WIDYAWATI
FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA PASCA-ORDE BARU: Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA SEKOLAH PASCA SARJANA
Filantropi Islam dan Kebijakan Negara pasca-Orde Baru: Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf Oleh: Widyawati Cetakan I, Maret 2011 Diterbitkan oleh: Penerbit Arsad Press Jl. Permai V No. 134 Komp. Cipadung Permai Cibiru Bandung Hak cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved Lay Out: Yodi W. Rosyadi Desain Cover: Tatang Ruhiyat
بسم هللا الرحمن الرحيم وبه نستعين على أمور الدنيا والدين والصالة والسالم على نبيه محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah, yang atas rahmatnya dan karunia-Nya penerbitan buku ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muh}ammad Saw., keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman, Amin. Buku yang ada di tangan pembaca ini semula adalah disertasi yang saya ajukan ke Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah diujikan pada 10 Januari 2011. Karena itu, dengan terbitnya buku ini, saya ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh pihak yang telah membantu saya dengan cara mereka masingmasing. Tanpa bantuan mereka, saya merasa sulit—kalau bukan mustahil—dapat merampungkan penerbitan buku ini. Pertama dan utama, terimakasih dan penghargaan saya tertuju kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Di tengah-tengah kesibukan masing-masing—secara berturut-turut sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana dan Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—mereka masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan. Keduanya telah berperan penting dalam penulisan buku ini. Terimakasih dan perhagaan sebanding juga disampaikan kepada Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA dan Prof. Dr. Uswatun Hasanah, MA atas masukan dan saran-saran yang sangat berharga bagi perbaikan buku ini. Terimakasih dan penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada para dosen di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah memperkaya dan memperluas wawasan saya selama studi di lembaga ini. Juga kepada Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang telah memberikan masukan dan saran-saran yang sangat berharga atas draft awal buku ini hingga penerbitannya. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang dalam juga saya sampaikan kepada Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, MS dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Hendi Suhendi, M.Si. Keduanya telah memberikan izin kepada saya untuk studi dan terus mendorong agar saya segera menyelesaikannya. Dorongan serupa juga saya peroleh dari Prof. Dr. A. Djazuli dan Prof. Dr. Juhaya S. Praja, yang dengan tulus merekomendasikan saya untuk melanjutkan studi S-3 di SPs UIN Jakarta. Dr. Ismatu Rofi dan keluarga, Din Wahid, MA dan keluarga serta Dr. Asep Saepudin Jahar telah banyak membantu saya di awal-awal studi. Mereka sudah sepatutnya memeroleh ucapan banyak terimakasih. Hal serupa juga saya sampaikan kepada kawan dan kolega di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Di antara mereka, saya ingin menyebut Drs. M. Ahsanuddin Jauhari, M. Hum. dan keluarga, Aan Radiana, M. Ag., Drs. Ah.
i
Fatonih, M.Ag., Dr. Fauzan Ali Rasyid, dan Asro, M. Hum. serta lain-lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Selanjutnya, hutang budi dan terimakasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada keluarga besar saya, kedua orang tua saya, Alm. Basuni (w. 2010) dan Kulsum, dan mertua saya, Alm. H. Abdul Muin (w. 2007) dan Alm. Panitri (w. 1994). Merekalah yang telah mendorong saya terus belajar dan berkorban untuk itu, namun hanya satu di antara mereka yang saat ini dapat menyaksikan saya telah menyelesaikan studi ini. Juga kepada kakak-kakak dan adik-adik saya, yang telah banyak membantu selama studi saya, baik sebelum maupun saat di PPs UIN Jakarta. Terakhir, penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada suami saya tercinta, Munir A. Muin, MA dan anak-anak saya yang membanggakan, Salwa Nurvidya, M. Khursyid Hikam dan Refat Jahabidza, atas pengertian dan pengorbanan mereka selama ini. Banyak kebahagiaan yang hilang dari mereka di saat saya harus meneruskan studi dan menyelesaikannya. Kepada merekalah buku ini saya dedikasikan.
ii
Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض
PEDOMAN TRANSLITERASI Latin Arab ط a ظ b ع t غ th ف j ق h} ك kh ل d م dh ن r و z ه s ء sh ي s} d}
Latin t} z} ‘ gh f q k l m n w h ’ y
Vokal Pendek ------- (fath}ah) ------- (kasrah) ----- (d}ammah)
a i u
Vokal Panjang ى/ا ي و
a> i> u>
seperti seperti seperti
هداية شريف مسلمون
hida>yah shari>f muslimu>n
aw ay
seperti seperti
أوقاف بين
awqa>f bayna
Diftong أو أى
( ةta>’ marbu>t}ah) dibaca ‚ah,‛ jika tidak diidafatkan, seperti ( زكاةzaka>h), dan dibaca ‚at,‛ jika diidafatkan, seperti ( زكاة الفطرzaka>t al-fit}r). ( الla>m al-ta‘ri>f) ditulis dengan ‚al-‛, baik ketika bertemu huruf-huruf qamariyyah maupun shamsiyyah, seperti ( الجامعةal-ja>mi‘ah) dan ( الدراسةaldira>sah).
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …………………………………………………….. PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………… DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
i iii v
BAB
I A. B. C. D. E. F. G.
PENDAHULUAN ………………………………………… Latar Belakang Masalah……………………………………. Rumusan Masalah…………………………………………... Tujuan Penelitian………………………………………….... Signifikansi dan Manfaat Penelitian……………………….. Tinjauan Pustaka…………………………………………..... Metodologi………………………………………………….. Sistematika Penulisan…………………………………….....
1 1 7 7 8 8 14 16
BAB
II A. B. C. D.
ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI…………………... Filantropi dalam Tradisi Islam……………………………... Aspek-aspek Filantropi Islam……………………………..... Filantropi dan Keadilan Sosial……………………………... Negara dan Filantropi Islam………………………………..
18 18 22 55 38
BAB
III A. B.
KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT……………. Pengaturan Zakat di Indonesia……………………………... Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat pasca-Orde Baru…………………………………………….. Konfigurasi Politik Legislasi Zakat………………………… Implikasi terhadap Zakat setelah Pengesahan Undangudang………………………………………………………..
49 49
KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF………….... Pengaturan Wakaf di Indonesia…………………………….. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Wakaf pasca-Orde Baru…………………………………………….. Konfigurasi Politik Legislasi Wakaf……………………….. Implikasi terhadap Wakaf setelah Pengesahan Undangundang…….............................................................................
103 103
PERKEMBANGAN FILANTROPI ISLAM………………. Pertumbuhan Lembaga-lembaga Zakat, Wakaf dan Filantropi…………………………………………………..... Pertumbuhan Kuantitatif Lembaga-lembaga Filantropi…… Respons Civil Society Islam terhadap Rencana Revisi UU Zakat dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam………….
155
PENUTUP………………………………………………….. Kesimpulan…………………………………………………. Saran-saran…………………………………………………..
186 186 187
C. D. BAB
IV A. B. C. D.
BAB
V A. B. C.
BAB
VI A. B.
v
63 72 92
115 132 150
155 168 174
ADDENDUM ……………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. LAMPIRAN ……………………………………………………………… INDEKS ………………………………………………………………….. RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………….
vi
189 192 208 211 216
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Filantropi, sebagai sebuah kedermawanan, merupakan ajaran etika yang sangat fundamental dalam agama-agama.1 Kenyataan ini dapat dilihat baik dalam doktrin maupun praktik keagamaan dalam berbagai tradisi di berbagai wilayah dunia,2 yang tentu saja dengan nama yang berbeda-beda, namun mengandung makna sama, yaitu kesetiakawanan terhadap sesama manusia. Karena itulah, berbagai bentuk kedermawanan ini kadang-kadang disebut karitas (charity), yang berarti kecintaan terhadap sesama manusia, 3 dan adakalanya disebut filantropi yang, menurut makna populernya, berarti ‚tindakan sukarela untuk kebaikan umum‛ (voluntary action for the public good ).4 Menurut Thomas H. Jeavons, setidak-tidaknya ada empat unsur penting agama, yang mendorong penganutnya senang menjalankan filantropi. 5 Pertama, agama memiliki doktrin yang mendorong umatnya untuk memberi kepada mereka yang kurang mampu. Kedua, lembaga keagamaan berperan sebagai penerima sekaligus sumber pemberian. Ketiga, agama memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan lembaga-lembaga filantropi. Keempat, agama dapat berperan sebagai kekuatan dalam menciptakan ruang sosial bagi kegiatan dan lembaga filantropi.
1
Meskipun demikian, ada juga filantropi yang tidak bersumber pada ajaran agama, tetapi semata-mata karena rasa kemanusiaan. Filantropi jenis ini dapat ditemukan, misalnya, pada masa Yunani dan Romawi pra-Kristen. Memang banyak praktik filantropi pada masa ini yang diwujudkan dalam berbagai proyek, seperti bantuan kepada orang-orang miskin, pembangunan gedung, pembangunan tempat perlindungan tentara dan lain sebagainya. Semua itu dibiayai oleh filantropi orang-orang kaya, yang didorong bukan karena ajaran agama. Sebaliknya, tujuan utama filantropi tersebut adalah semata-mata demi prestise orang yang menyumbangnya. Lihat Mark C. Cohen, Poverty and Charity in the Jewish Community of Medieval Egypt (Princeton: Princeton University Press, 2005), 4. 2 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the Non-Profit Sector (London-New York: Routledge, 2005), 196; Warren E. Ilchman, Stanley N. Katz, dan Edward L. Queen II, ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren E. Ilchman, et.al., terj. Tim CSRC (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006), ix. 3 Thomas D. Watts, ‚Charity,‛ dalam Encyclopedia of World Poverty, ed. M. Odekon (London: Sage Publication, 2006), 1: 143. 4 Lihat Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; juga Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good, dalam http://www.paytonpapers.org (diakses 20 September 2009). 5 Thomas H. Jeavons, ‚Religion and Philanthropy,‛ http://learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ religion_ philanthropy.asp (diakses 5 Agustus 2010); bandingkan Andrew Ting-Yuan Ho, ‚Charitable Giving: What Makes A Person Generous?‛ MA thesis (Washington DC.: Georgetown University, Faculty of the Graduate School of Arts and Sciences, 2006).
1
2 Seperti agama-agama lain, Islam juga memberikan perhatian yang sangat besar pada masalah kedermawanan, dari tingkat yang sekadar sukarela hingga ke tingkat yang bersifat wajib, dengan shadaqah sebagai konsep utamanya. Makna utama di balik konsep ini adalah segala kebaikan yang diberikan seseorang kepada yang lain secara sukarela adalah shadaqah. Berbeda dengan shadaqah, zakat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan khusus. Sementara itu, wakaf tidak memiliki tingkat kewajiban, tetapi sangat dianjurkan bagi setiap Muslim. Tidak heran, jika bentuk kedermawanan yang terakhir ini dianggap sebagai sebuah filantropi yang terlembaga dengan baik.6 Dalam sejarah, ketiga bentuk filantropi dalam Islam itu telah memainkan peran yang sangat penting, seperti dalam penyebaran agama dan ilmu, pendirian lembaga-lembaga pendidikan, bahkan dalam bidang kesejahteraan. Misalnya, salah satu sarana penting bagi penyebaran Islam adalah masjid, yang didirikan dan dibangun atas dasar filantropi. Bahkan, konon, Nabi sendiri adalah orang pertama yang mencontohkan melaksanakan filantropi dengan mendirikan masjid. Selain masjid, banyak lembaga pendidikan penting, yang menjadi tempat para siswa menimba ilmu didirikan atas dasar filantropi. Tidak hanya itu, bahkan penyelenggaraannya pun dijalankan dengan dana filantropi, terutama yang didukung oleh penguasa. Melalui lembaga-lembaga pendidikan inilah penyebaran ilmu terjadi dan mengalami perkembangan, seperti di Bagdad, Kairo, Makkah dan lain sebagainya.7 Bahkan, tidak sedikit perpustakaan yang ada di wilayah ini didirikan dan dibiayai oleh dana filantropi, terutama wakaf. 8 Demikian pentingnya filantropi Islam ini sehingga ia tidak pernah bisa dilepaskan dari urusan negara atau kekuasaan. Menurut Jon B. Alterman dan Shireen Hunter, setidak-tidaknya ada empat sikap pemerintah di negara-negara Muslim terhadap filantropi. Pertama, nasionalisasi lembaga filantropi sehingga ia berada di bawah kontrol negara. Dengan demikian, manajemen filantropi harus tunduk pada kepentingan negara. Kedua, negara menyesuaikan diri dengan otoritas keagamaan. Dengan cara begitu, lembaga filantropi pada dasarnya ditarik ke dalam lembaga negara, dan pada saat yang sama memeroleh justifikasi dari agama. Ketiga, negara menentukan kekuatan yang dapat mengatur lembaga filantropi, termasuk tujuan dan jumlah pengurusnya, sehingga negara memberikan kebebasan aktivitas filantropi, sepanjang aktivitas tersebut tidak berkaitan dengan politik. Keempat, negara membentuk lembaga filantropi yang non-pemerintah. Lembaga semacam ini akan menjadi agen perubahan bagi masyarakat, seperti 6 Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice,‛ paper disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and Democracy) 5 th Annual Conference ‚Defining and Establishing Justice in Muslim Societies,‛ Washington DC, 28-29 Mei 2004), 5; Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛ http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20-62009). 7 Siraj Sait dan Hilary Lim, Land, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim World (London-New York: Zed Books, 2006), 149; Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 17; Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam , ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv. 8 Lihat Yah}ya> Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, 1996).
Pendahuluan
3 penghapusan kemiskinan, pendidikan, kepedulian terhadap anak-anak dan lain sebagainya.9 Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari hubungan agama dan negara, yang terjadi di beberapa negara Muslim. Secara garis besar, hubungan antara keduanya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama. Kategori pertama berpandangan bahwa Islam dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan, sehingga urusan agama identik dengan urusan negara itu sendiri. Kedua, Islam dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, dan karenanya persoalan agama harus dikeluarkan dari tanggung jawab negara. Ketiga, meskipun Islam dan negara berbeda, namun keduanya memiliki kaitan yang substansial. 10 Dalam konteks seperti itu, Yu>suf al-Qarad}a>wi> ( (يوسف القرضاوىmenilai bahwa filantropi Islam, khususnya zakat, harus dikelola oleh negara. Institusi ini berkewajiban untuk memungut dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Selain didasarkan pada QS al-Tawbah (9): 103,11 alQarad}a>wi> juga berargumen bahwa fakir miskin dapat memeroleh jaminan yang lebih kokoh dari negara ketimbang dari perorangan. Di samping itu, pendistribusian oleh negara menghilangkan konsentrasi pada kelompok mustahik di wilayah tertentu. Yang lebih penting lagi, Islam pada dasarnya adalah agama dan negara (di>n wa-dawlah).12 Sejauh ini, terdapat enam negara yang mengelola zakat melalui undang-undang, seperti Arab Saudi, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan dan Sudan.13 Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Robert D. McChesney berpendapat bahwa Islam tidak memiliki pola pengelolaan filantropi—khususnya zakat—secara tegas, tetapi bersifat ambigu.14 Karena itu, dalam pengelolaannya bisa berubah-ubah sesuai dengan situasi masyarakat. Artinya, ia kadang-kadang dikelola oleh negara, namun adakalanya negara melepaskan diri dari persoalan ini. Seperti di wilayah lain, filantropi Islam juga berkembang di Indonesia bersamaan dengan kedatangan agama ini. Praktik ini mudah diterima oleh masyarakat Nusantara, mengingat bentuk-bentuk filantropi telah menjadi tradisi kehidupan mereka, terutama filantropi yang berakar pada agama-agama. Meskipun demikian, penghimpunan dan pendistribusian zakat tidak pernah dikelola oleh penguasa pada masa kesultanan Islam. 15 Sebaliknya, masyarakat bebas membayarkannya, baik secara langsung kepada mustahik, maupun kepada lembaga-lembaga, seperti masjid, pesantren ataupun organisasi-organisasi keagamaan. Memasuki masa penjajahan, filantropi Islam juga tidak memeroleh perhatian dari pemerintah kolonial, mengingat kebijakan mereka dalam bidang agama 9 Jon B. Alterman dan Shireen Hunter, The Idea of Philanthropy in Muslim Contexts (Washington, DC: Center for Strategic and International Studies, 2004), 11-12. 10 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam (Jakarta: Ushul Press, 2005), 7-8. 11 Ayat ini berbunyi sebagai berikut: 12
.خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم إن صالتك سكن لهم وهللا سميع عليم
Yu>suf al-Qarad}aw > i>, Fiqh al-Zaka>h (Beiru>t: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 746-754; lihat juga Abu> alWafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Min Qad}a>ya> al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 91-92. 13 A. Zysow, ‚Zakat,‛ dalam The Encyclopedia of Islam, ed. P.J. Bearman et.al. (Leiden: Brill, 2002), 11:
419.
14 Robert D. McChesney, Charity and Philanthropy in Islam: Institutionalizing the Call to Do Good (Indianapolis: Indiana University Center on Philanthropy, 1993); lihat juga idem, ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛dalam http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam .asp (diakses 20-062009).
15
Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛19.
Bab I
4 adalah netral.16 Bahkan, para pejabat pribumi dilarang untuk terlibat dalam pengelolaan zakat, karena zakat semata-mata ditujukan untuk kepentingan agama. Lebih buruk lagi, tidak sedikit dana zakat terbukti disalahgunakan untuk kepentingan pribadi mereka.17 Akibatnya, dana zakat yang terkumpul sangat rendah dan biasanya dibayarkan langsung kepada para guru ngaji setempat. Dengan kata lain, pemerintah kolonial sengaja membiarkan persoalan zakat menjadi persoalan orang Islam dan berupaya menjadikan zakat sekadar sebagai tindakan sukarela. Bahkan Hurgronje juga keberatan jika zakat dimasukkan ke dalam kas kabupaten, apalagi negara.18 Berbeda dengan zakat, sikap pemerintah kolonial terhadap wakaf tidaklah netral, karena wakaf Muslim berupa tanah, sehingga harus diatur oleh pemerintah melalui peraturan tentang agraria. Lebih jauh, kebijakan yang netral dalam masalah agama ini juga dapat berubah menjadi represif, ketika dana filantropi ini digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik, seperti pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah kolonial.19 Bahkan, pada akhirnya, untuk kepentingan murni agama pun dibatasi, karena dianggap dapat memperkuat basis sosial masyarakat. Di beberapa daerah, misalnya, pemerintah kolonial melarang renovasi masjid dengan dana zakat dan wakaf, dengan alasan hal itu akan memperkuat soliditas umat Islam.20 Memasuki Indonesia merdeka, persoalan filantropi tidak memeroleh perhatian dari negara yang masih lemah. Dalam situasi seperti ini, upaya untuk melakukan pengelolaan zakat dan wakaf oleh masyarakat sipil menguat. Ini ditunjukkan dengan sejumlah seminar yang menghendaki agar zakat dikelola oleh negara. Akan tetapi, berbagai upaya ini mengalami kegagalan karena kekhawatiran pemerintah terlibat dalam urusan agama, atau dituduh menjalankan Piagam Jakarta, yang saat itu telah berhasil dijinakkan. 21 Di samping itu, dikotomi ideologis antara Islamis dan sekular masih sangat kuat, sehingga setiap upaya untuk melibatkan negara dalam masalah agama dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengancam kesatuan. Sikap pemerintahan Soekarno—yang kemudian disebut Orde Lama—terhadap persoalan filantropi ini tidak mengalami perubahan, hingga ia diturunkan dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto. Di awal pemerintahannya, kaum Muslim banyak berharap agar Soeharto mau melibatkan negara dalam persoalan filantropi, terutama zakat. Hal ini dibuktikan dengan seruan sejumlah ulama agar pemerintah ambil bagian dalam pengelolaan zakat. Akan tetapi, Soeharto merespons hal itu dengan kesediaan dirinya sebagai amil zakat nasional, tanpa harus melibatkan negara. Meskipun bersifat personal, 16
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 2 dan 9-10. Arskal Salim, ‚The Influential Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formation of Zakat (Alms) Law in Modern Indonesia,‛ Pacific Rim Law and Policy Journal Association, 15:3 (2006), 690. 18 Tentang alasan-alasan penolakan Hurgronje mengenai hal ini, lihat Nasihat-nasihat C. Snouc Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1880-1936, terj. Sukarsi (Jakarta: INIS, 1992), 1352-1375. 17
19
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press,
1998).
20
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162-164. Arskal Salim, ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra (Singapore: ISEAs, 2003), 183184. 21
Pendahuluan
5 keterlibatan Soeharto ini sedikit banyak terkait dengan negara, mengingat tidak sedikit instruksi yang ia keluarkan diarahkan kepada sejumlah kepala daerah. Akan tetapi, sentralisasi pengelolaan zakat di bawah koordinasi Soeharto tidak memeroleh kepercayaan masyarakat, yang dibuktikan dengan sedikitnya dana yang terkumpul selama tiga tahun keterlibatannya. 22 Lebih jauh, kegagalan ini tidaklah semata-mata ketidakpercayaan masyarakat, tetapi juga sikap setengah hati yang ditunjukkan Soeharto. Hal ini terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, di mana ia menginstruksikan pemotongan langsung gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sedekah yang harus dibayarkan kepada yayasan ini. Akibatnya, pengelolaan zakat menjadi murni persoalan umat Islam, sehingga masyarakat menyalurkan zakat mereka ke lembaga-lembaga yang biasa menghimpun dan menyalurkan zakat, seperti masjid, pesantren, madrasah, dan organisasi-organisasi keagamaan. Pemerintah sendiri, melalui Departemen Agama, hanya memberikan instruksi agar zakat dihimpun dan disalurkan sesuai dengan ketentuan ajaran Islam.23 Menjelang akhir pemerintahannya, Soeharto memang menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap Islam, dengan disahkannya sejumlah undang-undang yang memenuhi kepentingan umat Islam, seperti UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,24 Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sejumlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam25 dan Bank Muamalat.26 Akan tetapi, persoalan filantropi Islam tetap belum memeroleh perhatian yang semestinya hingga berakhirnya Orde Baru yang dipimpinnya pada 1998. Berbeda dengan zaman Orde Baru yang sentralistik, pada masa reformasi di bawah kepresidenan Habibie, kebebasan politik memeroleh momentum. Ini ditandai tidak hanya dengan menjamurnya partai politik baru, dengan ideologi dan corak yang beragam. Namun, hal itu juga ditunjukkan dengan berdirinya sejumlah organisasi keagamaan dari yang bersifat liberal hingga radikal. Di tengah-tengah situasi kebebasan dan ‚relaksasi politik‛27 inilah sejumlah lembaga filantropi Islam banyak tampil ke muka. Tidak hanya sebatas itu, lembaga-lembaga filantropi ini juga menjadi kekuatan civil society, yang dapat menekan pemerintah 22 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in postIndependence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13: 3 (2006): 365. 23 Arskal Salim, Challenging the Secular State: Islamization of Law in Modern Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), 124-125. 24 Untuk pembahasan mengenai hal ini, lihat Mark Cammack, ‚Indonesia’s 1989 Religious Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonenization of Islam?‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, 96-124; Nur Ahmad Fadhil Lubis, ‚Institutionalization and Unification of Islamic Courts under the New Order,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 2: 1 (1995). 25 Diskusi lebih panjang tentang hal ini, lihat Imam Mawardi, Socio-Political Background of the Enactment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tesis M.A. (Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University, 1997); juga Joko Mirwan Muslimin, Islamic Law and Social Change: A
Comparative Study of Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in Nation-States Egypt and Indonesia (1950-1995), Disertasi PhD (Hamburg: Universitat Hamburg, 2005). 26 Untuk pembahasan secara rinci tentang hal ini, lihat Zainulbahar Noor, Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan (Jakarta: Bening, 2006); juga Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics (Jakarta: Ushul Press, 2006), 114-124. 27 Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung:
Mizan, 2000), 172.
Bab I
6 untuk memenuhi aspirasi tertentu mereka. Dengan kata lain, perubahan politik ternyata berdampak besar bagi pertumbuhan lembaga-lembaga filantropi di Indonesia.28 Menurut Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, filantropi di Indonesia dari pra-kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru berkembang melalui tiga arus utama. Pertama, filantropi tradisional, yang bersumber pada agama dengan semangat dakwah. Praktik filantropi tradisional ini tercermin dalam berbagai layanan sosial, terutama pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Muhammadiyah, dalam hal ini, merupakan contoh yang sangat baik, karena telah berhasil mendirikan ribuan sekolah, rumah sakit dan ratusan rumah yatim. 29 Kedua, organisasi masyarakat sipil yang mulai bermunculan pada 1970-an. Organisasi-organisasi ini muncul bersamaan dengan proyek modernisasi, yang menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat Indonesia, seperti kemiskinan, peminggiran rakyat, lingkungan, polusi, pelanggaran hak asasi manusia dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini tidak secara langsung bergerak dalam bidang filantropi dalam pengertian tradisionalnya, juga tidak banyak mendapat dukungan dari masyarakat akar rumput. Akan tetapi, mereka telah banyak menggagas perubahan penting dalam konteks modernisasi ini, seperti advokasi, pemberdayaan rakyat, yang terjadi pada masa itu. Ketiga, organisasi filantropi perusahaan dan organisasi sumber daya masyarakat sipil. Arus ketiga ini muncul bersamaan dengan krisis ekonomi pada 1997 dan runtuhnya rezim otoriter. Keduanya telah mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai persoalan. Karena itu, masa ini dapat dipandang sebagai masa subur berdirinya organisasi-organisasi filantropi, sehingga pada 2003 sudah berdiri setidaknya 27 organisasi.30 Salah satu bentuk gerakan sosial yang memiliki pengaruh penting terhadap bidang filantropi adalah Forum Zakat (FOZ), yang didirikan oleh sejumlah organisasi pada 1997. Asosiasi ini berhasil menggalang jaringan organisasi filantropi, mendiskusikan persoalan-persoalan zakat dengan pemerintah, menyebarkan informasi, mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menjadi konsultan dalam berbagai persoalan zakat. Hanya dalam waktu dua tahun, asosiasi ini sudah beranggotakan 150 buah lembaga. 31 Di antara kontribusi penting forum ini adalah penyiapan draft undang-undang zakat, yang kemudian disahkan sebagai UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 32 Suasana kebebasan ini terus berlangsung pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati. Pada masa dua presiden ini, lembaga-lembaga civil society, termasuk lembaga filantropi, terus menguat dan mampu memberikan tekanan terhadap pemerintah. Salah satunya adalah aspirasi umat Islam agar wakaf yang telah lama menjadi 28 Andi Agung Prihatna, ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia , ed. Chaider S. Bamualim dan
Irfan Abu Bakar (Jakarta: PBB UIN Syarif Hidayatullah, 2005), 14. 29 Tentang data lengkap mengenai amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, panti asuhan dan lain-lain hingga 2010, lihat http://www.muhammadiyah.or.id/jaringanmuhammadiyah.html (diakses 12 Januri 2011). 30 Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial (Jakarta: Piramedia, 2006), 1-3. 31 Forum Zakat, Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia (Jakarta: FOZ, 2001), xi. 32 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127-128.
Pendahuluan
7 praktik masyarakat Muslim diatur dalam sebuah undang-undang, sebab sejauh ini wakaf hanya di atur dalam berbagai peraturan yang terpisah-pisah, seperti dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Instruksi Presiden Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Aspirasi ini akhirnya dipenuhi dengan diajukannya RUU tentang Wakaf yang kemudian disahkan menjadi UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Sebenarnya, aspirasi semacam itu adalah sesuatu yang wajar. Sebab, seperti dikemukakan William R. Liddle, dalam suasana kebebasan seperti itu, ekspresi Islam yang lebih formalistik akan mengemuka, mengingat kaum Muslim memiliki sumber daya politik yang lebih besar, baik dalam bentuk organisasi, media maupun akses terhadap politisi.33 Dengan kata lain, semakin demokratis negara, ia diduga semakin akomodatif terhadap kepentingan umat Islam, seperti ditunjukkan dengan dikeluarkannya dua undang-undang yang berkaitan dengan filantropi Islam pada pasca-Orde Baru. Meskipun demikian, akomodasi aspirasi umat Islam oleh negara dalam bentuk undang-undang ini sama sekali tidak bebas dari kepentingan politis. Sebab, seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, sebuah undang-undang adalah produk politik negara.34 Dengan kata lain, undang-undang tentang zakat dan wakaf yang lahir pasca-Orde Baru ini memiliki faktor-faktor politis yang mendorong kelahirannya. Di samping itu, kehadiran undang-udang ini juga menunjukkan hubungan antara negara dan umat Islam pasca-Orde Baru, yang diduga sangat berbeda dengan masa sebelumnya. B.
Rumusan Masalah Dari uraian di atas terlihat bahwa masalah utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah filantropi Islam dan kaitannya dengan negara, dengan perhatian khusus pada undang-undang tentang zakat dan undang-undang tentang wakaf. Masalah tersebut kemudian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Seberapa jauh negara pasca-Orde Baru terlibat dalam bidang zakat dan wakaf? 2. Bagaimana dampak undang-undang tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf terhadap perkembangan filantropi Islam? C.
Tujuan Penelitian Sejalan dengan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan negara dengan agama, khususnya dalam bidang filantropi Islam, sebagaimana diwujudkan dalam undang-undang tentang zakat dan undang-undang tentang wakaf. Analisis ini meliputi faktor-faktor politis dan sosial yang mendorong kelahiran kedua undang-undang ini. Lebih jauh, penelitian ini juga menganalisis dan mengidentifikasi perkembangan lembaga filantropi Islam sebagai dampak dari kehadiran kedua undang-undang ini.
33 William R. Liddle, ‚Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia,‛ dalam Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, ed. Mark R. Woodward (Arizona: Arizona State University Press, 1996), 323. 34 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2001), 13.
Bab I
8 D.
Signifikansi dan Manfaat Penelitian Signifikansi penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, filantropi Islam di Indonesia, terutama zakat dan wakaf, telah menjadi tarik menarik kepentingan antara negara dan masyarakat atau civil society. Dalam sejarahnya, negara kadang-kadang melepaskan diri dari penghimpunan dan pengelolaan filantropi Islam, tetapi adakalanya ingin melibatkan diri ke dalamnya. Ini sekaligus mencerminkan hubungan antara negara dan masalah keislaman atau agama. Dengan kata lain, hubungan filantropi Islam dengan negara terbukti hingga kini belum teratasi secara tuntas dan karenanya penelitian tentangnya sangat signifikan dilakukan. Kedua, secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan fiqh al-siya>sah al-dustu>riyyah dan fiqh al-siya>sah al-ma>liyah (politik ekonomi) yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi Islam, namun hanya melalui pendekatan fikih. Dengan penelitian ini diharapkan pengajaran disiplin tersebut dapat diperluas melalui pendekatan filantropis. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai studi awal bagi peneliti sendiri, khususnya, dan para peneliti lain, umumnya, untuk studi lebih lanjut. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memperjelas hubungan Islam dan negara di Indonesia. E.
Tinjauan Pustaka Filantropi sebenarnya merupakan sebuah istilah yang relatif baru di Indonesia jika dibandingkan dengan istilah-istilah zakat, wakaf atau shadaqah dan infak, yang sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Karena itu, kajian filantropi Islam belum banyak mendapat perhatian dari para sarjana. Baru pada 1990-an kajian filantropi Islam mulai bermunculan bersamaan dengan datangnya era reformasi di Indonesia. Beberapa kajian yang telah dilakukan mengenai filantropi Islam adalah Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam ,35 yang merupakan sebuah kumpulan tulisan. Tulisan-tulisan di dalamnya membicarakan secara umum filantropi Islam dari berbagai sisi, dari sisi tradisi agama-agama, dimensi keadilan sosial, civil society dan profil serta manajemen lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia. Sebagian tulisan lain memfokuskan pada dimensi historis filantropi Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Azyumardi Azra dalam ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia‛ 36 dan Amelia Fauzia dalam ‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.‛ 37 Penelitian lain yang memfokuskan perhatian pada filantropi Islam adalah
Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia.38 Seperti ditunjukkan dalam judulnya, penelitian ini berusaha memotret lembaga-lembaga filantropi Islam, terutama zakat dan wakaf, berikut cara-cara pengelolaan, peran dan perkembangannya. Lembaga-lembaga pengelola 35
Idris Thaha (ed.), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003). 36 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 15-30. 37 Amelia Fauzia, ‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya,‛ decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesia-peran-html (diakses 19 Juni 2009). 38 Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (eds.), Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, UIN Jakarta, 2005).
Pendahuluan
9 zakat yang dikaji dalam penelitian ini meliputi BAZIS DKI dan Jawa Barat, LAZIS Dompet Dhuafa Republika, BMT Ben Taqwa Grobogan, Gerakan Zakat Muhammadiyah di Kendal, Pos Keadilan Peduli Ummat dan LAZIS Markaz Islami Makassar. Adapun lembaga-lembaga wakaf yang diteliti meliputi Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, Badan Wakaf UII Yogyakarta dan Lembaga Wakaf Pesantren Tebuireng. Kajian lain tentang filantropi Islam ditemukan dalam Filantropi Islam dan
Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia.39 Buku ini mengulas beberapa aspek filantropi Islam di Indonesia, yang meliputi peluang dana filantropi untuk mewujudkan keadilan sosial, tradisi filantropi menurut dua sumber utama Islam, potret lembaga filantropi serta tata kelola filantropi pada masa modern. Adapun kesimpulan yang dicapai adalah bahwa meskipun dana filantropi di Indonesia sangat besar, tetapi yang dapat dihimpun masih sangat kecil. Ini disebabkan, antara lain, oleh tradisi masyarakat yang lebih setia memberikan derma secara langsung kepada mustahik daripada kepada lembaga-lembaga filantropi. Situasi ini diperburuk oleh kelemahan lembaga-lembaga filantropi itu sendiri, seperti dalam masalah mobilisasi, pengelolaan, dan penyaluran dana filantropi. Dalam Filantropi dalam Masyarakat Islam,40 Ahmad Gaus juga mengkaji filantropi Islam dengan perhatian khusus pada definisi konseptual filantropi, hubungannya dengan agama-agama dan praktiknya dalam Islam. Buku ini secara umum berisi dasar-dasar penting filantropi Islam secara umum dan praktiknya di Indonesia, dengan tujuan dapat menggugah masyarakat peduli terhadap filantropi Islam. Berbeda dengan Gaus, Amelia Fauzia melakukan kajian terhadap sejarah filantropi Islam di Indonesia dan hubungannya dengan negara, dalam disertasinya yang berjudul Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.41 Dalam disertasi ini, Amelia Fauzia mengkaji perkembangan filantropi Islam di Indonesia dari masa Islamisasi, penjajahan, pasca-kemerdekaan hingga masa reformasi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa filantropi Islam telah menjadi wilayah perebutan dominasi antara negara dan civil society, meskipun dengan tingkatan yang fluktuatif. Kajian tentang filantropi juga dilakukan oleh Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin dalam Kedermawanan untuk Keadilan Sosial,42 dengan perhatian khusus pada potensi filantropi di Indonesia dan pola pemberiannya. Kesimpulan yang dicapai oleh penelitian ini adalah bahwa semangat orang Indonesia, terutama Muslim, untuk berderma sangat besar karena didorong oleh faktor agama. Akan tetapi, mereka lebih cenderung menyalurkannya secara langsung kepada yang berhak menerimanya daripada kepada lembaga filantropi.
39
Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim (eds.), Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006). 40 Ahmad Gaus, Filantropi dalam Masyarakat Islam (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2008). 41 Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia , Disertasi PhD (Melbourne: The Asia Institute, The University of Melbourne, 2008). 42 Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial (Jakarta: Piramedia, 2006).
Bab I
10 Bahwa zakat merupakan bentuk filantropi yang potensial di Indonesia, hal itu ditunjukkan oleh survei yang dilakukan oleh PIRAC tentang zakat. 43 Menurut survei ini, 94% masyarakat yang disurvei merasa sebagai muzakki dengan besaran Rp. 124.000,- per tahun. Akan tetapi, potensi yang demikian besar itu belum terkelola dengan baik, yang bisa dilihat dari tingginya keengganan masyarakat untuk menyalurkan zakat mereka kepada lembaga-lembaga resmi, seperti BAZ atau LAZ. Kebanyakan mereka menyerahkan kepada amil tidak resmi yang ada di sekeliling mereka atau langsung kepada yang berhak menerimanya. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat berlangsung tanpa suatu tata kelola yang memungkinkan zakat dapat menjadi potensi yang sangat besar bagi peningkatan kesejahteraan. Potensi yang demikian besar itu mendorong sebagian orang menilai bahwa zakat dapat menjadi solusi alternatif bagi penyelesaian kemiskinan, sebagaimana tercermin dalam buku Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif ,44 yang ditulis oleh AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie. Para penulis optimistis bahwa zakat jika dikelola oleh negara dengan baik dapat memberikan kontribusi bagi APBN. Untuk itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang memadai dan political will pemerintah. Pandangan serupa juga dikemukakan M. Djamal Doa dalam Manfaat Zakat Dikelola Negara.45 Ia mengemukakan sejumlah argumen yang mendukung usulannya agar zakat dikelola oleh negara. Argumenargumen itu meliputi: distribusi yang lebih teratur, pemerintah lebih mengetahui sasaran dan pemanfaatan zakat, zakat dapat membantu keuangan negara, menghilangkan rasa inferioritas mustahik terhadap muzakki, dan dapat membangun perekonomian rakyat. Filantropi Islam dan kesejahteraan sosial juga menjadi perhatian buku yang berjudul Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial .46 Buku ini merupakan kumpulan tulisan dalam bentuk ringkasan dari tesis para penulisnya, dan tidak seluruhnya membicarakan tentang filantropi Islam. Di antara beberapa tulisan yang terkait dengan filantropi adalah ‚Pemberdayaan Kaum Miskin melalui Investasi Sosial: Eksperimentasi Lembaga Pengelola Zakat‛ oleh Sirajuddin Abbas, ‚Strategi Fundraising: Kasus Baznas‛ oleh Ismet Firdaus dan ‚Manajemen Keluarga Miskin: Kasus Masyarakat Mandiri, Dompet Dhuafa Republika‛ oleh Lisma Dyawati Fuaida. Adapun kajian tentang aspek-aspek filantropi Islam, khususnya zakat dan wakaf, telah dilakukan oleh sejumlah sarjana. Dalam bidang zakat, misalnya, Sarjono meneliti peran negara dalam pengurusan zakat, yang berlangsung selama Orde Baru. Ia berkesimpulan bahwa negara sudah semestinya terlibat dalam pengelolaan zakat, tidak saja karena menjadi amanat UUD 1945, tetapi juga karena zakat bisa memberikan kontribusi penting terhadap kemiskinan dalam masyarakat.47 Berbeda dengan itu, Rofiqurrahman, dalam Filantropi Islam dan 43 Kurniawati (ed.), Kedermawanan Kaum Muslim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat Indonesia, Hasil Survei di 10 Kota (Jakarta: Pustaka Adina, 2004). 44 AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004). 45 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002). 46 Arief Subhan dan Yusro Kilun (eds.), Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Dakwah Press, 2007). 47 Sarjono, Kewenangan Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengurusan Zakat di Indonesia,
Tesis Master (FH, UI: 1993).
Pendahuluan
11
Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat ,48 menganalisis fikih zakat modern dan kemungkinan praktiknya di zaman modern. Menurutnya, pengembangan zakat tidak dapat di lakukan semata-mata dari aspek manajemennya, tetapi juga harus dibarengi dengan pengembangan pemikiran fikih yang dinamis sejalan dengan tuntutan perkembangan zakat itu sendiri. Penelitian tentang zakat secara spesifik dilakukan oleh A.A. Miftah dalam Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum.49 Masalah utama yang dikaji dalam buku ini adalah bagaimana zakat dilihat dari perspektif hukum qad}a>’i> dan diya>ni>, dan apakah UU No. 38 Tahun 1999 dapat dipandang sebagai kategori hukum qad}a>’i> dan diya>ni tersebut. Menurut Miftah, zakat merupakan pranata keagamaan yang berdimensi ibadah, dan karenanya bercorak diya>ni>. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya diperlukan hukum negara, qad}a>’i>. Karena itu, UU tentang Pengelolaan Zakat dapat dipandang sebagai hukum qad}a>’i>, tetapi belum sempurna. Maksudnya, dibandingkan dengan UU tentang Peradilan Agama, misalnya, UU tentang Zakat ini dapat dipandang masih jauh dari rinci dan dapat diterapkan sekaligus. Karena itu, menurutnya, masih diperlukan fikih baru dalam bentuk undang-undang yang lebih terperinci. Berbeda dengan studi Miftah, Muhammad Fakhri meneliti secara khusus dampak lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 terhadap pengelolaan zakat di BAZ Riau, dalam disertasinya yang berjudul Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau .50 Adapun aspek-aspek yang dianalisis oleh Fakhri meliputi sumber-sumber, caracara pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusiannya, di samping kelembagaan zakat di provinsi ini. Semua aspek-aspek itu dianalisis berdasarkan ketentuan yang terkandung dalam undang-undang tentang pengeloaan zakat, termasuk Keputusan Menteri dan Dirjen Bimas Islam. Sementara itu, Uswatun Hasanah51 meneliti pengelolaan zakat di Jakarta dan potensinya bagi peningkatan kesejahteraan sosial. Menurut Uswatun, zakat yang dikelola dengan baik, seperti dilakukan BAZIS DKI, menunjukkan dapat memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang, seperti bahan makanan bagi fakir miskin, pemberian beasiswa dan peningkatan infrastruktur keagamaan. Studi kasus terhadap penggalangan dana filantropi Islam juga dilakukan oleh Ismet Firdaus. Dalam kajiannya yang berjudul Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam,52 Firdaus menganalisis langkah-langkah yang dilakukan oleh BAZNAS sepanjang 2002-2003 untuk menggalang dana zakat, infak dan shadakah. Ia berkesimpulan bahwa penggalangan dana di BAZNAS tidak bisa
48 Rofiqurrahman, Filantropi Islam dan Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008). 49 A.A. Miftah, Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sulthan Thaha
Press, 2007). Buku ini semula adalah disertasi yang diajukan ke Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah 2005. 50 Muhammad Fakhri, Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008). 51 Uswatun Hasanah, Zakat dan Keadilan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Zakat di BAZ DKI Jakarta, Tesis Magister (Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1989). 52 Ismet Firdaus, Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam, Tesis Magister (FISIP, UI: 2004).
Bab I
12 dilepaskan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, seperti sumber daya manusia, dukungan pemerintah dan media. Kasuz BAZNAS juga menjadi fokus penelitian Deny Wahyu Tasniawan.53 Menurutnya, zakat yang dikelola secara profesional, akuntabel dan transpran, seperti yang dilakukan lembaga ini, memiliki pengaruh positif terhadap tingkat ketertiban wajib zakat dalam membayar zakatnya. Dengan kata lain, profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas menjadi faktor berpengaruh terhadap ketertiban wajib zakat di BAZNAS. Berbeda dengan itu, Maulana Yusuf menganalisis BAZNAS dari aspek dimensi kebijakan yang dilakukan lembaga ini. Menurut Yusuf, sepanjang 20012003, BAZNAS belum dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara optimal, terutama fungsi koordinatif, konsultatif dan informatifnya. Ini disebabkan, antara lain, karena kurang maksimalnya peran para pengurus, di samping karena sumber daya manusia yang masih jauh dari memadai. 54 Kajian tentang wakaf juga sudah dilakukan oleh beberapa orang, di antaranya, Deby Nuri Herasanti. Dalam studinya yang berjudul Eksistensi Wakaf
menuru Kompilasi Hukum Islam, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004, ia berkesimpulan bahwa suatu peraturan pemerintah menjadi faktor penting bagi pelaksanaan sebuah undang-undang. Ini dibuktikan dengan pelaksanaan wakaf yang masih didasarkan pada PP No. 28 Tahun dan KHI, mengingat PP tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 belum ditetapkan. 55 Sementara itu, penelitian wakaf dalam kaitannya dengan UU No. 41 Tahun 2004 juga dilakukan oleh Farid Hasan Sazali, dengan perhatian khusus pada wakaf temporal ( waqf mu’aqqat). Menurutnya, berdasarkan konsep ini, wakaf tidak berarti terputusnya hubungan kemilikan wakif terhadap benda yang diwakafkan, dan pandangan ini banyak dipengaruhi pendapat fuqaha (Syiah) Imamiyyah. 56 Penelitian tentang wakaf juga dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture UIN Jakarta. Penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Wakaf, Tuhan dan
Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia.57 Penelitian ini memfokuskan diri pada sejarah perkembangan wakaf di Indonesia, yang meliputi peraturan-peraturan tentang wakaf yang berlaku, pengelolaan wakaf dan peluangnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial masyarakat. Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Uswatun Hasanah dalam disertasinya yang berjudul Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan .58 Yang
53 Deny Wahyu Tasniawan, Studi Administrasi Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 terhadap Tingkat Ketertiban Wajib Zakat: Studi Kasus Baznas, tesis Magister (Kajian Timur Tengah dan Islam,
UI: 2008). 54 Maulana Yusuf, Implementasi Kebijakan Pengelolaan Zakat pada Baznas, Tesis Magister (FISIP, UI: 2005). 55 Deby Nuri Herasanti, Eksistensi Wakaf menurut KHI, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004, Tesis Magister (FH, UI: 2004). 56 Farid Hasan Sazali, Temporalitas Wakaf dalam Hukum Nasional beserta Syariah Islam Yang Mendasarinya, Tesis Magister (FH, UI: 2006). 57 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makasary (eds.), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006). 58 Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan, Disertasi Doktor (PPs IAIN Jakarta, 1997).
Pendahuluan
13 menjadi perhatian utama dalam penelitian ini adalah tata kelola wakaf dan kemungkinannya dapat berfungsi untuk menyejahterakan masyarakat. Dalam bidang peraturan tentang zakat dan wakaf, hal itu menjadi perhatian Asep Saepudin Jahar dalam ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post-Independence Indonesia.‛59 Tulisan ini membahas berbagai peraturan tentang dua aspek filantropi Islam ini, yang telah diberlakukan sejak masa Orde Baru hingga reformasi. Kedua bidang ini tetap menjadi tarik ulur antara kepentingan pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola zakat dan wakaf, sehingga peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pun masih belum mampu meningkatkan tujuan zakat dan wakaf itu sendiri. Kajian serupa juga dilakukan oleh Alfitri dalam ‚The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat Collectors in Indonesia.‛60 Menurut Alfitri, undang-undang ini tidak menjadi instrumen yang efektif dalam pengelolaan zakat disebabkan tidak adanya kekuatan memaksa dalam undang-undang ini. Hal itu disebabkan oleh (1) sikap sekular pemerintah, yang hendak menjaga jarak dari urusan agama, (2) negara hanya ingin masalah zakat diselesaikan pada tingkat kementerian dan, (3) negara memang tidak siap dengan pengelolaan zakat secara total. Kajian tentang legislasi undang-undang zakat dan wakaf dilakukan oleh Jazuni dalam Legislasi Hukum Islam di Indonesia61 dan Abdul Halim dalam disertasinya yang berjudul Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi .62 Kedua studi ini sama-sama mengangkat hampir seluruh peraturan perundangperundangan yang terkait dengan Islam sejak zaman Orde Baru hingga Era Reformasi, termasuk undang-undang tentang zakat dan wakaf, namun dengan pendekatan yang berbeda. Jika Jazuni menggunakan pendekatan hukum, Abdul Halim menggunakan pendekatan politik hukum. Kesimpulan yang ditarik oleh Jazuni adalah bahwa sebagai agama yang dipeluk dan dianut oleh mayoritas penduduk, hukum Islam berpeluang besar untuk mengisi pembangunan hukum nasional, sedangkan Abdul Halim berkesimpulan bahwa legislasi hukum hanyalah untuk memperkuat komitmen Muslim terhadap Pancasila dan UUD 1945. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah bahwa penelitian ini memfokuskan diri pada proses legislasi undang-undang tentang pengelolaan zakat dan wakaf saja dan dampaknya bagi perkembangan filantropi Islam. Masalah ini disinggung secara sepintas dalam penelitian Jazuni dan Abdul Halim. Jazuni menyinggung sekilas legislasi undang-undang tentang zakat, sementara Abul Halim menyinggung keduanya secara sepintas di antara seluruh undang-undang yang terkait dengan Islam secara umum.
59 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in postIndependence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies , 13: 3 (2006): 35395. 60 Alfitri, ‚‚The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat Collectors in Indonesia,‛ International Journal of Not-for-Profit Law 8, 2 (January 2006): 55-64. 61 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). Buku ini semula adalah disertasi yang diajukan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan dipertahankan dalam promosi pada 17 Juli 2004. 62 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformsi, Disertasi Doktor (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008).
Bab I
14 F. Metodologi 1. Metode dan Pendekatan Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis),63 yaitu menarik kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristik pesan atau konsep yang terdapat dalam data. Seperti dikemukakan Earl Babbie,64 analisis isi dapat diterapkan pada berita surat kabar, majalah, pidato, surat-surat, hukum dan konstitusi, bahkan platform partai politik. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menginventarisasi tema-tema kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru yang berkaitan dengan zakat dan wakaf. b. Mengklasifikasi tulisan-tulisan yang berkaitan dengan latar belakang munculnya kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru yang berkaitan dengan zakat dan wakaf. c. Menganalisis tulisan-tulisan tersebut agar membentuk suatu pandangan yang utuh. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan politik, yuridis, teologis dan historis. Pendekatan politik digunakan untuk menganalisis undangundang zakat dan wakaf, mengingat undang-undang ini merupakan bagian dari praktik negara dalam menetapkan kebijakan. Lebih jauh, mengingat masalah undang-undang terkait erat dengan hukum, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis. Sementara itu, pendekatan teologis diperlukan karena zakat dan wakaf merupakan wilayah agama, yang tidak dapat dipisahkan dari hukum Islam. Ketentuan-ketentuan tentang zakat dan wakaf umumnya dibicarakan dalam buku-buku fikih, sehingga peraturan-peraturan dasar terkait dengan keduanya yang dikeluarkan oleh negara tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan fikih. Adapun pendekatan historis digunakan, karena penelitian ini juga membicarakan peraturan-peraturan tentang zakat dan wakaf yang berlaku di Indonesia dari sebelum lahirnya kedua undang-undang ini dan dampaknya. 2.
Definisi Operasional Ada beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan dalam penelitian, di antaranya adalah sebagai berikut: a. Filantropi Islam. Yang dimaksud dengan filantropi di sini adalah seluruh aktivitas derma yang dilakukan orang untuk kebaikan publik atau masyarakat.65 Aktivitas tersebut dilakukan bukan karena loyalitas kepada negara, seperti pajak, tetapi karena didorong oleh semangat kebaikan bersama, yang tidak dibiayai pemerintah. Misalnya, mendirikan sekolah atau rumah sakit memang menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi masyarakat dapat mendirikannya tanpa dana dari pemerintah melalui dana yang mereka 63
Alan D. Monroe, Essentials of Political Research (Oxford: Westview Press, 2000), 58; Bruce L. Berg, Qualitative Research Methods for the Social Sciences (Boston-London: Allyn and Bacon, 1995), 175; Earl Babbie, The Practice of Social Research (Westford: Wadsworth Publishing Company, 1998), 309; Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C. Straits, Approaches to Social Research (New YorkOxford: Oxford University Press, 1999), 384. 64 Earl Babbie, The Practice of Social Research, 308; Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C. Straits, Approaches to Social Research, 384. 65 Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good , dalam http://www.paytonpapers.org.
Pendahuluan
15
b.
c.
himpun secara sukarela. Dalam konteks Islam, filantropi ini diwujudkan dalam bentuk zakat, infak/shadaqah dan wakaf. Zakat merupakan kewajiban bagi Muslim, namun tidak dibayarkan kepada negara. Kewajiban itu dilakukan karena ketaatan kepada Allah yang disalurkan kepada masyarakat yang kurang mampu. Adapun infak/shadaqah dan wakaf bukanlah kewajiban, sehingga keduanya dapat digolongkan ke dalam filantropi. Jadi yang dimaksud dengan filantropi Islam dalam penelitian ini adalah zakat, infak/shadaqah dan wakaf, yang pembayarannya dilakukan bukan kepada negara, tetapi kepada Allah yang disalurkan kepada masyarakat yang kurang mampu. Lebih jauh, ketiga bidang ini disebut filantropi karena tujuan akhirnya pada dasarnya adalah penghapusan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat yang kurang mampu. Dengan demikian, ketiga bidang tersebut bukan sekadar karitas, pemberian sesaat dan konsumtif, tetapi memiliki tujuan jangka panjang. Kebijakan. Yaitu, alokasi nilai-nilai bagi masyarakat berdasarkan kekuasaan. Ia meliputi hukum yang disahkan oleh badan legislatif, pola implementasinya oleh badan eksekutif, dan penafsiran serta pengundangannya oleh badan kehakiman.66 Singkatnya, kebijakan adalah interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, yang diwujudkan antara lain dalam bentuk undang-undang.67 Yang dimaksud kebijakan dalam penelitian ini secara khusus adalah Undangundang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang tentang Wakaf, karena keduanya ditetapkan oleh badan legislatif, diimpelementasikan oleh pemerintah dan diundangkan oleh badan kehakiman. Lebih dari itu, kedua undang-undang ini adalah interaksi antara kekuasaan dan kepentingan bagi pemerintah maupun masyarakat. Pasca-Orde Baru. Maksudnya, pemerintahan yang berkuasa setelah kepemimpinan Soeharto. Ini meliputi kepresidenan Habibie, yang dilanjutkan oleh kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati serta Susilo Bambang Yudhoyono. Pembahasan dan pengesahan undang-undang tentang zakat berlangsung pada masa Habibie, sedangkan undang-undang tentang wakaf dibahas pada masa Megawati, yang pengesahannya dilakukan pada masa SBY.
3.
Sumber Data Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua: primer dan sekunder. Data primer terdiri dari: a. RUU tentang Pengelolaan Zakat; b. Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat; 68 c. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; 69 66
Abdul Rashid Moten and El-Fatih A. Abdel Salam, Glossary of Political Science Terms (Singapore: Thompson, 2005), 126. 67 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet. ke-14, 49. 68 Sekretariat Jenderal DPR-RI, Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta: Setjen DPR-RI, 1999). Buku ini berisi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pandangan Fraksi-fraksi di DPR, Risalah-risalah Rapat Panja DPR, dan rekaman tentang pembahasan selama sidang-sidang. 69 Direktorat Pemberdayaan Zakat, Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat Depag, 2004).
Bab I
16 Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003;70 Keputusan Dirjen No. D/291 Tahun 2000;71 RUU tentang Wakaf; Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf;72 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; 73 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;74 j. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang;75 k. Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model, Bentuk dan Spesifikasi Formulir Wakaf Uang.76 l. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BWI.77 Adapun data sekunder meliputi tulisan-tulisan dan pandangan para tokoh yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Ini meliputi buku, artikel dalam jurnal, bab-bab dalam buku, laporan surat kabar, majalah, laporan-laporan dari lembaga-lembaga terkait dan wawancara dengan sejumlah tokoh. d. e. f. g. h. i.
4.
Analisis Data Setelah terkumpul, data akan diseleksi dan direduksi untuk selanjutnya diklasifikasi dalam beberapa kategori, seperti data tentang kebijakan negara dalam masalah zakat dan wakaf dan dampaknya terhadap perkembangan filantropi Islam. Kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap data tersebut melalui metode analisis isi dan pendekatan politis, teologis, historis dan yuridis. Terakhir, penarikan kesimpulan dari yang khusus kepada yang umum. G.
Sistematika Penulisan Disertasi ini disusun menjadi enam bab, dengan sistematika sebagai berikut. Bab pertama Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Bab kedua, Islam, Negara dan Filantropi, yang meliputi pembahasan tentang aspek-aspek filantropi Islam berikut perkembangan historisnya. Di samping itu, pembahasan akan dilanjutkan dengan filantropi dan hubungannya dengan konsep keadilan sosial. Akhirnya, bab ini ditutup dengan pembahasan tentang hubungan negara dan filantropi Islam dengan melihat model-model hubungan tersebut di negara-negara Muslim. 70
Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003. Keputusan Dirjen Bimas Islam No. D/291 Tahun 2000. 72 Sekretariat Jenderal DPR-RI, Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf (Jakarta: Setjen DPRRI, 2004). Buku ini berisi RUU tentang Wakaf, Pandangan Fraksi-fraksi di DPR, Risalah-risalah Rapat Panja DPR, dan rekaman pembahasan selama sidang-sidang. 73 Dirjen Bimas Islam, Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004). 74 Dirjen Bimas Islam, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004). 75 Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang. 76 Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model, Bentuk dan Spesifikasi Formulir Wakaf Uang. 77 Himpunan Peraturan Badan Wakaf Indonesia (Jakarta: BWI, 2010). 71
Pendahuluan
17 Bab ketiga, Kebijakan Negara tentang Zakat, yang akan menganalisis Undang-undang Zakat yang lahir pada masa pasca-Orde Baru. Pembahasan dimulai dengan pelaksanaan pengaturan zakat dalam sejarah Indonesia, sebagai latar belakang lahirnya undang-undang tersebut. Selanjutnya, pembahasan akan diarahkan pada proses politik undang-undang ini, sebagaimana tercermin dalam pembahasannya di DPR. Pembahasan ini diakhiri dengan dampak politis undangundang ini bagi pelaksanaan zakat. Bab keempat, Kebijakan Negara tentang Wakaf, yang berisi pembahasan tentang Undang-undang tentang Wakaf pada masa pasca-Orde Baru. Pertamatama analisis akan difokuskan pada pengaturan pelaksanaan wakaf dalam sejarah Indonesia, yang dilanjutkan dengan analisis atas latar belakang politis munculnya undang-undang ini, di samping konfigurasi politik mengenai undang-undang tersebut. Terakhir, analisis akan diarahkan pada dampak politis setelah disahkannya undang-undang ini. Bab kelima, Perkembangan Filantropi Islam, yang membahas pertumbuhan lembaga-lembaga zakat, wakaf dan filantropi, pertumbuhan kuantitatif perkembangan lembaga-lembaga filantropi, dan respons civil society Islam terhadap rencana revisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan dampaknya terhadap filantropi Islam. Bab keenam adalah Penutup, yang berisi kesimpulan dan rekomendasi. Yang pertama merupakan jawaban ringkas terhadap masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini, sementara yang kedua merupakan implikasi dari kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini.
Bab I
BAB II ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI Seperti disinggung sebelumnya, Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap filantropi. Untuk mempertegas hal itu, bab ini akan menguraikan lebih lanjut makna filantropi dan aspek-aspek Islam yang dapat digolongkan ke dalam filantropi dan kaitannya dengan negara. Mengingat banyaknya aspek-aspek filantropi dalam Islam, yang akan diuraikan dalam bab ini hanyalah shadaqah, zakat dan wakaf. Selanjutnya, pembahasan akan dilakukan dengan mengaitkan filantropi Islam dan keadilan social. Bab ini akan diakhiri dengan uraian tentang hubungan filantropi Islam dan negara, dengan perhatian khusus pada model hubungan di empat negara Muslim. Dapat ditegaskan di sini bahwa keadilan sosial memiliki dimensi yang sangat luas, dan karenanya sulit bagi filantropi Islam untuk mewujudkannya, kecuali melapangkan jalan bagi realisasi tujuan tersebut. Lebih jauh, keterlibatan negara terhadap filantropi Islam di negara-negara Muslim tidaklah seragam, tetapi memiliki pola hubungan yang berbeda-beda. A.
Filantropi dalam Tradisi Islam Kata ‚filantropi‛ (Inggris: philanthropy) merupakan istilah yang tidak dikenal pada masa awal Islam, meskipun belakangan ini sejumlah istilah Arab digunakan sebagai padanannya. Filantropi kadang-kadang disebut al-‘at}a>’ alijtima>‘i> (pemberian sosial), dan adakalanya dinamakan al-taka>ful al-insa>ni> (solidaritas kemanusiaan) atau ‘at}a>’ khayri> (pemberian untuk kebaikan). Namun, istilah seperti al-birr (perbuatan baik) atau s}adaqah (sedekah) juga digunakan.1 Dua yang terakhir ini tentu sudah dikenal dalam Islam awal, tetapi istilah filantropi Islam tampaknya merupakan pengadopsian pada zaman modern. Berasal dari kata Yunani philanthrōpia (‚philo‛ [cinta] dan ‚anthrophos‛ [manusia]), filantropi secara umum berarti cinta terhadap, atau sesama, manusia. 2 Mengingat luasnya makna cinta yang terkandung dalam istilah tersebut, filantropi sangat dekat maknanya dengan ‚charity‛ (Latin: caritas) yang juga berarti ‚cinta tak bersyarat‛ (unconditioned love). Meskipun demikian, antara keduanya dapat dibedakan, di mana yang kedua cenderung mengacu pada pemberian jangka pendek, sementara yang pertama biasanya diterapkan pada upaya untuk menyelidiki sebab utama suatu persoalan.3
1 Barbara Ibrahim, From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy (Kairo: American University in Cairo Press, 2008), 11. 2 Marty Sulek, ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3 (2010), 386. Lihat juga Dictionary dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009). 3 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the Non-Profit Sector (London-New York: Routledge, 2005), 196; Lindsay Anderson, ‚Conspicuous Charity,‛ MA thesis (Texas: Texas A&M University, 2007), 26.
18
19 Konsekuensi dari makna di atas, definisi yang diberikan tentang filantropi sangat beragam dari satu penulis ke penulis lainnya. Satu definisi menyebutkan bahwa filantropi berarti ‚tindakan sukarela personal yang didorong kecenderungan untuk menegakkan kemaslahatan umum‛ (a voluntary enterprise of private persons, moved by an inclination to promote public good)4 atau ‚perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum.‛5 Definisi lain menyatakan bahwa filantropi adalah sumbangan dalam bentuk uang, barang, jasa, waktu atau tenaga untuk mendukung tujuan yang bermanfaat secara sosial, memiliki sasaran jelas dan tanpa balasan material atau imaterial bagi pemberinya.6 Terlepas dari perbedaan tersebut, ada tujuan umum yang mendasari setiap definisi filantropi, yakni cinta, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas sesama manusia, di mana orang yang lebih beruntung membantu mereka yang kurang beruntung.7 Menurut Dawam Rahardjo, praktik filantropi sesungguhnya telah ada sebelum Islam mengingat wacana keadilan sosial juga telah berkembang.8 Sementara itu, Warren Weaver, direktur Rockefeller Foundation (Amerika Serikat), menegaskan bahwa filantropi sebenarnya bukanlah tradisi yang baru dikenal pada masa modern, sebab kepedulian seseorang terhadap sesama manusia juga ditemukan pada masa kuno.9 Plato, misalnya, konon telah memberikan tanah produktif miliknya sebagai wakaf bagi akademi yang didirikannya. Dalam Kristen, tradisi filantropi juga sangat ditekankan kepada para pengikut awal agama ini. Di kalangan penganut Zoroastrianisme, filantropi pun menjadi salah satu komitmen penting mereka dalam kehidupan. Praktik ini juga terbukti tidak hanya ditemukan dalam tradisi-tradisi keagamaan di Timur Tengah (Semitic), tetapi juga di wilayah lain, seperti Hindu dan Budha di India, agama asli Amerika dan Afrika, agama-agama di Cina dan Jepang, dan lain sebagainya. 10 Adapun tujuan filantropi pada masa sebelum Islam tidaklah tunggal. Pada masa Romawi pra-Kristen, filantropi bertujuan untuk mempertegas status sosial sang penderma, di samping sebagai bentuk komitmennya terhadap tugas kemanusiaan. Sementara itu, dalam Kristen, tujuan filantropi memiliki dimensi yang sangat religius, yaitu agar sang penderma ‚mendapatkan keselamatan di
4
Lawrence J. Friedman dan Mark D. McGarvie, Charity, Philanthropy, and Civility in American History (New York, NY: Cambridge University Press, 2003), 37; lihat juga, US History Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009). 5 Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; lihat juga Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren F. Ilchman et.al., terj. CSRC UIN Jakarta (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), x. 6 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the Non-Profit Sector, 196; lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Philanthropy (diakses 20/06/2009). 7 Marty Sulek, ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ 395; lihat juga US History Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009); juga US Foreign Policy Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009). 8 M. Dawam Rahardjo, ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan Epistemologis,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju, 2003), xxxiv. 9 US History Encyclopedia http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009). 10 Lihat Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II (eds.), Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia.
Bab II
20 masa datang, ampunan dari dosa-dosa dan kehidupan kekal di akhirat.‛11 Semangat serupa di balik filantropi juga ditemukan di kalangan para penganut Zoroastrianisme yang meyakini bahwa jiwa sang penderma akan selamat di akhirat kelak. Dalam praktik, ada dua kecenderungan bentuk lembaga filantropi dalam Kristen: wakaf yang dilakukan oleh kerajaan dengan tujuan-tujuan keagamaan dan wakaf yang diberikan oleh para individu yang kaya. Jika dalam institusi yang pertama gereja berperan sebagai pengelolanya sehingga menjadi satu-satunya lembaga yang sangat kaya di Timur Dekat, dalam institusi yang kedua umumnya dikelola oleh orang sipil demi tujuan-tujuan umum yang bersifat sekular, seperti menyantuni orang miskin dan lain sebagainya. Lebih jauh, karena mendapat dukungan politik dari penguasa, bentuk lembaga yang pertama bertahan jauh lebih langgeng ketimbang yang kedua.12 Dalam Zoroasterianisme, filantropi digunakan terutama untuk ibadah, seperti membangun rumah ibadah, altar api, pelaksanaan ritual keagamaan dan bekal bagi para pendeta. Doktrin yang mendasari penggunaan tersebut adalah ‚charity begins at home‛ (kedermawanan dimulai dari rumah). Yang dimaksud dengan rumah di sini tak lain adalah keluarga. Lebih dari itu, dalam doktrin etikanya bahkan disebutkan prosedur bagi pendirian lembaga-lembaga filantropi, di samping tenaga administrasi yang mengawasinya. 13 Dewasa ini, filantropi memiliki sejumlah tujuan yang tidak semata-mata bersifat keagamaan, tetapi juga bersifat sosial dan politis. Misalnya, ada lembaga filantropi yang memiliki sasaran hanya pada layanan sosial ( social services), dengan keyakinan bahwa memberikan layanan, beban kemiskinan masyarakat dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Sementara itu, ada juga lembaga filantropi yang bergerak dalam perubahan sosial ( social change), dengan menjadikan keadilan sosial (social justice) sebagai tujuan utamanya.14 Dengan kata lain, kedua model filantropi ini menghendaki kehidupan sosial yang lebih baik dengan melicinkan jalan bagi perwujudannya melalui sejumlah pemberdayaan ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Islam tampil ke dunia tidak dalam ruang sejarah hampa, tetapi berhadapan dengan tradisi-tradisi sebelumnya, tak terkecuali tradisi filantropi dari agamaagama sebelumnya atau dari wilayah lainnya.15 Ini menimbulkan spekulasi yang beragam di kalangan sarjana peneliti filantropi Islam. W. Haffening, misalnya, berpendapat bahwa tradisi filantropi dalam Islam merupakan warisan dari agama Yahudi dan Kristen,16 sementara A.G. Perikhanian berpendapat bahwa hukum dan 11 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛ dalam http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20/06/2009). 12 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam.‛ 13 Robert D. McChesney, ‚Charity and Philanthropy in Islam.‛ 14 Marty Sulek, ‚On the Modern Meaning of Philanthropy,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:2 (2010), 205; lihat juga Andi Agung Prihatna, ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa UIN Jakarta, 2005), 4-5. 15 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 265. 16 W. Haffening, ‚Waqf,‛ dalam First Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1987), 8: 1098.
Islam, Negara, dan Filantropi
21 praktik filantropi Islam banyak dipengaruhi oleh model filantropi Zoroastrian, karena adanya kesamaan antara keduanya. Menurutnya, kelanggengan modal pokok wakaf (non-consumable capital) sangat ditekankan baik oleh Islam maupun Zoroastrianisme, dengan menjadikan keuntungan yang diperoleh sebagai penunjang modal pokok. Selanjutnya, keuntungan tersebut ditujukan untuk mendukung orang-orang yang berhak memeroleh manfaat dari wakaf tersebut. 17 Terlepas dari silang pendapat tersebut, Islam secara inheren memiliki semangat filantropis. Ini dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang menganjurkan umatnya agar berderma. 18 Misalnya, dalam QS Al-Baqarah (2): 215 disebutkan:
ٍيضؤنَٕك يثرت يُفمٌٕ لم يث أَفمصى يٍ خيش فههٕتنذيٍ ٔتأللشخيٍ ٔتنيصثيٗ ٔتنًضثكي .ٔتخٍ تنضديم ٔيث شفعهٕت يٍ خيش فإٌ هللا خّ عهيى ‚Mereka akan bertanya kepadamu (Muh}ammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah: ‘Apapun kebaikan yang kamu infakkan kepada orang tua dan keluarga, anak yatim, orang miskin, dan orang asing, dan kebaikan apapun yang kamu lakukan, Allah pasti mengetahuinya.’‛ 19 Sementara itu, dalam Hadis dikemukakan bahwa Nabi Saw. bersabda:
ٔصهر، ٔتنصذلر خفيث شطفا غعح تنشج،صُثبع تنًعشٔف شمٗ يصثسع تنضٕء ٔأْم تنًعشٔف فٗ تنذَيث ْى أْم، ٔكم يعشٔف صذلر،تنشدى شزيذ فٗ تنعًش ٍ ٔأٔل ي، ٔأْم تنًُكش فٗ تنذَيث ْى أْم تنًُكش فٗ تآلخشذ،تنًعشٔف فٗ تآلخشذ .)َٗيذخم تنجُر أْم تنًعشٔف (سٔتِ تنطدشت ‚Perbuatan baik itu menjadi penghalang bagi jalannya keburukan, sedekah sembunyi-sembunyi dapat memadamkan amarah Tuhan, silaturahim dapat memperpanjang umur, dan setiap kebaikan adalah shadaqah. Pemilik kebaikan di dunia adalah pemilik kebaikan di akhirat, dan pemilik keburukan di dunia adalah pemilik keburukan di akhirat, dan yang pertama masuk surga adalah pemilik kebaikan.‛20 Pendeknya, prinsip umum filantropi Islam adalah ‚bahwa setiap kebaikan adalah shadaqah.‛21 Semangat filantropi juga diwujudkan oleh masyarakat Islam awal dalam berbagai bentuk, seperti shadaqah, zakat, wakaf, khums, infak, hadiah, dan sebagainya. Dalam perkembangan sejarah Islam, lembaga filantropi ini semakin menunjukkan signifikansinya, di antaranya karena perannya dalam pembentukan jaringan ulama, yang memiliki misi dakwah dan penyebaran ilmu. Lebih jauh, munculnya berbagai lembaga pendidikan Islam, baik yang disebut madrasah, riba>t} maupun za>wiyah tidak dapat dipisahkan dari peran filantropi Islam. Dalam bidang 17
A.G. Perikhanian, ‚Iranian Society and Law,‛ dalam Cambridge History of Iran (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 661-3. 18 Ahmad Kaleem dan Saima Ahmed, ‚The Quran and Poverty Alleviation: A Theoretical Model for Charity-Based Islamic Microfinance Institution,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly , 39:3 (2010), 416. 19 Di samping ayat ini, masih banyak lagi ayat yang menekankan pentingnya infak atau sedekah. Lihat, misalnya, QS al-Baqarah (2): 263, 266, 272 dan 275; A
n (3): 86, dan sebagainya. 20 H.R. T{abra>ni>, dikutip dalam Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 357. 21 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 357.
Bab II
22 pendidikan ini, bukan hanya orang-orang kaya, para penguasa, dari ‘Abbasiyyah hingga Turki Utsmani, pun menunjukkan semangat filantropis yang sangat besar melalui pendirian sejumlah lembaga.22 Tidak heran, jika lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Niz}a>miyyah di Bagdad, Al-Azhar di Kairo dan lain sebagainya, berdiri berkat filantropi dari para penguasa ini.23 Filantropi tidak hanya digunakan untuk mendanai lembaga-lembaga tersebut, tetapi juga dimanfaatkan untuk menggaji para guru dan memberikan beasiswa kepada para pelajar dari berbagai wilayah. Mengingat lembaga-lembaga ini menganut dan mengembangkan mazhab fikih tertentu, tak syak lagi, penyebaran ajaran-ajaran mazhab tersebut juga mendapat dana dari filantropi Islam.24 Dengan kata lain, filantropi Islam berperan penting bagi penyebaran ilmu dan mazhab yang dianut oleh lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan Islam. Sebagaimana akan diuraikan segera, bentuk-bentuk filantropi di atas terus berkembang dari waktu ke waktu dan dewasa ini memperoleh perhatian yang luas tidak hanya dari ahli agama, tetapi juga negara. Bahkan di sejumlah negara Muslim, persoalan filantropi Islam ini diatur dalam undang-undang yang pelaksanaannya juga melibatkan kekuasaan negara. Namun, sesuai dengan permasalahan utama dalam penelitian ini, hanya tiga bentuk pertama dari filantropi Islam di atas yang akan diuraikan dalam bagian berikut. B. 1.
Aspek-aspek Filantropi Islam Shadaqah Kata s}adaqah (Arab) merupakan bentuk masdar dari kata kerja s}adaqa, yang berarti apa saja yang diberikan dengan tulus untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan demi kehormatan.25 Karena itu, suatu pemberian disebut shadaqah karena ia lahir dari ketulusan dan kejujuran hati sang pemberi. Kata ini memiliki kemiripan dengan kata Yahudi şědâķâ, yang juga bermakna kejujuran ( honesty). Atas dasar itu, orientalis semacam Arthur Jeffery menduga bahwa kata s}adaqah dalam Islam tidak lain hanyalah transliterasi dari kata Yahudi tersebut.26 Terlepas dari asumsi ini, tampaknya praktik shadaqah tidaklah monopoli milik Muslim, tetapi juga telah menjadi tradisi dalam agama-agama lain sebelum Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Istilah s}adaqah (Arab; Indonesia: sedekah) banyak ditemukan dalam sumbersumber Islam, terutama Al-Quran dan Hadis, dengan beragam makna. Ia bisa berarti zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, tetapi juga dapat 22
Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv; lihat juga Imtiaz B. Ali, Waqf: A Sustainable Development Institution for Muslim Communities (Valsayn, Trinidad and Tobago: Takaful T&T Friendly Society, 2009), 12. Menurut Hennigan, filantropi Islam, khususnya wakaf, telah berperan sebagai dasar utama ‚peradaban Islam.‛ Lihat Peter C. Hennigan, The Birth of Legal Insitution: The Formation of the in Waqf in Third-Century AH H{anafi> Legal Discourse (Leiden: Brill, 2004), xiii. 23 Uraian terperinci tentang peran wakaf dalam pendirian berbagai perpustakaan dan universitas disejumlah wilayah wilayah Islam pada Abad Pertengahan, lihat Yah}ya> Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf waBinyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz al-Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t alIsla>miyyah, 1996). 24 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 165. 25 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r alS{afwah, 1992), 16: 323. 26 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Quran (Leiden: Brill, 2007), 153 dan 194.
Islam, Negara, dan Filantropi
23 bermakna derma yang bersifat sukarela, yang kadang-kadang disejajarkan dengan infak.27 Dengan demikian, shadaqah dapat dipandang sebagai istilah umum yang menaungi sejumlah praktik filantropis dalam Islam. 28 Dengan kata lain, pembedaan antara shadaqah dalam pengertian zakat dan shadaqah dalam arti sedekah tampaknya dilakukan secara tegas setelah wafatnya Nabi. Untuk memilah makna yang demikian luas itu, para ulama mengklasifikasi shadaqah secara garis besar ke dalam dua pengertian: shadaqah sebagai sinonim zakat yang bersifat wajib, dan shadaqah yang bersifat sukarela dengan istilah s}adaqat al-tat}awwu‘ atau s}adaqat al-nafl (sedekah sukarela atau sunnah).29 Pengertian yang terakhir inilah yang akan dibahas di sini, sementara yang pertama akan dibicarakan pada bagian berikutnya. Ibn al-‘Arabi> mendefinisikan shadaqah sebagai ‚ibadah yang timbul dari kehendak bebas berdasarkan kemampuan seseorang.‛ 30 Yang harus digarisbawahi di sini adalah kehendak bebas dan kemampuan, yang tanpa keduanya berarti seseorang telah mewajibkan sesuatu pada dirinya. Dengan demikian, sedekah dilakukan tanpa paksaan dan bukan di luar batas kemampuan seseorang. Karena itu, sedekah pada dasarnya adalah mendermakan harta di luar kewajiban zakat.31 Shadaqah juga memiliki makna yang sangat dekat dengan infak, yang memiliki arti yang sangat luas. Secara umum, infak berarti ‚mengeluarkan harta untuk kebutuhan‛ (s}arf al-ma>l ila> al-h}a>jah).32 Ia meliputi nafkah wajib kepada keluarga, kerabat dan sedekah yang bersifat sunnah ( s}adaqat al-tat}awwu‘).33 Dengan demikian, seperti shadaqah, infak juga bisa kadang-kadang wajib, seperti memberi nafkah kepada keluarga, juga bisa sukarela seperti sedekah pada umumnya.34 Shadaqah menduduki posisi penting dalam ajaran Islam, setidak-tidaknya jika dilihat dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang memperbincangkannya, di samping dari praktik kaum Muslim awal. Dalam Al-Quran, misalnya, disebutkan bahwa shadaqah merupakan sebuah kebaikan yang pahalanya bernilai berlipatlipat ganda, dari dua kali hingga 700 kali lipat, dan kadang-kadang disebut sebagai pinjaman yang baik (qard} h}asan) yang pembayarannya akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Ayat-ayat berikut ini menunjukkan hal itu.
ٔيثم تنزيٍ يُفمٌٕ أيٕتنٓى تخصغثء يشظثز هللا ٔشثديصث يٍ أَفضٓى كًثم جُر خشخٕذ أصثخٓث .)376 : ٔهللا خًث شعًهٌٕ خصيش (تندمشذ،ٔتخم فآشس أكهٓث ظعفيٍ فإٌ نى يصدٓث ٔتخم فطم
Sebagaimana akan terlihat nanti, perbedaan antara shadakah dan infak ini sangat tipis. Meskipun demikian, infak lebih cenderung diartikan nafkah, di mana diri dan keluarga merupakan sasaran utamanya, baru ke golongan lainnya. Lihat, misalnya, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, MinQad}a>ya al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 71-73; lihat juga A. Shaukat J. Gilani, ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3: 1(1985), 64. 28 Cf. Barbara Ibrahim, Trends in Arab Philanthropy, 12. 29 Lihat, misalnya, Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 356. Untuk selanjutnya, s}adaqat altat}awwu‘ dalam bab ini digunakan istilah shadaqah saja. 30 Abu> Bakr ibn ‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 1972), 1: 20-21. 31 Rachmat Djatnika, ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ dalam Berderma untuk Semua, 31. 32 Lihat al-Jurja>ni>, Kita>b al-Ta‘ri>fa>t (Beirut: Maktabat Lubna>n, 1985), 40. 33 M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947), 1: 130. 34 Rachmat Djatnika, ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ 32. 27
Bab II
24
يثم تنزيٍ يُفمٌٕ أيٕتنٓى فٗ صديم هللا كًثم ددر أَدصس صدع صُثخم فٗ كم صُدهر يثبر ددر .)372 :ٔهللا يعثعف نًٍ يشثء ٔهللا ٔتصع عهيى (تندمشذ ّيٍ رت تنزٖ يمشض هللا لشظث دضُث فيعثعفّ نّ أظعثفث كثيشذ ٔهللا يمدط ٔيدصط ٔإني .)356 :ششجعٌٕ (تندمشذ Sementara itu, sejumlah hadis menekankan pentingnya shadaqah secara lebih terperinci, baik dari segi situasi pemberi dan penerima, tempat dan waktu pemberian dan lain sebagainya.35 Misalnya, ketika ditanya kapan sebaiknya bersedekah, Nabi menjawab: ‚Shadaqah yang kamu berikan di saat kamu sehat, di saat kamu enggan melakukannya dan di saat kamu takut akan miskin dan mengharapkan kekayaan.‛ Juga ditegaskan bahwa nilai sedekah orang yang memiliki kekayaan sedikit (juhd al-muqill) jauh lebih mulia ketimbang orang yang kaya, meskipun yang diberikan oleh yang kedua lebih besar ketimbang yang pertama. Dari segi waktu, shadaqah yang paling baik dilakukan adalah pada Bulan Ramadhan.36 Di atas segalanya, Nabi mengemukakan bahwa setiap kebaikan adalah shadaqah, yang meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti memberi nafkah kepada keluarga, menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan, dan bahkan senyum kepada sesama. Dalam hal ini, Nabi sendiri menjadi model dalam memberikan shadaqah. Ia dikenal sangat dermawan dalam memberikan sedekah, tetapi tidak mau menerimanya kecuali dalam bentuk hadiah. Diriwayatkan oleh Anas ibn Ma>lik bahwa Abu> T{alh}ah, salah seorang Ans}ar terkaya di Madinah, hendak menyedekahkan sumur, yang darinya Nabi biasa mengambil air untuk minum. Namun, Nabi menyarankan T{alh}ah agar mempertahankan sumur tersebut sebagai milik keluarganya.37 Sikap dermawan ini diikuti oleh para isterinya, seperti Zaynab bint Jah}s}, yang dikenal sebagai orang yang suka memberi sedekah. Sementara itu, Zaynab bint Khuzaymat al-Hila>liyyah disebut sebagai umm almasa>ki>n, yakni ibu bagi orang-orang miskin. ‘A Bakr, yang menyedekahkan seluruh kekayaannya. Semua itu menunjukkan bahwa shadaqah bukanlah semata-mata sebuah konsep, tetapi memiliki preseden praktisnya, baik dalam pribadi Nabi, keluarga, maupun para sahabatnya.39
35 Untuk hadis-hadis tentang keutamaan shadaqah, lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1992), 2: 915-17; T.H. Weir, ‚S}adaka,‛ The Encyclopaedia ofIslam (Leiden: E.J. Brill, 1997), 8: 710; lihat juga Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, alMawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 26: 342-34. 36 Hadis berikut ini diriwayatkan oleh al-Turmudhi> dikutip dalam Wuza>rat al-Awqa>f wa alShu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 26: 342: 37
.ٌ صذلر فٗ سيعث:صةم سصٕل هللا صهٗ هللا عهيّ ٔصهى أٖ تنصذلر أفعم؟ لثل
T.H. Weir, ‚S}adaka,‛ First Encyclopaedia ofIslam (Leiden: E.J. Brill, 1987), 7: 710. 38 T.H. Weir, ‚S{adaka,‛ 711. 39 Tentang s}adaqah para sahabat Nabi, lihat Muh}ammad H{a>mid Muh}ammad, Qis}as} alMutas}addiqi>n: Fad}l al-S{adaqah, A<buha> wa-Ah}ka>muha> (Iskandariyyah: Da>r al-I<ma>n, 2000).
Islam, Negara, dan Filantropi
25 Yang demikian itu karena shadaqah memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemberi dan penerima. Di antara fungsi tersebut adalah untuk menangkal dosa di dunia ini dan hukuman di akhirat. Di sinilah letak arti penting Hadis Nabi yang menganjurkan agar setiap Muslim memberikan shadaqah setiap hari sejak matahari terbit.40 Dengan memberikan shadaqah setiap hari, Muslim berharap dapat terhindar dari dosa sepanjang hidupnya. Pada saat yang sama, shadaqah juga dapat menghapus dosa, sehingga setiap Muslim dianjurkan segera bersedekah setelah ia melakukan dosa untuk menyertai taubatnya. Bahkan shadaqah diyakini dapat menjadi sarana untuk menyembuhkan penyakit, mengingat Nabi menegaskan, ‚Obatilah penyakitmu dengan shadaqah.‛ Di samping itu, shadaqah diyakini dapat berfungsi untuk mendatangkan rizki. Hal ini dapat dimengerti mengingat banyak ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa Tuhan akan melipatgandakan harta yang telah disedekahkan dan pahala yang diperoleh darinya. Fungsi shadaqah yang tidak kalah penting adalah untuk memperbaiki penyakit moral, seperti bakhil dan kikir, sombong dan lain sebagainya. Agar fungsi-fungsi tersebut dapat diraih, shadaqah dianjurkan untuk dilakukan berdasarkan kriteria tertentu. Al-Ghaza>li>, misalnya, mengemukakan bahwa shadaqah tidak boleh dibarengi dengan menyakiti penerima, sebab hal itu akan menghilangkan pahala perbuatan tersebut. Lebih jauh ia menegaskan bahwa orang yang bersedekah, betapa pun besarnya, hendaknya selalu merasa baru sedikit bersedekah. Ini untuk menghindari rasa sombong dan keangkuhan diri, yang juga dapat menghapus pahalanya. Dalam memberikan shadaqah, pemberi hendaknya memilih yang terbaik di antara yang dimiliki dan dicintainya. 41 Berbeda dengan zakat, yang penerimanya telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Hadis, sasaran pemberian shadaqah sangat luas, termasuk di dalamnya keluarga dan tetangga yang memerlukan. Selain itu, masjid atau lembaga lain, seperti lembaga pendidikan,42 juga boleh diberi shadaqah, yang dapat diwakili oleh pengurus atau bahkan pemberi sedekah itu sendiri. Ternyata, shadaqah tidak terbatas bagi Muslim, ia dapat diberikan kepada non-Muslim, seperti orang Yahudi dan Nasrani (ahl al-kita>b), dan bahkan kepada mereka yang dikategorisasikan sebagai musuh Islam (h}arbi>).43 Uraian di atas menunjukkan bahwa shadaqah merupakan bentuk kedermawanan Islam yang sangat luas. Ia memiliki dimensi sosial dan keagamaan, yang tidak hanya terbatas bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat manusia secara umum. Karena itu, ia menjadi salah satu aspek filantropi Islam yang potensial bagi kesejahteraan secara umum. 2.
