VCAJT -*_."V - U^»V^-&V-i
fH. K. Szekety-Culb oeis WsK 1 /
PENERBIT * —-"-
.
CHAILAN 1
.
—
S J A M S t n / - DJAKARTA .—— •-
^.JCL.
.
ta^m
-_
BIBLIOTHEEK KITLV 0179 9806
\ry-\ 8 9 "33 CK
/*!
aq -
TJOET NJA DIN RIWAJAT HIDUP SEORANG PUTERI ATJEH OLEH
M. H. S Z E K E L Y - L U L O F S
TERDJEMAHAN DAN SADURAN
ABDOEL MOEIS
PENERBIT CHAILAN SJAMSOE DJAKARTA
K-t-~T-l—\S-
i-EiC
PENDAHULUAN Pengarang tjcritcra ini, njonja M. H. Szckcly-Lulofs, ialah puteri dari almarhum Rcsiden Lulofs, jang sangat terkcnal namanja di Sumatcra Utara dan Tcngah sebagai pegawai bestir jang adil. Banjaklah sahabat-sahabat karib jang diringgalkan oleh tuan Lulofs dikedua dacrah itu. Karena dengan sesungguhnja tidaklah ia masuk golongan pada pembesar-pembesar Belandajang,,kolonial", jang menggunakan kekuasaannja untuk memeras dan menindas rakjat jang tidak bcrdaja. Njonja Szekely umpama dibesarkan ditanah Atjch. Pada tahun 1900 ajahnja mendjadi pegawai bestir di Meulaboh. Pada waktu itu pcrdjuangan bangsa Atjch buat mempertahankan kemerdekaan bangsa dan tanah airnja tcrhadap tindakan orang Belanda jang bersikap hendak mendjadjah, telah mulai hendak patah. Teuku Oemar, pahlawan Atjch jang tangkas dan gagah bcrani, telah gugur dimuka pintu Meulaboh. Djcndral van Heutsz tampil kemuka sebagai pemenang. Perang Sabil, untuk melawan ,,kape" jang hendak mendjadjah, umpama telah berhenti. Tapi aman dan damai masih sangat djauh dari pintu. Pasukan-pasukan gcrilja masih muntjul antara sebentar disegala tempat. Putera mahkota Keradjaan Atjch masih belum menjerah kepada ,,kumpeuni". Panglima Polim, pahlawan bangsawan, keturunan radja-radja jang bcrabadabad lamanja memcrintah tanah Atjch dan segala dacrahnja, masih belum tunduk. Gerombolan-gcrombolan gerilja masih berkcliaran masuk hutan keluar hutan, sambil membunuh dan membakar dikampung-kampung jang dilaluinja dan tidak turut bcrpcrang. Mercka mentjari tempat-tempat pcrlindungan dirimba-rimba. Pada saat jang tidak disangka-sangka oleh Patroli Belanda, keluarlah mcreka, melalukan penjerangan dan gangguan-gangguan tcrhadap segala sesuatu jang dianggapnja musuh. Antara sebentar bivak-bivak tentara Belanda menderita serangan, baik dari tempat jang terscmbunji, maupum dengan djalan berhadap-hadapan. Patroli Belanda, jang tidak berhenti-henti keliling tempat, sibuk pula memberi perlawanan tcrhadap ,,djahat" scpandjang djalan. Setiap hari ada sahadja serdadu Belanda jang pulang kembali kedalam tangsinja diatas usungan. Di Meulaboh dikumpulkan sekalian pegawai sipil disuatu tempat kediaman, jang dipcrkuat pagarnja, bcrupa kawat bcrduri. Laki-laki perempuan tidur bcrsiap pistol diisi ditempat tidurnja. Teuku Oemar memang sudah gugur, sctahun kcbclakang. Ia tidak berbahaja lagi. Tapi djandanja, Tjoct Nja Din jang sama tangkas dan gagah bcrani dengan almarhum suaminja, telah mengundurkan diri kedalam hutan, membawa sepasukan kawan-kawan Teuku Oemar jang tidak hendak tunduk kepada ,,kape". Pimpinan peperangan beralih kctangan Tjoct Nja Din, jang mcndjalankan siasatnja dari hutan-hutan. Pcngikutnja kian hari kian bcrtambah djua. Meskipun penulis memang seorang bangsa Belanda sedjati, jang tidak ketjampuran darah Timur, tapi dari ketjilnja ia menaruh rasa simpati tcrhadap tanah dan bangsa Atjeh, dengan tidak dikctahui scbab-scbab jang scbenarnja. Sesudah agak umur, hatinja melekat pula kepada tanah Minangkabau. Padahal
4
Tjoet Nja Din
jang didengarnja sehari-hari hanjalah tentang kegagahan dan ketangkasan serdadu-serdadu Belanda sahadja, terutama pemimpin-pemimpinnja. Sctelah penulis masuk sckolah, ajahnja dipindahkan dari Atjeh kc Sumatera Tengah. Ditanah Minangkabau pun ia dapat mcndengar berita-bcrita perang Atjeh, jang pada masa itu masih djauh dari pada sclesai. Jang ditjeriterakan tentang orang Atjeh, baik oleh orang militcr, maupun oleh orang sipil, hanja buruknja sahadja. Orang Atjeh dikcnalnja dari berita-berita itu dengan nama ,,djahat", ,,musuh", ,,pengatjau", ,,pengchianat", ,,pemberontak", dan sebagainja. Teuku Oemar ialah seorang ,,pengchianat" jang tidak sckali-kali dapat dipcrtjaja. Orang itu, kata tjerita-tjerita dikalangan orang Belanda, ialah seorang pendjahat, jang telah pernah berchianat tcrhadap bangsa dan tanah airnja sendiri. Karena ia, sctelah memberontak tcrhadap pemcrintah Belanda, sckonjong-konjong meninggalkan barisannja lalu menggabungkan diri kepada tentara Belanda. Dengan segala tipu muslihat ia dapat mengabui mata djcndral Dyckcrhoff, jang achirnja pertjaja kepadanja. Sampai ia diberi kesempatan buat menjusun barisannja, jang diperlengkapi pula oleh orang Belanda dengan sendjata beserta alat-lalat. Sebab ia berkata hendak membantu orang Belanda buat menghantjurkan ,,djahat-djahat" jang mesih mengatjau. Demikian bunji tjerita-tjerita itu. Dan sesudah ia mendapat sendjata lengkap, datang-datang ia lari kembali kehutan membawa pasukannja, lalu mengatjau dan mengchianat pula tjara semula. . . Pada masa itu penulis masih kanak-kanak. Tjerita-tjerita serupa itulah jang didengarnja setiap hari. Dirumahnja, dimedja makan, disekolah, dikalangan kawan-kawannja. Scbab ia memang anak orang Belanda, sudah scpatutnjalah djika ia turut menaruh dendam tcrhadap bangsa Atjeh itu. Tapi budi pekerti dan tabiat manusia itu tidak dapat dibentuk-bentuk oleh sesama manusianja. Karena tabiat itu telah terbentuk dari semula insan lahir, kedunia mcrupakan barang bernjawa. Rasa simpati terhadap bangsa Atjeh itu oleh njonja Szekely telah dikandung didalam kalbunja, dengan tidak diinsafkannja. Segala jang buruk-buruk tentang orang Atjeh jang didengarnja setiap saat paling banjak hanja dapat menghibakan hatinja sahadja. Bentji dan dendam tidaklah dirasainja. Sebagai seorang perempuan, hati penulis sangat pula tertarik oleh wanita Atjeh. Diantara para wanita itu banjak didengarnja nama-nama pahlawan kebangsaan jang mengurbankan darah dan njawa untuk tanah airnja. Pahlawanpahlawan wanita jang tak usah kelindungan oleh orang laki-laki, jang serentak mempertahankan tanah, air itu dengan laku mati-matian. Tentang djalannja peperangan, njonja Szekely pada awal scsungguhnja memang tidak berpengctahuan. Sctelah dewasa dan membatja riwajat-riwajat peperangan Atjeh dari buku-buku karangan Kiclstra, Kruishcer, Djcndral Van Swietcn, Krecmer, Jacobs, profesor Vcth, Van Langcn, beserta laporanlaporan dari pihak rcsmi dan Iain-lain, maka dapatlah ia suatu pemandangan tentang bentjana Atjch itu, setjara ia dircsmikan oleh pihak jang satu, jaitu pihak orang Belanda ,,kolonial", jang berkejakinan bahwa hak dan kebenaran
hc.i--r.i-.
Pendahuhan
5
serta keperwiraan hanjalah ada dipihak mereka sahadja. Hati njonja Szekely tidak puas. Diantara baris-baris jang dibatjanja didalam segala naskah itu, tcrasa dan tcrbajanglah olehnja, bahwa sekalian penulis itu hanjalah suka memandang persitiwa itu dari katjamatanja sendiri sahadja. Peribahasa ,,ecre wien eerc toekomt" rupanja tidak ada dalam kamus para penulis dan pengarang riwajat. Mungkin mereka telah berdjasa karena dapat membukukan sedjarah dan riwajat-riwajat jang historis, tapi jang ada dibelakang lajar tida hendak diaku oleh mereka. Sebab hati memang tak puas, njonja Szekely asjik mentjari-tjari segala keterangan jang berhubung dengan peperangan Atjeh, jang bukan sahadja masuk akal, tapi djua dikuatkan oleh kenjataan. Sampai seorang sahabat, jaitu bekas Residen H. F. Damste menjerahkan sebuah naskah kctangannja. Residen Damste menemukan naskah itu dalam surat-surat peninggalan Snouck Hurgronje, jang mentjatatkan segala sesuatu jang didengarnja dari mulut djuru sjair Dokarim. Abdoclkarim (Dokarim) ialah seorang penjair dan pengarang riwajat perang Atjch, jang dilagu-lagukannja didepan para pendengar jang berkehendak, dan ditempat-tempat keramaian. Riwajat jang disjairkannja itu dan dinamakan ,,Hikajat Prang Kompeuni" oleh pengarangnja, tidak pcrnah diterbitkan mendjadi buku, karena pada masa itu sebagian tcrbesar dari penduduk Atjch memang buta huruf. Naskah itu dituliskan didalam bahasa Atjeh. Residen Damste, jang mahir dalam bahasa itu, scolah-olah bahasanja sendiri, menterdjemahkan isi sjairsjair Dokarim itu kedalam bahasa Belanda dimuka pengarang. Dari hikajat itulah njonja Szekely bcrkenalan dengan sekalian pahlawanpahlawan Atjeh, jang memegang peranan penting didalam perang Sabil itu. Buku karangan ahli-ahli bangsa Belanda mendjadi sumber jang historis bagi pengarang. Selainnja daripada membatja segala naskah dan sjair-sjair Dokarim, penulis mengumpulkan pula segala keterangan jang didengarkannja dari beberapa orang, jang sama mcngalami peristiwa peperangan Atjch itu. Ketjuali daripada orang-orang Belanda terkemuka, sebagai kapitcn Colijn jang menerima kedatangan Panglima Polim, kctika pahlawan Atjeh itu menjatakan takluknja kebawah perintah Belanda, kapiten Schmidt dari Marsose, letnan van Vuuren, jang bcrsama-sama dengan kapiten Veltman telah dapat menangkap Tjoet Nja Din ditempat perscmbunjiannja dipegunungan, penulis telah mentjari perhubungan pula dengan orang-orang jang bcrkenalan baik dengan Teuku Oemar, Teungku di Tiro, Teuku Neh dari Merassa, Habib Abdoerachman dan Iain-lain. Dan penulis telah mencmui pula orang-orang jang bergaul dengan Teuku Tsj^h, imam di Lamgna, pahlawan perang jang sangat ditakuti, bekas suami Tjoet Nja Din dan dengan ajah Tjoct Nja Din, jaitu Nan Setia, dan dengan jang Iain-lain. Daripada segala kenjataan jang didapatjna dari buku-buku, naskah-naskah, sjair-sjair Dokarim dan tjeritera dan tjeritera orang-orang jang mengetahui itulah penulis dapat mengarang buku inf.
6
Tjoet Nja Din
Banjak lagi pahlawan-pahlawan perang sabil jang patut pula ditjeriterakan disini, tapi riwajat dan kisah-kisah perdjuangan mereka itu dilampaui sahadja oleh penulis. Bukan oleh karena dianggap tidak berarti, tapi oleh karena tjeritera ini chusus dimaksudkan untuk mentjeriterakan riwajat hidup Tjoct Nja Din, seorang pahlwan wanita, jang patut djadi kenang-kenangan bagi scluruh anak Indonesia. Jang oleh mereka dapat dibanggakan sebagai seorang pahlawan tanah airnja. Abdoel Moeis Bandung, Januari 1954
MERANTAU Kata sahibul hikajat, ditanah Minangkabau, pada zaman dahulu adalah seorang radja jang mcmpunjai empat orang anak laki-laki. Salah seorang ialah Machoedoen Sali gelarnja. Anak jang seorang itu hidup tidak senang diam. Dari hari kekehari ia hanja memikir-mikirkan hendak meninggalkan kampung dan akan merantau sahadja. Telah lama ia mendengar kabar dari seorang perantau, bahwa djauh disebelah Utara, diudjung pulau Sumatera sebclah Barat, adalah banjak sungai-sungai jang bcrmuara ke Samudera Hindia. Maka sungai-sungai itu banjak menghanjutkan serbuk-serbuk emas dari ulu. Tanah kosong jang terbentang antara pantai laut dengan pegunungan disebelah Timur, sangat pula suburnja. Ketempat itulah emas mcngalir dari sehari kesehari. Mendengar tjeritera-tjeritera itu hati Machoedoen Sati jang hendak mentjari tempat kediaman baru, sudah tak tertahan-tahan lagi. Ditjeritcrakan pula bahwa penduduk daerah itu masih biadab dan menjembah berhala. Orang itu dikenal orang dengan nama orang Mantir. Dibcberapa tempat telah banjak orang Mantir jang dapat ditaklukkan oleh orang Padri dan oleh bangsa Atjeh dari daerah kesultanan. Orang Mantir meninggalkan kampung-kampungnja, lalu lari kcrimba-rimba. Hati Machoedoen Sati hendak pindah kedacrah itu makin keras. Djika orang Atjch dan orang Padri dapat mcnghalau mereka, mustahil orang Minangkabau tidak akan sanggup pula? Dan subur tanah serta emas jang didatangkan oleh air mengalir, bukankah segala sesuatunja itu memberi harapan kepada sekalian orang datang buat menemui hidup baru jang sentausa? Demikian pula pendapat kawan-kawan Machoedoen Sati, jang dibawanja bcrunding. Pada suatu hari telah bertolaklah dua bclas perahu lajar jang penuh sesak dengan penumpang-penumpangnja dari Muara Padang, menudju kc Utara. Didalam sekalian perahu itu adalah kedapatan orang laki-laki dari daerahdacrah Kampar dan Pesaman, dari Periaman dan Lubuk Sikaping serta djuga dari Rao. Scsampai kepantai Barat tanah Atjeh, masing-masing perahu mcmilih tempatnja berlabuh dan tanah jang diindjaknja itulah jang didjadikan tempat kediaman baru oleh mereka. Oleh karena itu, maka tempat jang didiami oleh orangorang Minangkabau jang datang itu, sampai sekarang masih dinamakan „Rantau nan Dua Bclas".
Orang Sumatera Tengah jang mendarat di Meulaboh, mendapati daerah itu sedang bcrperang. Serombongan orang Atjch dari daerah Kesultanan sedang bertempur mati-matian menghadapi orang Mantir, jang djauh lebih banjak bilangannja dari orang Atjeh. Djika pertempuran itu dilakukan terus-mencrus, mungkin akan habis orang Atjeh dibinasakan oleh lawannja. Oleh karena orang Atjch itu memang orang jang beragama Islam, maka orang Minangkabau dengan tidak memikirkan lagi, lalu menjertai orang Atjeh melawan orang Mantir. Tidak lama antaranja, maka orang-orang Mantir itupun larilah kegunung. Sesudah itu, maka tanah jang ditinggalkan oleh penduduk asli itu, diduduki
8
Tjoet Nja Din
serta dibagi-bagikanlah oleh orang Atjeh dengan orang Minangkabau. Brrsama-sama mereka mengusahakan tanah dan mentjari emas. Mulai saat itu Meulaboh menjatakan kcsetiaannja kepada Sultan Atjeh, sedang daerah Meulaboh itu dengan suka rcla telah mendjadi daerah djadjahan Kesultanan Atjeh, jang takluk kebawah perintah Sultan Atjeh. Tapi tidak lama antaranja Machoedoen Sati telah pindah pula kescbelah Utara, jaitu kemuara sungai Wojla. Sebabnja ialah, karena ia mendengar kabar, bahwa disana terdapat emas jang sebaik-baiknja. Setelah menemui pelbagai rupa kcsulitan, achirnja Machoedoen Sati beserta beberapa orang kawannja, dapat djua mendarat. Lalu didudukinja tempat itu, setelah dapat mengalahkan penduduk aslinja. Rombongan orang Minangkabau jang dipimpin oleh Machoedoen Sali itu, segcra menemui bahagia ditempat kediamannja jang baharu itu. Disana-sini mereka dapat menawan perempuan jang dipeliharanja mendjadi isteri, sedang laki-laki jang djauh kctangannja mendjadi budak. Setiap hari mereka mengumpulkan emas jang seperti tak habis-habisnja disungai itu. Barang siapa jang mengganggu kescnangan mereka, scgera dibunuhnja. Tanah jang subur itu segcra pula ditanaminja. Lama kelamaan kehidupan Machoedoen Sati mendjadi senang. Anak buahnja kembang, padi mendjadi. Kampung jang didjadikan ibu kota itu, dewasa ini dikenal dengan nama Kuala Bee. Disebelah Selatan kota itu, di Pasir Atjeh, Machoedoen Sati telah mendirikan rumah gedang (rumah adat), tempat kediaman sekalian anak dan kemenakannja. Tapi kescnangan itu ada pula hingganja. Oleh karena daerah sungai Wojla itu telah termasjhur mendjadi daerah makmur dan kaja raja, maka lambat laun pantai Atjeh disebelah Barat itu telah menarik hati orang-orang Islam dari daerah kesultanan. Bcrtoboh-toboh mereka datang kesana, lalu asjik pula mentjari emas dan bertjotjok tanam. Orang Atjeh itu telah mengutamakan menanam lada. Setelah seluruh daerah dipantai Barat itu mendjadi makmur dan kaja raja, maka Sultan Atjeh menjatakannja mendjadi daerah pemcrintahannja, jang wadjib membcri upcti keistana. Hanjalah Machoedoen Sati jang membantah. Kepada rakjatnja ia membcri perintah supaja djangan menghiraukan sesuatu perintah jang datang dari Sultan Atjeh. Dilarang pula mereka membcrikan sesuatunja jang bcrsifat padjak. Setelah Sultan menjuruh berkali-kali meminta padjak itu kepadanja, maka Machoedoen Sati mengirimkan besi-besi tua disertai oleh kain-kain buruk keistana. Bukan main amarahnja Sultan Djeumahj atas pcrbuatan Machoedoen Sati jang bcrterang-terang menghina itu. Dengan scgera ia menjuruh memanggil Penghulu Benareu datang keistana. Penghulu Benareu ialah seorang Panglima jang tinggal di Pedie, scbuah daerah jang ada dibawah perintah Sultan, dan sangat setia kepada istana. Panglima itu memang masjhur karena gagah bcraninja. Anak buahnja jang tcrpilih dari orang-orang gagah sahadja, tidak pula scdikit bilangannja. Sultan Djeumahj memerintahkan kepada Penghulu Benareu supaja ia membina-
Merantau
9
sakan seluruh daerah jang ada dimuara sungaiWojla dan didiami oleh orangorang Minangkabau itu. Machoedoen Sati dengan seluruh pengikutnja, tua muda harus dibunuh. Sekalian pcrempuan jang ada harus ditawan. Kampungkampungnja harus dibakar, serta harta bcnda penduduk dirampas. Sawah ladangnja harus dibinasakan, pohon-pohon njiur diratakan dengan tanah, ternak dilcpas-lepaskan dan dihalau keluar kampung. Segala emas jang kedapatan dinjatakan mendjadi harta tawanan untuk kcuntungan keradjaan. Berita tentang perintah Sultan mcnjcrang daerahWojla itu, tentulah sampai ketclinga Machoedoen Sati dan seluruh penduduk disana. Sehabis sembahjang Djumahat, Machoedoen Sati lalu bcrchotbah mcndjelaskan kepada sekalian panglima dan laki-laki gagah bcrani jang mendjadi kawan-kawan seichwannja, bahwa kalah atau tunduk dipcperangan itu, kelak akan berarti kehilangan kemerdckaan. Dari orang merdeka mereka akan mendjadi rakjat didjadjah, jang harus takluk kebawah perintah Sultan. Maka sekalian orang jang mendengarkan amanatnja itu insjaflah bahwa kemerdckaan hanja dapat dipertahankan dengan djalan mengurbankan njawa dan menumpahkan darah. Maka bersiap-siaplah mereka menantikan kedatangan Penghulu Benareu. Tapi segala ichtiar dan tckad hendak bertahan, mendjadi sia-sia. Musuh jang datang mcnjcrang adalah bcrlipat ganda banjaknja dari pada jang bertahan. Achirnja matilah seluruh penduduk daerahWojla, sampai kepada anak-anak jang tidak berdosa. Hanja perempuan-perempuan jang tidak dibunuh. Mereka ditawan, dinaik-naikkan keatas perahu. Jang tidak rubuh atau tertawan, larilah kc Selatan, ke Soesoh. Disana mereka mendapat pcrlindungan dari penduduk. Darah mengalir bagaikan anak sungai. Majat orang bergclimpangan sepandjang djalan, dimuara, bahkan sampai kepelosok-pelosok kampung. Ditjeriterakan bahwa hanja Machoedoen Sati jang tinggal hidup seorang diri. Meskipun dipersama-samakan, tapi ia tinggal mengamuk mempertahankan diri dengan laku mati-matian. Scsudah luka parah, baharulah ia dapat ditangkap Orang Atjeh bclumlah merasa puas dengan tangkapan itu. Maksud mereka ialah hendak mentjabut njawanja dengan djalan meradjam dan menjiksanja. Sebelum meninggalkan majat Machoedoen Sati, kepala dan kaki tangannja hendak ditjeraikan dahulu dari tubuhnja. Tapi adjaib! Tak ada sesuatu sendjata jang dapat melukainja lagi. Machoedoen Sati jang dikungkung serta disiksa sekedjam-kedjamnja, tinggal hidup! Maka merasa takutlah orang Atjeh berhadap-hadapan dengan manusia jang sckcbal itu. „Penghulu!" demikian mereka berseru kepada pemimpinnja. ,,Jang seorang ini bukanlah manusia! Mungkin ia dipcrlindungi oleh sctan dan iblis!" Penghulu Benareu menjaksikan pula kedjadian jang adjaib itu. Darahnjapun bcrdebar. Panglima jang tcrbilang gagah mulai bimbang, apakah patut djika ia mencruskan ichtiarnja hendak membunuh orang kcbal itu. Maka bcrkatalah ia: ,,Rupanja njawamu baru akan melajang, djika daulat Sultan Djeumaloj sendiri jang melckatkan tangan beliau kepadamu! Baiklah cngkau kami
io
Tjoet Nja Din
bawa kemuka Sultan. Tapi tcmpatmu tidaklah didalam perahu, melainkan dibawahnja. Kamu akan kami ikatkan kebawah perahu itu, lalu kami scret kemuka Sultan. Djika engkau masih hidup sampai kcsana, maka cngkau hendak kami scrahkan kemuka Dault Sultan, agar bcliau dapat bcrlaku atas dirimu sekehendak hati beliau!" Adjaib! Setelah bebcrapa hari lamanja diseret-seret didalam air, Machoedoen Sati masih tinggal hidup, kctika ia dibawa kemuka Sultan. Bangsawan Minangkabau jang gagah bcrani itu, tinggal mcringkuk dan terkungkung dimuka telapakan Sultan Djeumahj. Pakaiannja rombang-rombeng. Seluruh tubuhnja bcrlumuran darah, dan lumut-lumut laut. Tapi ia masih hidup don sckali-kali tidak mcmperlihatkan budi hendak tunduk. Sultan Djeumahj pun bimbang pula. Lalu berkatalah ia: ,,Sesungguhnja kami berhak mclakukan segala hukuman atas dirimu, karena cngkau telah bcrontak, mencntang kekuasaan kami. Kami dapat menjuruh sekalian algodjo jang ada ditanah Atjeh buat mentjentjang engkau, buat mengcrat-ngcrat kaki tanganmu; tanganku sendiri dapat mengupas kulitmu hidup-hidup, kepalamu bolch kusuruh tumbuk-tumbuk didalam lesung dimuka istanaku, untuk memuaskan hati rakjatku sekalian. Dcmikianlah besarnja kekuasaan kami dikeradjaan ini. Dan kekuasaan itu djauh lebih besar daripada kekuasaan segala radja-radja diseluruh dunia. Hanja ada satu-satunja kekuasaan jang ada diatas kekuasaan kami. Jaitu kekuasaan Tuhan jang Maha Adil. Kebawah kekuasaan Tuhan kami tunduk. Dan oleh karena itu lebih dahulu hcndaklah kami mejakinkan apakah scsungguhnja Tuhan belum mengizinkan buat mentjabut njawamu. Marilah kita sama mengudjinja!" Sctelah Sultan Djeumahj memcrintah menghantjurkan besi-besi kiriman Machoedoen Sati dahulu, maka hantjuran itu disuruh tuangkannja kedalam gcluk sampai mclimpah. „Minum!" demikian Sultan memerintahkannja. Dengan tidak bcrtangguh-tangguh Machoedoen Sati meminumnja sampai schabis-habisnja. Masih ia tinggal hidup! ,,Baiklah," kata Sultan Djeumahj. ,,Tuhan belum berkchendak mentjabut njawamu. Oleh karena itu, kami ampuni cngkau sepenuh-penuhnja. Tinggallah cngkau diistana mendjadi kawan kami." Machoedoen Sati diangkat mendjadi Kepala Pcngawal, jang diberi tugas mendjaga Taman Pcnghibur Sultan. Sclain dari pada itu banjak lagi tanda-tanda kebesaran perendahan jang lain jang diberikan kepadanja. Segala scsuatunja itu telah bcrlaku kira-kira seratus tahun scbelumnja Teuku Oemar dan Nja Din dilahirkan. Kedua-duanja jang telah bcrtemu djodoh mendjadi suami istcri, adalah mendjadi kemenakan dan kcturunan dari bangsawan Minaungkabau Machoedoen Sati.
K-i.-r.i...
„DARU'SSALAM" Seratus tahun lebih telah tcrlampau scsudah Machoedoen Sati mulai mengindjak tanah Atjch, lalu hinggap mentjakam dipantai Barat. Sultan Djeumahj telah lama dimakamkan, tidak djauh dari Kotaradja. Jang menduduki tachta kcradjaan jang telah lama gojang karena mcngalami pclbagai kcsulitan, ialah Sultan Alaiddin Mohamad Sjah. Ia tinggal dan melakukan pemerintahan didalam kcraton, jang telah lama diombang-ambingkan gclombang kcruntuhan. Sebagai radja jang hanja dipilih oleh penjewa-penjewa tanahnja sahadja, maka kedudukan Sultan Alaiddin Mohamad Sjah seolah-olah hanjalah lambang daripada kckuasan jang dahulu ada ditangan radja-radja Atjch. Jang dapat dinamakan rakjat jang sctia kepadanja, hanjalah orang-orang jang menumpang ditanah-tanahnja itu. Jang ada diluar kalangan mereka itu, ialah musuh-musuh bclaka, jang scnantiasa mentjari djalan buat mcrubuhkannja. Musuh-musuh itu tcrdiri atas bangsawan-bangsawan Atjeh jang masing-masing mempunjai kekuasaan besar didalam daerah-daerah pemerintahannja. Kebesaran dan kekuatan Sultan Alaiddin Mohamad Sjah hampir tidak diakuinja. Sedangkan antara mereka dengan mereka banjak pula pcrtikaian jang berdalam-dalam, jang menimbulkan suasana hasut-menghasut, fitnah-memfitnah. Masing-masing terpaksa pula mendjaga diri, karena njawa terantjam sepandjang hari. Didalam keadaan jang serupa itu, kcradjaan Atjeh didalam arti daerah pemerintahan sedjati, sudah tidak ada lagi. Sultan bcrkuasa mutlak, hanjalah dilingkungan Dalam (Kotaradja) sahadja. Sekalian daerah jang ada diluar batas lingkungan jang kctjil itu, adalah dibawah kekuasaan-kekuasaan sekalian pembesar keturunan bangsawan-bangsawan Atjeh. Dengan djalan demikian, terbagi-bagilah djadjahan pemcrintah Atjeh mendjadi beberapa daerah jang masing-masing pada hakekatnja berdiri dan bertindak sendiri-sendiri. Disebelah Selatan daerah jang dikuasai oleh Sultan, tcrlctak Longbata, suatu daerah bebas, jang ada dibawah pemerintahan kaum Agama. Jang memcrintah disana masih bcrgclar Imam, maskipun ia telah mendjadi radja biasa. Diluar lingkungan Kotaradja dan Longbata, jang dahulu disbut kcradjaan Atjch itu, telah timbul tiga buah daerah jang bcrpemerintahan sendiri dan berdiri sendiri pula. Salah satu tcrlctak disebelah Timur Kotaradja dan Longbata, jang kedua scbelah Selatan dan kctiga disebelah Barat dari kedua daerah pemerintahan jang tersebut itu. Ketiga federasi ini discbut dalam bahasa Atjch Sagi. Jang mendjadi pemimpin tertinggi didalam masing-masing Saginja itu dinamakan Panglima Sagi. Masing-masing Sagi dibagi pula mendjadi beberapa kcradjaan, dikepalai oleh radja-radja jang mengaku kebesaran atas hak turun-tcmurun. Radja itu dinamakan Ocloebalang. Dalam teori, radja (Oeloebalang) adalah takluk kepada pemerintahan Panglima Sagi, sedang ia berkewadjiban membcri bantuan militcr kepada Panglima itu, djika pctjah peperangan.
ii
Tjoet Nja Din
Tapi didalam prakteknja keadaan itu lain sekali. Kebanjakan Oeloebalang bertindak bebas, dan memegang tampuk pemerintahan ditangan sendiri. Bahkan ada pula jang menentang dan memerangi Panglima Saginja. Pada galibnja, orang memberi sesuatu nama kepada masing-masing Sagi dan Daerah Oeloebalang itu. Orang Atjeh mcmilih aturan sendiri dalam perkara memberi nama kepada djadjahan pemcrintahannja itu. Sepintas lalu aturan orang Atjeh memberi nama-nama kepada sesuatu daerah pemerintahannja itu berupa sulit sekali. Tapi meskipun demikian, sedapatdapatnja hendak diusahakan djua untuk mencrangkannja. Seperli djua berlaku disegala ncgara, tiap-tiap desa di Atjch tcrdiri atas kampung-kampung, jang bcrpusat kepada scbuah mesdjid, tempat bersembahjang Djum'at. Desa jang tcrdiri atas kampung-kampung mesdjid itu, dinamakan Moekim. Tiap-tiap daerah pemerintahan Oeloebalang diberi nama menurut kepada banjaknja Moekim jang ada didalamnja. Djika umpamanja suatu daerah Oeloebalang mempunjai enam kampung jang bcrmesdjid (Moekim) maka ia dinamakan 6 Moekim. Dengan djalan jang demikian, maka adalah daerah-daerah Oeloebalang jang bemama: Enam Moekim, Sembilan Moekim, Empat Moekim, dan seterusnja. Sebagai kita ketahui, didalam masing-masing Sagi ada beberapa daerahdaerah Oeloebalang. Kita djumlahkanlah banjaknja Moekim jang ada discluruh sagi itu. Maka njatalah bahwa djumlah Moekim jang ada di Sagi jang tcrlctak disebelah Timur Kotaradja dan Longbata, ialah 26. Oleh karena itu Sagi itu dinamakan Sagi 26 Moekim, atau dengan ringkas: Sagi 26. Maka sagi jang ada disebelah Selatan ialah Sagi 22, dan disebelah Barat Sagi 25. Djika orang hendak menundjukkan nama suatu tempat didacrah pemerintahan Oeloebalang ditanah Atjeh, maka ia akan berkata, umpamanja: 6 Moekim Sagi 26. Maksudnja ialah menudjukkan sesuatu daerah Oeloebalang jang terdiri atas 6 kampung (moekim), dan mendjadi bahagian dari Sagi 26 Moekim. Djika kita hendak memandang kepada pembagian-pembagian tanah Atjeh, jang dahulu mendjadi daerah pemerintahan Sultan, maka njatalah bahwa daerah itu telah terbagi-bagi mendjadi: Sebagai inti, Kotaradja, jaitu tanah kesultanan. Dibawah itu djadjahan Islam jang merdeka, jaitu Longbata. Dan disekeliling djadjahan itu terlctaklah Sagi 26, Sagi 22, dan Sagi 25. Sekalian daerah-daerah itu adalah dimaksudkan mendjadi satu, dan scbenarnja mereka diharuskan memberi upeti kepada Sultan, dan akan menjediakan tenaga, djika timbul peperangan dengan orang luaran. Tapi dalam praktek segala kewadjiban itu tidaklah dipenuhi. Demikianlah keadaan di Atjeh, seratus tahun scsudah Machoedoen Sati memegang peranan disana. Disegala tempat itu dianggap berlakunja suasana jang aman dan damai. Daerah-daerah itu dinamakan djua ,,Daru'ssalam". Tetapi scbenarnja tidaklah demikian, karena tiap-tiap orang adalah hidup bermusuhmusuhan, dua orang bcrserikat dan menentang orang jang ketiga. Disana Sultan hanjalah mendjadi lambang kekuasaan sahadja. Sedangkan
Daru'Ssalam
l
}
jang sebcnarnja berkuasa adalah radja-radja kcturunan bangsawan Atjeh. Radja-radja itupun tidak pula sepakat-sekata. Masing-masing melakukan segala daja dan upaja untuk memegang tampuk kekuasaan sendiri dan untuk menamfoah pengaruhnja. Beberapa orang dari radja-radja itu adalah terkemuka didalam zaman peperangan Atjeh. Oleh karena ada diantara mereka jang memegang pcranan penting didalam masa hidupnja Tjoet Nja Din, maka nama-namanja akan ditjantumkan didalam buku ini. Tcrlebih dahulu akan disebutkanlah nama Panglima Polim, seorang Panglima jang memangku kebesarannja itu atas djalan turun-temurun. Daerah pemcrintahannja adalah Sagi 22, jang terletak disebelah Selatan. Dacrahnja itu tcrdiri atas pegunungan-pegunungan dan hutan-hutan serta rimba raja. Oleh karena itu, Sagi 22 mendjadi suatu daerah jang kuat, karena daerah itu mempunjai alat-alat pertahanan jang kokoh pemberian alam. Dari pihak itu, keluarga Polim dikatakan kcturunan dari Sultan Atjeh. Benar tidaknja orang luar tidaklah mengetahuinja. Tapi jang djelas ialah bahwa keluarga Polim jang bcrpengaruh besar itu, mengandung kejakinan bahwa deradjat mereka adalah sama tingginja dengan dcradjat Sultan-Sultan Atjeh. Maka Sultan itu akan dapat naik atau turun tachta kcradjaan, hanjalah karena tjampur tangannja keluarga Polim, jang berganti-ganti memangku kebesaran Panglima di Sagi 22 jang ada di Selatan itu. Keluarga Polim sangat terpandang dan discgani oleh orang banjak. Oleh karena itu dari fihak Sultan pun sclalu ada pandangan dan perindahan terhadap kepada mereka. Tapi meskipun demikian, di Sagi 22 sendiri masih ada seorang pedjuang lagi jang sckali-kali tidak hendak menerima bahwa deradjatnja ada dibawah deradjat Polim. Orang jang seorang itu ialah Teuku Bait, Oeloebalang 7 Moekim dari Sagi 22 itu. Sampai kepada zaman pemerintahan Belanda kekuasaan Teuku Bait itu masih bergandengan dengan kekuasaan keluarga Polim. Penduduk 7 Moekim memang termasjhur garangnja. Kata orang, dari pada tidur bermalam dikampung jang ada di 7 Moekim, orang asing lebih aman bermalam ditempat lain, ditengah-tengah padang, tempat iblis dan hantu berkeliaran. Djika bermalam di 7 Moekim, dapatlah ia mcjakinankan bahwa didalam tidur pastilah ia akan ditikam orang dengan rcntjong. Keluarga jang lain, jang bcrpengaruh pula, ialah Keluarga Neh. Keluarga itu adalah kcturunan bangsawan Atjeh jang turun temurun. Dengan djalan pulang memulangi, mereka telah bcrtali kekeluargaan dengan istana Sultan. Sebagai suatu gandjaran dan penghormatan jang tcrtinggi, maka Teuku Neh mendapat gelaran ,,Datuk Sultan" dan disamping itu ia digelari pula ,,Nan Setia", jaitu hamba rakjat jang setia kepada Sultan. Oleh karena itu kepada Keluarga Neh, jaitu Oeloebalang Mcrassa, telah dibcri kelcltiasaan buat keluar masuk ketempat Sultan, tiap-tiap ia datang menghadap keistana. Ia berhak atas sambutan dan tanda kebesaran jang berupa sembilan kali tetusan meriam. Selain daripada itu didalam surat-surat resminja ia berhak mebubuh tjap kebesarannja pada baris
;
Tjoct Nja Din
ketiga. Lctaknja tempat Tjap Teuku Neh itu hanjalah dua baris dibawah tjap Panglima Polim, kcpala Sagi 22. Sekalian Oeloebalang kcturunan Niih itu, memangku djabatan dengan djalan turun-tcmurun. Mereka bcrganti-ganti mendjadi Oeloebalang didacrah Mcrassa. Negeri jang satu ini mempunjai nama sesuatu tempat. Lain halnja daripada tempat-tempat lain jang dibcri nama menurut angka, jaitu menurut djumlahnja Moekim jang ada didalamnja. Keturunan Nih adalah termasuk bilangan orang-orang jang tcrkemuka, jang dahulu mendjadi orang besar di 6 Moekim dari Sagi 25. Lctak Mcrassa tepat disebelah Barat Kotaradja. Pelabuhan Olch-lch jang terletak di Rawa Tjangkul, adalah masuk bilangan daerahnja. Sebcnarnja 6 Moekim harus dipandang mendjadi satu daerah dengan Merassa, jang terletak disebelah Utaranja, dan hanjalah dibatasi oleh anak sungai Ning sahadja. Keluarga Neh dari dahulu adalah suatu keluarga hartawan jang besar sekali pengaruhnja, sedangkan mereka masuk bilangan orang jang ditakuti pula. Tapi scmentara itu diantara kcturunan bangsawan jang bcrganti-ganti mendjadi Oeloebalang Mcrassa, tidak ada scorangpun jang disajangi oleh rakjatnja. Diseluruh daerah tidak adalah seorang kepala atau radja jang seganas dan sckedjam keluarga Neh didalam perkara mengisap dan menindas rakjatnja. Itulah scbabnja maka mereka sangat dibentji oleh rakjat, istimewa di 6 Moekim. Mereka memilih tempat kediamannja di Merassa, arah kesebelah Utara dari paja-paja. Untuk mendjaga dan mengurus harta benda jang ada di 6 Moekim, maka disana ditempatkan salah seorang keluarga laki-laki untuk memerintah, dengan gelaran kebesaran Panglima. Panglima-panglima angkatan Neh makin lama makin bcrpengaruh di 6 Moekim, dan pada achirnja-achir ini, scratus tahun scsudah Machoedoen Sati mendjalankan peranannja di Atjeh, maka Panglima angkatan Neh umpama telah berkuasa sendiri disana. Hendaklah kita sckarang memperkatakan hal ichwal kehidupan keturunan Machoedoen Sati.
Marilah kita menindjau kebelakang, sampai ketahun 1830. Mcskipun Sultan Alaiddin Mohamad Sjah telah mclakukan daja upaja buat memclihara hati Panglima Polin, tapi karena sesuatu sebab, hati Panglima itupun tcrsinggung djua. Maka timbullah amarahnja kepada Sultan. Lalu dikepungnja istana dengan lasjkarnja jang kuat, lengkap dengan segala alat sendjatanja. Sultan Alaiddin Mohamad Sjah, jang terkepung, mendjadi bimbang. Untuk mempertahankan diri dari serangan lasjkar Panglima Polim, ia masih kuat, tetapi makanan telah habis. Sedangkan air minumpun telah tak ada lagi barang sctitik. Djika ia tidak menjerah, alamat matilah scisi istana karena tidak makan dan tidak minum. Tetapi menjerah kepada Panglima Polim bcrarti aib dan penghinaan jang tidak akan dapat dihapus-hapus sampai kepada anak tjutjunja. Sclagi Sultan menimbang-nimbang djalan apa jang hendak ditempuhnja, maka atas karunia Allah, datanglah bantuan jang tidak disangka-sangka. Pada tengah-tengah malam buta, datanglah orang jang berkata hendak membcri bantuan. Ia berkata, bahwa ia datang dari 6 Moekim. Ditcmpat jang gclap
*<-*--r.i-..\f.
i_.ej£>E/\i
Daru'Ssalam
15
gclita itu telah dapatlah ia beserta beberapa orang kawan menembus barisan jang mengepung istana, sambil membawa makanan dan minuman. Setelah Sultan Alaiddin Mohamad Sjah mendapat kemenangan, lalu menghalau lasjkar Panglima Polim sampai kcluar dacrahnja, maka inginlah hatinja hendak mengctahui siapakah gcrangan nama orang jang menolongnja itu, dan dari manakah asalnja. ,.Keturunan saja dari bangsawan Minangkabau, tak guna saja buktikan," sahut orang itu. ,.Karena seluruh kcradjaan Atjch adalah mengctahuinja. Datuk saja telah menundjukkan kesaktiannja dimuka Seri Baginda Radja Djeumahj dan bcliau pulalah jang mengepalai pasukan pengawal Taman Penghibur baginda sctjara mestinja. Nama Datuk saja itu ialah Machoedoen Sati. Rumah gedangnja berdiri dipantai Barat, di Pasir Atjeh jang tcrlctak di Muara Sungai Wojla." Sultan Alaiddin Mohamad Sjah amatlah gembiranja mendengar keterangan orang itu. Sedjarah hidup Machoedoen Sati memang diketahuinja. Siapakah orang di Atjeh jang tidak mengctahui riwajat itu? Lalu diangkatnja kcturunan bangsawan Minangkabau jang gagah bcrani dan berdjasa itu mendjadi Panglima Perang dan diberinja nama Nanta kepadanja. Maka nama dan kebesaran itupun bolehlah diturunkan kepada anak tjutjunja. Selain daripada itu ia dibcri suatu gelar kebesaran, jaitu ,,Setia". Dan ia diangkat pula mendjadi Oeloebalang pengiring Sultan, jang bergelar Oeloebalang Potcu dan berhak menempatkan tjap kebesarannja pada garis jang kclima dalam segala surat-surat rcsminja. Tempat tjap itu hanjalah dua baris dibawah tjap Neh dan hanja cm pat baris dibawah tjap Panglima Polim. Panglima Nanta Setia mendapat kebebasan daripada sjarat-sjarat dan kcwadjiban pendudukan. Artinja, ia dibebaskan daripada segala keberatan jang ditctapkan oleh radja jang bcrkuasa didacrahnja atas segala hamba rakjat jang tinggal bcrdiam didacrah itu. Djadi luputlah ia daripada segala kewadjiban jang harus dipenuhinja tcrhadap Neh jang memerintah di 6 Moekim. Dan pula agar gclaran kchormatannja jang telah diberikan kepadanja djangan tinggal kosong, karena ia memang tidak mempunjai tanah, maka sebagai hadiah diberikan kepadanja seluruh hasil daripada pulau-pulau jang ada dimuka pantai 6 Moekim. Kcputusan Sultan tentang pembcrian segala anugcrah kepada Nanta itu ditambahkanlah mendjadi undang-undang kedalam Mckocta Alam, Buku undang-undang jang dikeluarkan oleh Almarhum Sultan hkandar Moeda. Itu bcrarti bahwa hak-hak Nanta Setia jang telah dipcrolchnja itu, akan tinggal tctap sampai kepada anak tjutjunja, dan tak ada scoranglah ditanah Atjeh jang akan dapat mengubahnja. Segala sesuatunja itu adalah ditctapkan guna membalas djasa Nanta Setia jang Pcrtama, jang diganti pula namanja dengan Nanta Tjih. Maka kembalilah Nanta Tjih kc 6 Moekim. Negeri ini adalah tcrmasuk bilangan negeri jang tcrkaja ditanah Atjeh. Disanalah ia berkedudukan sclandjutnja sebagai Oeloebalang Poteu jang bebas, dan tidak dibawah perintah Neh.
16
Tjoet Nja Din
Ni!h sendiri memang sangat tjinta akan kebcbasan. Ia insjaf pula sampai kemana sekalian orang jang hendak membebaskan diri, bcrani bcrtindak, bilamana kebcbasan dan kemerdckaan itu terantjam. Oeloebalang Sultan jang ditampungnja didalam daerah kekuasaannja itu, meskipun karena tcrpaksa, memang telah njata orang berani, jang tidak memantangkan lawan. Sedangkan berhadapan dengan Panglima Polim ia tidak gentar! Djadi meskipun pengaruh dan kekuasaannja umpamanja telah kelindungan oleh orang baru itu, dan ia dirugikan pula, maka mail tidak mau Neh berusaha sebudi akal buat mcmclihara tali pcrsahabatan dengan Nanta Tjih, panglima Sultan. Dengan djalan demikian, Nanta Tjih telah mendapat anugerah berupa daerah djadjahan kekuasaannja di 6 Moekim, jang turun-temurun akan mendjadi warisan untuk anak tjutjunja. Semcntara itu iapun tidak pula alpa daripada mempcrkuat kedudukannja. Dengan djalan menikahi seorang putcri dari Neh jang bcrkekuasaan besar, dan amat terpandang itu, kedudukannja mendjadi lebih kuat. Dihari kemudian ia mendjadi kakek dari Tjoct Nja Din, dan Teuku Oemar. Diantara putera-puteranja hanjalah dua orang jang wadjib kita kenal, jaitu Nanta Setia dan Machmoed. Machmoed nikah dengan seorang saudara perempuan dari radja Meulaboh dipantai Barat, sedang ia tinggal menetap dirumah istcrinja. Dari isterinja itu ia mendapat dua orang puteri dan empat orang putcra. Putera jang ketiga ialah Oemar. Nanta Setia, jang achirnja mendjadi ajah Tjoet Nja Din, telah mendjadi seorang tjcrdik pandai di 6 Moekim, serta tangkas dan gagah bcraninja pula. Disamping itu ia gemar akan kemegahan. Oleh Sultan ia telah ditetapkan buat menggantikan ajahnja mendjadi Oeloebalang Potcu. Perondahan rakjat tcrhadap pahlawan jang telah wafat itu, bcrpindah kepada puteranja. Teristimewa pula oleh karena Nanta Setia sangat pandai pula bergaul dengan rakjat, dan tahu memegang hati rakjat itu. Tapi sementara itu Nanta Setia belum puas dengan pangkat Oeloebalang Poteu itu. Keinginannja ialah hendak mendjadi Oeloebalang sahadja, dengan tidak ada tambahan dibelakangnja. Guna mentjapai tjita-tjita jang memuntjak itu, Nanta Setia tcrlebih dahulu mcngumpulkan orang-orang berani dan ditakuti untuk mendjadi rckan. Mereka itu dibelandjainja dan disempurnakan pula tempat tinggalnja serta pula alat sendjatanja. Siapa kuat, itu diatas, adalah suatu sembojan jang tepat benar bcrlaku di Atjeh pada masa itu. Diluar pasukan ,,pengawalnja" itu, Nanta Setia memelihara pula tali pcrsahabatan dengan orang-orang terkemuka di 6 Moekim. Diantara mereka itu adalah seorang pemuda jang sedang mcmpeladjari Ilmu Agama Islam, Abas namanja. Anak muda itu dikemudian harinja telah mendjadi Ulama Koctakarang. Ada pula orang lain jang mendjadi sahabat karib dari Nanta Setia, jaitu seorang alim, Hadji Said namanja. Dengan Hadji Said itu ia umpama telah bersaudara jang schidup scmati.
K-i-T-L-.v.
i_.e;£>e/M
Daru'Ssalam
17
Maka terdjadilah sesuatu peristiwa, jang mcmungkinkan kepada Nanta Setia akan menamba pengaruhnja, dan akan mendjadikannja djuara didalam gelanggang Dalam tahun 1838 wafatlah Sultan Alaiddin Mohamad Sjah. Putera mahkota, Suleiman, belum sampai kepada umur untuk dinobatkan menggantikan ajahandanja. Untuk mewakili Sultan jang wafat, pemerintahan daerah berpindah ketangan Teuku Ibrahim, saudara Sultan. Dari semula telah ternjata bahwa Ibrahim tidak mempunjai fikiran hendak memberikansinggasanaKotaradjakepada orang lain. Sesudah ia berpindah ke Dalam, Suleiman ditumpangkannja dirumah keluarga Sultan jang tinggal di 6 Moekim. Tidak lama antaranja, maka njatalah bahwa Ibrahim telah bersekutu dengan Polim. Oleh karena Polim pastilah belum lupa akan budi ajah Nanta Setia dalam perkara pengepungan istana Sultan Alaiddin Mohamed Sjah, maka Nanta Setia insjaflah, bahwa baik Panglima Polim, maupun Ibrahim, wakil Sultan jang ada dibawah perlindungannja, tidak akan dapat dianggapnja sebagai saudara. Tetapi Nanta Setia tidaklah bcrputus asa, karena ia masih dapat mengharapharapkan bantuan dari beberapa orang ternama, jaitu dua orang dari luar, ialah Teuku Bait, jang mendjadi saingan terbesar bagi Panglima Polim di Sagi 22, dan Teuku Oedjoeng, kcpala Moekim Lamgna, jang menguasai daerah-daerah pantai scbclah Utara Merassa. Teuku Oedjoeng masuk belangan seorang harta wan besar, rakjatnja tcrdiri dari orang-orang jang gagah bcrani. Selain daripada itu, Nanta Setia mcngekalkan perhubungan pula dengan tjalon Sultan, radja Suleiman, jang masih dianggapnja mendjadi radjanja, meskipun anak muda itu belum pcrkekusaan. Buat menjempurnakan siasat, ia menikahi seorang putcri bangsawan dari daerah Lampadang. Karena pcrkawinan itu, Nanta Setia ditentukan buat memerintah Lampadang. Dari Tjoet Nja, demikian nama istcrinja itu, ia mendapat tiga orang anak, dua laki-laki, dan seorang perempuan. Diantara kedua anak laki-laki itu, seorang meninggal dunia, jang seorang lagi Tjoet Rajoet namanja, kurang sempurna akal. Anak perempuan itu dinamai Tjoet Nja Din. Parasnja elok, budi pekertinja baik, lakunja tangkas pula. Maka dengan tidak disangka-sangka terbukalah djalan bagi Nanta Setia, buat mentjapai maksudnja itu. Hadji Said, ulama jang sangat terpandang di 6 Moekim, mati ditikam oleh seorang penduduk Mcrassa. Pembunuh itu, seorang laki-laki jang kurang ingatan, dibawa kemuka Hakim. Keluarga Neh jang mengctuai Pcngadilan itu, dan bcrpendapat bahwa hukuman bagi seorang pembunuh menurut adat di Atjeh, harus dibunuh pula, dengan tidak memikir pandjang lalu menikamnja dengan rcntjong. Sesudah pembunuh itu mati, kctua pcngadilan bcrpendapat bahwa perkara itu telah selesai diadik. Tapi tidaklah demikian pendapat keluarga Hadji Said Mereka berkata bahwa jang patut membajar hutang djiwah hanjalah orang jang schat otaknja. Oleh karena itu mereka menuntut supaja salah seorang keluarga sipembunuh jang sehat otaknja, ditarik kemuka pcngadilan.
18
Tjoet Nja Din
Neh, Oeloebalang Mcrassa, mendjadi gusar karena tindakan orang 6 Moekim itu. Lalu ia memerintahkan kepada keluarganja jang memcrintah di 6 Moekim, supaja atas kesalahan sipembunuh itu ditctapkan hukuman denda sahadja, jang harus dibajar oleh keluarganja. Putusan itu tidak ditcrima oleh seluruh keluarga Hadji Said. Mereka menuntut bajaran bukanlah dengan uang, melainkan dengan darah pula, darah orang jang schat otak. Kepala 6 Moekim mendjadi bimbang, karena berdiri diantara dua pihak jang bcrsabung. Pihak jang satu ialah saudaranja, Oeloebalang Neh, jang besar kekuasaannja, fihak jang kedua ialah keluarga Hadji Said, jang tidak pula dapat diabaikan tentang kekuasaan dan pengaruhnja. Maka kepala 6 Moekim itupun segcralah melctakkan djabatannja, lalu mengundurkan diri. Tapi hati keluarga Hadji Said belumlah merasa puas. Maka turunlah mereka dari 6 Moekim, menjebcrangi Sungai Ning, masuk menjerbu kc Mcrassa, mentjari kurban jang dianggapnja wadjib membajar hutang njawa. Maka timbullah pertempuran jang maha hebat disawah-sawah kampung Balng Oi. Darahpun mcngalirlah, kurban dari kedua belah fihak sudah banjak. Akan tetapi orang Mcrassa pada achirnja dapatlah tctap mempertahankan kampungnja sehingga orang 6 Moekim terpaksa mengundurkan diri, lalu pulang kckampungnja. Bentjana itu telah mendjadi urusan sckampung-sekampung. Orang 6 Moekim merasa mendapat malu besar karena mereka telah dihalau dari Merassa. Maka bersiap-siaplah mereka untuk menuntut balas. Hanja perang diantara kedua kampung itu sahadja jang akan mencntukan keputusannja dan akan menghapus malu. Keluarga Hadji Said mentjari kawan disckitarnja. Mereka tidaklah mclupakan Nanta Setia jang terbilang orang kuat didacrah itu. Nanta Setia tidak pula, bertangguh, karena lengan mentjampuri perscngketaan kedua kampung itu tampaklah olehnja djalan jang tcrbuka buat mcnjclcsaikan perhitungannja dengan Oeloebalang Neh di Merassa. . Kepada Wakil Sultan Ibrahim, orang 6 Moekim meminta izin untuk menjatakan perang kepada orang Merassa. Sebab scngkcta itu berdasarkan adat, wakil Sultan tidaklah berkebcratan. Tambahan pula ia berkejakinan, bahwa pcrsengkctaan antara Nanta dengan Neh tidak akan mengantjam kekuasaannja. Djika pertikaian itu dibiarkan bcrlama-lama, kedua orang kuat itu achirnja akan mendjadi lemah djua. Dan disitulah Ibrahim akan memcrintah. Oleh karena itu, izin jang diminta itu, diberikannjalah. Bahkan kepada kedua belah pihak dibcrinja pula mesiu setjukupnja . . . Dengan djalan demikian, timbullah dendam jang berdalam-dalam antara orang 6 Moekim dengan orang Mcrassa. Dendam jang hanja dapat disclesaikan dengan djalan menumpahkan darah sahadja. Dengan perscngketaan antara 6 Moekim dan Merassa itu, maka permusuhan antara Nanta Setia di 6 Moekim dan Neh di Merassa telah timbul dengan bcrtcrang-tcrang.Suatu scngketa jang tidak akan habis-habisnja, sampai turun-tcmurun.
*<-K T^JL-V- i~f
^ Daru Ssalam
10
Setelah Keluarga Ncft di 6 Moekim melctakkan djabatannja disana, Nanta Sella seumpama telah memegang tampuk pemerintahan didacrah itu. Pcrkataan ,,P6tcu" dibelakang gelarannja scgera dihilangkannja. Ia bertindak seolah-olah ia telah mendjadi Oeloebalang jang scdjati. Jang belum ada padanja hanjalah pengesahan Sultan, dengan surat keputusannja jang bertjap sembilan. Tapi keputusan itu pastilah akan keluar, djika Teuku Suleiman kclak telah rcsmi memangku tachta kcradjaan didacrah Atjeh. Discpandjang anak sungai Ning dan Rawa Tjangkul didirikan bentcngbenteng pcrtahanan. 6 Moekim dan Merassa hanja menantikan ketika jang baik sahadja buat bertempur mati-matian. Ditengah-tengah suasana tjampuh itulah anak Nanta jang kctiga, Tjoet Nja Din, dilahirkan kedunia.
6 MOEKIM Ketika Tjoet Nja Din lahir kedunia, 6 Moekim seolah-oleh telah mendjadi daerah pemerintahan Nanta Setia scluruhnja, sedang Teuku Neh tidak bcrkuasa barang serambut lagi disana. 6 Moekim ialah suatu daerah jang tcrbilang makmur diseluruh tanah Atjeh. Antara paja-paja jang ada di pantai Utara dengan daerah-daerah pegunungan jang dipenuhi oleh hutan belukar, mcmbangunlah 6 Moekim disuatu Lcmbah jang amat subur tanahnja. Anak sungai Ning jang bcrmuara ke Rawa Tjangkul, adalah membatasnja dari Merassa. Dari kota Pelabuhan Oleh-leh terbentang sebuah djalan kctjil, melampaui paja-paja jang ditumbuhi nipah, dan danau-danau kctjil jang tcrdjadi dfrawa itu. Pada suatu tempat, djalan kctjil itu melintasi anak sungai, lalu menudju kedusun Lampadang, tempat kedudukan Nanta Setia, ajah Tjoet Nja Din. Kesebelah Barat dan arah ke Selatan, sampai kepegunungan Ngalau Beradin, tcrbentanglah tanah luas jang bcrisi sawah-sawah, kebun-kebun kelapa dan rimba-rimba. Ditcngah-tcngahnja terdapatlah kampung-kampung jang diperkuat dengan pagar bambu duri, beserta mesdjid dan makam-makam keramatnja. Kampung Pakan Bada, ibu kota 6 Moekim ialah sebuah kampung jang penuh dengan penduduk, ramai pasarnja, dan terbilang makmur kehidupan pengusahanja. Disekitar Pakan Bada terlctaklah kampung-kampung jang lain jang bcrhampiran Ictaknja, besar dan makmur pula pasar-pasarnja. Diantara kampung-kampung itu patutlah disebut: Bital dan Lamdjamoe disepandjang batas 6 Moekim dengan Merassa. Dipantai terlctaklah kampung Lam tengah, tempat kelahiran Pcnjair Dokarim; Lampagger, tempat pemakaman Radja Suleiman pada tahun 1858, Lamtih jang dihantjurkan oleh orang Belanda dalam tahun 1875, dengan tcmbakan-tembakan mcriam dari laut. Disebelah Selatan Pakan Bada, disamping bukit Tjot Tjako, dipintu Ngalau, kampung Lampisang. Kampung itulah jang dikemudian hari ditentukan untuk mendjadi tempat kedudukan Teuku Oemar, setelah ia diangkat oleh ,,kumpeuni" mendjadi panglima perang tcntara Belanda. Dan dikampung itu pula dikemudian hari ia mendapat ultimatum dari Djendcral nan Heutz, sedang dari Lampisang itulah Sabilullah dikobarkan kcmbali oleh para pedjuang Atjch. Antara Tandjung dengan Pantai dekat Oleh-leh disebelah Utara, adalah sebuah danau jang dipcrgunakan buat tempat berlabuhnja perahu-pcrahu orang Atjeh dan orang-orang Tiong-Hoa. Sekalian perahu itu menanti-nantikan muatannja berupa lada, pinang, hasil hutan dan ikan, jang akan dikirimkan keluar Atjeh. Dan segala perahu itu pulalah jang membawa masuk barangbarang lain ke Atjeh, jaitu: madat, sutera kasar, budak-budak bclian, bedilbedil sitinggar dan mesiu. Dipelabuhan itu pula ditempatkan sekalian perahu dan segala biduk orang asing jang dapat dirampas dilautan, atau disamun dari sesuatu pelabuhan jang lain. Pada galibnja, segala barang jang ada didalam perahu itu, dirampas pula, sedang sekalian penumpangnja dibunuh. Disebelah Barat dan Selatan kedapatanlah bukit-bukit tempat orang menanam
./--r.i-
i £ > £ » £ N
6 Moekim lada dilcrcngnja, dan bcrsawah dilembah-lembahnja. Tidak kurang pula rimba-rimba raja dipegunungan itu. Dari segala hasil tanaman didaerah Nanta Setia, dari perusahaan dan dari jang dapat ditangkap diair dan didarat, dan hasil tcrnak dan pemotongan hewan, haruslah disisihkan scperlima, sepersepuluh atau seperduapuluh untuk keuntungan Oeloebalang. Dan dari segala sesuatunja jang berlaku didaerah itu, jakni: mendjual atau membeli, nikah atau bertjerai mewariskan barang-barang peninggalan, atau minta keputusan pengadilan dalam perkara perebutan sesuatunja, pindah kampung atau mendjadi penduduk baru dalam sesuatu kampung, berdjudi, menjabung ajam, atas scgala-galanja itu dipungut padjak oleh Oeloebalang, menurut daptar jang ditcntukan. Dari satu-satu perahu jang masuk sungai, dari segala barang jang didatangkan atau dibawa keluar, adalah dipungut padjak. Djika jang membawa atau memperniagakan barang-barang itu orang Atjeh, padjaknja ialah dua persen setengah, tapi djika ia bangsa asing, haruslah ia membajar lima persen dari harga barang-barang. Luar daripada memungut bea jang berupa uang, Oeloebalang berhak pula mengardjakan orang rodi disawah-sawah dan kebun-kebun ladanja, atau buat mendirikan Iumbung-lumbung padi dan bangsal-bangsal untuk keperluannja. Dan diantara segala hasil, maka scbahagian daripada jang keluar pertama kalinja, adalah mendjadi milik Oeloebalang; jaitu djagung jang pertama kali keluar, padi jang keluar pertama kali, lada jang keluar pertama kali, tcrnak kctjil jang pertama kali keluarnja, kambing betina dan djantan jang pertama kali dianakkan, tclur ajam dan bebek jang keluar pertama kali, pendeknja segala hasil tanaman dan ternak jang keluar untuk pertama kalinja, sebahagian adalah mendjadi kcuntungan Oeloebalang. Maka padjak atau bea ataupun „upeti" itu dimulut rakjat adalah mendapat nama jang permai, jaitu ,,Bunga Tangan". Segala sesuatunja itu telah mendjadi adat ditanah Atjch. Rakjat telah mengutjap sukur, karena Oeloebalang jang memungut ,,Bunga Tangan" itu bukan lagi Neh jang rakus, mclainkan telah diganti oleh Nanta jang adil dan bcrhati kemanusiaan. Tapi meskipun demikian, Oeloebalang Nanta Setia telah mendjadi seorang jang kaja raja dan bcrpengaruh besar pula. Buat mentjari djalan ke Lampadang, sambil menempuh djalan kctjil jang telah tersebut diatas, bukanlah suatu pekerdjaan jang sulit. Jang sulit ialah mentjari pintu masuk kckampung, jang bcrpagarkan bambu duri. Banjak nian djalan-djalan jang bcrsimpang siur diperbuat, guna menjesatkan segala orang jang asing disana, djika ia hendak mentjari pintu masuk kckampung. Djika orang tidak tahu djalan, maka akan terpaksalah ia berkeliling-kcliling disana, sampai terpasah kescsuatu tempat jang djauh lctaknja dari kampung jang hendak dimasukinja itu. Segala sesuatunja diperbuat guna melindungi kampung dari pada penjerbuan musuh kedalam kampung, atau kedatangan orang asing, jang hendak memasuki kampung dengan maksud jang djahat. Djika pintu masuk telah didapatkan, maka orang jang hendak masuk itu
22
Tjoet Nja Din
sampailah kemuka sebuah pintu gerbang kaju, jang didjaga oleh beberapa orang Pengawal bcrsendjata. Ditcngah-tcngah pintu gerbang dipantjangkan pula sebuah tonggak jang dapat diputarkan, dan mempunjai palang-palang, kekiri dan kekanannja. Tonggak berpalang itu dimaksudkan buat mendjaga djanganlah musuh sampai dapat masuk dari luar dan ternak djangan lari keluar. Tapi perempuan-pcrempuan jang telah scrat mengandung, atjap kali hanja dapat keluar dengan bcrsusah pajah sahadja, karena djalan keluar itu mendjadi amat sempit baginja. Sekalian orang jang dipandang sahabat atau keluarga, akan diberi djalan oleh pengawal jang mendjaga itu. Orang itu dapatlah masuk kampung dengan leluasa, sambil membawa segala sendjatanja. Dengan aman ia dapat melalui semua djalan-djalan dikampung, jang menudju kerumah orang jang hendak didatanginja. Sekalian orang luaran jang kcmalaman didjalan dan tidak dikenal, diizinkan pula masuk kampung, djika ia minta bermalam disana, asal ia bcragama Islam. Tapi sekalian sendjatanja lebih dahulu haruslah dipertaruhkannja dipintu gerbang. Sesudah itu ia diantarkan kesurau. Disurau itulah tidur sekalian pemuda jang ada dikampung. Tamu itu tak usah menaruh kuatir, karena njawa dan harta bendanja akan diperlindungi. Sekalian orang Islam jang hendak menumpang bermalam discsuatu kampung, disambut dengan segala kcichlasan dan ramah tamah pula. Tidak lajak hendak menjuruh orang Islam tidur bermalam diluar-luar rumah, ditcngah padang atau dirimba-rimba, jang galib diperlakukan atas diri orang kafir. Djika jang datang kepintu gerbang masuk golongan musuh jang telah bcrdamai dengan kampung itu, maka kepala kampung akan datang menjongsongnja, sambil membawa kclcwang terhunus ditangan kanannja, dan membawa sekalian anak-anaknja disebelah kirinja. Lalu akan bcrkatalah ia dengan senjum simpul kepada tamu bekas musuh itu: ,,Silahkanlah masuk! Dengan kelcwang ini saja akan mclindungi njawa tuan, dan dengan anak tjutju ini saja datang menjongsong tuan!" Demikianlah adat istiadat orang Atjeh, dimasa hidupnja Tjoet Nja Din. Tapi sesudah itu orang Belanda jang datang hendak mengadabkan orang biadab dengan paksa dan kckuatan sendjata, telah mengadjar mereka membcri ,,tabik" dan memberi ,.tangan". Kami tjeriterakan hal ichwal segala kampung jang tcrscbut diatas itu, karena kampung-kampung itulah jang paling bersedjarah dan banjak pcngalaman didalam peperangan orang Atjch mclawan Belanda.
*C/.
•?--.
PERANG SAUDARA Bcntjana jang timbul dari perscngketaan antara 6 Moekim dan Merassa harus dipandang sebagai suatu permulaan sahadja daripada pertumpahan darah besar-bcsaran ditanah Atjch. Djika hendak dikatakan ,,petjah perang" antara 6 Moekim dengan Mcrassa, maka pcrkataan ,,perang" itu sebenarnja adalah sangat dibesar-besarkan. Dendam jang timbul antara penduduk dari kedua Moekim jang hanja terbatas oleh sebuah anak sungai sahadja (Sungai Ning), memang scsungguhnja belum dihabisi dengan damai. Antara sebentar terdengar djua orang 6 Moekim masuk menjerbu ke Merassa, tapi jang tcrdjadi hanjalah perkelahian jang berkctjil-ketjil sahadja, lebih banjak dengan djalan tjcrtjamentjertja dari pada hunus-menghunus sendjata. Tapi meskipun demikian, ia harus dianggap sebagai suatu permulaan daripada bcntjana pertumpahan darah jang bersedjarah. Suatu pcristiwa perang saudara jang menggontjangakan dan menggetarkan seluruh ,,Daru'ssalam". Mungkin pula sekalian fihak jang berkepentingan telah menggunakan sengketa antara kedua kampung itu untuk mendjadi djalan buat mcnjelcsaikan hutang piutang sahadja. Tcrlcbih dahulu hendaklah kita kctahui bahwa Teuku Suleiman, bakal Sultan, telah dewasa. Dan scpatutnjalah djika Teuku Ibrahim, wakil Sultan, menjerahkan kebesaran itu kepada ahli waris Sultan Alaiddin Mohamad Sjah jang berhak, jaitu putcra sulungnja, Suleiman. Tapi dari semula Teuku Ibrahim memang tak ada ingatan jang scrupa itu. Sampai kepada Teuku Suleiman meminra penjerahan mahkota berterang-terang, tapi Teuku Ibrahim tctap mcnolak permintaan itu berterang-terang pula. Serocntara Teuku Ibrahim menjiapkan Iasjkarnja, buat menantikan segala kcmungkfnan, maka pctjahlah kabar, bahwa Panglima Polim sedang asjik pula memasih-masih langkah angkatan pcrangnja. Dari semula Teuku Ibrahim ditetapkan mendjadi wakil Radja, Panglima Polim memang telah difihaknja. Didalam pergolakan politik, atau lebih tegas, didalam pcrcbutan kekuasaan itu, masing-masing fihak ada mempunjai siasat dan pcrhitungannja sendiri. Maka disamping Panglima Polim itu, wakil Sultan Ibrahim banjak pula mempunjai kawan-kawan jang akan bcrsama-sama mempertahankan kedudukannja, djika petjah peperangan. Jang tcrutama ialah Oeloebalang Neh. Dalam pertikaian antara Ibrahim dan Suleiman itu, ia tahu benar, bahwa Nanta Setia, musuh besarnja, adalah difihak radja Suleiman. Sudah tcntu ia mcmilih fihak Teuku Ibrahim. Luar daripada Oeloebalang Neh, maka Imam Longbata mcmilih pula fihak Teuku Ibrahim. Nanta Setia pun mcndjalankan fikirannja. Ia insjaf, bahwa bcntjana jang mengantjam itu tidaklah lagi bcrarti sengketa kampung dengan kampung, ataupun Moekim dengan Moekim. Bukan perscngketaan karena bcrebut kekuasaan jang berkctjil-ketjil, mclainkan bcntjana jang akan datang itu ialah berarti pcrcbutan sing£;asana Atjch. Perscngketaan antara dua orang radja jang sama bcrkekuasaan dan sama bcrpengaruh. Itu bcrarti peperangan jang sedjati, perang saudara seluruh Atjeh!
24
Tjoet Nja Din
Lalu Nanta Setia mendjalankan perhitungannja. Polim menjiapkan tentaranja. Bagi Teuka Suleiman tempat pertahanan jang sekuat-kuatnja hanjalah 6 Moekim, apalagi karena ia dibesarkan disana. Disana pula ia mempunjai kawan-kawan dan pengiring, jang schidup semati dengan dia. Itu bcrarti akan hantjurnja dusun-dusun dan tanam-tanaman discluruh 6 Moekim, harta benda Nanta sendiri. Angkatan perang Teuku Ibrahim tcrutama terdiri atas budak-budak bclian dan rampasan asal dari pulau Nias. Mereka itu tidak bcrkepentingan di 6 Moekim, djadi djika daerah itu hendak hantjur lebur, tidaklah mereka akan menghiraukannja. Oleh karena itu djalan satu-satunja bagi Nanta Setia hanjalah turut ir.cmpcrkuat 6 Moekim, bcrarti tetap setia pada radja Suleiman, putera mahkota keradjaan Atjeh. Luar daripada kerugian harta benda itu. Djika Polim mendapat kekuasaan didacrah-daerah 6 Moekim dan sekitarnja, bagaimana kelak susunan partai jang akan timbul karena itu? Di 6 Moekim memang banjak kawan Nanta, tapi diluarnja? Imam Longbata, kepala daerah Islam jang merdeka, tidak dapat dianggap mendjadi sahabat Teuku Kadli, ketua Madjelis Pengadilan, didaerah kekuasaan itu. Kedua pembesar itu senantiasa hidup didalam pcrtikaian dan perscngketaan sahadja. Oleh karena Imam Longbata telah tcrnjata memihak pada Teuku Ibrahim, sudah tentu Teuku Kadli akan ada difihak Teuku Seleiman, bcrarti difihak „kita", demikian kuntji perhitungan Nanta. Nanta mencruskan kira-kiranja, Panglima Sagi 25 belum dapat diharap-harap. Orang itu terlebih dahulu pastilah akan mementingkan penghasilan ladanja sahadja jang ada dipantai Barat; djadi segala tindakan dan siasatnja kelak tentu akan bcrdasar kepada perhitungan laba ruginja dalam pcrniagaan lada itu sahadja. Tapi dengan Nja Purba dari 9 Moekim lain pula halnja . . . Dan Teuku Bai'fmungkin sekali dapat diharapnja akan mendjadi teman. Djika tidak ada maunja, apakah gunanja Teuku Bait memesankan Nanta beberapa hari kebclakang, katanja karena ia sangat ingin hendak bermusjawarat dengan Nanta} Ja, kata Nanta sekali lagi dalam hatinja. Peperangan ini tentu akan petjah. Fihak Radja Suleiman hendak merebut kebesaran, jang mendjadi hak pusakanja. Fihak Teuku Ibrahim hendak mempertahankan kedudukannja, dari wakil Sultan ia bertjita -tjita hendak mendjadi Sultan. Radja Suleiman ingin hendak mencrima warisan dari almarhum ajahnja, jaitu singgasana Atjch jang mendjadi hak mutlak baginja. Panglima Polim hendak mempcrkuat kedudukannja. Teuku Bait hendak menundjukkan bahwa ia tidak ada didalam kclindungan Panglima Polim. Bagi Neh pun sangat penting pula artinja, djika peperangan selesai, kedudukannja sepagai Oeloebalang bukan sahadja akan lebih kuat, tapi teraku pula setjara mestinja. Sampai kepada saat itu kekuasaannja di 6 Moekim hanjalah ada didalam sebut-sebutan sahadja. Didalam praktek,
+C.f-
Perang saudara
25
kekuasaan Nanta Setia disana adalah lebih djauh besar dari pada kekuasaannja. Dan buat Nimffl sendiri? Hantjurnja 6 Moekim, bcrarti musnahnja harta benda jang ada disana, dan habis pula kekuasaannja. Dan pada pendapat Nanta Setia sendiri, adalah lebih tepat, djika ia mendjadi Oeloebalang penuh di 6 Moekim itu, bukan Oeloebalang Potcu! Angin taufan jang telah lama mengantjam itu, turunlah dengan segala hebatnja. Aliran listrik jang telah padat memenuhi ruangan angkasa, tak dapat lagi ditahan-tahan, lalu meletuslah ia, menimbulkan pctir halilintar, jang menggetarkan tanah Atjeh. Kawan-kawan wakil Sultan Ibrahim, dipimpin oleh Panglima Polim, Imam Longbata dan Oeloebalang Neh, sekonjong-konjong telah menobatkannja sebagai Sultan, dan mengakui nama Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah sebagai nama kebesarannja. 3 Moekim dari Sagi 26 beserta Moekim Mesdjid Agung mcmilih fihak wakil Sultan, Ibrahim. Jang lain-lainnja adalah dibclakang Radja Suleiman, Bait dan Nanta. Selainnja daripada itu, jang mengikut fihak Radja Suleiman pula, ialah: Teuku Poerba, Oeloebalang 9 Moekim, Teuku Kadli, Ketua Kehakiman didaerah Islam jang bebas, beserta Panglima-Panglima dari Sagi 25 dan Sagi 26. Penobatan Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah itu berarti pcrnjataan perang tcrhadap diri Radja Suleiman beserta sekalian kawan dan pengiringnja. Tentangan itu diterima oleh mereka setjara lajaknja. Mesdjid dan Dalam Kotaradja diperkuatlah oleh Sultan Mansoer. Suleiman dan Nanta membangun benteng-benteng pertahanan di 6 Moekim. Lalu bcrtempurlah kedua rombongan itu dengan laku mati-matian. Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah mengerahkan lasjkarnja jang tcrutama tcrdiri atas orang-orang pulau Nias, buat menjerang 6 Moekim, sedang angkatan Perang Teuku Neh dari Mcrassa adalah turut menjertai mereka. Panglima Perang dari 3 Moekim, jang setjara perseorangan memang ada difihak Radja Suleiman, berdjaga-djaga djangan djundjungannja, jaitu Panglima Sagi 26, sampai turut bertindak. Panglima Polim turunlah dari pegunungan, membawa angkatan perangnja jang gagah bcrani, lalu menggabungkan diri kepada Imam Longbata. Teuku Kadli, Ketua Kehakiman dari daerah-daerah Islam jang bebas, segcra pula menjerang Panglima Moekim Mesdjid Agung itu. Dan djauh dibclakang turut pula Panglima Sagi 25 mentjam pungkan diri kedalam entjah pcrtempuran, dengan menjampingkan pcrusahaan ladanja untuk sementara waktu. Demikianlah keadaan di Daru'ssalam jang telah mendjadi katjau balau itu. Didalam kcributan itu 6 Moekim terpaksa mengambil sikap bertahan. Tapi seluruh penduduknja adalah patuh setia kepada Radja Suleiman, jang oleh mereka tctap dipandang sebagai Radja Sedjati, jang berhak penuh buat dinobatkan mendjadi Sultan. Pukulan-pukulan jang datang bertubi-tubi, ditangkislah dengan segala ketangkasan. Beberapa buah kampung telah musnah mendjadi abu. Dalam tekik-menekik, pantjung-memantjung serta tikam-menikam itu, gugurnja orang dari kedua
z6
Tjoet Nja Din
fihak tidaklah terbilang banjaknja. Majat bcrgclimpangan didjalan, darah mengalir bagaikan anak sungai, banjak kepala, kaki dan tangan jang ditjeraikan dari tubuhnja. Disana-sini terdcngar melctus bunji bcdil sitinggar, ditingkahtingkah oleh suara gomuruh dari meriam-mcriam bcrkcrat, peninggalan orang Portugis. Diseluruh sawah-sawah, rimba nipah dan ladang ladang, gcmcrsiklah bunji sclompret tanduk lcmbu. Siang dan malam pintu keluar masuk dusun tinggal tertutup. Pcndjagaan dilipat gandakan. Tak ada seorang perempuan atau anakanakpun jang berani keluar. Sesudah bcrkobar pada awal dengan segala hebatnja, api peperangan itu bcrangsur-angsur mengurangi. Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah (Ibrahim), tinggal bertahan dibclakang pagar-pagar tembok dan parit-parit bentcngnja jang ada diistana. Radja Suleiman menanti-nantikan kedatangan musuhnja didalam tempat pertahanannja jang berpagar bambu duri. Jang luka-luka diusung, jang mati dikuburkan, sekalian tawanan dibunuh. Sekonjong-konjong tampillah Teuku Bait kemuka, membawa kawan-kawan pengiringnja jang masjhur gagah bcraninja itu. Dengan tidak memikirkan pandjang diserbunjalah istana beserta Bcitu'rachman, Mesdjid Agung diistana. Dari fihak lasjkar Nanta bertempik soraklah orang. Tapi tidak pula lama antaranja, lasjkar Teuku Bait telah mundur pula meninggalkan istana. Tcmpih dan sorak berkisarlah, terdcngar pula difihak lasjkar Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah, karena mereka telah dapat mempertahankan istana dan mcnghalau musuhnja. Meskipun demikian, sikap penjerbuan bentcng Sultan jang telah dilakukan oleh Teuku Bait itu, bukan sahadja mengagumkan hati orang, tapi menambah pula pengaruh Panglima Perang itu. Dari saat itu semakin takutlah orang kepadanja. Namanja sebagai Panglima Perang mendjadi lebih masjhur. Mungkin karena itu pula, maka Radja Suleiman telah berkenan menerima salah seorang saudara perempuannja buat mendjadi isterinja. Maka peperangan itu achirnja telah menempuh pula tjorak peperangan, sebagai jang galib bcrlakunja. Semangat jang meluap-luap surut mendjadi dingin. Meskipun damai belum mendjadi sebut-scbutan, tapi musim pertempuran berbanjak-banjak, seorang lawan seorang, telah terlampau. Dari kedua belah fihak masih ada terdcngar orang jang ditikam atau ditckik oleh musuhnja discsuatu tempat dan pada sesuatu saat jang tidak disangka-sangka. Ataupun ditembak dengan bcdil sitinggar dari belakang scmak-semak. Sckali-sekali terdjadilah penjerbuah berkctjil-ketjil. Tapi masing-masing kebanjakan hanja tinggal bersiap-siap dan berdjaga-djaga sahadja. Makin banjak orang laki-laki jang tinggal berbaring karena sakit dan luka-luka, makin banjak pula kaum perempuan dan anak-anak jang terpaksa mentjangkul tanah, menggantikan pekerdjaan laki-laki jang sudah tidak berdaja lagi. Pada kebanjakan orang didusun-dusun mulai padamlah nafsu perang itu. Mereka insjaf, bahwa dengan berperang-perangan itu anak bini akan tcrantjam oleh bahaja kclaparan. Oleh karena itu segala pekerdjaan disawah dan diladang
*C- J. 7 : / . . v .
