hukum pidana lingkungan
sistem
pemidanaan
berbasis
konservasi lingkungan hidup. Yogyakarta: UII Press. Davitt, T. E. (2012). Nilai-nilai dasar di dalam hukum. Y, Santoso (Ed.). Yogyakarta: Mitra Setia. Hardjasoemantri, K. (2009). Hukum tata lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Helmi. (2012). Hukum perizinan lingkungan hidup. Jakarta: Sinar Grafika. Mahmutarom. (2009). Rekonstruksi konsep keadilan.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Putusan ini juga bisa dijadikan dasar untuk Diponegoro. kasus-kasus selanjutnya, di mana pihak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Maryani, S. (2009, September). Penyelesaian sengketa amdal dan UKL/UPL tidak akan mengurus izin, lingkungan hidup sebagai sarana penegak Delik Izin Lingkungan yang Terabaikan (Derita Prapti Rahayu)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 227
| 227
10/1/2015 11:48:36 AM
hukum
lingkungan
keperdataan.
Jurnal
petita dalam pengujian undang-undang. Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 38 No. 3. Marzuki, P. M. (2010). Penelitian hukum. Surabaya:
Moeljatno. (2008). Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
responsif terhadap perubahan masyarakat.
teoretis
&
praktik.
Soeharto. (1993). Hukum pidana materiil. Jakarta: Sinar Grafika.
Mulyadi, L. (2012). Bunga rampai hukum pidana Bandung:
Alumni.
Susanto, A. F. (2010). Ilmu hukum non sistematik fondasi filsafat pengembangan illmu hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publising.
Prasetyo, D. I., & Tanya, B. L. (2011). Hukum etika & kekuasaan. Yogyakarta: Genta Publising.
melawan
hukum
formil/materiil
&
pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi kajian teori hukum pidana terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor
003/PUU-4/2006.
Jurnal
Hukum Pro Justitia, 24(3). Putro, W. D. (2011). Kritik terhadap paradigma positivisme
hukum.
Yogyakarta:
____________.
(2015).
Penelitian
hukum
transformatif-partisipatoris, fondasi penelitian
Prastowo, B. (2006, Juli). Delik formil/materiil,
perkara
pengembangan ilmu hukum sistematik yang Yogyakarta: Genta Publising.
Muhammad, A. K. (2014). Hukum & penelitian
sifat
Mimbar Hukum, 22(1). Sidharta, B. A. (2013). Ilmu hukum indonesia upaya
Prenada Media Group.
perspektif
Siallagan, H. (2010, Februari). Masalah putusan ultra
Genta
Publising. Rahardjo, S. (2006). Membedah hukum progresif. Jakarta: Kompas. ___________. (2010). Penegakan hukum progresif. Jakarta: Kompas. Rahayu, D. P. (2014). Budaya hukum Pancasila. Yogyakarta: Thafa Media.
kolaboratif & aplikasi campuran (mix methode) dalam penelitian hukum. Malang: Setara Press. Suteki. (2013). Desain hukum di ruang sosial. Yogyakarta dan Semarang: Thafa Media dan Satjipto Rahardjo Institute. Syahrani, R. (1998). Hukum acara perdata di lingkungan peradilan umum. Jakarta: Pustaka Kartini. Warassih, E., & Bowo, R. (2013, November). Kebijakan lingkungan hidup dalam perspektif hukum progresif. Dekonstruksi Gerakan & Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progresif UNDIP. Wignjosoebroto, S. (2013). Hukum konsep & metode. Malang: Setara Press.
Rahmadi, T. (2014). Hukum lingkungan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rifai, A. (2011). Penemuan hukum oleh hakim dalam perspektif hukum progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
228 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 228
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 209 - 228
10/1/2015 11:48:36 AM
PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA BERBASIS METODE ANTINOMI NILAI DALAM PENEGAKAN HUKUM Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag
AGRARIAN DISPUTES RESOLUTION THROUGH ANTINOMY OF VALUES METHODOLOGY IN LAW ENFORCEMENT An Analysis of Court Decision Number 06/Pdt.G/2014/PN.Kag Ali Imron Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64 Malang 65146 E-mail:
[email protected] Naskah diterima: 8 Maret 2015; revisi: 18 Agustus 2015; disetujui: 21 Agustus 2015 ABSTRAK Bercermin pada putusan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. tanggal 25 November 2014 yang mengadili konflik agraria di Desa SS, dapat dipetik suatu pelajaran betapa lemahnya peran pengadilan sebagai lembaga penegakan hukum yang visioner dalam melindungi kelompok masyarakat petani yang tidak berdaya. Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 telah memberikan mandat yang jelas, baik yang ditujukan kepada DPR, presiden, dan lembaga yudikatif (pengadilan), yaitu pertama, menjalankan pembaruan agraria; dan kedua, menegakkan prinsipprinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Amanah tersebut menginspirasi pengadilan agar dalam menyelesaikan konflik agraria, bukan hanya mengandalkan legalisme/formalisme, tetapi melalui paradigma hukum progresif yang mengedepankan keadilan substansial. Berpegang pada prinsip kebebasan hakim dalam penegakan hukum, peluang terbuka lebar untuk memadukan ketegangan –melalui metode antinomi- nilai antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan, agar lebih mengedepankan nilai manfaat bagi masyarakat yang terpinggirkan oleh kekuatan dan kekuasaan pemodal besar di dalam kancah konflik agraria. Kata kunci: konflik agraria, antinomi nilai, penegakan
hukum. ABSTRACT Court Decision Number 06/Pdt.G/2014/PN.Kag issued on November 25, 2014, which tried the case of agrarian disputes in SS, reflects the poor role of the judiciary as the law enforcement agency whose vision is to protect helpless the society group of farmers. The People’s Consultative Assembly Decree Number IX of 2001 has given a clear mandate, addressed both to the House of Representatives, the president, and the judicial agency (courts), that are firstly, to implement the agrarian reform, and secondly, to uphold the equitable and sustainable principles of natural resources management. The mandate inspires the courts to not only rely on legalism/ formalism in resolving agrarian disputes, but also on the progressive law paradigm which promote substantial justice. Adhering to the principle of independence of judiciary in law enforcement, chances are wide open to chime strain value -through a method of antinomybetween the demands of legal certainty and the demands of justice, which emphasizes value of merit o the communities marginalized by the authority and power of the capitalists in the arena of agrarian disputes. Keywords: agrarian disputes, antinomy of values, law enforcement.
Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 229
| 229
10/1/2015 11:48:36 AM
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
dengan negara. Selama ini hak-hak rakyat senantiasa menjadi pihak yang terkalahkan, tidak pernah mendapat tempat menurut sudut pandang pemerintah. Maka tidak mustahil apabila dalam berbagai kasus sengketa pertanahan yang terekam, rakyat lebih memilih saluran-saluran “perlawanan” di luar lembaga peradilan, seperti unjuk rasa dan aksi protes di gedung-gedung pemerintah maupun DPR, bahkan rakyat lebih menaruh kepercayaannya kepada Komnas HAM.
Konflik agraria merupakan salah satu persoalan besar bangsa Indonesia yang hingga kini belum dapat ditemukan solusi penyelesaiannya. Merebaknya konflik agraria, merupakan indikasi adanya krisis dalam bangunan politik dan hukum agraria. Politik agraria yang terbangun dan berlangsung sampai saat ini, oleh beberapa penulis dipandang sebagai sosok politik agraria yang pro kapitalisme-neoliberal dengan mengabaikan Sesungguhnya sesuai mekanisme formal kepentingan kelompok tani, nelayan, buruh, dalam sistem hukum, satu-satunya lembaga dan masyarakat adat. Adapun perangkat hukum penegak hukum yang fokus menyelesaikan agraria yang terbangun, terpengaruh oleh unsur dalam hal terjadi sengketa di antara anggota kepentingan pemodal besar, yang memberi masyarakat adalah pengadilan. Selama ini peluang terhadap penguasaan tanah dan sumber peran pengadilan dalam konflik agraria dinilai daya alam dalam skala luas dan terus-menerus. tidak mampu mengakomodasi tuntutan rakyat Keadaan itu menimbulkan ekses yang dapat yang merasa haknya dirampas. Kenyataannya menggerus dan menyingkirkan kepentingan memang secara legal-formal hak-hak rakyat kaum tani, nelayan, buruh, dan masyarakat adat itu lemah bukti penguasaan hak atas tanah dari alat produksinya (Konsorsium Pembaruan garapannya. Memuncaknya ketidakpercayaan Agraria (KPA), 2010). Faktanya konflik tersebut tersebut semakin menimbulkan anggapan, telah banyak menimbulkan korban di pihak bahwa pengadilan justru memberi peluang bagi masyarakat sipil, pada umumnya diakibatkan keberlanjutan peminggiran terhadap hak petani oleh adanya kebijakan timpang yang memanjakan dan rakyat atas tanah dan sumber-sumber agraria kelompok tertentu sembari mengabaikan hak-hak yang menjadi tumpuan hidup dan kehidupan sejumlah pihak lainnya. keluarga maupun generasinya. Potret tentang praktik pengelolaan dan pengurusan negara atas tanah dan sumber daya alam yang ada, dari periode ke periode pemerintahan di Republik ini lebih banyak menyebabkan ketidakseimbangan distribusi hakhak atas tanah. Corak konflik agraria di Indonesia sekarang sudah berubah menjadi konflik vertikal daripada konflik horizontal; atau konflik antara petani dan rakyat berhadapan dengan kekuatan modal atau negara; atau konflik antara petani dan rakyat dengan kekuatan modal yang beraliansi
230 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 230
Apabila memperhatikan sebaran sengketa pertanahan yang terus berlangsung di berbagai wilayah di tanah air, jumlah kerugian materiil maupun korban fisik yang cukup banyak, sudah pasti harus menimpa pihak yang tidak berdaya secara sosial-ekonomi. Bercermin pada Putusan Nomor 06/ Pdt.G/2014/PN.Kag. tanggal 25 November 2014, merupakan salah satu contoh lemahnya peran pengadilan sebagai lembaga penegak hukum
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:36 AM
yang visioner dalam melindungi kelompok masyarakat petani yang tidak berdaya. Konflik agraria antara petani masyarakat Desa SS Kecamatan M Kabupaten OKI melawan PT. SWA itu, merupakan persoalan skala kompetisi dalam pemanfaatan ruang, terutama dalam hal alokasi potensi kekayaan agraria/sumber daya alam tanah. Penduduk setempat membutuhkan lahan sebagai modal keberlanjutan hidupnya, sehingga hanya memerlukan sumber daya yang relatif sedikit. Sementara pada sisi lain potensi kekayaan agraria tersebut dibutuhkan oleh kepentingan ekonomi skala besar, mengambil alih paksa lahan-lahan yang awalnya telah dikuasai oleh petani maupun kelompok masyarakat adat SS. Proses pengambil alihan sumber-sumber agraria itu dilengkapi sarana pengalihan hak atas sumbersumber agraria yang difasilitasi pemerintah daerah dan instansi lainnya, hingga diterbitkan hak guna usaha (HGU). Sementara apabila dicermati, melalui dalildalil posita baik dari pihak penggugat maupun pihak tergugat, tujuan awal mereka datang di SS adalah mengajak kerjasama dengan para anggota masyarakat setempat, untuk usaha perkebunan kelapa sawit dengan pola plasma-inti. Namun dalam perjalanannya pihak PT. TMM –yang satu grup dengan PT. SWA– secara sepihak membatalkan perjanjian kerjasama perkebunan plasma dan mengalihkan penguasaannya kepada PT. SWA, kemudian mengubah status tanah hak adat objek sengketa itu menjadi HGU. Peristiwa inilah titik awal yang memicu munculnya konflik. Seiring perjalanan waktu, sifat sengketa pertanahan yang merebak di Desa SS itu, berubah dari kategori horizontal menjadi konflik pertanahan vertikal, yaitu antara kelompok rakyat tani lemah, melawan pihak perusahaan pemodal
besar swasta, di bawah bayang-bayang unsur penguasa pemerintahan. Dalam salah satu pertimbangan hukumnya pada putusan tersebut di halaman 194 menyebutkan: “Pendekatan hukum terhadap konflik agraria seyogianya bukan hanya mengandalkan legalisme/formalisme, karena terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan, untuk itu harus mengadopsi gagasan yang dikembangkan dalam wacana hak asasi manusia sebagai konsep trasitional justice (suatu pendekatan keadilan transisional) yang mengutamakan hak-hak korban konflik agraria dalam bentuk pemulihan, kompensasi, dan restitusi hak asasi manusia atau pendekatan hukum secara progresif yang mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan substansial, tanpa mengesampingkan ketentuan hukum acara yang berlaku” (www.putusan. mahkamahagung.go.id). Bunyi pertimbangan hukum tersebut, ternyata kontradiktif dengan vonis hakim yang tidak menyandarkan pada keadilan substantif, yaitu suatu putusan yang seharusnya memiliki sifat sensitivitas terhadap masalah bangsa dan kehidupan rakyat, dengan melihat suatu problema dari perspektif keadilan sosial. Konkretnya terhadap putusan yang menolak gugatan rekonvensi dari para petani masyarakat adat SS dengan alasan gugatan kabur (obscuur libels), memperlihatkan keraguan hakim. Sejatinya dengan berpegang pada prinsip deskresi/ kebebasan hakim, upaya untuk mengedepankan rasa keadilan demi masyarakat tani yang lemah, dan berada di pihak yang menjadi korban –menyangkut nasib serta kepentingan sejumlah 315 kepala keluarga itu– layak diperhatikan agar nasibnya tidak diambangkan.
Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 231
| 231
10/1/2015 11:48:36 AM
Selaras tuntutan reformasi, peran pengadilan didorong agar lebih aktif melibatkan diri dalam proses membangun masyarakat Indonesia baru, supaya menghasilkan putusanputusan yang berbobot politik, yaitu politik kenegarawanan (judicial statmenship) sematamata dalam rangka pengadilan turut membangun masyarakat baru tersebut. Perkembangan dari abad ke abad, tempat dan peran pengadilan sejak abad XX memperlihatkan perubahan dibanding pada abad sebelumnya (abad XIX). Menurut Rahardjo (2010, hal. 183-184), fenomena itu tampak secara pelan-pelan terjadi perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi, menjadi pengadilan yang mau melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat sekelilingnya. Makna pendapat tersebut menyiratkan asosiasi bahwa pengadilan dalam memutus perkara, agar tidak semata-mata hanya mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh undang-undang, tanpa memerhatikan dinamika masyarakat.
Kemauan politik untuk melakukan reformasi agraria di Indonesia sebenarnya sudah dicanangkan sejak diundangkannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UU PA dan peraturan pelaksanaan lainnya, yaitu berkenaan dirumuskannya ketentuan tentang landreform yang membatasi kepemilikan luas hak atas tanah, dan pembagian tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah. Jadi inti dari reforma agraria adalah landreform, dalam arti redistribusi penguasaan dan pemilikan tanah, dengan tujuan hakiki untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap, sekaligus sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Harsono, 2007, hal. 31). Sejalan dengan visi sumber aturan tersebut, hakikatnya sudah sinkron dengan bunyi salah satu pertimbangan putusan hakim di muka, bahwa “pendekatan hukum terhadap konflik agraria seyogianya bukan hanya mengandalkan aspek legal-formal, karena terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan, selayaknya opsi yang lebih diprioritaskan adalah pendekatan hukum secara progresif yang mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan substansial.” Sedangkan pesan utama paradigma hukum progresif, menyiratkan gagasan bahwa ketertiban tidak bekerja hanya melalui produk aturan institusi negara, tetapi juga ditentukan oleh habitat di mana hukum tersebut hidup, yaitu perilaku sosial masyarakatlah yang menjadikan hukum bekerja mengalir mengikuti alur berfikir sosial masyarakatnya.
Pengadilan sesuai perannya sebagai the last resort bagi para justitiabel, seyogianya mengikuti pasang-surut dan dinamika sektor keagrariaan. Para pembela hak rakyat setelah melalui perjuangan panjang dan menelan banyak korban, gejala adanya perubahan kebijakan keagrariaan di tanah air mulai terlihat, yaitu dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang “Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Melalui ketetapannya itu, MPR telah memberikan mandat yang jelas, baik yang ditujukan kepada DPR, presiden dan jajaran lembaga yudikatif (pengadilan), yaitu: pertama, menjalankan Jiwa hukum progresif akan dapat pembaruan agraria; dan kedua, menegakkan menstimulasi penalaran hakim dalam menangani prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam perkara tentang konflik agraria, supaya melakukan yang berkeadilan dan berkelanjutan. perenungan (contemplation) dan mencari makna 232 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 232
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:36 AM
lebih dalam dari suatu peraturan. Sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo dan Pitlo (1993, hal. 70-71), Scholten berpendapat bahwa hukum itu ada dalam undang-undang tetapi masih harus ditemukan. Artinya, ketika “pintu perenungan makna” itu di buka, maka tampaklah bentangan cakrawala baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subjektif, tetapi juga merespon kondisi lingkungan kemasyarakatan.
Hakim yang berpikiran progresif menurut pendapat Rahardjo (2010, hal. 142), akan berupaya menjadikan dirinya bagian masyarakat dan senantiasa akan bertanya “Apa peran yang dapat diabdikan dalam era reformasi ini? Apa yang diinginkan segenap bangsa ini sesuai citacita reformasi?” Singkatnya, pengadilan progresif mengikuti maksim “hukum adalah untuk rakyat, bukan sebaliknya.” Gagasan progresif tersebut diharapkan dapat membantu kita keluar dari cara berhukum yang sudah dianggap baku, dan hukum Tugas dan fungsi hakim sebagai penegak progresif mebebaskan kita dari cara berhukum hukum dan keadilan adalah bebas, artinya hakim yang selama ini dijalankan. tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan atau campur tangan dari pihak atau kekuasaan Berpegang pada pandangan tersebut bahwa manapun. Pada dasarnya tujuan dari kebebasan hukum untuk rakyat, adalah sejiwa dengan hakim dalam mengadili dan memutus perkara amanah Konstitusi dan Tap MPR Nomor IX adalah agar pengadilan dapat menunaikan Tahun 2001 hendaknya sumber-sumber agraria tugasnya dengan sebaik-baiknya, sehingga digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran dapat memberikan keputusan berdasar kepastian rakyat. Namun cerminan putusan hakim yang hukum dan keadilan serta kejujuran. Dalam tertuang dalam perkara Nomor 06/Pdt.G/2014/ proses penemuan dan penegakan hukum, hakim PN.Kag, justru menggambarkan adanya dihadapkan pada suatu kenyataan tentang adanya inkonsistensi antara pertimbangan hukum yang ketegangan nilai antara tuntutan kepastian hukum berparadigma hukum progresif dengan putusan dan tuntutan keadilan. akhir yang condong legal-positivistik. Lahirnya putusan itu mempunyai dampak sosial-ekonomi Adagium dalam ilmu hukum disebutkan bagi 315 kepala keluarga beserta anggotanya bahwa, kepastian yang tertinggi adalah keadilan yang diambangkan nasibnya oleh vonis yang terendah (summum ius summa iniuria) dan pengadilan tersebut, ia menjadi terlepas dengan sebaliknya. Sudut pandang pemahaman yang alat produksinya. ideal (maknawi), nilai-nilai yang bersitegang (antinomi) itu tidak berarti bahwa keduanya tidak dapat disinergikan untuk terciptanya B. Rumusan Masalah synthese yang menghasilkan kemanfaatan hidup Bertolak dari uraian latar belakang masalah masyarakat. Apa yang adil, atau apa yang pasti, tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian ini sangat tergantung menurut konteksnya. Sekalipun sebagai berikut: konteks mempengaruhi apakah nilai kepastian hukum itu adalah nilai yang “baik” atau “buruk,” 1. Bagaimanakah seharusnya penyelesaian konflik agraria melalui pendekatan hukum begitu juga sebaliknya, tetap saja keduanya harus progresif dalam putusan agraria? hadir secara antinomi untuk menyempurnakan satu sama lainnya. Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 233
| 233
10/1/2015 11:48:36 AM
2.
Bagaimana seharusnya sikap dan tindakan hakim, sesuai status bebas-mandiri yang disandangnya dalam menyelesaikan konflik agraria; ketika dihadapkan pada kondisi antinomi antara aspek legalitas-formal demi pengutamaan unsur kepastian hukum, dan tekanan kondisi non-formal yang berorientasi pada keadilan substantif?