Zakat Berbeda dengan shadaqah yang bersifat sukarela, zakat dikenal sebagai rukun ketiga dari lima rukun Islam ( arka>n al-Isla>m), setelah syahadat dan shalat. Bahkan perintah zakat sendiri sering dikaitkan dengan perintah shalat dalam satu 40
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 358. Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 1: 131-6. 42 Al-Ghaza>li> menilai bahwa lembaga pendidikan berhak menerima s}adaqah karena ia dapat memelihara ilmu, termasuk di dalamnya mereka yang bergelut dengan ilmu. Sebab, tidak ada derajat yang lebih mulia ketimbang derajat ulama. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 1: 139. 43 T.H. Weir, ‚S{adaka,‛ 713. 41
Bab II
26 nafas. Akan tetapi, seperti shadaqah, zakat dipandang oleh sebagian sarjana sebagai transliterasi dari istilah asing yang berasal dari agama-agama sebelum Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Joseph Schacht, misalnya, berpendapat bahwa kata zakat dipinjam dari kata Ibrani zaku>t,44 sementara Richard Bell menduga bahwa zakat berasal dari bahasa Suryani yang digunakan oleh orangorang Kristen, dan karenanya bersumber dari agama ini. 45 Pandangan berbeda dikemukakan sarjana Muslim, yang melihat zakat sebagai istilah asli Islam dan tidak terkait dengan sumber-sumber Yahudi dan Nasrani. Yu>suf al-Qarad}a>wi>, misalnya, membantah klaim Schacht di atas dengan mengatakan bahwa Nabi baru berhubungan dengan orang Yahudi dan Nasrani di Madinah, dan karenanya tidak mengenal bahasa Yahudi atau Suryani sebelumnya. Padahal ayat-ayat Makkiyyah telah berkali-kali menyinggung persoalan zakat. Lebih jauh, tegasnya, adanya persamaan istilah dan makna dalam dua bahasa tidak harus berarti bahwa yang satu diambil dari yang lain, kecuali memang ada bukti historis dan ilmiah yang mendukungnya. Karena itu, pandangan Schacht mengenai asal muasal istilah zakat di atas tidak berdasar dan tidak memenuhi kriteria ilmiah.46 Terlepas dari masalah peminjaman kata tersebut, zakat tampaknya telah menjadi tradisi keagamaan Yahudi dan Nasrani sebelum Islam, setidak-tidaknya jika konteks beberapa ayat Al-Quran yang memerintahkan zakat diperhatikan. QS al-Baqarah (2): 43, 83 dan 110 berikut ini menunjukkan hal itu.
.)54( ٍٔأليًٕت تنصالذ ٔءتشٕت نزكثذ ٔتسكعٕت يع تنشتكعي .)34( ٌٕ ٔأليًٕت تنصالذ ٔءتشٕت تنزكثذ ثى شٕنيصى إال لهيال يُكى ٔأَصى يعشظ... .)221( ٔأليًٕت تنصالذ ٔءتشٕتنزكثذ ٔيث شمذيٕت ألَفضكى شجذِٔ عُذ هللا إٌ هللا خًث شعًهٌٕ خصيش Akan tetapi, konteks ketiga ayat tentang perintah pembayaran zakat ini ditujukan kepada Bani Israil atau ahl al-kita>b. Dengan demikian, Al-Quran sendiri mengakui adanya praktik zakat yang dilakukan oleh para pengikut Yahudi dan Nasrani, seolah-olah praktik tersebut bersifat universal bagi ketiga agama Ibrahimi ini. 47 Zakat sendiri memiliki makna yang dinamis, dari sekadar ‚pertumbuhan dan peningkatan‛ hingga ‚penyucian.‛48 Menurut Bashear, ada dua kata yang digunakan untuk menunjuk zakat: zaka>’ dan zaka>h. Jika yang pertama digunakan, ia menunjuk pada pertumbuhan dan peningkatan, namun jika yang kedua yang digunakan, ia berarti penyucian. Dari kedua pengertian inilah kemudian makna zakat dikembangkan menjadi pertumbuhan dan penyucian.49 Ini terlihat, antara lain, dalam definisi al-Sarakhsi>, yang menggabungkan kedua makna itu, seraya merujuk pada QS al-Tawbah (9): 103. Menurutnya, disebut zakat karena ia ‚menyucikan pembayarnya dari dosa-dosa‛ ()ألَٓث شطٓش صثددٓث عٍ تآلثثو.50
44
Joseph Schacht, ‚Zakat,‛ First Encyclopedia of Islam, 4: 1202. Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment (London: 1973), 79. 46 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 39-40. 47 Cf. Abu> Bakr ibn ‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qura>n, 1: 20-21. 48 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam,‛ Arabica, 40 (1993): 84-113. 49 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development,‛ 86-87; cf. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic: Arabic-English, ed. J. Milton Cowan (Beirut: Maktabat Lubna>n, 1974), 379. 50 Al-Sarakhsi>, Kita>b al-Mabsut} (Kairo: Mat}ba‘at al-Sa‘a>dah, 1913), 2: 149. 45
Islam, Negara, dan Filantropi
27 Dengan demikian, zakat memiliki dimensi ganda: sebagai tindakan ibadah yang bertujuan untuk menyucikan pembayarnya, dan sebagai tindakan sosial untuk meningkatkan penghasilan penerimanya. Dalam ungkapan A. Zysow, hukum zakat dapat disebut sebagai hibrida antara unsur ibadah dan peningkatan penghasilan.51 Tidak heran jika kemudian pembahasan tentang zakat sering ditemukan dalam fikih ibadah, tetapi tidak jarang pula menjadi perhatian fikih politik ekonomi (fiqh al-siya>sah al-ma>liyyah), bersandingan dengan keuangan publik atau sumber-sumber pemasukan negara lainnya. 52 Zakat tidak dikenakan kepada seluruh harta benda seseorang, tetapi hanya harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, harta tersebut dimiliki secara nyata. Kedua, kepemilikannya atas harta tersebut bersifat mutlak, dalam arti benar-benar dalam kewenangannya. Ketiga, harta tersebut harus mengalami pertumbuhan. Keempat, harta tersebut melebihi dari kebutuhan dasar seseorang. Kelima, yang wajib dizakati telah mencapai setahun (h}awl) di tangan pemiliknya, kecuali tanaman dan harta temuan ( rika>z), yang waktu pembayarannya harus dilakukan saat panen atau ditemukan. Keenam, harta tersebut telah mencapai jumlah minimal harta yang harus dizakati ( nis}a>b), di samping besaran zakat yang harus dikeluarkannya (miqda>r) darinya.53 Lebih jauh, cara memperoleh harta pun dipertimbangkan bagi penentuan besaran zakat. Misalnya, zakat tanaman yang difasilitasi oleh irigasi akan lebih rendah dibandingkan dengan zakat tanaman yang hanya mengandalkan air hujan. Tentang kapan zakat mulai diwajibkan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian beranggapan bahwa zakat fitrah mulai diwajibkan pada tahun ke-2 Hijrah di Madinah, sementara zakat ma>l (harta) diwajibkan pada tahun ke-9 Hijrah,54 bersamaan dengan turunnya QS al-Tawbah (9): 103 dan sebagainya, sedangkan lainnya berpandangan bahwa zakat diwajibkan sejak sebelum hijrah, mengingat ayat-ayat Makkiyyah, seperti QS al-Ru>m: 38-39 dan 1-3, Luqma>n: 4 dan sebagainya, telah memerintahkannya. Terhadap perbedaan ini, al-Qarad}a>wi> menilai bahwa zakat yang diwajibkan di Mekah bersifat mutlak ( zaka>h mut}laqah), dalam arti belum ditentukan jumlah harta yang harus dizakati ( nis}a>b) dan takaran zakatnya (miqda>r), serta mereka yang berhak menerimanya. Dengan kata lain, zakat di sini banyak bersandar pada keimanan seseorang dan, karenanya, lebih bersifat moral ketimbang hukum. Ini berbeda dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, yang ketentuannya telah ditetapkan secara terperinci dan berbentuk hukum. Dengan demikian, zakat yang diwajibkan di Madinah pada dasarnya memperkuat kewajiban zakat di Mekkah dan memperjelas hukumnya. 55 Kenyataan ini didukung oleh sejumlah hadis yang memberikan rincian aturan tentang zakat.56 51
A. Zysow, ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 2001), 11: 407. Lihat, misalnya, al-Ma>wardi>, Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), 113125. Sesuai dengan judulnya, buku ini lebih dikenal sebagai buku tentang pemerintahan, tetapi dibahas juga di dalamnya masalah zakat. Cf. S.A. Siddiqi, Public Finance in Islam (Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1992), bab 2. 53 Al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 33: 236. 54 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 39. 55 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h, 1: 58-62. 56 Tentang hadis-hadis yang membicarakan ketentuan-ketentuan ini, lihat, misalnya, Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: bab zakat. 52
Bab II
28 Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Richard Bell melihat bahwa perintah zakat dalam ayat-ayat Makkiyah sama sekali tidak dalam pengertian wajib, tetapi bersifat sukarela. Ia menegaskan bahwa zakat dalam ayat-ayat ini ‚only in the sense of alms and voluntary giving to the poor, as much for purification of the giver’s soul as for relief of the needy.‛57 Ini berarti kata zakat dalam ayat-ayat Makkiyyah tampaknya hanyalah sedekah yang dilakukan secara sukarela. Konsekuensinya, zakat dapat dipastikan diwajibkan setelah Nabi hijrah ke Madinah. Meskipun demikian, sebenarnya pandangan Bell ini tidak berlawanan dengan pendapat al-Qarad}a>wi>, mengingat yang terakhir ini juga menganggap zakat dalam ayat-ayat Makkiyyah masih bersifat moral. Sebab, pada tatanan moral, seseorang yang tidak melaksanakannya tidak memiliki akibat hukum yang menimpanya. Agar ketentuan-ketentuan zakat dapat terlaksana dengan baik di Madinah, Nabi dikatakan telah menunjuk sejumlah orang dari kalangan sahabat yang bertindak sebagai pengumpul zakat, yang terkemuka di antaranya adalah ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b dan ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib.58 Nabi juga mengirim sejumlah utusan, seperti Mu‘a>dh, yang di samping bertugas mengajarkan Islam, juga mengumpulkan zakat dari kalangan orang-orang kaya dalam masyarakat. Ini menunjukkan bahwa zakat menduduki posisi yang penting dan memeroleh perhatian yang serius dari negara. Dalam ungkapan lain, zakat sebagai suatu bentuk ibadah tidak dapat dipisahkan dari tugas negara. Kenyataan ini terlihat jelas pada pemerintahan Abu> Bakr, yang menggantikan kepemimpinan Nabi setelah wafat. Sebagian suku Arab menolak membayar zakat dengan alasan bahwa zakat merupakan penebusan dosa melalui doa Nabi, sebagaimana diisyaratkan oleh QS al-Tawbah (9): 103. Karena itu, dengan wafatnya Nabi, tak seorang pun dapat menggantikan posisi Nabi yang mampu mendoakan mereka agar terampuni dari dosa-dosa mereka. Akibatnya, kewajiban membayar zakat kepada pengganti Nabi menjadi tidak berlaku lagi. 59 Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan golongan orang-orang yang murtad (murtaddi>n), yang kemudian diperangi oleh Abu> Bakr dan tentaranya. Di kalangan sahabat sendiri terdapat perbedaan pendapat seputar apakah mereka yang menolak membayar zakat itu dapat disebut murtaddi>n atau tidak. ‘Umar sendiri menolak menyebut mereka sebagai murtaddi>n dengan argumen bahwa mereka telah mengakui syahadat dan melaksanakan shalat. Sementara itu, Abu> Bakr menilai bahwa kedua kewajiban itu tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya. Dalam hal ini, ‘Abdullah-i Ahmed An-Na‘im menilai bahwa ‘Umar akhirnya menerima pandangan Abu> Bakr karena ketaatan terhadapnya sebagai pemimpin yang kebijakannya harus ia hormati, bukan karena alasan keagamaan. 60 Peperangan terhadap kaum murtad (h}uru>b al-riddah) ini mendorong sebagian sarjana berspekulasi bahwa motif peperangan itu lebih cenderung bersifat sosioekonomis ketimbang keagamaan.61 57
Richard Bell, Introduction to the Quran (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1953), 166. A. Zysow, ‚Zakat,‛ 408. 59 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development,‛ 101. 60 ‘Abdullah-i Ahmad An-Na‘im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), 95-97. 61 Lihat, misalnya, C. Brockelmann, History of Islamic Peoples (Albany, NY: SUNY Press, 1947), 45-46. 58
Islam, Negara, dan Filantropi
29 Tanpa harus mendiskusikan lebih detil tentang alasan peperangan tersebut, sistem pengumpulan zakat terus mengalami perkembangan, terutama pada masa pemerintahan ‘Umar. Dialah yang membentuk lembaga pengumpul zakat (semacam BAZ) yang ditempatkan di jalan-jalan dan pelabuhan untuk menarik zakat dari pedagang Muslim sebesar 2,5%, sementara dari non-Muslim sebesar 10% (‘ushr). Di samping itu, ‘Umar jugalah yang berpandangan bahwa negara Islam sudah kuat dan aman dan, karenanya, tidak lagi membutuhkan jasa orangorang muallaf, sehingga yang terakhir ini tidak lagi berhak mendapatkan bagian dari zakat. Bahkan kepada ‘Umar pula berdirinya Baitul Mal sering dinisbatkan.62 Akan tetapi, perubahan penting dalam kebijakan tentang pengumpulan zakat ini terjadi pada masa ‘Uthma>n yang, antara lain, memerintahkan para petugas untuk menarik hanya zakat atas harta yang terlihat, seperti ternak dan pertanian, tanpa menuntut zakat dari harta yang tidak terlihat, seperti emas, perak, dan barang dagangan.63 Ini tidak berarti bahwa benda-benda tersebut tidak wajib dizakati ketika telah mencapai nis}a>b, sebaliknya yang ‘Uthma>n tekankan adalah memberikan keleluasaan agar para pemilik menghitung sendiri zakat atas bendabenda tersebut dan menyerahkannya baik ke Baitul Mal atau kepada mustahik secara langsung, atau menyerahkan sebagian kepada yang kedua dan sebagian lainnya kepada yang pertama. Kebijakan ini diambil karena para petugas pengumpul zakat sering mempermalukan para pembayar zakat, sehingga tidak jarang menimbulkan kerisauan di kelompok yang disebut terakhir ini. 64 Kebijakan khalifah yang ketiga ini terus berlangsung pada masa Umayyah dan pengumpulan zakat juga mengalami peningkatan. Namun, pada saat yang sama, kecurigaan atau ketidakpercayaan terhadap lembaga zakat yang dikelola oleh negara juga muncul, sehingga diragukan apakah membayar zakat kepada pejabat resmi negara masih tepat dilakukan. Kondisi ini tampaknya berlangsung cukup lama, mengingat baru pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z sistem pengumpulan zakat ditata kembali seperti semula bersamaan dengan reformasi sistem keuangan negara. Ia menunjuk petugas pengumpul zakat tidak hanya atas benda-benda yang tampak, tetapi juga terhadap yang tidak tampak. Bahkan, setiap gubernur ditunjuk sebagai penanggung jawab atas pengumpulan zakat di wilayahnya.65 Akan tetapi, baru pada pemerintahan Hisha>m, sebuah lembaga pemerintah yang khusus menangani zakat didirikan dengan nama di>wa>n als}adaqah, yang mengumpulkan sekaligus mendistribusikan zakat.66 Pada masa ‘Abbasiyyah, pengelolaan zakat tampaknya tidak efisien, sehingga Ha>ru>n al-Rashi>d meminta Abu> Yu>suf agar menulis saran-saran bagi perbaikan aktivitas tersebut, sebagaimana tercermin dalam Kita>b al-Khara>j. Dikemukakan bahwa pengumpulan zakat dilakukan oleh para pengumpul pajak, tanpa memisahkannya. Sementara itu, zakat atas barang dagangan yang dikumpulkan oleh petugas zakat dikelola secara terpisah dari zakat atas bendabenda lainnya. Bahkan, terjadi juga penggunaan dana zakat bagi tujuan-tujuan 62 N.J. Coulson, ‚Bayt al-Ma>l: Legal Doctrine,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 1986), 1: 1141; lihat juga Bernard Lewis, ‚Bayt al-Ma>l: History,‛ 1143. 63 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 409. 64 Ataina Hudayati dan Achmad Tohirin, “Management of Zakah: Centeralised vs Decentralised Approach,” Proceedings of 7th International Conference on “The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy” (Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2010), 365. 65 Lihat S.A. Siddiqi, Public Finance in Islam (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1968), 194. 66 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 409.
Bab II
30 selain delapan golongan yang, dalam pandangan Abu> Yu>suf, berlawanan dengan tujuan utama zakat.67 Ini menunjukkan kekacaun sistem pengelolaan zakat tersebut. Akan tetapi, bagaimana pengeloaan zakat secara sistematis setelah terbitnya karya di atas, hal itu tidak banyak dibicarakan.68 Meskipun demikian, dapat diduga bahwa pengelolaan zakat oleh negara setelah Abbasiyah mengalami kemunduran. Ini ditunjukkan pada masa Fatimiyyah, di mana kaum Muslim cenderung membayarkan zakat mereka langsung kepada fakir-miskin, meskipun para ulama membolehkan mereka membayarkannya kepada negara.69 Pada masa modern, diskusi tentang zakat tidak lagi menjadi monopoli ulama (fuqaha>’), tetapi juga menjadi perhatian para ahli ekonomi, mengingat potensi zakat yang sangat besar bagi umat maupun negara. Karena itu, beberapa negara melibatkan diri dalam pengumpulan dan pendistribusiannya, bahkan mengeluarkan undang-undang khusus yang mengaturnya, di antaranya, Saudi Arabia, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan dan Sudan. 70 Di Saudi Arabia, pengumpulan zakat ditetapkan melalui Keputusan Raja No. 17/2/28/8634 yang tertanggal 7 April 1951, yang menetapkan zakat baik pada individu maupun perusahaan nasional Saudi. Pengelolanya adalah Departemen Zakat dan Pajak Penghasilan yang berada di bawah Kementerian Keuangan dan Ekonomi. Sementara itu, Undang-undang Nomor 89 tentang Zakat di Libya baru ditetapkan 1971. Berdasarkan undang-undang ini, kekayaan yang harus dizakati tidak saja yang secara tradisional telah ditetapkan, tetapi juga meliputi uang kertas dan saham perusahaan. Di Yaman sendiri, pengumpulan zakat dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang ditetapkan pada 1975, yang implementasinya ditugaskan kepada Departemen Kewajiban (mas}lah}at al-wa>jiba>t) di bawah Kementerian Keuangan. Adapun di Malaysia, pengumpulan zakat dilakukan di masing-masing negeri atau kerajaan di bawah Majelis Urusan Agama. Di Pakistan, pelaksanaan zakat berdasarkan undang-undang dimulai pada masa Jenderal Zia al-Haq bersamaan dengan ditetapkannya Zakat and ‘Ushr Ordinance pada 1980, sebagai upaya islamisasi yang digalakkan di negeri itu. Di sini, zakat dikelola oleh Zakat Funds, yang terdiri dari tiga tingkatan. Central Zakat Fund menerima zakat dari rekening dan pendapatan yang dipotong langsung, sementara Local Zakat Funds yang jumlahnya cukup banyak menerima ‘ushr. Seperti di Pakistan, Undang-undang Zakat dan Pajak merupakan bagian islamisasi yang dicanangkan oleh Numayri pada 1984. Setelah mengalami beberapa perubahan, Undang-undang Zakat 1990 menetapkan zakat tidak hanya pada kelompok kekayaan yang secara tradisional harus dizakati, tetapi juga pada gaji para pegawai dan professional, di samping pada peternakan ayam dan perikanan. 71 Berbeda dengan shadaqah, yang pendistribusiannya sangat luas, penerima zakat telah ditetapkan oleh Al-Quran, yaitu delapan golongan (al-as}na>f althama>niyah).72 Akan tetapi, ruang untuk mendefinisikan siapa mereka ini tetap Abu> Yu>suf Ya‘qu>b, Kita>b al-Khara>j (Beirut: Da>r al-T{iba>‘ah wa al-Nashr, 1979), 3. Abu> Yu>suf Ya‘qu>b, Kita>b al-Khara>j, 80. 69 Lihat A. Zysow, “Zakat,” 409 70 Bandingkan A. Zysow, “Zakat,” 409. 71 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419-20. Yang tidak disebutkan Zysow di sini adalah Indonesia, yang pembahasannya akan diuraikan dalam bab berikutnya. 72 QS al-Tawbah (9): 60. 67 68
Islam, Negara, dan Filantropi
31 terbuka, dan bahkan bisa ditafsirkan ke pelbagai golongan. M. Rashi>d Rid}a>, misalnya, menafsirkan budak dalam QS al-Tawbah (9): 60 tidak sebagai individu, tetapi dalam arti masyarakat yang diperbudak oleh kolonialisme. Sementara itu, fi> sabi>lilla>h dalam ayat itu diartikan bukan sebagai jihad dengan senjata, namun jihad melalui argumen dan persuasi. 73 Dengan kata lain, golongan yang berhak menerima zakat sesungguhnya dapat berubah sesuai dengan keadaan dan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Muslim. Upaya untuk menafsirkan ayat tersebut secara dinamis juga dilakukan oleh tokoh neomodernis Islam, Fazlur Rahman. Menurutnya, prinsip di balik pembagian kepada delapan golongan itu adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dalam pengertian yang luas. Akan tetapi, kaum Muslim memahami fungsi zakat secara picik, sehingga ia kehilangan makna yang sesungguhnya. Ia menegaskan bahwa zakat dapat digunakan untuk seluruh aktivitas yang juga menjadi kewajiban negara, seperti pendidikan dan kesehatan, gaji para pegawai administratif, dakwah atau diplomasi, pertahanan, komunikasi dan sebagainya. 74 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan salah satu bentuk filantropi Islam, yang tujuan utamanya adalah keadilan dan kesejahteraan sosial, yang dijiwai oleh semangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Di sini muncul pertanyaan, ‚Mengapa zakat yang bersifat wajib disebut filantropi, yang pada dasarnya merupakan kedermawanan yang bersifat sukarela?‛ Dalam pandangan Dawam Rahardjo, zakat sebenarnya adalah penyucian diri yang bersifat individual. Memang, ia merupakan kewajiban, tetapi sifatnya individual, yang bila seseorang tidak melaksanakannya, ia tidak mendapat pahala dari Tuhan atau tidak mendapat balasan kasih sayang-Nya.75 Tentu, ini memunculkan persoalan mengingat wajib dalam hukum Islam bukan sekadar berimplikasi pahala bagi yang melaksanakannya, tetapi juga mendatangkan hukuman bagi yang meninggalkannya. Ini jika didasarkan pada definisi wajib, yaitu ‚perbuatan yang jika dikerjakan memeroleh pahala dan jika ditinggalkan memeroleh hukuman‛ (yutha>bu fi‘luh wa-yu‘a>qbu ta>rikuh).76 Terhadap definisi ini, dan definisi lain yang mengandung kata hukuman, alGhaza>li menentangnya dengan argumen sebagai berikut. Pertama, wajib kadangkadang dimaafkan dari hukuman jika ditinggalkan, meskipun hal itu tidak menghilangkan posisi wajib. Yang demikian itu karena wajib harus dilaksanakan secara sempurna (na>jiz), sementara hukumannya masih menunggu (muntaz}ar). Maksudnya, kewajiban harus dilaksanakan secara sempurna, yang jika tidak dilaksanakan, hukumannya pun direalisasikan saat itu juga. Kedua, kalau wajib diancam dengan hukuman, maka realisasinya harus dilaksanakan karena janji Tuhan pasti benar. Namun, hukuman itu kadang-kadang dimaafkan dan tidak direalisasikan. Al-Ghaza>li> sendiri mendefinisikan wajib, mengutip Qa>d}i> Abu> Bakr, sebagai ‚sesuatu yang membuat orang yang meninggalkannya dicela dan dicaci secara syar‘i dengan cara tertentu‛ (huwa al-ladhi> ma> yudhammu ta>rikuhu wa-
73
M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, 10: 587. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), 60-61. M. Dawam Rahardjo, “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan Epistemologis,” dalam Berderma untuk Semua, xxxvii-xxxviii. 76 Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, 2 jilid (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986), 1: 46. 74 75
Bab II
32
yula<mu shar‘an bi-wajhin ma>).77 Lebih jauh, zakat tergolong ke dalam ibadah mahdah. Yaitu, ibadah yang bertujuan untuk ‚membangun hubungan manusia dengan Tuhannya‛ (tanz}i>m ‘ala>qat al-insa>n bi-rabbihi).78 Adapun tujuan disyariatkannya ibadah itu sendiri adalah penyucian jiwa ( tat}hi>r al-nafs watazkiyatuha>) dan menjauhkannya dari tindakan-tindakan tercela.79 Di sini terlihat bahwa wajib dalam hukum Islam bersifat etis, yang pelaksanaannya bergantung pada moralitas seseorang. Dengan begitu, membayar zakat pada dasarnya adalah wajib etis dan karenanya dapat disebut sebagai filantropi, yang juga didasarkan pada moralitas. Meskipun penerimanya telah ditetapkan, fungsi zakat sesungguhnya sangat luas, termasuk sarana-sarana yang dapat mengantarkan pada tujuan tersebut. Lebih jauh, dalam pengelolaannya, keterlibatan negara selalu ada dengan tingkatan yang berbeda dari waktu ke waktu. Pada awalnya, negara terlibat penuh, lama kelamaan kemudian memudar dan akhirnya kembali melibatkan diri pada zaman modern, seperti yang terjadi di beberapa negara bangsa Muslim. 3.
Wakaf Bentuk filantropi penting lain dalam Islam adalah wakaf (waqf), masdar dari kata kerja waqafa-yaqifu, yang berarti ‚melindungi atau menahan.‛ Sinonim wakaf meliputi tah}bi>s, tasbi>l atau tah}ri>m, meskipun ketiga istilah yang terakhir ini kalah populer dibandingkan dengan yang pertama.80 Seperti zakat, wakaf juga masuk ke dalam kategori shadaqah. Akan tetapi, untuk membedakan dari bentukbentuk shadaqah lainnya, ia biasanya disebut s}adaqah ja>riyah (s}adaqah yang terus mengalir pahalanya). Seperti shadaqah dan zakat, wakaf juga diduga oleh sebagian orientalis berasal dari tradisi agama lain, yaitu Kristen. W. Heffening, misalnya, berpendapat bahwa wakaf muncul setelah Nabi wafat. Argumen Heffening adalah bahwa ketentuan-ketentuan formal wakaf baru ditetapkan oleh fuqaha>’ pada abad ke-2 H. Di samping itu, di Arab pra-Islam tidak ditemukan praktik wakaf. Kaum Muslim baru mengenal wakaf ketika mereka menaklukkan beberapa wilayah di luar Arab. Di Mesir, misalnya, pada tiga abad pertama Islam, hanya terdapat lembaga yang dikelola kaum Koptik Kristen, yang berbentuk rumah-rumah biara, anak-anak yatim dan orang miskin, terutama di kota-kota, di samping bagi pengembangan gereja. Karena itu, wakaf tidak lain daripada pengadopsian tradisi Kristen ke dalam Islam.81 Adanya wakaf sebelum Islam ini juga diakui oleh Muh}ammad ‘Ah al-Kabisi>, tetapi hal itu tidak harus berasal dari Kristen. Menurut alKabisi, wakaf dengan mudah dapat ditemukan dalam tradisi-tradisi sebelum Islam, mengingat setiap tradisi keagamaan mensyaratkan adanya rumah peribadatan yang permanen. Pertanyaannya, dari mana tanah-tanah tempat
77 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min-‘Ilm al-Us}u>l, ditahkik H{amzah ibn Zuhayr H{a>fiz}, 4 jilid (Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyyah, t.th.), 1: 211-212. 78 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuh, 1: 19. 79 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuh, 1: 23. 80 Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 153; Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 108. 81 Pandangan ini dikemukakan oleh C.H. Becker dan didukung W. Heffening. Lihat Heffening, ‚Wakf,‛ 1098.
Islam, Negara, dan Filantropi
33 bangunan itu kalau bukan karena kerelaan pemiliknya untuk dibangun sebagai rumah ibadah yang permanen, yang pada dasarnya mirip dengan wakaf. Lebih jauh, al-Kabisi menolak anggapan bahwa masyarakat Arab Mekah sebelum Islam tidak mengenal wakaf. Menurutnya, wakaf telah mereka kenal, hanya saja tujuan wakaf yang mereka praktikkan berbeda dengan tujuan wakaf yang dianjurkan Islam. Mereka mewakafkan sesuatu demi kebanggaan, sementara Islam menganjurkan wakaf sebagai upaya memeroleh ridha Tuhan. 82 Seperti ditunjukkan al-Kabisi, praktik yang menyerupai wakaf ini juga ditemukan dalam masyarakat di luar Mekah sebelum Islam, seperti di Irak dan Mesir kuno, Romawi dan lain sebagainya.83 Terhadap dugaan bahwa wakaf berasal dari tradisi Kristen, Cl. Cohen menegaskan bahwa pada masa awal Islam, wakaf cenderung ditujukan kepada kerabat dan keturunan daripada kepada institusi. Dengan kata lain, wakaf sebagai lembaga publik memang kurang populer di Arab pada masa Islam awal. Di samping itu, wakaf juga telah banyak tersebar di daerah pedesaan pada masa Islam awal dan karenanya praktik ini tidak semata-mata pengadopsian dari tradisi asing.84 Sebenarnya, semangat wakaf sudah ada dalam Islam, seperti ditunjukkan dalam hadis di bawah ini, meskipun tidak mustahil bahwa wakaf dalam bentuk institusi dengan segala administrasinya mengadopsi dari tradisi lain. Ini bisa terjadi seperti dalam masalah perpajakan, di mana beberapa tradisi asing yang baru dikenal kaum Muslim kemudian diadopsinya. Berbeda dengan shadaqah dan zakat, wakaf tidak diperintahkan (diwajibkan) secara eksplisit dalam Al-Quran. Meskipun demikian, beberapa ayat mengisyaratkan akan hal itu, seperti QS al-Baqarah (2): 44 dan 224 dan An (3): 92. Dua ayat pertama menggunakan kata birr (perbuatan baik), sedangkan ayat terakhir menggunakan infa>q, yang keduanya merupakan padanan dari filantropi, seperti diuraikan di atas. Lebih jauh, diyakini bahwa tidak ada persoalan yang tidak dijelaskan oleh Al-Quran,85 meskipun secara sangat global, yang perinciannya biasanya ditemukan dalam hadis-hadis Nabi. Hukum wakaf termasuk ke dalam kategori ini, di mana penjelasannya secara eksplisit ditemukan dalam hadis-hadis Nabi, sementara Al-Quran hanya mengisyaratkan saja. 86 Di antara hadis-hadis yang umum digunakan untuk menunjukkan anjuran wakaf adalah sebagai berikut.
إرت يثز:عٍ أخٗ ْشيشذ سظٗ هللا شعثنٗ عُّ أٌ سصٕل هللا صهٗ هللا عهيّ ٔصهى لثل أٔ ٔنذ صثنخ،ّ أٔ عهى يُصفع خ، إال يٍ صذلر جثسير:تخٍ آدو تَمطع عًهّ إال يٍ ثالثر )يذعٕ نّ (سٔتِ يضهى Diriwayatkan dari Abi> Hurayrah bahwa Nabi Saw. bersabda: ‚Jika seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal:
82 Muh}ammad ‘A{bid ‘Abdulla>h al-Kabisi>, Hukum Wakaf, terj. Ahrul Sani Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada (Jakarta: IIMaN, 2004), 12-13. 83 Al-Ka>bisi>, Hukum Wakaf, 15-17; lihat Anonymous, al-Was}a>ya> wa al-Awqa>f fi al-Fiqh alIsla>mi> (Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi‘iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nasyr, 1996), 187; juga Muh}ammad Abu> Zahrah, Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf (Kairo: Ma‘had al-Dira>sa>t al-‘Arabiyyah al-‘A>liyah, 1959), 7. 84 R. Peters, ‚Wakf,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill, 2000), 11: 60. 85 QS al-Nah}l (16): 38. 86 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992), 10-11.
Bab II
34 s}adaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan (orang lain), atau anak shaleh yang mendoakannya‛ (H.R. Muslim).87
أصثج عًش سظٗ هللا شعثنٗ عُّ أسظث: لثل،ٔعٍ تخٍ عًش سظٗ هللا شعثنٗ عًُٓث يث سصٕل هللا! إَٗ أصدس: فمثل، فؤشٗ تنُدٗ صهٗ هللا عهيّ ٔصهى يضصؤيشِ فيٓث،خخيدش إٌ شةس ددضس أصهٓث: لثل،ُّ نى أصح يثال لط ْٕ أَفش عُذٖ ي،أسظث خخيدش ٔال، أَّ اليدثع أصهٓث،ُّ فصصذق خٓث عًش سظٗ هللا شعثنٗ ع: لثل،ٔشصذلس خٓث ٔفٗ صديم، ٔفٗ تنشلثج،ٗ ٔفٗ تنمشخ، فصصذق خٓث فٗ تنفمشتء، ٔال يْٕح،يٕسض ٔيطعى، الجُثح يٍ ٔنيٓث أٌ يؤكم يُٓث خثنًعشٔف، ٔتنعيف، ٔتخٍ تنضديم،هللا )ّ غيش يصًٕل يثال (يصفك عهي،صذيمث Ibn ‘Umar r.a. berkata: ‘Umar r.a. mendapatkan tanah ( ghani>mah) di Khaybar, lalu ia mendatangi Nabi Saw. untuk berkonsultasi tentangnya, seraya berkata: ‚Wahai Rasulullah! Aku memeroleh tanah di Khaybar, yang aku rasa belum pernah kuperoleh harta yang lebih mahal daripadanya.‛ Nabi menjawab: ‚Kalau kamu mau, pertahankan tanahnya dan kamu sedekahkan hasilnya.‛ Ibn ‘Umar berkata: ‘Umar lalu menyedekahkannya dalam arti bahwa tanah itu tidak boleh dijual, diwariskan atau dihibahkan. Ia menyedekahkannya bagi orang miskin, keluarga, para budak, fi> sabi>lilla>h (jihad), ibn sabi>l (musafir) dan tamu. Tidak ada dosa bagi yang mengurusnya untuk memakan dari hasilnya dengan cara yang baik, atau memberi makan temannya, tanpa memperkaya diri melalui cara itu (H.R. Bukha>ri> dan Muslim).88 Berdasarkan hadis ini, para fuqaha kemudian mengembangkan definisi wakaf. Al-Sarakhsi, misalnya, mendefinisikan wakaf sebagai ‚melindungi sesuatu dan menghalanginya agar tidak menjadi kepemilikan orang ketiga,‛ 89 sementara al-Dimyati> mendefinisikannya sebagai ‚melindungi harta yang mungkin dapat diambil manfaatnya dengan mempertahankan bendanya yang dibolehkan memungut biaya administrasinya oleh pengelolanya.‛90 Lebih jauh, berdasarkan hadis ini pula, mereka menetapkan lima rukun bagi sahnya sebuah tindakan wakaf. Pertama, orang yang memberikan wakaf ( al-wa>qif), yang dalam konteks hadis di atas adalah ‘Umar. Kedua, benda yang diwakafkan ( al-mawqu>f bih), yang dalam hadis tersebut adalah tanah di Khaybar. Ketiga, manfaat dari benda yang diwakafkan (al-mawqu>f ‘alayh), yakni buah (thamrah) dari tanaman di tanah tersebut. Keempat, sasaran wakaf, yang dalam hadis diperuntukkan bagi orang miskin, keluarga, budak, jihad, bagi musafir, dan tamu. Kelima, orang yang mengurus wakaf (na>z}ir), yang dalam hadis disebut wali. Terakhir, ikrar wakaf (s}i>ghah), yang dalam hadis tersebut tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi
87
Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m (Riya>d}: Maktabat Da>r alSala>m, 1997), 274, hadis No. 917. 88 al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m, Hadis No. 918. 89 Sarakhsi>, al-Mabsu>t}, 12: 27. 90 Al-Dimyati>, I‘a>nat al-T{al> ibi>n (Semarang: Mat}ba‘at T{a>ha> Putra, t.th.), 3: 157; cf. Muh}ammad Abu> Zahrah, Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf, 7.
Islam, Negara, dan Filantropi
35 diceritakan oleh Ibn ‘Umar bahwa ‘Umar kemudian mensedekahkan tanah di Khaybar.91 Dalam perkembangannya, praktik wakaf ini kemudian terbagi ke dalam empat institusi. Pertama, al-h}abs fi> sabi>lilla>h, yaitu sumbangan kuda, senjata dan budak demi jihad, atau rumah bagi peristirahatan tentara. Kedua, h}abs mawqu>f atau s}adaqah mawqu>fah, yakni sejenis wakaf bagi sejumlah orang tertentu yang setelah mereka meninggal harta wakaf tersebut kembali kepada pemiliknya semula atau ahli warisnya. Ketiga, s}adaqah muh}arramah, ialah wakaf yang diperuntuhkkan bagi orang miskin, atau sekelompok kerabat dan keturunan tertentu, yang setelah mereka meninggal dunia harta wakaf itu akan jatuh ke tangan kelompok orang miskin. Terakhir, wakaf permanen untuk masjid atau kepentingan umum lainnya.92 Dengan berlalunya waktu, wakaf kini dikelompokkan ke dalam dua jenis utama: khayri> dan ahli>. Yang dimaksud dengan wakaf khayri> adalah wakaf yang memang dimaksudkan sepenuhnya untuk tujuan-tujuan agama, seperti masjid, madrasah, rumah sakit, jembatan, pengairan dan lain sebagainya. Adapun wakaf ahli>, yang juga disebut waqf dhurri>, adalah wakaf yang ditujukan bagi keluarga, seperti anak, cucu, kerabat atau orang lain. Meskipun demikian, wakaf ahli ini tetap harus bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya melalui orang miskin.93 Sebab, pada dasarnya, wakaf ditujukan bagi semua Muslim, dalam arti bahwa manfaat wakaf dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh kaum Muslim, terutama mereka yang membutuhkan. Karena itu, ia dapat berperan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. 94 Akan tetapi, wakaf ahli ini kadang-kadang digunakan untuk tujuan yang salah, sehingga menimbulkan persoalan. Misalnya, wakaf adakalanya digunakan untuk menghindari pembagian kekayaan ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wa>qif meninggal dunia. Juga bisa terjadi bahwa wakaf digunakan untuk menghindari tuntutan pembayaran hutang seseorang sebelum ia mewakafkan harta bendanya. Di samping itu, wakaf tidak jarang dimanfaatkan untuk mengelak dari penyitaan yang dilakukan oleh negara. 95 Oleh karena itu, wakaf ahli di beberapa negara Muslim sangat diperketat, bahkan malah dihapuskan, seperti yang terjadi di Mesir, melalui Undang-undang tahun 1952.96 Dalam lintasan sejarah Islam, fungsi wakaf telah digunakan untuk pelbagai tujuan: sebagai lembaga filantropi, agen layanan sosial dan bahkan sebagai lembaga politik yang bertarung dengan kekuatan penguasa. 97 Sebagai lembaga
91
Uraian lebih terperinci tentang hukum dan ketentuan wakaf, lihat Wuza>rat al-Awqa>f wa alShu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 2006), 44: 112 dan seterusnya; juga Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Tasikmalaya: IAI Latifah Mubarakiyyah, 1997). 92 R. Peters, ‚Wakf,‛ 59. 93 W. Heffening, ‚Wakf,‛ 1096; lihat juga Wahbah Zuh}ayli>, al-Was}a>ya> wa al-Waqf fi> al-Fiqh alIsla>mi> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1998), 140. 94 R. Peters, ‚Wakf,‛ 60. 95 Lihat Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam Islam and Social Policy, ed. Stephen P. Heyneman (Nashvile: Vanderbilt University Press, 2004), 28-29; lihat Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), 90. 96 Abu Zahrah, Muh>ad}ara>t fi> al-Waqf, 44. 97 Jennifer Bremmer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice,‛ Makalah pada CSID 5 th Annual Conference on ‚Defining and Establishing Justice in Muslim Societies,‛ Washington DC.: 28-29
Bab II
36 filantropi yang memberikan layanan sosial, wakaf telah memainkan peran penting di berbagai bidang di sejumlah wilayah Dunia Islam, seperti agama dan pendidikan, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. 98 Di Mesir, misalnya, ‘Amr ibn al-‘A<s} yang menjadi gubernur saat itu memberikan wakaf bagi pembangunan masjid pertama di sana. Semangat untuk mendirikan lembaga-lembaga keagamaan ini terus berlangsung hingga masa Fatimiyyah. Akan tetapi, pada masa Ayyubiyyah, tidak sedikit dana wakaf digunakan untuk membiayai perang melawan tentara Salib dan konsolidasi kaum Muslim Sunni.99 Sementara itu, di Afrika Utara, wakaf tidak jarang digunakan sebagai propaganda pemerintah, terutama pada Dinasti Marwaniyyah. Banyak lembaga keagamaan, seperti madrasah, rumah sakit, masjid, zawiyah, perpustakaan dan sebagainya, dibangun oleh dinasti ini. Namun, semua itu dimaksudkan untuk menyingkirkan tokohtokoh Fasi dan pemimpin agama di sana. 100 Di Spanyol Islam, istilah h}abs atau h}ubs lebih populer ketimbang wakaf. Seperti di wilayah lain, tujuan wakaf di sini umumnya adalah untuk jihad di jalan Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam hal ini, kaum aristokrat memainkan perang penting, semisal Khalifah Hakam II, yang mendirikan yayasan untuk mengelola pertokoan di pasar Kordoba, yang keuntungannya dimaksudkan bagi pembiayaan masjid Kordoba dan pembayaran gaji bagi para guru Al-Quran. Di samping itu, tidak hanya peralatan perang, seperti pedang, kuda dan lain sebagainya, yang banyak diwakafkan, tetapi yang lebih penting adalah buku-buku bagi para pencari ilmu, yang dapat mereka salin dan kaji. Namun, bersamaan dengan penaklukan Kristen atas wilayah ini, kebanyakan aset wakaf ini berpindah tangan ke gereja, yang mengklaim sebagai pewaris sahnya. 101 Seperti di Spanyol, wakaf oleh penguasa dan pejabat juga umum terjadi di Persia, baik ketika dalam kekuasaan Sunni maupun Syiah. Sebagian besar aset wakaf biasanya dimanfaatkan untuk masjid, madrasah, khanaqah, rumah sakit, penampungan air, air mancur dan sebagainya, sementara hasilnya digunakan untuk mendukung ulama, perayaan keagamaan, dan memberi makan kaum miskin. Namun, karena alasan-alasan politik dan keuangan, lembaga-lembaga wakaf tersebut berada dalam kontrol penguasa.102 Berbeda dengan wilayah lain, wakaf di Turki masa Ottoman terbagi ke dalam tiga macam: khayri>, ahli>/dhurri> dan mushtarak. Yang terakhir ini adalah Mei 2004, 5. Lihat juga Siraj Sait dan Hilary Lim, Land, Law and Islam: Property and Human Rights in Muslim World (London-New York: Zed Books, 2006), 156. 98 Tentang peran-peran keagamaan dan pendidikan, ekonomi, budaya dan sosial wakaf di beberapa negara Muslim seperti Maghrib, Aljazair, Yordania, Lebanon, Kuwait, Sudan, India dan Malaysia, lihat Mah}mu>d Ah}mad Mahdi> (ed.), Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir: Nama>dhij Mukhta>rah min-Taja>rib al-Duwal wa al-Mujtama‘a>t al-Isla>miyyah (Jeddah: al-Bank al-Isla>mi li atTanmiyah, 1423). Tentang peran sosial-ekonomi wakaf pada masa Ottoman, lihat Sazak Saduman dan Eyuboglu Ersen Aysun, ‚The Socio-Economic Role of Waqf System in the Muslim Ottoman Cities’ Formation and Evaluation,‛ Trakia Journal of Sciences, 7:2 (2009): 272-275. 99 Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill, 2000), 11: 64. 100 David S. Powers, ‚Wakf in North Africa to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill, 2000), 11: 70. 101 A. Carmona, ‚Wakf in Spain,‛ The Encyclopaedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill, 2000), 11: 75-78. 102 A.K.S. Lambton, ‚Wakf in Persia,‛ The Encyclopaedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 81-82.
Islam, Negara, dan Filantropi
37 wakaf yang didasarkan pada alur urutan penerima. Meskipun demikian, seperti di wilayah lain, umumnya keluarga khalifah atau sultan berperan penting dalam pendirian lembaga-lembaga wakaf, yang tujuannya tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga politis, sosial, ekonomis dan spiritual. Karena itu, bendabenda wakaf di Turki meliputi banyak hal yang dapat menghasilkan pendapatan, seperti rumah, toko, gedung, pemandian, warung kopi dan sebagainya. Pendapatan ini kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan institusi-institusi keagamaan, seperti masjid, madrasah, pondokan sufi, tempattempat pertemuan, di samping untuk menggaji para guru dan pengelolanya. Lebih jauh, pendapatan ini juga digunakan untuk membiayai fakir miskin dan sarana umum seperti jembatan, sistem irigasi, benteng, menara dan lain sebagainya. Bahkan, tidak jarang sultan atau gubernur menggunakan pendapatan wakaf untuk penataan kota. Adakalanya, wakaf digunakan untuk tujuan politis, seperti islamisasi terhadap daerah-daerah taklukan, atau perubahan lembaga-lembaga Kristen yang ada menjadi lembaga-lembaga Islam. Tidak heran, jika salah satu ciri khas perwakafan di Ottoman adalah keluasan penggunaan lembaga ini, di samping kemampuannya beradaptasi dengan kebutuhan individu, kelompok dan negara, termasuk dengan komunitas Kristen dan Yahudi. Terlepas dari itu semua, kekayaan wakaf di Ottoman sungguh sangat besar, mengingat 3/4 bangunan dan lahan pertanian di wilayah ini merupakan benda wakaf, sehingga kekekalan lembaga ini selalu terjaga, sekalipun Turki kemudian menjadi negara sekular.103 Fungsi penting institusi wakaf di atas mendorong negara untuk melibatkan diri di dalamnya, terutama dalam hal administrasi dan pengelolaannya. Sebenarnya, hal itu memiliki preseden pada sejarah awal Islam, ketika kaum Muslim menaklukkan beberapa wilayah di luar Arabia. Di Mesir, misalnya, ‘Amr ibn al-‘A<s}, yang kemudian menjadi gubernur setelah berhasil menaklukkannya, mendirikan di>wa>n al-ah}ba>s (dewan perwakafan), yang dilanjutkan oleh Qa>d}i> Tawbah ibn Nami>r, pada masa Umayyah. Pada masa ‘Abbasiyyah, peran para qadi ini terus berlanjut dengan tugas mengelola pemasukan dana wakaf, di samping mengontrol lembaga-lembaga wakaf, termasuk wakaf non-Muslim ahl aldhimmah (non-Muslim yang hidup dalam negara Islam). Pada masa Fa>t}imiyyah, modifikasi sistem pengelolaan wakaf terjadi, di mana dana wakaf dimasukkan ke dalam Baitul Mal, sehingga pembiayaan benda-benda wakaf diambil dari Baitul Mal. Karena itu, setiap tahun para pengelola wakaf harus melaporkan pendapatan kepada lembaga tersebut. Pada abad ke-19, tepatnya 1864, didirikanlah kementerian wakaf di Mesir yang —20 tahun kemudian, atau dua tahun setelah datangnya kekuatan Inggris—dihapuskan oleh Khadiv Taufik dan digantikan dengan administra\si yang otonom.104 Lebih jauh, bersamaan dengan kehadiran kolonialisme di sejumlah negara Muslim, wakaf di beberapa wilayah Dunia Islam mengalami kemunduran, terutama dalam pengelolaannya. Ini, antara lain, disebabkan sikap paradoks pemerintah kolonial terhadap wakaf yang, di satu sisi, menghendaki status quo dan, di sisi lain, memandang wakaf sebagai properti yang tidak jelas dan tidak
103 104
Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, 11. Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ 64.
Bab II
38 produktif. Untuk itu, mereka berusaha merekonstruksi hukum wakaf sesuai dengan hukum publik atau hukum keluarga. 105 Sejalan dengan itu, beberapa negara Muslim setelah merdeka mengadopsinya, dengan argumen bahwa properti wakaf tidak produktif dan lamban dalam mendukung dinamika pertumbuhan ekonomi industri. Konsekuensinya, banyak wakaf keluarga dihapuskan, sementara wakaf publik lainnya dinasionalisasi.106 Di samping itu, lembaga wakaf terbukti sangat potensial untuk melawan penguasa, sehingga tekanan terhadap lembaga ini harus dilakukan.107 Akibatnya, negara menjadi pemegang lembaga tersebut dengan memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaan birokrasinya. Ini terlihat dengan jelas di Iran, misalnya, pada masa Shah Reza, yang mendorong protes dari kalangan ulama dan siswa, yang berpuncak pada Revolusi 1979. 108 Meskipun demikian, kesadaran akan signifikansi wakaf telah mendorong sejumlah negara Muslim untuk kembali terlibat. Ini dibuktikan dengan ditetapkannya undang-undang yang mengatur masalah wakaf secara khusus, 109 tidak saja di negara-negara Arab, tetapi juga di negara-negara dari wilayah lainnya.110 Dari uraian di atas terlihat bahwa keterlibatan negara dalam pengelolaan wakaf, seperti zakat, selalu terjadi dengan dinamika dan intentitasnya yang berbeda dari waktu ke waktu. C.
Filantropi dan Keadilan Sosial Dari uraian yang dikemukakan dalam sub-sub bab sebelumnya terlihat bahwa tujuan utama filantropi Islam, baik dalam bentuk s}adaqah, zakat maupun wakaf, adalah keadilan dan kesejahteraan sosial kaum Muslim. Lebih jauh, bentuk-bentuk filantropi tersebut telah berlangsung lama, namun hingga kini kaum Muslim sepertinya belum menikmati dan memeroleh kesejahteraan dan keadilan itu. Pertanyaannya kemudian adalah bentuk keadilan sosial seperti apa yang hendak dicapai dengan filantropi tersebut? Mengapa bentuk-bentuk filantropi tersebut hingga saat ini belum mewujudkan tujuan utamanya? Keadilan sebagai sebuah konsep dapat dipahami dalam dua pengertian: (1) sebagai keseimbangan antara penghargaan dan pekerjaan yang telah dilakukan seseorang, yang biasanya disebut dengan ‚commutative justice,‛ dan (2) sebagai penghargaan yang sama bagi setiap orang untuk suatu pekerjaan yang sama. 111 Ini
105
Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 159. Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 162; Jennifer Bremmer, “Islamic Philanthropy,” 12. Jennifer Bremmer, “Islamic Philanthropy,” 12-13. 108 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 160. 109 Dallal, “The Islamic Institution of Waqf,” 37. 110 Di antara beberapa negara Arab yang telah mengesahkan undang-undang wakaf adalah sebagai berikut. Aljazair, Mesir, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Turki, Syria dan Yaman. Secara lebih detil tentang undang-undang di negara-negara ini, lihat A. Layish, “Wakf in Modern Middle East and Africa,” dalam The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 78-81. Adapun negara-negara non-Arab yang telah mengundangkan wakaf secara khusus meliputi India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan lain sebagainya. Lihat G.C. Kozlowski, “Wakf in India to 1900,” dalam The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 95-97 dan M.B. Hooker, “Wakf in Southeast Asia,” 11: 97-98. 111 Lihat, misalnya, Bryan A. Garner (ed. in-chief), Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson, 2004), 881. 106 107
Islam, Negara, dan Filantropi
39 tercermin, misalnya, dalam ungkapan wad}‘u al-shay’ fi> mah}allih (‚menempatkan sesuatu pada tempatnya‛) yang sering ditemukan dalam buku-buku fiqh.112 Sebenarnya, dalam Islam, persoalan keadilan ini dapat dianalisis melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan politis, teologis, filosofis, etis, hukum dan lain sebagainya.113 Terlepas dari berbagai pendekatan ini, Fazlur Rahman 114 menegaskan bahwa keadilan sosial merupakan tujuan utama diturunkannya AlQuran, mengingat keadilan merupakan pilar bagi tegaknya masyarakat yang etis dan egaliter di muka bumi. Hal itu ditunjukkan dengan celaan Al-Quran terhadap masyarakat Mekah, yang menjunjung ketidakadilan ekonomi dan sosial di dalamnya. Lebih jauh, celaan tersebut juga sebagai respon terhadap ekploitasi kaum lemah demi keuntungan ekonomi orang kaya, di samping praktik kecurangan dalam perdagangan. Jadi, di balik celaan tersebut keadilan sosial merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam masyarakat sesuai dengan seruan Al-Quran. Akan tetapi, pembahasan mengenai keadilan sosial ini tidak memeroleh perhatian yang sepatutnya dari para sarjana teologi Muslim. Hal ini terlihat dari banyaknya pembahasan tentang keadilan yang berpusat pada Tuhan atau individu. Pembahasan tentang keadilan Tuhan, misalnya, telah menguras perhatian para teolog, tetapi perhatian serupa tidak diberikan pada keadilan sosial. 115 Akibatnya, institusi-institusi yang menjadi prasyarat bagi keadilan sosial agak terabaikan. Sebenarnya, keadilan sosial juga menjadi perhatian serius dari para sarjana sosial Muslim. Menurut Majid Khadduri, berbeda dengan para teolog dan filosof yang cenderung menekankan pendekatan deduktif, beberapa sarjana Islam lain justru lebih menekankan induktif, sehingga kelompok yang terakhir ini memiliki konsepsi tentang keadilan sosial yang lebih nyata, seperti tercermin dalam pemikiran Ibn Taymiyah. Seperti ditegaskan Khadduri, Ibn Taymiyah menekankan hal-hal universal—yang tidak ditemukan dalam kitab suci—harus didasarkan pada praktik dan kebiasaan yang ada, dan ini berarti sebanding dengan metode induksi yang digagas Aristoteles. 116 Lebih jauh, Ibn Taymiyah, seperti beberapa pemikir pendahulunya, percaya bahwa tujuan syariah adalah kemaslahatan bersama ( mashlah}ah), yang tidak lain adalah keadilan sosial itu sendiri. Karena itu, ia berasumsi bahwa kemaslahatan bersama atau keadilan sosial adalah pilar negara, yang jika tidak ditegakkan akan meruntuhkan negara itu sendiri.117 Tidak heran kalau ia berasumsi bahwa keadilan sosial merupakan tiang bagi tegak dan kukuhnya negara meskipun dipimpin oleh orang kafir, dan tanpanya negara akan runtuh meskipun dipimpin orang Muslim. Kemaslahatan bersama sebagai tujuan syariah itu ditekankan lebih jauh oleh al-Thufi, yang menegaskan bahwa semua keputusan hukum harus didasarkan pada 112 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, 2006), 11. 113 Untuk pembahasan tentang berbagai pendekatan terhadap keadilan tersebut, lihat Majid Khadduri, Islamic Conception of Justice (Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1984). 114 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, 54-56. 115 Sukron Kamil, ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqh: Problem dan Solusi,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam , ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju, 2003), 46-47. 116 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 179. 117 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 181.
Bab II
40 tujuan tersebut. Bahkan, seandainya kemaslahatan publik itu berlawanan dengan sumber kitab suci, yang pertama harus didahulukan. Dengan penekanan semacam itu, konsep keadilan sosial menurut al-Thufi berkarakter positif, karena dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan membendung kejahatan sosial (mafsadah).118 Konsep keadilan sosial juga dikemukakan oleh Ibn Khaldun. Seperti dikemukakan Khadduri, Ibn Khaldun berpandangan bahwa keadilan sosial harus berbasis norma dan praktik yang telah berkembang dalam masyarakat Islam. Namun, apa yang dilihatnya adalah terbengkalainya hukum yang sudah semestinya dapat menopang keadilan sosial itu. Atas dasar itu, ketika menjabat sebagai hakim di Mesir, yang menjadi perhatian utamanya adalah mereformasi prosedur pengadilan dan menerapkannya dengan tegas. Karena itu, Khadduri menyebut keadilan sosial, bagi Ibn Khaldun, adalah tegaknya keadilan hukum dalam masyarakat. Kata Khadduri, ‚his earnest effort [is] to pursue procedural justice almot to perfection.‛119 Belakangan ini, pembahasan tentang keadilan sosial dibahas secara sistematis oleh John Rawls melalui karyanya A Theory of Justice. Rawls mengawali pembahasannya tentang hakikat masyarakat yang didefinisikan sebagai ‚an organic whole with a life of its own distinct from and superior to that of all its members in their relations with one another.‛120 Di sini Rawls tampaknya menempatkan masyarakat melampaui individu-individu, sehingga yang kedua harus tunduk pada yang pertama. Meskipun demikian, individu-individu terlebih dahulu memeroleh kesempatan untuk memilih dan menyepakati apa saja yang akan menjadi prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Karena itu, keadilan pada dasarnya adalah ‚pendistribusian seluruh nilai sosial—kebebasan dan peluang, pendapatan dan kekayaan, di samping dasar-dasar sosial harga diri— secara sama; kalaupun pendistribusian itu tidak sama, hal itu harus tetap menjadi keuntungan (advantage) bagi setiap orang.‛121 Dari sini kemudian Rawls mendefinisikan keadilan sosial sebagai ‚the virtue of practices where there are competing interests and where persons feel entitled to press their rights on each other.‛122 Di sini terlihat bahwa keadilan sosial bukanlah praktik yang menghapuskan perbedaan kepentingan, tetapi bagaimana perbedaan kepentingan itu, baik secara politis, ekonomis maupun sosial, dalam sebuah masyarakat dikelola dengan bijaksana. Dengan kata lain, persaingan kepentingan individu merupakan fakta yang tak terhindarkan, namun pada saat yang sama setiap individu memeroleh kesempatan untuk mengekspresikan dan mewujudkan hak-haknya. Agar keadilan sosial tersebut dapat berjalan kokoh, maka harus ada prinsipprinsip yang mendasarinya, yaitu kebebasan ( liberty), kesamaan (equality) dan solidaritas (solidarity). Rawls menegaskan bahwa kebebasan bagi semua merupakan prasyarat bagi keadilan, di mana setiap orang berhak mengekspresikannya sejalan dengan sistem kebebasan bagi semua. Pembatasan terhadap kebebasan hanya boleh dilakukan demi kebebasan itu sendiri. Karena itu, 118
Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 181-182. Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 188-189. John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge-Harvard: Harvard University Press, 1999), 233-34. 121 John Rawls, A Theory of Justice, 54. 122 John Rawls, A Theory of Justice, 112. 119 120
Islam, Negara, dan Filantropi
41 kebebasan yang kurang luas (less extensive liberty) harus mendukung seluruh sistem kebebasan yang dimiliki oleh semua individu, dan pada saat bersamaan, kebebasan yang kurang setara (less than equal liberty) dapat diterima oleh mereka yang kurang memiliki kebebasan. 123 Kebebasan ini meliputi kebebasan berpolitik, berbicara, berpendapat, di samping kebebasan dari tekanan psikologis dan serangan fisik, serta kebebasan untuk memiliki kekayaan pribadi dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang.124 Adapun yang dimaksud dengan kesamaan (equality) di sini adalah ‚equal consideration of humanity‛ (perlakuan yang sama terhadap manusia). 125 Di sini, setiap individu harus diperlakukan sama baik dalam masalah prosedur (procedural presumption) maupun kesempatan (opportunity). Seperti ditegaskan oleh Rawls, ‚[S]ocial and economic inequalities are to be arranged so that they are both … attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity.‛126 Meskipun demikian, Rawls mengakui bahwa kedua prinsip di atas tetap tidak dapat menghilangkan ketidakadilan. Dia menegaskan, ‚[T]he equal moral worth of persons does not entail that distributive shares are equal. Each is to receive what the principles of justice say he is entitled to, and these do not require equality.‛127 Untuk itu, diperlukan prinsip ketiga, yaitu solidaritas. Rawls melihat bahwa solidaritas merupakan konvensi politik dari masyarakat demokratis yang mengedepankan kepentingan bersama. Karena itu wajar jika masyarakat yang demikian itu ingin memberikan perhatian terhadap kelompok yang kurang beruntung dan meningkatkan kesejahteraan jangka panjang mereka sebaik mungkin, namun tetap sejalan dengan prinsip kebebasan yang setara dan kesempatan yang terbuka. Pendeknya, solidaritas adalah kepanjangan dari sistem demokrasi yang berkeinginan untuk mencapai konsepsi keadilan yang seutuhnya.128 Rawls menegaskan bahwa semua prinsip keadilan sosial di atas baru bisa diwujudkan jika didukung oleh institusi sosial (social institution) dan lembaga inilah yang sesungguhnya menjadi subjek keadilan sosial. Baginya, menegakkan keadilan berarti membentuk lembaga yang adil, yang menjunjung tinggi kesamaan. Di sini diperlukan institusi di mana ‚no arbitrary distinctions are made between persons in the assigning of basic rights and duties and when the rules determine a proper balance between competing claims to the advantages of social life.‛129 Mengingat institusi tertinggi `adalah negara, maka struktur politik menjadi sine qua non bagi keadilan sosial. Rawls melihat bahwa ada empat tahap bagi negara untuk mewujudkan keadilan sosial: filosofis, konstitusional, legislatif dan administratif. Pertama-tama, negara harus didasarkan pada keadilan yang menjadi cita-cita individu anggotanya berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya, negara harus menjamin prinsip-prinsip keadilan sosial yang telah disebutkan di 123
John Rawls, A Theory of Justice, 266. John Rawls, A Theory of Justice, 53. 125 John Rawls, A Theory of Justice, hlm. 462. 126 John Rawls, A Theory of Justice, 266. 127 John Rawls, A Theory of Justice, 275. 128 John Rawls, A Theory of Justice, 280-81. 129 John Rawls, A Theory of Justice, 5-6. 124
Bab II
42 atas melalui konstitusi, yang menjadi dasar negara. Sebab, sebuah sistem politik, tegas Rawls, tidak dapat disebut adil tanpa memasukkan prinsip-prinsip kebebasan, kesamaan dan solidaritas. 130 Pada tahap legislasi akan terlihat bagaimana kebijakan negara dalam mewujudkan keadilan sosial, apakah memenuhi harapan kaum yang kurang beruntung atau tidak. Terakhir, pada tahap administratif, negara harus menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah diundangkan baik dalam ranah politik maupun ekonomi.131 Konsepsi keadilan sosial yang dipaparkan oleh Rawls di atas tampaknya dapat memberikan jawaban atas pertanyaan kedua yang diajukan di awal sub-bab ini. Keadilan sosial ternyata memiliki dimensi yang sangat luas, yang tidak hanya menyangkut kemiskinan ekonomi, tetapi juga melibatkan struktur politik. Karena itu, keadilan sosial sulit diwujudkan oleh filantropi Islam, apalagi jika dananya hanya diberikan dalam bentuk karitas kepada masyarakat yang kurang beruntung. Lebih jauh, kontribusi yang diberikan juga digunakan untuk kepentingan sesaat, tanpa ada tujuan jangka panjang bagaimana menghapus kemiskinan sosial itu sendiri.132 Meskipun demikian, filantropi Islam tetap berperan penting bagi penguatan sejumlah pranata keadilan sosial, di antaranya melalui civil society. Yang demikian itu pernah ditunjukkan dalam sejarah Islam, seperti di Persia. Menurut Arjomand, banyak sekali program pendidikan, kesehatan, dan pemondokan yang dibiayai oleh dana filantropi. Dengan majunya lembaga-lembaga itu, civil society menjadi kuat dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga yang didanai oleh penguasa. Tidak hanya itu, kuatnya lembaga filantropi terbukti dapat memengaruhi kebijakan negara.133 Sebagai sebuah lembaga yang berada di luar struktur negara, civil society dapat memainkan peran bagi keamanan sosial ( social security),134 yang meliputi kebutuhan makan, kesehatan dan pendidikan umat, di samping bagi penguatan hak asasi manusia, pendidikan, demokrasi, multikulturalisme dan lain sebagainya.135 Di Mindanao, misalnya, wakaf dimanfaatkan tidak semata-mata dalam bentuk karitas, tetapi juga untuk mendukung civil society yang mendorong penguatan kewarganegaraan dan demokrasi.136 Sementara itu, di Pakistan, filantropi Islam digunakan oleh civil society untuk perbaikan legislasi yang ditetapkan negara tentang filantropi itu sendiri, di samping kepentingan umum lainnya, seperti pendidikan, layanan kepada umat dan lain sebagainya. 137 Fungsi filantropi Islam tampaknya dapat diperlebar ke masalah-masalah lain, mengingat persoalan yang mengitari keadilan sosial juga tidak sedikit, seperti pemberdayaan 130
John Rawls, A Theory of Justice, 173. John Rawls, A Theory of Justice, 175. Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim, eds., Filantropi Islam dan Keadilan Sosial, 98. 133 Said Amir Arjomand, ‚Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam pra-Modern,‛ dalam Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, eds., Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, 129-132. 134 Samiul Hasan, ‚Muslim Philanthropy and Social Security: Prospects, Practices and Pitfalls,‛ paper disampaikan pada 6th ISTR Biennial Conference, Bangkok, 9-12 July 2009, 4-5. 135 Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ xxix. 136 Lihat Michael O. Mastura, ‚The Making of a Civil Society through Waqf Institution in Mindanao,‛ dalam Islam and Civil Society in Southeast Asia, ed. Nakamura Mitsuo et.al. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001), 17-34. 137 Andrew White, ‚The Role of Islamic Waqf in Strengthening South Asian Civil Society: Pakistan as Case Study,‛ International Journal of Civil Society Law, vol. 4, no. 2 (April 2006): 24-25. 131 132
Islam, Negara, dan Filantropi
43 perempuan dan kesetaraan gender, serta bentuk-bentuk kesetaraan lainnya, seperti pembelaan terhadap kaum minoritas dan sebagainya. 138 Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa filantropi Islam dengan berbagai aspeknya bertujuan pada keadilan sosial. Akan tetapi, mengingat keadilan sosial itu sendiri memiliki berbagai dimensi, tidak mungkin seluruhnya saat ini dapat ditanggulangi oleh filantropi Islam. Karena itu, filantropi Islam memiliki peran strategis dalam melapangkan jalan bagi perwujudan keadilan sosial melalui civil society, di antaranya dengan tujuan penegakan hukum dan kebijakan yang mendorong keadilan sosial. D.
Negara dan Filantropi Islam Seperti disinggung dalam bab sebelumnya, masalah filantropi Islam terbukti tidak dapat dipisahkan dari negara. Untuk menunjukkan hal itu, dalam sub-bab ini akan diuraikan pola hubungan antara kedua entitas ini di beberapa negara Muslim. Akan tetapi, pembahasan ini dibatasi pada empat negara Muslim, yang meliputi Turki, Arab Saudi, Mesir dan Malaysia. Sebagaimana dimaklumi, 1924 merupakan tahun berdirinya Turki sebagai negara republik, sebagai ganti dari Turki ‘Uthmani yang berbentuk khilafah. Perubahan ini berdampak sangat signifikan terhadap masalah wakaf, mengingat penghapusan sistem khilafah itu dibarengi dengan penghapusan Kementeriaan Agama (sheri>‘at). Akibatnya, masalah wakaf tidak lagi memiliki administrasi dan hukum tersendiri, melainkan dimasukkan ke dalam sistem umum negara yang menganut ideologi sekular.139 Meskipun demikian, secara konstitusional, ideologi sekular tersebut belum tampak jelas dalam Konstitusi Tahun 1924, mengingat Pasal 2 justru menyebutkan bahwa ‚Islam adalah agama negara.‛ 140 Ideologi itu secara eksplisit terdapat dalam Konstitusi 1961, yang menegaskan bahwa ‚Republik Turki adalah negara nasionalis, demokratis, sekular dan sosial yang diperintah berdasarkan hukum, didasarkan pada hak asasi manusia dan ajaranajaran dasar yang tertera dalam pembukaan konstitusi.‛ 141 Ini diperkuat oleh Konstitusi Tahun 1982 Pasal 2 juga. Lebih jauh, dua konstitusi terakhir ini tidak lagi mencantumkan Islam sebagai agama negara, seperti hal itu disebutkan dalam Konstitusi 1924. Akibat sekularisasi ini, masalah wakaf kemudian berada di bawah kewenangan General Directorate of Foundation, di bawah pengawasan langsung Perdana Menteri.142 Pada saat yang sama, masalah-masalah wakaf tidak lagi diatur melalui undang-undang agama (fikih), tetapi melalui undang-undang sipil. 138
Sami Hasan, ‚Muslim Philanthropy and Social Security‛; lihat juga Maria Ulfah Anshory, ‚Filantropi Islam dan Penguatan Hak Asasi Manusia,‛ dan Nursyahbani Katjasungkana, ‚Filantropi Islam dan Gerakan Hak Asasi Manusia di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua, 113-128 dan 129140. 139 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ dalam The Encyclopedia of Islam, ed. P.J. Bearman et.al. (Leiden: Brill, 2000), 11: 91. 140 Edward Mead Earle, ‚The New Constitution of Turkey,‛ Political Science Quarterly, 40: 1 (1925), 89. 141 Lihat ‚Constitution of Turkish Republic,‛ trans. by Sadik Balkan et. al. for the Committee of National Unity (Ankara, 1961), pasal 2. 142 Faik Ahmet Sesli, ‚Foundation Administration and Foundation Landownership in Turkey form Past to Present,‛ African Journal of Business Management, 4:9 (2010), 1772.
Bab II
44 Meskipun demikian, perkembangan wakaf di Turki masih sangat besar, yang ditunjukkan dengan adanya wakaf yang mencapai 4.449 antara 1967 dan 1985. 143 Undang-undang Sipil Turki (Turkish Civil Code) Tahun 2001 memberikan perhatian pada masalah wakaf (foundation) secara umum dalam Bagian III, yang mengatur seluk beluk wakaf, seperti tujuan wakaf, benda apa saja yang bisa diwakafkan, kegiatan lembaga wakaf dan lain sebagainya. Lebih jauh, undangundang ini tidak membicarakan secara spesifik wakaf dari perspektif Islam, sebaliknya mengatur seluruh wakaf dari berbagai penganut agama. 144 Ini menunjukkan bahwa wakaf tidak memiliki undang-undang tersendiri, tetapi hanya menjadi bagian dari undang-undang sipil. Sementara itu, seluruh administrasi penyelenggaraan wakaf tetap berada di bawah General Directorate of Foundation. Baru pada 2004, rancangan undang-undang tentang wakaf diajukan oleh General Directorate of Foundation untuk disahkan. Adapun alasan pengajuan ini, antara lain, adalah harmonisasi undang-undang, mengingat undang-undang tentang wakaf selama ini masih terpisah-pisah di berbagai undang-undang. Di samping itu, undang-undang tentang wakaf ini diperlukan mengingat ketentuanketentuan yang ada selama ini sangat terbatas dan tidak memadai. Terakhir, di Turki terdapat banyak lembaga wakaf non-Muslim yang kurang terakomodasi dalam peraturan yang ada, dan pada saat yang sama tuntutan akan hak minoritas mengemuka bersamaan dengan bergabungnya Turki ke Uni Eropa. Karena itu, diperlukan undang-undang wakaf yang baru.145 Rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh parlemen Turki pada 20 Februari 2010 sebagai Undang-undang No. 5737.146 Dalam undang-undang ini, wakaf tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi disamakan dengan yayasanyayasan pada umumnya. Karena itu, yang dibicarakan di dalamnya meliputi ketentuan-ketentuan yang mengatur pendirian, aset dan operasionalisasi, kekayaan yayasan yang bergerak dan tak bergerak, struktur organisasi, tanggung jawab, hingga pembubaran sebuah yayasan. 147 Undang-undang ini dapat dikatakan mirip dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan di Indonesia.148 Dari uraian di atas terlihat bahwa Turki tidak memiliki undang-undang yang secara spesifik mengatur zakat dan wakaf, tetapi keduanya dimasukkan ke dalam undang-undang tentang yayasan. Ini tidak dapat dipisahkan dari ideologi negara yang sekular, di mana persoalan agama, seperti zakat dan wakaf, hanya diatur secara umum saja. Bertolak belakang dengan Turki, Arab Saudi merupakan negara yang melibatkan diri dalam pengelolaan filantropi, terutama zakat. Ini dilakukan bersamaan dengan dijadikannya Al-Quran dan Sunnah sebagai konstitusi 143 Filiz Bikmen, ‚The Rich History of Philanthropy in Turkey: A Paradox of Tradition and Modernity,‛ dalam Philanthropy in Europe: A Rich Past, A Promising Future , ed. Norine Mac-Donald and Luc Tayart de Borms (London: Alliance Publishing Trust, 2008), 228. 144 Lihat Turkish Civil Code, Pasal 101-117. 145 Filiz Bikmen, “Progress on Civil Society Legislation in Turkey,” International Journal of Notfor-Profit Law, 7:2 (2005), 77-78. 146 Filiz Bikmen, “A Move in the Right Direction, But Not the Destination: Turkey’s New Foundation Law,” International Journal of Not-for-Profit Law, 10:3 (2008), 92. 147 Lihat “New Law of Foundation is in Effect,” dalam http://www.tusev.org.tr/content/detail.aspx?cn=318&c=68 (diakses 12 Januari 2011). 148 Lihat UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Islam, Negara, dan Filantropi
45 negara.149 Kedudukan dua sumber utama Islam ini sebagai dasar negara menunjukkan bahwa Arab Saudi merupakan negara yang menerapkan syariat Islam,150 apalagi disebutkan dalam Pasal 1 konstitusi ini bahwa agama resmi negara adalah Islam. Salah satu persoalan ibadah yang disebutkan dalam konstitusi ini adalah zakat, di mana Pasal 21 mengatakan bahwa ‚Zakat diwajibkan dan didistribusikan kepada mereka yang berhak sesuai dengan syariah.‛151 Sebaliknya, pajak, yang umumnya menjadi kewajiban warganegara di negara lain, tidak diwajibkan di sini, kecuali jika dibutuhkan dan harus didasarkan pada keadilan, yang pelaksanaannya harus ditetapkan melalui ketentuan. 152 Sejalan dengan itu, maka dikeluarkanlah Keputusan Raja No. 17/2/28/8634 tertanggal 29 J. Tsani 1370/17 April 1951 yang mewajibkan zakat atas individu atau perusahaan yang berkebangsaan Arab Saudi. 153 Berdasarkan keputusan tersebut, pengelolaan zakat di negara ini berada di bawah sebuah departemen yang disebut Mas}lah}at al-Zaka>t wa al-Dakhl dalam lingkup Kementerian Keuangan. Berpusat di Riyadh, departemen ini memiliki 10 cabang yang berada di wilayahwilayah Riya>d}, Jeddah, al-Damma>m, Makkat al-Mukarramah, Madi>nat alMunawwarah, T{a>’if, Tabu>k, Ihsa>’ dan Qas}i>m. 154 Lebih jauh, Kementerian Keuangan juga mengeluarkan keputusan yang berisi ketentuan-ketentuan zakat, yang terdiri dari 20 pasal. Pasal-pasal ini mengatur secara tegas siapa saja yang harus mengeluarkan zakat, apa saja yang harus dizakati, dan sebagainya. 155 Lebih jauh, Muslim tidak wajib mengeluarkan pajak. Akan tetapi, pembayaran zakat dapat mengurangi wajib pajak, jika yang terakhir ini dikenakan kepada mereka, terutama para pengusaha atau pemilik perusahaan. Jika mereka tidak membayar zakat, maka sanksi administratif akan diberikan, seperti tidak boleh melakukan bisnis di negara ini atau tidak boleh mengikuti tender yang dilakukan oleh pemerintah.156 Selanjutnya, dana zakat yang terkumpul oleh Kementerian Keuangan dan Ekonomi akan diserahkan kepada Kementerian Kesejahteraan Sosial. 157 Kementerian inilah yang kemudian mendistribusikan zakat kepada mereka yang 149 Lihat al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah, Maba>di’ al-Dawlah, Wuza>rat alKha>rijiyyah, pasal 1. Lihat juga, Ah}mad ‘Ali ‘Abd Alla>h, ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa al-Amwa>l al-Zakawiyyah: Jumhu>riyyat al-Su>da>n wa al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah,‛ dalam al-It}a>r al-Mu’assisi> li al-Zaka>h: ’Ab‘a>duh wa-Mad}a>mi>nuh, ed. Bu>‘alla>m ibn Jala>li> dan Muh}ammad al-‘Ilmi> (Jeddah: IRTI-IDB, 2001), 177. 150 Tentang penerapan syariat Islam di Arab Saudi, lihat Frank Vogel, Islamic Law and Legal System in Saudi (Leiden: Brill, 2004). 151 Pasal tersebut berbunyi: شجدٗ تنزكثذ ٔشُفك فٗ يصثسفٓث تنششعير 152 Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah, Maba>di’ al-Dawlah, Wuza>rat al-Kha>rijiyyah, pasal 20 yang berbunyi sebagai berikut:.الشفشض تنعشتبح ٔتنشصٕو إال عُذ تنذثجر ٔعهٗ أصثس يٍ تنعذل 153 Mas}lah}at al-Zaka>h wa al-Dakhl li-Wuza>rat al-Ma>liyyah, ‚Ta‘li>ma>t Jiba>yat Zaka>t ‘Aru>d} alTija>rah,‛ dalam http://www.dzit.gov.sa/en/index/shtml (diakses 13-01-2011); lihat juga ‘Uthma>n H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i> al-Isla>mi> (Mans}urah: Da>r al-Wafa>’ li al-T{iba>‘ah wa al-Nashr, 1989), 206. 154 Mas}lah}at al-Zaka>h wa al-Dakhl li-Wiza>rat al-Ma>liyyah, ‚Ta‘li>ma>t Jiba>yat Zaka>t ‘Aru>d} alTija>rah.‛ 155 Tentang harta-harta yang harus dizakati dan tidak dizakati, serta metode pengumpulannya, lihat Ah}mad ‘Ali> ‘Abd Alla>h, ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa al-Amwa>l al-Zakawiyah,‛ 178-179. 156 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, “Saudi Arabia: A Case Study,” dalam Institutional Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 415-416. 157 “Zakat Decree,” dalam http://www.dzit.gov.sa/index.shatml (diakses 15 Januari 2011).
Bab II
46 berhak menerimanya di berbagai daerah di kerajaan ini. Dari sini terlihat bahwa keterlibatan negara Arab Saudi dalam pengelolaan zakat bersifat total, dari pemungutan hingga pendistribusiannya. Berbeda dengan dua negara di atas, Mesir adalah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi tidak menyatakan secara eksplisit sebagai negara Islam atau sekular. Meskipun demikian, Islam diakui sebagai agama resmi negara dan prinsip-prinsip syariah berkedudukan sebagai sumber utama legislasi. 158 Dengan kata lain, undang-undang negara bersumber, terutama, pada prinsip-prinsip syariat Islam dan karenanya hingga batas tertentu dapat disebut sebagai hukum Islam itu sendiri.159 Atas dasar itu, persoalan filantropi Islam, khususnya wakaf, telah lama memeroleh perhatian negara jika dilihat dari segi perundang-undangan. Ini tidak dapat dipisahkan dari kepentingan politik penguasa atas dasar kebijakan yang diambilnya. Menurut Daniela Pioppi, ketika penguasa beridologi sosialis, seperti Naser, wakaf ahli dihapus dan dilakukan nasionalisasi, sementara Anwar Sadat justru merehabilitasi institusi wakaf sehingga memeroleh dukungan dari umat Islam. Di bawah kekuasaan Mubarak, wakaf, terutama masjid, ditransformasikan menjadi sumber-sumber kesejahteraan. Ini dilakukan, di antaranya, dengan menjadikan semua masjid sebagai masjid ja>mi‘ (bisa digunakan untuk shalat Jumat), sehingga bisa digunakan untuk berbagai kegiatan seperti layanan kesehatan, pelatihan ketrampilan dan lain sebagainya. 160 Terlepas dari aspek politis tersebut, undang-undang yang pertama tentang wakaf adalah UU No. 48 Tahun 1946, yang secara garis besar menetapkan bahwa wakaf harus terdaftar, untuk tujuan umum dan penghasilannya harus diperoleh secara halal. Lebih jauh, undang-undang ini membolehkan non-Muslim untuk berwakaf asalkan dilakukan sesuai dengan syariat Islam atau hukum non-Muslim. Di samping itu, undang-undang ini juga membatasi besarnya wakaf, yang tidak boleh melebihi sepertiga kekayaan seseorang, kecuali jika para pewarisnya menyetujuinya.161 Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan sejumlah undangundang, seperti UU No. 180 Tahun 1952 tentang Penghapusan Wakaf Keluarga atau Non-khayri (ilgha>’ niz}a>m al-waqf ‘ala> ghayr al-khayra>t), yang diperbaharui dengan UU No. 272 Tahun 1959 tentang Pembentukan Kementerian Wakaf. Menurut UU ini, Kementerian Wakaf (wiza>rat al-awqa>f) berhak mendistribusikan wakaf—termasuk tunai—ke wilayah manapun tanpa harus dibatasi oleh wilayah asal usul wakaf tersebut. Ini berarti penggunaan wakaf tidak terbatas pada tujuan awal yang ditetapkan oleh wakif pada wilayah tertentu. Kementerian ini juga
158 Majlis al-Sha‘b Jumhu>riyyat al-Mis}r, Dustu>r Jumhu>riyyat Mis}r al-‘Arabiyyah, Pasal 2. Pasal ini berbunyi sebagai berikut: . ٔيدثدئ تنششيعر تإلصاليير تنًصذس تنشبيضٗ نهصششيع، ٔتنهغر تنعشخير نغصٓث تنشصًير،تإلصالو ديٍ تنذٔنر 159 Lihat, misalnya, William E. Shepard, “Muhammad Said al-Ashmawi and the Application of the Sharia in Egypt,” International Journal of Middle East Studies, 28:1 (February, 1996): 39-58; Clark Benner Lombardi, State Law as Islamic Law in Modern Egypt (Leiden: Brill, 2006). 160 Daniela Pioppi, “From Religious Charity to the Welfare State and Back: The Case of Islamic Endowment Revival in Egypt,” Working Paper No. 2004/34 (Florence: European University Institute, 2004), 2-5. 161 “Waqf in Egypt,” dalam http://www.nefdev.org/phil/en/page.asp?pn=23#full (diakses 20 Januari 2011).
Islam, Negara, dan Filantropi
47 menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang mengawasi wakaf secara menyeluruh.162 Selanjutnya, pada 1962 dikeluarkan UU No. 44 tentang Penyerahan Wakaf yang Dikelola oleh Kementerian Wakaf kepada Badan Umum Reformasi Agraria dan yang paling mutakhir adalah UU No. 80 Tahun 1971 tentang Pembentukan Badan Wakaf Mesir (Insha>’ Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah).163 Berdasarkan UU ini, BWM bertugas mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. 164 UU ini juga membolehkan lembaga ini untuk mengambil 15% dari keseluruhan keuntungan pengelolaan benda-benda wakaf.165 Dari uraian di atas terlihat bahwa meskipun bukan negara Islam, Mesir banyak melibatkan diri dalam masalah filantropi Islam, khususnya wakaf. Ini terjadi tidak saja karena undang-undang yang dikeluarkannya, tetapi dilakukan dengan pembentukan kementerian khusus, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan badan wakaf yang mengelola dan mengembangkannya, serta menditribusikannya bagi masyarakat. Seperti Mesir, Malaysia menjadikan Islam sebagai agama negara pada tingkat federasi,166 meskipun Muslim bukanlah penduduk mayoritas di negeri ini dibandingkan dengan non-Muslim secara keseluruhan. Lebih jauh ditegaskan dalam konstitusinya bahwa setiap kepala negara bagian memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama di wilayahnya.167 Ini menimbulkan kebijakan yang berbeda-beda antara satu negeri (negara bagian) dengan negeri lainnya dalam masalah-masalah keislaman, yang umumnya ditangani oleh Majelis Ugama. Hal itu terlihat dengan jelas dalam masalah filantropi Islam, terutama zakat dan wakaf. Masalah zakat, misalnya, merupakan kewenangan masing-masing negeri untuk mengaturnya, baik dalam hal benda-benda yang harus dizakati maupun sanksi bagi muzakki yang tidak membayarnya. Sebagai contoh, di Kedah, zakat yang harus dibayarkan ke Kantor Zakat hanyalah zakat atas hasil pertanian, sementara zakat fitrah diserahkan kepada muzakki untuk menyalurkannya secara langsung kepada mustahik. Sementara itu, di Kelantan, 2/3 dari seluruh jenis zakat harus diserahkan ke Kantor Zakat, baru 1/3-nya dibebaskan untuk didistribusikan kepada mustahik secara individual.168 Dalam masalah sanksi juga demikian. Bagi muzakki di Kedah yang lalai membayar zakat, ia akan dikenakan denda sebagai RM. 500,- bagi zakat selain zakat fitrah atau penjara selama 6 bulan, sementara muzakki diserawak jika melakukan hal yang sama akan didenda dengan RM. 200,- untuk non-fitrah dan RM. 25,- untuk zakat fitrah saja dan tidak ada ganti penjara. Sementara itu, di Selangor, sanksi yang terapkan adalah RM. 100,- atau penjara selama 7 hari, sedangkan di Perak sanksinya berupa denda RM. 500,- atau kurungan selama 6 bulan.169 “Waqf in Egypt.” Lihat “Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971.‛ 164 Lihat Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971, Pasal 2. 165 Lihat Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971, Pasal 6. 166 Federal Constitution of Malaysia, Pasal 3 ayat (1). 167 Federal Constitution of Malaysia, Pasal 3 ayat (2). 168 Mohamed bin Abdul Wahab, et. al., “Malaysia: A Case Study,” dalam Institutional Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 309. 169 Mohamed bin Abdul Wahab, et. al., “Malaysia: A Case Study,” 360. 162 163
Bab II
48 Dalam bidang wakaf, perbedaan juga menjadi tak terelakkan. Dalam legislasi, misalnya, antara satu negeri dengan yang lain mengalami perbedaan baik dalam tahun maupun isinya. Undang-undang Wakaf disahkan pertama-tama di Serawak pada 1954, yang diikuti oleh Kedah pada 1962 dan Perlis pada 1964. Johor baru mengesahkan undang-undang pada 1978 dan Terengganu pada 1986. Negeri-negeri yang lain umumnya setelah tahun 1990.170 Seperti zakat, wakaf di Malaysia dikelola oleh masing-masing Majelis Ugama yang ada di setiap negeri. Mereka bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengembangan wakaf. Mengingat kebanyakan wakaf berupa masjid, makam dan benda-benda tidak bergerak lainnya, ini menimbulkan persoalan pendanaan, baik bagi pemeliharaan maupun pengembangannya. Dengan kata lain, wakaf yang ada kebanyakan tidak dapat mendatangkan pemasukan. 171 Dari sini terlihat, bahwa negara Malaysia terlibat dalam masalah filantropi Islam—zakat dan wakaf—baik dalam bidang pengelolaan dan pengembangannya. Akan tetapi, keterlibatan itu tidak secara langsung oleh negara, tetapi oleh negara-negara bagian. Dari uraian di atas, keempat negara ini memiliki perbedaan keterlibatan dalam bidang filantropi Islam. Jika Arab Saudi melibatkan diri secara total, Turki mungkin dapat dikatakan paling jauh dari total. Sebaliknya, Mesir dan Malaysia, yang sama-sama menjadikan Islam sebagai agama negara, menunjukkan keterlibatan yang berbeda. Dalam hal wakaf, keterlibatan Mesir lebih besar dibandingkan dengan Malaysia, karena yang terakhir ini tidak terlibat secara langsung, sedangkan yang pertama terlibat secara langsung.
170
Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 2006), 57-58. 171 Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 90.
Islam, Negara, dan Filantropi
BAB III KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT Dalam bab sebelumnya telah diuraikan secara umum filantropi dan hubungannya dengan negara, baik secara konseptual maupun secara praktis. Dalam bab ini, masalah tersebut akan dibahas secara lebih terperinci, dengan perhatian khusus pada pelaksanaan zakat di Indonesia dan keterlibatan negara di dalamnya. Pembahasan diawali dengan kondisi peraturan zakat sebelum disahkannya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, proses legislasi dan implikasi dari undang-undang tersebut. Dengan begitu diharapkan keterlibatan negara dalam masalah zakat dapat terlihat secara gamblang. A.
