IJMA‟ dan QIYAS Makalah untuk memenuhi tugas kelompok Ushul Fiqh/Fiqh dengan dosen pengampu Bapak Ahmad Arifi
Disusun Oleh : 1. Khumaidah ( 15490005 ) 2. Andika Mukti ( 15490006 ) 3. Erni Ritonga ( 15490007 ) 4. Siti Barkah( 15490008 )
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan-Nya sehingga tugas Makalah yang berjudul “Ijma‟ dan Qiyas” ini dapat kami selesaikan. Makalah ini kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh/Fiqh dengan dosen pengampu Bapak Ahmad Arifi.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi terwujudnya makalah ini. Akhirnya saran dan kritik pembaca yang dimaksudkan untuk mewujudkan kesempurnaan makalah ini penulis sangat hargai.
Yogyakarta,
Oktober 2015
Penulis
Kelompok 2
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2 DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3 BAB I ...................................................................................................................................................... 4 PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4 1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................................................... 4 1.2 Tujuan ........................................................................................................................................... 4 1.3 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 4 BAB II..................................................................................................................................................... 5 PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5 2.1 Pengertian Ijma‟ ............................................................................................................................ 5 2.2 Rukun dan Syarat ijma‟ ................................................................................................................ 7 2.2 ....................................................................................................................................................... 7 2.3 Macam-macam Ijma‟ .................................................................................................................... 8 2.4 Kehujjahan ijma‟ ......................................................................................................................... 10 2.5 Tingkatan Ijma‟ ........................................................................................................................... 12 2.6 Landasan Ijma‟............................................................................................................................ 14 2.7 Kemungkinan Terjadinya Ijma‟ .................................................................................................. 15 2.8 Contoh-contoh Ijma‟ ................................................................................................................... 16 2.9 Pengertian Qiyas ......................................................................................................................... 16 2.10 Rukun Qiyas.............................................................................................................................. 17 2.11 Macam-macam Qiyas ............................................................................................................... 17 2.12 Kedudukan Qiyas dalam hukum Islam .................................................................................... 18 2.13 Sebab-sebab dilakukan qiyas .................................................................................................... 19 BAB III ................................................................................................................................................. 20 PENUTUP ............................................................................................................................................ 20 3.1 KESIMPULAN ........................................................................................................................... 20 3.2 SARAN ....................................................................................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 22
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam islam terdapat sumber dari segala sumber hukum yakni Al-Qur‟an. Namun, terdapat sumber lain yakni Hadist, Ijma‟ dan Qiyas. Semua dari hukum yang terkandung wajib untuk diterapkan dalam kehidupan. Suatu permasalahan di dunia pasti telah diterangkan penyelesaiaanya dalam Al- Qur‟an tetapi apabila dalam Al-Qur‟an tidak dijelaskan secara rinci maka, dapat mengambil hukum dalam Hadit, Ijma‟ dan Qiyas. Dalam realita kehidupan sekarang, dengan perkembangan zaman yang semakin pesat serta problematika yang semakin banyak maka pondasi hukum baru lebih dapat dipahami agar dalam penyelesaiaan masalah tidak keluar dari hukum yang berlaku di masyarakat maupun agama.
1.2 Tujuan Untuk memahami tentang Ijma‟ Untuk mengetahui macam-macam ijma‟ Untuk memahami tentang Qiyas Untuk mengetahui Rukun Qiyas
1.3 Rumusan Masalah Apa yang dimaksud dengan Ijma‟? Apa yang dimaksud dengan Qiyas ? Bagaimana Ijma‟ menjadi hukum Islam ? Bagaimana Qiyas menjadi hukum Islam ?
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Ijma’ Secara etimologi, ijma‟ ( )ﺍﻹﺠﻤﺎﻉberarti “kesepakatan” atau konsensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf, 12 : 15, yaitu:
15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."