progresif diharapkan dapat membantu dalam penegakan hukum, untuk keluar dari kungkungan cara berhukum yang sudah dianggap baku. Pada gilirannya juga untuk menangkal adanya kesan bahwa hakim/pengadilan sebagai institusi hukum, tidak hanya bekerja secara birokratis, mekanis, dan prosedural, tetapi lebih dari itu ada keberanian melakukan terobosan hukum (rule breaking) dan keluar dari rutinitas penerapan hukum. Bertolak dari konsep “penyelesaian” tersebut, secara C. Tujuan dan Kegunaan fungsional juga untuk menghindari terjadinya Konflik agraria yang telah diputuskan percabangan atau bifurcation dalam artian hukum oleh Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ PN.Kag dan pengadilan tidak lagi hanya menjadi tempat merupakan salah satu persoalan besar bangsa untuk mencari keadilan, tetapi sebagai tempat Indonesia yang menjadi sorotan publik. Konflik untuk menegakkan peraturan. agraria merupakan salah satu jenis konflik sosial yang sering terjadi dan dilihat dari perspektif D. Studi Pustaka sosiologis, konflik agraria berakar dari berbagai macam permasalahan. Adapun dari perspektif 1. Karakteristik Konflik Agraria di hukum, konflik agraria potensial dipicu oleh Indonesia Pada Saat Ini beberapa sumber konflik, antara lain konflik Konflik agraria adalah indikasi krisis norma, konflik kepentingan dan konflik nilaidalam politik dan hukum agraria. Politik agraria nlai. yang berlangsung hingga saat ini adalah politik Mengingat karakter khusus yang melekat agraria yang pro kapitalisme-neo liberal dengan pada jenis kasus tersebut, kegiatan penelitian mengabaikan kepentingan kelompok tani, buruh, ini ditujukan untuk memberikan solusi nelayan, dan masyarakat adat. Sedangkan hukum alternatif penegakan hukum yang berkonotasi agrarianya adalah hukum agraria yang mengabdi “menyelesaikan” konflik agraria, dan bukan pada kepentingan pemodal besar, memungkinkan sekadar “memutus” perkara. Terutama dalam penguasaan tanah dan sumber daya alam dalam penelitian ini diusahakan dapat menelorkan opsi skala luas dan secara terus-menerus menggerus gagasan penyelesaian konflik agraria melalui dan menyingkirkan kaum tani, nelayan, pendekatan paradigma hukum progresif, yang buruh, dan masyarakat adat dari kemampuan berbasis metode antinomi berorientasi pada produktivitasnya (Suara Pembaruan Agraria, keadilan substansial. Edisi VIII September-Oktober 2013, hal. 30). Kegunaan penelitian ini khususnya dapat memberi kontribusi dalam pengayaan wawasan bagi hakim dalam penegakan hukum konflik sosial berbasis paradigma hukum progresif seperti kasus di Desa SS. Sandaran gagasan hukum 234 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 234
Ketimpangan kehidupan sosial-politik, hukum, dan ekonomi tersebut melahirkan rasa ketidakpuasan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan yang mengandalkan hidup dari tanah dan sumber daya lain yang menyertainya. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:36 AM
Ketidakadilan inilah yang menjadi pangkal masalah, sehingga ribuan konflik agraria terjadi dan suatu ketika sampai pada tingkatan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat tinggi. Secara umum klasifikasi mengenai sengketa dan konflik pertanahan selama ini dapat dibedakan sebagai berikut: 1) sengketa horizontal antara masyarakat dengan masyarakat lainnya; 2) konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang; dan 3) konflik antara masyarakat dengan pengusaha atau investor. Sifat sengketa-sengketa tersebut pada awalnya dapat saja dipicu persoalan sederhana, kemudian berkembang dan berubah menjadi konflik yang sangat rumit. Penyebabnya karena cara penanganan dan/atau struktur kelembagaannya yang bersifat sentralistik, dikendalikan oleh mesin birokrasi otoriter dan praktik-praktik manipulasi yang mempraktikkan kekerasan terhadap penduduk yang hendak mempertahankan eksistensinya. Sementara itu lembaga peradilan yang bertugas menegakkan hukum dalam mengontrol keputusan-keputusan miring pejabat publik, atau mengawal hak-hak rakyat, tidak dapat dijangkau oleh para penduduk maupun oleh pembela pendampingnya karena masalah aksesibilitas, biaya yang mahal, dan putusan-putusannya belum dapat menjamin pemenuhan rasa keadilan masyarakat (Komnas HAM, n.d.).
hal. 109-111) menyebutkan ada empat pendekatan yang dapat dikelompokkan berdasar pengalaman sejumlah negara dalam dalam menghadapi konflik agraria, yaitu pertama, mengabaikan kenyataan adanya konflik-konflik agraria yang muncul akibat serangkaian tindakan yang terencana sebelumnya; kedua, menunda-nunda, sehingga orang menjadi bosan dan kemudian jadi tidak mempermasalahkannya lagi; ketiga, mengambil jalan pintas, yaitu menempatkan masalah konflik agraria sebagai masalah teknis belaka; lebih khusus lagi hanya sekedar masalah ketersediaan pangan atau penegakan kepastian hukum, sehingga penyelesaian yang radikal dan menyeluruh tidak dilakukan; empat, mengerahkan kekuatan, yaitu upaya penyelesaian konflik agraria secara mendasar dan menyentuh akar-akar masalahnya dengan suatu program agrarian reform. 2.
Kebijakan yang Berhubungan dengan Upaya Mengatasi Konflik Agraria
Solusi alternatif untuk menyelesaikan konflik agraria adalah melalui kebijakan pencanangan program pembaruan agraria melalui Tap MPR Nomor IX Tahun 2001. Secara operasional pembaruan agraria bertujuan untuk menata kembali sistem politik dan hukum pertanahan, serta di dalam implementasinya melalui landreform yaitu program penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan, pemanfaatan sumber agraria sebagai proses praApabila tidak ada upaya serius mengatasinya, kondisi dari pembangunan. Program landreform maka akan mendorong lahirnya konflik-konflik hakikatnya bukanlah sekedar gerakan redistribusi baru serta mengakibatkan terus meningkatnya tanah semata, namun harus diintegrasikan dengan angka kemiskinan dan pengangguran, khususnya tindakan pembinaan para petani, dengan maksud di wilayah pedesaan. Dampak sosial lanjutannya mencegah timbulnya efek negatif. akan mendorong laju migrasi yang tak terkendali, BPN-RI menanggapinya dengan dan pada gilirannya memicu meningkatnya angka menggunakan opsi yang bersifat manusiawi, arif, kriminalitas di perkotaan. Christodoulou (1990, Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 235
| 235
10/1/2015 11:48:37 AM
dan bijaksana daripada pendekatan keamanan atau kekerasan dalam menyelesaikan konflik agraria, melalui pencanangan Program Pembaruan Agraria Nasional yang berupa “Landreform Plus” yaitu terdiri atas “Asset Reform” dan “Access Reform.” Landreform merupakan komponen utama program pembaruan agraria yang hendak melakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan, pemanfaatan sumber agraria yang timpang, sekaligus sebagai upaya membangun sistem perekonomian masyarakat pedesaan. 3.
Pendekatan Hukum Progresif dalam Penyelesaian Konflik Agraria
Konflik agraria adalah gejala adanya krisis dalam bangunan politik dan hukum agraria; keadaan ini dipandang oleh Rahardjo sebagai suatu anomaly yang kemudian melahirkan krisis. Paradigma hukum agraria lama yang kapitalistikliberalistik dan sistem peradilannya yang legalpositivistik tidak mampu menyesuaikan kemajuan zaman, sehingga membutuhkan tawaran paradigma baru guna melihat dunia hukum secara berbeda, yaitu melalui paradigma hukum progresif. Pada intinya paradigma hukum progresif lebih menitikberatkan penghambaan hukum dalam kehidupan masyarakat diorientasikan kepada nilai keadilan hukum yang bersifat substansial daripada keadilan prosedural (Kusuma, 2009, hal. 64). Lebih jauh Rahardjo (2010, hal. 168-169) menegaskan, bahwa di dunia ini tidak hanya ada satu tipe atau cara berhukum. Ada cara berhukum yang hanya mengikuti bunyi pasal-pasal teks undang-undang belaka, tetapi ada juga yang menjadikan undang-undang itu inspirasi serta panduan moral untuk secara kreatif bertindak lebih lanjut. Pilihan-pilihan ini perlu dimanfaatkan. Negara hukum Indonesia menjadi terlalu mahal
236 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 236
kalau hanya menjadi negara yang menerapkan kalimat undang-undang belaka. Suasana krisis dan kemerosotan dewasa ini, hukum itu perlu dijalankan secara visioner. Untuk itu, perlu ada keberanian melakukan rule breaking dan keluar dari rutinitas penerapan hukum, out of the box lawyering. Penegakan hukum tidak berhenti pada menjalankan hukum secara apa adanya, within the call of law, melainkan menjadi tindakan kreatif, beyond the call of law. Konfigurasi dimensi urusan pertanahan yang terus berubah dan berkembang akan berimplikasi menimbulkan banyak benturan kepentingan (conflict of interest) yang terus berjalan, oleh karena itu selayaknya diperlukan metode penyelesaian sengketa ataupun konflik yang berorientasi pada pemberian tekanan keadilan sosial dan kepastian hukum secara sinergis dan proporsional. Secara esensi kasuskasus pertanahan mengandung dimensi-dimensi sosial yang dipertentangkan, mulai dari hubungan sosial, religi, kontinuitas komunitas masyarakat, dan harga-diri serta martabat (dignity). Bertolak dari fakta di tengah pertentangan ini, pengadilan umum dan pengadilan TUN acapkali dalam menangani kasus pertanahan, hanya melihat dari sisi formalitas hubungan hukum (penguasaan/ pemilikan) antara person/komunitas dengan tanah itu semata. Oleh karena itu, sewajarnyalah apabila kemudian pendekatan legal-formal yang dihasilkan berupa “putusan pengadilan,” seringkali bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. II.
METODE
Tipe penelitian hukum ini adalah penelitian doktrinal (doctrinal researche), berupa studi kasus dalam rangka menemukan konsep-konsep yang berhubungan dengan proses terjadinya
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:37 AM
dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat. Analisis difokuskan pada penegakan hukum atas Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ PN.Kag. tentang konflik agraria antara petani masyarakat Desa SS Kecamatan M Kabupaten OKU melawan PT. SWA.
Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Penyajian hasil penelitian (sebagai hasil pengolahan data), disatukan dengan analisis data. Hal ini merujuk pendapat Soekanto (1986, hal. 68-69), bahwa pada penelitian normatif yang menelaah data sekunder, penyajian data dilakukan sekaligus Terkait dengan konteks penelitian ini dengan analisisnya. Artinya, penyatuan data yang yaitu menemukan solusi penyelesaian konflik terhimpun dengan analisis yang dikaitkan dengan agraria, maka pendekatan yang digunakan adalah kasus yang diangkat menjadi satu kesatuan yang pendekatan konsep (conceptual approach) dan padu, dan tidak bersifat deskriptif belaka. pendekatan kasus (case approach) (Marzuki, 2007, hal. 93). Pendekatan konsep dilakukan dalam upaya membangun konsep sebagai III. HASIL DAN PEMBAHASAN landasan berpijak untuk memahami fenomena A. Penyelesaian Konflik Agraria Melalui hukum sebagai suatu sistem disiplin. Sedangkan Pendekatan Hukum Progresif dalam studi kasus dipusatkan pada kegiatan analisis Putusan Agraria Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag tanggal 25 November 2014, tentang konflik agraria 1. Urgensi Menghayati Sumber-sumber Konflik dan Upaya Penanganannya antara kelompok petani masyarakat adat Desa SS Kecamatan M Kabupaten OKU melawan PT. Konflik pertanahan yang marak pada SWA, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang saat ini, sebagian besar merupakan warisan berdomisili di Jakarta Utara. masa lampau yang tidak terselesaikan, bentuk Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi bahan-bahan pustaka atau studi dokumentasi, dengan menerapkan teknik analisis isi (content analysis). Penerapan teknik analisis isi (content analysis) dimaksudkan untuk mengurai bahan pustaka hukum dari sumber primer yurisprudensi, terutama dalam upaya menjustifikasi petitum gugatan maupun posita jawaban pihak-pihak, fundamentum petendi serta ratio decidendi Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ PN.Kag tersebut. Kegiatan mendapatkan sumber data sekunder yang berupa bahan pustaka bidang non hukum, berupa buku teks, jurnal hukum, dan internet, ditempatkan sebagai sumber data utama dalam menganalisis kasus yang diangkat dalam penelitian ini.
akumulasi dari berbagai sumber persoalan agraria yang diperkirakan telah mencapai ribuan kasus dengan variasi motif dan substansinya, seperti sengketa batas tanah/hutan adat, tumpangtindihnya izin penguasaan, dan penggunaan tanah-tanah perkebunan, eksploitasi kayu hutan alam, perluasan hutan tanaman industri, hutan jati, kawasan konsevasi, perkebunan, pesisir pantai, dan lain-lain. Resource Center Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 369 terjadinya konflik agraria hingga 19 Desember 2013. Apabila dibandingkan tahun 2012 terdapat tren peningkatan kuantitas konflik agraria sebanyak 171 kasus atau naik 86,36%. Areal konflik di sektor kehutanan menempati urutan teratas dengan 31 kasus meliputi
Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 237
| 237
10/1/2015 11:48:37 AM
luas 545.258 Ha, disusul sektor perkebunan dengan 180 kasus meliputi 527.939,27 Ha, sektor pertambangan sejumlah 38 kasus mencakup luas 197.365,90 Ha dan infrastruktur 35.466 Ha yang terdistribusi dalam 105 kasus (Suara Pembaruan Agraria, Edisi IX, Desember 2013-Februari 2014, hal. 36-37). Kasus-kasus konflik agraria tersebut dikualifikasi sebagai kasus-kasus struktural yang melibatkan penduduk setempat di satu pihak yang berhadapan dengan kekuatan modal dan/ atau instrumen negara.
selanjutnya diikuti dengan kegiatan menganalisis dan mendiagnosis terhadap sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik agraria. Bertolak dari kajian-kajian pustaka dan fakta-fakta materiil pertimbangan hukum putusan hakim, potensi konflik itu dapat diidentifikasi sebagai berikut: a.