Pengaturan Zakat di Indonesia Menurut Norman Anderson,1 hukum Islam tampaknya telah dilaksanakan di wilayah-wilayah Muslim sebelum kedatangan penjajah Barat. Sebab, penggantian hukum Islam dengan hukum non-Islam baru berlangsung bersamaan dengan kehadiran bangsa-bangsa Eropa yang menjajah wilayah-wilayah Islam, yaitu sekitar 200 tahun yang lalu. Ini mengisyaratkan bahwa sebelum itu sesungguhnya hukum Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari Muslim, baik pada tingkat individu maupun sosial. Mengingat masyarakat Nusantara sebelum kedatangan penjajah telah memeluk agama Islam dan sejumlah kerajaan Islam telah berdiri, dapat dipastikan bahwa hukum Islam juga telah berlaku di negeri kepulauan ini jauh sebelum kedatangan Belanda. Ini ditunjukkan, di antaranya, dengan ditemukannya sebuah fragmen yang berisi ketentuan hukum pada abad ke-14 di Trengganu. Tentu saja yang dimaksud dengan hukum di sini adalah hukum Islam, yang kemungkinan diterapkan pada daerah yang sebelumnya tidak memeluk Islam, mengingat penggunaan istilahistilah Sanskerta lebih dominan ketimbang istilah-istilah Arab, seperti istilah dewata mulia raya sebagai ganti kata Allah. 2 Bahwa hukum Islam telah diimplementasikan sebelum kedatangan Belanda, hal itu juga dapat dilihat dari fakta bahwa Sultan Malikul Zahir adalah sultan yang ahli fikih. Pandangan ini dikemukakan oleh Ibn Batutah, pelancong yang pernah datang ke Aceh, yang menegaskan bahwa wilayah ini dipimpin oleh seorang sultan yang ahli fikih bemazhab Sha>fi‘i>. Tentu terlihat janggal, jika seorang sultan yang ahli fikih itu akan menerapkan hukum lain selain fikih yang telah dikuasainya. Karena itu, dipastikan hukum yang diterapkan dalam pemerintahannya adalah hukum Islam, yang juga disebut fikih. Ini diperkuat oleh publikasi buku fikih, seperti al-S}ira>t} al-Mustaqi>m karya Nuruddin Arraniri, pada 1628, yang jelas ditujukan bagi masyarakat Muslim Nusantara. Buku ini 1
Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: the Athlone Press, 1976), 1-2. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), 5. 2
49
50 kemudian diperluas uraiannya oleh Arsyad al-Banjari dalam Sabi>l al-Muhtadi>n untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum di Kalimantan Selatan.3 Sementara itu, Anthony Reid, seperti dikutip Arskal Salim dan Azyumardi Azra, menegaskan bahwa pada awal abad ke-17, para pencuri di Banten dan Aceh jika tertangkap akan dihukum dengan potong tangan. Pertama-tama yang akan dipotong adalah tangan kanan dan diikuti dengan kaki kiri jika sang pencuri mengulangi perbuatannya. Kalaupun ia belum jera dan masih melakukan lagi, maka amputasi dikenakan pada tangan kiri dan kaki kanan jika mengulangi kembali. Hukuman terakhir jika amputasi terhadap empat anggota badan tersebut telah dilaksanakan, tetapi si pencuri masih bertindak, adalah diasingkan ke Pulau Sabang untuk kasus Aceh.4 Dalam konteks fikih, hukuman semacam itu disebut h}udu>d,5 di mana potong tangan memiliki sandarannya pada QS al-Ma>idah (5): 38, sementara pengasingan didasarkan pada konsep yang dikenal dalam fikih dengan ta‘zi>r.6 Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam Indonesia sesungguhnya memiliki preseden historis jauh sebelum diperkenalkannya hukum baru yang berasal dari Barat. Namun, ini tidak berarti bahwa seluruh hukum Islam telah diterapkan sepenuhnya, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kasus lain. Karena itu, ketika Belanda datang ke Indonesia, mereka tidak serta merta mengganti hukum Islam yang telah diterapkan oleh masyarakat. Sebaliknya, karena ketidaktahuan tentang Islam, mereka tidak mau mengintervensi masalah keagamaan.7 Keterlibatan Belanda dalam masalah hukum Islam baru terlihat dalam Keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) Nomor 19 Tanggal 24 Januari 1882, yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Peradilan Agama. Lembaga ini didasarkan atas teori receptio in complexu Lodewijk Willem Christian van den Berg yang menegaskan bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dianutnya, yakni hukum Islam. Namun, teori ini kemudian ditentang oleh C. Snouck Hurgronje yang mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar menerapkan teori receptie, yang menegaskan bahwa hukum Islam baru bisa diterapkan jika hukum
3
Rifyal Ka‘bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), 69. Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Shari‘a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra (Singapore: Institute of South East Asian Studies, 2003), 4. 5 H}udu>d berarti ketentuan-ketentuan atau batasan-batasan Allah yang membimbing perilaku manusia dan tidak boleh dilanggar. Lihat Richard Kimber, ‚Boundaries and Precepts,‛ dalam The Encyclopedia of the Quran, ed. Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), 1: 252. Dalam fikih, h}udu>d adalah tindakan kriminal yang hukuman atau sanksinya telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam Al-Quran. Berdasarkan pengertian ini, hukuman tersebut tidak bisa ditambah atau dikurangi, karena ia merupakan hak Allah Swt. Ada tujuh kategori kejahatan kriminal yang dapat dikenai hukuman hudud, yaitu: (1) zina (al-zina>); (2) fitnah atau tuduhan palsu (al-qadhf); (3) minuman keras (shurb); (4) pencurian (al-sariqah); (5) pemberontakan (al-h}ira>bah); (6) murtad (al-riddah) dan; (7) (al-baghy). Lihat ‘Abd al-Qadi>r ‘Awdah, al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad}‘i> (Kairo: Maktabat Da>r al-‘Uru>bah, 1963), 1: 79. 6 Ta‘zi>r adalah pemberian hukuman terhadap tindakan-tindakan kriminal yang tidak termasuk kategori hudud atau hukuman terhadap kejahatan yang bentuk hukumannya tidak ditentukan secara pasti oleh syariat. Perbedaannya dengan h}udu>d yaitu jika h}udu>d sudah pasti bentuk hukumannya dan tidak bisa ditambah atau dikurangi, ta‘zi>r bisa beragam bentuknya, sesuai dengan kemaslahatan pelaku kejahatan dalam pandangan hakim. Lihat ‘Abd al-Qadi>r ‘Awdah, al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 127. 7 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 2 dan 9-10. 4
Kebijakan Negara Tentang Zakat
51 itu telah diterima dan diakui oleh hukum adat. 8 Di sini terlihat bahwa Hurgronje ingin menempatkan hukum adat pada posisi yang lebih tinggi daripada hukum Islam, dengan tujuan untuk mengurangi peran Islam. Sebab, apa yang disebut sebagai hukum adat oleh Hurgronje hanyalah rekayasa, 9 sehingga teori receptienya oleh Hazairin disebut sebagai teori iblis.10 Menurut Hazairin, teori receptie ini harus dikeluarkan dari sistem hukum nasional karena bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan UUD 1945. Inilah yang ia sebut receptie exit.11 Sebagai gantinya, menurut Hazairin, hukum yang berlaku adalah receptio a contrario yang menyatakan bahwa hukum adat dapat diberlakukan jika ia tidak bertentangan dengan hukum Islam.12 Bertolak dari keberadaan hukum Islam di atas, zakat—sebagai salah satu dari lima rukun Islam—diduga kuat telah dilaksanakan oleh Muslim Nusantara jauh sebelum kedatangan Belanda, atau bahkan bersamaan dengan kedatangan orang-orang Islam di Nusantara. Akan tetapi, tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa praktik keagamaan itu telah ditunaikan secara sistematis oleh kaum Muslim awal di negeri ini, setidak-tidaknya jika dilihat dari cara pengumpulan dan pendistribusiannya. Misalnya, siapa yang berhak mengumpulkan zakat, benda apa saja yangwajib dizakati, siapa yang berhak menerima dan lain sebagainya. Dengan kata lain, meskipun praktik pembayaran zakat telah menjadi bagian yang terpisahkan dari praktik keagamaan Muslim Nusantara pada awal kehadirannya, tetapi jejak dan bukti historis tentang praktik ini secara sistematis tidak terekam dengan baik.13 Terlepas dari tidak adanya lembaga khusus yang mengelola zakat secara permanen, masjid tampaknya memiliki peran sentral dalam hal ini. Masjid merupakan sentral kegiatan keagamaan Muslim, di mana berbagai aktivitas mengambil tempat di sini. Tidak heran jika kemudian zakat umumnya berpusat di masjid, sebagaimana tampak jelas dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Kaum Muslim berbondongbondong menyerahkan zakat mereka ke sini, baik berupa zakat fitrah maupun zakat mal. Praktik ini tentu tidak begitu saja muncul jika tidak ada preseden sebelumnya.14 Sementara itu, dalam Adat Raja-raja Melayu, para raja umumnya mengeluarkan zakat dan memberikan sedekah pada acara-acara yang menjadi 8
A. Wasit Aulawi, ‚Sejarah Perkembangan Hukum Islam,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 55-6; Ismail Suny, ‚Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,‛ dalam Dimensi Hukum Islam, 131; Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 35-36. 9 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 72. 10 Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 97. 11 Juhaya S. Praja, ‚Pengantar,‛ dalam Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: RosdaKarya, 1991), xiii. 12 Juhaya S. Praja, ‚Pengantar,‛ xiii. Lihat juga Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 255. 13 Lihat, misalnya, Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 60; Emmy Hamidiah, ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Mungkinkah,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 124 14 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 133.
Bab III
52 ritual kerajaan, seperti upacara kelahiran bayi, upacara memotong rambut bayi yang baru lahir, atau upacara pembayaran nazar. Adapun bentuk sedekahnya sangat beragam, bisa berbentuk emas, makanan, atau pakaian bagi fakir miskin di berbagai tempat. Namun, di balik semangat keagamaan ini tidak tertutup kemungkinan bahwa semua itu dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan seperti banyak terjadi di tempat lain. 15 Pada masa-masa kerajaan Islam, zakat ternyata sudah menjadi menjadi wacana yang bersifat etis, dan belum menjadi hukum positif, seperti tercermin dalam teks-teks keagamaan. Semangat serupa juga ditemukan dalam naskahnaskah Jawa pada abad ke-16, seperti ditemukan dalam karya Wejangan Syekh Bari. Dalam karya ini disebutkan bahwa sedekah yang dilakukan dengan ikhlas sekalipun tanpa pengetahuan orang lain memiliki kedudukan yang sangat baik di sisi Tuhan. Sementara itu, dalam karya suntingan Drewes berjudul Akhlak Islam disebutkan bahwa zakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan kepemilikan harta (sakadare artane), di samping terpenuhinya ketentuan kepemilikan selama setahun, baik dengan cara disimpan atau diputar melalui usaha.16 Meskipun demikian, Undang-undang Melaka sama sekali tidak mencantumkan persoalan zakat, apalagi mewajibkan rukun Islam ini kepada para pedagang atau kelompok elit masyarakat yang tinggal di daerah Malaka. Dengan demikian, zakat tidak memiliki status sama sekali dalam konstitusi, yang mengisyaratkan bahwa zakat sesungguhnya belum memiliki sistem pengelolaan yang jelas. Akan tetapi, hal itu tidak harus dipahami bahwa orang-orang Muslim tidak membayar zakat, sebaliknya hal itu menunjukkan bahwa membayar zakat masih bersifat imperatif-etis.17 Proses semacam ini tampaknya sejalan dengan perkembangan proses Islamisasi baik yang terjadi secara umum di dunia Islam, maupun secara khusus di Nusantara. Maksudnya, zakat sebagai rukun Islam tidak menjadi perhatian utama pada awal masuknya penduduk Nusantara ke dalam Islam dan baru memeroleh prioritas pada masa berikutnya. Meskipun demikian, Belanda di awal kehadirannya tidak ingin melibatkan diri dalam masalah ini. Sesuai dengan kebijakannya, pemerintah kolonial memberikan kebebasan dalam masalah-masalah keagamaan yang telah menjadi tradisi masyarakat Muslim. Akan tetapi, dalam praktiknya, mereka tidak bisa membiarkan masalah-masalah itu manakala dipandang membahayakan kekuasaannya. Misalnya, dalam masalah haji, mereka terbukti memberikan perhatian terhadap masalah ini karena anggapan bahwa para haji merupakan orang-orang yang fanatik dan pemberontak. Bagi mereka, melarang haji lebih baik ketimbang membiarkan kaum Muslim menjadi pemberontak dan kemudian harus ditembaki.18 Keterlibatan penjajah terhadap masalah-masalah keagamaan ini ternyata semakin hari semakin meningkat, dengan dalih ketertiban dan keamanan termasuk mengawasi gerak-gerik para ulama. Bahkan selanjutnya, pemerintah tidak segansegan mencampuri urusan agama dengan dalih ketertiban dan keamanan, termasuk 15
18.
Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara,
16
Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 19. Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 19-20. 18 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 22. 17
Kebijakan Negara Tentang Zakat
53 mengawasi gerak-gerik para ulama. Tidak hanya itu, keterlibatan pemerintah kolonial kemudian diwujudkan dalam bentuk pendirian Lembaga Peradilan Agama secara resmi, pengangkatan penghulu, pengawasan terhadap perkawinan, ordonansi perkawinan di Jawa dan Madura serta di luarnya, pengawasan terhadap pendidikan Islam, ordonansi guru, pengawasan terhadap masjid dan lain sebagainya.19 Sebenarnya, keterlibatan itu berlawanan dengan kebijakan C. Snouck Hurgronje, yang memberikan kebebasan di bidang agama, khususnya yang berkaitan dengan persoalan ibadah. Akan tetapi, dalam masalah penggalangan sosial yang dapat menjadi faktor yang mengarah pada pemberontakan, ia sendiri melakukakan tindakan tegas. Karena itu, kebebasan yang ditawarkan Hurgronje dalam beragama hanya berkisar seputar masjid. 20 Namun demikian, ia juga tetap mengintervensi dalam masalah ini, terutama yang menyangkut dana masjid atau kas masjid. Ia mengawasi ketat dana ini dengan memerintahkan para bupati. Argumen Hurgronje adalah bahwa kas masjid ini agar tidak digunakan untuk kepentingan selain kepentingan masjid itu sendiri, karena memang terbukti kas masjid ini digunakan untuk berbagai pembangunan, bahkan pembangunan rumah sakit Kristen. Pengawasan terhadap kas masjid ini juga disertai dengan pembatasan angka saldo. Artinya, kas masjid tidak boleh melebihi ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika ini terjadi, maka uang yang ada akan disimpan di bank yang pencairannya membutuhkan persetujuan bupati dan pemerintah kolonial.21 Sekiranya masjid membutuhkan biaya untuk pemeliharaan atau renovasi, hanya sebagian dari kas masjid yang boleh dicairkan dan harus tetap memiliki saldo. Kekurangan pembiayaan pemeliharaan atau renovasi harus dicarikan melalui cara lain, di antaranya melalui wakaf. 22 Keuangan masjid sendiri umumnya diperoleh dari biaya nikah, zakat, wakaf dan shadaqah. Ini berarti bahwa pengurus masjid adalah orang-orang yang juga bertanggung jawab mengurus zakat, wakaf dan shadaqah. Mereka ini biasanya adalah para pegawai syara’ yang terdiri atas seorang imam, dua orang khatib dan dua orang muazin. Mereka menerima gaji dari zakat dan shadaqah, yang menjadi sumber utama kas masjid.23 Menurut Azra, baik di Aceh maupun di daerah lain, seperti Jawa, dikenal adanya seorang imam, yang bertugas sebagai pemimpin dalam ritual-ritual keagamaan di masjid, di samping qadi atau penghulu yang tugas utamanya di antaranya adalah mengurus masalah-masalah keagamaan. Dalam hal ini, yang kedua memiliki peran besar dalam mengelola keuangan masjid yang diperoleh dari berbagai sumber seperti zakat, sedekah, hibah atau wakaf. 24 Para petugas ini memeroleh gaji dari kas masjid. Mereka juga dibolehkan untuk menarik dana lain dari masyarakat, jika diperlukan bagi kepentingan masjid. Adapun pembagian penghasilan mereka adalah berbanding 4:2:1, yaitu imam mendapatkan 4 bagian, khatib memeroleh 2 bagian dan muazin hanya 1 bagian.
19
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 10 dan 30. H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 122. 21 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162-64. 22 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 168 catatan nomor 214. 23 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162, catatan nomor 190. 24 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 20. 20
Bab III
54 Meskipun demikian, mereka juga harus membayar pajak dengan perbandingan serupa selama satu tahun, jika perang membutuhkan dana. 25 Dengan demikian, praktik pengelolaan zakat di Nusantara belum memberikan gambaran yang sistematis. Menurut S. Hurgronje, zakat mal, fitrah, sedekah serta sumbangan keagamaan lain sesungguhnya telah melembaga dalam masyarakat. Akan tetapi, jenis dan macam harta yang harus dikeluarkan zakatnya beragam dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya, ternak tidak pernah ditarik zakatnya, sementara di Priangan zakat pertanian sangat ditekankan. Adapun zakat mal banyak diterapkan di Madura. Lebih jauh dikemukakan bahwa zakat di Jawa umumnya bersifat sukarela dan tidak diwajibkan seperti pajak. Kondisi ini sangat berbeda dengan di Priangan, di mana zakat diwajibkan di samping pajak. Perbedaan ini, menurut Hurgronje, disebabkan oleh beban pajak di Jawa sangat tinggi, sehingga tidak memungkinkan dibebani lagi zakat. Sementara itu, di Priangan, masyarakat memiliki pengetahuan keislaman yang jauh lebih memadai, ketekunan para pengelola, di samping semangat keagamaan yang lebih tinggi. 26 Hurgronje juga menegaskan bahwa umumnya penduduk membayar zakat karena perasaan dosa, dan mereka berusaha menebusnya melalui kegiatan ini. Dengan kata lain, zakat yang dibayarkan sekali merupakan tebusan dosa yang mungkin dilakukan seseorang sepanjang periode tersebut.27 Pemahaman seperti ini sebenarnya juga dialami oleh orang-orang Muslim Madinah pada awal diwajibkannya zakat, sebagaimana direkam dalam ayat Al-Quran. Dalam QS alTawbah (9): 102-104 dikemukakan bahwa orang-orang Madinah yang baru masuk Islam, kemudian mereka tetap melakukan tradisi yang berlawanan dengan Islam, membayar zakat kepada Nabi dengan harapan Nabi turut memohonkan ampun bagi dosa-dosa mereka.28 Adapun mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat itu, Hurgonje menandaskan bahwa tidak ada aturan khusus yang diterapkan, terutama di Jawa. Umumnya, masyarakat menyerahkan zakat itu kepada orang-orang yang telah berjasa kepada mereka. Misalnya, zakat fitrah anak kecil akan diserahkan kepada orang yang telah menolong bagi kelahirannya, kepada guru mengaji jika anak sudah mulai belajar mengaji, sedangkan zakat orang dewasa umumnya diberikan kepada lebai, penghulu, kyai, modin dan sebagainya. Bahkan, mustahik ini melebar hingga mencakup santri (wong putihan), penjaga makam, kaum pengangguran yang miskin, petugas masjid dan para amil zakat. Amil, yang berarti orang yang memungut dan mengelola zakat, juga sudah dikenal pada masa itu. Mereka ini diangkat oleh pejabat agama, tetapi tidak difungsikan lagi sejak 1892. Istilah ini baru dipakai lagi pada masa Orde Baru. 29 Tidak disebutkan lebih jauh bagaimana zakat itu kemudian didistribusikan atau dikelola, apakah memang untuk mereka yang disebutkan di atas, atau kemudian disalurkan kepada pihak-pihak lain. Hurgronje menyebutkan bahwa pengelolaan zakat mal dan fitrah di Priangan dilakukan dengan sangat baik. Pertama-tama, kyai mengumpulkan zakat dari masyarakat. Selanjutnya, setelah 25
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162, catatan nomor 216. Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22. 27 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22. 28 Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam,‛ Arabica, 40 (1993): 87. 29 Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 22-24. 26
Kebijakan Negara Tentang Zakat
55 dipotong oleh bagian mereka, zakat diserahkan ke penghulu di kecamatan atau kawedanan. Penghulu kawedanan juga memotong bagian yang menjadi haknya untuk kemudian diserahkan kepada penghulu tingkat afdeeling sebagai ‚penghasilan agama.‛ Dengan cara begitu, dana zakat menjadi sangat besar dan potensial untuk diselewengkan dan dikorupsi. 30 Kedatangan Jepang membawa harapan baru bagi umat Islam, mengingat mereka sangat lembut terhadap bangsa Indonesia pada awalnya. Ini dibuktikan dengan dihidupkannya kembali Majlis Islam A‘la Indonesia, sebuah perkumpulan partai politik dan organisasi massa. Melihat adanya angin perubahan dalam kebijakan Jepang terhadap Islam, MIAI pun berinisiatif mendirikan Baitul Mal di seluruh Jawa pada 1943. Akan tetapi, tak lama setelah organisasi ini berdiri, ia malah segera dibubarkan. Akibatnya, semangat untuk menarik pemerintah kolonial terlibat dalam pengelolaan zakat berakhir dengan kegagalan.31 Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang, aktivitas pengumpulan zakat ini tidak memeroleh perhatian secara khusus dari pemerintah, namun diserahkan kepada organisasi Islam, yang juga menjadikan persoalan zakat ini sebagai salah satu programnya. Ini terlihat dengan jelas dari program-program MIAI, di mana salah satunya adalah persoalan zakat yang ternyata disetujui oleh pemerintah pendudukan Jepang. Tujuan dari pengelolaan zakat ini adalah untuk menolong kaum miskin dan orang-orang yang membutuhkan, di samping untuk ‚membantu usaha Tentara Dai Nippon.‛32 Meskipun tidak terlibat di dalamnya, pihak pemerintah akhirnya menyetujui program pendirian baitul mal. MIAI kemudian dengan gencar melakukan propaganda demi berdirinya baitul mal, yang dapat menampung dana zakat yang dikumpulkan dan menjadikan lembaga sebagai satu-satunya sasaran setelah rencana-rencana lainnya tidak direspon dengan baik oleh penguasa. Pendirian lembaga ini dipandang penting oleh MIAI karena orang-orang Islam di Jawa banyak yang lalai menunaikan kewajiban agama ini. Di samping itu, melalui pembayaran zakat yang dapat dilakukan dalam bentuk uang atau barang dapat membantu mereka yang membutuhkan, seperti kaum pengangguran, yatim piatu dan orang-orang tua.33 Akan tetapi, pendirian baitul mal ini ternyata bukan monopoli program MIAI, sebab lembaga ini sebenarnya cukup akrab bagi umat Islam Indonesia. Ini dibuktikan dengan berdirinya lembaga serupa oleh Bupati Bandung, Wiranata Kusuma, pada pertengahan 1942, yang bertujuan mengurangi tekanan yang timbul dari kekacauan ekonomi yang terjadi di daerah Priangan. Lebih jauh, baitul mal lokal ini dianggap berhasil karena dua faktor, yaitu, pertama tingkat ketaatan Muslim di daerah ini terhadap pembayaran zakat tampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain, dan kedua kemampuan dan bakat yang dimiliki oleh para pengelolanya.34
30
Azyumardi Azra, ‚Filantropi dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ 23. Arskal Salim, ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam Sharia and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumari Azra (Singapore: ISEAS, 2003), 183. 32 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), 178. 33 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 179. 34 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 179. 31
Bab III
56 Keberhasilan baitul mal lokal inilah yang mendorong MIAI untuk mendirikan baitul mal di tingkat nasional di Jakarta pada Januari 1943, dan selanjutnya bahkan menjadikan baitul mal Bandung di bawah pengawasannya dan dijadikan model untuk dipromosikan di daerah lain di Jawa. Baitul mal Bandung akhirnya hanya menjadi cabang Dewan Baitul Mal MIAI. 35 Kampanye tentang baitul mal ini memeroleh tanggapan positif dari kaum Muslim di beberapa daerah di Jawa, yang sebelumnya kurang bergairah terhadap persoalan zakat. Menurut laporan MIAI, setiap hari banyak orang yang datang ke kantor menanyakan tentang baitul mal. Dua puluh tempat telah meminta MIAI agar mengirimkan propagandis, di samping banyaknya surat yang masuk yang menanyakan hal itu. Untuk memenuhi keinginan tersebut, MIAI kemudian menyelenggarakan pelatihan bagi para propagandis di Bandung, yang selanjutnya diterjunkan ke sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasilnya, dalam beberapa bulan saja 35 baitul mal di tingkat kabupaten di Jawa pun terbentuk. Lebih jauh, untuk merapikan administrasi panitia pusat juga menerbitkan peraturan yang seragam bagi cabang-cabang di daerah.36 Akan tetapi keberhasilan ini tidak berlangsung lama. Jepang yang semula menyetujui program ini tiba-tiba merasa keberatan dengan keberhasilan program ini. Lebih jauh, keberhasilan lembaga filantropi ini dikhawatirkan oleh pihak Jepang dapat mengancam kebijakannya tentang Islam secara umum. Melihat kenyataan ini, Jepang kemudian berencana membubarkan MIAI dan menggantinya dengan organisasi lain. Akan tetapi, rencana itu tidak terlaksana, dan sebagai gantinya Jepang memberikan pengakuan penuh kepada organisasi keagamaan Muhammadiyah dan NU. Akibatnya, MIAI semakin kehilangan otoritas dan kemudian dibubarkan pada September 1942. Sebagai gantinya, Jepang mendirikan Masyumi yang sekaligus menandai berakhirnya baitul mal, karena seluruh kegiatan keislaman akhirnya tunduk di bawah peraturan yang ditetapkan oleh Jepang.37 Selain melalui masjid dan negara, pengelolaan zakat sebenarnya juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, seperti pesantren, dan organisasiorganisasi keagamaan. Umumnya, para pembayar zakat menyerahkan zakatnya kepada para kyai, yang kemudian disalurkan kepada santri atau untuk pembangunan lembaga pendidikan. Sementara itu, Muhammadiyah yang bertujuan pada pembaharuan keyakinan dan ritual, juga aktif dalam memberikan santunan sosial. Ini dilakukan dengan menggalakkan tabligh dalam berbagai amal usahanya. Untuk tujuan ini, Muhammadiyah mengumpulkan dan mendistribusikan zakat bagi fakir miskin, tidak untuk memelihara masjid atau kyai, seperti selama ini berlangsung.38 Setelah Indonesia merdeka, upaya untuk mengelola zakat secara sistematis terus dibicarakan. Pada 1952, misalnya, diadakan sebuah seminar di Sukabumi tentang kemungkinan pengelolaan zakat dan wakaf oleh Departemen Agama. Semangat di balik seminar ini adalah agar dua pranata Islam yang sangat potensial 35
Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 180. Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 180. 37 Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛183. 38 Martin van Bruinessen, ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛ dalam Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity , ed. Shireen T. Hunter (London-New York: M.E. Sharpe, 2009), 187-88. 36
Kebijakan Negara Tentang Zakat
57 dan bernilai ekonomis itu dapat dikelola secara profesional melalui Departemen Agama.39 Akan tetapi, tindak lanjut dari seminar ini tidak muncul ke permukaan, sehingga pengelolaan zakat tetap berjalan sebagaimana adanya. Tampaknya, upaya pelibatan negara dalam pengelolaan zakat ini tidak memeroleh respons positif dari negara. Atau bisa jadi, hal itu dipandang sebagai upaya implementasi Piagam Jakarta, yang dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas politik saat itu. Ini bisa dilihat dari keluarnya surat edaran nomor 1/D/13/7 Juni 1958 ke seluruh kantor Departemen Agama di seluruh Indonesia. Surat edaran itu menegaskan bahwa pengumpulan zakat tidak boleh diselenggarakan secara langsung oleh lembaga negara, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kaum Muslim, asalkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam.40 Dengan kata lain, upaya pengeloaan zakat melalui Departemen Agama ini mengalami kegagalan, dan karenanya departemen ini hanya berperan sekadar membina agar pengelolaan itu senantiasa sesuai dengan hukum Islam. Adapun peraturan-peraturan resmi yang telah dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka sudah cukup banyak. Peraturan-peraturan itu tertera dalam berbagai bentuk seperti berikut ini. 1. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan/Amil Zakat yang dikeluarkan pada 15 Juli 1968. Yang diatur dalam peraturan ini adalah Badan/Amil Zakat, baik yang ada di tingkat pusat maupun yang ada di daerah-daerah hingga ke kecamatan dan desa-desa. Di samping itu, diatur pula kedudukan tugas dan kewajiban lembaga tersebut, berikut susunan anggota, pengangkatan, bimbingan dan pengawasan pelaksanaannya. Adapun yang dijadikan dasar dikeluarkannya peraturan ini adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I) yang diputuskan oleh Keputusan Presidium Kabinet No. 75/KU/102/II/1966. Repelita I sendiri didesain oleh Bappenas pada 1968, yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena itu, Peraturan Menteri Agama di atas diharapkan dapat memberikan kontribusi penggalangan dana ini. 2. Surat Presiden No. B.133/PRES/11/1968 tanggal 28 November 1968. Dalam surat ini ditegaskan bahwa zakat umat Islam dapat diserahkan ke tujuan yang terarah dan konkret, sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat menunjang terlaksananya Repelita yang akan dimulai tahun berikutnya, yaitu 1969. 3. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Baitul Mal. Ini dimaksudkan untuk menjamin pengumpulan, penampungan, pemeliharaan dan pengawasan sumber-sumber keuangan zakat. Lebih jauh ditegaskan dalam peraturan ini bahwa Baitul Mal berada di tingkat Kabupaten/Kotamadya, di tingkat Provinsi dan di pusat berada pada Direktorat Urusan Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. 4. Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal pada 22 Oktober 1968. Peraturan ini memberikan penjelasan lebih terperinci tentang Baitul Mal, yang meliputi tugas lembaga ini, di antaranya adalah, selain menampung dan menerima hasil-hasil zakat yang disetorkan 39 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in postIndependence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 13, No. 3 (2006): 364. 40 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of Muslims and the State,‛ 364-365.
Bab III
58 oleh BAZIS Kecamatan, juga menerima hasil-hasil wakaf, harta pusaka yang tidak ada pewarisnya, dan harta temuan yang tidak ada pemiliknya. Ditegaskan lebih jauh, bahwa lembaga ini juga memiliki fungsi untuk memanfaatkan harta tersebut bagi pembangunan sosial pendidikan umat, semisal sekolah, rumah sakit, atau pendirian sektor-sektor yang dapat memberdayakan ekonomi umat, seperti pabrik, perusahaan, perkebunan dan lain sebagainya. 5. Instruksi Menteri Agama No. 16 Tahun 1968. Instruksi ini merupakan tindak lanjut dari Keputusan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 sebelumnya. 6. Surat Perintah Presiden No. 07/Prin/10/68 tanggal 28 Oktorber 1968. Surat ini menegaskan bahwa sebelum dibentuk Panitia Zakat, untuk sementara hal itu akan ditangani oleh Mayjend TNI Alamsyah Ratuprawiranegara, Kolonel Drs. H. Anwar Hamid dan Kolonel Ali Affandi. 7. Pengumuman Presiden No. 6 Tahun 1968. Pengumuman ini pada dasarnya adalah ketentuan yang dibuat oleh ketiga pelaksana yang disebutkan sebelumnya, di mana orang Islam yang akan membayarkan zakat dapat menyampaikan secara langsung kepada Presiden dengan menempuh salah satu dari empat cara sebagai berikut: a. Diserahkan kepada Kapten Bustami pada setiap kerja dan akan diberi tanda terima sementara sebelum uang tersebut disampaikan kepada Presiden; b. Dikirim langsung melalui Wesel Pos dengan alamat kepada Presiden; c. Dikirim lewat Giro Pos Presiden atau Cek Rekening Zakat cq. Jenderal Soeharto Nomor 10.000. d. Dikirim kepada Presiden atas nama Rekening Zakat cq. Jenderal TNI Soeharto kepada Bank BNI, Bank Dagang Negara dan Bank Pembangunan Indonesia. 8. Surat Presiden No. B.133/Pres/II/1968 tentang Pengumpulan Zakat. Isi surat ini menegaskan bahwa Sekretaris Jenderal Departemen Agama diharapkan membantu pelaksanaan seruan Presiden untuk menunjang Repelita. 9. Surat Sekretaris Kabinet No. B-3732/Setkab/12/68 tanggal 16 Desember 1968 dan No. B-119/Setkab/1/69 tanggal 16 Januari 1969. Kedua surat ini berisi peringatan bahwa pelaksanaan pengumpulan zakat terkait erat dengan bidang instansi lain yang harus dilibatkan di dalamnya. Untuk itu, pengaturannya akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Surat pertama ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa pembentukan Baitul Mal tidak boleh dibentuk oleh Menteri Agama, tetapi harus dibicarakan dengan departemen lain. 10. Instruksi Menteri Agama No. 1 Tahun 1969 tentang Penundaan Peraturan Menteri Agama No. 4 dan 5 Tahun 1968 pada 1 Januari 1969. Instruksi ini merupakan respons terhadap surat pertama Sekretaris Kabinet, yang mengimplikasikan bahwa pendirian Baitul Mal harus dibatalkan. Sementara itu, di sisi lain, Presiden seolah-olah akan mengambil alih pelaksanaan pengumpulan zakat sesuai dengan rencananya sendiri. 11. Radiogram Menteri Dalam Negeri tanggal 14 Desember 1968. Radiogram ini ditujukan kepada seluruh gubernur di Indonesia, yang isinya adalah sebagai berikut: a. Pengumpulan zakat di daerah harus sesuai dengan seruan Presiden; Kebijakan Negara Tentang Zakat
59 b.
Gubernur dan Bupati harus memelopori pengumpulan zakat didampingi oleh panitia setempat; c. Zakat yang telah terkumpul agar disimpan di bank-bank dan giro pos setempat yang telah memiliki nomor rekening zakat atas nama Presiden; d. Yang berhak menarik uang tersebut adalah Presiden, sedangkan usul penggunaannya dapat diajukan oleh gubernur dengan persetujuan panitia setempat; e. Setiap minggu para gubernur dan bupati harus membuat laporan kepada Presiden.
Sebagaimana terlihat, antara 1968-1969 terdapat banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik dari Menteri Agama, Presiden, Sekretariat Negara dan bahkan dari Menteri Dalam Negeri. Semua itu tidak dapat dipisahkan dari situasi awal naiknya Soeharto ke kekuasaan. Di satu sisi, umat Islam menaruh harapan besar agar Soeharto mau melibatkan Islam dalam negara tetapi, di sisi lain, kekhawatiran terhadap umat Islam juga sangat besar. Karena itu, ketika Menteri Agama mengeluarkan surat tentang pendirian Baitul Mal—sebagai tindak lanjut dari pengajuan RUU yang gagal—Soeharto tiba-tiba bersedia menjadi amil tingkat nasional, sehingga menggagalkan niat pendirian Baitul Mal. Kenyataan ini diperkuat oleh keluarnya surat sekretaris kabinet, yang menyebutkan bahwa masalah zakat akan ditetapkan oleh presiden. Ini direspons oleh Menteri Agama dengan pembatalan niat pendirian Baitul Mal di atas dan diakhiri dengan instruksi dari Menteri Dalam Negeri yang menegaskan bahwa dalam pengelolaan zakat pemerintah daerah harus mengikuti petunjuk presiden. Dengan kata lain, dalam dua tahun di atas sesungguhnya telah terjadi konflik kepentingan antara umat Islam, yang disalurkan melalui Depag, dan pemerintah yang diwakili oleh presiden.41 12. Instruksi Menteri Agama No. 16 Tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat, Infak dan Shadaqah. Di antara isi instruksi ini adalah masalah penggunaan dana zakat, yang hendaknya disalurkan untuk honorarium guru-guru mengaji AlQuran baik di masjid, mushalla, langgar, surau dan sebagainya. Di samping itu, dana tersebut juga dapat digunakan untuk penyelesaian wakaf (seperti biaya akta ikrar wakaf dan sertifikat tanah wakaf), bantuan untuk modal kerja dan usaha-usaha produktif lainnya. 13. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 Tahun 1991 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah tanggal 19 Maret 1991. Keputusan Bersama ini pada prinsipnya mempertegas BAZIS sebagai sarana bagi umat Islam untuk mengatur, melaksanakan dan mengelola zakat, infak dan shadaqah, sedangkan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Ada dua pembinaan yang dilakukan berdasarkan surat keputusan bersama ini. Pertama, pembinaan umum yang berada di bawah kewenangan Menteri Dalam Negeri dan jajarannya. Kedua, pembinaan teknis yang menjadi wewenang Menteri Agama dan jajarannya sesuai dengan lingkup wilayah kedudukan BAZIS. Lebih jauh ditegaskan bahwa BAZIS adalah lembaga swadaya masyarakat, dengan pertimbangan sebagai berikut. 41
Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 123-24.
Bab III
60 Pertama, jika badan ini sebagai lembaga pemerintah, hal itu dikhawatirkan memunculkan kecurigaan bahwa pemerintah mencampuri ketentuan agama atau syariah yang mengarah pada pelaksanaan Piagam Jakarta. Kedua, di kalangan umat sendiri tidak ada kesepakatan mengenai wadah penerimaan dan pengelolaan dana zakat di lembaga pemerintah, di satu sisi, dan kebutuhan organisasi-organisasi keagamaan terhadap dana zakat tersebut. Di sini terlihat bahwa negara sepanjang Orde Baru akhirnya enggan melibatkan diri dalam pengelolaan zakat, dan bahkan akhirnya Soeharto mengundurkan diri dari posisi amil zakat nasional pada 1974 karena merasa kurang dipercaya oleh umat Islam. 42 Seperti ditegaskan dalam keputusan bersama di atas, pendirian lembaga negara yang bergerak dalam bidang pengelolaan zakat dapat menimbulkan kekhawatiran di pihak non-Muslim dan karenanya pengelolaannya diserahkan kepada Bazis. Terlepas dari adanya berbagai peraturan di atas, pembayaran dan pengelolaan zakat umumnya belum maksimal, tetapi memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Zakat lebih banyak diberikan secara langsung oleh muzakki kepada mustahik daripada disalurkan melalui perantara amil, yang umumnya hanya bermunculan dalam periode tertentu, seperti bulan puasa atau menjelang Idul Fitri. 2. Zakat yang dibayarkan baru berupa zakat fitrah. Zakat harta benda ( ma>l) belum menjadi kesadaran umum masyarakat maupun para amil zakat. Dalam konteks ini, masyarakat lebih cenderung memberikan sedekah daripada zakat mal. 3. Zakat didistribusikan hanya untuk kepentingan sesaat. Maksudnya, zakat hanya dibagi-bagikan secara langsung kepada mustahik untuk memenuhi kebutuhannya saat itu, terutama dalam bentuk bahan makanan. Karena itu, dana zakat berakhir dengan pendistribusiannya. Kalau berbeda, biasanya diwujudkan dalam bentuk bangunan tempat-tempat ibadah atau pendidikan, seperti masjid, mushalla, madrasah, pesantren dan sebagainya. 4. Masyarakat hanya mengeluarkan zakat dari harta yang terbatas pada bendabenda yang disebutkan secara ekplisit dalam Al-Quran-Hadis atau buku-buku fikih klasik pada umumnya. Misalnya, selain zakat fitrah, harta yang banyak dikeluarkan zakatnya umumnya meliputi emas, perak, hasil pertanian dan lain sebagainya. Zakat penghasilan atau profesi belum menjadi kesadaran mereka dan karenanya juga kurang mendapat perhatian dari amil zakat. 43 Dalam pandangan Didin Hafiduddin, model pembayaran zakat di atas tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepada para pembayar zakat, tetapi juga karena faktor-faktor lainnya, terutama dari pihak amil. Pertama, lembaga pengumpul zakat belum tumbuh di kalangan masyarakat. Ini menyulitkan para pembayar zakat untuk menyalurkan zakatnya sewaktu-waktu di luar bulan Ramadhan. Padahal, untuk menghitung jumlah zakat yang harus dikeluarkan seseorang dalam setahun, misalnya, membutuhkan waktu yang tidak singkat, apalagi konsultan zakat sendiri belum banyak dijumpai. Kedua, rendahnya kepercayaan masyarakat kepada amil zakat. Masyarakat cenderung lebih percaya jika mereka 42 43
Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124. Didin Hafiduddin, ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Negara, 75.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
61 menyampaikan langsung kepada mustahik, yang memang hendak ditujunya. Sebaliknya, jika zakat tersebut disalurkan kepada amil, maka orang yang hendak ditujunya belum tentu mendapatkannya. Ketiga, para pengelola zakat pada umumnya bukanlah profesional dalam pengelolaan zakat. Mereka umumnya adalah para aktivis masjid yang memiliki waktu sisa untuk menunaikan tugas pengelolaan zakat. Dengan kata lain, amil zakat adalah profesi sambilan, dan karenanya juga dikerjakan secara sambil lalu. Keempat, sosialisasi zakat masih sangat terbatas. Umumnya, lembaga-lembaga penerima pembayaran zakat hanya mengumumkan melalui masjid-masjid, terutama selama bulan Ramadhan. Karena itu, pengenalan terhadap benda-benda yang harus dizakati, selain yang sudah populer, juga sering tidak sampai kepada masyarakat. 44 Kebijakan pemerintah setelah kemerdekaan pada dasarnya mengikuti kebijakan pemerintah kolonial, yakni menjamin kebebasan warga untuk melaksanakan agama mereka. Pada 1951, misalnya, Departemen Agama menerbitkan Surat Edaran Nomor A/VVII/17367 tanggal 8 Desember 1951, yang menyatakan bahwa departemen tidak akan menyampuri administrasi zakat. Tugasnya hanya mengajak masyarakat melaksanakan ibadah, termasuk zakat secara benar.45 Pemerintah Indonesia pada masa Soekarno memang tidak berniat untuk mendirikan sebuah lembaga pengelola zakat, tetapi menyerahkannya kepada umat Islam. Pada awal Orde Lama, Departemen Agama di bawah komando Saifuddin Zuhri mengajukan draft Undang-undang zakat kepada DPRGR pada 1967, yang juga disampaikan kepada menteri Keuangan dan Menteri Urusan Sosial. Terhadap ajuan ini, menteri keuangan menyarankan agar masalah ini cukup diatur melalui peraturan menteri. Ini barangkali yang mendorong lembaga legislatif tidak memprosesnya menjadi undang-undang. Melihat kenyataan ini, menteri agama yang baru, Mohammad Dachlan, menetapkan peraturan menteri tentang pendirian Badan Amil Zakat dan Baitul Mal, yang akan bertanggung jawab terhadap pengelolaan zakat pada 1968. BAZ kemudian dibentuk di semua tingkatan administratif di seluruh Indonesia.46 Pada 26 Oktober 1968, Presiden Soeharto, sebagai pribadi, dalam peringatan Isra’ Mikraj menyatakan kesediannya untuk menjadi amil zakat secara nasional. Ia kemudian menunjuk tiga orang militer untuk membantunya, yaitu Jendral Alamsyah Ratuprawiranegara, Kolonel Infantri Azwar Hamid dan Kolonel Infantri Ali Affandi.47 Kesediaan Seoharto sebagai amil ini merupakan respons terhadap saran 11 ulama Jakarta, yang menganjurkan agar ia—sebagai kepala negara—mendorong umat Islam, terutama yang tinggal di ibukota, untuk melaksanakan perintah-perintah agama, termasuk di dalamnya zakat. Mereka juga menyarankan agar Soeharto mendorong para gubernur untuk berperan aktif dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan agama dan berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Depag dan Mandagri. Di samping itu, mereka berharap melampaui saran dan harapan di atas. Ia tidak hanya menjadi teladan dalam pembayaran zakat, tetapi bersedia sebagai amil nasional sebagai
44
Didin Hafiduddin, ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ 75-76. Arskal Salim, Challenging the Secular State, 122. 46 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 122-2. 47 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of State and Muslims,‛ 365. 45
Bab III
62 pribadi—bukan sebagai presiden—dan juga melampaui saran agar gubernur dapat berperan aktif.48 Sikap Soeharto ini menunjukkan bahwa persoalan zakat, yang merupakan bagian dari agama, dikeluarkan dari urusan negara, dengan mengalihkan dari Departemen Agama ke urusan pribadi. Lebih jauh, keterlibatan Soeharto dalam hal zakat ini mengakhiri persoalan keterlibatan negara. Dalam laporan terakhirnya yang disampaikan saat menjelang idul fitri pada 30 November 1970 disebutkan bahwa selama periode tersebut telah terkumpul 39.5 juta dan 2.473 dollar AS. Dalam pandangan Arskal, ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Soeharto memiliki tujuan lain dibalik kesediaannya sebagai amil nasional, yaitu untuk menggagalkan usaha Depag mengimplementasikan Piagam Jakarta dengan membuat mekanisme pengumpulan zakat nasional berdasarkan syariah. Karena itu, setelah berhasil dengan targetnya, Ia mengundurkan diri dari amil nasional, dan pengumpulan zakat menjadi kurang memeroleh perhatian. 49 Sementara itu, pada 1982 Soeharto mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang bergerak dalam pengumpulan sedekah dari seluruh pegawai negeri di Indonesi dengan memotong secara langsung gaji bulanan mereka. Dana yang terkumpul digunakan untuk membangun masjid di berbagai pelosok. Cara ini sangat berbeda dengan ketika ia mengelola zakat, yang tidak diambil secara langsung melalui negara. Dengan kata lain, mengapa saat sebagai amil zakat ia tidak menerapkan cara yang serupa, tetapi setelah keluar sebagai amil, ia melakukannya. Bukankah zakat, yang merupakan rukun Islam, jauh lebih mudah diterima oleh masyarakat ketimbang sedekah. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa Soeharto tidak menghendaki zakat diterapkan sebagai implementasi Piagam Jakarta.50 Setelah Soeharto mundur sebagai amil, kebijakan zakat secara nasional tidak memiliki basis hukum, dan satu-satunya dasar hukum yang ada adalah surat edaran yang diterapkan oleh Seoharto, sehingga memunculkan pertanyaan masihkah surat itu berlaku? Ternyata banyak lembaga zakat malah bermunculan, seperti BAZIS yang terdapat di berbagai provinsi di Indonesia, di samping lembaga-lembaga swasta. Pada 1991, Munawir Sjadzali, sebagai Menteri Agama dan K>.H>. Hasan Basri sebagai ketua MUI, sekali lagi membujuk Soeharto untuk berperan sebagai pengelola zakat pada tingkat nasional seperti sebelumnya, namun ia menolak dan menyarankan agar membentuk surat keputusan bersama antara Mentri Dalam Negeri dan Menteri Agama.51 Bersamaan dengan melembutnya sikap pemerintah terhadap umat Islam, Depag berusaha membuat kebijakan umum tentang zakat, yaitu berupa instruksi menteri nomor 16/1989 dan nomor 5/1991 dan keputusan bersama menteri lain nomor 29/1991 dan 47/1991.52 Dalam pandangan Arskal, adanya instruksi ini semakin memperlemah posisi zakat dalam kaitannya dengan negara di tingkat provinsi, mengingat gubernur tidak harus terlibat di dalamnya. Lebih jauh, instruksi ini juga mengubah
48
Arskal Salim, ‚Zakat Administration,‛ 185-186. Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124. Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124-125. 51 Asep Saepudin Jahar, ‚The Clash of State and Muslims,‛ 365. 52 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 126. 49 50
Kebijakan Negara Tentang Zakat
63 mekanisme pengelolaan zakat, dari lembaga yang sedikit disponsori pemerintah ke lembaga otonom.53 B.
Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat Sebenarnya lahirnya Undang-undang Zakat ini tidak semata-mata didorong oleh faktor-faktor internal yang akan diuraikan dalam sub-bahasan berikutnya, tetapi juga karena faktor-faktor eksternal yang sesungguhnya telah lebih dahulu ada. Kenyataan ini ditunjukkan oleh pernyataan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama saat itu, A. Malik Fadjar, ketika menyampaikan penjelasan di depan DPR sebelum dimulainya tanggapan-tanggapan dari fraksi-fraksi. Dalam penjelasan tersebut dikemukakan bahwa zakat di Malaysia dan Singapura setelah dikelola secara baik ternyata mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Lebih jauh, faktor eksternal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kunjungan sejumlah anggota tim yang sengaja dibentuk untuk melakukan perbandingan tentang pengelolaan zakat di negara-negara lain sebelum Rancangan Undangundang itu sendiri dibuat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk melihat peran faktor-faktor eksternal itu dalam penetapan Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat.
1.
Eksternal Sebagaimana telah disinggung dalam Bab 2, upaya penafsiran ulang terhadap konsep zakat telah dilakukan oleh sejumlah pemikir Muslim. Akan tetapi, kesadaran untuk menghidupkan kembali institusi zakat secara lebih signifikan terjadi sejak Perang Dunia II. Kesadaran ini dapat dilihat baik dari keterlibatan negara melalui undang-undang yang ditetapkan untuk mengaturnya maupun dari berdirinya sejumlah organisasi yang memeroleh kepercayaan untuk mengumpulkannya. Berbeda dengan sebelumnya, di mana zakat hanya sering dibicarakan oleh fuqaha, pada zaman modern zakat telah menarik perhatian banyak ahli ekonomi, sehingga zakat menjadi wacana yang didiskusikan secara lebih luas oleh berbagai pihak. Jika fuqaha cenderung bergulat dengan hukum zakat itu sendiri, para ahli di bidang lain berusaha merumuskan zakat dalam peraturan-peraturan yang sesuai dengan situasi modern, di antaranya melalui undang-undang yang ditetapkan oleh negara. Pada 1952, misalnya, sejumlah ulama seperti ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Muh}ammad Abu> Zahrah dan ‘Abd al-Rah}ma>n H{asan terlibat dalam diskusi seputar kemungkinan zakat dikelola oleh negara. Ini dibarengi dengan penyelenggaraan sejumlah konferensi, publikasi berbagai manual dan pamflet yang mengajarkan kaum Muslim bagaimana mereka sebaiknya membayar zakat, baik oleh lembaga-lembaga swasta maupun lembaga-lembaga yang disponsori pemerintah.54 Berdasarkan kenyataan ini, Monzer Kahf mengklasifikasi pengelolaan zakat di dunia Muslim saat ini ke dalam dua model utama: pertama, pengelolaan zakat yang didasarkan pada undang-undang yang ditetapkan oleh negara. Ini bisa berbentuk pengelolaan yang seluruhnya ditangani oleh pemerintah, atau pengelolaan oleh lembaga-lembaga lain yang memeroleh legitimasi dari 53 54
Arskal Salim, Challenging the Secular State, 126. Yu>suf al-Qarad}a>wi, Fiqh al-Zaka>h (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 822.
Bab III
64 pemerintah. Kedua, pengelolaan zakat yang berjalan secara alami tanpa keterlibatan negara dan tanpa undang-undang. Dalam hal ini, lembaga-lembaga sosial keagamaan atau organisasi-organisasi massa Islam memainkan peran yang sangat penting.55 Menurut Zysow, dewasa ini ada enam negara Muslim, di mana zakat digalakkan melalui undang-undang, yaitu Saudi Arabia, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan dan Sudan.56 Akan tetapi, penilaian ini tampaknya mengabaikan sejumlah negara yang jelas-jelas melibatkan negara dalam pengelolaan zakat, bahkan dibarengi dengan pengesahan undang-undang yang memayunginya, seperti akan ditunjukkan dalam kasus Kuwait dan Yordania. Di Arab Saudi, pengumpulan zakat diatur oleh Keputusan Raja Nomor 17/2/28/8634 yang ditetapkan pada 29 Jumada al-Tsani 1370/17 April 1951. Berdasarkan keputusan ini, invidu dan perusahaan yang berkebangsaan Saudi dikenakan zakat. Dengan demikian, zakat tidak dikenakan kepada orang atau perusahaan non-Saudi dan mereka ini hanya dibebani dengan pajak. Sementara itu, penduduk Saudi tidak dikenakan pajak, tetapi hanya zakat saja, sehingga bagi mereka zakat dan pajak tampak sama saja. Secara umum, pengumpulan dan pengelolaan zakat di Saudi berada di bawah Kementerian Keuangan. Sementara zakat peternakan dan pertanian berada dalam yurisdiksi Biro Umum Pemasukan Umum departemen, zakat atas barang-barang lain berada di bawah yurisdiksi Departemen Zakat dan Pajak dari kementerian yang sama. Di samping itu, berdasarkan peraturan ini dibentuk pula Panitia Khusus yang terdiri dari pejabat pemerintah dan warganegara tertentu untuk menentukan kewajiban zakat yang harus dibayar seseorang atas hasil pertanian dan peternakannya, yang kemudian dibayarkan ke lembaga lokal yang telah ditetapkan berhak mengumpulkannya. Lebih jauh, keputusan ini juga mengenakan zakat pada barang dagangan, uang cash dan asset bisnis lainnya, di samping atas penghasilan profesi (zakat profesi) sebesar 1,25%. Meskipun demikian, keputusan ini tidak memberikan hukuman kepada mereka yang tidak membayar zakat, tetapi sanksi administratif dapat dikenakan kepada perusahaan yang tidak membayar, bahkan mungkin dikenakan penahanan oleh polisi. Walaupun dipungut oleh negara, pembayar zakat berhak memberikan secara langsung kepada muzakki selama jumlahnya tidak lebih dari separuh. 57 Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi zakat perusahaan yang harus diserahkan seluruhnya ke Departemen Keuangan. Selanjutnya, dana zakat yang terkumpul digunakan sebagai jaminan sosial bagi warganya, di mana kriteria mustahik ditetapkan oleh departemen. Tentang zakat perusahaan, ini hanya berlaku bagi perusahaan non-pemerintah, sebab seluruh keuntungan perusahaan pemerintah ditujukan bagi kesejahteraan umum. Di sini kemudian muncul pertanyaan tentang bagaimana dengan perusahaan gabungan Saudi dan asing. Terhadap masalah ini, Pemerintah Saudi menetapkan bahwa perusahaan semacam itu wajib dikenai zakat.58 55 Monzer Kahf, ‚Applied Institutional Models for Zakah Collection and Distribution in Islamic Countries and Communities,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 198-199; lihat juga M. Taufik Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 33. 56 A. Zysow, ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2001), 11: 418. 57 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419; M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 3436. 58 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 36.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
65 Undang-undang Zakat di Libya Nomor 89 Tahun 1971, di pihak lain, menerapkan pemungutan zakat atas seluruh kekayaan, termasuk uang tunai dan saham perusahaan. Akan tetapi, itu hanya berlaku pada kekayaan zahiriah sesuai dengan ketentuan fikih Maliki. Berbeda dengan peraturan di Saudi Arabia yang tidak memberikan sanksi terhadap mereka yang gagal membayarnya, undangundang di Libya menegaskan bahwa orang yang mampu tetapi tidak membayar zakat akan dikenakan denda berupa penambahan jumlah yang harus dibayar. Namun, tambahan itu tidak boleh melebihi dua kali lipat. Ditegaskan pula bahwa dana yang terkumpul dari zakat sedikitnya 50% harus didistribusikan kepada fakir miskin.59 Sementara itu, di Republik Arab Yaman, pengumpulan zakat dilakukan negara berdasarkan undang-undang tahun 1971, di mana pembayarannya dilakukan dengan cara memotong gaji para pegawai pada Bulan Ramadhan. Pelaksanaannya berada di bawah sebuah departemen di Kementerian Keuangan, yang secara khusus menangani pembayaran-pembayaran umum (mas}lah}at alwa>jiba>t). Akan tetapi, terhadap benda-benda lain yang dizakati, seperti hasil pertanian dan sebagainya, pemerintah lokal berperan besar dalam menentukan besaran zakat yang harus dibayar pemiliknya. Selanjutnya, dana yang terkumpul akan dimasukkan ke dalam Bank Sentral. Dari sini, Menteri Keuangan yang akan mencairkan penggunaannya sebagai bagian dari budget negara. Meskipun demikian, individu tetap berhak menyalurkan zakatnya secara individual kepada mustahik sebesar 25%, dan sisanya harus diserahkan kepada lembaga. 60 Di Malaysia, pengumpulan zakat diatur oleh masing-masing negeri secara terpisah di bawah kewenangan Majelis Urusan Agama. Kewenangan ini berakibat pada perbedaan ketentuan tentang harta yang harus dizakati dari satu negeri ke negeri lainnya. Misalnya, suatu harta tertentu bisa jadi dikenakan zakat atasnya di satu negeri, tetapi tidak dikenakan di negeri lain. Meskipun demikian, sumber utama zakat di negeri-negeri ini adalah pertanian, terutama padi, dan zakat fitrah. Ketaatan terhadap zakat fitrah umumnya jauh lebih besar ketimbang zakat mal atau lainnya. Undang-undang zakat di Malaysia menetapkan denda dan penjara bagi yang tidak membayar zakat, meskipun dalam pelaksanaannya konon sangat longgar.61 Di Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya), pengelolaan zakat dilakukan oleh Pusat Pungutan Zakat (PPZ), yang sejak 1991 manajemennya diserahkan kepada perusahaan swasta bernama Hartasuci Sdn. Bhd., sehingga pengelolaan zakat berjalan secara profesional. Setelah terkumpul, PPZ menyalurkan melalui berbagai program, seperti bantuan langsung kepada fakir miskin dalam bentuk makanan, uang, atau melalui pendidikan, bantuan medis, bencana alam, pernikahan hingga modal usaha. Adapun bantuan tidak langsung bisa berupa pembinaan dan pelatihan ketrampilan, seperti dilakukan melalui Institut Kemahiran Baitul Mal (IKB), atau dengan memberikan sarana perlindungan bagi muallaf, fakir miskin dan sebagainya. Bahkan hingga batas tertentu, pendidikan profesional dapat diberikan kepada para anak-anak fakir miskin untuk kuliah, atau belajar di akademi-akademi.62
59
A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. 61 A. Zysow, ‚Zakat,‛ 419. 62 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 53-54. 60
Bab III
66 Di Pakistan dan Sudan, perhatian terhadap zakat memeroleh perhatian sangat besar mengingat ia merupakan bagian dari program Islamisasi hukum. Di Pakistan, misalnya, undang-undang zakat yang bernama Zakat and Ushr Ordinance ditetapkan pada 1980 selama kekuasaan Jenderal Zia ul-Haq sebagai pemenuhan aspirasi Muslim. Sebagian besar dari undang-undang ini berkaitan dengan pengumpulan dan pengelolaan zakat oleh lembaga yang disebut Zakat Fund, yang terdiri dari tiga tingkatan: Central Zakat Fund, Lokcl Zakat Fund dan Local Zakat Committee.63 Yang pertama merupakan lembaga ditingkat nasional, yang kedua berada di tingkat negara bagian, dan yang terakhir berperan sebagai unit pengumpulan di daerah-daerah tingkat kabupaten. Berdasarkan undang-undang ini, setiap warganegara Muslim Pakistan wajib membayar zakat atas hartanya yang telah mencapai nis}a>b, yaitu jumlah minimal harta yang harus dizakati. Harta yang wajib dizakati ini tidak hanya item-item yang ditetapkan secara tradisional dalam fikih, tetapi juga kekayaan yang berbentuk tabungan dan deposito, saham perusahaan, sertifikat investasi, saham perusahaan dan lain sebagainya. Pembayaran zakat atas semua kekayaan itu dilakukan dengan cara memotong langsung melalui bank atau institusi keuangan lainnya. Adapun zakat kekayaan seperti emas, perak, perdagangan dan sebagainya diserahkan langsung oleh pemiliknya kepada lembaga yang telah ditetapkan. Umumnya, pemotongan dan penyerahan zakat itu dilakukan pada bulan Ramadhan.64 Ada beberapa sasaran yang menjadi target pendistribusian zakat di negara ini. Seperti disebutkan dalam Al-Quran, kelompok penerima zakat adalah delapan as}na>f, meskipun dalam praktik dan teknisnya dilakukan berdasarkan skala prioritas. Prioritas utama diberikan kepada fakir miskin, terutama para janda dan orang-orang cacat. Namun, pemberiannya bisa dilakukan secara langsung dalam bentuk barang atau melalui sarana lainnya seperti pendidikan di sekolah-sekolah, pendidikan ketrampilan, pembangunan rumah sakit, klinik dan lain sebagainya. 65 Di Sudan undang-undang zakat disatukan dengan undang-undang pajak yang dikenal dengan Qa>nu>n al-Zaka>h wa al-D{ara>’ib, yang ditetapkan pada 1984. Ini merupakan bagian dari proses Islamisasi Sudan yang diperkenalkan semasa pemerintahan Numayri. Dengan undang-undang ini, rezim Numayri mengganti sistem pemasukan negara dengan zakat, yang akhirnya justru melahirkan defisit anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Melihat kenyataan ini, undangundang zakat pun diubah pada 1986 dan 1990 dengan memindahkan pengelolaan zakat dari Kementerian Keuangan sebelumnya ke Kementerian Kesejahteraan Sosial. Jangkauan undang-undang zakat di Sudan sangat luas, tidak hanya terhadap benda-benda yang secara tradisional harus dizakati, tetapi juga meliputi gaji para pegawai dan kaum profesional, jasa dan lain sebagainya, yang dikenal dengan mustaghilla>t. Berbeda dengan di Saudi yang menetapkan zakat hanya 1,25% atas penghasilan profesi, di Sudan zakat profesi ditetapkan sebesar 2,5% dari penghasilan bersih. Juga berbeda dengan Saudi yang hanya mewajibkan zakat atas warganya, di Sudan seluruh Muslim dikenakan wajib zakat, bahkan orangorang Sudan sendiri yang tinggal di luar negeri. Namun demikian, individu pembayar zakat diberi hak untuk menyalurkan sendiri kepada mustahik sebesar 63
A. Zysow, ‚Zakat,‛ 420. M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 42. 65 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 43. 64
Kebijakan Negara Tentang Zakat
67 20% dari jumlah seluruh yang harus dibayar. Seperti di Libya, denda akan diterapkan bagi orang yang tidak membayar zakat, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi dua kali lipat.66 Karena bersatu dengan pajak, penyaluran dana zakat di sini menjadi bagian integral dari tugas Departemen Keuangan dan Perencanaan Ekonomi Nasional. Meskipun demikian, prioritas tetap diberikan kepada lima ashnaf, yaitu fakir, miskin, amil, ibn sabil dan gharimin, tanpa memasukkan tiga ashnaf lainnya.67 Di Yordania, yang tidak dimasukkan oleh Zysow dalam negara yang mengelola zakat melalui undang-undang, sesungguhnya undang-undang yang secara khusus mengelola zakat telah ditetapkan pada 1944, sehingga dapat dipandang sebagai negara pertama yang melahirkan undang-undang zakat. Bahkan pada 1988, Undang-undang tentang S{undu>q al-Zaka>h ditetapkan untuk memperkuat pengelolaan zakat di negara itu. Lembaga ini dipimpin langsung oleh Menteri Wakaf dan Urusan Haji dibantu oleh Mufti Besar Kerajaan, wakil dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertumbuhan dan Sosial. Operasionalisasi S{undu>q al-Zaka>h ini dilakukan oleh Lajnat al-Zaka>h (Komisi Zakat), yang bertugas antara lain: menginventarisasi kemiskinan dalam masyarakat di negeri itu, mendirikan klinik-klinik kesehatan, pusat pendidikan pengangguran, proyek-proyek investasi dan lain sebagainya. 68 Sementara itu, di Kuwait, lembaga pemerintah yang mengurusi zakat didirikan dengan nama Bayt al-Zaka>h melalui Undang-undang Nomor 5/82 yang ditetapkan pada 21 R. Awwal 1403/16 Januri 1982. Lembaga ini dipimpin langsung oleh Menteri Wakaf dan Urusan Islam, dibantu wakil menteri Wakaf dan wakil Menteri Sosial dan Tenaga Kerja. Di antara tugas-tugas utama Bayt alZaka>h adalah mengembangkan sumber-sumber zakat dan dana-dana amal lainnya dan mendistribusikan dana-dana sesuai dengan golongan yang ditetapkan oleh AlQuran. Meskipun demikian, prioritas tetap dilakukan berdasarkan kebutuhan ashnaf ini.69 Praktik-praktik pengelolaan zakat di negara-negara tersebut sedikit banyak telah memengaruhi lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat di Indonesia. Sebab, sebelum dibentuknya sebuah RUU, ada tim yang diutus untuk mengkaji undang-undang serupa di negara lain. Ini seperti terlihat dalam pembentukan KHI, di mana sejumlah tim dibentuk untuk melakukan perbandingan dengan negara lain seperti Turki, Maroko dan lain sebagainya. Akan tetapi, dalam pembentukan UU tentang Pengelolaan Zakat ini, negara yang dituju sebagai perbandingan adalah Malaysia dan Singapura, seperti dinyatakan secara tegas dalam keterangan pemerintah di hadapan Sidang Paripurna DPR. 2.
Internal Betapapun besarnya pengaruh eksternal di atas, faktor-faktor internal dalam negeri tentu yang paling menentukan. Yang demikian itu karena situasi yang dihadapi oleh negara dan bangsa justru yang menjadi triggering factors bagi lahirnya sebuah undang-undang. Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat tak 66
40.
A. Zysow, ‚Zakat,‛ 420; M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 36-
67
M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 41. M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 44-46. 69 M. Taufiq Ridlo, ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ 50-52. 68
Bab III
68 syak lagi memiliki sejumlah faktor yang melicinkan jalan bagi kelahirannya. Di antara faktor-faktor ini adalah sebagai berikut: a.
Historis Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, persoalan zakat bukanlah masalah baru, tetapi sebuah recurrent issue yang akan segera mengemuka manakala kondisi yang diperlukannya tersedia. Sebenarnya, upaya untuk membuat sebuah undang-undang zakat telah dilakukan segera setelah Orde Baru terbentuk. Pada 1968, misalnya, Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Nomor 4 dan 5, yang masing-masing berisi pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal. Akan tetapi, bukannya diimplementasikan, kedua peraturan itu malah berhenti di tengah jalan. Ada perbedaan pendapat mengenai sebab musabab kedua peraturan itu menjadi dorman. Menurut sebagian sarana, hal itu disebabkan oleh ketidaksetujuan Menteri Keuangan terhadap kedua peraturan itu. Sebagian yang lain menilai bahwa tidak berjalannya peraturan itu karena ketidaksetujuan Soeharto yang khawatir hal itu dapat mengarah pada pelaksanaan Piagam Jakarta. Sebaliknya, Soeharto—sebagai pribadi Muslim—malah bersedia menjadi amil zakat secara nasional. Akan tetapi, keterlibatannya mengelola zakat ini hanya berjalan selama beberapa tahun saja, sebab sejak 1972 ia mengundurkan diri. Selama periode keterlibatannya itu jumlah yang berhasil dikumpulkan hanya sebesar Rp. 39.500.000,- dan USD 2.473. Setelah mundur, ia justru mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang menarik dana secara langsung dari gaji para pegawai negeri. Padahal, di saat menjadi amil zakat, ia semestinya dapat melakukan hal serupa. Apalagi zakat merupakan kewajiban Muslim, yang tentu saja lebih mudah diterima oleh masyarakat, ketimbang sekadar sumbangan kepada Yayasan tersebut.70 Dengan kata lain, pengelolaan zakat selama ini belum memeroleh perhatian yang semestinya, di antaranya belum adanya undang-undang yang memayunginya. Karena itu, adanya undang-undang zakat sebenarnya sudah menjadi aspirasi Muslim sejak lama, tetapi selalu mendapat hadangan dari pihak pemerintah. Bahkan, seolah-olah pemerintah malah mempermainkannya demi kepentingan politik. Karena itu, tatkala kondisi berubah dan situasi politik mendukungnya, keinginan itu muncul kembali. Yaitu, aspirasi agar undangundang tentang zakat, yang telah dipersiapkan oleh FOZ diajukan oleh pemerintah ke DPR untuk dibahas. Sesungguhnya, hal seperti itu tidak hanya terjadi dalam kasus zakat. Seperti dimaklumi, upaya memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 juga terjadi beberapa kali. Setelah gagal dalam PPKI, usaha tersebut berulang dalam Konstituante 1959 meskipun harus mengalami nasib serupa, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 1 Mei 1959. Setelah tumbangnya Orde Baru, sejumlah partai juga mengusung kembali aspirasi itu dalam Sidang MPR 2002, namun ditarik kembali sebelum dilakukan voting. Singaktnya, kelahiran undang-undang zakat pada dasarnya tinggal menunggu waktu, sebab ia sudah menjadi aspirasi kuat Muslim yang sudah lama.
70
Bandingkan Arskal Salim, Challenging the Secular State, 124-25.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
69 b.
Ekonomi Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, faktor penting yang mula-mula mendorong lengsernya Soeharto dari kekuasaan adalah krisis ekonomi. Ini bermula dari beberapa krisis yang menimpa sejumlah negara Asia yang akhirnya berdampak sangat besar di Indonesia. Krisis ini tidak hanya menghancurkan ekonomi negara, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat, yang ditandai dengan naiknya harga kebutuhan mereka. Akibatnya, tingkat pengangguran dan kemiskinan rakyat Indonesia meningkat sangat tajam. Dalam situasi seperti itu, adanya pranata zakat menjadi sangat signifikan, jika dikelola dengan baik. Seperti dikemukakan Menteri Agama saat itu, A. Malik Fadjar, di hadapan anggota DPR, zakat merupakan sebuah potensi dan sumber dana yang sangat besar bila dikelola secara terencana dan maksimal, yang hasilnya dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan keadilan sosial.71 Banyak orang yang yakin bahwa zakat jika dikelola dengan baik dapat membantu negara dalam menghadapi krisis keuangan dan menyejahterakan rakyatnya. Hal itu tidak berarti zakat yang dikumpulkan oleh negara digunakan untuk membiyai negara, tetapi sebaliknya negara hanya berperan sebagai fasilitator dalam mengumpulkan zakat, yang dalam hal ini bertindak sebagai amil zakat. Dengan demikian, negara dapat mengumpulkan zakat, lalu mendistribusikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Jika pengelolaan ini terpusat, maka zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika didasarkan pada masing-masing daerah, hal itu akan menimbulkan ketimpangan, di mana daerah yang dapat mengumpulkan zakat sedikit, hanya dapat mengentaskan kemiskinan yang juga sedikit. Padahal, tidak menutup kemungkinan kalau di daerah itu terdapat banyak orang miskin, sementara zakat yang terkumpul hanya sedikit.72 Lebih jauh, diasumsikan bahwa zakat jika dikelola oleh negara dapat mengumpulkan dana yang mencapai puluhan triliun. Dengan dana sebesar ini, pemerintah dapat memprioritaskan pada aspek lain yang justru sangat membutuhkan banyak dana. Seperti dikemukakan M. Djamal Doa, jika dikelola oleh negara dengan sistem modern dan transparan, dana zakat dapat terkumpul hingga mencapai kurang lebih 80 trilyun rupiah, sebuah jumlah yang tentu saja melebihi anggaran sebuah departemen, seperti UKM yang pada 2000 hanya berkisar 20-25 trilyun rupiah.73 Asumsi tentang potensi yang demikian besar dari zakat ini mendorong masyarakat yang tercermin dalam DPR dan negara untuk mencoba menggali dan mendayagunakannya. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa negara sedang berada dalam krisis multidimensi, sehingga potensi zakat yang besar itu dipandang relevan dan signifikan.
71 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR mengenai RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 26. 72 AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Mufti, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004), 42-43. 73 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), 31-32.
Bab III
70 c.
Yuridis Seperti telah disebutkan sebelumnya, berbagai ketentuan tentang zakat telah dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi tumpang tindih antara satu dan lainnya tidak dapat dihindarkan. Sementara itu, akomodasi terhadap sejumlah peraturan yang berkaitan dengan kepentingan Islam dimaksudkan di antaranya adalah untuk menciptakan integrasi peraturan atau unifikasi undang-undang.74 Karena itu, RUU tentang pengelolaan zakat ini bertujuan pada terciptanya tertib hukum yang dapat menjadi landasan bagi pengelolaan zakat secara integral.75 Di sisi lain, pada 1993, Republika, koran yang diterbitkan oleh ICMI, mendirikan lembaga yang dikenal dengan Dompet Dhuafa (DD) Republika. Lembaga ini berusaha menjadi pengelola zakat yang dijalankan secara profesional dan kemudian berpengaruh besar bagi pelembagaan pengelolaan zakat. DD menerima dan menyalurkan berbagai sumbangan dari masyarakat, baik dalam bentuk zakat, infak maupun shadaqah, di samping bentuk sumbangan lainnya. Dibandingkan dengan lembaga-lembaga BAZIS lainnya, DD dapat dipandang sebagai yang paling sukses dalam mengumpulkan dana zakat, infak dan shadaqah. Yang demikian itu, karena melalui Republika DD dapat menyampaikan iklan, laporan penerimaan dan penyaluran dana yang ada secara transparan. Kesuksesan dalam penggalangan dana melalui koran ini juga dialami oleh Dana Kemanusiaan Kompas, yang dikelola oleh koran nasional ini. Melalui transparansi laporan dan penggunaan, para penyumbang terus meningkat dan tak pernah berhenti. Salah satu peran penting lembaga ini adalah memprakarsai kelahiran asosiasi organisasi pengelola zakat, yang kemudian dikenal dengan Forum Zakat (FOZ), yang dideklarasikan bersamaan dengan Seminar Zakat Perusahaan pada 7 Juli 1997. Pendeklarasian forum ini didukung oleh 11 lembaga, antara lain Dompet Dhuafa Republika, Bank Bumi Daya, Pertamina, Telkom Jakarta, Baitul Mal Pupuk Kujang, Bazis DKI, Hotel Indonesia dan Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia (STEI) Jakarta, yang kemudian sekaligus bertindak sebagai konsorsiumnya.76 Di antara persoalan mendasar yang menjadi perhatian forum ini adalah tidak adanya sebuah undang-undang yang dapat memayungi aktivitas mereka secara memadai. Tidak adanya landasan hukum yang tegas bagi pengelolaan zakat di satu sisi dan merebaknya lembaga-lembaga swasta dalam mengelola zakat di sisi lain, telah mendorong berbagai pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi. Karena itu, seluruh lembaga zakat (BAZIS) di tingkat provinsi di Indonesia, melalui fasilitas Depag, menyelenggarakan pertemuan nasional pada 3-4 Maret di Jakarta. Dalam pertemuan ini disadari oleh semua pihak, baik utusan BAZIS maupun Depag, akan pentingnya sebuah lembaga zakat di tingkat nasional untuk mengelola zakat. Mereka bahkan meminta Rudini, yang saat itu sebagai Menteri Dalam Negeri, bertindak sebagai ketua Dewan Zakat Nasional. Meskipun ia menyetujui usulan ini, tetapi Soeharto tidak dapat merestui semangat tersebut. 77
74
Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Sharia in the Perspective of Indonesian Legal Politics,‛ 7. 75 Lihat ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR mengenai RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 31. 76 Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ 63. 77 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
71 Kegagalan dan tiadanya lembaga zakat di tingkat nasional ini mendorong lembaga-lembaga lokal menjalin satu dengan yang lain sehingga terbentuklah Forum Zakat pada September 1997, yang disponsori oleh 11 lembaga zakat yang disponsori oleh pemerintah maupun swasta. Dalam waktu tak lebih dari dua tahun, 150 lembaga zakat lain bergabung kedalamnya sehingga forum ini memainkan peran penting dalam persoalan-persoalan zakat. Forum ini, selain memperkuat jaringan antarlembaga zakat, juga aktif menyebarkan informasi, mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang terkait dengan zakat. Hingga batas tertentu, forum ini menjadi konsultan dalam berbagai persoalan zakat sekaligus mediator dalam hubungannya dengan pemerintah. Dalam pertemuannya pada 7-9 Januari 1999, seluruh anggota sepakat untuk mendorong FOZ mempersiapkan sebuah draft undang-undang zakat.78 d.
Sosial-Politik Faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam mendorong lahirnya Undangundang Zakat adalah sosial dan politik. Sebagaimana dimaklumi, peran Muslim dalam era reformasi ini sangat besar, terutama dari kalangan intelektualnya. Seperti dikemukakan oleh Azyumardi Azra ‚Muslim groups have played an important role in the fall of Soeharto, ending a long period of autocratic rule and, therefore, providing an impetus for the growth of democracy. Prominent Muslim leaders, such as M. Amien Rais, Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid, had been at the forefront of the opposition movement in the last years of Soeharto’s power.‛79 Berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya, naiknya Habibie menggantikan Soeharto membawa suasana baru, yaitu kebebasan ekspresi yang sangat besar, yang oleh Bahtiar Effendy disebut sebagai euphoria atau relaksasi politik.80 Meskipun demikian, pemerintahan Habibie sering ditempatkan orang sebagai pemerintahan transisi sehingga memiliki kelemahan. Ini mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang diambilnya sangat akomodatif terhadap berbagai aspirasi dan tuntutan. Misalnya, ketika Kelompok Enam—yang terdiri atas Amien Rais, Emil Salim, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish Madjid dan lain-lain— mendesak Habibie agar pemilihan umum dipercepat, tuntutan itu pun segera dikabulkan. Demikian pula, ketika masyarakat menuntut pembebasan tahanan politik, liberalisasi kehidupan pers, termasuk kemungkinan diterbitkannya kembali beberapa media yang dibredel pada masa Soeharto, semua itu diberikan konsesi masing-masing oleh Habibie.81 Dalam situasi seperti inilah aspirasi pengajuan RUU tentang Zakat tampaknya juga harus diterima. Apalagi sudah berkali-kali upaya ini dilakukan sebelumnya, tetapi selalu menghadapi hambatan dan berakhir tanpa pembahasan. Ini tercermin dari pembahasan dalam DPR, di mana momen kebebasan ini dianggap sebagai waktu yang tepat untuk membahas dan mengesahkannya. 78
Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127-28. Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context (JakartaSingapore: Solstice Publishing, 2006), 5. 80 Lihat Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung: Mizan, 2000), 172. 81 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 308 dan 315. 79
Bab III
72 Lebih jauh, di samping sebagai Presiden, Habibie adalah ketua ICMI, yang menerbitkan koran nasional, Republika dengan Dompet Dhuafa-nya sebagai lembaga yang aktif mengelola zakat dalam koran itu. DD pula yang menjadi inisiator bagi terbentuknya FOZ, yang dari sini kemudian lahir draft RUU tentang Zakat pada 1999. Mengingat FOZ banyak diisi oleh orang-orang yang selama ini berkiprah di DD, maka bisa dimengerti bahwa ketika Habibie menjadi presiden, dengan mudah draft RUU tersebut diajukan oleh FOZ ke Menteri Agama dan selanjutnya ke presiden. Dari sinilah kemudian presiden mengajukan RUU tersebut ke DPR untuk dibahas dan memperoleh persetujuan dari lembaga ini. Fakta lain yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwa tahun 1999 adalah tahun diselenggarakannya pemilihan umum pertama setelah lengsernya Soeharto, di mana Habibie sendiri dipastikan akan mencalon diri dalam pemilihan presiden. Oleh sebab itu, wajar jika ada semacam dugaan bahwa pengajuaan RUU ini tidak dapat dipisahkan dari upaya Habibie untuk menarik simpati dari umat Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari sejumlah pendukung yang mengusung Habibie sebagai representasi umat Islam, di antarnya, berkat perannya dalam menyukseskan lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan Zakat.82 Dugaan semacam itu memang tidak dapat dihindarkan karena, seperti disinggung sebelumnya, hukum tidak dapat dipisahkan dari politik. Terlepas dari itu, fakta menunjukkan bahwa diajukannya RUU ini untuk dibahas bersama DPR telah memenuhi aspirasi umat Islam, yang selama ini sulit diwujudkan. C.
Konfigurasi Politik Legislasi Zakat Seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, konfigurasi politik dapat diartikan sebagai konstelasi kekuatan politik, yang bisa jadi bersifat demokratis atau otoriter.83 Disebut demokratis jika kekuatan atau sistem politik yang ada memberikan kepada masyarakat peluang untuk turut serta dalam menentukan kebijakan umum atau undang-undang. Sebaliknya, jika kekuatan atau sistem politik yang ada tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan atau undang-undang, ia disebut otoriter. Dengan kata lain, konfigurasi politik adalah situasi politik yang ada dalam masyarakat yang memengaruhi produk hukum yang dihasilkannya. Sementara itu, legislasi sering diartikan dengan ‚pembuatan undang-undang‛ (legislation, law-making atau statute-making). Rousseau, misalnya, mendefinisikan legislasi sebagai ‚an expression of the general will, such that a free people is only bound by the laws which they have made for themselves,‛84 sementara dalam Black’s Law Dictionary, legislasi didefinisikan dengan ‚the process of making or enacting a positive law in written form, according to some type of formal procedure, by branch of government constituted fo perform this process.‛85 Pengertian yang lebih luas tentang legislasi diberikan dalam Undangundang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 82
Cf. A.A. Miftah, Zakat Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007), 115. 83 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2001), 24-25. 84 Dikutip dalam John Bell, Sophie Boyron dan Simon Whittaker, Principles of French Law (Oxford: Oxford University Press, 1998), 14. 85 Bryan A. Garner, ed. in-chief, Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson, 2004), 918.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
73 yaitu ‚proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.‛ 86Melihat luasnya pengertian legislasi, dalam konteks penelitian ini, legislasi undang-undang tentang pengelolaan zakat dibatasi pada proses perumusan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan serta pelaksanaannya oleh lembaga negara yang bertugas menjalankannya. Seperti diketahui, pada masa Orde Baru sejumlah hukum Islam dilegislasi, yang pembahasannya kadang-kadang dilakukan bersama DPR, seperti Undangundang Perkawinan 1974, peraturan wakaf, peradilan agama dan lain sebagainya. Sementara itu, sejumlah undang-undang lain ditetapkan tidak melalui pembahasan dengan DPR, tetapi melalui instruksi presiden, seperti penetapan Kompilasi Hukum Islam dan Pendirian Bank Muamalat. Adapun kepentingan pemerintah terhadap legislasi hukum Islam sangat beragam. Pertama, penyatuan hukum yang didasarkan pada semangat nasionalisme dan wawasan nusantara. Kedua, rekayasa sosial, sebagaimana tercermin dalam undang-undang perkawinan 1974. Ketiga, untuk menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan Islam telah berubah, dari marginalisasi ke akomodasi. Keempat, untuk memeroleh legitimasi dari masyarakat atas pemerintah.87 Berbeda dengan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang lahir sebagai usul inisiatif DPR dan disahkan pada 15 April 1999, Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat ini merupakan inisiatif pemerintah yang diajukan kepada DPR pada 24 Juni 1999, melalui Surat Presiden Nomor R.31/PU/VI/1999. Terdiri dari 10 Bab dan 32 Pasal, konsideran yang dijadikan landasan pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Pengelolaan Zakat adalah Pasal 5 (ayat 1), Pasal 20 (ayat 1), Pasal 27 dan Pasal 29 serta Pasal 34 UndangUndang Dasar 1945.88 Seperti dikemukakan oleh Pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama (A. Malik Fadjar saat itu) di hadapan Rapat Paripurna DPR tanggal 26 Juli 1999, tujuan diusulkannya RUU ini untuk disahkan adalah agar pemerintah dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat dalam melaksanakan ibadah zakat sesuai dengan tuntunan agama. Lebih dari itu, melalui UU ini diharapkan fungsi dan peran zakat dapat ditingkatkan sehingga berguna bagi pengentasan kemiskinan di satu sisi, dan peningkatan kesejahteraan sosialekonomi di sisi lain.89 Akan tetapi, seperti diakui oleh Pemerintah, selama ini pengelolaan zakat tidak dikelola dengan baik, padahal pranata ini memiliki potensi yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat. Sejak diterbitkannya SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tentang Pembinaan BAZIS dan Instruksi Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1991 serta Instruksi bagi 86
UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 (1). Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‚Introduction: The State and Sharia in the Perspective of Indonesian Legal Politics,‛ 7-8. 88 Lihat ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 6, bagian konsideran ‚mengingat‛. 89 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 31; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 411. 87
Bab III
74 pelaksanaannya, pengelolaan zakat memang mengalami peningkatan. Pada 1992, misalnya, dana ZIS yang terkumpul secara nasional sebesar Rp. 10.896.196.000,dan meningkat menjadi Rp. 216.858.893.000,- pada 1997. Sungguhpun begitu, jumlah ini, menurut pemerintah, masih sangat mungkin ditingkatkan lebih jauh bila diukur dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia, yang mencapai lebih dari seratus juta.90 Hal ini bisa dibandingkan dengan pengelolaan zakat di Singapura dan Malaysia. Ditegaskan oleh Menteri Agama bahwa jumlah penduduk Muslim di Singapura hanya sekitar 450.000 jiwa (sekitar 15% dari seluruh jumlah penduduk), tetapi ZIS yang mereka keluarkan mencapai Rp. 71.500.000.000,pada 1997. Jumlah sebesar itu bisa dicapai, di antaranya, karena adanya undangundang yang mengatur zakat dan wakaf, sebagaimana terlihat dalam Undangundang No. 27 Tahun 1966 tentang Administrasi Orang-orang Islam, Bagian IV, Pasal 57-73.91 Sementara itu di Malaysia, kata Menteri Agama, jumlah dana yang terkumpul dari ZIS mencapai angka yang cukup signifikan karena pengelolaan zakat di sana dilakukan secara profesional dan sistematis. Di Wilayah Persekutuan (Negara Bagian Kuala Lumpur) saja, dana ZIS yang terkumpul dalam setahun (1997) sebesar Rp. 105.600.000.000,; (RM. 52.800.000,-) dengan jumlah penduduk Muslim hanya sekitar 650.000 jiwa. Yang lebih mengejutkan 97% dari jumlah itu diperoleh dari zakat mal, sementara 3% lainnya berasal dari zakat fitrah. 92 Lebih jauh dikatakan bahwa setelah negara bagian ini membentuk Pusat Pungutan Zakat (PPZ), yang dikelola secara profesional, dana yang terkumpul semakin meningkat. Jika sebelum dibentuk, rata-rata perolehan dana zakat, infak dan shadaqah hanya sebesar RM 5.000.000,-, melalui lembaga ini dana itu meningkat lebih dari dua kali lipat. Pada 1991, misalnya, PPZ berhasil mengumpulkan dana sebesar RM 13.500.000,- dan meningkat menjadi RM 21.200.000,- setahun kemudian. Enam tahun berikutnya, dana yang terkumpul menjadi RM. 52.800.000,-.93 Dengan demikian, pemerintah berasumsi bahwa jika zakat dikelola dengan baik maka jumlah nilai zakat diduga akan meningkat lebih besar dan karenanya diperlukan undang-undang. Pemerintah mengakui bahwa selama ini upaya untuk mengatur zakat melalui undang-undang telah lama diupayakan. Menteri Agama, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal. Akan tetapi, karena ada pihak-pihak tertentu ‚yang kurang berkenan, kedua peraturan itu akhirnya pelaksanaannya ditangguhkan melalui Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969. Upaya lain juga dilakukan, di antaranya, dengan mempersiapkan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Zakat. Akan tetapi, usaha ini juga mengalami nasib serupa, karena tidak sampai 90 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 27. 91 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12. 92 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU Pengelolaan Zakat,‛ 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12. 93 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
tentang tentang tentang tentang
75 dibicarakan bersama DPR. Yang muncul kemudian adalah SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang telah disebutkan.94 Sebulan setelah keterangan pemerintah, fraksi-fraksi di DPR, yang meliputi Fraksi ABRI (F-ABRI), Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI), menyampaikan pemandangan umum terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat dalam Rapat Paripurna yang diselenggarakan pada 26 Agustus 1999. Dalam pemandangan umumnya, Fraksi ABRI menilai bahwa RUU ini sangat relevan dengan situasi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, di mana jumlah penduduk miskin semakin meningkat. Dengan mendasarkan pada Pasal 34 UUD 1945, yang menegaskan bahwa ‚Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara,‛ F-ABRI menilai pengelolaan zakat yang baik dapat menjadi salah satu alternatif bagi krisis ekonomi dan kemiskinan. Fraksi ini juga memperkuat argumennya dengan sejumlah ayat Al-Quran yang menegaskan tujuan zakat untuk mengurangi kesenjangan sekaligus sebagai peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Karena itu, F-ABRI menilai keselarasan tujuan antara yang dicita-citakan oleh negara dan yang dianjurkan oleh kitab suci umat Islam ini, sehingga fraksi ini menyambut baik RUU tersebut dan bersedia untuk membahasnya.95 Optimism fraksi-fraksi ini memang sejalan dengan fungsi zakat, yang antara lain, untuk kesejahteraan sosial.96 Meskipun demikian, F-ABRI juga memberikan catatan bahwa jika kemudian RUU ini disahkan menjadi undang-undang, ia tidak boleh memiliki unsur paksaan, tetapi sekadar sebagai dorongan terhadap umat agar melaksanakan kewajiban zakat. F-ABRI menyarankan lebih jauh agar judul RUU diubah menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah, mengingat dalam sebagian pasalnya dikemukakan bahwa lembaga yang akan dibentuk oleh undang-undang ini juga menerima infak dan shadaqah.97 Tampaknya, fraksi ini sejak awal sudah mewanti-wanti agar undang-undang zakat tidak melibatkan negara dalam pengumpulannya melalui kekuatan. Seperti diisyaratkan oleh Sutarmadi, memang sejak awal sudah ada kompromi pada saat penyusunan RUU agar negara tidak memaksa warganya untuk membayar zakat. 98 Ini sangat berbeda dengan beberapa negara yang memang menerapkan hukum Islam, seperti Libya dan Saudi Arabia, serta Mesir.99 Sementara itu, dalam pemandangannya, F-Karya Pembangunan (F-KP) memandang signifikansi ekonomis dan sosial zakat bagi pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas umat Islam. Oleh karena itu, setelah RUU ini disahkan menjadi undang-undang, pengelolaan zakat harus dilaksanakan secara terencana, 94 ‚Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 26 Juli 1999, 29-30. 95 ‚Pemandangan Umum Fraksi ABRI atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 26 Agustus 1999, 38-39. 96 Bandingkan, misalnya, dengan Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IDB-Institute of Research and Training, 2004), 63. 97 ‚Pemandangan Umum Fraksi ABRI atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 41-42; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 415-16. 98 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara dalam Infoz, 4: 6 (2010), 25-27 99 Lihat, misalnya, ‘Uthma>n H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i al-Isla>mi (Kairo: Da>r al-Wafa>’, 1989), 203, 206 dan 207.