1
j-£*£>it=
Perang saudara
27
jang tinggal tcrbengkalai, scdapat-dapat disambung pula. Mcnggcmbala tcrnak dan mcnangkap ikan diutamakan pula setjara jang sudah-sudah. Kealpaan dalam mengusahakan hasil bumi dan tcrnak, guna menghidupi anak bini. telah diinsjafkan benar oleh segala fihak. Sampai kepada fihak Panglima, umpamanja Polum dan Imam Longbata, mulai pula menjadari timbulnja bcntjana itu. Sedangkan Nanta Setia sendiri telah berkira-kira pula. Djelaslah sudah bahwa perpusatan pcrtempuran itu adalah terletak didaerah-daerah perusahannja. Makin tjepat selcsainja pertikaian itu, akan makin scnanglah hati Nanti. Apa jang akan terdjadi sesudah itu, discrahkannja kepada kekuasaan Tuhan. Jakinlah Nanta bahwa hidup scntosa itu hagi segala orang, hanjalah mungkin didalam suasana jang aman dan damai djua.
MUSUH DIDALAM DAN DARI LUAR Didalam keadaan jang katjau balau itu, timbul pulalah pelbagai rupa kesulitan jang menambah kebimbangan hati Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah. Disepandjangpandjang pantai Atjeh dan dibatas-batasnja berulang-ulang timbul pertikaian jang sampai mengalirkan darah, tapi belum dapat dinamakan „perang". Orang Atjeh antara sebentar terlibat kedalam pcrkelahian sengit dengan orangorang Belanda, dilaut, dipelabuhan, dipulau-pulau dan dipantaf-pantai. Baik pihak orang Atjeh, maupun pihak orang Belanda telah sama-sama mempertundjukkan kekcdjaman dan kcganasan, dalam perkara menjelesaikan sengketa. Tidak kurang orang Belanda jang mati ditekik dengan kelcwang atau ditikam dengan rentjong Atjeh. Tidak kurang pula orang Atjeh jang rubuh mendjadi sasaran peluru orang Belanda. Disamping itu banjaklah pcrahuperahu dan kapal-kapal lajar jang disamun, muatannja diangkut, penumpangnja dibunuh. Salah sebuah kapal patruli Belanda telah menahan sebuah kapal lajar orang Atjch didacrah pclajaran Kcradjaan Atjch. Setelah dipcriksa, njatalah bahwa surat-surat pas mereka tidak berkekurangan sesuatu apa. Tapi meskipun demikian, kapal lajar orang Atjch itu dirampas djua, muatannja dimiliki, sekalian penumpang dan anak buahnja ditembak mati. Saudagar-saudagar bangsa Belanda melajari lautan Atjeh sambil mengibarkan bendera Amerika. Mereka berlabuh didekat-dekat kebun lada orang Atjeh. Dengan segala tipu muslihat mereka asjik berusaha hendak „membuka mata" orang Atjeh tentang djahat dan ganasnja saudagar-saudagar bangsa Arab dan bangsa Atjeh sendiri. Disamping itu pembesar-pembesar Belanda menghasut-hasut pula penduduk pulau Nias, tempat orang Atjeh mentjari anggota-anggota angkatan pcrangnja dan budak-budak belian. Dengan sebudiakal orang Belanda ,,membuka mata" orang Nias tentang kcganasan orang Atjeh. Selaninnja daripada dipulau Nias, bahkan ditanah Atjeh sendiri pembesar-pembesar Belanda menghasut pula didaerah-daerah jang ada dibawah perintah Sultan Atjeh, supaja penduduk disana menentangnja. Djika daerah-daerah pemerintahan Sultan Atjeh itu telah berontak, maka orang Belanda segcralah datang membudjuk dan mengupah hati orang-orang jang „terindas" itu. Dengan djalan memboroskan uang dan pelbagai djenis barang-barang keperluan, orang Belanda berusaha membcli hati penduduk daerah jang berontak itu. Tipu muslihat orang Belanda jang serupa itu berhasillah. Radja Tarumum jang bcrdacrah dipantai Barat, telah mendurhaka kepada Sultan, lalu mentjari kawan dipantai Timur, dan di Siak serta didaerahdaerah takluknja. Maka insjaflah Sultan Mantsoer, bahwa tanah Atjch bcrangsur-angsur telah dimasuki oleh musuh dari luar, jang masuk mencmbus daerah dari segala pendjuru. Dengan pcrlahanlahan, kadang-kadang dengan rintangan, mereka memasuki pulau Sumatera dari Selatan dan mengarahkan langkah ke Utara Musuh-musuh dari luar itu talah keturunan ,,kumpeuni" jang terkutuk. Dari Lampung mereka masuk, lalu mentjari djalan melalui Bangkahulu, Palembang,
•K-f- y-.A-.
\s.
Musuh didalam dan dari luar
29
Riau dan Minangkabau. Disebelah Barat mereka telah bersarang di Tebuk Tapanuli. Daerah-daerah disebelah Timur, jaitu Asahan dan Deli, telah didudukinja. Tapi dari sana mereka telah dihalaukan pula oleh orang ,,kaphe" jang tinggal ditanah Malaka, jaitu orang Inggris. Meskipun demikian, Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah belum hendak bergirang hati. Ia mengetahui bahwa berachir-achir ,,kaphe" dengan ,,kaphe" itu akan bersatu djua, karena mereka memang seichwan. Tapi djika ada jang dipercbutkan, mereka akan bertjakar-tjakaran pula. Bila nanti pada sesuatu masa, masingmasing harus terpaksa membela kepentingan bersama, maka akan bersalamsalaman pulalah mereka. Lalu bahu membahu bcrtempur, memerangi musuh bersama. Samalah halnja dengan orang Islam. Hari ini bcrscngkcta, bunuh membunuh, tapi esok mendjadi sckutu, karena terpaksa menghadapi musuh dari luar. Oleh karena itu Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah tetap tidak pcrtjaja kepada ,,kaphe", meskipun ia bangsa Belanda, hatta ia berbangsa Inggeris. Hanja hendak bertindak dengan berterang-terang, Sultan belum dapat, karena musuh-musuh didalam selimut itu pandai sekali mcmbeli-beli hati rakjat Atjeh; jaitu dengan djalan bermulut manis, bcrbudi bahasa baik, serta menaburnabur uang dan barang-barang kcperluan rumah tangga, dan pula madat! Rasa bentji dan dendam terhadap kepada kcturunan ,,kumpeuni" jang terkutuk itu, tidaklah melimpah keluar mulut Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah, mclainkan tinggal tcrsekap didalam hatinja sahadja. Hanja ia tetap waspada dan bcrdjaga-djaga, sambil menanti-nantikan ketika jang baik buat berhadapan setjara lajaknja dengan musuh-musuh dari luar itu. Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah mempcrbuat-buat perhitungannja. Musuhnja jang ada didalam negeri dapat dihadapinja berterang-terang. Keras dilawan dengan keras. Hutang darah dibajar dengan darah, hutang emas ditunaikan dengan emas pula. Tapi terhadap kepada musuh-musuh dari luar, jang membawa-bawa gutji madu, ia terpaksa ,,bcrminjak air" pula. Papat diluar, rantjung didalam. Sementara itu Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah insjaf benar, bahwa ia harus berhati-hati dedalam segala gerak-gerik dan segala djandjinja terhadap kepada ,,kaphe" Djanganlah ia sampai dapat tcrkungkung masuk perangkap, sampai terpaksa menjerahkan leher buat dipantjung. Segala kebidjaksanaan dan kclitjinan harus dilaksanakannja, buat memelihara kedudukannja didalam gelanggang sebagai djuara. Ia insjaf benar bahwa segala orang datang itu bukanlah orang bodoh, mclainkan djuara-djuara, jang telah menghitung langkahnja pula. Ketika orang Belanda menundjukkan gigi pada tahun 1855, jaitu datangdatang berlabuh dipclabuhan Atjeh dengan kapal perangnja „De Haai", Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah tetap bcrlaku sebagai seorang tuan rumah jang bcrbudi bahasa baik. Meskipun maksud Komandan Kapal perang itu hendak berkundjungan keistana tidak diberi tahukannja lebih dahulu, setjara jang lajak dan galib, tapi Sultan menerimanja dengan ramah tamah serta air muka jang djernih djua.
30
Tjoet Nja Din
Pada tahun 1856 orang Belanda telah mengirimkan pula kapal perangnja jang bcrnama ,,Prins Hendrik dcr Nedcrlanden" ke Atjch. Komandan kapal itu menjerahkan sehclai surat ,,tanda pcrsahabatan", jang dikirimkan oleh Gubcrnur Van Swieten, wakil pemcrintah Belanda di Padang, kctangan Sultan. Dari segala sesuatunja Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah berkejakinan, bahwa kedatangan ,,Prins Hendrik dcr Nedcrlanden" itu dimaksudkan hanjalah hendak ,,menundjukkan gigi" buat kedua kalinja sahadja. Tapi meskipun demikian, Sultan tidak alpa dari pada menundjukkan budi bahasa jang manis. Dari pihaknja ia mengirimkan pula scputjuk surat ,,tanda pcrsahabatan" kepada Gubernur Djcndcral pemerintahan Hindia Belanda. Didalam surat itu didjelaskan bahwa orang Atjeh sangat menghargai hal pcrsahabatan dengan orang Belanda itu. Tapi disamping itu dengan diam-diam Sultan berkirim pula sebuah surat kepada Gubernur Djcndcral Inggris jang berkedudukan di Singapura. Didalam surat itu dinjatakanlah oleh Sultan, bahwa ia tidak lupa kepada budi bahasa orang Inggris tcrhadap kepada Kcradjaan Atjch, karena orang Inggris telah pernah menghalau orang Belanda dari Assahan dan Deli. Oleh karena itu, kata surat Sultan sctcrusnja, sudahlah scpatutnja apabila ia meminta nasihat dari orang Inggris didalam sesuatu perkara jang sulit. Sultan meminta timbangan orang Inggris tindakan apakah jang patut dilakukannja dalam menghadapi taktik dan siasat orang Belanda jang baharu dipcrnampakkannja itu. Gubernur Inggris tidak berterang-terang menolak permintaan Sultan itu. Hanja ia ,,dengan mcnjcsal" terpaksa menjcsali tindakan-tindakan badjak laut Atjeh, jang sedang bersimaharadjalela discluruh lautan pemerintahan Inggris. Djika Atjeh mengharap hendak mengekalkan kcrdja sama dengan Inggris, tidakkah sepatutnja, djika Sultan menindas badjak-badjak laut jang ganas itu terlebih dahulu ? Untuk penutup surat, orang Inggris mengemukakan pendapat djika Sultan hendak memcrangi badjak-badjak laut itu, scbaik-baiknja ialah bila ia meminta bantuan orang Belanda sahadja! Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah bcrtambah gelisah. Insjaflah ia bahwa ia sekalikali tidak akan dapat menggantungkan harapan kepada ,,kaph£" jang ada di Malaka itu. Setali tiga uang dengan ..kaphe" jang telah mcrembes masuk kenegerinja! Tapi apakah dajanja? Kckatjauan didalam negeri makin memuntjak. Banjak kcpala-kepala pemerintahan jang telah mendurhaka dan membelakangi Sultannja. Berhubung dengan segala sesuatunja itu, maka kedatangan Gubernur Van Swieten pada tahun 1857 ke Atjeh, sambil membawa sehclai traktaat, telah disambut oleh Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah dengan lebih berhati-hati. Ia menerima kedatangan mereka itu dengan budi bahasa jang semanis-manisnja. Didalam pertjakapan antara kedua, Sultan telah menjindir-njindirkan kepada Van Swieten, bahwa ia akan sangat menghargakan bantuan Belanda didalam sengketanja dengan musuh-musuh jang ada didalam dan diluar Atjeh. Terutama terhadap kepada radja-radja dari daerah takluknja jang ada dipantai-pantai,
•HIS- 7ZA-. %s.
Musuh didalam dan dari luar
31
jaitu radja-radja Tarumun dan Siak, jang telah memcrdekakan diri dan membclakangi Sultan. Disamping itu banjak pula kcpala-kepala daerah didalam kcradjaannja jang telah mendurhaka kepada Sultan. Gubernur tersenjumsenjum manis, lalu berkata dengan laku mengedjek jang diselimuti: ,,Ja, sajang sekali kami tidak dapat memberi bantuan kepada Sultan! Bukan tidak suka mclainkan tidak dapat. Didalam tahun 1824 kami telah terlandjur mempcrbuat suatu perdjandjian dengan Inggris, jang menctapkan bahwa kami tidak akan tjampur-tjampur didalam persengketaan Atjeh jang timbul didalam ncgerinja. Ja - sajang! Tambahan pula bahwa scsungguhnjalah kami tidak ingin tjampur-tjampur didalam perkara itu, karena kami tidak ingin perang. Sebab perang bcrarti pengurbanan darah dan uang! Kami lebih suka damai, sebab kami ingin bcrniaga didalam suasana aman dan damai, dan jang akan membcri kcuntungan jang memuaskan. Sekali lagi kami katakan: Kami tidak dapat membantu Tuanku! Sajang . . ." Dengan djalan demikian teranglah bagi Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah, bahwa ia telah tinggal seorang diri didalam menghadapi sekalian kcpala-kepala daerahnja jang mendurhaka itu. Dan menghadapi radja-radja dari daerah takluknja dipantai-pantai, jang telah memcrdekakan diri, dan bersekutu pula dengan badjak-badjak laut, jang kian lama kian mengganas. Gubernur Van Swieten tcrsenjum-senjum pula dengan manisnja, lalu membuka dan membatjakan isi surat perdjandjian (traktaat) jang sedang dibawabawanja itu. Didalam traktaat itu dibubuh perdjandjian jang erat bahwa: a. Saudagar-saudagar Belanda buat diseluruh tanah Atjch diberi kemerdckaan berlajar, berniaga dan bermalam dengan tidak takut akan dibunuh. Keleluasan dan pcrtanggungan djiwa sebagai itu diberikan pula oleh orang Belanda kepada orang Atjeh buat diseluruh kcpulauan Hindia Belanda. b. Batas daerah pemerintahan masing-masing harus diperendahkan. c. Segala dendam jang timbul dimasa jang sudah-sudah haruslah dihilangkan, sedangkan kedua belah pihak harus maaf-memaafi. d. Penumpang-penumpang kapal jang mendapat ketjelakaan oleh karena sesuatu sebab (angin taufan, kandas, d.s.b.), buat kemuka tidak akan dianiaja atau dibunuh lagi. e. Kapal-kapal asing tidak akan disamun lagi di Atjeh. f. Orang Atjeh buat kemuka tidak akan menjamun-njamun lagi budak dan gundik dari pulau Nias. Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah dipersilahkan dengan senjum-senjum simpul untuk mebubuhi tanda tangan beserta Tjap kebesarannja dibawah traktaat jang mengandung segala perdjandjian jang muluk-muluk itu. Lalu ia menanda tangani serta mentjap pula. Djalan jang lain telah tak ada . . . Peristiwa itu terdjadi tanggal 30 Marct 1857. Tapi setahun setalah itu orang Belanda telah ada pula di Siak. Katanja bcrdasar kepada ,,peri kemanusiaan". Sultan Siak jang dahulu hidup tertindas dan tcrbelenggu oleh Sultan Atjch, lalu dapat memcrdekakan diri, telah
32
Tjoct Nja Din
bcrulang-ulang meminta perlindungan kepada orang Belanda. Setjara peri kemanusiaan orang Belanda tidak sampai hati buat mcnolak permintaan Sultan Siak jang seadil itu. Dan tcrpaksalah orang Belanda datang ke Siak dengan tergesa-gesa. Lalu lahir pulalah suatu traktaat antara pemerintahan Belanda dengan kcradjaan Siak, jang mcnctapkan, bahwa buat kemuka daerah Siak adalah langsung dibawah pemerintahan Belandal . . .
Tentang perdjandjian antara orang Belanda dengan orang Inggris pada tahun 1824, j a n g menetapkan bahwa orang Belanda tidak bolch turut tjampur didalam perscngketaan-pcrsengketaan jang timbul didalam negcrinja sendiri, tidak akan mendjadi soal. Bukankah Siak telah merdeka dari pemerintahan Sultan Atjch? Bukankah itu bcrarti bahwa hal Siak sudah tidak mendjadi perscngketaan didalam negeri (Atjehj lagi}. . . Punt!
Tapi pada Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah sajembara itu belumlah sampai kepada Punt. Tindakan orang Belanda jang scmatjam itu dipandangnja sebagai suatu ketjulasan jang sebesar-besarnja. Berarti ,,menohok kawan seiring". Makin bimbang hati Sultan. Makin bcrasalah ia tinggal seorang diri dalam menghadapi musuh-musuh didalam negeri jang sebanjak dan sckuat itu. Orang Belanda jang diharap-harpnja, tcrnjata tjulas . . . Sampai kepada tahun 1858, setahun setalah dibubuhnja perdjandjianpcrdjandjian jang serba muluk itu dengan Belanda. Oleh karena didalam waktu setahun itu banjak pula terdjadi peristiwa-peristiwa jang menjatakan tidak djudjurnja orang Belanda, bcrtambah-tambah jakinlah Sultan, bahwa tcrhadap kepada orang Belanda, esok lusa ia akan terpaksa djua menghunus pedang, karena selama mereka itu ada ditanah Atjch, hidup Sultan tidak akan berkesenangan. Keamanan Atjeh akan tetap terganggu. Atas takdir Illahi, pada tahun 1858 itu pula, wafatlah Radja Suleiman karena sakit. Djenazahnja dimakamkan di Lampaggcr, dengan segala kesedcrhanaannja. Ia meninggalkan empat orang djanda, dan seorang anak jang dari ibu bukan keturunan bangsawan. Mahmud, demikianlah nama anak itu. Wafatnja tjalon Sultan itu telah mengurangi ketcgangan didalam bentjana pcrcbutan singgasana Atjeh. Penobatan Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah lalu diperkuatlah didalam mesdjid Agung. Dengan djalan demikian maka ia telah resmi mendjadi Sultan Atjeh. Pcngiring-pengiring Suleiman jang memeranginja, menimbang tak ada pcrlunja lagi buat mencruskan pertumpahan darah dikalangan saudara dengan saudara. Oleh karena itu buat sementara waktu, merekapun meletakkan sendjata. Agak lapanglah rasanja dada Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah. Peperangan jang ditudjukan terhadap dirinja sendiri, untuk sementara waktu telah berhenti. Tinggal perscngketaan-nja dengan kepala-kcpala jang mendurhaka. Mudahmudahan bentjana itupun dapat ditindas, asal ia lebih dahulu dapat mengusahakan persatuan erat didalam lingkungannja jang berhampiran. Tapi pcrsatuan itu tidak akan tertjapai, selama dendam antara orang 6 Moekim dengan Mcrassa masih ada Perscngketaan antara kedua Moekim itu sewaktu-waktu dapat pula menjalakan api. Djadi Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah terlebih dahulu harus
S
Musuh didalam dan dari luar
3}
mendamaikan kedua fihak itu. Dengan bantuan beberapa orang Ulama achirnja tjita-tjita itu tertjapai djua. Orang 6 Moekim berpendapat bahwa darah Hadji Said jang ditumpahkan oleh orang Mcrassa, atas takdir Tuhan telah sempurna dibajar oleh orang Merassa itu dengan darah pula. Oleh karena itu 6 Moekim tidak berkebcratan lagi buat bcrdjabat tangan dengan orang kampung tctangganja. Pada awalnja hati Teuku Neh, Oeloebalang, masih belum puas. Telah berkalikali ia mengirimkan protes kepada Sultan tentang sikap Nanta, jang atas kuasa sendiri telah mengangkat dirinja mendjadi Oeloebalang 6 Moekim. Pada hal sundut-bersundut hak mendjadi Oeloebalang di 6 Moekim itu adalah mendjadi pusaka kcturunan Neh. Tapi oleh karena kedudukan Nanta sangat kuat, pada achirnja Neh menjabarkan hatinja djua, menanti-nantikan ketika jang baik buat mentjabut duri jang telah tersisik kedalam daging itu. Nanta sendiri sudah tidak aktif pula. Selama ,,jang dipcratas" tidak mengganggu kesenangannja, tidaklah ia hendak menghiraukan keberatan-keberatan jang dilahirkan oleh Teuku Neh itu, karena Oeloebalang Neh tidak akan dapat bcrbuat sesuatu apa atas dirinja. Mi 'nat perhatiannja tinggal bcrtaut kepada anaknja jang perempuan, Tjoet Nja Din, buah hatinja. Dan kepada pembangunan harta bendanja jang telah hantjur luluh selama perang. Dengan hal jang demikian, Lembah Atjeh buat sementara waktu dapat mengalami suasana aman dan damai. Bagi Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah, jang tcrpenting buat sementara pula, hanjalah menghadapi orang Belanda sahadja digelanggang persengketaannja.
TAMPIL KETENGAH-TENGAH MASJARAKAT Tjoet Nja Din telah mendjadi gadis remadja. Scbutir mutiara jang mendjadi semarak djelita ditengah-tcngah para pemudi Atjch. Jang sangat menarik hati ajahnja beserta seluruh orang jang ada disckitarnja, bukanlah parasnja jang clok sahadja, mclainkan terutama djua ialah laku perangai serta sikapnja jang djauh bcrbeda dengan laku kebanjakan perempuan. Mata biuku jang raju-raju pandangan dan patut merawankan hati, kadang-kadang umpama memantjarakan sinar dan tjahaja, djika ada sesuatu jang tidak berkenan pada hatinja. Gadis jang seorang ini tidak akan kelindungan oleh segala putcri pilihan, djika hendak diudji tentang ketjantikan dan clok parasnja. Scmpurnalah segala sesuatu pada tubuhnja, jang dikehendaki dari seorang wanita. Lakunja memandang pada suatu ketika, jang memberi gambaran atas kedjantanan dan kekerasan hatinja, disertai pula oleh sikap dan tindakan jang tcgas, gurat batu, menjisihkan dirinja pula dari segala wanita. Nanta Setia merasa bangga, tiap-tiap ia memandang kepada anaknja jang seorang ini. Hanja bimbang pula hatinja demi memikirkan bahwa pilihan lakilaki pula jang akan dapat mengharap-harap buat menundukkan hati perempuan ini kelak, bila ia telah mendjadi suaminja. Tjoct Nja Din tidaklah memberi tanda-tanda, bahwa ia sebagai seorang ,,anak rumah" kelak akan suka ,,mcnjapu telapak sisuami dengan rambutnja", sebagai jang ditjita-tjitakan oleh seorang isteri jang taat dan patuh pada suaminja. Hanja seorang panglima jang gagah perkasa pula jang akan lajak buat mendjadi pasangan gadis jang bersifat djantan itu. Banjaklah kandidat-kandidat jang telah diudji oleh Nanta Setia didalam perhitungannja, jang dianggapnja berpatutan untuk mendjadi menantunja. Sebagai seorang bangsawan jang mendjadi Oeloebalang di 6 Moekim, pasangan anaknja itu hendaklah mentjukupi pula akan segala sjarat-sjarat jang berpatutan buat didjadikan menantu. Diukur tcgaknja haruslah sama tinggi, diukur duduknja haruslah sama rendah dengan puteri Tjoet Nja Din jang akan mendjadi isterinja. Tidak kurang anak-anak bangsawan Atjeh keturunan pahlawan gagah bcrani, jang telah njata ada menurutkan djedjak nenek mojang serta orang tuanja. Tapi diantara jang banjak itu ada-ada sahadja tjatjat dan kekurangannja, jang belum dapat memuaskan hati Nanta Setia. Dengan takdir Tuhan, pada suatu hari datanglah seorang tamu dari Lamgna beserta isteri dan para pengiringnja bcrkundjungan ke Lampadang. Rombongan itu minta berdjumpa dengan Oeloebalang 6 Moekim, Teuku Nanta Setia, Tamu agung itu ialah Teuku Ocdjong Aroem, Imam Lamgna. Setelah beramah tamah, sambil mentjukupi segala sjarat-sjarat berkundjungan, baik dari fihak jang datang, maupun dari fihak jang menjambut, maka achirnja Imam Lamgna mclahirkan kcringkasan daripada maksud perkundjungan jang terkandung dalam hatinja, ketika ia beserta isterinja turun dari kampung halamannja. Teuku Oedjong Aroem datang meminang Tjoet Nja Din untuk mendjadi isterinja putcra sulungnja, Teuku Ibrahim.
Tampil ketengah-tengah masjarakat
35
Imam Lamgna adalah kcturunan bangsawan-bangsawan Lamgna dan pulau W a i , jang terbilang kaja raja ditanah Atjeh, serta mempunjai tjabang-tjabang perniagaan diantcro daerah. Disamping kehartawanannja itu, kcturunan Teuku Oedjong Aroem termasjhur pula tentang gagah beraninja. Sesungguhnja Imam Lamgna harus t u n d u k kebawah perintah Oeloebalang 13 Moekim dari Sagi 26. T a p i Teuku Oedjong Aroem sckali-kali tidak hendak mcnaati susunan pemerintahan jang setjara itu. Bukanlah ia hendak tinggal mcrdeka d a n membelakangi Oeloebalangnja sahadja, tapi tak segan-segan pula ia menentang d a n mclintangi djalan jang dipcrtuannja itu. Oeloebalang 13 Moekim tidak dapat berbuat sesuatu apa terhadap Imam jang hartawan dan bcrpengaruh besar serta gagah pcrkasa itu. Teuku Ibrahim tidak lama lagi akan diangkat mendjadi Imam Lamgna, buat menggantikan ajahnja, jang bcrmaksud hendak mcletakkan kebesarannja. Lebih dari itu tidak pula akan d a p a t diharap-harap oleh Nanta Setia buat mendjadi orang semenda. Pcndek kata, permintaan Teuku Oedjong Aroem Lamgna itu diterimalah oleh keluarga Nanta dengan segala gembiranja. Kedua fihak jakinlah bahwa Teuku Ibrahim dari Lamgna d a n Tjoet Nja Din pastilah akan mendjadi pasangan jang scpatut-patutnja. Pada hari d a n bulannja jang baik, pcrnikahan itu dilangsungkanlah. Pada hal Tjoet Nja Din sebetulnja bclumlah mentjapai umur jang berpatutan buat bersuami. T a p i menurut adat d i Atjeh, hal jang scrupa itu tidaklah akan mendjadi halangan. Karena meskipun telah mendjadi suami isteri dan tidur sctempat tidur, bagi setiap pemuda Atjeh pastilah akan mendjadi suatu aib jang scbesarbesarnja, bila ia dikctahui telah mengganggu isterinja jang belum sampai kepada umur. Tjoet Nja Din, puteri Oeloebalang 6 Moekim, dinikahkan! G u n a itu rumah d i Lampadang dihiasi dengan segala djenis perhiasan. Dimuka halaman dipasang bcrlapis-lapis pintu gerbang jang d i p e r b u a t dari pada b a m b u , daun-daun beringin d a n d a u n njiur, beserta bunga-bunga kertas, kain-kain bcrwarna dan sebagainja. Pintu gerbang jang penghabisan diban g u n k a n dimuka djandjang pintu rumah. Didalam rumah dikembangkan sekalian tikar-tikar pcrmadani jang ada, d a n digantung-gantungkan pula sekalian tabir, kain-kain tcnunan dan pelbagai barang-barang perhiasan jang s u n d u t - b c r s u n d u t tinggal tcrsimpan didalam peti pusaka. Barang-barang pusaka jang bcrupa emas dan perak sampai kepada barang-barang petjah belah, tidaklah ditinggalkan dalam peti, mclainkan dekeluarkan dan dipergunakan semua. Beranda muka sampai keberanda belakang, demikian pula dibeberapa buah kamar, telah dihiasi dengan barangbarang pusaka jang tidak ternilai-nilai harganja. Jang diutamakan benar ialah menghiasi ruangan tengah, jang disediakan untuk mendjadi ketiduran Pcngantin, tjukup dengan kclambu sutcra dan segala bantal-bantal kebesarannja. Seluruh kampung Lampadang umpama turut bcrpesta. Bukankah jang dikawinkan itu putera Oeloebalang? Bermalam-malam lamanja orang bcrpesta dirumah Nanta Setia, dihibur dengan tari-tarian serta njanji-njanjian, sedang
36
Tjoct Nja Din
djuru pantun Dokarim dari Lamtcngah, jang telah termasjhur namanja ditanah Atjch, sudah tentu tidak ketinggalan. Tiga hari tiga malam perpestaan itu telah berlangsung. Malam kcempat baharulah mempclai diarak dengan segala keramaian dan bunji-bunjian kcrumah isterinja. Pada malam kcempatnja itulah baharu Tjoet Nja Din memakai pakaian pengantinnja. Silaulah mata orang memandang seluruh pakaian dan perhiasan jang dilckatkan pada tubuhnja. Tak adalah barang sepuhan padanja, mclainkan jang dipakainja itu adalah diperbuat dari pada emas jang tinggi karatnja, serta ditabur pula dengan segala ratna mutu manikam. Djika Teuku Ibrahim datang kcrumah orang tua Tjoet Nja Din pada malam kcempat itu, maka itu bcrarti bahwa ia telah datang mengundjungi isterinja, karena pcrnikahan antara kedua telah berlangsung beberapa hari dimuka. Setelah para tamu sclcsai dari pada makan serta minumnja pada malam kcempat itu, mempelai diarak pulang kerumahnja. Esok paginja baharulah ia kembali kcrumah isterinja. Tudjuh hari tudjuh malam pula ia tinggal dirumah mentuanja itu. Tiap-tiap malam Tjoet Nja Din dibcri pakaian sebagai pengantin, sedang ia terpaksa duduk bcrsanding dengan suaminja sampai larut malam. Djika waktu tidur telah datang, maka bcrbaringlah ia diatas pcraduannja disamping suaminja. Diruangan kctiduran itu ada pula turut bcrbaring sekalian pesumandan, jang bcrsama-sama tidur disana buat ,,berdjaga-djaga". Sesudah genap bilangan tudjuh hari tudjuh malam, maka perpestaanpun dihentikanlah. Teuku Ibrahim bolch pulang kerumahnja untuk sementara waktu. Din tinggal menctap diruangan kctiduran pengantin. Ruangan itulah jang dipandang tempat kediaman suami isteri buat sementara waktu. Tidak lama antaranja, sctelah mempalai pulang kembali kerumahnja itu, maka iapun dikundjungi oleh utusan dari rumah isterinja, jang mcmpersilahkannja buat „datang sckali-sekali menengok dan mencntui isterinja." Dari hari itu mempelai telah mendjadi tamu tetap jang datang antara sebentar , .memperlihatkan muka" kcrumah mentuanja. Djika umur Din telah dianggap tjukup, maka ia dipindahkan kesebuah rumah baru, jang dibangunkan dihalaman orang tuanja. Rumah ini ditcntukan untuk mendjadi hak milik Tjoet Nja Din turun temurun. Lain daripada tempat kediamannja itu, Din mendapat pula bahagiannja berupa ladang, sawah, serta kebunkebun lada jang lajak bagi kedudukannja didalam masjarakat sebagai seorang anak Oeloebalang jang kaja raja. Kcrumah itulah Teuku Ibrahim datang bcrulang-ulang, djika ia hendak ,.mencntui dan menengok isterinja". Tidak dapat hendak dikatakan bahwa Tjoet Nja Din adalah mentjintai suaminja, karena ketika ia dinikahkan, baharulah ia berumur scpuluh tahun. Bclumlah diinsjafkahnja apakah arti bcrsuami itu. Tapi dari tahun ketahun perendahan tcrhadap suaminja itu makin bertambah djua, achirnja berkisarlah ia mendjadi pertjintaan jang murni. Tidak heran! Karena antara suami isteri adalah tcrdapat persamaan faham
I
Tampil ketengah-tengah masjarakat jang scsuai. Kcdua-duanja bcrsifat tangkas dan bcrani. Sebagai anak Atjeh jang tjinta kepada bangsa dan tanah airnja, teristimewa djuga kepada agamanja, maka pendapat mereka tentang ,,kaphe" jang sedang mengganggu kescnangan orang Atjeh, mengantjam kemerdckaan mereka dan agama Islam, adalah sangat bersamaan. Kcbcntjian mereka tcrhadap orang Belanda, jang telah mendjadi rasa dendam jang bsrdalam-dalam, telah membentuk pcrasaan mereka mendjadi dua orang scichwan dan schidup scmati. Kcdua-duanja jakin bahwa pcrtcmuan mereka mendjadi suami isteri adalah suatu takdir Tuhan jang bcrarti perintah Allah kepada kedua supaja bcrsama-sama, bahu membahu, siap scdia memerangi ,,kaphe". Masih banjak jang belum djclas bagi Tjoet Nja Din jang bcrhubungan dengan musuhnja, orang Belanda, jang bcrangsur-angsur telah masuk ketanah Atjch. Tamu asing jang pada awalnja baharu dirasai sebagai musuh didalam sclimut sahadja, tapi lambat laun mendjadi musuh jang berterang-terang. Meskipun masih kanak-kanak, tapi tiap-tiap orang datang bcrkundjungan kcrumah ajahnja, dapatlah Din menangkap pcrtjakapan mereka dengan ajahnja. Dari segala pertjakapan itu dapatlah disaringnja tekad orang Atjch jang teguh buat mempcrtahankan tanah Atjch dan agama Islam dari pcrkosaan orang kafir. Tapi oleh karena ia dengan Teuku Ibrahim jang baharu discbutkan mendjadi suaminja, belum sampai kepada tersinggung kulit, maka amat scganlah Tjoet Nja Din akan menanjakan ini dan itu, istimewa pula hendak bcrtjakap bcrpandjang-pandjang dengan Ibrahim. Tapi setelah ia sampai kepada umur, lalu mencrima hadiah dari suaminja berupa pending emas jang bertatahkan intan serta ratna mutu manikam, dan mcmperlihatkan pemberian Ibrahim itu dengan wadjah jang bcrscri-seri kepada ibunja, tanda kedua telah sempurna mendjadi suami isteri, maka tidaklah ia djemu-djemunja dalam bcrtanjakan ini dan itu kepada suaminja. Makin memuntjak perendahan Tjoct Nja Din kepada Ibrahim, jang makin dikcnalnja sebagai seorang pahlawan, makin insjallah ia bahwa dalam mempcrtahankan tanah air serta agamanja, adalah ia scnantiasa disamping suaminja. Alangkah ketjewa hatinja sckiranja ia sampai dikawinkan dengan orang lain, dan bukan kepada Teuku Ibrahiml Dengan tjara demikian, Tjoet Nja Din merasa hidupnja sangat bcrbahagia. Banjaklah fatwah-fatwah serta nasihat-nasihat suaminja jang salch, jang tinggal tergurat dalam hatinja. Ibrahim mencrangkan kepadanja arti kata hadis, jang bertaut kepada perintah Tuhan dan Rasul buat mempertahankan agamanja, jaitu agama Islam, sampai kepada dctak djantung jang penghabisan. Sedang laku mempertahankan agama Islam itu bukan sahadja mendjadi suatu kewadjiban jang mutlak bagi sekalian umat Islam, tapi ia bcrarti pula bcrbuat paala jang tidak ternita besarnja. Dengan djalan demikian, tidaklah hcran, djika Teuku Ibrahim serta isterinja, Tjoet Nja Din, telah masuk kedalam golongan bangsawan Atjch jang pada lahir serta bathinnja tidak sekali-kali hendak tunduk kepada Belanda. Tidak kurang pahlawan-pahlawan Atjch jang bcrsifat scrupa itu. Itulah scbabnja maka orang Belanda dari dahulu tidak dapat mcrcntang pukatnja, sedang darah mereka telah banjak mengalir, sebelum petjah peperangan jang resmi.
37
PELOPOR DARI PIHAK JANG HENDAK MEMBAWA „PERADABAN DAN KEMAKMURAN KEDUNIA BIADAB" Lima belas tahun lamanja Teuku Ibrahim dan Tjoet Nja Din hidup sebagai suami isteri didalam berkasih-kasihan. Hidup mereka dari mulai dinikahkan jaitu pada tahun 1858 sampai kepada hari jang membawa bentjana, jakni 8 April 1873, jaitu hari pandaratan bala tentara Belanda ketanah Atjeh, seharusnja patut dianggap sebagai berkeadaan didalam suasana aman dan sentosa. Jaitu sekiranja tanah Atjeh dapat dikatakan hidup didalam suasana aman sentosa itu. Bukanlah demikian keadaannja, melainkan sebaliknja. Pertikaian-pertikaian orang Atjch dengan ,,saudagar-saudagar" Belanda kian lama kian bergolak. Tidaklah terkedjut lagi orang, apabila mendengarkan kabar bcrita ngeri, jang mengatakan bahwa perselisihan paham antara kedua bangsa, baik dipelabuhanpclabuhan atau di kebun-kebun lada, telah menumpahkan darah dikalangan kedua belah pihak. Orang Atjeh makin insjaf, bahwa orang-orang Belanda jang datang ,,bcrniaga" itu sungguh-sungguh bertekad djahat, bukan sahadja terhadap kepada perniagaannja, tapi djuga terhadap kepada kemcrdekaan bangsa serta tanah airnja. Didalam perkara berdjual bcli orang Belanda selalu hendak memegang hak monopolinja, jang dapat diperolehnja dengan djalan menebar uang, malakukan tipu muslihat, menghasut-hasut, membudjuk-budjuk, dan dimana perlu dengan djalan kekcrasan. Sebagai alasan mereka untuk mempcroleh monopoli (berhak sendiri didalam perkara djual-beli), dikemukakannja bahwa mereka ,,berhutang budi" kepada orang Indonesia. Berhubung dengan itu mereka berhasrat besar hendak memadjukan ekonomi penanam-penanam lada dipantai Atjch. Para penanam jang ,,bodoh" itu, kata orang Belanda, senantiasa mendjadi kurban dari pada ,,kelitjinan dan kctjuangan saudagar-saudagar lada dari kalangan bangsa Inggris", tapi terutama sekali dari kalangan-kalangan bangsanja sendiri. Dan bangsa Belanda berhasrat pula akan menjempurnakan kedudukan lada dipasar Singapura, agar penanam-penanam bangsa Atjeh lebih mengetjap kcuntungannja dari pada jang sudah-sudah. Oleh karena itu ,,guna kcuntungan orang Atjeh", sebaiknjalah bila perniagaan lada itu semata-mata hanjalah tetap ada ditangan saudagar-saudagar Belanda sadja! Dan oleh karena orang Atjch tidak lebih dan tidak kurang dari pada „kanakkanak nakal" dan ,,keras kepala", ,,tidak suka menurut petundjuk orang tua", sekali-sekali ia terpaksa ,,dirotan", kata orang Belanda jang memaksa orang Atjeh buat mengakunja sebagai Wali. Dan sebagainja. Dalam perkara pergolakan didalam negeri, orang Belanda merasa berkcwadjiban pula buat ,,memisah" dan ,,menundjuk mengadjari". Djika seorang radja atau kepala daerah diperlakukan tidak adil oleh Sultan, orang Belanda jang ,,tjinta kemcrdekaan" dan hendak „mclakukan kcwadjiban susilanja sebagai Wali", dan „taat pada rasa keadilan dan perikemanusiaan" berasa berkewadjiban pula membimbing dan melindungi mereka jang tertindas. . .
7ZZ..
*-< JL^B ,
Pelopor dari pihak jang hendak membawa ,,Peradaban dan kemakmuran kedunia biadab"
39
Dan sebagainja. Dan sebagainja. Tiap-tiap ada orang Belanda jang rubuh mendjadi kurban rudus atau rentjong Atjeh, maka timbullah protcs-protcs jang dihadapkan kepada Sultan, discrtai pula oleh antjaman-antjaman. Sultan tinggal menerima protes-protes itu dengan mcngangkat bahu. Meskipun demikian, tidak pula ia alpa daripada memberikan perdjandjian-perdjandjian kepada Pemerintah Belanda, buat mclakukan segala daja dan upajanja, agar pertumpahan-pertumpahan darah itu buat kemuka dapat dibatasi. Hanja lebih daripada berdjandji-djandji itu iapun tidak dapat berbuat suatu apa. Sesungguhnja darahnja sendiri telah naik tiap-tiap ia mendengar berita-berita dari orang Atjeh, jang mentjeriterakan segala kckedjaman dan segala keganasan orang Belanda terhadap diri orang Atjeh dari sehari kesehari. Keadaan tanah Atjeh dimasa itu adalah bagaikan kepundan gunung berapi, jang telah berulang-ulang memberi isjarat bahwa pada sesuatu ketika ia pasti akan memuntahkan isi perutnja. Seluruh orang-orang berani ditanah Atjeh telah bcrsiap-siap sendjata, scdia menantikan segala kemungkinan. Tiap-tiap malam kedengaranlah suara orang ratib dikampung-kampung. Setiap malam Tjoet Nja Din asjik mendengarkan buah tutur.ratib itu dalam hatinja, sambil mentjumbu dan menimang-nimang anaknja jang ada dipangkuannja. Maka dimalam-malam itulah ia mentjoba membentuk budi pekcrti baji itu mendjadi pahlawan tanah air. Meskipun anak itu belum dapat dibawa berhandai-handai, atau sekalipun ia sedang tidur dan menjusu, Tjoet Nja Din berbuat atas dirinja sebagai kepada seorang murid, jang umpama bergantung kepada bibir guru dan pengasuhnja. „Hai budjang! Hai anakku! Laki-laki engkau! Ajahmu, datukmu laki-laki pula! Perlihatkanlah kedjantananmu itu! Orang ,,kaphe" hendak mendjadjah kita, hendak memperbudak kita, hendak mengganti agama kita dengan agamanja, agama kafir. Sebudi akalmu, dengan scada-ada tcnagamu, pertahankanlah hak-hak kita, orang Atjeh, pertahankanlah agama kita, agama Islam, wahai anakku! Turutkanlah djedjak ajahmu, Teuku Ibrahim Lamgna. Sekarang ia tidak dirumah, tetapi djanganlah engkau menjangka bahwa ajahmu itu diluar sedang bersuka ria, melepaskan hawa nafsunja. Tidak Teuku! Ajahmu sedang mengumpul-ngumpulkan kawan, buat menjambut kedatangan „kaphe", dan mengusir mereka keluar batas Atjeh!" Sementara itu ratib jang sajup-sajup sampai terdcngar oleh telinganja, diturutkannja pula dengan asjiknja. La - ilia • ha' - illallahl — La - ilia - ha' illallaaaaah! Lalu ia berkata pula kepada anaknja: „DengarIah Teuku! Dengarkan! Orang kampong ratib-ratib alamat taat kepada perintah Allah. Tuhan memerintahkan kepada hambanja jang beragama Islam, supaja mereka ichlas memerangi kafir jang hendak memurtadkan orang Muslimin. Djika anakku telah dewasa, bcrtulang dclapan kerat, berbidang bahu lebar, pasih pula langkah bersilat, turunlah anakku kemedan perang, menghalau kafir dari kampung halaman kita. Seluruh Atjch akan menghunus sendjata, tempat ajahmu adalah dimuka mereka, djanganlah anakku hendak
40
Tjoet Nja Din
tinggal dirumah. Arwah Datuk-Datukmu, bangsawan-bangsawan tanah Minangkabau, akan mcnjumpah bila cngkau bcrtangguh hendak menjcrtai ajahmu dimedan perang, buat mempertahankan tanah Atjch dari penjerangan orang ,,kaphd". Demikianlah buah tutur Tjoet Nja Din, tiap tiap ia mentjumbu anaknja, sambil menurut-nurutkan buah tutur ratib dari djauh. Dan bcrpandjang-pandjang pula ia bertjeritera, dalam ia menjusui anaknja. Ditjeriterakannja tentang kegagahan Datuk anaknja itu, djasa-djasa almarhum Machoedoen Sati, bangsawan Minangkabau, tcrhadap kepada Sultan Djeumahj, dan djasa-djasa kakeknja, Nanta Tjih, terhadap kepada Sultan Alaiddin Mohamad Sjah. Sesudah itu ditjeriterakannja pula hal ichwal ajahnja, Nanta Setia, putera dari pahlawan Nanta Tjih, kcturunan Machoedoen Sati. Diuraikannja scbab-scbab, maka Teuku Neh, Oeloebalang jang tinggal diam di Mcrassa, dengan sekalian keluarganja dibentji orang, sedang perendahan dan peradaban rakjat achirnja bcrkisar kepada Oeloebalang Nanta Setia. Sebab Neh bcrsifat ked jam dan menghina serta menindas rakjat, sedang Nanta Se/ia scbaliknja adalah bcrsifat djudjur danadil Tjoet Nja Din bcrpandjang-pandjang pula mentjeriterakan riwajat keraton Atjch kepada anaknja jang sedang menjusu antara tidur dengan sedar itu. Apakah arti ,,Dalam" (istana) itu bagi orang Atjeh? Dalam itu telah berabadabad lamanja mendjadi tempat perscmajaman Sultan-Sultan Atjch, sebagai suatu lambang persatuan dan kekuasaan Atjeh. Disanalah Sultan dilahirkan, disana pula ia dinobatkan, dan darisana pula dikemudikannja tali kekang pemerintahan Atjeh. Tuhan melindungi tempat jang sutji itu, karena belum pernah ia djatuh kctangan orang asing. Lalu Tjoet Nja Din mentjeriterakan riwajat berdirinja Mesdjid Agung, Beitu' rachman, jang terikat kepada Dalam itu. Beberapa abad kebclakang Mesdjid Agung itu dibangunkan oleh Sultan lskandar Thani, Sultan Atjch jang sangat besar kekuasaannja dan pengaruhnja. Indahnja Mesdjid Agung itu tidak kelindungan oleh mesdjid-mesdjid jang sebesar-besarnja ditanah Stambul. Orang Atjch memandang mesdjid itu, jang dinamakan Beitu'rachman, sebagai suatu tempat jang maha Sutji. Pada suatu hari jang membawa malang bagi seluruh Mukmin Atjch, terdjadilah disana suatu malapctaka, jaitu dalam pemerintahan seorang Sultan perempuan bcrnama Nocroe'l Alam. Dengan takdir Allah Beitu'rachman beserta Dalam habis musnah dimakan api. Meskipun rakjat Atjch segcra berataut mendirikan Mesdjid dan Dalam baharu ditempat itu, tapi tentang keindahannja kedua bangunan baharu itu tidaklah dapat mendekati keindahan bangunan jang telah musnah. Tapi meskipun demikian, baik Dalam maupun Mesdjid baru itu tetap mendjadi pcrpusatan dan imannja orang Atjch. Dalam itu tinggal mendjadi tempat Sultan bcrscmajam, Mesdjid baru tetap tinggal mendjadi Beitu'rachman jang sutji. Wadjib bagi seluruh orang Atjeh untuk mendjaga bangunan Sutji itu, djangan ia sampai diduduki dan dinodai oleh orang „kaphe".
Pehpor dari pihak jang hendak membawa „Pcradaban dan kemahnuran kedunia biadab"
41
Tjoct Nja Din mencruskan tjcriteranja itu kepada anak jang sedang menjusu, lalu membuka riwajat makam-makam para Sultan jang dari masa dahulu telah memcrintah tanah Atjch turun-tcmurun. Tak lupa pula ia mentjeriterakan tentang hal ichwal Petjoct, makam Sultan-Sultan Atjch jang diadakan tidak djauh dari Dalam. Dan pula tentang hal ichwal kota Gocnocngan, tempat pemakaman para pcrmaisuri Atjeh sundut-bersundut. Tanah-tanah itupun Sutji, dan adalah ia dibawah perlindungan Tuhan. Dan bagi sekalian orang Atjch, laki-laki maupun perempuan, adalah kcwadjiban mutlak untuk mempcrtahankannja dari penjerbuan orang kafir. Riwajat Taman Pcnghibur jang ada dilingkungan Dalam, tidak pula dilupakannja. Tempat itu bagi kcturunan Machoedoen Sati ialah tempat jang berscdjarah. Dan patut pula seluruh kcturunan pahlawan Minangkabau itu menjediakan njawa dan darahnja buat mempcrtahankannja dari pendudukan dan pentjemaran kafir. Dcmikianlah laku Tjoet Nja Din menuangkan isi hatinja kepada anak jang sedang disusukan itu. Dari malam kcmalam, selagi Teuku Ibrahim tidak dirumah, sedang Tjoet Nja Din dengan chidmat dan hati raju mendengarkan dan menurutnurutkan buah tutur ratib, jang sajup-sajup sampai terdcngar dari surau. Tiap-tiap suaminja pulang dari perdjalannja, Din tidak djemu-djemunja menanjakan tentang hal ichwal pergolakan jang timbulantara orang Atjch dengan saudagar-saudagar Belanda, dan apa jang sedang bcrlaku discgala tempat diseluruh Atjeh. Atjap kali ia mengcpal-ngepal tindjunja, menggcrtak-gcrtakkan giginja, sambil bertanja dengan gemas: ,,Dan Sultan? Apa lagi jang dinantikan Sultan? Ah, sckiranja aku seorang laki-laki!" . . . Teuku Ibrahim menjabar-njabarkan hatinja, tapi dengan gemas pula ia berkata: ,,Sultan dengan scgcrombolan orang jang setia kepadanja tidak akan bcrdaja, djika seluruh rakjat Atjeh tidak sama merasa pahitnja segala laku pcrangai orang Belanda itu tcrhadap kepada orang Atjch. Tapi orang Belanda sangat pandai mengambil muka, tahu berminjak air dan bcrmulut manis. Kepada rakjat ia berkata datangnja kc Atjeh ialah hendak membimbing rakjat dalam pcrniagaan dan pcrusahaannja jang bcrhubungan dengan lada. Dan mereka berkata pula datang ke Atjch buat mclindungi rakjat dari penindasan radja-radja dan kcpalanja sendiri, dan djuga dari ketjurangan saudagar-saudagar Inggeris. Segala otjehannja itu dibuktikannja dengan kenjataan-kenjataan jang menjenangkan hati rakjat. Jaitu dengan laku menabur-naburkan uang, dan membagi-bagikan madat! Budi pekcrti orang-orang jang tidak bcrada dirusak dengan madat dan uang! Sultan beserta pengiringnja jang setia tidak akan dapat bcrtindak, djika lebih dahulu krisis achlak jang timbul sebagai penjakit menular dikalangan rakjat, tidak dapat diatasi. Kepada rakjat harus dinjatakan dahulu dimana lctaknja rugi, dimana laba, djika bcrgaul dengan orang Belanda itu!" ,,Kekurangan pemimpinkah Atjch, jang akan dapat menjempurnakan achlak dan budi pekcrti rakjat Atjch itu, Ibrahim?" tanja Din.
r
mmmm^mmm*^.
42
Tjoet Nja Din
„Atjeh tidak kekurangan pemimpin. Itulah sebabnja maka aku selalu meninggalkan rumah, dan djarang ada ditcmpat engkau. Aku dan kawan-kawan terpaksa membangunkan orang-orang jang tidur njenjak, jang tidak sadarkan diri itu. Tapi pekerdjaan itu tidak dapat diharap akan bcrhasil dalam waktu jang singkat, melainkan bcrlama-lama djua. Tiap-tiap orang tani terlebih dahulu adalah mementingkan laba jang akan diperolchnja dari perusahaannja. Dengan uang budi pekcrti mereka mudah dibentuk kepada tjorak jang dikchendaki orang jang bertckad salah. Apalagi djika mereka telah menggemari madat, sedang madat mudah diperolehnja sebanjak jang dikehendakinja, asal ia ichlas . . mendjual djiwanja! Disinilah lctaknja kcsulitan itu, Dinl Tapi sabarlah engkau Tuhan akan beserta kita! Insja Allah!"
st:j-
j&ti
JANG MENDAHULUI PERANG Pada tahun 1866 datanglah seorang bangsa Arab ketanah Atjeh. Namanja jang selengkapnja ialah: £1 Said- Abd- Ul- Rachman El Zahir. Dengan ringkasnja ia dikenal sebagai Sjajid Abdoerrachman atau Habib Abdoerrachman. Meskipun baharu bcrumur 30 tahun, tapi ia adalah seorang Ulama jang sangat alim, dan faham pula didalam Ilmu Hukum. Disamping pandai berbahasa Arab, Atjeh, Inggeris dan pula bahasa Djerman serba sedikit, Habib Abdoerrachman patjak pula dalam berkata-kata. Ia mengaku berasal dari Malabar, tapi lama hidup di Stambul. Kcradjaan Turki telah menganugerahinja Bintang Pahlawan, jaitu: ,,Stcr van de Turkschc Orde van Osmanie". Dalam patjak berkata-kata itu, sikap dan tindakannjapun memberi gambaran bahwa ia termusik golongan ,,lapisan atas", jang telah biasa memcrintah dan bcrkuasa didalam masjarakat. Dengan sckctika njatalah bahwa kata-kata Habib Abdoerrachman pantang dibantah. Ditampah pula dengan pakaiannja jang serba indah, jang mcnjatakan bahwa ia datang ketanah Atjeh bukanlah sebagai orang jang melarat jang dihanjutkan oleh gelombang perasaian, mclainkan sebagai orang jang berada dan berilmu. Datangnja bukanlah hendak mengambil, mclainkan hendak membcri djua. Habib Abdoerrachman terlebih dahulu meramalkan bahwa tanah Atjeh dan bangsa Atjeh akan hantjur luluh, djika anak Atjeh tidak tahu mendjaga diri dan memagar tanah airnja. Lalu ia mcnjatakan bahwa ia diperintahkan oleh Sultan Turki pergi kc Atjeh buat memperbaiki keadaan disana. Telah diketahui oleh Sultan Turki, bahwa orang Atjeh sedang menempuh krisis achlak, jang tidak mcmuliakan lagi akan agamanja, jaitu agama Islam. Hal itu sangatlah menjedihkan hati Sultan, istimewa pula karena dikctahuinja bahwa orang kafir sedang bersiap-siap hendak mendjadjah Atjeh. Pendjadjahan itu bagi orang Atjeh berarti kehilangan kemerdekaannja, kehantjuran purniagaan, dan kehilangan agamanja. Maksud Sjajid Abdoerrachman ke Atjeh ialah hendak menbimbing orang Atjeh, buat mcnolak bahaja jang sedang mengantjam itu. Fanatiknja orang Atjch terhadap agama Islam dan tjinta mereka kepada kemcrdekaan, sedang hanjalah pcrniagaan itu jang mendjadi sumber pusat bagi kehidupan mereka, telah membuka djalan jang seluas-luasnja bagi Habib Abdoerrachman buat mentjapai tjita-tjitanja, jaitu buat mendjadi pemimpin jang terpandang ditanah Atjeh. Didalam waktu jang singkat ia telah mendapat kawan-kawan jang gemar mendengarkan segala amanat dan fatwahnja. Istimewa pula karena segala pendapat dan pemandangannja semata-mata disalurkan kepada Hadith dan Qur'an bclaka. Sjajid Abdoerrachman mcndjalani seluruh tanah Atjeh, sambil membawa-bawa surat izinan dan surat pudjian Sultan scpandjang djalan. Oleh karena inti maksud orang alim jang berilmu itu ialah hendak menolak Belanda dari Atjch dan hendak memagar serta memupuk Agama Islam, maka dengan seketika sahadja hati Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah telah terpikat olehnja. Habib Abdoerrachman berangsur-angsur dapat menggerakkan hati orang banjak
.- r_"__i^ J j_u_
44
Tjoet Nja Din
buat bcrsedia-scdia mcngangkat perang sabil, djika tcntara Belanda telah masuk menjerbu tanah Atjch. Scmakin besar pengaruhnja, scmakin kasar pula tutur katanja. Dengan tidak pandang memandang orang, asal ia mendapat kesan bahwa orang kurangkurang taat mcndjalankan agama Islam, maka orang itu dinista dan ditjatjinja, seolah-olah ia sedang bcrhadapan dengan seorang pendjahat besar. Sebanjak-banjak orang jang suka, tunduk mendengarkan tutur katanja itu, tapi banjak pula jang menaruh hati. Tapi meskipun bagaimana, rata-rata ia mendjadi ditakuli orang, bukanlah dikasihi atau ditjintai. Jang kurang berscnang hati terhadap diri Habib Abdoerrachman antara lain ialah Nanta Setia. Apalagi sctelah Habib giat pula mengumpulkan uang derma, guna segala kepcrluan agama Islam. Bagi Sjajid Abdoerrachman, hal itu tidaklah mendjadi soal. Ia tahu, bahwa katanja didengar orang, bahwa banjak orang takut kepadanja Sedangkan Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah adalah kasih kepadanja dan pertjaja pula, sehingga ia oleh Sultan achirnja diangkat mendjadi kepala agama, sedangkan ia dibebaskan keluar masuk istana sckchendak hatinja. Dengan djalan demikian, ia telah mendjadi saingan jang besar bagi Kepala Kehakiman, Teuku Kadli. Djika Teuku Kadli buat kemuka telah mendjadi musuhnja jang terbesar, mudahlah dimaklumi. Kepertjajaan Sultan kepadanja jang tidak bcrhingga itu, oleh Habib Abdoerrachman dipergunakan untuk mentjampuri segala rupa pekerdjaan jang tcrikat kepada pemerintahan Negeri. Didalam keadaan jang serupa itu, hati Teuku Tibang, Sjahbandar, telah tcrsinggung. Achirnja Sjahbandar Tibang pun mendjadi musuhnja pula. Sjajid Abdoerrachman bcrpendapat bahwa keadaan Mesdjid Beitu'rachman sangat menjedihkan hati seluruh Mukmin. Guna memperbaiki segala kcrusakan itu, ia telah mengumpulkan uang derma pula dari chalajak umum. Tindakan itu dianggap oleh Imam jang bertanggung djawab atas uang Kas Mesdjid sebagai suatu tindakan tjampur-tjampur tangan, jang tidak pada tempatnja. Oleh karena itu musuh besar Sjajid Abdoerrachman telah bcrtambah lagi seorang, jaitu Imam Beitu'rachman. Ditjeritcrakan bahwa Sjahbandar Tibang telah berichtiar hendak meratjunnja. Perkara itu mendjadi berpandjang-pandjang, jang pada achirnja sampai kepada dibawa ke Mahkamah Pcngadilan Sultan. Kcputusan tidaklah dipcroleh. Malah sidang Pcngadilan itu hampir diachiri dengan pcngaliran darah, karena dimuka Hakim ada orang jang sampai menghunus kclewangnja. Persatuan didalam suasana aman dan damai jang diharap-harapkan dengan mengadakan sidang kehakiman itu, tidaklah tertjapai, mclainkan scbaliknjalah jang telah timbul. Semcndjak pertikaian pendapat dimuka Kehakiman itu, telah timbullah dua partai jang sangat bertcntangan dalam politiknja masing-masing. Fihak jang kesatu dinamakan: Partai Atjeh, jaitu jang dibentuk oleh Sultan, Sjahbandar Tibang, Imam Mcsjid Beitu'rachman, Teuku Kadli, Teuku Neh dari Mcrassa, dan Nanta Setia, Oeloebalang 6 Moekim.
Jang mendahnlui perang
45
Fihak jang lain dinamakan: Partai Arab, dibantuk oleh Habib Abdoerrachman, Panglima Polim, Bait dan Imam Longbata. Teuku Lamgna tinggal nctral, meskipun simpatinja ada difihak Habib. Dengan djalan jang demikian, tcrnjatalah bahwa Panglima Polim jang dahulunja mcmbela Sultan dengan djalan mati-matian, sesudah timbul partai-partai itu, telah bertcntangan dengan Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah. Sedang disamping itu Nanta Setia, jang dahulu telah menentang Sultan sambil mempertaruhkan njawanja serta darahnja, sekarang telah bcrsekutu dengan Sultan itu. Nanta mcmilih fihak Sultan sebab ia sangat bentji kepada Habib, jang dipandangnja sebagai seorang penjamun jang sedang melakukan segala daja dan upaja buat mcrcbut pengaruh, kekuasaan dan kedudukan. Nanta takut, kalau-kalau Habib itu kelak akan sampai kepada tingkatan mendjadi Tjalon Sultan, djika ia dibiarkan bcrtindak setjara jang sudah-sudah. Pada suatu hari, pada tahun 1870, didalam keadaan katjau balau itu, sedang seluruh Atjch bersiap-siap sendjata buat menantikan datangnja balatcntara Belanda, dengan tidak diketahui apakah penjakitnja, Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah telah tcrbaring diatas pcraduannja. Maka jakinlah Sultan bahwa adjalnja hampir sampai. Dengan tcrgesa-gesa disuruh panggillah Habib Abdoerrachman, karena Sultan berhasrat hendak memperbuat surat wasiatnja. Oleh karena ia sangat mcnjcsal atas perbuatannja terhadap kepada diri Putera Mahkota Sultan jang mangkat, jaitu Radja Suleiman almarhum, maka ditentukannjalah bahwa jang akan menggantikan kebesarannja sebagai Sultan, ialah putera Suleiman jang dilahirkan daripada ibu jang bukan kcturunan bangsawan. Selainnja daripada itu, Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah menghadiahkan uang sebanjak 3000 dollar kepada Habib Abdoerrachman untuk memperbaiki Mesdjid Agung. Lalu mangkatlah Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah. Sesudah Sultan mangkat, timbullah kckatjauan didalam istana. Menurut aturan jang semestinja, maka jang harus diangkat mendjadi wali dari putera Suleiman, Tjalon Sultan jang belum dewasa itu, ialah orang jang tcrpilih oleh sidang para Panglima, kcpala-kepala Sagi. Buat mengumpulkan sekalian kcpala-kepala Sagi itu adalah suatu pekerdjaan jang sukar sekali, karena tempat kediaman para kcpala-kepala itu sangatlah djauh dari Kotaradja, sedangkan tilpon atau telgrap dimasa itu belum ada. Entah apa maksudnja, dan bagaimana pula perhitungannja pcrmaisuri djanda, jaitu putcri Radja Pedie, tidaklah dapat diselami orang. Sambil mempergunakan pengaruhnja diseluruh istana, pcrmaisuri djanda Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah telah dapat mcndjalankan kebenaran kepada Teuku Neh, Teuku Kadli, Imam Longbata dan Imam Mesdjid Agung, supaja mereka itu mengambil keputusan buat mengangkat Habib mendjadi Wali putera Suleiman jang belum baliq. Meskipun keputusan permaisuri jang scrupa itu tidak bcrkenan pada hati
46
Tjoet Nja Din
kebanjakan pembesar-pembesar istana, tapi pembesar jang keempat itu berasa berhutang budi kepada diri almarhum Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah, lalu dipcrkenankanlah permintaan pcrmaisuri itu, dan diangkatlah Habib Abdoerrachman mendjadi Wali dari pada Tjalon Sultan, pengganti Sultan Aladiddin Mantsoer Sjah jang mangkat. Segala sesuatunja telah berlaku dengan tidak setahu sekalian kepala-kepala Sagi jang banjak. Dengan djalan demikian, maka ketika Panglima Polim sampai keistana bersama-sama dengan sekalian Oclama, Kepala Sagi 25, maka keputusan keempat pembesar jang telah mengangkat Habib mendjadi Wali Sultan jang belum akil baliq itu sudah untuk merubahnja lagi. Istimewa pula karena Habib Abdoerrachman telah menaruh uang 3000 dollar didalam kantungnja. Empat puluh hari setelah Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah mangkat, kata desasdesus karena ratjun, maka dinobatkanlah putera Suleiman jang belum dewasa itu mendjadi Sultan Atjeh, dengan nama kebesaran Machmoed Sjah. Seiring dengan penobatan Sultan itu, sidang kepala-kepala Sagi diseluruh Atjch menguatkan pula angkatan Habib Abdoerrachman mendjadi Wali Sultan. Dengan djalan demikian Atjch telah ada dibawah perintah dua orang Pemangku Bumi, Habib Abdoerrachman dan Sjahbandar Tibang. Mesdjid Agung segcralah dipcrbaiki dan diperbaharuinja. (Ketika tentara Belanda membakarnja, mesdjid itu baharu sekali siap daripada pembaharuannja) . . . Sementara itu persiapan-persiapan buat menanti kedatangan musuh masih terus bcrlaku, baik diadalam maupun diluar tanah Atjeh. Beberapa orang pembesar-pembesar Atjeh pulang pcrgi ke Singapura, mentjari bantuan orang Amerika dan orang Inggcris disana buat menghambat datangnja musuh, atau djika mereka masuk sampai mendarat, guna mcnghalanginja. Buku ini akan berpandjang-pandjang bila ditjeritcrakan pula tjara bagaimana taktik dan tipu muslihat dan asung fitnah jang timbul dari kedua bangsa asing itu, jang telah dilakukannja, guna mcrebut kekuasaan orang Belanda, umumnja diseluruh Indonesia, chussunja ditanah Atjeh. Tidak pula hendak ditjeritcrakan hal insiden-insiden dan segala kcganasan dan kctjurangan jang telah dilakukan oleh kedua fihak jang bertentangan (Atjeh dan Belanda), jaitu kedjadiankedjadian jang telah galib bcrlaku dekat hendak petjahnja peperangan. Dari fihak orang Belanda alasan-alasan jang dikemukakan buat memcrangi Atjeh itu, telah tjukup diketahui orang: Kata orang Belanda: 1. Penjamun-penjamunan dilaut, jang dilakukan oleh orang Atjeh jang ganas itu, harus ditindas. 2. Bukankah bagi orang Belanda ada mendjadi suatu ,,kewadjiban susila" buat ,,mengadabkan orang-orang Hindia Timur jang masih biadab?" 3. Bukankah dalam ia mclakukan kcwadjibannja jang ,,murni" itu, orang Belanda tidak suka djika ia hendak dirintangi oleh orang-orang Amerika dan Inggcris?. . .
Jang mendahului perang
47
Dan sebagainja, dan sebagainja. Kita menulis pada tahun 1873. Dari Pulau Pinang ke Djakarta seluruh orang telah mengctahui, bahwa orang Atjeh dengan orang Belanda akan berperang. Di Djakarta disiapkanlah tcntara dengan setjara rahasia, jang dimaksudkan untuk melakukan ,,ekspedisi" ke Atjeh. Dari Pulau Pinang dikirimkan 15000 putjuk scnapan beserta 5000 ton mesiu ke Atjeh. Singapura sclalu memberi laporan tentang segala jang sedang dan akan terdjadi. Di Pulau Pinang orang Atjeh membentuk sebuah Dewan Delapan, jang bcrtugas memberi laporan-laporan ke Kotaradja, dan bcrangsur-angsur membeli sendjata serta alat-alatnja. Habib Abdoerrachman telah berangkat kc Stambul buat meminta bantuan kepada Sultan Turki. Ia membawa sebuah mandat dari kcradjaan Atjch setjara patutnja. Suasana di Djakarta pun tidak kurang gentingja. Sikap orang Belanda dapat dibandingkan dengan sikap kuda patjuan jang merentak-rcntak dan membcrontak, karena tidak sabar menantikan gilirannja buat dilepaskan berpatju. Ditanah Atjeh suasana pada waktu itu sama pula hangatnja. Gemas orang Atjch terhadap orang Belanda tidak lagi bcrarti djidji kepada kafir sahadja, mclainkan gemas dan angkara murka tcrhadap kepada seluruh bangsa Belanda, jang bcrsifat kolonial dan hanja hendak mendjadjah seluruh Indonesia sahadja maksudnja. Gemas dan dendam hati terhadap anak tjutju dari Oost Indischc Compagnie! Jang sibuk di Djakarta ialah kaum Djurnalis, tapi di Kotaradja ialah kaum Ulama. Di Djakarta orang-orang Belanda membagi-bagikan buku kctjil kepada serdadunja. Buku itu berisi pctundjuk-pctundjuk pendck tentang seluk beluknja pemerintahan ditanah Atjeh, terutama didaerah-daerah lada ditepi pantai, jang dikatakan telah ,,pernah" didatangi oleh orang-orang Belanda. Sibuknja para Ulama di Kotaradja mempunjai tjorak jang lain. Setiap malam terdcngarlah suara orang ratib jang gemuruh diseluruh surau diantero kampung. Tabuh dipalu orang antara sebentar, baik malam maupun siang. La — ilaha 'illallah! La — ilaJia 'illallah!
Hanja itulah jang terdcngar diseluruh kampung. Dari djauh tidak kurang pula orang jang monurutkan ratib itu dirumahnja masing-asing. Marilah kita menindjau scdjenak kerumahnja Tjoet Nja Din, jang hidup berkasih-kasihan dengan suaminja, Teuku Ibrahim Lamga, sambil menjertai persiapan-persiapan orang banjak diseluruh daerah, tjara keadaannja pula masing-masing. Din tidur berbaring disamping Ibrahim diatas peraduannja, asjik mendengarkan ratib-ratib orang diluar rumahnja. Dalam kenang-kenangannja diulangulanginja chutbah Tuanku Imam jang pcrnah didengarnja pada suatu ketika. Kata Tuanku Imam: ,,Djadi telah turunlah perintah Tuhan buat memcrangi kafir dengan nama Allah Subhana Wataala. Bahwa sesungguhnja, barang siapa jang gugur didalam perang sabil itu, pastilah ia akan digandjar oleh Tuhan dengan Surga dihari kemudian. Jang sabil itu akan dianugerahi pula isteri terambil dari bidadaribidadari jang pilihan. Bidadari itu akan menanai kepalanja, menjapu-njapu
48
Tjoct Nja Din
darahnja jang mcngalir, lalu mcnundjukkan djalan kepada Allah Subhana Wataala! Tapi scbaliknja, barang siapa jang tidak turun mcmerangi kafir, murka Allah akan dipcrolchnja. Maka Allah Subhana Wataala akan mcmusnakan bangsanja, lalu menggantikannja dengan bangsa Asing, jang akan menindas dan memerintah bangsa jang berdosa itu dengan segala kekedjaman, jang tidak akan menghargakan njawa serta harta benda mereka! Oleh karena itu, wahai sekalian Mukmin, hunuslah pedangmu, turunlah kemedan perang buat menghalau dan memusnakan orang kafir jang bcrbangsa Belanda! Ketahuilah bahwa Surga itu ada dibawah kelindungan pedangmu! Hidup jang kckal dan berbahagia hanjalahdiperolehsesudahmatisahiddimedan perang sabil! Dan bilamana keadaanmu atau kcwarasan tubuhmu tidak memungkinkan bagimu buat menghunus sendjata tampil kemedan perang, maka memadailah bagimu, djika engkau dengan ichlas suka mengurbankan uang serta harta bendamu guna membclandjai perang sabil itu! Seluruh uang jang cngkau kurbankan untuk bclandja perang sabil itu kelak akan dilctakkan mendjadi batu neratja, dalam mempertimbangkan tentang dosa dan paala jang telah engkau perbuat didunia jang fana ini! Hai sekalian Mukmin! Djanganlah cngkau hendak segan-segan berkurban, baik njawa maupun hartamu guna Sabilullah! Taatilah perintah Allah Subhana Wataala! Ibrahim, jang bcrbaring disamping isterinja, mengctahuilah bahwa siisteri itu tidak tidur. Maka diletakkanjalah tapak tangannja diatas bahu Tjoet Nja Din, lalu bertanjalah ia dengan suara jang lemah lembut: ,,Apa bitjara Din? Susahkah cngkau?" ,,Susah, tak susah, kak! Hendak dikatakan susah, aku sangat jakin akan kebesaran dan keadilan Tuhan Scru Sekalian Alam. Hanja sahadja alangkah scnang hatiku, bila Habib Abdoerrachman kembali dari pcrdjalannja sebagai utusan kita. Agar kita dapat mengctahui hitam putihnja!" ,,Sebab apa engkau berkata demikian, Din? Hilangkah kepcrtjajaanmu tcrhadap diri Habib? Ajahmu dari semula memang tidak pcrtjaja kepadanja, seijakah cngkau dengan pendapat ajahmu tentang itu?" ,,Bukan demikian Teuku! Aku masih tetap pcrtjaja kepadanja. Sckali-kali aku tidak hendak membenarkan pendapat ajah tentang diri Habib itu. Aku jakin bahwa ia seorang jang djudjur, sedang kedatangannja kenegeri kita memang sebagai seorang suruhan jang diperintahkan membantu kita. Hanjalah hatiku baru scnang, djika ia telah kembali kenegeri kita. Kadang-kadang aku merasa chawatir, kalau-kalau orang Belanda mendahuluinja mengindjak tanah kita! Djika sampai tcrdjadi jang demikian, apakah bitjara kita, Ibrahim?" ,,Djika sampai kepada jang sedemikian, kita sambut orang Belanda itu setjara lajaknja. Kita teruskan memeranginja sampai Habib Abdoerrachman kembali dari Turki!" Kedua suami isteri tinggal bcrdiam diri. Mungkin mereka sama menurutkan
r^ T : Z . J-< v /a«g mendahului perang
49
buah tutur ratib jang terdcngar dari djauh, dalam hatinja masing-masing: Lai/la.'. . . LailW . . . Lailla! ...Ha 'illal - lali! ,,Sahid dalam memcrangi kafir . . . Alangkah berbahagianja hidup orang muslimin!" demikian kata Din dengan suara lemah lembut, tapi diutjapkannja dengan tcguh hati, meskipun suaranja itu agak gemctar kedengarannja. ,,Benar, Din! Benar nian katamu itu! Tapi bukan itulah jang sedang aku fikirkan pada saat ini. Aku sedang menghitung-hitung berapakah djumlah lasjkar kita jang dapat serta berpatutan dibawa tampil kemedan perang menghadapi orang-orang Belanda!" ,,Berapakah djumlahnja menurut perhitunganmu, Ibrahim?" ,,Istana sendiri dapat menjediakan peradjurit beberapa ratus orang. Radja Pedie mendjandjikan 1500 orang buat permulaan. Engkau tahu, orang Pcdie sangat gagah berani. Tjukup benar buah didjadikan barisan penggempur, jang bersendjata kclcwang. Dari Imam Longbata aku taksir, boleh diharapkan 500 orang. Pcngiring Imam itu memang sangat banjak. Dan sclain dari itu, Din, rakjat ajahmu! Istimewa di Lampdang dan Bital. Dan pula rakjat Teuku Rajoct, saudaramu! Aku jakin, bahwa sekalian kepala jang ada di 6 Moekim akan tetap setia dan taat kepada perintah ajahmu. Djuga 4 Moekim akan turut bertempur, istimewa pula Teuku Poerba dari 9 Moekim, meskipun umurnja telah land jut. Selainnja daripada itu, orang-orang pcrantauan jang tinggal berdiam dipegunungan sebclah Barat, jaitu di Lhong dan Lcpong, pastilah tidak hendak ketinggalan. Tidak. . . aku tidak kuatir atas kesetiaan orang dari Sagi 25. Dan pula daerah-daerah di Ulu! Teuku Bait dari 7 Moekim . . „ ah, ini bagiku mendjadi tcka-tcki. Teuku Bait sckcluarganja tidaklah terkalahkan oleh siapapun djuga tentang gagah berani dan ketangkasannja. Hanja mereka akan menggantungkan segala sesuatunja daripada pcrasaan mereka tcrhadap keluarga Polim pada saat itu. Tapi rakjat 7 Moekim memang gagah bcrani. Sebagai cngkau ketahui, kegagahan mereka itu ternjata ketika ajahmu menjertai perang Radja Suleiman. Panglima Polim tentu akan dapat membawa bcribu-ribu rakjatnja jang ada dipegunungan. Panglima Sagi jang telah berumur itu akan dapat menjediakan peradjurit jang faham mempcrgunakan scnapan dan kclewang, sekurang-kurangnja sampai 10,000 orang. Sedang saudara mudanja, Si Along, tentu tidak akan berscnang-senang dirumah! Darah jang mcngalir didalam tubuh Si Along memang darah Polim sedjati! Aku sendiri mempunjai pcngiring sedjumlah 200 orang, jang faham mempcrgunakan scnapan. Tapi jang tangkas menggunakan kclcwang, ada djauh lebih banjak dari itu. Pertjajalah Din, rakjatku sama tangkas dan sama besar kegemarannjaakan bcrpcrang dengan rakjat Teuku Bait. Djuga ajahku akan memberi bantuannja. Demikian djuga halnja dengan kedua saudaraku, Tjoet Adjat dan Nja Makam. Kctiga keluargaku itu dapatlah diharap penuh. Tapi sementara itu di Sagi 26 pastilah akan ada tempat-tempat jang tcrluang! Sajang! Oleh karena itu akupun mengharap-harap kcmbalinja Habib Abdoerrachman. Djika ia ada disini, mungkin ia akan dapat mempengaruhi orang-orang jang masih seganscgan bcrpcrang . . .