Sumber Konflik Berdasar Kebijakan Bidang Pertanahan
Kebijakan keagrariaan mencakup dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu aspek politik dan hukum. Kedudukan hukum dalam negara sebagian merupakan hasil perjuangan politik, dan negara merupakan komunitas yang lahir karena tata hukum nasional. Politik hukum agraria
Secara umum klasifikasi mengenai sengketa dan konflik pertanahan selama ini dapat dibedakan sebagai berikut: 1) sengketa horizontal antara masyarakat dengan masyarakat lainnya; 2) konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang; 3) konflik antara masyarakat dengan pengusaha atau investor. Sifat sengketa-sengketa tersebut pada awalnya dapat saja dipicu persoalan sederhana, kemudian berkembang dan berubah menjadi konflik yang sangat rumit. Penyebabnya karena cara penanganan dan/atau struktur kelembagaannya yang bersifat sentralistik, dikendalikan oleh mesin birokrasi otoriter dan praktik-praktik manipulasi yang mempraktikkan kekerasan terhadap penduduk yang hendak mempertahankan eksistensinya. Sementara itu lembaga-lembaga peradilan yang bertugas menegakkan hukum dalam mengontrol keputusan-keputusan miring pejabat publik, atau mengawal hak-hak rakyat, tidak dapat dijangkau oleh para penduduk maupun oleh pembela pendampingnya karena masalah aksesibilitas, biaya yang mahal, dan putusan-putusannya belum dapat menjamin pemenuhan rasa keadilan masyarakat (Komnas HAM, n.d.). Memahami peta sumber konflik agraria diawali dengan tindakan mengidentifikasi dan mengumpulkan gejala-gejala yang tampak, 238 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 238
yang menjadikannya prinsip hukum positif sebagai kerangka kerja satu-satunya yang hidup dalam masyarakat, maka kondisi ini akan mengabaikan prinsip-prinsip hukum lain yang tidak mensyaratkan eksistensi otoritas negara sebagai penentu legalitasnya, yang justru sudah ada sebelumnya dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Suasana dekotomis tafsir kaidah esensi demikian inilah yang potensial melahirkan konflik secara berkepanjangan. Masyarakat tradisional yang secara turuntemurun memiliki hubungan kesejarahan dengan tanah yang menjadi pijakan dan tumpuan hidupnya, menurut keyakinan yang menjadi bagian dari kesadaran hukumnya adalah hak untuk menguasai dan/atau memiliki tanah serta memungut hasilnya. Sementara, negara dengan hak menguasai atas tanah yang dijamin konstitusi berhak mengatur dan menentukan penggunaan, peruntukan tanah untuk keperluan pembangunan. Kewenangan pemerintah
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:37 AM
dalam mendistribusikan sumber-sumber agraria kepada pihak tertentu, kadangkala tidak terkontrol dan melampaui batas kewajaran, maka lahirlah ketegangan antara hak yang terbit dari hukum positif dengan hak tradisional, yang kemudian berpotensi menciptakan konflik agraria. b.
Deskripsi Konflik Agraria di Wilayah Perkebunan
Konflik agraria yang terjadi di Indonesia secara tipologis dapat dikategorikan berdasarkan wilayah sumber-sumber agraria potensial, seperti konflik agraria di wilayah perkebunan, wilayah pertambangan, wilayah kehutanan, wilayah
alasan bagi penduduk untuk terus menguasai tanah perkebunan, dan berlanjut hingga menjadi salah satu sumber konflik sampai sekarang. Pada periode pasca kemerdekaan berdasar KMB, pemerintah Indonesia wajib menyerahkan kembali dan wajib melindungi keberadaan perusahan perkebunan Belanda. Akibat kelesuan ekonomi pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda. Kebijakan ini merupakan langkah untuk membangun kembali struktur perekonomian nasional sekaligus mengakhiri dominasi perusahaan Belanda. Proses nasionalisasi ini, tidak saja merubah status seluruh perusahaan perkebunan Belanda tersebut jatuh ke tangan negara, tetapi karena kurangnya tenaga potensial yang menangani perkebunan maka sebagian tanah-tanah perkebunan tersebut juga dikuasai militer. Di sini awal mula militer menjalankan “bisnis perkebunan” (Indriayati, 2012, hal.106).
perkotaan, wilayah pesisir, dan pulaupulau kecil. Dilihat dari segi kuantitas dan usia kejadiannya, maka konflik agraria di wilayah perkebunan adalah paling tua dan mencakup jumlah terbanyak dalam sejarah agraria di Indonesia. Terdapat beberapa pemicu timbulnya konflik agraria di Maraknya investor yang hadir di kawasan wilayah perkebunan yang secara periodisasi perkebunan rakyat akhir-akhir ini, tentu tidak dipegaruhi kepentingan yang muncul pada lepas dari upaya pemerintah dalam mengejar waktu itu. target tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akibat kurang selektifnya penerbitan dan Pada masa penjajahan, pemicu pertama pengendalian izin usaha bidang perkebunan, timbulnya konflik adalah tindakan pemerintah menyebabkan perusahaan-perusahaan perkebunan Hindia Belanda merampas tanah adat merasa bebas beroperasi dan semata-mata hanya masyarakat pribumi, melalui pemberlakuan mengejar keuntungan sendiri. Seperti terjadinya undang-undang agraria (agrarisch wet) tahun kasus pengingkaran perjanjian yang melibatkan 1870 yang berisi pernyataan pengakuan tanahmasyarakat adat Desa SS dengan PT. SWA, tanah (domein verklaaring) di wilayah Hindia yang perkaranya sudah diputus pada tanggal 25 Belanda. Tindakan melegitimasi penguasaan November 2014 lalu. Kedatangan PT. SWA di tanah-tanah adat yang diikuti pembukaan tanah Desa SS sebenarnya didahului oleh PT. TMM perkebunan tersebut, sebagai pemicu konflik (satu grup perusahaan dengan PT. SWA) dengan kala itu. Kemudian pada masa penjajahan Jepang tujuan berinvestasi di bidang perkebunan kelapa yang mengizinkan pendudukan tanah-tanah sawit, melalui pola kemitraan plasma-inti pada perkebunan oleh penduduk pribumi, dijadikan tahun 1997. Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 239
| 239
10/1/2015 11:48:37 AM
Perjanjian kerjasama dengan pola plasma-inti itu telah berjalan selama enam tahun termasuk di dalamnya tanah objek sengketa seluas 633 Ha yang diklaim milik pihak tergugat konvensi, ternyata tidak dijalankan sesuai janjinya, dan kemudian tahun 2002 dibatalkan secara sepihak. Pada tahun 2003 diubah menjadi pola kerjasama pemakaian lahan selama sepuluh tahun (posita Nomor 22 penggugat rekonvensi). Tetapi yang dirasa janggal adalah kejadian sebelum pembatalan sepihak kerjasama pola plasma-inti itu disampaikan kepada masyarakat, seluruh lahan seluas 3.193,9 Ha yang sedang dikuasai tersebut, pada tahun 2001 oleh PT. SWA sudah didaftarkan dan diterbitkan sertifikat HGU atas nama PT. SWA.
tanggal 25 November 2014, merupakan persoalan skala kompetisi dalam pemanfaatan ruang, terutama dalam hal alokasi potensi kekayaan agraria/tanah. Ruang di atas tanah seluas 633,2 Ha yang menjadi objek sengketa, menjadi arena kontestasi antara PT. SWA sebagai penggugat melawan 315 Kepala Keluarga yang tergabung dalam 4 kelompok masyarakat sebagai tergugat, yang memiliki dukungan massa dalam jumlah besar. Konflik agraria yang terjadi di Desa SS tersebut juga telah melibatkan aparat keamanan karena sudah sampai terjadi kekerasan fisik dan menelan korban dua orang warga desa meninggal dunia tertembak oleh aparat keamanan pada 21 April 2011. Kasus tersebut menjadi sorotan publik secara nasional dan memperoleh perhatian dari Bertolak dari kronologis kejadian tersebut, pemerintah pusat, yang kemudian pemerintah secara yuridis dapat dikonstruksikan sebagai membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentuk wanprestasi dari PT. TMM, dan juga pada akhir bulan Desember 2011 hingga Januari telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh PT. 2012 untuk menginvestigasi dan memverifikasi SWA yang meng-HGU-kan tanah objek sengketa peristiwa tersebut sesuai kenyataan dan hasilnya seluas 633 Ha –masih berstatus menjadi objek dilaporkan kepada pemerintah pusat. perjanjian– tanpa ada pelepasan hak sebelumnya yang seharusnya dilakukan di hadapan PPAT. Eskalasi konflik antara dua kelompok yang saling berebut sumber daya agraria di Desa SS 2. Pendekatan Hukum Progresif dalam terus berlangsung, atas permintaan PT. SWA maka Bupati OKI membentuk Tim Terpadu Penegakan Hukum Konflik Agraria Penyelesaian Konflik untuk merekonstruksi batas Pengertian konflik pertanahan menurut dan luas lahan sengketa, pada tanggal 11 dan 12 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011, September 2013 dan ternyata hasil kesimpulannya adalah perselisihan pertanahan antara orang mengecewakan masyarakat Desa SS. Melalui perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, uraian singkat ini, kiranya sudah dapat ditentukan badan hukum atau lembaga yang mempunyai bahwa kasus yang sudah diperiksa, diadili, dan kecenderungan atau sudah berdampak luas secara diputus dengan Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ sosio-politis. Perbedaannya dengan sengketa PN.Kag. tanggal 25 November 2014 adalah pertanahan, adalah perselisihan pertanahan antara masuk dalam kategori konflik agraria, mengacu orang perseorangan, badan hukum atau lembaga Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. karena sudah berdampak luas secara sosio-politis Bertolak dari definisi konflik pertanahan dan sudah menimbulkan korban jiwa dan lukatersebut, Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. luka bagi warga desa. 240 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 240
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:37 AM
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya yang tertuang dalam putusan di halaman 194 menyebutkan: “bahwa pendekatan hukum terhadap konflik agraria seyogianya bukan hanya mengandalkan legalisme/formalisme, karena terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan, untuk itu harus mengadopsi gagasan yang dikembangkan dalam wacana hak asasi manusia sebagai konsep transitional justice (suatu pendekatan keadilan transisional) yang mengutamakan hak-hak korban konflik agraria dalam bentuk pemulihan, kompensasi, dan restitusi hak asasi manusia, atau pendekatan hukum secara progresif yang mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan substansial, tanpa mengesampingkan ketentuan hukum acara yang berlaku.”
terdepan agar secara progresif berani menguji sejauh mana batas kemampuan aturan-aturan positif itu (testing the limit of law). Penegakan hukum adalah usaha (effort) untuk memunculkan kekuatan/kemampuan hukum. Ini membutuhkan keberanian, energi, imajinasi, dan kreativitas. Hukum akan menjadi lebih “bergigi” apabila penegak hukum berani menyelam lebih dalam, menemukan kekuatan hukum terpendam itu (Rahardjo, 2010, hal. 173). B.