Bab III
76 komunikatif dan terkoordinasi dengan baik. Seperti F-ABRI, F-KP mengusulkan agar judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah, kata pengelola diganti dengan kata amil. F-KP juga mengusulkan agar yang mengangkat Badan Amil Zakat di tingkat nasional bukan sekadar Menteri Agama, tetapi Presiden dan memberikan sanksi yang lebih berat bagi pengelola yang menyimpang dari Rp. 30.000.000,- seperti yang diusulkan pmerintah menjadi Rp. 300.000.000,-.100 Seperti F-ABRI, F-PP melihat krisis ekonomi membuat RUU tentang Pengelolaan Zakat ini menjadi signifikan, mengingat jika dikelola dengan baik institusi keagamaan ini tidak saja dapat mengurangi kemiskinan, tetapi juga dapat menjadi solusi alternatif sebagai sumber dana/kas negara. 101 Pandangan seperti ini memang sejalan dengan tradisi fikih, yang menyebut zakat sebagai sumber sekunder negara.102 Akan tetapi, zakat—dalam pandangan F-PP—juga dapat menjadi beban tambahan di saat krisis sebab Muslim harus membayar dua kewajiban sekaligus, yakni pajak dan zakat itu sendiri. Oleh sebab itu, RUU ini harus memberikan jaminan bahwa pembayar zakat memeroleh keringanan dalam pembayaran pajak.103 Partai, yang setelah turunnya Soeharto kembali berasas Islam dan berlambang Ka‘bah, ini menilai bahwa ada kesan di kalangan sebagian masyarakat bahwa negara terlalu mencampuri urusan ibadah warga, sehingga diperlukan sosialisasi yang luas untuk menyanggah dugaan itu.104 Adapun pemandangan umum F-PDI didasarkan pada fungsi dan daya guna zakat yang prioritasnya adalah untuk kesejahteraan sosial. Satu-satunya catatan yang diberikan oleh fraksi ini adalah persoalan sanksi yang akan diterapkan pada pengelola yang menyalahgunakan dana zakat yang, menurut F-PDI, harus didasarkan pada tingkat kesalahan pengelola.105 Merespons pemandangan yang disampaikan oleh fraksi-fraksi, pemerintah justru menilai bahwa para anggota DPR begitu antusias terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat. Bahkan hingga batas tertentu usulan-usulan fraksi-fraksi justru mempertajam usulan pemerintah. Sebagai misal, pemerintah menyetujui perubahan judul RUU ini menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah. Akan tetapi, hal itu bergantung pada persetujuan seluruh fraksi di DPR. Berkaitan dengan usulan agar BAZ dibentuk dan diangkat oleh pemerinah, dalam hal ini Presiden dan bukan Menteri Agama, pemerintah menyetujui usulan tersebut. Lebih jauh, pemerintah juga menyetujui usulan agar sanksi pelanggar
100
‚Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
48-50.
101 ‚Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 55-56. 102 Lihat, misalnya, Sabahuddin Ahmad, Menimbang Ekonomi Islam, terj. Widyawati (Bandung: Nuansa, 2007). 103 Pengurangan pembayaran wajib pajak setelah pembayaran wajib zakat seperti ini memang lazim diperlakukan di beberapa negara, seperti di Malaysia. Pengurangan ini hanya berlaku bagi individu dan tidak bagi perusahaan. Lihat Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 77. 104 ‚Pandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 61. 105 ‚Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 26 Agustus 1999, 66-67.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
77 atau yang menyalahgunakan pengelolaan zakat ditingkatkan, dari denda sebesar Rp. 30.000.000,; menjadi Rp. 300.000.000.106 Pembahasan tentang RUU ini kemudian secara lebih terperinci dilakukan dalam Pembicaraan tingkat III yang berlangsung dalam Rapat Kerja sebanyak 10 kali. Dalam rapat-rapat itu, 119 buah persoalan yang disebut Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diangkat dan diperdebatkan, 91 di antaranya berkaitan dengan batang tubuh RUU, sementara 2 lainnya berhubungan dengan penjelasan. Di antara masalah pokok yang penting diangkat di sini adalah sebagai berikut. 1.
Judul RUU Persoalan judul sebenarnya telah muncul di saat F-KP dan F-ABRI menyampaikan pemandangan umum atas RUU ini dan kembali mengemuka dalam Rapat Kerja.107 Argumentasi yang dikemukakan oleh F-KP adalah bahwa—sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) RUU—BAZ juga menerima infak dan shadaqah. Dengan kata lain, bagi fraksi ini, ternyata undang-undang ini tidak hanya berkaitan dengan zakat, tetapi juga menyangkut bentuk kedermawanan lain, sehingga lebih tepat kalau judul RUU disesuaikan dengan cakupannya, dan karenanya menjadi Rencana Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, Infak, Shadaqah. F-ABRI menambahkan, mengingat baik zakat, infak maupun shadaqah ditangani oleh satu lembaga atau amil, maka ketiganya tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, ketiganya harus disebutkan dalam judul RUU ini. 108 Seperti disebutkan sebelumnya, meskipun ketiganya masuk dalam kategori shadaqah, namun pembahasan fikih umumnya membedakan satu sama lain. Akan tetapi, dalam pengelolaannya bisa masuk ke dalam satu lembaga seperti Baitul Mal. 109 Menanggapi usulan itu, F-PDI menilai bahwa usulan itu sesungguhnya kurang signifikan karena dua hal. Pertama, dari sisi waktu, jika judul yang diusulkan pemerintah itu diubah, maka banyak pasal yang harus mengikuti penyesuaian. Ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan bisa jadi mengakibatkan mundurnya pengesahan undang-undang ini. Kedua, ada perbedaan antara zakat, infak dan shadaqah. Jika yang pertama wajib, dua lainnya hanya sunnah. Lebih jauh, dua jenis kedermawanan terakhir ini tidak dapat dipastikan waktu maupun jumlahnya. Kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak ada.110 Sementara itu, F-PP mengemukakan argumen yang agak berbeda dengan menganalogikan RUU ini dengan Undang-undang Pengelolaan Haji. Meskipun judul undang-undang tentang haji, tetapi di dalamnya juga menyangkut umrah. Namun, yang terakhir disebutkan ini tidak dimasukkan ke dalam judul undangundang tersebut. Lebih jauh, masalah sedikitnya waktu juga menjadi pertimbangan fraksi ini. Baginya, yang penting undang-undang ini—dengan keterbasan waktu itu—dapat disahkan dahulu, persoalan diperlukan perbaikan, hal 106 ‚Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 31 Agustus 1999, 75-79. 107 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta: 2008), 387. 108 ‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999, 176-179; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 415. 109 Lihat N.J. Coulson, ‚Bayt al-Ma>l,‛ dalam The Encyclopedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill, 1986), 1: 1142. 110 ‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999, 178.
Bab III
78 itu dapat dilakukan pada masa mendatang. Lebih-lebih, aspirasi terhadap adanya undang-undang zakat ini sudah dirasakan sejak 50 tahun lalu. 111 Dalam undangundang tentang zakat di negara-negara Muslim, memang tidak lazim disebutkan undang-undang tentang pengelolaan zakat, infak dan shadaqah sekaligus, meskipun undang-undang itu meliputi dua yang terakhir ini. Di Pakistan, misalnya, undang-undang tentang zakat hanya diberi judul ‚Zakat and ‘Ushr Ordinance of 1981.‛112 Akhirnya, rapat tidak dapat mengambil keputusan tentang perubahan judul ini, tetapi diserahkan kepada Panja atas usulan pemerintah. Dalam Rapat Panja yang diadakan pada 3 September 1999, persoalan ini kembali menghangat. FABRI bersikukuh agar judul ini diubah menjadi ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah,‛ dengan alasan karena terbukti undang-undang ini juga membicarakan infak dan shadaqah dan pengelolaannya juga satu. Usulan serupa dikemukakan F-KP dengan argumen yang lebih panjang. Fraksi ini mendasarkan perubahan ini pertama-tama atas hadis yang menegaskan bahwa ‚memberi itu lebih mulia dari yang diberi‛ (al-yadd al-‘ulya> khayr min al-yadd al-sufla>). Hadis ini mengisyaratkan bahwa pemberian itu bisa meliputi ketiga jenis filantropi tersebut. Lebih jauh, baik sasaran zakat maupun infak dan shadaqah adalah delapan golongan penerima (al-as}na>f al-thama>niyah), sehingga judul RUU ini harus meliputi ketiganya. Alasan lainnya adalah bahwa zakat, infak dan shadaqah itu sendiri memiliki pengertian yang saling dapat dipertukarkan, dan ini sudah disepakati oleh para ulama. Kemudian, dalam masyarakat, sudah umum dikenal istilah BAZIS, yang juga menyertakan infak dan shadaqah. Kalau judul yang diangkat hanya tentang zakat, hal ini akan menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat. Sebaliknya, kalau judul undang-undang ini berjudul UU tentang Pengelolaan ZIS, hal itu sudah tidak asing lagi bagi mereka. Lebih dari itu, inti dari undang-undang ini adalah menyejahterakan masyarakat, sebagaimana tujuan zakat itu sendiri. Mengingat zakat saja tidak mungkin mampu mencapai tujuan itu, infak dan shadaqah harus menyertainya, dan karenanya dua yang terakhir ini harus dimasukkan dalam judul undang-undang ini.113 Berbeda dengan dua fraksi ini, F-PDI tidak memandang signifikan penambahan judul RUU ini. Dalam pandangan fraksi banteng ini, jika judulnya diubah, perubahan juga mesti dilakukan tidak hanya dalam masalah konsideran, tetapi juga dalam pasal-pasal dan lain sebagainya. Ini dikhawatirkan akan memperlambat penyelesaian undang-undang ini, sementara masa jabatan para wakil rakyat sebentar lagi segera berakhir. Lebih jauh, menjadi persoalan tersendiri, bagaimana menggabungkan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang hanya sunnah. Karena itu, F-PDI menghendaki agar judul undang-undang ini tetap 111
‚Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999,
180-181. 112
Habib Ahmed, Role of Zaka>h and Awqa>f in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004),
92.
113 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 456-457. Seperti disinggung sebelumnya, perbedaan antara infak dan sadaqah sangat tipis. Beberapa ulama menilai bahwa yang pertama lebih terkait dengan keluarga, sementara yang kedua lebih bersifat umum. Lihat, misalnya, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> alMara>ghi>, Min Qad}a>ya al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 71-73; lihat juga A. Shaukat J. Gilani, ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3: 1(1985), 64.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
79 sesuai dengan usulan pemerintah. Senada dengan pandangan ini, F-PP juga menilai bahwa memasukkan infak dan shadaqah dalam judul undang-undang ini sebenarnya tidak begitu signifikan. Menurut fraksi ini, zakat sebagai kewajiban memang sudah semestinya menjadi judul, tetapi memasukkan infak dan shadaqah yang sunnah ke dalam judul seolah-olah menyamakan kedudukan keduanya. Bagi F-PP, dengan penekanan pada zakat saja, jika dilaksanakan dengan baik, hal itu sudah menjadi prestasi yang luar biasa, mengingat bidang ini belum tergarap dengan baik. Meskipun demikian, infak dan shadaqah tetap diakomodasi dan telah disebutkan dalam pasal-pasal. Karena itu, perubahan judul RUU ini dipandang tidak diperlukan.114 Menanggapi dua arus pemikiran di atas, pemerintah menegaskan bahwa judul ‚Pengelolaan tentang Zakat‛ ini telah dipilih searif mungkin. Ini bisa dilihat secara kronologis dan historis pengajuan RUU ini sebelumnya. Suatu ketika, RUU yang pernah diajukan berjudul RUU tentang Zakat dan beberapa kali pula mengalami penolakan, sehingga kali ini diberi judul RUU tentang Pengelolaan Zakat. Di samping itu, judul ini juga mengikuti RUU Haji yang diajukan oleh DPR dengan judul RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang dalam pasalpasalnya juga membicarakan umrah.115 Ini menunjukkan bahwa bukan persoalan ibadahnya yang ditekankan, tetapi pengelolaan zakat itu sendiri. Di sini terlihat bahwa RUU ini berusaha menghindarkan negara dalam masalah keagamaan, terutama yang terkait dengan ibadah zakat. 116 Setelah masing-masing pihak menyampaikan pendapat, perdebatan menjadi semakin menghangat. F-ABRI mengawali responsnya terhadap pandangan tersebut dengan mengatakan bahwa judul harus merepresentasikan isinya. Jika tidak, hal itu akan membingungkan masyarakat dan pembaca. Di samping itu, tanpa dimasukkannya infak dan shadaqah ke dalam judul akan berimplikasi bahwa sanksi yang ditetapkan bagi pihak yang menyelewengkan zakat seolah-olah tidak berlaku bagi mereka yang menyelewengkan infak dan shadaqah. Yang lebih penting lagi, ternyata dana yang terkumpul melalui infak dan shadaqah jauh lebih besar ketimbang dana yang diperoleh melalui zakat. Karena itu, sudah sepantasnya dua hal ini dimasukkan dalam judul. Mempertegas pandangan FABRI, F-KP mengemukakan bahwa sejauh ini yang disosialisasikan kepada masyarakat adalah BAZIS yang sudah berlangsung sejak 1991 melalui SKB Menteri Dalam Negri dan Menteri Agama. Karena itu, dengan dimasukkannya infak dan shadaqah ke dalam judul RUU, hal itu mempermudah sosialisasi kepada masyarakat. Lebih jauh, untuk mempertegas sanksi, dua kata ini harus dimasukkan ke dalam judul, sehingga menjadi warning bagi masyarakat bahwa yang menyelewengkan dana infak dan shadaqah pun akan mendapatkan sanksi. Dengan kata lain, masyarakat akan melihat ketiga jenis filantropi ini merupakan suatu kesatuan.117 114 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 458-461. 115 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 464-465. 116 Ini diakui oleh Ahmad Sutarmadi, yang memang sejak awal istana menolak kalau-kalau negara dilibatkan. Lihat Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara dalam Infoz, 4:6 (2010), 25-27. 117 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 466-469.
Bab III
80 Sementara itu, F-PP tetap bersikukuh bahwa judul RUU ini cukup dengan Pengelolaan Zakat saja. Seperti dikemukakan oleh juru bicaranya, Lukman Hakim Saifuddin, jika persoalannya sekadar agar memperjelas isi undang-undang, mestinya undang-undang yang ada sebelumnya juga demikian. Namun, terbukti tidak sedikit undang-undang yang hanya berjudul singkat meskipun berisi banyak hal. Undang-undang Perkawinan, misalnya, meliputi talak, cerai, rujuk, tetapi judulnya cukup dengan Undang-undang Perkawinan. Yang lebih penting lagi, bagi F-PP, adalah bahwa zakat kedudukannya wajib, sementara infak dan shadaqah hanya sunnah. Lebih dari itu, jika zakat memiliki target dan sasaran yang jelas, yakni as}na>f al-thama>niyah, tidak demikian halnya dengan infak dan shadaqah. Karena itu, judul RUU ini tidak usah diubah. Menanggapi argumen F-ABRI bahwa dana infak dan shadaqah lebih besar, pemerintah mengajukan perbandingan dengan zakat di Kuala Lumpur. Di sini, infak dan shadaqah juga jauh lebih tinggi ketimbang zakat perolehannya. Itu terjadi karena zakat tidak dikelola secara profesional. Akan tetapi, setelah diundangkan dan dikelola dengan baik, ternyata dana dari zakat meningkat sangat tinggi, sementara infak dan shadaqah hanya mencapai 0,3% dari seluruh dana yang masuk ke Pusat Pungutan Zakat (PPZ). Dengan kata lain, RUU tentang Pengelolaan Zakat menitikberatkan pada zakat, sementara infak dan shadaqah bersifat sekunder.118 Perdebatan ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kerangka fikih, di mana zakat, infak dan shadakah dipandang sebagai entitas yang berbeda. Karena itu, pembahasan tentang zakat dalam fikih dilakukan secara terpisah dari infak dan shadaqah, meskipun seluruhnya masuk ke dalam kategori shadaqah. 119 Perbedaan pandangan di atas ternyata terus mengalir dan tidak menghasilkan suatu kata sepakat. Akhirnya, pembahasan dalam rapat pun diskor dan diselesaikan melalui lobi. Setelah berlangsung dalam beberapa menit, akhirnya rapat menyetujui untuk tidak mengubah judul RUU ini. Semangat di balik kesepakatan ini adalah bahwa RUU ini harus selesai karena kehadirannya telah ditunggu oleh masyarakat dan memang masa jabatan anggota DPR saat itu akan segera berakhir.120 2.
Antara Ibadah dan Kepentingan Sosial Persoalan lain yang menarik untuk dicatat adalah perbedaan pandangan di kalangan DPR tentang zakat. Perbedaan ini bermula timbul dari konsideran RUU yang menyebutkan bahwa (1) ‚menunaikan zakat sebagai kewajiban warga negara Indonesia yang beragama Islam yang mampu, merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat‛; (2) ‚zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu.‛ 121 Dari dua pengertian ini terlihat bahwa penekanan yang diberikan pada zakat terletak pada kedudukannya sebagai dana yang memiliki potensi besar bagi 118 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 471-474. 119 Lihat, misalnya, Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2000), 2: Bab 4; Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 276-358. 120 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 3 September 1999, 479. 121 Lihat ‚RUU No… Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,‛ bagian Menimbang.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
81 kesejahteraan. Dengan kata lain, berdasarkan pengertian itu, zakat tak lebih dari sekadar pengumpulan dana yang diwajibkan oleh agama. Karena itu, F-PP mengusulkan agar nilai dan tujuan zakat juga ditekankan. Dalam pandangan fraksi ini, terlepas dari potensinya bagi kesejahteraan rakyat, zakat pada dasarnya adalah ibadah, yang tujuannya tidak semata-mata demi kesejahteraan itu, namun di balik ketaatan melaksanakan ibadah itu adalah harapan untuk mendapat ridha Allah Swt. Sesuai tujuan tersebut, F-PP mengusulkan agar dua pengertian itu diubah menjadi ‚menunaikan zakat merupakan kewajiban warga negara Indonesia yang beragama Islam yang diwajibkan oleh hukum agama untuk mencapai keridhaan Allah.‛122 Menanggapi usulan ini, F-KP bisa memaklumi dan mengakui bahwa tujuan ibadah memang demi keridhaan Allah. Akan tetapi, tujuan RUU ini bukanlah pada dimensi batin ibadah itu. Sebaliknya, yang ditekankan adalah masalah pengelolaannya. Mengingat RUU ini bertujuan pada pengelolaan zakat, bukan hukum dan tujuannya sebagai ibadah, fraksi ini menerima rancangan pertama dan, dengan demikian, menolak usulan F-PP. Penolakan yang lebih keras datang dari F-ABRI. Fraksi ini menilai bahwa usulan itu sudah mengarah pada upaya yang benar-benar memasukkan ajaran agama dalam Undang-undang. Lebih tegasnya, dengan memasukkan ‚keridhaan Allah‛ dalam UU berarti pengakuan terhadap pendekatan fikih. Padahal, yang diharapkan dari RUU ini adalah menyejahterakan rakyat melalui zakat, bukan mendekatkan mereka kepada Allah. Sementara itu, F-PDI mendasarkan penolakannya pada dua alasan. Pertama, pengundangan zakat ini sendiri telah memunculkan kesan di sebagian kalangan masyarakat bahwa persoalan zakat saja diundang-undangkan. Kedua, undangundang bersifat nasional dan umum. Kalau ditambahkan kata ‚keridhaan Allah‛ ke dalam RUU ini, akan semakin mengesankan bahwa RUU ini memanjakan segala yang bernuansa Islam.123 Dari perdebatan tersebut terlihat bahwa, sebagai partai Islam, F-PP berusaha menunjukkan sikapnya dengan mempertegas dimensi ibadah mahdah dalam zakat, sementara yang lainnya menekankan aspek sosial dari ibadah itu. Usulan F-PP ini bisa dimaklumi mengingat semasa Reformasi partai ini semakin mempertegas identitasnya sebagai partai Islam, dengan mengganti lambang bintang dengan Ka‘bah dan ideologi Pancasila dengan Islam. Sebaliknya, fraksi-fraksi lain tetap memandang undang-undang zakat ini harus bebas dari unsur-unsur mahdah suatu ibadah. Karena tidak tercapai kesepakatan, masalah ini kemudian dibahas lebih lanjut dalam rapat Panja. Dalam rapat ini, F-PP kembali mempertegas usulannya bahwa keridhaan Allah harus dimasukkan dalam definisi zakat, mengingat inti ibadah dalam Islam adalah untuk memeroleh perkenan Tuhan. Dalam pandangan F-PP, apa yang dikemukakan dalam RUU ini hanya mengedepankan aspek sosial zakat, dan mengabaikan dimensi religius ibadah ini. Karena itu, kata ‚keridhaan ini‛ dapat menjadi penyeimbang dimensi sosial zakat. 124 Memang, zakat merupakan ibadah 122
‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 1 September 1999, 185. 123 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 186-189. 124 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 484.
Bab III
82 mahdah, tetapi memiliki dimensi sosial. Tujuan ibadah mahdah, menurut alZuh}ayli,> adalah ‚membangun hubungan manusia dengan Tuhannya‛ ( tanz}i>m ‘ala>qat al-insa>n bi-rabbihi).125 F-ABRI menilai bahwa hal itu berlebihan, mengingat dalam ketentuan umum telah disebutkan frasa agama Islam, yang mengisyaratkan ketentuanketentuan agama ini. Dalam pandangan fraksi ini, keridhaan Allah itu hanya bisa dilihat berdasarkan ketentuan-ketentuan agama itu. Penolakan serupa juga disampaikan oleh F-KP. Menurut fraksi Golkar, frasa ini akan berdampak pada pasal-pasal berikutnya, padahal substansi yang ada dalam RUU telah terpenuhi. 126 Pandangan ini diafirmasi oleh pemerintah yang bersikukuh pada rumusan awal dalam RUU. Akhirnya, masalah perdebatan ini akan dibicarakan kembali dalam Tim Perumus (Timus). Perdebatan tentang definisi zakat di atas sebenarnya juga terjadi dalam fikih. Dalam disiplin ilmu ini, pendifinisian zakat tidak pernah dikaitkan dengan bangsa atau kelompok tertentu, seperti Indonesia, tetapi diberlakukan secara umum bagi setiap Muslim yang mampu. Al-Zuh}ayli>, misalnya, hanya menyebutkan zakat sebagai ‚hak yang mesti ada dalam harta‛ (h}aqq yajibu fi> al-ma>l). Tampaknya, kewajiban yang ditetapkan oleh agama, sebagaimana diusulkan oleh FPP di atas, hanya disebutkan secara implisit. Bahkan keridaan Allah yang menjadi tujuan zakat, bagi fraksi ini, hanyalah dipegang oleh Mazhab Hanbali, yang mendefinisikan zakat dengan ‚mengeluarkan bagian dari harta tertentu, bagi kelompok [masyarakat] tertentu, yang telah ditetapkan oleh Allah demi keridaanNya‛ (li-wajh Alla>h).127 Dengan demikian, definisi zakat yang ditetapkan dalam RUU ini merupakan khas Indonesia, tetapi sejalan dengan pandangan fikih. Lebih jauh, zakat merupakan ibadah mahdah yang bertujuan pada keridaan Allah, tetapi juga memiliki dimensi material sosial (ma>liyyah ijtima>‘iyyah), yang tujuannya adalah solidaritas sosial terhadap mereka yang kurang mampu. Dengan kata lain, di balik dimensi sosialnya itu, zakat memiliki tujuan batin yang lebih dalam, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.128 3.
Konsideran RUU Masalah lain yang menjadi perdebatan hangat dalam rapat ini adalah persoalan konsideran RUU. Disebutkan di dalamnya bahwa yang menjadi landasan RUU ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, Pasal 29 dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945. Di samping konstitusi, RUU ini juga melandaskan diri pada TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Garis Besar Halun Negara. F-KP menilai bahwa dimasukkannya Pasal 27 ke dalam konsideran RUU ini tidak relevan karena pasal ini membicarakan tentang tenaga kerja. Dengan merujuk pada penjelasan pasal ini, yang menyebutkan bahwa ‚negara menjamin pada masyarakat Indonesia untuk memberi pekerjaan dengan upah yang layak,‛ fraksi ini mengusulkan agar pasal ini didrop dari konsideran RUU. Usulan ini juga 125 126
Lihat al-Zuh}ayli, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 1: 19. ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
482. 127 128
Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuh, 2: 730. Lihat, misalnya, ‘Uthma>n H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i al-Isla>mi, 13.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
83 mendapat dukungan dari F-ABRI. Berbeda dengan pandangan ini, F-PP meminta agar pemerintah menjelaskan alasan memasukkan pasal ini ke dalam konsideran. Sebab, dalam pandangan fraksi ini, selama pasal ini memiliki relevansi, ia dapat memperkuat posisi RUU ini. Respons pemerintah sendiri terhadap persoalan ini juga tidak meyakinkan dan menyetujui agar pasal ini didrop dari konsideran.129 Konsideran lain yang dipersoalkan adalah masalah TAP MPR tentang GBHN itu. F-ABRI mengusulkan konsideran ini dihapus, dan kalau pun tidak dihapus ia harus diubah. Argumennya, sesuai dengan Kepres Tahun 1999 tentang Tata Cara Pembuatan Undang-undang, TAP MPR tidak perlu dicantumkan sebagai dasar konsideran, kecuali TAP tersebut mengamanatkan secara khusus dibentuknya sebuah RUU. Adapun perubahan yang ditawarkan fraksi ini adalah penghapusan ‚Garis Besar,‛ mengingat TAP itu sendiri tidak menyebutkan frasa tersebut. Terhadap usulan pertama, banyak pihak yang tidak menyetujuinya, mengingat dalam TAP tersebut mengandung semangat transparansi, keadilan dan lain sebagainya. Bahkan, menurut F-KP, TAP inilah yang justru mewarnai pembuatan RUU ini. Sementara F-PP juga memandang relevansi TAP ini sebagai konsideran dalam RUU Zakat, mengingat Kepres itu hanya berlaku bagi pihak eksekutif yang hendak merancang sebuah undang-undang. Dengan demikian, secara yuridis, pencantuman TAP itu tidak melanggar. 130 Sementara usulan kedua, semua pihak menerimanya karena memang tidak sesuai dengan judul TAP itu sendiri. Meskipun demikian, F-KP menambahkan bahwa seandainya frasa ‚Garis Besar‛ tidak dihapuskan pun tidak bermasalah, karena pada prinsipnya hal itu merupakan pengganti dari GBHN sebelumnya, dan MPR memang tidak membuat GBHN saat Sidang Istimewa 1999. Jadi, statusnya adalah sama dengan GBHN.131 Akhirnya, rapat memutuskan hanya menghapus frasa ‚Garis Besar‛ dan mempertahankan TAP ini sebagai konsideran. Usulan lain yang tak kalah menarik dilakukan oleh F-KP, yang ingin menambahkan konsideran RUU ini. Fraksi ini mengusulkan agar Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Kewenangan Peradilan Agama dimasukkan sebagai konsideran. Alasannya adalah bahwa undang-undang ini memberikan kewenangan tidak hanya untuk memutus masalah perkawinan, tetapi juga masalah sengketa infak dan shadaqah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49. Lebih jauh, dalam RUU Zakat ini menyebutkan adanya sanksi bagi penyelenggara yang tidak jujur. Karena itu, Undang-undang No. 7 ini sangat relevan untuk dijadikan sebagai konsideran selain UUD 1945 dan TAP MPR yang disebutkan di atas. 132 Akan tetapi, usulan tersebut tidak langsung dibahas dalam rapat ini, sebaliknya ia akan dibahas dalam Rapat Panja. Dalam Rapat Panja, F-ABRI menyetujui usulan ini, karena memang UU No. 7 itu berkaitan dengan shadaqah. Untuk itu, fraksi ini mengusulkan agar UU No. 7 menjadi konsideran ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR. Akan tetapi, pandangan ini justru dipertanyakan oleh F-PP, sebab undang-undang tersebut 129 ‚Risalah Zakat,‛ 217-20. 130 ‚Risalah Zakat,‛ 221-224. 131 ‚Risalah Zakat,‛ 223. 132 ‚Risalah Zakat,‛ 226-227.
Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan
Bab III
84 memuat sekian banyak pasal. Kalaupun benar pasal tersebut berkaitan dengan infak dan shadaqah, ia tidak perlu menjadi suatu konsideran tersendiri, tetapi cukup dimasukkan ke dalam konsideran sebelumnya. F-PP juga mempertanyakan apakah lazim sebuah undang-undang mengacu pada undang-undang lain yang sederajat. Padahal, biasanya, sebuah undang-undang merujuk kepada sesuatu yang lebih tinggi, seperti UUD 1945 dan TAP MPR. 133 Menjawab pertanyaan dewan mengapa pemerintah tidak memasukkan, juru bicaranya mengatakan bahwa pasal itu memiliki penjelasan tentang perkawinan dan kewarisan, tetapi penjelasan tentang shadaqah dan wakaf tidak diberikan. Pemerintah menduga bahwa shadaqah di situ bukanlah shadaqah sunnah, yang sukarela, tetapi pasti shadaqah yang wajib atau zakat. Karena itu, pemerintah memandang perlu mempertimbangkan undang-undang ini dalam sebuah pasal tersendiri.134 F-ABRI dan F-KP sendiri tetap mendukung dimasukkannya UU No. 7 Tahun 1989 sebagai salah satu konsideran terpisah. Dalam pandangan F-ABRI, justru dengan dimasukkannya undang-undang ini akan terlihat adanya sinkronisasi antar undang-undang, bukan berjalan sendiri-sendiri. F-KP menambahkan bahwa sebuah undang-undang disebutkan dalam konsideran ternyata lazim dilakukan dalam undang-undang lain, seperti UU No. 7 itu sendiri yang juga merujuk pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Karena itu, secara substansial, F-KP melihat ada masalah dengan memasukkan suatu undang-undang sebagai konsideran bagi undang-undang yang lain.135 Akhirnya, rapat menyetujui usulan ini untuk dibahas dalam Rapat Tim Perumus, dan akhirnya masuk ke dalam konsideran UU tentang Pengelolaan Zakat sebagaimana kita lihat sekarang. Yang aneh, meskipun tidak masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah justru masuk menjadi konsideran keempat setelah UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di samping itu, dalam pembahasan rapat Panja maupun Tim Perumus masalah ini sama sekali tidak mengemuka. Bahkan dalam laporanlaporan hasil seluruh rapat tidak disebutkan sama sekali mengenai dimasukkannya UU No. 22 Tahun 1999 ini ke dalam konsideran. 4.
Definisi Pengelolaan Zakat Perdebatan seru juga terjadi dalam masalah definisi pengelolaan zakat. Meskipun RUU ini tentang pengelolaan zakat, namun pengertian pengelolaan zakat itu sendiri tidak diberikan dalam ketentuan umum. Melihat kekurangan ini, F-ABRI dan F-KP mengusulkan penambahan ayat, yang menerangkan apa yang sesungguhnya dimaksud dengan pengelolaan zakat. Menurut F-ABRI, di satu sisi, pengelolaan zakat di sini menjadi inti dari RUU ini, dan di sisi lain, ungkapan ini sering disebutkan berulang-ulang di dalamnya. Karena itu, fraksi ini menganggap penting memasukkan pengertian pengelolaan zakat dalam RUU ini. Pandangan ini 133
‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
492-495. 494.
134
‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
135
‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
497-498.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
85 dipertegas oleh F-KP seraya menambahkan bahwa titik tekanan dalam RUU ini adalah pengelolaan zakat, sehingga fraksi ini mengusulkan bunyi ayat tambahan ini adalah ‚Pengelolaan adalah pengurusan zakat, infak, shadaqah mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam memenuhi kewajiban agama.‛ Menanggapi usulan tersebut, pemerintah menegaskan bahwa usulan itu dapat diterima, tetapi perlu perumusan yang lebih hati-hati. Untuk itu, ia mengusulkan agar substansi itu dapat didiskusikan lebih lanjut dalam Panja. 136 Namun, dalam Panja sendiri masalah ini disetujui untuk dibicarakan dan akhirnya disetujui dalam Tim Perumus.137 5.
Definisi Zakat Pemerintah dalam RUU mendefinisikan zakat sebagai ‚kewajiban keagamaan yang dibebankan atas seorang Muslim sesuai dengan ketentuan hukum agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.‛ Persoalan ini mengemuka ketika F-ABRI—dengan merujuk pada definisi haji sebagaimana terkandung dalam UU Pelaksanaan Haji—menekankan definisi zakat sebagai salah satu dari lima rukun Islam. Sementara itu, bagi F-KP, definisi ini sangat bernuansa religius dengan dicantumkannya ungkapan hukum agama. Padahal, bagi fraksi ini, undang-undang ini harus menghindari ungkapan yang bernuansa keagamaan atau bernuansa ibadah seperti itu, mengingat ibadah di luar cakupan RUU ini. Berbeda dengan definisi pemerintah, F-KP melihat bahwa esensi zakat adalah jumlah harta yang harus dibayarkan oleh seseorang, sehinga mendefinisikan zakat dengan ‚sebagian harta yang disisihkan setelah melalui ketentuan haul dan nisab yang merupakan kewajiban bagi muzakki yang dikelola oleh amil untuk diberikan kepada mustahik‛. 138 Pandangan ini tampaknya sangat dekat dengan definisi zakat yang dikemukakan al-Zuhayli> di atas, di mana zakat diartikan sebagai ‚harta yang menjadi hak orang lain.‛ Bahkan, hanya Mazhab Hanbali yang mendefinisikan zakat dengan mengaitkan pada rida Allah. 139 Menanggapi usulan tersebut, pemerintah menegaskan bahwa zakat ini hendak didefinisikan secara lebih luas ketimbang undang-undang haji. Meskipun demikian, pemerintah dapat menerima usulan tersebut untuk didiskusikan lebih jauh dalam Panja. Sementara itu, F-PP melihat bahwa definisi yang ditawarkan Pemerintah dalam RUU hanya menekankan orang perorang yang harus dikenai zakat. Karena itu, fraksi ini mengusulkan agar tidak hanya orang, tetapi juga badan yang berkewajiban membayar zakat. Alasan di balik usulan ini adalah bahwa fikih pada dasarnya dinamis, dan sejalan dengan perkembangan dunia usaha, ia dapat memperluas lingkup pembahasan zakat. 140 Sebenarnya, di beberapa negara Muslim, badan atau perusahaan memang dikenakan zakat, seperti
136 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU Zakat,‛ 233-235. 137 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang 500-502. 138 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU Zakat,‛ 236. 139 Lihat al-Zuhayli>, al-Fikih al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 2: 730. 140 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU Zakat,‛ 238.
tentang Pengelolaan Pengelolaan Zakat,‛ tentang Pengelolaan tentang Pengelolaan
Bab III
86 di Malaysia dan Saudi Arabia.141 Tanggapan dari berbagai pihak pun bermunculan. F-ABRI menilai bahwa usulan tersebut cukup melebar dan menimbulkan beberapa masalah lain. Dalam pandangan fraksi ini, dengan disebutkannya orang dalam definisi, hal itu berarti juga meliputi pemilik badan usaha, sehingga tidak perlu dicantumkan badan usaha. Lebih rumit lagi, badan usaha dewasa ini kepemilikan badan usaha banyak tidak bersifat perorangan, tetapi menjadi gabungan sejumlah orang yang tidak seluruhnya Muslim.142 Akhirnya persoalan ini dibicarakan dalam Panja. Dalam Rapat Panja, F-KP kembali mempertegas bahwa penekanan dalam definisi zakat di sini adalah barangnya, seperti terlihat dalam definisi yang diajukannya. Sementara itu, F-PP mempertegas usulannya dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan badan di sini adalah dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk mendirikan sebuah badan usaha. Lebih jauh, badan usaha terbukti telah menjadi subyek hukum, seperti terkandung dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, badan di sini bukan institusi, tetapi pengurusnya. Yang juga ditegaskan adalah bahwa pembayaran zakat dapat mengurangi nilai wajib pajak, yang tentu saja berlaku bagi badan usaha.143 Pandangan ini juga ditemukan praktiknya di Mesir atau Saudi, di mana yang dikenai zakat adalah pemiliknya.144 Menanggapi usulan ini, pemerintah mengakui bahwa di beberapa negara, seperti Malaysia, yang diwajibkan membayar zakat bukan hanya orang, tetapi juga badan atau perserikatan. Ini terlihat dari Tabung Haji, sebuah badan yang menghimpun dana haji, yang mengeluarkan zakatnya. Menanggapi penjelasan ini, anggota F-KP, K.H. Ahmad Zabidi, mempertanyakan apa alasan di Malaysia badan disebut muzakki. Sebab, dalam bahasa agama, muzakki dan mustahiq itu merujuk pada orang. Karena itu, sejalan dengan pandangan F-ABRI, kalau sudah menyebutkan orang, hal itu sudah meliputi badan, karena memang orangorangnya yang dikenakan kewajiban membayar zakat. 145 Karena tidak mencapai kata sepakat, persoalan ini akhirnya dibahas kembali dalam Timus dan melalui lobi akhirnya berhasil dimasukkan ke dalam Undang-undang seperti kita lihat sekarang. 6.
Infak dan Shadaqah Persoalan lain yang mengemuka dalam rapat ini adalah persoalan infak dan shadaqah. Sebenarnya, masalah ini telah mengemuka sebelumnya dalam kaitannya dengan judul RUU ini. Akan tetapi, kali ini yang dipermasalahkan adalah pengertian dua tradisi filantropi ini. Dalam RUU, infak dan shadaqah dipisahkan dengan pemberian pengertian yang berbeda dan karenanya dimuat dalam pasal yang berbeda. Adalah F-PP yang mengusulkan agar infak dan shadaqah disatukan penjelasannya, sehingga hanya membentuk satu pasal saja. Alasannya adalah 141
Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004),
77.
142 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 243. 143 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 503-504. 144 ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n, 220. 145 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 505-507.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
87 keduanya memiliki hukum yang sama di luar zakat, yaitu sunnah. Jika keduanya dipisahkan dan masing-masing memiliki penjelasan, hal itu hanya memperbanyak pengulangan, padahal esensi keduanya sama. Menanggapi usulan itu, F-KP memandang bahwa pembedaan itu perlu dilakukan mengingat keduanya berbeda, meskipun kesamaan antara keduanya tidak dapat diingkari, terutama dalam masalah hukumnya. Pembedaan ini juga didukung oleh F-ABRI dengan alasan kemungkinan keduanya memiliki penerapan yang berbeda. Dalam tanggapan pemerintah ditegaskan bahwa menurut Al-Quran sendiri keduanya disebutkan dengan dua istilah yang berbeda. Ini tidak menutup kemungkinan akan adanya makna tersirat yang menunjukkan perbedaan antara keduanya. 146 Memang, dua istilah ini berbeda, namun keduanya memiliki makna yang dapat saling dipertukarkan. Misalnya, ketika menafsirkan yunfiqu>n dalam QS al-Baqarah: 2, Rashi>d Rid}a> mengemukakan bahwa infak di sini meliputi yang wajib, seperti kepada keluarga, dan sedekah sunnah (s}adaqat al-tat}awwu‘).147 F-PP sendiri sesungguhnya tidak mempermasalahkan kalau akhirnya infak dan shadaqah dipisahkan, dengan syarat pembedaan antara keduanya diperjelas sehingga tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan. F-KP menambahkan bahwa pengertian kedua hal itu sesungguhnya bisa berganti-ganti. Dalam ketidakjelasan ini, pemerintah memiliki wewenang untuk menetapkan pengertian mana yang hendak diterapkan, sekaligus memberikan pembedaan tegas antara keduanya. Bahkan, menurut anggota F-KP yang lain, bukan saja pengertiannya yang berubah-ubah, tetapi juga hukumnya. Menanggapi perbedaan pandangan ini, pemerintah akhirnya masalah ini didiskusikan kembali dalam Panja, dengan harapan akan diperoleh rumusan yang lebih kuat tentang kedua hal ini. 148 Dalam Panja, F-PP kembali mempertegas usulannya agara infak dan shadaqah dipersatukan. Akan tetapi, fraksi ini juga bisa menerima kalau keduanya dipisahkan selama ada pembedaan yang tegas.149 Setelah diminta menjelaskan, wakil pemerintah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan infak adalah ‚pembelanjaan harta seseorang, yang dikeluarkan untuk kepentingan umum dengan tidak memperhatikan nisab dan haul,‛ sementara shadaqah adalah ‚pemberian harta seseorang yang beragama Islam yang dikeluarkan untuk kemaslahatan orang perorang dengan tidak memperhatikan nisab dan haul‛. 150 Karena itu, definisi di atas mengundang tanggapan dari F-KP yang diwakili oleh Umar Syihab. Menurut Syihab, sesungguhnya baik infak maupun shadaqah tidak memiliki definisi tunggal dan hukumnya bisa berubah-ubah. Suatu saat menjadi wajib, sunnah atau mubah, kecuali shadaqah yang tidak pernah mubah. Lebih jauh, keduanya bisa untuk kepentingan umum dan tidak hanya terbatas pada orang Islam. Mengingat tidak ada definisi tunggal, F-PP yang diwakili Lukman Hakim Saifuddin mengusulkan agar definisi infak dan shadaqah tidak didasarkan pada definisi fikih, seperti yang dikemukakan F-KP, tetapi lebih 146 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 255-257. 147 Lihat M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1948), 1: 130. 148 ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 265. 149 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 519. 150 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 544.
Bab III
88 mengutamakan kepentingan praktis RUU ini. 151 Dari perdebatan itulah kemudian lahir penjelasan dalam UU tentang Pengelolaan Zakat seperti yang kita lihat sekarang. Sebenarnya, pembahasan tentang infak jarang ditemukan dalam kitab fikih, tetapi hanya shadaqah.152 Karena kenyataan inilah, barangkali, mengapa F-PP bersikukuh agar kedua istilah ini disatukan. Ini juga terlihat dalam kesulitan pemerintah dalam membedakan keduannya. Bahkan dalam undang-undang yang sudah disahkan sendiri, keduanya nyaris tidak dapat dibedakan. 153 7.
Antara Zakat dan Pajak Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dalam pandangan awal fraksifraksi dikatakan bahwa agar umat tidak terbebani oleh dua hal sekaligus, yaitu zakat dan pajak. Sebenarnya, asal muasal persoalan ini adalah Pasal 13 ayat (2) RUU, yang menyebutkan bahwa ‚Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan yang berlaku‛. 154 Dengan begitu, orang yang telah membayar zakat akan memeroleh pengurangan dari kewajiban pajak, sehingga tidak terbebani dua kewajiban sekaligus. Pertanyaan yang pertama-tama muncul dari F-ABRI adalah mana yang harus didahulukan antara zakat dan pajak itu. Jika tujuan pajak sudah jelas, yaitu untuk pembangunan bangsa dan negara, sedangkan tujuan zakat adalah sejumlah golongan tertentu yang bersifat individual. Dalam pandangan fraksi ini, RUU lebih mendahulukan zakat ketimbang pajak. Karena itu, diperlukan suatu pengaturan dalam UU secara tegas. F-KP berargumen bahwa, menurut fikih, ada yang berpendapat bahwa membayar pajak merupakan suatu hutang, yang harus terlebih dahulu dibayar sebelum zakat. F-KP mempertanyakan mengapa zakat dikaitkan dengan pajak. Apakah tidak mungkin dalam RUU ini tidak menyinggung pajak, sehingga urusan zakat berbeda dengan urusan pajak. Sejalan dengan pertanyaan ini, F-ABRI menanyakan apakah UU Pajak sendiri telah menyinggung masalah zakat. Kalau memang tidak menyinggung, mengapa RUU tentang Zakat ini harus mengaitkan diri dengan pajak. Sementara itu, Ahmad Zabidi mengusulkan kalau pun dikaitkan dengan pajak, hal itu tidak perlu dimasukkan dalam pasal, tetapi cukup dalam Peraturan Pemerintah, karena dikhawatirkan akan berseberangan atau bertepuk sebelah tangan. Menjawab pertanyaan ini, pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama, mengemukakan bahwa jika Pasal 34 UUD 1945 dijadikan rujukan, sebenarnya zakat dan pajak 151
‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
551-560. 152 Lihat, misalnya, Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 3: 356; juga al-Zuhayli, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, 2: 915. Yang dibicarakan adalah nafkah (nafaqah), tetapi dalam kaitannya dengan keluarga dan seterusnya. Dalam al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah pembahasan tentang shadaqah dibicarakan secara detil. Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 26: 323-343. Akan tetapi, infak tidak menjadi entri tersendiri dalam ensiklopedi ini. Justru yang menjadi entri tersendiri adalah nafaqah. Lihat al-Mawsu>‘ah alFiqhiyyah, 41: 34-100. 153
Dalam penjelasan dikemukan bahwa infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan, di luar zakat, untuk kemaslahan umum, sedangkan shadaqah adalah harta yang dikeluarkan seorang Muslim atau badan yang dimiliki orang Muslim, di luar zakat, untuk kemaslahatan umum. Jika dalam penjelasan pertama tidak ditemukan kata Muslim, dalam yang kedua ditemukan. Apakah ini berarti infak hanya berlaku bagi non-Muslim, sementara shadaqah hanya bagi Muslim, tidak jelas juga. 154 ‚RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ Pasal 13 ayat (2).
Kebijakan Negara Tentang Zakat
89 saling mendukung, dalam arti zakat bertujuan mengurangi kemiskinan, sedangkan faqir miskin sendiri menjadi tanggung jawab pemerintah. Menteri mencontohkan bagaimana hal itu diterapkan di Malaysia. Di negara ini, meskipun tidak menggunakan istilah zakat, dana untuk kepentingan sosial kemasyarakatan terlebih dahulu dikeluarkan sehingga mengurangi pajak yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, dana untuk kepentingan non-profit ini bebas dari pajak.155 Memang, di beberapa negara Muslim, pengurangan kewajiban pajak sebagai konsekuensi telah dibayarkannya zakat ini berlaku, seperti di Arab Saudi. Di negara ini, individu maupun perusahaan milik Muslim yang memeroleh manfaat itu.156 Merespons dua persoalan di atas, F-PP menilai bahwa persoalan mana yang harus didahulukan, sesungguhnya dapat dilakukan secara fleksibel. Jika sudah membayar zakat, berarti pajaknya dikurangi atau sebaliknya. Sebab, zakat sudah jelas memiliki h}awlnya sendiri. Fraksi ini tidak setuju kalau RUU ini dipisahkan dari pajak yang mengakibatkan beban ganda yang tentu saja akan memberatkan seseorang. Lebih jauh, ditegaskan pemisahan antara zakat dan pajak. Memang masalah ini tidak akan timbul dalam negara Islam, karena keduanya sama saja. Tetapi, kita meniru Malaysia, bukan Amerika yang sekuler. Bahkan di Amerika sendiri, seorang warga hanya dikenakan hanya satu, yaitu pajak. 157 Karena tidak dicapai kesepakatan, persoalan ini dibahas kembali dalam Panja, yang akhirnya kembali ke rumusan awal dengan beberapa tambahan sehingga menjadi seperti yang dapat kita baca sekarang. Sebenarnya, perdebatan tentang zakat dan pajak ini sudah berlangsung lama di luar parlemen. Masdar F. Mas’udi, misalnya, berupaya menggabungkan atau menyamakan keduanya, tetapi dengan spirit yang berbeda. Menurutnya, orang yang telah membayar pajak sebenarnya tidak perlu lagi diharuskan membayar zakat, asalkan yang pertama dijiwai oleh yang kedua. Ia menganalogikan yang pertama dengan badan, sementara yang kedua dengan ruh. Dengan kata lain, semangat di balik membayar pajak adalah zakat, dan karenanya yang satu tidak dapat dipisahkan dari lainnya.158 Sebenarnya, antara zakat dan pajak dibedakan dalam litratur Islam, yang biasanya disebut khara>j atau d}ari>bah.159 Yahya ibn Adam, misalnya, membedakan pajak dengan zakat, seraya menegaskan bahwa zakat dikenakan pada hasil pertanian dan buah-buahan dari tanah yang tidak dikenai pajak. 160 Sementara itu, di beberapa negara lain juga dibedakan, dan pembayar zakat diberi insentif berupa
155 ‚Risalah Rapat Kerja 2 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 378-387. 156 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ dalam Institutional of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 415. 157 ‚Risalah Rapat Kerja 2 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 383-388. 158 Lihat Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). 159 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Di>niyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 19: 51 dan seterusnya. 160 Lihat A. Ben Shemesh, Taxation in Islam: Yah}ya> ibn Ab al-Khara>j (Leiden: Brill, 1958), 77.
Bab III
90 pengurangan pembayaran kewajiban pajak. 161 Dengan demikian, usulan dalam RUU di atas sebenarnya memiliki persamaan dengan di beberapa negara lain yang telah menerapkannya. 8.
Sanksi Seperti disinggung sekilas dalam pemandangan awal fraksi-fraksi, masalah sanksi ini muncul atas usulan F-KP yang menghendaki agar penyalahgunaan zakat dapat dihukum dengan kurungan 3 tahun atau denda Rp. 300.000.000,- dari semula Rp. 30.000.000,- seperti yang diusulkan pemerintah. Lebih jauh, dalam Rapat Panja, sejalan dengan saran yang disampaikan sebelumnya, fraksi ini mengusulkan agar hukuman ini diatur atau disesuaikan dengan ketentuan peradilan agama. Usulan ini mendapat sejumlah tanggapan dari fraksi-fraksi. FABRI mengusulkan agar dilakukan klasifikasi terhadap kesalahan yang dilakukan, seperti pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana atau korupsi. Masingmasing jenis pelanggaran ini tentu memiliki tingkat sanksi yang berbeda, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan kita. Sementara itu, F-PP menambahkan bahwa jika pelanggaran dilakukan, maka sanksinya bisa disesuaikan dengan kewenangan yang sudah ada semacam KUHP, di mana pelanggaran perdata atau pidana sudah diatur di situ. Akan tetapi dalam RUU ini perlu dipertegas berapa lama kurungannya atau berapa besar jumlah denda yang harus dibayar jika pelanggaran dilakukan, tidak cukup dengan merujuk pada ketentuan perundangan yang berlaku.162 Sanksi seperti ini berbeda dengan ketentuan yang ada di Arab Saudi, di mana zakat dikelola oleh negara. Para pengumpul zakat di sini adalah bukanlah lembaga swasta, tetapi para pegawai yang memeroleh gaji dari negara. Karena itu, jika terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh pengumpul zakat, maka sanksi yang diberikan kepadanya adalah sesuai dengan ketentuan kepegawaian, bukan berdasarkan undang-undang zakat.163 Menanggapi respons tersebut, wakil pemerintah mengemukakan pertimbangan-pertimbangan yang mendasari usulan yang disampaikan dalam RUU ini. Pertama, dengan adanya sanksi ini diharapkan pengelolaan zakat ke depan akan lebih baik dan lebih berdayaguna. Di samping itu, sanksi ini juga didasarkan pada tradisi yang sudah berjalan dalam masyarakat sesuai dengan kondisi. Sebaliknya, jika sanksi yang akan diberikan sangat berat, hal itu dikhwatirkan akan membuat masyarakat ketakutan mengelola zakat, apalagi tingkatan pemahaman hukum suatu masyarakat mungkin berbeda dengan masyarakat yang lain. Memang, sanksi 3 bulan kurangan atau denda Rp. 30.000.000,- mungkin kelihatan terlalu ringan. Namun, bagi mereka yang 161 Lihat Fuad Abdullah al-‘Umar, ‚General, Administrative and Organizational Aspects,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications , ed. Ahmed Abdel-Fattah alShakeer dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IDB-Institute of Research and Training, 1995), 42-43. Lihat juga, Mohammad Hashim Awad, ‚Adjusting Tax Structure to Accommodate Zakah,‛ dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed. I.A. Imtizi et.al. (Jeddah: IDB-IRT, 2000), 7796. 162 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 647-649. 163 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ dalam Institutional of Zakah: Dimensions and Implications, 409.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
91 beriktikad baik dan secara sukarela mengelola zakat, sanksi ini membuat jera masyarakat, terutama yang kurang mengerti aturan-aturan yang dikategorisasikan sebagai pelanggaran, penyimpangan dan sebagainya. 164 Karena tidak dicapai rumusan yang pas, persoalan ini akhirnya dibahas dalam Tim Perumus, yang hasilnya dapat kita baca seperti sekarang. Penetapan sanksi bagi pengelola ini merupakan sesuatu yang relatif baru, jika kajian-kajian fikih tentang zakat diperhatikan. Umumnya, buku-buku fikih menekankan sanksi bagi mereka yang mampu, tetapi tidak membayar zakat. AlZuh}ayli> menghukuminya sebagai kafir,165 sementara, menurut Sayyid Sa>biq, hal itu tidak membuat pelakunya keluar dari Islam.166 Sementara itu, penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai membayar zakat di beberapa negara Muslim sangat beragam. Di Arab Saudi, misalnya, sanksi yang diterapkan bagi perusahaan yang tidak membayar zakat berupa larangan melakukan bisnis atau mengikuti tender atas proyek-proyek pemerintah,167 sedangkan di Malaysia sanksinya sangat beragam dari satu negeri ke negeri lainnya. Ada yang berupa uang atau kurungan dengan tingkat yang berbeda.168 Lebih jauh, di beberapa negara lainnya hanya sebagai penunggakan yang harus dibayar bersamaan dengan periode berikutnya. 169 Setelah disetujui oleh semua pihak, RUU ini akhirnya dibawa ke dalam Rapat Paripurna DPR pada 14 September 1999. Setelah masing-masing fraksi menyampaikan pandangan akhirnya terhadap RUU ini, mereka kemudian menyetujuinya untuk disahkan sebagai undang-undang. Dalam sambutannya setelah disahkannya RUU ini, Menteri Agama mengemukakan bahwa disahkannya RUU ini menjadi undang-undang diharapkan dapat mengatur pelaksanaan zakat, sehingga dana yang terkumpul dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh, kehadiran undang-undang ini diharapkan dapat memunculkan warna baru hubungan masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan zakat, apalagi masyarakat telah lama menantikan kehadirannya.170 Dilihat dari lamanya proses pembahasannya, RUU ini hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan untuk mendapat persetujuan dan pengesahan. Itu dilihat dari awal ketika RUU tersebut diajukan oleh presiden kepada DPR pada 24 Juni 1999. Pendeknya waktu pembahasan ini antara lain disebabkan oleh pendeknya sisa masa jabatan para anggota dewan yang segera berakhir, bersamaan dengan selesainya Pemilu 1999. Pada saat yang sama, pemilihan presiden oleh MPR juga akan segera dimulai, di mana Habibie merupakan salah seorang kandidatnya. Karena itu, percepatan pengesahan RUU ini merupakan pengabdian
164
‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-2 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛
651. 165
al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, 2: 735. Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 1: 281. 167 Abdul Aziz M. Rashid Jamjoom, ‚Saudi Arabia: A Case Study,‛ Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 416. 168 Tentang keragaman sanksi yang diterapkan di berbagai negeri di Malaysia, lihat Mohamed bin Abdul Wahab et.al., ‚Malaysia: A Case Study,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 360. 169 Lihat ‘Abd Allah, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i>, 256. 170 ‚Risalah Rapat Panitia Kerja ke-3 Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 875-876. 166
Bab III
92 istimewa dari mereka yang tidak lagi terpilih baik sebagai presiden atau anggota dewan. Persetujuan DPR terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat ini kemudian dituangkan dalam surat No. RU.01/3529/DPR-RI/1999 tertanggal 14 September 1999 dan ditandatangani ketua DPR Harmoko ditujukan kepada presiden. Dalam sepekan kemudian, tepatnya 23 September 1999, RUU ini disahkan menjadi Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat oleh Presiden Habibie, berikut pengundangannya. Adapun Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat ini sendiri terdiri atas 10 Bab dan 25 Pasal dengan struktur sebagai berikut: Bab I : Ketentuan Umum (3 pasal); Bab II : Asas dan Tujuan (2 pasal); Bab III : Organisasi Pengelolaan Zakat (5 pasal); Bab IV : Pengumpulan Zakat (5 pasal); Bab V : Pendayagunaan Zakat (2 pasal); Bab VI : Pengawasan (3 pasal); Bab VII: Sanksi (1 pasal); Bab VIII: Ketentuan-ketentuan Lain (2 pasal); Bab IX : Ketentuan Peralihan (1 pasal); Bab X : Penutup (1 pasal). Dilihat dari lembaga yang mengelola zakat, keterlibatan negara tidak terjadi secara langsung, tetapi melalui lembaga lain di luar departemen atau kementerian negara. Ini berbeda dengan di negara-negara lain, seperti Kuwait, Saudi Arabia, Libya, dan Sudan, di mana pengelolaan zakat berada di bawah kementeriaan negara. Karena itu, yang pertama dapat disebut sebagai keterlibatan semi-negara, sedangkan yang kedua disebut sebagai keterlibatan penuh negara.171 Lebih jauh, peranan swasta (LAZ) dalam pengelolaan zakat menunjukkan bahwa di Indonesia menggunakan sistem disentralisasi, di mana negara tidak memonopoli pengelolaannya. Ini berbeda dengan beberapa negara, seperti Pakistan dan Sudan, serta Malaysia, di mana di dua yang pertama melalui sentralisasi, sementara di yang terakhir sentralisasi hanya terjadi pada tingkat pusat, mengingat di wilayah diserahkan kepada negara bagian masing-masing.172 D.
Implikasi terhadap Zakat setelah Pengesahan Undang-undang Meskipun telah disahkan dan diundangkan, UU No. 38 Tahun 1999 ini tidak dapat diterapkan secara langsung, karena masih dibutuhkan sejumlah peraturan bagi pelaksanaannya. Setidak-tidaknya dibutuhkan empat peraturan yang harus disahkan oleh Menteri Agama agar undang-undang tersebut dapat beroperasi, seperti diisyaratkan oleh pasal-pasal berikut:173 1. Ketentuan tentang persyaratan Lembaga Amil Zakat, sebagaimana diisyaratkan oleh Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa Lembaga Amil
171 Bandingkan Fuad Abdullah al-Omar, ‚Management of Zakah through Semi-Government Institutions,‛ dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society , ed. I.A. Imtiazi et.al. (Jeddah: IRTI-IDB, 2000), 131-134. 172 Ataina Hudaya dan Achmad Tohirin, ‚Management of Zakah: Centralised vs. Decentralised Approach,‛ dalam Proceedings of the Seventh International Conference—The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy (Bangi, Malaysia, 2010), 354-55. 173 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
93 Zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri. 2. Ketentuan tentang susunan organisasi dan tata kerja Badan Amil Zakat. Ini diisyaratkan oleh Pasal 10 yang menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan Menteri. 3. Ketentuan tentang lingkungan kewenangan pengumpulan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat. Dalam Pasal 15 disebutkan bahwa lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan Menteri. 4. Ketentuan tentang pendayagunaan hasil zakat. Seperti disebutkan dalam Pasal 16 ayat (3) bahwa persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri. Untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan di atas, Menteri Agama tidak menerbitkan peraturan satu persatu. Sebaliknya, satu keputusan yang meliputi semua akhirnya diterbitkan, yaitu Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 yang ditandatangani oleh Said Aqil Husin al-Munawar pada 18 Juli 2003. Surat keputusan ini berperan sebagai peraturan operasional UU No. 38 Tahun 1999. UU No. 38 Tahun 1999 ini kemudian diuraikan secara lebih teknis melalui Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Bimbingan Haji No. D/291 Tahun 2000. Dengan terbitnya berbagai ketentuan itu, maka pembayaran zakat bukan sekadar pelaksanaan hukum agama, tetapi juga undang-undang negara. Disebutkan dalam undang-undang ini bahwa setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu, atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim, berkewajiban membayar zakat.174 Ini berarti bahwa membayar zakat merupakan bagian dari pemenuhan kewajiban terhadap negara. Dengan demikian, orang yang tidak menunaikan zakat, padahal ia mampu, sesungguhnya ia telah melanggar hukum agama, di satu sisi, dan undang-undang negara, di sisi lain. Akan tetapi, negara membatasinya hanya bagi mereka yang mampu, yang juga tidak jelas kriterianya. Agar kewajiban terhadap undang-undang terlaksana, UU mengamanatkan dibentuknya lembaga yang bertindak sebagai organisasi pengelola zakat yang dikoordinasikan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). 175 Dalam UU disebutkan bahwa ada dua lembaga yang secara sah dapat mengelola zakat, yakni Badan Amil Zakat (BAZ), yang dibentuk oleh pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ), yang dibentuk oleh masyarakat, seperti organisasi Islam atau lembaga yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat. BAZ yang dibentuk oleh pemerintah ini tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga hingga tingkat kecamatan, demikian juga dengan LAZ. Tidak heran jika saat ini telah berdiri BAZNAS di tingkat pusat, 30 BAZDA di tingkat provinsi dan ratusan BAZDA di tingkat kota/kabupaten. Adapun LAZ yang dibentuk oleh masyarakat (swasta) saat ini juga berjumlah sangat banyak. Di
174 175
Lihat UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 2. Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ 64.
Bab III
94 tingkat nasional saja sudah terdapat 16 lembaga, sedangkan ratusan lainnya berada di tingkat provinsi dan kota/kabupaten.176 BAZNAS sendiri baru dibentuk pada 17 Januari 2001 berdasarkan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional yang ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Sesuai dengan strukturnya, dalam periode pertama, lembaga ini terdiri atas Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas. Seperti disebutkan dalam UU, BAZ dan LAZ ini merupakan tulang punggung bagi pengelolaan zakat, karena perannya yang sangat penting dari mengumpulkan, mendistribusikan hingga mendayagunakan zakat. Semua tugas ini harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan agama. Lebih jauh, mereka juga harus memberikan laporan dan pertanggungjawaban kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya masing-masing.177 Tentu, tidak sebatas pada pemerintah, sebab laporan itu juga boleh diakses oleh masyarakat. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat berdasarkan UU ini tidak sekadar berpijak pada ketulusan pembayar zakat dan amil. Di satu sisi, niat pembayar zakat sebenarnya adalah untuk ibadah kepada Allah, sehingga dicatat oleh amil atau tidak, hal itu bukanlah sebuah persoalan. Akan tetapi, di sisi lain, pengelolaan zakat juga memiliki tujuan sosial, sehingga tidak bisa tidak harus diketahui oleh masyarakat. Apalagi dalam pengelolaan itu melibatkan negara, yang harus melaporkan masalah itu kepada masyarakat. Kondisi ini sangat berbeda dengan sebelumnya, di mana pengelolaan zakat umumnya berlangsung begitu saja, tanpa pelaporan dan pertanggungjawaban yang jelas. Sementara itu, dalam hal pendistribusian, BAZ dan LAZ tetap harus mengedepankan delapan golongan (al-as}na>f al-thama>niyah) mustahik sesuai dengan hukum Islam.178 Akan tetapi, hal itu harus didasarkan pada skala prioritas, dalam arti yang paling membutuhkan di antara delapan golongan tersebut. Setelah delapan golongan ini terpenuhi, kedua lembaga tersebut baru dibolehkan untuk mendayagunakan dana zakat pada usaha-usaha produktif lainnya, dengan syarat bahwa usaha itu benar-benar memiliki peluang yang menguntungkan. Untuk itu, BAZ dan LAZ harus melakukan, antara lain, studi kelayakan, menetapkan jenis usaha, bimbingan dan penyuluhan, pemantauan dan pengawasan, evaluasi dan pelaporan.179 Ini menunjukkan bahwa ada orientasi baru dalam pengelolaan zakat, yang tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin secara langsung, tetapi juga berorientasi ke masa depan, dengan menjadikan dana zakat bernilai produktif secara ekonomis. Implikasi lain yang ditimbulkan oleh kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 adalah diakomodasinya zakat sebagai pengurang kewajiban pajak.180 Seperti disebutkan dalam Pasal 14 ayat (3), zakat yang telah dibayarkan kepada BAZ atau LAZ dapat mengurangi beban kena pajak dari wajib pajak pembayar zakat. 181 Seperti gayung bersambut, pasal ini kemudian diakomodasi dalam UU No. 17 176
125.
Emmy Hamidiah, ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Mungkinkah?‛
177
Lihat UU No. 38 Tahan 1999 Pasal 8-9. Lihat KMA No. 373 Tahun 2003 Pasal 28. 179 Lihat KMA No. 373 Tahun 2003 Pasal 29. 180 Gustian Djuanda dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 282. 181 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 14. 178
Kebijakan Negara Tentang Zakat
95 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, bahwa zakat atas penghasilan yang telah nyata-nyata telah dibayarkan oleh wajib pajak perorangan atau badan dalam negeri kepada BAZ atau LAZ dapat mengurangi beban kena pajak orang atau badan yang bersangkutan.182 Yang juga menarik untuk diperhatikan dari UU No. 38 Tahun 1999 ini adalah dimasukkannya jenis benda-benda tertentu ke dalam harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Misalnya, dalam Pasal 11 ayat (2) dikemukakan bahwa hasil perikanan, hasil pendapatan dan jasa termasuk jenis benda yang harus dikeluarkannya zakatnya. Tampaknya, hasil perikanan dimasukkan ke dalam kategori harta yang harus dizakati didasarkan pada analogi dengan hasil perdagangan, karena keduanya memiliki kemiripan dalam hal proses pengelolaan. Dalam pandangan Umar Syihab, hasil perikanan lebih tepat dikiaskan dengan hasil perdagangan, sebab pengelolaannya lebih mendekati perdagangan, baik dilihat dari segi modal maupun prosesnya.183 Adapun zakat hasil pendapatan dan jasa atau zakat profesi, ia merupakan fenomena belakangan yang rujukannya baru ditemukan pada abad modern. Dalam Keputusan Bimas Islam dan Urusan Haji, zakat profesi ini dimasukkan ke dalam kategori perdagangan, yang nisabnya disamakan dengan 85 gram emas murni. 184 Sebenarnya, masalah zakat profesi ini pernah menjadi perdebatan dalam masyarakat Indonesia. M. Amien Rais, misalnya, pernah mengusulkan agar profesi yang dapat mendatangkan uang dengan mudah dikenakan zakat sebesar 10%. Argumennya adalah jika pertanian yang demikian rumit saja hasilnya harus dizakati 5-10%, pekerjaan yang lebih mudah daripada pertanian dan mendatangkan lebih banyak uang, 10% hasilnya sebagai zakat adalah sesuatu yang wajar. Ia menegaskan, ‚Bila petani yang bekerja keras harus membayar zakat 5 atau 10% dan langsung dibayar pada waktu panen, cukupkah kira-kira zakat 2,5%bagi profesi modern yang begitu gampang dengan kemampuan making money?‛185 Dilihat dari hal-hal baru yang terkandung dalam UU No. 38 Tahun 1999 ini, dapat dikatakan bahwa undang-undang ini merupakan produk pembaharuan hukum Islam dalam konteks Indonesia. Pertama, dari aspek kelembagaan, undangundang ini telah memberikan landasan yang pasti bagi pengelolaan zakat dengan organisasi yang mapan. Organisasi pengelolaan ini tentu jauh lebih baik dibandingkan di masa lalu sebagaimana direkam dalam al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah karya al-Ma>wardi>. Dalam karya ini, al-Ma>wardi> hanya menyebutkan amil zakat meliputi dua bidang: bidang pengumpulan dan bidang pendistribusian. 186 Di samping itu, pendayagunaan zakat umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan dan bersifat konsumtif. Dalam UU ini, ada orientasi pada pendayagunaan produktif, tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan kaum dhuafa.
182
Lihat UU No. 17 Tahun 2000. ‚Risalah Rapat Kerja 1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,‛ 328. 184 Lihat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, Lampiran I. 185 M. Amien Rais, Tauhid Sosial (Bandung: Mizan, 1998), 129. 186 Al-Ma>wardi>, Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah, 123. 183
Bab III
96
Kedua, dari aspek jenis harta yang dizakati, undang-undang ini telah melampaui buku-buku standar yang selama ini menjadi rujukan, khususnya di pesantren, terutama dari mazhab Syafi‘i. Dalam kitab-kitab ini, umumnya yang dibicarakan berkaitan dengan nisab zakat hewan ternak, emas dan perak, tumbuhan dan buah-buahan, barang dagangan, tambang, harta rikaz dan zakat fitrah.187 Dengan demikian, unsur-unsur baru dalam undang-undang ini merupakan produk ijtihad yang disesuaikan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, meskipun hal itu bukan sama sekali baru dalam konteks pemikiran hukum secara umum. Ketiga, seperti dikemukakan sebelumnya, sejak lama kaum Muslim Indonesia berharap dapat mendirikan sebuah baitul mal, yang dapat menampung dana-dana filantropis Islam. Akan tetapi, keinginan itu selalu berhenti di tengah jalan. Karena itu, adanya BAZNAS, yang dibentuk menyusul kehadiran UU No. 38 Tahun 1999, dapat dipandang sebagai perwujudan dari baitul mal tersebut, meskipun dalam kerangka yang lebih kecil. Dengan begitu, undang-undang ini merupakan realisasi aspirasi umat Islam yang selama ini hanya menjadi anganangan mereka. Keterlibatan negara terhadap persoalan agama juga semakin terlihat dengan kehadiran UU ini. Pemerintah dari tingkat pusat hingga kecamatan tidak saja harus membentuk BAZ, tetapi juga harus membiayai segala kebutuhan bagi terlaksananya program lembaga ini. Di sebutkan dalam Pasal 23 bahwa pemerintah wajib membantu biaya operasional BAZ. 188 Ditegaskan lebih jauh dalam Keputusan Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, bahwa biaya bagi penyelenggaraan program BAZ ini diambil sesuai dengan tingkatannya, yaitu APBN (Departemen Agama) untuk BAZNAS, APBD I untuk BAZDA Provinsi dan APBD II untuk BAZDA kota/kabupaten. 189 Keterlibatan negara terhadap urusan Islam ini tidak bisa tidak telah melahirkan penilaian bahwa negara telah bertindak diskriminatif dalam persoalan agama secara umum. Misalnya, jika orang Islam telah menunaikan zakat sebagai kewajiban keagamaannya memeroleh pengurangan pembayaran pajak, bagaimana dengan non-Muslim yang juga harus menunaikan kewajiban serupa dalam agamanya. Padahal, tidak menutup kemungkinan bahwa yang harus mereka bayar dalam hal ini jauh lebih besar ketimbang besaran zakat. 190 Akan tetapi, dalam pandangan Bahtiar Effendy, akomodasi negara terhadap aspirasi umat Islam seperti itu tidak dapat dipandang sebagai sebuah tindakan diskriminatif negara. Seperti dikemukakan Bahtiar, posisi negara Indonesia yang bukan teokratis dan bukan sekular memberikan peluang bagi seluruh warganya untuk menyalurkan aspirasinya. Tentu, hal itu harus dilakukan melalui sistem dan undang-undang yang berlaku. Lebih jauh, tidak seluruh aspirasi itu dapat begitu saja diakomodasi, tetapi kadang-kadang sebagian diterima dan sebagian lainnya tidak. Karena itu, diakomodasinya zakat melalui undang-undang dan institusi negara bukan tindakan 187 Lihat, misalnya, Ibra>hi>m al-Ba>ju>ri>, H}a>shiyat al-Ba>ju>ri> ‘ala> Ibn Qa>sim al-Gha>zi> (Kairo: ‘I>sa> al-Ba>bi> al-H}alabi>, t.th.), 1: 260-281; Sulayma>n al-Bujayrimi>, Tuh}fat al-H{abi>b ‘ala> Sharh} al-Khat}i>b (Kairo: Must}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, 1951), 275-312. 188 Lihat UU No. 38 Tahun 1999. 189 Lihat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, Pasal 19 ayat (1). 190 Bandingkan Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990).
Kebijakan Negara Tentang Zakat
97 diskriminatif dan sektarian negara. Namun, hal itu harus dipandang sebagai ikhtiar negara dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap warganya, yaitu memenuhi kebutuhan mereka. 191 Lebih jauh, akomodasi ini sesungguhnya sejalan dengan tafsiran atas Pasal 29 UUD 1945, seperti yang dikemukakan oleh Hazairin. Menurutnya, pasal ini mengimplikasikan, di antaranya, bahwa (1) dalam Negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Bali bagi orang-orang Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha. Di samping itu, (2) Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Hindu Bali, sepanjang menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.192 Senada dengan itu, Hartono Mardjono menilai pasal 29 ayat (1) ini mengisyaratkan bahwa negara tidak bisa membuat peraturan atau kebijakan yang bertentangan dengan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya, negara harus membuat peraturan dan kebijakan yang dapat mewujudkan rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terakhir, negara berkewajiban membuat undangundang dan kebijakan yang melarang orang yang hendak melecehkan ajaran agama.193 Apalagi, seperti disinggung sebelumnya, negara sendiri merasa berkepentingan terhadap pengelolaan zakat, mengingat pranata Islam dipandang dapat membantu menyejahterakan masyarakat, yang juga menjadi tanggung jawab negara. Karena itu, konsideran yang mendasari undang-undang ini tidak sematamata persoalan agama, yang memang diatur dalam Pasal 29 UUD 1945, tetapi juga Pasal 34 yang menyebutkan bahwa negara menjamin kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, zakat sebagai pranata sosial Islam, melalui undangundang ini, diharapkan dapat menunjukkan manfaat sosialnya bagi rakyat Indonesia, sehingga diakomodasi negara. Dengan demikian, akomodasi negara terhadap kepentingan umat Islam ini tidak semata-mata karena pertimbangan keagamaan, tetapi juga karena apa yang disebut oleh An-Na‘im sebagai ‚public reason,‛ yang dipinjam dari John Rawls. Seperti dikutip An-Na‘im, Rawls menegaskan bahwa ‚reason‛ dapat disebut ‚public‛ jika memenuhi tiga hal. Pertama, jika ‚reason‛ itu lahir dari warga negara yang bebas dan setara. Kedua, ‚reason‛ harus berisi kemaslahatan publik. Ketiga, watak dan isinya memang publik, dalam arti diekspresikan melalui sekumpulan konsep rasional dengan dasar keadilan politik. 194 UU No. 38 Tahun 1999 memang persoalan agama Islam, tetapi dilandasi oleh konstitusi yang menjadi kesepakatan bersama antarwarga negara. Lebih jauh, sebelum disahkan menjadi undang-undang, RUU ini melalui berbagai tahap, dari pembuatan naskah 191 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah (Ciputat: Ushul Press, 2005), 19. 192 Dikutip dalam M. Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), 260. 193 Hartono Mardjono, Menegakkan Syari‘at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1997), 28. 194 Abdullah Ahmad An-Na‘im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati (Bandung: Mizan, 2007), 157.
Bab III
98 akademik, sosialisasi kepada masyarakat dan perdebatan di lembaga legislatif. Dan yang tidak bisa dimungkiri adalah bahwa tujuan diundangkannya RUU ini adalah kesejahteraan umum, yang tidak semata-mata bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendeknya, meskipun terkait dengan urusan agama tertentu, RUU ini telah dinegosiasikan melalui ‚public reason‛ sehingga dapat disahkan sebagai undang-undang, yang mau tidak mau negara harus terlibat dalam pelaksanaannya. Meskipun undang-undang telah diundangkan dan dilaksanakan berikut lembaga-lembaga yang menyertainya, dana zakat yang terkumpul kurang menunjukkan angka yang signifikan, jauh dari berbagai asumsi yang selama disuarakan. Misalnya, dalam perkiraan M. Djamal Doa, seandainya jumlah Muslim yang mampu berzakat sebanyak 28 juta kepala keluarga (KK), dan masing-masing KK mengeluarkan zakat sebesar Rp. 3.000.000,-, maka akan terkumpul dana sebesar Rp. 84 trilyun.195 Akan tetapi, hasil yang telah dicapai selama ini jauh dari perkiraan di sini. Menurut laporan BAZNAS, dana zakat yang terkumpul pada November 2009, misalnya, hanya mencapai Rp. 14.573.383.699,48,- termasuk dana infak dan shadaqah serta natura, sedangkan keseluruhan dana yang terkumpul sampai November pada tahun yang sama mencapai Rp 35.215.404.216,85,-. Sementara itu, dalam bulan berikutnya di tahun yang sama berhasil dikumpulkan dana sebesar Rp. 1.952.317.949,06,- termasuk infak dan shadaqah.196 Dengan demikian, jika dijumlahkan secara keseluruhan, dana yang terkumpul selama 2009 mencapai 37.167.722.165,91,-. Kecenderungan penerimaan serupa juga terjadi pada 2010. Pada Januari 2010, misalnya, terkumpul dana sebesar Rp. 1.068.723.425,-, sedangkan pada Maret dan April di tahun yang sama masing-masing mencapai Rp. 1.813.418.748,06,- dan Rp. 1.916.318.701,85,-.197 Berdasarkan laporan ini, kalau rata-rata per bulan dibulatkan mencapai 2 milyar, maka dalam setahun akan terkumpul sekitar 24 milyar saja. Kalaupun pada bulan Ramadhan ada peningkatan signifikan seperti pada November 2009, paling banter dana yang terkumpul mencapai sekitar 50 milyar. Adapun dana zakat yang terkumpul melalui BAZDA juga masih jauh dari perkiraan di atas. Misalnya, sepanjang 2003, dana zakat, infak dan shadaqah yang terkumpul di BAZDA DKI mencapai 14,1 milyar (termasuk infak dan shadaqah), yang meningkat cukup signifikan jika dibandingkan dengan perolehan tahun sebelumnya, yakni 11,6 (dibulatkan ke atas) pada 2002, dan 9,5 milyar pada 2001.198 Di BAZDA daerah selain DKI, tampaknya dana yang terkumpul akan lebih rendah. Di Jawa Barat, misalnya, pada tahun yang sama bulan Januari-April mencapai hanya 28,65 juta, sedangkan pada 2002 terkumpul Rp. 184.443.378,dan pada 2001 mencapai 1,2 milyar.199 Sementara itu, dana zakat yang terkumpul melalui lembaga non-pemerintah juga masih jauh dari yang selama ini diperkirakan. Dompet Dhuafa Republika, 195
M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 63. Lihat Laporan Keuangan Baznas, www.baznas.or.id. Lihat Laporan Keuangan Baznas, www.baznas.or.id. 198 Amelia Fauzia, ‚Bazis DKI Jakarta: Peluang dan Tantangan Badan Amil Zakat Pemerintah Daerah,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia , ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005), 39. 199 Ridwan al-Makassary, ‚BAZ Propinsi Jawa Barat: Eksistensi yang Mulai Pudar?‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam, 71. 196 197
Kebijakan Negara Tentang Zakat
99 yang dikelola secara profesional, misalnya, berhasil mengumpulkan dana selama 2004 sebesar kurang lebih 20 milyar (termasuk infak dan shadaqah), sementara pada tahun sebelumnya mencapai kurang lebih 15 milyar.200 Timpangnya perkiraan dengan perolehan dana zakat yang dikumpulkan juga mengindasikan bahwa prosentasi orang yang berzakat ( muzakki) tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut Rahmad Riyadi, prosentasi muzakki yang membayar zakatnya terlihat masih minim. 201 Tentu, ini tidak berarti secara mutlak bahwa terjadi penurunan angka jumlah Muslim yang membayar zakat. Bisa jadi, hal itu disebabkan oleh karena BAZ atau LAZ sulit dijangkau oleh muzakki atau mereka kurang percaya terhadap lembaga ini. Survei yang dilakukan oleh PIRAC, seperti dikutip oleh AM. Fatwa, M. Djamal Doa dan Aries Mufti, menunjukkan bahwa kaum Muslim cenderung membayarkan zakat mereka kepada panitia yang ada di sekitar mereka, seperti masjid, lembaga pendidikan atau bahkan secara langsung kepada mustahik. Dalam survei itu disebutkan bahwa 66% responden membayarkan zakatnya kepada panitia di sekitar rumah, 28% langsung kepada mustahik, sedangkan 6% lainnya baru disalurkan kepada BAZ atau LAZ.202 Dari beberapa kasus di atas terlihat bahwa pelaksanaan UU No.38 Tahun 1999 belum mencapai hasil yang maksimal seperti yang diharapkan. Bahkan ada yang menilai bahwa hasil yang kurang maksimal itu tidak semata-mata terjadi pada tingkat pelaksanaan, tetapi juga pada undang-undang itu sendiri. Suparman Usman, misalnya, mengkritik undang-undang tersebut karena secara inheren mengandung setidak-tidaknya enam kelemahan mendasar. Kelemahan-kelemahan itu meliputi:203 1. Tidak adanya ketentuan nisab (batas minimal) harta yang harus dikeluarkan zakatnya. 2. Tidak jelasnya kedudukan sekretaris, apakah ia sekretaris badan pelaksana, dewan pertimbangan, ataukah sekretaris komisi pengawas. 3. Tidak jelasnya sistem pelaporan, apakah harus dilaporkan kepada pemerintah atau DPR. 4. Tidak adanya perluasan harta yang wajib dizakati, di mana dalam UU hanya disebutkan emas, perak dan uang. 5. Tidak jelasnya sistem pendistribusian dana zakat. 6. Tidak adanya sanksi bagi wajib zakat yang tidak menunaikannya. Akan tetapi, kritik yang dikemukakan Suparman Usman ini tidak seluruhnya benar, jika ia mau merujuk kepada peraturan yang menyertai undang-undang tersebut. Tentang kedudukan sekretaris, misalnya, UU tidak menyebutkan kedudukan tersebut, karena dalam Pasal 6 ayat (5) hanya menyebutkan bahwa struktur BAZ terdiri atas unsur pertimbangan, pengawas dan pelaksana. Dalam penjelasannya juga tidak ditemukan kedudukan sekretaris, tetapi ditemukan dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, di mana disebutkan 200 Karlina Helmanita, ‚Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern: Pengalaman Dompet Dhuafa,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam, 103. 201 Rahmad Riyadi, ‚Undang-undang Zakat dan Kondisi Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 46. 202 Lihat AM. Fatwa, M. Djamal Doa dan Aries Muftie, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif, 135, catatan nomor 14. 203 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 175-178.
Bab III
100 bahwa dalam badan pelaksana terdapat seorang sekretaris umum dan dua orang sekretaris, sedangkan dalam dua unsur BAZ lainnya masing-masing hanya terdapat seorang sekretaris.204 Kritik Suparman terhadap sistem pelaporan juga tidak mencapai sasaran. Dalam Pasal 9 UU No. 38 Tahun 1999 memang hanya disebutkan bahwa BAZ dan LAZ bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya, sementara dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa BAZ memberikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada DPR atau DPRD sesuai dengan tingkatannya. Dengan kata lain, BAZ dan LAZ harus membuat laporan kepada DPR dan pemerintah sesuai dengan tingkatannya, meskipun dalam Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003 Pasal 31 hanya diwajibkan membuat laporan kepada pemerintah. Kritik Suparman terhadap sistem pendistribusian zakat juga tidak berdasar, karena dalam Keputusan Menteri Agama tersebut disebutkan secara konseptual dalam Pasal 28 dan 29. Akan tetapi, secara teknis, memang tidak dikemukakan secara terperinci. Adapun tentang tidak adanya perluasan harta yang harus dizakati yang dikritiknya, hal itu sebenarnya dapat ditemukan dalam Lampiran I Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2001, di mana barang-barang selain emas, perak dan uang dianggap harus dikeluarkan zakatnya. Ini meliputi logam mulia, platina dan lain sebagainya. Adapun dua kritik lainnya yang disampaikan Suparman memang relevan. Pertama, undang-undang ini tidak menyebutkan secara eksplisit nisab (batas minimal) harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Kritik Suparman ini benar jika kita merujuk pada Pasal 11 ayat (3) yang menyebutkan bahwa ‚Penghitungan zakat mal menurut nisab, kadar dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.‛ Di sini timbul pertanyaan, hukum agama yang mana yang hendak dijadikan acuan, mengingat yang dimaksud dengan hukum agama juga tidak tunggal? Dalam penjelasannya hanya disebutkan definisi nisab, yaitu jumlah minimal harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Berapa minimalnya? Jawabannya ditemukan dalam Lampiran I Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000. Di situ memang disebutkan jumlah minimal harta yang harus dikeluarkan zakatnya, tetapi masih menurut pendapat berbagai imam mazhab dan ulama. Artinya, di sini orang masih bisa memilih, apakah ia menggunakan pendapat A, B, atau C. Dengan kata lain, undang-undang belum tegas dalam memilih pendapat mazhab yang hendak dijadikan sebagai acuan. Padahal undang-undang sudah semestinya tegas dan mengikat, karena kedudukannya sebagai hakim yang memutus perbedaan. Dalam hal ini berlaku kaidah h}ukm al-h}a>kim yarfa‘ al-khila>f (keputusan hakim harus dapat menghapus perbedaan pendapat) atau la> khila>fa fi> al-qad}a>’ (tidak ada perbedaan dalam keputusan peradilan). Di sini peran UU No. 38 Tahun 1999 sebagai hakim terhadap persoalan nisab zakat yang masih beragam tidak berperan. Kedua, sebagaimana disinggung sebelumnya, UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan bahwa warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. Akan tetapi, anehnya undang-undang ini sama sekali tidak menyebutkan sanksi apa yang bakal diterima oleh Muslim yang mampu, tetapi tidak mau mengeluarkan zakat. Undang-undang sudah semestinya secara tegas memberikan 204
Lihat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003 Pasal 3 ayat (2-4).
Kebijakan Negara Tentang Zakat
101 sanksi bagi yang tidak melaksanakannya, mengingat ia bersifat mengikat. Lebih jauh, karena pelaksanaan undang-undang ini dijamin oleh negara, sebagai satusatunya institusi yang memiliki daya paksa terhadap warganya, dengan tidak adanya ketegasan sanksi atas pelanggarnya, maka negara menjadi sama sekali tidak berperan. Dalam ungkapan M. Djamal Doa, negara hanya seperti macan ompong, yang memiliki kekuatan memaksa sangat besar terhadap warganya, tetapi tidak bisa bergerak karena tidak memiliki landasan dalam undang-undang tentang zakat ini.205 Bahkan, dalam penilaian Djamal Doa, undang-undang ini sangat lembek, mengingat pemungut zakat baru dapat mengambil jika ia terlebih dahulu diberitahu oleh muzakki.206 Seperti disebutkan dalam Pasal 12, pengumpulan zakat dilakukan oleh BAZ dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.207 Kritik terhadap tidak adanya sanksi ini juga dikemukakan oleh Didin Hafidhuddin. Ia menegaskan bahwa sebagai undang-undang, undang-undang ini hanya mewajibkan, tetapi tanpa dibarengi dengan konsekuensi bagi yang tidak melaksanakannya.208 Kritik serupa juga dikemukakan oleh Rahmad Riyadi, yang menilai bahwa prosentasi tidak mengalami peningkatan signikan, di antaranya, karena undang-undang ini tidak memiliki daya paksa dengan tidak adanya sanksi bagi yang melalaikannya. Ini berbeda dengan sanksi yang diberikan kepada lembaga pengelola zakat, yang dinyatakan begitu tegas. Bukan hanya itu, pendiriannya pun harus memenuhi banyak syarat yang tidak mudah. 209 Dalam UU No. 38 Tahun 1999 memang disebutkan bahwa bagi pengelola yang lalai tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat diancam hukuman kurungan tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,-.210 Kritik serupa juga dikemukakan oleh Wahyu Dwi Agung. Agung melihat konsideran yang digunakan dalam UU No. 38 Tahun 1999 ini tidak memiliki daya paksa, karena yang digunakan adalah Pasal 34 UUD 1945. Menurutnya, pasal ini hanya berdimensi sosial dan tidak memaksa muzakki mengeluarkan zakatnya. Ini sangat berbeda dengan undang-undang tentang pajak, di mana salah satu konsiderannya sangat menekankan aspek pemaksaan oleh negara. Karena itu, bisa dipahami jika pemungutan dan pengelolaan zakat tidak dapat berjalan secara maksimal. Lebih dari itu, ia menilai bahwa, sesuai dengan judulnya, undangundang lebih menekankan aspek-aspek administratif zakat, dan berupaya menghindari sifat memaksa terhadap para muzakki.211 Sementara itu, M. Tahir Azhari justru mengkritik undang-undang ini karena rendahnya sanksi yang diberikan terhadap pengelola zakat. Hal itu disampaikannya dalam mengantisipasi pembahasan RUU ini di DPR. Dalam pandangan Azhari, jumlah Rp. 30.000.000,- tidaklah sebanding dengan jumlah yang dapat diterima oleh pengelola, yang umumnya mencapai ratusan juta rupiah. Bila sebuah lembaga pengelola dapat mengumpulkan dua ratus juta, lalu 205
M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 79. M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 79. 207 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 12. 208 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 206
26.
209
Rahmad Riyadi, ‚Undang-undang Zakat dan Kondisi Perzakatan di Indonesia,‛ 4. Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 21 ayat (1). 211 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, 136. 210
Bab III
102 pengelolanya menyelewengkan 50-75 juta saja, misalnya, maka denda Rp. 30.000.000,- menjadi tidak ada artinya. Ini justru membuka peluang bagi seseorang untuk berhitung dalam melakukan penyelewengan.212 Sebenarnya, tidak dicapainya pengumpulan zakat oleh BAZ dan LAZ secara maksimal bukanlah semata-mata karena kelemahan undang-undang. Akan tetapi, yang lebih penting lagi disebabkan oleh implementasinya dalam praktik. Misalnya, seperti disinggung sebelumnya, pembayaran zakat sebagai pengurang beban pajak telah diakomodir oleh undang-undang tentang pajak. Akan tetapi, dalam praktiknya, hal itu hingga kini belum terlaksana dengan baik. 213 Tentu, hal ini sulit dilakukan baik oleh muzakki karena ia harus menghitung dua kali, saat harus mengeluarkan zakat dan saat harus membayar pajak, yang bisa jadi menimbulkan perbedaan jumlah. Di samping itu, ada kesulitan bagi muzakki untuk menentukan mana yang harus didahulukan membayar zakat atau membayar pajak. Karena pajak dipaksa oleh negara dan menimbulkan sanksi bagi yang tidak membayar, otomatis pilihan kedua yang didahulukan. Memang UU No. 38 Tahun 1999 tidak menentukan mana yang harus didahulukan. Namun, jika lembaga pemungut pajak dan zakat disatukan, baik pembayar pajak atau zakat akan mengalami kemudahan. Inilah yang dipandang oleh Djamal Doa sebagai ‚ketidakefektifan administrasi,‛ karena melibatkan dua departemen. Atas dasar itu, ia mengusulkan agar masalah pemungutan zakat ini disatukan dengan pemungutan pajak. Jika ini terjadi, pengumpulan dana zakat mudah dilakukan, dengan bukti pembayaran yang tidak mudah diselewengkan atau dipalsukan. Bahkan dari aspek sarana dan prasarana, hal itu meringankan biaya, karena Kantor Pelayanan Pajak sudah ada di mana-mana, sehingga setiap orang yang hendak membayar pajak, tidak bisa tidak harus membayar zakat juga. 214 Potensi zakat dari pembayaran pajak ini memang sangat besar. Sebab, yang dikenakan pajak bukan hanya individu, tetapi juga badan usaha. Seperti disebutkan dalam UU tentang pengelolaan zakat, yang diwajibkan mengeluarkan zakat juga bukan hanya individu, tetapi juga badan usaha yang dimiliki oleh muslim. Jika ini diterapkan, dana zakat yang terkumpul pasti besar. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam undang-undang ini, terlihat bahwa diundangkannya zakat mempunyai manfaat yang sangat besar bagi umat Islam dan negara sekaligus. Di satu sisi, aspirasi umat Islam diakomodasi oleh negara dalam bentuk kelembagaan, yang diharapkan dapat meningkatkan dana zakat bagi kesejahtraan masyarakat. Di sisi lain, negara akan terbantu dalam menyejahterakan masyarakat.
212
M. Tahir Azhari, ‚Zakat dan Aplikasinya dalam Konteks Kesejahteraan Sosial,‛ Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang Pengelolaan Zakat, Departemen Agama, Jakarta, 30 Agustus 1999, 9-10. 213 Wahyu Dwi Agung, ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ 136. 214 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara, 80.
Kebijakan Negara Tentang Zakat
BAB IV KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF Seperti dalam bab sebelumnya, bab ini bertujuan mempertegas hubungan antara filantropi dan negara dengan perhatian khusus pada kasus wakaf. Untuk itu, bab ini diawali dengan pembahasan tentang pengaturan wakaf di Indonesia, sebagai latar belakang diusulkan dan disahkannya Undang-undang tentang Wakaf, serta dampaknya bagi pertumbuhan lembaga filantropi Islam. Dengan begitu diharapkan kaitan antara filantropi Islam dan negara bisa digambarkan secara jelas. A. Pengaturan Wakaf di Indonesia Sebagaimana disinggung dalam Bab II, wakaf bukanlah bentuk filantropi yang hanya ditemukan dalam Islam, tetapi juga ditemukan dalam tradisi keagamaan lainnya. Di Indonesia sendiri, praktik sejenis ini juga ditemukan dengan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan tradisi kedaerahan yang ada. Di Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, ditemukan tradisi suma pada zaman Empu Sendok. Suma adalah tanah atau hutan pemberian raja kepada rakyatnya untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan mereka. Tempat ini juga disebut huma atau huma serang, yakni sebuah ladang yang setiap tahun digarap bersamasama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama. Berbeda dengan dua istilah itu, di Lombok dikenal istilah ‚tanah parenan,‛ yaitu sebuah tanah yang semula milik negara kemudian diserahkan kepada desa, subak dan candi untuk kepentingan bersama dan dibebaskan dari pungutan pajak. 1 Dengan demikian, ketika Islam datang ke Indonesia, sebenarnya tradisi filantropi yang menyerupai wakaf sudah ada. Dalam konteks seperti itu, praktik wakaf Islam tidak menghadapi kesulitan untuk diadopsi oleh masyarakat. Sebagai sebuah bentuk filantropi Islam, wakaf benar-benar memiliki dimensi ketulusan, mengingat status hukumnya tidak sekuat bentuk filantropi lain, seperti zakat, yang telah dibicarakan sebelumnya. Meskipun demikian, peran wakaf dalam sejarah Islam tak kalah pentingnya dengan peran yang dimainkan oleh zakat, bahkan hingga batas tertentu lebih monumental jika dilihat dari jejak rekamnya. Seperti dikemukakan Gregory C. Kozlowski, wakaf merupakan lembaga filantropi yang paling popular di dunia Islam pada abad ke-14 atau ke-15.2 Pernyataan Kozlowski ini tentu berlaku juga bagi Indonesia, karena sebagian besar lembaga keagamaan di Indonesia berbasis wakaf. Mengingat mayoritas penduduk Muslim nusantara menganut faham Sha>ulama Sufi. Mereka inilah yang menyebarkan 1 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran dan Perkembangannya (Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992), 46. 2 Gregory C. Kozlowski, ‚Otoritas Agama, Reformasi dan Filantropi di Dunia Islam Kontemporer,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia , ed. Warrant F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L Queen II, terj. Tim CSRC (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), 317.
103
104 Islam dan hingga batas tertentu membentuk karakter keislaman di Nusantara. Karena itu, patut diduga bahwa praktik wakaf pada masa awal Islam tidak terlalu rumit seperti yang terjadi pada tradisi fikih. 3 Akan tetapi, ini tidak harus dipahami bahwa fikih tidak dipraktikkan di Nusantara, sebagaimana telah disinggung di muka. Menurut Ahmad Sutarmadi, praktik wakaf di Indonesia sesungguhnya beriringan dengan proses Islamisasi itu sendiri. Misalnya, Walisongo, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh penting dalam dakwah Islam di Jawa, khususnya, dalam praktiknya menerima kepercayaan masyarakat yang baru masuk Islam untuk mendirikan masjid atau pesantren di lahan mereka. Ini menunjukkan bahwa praktik wakaf yang mereka ajarkan dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat. Lebih jauh dikemukakan bahwa ketika Raden Fatah menjabat sebagai sultan pertama Demak, ia mendirikan masjid Demak di atas tanah wakaf dan untuk membiayai pemeliharaan serta gaji para pengelolanya juga diperoleh dari wakaf. 4 Di Jawa Timur, istilah yang sangat populer adalah tanah ‚perdikan,‛ yaitu sebidang tanah yang diberikan oleh raja kepada seseorang atau sefi‘i>yyah, praktik wakaf di sini diduga kuat dilakukan berdasarkan mazhab ini. 5 Disebut-sebut bahwa masuknya Islam ke Indonesia merupakan andil besar para kelompok orang atas jasa-jasa mereka bagi kerajaan dan tanah tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Wakaf semacam ini menyerupai wakaf keluarga (al-waqf al-ahli>) jika dilihat dari fungsi dan pemanfaatannya. 6 Tanah ‚perdikan‛ ini, misalnya, dapat ditemukan di Tegalsari, Ponorogo. Suatu ketika, Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura, meninggalkan istana bersama para pengikutnya. Ini dilakukan karena ada pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhunan Kuning, yang meletus pada 30 Juni 1742. Pemberontakan ini berlangsung begitu cepat, yang membuat Kerajaan Kartasura tidak siap menghadapinya. Saat melarikan diri, Sunan Kumbul mengarah ke timur Gunung Lawu, hingga pada suatu saat tiba di Desa Tegalsari, di mana terdapat sebuah pesantren besar yang diasuh oleh Kyai Ageng Hasan Bashari. Sunan kemudian berserah diri ke pesantren dan menjadi santri, yang menerima tempaan dan bimbingan dari kyai untuk bertafakur dan bermunajat kepada Allah. Tak lama setelah itu, pemberontakan di Kartasura mereda, dan Sunan menduduki kembali tahta yang sempat ditinggalkannya. Atas jasa sang kyai, Desa Tegalsari dijadikan sebagai desa ‚perdikan,‛ sebuah desa istimewa yang bebas dari segala pungutan pajak. 7 3 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim, eds., Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta,
2006), 96. 4 Ahmad Sutarmadi, ‚Sekilas tentang Filantropi Islam di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 193-94. 5 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43. 6 Maksudnya, peruntukan wakaf tersebut ditentukan secara jelas bagi keluarga, keturunan dan seterusnya. Lihat Tim Penulis, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005), 17. Tentang keuntungan dan kelemahan wakaf keluarga ini, lihat Peter C. Hennigan, The Birth of a Legal Institution: The Formation of the Waqf in Third-Century AH H{anafi Legal Discourse (Leiden: Brill, 2004), xiv-xv. 7 Lihat Nur Hadi Ihsan dkk., Profil Pondok Modern Darussalam Gontor (Gontor: Pondok Modern Darussalam, 2006), 1-2.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
105 Sementara itu, di Aceh dikenal istilah weukeuh, yang praktiknya telah berlangsung jauh sebelum kedatangan penjajah. Pada masa kesultanan, misalnya, seorang sultan biasanya memberikan sebidang tanah bagi kepentingan umum, apakah untuk perkebunan, pertanian atau sarana umum tertentu. Umumnya, tanah seperti itu berstatus khusus, yang langsung dikontrol oleh sultan dan bukan oleh pejabat bawahannya. Ia bebas dari beban pajak atau pungutan, tetapi tetap berada dalam kendali sultan. Lembaga ini tetap bertahan pada masa kolonial, yang manfaatnya difungsikan untuk membiaya acara-acara keagamaan dan ibadah, di samping untuk pembangunan masjid atau madrasah dan pesantren. 8 Yang demikian itu mengingat wakaf umumnya terjadi pada benda-benda yang sifatnya permanen atau tidak bergerak, seperti masjid, pesantren, mushalla, langgar, tempat pemakaman dan lain sebagainya, yang tentu tidak hilang begitu saja seperti zakat, yang dampaknya seakan-akan lenyap bersamaan dengan selesainya pembagian. Ini tampaknya sejalan dengan makna wakaf itu sendiri, yang menganjurkan keabadiaan benda yang diwakafkan. Yang menarik bahwa di daerah tertentu, seperti Banten, pengelolaan wakaf sudah berlangsung cukup baik, sehingga yang diwakafkan bukan semata-mata benda yang telah disebutkan di atas, tetapi juga buku. Konon, Sultan Maulana Muhammad, putra Sultan Maulana Yusuf, saat berkuasa sangat peduli dengan masalah-masalah keagamaan, tak terkecuali dalam bidang hukum agama. Karena itu, ia senang mewakafkan banyak buku, di samping benda-benda tak bergerak lainnya. Ini menunjukkan bahwa bentuk wakaf sudah mengalami perkembangan yang berarti jika kita mengacu pada buku-buku fikih yang lebih banyak menekankan pada benda-benda tak bergerak.9 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan menduga bahwa tradisi wakaf kitab ini tidak bisa dipisahkan dari kaitan erat Kesultanan Banten dengan Kerajaan Saudi Arabia atau Turki ‘Uthmani, yang tentunya sudah terbiasa dengan mewakafkan benda yang bergerak seperti kitab.10 Sebenarnya, tradisi wakaf buku dan pendirian perpustakaan jauh sebelum Turki ‘Uthmani, mengingat sejumlah perpustakaan yang berdiri di sejumlah negara—yang kini dikenal—Arab itu dari awal banyak diisi oleh buku-buku wakaf. Ini ditemukan di perpustakaan Mosul, Bagdad, Kairo dan lain sebagainya, jauh sebelum Turki ‘Uthmani atau Saudi Arabia.11 Lebih jauh ditegaskan bahwa di samping benda-benda tak bergerak, wakaf juga diduga bisa berbentuk barang atau uang tunai sebab, menurut Aqib Suminto, wakaf juga menjadi sumber penting keuangan masjid, di samping sumber-sumber lain seperti biaya nikah, zakat dan shadaqah. 12 Wakaf sebagai sumber keuangan ini mengisyaratkan bahwa dana bisa diperoleh dari pemanfaatan harta wakaf, yang hasilnya kemudian dijadikan sebagai dana masjid. Juga mungkin bahwa 8 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi Islam dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 165. 9 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (Jakarta: Penerbit Djambatan dan KITLV, 1983), 39. 10 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi Islam,‛ 162. 11 Lihat secara lebih terperinci Yah}ya Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz al-Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t, 1996), 31-44. 12 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 162, catatan nomor 190.
Bab IV
106 masyarakat memang mewakafkan dalam bentuk uang yang dibelikan barangbarang kebutuhan masjid. Ini bisa dilihat pada saat renovasi masjid di kota Pekalongan pada 1926. Pada tahun itu, masyarakat ingin merenovasi masjid yang ada, karena alasanalasan tertentu. Di samping itu, kas yang dimiliki oleh masjid itu sendiri dianggap dapat memenuhi kebutuhan renovasi tersebut, yakni sebesar f.26.000,00 lebih, sementara seluruh biaya yang dianggarkan mencapai f.20.000,00 sampai f.22.000,00. Dengan demikian, saldo yang ada masih tersisa sekitar f.4.000,00 atau f.6.000,00 yang dianggap cukup untuk kebutuhan kegiatan masjid. Akan tetapi, pemerintah Belanda mengizinkan penggunaan dana kas masjid itu f.6.000,00 saja. Untuk sisanya, pemerintah menganjurkan agar bisa diperoleh melalui wakaf. Meskipun penggalangan dana melalui wakaf mudah dilakukan, masyarakat menolak kebijakan ini, dan mempertanyakan untuk apa dan akan dibawa ke mana kas masjid tersebut. Sebab, kebijakan ini janggal mengingat kas masjid untuk renovasi masjid tidak dibolehkan, sedangkan dana tersebut dibolehkan untuk membangun gedung pertemuan umum. Karena itu, mereka berharap kas masjid dapat digunakan sebagai dana pembangunannya dan tidak lagi bergantung pada wakaf.13 Meskipun praktik wakaf telah berlangsung lama, tidak banyak informasi yang menjelaskan bagaimana tata cara wakaf itu dilaksanakan. Snouck Hurgronje menuturkan bahwa peran wakif, orang yang mewakafkan, sangat besar dalam menentukan tujuan dan menunjuk seorang nazir, pengelola wakaf. Ditegaskan lebih jauh bahwa wakaf di Indonesia berbeda dengan di tempat lain, terutama di negara Islam. Di negara yang terakhir ini, qa>d}i> berperan besar dalam mengangkat pengelola (na>z}ir), tetapi karena di negara yang pertama tidak ada qa>d}i>, peran itu dimainkan oleh penghulu atau kyai. Snouck sendiri menganjurkan agar wakaf berada di bawah kendali pejabat penjajah, bukan pada penghulu atau kyai. 14 Saran ini tampaknya didasarkan pada kekhawatiran Snouck Hurgronje yang menduga bahwa dana wakaf jika berada di tangan kyai atau penghulu dapat dijadikan sebagai sumber bekal pemberontakan, seperti disinggung di muka. Tampaknya, wakaf telah menjadi praktik yang begitu meluas dalam masyarakat Indonesia, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa sengketa dalam masalah ini telah terjadi.15 Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 tentang Priesterraad (Pengadilan Agama), yang memberikan wewenang kepada lembaga ini untuk menyelesaikan sengketa wakaf.16 Perhatian pemerintah kolonial terhadap masalah ini bisa dimaklumi mengingat wakaf terkait erat dengan persoalan hukum tanah atau agraria. Di satu sisi, tanah dikenakan biaya pajak, sementara wakaf tanah dibebaskan dari beban tersebut. Di samping itu, wakaf terkait erat dengan masjid yang dipandang sebagai kegiatan keagamaan yang kadang-kadang bisa berujung sebagai pusat
13
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 168, catatan nomor 214. Lihat E. Gobee dan C. Andriaase, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 (Jakarta: INI, 1992), 5: 905. 15 Bandingkan Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi Islam,‛ 174. 16 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf: Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, 1:1 (Desember 208), 9. 14
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
107 pemberontakan.17 Karena itu, perhatian kolonial terhadap wakaf semakin meningkat dengan diterbitkannya sejumlah peraturan, baik yang secara sepintas menyinggung maupun secara eksklusif memang membicarakan tentang wakaf. Di antara peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 1 Januari 1905, Nomor 435. Surat edaran ini termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Mohammedaansche bedehuizen. Sebenarnya, surat edaran ini tidak berbicara secara khusus tentang wakaf, tetapi berperan sebagai penegasan bahwa pemerintah sebenarnya mengakui dan mengizinkan orangorang Islam memenuhi kebutuhan keagamaan mereka. 18 Di sini terlihat bahwa surat ini tidak membicarakan secara khusus tentang wakaf. Akan tetapi, dapat dipahami bahwa kebutuhan keagamaan yang paling fundamental umumnya adalah rumah-rumah ibadah dan masjid, yang sebagian besarnya merupakan tanah wakaf.19 Lebih jauh dikemukakan bahwa pendirian rumah ibadah hanya dibolehkan jika ia memenuhi kriteria kebutuhan publik. Hal itu dipertegas dengan perintah, dalam surat itu, kepada para bupati di wilayah Jawa dan Madura, yang harus menginventarisir rumah-rumah ibadah Islam di masingmasing daerah kekuasaannya. Di samping itu, mereka juga harus mengidentifikasi asal muasal rumah ibadah itu, berikut kegunaannya. Bahkan orang yang hendak melaksanakan wakaf pun harus meminta izin terlebih dahulu kepada bupati setempat. Meskipun demikian, surat edaran ini tidak banyak diindahkan baik oleh masyarakat Muslim maupun bupati. Bagi masyarakat Muslim, surat ini tidak saja mempersulit mereka dalam melaksanakan wakaf, tetapi juga dapat dipandang sebagai upaya pemerintah kolonial untuk menghalangi dan membatasi ibadah mereka20 dan pendirian masjid. Ini bisa dilihat pada kasus pendirian masjid baru selain Masjid Agung yang sudah ada. Meskipun Pengadilan Agama mengizinkan adanya masjid baru ini, namun Snouck Hurgronje tidak menyetujui dan membatalkan niat tersebut. Dengan dalih pandangan fikih Sha>fi‘iyyah, ia melarang pendirian masjid baru itu, di samping alasan bahwa Masjid Agung yang ada masih mampu menampung jamaah Jumat. 21 Di sisi lain, surat ini tampaknya agak diabaikan oleh para bupati mengingat tidak dicapainya data yang memadai tentang wakaf dan masjid di wilayah tugas mereka masing-masing.22 Dengan demikian, surat edaran ini terbukti tidak berjalan mulus, tetapi mendapatkan reaksi dari masyarakat Muslim, yang memandang ketentuan tersebut sebagai bentuk intervensi pemerintah kolonial dalam masalah agama penduduk. Di samping bertentangan dengan kebijakan pemerintah sendiri dalam 17
Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi Islam,‛ 174. 18 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf: Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, volume 1, nomor 01 (Desember 208), 10. 19 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 3. 20 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43. 21 Konon, seorang penghulu di Palembang berusaha membuktikan bahwa masjid yang ada itu tidak lagi dapat menampung jamaah dengan menggerakkan massa agar memenuhi masjid itu. Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan, sehingga masjid baru urung didirikan. Kasus-kasus serupa juga terjadi di wilayah lain di nusantara. Lebih jauh, lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 172-173. 22 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43.
Bab IV
108 masalah agama, ketentuan itu terbukti mempersulit orang yang hendak melakukan wakaf untuk kepentingan orang Islam.23 2. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A. Surat ini dimuat dalam Bijblad Tahun 191 No. 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs . Berbeda dengan surat edaran sebelumnya, kali ini masalah wakaf disebut secara eksplisit. Akan tetapi, dari segi isinya, surat kedua ini merupakan penegasan terhadap yang pertama, mengingat masih ada keharusan bagi para bupati untuk mencatat rumah-rumah ibadah, penggunaan dan asal usulnya. 24 Di samping itu, izin dari bupati juga tetap diharuskan bagi orang yang ingin berwakaf maupun bagi pendirian masjid di atas tanah wakaf. Tujuan perizinan itu sendiri adalah agar tanah yang dibangun masjid di atasnya tidak terganggu atau tergusur oleh pembangunan tata kota. Atau sebaliknya, jika ketertiban umum masyarakat terganggu oleh pembangunan masjid di tanah wakaf, bupati dapat mengalihkan usaha itu di tempat lain.25 Respons masyarakat Muslim terhadap surat ini pun nyaris setali tiga uang. Mereka memandang peraturan ini sebagai bentuk campur tangan pemerintah kolonial dalam urusan agama mereka. Padahal, perwakafan adalah masalah privat, yang tetap dipandang sah kalaupun dilaksanakan tanpa izin pemerintah atau bupati. Sebab, wakaf merupakan pemisahan harta dari pemilikan seseorang dan berada di luar peredaran kepemilikannya.26 Di samping itu, masyarakat Muslim tetap menilai bahwa ketentuan ini tidak lain hanyalah upaya pembatasan ibadah mereka oleh Belanda.27 3. Surat Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A. Surat ini termaktub dalam Bijblad Tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs . Selain untuk mempertegas surat-surat sebelumnya, surat ketiga ini juga mengatur soal tanah wakaf dan pembangunan masjid, di samping masalah perizinan shalat Jumat. Yang dimaksud dengan izin shalat Jumat di sini adalah bahwa jika terjadi persengketaan di kalangan masyarakat, bupati dibolehkan memberikan izin kepada pihak yang memintanya. Masalah ini tampaknya tidak dapat dipisahkan dari sengketa tanah wakaf, di mana masjid yang dibangun di atasnya dipersengketakan oleh pihak-pihak tertentu. Lebih jauh, dalam masalah wakaf, surat ini memberi sedikit keringanan, di mana orang yang hendak mewakafkan hartanya tidak harus meminta izin kepada pemerintah atau bupati. Mereka cukup melaporkan wakafnya kepada notaris untuk memeroleh akta dari petugas.28 Ternyata, surat ketiga ini juga tidak mendapat respons positif dari masyarakat Muslim. Memang ada peningkatan dari segi pendataan harta wakaf, tetapi masih jauh dari memadai. Dengan kata lain, harta wakaf yang tidak terdaftar jauh lebih banyak ketimbang yang sudah didaftar. Di sini terlihat bahwa penolakan kaum Muslim terhadap kebijakan pemerintah kolonial tetap tidak 23
Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 10. Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 10-11. 25 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 26 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 11. 27 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 28 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. 24
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
109 berjalan sesuai dengan tujuan surat tersebut. 29 Inilah yang kemudian mendorong pemerintahan kolonial untuk menerbitkan kembali surat edaran tentang wakaf. 4. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935 No. 1273/A. Surat ini dimuat dalam Bijbald Tahun 1935 No. 13480 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs . Dalam surat terakhir ini, beberapa ketentuan sebelumnya dipertahankan, tetapi juga memberikan tata cara atau prosedur bagaimana wakaf harus dilaksanakan. Misalnya, orang yang ingin berwakaf tidak harus meminta izin kepada bupati, namun cukup melapor melalui kepala desa dan camat kepadanya. Ini diperlukan agar bupati dapat mempertimbangkan atau menilai kalau-kalau ada pelanggaran terhadap ketentuan umum, terutama berkaitan dengan ketertiban dan kepentingan umum. Selanjutnya, bupati mendaftarkannya kepada petugas keagamaan, yang harus melaporkan kemudian kepada kepala agraria. Ini dilakukan agar harta wakaf memeroleh pembebasan dari beban pajak, yang dikenakan pada benda-benda lain selain pajak.30 Sambutan masyarakat Muslim terhadap peraturan ini ternyata tidak menggembirakan, apalagi ketentuan sanksi tidak ditetapkan di dalamnya. Padahal, konon, ketentuan dibuat untuk mengakomodasi kayakinan masyarakat Muslim saat itu, yakni bahwa harta wakaf itu harus langgeng ( mu’abbad). Karena itu, pemerintah mempertimbangkan keyakinan tersebut sehingga melalui surat ini diharapkan dapat menjamin pelaksanaan keyakinan masyarakat Muslim. Dengan begitu, benda-benda wakaf tidak terganggu oleh pembangunan lain yang bertujuan pada pemenuhan kepentingan umum, seperti pelebaran jalan, pengembangan kota dan lain sebagainya.31 Berbeda dengan itu, pemerintah kolonial Inggris di Malaysia justru menunjukkan intervensinya yang sangat kuat terhadap wakaf di sana, khususnya di Penang. Di sini, pemerintah mengambil alih pengelolaan wakaf, dengan tujuan pembangunan dan kemajuan kota tersebut. Namun, dengan manajemen yang baik, wakaf juga mengalami perkembangan pesat.32 Penolakan terhadap undang-undang kolonial terhadap wakaf seperti itu terbukti juga terjadi di tempat lain. Di Aljazair, misalnya, pemerintah kolonial Prancis mencoba memasukkan wakaf ke dalam hukum publik, namun masyarakat Muslim menolaknya dengan keyakinan bahwa wakaf merupakan bagian dari lembaga yang masuk ke dalam jurisdiksi Islam. 33 Kejadian serupa berlangsung di India, ketika Inggris berkuasa. Namun, Inggris lebih melunak dan menerima wakaf masuk ke dalam Anglo-Muhammadan Law.34 Terlepas dari penolakan yang ditunjukkan oleh kaum Muslim saat itu, semangat di balik surat edaran yang terakhir ini diduga banyak diadopsi oleh peraturan wakaf yang ditetapkan pemerintah pasca-kemerdekaan. Jika dugaan ini 29
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44. Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44-45. 31 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 45. 32 Khoo Salma Nasution, ‚Kolonial Intervention and Transformation of Muslim Waqf Settlement in Urban Penang: The Role of Endowment Board,‛ Journal of Muslim Minority, 22:2 (2002), 299-315. 33 Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam Islam and Public Policy, ed. Stephen P. Heyneman (Nashville: Vanderbilt University Press, 2004), 36. 34 Ahmad Dallal, ‚The Islamic Institution of Waqf,‛ 37. 30
Bab IV
110 benar, dapat dikatakan bahwa penolakan tersebut lebih banyak didasari oleh penolakan terhadap kekuasaan asing ketimbang esensi peraturan itu sendiri. Ini bisa dimaklumi mengingat masyarakat Muslim berusaha untuk tidak kompromi terhadap penguasa asing, yang mencoba mengintervensi persoalan keagamaan mereka. Seperti dalam kasus pembangunan masjid baru yang telah disinggung di muka, alasan pelarangan yang digunakan oleh pemerintah adalah pandangan fikih Sha>fi‘iyyah, yang juga dianut oleh kaum Muslim. Namun, hal itu tidak menghalangi mereka untuk berjuang mendirikan masjid yang baru. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, peraturan perundang-undangan tentang wakaf tidak pernah ditetapkan secara khusus. Dengan demikian, peraturan wakaf yang telah ditetapkan oleh Belanda masih berlaku. Ini sejalan dengan Peraturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, Pasal II yang menyatakan bahwa ‚Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.‛35 Hal ini dilakukan untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat, karena kekosongan hukum dikhawatirkan justru akan menciptakan instabilitas. 36 Dengan demikian, dalam masalah keagamaan, pemerintah mengakui hukum agama yang berlaku, termasuk di dalamnya masalah wakaf. Walaupun begitu, campur tangan pemerintah tetap ada, terutama yang berhubungan dengan penyelidikan, penentuan, pendaftaran, pengawasan dan pemeliharaan benda-benda wakaf.37 Pada 1952, Menteri Agama menerbitkan peraturan No. 9 dan 10, yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1949. Dua peraturan menteri itu menyatakan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan saluran strukturalnya di bawah memiliki kewajiban untuk ‚menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf.‛ Kewajiban ini meliputi penyelidikan apakah tanah wakaf yang ada sesuai dengan maksud dan tujuan perwakafan yang ditetapkan oleh ajaran Islam atau tidak. Berdasarkan peraturan ini, wakaf merupakan wewenang Kementerian Agama yang dalam praktiknya dijalankan oleh KUA Kecamatan atau KUA Kabupaten.38 Di samping itu, Departemen Agama juga mengeluarkan petunjuk teknis tentang wakaf pada 22 Desember 1953. Sebagai tindak lanjut penertiban wakaf ini, Kantor Pusat Jawatan Urusan Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 5/D/1956 tanggal 31 Desember 1956, yang berisi anjuran agar perwakafan tanah dilaksanakan secara tertulis. Selanjutnya, pada 5 Maret 1959, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Bersama No. Pem.19/22/23/7 dan SK/62/Ka/59, yang berisi pengalihan wewenang pengesahan wakaf tanah milik dari bupati ke Kepala Pengawas Agraria. Pelaksanaan SKB ini kemudian diatur dalam Surat Pusat Jawatan Agraria No. Pda.2351/34/II tanggal 13 Februari 1960 kepada Pusat.39 Dari sejumlah peraturan yang dikeluarkan di atas, terlihat bahwa semua itu baru setingkat peraturan menteri. Lebih jauh, peraturan-peraturan itu baru memberikan status dan kedudukan wakaf tanah dan belum memberikan secara 35
Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK, 2007), 61. 36 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 11. 37 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 12. 38 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 12. 39 Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 13.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
111 terperinci baik mengenai prosedur maupun pemanfaatan wakaf tanah. Bersamaan dengan pembaharuan hukum agraria, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan perhatian khusus kepada wakaf, mengingat sebagian besar wakaf berbentuk tanah. Inilah untuk pertama kali persoalan wakaf diangkat ke tingkat undang-undang, meskipun hanya sebagai bagian saja dari keseluruhan undang-undang itu. Sebenarnya, RUUPA ini pernah diajukan oleh Menteri Agraria saat itu, Soenarjo, kepada DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang pada 1958. Setelah dibicarakan dengan panitia ad hoc DPR, RUU hampir selesai. Akan tetapi, adanya Dekrit Presiden 1959 membubarkan RUU itu menjadi UU, apalagi DPRnya sendiri kemudian dibubarkan oleh Presiden. Meskipun demikian, semangat pembaharuan ini diteruskan oleh menteri yang baru, Sudjarwo, meskipun di sana ini ada perubahan sesuai dengan UUD 1945 dan Manifesto Politik pemerintah. Setelah pembicaraan persiapan selama 45 jam bersama DPR-GR dan sidang yang berlangsung enam jam, RUU ini disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.40 Terdiri atas empat bab, masalah wakaf dibicarakan dalam Bab II Bagian XI tentang Hak-hak Tanah untuk Keperluan Suci dan Sosial dalam Pasal 49, di samping disinggung secara implisit dalam Pasal 14. Di dalam Pasal 14 dikatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di Indonesia digunakan, di antaranya, untuk keperluan peribadatan dan keperluan lainnya sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, dalam Pasal 49 ditegaskan bahwa: (1) hak milik tanah atas badan-badan keagamaan dan sosial akan dilindungi oleh negara; (2) untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, negara dapat memberikan hak pakai atas tanah yang dikuasai oleh negara; (3) perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Meskipun demikian, Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Pasal 49 baru diterbitkan 17 tahun kemudian, tepatnya 17 Mei 1977, yaitu PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan kata lain, antara ditetapkannya undang-undang dengan diterbitkannya peraturan yang menyertainya dibutuhkan waktu yang sangat lama, hingga terjadinya pergantian kekuasaan, dari Soekarno ke Soeharto. PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ini terdiri atas tujuh bab dan 18 pasal yang didahului dengan pertimbangan dan konsideran. Adapun bab-bab itu meliputi: Bab I : Ketentuan umum yang berisi 1 pasal mengenai definisi wakaf, wakif, ikrar dan nazir. Bab II : Fungsi wakaf yang berisi 7 pasal mengenai tujuan wakaf, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf. Bab III : Tata cara mewakafkan dan pendaftarannya yang berisi 2 pasal mengenai tata cara perwakafan tanah milik dan pendaftaran wakaf tanah milik. Bab IV : Perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan perwakafan tanah milik yang berisi 3 pasal tentang perubahan perwakafan tanah milik, penyelesaian perselisihan dan pengawasan tanah milik. Bab V : Ketentuan pidana yang berisi 2 pasal.
40
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 175-76.
Bab IV
112 Bab VI : Ketentuan peralihan yang berisi 2 pasal. Bab VII: Ketentuan penutup yang berisi 1 pasal. Peraturan inilah yang untuk pertama kalinya memerinci persoalan wakaf semenjak Indonesia merdeka dan menggantikan peraturan-peraturan sebelumnya. Dikatakan demikian, karenan peraturan inilah yang kemudian berlaku selama pemerintahan Orde Baru dan baru tergantikan oleh UU No. 41 Tahun 2004, yang disahkan di Era Reformasi. PP ini kemudian dijabarkan secara teknis operasional melalui peraturan-peraturan lain, baik yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri maupun Menteri Agama. Bahkan PP ini pula yang menjadi dasar UU No. 41 Tahun 2004, karena sebagian besar gagasan yang ada di pertama diadopsi oleh yang kedua. Sejalan dengan Pasal 10 ayat (4), yang menyatakan bahwa ‚Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tata cara pencatatan perwakafan yang dimaksud dalam ayat (2) dan (3),‛ maka Menteri Dalam Negeri menerbitkan peraturan No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik. Secara umum, peraturan ini berisi cara-cara yang harus ditempuh seseorang atau organisasi untuk mendaftarkan perwakafan, seperti keharusan mendaftarkan tanah yang diwakafkan kepada Sub-Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya, kewajiban PPAIW untuk melaporkan, biaya pendaftaran dan lain sebagainya. 41 Kemudian pada 10 Januari 1978, Menteri Agama menerbitkan Peraturan No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977. Terdiri atas 10 bab dan 20 pasal, Peraturan Menteri ini merupakan rincian teknis yang harus dilakukan bagi perwakafan. Ini meliputi ketentuan ikrar dan akta wakaf, pejabat yang membuat akta ikrar, kewajiban dan hak nazir, perubahan tujuan wakaf, penyelesaian sengketa dan lain sebagainya. Meskipun demikian, peraturan ini tetap mengamanatkan bahwa peraturan pelaksanaan yang lebih operasional akan ditetapkan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam.42 Untuk mempertegas kedua peraturan menteri ini, maka pada 23 Januari 1978 diterbitkan sebuah Instruksi Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978. Instruksi ini ditujukan kepada seluruh Gubernur Kepala Daerah di Indonesia dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama di seluruh Indonesia. Adapun isinya meliputi: pertama, perintah agar para pejabat daerah tersebut melaksanakan dengan baik PP No. 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama Tahun 1978. Kedua, perintah kepada instansi dan pejabat di bawah gubernur dan kepala Kanwil menaati peraturan-peraturan tersebut. Ketiga, perintah pengamanan dan pendaftaran wakaf tanah milik yang telah berlangsung sebelum PP No. 28 Tahun 1978 diberlakukan. Terakhir, perintah pelaporan atas pelaksanaan instruksi ini kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. 43 Kemudian, sejalan dengan amanat Pasal 9 ayat (2) PP No. 28 Tahun 1977, yang menyebutkan bahwa ‚Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama,‛ Menteri Agama pada 9 Agustus 1978 menetapkan Keputusan No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama untuk Mengangkat dan Memberhentikan Kepala KUA Kecamatan sebagai PPAIW. Selain pendelegasian 41
Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977. Lihat Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978. 43 Lihat Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978. 42
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
113 pengangkatan dan pemberhentian, surat keputusan ini juga memberikan wewenang bagi Kanwil Depag Propinsi untuk memberikan kuasa kepada Kepala Bidang Urusan Agama mengangkat dan memberhentikan PPAIW. Ditambahkan pula bahwa jika di suatu kecamatan belum memiliki KUA, maka kepala KUA kecamatan lain yang terdekat dapat diangkat sebagai PPAIW.44 Di samping itu, Menteri Agama pada 19 Juni 1979 secara khusus menerbitkan Instruksi No. 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 78 Tahun 1978.45 Bersamaan dengan terbitnya Surat Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 pada tanggal 29 Mei 1980, yang berisi ketentuan jenis formulir wakaf, baik yang harus bermaterai dan bebas dari materai, berikut besaran materainya, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji menerbitkan Surat Edaran No. DII/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai pada 25 Juni 1980. Surat ini dindaklanjuti dengan Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. DII/5/Ed/07/1981 kepada Gubernur Tingkat I seluruh Indonesia pada 17 Februari 1981. Surat ini berisi pendaftaran tanah milik dan permohonan keringanan atau pembebasan biaya yang dibebankan dalam proses tersebut. 46 Selanjutnya, untuk menindaklanjuti Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengeluarkan Keputusan No. 15 Tahun 1990 pada 9 April 1990 tentang Penyempurnaan Formulir dan Pedoman Pelaksanaan PP Perwakafan Tanah Milik. Secara garis besar, surat keputusan ini berisi petunjuk teknis tentang bagaimana membuat ikrar wakaf, akta ikrar wakaf, pendaftaran dan sebagainya dan ditujukan secara khusus kepada PPAIW.47 Setelah berbagai peraturan diterbitkan oleh Menteri Agama, pada 30 November 1990, Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Instruksi Bersama No. 4 Tahun 1990 dan No. 24 Tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Instruksi ini berisi beberapa perintah. Pertama, Kanwil Depag Propinsi dan Kandepag Kabupaten/Kotamadya serta Kanwil BPN Propinsi dan Kantor BPN Kabupaten/Kotamadya harus berkoordinasi sebaik mungkin dalam upaya penyelesaian sertifikat tanah wakaf. Kedua, sertifikasi tanah wakaf diharapkan dapat diselesaikan pada akhir Pelita V. Ketiga, untuk pembiayaan program sertifikasi ini digunakan biaya Proyek Operasi Nasional Pertanahan. Keempat, penyerahan sertifikat tanah secara masal direncanakan rampung bersamaan dengan hari ulang tahun Undang-undang Pokok Agraria No. 31 pada 24 September 1990 dan Hari Amal Bakti Depag pada 3 Januari 1992. Kelima, intensifikasi dana biaya sertifikasi tanah diambil dari APBN, APBD dan masyarakat. Keenam, laporan harus diberikan kepada Gubernur, Kepala BPN dan Menteri Agama, jika dalam proses tersebut ditemuai hambatan, baik dalam masalah pembiyaan, tenaga teknis maupun peralatan dan kebutuhan lainnya. Dari uraian di atas terlihat bahwa peraturan perundang-undangan wakaf sudah cukup banyak diterbitkan oleh pemerintah. Ini menunjukkan bahwa pemerintah memberikan kepedulian yang sangat tinggi bagi praktik filantropi 44
Lihat Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978. Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 18. Uswatun Hasanah, ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ 18. 47 Lihat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. 15 Tahun 1990. 45 46
Bab IV
114 Islam, meskipun tidak sampai ke tingkat undang-undang. Bahkan, dalam hal pembiayaan dan pemenuhan kebutuhan lainnya, pemerintah telah menganggarkan dari APBN dan APBD, di samping dari sumber masyarakat. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 disahkan oleh DPR pada 14 Desember 1989 dan mulai diundangkan pada 29 Desember 1989. Akan tetapi, terdapat kesulitan bagi pelaksanaan undang-undang ini karena belum adanya pegangan yang komprehensif dan tunggal bagi para hakim. Ini membuka peluang bagi lahirnya perbedaan keputusan yang akan ditetapkan hakim dalam persoalan yang relatif sama, sesuai dengan sandaran hukum Islam yang digunakan oleh hakim. Karena itu, melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, diterbitkanlah Kompilasi Hukum Islam sebagai pegangan hakim pada 10 Juni 1991. Seperti disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) butir c Undang-Undang Peradilan bahwa salah satu tugas Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam masalah wakaf dan shadaqah. Tidak heran jika kemudian persoalan wakaf ini diatur dalam KHI, di samping persoalan perkawinan dan warisan. Hukum tentang wakaf disebutkan dalam Buku III KHI, yang terdiri atas atas lima bab, yaitu: (1) Ketentuan Umum; (2) Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf; (3) Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf; (4) Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf; (5) Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.48 Meskipun banyak mengacu pada PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Hukum Wakaf dalam KHI menunjukkan beberapa perubahan penting. Jika PP tersebut hanya mengatur wakaf tanah atau benda tidak bergerak, dalam KHI wakaf benda bergerak sudah disinggung. Lebih jauh, dalam KHI juga diatur ketentuan pemberhentian nazir, yang tidak ditemukan dalam PP, dan kemudian diadopsi dalam UU No. 41 tentang Wakaf Tahun 2004. Akan tetapi, banyak juga yang tidak ditemukan dalam KHI, khususnya mengenai masalahmasalah yang lebih teknis seperti ketentuan sanksi dan tata cara perwakafan. Dapat dikatakan bahwa Hukum Wakaf dalam KHI merupakan ringkasan dari PP No. 28 Tahun 1977.49 Tidak lama setelah itu, Menteri Agama pada 22 Juli 1991 mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia di atas. Disebutkan dalam Keputusan ini bahwa seluruh Instansi Departemen Agama dan Pemerintah terkait lainnya harus menyebarluaskan KHI di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Selain itu, seluruh instansi tersebut harus menerapkan KHI dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan, di samping undangundang lainnya. Terakhir, Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji harus berkoordinasi demi terlaksananya keputusan ini.50
48 Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Penerbit Nusantara
Press, 1991), 241. 49 Lihat Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, 296-301. 50 Lihat Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
115 Dari uraian di atas terlihat bahwa perwakafan telah menjadi perhatian cukup besar, baik pada masa pemerintah kolonial maupun selama masa kemerdekaan. Sepanjang pemerintahan Soekarno, wakaf hanya disinggung secara sepintas dalam undang-undang lain yang terkait, dan baru pada masa pemerintahan Soeharto wakaf memeroleh perhatian yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa terlepas dari otoritarinisme Orde Baru, perhatian yang diberikan oleh rezim ini terhadap persoalan-persoalan Islam sangat menentukan. Dalam kaitan ini, Ahmad Sukardja menegaskan bahwa semangat para penyelenggara negara sangat berpengaruh. Jika semangat keagamaan mereka kuat, persoalan agama akan menjadi perhatian besar bagi mereka. Sebaliknya, jika mereka berpandangan sekular, maka persoalan agama agak dikesampingkan. Semangat keagamaan itu mengalami peningkatan besar pada masa Orde Baru, dan karenanya pada masa ini semangat pelaksanaan hukum Islam, termasuk wakaf, juga mengalami peningkatan.51 B.
Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Wakaf Seperti Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, Rencana Undangundang tentang Wakaf ini tidaklah lahir begitu saja, tetapi karena ada faktorfaktor tertentu yang mendorongnya untuk diajukan oleh pemerintah. Secara garis besar, faktor-faktor ini dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yakni eksternal dan internal. 1.
Eksternal Setidak-tidaknya, ada dua faktor eksternal penting yang memengaruhi dan mendorong diajukannya RUU tentang Wakaf ini, yaitu: keberhasilan pengelolaan wakaf di negara-negara Muslim lainnya, perkembangan sistem ekonomi dan perkembangan konseptual tentang wakaf itu sendiri. Dengan kata lain, pengalaman dan pemikiran tentang wakaf yang berkembang sangat potensial untuk menjadi sumber acuan bagi negara-negara lain yang juga berurusan dengan persoalan yang sama. a.
Pengalaman Beberapa Negara Muslim Sebagai pranata keagamaan Islam, wakaf telah memeroleh perhatian yang sangat besar dari negara-negara Muslim, yang ditunjukkan di antaranya dengan dibentuknya sebuah kementerian khusus yang menangani bidang itu. Karena itu bisa dimengerti jika pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Pengalaman beberapa negara, seperti Turki, Mesir, Kuwait dan Malaysia, menunjukkan hal itu. Di Malaysia, misalnya, perundang-undangan wakaf pertama kali dikodifikasi dalam Hukum Pahang pada abad ke-16 tatkala Sultan Abdul Ghafur berkuasa (1592-1614) dan tidak ditemukan ketentuan-ketentuannya dalam undang-undang lain di negara-negara bagian. Lebih jauh, mengingat mazhab Sha>fi‘i> menjadi mazhab resmi penduduk wilayah ini, ketentuan-ketentuan tentang wakaf dalam undang-undang di atas didasarkan pada pandangan mazhab fikih ini. Bahkan, benda-benda yang boleh diwakafkan, menurut undang-undang itu, tidak terbatas pada benda-benda tidak bergerak, tetapi juga meliputi benda-benda bergerak yang 51 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk (Jakarta: UI Press, 1995), 146.
Bab IV
116 memiliki manfaat abadi, di samping membolehkan adanya wakaf umum dan wakaf keluarga.52 Sebagaimana dimaklumi, Malaysia menjadikan Islam sebagai agama resmi negara federal, di mana Yang di-Pertuan Agung berperan sebagai pemimpin agama negara federasi, sementara sultan adalah pemimpin agama Islam setiap negara bagian. Meskipun demikian, untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan agama, di masing-masing negara bagian ada Majelis Ugama. Dengan kata lain, majlis-majlis inilah sesungguhnya yang bertanggung jawab atas segala persoalan agama, termasuk wakaf. Bahkan, mereka pulalah yang menjadi pemegang tunggal aset-aset wakaf di Malaysia.53 Tidak heran jika kemudian masing-masing negara bagian membentuk legislasi khusus tentang hukum Islam, yang bisa jadi berbeda antara satu negara bagian dengan lainnya. Meskipun demikian, semua itu tidak boleh bertentangan dengan legislasi yang dibentuk oleh parlemen di tingkat federal. Karena itu, lahirlah administrasi pelaksanaan perundangan hukum Islam yang beragam dengan tahun pengesahan yang juga berbeda. Misalnya, Serawak menetapkan pada 1954, Kedah pada 1962, Perlis pada 1964, Johor pada 1978, Trengganu pada 1986, Wilayah Federasi Kuala Lumpur, Labuan dan Putra Jaya pada 1993, Melaka, Pahang dan Negeri Sembilan pada 1991, Perak dan Sabah pada 1992, Penang pada 1993, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan wakaf di negeri-negeri tersebut dimasukkan dalam hukum Islam secara integral, dan hanya dijabarkan dalam peraturan-peraturan. Satu-satunya pengundangan wakaf dilakukan oleh negara bagian Selangor, yang menetapkan undang-undang wakaf pada 1999.54 Sebagai pemegang wewenang atas aset-aset wakaf, Majlis Ugama bertanggung jawab, di antaranya, atas pemeliharaan dan peningkatan pendapatan wakaf. Untuk itu, majlis-majlis ini mendirikan sejumlah perusahaan (holding company) untuk tujuan tersebut. Ini bisa dilihat di beberapa negara bagian, seperti Maim Properties Sdn. Bhd., di Melaka, Edi Fajar Development Sdn. Bhd., Negeri Sembilan, as-Sahabah Holding, di Penang, Bakti Suci Properties Sdn. Bhd., di Selangor, dan Pusat Rawatan Islam Sdn. Bhd dan Baiulmal Zenit Battery Sdn. Bhd di Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur.55 Pada 8 Agustus 2004, Departemen Wakaf, Zakat dan Haji dibentuk di Malaysia yang langsung berada di bawah kantor Perdana Menteri, yaitu Datuk Abdullah Ahmad Badawi. Akan tetapi, tujuan pendirian departemen ini bukanlah untuk menghapus lembaga-lembaga yang selama ini telah berkecimpung dalam persoalan wakaf, zakat dan haji. Departemen ini hanya berperan sebagai koordinator, yang akan memfasilitasi dan memperkuat lembaga-lembaga yang sudah ada dalam pengelolaan ketiga masalah di atas. 56 Pendirian departemen ini juga dilatarbelakangi oleh fakta bahwa Majlis Ugama di masing-masing negara 52 John E. Kempe dan R.O. Winstedt, ‚A Malay Legal Digest Compiled for Abdul Gharuf Muhaiyuddin Shah Sultan of Pahang (1592-1614),‛ JMBRAS, 21:1 (1948), 14. 53 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 2006), 83-84. 54 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 57-58; lihat juga Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Allevation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 90. 55 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 87-88. 56 Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 90-91.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
117 bagian terbukti memiliki banyak persoalan, seperti kekurangan dana ( financial), hukum (legal) dan kemampuan administratif. 57 Dengan adanya departemen khusus yang menangani wakaf, sejumlah inovasi bagi pengembangan wakaf banyak dilakukan. Misalnya, dana wakaf tidak dibiarkan, tetapi dimanfaatkan sebagai modal ija>rah, istibda>l dan sukuk musha>rakah. Pihak yang berwenang dalam bidang ini juga memperkenalkan konsep wakaf tunai bagi pengumpulan dana dan mendanai sejumlah aktivitas wakaf. Di antara jenis-jenis konsep wakaf tunai yang diperkenalkan meliputi wakaf tunai perusahaan, investasi, dan takaful. Di samping, dana wakaf juga dimanfaatkan untuk membiayai layanan sosial, dakwah dan pendidikan bisnis perspektif Islam bagi kaum muda, seperti dilakukan oleh Wakaf An-Nur. Tidak heran dari lembaga ini telah lahir sejumlah klinik dan rumah sakit di beberapa negara bagian di Malaysia.58 Pengalaman di Malaysia ini menunjukkan bahwa wakaf jika dikelola dengan baik dapat membantu meningkatkan kesejahteraan umat, dan secara tidak langsung membantu negara dalam kewajibannya menyediakan layanan publik. Karena itu, pengalaman tersebut menjadi salah satu acuan dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, sehingga dirujuk dalam penyusunan RUU tentang Wakaf.59 Sementara itu, di Bangladesh, pengelolaan wakaf memiliki pengalaman yang berbeda. Sebelum memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, di negara ini sebenarnya telah ada Waqf Ordinance yang disahkan pada 1962 yang berfungsi untuk mengatur wakaf Pakistan Timur, dan diadaptasi serta dipertahankan oleh pemerintahan baru berdasarkan Pasal 5 dari Undang-undang Bangladesh tahun 1972. Pada saat itu, masalah wakaf berada di bawah Kementerian Pendidikan, kemudian dialihkan ke wilayah Kementerian Pertanahan (Ministry of Land Reforms and Land Administration). Sekarang perwakafan diatur oleh Kementerian Agama. Berdasarkan Bagian 7 Waqfs Ordinance tahun 1962, pemerintah harus menunjuk seorang administratur untuk jangka lima tahun dan ia harus Muslim. Ordinance tersebut juga harus membentuk Komite Wakaf, untuk membantu administrator tersebut. Di samping itu, terdapat pula ketentuanketentuan yang dapat dibentuk oleh pemerintah jika dipandang perlu, untuk membantu administratur. Sejalan dengan itu, administrator dibantu oleh dua wakil, enam petugas administrasi, 18 pengawas, 18 auditor dan 54 anggota staf, 60 sehingga seluruh anggota Komite berjumlah 58 orang. Komite ini berkantor di ibukota, Dhaka, dan memiliki empat kantor cabang. Di samping itu, ada juga 24 kantor yang berada di tingkat distrik. Dengan kata lain, secara keseluruhan, ada 29 kantor yang dapat menangani masalah wakaf di seluruh negeri.61 Meskipun demikian, administrasi wakaf di Bangladesh terlihat sangat sentralistik. Kantorkantor cabang dan distrik tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan dan peraturan. Terlepas dari itu semua, sektor wakaf di Bangladesh masih diatur Waqf Ordinance tahun 1962. 57
Siti Mashitoh Mahamood, Waqf in Malaysia, 91-92. Magda Ismail Abdel Mohsin, Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah (Johor Bahru: International Seminar on Awqaf, 2008). 59 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag, 2006), 38. 60 Sadequr Rahman,Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com 61 Sadequr Rahman,Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com 58
Bab IV
118 Berdasarkan bagian 47 Ordinance tersebut, semua wakaf yang ada ataupun yang baru setelah ditetapkannya Ordinance ini harus didaftarkan ke kantor administrasi. Jika pengajuan pendaftaran itu telah dilakukan, Administratur Waqf akan memproses pendaftaran tersebut dengan meneliti tindakan wakaf, pertanggung jawaban dan objek wakaf. Pendaftarannya sendiri bisa dilakukan oleh wakif, nazir (mutawalli) atau panitia wakaf. Ordinance juga dapat memberikan sanksi kepada nazir yang tidak mendaftarkan wakafnya. Akan tetapi, hal itu tidak berjalan, yang dibuktikan oleh banyaknya nazir yang tidak mendaftarkan harta wakafnya dan mereka tetap bebas dari sanksi. Kekayaan wakaf di Bangladesh merupakan sebuah potensi yang sangat besar untuk dikembangan menjadi modal yang akan mendatangkan pendapatan, sehingga dapat digunakan untk mendukung program kesejahteraan sosial di bidang pendidikan, kesehatan dan sektor sosial lainnya. Dengan begitu, anggaran belanja negara atau pemerintah untuk bidang-bidang tersebut dapat berkurang dan dapat dialokasikan untuk kepentingan nasional lainnya. Konon, di Bangladesh, pendapatan dari dana wakaf ini mencapai sedikitnya seratus juta Taka (70 Taka sama dengan 1 US dollar) setiap tahun, yang sangat membantu kebutuhan ekonomi kaum Muslim di negara tersebut.62 Jika wakaf dalam sejarah pernah memainkan peran penting untuk membiayai layanan masyarakat dan negara, sektor wakaf di Bangladesh juga diharapkan dapat berperan serupa. Sejauh ini, pendapatan dari investasi dan properti wakaf telah dimanfaatkan untuk berbagai tujuan sesuai dengan ketentuan Islam, seperti pembayaran gaji para guru, penyediaan makanan gratis, membantu para jamaah haji, beasiswa bagi para mahasiswa, pengobatan dan layanan kesehatan gratis, pendirian perpustakaan, pelatihan ketrampilan, modal perdagangan, di samping untuk manfaat-manfaat tradisional seperti membantu pusat-pusat belajar AlQuran, masjid, madrasah, dakwah dan lain sebagainya. Turki dapat dipandang sebagai negara yang sangat berpengalaman dalam mengelola wakaf, terutama ketika Turki Utsmani berkuasa. Diduga kekayaan wakaf di Turki hingga awal abad ke-20 mencapai tiga perempat bangunan dan tanah yang dapat ditanami di seluruh wilayah kekuasaannya. Namun, Kemal Attaturk naik ke tangga kekuasaan, administrasi wakaf di negeri mengalami perubahan drastis. Ini terjadi bersamaan dengan dihapuskannya sistem khilafah yang diganti dengan republik, dan dihilangkannya shaykh al-Isla>m, yang sebelumnya berperan penting dalam masalah wakaf. Akibatnya, administrasi wakaf dan seluruh kekayaannya disatukan ke dalam aparatur negara sekular, Republik Turki.63 Dalam hal ini, masalah wakaf berada dalam wewenang Direktorat Jenderal Wakaf di bawah Perdana Menteri. Selanjutnya, ketika hukum sipil diterapkan secara efektif, wakaf kemudian digolongkan sebagai karitas berdasarkan Charity Foundation Act No. 2767 tahun 1926.64 Akan tetapi, pada 1983, Pemerintah Turki membentuk kementerian khusus yang menangani tata kelola wakaf, berikut peraturan-peraturan yang 62
Sadequr Rahman, Waqf Shompotti Proshonge dalam http://www.dailysangram.com Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 9: 91. 64 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, eds., Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), 50-51. 63
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
119 menyertainya. Misalnya, berdasarkan Hukum Sipil Pasal 77, ditetapkan bahwa wakaf harus memiliki dewan manajemen. Selain itu disebutkan bahwa Direktur Jenderal Wakaf berkewajiban melakukan pengawasan (Pasal 28), audit harus dilakukan sekurang-kurang sekali dalam dua tahun, dan pengelola hanya dibolehkan mengambil 5% dari hasil bersih wakaf yang dikelola dan lain sebagainya.65 Sejauh ini, kekayaan wakaf di Turki yang dikelola oleh Dirjen Wakaf mencapai jumlah 37.917 wakaf dengan berbagai jenis bidang. Ini meliputi 4.400 buah masjid, 500 asrama mahasiswa, 453 pusat perdagangan, 150 hotel, 5.348 toko, 2.254 apartemen dan jenis properti lain yang jumlahnya mencapai 24.809 buah. Bidang lain yang tak kalah menguntungkannya adalah investasi, di mana dana wakaf diinvestasikan ke sejumlah perusahaan, seperti Ayvalik dan Ayden Olive Oil Corp., Tasdelen Healthey Water Corp., Taksim Hotel (Sheraton), Wakaf Guraba Hospital, Turkish Is Bank, Aydir Textile Industry, Black Sea Copper Industry, Turkish Wakaf Bank dan lain sebagainya. Semua itu, dikelola dan berada di bawah tanggung jawab Dirjen Wakaf. 66 Upaya-upaya inovasi pun tetap dilakukan bagi pengembangan dan peningkatan wakaf, di antaranya melalui sosialisasi. Untuk itu, Dirjen Wakaf sejak 1983 menyelenggarakan pekan wakaf (charities week), di mana penggalangan dana wakaf dari masyarakat dilakukan secara besar-besaran. Tradisi ini kemudian dilanggengkan hingga sekarang, yang berlangsung pada setiap bulan Desember. Dengan dana yang diperoleh dari wakaf ini, berbagai program sosial dapat dilakukan, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Misalnya, sebuah rumah sakit besar di kota Istanbul dibiayai oleh dana wakaf, dengan ribuah ruang rawat dan ratusan dokter serta staf, sedangkan dalam bidang pendidikan dana wakaf umumnya digunakan untuk membiayai pendidikan masyarakat melalui beasiswa dan penyediaan asrama bagi mereka.67 Selain penggunaan untuk program-program jangka panjang, dana wakaf juga dimanfaatkan untuk keperluan aksidental, salah satunya dikenal dengan imaret. Sebenarnya, imaret (dapur umum, soup kitchen) ini biasanya diselenggarakan oleh penguasa ketika ia naik tahta pada masa Turki Utsmani.68 Namun, belakangan tradisi ini dipertahankan oleh lembaga-lembaga wakaf, yang saat ini konon berjumlah 22 di berbagai tempat. Dalam sehari, tidak kurang dari 1.500 orang miskin dapat dilayani oleh satu imaret. Berbeda dengan program-program lain, imaret memang sengajar difungsikan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin dan tidak berkaitan dengan problem-problem sosial umumnya.69 Di Mesir, tradisi dan praktik wakaf juga tak kalah menariknya. Tradisi wakaf di negeri ini sudah berlangsung sangat lama, sejak masa ‘Amr ibn ‘A<s} hingga pemerintahan Mamluk dan terus berlangsung ketika Turki Utsmani menguasai daerah ini. Jumlah wakaf yang ada juga sangat banyak, baik dalam bentuk bangunan maupun tanah pertanian. Lembaga pendidikan al-Azhar dapat dijadikan 65
Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 51. Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 52. 67 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 52. 68 M. Berger, ‚Khayr,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 1997), 4: 1153. 69 Amy Singer, Constructing Ottoman Beneficence: An Imperial Soup Kitchen in Jerussalem (Albany, NY: State University of New York Press, 2003); Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 53. 66
Bab IV
120 sebagai contoh. Seluruh dana yang digunakan bagi penyelenggaraan pendidikan di sini diperoleh dari hasil wakaf, yang anggarannya konon jauh lebih besar ketimbang anggaran pemerintah dalam bidang pendidikan.70 Akan tetapi, perkembangan wakaf di negara ini juga mengalami masa-masa surut, terutama ketika banyak properti wakaf mengalami nasionalisasi. Berdasarkan UU Mesir No. 180 tahun 1952, wakaf keluarga ( ahli, dzurri) dilarang, dan kekayaan wakaf yang ada boleh dipertukarkan dengan yang lain ( amwa>l albadal) yang lebih bermanfaat. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 525 tahun 1954, Kementerian Wakaf berwenang untuk mengalihkan wakaf keluarga ke dalam administrasinya dengan syarat memberi kompensai yang semula memeroleh manfaat darinya. Kemudian, nasionalisasi besar-besaran terjadi berdasarkan UU No. 152 tahun 1957, yang menyatakan bahwa kepemilikan penuh seluruh tanah pertanian yang terkait dengan wakaf harus didistribusikan sesuai dengan reformasi agraria.71 Aset yang semula sebagai wakaf dan bersifat privat tiba-tiba beralih menjadi milik pemerintah, sehingga jumlah wakaf berkurang. Ini terjadi, antara lain, akibat Reformasi Hukum Agraria (Agrarian Law Reform) yang dilakukan pada masa Pemerintahan Gamal Abdul Naser. 72 Pendeknya, melalui program nasionalisasi ini, pemerintah dapat menyita banyak tanah wakaf dan selanjutnya didistribusikan kepada siapa yang dipandang mampu mengelolanya oleh kementerian wakaf. Pada 1971, ditetapkanlah Undang-undang No. 80, di mana sebuah departemen khusus mengenai wakaf dibentuk. Di antara tugas departemen ini adalah bekerjasama dengan departemen lain dalam memeriksa tujuan undang-undang dan kementerian wakaf, di samping mengusut dan memanfaatkan wakaf.73 Terlepas dari perundang-undangan yang ada, tak diragukan lagi, wakaf di Mesir tetap memainkan peran yang signifikan melalui berbagai upaya. Misalnya, hasil harta wakaf yang dikelola nazir disimpan di bank sehingga dapat berkembang. Lebih jauh, Departemen Wakaf menjalin kerjasama dengan sejumlah pabrik, rumah sakit, bank perumahan dan lain sebagainya dengan menginvestasikan dana-dana wakaf. Tanah-tanah yang kurang produktif diubah menjadi lahan yang bisa dimanfaatkan, di samping membeli saham-saham perusahaan yang dapat mendatangkan keuntungan. Hasil-hasil dari pengelolaan tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan-kepentingan kesehatan, keagamaan dan pendidikan.74
70 Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: PBB UIN Jakarta, 2003), xxvi. 71 A. Layish, ‚Wakf in the Modern Middle East and North Africa,‛ The Encyclopedia of Islam
(Leiden: Brill, 2000), 11: 79. 72 Lihat Ibra>hi>m al-Bayyu>mi> Gha>nim, al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1998), 163-168; lihat juga Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice,‛ Makalah CSID 5th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004, 15. 73 Gha>nim, al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r, 165; Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 57. 74 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 58.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
121 b.
Sistem Ekonomi dan Gagasan tentang Wakaf Tunai Seperti dikemukakan A. Layish, salah satu sasaran reformasi wakaf pada masa modern bersifat ekonomi dan berkaitan erat dengan sistem ekonomi. 75 Salah satu perkembangan penting dalam bidang ekonomi adalah sistem investasi yang sangat berperan dalam setiap negara. Di sini, semakin tinggi investasi yang ada dalam sebuah negara akan semakin kuat kemampuan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan nasionalnya. Jika pendapatan tersebut semakin tinggi daripada laju pertumbuhan penduduk, pendapatan perkapita pun akan meningkat, sehingga diharapkan kemiskinan dapat diatasi. Akan tetapi, investasi yang ada di negara-negara Muslim sangat rendah, sehingga diperlukan dana asing, berupa pinjaman. Bahkan, negara-negara Muslim pada akhirnya malah bergantung pada pinjaman asing, sehingga lama-kelamaan semakin meningkat. 76 Dari sistem itu kemudian lahir gagasan tentang wakaf tunai yang menjadi faktor penting lain yang memengaruhi diajukannya RUU tentang Wakaf ke DPR adalah munculnya gagasan baru tentang wakaf uang, sebuah gagasan yang kurang memeroleh banyak perhatian dalam buku-buku fikih klasik umumnya. Adalah M.A. Mannan, ekonom Bangladesh, yang mula-mula melemparkan gagasan tentang wakaf uang tunai pada zaman modern. Disebut demikian, sebab dalam sejarah Islam praktik wakaf uang tunai sudah terjadi di awal-awal Islam. Misalnya, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Imam al-Zuhri—salah seorang ahli hadis terkemuka—menganjurkan kepada masyarakat untuk mewakafkan dinar dan dirham bagi pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan. Hal itu bisa dilakukan dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha, yang keuntungannya dapat dijadikan sebagai wakaf.77 Di kalangan beberapa fuqaha sendiri, wakaf dalam bentuk uang perak dan emas dibolehkan, namun ulama Hanafi umumnya sangat ketat dalam masalah wakaf uang ini.78 Namun demikian, praktik wakaf uang sepanjang periode pra-modern menemukan bentuknya yang paling nyata pada masa Turki Utsmani. Pada periode ini, tidak sekadar wakaf benda yang bergerak, seperti buku, hewan dan sebagainya, tetapi wakaf uang menjadi bagian penting dari sistem ekonomi yang dibangunnya. Untuk memperkokoh legalitasnya, Ebu al-Su‘u>d (1545-1574), shaykh al-Isla>m masa Sulaiman Agung, mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang, meskipun tidak bebas dari penolakan oleh ulama lain, seperti Mehmed Birgewi (1520-1573). Argumen Birgewi, wakaf tunai akan melahirkan uang bagi modal tersebut, di antaranya melalui bunga. Terlepas dari penolakan ini, pengelola wakaf uang ini menyimpan uang tersebut di bank negara agar menjadi produktif.79 Praktik semacam ini kemudian diterapkan juga di Mesir, ketika imperium tersebut menguasai negeri ini, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
75
11: 78.
A. Layish, ‚Wakf in the Modern Middle East and Africa,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000),
76
Mustafa E. Nasution, ‚Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 28-29. 77 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 5-6. 78 R. Peters, ‚Wakf in Classical Islam,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 60. 79 Randi Deguilhem, ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 89.
Bab IV
122 Sejak itulah pembahasan mengenai wakaf uang di Mesir berkembang, meskipun konon masalah serupa telah dibicarakan pada masa Dinasti Mamluk. 80 Dengan kata lain, wakaf tunai yang ditawarkan oleh M.A. Manan ini memiliki presedennya dalam sejarah Islam, yang dalam perkembangan terakhirnya berlangsung pada masa Turki Utsmani, dan telah dipraktikkan di kota-kota dan bahkan di wilayah-wilayah kekuasaannya di luar Turki.81 Ini diakui sendiri oleh ekonom Bangladesh itu. Akan tetapi, upayanya menghidupkan kembali tradisi itu di zaman sekarang sungguh memiliki makna yang signifikan. Ini terlihat dari ketertarikan sejumlah lembaga yang mencoba memahami dan menerapkan gagasannya di luar Bangladesh, seperti Indonesia dan tempat lainnya.82 Gagasan Manan ini sebenarnya telah diterapkan sejak 1995, bersamaan dengan berdirinya Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Seperti bank umumnya, SIBL bergerak dalam sektor perbankan korporasi formal dan non-formal. Namun, satu sektor yang khas dari bank ini adalah layanannya dalam perbankan sektor volunter Islam (Islamic voluntary sector banking). Di samping melayani sektor volunter zakat, haji dan sebagainya—ini sudah banyak diberikan oleh bank-bank Islam lain—bank ini memperkenalkan untuk pertama kali skema sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Certificate), dengan tujuan pemberdayaan keluarga kaya bagi investasi dan kesejahteraan sosial. Lebih jauh, penggunaan wakaf tunai sebagai instrumen keuangan merupakan inovasi dalam sektor keuangan Islam, yang dapat memberikan kesempatan khas untuk berinvestasi dalam berbagai layanan keagamaan, sosial dan pendidikan. Dana yang diperoleh dari orang kaya dapat digunakan untuk membeli sertifikat wakaf tunai, yang dari situ pendapatannya dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti tujuan wakaf pada umumnya. 83 Akan tetapi, berbeda dengan wakaf lainnya, yaitu wakaf properti, wakaf tunai ini memiliki tingkat likuidasi yang tinggi. Maksudnya, wakaf uang mudah ditransfer dalam bentuk tunai dalam waktu yang singkat dan dengan biaya yang wajar, sedangkan wakaf properti membutuhkan waktu yang lama untuk diubah menjadi dana tunai. Ini juga memudahkan kita untuk mengubah wakaf dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Karena itu, penggalangan dana melalui penjualan sertifikat wakaf tunai memberikan signifikansi yang besar pada zaman sekarang.84 Lebih jauh, adanya wakaf tunai ini juga memberikan peluang yang lebar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam wakaf. Jika wakaf harus dalam bentuk 80 Doris Behrens-Abouseif, ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 65 dan 66. 81 Pembahasan tentang wakaf uang di Ottoman, lihat Murat Cizakca, ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs (Awqa>f al-Nuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A. Mannan (Jeddah: IRTI-IDB, 1416), 397 dan seterusnya; idem, ‚Awqa>f in History and Its Implication for Modern Islamic Economics,‛ Islamic Economics Studies, 6: 1 (1998): 53-57. 82 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers: Mobilization Efforts of Cash-Waqf Fund at Local, National and International Leves for Development of Social Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishmen of World Social Bank,‛ Makalah disampaikan pada International Seminar on Awqaf 2008, ‚Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah,‛ Johor Bahru, 11-12 Agustus 2008. 83 Biro Perbankan Syariah BI, ‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai: Sebuah Kajian Konseptual,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 89. 84 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
123 properti, hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang kaya, dan menutup peluang bagi yang lain. Sebaliknya, jika sertifikat wakaf tunai dihargakan sebesar, dalam praktik SIBL, 1.000 Taka, hal itu dapat dipenuhi oleh banyak anggota masyarakat. Bahkan, kalau dihargakan di bawah itu, maka jumlah masyarakat yang mampu membelinya akan semakin besar. Dari sudut ini, sertifikat wakaf tunai dapat dipandang sebagai gerakan rekonstruksi dan pembangunan sosial yang dapat diikuti oleh banyak masyarakat. Akan tetapi, upaya semacam itu tidak dapat berhasil dengan baik kalau tidak dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, dengan menunjukkan bahwa wakaf tunai sangat penting dalam mentransfer dana dari orang kaya kepada pengusaha dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai layanan keagamaan, pendidikan dan sosial dalam negara. Dengan kata lain, wakaf tunai bisa diharapkan membantu membangun generasi yang akan datang.85 Menurut Manan, di negara-negara Muslim yang warganya tidak dikenai pajak penghasilan, wakaf tunai dapat dipandang sebagai kewajiban sosial sebagai pengganti pajak, yang dapat digunakan bagi pembiayaan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial. Dalam hal ini, kemauan politik pemerintah sangat menentukan. Di samping itu, wakaf tunai dapat dimanfaatkan sebagai investasi strategis guna mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi, termasuk di dalamnya pendidikan, kesehatan dan riset. Dengan berpartisipasi dalam wakaf tunai, masyarakat dapat memberikan kontribusi tidak saja bagi pengembangan kerja pasar modal sosial, tetapi juga andil dalam investasi sosial yang permanen. Mengingat wakaf tunai dilakukan sekali untuk selamanya, bank dapat dengan aman dapat menginvestasikan dana wakaf itu dalam investasi jangka pendek (seperti kredit mikro dan usaha mikro untuk mengurangi kemiskinan), investasi jangka menengah (seperti industri perhotelan, industri menengah dan sebagainya) dan investasi jangka panjang (seperti industri berat atau pabrik-pabrik dan lainlain). Kegiatan investasi ini akan melahirkan terciptanya peluang kerja baru, yang dapat menyerap banyak pengangguran untuk mencari mata pencaharian dan dengan begitu juga mendorong tercapainya kemajuan sosial. 86 Sebenarnya, tidak sedikit dari kalangan orang kaya yang ingin membeli wakaf tunai demi kebaikan umum, yang secara otomatis juga akan berguna bagi keturunan mereka. Namun, mereka tidak menemukan sistem pengelolaan sesuai yang diharapkan. Dalam konteks seperti ini, SIBL memberikan dukungan institusional yang diperlukan dan membuka peluang bagi pembukaan rekening deposit wakaf tunai untuk mencapai sasaran sebagai berikut: 1. Memberikan layanan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf tunai dan membantu manajemen wakaf; 2. Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan dana sosial menjadi modal; 3. Memberikan manfaat bagi publik, terutama sektor masyarakat miskin dari sumber-sumber yang diperoleh dari orang kaya; 4. Menciptakan kesadaran di kalangan orang kaya tentang tanggung jawab mereka terhadap masyarakat; 5. Membantu mengembangkan pasar modal sosial; 85 86
M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛ M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛
Bab IV
124 6.
Membantu keseluruhan upaya pembangunan negara dan menciptakan integrasi keamanan sosial dan kedamaian sosial. 87 Secara umum, tata cara operasional sertifikat wakaf tunai yang diberlakukan di SIBL adalah sebagai berikut: 1. Wakaf tunai harus diterima sebagai sumbangan yang sejalan dengan syariah. Bank harus mengelola wakaf tersebut atas nama wakif; 2. Wakaf dapat dilakukan berulangkali dan rekening yang dibuka sesuai dengan nama yang diberikan wakif; 3. Wakif memiliki kebebasan untuk memilih tujuan wakaf yang oleh bank telah diidentifikasi, atau yang belum diidentifikasi yang sesuai dengan syariah; 4. Dana wakaf tunai akan mendapat keuntungan pada tingkat tertinggi sesuai dengan yang ditawarkan oleh bank dari waktu ke waktu; 5. Dana wakaf akan tetap dan hanya dana yang berasal dari keuntungan yang akan disalurkan kepada sasaran yang dipilih wakif. Jika belum sempat dibagikan, secara otomatis dana keuntungan itu akan digabungkan ke dana wakaf yang sudah ada; 6. Wakif juga dapat meminta bank menyalurkan seluruh keuntungan yang diperoleh kepada sasaran yang ditentukan olehnya; 7. Wakif mempunyai kesempatan memberikan wakaf tunai sepanjang waktu; 8. Wakif juga berhak memerintahkan bank untuk mengambil dana wakaf dari rekening lainnya di SIBL; 9. Wakaf tunai harus diterima dalam bentuk voucher wakaf khusus dan sertifikat untuk seluruh nilai harus ditetapkan ketika jumlah tersebut dinyatakan; 10. Prinsip-prinsip dan ketentuan berdasarkan syariah tentang wakaf tunai dapat diamandemen dan ditinjau dari waktu ke waktu.88 Wakaf tunai yang digagas oleh Manan dan penerapannya dalam SIBL ini sangat berpengaruh bagi bergulirnya wakaf tunai di Indonesia, seperti akan diuraikan berikut ini. 2.
Internal Selain faktor-faktor eksternal yang disebutkan di atas, faktor-faktor internal justru sangat signifikan, di antaranya berkaitan dengan hukum, ekonomi dan politik.89 a.
Pertimbangan Ekonomi dan Kesejahteraan Faktor internal pertama yang sangat menonjol yang mendorong diajukannya RUU Wakaf adalah masalah ekonomi dan kesejahteraan. Sejak 1997, Indonesia ditimpa oleh krisis, yang bermula dari krisis ekonomi dan kemudian mengarah pada krisis politik. Dari sini, akhirnya muncul apa yang disebut krisis multidimensi. Krisis ekonomi ini ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja, bertambahnya jumlah penduduk miskin, bahkan di bawah garis kemiskinan, serta rendahnya investasi dan lain sebagainya. Sementara itu, pihak yang 87
M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛ M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers‛; lihat juga Biro Perbankan Syariah BI, ‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai,‛ 100-102. 89 Bandingkan Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, 84. 88
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
125 tergolong ke dalam kategori miskin ini adalah orang-orang Islam. Kondisi ini berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial.90 Sebenarnya, optimisme terhadap potensi wakaf yang diyakini mampu mendorong kesejahteraan juga menjadi latar belakang pengundangan wakaf di beberapa negara.91 Pada saat yang sama, wakaf sebagai pranata keagamaan di Indonesia juga sangat besar jumlahnya. Hingga 2002, jumlah wakaf yang ada di Indonesia mencapai 359.462 lokasi dengan luas keseluruhan 1.472.047.607 M2. Jumlah ini tentu sangat potensial untuk dikembangkan secara produktif sehingga dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Di samping itu, sejarah menunjukkan bahwa wakaf terbukti telah menjadi sumber penting bagi penyebaran Islam di negara ini dan terus berperan hingga saat ini. Hal itu bisa dilihat dari berdirinya sejumlah rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam, sarana sosial dan lain sebagainya, yang semuanya dibiayai dari dana wakaf. 92 Dengan demikian, aset wakaf di Indonesia memiliki peluang dan prospek yang sangat positif bagi kesejahteraan masyarakat. Apalagi jika pengelolaannya diarahkan pada kegiatan investasi dan ekonomi produktif, maka wakaf akan menjadi sumber yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana hal itu telah diwujudkan di sejumlah negara, seperti Mesir, Arab Saudi, Turki, Bangladesh, Malaysia dan sebagainya. 93 Bahkan di sejumlah negara, wakaf telah menjadi kontribusi penting bagi anggaran belanja negara, sehingga memeroleh penanganan khusus dari negara dengan dibentuknya kementerian khusus yang membidanginya.94 Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, aset wakaf justru sering terlantar dan kurang dikembangkan secara sungguh-sungguh. Ini tidak semata-mata disebabkan oleh nilai wakaf itu sendiri, tetapi yang sering terjadi justru dikarenakan tidak profesionalnya para pengelola atau nazir wakaf. Bagaimana tidak, para nazir wakaf umumnya adalah orang-orang yang menangani wakaf yang diamanatkan kepadanya hanya dengan waktu yang tersisia, dan tidak menempatkan masalah wakaf sebagai prioritas kewajibannya. Ini bisa dimengerti mengingat mengelola wakaf juga tidak mendatangkan apa-apa, selain harapan pahala dari Tuhan. Dengan kata lain, keikhlasan adalah modal utama para nazir dalam mengelola wakaf. Dampaknya, wakaf tidak pernah dipikirkan agar berkembang menjadi aset yang produktif yang tidak hanya bermanfaat bagi nazir, tetapi juga bagi masyarakat luas. Karena itu, dalam RUU tentang Wakaf bagian ‚menimbang‛ disebutkan bahwa wakaf sebagai ‚lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan 90 Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf dalam Rangka Membangun Kesejahteraan Masyarakat,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah (Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006), 17. Tulisan ini semula adalah sambutan yang disampaikan yang bersangkutan saat menjadi Menteri Agama dalam Seminar ‚Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam,‛ di UI, 10 November 2001. 91 Lihat, misalnya, Mah}mu>d Ah}mad Mahdi, ed., Niz}a>m al-Waqf fi al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah: IDB-IRT, 2000). 92 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 24. 93 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 25. 94 Azim Nanji, ‚Waqf,‛ dalam The Encyclopedia of Religion, ed. in-chief Lindsay Jones (New York: Thomson, 2005), 14: 9678.
Bab IV
126 kesejahteraan umum.‛95 Sementara itu, dalam penjelasan dikemukakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana terkandung dalam UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum, yang salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam lembaga keagamaan yang memiliki manfaat ekonomi. 96 Di sini, wakaf merupakan bidang yang patut diperhitungkan untuk ditingkatkan perannya. Jika selama ini wakaf semata-mata berperan sebagai lembaga keagamaan yang berhubungan dengan ibadah, maka aspek ekonominya harus dikembangkan. Wakaf diyakini dapat menjadi potensi ekonomi yang dapat membantu tercapainya kesejahteraan umum seperti disebutkan di atas asalkan dikembangkan pemanfaatannya dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariah. Pertimbangan dan penjelasannya ini kemudian ditetapkan dalam Undang-undang yang ada saat ini.97 Agar wakaf dapat berkembang dengan baik dan bisa memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, maka RUU ini mencanangkan adanya Badan Wakaf Indonesia, yang bertugas di antaranya: membina dan mengawasi nazir dalam pengelolaan wakaf, melakukan pengelolaan wakaf berskala internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan wakaf, dan memberikan saran kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang wakaf. 98 Dengan adanya BWI ini diharapkan pengelolaan wakaf menjadi produktif dan tujuannya dapat direalisasikan, yaitu kesejahteraan masyarakat. Menteri Agama saat itu, Said Aqil Husin Al-Munawar, menyatakan bahwa jika jumlah wakaf yang ada di Indonesia saat ini dikaitkan dengan negara yang sedang mengalami krisis multi-dimensi, termasuk krisis ekonomi, wakaf merupakan sebuah lembaga Islam yang patut dikembangkan dengan sungguhsungguh. Dalam keyakinannya, wakaf yang dikelola dengan baik dapat banyak membantu masyarakat yang kurang mampu.99 Dengan demikian, faktor ekonomi menjadi dorongan penting diajukannya RUU tentang wakaf, mengingat negara juga sedang dalam krisis. Harapannya adalah bahwa wakaf dapat memberikan kontribusi bagi negara dengan upaya menyejahterakan masyarakat, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara. b.
Pertimbangan Peraturan Yang Kurang Memadai Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, peraturan dan ketentuan tentang wakaf telah banyak dikeluarkan, sesuai dengan lembaga yang terkait dengan wakaf. Akibatnya, peraturan dan ketentuan itu tidak integral, yang kemudian menimbulkan kebijakan saling tumpang tindih dan terpisah-pisahnya peraturan itu dalam pelaksanaan. Dalam situasi perundangan peraturan yang demikian itu, sulit diharapkan pengelolaan dan pemanfaatan wakaf akan berkembang dengan baik. Karena itu, pemerintah memandang perlu adanya sebuah undang-undang yang dapat memayungi seluruh peraturan wakaf secara lebih kokoh.100
95
Lihat ‚RUU tentang Wakaf,‛ 5. ‚RUU tentang Wakaf,‛ 13. 97 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 13. 98 Lihat RUU tentang Wakaf Pasal 47 dan 49. 99 Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,‛ 19. 100 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 3. 96
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
127 Di samping itu, pengaturan hukum yang tidak integral ini juga pada gilirannya menimbulkan ketidakpastian jaminan dan perlindungan rasa aman, terutama bagi wakif, nazir dan objek wakaf itu sendiri. Wakaf hanya dikelola seadanya, tanpa semangat untuk mengembangkan dengan sungguh-sungguh oleh pihak pengelola. Ini dibarengi dengan tidak adanya sanksi yang tegas bagi pengelola wakaf yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga tidak jarang terjadi penyelewengan dan penyimpangan dalam pengelolaan. Kalaupun benar-benar terjadi penyimpangan, hukuman yang diberikan tidak sampai ke tingkat pidana. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa peraturan yang ada selama ini hanya berkisar seputar benda tak bergerak, baik berupa tanah ataupun gedung dan sebagainya. Tentu, peraturan seperti itu,sudah jauh tertinggal mengingat perkembangan pengelolaan di tempat lain sudah mencapai tingkat wakaf tunai, seperti telah disinggung sebelumnya. Pada saat yang sama, praktik wakaf tunai ini ternyata sudah dipraktikkan di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa Republik (DDR), Pos Keadilan Peduli Umat, UII Yogyakarta dan lain sebagainya. Bahkan, terbukti melalui wakaf tunai ini mereka telah berhasil merealisasikan program pelayanan kesehatan dengan ambulan keliling, yang dikenal dengan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma serta mendirikan sekolah Smart Excelensia.101 Bukan hanya wakaf uang tunai yang tidak tertampung dalam peraturan perundang-undangan di atas, tetapi juga hak intelektual, saham dan surat-surat berharga lainnya. Padahal, semua yang disebutkan terakhir ini memiliki nilai yang signifikan dalam sistem perekonomian dan perbankan. Bahkan, seperti disebutkan oleh Manan di atas, wakaf tunai, saham dan surat berharga tersebut lebih mudah dilikuidasi atau ditransfer dalam bentuk dana tunai ketimbang benda wakaf tak bergerak. Karena itu, RUU yang diajukan dimaksudkan untuk mengakomodasi objek-objek wakaf yang baru, termasuk di antaranya logam mulia. 102 Fakta lain menunjukkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya, telah mengeluarkan fatwa tertanggal 28 Shafar 1423/11 Mei 2002, yang menyatakan wakaf uang tunai itu sah menurut hukum Islam. Fatwa ini keluar sebagai respons atas wacana tentang wakaf uang, di samping sebagai jawaban atas permintaan resmi dari Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama. Dalam konsiderannya, fatwa tersebut menyatakan bahwa wakaf selama ini dipahami hanya terkait dengan benda tak bergerak, sedangkan uang memiliki fleksibilitas dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh objek wakaf yang tidak bergerak, sehingga diperlukan sebuah fatwa tentang wakaf uang tunai.103 Landasan pertama fatwa tersebut adalah QS An (3): 92 dan alBaqarah (2): 261-2 dan hadis-hadis tentang shadaqah jariyah dan wakaf ‘Umar. Selain itu, pendapat dari mazhab fikih juga dirujuk, seperti H{anafi> awal, Sha>fi‘i>, dan pandangan serta pendapat rapat Komisi Fatwa. Berdasarkan itu semua, fatwa ini menyatakan bahwa:
101
Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 2. Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 43. 103 Lihat ‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11 Mei 102
2002.
Bab IV
128 1.
Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai; 2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga; 3. Wakaf uang hukumnya boleh (jawa>z); 4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara shar‘i>; 5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.104 Faktor lain yang terkait dengan hukum adalah Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 yang didasarkan atas Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Disebutkan dalam undang-undang ini bahwa arah kebijakan pembangunan hukum harus dilakukan dengan menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan adat. Mengingat wakaf telah dijalankan sejak lama di Indonesia, sementara aturan perundang-undangannya masih tercecer di berbagai ketentuan, maka pengajuan RUU Wakaf ini diharapkan dapat mengatasi persoalan tersebut.105 Karena itu, ditegaskan dalam RUU tentang Wakaf bagian menimbang bahwa ‚wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.‛106 Lebih jauh dikemukakan dalam penjelasannya bahwa praktik wakaf yang selama ini berjalan belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus wakaf tidak dipelihara sebagaimana seharusnya, bahkan tidak sedikit berpindah tangan dengan cara melawan hukum. Karena ketidaktertiban hukum ini, maka diperlukan suatu unifikasi hukum agar wakaf dapat dilindungi sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakaf.107 Dalam penjelasan pula dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada tentang wakaf juga hanya berkisar seputar wakaf benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Karena itu, diperlukan undang-undang yang dapat menampung benda wakaf yang tidak bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya.108 Satu hal menarik yang patut dicatat di sini adalah bahwa RUU ini menyebutkan hak kekayaan intelektual dapat dijadikan sebagai objek wakaf. Akan tetapi, berbeda dengan wakaf tunai yang telah memiliki justifikasi keagamaannya melalui fatwa MUI, dibolehkannya wakaf hak kekayaan intelektual ini belum dikeluarkan fatwanya oleh MUI. Sebab, fatwa yang terkait dengan yang terakhir ini baru dikeluarkan setelah disahkannya Undang-undang tentang Wakaf, yaitu pada 21 J. Akhir 1426/28 Juli 2005. Dalam fatwa ini disebutkan bahwa hak 104 Lihat ‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11 Mei 2002. Bandingkan dengan Murat Cizakca, ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs ( Awqa>f alNuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ 397-401; idem, ‚Awqa>f in History and Its Implication for Modern Islamic Economics,‛ 53-57. 105 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 28. 106 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 5. 107 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 14. 108 ‚RUU tentang Wakaf,‛ 14-15.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
129 kekayaan intelektual yang diwakafkan tidak dapat diwariskan, seperti objek-objek wakaf lainnya.109 Terlihat di sini bahwa RUU ini memiliki pandangan jauh ke depan, dan mungkin telah dipikirkan oleh para perancangnya akan nilai penting hak kekayaan intelektual, sehingga dimasukkan sebagai salah satu objek wakaf. Ini juga mengisyaratkan bahwa para perancang telah memiliki argumen-argumen religius yang bisa dipertanggungjawabkan, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam RUU tersebut, mengingat semangat undang-undang ini adalah didasarkan pada aturan syar‘i. Terlepas dari persoalan wakaf hak kekayaan intelektual ini, terlihat bahwa peraturan perundang-undangan mengenai wakaf terbukti jauh tertinggal dengan praktik wakaf itu sendiri. Dengan alasan inilah pemerintah menyalurkan aspirasi masyarakat dengan mengajukan RUU ke DPR untuk dibahas dan memeroleh pengesahan. c.
Pertimbangan Politik Selain pertimbangan ekonomi dan kesejahteraan serta hukum, faktor politik juga tidak dapat diabaikan. Undang-undang merupakan hasil interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, yang dapat juga disebut ‚kebijakan.‛110 Menurut Moh. Mahfud MD, setiap undang-undang tidaklah lahir dari satu pihak, tetapi merupakan sebuah produk politik.111 Karena itu, setiap undang-undang yang dihasilkan selalu berdimensi politik. Dengan demikian, RUU Wakaf juga dipastikan memiliki dimensi politik. Seperti telah disinggung sebelumnya, praktik wakaf uang tunai sebenarnya telah berjalan di kalangan masyarakat, meskipun belum ditemukan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Ini mendorong masyarakat, terutama para pengelola wakaf tunai, menyampaikan aspirasi mereka kepada Departemen Agama supaya memberikan jaminan hukum atas aktivitas mereka. Sebelumnya, pada awal 2001, Bank Muamalat Indonesia mengundang M.A. Manan untuk menyampaikan paparan tentang wakaf uang tunai dan praktiknya di SIBL Bangladesh, sehingga diperoleh gambaran bagaimana sesungguhnya skema wakaf ini. Pada November 2001, Bank Muamalat kembali mengundang ekonom Bangladesh ini sebagai nara sumber dalam Training of Trainers (TOT) selama satu pekan. Menurut Manan, ini merupakan training pertama yang diselenggarakan di luar Bangladesh tentang wakaf tunai. 112 Hanya selang beberapa hari setelah itu, tepatnya pada 10 November 2001, Program Studi Timur Tengah dan Islam, UI, menyelenggarakan seminar tentang ‚Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat.‛ Dalam sambutannya, Menteri Agama, Said Aqil Husin Al-Munawar, mengemukakan gagasannya untuk membentuk Badan Wakaf Nasional, agar perwakafan di Indonesia dapat dikembangkan menjadi produktif dan bernilai ekonomis, sehingga lebih terasa manfaatnya terutama di saat-saat krisis seperti yang dialami Indonesia saat ini. Mengingat belum ada undang-undang yang dapat mengakomodasi lembaga ini, maka ia cukup 109
Lihat ‚Keputusan Fatwa MUI No. I/MUNAS/VII/MUI/5/2005. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet. ke-14, 49. 111 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 14. 112 M.A. Manan, ‚Beyond the Malaysian Twin Towers.‛ 110
Bab IV
130 ditetapkan melalui Keputusan Presiden, dan kalaupun tidak, cukup dengan Keputusan Menteri Agama.113 Gagasan tentang wakaf tunai dan pembentukan BWN pun terus bergulir. Pada 7-8 Januari 2002 di Asrama Haji Batam, misalnya, diadakan workshop internasional tentang ‚Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Wakaf Produktif‛ yang diselenggarakan atas kerjasama antara International Institute of Islamic Thought dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan dari perguruan tinggi, LSM dan Majelis Ulama Indonesia. Salah satu rekomendasi penting yang diberikan oleh workshop ini adalah perlu dibentuknya Badan Wakaf Indonesia, bukan Badan Wakaf Nasional, seperti sebelumnya telah dikemukakan Menteri Agama.114 Seminar internasional tentang wakaf kembali digelar di Universitas Islam Sumatera Utara pada 6-7 Januari 2003, dengan menghadirkan sejumlah pakar wakaf dari berbagai negara, seperti M.A. Mannan, Monzer Kahf dan Sudin Haroun, di samping beberapa pakar nasional. Dari sinilah kemudian dibentuk tim pembahas RUU tentang Wakaf, yang terdiri atas Uswatun Hasanah, Mustafa Edwin Nasution dan Agustianto.115 Meskipun wacana wakaf uang tunai ini telah bergulir cukup lama, MUI baru mengeluarkan fatwa tentang masalah ini pada 11 Mei 2002, sebagai respons atas surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama No. Dt.1.III/5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal 26 April 2002, yang isinya berupa permintaan fatwa tentang wakaf uang tunai.116 Dalam fatwanya, Komisi Fatwa MUI menyebutkan bahwa setelah mempertimbangkan berbagai pendapat ulama dan permintaan Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf, wakaf uang diperbolehkan (jawaz).117 Dengan demikian, fatwa tersebut lahir sebagai jawaban atas permintaan Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf, bukan karena permintaan masyarakat. Atau setidak-tidaknya, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf menjadi saluran bagi masyarakat untuk meminta fatwa kepada MUI. Sementara itu, untuk menindaklanjuti rekomendasi workshop di Batam, Menteri Agama, melalui suratnya No. MA/320/2002 tertanggal 5 September 2002, mengusulkan secara langsung kepada Presiden Megawati Soekarnoputri agar dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) berdasarkan Keputusan Presiden. Argumen yang mendasari pengajuan dibentuknya lembaga ini adalah perkembangan wacana wakaf tunai dan rekomendasi workshop di Batam, di samping fatwa MUI.118 Departemen Agama sendiri, memiliki kepentingan untuk mengembangkan pengelolaan zakat dan wakaf secara lebih baik, sehingga memandang perlu memisahkan dua direktorat tersebut. Alasannya adalah substansi bidang tersebut berbeda dan diperlukan perumusan kebijakan yang berbeda. Dalam hal ini 113
Said Aqil Husin Al-Munawar, ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf,‛ 22. Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 16. 115 Wawancara dengan Mustafa Edwin Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. Lihat juga Agustianto, ‚Wakaf Uang dan Peningkatan Kesejahteraan Umat,‛ dalam http://zonaekis.com/wakafuang-dan-peningkatan-kesejahteraan-umat (diakses 20 Januari 2011). 116 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 9. 117 Lihat Fatwa MUI tentang tentang Wakaf Uang. 118 Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 16. 114
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
131 pemerintah perlu memberikan penanganan yang memadai agar potensi kedua bidang ini dapat ditingkatkan bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai perbandingan, di beberapa negara malah dibentuk kementerian khusus yang digabungkan dengan urusan haji ( wiza>rat al-h}ajj wa alawqa>f). Untuk memenuhi tujuan tersebut, Menteri Agama pada 17 Oktober 2002 menyampaikan surat kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara melalui surat No. MA/364/2002 tentang usulan peningkatan organisasi zakat dan wakaf.119 Gagasan legislasi wakaf ini sendiri mendapat reaksi positif dari Megawati, yang menggantikan Abdurrahman Wahid. Seperti dimaklumi, naiknya Wahid sebagai presiden menunjukkan kekuatan besar politik Islam yang, meskipun tidak memeroleh suara mayoritas dalam Pemilu, dapat mengalahkan kekuatan partai pemenang Pemilu, yaitu PDI-Perjuangan.120 Melalui kelompok ‚Poros Tengah,‛ yang menyatukan kekuatan suara Islam dalam partai-partai, Wahid akhirnya terpilih sebagai presiden, sementara M. Amien Rais sebagai ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai ketua MPR. Tidak heran sebagian orang menyebut Indonesia saat itu merupakan ‚negara santri‛121 atau di bawah kepemimpinan Muslim par excellence,122 mengingat Wahid adalah Ketua PBNU, Amien Rais mantan Ketua PP Muhammadiyah dan Akbar Tanjung sebagai mantan Ketua Umum HMI. Penolakan terhadap Megawati sebelumnya telah terjadi karena, dalam pandangan sebagian partai Muslim, kepemimpinan perempuan tidak dapat diterima dalam Islam. Penolakan itu juga terjadi ketika partai yang dipimpinnya banyak mendaftarkan calon legislatif yang berlatar belakang agama Kristen. Ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan politisi Muslim kalau-kalau pemerintahan Megawati akan mengarah pada sekularisme, sehingga kepentingan Islam tidak akan terakomodasi.123 Penolakan itu juga mengemuka dalam Kongres Umat Islam II, yang diselenggarakan menjelang Pemilu 1999.124 Akan tetapi, setelah Wahid dijatuhkan oleh MPR melalui sidang istimewa, kekuatan politik Islam berbalik mendukung Megawati sebagai presiden dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Bahkan, dukungan itu melebihi yang diberikan kepada dua presiden sebelumnya, Habibie dan Wahid, meskipun kinerja kepemimpinan Megawati tidak jauh lebih baik ketimbang dua yang terakhir ini. 125 119
Lihat Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 230-231. Marcus Mietzner, ‚Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati dan Pergulatan Perebutan Kursi Kepresidenan,‛ dalam Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, ed. Chris Manning dan Peter van Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. (Yogyakarta: LKiS, 2000), 55. 121 Hajriyanto Y. Thohari, ‚Negara Santri: Menengok Tesis Cak Nur,‛ Kompas, Senin, 13 Desember 1999. Sebenarnya, istilah ‚negara santri‛ ini semula dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, yang melihat santrinisasi atau diterimanya kaum santri oleh masyarakat dan negara dalam berbagai posisi penting. Lihat Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), 61-62. 122 Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context (JakartaSingapore: Solstice Publishing, 2006), 5. 123 Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy, 33. 124 Eep Saefulloh Fatah, Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999 (Bandung: Mizan, 2000), 175. 125 Hajrijanto Y. Thohari, Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005), 47-48. 120
Bab IV
132 Karena itu, berbeda dengan kepemimpinan dua santri ini, yang selalu penuh gejolak, kepemimpinan Megawati nyaris tanpa gejolak politik. Di samping itu, ‚sikap menyepelekan‛126 kekuatan politik Islam yang ditunjukkan PDI-P sebelum sidang MPR 1999 tampaknya menjadi pelajaran penting bagi Megawati. Karenanya, sepanjang pemerintahannya, bukannya konfrontatif terhadap kepentingan Islam, ia sangat sensitif terhadap masalahmasalah keislaman dan cenderung diam atau hati-hati dalam membuat pernyataan yang berkaitan dengan Islam.127 Seperti RUU tentang Pengelolaan Zakat, yang diajukan pemerintah menjelang Pemilu 1999, RUU tentang Wakaf ini juga diajukan menjelang Pemilu 2004. Sebagai presiden yang hendak mencalonkan kembali, Megawati ingin memeroleh dukungan dari suara Islam, sehingga kepentingan umat Islam tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika pengesahan RUU tentang Pengelolaan Zakat dipandang sebagai jalan untuk meraih suara umat Islam, hal itu juga berlaku bagi pengajuan dan pengesahan RUU tentang Wakaf. Ini terlihat dari respons presiden terhadap kedua surat Menteri Agama kepada Presiden dan Menpan di atas, yang tidak memeroleh tanggapan secara langsung, tetapi justru mendapatkan saran agar Menteri Agama menyampaikan surat Prakarsa Penyusunan RUU Wakaf.128 Dari uraian di atas terlihat bahwa pemerintah—sebagai inisiator RUU— memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan wakaf sebagai sumber produktif, yang dapat membantu negara bagi kesejahteraan rakyat. Wakaf sebenarnya adalah persoalan agama, tetapi karena ia memiliki nilai ekonomis, pemerintah pun berkepentingan untuk mengembangkannya, apalagi negara sendiri sedang menghadapi krisis ekonomi. Karena itu, upaya ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. Di satu sisi, melalui undang-undang ini diharapkan lembaga keagamaan yang disebut wakaf ini dapat berkembang dan, di sisi lain, jika berkembang dengan baik, maka wakaf akan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan rakyat, yang pada dasarnya merupakan tugas utama negara. Yang juga tidak bisa diabaikan adalah kepentingan politik presiden dengan pengajuan RUU tersebut untuk dijadikan sebagai undang-undang. Dengan kata lain, semangat pengajuan ini didorong oleh keinginan untuk saling menguntungkan kedua belah pihak, di mana umat Islam diuntungkan dengan adanya undangundang ini, sementara pemerintah akan mendapatkan hal sebanding jika undangundang itu terlaksana dengan baik. C. Konfigurasi Politik Legislasi RUU Wakaf Seperti disebutkan dalam bab sebelumnya, ‚legislasi‛ sering diartikan ‚pembuatan undang-undang‛ (law-making atau statute-making). Rousseau, misalnya, mendefinisikan legislasi sebagai ‚an expression of the general will, such that a free people is only bound by the laws which they have made for themselves,‛129 sementara dalam Black’s Law Dictionary, legislasi didefinisikan 126
Bahtiar Effendy, (Re)-Politisasi Islam (Bandung: Mizan, 2000), 213. Azyumardi Azra, ‚Southeast Asian Islam in the Post-Bali Bombing: Debuking the Myth,‛ dalam Indonesian Today: Problems and Perspectives, ed. Norbert Eschborn, Sabrina Hackel and Joyce H. Richardson (Jakarta: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004), 157. 128 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 232-237. 129 Dikutip dalam John Bell, Sophie Boyron dan Simon Whittaker, Principles of French Law (Oxford: Oxford University Press, 1998), 14. 127
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
133 dengan ‚the process of making or enacting a positive law in written form, according to some type of formal procedure, by branch of government constituted fo perform this process.‛130 Pengertian yang lebih luas tentang legislasi diberikan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu ‚Proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.‛ 131 Sesuai dengan UUD 1945, presiden atau pemerintah dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR untuk dibahas dan disahkan, sebagaimana juga DPR memiliki hak inisiatif untuk mengajukan RUU. Dalam konteks wakaf, pemerintah merupakan pihak yang berinisiatif mengajukan RUU, dengan Departemen Agama sebagai penanggungjawabnya. Meskipun demikian, inisiatif pemerintah ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari aspirasi masyarakat yang tengah berkembang saat itu. Atas saran dari Sekretariat Negara, Menteri Agama kemudian menyampaikan surat kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. MA/451/2002 tanggal 27 Desember 2002. Surat ini berisi permohonan izin prakarsa Penyusunan RUU Perwakafan, dan mendapat persetujuan. Ini dibuktikan dengan terbitnya surat Menteri Agama kepada Presiden dengan No. MA/25/2003 tertanggal 24 Januari 2003, yang berisi permohonan persetujuan Prakarsa Penyusunan RUU Wakaf.132 Permohonan ini ternyata memeroleh jawaban positif dari Presiden, yang disampaikan melalui surat Sekretaris Negara No. B.61 tertanggal 7 Maret 2003. Dalam surat ini, Menteri Agama diminta segera menindaklanjutinya dengan membicarakan terlebih dahulu bersama instansi terkait dan disesuaikan dengan Kepres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU.133 Menindaklanjuti surat persetujuan ini, Menteri Agama pada 30 April 2003 menerbitkan Surat Keputusan No. 258 Tahun 2003 tentang Pembentukan Tim Penyusun RUU Wakaf yang diketuai oleh Drs. H. Taufiq Kamil, Direktur Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Adapun tugas pokok tim ini meliputi: (1) mempersiapkan dan menyusun draft RUU tentang Wakaf, (2) mempersiapkan bahan penjelasan Pemerintah kepada DPR, dan (3) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Menteri Agama. Dilihat dari komposisinya, tim ini merupakan gabungan dari pihak Departemen Agama, Kementerian Kehakiman dan HAM serta pakar dari perguruan tinggi dan lain sebagainya. 134 Langkah pertama yang dilakukan oleh tim setelah terbentuk adalah menyusun naskah akademik, yang dimaksudkan untuk memberi landasan ilmiah bagi penyusunan undang-undang wakaf. Disusun oleh Dr. Uswatun Hasanah, dari UI, naskah akademik ini terdiri atas gambaran tentang hukum wakaf yang berlaku dan masalah-masalah yang dihadapi, kondisi dan perkembangan perwakafan di Indonesia dan perbandingannya dengan wakaf di negara-negara lain, dan rekomendasi tentang pentingnya penyusunan RUU Wakaf. 135 130
Bryan A. Garner, ed. in-chief, Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson, 2004), 918. UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 ayat (1). 132 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 232-237. 133 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 238. 134 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, lampiran 239-244. 135 Tim Penulis, Proses Lahirnya Undang-undang Wakaf, 38. 131
Bab IV
134 Bertolak dari naskah akademik ini, penyusunan draft awal RUU dilakukan. Agar memeroleh masukan dari masyarakat, draft tersebut kemudian didiskusikan dalam sebuah pertemuan ulama, pakar (akademisi), tokoh dan Ormas Islam, yang diselenggarakan pada 6 Maret 2003 di Operation Room Departemen Agama. Dalam kesempatan itu dipaparkan garis besar yang hendak dimasukkan dalam RUU Wakaf, seperti tujuan dan fungsi wakaf, wakif, benda yang dapat diwakafkan, nazir, jenis wakaf, organisasi pengelola wakaf, wakaf uang, pemberdayaan dan pengembangan wakaf, masalah sengketa, pembebasan benda wakaf dari pajak, petugas pembuat ikrar dan lain sebagainya. Secara umum, para peserta menymbut baik inisiatif pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, untuk mengajukan RUU Wakaf. Akan tetapi, banyak juga saran dan masukan yang mereka sampaikan demi kesempurnaan RUU tersebut, di antaranya kemungkinan non-Muslim menjadi wakif, pengaturan pengalihan tujuan wakaf dan sebagainya. Setelah seluruh draft telah diselesaikan, melalui suratnya tertanggal 9 Juli 2004, Presiden Megawati mengajukan RUU tentang Wakaf kepada DPR untuk dibicarakan dengan pemerintah yang diwakilkan kepada Menteri Agama. Untuk menindaklanjuti usulan tersebut, DPR kemudian melakukan Rapat Konsultasi Pimpinan pada 20 Agustus 2004, yang memutuskan bahwa pembahasan tentang RUU ini diserahkan sepenuhnya kepada Komisi VI tanpa adanya sebuah Panitia Khusus. Sejak itu kemudian anggota Komisi VI DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan kelompok masyarakat, terutama organisasi-organisasi keagamaan dan lembaga-lembaga yang memang selama ini telah berkiprah dalam perwakafan, seperti PBNU, PP Muhammadiyah, PP PERSIS, DDII, MUI, BAZNAS, Yayasan Dana Sosial al-Falah dan sebagainya.136 Komisi ini kemudian menyelenggarakan rapat kerja bersama pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama, pada 6 September 2004. Dalam penjelasannya di hadapan DPR, Menteri Agama mengemukakan bahwa wakaf yang telah melembaga begitu lama dalam masyarakat Indonesia belum memiliki sebuah undang-undang yang mengaturnya dengan kokoh. Memang, wakaf telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991. Akan tetapi, undang-undang dan peraturan tersebut belum memadahi seiring dengan perkembangan wakaf, terutama mengenai wakaf produktif dan wakaf uang.137 Karena itu, di samping sebagai upaya penggabungan perundangan dan peraturan yang ada, RUU ini diharapkan dapat memperkokoh praktik wakaf dan pengembangannya. Ini terlihat dari penjelasan pemerintah di hadapan pemandangan umum DPR, di mana Menteri Agama menegaskan bahwa tujuan diajukannya RUU ini, antara lain, adalah: (1) agar berbagai peraturan yang ada tentang wakaf dapat diklasifikasi, (2) untuk memberikan kepastian hukum bagi perwakafan, (3) untuk memberi rasa aman bagi waqif dan nazir perorangan maupun organisasi, (4) untuk mengembangkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dari para nazir dalam mengelola wakaf, (5) agar dapat menjadi landasan kebijakan dalam persoalan wakaf, (6) agar dapat mendorong pengelolaan dan pengembangan 136 137
‚Risalah Resmi Rapat Kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Agama RI,‛ 124. ‚Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tentang Wakaf,‛ 12 Agustus 2004, 33-34.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
135 wakaf, (7) agar dapat memenuhi tuntutan ketentuan seiring dengan perkembangan wakaf.138 Menanggapi penjelasan tersebut, fraksi-fraksi yang ada memberikan pemandangan umum masing-masing, yang umumnya menerima dan bersedia untuk membicarakan lebih lanjut RUU yang diajukan pemerintah ini. Fraksi Partai Golkar (F-PG), misalnya, menyambut baik RUU ini dan bersedia untuk membahasnya bersama pemerintah dan anggota DPR lainnya karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, F-PG melihat bahwa wakaf merupakan salah satu ajaran Islam yang tidak hanya memiliki dimensi ubudiyyah, tetapi juga memiliki dampak bagi kesejahteraan umat. Kedua, karena pemanfaatannya yang bersifat sosial, wakaf harus ditata dengan baik dan dapat dilaksanakan dengan ketentuan hukum yang tetap dan secara terukur dapat diawasi. Sebagai negara hukum, Indonesia harus mengakomodasi kelompok yang memiliki semangat untuk menjalankan kehidupan bersama di republik ini sesuai dengan ideologi dan konstitusi negara. Karena itu, F-PG menyambut dengan baik inisiatif pemerintah untuk membahas RUU tentang Wakaf ini.139 Sikap dan penerimaan atas RUU ini juga dikemukakan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP). Fraksi ini menilai bahwa seluruh peraturan yang ada tentang wakaf hanya berkaitan dengan tanah, padahal jika diupayakan, wakaf dapat dikembangkan untuk hal-hal yang produktif. Meskipun demikian F-PPP menggarisbawahi tiga hal yang harus dikembangkan dalam RUU ini. Pertama, fraksi ini melihat bahwa dalam persyaratan wakaf RUU ini hanya membatasi pada orang Muslim. Dalam konteks ini, F-PPP mengajak untuk mencermati kemaslahatan dan mudarat wakaf dari non-Muslim, mengingat ada juga fuqaha yang membolehkannya. Kedua, F-PPP menilai RUU ini belum memberikan gambaran yang jelas tentang Badan Wakaf Indonesia, terutama mengenai hubungan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya, di samping strukturnya. Misalnya, dalam RUU ini disebutkan akan dibentuk Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan, namun tidak dijelaskan sifat hubungan antara keduanya. Ketiga, berkaitan dengan masalah sengketa wakaf. Memang disebutkan dalam RUU bahwa jika terjadi sengketa, hal itu akan diselesaikan melalui tiga cara, mediasi, arbitrasi dan pengadilan. Akan tetapi, fraksi ini mempertanyakan Badan Arbitrase Syariah yang disebutkan dalam RUU ini.140 Sementara itu, F-PDIP memandang bahwa RUU ini perlu dibahas karena wakaf merupakan suatu tindakan yang harus didukung demi terlaksananya ibadah ini dengan baik, di satu sisi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, di sisi lain. Fraksi ini juga mendukung dibentuknya Badan Wakaf Indonesia dari tingkat pusat hingga daerah, sehingga pembinaan dan pengawasan pelaksanaan wakaf dapat ditingkatkan. Satu hal yang menjadi catatan penting F-PDIP adalah ditegaskannya ketentuan pidana dan sanksi administratif bagi siapa saja yang menyelewengkan dan menyalahgunakan wakaf.141 138
‚Penjelasan Pemerintah mengenai RUU tentang Wakaf,‛ 12 Agustus 2004, 35. ‚Pemandangan Umum Fraksi Golongan Karya terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004, 128-30. 140 ‚Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004, 133-35. 141 ‚Pemandangan Umum Fraksi PDI-Perjuangan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004, 137-38. 139
Bab IV
136 Semangat untuk membahas RUU ini juga ditunjukkan oleh F-KB. Fraksi ini menyadari bahwa perundang-undangan dan peraturan wakaf sangat diperlukan untuk memberikan payung hukum bagi pelaksanaan ibadah yang selama ini telah berlangsung. Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan F-KB berkaitan dengan RUU ini, di antaranya adalah wakaf dari kalangan non-Muslim, wakaf tunai dalam bentuk uang, tidak boleh diubahnya pemanfaatan wakaf, di samping struktur oganisasi wakaf yang hendak didirikan melalui RUU ini. Meskipun demikian, fraksi ini mengakui bahwa hal itu dapat dicarikan penyelesaiannya melalui fikih, yang senantiasa dinamis dalam mengikuti perkembangan zaman. Yang juga ditekankan oleh F-KB adalah agar melalui RUU ini lembaga-lembaga wakaf yang selama ini telah ada tidak malah tereduksi, tetapi harus memeroleh perlindungan, pengarahan dan fasilitas dari pemerintah atau pihak yang terkait dengannya.142 Selanjutnya, dalam pandangan umumnya, F-Reformasi mengakui pentingnya wakaf dalam Islam, yang tidak hanya bernilai pahala, tetapi juga berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan, dan karenanya menyambut baik pembahasan RUU ini. Akan tetapi, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting fraksi ini. Pertama, tujuan wakaf harus diwujudkan sesuai dengan sistem ekonomi syariah dan perundang-undangan. Kedua, dalam RUU ini disebutkan bahwa seluruh benda wakaf harus didaftarkan ke pemerintah, yang menurut fraksi ini akan memberatkan masyarakat. Ketiga, jika pengelolaan wakaf diarahkan pada tujuan-tujuan produktif, hal itu tetap harus sesuai dengan tujuan utama wakaf, yaitu ibadah, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Keempat, adanya Badan Wakaf Indonesia diharapkan tidak memonopoli kewenangan dan sentralistik, sebaliknya ia harus konsisten dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi. Terakhir, dalam masalah pembinaan, hal itu hendaknya dilakukan secara koordinatif dengan MUI dan tidak kaku, apalagi mengintervensi masyarakat.143 Sejalan dengan fraksi-fraksi sebelumnya, F-ABRI dalam pandangan umumnya mengakui bahwa saat ini telah terjadi dinamika yang pesat dalam hal wakaf, khususnya wakaf tunai atau uang. Kenyataan itu harus disertai dengan pembentukan peraturan-peraturan yang sejalan dengan perkembangan itu berdasarkan aspirasi masyarakat, namun tetap harus diintegrasikan dengan peraturan yang ada. Pada saat yang sama, RUU ini tidak boleh kontraproduktif terhadap wakaf yang selama ini telah berjalan secara kultural. 144 Fraksi terakhir yang memberikan pandangan umum adalah F-PBB. Fraksi ini menyetujui pembahasan RUU dengan pemerintah mengingat harpan dan aspirasi masyarakat yang memang menghendaki hal itu, sebagaimana tercermin dalam RDPU. Akan tetapi, fraksi ini tidak memberikan catatan khusus terhadap RUU ini.145 Dari uraian di atas terlihat bahwa seluruh fraksi di DPR menyetujui pembahasan RUU ini untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang. Juga 142 ‚Pemandangan Umum Fraksi Kebangkitan Bangsa terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004, 140-41. 143 ‚Pemandangan Umum Fraksi Reformasi terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004, 144-45. 144 ‚Pemandangan Umum Fraksi TNI/Polri terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004, 147. 145 ‚Pemandangan Umum Fraksi Partai Bulan-Bintang terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 6 September 2004, 149.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
137 terlihat bahwa RUU ini tidak dipandang sebagai suatu bentuk Islamisasi undangundang mengingat peraturan-peraturan yang ada sesungguhnya telah mengisyaratkan hal itu. Karenanya, RUU tentang Wakaf ini pada dasarnya hanya mempertegas peraturan perundangan yang ada, dan memperkayanya dengan masukan-masukan baru yang berkembang di tengah masyarakat. Situasi seperti itu tidak bisa dipisahkan dari pergeseran sistem kediktatoran negara menuju lebih demokratis, yang memberikan peluang bagi lembaga-lembaga filantropi Islam, seperti wakaf, untuk memainkan peran kembali sebagai sarana kesejahteraan dan keadilan.146 Meskipun demikian, pembahasan RUU ini tidak berlangsung mulus begitu saja, sebab tidak sedikit persoalan yang timbul pada waktu pembahasannya. Dalam penilaian fraksi-fraksi, ada 142 persoalan yang menjadi catatan mereka dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Akan tetapi, dari sekian persoalan itu, hanya 44 persoalan yang perlu dibicarakan dalam pembahasan mengingat sisanya hanya bermasalah dari segi redaksi dan sinkronisasi. Masalah-masalah itulah yang kemudian dibicarakan dalam rapat Panja, yang diselenggarakan pada 13-22 September 2004. Berikut ini adalah beberapa perdebatan terkait dengan masalahmasalah wakaf. 1. Definisi Wakaf Dalam konsideran menimbang, RUU menegaskan bahwa ‚Wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.‛147 Tentu, ini bukanlah definisi wakaf yang sering ditemukan dalam kitabkitab fikih, sebab yang terakhir ini biasanya memberikan pengertian sebagai ‚menahan harta dari kepemilikan seorang yang mewakafkan untuk disedekahkan manfaatnya bagi kebaikan.‛148 Akan tetapi, pengertian wakaf di atas sering ditemukan dalam buku-buku sosial, yang menempatkan wakaf sebagai salah satu jaminan sosial bagi masyarakat.149 Sementara itu, F-PPP mengusulkan agar istilah lembaga diganti dengan pranata, yang memiliki makna lebih luas ketimbang sekadar lembaga, yang cenderung mengarah pada institusi. Lebih jauh, wakaf bukan sekadar institusi, tetapi juga mengandung pengertian kegiatan, tata nilai dan sebagainya. Pandangan ini memeroleh dukungan dari F-KB, yang menilai bahwa jika wakaf disebut sebagai lembaga, ia memiliki konotasi lain. Padahal, wakaf adalah sebuah kegiatan keagamaan. Berbeda dengan dua fraksi ini, Fraksi Daulat Umat mengusulkan ‚bentuk kegiatan‛ sebagai ganti ‚lembaga,‛ mengingat yang pertama lebih mudah dimengerti oleh masyarakat ketimbang yang kedua. 150 146
Bandingkan Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Revivang Traditional Forms for Building Social Justice,‛ Makalah disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and Democracy) 5th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004, 2. 147 ‚RUU tentang Wakaf,‛ bagian Menimbang. 148 Lihat, misalnya, Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1995), 8: 153; Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 3: 378. 149 Lihat, misalnya, Abdul Azim Islahi, ‚Provision of Public Good: Role of Voluntary Sector (Waq) in Islamic History,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A. Mannan (Jeddah: IRTIIDB, 1416), 367-68. 150 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September 2004, 178-80.
Bab IV
138 Ketidakjelasan makna lembaga atau pranata ini mendorong ahli bahasa menjelaskan maksud kedua istilah itu, di mana pranata ternyata memang memiliki pengertian lebih luas. Pemerintah tetap bersikukuh agar istilah lembaga yang digunakan dan telah umum dipakai dalam peraturan yang ada. Akan tetapi, argumen ini disanggah oleh fraksi-fraksi lain dengan menunjukkan bahwa pranata juga digunakan dalam undang-undang sebelumnya, seperti Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Akhirnya, kata pranata disepakati sebagai pengganti lembaga. 151 Masih terkait dengan definisi di atas adalah kata ‚menyerahkan‛ yang diusulkan oleh F-TNI/POLRI sebagai ganti kata ‚memisahkan‛ sebagaimana digunakan dalam RUU. Penggantian ini didukung oleh F-PPP, dengan alasan bahwa menyerahkan bisa berarti menyerahkan seluruh harta seseorang, sementara memisahkan hanya memilah sebagian saja, padahal tidak menutup kemungkinan seseorang ingin menyerahkan seluruh harta kekayaannya setelah meninggal dunia. Menanggapi usulan itu, pemerintah mempertahankan ‚memisahkan‛ sesuai dengan definisi wakaf dalam bahasa Arab, qat}‘.152 F-PPP, yang diwakili Lukman Hakim Saifuddin, tetap bersikukuh bahwa kata ‚menyerahkan‛ lebih tepat, yang mengimplikasikan bahwa si pewakaf tidak lagi memiliki kaitan dengan harta yang telah diwakafkannya. Lebih jauh, kata memisahkan memiliki konotasi yang kurang tegas, sehingga jika seseorang memisahkan hak miliknya sebagai wakaf, hak milik itu memunculkan pertanyaan hak milik siapa. Sementara itu, F-PG dan F-Reformasi mengusulkan tetap pada konsep semula, yaitu memisahkan, sedangkan F-KB menghendaki agar diganti dengan ‚melepaskan.‛ Perbedaan itu terus menghangat, sehingga disepakati untuk digabungkan menjadi ‚memisahkan dan atau menyerahkan.‛ 153 Sebenarnya, definisi wakaf dalam fikih menggunakan kata yang berbedabeda, seperti h}abs, waqf dan lain sebagainya, namun semuanya memiliki semangat yang sama, yaitu diserahkannya hak seseorang atas suatu benda untuk kepentingan publik.154 2. Rukun Wakaf Persoalan lain yang diperdebatkan selama pembahasan adalah rukun wakaf. Dalam RUU dikemukakan bahwa ‚wakaf dilaksanakan sesuai dengan rukun wakaf sebagai berikut: (a) Wakif, yaitu orang yang mewakafkan; (2) Nazir, yaitu orang yang menerima wakaf; (c) Benda wakaf; (d) Ikrar wakaf dan; (e), Peruntukan benda wakaf.155 Inilah yang umumnya ditemukan dalam kitab-kitab fikih dengan istilah wa>qif, al-mawqu>f, al-s}i>ghah dan al-mawqu>f ‘alayh.156 Meskipun demikian, 151 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September 2004, 181-82. 152 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September 2004, 197. Memang, salah satu makna kata qat}‘ adalah ‚memisahkan‛ (separation). Lihat, misalnya, Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic , ed. J. Milton Cowan (London: Macdonald & Evans Ltd., 1974), 776. 153 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 13 September 2004, 206. 154 Lihat, antara lain, Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Islamiyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhyyah (Kuwait: Da>r al-Sah}wah, 2006), 44: 108. 155 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 6. 156 Lihat, misalnya, al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 176.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
139 ada juga mazhab yang hanya menjadikan rukun wakaf hanya satu, s}i>ghah, di kalangan H{anafi>.157 Melihat pasal ini, F-PG, F-PDIP dan F-KB memilih tetap, tanpa perubahan, sedangkan F-PPP dan F-Reformasi mengusulkan tambahan rukun, masing-masing secara berurutan ‚jangka waktu wakaf‛ dan ‚manajemen.‛ Bagi F-PPP, adanya jangka waktu ini merupakan konsekuensi logis dari definisi wakaf yang disebutkan dalam RUU Pasal 1 ayat (1) bahwa ‚wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu…‛158 Wakaf berjangka waktu ini sebenarnya juga dikenal dalam fikih, terutama di kalangan Ma>likiyyah, dengan ungkapan ‚masa tertentu‛ (muddah mu‘ayyanah min al-zama>n).159 Adapun argumen F-Reformasi adalah bahwa wakaf selama ini dikelola secara apa adanya, sehingga diperlukan persyaratan lain agar lebih baik dan transparan. Usulan FReformasi ini didukung oleh F-TNI/POLRI yang didasarkan pada pengalaman negara lain, seperti Iran, yang menetapkan manajemen sebagai salah satu rukun wakaf.160 Menanggapi usulan tersebut, wakil pemerintah menegaskan bahwa rukunrukun wakaf itu sebenarnya sudah baku dalam fikih dan karenanya harus tetap. Argumen ini memunculkan persoalan, misalnya, atas dasar apa rukun itu disebut baku. Anwar Arifin, misalnya, mempertanyakan ‚mana yang lebih tinggi kedudukannya antara fikih dan undang-undang di Indonesia?‛ Jika, dasarnya adalah fikih, maka sesungguhnya ia tidak lebih tinggi daripada undang-undang, dan oleh sebab itu rukun-rukun tersebut tidak dapat dipandang baku. Lebih jauh, fikih pada dasarnya adalah pemahaman manusia dan bersifat ijtihadi, sehingga tidak menutup ruang ijtihad bagi undang-undang wakaf ini.161 Argumen ini diperkuat oleh F-Reformasi, yang menyatakan bahwa pembakuan itu tidak berasalan, mengingat antara mazhab fikih pun tidak ada satu kata dalam suatu persoalan. Karena itu, rukun wakaf bisa bertambah sesuai dengan kebutuhan umat Islam saat ini. Pemerintah sebenarnya mengakomodir usulan ini, tetapi tidak dimasukkan dalam rukun, sehingga tidak tercantum secara eksplisit dalam pasal. Sebagai gantinya, kedua usulan itu akan dipertegas dalam ikrar wakaf. 162 Perdebatan tersebut mengisyaratkan bahwa hukum fikih bukanlah hukum negara, dan karenanya tidak ada alasan baku dalam membicarakan undang-undang negara, tak terkecuali wakaf. Memang wakaf bersumber pada fikih, akan tetapi ia akan menjadi undang-undang negara setelah melalui legislassi (taqni>n), sehingga perubahan tidak bisa dielakkan sesuai dengan kebutuhan dan demi kepastian hukum.163 Dengan kata lain, UU Wakaf dapat dipandang sebagai fikih tentang wakaf khas Indonesia, atau lebih khusus lagi fikihnya DPR. 164
157 Lihat Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al- Fiqhiyyah, 44: 112; alZuh}ayli>, al-Fikih al-Isla>mi, 8: 159. 158 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 219. 159 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 156; Wawancara dengan Mustafa Edwin Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. 160 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 225. 161 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 220-21. 162 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 228. 163 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), 1. 164 Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011.
Bab IV
140 3. Persyaratan Wakif Persoalan lain yang diperdebatkan dengan hangat dalam rapat adalah syaratsyarat wakif. Dalam RUU disebutkan bahwa seseorang hanya dapat menjadi wakif apabila ia memenuhi persyaratan: (a) beragama Islam; (b) dewasa; (c) berakal sehat dan; (d) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.165 Wakil pemerintah juga menegaskan bahwa wakaf dari non-Muslim pada dasarnya dibenarkan oleh ajaran Islam, tetapi sengaja tidak dicantumkan dalam RUU ini dan cukup diatur dalam peraturan teknisnya.166 Sebenarnya, para fuqaha umumnya membolehkan wakaf yang berasal dari non-Muslim, sebab wakaf sebenarnya tidak terkait secara langsung dengan ibadah (khususnya mahd}ah), tetapi berkaitan dengan ibadah sosial.167 Penegasan ini mengundang perdebatan dalam rapat, terutama dari F-PPP. Fraksi ini mempertanyakan mengapa jika Islam membolehkan non-Muslim berwakaf tetapi dalam RUU ini malah dipersempit, dan baru akan dijelaskan dalam peraturan di bawah undang-undang. Sebagai solusi atas persoalan ini, FPPP mengusulkan agar syarat (a) beragama Islam dihapus, sehingga terbuka bagi non-Muslim. Lebih jauh, jika dalam undang-undangnya saja tidak disebutkan, bagaimana mungkin bisa diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Usulan penghapusan ini mendapat dukungan dari F-Reformasi, dengan argumen bahwa yang terpenting dalam wakaf adalah bahwa seseorang sebagai pemilik sah harta benda yang akan diwakafkan.168 Menurut M. Tholhah Hasan, fikih sebenarnya membolehkan hal itu.169 Menanggapi usulan tersebut, wakil pemerintah berargumen bahwa wakaf pada dasarnya adalah ibadah, yang untuk diterima oleh Allah salah satu syaratnya adalah pelakunya beragama Islam. Lebih daripada itu, kondisi Indonesia saat ini belum memungkinkan untuk itu, karena dikhawatirkan akan menimbulkan pancingan dari non-Muslim setelah mereka mewakafkan harta benda mereka. Misalnya, jika mereka mewakafkan harta kepada Muslim, mereka juga bisa bertanya kapan orang Muslim mewakafkan kepada mereka. Kalaupun mau dibolehkan, sebaiknya ada pemilahan wakaf Muslim, wakaf Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya.170 Sebenarnya, wakaf dari non-Muslim telah terjadi di beberapa negara, seperti Qatar, Kuwait dan lain sebagainya. Lebih dari itu, kekhawatiran seperti itu tidak perlu terjadi mengingat wakif hanya menyerahkan dan tidak lagi menguasai harta yang diwakafkannya. 171 Kekhawatiran yang dikemukakan pihak pemerintah tersebut dianggap oleh F-PPP tidak beralasan, karena ajaran Islam memang membuka peluang bagi wakaf non-Muslim. Sebaliknya, hal itu harus dipahami sebagai keterlibatan mereka dalam konteks kesatuan negara Indonesia. Jika undang-undang ini secara ekslusif hanya untuk orang Islam, ia akan memunculkan prasangka bahwa memang ada upaya dari pihak Islam untuk mengundangkan ajaran-ajaran agama ini. Akibatnya, akan lebih mendatangkan mudarat ketimbang rahmat, yang 165
‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 8 ayat (1). ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 231. Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 129. 168 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 232. 169 Wawancara dengan K.H. M. Tholhah Hasan, Jakarta 18 Januari 2011. 170 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 233-34. 171 Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011. 166
167
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
141 menjadi prinsip utama Islam sebagai rah}matan li al-‘a>lami>n. Adapun tentang persoalan ibadah, menurut F-PPP, diterima tidaknya wakaf seseorang bergantung pada niatnya. Akan tetapi dalam konteks undang-undang, syarat beragama Islam itu tidak perlu dimasukkan karena memiliki implikasi hukum bernegara yang eksklusif.172 Usulan F-PPP ini akhirnya diterima dan disetujui oleh peserta rapat, sehingga syarat beragama Islam tidak kita temukan dalam Undang-undang tentang Wakaf. Sebenarnya, dalam buku-buku fikih, persyaratan bagi wakif yang ditetapkan hanya empat, yaitu pemilik yang bebas atau merdeka, berakal, dewasa dan paham kebenaran (rashi>d). Tidak ada ketentuan bahwa seseorang harus Muslim jika hendak menjadi wakif.173 Masih terkait dengan persyaratan wakif adalah usulan F-PPP agar ada penambahan syarat, yaitu ‚pemilik sah harta benda wakaf.‛ 174 Alasan pemerintah mengapa ini tidak dimasukkan dalam syarat wakif adalah bahwa Pasal 15 RUU ini sudah membicarakan hal itu. Namun, F-Reformasi melihat bahwa pasal tersebut merupakan bagian dari syarat-syarat harta benda yang boleh diwakafkan. Karena itu, fraksi ini mendukung dimasukkannya ‚pemilik sah harta benda wakaf‛ sebagai salah satu syarat wakif untuk mempertegas sekaligus untuk menghindari sengketa di kemudian hari.175 Akhirnya, usulan ini diterima oleh rapat. Ketentuan pemilik sah bagi wakif ini sebenarnya memiliki preseden buruk dalam tradisi Islam, mengingat banyak orang yang mewakafkan harta, namun sesungguhnya harta tersebut dalam sitaan atau sebagai jaminan hutang mereka. 176 4. Syarat Nazir Persoalan lain yang timbul dalam pembahasan adalah tentang syarat-syarat nazir, yaitu orang yang dipercaya mengelola harta benda wakaf. Dalam Pasal 10 RUU ini disebutkan bahwa seseorang dapat menjadi nazir, jika ia memenuhi syarat: (a) Warga negara Indonesia; (b) beragama Islam; (c) dewasa; (d) sehat jasmani dan rohani; dan (e) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. 177 F-PDIP dan F-PG menerima ketentuan ini, tetapi F-PPP dan F-KB mengusulkan perubahan dan tambahan. F-PPP mengusulkan adanya tambahan syarat selain yang disebutkan di atas, yaitu ‚amanah,‛ sementara F-KB mengusulkan agar nazir berada di lokasi tempat harta benda itu diwakafkan. Usul F-PPP didukung oleh F-Reformasi dan F-KB, dan akhirnya juga diterima oleh wakil pemerintah. Dengan demikian, rapat pun menyetujuinya. 178 Sementara itu, usulan F-KB didasarkan pada argumen bahwa harta benda wakaf akan terlantar jika nazirnya jauh darinya. Akan tetapi, usulan ini tidak dapat diterima oleh wakil pemerintah, karena hal itu akan mempersulit terjadinya wakaf tentang bendabenda bergerak. Lebih jauh, selama ini telah terjadi wakaf yang dipercayakan kepada nazir yang tinggalnya jauh dari tempat harta benda wakaf tersebut. 179 172
‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 234-235. Lihat al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 176-77. 174 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 238. 175 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 10. 176 Lihat Hennigan, The Birth of Legal Institution, xiv. 177 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 241. 178 Lihat ‚Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,‛ Pasal 10 ayat (1). 179 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 240-41. 173
Bab IV
142 Karena itu, usulan ini ditolak dan tidak dimasukkan dalam undang-undang. Dalam pandangan Maghfur Utsman, usulan di atas sulit dilakukan mengingat tidak sedikit harta benda wakaf diwakafkan kepada mereka yang bertempat tinggal jauh dari lokasi wakaf tersebut.180 Selain mengusulkan ‚amanah‛ sebagai salah satu syarat nazir, F-PPP juga mengusulkan perubahan redaksi agar frasa ‚sehat jasmani dan rohani‛ menjadi ‚mampu secara jasmani dan rohani.‛ Alasan fraksi ini adalah sehat secara jasmani dan rohani mengimplikasikan sesuatu yang relatif. Di samping itu, dalam berbagai undang-undang yang ada, frasa seperti itu telah dihindari, sehingga tetap memberikan ruang bagi nazir yang memiliki kemampuan meskipun ia juga bercacat fisik.181 Usulan ini diafirmasi oleh seluruh fraksi dan wakil pemerintah dan karenanya dimasukkan dalam undang-undang. Terlihat bahwa ketentuan nazir dalam undang-undang ini jauh lengkap dibandingkan dengan yang kita temukan dalam fikih. Al-Zuhayli, misalnya, hanya mensyaratkan tiga hal secara garis besar, yang meliputi keadilan ( ‘ada>lah), kifa>yah (kemampuan yang memadai) dan isla>m, terutama bagi benda-benda yang terkait dengan kepentingan Islam.182 Sementara itu, dalam RUU ini, nazir dalam bentuk organisasi, selain memenuhi persyaratan nazir perorangan di atas, juga harus ‚bergerak dalam bidang sosial, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.‛ Terhadap persyaratan ini, F-PDIP menambahkan frasa ‚pendidikan‛ setelah sosial, yang langsung disetujui oleh semua fraksi dan wakil pemerintah. Lebih jauh, F-PPP menambahkan persyaratan lain yang diperdebatkan hangat dalam rapat. Fraksi ini menilai bahwa selain ketentuan di atas, nazir dalam bentuk organisasi juga harus memiliki pengalaman sekurang-kurangnya satu tahun dalam bidang keuangan. Ini diperlukan agar tidak setiap organisasi dapat begitu saja sebagai nazir, tetapi harus memenuhi kualifikasi, di antaranya kemampuan manajerial sehingga terbukti organisasi tersebut serius dan tepat ditunjuk sebagai nazir. 183 Fraksi-fraksi lain menilai bahwa usulan ini tidak perlu dimasukkan dalam pasal, sebab sebagai sebuah organisasi ia tentunya memiliki pengalaman tersebut. Adapun wakil pemerintah pada dasarnya bisa menerima usulan ini, tetapi tidak perlu dimasukkan dalam pasal, cukup dalam peraturan pemerintah. Menanggapi komentar wakil pemerintah ini, Anwar Arifin mengajukan pertanyaan, mengapa harus di peraturan pemerintah, jika memungkinkan dimasukkan dalam pasal. Sebab, penyusunan peraturan pemerintah itu sendiri memakan waktu yang tidak singkat, bisa bertahun-tahun.184 Meskipun demikian, rapat hanya menyetujui untuk dimasukkan ke dalam peraturan pemerintah. Dalam PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sendiri, usulan tersebut tidak disebutkan secara langsung, tetapi dengan ungkapan ‚bersedia untuk diaudit.‛185 180 181
Wawancara dengan Maghfur Utsman, Jakarta 18 Januari 2011.
‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 1 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 243. Al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 232. 183 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 251. 184 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 256-257. 185 Lihat PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 7 ayat (3) C. 182
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
143 Persoalan lain yang tak kalah sengitnya diperdebatkan adalah bagian yang diterima oleh nazir. Dalam RUU dikemukakan bahwa ‚Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, nazir dapat menerima fasilitas dan/atau penghasilan atas hasil pengelolaan dan pengembangan benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).‛186 Dalam penjelasannya, wakil pemerintah mengemukakan dasar penetapan 10% ini adalah Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978. F-PPP mempermasalahkan alasan penetapan 10% itu, sebab amil zakat sendiri memeroleh bagian 12,5%. Dalam pandangan fraksi ini, nazir pada dasarnya memiliki tugas yang sama dengan amil zakat, dan mestinya memeroleh bagian yang sama seperti amil. Karena itu, apakah 10% ini dapat dibenarkan secara syar‘i dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau 12,5% landasan syar‘inya jelas, yaitu dianologikan dengan amil zakat. Usulan ini mendapat dukungan dari FTNI/POLRI dan F-Reformasi.187 Pendapat seperti ini memang ditemukan dalam fikih, di mana hak seorang nazir wakaf dikiyaskan dengan amil zakat yang memeroleh bagian 12,5%.188 Menanggapi komentar itu, wakil pemerintah mengakui bahwa memang tidak ada batasan yang pasti tentang bagian yang diterima oleh nazir. Meskipun demikian, dasar penetapan 10% ini, selain PMA di atas, adalah kepantasan dan tidak dikaitkan dengan amil zakat, sebab antara zakat dan wakaf berbeda sehingga tidak bisa dikiaskan. Lebih jauh, selama ini penetapan itu telah berjalan dan tidak ada reaksi atau penolakan dari masyarakat.189 Dengan demikian, angka 10% ini sebenarnya memiliki preseden historis dalam pelaksanaan wakaf selama ini. F-Reformasi mengemukakan bahwa 12,5% lebih mendasar dibandingkan dengan 10%. Alasannnya adalah daripada tidak memiliki landasan syar‘i yang tidak jelas, bukankah lebih baik mengaitkannya dengan zakat, yang sudah jelas ketentuannya. Memang, masalah ini adalah masalah ijtihadi, di mana umat diperbolehkan mencari rumusan yang pas mengenai hal ini. Akan tetapi, ijtihad yang memiliki landasan shar‘i> jauh lebih baik ketimbang tidak ada dasarnya sama sekali. Pendeknya, daripada tanpa rujukan, lebih baik berijtihad dengan rujukan, yaitu amil zakat.190 Berbeda dengan pandangan F-Reformasi, F-PBB menilai bahwa ketentuan bagian yang harus diterima nazir memang tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam Al-Quran maupun Sunnah. Namun, fraksi ini tidak bisa menerima bahwa nazir harus menerima 12,5% melalui analogi amil zakat. Sebab, seperdelapan itu sendiri dapat dipahami tidak bersifat baku, dalam arti bahwa tidak semua delapan golongan itu mendapat seperdelapan. Sementara itu, dalam Sunnah ditemukan isyarat bahwa wakaf itu tidak digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Dengan kata lain, ukuran yang pantas ini tampaknya sudah tepat, meskipun masih relatif. Maksudnya, 10% dapat dipandang besar jika ia merupakan bagian dari jumlah 186
‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 12. ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 263. 188 Al-Mawsu>‘ah Fiqhiyyah, 44: 210. 189 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 265-66. 190 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 266-67. 187
Bab IV
144 atau angka yang besar, tetapi kecil dalam kaitannya dengan jumlah atau angka yang kecil. Karena itu, fraksi ini memandang 10% sebagai jumlah yang pantas bagi nazir.191 Argumen yang dikemukakan F-PBB didasarkan pada hadis tentang bagaimana ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b tidak menetapkan berapa bagian yang diterima mutawalli, tetapi disebutkan secara eksplisit tida memperkaya diri. 192 Perdebatan ini tetap bertahan dan tidak sampai pada suatu kesepakatan, sehingga diselesaikan melalui lobi, yang akhirnya disetujui menjadi 10%. 5. Harta Benda Wakaf Berkaitan dengan harta benda wakaf, persoalan yang muncul di sini adalah wakaf uang. Dalam RUU disebutkan bahwa yang dimaksud dengan benda bergerak meliputi: (a) uang; (b) logam; (c) surat berharga; (d) kendaraan; (e) hak atas kekayaan intelektual; (f) hak sewa; dan (g) harta benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.193 Dalam fikih, para ulama umumnya membolehkan wakaf benda bergerak ( ‘aqa>r, jamak ‘aqa>ra>t), yang didasarkan pada Hadis Nabi Saw., yang menegaskan bahwa orang yang mewakafkan kuda, ia akan mendapatkan pahala dari apa saja yang bisa dimanfaatkan dari kuda tersebut.194 F-PBB mengusulkan agar ada frasa yang menegaskan bahwa harta benda wakaf itu ‚tidak habis dikonsumsi.‛ Alasannya adalah bahwa prinsip wakaf bendanya tidak boleh habis, tetapi harus langgeng. Adapun yang dimanfaatkan adalah hasil yang timbul dari harta benda itu. Sementara itu, wakaf uang ini tidak terjamin kelanggengan uang itu, namun yang ada adalah nilainya, mengingat uang tersebut digulirkan untuk berbagai investasi dan usaha produktif lainnya. Karena itu, harus ada penjelasan bahwa nilai uang tersebut tidak habis dikonsumsi, sebab kalau habis dikonsumsi berarti bukan wakaf, tetapi hanya amal jariyah. 195 Dengan kata lain, fraksi ini sebenarnya menyetujui uang termasuk salah satu benda yang dapat diwakafkan, tetapi harus ada penegasan bahwa benda wakaf itu langgeng, sesuai dengan prinsip wakaf. Menanggapi usulan itu, wakil pemerintah memahami usulan itu. Memang, bendanya harus tetap, tetapi keuntungannya yang dimanfaatkan untuk tujuan wakaf. Pada prinsipnya, uang wakaf itu dikumpulkan sebagai modal, selanjutnya ia diputar untuk usaha, yang keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Karena itu, pemerintah menerima usul tadi dan dimasukkan dalam Pasal 16 sebagaimana kita lihat sekarang.196 Dalam fikih, memang dikenal dengan wakaf manfaat (waqf al-manfa‘ah), di mana yang diwakafkan hanya manfaat benda yang diwakafkan. Ini diperbolehkan di kalangan Malikiyyah.197 Terbukti, masalah ini diakomodir dalam Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009. Hanya saja, dalam peraturan 191
‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 267. 192 Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m (Riya>d}: Maktabat Da>r alSala>m, 1997), Hadis No. 918. 193 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 16 ayat (3). 194 Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 164. 195 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 288-89. 196 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 294. 197 Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 166.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
145 ditentuk batas minimal uang yang diwakafkan sebesar Rp. 10.000.000,- dalam jangka sekurang-kurangnya lima tahun.198 Di beberapa negara Islam, wakaf uang sebenarnya telah diakomodir dalam undang-undang wakaf mereka. Bahkan, seperti telah disinggung di muka, wakaf uang ini terbukti memiliki dampak ekonomis yang sangat baik bagi masyarakat pada masa Utsmani. Uang wakaf telah dimanfaatkan oleh banyak pengusaha dan dengan begitu saling membantu antara pengusaha dan nazir wakaf. 199 Sementara itu, di Singapura, wakaf uang juga dibolehkan, meskipun saat ini aset wakaf benda masih jauh lebih besar ketimbang wakaf uang. 200 6. Ikrar Harus Tertulis Dalam pandangan Islam, wakaf bukan semata-mata tindakan filantropis untuk kemanusiaan. Ia juga berdimensi ibadah, yang tujuan utamanya adalah untuk memeroleh pahala dari Allah Swt. Karena itu, ketika seseorang hendak mewakafkan harta miliknya, ia cukup mengucapkan maksud tersebut kepada seseorang yang dipandang dapat mengelolanya dengan baik, dalam arti dapat mendatangkan manfaat sebanyak mungkin bagi masyarakat. Meskipun demikian, banyak kasus menunjukkan bahwa benda yang telah diwakafkan itu dipersoalkan dengan alasan tidak adanya bukti yang memperkuat itu. Mengantisipasi kemungkinan munculnya persoalan ini, dalam RUU Pasal 17 dikemukakan bahwa ikrar wakaf harus dilakukan di hadapan PPAIW dan dinyatakan secara lisan. 201 Pasal ini memunculkan dua persoalan, yaitu ‚dinyatakan secara lisan‛ dan siapa yang dimaksud dengan saksi di sini. F-PG mengusulkan agar setelah kata ikrar ditambah dengan ‚dan atau tulisan‛ sehingga menjadi ‚Ikrar wakaf dinyatakan secara lisan dan atau tulisan.‛ Usulan ini mendapat dukungan dari FPBB dan F-PPP. Kedua fraksi ini sepakat bahwa agar tidak ada sengketa di kemudian hari harus ada ikrar dan saksi, namun hal itu akan menjadi semakin kuat jika dinyatakan secara tertulis.202 Yang dimaksud ikrar di sini adalah s}i>ghah dalam istilah fikih. Akan tetapi, syarat-syarat ikrar ini tidak membicarakan apakah harus tertulis atau tidak. Ada yang menyebut hanya dua syarat dalam ikrar, yaitu dapat dilaksanakan (tanji>z) dan bersifat kekal (ta’bi>d),203 sementara al-Zuh}ayli> menambahkan dengan kepastian (ilza>m) dan tidak terkait dengan syarat yang dapat membatalkan wakaf.204 F-PBB menilai bahwa sesungguhnya dalam kitab-kitab tidak perlu disebutkan adanya saksi, tetapi dalam RUU ini ditetapkan adanya saksi. Ini tidak memberi kejelasan apakah jumlah saksi di sini satu atau dua. Kalau dua saksi, apakah itu harus dua-duanya laki-laki, atau satu saksi dan dua perempuan, seperti 198 Lihat ‚Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang,‛ Pasal 3 ayat (3). 199 Bandingkan dengan Murat Cizakca, ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs ( Awqa>f alNuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ 397-401; idem, ‚Awqa>f in History and Its Implication for Modern Islamic Economics,‛ 53-57. 200 Shamsiah Abdul Kareem, ‚Contemporary Waqf Administration and Development in Singapore: Challenges and Prospects‛ (Singapore: Islamic Religious Council of Singapore, t.th.), 4-5. 201 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 17.
202
‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 298. 203 204
Lihat al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 122-23. Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh, 8: 208.
Bab IV
146 ketentuan persaksian dalam Islam yang selama ini dipahami. Sementara itu, FPPP menilai bahwa persoalan saksi ini tetap seperti yang ditawarkan dalam RUU dan mengusulkan agar baik laki-laki maupun perempuan dipandang sama, sehingga wakaf tetap sah meskipun saksinya perempuan. Agar memeroleh kejelasan, masalah saksi laki-laki atau perempuan ini cukup dimasukkan dalam penjelasan.205 Meskipun demikian, dalam pandangan al-Zuh}ayli>, persaksian ini menjadi salah satu cara untuk menetapkan wakaf. Lebih dari itu, persaksian itu diterapkan di beberapa negara seperti Mesir dan Suriah. Yang demikian itu sejalan dengan pandangan al-Zuh}ayli> yang menegaskan bahwa saksi tidak harus terikat apakah laki-laki atau perempuan.206 Meskipun demikian, seperti dikemukakan mazhab H{anafi>, rukun wakaf sebenarnya hanya satu, yaitu ikrar. Disebut demikian karena ikrar tidak memiliki apa-apa tanpa ketiga rukun lainnya. Oleh sebab itu, wakaf adalah sah walau hanya diucapkan saja.207 Akhirnya, ketentuan ini disetujui tetap, tanpa ada penjelasan. 7. Sanksi Penyelewengan Wakaf Persoalan penting yang menjadi perdebatan hangat dalam Rapat Panja adalah masalah sanksi bagi nazir yang menyelewengkan harta benda wakaf. Ini disebutkan dalam RUU Pasal 67, yang mengidentifikasi tiga jenis penyelewengan. Pertama, kategori penyelewengan yang meliputi menjaminkan, menghibahkan, mewariskan, mengalihkan atau menukar harta benda wakaf. Sanksi bagi pelaku jenis pertama penyelewengan ini berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Kedua, kategori penyelewengan berupa pengalihan peruntukan wakaf tanpa izin dari Badan Wakaf Indonesia, dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah). Ketiga, kategori penyelewengan yang berbentuk pengambilan hasil wakaf melebihi yang dibolehkan. Sanksinya berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). 208 Terhadap ketentuan ini, semua fraksi pada prinsipnya menerima adanya sanksi bagi nazir atau pengelola yang menyelewengkan harta benda wakaf. Meskipun demikian, F-PPP adalah satu-satunya fraksi yang memberikan catatan atau komentar atas ketentuan ini. Melalui wakilnya, Lukman Hakim Saifuddin, fraksi ini mengusulkan agar ketentuan mengenai sanksi ini disebutkan tingkat minimalnya saja. Tujuannya ialah agar pelaku merasa jera dengan tindakannya dan berhati-hati dalam mengurus harta benda wakaf.209 Menanggapi usulan ini, ahli hukum yang mewakili pemerintah menegaskan bahwa ketentuan sanksi minimal ini tidak lazim dalam KUHP, misalnya. Sebaliknya, yang umum digunakan adalah ketentuan maksimalnya, sehingga hakim dapat menentukan atau berijtihad berapa lama atau berapa besar denda 205 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 2 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 14 September 2004, 304. 206 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi>, 8: 214. 207 Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 205. 208 ‚RUU tentang Wakaf,‛ Pasal 67. 209 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 7 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 16 September 2004, 633.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
147 yang dikenakan pada pelanggar. Bagi F-PPP, dengan menetapkan batas minimal diharapkan hakim tidak dapat bermain-main dalam menetapkan hukuman. Justru jika batas maksimal ditetapkan, hakim dapat memberikan vonis yang jauh di bawah minimal. Lebih jauh, dalam undang-undang yang lain, seperti UU Pemilu dan Pilpres, juga disebutkan batas minimal dan maksimal, yang mengindikasikan bahwa dalam RUU Wakaf ini batasan minimal dapat ditentukan. Yang lebih buruk lagi, penetapan hukuman maksimal membuka peluang bagi nazir untuk berhitung keuntungan, antara jumlah yang diselewengkan dengan denda atau hukuman yang akan diterimanya. Misalnya, jika aset wakaf mencapai milyaran, tetapi hukumannya hanya Rp. 500.000.000,- tidak menutup kemungkinan akan mendorong pengelola untuk melakukan penyelewengan, karena dendanya jauh di bawah yang diselewengkannya.210 Terlepas dari perdebatan ini, rapat menyetujui bahwa ketentuan tentang sanksi ini tetap seperti yang terkandung dalam RUU yang ditawarkan pemerintah. Sebenarnya, dalam kitab-kitab fikih tidak ditentukan sanksi-sanksi penyelewengan seperti itu. Di Yordania, misalnya, tidak menetapkan sanksi penyelewengan, tetapi penegasan bahwa seluruh ketentuan tidak boleh berlawanan dengan syariah.211 8. Persyaratan Nazir Harus Beragama Islam Masalah ini muncul setelah seluruh pembahasan tentang pasal-pasal selesai dirampungkan dalam rapat Panja terakhir. Dalam rangka meninjau ulang seluruh pasal-pasal itulah persoalan tentang persyaratan beragama Islam bagi nazir muncul, yang diajukan oleh Lukman Hakim Saifuddin. Seperti telah diputuskan sebelumnya, syarat nazir perorangan atau organisasi adalah beragama Islam. Bahkan syarat saksi dalam ikrar wakaf dan untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia pun harus beragama Islam. Lukman melihat bahwa adanya persyaratan beragama Islam ini tidak lazim dalam undang-undang. Sebab, hal itu dapat dipandang sebagai sebuah deskriminasi berdasarkan agama. Jika dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi, kemungkinan persyaratan ini akan dihapus. Lebih jauh, menurut kitabkitab fikih, persyaratan beragama Islam ini sesungguhnya tidak mutlak, dalam arti tidak seluruh ulama berpendapat demikian. Karena itu, Lukman mengajak seluruh anggota untuk bersikap arif dalam masalah ini. Terhadap pandangan ini, F-PG, yang diwakili oleh Irsyad Sudiro, mengusulkan agar dicari jalan tengah, di antaranya dengan cukup menyebutkan persyaratan secara syar‘i tanpa menyebutkan beragama Islam secara eksplisit. 212 Pandangan ini sejalan dengan pendapat Abu> H{ani>fah, yang membolehkan nazir bukan Muslim yang masuk dalam kategori dhimmi>.213 Menanggapi hal ini, wakil pemerintah menghendaki tetap, bahkan kalau boleh persyaratan orang yang mewakafkan (wakif) pun harus beragama Islam. 210 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 7 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 16 September 2004, 635-637. 211 Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah: IRTI-IDB, 2003), 44. 212 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 8 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 18 September 2004, 687. 213 Lihatal-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 209.
Bab IV
148 Namun, agar tidak terlihat diskriminatif, dicantumkan juga persyaratan ‚beragama lain‛ bagi non-Muslim yang hendak mewakafkan harta bendanya. Ini diperkuat oleh dasar negara kita, Pancasila, yang menghendaki setiap warganegara beragama. Lebih jauh, Malaysia yang penduduk Muslimnya tidak mencapai 2/3 dari seluruh penduduknya saja berani menjadikan Islam sebagai agama resminya. Sementara itu, Chodidjah berpendapat bahwa RUU ini berbicara tentang kepentingan Islam, dan sudah sepantasnya persyaratan beragama Islam dicantumkan. Jika dikatakan bahwa dalam buku-buku fikih tidak disebutkan secara mutlak beragama Islam sebagai salah satu syaratnya, apakah ketika kita membuat terobosan dalam RUU ini tidak boleh. Menurutnya, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan itu.214 Dalam pandangan Maghfur Utsman, kekhawatiran seperti ini dikarenakan non-Muslim memiliki kewenangan atas harta wakaf, sehingga takut digunakan untuk kepentingan agamanya, bukan kepentingan umat Islam.215 Perdebatan panas ini akhirnya berhenti dengan tetap dipertahankannya rumusan semula, di mana syarat wakif tanpa harus beragama Islam, sementara persyaratan nazir dan saksi dalam ikrar wakaf serta anggota Badan Wakaf Indonesia harus beragama Islam.216 Dengan disetujuinya seluruh proses ini, RUU Wakaf sudah siap dirapatkan dalam paripurna untuk memeroleh persetujuan dari anggota DPR, yang diawali terlebih dahulu dengan pandangan akhir mini dalam Komisi VI. Rapat paripurna sendiri dilaksanakan pada 28 September 2004 pukul 10.00 di Ruang Sidang DPR RI. Dengan demikian, seluruh pembahasan tentang RUU ini berlangsung selama dua pekan saja, sejak pemerintah menyampaikan penjelasan pada 6 September 2004. Bahkan pembahasan secara intensif dapat dikatakan berlangsung hanya selama sepekan, mengingat Rapat Pembahasan RUU baru dimulai pada 13 September 2004 dan berakhir pada 18 September 2004. Diawali dengan laporan yang disampaikan oleh Ketua Komisi VI, Rapat Paripurna kemudian dilanjutkan dengan pandangan akhir yang disampaikan oleh masing-masing fraksi terhadap RUU ini. Dalam pandangan akhirnya, F-PG menyetujui RUU ini disahkan menjadi UU karena tiga alasan: (1) dengan undangundang ini, kaum Muslim dapat menerapkan syariatnya khususnya di bidang wakaf, (2) terjadinya unifikasi hukum agama dan hukum positif, dan (3) wakaf dapat memberikan nilai ekonomis bagi kesejahteraan. 217 Sementara itu, F-PPP menilai RUU ini segera disahkan mengingat melalui UU ini nanti fungsi wakaf yang memiliki potensi ekonomi dapat ditingkatkan, sehingga manfaat horizontalnya akan semakin luas, sedangkan untuk mencapainya akan dibentuk Badan Wakaf Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang ini.218 Adapun F-PKB menegaskan bahwa RUU ini perlu segera disahkan agar pendayagunaan wakaf dapat dilakukan secara lebih baik sesuai dengan ketentuan 214 ‚Risalah Resmi Rapat Panitia Kerja 8 Pembahasan RUU tentang Wakaf,‛ 18 September 2004, 689-695. 215 Wawancara, Jakarta 18 Januari 2011. 216 Ketentuan bahwa nazir harus Muslim ini memiliki rujukannya antara lain dalam Al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi, 8: 203. 217 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Golongan Karya terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 Septemb er 2004, 55-56. 218 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Persatuan Pembangunan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 60-61.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
149 syariah. Selain itu, jika RUU ini disahkan, maka semua pihak dapat menyesuaikan diri dan, karenanya sosialisasi yang akan dilakukan oleh pemerintah menjadi sangat penting.219 Pandangan senada juga disampaikan oleh F-Reformasi dengan penekanan khusus pada BWI yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembinaan para nazir dalam mengelola wakaf. Dengan begitu, dimensi sosial wakaf dapat direalisasikan, yaitu kesejahteraan umum. 220 F-TNI/Polri menggarisbawahi empat hal terkait akan disahkannya RUU tentang wakaf ini. Pertama, UU ini tidaklah kontra-produktif terhadap peraturan yang ada, tetapi mempertegas dan menyempurnakannya. Kedua, BWI yang pada awal operasionalnya akan dibantu oleh pemerintah, harus mampu mengembangkan diri sehingga tidak membebani APBN di masa yang akan datang. Ketiga, dengan dibolehkannya wakaf tunai dalam undang-undang ini, maka ia harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Keempat, pemerintah harus menyosialisasikan undang-undang ini agar dapat dipahami oleh masyarakat. 221 Peran BWI bagi pengembangan wakaf, juga menjadi perhatian utama F-PBB dalam pandangan akhirnya. Dikemukakan bahwa BWI diharapkan dapat memajukan perwakafan di Indonesia, sehingga kesejahteraan umat dapat dicapai sebesar-besarnya, khususnya terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sarana peribadatan.222 Pandangan serupa dikemukakan F-Perserikatan Daulatul Ummah. Bagi fraksi ini, disahkannya RUU ini menjadi undang-undang merupakan hadiah besar bagi umat Islam untuk dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan syariah. Di samping hal-hal baru dalam undang-undang ini, seperti wakaf uang tunai dan adanya BWI diharapkan wakaf tidak lagi disalahgunakan. 223 Sementara itu, fraksi terbesar dalam DPR, F-PDIP mengawali pandangan akhirnya dengan menunjukkan situasi negara saat ini yang dipandang sangat memprihatinkan. Salah satu sebabnya, menurut fraksi ini, adalah karena tidak dijalankannya prinsip pemberdayaan ekonomi yang didasarkan pada syariah. Dengan disahkannya RUU Wakaf menjadi undang-undang diharapkan terpenuhinya jaminan bagi pihak yang terkait dengan wakaf, termasuk upaya optimalisasi manfaat wakaf. Di samping itu, undang-undang ini juga diharapkan dapat memiliki implikasi ekonomis yang dapat membantu kesejahteraan masyarakat.224 Satu-satunya fraksi yang tidak terlibat dalam pembahasan, tetapi menyampaikan pandangan akhirnya adalah Frkasi Kesatuan Kebangsaan Indonesia. Meskipun demikian, fraksi menyetujui agar RUU ini disahkan menjadi undang-undang mengingat selain berpotensi ekonomis, yang jika dikelola dengan baik dapat membantu menyejahterakan rakyat. Di samping itu, undang-undang ini dapat mengakomodasi hal-hal yang belum disinggung dalam peraturan 219 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 65. 220 ‚Pendapat Akhir Fraksi Reformasi terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 70. 221 ‚Pendapat Akhir Fraksi TNI/Polri terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 7576. 222 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Bulan Bintang terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 80. 223 ‚Pendapat Akhir Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 86-87. 224 ‚Pendapat Akhir Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 91-93.
Bab IV
150 sebelumnya, dan karenanya secara prinsip fraksi ini menyetujui pengesahaan RUU ini.225 Setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangan akhirnya, RUU disahkan menjadi UU tentang Wakaf. Dalam sambutan setelah disahkan RUU ini, Menteri Agama mengemukakan sejumlah hal baru yang penting dengan lahirnya undangundang ini. Pertama, UU ini mengatur wakaf benda bergerak, yang meliputi uang, surat berharga dan lain-lain, yang tidak ditemukan dalam peraturan perundangan yang ada sebelumnya. Kedua, persyaratan nazir menjadi lebih sempurna dengan dimasukkannya ketentuan seperti pembatasan masa jabatan, hak yang dapat ia terima dan sebagainya. Ketiga, akan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia, yang akan berperan kunci dalam pengembangan wakaf. Keempat, penekanan pada pemberdayaan wakaf agar berkontribusi bagi kesejahteraan. Kelima, UU ini memberikan ketentuan pidana dan administrasi , yang dapat dikenakan kepada nazir maupun kepada pejabat pembuat akta ikrar wakaf dan lembaga keuangan yang mengelolanya.226 Dari uraian yang dipaparkan di muka terlihat bahwa faktor yang mendorong disahkannya undang-undang ini meliputi beberapa hal: (1) ekonomi dan kesejahteraan, (2) dimensi religious, (3) ketertiban hukum, dan (4) politik. UU tentang Wakaf ini kemudian disahkan melalui Keputusan DPR No. 13A/DPR-RI/I/2004-2005 tentang Persetujuan DPR terhadap RUU tentang Wakaf tertanggal 28 September 2004. Pada hari yang sama Surat Persetujuan No. RU.01/5254/DPR-RI/2004 disampaikan kepada Presiden agar RUU yang sudah disetujui ini segera disahkan menjadi undang-undang. Sebulan kemudian, undangundang ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Oktober 2004 sebagai Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. UU ini terdiri atas 11 Bab dan 71 Pasal dengan struktur sebagai berikut: Bab I Ketentuan Umum (1 pasal) Bab II Dasar-dasar Wakaf (30 pasal) Bab III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf (8 pasal) Bab IV Perubahan Status Harta Benda Wakaf (2 pasal) Bab V Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf (5 pasal) Bab VI Badan Wakaf Indonesia (15 pasal) Bab VII Penyelesaian Sengketa (1 pasal) Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan (4 pasal) Bab IX Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif (2 pasal) Bab X Ketentuan Peralihan (2 pasal) Bab XI Ketentuan Penutup (1 pasal) D.
Implikasi terhadap Wakaf setelah Pengesahan Undang-undang Meskipun telah disahkan, UU No. 41 Tahun 2004 ini tidak begitu saja dapat dilaksanakan, mengingat ada sejumlah pasal yang menuntut peraturan pemerintah. Setidak-tidaknya, dibutuhkan delapan peraturan pemerintah agar undang-undang ini dapat dilaksanakan, seperti diisyaratkan oleh pasal-pasal berikut ini:227 225 ‚Pendapat Akhir Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia terhadap RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 82-83. 226 ‚Sambutan Pemerintah atas Persetujuan RUU tentang Wakaf,‛ 28 September 2004, 100-102. 227 Bandingkan Jaih Mubarok, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), 60-61.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
151 1.
Peraturan Pemerintah tentang ketentuan nazir, seperti ditegaskan Pasal 14 ayat (2). 2. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan akta ikrar wakaf, seperti diamanatkan oleh Pasal 21 ayat (3). 3. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan wakaf benda bergerak berupa uang, yang disebutkan dalam Pasal 31. 4. Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), seperti ditegaskan Pasal 39. 5. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan perubahan status harta benda wakaf, yang disebutkan Pasal 41 ayat (4). 6. Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, seperti disebutkan dalam Pasal 46. 7. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan tentang pembinaan dan pengawasan oleh mentri dan BWI, seperti ditunjukkan dalam Pasal 66. 8. Peraturan Pemerintah tentang ketentuan pelaksanaan sanksi administratif, seperti diperintahkan oleh Pasal 68 ayat (3). Akan tetapi, pemerintah cukup menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan undang-undang tersebut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atas, tidak dengan menerbitkan satu persatu. Hal ini dikemukakan dalam bagian menimbang yang menyebutkan bahwa PP ini dimaksudkan untuk memenuhi pelaksanaan ketentuan Pasal 14, Pasal 21, Pasal 31, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 46, Pasal 66, dan Pasal 68 Undang-undang No. 41 Tahun 2004.228 Untuk melengkapi PP tersebut, Menteri Agama menerbitkan Peraturan No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang pada 29 Juli 2009.229 Dengan demikian, disahkannya UU tentang Wakaf memiliki implikasi langsung terhadap pembentukan peraturan-peraturan terkait yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Lebih jauh, wakaf telah dinaikkan kedudukannya yang semula hanya diatur dalam peraturan pemerintah meningkat menjadi undang-undang. Implikasi lain yang tak kalah pentingnya adalah keharusan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang disebutkan dalam Pasal 47 sampai Pasal 61 Undang-undang tentang Wakaf. Melalui Keputusan Presiden Nomor 75/M/2007, BWI dinyatakan terbentuk untuk masa 2007-2010. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 51 ayat (1), BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Di samping pengurus utama, terdapat juga beberapa divisi, seperti divisi pembinaan nazir, pengelolaan wakaf, hubungan masyarakat, kelembagaan, penelitian dan pengembangan. Adanya divisi-divisi ini dimungkinkan sesuai dengan amanat Pasal 53 undang-undang ini, yang menyebutkan bahwa jumlah anggota BWI paling sedikit 20 orang dan paling banyak 30 orang.230 Tujuan utama dibentuknya lembaga ini adalah agar perwakafan di Indonesia mengalami kemajuan dan perkembangan. Untuk itu, BWI memiliki tugas dan wewenang yang sangat besar, menurut undang-undang, seperti membina nazir 228
Uang.
229
Lihat Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. Lihat Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf
230
Lihat UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 53.
Bab IV
152 wakaf yang ada, agar dapat mengelola dan mengembangkan wakaf secara lebih baik. Lembaga ini juga memiliki tugas untuk mengelola dan mengembangkan sendiri wakaf yang berskala nasional dan internasional. Bahkan, BWI memiliki wewenang untuk menyetujui dan memberikan izin perubahan peruntukan dan status benda wakaf, jika benda wakaf tersebut dipandang tidak atau kurang produktif. Di samping itu, BWI juga berhak memberhentikan dan mengganti nazir, tak terkecuali memberikan saran dan perimbangan kepada pemerintah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan wakaf. 231 Karena itu, BWI dapat dipandang sebagai tulang punggung maju mundurnya perwakafan di masa yang akan datang. Sebenarnya, keterlibatan negara dengan membentuk BWI menunjukkan keterlibatan pemerintah yang setengah hati, mengingat negara tidak secara langsung terlibat di dalamnya dan tidak masuk ke dalam kementeriaan tertentu. Model seperti ditemukan di Malaysia, yang melibatkan negara federal sangat sedikit, tetapi menyerahkan kepada negara bagian lain. 232 Ini sangat berbeda dengan Kuwait, Yordania dan Saudi Arabia yang melibatkan langsung negara. Juga berbeda dengan India dan Singapura, yang keterlibatan negara hanya terkait dengan penyediaan perundang-undangan.233 Sejauh ini, BWI telah berhasil mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp. 880.884.770,- dan tanah di Serang, Banten, seluas 2.348 M persegi seharga Rp. 375.680.000,-. Jika dijumlahkan secara keseluruhan, maka BWI hingga Februari 2010 berhasil mengumpulkan wakaf sebesar Rp. 1.256.564.770,-.234 Menurut Suparman, saat ini belum diperoleh angka yang pasti tentang wakaf uang, mengingat hal itu masih belum dilaporkan ke BWI secara keseluruhan. Akan tetapi, diperkirakan jumlah yang telah dihimpun mendekati 10 milyar. 235 Ini tidak berarti bahwa perkembangan wakaf hanya sebatas itu, mengingat terdapat lembaga-lembaga wakaf lain. Lebih jauh, dana tersebut telah dikelola oleh BWI untuk tujuan-tujuan produktif, seperti investasi, giro dan lain sebagainya. Sementara tanah wakaf yang diterimanya kini dijadikan sebagai rumah sakit, yang pembangunannya kini tengah berlangsung. Dengan begitu, manfaat wakaf akan semakin dirasakan oleh banyak masyarakat. Sementara itu, seperti dilaporkan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama, wakaf di masyarakat terus mengalami peningkatan, setidaktidaknya berdasarkan catatan. Dalam laporan pada 2006, misalnya, disebutkan bahwa luas tanah wakaf mencapai 552.446.216,56 M persegi, sementara pada 2008 terjadi peningkatan signifikan hingga mencapai 1.615.791.832,27 M persegi. Peningkatan signifikan juga terjadi pada 2009, yang mencapai 2.719.854.759,72 M persegi. Di samping itu, kehadiran undang-undang tentang wakaf ini terbukti telah mendorong pengadministrasian wakaf semakin baik. Ini
231 232
Lihat UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 49. Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir (Jeddah: IRTI-IDB, 2003),
115. 233 Mah}mu>d Ah}mad Mahdi>, Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir. Untuk Singapura, lihat Kareem, ‚Contemporary Waqf Administration and Development in Singapore.‛ 234 Keuangan BWI, www.bwi.or.id. 235 Wawancara, Jakarta 18 Januari 2011.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
153 terlihat dari peningkatan prosentasi sertifikasi wakaf, yang dari tahun ke tahun semakin meningkat.236 Implikasi lain disahkannya undang-undang ini adalah meningkatnya keuangan syariah, karena wakaf dikembangkan melalui sukuk. Menurut pengamat ekonomi syariah, Muhammad Shodiq, jika aset wakaf dikembangkan menjadi aset dasar (underlying assets) bagi penerbitan sukuk, maka hal itu berpotensi memiliki efek berlipat ganda bagi keuangan syariah. Ia menegaskan, ‚Potensi wakaf sangat besar, namun ada beberapa aset yang ideal. Jika aset wakaf bisa menjadi underlying aset sukuk, maka dari sana bisa menghasilkan dana yang bisa digunakan untuk investasi ke sektor mikro syariah, misalnya. Dengan demikian hal ini akan memiliki multiplier effect bagi perkembangan keuangan syariah Indonesia.‛237 Bahwa peluang wakaf uang dapat mendorong keuangan syariah ini juga diakui oleh Mustafa Edwin, wakil ketua BWI, meskipun hal itu harus dikaji terlebih dahulu, terutama dalam kaitannya dengan hukum fikih. Yang demikian itu terjadi karena setoran wakaf akan dilakukan di bank syariah, sehingga lembaga keuangan syariah akan memeroleh dana untuk dikelola. Mustafa menegaskan, ‚Bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi dan dengan ditaruhnya dana wakaf di bank syariah dan bisa diolah, maka akan turut memperbesar pangsa perbankan syariah.‛238 Akan tetapi, ia tetap akan berhati-hati karena ‚belum melakukan kajian mengenai hal itu apakah secara fikih dimungkinkan atau tidak, apakah harta benda wakaf mungkin untuk menjadi underlying aset. Ini masih perlu dikaji,‛ kata Mustafa.239 Kenyataan ini diperkuat oleh semakin meningkatnya bank-bank syariah yang berminat untuk menjadi penerima setoran wakaf. Seperti diberitakan, sampai saat ini sudah ada delapan bank yang ditetapkan secara resmi sebagai penerima setoran wakaf, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BNI Syariah, unit usaha syariah (UUS) Bank DKI dan lain sebagainya. 240 Di kemudian hari, jumlah ini tampaknya akan semakin bertambah, mengingat saat ini saja sudah ada dua bank lainnya yang sedang menjalani proses untuk menjadi bank penerima setoran wakaf, yakni Bank Syariah Bukopin dan Bank Syariah BTN. 241 Tentu, hal itu tidak akan berjalan dengan begitu saja, jika tidak ada kreasi dan metode khusus yang diterapkan oleh bank-bank tersebut. Ani Murdiati, direktur Retail Banking Bank Mega Syariah (BMS), misalnya, menegaskan bahwa wakaf uang tidak bisa ditawarkan dengan cara-cara seperti produk lain bank syariah ditawarkan. Ia membutuhkan cara yang berbeda, di antaranya dengan menawarkan paket wakaf kepada nasabah, dengan memasukkannya dalam investasi tertentu. ‚Untuk menawarkan wakaf uang di bank syariah tentu beda dengan menawarkan produk bank syariah lainnya, kecuali mungkin dapat 236
Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen
Agama, 2009. 237
Republika, Senin, 7 Juni 2010. Republika, Senin, 7 Juni 2010. 239 Republika, Senin, 7 Juni 2010; lihat juga Ahmad Hasan dan Muhammad Abdus Shahid, ‚Management and Development of the Awqaf Assets,‛ Proceedings of Seventh International Conference: The Tawhidi Epistemology—Zakat and Waqf Economy, Bangi, 2010, 321-322. 240 Wawancara dengan Mustafa E. Nasution, Jakarta 18 Januari 2011. 241 Media Indonesia, Selasa 2 Maret 2010. 238
Bab IV
154 dibentuk seperti paket wakaf kepada nasabah, di mana ada investasi tertentu untuk penempatan wakaf,‛ kata Ani.242 Dari uraian tersebut terlihat bahwa kehadiran UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah memberikan manfaat baik terhadap pengelolaan wakaf itu sendiri, maupun manfaat bagi masyarakat. Tentu, terlalu dini untuk menilai keberhasilan BWI, misalnya, karena lembaga ini dapat dipandang masih seusia bayi. Akan tetapi, dengan keberhasilannya dalam waktu singkat mengumpulkan dana wakaf dan mengelolanya, harapan besar untuk menyejahterakan masyarakat patut diberikan kepada lembaga ini. Apalagi jika seluruh pranata wakaf yang telah ada juga dikelola dengan baik seperti yang dilakukan oleh BWI.
242
Republika, Senin, 7 Juni 2010.
Kebijakan Negara Tentang Wakaf
BAB V PERKEMBANGAN FILANTROPI ISLAM Dalam dua bab sebelumnya telah diuraikan bagaimana keterkaitan negara dalam masalah filantropi Islam. Dalam bab ini akan diuraikan dampak dari disahkannya undang-undang tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf, yaitu perkembangan lembaga filantropi Islam dan respons civil society Islam terhadap rencana revisi UU No. 38 Tahun 1999. A.
Pertumbuhan Lembaga-lembaga Zakat, Wakaf dan Filantropi Jauh sebelum UU No. 38 Tahun 1999 dan UU No. 41 Tahun 2004 disahkan dan diundangkan, sebenarnya lembaga-lembaga filantropi Islam sudah cukup banyak yang bermunculan. Yayasan Dana Sosial Al-Falah, Surabaya, yang didirikan pada 1987, misalnya, telah aktif bergerak dalam menghimpun dan menyalurkan dana zakat bagi fakir miskin. Demikian pula Dompet Dhuafa Republika yang didirikan pada 1993. Keduanya berhasil menjadi lembaga filantropi Islam yang sangat berhasil, di antaranya, karena manajemen pengelolaan yang digunakannya adalah modern, seperti transparansi dalam pelaporan dan pendayagunaannya yang jelas, sehingga dapat dirasakan oleh masyarakat.1 Meskipun demikian, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 merupakan salah satu faktor penting bagi tumbuhnya lembaga-lembaga filantropi. Seperti akan diuraikan, beberapa lembaga filantropi yang memiliki peran penting saat ini lahir karena faktor krisis tersebut. Bahkan, seperti dikemukakan sebelumnya, lahirnya kedua undang-undang di atas tidak bisa dipisahkan dari faktor ini. Di samping itu, reformasi yang menandai desentralisasi kekuasaan juga mendorong lahirnya beberapa lembaga filantropi.2 Lahirnya kedua undang-undang di atas juga sangat berpengaruh bagi tumbuhnya lembaga filantropi, yang menunjukkan menguatnya gerakan civil society. Dalam bidang zakat dan infak/shadaqah, misalnya, bukan hanya BAZNAS dan BAZDA yang disponsori oleh pemerintah yang banyak berdiri, tetapi juga lembaga-lembaga swasta yang dikenal dengan LAZ. 3 Sementara itu, dalam bidang wakaf, BWI telah resmi didirikan pada tingkat nasional, yang dibarengi dengan berdirinya beberapa cabang di beberapa daerah. Meskipun demikian, LAZ juga aktif menerima dan mengelola wakaf dalam berbagai bentuk.
1 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam Infoz, Edisi 4 Tahun VI (2010), 29. 2 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara dalam Infoz, Edisi 4 Tahun VI (2010), 26. 3 Lihat Jennifer Bremer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice,‛ Makalah disampaikan pada CSID 5 th Annual Conference, Washington DC, 28-29 Mei 2004, 17.
155
156 Perkembangan lembaga filantropi yang demikian besar itu digambarkan Jennifer Bremer sebagai ‚hidupnya kembali lembaga-lembaga filantropi lama,‛ yang dapat memainkan kembali perannya. Hal itu karena selama ini lembagalembaga filantropi Islam dibikin bergantung pada negara, yang jauh lebih superior ketimbang yang pertama. Akibatnya, lembaga-lembaga tersebut memeroleh tekanan dari negara.4 Berbeda dengan struktur BAZ yang kemungkinan pembentukannya hanya satu lembaga di tingkat nasional, LAZ memiliki sejumlah lembaga yang masuk ke dalam kategori nasional. Sejauh ini, LAZ yang berada di tingkat nasional berjumlah 18 lembaga,5 sebagian di antaranya akan diuraikan aktivitas dan perannya dalam pengelolaan zakat dan wakaf. 1.
Dompet Dhuafa (DD) Republika Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Dompet Dhuafa Republika memiliki peran yang penting dalam pendirian Forum Zakat (FOZ). Lembaga ini sebenarnya telah berdiri pada 1994, setahun setelah terbitnya Koran Republika pada 1993. Di antara faktor yang mendorong berdirinya lembaga ini adalah kenyataan bahwa para wartawan, di satu sisi, sering bertemu dengan orang kaya dan, di sisi lain, acapkali berjumpa dengan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Atas dasar itu, para wartawan kemudian menyisihkan zakat 2,5% dari gajinya setiap bulan untuk disalurkan kepada orang-orang miskin. Rasa empati para wartawan semakin besar tatkala mereka menyaksikan kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin di Gunung Kidul Yogyakarta yang didanai oleh mahasiswa melalui iuran, yang disisihkan dari uang saku mereka. 6 Di samping itu, masyarakat sendiri terbukti telah banyak menyalurkan zakat, infak dan sadakahnya kepada DD, sebuah kolom yang ditampilkan dalam harian Republika. Melihat kenyataan di atas dibentuklah sebuah lembaga independen yang berusaha mengelola zakat, infak dan sadaqah masyarakat dengan nama Dompet Dhuafa Republika, yang secara resmi didirikan pada 14 September 1994. Sebagai bentuk sebuah yayasan, DD tercatat dalam Departemen Sosial sebagai organisasi yang berbentuk yayasan. 7 Di samping mengelola dana zakat, DD juga mengelola wakaf, di samping dana lain yang halal dan sah, baik yang berasal dari sumbangan perorangan maupun kelompok, atau bahkan perusahaan atau lembaga. 8
4
Bremer, ‚Philanthropy Islam,‛ 15. Anonimous, Ke Manakah Anda Membayar Zakat (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2008), 56-63. Ke-18 lembaga tersebut adalah: (1) LAZ Yayasan Amanah Takaful, (2) LAZ Dompet Dhuafa (DD) Republika, (3) LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU), (4) LAZ Persatuan Islam (Persis), (5) LAZ Yayasan Baitul Mall Hidayatullah, (6) LAZ Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), (7) LAZ Yayasan Baitul Mall Muamalat, (8) LAZ Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF), (9) LAZ Yayasan Baitul Maal Ummat Islam, (10) LAZ Bangun Sejahtera Mitra Ummat, (11) LAZ BaitulMaal Bank Rakyat Indonesia, (12) LAZ Baitul Mall Wat Tamwil (BMT), (13) LAZ Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), (14) LAZ Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ), (15) LAZ Baituzzakah (MAZMA) Pertamina, (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid, (17) LAZ Nahdlatul Ulama (LAZIS NU) dan, (18) LAZ Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). 6 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). Lihat juga Bremen, ‚Islamic Philanthropy,‛ 18. 7 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). 8 http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). 5
Perkembangan Filantropi Islam
157 Sesuai dengan misinya, DD hendak meningkatkan semangat kemandirian masyarakat dengan berpijak pada dana-dana yang diperoleh dari dalam negeri melalui sistem yang berkeadilan. Ini berarti bahwa DD tidak mengandalkan dana dan sumbangan dari luar negeri, seperti yang banyak diperoleh oleh yayasanyayasan lain. Sebaliknya, DD berkeinginan untuk menggalang dana masyarakat Indonesia sendiri yang akan disalurkan untuk membangun masyarakat yang mandiri. Sejalan dengan itu, DD memiliki misi sebagai lokomotif gerakan pemberdayaan masyarakat, yang dapat mengembangkan jaringan pemberdayaan masyarakat, mengelola dana masyarakat dan mendorong terciptanya ekonomi yang berkeadilan.9 Visi untuk menjadi lokomotif gerakan pemberdayaan masyarakat ini tampaknya yang mendorong DD untuk berperan sebagai salah satu bidan bagi kelahiran Forum Zakat (FOZ) bersama 10 lembaga lainnya. 10 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, FOZ inilah yang kemudian mempersiapkan draft undangundang tentang pengelolaan zakat, yang kemudian diajukan pemerintah dan disetujui oleh DPR menjadi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 11 Sesuai dengan undang-undang ini, DD termasuk ke dalam kategori lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat (LAZ), dan berdasarkan SK Menteri Agama No. 439 Tahun 2001 ditetapkan sebagai LAZ tingkat nasional. Ini berarti bahwa DD telah berpengalaman dalam mengelola zakat, sebab syarat minimal sebuah lembaga untuk disebut bertingkat nasional jika ia telah beroperasi dua tahun. Lebih jauh, DD juga telah memiliki jaringan yang luas, mengingat syarat yang harus dipenuhi agar disebut lembaga nasional sekurang-kurangnya memiliki cabang di 10 provinsi. Di samping itu, DD menunjukkan sebagai lembaga yang berhasil mengumpulkan dana, setidak-tidaknya di atas 1 milyar rupiah setiap tahunnya.12 Kenyataannya, jika dilihat sejak berdirinya hingga keluarnya SK tersebut, DD telah berkiprah tujuh tahun dan telah berkembang luas ke sejumlah daerah di Jawa dan luar Jawa. Hingga saat ini, DD telah memiliki delapan cabang di berbagai provinsi dan dua cabang di luar negeri, yaitu Hong Kong dan Australia. Di samping cabang-cabang, DD juga memiliki sembilan perwakilan di berbagai kota di Indonesia dan jejaring yang kebanyakan berada di sekitar Jakarta. 13 Dalam masalah penggalangan dana zakat, infak dan shadaqah, DD dapat dipandang sangat berhasil, mengingat ia mampu mengumpulkan jumlah yang jauh dari jumlah minimal yang ditetapkan oleh peraturan, yakni sebesar satu milyar. Pada 2005, misalnya, DD berhasil menghimpun dana zakat sebesar Rp. 18.702.760.098,00, dana infak/shadaqah sebesar Rp. 3.247.603.114,00 dan dana wakaf sebesar Rp. 7.443.389.795,00. Dengan kata lain, secara keseluruhan, dana
9
http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). Ke-10 lembaga ini, antara lain, adalah Bank Bumi Daya, Pertamina, Telkom Jakarta, Baitul Mal Pupuk Kujang, BAZIS DKI, Hotel Indonesia dan STIE Jakarta. Lihat Ahmad Juwaini, ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 63. 11 Lihat Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), 127-128. 12 Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). 13 Tentang cabang-cabang DDR, lihat http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=tentangdd&y= c2247029b4d84b48dbee17f788ec65bd (diakses 5 Agustus 2010). 10
Bab V
158 filantropi yang dihimpun DD pada tahun tersebut mencapai hampir 30 milyar rupiah. Pada tahun berikutnya, 2006, dana zakat yang berhasil dihimpun DD meningkat menjadi Rp. 21.046.376.859,00. Peningkatan dana zakat ini juga diikuti oleh peningkatan dana infak/shadaqah yang mencapai Rp. 4.457.138.665,00 meskipun tidak diikuti oleh dana wakaf yang hanya mencapai Rp. 1.000.145.598,00. Secara keseluruhan pada 2006, penghimpunan dana yang diperoleh oleh DD dari tiga bidang ini mengalami penurunan, dari mendekati 30 milyar ke sekitar 26 milyar rupiah. Peningkatan penghimpunan dana terjadi pada tahun berikutnya, 2007, yang secara keseluruhan mendekati 30 milyar. Jumlah ini meliputi dana zakat sebesar Rp. 22.945.299.231,00 dana infak/shadaqah sebesar Rp. 5.674.724.803,00 dan dana wakaf sebesar Rp. 1.399.798.925,00. Dengan demikian, dalam waktu tiga tahun, jumlah dana filantropi yang berhasil dihimpun oleh DD sekitar 30 milyar. Dengan dana yang terkumpul cukup besar, DD dapat melakukan berbagai aktivitas bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Berbagai bidang yang menjadi garapan DD meliputi bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan ekonomi. Dalam bidang pendidikan, misalnya, DD mendirikan sekolah yang disebut Smart Ekselensia Indonesia, yang siswanya tidak dipungut biaya sama sekali atau gratis. Di samping itu, program Bea Studi Sarjana memberikan kepada mahasiswa kurang mampu beasiswa untuk membantu biaya pendidikan mereka, yang jumlah peminatnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Selanjutnya, ada program Pengembangan Kapasitas Guru melalui lembaga Makmal Pendidikan, yang kegiatannya meliputi pelatihan bagi guru-guru, pendampingan sekolah dan peningkatan kualitas sekolah.14 Dalam bidang kesehatan, ada dua bentuk aktivitas yang telah dijalankan oleh DD. Pertama, Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC), lembaga baru yang didirikan oleh DD untuk menangani kesehatan bagi kaum dhuafa, yang pengoperasiannya didasarkan pada dana ZISwaf. Kedua, Rumah Sakit Gratis, sebuah upaya yang lebih besar dalam memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Rencananya, rumah sakit ini akan diberi nama Rumah Sehat Terpadu.15 Adapun dalam bidang pemberdayaan masyarakat, DD melakukan beberapa terobosan. Pertama, pengembangan ketrampilan, yang diberi nama Institut Kemandirian. Lembaga ini dirancang sebagai model/sekolah pemberdayaan praktis, di mana masyarakat akan memeroleh pelatihan. Ada dua pelatihan yang diselenggarakan di sini, yaitu pelatihan kewirausahaan yang bertujuan pada pembentukan wawasan dan motivasi sebagai wirausaha kecil, dan pelatihan teknis, yang bertujuan membekali peserta dengan ketrampilan khusus, seperti otomotif, menjahit, dan perkayuan.16 Pemberdayaan peternak adalah jenis lain aktivitas DD. Dinamakan Kampoeng Ternak, pemberdayaan ini semula lahir dari program lain, yang bernama Tebar Hewan Kurban. Tentu, program ini tidak dapat terlaksana tanpa 14
http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pddk&y=395d32ee5ef984ab86f3336d407f4c81
(diakses
5
(diakses
5
Agustus 2010). 15
http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=kes&y=e3fe8e836ca14793a4274bd14552589c
Agustus 2010). 16 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pemmas (diakses 5 Agustus 2010).
Perkembangan Filantropi Islam
159 ketersediaan hewan kurban yang sehat. Karena itu, DD menginisiasi kelompok peternak untuk menjadi mitra dalam penyediaan hewan kurban, dan agar hasilnya bagus mereka dilatih dengan berbagai ketrampilan, bagaimana pakan yang baik, manajemen dan memelihara kesehatan hewan. 17 Tidak hanya kepada peternak, pemberdayaan yang dilakukan oleh DD juga diarahkan pada kaum petani, yang secara khusus ditangani oleh Lembaga Pertanian Sehat (kini Usaha Pertanian Sehat). Lembaga ini dimaksudkan sebagai wahana penelitian dan pengembangan sarana pertanian yang tepat guna bagi petani kecil. Di antara hasil yang telah dicapai oleh lembaga ini, antara lain, adalah biopestisida (pengendali hama tanaman) bernama VIR-L, VIR-X dan VIRH dan pupuk organik yang mendukung pertanian kecil. Tidak hanya sampai di situ, UPS juga membantu memasarkan produk pertanian yang menggunakan teknologi tersebut.18 Dalam bidang ekonomi, DD aktif membangun jaringan lembaga keuangan mikro syariah. Sejalan dengan maraknya BMT (Baitul Maal Wa Tamwil), DD bersama sejumlah BMT lain membangun ‚holding‛ BMT dalam rangka menopang sinergi dan permodalan. Sampai saat ini, ada 60 lembaga keuangan mikro syariah yang tersebar di Jawa dan Sumatra, di mana DD ikut aktif terlibat dalam pendiriannya. Jaringan ini kemudian disebut BMT Center, dengan aset yang dikelola mencapai Rp. 266 milyar, di samping dana ketiga sebesar Rp. 233 milyar.19 Di samping usaha-usaha produktif seperti di atas, DD juga aktif terlibat dalam penanggulangan bencana alam, sosial dan peperangan. Di sejumlah bencana, baik yang terjadi di Aceh, Papua, Jawa Tengah, Yogyakarta hingga Lumpur Lapindo, DD melibatkan aktivisnya dalam pembangunan kembali rumah tinggal, fasilitas ibadah, kesehatan dan pendidikan, di samping pemulihan ekonomi masyarakat korban bencana.20 Semua ini menunjukkan bahwa dana filantropi yang dihimpun oleh DD sangat membantu, di satu sisi, bagi pengentasan kemiskinan pada masyarakat dan, di sisi lain, bagi penciptaan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Melalui berbagai pemberdayaan, DD ingin mendorong masyarakat menjadi mandiri dalam memenuhi kebutuhan mereka dan kemudian memiliki aset bagi kehidupan mereka. 2.
Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) Kemunculan PKPU dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara, pada 1997, di mana Indonesia merupakan korban yang paling parah. Diawali dengan depresi rupiah terhadap dollar Amerika, krisis yang terjadi di Indonesia merambah ke beberapa bidang lainnya, seperti politik, moral, pendidikan, sains dan teknologi, budaya dan, tentu saja, agama. Situasi itu menggerakkan banyak orang untuk terlibat dalam menyumbangkan pikiran dan tenaga melakukan aksi sosial di berbagai daerah. 21 Sebagai tindak lanjut dari keterlibatan mereka ini, dibentuklah sebuah lembaga yang bernama Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) pada 10 Januari 1999 17
http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pemter (diakses 5 Agustus 2010). http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pempet (diakses 5 Agustus 2010). http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pms (diakses 5 Agustus 2010). 20 http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=pbasdp (diakses 5 Agustus 2010). 21 http://www.pkpu.or.id/about/sejarah (diakses 6 Agustus 2010). 18 19
Bab V
160 dalam bentuk yayasan, yang memfokuskan diri sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang sosial. Sementara itu, dalam bidang penggalangan dana, lembaga ini menghimpun dari berbagai sumber, terutama dari aspek-aspek filantropi Islam, seperti zakat, infak/shadaqah, wakaf dan lain sebagainya. Karena itu, bersamaan dengan keluarnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, lembaga ini mendaftarkan diri sebagai lembaga yang secara sah dapat menghimpun dana zakat, yang dikukuhkan oleh SK Menteri Agama No. 441 tanggal 8 Oktober 2001 sebagai Lembaga Amil Zakat di tingkat nasional.22 Dikukuhkannya PKPU sebagai LAZ nasional menunjukkan bahwa lembaga ini telah memiliki pengalaman yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Agama, yang menyebutkan syarat minimal dua tahun pengalaman. 23 Ini juga berarti bahwa PKPU terbukti telah tersebar di banyak daerah, setidak-tidaknya di sepuluh provinsi, sekaligus sebagai bukti bahwa lembaga ini berhasil menghimpun dana di atas satu milyar. Selanjutnya, mengingat luasnya wilayah kerja lembaga ini di berbagai daerah, pada 2004 PKPU memperluas jangkauan aktivitasnya tidak hanya pada pengelolaan zakat, infak/shadaqah dan wakaf, tetapi kemanusiaan secara keseluruhan, sehingga ia menamakan diri sebagai Lembaga Kemanusiaan Nasional. Klaim ini bukanlah tanpa alasan, mengingat PKPU telah melibatkan diri dalam berbagai aktivitas kemanusiaan, seperti tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta dan bencana di tempat lain, bersama lembaga-lembaga internasional lainnya. Keterlibatan PKPU dalam penanganan korban kemanusian ini akhirnya memeroleh pengakuan dari PBB sebagai ‚NGO in Special Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations‛ pada 21 Juli 2008. Akhirnya, pada 2010, PKPU dikukuhkan sebagai Organisasi Sosial Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No 08/Huk/2010.24 PKPU memiliki visi ‚Menjadi Lembaga Terpercaya dalam Membangun Kemandirian‛ dengan misi: (1) Mendayagunakan program rescue, rehabilitasi dan pemberdayaan untuk mengembangkan kemandirian; (2) Mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri; (3) Memberikan pelayanan informasi, edukasi dan advokasi kepada masyarakat penerima manfaat ( beneficiaries).25 Untuk mewujudkan misi tersebut, lembaga ini mencanangkan sejumlah program, tujuh di antaranya merupakan program andalannya. Ketujuh program prioritas ini adalah sebagai berikut:26 a. Penanggulangan bencana berbasis komunitas (Community Based Disaster Risk Management). Tujuan program ini adalah mendorong masyarakat untuk mandiri dalam menghadapi risiko bencana. Maksudnya, para korban bencana, di samping diberi bantuan, didorong untuk terlibat dan bertanggung jawab terhadap program dari perencanaan hingga pelaksanaan. Dengan begitu diharapkan masyarakat dapat bertahan dan siap menanggulangi bencana secara mandiri, tanpa harus selalu bergantung pada bantuan donatur asing. Di 22
http://www.pkpu.or.id/images/uploads/MENTERI%20AGAMA.pdf (diakses 6 Agustus 2010). Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). http://www.pkpu.or.id/about/aktivitas-lembaga (diakses 6 Agustus 2010). 25 http://www.pkpu.or.id/about/visi-dan-misi (diakses 6 Agustus 2010). 26 http://www.pkpu.or.id/about/aktivitas-lembaga (diakses 6 Agustus 2010). 23 24
Perkembangan Filantropi Islam
161 samping itu, kehadiran program ini mendorong PKPU memersiapkan aktivis tanggap darurat bencana, sehingga bila terjadi bencana, penanganannya dapat lebih cepat dilakukan dengan mengurangi potensi risiko yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. b. Pogram Ibu Sadar Gizi (BUDARZI). Program ini merupakan program yang berorientasi pada peningkatan gizi masyarakat, dengan prioritas utama anakanak balita. Karena itu, yang menjadi sasaran utama program ini adalah ibuibu kurang mampu yang memiliki anak balita, dengan harapan mereka dapat memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan anak-anak secara baik dan benar, sehingga akan tumbuh generasi yang baik pula. c. Program Komunitas Sehat. Program ini sebenarnya adalah pemberian layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Ada dua kegiatan penting yang menjadi bagian program ini, yaitu Program Kesehatan Masyarakat Keliling Terpadu (PROSMILING TERPADU) dan Klinik Peduli. PROSMILING TERPADU merupakan layanan kesehatan keliling yang dilaksanakan secara terpadu, dalam arti dilaksanakan dalam satu paket, dan sengaja dirancang bagi masyarakat. Program ini dilaksanakan secara gratis, tanpa dipungut biaya, dengan prioritas utama masyarakat yang tidak mudah memiliki akses terhadap layanan kesehatan. Adapun Klinik Peduli biasanya didirikan di tempat-tempat khusus, komunitas tidak mampu, atau wilayah yang ditimpa bencana. d. Program Komunitas Hijau (Green Community). Yaitu, program pemberdayaan masyarakat (community development) dengan orientasi pada kesehatan. Ini dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk mengubah sikap hidup bersih dan sehat, melalui perbaikan kondisi lingkungan tempat tinggal mereka. Biasanya, program ini dilaksanakan di daerah-daerah miskin yang membutuhkan perhatian dan pendampingan kesehatan lingkungan. e. Program Sinergi Pemberdayaan Komunitas (PROSPEK). Ini adalah program yang berorientasi pada masyarakat dalam bidang ekonomi usaha kecil. Adapun masyarakat yang menjadi sasaran program ini adalah petani, peternak, pengrajin, pedagang kecil dan tukang ojek serta nelayan. Mereka ini dihimpun dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), tempat mereka memeroleh pelatihan dan pendampingan. Dari sini kemudian terbentuk koperasi yang mereka kelola sendiri. f. Program Pendidikan Berbasis Potensi Masyarakat. Maksudnya, program ini didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dan tuntutan yang mereka kehendaki. Untuk tujuan ini, PKPU mendorong anak didik daerah agar memiliki motivasi yang kuat, pengetahuan dan ketrampilan yang dapat disumbangkan bagi pengembangan daerahnya masing-masing. g. Voucher Yatim. Yaitu, program filantropi dalam bentuk voucher belanja yang diberikan kepada anak-anak yatim sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan begitu, anak-anak yatim tersebut dapat memilih kebutuhan sesuai dengan keinginan mereka. Untuk mendukung berbagai program di atas, PKPU melaksanakan berbagai aktivitas dalam penggalangan dana. Ini meliputi dana-dana filantropi, baik yang berbentuk keagamaan seperti zakat, infak/shadaqah dan wakaf, melalui dana yang
Bab V
162 diperoleh dari perusahaan ( corporate social responsibility).27 Di samping itu, lembaga ini juga mencari dana khusus yang sengaja disiapkan bagi bantuan bencana kemanusiaan, termasuk di dalamnya, penghimpunan pakaian, bahan makanan (sembako) dan obat-obatan. Yang juga tidak luput dari perhatian PKPU adalah menghimpun dana bagi kurban. Adapun sasaran pelaksanaan berbagai kegiatan di atas adalah daerah-daerah bencana alam dan kemanusiaan serta daerah kritis dan kekurangan. Lebih jauh, PKPU juga mengarahkan kegiatannya pada rehabilitasi berbagai sarana dalam masyarakat, seperti fasilitas kesehatan dan air bersih, lembaga pendidikan, rumah ibadah dan fasilitas ekonomi. Semua aktivitas di atas dilaksanakan dalam rangka mewujudkan semboyan ‚menggugah nurani, menebar peduli.‛ Ini dilandasi oleh semangat bahwa ‚yang terbaik di antara kita adalah yang paling besar kontribusinya terhadap sesama. 3.
Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhiid Seperti DD dan PKPU, DPU Daarut Tauhiid adalah lembaga filantropi yang bergerak dalam bidang penggalangan dan pengelolaan dana masyarakat dalam bentuk zakat, infak/shadaqah, wakaf serta dana lainnya yang halal, baik dari perorangan, kelompok maupun perusahaan. Lembaga ini didirikan oleh Yayasan Daarut Tauhiid pimpinan KH. Abdullah Gymnastiar pada 16 Juni 1999. Para pengurus yayasan melihat perluanya peningkatan kinerja pengelola zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) secara profesional, dan karenanya diperlukan strategi yang efektif bagi pengumpulan dan pengelolaan ZIS. Dari sinilah kemudian lahir gagasan pendirian Dompet Peduli Ummat (DPU).28 Dengan kata lain, pendirian lembaga ini terkait erat dengan masa krisis ekonomi dan era reformasi di Indonesia. Situasi inilah yang mendorong lahirnya DPT-DT karena kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang amat besar. Akan tetapi, kesadaran masyarakat untuk membayar zakat persentasinya masih sangat rendah, jika dilihat dari potensi zakat yang mencapai hingga puluhan trilyun rupiah. Di samping itu, zakat sejauh ini hanya dikelola dan dimanfaatkan secara tidak optimal, karena hanya diarahkan pada bantuan sesaat, tidak dibarengi dengan jalan keluar bagi penerima dana zakat. Akibatnya, dana zakat tidak memiliki manfaat maksimal, kecuali bantuan tahunan bagi orang-orang miskin. Persoalan-persoalan ini hendak diatasi oleh DPU-DT dengan pertama-tama berusaha membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap zakat. Selanjutnya, DPU-DT akan menyalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya dengan cara mengubah nasib mereka dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (pemberi zakat). Untuk merealisasikan niat ini, DPU-DT mencoba menyusun database bagi setiap donatur, dengan memberikan kepada mereka nomor dan kartu anggota untuk mengukur kepedulian dan komitmen mereka.29 Usaha ini membuahkan hasil, sehingga pada 19 Agustus 2002 DPU-DT dikukuhkan sebagai Lembaga Amil Zakat Daerah (LAZDA) Jawa Barat, melalui 27 Di antara perusahaan yang menjadi mitra PKPU adalah perusahaan-perusahaan besar seperti PT Pertamina Pusat, PT Bank Syariah Mandiri, PT Pelindo, PT Sucofindo, BNI 1946, PT Astra Honda Motor, PT Indocement, PT Jasindo, PT Wijaya Karya dan lain sebagainya. 28 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010). 29 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010).
Perkembangan Filantropi Islam
163 Keputusan Gubernur Jawa Barat No: 451.12/Kep. 846 - YANSOS/2002. Pengukuhan ini semakin melecut kiprah DPU-DT untuk aktif menghimpun dana zakat, sehingga dua tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai LAZ nasional melalui SK Menteri Agama No. 410 Tahun 2004 tertanggal 13 Oktober. 30 Ini berarti DPU-DT memiliki jaringan yang luas dalam menghimpun dana zakat dan mencapai lebih dari satu milyar dalam setiap tahunnya. DPU-DT memiliki cabang-cabang di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Lampung dan Palembang, di samping di beberapa kota seperti Bogor, Tangerang, Tasikmalaya, Garut dan lain sebagainya. Sementara jaringan kerjanya menyebar dari Sabang hingga Papua. 31 Adapun struktur organisasi DPU-DT terdiri dari (1) Biro Penghimpunan (Fundrising), (2) Biro Pendayagunaan dan, (3) Biro Sekretariat Lembaga & Operasional. Masing-masing biro ini dipimpin oleh seorang direktur yang ditentukan oleh Yayasan Daarut Tauhiid. Sementara itu, cabang-cabang dan unitunitnya di berbagai daerah dipimpin oleh seorang kepala cabang dan kepala unit. DPU-DT memiliki visi ‚Menjadi Model Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) yang Amanah, Profesional, Akuntabel dan terkemuka dengan daerah operasi yang merata.‛ Visi ini kemudian dirumuskan dalam misi untuk (1) mengoptimalkan potensi umat melalui zakat, infak/shadaqah dan wakaf, dan (2) memberdayakan masyarakat dalam bidang ekonomi, pendidikan, dakwah dan sosial menuju masyarakat mandiri.32 Dari visi dan misi terlihat bahwa DPU-DT ingin mengembangkan dana ZIS bukan sekadar dibagikan lalu habis, tetapi dikembangkan menjadi sumber yang dapat memandirikan masyarakat. Ini terlihat dengan jelas dalam program-program yang dicanangkan oleh DPU-DT. Setidak-tidaknya ada tiga bidang besar yang menjadi perhatian DPUDT dalam menjalankan aktivitasnya. Pertama, pusat kemandirian umat, yang memfokuskan pada ekonomi umat. Ini meliputi keuangan mikro syariah berbasis masyarakat, pembiayaan dana bergulir, pelatihan ketrampilan, mental dan karakter mustahik agar menjadi mandiri. Di samping itu, DPU-DT juga membantu para peternak dan petani di pedesaan melalui penggemukan domba dan pengolahan singkong.33 Kedua, pusat pendidikan dan pelatihan umat. Ini meliputi pendirian sekolah, seperti Adzkia Islamic School, pemberian beasiswa dari SD hingga perguruan tinggi, peningkatan kompetensi guru, pelatihan kemandirian dan ketrampilan bagi anak-anak kurang mampu.34 Ketiga, program sosial kemanusiaan, yang diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang-orang cacat (difable care), mobil layanan peduli kemanusiaan, kurban, program Ramadan, penanggulangan bencana, layanan kepada fakir miskin dan anak-anak panti asuhan.35 4.
Rumah Zakat Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ)/Rumah Zakat Indonesia Lembaga ini bermula dari kelompok pengajian yang bernama Majlis Taklim Ummul Quro, yang bertempat di Masjid al-Manaar, Jl. Puter Bandung, di bawah bimbingan seorang dai muda Bandung, Abu Syauqi. Pada 2 Juli 1998, majlis ini 30
http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/14 (diakses 7 Agustus 2010). http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/16 (diakses 7 Agustus 2010). 32 http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/1 (diakses 7 Agustus 2010). 33 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010). 34 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010). 35 http://www.dpu-online.com/program/list/8 (diakses 7 Agustus 2010). 31
Bab V
164 berkembang menjadi Dompet Sosial Ummul Quro, yang berkantor di Jl. Turangga Bandung. Ternyata, dukungan masyarakat terhadap DSUQ sangat besar sehingga organisasi ini dikelola secara profesional dan pada 1999 berhasil menghimpun dana zakat dan infak/shadaqah sebesar Rp. 0,8 milyar. Untuk memperluas aktivitas tidak sekadar penghimpunan dana filantropi, DSUQ merintis sejumlah program seperti pemberian beasiswa yatim dan dhuafa, layanan kesehatan, rehabilitasi masyarakat miskin kota dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini menarik simpati masyarakat dengan terkumpulnya dana sebesar Rp. 2,1 milyar pada 2000 dan meningkat menjadi Rp. 2,19 milyar setahuan kemudian.36 Pada 2002, identitas DSUQ sebagai lembaga amil zakat semakin menguat, sehingga dapat menghimpun dana sebesar Rp. 4,19 milyar. Penguatan ini dibarengi dengan perubahan nama menjadi Rumah Zakat pada 2003 dan dikukuhkan menjadi LAZ Nasional melalui SK Menteri Agama No. 157 Tahun 2003.37 Pada tahun ini, Rumah Zakat berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 6,46 milyar. Peningkatan donasi ini terus terjadi, sehingga pada 2004 mencapai Rp. 8,92 milyar. Penghimpunan dana filantropi terjadi peningkatan sangat besar pada 2005, ketika lembaga ini berhasil meraih Rp. 45,26 milyar. Ini semua terjadi berkat kegigihan para pengurusnya dengan membuka berbagai cabang di berbagai kota di Indonesia, membuka pintu penerimaan selebar-lebarnya melalui berbagai sarana, seperti dengan online dan sebagainya. Di samping itu, kepemimpinan Abu Syauqi tampaknya berpengaruh besar, sehingga ketika terjadi peralihan kepemimpinan pada 2006 dari tokoh ini ke Virda Dimas Ekaputra, penghimpunan dana menurun jauh dan mencapai Rp. 29,52 milyar.38 Setahun kemudian Rumah Zakat mulai memfokuskan pada empat prioritas program, yang meliputi EduCare, HealthCare, YouthCare dan EcoCare. Dengan kata lain, pendidikan, kesehatan, kepemudaan dan ekonomi adalah sasaran dari aktivitas Rumah Zakat. Dengan berbagai program promosi, seperti Gelar Budaya Zakat di berbagai kota dan menggandeng artis dan sebagainya, Rumah Zakat berhasil meningkatkan penghimpunan dana, dan pada 2007 mencapai Rp. 50,16 milyar.39 Keberhasilan Rumah Zakat ini juga berarti meluasnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya cabang yang berdiri di berbagai provinsi di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Makassar dan Jayapura. 40 Di samping itu, terdapat perwakilan-perwakilan yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Ini memperbesar penghimpunan dana yang mencapai Rp. 71,40 milyar pada 2008.
2010). 2010). 2010). 2010).
36
http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus
37
http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus
38
http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus
39
http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus
40
http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2
Perkembangan Filantropi Islam
165 Dalam sepuluh tahun keterlibatannya mengelola dana zakat, Rumah Zakat kini menjadi lembaga yang terdepan dalam bidang ini. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilannya dalam menghimpun dana yang pada 2009 mencapai Rp. 107,3 milyar dan menetapkan diri sebagai LAZ yang terbesar dalam mengelola zakat di Indonesia. Ini diakui oleh Karim Business Consulting yang menganugerahi Rumah Zakat sebagai LAZNAS Terbaik dalam Islamic Social Responsibility Award 2009. Pada tahun yang sama, Indonesia Magnificence of Zakat juga menganugerahi Rumah Zakat sebagai ‚The Best Organization in Zakat Development.‛41 Keberhasilan tersebut mendorong lembaga ini untuk terus meningkatkan diri dalam hal pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat miskin. Lebih jauh, Rumah Zakat juga ingin melangkah menjadi ‚World Class Socio-Religious Non Governance Organization (NGO).‛ Dengan kemampuan menghimpun dana filantropi yang demikian besar, Rumah Zakat berhasil mewujudkan banyak program, seperti Rumah Bersalin Gratis yang berjumlah 7 buah, SD Juara yang berjumlah 8 buah. Semuanya tersebar di sejumlah kota di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Pekanbaru, Yogyakarta dan lain-lain. Di samping itu, berbagai layanan lain, yang dapat mendorong kemandirian masyarakat juga dilakukan. Berikut adalah gambaran kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Zakat: 42 Pendekatan Pemberdayaan Dulu Sekarang HealthCare Senyum Sehat
EduCare
Senyum Juara
EcoCare dan YouthCare
Senyum Mandiri
Nama Program Rumah Bersalin Gratis (RBG), Layanan Bersalin Gratis (LBG), Siaga Sehat, Mobil Ambulans/Mobil Jenazah, Operasi Katarak Gratis, AMARA (Armada Sehat Keluarga), Asuransi Keluarga Sehat, Siaga Gizi Balita, Pengantaran Pasien/Jenazah, Khitanan Massal Sekolah Juara, Beasiswa Juara, Beasiswa Ceria, Kemah Juara, Mobil Juara, Program Pengembangan Potensi Anak (P3A), Lab Juara Kelompok Usaha Kecil Mandiri (KUKMI), Cake House, Pelatihan Kewirausahaan, Siaga Gizi Nusantara, Water Well, Toilet Sehat Keluarga (TOSKA), Empowering Centre
Rumah Zakat tergolong lembaga filantropi yang cukup kreatif, terutama dalam mengelola hewan kurban. Salah satu produknya yang banyak dikenal adalah superqurban, yaitu pengolahan daging kurban menjadi kornet. Tujuan produk ini adalah agar daging kurban tidak langsung habis dikonsumsi seusai hewan kurban 41 42
http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2
Bab V
166 disembelih dan dapat bertahan cukup lama. Lebih dari itu, dengan dikornet, pendistribusian daging kurban dapat dilakukan dengan mudah hingga ke daerahdaerah terpencil dan dapat dilakukan sepanjang tahun. Produk ini telah dirasakan manfaatnya oleh para korban gempa di Jabar (2009), Sumatra Barat (2009) dan di tempat-tempat lain.43 Apa yang dilakukan oleh Rumah Zakat di atas menunjukkan bahwa dana filantropi Islam jika dikelola dengan baik dan inovatif dapat memberi kontribusi penting bagi pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ini bisa dilakukan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan bidang pelatihan mental bagi masyarakat, sehingga dapat menjadi mandiri. 5.
Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Yayasan ini didirikan pada 1 Maret 1987. Dilihat dari tahun pendiriannya, YSDF merupakan lembaga penghimpun dan pengelola dana zakat dan infak/shadaqah yang tertua dibandingkan dengan empat lembaga yang telah disebutkan sebelumnya. Hingga kini, YDSF telah memiliki sejumlah cabang di berbagai provinsi, dan kehadirannya telah dirasakan di 25 provinsi di Indonesia. Kenyataan ini mendorong dikukuhkannya YDSF sebagai LAZ Nasional melalui Keputusan Menteri Agama No. 523 Tahun 2001. YDSF menghimpun dana filantropi yang meliputi zakat, infak/shadaqah dan wakaf, sebagaimana tercermin dalam visinya yang ingin ‚Menjadi Organisasi Pengelola Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf Nasional terpercaya yang selalu mengutamakan kepuasan donatur dan mustahik.‛ Adapun misinya adalah: (1) Memberikan pelayanan prima kepada donatur melalui program-program layanan donatur yang didukung oleh jaringan kerja yang luas, sistem manajemen yang rapi serta SDM yang amanah dan professional, (2) Melakukan kegiatan pendayagunaan dana yang terbaik dengan mengutamakan kegiatan pada sektor pendidikan, dakwah, yatim, masjid, dan kemanusiaan untuk menunjang peningkatan kualitas dan kemandirian umat dan, (3) Memberikan keuntungan dan manfaat yang berlipat bagi donatur dan mustahik. 6.
LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU) Di antara organisasi kemasyarakatan Islam (ormas) Indonesia yang berkiprah dalam bidang filantropi Islam, Muhammadiyah merupakan organisasi yang sangat berpengaruh. Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari latar belakang lahirnya organisasi ini, yang menjadikan kesetiakawanan terhadap sesama manusia sebagai ajaran dasarnya. Dalam penilaian Martin van Bruinessen, aktivitas awal Muhammadiyah bukanlah pembaharuan ajaran agama, tetapi pengumpulan dan pengelolaan zakat dan shadaqah.44 Tidak heran jika kemudian Muhammadiyah menjadi organisasi yang sangat baik dalam memberikan layanan sosial terhadap masyarakat dalam berbagai bidang, pendidikan, kesehatan, dakwah dan lain sebagainya.45 43 44
http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 Martin van Bruinessen, ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛ dalam
Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity , ed. Shireen T. Hunter (London-New York: M.E. Sharpe, 2009), 187-88. 45 Saidi, Zaim, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial (Jakarta: Piramedia, 2006), 1-3.
Perkembangan Filantropi Islam
167 Meskipun ormas ini telah aktif berkecimpung dalam pengelolaan zakat, infak dan shadaqah, namun bersamaan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 1999, organisasi ini membentuk lembaga khusus yang menangani unsur-unsur filantropi tersebut. Lembaga itu diberi nama LAZISMU (singkatan dari Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqah Muhammadiyah). Didirikan pada 2002, lembaga ini segera memeroleh pengukuhan dari Menteri Agama sebagai LAZ Nasional dengan Surat Keputusan No. 457/21 November 2002.46 Ini menunjukkan bahwa LAZISMU telah memiliki cabang melebihi yang disyaratkan, yaitu di 10 provinsi, dan telah berhasil menghimpun dana zakat, infak dan shadaqah di atas satu milyar rupiah.47 Seperti lembaga-lembaga lain, faktor yang mendorong berdirinya LAZISMU terutama adalah kemiskinan di Indonesia, yang terus menyelimuti banyak penduduk. Tidak hanya itu, kebodohan dan tingkat pembangunan manusia Indonesia juga masih sangat rendah. Di sisi lain, zakat diyakini dapat mendorong keadilan sosial, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan mengentaskan kemiskinan. Lebih jauh, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, diyakini bahwa potensi zakat, infak dan shadaqah sangat besar, dan jika dikelola dengan baik dapat memenuhi tujuan di atas.48 Karena itu, LAZISMU memiliki visi untuk menjadi LAZ terpercaya dengan misi mengoptimalkan kualitas pengelolaan zakat, infak dan shadaqah secara amanah, profesional dan transparan. Di samping itu, lembaga ini berusaha mendayagunakan dana ZIS secara kreatif, inovatif dan produktif serta memberikan layanan yang optimal terhadap para donatur.49 Untuk mencapai visi dan misi di atas, LAZISMU telah menetapkan kebijakan-kebijakan strategis, yang difokuskan pada pemberdayaan empat bidang, yang meliputi pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemberdayaan petani, pemberdayaan pendidikan dan pelayanan sosial dan dakwah. Pemberdayaan ekonomi masyarakat dilakukan untuk menumbuhkan semangat wirausaha dan kemandirian ekonomi masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan kualitas hidup mereka secara lebih baik. Ini dilakukan dengan pemberian modal usaha dan pendampingan, yang dengan begitu diharapkan masyarakat dapat mengembangkan usaha mereka. Di samping itu, program ini juga dilakukan dengan pembinaan wirausaha muda, penyelenggaraan kampung kreatif dan lain sebagainya. Sementara itu, pemberdayaan petani dilakukan dengan berbagai aktivitas seperti pengembangan masyarakat, pendampingan pengelolaan pertanian, permodalan hingga pemasarannya. Dalam bidang pendidikan LAZISMU memfokuskan pada pengembangan sekolah terpadu berikut sistemnya dan sumber dayanya. Pemberian beasiswa kepada masyarakat kurang mampu juga dilakukan LAZISMU untuk peningkatan pendidikan, di samping program 1000 sarjana dan lain sebagainya. Adapun dalam bidang sosial dan dakwah, LAZISMU membentuk PKO (Penolong Kesengsaraan Omoem) yang ditujukan untuk memberikan bantuan cepat terhadap korban bencana alam dan layanan sehari-hari dalam masalah kesehatan, pengobatan dan lain sebagainya. Program yang juga dicanangkan dalam bidang ini pembentukan dai mandiri. Ini dilakukan dengan memberikan sarana dan prasarana 46
Lihat http://www.lazismu.org (diakses 12 Desember 2010). Lihat Peraturan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, Pasal 22 (b). 48 http://www.lazismu.org 49 http://www.lazismu.org 47
Bab V
168 bagi mereka, seperti tunjangan hidup dan lain sebagainya. Meskipun demikian, semua itu harus didasarkan pada prinsip-prinsip syariah, dengan mempertimbangkan sasaran, prioritas dan semangat inovasi dan kreativitas.50 Meskipun belum mampu mengumpulkan dana ZIS dalam cukup besar, jika dibandingkan dengan Dompet Dhuafa, PKPU dan lain sebagainya, LAZISMU telah berhasil memeroleh penghargaan dari Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ) sebagai LAZ terbaik dalam pengembangan media dan publikasi pada 2010.51 Ini berarti LAZISMU telah menempatkan diri sebagai LAZ yang sangat diperhitungkan di antara sejumlah LAZ nasional lainnya. LAZISMU memiliki basis yang kuat untuk berkembang dengan baik, mengingat anggota Muhammadiyah berjumlah sangat banyak. B.
Pertumbuhan Kuantitatif Lembaga-lembaga Filantropi Sejak UU No. 38 Tahun 1999 hadir, pertumbuhan lembaga filantropi Islam mengalami peningkatan yang dahsyat. Selain BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) di tingkat nasional, ada 32 BAZ di tingkat provinsi dan 300 BAZ di tingkat kabupaten/kota yang dibentuk oleh pemerintah sesuai dengan berbagai tingkatannya. Sementara itu, lembaga-lembaga yang dibentuk masyarakat jumlahnya juga cukup banyak. Ada 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) di tingkat nasional, di samping lebih dari 70 LAZ yang berada tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.52 Peningkatan jumlah lembaga filantropi ini juga terlihat dalam keanggotaan Forum Zakat (FOZ). Lembaga yang di awal kelahirannya hanya beranggotan beberapa saja, kini sudah mencapai 30 anggota. Mereka ini meliputi: 1. Yayasan Baitul Maal Bank BRI (YBM BRI) 2. Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) 3. Rumah Zakat Indonesia (RZI) 4. Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) 5. Portal Infaq 6. Lembaga Manajemen Infaq (LMI) 7. LAZIS BMT 8. LAZIS Nahdlatul Ulama (LAZ NU) 9. LAZIS Muhammadiyah (LAZISMU) 10. LAZIS Garuda (LAZIS GA) 11. LAZ Yaumil PT. Badak Ngl Bontang 12. LAZ Pusat Zakat Ummat (LAZ PZU) 13. LAZ Al-Hijrah 14. Lembaga Amil Zakat dan Infaq Malang (LAGZIS) 15. LAZ Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZ IPHI) 16. LAZ Dewan Dakwah Indonesia (LAZ-DDI) 17. Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU-DT) 18. Dompet Dhuafa Republika (DDR) 19. Bina Sejahtera Mitra Ummat (BSM UMAT) 20. BPZIS Bank Mandiri 50
http://www.lazismu.org http://www.lazismu.org 52 http://www.forumzakat.net 51
Perkembangan Filantropi Islam
169 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Baitul Maal Pupuk Kaltim (BMPKT) Baitul Maal Pupuk Kujang (BMPK) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) BAZIS DKI Jakarta Bamuis Bank BNI Baituzzakah Pertamina (BAZMA) Baitul Maal Muamalat (BMM) Baitul Maal Hidayatullah (BMH) LAZNAS Amanah Takaful Al-Azhar Peduli Ummat.53 Tentu saja, jumlah di atas belum termasuk lembaga-lembaga yang bisa jadi tidak terdaftar dalam FOZ, seperti PPA Darul Quran pimpinan Yusuf Mansur, Rumah Yatim dan lain sebagainya. Lebih jauh, bersamaan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 2004, sejumlah filantropi yang khusus mengelola wakaf pun bermunculan, di samping lembaga-lembaga ZIS di atas yang juga mengelola dana wakaf. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah di tingkat nasional, yang membuka peluang bagi perwakilan-perwakilannya di tempat-tempat lain.54 Sementara yang dikelola oleh masyarakat semakin hari semakin meningkat, seperti Tabung Wakaf Indoensia (TWI), lembaga yang berafiliasi ke DD, Wisatahati, pimpinan Yusuf Mansur, dan lain sebagainya. Sementara itu, dalam penghimpunan dana, lembaga-lembaga pengelola ZIS, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal itu terlihat dalam laporan yang disampaikan kepada FOZ, yang kemudian diteruskan kepada Direktorat Pemberdayaan Zakat Depag. Akan tetapi, laporan yang direlease oleh FOZ ini hanya menyangkut penghimpunan yang dilakukan lembaga-lembaga itu, tanpa disertai laporan pendayagunaannya. Berikut adalah hasil penghimpunan sebagaimana terlihat dalam website FOZ.55 BAZNAS, misalnya, berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 2.700.073.354,00 pada 2001 dan meningkat menjadi Rp. 11.218.888.495,00 pada 2002. Peningkatan ini terus menaik dalam dua tahun terakhir yang dilaporkan, yaitu dari Rp. 14.592.016.646,00 pada 2007 menjadi Rp. 18.876.000,00 pada 2008. Dengan demikian, organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh presiden ini terus menunjukkan peningkatan dalam penghimpunan dana zakat.56 Kecenderungan meningkatnya dana ZIS ini juga dialami oleh BAZIS DKI. Sejak 2001 hingga 2007, lembaga yang dibentuk pemerintah provinsi terus mengalami peningkatan penghimpunan dana ZIS. Pada 2001, dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp. 9.482.194.345,00 dan meningkat menjadi Rp. 11.550.000.000,00 pada 2002. Dalam tiga tahun berikutnya, penghimpunan dana ZIS juga meningkat rata-rata Rp. 2 milyar setiap tahun, yakni Rp. 14.103.504.330,00 pada 2003 dan Rp. 16.257.823.896,00 pada 2004 serta Rp. 18.482.757.570,00 pada 2005. Laporan terakhir pada 2007 mencapai Rp.
53
http://www.forumzakat.net/index.php?act=anggota&hal=5 Tentang ketentuan pembukaan perwakilan, lihat ‚Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perwakilan Badan Wakaf Indonesia.‛ 55 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 56 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 54
Bab V
170 27.213.963.125,00 yang menandakan terjadinya peningkatan yang sangat signifikan dari sebelumnya.57 Peningkatan penghimpunan yang sangat signifikan terjadi pada Dompet Dhuafa Republika (DD-R). Lembaga filantropi yang didirikan pada 1993 terus menunjukkan peningkatan kinerjanya yang bisa dilihat dari keberhasilannya dalam mengumpulkan dana, yang dapat dilihat dari beberapa tahun terakhir laporannya. Pada 2000, misalnya, dana yang dihimpun oleh DD-R mencapai Rp. 13.655.105.172,00 dan meningkat secara signifikan pada 2001 menjadi Rp. 18.007.293.153,00. Peningkatan terus terjadi dalam dua tahun berikutnya, meskipun tidak sebesar sebelumnya. Pada 2002, misalnya, terkumpul dana sebesar Rp. 21.504.964.430,00, sementara pada 2003 dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp. 22.493.670.205,00. Jumlah ini meningkat tajam pada 2004, yakni sebesar Rp. 30.360.851.863,00 dan terus meroket menjadi Rp. 60.692.348.196,00 pada 2008.58 Yayasan Dana Sosial Al-Falah Surabaya, yang telah berdiri sejak 1987, juga menunjukkan kecenderungan serupa dengan dua lembaga yang disebutkan sebelumnya. Pada 2002, lembaga ini berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 6.011.753.576,00 dan meningkat menjadi Rp. 8.576.652.203,00 pada tahun berikutnya. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tiga tahun berikutnya, di mana pada 2004 tercatat dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp. 11.344.498.869,00, sementara pada 2005 mencapai Rp. 16.791.784.803,00 dan pada 2006 mencapai Rp. 21.457.533.629,00. Jadi, rata-rata peningkatannya mencapai Rp. 5 milyar setiap tahun dalam rentang tersebut. Dalam dua tahun berikutnya, peningkatan tetap terjadi, yakni mencapai kurang-lebih Rp. 3 milyar. Ini terlihat pada dana yang berhasil dihimpun pada 2007 dan 2008, dengan jumlah masing-masing secara berturut-turut Rp. 25.072.061.729,00 dan Rp. 28.038.146.332,00.59 Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) adalah lembaga lain yang berhasil menunjukkan kinerja yang bagus dalam pengumpulan dana ZIS. Lembaga yang didirikan pada 1999 berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 10.854.900.871,00 pada 2000. Akan tetapi, penurunan yang relatif signifikan terjadi pada tahun berikutnya, 2001, menjadi sebesar Rp. 7.736.441.529,00. Peningkatan sedikit terjadi pada 2002 menjadi sebesr Rp. 8.540.110.141,00 dan menurun kembali pada 2003 menjadi Rp. 7.807.588.809,00. Lembaga yang dipimpin oleh sejumlah anggota Partai Keadilan Sejahtera ini mengalami peningkatan yang meyakinkan dalam menghimpun dana ZIS pada dua tahun berikutnya. Jika pada 2004 terkumpul dana sebesar Rp. 12.448.784.632,00, pada 2005 mengalami peningkatan hingga mencapai Rp. 47.475.272.734,00. Penurunan secara kurang berarti terjadi pada 2008, yang mencapai Rp. 45.611.971.485,00. 60 Kinerja yang bagus dalam menghimpun dana ZIS juga ditunjukkan oleh Rumah Zakat Indonesia, yang sebelumnya bernama Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ). Dalam lima tahun terakhir sejak didirikannya pada 1999, lembaga zakat ini terus mengalami peningkatan perolehan dana ZIS. Pada 2004, misalnya, Rumah Zakat berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 35.000.000.000,00 dan 57
http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 59 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 60 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 58
Perkembangan Filantropi Islam
171 meningkat hampir dua kali lipat pada tahun berikutnya, 2005, yang mencapai Rp. 63.312.466.256,00. Pada 2006, penurunan tajam terjadi, di mana dana yang berhasil dihimpun sebesar Rp. 35.000.000,00. Dua tahun berikutnya ditandai dengan peningkatan yang cukup stabil, yakni rata-rata kurang lebih lima juta rupiah. Dana yang terkumpul dalam rentang antara 2007-2008 adalah masingmasing secara berturut-turut sebesar Rp. 41.800.426.390,00 dan Rp. 58.599.966.865,00.61 Lembaga swasta lain yang menunjukkan peningkatan dalam menghimpun dana ZIS adalah Al-Azhar Peduli Umat. Meskipun jumlah yang berhasil dihimpun tidak sebesar yang diperoleh oleh lembaga-lembaga sebelumnya. Akan tetapi, lembaga ini konstan dalam meningkatkan penghimpunan dana. Pada 2005, lembaga ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 2.395.127.876,00 dan meningkat menjadi Rp. 3.658.656.076,00 pada 2006. Peningkatan yang signifikan terjadi pada 2007, di mana dana yang dapat dikumpulkan mencapai Rp. 6.652.372.041 dan pada 2008 mencapai Rp. 8.750.761.125,00 pada 2008. 62 Kecenderungan meningkat juga dialami oleh LAZ Dewan Dakwah Islam Indonesia (LAZ DDII). Pada 2002, lembaga ini baru berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 133.550.000,00 dan meningkat menjadi Rp. 576.518.725,00 pada 2003. Akan tetapi, dalam tiga tahun kemudian, tepatnya 2005, dana ZIS sebesar Rp. 2.543.552.941,00 berhasil dihimpun oleh lembaga ini. Bahkan, pada 2008, lembaga ini telah berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 5.090.592.283,00.63 Peningkatan penghimpunan dana ZIS yang dilakukan oleh lembaga-lembaga milik perusahaan juga terus meningkat. Yayasan Baitul Maal BRI, misalnya, pada 2001 hanya berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 646.638.277,00 dan meningkat secara signifikan pada 2002 dengan meraih Rp. 2.262.191.761,00. Pada 2008, berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 7.868.330.017,00.64 Kecenderungan seperti itu juga dialami oleh Badan Pengelola ZIS Mandiri. Lembaga ini dalam rentang antara 2001 dan 2003 berhasil menghimpun dana ZIS dalam jumlah ratusan juta, tepatnya masing-masing secara berurutan Rp. 561.272.489,00 dan Rp. 718.593.080,00 serta Rp. 908.034.610,00. Kemudian, pada 2005 sudah mencapai angka di atas satu milyar, tepatnya Rp. 1.550.571.175,00 dan Rp. 2.878.210.117,00 pada 2007.65 Baitu Maal Umat Islam BNI (Bamuis BNI) juga memiliki kecenderungan meningkat dalam menghimpun dana ZIS. Seperti dilaporkan kepada FOZ, pada 2000, lembaga ini berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 3.882.125.000,00 dan meningkat menjadi Rp. 4.260.324.000,00 dan Rp. 4.822.108.000,00 pada 2001 dan 2002. Peningkatan yang sangat signifikan terjadi pada 2003, di mana lembaga ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 12.690.066.000,00. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, lembaga ini mampu mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 21.465.448.000,00 dan Rp. 23.447.293.000,00 masing-masing pada 2007 dan 2008.66 61
http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 63 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 64 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 65 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 66 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 62
Bab V
172 Peningkatan yang signifikan dalam pengumpulan dana ZIS ditunjukkan oleh Baitul Maal Muamalat (BMM). Pada 2001, misalnya, lembaga ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 1.261.744.267,00 dan meningkat menjadi Rp. 3.076.829.550,00 pada 2002. Peningkatan yang sangat tajam terjadi pada 2005, ketika lembaga ini sukses menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 16.572.101.418,00. Sementara itu, dalam laporan terakhirnya yang disampaikan kepada FOZ, lembaga ini telah berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar Rp. 22.016.100.759,00 pada 2008.67 Berbeda dengan lembaga-lembaga di atas yang cenderung konstan mengalami peningkatan, beberapa LAZ milik perusahaan mengalami flunktuasi, seperti dialami oleh Baitul Maal Pupuk Kujang dan Baitul Maal Pupuk Kaltim. BM Pupuk Kujang, misalnya, pada 2001, berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 545.423.289,00 dan meningkat dua kali lipat, yaitu Rp. 1.386.333.990,00 pada 2002. Akan tetapi, dalam tahun berikutnya, penurunan terjadi, sehingga dana yang berhasil dihimpun menjadi Rp. 745.078.757,00. Dalam dua tahun berikutnya, 2004-2005, terjadi peningkatan dalam penghimpunan ZIS, yakni masing-masing Rp. 1.229.216.582,00 dan Rp. 1.575.159.175,00. Namun, pada 2006, jumlah tersebut merosot cukup tajam dan lembaga ini hanya berhasil menghimpun Rp. 716.468.702,00.68 Kecenderungan fluktuatif ini juga terjadi pada BM Pupuk Kaltim. Pada 2000, lembaga ini berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 1.056.201.224,00 dan terus meningkat menjadi Rp. 1.245.115.355,00 setahun kemudian. Akan tetapi, dalam dua tahun berikutnya, dana yang berhasil dihimpun mengalami penurunan cukup tajam, yaitu 456.579.349,00 pada 2002 dan Rp. 871.672.601,00 pada 2003. Meskipun demikian, pada 2006, lembaga ini berhasil meningkatkan pengumpulan dana ZIS hingga mencapai Rp. 2.460.750.968,00. 69 Baituzzakah Pertamina juga menunjukkan kecenderungan fluktuatif, tetapi akhirnya mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Pada 2001, lembaga ini baru berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 579.898.362,00 dan menurun menjadi Rp. 398.512.444,00 dan Rp. 395.863.847,00 masing-masing pada 2003 dan 2004. Akan tetapi, dua tahun kemudian, yaitu pada 2005, dana ZIS sebesar Rp. 2.238.196.273,00 dan pada 2008 meroket hingga mencapai Rp. 23.447.293.000,00.70 Penghimpunan dana ZIS oleh LAZ milik organisasi massa (ormas) Islam menunjukkan perkembangan yang berbeda, seperti Persatuan Islam dan Muhammadiyah. LAZ Persatuan Islam, misalnya, berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 1.242.781.961,00 pada 2007 dan Rp. 1.006.997.356,00. Di sini terlihat adanya penurunan yang relatif besar, yakni sekitar Rp. 200 juta atau kurang lebih 20%. Seperti LAZ Persis, LaZIS Muhammadiyah (LaZISmu) menunjukkan peningkatan yang konstan dari tahun ke tahun kemudian mengalami penurunan. Pada 2003, misalnya, LaZISmu berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 1.170.959.233,00 dan meningkat menjadi Rp. 1.923.885.721,00 pada 2004.
67
http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 69 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 70 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 68
Perkembangan Filantropi Islam
173 Setelah meningkat secara signifikan pada 2005 menjadi Rp. 6.805.360.308,00 angka tersebut kemudian menurun menjadi Rp. 5.153.242.027,00 pada 2006. 71 Beberapa lembaga pengelolaan zakat sebenarnya juga melaporkan hasil penghimpunan yang mereka lakukan kepada FOZ, seperti Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid, Rumah Yatim, PPA Darul Quran dan lain sebagainya. Akan tetapi, mengingat laporan yang mereka sampaikan hanya setahun terakhir, maka peningkatan penghimpunan dana ZIS tidak dapat diketahui. Meskipun demikian, dana yang berhasil mereka himpun merentang dari ratusan juta hingga milyaran rupiah.72 Berdasarkan penelitian yang dilakukan IMZ (Indonesia Magnificence of Zakat), dana yang terkumpul secara nasional sejak 2002 hingga 2010 mencapai angka berikut.73 Tahun Jumlah ZIS (dalam milyar) Pertumbuhan (%) 2002 68.39 -2003 85.28 24,70 2004 150.09 76,00 2005 295.52 96,90 2006 373.17 26,28 2007 740.00 98,30 2008 920.00 24,32 2009 1.200.00 30,43 2010 1.400.00 16.66 Peningkatan jumlah dana yang dihimpun dari tahun ke tahun ini menunjukkan bahwa ke depan jumlah tersebut akan semakin besar. Dalam prediksi IMZ, jumlah dana ZIS pada 2011 akan mencapai 1,85 trilyun hingga di atas 2 trilyun. Prediksi ini didasarkan pada fakta bahwa peningkatan itu akan terus berlangsung dan akan mendapat landasan yang lebih kokoh jika UU Zakat yang akan diamandemen segera rampung.74 Dari uraian di atas terlihat bahwa lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia sangat beragam. Keragaman ini terlihat dari latar belakang afiliasi yang kepadanya lembaga tersebut berasal. Ada yang berlatar belakang organisasi massa atau sosial keagamaan tertentu, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama dan lain sebagainya, dan ada pula yang berlatar belakang perusahaan atau badan usaha, seperti LAZ Bank Syariah Mandiri, Baitul Maal BRI, Baitul Maal Muamalat, Baituzzakah Pertamina, LAZ Semen Kujang, LAZ Pupuk Kaltim dan lain sebagainya. Di samping itu, ada juga filantropi yang tidak terikat dengan organisasi atau perusahaan, tetapi sejenis LSM, seperti Dompet Dhuafa Republika, PKPU, Rumah Zakat, DPU-Daarut Tauhid, YSDF dan lain sebagainya. Dalam hal penghimpunan dana ZIS, umumnya lembaga-lembaga ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, terbukti bahwa 71 72 73
http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 http://www.forumzakat.net/index.php?act=ZIS&hal=24 IMZ, Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta: IMZ, 2010), 135-
136. 74
IMZ, Kajian Empirik Zakat, 136.
Bab V
174 lembaga-lembaga yang bercorak LSM memiliki pencapaian yang jauh lebih tinggi ketimbang lembaga-lembaga yang memiliki afiliasi tertentu. Lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan pemerintah, misalnya, ternyata berhasil mengumpulkan dana ZIS jauh lebih rendah daripada lembaga-lembaga bercorak LSM. Ini juga berlaku bagi lembaga-lembaga yang berafiliasi kepada organisasi massa (ormas) Islam tertentu, maupun yang berafiliasi kepada perusahaan atau badan usaha tertentu. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada lembagalembaga swasta jauh lebih tinggi daripada lembaga-lembaga yang memiliki afiliasi dengan pemerintah, ormas atau perusahaan/badan usaha. Di samping itu, keberhasilan lembaga-lembaga bercorak LSM dalam menghimpun dana ZIS mengimplikasikan akan kerja keras mereka dalam menggerakkan masyarakat untuk membayar zakat. Ini dibarengi dengan pengelolaan yang transparan dan pendayagunaan yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Sebaliknya, lembaga-lembaga yang berafiliasi kepada pemerintah, ormas atau perusahaan/badan usaha tidak menunjukkan peningkatan yang memadai, di antaranya karena kurang gencarnya sosialisasi yang mereka lakukan. Perkembangan lembaga-lembaga filantropi yang dikemukakan di atas juga memiliki padanannya di Mesir, terutama dalam bidang zakat. Seperti dikemukakan oleh Sullivan, zakat yang semula banyak dikendalikan oleh lembaga-lembaga negara, kini mengalami ‚privatisasi.‛ Ini terjadi karena lembaga non-pemerintah tersebut mampu memobilisasi zakat dan memberikan layanan secara langsung bagi masyarakat dibandingkan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Jumlah ini pun kini semakin meningkat.75 Respons Civil Society Islam terhadap Rencana Revisi UU Zakat dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, disahkannya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, di satu sisi, telah mendorong lahirnya sejumlah BAZ dan LAZ. Akan tetapi, hasil yang diperoleh masih jauh dari yang diharapkan. Kritik pun diarahkan tidak saja pada pengelolaannya, tetapi juga pada undang-undang itu sendiri. Dalam pandangan beberapa pihak, undang-undang ini terbukti tidak mampu mendorong orang yang sudah berkewajiban membayar zakat untuk menunaikannya, di antaranya, karena tidak ada sanksi yang harus mereka hadapi. Dalam pandangan H. Tulus, keinginan amandemen terhadap UU No. 38 Tahun 1999 menunjukkan bahwa pengeloaan zakat yang dipayungi oleh undangundang ini belum terpenuhi secara memadai. Ia mengusulkan beberapa perubahan, di antaranya, perampingan organisasi amil zakat melalui sentralisasi pengelolaan zakat. Dengan begitu, dana zakat akan terkumpul pada satu lembaga dan pengdistribusian serta pemanfaatannya akan terfokus. 76 Ini menunjukkan bahwa baru tiga tahun undang-undang ini dilaksanakan, sejumlah pihak telah melihat ketidakefektifannya, termasuk dari pihak pemerintah sendiri. C.
75 Denis Sullivan, Private Voluntary Organizations in Egypt: Islamic Development, Private Initiative and State Control (Gaibesville, Fla.: University Press of Florida, 1994), 68. 76
H. Tulus, ‚Amandemen Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat: Tinjauan Konstitusi Kaitannya dengan Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat.‛ Makalah disampaikan pada Munas III Forum Zakat, Balikpapan, 25-28 April 2003.
Perkembangan Filantropi Islam
175 Pandangan serupa disampaikan oleh Nasrun Harun. Menurutnya, kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 terbukti kurang menghasilkan perkembangan yang berarti. Ini dibuktikan antara lain oleh potensi zakat yang, menurut hasil penelitian PBB UIN Jakarta, mencapai Rp. 19,3 trilyun, tetapi laporan yang diterima Direktorat Pemberdayaan Zakat justru sangat jauh dari angka tersebut. Menurut Nasrun, ada beberapa sebab mengapa pengelolaan zakat yang sudah dipayungi undang-undang dan Keputusan Menteri Agama dan Dirjen itu belum menunjukkan hasil yang maksimal. Pertama, tidak adanya ketentuan yang tegas yang mewajibkan muzakki membayar zakat. Memang undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap Muslim yang mampu wajib membayar zakat. Namun, ketentuan ini tidak terlaksana karena tidak dibarengi dengan ketentuan sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Kedua, dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa amil zakat dapat dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat, yang penjabarannya, dalam Keputusan Menteri dan Dirjen, adalah organisasi masyarakat Islam (Ormas), yang bergerak dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Akan tetapi, yang terjadi adalah organisasi-organisasi pengelola zakat yang bukan ormas Islam dimaksud. 77 Atas dasar itu, Nasrun ingin mengajukan revisi undang-undang tersebut dengan perhatian khusus pada empat hal. Pertama, undang-undang zakat harus memiliki peraturan pemerintah. Kedua, Muslim yang mampu tetapi tidak membayar zakat harus diberi sanksi. Ketiga, zakat harus dikelola oleh BAZ, sedangkan organiasi-organisai lain, seperti LAZ, diubah statusnya menjadi unit pengumpul zakat, tanpa wewenang menyalurkannya. Keempat, zakat harus menjadi pengurang pajak. Meskipun hal ini telah disebutkan dalam undangundang, tetapi implementasinya hingga saat ini belum berjalan. 78 Bersamaan dengan masa persidangan 2009-2014 DPR-RI, masalah amandemen undang-undang zakat ini menjadi salah satu agenda legislasi yang telah disiapkan dan sedang dibicarakan di DPR. Setidak-tidaknya ada dua model usulan resmi yang masing-masing telah dipersiapkan oleh pemerintah dan DPR. Jika yang dipersiapkan oleh pemerintah adalah perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang dipersiapkan oleh DPR adalah menyusun ulang seluruh isi undang-undang tersebut. Tidak heran jika keduanya memiliki beberapa perbedaan yang mendasar. Pertama, yang dijadikan pertimbangan pemerintah dalam menyusun perubahan ini adalah kondisi undang-undang dan pelaksanaannya. Misalnya, dalam menimbang (a) disebutkan bahwa undang-undang tersebut kurang tegas dalam pelaksanaan kewajiban zakat. Dikemukakan lebih jauh dalam menimbang (b) bahwa meskipun sudah berjalan selama delapan tahun sejak dilaksanakan, potensi zakat umat Islam baru tergali 5%. Di samping itu, beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut kurang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. 79 Berbeda dengan draft tersebut, draft yang diajukan oleh DPR didasarkan pada pertimbangan bahwa (1) Negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, (2) 77 Nasrun Harun, ‚Kami Tidak Berniat Membubarkan LAZ,‛ dalam Infoz, Edisi 4 Tahun VI (2010), 8. 78 Nasrun Harun, ‚Kami Tidak Berniat Membubarkan LAZ,‛ 8. 79 Lihat Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang disiapkan oleh Departemen Agama, bagian Menimbang.
Bab V
176 menunaikan zakat merupakan kewajiban umat Islam yang mampu berdasarkan syariat Islam, (3) pelaksanaan pengelolaan zakat berlum dilakukan secara optimal, (4) UU No. 38 Tahun 1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.80 Kedua, dalam draft yang dirancang pemerintah, pengelola zakat akan diserahkan kepada BAZNAS atau BAZDA yang dibentuk oleh pemerintah pusat, provinsi atau kabupaten/kota. Lembaga-lembaga inilah yang bertanggung jawab menghimpun dan mendistribusikan dana zakat. Adapun LAZ yang dibentuk oleh masyarakat diberi peran sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) bagi BAZ setempat. Dengan kata lain, menurut RUU versi pemerintah ini, LAZ akan dilebur atau diintegrasikan ke dalam BAZ sebagai unsur masyarakat, sehingga berperan hanya mengumpulkan, tanpa peran pendistribusian. Yang berhak mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat hanyalah BAZ. 81 Sementara itu, dalam RUU versi DPR, BAZ yang dibentuk pemerintah disebut Badan Pengelola Zakat (BPZ), yang tugas utamanya adalah koordinasi dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh LAZ. Dengan demikian, BPZ tidak memiliki kewenangan untuk menghimpun dan menyalurkan dana zakat, tetapi sekadar sebagai pengawas. Adapun penghimpunan dan penyaluran dana zakat menjadi wewenang sepenuhnya LAZ.82 Meskipun begitu, LAZ tidak bisa dengan serta merta menyalurkan dana zakat, mengingat kebijakan pengelolaan zakat ada di tangan BPZ. Kebijakan ini merentang dari pendataan, penelitian dan pemetaan hingga penyusunan database muzakki dan mustahik.83 Ketiga, draft RUU versi pemerintah menetapkan bahwa orang yang berkewajiban membayar zakat, tetapi tidak membayarnya, ia diancam dengan hukuman denda sebesar zakat yang wajib dibayarkannya. 84 Ini merupakan konsekuensi dari Pasal 2 UU No. 38 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa zakat merupakan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan milik orang Muslim. Akan tetapi, kewajiban tersebut tidak dibarengi dengan sanksi sama sekali bagi yang tidak melaksanakannya. Seperti diuraikan sebelumnya, inilah yang menjadi target kritik banyak orang bahwa UU No. 38 Tahun 1999 tidak memiliki kekuatan memaksa bagi muzakki yang lalai tidak membayar. Di samping itu, sanksi bagi pengelola juga disebutkan, yakni berupa hukuman kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta) bagi petugas, dan hukuman kurungan paling lama tiga tahun dan/atau denda sebanyak-banyak Rp. 500.000.000,00 bagi pengurus BAZ. 85 Dalam draft versi DPR, persoalan ini tidak mengalami perubahan. Dalam Pasal 6 Draft RUU versi DPR memang disebutkan bahwa ‚Setiap muzakki wajib membayar zakat berdasarkan syariat Islam.‛ 86 Akan tetapi, tidak satu pun pasal menyebutkan sanksi bagi orang yang tidak membayarnya, padahal ia mampu. 80
Lihat Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat yang disiapkan oleh DPR, bagian Menimbang. Drfat RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 7. 82 Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 16. 83 Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 17. 84 Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 21 ayat (1). 85 Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 21 ayat (2) dan (3). 86 Draft RUU tentang Zakat, Pasal 6. 81
Perkembangan Filantropi Islam
177 Seperti UU No. 38 Tahun 1999, draft RUU ini hanya menekankan sanksi bagi pengelola zakat, di mana disebutkan bahwa pengelola yang tidak benar diancam pidana kurungan dari satu tahun hingga sepuluh tahun dan/atau dari Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) hingga Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).87 Keempat, draft RUU versi pemerintah tetap memberlakukan UU No. 38 Tahun 1999, sepanjang tidak ada ketentuan yang berlawanan. 88 Yang demikian itu karena yang diajukan oleh pemerintah hanyalah perubahan dan penambahan atas undang-undang tersebut. Sementara itu, draft RUU yang diajukan DPR bersifat total, yang konsekuensinya adalah pembatalan dan pencabutan UU No. 38 Tahun 1999.89 Dengan kata lain, jika RUU yang diajukan DPR ini disetujui, secara otomatis UU sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi. RUU tersebut telah diajukan untuk dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Dalam Sidang Paripurna 31 Agustus 2010, seluruh fraksi sepakat menyambut positif RUU ini dan bersedia untuk membahasnya. Fraksi Demokrat, misalnya, memandang pengelolaan ZIS harus dilakukan secara profesional dan dapat memberikan manfaat bagi pengentasan kemiskinan, pengangguran dan dapat meningkatkan ekonomi kerakyatan. Sementara itu, Fraksi Golkar mendorong adanya pemisahan fungsi zakat, infak dan shadaqah, pemisahan BAZ (menjadi BPZIS) dan LAZ, keterkaitan zakat dan pajak, di samping penetapan sanksi bagi muzakki yang lalai membayarnya. Berbeda dengan itu, F-PDIP menghendaki agar aspek paksaan dari negara terhadap zakat dihindari. Di samping itu, antara zakat dan pajak harus diposisikan dalam tempat yang berbeda. F-PKS menekankan agar peran pemerintah memiliki daya paksa terhadap pembayar zakat, zakat dapat mengurangi nilai pajak penghasilan dan pentingnya insentif bagi pembayar zakat. Seperti Golkar, F-PPP juga mengusulkan agar RUU ini diubah menjadi RUU tentang ZIS, di samping pemilahan yang tegas tentang fungsi kelembagaan yang ada. Sorotan terhadap kelembagaan ini juga menjadi perhatian F-KB, termasuk masalah pengurangan pajak dengan zakat dan penyadaran berzakat kepada masyarakat.90 Upaya mengubah atau mengganti UU No. 38 Tahun 1999 di atas telah mengundang respons, baik di kalangan civil society atau pengelola zakat, maupun di kalangan sarjana. Ahmad Juwaini,91 Ketua Forum Zakat (FOZ), melihat perbedaan antara kedua draft tersebut dari sudut pandang sebab musababnya, yang meliputi beberapa faktor. Pertama, akibat pemahaman fikih. Maksudnya, pihak yang memandang zakat sebagai wilayah kekuasaan negara dan pihak yang menyebut zakat sebagai wilayah kekuasaan masyarakat, sama-sama didasarkan pada buku-buku fikih, yang memiliki preseden di masa lalu. Kedua, faktor historis di Indonesia. Artinya, ada pihak yang memahami bahwa zakat semula dikelola oleh negara, khususnya pada masa kesultanan/kerajaan, dan akhirnya diserahkan kepada masyarakat. Ketiga, faktor pengetahuan dan pengalaman. Perbedaan di atas menunjukkan bahwa antara pengambil kebijakan dan pelaksana pengeloaan 87
Draft RUU tentang Zakat, Pasal 50-52. Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999, Pasal 24 ayat (2). 89 Draft RUU tentang Zakat, Pasal 55. 90 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 123-130. 91 Ahmad Juwaini, ‚Menyingkap Perbedaan UU Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net /index.php?act=paparan&id=5 88
Bab V
178 zakat terdapat pengetahuan dan pengalaman yang berbeda mengenai zakat, dari penghimpunan hingga pendayagunaannya. Keempat, faktor penentuan prioritas dan prasyarat. Sejauh ini, memang masih terdapat penilaian yang beragam mengenai mengapa zakat yang terkumpul berdasarkan UU No. 38 Tahun 1999 belum maksimal. Sebagian berpendapat bahwa hal itu menunjukkan kekurangpercayaan masyarakat terhadap BAZ yang dibentuk pemerintah, di satu sisi, dan kurangnya konsentrasi akibat banyaknya LAZ yang mengelola zakat. Kelima, penerapan hukum dan persuasi. Seperti ditunjukkan oleh kedua draft di atas, versi pemerintah menghendaki agar sanksi terhadap orang yang mampu, tetapi tidak membayar zakat diterapkan, sementara versi DPR hanya menekankan aspek persuasi dari undang-undang.92 Terhadap gagasan pemerintah, yang menghendaki LAZ dilebur ke dalam BAZ sebagai unsur masyarakat, Ahmad Juwaini menyampaikan keberatannya.93 Menurutnya, memang dalam sejarah awal Islam, zakat ditangani langsung oleh negara. Akan tetapi, ada juga ulama yang membolehkan pemerintah menyerahkan wewenangnya kepada swasta. Ini menunjukkan bahwa BAZ dan LAZ dimungkinkan untuk bekerja berdampingan secara sinergis. Lebih jauh, kalau alasan penghapusan LAZ karena lembaga ini dipandang sebagai penyebab minimnya dana zakat yang terkumpul oleh BAZ, hal itu harus dilihat secara objektif. Artinya, tidak semua LAZ itu berkemampuan memadai dan baik dalam berbagai hal, sebagaimana tidak semua BAZ memiliki etos dan kinerja yang buruk dalam mengelola zakat. Karena itu, Juwaini melihat adanya LAZ saat ini masih dibutuhkan, selama negara belum sanggup secara total mengelola zakat. Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada masalah zakat, tetapi juga pada sektor keuangan, pendidikan dan lain sebagainya. Kita melihat adanya bank negara, di samping bank swasta, lembaga pendidikan negeri, juga lembaga pendidikan swasta. Dengan kata lain, adanya lembaga ganda, yang dibentuk oleh pemerintah dan swasta, semestinya dapat disinergikan, seperti dalam sektor-sektor yang lain. Ia mengakui, pengeloaan zakat oleh negara secara total merupakan sebuah ideal. Namun, kenyataannya hal itu masih sulit dilakukan. 94 Dalam pandangan Juwaini, sebenarnya masih banyak persoalan yang jauh lebih substansial dalam persoalan zakat ketimbang sekadar gagasan menghapus atau meleburkan LAZ ke dalam BAZ. Ini meliputi masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar zakat, kesukaan masyarakat menyalurkan zakatnya secara langsung ke mustahik, bukan ke lembaga, belum efektifnya regulasi zakat, seperti pengurangan pajak bagi orang yang sudah membayar zakat, belum adanya standar manajemen bagi pengelola zakat dan lain sebagainya. 95 Sejalan dengan sikap di atas, Forum Zakat (FOZ) mengusulkan draft RUU tentang Zakat. Perbedaan penting antara draft RUU FOZ dengan draft lainnya terletak pada perlunya organisasi bernama Badan Zakat Indonesia (BZI), yang akan menaungi organisasi-organisasi pengelola zakat (OPZ), baik yang dibentuk 92 Ahmad Juwaini, ‚Menyingkap Perbedaan UU Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/ index.php?act=paparan&id=5 93 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4 94 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4 95 Ahmad Juwaini, ‚Tinjauan Kritis Rencana Penghapusan LAZ oleh Pemerintah,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=paparan&id=4
Perkembangan Filantropi Islam
179 oleh pemerintah maupun masyarakat. 96 Di samping itu, dalam draft ini diusulkan adanya sebuah Asosiasi OPZ yang, antara lain, dimaksudkan untuk member pertimbangan dan rekomendasi bagi BZI. 97 Seperti draft versi pemerintah, draft FOZ menyebutkan adanya sanksi bagi muzakki yang tidak membayar zakat, yaitu berupa pembayaran zakat yang ditinggalkan ditambah dengan biaya administrasi sebesar 10% dari jumlah zakat yang harus dibayar.98 Di sini terlihat bahwa dengan adanya BZI, maka organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat memiliki kedudukan setara, sehingga organisasi seperti LAZ yang dikenal sekarang tidak harus dilebur ke dalam BAZ dan tetap memiliki wewenang menyalurkan dana zakat asalkan sesuai dengan kebijakan BZI. Dengan kata lain, draft RUU versi FOZ ini lebih dekat kepada draft RUU versi DPR dibandingkan dengan draft versi pemerintah, yang hendak melebur LAZ ke dalam BAZ. Meskipun demikian, dalam hal sanksi, draft RUU versi FOZ ini lebih dekat kepada versi pemerintah, dengan sedikit tekanan tambahan 10%, yang tidak ditemukan dalam draft yang disebut terakhir ini. Yang demikian itu karena draft versi DPR tidak memberikan sanksi apapun bagi muzakki yang lalai membayar zakat. Sementara itu, Didin Hafidhuddin,99 Ketua BAZNAS, berpandangan bahwa usulan perubahan UU No. 38 Tahun 1999 dinilai positif, terutama dalam kaitannya dengan penyempurnaan undang-undang tersebut. Ia mengusulkan beberapa hal dalam penyempurnaan tersebut. Pertama, perlunya sistem pengelolaan zakat yang terintegrasi secara nasional, tetapi tetap terdesentralisasi sesuai dengan wilayah penghimpunan zakat. Dalam konteks ini, baik BAZ maupun LAZ yang selama ini telah berperan aktif harus tetap dipertahankan, karena kedua-duanya sebenarnya bukan organ pemerintah. Memang BAZ dibentuk oleh pemerintah, akan tetapi ia bukan organ pemerintah, dan dalam pelaksanaannya tidak bekerja atas nama pemerintah. 100 Kedua, peran negara perlu diperkuat, terutama dalam mendorong dan memfasilitasi pengelolaan zakat. Ini sejalan dengan preseden yang ada dalam sejarah Islam, di mana negara ( ulu> alamr) wajib mengatur semua kepentingan masyarakat, tak terkecuali pengelolaan zakat. Karena itu, BAZ yang dibentuk oleh pemerintah perlu tetap dipertahankan, demikian juga lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. 101 Ketiga, sanksi mestinya tidak hanya berlaku bagi pengelola, tetapi juga bagi muzakki yang tidak mau membayar zakat. Hal itu karena membayar zakat bukan sekadar menunaikan kewajiban agama, tetapi juga kewajiban qad}a>’i>, yaitu kewajiban agama yang bila tidak dijalankan akan berdampak pada hilangnya hak bagi kaum miskin. Di sinilah fasilitas negara diperlukan. Di beberapa negara, yang menerapkan sanksi administratif bagi muzakki yang enggan membayar zakat 96
Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 1 ayat (6). Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 1 ayat (9) dan Pasal 32. Forum Zakat, ‚RUU Pengelolaan Zakat Usulan FOZ,‛ Pasal 50. 99 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66. Pandangan ini disampaikan di hadapan Komisi VIII DPR RI pada Selasa, 4 Mei 2010, ketika diminta pendapat BAZNAS tentang perubahan undang-undang zakat. 100 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 101 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 97 98
Bab V
180 terbukti efektif untuk mendorong peningkatan penerimaan zakat secara signifikan.102 Keempat, ada insentif bagi pembayar zakat, misalnya sebagai kredit pajak. Hal ini justru akan meningkatkan keduanya, jika keduanya dilaksanakan secara terintegrasi. Dengan begitu, data kekayaan wajib pajak dapat dijadikan sebagai objek zakat, dan sebaliknya data penghasilan yang wajib dizakati dapat digali untuk meningkatkan perolehan pajak. Menurut Didin Hafidhuddin, kalau pun penghasilan pajak negara berkurang, hal itu tidak berarti menurun, tetapi beralih ke sektor zakat.103 Kelima, perlunya Badan Zakat Indonesia (BZI). Ini dimaksudkan untuk memaksimalkan peran regulasi, pengawasan dan koordinasi bagi BAZ dan LAZ. Lembaga ini berada di bawah Presiden, yang keanggotaannya diusulkan oleh kementerian terkait dan penentuannya melalui uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR.104 Keenam, peran masyarakat yang selama ini telah berhasil tidak boleh dihilangkan. Yang diperlukan adalah bagaimana antara lembaga yang dibentuk masyarakat (LAZ) dan oleh pemerintah (BAZ) mampu membangun sinergi, sehingga tidak menciptakan pengelolaan yang tumpang tindih. 105 Pandangan di atas sejalan dengan draft RUU Zakat yang diusulkan oleh BAZNAS. Secara umum, draft yang disusun oleh BAZNAS ini lebih dekat dengan draft versi DPR dan usulan FOZ. Seperti draft versi FOZ, draft RUU versi BAZNAS juga mengusulkan adanya Badan Zakat Indonesia, yang akan bertindak sebagai regulator bagi pengelolaan zakat.106 Adapun yang bertindak sebagai pengelola zakat adalah BAZ dan LAZ,107 yang memeroleh izin dari BZI.108 Draft versi BAZNAS juga menekankan sanksi bagi muzakki yang enggan membayar zakat, yaitu berupa sanksi yang akan ditetapkan oleh BZI. 109 Terlihat bahwa BAZNAS melalui usulannya tidak menghendaki adanya peleburan LAZ ke dalam BAZ seperti disyaratkan dalam draft versi pemerintah. Sebaliknya, BAZNAS menghendaki adanya sebuah lembaga baru yang akan menjadi wasit bagi organisasi-organisasi pengelola zakat, baik yang didirikan oleh pemerintah (BAZ) maupun yang didirikan oleh masyarakat (LAZ). Namun, draft versi BAZNAS ini juga mendukung keterlibatan negara, terutama pemberian sanksi bagi mustahik yang enggan atau lalai membayar zakat. Respons lain dikemukakan oleh sejumlah lembaga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Zakat (GEMAZ).110 Ada beberapa poin penting yang menjadi sikap gerakan ini. Pertama, zakat pada dasarnya adalah kedermawanan 102
Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 103 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 104 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 105 Didin Hafidhuddin, ‚Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66 106 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 1 ayat (8) dan Pasal 15. 107 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 21. 108 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 22 dan 26. 109 Draft RUU Zakat Usulan BAZNAS, Pasal 52. 110 Gerakan ini terdiri atas Center for the Study of Religion and Culture (CSRC UIN Jakarta), Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Dompet Dhuafa (DD), Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), YAPPIKA, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Perkembangan Filantropi Islam
181 masyarakat dan oleh masyarakat dan bagi masyarakat. Dengan demikian, zakat berada pada ranah masyaraka sipil dan telah terbukti berhasil menggerakkan aktivitas masyarakat, tanpa banyak bergantung pada negara. 111 Kedua, pemerintah semestinya hanya berperan sebagai regulator, tanpa harus terlibat dalam pengelolaan dana zakat. Ini dimaksudkan untuk menjamin independensi masyarakat dan mendukung pengelolaan yang baik ( good governance).112 Ketiga, GEMAZ berharap agar UU tentang Zakat dapat memberikan kejelasan tugas dan wewenang masing-masing regulator, pengelola dan pengawas. 113 Pembagian ini penting agar profesionalisme zakat dapat tercipta dengan baik. Keempat, dalam pandangan GEMAZ, pengaturan pengelolaan zakat harus didasarkan pada keragaman lembaga yang ada dan tidak hanya mengakui satu bentuk saja. Keragaman itu akan memunculkan sikap profesional di kalangan lembaga-lembaga itu sendiri dan karenanya pemerintah justru harus memfasilitasi perkembangannya.114 Di samping empat poin di atas, GEMAZ berpendapat bahwa pembayaran zakat hendaknya dapat menjadi pengurang wajib pajak. Ini dimaksudkan sebagai insentif bagi pertumbuhan pajak. Sementara itu, dalam masalah sanksi bagi wajib zakat, gerakan ini menolaknya. Yang lebih dipentingkan, bagi gerakan ini, transparansi pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga pengelola.115 Dari berbagai pandangan di atas, setidak-tidaknya ada dua persoalan penting yang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Yaitu, tatakelola organisasi zakat dan pemberian sanksi bagi muzakki yang enggan membayarnya. Dalam bidang organisasi zakat, misalnya, Nasrun Harun menegaskan bahwa LAZ tidak dibubarkan, tetapi fungsinya saja yang dialihkan, yakni sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ), yang tidak boleh menyalurkan zakat. Ditegaskan oleh Nasrun Harun bahwa hanya BAZ yang memiliki wewenang untuk menyalurkan zakat. 116 Meskipun dalam draft revisi tidak disebutkan secara eksplisit kata-kata ‚dihapuskan,‛ beberapa orang menilai bahwa hal itu sama dengan memupus peran yang selama ini telah dimainkan oleh lembaga-lembaga swasta yang bergerak dalam pengelolaan zakat. Amelia Fauzia, misalnya, berpendapat bahwa peleburan LAZ ke dalam BAZ seperti dikehendaki oleh draft revisi sulit dilakukan. Karena itu, peleburan hanya akan berarti penghapusan. Konsekuensinya, pengembangan civil society di Indonesia akan mengalami hambatan. 117 Pendapat serupa disampaikan oleh Sofyan Syafii Harahap, Direktur Islamic Economics and Finance, Universitas Trisakti. Menurutnya, draft revisi memang tidak menyebutkan kata penghapusan LAZ, tetapi menutup perannya untuk menyalurkan zakat sama dengan mengamputasinya. Karena itu, Sofyan menyarankan agar BAZ berperan sebatas sebagai regulator (pengatur) dan pengawas, tanpa harus ikut mengelola dana zakat. Di sini BAZ dapat mengawasi sejauh mana ketentuan yang ditetapkan telah dilaksanakan oleh LAZ. BAZNAS,
111
IMZ, Kajian Empirik Zakat, 120. IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 113 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 114 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 115 IMZ, Kajian Empirik Zakat, 121. 116 Republika, 19 Desember 2009. 117 Republika, 19 Desember 2009. 112
Bab V
182 misalnya, harus berperan sebagai jembatan antara civil society dan negara, bukan sebagai alat komersialisasi pemerintah.118 Sementara itu, Azyumardi Azra menentang keras penghapusan LAZ yang sudah tumbuh dalam masyarakat. Menurutnya, jika pengelolaan zakat dilakukan oleh negara atau lembaga yang dibentuk oleh negara, maka pendistribusiannya akan sangat lambat, sehingga orang yang terkena gempa atau musibah bisa jadi meninggal duluan sebelum menerima bantuan. Pemerintah, dalam pandangan Azyumardi, tidak reaktif terhadap musibah, tetapi lembaga-lembaga filantropi inilah yang berperan paling duluan. Apalagi Kementerian Agama, yang mengurus haji dan madrasah saja kedodoran, tidak mungkin mampu menghimpun dan menyalurkan zakat dengan baik. Oleh sebab itu, upaya untuk membubarkan LAZ harus ditolak.119 Terkait dengan draft RUU tentang zakat, Azra berpendapat bahwa pemerintah cukup sebagai regulator dan pengawas dalam penghimpunan dan pendistribusian zakat, dan tidak bertindak sebagai operator. Ia melihat bahwa RUU tersebut hanya ingin memperkuat posisi pemerintah, yang akan memenopoli pengelolaan zakat hampir secara keseluruhan. Hal ini tentu berlawanan dengan kenyataan sejarah, di mana zakat selama berabad-abad telah dikelola oleh masyarakat melalui berbagai lembaga, apakah organisasi Islam, masjid-masjid atau lainnya. Yang juga tidak kalah pentingnya, meskipun dikelola secara konvensional, terbukti banyak pesantren, sekolah Islam, rumah sakit, klinik kesehatan dan bahkan kebutuhan operasional organisasi-organisasi Islam yang didirikan dan dibiayai oleh dana zakat dan infak/shadaqah. Dengan begitu, lembaga-lembaga Islam tidak selalu menggantungkan pada subsidi pemerintah dan dapat berperan sebagai civil society yang mendorong lahirnya budaya sipil, yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat demokratis. 120 Azra lebih jauh mengidentikkan modus pemerintah yang hendak melakukan sentralisasi zakat ini dengan modus yang telah dilakukan Gamal Abdul Naser dalam menasionalisasi Universitas Al-Azhar Kairo. Seperti dimaklumi, universitas ini memiliki sumber dana filantropi yang sangat besar, sehingga mampu berdikari tanpa sedikit pun bergantung pada subsidi pemerintah, dan bahkan dapat memberikan beasiswa bagi mahasiswa dari berbagai negara. Akan tetapi, setelah dinasionalisasi oleh Naser, lembaga ini menjadi bergantung pada pemerintah. Ide sentralisasi pengelolaan zakat di Indonesia ini, karenanya, hanya akan membonsai lembaga-lembaga pengelola zakat masyarakat, dan pada akhirnya akan ‚mengancam independensi umat Islam.‛ 121 Persoalan sentralisasi pengelolaan zakat ini sebenarnya adalah persoalan apakah zakat harus dikelola oleh negara sepenuhnya, tanpa memberi ruang bagi publik, ataukah menyerahkan sepenuhnya kepada publik. Dua pilihan ini tentu tidak realistis, mengingat ketika zakat sudah masuk ke dalam ranah hukum, maka akan terjadi persinggungan kepentingan antara negara dan publik. Seperti ditunjukkan di bagian awal bab ini, sejumlah lembaga pengelola zakat swasta 118 119
Republika, 19 Desember 2009. Republika, 19 Desember 2009.
120 Azyumardi Azra, ‚Negara dan Pengelolaan Zakat,‛ dalam http://www.uinjkt.ac.id/index.php/ section-blog/28-artikel/1410-negara-dan-pengelolaan-zakat.html 121 Azyumardi Azra, ‚Konsep Pemerintah Bisa Mengancam Independensi Umat Islam,‛ Infoz, Edisi 4 Tahun VI (2010), 9.
Perkembangan Filantropi Islam
183 telah menunjukkan kinerjanya dengan baik sehingga memeroleh kepercayaan masyarakat. Karena itu, sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara bukan saja tidak tepat, tetapi bisa jadi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. 122 Ini memiliki preseden dalam sejarah perzakatan di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto bersedia mengelola zakat secara nasional. Gagasan ini didukung oleh beberapa ulama seperti Hamka dan KH. Hasan Basri. Akan tetapi, selama tiga tahun ia mengelola, terbukti hasilnya jauh dari perkiraan, yakni hanya sebesar 39,5 juta rupiah dan 2,475 dollar Amerika. Padahal, diprediksi saat itu dana yang dapat dihimpun mencapai 2,5 trilyun rupiah setiap tahunnya.123 Ini membuktikan bahwa sentralisasi pengelolaan zakat tidak menyelesaikan persoalan. Lebih jauh, Amelia Fauzia menilai peleburan LAZ ke dalam BAZ sangat tidak realistis. Yang demikian itu karena perbedaan ideologi yang dipegang oleh masing-masing LAZ dan BAZ. Jika yang pertama tumbuh dari masyarakat (bottom-up), yang kedua dibentuk oleh pemerintah ( top-down). Menurut Amelia Fauzia, sejumlah studi tentang peleburan atau merger lembaga filantropi membutuhkan kesamaan ideologi, visi, landasan, donatur dan lain sebagainya. Amelia memberikan contoh bagaimana BAZNAS dan Dompet Dhuafa telah melakukan merger dalam bidang manajemen pada 2006. Namun, upaya itu hanya berjalan selama satu tahun. Ini membuktikan bahwa penggabungan dua lembaga saja yang berbeda ideologi, setidak-tidaknya, sulit dilakukan. Apalagi jika penggabungan itu dilakukan oleh sebegitu banyak LAZ. Lebih jauh, LAZ pada dasarnya adalah lembaga civil society, yang melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat dan berusaha menyejahterakan mereka. Karena itu, jika LAZ ini dilebur, masyarakat akan kehilangan manfaat yang telah mereka terima darinya, di samping kepercayaan donatur yang diberikan kepadanya mungkin juga akan hilang. Akibatnya, peleburan itu menjadi kontraproduktif bagi pertumbuhan civil socity, sekaligus memundurkan filantropi Islam di Indonesia. 124 Sementara itu, Ahmad Sutarmadi, salah seorang perumus RUU tentang Pengelolaan Zakat, menegaskan bahwa semangat undang-undang tersebut pada dasarnya adalah desentralisasi, dalam arti bahwa tidak seluruh persoalan harus dikelola oleh pemerintah, termasuk zakat. Ini sejalan dengan semangat reformasi saat itu, yang lebih didominasi oleh kekuatan sipil. Bahkan, dalam penyusunan RUU pun, pemerintah hanya bertindak sebagai sekretaris. Adapun terhadap pandangan bahwa LAZ hanya diperbolehkan bagi organisasi massa (Ormas) Islam, ia merespons bahwa sebenarnya LAZ sudah banyak, karena itu undang-undang ini juga mengakomodir keberadaan mereka yang telah berkiprah. Karena itu, gagasan pemerintah yang akan melebur LAZ ke dalam BAZ dipandangnya sebagai upaya yang tidak bijak. Kalau pun ada LAZ yang tidak berkinerja bagus, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menggeneralisasi seluruh LAZ. 125 122
Syamsul Ma’arif, ‚Mengawal Zakat di Parlemen,‛ dalam http://imz.or.id/new/article/118/ mengawal-zakat-di-parlemen/ 123 Amelia Fauzia, ‚Centralizing Zakat: The Wrong Solution,‛ dalam http://ameliafauzia.blogspot.com/2009/12/centralizing-zakat-wrong-solution_18.html. 124 Amelia Fauzia, ‚Peleburan LAZ Berarti Mematikan Gerakan Civil Society,‛ dalam http://ameliafauzia.blogspot.com/2009/12/peleburan-laz-berarti-mematikan-gerakan.html (diakses 20 November 2010). 125 Ahmad Sutarmadi, ‚Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,‛ Wawancara dalam Infoz, 4:6 (2010), 25-27.
Bab V
184 Sejalan dengan itu, Uswatun Hasanah menyarankan agar BAZ dan LAZ dipertahankan karena terbukti keduanya telah mendapat kepercayaan masyarakat dalam membayar zakat. Lebih jauh, ia mengusulkan agar ada lembaga negara, seperti Badan Zakat Nasional, yang berwenang membuat peraturan dan melakukan pengawasan terhadap BAZ dan LAZ. 126 Pandangan ini sesuai dengan usulan BAZNAS sebagaimana disebutkan di muka. Dari uraian di atas terlihat bahwa kehadiran UU No. 38 Tahun 1999 telah memberikan landasan kuat bagi pengelolaan zakat di Indonesia, meskipun dalam pelaksanaannya belum mendatangkan hasil secara maksimal. Upaya revisi terhadap undang-undang tersebut kini tengah dipersiapkan dan dibicarakan di DPR bersama dengan pemerintah. Jika draft revisi yang diajukan oleh pemerintah disetujui, beberapa dampak negatif bagi filantropi Islam tampaknya tidak dapat dihindari. Pertama, lembaga-lembaga filantropi Islam yang bergerak dalam bidang penghimpunan zakat hanya akan berperan sebagai ‚pekerja,‛ yakni sekadar sebagai penghimpun zakat, sedangkan pendistribusiannya hanya berada di tangan BAZ yang dibentuk oleh pemerintah. Mengingat kebijakan penyaluran ada di pihak pemerintah, tidak menutup kemungkinan penyaluran tersebut harus melalui birokrasi yang panjang. Kedua, sentralisasi pengelolaan zakat juga menunjukkan bahwa independensi umat Islam akan tercerabut. Selama ini, sejumlah lembaga dengan bebas menggali dana zakat dari masyarakat untuk kepentingan ibadah, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Dengan adanya undang-undang baru tersebut, lembaga-lembaga harus menunggu persetujuan dari BAZ yang dikelola oleh pemerintah. Karena itu, gagasan ini hanya akan membuat lembaga-lembaga tersebut mengalami ketergantungan kepada pemerintah. Padahal, salah satu semangat reformasi adalah desentralisasi, di mana masyarakat dapat berperan aktif, termasuk dalam pengelolaan zakat. Ketiga, sentralisasi pengelolaan zakat oleh pemerintah tidak menutup kemungkinan akan menurunkan kepercayaan masyarakat. Hal itu terbukti pernah terjadi pada masa Orde Baru di bawah kendali Soeharto. Akibatnya, semangat orang berzakat yang kini tengah tumbuh bisa melorot karena ketidakpercayaan mereka terhadap pengelolaan pemerintah. Pada masa Nabi Saw., zakat memang tidak dipisahkan dari urusan negara. Ini dibuktikan di antaranya dengan membentuk lembaga perwakilan untuk memungut dan mendistribusikan zakat. Dengan kata lain, pengelolaan zakat bisa dilakukan dengan mengangkat wakil oleh negara. Hal itu dicontohkan oleh Nabi Saw., yang mengangkat Mu‘a>dh ibn Jabal sebagai petugas zakat di Yaman, di samping pengajar agama sebagai tugas utamanya. 127 Hingga batas tertentu, BAZ dapat dipandang sebagai wakil pemerintah mengingat beberapa hal berikut ini. Pertama, dari segi pembentukannya, BAZ dibentuk oleh pemerintah dari tingkat pusat hingga tingkat kecamatan. 128 Kedua, dari segi keanggotaan pengurus, BAZ diisi oleh sebagian orang-orang pemerintah, di samping tokoh-tokoh masyarakat. Ini disebutkan secara eksplisit dalam UU No. 38 Tahun 1999 Pasal 6 ayat (4). Ketiga, BAZ juga memeroleh bantuan dari pemerintah sebagai dana operasional yang diambil dari anggaran pemerintah di
126
Uswatun Hasanah, ‚Penataan Lembaga Amil Zakat di Indonesia dan Permasalahannya,‛
Jurnal Syari‘ah, 2:2 (Januari-Juni 2010), 18. 127 ‚Waka>lah,‛ dalam al-Mawsu> ‘ah al-Fiqhiyyah, 44: 30. 128 Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 6 ayat (2).
Perkembangan Filantropi Islam
185 masing-masing tingkatannya.129 Dengan kata lain, meskipun memiliki independensi, BAZ tidak mungkin bisa beroperasi tanpa keterlibatan negara dan karenanya tetap tunduk kepada negara. Meskipun demikian, dalam sejarah Islam, ada juga preseden bahwa zakat diserahkan wewenang pengumpulan dan pendistribusiannya kepada masyarakat (tawliyah). Ini terjadi pada masa Khalifah ‘Uthma>n ibn ‘Affa>n. Berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, kebijakan khalifah ketiga dalam masalah zakat ini mengalami perubahan, terutama dalam hal pemungutan. ‘Uthma>n tetap melibatkan negara, namun membolehkan masyarakat untuk membayarkan zakatnya secara langsung kepada mustahik. Kebijakan ini diambil karena dilatarbelakangi oleh sikap yang merugikan kedua belah pihak, baik amil maupun muzakki. Di satu sisi, petugas zakat dipermalukan karena harus mengejar-ngejar kekayaan masyarakat dan, di sisi lain, masyarakat juga merasa terganggu privasinya karena kekayaannya harus dibongkar oleh petugas zakat. Atas dasar itu, ‘Uthma>n kemudian mengambil jalan tengah, dengan menugaskan pengumpul untuk menarik zakat atas harta yang terlihat saja ( z}a>hirah) dan menyerahkan kepada masyarakat sendiri zakat atas harta yang tidak terlihat ( ba>t}inah) dan menyerahkannya langsung kepada mustahik atau lembaga resmi negara. Berdirinya LAZ di Indonesia ini merupakan bentuk dari pemberian kewenangan (tawliyah) negara kepada masyarakat. Sebelumnya, lembagalembaga ini mewujudkan diri dalam individu-individu, seperti kyai, ustadz, atau tokoh agama lainnya, di samping kepada lembaga-lembaga pendidikan atau organisasi keagamaan, seperti pesantren, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan sebagainya. Akan tetapi, potensi besar zakat dari masyarakat dan kurangnya efektitivatas lembaga-lembaga ini mendorong berdirinya sejumlah LAZ yang belakangan ini semakin banyak jumlahnya. Dari uraian di atas, kedua lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah (BAZ) dan masyarakat (LAZ) memiliki justifikasi historis dalam sejarah Islam. Karenanya, keduanya dapat beroperasi secara beriringan, asalkan dilakukan secara sinergis dan dengan semangat membangun masyarakat, yang menjadi tujuan disyariatkannya zakat itu sendiri.
129
Lihat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 23.
Bab V
BAB VI PENUTUP Dalam bab-bab sebelumnya telah diuraikan secara panjang lebar tentang zakat dan wakaf serta kaitannya dengan negara. Diawali dari kondisi pengaturan zakat dan wakaf, pembahasan telah dilanjutkan dengan dampak disahkannya undang-undang tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf dalam bentuk lembaga-lembaga filantropi Islam. Sebagai penutup, bab ini akan menguraikan kesimpulan bahasan dan implikasinya sebagai saran-saran. A.
Kesimpulan Persoalan utama yang diangkat dalam disertasi ini adalah hubungan negara pasca-Orde Baru dengan filantropi Islam. Persoalan ini telah mengalami dinamika yang tak pernah berhenti sejak Indonesia merdeka. Salah satu sebabnya adalah posisi negara yang berada di antara kutub sekular dan teokratis, atau bukan negara sekular sekaligus bukan negara agama. Posisi seperti itu memunculkan persoalan, di antaranya, seberapa jauh negara harus terlibat dalam masalah zakat dan wakaf. Persoalan filantropi Islam, yang meliputi zakat dan wakaf, merupakan pranata yang sangat potensial secara ekonomis. Dalam sejarahnya, filantropi Islam telah berperan penting dalam penyebaran Islam, pendirian lembaga-lembaga pendidikan dan lain sebagainya. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa filantropi Islam telah membantu menyejahterakan masyarakat, khususnya, mereka yang tidak mampu. Karena itu, filantropi Islam mendapat perhatian yang besar dari negara-negara, khususnya negara-negara Muslim. Dalam situasi krisis multidimensi, terutama krisis ekonomi, pemerintah Indonesia pasca-Orde Baru melihat zakat dan wakaf dapat membantu masyarakat yang jumlah kemiskinannya semakin meningkat. Karena itu, pemerintah mengakomodasinya melalui undang-undang, yang memang menjadi aspirasi kaum Muslim Indonesia. Sebenarnya, usaha-usaha agar zakat diundangkan telah lama dilakukan, bahkan sejak masa pemerintahan Soekarno dan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Soeharto. Akan tetapi, upaya itu mengalami kegagalan karena otoritarianisme rezim yang dipimpin oleh kedua presiden itu. Di samping itu, kecurigaan sebagian masyarakat lain bahwa hal itu dapat mengarah pada pemberlakuan Piagam Jakarta. Dengan bergulirnya reformasi, yang memberikan kebebasan, aspirasi itu mengemuka kembali dan diterima dengan baik oleh pemerintah. Adapun faktorfaktor yang mendorong diakomodasinya aspirasi itu adalah sebagai berikut. Pertama, faktor historis, yaitu bahwa aspirasi ini telah lama menjadi keinginan umat Islam. Kedua, faktor ekonomis, yaitu potensi zakat yang diyakini dapat menyejahterakan masyarakat dan karenanya memerlukan pengelolaan yang baik. Ketiga, faktor yuridis, yaitu lemahnya peraturan tentang zakat, di mana tumpang tindih antara peraturan-peraturan itu, sehingga melemahkan pengelolaan zakat. 186
187 Meskipun telah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pengelolaan zakat masih tumpang tindih karena peraturan yang tidak menyeluruh. Keempat, faktor sosial-politik, yaitu di samping posisi Presiden Habibie, yang memiliki kedekatan dengan FOZ, yang mempersiapkan draft RUU, kepentingan politik bagi karier politiknya ke depan juga mendorongnya mengakomodasi aspirasi umat Islam, dengan harapan dapat menarik simpati masyarakat. Lebih dari itu, DPR pun memiliki kepentingan untuk menunjukkan sikap aspiratifnya terhadap kepentingan masyarakat. Sementara itu, wakaf juga merupakan pranata yang memiliki potensi ekonomis yang sangat besar, dan karenanya diakomodasi dalam undang-undang oleh negara. Adapun faktor-faktor yang mendorong diakomodasinya RUU tentang Wakaf, di samping karena pengalaman beberapa negara lain, juga karena faktorfaktor berikut. Pertama, faktor ekonomi dan kesejahteraan. Seperti zakat, wakaf diyakini dapat membantu kesejahteraan masyarakat miskin, yang berarti dapat membantu tugas negara. Kedua, kurang memadainya peraturan yang ada. Sejauh ini, wakaf diatur dalam berbagai peraturan yang melibatkan lembaga-lembaga yang berbeda. Ketiga, faktor politik. Selama ini Presiden Megawati dicurigai akan menghambat aspirasi Islam, sehingga kampanye penolakan terhadap kepresidennya telah lama terjadi. Untuk menghindari kesan itu, pemerintahannya mengakomodasi kepentingan umat Islam. Dengan diakomodasinya dua bentuk filantropi Islam, yakni zakat dan wakaf, ke dalam undang-undang, hubungan Islam dan negara pasca-Orde Baru tampak bersifat saling terkait secara substansial, meskipun keduanya merupakan entitas yang berbeda. Keterlibatan ini telah memposisikan negara sebagai legislator, supervisor sekaligus sebagai fasilitator dalam persoalan zakat dan wakaf. Kondisi ini membantah penilaian bahwa Indonesia adalah negara sekular, seperti yang dikemukakan oleh Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ira M. Lapidus, Adam Schwarz dan Riaz Hasan. Di samping itu, disahkannya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang tentang Wakaf memiliki implikasi positif bagi perkembangan pengelolaan kedua pranata ini di Indonesia, yang ditunjukkan dengan meningkatnya lembaga filantropi Islam. Lembaga-lembaga ini akan memperkokoh civil society, yang sangat dibutuhkan bagi sebuah negara demokratis seperti Indonesia. Akan tetapi, perkembangan itu akan mengalami pemiskinan peran, jika rencana amandemen RUU tentang Pengelolaan Zakat akan mengakomodir gagasan peleburan lembaga-lembaga filantropi yang dibentuk masyarakat, yang selama ini telah berkiprah besar dalam masyarakat. Meskipun demikian, tarik menarik antara kepentingan negara dan lembaga-lembaga swasta terhadap persoalan filantropi ini tampaknya belum berakhir. B.
Saran-saran Dari hasil penelitian ini ada beberapa catatan yang patut dikemukakan sebagai rekomendasi. Pertama, dalam negara yang demokratis saat ini, umat Islam mempunyai peluang sangat besar untuk menyampaikan aspirasinya. Akan tetapi, aspirasi itu harus didasarkan pada “public reason” yang dapat diterima oleh semua pihak, sehingga tidak terkesan diskriminatif. Maksudnya, alasan-alasan aspirasi itu tidak semata-mata untuk kepentingan umat, tetapi juga bagi bangsa secara keseluruhan. Kedua, perjuangan politik mempunyai signifikansi yang sangat Bab VI
188 tinggi bagi penyampaian aspirasi umat. Karena itu, keterlibatan Muslim dalam politik sudah seharusnya menjadi perhatian mereka. Dengan begitu, aspirasi umat akan lebih mudah tersalurkan.
Penutup
Addendum Rencana Revisi UU No. 38 Tahun 1999 dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam Setelah satu dasawarsa disahkan, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Dari pihak pemerintah (Direktorat Pengembangan Zakat), potensi zakat yang diprediksi mencapai puluhan trilyun, terbukti hanya berhasil dikumpulkan sebesar sekitar 1,2 trilyun, padahal undang-undang telah disahkan dan peraturan yang terkait telah dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Diduga penyebab tidak teraktualisasikannya potensi itu adalah lemahnya undang-undang itu sendiri dan desentralisasi pengumpulan zakat. Kelemahan utama undang-undang tersebut, dalam pandangan pihak ini, adalah bahwa meskipun zakat telah ditegaskan sebagai kewajiban, hal itu tidak dibarengi dengan sanksi apa yang mesti diterima jika seseorang yang telah mampu membayar zakat, tetapi ia melalaikannya. Sementara itu, kelemahan fundamental dalam pengelolaan, menurut pihak ini, adalah banyaknya lembaga pengumpul zakat yang tidak tersentralisasi. Ini ditunjukkan dengan adanya BAZ yang dibentuk oleh pemerintah, yang merentang dari pusat hingga tingkat kecamatan, di samping adanya LAZ yang dibentuk oleh masyarakat, dari tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Padahal, LAZ yang diamanatkan oleh undang-undang adalah organisasi massa (ormas) keagamaan yang bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam. Akan tetapi, banyak lembaga pengelola zakat yang tidak memenuhi kriteria itu. Akibatnya, dana ZIS yang terkumpul menjadi tercecer di berbagai lembaga, dan penyalurannya pun tidak satu arah. Kritik terhadap UU No. 38 Tahun 1999 juga dikemukakan oleh para aktivis pengelola zakat, terutama yang tergabung dalam Forum Zakat (FOZ). Dalam pandangan pihak ini, kelemahan mendasar undang-undang ini adalah tidak adanya sanksi yang mesti diberikan kepada muzakki yang enggan membayarkan zakatnya. Lebih jauh, pihak ini juga menyadari kurangnya koordinasi di antara sesama lembaga pengelola zakat. Kondisi di atas mendorong pemerintah untuk mengajukan revisi terhadap undang-undang zakat yang ada. Di antara poin penting yang hendak dimasukkan dalam revisi tersebut adalah penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai membayar zakat. Selain itu, masalah zakat sebagai pengurang wajib pajak juga menjadi usulan penting dalam revisi ini, mengingat dalam pelaksanaannya hal itu tidak berjalan dengan baik. Yang penting lagi, LAZ yang selama ini telah aktif terlibat dalam pengelolaan zakat akan dialihkan fungsinya sekadar sebagai pengumpul zakat, tanpa diberi kewenangan untuk menyalurkannya. Terhadap gagasan ini, banyak pihak yang mengajukan keberatan, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, jika hanya BAZ yang diberikan kewenangan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan dana zakat, sementara LAZ hanya berwenang mengumpulkan tanpa mendistribusikan, ini berarti ada upaya sentralisasi atau nasionalisasi pengelolaan zakat. Kedua, melalui upaya sentralisasi ini, negara berarti telah melibatkan secara total terhadap pengelolaan zakat, bukan sekadar sebagai regulator, tetapi juga sebagai operator sekaligus. Ketiga, lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat secara otomatis akan dilemahkan, karena posisinya hanya sebagai pengumpul zakat minus 189
190 pendistribusiannya. Padahal, selama ini dengan dana zakat yang berhasil dikumpulkan, lembaga-lembaga ini telah berhasil memainkan perannya dalam penguatan masyarakat sipil (civil society) dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Bahkan, dalam penyusunan awal RUU tentang zakat pasca-Orde Baru, peran lembaga-lembaga tersebut tidak dapat diabaikan. Dalam pandangan saya, beberapa persoalan di atas sebenarnya bisa diselesaikan. Terhadap masalah nasionalisasi zakat, misalnya, hal itu pernah dilakukan di beberapa negara Muslim, tetapi tidak seluruhnya berhasil dengan mulus. Arab Saudi dan Pakistan barangkali dapat disebut sebagai contoh yang berhasil dengan mulus. Hal itu karena sikap total yang ditunjukkan oleh negara, sehingga terkait dengan kementerian yang ada. Ini tentu sulit dilakukan di Indonesia, karena belum ada sinkronisasi antarkementerian. Sebagai contoh, dalam undang-undang ditegaskan bahwa pembayaran zakat dapat mengurangi wajib pajak. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal itu belum terlaksana hingga hari ini. Jika hal itu dilaksanakan, secara otomatis dana zakat yang bisa terkumpul saat ini sudah mencapai trilyunan rupiah, karena secara otomatis orang yang membayar pajak berarti akan terkurangi 2,5% sebagai pembayaran zakat. Ini tidak terjadi, di antaranya, karena keterkaitan antarkementerian belum terjalin dengan baik. Lebih jauh, jika hanya pemerintah yang berhak mendistribusikan zakat, maka pengeluarannya harus melalui birokrasi negara. Karena itu bisa dibayangkan, betapa lamanya pendistribusian ini akan sampai kepada mustahik, apalagi untuk kepentingan-kepentingan mendesak lainnya, seperti bencana alam dan sebagainya. Sebaliknya, efektivitas pendistribusian ini justru ditunjukkan oleh LAZ karena tidak harus melalui birokrasi yang panjang dan lebih bisa dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Lembaga-lembaga swasta itu terbukti selalu berada di garda depan dalam penanggulangan bencana alam dan sebagainya. Lebih penting lagi, jika hanya pemerintah yang berhak menyalurkan dana zakat, ini akan memunculkan masalah kepercayaan ( trust) masyarakat. Sejauh ini, LAZ dengan berbagai upayanya telah berhasil meraih kepercayaan itu, yang dibuktikan dengan keberhasilan mereka dalam menghimpun dana zakat dalam jumlah yang sangat besar. Pertanyaannya, ketika pendistribusiannya hanya berada di tangan pemerintah, apakah kepercayaan itu akan tetap bertahan, jika lembaga yang selama ini mereka percaya hanya berperan sebagai pengumpul? Preseden ini telah terjadi pada masa Orde Baru, di mana ketika Soeharto menjadi amil nasional, justru dana yang berhasil dihimpun hanya sedikit. Sementara itu, dengan dihapusnya peran pendistribusian zakat dari LAZ, ini berarti gerak lembaga yang terakhir akan terpasung. Semua yang membutuhkan dana zakat, secara otomatis harus meminta kepada pemerintah dan konsekuensinya semua akan bergantung kepada pemerintah. Padahal, semangat reformasi, tak terkecuali semangat penyusunan awal RUU tentang zakat, adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan kata lain, semangat partisipatoris ini dapat diwujudkan melalui civil society. Akan tetapi, jika dana filantropi itu sendiri hanya berada di tangan pemerintah, peran civil society, tanpa dana filantropi, dipastikan akan kembang kempis ( la>-yah}ya> wala>-yamu>t) dan bisa jadi mati. Karena itu, kedua-duanya, BAZ dan LAZ, harus dipertahankan dan diupayakan berjalan secara sinergis. Memang, dana yang terkumpul tersebar
191 dalam berbagai lembaga. Akan tetapi, jika terkumpul hanya dalam lembaga pemerintah, apakah ada jaminan hal itu bisa dirasakan oleh masyarakat secara merata? Sebenarnya, adanya LAZ merupakan salah satu bentuk reaksi masyarakat terhadap konsentrasi pembayaran pajak, yang terbukti tidak berhasil juga memeratakan kesejahteraan masyarakat. Jangan-jangan kalau dana zakat juga terkonsentrasi di pihak pemerintah akan mengalami nasib serupa. Terhadap sanksi bagi muzakki yang enggan membayar zakat, hal itu sesungguhnya tidak mudah dilakukan. Di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Pakistan, hal itu berhasil dilakukan karena melibatkan banyak pihak atau departemen. Sementara di Malaysia, hal itu hanya berhasil di Kuala Lumpur dan Petaling Jaya dan tidak berhasil diterapkan di negara bagian lainnya. Kegagalan ini, di antaranya, diakibatkan oleh tidak adanya database tentang muzakki dan mustahik yang akurat. Jika sanksi tersebut diterapkan di Indonesia, pasti tidak mudah, apalagi penegakan hukum di negeri ini terhadap pelanggar pajak saja masih belum bisa diandalkan. Di samping itu, zakat pada dasarnya adalah masalah filantropi—meskipun wajib secara keagamaan—yang didasarkan pada tanggung jawab moral masyarakat. Jika diterapkan sanksi di dalamnya, hal itu menunjukkan zakat bukan lagi persoalan ibadah dan filantropi, tetapi memiliki kedudukan serupa dengan pajak. Karena itu, penerapan sanksi bagi muzakki hanya akan mempersulit pemerintah sendiri. Dari uraian di atas, saya melihat bahwa pengelolaan zakat yang selama ini telah berjalan perlu dipertahankan, namun juga diperbaiki dalam hal pengawasan dan sinerginya. Dengan begitu diharapkan zakat yang memiliki misi menyejahterakan masyarakat dapat diwujudkan dan bisa dirasakan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Artikel ‘Abd Alla>h, Ah}mad ‘Ali. ‚Dira>sah Muqa>ranah li-Nuz}um al-Zaka>h wa al-Amwa>l al-Zakawiyyah: Jumhu>riyyat al-Su>da>n wa al-Mamlakah al-‘Arabiyyah alSu‘u>diyyah,‛ dalam al-It}a>r al-Mu’assisi> li al-Zaka>h: ’Ab‘a>duh waMad}a>mi>nuh, ed. Bu>‘alla>m ibn Jala>li> dan Muh}ammad al-‘Ilmi>. Jeddah: IRTI-IDB, 2001. ‘Abd Alla>h, ‘Uthma>n H{usayn. al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i> al-Isla>mi>. Mans}u>rah: Da>r al-Wafa>’ li al-T{iba>‘ah wa al-Nashr, 1989. Agung, Wahyu Dwi. ‚Dukungan Pemerintah dalam Mendayagunakan Potensi Zakat sebagai Instrumen untuk Mengatasi Kemiskinan,‛ dalam Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (eds.), Zakat dan Peran Negara. Jakarta: Forum Zakat, 2006. Ahmed, Habib. Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation. Jeddah: IRTIIDB, 2004. Ali, Imtiaz B. Waqf: A Sustainable Development Institution for Muslim Communities. Valsayn, Trinidad and Tobago: Takaful T&T Friendly Society, 2009. Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1988. ---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2007. Alterman, Jon B. dan Shireen Hunter. The Idea of Philanthropy in Muslim Contexts. Washington, DC: Center for Strategic and International Studies, 2004. Anderson, Lindsay. Conspicuous Charity. Tesis MA. Texas: Texas A&M University, 2007. Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World. London: The Athlone Press, 1976. Anheier, Helmut K. dan Regina A. List. A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the Non-Profit Sector. London-New York: Routledge, 2005. Anonimous. Al-Was}a>ya> wa al-Awqa>f fi> al-Fiqh al-Isla>mi>. Beirut: al-Muassasah alJa>mi‘iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr, 1996. Anshory, Maria Ulfah. ‚Filantropi Islam dan Penguatan Hak Asasi Manusia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam , ed. Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003. 192
193 Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Arjomand, Said Amir. ‚Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam pra-Modern,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, terj. Tim CRCS. Jakarta: CRCS UIN Jakarta, 2007. Al-‘Asqala>ni>, Ibn H}ajar. Bulu>gh al-Mara>m min-Adillat al-Ah}ka>m. Riya>d}: Maktabat Da>r al-Sala>m, 1997. Aulawi, A. Wasit. ‚Sejarah Perkembangan Hukum Islam,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Awad, Mohammad Hashim. ‚Adjusting Tax Structure to Accommodate Zakah,‛ dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society, ed. I.A. Imtizi et.al. Jeddah: IDB-IRT, 2000. ‘Awdah, ‘Abd al-Qadi>r. al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n alWad}‘i>. Kairo: Maktabat Da>r al-‘Uru>bah, 1963. Azhari, M. Tahir. ‚Zakat dan Aplikasinya dalam Konteks Kesejahteraan Sosial,‛ Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tentang Pengelolaan Zakat, Departemen Agama, Jakarta, 30 Agustus 1999. Azra, Azyumardi. Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih . Bandung: Mizan, 2000. ---------. ‚The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of the Shari‘a for Social Changes,‛ Jurnal Istiqra’, 6:6 (Juli-Desember 1992). ---------. ‚The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of the Shari‘a for Social Changes,‛ dalam Sharia and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore: ISEAS, 2003. ---------. ‚Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006. ---------. ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003. ---------. Indonesia, Islam and Democracy: Dynamics in a Global Context. JakartaSingapore: Solstice Publishing, 2006. ---------. “Faktor Islam di Indonesia Pasca-Soeharto,” dalam Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, ed. Chris Manning dan Peter van Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. Yogyakarta: LKiS, 2000. ---------. “Southeast Asian Islam in the Post-Bali Bombing: Debuking the Myth,” dalam Indonesian Today: Problems and Perspectives, ed. Norbert Eschborn, Sabrina Hackel and Joyce H. Richardson. Jakarta: Konrad-AdenauerStiftung, 2004. Babbie, Earl. The Practice of Social Research. Westford: Wadsworth Publishing Company, 1998.
194 Al-Ba>ju>ri>, Ibra>hi>m. H}a>shiyat al-Ba>ju>ri> ‘ala> Ibn Qa>sim al-Gha>zi>, jilid 1. Kairo: ‘I>sa> al-Ba>bi> al-H}alabi>, t.th. Bakar, Irfan Abu dan Chaider S. Bamualim, eds. Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006. Bamualim, Chaider S. dan Irfan Abu Bakar, eds. Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia . Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, UIN Jakarta, 2005. Bamualim, Chaider S. ‚Islamic Philanthropy in Indonesia: Trends and Challenges towards Social Justice,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2009. Bashear, Suliman. ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam,‛ Arabica, 15 (1993). Behrens-Abouseif, Doris. ‚Wakf in Egypt,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 10. Leiden: Brill, 2000. Bell, John Sophie Boyron dan Simon Whittaker. Principles of French Law. Oxford: Oxford University Press, 1998. Bell, Richard. Introduction to the Quran. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1953. Bell, Richard. The Origin of Islam in its Christian Environment . Edinburgh: Edinburgh University Press, 1925. Berg, Bruce L. Qualitative Research Methods for the Social Sciences. BostonLondon: Allyn and Bacon, 1995. Berger, M. ‚Khayr,‛ The Encyclopedia of Islam, ed. Jane D. McAuliffe, vol. 4. Leiden: Brill, 1997. Bikmen, Filiz. ‚The Rich History of Philanthropy in Turkey: A Paradox of Tradition and Modernity,‛ dalam Philanthropy in Europe: A Rich Past, A Promising Future, ed. Norine Mac-Donald and Luc Tayart de Borms. London: Alliance Publishing Trust, 2008. ---------. “Progress on Civil Society Legislation in Turkey,” International Journal of Not-for-Profit Law, 7:2 (2005). ---------. “A Move in the Right Direction, But Not the Destination: Turkey’s New Foundation Law,” International Journal of Not-for-Profit Law, 10:3 (2008). Biro Perbankan Syariah BI, ‚Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai: Sebuah Kajian Konseptual,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah. Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006. Bremer, Jennifer, ‚Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice,‛ paper disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and Democracy) 5th Annual Conference ‚Defining and Establishing Justice in Muslim Societies.‛ Washington DC, 28-29 Mei 2004. Brockelmann, C. History of Islamic Peoples. Albany, NY: SUNY Press, 1947. Budihardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
195 Al-Bujayrimi>, Sulayma>n. Tuh}fat al-H{abi>b ‘ala> Sharh} al-Khat}i>b. Kairo: Mus}t}afa> alBa>bi> al-H{alabi>, 1951. Cammack, Mark. ‚Indonesia’s 1989 Religious Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonenization of Islam?‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore: ISEAS, 2003. Carmona, A. ‚Wakf in Spain,‛ The Encyclopaedia of Islam , vol. 11. Leiden: Brill, 2000. Cizakca, Murat. ‚The Relevance of the Ottoman Cash Waqfs ( Awqa>f al-Nuqu>d) for Modern Islamic Economics,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A. Mannan. Jeddah: IRTI-IDB, 1416. ---------. ‚Awqa>f in History and Its Implication for Modern Islamic Economics,‛ Islamic Economics Studies, 6: 1 (1998). Cohen, Mark C. Poverty and Charity in the Jewish Community of Medieval Egypt. Princeton: Princeton University Press, 2005. Constitution of Turkish Republic, trans. by Sadik Balkan et. al. for the Committee of National Unity. Ankara, 1961. Coulson, N.J. ‚Bayt al-Ma>l: Legal Doctrine,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 1. Leiden: Brill, 1986. Dallal, Ahmad. ‚The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,‛ dalam Islam and Social Policy, ed. Stephen P. Heyneman. Nashvile: Vanderbilt University Press, 2004. Deguilhem, Randi. ‚Wakf in the Ottoman Empire to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000. Al-Dimyati., I‘a>nat al-T}a>libî>n, juz 3. Semarang: Mat}ba‘at Thaha Putra, t.th. Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan dan KITLV, 1983. Djatnika, Rachmat. ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ dalam Berderma untuk Semua, ed. Idris Thaha. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003. Djuanda, Gustian dkk. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Doa, M. Djamal. Manfaat Zakat Dikelola Negara. Jakarta: Nuansa Madani, 2002. Effendy, Bahtiar. (Re)-Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik . Bandung: Mizan, 2000. ---------. Islam in Contemporary Indonesian Politics. Jakarta: Ushul Press, 2006. ---------. Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press, 2005. Eickelman, Dale F. and James Piscatori. Muslim Politics. Princeton-Oxford: Princeton University Press, 2004. Fakhri, Muhammad. Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau , Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
196 Fatah, Eep Saefullah. Menuntaskan Perubahan I: Catatan Politik 1998-1999. Bandung: Mizan, 2000. Fatwa, AM,. M. Jamal Doa dan Aries Muftie. Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif. Jakarta: Belantika, 2004. Fauzia, Amelia. ‚Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya,‛ dalam decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesiaperan-html, diakses 19 Juni 2009. ---------. ‚Bazis DKI Jakarta: Peluang dan Tantangan Badan Amil Zakat Pemerintah Daerah,‛ dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (eds.), Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005. --------- dan Ary Hermawan. ‚Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi Islam dalam Sejarah Islam Indonesia,‛ dalam Idris Thaha (ed.), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam . Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003. ---------. Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia . Disertasi PhD. Melbourne: The Asia Institute, The University of Melbourne, 2008. Federal Constitution of Malaysia. Firdaus, Ismet. Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam, Tesis Magister. Depok: FISIP, UI, 2004. Forum Zakat. Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia. Jakarta: FOZ, 2001. Friedman, Lawrence J. dan Mark D. McGarvie. Charity, Philanthropy, and Civility in American History. New York, NY: Cambridge University Press, 2003. Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Garner, Bryan A., ed. in-chief. Black’s Law Dictionary. St. Paul: Thomson, 2004. Gaus, Ahmad. Filantropi dalam Masyarakat Islam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2008. Gha>nim, Ibra>hi>m al-Bayyu>mi>. al-Awqa>f wa al-Siya>sah fi> Mis}r. Kairo: Da>r alShuru>q, 1998. Gilani, A. Shaukat J. ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3:1 (1985). Gobee, E. dan C. Andriaase. Nasihat-nasihat C. Snouck Horgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. Jakarta: INIS, 1992. Haffening, W. ‚Waqf,‛ dalam First Encyclopaedia of Islam, vol. 8. Leiden: E.J. Brill, 1987. Hafiduddin, Didin. ‚Dunia Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (eds.), Zakat dan Peran Negara. Jakarta: Forum Zakat, 2006. ---------. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
197 Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformsi , Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Hamidiah, Emmy. ‚Pendayagunaan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan: Mungkinkah,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006. Hasan, Ahmad dan Muhammad Abdus Shahid. ‚Management and Development of the Awqaf Assets,‛ Proceedings of Seventh International Conference: The Tawhidi Epistemology—Zakat and Waqf Economy. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010. Hasan, Riaz. Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim, terj. Jajang Jahroni, Udjang Tholib dan Fuad Jabali. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. --------- dan Ali Çarkoglu. ‚Giving and Gaining: Philanthropy and Social Justice in Muslim Societies,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures , 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2009. Hasan, Samiul. ‚Islamic Philanthropic Foundation and Social Justice,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2009. ---------. ‚Muslim Philanthropy and Social Security: Prospects, Practices and Pitfalls,‛ paper disampaikan pada 6th ISTR Biennial Conference, Bangkok, 9-12 July 2009. Hasanah, Uswatun. Zakat dan Keadilan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Zakat di BAZ DKI Jakarta. Tesis Magister. Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1989. ---------. ‚Profil dan Manajemen Filantropi di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003. ---------. ‚Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,‛ Al-Awqaf: Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, 1:1 (Desember 208).
---------. Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan. Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 1997. ---------. ‚Penataan Lembaga Amil Zakat di Indonesia dan Permasalahannya,‛ Jurnal Syari‘ah, 2:2 (Januari-Juni 2010). Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Helmanita, Karlina. ‚Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern: Pengalaman Dompet Dhuafa,‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, UIN Jakarta, 2005. Hennigan, Peter C. The Birth of Legal Insitution: The Formation of the in Waqf in Third-Century AH H{anafi> Legal Discourse. Leiden: Brill, 2004.
198 Herasanti, Deby Nuri. Eksistensi Wakaf menurut KHI, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 2004. Hudayati, Ataina dan Achmad Tohirin. “Management of Zakah: Centeralized vs Decentralized Approach,” Proceedings of 7th International Conference on “The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy.” Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2010. Ibrahim, Barbara. From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy. Kairo: American University in Cairo Press, 2008. Ibn ‘Arabi>, Abu> Bakr. Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 1. Beirut: Da>r al-Fikr, 1972. Ihsan, Nur Hadi dkk. Profil Pondok Modern Darussalam Gontor. Gontor: Pondok Modern Darussalam, 2006. Ilchman, Warren F. et. al. ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, terj. Tim CRSC. Jakarta: CRSC UIN Jakarta, 2004. IMZ. Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan . Jakarta: IMZ, 2010. Islahi, Abdul Azim. ‚Provision of Public Good: Role of Voluntary Sector ( Waqf) in Islamic History,‛ dalam Financing Development in Islam, ed. M.A. Mannan. Jeddah: IRTI-IDB, 1416. Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Jahar, Asep Saepudin. ‚The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post-Independence Indonesia,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13:3 (2006). Jamjoom, Abdul Aziz M. Rashid. “Saudi Arabia: A Case Study,” dalam Institutional Framework of Zakat: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB, 1995. Jazuni. Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Jeffery, Arthur. The Foreign Vocabulary of the Quran. Leiden: Brill, 2007. Jeavons, Thomas H. ‚Religion and Philanthropy,‛ dalam http://learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/religion_philanthrop y.asp (diakses 5 Agustus 2010). al-Jurja>ni. Kita>b al-Ta‘ri>fa>t. Beirut: Maktabat Lubna>n, 1985. Juwaini, Ahmad. ‚Ketika Zakat Ditunaikan melalui Lembaga,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006. Ka‘bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999. Al-Kabisi>, Muh}ammad ‘A>bid ‘Abd Alla>h. Hukum Wakaf, terj. Ahrul Sani Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada. Jakarta: IIMaN, 2004. Kahf, Monzer. ‚Applied Institutional Models for Zakah Collection and Distribution in Islamic Countries and Communities,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed AbdelFattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB, 1995.
199 Kaleem, Ahmad dan Saima Ahmed. ‚The Quran and Poverty Alleviation: A Theoretical Model for Charity-Based Islamic Microfinance Institution,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly , 39:3 (2010). Kamil, Sukron. ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqh: Problem dan Solusi,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003. Kareem, Shamsiah Abdul. ‚Contemporary Waqf Administration and Development in Singapore: Challenges and Prospects.‛ Singapore: Islamic Religious Council of Singapore, t.th. Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Katjasungkana, Nursyahbani. ‚Filantropi Islam dan Gerakan Hak Asasi Manusia di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha. Jakarta: Teraju, 2003. Kempe, John E. dan R.O. Winstedt. ‚A Malay Legal Digest Compiled for Abdul Gharuf Muhaiyuddin Shah Sultan of Pahang (1592-1614),‛ JMBRAS, 21:1 (1948). Khadduri, Majid. Islamic Conception of Justice. Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1984. Kimber, Richard. ‚Boundaries and Precepts,‛ dalam The Encyclopedia of the Quran, ed. Jane Dammen McAuliffe, vol. 1. Leiden: Brill, 2001. Kozlowski, Gregory C. ‚Otoritas Agama, Reformasi dan Filantropi di Dunia Islam Kontemporer,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warrant F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L Queen II, terj. Tim CSRC. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006. Kurniawati, ed. Kedermawanan Kaum Muslim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat Indonesia, Hasil Survei di 10 Kota. Jakarta: Pustaka Adina, 2004. Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press, 1995. Lambton, A.K.S. ‚Wakf in Persia,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000. Layish, A. ‚Wakf in the Modern Middle East and North Africa,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 12. Leiden: Brill, 2000. Lewis, Bernard. ‚Bayt al-Ma>l: History,‛ The Encyclopedia of Islam, Vol. 1. Leiden: Brill, 1986. Liddle, William R. ‚Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia,‛ dalam Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought , ed. Mark R. Woodward. Arizona: Arizona State University Press, 1996. Lombardi, Clark Benner. State Law as Islamic Law in Modern Egypt. Leiden: Brill, 2006. Lubis, Ahmad Nur Fadhil. ‚Institutionalization and Unification of Islamic Courts under the New Order,‛ Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 2:1 (1995).
200 Madjid, Nurcholish. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997. Mahamood, Siti Mashitoh. Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 2006. Mahdi>, Mah}mu>d Ah}mad, ed. Niz}a>m al-Waqf fi> al-Tat}bi>q al-Mu‘a>s}ir: Nama>dhij Mukhta>rah min-Taja>rib al-Duwal wa al-Mujtama‘a>t al-Isla>miyyah. Jeddah: IRTI-IDB, 1423. Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2001. Majlis al-Sha‘b Jumhu>riyyat al-Mis}r. Dustu>r Jumhu>riyyat Mis}r al-‘Arabiyyah. Al-Makassary, Ridwan. ‚BAZ Propinsi Jawa Barat: Eksistensi yang Mulai Pudar?‛ dalam Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2003. Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su ‘udiyyah. Maba>di’ al-Dawlah. Riya>d}: Wiza>rat al-Kha>rijiyyah, t.th. Manan, M.A. ‚Beyond the Malaysian Twin Towers: Mobilization Efforts of CashWaqf Fund at Local, National and International Leves for Development of Social Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishmen of World Social Bank,‛ Makalah disampaikan pada International Seminar on Awqaf 2008, ‚Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah,‛ Johor Bahru, 11-12 Agustus 2008. Al-Mara>ghi>, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa>. Min Qad}a>ya> al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m. Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970. Mardjono, Hartono. Menegakkan Syari‘at Islam dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1997. Mastura, Michael O. ‚The Making of a Civil Society through Waqf Institution in Mindanao,‛ dalam Islam and Civil Society in Southeast Asia, ed. Nakamura Mitsuo et. al. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001. Mas’udi, Masdar F. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam . Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990. Al-Ma>wa>rdi>. Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}aniyyah. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th. Mawardi, Imam. Socio-Political Background of the Enactment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tesis M.A. Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University, 1997. McChesney, Robert D. Charity and Philanthropy in Islam: Institutionalizing the Call to Do Good. Indianapolis: Indiana University Center on Philanthropy, 1993. ---------. ‚Charity and Philanthropy in Islam,‛ dalam http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20/06/2009). Mietzner, Marcus. “Sidang Umum MPR 1999: Wahid, Megawati, dan Pergulatan Perebutan Kursi Kepresidenan,” dalam Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-aspek Sosial Reformasi dan Krisis, ed. Chris Manning dan Peter van Diermen, terj. Landung Simatupang dkk. Yogyakarta: LKiS, 2000.
201 Miftah, A.A. Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum . Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007. Mohamed bin Abdul Wahab, et. al. “Malaysia: A Case Study,” dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed AbdelFattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IRTI-IDB, 1995. Mohsin, Magda Ismail Abdel. Awqaf: The Social and Economic Empowerment of the Ummah. Johor Bahru: International Seminar on Awqaf, 2008. Monroe, Alan D. Essentials of Political Research. Oxford: Westview Press, 2000. Moten, Abdul Rashid and Syed Sirajul Islam. Introduction to Political Science. Singapore: Thompson, 2005. --------- and El-Fatih A. Abdel Salam. Glossary of Political Science Terms. Singapore: Thompson, 2005. Mubarok, Jaih. Wakaf Produktif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008. Muh}ammad, Muh}ammad H{a>mid. Qis}as} al-Mutas}addiqi>n: Fad}l al-S{adaqah, A<buha> wa-Ah}ka>muha>. Iskandariyyah: Da>r al-I<ma>n, 2000. Al-Munawar, Said Aqil Husin. ‚Pola Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf dalam Rangka Membangun Kesejahteraan Masyarakat,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah. Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006. Muslimin, Joko Mirwan. Islamic Law and Social Change: A Comparative Study
of Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in NationStates Egypt and Indonesia (1950-1995), Disertasi PhD. Hamburg: Universitat Hamburg, 2005. An-Naim, Abdullah-i Ahmed. Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati. Bandung: Mizan, 2007. --------- and Asma M. Abdel Halim. ‚Rights-Based Approach to Philanthropy for Social Justice in Islamic Societies,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2009. Najib, Tuti A. dan Ridwan al-Makasary, eds. Wakaf, Tuhan dan Agenda
Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006. Nanji, Azim. ‚Waqf,‛ dalam The Encyclopedia of Religion, ed. Lindsay Jones, vol. 14. New York: Thomson, 2005. Nasution, Mustafa E. ‚Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer,‛ dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa E. Nasution dan Uswatun Hasanah. Jakarta: Pusat Studi Timur Tengah dan Islam UI, 2006. Noor, Zainulbahar. Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan . Jakarta: Bening, 2006. Al-Omar, Fuad Abdullah. ‚Management of Zakah through Semi-Government Institutions,‛ dalam Management of Zakah in Modern Muslim Society , ed. I.A. Imtiazi et.al. Jeddah: IRTI-IDB, 2000. Payton, Robert L. Dan Michael P. Moody. Understanding Philanthropy. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2008.
202 Perikhanian, A.G. ‚Iranian Society and Law,‛ dalam Cambridge History of Iran. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. Peters, R. ‚Wakf,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000. ----------. ‚Wakf in Classical Islam,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000. Pioppi, Daniela. “From Religious Charity to the Welfare State and Back: The Case of Islamic Endowment Revival in Egypt,” Working Paper No. 2004/34. Florence: European University Institute, 2004. Powers, David S. ‚Wakf in North Africa to 1914,‛ The Encyclopaedia of Islam, vol. 11. Leiden: Brill, 2000. Praja, Juhaya S. Perwakafan di Indonesia. Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992. Prihatna, Andi Agung. ‚Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,‛ dalam
Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar. Jakarta: Pusat Budaya dan Bahasa UIN Jakarta, 2005. Al-Qarad}a>wi>, Yu>suf. Fiqh al-Zaka>h. Beiru>t: Muassasat al-Risa>lah, 1994. Qa>nu>n Hay’at al-Awqa>f al-Mis}riyyah No. 80/1971. Rahardjo, M. Dawam. ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan Epistemologis,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Ahmadi Thaha. Jakarta: Teraju, 2003. Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Quran, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1983. Rais, M. Amien. Tauhid Sosial. Bandung: Mizan, 1998. Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge-Harvard: Harvard University Press, 1999. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. Rid}a>, M. Rashi>d. Tafsi>r al-Mana>r, jilid 1. Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947. Riddell, Peter G. “The Diverse Voices of Political Islam in Post-Soeharto Indonesia,” Islam and Christian-Muslim Relations, 13:1 (2002). Ridlo, M. Taufik. ‚Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006. Riyadi, Rahmad. ‚Undang-undang Zakat dan Konsisi Perzakatan di Indonesia,‛ dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung. Jakarta: Forum Zakat, 2006. Roestandi, Achmad dan Muchjidin Effendie, Komentar atas Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Penerbit Nusantara Press, 1991. Rofiqurrahman. Filantropi Islam dan Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat, Disertasi Doktor. Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Sa>‘a>ti>, Yah}ya> Mah}mu>d. al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah. Riya>d}: Markaz Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, 1996.
203 Saduman, Sazak dan Eyuboglu Ersen Aysun. ‚The Socio-Economic Role of Waqf System in the Muslim Ottoman Cities’ Formation and Evaluation,‛ Trakia Journal of Sciences, 7:2 (2009). Saidi, Zaim, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin. Kedermawanan untuk Keadilan Sosial. Jakarta: Piramedia, 2006. ---------. ‚Islam, Kapitalisme dan Filantropi.‛ ---------. ‚Islamic Philanthropy: A Critical Overview,‛ Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, 4:1. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2009. Sait, Siraj dan Hilary Lim. Land, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim World. London-New York: Zed Books, 2006. Salim, Arskal and Azyumardi Azra, eds. Shari‘a and Politics in Modern Indonesia. Singapore: ISEAS, 2003. ---------. ‚Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore: ISEAS, 2003. ---------. Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press, 2008. ---------. ‚The Influential Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formation of Zakat (Alms) Law in Modern Indonesia,‛ Pacific Rim Law and Policy Journal Association, 15:3 (2006). --------- dan Azyumardi Azra. ‚Introduction: The State and Shari‘a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,‛ dalam Shari‘a and Politics in Modern Indonesia, ed. Arskal Salim dan Azyumardi Azra. Singapore: Institute of South East Asian Studies, 2003. Sarakhs}i>. Al-Mabsu>t. Kairo: 1906. Sarjono. Kewenangan Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengurusan Zakat di Indonesia. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 1993. Sazali, Farid Hasan. Temporalitas Wakaf dalam Hukum Nasional beserta Syariah Islam Yang Mendasarinya. Tesis Magister. Depok: FH, UI, 2006. Schacht, Joseph. ‚Zakat,‛ First Encyclopedia of Islam, vol. 4. Leiden: Brill, 1976. Schwarz, Adam. A Nation in Waiting Indonesia in the 1990s. Australia: Allen & Unwin Ltd., 1994. Sekretariat Jenderal DPR-RI. Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Setjen DPR-RI, 1999. ---------. Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf. Jakarta: Setjen DPR-RI, 2004. Sesli, Faik Ahmet. ‚Foundation Administration and Foundation Landownership in Turkey form Past to Present,‛ African Journal of Business Management, 4:9 (2010). Shemesh, A. Ben. Taxation in Islam: Yah}ya> ibn Ab al-Khara>j. Leiden: Brill, 1958. Shepard, William E. “Muhammad Said al-Ashmawi and the Application of the Sharia in Egypt,” International Journal of Middle East Studies, 28:1 (February, 1996).
204 Sheri, L.A. dan Grovesd, H.E. ‚The Constitution of Malaysia,‛ Malaysia Law Journal (Singapore, 1979). Siddiqi, S.A. Public Finance in Islam. Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1992. Singer, Amy. Constructing Ottoman Beneficence: An Imperial Soup Kitchen in Jerussalem. Albany, NY: State University of New York Press, 2003. Singleton, Royce A. dan Bruce C. Straits. Approaches to Social Research. New York-Oxford: Oxford University Press, 1999. Subhan, Arief dan Yusro Kilun, eds. Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Dakwah Press, 2007. Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk. Jakarta: UI Press, 1995. Sulek, Marty. ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3 (2010). ---------. ‚On the Modern Meaning of Philanthropy,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:2 (2010). Sullivan, Denis. Private Voluntary Organizations in Egypt: Islamic Development, Private Initiative and State Control. Gaibesville, Fla.: University Press of Florida, 1994. Suny, Ismail. ‚Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,‛ dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Sutarmadi, Ahmad. ‚Sekilas tentang Filantropi Islam di Indonesia,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam , ed. Idris Thaha. Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003. Tasniawan, Deny Wahyu. Studi Administrasi Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 terhadap Tingkat Ketertiban Wajib Zakat: Studi Kasus Baznas . Tesis Magister. Depok: Kajian Timur Tengah dan Islam, UI: 2008. Thaha, Idris, ed. Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam . Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003. Thohari, Hajriyanto Y. “Negara Santri: Menengok Tesis Cak Nur,” Kompas, Senin, 13 Desember 1999. ---------. Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005. Tim Penulis. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005. Tim Penulis. Proses Lahirnya Undang-Undang Wakaf. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005. Ting-Yuan Ho, Andrew. Charitable Giving: What Makes A Person Generous? Tesis MA. Washington DC.: Georgetown University, Faculty of the Graduate School of Arts and Sciences, 2006. Turkish Civil Code of 1991.
205 Al-‘Umar, Fuad Abdullah. ‚General, Administrative and Organizational Aspects,‛ dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications , ed. Ahmed Abdel-Fattah al-Shakeer dan Muhammad Sirajul Haq. Jeddah: IDB-Institute of Research and Training, 1995. Usman, Rachmadi. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesa. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. van Bruinessen, Martin. ‚Liberal and Progressive Voices in Indonesian Islam,‛ dalam Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity, ed. Shireen T. Hunter. London-New York: M.E. Sharpe, 2009. Vogel, Frank E. Islamic Law and Legal System in Saudi Arabia. Leiden: Brill, 2004. Watts, Thomas D. ‚Charity,‛ dalam Encyclopedia of World Poverty, ed. M. Odekon. London: Sage Publication, 2006. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic: Arabic-English, ed. J. Milton Cowan. Beirut: Maktabat Lubna>n, 1974. Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah. al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah. Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992. Weir, T.H. ‚Sadaka,‛ The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1997. White, Andrew. ‚The Role of Islamic Waqf in Strengthening South Asian Civil Society: Pakistan as Case Study,‛ International Journal of Civil Society Law, 4:2 (April 2006). Yusuf, Maulana. Implementasi Kebijakan Pengelolaan Zakat pada Baznas. Tesis Magister. Depok: FISIP, UI, 2005. Zahrah, Muh}ammad Abu>. Muh}a>d}ara>t fi> al-Waqf. Kairo: Ma‘had Dira>sa>t al‘Arabiyyah al-‘A>liyah, 1959. Zuh}ayli>, Wahbah. Al-Was}a>ya> wa al-Waqf fi> al-Fiqh al-Isla>mi>. Damaskus: Da>r alFikr, 1998. ---------. Al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1992. Zysow, A. ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam, vol. 11. Leiden: E.J. Brill, 2001.
B. Undang-undang dan Peraturan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK, 2007. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001. Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003. Undang-Undang No. 17 Tahun 2000.
206 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. 15 Tahun 1990. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang. Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. ‚Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang,‛ 28 Shafar 1423/11 Mei 2002. ‚Keputusan Fatwa MUI No. I/MUNAS/VII/MUI/5/2005. Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama, 2009. Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Komisi VIII, 2010. Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Baznas, 2010. Draft RUU tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Forum Zakat, 2010. Draft RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat, 2010. UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
C. Website http://www.answers.com/topic/ philanthropy (diakses 20 Juni 2009). http://en.wikipedia.org/wiki/Philanthropy (diakses 20/06/2009). http://www.muhammadiyah.or.id/jaringan-muhammadiyah.html (diakses 12 Januri 2011). http://www.tusev.org.tr/content/detail.aspx?cn=318&c=68 (diakses 12 Januari 2011). http://www.dzit.gov.sa/en/index/shtml (diakses 13-01-2011). http://www.nefdev.org/phil/en/page.asp?pn=23#full (diakses 20 Januari 2011). www.baznas.or.id. http://www.dompetdhuafa.or.id/profil/ (diakses 5 Agustus 2010). http://www.pkpu.or.id/about/sejarah (diakses 6 Agustus 2010).
207 http://www.pkpu.or.id/images/uploads/MENTERI%20AGAMA.pdf (diakses 6 Agustus 2010). http://www.dpu-online.com/profile/detail/0/12 (diakses 7 Agustus 2010). http://www.rumahzakat.org/profilnya.php?id=200911260001&cat=2 (diakses 8 Agustus 2010). http://www.lazismu.org (diakses 12 Desember 2010). http://www.forumzakat.net/index.php?act=anggota&hal=5 D. Koran Republika, Senin, 7 Juni 2010. Media Indonesia, Selasa 2 Maret 2010.
LAMPIRAN I REKAPITULASI PEMASUKAN DANA ZIS1
Nama Lembaga BAZNAS
BAZIS DKI
Dompet Dhuafa
YDS Al-Falah
PKPU
Rumah Zakat Indonesia
Al-Azhar Peduli Umat
1
Tahun 2001 2002 2007 2008 2001 2002 2003 2004 2005 2007 2000 2001 2002 2003 2004 2008 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2009 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2008 2004 2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008
ZIS Terkumpul 2.700.073.354,11.218.888.495,14.592.016.646,18.876.000.000,9.482.194.345,11.550.000.000,14.103.504.330,16.257.823.896,18.482.757.570,27.213.963.125,13.655.105.172,18.007.293.153,21.504.964.430,22.493.670.205,30.360.851.863,60.692.348.196,6.011.753.576,8.576.652.203,11.344.498.869,16.791.784.803,21.457.533.629,25.072.061.729,28.038.146.332,10.854.900.871,7.736.441.529,8.540.110.141,7.807.588.809,12.448.784.632,47.475.272.734,45.611.971.485,35.000.000.000,63.312.466.256,35.000.000.000,41.800.426.390,58.599.966.865,2.395.127.876,3.658.656.076,6.652.372.041,8.750.761.125,-
Keterangan
Data ini diambil dari http://www.forumzakat.net (diakses 20 Juni 2009)
208
209 LAZ DDII
Baitul Mal BRI
ZIS Mandiri
Bamuis BNI
Baitul Maal Muamalat
Baitul Mal Pupuk Kujang
Baitul Mal Pupuk Kaltim
Baituzzakah Pertamina
LAZ Persatuan Islam Lazis Muhammadiyah
2002 2003 2005 2008 2001 2002 2008 2001 2002 2003 2005 2007 2000 2001 2002 2003 2007 2008 2001 2002 2005 2008 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2000 2001 2002 2003 2006 2001 2003 2004 2005 2008 2007 2008 2003 2004 2005 2006
133.550.000,576.518.725,2.543.552.941,5.090.592.283,646.638.277,2.262.191.761,7.868.330.017,561.272.489,718.593.080,908.034.610,1.550.571.175,2.878.210.117,3.882.125.000,4.260.324.000,4.822.108.000,12.690.066.000,21.465.448.000,23.447.293.000,1.261.744.267,3.076.829.550,16.572.101.418,22.016.100.759,545.423.289,1.386.333.990,745.078.757,1.229.216.582,1.575.159.175,716.468.702,1.056.201.224,1.245.115.355,456.579.349,871.672.601,2.460.750.968,579.898.362,398.512.444,395.863.847,2.238.196.273,23.447293.000,1.242.781.961,1.006.997.356,1.170.959.233,1.923.885.721,6.805360.308,5.153.242.027,-
LAMPIRAN II DATA PENGUMPULAN DANA ZIS SECARA NASIONAL DARI BAZNAS 1 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah ZIS (dalam milyar) 68.39 85.28 150.09 295.52 373.17 740.00 920.00 1.200.00 1.400.00
1
Pertumbuhan (%) -24,70 76,00 96,90 26,28 98,30 24,32 30,43 16.66
Data ini diambil IMZ, Kajian Empirik Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta: IMZ, 2010), 135-136.
210
DAFTAR INDEKS ‘AbbasiyYah, 22, 29, 37 Abdurrahman Wahid, 6, 15, 71, 94, 131 Abu> Bakr, 24, 28, 31 Abu> Yu>suf, 29, 30 ahl al-dhimmah, 37 Ahmad Sutarmadi, 104, 183 al-as}na>f al-thama>niyah, 30, 78, 94 al-Ghaza>li>, 25, 31 Alla>h, 82 Al-Quran, 36, 39, 44, 54, 59, 60, 66, 67, 75, 87, 118, 143 A. Malik Fadjar, 63, 69, 73 amil, 4, 10, 11, 54, 57, 59-62, 67-69, 74, 76, 77, 85, 88, 92-95, 143, 160, 162-164, 167-169, 174, 175, 185 Arab Saudi, 3, 43, 44-46, 48, 64, 89-91, 125 Arskal Salim, 50 Ayyu>biyyah, 36 Azyumardi Azra, 8, 50, 71 Bahtiar Effendy, 96 baitul Mal, 29, 37, 55-59, 61, 65, 68, 70, 74, 77, 96 Bangladesh, 117, 118, 121, 122, 125, 129 BAZ, 10, 11, 29, 61, 76, 77, 93-96, 99-102, 156, 168, 174-181, 183-185 BAZIS, 9, 11, 58-60, 62, 70, 73, 78, 79, 169 BAZNAS, 10-12, 93, 94, 96, 98, 134, 155, 168, 169, 176, 179-181, 183, 184 birr, 33 Budha, 19, 97, 140 BWI, 16, 126, 130, 144, 149, 151-154 BZI, 178-180 civil society, 5, 6, 8, 9, 17, 42, 43, 155, 174, 177, 181-183, 187 Daarut Tauhiid, 162, 163, 168, 173 Didin Hafiduddin, 60 distribusi, 3, 10, 11, 29, 30, 40, 45-47, 51, 54, 56, 60, 61, 65-67, 69, 94, 95, 99, 100, 120, 166, 174, 176, 182, 184, 185 Dompet Dhuafa (DD), 9, 10, 70, 98, 156
211
212 DPR, 17, 63, 67-69, 71-73, 75, 76, 79, 80, 91, 92, 99-101, 111, 114, 121, 129, 133136, 139, 149-150, 157, 175-180, 187 Fat}imiyyah, 30, 36 Fazlur Rahman, 31, 39 filantropi, 1-11, 13-23, 25, 31-33, 35, 36, 38, 42-44, 46-49, 56, 78, 79, 86, 96, 103, 113, 137, 145, 155, 156, 158-162, 164-170, 173, 174, 182-184, 186, 187 FOZ, 6, 68, 70-72, 156, 157, 168, 169, 171-173, 177-180, 187 Fraksi, 63, 77-79, 87-91, 135-138, 140-146, 148-150, 177 fuqaha>’, 30, 32 GEMAZ, 180, 181 Habibie, 5, 15, 71, 72, 91, 92, 131 h}abs, 138 Hadis, 21-25, 27, 33, 34, 60, 78, 121, 127, 144 h}arbi, 25 h}awl, 27, 89 Hazairin, 51, 97 Hindu, 19, 97, 140 h}uru>b al-riddah, 28 Ibn al-‘Arabi>, 23 Ibn Taymiyah, 39 infak, 8, 11, 15, 21, 23, 59, 70, 74-80, 83-88, 98, 99, 155-158, 160-164, 166, 167, 177, 182 IMZ, 168, 173 India, 19, 109 Islam, 2-17, 18-23, 25, 26, 28-33, 35-40, 42-48, 49-62, 64, 66, 67, 70, 72-76, 8082, 85, 87, 89, 91, 93-98, 100, 102, 103, 104, 106-110, 112-118, 121, 122, 125-127, 129-137, 139-142, 145-149, 155, 156, 160, 163, 165, 166, 168, 171176, 178, 179, 181-187 John Rawls, 40, 97 Jon B. Alterman, 2 karitas, 1, 15, 42, 118 keadilan sosial (social justice), 12, 20 kebijakan, 3, 4, 12, 14-17, 28, 29, 42, 43, 46, 47, 49, 52, 53, 55, 56, 59, 61, 62, 71, 72, 97, 103, 106-108, 126, 128-130, 134, 152, 167, 176, 177, 179, 184, 185, konstitusi, 14, 41-45, 47, 52, 82, 97, 135, 147 Kristen, 19, 20, 22, 26, 32, 33, 36, 37, 53, 131, 140 Kuwait, 64, 67, 115, 140, 152 LAZ, 10, 92-95, 99, 100, 102, 155-157, 160, 163-168, 171-185 LAZISMU, 166-168, 172 legislasi, 13, 42, 46, 48, 49, 72, 73, 116, 131-133, 175 Libya, 3, 30, 64, 65, 67, 75, 94
213
mafsadah, 40 Mahfud MD., 7, 72, 129 Majid Khadduri, 39 Malaysia, 3, 30, 43, 47, 48, 63-65, 67, 74, 86, 89, 91, 92, 109, 115-117, 125, 148, 152 M.A. Mannan, 121, 130 Marwa>niyyah, 36 mas}lah}at al-zaka>h wa al-dakhl, 45 mawqu>f bih, 34 mawqu>f ‘alayh, 34 M. Dawam Rahardjo, 19, 31 Megawati, 6, 15, 130-132, 134 Menteri Agama, 16, 57-59, 61-63, 68, 69, 72-76, 79, 88, 91-93, 99, 100, 110, 112114, 126, 129-134, 143, 150, 151, 157, 160, 163, 164, 166, 167, 175 Mesir, 32, 33, 35-37, 40,43, 46-48, 75, 86, 115, 119-122, 125, 146, 174 miqda>r, 27 MIAI, 55, 56 Monzer Kahf, 63, 130 Muhammadiyah, 6, 9, 56, 131, 134, 166-168, 172, 173, 185 Muh}ammad, 6, 21, 32, 63 MUI, 62, 127, 128, 130, 134, 136 Muslim, 2-5, 7, 9, 13, 15, 16, 18, 22, 23, 25, 26, 29-39, 43-47, 49, 51, 52, 54-57, 60, 62-64, 66, 68, 71, 74, 76, 78, 82, 85, 86,89, 91, 93, 96, 98-100, 102, 103, 107-110, 115, 117, 118, 121, 123, 131, 134-136, 140, 141, 147, 148, 162, 167, 175, 176, 186, 188 mustahik, 3, 9, 10, 29, 47, 54, 60, 61, 64-66, 85, 94, 99, 162, 163, 166, 176, 178, 180, 185 muzakki, 10, 47, 60, 64, 85, 86, 91, 99, 101, 102, 162, 175, 176, 177, 179-181, 185 Nabi, 2, 21, 23-26, 28, 32-34, 54, 144, 184 nazir, 106, 111, 112, 114, 118, 120, 125-127, 134, 138, 141-152 negara, 2-5, 7-11, 13-18, 22, 27-32, 35, 37-39, 41-49, 56-67, 69, 73-76, 78-82, 85, 86, 88-94, 96-98, 100-103, 105, 106, 111, 115-118, 120, 121, 123-126, 128, 130-133, 135, 137, 139-141, 145, 146, 148, 149, 152, 155, 156, 159, 162, 174-187 nis}a>b, 27, 29, 66 Orde Baru, 5-7, 10, 13-15, 17, 54, 60, 68, 73, 112, 115, 183, 184, 186, 187 Orde Lama, 4, 61 Pakistan, 3, 30, 42, 64, 66, 78, 92 partai, 5, 14, 55, 68, 75, 76, 81, 131, 135, 170 Pasca-Orde Baru, 6, 7, 14, 15, 17, 186, 187 PKPU, 159-162, 168, 170, 173
214
public good, 1, 19 politik, 2-8, 13, 14, 17, 20, 27, 35, 36, 41, 42, 46, 55, 57, 68, 71, 72, 97, 111, 123, 124, 129, 131, 132, 150, 159, 187, 188 public reason, 97, 98, 187 Rachmat Djatnika, 23 receptio in complex, 50 receptie, 50, 51 receptie exit, 51 receptio a contrario, 51 rika>z, 27 Robert D. McChesney, 3 Rumah Zakat, 163-166, 169, 170, 173 RUU, 7, 15, 16, 59, 111, 115, 117, 121, 124-130, 132-150, 176-180, 182, 183, 187 shadaqah, 2, 8, 15, 18, 21-26, 30, 32, 33, 53, 59, 70, 74-80, 83-85, 86-88, 98, 99, 105, 114, 127, 155, 157, 158, 160-164, 166, 167, 177, 182 s}adaqat al-tat}awwu‘, 23, 87 s}adaqat al-nafl, 23 s}adaqah ja>riyah, 32 s}adaqah mawqu>fah,35 s}adaqah muh}arramah, 35 Shireen Hunter, 2 Snouck C. Hurgronje, 50, 53 Soeharto, 4, 5, 15, 58-62, 68-72, 76, 111, 115, 183, 184, 186 Soekarno, 4, 61, 68, 111, 115 Susilo Bambang Yudhoyono, 15, 150 Sudan, 3, 30, 66, 92 Sunnah, 23, 44, 77-80, 84, 87, 143 syariah, 39, 45, 46, 60, 62, 124, 126, 135, 136, 144, 147, 149, 153, 159, 163, 168, 173 Thomas H. Jeavons, 1 Turki Utsmani, 22, 118, 119, 121, 122 Turki, 22, 36, 37, 43, 44, 48, 67, 105, 115, 118, 119, 121, 122, 125 ‘Umar, 24, 28, 29, 34, 35, 127, 144 ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z, 29 Umayyah, 29, 37 ‘ushr, 29, 30 ‘Uthma>n, 29, 185 Undang-undang zakat, 6, 13, 14, 17, 30, 61, 63, 65-68, 71, 75, 78, 81, 90, 175 Undang-undang wakaf, 44, 48, 115, 116, 133, 139, 145 UPZ, 176, 181
215 Uswatun Hasanah, 11, 12, 130, 133, 184 wakif, 12, 46, 106, 111, 118, 124, 127, 134, 138-141, 147, 148 wakaf, 2, 4, 6-10, 12-21, 32-38, 42-44, 46-48, 53, 56, 58, 59, 67, 73, 74, 84, 103158, 160-163, 166, 169, 186, 187 wakaf dhurri /ahli, 35 wakaf khayri, 35 wakaf tunai, 127-130, 136, 149 wa>qif, 34, 35 wiza>rat al-awqa>f, 46 Yahudi, 20, 22, 25, 26, 37 Yaman, 3, 30, 64, 65 YDSF, 166, 168 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, 3, 26 William R. Liddle, 7 Zakat, 2-18, 21-23, 25-33, 38, 44-49, 51-103, 105, 115, 116, 122, 127, 130-132, 138, 143, 155-158, 160-170, 173-185, 186, 187 zakat fitrah, 27, 47, 51, 54, 60, 65, 74, 96 Zaim Saidi, 6, 9 ZIS, 74, 78, 162, 163, 167-174, 177 Zoroastrianisme, 19-21 Zysow, 27, 64, 67
RIWAYAT HIDUP Widyawati adalah dosen tetap Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Dilahirkan di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, pada 17 April 1969, ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di kampung halamannya pada 1982, sementara pendidikan menengahnya diperoleh dari Pondok Pesantren Modern Dar el-Qalam, Gintung, Balaraja, Tangerang, pada 1988 dan sempat mengajar di almamaternya ini selama setahun. Kemudian, ia melanjutkan studi S-1 di Fakultas Syariah IAIN (kini UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dan lulus pada 1994. Pendidikan S-2 diperoleh dari Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang pada 1998. Sejak 2004, ia meneruskan studi S-3 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak mahasiswa, ia aktif di organisasi kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Senat Fakultas Syariah. Di samping itu, ia juga aktif di HMI Cabang Kabupaten Bandung dan menjadi ketua KOHATI di cabang tersebut pada 1993. Dalam delapan tahun terakhir ini, ia sebagai anggota Senat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Saat ini, ia adalah anggota editor pelaksana Jurnal Politik Islam (Jurusan Siyasah) di fakultas yang sama. Selama menjadi dosen, ia telah menerbitkan beberapa tulisan, baik dalam bentuk terjemahan maupun artikel di jurnal ilmiah. Buku terjemahannya meliputi Ilmu Politik Islam (2000), Qiyas: Penalaran Analogis dalam Islam (2001), Menentang Islam Politik (2004) dan Menimbang Ekonomi Islam (2005). Adapun artikel-artikelnya dalam jurnal ilmiah meliputi “Syura dan Demokrasi Perspektif Fiqh Siyasah” (Jurnal Asy-Syariah, 2006), “Wilayatul Faqih: Konsep Siyasah Syiah Modern” (Jurnal Asy-Syariah, 2007), “Islam dan Konstitusionalisme” (Jurnal Asy-Syariah, 2008) dan “Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga Islam” (Jurnal Khazanah, 2008). “Kontribusi Politik Komparatif bagi Pengembangan Fiqh Siyasah” (Jurnal Politik Islam, 2009) dan “Revolusi Perspektif Fiqh Siyasah” (Jurnal Politik Islam, akan terbit). Penelitian yang pernah dilakukan antara lain “Pemikiran Politik NU: Studi tentang Argumentasi dalam Penerimaan Asas Tunggal Pancasila” (1994), “Pandangan Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi” (Puslit IAIN Bandung, 2000) dan “Metode Ijtihad dalam Lembaga Bahtsul Masail” (2002). Ia menikah dengan Munir pada 1994, dan dikarunia tiga orang anak: Salwa Nurvidya (1995), M. Khursyid Hikam (2001) dan Refat Jahabidza (2007). Saat ini, ia bersama keluarga tinggal di Komplek Tirtawening Kav. 24 Cisurupan, Cibiru, Kota Bandung, 40615 (Telp. 022-780-0982)/[email protected] 216