50
Tjoet Nja Din
Tapi sementara itu kita masih mempunjai rakjat dipantai Barat. Aku penuh kepertjajaan terhadap mereka itu. Sekurang-kurangnja kita dapat mengharap bantuan orang Wojla dan Meulaboh. Bukankah pamanmu Teuku Meulaboh ada berpengaruh di Meulaboh?, karena ia disana telah mendjadi orang scmenda radja?" ,,Dan berapakah djumlahnja lasjkar musuh kita pada kira-kira-mu, Ibrahim?" ,,Di Pulau Pinang sadja kata orang telah disiapkan 500 orang serdadu Belanda!" ,,Djika demikian, djumlah kekuatan mereka tidak mclcbihi kekuatan kita?" ,,Sekali-kali tidak! Lebih, memang djauh lebih banjak kita daripada mereka!" Tjoet Nja Din tinggal termenung-menung. Sunji senjap keadaan seluruh kampung. Bunji tabuh telah berhenti, demikian pula suara orang ratib sudah tidak terdengar lagi Tjoet Nja Din sekonjong-konjong memctjahkan kesunjian itu dengan bcrtanja pula: ,.Apakah pendapatmu tentang Teuku Neh dari Merassa, Ibrahim?" ,,Teuka Neh bagi-ku tetap mendjai tanda tanja. Nampaknja ia memang sangat rapat kepada Radja Moeda dari Taroemocn, daerah jang ada dipantai Barat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa hati ajah Radja Moeda telah dapat dibcli oleh orang Belanda! Bukankah cngkau mengetahui djuga bahwa Taroemocn telah menawarkan diri kepada orang Belanda, buat menindjau-nindjau para kepala di Atjeh tentang penjerahan kedaulatan keradjaan Atjch kctangan Pcmerintah Hindia Belanda?" ,,Memang aku mengetahuinja, Ibrahim! Binatang! Adakah patut djika seorang bangsawan Atjeh melakukan perbuatan jang sekedji itu? Tapi apakah jang dimaksud oleh Teuku Neh maka ia mcngulur-ulurkan tangan kepada Radja Moeda itu? Apakah ia mengira-ngira akan mendapat keuntungan, djika ia berserikat dengan orang Belanda?" „Sudah tentu Teuku Neh akan chawatir bahwa harta bendanja akan hantjur luluh, djika ia mengangkat sendjata tcrhadap „kumpeuni". Djanganlah kita lupakan bahwa tanah-tanahnja umpama terletak dimuku pintu Kotaradja. Djika Belanda menjerbu ketanah Atjeh, tentulah mereka akan mcmilih Kotaradja mendjadi tempat pendaratannja, djadi jang akan hantjur terlebih dahulu ialah harta benda Teuku Neh! Tidak dapat disangkal lagi bahwa peperangan ini bagi Teuku Neh semata-mata akan berarti kehilangan harta bendanja" . . . Setelah berdiam diri scdjurus, Teuku Ibrahim menjambung pula: ,,Dan akan berarti keuntungan pula baginja . . . " „Maksudmu, Teuku Neh akan dapat merebut kembali segala apa jang telah mendjadi kerugiannja?" tanja Din. „Mcmang itulah jang kumaksud. Djika tidak dapat direbut kembali dengan pcrtolongan Sultan, boleh diharapnja pula dengan bantuan ,,kumpeuni"!" „ D a n . . . 6 Moekim?" „Terantjam bahaja kerusakan dan kemusnaan pula. Din!" sahut Teuku Ibrahim dengan mengeluh.
-e
Jang mendahului perang
51
Tjoet Nja Din termcnung-menung mendengarkan kata suaminja itu. Maka timbullah pcrsangkaan jang buruk dalam hatinja, sehingga mengedjutkannja. ,,Rupanja engkau sedang bimbang, Din? Apakah jang kaurisaukan?" ,,Dari mana engkau dapat mcnentukan bahwa hatiku sedang bimbang?" ,,Aku berasa, bahwa cngkau sedang merisaukan sesuatu bentjana jang mungkin tumbuh atas diri kita!" Sekctika lamanja tapak tangan Ibrahim menjapu-njapu lcngan isterinja, lalu bcralih kctangan Din, jang digenggaranja didalam djari. Maka berkatalah ia dengan suara lemah lembut: ,,Dari kanak-kanak engkau telah djatuh keharibaanku. Sampai cngkau mendjadi dewasa, lalu melahirkan anak, tidaklah cngkau lepas-lepas dari genggamanku. Tidakkah selajaknja, djika aku mengcnal budi pckerti engkau, sampai kesudut-sudut djantungmu jang tersembunji?" ,.Ibrahim!.. . Aku ingat akan . . . ajah!" ,,Apakah jang engkau risaukan tentang diri ajahanda?" „Jang aku fikirkan. . . ajahpun tentu akan kehilangan banjak. . . mungkin seluruh harta bendanja!" . . . Ibrahim tinggal berdiam diri. Buat pertama kali diri Nanta Setia itu mendjadi buah kenang-kenangan serta perhitungannja. Nanta Setia, mentuanja, apakah ia akan tetap membcla tanah air? Nanta adalah masuk partai Tibang. Maka Tibang sendiri sedang ditjurigai orang selama persiapan-persiapan ini. Tidak mustahil, djika Tibang sedang berusaha hendak menjerahkan Sultan dan Kcradjaan Atjeh ketangan orang Belanda, demikianlah isi desas-desus jang dapat ditangkap dari hari kchari. Kctjurigaan orang banjak bukan bertaut kepada diri Sjahbandar Tibang sahadja, tapi djuga kepada Teuku Neh, Teuku Kadli, Kepala Kehakiman Keradjaan Atjeh . . . Memang banjak kebotjoran jang telah nampak didalam barisan pahlawan-pahlawan Atjeh, jang seharusnja membela tanah air dan bangsanja. Demikianlah kenjataan-kenjataan jang sedang mendjalar di-seluruh fikiran Teuku Ibrahim Lamgna.
Maka berkatalah Tjoet Nja Din: ,,Aku akan berunding dengan ajah, Teuku! Pada hematku meskipun soal ini hendak dipandang dari sudut keduniaan sadja, tapi pendirian ajah masih akan lebih kuat djika ia berlawan dengan Tibang, karena ia akan berkawan banjak, daripada berkawan dengan Tibang, karena ia akan terpentjil, tidak berkawan!" Ibrahim tertawa mendengarkan uraian isterinja itu. Maka berkatalah ia dengan bangsa: ,,Din, sesungguhnjalah engkau perempuan jang tadjam otak! Jang patut tegak sedjadjar dengan pahlawan-pahlawan Atjeh, jang mahir siasat!" Din pura-pura tidak mendengarkan kata-kata pudjian suaminja itu. Dengan sekonjong-konjong berkatalah ia dengan gembira: ,,Ibrahim! Kcmarin malam adalah suatu chajal jang mendjelma kemuka pandanganku. Nampak rasanja Habib Abdoerrachman lalu didjalan, memakai djubah sutera putih jang indah rupanja Tangannja memegang sebuah tiang
52
Tjoet Nja Din
bcndcra jang mendjulang tinggi keangkasa. Pada dang itu nampaklah bcrkibarkibar bendera hidjau, bcndera Nabi Muhammad s.a.w. Dibelakangnja ada mengiringkan lebih dari sepuluh ribu mungkin ada seratus ribu orang Islam, masing-masing lengkap dengan scnapan, lembing dan pedangnja. Habib Abdoerrachman menggerakkan hati mereka supaja taat kepada perintah Tuhan jaitu siap sedia buat memusnakan orang Belanda! Mungkinkah Allah Subhana Wataala menurunkan Chajal itu, karena hendak menguatkan batinku? Mungkinkah demikian, Ibrahim?" Sekali lagi Teuku Ibrahim gclak-gelak, lalu bertanja dengan penuh kasih: ,,Dalam hal apa lagi kebatinanmu harus diperkuat, Din?" Tjoet Nja Din mengangkat tangan suaminja, lalu menekankannja kemukanja sendiri, sambil berkata dengan ragu-ragu: ,,Kadang-kadang, aku mcrasai takut, Ibrahim!" „Takut Din? Takut apa?" ,,Takut akan murka Allah Subhana Wataala jang akan menghukum kita orang Atjch, lalu membiarkan orang kafir mendjadjah negeri kita!" ,,Kita akan memcrangi kafir itu, Din, dengan nama Allah Subhana Wataala, dan dengan tawakal! Insja Allah kita akan kuat mclawan kafir, jakinkanlah! Sebab kita dipcrlindungi oleh Tuhan! Orang tidak akan mendjadjah kita, scmoga Allah mendjauh-djauhkannja dari kita! Pcrtjajalah, Din!" ,,Aku pcrtjaja padamu, Ibrahim! Aku jakin bahwa engkau akan bertempur dibarisan muka buat menghalau sekalian kafir dari tanah Atjeh!" „Sukurlah djika cngkau pcrtjaja, Din! Tapi djanganlah engkau menggantungkan kepertjajaan penuh kepada suamimu sadja, melainkan tcrutama sekali engkau harus pcrtjaja akan kebesaran Tuhan. Akan aku ini hanjalah manusia biasa! Itu djanganlah engkau lupa-lupakan, Din!" ,,Tidak Ibrahim, tidaklah aku hendak melupa-lupakannja!" Tjoet Nja Din mcngcluarkan suara itu dengan lemah lembut tapi dengan chidmad dan pastinja pula. Demikian pulalah lakunja berdjandji pada ibunja dahulu, scmasa ia masih kanak-kanak!
PENGCHIANATAN Hari Sabtu tanggal 22 Maret tahun 1873. Djauh ditcngah-tcngah laut jang berpantai ke Kotaradja, bagaikan ditcpi langit, nampaklah oleh penduduk kota empat buah kapal api, jang mengambil haluan tepat menudju kctandjung udjung tanah Atjch jang disebelah Utara. Bagaikan tabuhan terkedjut, lalu tcrbang bcrkcliling bertjerai-berai meninggalkan sarangnja karena diganggu, demikian pula laku penduduk kota, jang berhamburan keluar rumah, lalu lari bcrdujun-dujun kctcpi laut. Dari beberapa mulut kcluarlah tcriakan: ,,Habib datang! Lasjkar Turki datang menjerati kita!" Bahwa scsungguhnja kapal jang empat itu disangka membawa Habib Abdoerrachman jang pulang dari Stambul, sambil membawa bala bantuan dari Turki untuk Atjch. Dalam menindjau menilik-nilik kctcpi langit itu, suara orang banjak bergalaulah, masing-masing hendak mengemukakan pendapatnja. Berdjcnis-djenis pula rupanja lasjkar liar jang datang bcrdujun-dujun dengan alat sendjatanja, Masing-masing siap dengan lembing serta rudusnja. Angkatan perang Atjch berhasrat hendak menjongsong bala bantuan itu setjara lajaknja orang mencrima tamu jang dihormat. Setelah lama menantikan dengan memasang-masang mata, keluar pulalah tcriakan baharu dari segala fihak: ,,Belanda! Jang datang itu kapal Belanda, bukan kapal Turki!" Bunji teriakan itu berbagai-bagai pula. Ada jang bcrsuara terkedjut, ada jang ketakutan, ada jang ketjewa dan tidak kurang pula jang mcnjatakan kegemasannja. ,,Belanda! Belanda datang!" demikian pula terdcngar tcriakan orang banjak didjalan-djalan, ketika mereka meinggalkan tcpi laut, mentjari djalan pulang. Kebanjakan chawatir, kalau-kalau kedatangan Belanda itu akan mendjadikan pertumpahan darah. Djika telah sampai kesana maka kewadjiban masing-masing laki-laki ialah menentui keadaan anak-anak dan para wanita serta orang tua-tua jang tinggal dirumah. Djadi terpaksalah mereka meninggalkan tepi laut dahulu, mesikpun kebanjakan diantara jang membawa sendjata telah ridla dan scdia buat mempertahankan tanah airnja dari pcrkosaan orang kafir. Tidak salah! Jang datang itu memang scsungguhnja kapal-kapal orang Belanda. Tiga buah kapal perang dan sebuah kapal ,,kumpeuni". Masingmasing mengibarkan bendcra Belanda diudjung-udjung tiangnja. Jang djclas nampaknja bukanlah bendera hidjau bulan sabit, mclainkan bendera tiga warna, jang telah lama menjakiti hati orang Atjch. Keempat kapal jang tcrkutuk itu tidaklah berlabuh ditempat pclabuahan jang biasa, mclainkan membuang djangkar disebelah Barat sungai Atjeh, jaitu didekat beberapa buah benteng pertahanan pantai, jang ada didacrah kekuasaan Teuku Neh.
54
Tjoet Nja Din
Sebagai njata dikemudian harinja, kapal jang empat itu baharulah ,,pcrambah djalan" sadja. Angkatan laut Belanda jang setjukupnja datang pulalah menjcrtai mereka kira-kira lima belas bari sesudah itu. Salah satu dari kapal-kapal perang itu ialah kapal ..Citadel van Antwerpen". Diatas kapal itu adalah menumpang Nieuwcnhuyzen, jang memegang djabatan Utusan Pemerintahan Belanda ketika itu. Ditangannja ia membawa sehelai naskah berasal dari Pemerintah Belanda, jang menentukan perang atau damainja antara orang Atjeh dan orang Belanda. Nieuwenhuyzen mendapat tugas lebih dahulu melakukan „segala daja dan upaja jang penghabisan" buat mentjari kata damai dengan Sultan Atjeh. Tapi djika segala ichtiarnja mendjadi sia-sia, maka wadjiblah ia menjerahkan naskah itu kctangan Sultan. Isi naskah itu ialah pernjataan perang dari fihak Pemerintah Belanda kepada Keradjaan Atjeh. ,,Daja upaja jang penghabisan" jang hendak dilakukan oleh Komisaris Nieuwcnhuyzen itu, adalah berupa berbalas-balasan surat dengan Dalam. Didalam surat menjurat itu diadjilah ,,apa sebab" dan ,,oleh karena itu". Dan disesali pula tentang terdjadinja aksi-aksi dibawah tanah tcrhadap kepada orang Belanda, jang telah dilakukan oleh orang Atjeh di Singapura, sambil bermainmain mata dengan orang Inggcris dan orang Amerika! Selainnja daripada itu dipersalahkan dan diupat pula orang Atjeh, karena mereka telah memupuk penjamunan dan pembadjakan laut, jang chusus ditudjukan kepada saudagar-saudagar Belanda jang tidak bersalah. Oleh Nieuwcnhuyzen diupat dan dipersalahkan pula Sultan, jang bersandar kepada kedaulatan rakjat Atjch, telah menggunakan kekuasaannja scsuka-suka, schingga tindakan-tindakannja itu telah banjak mcrugikan saudagar-saudagar bangsa Belanda. Banjak lagi kcsalahan-kcsalahan orang Atjeh tcrhadap kepada orang Belanda, jang dikemukakan oleh Nieuwcnhuyzen didalam surat-suratnja kepada Sultan. Sultan membcri pula keterangan-ketcrangan dan pendjclasan-pendjalasan, jang membantah dan memberi alasan tjukup atas kedjadian-kedjadian jang digunakan mendjadi pelbagai rupa tuduhan itu. Pendcknja, Dalam jang tidak mau mengaku salah, karena tidak berasa salah, banjak pula mengemukakan „karena itu" sebagai djawaban dari ,,sebab apa" dan „mengapa" jang keluar darifihakNieuwenhuyzen. Maka pekerdjaan berbalas-balasan surat itu diselenggarakan oleh sebuah sckotji angkatan laut pemerintah Belanda, jang mondar mandir berdajung antara kapal ,,Citadel" dengan Dalam. Segala surat-surat dari kedua fihak dibawa oleh Said Tahir, seorang bangsa Melaju, jang diangkat oleh orang Belanda mendjadi ,,pengantara" didalam ,,mentjari kata damai" dengan Sultan Atjeh itu. Said Tahir ialah seorang Melaju patut-patut, jang dahulu membuka pcrniagaan besar ditanah Atjeh, dan berhubungan karib dengan radja-radja Atjeh jang mendiami segala pelabuhan dikeradjaan itu. Sekarang ia telah mendjadi kaki tangan Gubernur Hindia Belanda.
Pengchianatan
55
Pekerdjaan mondar mandir membawa surat antara ,,Citadel" dengan Dalam itu sungguh berbahaja sekali. Karena suasana telah genting bertambah genting. Jang ditjari oleh orang Belanda memang bukanlah kata damai, tapi njata sekali sikap orang Belanda hanjalah retak mentjahari petjahnja sahadja. Didjalandjalan sampai kepantai, lasjkar liar Atjeh telah nampak b e r t o b o h - t o b o h , masing-masing membawa sendjata. Sekalian orang insjallah, bahwa pertumpahan darah sewaktu-waktu pastilah akan tcrdjadi, dan orang Atjeh telah siap sedia menantikannja. Bahaja jang scnantiasa mengantjam njawa Said Tahir, memang tidaklah kctjil. Bukan sahadja namanja sudah kurang baik didalam kalangan orang Atjeh, karena ia telah mendjadi ,,budak Belanda", tapi sekalian orang mengetahui pula bahwa perhubungan Said Tahir adalah sangat rapat dengan Malela, seorang bangsa Melaju pula jang tinggal berdiam d i Merassa. Maka Malela itu adalah djuga mendjadi kaki tangan dan kepcrtjajaan Teuku Neh di Merassa. T i d a k heran, djika Said Tahir tidak lepas-lepas daripada pengamat-amatan orang Atjeh. Istimewa pula karena darah meraka scnantiasa mendidih, tiaptiap Said Tahir datang ke Dalam membawa surat Nieuwenhuyzen, jang hanja mengandung tuduhan-tuduhan belaka. Demikianlah hangat dan gentingnja suasana, ketika Nieuwenhuyzen ,,mentjaritjari kata damai" itu. Pada suatu ketika, tengah malam buta, ketika hari gclap gelita, maka meluntjurlah dengan diam-diam sebuah sampan dari Rawa muara Tjangkul, lalu menudju ketempat kapal-kapal orang Belanda berlabuh. Achirnja sampan itu rapatlah pada kapal ,,Citadel". Penumpangnja ialah Malela, jang berkata bahwa ia membawa surat-surat penting untuk tuan Komisaris, jang memegang tampuk ,,perang" atau ,,damia" ditangannja. Surat jang discrahkan oleh Malela ketangan Nieuwenhuyzen itu berupa sebuah sampul besar, jang memakai tjap kebesaran Oeloebalang Nell. Didalam surat itu Neh mengatakan dengan segala perkataan jang manismanis, bahwa ia berhasrat besar hendak mcnjatakan rasa persahabatan karibnja kepada ,,kumpcuni", jang dikctahuinja bersifat adil, pengasih dan penjajang Neh menjatakan keichlasan d a n kctulusan hatinja kepada Pemerintah Belanda. Laku orang Belanda mcndjalankan pemcrintahannja, demikian kata Neh, sangat disctudjuinja d a n ia mengharap agar pemerintahan Belanda itu akan dilakukan pula d a n dikckalkan ditanah A t j e h . ... Selandjutnja Neh memohonkan ,,dari udjung sepatu orang Belanda sampai kepuntjak pitjinja", agar orang d a n kampung Mcrassa dipelihara dan diperlindungi oleh tentara Belanda, bilama peperangan antara Pemerintahan Belanda d a n Atjeh sampai meletus djua. Karena kampung Mcrassa adalah didiami oleh orang-orang tani d a n nelajan jang ingin h i d u p aman d a n damai. Sckali-kali orang Merassa djangan dibawa-bawa, karena mereka memang djidji akan perang dan tidak hendak tjampur-tjampur didalam perscngketaan Kotaradja.
56
Tjoet Nja Din
Dan buat pcnutup Neh memohon pula ,,kebawah duli" jang dipertuan komisaris jang sedang bcrlabuh dimuka Merassa dengan kapal-kapal perangnja, lcngkap pula dengan meriam-mcriamnja, agar warakat jang tidak sepcrtinja itu akan mendapat balasan, walaupun dengan kata scpatah, dituliskan atas kcrtas setjarik. Djika balasan itu sudah ditcrimanja, kelak Neh akan mcrundingkan tentang takluknja Atjeh dengan tidak bcrsjarat kepada Pemerintah Belanda dengan sekalian pembesar-pembesar Atjch jang sama pcrtjaja dan sama mengandung rasa perendahan terhadap orang Belanda sebagai dia sendiri. . . Sudah tentu komisaris Nieuwenhuyzen sangat gembiranja demi mencrima surat scmatjam itu dari seorang Oeloebalang, jang diketahuinja berpangkat besar. Hanja ia sangat ragu-ragu atas kedjud j uran hati Neh. Nieuwenhuyzen telah banjak pendchgaran tentang ,,kclitjinan" dan ,,ketjcrdikan" orang Atjch, istimewa djika mereka telah mendjadi diplomat. Orang-orang jang bertugas diplomat itu di Singapura telah bcrhasil menghasut-hasut orang Inggcris dan Amerika, schingga hampir tcrdjadi tjampur tangannja kedua bangsa itu didalam pertikaian orang Belanda dengan orang Atjeh jang berarti bahwa orang Amerika dan orang Inggeris pada awalnja telah bcrscdia hendak menduduki Atjch, mendahului orang Belanda! Untung bagi orang Belanda, dengan segala kebidjaksanaan sambil menundjukkan,,buditahu mengambildan tahu memberi" mereka dapat menghindarkan bahaja pentjampuran kedua tetangganja jang kuat-kuat itu. Demikianlah halnja, jang telah dikctahui oleh Nieuwenhuyzen. Tidaklah hcran djika ia ragu-ragu tentang kedjudjuran kata. Teuku Neh jang bcrmulut manis itu. Tambahan pula Nieuwenhuyzen tidak mengctahui tentang adanja perscngketaan jang bcrdalam-dalam antara 6 Moekim dengan Mcrassa. Tidak pula diketahuinja bahwa dipcdalaman tanah Atjch itu tidak habis-habisnja perscngketaan, karena masing-masing orang terkemuka sedang bercbut kedudukan dan pengaruh. Sckiranja Nieuwenhuyzen diplomat jang ,,litjin" pula, nistjaja ia akan mempergunakan suasana jang sebaik itu untuk mclakukan ,,pulitik memctjah-mctjah lalu memcrintah" (verdcel en hcers systcem). Tapi Nieuwenhuyzen rupanja kurang ,,litjin". Surat Neh itu dibalasnja dengan ,,manis" pula, tapi dihabisinja sadja dengan perkataan bahwa orang Belanda ,,nctral" dalam perscngketaan orang Atjeh dengan orang Atjch itu. Malela kembali kepada Teuku Niih dengan tangan hampa! Dengan djalan jang demikian, maka segala ichtiar hendak mendapatkan kata damai, telah menemui djalan buntu. Satu-satunja djalan jang tcrbuka bagi Nieuwenhuyzen hanjalah menjuruh Said Tahir pergi ke Dalam, membawa surat pcrnjataan perang dari Pemerintah Belanda kepada Kcradjaan Atjch, jang memang dari semula telah ada ditangan Nieuwcnhuyzen. Keputusan Nieuwenhuyzen itu adalah djatuh pada tanggal 26 Marct tahun 1873. Tapi sebelum sampai ke Dalam, demi mengindjak daratan Atjeh, Said Taliir lebih dahulu harus mclalui djalan Neh. Disana ia bukan disambut oleh pcngiring
Pengchianatan
57
Neh lagi, mclainkan oleh angkatan perang Nanta, jang telah menduduki pantai daerah pemerintahan Neh itu. Segala bentcng-bentcng pcrtahanan Neh telah ada dibawah kekuasaan Nanla Setia. Tapi meskipun demikian, naskah jang berisi pcrnjataan perang dari fihak Belanda itu, sampai djua ke Dalam. Hanja Nieuwenhuyzen tidak sampai mencrima balasan jang akan bersedjarah dari Sultan Machmoed, putera almarhum Suleiman jang belum baliq. Meskipun Said Tahir tidak membawa surat balasan dari Dalam, tapi selama ia ada di Mcrassa, agak banjak djua pendengarannja tentang keadaan suasana di Atjch. Ia mendengar bahwa beberapa orang penasihat Sultan jang tcrnama, didalam batin adalah sctudju kepada penjerahan kedaulatan Atjch kepada Pemerintah Belanda. Diantara orang-orang jang sctudju itu antara lain djuga disebut namanja: Teuku Kadli Kepala, Kehakiman. Hanja ia tidak bcrani berterang-terang. Demikian pulalah kcadaannja dengan jang lain, jang sepakat dengan Teuku Kadli, jang belum discbutkan nama-namanja. Tapi disamping mereka jang bersekutu dengan Teuku Kadli itu, banjak pula pahlawan-pahlawan jang ,,berpantang tunduk", kepada orang Belanda. Mereka taat kepada pembesarpembesar Kcradjaan Atjeh jang masjhur gagah beraninja, dan telah memaksa Oeloebalang Neh menjerahkan bentcng-benteng pertahanannja jang ada dipantai, kepada mereka. Kabar jang dibawa oleh Said Tahir itu sebenarnja membuka kemungkinan bagi orang Belanda buat menangguk ikan diair keruh, sebelum perang bcrkobar. Tapi oleh karena pcrnjataan perang telah sampai ke Dalam, maka Nieuwenhuyzen sudah tidak dapat berbuat sesuatu apa lagi. Nasi telah njata mendjadi bubur! Maka gcmctarlah angkasa, karena gemuruh suara beberapa putjuk meriam, jang dipasang dari ketiga kapal perang orang Belanda. Meriam-meraim itu memuntahkan pelurunja arah kedaratan Atjch. Disekalian bentcng-bentcng orang Atjch jang ada dipantai-pantai, tcmbakan meriam itu disambut dengan sorak dan tempik jang gemuruh. Maka berkibarlah bendcra-bendcra mcrah, berlukislah bulan sabit dan bintang, discgala benteng itu. Kcratonpun tidaklah hendak ketinggalan. Disana dinaikkan pula bendera perang, alamat pcrnjataan perang dari orang Belanda itu diterima dengan keteguhan hati. Dari tanggal 1 April 1873 Komisaris Nieuuien/myzen beserta pembesar-pembesar kcempat kapal Belanda, telah memasang tcropong, lalu mengarahkannja scpandjang-pandjang tepi langit. Pada kira-kira mereka, armada Ncdcrland jang telah discdiakan untuk tindakan di Atjch itu, telah scharusnja sampai kesana. Kawan-kawan jang dinantikannja itu muntjullah pada tanggal 5 April tahun 1873. Djumlah kapal-kapal pengangkut jang datang adalah 17 buah banjaknja. Tanggal 8 April 1873, dini hari, mereka memulai menurunkan balatentaranja, jaitu terdiri atas serdadu-serdadu Ambon, Minahasa, Djawa dan Belanda. Mereka mendarat dirawa-rawa daerah Merassa. Pengiring-pengiring Neh tidak memberikan pcrlawanan barang serambut. Di
58
Tjoet Nja Din
Atjeh orang telah meramalkan lebih dahulu, bahwa orang-orang Merassa memang tidak akan memberi pcrlawanan. Tapi setelah tentara Belanda itu meninggalkan pantai, timbullah perlawanan jang amat hebatnja. Scgcrombolan orang Atjeh jang bcrhunus kelewang, telah menjerang, dengan maksud hendak memutuskan barisan mereka. Ada jang berscru-seru memanggil nama Allah, ada jang bcrtempik dan bersorak. Njata sekali bahwa mereka itu tidaklah lagi memperhitungkan njawanja, dan tidak pula memantangkan lawan. Masingmasing njata bersedia mengalangkan majatnja, jang harus dilangkahi orang Belanda lebih dahulu, scbelum mereka dapat mengindjak tanah Atjeh. Demikianlah hebatnja penjerbuan barisan pertahanan orang Atjch itu, sehingga tentara penggempur Belanda itu hampir-hampir dapat ditjerai bcraikannja. Tapi scbaliknja, fihak jang menggempur itu pun tidak pula berkekurangan tentang tangkas dan gagah beraninja. Sekiranja mereka mundur, pastilah djalan lari akan diputuskan oleh lautan. Tidak pula mungkin akan menghindarkan bahaja maut, djika perahu-perahu kajuh itu jang hendak diharapkan untuk didjadikan alat lari. Oleh karena itu dari fihak Belanda pun keluar tempik dan serak. Sekalian kelewang dihunuslah. Sendjata api hampir-hampir tak dapat digunakan lagi, karena antara lawan dengan lawan tak adalah tempat jang terluang. Perkelahian pada hari pertama itu telah mendjadi pcrtempuran seorang mclawan seorang. Djika tidak merubuhkan, pastilah diri sendiri akan rubuh dibawah kelewang musuh. Achirnja lasjkar Atjeh mundur djua, sambil mentjari tempat bersembunji, buat memindahkan sasaran ketempat-tempat semak. Sementara itu tentara Belanda mentjoba-tjoba mentjari djalan ke Dalam. Njata sekali bahwa mereka sama sekali tidak mengetahui dimana lctaknja kcraton Sultan Atjeh. Sambil menjelidiki kekiri dan kekanan, mereka tinggal menurut komando para pemimpinnja jang antara sebentar terdengar berseru: „kiri, kanan! Madju!" Jang rubuh, rubuh djua. Jang masih kuat bcrgerak, madju kemuka dengan tak tentu haluannja. Ada jang menjorong-njorong dan menjeretnjeret meriam, ada jang memikul-mikul meriam kodoknja, mentjari djalan dirawa-rawa itu, melalui hutan-hutan nipah, scmak belukar, gurun-gurun, ladang sawah-sawah dan pagar-pagar bambu duri jang melindungi kampung-kampung orang Atjeh. Pada achirnja, boleh dikatakan kebctulan sadja, terhambatlah djalan mereka oleh sebuah tcmbok batu jang tinggi dan kukuh rupanja. Tembok itu sebenarnja pagar Beitu'rachman, tapi pada sangka mereka bentcng itu ialah pagar Keraton. Mesdjid Agung itu belum lama bcrselang dinaiki orang dibawah pimpinan Habib Abdoerrachman dengan segala chidmad dan upatjaranja. Tentara Belanda tak dapat memasukinja, karena perlawanan dari fihak jang mendjaganja amat kuat. Oleh karena itu mereka mencmbaki Beitu'rachman dengan peluru-peluru api, sehingga dalam waktu singkat musnahlah tempat sutji itu mendjadi kurban api. Tinggilah asap dan bunga api membubung keangkasa, sambil menjinari
Pengchianatan
59
seluruh tempat pada tengah hari itu dengan tjahaja kuning, digelapkan antara sebentar oleh asap hitam, jang naik bergumpal-gumpal. Penduduk seluruh kampung berhamburanlah keluar, sambil mcndjeritdjerit: ,,Mesdjid Agung berbakar! Mesdjid Agung binasa! Tolong! Tolonglah!" Tjoet Nja Din pun meninggalkan rumah, lalu turun ketanah. Dengan rambut tcrgerai-gerai, kedua tindjunja mengcpal dan mengatjung-ngatjung, sampailah ia kcpintu gerbang halamannja. Kepada sekalian orang kampung jang datang berkerumun melihatkan api jang menggolak-golak itu dari djauh, berseruserulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanja: ,,Hai sekalian Mukmin jang bernama orang Atjeh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesdjid kita dibakarnja! Mereka menentang Allah Subhana Wataala! Tempatmu beribadah dibinasakannja! Nama Allah ditjermarkannja! Tjamkanlah itu! Djanganlah kita melupa-lupakan budi si kafir jang serupa itu! Masih adakah orang Atjch jang suka mengampuni dosa kafir itu? Masih adakah orang Atjeh jang suka mendjadi budak Belanda?" Tapi empat hari sesudah itu surutlah darah Tjoet Nja Din. Suaminja Teuku Ibrahim Lamgna, pulang kerumah isterinja, membawa kabar baik dari medan perang. Demi mendengar tjeritera suaminja itu, Tjoet Nja Din menjapu-njapu dada dan menadahkan tangan arah kelangit, lalu berkata dengan segala chidmadnja: „Alhamdulillah! Tuhan telah melindungi agama kita, Tuhan menundjukkan adil dan Maha KuasaNja kepada tanah Atjeh! Pemimpinnja gugur ditangan orang Atjeh! Larilah kaphe sekarang pontang panting meninggalkan tanah Atjeh, tanah air kita! Allahu-akbar!" Peristiwa itu tcrdjadi pada tanggal 14 April tahun 1873. Pada hari itu Djenderal Kbhler, panglima tertinggi dari angkatan perang Belanda jang melakukan penjerbuan pertama ke Atjeh itu, telah gugur. Ketika ia berdiri disuatu tempat ketinggian dihalaman Mesdjid Agung jang telah rata dengan tanah, dekat sebuah pohon kaju tua, jang dipandang sutji oleh orang Atjeh, maka sebutir peluru orang Atjeh telah menamatkan scdjarah hidupnja. Tempat gugurnja itu adalah sebidang tanah, tempat almarhum Sultan Iskandar dahulu telah membangunkan Mesdjid Beitu'rachman jang aseli. Tentara Belanda mentjoba bertahan seketika lamanja, dekatbenteng tcmbok dari pemakaman para pcrmaisuri, jaitu dimuka gcdung jang berdiri di Taman Penghibur Keraton. Maksud mereka hendak menduduki gcdung itu tidak berhasil, karena orang Atjeh jang ada didalam dan disekitarnja, telah mempcrtahankannja mati-matian. Sctelah didalam barisan tentara belanda itu banjak jang gugur, maka merekapun menghindarlah dari sana, lalu lari kepantai. Didalam hudjan lebat mereka dinaikkan keperahu dengan tergesa-gesa, lalu kembali kepangkalannja disekalian kapal-kapal jang sedang berlabuh. Pelarian mereka itu telah berlangsung dengan tidak terganggu-ganggu. Pada hal bagi orang Atjeh sebenarnja saat itulah jang sebaik-baiknja buat meng-
6o
Tjoet Nja Din
hantjurkan musuhnja sampai sctumpas-tumpasnja. Apa jang mendjadi sebab maka tidak bcrlaku sampai kesana, tidaklah ditjeritcrakan oleh scdjarah. Mungkin orang Atjch berkejakinan bahwa musuh jang lari pontang panting itu telah mendapat pcngalaman jang pahit dalam mclakukan perbuatannja jang sckedji itu. Dan pastilah mereka tidak akan bcrani lagi mengindjak tanah Atjch, karena mereka telah mcngenal orang Atjch. Didalam hal jang demikian rasa tak adalah facdahnja djika njawa pahlawan-pahlwan tcrus menerus dipcrtaruhkan djua. Sebelum kapal-kapal Belanda mengangkat djangkar, maka tcrdjadilah suatu peristiwa, jang patut ditjeriterakan pula. Seorang doktor tentara, Ritsema namanja, pada suatu hari sedang bcrdjalan-djalan diudjung tandjung dekat Olch-lch. Sekumpulan orang Atjch jang bersendjata tadjam nampak olehnja discberang Rawa Tjangkul. Sckonjong-konjong salah seorang diantara mereka itu telah mclatakkan sendjatanja keatas tanah, lalu tcrdjun masuk rawa dan beranang menghampiri Ritsema. Orang itu lalu mendapatkannja dan menjerahkan kctangannja seputjuk surat jang dikirimkan oleh Teuku Neh. Didalam surat itu Neh berkata ingin hendak bcrdjumpa sekali lagi dengan Said Tahir. Pada malam itu djua Said disuruh menemui Neh. Dari mulut Oeloebalang itu Tahir mendengar, bahwa pasukan Nanta telah menghukum Mcrassa, karena bcrsckutu dengan orang Belanda. Sekalian harta Neh dirampas oleh mereka, sedang dclapan puluh tudjuh rumah penduduk di Moekim Mcrassa dibakar! Bcrhubung dengan itu Neh mengharap dengan sepenuh-penuh harapan, supaja kapal-kapal orang Belanda djangan meninggalkan Atjeh dalam sementara waktu» Dimintanja supaja orang Belanda suka menduduki Merassa, guna mclindungi njawa penduduk disana. Dalam perhitungan tentara Belanda didalam keadaan jang serupa itu, amatlah besarnja bahaja bagi mereka, djika mereka tinggal berlalai-lalai, dan tidak segcra meninggalkan Atjeh. Bcrhubung dengan itu hati kasihan terhadap Neh jang memang telah bcrdjasa, tidak dapat diperturutkan. Oleh karena itu malammalam itu djuga kctudjuh belas kapal mengangkat djangkar, lalu bcrlajar mentjari djalan pulang kc Djakarta. Djadi njatalah bahwa ekspedisi orang Belanda ketanah Atjch jang pertama kali itu, telah gagal. Tidak sia-sia Tjoet Nja Din mengutjapkan sjukur kepada Tuhan jang Maha Esa.
PERANG BESAR-BESARAN Ditahun 1873 itu djuga bala tentara Belanda telah kembali pula ke Atjch, melakukan ckspidisi jang kedua. Tidak berapa kurangnja dari pada 60 buah kapal telah membuang djangkar didekat pantai Kotaradja pada penghabisan bulan November 1873. Rapal kapal itu membawa 8000 orang peradjurit dari segala golongan ketcntaraan, serdadu-serdadu dengan para perwiranja, beserta pula anggota-anggota tata usahanja, 32 orang opsir doktor, 8 orang penundjuk djalan, 243 orang wanita isteri-isteri scrdadu, 150 orang tukang dajung jang akan mendaratkan tentara, 3 orang pendeta, seorang Islam, seorang Nasrani Protcstan dan seorang Nasrani Katolik, pengangtara Mas Soemo Widikdjo dengan 2 orang pembantunja, dan Panglika Tertinggi Djcndcral van Swieten. Selainnja dari pada pegawai-pegawai itu, konfoi membawa pula: 206 putjuk meriam, 22 putjuk mortir (meriam kodok) 60 ckor kuda beban, 80 ckor sapi penarik, dan 3 280 orang hukuman. Tambahan pula adalah dibawa 300.000 ransum makanan, 12.000 meter rel kereta api, 186 sckotji dajung, 4 buah rakit besi, 2 buah rakit perahu, 16 bangunan bangsal jang diperbuat dari bambu, dan , . . penjakit cholera! Lain dari pada bendera-bendera Kcradjaan, ditiap-tiap kapal nampak pula bcrkibar bendera karantina jang bcrwarna kuning, alamat dikapal sedang bcrdjangkit penjakit mcnular. Meskipun dibulan Descmber pada galibnja musim hudjan telah melampau, tapi ketika konfoi itu berlabuh, hudjan lebat masih turun dengan tak ada hingganja. Delapan hari lamanja matahari tidak hendak menampakkan rupa. Dclapan hari delapan malam pula Panglima Perang tentara Belanda tinggal menanti-nanti. Dan semtentara itu ketiga Pendeta dari kctiga aliran agama sibuk menjempurnakan pemakaman orang jang mati, jang terpaksa harus dikuburkan didasar lautan sahadja. Demikian pula keadaannja dengan ke 32 orang tabib beserta sekalian pembantunja, jang sibuk membcri pcrtolongan kepada kurban-kurban cholera, jang hendak melepaskan njawa. Meskipun tiap-tiap doktor telah menaruh kcjakinan bahwa sisakit tak akan dapat tcrtolong lagi, tapi masingmasing tinggal taat kepada kcwadjibannja scbagi doktor dan sebagai manusia, jaitu melakukan segala daja upaja buat menjambung njawa jang hendak mclajang itu dengan scbdudi akal. Sementara itu orang Atjeh pun telah siap scdia pula menanti-nantikan musuhnja kembali. Sekalian parit-parit dan tempat-tempat pcrtahanan jang bcrupa djalan-djalan buntu telah diisi oleh lasjkar-lasjkar Atjch, lengkap dengan alat sendjatanja berupa bcdil sitinggar, kclcwang dan beberapa putjuk meriam bcrkcrat, peninggalan orang Portugis. Guna mempertahankan Dalam maka jang telah bersiap disekitarnja ialah Radja Pedie, Panglima Polim, Imam Longbata Oeloebalang i3ai't, Oeloebalang Nanta Setia dan Teuku Ibrahim Lamgna, beserta sekalian lasjkar pengiringnja.
62
Tjoet Nja Din
Meulaboh akan mengirimkan pula iooo orang peradjurit pilihan. Mereka itu sedang didjalan, menudju ke Kotaradja. Alim Ulama tidak pula tinggal berdiam diri. Berkat andjuran mereka, banjak nja Muslimin jang telah berseda-scdia buat melakukan perang sabil, sudah tidak terbilang-bilang lagi. Bertoboh-toboh mereka lalu didjalan-djalan sambil ratib-ratib dan membawa-bawa bendera perang, jaitu lukisan bulan dan pedang bengkok berawarna putih dilatar mcrah darah. Ditepi-tepi bendera adalah pula dilukiskan tulisan-tulisan dengan huruf Arab jang mengandung sembojan. Disegala surau dan mesdjid tabuh dipalu dengan tidak berkeputusan. Sedangkan kaum wanita tidak hendak ketinggalan dalam rombongan-rombongan ratib itu disurau dan dimesdjid. Siang dan malam angkasa digctarkan oleh suara ratib jang keluar dari bcribu, bcrpuluh ribu mulut laki-laki perempuan, tua dan muda sampai kepada kanak-kanak. Dari Habib Abdoerrachman belum ada kabar. Tapi meskipun demikian, tiaptiap orang tinggal berpegang kepada kcjakinan bahwa ia pastilah akan kembali ke Atjch, esok atau lusanja! Mustahil ia akan meninggalkan orang Atjeh jang sedang menghadapi perang sutji itu! Tuhan beserta Atjeh! Habib Abdoerrachman telah dapat mengobar-ngobarkan semangat orang Atjeh buat tampil kemedan perang Sabilullah atas perintah Tuhan. Djadi sudah tentulah Habib akan lckas kembali ketanah Atjeh! Tak ada seorang jang tidak berkejakinan bahwa Atjeh akan menang didalam peperangan ini. Orang Islam pastilah akan memusnahkan kafir jang berani menodai tanah Sutjinja! Setidak-tidak akan menghalau mereka dari tanah Atjeh! Orang Belanda itu akan diusirnja sebagai-mereka dahulu telah dapat mengusir orang Portugis dari tanah airnja! Belum pernah Atjeh mengalami kekalahan didalam perkosaan orang kafir. Tidak akan ada sesuatu bangsa asing jang akan dapat mengalahkan Atjeh! Domikianlah kcjakinan orang Atjch, didalam mereka berseru-seru memanggil nama Tuhan. Lailla-ha'ilallah! Lailla-ha ilallah! Oeloebalang Neh tetap ditjurigai orang. Banjaklah jang heran karena ia masih hidup. Mungkin njawanja terpelihara, karena banjak pula kawankawannja jang mendjaga siang dan malam. Perhubungannja dengan tentara Belanda makin karib, dan makin berterang-terang. Meskipun tentara Belanda telah dianggap kalah oleh chalajak umum, karena telah melarikan diri pada bulan April tahun itu, tapi Teuku Neh masih tidak gentar-gentar mengirimkan Malela ke Tarumun dan Sibolga pada bulan September buat mendjadi utusannja. Kedatangan Malela kenegeri jang dua itu ialah membawa pesanan dari Teuku Neh kepada orang Belanda, dan hendak menjatakan, bahwa Neh masih tetap setia kepada Pemerintah Belanda. Neh menjuruh mentjeriterakan bahwa Sultan telah menghukumnja atas pengchianatan jang telah dilakukannja terhadap tanah air dan bangsanja itu. Sultan amat murka karena ia telah bersekutu dengan orang Belanda. Hukuman
Perang besar-bcsaran
6}
itu ialah berupa pcntjabutan kebesarannja sebagai Oeloebalang 6 Moekim, dan pentjabutan segala hak-haknja jang bcrhubung dengan kebesaran itu. Buat kemuka jang disahkan oleh Sultan mendjadi Oeloebalang 6 Moekim dengan surat angkatan jang dibubuhi sembilan Tjap, ialah Nanta Setia. Teuku Neh berkata telah menjerahkan nasibnja kepada Tuhan jang Maha Kuasa, dan . . . ketangan jang dipertuan Besar Gubernur Djcndcral Hindia Belanda. Tapi sementara itu njawa Teuku Neh makin terantjam, dari sehari kesehari, meskipun kapal-kapal orang Belanda dengan bendera-bendera kuningnja tinggal berlabuh umpaja sepenghibauan dari tempat kediamannja. Hanja sahabat Neh itu tinggal tidak berdaja, karena hudjan lebat masih turun dengan tidak berkeputusan, sedang penjakit cholera dikapal masih berdjangkit dengan segala hebatnja. Nafsu rakjat Atjeh masih memuntjak. Ultimatum orang Belanda jang penghabisan, jaitu jang mendesak supaja orang Atjeh tunduk sahadja dengan damai, tidak dibalas lagi oleh Dalam. Neh insjaf benar, bahwa ia sedang dikclilingi oleh puluhan orang mata-mata suruhan Nanta Setia dan Ibrahim Lamgna. Oleh karena itu tedaklah ia keluar-keluar lagi dari rumah. Tengah malam buta, tanggal 8 menghadap 9 Dcsember 1873, sebahagian dari armada Belanda telah menjisihkan diri dari kawan-kawan jang banjak, lalu berlajar mengambil arah ke Timur Laut. Dekat Tandjung Pedro, disebelah Utara Lamgna, djadi dimuka Sagi 22, kapal-kapal itu telah membuang djangkarnja. Dengan djalan demikian njatalah bahwa Mcrassa hendak dilindungi dari pada bahaja kchantjuran jang akan ditimbulkan oleh peperangan. Rupanja orang Belanda hendak menundjukkan budi berterima kasihnja kepada Teuku Neh atas segala djasanja kepada mereka. Karena itu sjak hati orang Atjeh terhadap kepada kcpalsuan Teuku Neh bukanlah tjuriga lagi, mclainkan telah mendjadi kcjakinan penuh, berdasar kepada kenjataan jang tak dapat disangkalsangkal lagi. Pagi-pagi buta, meriam-mcriam kapal perang telah mengguruh, menghudjani daerah Lamgna dengan peluru-peluru granatnja jang membawa maut. Suarasuara dentumin itu terdengarlah dari djauh-djauh, sampai sehari didjalan dan sampai kepegunungan Samalanga. Dibawah pcrlindungan tcmbakan-tembakan meriam itu, orang Belanda memulai mendaratkan angkatan perangnja berbanjak-banjak. Dengan taktik jang demikian, sekalian benteng-benteng pertahanan orang Atjeh jang ada dipantai, dapat dikepung oleh tentara Belanda dari rusuk. Gerakan tentara Belanda diarahkan ke Barat melalui padang-padang rumput jang ada discpandjang bukit-bukit pasir ditepi pantai. Makin banjak angkatan perang jang diturunkan oleh orang Belanda dari kapal. Semuatan scmuatan perahu naiklah kedarat dengan tergesa-gesa. Barisan
64
Tjoet Nja Din
artillcri mcnjusul pula dengan rakit-rakit. Markas besar beserta barisan bcrkuda scgera pula menjeberang lautan, menggabungkan diri kepada kawan-kawannja jang telah ada didarat. Sementara itu kedua benteng jang terkuat, Kota Pahama dan Kota Mocsapi, jang besar djasanja dahulu scmasa perang mclawan oang Portugis, dihudjani peluru meriam dari laut. Tanggal n Desember pukul 10.30 pagi, Marine Belanda mengctok kawat, bunjinja: „Musuh lari keluar dari benteng-benteng pertahanannja." Tapi lewat Moesapi orang Atjeh telah bertahan dengan laku mati-matian. Hanja mereka terpaksa mundur pula pada achirnja, karena tak kuat menangkis penjerangan musuh jang djauh lebih banjak bilangannja dari lasjkar sendiri, dan lebih kokoh pula alat sendjatanja. Tentara Belanda sampailah kesungai Atjeh. Pcnajoeng dapat pula didudukinja. Djalan laut antara armada dengan Dalam djadi tcrputus karena itu. Djcnderal van Swieten telah mengcluarkan perintah djangan sampai kepada bakar membakar kampung. Tapi meskipun demikian, tiaba-tiba rumah Teuku Kadli jang besar dan indah, tapi telah dikosongkan, telah menjala-njala dimakan api. Kebakaran tiu timbul sebelum tentara Belanda memasuki Pcnajoeng. Djadi njata bahwa rumah itu tidaklah dibakar oleh orang Belanda. Hanja scdjarah tidak mentjeriterakan siapakan jang telah mclakukannja. Desas-desus membawa bcrita, bahwa Teuku Kadli sedang didalam pengamat-amatan rakjat pula, karena orang mentjurigainja, kata orang karena ia sangat rapat dengan Teuku Neh. Wallahoe Alam! Didalam sckedjap mata musnahlah rumah besar itu mendjadi abu. Bersamasama dengan rumah Teuku Kadli turut musnah pula surat-surat arsip Keradjaan Atjeh, jang telah beratus-ratus tahun umurnja. Tanggal 18 Desember 1873. Pada malam hari, didalam gclap gelita, Malela telah dapat masuk dengan scmbunji-sembunji kedalam kemah Panglima Perang Belanda. Malela membawa pesan dari Teuku Neh jang minta disampaikan, bahwa ia" berterima kasih banjak atas siasat tentara Belanda," jang telah mclindungi Merassa daripada bahaja keruntuhan. Dengan Teuku Neh sendiri, rakjat Merassa pun turut berterima kasih, karena njawa dan harta benda mereka telah diperlindungi oleh orang Belanda". Demikian bunji pesan itu. Selainnja daripada itu, Malela bertjeritera pula, bahwa sekalian benteng pertahanan dikiri dan dikanan sungai telah dikosongkan. Bahwa Teuku Kadli dan Panglima Polim sedag memperkuat pertahanannja disebelah Selatan Dalam, sedang suasana di Sagi 26 dan 22 amat genting. Orang Belanda bersedia-scdia hendak menjerbu Kcraton, dimulai dari Pcnajoeng. Tapi achirnja Panglima Perang Belanda bcrpendapat bahwa maksud hendak menjerang Keraton itu haruslah diberi tahukan lebih dahulu, karena didalamnja banjak berdiam para wanita dan kanak-kanak jang tidak berdaja. Kepada mereka haruslah diberi djalan buat menghindar lebih dahulu, sebelum peperangan berkobar.
X X^v^
Perang bcsar-besaran
65
Buat memberi tahukannja itu diutuslah pengantara Mas Widikdjo. Entah apa jang telah terdjadi atas pengantara itu dengan orang Atjeh, tidaklah ditjeriterakan oleh scdjarah. Tapi jang sudah njata ialah bahwa hati orang Atjeh sangat gemas terhadap kepada orang Belanda serta sekalian kaki tangannja. Kedatangan Mas Widikdjo rupanja telah mcnaikkan darah Teuku Along, saudara Panglima Polim, jang terkenal kcdjam hatinja. Dengan tidak pandjang tjeritera, pengantara itu dibawanja ke Longbata, lalu dibunuhnja disana. Sementara itu tentara Belanda mclcpaskan hawa nafsunja. Meskipun dari Mesdjid Beitu'rachman jang tinggal tcrpantjang hanjalah pagar-pagar batunja sahadja, sedang mesdjid sendiri telah rata dengan tanah, tapi peluru-peluru meriam orang Belanda diboros-boroskan djua untuk meruntuh-runtuhkan tembokan itu jang tinggal mendjadi bekas-bekas Mesdjid Sutji hanjalah tempat ketinggian beserta poljon keramat, tempat gugurnja Djenderal Kohler pada ekspidisi jang pertama. Disana tentara Belanda melalui makam keramat dari Sultan Djeumahj, jaitu jang memcrangi Machoedoem Sati dahulu, dengan menggunakan seorang Panglima ulung, Penghulu Beiwreu beserta kawan-kawannja mendjadi angkatan pcrangnja. Tanggal 6 Djanuari 1874. Pada ketika itulah Neh mengirimkan utusan kepada Djenderal van Swieten jang membawa pesan bahwa gedung jang bcrbentuk bunga teratai dan dibangunkan didalam Taman Penghibur, adalah dipcrtahankan dengan beberapa putjuk meriam. Sebaik-baiknja hendaklah Dalam diserbu dengan scgera. Tcmpat-tempat buat mengepung jang strategis disana memang sulit mentjarinja bagi segala orang luaran. Oleh karena itu Neh mengirimkan salah seorang pengiringnja jang hendak menundjukkan djalan disebelah Selatan Keraton, jaitu sambil melalui kampung-kampung Atcuh dan Longbata. Nasihat Neh itu diturutlah oleh tentara Belanda. Dengan segala kcganasan mereka memulai penjerangannja, baik dari laut, maupun didarat. Terlebih dahulu Pcdie dan 6 Moekim disergap, karena mereka turut membantu mempertahankan Keraton. Kampung-kampung jang ada dipantai dihudjani oleh peluru-peluru meriam. Tjoet Nja Din mendengarkan suara-suara meriam dari dalam rumahnja dengan resah dan darah mendidih. Ia mengctahui bahwa ajahnja dan suaminja sedang menjabung njawa dalam mempertahankan Atjeh dari penjergapan kaphc. Tapi sebagai wanita, jang sedang menjusui pula, tidaklah ia dapat berbuat sesuatu apa. Segala jang dikandungnja didalam hati, mcnumpahlah dari mulutnja, dan dikatakannja kepada anak jang sedang menjusu itu. Disekeliling Keraton hebatlah pertempuran. Tentara Belanda jang bcrsandar kepada kekuatan artilerinja dan kepada djumlah anggota penggempur jang tidak terbilang banjaknja, tapi tcrutama djuga karena dapat menarik facdah dari hasil pengchianatan Neh, tidaklah dapat ditahan-tahan. Sesudah Pcnajoeng, djatuh pulalah bcrturut-turut Kota Petjoet, tempat pemakaman Sultan-Sultan Atjeh, jang telah memcrintah dan mempertahankan kedaulatan Atjeh sampai bcratus-ratus tahun lamanja, Taman Penghibur jang
66
Tjoet Nja Din
mendjadi tempat hiburan para Sultan dan segala pcrmaisuri, penglipur-lipur hati jang gundah; Kota Gunungan, tempat pemakaman para pcrmaisuri Atjch, jang telah digunakan orang untuk tempat ziarah. Dan pada achirnja djatuh pulalah kctangan orang Belanda: Keraton, tempat Sultan-Sultan Atjeh berscmajam dan memcrintah, lambang kebesaran dan persatuan Atjeh, jang beratusratus tahun telah dapat dipcrtahankan dari pada segala pcrkosaan musuhmusuh dari luar. Segala-galanja jang ada didalam lingkungan benteng Dalam telah dikuasai oleh orang Belanda; gudang mesiu, kantor Keraton, Balai Persidangan, tempat Said Tahir dahulu menjampaikan warakat-warakat orang Belanda ketangan Sultan, tempat Sultan menjerahkan surat-surat keputusan Sidang Kerapatan kctangannja, untuk disampaikan kepada orang Belanda; tempat Mas Widikdio ditangkap oleh Teuku Along, lalu dibawa ke Longbata dan dibunuh; makam almarhum Su//an Alaiddin Mantsoer Sjah jang dibabarkan mungkin mangkat diratjun, Sultan Mantsoer jang menanda tangani traktat perdamaian dan pcrsahabatan antara orang Atjeh dan orang Belanda dimuka Djenderal van Swieten. Maka pada masa itu van Swieten adalah mendjadi Gubernur Sumatera Barat, tapi sekarang ia kembali kc Atjeh sebagai Panglima Perang, buat mengindjak-indjak makam Sultan Mantsoer itu! Segala ruangan tempat kediaman Sultan didalam Keraton pun telah mendjadi milik orang Belanda! Ketika itu ruangan-ruangan itu sedang didiami oleh Sultan Machmoed, putera radja Suleiman jang belum baliq. Seluruh Dalam telah direbut oleh tentara Belanda. Hanja mereka mendapatinja kosong. Sekalian penghuninja, beserta seluruh angkatan perang jang mempcrtahankannja, telah dapat meloloskan diri dari pintu gerbang jang ada disebelah Selatan, sebelum orang Belanda masuk. Sultan Machmoed dengan isteri-isterinja, sekalian djanda Sultan Alaiddin Mantsoer Sjah, para putera dan puterinja, Radja Pedie, Panglima Polim, Teuku Bait, dengan. sekalian angkatan perang mereka, Nanta Setia dan Teuku Ibrahim Lamgna, masing-masing telah keluar meninggalkan keraton. Sekalian mereka itu lalu mengundurkan diri ke Longbata. Tuanku Imam sedang menjedia-njediakan garis pertahanan jang kedua disana, bersama-sama dengan Panglima Polim. Jang ada didalam Keraton, jaitu barang-barang perkakas rumah, sendjatasendjata dan mesiu, barang-barang perhiasan milik Keradjaan, kain-kain tcnun jang berharga, dan. . . barang permainan jang penghabisan kepunjaan Sultan Machmoed, jaitu bcrupa sebuah kercta angin roda tiga buatan Eropah dari Singapura, diangkat oleh budak-budak rampasan bangsa Nias ke Longbata. Jang ditinggalkan hanjalah mcriam-meriam sahadja. Hanja Sultan Machmoed tidak sampai mentjapai Longbata. Ditengah djalan bcliau mangkat, karena dihinggapi oleh penjakit cholera. Bersama-sama dengan Sultan, wafat pula .Radja Doela, putera sulung Panglima Polim, pendjawat Pusaka Kebesaran radja-radja didaerah pegunungan, jang diharap-harap akan menggantikan ajahnja kelak dikemudian hari. Sultan Atjeh jang penghabisan itu dimakamkan di Longbata, ditanah pekcrangan dan dimuka rumah Tuanku Imam. Tapi pada kcesokan harinja sekawan
Perang besar-besaran
6j
patroli Belanda jang sedang mcronda kesana, telah mcndapati kuburan itu. Pada ketika itu mcnderaklah tcmbakan-tcmbakan dari kampung. Sebelum patroli Belanda itu meninggalkan tempat itu, lebih dahulu mereka telah membakar rumah Imam Longbata beserta beberapa rumah jang lain. Pada kecsokan harinja djenazah Sultan Machmoed digali pula, lalu dibawa pindah kc 7 Moekim, dan diserahkan kctangan Teuku Bait. Untuk kedua kalinja djenazah Sultan Machmoed dimakamkan di Lam Baroc. Tanggal 25 Januari 1874 Djenderal nan Swieten, jang telah mendiami Keraton, menjuruh mengibarkan bendera Belanda dipuntjak pohon kaju jang sctinggitingginja kedapatcn dihalaman Keraton. Dipclabuhan-pclabuhan sekalian kapal-kapal Belanda memasang bendcra-bendera pula dipuntjak tiang, sedang meriam-mcriam memperdengarkan tcmbakan-tembakan guna menghormat bendera jang berkibar diistana itu. Dikapal, didjalan-djalan dan discgala gedung jang telah didukuki oleh tentara Belanda, tcrdcngarlah mereka bersorak-sorak dan bcrnjanji-njanji memperdengarkan lagu kebangsaan Belanda. Suara-suara itu sampai kctclinga Teuku Neh. ,,Sjukur!" demikian ia berkata dalam hatinja. ,.Kotaradja telah djatuh, aman dan damai diseluruh Atjch!" . . . Suara-suara gembira itu sampai pula kctclinga Tjoet Nja Din. Dengan hati bimbang ia pun mengurut-urut dada, menjedari nasib peruntungan orang Atjch: ,,Beitu 'Rachman hantjur luluh! Sultan mangkat! Putera sulung Polim wafat, makam pcrmaisuri jang sutji dinodai oleh kaphe dan sckarang digunakannja untuk pcrkemahan! Dalam diduduki, bukan bendera Turki jang berkibar disana, mclainkan bendera kaphe jang tcrkutuk! Longbata terantjam pula! „Ja Allah, ja Rabbi!" kata Din dengan mcngcluh dalam hatinja. ..Mungkinkah itu segala? Murkakah Tuhan pada hambanja di Atjeh? Dan dimanakah Habib Abdoerrachman?. . . Inikah nasib orang Atjch? Inikah kesudahannja?" . . . Dan dengan tidak discngadja, tcrhamburlah djcritan dari mulutnja, katanja: ,,Musna; Scmua musna!" . . . Pada ketika itu suaminja masuk kedalam rumah Lctih, mandi pcluh dan bcrlumuran lctjah seluruh pakaiannja. ,,Musna? Musna?" demikian ia bcrtanja dengan laku sctcngah menentang. ,,Tak ada sesuatu jang musna! Sultan mangkat, biarlah ia bcrkcreta angin kcachirat! Mudah sekali mentjari orang jang akan mendjadi gantinja! Sebab Polim hidup, Imam Longbata hidup; Dan Bait, dan ajahmu, Din, Nanta Setia hidup! Dan mereka masih mcnjcrtai kita!" Maka disapu-sapunja pcluh dari mukanja, lalu duduklah ia menghempaskan diri kcatas setumpukan bantal jang terscdia diatas balai-balai. Matanja mendelik-dclik, giginja tcrkatup dan menggcrtak-gcrtak. Sambil mendamik-damik dada, berkatalah ia dengan suara keras: ,,Dan aku hidup! Dan selama kami hidup, tak ada sesuatu jang musna!" Din mcnelan air sclera bcrkali-kali, mengatupkan mulut pula. Bibirnja jang past dan gemctar, mcnjatakan bahwa ia hampir-hampir tak kuat menahan hati.
68
Tjoet Nja Din
Maka berkatalah Ibarahim: „Kami telah sama bersumpah dimuka Panglima Polim, bahwa kami sampai kepada detak djantung jang penghabisan akan tetap memperdjuangkan kemerdckaan Atjeh!" Maka dengan gembira ia menjambung kata-katanja pula: „Longbata masih tcguh berdiri! Ia kuat dan tak mungkin akan direbut oleh kaphe! Sedang Tuanku Imam telah berdjanji bahwa ia akan bertahan melawan kaphe' disana, sampai kepada tenaganja jang penghabisan! Ditempat itu ia hendak mati, atau menang." . . . Sedjurus lamanja Ibrahim Lamgna tinggal berdiam diri, seolah-olah sedang berfikir. Maka sckonjong-konjong iapun membclalakkan mata lalu berkata dengan bengis: „Hanja andjing di Merassa itu! Lebih dahulu kepalanja harus ditjeraikan dari tubuhnja!"
MENGULANG-ULANG LANGKAH DISASARAN LAMA Teuku Neh makin gelisah. Panglima Polim telah mendjandjikan hadiah 500 dollar kepada barang siapa jang dapat mentjeraikan kepala Neh dari tubuhnja. Imam Longbata mendjandjikan pula 50 dollar untuk kepalanja itu. Nanta telah menjuruh putuskan djembatan di Sungai Ning sebelah kc Utara kampung Bital, jaitu satu-satunja djembatan jang menghubungkan 6 Moekim dengan Merassa. Dengan perbuatan itu telah djelaslah maksud jang dikandung oleh Nanta. Merassa telah menghampiri kepada suasana djaman pembunuhan Hadji Said.
Panglima tertinggi balatentara Belanda, Djenderal van Swieten, telah mengeluarkan proklamasi, bunjinja: bahwa rakjat Atjeh telah ditundukkan; ,,bahwa Keraton telah dirampas; „bahwa Sultan telah mangkat; „sehingga dengan djalan jang demikian Ncgara Atjeh dianggap mendjadi djadjahan pemerintahan Gubernemcn Hindia Belanda, berdasar kepada haknja sebagai fihak jang menang". Tapi meskipun demikian, hati Neh masih djauh dari pada senang. Bukankah ia mengetahui, bahwa Panglima Polim masih hidup; Imam Longbata masih hidup; Teuku Bait dari 7 Moekim, jang sangat ditakuti masih hidup; dan Nanta Setia dan Ibrahim Lamgna masih hidup!. . . Bahwa didalam hal jang demikian, rakjat Atjeh masih belum ditaklukkan! Masih sangat djauh dari pada itu! Atjeh masih mempunjai pemimpin-pemimpinnja jang ulung dan bcrpantang tunduk. Dan di Pulau Pinang rakjat Atjeh masih mempunjai Dewan Delapannja jang sekarang telah dipcrkuat pula dengan Habib Abdoerrachman, jang telah kembali dari Turki dan sekarang berdiam di Pulau Pinang! Mereka itu sedang bersekutu buat memberi tundjangan lahir dan batin kepada Atjch! Didalam kalangan Dewan Delapan dan diseluruh masjarakat orang Atjch, adalah sebuah sembojan, bunjinja: ,,Tidak mungkin Atjeh ditaklukkan, asal pemberontakan rakjat dihidupi term menerus. Kemenangan achir akan ditjapainja djuga!"