Sikap dan Tindakan yang Seharusnya Diambil oleh Hakim dalam Menyelesaikan Konflik Agraria, Ketika Dihadapkan pada Kondisi Antinomi Nilai Antara Pengutamaan Kepastian Hukum dan Unsur Keadilan
Pendekatan hukum progresif yang dijadikan pertimbangan hukum terhadap perkara konflik agraria dapat dinilai tepat. Lebih lanjut yang perlu dikaji dan dianalisis oleh hakim terhadap konflik agraria yang terjadi di Desa SS, selain faktanya telah berdampak luas secara sosial-politis, Pengadilan harus dapat menghasilkan hukum yang mampu melayani kepentingan rakyatnya, dan bukan sebaliknya yaitu rakyat harus dikorbankan demi melayani hukum. Menurut Rahardjo, hukum progresif adalah “hukum yang mampu memenuhi kebutuhan bangsa dan ikut merasakan penderitaan bangsanya. Dengan demikian, hukum akan melayani kepentingan rakyatnya, bukan sebaliknya ….Hukum tidak berada di awang-awang atau ruang hampa, tetapi ada di dalam masyarakat…” (Rahardjo, 2004).
Menyikapi konflik agraria pada Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. menurut spirit hukum progresif, sudah sepatutnya pengadilan membuka cakrawala pandang dan sadar bahwa terbentuknya bangunan hukum agraria kita saat ini salah urus. Politik dan bangunan hukum agraria kita saat ini, ada indikasi telah terkontaminasi oleh kepentingan pemodal besar, yang memungkinkan penguasaan tanah dan sumber daya alam dalam skala luas dan terus-menerus, kemudian secara eksesif menggerus dan menyingkirkan kaum tani, nelayan, buruh, dan masyarakat adat dari alat produksinya (Suara Pembaruan Agraria, Edisi IX/ Desember 2013-Februari 2014, hal. 36). Artinya, konflik agraria merupakan respon atas kebijakan mengenai sumber daya agraria tertentu yang tidak mewakili rasa keadilan masyarakat tani, masyarakat Hukum progresif ingin menarik hukum adat, dan mengabaikan hubungan-hubungan agraria dan mengeluarkannya dari ranah esoteric berbasis komunal dan keadilan sosial. (pemahaman sempit) dan menjadikannya institusi Ketika konflik yang merebak di Desa SS yang bermakna sosial. Sehubungan dengan itu dibawa oleh penggugat (PT. SWA) di hadapan peran pengadilan, para hakim sebagai garda Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 241
| 241
10/1/2015 11:48:37 AM
hakim PN Kayuagung, maka apa yang tampak di hadapan hakim adalah sebagai sengketa yang berdimensi horizontal, namun sesungguhnya merupakan konflik struktural karena pihak yang terlibat berelasi dengan kekuatan modal dan/ atau kekuatan politik yang lebih besar. Jadi ibarat penyakit, konflik agraria tersebut hanyalah symptom atau gejala luar yang tampak dari sejumlah sumber penyebab yang sesungguhnya dari kontestasi dalam penguasaan sumber daya agraria. Gejala yang tampak dalam sengketa antara masyarakat adat atau kelompok tani Desa SS melawan PT. SWA tersebut, dilihat dari karakternya adalah jelas sebagai konflik agraria. Pihak-pihak yang terlibat, dan cakupan dampak yang terjadi, antara lain teridentifikasi: Pertama, adanya ketidakharmonisan hubungan sosial antara kelompok masyarakat adat SS dengan PT. SWA beserta karyawannya yang mengembangkan usaha perkebunan di wilayah itu, akibat adanya tuduhan pelanggaran hukum yang menimbulkan kerugian pihak lainnya; terjadinya perebutan hak karena ketidakjelasan status hukum tanah yang menjadi objek konflik. Kedua, timbulnya kecemburuan sosial akibat ketidakadilan distribusi kepentingan, yaitu adanya ketimpangan pembagian akses menguasai tanah antara penduduk asli dengan kelompok pendatang baru yang didukung kekuatan modal besarnya; akibatnya pertikaian semakin panas dan dapat meluas dengan melibatkan pemerintah yang bertindak tidak adil dalam pendistribusian sumber daya alam setempat. Ketiga, munculnya sikap apatis warga masyarakat adat Desa SS terhadap aparat pemerintah, akibatnya keadaan ini berpotensi menimbulkan situasi yang kontra produktif bagi pemerintah serta merugikan semua pihak.
242 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 242
Untuk menyelami lebih dalam konflik agraria sebagaimana telah tergambar pada gejala yang tampak atau fakta meteriil ratio decidendi putusan, berikut ini dicoba untuk diurai peristiwa hukumnya dengan berpedoman pada konsideran Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag.: 1.
Analisis Konflik melalui Pendekatan Aspek Keperdataan
Rangkaian dalil dalam putusan hakim perkara tersebut, khususnya yang disebutkan dalam jawaban tergugat konvensi butir 11 dan butir 12 di bagian uraian tentang duduk perkara, bahwa pada tahun 1997 masyarakat Desa SS yang tergabung dalam sembilan kelompok melakukan kerjasama dengan PT. TMM untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan pola intiplasma; dibuktikan dengan surat tugas Bupati OKI Nomor 101/1301/11/1997 untuk tanah adat masyarakat Desa SS termasuk di dalamnya tanah objek gugatan seluas 633,2 Ha. Maksud kedatangan PT. TMM di Desa SS adalah berinvestasi di bidang pembangunan kebun kelapa sawit dengan pola kemitraan. Pengertian pola kemitraan menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33/Permentan/ OT.140/7/2006 adalah suatu bentuk kerjasama pembangunan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti, yang membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma melalui lembaga koperasi dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, saling mengisi, utuh, dan berkesinambungan. Kenyataannya janji kerjasama pola kemitraan tersebut sudah enam tahun lamanya tidak pernah terwujud, kemudian janji tersebut diubah secara sepihak oleh General Manager PT. TMM melalui surat Nomor PAN-GMDE Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:37 AM
tanggal 26 Januari 2002, menjadi kerjasama pemakaian lahan selama sepuluh tahun (dalil jawaban tergugat dalam pokok perkara butir 22). Kejadian krusial yang perlu dilacak dan seharusnya digali oleh hakim adalah kejadian sebelum penghentian perjanjian kerjasama pola kemitraan itu yang disampaikan pada tanggal 26 Januari 2002. Sebenarnya apa motivasi PT. TMM mengoper penguasaan lahan yang menjadi objek kerjasama pola kemitraan itu kepada PT. SWA, kemudian PT. SWA mendaftarkan seluruh lahan objek perjanjian pembangunan kebun kelapa sawit (termasuk tanah objek gugatan) tersebut atas namanya untuk mendapatkan hak guna usaha (HGU) pada tanggal 28 Februari 2001.
terkait penerbitan hak atas tanah. Keputusan atau penetapan pejabat administrasi negara dapat dinilai sah apabila penerbitan suatu hak atas tanah tersebut melalui mekanisme formal yang ditentukan peraturan perundang-undangan, sebaliknya apabila mekanisme atau prosedur formal itu mengandung cacat hukum maka keputusan pejabat administratif juga tidak sah.
Memerhatikan proses penerbitan sertifikat HGU atas nama PT. SWA atas tanah objek gugatan seluas 633,2 Ha (sebagaimana diuraikan dalam posita penggugat konvensi butir 5), keabsahannya tergantung dari kebenaran perbuatan hukum peralihan atau pelepasan hak atas tanah yang menjadi alas hak bagi permohanan hak kepada Sekalipun PT. TMM dan PT. SWA berada negara. Mengingat status tanah yang dimohonkan dalam satu grup perusahaan, tetapi keduanya hak oleh PT. SWA tersebut adalah berasal dari adalah subjek hukum yang berbeda, seharusnya tanah hak milik adat perorangan, maka harusnya pengoperan hak dari PT. TMM kepada PT. SWA diawali dengan pemutusan hubungan hukum dilakukan melalui perbuatan hukum yang sah antara tanah dengan subjek pemegang haknya dan transparan. Apa alasan PT. SWA tidak lebih melalui pelepasan hak yang dituangkan dalam dahulu mengklarifikasi kepada warga Desa SS akta PPAT, jadi tidak hanya dilakukan dengan (termasuk pihak tergugat) sebelum mendaftarkan cara menyerahkan surat keterangan tanah (SKT) tanah objek perjanjian kerjasama pola kemitraan kepada pihak pemohon HGU (posita penggugat itu menjadi HGU atas namanya. Sedangkan konvensi butir 7), tentu mekanisme ini perlu diteliti bukti-bukti surat pembatalan kerjasama (disebut lebih jauh karena menyangkut legalitas HGU yang dalam posita butir 8 dan 9 penggugat konvensi) diterbitkan kantor pertanahan. Kemudian untuk yang diangkat sebagai alat bukti oleh penggugat tanah adat yang merupakan bagian dari tanah konvensi dibuat antara tahun 2002 sampai 2003, ulayat desa atau hak komunal masyarakat hukum sedangkan HGU atas nama PT. SWA sudah adat, ternyata pelepasan haknya hanya dilakukan diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten OKI dengan cara dibuatnya surat pernyataan dari pada tanggal 28 Februari 2001. perangkat Desa SS serta Kepala Desa SS (posita penggugat konvensi butir 4b). 2.