Pengertian etimologi yang kedua adalah ﺍﻠﻌﺯﻢﻋﻠﻲﺷﺊ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat Yunus, 10 : 71:
71. dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutusekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
5
Pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.1 Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan ijma‟ adalah : ﺍﺗﻔﺎﻖﻣﺠﺗﻬﺪﻯﺃﻣﺔﻣﺤﻣﺪﺼﺎﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢﺒﻌﺪﻮﻔﺎﺘﻪﻔﻰﻰﻋﺼﺮﻤﻦﺍﻷﻋﺼﺎﺮﻋﺎﻰﺃﻤﺮﻤﻦﺍﻷﻤﻭﺮ Artinya: “Kesamaan pendapat para mujtahid untuk Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu.” Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang yang semasa dengan Nabi tidaklah disebut sebagai ijma‟. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat sebagai ijma‟. Namun pendapat jumhur ijma‟ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma‟ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma‟ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya. Contoh mengenai ijma‟ antara lain adalah menjadikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat Islam sepakat (ijma‟) menetapkan sunah sebagai salah satu sumber hukum umat Islam. Contoh lain ialah tentang pembukuan Al-Qur‟an yang dilakukan pada zaman Khalifa Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan cara, yaitu: 1. Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah. 2. Dengan perbuatan (fi‟il), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu, 3. Dengan diam (sukut), yaitu apabila tidak ada diantara mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.
1
Saif al-Din al-Amidi, op. Cit, hal.101; ‘Abdul ‘Aziz al-Bukhari, op. Cit., hal. 946; dan al-Syaukani, op. Cit., hal 63
6
2.2 Rukun dan Syarat ijma’ Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma‟ itu ada lima, yaitu : 1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma‟ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma‟. 2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahsan hukum itu adallah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam. 3. Kesepakatan
itu
diawali
setelah
masing-masing
mujtahid
mengemukakan
pandangannya. 4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara‟ yang bersifat aktual dan tidak hukumnya secara rinci dalam Al-Qur‟an. 5. Sandaran hukum ijma‟ tersebut haruslah al-Qur‟an dan atau hadist Rasulullah saw. Di samping kelima rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syaratsyarat ijmaط, yaitu : 1. Yang melakukan ijma‟ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad. 2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya) 3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid‟ah.
2.2 Terjadinya Ijma’ Terjadinya Ijma‟ disebabkan oleh beberapa hal yaitu ;
Karena pernah terjadi, dan hal itu diakui secara muttawatir
Pada masa awal islam,para mujtahid masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan bagi mereka untuk melakukan ijma‟ dan menetapkan suatu ketetapan hukum.
Ijma pada zaman sekarang sangat sulit terjadi, karena jika seluruh mujtahid umat Muhammad SAW berkumpul, artinya seluruh dunia berkumpul untuk bersepakat dalam menetapkan suatu ketetapan hukum. 7
Ijma tidak mungkin terjadi, tidak akan ada dan tidak akan pernah ada, karena persoalan agama sejak diutusnya nabi hingga kiamat merupakan masalah yang disepakati.
2.3 Macam-macam Ijma’ Ada beberapa macam Ijma‟ antara lain
Ijma‟ kauli/ijma‟ sharih, yaitu ijma‟ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan maupun tulisan yang mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain pada zamannya.
Ijma‟ sukuti/ijma‟ ghairul sharih, yaitu ijma‟ yang dikeluarkan oleh para mujtahid dengan cara diam, tidak mengeluarkan pendapatnya yang diartikan setuju atas pendapat mujtahid lainnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma‟ yang dapat dijadikan landasan hukum adalah ijma‟ sharih, sedangkan ijma‟ sukuti tidak. Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma‟ dibagi dalam beberapa
macam:
Ijma‟ Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu masa tertentu.
Ijma‟ Shahaby yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah.
Ijma‟ Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Madinah dalam suatu masalah.
Ijma‟ Ahli Kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Kufah dalam suatu masalah.
Ijma‟ Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali)
Ijma‟ Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam suatu masalah.
Ijma‟ Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat para ahli bait (keluarga Rasul). Menurut ulama Hanafiah yang dipandang sebagai ijma‟ yang sebenarnya adalah ijma
kauli dan ijma‟ sukuti. Adapun ulama syafiyah mengatakan bahwa hanya ijma kauli yang dipandang sebagai ijma, sedangkan mujtahid yang dinyatakan benar-benar ijma hanya ijma sahabat, oleh karena itu, selain ijma sahabat berarti bukan ijma yang sesugguhnya yang dapat
8
dijadikan sumber hukum atau dalil. Kalaupun disebut ijma, tidak dapat dijadikan hujjrah syar’iyah. Kehujjahan ijma‟ didasarkan kepada dalil-dalil sebagai berikut : Dalil Pertama : Surah An-Nisa : 115
سﻮل ِﻣ ْﻦ ب ْﻌ ِﺪ ﻣﺎ ﺗﺒﻴَّﻦ لﻪُ ْﺍل ُﻬﺪﻯ ﻭيﺘَّﺒِ ْع غﻴْﺮ سﺒِﻴ ِل ْﺍل ُﻤؤْ ِﻣنِﻴﻦ ُ ﺍلﺮ َّ ﻖ ِ ِﻭﻣ ْﻦ يُشﺎق ْ ﺼ ِﻠ ِﻪ جﻬنَّﻢ ﻭسﺎء ﻴﺮﺍ ْ ُنُﻮ ِلّ ِﻪ ﻣﺎ ﺗﻮلَّﻰ ﻭن ً ﺼ ِ تﻣ Artinya : “ Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu. dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali “ Dalil Kedua : Surah Al-Baqarah : 143
143. dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyianyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. Dalil Ketiga : Surah Ali Imram : 103
9
103. dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayatayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
2.4 Kehujjahan ijma’ Jumhur ulama‟ ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma‟ telah terpenuhi, maka ijma‟ tersebut menjadi hujjah yang qath‟i (pasti) wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma‟, menurut para ahli ushul fiqh, tidak boleh menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma‟ merupakan hukum syara‟ yang qath‟i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara‟ setelah Al-Qur‟an dan Sunnah. Akan tetapi Ibrahim ibn Siyar al-Nazzzam (tokoh Mu‟tazilah) , ulama Khawarij dan ulama Syi‟ah, berpendapat bahwa ijma‟ tidak bisa dijadikan hujjah. Menurut al-Nazzam, ijma‟ digambarkan Jumhur Ulama tersebut tidak mungkin terjadi , karena tidak mungkin menghadirkan seluruh mujtahid pada suatu masa dari berbagai belahan dunia Islam untuk berkumpul, membahas suatu kasus, dan menyepakatinya bersama. Selain itu, masing-masing daerah mempunyai struktur sosial, dan budaya yang berbeda. Adapun bagi kalangan syi‟ah, ijma‟ tidak mereka terima sebagai hujjah karena pembuat hukum menurut keyakinan mereka adalah imam yang mereka anggap ma‟shum (terhindar dari dosa). Ulama khawarij dapat menerima ijma‟ sahabat sebelum terjadinya perpecahan politik di kalangan sahabat. Ijma‟ yang didefinisikan Jumhur Ulama ushul fiqh di atas tidak dapat mereka terima, karena sesuai dengan keyakinan mereka bahwa ijma‟ itu harus disepakati umat Islam, dan orang yang tidak seiman dengan mereka dipandang bukan mu‟min. 10
Alasan jumhur ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa ijma‟ merupakan hujjah yang qath‟i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara adalah: 1. Firman Allah swt. Dalam surat al-Nisa‟, 4:59:
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara dan perangkatnya). Ibn „abbas menafsirkan uli al-amr ini dengan para ulama. Ayat lain yang dikemukakan Jumhur Ulama adalah surat al-Baqarah, 2:143; Ali Imron, 3:110; dan al-Syura, 42:10. Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah saw: ﺃﻣﺗﻲﻻﺗﺠﺗﻣﻊﻋﺎﻰﺍﻠﺧﻁﺄ Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al Tirmidzi) Dalam lafaz lain disebutkan: ﻻﺗﺠﺗﻣﻊﺃﻣﺗﻲﻋﻠﻰﻀﻼﻠﺔ Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan. Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda: ﻮﺴﺄﻠﺖﺍﻠﻠﻪﺃﻥﻻﺗﺠﺗﻤﻊﺃﻤﺗﻲﻋﻠﻰﺿﻼﻠﺔﻔﺎﻋﻄﺎﻨﻴﻬﺎ Saya mohon pada Allah agar umatku tidak sepakat melakukan kesesatan, lalu Allah mengabulkannya. (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Thabrani).
11
Lebih lanjut Rasulullah saw. bersabda: ﻻﺗﺯﺍﻞﻃﺎﺌﻔﺔﻤﻦﺃﻤﺗﻲﻋﻠﻰﺍﻠﺤﻖﻈﺎﻫﺮﻴﻦﻻﻴﻀﺮﻫﻢﻤﻥﺨﻠﻓﻬﻢ Golongan umatku senantiasa dalam kebenaran yang nyata dan mereka tidak akan mudarat dari orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka. H.R. al-Bukhari dan Muslim). Seluruh hadits itu menurut „Abdul Wahab Khalaf, menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid sebenarnya meupakan hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan haditshadits di atas, tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat, melalui para mujtahid mereka maka tidaka ada alasan untuk menolaknya.
2.5 Tingkatan Ijma’ Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara‟ itu, para ulama ushul fiqh membagi ijma‟ kepada dua bentuk, yaitu ijma‟ sharih lafzhi dan ijma‟ sukuti. Ijma‟ sharih lafzhi ialah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam sidang ijma‟ setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibahas. Ijma‟ seperti ini, sangat langka terjadi, apalagi bila dilakukan kesepakatan itu di dalam satu majelis atau pertemuan yang dihadiri seluruh mujtahid pada masa tertentu. Bahkan al-Nazzam, seperti dikemukakan diatas, berpendapat bahwa ijma‟ seperti ini tidak mungin terjadi. Namun demikian menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, apabila ijma‟ seperti ini berlangsung dan menghasilkan kesepakatan tentang suatu hukum, maka biss dijadikan hujjah dan kekuatan hukumnya bersifat qath‟i (pasti). Adapun ijma‟ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Ijma‟ sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum tidak meyakinkan, karenanya ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni. Dalam persoalan ijma‟ sukuti terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan apakah kesepakatan yang seperti itu dapat dikatakan ijma‟ dan mengikat seluruh umat islam serta bisa dijadikan hujjah? 12
Ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan Abu Bakr al Baqillani (w. 403 H, ahli fiqh Maliki), berpendapat bahwa ijma‟ sukuti bukanlah ijma‟ dan tidak dapat dijadikan hujjah. Mayoritas ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad ibn Hanbal (162-241 H/780-855 M) mengatakan bahwa kesepakatan seperti itu bisa termasuk ijma‟ dan dapat dijadikan hujjah yang qath‟i (pasti). Pendapat ketiga dikemukakan Abu „Ali al-Jubba‟i (tokoh Mu‟tazilah), bahwa ijma‟ sukuti bisa dikatakan ijma‟ apabila generasi mujtahid yang menyepakati hukum tersebut telah habis, karena apabila mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada lagi. Al-Amidi (551-631 H / 1156-1233 M), Ibn al-Hajib (570-646 H/ 1174-1248 M), dan alKarkhi (260-340 H/870-952 M, ahli ushul fiqh Hanafi), berpendapat bahwa ijma‟ sukuti tidak bisa dikatakan ijma‟ tetapi dapat dijadikan hujjah, sedangkan kehujjahannya mereka adalah zhanni. Adapun alasan ulama Hanafiyyah dan Hanabilah dalam menetapkan kehujjahan ijma‟ sukuti hanya melalui logika (dalil akal). Dalil akal yang mereka kemukakan adalah bahwa ijma‟ sharih harus disepakati oleh setiap mujtahid yang hidup pada waktu terjadinya ijma‟ dan masing-masing mereka mengemukakan pendapat serta menyetujui hukum yang ditetapkan. Hal ini tidak mungin terjadi, karena biasanya ijma yang dikemukakan ulama tersebut berawal dari pendapat seseorang atau sekelompok mujtahid, sedangkan mujtahid lainnya diam saja. Di samping itu, para ulama sepakat mengatakan bahwa ijma‟ sukuti bisa dijadikan hujjah dalam masalah keyakinan (i‟tiqad), maka demikian juga dalam masalah hukum. Lebih lanjut, Muhammad Abu Zahrah mengemukakan alasan yang dikemukakan ulama Hanafiyah dan ulama Hanabilah adalah: 1. Diamnya (al-Sukuti) para ulama setelah menegtahui suatu hukum hasil ijtihad yang dikemukakan seorang mujtahid adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu dari berbagai segi. Adalah kewajiban para ulama untuk mempelajari hasil ijtihad ulama lain yang diungkapkan di zaman mereka. Apabila seorang ulama mengemukakan dan menyebarluaskan hasil ijtihadnya dalam suatu kasus, sementara ulama lain setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu diam saja, maka hali itu menunjukkan persetujuannya. Karena, para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan: ﺍﻠﺴﻜﻮﺖﻔﻲﻣﻮﺿﻊﺍﻠﺒﻴﺎﻦﺒﻴﺎﻦ 13
Diam (saja) ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan. Maksudnya, sikap diam para ulama dianggap sebagai penjelasan atau persetujuan mereka terhadap suatu hasil ijtihad yang telah diungkapkan. 2. Adalah tidak dapat diterima (tidak layak) jika para ahli fatwa diam saja ketika mendengar adanya fatwa ulama lain. Karena sesuai dengan kebiasaan di lingkungan para ulama fatwa yaitu jika ada seorang ulama mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu kasus, maka para ulama lain harus menanggapinya jika fatwa itu dianggap tidak benar. Karenanya, apabila para ulama itu diam saja, maka sikap tersebut dianggap sebagai pertanda setuju. Di samping itu, apabila para ulama lain (yang tidak mengeluarkan fatwa hukum) menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama, lalu mereka diam saja, maka mereka berdosa. Adalah kewajiban bagi mereka untuk mempelajari, menganalisis dan membantah suatu fatwa apabila ternyata tidak sejalan dengan nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dengan metode yang ada. Jumhur ulama yang menolak kehujjahan ijma‟ sukuti mengatakan bahwa hukum dan syarat ijma‟ itu adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang hidup dizaman terjadinya ijma‟ tersebut, dan masing-masing mereka terlibat membicarakan hukum yang akan ditetapkan. Sedangkan ijma‟ sukuti merupakan pendapat pribadi yang disebarluaskan, sedangkan mujtahid lainnya diam saja. Diamnya mujtahid lain tidak bisa ditafsirkan sebagai tanda persetujuan mereka, karena diamnya mereka mungkin disebabkan kondisi pribadi dan kondisi lingkungan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, menurut Jumhur Ulama, posisi ijtihad yang dilakukan seorang atau sekelompok mujtahid itu tidak lebih dari ijtihad yang sifatnya zhanni (relatif) dan tidak wajib diikuti mujtahid lain, karena itu pula maka tidak dikatakan ijma‟.
2.6 Landasan Ijma’ Jumhur Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ijma‟ sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash, harus mempunyai landasan dari nash atau qiyas (analogi). Apabila ijma‟ tidak punya landasan, maka ijma‟ tersebut tidak sah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis landasan ijma‟ tersebut. Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma‟ itu bisa dari dalil yang qath‟i, yaitu al-Qur‟an, Sunnah mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil zhanni seperti 14
hadits ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma‟ yang dilakukan para sahabat tentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri. Landasan ijma‟ ini, menurut mereka, adalah hadits ahad. Demikian juga kesepakatan para sahabat menetapkan Abu bakar sebagai pengganti (khalifah) Nabi saw. dengan mengqiyaskannya kepada sikap Nabi saw. yang menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat ketika beliau berhalangan. Para sahabat juga berijma‟ bahwa lemak babi adalah haram dengan menganalogikannya kepada daging babi. Para sahabt di zaman „Umar ibn al-Khattab bersepakat menjadikan hukuman sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum minuman keras. Seluruh kesepakatan yang dikemukakan di atas dasarnya adalah zhanni. Ulama Zhahiriyyah, Syi‟ah dan Ibn Jarir al-Thabari mengatakan bahwa landasan ijma‟ itu harus dalil yang qath‟i. Menurut mereka, ijma‟ itu dalil yang qath‟i. Suatu dalil yang qath‟i tidak mungkin didasarkan kepada dalil yang zhanni seperti hadits ahad dan qiyas, karena hasil dari yang zhanni tetap zhanni. Di samping itu, seorang mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas. Apabila sandaran ijma‟ tersebut adalah qiyas, maka seorang mujtahid tidak boleh mengingkarinya. Sejalan dengan perbedaan pendapat tentang menjadikan qiyas sebagai landasan ijma‟, para ulama juga berbeda pendapat tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai landasan ijma‟. Para ulama yang menerima maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung oleh nash yang rinci, tidak pula ditolak oleh nash, tetapi didukung oleh sejumlah makna nash) sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum yang menyatakan bahwa ijma‟ didasarkan kepada maslahah mursalah, dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubahn, maka ijma‟ pun bisa berubah. Alasan mereka adalah para ahli fiqh Madinah berpendapat bahwa penetapan harga (al ta‟sir al jabari) hukumnya boleh, sedangkan para sahabat sebelumnya tidak memberlakukan penetapan harga. Landasan kesepakatan ulama ini adalah maslahah mursalah. Demikian juga kesepakatan ulama tentang larangan orang yang ada hubungan kekerabatan suami istri menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya atau sebaliknya.
2.7 Kemungkinan Terjadinya Ijma’ Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma‟, mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma‟, bahkan secara aktual ijma‟ itu telah ada. Mereka mencotohkan hukum-hukum yang telah
15
disepakati seperti kesepakatan pembagian warisan bagi nenek seperenam dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual. Akan tetapi ulama klasik lainnya seperti Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma‟ terhadap hukum suatu masalah, maka ia berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma‟ terhadap hukum suatu masalah. Apabila ada orang yang bertanya apakah ijma‟ itu ada dan secara aktual terjadi, menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, jawaban yang paling tepat adalah “kami tidak mengetahui adanya mujtahid yang tidak setuju dengan hukum ini.”
2.8 Contoh-contoh Ijma’ o Dikumpulkan dan dibukukannya nash Al-Qur‟an sejak masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah bentuk kesepakatn dari para ulama zaman sahabat. Ide pengumpulan Al-Qur‟an ini berasal dari Umar bin Khattab, tapi kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq mengumpulkan para ulama saat itu , sehingga terjadi perdebatan, karena hal itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah saw. tetapi akhirnya para ulama menyepakati untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur‟an. o Penetapan tanggal satu Ramadhan atau tanggal satu Syawwal harus disepakati oleh ulama di negerinya masing-masing berdasarkan ru‟yatul hilal. o Nenek mendapatkan harta warisan 1/6 dari cucunya jika tidak terhijab. Ketetapan huum ini berdasarkan ijma‟ para sahabat, dan tidak ada yang membantahnya.
2.9 Pengertian Qiyas Qiyas berasal dari kata qasa-yaqisu-qaisan artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Sedang menurut Istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash. Berbeda dengan ijma‟, qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma‟ harus dilakukan bersama oleh para mujtahid. Dari beberapa definisi dalil tersebut, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan qiyas adalah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, 16
berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Syarat utama dalam pendekatan analogi atau qiyas adalah adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian, qiyas akan lebih mengutamakan logika, karena dari kasus khusus ditarik ke kasus yang sifatnya umum. Dalam qiyas terdapat proses generalisasi, sehingga memerlukan penalaran yang serius dan proses analisis kebeberapa sudut pandang,mulai pemaknaan bahasa, pemahaman peritiwa asal dan sifat-sifat hukum yang dikatagorikan memiliki indikasi yang serupa. Di antara contoh qiyas adalah setiap minuman yang memabukkan adalah haram. Ini disamakan dengan hukum khamr (arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis minuman ini adalah sifatnya memabukkan. Contoh lain adalah harta anak-anak wajib dikeluarkan zakatnya. Ini disamakan dengan harta orang dewasa, yaitu wajib dizakati. Menurut Imam Syafi‟i, keduanya memiliki kesamaan, yaitu bahwa kedua jenis harta (harta anak-anak dan harta orang dewasa) tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu juga dapat memberikan pertolongan kepada fakir miskin.
2.10 Rukun Qiyas Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa rukun qiyas terdiri dari : 1. Ashl atau pokok, yakni suatu peristiwa yang sudah ada nash nya yang dijadikan tempat menganalogikan 2. Fur‟u atau cabang, yakni peristiwa yang tidak ada nash nya, yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashl yang disebut maqis dan musyabah (yang dianalogikan dan diserupakan) 3. Hukum ashl, yakni hukum syara yang telah ditentukan oleh nash 4. Illat, yakni sifat yang terdapat pada sifat ashl. Dengan adanya illat hukum inilah, proses mempersamakan hukum dapat dilakukan.