Dan untuk memberi djiwa kepada sembojan itu, maka Dewan melakukan segala daja buat upaja menjelundup-njelundupkan mesiu dan sendjata-sendjata api ketanah Atjeh. Guna pekerdjaan jang sulit itu ditjarilah perahu-perahu nelajan kepunjaan orang Atjeh jang ladju djalannja, dan pandai mentjari-tjari djalannja buat menembus segala garis-garis pengepungan orang Belanda jang ada disegala pantai Atjeh. Pula Pinang mendjadi kaja raja karena perniagaan gelap itu dengan orang Atjch. Sendjata-sendjata dan mesiu itu diselundupkan ke Rigas, jang terletak disebelah Barat. Dari Rigas ia diteruskan menempuh djalan rimba kedaerah
70
Tjoet Nja Din
pcgunungan jang ada dibawah kekuasaan Panglima Polim. Dari sanalah alatalat peperangan itu dibagi-bagikan kesegala fihak jang patut mcnerimanja. Alat-alat itu ialah berupa mesiu bertong-tong ketjil, peluru dan segala djenis senapan. Habib Abdoerrachman kabarnja ada didalam pengawasan polisi di Pulau Pinang, dan ia dilarang buat keluar dari tanah-tanah Melaju, djika tak ada izinan dari pemerintahan Inggcris jang diperolehnja. Akan tetapi ia telah berdjandji djika ia dapat meloloskan diri daripada pendjagaan itu, maka ia akan kembali kc Atjeh dengan scgera, buat memimpin pemberontakan disana. Lalu ia berpesan pula kepada orang Atjch, katanja: ,,Orang Atjch djangan putus asa! Tetapkan hati, tcguhkan iman. Masingmasing harus taat kepada kewadjiban! Dan Atjch berpantang takluk kebawah pemerintahan kaphe!" Jang telah dekat kepada bcrputus asa hanjalah Teuku Neh di Merassa. Segala sesuatunja itu tidaklah sckali-kali menjenangkan hatinja. Mau tidak mau ia membandingkan nasibnja dengan hal ichwal jang dipcrtuan besar Djenderal van Swieten, jang sedan bcrsenang-scnang di Keraton. Mungkin sedan asjik bcrmimpi hendak mentjiptakan suasana aman dan damai ditanah Atjch, dengan bantuan bala tcntaranja jang bcrdjumlah sckurang-kurangnja 6000 orang, siap dengan alat sendjatanja! Adakah orang itu memikirkan nasib peruntungan kawan, jang tcrtjampung kedalam kantjah pertempuran,'dan sedang ada ditcngah-tcngah pemberontakan, dan scnantiasa hidup tcrantjam? Karena telah menundjukkan djasa kc pada orang Belanda?. . . Demikianlah Neh berulangulang bertanja didalam hatinja. Lalu ia memikirkan pula: Tuan Djenderal dapat bersenang-scnang. Ia diwadjibkan mcrampas dan mendiami Dalam. Dan Dalam sudah ada dibawah kekuasaannja. Njawanja dipcrlindungi oleh berpuluh ribu putjuk senapan, beribu-ribu buah kclcwang, dan bcrpuluhpuluh putjuk meriam. Sebentar lagi ia akan mengangkat kaki dari tanah Atjeh, membawa pulang seluruh bala tcntaranja. Kotaradja jang katanja ada dibawah kekuasaannja, akan ditinggalkannja! Dan seluruh daerah-daerah jang belum pcrnah diindjakn ja barang sclcngkah, akan ditinggalkannja pula. Dan sedangkan selama ia disini, sudahlah njata bahwa ia tidak dapat menundukkan Polim beserta kawan-kawannja. Apalagi djika ia telah meninggalkan Atjeh pula! Akan scmakin besar kekuasaan Polim beserta kawan-kawannja dari jang sudahsudah. Dapatkah Neh seorang diri bcrhadapan dengan Panglima-Panglima itu? Polim dan kawan-kawannja hanja menanti-nantikan ketika jang baik sahadja. Djika Tuan Djenderal telah mengangkat kaki dan meninggalkan Atjch, didalam sckedjap mata Polim dapat merebut kembali Dalam jang dikatakan oleh van Swieten sudah dikuasainja itu! Didalam hal jang demikian djalan kc Mcrassa untuk Polim dan lasjkarnja akan terbuka scluas-luasnja. Tak ada seorang jang dapat mempcrtahankannja. Disamping Polim dengan lasjkarnja, masih ada pula Nanta dari 6 Moekim, orang sebclahnja! Dengan sclangkah sadja Nanla telah ada di Merassa. Di 6 Moekim Nanta telah mendjadi Oeloebalang jang sah. Dan disampingnja adalah pula menantunja Ibrahim Lagmna, jang bcrpengaruh
^&rzjf^rz
Menguhng-ulang langkah disasaran lama besar di 6 Moekim, sama besarnja dengan pengaruh mentuanja. Bukankah Teuku Ibrahim sekarang bcrgclar Teufcu Tjjeli, jang berarti pemimpin! Tiap-tiap Neh teringat akan nama Lamgna itu, maka rasa tcrsemburlah dara dalam dadanja. Imam muda itu masuk golongan jang dinamakan ,,pantang tunduk" oleh orang Belanda. Djalan jang diketahui oleh golongan „pantang tunduk" itu hanjalah satu: Mereka tak suka dibawa-bawa bcrunding mentjari djalan damai atau sekurang-kurangnja djalan tengah. Dan djanganlah orang hendak mentjoba mcmbcli-beli djiwa golongan itu, hatta dengan emas bcrbungkal-bungkal! Ibrahim Lamgna pun telah bcrlaku setjara jang telah dilakukan oleh Imam Longbata, jaitu bertangguh keras buat menerima atau membatja surat jang hendak disampaikan oleh Tuan Djenderal kepadanja. Surat itu ditolak oleh Imam Longbata. Kepada pesuruh jang membawanja ia berkata: ,,Enjahlah engkau dari tempat ini! Dan djanganlah engkau mentjoba-tjoba mcmperlihatkan mukamu kepadaku sekali lagi, djika cngkau masih membawabawa barang nadjis seperti surat itu atau sesuatu pesan dari fihak kaphe, djundjunganmu! Adakah harapanmu hendak menurutkan djcdjak Widikdjo kencraka?" Demikianlah laku Imam Longbata terhadap depada surat Djcndcral van Swieten itu. Tcpi Teuku Kadli adalah suka menerimanja, lalu membatjanja pula. Didalam surat itu Djenderal van Swieten telah memberi djandji hendak mempcrbaiki Mesdjid Agung jang nanti akan djauh lebih besar dan lebih indah daripada Mesdjid jang seindah-indahnja ditanah Atjeh. Hati Teuku Kadli bagaikan bcrobat mendengar andjuran itu. Orang Belanda akan suka mengeluarkan uang sebanjak itu guna mengupah hati musuh jang sudah ditaklukkannja! Suatu kcmuliaan hati jang tidak ada bandingannja! Tapi ketika Teuku Kadli melahirkan pendapatnja jang serupa itu, maka naiklah darah Imam Longbata, lalu berkatalah ia dengan bengis: ,,Siapa jang takluk? Tjara apa takluknja! Dan apakah gunanja bagiku suatu Mesdjid pembcrian kafir! Adakah orang menjangka bahwa aku akan sudi berscmbahjang didalam suatu mesdjid jang dinodai oleh orang kafir, dan dihadiahkan oleh orang kafir selagi ia berkuasa dinegeri ini? Tjis! Nadjis! Haram!" Dan didalam surat itu Djcndcral van Swieten mengeluarkan djandji pula bahwa Gubernur Belanda akan mengganti rumah Teuku Kadli jang telah terpanggang ketika Belanda melalui kampungnja, dengan sebuah rumah jang lebih besar dan lebih indah lagi dari semula! Hati Teuku Kadli makin tcrharu mendengar perdjandjian jang serupa itu. Mesdjid jang dihantjurkannja hendak diganti, rumah Kadli jang dipanggang orang hendak diganti pula, lebih besar dan lebih indah daripada Mesdjid dan rumah jang musna! Bukan karena orang Belanda itu takut, sebab musuhnja memang sudah ditaklukkannja. Teuku Kadli menjadari nasib pcruntungannja. Dahulu ia telah atjapkali mendengar dari Teuku Neh, bahwa disamping kcganasan orang Belanda, banjak pula sifat-sifatnja, jang menundjukkan rasa peri kema-
71
72
Tjoet Nja Din
nusiaannja. Bukankah orang Belanda telah memberi kesempatan kepada wanitawanita serta kanak-kanak buat meninggalkan keraton lebih dahulu, sebelum mereka melepaskan peluru-peluru meriamnja? Mau tidak mau Teuku Kadli terpaksa membenarkan perkataan dan pendapat Teuku Neh dahulu. Agak menjesallah ia, karena ia dahulu menolak adjakan Teuku Neh buat sama-sama bersekutu dengan orang Belanda. Sebelum ia mengambil sesuatu keputusan, maka orang Belanda telah meninggalkan tanah Atjeh! Sekarang mereka kembali dan telah memegang tampuk kekuasaan! Sedang ia, Teuku Kadli, terpaksa mcmilih fihak Poliml Djalan buat mentjeraikan diri dari Polim dan Teuku Lamgna sudah tidak ada! Serba salah!. . . Demikianlah keadaan Teuku Kadli dalam diombang-ambingkan oleh nasib peruntungan itu, sebagai mangsa dari mulut manisnja Teuku Neh . . . Memang scsungguhnja amatlah sukarnja bagi Teuku Kadli buat mentjeraikan diri dari Panglima Polim beserta kawan-kawannja. Perbuatan itu oleh mereka akan dianggap menohok kawan seiring, dan akan tcrantjamlah njawanja. Teuku Neh pada gilirannja tidak putus-putus pula dalam berkira-kira dan memikirkan djalan apa jang sebaik-baiknja diturut untuk melepaskan diri dari segala kesulitan itu. Jang paling dikehendakinja ialah, djika orang Belanda suka mengumpulkan scpasukan tcntaranja di Mcrassa atau diperbatasan 6 Moekim. Alangkah aman fikiran Neh djika didekat-dekatnja ada serdadu Belanda jang akan dapat melindunginja, djika orang 6 Moekim hendak melampaui batas! Neh menjadari kebodohan bangsanja sendiri. Dari Pulau Pinang tidaklah berhenti-hentinja suruhan ke Atjeh, jang datang membawa pelbagai hasutan. Kata mereka, wanita-wanita Atjeh dan gadis-gadisnja akan diperkosa oleh orang kafir. Kanak-kanak akan disembelihnja. Harta benda orang Atjeh akan dirampasnja. Tak ada scusatu tempat sutji jang akan diperindahkannja. Kuburan, surau dan mesdjid akan dinodainja. Bukankah Perang Atjeh bcrarti perang Agama? Kepertjajaan mclawan kepertjajaan. Nasrani berlawan dengan Islam! Bukankah sudah njata bahwa orang kafir hendak memusnakan agama Islam? Dan menggantinja dengan agamanja sendiri, jaitu agama Nasrani? Neh sendiri mengaku dalam hatinja, bahwa menurut kenjataan pada pengalaman jang sudah lampau, belum banjak jang telah terdjadi buat menundjukkan kekedjaman-kekedjaman orang Belanda, setjara jang digambarkan oleh agenagen Pulau Pinang itu. Orang Merassa haruslah mengaku bahwa mereka telah mengalami sebaliknja. Tapi siapa tahu, djika orang Atjeh meneruskan pemberontakannja, darah orang Belanda makin mengalir, tidak mustahil djika mereka pada achirnja akan sampai djua kepada menundjukkan kcganasan dan kekedjaman, karena panas hatinja . . . Demikianlah perhitungan jang difikirkan oleh Neh dari sehari keschari. Hasutan orang-orang di Pulau Pinang itu setidak-tidaknja telah mcrugikan Neh. Telah banjak perempuan, gadis-gadis, jang meninggalkan Merassa, karena takut diperkosa. Sawah-sawah tinggal terbengkalai, kebun dan ladang telah merimba. Bcrarti mcrugikan Nehl
Mcngulang-ulang langkah disasaran lama Tetapi apakah dajanja? Djalan keluar tetap tak ada baginja. Semua djalan telah buntu. Achirnja mendjelmalah suatu fikiran dalam kalbunja, jang dianggapnja akan dapat mengatasi segala kesulitan. Maka diutusnjalah menantunja, Nja Mochamad, pergi bcrkundjungan ketempat kediaman tuan besar Djenderal di Dalam. Nja Moehamad harus mentjeriterakan bahwa rakjat Merassa sedang terantjam oleh Nanta. Oleh karena itu Nell mengharap supaja tuan besar Djenderal lebih dahulu sudi menempatkan tentara Belanda jang kuat di Merassa, bila tuan besar kelak meninggalkan Atjeh. Neh berpesan kepada menantunja buat menindjau dari air muka tuan Djenderal, bagaimanakah lakunja menerima permintaan Neh itu? Djika ia nampak segan-scgan akan menerimanja, haruslah Nja Moehamad membuka kartu. Artinja dengan djalan sindiran ia harus mendjelaskan kepada tuan Djenderal bahwa didalam hal penolakan membcri pendjagaan untuk Merassa itu, bagi orang Mcrassa hanja ada satu-satunja djalan jang terbuka. Hendak melawan dengan kckerasan kepada orang 6 Moekim, meskipun tak ada bantuan dari fihak orang Belanda, memang adalah suatu pekerdjaan jang sia-sia, karena tidak akan terlawan orang 6 Moekim jang ada dibawah pimpinan Nanta dan Ibrahim Lamgna itu! Djadi satu-satunja djalan buat orang Merassa hanjalah b e r s e k u t u dengan orang 6 Moekim, melawan orang Belanda! . . . Nefc menjangka bahwa dengan antjaman jang serupa itu Djenderal van Swieten akan takut. Lalu Nja Moehamad menjampaikan pesan itu kepadanja. Sudah tentu dengan segala kebidjaksanaannja, dan susunan kata-kata jang muluk-muluk pula. Tapi tegas! Djenderal can Swieten menerima kedatangan Nja Moehamad dengan ramah tamah. Tersenjum-senjumlah ia mendengarkan pesan Teuku Neh. Dengan sepintas lalu ia insjaf, bahwa pesan itu adalah mengandung ultimatum, jang sempurna dibungkus-bungkus dengan kata-kata jang manis. Lalu berkatalah ia dengan terus terang, memang sesungguhnjalah ia agak takut-takut. Hanja bukan takut kepada orang Mcrassa jang mungkin turut berontak , . . Jang ditakutkannja, tegasnja jang dichawatirkannja ialah tentang nasib orang-orangnja kelak, jang akan tinggal terpentjil dan tidak berkawan banjak dipintu neraka dunfa itu, sekiranja ia sampai memenuhi kchendak Neh, jang minta pendjagaan pada batas Merassa dengan 6 Moekim. Akan kuatkah Merassa melindungi mereka dari pada serangan pengiring-pengiring Nanta dan Lamgna, istimewa djika mereka disertai pula oleh Polim, Imam Longbata dan Teuku Bait beserta angkatan perangnja? . . . Pendck kata, Djenderal van Swieten berkata dengan terus terang bahwa ia tidak sekali-kali hendak menjuruh duduki daerah kekuasaan Nanta dengan anak buahnja. Tapi guna mcmbalas djasa Teuku Neh, hanja satu sahadja jang dapat dilakukannja. Ia hendak mengirimkan ultimatum kepada Oeloebalang Nanta, jang mengandung tuntutan: ,,supaja Nanta mengirimkan naskah perdjandjian kepada Djenderal van Swieten sebelum tanggal 25 Maret jang akan datang. Dida-
73
74
Tjoet Nja Din
lam naskah itu harus didjandjikan oleh Nanta, bahwa ia buat kemuka akan hidup aman dan damai dengan Teuku Neh di Merassa, dan tidak akan mengganggu-ganggu lagi kescnangan orang scbelah itu. Djika Nanta tidak suka membcri perdjandjian itu kepada orang Belanda sebelum tanggal 25, maka kampungkampung di 6 Moekim akan dihantjurkan dengan peluru-peluru meriam dari laut!" Hanja sekian jang dapat didjandjikan oleh Djenderal can Swieten. Neh boleh menjenang-njenangkan hatinja buat kemuka . . . Tapi dengan maksud jang hendak dilakukan oleh tuan Djcndcral itu, Neh adalah djauh daripada hendak bcrscnang hati, bahkan scbaliknja. Bukankah ultimatum semaljam itu berarti seolah-olah membangunkan andjing tidur? Mustahil Nanta akan dapat digertak sematjam itu dengan antjaman jang demikian? Sudah tentu hatinja makin panas terhadap Neh, musuhnja dari dahulu. Dengan ultimatum van Swieten itu akan tahulah Nanta bahwa Neh sedang merenjeh-renjeh dibawah scpatu djundjungannja, mengadukan musuhmusuhnja kepada orang Belanda! Bukankah itu sama dengan menjiram api jang hendak berkobar dengan minjak tanah? Apa boleh buat! Djika tuan besar Djenderal telah berkata demikian, siapa pula jang akan dapat menjurutkannja? Makin sulit kedudukan Neh. Makim bimbang hatinja. Tapi sebab sudah terlandjur, terpaksalah ia menantikan apa jang akan tcrdjadi sahadja atas dirinja. Nanta menerima ultimatum van Swieten itu dengan amarah. Teuku Lamgna memperkatakannja lebih dahulu dengan Din. Sesudah itu mereka mengambil keputusan bahwa surat Belanda itu tidak akan dibalas. Enam buah kapal Belanda mentjari tempat bcrlabuh dimuka Rawa Tjangkul. Dari pukal 12 tengah hari sampai pukul 5 pctang meriam tidak berhentihentinja memuntahkan pclurunja kckampung-kampung Sabang, I .mtik dan Lamtengah. Setelah matahari terbenam, maka asap tcbal jang mengcpulngepu! keluar dari sekalian rumah jang dibakar, beraraklah mclintasi paja-paja menurutkan haluan angin. Sesudah selesai pemboman kampung jang dilakukan oleh orang Belanda setjara kedjam itu, maka Neh tidak heran lagi menerima berita dari sekalian mata-matanja, jang berkata bahwa 6 Moekim sedang bcrsiap-siap hendak menjerbu ke Mcrassa setjara besar-besaran. Disamping itu mereka mengumpulkan pula segala bala bantuan dibawah pimpinan Imam Longbata dan Radja Pcdic, buat merebut kembali Kotaradja dari tangan orang Belanda. Sclagi di 6 Moekim disiapkan segala parit dan kubu-kubu pertahanan jang ditimbang perlu, sedang para panglima membawa turun seluruh angkatan pcrangnja beserta alat sendjata dan bendera-benderanja, mclangkah menudju arah kekcraton, maka Djenderal van Swieten beserta anggota markas besarnja turunlah dari istana, lalu menudju ketepi laut dan menaiki pcrahu-pcrahu kebesaran serta memcrintahkannja bcrdajung kckapal pcrangnja dengan tergesa-gesa. Sebab, kata Panglima Tertinggi dari angkatan Perang Belanda, Djenderal van Swieten: „TUGAS KETENTARAAN JANG DITENTUKAN UNTUK-
Mengulang-ulang langkah disasaran lama NJA, TERMAKTUB DIDALAM INSTRUKSI DJENDERAL, KOMISARIS UNTUK ATJEH, TELAH DITUNAIKANNJA. KERATON SULTAN SUDAH DIRAMPASNJA! SULTAN TELAH L A R I . . . . HABIS PERKARA! Didalam Keraton jang sedang terantjam itu tinggallah Koloncl Pel, jang telah diangkat mendjadi ,,Civiel en Militair Commandant van Atjeh", serta diberi pengawal bersendjata scdjumlah 3000 orang. Kcdjadian itu bcrlaku pada tahun 1874, jaitu tanggal 26 April. Maka pada tanggal 27, esok harinja, Lamgna membawa rakjat Nanta jang ada di 6 Moekim, menjebcrang Rawa Tjangkocl dan Sungai Ning, lalu masuk menjerbu ke Merassa. Dengan segala gemas dan bengisnja increka mendjatuhkan hukuman dikampung-kampung. Didalam sekedjap mata seluruh kampung itu telah musna mendjadi lautan api. 250 buah rumah telah merata dengan tanah, sedang api jang mengamuk tinggal menghabiskan segala runtuhanruntuhan, jang belum mendjadi abu. sahadja. Kaum perempuan dan kanak-kanak larilah bertjerai-berai meninggalkan segala harta bendanja dikampung. Banjakalah diantara mereka jang mentjari tempat pcrlindungan dikemah-kemah tempat kediaman tentara Belanda. Kolonel Pel menimbang perlu buat menjertai perkelahian anak buah Neh itu, melawan lasjkar Nanta jang datang menjerbu. Achirnja mundurlah Teuku Lamgna dengan sekalian angkatan pcrangnja. Mereka terpaksa kembali kc 6 Moekim, kekampungnja sendiri, buat berdjagadjaga disana. Ketakutan Neh telah memuntjak. Demikian pula halnja dengan sekalian penduduk Merassa. Meskipun didalam pertempuran jang pertama mereka telah memperolch kemenangan, tapi djika orang 6 Moekim datang sekali lagi, apa lagi djika Panglima Polim menjertainja, nasib mereka sudah dapat dipastikan. Lalu mereka meminta bantuan orang Belanda, buat terus mencrus mendjaga di 6 Moekim. Tentara Belanda, barisan artilcri, sedang sibuk menangkis scrangan orang Atjch, jang datang dari Selatan hendak menjerbu Keraton. Sementara itu meriam-mcriam tidaklah berkeputusan menghudjani Longbata dengan granatgranat. Pekerdjaan itu dilakukan oleh orang Belanda dari hari kehari. Sesudah itu baharulah bala bantuan angkatan perang Belanda dapat menolong orang Mcrassa. Dengan seketika mereka telah menduduki Oleh-leh, lalu mempcrkuat tempat pertahanan dekat Blang Oi. Orang 6 Moekim tidak hendak membiarkan mereka bcrsenang-senang, tinggal menetap ditepi kampung itu. Maka timbullah perkelahian hebat disawahsawah datar, jang ada disckitar Blang O i , . . Blang Oi! Tempat orang 6 Moekim bcrtempur dengan orang Belanda jang ditjampuri oleh penduduk Mcrassa itu, kebctulan sekali ialah disawah-sawah Blang Oi, tempat orang 6 Moekim bertempur dengan orang Merassa dahulu, 25 tahun jang telah lampau, jaitu sebagai akibat dari pembunuhan Hadji Said. Sekarang, diwaktu Atjch sedang mem-
75
76
Tjoet Nja Din
pertahankan tanah airnja dari pada pengganasan kaphe, kedua kampung itu diberi djalan pula buat melepaskan dendam lama diatas tanah jang digunakan dahulu djua. Maka pertempuran kedua kampung, jang boleh dikatakan „mengulang-ulang langkah disasaran lama" itu, atau mcmbaharui persengketaan antara Nanta dengan Neh, mungkin akan bcrlama-lama, sampai tak ada seorang lagi jang tinggal hidup. Demikianlah mendalamnja dendam antara orang-orang jang bersebelahan kampung itu. Tapi untunglah Tuhan dan Musim tidak mengizinkan orang Muslimin dengan orang Muslimin berbunuhan, selagi orang kafir masuk mcmperkosa kedalam rumah, apalagi karena disatu fihak orang „Muslimin" ada serta orang kafir jang membantu. Sungguh adjaib pcruntungan manusia itu! Pada ketika itu musim telah sampai kepada bulan Juni. Hudjan lebat turun dengan tidak berkeputasan. Sungai-sungai meluap dari pantainja, membandjiri lembah Atjeh dengan segala hebatnja. Kumah-kemah, parit-parit dan kubu-kubu digenangi air, sehingga tak mungkin akan ditinggali manusia lagi. Berhadapan dengan musuh serupa itu, tak ada seorang panglima perang jang berani, serta akan kuat. Masing-masing menghindarkan diri dari tempat jang kebandjiran itu, lalu mentjahari djalan pulang. Lamgna pulang mendapatkan Din, orang Merassa pulang kebekas-bekas kampung dan rumahnja, dan orangorang Belanda kembali ketempat-tempat kediaman jang telah ditentukan untuk mereka. Tapi Teuku Neh tak usah lagi memikirkan djalan menghindar buat menjelamatkan dirinja. Dengan takdir Allah Subhana Wataala pada tanggal 19 Agustus tahun 1874, tersiarlah kabar bahwa Teuku Neh telah sampai kepada adjalnja dengan tibatiba. Kata desas-desus karena diratjun orang! Wallahu'alam! Puteranja, Nja Abas, telah menggantikan kebesarannja jang terluang itu. Buat kemuka Nja Abad dikenal dengan nama Teuku Neh Moeda Radja Setia dari Mcrassa. Iapun menurutkan djedjak ajahnja, lalu mcnjatakan tunduk kepada orang Belanda. Didalam kronik orang Belanda dikatakanlah: ,,Meskipun didalam barisan kekeluargaan bangsawan Neh timbul perubahan, karena wafatnja Oeloebalang sahabat kita, tapi tali pcrsahabatan kita dengan keturunan Neh tidaklah putus, mclainkan tinggal crat dan kukuh djua."
ORANG BELANDA HENDAK MEMBAWA KEMAKMURAN KETANAH ATJEH Kolonel Pel, jang telah diangkat mendjadi Djcndcral, telah membcri pukulan kepada Atjch jang sehebat-hebatnja. Mula-mula diserbunja Longbata. Amat seru pcrtempuran disana. Fihak jang menggempur dan fihak jang mempertahankan sama-sama tidak memangtangkan lawan. Orang Belanda mengctahui bahwa tegak atau djatuhnja Atjeh semata-mata tergantung pada pertempuran jang mcndahului itu. Mereka berkejakinan bahwa jang terlebih dahulu harus dipatahkan ialah semangat orang Atjch untuk bcrperang, jang pada ketika itu sedang mcluap-luap. Djika semangat mereka masih memuntjak, setapak orang Belanda tidak akan dapat masuk kepedalaman Atjeh Paling banjak mereka hanja dapat bertahan di Keraton sahadja. Sedangkan Keraton itupun tidak pula dapat dipertahankan berlama-lama, selama semangat orang Atjeh itu belum berkurang. Kesudahannja ekspidisi jang kedua pastilah akan menurutkan djcdjak ekspidisi jang pertama, jaitu kembali ketanah Djawa meninggalkan tanah Atjch. Itulah sebabnja maka tentara Belanda jang menggempur Longbata itu, telah melakukan kewadjibannja setjara mati-matian. Orang Atjeh difihaknja pun membuat perhitungan pula. Djatuhnja Longbata berarti membuka djalan bagi orang Belanda buat melebarkan djadjahan kekuasaannja, mungkin sampai kepegunungan. Maka djika semangat rakjat telah patah, akan sulit pula untuk mengapikannja. Jang melemahkan tenaga orang Atjch dalam menghadapi musuhnja, ialah keadaan perbandingan sendjata. Baik tentang banjak, maupun tentang rupanja sendjata, fihak orang Belanda adalah djauh lebih baik daripada orang Atjch. Orang Atjch hanja dapat bcrsandar kepada kelewang, rcntjong serta lembingnja sahadja. Bcdil sitinggar jang ada pada mereka, adalah bcrdikit-dikit, hampir seluruhnja buatan mereka sendiri, diisi dengan mesiu dan peluru timah jang dituangnja sendiri pula. Dari Pulau Pinang adalah diterima djua scnapan jang agak modercn, tapi banjaknja hanjalah scpuluh dua puluh putjuk sahadja. Sekalian mcriam-meriam pcninggalan orang Portcgis jang dipergunakan di Kotaradja, semuanja djatuh ketangan orang Belanda, dan telah dipasak pula. Sementara itu seluruh tentara Belanda telah bersendjata scnapan bumon, malah amat banjak pula scnapan repcteer jang dipergunakan oleh mereka. Meriam-meriam orang Belanda dapat memuntahkan granat, peluru api dan sebagainja. Didalam hal jang demikian, peperangan itu pada adat tidak akan dapat berlangsung berlama-lama, karena fihak jang datang mcnjcrang pada hakekatnja bukanlah lawan bagi fihak jang bertahan. Perbandingan itu sangatlah pintjangnja. Tapi mcndalamnja rasa tjinta kemcrdekaan, tjinta tanah air dan taat kepada agama difihak orang Atjeh, telah memberi kekuatan kepada mereka buat bertahan berlama-lama.
78
Tjoet Nja Din
Pertempuran di Longbata itu meminta kurban njawa dari kedua belah fihak, jang tidak terkira-kira banjaknja. Imam Longbata beserta anak buah dan kawankawannja mempertahankan kampung jang telah hantjur luluh itu dengan tidak mempcrhitungkan njawa sendiri. Tentara Belanda jang rubuh bertimbuntimbun, membandjiri kampung dengan darahnja bersama-sama dengan orang Atjeh. Bilangan orang jang gugur bcrtambah-tambah djua dengan tidak berkeputusan. Scbanjak orang jang gugur, sebanjak itu pula orang jang didatangkan. Sementara itu sekalian kampung-kampung jang bcrhampiran dengan Longbata tidak pula berkeputusan daripada dihudjani granat, sehingga bagi orangorang Atjch jang bertahan di Longbata, sangat sulit untuk mentjari djalan menghindar. Maka terpaksalah mereka bertahan di Longbata, dengan tekad penuh untuk mendjual njawa dan tanah sctumpak itu dengan harga jang setinggi-tingginja. Akan tetapi achirnja djatuh djualah Longbata. Sekalian benteng pertahanan jang kuat-kuat terpaksa ditinggalkan, satu demi satu, karena jang mempcrtahankannja sudah tidak kuat lagi menghadapi tenaga-tenaga granat, jang datang bagaikan hudjan lebat menimpa benteng-benteng itu. Sekalian peradjurit Belanda jang datang menjerbu, memang dapat dirubuhkan dengan djalan mengadu kekuatan dan kedjantanan hati setjara seorang lawan seorang. Tapi apakah daja orang jang mempertahankan benteng, djika sendjata musuh jang dilepaskan dari djarak djauh itu, turun bagaikan hudjan dari angkasa, sedang musuh jang mempergunakannja tidak dapat dihampiri, bahkan tidak kclihatan sama sekali. Sendjata-sendjata jang turun itu tidak pula dapat diclakkan atau ditangkis, malah tidak dapat dikira-kira dari mana datangnja, dimana ia akan djatuhnja, dan kemana kiranja harus menghindarkannja. Djalan satu-satunja bagi orang Atjeh, hanjalah keluar, meninggalkan tempat pertahanan itu. Longbata djatuh! Lebih dahulu kampung itu telah dikosongkan oleh penduduknja. Sesudah kampung itu didukuki oleh orang Belanda, maka sawah -sawahpun telah didjadikan kemah-kemah oleh mereka. Sedangkan Mesdjid Agung, jang dipandang Sutji oleh penduduk Negara Islam jang bcrnama Longbata itu, telah diperbuat oleh tentara Belanda mendjadi tempat kediaman darurat. Dipuntjak Mesdjid mereka telah mengirarkan benderanja jang terkutuk! Serdadu-scrdadu dari kctentaraan Belanda telah memperbuat tempat ketidurannja sampai-sampai kesckitar mimbar! Disana mereka tidur bcrbaring dengan scpatu-scpatunja! Sedangkan h'alaman Mesdjid telah berubah mendjadi kamar tidur, gudang dan dapur tentara. Air Sutji jang ada didalam kolam, dipergunakan oleh mereka untuk bcrtanak dan mentjutji pakaiannja, beserta pctjah belah dan pcrkakas dapur! Sekalian pahlawan dan peradjurit jang mempertahankan Longbata, telah keluar dari kampung pcrpusatan Islam itu. Hanjalah Imam Longbata jang tidak kclihatan ditcngah-tcngah mereka. Masing-masing bcrtanja kepada kawan: ,,Kemanakah Tuanku Imam?" Imam, jang mendjadi djiwa pertahanan Longbata, tidak nampak menjertai
Orang Belanda hendak membawa kemakmuran ketanah Atjeh kawan-kawannja keluar kampung itu. Imam jang telah bersumpah lebih baik sahid daripada tunduk kepada orang Belanda, kemanakah dia? Tak ada scorangpun jang dapat membcri keterangan. Setengah orang berkata bahwa Tuanku Imam telah sahid, setengah mcmbantahnja pula. Tapi tiap-tiap orang bcrkejakinan bahwa Imam tidak tertangkap atau menjarah kepada Belanda. Jang pasti hanjalah bahwa ia tidak ada. Ada pula tjeritera jang mengatakan, bahwa Tuhan masih memelihara njawa Imam, karena selama Imam masih hidup, seluruh orang Islam di Atjch harus berasa bahwa pemimpinnja masih ada bescrtanja. Akan lebih kuat tegak mereka, akan tetap meluapnja semangat melawan kafir. Dan oleh karena itu, kata tjcritcra-tjcritcra itu, Imam jang sakit keras dan tidak bcrdaja untuk sementara waktu, sedang bcristirahat dipegunungan. Imam diketahui tidak ada (mungkin menghindar) ialah pada tanggal 1 Desember tahun 1874, jaitu ketika api peperangan sedang sehebat-hebatnja berkobar di Longbata. Malah tjeritera-tjeritera itu mencntukan pula tempat Imam bcristirahat itu, jakni di Lampadang, jang tcrlctak disebcrang Sungai Atjeh, dalam Sagi 26. Djadi jakinlah orang Atjeh bahwa: Meskipun Longbata djatuh ketangan kaphe, tapi Imam masih hidup, tidak takluk. Berarti bahwa rakjat Longbata, rakjat, Atjeh, tidak pula takluk kepada kaphe. Orang Atjeh memang telah mendapat pukulan keras, tapi mereka tidak hendak tunduk! Rakjat Longbata tidaklah kembali lagi kekampung halamannja, jang sudah hantjur luluh dan sudah diperkosa serta dinodai oleh kaphe. Mereka menurut tjontoh jang telah diberikan oleh Imamnja. Mereka sama pula mentjari tempat pcrlindungan dan tempat kediaman jang lain. Disana mereka akan bcristirahat, sambil mengasah-asah kelewang jang nanti akan dipcrgunakannja pula pada masa kctikanja. Mereka sama membclakangi kampungnja, jang hanja dapat menundjukkan bckas-bekas tempat rumahnja berdiri sahadja. Runtuhan kampung Longbata akan dapat bcrtjeritcra, bahwa djenazah Sultan Atjeh hanja dapat dimakamkan disana untuk sehari scmalam sahadja! Didalam pidato-pidato jang pcrnah diutjapkan oleh Alim Ulama dimukamuka Umum, atjapkali tcrdengar nasihat mereka, jang bcrbunji: ,,Bilamana kampung halamanmu dapat dirampas serta diduduki oleh kafir, djanganlah kamu tinggal duduk, mclainkan tcgaklah dan mclangkahlah pada saat itu djua!" Nasihat para Ulama itulah jang dipegang tcguh oleh penduduk Longbata, laki-laki perempuan, besar kctjil, tua dan muda. Maka tcgaklah mereka screntak, lalu keluar meninggalkan kampung. Sekalian laki-laki jang kuat-kuat, sama menggabungkan diri kepada Iasjkar-lasjkar liar jang berkeliaran dimana-mana, siap scdia dengan alat sendjata untuk mempertahankan tanah air. Anak-anak perempuan mentjempungkan diri kedalam masjarakat, jang mendiami kampungkampung sckcliling Longbata. Jang keluar itu kebanjakan mengarahkan langkah kcsebelah Selatan, kc 9 Moekim jang dikuasai oleh Teuku Poerba, dan ke Timur menjebcrangi Sungai Atjch, kedaerah Sagi 26. Kebanjakan laki-laki telah menggabungkan diri, serta bcrnaung dibawah
79
So
Tioet Nja Din
pandji Teuku Hoessin, jang diterima olehnja dari Imam Longbata, saudaranja. Dengan djalan membcrikan pandji itu kepada saudaranja, Imam Longbata seolah-olah tidak hendak mentjeraikan diri dari sekalian kawan seperdjuangannja. Bahwa scsungguhnjalah sekalian pahlawan jang bernaung dibawah pandji itu, sama berasa, bahwa Pemimpin ulung, Imam Longbata, masih turut bertempur ditcngah-tengah mereka. Masing-masing taat dan patuhlah kepada perintah Teuku Hoessin. Parit-parit baru segeralah digali. Demikianlah pula kubu-kubu baru disiapkan dengan diam-diam, tapi tcrgesagesa dimuka Mesdjid Longbata, jang diharapkan akan segera dapat direbut kembali. Dari hari kehari, pekan kepekan, bahkan dari bulan kebulan tidaklah merek* bcrhentihentinja dari pada mengganggu kescnangan kaphe, jang menduduki Mesdjid Agung itu. Dan sementara itu padi disawah sekcliling Mesdjid itu, antara kampung Longbata jang telah hantjur, dengan kampung.-kampung. Blang Tjoet dan Penjarat jang masih siap bertempur, telah menguning. Meskipun negeri sedang hiruk pikuk dan tcrpanggang, tapi alam tak putus-putus meneruskan perdjalanannja membawa dunia madju selangkah kepadang kemakmuran. Ditimpa oleh sinar matahari tcrik, jang bersinar ditengah-tcngah musim kemarau, daun-daun padi jang hidjau bersih, bcrangsur-angsur mendjadi mcrah tua kckuning-kuningan, sambil mengeluarkan rangkaian-rangkaian padi jang sempurna besarnja, serta bcrisi pula. Pada tengah-tcngah malam buta, rakjat jang mutlak mendjadi pemulik padi itu, karena ditanam diatas sawahnja dengan mengalirkan pcluh keringat sendiri, datanglah dengan diam-diam dan bersembunji-sembunji mengctam hasil tanamannja itu, karena ia dan anak bininja harus makan. Kadang-kadang tcrdengarlah suara scnapan jang melctus, jang datangnja dari mesdjid. Salah seorang pengawal dari barisan ketcntaraan kaphe dapat mclihat ditempat gclap, bahwa ada ,,orang ,,djahat" (!) jang ,.sedang mentjuri padi" (!!) lalu ditembaknja! Djika hasil daripada tembakan-tembakan dengan senapan itu dianggap kurang memuaskan, maka ,,diadjarlah" ,,djahatdjahat" dengan granat-granat meriam! Maka hasil padi pemberi Tuhan dan Alam itu tinggallah sia-sia disawah, terbuang-buang mendjadi makanan unggas. Rupanja orang Belanda lebih suka menghadiahkannjake pada unggas daripada kepada orang Atjch!. . . Meskipun hudjan telah turun dan musim kemarau telah mclampau, tapi sawah-sawah jang makmur dahulu itu, tinggal mendjadi semak-scmak, tak ada orang jang dapat mengcrdjakannja. Sebab orang Belanda telah mendirikan tiga buah benteng disekitarnja. Sckiranja sukma Imam Longbata tidak tinggal hidup ditcngah-tengah rakjatnja, mungkin rakjatnja itu akan mati kclaparan. Tapi Imam masih ada beserta mereka. Semasa ia masih kuat, ,,perang kumpcuni" belum petjah, Imam Longbata jang terbilang kaja raja, telah mengumpulkan emas bcrbungkal-bungkal. Sesudah ia meninggalkan Longbata, maka scbahagian besar daripada emas dan segala hartanja itu djatuh ketangan ahli warisnja. Untunglah, karena ahli waris Imam itu, tidaklah hendak mempcrgunakan emas serta harta benda itu untuk memuaskan hawa nafsu sendiri, melainkan mereka membagi-bagikannja kepada
Orang Belanda hendak membawa kemakmuran ketanali Atjeh
81
rakjat Tuanku Imam jang telah hidup sengsara karena perang. Selainnja jang ada ditangan ahli waris itu, ketika rumah Imam dibakar oleh tentara Belanda, masih adalah kesempatan padanja buat menjuruh budakbudaknja melarikan beberapa peti dari tempat jang berbahaja itu. Peti itu berisi emas, ada jang berupa emas berpadu, bcrupa emas pasir, kimpal, emas kertas, dan ringgit-ringgit peninggalan orang Sepanjol. Maka peti-peti itu disuruh simpannja dipegunungan, didacrah kekuasaan Panglima Polim. Sebelum mcnghilang dari Longbata Tuanku Imam adalah berpesan, djika rakjatnja jang mempertahankan Atjeh dikemudian hari sampai kepada mendcrita hidup sengsara, hendaklah seluruh peninggalannja dipergunakan untuk menghidupi rakjat beliau itu. Oleh karena sekalian fihak sangat mengimankan akan wasiat dan amanat itu, maka orang Longbata jang tidak dapat menuai padi dan tidak pula dapat menanam, didalam pergolakan itu tidaklah menanggung kclaparan. Segala sesuatunja itu telah terdjadi pada achir tahun 1874, dan dalam bulan pertama dari tahun 1875.
TERPAKSA MENGHINDAR Sementara Longbata mendcrita bentjana-bentjana itu, di 6 Moekim njata orang tidak tinggal diam. Sekiranja Teuku Neh tjukup mempunjai staf mata-mata jang ulung serta pilihan, mungkin Djcndcral Pel telah lama akan mendengar, bahwa di 6 Moekim api sedang makan dalam dedak. Tapi orang Belanda rupanja tidaklah mengctahuinja, karena mereka njata telah membiarkan sadja apa jang tcrdjadi atau akan terdjadi didaerah kekuasaan Nanta itu. Hanja orang jang berdekatan dengan 6 Moekim dan dengan Nanta, pemimpinnja sadja, jang telah menaruh sak hati, bahwa csok Iusa di 6 Moekim pastilah akan terdjadi sesuatunja. Bcrbulan-bulan lamanja didalam tahun 1875, suasana didacrah Nanta mendjadigentingbertambah genting. Lasjkar-lasjkar rakjat nampak datang bcrtobohtoboh, lalu bcrkumpul-kumpul disana. Pcmimpin-pemimpin rakjat nampak pula datang bcrganti-ganti kc 6 Moekim dengan tak tentu apa jang ditjarinja. Dengan diam-diam mereka telah keluar pula, kembali ketempat kediamannja masingmasing. Pcmimpin-pemimpin di 6 Moekim sendiri atjapkali pula nampak meninggalkan kampung dan tinggal diluar berlama-lama. Kian lama kian banjak dan makin scringlah pcmimpin-pemimpin dari luar nampak datang ke 6 Moekim. Umpamanja: Teuku Tshch Ibrahim Lamgna, menantu Nanta Setia, Teuku Hoessin dari Longbata, saudara dan ganti Imam Longbata, Teuku Alomg, saudara Panglima Polim, Kadang-hadang Panglima Polim sendiripun kclihatan pula datang kc 6 Moekim. Dan nampak pula Teuku Bail dari 7 Moekim, Teuku Poerba jang sudah tua dari 9 Moekim, tetangga 6 Moekim. Sedangkan Nanta Setia, pemimpin 6 Moekim sendiri, makin djarang keluar, tapi kebanjakan tinggal dirumah sadja. Insjaflah sekalian orang jang arif, bahwa di 6 Moekim sedang dirantjangrantjang peperangan besar-besaran menghadapi orang Belanda. Pcrsckutuan orang Atjch memang sangat tcguh bila mereka sedang menghadapi musuh bersama jang datang dari luar. Hanja sajang sedikit, antara Panglima Polim dengan Teuku Bait kabarnja sedang timbul rctak pula. Petjahlah rahasia jang mengatakan bahwa Ziai't dan Polim sedang bertcngkar pula fasal barang-barang perhiasan milik istana, jang ada didalam simpanan Teuku Bait. Ketika Keraton dikosongkan, maka barang-barang perhiasan milik istana itu dipertjajakan kepada Teuku Bait buat disimpan. Kabarnja Panglima Polim menuntut dikcmbalikan barang-barang itu dari Teuku Bait, karena Polim hendak mempertjajakannja kepada Tuanku Hasjimi putera Sultan. Hati Bait djadi tcrsinggung karena tuntutan Polim itu. Pada pendapatnja, sebagai ipar Radja Socleiman iapun ada sama berhak menaruh barang-barang istana itu dengan siapapun djua. Bukankah djanda Radja Solciman ialah adik kandungnja? Luar daripada pcrsclisihan antara kedua panglima itu, Polim kontra Bait, adalah pula terdjadi sesuatu hal jang mengcruhkan suasana, dan mungkin akan merctakkan perpaduan.
Terpaksa mcnghindar
83
Sampai kepada saat itu, Atjeh masih belum mempunjai Sultan. Sultan Machmoed jang mangkat, masih belum diganti. Bahwa scsungguhnja Dalam sudah djatuh, tapi tiap-tiap Kcradjaan selajaknja harus mempunjai Sultan. Tambahan pula penjerbuan kc Dalam jang hendak dilakukan untuk mcrcbutnja kembali dari tangan kaphe, banjak pula bergantung kepada adanja Sultan, jang akan mendjadi lambang persatuan Keradjaan. Setelah berunding pandjang dan timbang-menimbang, para Pembesar Kcradjaan mendjatuhkan pilihannja atas diri Teuku Daoed, salah seorang putera Sultan jang belum sampai umur. Dimaksud hendak menobatkan Teuku Daoed di Mesdjid Agung Indrapoera, suatu Mesdjid jang dianggap maha sutji, dan terletak dipegunungan, didaerah pemerintahan Panglima Polim. Pada hari penobatan Sultan itu dimaksud pula hendak mengangkat Wali Sultan. Pilihan djatuh atas diri Tuanku Hasjim. Tapi Tuanku Hasjim sendiri, seorang Panglima Perang jang ulung dan tcrnama, bcrpendapat bahwa adalah sangat berpatutan djika ia sendiri jang dinobatkan mendjadi Sultan. Pembesar-pembesar jang berhak mengangkat, sebenarnja tidak dapat mcngatakan bahwa Tuanku Hasjim tidak berpatutan mendjadi Sultan. Hanja masing-masing pembesar sama menaruh kcjakinan bahwa didalam suasana jang katjau balau itu, buat sementara waktu, sebaik-baiknja untuk segala fihak djanganlah hendaknja Sultan itu tcrpilih dari orang-orang jang bertangan besi. Oleh karena kata sepakat belum dipcro'eh, maka soal pengganti Sultan itu tinggal mendjadi soal sadja. Demikianlah gambarnja suasana, selagi pemuka-pemuka Atjeh merantjangrantjang siasat buat menggempur orang Belanda itu. Tapi sebagai telah dikatakan, dalam perkara menghadapi musuh bersama, keadaan orang Atjch sebagai terikat dalam simpai jang teguh. Oleh karena itu pcrmusjawaratan tentang penggempuran kaphe jang sedang dirantjang-rantjang itu, disambung pula, malah mendjadi lebih hangat dari semula. Bukan rumah Nanta Setia sahadja jang dikerumuni orang. Tapi kctempat kediaman menantunja, Teuku Tsjeh Lamgna di Lampadang, kerumah Tjoet Nja Din, banjaklah orang dari djauh-djauh jang datang berkundjungan, Sedangkan orang dari kampung-kampung bcrhampiran pun banjak pula jang datang bcrkumpul kesana. Jang banjak nampak disana tcrutama ialah para Ulama dari luar-luar Lampadang, umpamanja Teungku Koetakarang, seorang ulama jang bengis, penaik darah; kadang-kadang nampak pula Ulama jang telah tua dan sangat tcrpandang dari Tiro, jaitu pcrpusatan gerakan agama Islam jang tcrlctak
di Pedie. Tamu-tamu jang mulia itu biasanja duduk bcrmusjawarat diruangan muka dari rumah Tjoet Nja Din. Disana ditindjau laba ruginja perang sabil, diperkatakan hal ichwal derma untuk kas perang sabil jang telah ditcrima dan akan diterima dari orang banjak. Sehabis bcrmusjawarat, para Ulama itu scmbahjanglah bersama-sama, dan pcrmusjawaratan itu sclalu ditutup dengan ratib. Maka gcmuruhlah suara ratib itu diseluruh kampung, dan rasa diapikan pula semangat penduduk karenanja. Setelah kumpulan itu sclcsai, lalu bcrangkatlah sekalian Ulama, Kepala-
84
Tjoet Nja Din
Kepala dan Panglima-Palnglima itu ketempat jang lain dipegunungan. Disanalah satu kampung mereka berkumpul pula, dan dibuka pulalah sidang-sidang permusjawaratan. Jang mendjadi soal pembitjaraan hanjalah satu: perang sabil. Salah satu tempat bcrrapat telah ditctapkan dimesdjid Oleh Karang di Sagi 26. Disana dipadu maksud untuk mcrebut Mesdjid Longbata kembali dari tangan kafir dengan lasjkar 10.000 orang banjaknja. Banjaklah kerbau jang sudah disembclih, disegala surau jang ada dikampung itu, orang sibuk ratib, tapi penjerbuan di Longbata itu tidak djadi dilangsungkan. Tak ada seorang jang dapat mengatakan apakah sebabnja, maka maksud itu diurungkan. Tapi meskipun demikian, suasana tetap genting. Hawa tinggal bermuatan serat dengan aliran-aliran listrik. Dari Pulau Pinang adalah kabar. Bunji pesan dari sana ialah: „Bertahan terus! Kerugian Belanda adalah demikian besarnja, sehingga Betawi hampir-hampir tak dapat lagi memenuhi segala permintaan tambahan tentara, jang dilakukan oleh kawan-kawannja di Atjeh. Oleh karena itu tetaplah mengapikan dan menundjang pemberontakan." Habib Abdoerrachman masih ada ditanah Melaju. Orang masih ragu-ragu tentang maksudnja jang scbenarnja. Tapi adalah kabar-kabar, bahwa ia atjapkali kelihatan datang berkundjungan keistana Sultan Djohor. Pada hal Sultan itu dikctahui orang bersahabat baik dengan ,,kumpeuni". Tapi ada pula orang jang mengatakan, bahwa kiriman alat-alat sendjata dari Pulau Pinang untuk orang Atjeh, tcrutama berlaku atas djasa Habib Abdoerrachman djua. Dan ada pula jang berkata, bahwa Habib sedang berichtiar mentjari perhubungan dengan orang Belanda, buat mentjari kata damai antara orang Belanda dengan Atjeh. Maksudnja ialah supaja ia kelak akan dapat mendjadi Pemangku Bumi di Keradjaan Atjeh, dibawah pcrlindungan orang Belanda! Itulah tjitatjitanja maka ia tinggal menetap di Pulau Pinang dan tidak hendak kembali ke Atjeh buat sementara waktu . . . Demikian bunjinja kabar-kabar jang datang dari Malaka. Tapi ada pula suara-suara jang membantahnja. Kata setengah orang pula: Tjita-tjita Habib Abdoerrachman hanja satu: Hendak kembali dengan selekaslekasnja ke Atjch, agar ia dapat memegang tali kekang diputjuk pimpinan pemberontakan. Hanja pulisi di Pulau Pinang mentjegahnja buat meninggalkan tanah Malaka. Manakah jang benar? Wallahu'alam! Tapi orang Atjeh tetap menghendaki kcmbalinja Habib Abdoerrachman. Djika ia sudah ada, nanti api pemberontakan dan perang sabil akan berkobar-kobar kembali, demikian pula kcjakinan orang di Atjeh. Sementara itu bala bantuan jang berupa lasjkar-Iasjkar rakjat tetap mengalir dari daerah-daerah dipantai Barat. Jang banjak mengirimkan orang tcrutama ialah Meulaboh. Lasjkar-Iasjkar dari sana siap sedia memberi bantuannja dimana mereka dibutuhkan. Bila pcrtempuran disalah suatu tempat telah selesai,
Terpaksa menghindar
85
kerobalilah mereka dahulu kckampung buat menentui makan minum anak bini. Orang Belanda pun tidak hendak tinggal diam. Suara tcmb. kan-tcmbakan meriam tidaklah bcrkcputusan terdcngarnja, siang dan malam, dari seharikeschari. Meriam-meraiam orang Belanda dipasang di Oleh-oleh. Tapi dari fihak orang Atjch pun ada pula penjahutannja. Nanta melepaskan pula tembakantcmbakan meriamnja dari kubu-kubu jang diperbuatnja di Sabong, meskipun kampung itu telah setengah dihantjurkan oleh orang Belanda. Dikampung Blang Oi, di Merassa, adalah 2 kompanji tentara Belanda jang berkemah. Kubu-kubu mereka menjediakan 2 putjuk meriam besar, jang dihadapkan ke 6 Moekim. Di 6 Moekim sendiri Nanta telah menjediakan parit-parit dan bentengbcntcng kuat, siap sedia menanti-nantikan kedatangan musuh. Segala persiapan itu kedapatan discgala kampung dan sekitar-kitar ibu kota Pakan Bada. Tapi jang disempurnakan benar memperkuat pertahanan ialah dimuka perbatasan 6 Moekim dengan Mcrassa, sepandjang-pandjang Sungai Ning dan Rawa Tjangkoel. Tcrutama di Bital, dckat Lamdjamoe. Jang paling kuat dan dianggap tak mungkin dirubuhkannja, ialah dua rantaian benteng-benteng dekat Lampadang dan Sabong. Pertahanan di Sabong dibangunkan ditcngah-tengah Rawa Tjangkoel, meriam-meriamnja dihadapkan ke Sinangri, jang didekat Sabong menghadap Oleh-leh. Persiapan-persiapan setjara itu memang tidaklah dapat dirahasiakan lagi. Achirnja orang Belanda pun mengctahuinja pula, sa-npai kepada perkara jang sekctjil-ketjilnja. . . Tanggal 26 Desember tahun 1875. Din dan Ibrahim duduk berhadap-hadapan diruangan belakang dirumahnja, sambil mengapur-ngapur sirih. Mereka baharu selesai dari pada minum kopi dan santapan pagi. Salah seorang budak perempuan masuk kedalam dengan tergopoh-gopoh, lalu berkata bahwa seorang pesuruh jang datang setengah berlari-lari dan mandi pcluh, menanti diluar. Ia mengatakan bahwa ia telah mendapat izin dari pengawal jang mendjaga dipintu gerbang, buat bertcmu dengan Teukuh Tsjeh sendiri, karena ia membawa kabar jang amat penting. Ibrahim terperandjat, lalu berkata: „Suruh ia menanti dimuka tangga muka!" Din terkedjut pula, segcra bangkit berdiri dan menurutkan suaminja sampai kcruangan muka. Pesuruh jang menanti dimuka djandjang pintu itu, menjampaikan pesan jang dibawanja dengan kata terputus-putus serta scsak nafas. Katanja: „Tjampuh . . . d i i i . . . 9 Moekim! Ta . . . di pagi sebelum matahari tim . . . bul, orang Belanda telah turun dari Kotaradja. Djumlahnja . . . tiga kompanji. .. Mereka telah melampaui batas 9 Moekim. Pada . . . saat ini kampung Mibouw sedang d i . . . scrang dari t i . . . ga pendjuru. Bukan buatan tcmbakan-tembakan Jang mereka lakukan. . . Bumi bagaikan getar karcnanja . . .! Semoga Allah Subbana Wataala melindungi penduduk kampung itu . . .!"
86
Tjoet Nja Din
„Ada lagi?" tanja Teuku Tsjeh Ibrahim. ,,Tidak, Tuanku! Hanja sckian!" Ibrahim mengangguk-anggukkan kepala, sambil berkata dengan senjum simpul: „Makan minumlah dahulu! Ambillah sirih agak sekapur dibclakang! Pulanglah!" ,,Mohonlah patik, Tuanku!" „Selamat djalan!" Sclagi pesuruh itu menghindar dari djandjang, Ibrahim tinggal tegak bagaikan terpaku dilantai. Jang dilakukannja scdjurus, hanjalah mengunjah-ngunjah sirihnja sahadja. Achirnja menolehlah ia kepada Din, jang tinggal tcgak disampingnja dengan tidak hendak berkata-kata barang sepatah. Wadjahnja jang serba manis rautan, tapi membcri gambaran kekuatan batin jang ada didalam kalbunja, tinggal tenang, menanti-nantikan bcrita apa jang akan didengarnja. Matanja jang bcrupa hendak memantjarkan sinar, seolah-olah hendak bcrtanja. Ibrahim mengctahui, bahwa isterinja hendak bcrtanja, tapi djawab jang tepat belum ada padanja. Setelah berpandang-pandangan scdjurus, kcluarlah dari mulut Din dengan suara tetap: ,.Apakah bitjaramu, Ibrahim!" ,,Aku mengharap-harap, djanganlah hendaknja segala jang kusangka-sangka, sampai mendjadi suatu kenjataan!" Bibir Din jang sedang gemctar, tampak mendjadi pasi. Lalu bcrtanjalah ia: ,, Apakah sangkaanmu, Ibrahim?" ,,Bahwa pertahanan induk kita njata salah menghadapkannja! Musuh jang kita nanti-nantikan akan datang dari muka, telah menjerbu dari bclakang!" Din menganggukkan kepala, lalu berkata pula dengan tenang: ,,Kita semuanja memang berkejakinan, djika Belanda menjerang, tentulah datangnja dari Mcrassa! Sekarang njatalah bahwa perhitungan kita itu salah sama sekali. Mereka rupanja scngadja hendak menghindarkan Merassa!" Ibrahim tinggal termenung-menung. Dan tidaklah ia hendak menjahut. Sckonjong-konjong Din gelak tcrbahak-bahak. Pahit dan mengedjek gelaknja itu. Tadjam pula kata-katanja, ketika terhambur dari mulutnja: ,,Nah, lihatlah! Sedangkan kaphe enggan bersama-sama bertempur dengan andjing-andjing pengctjut itu! Tjis!" Ibrahim mengangkat bahu, lalu berkata: ,,Mungkin orang Belanda hendak berichtiar mclindungi daerah-daerah Neh dari pada segala kerusakan. Bukankah seluruh orang Mcrassa ada mendjadi sahabat dan kaki tangan mereka?" ,,Tapi apakah timbanganmu, Ibrahim? Mungkinkah maksud orang Belanda hanja hendak menjerang 9 Moekim sahadja?" ,,Pada pendapatku, mungkin bukan 9 Moekim sadja jang hendak dihantjurkannja. Tapi, marilah kita sama-sama melihatkannja! Aku hendak herunding dulu dengan ajahmu dan dengan beberapa orang pemimpin jang lain, scbawahan ajahmu. Rupa-rupanja kita akan terpaksa menghindar dulu dari kampung ini, Din!"
MENGUNGSI Tanggal 30 Desember 1875 sudah ada ketentuannja. Sekalian kampungkampung jang ada diperbatasan 9 Moekim dan 6 Moekim djatuh kctangan tentara Belanda. Bentcng-bentcng Nanta dekat Bital dan Lamdjamoe telah tcrkepung oleh mereka. Pukul tudjuh pagi-pagi tentara Belanda turun dari 9 Moekim, lalu bcrgerak tepat menudju ke Pakan Bada, ibu kota 6 Moekim. Dan setengah djam sesudah itu sekalian tabuh disurau-surau kampung sckitar Pakan Bada, telah dipalu, dan bcrhamburanlah seluruh penduduk keluar rumah, masing-masing mengunus sendjata. Pcndjagaan segala pintu gerbang diperkuat, sekalian laki-laki segcralah menduduki segala benteng pertahanan jang ada dibatas-batas kampung. Dengan tergesa-gesa Ibrahim mengumpulkan segala alat sendjatanja jang tersimpan didalam kamar tidur. Hampir tak dapat ia menoleh kepada isterinja, jang sedang duduk termenung diudjung tempat pcraduannja, sambil menentang mengamat-amati tangannja jang penuh dihiasi dengan emas dan intan. Din duduk lurus, bagai tcrpaku pada tempatnja itu. Bibir terkatup, mata bagaikan hendak memantjarkan api. Sepatah katapun tidaklah tcrhambur dari mulutnja. Ia tinggal melihatkan gcrak-gcrik suaminja jang sedang sibuk mengumpulkan alat sendjata serta perkakasnja. Pekerdjaan jang serupa itu telah mendjadi suatu kebiasaan bagi Teuku Tsjeh semendjak orang Belanda memasuki Atjeh sebagai musuh. Jang dilakukannja ialah: mengisi bedilnja, menggantungkan tas tempat menaruh mesiu dan pclurunja, pada bahu, menjisipkan rcntjong pada pinggang, mengangkat perisai tcmbaganja. Setelah sclcsai dari pada menjiapkan segala sendjata itu, berkatalah ia dengan suara lemah lembut:
„Din!" Seketika djuga Tjoet Nja Din bangkitlah dari duduknja, lalu tcgak berdiri dimuka suaminja, menantikan sampai ia menjambung kata. Maka berkata pulalah Ibrahim: ,,Sebaik-baiknjalah kita menjediakan pajung sebelum hudjan , . . Bungkuslah segala harta benda kita jang bcrharga, perhiasan emas intan, kain dan badju jang bcrharga. Scdiakan makanan untuk tiga hari. Mungkin kita undur dari tempat ini. Kumpulkan anak-anak sekalian, djanganlah ada seorang jang berdjauhan dengan engkau. Katakan kepada sekalian perempuan, pengiringpengiring dan sekalian budak-budakmu, supaja mereka bersedia-scdia akan berangkat. Tudjuh puluh orang pengawal bersendjata aku tinggalkan untuk mengawanimu. Sekalian mereka itu adalah terpilih dari kawan-kawan kita jang setia. Sekiranja kita tidak bcrtcmu, kawan jang tudjuh puluh orang itulah jang akan mclindungi cngkau. Tandu-tandu dan jang akan mcmikulnja telah terscdia. Mereka menanti dihalaman. Ajahmu pun sedang menjediakan per siapan-persiapan jang demikian pula untuk ibumu. Sekiranja Allah Subhana Wataala menurunkan takdir kita harus menghindar, hindarlah kita arah ke Barat, melalui Lamtcngah dan Lampagger. Tudjuan kita ialah pegunungan
88
Tjoet Nja Din
Paran, sampai ke Blang Kala. Djika pcrlu, lebih djauh pula dari itu, melalui djurang arah ke 4 Moekim. Djika waktu turun telah datang, engkau akan menerima kabarnja. Bersedia-sedialah buat dapat berangkat sewaktu-waktu. Djika umur kita sama dipandjangkan Tuhan, sebentar lagi kita akan berdjumpa pula. Tcguhkan hati, Din! Pertjajalah kepada Tuhan!" Din mcngangguk. Lurus dan teguh tegaknja bagaikan scbatang lilin didalam rumah-rumahnja. Demikianlah rupanja, ketika ia berhadapan dengan suaminja. Kepala diangkat, mata tidak mengedjap agak sesaat, segala sesuatunja mcnjatakan bahwa ia bersedia menantikan segala kemungkinan. Ibrahim memandang dengan bangga dan penuh kasih kepada isterinja itu. Itulah seorang wanita jang tampan buat mendjadi seorang isteri panglima perang, pahlawan tanah air. Scdjurus lamanja Ibrahim mentjari kata-kata jang hendak disampaikan kepadanja. Tapi lidahuja bagaikan tcrkalang, kerongkongan bagaikan tersumbut, sedang kata-kata itu tak kundjung dapat. . . Tapi kebimbangan hati itu hanjalah bcrlaku beberapa dctik sahadja. Dengan kekerasan hati, njata dapatlah ia menindas segala gendah jang hendak mcremuk djantung hatinja. Sambil mengangkat kepala, berkatalah ia dengan suara agak gemetar: ,,Kita akan berkclah terus, Din! Buat mendjaga supaja negeri kita ini djangan diperkosa oleh kaphd! Kita tetap mempertahankan negeri kita, agar ibumu dapat kckal memiliki rumah dan tanah-tanahnja. Agar hidupmu dan hidup anak-anak kita terpelihara!" „Aku tahu, Ibrahim! Aku tahu bahwa engkau akan bcrkelahi mati-matian, setjara jang belum pcrnah cngkau lakukan. Dengan karunia Allah Subhana Wataala pastilah engkau akan kuat melawan musuh kita! Atas diriku dengan anak-anak, djanganlah engkau bimbangkan!" Scdjurus lamanja Din memandang pula dengan penuh kasih sajang kepada suaminja. Didalam hatinja ia mengutjap sjukur bahwa ia telah bcrsuamikan seorang djantan tampan Ibrahim itu. Lebih dari itu sifat laki-laki sudah tak akan dapat lagi dikehendakinja. Ibrahim sangatlah menghargakan kata-kata dan laku isterinja memandang itu. Maka dengan suara jang lebih gemetar dari tadi berkatalah ia: „Terima kasih, adindaku!" Dengan tjepat lengannja telah mengulur, tapak tangan melckat scdjurus diatuas bahu Din, lalu meluntjurlah kebawah, menjapu-njapu pangkal lengan isterinja. Dan berkata pulalah ia dengan suara penuh chidmat: „Semoga Allah Subhana Wataala menjertaimu! Dan menurunkan bahagia atas dirimu!" ,,Tcrima kasih Ibrahim!" sahut Din dengan suara jang gemetar pula. ,,Tjukuplah semua jang cngkau bawa?. . . Segala azimat tidak lupa?" ,,Djangan bimbang, Din! Allah beserta kita. Kita berpadu satu, kita berbanjak-banjak. Mereka tinggal seorang diri!" „Aku tidak takut, Ibrahim! Semoga Tuhan menumpas mereka! Sendjatasendjatamu tjukup semua, Ibrahim? Aku akan mcnolong-nolongmu dengan
Mengungsi
89
do'a! . . . Turunlah! Semoga Tuhan melindungimu!" . . . Maka turunlah Teuku Tsjeh Lamgna kehalaman. Disana telah menanti seratus orang lasjkar pengawalnja, lengkap dengan bedil dan peluru-peluru timahnja. Lalu kcluarlah mereka dari halaman, melalui pintu gerbang, bcrdjalan menudju ketempat pertahanan jang telah ditcntukan ada dibawah komando Ibrahim Lamgna.
Scpandjang-pandjang kampung itu kcluarlah orang, laki-laki perempuan, tua muda, ketjil dan besar, lalu tegak ditepi djalan, melepas sekalian peradjurit itu kemedan perang. Ada jang bcrtanja: ,,Apa akan djadinja kita semua, Teuku?" „Kami akan berdjuang, membela kamu sekalian!" sahut Teuku Tsjeh. ,,Kami akan mempertahankan kampung halaman kamu sekalian, sawah ladangmu! Dan kami akan mempertahankan kemerdckaan kita sekalian dari perkosaan kaphe! Doakanlah!" ,,Allahu Akbar! Allahu Akbar! Semoga Tuhan besertamu!" kata orang banjak. Ada pula rombongan anak-anak muda jang telah bcrsiap sendjata, jang menjambut kedatangannja dengan tempik dan sorak. Sesudah itu mereka menurutkan pasukan Teuku Tsjeh dari belakang, menanti-nantikan tugas jang akan diberikan kepada mereka. Kedjadian itu berlaku pada tanggal 30 Desember tahun 1875. Pada malam itu djuga seluruh penduduk kampung jang tidak tampil kemedan perang, telah terpaksa meninggalkan kampung halaman, serta harta bendanja. Pagi-pagi dihari itu, dipinggir-pinggir kampung Adjoen, jang terletak disebelah Tenggara Pakan Bada, telah terdjadi pertempuran-pertempuran sengit dengan tentara Belanda. Bcntcng-benteng orang Atjch terpaksa ditinggalkan, lalu diduduki oleh orang Belanda. Tapi meskipun demikian, rakjat Atjeh masih melakukan perlawanan jang sengit dilorong-lorong jang ada dibclakang pagar bambu duri, jang mclindungi halaman-halaman rumah orang. Granat jang dimuntahkan oleh meriam-mcriam orang Belanda, djatuhlah bcrtubi-tubi, membinasakan rumah-rumah kaju orang Atjch, jang didalam sekedjap mata telah mendjadi abu. Perempuan dan orang-orang tua jang masih ada, demikian djuga kanak-kanak, bcrhamburan lari keluar rumah, sambil mendjerit-djerit mengumpulkan sekalian ternaknja. Maka jang dapat dihalaukan keluar halaman, diiringkan djua. Harta benda jang dapat dibungkus dan diangkut pada ketika itu, diangkutlah. Jang ditudju oleh mereka dalam lari bertjerai -berai itu ialah kampung Lamhassan jang terletak disebelah Utara dan di berscbelah dengan kampung Pakan Bada. Achirnja pcradjurit-pcradjurit pcrangpun sama menghindar dari sana ke Lamhassan, sambil membawa sendjata-sendjata serta alatalatnja. Sekalian kawan jang gugur dan jang luka-lukapun dibawa menghindar ke Lamhassan. Lamhassan telah mendjadi penuh pekak oleh orang banjak dan segala tcrnak jang dilarikan orang kesana. Orang-orang jang datang itu ialah pelarian dari Bital dan Lamdjamoe. Kedua kampung itu telah terantjam karena kerusakan, djadi terpaksa ditinggalkan dan discrahkan kepada orang Belanda. Perempuan dan kanak-kanak beserta orang tua-tua bersama-sama dengan lasjkar rakjat, larilah ke Lamhassan, mengiringkan ternaknja, dan membawa
90
Tjoet Nja Din
harta benda jang dapat dibawa, beserta alat sendjatanja. Lamhassan memang ngat dipcrkuatnja, sedang penduduknja adalah terbilang orang-orang jang berani. Selagi mereka bcrdujun-dujun mclarikan diri itu, maka granat-granat Belanda mendesing-desing serta bersiul-siul beterbangan diudara, lalu djatuh memetjah keatas sawah-sawah jang sedang penuh digenangi air. Sementara itu dari djauh tcrdcngarlah lagu-lagu gembira den sclomprct Belanda, jang memberi tanda kcmeiungan, sesudah mereka dapat menduduki Adjocn. Dari kampung itu nampaklah api dan asap jang membubung keangkasa, mengharukan hati sekalian ,,Muslimin" jang terpaksa mclihatkannja dari djauh. Sekalian penduduk dan pedjuang dari Bital, Lamdjamoc dan Adjoen datang berkumpul memenuhi kampung Lamhassan, jang mendjadi penuh scsak karcnanja. Tiba-tiba tcrdcngarlah rcntetan suara scnapan-senapan tentara Belanda jang tiada berkeputusan. Dari tepi kampung Lamhassan jang penuh dengan semak bclukar, tentara Belanda inenghudjani kampung jang padat itu dengan pclurupelurunja. Tidak lama antaranja, datang pula serangan jang serupa itu dari tempat lain, agak sebelah Barat dari tempat pencmabakan jang semula. Njatalah, bahwa rombongan tentara Belanda jang kedua itu telah melepaskan tembakantembakannja dari kampung Rima. Didalam kekatjauan dan kctjampuhan itu datang pulalah tentara Belanda bcrdujun-dujun menudju kckampung Lamhassan mentjari djalannja disawah-sawah sambil mentjampung kedalam Ietjah dan rawa-rawa sepandjang djalan. Pemimpin-pemimpinnja adalah mendahului, sambil membawa-bawa bendera dan pandji'-pandji. Dibclakang mereka nampak pula serdadu-scrdadu jang menghela-hcla meriam serta senapan-scnapan dan menjeret-njeret kuda beban. Maka dibclakang sekali, mcngiringkanlah serombongan besar orang rantai, jang memikul barang-barang dan segala perlcngkapan perang. Delapan putjuk mcraim ditempatkanlah di Lamhassan. Matahari telah tjondong ke Barat. Tiba-tiba, dengan tidak disangka-sangka, maka tentara Belanda telah menghudjankan pula granat kcsegala rumah jang ada dikampung, dengan tidak mengindahkan bahwa rumah-rumah itu sedang penuh scsak oleh penghuninja. Selagi api berkobar-kobar mcnclan rumah satu demi satu, sedang peluru karaben bcrsimpang-siur pula diseluruh kampung, maka berketabunganlah seluruh penduduk keluar, bagaikan tabuhan jang diganggu sarangnja. Tcrnak dan barang-barang keras jang mendjadi milik penduduk, sudah tidak dapat lagi dibawa-bawa. Masing-masing telah mengutjapkan sukur, apabila ia dapat mcnolong anak bini dan orang tua-tua jang ada dirumahnja sadja. Didalam hudjan peluru itulah seluruh penduduk tergesa-gesa dan bersimpang siur mentjari djalan lari keluar kampung. Mula-mulanja arah ke Timurlaut, menghindarkan musuh, sesudah itu berbclok arah ke Barat. Maksud mereka ialah hendak lari kc Lamtcngah, Lampaggcr dan Blang Kala, karena Teuku Tsjeh telah memcrintah kepada mereka bahwa djalan itulah jang harus
Mcngungsi
9'
ditempuh, bila kampung telah djatuh ketangan kaphe, djadi terpaksa ditinggalkannja. Tepat diatas kepala, memantjarlah sinar matahari jang terik, dibclakang mereka tinggallah Lamhassan ditangan ,,kumpeuni"! Dan sekalian ternak berhamburan lari bertjerai-berai disana, dengan tak ada seorang jang menuntuninja. Dalam kedunguannja segala ternak itu akan mengindjak-indjak lalu membinasakan segala tanaman jang ada disawah dan discdiakan untuk kchidupan anak tjutju. Padi jang sedang menguning disawah itu, jang lebih dahulu memang telah binasa diindjak-indjak oleh kaphe, akan dilunjah-lunjah pula oleh ternak jang terkedjut masuk mcrantjah ketengah-tengah sawah. Itulah jang akan menamatkan kcrusakan tanaman jang lebih dulu telah dimulai merusaknja oleh tentara Belanda! Padi itu sudah tak mungkin lagi dituai oleh orang-orang jang menanam dan memcliharanja. Didalam piring-piring sawah itu tak pula kurang kedapatan bangkai tcrnak, kurban peluru, jang terhampar. Dan banjak pula jang tinggal terguling mengharang-harang, karena tcmbakan jang merubuhkannja kurang tepat sampainja, sehingga njawanja masih tcrpclihara. Mungkin sekali bahwa ditcngah-tengah bangkai ternak itu akan kedapatan pula majatmajat manusia, asal orang kampung diberi djalan untuk mentjarinja. Sekalian pelarian itu sampailah ke Lamtengah. Demi mendengar berita tentang bentjana di Lamhassan itu, terkcdjutlah penduduk Lamtengah. Sekalian laki-laki jang kuat sama mengeluarkan kclcwangnja, lalu bcrkumpul-kumpul dimesdjid, bcrscdia buat mempcrtahankannja, djika kaphe sampai pula menjerang kesana. Di Lamtengah telah mendjadi penuh sesak pula. Sekalian pelarian dari Lamhassan telah mcngalami bahajanja tinggal berscsak-sesak disesuatu kampung itu, karena mereka njata telah mendjadi sasaran peluru dan granat orang Belanda. Berhubung dengan itu, maka kebanjakan dari orang jang d»tang itu berpindah pulalah, kckampung Lampaggcr, jang ada didjalan ke Blang Kala, jaitu kampung jang ditundjukkan oleh Teuku Tsjeh buat mendjadi tempat pengungsian. Sesampai kc Lampaggcr itu, mereka merasa ketjewa, karena orang Lampaggcr njatalah tidak sekali-kali hendak melawan kepada kaphe. Mereka tidak hendak tnenjiapkan sendjata, mclainkan gila bcrapat-rapat sadja disurau, sambil mengapur-ngapur sirih. Sedangkan kedatangan orang-orang dari Bital dan Lamdjamoe serta Adjocn dan Lamhassan itupun tidaklah ditcrima oleh orang Lampagger. Mereka berkata dengan terus terang bahwa mereka tidak akan menurut tjontoh jang telah diberikan oleh orang Bital, Lamdjamoe, Adjocn serta Lamhassan, jang njata telah kehilangan harta benda dan rumah, kehilangan hasil tanaman dan ternak, karena melawan kepada orang Belanda. Orang Lampagger, kata mereka, sajang kepada harta bendanja, jang telah dapat dikumpulkannja sedikit demi scdikit, sambil mcntjutjurkan pcluh pula. Sedangkan melawan kepada „kumpeuni" itu adalah suatu pekerdjaan jang bukan-bukan, tuma hendak berdjuang dengan gadjah! . . . kata mereka. Dengan djalan demikian, sesudah Mcrcssa, maka Lampaggcr sedang bers edia-scdia pula hendak bcrchianat kepada. bangsa dan tanah air!
92
Tjoet Nja Din
Pada malam itu djua terdjadi pula pcngungsian umum dari Pakan Bada (tempat kediaman Nanta Setia). Lammanjang dan Lampadang (tempat kediaman Tjoet Nja Din dan Teuku Ibrahim Lamgna). Tentara Belanda mempcrkuat kcmahnja di Lamhassan. Disanalah mereka bermalam dan bertanak. Dengan djalan demikian nasib 6 Moekimlah jang masih mendjadi teka-teki. Disckalian kampung jang hendak dikosongkan itu, semalam-malam hari tampaklah kesibukan jang tak terkira-kira. Bertoboh-toboh orang nampak didjalan, sambil membawa obor dan lentcra serta lampu-lampu. Tiap-tiap orang, sampak kepada kanak-kanak, adalah membawa barang-barang. Ada jang mendjindjing bunkkusan, ada jang memikul peti, gulungan kasur, dan sebagainja. Mana jang dapat diangkut, sampai kepada pcriuk dan belanga dapur, diangkut djua. Hcwan serta ternak telah dikumpulkan sehari dimuka dan dikcluarkan dari kandangnja, serta dibawa ketempat jang sekiranja agak
Tjoet Nja Din dan ibunja Tjoet Nja, telah mendapat perintah pula meninggalkan kampung. ,,Djangan lalai!" demikian pula pesan jang keluar dari mulut Teuku Tsjeh Ibrahim Lamgna. Dan tengah-tengah malam buta itu, sebelum fadjar menjingsing, Din telah mengumpulkan sekalian budak-budak serta pengasuhnja kaum wanita. Anakanak dibangunkannja pula. Budak-budak, orang-orang hukuman dan sekelian orang rodi telah datang berkumpul kerumah Teuku Ibrahim, buat mengangkut barang-barang isterinja ketempat pcngungsian. Beberapa buah karung goni, jang berisi bcras, djagung, emas dan pakaian serta alat-lat pcrkakas rumah, telah sedia buat dipikul. Din telah memakai setjara patutnja. Djika ia turun djandjang, maka jang tinggal baginja hanjalah mengambil selendang suteranja sadja. Sebelum turun keanak djandjang, maka sekonjong-konjong timbullah keraguraguan dalam hatinja. Sepandjang pengadjiannja adalah dilarang bagi seseorang Islam turun kemedan peperangan sambil memakai emas intan. Tapi Din teringatlah akan fatwa seorang Ulama, Teungku Koetakarang. Kata orang alim jang seorang itu: ,,Sepatutnjalah seseorang Muslimin memakai emas intannja dimedan perang sabil. Sebab bilamana ia sahid, maka barang-barangnja jang berharga itu beserta majatnja akan dapat dirawat oleh kawan-kawannja. Dengan djalan demikian, segala kekajaannja itu tidaklah akan djatuh ketangan kafir". Demikianlah pendapat Teungku Koetakarang. Sebelum turun djandjang, Din mengambil keputusan hendak menurut adjian Ulama itu. Lalu dipilihnja sekalian barang-barang emas intan dari bungkusan, serta kain badjunja jang berharga. Didalam sekedjap mata isi bungkusan itu telah dilckatkannja pada tubuh. Maka turun'ah ia sambil memakai setjara jang belum pernah dilakukannja, ketjuali djika ia pergi kcpcralatan besar. Tertjengang-tjenganglah orang kampung melihat kedatangan Tjoet Nja Din jang scolah olah bersalin rupa itu. Ketjantikan parasnja, keteguhan hati serta
Mengungsi
93
kcsigapan gerak-gcriknja, nampaklah dengan djelas pada ketika itu. Bahwa scsungguhnja ketika ia berpaling buat penghabisan kali kerumah jang hendak ditinggalkannja itu, tempat hatinja melekat, maka tergambarlah pada wadjahnja persabungan jang hebat jang bergolak didalam kalbunja Djelas nampaknja bahwa ia bersedia hendak bertempur dengan seluruh alam, daripada takluk kepada kaphe, jang mcratjun hidupnja itu. Rumah dan halaman itu, tempat ia dilahirkan, tempat ia dipertemukan dengan Teiifcw Ibrahim, suaminja jang ditjintainja, tempat ia melahirkan anak-anak Ibrahim, segala-galanja itu terpaksa ditinggalkannja, mungkin buat scumur hidup! Karena ia tidak akan pulang, selama masih ada seorang kafir jang tinggal menodai kampung Lampadang. Dalam hatinja Din telah jakin, bahwa ia tidak akan pulang lagi kerumah itu. Ia meninggalkan rumah, beserta sekalian anak-anaknja, dengan segala budak dan pengasuhnja, dengan sekalian harta benda jang mudah diangkut, itulah berarti meninggalkan rumah buat sclamalamanja. Din mengatupkan gigi ketika hendak naik keatas tandu, lalu duduk lurus diatasnja, dengan tidak hendak menolch lagi kebelakang. Rombongan ibunja, Iengkap pula dengan budak-budak, inang pengasuh serta orang rodi jang dan segala orang hukuman jang memikul barang, telah menanti didjalan. Lalu berangkatlah arakan itu melalui kampung jang sedang sibuk bcrsedia-scdia hendak mengungsi pula. Malam itu sangat dingin. Dari arah kampung Lamhassan, jang baru diduduki oleh tentara Belanda, terlihatlah bajangan api diangkasa, alamat pembakaranpembakaran rumah disana belum selesai. Sekonjong-konjong kclihatan lidah api jang menumbak keangkasa, dua kali berturut-turut. Rupanja pcngawalpcngawal disana telah mengctahui bahwa dikampung Lampadang adalah „gerak-gerik rakjat jang luar biasa", lalu mereka membcri alamat kepada kawankawannja supaja seluruh tentara tetap waspada, karena suasana sedang genting. Tapi orang-orang jang sedang mengungsi itu tidaklah mengctahui apa artinja lidah api jang meluntjur keangkasa itu. Memang kepandaian orang kafir itu tidak berhingga. Ada-ada sahadja jang diperbuatnja buat menaklukkan orang Atjeh! Oleh karena itu, fihak rombongan orang Atjeh pun bcrhati-hatilah, dan tetap pula awas serta waspadanja. Perdjalanan ditcruskan melalui sawah serta ladang, dan achirnja menempuh semak-scmak dan gurun-gurun. Dikampung jang ditinggalkan masih terdengar ajam bcrkokok, menjambut fadjar. Disebelah kiri djalan nampak lereng-lereng bukit jang mendinding. Dimuka, dekat Lampisang, pintu Ngalau Beradin, kelihatan mendjulang bukit Tjot Tjako. Disebelah Baratnja, ditepi sawah, adalah kuburan keramat. Ajam dikampung telah berkokok. Gadjah dirimba baru bangun dan sedang memulai perdjalanannja mentjari makan. Waktu subuh telah datang. Arakan meneruskan pcrdjalannja. Ketika mereka melalui Lamtengah, kampung kelahiran penjair Dokarim, matahari telah tinggi. Maka kcluarlah
94
Tjoet Nja Din
sekalian wanita dari kampung itu ketepi djalan, masing-masing hendak melihat rupa isteri kedua pahlawan jang masjhur, Teuku Nanta Setia, dan Teuku Tsjeh Ibrahim Lamgna. Maka tertjcngang-tjcnganglah mereka serta silaulah mata mereka demi memandang kepada kedua wanita Bangsawan, jang berpakaian serba indah dan bcrtjahaja berkilau-kilauan itu. Dengan chidmat serta adabnja pula, mereka sama menjapa dan membcri salam kepada ibu serta anak, jang sedang melalui kampung Lamtengah itu. Dari orang banjak, ibu dan anak mcndengarlah bahwa kedua suaminja telah menantikan kedatangan mereka di Blang Kala. Sekalian anggota angkatan pcrangnja adalah bersama-sama dengan pemimpin-pemimpinnja. Maka berkatalah orang banjak sekedar hendak mengupah hati kedua wanita itu: ,.Semoga Allah melindungimu!" Kedua Tjoct menjahut: ..Alhamdulillah! Semoga Allah Subhana Wataala melindungi kita semua dan menguatkan sendjata-sendjata pedjuang Atjch, agar orang kampung dapat mempertahankan kampung serta rncsdjidnja dan mengusir sekalian kafir dari tanah Atjch! Alia — hu — akbar!" „Alla — hu — akbar! Alia — hu — akbar!" kata suara gemuruh, jang keluar dari mulut orang banjak. Sesudah itu mereka melalui pinggir kampung Lampaggcr. Disanalah tcrlctak makam almarhum Radja Suleiman. Dengan segala keadabannja kcpala-kepala kampung di Lampaggcr mempersilahkan mereka singgah kckampung. Disana dihidangkan air kelapa muda buat melepaskan dahaganja. Dan kcpala-kepala itupun berkata: ,,Kedua Teuku telah menantikan di Blang Kala beserta angkatan perang dan sendjatanja!" Tapi mereka tidak mentjeriterakan apa jang terdcngar oleh mereka tentang jang terdjadi di Blang Kala itu. Ketika Teuku Tsjeh beserta Teuku Nanta Setia mengindjak tanah kampung itu, maka djclaslah bagi Teuku Tsjeh, bahwa semangat orang kampung akan bertempur dengan kaphe, telah dingin. Dilihatnja bahwa kedatangan lasjkarnja tidaklah disambut dengan gembira, sedang orang kampung nampak tidak bcrsiap-siap sendjata pula. Segala tutur katanja jang berhubungan dengan perang sabil, ditcrima oleh orang banjak dengan dingin sadja. Maka naiklah darah Teuku Tsjeh. Pedang jang masih tcrhunus ditangannja, lalu diatjung-atjungkannja, seraja berkatalah ia dengan suara keras: „Hai sekalian Mukmin, penduduk kampung ini! Kami baru kembali dari medan perang! Sekampung demi sekampung telah djatuh kctangan kafir! Adat berpcrang itu ba'as mcmbalas! Tapi menghindar kita bukanlah bcrarti takluk sambil lari! Kita mentjari tempat pertahanan jang mungkin dapat dipertahankan, lalu kita menantikan ketika jang baik buat mcnjcrang musuh, sampai ia terpaksa pula menghindar! Hai orang kampung, penduduk 6 Moekim! Laki-laki perempuan! Dcngarkanlah! Djika kampung ini njata tidak dapat dipcrtahankan, kami nanti akan menghindar pula ketempat jang lain. Kami akan menjerahkan kepada orang kampung sendiri, apa jang hendak dipcrbuatnja. Djika mereka hendak takluk, hendak bcrchianat kepada bangsa dan tanah
Mengungsi
95
airnja, silahkan! Tapi sewaktu-waktu kami akan kembali ketempat ini' Barang siapa jang kami djumpai disini dan ternjata telah mendjadi budak kafir, maka akan kami rampas harta benda serta ternaknja. Dan djika rumahnja belum dibakar oleh orang Belanda, kamilah jang akan membakarnja! Dan barang siapa jang lari hendak meninggalkan kampung, dengan kelewang ini njawanja akan kami tjabut, kaki tangannja dan kcpalanja akan kami tjeraikan!" Hcbat dan sangatlah menakutkan rupanja Teuku Ibrahim ketika ia berdiri dimuka orang banjak, mengatjung-atjungkan pedangnja jang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari, dan masih bcrlumuran darah. Pakaiannja penuh lctjah, rambutnja kusut, mata membclalak berwarna merah didjalani darah. Tidak scorangpun jang bcrani menjahut. Tapi sesudah Teuku Tsjeh bcrpidato itu, bcrsiap-siap scndjatalah seluruh kampung. Dan penuhnja mesdjid mengan lasjkar rakjat jang bcrdjaga-djaga disana tak dapat dikatakan lagi. Dan djika kampung harus ditinggalkan, maka seluruh penduduk pastilah akan mengungsi pula. Kepala-kepala Lampaggcr tidak pula mentjeriterakan, bahwa orang Lampaggcr semula memang telah mengambil keputusan tidak akan melawan kepada ,,kumpcuni". Tapi setelah datang berita dari Blang Kala tentang tindakan Teuku Tsjeh itu, maka orang Lampaggcr telah berbalik fikiran, insjaf akan kewadjibannja sebagai Muslimin. Djika Lampaggcr hendak djatuh ketangan Belanda, tidaklah ia akan discrahkan dengan keridlaan hati oleh orang-orang kampung. Itulah keputusan jang penghabisan jang telah diambil oleh penduduk Lampaggcr. Tapi dikemudian harinja fikiran mereka telah berpaling pula! Kenjataan telah menundjukkan jang sebaliknja dari pada jang telah diputuskan semula itu!.. . Sementara penduduk dari antero kampung bcrdujun-dujun meninggalkan kampungnja itu, tentara Belanda pun tidak pula hendak tinggal diam. Tengah hari pukul 11 mereka telah meninggalkan tempat perkemahannja di Lamhassan. Satu djam sesudah itu, mereka telah menduduki pula kampung Pakan Bada. Sunji senjap keadaannja diseluruh kampung. Suara scnapan tidak tcrdengar agak sedentum. Tidak ada jang patut ditcmbak, dan tak ada pula orang kampung jang akan mencmbak, karena mereka sudah keluar. Pasar Pakan Bada jang termasjhur ramainja didaerah itu, digunakan oleh tentara Belanda buat berkemah. Los-los besar jang telah dikosongkan oleh penghuninja, mendjadi tempat jang sebaik-baiknja bagi scrdadu ,,kumpcuni" untuk tidur dan bertanak. Pcristiwa itu terdjadi pada tanggal 31 Desember tahun 1875. Tapi, pada malam tahun baru Belanda itu, tcrdengar pula tembakan-tembakan. Dari kampung-kampung kcluarlah orang-orang bcrscndjata, menjerbu kedalam Pakan Bada. Oleh karena orang-orang ,,djahat" itu disangka datang dari kampung-kampung Lammanjang dan Lampadag, maka kedua kampung itu ,,dibumi hanguskan" oleh tentara Belanda. ,.Sebagai hukuman!" kata mereka. Rumah Tjoet Nja dan Nanta, demikian pula rumah Tjoet Nja Din dan Ibrahim Lamgna turutlah pula mendjadi abu!
96
Tjoet Nja Din
Pembumi-hangusan kedua kampung jang tertuduh itu telah bcrlaku pada hari tahun baru Nasrani, jaitu tanggal 1 Januari tahun 1876! . . . Setelah tentara Belanda keluar dari Pakan Bada, njatalah bahwa Lamtih dan Sabong telah dikosongkan pula oleh penduduknja. Di Lampadang dan Sabong tcrdapat benteng-benteng pertahanan Nanta. Orang-orang Belanda sungguh heran dan agak kagum melihat tempat pertahanan buatan ,,orang biadab" jang sekokoh itu. Orang Belanda telah mempcrbuat tjatatan-tjatatan jang lengkap tentang bangunan itu. Didalam kronik jang dikeluarkan oleh mereka, dapat dibatja scbagian dari tjatatan itu, bunjinja: ,,Garis pertahanan tcrdiri atas empat buah kubu-kubu tanah jang kokoh „bangunannja. Keempatnja dihubungkan dengan parit-parit. Benteng kubu ,,jang diserongkan, dikuatkan pula oleh dua lapis tunggak-tunggak kaju, „jang diisi dengan tanah diantara kedua djadjarannja. Djadjaran tunggak ,,jang ada diluar lapisan, tcrpantjang kedalam rawa. Bangunan-bangunan ,,jang ada didalam kubu diperbuat rendah, dan tertutup sama sekali. ,,Sckcliling garis pertahanan itu dipagar dengan bambu duri, dan dipasang ,,pula randjau-randjau dimuka pagar. Oleh karena paja-paja sekeliling garis ,,pertahanan itu ditumbuhi oleh semak-semak dan belukar, maka tentara „kita jang berkemah di Sinanggri, dikampung Merassa, tak dapat meli,,hatnja. Oleh karena itu maka benteng pertahanan Nanta jang sebuah itu „tinggal tcrscmbunji bagi tentara kita. ,.Tentara kita mencruskan perdjalanannja, tepat ke Utara, kckampung „Sabong. Semua kampung jang dilalui oleh kami telah kosong. Di Sabong „terdapat pula benteng pertahanan Teuku Nanta, dibangunkan meng„hadapi meriam-mcriam kita jang dipasang di Tandjong Oleh-leh. Benteng ,,jang kedua itu kami periksa pula dengan teliti. Njatalah bahwa itu lebih ,,kokoh dan lebih sempurna lagi dari pada benteng jang dibangunkan buat ..menghadapi Sinanggri. Didalam benteng itu terdapat beberapa putjuk ,,meriam jang telah dipasak." Dari Mesdjid Lamtengah tentara Belanda mendapat perlawanan. Tapi achirnja mesdjid itu djatuh djuga ketangan mereka, lalu dibakarnja. Tapi scsampainja di Lampagger, tentara Belanda sekali-kali tidak menemui perlawanan. Rakjat menjongsong mereka dengan tempik dan sorak, sambil menghidangkan air kclapa muda. . . Bahkan lebih daripada itu. Mereka menundjuk arah kepegunungan, lalu berkata: „Kcsanalah mereka lari!" . . . Rupanja hal rakjat di Lampaggcr telah ,,bcrbalik fikir" dan ,,insjaf" setelah mendengar berita tindakan Teuku Tsjeh di Blang Kala itu, hanjalah ada pada tjita-tjita kcpala-kepala jang memang insjaf sadja, tapi tak dapat berbuat sesuatu apa, karena tidak scmufakat dengan orang banjak. Dengan Mcressa bertambahlah sebuah kampung lagi jang diberi tjap ,,pengchianat" didalam riwajat peperangan Atjeh, jaitu Lampagger.
GERILJA „Djika ada orang jang lari, lalu bcrscmbunji, karena ia hendak menghindarkan musuh jang mengantjam njawanja, maka bagi seorang pengarang jang hendak mentjeriterakan riwajat hidup orang itu, amatlah sukar untuk mentjari-tjarinja ditempat persembunjian itu," demikian pengarang riwajat ini, Njonja Szekely Lulofs, menulis dalam bukunja. Dengan djalan demikian, maka Tjoet Nja Din telah hilang dari pandangan penulis, semendjak ia dengan ibu beserta pengiringnja ditjeriterakan sedang didjalan hendak ke Blang Kala. Mereka bermaksud hendak menghindar ke 4 Moekim, jang pada ketika itu masih bebas dari antjaman tentara Belanda, dan menurut perhitungan Teuku Lamgna serta Teuku Nanta Setia, belum akan tcrantjam didalam waktu jang singkat. Tapi 4 Moekim itu, demikianlah kata achli-achli sedjarah didalam kalangan orang Belanda, scsungguhnja didalam keadaan Atjch jang tcrantjam itu, sangat enggan akan menerima kedatangan orang-orang ,,mengungsi", jang telah tcrnjata tidak hendak tunduk kepada orang Belanda. Apalagi karena dibclakang tumit orang-orang jang hendak mengungsi itu, orang Belanda, jang tcrnjata kuat, sedang mengedjar-ngedjar pula. Orang 4 Moekim telah menginsjafi benar, kata orang Belanda, telah kemana sampainja Atjch, sctelah Djenderal Pel memukulnja schebat jang sudah. Pendapat orang Belanda itu memang tidak lebih djauh dari pada kebenaran. Sesudah mereka mendengar nasib 6 Moekim, apalagi setalah mendengar bahwa Nanta Setia dan Ibrahim dapat dikalahkan oleh orang Belanda di Sela Blang Kala tanggal 17 Januari 1876, sehingga terpaksa pula menghindar, maka Kcpala-Kcpala dan Pemimpin-Pcmimpin rakjat sama enggan hendak mencruskan ,,peperangan kumpeuni" itu. Mereka bcrpendapat, bahwa sesudah dilakukan peperangan sengit oleh orang Atjeh di Kotaradja, Longbata, Lampadang, Lampandjang, 9 Moekim, Lamhassan, Bital, Lamdjamoe, Rima, 6 Moekim dan Iain-lain, maka pada pertimbangan orang 4 Moekim telah lebih dari pada tjukup orang Atjeh mempertahankan kchormatan, tanah air dan agamanja. Oleh karena kafir jang hendak diusir itu njata lebih kuat dari orang Atjeh, tambahan pula sendjata mereka djauh lebih sempurna dari pada sendjata orang Atjeh, maka pada pendapat mereka sia-sia sekali buat mencruskan perlawanan. Berachir-achir jang akan musnah ialah rakjat Atjch jang hendak ' dibela djua, dan jang akan hantjur ialah tanah Atjeh jang hendak dipertahankan itu. Demikianlah pendapat orang 4 Moekim. Sctelah berapat-rapat dengan Kepala-Kcpala, Kaum Ulama dan rakjat seluruhnja, maka achirnja diambillah keputusan bahwa 4 Moekim tidak akan melawan kepada Belanda, mclainkan hendak tunduk sadja, sebelum ia dihantjurkan. Maka pada tanggal 18 Djanuari 1876 seluruh kepala jang ada di 4 Moekim telah mcnjatakan takluknja, lalu datanglah „kumpeuni" menduduki ibu kota Kroeeng Raba dengan tidak melepaskan tcmbakan barang seletus. Dengan keadaan jang demikian seluruh daerah 4 Moekim telah diakui mendjadi daerah kekuasaan tentara Belanda.
98
Tjoet Nja Din
Jang baru djatuh itu ialah daerah-daerah jang ada dimuka tulang punggung daerah-daerah kekuasaan Nanta Setia jang masih mcrdeka, jaitu Ngalau Beradin. Dengan mudah tentara Belanda dapatlah menduduki Ngalau itu, daerah Nanta jang penghabisan, jang masih bebas dari pada pendudukan tentara Belanda. Sesudah Ngalau Beradin, diduduki pula sawah-sawah jang berhampiran dengan Kuburan Keramat. Sesudah itu diduduki pula Lampisang dan Tjot Tjako dengan tidak bertempur lagi. Dengan djalan demikian, maka seluruh 6 Moekim dan 4 Moekim telah ditaklukkan oleh orang Belanda. Sementara perscorangan Tjoet Nja Din hilang dari pandangan penulis, maka kenjataan-kenjataan jang discbutkan diatas itu adalah diambilnja dari sedjarah, kronik dan laporan-laporan, jang dipcroleh dari segala Djawatan dikalangan Pemerintahan Belanda. Sebagai akibat dari pada pergolakan itu, penulis mengambil kcsimpulan, bahwa Tjoet Nja Din terpaksa menghindar terus menerus. Besar kemungkinan ia telah pindah ke Mon Tassik, suatu tempat keramat jang ada dilingkungan pemerintahan Panglima Polim dipegunungan. Tapi penulis tak dapat memastikan sangkaan-sangkaan itu. Meskipun penulis telah mentjarinja sampai bertahun-tahun, tapi ia masih belum dapat menemui Tjoet Nja Din. Djcdjaknja bagi penulis hilanglah sama sekali. Masih nampak-nampak dimatanja Tjoet Nja Din pada hari penghabisan, jaitu tanggal 1 Djanuari 1876 itu. Ketika ia duduk terpantjang diatas tandu, dikelilingi oleh sekalian anak-anak serta inang pengasuhnja. Diiringkan oleh sekalian wanita-wanita budak dan pengiringnja, dan oleh pasukan pengawal serta orang-orang rodi dan orang hukuman jang memikul tandu atau mendjundjung barang-barang bawaannja. Nampak-nampak oleh Penulis rombongan Tjoet Nja Din memasuki Blang Kala, lalu menggabungkan diri kepada pasukan Nanta Setia dan Ibrahim Lamgna, dan kepada rombongan ,,pengungsi" jang telah ada disana. Nampak pula rombongan-rombongan jang telah tcrgabung itu bcrgcrak meninggalkan Blang Kala, lalu menudju kepuntjak bukit, mendaki djalan tunggang jang ada ditepi djurang dalam dan lereng-lereng gunung karang. Rombongan raksasa jang terdiri atas rakjat jang mendjundjung atau memikul harta bendanja, jang dapat ditolong dan dibebaskan daripada perkosaan orang lain, jaitu orang kafir. Budak-budak dan orang hukuman jang membawa barangbarang tuannja, dan menjertai tuan itu ketempart ,,pengungsian". Lasjkar jang meninggalkan sasaran karena dikalahkan oleh kaphe. Kedua Tjoct Nja, ibu beserta anak, jang tidak hendak takluk pula. Kedua pahlawan tanah air, Nanta Setia dan Teuku Ibrahim Lamgna, jang dikalahkan, tapi haram hendak berlutut dan menundukkan kepala dimuka orang Belanda. Dengan bcrsusah pajah, seolah-olah sclangkah demi selangkah, mereka mendaki djalan tunggang itu, keatas . . . makin keatas. Makin djauhlah nampaknja rombongan itu dari pemandangan penulis. Makin djauh, makin ketjil. . . achirnja lenjaplah ia dari pandangan mata . . .
Gerilja
99
Hilang, berlama-lama, bcrtahun-tahun! Tak ada lagi kabar bcritanja, entah Din masih hidup, entah sudah meninggal, tidaklah penulis dapat mengirangiranja. Sampai kepada saatnja Penjair Dokarim membukakan sudut tabir bagi Penulis. Nampak olehnja Tjoet Nja Din bcrsimpuh ditanah, menangis tcrseduscdu. Dihalaman sebuah rumah, djauh diulu, didekat atau dikampung Mon Tassik, didaerah pertahanan Polim. Jang nampak pada saat itu oleh Penulis dari ,,Hikajat Perang Kumpcuni", karangan Dokarim, hanjalah gambar Tjoet Nja Din, jang sedang meratap sambil bersimpuh diatas tanah . . . Hanja waktu jang melampau, jang berdjalan dari hari penghabisan ketika Penulis dapat menangkap Din jang sedang mendaki bukit karang di Blang Kala dahulu, dengan saat ia dapat pula mclihatnja duduk bersimpuh sambil mcratapratap ditanah, dikampung Keramat Mon Tassik, adalah diliputi oleh kabut tabal. Jang tidak memungkin kan bagi Penulis buat menilik apa jang telah berlaku dibelakangnja. Segala daja dan upaja penulis untuk menilik apa jang telah bcrlaku selama itu, tinggal mendjadi sia-sia, bertahun-tahun pula lamanja. Tapi sekonjong-konjong adalah rupanja suatu tangan gaib jang menulis serta mentjakar-tjakar diatas kabut itu. Penulis dapatlah mengedja-cdja beberapa patah perkataan jang scolah-olah tertjatat pada pilar-pilar Djawatan Topograpi, guna mencntukan segala kedudukan tempat-tempat jang telah diukur. Dari tulisan-tulisan itu dapatlah penulis menentukan nama-nama daerah, tempat Ibrahim Lamgna melakukan serangan-scrangan geriljanja. Ibrahim! Djcdjak Ibrahim, suami Din, telah diketahuinja! Tapi segala djedjak itu hanja mentjeriterakan riwajat hidup Ibrahim sebagai pedjuang gerilja sahadja, bukanlah Ibrahim sebagai suami Tjoet Nja Din. Sehingga hasrat penulis hendak mentjeriterakan riwajat hidup Tjoet Nja Din, tidak dapat pula dilaksanakannja. Dalam perhitungan penulis, Ibrahim telah mengantarkan isterinja bersama seratus orang pradjurit pengawal, kesalah suatu tempat jang aman, jang djauh letaknja dihulu. Disanalah Din disuruh berscmbunji dan menanti, djauh dari pada mata dan karbin marsusi, jang mengedjar-ngedjar mereka. Dan diduga pula oleh penulis bahwa Ibrahim sesudah itu kembali pula bergerilja ketempat operasinja melawan tentara Belanda. Bcrichtiar hendak merebut kembali •anah-tanah Sutji, jang telah djatuh ketangan kafir. Segala duga-dugaan penulis itu bcrsandar kepada isi sjair-sjair Dokarim, pengarang ,,Perang Kumpcuni". Dokarim itulah jang membuka sudut tabir sehingga penulis dapat melihat bajang-bajang Ibrahim, jaitu Teuku Tsjeh Lamgna. Kata Dokarim: ,,Maka Lamgna mcnjusullah dengan seratus putjuk bcdil. Dan sesudah itu dikun pulkannjalah sekalian rckannja di Gle Broee, dan disanalah mereka "erkumpul, lalu bermufakat." Dan tergambarlah dimuka pemandangan penulis daerah-daerah pegunungan )ang membatasi Lembah Atjeh disebelah Barat. Ditcmpat itu sekalian bukit mendjolok sampai kctepi pantai lautan. Kctjuali
ioo
Tjoet Nja Din
didacrah pantai 4 Moekim, jaitu scbidang tanah luas jang kerendahan, dan disambungkan oleh Ngalau Beradin dengan lembah Atjch Raja. Disebelah Barat Laut dari tanah kerendahan itu adalah mcndjulang Gumma, Paran, jang disclimuti oleh hutan-hutan raja. Dikaki gunung itulah tcrbentang tanah kerendahan jang berupa paja-paja, 800 m lebarnja. Dimusim-musim hadjan air disana naiklah sampai tinggi, sehingga paja-paja itu dapat dilajari dengan pcrahu-pcrahu kctjil. Paja-paja itulah jang dinamakan Ngalau Beradin. Maka Ngalau itu diapit oleh gunung-gunung dan bukit-bukit jang tinggi mcndjulang keangkasa. Diantara gunung-gunung itu adalah pula beberapa buah gunung jang berapi. Gle Broce' adalah tcrlctak dipegunungan itu, jaitu dipcrbatasan antara 9 Moekim, daerah pemerintahan Teuku Poerba jang sudah umur, dengan 7 Moekim, jang dikuasai oleh Teuku Bait, jang masjhur gagah beraninja. Dibilangan Gle Broce itulah penulis dapat melihat gambar Ibrahim Lamgna, duduk bcrmusjawarat dengan rekan-rckannja jang seratus orang diatas puntjak gunung jang tertinggj. Apakah sebabnja, demikian penulis bcrtanja dalan hatinja, maka Ibrahim sampai menghindar sedjauh itu dari Scla Blang Kala dipegunungan Paran, tempat penulis mclihatnja buat penghabisan kali, jaitu ketika ia dapat dialahkan oleh tentara Belanda? Mungkinkah ia telah menghindar, lalu menurun gunung, menudju kclcmbah pantai 4 Moekim, jang pada ketika itu masih bebas dan mcrdeka? Dan dari sana ia menudjukan langkah arah kepegunungan jang ada di Selatan? Dan melalui Sela Glitarocn, terus kc 6 Moekim, didaerah pemerintahan Teuku Poerba jang masih bebas? Dan mencruskan perdjalanan terus kc Selatan, menudju kedacrah pegunungan jang dikuasai oleh Panglima Polim? Menghampiri Mon Tassik dengan mesdjid Keramatnja, jang ditjeritcrakan telah didjadikan tempat pertapaan oleh Imam Longbata? Apakah isterinja Tjoet Nja Din, telah dibawanja kesana, dibawah perlindungan seratus putjuk bcdil? Dan sesudah diperolehnja tempat perlindungan jang aman untuk isterinja itu, lalu Ibrahim kembali pula kepegunungan Gle Broee, buat bermusjawarat dengan rekan-rckannja dipuntjak suatu gunung jang tertinggi? Segala perhitungan itu, oleh penulis dianggap tidak mustahil. Tinggi diatas puntjak gunung duduklah Ibrahim, bcrmufakat dengan segala rekannja jang setia. Djauh dibawahnja terbcntanglah Lembah Atjch Raja, sebagai sebuah peta bumi raksasa dimuka gencrale staf. Disanalah berkobar peperangan antara pihak jang datang mcrampas dengan pihak jang mempertahankan tanahnja. Sabillullah Muslimin Atjeh! Sengit nian pertempuran itu. Karena Djcndral Pel telah menctapkan tekad hendak mcnaklukkan atau menghantjurkan bahagian daerah 9 Moekim jang masih bebas itu. Teuku Tsjeh Lamgna dapat melihat dengan mata sendiri, tjara bagaimana lakunja kaphe mcremuk daerah pemerintahan Teuku Poerba jang belum hendak bcrlutut itu. Tentara Belanda memulainja dari sawah-sawah jang ada dimuka pintu
Gerilja
101
Sela Glitarocn, dan tempat berdirinja kampung Daroe dengan Mesdjid Daroen-
)aJang telah dilakukan oleh orang Belanda di 6 Moekim, diulang pula mempcrtundjukkannja di 9 Moekim itu. Tapi lebih ganas, lebih kedjam dari pada jang sudah-sudah. Istimewa pula karena perlawanan lasjkar Teuku Poerba sama pula tangkasnja dengan perlawanan jang telah dilakukan oleh angkatan perang Nanta Setia. Tentara Belanda jang telah banjak memberikan hurban njawa di 6 Moekim, rupanja hendak membalas dendam kepada 9 Moekim jang tidak kundjung takluk itu. Maka dimana perlawanan dapat dipatahkan, nampak pula disana bcrdujundujun rakjat jang keluar kampung dengan alat sendjatanja, sambil mengangkut harta benda dan ternaknja. Kawan-kawan jang gugur atau rubuh karena luka, dibawa pula keluar kampung. Maka nampaklah api bcrkobar-kobar, memusnakan Mesdjid dan rumah-rumah tempat kediaman orang kampung. Dan dengan djalan jang demikian hantjur luluhlah sekalian kampung-kampung, jang terletak diantara Gle Broce dengan Mesdjid Longbata, jang telah djatuh kctangan kaphe lebih dahulu. Mesdjid Daroe beserta seluruh kampung sckitarnja, telah mendjadi abu. Sekalian kampung jang ada dikiri kanan djalan kc Oleh-Soesoe, telah musna, mendjadi rata dengan tanah. Sedang Mesdjid Olch-Soesoe telah mendjadi abu pula. Kampung Empehbling dipanggang, dan kampung Loc -oc dipanggang, dan kampung Kajoeleh dipanggang. Dan setelah mereka sampai kc Pagar Ajer, dekat bekas Mesdjid Longbata, jang habis pula dipanggangnja, maka pcrdjalanan „pembcrsihan" tentara Belanda jang berkcliling itu, pada tanggal 7 Pebruari 1876, telah ..sempurna" dilakukan, setjara jang ,,memuaskan"! . . . „Kemenangan gilang-gemilang" dipihak Belanda telah ditjapai dikampungkampung jang tidak bcrdaja itu, sctelah ditinggalkan oleh seluruh peradjuritnja. Dan seluruh penduduk kcluarlah meninggalkan bekas-bekas kampungnja itu, membawa harta benda jang dapat dibawa. Maka sampailah mereka kesesuatu tempat jang dianggap aman. Setengah orang tiba didaerah Bait, ada pula jang tcrsesat kedaerah Polim, dan tidak pula kurang jang sampai ke Pcdie. Jang di- ,,sempurnakan" didaerah Nanta didalam enam hari, ,,berhasil" pula didaerah Teuku Poerba didalam waktu scmbilan hari. Dan barang siapa jang duduk di G\& Broce ditempat jang ketinggian, maka olehnja akan nampaklah dengan djelas, setjara apa ..pembersihan" itu telah dilakukan oleh orang Belanda. Setelah Ibrahim Lamgna menjaksikan bcntjana itu dengan mata sendiri, maka naiklah darahnja. Lalu turunlah ia dengan sekalian rekannja kclembah dan diteruskannja pula kewadjiban gcriljanja, jaitu mentjari-tjari patruli Belanda ]ang berkeliaran. Mereka itu diserangnja dari scmak-scmak jang tcrlindung. Perdjalanannja diteruskan kcarah Barat. Sebab ia teringat akan suatu antjaman )ang telah dilakukannja didaerah-daerah itu, terhadap kepada sekalian orang Jang bersekutu dengan ,,kumpeuni".
io2
Tjoet Nja Din
Ibrahim beserta rekan-rekannja mencpuh djalan ketjil jang terbentang dikaki bukit dan ditepi-tepi sawah. Maka dengan gemas iapun memandang kepada padi jang menguning, jang telah njata sia-sia ditanam oleh orang kampung. Lalu diturutkannja djalan itu, sampai ia terpasah kesebidang tanah lapang, jang seluruhnja nampak bertilam bara dan abu. Dan tahulah Ibrahim bahwa tanah lapang itu beberapa hari kebelakang, masih bernama kampung Empehbling, sebelum ia dipanggang oleh orang Belanda. Maka sampailah Ibrahim keterowong rimba, jang memberi djalan ke Sela Glitaroen. Sebelum ia meneruskan perdjalanan kepegunungan, menolehlah ia dahulu kesekitar tempat. Maka nampaklah olehnja dua bidang tanah jang memberi kesan bekas dibumi anguskan. Tahulah ia bahwa ditempat jang satu, beberapa hari kebelakang, masih makmur kampung Daroe, dan ditempat jang lain masih berdiri Mesdjid dengan rumah-rumah penduduk sekelilingnja. Maka masuklah Ibrahim kedaerah pegunungan, lalu kembali pula ke Sela Glitaroen, tempat jang ditempuh dahulu, semasa ia membawa isterinja, Tjoet Nja Din ketempat persembunjian. Di Sela itu Ibrahim memutuskan perdjalanan sebanjak perlunja sahadja. Njatalah bahwa tentara ,,kumpeuni" bermaksud hendak mempcrgunakan tempat itu buat pekerdjaannja jang kedji. Dibcbcrapa bidang paja mereka telah memperbuat titian-titian darurat, jang dimaksudkan untuk menjebcrang. Sekalian titian itu dibinasakan dan ditiadakan dahulu oleh Ibrahim beserta rekan-rekannja, sebelum mereka meneruskan perdjalannannja. Luar dari pada merusak titian-titian itu, perlu pula ia memperbuat penghalang-penghalang djalan, guna mcrintangi tentara Belanda, jang hendak melalukan lasjkar artilcrinja kesana. Pada kcesokan harinja, maka tentara Belanda sibuk pula memasang titiantitian baru dan membuang-buangkan segala rintangan dan penghalang-penghalang djalan, ditcngah-tengah hudjan peluru, jang ditimbulkan oleh Ibrahim dengan rekan-rckannja dari tempat-tempat jang terlindung. Tapi pada malam itu djua Ibrahim telah membinasakan pula segala titian dan merintangi pula segala djalan-djalan jang hendak dipergunakan oleh musuh. Setelah selcsai dari pada melakukan tindakan-tindakan ,.gerilja" jang serupa itu, Ibrahim meneruskan pcrdjalanannja. Maka sampailah ia kesawah-sawah jang ada di 4 Moekim. Terlcbih dahulu penduduk disana telah tunduk kepada tentara Belanda, setelah memberi perlawanan jang tidak bcrarti. Oleh karena itu dapatlah mereka berscnang-scnang menjabit padinja. Guna menctapi djandji, jaitu antjaman kepada sekalian orang jang bersekutu dengan musuh, Ibrahim dan rekan-rekannja lalu membakar beberapa buah kampung ditempat itu. Itulah tindakannja guna memenuhi djandji buat pertama kalinja . . . Maka Ibrahim meneruskan perdjalanan, lalu masuk kedalam Ngalau Beradin. Telah berbulan-bulan lamanja ia meninggalkan kampungnja. Sekarang ia sedang ada dimuka pintu kampungnja itu, jang telah hantjur luluh. Tidak lama ia termenung memikir-mikirkan. Tidak pula ia banjak tjakap. Jang difikirkannja
Gerilja
103
tinggal tersckap didalam kalbu, bagaikan api makan didalam dedak. ,,Marilah!", hanja sekian jang dikatakannja kepada rekan-rekannja, ketika ia melangkah hendak meninggalkan tempat itu. Dengan tergesa-gesa, tapi tetap berhati-hati, mereka menempuh djalan ketjil jang ada dibclakang Bukit Scbun. Disana tentara Belanda ada membuat tempat perkemahan jang diperkuat. Buat melindungi diri, rombongan Ibrahim, itu mentjahari djalan sedapat-dapat melalui kebun kelapa jang banjak tcrdapat ditempat itu. Maka sampailah mereka kepegunungan Paran, jang tcrlctak disebelah Selatan Kuburan Keremat. Sambil mentjari djalan ditengah-tengah belukar jang tumbuh bertumpuk-tumpuk disela-sela bukit karang, mereka menudju kearah Blang Kala. Hati Ibrahim sangat terharu, ketika ia kembali mengindjak tanah, tempat ia dahulu telah pernah dialahkan oleh orang Belanda. Sekonjong-konjong iapun mempertjepat langkahnja. Sambil menoleh kepada rekan-rckan semua, berkatalah ia dengan suara jang scrak, agak gemetar: „Bersitjepatlah kita!" Maka sampailah mereka kesuatu guha lebar jang dahulu telah pernah dipergunakan mendjadi tempat persembunjian oleh mereka. Disana mereka berdjumpa dengan bala bantuan jang telah menantikan kedatangan mereka. Kawan-kawan baru itu ialah Teuku Adjat, saudara Ibrahim jang tertua, beserta Panglima Nja Man, seorang Panglima Pcrangnja jang masjhur gagah bcrani. Pasukan gerilja jang dibawa oleh mereka, adalah berdjumlah berpuluh-puluh orang pradjurit gerilja jang lengkap bersendjata. Maka bersama-samalah mereka meneruskan perdjalanannja arah kc Utara, menempuh djalan ketjil jang mendaki dan melalui punggung-punggung gunung batu karang. Djalan ini dahulu telah ditempuh pula oleh Ibrahim, ketika ia terpaksa menghindar. Maka bcrhentilah ia scdjurus, lalu mclajangkan pemandangan sekitar-kitar Rawa Pantjoer, didaerah pantai. Ditempat ini sedjak bulan Djanuari sudah tidak bcrlaku lagi pcrtempuran-pcrtempuran. Maka nampaklah olehnja kampung Lampaggcr, jang telah berchianat. Untuk melindungi keselamatan orang kampung itu „kumpcuni" telah membuat tempat perkemahan ketjil, jang dilingkari oleh pagar rendah. Dan disebelah Tenggara kampung Lampaggcr nampak pula oleh Ibrahim kampung Lamtjoet, jang masih penuh dengan penduduknja dan tidak membcri pula kesan-kesan dirusak. Kampung Lamtjoetpun memang tidak pula melawan kepada ,,kumpcuni". Dan disebelah Timurnja tcrlctak bekas kampung Lamtengah. Penduduk kampung itu telah mempertahankan mesdjidnja, lalu kampungnja dibumi anguskan oleh Belanda . . Matahari baru terbenam. Alam scmesta masih terang, diselimuti oleh sinar mambang jang berwarna kuning berkilau-kilauan, bagaikan tjahaja emas pcrada. Mata Ibrahim memandang kepada sawah-sawah, jang baharu disabit padinja. Sekalian ternak penduduk kampung berkeliaran disana, mentjahari makanannja masing-masing. Dari rumah-rumah penduduk nampak asap membubung, menandakan bahwa penghuninja sedang bertanak bcrsanan-senang, didalam
104
Tjoet Nja Din
suasana aman dan damai. Dan disendja hari jang permai itu.sedang scmcsta alam mandi bcrlimau air emas jang dituangkan dari langit, maka ragu-ragulah hati Ibrahim Lamgna demi memikir-mikirkan, apakah scsungguhnja tanah Atjeh sedang terpanggang, hantjur luluh mendjadi kurban peperangan? Mungkinkah orang sedang bcrperang, sedang bunuh-membunuh, bakar-membakar, dialam jang sepermai ini?. . . Itulah jang mengharukan hati Ibrahim, ketika ia menindjau kelembah-lcmbah paja jang diisi oleh tumbuh-tumbuhan sekitarnja itu, antara Lampagger dan Lamtjoet. Ketika ia memandang kepada pohon-pohon njiur jang melambailambaikan daunnja, bagaikan machluk jang sedang bertjumbu-tjumbuan bersuka ria. Ketika ia memusatkan tindjauan sedjenak pada sebuah danau sempit jang terbentang diantara pantai dan sebuah pulau bentuk bulan sabit, dengan airnja jang tenang, jang meluangkan tempat berlabuh untuk beberapa buah perahu kepunjaan orang Lampagger. Dan dibelakang pulau itu nampaklah terbentang lautan raja, dengan gelombangnja jang menggulung-gulung, antarmengantar arah kctcpi pantai, lalu memetjah disana. Matahari jang telah sempurna terbenam kedalam laut itu, meninggalkan tjahaja mcrah darah dipermukaan air. Disckitar tempat hari telah mulai gelap. Ternak diiringkan orang kekandangnja masing-masing. Tabuh magrib di Lamtjoet dan Lampagger telah lama dipalu orang. Hanjalah tabuh di Lamtengah jang tidak menjahut. Karena ketika mesdjid terpanggang, tabuh pusaka itupunturut pula mendjadi abu . . . ,,Marilah, kawan-kawan!" Hanja sekian jang keluar dari mulut Ibrahim jang sedang bcrdaja-upaja menjabar-njabarkan dan memenangkan hatinja jang bagai terpanggang itu. Dengan perkataan pemimpin itu, menurunlah pasukan gerilja menempuh djalan kekampung. Ketika mereka melalui Blang Kala, penduduk kampung tinggal berdiam diri, tidak seorangpun jang memberi salam atau sesuatu isjarat. Di Lamtjoet pendjaga pintu kampung membcri djalan untuk masuk kepada mereka, sambil memberi isjarat-isjarat, menandakan bahwa pasukan gerilja sedang mengindjak tanah kawan. Maka pada tcngah malam antara tanggal 2 dan 3 Mci 1876, gemparlah seluruh kampung Lampagger. Sekonjong-konjong bagaikan terbelahlah angkasa karena pekik dan tempik sorak angkatan perang, jang datang dari segala pendjuru. Pasukan garilja masuk menjerbu kedalam kampung Lampagger, jang telah lama diintai-intai oleh para pedjuang, karena kampung itu telah ditjetak mendjadi pengchianat terhadap bangsa, tanah air dan agama. Gerilja segcra menerkam penduduk dan pendjaga perkemahan tentara Belanda jang sedang tidur njenjak. Penjergapan itu dilakukan dengan tjepat serta tiba-tiba, sehingga jang didjadikan mangsa oleh gerilja itu, tidaklah berkesempatan lagi lari, apalagi untuk melawan. Oleh karena itu dengan mudah kelcwang-kclewang gerilja dapat mentjeraikan kepala dan kaki tangan mereka dari tubuh masing-masing. Semalam-malam hari dentuman senapan dan pekik orang tidak berkeputusan. Darah mengalir bagaikan bandjir, majat manusia telah bertumpuk-tumpuk.
Gerilja
105
Setelah selcsai dari pada ,,Menunaikan kcwadjiban" itu, pasukan gerilja kembalilah kepegunungan, sambil mengusung kawan-kawan jang luka dan jang gugur. Tapi jang telah ,,dihukum" oleh tentara Belanda, dituduh sckutu dengan ,,djahat", karena kampung mereka tidak mendcrita penjerangan gerilja, ialah kampung Lamtjoet! Pada kecsokan harinja kampung itupun telah mendjadi abu pula, disunu oleh tentara Belanda! . . .
SAHID Pada ketika itu mulai djelaslah bagi orang luar, apa sebenar-benarnja jang dimaksud oleh Habib Abdoerrachman dengan gerakan di Atjeh. Dua tahun lamanja ia mempergunakah waktu buat melcnjapkan diri dari mata pulisi Pulau Pinang. Tapi sementara itu memang ia telah berdjasa besar dalam perkara kirim-mengirimkan sendjata guna peperangan di Atjeh. Dewan jang Delapan di Pulau Pinang telah mendapat segala rupa keterangan jang berharga dari Habib. Segala keterangan itu diperolehnja dari istana Sultan Djohor, jang bcrsahabat dengan orang Belanda dan dengan Habib Abdoerrachman sendiri. Memang agak sulit untuk menarik garis perbedaan antara diplomat dengan oportinis. Sebab kedua-duanja itu tumbuh scrumpun. Oleh karena itu agak tergesa-gesalah orang, bila ia berkata bahwa ia telah kcnal baik dengan Habib Abdoerrachman, lahirnja maupun bathinnja. Tapi bagi setangah orang sudah djelas, bahwa Habib Abdoerrachman pada achirnja telah memilih djua pihak Atjeh, setelah ia berulang-ulang mentjoba bcrdjabat tangan dengan orang Belanda, tapi sclalu tinggal sia-sia. Jang telah djelas pula ialah bahwa orang Belanda tidak pertjaja kepadanja. Guna siasat, dan untuk mendapat djalan buat meninggalkan Pulau Pinang, maka tcrlcbih dahulu Habib pura-pura memihak orang Belanda. Demi diketahui oleh Pulisi Inggris di Pulau Pinang bahwa ia telah bersekutu dengan orang Belanda, maka agak dimcrdekakanlah ia didalam segala gerak-geriknja. Setelah menjaru sebagai orang kebanjakan, masuklah ia bckerdja mendjadi kelasi disalah sebuah kapal jang hendak menjebrangi Sclat Malaka. Ketika kapal itu berlabuh dipantai Timur tanah Atjch, larilah Habib, lalu masuk kepedalaman. Pakaian kelasinja diganti dengan djubah putih. Baret kelasi jang dipakainja selama dikapal, diganti pula dengan sorban besar. Dengan pakaiannja jang ascli itulah ia mendjalani tanah Atjeh, naih bukit, turun lembah, dari kampungkckampung, dari dusun kedusun. Sepandjang djalan diandjur-andjurkannjalah Sabilullah dan dikumpulkannjalah uang derma untuk membelandjai peperangan itu. Dan berkatalah ia bahwa Perang Sabil jang sebenarnja baru hendak dimulai, dibawah pimpinan 151 Seid Abd — Ul — Rachman El Zahir sendiri, sedang ia telah menerima perintah Iangsung dari Sultan Turki buat menjertai orang Atjeh didalam pertempurannja melawan kafir, untuk membcla agama Islam. Lalu didjalaninja pula sepandjang pantai, sambil membawa-bawa bendera hidjau, dan diiringkan oleh orang Atjch jang telah sama-sama ichlas hendak sahid dengan Habib. Di Pedie' kedatangannja disambut oleh 7mam Longbata, jang telah meninggalkan tempat pertapaannja, dan kembali mentjempungkan diri kedalam kantjah perdjuangan. Imam Longbata adalah membawa pcngiring beratus-ratus orang banjaknja serta bersendjata pula. Maksudnja ke Pedie ialah hendak menemui pemimpin peperangan jang baharu datang itu. Dan sambil membawa lasjkar lang berdjumlah beratus-ratus orang Muslimin, Habib Abdoerrachman meneruskan perdjalanannja, menudju ke Sagi 22, daerah pemerintahan Panglima Polim.
Sahid
107
Peristiwa itu terdjadi pada tanggal 19 Met 1876. Di Djakarta seorang wartawan telah menulis dengan bimbang didalam surat kabarnja: ,,Dari Atjch datang kabar-kabar jang kurang baik, . ." Tetapi lasjkar rakjat jang hendak membawa tentara kafir kesasaran besar itu, tak kundjung dapat melalukan sesuatu tindakan, karena mereka dirintangi oleh hudjan lebat jang turun berhari-hari dengan tak ada hingganja. Seluruh daerah paja-paja telah berubah mendjadi tasik jang tak berhingga luasnja. Penjakit cholera dan discntri bertjabul pula, hingga kebanjakan pcngiring Habib terpaksa dikuburkan, bukanlah karena Sahid, mclainkan tewas, karena dihinggapi oleh penjakit perut. Dari sehari kesehari tak tcrbilang lagi banjaknja orang jang sampai kepada adjalnja. Dengan hal jang demikian, bertambah-tambah bilangan pedjuang jang meninggalkan paja-paja dan kembali kekampungnja masing-masing, dimana penjakit perut belum bersimaharadjalela. Maka didalam bulan Agustus 1876, wartawan jang berhati bimbang dahulu di Djakarta, dapat mcnuliskan didalam surat kabarnja dengan dada lapang: ,,Pengiring-pcngiring Habib Abdoerrachman telah bertjerai-berai. Dapat diharap, bahwa peletusan pemberontakan baharu jang ditakuti, mungkin tidak akan terdjadi didalam sementara waktu." Jang dikatakan oleh wartawan itu memang tidak djauh daripada kenjataan jang sebenamja. Pengaruh Habib memang scsungguhnja telah mengurangi. Api peperangan tinggal tcrsekap didalam unggun. Setahun lamanja Habib Abdoerrachman tinggal mcrantjang-rantjang siasat. Orang Belanda di Djakarta mulai bcrlapang dada pula. Didalam ,,Kronik Atjeh" jang dapat dibatja oleh mereka disurat-surat kabarnja, adalah ditulis sebagai berikut: ,,Rupanja didalam kalangan pemimpin pemberontakan Atjch telah timbul perpctjahan jang bcrarti. Makin banjak orang Atjeh terkemuka jang berkejakinan, bahwa perlawanan terus menerus tcrhadap tentara Belanda, jang djauh lebih kuat dari lasjkar rakjat Atjeh, akan mendjadi sia-sia. Bagi mereka telah njata, bahwa tentara Belanda dengan sendjata-sendjatanja buatan baru, bukanlah lawan buat orang Atjch. Oleh karena itu timbullah perselisihan faham didalam kalangan pemimpin-pemimpin pemberontakan. Banjak diantara kepala-kepala jang sedang mempertimbangkan, apakah tidak lebih berbahagia bagi mereka, djika mereka mempersatukan diri sadja kepada Belanda, untuk mengekalkan kekuasaan dan kebesaran mereka sendiri? Tapi, bcrtentangan dengan pendapat itu, ada pula jang bcrtanja apakah tidak lebih baik, djika dengan djalan pemberontakan besar-besaran orang Belanda itu diusir seluruhnja dari Atjeh? Sementara itu bukan pula mereka tidak insjaf, bahwa bila djalan jang kedua itu hendak ditempuh, adalah bcrarti bahwa mereka akan terpaksa mempertaruhkan scgala-galanja, jaitu: kedudukan harta benda, dan kemerdekaan diri sendiri.
108
Tjoet Nja Din
,,Disamping Kepala-Kepala jang sedang timbang-menimbang itu, banjak pula orang-orang terkcmuka jang tidak suka mendengarkan kata-kata damai, apalagi takluk, Bagi mereka djalan berunding dengan kafir sudah tak ada sama sekali. Tapi, kata kronik-kronik itu, golongan jang lebih sabar dan masih dalam timbang-menimbang, kian hari kian bertambah djua, dan telah mendjadi lebih banjak bilangannja daripada golongan jang hendak mencruskan pepcrangen. Dikalangan rakjat, sampai kepada pengiring-pengiring Polim dipegunungan, telah mulai nampak tanda-tanda djemu dan letih berperang. Hanja Panglima Polim sendiri jang masih teguh pada pendiriannja, jaitu berpantang takluk dan haram hendak damai dengan orang-orang Belanda. Tandingan Panglima Polim, jaitu Teuku Bait, dari 7 Moekim, jang fdak ingin hendak kctinggalan, mulai pula memikir-mikirkan antara tanduk dan terus berperang. Tapi bagi Teuku Bait memang sangatlah sulit buat menghentikan perlawanan, karena anak buahnja adalah termasuk orang jang fanatik dalam agamanja. Selain daripada itu Teuku Bail adalah mendjadi ipar kandung dari Habib Abdoerrachman, jang masih dianggap mendjadi pemimpin tertinggi dari Sabilullah. Meskipun demikian, Teuku Bait sedang sibuk menindjau-nindjau dan mentjari keterangan, kemanakah tjondongnja Panglima Polim, tetangganja dan musuhnja dalam batin." Demikianlah bunji kronik-kronik disurat kabar orang Belanda jang terbit ditanah Djawa. Sesudah 9 Moekim, daerah pemerintahan Teuku Poerba, ,,dibersihkan" oleh Belanda, maka penduduk disana telah mulai pula segan-segan hendak meneruskan peperangan. Istimewa pula setelah penduduk jang ,,mengungsi" berkehendak pulang kckampungnja, untuk mengcrdjakan sawah-sawah serta ladangnja. Hanja Teuku Poerba jang telah landjut umurnja, masih belum suka mendengarkan kata-kata damai, apalagi tunduk. Terus menerus ia berkata bahwa ia lebih baik Sahid daripada takluk kebawah perintah kafir. Teuku Poerba tidaklah menjembunji-njembunjikan, bahwa ia masih berhubungan rapat dengan para Ulama dari kampung Tiro jang ada ditengah-tcngah Pedie. Maka kampung Tiro itu telah didjadikan markas besar oleh para pemimpin Sabilullah setjara berterang-terang. Selainnja daripada itu bukan rahasia pula bahwa Teuku Poerba ada bersekutu dengan Panglima Polim, dan dengan sekalian Panglima-Panglima perang jang telah menghindar dan telah dikenal sebagai orang-orang jang pantang tunduk, jaitu Imam Longbata, Teuku Nanta Setia beserta menantunja Teuku Ibrahim Lamgna, dan Teuku Hasjim, wali dari tjalon Sultan, Radja Daoed. Antjaman-antjaman dari golongan ,,pantang tunduk" itu terhadap kepada sekalian orang jang berterang-terang tidak hendak melawan kepada Belanda, adalah demikian besarnja, sehingga pemerintahan Belanda di Kotaradja terpaksa membcrikan sendjata-sendjata api dengan peluru setjukupnja kepada KepalaKepala jang dianggap tidak berbahaja, supaja mereka dapat melindungirakjatnja jang sama kembali dari tempat ,,pcngungsian" Bahwa scsungguhnja pekerdjaan Habib Abdoerrachman jang bcrtjita-tjita hendak
Sail id
109
meinimpin peperangan Sabilullah setjara besar-besaran itu, tidaklah dapat berdjalan dengan lantjar, antara bulan Agustus 1876 sampai kepada bulan Djuni 1878. Apakah jang mengikatnja kepada pekerdjaan jang njata sia-sia itu? Mungkin karena ia merasa bcrkewadjiban buat memimpin dan menjatukan orang-orang Islam, jang hendak mengusir kafir dari tanah airnja. Mungkin ia berkejakinan bahwa buat kemuka tidak ada lagi orang tjakap jang akan didjadikan pemimpin perang Sabil itu, luar dari pada Habib. Mungkin djua, karena ia hanja tcrdorong oleh rasa kemegahan akan kehormatan sadja! Entahlah! Tapi jang njata ialah bahwa Habib Abdoerrachman tetap tinggal berdiri pada tempat jang telah dipilihnja sendiri itu, meskipun ia insjaf bahwa pengaruhnja jang dahulu adalah djauh lebih besar daripada sekarang. Ia tahu bahwa kenertjajaan orang Atjeh kepadanja telah retak, sedang orang Belanda sudah sama sekali tidak pcrtjaja kepadanja. Tapi, meskipun demikian, tidaklah ia hendak meninggalkan tanah Atjeh. Sekiranja Habib Abdoerrachman dapat mengalami waktu agak berpandjangpandjang, ketika bintangnja terang, sehingga ia sampai kepada mendjadi Pemangku Bumi Kcradjaan Atjch, disamping Sjahbandar Tibang, mungkin ia akan mcngelindungi Tibang; tidak mustahil kedudukannja akan ada diatas Nanta, diatas Bait, diatas Polim, malah mungkin djua diatas Sultan! Tapi malang baginja, zaman jang gilang gemilang itu hanja dapat bcrlaku diwaktu jang sangat singkat sahadja. Orang Belanda telah datang mengganggu, sebelum ia sampai kepuntjak. Tapi Habib Abdoerrachman rupanja masih belum putus asa. Dinantikannja waktu jang sebaik-baiknja buat mendapat djandjang naik pula, entah djandjang dari mana, itu adalah tcrgantung kepada nasib pcruntungannja djua. Habib meninggalkan Pulau Pinang, lalu membawa pengiring-pengiringnja kepegunungan d'daerah Panglima Polim. Kampung jang ditudjunja ialah Mon Tassik, tempat perpusatan kebanjakan orang Atjch ,,pantang tunduk". Disana orang telah menjediakan sebuah rumah jang sengadja diperbuat untuknja, berhampiran dengan Mesdjid. Disanalah dimulainja pertempuran-pcrtempuran dipapan tjatur. Bukan melawan ,,kumpcuni", sebagai jang diharap-harapnja, mclainkan buat sementara adalah ia terpaksa menghadapi segala lawan atau kawan jang ada dirumah. Maka dipandangnjalah dahulu keadaan dan kedudukan sekalian anak tjaturnja, satu demi satu. Dengan teliti diamat-amatinja rupa dan kedudukan segala pion itu. Mula-mula Panglima Polim, (sementara itu Teuku Poerba telah mcninggal dunia), sesudah itu Teuku Bait, Nanta, Ibrahim Lamgna dengan isterinja Tjoet Nja Din jang sangat fanatik dan masuk golongan kaum tua faham, dan berpantang tunduk pula. Sesudah itu Teuku Hoessin, Teuku Hasjim beserta Teuku Daoed, putera Sultan jang belum baliq. Disamping pedjuang-pedjuang lama jang ulung itu, timbul pula dua orang pedjuang baru, jaitu Teului Oemar
110
Tjoet Nja Din
dari Meulaboh, putera saudara Nanta Setia. Seorang anak muda jang telah termasjhur sebagai pcmimpin jang tangkas dari rombongan pemberontakan, dan telah ditakuti pula. Teuku Oemar haruslah dimasukkan kedalam golongan Panglima Perang jang tahu siasat dan berpengetahuan banjak dalam perkara mengepalai lasjkarnja dimcdan perang. Buat penutup Habib mengamat-amati pula anak tjatunja jang penghabisan, jaitu Ulama Tsjeh Soman, penduduk kampung Tiro didaerah Pedie. Ulama itu ialah seorang alim jang berdarah keperadjuritan, pantang tunduk pula. Diwaktu-waktu jang achir ini Ulama Tjjeli Soman lebih dikenal dengan nama Teungku di Tiro. Dengan bersusah pajah Habib Abdoerrachman achirnja berhasil djua mempersatukan sekalian Pcmimpin-Pemimpin ulung itu, sehingga diantara mereka timbullah kcrdja sama jang boleh dikatakan crat djua. Hanja persatuan pcmimpin-pemimpin itulah jang mendjadi sjarat tcrutama buat melawan ,,kumpcuni", demikian pendapat Habib. Apalagi karena pendirian dan semangat rakjat tcrhadap perang sabil telah gojang. Setelah sclesai daripada mempcrsatukan orang-orang terkemuka itu, Habibberhasil pula menggerakkan hati Pembesar-Pembcsar Kcradjaan, buat menobatkan Teuku Daoed mendjadi Sultan Atjch. Sudah tentu Habib sendiri harus diangkat pula mendjadi wali Sultan, bersama-sama dengan Teuku Hasjim. Sclesai pulalah hal penobatan Sultan Atjch. Dengan djalan demikian Keradjaan telah mempunjai dua Wali Negara jang boleh dibawa kemuka rakjat, sebagai lambang persatuan dan sebagai kenjataan daripada adanja Keradjaan. Sesudah itu baharulah dapat dipcrkatakan tentang persiapan buat mengadakan Sabilullah setjara besar-besaran. Barulah rakjat Atjeh dapat berkirakira dan bertjita-tjita buat mcngcmbalikan Dalam Kotaradja dan singgasana Atjeh kepada Sultannjajang berhak. Di Mon Tassik diadakanlah mufakat-mufakat buat memulai Sabilullah pada tingkatan kedua itu. Sekalian orang-orang mengungsi jang datang kckampung itu, memang membawa uang dan harta benda masing-masing, jang tidak ternilai harganja. Segala biaja jang dikchendaki oleh perang Sabil itu hcndaklah dibajar dari uang dan harta benda para pengungsi itu. Tjoet Nja Din menundjukkan segala kcichlasan hatinja buat turut mcmbelandjai peperangan itu. Segala jang ada padanja diserahkannja kepada Habib, jang membclandjakan uang itu untuk pembeli alat sendjata dan barang-barang serta alat sendjata dari Pulau Pinang, keperluan-kepcrluan hidup para pedjuang jang bcrupa makanan dan sebagainja. Teuku Ibrahim Lamgna telah kembali pula kcscgala tempat pertempurannja sebagai pimpinan gerilja didaerah-daerah jang telah ada dibawah kekuasaan Belanda. Disana ia meminta derma dari orang-orang jang berada. Djika tidak dapat dengan bcrkerclaan, dengan paksa dan antjaman. Dan Teungku di Tiro telah mendjalani pula kampung-kampung dan dusundusun jang tcrscbut makmur. Orang-orang jang berada telah dapat disuruhnja membuka pcti-peti pusaka, lalu mengeluarkan sekalian emas dan intan beserta
Saliid
111
sekalian pakaian jang berharga. Segala sesuatunja itu telah diserahkan oleh mereka dengan ichlas buat menutup biaja Perang Sabil. Maka didatangkanlah segala sendjata api beserta sekalian mesiunja dari Pulau Pinang, setjara berbanjak-banjak. Sedangkan bcras diselundupkan pula dari sana kepclabuhan-pclabuhan Atjeh jang biasa dipergunakan untuk perniagaan gelap. Sekalian barang-barang jang datang itu ditcruskan ke Mon Tassik, melalui rimba-rimba raja, djangan ia sampai djatuh ketangan ,,kumpcuni". Fihak Pemerintah Belanda tidak pula tinggal pekak dan buta dalam menghadapi pcrsiapan Atjeh itu. Maka diangkatlah oleh mereka Djenderal i>an der Heyden mendjadi Panglima tertinggi dari kctentaraan di Kotaradja, dengan diberi tugas istimewa buat ..mempersilakan seluruh tanah Atjeh jang tidak hendak aman-amannja itu". Baru sadja Djenderal van der Heyden mulai membawa pasukan ckspidisinja buat bertindak disesuatu daerah, maka mcletuslah kepundan pemberontakan jang telah lama tinggal tcrpendam itu. Habib Abdoerrachman mengepalai sepasukan lasjkar jang tcrdiri atas 2000 orang pedjuang lalu menjerang Kroecng Raba, ibu kota 4 Moekim, dengan tiba-tiba. Di Lepong, sebuah kampung ditepi pantai jang terletak disebelah Selatan, adalah berdiam Teuku Rajoet, saudara Tjoet Nja Din. Maka Teuku Rajoet telah menjediakan pula 1600 orang pedjuang. Nanta, ajahnja telah meduduki Kampung Goera, jang sebclah mcnjebelah dengan Kampung Pakan Bada. Ditiap-tiap kampung seluruh 6 Moekim rakjat telah hiruk pikuk dan gelisah pula. Dilereng-lereng gunung jang ada di Ngalau Beradin, Ibrahim Lamgna menjediakan 100 orang peradjurit didalam rimba. Dan dekat Blang Kala berdjagadjagalah scrombongan peradjurit gerilja, jang ada dibawah pimpinan Teuku Adjal, saudara Ibrahim. Sela Glitaroen telah didjaga oleh 400 orang pedjuang bersendjata. Imam Longbata dapat pula mengumpulkan beberapa ratus peradjurit ,,pantang ,.tunduk" buat menjerang Longbata. Di Mon Tassik bcrtumpuk-tumpuklah barang-barang serta makanan. Sedjumlah besar hewan scmbelihan dikumpulkan pula disana. Segala sesuatunja itu hendak dikirimkan kc 4 Moekim, buat makanan lasjkar Habib jang sedang bertempur disana. Lasjkar pertahanan orang Belanda di Kroecng Raba, telah dapat dibubarkan oleh Habib. Disegala tempat timbullah perlawanan. Pakan Bada, Lampisang, Ngalau Beradin, dan Longbata tcrantjam. Habib Abdoerrachman telah membuat parit dimuka Kroecng Raba, dan dari sanalah ia melakukan penjerangan-penjerangan. Enam djam setengah lamanja ibu kota itu dihudjani dengan peluru. Rumah pegawai Bestuur Belanda habislah terbakar, pcrhubungan-perhubungan melalui Ngalau telah diputuskan. Kepala 4 Moekim telah lari, mentjari perlindungan didalam benteng Belanda. Dua hari lamanja pertempuran besar-besaran itu telah berkobar. Dari segala sesuatunja dapatlah ditanam kcjakinan, bahwa kemenangan pastilah akan diperoleh difihak orang Atjeh. Tapi Djenderal van der Heyden telah bertindak setjara kilat.
112
Tjoet Nja Din
Dengan tjepat ia telah menjerbu ketengah-tengah garis pertahanan Habib, jang segera pula dapat diputuskannja. Bala bantuan jang datang hendak menjertai Habib, telah dapat dihambatnja, sehingga lasjkar Habib tinggal terdjepit seorang diri. Seiring dengan penjerbuan der Heyden itu, sepasukan tentara Belanda jang sangat kuatnja, telah turun pula dari Pakan Bada, lalu menempuh djalan ke Ngalau Beradin, buat memberi bantuan kepada Kroecng Raba. Hudjan lebat turun dengan tidak berkeputusan. Seluruh Ngalau Beradin telah mendjadi tasik jang agak dalam. Meskipun demikian, tentara Belanda memaksa djua melalui tempat itu, meskipun mereka terpaksa mentjempung kedalam air jang telah sampai kclutut dan kepinggang. Dari kedua belah lcrcng bukit mcnderak-deraklah tcmbakan orang Atjch, menjapu tentara musuh jang sedang bcrgumul didalam letjah itu. Barang siapa jang rubuh, tinggallah terbenam dalam rawa menemui adjalnja. Sebab mereka berbanjakbanjak, achirnja tentara Belanda dapat djua mengatas kcsulitan jang ditemuinja didalam Ngalu itu. Achirnja sampailah mereka ke Kroecng Raba. Ditempat itu mereka tidak mendapat gangguan lagi dari fihak gerilja. Karena Habib Abdoerrachman telah terpaksa mundur dari sana, lalu menghentikan perlawanannja karena kckurangan makanan untuk lasjkar geriljanja. Dari fihak orang Atjeh keluar tuduhan-tuduhan terhadap diri Habib, jang dikatakan telah bcrchianat, sehinggga Kroecng Raba sampai djatuh kembali ketangan Belanda. Hanja scdjarah tidaklah menetapkan benar tidaknja tuduhan itu. Entahlah! Hanja dari saat itu, ketjurigaan orang Atjeh tcrhadap kepada diri Habib, jang dari semula memang telah ada, bcrtambah besar dan bertambah banjak dilahirkan orang dengan berterang-terang. Bcrtambah tipislah kemungkinan bagi Habib buat melakukan Perang Sabil Total diseluruh tanah Atjch. Djika didalam kalangan rakjat djclata, tcrutama jang ada dibawah pengaruh Alim Ulama, nama Habib masih ada harganja, tapi kaum bangsawan Atjch jang mendjabat pangkat-pangkat Kepala, rata-rata sudah tidak pertjaja lagi kepadanja. Tanggal 29 Djuni 1878. Tentara Belanda telah menjerbu kc Sela Glitaroen, dengan maksud hendak ,,membcrsihkannja". Dimuka pintu Sela, jang dipertahankan oleh sekalian pcmimpin-pemimpin gerilja, timbullah pcrtempuran jang sengit, jang memaksa ,,kumpcuni" mundur kedataran 9 Moekim. Tapi dari fihak geriljapun banjak pula jang Sahid. Djalan dan kesudahan pcrtempuran jang bcrscdjarah itu, oleh pengarang diserahkan mentjeritcrakannja kepada Pcnjair Dokarim, jang mengarang „Pcrang Kumpcuni" nja. Sangat sengit pcrtempuran jang terdjadi disana. Tapi banjak jang tidak djelas bagi pengarang. Tetapi ia mengctahui bahwa Dokarim adalah berhubungan rapat dengan orang-orang jang mcngalaminja, sedang penjairpun masih hidup ketika terdjadi peperangan di Sela Glitaroen itu. Bunji tjeritera Dokarim:
Sahid
113
Maka kembalilah Habib Abdoerrachman ke pcgunungan setelah ia menghindar dari tempat pengepungan Kroeeng Raba, jang telah dipertahankannja dengan sekuat tenaga, tapi sia-sia. Lalu pergilah Habib ke Sela Glitaroen, dan menctaplah ia disana. Dari ,,Kumpeuni" ia dapat merampas sebuah teropong. Setiap hari pekerdjaannja ialah asjik meneropong gcrak-gerik segala orang jang hendak melalui atau mentjari tempat di Sela itu. Maka nampaklah olehnja pasukan Teuku Lamgna, jang sedang bersusah pajah mendaki gunung Madat dipegunungan Prang. Diatas pcgunungan itu Tenia Lamgna tinggallah menetap, tiga hari tiga malam lamanja. Maka pada hari keempat, bcrmimpilah ia, atau lebih tegas, timbullah chajal dimuka pemandangannja. Rasanja ia sedang bertempur sengit, dan ia sedang tcrkepung oleh musuh. Dan rasanja ia telah meloloskan diri sambil memakai kain sarung. Demikianlah jang dialaminja dalam mimpinja itu. Dan setelah ia sadar dari tidur pada kecsokan harinja, sangat bimbanglah hati Teuku Lamgna. Lalu dipanggilnjalah Panglima Pcrangnja jang ulung, jaitu Panglima Nja Man. Kepada Panglimanja itu ditanjakannja apakah ta'bir mimpinja itu. Panglima Nja Man mendengarkannja dengan hati scdih. Maka berhamburanlah air matanja, lalu mcngalir melalui djanggutnja dan membasahi dadanja. Maka berkatalah ia dengan bimbang: „Pindahlah dari tempat ini, Teuku! Berangkatlah dengan diam-diam, djangan ada orang lain jang mengctahuinja. Pergilah kc Sela Glitaroen. Tinggallah sedjenak disana, tapi djanganlah lebih dari sedctik. Menurun pulalah dengan scgera, sampai ketempat berkumpulnja burung-burung merak. Djika Teuku bermalam semalam disana, maka pada esoknja tentu Habib akan menjertai Teuku!" Demikianlah kata Panglima Nja Man, dan nasihat itu diturutlah oleh Teuku Lamgna.
Tapi, . . Habib itu telah mendahuluinja turun dari pegunungan, lalu menggabungkan diri kepada orang Belanda! Dan kepada mereka Habib berkata: ,,Apa kabar, tuan-tuan? Tak tentu pula apa jang hendak tuan-tuan perbuat? Bunuhlah Teuku Lamgna itu dahulu' Ia telah bcrangkat ketempat burungburung merak berkumpul. Saja sendiri jang telah memperdajakannja, maka ia pergi kesana. Tapi tak ada seorang jang mengctahui tentang tipu daja saja itu!" Demi orang Belanda mendengarkan kata-kata Habib itu, maka iapun diberi hadiah jang sangat besarnja. Maka bcrmufakatlah orang kafir, lalu mereka mengambil keputusan buat mentjari Teuku Lamgna ke Sela Glitaroen, serta membunuhnja. Dan selagi Teuku Lamgna tidur njenjak, maka meletuslah segala scnapan orang kafir dari segala pendjuru, dengan tidak terkira-kira banjaknja. Granat-granat serta segala peluru meriam dan senapan mereka bcrsimpang siurlah diudara, masing-masing mentjari mangsanja. Djumlah majat manusia telah bertumpuk-tumpuk, paja telah mendjadi lautan darah. Maka Panglima Nja Man jang sedang duduk diatas urat kaju, berscru-scrulah kepada Teuku Lamgna: ,,Mcnghindarlah, Teuku! Bcrlindunglah! Djika Teuku bcrlalai-lalai, akan binasalah kita! Dari Habib tidak kita akan dapat mengharap bantuan lagi!!"
114
Tjoet Nja Din
Tapi Teuku Lamgna menjahutlah: „Tak ada kemungkinan lagi bagiku buat menghindar, Teuku! Jang nampak tadi malam bagaikan chajal dimuka pemandanganku, sekarang telah mendjadi kenjataan! Inilah jang kurasai tadi malam! Rasa terkepung! Lalu aku lari berkain sarung! . . . Inilah kiranja ta'bir daripada mimpi itu!" Selagi Teuku Lamgna berkata demikian, maka gugurlah saudaranja jang tua, Teuku Adjat. Sebutir peluru kafir telah dapat mengenai kepalanja. Demi dilihat oleh Teuku Lamgna akan nasib saudaranja itu, maka dipangkunjalah Teuku Adjat, dikalangkannja kepala jang Sahid itu keatas haribaanna. Maka seketika itu djua ia telah ditcmbak pula oleh kafir, tepat pada kepalanja pula. Teuku Lamgna pun Sahid! Demi dilihat oleh Panglima Nja Man bahwa Teuku Lamgna pemimpinnja, telah rubuh pula, maka bersimpuhlah ia diatas tanah, lalu meletakkan kepala rekan jang tcrtjinta itu diatas pangkuannja. Panglima Nja Man pun ditembak pula oleh kafir, tepat pada kepalanja. Iapun Sahid menjertai rekan-rckannja kesurga, . . Maka datanglah kaphe berhamburan dengan maksud hendak mengangkat ketiga djenazah pahlawan Sabiullah itu. Tapi Tuhan bcrsifat murah, tidak diizinkan rupanja kafir menodai ketiga djenazah pahlwan jang Sahid itu. Demikianlah kcnjataannja. Lalu enjahlah mereka dari tempat itu, meninggalkan djenazah ketiga pahlawan. Lalu keluarlah sekalian orang kafir dari Sela Glitaroen, pulang kembali kekemahnja masing-masing. Dan sekalian rekan jang tidak Sahid, berduka tjitalah, karena ia sudah Sahid, Teuku Lamgna!
Maka mereka meletakkan djenazahnja diatas usungan, lalu memikulnja bersama-sama dari kampung kckampung. Dan sekalian orang kampung jang keluar rumah, dan melihat usungan itu, sama merataplah, karena ia telah Sahid, Teuku Lamgna!
Dan dengan Sahidnja ketiga pahlawan itu, umpama patahlah seluruh perlawanan orang Atjeh buat mempertahankan tanah air dari perkosaan orang asing. Jang mengusung djenazah Teuku Lamgna itu sampailah ke Lepong. Seluruh kampung berhamburanlah keluar, hendak melihat wadjah Teuku Lamgna jang telah Sahid. Maka Imam Banta turut pula berduka tjita, karena ia telah sahid, Teuku Lamgna. Dan seluruh penduduk kampung Lepong melahirkanlah pcrmintaan agar djenazah Teuku Lamgna ditcruskan membawanja kepegunungan, karena disanalah jang Sahid itu patut dimakamkan. Maka bermufakatlah rekan-rckan Teuku Lamgna sekaliannja, lalu diusunglah djenazah melalui Gunung Moendam. Tiga hari tiga malam lamanja mereka didjalan, maka sampailah mereka ketempat jang ditudju. Disana nampaklah seisi kampung berkerumun, menjambut kedatangan usungan itu. Dan nampaklah pula Tjoet Nja Din jang mcratap menjadari untung
Sahid
115
dengan tidak berkeputusan, karena ia telah Sahid, Teuku Ibrahim Lamgna! Maka berkatalah Teuku Nanta kepadanja: „Sabarkanlah hati, anakku! Tcguhkan iman! Ia telah Sahid, telah memenuhi tugas!" Setelah mendengarkan kata-kata ajahnja itu, tangis Tjoet Nja Din makin mendjadi-djadi, Lalu bersimpuhlah ia ditanah, ditanainja kepala Ibrahim, dan diletakkannja diatas pangkuannja. Dan berkatalah ia dengan sesak nafas kepada Nanta: „Setelah ia tak ada lagi, setelah suamiku ini berpulang kerachmatullah, tundjukkanlah kepadaku, wahai ajahku, hendak kemanakah aku menjangsangkan diri? Kemanakah aku hendak bergantung? Dan djika aku terpaksa mcmilih suami pula, diantara sekalian orang laki-laki, tak akan ada seorang jang akan kutjintai sebagai aku telah mentjintainja! . . . Dan meskipun aku akan dapat memilih diantara seratus orang djantan, jang patut akan mendjadi suamiku, tapi jang seorang ini tidak akan dapat diganti, walau dengan seratus orangpun tak mungkin! Hanja kepada jang seorang ini tjintaku akan mclekat, hanja kepada Ibrahim sahadja, suamiku . . . kekasihku!" . . . Sesudah itu bermufakatlah sekalian Oeloebalang dan kcluarlah keputusan mereka, katanja: „Segeralah kita memakamkan djenazah Teuku Lamgna!" Maka berhimpunlah seluruh kampung, menjertai pemakaman pahlawan itu. Tak ada seorang jang tinggal dirumah. Makam Teuku Lamgna diperbuat didekat Mesdjid Mon Tassik, jang telah umum dipandang Sutji. Demikianlah keputusan jang telah diambil oleh orang banjak. Sctelah lama bermufakat dan bermusjawarat, maka pada tanggal 13 Oktober 1S78 El Seid-Abd-ul-Rachman El Zahir achirnja mcnjatakan tunduknja kepada Gubernemcn Hindia Belanda. Pukul 2 siang datanglah ia ke Keraton, menjarungkan pakaian kebesarannja, dengan tidak meninggalkan Bintang Pahlawannja, jang telah ditcrimanja dari Keradjaan Turki. Di Keraton orang Belanda melepaskan dentuman meriam tudjuh letusan untuk menghormati kedatangannja. Meskipun ia disambut dan dihormati oleh orang Belanda setjara itu, tapi Habib memasuki halaman Dalam dengan kepala tunduk. Djelas nampaknja bahwa segala semangat jang dahulu ada padanja, telah padam. Ia masuk kc Dalam itu dari djalan jang bcrkcliling, karena ia terpaksa bcrlindung daripada antjaman golongan-golongan orang Atjch jang ,,pantang tunduk" Dua orang perempuan diatas tandu adalah menjertainja. Sclainnja daripada isteri jang berdua itu, adalah pula enam orang budak-budak perempuan dan kira-kira duapuluh orang ,,kawan jang masih setia" jang mengiringkannja. Dimuka Djcndcral van der Heyden, jang diapit oleh pembesar-pembesar tentaranja, El-Seid-Abd-Ul-Rachman El Zahir telah menanda tangani Naskah Sumpah, jang mcnjatakan bahwa ia telah tunduk kebawah perintah Guber-
u6
Tjoct Nja Din
nemen Hindia Belanda. Sumpah itu diangkatnja dimuka Kepala Kehakiman, Teuku Kadli, jang pada achirnja dapat djua melepaskan diri dari tjengkeraman Panglima Polim, lalu bcrsekutu dengan orang Belanda. Sjarat-sjarat jang dikemukakan oleh Habib Abdoerrachman dan ditcrima sepenuhnja oleh pemerintah Belanda, ialah: 1. Diberi tempat beserta sekalian orang-orangnja diatas sebuah kapal Guberncmcn, jang akan membawanja ke Djeddah. 2. Kebesarannja jang telah diperolehnja dari orang Atjch selama itu, harus diaku oleh orang Belanda. 3. Selama ia tinggal berdiam di Mckah, pemerintah Belanda harus membcri uang tundjangan kepadanja sedjumlah 1000 dollar tiap-tiap bulan. Demikianlah kesudahannja dengan El-Seid-Abd-ul-Rachman El Zahir, jang pada awalnja telah mendjadi harap-harapan seluruh tanah Atjch, buat ,,mentjutjikan penodaan kafir atas tanah itu!" . . .
OEMAR Pengarang tidak dapat memastikan, apakah Din sebenar-benarnja tjinta pada Ibrahim, didalam arti tjinta jang semurni-murninja. Tapi kata Dokarim, sesungguhnjalah Din menaruh tjinta jang murni kepada suaminja jang Sahid. Sekarang penulis ragu-ragu pula tentang arti jang sebenarnja diantara hidup didalam pertjinlaan murni dengan hidup berbahagia. Karena Din telah dinikahi pula oleh saudara sepupunja, jaitu Teuku Oemar dari Meulaboh. Salah seorang saudara Nanta, Machmoed, telah beristeri di Meulaboh, lalu beranak, Oemar namanja. Setelah Tjoet Nja Din mendjadi isteri Teuku Oemar, menurut kenjataannja jang sudah bukti, mau tidak mau sekarang penulis terpaksa berkata, bahwa Oemar pun adalah suami Din jang ditjintai pula. Penulis bcrtanja dalam hatinja, apakah Din masih dapat hidup berbahagia disamping Oemar, sctelah ia mcngalami hidup berkasih-kasihan dengan Ibrahim! Penulis mengaku, bahwa ia tidak dapat membcri kata pasti didalam hal ini. Sedangkan Penjair Dokarim pun tidak pula sebut menjebut tentang hal itu. Oleh karena itu bcri djalanlah kepada penulis buat memusatkan perhatiannja kepada diri Oemar lebih dahulu. Mungkin akan dapat diselidikinja apakah rupanja gambar jang sebenarnja dari Oemar, pada lahirnja, maupun pada batinnja. Adalah jang orang menggambarkan diri Teuku Oemar sebagai berikut: Seorang avonturier jang tak dapat dikekang-kekang. Dari ketjilnja ia sudah memcrdekakan diri dari kekuasaan ibu bapaknja. Pekerdjaannja sehari-hari hanjalah menjandang-njandang bedil sitinggarnja, dan membawa-bawa klcwangnja sadja sambil bcrtualang dirimba-rimba jang ada dipantai Barat tanah Atjeh. Seorang oppertunts jang litjin, jang tahu menarik keuntungan didalam segala soal dan pcristiwa jang dihadapinja. Sebagai orang jang tadjam otak, litjin dan bidjaksana pula didalam segala tindakan dan sepak terdjangnja, dapatlah Teuku Oemar mempergunakan pengaruh sahabat-sahabatnja buat mentjari kedudukan jang baik untuknja. Mungkin itulah pula sebabnja maka ia didalam umur jang masih sangat muda, telah diangkat mendjadi Kepala Kampung Darat. Teuku Oemar telah dapat mengumpulkan sekawan anak-anak muda jang tak tentu barang buatannja, tapi sangat bcrani, mendjadi rekan-rekannja. Kawan-kawannja itu tcrdiri dari bekas-bekas pedjuang, jang sudah tidak terpakai lagi didalam ketentaraan jang tcratur, tapi adalah sangat ditakuti orang dikampung-kampung dan pcgunungan. Pekerdjaan mereka sehari-hari hanjalah merampok dan membakarbakar rumah orang kampung. Banjak jang bcrasa dianiaja, dirugikan atau digagahi harta bendanja oleh Teuku Oemar dan kawan-kawannja, tapi tidak banjak jang bcrani mcnjatakan keberatannja berterang-terang. Disamping itu tidak pula kurang orang jang menampak sifat-sifat lain pada Oemar. Pada pendapat mereka Teuku Oemar ialah seorang pemuda jang telah dapat mengemukakan ' diri karena patjaknja dalam berkata-kata, litjinnja, tampan rupanja, teguh hatinja didalam segala tindakan, bcraninja, tadjam otaknja, sifat takaburnja jang dapat diselimuti. Kata mereka itu, tjatjat Teuku Oemar memang tidak kurang-kurang pula, jaitu penaik darah, pantang tersfnggung,
n8
Tjoet Nja Din
tak dapat membatasi hawa nafsunja, tjerdik dalam segala kedjahatan, lintjah, chianat, dan tak dapat dipertjaja. Pada achirnja menggemari madat. Itulah gambar Teuku Oemar jang telah diperbuat oleh segolongan orang. Tapi ada pula golongan orang diluar itu, jang menaruh pemandangan lain atas diri Teuku Oemar. Jang berkata bahwa ia orang patut-patut. Jang tjerdas dan berani. Seorang panglima perang jang ulung dan tangkas. Jang tampan dan bidjaksana dalam segala gerak-geriknja, jang sopan, pandai bergaul dan djudjur terhadap segala orang jang diperendahkannja. Hanja . . . pantang tersinggung, penaik darah, dan oleh karena itu kadang-kadang laku perangainja dan tindakannja agak berlain dari pada orang jang biasa. Manakah jang benar? Entahlah! Siapakah jang akan mengetahuinja? Hanja adalah satu kenjataan jang bagi penulis tidak mendjadi samar-samar lagi. Teuku Oemar tidak akan dapat disamakan dengan Nanta, Ibrahim Lamgna, Din, Imam Longbata, Panglima Polim. Tidaklah ia masuk golongan pedjuang-pedjuang jang hanja bertubuh satu, berdjiwa satu dan berhaluan satu. Djika ia terpaksa bersalin rupa buat sementara, karena ia akan bcruntung, tidaklah Teuku Oemar scgan-scgan akan mengganti rupanja itu. Maka bertanjalah penulis dalam hatinja: Mungkinkah hati Tjoct Nja Din akan dapat tertarik oleh Oemar, jang sebanjak itu tjatjatnja, sesudah ia bertjerai mati dengan Ibrahim, jang sutji lahir batinnja? Banjaklah orang jang berkata dengan pasti, kepada penulis, bahwa Din sesungguhnjalah sangat pula sajang kepada Oemar. Mungkin, kata penulis. Hanja ia bertanja pula, apakah isi pertjintaan Din terhadap kepada Oemar? Penulis membawa pembatja kembali scdjenak ke Mon Tassik ketika Din insjaf seinsjaf-insjafnja bahwa bcntjana jang sangat ditakutinja, jang hendak didjauh-djauhinja, telah mendjadi kenjataan jang scsungguh-sungguhnja. Bahwa Ibrahim Ijimgna, suaminja jang tcrtjinta, kckasihnja, kawan scdjawatnja, rekan seperdjuangannja, telah sungguh-sungguh bcrpulang kerachmatullah! Dan tidaklah ia akan kembali lagi, meskipun ia hendak ditangisi sampai kepada hari achir. Dan demi menginsjafkan bcntjana jang maha besar itu, maka Tjoet Nja Din, jang belum pernah menundukkan kepala, apa lagi mengeluarkan air mata, telah berlutut diatas tanah lalu meratap mcraung-raung. Maka dipangkunjalah kepala sisuami jang telah hantjur oleh peluru kafir itu. Dan dengan tcrsedu-sedu terhamburlah dari mulutnja kepada ajahnja: ,,Akahku! Setelah ia, suamiku, tak ada lagi, kemanakah aku hendak menjansangkan diri? Kemanakah aku hendak bergantung?" Dan lagi: ,,Dan djika aku terpaksa memilih suami pula, diantara sekalian orang laki-laki tak akan ada seorang jang akan kutjintai sebagai aku telah mentjintainja!" . . . Djadi, kata penulis, djika hati Din sesudah itu dapat pula mclckat kepada Teuku Oemar, maka jang mendjadi dasar dan sebabnja, hanjalah satu: Tertariknja hati oleh seorang laki-laki, jang didalam Sabilullah, melawan kafir, hendak didjadikan kawan scichwan, rekan seperdjuangan. Rekan itulah jang akan mengangkat sendjata untuknja, penumpas kafir jang sedang menodai tanah
Oemar
119
airnja. Kawan itulah jang akan menjertainja dalam ia berhasrat hendak mena'ati perintah Allah Subhana Wataala, jaitu mengusir orang kafir dari tanah Atjeh! Bukanlah suami baru pengganti jang hilang hendak ditjarinja, penghiburhibar hati jang gendah, mclainkan ia hendak mentjari rekan berdjuang, karena ia kehilangan kawan guna penjambung tangan jang sentcng, didalam ia berhasrat hendak menerkam musuhnja! Didalam diumbang-ambingkan oleh gelombang nasib pcruntungan itu, dengan takdir Tuhan, datanglah Oemar mendjelma kemuka pemandangannja. Seorang anak muda jang tangkas dan tampan, dan terbilang gagah perkasa, jang mengepalai rombongan pedjuang-pedjuang jang ditakuti orang. Dari pantai Barat ia telah mcmerlukan datang ke Mon Tassik, mendjumpai pamannja, jaitu Nanta Setia, Jang dimaksudnja dengan perkundjungan itu tidaklah lain, hanja hendak membawa pamannja bermusjwarat tentang merebut 6 Moekim kembali dari tangan kafir. Oemar telah berkata, bahwa pamannja itu tentulah membutuhkan seseorang kawan berdjuang jang boleh mendjadi ganti dirinja sendiri, apa lagi setelah Ibrahim Lamgna Sahid, sedang Habib Abdoerrachman mcnghilang dengan tiba-tiba dari barisan pembela Atjeh. Datangnja TeuJb Oemar ke Mon Tassik itu ialah pada pertengahan bulan Djuli, belum sampai sebulan sesudah Sahidnja Ibrahim di Sela Glitaroen, dan sebelum Habib menjerah kepada orang Belanda. Kehilangan Ibrahim bagi Din berarti terantjam njawa dan kemerdckaan bergerak. Kehilangan pclindung, dan rekan sehari-hari jang patut dibawa berunding didalam melakukan pcrdjuangan terhadap kafir la 'natullah! Bahaja mengantjam dari tiap-tiap pendjuru. Tentara Belanda sewaktu-waktu mungkin akan sampai ke Mon Tassik. Ajah Din, Teuku Nanta Setia, mempunjai tugas jang tersendiri pula. Sebelum 6 Moekim dibcrsihkan daripada tentara Belanda, tentulah ia tidak akan tinggal senang diam. Kepada siapakah Din hendak mentjurahkan hati, dengan siapa jang akan dapat berija-ija dan bertidak-tidak, sesudah Ibrahim meninggalkannja? Bukankah tentara Belanda itu sedang menjerbu pula ke Sagi 22, daerah Panglima Polim? Mereka hendak menuntut balas atas kerugian jang dideritanja di 4 Moekim dan di 6 Moekim. Berapa djauhkah tempat pertempuran mereka dari Mon Tassik? Tjoet Nja Din belum pernah mcrasai takut. Dan pada ketika itupun rasa takut amat djauh dari padanja. Jang mentjewangkan hatinja hanjalah karena ia telah kehilangan kawan seperdjuangan, jang biasa memperkatakan buruk dan baiknja dengan dia. Dalam beberapa minggu sesudah gagalnja maksud orang Atjeh hendak berontak besar-besaran, maka gelisahlah orang diseluruh tempat. Pada waktu itu pctjahlah kabar dan mulai insjaflah orang, bahwa Habib Abdoerrachman sesungguhnja tak dapat dipcrtjaja lagi. Kcjakinan orang, djauhlah Habib daripada bcrsungguh-sungguh hendak mengangkat perang sabil terhadap orang Belanda. Bahkan ada pula jang menuduh, bahwa Sahidnja Teuku Ibrahim Lamgna mungkin sekali ialah karena pengchianatan Habib Abdoerrachman djua. Tjoet Nja Din ragu-ragu apakah tjeritera-tjeritera tentang Habib jang sekedji
120
Tjoet Nja Din
itu dapat dipcrtjaja atau tidak. Diantara segala orang jang sangat jakin akan kedjudjuran hati Habib Abdoerrachman, adalah tcrmasuk Tjoet Nja Din. Baginja orang jang se'alim itu tidak mungkin akan bcrchianat kepada Atjeh, jang sedang serentak mempertahankan agamanja terhadap antjaman orang kafir. Din jakin sepenuh-penuhnja, bahwa kedatangan Habib ketanah Atjeh bukanlah karena kemauan dan kehendak hatinja sahadja buat mentjari Iaba atau kemegahan diri sendiri. Habib datang ke Atjch bukanlah berkcbctulan sadja, mclainkan kedatangannja itu pastilah sebagai pesuruh dari Sultan Turki dan atas takdir Allah Subahana Wataala. Tugasnja ialah hendak melindungi Atjeh dari tjengkeraman orang kafir. Djadi Din pada awalnja tetap tidak pcrtjaja kepada tuduhan-tuduhan jang dilemparkan orang kepada diri Habib. Din menganggap bahwa tuduhan-tuduhan serupa itu terhadap diri orang jang tidak berdosa, malah sedang berdjasa, adalah suatu pcrbuatan jang sckedji-kedjinja. Bukankah Habib sedang bertemasja ke Pedie, buat berunding dengan Teungku di Tiro dan buat memperkatakan siasat baru guna menghadapi kaphe dimedan perang? Dan tidak pcrtjaja pulalah Din kepada desas-desus jang kian hari kian banjak terdengarnja, jaitu jang berkata bahwa Teuku Bait pun sedang mempertimbangtimbangkan hendak tunduk kepada Belanda, djika tentara Belanda telah sampai menjerbu kepegunungan. Karena Bait hendak melindungi daerahnja daripada penghantjuran jang akan mendjadi akibat dari pada peperangan. Mustahil! mustahil! Hanja sekian jang dapat dikatakan oleh Din didalam membantah desas-desus dan asung fitcnah jang kian hari kian memuntjak itu. Alangkah tjanggungnja Tjoet Nja Din, karena didalam suasana segenting itu, ia telah kehilangan rekan, tempat ia mentjurahkan kata hatinja! Kawan sedjawat jang tahu menjabar-njabarkan hatinja, jang pandai menenangkan hati itu, djika ia bimbang atau ragu-ragu. Makin discdarinja nasib peruntungan jang scmalang itu, sctelah ia kehilangan Ibrahim Lamgna didalam ia menghadapi suasana jang segenting itu. Kepada Ibrahim ia akan dapat bergantung. Tindakan Ibrahim jang tcgas, hatinja jang keras serta djudjur, kebcraniannja jang tidak berhingga, timbangannja jang adil, pemandangan jang lebar — segala sesuatu itu membcri sjarat-sjarat mutlak untuk mendjadikannja tempat pcrgantungan jang tcguh. Setelah Ibrahim meninggalkannja, maka bagi diri Din seolah-olah tak adalah rekan lagi jang akan mentjarinja, bila ia hilang, jang akan melintasinja, djika ia hanjut. Makin lama makin insjaflah Din, bahwa persatuan antara pemuka-pemuka Atjch sedang menemui krisis. Asung fitnah makin mendjadi, masing-masing sedang memperhitungkan antara laba dan rugi jang bcrsifat materieel dalam menghadapi peperangan. Sabilullah guna Atjeh, guna agama Islam, mulai suram nampaknja. Masing-masing sedang mempcrtimbangkan laba atau rugi untuk diri dan daerah sendiri dahulu. Din membutuhkan kawan jang sefaham, seichwan dengan dia. Jang sama-sama hendak mementingkan kepcrluan dan keuntungan bersama, diatas keuntungan
Oemar
121
dan kepentingan diri sendiri. Jang sama-sama mementingkan kepentingan Atjeh dan Agama diatas kepentingan daerah sendiri. . . Didalam waktu singkat, mata Din telah tcrbuka, demi memandang berkeliling. Setelah Teuku Tsjeh Ibrahim Lamgna gugur, setelah tak ada lagi pahlawan tanah air jang hendak menghukum sekalian pengchianat dan pendjual bangsa, maka beramai-ramailah mereka tunduk menggabungkan diri kepada tentara Belanda! Gemaslah hati Tjoet Nja Din demi memikir-mikirkan kerendahan budi bangsanja jang scmatjam itu. Ketipisan Iman Islamnja. Kepada siapa ia hendak mcnjatakan kegeinasan hatinja itu? Siapakah jang akan dapat menjenangkan hati itu dengan perdjandjian dan kesanggupan, bahwa ia akan membawa rakajat Atjeh kcdjalan jang benar, atau, djika tidak mungkin, akan menghukum dan menumpas mereka? Ja, manakah djantan jang akan dapat dibawanja berunding? Didalam keadaan jang serupa itu datanglah Oemar mendjelma kehadapannja! Dan dengan tidak disangka-sangkanja, didalam kalbu Din telah terluanglah scsudut tempat untuk Oemar, saudara sepupunja jang pada pandangannja tjukup menaruh sifat-sifat sateria didalam kalbunja. Kepada Oemar hatinja djatuh pula, karena Oemar itulah jang akan dapat didjadikannja kawan seperdjuangan dimasa-masa datang, pengganti jang hilang. Oemar, difihaknja, tidaklah sekali-kali berkeberatan, ketika pamannja, Nanta Selia, berterang-terang memintanja buat mendjadi menantu. Meskipun Din telah agak berumur, dan ia lebih tua daripada Oemar, tapi parasnja jang elok masih memberi djalan buat memasukkannja kedalam golongan wanita djelita, jang menarik hati laki-laki. Tambahan pula bagi Oemar, pernikahan dengan Din itu akan menambah pengaruhnja, mempcrtinggi deradjatnja. Dengan menerima Din mendjadi isterinja, ia akan mendapat pengaruh pula dikampung isterinja itu. Sekalian keluarga siisteri itu, bangsa laki-laki jang kuat, akan mendjadi rekannja buat scumur hidup, jang akan menjertainja didalam peperangan atau persengketaan-perscngketaan jang membutuhkan kawan. Dengan Tjoet Nja Din, isteri Teuku Oemar mendjadi tiga orang. Jang kesatu ialah Nja Sapiah, puteri Oeloebalang Gloempang. Jang kedua ialah Nja Maligoi, putcri Panglima Sagi 25. Pcrkawinan dengan Tjoet Nja Din akan menambah pengaruhnja di Sagi 25, sebagai menantu seorang Panglima Sagi pula. Bukankah 6 Moekim, daerah pamannja, Nanta, masuk kedalam daerah Sagi 25 djua? Meskipun Tjoet Nja Din tidak mendjadi isteri kesatu, tapi setelah bcrsuami isteri, kedudukan Din sebagai isterinja, buat kemuka telah mendjadi kedudukan jang mulia dan istimewa pula. Didalam hal itu, djika hendak ditjari fihak jang bcrdjasa, maka tidaklah djasa itu patut ditjari pada Teuku Oemar, melainkan pada Tjoet Nja Din djua. Luar daripada Djenderal ran Heutsz, maka hanja ada seorang jang dapat mengekang dan membatasi djalan Teuku Oemar jang tangkas itu. Jang seorang itu ialah Tjoet Nja Din, isterinja!
122
Tjoet Nja Din
Tapi meskipun demikian, hidup kedua suami isteri memang sesungguhnja telah'berkelurusan dan berkasih-kasihan pula. Kedua ada mempunjai sifat-sifat, jang dapat dipergunakan untuk hidup tundjang-menundjang, ulas-mengulas dan bela-membela. Kedua-duanja sama mengandung rasa berahi jang tak mudah dikekangkekang. Alhatsil, kedua-duanja sama pula memperbuat perhitungan dan sama menginsjafi bahwa hidup jang satu dapat disandarkan kepada hidup jang lain. Bahwa kcrdja sama antara jang berdua itu pastilah akan berbahagia untuk kepentingan bersama, jaitu dalam menghadapi dan memcrangi kafir la 'natullah, jang sedang memperkosa Atjeh! Keduanja sama tjerdas, keduanja sama berani, sama tangkas dan keduanja sama ,,pantang tunduk", sama-sama bcrgengsi tinggi. Din mempcrendahkan Oemar, karena padanja adalah sempurna segala sifat kedjantanan jang diharap-harap oleh wanita dari fihak suaminja. Dari fihaknja, Din sendiri ada pula mempunjai sifat-sifat dan tabiat, jang tidak memberi djalan kepada laki-laki buat memperlakukannja sebagai ,,budak" jang harus takluk kebawah segala pcrintahnja, jang harus menjapu-njapu tclapaknja dengan rambut sendiri, dan dapat diperlakukan sckchendak hati sisuami. Tapi dalam pada itu, Din tidak pula mendapat djalan buat memperlakukan suaminja „mendjadi pujuh", artinja besar betina dari djantan. Tidak! Masing-masing sama mempcrendahkan, sama memuliakan rakan hidupnja, dengan tak ada kira-kira atau ichtiar hendak melebihi atau mengelindungi rekan itu. Dida'am keadaan jang demikian, tidak heran, djika hidup Teuku Oemar dan Tjoet Nja Din teraku berbahagia serta berkasih-kasihan oleh masjarakat sekitarnja.
KESUDAHAN PEPERANGAN Guna mentjukupkan isi scdjarah perang Atjeh, seharusnjalah penulis membcri berita lengkap tentang ,.tindakan pembcrsihan" jang dilakukan oleh Djcndcral van der Heyden didaerah pegunungan, jaitu daerah kekuasaan Panglima Polim.
Tapi menurut keterangan penulis, sangat enggan hatinja buat membcrikan berita lengkap itu. Adalah dua fasal jang mendjadi dasar kepada hati enggan itu. Kesatu: Kissah tindakan ,,pcmberihan" dan ,,pendjatuhan hukuman" itu, hanja bcrputar-putar kepada: pembunuhan, pembakaran, pembasmian dan perampasan harta benda orang lain dan ,,kemcnangan jang gilang gcmilang" serta ,,pcndjatuhan hukuman jang setimpal" dan sebagainja sadja. Tak ada lain jang ditjeritcrakan, berdjilid-djilid buku, berkaju-kaju kertas. Tak ada pemandangan baru jang terkandung didalamnja. Itulah jang mcnimbulkan enggan didalam hati penulis. Kedua: Jang dimaksud oleh penulis dengan menerbitkan buku ini bukanlah hendak mengarang scdjarah peperangan Atjeh. Mclainkan ia berhasrat hendak mentjeriterakan Riwajat Hidup Tjoet Nja Din pahlawan betina, sebanjak jang dapat dikumpulkannja dari: sedjarah-sedjarah karangan orang-orang Eropah, laporan-laporan ketentaraan, tjeritera-tjeritera orang Atjeh sendiri, baik jang mengalami peperangan, maupun mereka jang dipandang patut mengetahuinja, dan dari ,,Hikajat Perang Kumpcuni" tjiptaan Doliarim, seorang Pcnjair bangsa Atjeh. Selainnja daripada itu penulis mempcroleh inti tjeriteranja dengan djalan menjaring isi daripada tjeritera-tjeritera jang dibatja dan didengarnja itu, dan pula dengan djalan menarik kesimpulan dari pelbagai kenjataan. Tapi oleh karena diantara tindakan-tindakan tentara Belanda itu banjak pula jang terdjalin kedalam riwajat hidup Tjoet Nja Din, maka sebanjak perlunja adalah djua jang ditjeriterakan oleh penulis. Gerakan ,,pembcrsihan" jang dirantjang dan dircntjanakan oleh Djenderal nan der Heyden itu, dimulai pada achir bulan Djuli tahun 1878, scbulan sesudah Ibrahim Lamgna gugur, dan sebelum Habib Abdoerrachman tunduk, lalu ,,mcnjebcrang". Dimulai dari tepi-tepi 7 Moekim, daerah pemerintahan Teuku Bait. Pada ketika itu hati Bait telah mulai gojang. Segala sesuatunja jang telah terdjadi di 9 Moekim masih belum dapat dilupa-lupakannja. Sekalian kerusakan dan bentjana jang ditimbulkan oleh tentara Belanda disana, dan membawa kesukaran dan kesengsaraan kepada rakjat, sangat membimbangkan hati Teuku Bait. Karena ia teringat akan daerah dan rakjatnja sendiri, jang pastilah akan terdjerumus kedalam kantjah kesengsaraan itu, bila 7 Moekim melawan pula, sebagai jang telah dilakukan oleh 9 Moekim itu. Oleh karena itu pada achirnja Teuku Bait telah berkira-kira hendak mentjari kata damai dengan ,,kumpcuni". Keputusan itu diambilnja setelah menempuh persabungan sukma jang hebat sekali didalam kalbunja. Pada hakekatnja perkataan ,.tunduk" itu susah pula hendak ditjari didalam, kamus Teuku Bait. Selama hidupnja ia berasa mendjadi seorang radja jang memerintah. Sedangkan
124
Tjoet Nja Din
kekuasaan Panglima Polim diatasnja, tidak hendak diakuinja. Apa lagi buat tunduk kepada kafir, memang sangat djauh dari pada kira-kiranja. Tapi apa boleh buat! Bukan sahadja hantjur luluh daerahnja dan musna harta benda rakjatnja jang mendjadi fikiran baginja. Djuga tindakan jang mungkin diambil oleh Panglima Polim ada mendjadi pcrhitungannja. Sekiranja Panglima Polim dapat mentjari kata damai dengan „kumpcuni" <-erlebih dahulu dari dia, Bait sendiri, tidak mustahil djika ,,kumpcuni" nanti akan mendahului memberi pangkat besar kepada Polim, sedang ia, Bait, akan diberi pangkat dibawah Polim! Alangkah sulit kedudukannja, djika sekiranja sampai kepada hal jang serupa itu. Itulah sebabnja, maka Teuku Bait asjik menindjau-nindjau dan mempcrlihat-lihatkan budi tcrhadap ,,kumpeuni" buat mengctahui sampai kemanakah „kumpcuni" dapat dibawa bcrunding dilapang kata damai. Teuku Bait tidak dapat berlalai-lalai. Karena dibelakangnja ada bcrsedia Panglima Polim diibu kotanja Kota Gleieng, jang didjaga dan dikuatkan oleh 24 putjuk meriam raksasa. Dan disampingnja Polim masih ada puteranja, jang bcrnama Radja Koeala, jang bersama-sama dengan /mam Longbata, sedang melakukan tindakan-tindakan gerilja, tiadak djauh dari tempat kediaman Bait. Dan Polim masih mempunjai saudara pula jang gagah berani, jaitu Teuku Along. jang sama ditakuti orang dengan Polim sendiri. Masih banjak lagi kawankawan Polim jang tcrnama, jaitu Teuku Nanta Setia, Oemar dan Tjoet Nja Din. Dan luar daripada itu Polim masih bcrdekatan pula dengan Teungku di Tiro, Ulama besar jang sedang memerangi tentara Belanda dengan laku mati-matian. Djangan pula hendak dilupakan Tuanku Hasjim beserta Sultan Daoed, jang masih muda. Sedangkan tcrhadap Habib Abdoerrachman, ipar kandungnja, Teuku Bait belum dapat menggantungkan kepertjajaan penuh. Njatalah bahwa kedudukan Teuku Bait jang sangat gemar akan kemegahan itu, memang mendjadi sangat sulit. Ketika ia mentjoba-tjoba melakukan gerilja, maka ..pcmbalasan budi" dari fihak Djcndcral van der Heyden sungguh tidak alang kcpalang. Sebagai hukuman ,,Radja Tjelek" itu (demikian gelar jang diberikan orang kepada Djcndcral van der Heyden jang pctjak matanja sebclah), telah membakar kampungnja, Ana Galong, sampai mendjadi abu seluruhnja. Sesudah itu dibakarnja pula scbahagian daripada kampung Lampasei, dan sebahagian pula dari pada kampung Sibrch. Dan buat menundjukkan kekuasaan „kumpeuni" jang tidak terhingga, kampung Sibrch jang memang hanja tinggal separuh itu, disuruh bakarnja pula sekali lagi, sampai kepada pondok dan dangau-dangaunja! Pada achir bulan Djuli 1878, Mesdjid Agung di Mon Tassik telah djatuh ketangan orang Belanda, beserta sekalian kampung jang disckitarnja. Dengan hal jang demikian, maka makam Teukum Ibrahi, Lamgna telah terletak didaerah jang diduduki oleh orang Belanda. Maka datanglah musim hudjan. Tentara Belanda terpaksa dahulu menghentikan gcrakan „pembersihannja", sementara menantikan musim kemarau. Sementara itu Habib Abdoerrachman telah mcnjatakan tunduknja. Beberapa
Kesudahan peperangan
125
djam sesudah itu, Bail pun tunduk pula Buat ,,uang tundjangan karena tunduk", ia didjandjikan 500 dollar tiap-tiap bulan . . . Tapi sctelah sclesai daripada scrah-menjerah itu, diketahuilah oleh tentara Belanda, bahwa dikampung-kampung daerah Bait sangat banjak orang luka jang discmbunjikan dan dipelihara. Bcrhubung dengan itu pada suatu hari dikcpunglah rumah Bait oleh tentara Belanda, lalu ditangkaplah ia, dan dimasukkan kedalam pendjara. Achirnja ia dibuang ke Maluku. Sudah tentu tentara Belanda tidak lupa buat melakukan ,,pembcrsihan" didalam rumah Bait jang dikosongkan itu. Tcrlebih dahulu dirampaslah emas intan kepunjaan Kcradjaan Atjch, jang ada ditangan Bait, dan dahulu telah mcnimbulkan pcrsclisihan besar antara dia dengan Panglima Polim. Kata orang jang mengctahui, jang mendjadi dasar buat menangkap dan membuangnja, sesungguhnja bukanlah perkara orang-orang luka jang dipelihara dikampung-kampung daerah Bait itu. Alasan itu hanjalah ditjari-tjari sadja. Jang sebenarnja ialah karena orang Belanda telah ,,mcntjium" bau emas dan intan jang ada didalam rumah Bait! Dan buat mcmpcroleh barang-barang itu, haruslah ia diasingkan! . . . Sctelah musim hudjan berhenti pula, tentara Belanda meneruskan gcrakan , .pembersihannja''. Mesdjid Agung Indrapoera, jang dipandang Sutji dan terletak djauh diulu-ulu dalam daerah pemerintahan Panglima Polim, dan dipcrtahankan oleh 7mam Longbata beserta sekalian pengiringnja,achirnja djatuh djua kctangan tentara Belanda, meskipun pihak jang mempcrtahankannja telah membcri perlawanan jang sengit. Salah seorang „sipantang tunduk" jang sangat tangkas dan sangat ditakuti oleh orang Belanda, jaitu kepala Moekim Mon Tassik, tiba-tiba telah menjerah pula. Mesdjid Djcrock dibakar oleh tentara Belanda. Sesudah itu kampung Djeroek dibakar habis: kampung Garoet dibakar habis, sekalian tanamtanaman dan pohon-pohonan jang ada disana, dibinasakan oleh mereka Saudara Panglima Polim, jaitu Teuku Along, telah tunduk pula. Maka dengan rcsmi diambillah sumpahnja akan bcrsctia kepada perintah Belanda dan ditctapkan pula ,,uang tundjangan tunduk" untuknja, sckian ratus dollar pula banjaknja buat tiap-tiap bulan , . . Sjahbandar Tibang, Pemangku Bumi Kcradjaan Atjch, jang dahulu tcrtuduh hendak mcratjun Habib Abdoerrachman, scmendjak timbul kcributan-keributan pada tahun 1873, telah meninggalkan Atjeh, lalu mentjahari kadarnja dinegcri lain. Tapi sctelah orang Belanda bcrkuasa di Atjeh, kembalilah ia kckampungnja, lalu mentjari ,,kata damai" dengan orang Belanda. Beberapa djenis ..keterangan penting" jang bcrhubung dengan pemberontakan-pemberontakan rakjat, dapatlah ditukarnja dengan sebuah medali emas besar! , . . Sckonjong-konjong pemerintahan Belanda bcrpendapat, bahwa Kepala Moekim Mon Tassik jang telah tundukpun njata mendjadi pengchianat pula tcrhadap pemerintah Belanda! Maka diratakanlah kampungnja dengan tanah!.. Pemerintah Belanda menimbang adil pula, djika pada Makam Sultan Machmoed ditempatkan sebuah tugu peringatan jang sangat sedcrhana.
126
Tjoet Nja Din
Sebagai kita ketahui, Sultan Machmoed pada permulaan pctjah peperangan, oleh Djcndral Van Swieten telah diusir dari keraton, lalu lari dan mangkat didjalan karena dihinggapi oleh penjakit cholera. Maka djcnazahnja oleh orang Atjch mula-mula dimakamkan di Longbata. Tapi sesudah rumah Imam Longbata dibakar oleh tentara Belanda, makam itu dipindahkan oleh orang Atjeh ke 7 Moekim daerah pemerintahan Bait. Ditempat itulah Pemerintah Belanda meletakkan tugu peringatan jang amat sederhana itu. Tidak lama sesudah tugu peringatan itu dipantjangkan oleh orang Belanda, maka ketua Kehakiman daerah pemerintahan Polim telah menjatakan takluknja. Sambil lalu iapun dapat menjerahkan rahasia-rahasia kckeluargaan keradjaan. Atas ,,djasa" itu ia telah menerima upah jang tidak scdikit. Achirnja tentara Belanda dapatlah mcrampas ke 24 putjuk meriam, jang mendjaga daerah kekuasaan Panglima Polim. Dengan hal jang demikian pada hakekatnja tindakan jang dilakukan kepegunungan itu oleh tentara Belanda, telah dapat diachiri dengan „kemenangan jang gilang-gcmilang" Sedang Sagi 22 jang terkuat dan dianggap ,,paling keras kepala" itu telah ,,menerima hukumannja jang setimpal". Tinggal lagi Sagi 26, jang belum sempurna ,,dibcrsihkan". Sagi 26 itupun „mcndapat pula bahagiannja", setjara jang telah dialami oleh Sagi-Sagi jang lain. Dan dengan djalan itu, pada resminja, telah berachirlah peperangan Atjeh buat orang Belanda. Memang sudah banjak orang-orang Atjch terkemuka jang telah tunduk. Tapi jang seharusnja mesti tunduk dahulu, tjika perang Atjeh hendak dikatakan berachir, masih tinggal mcrdeka dan masih membawa-bawa pandji berpantang tunduknja. Orang-orang itu ialah „Panglima Polim", puteranja. Radja Koeala, Imam Longbata, saudaranja, Hoessin Longbata, Nanta Setia, Tjoet Nja Din dan Teuku Oemar. Mereka masih tetap ,,pantang tunduk", lalu menghindar. Masih sangat banjak sasaran perdjuangan untuk mereka. Jaitu di Pedie, ditempat kediaman Teungku di Tiro, dan djuga didaerah Tuanku Hasjim beserta Sultan Daoed, jang bcrdiam di Kcmala. Dan lagi bagi orang Atjeh masih sangat banjak tempattempat berdjuang di Pantai Barat, didaerah-daerah Muara Wojla dan di Meulaboh! . . . Meskipun demikian, buat sementara waktu Ajch besar masih dapat djua mengalami suasana aman. Sendjata-sendjata diletakkan dari kedua pihak. Sunji senjap diantcro daerah. Sebahagian dari pada rakjat jang pada awalnja hidup mengungsi dipengungsian, bcrangsur-angsur kembali kckampungnja, masing-masing, menanami pula sawahnja. Pasar-pasarpun telah ramai pula diantcro tempat. Pemerintah Belanda telah memulai memperbuat djalan-djalan besar jang bersimpang siur diseluruh daerah-daerah. Dibawah pimpinan keluarga Neh, diperbuatlah sebuah djalan besar jang melalui Ngalau Beradin di 6 Moekim.
Kesudahan peperangan
127
Jang disuruh mengerdjakan djalan raja itu dengan aturan ,,rodi" (herendienst) ialah bekas-bekas rakjat Nanta di 6 Moekim . . . Antara Oeleh-lch dan Kotaradja telah didjalankan kereta api. Di Ibu kota setiap hari nampak kanak-kanak jang pergi kcsekolah mengcpit buku dan batu tulis. Serba bersih nampaknja pakaian kanak-kanak bangsa Atjeh itu. Maka datanglah orang-orang Tionghoa berbanjak-banjak, lalu berniaga dikota-kota, dan membawa kemakmuran disegala daerah. Atjeh, jang memaksa orang Belanda menumpahkan darah dan mengeluarkan uang sebanjak itu, mulai mendatangkan hasil untuk kas pemerintah Belanda. Hak mendjual madat dan membuka tempat-tempat pcrmainan djudi, oleh orang Belanda didjual kepada orang Tionghoa. Didalam tahun 1878 uang pacht jang diterima oleh Gubernemen Hindia Belanda untuk pemberian izinan-izinan itu, telah bcrdjumlah f 549.000.— Penduduk asclipun harus membajar padjak. Di 4 Moekim dan di Lohong sahadja padjak pentjaharian rakjat atas lada, padi dan kopi jang ditanaminja, telah mendjadi f 6.625.— Didjaman pemerintahan almarhum Sultan Djeumahj kewadjiban rakjat membajar sokongan untuk kas negeri itu, dinamakan „upeti". Didjaman fcodal itu, segala kewadjiban rakjat buat memberi sokongan untuk Kas itu, oleh para Oeloebalang pun dinamakan ,,upeti" pula. Tapi adalah daerah-daerah jang telah mcmilih nama lain, lebih muluk dan lebih mcrdu terdengarnja dari pada ,,upeti". Nama jang lain itu ialah „Bunga Tangan". Tapi Pemerintah Belanda jang datang ke Atjeh hendak ,,mengadabkan suatu bangsa jang biadab", mengganti nama ,,upeti" dan ,,bunga tangan" itu dengan nama jang modcren, jang lebih scsuai bunjinja dengan zaman moderen. Jaitu: ,,padjak" atau ,,belasting". Tanggal 9 Oktober 1879 Gubernur Militer, Djenderal Van der Heyden telah menetapi djandjinja kepada 7mam Longbata dan kepada Teuku Kadli disana, jaitu tentang maksudnja hendak mengganti Mesdjid jang dibakar oleh tentaranja dengan mesdjid jang baru. Dihari itu telah diletakkan batu pertama untuk bangunan mesdjid baru, ,,Beitu' Rachman jang Baru" . . . Maka didalam perpestaan jang diadakan pada hari itu, nampaklah orang Atjeh datang bcrdujun-dujun dari segala tempat. Masing-masing Kepala memakai pakaian kebesarannja. Bcrkilau-kilauan tjahaja emas jang disulamkan kepada pakaian itu. Segala barang emas nampaklah pada hari itu diseluruh tubuh para Kepala. Buah badju emas, rentjong bcrhulu dan bersarung emas, kuntji emas tergantung pada kampil sirihnja. Orang kebanjakan sama menjarungkan pula pakaian jang seindah-indah dan semahal-mahalnja, jang masih dapat dilindungi dari pcrampasan tentara Belanda, ketika mereka lari mengungsi, meninggalkan rumah serta kampung halaman. Dan dapat pula disisakan oleh mereka setelah menjerahkan sebahagian besarnja ketangan pengandjur-pengandjur Perang Sabil. Mereka datang bertoboh-toboh ke Kotaradja, guna mcnjatakan tanda penghormatan, dan kepertjajaan kepada ,,Radja Tjelek", jang mewakili Gubernemen
128
Tjoet Nja Din
fH Hindia Belanda diibu kota itu. Djenderal Van der Heyden jang menerima kedatangan mereka, adalah dikawal oleh satu pelcton tentara Belanda, jang lengkap sendjatanja. Teuku Kadli, Kepala Kehakiman, telah membuka pidato. Amanat jang disampaikannja kepada orang banjak mengandung pcrnjataan bahwa ,,kumpeuni" datang ke Atjeh semata-meta hanja membawa kemakmuran, keamanan serta perdamaian bclaka. Disamping itu Pemerintah Belanda memberi kemcrdekaan kepada segala orang buat menganut agamanja masing-masing . . . Sesudah tamat pidatonja Teuku Kadli itu, maka diletakkanlah batu pertama untuk bangunan ,,Beitu Rachman baru" dengan segala chidmat dan upatjaranja. Bahwa sesungguhnja tanah Atjeh telah mengalami suatu upatjara pada saat itu, jang belum pernah dilakukan orang. Pekerdjaan itu adalah dianggap oleh kedua pihak sebagai suatu ,,gcrakan damai" jang pertama kali dilakukan orang Atjch dengan orang Belanda. Artinja: adalah ia dimaksud sebagai „pentjiptaan tali persahabatan" jang menghubungkan kedua belah pihak . . . Tapi sepatutnjalah, djika gerakan itu kita namakan ,,Bunga Meriam". Maka djika demikian, inginlah kami hendak memetik bunga itu, lalu mclctakkannja diatas kuburan sekalian peradjurit jang telah gugur, baik dari pihak orang Atjeh, jang bertahan, maupun dari pihak tentara Belanda jang datang mcnjcrang. Jang telah mendjadi kurban didalam menunaikan tugasnja masing-masing, dengan menjampingkan kepentingan-kepentingan diri sendiri. Jang telah gugur sebagai satria ditepi-tepi bambu duri, didalam letjah pajapaja, didalam benteng-benteng pertahanannja. Peperangan telah berachir — kata orang Belanda. Tapi bagi orang Atjeh jang ,,pantang tunduk", masih djauhlah ia dari pada berachir. Sedjarah hendak menentukan kelak, bilakah orang Atjeh sesungguh-sungguhnja serta sctulus-tulusnja akan suka bcrdjabat tangan dengan orang Belanda, buat mengekalkan damai sampai turun-tcmurun. Wallahu'alam!
DAMAI Pihak pemerintah Belanda telah membuat Neratja atas Laba dan Ruginja peperangan Atjeh. Maka tertjatatlah disana bahwa: Peperangan telah berachir. Kesultanan beserta ketiga Sagi ditanah Atjch telah ditaklukkan. Rakjat seluruhnja telah menerima damai dengan Gubernemen Hindia Belanda, dan telah sekata pula dalam perkara melahirkan setia dan patuhnja terhadap pemerintahan Belanda. Kepada rakjat telah dianugerahkan sebuah mesdjid baru, pengganti Beitu 'Rachman jang telah bianasa selama perang. Rakjat telah menerima anugerah itu dengan riang gembira serta utjapan terima kasih jang tidak berhingga. Diseluruh Atjeh telah timbul suasana aman dan damai. Berhubung dengan ..kcnjataan-kcnjataan" jang tersebut diatas itu, maka kekuatan tentara diperkctjil, karena seluruh rakjat Atjeh telah insjaf akan kekuatan tentara dan pula akan ,,kedjudjuran hati" orang Belanda. Buat kemuka orang Belanda dapatlah meneruskan pcnglaksanaan tjita-tjitanja di Hindia Belanda. Jaitu buat ,,mcngadabkan bangsa-bangsa biadab" disana. Buat memakmurkan tanah dan kehidupan bangsa-bangsa Hindia Belanda. Suatu ,,kewadjiban susila" jang selalu mendjadi kenang-kenangan dan idamidaman orang Belanda ditanah-tanah koloninja. Dan oleh karena itu, masa membunuh, membakar dan merampas di Atjeh, bagi orang Belanda telah lampau. Gode zij dank!. . . Sekarang pemerintah Belanda di Atjeh dapatlah „membangun" dan mempcrbaiki segala keruntuhan. Bestuur ketentaraan buat kemuka dapat diganti dengan bestuur sipil setjara jang diidam-idamkan oleh Djenderal Van Swieten, sesudah ia dapat merebut dan menguasai Dalam, lalu mengusir Sultan keluar dari Keraton Pusakanja. Aman dan damai diseluruh Atjeh! demikian kata mereka. Damai... Alangkah sulitnja buat mempergantungi arti dan isi kata damai itu. Istimewa bagi pihak jang dikalahkan, sesudah ia diremuk diindjak-indjak dengan segala kckerasan dan keganasan. Dibunuh anak bininja, dimusnakan harta bendanja, dipanggang kampungnja . . . Pihak jang sudah tidak berdaja dan telah dikalahkan itu, selagi terpidjak batang lchcrnja dibawah scpatu bcrduri, sudah tentu tidak akan membantah lagi, bila pihak jang menang mengandjurkan damai diudjung bajonet dan dimuka mulut mcriamnja. Kctjuali kaum ,,pantang t u n d u k " jang masih d a p a t mendjauh-djauhkan d i r i dari tjengkeraman musuhnja. Djangankan damai, tapi rasa dendam bagi mereka itu akan tambah meluapluap. Djika mereka mendapat giliran, akan bertempik dan bcrsoraklah mereka dalam menekikkan rudus atau menantjapkan rentjongnja, penumpas musuhnja jang terkutuk.
130
Tjoet Nja Din
Damai .. sampai kemanakah arti dan isi damai itu dapat dipergantungi oleh rakjat jang ditaklukkan dengan kekerasan, dan hanja dapat diperintah kcrena mereka merasa takut sahadja? Adakah scsuatua kekuasaan machluk atas diri sesama machluknja akan kckal, bila kekuasaan itu hanja tergantung diudjung bajonet? Sedang didalam kalbu rakjat timbul dendam jang tak sudah-sudahnja tcrhadap kekuasaan jang memcrintah itu? Baik pihak jang menang, maupun pihak jang dialahkan, kcdua-duanja hanja manusia sahadja, dengan segala kekurangannja jang galib ada pada manusia biasa. Mereka sama-sama berperasaan dan bcrpikiran. Pihak orang Atjeh umpamanja. Memang tahulah mereka bahwa musuhnja itu sangat kuat. Mereka tidak bcrkira-kira hendak mcresai sekali lagi pukulanpukulan tjemeti jang telah didjatuhkan bcrtubi-tubi atas kulitnja. Dan oleh karena itu pihak orang Belanda lalu mengambil kesimpulan, bahwa seluruh rakjat Atjeh (!) telah ,,djcmu perang", dan telah menerima damai.' Dan oleh karena itu, kata orang Belanda pula, marilah kita dengan segera melakukan pemerintahan kolonial kita, jang memang telah tcraku baik. Pemerintahan kolonial jang berdasar kepada ,,kewadjiban susila", kepada peri kemanusian, dan kepada pengakuan ,,berhutang budi" terhadap kepada rakjat kita di Hindia Belanda! Pemerintahan kita jang adil sentosa, pengganti suasana anarchi, jang dimasa lampau telah ditimbulkan oleh pembesar-pembesar bangsa Atjch! Marilah kita dengan segcra memperbuat djalan-djalan, djembatan-djembatan, kereta api, guna kemakmuran kchidupan rakjat kita di Atjeh! Marilah kita memberi pertolongan thabib, guna melindungi rakjat kita di Atjeh dari penjakit-penjakit kudis, malaria dan cholera! Marilah kita mengusahakan kckajaan dan sumber-sumber alam jang banjak terdapat di Atjeh, dan telah mendjadi muik kita dan djatuh ketangan kita — (sebagai Bunga Meriam), — karena kita telah menang didalam peperangan. Terutama djuga untuk keuntungan orang Atjeh dan negeri Atjeh sendiri! Karena kita lebih pandai dan lebih ahli dari mereka buat mengusahakan serta menarik keuntungan dari pada harta-harta tcrpendam jang terletak itu! Kita akan mendapat keuntungan, tapi rakjat Atjehpun akan sama-sama beruntung pula! Demikianlah kata orang-orang Belanda didalam kronik-kroniknja. Tapi. . . demikian pula kata mereka. Kita harus tetap waspada dan berdjagadjaga. Sebab orang Atjeh tidak dapat dipertjaja. Papat diluar, rantjung didalam. Dimulut manis, dihati pahit! Demikianlah djiwa dan isi kata „damai" jang terkandung didalam kalbu orang Belanda. „Orang Atjch tidak sekali-kali dapat dipertjaja, papat diluar, rantjung didalam" . . . Pada hemat kita, orang diluar, sudah sewadjarnaja! Akan dapatkah orang Atjeh mengamankan fikirannja, mengupah hatinja, sesudah ia dipaksa mesti turut perintah, diremuk, dipidjakpidjak, dibakar, dihantjur luluhkan rumah serta kampung halamannja, dipanggang atau ditjemari Mesdjid Sutjinja,
Damai
131
dirampas harta bendanja, dibunuh serta dimusnakan penduduk kampungnja, sampai kepada wanita-wanita dan kanak-kanak, jang tidak sempat menghindar! Djika kepada orang jang sedang dipidjak batang lehcrnja itu tangan besi jang diberi bcrsarung beludu, diulurkan dengan perkataan senjum simpul: ,,marilah kita bcrdamai!" . . . Sudah lajak, djika orang jang telah tidak bcrdaja itu, mcngulurkan pula tangannja, meskipun dengan ragu-ragu hati, lalu berkata dengan senjum pahit: „baiklah, tuan! damailah kita". Akan kckalkah perdamaian jang dibubuh didalam keadaan jang serupa itu? Sekali lagi: Selain orang-orang jang dapat dikung-kung, dipidjak batang lehernja itu, masih banjak pemimpin-pemimpin ulung jang ,,pantang tunduk" dan tetap mengasah-ngasah rudusnja discgala tempat jang kelindungan. Diantara raksasa-raksasa pedjuang jang masih hidup dan merdeka itu, masih ada: Panglima Polim, Imam Longbata, Teungku Di Tiro, Nanta Setia, Teuku Oemar d a n . . .
Tioet Nja Din! Dan kawan-kawan seperdjuangan mereka itu jang tidak kurang gagah bcraninja, jang sama-sama „bcrpantang tunduk" pula, memang tidak scdikit bilangannja. Dan mereka itu tidak bcrsembunji sahadja sambil berpangku tangan. Tidak! Djauh dari itu. Bagi mereka peperangan belum selesai, damai masih sangat djauh diluar pintu. Bagi mereka Perang Sabil baharu akan berachir, setelah kaphe jang penghabisan dapat diusir meninggalkan tanah Atjeh. Djika pihak orang Belanda hendak berkata: ,,Orang Atjch tidak dapat dipertjaja", bolchlah kata itu dianggap pada tempatnja, asal orang suka menambahkan kata-kata: ,,didalam sandiwara ,,perdamaian", jang telah dibuka oleh orang Belanda dipanggung komidi." Tidak heran djuga, djika wartawan-wartawan Belanda telah mcnuliskan sebagai berikut didalam surat-surat kabarnja jang terbit dipulau Djawa dan dinegeri-ncgeri luar. Kata mereka: ,,Djauh dari pada hendak menerima dengan berterima kasih atas segala djalan-djalan dan djembatan-djembatan serta kcreta api jang telah kita perbuat untuknja dengan susah pajah dan biaja besar; djauh dari pada hendak berterima kasih, karena kita telah mengganti pondok dojong dan mesum, jang dinamakan oleh mereka ,,Mesdjid Agung", dengan sebuah Mesdjid Besar, indah dan moderen; sctelah kita menggunakan runtuhan-runtuhan mesdjid mereka jang asal buat mengcringkan rawa-rawa tempat mesdjid kita jang baru itu dibangunkan; djauh dari pada berterima kasih atas penglaksanaan perasaan kita jang berhubungan dengan kesutjian Agama Nasrani, jaitu mengganti tempat sudjud mereka jang hendak runtuh, dengan jang baharu dan kokoh serta permai; djauh dari pada hendak mengaku bahwa politik kolonial kita bukan sahadja berdasar atas meriam dan kelewang, mclainkan djuga atas peri kemanusiaan dan ke Tuhanan; pendeknja, djauh dari pada hendak mengaku bahwa maksud kita datang ke Atjch memang baik serta mulia, karena pada hakekatnja kita hanja hendak membangun dan menolong, meskipun kita telah ,,terpaksa" membunuh mereka, menghantjurkan mesdjid dan kampung halamannja; djauh dari pada hendak membalas budi, umpamanja dengan laku menerima tangan kita jang
132
Tjoet Nja Din
diulurkan buat damai, dengan djudjur dan murni hati pula dengan laku memberi isi pada arti perdamaian jang telah dibubuh bersama-sama; agar tckad damai itu dapat dilaksanakan dari mulut sampai kchati!.. . ,,Tidak!" (Demikian kata wartawan itu sclandjutnja). ,,Sangat djauh dari pada segala sesuatunja itu! Orang Atjeh telah mcmbuktikan pula dengan laku pcrangai dari sehari-kcsehari, bahwa mereka adalah masuk kedalam golongan bangsa jang sekali-kali tidak dapat dipertjaja! Bangsa jang tjulas, pengchianat, dan tak tahu mcmbalas budi! Setelah mereka menerima damai dengan kita, dan melihat bahwa kita telah meletakkan sendjata dan menjusuti kekuatan tentara, sctjepat kilat mereka menundjukkan ketjulasan hatinja, jaitu dengan djalan melakukan pengchianatan jang seburuk-buruknja. Orang Atjeh telah mulai pula menjerang patroli-patroli Belanda, convooi-convooi dan pos-pos pendjagaan kita. Djalan-djalan kcreta api kita, kawat-kawat telgrap kita, djalan-djalan raja dan djcmbatan-djcmbatan kita telah dihantjurkan pula oleh mereka dengan segala kckedjaman dan kebuasannja. Diantcro tempat telah petjah pula pemberontakan, jang tak dapat kita padamkan dengan kekuatan pegawai-pegawai negeri dan polisi sahadja. Diseluruh Atjeh Besar timbullah anarchi jang belum pernah terdjadi dimasa-masa jang telah lampau. Sekarang terdjadilah suasana jang sangat aneh. Orang Atjch sendiri masuk menjerbu sebagai mi«»li kedalam negerinja sendiri! Mereka mengangkat sendjata terhadap Kepala-Kepala bangsanja sendiri, jang sedang bcrsusah pajah memimpin pemerintahan jang teratur didalam daerah jang pada awalnja katjau balau itu. Dengan perantaraan kita, atas djasa kita, pada awalnja dapatlah sekalian kepala-kepala pemerintahan jang djudjur dan bertckad baik terhadap negeri dan bangsanja, didamaikan dengan kaum ,,djahat" dan sekalian ,,pengatjau". Setelah kita meletakkan sendjata kembalilah ,,djahat-djahat" itu kekampung-kampung, lalu mengatjau pula." Demikianlah suara kronik-kronik orang Belanda, jang hendak menjatakan keseluruh dunia, bahwa orang Atjch sesungguhnjalah masuk bilangan bangsa jang sebusuk-busuknja jang ada didunia . . . Jang hendak pertjaja, pertjajalah kepada otjehan para wartawan Belanda dan penulis-penulis kronik itu! Tapi diantara orang luaran banjak pula jang suka mendjalankan pikirannja dan dapat menindjau kebelakang-belakang lajar „sandiwara". Dan mereka itu berkatalah pula: „Djika orang Atjeh sampai bcrlaku demikian, sudahlah sepatutnja, sudah sewadjarnja, dengan sendirinja!" . . . Dan tjara bagaimana pihak orang Atjeh jang ,,berpantang tunduk" itu, telah membcri isi dan djiwa kepada ,,damai" itu, dapat diketahui dibawah, djika diteruskan membatja riwajat ini! Memilik kepada kenjataannja, memang telah dapat ditentukan dari semula, bahwa ditiap-tiap medan perang ditanah Atjeh, kemenangan jang terachir pastilah akan ada dipihak Belanda. Dan dapatlah sekalian orang mengira-ngira dimasa itu, bahwa pada sesuatu ketika seluruh tanah Atjeh tentu akan dapat ditaklukkan oleh orang Belanda.
Damai
133
Sekalian orang-orang tcrkemuka didalam barisan ,,berpantang tunduk", lambat laun akan dapat djua dibunuhnja. Sekalian pedjuang-pedjuang jang asjik melakukan perhitungan dan mempcrtimbang-timbangkan antara laba rugi dilapangan materieel, djika tidak kundjung tunduk, achir-achirnja akan dapat djua ditangkap oleh mereka, lalu dipendjara atau dibuang, djika tidak dibunuh. Maka akan tibalah musim membubuh perdamaian total. Tapi apakah suasana damai antara pemerintah kolonial dengan rakjat koloni itu akan kekal buat selama-Iamanja? Hanjalah scdjarah jang akan memberi kata keptutusan. Djika majat-majat sekalian orang Atjch jang gugur tidak akan dapat berbalik didalam kuburannja, dan tidak akan dapat mengeluarkan suara protes jang akan tcrdengar keluar kuburan, tapi anak tjutjunja jang setiap tahun ziarah kekuburan itu, mustahil akan tinggal dingin, atau hendak berterima kasih kepada pendjadjah jang datang memidjak tanah airnja dengan segala kekcrasan, dan mengalirkan darah nenck mojangnja diseluruh daerah! Kira-kira bagi mereka itu dan bagi anak-anak tjutjunja, tak akan ada,,damai", sampai kepada kiamatnja dunia!. . .
JANG BELUM ICHLAS DAMAI Teuku Oemar mulai mcnjiangi gclanggang perang, jang telah lama tinggal mendjadi semak, karena hampir tidak dipergunakan lagi. Ia mengangkat sendjata guna mentuanja, Teuku Nanta Setia dan guna isterinja Ijoet Nja Din. Dengan mengepalai rombongan besar jang lengkap alat sendjatanja, diperkuat pula oleh lasjkar Teuku Nja Makam, saudara jang bungsu dari almarhum Teuku Ibrahim Lamgna, masuklah ia menjerbu kedalam daerah 4 Moekim. Dengan tjepat rombongannja itu dibawa melalui Ngalau Beradin, lalu dapat menduduki sebahagian besar pada daerah pemerintahan Nanta Setia dahulu. Daerah itu telah ,,damai" kira-kira tudjuh tahun lamanja. Pegawai-pegawai sipil pemerintalian Belanda telah ,,mcntjoba-tjoba mengangkat daerah itu dari suasana keruntuhan". Sawah-sawah telah ditjangkul, ditanami dan dituai, dari tahun ketahun. Meskipun Nanta tidak dapat berhubungan langsung dengan para rakjatnja di 6 Moekim, tapi rakjat itu masih mengenang-ngenangkan budi Oeloebalang mereka jang terpaksa menghindar itu. Tudjuh tahun lamanja mereka takluk kebawah segala perintah kaphe, seolaholah telah dapatlah mereka menjesuaikan diri kepada keadaan jang sudah berubah itu. Tudjuh tahun lamanja wartawan-wartawan Belanda ditanah Djawa menjatakan kepada pembatjanja, bahwa orang Atjeh telah sungguh-sungguh insjaf akan mulianja maksud orang Belanda, bahwa mereka telah mengaku keadilannja, kedjudjuran hati dan kemurnian tjita-tjita orang Belanda . . . Sampai Teuku Oemar, menantu Kedua dari Nanta Setia, Oeloebalang jang tertjinta, datang mempcrlihatkan diri beserta angkatan perangnja ke 6 Moekim. Maka kedatangan suami Tjoet Nja Din jang kedua itu, disambutlah oleh mereka dengan riang-gembira, serta tempik dan sorak. Rakjat 6 Moekim menerima kedatangannja seolah-olah menerima kedatangan seorang satria, jang akan melepaskan belenggu jang sedang mengongkong mereka. Tidak heran! Dahulu rakjat 6 Moekim pernah mcngalami penindasan dan penghisapan jang dilakukan oleh Oeloebalang Neh. Sesudah itu atas takdir Ilahi dan dengan kekuasaan Sultan, rakjat jang tertindas itu mendapat Oeloebalang baru, jang adil, pcramah dan penjajang, jaitu Nanta. Tidak heran djika rakjat itu merasa berbahagia dibawah pemerintahan Nanta Setia. Sekarang berkuasalah orang Belanda ditanah Atjeh. Tapi jang memegang tampuk pemerintahan itu rupanja kurang dalam pemandangan, tidak hendak memikirkan simpang siurnja djalan anak-anak tjatur politik diatas papan jang baharu dikuasai itu. Mereka tidaklah memikirkan tentang segala kedjadian jang sudah-sudah jaitu hal perscngketaan-persengketaan jang mcndalam antara Nanta dengan keluarga Neh. Tidak dipikirkan hal bcntjana pembunuhan Hadji Said, hal perang saudara jang petjah ditepi-tcpi kampung Blang Oi. Jang difikirkan oleh pihak jang bcrkuasa didalam barisan pemerintahan Belanda, rupanja hanjalah kewadjiban orang Belanda harus mcmbalas djasa sahadja terhadap keluarga Neh, jang diketahui dahulu bcrkuasa di 6 Moekim, tapi dapat didesak
Jang belum tchlas damai
135
oleh Nanta Selia. Guna mcmbalas djasa almarhum Oeloebalang Neh jang sangat banjaknja tcrhadap kepada orang Belanda itu, sudah scpatutnja djika kebesaran keluarga Neh jang telah hilang di 6 Moekim itu, dikembalikan kepada anak tjutjunja. Demikianlah perhitungan orang-orang besar dikalangan pemerintah Belanda. Dan oleh karena itu pemerintahan di 6 Moekim diserahkan kembali kepada keluarga Nch\ Berarti bahwa rakjat 6 Moekim diserahkan kembali ketangan algodjonja jang telah menghindar! Sedang mereka masih merindukan Oeloebalang jang disajanginja, jaitu Nanta Setia. Patutkah orang heran, djika kedatangan Teuku Oemar disambut dengan gembira? Nama Oemar sebagai pachlawan tanah air telah lama menarik hati orang banjak. Sekarang pachlawan itu telah mendjadi suami Tjoet Nja Din, mendjadi menantu Nanta, pengganti Ibrahim jang disajanginja pula. Jang diberi gelaran Tsjeh (pemimpin) oleh orang 6 Moekim. Demi Oemar mcmperlihatkan muka dan sendjata bersama-sama dengan angkatan pcrangnja di 6 Moekim itu, maka sekalian laki-laki jang bersendjata telah ada dibclakang dan disampingnja. Siap sedia buat menjertai pachlawan itu didalam sepak terdjangnja. Mungkin orang 6 Moekim bukan sahadja hendak mcngulang-ulang langkah terhadap „kumpeuni", tapi boleh djadi djuga karena telah menampak djalan jang terbuka pula arah ke Merassa, buat melepaskan dendam lama tcrhadap penduduk kampung itu. Itu semua boleh djadi. Siapakah jang mengctahuinja? Tapi jang telah njata ialah bahwa api peperangan telah berkobar-kobar pula di 6 Moekim, demi Teuku Oemar memidjak daerah itu dengan lasjkarnja. Kepala jang ditundjuk oleh keluarga Neh buat memegang tampuk pemerintahan di 6 Moekim itu, sebelum hudjan, sebelum angin, setjepat kilat telah menghilang ke Mcrassa, menjebcrangi anak Sungai Ning, lalu mentjari perlindungan dibawah pandji tentara Belanda. Dan timbullah pemberontakan seluruh kampung 6 Moekim, melawan pemerintah Belanda. Lupalah penduduk akan segala kesukaran jang telah dideritanja dahulu semasa berperang dengan orang Belanda, sampai menanggung kesengsaraan selama mengungsi dipegunungan. Dilupakanlah segala hukuman jang didjatuhkan oleh Almarhum Teuku Ibrahim Lamgna atas diri mereka, karena mereka pulang kekampungnja, jang dianggap bcrchianat tcrhadap bangsanja sendiri oleh Ibrahim, karena pulang kckampung itu berarti bcrsekutu dengan Belanda. Jang dikatakan ,,djemu perang" oleh orang Belanda didalam kroniknja, di 6 Moekim sudah tidak berlaku lagi! Padahal hukuman-hukuman jang didjatuhkan oleh Ibrahim atas diri mereka jang dianggap bcrchianat, sungguh tidak cnteng. Lcmbu, kamping dan ajam dirampasnja. Rumah orang dibakarnja. Anak bini orang ditawannja, dibawa kepegunungan Paran, buat didjadikan sandera, jaitu menawan buat memaksa keluarganja memenuhi jang dikchendaki oleh pihak jang menawan. Kadangdadang Ibrahim tidak gentar-gentamja mentjeraikan kepala orang dari tubuh, djika ia menimbang perlu buat menghukum! Segala bentjana jang telah terdjadi dahulu, jang patut membawa mereka
136
Tjoet Nja Din
kepada suasana ,,djemu perang", telah dilupakan sama sekali. Segala tindakan Ibrahim jang kcdjam-kedjam itu telah dilupakan. Bukankah Ibrahim Lamgna itu ialah menantu Nanta Setia, Oeloebalang jang dipilih oleh mereka sendiri, jang disajangi oleh mereka? Nanta, jang memimpin mereka, ketika mereka bertempur melepaskan sakit hati tcrhadap orang Mcrassa? Bukankah Nanta pula jang melepaskan mereka dari tindasan Neh? Berbulan-bulan lamanja terdjadi pcrtempuran jang sengit di 6 Moekim. Banjaklah darah jang mengalir, banjak orang jang gugur dari kedua belah pihak. Teuku Oemar njata adalah seorang Panglima Perang jang paham siasat, dan tangkas pula dalam menghadapi musuhnja. Pemerintah Belanda di Atjeh terpaksa meminta bantuan dari Padang dengan telgrap. Setelah bantuan itu datang, baharulah Oemar mundur dari tempat pertahanannja. Datangnja ialah dari Ngalau Beradin. Ketika mengundurkan diri, maka djalan keluar jang dipergunakannja ialah Ngalau Beradin djua. Dibclakang ditinggalkannja kampung-kampung jang telah mendjadi lautan api. Dan disana orang sedang sibuk pula menguburkan rekan-rckan jang gugur. Tapi tak ada seorang penduduk dari sekalian kampung jang ditinggalkannja itu, jang merasa bahwa mereka telah dikalahkan buat selama-lamanja. Masingmasing berkejakinan bahwa Teuku Oemar, pemimpin mereka, pastilah akan kembali pula, csok atau lusa. Dan sementara itu pasukan-pasukan gerilja tidaklah bcrhenti-hentinja mengintai dan membunuh tentara Belanda, dimana sahadja mereka djumpainja. Demikianlah pendapat orang Atjeh tentang ,,damai" jang telah digemborgemborkan oleh surat-surat kabar orang Belanda itu. Tidak kurang pula didalam barisan mereka, jang telah mendjadi kurban dari pada kekerasan hatinja. Tapi hendak takluk sebenar-benarnja tak maulah mereka. Demikianlah sifat orang Atjeh. Djika telah mendjadi musuhnja, maka dunia ini dirasainja kesempitan, sebelum musuh itu atau dia sendiri gugur mendjadi kurban. Dimasa-masa itu, Radja Daoed jang masih muda, telah dinjatakanakil baliq. Di Mesdjid Indrapoera, didalam daerah Polim dipegunungan, ia telah dinobatkan mendjadi Sultan. Upatjara penobatan itu dilakukan didalam suasana jang riang-geinbira. Sekalian tabuh disurau-surau dipalu, sedang scmbahjang hadjat dilakukan pula dimana-mana. Tidak terhitung banjaknja hewan-hewan jang discmbelih, karena diseluruh kampung orang mengadakan kenduri dan sedekah bumi. Dan dari Pulau Pinang masuklah pula beberapa buah perahu, penuh berisi bedil dan mesiu. Dari segala sesuatunja djelaslah, bahwa Dalam hendak direbut kembali dari tangan orang Belanda, agar Sultan Daoed jang berhak atas kcratonnja, dapat mendiaminja. Sedangkan orang Atjeh sendiri telah kagum melihat segala pcrkembangan itu. Ketiga Sagi telah dihantjurkan, lalu ditaklukkan oleh Djenderal Van der Heyden. Sedangkan Mon Tassik, ibu kota daerah pemerintahan Panglima Polim
Jang belum ichlas damai
137
jang didjaga oleh 24 putjuk meriam, telah dapat didjatuhkannja. Mesdjid Sutji Indrapocra telah didudukinja! Keluarga Polim jang termasjhur gagah bcraninja, dapat ditjerai-beraikannja. Belum pernah Atjch dapat diruntuhkan musuh setjara demikian. Baharu sekarang ini orang dapat mclumpuhkan Atjch, sampai tidak berdaja lagi! Segala pihak mulai pertjaja, bahwa nafsu rakjat hendak berperang telah dapat dipatahkan. Maka bcrkeluh kesahlah orang. Mereka tak kuat menahan hati. Hati itu memang sangat panas terhadap kaphe, tetapi apakah daja? Didalam rakjat berkeluh kesah itu, hanja Tjoet Nja Din, isteri Teuku Oemar, jang tidak mau menundukkan kepala. Dengan gemas atjapkali ia berkata dimuka orang banjak: „Mustahil! Mustahil Atjch akan kalah, akan dapat diruntuhkan oleh kaphe! Pachlawan-pachlawan jang hendak mempcrtahankannja masih hidup! Panglima Polim hidup! Imam Longbata hidup! Ajahku, Nanta Setia hidup!" Tapi meskipun demikian tak adalah seorang jang berani berkata sebagai dahulu jang telah diutjapkan oleh almarhum Ibrahim Lamgna, jaitu katanja: ,,Kalah? Selama kita masih hidup, Atjeh tidak akan kalah!" Sedangkan Oemar tidak berani berkata demikian. Dan oleh karena Teuku Oemar sendiri tidak mengutjapkannja, maka kcluarlah kata-kata itu dari mulut Tjoet Nja Din. Katanja: ,,Dan Teuku Oemar hidup! Selama pachlawan-pachlawan itu hidup, Atjeh tidak akan djatuh ketangan kaphe!
Segala tutur kata Tjoet Nja Din itu mcndjalarlah sampai kepelosok-pclosok pcgunungan, bagaikan minjak tanah menghampiri api. Didalam kalangan Pemerintahan Belandapun pcrgolakan baharu itu telah menimbulkan kegemparan. Djenderal Van der Heyden insjaflah, bahwa pcrtempuran besar-besaran, mungkin lebih seru dari pada jang sudah-sudah, akan bcrlaku lagi. Djika bukan tentara Belanda jang menjerbu, pastilah dari pihak orang Atjch akan dilakukan penjerangan. Djalan satu-satunja bagi orang Belanda, sebenarnja hanjalah melakukan sekali lagi ,,pcmbcrsihan-pembcrsihan" sepcrti jang dahulu telah dilakukan. Tapi untuk gcrakan jang serupa itu uang sudah tidak ada pada orang Belanda. Dikalangan tentara Belanda memang telah dirasai kekurangan atas segala rupa perkara. Djadi tcrpaksalah Djenderal Van der Heyden mcnggagalkan tindakan ,,pembcrsihan" untuk kedua kalinja, karena telah tcrnjata tidal: mungkin dilakukan lagi!
Dan oleh karena itu diturutnjalah tjontoh jang telah diperbuat dahulu oleh Djenderal Van Swieten p a d a tahun 1873, jaitu m u n d u r teratur. Djenderal Van der
Heyden menaikkan sebahagian besar tcntaranja keatas kapal, lalu pulanglah mereka ketanah Djawa, meninggalkan Atjch jang sedang tcrantjam „djahat"
itu.
138
Tjoet Nja Din
Tapi orang Belanda tidak pula bcrmaksud hendak melepaskan tanah Atjeh sama sekali. Kedua tctangga jang bcrhampiran, Inggris dan Amerika, telah lama menelan-nclan air selera jang hendak titik, dalam memandang kepada Atjeh jang kaja raja itu. Djika Belanda mclepaskannja dari tangan, mereka (Inggris dan Amerika) sudah tentu akan mengctahui pula, apa jang harus diperbuatnja atas hidangan jang ditinggalkan orang Belanda itu! Bukan itu pula jang dikehendaki oleh orang Belanda. Hidangan itu hendak tetap dimilikinja, djika tidak seluruhnja, sebahagian jang ada ditcpi-tcpi medja sahadja, memadailah . . . untuk sementara waktu! Oleh karena itu pendjagaan tentara Belanda haruslah dikurangi, djauh disederhanakan dari jang semula. Kotaradja tetap mendjadi pusat. Disekcliling kota itu dibangunkan garis pertahanan jang dikuatkan oleh rantai bentcng-bentcng. Bcntuk garis itu ialah bcrupa garis lingkaran. Bcntcng-benteng jang ada pada garis lingkaran itu dihubung-hubungkan pula dengan kubu-kubu pertahanan dan asrama-asrama ketentaraan, jang dipersendjatai dengan lengkap. Tiga pcrempat dari garis lingkaran itu tcrdiri atas benteng-benteng, kubu-kubu dan asrama-asrama. Jang sepcrempatnja terdiri atas pantai dan lautan jang didjaga pula. Tcmpattempat pertahanan jang dikuatkan dimulai disebelah Utara, dekatkota Pohama, bekas benteng orang Portegis, jang dibangunkan dari batu. Dari. sana garis itu djalan mclingkung arah ke Selatan, melalui Sagi 26. Dari sana melcngkung pula ke Barat, melalui 9 Moekim dan ditcruskan sampai kepcrbatasan 6 Moekim dengan Merassa, sampai ke Sabong, tempat Nanta dahulu memperbuat benteng pertahanannja jang bcrhadap-hadapan dengan Oeleh-leh. Garis melengkung jang memagar Kotaradja itu, oleh Pemerintah Belanda dinamakan: Geconccntreerde Linie 1885 — 1896. Dengan djalan demikian, maka beberapa kampung di 6 Moekim telah terkurung mendjadi daerah kekuasaan orang Belanda, jaitu: Sabong, Lamtih dan Lamdjamoe (jang lebih dahulu sudah dikosongkan penduduknja, jaitu dalam tahun 1876), Lampadang jang telah dibumi hanguskan, Bital jang dahulu dikosongkan oleh penduduknja, tapi kemudian diisi kembali. Anak Sungai Ning beserta seluruh daerah Rawa Tjangkul pun mendjadi tcrkurung oleh garis pertahanan orang Belanda. Dengan djalan demikian, maka djalan dari 6 Moekim kclaut telah tcrputus. Longbata jang telah kosong dan hantjur luluh, masuk pula tcrkurung oleh garis lingkaran pertahanan orang Belanda. Pakan Bada mendjadi lengang, pasarnja sudah tidak bcrarti lagi. Tapi Oeleh-lch mendjadi lebih makmur. Seluruh penduduk Mcrassa telah pindah kedalam lingkaran pertahanan orang Belanda itu. Disanalah mereka mendapat perlindungan. Dengan djalan jang demikian orang Belanda tetap mempunjai daerah kekuasaan, meskipun amat ketjilnja. Daerah itu bcrpusat ke Kotaradja. Sekalian pospos Belanda jang ada diluar garis Linie itu, ditarik kedalam. Barang-barang dan bahan-bahan berharga, umpamanja djembatan-djembatan besi, bangsal-bangsal besi, perlengkapan telgrap dan sebagainja ditarik pula kedalam lingkaran Linie.
Jang belum ichlas damai
139-
Perpindahan jang dilakukan dalam ,,mundur tcratur" itu hanja dapat dilangsungkan dengan pertumpahan darah dan rentetan-rcntctan tembakan sahadja. Tentara Belanda jang menunaikan kewadjibannja dengan tcrgesa-gesa itu, harus mempertahankan diri dari pada serangan-serangan ,,djahat" jang mengedjar-ngedjar mereka dibclakang tumit, sambil bertempik dan bersorak, serta menembak-ncmbakkan bcdil sctinggarnja dan ruerambah-rambahkan rudusnja dengan tak ada ampunan. Sctelah selesai dari pada menjiapkan Geconcentreerde Linie dari tahun 1885 sampai pada tahun 1896 itu, dibclakang pagarnja Pemerintah Belanda bcrmaksud hendak menanti-nantikan ,,djcmu bcrperangnja" orang Atjeh, jang oleh orang Belinda digolongkan kedalam „partai Perang" penambah gclaran ,,djahat" jang dahulu diberikan kepada golongan ..bcrpantang tunduk" itu. Didalam pengharapan ..djemunja orang Atjeh berperang" itu, pihak Belanda hendak pempcrlihatkan didalam lingkaran Geconcentreerde Linie itu' kepada sekalian orang, tjara bagaimana rupanja pemerintahan negeri jang teratur. Mereka hendak membuktikan bahwa maksud orang Belanda di Atjch sungguhsungguh hanja hendak memakmurkan negeri itu sahadja. Tentara Belanda tidak akan melakukan tindakan-tindakan ,,pembcrsihan" lagi. Mereka tidak akan membunuh-bunuh dan membakar-bakar kampung lagi, tidak akan mcrusak mesdjid lagi. Dan tidak pula mereka akan turut tjampur-tjampur lagi didalam perkara pemerintahan Atjch, diluar lingkaran Geconcentreerde Linie itu. Hanja didalam Lingkaran itu sahadja mereka hendak memcrintah, sambil memberi tjontoh-tjontoh tentang rupa pemerintahan jang selajaknja. Nanti orang Atjch boleh membanding-bandingkan sendiri antara djalan pemerintahan (Belanda) jang tcratur, dan laku pemerintahan orang Atjch jang katjau balau, jang anargis dan sebagainja. Oleh karena itu Kotaradja sedaerahnja, meskipun ada didalam pagar, siang dan malam umpama terbuka bagi sekalian orang jang tidak bermaksud djahat. Asal mempunjai pas dan tidak bersendjata, sekalian orang boleh masuk kedalam buat mclihat-lihat dan bcrtanja-tanja. Barang siapa jang nanti telah menjaksikan sendiri dengan mata bahwa maksud orang Belanda tcrhadap orang Atjch dan tanahnja, memang tidak djahat, boleh datang kepada wakil Pemerintah Belanda, buat meminta damai. Nanti ia boleh mengharap-harap menerima gadjih jang berpatutan tiap-tiap bulan. Didalam perkataan rcsmi, dan dalam pergaulan orang Atjch, pcrbuatan orang jang ,,insjaf" itu discbut: mil. Tapi tiap-tiap orang adalah bebas dalam pendiriannja ,,berpantang tunduk". Asal orang itu tidak mengganggu didalam lingkungan daerah Belanda, jaitu didalam Geconcentreerde Linie, maka orang itu tidak akan diganggu-ganggu oleh orang Belanda. Orang Belanda jang bers'fat murah, serta tjinta kemcrdekaan, menghormati dan menghargai akan pendirian orang masing-masing didalam soal damai tidak damai, mel atau ..berpantang tunduk" itu . . . Tjamkanlah itu! . . . Demikianlah keringkasan dari pada riwajat kckalahan tentara Belanda di Atjeh, jang dialami oleh mereka untuk kedua kalinja selama peperangan Atjch.
140
Tjoet Nja Din
Para wartawan ditanah Djawa masih mendapat djalan buat membungkusbungkus kekalahan itu, jang pada achirnja diberi nama ,,mundur taratur" oleh mereka, sambil memberi alasan-a'asan guna menjatakan bahwa kesudahan peperangan jang kedua itu masih patut dikatakan ,,strategis". Sedang hal pulangnja tentara Belanda ketanah Djawa itu, oleh mereka dikatakan ,,guna siasat" . . .
Marilah kita tindjau kctcngah-tengah masjarakat Atjch, tjara bagaimana mereka menampung perubahan suasana jang terdjadi dengan tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu. Pada sangka mereka pastilah „Radja Tjelek" jang mendiami keraton Keradjaan Atjeh, akan murka, demi mendengar bahwa orang Atjeh dipegunungan sedang mengasah-asah rudusnja pula, sedang di 6 Moekim pemberontakan menjala-njala kembali. Sudah tentu ia akan menurunkan angkatan perangnja pula, buat menjapu orang Atjeh dengan senapang-scnapang dan segala mcriamnja. Djika ia mau, kekuatannja memang tjukup kuat buat mcngulangi tindakan jang telah dilakukannja dahulu. Tapi adjaib! Apakah scbabnja maka ia tidak bcrlaku demikian? Takutkah ia? Mustahil! Orang itu njata tidak tahu takut! Bukan sahadja ia tidak menjerang, tapi sekarang ia mengumpulkan anak buahnja, lalu meninggalkan Atjeh bersama-sama dengan angkatan perangnja! Larikah ia? Mustahil! Sedangkan bcrhadapan dengan penjerang-penjerangan seru jang telah dilakukan oleh orang Atjeh, bclu pernah ia lari. Sekarang ia pulang dengan diam-diam dan tergesagesa! Adjaib! Adjaib! Apakah sebabnja? Demikianlah pertanjaan-pertanjaan jang timbul dikalangan kebanjakan orang Atjch. Lalu mcnjahutlah alim-ulama:" ,,Hcrankan ita? Mengapa kita mesti heran? Sedangkan kita pcrtjaja akan adanja Tuhan, akan besarnja Tuhan, akan adilnja Tuhan? Bukankah segala jang terdjadi itu takdir Allah Subhana Wataala, jang menimbang bahwa telah tjukup orang Atjeh menderita kesengsaraan, jang ditimbulkan oleh kafir La' ana-tullah ditanah Atjeh? Sekalian orang Islam harus menerima takdir Allah itu sebagai suatu komando buat meneruskan Sabilullah jang telah kita mulai!" Demikianlah keputusan golongan alim ulama. Dan pada achirnja diakulah Teungku di Tiro sebagai Pemimpin tertinggi Sabilullah jang hendak diulang kembali oleh orang Atjch terhadap kaphe. Maka bendera Nabi M uhammad s.a.w. jang telah dibeli oleh orang Belanda scharga scribu Dollar sebulan dari Habib Abdoerrachman, djatuhlah kembali ketangan Teungku di Tiro, jang memulai langkahnja dari Pedie. Maka tampillah kembali kedalam gclanggang: Panglima Polim, jang masih hidup, Putcranja, Radja Koeala, jang masih hidup, 7mam Longbata, jang masih hidup, Keluarga Nanta jang masih hidup. Dengan djalan demikian tibalah waktunja bagi Teuku Oemar buat membawa
Jang belum ichlas damai
141
isterinja, Tjoet Nja Din pulang kckampung. Hanjalah pulang itu bukan kc Lampadang, mclainkan ke Lampisang, karena Lampadang ada dibawah kekuasaan Belanda, sedang Lampisang masih merdeka. Maka kembalilah Din kckampung, setelah meninggalkannja sembilan tahun lamanja berturut-turut. Didalam tandu jang membawanja, adalah turut seorang puterinja jang masih kctjil, Tjoet Gambang. Scpasukan pengawal bersendjata lengkap mengiringkan mereka melalui Ngalau Beradin. Sepandjang djalan Din memandang berkeliling mengamat-amati keadaan sekitarnja. Djalan itu pula jang ditempuhnja sembilan tahun jang telah lampau, ketika ia terpaksa meninggalkan kampung dan halaman, karena terantjam oleh kaphe. Tiap-tiap scmak, tiap-tiap bukit dan djurang telah menarik hatinja. Pada pemandangannja belum adalah jang bcrubah. Sekonjong-konjong berasa tcrtikamlah djantungnja; dada bcrasa scsak, napas tertegun-tegun, hati didalam berasa remuk, air mata bagaikan hendak berhamburan, sedang fikirannja mendjalar kebelakang, kedjaman silam dengan tak dapat dirintang-rintang. Tjoet Nja Din mcnoleh kebelakang, kekanan dan kekiri. Jang ditjarinja dengan matanja itu tak kundjung nampak: Ibrahim!. . . Dahulu, ketika ia menghindar dari kampung halamannja menempuh djalan ini, jang mengawaninja dan melindunginja ialah Ibrahim. Tapi sekarang, kedjalan pulang, kawannja itu ialah Oemar! Bukanlah ia kurang kasih kepada suaminja jang kedua itu, tapi mau tak mau Din mengenangkan djua, alang-kah sukatjitanja Ibrahim, djika ia sekarang, selagi anak isterinja hendak pulang kekampung halamannja, dapat pula mengantarkan mereka! Tapi malang baginja di Sela Glitarun ia gugur! Ibrahim! Suami dan kckasih Din jang pertama! Itulah jang mengharukan hati Din didjalan hendak pulang kckampungnja itu. Maka untuk menghibur-hibur hati gundah, berpalinglah ia kepada anaknja, anak Oemar jang dilahirkannja ditempat pcngungsian, lalu berkata sambil menundjuk kepegunungan Blang Kala: ,,Lihatlah anakku! Dilereng gunung itu, djauh diulu, disana ada djalan mendaki. Dan djalan itulah jang kami tempuh sctelah kaphe mengantjam hendak memperkosa kampung halaman kami! Sctelah mereka membakar dan menghantjurkan Lampadang, membakar Lamtengah, dan Lamtih, dan Sabong, jang dimusnahkan oleh mereka dengan meriam-meriamnja jang ditcmbakkan dari laut. Dan pada malam hari itu bcrtiuplah angin gunung, jang menghalau asap kebakaran-kebakaran itu melalui Koeala Tjangkoel, terus kclaut. Dan di Lamtengah kaphe memusnahkan mesdjid, dan di Lampagger mereka dapat merusak achlak penduduk, sampai mereka itu bcrchianat kepada nusa dan bangsa. Malah jang menundjukkan djalan kepada kaphe djalan jang kami tempuh waktu lari itu, ialah orang Lampagger itu sendiri! Tapi Teuku Lamgna turunlah dari gunung, dan scmalam-malam itu ia menuntut balas kepada orang Lampagger atas pengchianatan mereka terhadap diri kami itu. Dengan kelewangnja ia telah mcmbelah batu kepala mereka itu dan mentjerai-bcraikan kaki tangan mereka
142
Tjoet Nja Din
dari badannja masing-masing. Djanganlah engkau melupakan riwajat bentjana itu, wahai anakku! Djangan sekali-kali cngkau lupakan!" ,,Tidak, tidak akan saja lupakan, ibu!" sahut Tjoet Gambang. Tjoet Nja Din bcrdiam diri, dadanja berasa scsak pula. Tandu tempat ia duduk, tidak berhcnti-henti dari pada melambung-lambung, menurutkan langkah orang jang memikulnja. Tangan Din mengulur, meraba dan menjapunjapu punggung tangan anaknja. Lalu berkatalah ia dengan suara jang agak gembira: ,,Dipihak orang kaphe sadja jang bcrkemah di Lampagger, dapat dihitung tiga puluh orang jang mati dan luka-luka!" Sesudah berkata demikian gelaklah Tjoet Nja Din terbahak-bahak. Anaknja memandang sedjurus kewadjah ibunja, lalu gelak-gclak pula. ,,Tiga puluh orang!" kata Din dengan suara keras. Matanja mendelik bersinar-sinar. Sambil duduk larus-lurus diatuas tandu, maka mata itu telah mclajang-lajang pula kemuka, mentjahari Oemar, jang berdjalan mcndahului mereka. Tubuhnja jang tinggi semampai tidak menimbulkan kesulitan untuk mentjahari Oemar, jang berdjalan mcndahului mereka. Tubuhnja jang tinggi semampai tidak menimbulkan kesulitan untuk mentjaharinja diantara orang banjak. Oemar berdjalan mendahului pasukannja, rudus tcrhunus ditangan kanannja, sedang senapangnja dipikul oleh seorang pengawal, jang menurutkannja dari bclakang. Lakunja Oemar berdjalan itu adalah memudahkan pula bagi sekalian orang jang sedang mentjaharinja dengan mata. Djalannja berupa gontai, tapi sebenarnja djarang-djarang pula orang jang akan dapat menurutkannja, djika tidak berlari-lari andjing. Tampan Oemar dalam bergerak dan melangkah adalah memberi alamat, bahwa ia masih masuk golongan orang sigap dan kuat, sedang madat jang digemarinja, masih belum memberi kesan-kesan keruntuhan pada anggotanja. Ia membiasakan pula berdjalan setengah menondjolkan kepala kemuka, menandakan siap dan waspadanja scnantiasa waktu. Maka sampailah mereka ke Lampisang, disambut oleh seisi kampung dengan riang gembira. Masing-masing berdesak-desak hendak melihat dan menghampiri Tjoet Nja Din jang telah dikenalnja dari ketjil. Dirumah kediamannja jang baru itu banjaklah orang-orang terkemuka dari segala kampung jang bcrhampiran datang mengundjungi suami isteri. Rakjat datang berdujun-dujun bukan sahadja buat bcrsalam-salaman dengan Teuku Oemar, tapi tcrutama djua dengan Tjoet Nja Din, putcri Oeloebalang jang dikasihi, Nanta Setia. Ajahnja itu telah kembali pula kckampung. Tapi ia sudah sangat tua, dan letih, serta rabun pula, sctelah melakukan perang gerilja bertahuntahun lamanja. Peredahan dan tanda kasih rakjat sudah tentu membagi kepada anak-anaknja. Hanja sajang, anaknja jang laki-laki, Teuku Tjoet Rajoet, dianggap tak berpatutan untuk memegang sesuatu pangkat kebesaran jang berhak menerima utjapan-utjapan rakjat jang berterima kasih itu, karena ia tinggal mendjadi orang pandir. Buat gantinja ialah Tjoet Nja Din. Meskipun ia hanja seorang perempuan, dari pcngalaman jang sudah-sudah, tahulah rakjat, bahwa bctina jang seorang itu patut dianggap akan mendjadi ganti sepuluh djantan.
PASANG SURUT, PASANG NAIK Segala sesuatunja telah sampai kepada djalan buntu, baik dipihak orang Belanda, maupun dipihak orang Atjeh. Jang galib terdjadi pada tiap-tiap dan segala peperangan, nampak pulalah di Atjeh. Kepada pihak jang menang belum hendak diberi djalan buat bertempik dan bersorak, karena pihak jang dikatakan kalah, masih belum hendak tunduk atau menjerah. Tapi meskipun demikian, pihak orang Belanda masih hendak bergembira djua, karena mereka masih dapat tinggal besenang-senang dibclakang garis pertahanan, jang dinamakannja Geconcentreerde Linie itu. Semendjak tahun 1885, jaitu mulainja dibubuh ,,perdamaian" antara orang Atjeh dengan orang Belanda, maka orang Belanda dari lingkungan Linicnja itu telah melakukan pelbagai rupa politik, jaitu politik ,.bertahan" (defensip), politik ,.tangan terbuka" menurut sistim ,,sogok", dan sekali-sekali djuga politik „menjerang" (offensip), jang berupa antjaman-antjaman, pengepungan dari laut dan pendjatuhan hukuman dengan tembakan-tembakan granat dari laut djuga. Segala sesuatunja itu tidaklah terdjadi karena orang Belanda besifat „anginanginan", tidak tentu apa maunja, mclainkan harus dianggap sebagai timbulnja suasana ,,pasang surut" dan ,,pasang naik", jang terdjadi didalam lingkungan Linie itu. Surut atau naiknja pasang adalah ditentukan pula oleh ,,bidjaksananja' atau ,.tangan besinja" tiap-tiap Gubernur jang datang bcrganti-ganti mendiami Keraton di Kotaradja. Djika pasang sedang surut, maka kiriman barang-barang gclap dari Pulau Pinang (sendjata dan sebagainja), akan mengalir, api pemberontakan nampak menjala-njala; tapi djika pasang sedang naik, maka kiriman sendjata gelap jang datang dari Pulau Pinang untu, orang Atjch, tidak lantjar, sedang api peperangan serupa hendak padam. Istana Darurat jang diduduki oleh Sultan Daoed, masih ada di Kemala, daerah Pedie. Istana jang asali masih didiami oleh pembesar-pembesar Belanda. Tidak berkeputusan Kepala Kcradjaan Atjeh datang berkundjungan ke Kemala, buat menghadap Sultan. Pulangnja adalah mereka membawa air jang telah didoakan oleh Sultan Daoed guna mengobati anak bininja dirumah. Kcsctiaan pembesar-pembesar Atjch itu kepada Sultannja jang sudah tidak bcrkekuasaan lagi, tidaklah hendak berubah-rubah. Teuku Bait mendapat ampunan. Pemerintahan 7 Moekim diserahkan kembali kepadanja., Tapi dengan kctentuan bahwa pangkatnja ialah Oeloebalang jang telah takluk kepada Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu ia diwadjibkan datang sendiri pada tiap-tiap habis bulan kc Kotaradja, buat menerima uang tundjangannja, dan buat „memperlihatkan muka". Djika ia tidak datang sendiri, kealpaan itu dipandang sebagai suatu pcrbuatan jang bcrarti ,.menentang" pemerintah Belanda. Atas kcsalahan jang serupa itu mungkin timbul tindakantindakan pemerintah Belanda, jang tidak akan menjenangkan hati Teuku Bait.
144
Tjoet Nja Din
Teuku Kadli, Kepala Kehakiman, telah lama mendiami rumah barunja di Penajung, pemberian orang Belanda untuk mengganti rumahnja jang terpenggang dimasa perang. Atas perubahan rumah kediamannja itu, Teuku Kadli masih mengenangkan baik budinja orang Belanda. Dengan ichlas hati rumah itu dinamainja ,,rumah perdamaian" . . . Neh, keluarga Oeloebalang almarhum, telah digandjar dengan pangkat kebesaran ,,Ridder in de Orde van de Nederlandsche Leeuw" oleh radja Belanda. Anugerah itu ialah perendahan jang tertinggi dari kcradjaan Belanda didunia ketentaraannja. Diperolehnja karena pemerintah Belanda hendak mempcrbaiki kcsalahan, jaitu dahulu telah membiarkan almarhum Oeloebalang Neh tinggal sendiri di Mcrassa, dengan tak ada perlindungan scpatutnja. Sehingga 6 Moekim mendapat kesempatan penuh buat membakar dan menghantjurkan sekalian kampung-kampung jang ada di Merassa. Scsungguhnja pengangkatan Neh Muda mendjadi Ridder (Satria) didalam hal jang serupa itu, adalah tidak sekali-kali pada tempatnja. Tapi bagi jang berkepentingan, pengangkatan dan penghormatan itu tidaklah mengurangi rasa kemegahan hati dan keangkuhan tindakannja. Dengan anugerah jang semulia itu kampung-kampung di Merassa turut pula memperolch kemegahan. Bukankah sekalian pengawal jang mendjaga dimuka Gcdung Gubernemen Belanda di Kotaradja berkewadjiban memberi hormat kepadanja (tegak lurus sambil menanai senapangnja) tiap-tiap Neh jang memakai bintang satria didadanja, lalu dimuka gedung itu? Sekiranja Satria Neh bcrkenan mondar-mandir dua belas kali sehari dimuka gedung itu, dua belas kali pula pengawal berkewadjiban tegak lurus sambil menanai senapangnja! Tidakkah patut, djika orang Merassa turut merasa angkuh atas penghormatan sebesar itu jang diberikan kepada Kepalanja? Tapi meskipun demikian, hati Neh Muda masih agak ketjewa djua. Ia tidak mengerti apakah sebab maka Bintang Emas Besar telah diberikan kepada Sjahbandar Tibang? Lebihkah djasa Tibang dari pada djasa Neh? Tak dapat Neh mengira-ngira neratja matjam mana jang telah dipergunakan oleh orang Belanda, didalam mempertimbangkan djasa-djasa orang, jang berhubungan dengan pekerdjaan mendjadi mata-mata dan pengchianatan tcrhadap bangsa dan tanah air. . . Nanta Setia pulang kckampung dari tempat-tempat pertempuran. Umurnja sudah sangat tua, badan berasa letih, rapun pula. Sebab kampung kediamannja telah hantjur, maka ia tinggal menetap di Lampisang. Wakil jang ditcntukan oleh Keluarga Neh buat memcrintah di 6 Moekim, segcralah meletakkan djabatannja, setelah ia mengctahui bahwa sekalian pemuka-pemuka ,,pantang tunduk" tcrutama Nanta, Oemar dan Din, telah kembali kesana. Oleh karena itu maka hal pemerintahan 6 Moekim telah mendjadi soal lagi. Nanta Setia sendiri sudah tidak mungkin mendjadi Oeloebalang kembali, karena keadaan tubuhnja sudah tidak mengizinkan buat mendjabat sesuatu pekerdjaan.
Pasang surut, pasang naik
145
Tapi sementara itu tetap besar keinginannja, supaja kcturunannja djua jang dibcsarkan di 6 Moekim, karena pangkat Oeloebalang itu memang telah ditentukan turun-menurun. Sekiranja ia tidak masuk kedalam golongan ,,pantang tunduk", nisljaja hal pengangkatan Oeloebalang di 6 Moekim itu dapat diperkatakannja dengan pemerintah Belanda. Oleh karena Nanta mengctahui pula, bahwa suasana dalam kalangan pemerintah Belanda itu tidak tetap, melainkan takluk kebawah keadaan ,,pasang naik", dan „pasang surut", maka mcngertilah ia bahwa seseorang oeloebalang jang tidak diangkat oleh pemerintah Belanda, kelak akan terbang bagaikan abu diatas tungku, sekiranja orang Belanda melakukan pula tindakan-tindakan ,,pembcrsihan" diluar Linie. Tapi Nanta telah bcrsumpah dimuka Panglima Polim bahwa ia tidak akan tunduk kepada orang Belanda. Buat mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda guna keturunan Nanta jang mendjadi Oeloebalang, lebih dahulu wadjiblah Nanta sendiri tunduk kepada orang Belanda. Dan itu sckali-kali tidak dimaksudnja. Meskipun anak Nanta jang laki-laki, jaitu Tjoet Rajoet, dikenal sebagai ,,orang pandir", jang tidak lajak buat memegang sesuatu djabatan jang bcrkekuasaan, tapi asal orang Belanda suka mengakuinja sebagai Oeloebalang, maka djalan pemerintahan di 6 Moekim tidak akan menemui sesuatu kesulitan, selama Nanta sendiri masih hidup. Setelah bcrmusjawarat dengan beberapa orang Kepala di 6 Moekim maka dapatlah suatu djalan buat mengatasi kesulitan itu. Ditetapkan bahwa sekalian Kepala-Kepala di 6 Moekim akan mengangkat Teuku Rajoet mendjadi Oeloebalang disana, lalu meminta kepada Pemerintah Belanda buat mengakuinja sebagai Oeloebalang 6 Moekim. Nanta sendiri tinggal terlindung dibclakang lajar. Meskipun tidak scluruhnja 6 Moekim telah tcrkurung didalam garis lingkaran Linie, sedang Kepala-Kepala dan rakjat disana belum menjatakan tunduknja dengan resmi, paling untung hanja dapat dianggap hidup ,,damai bersendjata" tcrhadap kepada orang Belanda, tapi oleh karena mereka sendiri jang meminta diakuinja Oeloebalang mereka, maka bagi Pemerintah Belanda tak adalah sesuatu kcberatan buat memberikan pengakuan itu, meskipun Oeloebalang itu telah njata ,,orang pandir". Bukankah dengan pengakuan jang diminta oleh mereka sendiri itu, 6 Moekim telah seumpama ada dibawah pengaruh Pemerintah Belanda? Pcndek kata, pengakuan kepada Oeloebalang Teuku Rajoet diberikanlah dengan rcsmi oleh Pemerintah Belanda, sesudah ia diangkat dengan segala upatjaranja oleh rakjat 6 Moekim mendjadi Oeloebalang disana. Pemerintahan Belanda sebenarnja telah bcrlaku tjulas tcrhadap kepada Keluarga Neh dengan laku pengakuan itu. Karena sesudah Oeloebalang pengangkatan Nen, jang djuga telah diaku oleh Belanda, keluar dari 6 Moekim sambil meletakkan djabatannja, karena takut kepada keluarga Nanta, bukankah sangat tidak patut djika putera Nanta sendiri jang diaku mendjadi gantinja? Tapi pemerintah Belanda tidak kurang alasan buat mentjutji tangan dan menjclimuti kesalahannja. Kata mereka—: „6 Moekim adalah terletak diluar Linie, berarti bahwa pemerintah Belanda tidak boleh turut tjampur-tjampur
146
Tjoet Nja Din
didalam perkara pemerintahan disana. Pemerintahan di 6 Moekim ada ditangan rakjat 6 Moekim. Maka sekarang seluruh rakjat 6 Moekim telah mengangkat Ocloebalangnja! Bolehkah Pemerintah Belanda turut-turut tjampur? Sudah tentu tidak!" Konsckwensi tinggal konsekwensi! ,,Habis perkara!" . . . Dengan djalan demikian, pada lahirnja, bcrupa tunduklah 6 Moekim kepada orang Belanda. Tapi jang sebenarnja, Nanta Sella beserta putcrinja dan menantunja, masih tinggal mendjadi orang-orang jang masuk golongan ,,berpatang tunduk". Tapi dibclakang Teuku Rajoet, Oeloebalang boneka itu, adalah berdiri Tjoet Nja Din, jang mendjadi Dalang. Tali kekang Pemerintahan 6 Moekim adalah ditangannja jang teguh. Jang sebenarnja mendjadi radja di 6 Moekim ialah Tjoet Nja Din, orang jang patang tunduk kepada kaphe. Otaknja jang tadjam, pemandangannja jang luas, hatinja jang tcguh, budi pekcrtinja jang murni, arif dan bidjaksananja, segala sesuatunja adalah memberi segala sjarat kepada Din, buat memegang tampuk pemerintahan itu dengan selajak-lajaknja. Umurnja telah agak landjut, meskipun pengaruh umur itu tidak berkesan pada parasnja jang tinggal elok dan djclita. Tjoet Nja Din adalah lebih tua dari suaminja, TewJtu Oemar. Mungkin itulah pula jang mendjadi tambahan perendahan, jang oleh Teuku Oemar sclalu diperlihatkan kapada isterinja. Diatas halaman jang didiami oleh Tjoet Nja Din, adalah pula berdiri rumah jang telah diuntukkan kepada anaknja jang perempuan, Tjoet Gambang. Gadis rcmadja itu tidaklah sangat mendjauhi ibunja, baik tentang rupa, maupun tentang budi pekcrti dan lakunja bertindak. Djika ibu dan anak keluar sama memakai, bermaksud hendak pergi kesesuatu tempat perpestaan, maka kagumlah penduduk kampung mclihatkan persamaan jang djelas nampaknja antara ibu dan anak itu. Demikian pula halnja dengan Din serta ibunja Tjoet Nja, jang bagaikan pinang dibelah dua dengan anaknja. Kata penulis: Scsungguhnja saja haruslah pula mentjeriterakan hal ichwal Tjoet Nja, semendjak ia bcrkenalan dengan pembatja dihari-hari mengungsi dahulu. Tapi tidaklah penulis dapat mentjeriterakannja, katena dari hari itu Tjoet Nja telah hilang dari pemandangan penulis. Entah apalah jang telah terdjadi atas dirinja sesudah itu, penulis tidak mengetahuinja. Tentang hal ichwal anak-anak Din jang dipcrolehnja dari Teuku Ibrahim Lamgna pun sudah tak ada tjerita lagi. Dimanakah pula adanja anak-anak itu, penulis tidak mengetahui. Rumah Tjoet Nja Din telah mendjadi ,,markas besar" pula dari Alim Ulama jang tidak bcrkeputusan datang bermusjawarat dan berapat-rapat kesana. Din sendiri telah menerima kedatangan mereka dengan segala ichlasnja. Karena Tjoet Nja Din telah mendjadi orang Salch jang taat kepada agamanja. Selain dari itu didalam politik dan tcrutama dalam hal mengapikan Sabilullah, paham Din sangatlah sesuai dengan paham segala Ulama jang datang dari Tiro :itu. Tapi Teuku Oemar, suaminja, adalah sebaliknja. Sebenarnja ia tidak suka
Pasang surut, pasang naik
147
melihat Ulama-Ulam itu datang bertoboh-toboh kerumah isterinja. Lebih suka ia melihat djika isterinja itu lebih mengutamakan bergaul dengan Kaum Bangsawan dari pada dengan Kaum Ulama. Tapi sebagaimana telah ditjeriterakan, pandangan Teuku Oemar sangat tinggi terhadap isterinja, jang ditjintainja itu. Din dipandangnja sebagai kawan seperdjuangan jang sehidup semati dengan dia, jang inerdeka didalam segala buatannja. Terhadap kepada sekalian Alim Ulama itu tidaklah pula ia hendak berlaku keras. Sebagai seorang pedjuang untuk kemcrdekaan, diakunja bahwa tenaga para Alim Ulama itu didalam berdjuang dengan kafir, sekali-kali tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu telah lama ia berusaha buat menjatukan kaum Agama dengan Kaum Bangsawan. Suatu ichtiar jang belum kundjung berhasil, karena kedua belah pihak masih sangat teguh bergantung kepada tjita-tjita masing-masing. Djika ditjari djauh-djauh, sesungguhnja agak menghcrankan djua, apa sebab hati Tjoet Nja Din sangat melekat kepada suaminja. Oemar memang sangat sajang kepada isterinja, tapi pertjintaan kepada perempuan-perempuan lain, tidak pula hendak diselimut-selimutinja. Oemar gemar pada madat, gemar pula pada pesta-pesta, sangat pandai memboroskan uang, pendeknja kegemarannja kepada keduniaan memang tidak terhingga. Sebab parasnja elok, rupanja tampan, sifatnja gagah berani, maka Oemar memang telah mendjadi „anak kekasih" didunia perempuan. Hal itu bukan tidak diketahui oleh Din. Iapun tahu pula bahwa mata suaminja ,,agak bcrbulu" melihat laku perangai isterinja jang sangat fanatik pada , agama. Tapi meskipun demikian, hati Din tetap melekat pada Oemar. Mungkin karena diantara keburukannja itu, ada pula jang baik padanja. Jaitu gagah beraninja menghadapi kaphe. Guna bcrhadapan dengan kaphe itu bagi Din hanjalah Oemar jang boleh didjadikan kawan jang sepatut-p?tutnja. Teuku Oemar sangat pandai memboros-boroskan uang, terutama untuk pesta. Tapi ia pandai pula mentjari uang, meskipun kebanjakan atas djalan jang tidak halal. Kekalahannja dalam pertempuran dengan tentara Belanda di 6 Moekim, sehingga ia terpaksa mundur, telah mendjadi duri dalam daging baginja. Sudah lama ia memikirkan djalan buat menuntut balas. Djalan itu diperolehnja dengan laku menjamun kapal api Hok Canton, jang sedang berlabuh dipantai Barat. Sctelah barang-barang muatan kapal itu habis dirampasnja, maka ditjuliknjalah kapten kapal jang mendapat luka-luka beserta masinis dan isterinja. Mereka itu dilarikannja kegunung. Kapten mcninggal karena luka-lukanja. Tapi masinis beserta isterinja itu hanjalah dikembalikannja, setelah menerima uang tebusan sebanjak 25.000 dollar banjaknja dari „kumpeuni". Sekalian kawan-kawannja diberinja upah jang tidak sedikit. Belum pernah terdjadi penjamunan jang sebesar itu di Atjeh.
148
Tjoet Nja Din
Sesudah membagi-bagi keuntungan dengan kawannja, maka dikeruniakannja pula 4500 ringgit kepada Sultan Daoed, dan sekian pula kepada Teungku di Tiro. Uang itu ditcrima oleh Teungku di Tiro, tapi dengan pernjataan bahwa seluruhnja hendak digunakan untuk bclandja Sabilullah. Teuku Oemar mendjadi masjhur setelah melakukan penjamunan itu, dan menebar-nebar uang. Teungku di Tiro bcrpendapat bahwa tcntaranja ,,Muslimin" hanja akan beruntung, djika mereka dapat bekerdja sama dengan Teuku Oemar. Oleh karena itu maka pada achirnja diterimanja djua andjuran Oemar buat mempcrsatukan Kaum Agama dengan Kaum Bangsawan, jang selama itu hanja tinggal mendjadi idam-idaman Oemar sahadja. Teungku di Tiro mengundang Teuku Oemar pada suatu kenduri besar. Dalam kenduri itu ia memudji-mudji kegagahan Teuku Oemar, tentang keteguhannja atas pendirian „berpantang tunduk" dan ,,berpantang damai", lalu Ulama itu menawarkan kerdja sama kepadanja. Oemar membalas pidato itu dengan susunan kata-kata jang muluk-muluk pula, lalu menerima andjuran „bekerdja sama" itu. Dari pihak Sultanpun Oemar mendapat bantuan. Sultan mengangkatnja mendjadi ,,Kuasa I^utan Barat". Angkatan itu dikuatkan oleh sehclai surat Keputusan Keradjaan, jang dibubuhi dengan sembilan tjap Keradjaan. Angkatan itu berarti bahwa Teuku Oemar dari Meulaboh, jang kadang-kadang suka menamakan dirinja ,,Panglima Sagi 25", atau ,.Oeloebalang 6 Moekim", dengan rcsmi oleh Sultan telah ditundjuk buat memungut hasil Sultan jang telah ditetapkan didalam Undang-undang, dari pada pendjual belian lada dipantai Barat. Bcrarti pula bahwa sekalian radja-radja dan Kepala-Kapala dipantai Barat, jang menarik keuntungan dari pada pcndual-belian lada didaerahnja, buat kemuka harus takluk kebawah kekuasaan Teuku Oemar, jang akan dapat berlaku sekchendak hatinja atas nama Sultan. Maka hak-hak jang diperolehnja itu, oleh Teuku Oemar segcra dipergunakan buat melepaskan hawa nafsunja, dan buat mengeduk uang. Perang Sabil terhadap kafir, jang diharap-harapkan oleh Din, umpama telah dilupa-lupakannja. Teuku Oemar pindah kepantai Barat, lalu membuka ,,perang ekonomi" dengan penanam-penanam dan pembeli-pembcli lada disana. Peperangan itu kadang-kadang diachiri dengan perampasan-perampasan kebun rakjat, atas nama Sultan. Jang teraniaja itu datanglah berulang-ulang mengundjungi Sultan kc Kemala, buat mengadukan nasibnja masing-masing. Tapi segala protes dan kcluh kesah tinggal sia-sia. Jang dapat dibawa pulang oleh mereka hanjalah botol bcrisi air jang telah didoakan oleh Sultan sahadja . . . Oemar tahu djalannja buat mclunakkan hati Kemala, jaitu dengan djalan membagi-bagikan keuntungan dengan Sultan setjara rojalnja. Dengan djalan demikian, Oemar dapat menerima uang jang tidak terkira-kira lagi banjaknja. Antara sebentar ia mengadakan pesta besar, dengan hiburan njanjian dan tari-tarian dan hidangan makanan dan minuman jang tidak terkirakira banjaknja, serta harganja.
Pasang surut, pasang naik
149
Sementara itu uang ditcbar-tebarnja pula diantara orang-orang jang bcrpengaruh, jang telah mendjadi satu dengan dia. Djumlah kawan-kawan itu kian hari kian bertambah djua. Achirnja masjhurlah namanja diseluruh tanah Atjeh sebagai hartawan jang pemurah dan penjajang. Banjaklah orang-orang jang sajang kepadanja, dan banjak pula jang takut. Tapi sekonjong-konjong Dalam, didalam lingkungan Geconcentreerde Linie, mengalami ,,pasang naik". Gubernur jang bcrkuasa pada waktu itu, Van Teyn, telah bertindak dengan kckerasan dan tidak pandang-memandang. Terlebih dahulu ia menutup pelabuhan-pclabuhan lada dipantai Barat, sedang Teuku Oemar didjatuhinja hukuman denda 100.000 rupiah banjaknja! Bagi Oemar bentjana itu telah tak dapat dikira-kirakan artinja. Pantjuran wasiat jang selema itu mengalirkan ringgit untuknja dengan tidak berkeputusan, seolah-olah ditutup mati dengan sekonjong-konjong. Berhentilah perpestaanperpestaan, berhenti kenduri makan-makan. Keringlah sumber penghasilannja, bcrhenti pula segala kekuasaannja. „Kuasa Lautan Barat" sekonjong-konjong telah tcrantjam oleh bangkrut! Dari singgasaiia ia seolah-olah telah terdjerumus kelantai pelupuh! Djumlah kawan-kawan sedjawatnja kian hari kian menjusuti. Kekuasaannja hampir tak ada sama sekali. Achirnja hutang kepada pcdagangpcdagang bangsa Tionghoa telah mendjadi selilit tubuh! Didalam keadaan jang serupa itu, Teuku Oemar hanja melihat satu-satunja djalan buat mcngatasi segala kesulitan, jaitu damai dan tunduk kepada pemerintah Belanda!. . . Maka dimasukannjalah surat ampunan, dan dinjatakannja tunduk kepada Gubernur Hindia Belanda! Disangkanja bahwa „kemurahan" hatinja itu akan diterima oleh orang Belanda dengan riang gembira. Tapi djauh dari pada itu. Terlebih dahulu orang Belanda menjerahkan rckcning dcndaan jang 100.000 rupiah iu kepadanja. Dan disamping itu ada pula surat dakwaan jang mengandung pelbagai rupa tuduhan. Perampokan kapal Hok Canton dahulu tidak dilupakan, istimewa pemerasan 25.000 dollar dari kantung ,,kumpcuni" jang telah dilakukan oleh Oemar. Segala kesanggupan Oemar buat membantu „kumpcuni" jang dikemukakannja tinggal sia-sia! „Djandji-djandji sahadja, tak ada gunanja!" demikian kata oleng Besar jang memerintah di Dalam. ,,Terlebih dahulu Teuku Oemar harus memberi kenjataan, bahwa kclakuannja telah diperbaikinja!" . . . Menundjukkan kenjataan, bahwa kelakuannja telah diperbaikinja! Adakah jang lebih hina dari pada itu bagi Teuku Oemar dari Meulaboh, Kuasa Lautan Barat, Pachlawan Kcbangsaan jang ditjintai rakjat, Panglima Sagi 25 dan Oeloebalang 6 Moekim jang bebas dan besar sendiri, suami Tjoet Nja Dinl Tak usah dikatakan bahwa pendirian Teuku Oemar mendjadi scmakin sulit. Sebab tak ada lagi djalan jang lain, maka diambilnjalah keputusan buat kembali memimpin „ pasukan gerilja", sambil mengumpul-ngumpulkan sisa-sisa dari pada kawan bcrfoja-foja jang masih setia. Diantara kawan itu adalah ter-
150
Tjoet Nja Din
masuk Pang La'ot, seorang Panglima Perang, jang dari dahulu memang sangat ditakuti oleh tentara Belanda. Djika perlu Oemar tidak akan mcnolak kerdja sama dengan Teungku di Tiro, jang sedang melakukan penjerangan-penjerangan hebat terhadap Linie dengan Tentara ,,Muslimin". Tapi ,,pasang" makin naik di Dalam. Achirnja ia telah mendjadikan bandjir besar! Boleh dikatakan telah merupakan air bah! Pada tengah malam, 5 menghadap 6 Januari 1890, ,.Kumpcuni" jang sangat terantjam dan terganggu kesenangannnja, sekonjong-konjong telah menjerbu keluar Linie, bcrhadap-hadapan dengan tentara ,,Muslimin". Mereka beruntung dapat mcrcbut benteng pertahanan Teungku di Tiro jang terkuat, jaitu Kota Tuanku. Dalam bulan Mci sesudah itu, tentara Belanda menjerang dipantai Timur. Didacrah itu banjaklah masuk sendjata-sendjata gelap dari Pulau Pinang. Sekalian pelabuhan-pclabuhan dipantai Atjch jang ada diluar Linie, ditutup oleh orang Belanda. Dari dalam Linie tidak boleh dikeluarkan lagi sesuatunja dan dilarang pula memasukan barang kedalam. Keadaan diulu-ulu mendjadi sangat genting. Rupanja seolah-olah adalah tangan raksasa buas jang mengular dari segala bentcng-benteng perdjagaan Linie itu, lalu bersedia hendak mentjekik leher sekalian orang jang ada dipegunungan. Di segenap Sagi timbullah suasana sunji senjap, separti telah berlaku dahulu, sesudah ,,Radja Tjelek" melakukan pukulan-pukulannja disana. Dan didalam kegentingan itu, Atjeh ditimpa pula oleh suatu bentjana jang tidak terkira-kira dahsjatnja. Jang mengepalai ,,Partai Perang" dalam tahun 1891 tctaplah Teungku di Tiro dari Pedie. Ia dianggap sebagai Panglima Perang jang Tertinggi didalam barisan para Pedjuang Atjeh. Bersama-sama dengan Panglima Polim adalah ia mendjadi lawan orang Belanda jang tidak dapat diabaikan. Tapi malang bagi,,Partai Perang" dalam tahun 1891, wafatlah Teungku di Tiro dengan sekonjong-konjong. Sedjarah tidak mentjeriterakan apakah jang telah membawa maut pada pemimpin jang ulung itu. Hanja desas-desus ada berkata, mungkin ia telah diratjun. Tapi jang tentu ialah bahwa soal wafatnja Teungku di Tiro akan tetap mendjadi teka-teki. Hampir scrangkat dengan Teungku di Tiro wafat pulalah Panglima Polim, didalam usia jang sangat landjut. Pukulan hebat jang berturut-turut datangnja itu, sangat melemahkan tcnaga ,,Partai Perang". Tapi djalan buat mengatasinja belum tampak. Teungku di Tiro menjerahkan komando tentara ,.Muslimin" kctangan Teuku Mat Amin, putera sulungnja. Panglima Polim digantikan oleh putera jang dilahirkan oleh isterinja jang kesatu. Tapi Tuhan jang maha Adil bcrsifat Pemurah. Bukan sahadja Atjch jang mcngalami ketjclakaan. Orang Belandapun tidak
Pasang surut, pasang naik
'51
pula luput dari bcntjana. Gubernur jang sangat ditakuti, Van Teyn, jang bertangan besi, djatuh sakit, Lalu bcrangkatlah ia meninggalkan Atjeh pada bulan Mci 1891. Maka sebagai gantinja datanglah Gubernur Deykerhoff. Lalu timbullah pula ,,pasang surut" di Kotaradja . . .
.
SANDIWARA OEMAR I Sebagai sudah ditjeritcrakan lebih dahulu, didalam lingkungan Linie sedang berlaku ,,pasang surut", bcrarti bahwa deradjat ,,Partai Perang" mentjapai ukuran tinggi. Tcrdjadinja ,,pasang surut" itu ialah ketika Gubernur Deykerhojf memegang tampuk pemerintahan Belanda di Kotaradja. Deykerhojf adalah seorang pembesar Belanda, jang tidak termasuk golongan „tangan besi". Tjita-tjitanja dalam perkara menundukkan orang Atjeh, terutama bcrdasar kepada ,,alam perdamaian", dan sedapat-dapatnja dengan mendjauhi segala tindakan kckerasan atau perscngketaan jang disudahi dengan djalan mempergunakan sendjata. Teuku Oemar sedang asjik menggantang-gantang asap dipantai Barat tanah Atjch. Pekerdjaannja jang tertentu memang tak ada. Patroli-patroli tentara Belanda jang boleh didjadikannja mangsa pasukan gerilja, sedang tinggal bcrkumpul dibclakang Linie, dan tidaklah mereka bcrkeliaran lagi digununggunung buat mentjahari „djahat". Djadi bagi Teuku Oemar tak ada lagi pekerdjaan jang tertentu, luar dari pada membuat-buat perhitungan. Setelah Teungku di Tiro beserta Panglima Polim berpulang kerachmatullah, maka pada pendapat Teuku Oemar terbukalah djalan baginja buat mentjapai kedudukan jang tertinggi didalam gcrakan rakjat Atjeh. Gerakan gerilja di Atjeh Besar memang sedang menempuh krisis. Persatuan para pemimpin rakjat telah petjah belah. Semangat para Kepala buat berdjuang hampir padam. Oemar scsungguhnja sangat heran, apakah scbabnja maka ,,kumpcuni" tidak mempergunakan kesempatan jang sebaik itu buat bertindak! Pada hal kekuatan mereka masih tetap sebagai scdia kala. Alangkah mudahnja bagi ,,kumpeuni" buat memusnahkan seluruh ,,Partai Perang" didalam keadaan jang serupa itu! Bagi mereka adalah sebaik-baiknja buat melakukan tindakan tindakan ,,pembcrsihan" pula, dari pada duduk bersenang-senang didalam garis lingkungan Linie. Demikian pendapat Oemar, selagi ia melakukan perhitungannja itu. Dengan sekonjong-konjong mcnggambarlah suatu siasat didalam kenangkenangannja, jang akan dapat diusahakannja buat kcuntungannja diri sendiri. Terlebih dahulu timbullah rasa bentji jang tak dapat dibatas-batasi terhadap kepada kawan-kawan seperdjuangannja, jang dimasa lampau telah mengangkat sendjata buat memerangi orang Belanda. Oemar mendapat kcjakinan bahwa bagi dirinja sendiri adalah berarti suatu pekerdjaan sia-sia, djika ia masih menggabungkan diri kepada kawan-kawan sebangsa, jang telah njata bcrsifat pengetjut itu. Jang tidak tahan udji dan tidak tcguh pula pendirian. Djika dihitungnja djumlah kawan-kawan sepcrdjuangan jang masih setia, jang schidup semati dengan dia, maka bilangan kawan-kawan jang tahan udji itu telah mendjadi sangat ketjil sekali. Pada umumnja patriot-patriot Atjeh jang sesungguhnja, telah sangat mahal buat didapati.
Sandiwara Oemar
153
Bcrhubung dengan segala sesuatunja itu, pada kcjakinan Oemar, adalah lebih berbahagia baginja, djika ia ,,menjeberang", lalu dapat memimpin tentara ..kumpeuni" itu buat menumpas seluruh ,,Partai Perang" jang telah bukti hanja hendak mengatjau sahadja itikadnja. Djika ia telah dapat menundukkan sekalian Kepala-Kepala jang masih belum mempunjai pendirian tetap, dan ia dapat pula menumpas seluruh ,,Partai Perang", sehingga di Atjch tidak terdjadi lagi keributan-keributan jang berachir-achir hanja merugikan rakjat sahadja, alangkah besar terima kasih orang Belanda jang akan diperolehnja. Dan terhadap kepada rakjat Atjeh ia berdjasa pula, djika keamanan abadi telah diperolch. Tidak mustahil orang Belanda akan mengangkatnja mendjadi Sultan. Djika ia telah mendjadi Sultan jang bcrpengaruh, nanti akan mendjadi perkara kctjil buat mengusir seluruh orang Belanda dari tanah Atjch. Mudah pula baginja buat membangkitkan kembali semangat para pedjuang Atjeh jang telah padam itu, asal ia mendapat djalan lebih dahulu buat mengunakan pengaruhnja. Segala jang mendjadi kenang-kenangan dan perhitungan itu, oleh Oemar dirahasiakan kepada Din dan kepada Nanta. Oleh karena itu, maka jang nampak dan dirasai olehnja ialah jang baik sahadja, karena tak ada sesuatu bandingan jang dikemukakan oleh orang luar. Kcjakinan Oemar bahwa segala tjita-tjitanja itu adalah mulia, scmakin lama scmakin teguh. Maka ditjaharinjalah seorang kawan jang setia, buat mentjahari pcrhubungan rahasia dengan orang Belanda. Pcrhubungan itu diperolehnja. Orang Belanda telah berkata terus terang bahwa mereka memang suka bekerdja sama dengan Teuku Oemar. Tapi atas sjarat-sjarat jang telah dikemukakan dahulu oleh mereka, jaitu: Teuku Oemar harus membuktikan dahulu, bahwa ia scsungguhnja sudah mendjadi orang jang boleh dipertjaja dan sudah memperbaiki kclakuannja. Lalu Oemar memikir-mikirkan pula, dengan djalan apa ia dapat membuktikan maksudnja jang baik terhadap ,.Kumpcuni" itu! Terlebih dahulu tentu ia harus berichtiar buat memikat tentara Belanda keluar Linie, dan bertindak pula diluar setjara dahulu. Djika sudah sampai terdjadi jang demikian, terbukalah djalan baginja buat membuktikan kepada orang Belanda, bahwa itikadnja terhadap mereka memang sungguh baik. Oemar tidak sekali-kali berkebcratan buat menggabungkan diri kedalam tentara Belanda ketika itu djua. Selagi Oemar menghitung-hitung langkah itu, bcrkcbetulan didalam kalangan pemerintah Belanda terdjadilah suatu pcristiwa, jang membuka djalan lebar bagi Oemar buat melaksanakan kenang-kenangannja. Dikantor Gubernur Deykcnhoff di Kotaradja adalah seorang amtenar jang telah lama mengemukakan andjuran kepada Gubernur, guna menindis pemberontakan sampai kcakarakarnja. Pada pendapat amtenar itu akal jang scbaik-baiknja buat menundukkan orang Atjeh, ialah dengan djalan membentuk suatu lasjkar, tcrdiri atas orangorang Atjeh jang telah ditaklukkan. Dan lasjkar itu hcndaklah dipcrsendjatai lengkap oleh pemerintah Belanda. Tapi ada pula amtenar lain, jang berpendapat, bahwa tiap-tiap scnapang jang dipertjajakan kctangan seseorang jang ditaklukkan, berachir-achir akan dihadapkannja djua kepada orang Belauda
154
Tjoet Nja Din
sendiri. Orang Atjeh, kata amtenar itu, tidak sekali-kali dapat dipertjaja. Berhubung dengan kontra adpis itu, amtenar penasihat jang mula-mula mengemukakan pendapatnja, telah mengubah pendirian. Ia mempertimbangkan kepada Gubernur Deykerhoff supaja lasjkar orang-orang Atjeh jang tunduk itu, tetap dibentuk. Nanti mereka disuruh memerangi ,.djahat" dengan sendjata sendiri dan atas belandja sendiri. Setelah kering lubang kcrongkongan Gubernur Deykerhoff dalam mendjelaskan kepada amtenar penasihat itu, bahwa pekerdjaan serupa itu tak akan dapat dilakukan, sebab orang-orang jang telah tunduk tak akan suka mclakukannja, oleh karena mereka tidak melihat sesuatu keuntungan baginja, maka mengalahlah penasihat itu. Maka timbullah pula suasana jang makin membuka djalan bagi Teuku Oemar buat melakukan peranannja sebagai kaki tangan orang Belanda, jang berdjasa besar. Sebagai telah ditjeriterakan, sesudah Teungku di Tiro wafat dengan tiba-tiba, maka pimpinan tentara ,,Muslimin" djatuhlah ketangan puteranja, Teuku Mat Amin. Dengan seketika djelaslah, bahwa Mat Amin bukanlah seorang putera Teungku di Tiro, jang menurutkan djedjak ajahnja, atau setidak-tidaknja setjetakan dengan ajahnja jang berderadjat tinggi itu. Perbedaan sifat dan tabiat antara ajah dengan anak, adalah bagaikan bumi dengan langit. Teuku Mat Amin njata tidak masuk golongan orang jang djudjur, mclainkan sebaliknja. Tentara ,,Muslimin" jang dahulu ada dibawah perintah Teungku di Tiro, memang telah dikenal sebagai pcmbela agama dan pcmbela tanah air jang gagah bcrani. Akan tetapi dibawah pimpinan Mat Amin lasjkar itu telah bcrsalin rupa, mendjadi pcrampok jang membakar-bakar kampung dan merampok serta membunuh-bunuh rakjat jang tidak berdaja. Jang mendjadi sebab dari pada perubahan itu adalah beberapa pasal, jang masuk pada akal. Terutama ialah karena lasjkar pedjuang itu dari hari kesehari hanjalah hidup dimedan peperangan sahadja. Satu-satunja buatan bagi mereka hanjalah mengalirkan darah, mcrampas dan bcrgerilja. Sctelah patroli-patroli Belanda tinggal bersenang-senang didalam Linie, maka bagi ,.Muslimin" sudah tak ada lagi alamat buat perfntang-rintang waktu dan buat melepaskan hawa nafsunja. Hendak menjerbu kedalam lingkungan Linie mereka tak ada kemampuan. Patroli-patroli Belanda jang berdikit-dikit bilangannja, tak ada lagi jang keluar. Sementara itu keuntungan anggota-anggota ,,Muslimin" mendjadi kurang, sedangkan makanan pun telah mendjadi berdikit-dikit. Selama rakjat masih suka dan dapat memberi, makanlah mereka. Tapi setelah tundjangan Rakjat itu mengurangf, maka tcrpaksalah mereka memintanja dengan paksa. Kadang-kadang dengan djalan perampokan, dan dimana ada perlawanan rakjat, dengan djalan pembunuhan dan pembakaran-pembakaran kampung.
Sandiwara Oemar
155
Tidak pula mustahil, djika dari pihak orang Belanda dipergunakan kesempatan itu buat melepaskan kaki tangan mereka, jang memasuki Tentara,,Muslimin" itu dengan tekad propokasi. Artinja menuntut,,Muslimin" kedjalan jang salah. Memang pada tiap-tiap peperangan, agen-agen propakateur itu tidak kekurangan. Mat Amin jang tidak djudjur, bukan sahadja membiarkan lasjkarnja mengganas terhadap rakjat, tapi achirnja mereka dipimpinnja pula selagi mereka melakukan tindakan-tindakan jang kedji itu. Boleh djadi djuga sebab terpaksa, karena ia tidak dapat lagi mengendalikan segala perbuatan lasjkarnja jang salah itu. Laku ,,Muslimin" makin bersimaharadjalela, karena lasjkar itu memang besar dan kuat, pcrsendjataannja lengkap. Tak adalah orang jang berani melawannja. Pertempuran-pertempuran rakjat dengan ,,Muslimin", djika ia sekaii-sekali terdjadi, kadang-kadang ditjampuri pula oleh patroli Belanda, jang menghadapkan pelurunja arah kerakjat! . . . Achirnja 6 Moekim-pun telah dapat gilirannja diganggu pula. Didaerah jang dipimpin oleh Oeloebalang „Boneka" itu, Tjoet Rajoet, jang sebenarnja berkuasa ialah 2joet Nja Din. Setelah banjak masuk pengaduan rakjat 6 Moekim kepadanja tentang gangguan-gangguan serta keganasan ,,Muslimin", maka ,,Pachlawan Betina" itu tidaklah bermaksud hendak membiarkannja sahadja. Tjoet Nja Din telah lama mengctahui bahwa Tentara „Muslimin" hanja mendjadi ,,Pedjuang Perang Sabil" didalam sebut-sebutan sahadja. Memang sesungguhnja mereka telah mentjoba-tjoba untuk mengganggu kesenangan orang Belanda jang ada didalam Linie dengan tembakan-tembakan dari luar, tapi lebih dari itu tak adalah jang dilakukan oleh mereka buat membuktikan bahwa Perang Sabil masih berkobar.,,Muslimin" tinggal memindah-mindahkan perkemahan dari daerah jang satu kedaerah jang lain. Pekerdjaan mereka seharihari hanjalah rintang berdjudi dan menghisap madat sahadja. Pada waktuwaktunja masuklah mereka kckampung, lalu merampok. Ketika „Muslimin" menghampir-hampiri 6 Moekim, malah telah keluar masuk pula kesana, buat mempertakut-takuti rakjat, maka dengan tegas Tjoet Nja Din telah menjuruh mcnjatakan kepada Mat Amin bahwa ia sampai kuat buat mendjaga dan melindungi daerah pemerintahannja. Bcntcng-benteng pertahanan Belanda jang ada digaris Linie dibatas daerahnja, ia sendiri akan menghadapi, dan djika perlu akan discrangnja. Tak usah ,,Muslimin" bcrkirakira hendak memberi bantuan. Dan oleh karena itu, demikian bunjinja pesan Tjoet Nja Din, ia sekali-kali tidak suka djika tanah daerahnja hendak diindjak oleh tentara ,,Muslimin". Pesan Din itu menaikkan darah Mat Amin. Maka dengan laku menentang, dipcrbuatnjalah perkemahan di 6 Moekim, sambil membawa anak buahnja jang amat banjak bilangannja. Dengan sekctika djua telah timbul pcrtempuran sengit antara „Muslimin" dengan penduduk 6 Moekim. Maka gcmaslah hati Tjoet Nja Din. Dengan scgera dipanggilnja Oemar pulang kcrumah. Lalu datanglah Oemar.
156
Tjoet Nja Din
Tak usah dikatakan bahwa suasana jang didapatinja di 6 Moekim itu, bagi Oemar seolah-olah berarti ,,Putjuk ditjinta, Ulam tiba". Terbukalah baginja djalan untuk memainkan trocf-nja jang sctinggi-tinggi, jang tidak akan memberi kesan-kesan dari pada permainan tjurang. Oemar insjaf, bahwa Mat Amin telah mentjemarkan nama almarhum ajahnja. Pusaka ajah itu jang telah diterimanja, jaitu memimpin Sabilullah buat melawan kafir, telah ditjemarkannja. dengan djalan membentuk Tentara Muslimin mendjadi kawanan perampok, dan mcrugikan rakjat. Oleh karena itu, maka Mat Amin, jang pada awalnja mendjadi pemimpin rakjat jang dikasihi, telah berubah mendjadi musuh rakjat jang scbesar-besarnja. Tak ada lagi diantara Kaum Alim Ulama jang pcrtjaja kepada penjamun itu. Oemar mengctahui pula, bahwa Kaum Alim Ulama sedang memperbuat daftar kcsalahan-kcsalahan Mat Amin. Diantara kcsalahan-kesalahannja itu banjaklah jang berat-berat. Kata tuduhan: ,,Ma( Amin telah mcratjun ajahnja sendiri, Teungku di Tiro. ,.Sesudah itu Mat Amin hidup berkasih-kasihan dengan ibu tirinja jang masih muda, lalu dipeliharanja perempuan itu sebagai isterinja diluar nikah. ,.Seluruh sendjata salah seorang sahabat jang gugur telah dimiliki oleh Mat Amin. ,,D'seluruh Atjch besar, Mat Amin hidup sebagai seorang pendjahat, dengan tidak hendak mempcrmuliakan kedudukannja jang tinggi sebagai Pemimpin Perang Sabil jang rcsmi, angkatan Sultan Daoed sendiri." Oemar insjaf pula, bahwa datanglah saat jang sebaik-baiknja buat membuka mata Din terhadap orang-orang jang mengaku mendjadi pcmbela Islam itu. Djika Din telah mulai insjaf, bahwasanja bukanlah dikalangan orang-orang pengandjur agama ia akan mendapat kawan, mungkin ia akan berpindah mentjari kawan didalam barisan orang-orang Bangsawan, untuk mclaksanakan tjita-tjitanja, jaitu memcrangi kafir. Djika Din telah mengubah sikap itu, maka djalan anak-anak tjatur Teuku Oemar, jang menudju kepada perebutan kekuasaan didalam pemerintahan, akan dapat dipermudahnja. Sebab hal ichwal pemerintah Atjch itu masih lebih banjak ada didalam kekuasaan radja-radja, para Oeloebalang dan KepalaKepala, dari pada didalam kekuasaan para Ulama, jang njata terlebih dahulu hanja hendak mementingkan Agama sahadja. Dengan kcjakinan itu tidak bcrhenti-hentilah Oemar menghasut Din supaja memperhebat pcrtcntangannja dengan Mat Amin beserta lasjkar ,,muslimin". Guna itu Din memang tak usah dihasut-hasut lagi. Isterinja jang berdarah ketentaraan itu telah lama insjaf bahwa Mat Amin dengan lasjkarnja ,,Muslimin" telah sangat mendjauh-djauh dari medan perang Sabilullah. Mereka itu telah bcrsalin rupa mendjadi kawanan perampok jang harus dimusnahkan, sctidaktidaknja dihalau dari 6 Moekim. Djadi dengan bersenang-senang dapatlah Teuku Oemar memainkan segala kartu trocf-nja.
SANDIWARA OEMAR
Oemar djuara dipapan tjatur Dengan diam-diam, diluar tahunja Din, Oemar telah mengirimkan utusan kepada Gubernur, jang membawa pesan bahwa Oemar hendak membuktikan kepada pemerintah Belanda tentang maksudnja jang sungguh-sungguh baik. Berdjandjilah ia akan memusnakan lasjkar ,,Muslimin" seluruhnja. Musuh pemerintah Belanda jang ke I itu sedang melakukan kedjahatan-kedjahatan di 6 Moekim dan Oemar lah jang akan membasminja, asal ia mendapat persetudjuan dengan pemerintah Belanda. Dengan scgera Gubernur Deykerhoff membuka pintu, mcmpersilahkan Teuku Oemar datang bcrmusjawarat. Pemerintah Belanda menerima penawaran Teuku Oemar dengan hati gembira. Hanja dengan sebuah sjarat: Teuku Oemar boleh melakukan jang ditjita-tjitanja itu, tapi ia harus menggunakan lasjkar dan alat sendjatanja sendiri. ,,Kumpeuni" djangan diharap-harap akan membcri bantuan, rupa apapun djuga. Sudah tentu sjarat ,,djangan diharap bantuan ,,Kumpeuni" berupa apapun djuga" itu agak kurang berkenan pada hati Oemar. Tapi ia belum hendak putus asa. ,,Lalu djarum, lalu gclindam", pepatah itulah jang dipergantunginja. Asal ia telah bekcrdja sama dengan ,,kumpcuni", dengan bcrangsur-angsur ia akan dapat djua merebut tempat didalam sasaran. Itulah jang mendjadi kejakinan bagi Oemar. Terlebih dahulu Oemar mentjukupi sepandjang adat jang telah diadatkan ditanah Atjeh. Sebelum memcrangi bangsanja sendiri, di Atjch telah diwadjibkan kepada sekalian orang, buat meminta izinan dari Sultan lebih dahulu, atau sctidak-tidaknja dari para Oeloebalang. Maka dikirimkannjalah surat-surat kepada seluruh Oeloebalang. Didalam surat itu ia meminta izin buat memcrangi ,,Muslumin", karena mereka sedang menjamun, membunuh dan membakarbakar rumah orang didaerah kekuasaan Tjoet Nja Din, isterinja, jaitu di 6 Moe kirn. Lain dari pada surat-surat kepada sekalian Oeloebalang itu, Oemar mengirimkan pula sehclai surat kepada Sultan Daoed, jang ,.sedang tcmasja keluar Keraton". Didalam surat itu dimintanja dengan segala kerendahan, supaja Daulat Sultan mengizinkannja mengangkat sendjata tcrhadap Teuku Mat Amin, Pemimpin Sabilullah jang telah menerima djabatan itu atas karunianja Daulat Sultan sendiri. Terpaksalah Teuku Oemar mengangkat sendjata terhadap orang itu, karena ia dengan laku pcrangainja jang sangat buruk, telah mentjemarkan nama orang Islam pada umumnja. Bcrhubung dengan lakunja jang buruk itu, maka seluruh Alim Ulama dan sekalian Oeloebalang telah menentang pada Teuku Mat Amin. Demikianlah bunji surat Teuku Oemar, jang dikirimkannja kepada Sultan
158
Tjoet Nja Din
Daoed. Maka Sultan membalas surat itu, sambil berkata, guna kcsatuan orang Atjeh, guna keamanan tanah Atjeh, sebelum memberi izinan itu kepada Teuku Oemar, lebih dahulu Sultan hendak melakukan segala daja dan upaja buat mendamaikan segala pihak. Tapi sebelum surat Sultan sampai ketangannja, Oemar telah bertindak. Maka dihimpunkannja seluruh rakjat 6 Moekim, dipanggilnjalah mereka tampil kemedan perang, buat menghalau penjamun. Rakjat 6 Moekim, jang telah lama menderita keganasan-keganasan lasjkar ,,muslimin" itu, tidak bertangguhtangguh lagi. Lalu keluarlah seisi kampung, laki-laki perempuan, ketjil-besar, tua muda, masing-masing lengkap dengan alat sendjatanja. Sengitnja pcrtempuran dengan lasjkar ,.muslimin" sudah tidak terkira-kira lagi. Lasjkar „muslimin" jang tidak menjangka-njangka akan timbulnja penjerangan orang kampung jang sebanjak itu, menderita banjak kerugian. Bcrtimbun-timbunlah majat anak buah Mat Amin jang gugur. Selagi pertempuran itu berkobar-kobar, Teuku Oemar mengirimkan utusan tergesa-gesa kepada Gubernur. Utusan itu membawa pesan, bahwa lasjkar ,.Muslimin" telah datang berbanjak-banjak. Meskipun didalam barisan mereka bukan sedikit jang gugur, tapi Teuku Oemar kuatir kalau-kalau jang telah dilakukannja itu mendjadi sia-sia , . . ketjuali djika tentara Belanda bcrkenan menghampir-hampirkan seputjuk dua putjuk meriamnja agak sedikit ketempat pertempuran. Umpamanja kc Lamdjamoe, jang masih terkurung didalam garis Linie. Dari tempat-tempat itu bolehlah meriam-meriam itu dipasang agak sekali dua kali, sekedar untuk mempcrtakut-takuti musuh sahadja. Maka turut kuatirlah hati Gubernur, bersama-sama dengan Oemar. Alangkah ruginja ,,kumpcuni", sekiranja Teuku Oemar, jang telah mulai menundjukkan djasanja itu, dalam pcrtempuran jang pertama telah dapat dikalahkan oleh „djahat"! Oleh karena itu, pada pendapat Gubernur, tidak ada salahnja buat memindahkan meriam-meriam ke Lamdjamoe, jang masih ada didalam lingkaran Linie. Bukankah segala meriam itu tidak dilcpaskan dari tangan tentara Belanda? Dan djika ia telah ada di Lamdjamoe, rasa tak ada keberatan pula buat menembakkannja agak sekali dua kali kearah musuh. Anak buah ketentaraan Belanda telah agak lama tinggal beristirahat, tangan mereka telah berasa gatal hendak memasih-masih langkah disasaran. Dengan djalan demikian, menanglah Teuku Oemar dalam peperangannja melawan „muslimin". Mat Amin beserta lasjkarnja dapat diusir keluar 6 Moekim. Maka berpindahlah Mat Amin ke 9 Moekim, jang bcrbatasan dengan 6 Moekim itu. Oemar mengedjar-ngedjar mereka dari bclakang. Tapi setelah sampai kebatas 9 Moekim, tidaklah Oemar hendak pulang, mclainkan batas itu dilampauinja. Pengedjaran ,.Muslimin" jang pada hakekatnja bukan musuh lagi, masih diteruskannja sampai ke 9 Moekim. Itu berarti bahwa tindakannja terhadap „Muslimin" jang sudah keluar dari 6 Moekim, sudah tidak sjah lagi. Tapi Oemar tidak hendak memusingkan kepala tentang sjah tidak sjahnja tindakannja jang serupa itu. „Muslimin" tetap dikedjar dan diserangnja.
Sandiwara Oemar
159
Sesudah itu dikirimkannja pula utusan kepada Gubernur, jang membawa pesan, bahwa Teuku Oemar berdjandji akan memberi bantuannja pula kepada 9 Moekim. Tapi guna itu ia meminta supaja meriam-meriam „kumpeuni" ditcruskan pula memindahkannja lebih ketimur lagi, umpamanja dipasang di pos-pos Linie jang ada di Lamreng dan Lambaroe. Dengan djalan demikian, ia, Teuku Oemar, akan mendapat perlindungannja dari belakang. Sedang meriammeriam itu tidak dikeluarkan dari lingkungan Linie, dan tidak lepas dari tangan tentara Belanda. Gubernur Deykerhoff terpaksa membenarkan pula pendapat Teuku Oemar itu. Meriam-meriam digeserkan pula lebih ke Timur, lalu ditempatkan di Lamreng dan Lambaroe. Dari kedua tempat itu dapatlah dihudjankan granat ketengah-tengah lasjkar „Muslimin". Tidak sekali dua kali sahadja tembakan jang dilepaskan, mclainkan pemuntahan granat-granat meriam itu telah mendjadi rentetan. Meskipun Teuku Oemar turut pula mendapat kerugian, karena banjak angkatan perangnja jang gugur, tapi achirnja dapatlah ia mcrebut beberapa buah benteng pertahanan „Muslimin", jang amat penting artinja bagi tentara Belanda. Sekalian benteng-benteng itu disutjikannja dari pada lasjkar „Muslimin". Berhubung dengan itu, maka wakil Oeloebalang 9 Moekim jang diangkat oleh Pemerintah Belanda, pengganti Oeloebalang Teuku Poerba jang wafat, menimbang perlu buat bersekutu dengan Teuku Oemar, karena daerahnja itupun telah lebih dari kenjang menderita siksaan „Muslimin". Wakil Oeloebalang itupun sangat ingin hendak menjutjikan daerahnja dari pada gerombolan penjamun itu. Maka menghindarlah Mat Amin dengan lasjkarnja ke Lamkrah, daerah pemerintahan Teuku Bait. Penduduk kampung itu adalah masuk golongan orang Islam jang sangat fanatik pada agamanja. Lamkrah sangat masjhur mendjadi perpusatan pemberontakan dari dahulu. Disana gerombolan Mat Amin diterima oleh seluruh penduduk kampung sebagai rekan-rekan scperdjuangan. Dengan djalan demikian, Teuku Oemar telah dapat „membersihkan" seluruh Sagi 25 dari lasjkar „Muslimin", satu-satunja rombongan jang masih meneruskan pemberontakan terhadap orang Belanda. Teuku Oemar mentjeriterakan hal itu kapada Gubernur. Dan untuk menanam kcjakinan dipihak orang Belanda, bahwa seluruh Sagi 25 memang sudah aman, tentara Belanda dipersilahkannja buat melakukan djalan berkeliling didaerah itu. Penawaran Oemar itu dipcrkenankan oleh Kotardja. Tapi sesudah orang Belanda menerima penawaran itu, maka bagi Oemar timbullah suatu kesulitan jang amat besar. Didalam perdjalanan berkeliling di Sagi 25 itu, sudah tentu tentara Belanda akan melalui 6 Moekim. Akan sukakah Din, djika tanah kekuasaannja diindjak oleh orang kafir? Dan tidakkah anak buahnja akan menembak? Buat mclunakkan hati isterinja dalam hal itu, adalah suatu pekerdjaan jang sulit bagi Teuku Oemar. Ia tahu bahwa isterinja jang keras kepala dan tekun pula, tidak akan dapat dipaksa-paksa, djika tidak bcrkenan pada hatinja.
160
Tjoet Nja Din
Dengan segala kebidjaksanaan Oemar mentjoba mendjelaskan kepada Din, bahwa orang Belanda telah mcnolong mereka dalam perkara melepaskan 6 Moekim dari pada gangguan penjamun. Dan guna djasa jang sebesar itu, adalah lebih dari pada patut, djika orang 6 Moekim berterima kasih kepada orang Belanda. Djasa jang diminta itu oleh orang Belanda, hanjalah bcrupa budi baik sahadja dari pihak orang 6 Moekim. Orang Belanda hanja minta izin buat melalui 6 Moekim sahadja, dengan tidak diganggu-ganggu atau ditembaki. Mereka tidak akan tinggal di 6 Moekim, tidak akan mengganggu orang, melainkan mereka hanja meminta izin lalu sahadja. Hak dan kekuasaan orang 6 Moekim adalah diakui oleh mereka. Rasa kemegahan itu memang sclalu ada pada tiap-tiap manusia. Dari tutur kata Oemar dapatlah Din mcmpcroleh kesan, bahwa dengan memberi izin itu kepada orang Belanda, adalah ia menetapkan suatu kenjataan, jaitu bahwa ia tidak takluk, tidak dibawah perintah Belanda. Bukankah permintaan orang Belanda jang serupa itu berarti, bahwa mereka dengan scsungguhnja masih mengaku penuh kekuasaan Din atas daerahnja di 6 Moekim? Achirnja berdjandjilah Din akan membcri izin itu, dan tidaklah ia akan menjuruh anak buahnja buat mencmbaki orang Belanda, bila mereka melalui 6 Moekim dengan tidak mengganggu. Maka dilakukanlah perdjalanan berkeliling itu oleh orang Belanda diseluruh Sagi 25. Rombongan tentara Belanda jang menjertainja, adalah sangat bergembira. Musik bataljon ditempatkan dimuka. Scpandjang-pandjang djalan dipcrdengarkanlah lagu-lagu gembira. Tak ada seorang jang hendak mengganggu mereka. Maka korcsponden perang bangsa Belanda mcnulislah kesurat kabarnja, bahwa seluruh rakjat 6 Moekim telah mcnjatakan perendahan mereka terhadap ,,kumpcuni". Mereka asjik meneruskan mentjangkul sawah-sawahnja. Tapi ketika itu gemparlah orang ditanah Atjch. Masing-masing bcrtanja dalam hatinja, apakah jang sudah diperbuat oleh pemerintah Belanda, dan apa lagi jang hendak diperbuat oleh Teuku Oemar? Jang mendjadi kenjataan ialah: Perang Sabil sudah berhenti. Lasjkar rakjat dibawah pimpinan seorang pachlawan tanah air jang ulung, sedang membantu orang Belanda dalam pembasmian lasjkar ,,Muslimin", satu-satunja alat peperangan Atjch jang ada kemungkinan buat meneruskan Sabilullah! Memang adalah diaku orang, bahwa tindakan lasjkar ,,Muslimin" pada waktu-waktu jang achir sungguh tidak senonoh. Apalagi laku pcrangai pemimp'nnja, Teuku Mat Amin, jang memang sangat kedjinja. Tapi orang berkejakinan pula, bahwa sekalian pemimpin Perang Sabil jang mengctjewakan itu mudah diganti. Sekalian Alim Ulama di Tiro dan disegala daerah masih tetap teguh pada pendiriannja, jaitu hendak mengusir orang kafir dari tanah Atjeh. Pcndcknja, diantara orang Atjch masih sangat banjak jang belum putus asa, masih sangat banjak jang ,,berpantang tunduk". Lasjkar ,,Muslimin" boleh diganti, boleh diperbaiki, jaitu dengan djalan mengeluarkan anggota-anggota jang buruk sahadja. Tapi hal membantu orang Belanda buat mematahkan semangat pcrd-
Sundimara Oemar
161
djuangan Atjch itu, adalah suatu pekerdjaan jang sangat tersesat, demikian pendapat kebanjakan orang. Jang tidak menjesali perubahan itu hanjalah Kepala, jang hanja hendak mementingkan kcperluannja sendiri dan mempertahankan kedudukannja sendiri sahadja. Rakjat rata-rata bcrpendapat lain. Tentang diri dan tindakan Teuiu Oemar, berbagai-bagai pulalah pendapat orang. Ada jang membenarkan, ada jang mcnjalahkan. Tapi pihak jang menjalahkan itu achirnja dapat dialahkan oleh fihak jang membenarkan tindakannja. Mereka bcrtanja, apakah jang patut dilakukan oleh Teuku Oemar, sctelah lasjkar ,,Muslimin" merampok, membakar dan membunuh didaerah pemerintahan isterinja sendiri? Bukankan Tjoet Nja Din telah berusaha meminta menghindarnja lasjkar ,,Muslimin" dari 6 Moekim? Mat Amin bukan sahadja tidak hendak mengindahlan permintaan jang scadil itu, tapi ia menentang, lalu menduduki dan membakar serta membunuh pula! Herankah orang, djika Tjoet Nja Din memimpin rakjatnja buat melawan kaum penjamun itu? Patutkah diherankan, djika Teuku Oemar, sesudah darah mengalir di 6 Moekim, datang tergesa-gesa membawa anak buahnja, turut memberi bantuan kepada isterinja? Demikianlah alasan jang memenangkan Teuku Oemar. Maka menjahutlah pihak lawan, katanja: „Baik, itu benar semua. Tindakan Teuku Oemar di 6 Moekim memang tidak dapat dipersalahkan. Sebab daerah isterinja jang tcrantjam. Tapi sesudah lasjkar ,,Muslimin" lari ke 9 Moekim, bukankah itu berarti bahwa mereka bukan musuh Tjoet Nja Din atau Teuku Oemar lagi? Bolehkah Teuku Oemar memcrangi mereka di 9 Moekim? Jang ada diluar 6 Moekim?" Demikian kata pihak jang menentang. „Boleh," sahut jang mempermenangkan. ,,Sebab terpaksa! Sesudah lasjkar ,,Muslimin" pindah ke 9 Moekim, mungkin ia mendjadi kuat kembali. Bcrarti bahwa 6 Moekim scnantiasa dalam antjaman. Selama lasjkar penjamun itu masih ada disebelah rumah, sedang perdamaian belum dibubuh, kchidupan 6 Moekim tetap tidak aman. Oleh karena itu Teuku Oemar terpaksa mendjauhdjauhkan mereka dari daerah pemerintahan isterinja!" ,,Baik!" kata pihak jang incmpcrsalahkan. „Tapi adakah berpatutan djika „Teuku Oemar atau 6 Moekim mendapat pertolongan dari orang Belanda, musuh Atjeh jang sedjati didalam suatu perang saudara jang timbul ditanah Atjeh?" ,Tidak patut!" sahut pihak jang menentang. ,,Tapi adakah bukti bahwa Teuku Oemar telah meminta bantuan orang Belanda itu? Selagi api peperangan berkobar-kobar, selagi kedua pihak jang bertempur hanja dapat melihat dua djalan: kesatu dibunuh, kedua membunuh, manakah orangnja jang akan berkeberatan, djika musuhnja jang sedang mengantjam njawanja, tiba-tiba disergap oleh orang lain dari belakang? Meskipun orang lain itu sctan, hatta ia iblis, patutkah si tcrantjam bcrkeberatan, lalu membunuh orang jang sedang menerkam musuhnja itu? Manusia tinggal manusia! Djika njawanja telah terpelihara,
162
Tjoet Nja Din
didalam babak kedua ia masih berkesempatan buat menjelesaikan pula hutang piutang dengan musuh-musuh aselinja!" Demikianlah kata pihak jang mempcrmenangkan Teuku Oemar, jang tidak dapat dibantah lagi oleh fihak jang menentang. Tapi sementara itu seluruh tanah Atjeh tinggal gclisah menghadapi suasana jang mendjadi katjau balau itu. Jang sangat gelisah ialah penduduk Sagi 26. Jang mendjai Panglima disana ialah Teuku Lamreng, menantu Neh. Sebab terkedjut melihat timbulnja bentjana-bentjana di 6 Moekim dan 9 Moekim itu, maka dengan tergesa-gesa berangkatlah ia ke Merassa, untuk menemui mentuanja. Kepada Neh ia bertanja, manakah djalan jang sebaik-baiknja buat mcnolak lasjkar ,,Muslimin" dari Sagi 26, sebelum Teuku Oemar datang pula kesana buat mentjampuri perscngketaan antara rakjat Sagi 26 dengan lasjkar ,,Muslimin"? Sebab, demikian, kata menantunja kepada Neh, djika Teuku Oemar, menantu Nanta itu, telah dapat mengusir lasjkar ,,Muslimin" dari Sagi 26, pastilah ia akan tinggal menctap disana. Dan Panglima Sagi 26 agak gclisah buat menerima tamu jang mendjadi musuh ascli dari mentuanja, didalam Sagi jang mendjadi daerah kekuasaannja. Soal itu memang sangat sulit, oleh karena datangnja Oemar kc Sagi 26, pastilah dengan izin, mungkin. dengan bantuan orang Belanda pula! Djika ia sudah merasa scnang tinggal didalam Sagi 26, mungkin ia akan menctap disana. Alangkah sulitnja keadaan jang serupa itu bagi Teuku Lamreng!
Teuku Neh terkedjut pula. Sudah sepatutnja Teuku Lamreng, menantunja, gelisah dalam menghadapi soal jang sesulit itu. Lalu bcrmusjawaratlah Teuku Neh dengan Teuku Lamreng beserta Teuku Kadli, Kepala Kehakikam. Teuku Kadli bcrdjandji hendak memberikan bantuannja, asal pemerintah Belanda tidak berkeberatan. Maka berangkatlah ketiga mengundjungi wakil pemerintah Belanda buat bcrmusjawarat. Setelah lama berunding, timbang-menimbang, maka achirnja pemerintah Belanda membcri izin kepada Teuku Kadli buat bersama-sama dengan Teuku Neh dan Teuku Lamreng mengumpulkan anak buah mereka sampai sedjumlah 800 orang jang bersendjata. Mereka itu ditugaskan buat membantu Sagi 26 didalam gerakan ,,pembcrsihannja". Oleh karena Teuku Neh tak dapat dimasukkan dalam golongan ,,orang jang tunduk" kepada pemerintah Belanda, bahwa kcturunan Neh itu dari semula adalah mendjadi sahabat jang setia bagi orang Belanda, maka Gubernur Deykerhoff tidak berkeberatan buat mempcrsendjatai ke 800 orang anak buah Neh dan Lamreng serta Teuku Kadli itu dengan sendjata angkatan perang ,,kumpcuni". Tapi atas penjerahan (pemindjaman) sendjata itu ada pula sjaratnja dari pihak Gubernur. Jaitu bahwa Teuku Oemar harus turut tjampur didalam gerakan pembcrsihan itu, sekiranja Teuku Neh dan Teuku Lamreng tak ada kemampuan buat mengusir lasjkar ,,Muslimin". Segala bandingan dan keberatan Teuku Neh atas tjampur-tjampurnja Teuku Oemar dalam gerakan pembersihan itu, tidak hendak dipcrtimbangkan oleh Gubernur Deykerhoff. Lalu berkatalah ia bahwa kepada Teuku Oemar ia telah pertjaja
Sandiwara Oemar
163
penuh. Luar dari pada orang jang seorang itu tak akan ada orang lain jang mampu berhadapan dengan Mat ^Imin.' Habis perkara! . . . Sebab tak ada lagi djalan jang lain, Teiiku Neh, Teuku Lamreng dan Teuku Kadli terpaksalah menerima sjarat jang dikemukakan oleh Gubernur itu. Maka dengan djalan demikian, ditanah Atjeh jang sedang melakukan Perang Sabil, timbullah suatu persekutuan jang sedjanggal-djanggalnja: Gubernur — Teuku Kadli — Neh — Teuku Oemar! Dan lawan jang sedang dihadapi tidak lebih dan tidak kurang, ialah pcdjuang-pedjuang Sabilullah jang sedjati! . . . Kawan dan lawan jang ada ditanah Atjeh, masing-masing menantikan kedjadian-kedjadian jang akan timbul dimasa datang, dengan ragu-ragu, dan darah berdebar-debar. . . Maka timbullah pertempuran dahsjat di Sagi 26, jang berkesudahan dengan kemenangan dipihak lasjkar ,,Muslimin". Karena Mat Amin memang suka mundur menghindarkan Teuku Oemar, tapi sckali-kali ia tidak hendak menghindar karena Neh dan Lamreng, jang diketahuinja tidak pandai bcrkelahi. Maka tidaklah dapat dikira-kira besarnja mala pctaka jang menimpa Sagi 26 sesudah itu. Lasjkar ,.Muslimin" membakar kampung-kampung di Sagi itu. Sedang penduduk Sagi 26 membakar kampung-kampung jang diduduki oleh lasjkar ,.Muslimin" didalam Saginja. Didalam tjampuh dan katjau itu menderak mendcru tembakan-tembakan tentara Belanda, jang dilepas dari sekalian karabin dan meraim-meriamnja. Alamat dari pada tembakan-tembakan tentara ,,kumpeuni" itu sudah tidak berketentuan lagi. Peluru-peluru mereka mentjahari segala sasarannja discgala tempat jang dipenuhi oleh orang jang sedang tekik menckik, pantjung-memantjung sahadja. Dan dimana perlu tentara Belanda pun pandai pula membakar-bakar kampung dari djauh, dengan peluru-peluru apinja. Anak-anak angkatan Perang Belanda jang telah lama menganggur, sudah sepatutnja pula diberi giliran buat bcrtempik bersorak dan buat melcpaslcpaskan ,,gatal" tangannja! . . . Bukankah Sagi 26 itu belum takluk kebawah pemerintahan Belanda? Djadi peperangan jang timbul disana baharu bcrarti ,,dia sama dia"! . . . Dan Oemar? Ia berpendapat bahwa ia lebih baik tinggal mendjadi penonton sahadja dahulu. Peperangan itu diselenggarakan oleh Neh atas siasatnja sendiri, pandainja sendiri. Ia, Oemar, hanja ditjadangkan sahadja oleh Gubernur buat membcri bantuan djika bantuannja diminta! Dan oleh karena Teuku Neh sangat berkeberatan buat minta bantuan dari menantu Nanta, musuh asclinja, maka bagi Teuku Oemar djalan jang sebaik-baiknja ialah buat tinggal menonton sahadja. Biarlah chalajak ramai, dan tcrutama Gubernur orang Belanda, sama mengctahui dan sama menginsjafi, siapakah jang sebenar-benarnja „Panglima Perang jang ulung dan bcrsiasat!" . . . >
SANDIWARA OEMAR III Sebuas-buasnja singa . ..
Sementara Sagi 26 mendjadi lautan api, Teuku Oemar mendapat bala bantuan dari pantai Barat. Jang datang menjertai perdjuangannja ialah 17 orang Panglima Perang, dikepalai oleh Pang La'ot, jang sangat ditakuti orang didalam ketentaraan Belanda. Sclainnja daripada itu ada pula menjertai 120 orang peradjurit ulung, jang mendjadi anak buah Oemar dahulu, semasa ia mendjadi Kuasa Lautan dipantai Barat, dan telah merampas beberapa bidang kebun lada orang disana. Guna menghormat kedatangan mereka itu, Oemar mengadakan kenduri besar, dengan tidak berhemat-hemat akan hidangan jang disadjikan. Ketudjuh belas Panglima diberi pula anugerah jang telah mendjadi adat di Atjch, jaitu bcrupa kelewang untuk masing-masingnja. Sebab Oemar sedang berada, maka hulu masing-masing kclcwang itu bertatahkan emas dan segala permata. Anugerah jang sematjam itu menetapkan tcguhnja pcrtalian persaudaraan antara jang membcrinja dengan jang mencrimanja. Selagi Teuku Oemar beserta kawan-kawan jang baru datang itu makan minum dan bersuka ria, maka para nclajan dan petani jang mendiami daerah pemcrin tahan Neh, gugurlah seorang demi seorang didalam peperangan dengan tentara ,.Muslimin". Jang turut gugur ialah pemimpin mereka Nja Agam, putera MahloJaitu seorang suku Minangkabau, jang dahulu pada tahun 1873 telah turut mcnjelesaikan soal perang atau damai bersama-sama dengan Said Taliir, orang Melaju pula. Guna tanda turut berduka tjitanja, Neh telah menghadiahkan uang sebanjak 5 dollar kepada Maleh, untuk penutup ongkos menguburkan putcranja. Setelah djelas dengan seniata-njatanja, bahwa Teuku Oemar memang adalah seorang Panglima Perang jang ulung, sedang Gubernur Deykerhoff telah lebih dari jakin pula tentang kesctiannja kepada „kumpcuni", maka permintaan ampunannja dikabulkanlah oleh pemerintah Belanda. Sekalian dosanja diampuni: Penjerbuan di 6 Moekim, penjamunan kapal Hok Canton, pemerasan uang 25.000 dollar dari,,kumpcuni", pcrampasan kebun-kebun lada, segala kesalahan diampuni! Oemar boleh tunduk! „Kumpeuni" suka menerimanja sebagai orang jang takluk. Oemar mengenang-ngenangkan nasibnja: Ia terpaksa tunduk! . . . Ia boleh tunduk!. . . kata orang Belanda. Oemar insjaf, bahwa hal mempcrbolchkannja tunduk itu, harus diterimanja sebagai suatu gandjaran besar dari orang Belanda untuk dirinja! Amboi! alangkah bcratnja peranan Oemar didalam sandiwara itu! Dan dibclakang lajar adalah tegak Tjoet Nja Din! Telah lama Tjoet Nja Din mengamat-amati gerak-gerik suaminja. Makin lama makin tidak mcngcrtilah ia hendak kemana Oemar terscsatnja dengan scpak terdjangnja jang sudah-sudah!
Sandiwara Oemar
165
Sulit bagi Din untuk menetapkan, manakah jang sangat menikam djantungnja. Apakah laku perangai Oemar jang kian lama kian djalas merupakan pengchianatan terhadap pcrdjuangan Atjch, ataukah segala buatannja jang makin lama makin menggambarkan sifat-sifat pengetjut jang terkandung dalam kalbunja? Sebab Din telah lama insjaf, bahwa Teuku Oemar, jang masjhur gagah beraninja, dan ditakuti oleh sekalian orang, bersifat pengetjut, djika ia berhadapan dengan perempuan jang seorang itu: Tjoet Nja Din. Selama ia berdjuang buat mentjari kedudukan jang mulia untuknja, maka Oemar mendjauh-djauhkan diri dari isterinja itu. Djarang-djarang ia ke Lampisang. Djika ia pulang sckali-sekali, lalu dibawa oleh Din kepadang bcrsoal djawab, karena banjak diantara pcrbuatannja jang belum djelas bagi Din, maka pada galibnja Oemar berusaha melepaskan diri dengan djalan berdusta, memutar balikkan perkataan. Dan djika ia sudah terdesak oleh segala kebenaran jang dikemukakan oleh isterinja, maka naiklah darahnja, dan ditjobanja bertahan dibclakang kata-kata jang tadjam tadjam. Dan bcrlakulah ia sebagai orang jang sedang ditjurigai dan diamat-amati, tidak dipertjaja tutur katanja dan sebagainja. Tapi, tiap-tiap ia meninggalkan Lampisang, tahulah ia bahwa hati Din telah tersinggang, ketjurigaan bertambah-tambah. Tapi diakuinja pula dalam hatinja, bahwa ia benar-benar takut pada isterinja itu. Rasa takut belum pernah diketahuinja, walau pada siapapun djua. Tapi pada bctina jang seorang itu, memang scsungguhnjalah ia takutl Gentar hatinja dalam menanti-nantikan masa ketika jang akan memaksa kepadanja buat membuka kartu dimuka isterinja itu. Sesudah ia sampai kepada persimpangan djalan, jaitu: dengan resmi menjatakan tunduk atau berdjuang terus dengan Belanda, maka tahulah ia bahwa masa ketika jang sangat ditakutinja, telah datang. Akan tcrpaksalah ia mcnjatakan pendiriannja jang sebenar-benarnja kepada Din, dengan tak ada kemungkinan untuk bersilat-silat lagi. Apa lagi karena ia telah insjaf, bahwa didalam keadaan jang serupa itu, satu-satunja djalan jang dapat ditempuh, hanjalah: mcnjatakan t u n d u k k e p a d a pemerintah Belanda dengan resmi! Djika djalan itu tidak diturut, adalah bcrarti, mcruntuhkan mahligai emas jang bertatahkan ratna mutu manikam, jang sekian lamanja sedang dirantjang-rantjang didalam kenang-kenangannja. Tapi scbaliknja, djika ia sampai kepada mcnjatakan tunduk kepada pemerintah Belanda, maka akan terpaksalah ia mengatakannja kepada Din dengan sebenar-benarnja. Setelah lama memikir-mikirkan, achirnja diambilnjalah keputusan. Lalu pulanglah ia ke Lampisang. Dengan tidak pandjang-pandjang tjakap, berkatalah Oemar kepada Din, bahwa ia hendak tunduk. Meskipun agak tcrpcrandjat, tapi Din mendengarkan kata-kata itu dengan tenang sadja. Hanja dari segala gerak-gcriknja sampai tcgaslah, bahwa Din membantah keras maksud Oemar itu. Dengan tcgas dan dengan tidak memberi djalan buat mentjari kata damai.
166
Tjoet Nja Din
Penulis tahu akan tabiat kedua, karena keduanja itu memang telah didjadikan pokok tjeritera, sedang ia dapat pula mengukur deradjat semangat dan hawa nafsu masing-masing. Oleh karena itu dapatlah ia mengira-ngira, bagaimana tjoraknja dan hebatnja pcrtikaian fikiran dan persabungan sukma, jang telah timbul antara suami isteri, sebelumnja dapat diperoleh kata sepakat. Pada achirnja, kata sepakat itupun diperoleh djua. Karena antara kedua adalah terdjalin pertalian jang crat jang menghubungkan mereka. Tali perhubungan itu ada jang lahir dan ada jang batin. Ada moril ada matericel. Jang menghubungkan mereka kedua, pertama adalah tekad jang satu: hendak mengusir orang kafir dari tanah Atjeh. Selainnja daripada itu kcdua-duanja adalah kcturunan Machoedoen Sati, darah Nanta sama mengalir dalam tubuhnja. Disampingnja itu keduanja telah mendjadi suami isteri jang berkasih-kasihan. Tidak heran, djika tali pcrhubungan itu tidak putus, meskipun antara kedua telah timbul pcrselisihan faham, jang masih membuka djalan untuk mengatasinja. Antara kedua alam jang bertentangan itu, disatu fihak Oemar jang berisifat avonturicr, pembangun segala jang baru, dilain fihak Din, jang berisifat keras kepala, pemelihara segala jang sudah ada, pada achirnja mungkin djua diperoleh persesuaian, setelah kedua sama mempertimbangkan scgi-segi moril dan matericel daripada soal-soal jang sedang dipetjahkan. Persesuaian jang diperoleh suami isteri itu, mungkin pula timbul karena hukum alam, jang tidak akan memutuskan pcrhubungan matericel mereka jang sama-sama mengandung sifat berahi, sama-sama bcrnafsu. Pcndek kata, achirnja tunduklah Din, setelah Oemar berkata dengan semangat meluap-luap: ,,Din! Lihatlah aku ini! Sama-sama kita kcturunan Machoedoen Sati! Kcturunan Nanta Tjih dan keturunan Nanta Setia! Akan lebihkah engkau daripada aku dalam perkara pembelaan tanah air? Tjara apa aku akan dapat bekerdja gunamu, guna Atjeh, djika engkau lebih pcrtjaja kepada mata-matamu, daripada kepada suamimu sendiri?" Maka bagaikan orang jang dilutjuti sendjata oleh lawannja, berkatalah Din dengan suara lemah lembut: ,,Djika aku scsungguhnja telah mendengarkan apa jang ditjeriterakan oleh mata-mataku, itu tidaklah bcrarti bahwa aku lebih pertjaja kepada mereka daripada kepada suamiku sendiri, Oemar! Sekarang hendak bertanjalah aku dengan tegas: Apakah maksudmu jang sebenar-benarnja maka cngkau hendak tunduk kepada kaphe? Dan adakah patut djika engkau bcrhati gusar kepadaku, jang sckian lamanja telah menundjukkan kasih sajangku kepadamu, karena aku berhati bimbang tentang nasib peruntungan suamiku itu dihari-hari jang akan datang? Maksudmu hendak takluk itu telah sampai ketelingaku lebih dahulu. Aku telah mendengar, bahwa engkau sedang melakukan perundinganperundingan rahasia dengan salah seorang pegawai pemerintah kaphe. Malah ada jang berkata bahwa cngkau pada suatu hari telah nampak masuk kc Kotaradja! Bukankah engkau sama mengctahui, bahwa didalam Naskah Petundjuk
Sandiu>ara Oemar
167
Atjeh jang berhubung dengan Perang Sabil, ada discbutkan: „Barang siapa jang mentjari pcrhubungan dengan kafir, maka Tuhan akan menghukumnja dengan hukuman radjam jang sckeras-kerasnja!" Apakah kehcndakmu, Oemar? Sukakah engkau menurutkan djedjak Neh Tua, jang telah mendjerit-djerit dalam kuburannja, sehingga orang kampung sekitarnja, karena ketakutan, terpaksa mcnggali majatnja itu dari kuburan, lalu menghanjutkannja kelaut?" Kata Tjoet Nja Din jang dimulai dengan suara keras, dada scsak, lalu bcrsemangat sebagai orang jang berputus asa, diachiri dengan suara jang lemah lembut. Matanja jang pada awalnja mendelik serta bcrsinar-sinar, seolah-olah hendak memantjarkan api, berganti rupa. Dengan scdih iapun memandang kepada suaminja, sedang laku perangainja adalah menundjukkan kasih sajangnja kepada sisuami jang hendak scsat djalan itu. Terbukalah djalan bagi Oemar, buat memainkan kartu troefnja. Dari pengalaman tahulah ia, bahwa segala kebenaran tak akan dapat dilalukan kepada Din, djika darahnja sedang naik. Tapi, djika hatinja telah lunak, suaranja jang keluar telah lemah lembut, barulah terbuka djalan buat membawanja berunding dengan bertcnang-tcnang. Maka memandang pulalah Oemar dengan kasih sajangnja kepada Din, lalu berkata dengan scdih: „Aku tahu, Din! Aku insjaf, bahwa segala keberatanmu itu semata-mata hanjalah untuk aku djua! Artinja, jang lebih engkau pentingkan ialah keuntungan dan kebahagiaan untuk suamimu belaka! Semoga Tuhan membalas budi baikmu terhadap suamimu itu! Suamimu ini jang mungkin tak lajak untuk menerima budi, setjara jang telah cngkau bcrikan kepadanja!" Scdjurus lamanja Oemar tinggal bcrdiam diri. Maka djclaslah baginja, bahwa kata-katanja itu bagaikan tcrtanam dalam hati isterinja itu. Sctelah ia menampak pula bahwa mata isterinja seolah-olah mendjadi kabur, serupa hendak digenangi oleh air mata, maka berkata pulalah ia dengan suara jang agak gemetar: . ,,Din! Pertjajalah engkau! Djika aku memang scsungguhnja telah mentjari, lalu mendapat pcrhubungan dengan kafir, maka segala tindakanku itu hendaklah engkau pandang sebagai suatu siasat buat mencrkam musuh. Kaphe, musuh kita, memang kuat, sangat kuat! Mereka mempunjai sendjata seratus kali lebih banjak dan lebih baik daripada kita. Mereka telah dapat menutup sekalian pelabuhan, mereka telah menguasai pcndjualan lada kita, dan mereka telah bersarang di Kotaradja, pcrpusatan kekuatan kita! Jang sedang kulakukan itu, hanjalah siasat, akal dan tipu muslihat, buat melawan musuh jang lebih kuat! Bukankah didalam agama adalah kita dipcrkenankan mendjalankan akal, bila njata bahwa tenaga kurang guna menghadapi musuh? Luruskah orang Belanda dalam memcrangi kita? Tidakkah mereka scnantiasa bcrminjak air, sambil melakukan tipu muslihat pula buat membclanggu dan mcnaklukkan kita? Dimanakah ada peperangan jang dilakukan dengan tindakan djudjur, adil dan bcrterus terang sadja? Dapatkah kita berterus terang kepada kafir, jang sclalu bcrsilat, sambil melakukan tipu daja semata-mata? Kuatkah kita melawan kafir dengan ratib
i68
Tjoet Nja Din
dan doa sadja? Lihatlah nasib Habib, lihatlah nasib Teungku di Tiro! Apakah djasa dan hasil daripada perlawanan mereka? Salahkah aku, djika aku mentjari djalan Iain buat meremuk musuh jang sckuat itu? Din! Dari kanak-kanak aku telah mengangkat sendjata terhadap kafir. Pcrbuatanku sehari-hari hanjalah memerangi dan bergerilja sadja, sehingga banjaklah orang jang berkata bahwa aku ini orang pcmalas, ilang-ilangan, tak tentu buatan! Ketika aku dinikahkan, aku sedang beristirahat pulang dari medan pcrtempuran. Datangnja aku mengundjungi pamanku, ajahmu Nanta Setia, hanjalah karena aku hendak menawarkan diri buat mendjadi pembantunja, sctelah Teuku Ibrahim Lamgna sahid! Din, kita sama-sama keturunan Machoedoen Sati, bangsawan Minangkabau, darah Nanta sama mengalir pada tubuh kita. Adakah masuk pada akalmu bahwa aku ini, Teuku Oemar, ada bcrmaksud hendak mendjadi pengchianat terhadap tanah air, dan akan mendjadi budak Belanda jang sesungguhsungguhnja, dan buat selama-lamanja? Djika ada maksudku jang demikian, siasia aku mengurbankan masa mudaku, dengan djalan menjertai pedjuangpedjuang Atjch, buat mempertahankan kemcrdekaan kita! Tidak Din! Djika aku ini njata pada achir-achirnja sungguh-sungguh telah mendjadi pengchianat bangsa, maka pendjelmaanku itu adalah kebalikan atau bertentangan dengan kekuasaan Alam. Kau tahu, bahwa kodrat alam itu tak akan mungkin diubahubah oleh manusia, sehingga mendjadi bertentangan penuh dengan jang semestinja! Djika umur sama dipandjangkan, marilah kita sama-sama menjaksikan, apakah jang sebenar-benarnja dimaksud oleh Teuku Oemar, djika ia sekarang nampak berdjabat tangan dengan orang Belanda?" Tjoet Nja Din mendengarkan uraian suaminja itu dengan tenang dan penuh perhatian. Laku Oemar berkata-kata jang kian lama kian bersemangat itu, mengikat seluruh minatnja. Tak ada sepatah kata jang tidak tergurat dalam kalbunja. Maka berangsur-angsur hilanglah segala ketjurigaan dalam hatinja. Lalu timbullah kcjakinan padanja, bahwa Teuku Oemar memang masih tetap pada pendiriannja jang sedjati, jaitu masih mendjadi pahlawan tanah air jang sedang memperdjuangkan kemcrdekaan bangsa dan tanah airnja. Djika siasat jang sedang dilakukannja itu kelak menimbulkan nama buruk atas dirinja, maka bcsarlah kcjakinan Din, bahwa scdjarah djua nanti akan memberi bukti jang sebenar-benarnja. Asal ia, Tjoet Nja Din, tcguh pada pendiriannja sendiri, dapatlah ia berdjaga-djaga terhadap langkah Oemar, jang hendak dilakukannja dikemudian hari, agar ia tidak terscsat sama sekali. Din mengetahui, bahwa pengaruhnja atas diri Oemar memang besar sekali. Jang dapat membentuk budi pekcrti orang muda jang tangkas, keras kepala itu, jang akan dapat meluruskan djalannja, djika ia sungguh-sungguh terscsat, hanjalah Din sadja, isterinja, jang sangat dipcrendahkannja. Oemar menguntji uraiannja dengan kata-kata jang bersemangat: „Pertjajalah kepada suamimu, Din! Marilah kita melakukan sandiwara ini bersama-sama, supaja kemenangan achir ada difihak kita! Agar kita dapat mengusir seluruh kafir dari tanah air kita! Perkuatlah tanganku! Supaja ia
Sandiu>ara Oemar
169
dapat menumpas musuh kita sampai kcakar-akarnja dengan sendjataku ini! Pertjajalah kepada suamimu, Din!" Maka makin tcrharulah hati Tjoet Nja Din. Sepatah-sepatah kata suaminja itu telah menggetarkan seluruh sukmanja, sampai kepada tali temali jang schalushalusnja. Meskipun djantungnja masih berasa rcmuk dalam memikir-mikirkan: ,,Oemar tunduk!", tapi tidaklah ia hendak berputus asa. Harapannja akan mengembalikan suami jang ditjintai itu kedalam barisan pahlawan tanah air, masih sangat besar. Maka diluruskannja duduknja, dikepalkannja tindju, sambil diperasnja air mata jang hendak tergenang pula. Lalu berkatalah ia dengan tcgas, sambil mengatupkan bibir: ,,Baihlah Oemar! Sukalahaku menjertaimu dalam permainan sandiwara ini! Selama aku jakin, bahwa engkau dengan setulus-tulus dan sepenuh-penuh hati masih ada didalam baensan kita. Tapi pertjaja penuh kepada manusia, aku belum dapat! Aku hanja pertjaja penuh kepada Allah Subhana Wataala!" Hati Oemar agak tersinggung mendengarkan kata Din jang terachir itu. Maka diangkatnja kepalanja, lalu berkatalah ia scolah-olch tahu diri: ,,Ja, Din! Sudah tentu aku tak ada ingatan untuk mendjadi saingan Allah Subhana Wataala dalam perkara kepertjajaanmu itu!" Pada sangkanja tentu Din akan naik darah mendengarkan kata-kata itu. Tetapi persangkaan itu ternjata salah. Din tinggal tenang. Hanja ketika ia menjahut, kata-katanja adalah kurang tegas: ,,Kata-kata jang penghabisan tadi, Oemar, tidaklah kuperoleh dari seorang ulama, mclainkan dari seorang jatria. Sendjatanja telah kaudjawat, sesudah ia sahidi Sela Glitaroen, sedang sendjatanja itu digugurkan dari tangannja! Sedjurus lamanja Oemar tinggal berdiam diri. Darahnja berasa naik pula kckepala. Tapi sekonjong-konjong takluklah ia kebawah rasa kesatriaan jang telah ditundjukkan oleh Din itu. Karena padanja sendiri rasa kesatriaan itu masih tebal pula, lalu berkatalah ia sambil menundukkan kepala: ,,Sesungguhnjalah, Din! Kawan kita jang seorang itu memang sebenarnja Satria Sedjati! Pahlawan tanah air dan pedjuang jang ulung! Semoga Tuhan menerima imannja!"
SANDIWARA OEMAR IV Teuku Djohan Pahlawan
Bulan September 1893. Diatas sebuah kapal pemerintah Belanda, dibawalah Teuku Oemar ke Oleh-leh. Dari sana ia hendak diteruskan dengan kapal itu djua ke Kotaradja, buat mcnjelcsaikan hal tunduknja kepada Pemerintah Belanda. Oemar adalah disertai oleh sekalian pcngiring serta dua orang isterinja. Oemar disuruh mengutjapkan sumpah setia kepada Gubernemen Hindia Belanda dimuka Teuku Kadli, di Makam Keramat almarhum Teuku Andjong, dekat Kotaradja. Pemerintah Belanda telah mcmilih tempat Makam itu buat mendjadi tempat mengangkat sumpah, karena Makam itu termasuk tempat Pemakaman jang sesutji-sutjinja diseluruh tanah Atjeh. Orang Belanda mengharap, supaja Oemar menaati dengan teguh segala sumpah jang telah diutjapkannja disuatu tempat jang maha sutji itu. Bersama-sama dengan Teuku Oemar, turut pula 15 orang Panglima jang mendjadi anak buah Oemar, mengangkat sumpah setia kepada Pemerintah Hindia Belanda. Maka menghudjanlah gandjaran-gandjaran jang diturunkan oleh Gubernemen Hindia Belanda, meliputi tubuh ,,rekan baru" itu. Teuku Oemar mendapat pangkat dan gelaran: „Panglima Perang Besar".
Nama kebesaran jang diberikan kepadanja, ialah: ,,Teuku Djohan Pahlawan". Ia mendapat uang sokongan jang amat besar, lalu diberi kuasa buat membentuk, menaruh, membcri makan dan pakaian kepada 250 orang peradjurit, jang diserahkan kepadanja untuk mendjadi legioen. Maka perongkosan legioen itu adalah termasuk kedalam uang tundjangan bulanan jang besar itu. Selainnja daripada itu persendjataan legioen, demikian pula pakaian dan madatnja, akan dipenuhi pula oleh Kas Negara Belanda. Kewadjiban Teuku Djohan Pahlawan hanjalah memclihara keamanan diseluruh tanah Atjch bersama-sama dengan legioennja jang 250 orang, dan masuk bilangan mendjadi anak buahnja itu, beserta sekalian Radja-Radja dan KepalaKepala kedacrahan, jang bersckutu dengan Teuku Oemar. Selainnja daripada itu, maka dibangunkan pula sebuah Gedung Pemerintah Belanda, jang indah dan besar serta permai di Lapisang, untuk mendjadi tempat kediaman Teuku Djohan Pahlawan, Panglima Perang ketentaraan Belanda. Dan ketika Oemar meminta supaja pekarangan dan pagar besi beserta pintu gerbangnja dari Gcdung Pemerintah Belanda jang dibangunkan di Lampisang itu, diserupakan benar dengan jang ada di Kotaradja, maka pcrmintaan itupun dikabulkan.
Sandiwara Oemar
171
Selainnja daripada itu, disamping tangga naik gedung, pada kiri dan kanannja, Teuku Djohan Pahlawan diperkenankan mencmpatkan dua putjuk meriam, jang disediakan untuk mclepas tembakan-tembakan kehormatan guna tuan-tuan tamu Agung, jang kelak akan datang bcrkundjungan keistana Teultu Djohan Pahlawan.
Inilah penutupnja Babak pertama daripada Sandiwara Oemar. Kedjadian ini terdjadi pada tanggal 30 September tahun 1893. Kata orang, diantara jang menjertai rombongan Teuku Oemar dikapal, jang membawa mereka ke Kotaradja, buat mcnjelcsaikan upatjara tunduknja itu, banjaklah nampak Panglima-Panglima dan Pembesar-Pembesar Keradjaan Atjch. Diantara para wanita jang mengiringkannja, masing-masing berpakaian indah dan bcrkilau-kilauan karena emas serta intannja, nampak pula Tjoet Nja Sapiah, isteri Teuku Oemar jang pertama. Dan sementara itu, tinggallah Tjoet Nja Din seorang diri di Lampisang, dengan perhitungan dan penjedaran untungnja . . . Sandiwara Oemar itu sampailah berlaku tiga tahun bcrturut-turut lamanja. Suatu permainan, jang dilakukan oleh Teuku Oemar guna mentjari kedudukannja jang tinggi, dengan segala kclitjinan dan keachliannja. Tak ada seorang jang dapat menentukan permainan apakah sebenarnja jang sedang dipcrtundjukkan itu. Mungkin Oemar sendiri tak dapat pula menentukan isi daripada permainannja itu. Jang sudah njata ialah, bahwa permainan itu berdasarkan kepada tipu-menipu, chianat-mengchianati. Pada galibnja, maka baik pemain maupun penonton, tidak akan dapat menangkap inti daripada permainan itu, oleh karena inti itu memang tidak ada. Permainan didjalankan dengan lantjar, bergerak antara segala kemungkinan dengan jang tidak mungkin, antara untung jang baik dengan untung jang buruk.
Memang sangat sulit pula untuk memainkannja. Tapi Oemar telah melakukan perananannja dengan sepatut-patutnja. Tak adalah sesuatu jang akan mendjadi tjatjat daripada gcrak-gcriknja. Jang terlebih dahulu dikehendakinja ialah pangkat jang sctinggi-tingginja didunia ketcntaraan, jaitu pangkat Panglima Perang Besar. Itupun telah diperolehnja. Dengan pangkat itu kedudukannja akan sedjadjarlah dengan Gubernur, jang mendjadi Panglima Tertinggi didalam kctentaraan Belanda. Sesudah itu diperolehnja pula nama kebesaran jang scmulia-mulianja: Teuku Djohan Pahlawan! Nama itu membcri tempat kcudukan kepadanja didalam masjarakat bangsa Atjch, jang hanja akan dapat disedjadjarkan dengan nama Almarhum Sultan Djohan Sjah, ncnek mojang sekalian Sultan-Sultan Atjeh jang jang telah memcrintah di Keradjaan itu. Dan buat menjilaukan pemandangan orang banjak, terutama mata rakjat Atjeh sendiri, diperolehnja pula Istana baru di Lampisang jang diberi pekarangan dan pagar besi serupa benar dengan Gedung Pemerintah Belanda di Kotaradja! Bukankah itu
berarti bahwa kcresidenan didaerah Atjeh telah dipetjah mendjadi dua: Satu di
17Z
Tjoet Nja Din
Kotaradja dengan ibu kota Kotaradja dibawah Gubernur, satu lagi di Lampisang dibawah Teuku Djohan Pahlawan, Panglima Perang Besar! Istana jang tcrdiri didalam lingkungan pagar besi itu ialah sebuah rumah besar, potongan Atjeh, dibangunkan diatas pondamen beton jang kukuh, dan diperbuat daripada kaju-kajuan jang semahal-mahalnja, serta dihiasi dengan ukiran-ukiran permai diluar dan didalamnja. Didalam rumah Atjeh jang besar itu terdapatlah pelbagai rupa perkakas rumah dan perhiasan-perhiasan rumah orang Barat, jang mahal-mahal harganja. Selagi Teuku Djohan Pahlawan masih mendjadi Teuku Oemar sadja, peradjurit gerilja, ia telah menundjukkan nafsu pada keduniaan dan kemewahan, scada-ada jang dapat diperolehnja dimasa itu. Setelah ia sekarang mendjadi Panglima Besar, apakah halangannja buat menaruh pula barang-barang orang kafir itu, jang memang indah rupanja, dan dapat dibelinja? ' Diberanda muka terlctaklah medja-medja pualam jang bcrukir-ukir kakinja, kursi gojang jang mahal-mahal, bangku-bangku dipan djang ditilam oleh kainkain sutcra, Iemsri-lemari katja jang berukiran serta dipahat, sedang tjermintjcrmin dinding jang besar-besar bcrgantungan pula dimana-mana. Lampulampu jang didatangkan dari Singapura, adalah memenuhi sekalian ruangan. Ada jang tergantung, ada jang ditanai oleh kaki tcmbaga bcrukir-ukir. Pada tiap-tiap lampu tampaklah balon untuk penutup tjahajanja, jang sangat menarik hati, djika sekalian lampu itu telah dipasang pada malam hari. Diatas sebuah medja kctjil jang berukir-ukir pula, terletak sebuah tempat sirih Atjeh, disamping sebuah tempat abu rokok model Barat. Dan ada pula sebuah medja ketjil tempat menumpukkans urat-surat kabar. Dalam sebuah stopcles adalah sigaret lengkap dengan tjerutunja, disediakan untuk para tamu jang mulia. Sebab istana Teuku Djohan Pahlawan banjak kedatangan tamu-tamu Agung bangsa Belanda, baik jang berpangkat ketcntaraan, maupun dari djawatan sipil. Kamar tidurnja dihiasi dengan barang-barang dan kain-kain sutcra jang bcrharga. Pengganti tempat tidur kaju jang galib, didalam ruangan peraduan Teuku Djohan Pahlawan adalah dilctakkan sebuah tempat tidur besi buatan Eropah, untuk dua orang. Dikamar inipun tcrdapat Iemari-lcmari, kursi medja dan dipan-dipan jang berharga serta berukir-ukir pula. Pcti-pcti besar jang berukir tcmbaga sckelilingnja, adalah penuh dengan kain-kain sutcra, emas dan intan, serta uang perak dan emas jang tidak terhitung banjaknja. Dengan scsungguhnja Oemar telah mengantar hawa nafsunja didalam pekara keduniaan dan kemewahan jang tak ada hingganja itu. Dengan pcrbuatan itu adalah pula ia menundjukkan kepada chalajak umum, bahwa in dapat menjesuaikan diri kepada segala lapisan masjarakat, tinggi dan rendah, Barat dan Timur, sampai-sampai kepada masjarakat musuh. Berarti bahwa ia tak akan kelindungan oleh siapapun djua, sedang ia telah dapat menjamai kchidupan orang Belanda jang sctinggi-tingginja di Atjch, jaitu kedudukan dan kehidupan Gubernur Deykerhoff! Aksi jang serupa itu oleh Oemar ditimbang perlu untuk menetapkan pengaruhnja diseluruh tanah Atjeh.
r-
Sandiwara Oemar
173
Tapi didalam istana ini jang memegang tali kendali rumah tangga, bukanlah isteri Oemar jang pertama, jaitu Tjoet Nja Sapiah, melainkan Tjoet Nja Din. Din telah mcnjcrahkan peranan mendjadi permaisuri Teuku Djohan Pahlawan kepada Tjoet Nja Sapiah, ketika upatjara penundukan Teuku Oemar harus dilakukan bersama-sama dimuka kaphe jang terkutuk. Haram bagi Din buat duduk berhadapan dengan kaphe itu, djika tidak sangat terpaksa. Biarlah Sapiah jang mcnjclesaikannja. Sapiah boleh duduk sebagai boneka jang berbadju beledu dan berhias emas dan intan dimuka kafir, buat menjaksikan suaminja berlutut dimuka udjung scpatu kaphe! Tapi setelah datang giliran Sari Panggung buat tampil kemuka, guna mendjadi lajan bermain jang'tcrutama bagi Anak Muda jang memegang peranan Induk, dengan segcra Din menggescrkan Sapiah, lalu memainkan sendiri peranan Sari Panggung itu. Bukankah permainan Sandiwara itu tidak lagi berarti komedi semata-mata? Dipanggung Sandiwara itu hendak dilakukan pertjaturan hidup jang sepait-pait dan sehebat-hebatnja! Bukanlah lagi permainan komedi untuk menjukakan hati para penonton, melainkan suatu perdjuangan jang berdasar kepada tipu muslihat, kepada chianat-mengchianat! Suatu permainan untuk hidup atau mati! Didalam permainan itu peranan jang harus dilakukan oleh Sari Panggung akan sama pentingnja dan sama berharganja dengan peranan jang hendak dilakukan oleh Anak Muda Panggung! Tidak dapat Din menjerahkannja ketangan orang lain, melainkan ia sendiri jang hendak memainkannja, djauh daripada pengaruh atau petundjuk-petundjuk sekalian soeplcur jang berdiri dibclakang lajar! Itulah sebabnja maka Din bukan sadja tidak berkeberatan, melainkan menimbang perlu buat turut mendiami istana pemberian kafir itu, bersama-sama dengan Oemar, ditcngah-tengah segala keduniaan dan kemewahan, jang dibeli dengan uang kaphe itu. Sementara itu Anak Muda Oemar meneruskan memainkan pcranannja dengan segala litjin dan kebidjaksanaannja. Kepada Pemerintah Belanda ia telah bcrdjandji hendak „inengamankan Atjeh" dengan mempergunakan kekuatan legioennja sendiri. Guna membuktikan tckad baik itu, terlebih dahulu ia mclajangkan pemandangan ke Sagi 26, karena disitulah ada tanah subur jang nampak untuk tanamannja. Sebagai diketahui, Teuku Neh dan Teuku Lamreng telah mentjoba-tjoba mengusir tentara „Muslimin" dari Sagi itu, tapi njata tak kuat melawan mereka. Sesudah itu timbullah suasana katjau balau didacrah Teuku Lamreng itu. Ditempat itulah Oemar dapat memainkan peranannja. Dengan sekonjong-konjong ia mengadakan penjerangan kilat disana, lalu dapat mcrebut beberapa buah benteng tentara ,,Muslimin" jang penting-penting. Oleh karena Oemar sesudah itu berlaku sebagai seorang jang bcrkuasa dan
174
Tjoet Nja Din
bertangan besi di Sagi 26, maka segala tindakannja itu bukan sadja mcngedjutkan tentara ,,Muslimin", tapi menimbulkan kegembaran pula dikalangan antara kekerasan dan kekedjaman „Muslimin" dengan tindakan-tindakan ,,Legioen" Teuku Djohan Pahlawan. Dalam penganggapan penduduk dan Kepala Kepala Sagi 26 bahwasanja Teuku Oemar itu tidak kurang dan tidak lebih daripada perampok baru, jang datang hendak menguasai dan mendjadjah Sagi 26! Perasaan jang serupa itu makin tcbal, karena Oemar, menurut katanja, terpaksa bertindak keras diseluruh Sagi. Belum tjukup djika tindakannja itu hanjalah berupa memcrangi sadja. Karena djika penduduk Sagi tidak sempurna insjaf, apalagi djika diantara mereka banjak jang bersckutu dengan ,,Muslimin" baik karena hendak beruntung, maupun karena takut, maka ,,musuh" akan dapat pula menguasai Sagi 26 itu didalam sekedjap mata! Dalam hal jang serupa itu Oemar sckali-sekali terpaksalah bertindak keras terhadap kepada „Muslimin" atau kepada rakjat Sagi, adakalanja terhadap kepada „Muslimin" dan rakjat Sagi. Kepada Gubernur berkatalah Oemar, bahwa rakjat Sagi 26, jang belum tunduk kepada pemerintah Belanda itu, tidak sekali-kali dapat dipertjaja. Karena telah djclaslah padanja, bahwa diantara rakjat Sagi 26 sangat banjak jang suka bersckutu dengan ,,Muslimin". Djika kita kurang hati-hati — demikian kata Oemar kepada Gubernur — tidak mustahil djika esok atau lusa ,,Muslimin" itu berdiri dimuka pintu gerbang Linie, bersama-sama dengan orang Sagi 26.! Mendengar uraian Oemar itu, maka Gubernur Deykerhoff tcrkedjutlah, lalu bcrtanja kepadanja: „Apakah bitjara Teuku Djohan Pahlawan?" „SuIit, tidak sulit soal ini," sahut Teuku Djohan Pahlwan. „Sulit, djika kita membiarkan ,,Muslimin" melebarkan daerah pengaruhnja di Sagi 26. Sedangkan saja sendiri, saja, Teuku Djohan Pahlawan, jang sedang melindungi mereka dari tjengkeraman dan kcganasan ,,Muslimin", oleh orang Sagi 26 sudah tidak dipertjaja lagi! Malah dimusuhinja pula! Tak usah difikirkan pandjang, apa rupanja penganggapan mereka terhadap kepada Pemerintah Belanda! Disitulah lctak kesulitan soal ini, jang akan menimbulkan bcrbagai-bagai kesukaran. ,,Tidak sulit, djika dari sekarang Sagi 26 mulai insjaf benar akan tangan besi jang ada pada tubuh Teuku Djohan Pahlawan, pelindung mereka dari antjaman ,,Muslimin"! Oleh karena keadaan di Sagi 26 itu tiba-tiba boleh mendjadi genting, jaitu djika rakjat Sagi menggabungkan diri kepada ,,Muslimin" buat menentang Teuku Djohan Pahlawan, jang hanja mempunjai 250 orang anak buah maka selajaknjalah djika Gubernur berkenan memberi bantuan seperlunja. Tidak mungkin bagi saja buat memelihara kcamanan di Sagi 26, sambil mendjaga benteng-benteng jang telah dapat saja rampas dari ,,Muslimin" dengan anak buah saja jang hanja 250 orang banjaknja, sedang saja bcrhadapan dengan seluruh Sagi 26 beserta ,,Muslimin" pula. Djadi, djika dapat, Tuan Besar Gubernur hcndaklah mcnolong saja! Sekarang saja dibiarkan sendiri tcrtjempung kedalam kantjah jang sedang mcnggolak-golak itu, sedang tentara ,,kumpeuni" tinggal menganggur didalam lingkungna Linie!"
Sandiwara Oemar
175
Segala uraian Teuku Djohan Pahlwan itu sangatlah termakan oleh hati Gubernur. Maka difikirkannjalah bahwa ia telah memberi kepertjajaan kepada Teuku Oemar, buat mengamankan Atjeh. Tapi djika kepertjajaan itu hanja setengahsetengah sadja, mungkin usaha Teuku Djohan Pahlawan akan patah ditengah. Lalu bertanjalah Gubernur Deykerhoff sekali lagi: ,,Apakah bitjara Teuku Djohan Pahlawan sendiri?" Lalu Oemar mengembangkan siasatnja. Jang diharapkannja dari tuan besar Gubernur hanjalah bantuan berketjil-ketjil sadja. Beberapa buah benteng penting kepunjaan ,,Muslimin" jang telah dapat dirampas oleh Oemar dan diduduki oleh anak buahnja, minta diduduki oleh tentara ,,kumpcuni". Sctjukupnja sadja, dan buat sementara. Djika telah sampai kepada hal jang demikian, dapatlah Oemar mentjabut sekalian anak buahnja dari benteng-benteng tersebut. Mereka itu dapatlah dipergunakannja untuk operasi-opcrasi jang lain diluar daerah kekuasaannja itu. Scrdadu ,,Kumpeuni" itu tidaklah usah turut berperang, melainkan tinggal berdjaga-djaga sadja. Tidak pula semua benteng rampasannja minta didjaga oleh ,,kumpeuni". Oemar sendiri akan mcmilih beberapa buah jang penting sadja, jang Iain-lain tetap akan didjaga oleh anak buahnja beserta sebagian dari rakjat Sagi 26 jang dapat dipertjaja. Gubernur Deykerhoff tinggal mengangguk-anggukkan kepalanja, kagum mendengarkan rantjangan siasat berperang jang scmahir dan scsempurna itu. Lalu diperkenankanlah apa jang dikchendaki oleh Teuku Djohan Pahlawan itu. Tapi Deykerhoff tidak menjangka-njangka bahwa dengan memenuhi kehendak Oemar itu, ia tidak lebih dan tidak kurang daripada membangun Linie kedua, disamping jang telah ada. Bagi kepentingan Oemar, terdjadinja Linie jang kedua itu adalah suatu kemenangan siasat jang tidak ternilai-nilai akan harganja. Sebab Linie kedua itu tidak akan dapat menjamai Geconcentreerde Linie jang sudah ada, jaitu rantai bentcng-bentcng pertahanan jang mengasingkan sebidang tanah luas dari daerah-daerah musuh. Jang didjaga kuat, dikuntji erat, hingga tikuspun tidak akan dapat lcluasa keluar masuk ketempat jang telah dipagar itu. Tetapi Linie kedua (Lime Oemar) itu tidaklah lebih daripada suatu garis pertahanan terputus-putus, didjaga oleh beberapa benteng jang scderhana, jang tidak bersambung-sambung sebagai rantai besi. Jang penuh pula dengan tcnagatcnaga inpiltrasi (penjclundupan), jang ada langsung dibawah pemerintahan Oemar. Dengan djalan jang demikian, Linie jang kedua itu sangat lemah dan tcrantjam pula baik dari luar, mau pun dari dalam. Selainnja daripada itu, pemindahan scbahagian daripada anggota-anggota angkatan perang Belanda buat mengisi Linie Oemar itu, berarti mengurangi tenaga ,,Geconcentreerde Linie", jang pasti akan melemahkannja. Jang akan banjak dikurangi tentulah tangsitangsi jang ada di Kotaradja, dan hal itu bagi Oemar adalah mendjadi keuntungan jang sangat besar, djika telah datang waktunja ia menghadapkan mulut scnapannja kcarah Markas Besar tentara Belanda! Sedangkan pos-pos jang lain discpandjang ,,Geconcentreerde Linie" itu akan merasai pengurangan kekuatan sebagai akibat daripada pendjagaan Linie kedua itu!
176
Tjoet Nja Din
Daripada peta jang kedua, jaitu jang ada dibclakang buku ini, nampaklah rupanja Linie Kedua (Linie Teuku Oemar) itu. Rupanja ,,Geconcentreerde Linie" buatan orang Belanda, dimulai dari Kotaradja, melalui Bukit Kareng, Siron, Keutapang Dua, sampai ke Sabong. Linie Kedua (buatan Teuku Oemar) dimulai pula dari Kotaradja, melalui Toengkob, Scuneung, Biloej, sampai kc Keutapang Dua. Djadi njatalah, bahwa aturan jang diperbuat oleh Oemar itu tidak sekali-kali akan menguntungkan tentara Belanda. Hanja Oemar djua jang akan beruntung. Bukan sadja berupa keuntungan didalam pcrscngketaannja dengan ,,Muslimin" dan Sagi 26, tapi djuga dihari kemudian, sekiranja suasana menempuh djaman perubahannja. Dengan djalan mengisi bentcng-bentcng baru jang ada digaris Linie Kedua itu, maka tentara Belanda seolah-oleh tcrpikat keluar meninggalkan pos-pos pendjagaannja jang asli. Jang diharap-harap dan mendjadi perhitungan Oemar terdjadilah tidak lama sesudah dilakukan perpindahan-perpindahan itu. Pospos jang telah kekurangan tenaga, atjap kali benar menderita penjeranganpenjerangan gerombongan liar. Oleh karena itu pendjagaan pos-pos scluruhnja terpaksa dikurangi pula, karena serdadu-scrdadu ,,kumpcuni" sudah terpaksa pula melakukan patroli-patrolinja, berhubung dengan gangguan-gangguan gerombolan itu. Dengan djalan jang demikian, tentara Belanda telah terlibat pula kedalam peperangan baru, jang ditjiptakan oleh Oemar dengan segala kelitjinannja. Berhubung dengan segala sesuatunja itu, maka pemerintah Belanda sangat membutuhkan tenaga Oemar dengan Iegioennja. Djika ia dahulu hanja diminta buat „mengamankan" Atjch bersama-sama dengan anak buahnja sadja, sedang ia merdeka didalam mcmilih tempat-tempat operasinja, maka dengan timbulnja perang baru itu, ia telah mendjadi bagian dari tentara Belanda jang bersamasama dengan lasjkar ,,kumpcuni" harus turut memcrangi ,,djahat". Panggilan Belanda tcrhadap kepada diri Teuku Djohan Pahlawan bukan lagi bcrbunji: ,,Panglima Perang Besar Djohan Pahlawan," melainkan telah bcrubah mendjadi „Sekutu kita" . . .
SANDIWARA OEMAR V Lajar turun
Gelar baharu ,,Sekutu Kita" tidaklah membawa bahagia bagi Oemar. Sebagai telah dikatakan, tiga tahun lamanja ia melakukan pcranannja sebagai ,,Anak Muda Panggung" dengan lantjar, dan memuaskan hatinja. Didalam tahun jang ketiga itu, bintang Teuku Djohan Pahhwan adalah selalu terang. Tapi didunia ini memang telah mendjadi hukum alam, bahwa pasang itu sekali akan naik dan sesudah itu ia akan surut pula. Bagi ,,Sckutu Kita" timbullah pelbagai rupa kesulitan. Oleh karena tindakan patroli-patroli Belanda makin dipcrhebat didacrah pegunungan, maka tentara Muslimin tcrpaksalah menghadapi mereka dengan segala kesibukan pula. Berhubung dengan itu maka gangguan-gangguan tcrhadap rakjat mendjadi dipcrkurang, karena ,,Muslimin" sangat membutuhkan tenaga rakjat dalam peperangannja melawan tentara Belanda. Sudah tentu pemerintah Belanda sangat pula membutuhkan bantuan ,,Sckutu Kita", jang memang bertugas mengamankan Atjch bahu membahu dengan tentara Belanda. Selama tindakan Legioen Teuku Djohan Pahlawan hanja tcrbatas kepada memcrangi ,,Muslimin" sadja, maka pekerdjaan Oemar tidak menemukan sesuatu kesulitan, karena seluruh Atjeh telah mengctahui bahwa Tentu Oemar adalah musuh besar dari ,,Muslimin" jang memang mengatjau dan menindas rakjat. Bagi Oemar barulah mendjadi sulit, djika ,.Muslimin" bekcrdja sama dengan rakjat. Umpamanja di Sagi 22, daerah Pemerintahan almarhum Panglima Polim Di Sagi itu, sukma almarhum Panglima Polim masih hidup. Oleh karena ,,Muslimin" berasa kurang kuat buat menggagahi penduduknja, sedang semangat ,,pantang tunduk" sangat bcrkobar-kobar pula dikalangan rakjat disana, maka ,,Muslimin" mcmilih djalan jang paling aman untuknja. Mereka tinggal berdiam di Sagi 22 itu sebagai pcmbela rakjat, jaitu angkatan Perang Sabilullah, jang langsung berperang dengan kaphe, sambil mendjauh-djauhi perscngketaan dengan rakjat. • Didaerah itu Oemar sudah tentu tidak dapat bertindak berterang-terang tcrhadap ,,Muslimin", karena dibclakang sckutunja jang berupa pemerintahan Belanda itu, adalah pula berdiri Tjoet Nja Din, jang tidak mclepas-lepas-kannja dari pandangan, dan scnantiasa mengawaskannja dengan telundjuk menga-
tjung! Di Sagi 22 itu tcrpaksalah Oemar mentjari kata ,,damai" dengan „Muslimin", dengan perantaraan rakjat. Ulama Koetakarang, seorang pedjuang jang,,pantang tunduk" tampil kemuka. Ulama itu adalah seorang pachlawan tanah air dan pcmbela Islam jang tangkas, tapi disamping itu iapun mendjadi diplomat jang ulung serta litjinnja pula. Sudah lama ia berkejakinan bahwa Oemar masih akan dapat dipergunakan
178
Tjoet Nja Din
oleh ,,Partai Perang" meskipun ia telah bersckutu dengan Belanda. Dan asal Oemar suka bcrsekutu kembali dengan kaum pembcrontak (bekas kawan seperdjuangannja), maka tenaga Oemar itu tidak dapat diabaikan. f Oleh karena itu Ulama Koetakarang berusahalah menarik Oemar mendjadi kawan pembcrontak. Kesulitan-kcsilutan jang timbul bagi Oemar di Sagi 22 itu, oleh Ulama Koetakarang dapat diatasi dengan djalan menimbulkan ,,Pcrtempuran bajangbajang" antara Oemar dengan „Muslimin". Jang nampak dari luar memang adalah pertempuran-pertempuran sengit jang telah terdjadi antara ,,legioen" Teuku Djohan Pachlawan dengan ,,Muslimin", tapi sebenarnja bcdil setinggar kedua belah pihak hanja diisi dengan mensiu sahadja, sedang pclurunja disimpan untuk peperangan jang lain. Sepandai-pandai membungkus, tetapi sandiwara itu tak dapat menutup segala rahasia jang ada dibclakang lajar. Maka sibuklah surat-surat kabar Belanda ditanah Djawa mempcrkatakan kctjurangan-kctjurangan jang dilakukan oleh Teuku Oemar di Sagi 22. Kata surat-surat Kabar Belanda itu: „Hcndak dikatakan bahwa lasjkar „Muslimin" tidak berharga dimedan peperangan, memang tak dapat. Karena waktu berperang dengan Teuku Neh dan Teuku Lamreng sampai tjukuplah ,,Muslimin" menundjukkan kekuatannja. Sekarang ia berhadapan dengan Teuku Oemar! Dapatkah Teuku Oemar dipertjaja terus? Karena didalam pertempuran-pertempuran sekarang, tentara „Muslimin" mcnghilang, lenjap dari medan peperangan, seolah-olah dihikmat oleh Teuku Oemar!" Demikianlah suara-suara jang timbul disurat-surat kabar Belanda ditanah Djawa, dipclopori oleh surat kabar „De Locomotief". Dan pengaruh-pengaruh suara itu sampai dirasakan pula oleh Atjch, tcrutama di Kotaradja. Didalam kalangan orang Belanda disana makin banjaklah desas-desus jang bcrtanja: ,,Apakah Teuku Oemar masih dapat dipertjaja?" Sementara itu Ulama Koetakarang bckcrdja keras. Kepada ,.Muslimin" dan kepada rakjat, tak djemu-djemunja ia membcri petundjuk dan penerangan, bahwa musuh Islam scdjati bukanlah Teuku Oemar, melainkan kaphe! Teuku Oemar itu, kata Ulama Koetakarang, sebenarnja sedang mendjalankan siasatnja buat membcla Atjch, jaitu pura-pura mendjadi sekutu Belanda. Pada hal ia sedang sibuk menjediakan perangkap dan titian berakuk untuk mendjerumuskan orang Belanda kedalam djurang. Dan sebagainja. Kepada Teuku Oemar didjelaskannjalah bahwa kaphe jang hanja sekian banjaknja, berlama-lama tidak akan kuat melindungi diri Teuku Oemar dari pada amarahnja rakjat, djika rakjat itu telah jakin bahwa ia sungguh-sungguh pengchianat bangsa. Tapi dikalangan ,,Muslimin" dan rakjat pendapat Ulama Koetakarang jang berhubung dengan tindakan-tindakan Teuku Oemar itu, tidak seanteronja diterima baik. Masih banjak anggota lasjkar ,,Muslimin" jang fanatik, jang tidak hendak bcrsekutu dengan Teuku Oemar, jang dipandangnja munafik dan
Sandiwara Oemar
179
murtad, serta pengchianat bangsa. Golongan itu ialah golongan „Pantang tunduk" jang tidak mau „berkompromi" atau berunding-runding. Bagi mereka tak ada perang pura-pura dengan Teuku Oemar. Bcdil setinggar mereka selalu diisi dengan peluru. Maka tiap-tiap peluru „Muslimin" itu meminta kurban dari barisan ,,legioen", naik darahlah lasjkar Oemar, dan mendjadi perang sebenarnjalah perang sandiwara itu. Bcrkali-kali Ulama Koetakarang membuka rapat raksasa, menjcsali bcntjana itu. Dengan djalan jang demikian, maka kedudukan Oemar mendjadi ditjurigai oleh Belanda, ditjurigai oleh „Muslimin" dan ditjurigai oleh rakjat! Sandiwara bermain terus, sampai Tuhan menurunkan takdir, jang mengubah suasana seluruhnja. Ulama Koetakarang wafatlah, lalu djabatannja sebagai Pemimpin Sabilullah berpindah kctangan Ulama Tanali Ab'ee. Pemimpin baharu itu bukanlah seorang diplomat, melainkan pradjurit peperangan, jang jakin bahwa aman dan damai itu hanja dapat ditjapai dengan kekuatan sendjata sahadja. Tambahan pula ia seorang Islam jang fanatik dan termasuk golongan ,,Pantang tunduk" jang tak mau membuang-buang waktu dengan djalan berunding-runding. Pada anggapannja Teuku Oemar memang munafik, dan itu lebih berbahaja dari pada kaphe, jang tegak dimuka orang Islam sebagai musuh jang berterang-terang. Tapi Teuku Oemar dipandangnja sebagai musuh didalam selimut, jang hanja hendak mentjahari keuntungan untuk diri sendiri sahadja. Maka pendapat dan kcjakinan 77/ama Tanali Ab'ee itu tidaklah disimpannja didalam hati sahadja, melainkan ditebar-tebarkannja ditanah Atjch. Didalam rapat-rapat rakjat berkatalah ia: ,,Hai sekalian Muslimin! Insjaflah! Musuh kita adalah kaphe! Tapi Teuku Oemar jang murtad itu, lebih djahat dari pada kaphe! Karena ia pengchianat pula dan pandai menipu, bcrminjak air! Bunuhlah orang itu! Bunuh! Paala bagi sipembunuh Teuku Oemar sama besarnja dengan paala jang diperolehnja djika ia membunuh kaphe! Perdjuangan kita sangatlah dipcrsukar oleh pengchianat jang murtad dan munafik itu! Bunuh! Bunuhlah dia!" Demikianlah suasana, ketika bintang Oemar telah muram dan akan gelap sama sekali. Maka timbullah gerakan-gerakan dari beberapa pihak, buat melindungi „Anak Muda Panggung" dari keruntuhan, sebelum lajar sandiwara diturunkan. Pada awalnja tjahaja udara memang sangat keruh disckitar diri Teuku Oemar. Keadaan seluruh tanah Atjeh adalah sangat gentingnja. Disatu pihak tentara Belanda jang ada didalam pagar Linie dan menambah-nambah gerakan patrolinja keluar. Dilain pihak Ulama Tanah Ab'ee, jang tidak pula hendak tinggal diam. Semangat Perang Sabil telah dapat dikobar-kobarkannja kembali dengan segala hebatnja. Banjak pula lasjkar rakjat jang Sahid, tidak kurang Angkatan Belanda jang gugur. Sementara itu 6 Moekim tinggal diam serta aman. Tak usah heran, karena Tjoet Nja Din, jang memegang pandji peperangan disana, masih ada harapan buat mengembalikan Oemar kebarisan jang aseli, jaitu barisan ,,Pantang tunduk".
180
Tjoet Nja Din
Sekiranja 6 Moekim turut beraksi dari sekarang, menjertai pemberontakan, sebelum Oemar mendapat kedudukan jang tertentu didalam barisan rakjat, mungkin pemberontakan 6 Moekim itu tidak akan berlaku setjara jang dimaksud. Oleh karena itu Din tinggal bcrdiam diri dahulu, sementara mempcrkuat benteng suaminja, jang akan menghadapkan dcdilnja kearah kaphe. Dengan djalan demikian, Oemar tinggal tcrdjepit diantara kedua golongan pedjuang jang sedang berhadap-hadapan. Kesulitan bagi Oemar memuntjak, setelah Kotaradja mengambil keputusan buat menggempur Lamkrah setjara besar-besaran, dibawah komando Lctnan Kolonel van Vliet. Sebagai kita ketahui Lamkrah jang tcrlctak di 7 Moekim, daerah Teuku Bait, adalah suatu daerah pcrpusatan Islam jang teguh pada pendiriannja „Pantang tunduk". Sebagian besar dari lasjkar Muslimin" jang dikedjar-kedjar oleh Oemar dari 6 Moekim dan 9 Moekim, telah bcrpusat pula kesana. Demi Kotaradja mengambil keputusan hendak menggempur Lamkrah itu, sudah tentu Gubernur mcmcrlukan pula membawa ,,Sekutu kita" bcrmusjawarat, meskipun nama Oemar telah rusak dikalangan orang Belanda. Maka insjaflah Oemar, bahwa dipersimpangan djalannja jang baharu itu, tak dapatlah ia bersilat-silat lagi. Melainkan haruslah ia memilih antara: dengan Belanda atau dengan Rakjat! Djalan tcngah sudah tak ada lagi baginja. Djikaia telah bertempur bahu membahu dengan kumandan tentara Belanda itu, tidak adalah lagi kemungkinan baginja buat melakukan perang pura-pura. Tapi scbaliknja, djika ia berterang-terang dan dengan scsungguhnja bertempur dengan daerah-daerah pcrpusatan Islam jang teguh dan gagah berani itu, maka perbuatannja itu berarti menentang Ulama Tanah Ab'ee, jang ada pada putjuk pimpinan Perang Sabil. Bcrarti bertentangan pula dengan Din! Dan berarti bahwa ia dengan resmi dan berterang-terang mendjadi sckutu dengan tentara Belanda! Segala sesuatunja itu telah membimbangkan hati Oemar. Maka disadarinjalah untungnja. Didalam tiga tahun bersandiwara itu insjahlah Oemar, bahwa pada achirnja ia tidak dapat menggantungkan naslibnja kepada orang Belanda, buat mentjapai putjuk dari tjita-tjitanja. Untuk pengangkatannja mendjadi Sultan sahadja umpamanja. Itu sudah terang tidak mendjadi pertimbangan bagi orang Belanda. Mata Oemar mulai tcrbuka. Apakah sebenar-benarnja jang dapat diharapnja dari Pemerintah Belanda?. . . Pada awalnja memang serba baik, serba mulia. Pangkat, gelaran kehormatan, kemewahan, segala sesuatu diberikan kepadanja dengan tangan terbuka. Tapi sesudah itu? Apakah buah dari pada segala kemewahan itu? Hidup tcrumbangambing dalam melakukan segala jang dikehendaki oleh orang Belanda, antara jang mungkin dengan jang tidak mungkin dilakukan. Baru ada satu-satunja gandjaran Pemerintah Belanda jang diberikan kepadanja jang berarti. Teuku Djohan Pachlawan telah diangkat mendjadi Oeloebalang daerah pendjadjahan Lepong. Dan pangkat Oeloebalang itu ditetapkan turun
Sandiuiara Oemar
181
menurun. Tapi apakah artinja mendjadi Oeloebalang jang bukan pengangkatan Sultan itu? Akan sclama-lamanjakah orang Belanda berkuasa ditanah Atjeh? Dan apakah pula keuntungannja jang akan diperolehnja sesudah itu? Tjuriga!. . . Tjuriga dari segala pihak! Bukan sahadja dari pihak bangsanja sendiri, dari pihak sahabat-sahabatnja, sampai kepada rckan-rekan seluruhnja, tapi djuga dari pihak orang Belanda! Memang scsungguhnja, Gubernur dan sebahagian kctjil dari orang-orang Belanda jang biasa bergaul dengan dia dan kcnal baik kepadanja, mereka itu adalah pertjaja kepadanja. Tidak mustahil mereka akan membalas djasa kepada Teuku Djohan Pachlawan dikemudian harinja. Tapi bagaimanakah halnja dengan kebanjakan orang Belanda? Diseluruh Kotaradja ketjurigaan hati orang Belanda sudah tidak dibungkus-bungkus lagi. Bukan sahadja di Kotaradja, tapi di Djakarta dan di Bogorpun ketjurigaan hati orang Belanda itu telah tjukup dilahirkan orang. Oemar selalu menerima surat-surat kabar Belanda jang tcrbit ditanah Djawa, dengan perantaraan Pulau Pinang. Sekalian berita-berita Atjeh disuruh terdjemahkannja, djadi tahulah ia apa jang telah dikatakan orang Belanda atas dirinja. Rata-rata surat kabar itu mcnjatakan ketjurigaan hati mereka dengan djalan mengedjek dan menghina. Edjekan dan hinaan orang itu masih dilahirkan orang, meskipun Oemar telah damai, sudah tunduk, meskipun kcamanan telah terdjamin di Sagi 25, meskipun 6 Moekim jang sangat menentang kepada orang Belanda, tinggal aman, dan membiarkan ,,kumpcuni" lalu lintas didacrahnja, berkat kctcguhan hati Din, jang mengandung tekad hendak mencruskan permainan sandiwara dengan suaminja. Tiap-tiap kaphe lalu dikampungnja, Din hanja membuang muka, sambil meludah dan berkata: ,,Tjis!" Dan tidakkah surat-surat kabar Belanda jang mengedjek itu memikirkan banjaknja benteng-benteng ,,Muslimin" jang telah dirampas oleh Oemar untuk ,.Kumpcuni" didalam pcrtempuran-pertempurannja menjabung njawa? Oemar suka pula mengaku kesclahannja. Memang scsungguhnja kadangkadang ia sudah melakukan perang ,,pura-pura" dengan ,,Muslimin", karena ia harus bertenggang antara Kotaradja dengan Lampisang (Din), sedang segala gerak-geriknja tidak lepas dari pandangan mata-mata Din jang sckian banjaknja itu. Tapi bcrapa kalikah ia pura-pura berperang itu? Adakah itu setimbang dengan pertempuran jang sungguh-sungguh, mempcrtaruhkan njawa dengan njawa, untuk keuntungan ..kumpeuni"? Tahulah Oemar, bahwa bagi orang Belanda hudjan setahun dapat dihapuskan oleh panas sehari! Tanda berterima kasih jang sebenarnja memang sangat djauh pada orang Belanda! Dan apa pula paedahnja, segala pemberian-pemberian orang Belanda itu, djika mereka tidak hendak menghilang-hilangkan ketjurigaan hatinja? Dan mereka terus mencrus menjatakan ketjurigaan itu dengan sindiran pada tiaptiap waktu, jang umpama mendengung ditelinganja: ,,Tahukah engkau, scmasa engkau masih bernama Teuku Oemar, betapa chianatnja cngkau tcrhadap kami?
i8z
Tjoet Nja Din
Tjara bagaimana engkau telah mcnjamun dan mentjulik orang-orang Belanda jang tidak berdaja dikapal Hok Canton? Tjara bagaimana engkau telah menindas penanam-penanam lada dipantai Barat, sehingga kami terpaksa menutup pelabuhan-pelabuhan, buat memaksa engkau berlutut?. . . Tundjukkan bukti lebih dahulu! . . . iukti lebih dahulu!" Pernjataan-pernjataan dan perkataan-perkataan serupa itu hampir setiap hari seumpama didengarnja, tcrbajang dimuka orang Belanda, dan dituangkannja kedalam segala rupa sindiran. Njata sekali bahwa orang Belanda tidak akan melupa-lupakan seumur hidupnja, bila orang telah berdosa kepadanja. Tahulah Oemar, bahwa dimata orang Belanda ia akan tetap Teuku Oemar. Pemberian nama Djohan Pachlawan hanjalah tipu muslihat Gubernur, jang hendak mengubah hatinja supaja ai sungguh-sungguh tunduk, dari mulut sampai kchati, lalu memakainja sebagai perkakas! Dalam mengenang-ngenangkan kata ,.tunduk" itu rasa tersemburlah darah didalam dadanja. Bahwa sesungguhnjalah ia seorang jang sudah tunduk! Dimata orang Belanda ia tetap orang jang tunduk! Dimata bangsanja ia adalah seorang pengchianat bangsa. Berlainan pula halnja dengan Nell, jang datang minta damai dengan orang Belanda, lalu menjediakan diri buat membantu mereka. Dimata Belanda Nelj itu adalah seorang sekutu jang scdjati. Lebih mulia kedudukannja dari pada orang tunduk, jang harus melakukan sesuatunja atas perintah orang Belanda. Sebagian besar dari pada bangsanja sendiri telah mencrtawakan dan mentjemoohkannja. Sebagian lagi sedang berscdia-sedia hendak membunuhnja. Pada hal segala sesuatunja itu tidak akan terdjadi, sekiranja pemerintah Belanda sungguh-sungguh ichlas memberi kedudukan jang tinggi kepadanja, sehingga mata seluruh Atjch silau djika berpandangan dengan dia. Didalam mcngalami kebingungan hati jang serupa itu, pergilah Oemar kepada Gubernur, kepada Asisten Residen, kepada Kontroleur, lalu bertanja berterangterang: ,,Pertjajakah orang Belanda kepada saja?" „Mengapa tidak?" sahut mereka itu, dengan senjum berduri. ,,Orang memang pertjaja kepada Teuku Djohan Pachhwan!" Tapi. . . Oemar tahu isi surat-surat kabar Belanda, jang datang dari tanah Djawa. Dan kata-kata surat kabar itu sangat bertentangan dengan pendapat ketiga pembesar di Kotaradja. Jang menjakitkan hati Oemar dikatakannjalah kepada ketiga pembesar itu. Jaitu laku orang Djakarta melahirkan kctjurigaannja. Tidak membungkus, menjindir-njindir lagi, tapi bulat-bulat, kontan-kontan, tjara lakunja orang jang mcnjatakan ketjurigaan hatinja kepada budaknja! Kepada orang sebawahnja! Menghina, mentjemoohkan! Tidak segan-scgan hendak melukai hatinja! Sultan Atjeh banjak pula menaruh tjuriga kepada orang-orang Belanda atau kepala-kepala jang keluar masuk istananja. Tapi pada galibnja Sultan tinggal sopan, mulutnja tinggal manis, hati tamu jang memang ditjurigainja, tidak hendak dilukainja, tidak hendak disinggungnja,
Sandiieara Oemar
183
apalagi disakitinja! Itulah adat orang Atjch! kata Oemar dengan suara agak mengupat. Ketiga pembesar itu mendengarkan uraian Oemar dengan tersenjum-senjum, jang tak dapat diselami artinja. Sepatah kata tidak keluar dari mulut mereka. Achirnja kctiga-tiganja mengangkat bahu . . . Lalu bertanjalah Gubernur, seolah-olah hendak memutuskan pcmbitjaraan: ,,Adakah lagi jang tcrasa dihati Teuku Djohan Pachlawan?" ,,Memang!", sahut Oemar.,,Saja melihat tiap-tiap Teuku Meh melalui pengawalan tentara Belanda ditempat pendjagaannja, pengawal itu sclalu memberi hormat setjara ketentaraan, jaitu dengan tegak lurus sambil mengangkat bedilnja. Sebab didada Teuku Neh ada tergantung Bintang Pachlawan, Militaire Willemsorde! Pada saja tak ada penghormatan jang serupa itu, karena saja tidak dianugerahi Bintang Pachlawan!" Gubernur mengangguk-anggukkan kepala. Dan ketika Oemar meminta terus terang anugerah Bintang itu pula, lengkap dengan segala surat-suratnja, ditanda tangani oleh kedua Radja Belanda, jaitu Koningin Emma dan Koningin Wilhclmina, maka Gubernur menganguk-anggukkan kepala pula, lalu berkata: „Baiklah, kami perkatakan hal itu dengan Bogor dan Betawi!" Akan tetapi ternjata Bogor menolak usul itu, atas nasihat Letnan Djcndral Vetter, Panglima Perang Ketentaraan Belanda jang baharu diangkat, dan mendjadi komisaris pemerintah Belanda di Atjch. Vetter itu memang musuh lama dari Teuku Oemar. Bcrtambah panaslah hati Oemar. Buat Neh, pengchianat bangsa, mereka menjediakan bintang itu, tapi buat Teuku Djohan Pachlawan jang telah berdjasa banjak, dan oleh mereka dinamakan ,,Sekutu kita", mereka menolak memberikan tanda tcrima kasih Keradjaan Belanda jang sctinggi-tingginja itu! Bukan sahadja rasa kemegahan Oemar jang telah tersinggung dengan pcnolakn itu, tapi kedudukannjapun mendjadi gojang. Oemar telah mengetahui bahwa Letnan Djcndral Vetter akan mengadakan pcrubahan baru dalam perkara mcndjalankan kebidjaksaan pemerintahan daerah Atjch. Maka oleh karena Oemar kcnal baik pada musuh lama itu, sedang Vetter sudah menolak pula andjuran Gubernur menganugerahkan Bintang Pachlawan kepadanja, maka dapatlah Oemar mengira-ngira bahwa perubahan baharu itu akan djauh dari pada memuaskan hatinja. Meskipun demikian, ia tidak dapat menolak permintaan Djendral Vetter, jang berkata ingin datang bcrkundjungan keistana Lampisang, sambil hendak bcrkenalan dengan njonja rumah. Meskipun Din sangat berkeberatan kendak bcrtcmu muka dengan kaphi, apalagi berdjabat tangan, tapi didalam keadaan jang serupa itu, sedang ia terpaksa memainkan pcranannja sebagai Scri Panggung didalam Sandiwara, tidak pula ia dapat bcrtangguh. Tapi selama bcrhadapan dengan pembesar Ketentaraan Belanda itu, Din tinggal angkuh memeras bibir. Hanja sekali-sckali bibir itu mengeridut mempcrlihatkan senjum jang sukar sekali diselami artinja. Letnan Djenral sendiri
184
Tjoet Nja Din
tahulah, bahwa ia sedang bcrhadapan dengan seorang musuh, jang djauh lebih berat timbangannja dari pada Teuku Oemar sendiri. Hanja sekali sahadja air muka Din berubah, karena darah berasa naik kekepala. Jaitu ketika Vetter, sambil duduk diatas korsi gojang dan mengeluarkan sebatang scrutu dari stopelcs jang ditawarkan kepadanja, berkata agak mengedjek kepada Oemar: ,,Ah ja! Tentu Teuku belum lupa pada kami. Bukankah kita telah pernah mengadu tenaga, semasa Teuku masih bernama Teuku Oemar?" . . . Sepulangnja tamu Agung itu, lalu berkatalah Din kepada suaminja: „Aku heran, Oemar! Heran melihat besarnja kepertjajaan jang diberikan oleh ..kumpeuni" kepadamu! . . . Dan aku ingin mengctahui, bilakah mereka akan hendak berkata kepadamu seolah-olah kepada budjangnja: „Engkau telah diperhentikan!" Dan kepada siapa lagi engkau hendak bergantung?" Perkataan itu tidak disahut oleh Oemar. Hanja pikirannja mendjalar kepada segala sesuatu jang dibimbangkannja. Sekarang keluar pula kata-kata Letnan Djcndral Vetter itu, jang sama menikam djantung Din dan djantungnja sendiri! Dan sementara itu telah turun pula perintah kepada Teuku Djohan Pachlawan buat menjertai tentara Belanda dalam penggempurah Lamkrah! Segala sesuatunja telah memaksa Oemar, buat mcmilih diantara kedua djalan jang bersimpang itu . . . A d a k a h k e u n t u n g a n baginja b u a t mencruskan kerdja sama dengan ,,kumpeuni? Maka pergilah Oemar kerumahnja jang ada di Pakan Bada. Dirumah itu dibawanja menumpang sekalian rekan jang mendjadi pemimpin didalam pcrdjuangannja dahulu melawan orang Belanda. Dirumah itulah Oemar memperkatakan segala siasat, jang selama itu dirahsiakan kepada Din. Oemar berdjalan mundar-mandir diberanda muka, sambil mentjoba-tjoba mendjalankan pikirannja jang sedang tertumbuk. Maka datanglah seorang pesuruh jang hendak mencmuinja. Orang itu ialah suruhan Nja Makam adik bungsu dari Ibrahim Lamgna. Teuku Nja Makam memcsankan kepada Oemar untuk datang kescsuatu rapat rahasia, jang diadakan oleh para pedjuang. Maka berangkatlah Oemar ketempat jang ditentukan itu . . . Sepulangnja dari rapat, Oemar pergilah menemui Gubernur, buat membuka siasatnja dalam perkara penggempuran Lamkrah, karena Gubernur meminta pemandangannja tentang itu. Siasat Oemar itu dibatalkan scluruhnja oleh Djcndral Vetter. Ia membuat siasat lain. Teuku Djohan disuruhnja masuk menjerbu Lamkrah dari Barat, sambil mcnghalaukan ,,Muslimin" arah ketempat pertahanan tentara Belanda . . . Sesudah menerima pelbagai rupa perintah dari Gubernur, kembalilah Oemar kerumahnja di Pakan Bada, lalu meneruskan perdjalanan mundarmandirnja diberanda muka. Sesungguhnja hati Oemar makin panas, karena Vetter telah membatalkan seluruh siasat jang dikemukakannja. Tapi oleh karena sementara itu ia umpama telah menetapkan djalan mana jang hendak ditempuhnja, maka Oemar menjurutkan darahnja, tidak memikirkan lagi tentang penolakan siasatnja itu.
Sandiwara Oemar
185
Maka datang pulalah seorang pesuruh menghampiri anak djandjang. