Filsafat Manusia (PERKULIAHAN) Modul ke:
Manusia mengakui diri dan yang-lain sebagai substansi dan subjek
Firman Alamsyah Ario Buntaran Fakultas
Psikologi
Program Studi
S1 - Psikologi http://www.mercubuana.ac.id
Manusia mengakui diri dan yang Lain sebagai substansi dan subjek Pada umumnya para filsuf yang lebih kuno, lebih kurang sampai pada Descartes, menerima kepastian manusia mengenai diri dan yang lain sebagai substansi dan sebagai subjek. Namun kedudukan metafisis yang diberikan kepada refleksi atau kesadarannya itu diterangkan secara berbeda-beda.
Pandangan tentang Titik Tolak Filsafat Manusia • Filsuf-filsuf yang menolak kemutlakan apa pun • Para Skeptis: mereka menolak semua kepastian • Para sensis Inggris (Hobbes, Locke, Berclay, Hume) kesadaran manusia terdiri dari kesan-kesan indriawi yang sederhana (simple impressions). Kesan-kesan indrawi merupakan deretan tanpa kesatuan benar, entah didalam isinya, entah didalam subjeknya. •
John locke masih menerima substansi manusia dan yang lain, namun tanpa mampu mempertanggungjawabkannya. Berclay menolak adanya substansi yang lain dan seluruh kenyataannya. David Hume juga mengingkari substansi manusia; “aku” tak lain hanya merupakan berkas fenomena kesadaran, yang mengalir dan berturut-turut terus menerus, tanpa ada kepastian apapun dan tanpa ada “aku” tetap. Pendapat yang serupa juga dipegang oleh para Positivis abad ke 19, Stuart Mill, Taine, dll.
Bergson • Hidup manusia merupakan dinamik vital (un elan vital). Manusia menghayati dan menyadari evolusi itu di dalam suatu intuisi, yang mengatasi kegiatan rasional. • Dengan intuisi tersebut manusia mengalami “aku” nya. • Akan tetapi bergson tidak sanggup memakai substansi, sebab dianggapnya terlalu statis.
Pemikir positivisme • Positivise :Auguste Comte, Herbert Spencer • Neo positivisme: Schlick, Neurath, Carnap • Hanya yang dapat dibuktikan secara ilmiah merupakan fakta. Arti faktafakta itu hanya faktual belaka, tanpa memiliki kemutlakan atau keharusan metafisik. • Neopositivistik juga mempersoalkan adanya fakta.
Imanuel Kant • Menurut Kant, harus dicari syarat-syarat minimal yang mutlak perlu agar pengetahuan manusia itu memang mungkin. • Sebagai syarat pertama, manusia memiliki sistem klasifikasi didalam dirinya yang menyebabkan dia mengatur semua gejala dan kesan menurut bentukbentuk atau kategori-kategori tertentu (formae apriaori). • Ada dua taraf panca indra, yaitu ruang dan waktu.
Imanuel Kant • Ego transendental merupakan ide yang tidak diketahui isinya. Hanya ditemukan sebagai batas atau limit pengetahuan, sebagai titik persatuan fungsional belaka, bukan substansi.
• Pada tahap akal budi (verstand) terjadi pengolahan spontan atas input yang berasal dari pengalaman. Pengolahan spontan ini mungkin terjadi karena adanya kategori-kategori (kategorien). • Kategori-kategori ini adalah konsep-konsep fundamental yang membantu manusia menyusun pengetahuannya. • Kategori berperan menata pengalaman inderawi untuk dijadikan pengetahuan. • Pada tahap ini terjadi sintesis antara (1) unsur aposteriori (unsur yang datang sesudah pengalaman) dan unsur apriori. Melalui penerapan kategori kasualitas (sebab akibat) pengalaman manusia memasak air dapat diukur untuk menetapkan sebuah pengetahuan bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat celsius (Salamony, 2011)
Filsuf-filsuf yang menerima substansi mutlak, tetapi dalam arti sempit • Monisme eleatis (Parmenides) hanya ada satu substansi mutlak yang tidak terbatas dan yang abadi. Tidak ada tempat bagi substansi manusia yang bersifat pribadi.
Rene Descartes • Titik pangkal filsafat terletak didalam kesadaran subjektif : Cogito Ergo Sum. • Manusia memiliki kepastian nutlak mengenai adanya sendiri sebab dipahami dengan jelas dan tepat. • “Aku” yang berpikir ialah substansi spiritual yang berdiakri tanpa membutuhkan atau mengandaikan yang lain apa pun, disadari secara murni dan dengan langsung.
Rene Descartes • “Aku” substansial itu sama dengan pikiran (cogitation). • Pikiran itu sama sekali imanen. Didalam pengertianku memang juga ada ide-ide tentang dunia luar yang benar-benar real, telah diberikan sejak kelahiranku (ideae innate), tetapi saya tidak mempunyai pengalaman langsung dengan dunia luar itu. • Cogito itu tertutup pada diri sendiri.
Spinoza • Dengan meneruskan metode dan jalan [ikiran Descartes, hanya dapat diakui satu substansi ilahi, termasuk manusia, bukan merupakan substansi, melainkan hanya cara berada (modus) dari sifat (attributus) ilahi. Demikian “aku” adalah “modus” dari “attributus” pikiran.
Malebranche dan Leibniz • Menurut garis Descartes, manusia sadar akan diri sendiri saja, merupakan “aku” tertutup, tanpa hubungan langsung dengan yang lain. Hanya berintuisiakan Tuhan., dan melalui itu juga tahu akan adanya dunia luar. Atau menurut Leibniz telah menerima ide-ide tentang dunia luar sejak kelahiran.
Para idealis (Fichte, Schelling, Hegel) • Hanya ada satu realitas, yaitu “Aku” yang absolut. Manusia individual hanya merupakan momen atau unsur di dalam (perkembangan) kesadaran “Aku” yang mutlak itu.
Fenomenologi (pelopor:Brentano, Huserl, Scheler) • Realitas dianalisis dengan metode fenomenologis, sejauh dialami di dalam kesadaran. Kesadaran manusia secara hakiki bercorak intensional dari kata latin “intendere”, mengarah kepada. Maksudnya: kesadaran manusia terarah kepada objek yang lain dan yang berbeda dari kesadaran sendiri.
Pendapat yang lebih seimbang • Neo Tomisme moderen (Karl Rahner. A. Marc, Lonergan, Lotz) • Metode Kant dapat dipakai dan disempurnakan. Dengan metode transendental manusia mengeksplisitkan pengakuan mutlak akan adanya diri sendiri yang telah diandaikan di dalam fakta keputusan-keputusannya, dan yang dituntut dengan mutlak oleh kepastian keputusan itu. Adanya yang lain ditemukan berdasarkan kesatuan subjek dengan objeknya.
Eksistensialisme • “Aku” bersama-sama orang lain di dalam dunia. • Oleh karena itu kepastian asali manusia disebut “eksistensi” dari kata ex-sistere artinya menempatkan diri ke luar. • Eksistensi itu menunjukkan cara berada manusia yang khas, yang membedakannya dari semua hal yang lain. • Hanya manusialah yang bereksistensi , dengan keterbukaan hakiki bagi yang lain. • Heideger menyebut dengan “Dasein, “Sein” berati “berada”, “da” berarti “di sana”. • Didalam manusia Sein sungguh menjadi tampak. • Dengan kata lain lagi, sifat hakiki manusia ialah “berada di dalam dunia”
Psikologi Eksperimental dan Klinis: • Psikologi Positif ini punya aneka pandangan tentang diri, aku, dll. Namun sering dipengaruhi kuat oleh Filsafat Manusia tertentu dan sesuai dengan itu Psikologi pun mengakui substansialitas Manusia atau tidak, menerima pengertian substansialitas orang lain atau tidak.
Bina Nusantara
Manusia Sadar Diri sebagai “AKU” Otonom • Aku: titik tolak Filsafat Manusia. Semua gejala, pengertian, perasaan, aktivitas, rencana, keputusan, pelaksanaan dihubungkan dengan Aku, lalu menjadi pikiranku-kamarku-mejaku, bajuku dll. • Aku merupakan fenomena sentral. Contoh: saya sadar akan uang yang sedang saya hitung, di dalamnya saya sadar bahwa saya sedang menghitung uang, dan saya sadar akan kesadaran itu. • Aku Berada: pengakuan akan Aku Sentral tak disangkal lagi. Kalau disangkal, tetap Aku yang menyangkalnya. Kita tinggal diam/bungkam.
• Karena pengakuan itu tak disangkal, “Aku” menjadi data induk, fakta mutlak/absolut. • Aku tidak tersangkal, tidak boleh tidak ada, baik menurut adanya maupun menurut pemahamannya. • Saya sadar bhw AKU BERADA, dan selama saya mau meneruskan penyelidikan filosofis tentang manusia, tidak ada satu orang pun yang dapat meyakinkan saya bahwa keliru. • Saya temukan satu fakta induk tak tergoncangkan lagi.
• Akulah Substansi – Ketertentuan: kesadaran akan AKU bukan kosong, tapi berisi atau padat. Aku sadar akan Aku-ku dengan ketertentuan dan batas diri. Aku diakui sebagai yang tertentu. Cogito aliquid, Akulah sesuatu yang tertentu. – Kesatuan Utuh: Aku identik dengan diriku, bukan yang lain. Aku: kesatuan utuh/tetap. Aku tak terbagi lawan diri sendiri, tidak sebagian kontra dengan keseluruhan, tak ada keterpecahan dalam diri. AKU itu Satu.
– Berdikari: Aku tidak tambahan/bagian bagi keseluruhan lain yang lebih luas. Aku pusat berdikari, pusat kekuasaanku. Aku khusus/sendiri secara mutlak. Aku Unik, hanya Aku seperti Aku, dan tidak pernah ada yang lain seperti aku yang sadar diri sebagai aku Otonom. Aku serba asli/orisinal. – Substansi: Ketiga ciri itu bersama merupakan inti substansi. Aku bertahan terus menerus menurut kesendirian dan keaslian. Di bawah fenomen yang lain, ada fakta induk yang tetap, satu, berdiri sendiri, otonom, mandiri.
• Akulah Subjek – Pengertian: Saya tahu betul diri sendiri. Dalam tiap kegiatan yang saya sadari, saya tegaskan diri, saya pikirkan diri sendiri. Lalu saya putuskan bahwa memang akulah Aku, cogito me ipsum. – Pilihan: Saya menghendaki diri sendiri, terima diri sendiri, setujui diri sendiri. Sy memilih dan memiliki diri sendiri dalam tiap putusan khusus tanpa menolak/membuang diri. Saya meng-ia-kan dan menetapkan diri saya.
– Pelaksanaan: Pengakuan akan diri itu tidak hanya bersifat statis, tidak hanya menyaksikan/menonton/mengamati adanya saja. Namun bersifat dinamis-aktif: dengan mengakui diri, saya mengadakan diri dan menjamin kesatuan utuh. Adaku tergantung pengakuan itu dan dibuat olehnya. Jadi, saya juga berpraksis. – Subjek: Substansi yang sadar diri itu disebut subjek. Tapi subjek bukan dalam arti linguistik/logis, namun metafisis: sumber otonom dan sadar bagi segala gejala dan kegiatan.
Yang Lain Yang Otonom • Pada umumnya: Yang Lain. Aku berbeda dgn yang lain. Pengakuan akan diri sendiri memuat secara implisit kepastian: bahwa aku beda dari yang lain, aku bukan yang lain. Aku hanya “Aku ini” karena ada “Yang itu”. Yang lain juga tertentu. Maka pengakuan akan AKU sendiri menuntut pengakuan akan Yang Lain sebagai syarat mutlak.
• Subjek Lain dan Yang Infra Subjektivitas – Pengakuan AKU memuat pengakuan akan Yang Lain. Akhiran-ku membedakan kesadaranku dari kesadaran-kesadaran lain. Aku beda dari Aku yang lain. Fakta Induk: kesadaran aku selalu memuat kesadaran juga akan Manusia Lain yang punya kesadaran diri sendiri, yang Subjek juga. – Jika Aku dan Orang Lain sebagai pusat-pusat otonom, maka ada juga substansi lain yang tidak sampai taraf keakuanku, bukan subjek. Pemakaian kata sadar menuntut adanya yang “tidak sadar”, dunia infra manusiawi. Bina Nusantara
• Keanekaan Asali Aku-Yang Lain-Substansi Bukan Subjek: samasama fakta mutlak. Kesadaran akan Aku hanya dapat dipertahankan dalam konfrontasi/pembedaan dengan mereka yang lain. Kesadaran bukan tertutup pada diri sendiri, bukan sendirian saja. Sejak awal manusia temukan diri bersama dengan yang lain dan hidup dalam pluralitas/keanekaan induk atau asali.
Daftar Pustaka • Bakker, A. (2000). Antropologi Metafisik. Penerbit Kanisius.
Terima Kasih Firman Alamsyah AB, MA