2.11 Macam-macam Qiyas 1. qiyas aulawi, yakni mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu hukumnya telah ada, namun siatnya/illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contohnya, keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah haram. 2. qiyas musawi, illat suatu hukm sama, seperti halnya kasus kesamaan hukum membakar harta anak dengan memakan hartanya. Illat keduanya sama-sama menghilangkannya.
17
3. qiyas Dilalah, yakni menetapkan hukum karena ada persamaan dilalat al hukm (penunjukkan hukumnya), seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan harta orang dewasa. Karena keduanya sama-sama bisa tumbuh dan berkembang (al-nama’). 4. qiyas Syibh, yakni terjadinya keraguan dalam mngqiyaskan, ke asal mana illat ditujukan; kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum padanya. Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya diqiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak cucu Nabi Adam as., atau barang yang bisa diperjualbelikan.
2.12 Kedudukan Qiyas dalam hukum Islam Menurut para ulama kenamaan, bahwa qiyas itu merupakan hujjah syar‟iyyah terhadap hukum akal. Qiyas ini menduduki tingkat keempat hujjah syar‟i, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang memiliki kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam nash. Mereka mendasrkan hukumnya dalam nash. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada, antara lain. Firman Allah: )٢ : ﻔﺎﻋﺘﺒﺭﻮﺍﻴﺄﻮﻠﻰﺍﻷﺒﺼﺎﺭ (ﺍﻠﺣشﺮ Artinya : “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!” (Q.S Al-Hasyr / 59: 2) Setelah Allah menjelaskan tentang kisah yang terjadi pada orang-orang kafir dari Bani Nadhar dan menjelaskan duduk persoalan apa-apa yang berada di sekelilingnya itu, Allah mendatangkan hukuman dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Kemudian Allah berfirman: “Ambillah pelajaran olehmu wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” Artinya qiyaskanlah dirimu dengan mereka. Kamu adalah seperti mereka itu. Perbuatanmu sama dengan perbuatan mereka. Dalam sebuah riwayat pernah ada seorang sahabat yang bernama Jariyah Khusya‟miyah bertanya kepada Rasul,”Hai Rasul Allah, ayahku adalah seorang yang sangat tua. Dia sudah tidak sanggup menunaikan haji, bila saya mengerjakan haji untuk dia, apakah ada manfaat bagi dia?” Rasul menjawab, “Bagaimanakah pendapatmu jika ayahmu mempunyai utang dan kamu yang membayar utang itu. Apakah yang demikian itu
18
bermanfaat baginya?” Jariyah menjawab, “Ya”. Kemudian Rasulullah bersabda, “Utang kepada Allah itu lebih berhak dibayarkan.”
2.13 Sebab-sebab dilakukan qiyas Di antara sebab-sebab dilakukannya qiyas adalah: 1. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur‟an dan As-Sunnah tidak ditemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma‟. 2. Karena nash, baik berupa Al-Qur‟an maupun As-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi. 3. Karena adanya persamaan illat peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.
19
BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Secara etimologi, ijma‟ ( )ﺍﻹﺠﻤﺎﻉberarti “kesepakatan” atau konsensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf, 12 : 15, yaitu:
15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi." Pengertian etimologi yang kedua adalah ﺍﻠﻌﺯﻢﻋﻠﻲﺷﺊ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat Yunus, 10 : 71:
71. dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. 20
Qiyas berasal dari kata qasa-yaqisu-qaisan artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya
3.2 SARAN Qiyas sebagai kaum muslim dan muslimah hendaknya senantiasa mengetahui, mempelajari serta mengamalkan hokum-hukum yang telah Allah SWT tentukan. Ijma dan qiyas merupakan hokum yang telah Allah SWT berikan apabila tidak tertera dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Betapa pentingnya hokum dalam islam dan islam(Allah SWT) telah memberikan kemudahan kepada hambanya.
21
DAFTAR PUSTAKA httphttp://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ushulfiqih/allsub/133/ijma.html://almanhaj.or.id/content/2944/slash/0/peran-ijma-dalam-penetapanhukum-islam http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ushul-fiqih/allsub/133/ijma.html
22