Analisis Konflik melalui Pendekatan Aspek Administratif
Persoalan hukum ini sangat krusial mengingat status tanah hak ulayat sifatnya laten, Aspek administratif berkenaan dengan sepanjang masyarakat hukum adat masih eksis tindakan pejabat administratif yang menghasilkan maka secara konstitusional hak ulayat masyarakat keputusan atau penetapan tata usaha negara, hukum tidak dapat dialihkan atau dilepaskan haknya untuk selamanya. Pelepasan sementara Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 243
| 243
10/1/2015 11:48:37 AM
hak ulayat untuk keperluan pembangunan perkebunan, menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 harus mendapat persetujuan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, ketentuan yang sama juga berlaku untuk perpanjangan HGU yang bersangkutan. Bagaimana legalitas HGU atas nama PT. SWA seluas 1.495,5 Ha yang berasal dari tanah adat Desa SS (posita penggugat konvensi butir 4b) yang prosesnya hanya melalui surat penyerahan/ pelepasan yang ditandatangani oleh Kepala Desa SS, tanpa bukti berita acara persetujuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan? 3.
Secara luas dibahas di beberapa pustaka hukum, bahwa munculnya gagasan tentang hukum progresif tidak dapat dilepaskan dari peran sang maha guru Rahardjo. Asal mula yang mendorong lahirnya gagasan hukum progresif, karena adanya kegelisahan dan keprihatinan terhadap gagalnya penegakan supremasi hukum di Indonesia selama ini. Melalui pendekatan konsep komponen-komponen sistem hukum dalam penegakan supremasi hukum suatu negara dari Friedman (Abdurrahman, 1987, hal. 86), para ahli berpendapat bahwa kegagalan penegakan supermasi hukum di Indonesia terletak pada lemahnya komponen budaya hukum, dibanding Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis dua komponen lain yaitu komponen substansi hukum dan komponen struktur hukum. Metode Antinomi Nilai
Menggarisbawahi bunyi salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 06/ Pdt.G/2014/PN.Kag, hakim menyebutkan, bahwa “pendekatan hukum terhadap konflik agraria –dalam hal ini konflik antara Masyarakat Adat Desa SS melawan PT. SWA– seyogianya bukan hanya mengandalkan legalisme/formalisme, karena terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan, untuk itu harus mengadopsi gagasan yang dikembangkan dalam wacana hak asasi manusia sebagai konsep transitional justice (suatu pendekatan keadilan transisional) yang mengutamakan hak-hak korban konflik agraria dalam bentuk pemulihan, kompensasi, dan restitusi hak asasi manusia, atau pendekatan hukum secara progresif yang mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan substansial, tanpa mengesampingkan ketentuan hukum acara yang berlaku.” Jadi relevansi pembahasan kasus yang diputus tersebut, adalah digunakannya pendekatan hukum progresif yang mengedepankan keadilan substansial dalam penegakan hukum. 244 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 244
Apabila dilihat dari aspek keilmuan dengan mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu berkembang secara kumulatif dan revolusioner, maka suatu ketika akan terjadi anomaly yang melahirkan krisis. Artinya, ketika paradigma lama sudah tidak mampu menghadapi krisis yang berkembang maka akan melahirkan paradigma baru. Sekiranya ini merupakan tawaran, paradigma hukum seperti apa dalam penegakan hukum yang dikehendaki dalam kondisi krisis itu? Dalam situasi tersebut, menurut Kusuma (2009, hal. 6) paradigma hukum memiliki dua keutamaan, pertama, paradigma hukum sebagai “rel” hukum yang dipakai untuk menuntun sistem hukum dalam mencapai supremasi hukum; kedua, gagasan hukum progresif yang bisa menjadi paradigma hukum sebagai landasan berfikir dalam memecahkan problem lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Pemikiran Rahardjo tentang hukum progresif yang terinspirasi oleh beberapa pemikiran filsuf terkenal, pada dasarnya juga sejalan dengan pandangan Nonet dan Zelznick khususnya yang Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:37 AM
terkait orde hukum responsif yang mencirikan: pertama, hukum harus fungsional, pragmatis dan rasional serta bertujuan jelas; kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang sedang berjalan (Sidharta, 1999. hal. 52). Teori hukum responsif pada intinya menekankan agar hukum senantiasa peka terhadap perkembangan masyarakat, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih dari sekedar procedural justice, berorientasi pada keadilan, memperhatikan kepentingan publik serta mengedepankan substancial justice. Rahardjo (2010, hal. 192) dalam orientasinya mengaitkan budaya hukum dengan implementasi hukum sebagai jelmaan prinsipprinsip yang melingkupi hukum. Ketika kita hendak membumikan hukum maka tugas ini dilakukan oleh lembaga hukum (pengadilan) yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, dengan arti kata lain pengadilanlah yang mengkonkretkan (das sein) hukum dari keadaan sebelumnya yang abstrak (das sollen). Melalui organisasi lembaga peradilan proses itu berlangsung, masyarakat menerima perwujudan dari tujuan-tujuan hukum yang implisit tertuang dalam putusan-putusannya. Hakim yang berpikiran progresif, menjadikan dirinya bagian masyarakat, akan selalu menanyakan: “Apakah peran yang bisa saya berikan dalam masa reformasi ini? Apa yang diinginkan bangsa saya dengan reformasi ini?” Dengan demikian ia akan menolak bila dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hanya mengeja undangundang. Hakim progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya. Kembali menyoal bunyi pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ PN.Kag. yang menekankan: “Pendekatan hukum terhadap konflik agraria seyogianya bukan
hanya mengandalkan legalisme/formalisme, karena terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan, untuk itu harus mengadopsi gagasan pendekatan hukum secara progresif yang mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan substansial.” Ilustrasi hukum yang legalistik dan formalistik dimaksud, hakikatnya diarahkan pada watak hukum modern yang embrionya berasal dari zaman Eropa Modern yang terbentuk dari proses panjang hingga melahirkan kultur hukum yang berkualitas liberalis, kapitalis, dan individualis. Implikasi dari hukum modern yang bersifat rasional dan birokratis, adalah terjadinya percabangan atau bifurcation dalam artian hukum dan pengadilan tidak lagi hanya menjadi tempat untuk mencari keadilan, namun juga sebagai tempat untuk menegakkan peraturan (Susanto, 2005, hal. 158). Konteks ini berefek pada peran pengadilan yang menjadi tempat untuk mencari kemenangan yang sifatnya birokratis dan teknis, sehingga siapa yang dominan dan terampil memainkan peraturan, maka dialah yang akan menjadi pemenang. Prinsip paradigma hukum progresif menghendaki bahwa hakim tidak bisa dibiarkan hanya untuk melakukan konstruksi logis dalam membuat putusan, ia harus mampu memberi jalan terang –melalui putusan-putusannya– mengantarkan bangsa ini untuk sampai kepada cita-citanya menuju kehidupan yang adil sejahtera. Hakim ketika dihadapkan pada tugas penemuan hukum pada kasus konflik agraria, seperti yang terjadi di Desa SS dituntut kemampuannya untuk mengurai sumber-sumber konflik yang sangat kompleks, mengkonstatasi peristiwa konkretnya, menggali nilai-nilai, asas-asas hukum, dan aturan hukumnya, kemudian mengambil sikap berdasar suara hati-nuraninya, sebelum mengambil keputusan.
Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 245
| 245
10/1/2015 11:48:37 AM
Berdasarkan adagium ius curia novit, hakim dianggap mengetahui dan memahami hukum, kegiatan menemukan hukum adalah tugas hakim dan bukan kewajiban para pihak, oleh karena itu hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak (Pasal 176 ayat (1) HIR). Untuk melengkapi alasan-alasan hukum tersebut, ia harus berproses dalam penemuan hukum dan berkutat dengan sistem nilai dan norma sebagai upaya untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan. Di samping itu, untuk menghindari dugaan adanya kesewenang-wenangan hakim wajib memberi jaminan kepastian hukum. Kepastian hukum, merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang (Manulang, 2007, hal. 95). Terkait dengan nilai keadilan, terdapat ragam pengertian sebagai konsekuensi dari substansi teori keadilan yang dikembangkan oleh banyak pemikir, namun secara umum unsur-unsur formal keadilan menurut Kelsen dan Rawls (Kusuma, 2009, hal. 100) adalah, pertama, bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak); kedua, bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat). Dalam proses penemuan dan penegakan hukum, hakim dihadapkan pada suatu kenyataan tentang adanya ketegangan (antinomi) antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan. Dalam rangka penegakan hukum, mengedepankan nilai keadilan saja, belum tentu akan secara otomatis memberikan kepastian hukum. Maka hukum yang pasti, seharusnya 246 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 246
juga adil dan hukum yang adil juga seharusnya memberi kepastian. Dalam keadaan itulah kedua nilai tersebut –secara filosofi mengandung nilai “baik” dan “buruk”– mengalami situasi antinomi, karena menurut bobot dan tingkat tertentu nilainilai kepastian dan keadilan harus mampu memberikan kepastian hak tiap orang secara adil, di lain pihak harus memberikan manfaat kepada yang bersangkutan. Menyoroti Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/ PN.Kag. yang menolak (niet onvankelijke verklaaring) gugatan balik para penggugat rekonvensi dengan pertimbangan tidak menyertakan gugatan langsung kepada PT. TMM tetapi gugatan hanya ditujukan kepada PT. SWA –meskipun PT. TMM dan PT. SWA satu grup–, jelas putusan ini menunjukan tidak dilandasi semangat hukum progresif karena penegakan hukum dalam kasus ini terlalu menekankan nilai kepastian (yaitu secara hitam di atas putih) karena PT. TMM tidak terbaca dalam gugatan rekonvensi dalam perkara tersebut. Sebagaimana diuraikan di muka, bahwa konflik agraria dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya, apa yang tampak keluar sebagai konflik berdimensi horizontal tetapi sesungguhnya merupakan konflik struktural atau vertikal, sebab nyatanya pihak yang terlibat berhubungan dengan kekuatan modal dan/atau kekuatan politik yang dominan. Berpegang pada pertimbangan hakim dalam petitumnya disebutkan: “Dalam fakta hukum di persidangan dalam perkara ini terungkap adanya hubungan perikatan hukum langsung yang terjadi antara warga Desa SS dengan PT. TMM, dan oleh karena PT. TMM tidak ikut menjadi pihak dalam perkara ini, gugatan rekonvensi dinyatakan tidak terdapat hubungan hukum secara perdata.”
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:37 AM
Mengulangi analisis aspek keperdataan di muka, bahwa pada tahun 1997 masyarakat Desa SS yang tergabung dalam sembilan kelompok melakukan kerjasama dengan PT. TMM untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan pola inti-plasma. Kenyataannya janji kerjasama pola kemitraan tersebut sudah enam tahun lamanya tidak pernah terwujud, kemudian diubah secara sepihak dengan kerjasama pemakaian lahan selama sepuluh tahun. Kejadian krusial yang perlu digali oleh hakim adalah kejadian sebelum penghentian perjanjian kerjasama pola kemitraan itu yang disampaikan pada tanggal 26 Januari 2002. Apa motivasi PT. TMM mengoper penguasaan lahan yang menjadi objek kerjasama pola kemitraan (termasuk objek gugatan) kepada PT. SWA, kemudian PT. SWA mendaftarkan seluruh lahan objek perjanjian pembangunan kebun kelapa sawit (termasuk tanah objek gugatan) tersebut atas namanya untuk mendapatkan hak guna usaha (HGU) yang terbit pada tanggal 28 Februari 2001. Apa alasan PT. SWA tidak lebih dahulu mengklarifikasi kepada warga Desa SS (termasuk pihak tergugat konvensi) sebelum mendaftarkan tanah objek perjanjian kerjasama pola kemitraan itu menjadi HGU atas nama PT. SWA? Apakah Perbuatan PT. SWA ini tidak dapat dikualifikasi melawan hukum? Bagaimana mengenai nasib sejumlah 315 kepala keluarga dan anak istrinya pemilik lahan 633,2 Ha yang digantung kepentingannya oleh putusan pengadilan tersebut? Sesungguhnya masih sangat luas peluang hakim untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking) dalam penyelesaian konflik agraria di SS yang berbasis antinomi nilai dengan lebih mengedepankan keadilan substantif, dengan berorientasi pada sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat. Berpegang pada asas kebebasan hakim –demi tujuan menyelesaikan perkara– dalam hal-hal tertentu hakim dapat menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak diminta, beberapa yurisprudensi yang terkait dengan hal tersebut antara lain: 1.
Yurisprudensi MA Nomor 556/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1971 yang menyebutkan bahwa mengabulkan lebih dari yang dituntut diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan peristiwa materiil;
2.
Yurisprudensi Nomor 610K/Sip/1968 tanggal 23 Mei 1970 yang menyatakan bahwa putusan judex facti yang didasarkan pada petitum subsider untuk diadili menurut kebijaksanaan pengadilan (ex aequo et bono) dapat dibenarkan asalkan masih sesuai dengan isi gugatan primer.
IV. KESIMPULAN Putusan Nomor 06/Pdt.G/2014/PN.Kag. masuk kategori konflik agraria, sesuai bunyi reasoning pertimbangan putusannya, bahwa “Pendekatan hukum terhadap konflik agraria seyogianya bukan hanya mengandalkan legalisme/ formalisme, karena terbukti gagal menghadirkan keadilan dan tak mampu menuntaskan akar persoalan; untuk itu harus mengadopsi gagasan pendekatan hukum secara progresif yang mengedepankan terpenuhinya rasa keadilan substansial.” Tetapi faktanya terjadi inkonsistensi antara bunyi pertimbangan dengan putusan akhir yang menolak gugatan rekonvensi dari para petani masyarakat adat SS, dengan alasan gugatan kabur (obscuur libel). Hukum progresif mencirikan: pertama, hukum harus fungsional, pragmatis, dan rasional serta bertujuan jelas; kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang
Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 247
| 247
10/1/2015 11:48:37 AM
sedang berjalan. Paradigma hukum progresif pada intinya menekankan agar hukum senantiasa peka terhadap perkembangan masyarakat, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih dari sekedar procedural justice, berorientasi pada keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan mengedepankan substancial justice.
DAFTAR ACUAN Abdurrahman. (1987). Tebaran pikiran tentang studi hukum & masyarakat. Jakarta: Media Sarana Press. Christodoulou. (1990). The unptomised land: Agrarian reform & conflict worldwide. London: Zed Books.
Berpegang prinsip kebebasan hakim, upaya untuk mengedepankan rasa keadilan melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI). Diakses dari www.putusan. pendekatan hukum progresif demi kesejahteraan mahkamahagung.go.id. kelompok masyarakat petani yang terabaikan oleh kekuasaan hukum tersebut, sebenarnya dapat Harsono, B. (2007). Hukum agraria Indonesia, sejarah dilakukan terobosan hukum (rule breaking). pembentukan undang-undang pokok agraria, isi & pelaksanaannya. Jilid I: Hukum tanah Dalam proses penemuan dan penegakan hukum, nasional. Edisi Revisi. Jakarta: Jambatan. hakim dihadapkan pada suatu kenyataan tentang adanya ketegangan (antinomi) antara tuntutan Indriayati. (2012, Mei). Potret konflik agraria di kepastian hukum dan tuntutan keadilan. Indonesia, tantangan bagi “tanah untuk sebesarMengedepankan nilai keadilan saja, belum tentu akan secara otomatis memberikan kepastian hukum; maka hukum yang pasti, seharusnya juga adil dan hukum yang adil juga seharusnya memberi kepastian. Dalam keadaan itulah kedua nilai tersebut –secara filosofi mengandung nilai “baik” dan “buruk”– mengalami situasi antinomi, karena menurut bobot dan tingkatan tertentu nilai-nilai kepastian dan keadilan harus mampu memberikan kepastian hak tiap orang secara adil, di lain pihak harus memberikan manfaat kepada pihak yang secara politis terpinggirkan/ terabaikan, lemah/rentan secara ekonomis, dan mereka yang menjadi korban penderitaan akibat bangunan hukum agraria yang kapitalistik.
besar kemakmuran rakyat. Jurnal Pertanahan, 2(1), 103-121. Komnas HAM. (n.d.). Presiden komitmen selesaikan konflik agrarian. Diakses dari www.investor. co.id. KPA. (2010, Desember 30). Tidak ada komitmen politik pemerintah untuk pelaksanaan reforma agraria. Laporan akhir tahun 2010 Konsorsium Pembaruan Agraria. Jakarta. Kusuma, M. (2009). Menyelami semangat hukum progresif, terapi paradigmatik bagi lemahnya hukum Indonesia. Yogyakarta: Antonylib. Manulang, E. F. M. (2007). Menggapai hukum berkeadilan, tinjauan hukum kodrat & antinomi nilai. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Marzuki, P. M. (2007). Penelitian hukum. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana Perdana Media Group. Mertokusumo, S., & Pitlo, A. (1993). Bab-bab tentang penemuan hukum. Bandung: PT. Citra Aditya
248 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 248
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015: 229 - 249
10/1/2015 11:48:37 AM
Bakti. Rahardjo, S. (2004, Juni 24). Hukum progresif yang membebaskan. Kompas. ___________. (2010). Penegakan hukum progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Rubrik: Dialog agraria nasional. Suara Pembaruan Agraria, Edisi IX/Desember 2013-Februari 2014. 64-67. Rubrik: Dialog agraria nasional. Suara Pembaruan Agraria,
Edisi
VIII/September-November
2013, 30-31. Sidharta, A. (Ed). (1996). Refleksi tentang hukum. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Soekanto, S. (1986). Pengantar penelitian hukum. Jakarta: UI Press. Susanto, A. F. (2005). Semiotika hukum, dari dekonstruksi teks menuju progresivitas makna. Bandung: Refika Aditama.
Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Metode Antinomi (Ali Imron)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 249
| 249
10/1/2015 11:48:37 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 250
10/1/2015 11:48:37 AM
INDEKS A agrarian disputes XVI, 229 amdal XI, 209, 212, 213, 215, 221, 226, 227 antinomi nilai XII, 229 antinomy of values XVI, 229 D delik lingkungan XI, 209, 214 E environmental impact analysis XVI, 210 environmental offense XV, XVI, 209, 210 environmental permit XV, XVI, 209, 210 extraordinary request for review petition XIV, XV, 146, 191 H hak politik IX, 125, 127, 128, 136, 141, 142, 251 I izin lingkungan XI, 209, 212, 213, 218 J jaksa penuntut umum X, XI, 160, 191, 192, 198, 199, 201, 202, 203, 204, 207, 216, 219 justice XIV, XV, XVI, 146, 162, 168, 188, 191, 194, 210, 216, 229, 231, 241, 244, 245, 248 K keadilan IX, X, XI, XII, 138, 145, 146, 148, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 162, 163, 164, 166, 167, 171, 174, 177, 178, 187, 188, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 209, 212, 216, 217, 224, 225, 226, 227, 229, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 238, 241, 242, 244, 245, 246, 247, 248, 261 kepastian hukum X, XI, XII, 138, 145, 146, 148, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 163, 185, 186, 187, 191, 192, 193, 196, 197, 198, 200, 201, 202, 203, 204, 206, 213, 216, 217, 218, 226, 229, 233, 234, 235, 236, 246, 248 konflik agraria XII, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 244, 245, 246, 247, 248
Jurnal isi edit arnis ok.indd 251
L law enforcement XVI, 229 legal certainty XIV, XV, XVI, 146, 191, 210, 229 legal flexibility XV, 191 O object of petition XIV, 168 objek gugatan X, 167, 170, 175, 180, 181, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 242, 247 otonomi khusus IX, 125, 127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 138, 141, 142, 143
182, 243, 130, 140,
P pelenturan hukum XI, 191, 192, 193, 195, 204, 205 pemilukada IX, 125, 137, 138, 141, 142 penegakan hukum XII, 194, 206, 229, 244 peninjauan kembali IX, X, XI, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 155, 157, 161, 162, 163, 164, 165, 188, 191, 192, 196, 198, 199, 201, 202, 203, 204, 206, 207 political rights XIII, 126, 251 praperadilan X, 167, 168, 169, 170, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189 pretrial XIV, 168 public prosecutor XV, 191, 209 R regional election XIII, 126 S special autonomy XIII, 125, 126 status of suspect XIV, 168 status tersangka X, 167, 169
10/1/2015 11:48:38 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 252
10/1/2015 11:48:38 AM
ISSN 1978-6506
Vol. 8 No. 2 Agustus 2015 Hal. 125 - 249
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI
S
egenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 2 Agustus 2015. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL.
5.
Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum.
6.
Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.
7.
Mohamad Nasir, S.H., M.H.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 253
10/1/2015 11:48:38 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 254
10/1/2015 11:48:38 AM
BIODATA PENULIS Zaki ‘Ulya, lahir di Aceh Utara, 22 Februari 1985. Ia menyelesaikan sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, tahun 2007. Tahun 2010, ia menyelesaikan studi magister hukum di Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala dengan Konsentrasi Hukum Tata Negara. Setelah tamat S2, ia mengajar sebagai Dosen Luar Biasa pada UPT-MKU Universitas Syiah Kuala (20102013) dan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Aceh Besar (2010-2011). Pada tahun yang sama ia juga diterima dan mengajar sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur, Sigli (2010-2014). Awal 2013, diangkat menjadi tenaga pengajar Kepaniteraan Peradilan Agama pada Fakultas Hukum dan Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri Zawiyah Cotkala, Langsa dan pada tahun 2015 diangkat sebagai Dosen Tetap Non PNS pada Fakultas Hukum Universitas Samudra, dengan konsentrasi jurusan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Penulis dapat dihubungi melalui: HP. 085277251452 dan e-mail:
[email protected]. Arfan Faiz Muhlizi, lahir di Tuban, 17 Desember 1974. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya pada tahun 1999, kemudian menyelesaikan S2 pada bidang yang sama di Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 2005. Saat ini dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Rechtsvinding dan Kepala Sub Bidang Fasilitasi Jabatan Peneliti Hukum dan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM. Aktif Menulis di berbagai media ilmiah seperti “Dialektika Pembentukan UU Anti Pornografi,” Majalah Konstitusi No. 27, Maret 2009, ”Reposisi Lembaga Pendidikan Hukum dalam Proses Legislasi di Indonesia” Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No. 2, Juli 2009, “Kehidupan Beragama dalam Konstitusi dan Implementasinya” Jurnal Kebijakan Hukum, Vol. 5 No. 1 Maret 2011, “Reformulasi Diskresi dalam Hukum Administrasi,” Jurnal Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012, “Bantuan Hukum Melalui Mekanisme Nonlitigasi Sebagai Saluran Penguatan Peradilan Informal Bagi Masyarakat Adat,” Jurnal Rechtsvinding Vol. 2 No. 1 April 2013, “Progresifitas Hukum Pemilu Mahkamah Konstitusi,” Majalah Konstitusi No. 77, Maret 2014, “Membangun Sistem Rekruitmen Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013,” Majalah Hukum Nasional, tahun 2014, dan “Revolusi Mental Untuk Membentuk Budaya Hukum Anti Korupsi,” Jurnal Rechtsvinding Vol. 3 No. 3 April 2014. Dapat dihubungi melalui: arfan_fm@ yahoo.com atau
[email protected]. HP 08129012462. Ramiyanto, lahir di Musi Banyuasin Sumatera Selatan, 2 November 1987. Menamatkan pendidikan S1 pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (dahulu IAIN) Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan dan lulus pada tahun 2010. Setelah menamatkan pendidikan S1, penulis ikut magang di kantor advokat di Palembang. Kemudian tahun 2011 melanjutkan pendidikan S2 di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang dan tamat pada tahun 2013. Penulis pernah mengajar di Lab. Hukum Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Saat ini sedang mengikuti pendidikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Penulis juga menulis pada jurnal lainnya dan menulis di surat kabar lokal (Palembang).
Jurnal isi edit arnis ok.indd 255
10/1/2015 11:48:38 AM
Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan magister hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti Muda bidang Hukum dan Peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis aktif melakukan kegiatan penelitian baik di (internal) Mahkamah Agung maupun kerjasama lintas lembaga/kementerian lain (eksternal). Penulis juga aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi maupun yang belum terakreditasi serta telah menulis buku yang berjudul “Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime).” Selain rutin melakukan aktivitas penelitian di bidang hukum dan peradilan, Penulis terlibat aktif dalam kegiatan pembaharuan peradilan yaitu sebagai Anggota Tim Reformasi Pengadilan Pajak pada Kementerian Keuangan RI (2011) dan Anggota Tim Penyusunan Resume Putusan Penting (Landmark Decision) Mahkamah Agung RI (2011, 2013 dan 2014) serta Anggota Tim Pengarah Lomba Pencarian dan Analisa Putusan Pengadilan bagi Mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Syari’ah se-Indonesia (2013). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected] atau surat ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat. Derita Prapti Rahayu adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB) kelahiran Jember, 17 Desember 1980. Menamatkan pendidikan SD hingga SMA di Jember, sarjana hukum diperolehnya dari Universitas Darul’Ulum Jombang tahun 2003 dan magister hukum diraih pada tahun 2008 di Universitas Diponegoro Semarang. Saat ini sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang. Menulis dua buku berjudul “Pengantar Hukum Kepailitan” dan “Budaya Hukum Pancasila.” Aktif terlibat dalam beberapa penelitian yang terfokus masalah pertambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu salah satunya di tahun 2011-2013 penelitian hibah bersaing yang didanai Dikti berjudul “Model Mekanisme Perizinan Bagi Penambang Timah Inkonvensional Berdasar Budaya Hukum Pembuat Peraturan Perundang-Undangan di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.” Menulis beberapa artikel di jurnal ilmiah, antara lain: “Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pelanggaran Lalu Lintas di Pangkalpinang” Jurnal Progresif’ edisi I bulan Juni 2007, “Politik Hukum Undang-Undang No.40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas” Jurnal Masalah-Masalah Hukum Jilid 36 No. 4 Desember 2007, “Eksistensi Perusahaan dalam Menjalankan Fungsi dan Tujuannya di Masyarakat” Jurnal Masalah-Masalah Hukum Jilid 39 No.1 Maret 2010, “Dinamika Manusia dalam Usaha Meningkatkan Ilmu Pengetahuan” Jurnal Care Edisi 2 Tahun 2010, “Kajian Tentang Penyelesaian Sengketa Investasi Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007” Jurnal Fiat Justisia Volume 2 Nomor 1 2008, “Hak Cipta dalam Perspektif Hukum Telematika” Jurnal Pro Justisia tahun 2010, dan “Budaya Hukum Penambang Timah Inkonvensional (TI) Terhadap Mekanisme Perizinan Berdasar Perda Pengelolaan Pertambangan Umum di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung” Jurnal Masalah-Masalah Hukum Jilid 41 No. 4 Tahun 2012. Tahun 2010 menjadi salah satu penyusun buku petunjuk penulisan proposal dan skripsi untuk mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum yang diterbitkan oleh UBB Press. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: deritapraptir@ yahoo.com atau
[email protected].
Jurnal isi edit arnis ok.indd 256
10/1/2015 11:48:38 AM
Ali Imron, lahir di Kediri, 23 Desember 1953, bertempat tinggal di Jl. Intan No. 1 Tlogomas Malang. Bekerja sebagai Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang sejak tahun 1985 hingga sekarang. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang tahun 1984; Program S2 diselesaikan di Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1989, dan menyelesaikan Pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang tahun 2009. Sejak tahun 1985 mengajar di program S1 Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang, dan mulai tahun 2000 aktif mengajar di Prodi Magister Ilmu Hukum (S2), Program Pascasarjana Universitas Merdeka Malang hingga sekarang. Beberapa kali memperoleh program hibah penelitian Dikti, baik skim penelitian fundamental maupun skim strategis nasional (Stranas) dan program penelitian lainnya, serta sebagai assesor peneliti internal di lingkungan Kopertis Wilayah VII. Mata kuliah yang diasuh meliputi Hukum Perjanjian, Hukum Korporasi dan Kepailitan, Kapita Selekta Hukum Agraria, Hak Kekayaan Intelektual, Hukum Perbankan dan Jaminan serta Hukum Asuransi. Di samping itu juga sebagai pemegang lisensi advokat dari PERADI sejak tahun 2006 dan lisensi konsiliator hubungan industrial dari Menteri Tenaga Kerja RI sejak tahun 2007.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 257
10/1/2015 11:48:38 AM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 258
10/1/2015 11:48:38 AM
PEDOMAN PENULISAN 1.
Naskah merupakan hasil kajian/riset putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan).
2.
Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Yudisial. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
3.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
4.
Pengiriman naskah disertai biodata penulis dalam bentuk narasi dengan panjang 150 s.d. 250 kata.
5.
Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan margin halaman, kiri 3 cm, atas 2 cm, kanan 2 cm, bawah 2 cm, dan jarak antar-spasi 1,5. Ditulis menggunakan huruf Times New Roman 12. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.
6.
Sistematika penulisan naskah sebagai berikut: 1.
Judul dan anak judul dalam bahasa Indonesia.
2.
Judul dan anak judul dalam bahasa Inggris.
3.
Nama penulis.
4.
Nama lembaga/instansi.
5.
Alamat lembaga/instansi.
6.
Akun e-mail penulis.
7.
Abstrak (150 s.d. 200 kata) dan kata kunci dalam bahasa Indonesia (3 s.d. 5 kata).
8.
Abstrak dan kata kunci dalam bahasa Inggris.
9.
Pendahuluan, memuat fenomena hukum (topik) yang dianggap menarik sebagai latar belakang dari putusan hakim yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini, yang kemudian diikuti dengan paparan duduk perkara, pertimbangan hukum yang selektif
Jurnal isi edit arnis ok.indd 259
10/1/2015 11:48:38 AM
dan problematis, identifikasi permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan tinjauan pustaka terkait konsep-konsep hukum yang relevan. Bab ini menggunakan subbab sebagai berikut:
a. Latar Belakang;
b. Rumusan Masalah;
c. Tujuan dan Kegunaan; dan
d. Studi Pustaka.
10. Metode, mencakup penjelasan bahwa penelitian ini merupakan penelitian atas putusan hakim yang dipilih secara purposif. Penulis harus menjelaskan tentang alasan mengapa putusan tersebut yang dipilih secara objek kajian, juga tentang ada tidaknya pengayaan data yang dilakukan (termasuk dokumen lain di luar putusan tersebut dan/atau data primer di luar dokumen). Apabila penulis melakukan pengayaan data di luar putusan hakim, harus dijelaskan cakupan/besaran sumber data, teknik pengumpulan data yang mencakup sumber data (primer atau sekunder), instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data. 11. Hasil dan Pembahasan, memuat lebih detail temuan-temuan problematis yang berhasil diidentifikasi oleh penulis terkait duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hakim di dalam putusan tersebut, serta analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Dalam pembahasan, tinjauan pustaka harus digunakan untuk mempertajam analisis. Pembahasan harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian pembahasan ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi tulisan. 12. Kesimpulan, mencakup penyampaian singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk butir-butir jawaban rumusan masalah secara berurutan. 13. Saran (jika perlu), berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Isi dari saran harus sejalan dengan pembahasan. 14. Daftar Acuan, merupakan publikasi yang digunakan sebagai referensi yang digunakan dalam penulisan tersebut. Acuan paling sedikit berjumlah sepuluh, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan, dan acuan primer paling sedikit 80% dari total acuan. 7.
Penulisan kutipan menggunakan model body note atau side note. Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar acuan.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 260
10/1/2015 11:48:38 AM
Contoh:
Satu penulis: (Grassian, 2009, hal. 45); Menurut Grassian (2009), “..........” (hal. 45).
Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010, hal. 50-52).
Lebih dari dua penulis: (Shidarta, Shidarta, & Susanto, 2014).
Lebih dari enam penulis: (Hotstede et al., 1990, hal. 23)
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009, hal. 10).
8.
enulisan daftar acuan menggunakan aturan dari Harvard-American Psycological Association P (APA) yang mengacu pada https://owl.english.purdue.edu/owl/section/2/10/.
Contoh: 1).
Buku
Grassian, V. (2009). Moral reasoning: Ethical theory & some contemporary moral problems. New Jersey, NJ: Prentice-Hall. Shidarta, B. A., Shidarta, & Susanto, A. F. (2014). Pengembanan hukum teoretis: Refleksi atas konstelasi disiplin hukum. Bandung: Logoz. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2009). Laporan tahunan 2009: Perjuangan melawan korupsi tak pernah berhenti. Jakarta: KPK. 2).
Jurnal
Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran pasal 2 & 3 uu pemberantasan tindak pidana korupsi. Jurnal Yudisial, 7(2), 103-116. 3).
Peraturan Hukum
Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 1. (2014). Seleksi calon hakim agung. Jakarta. 4).
Majalah/Surat Kabar
Marzuki, S. (2014, November-Desember). Pengadilan yang fair untuk keadilan. Majalah Komisi Yudisial, 11-15. 5).
Internet
Cornell University Library. (2009). Introduction to research. Diakses dari http://www.library. cornell.edu/resrch/intro.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 261
10/1/2015 11:48:38 AM
9.
Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:
[email protected]; dengan tembusan ke:
[email protected];
[email protected]; dan
[email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): 1.
Ikhsan Azhar (085299618833);
2.
Arnis (08121368480); atau
3.
Yuni (085220055969).
Alamat redaksi:
Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 262
10/1/2015 11:48:38 AM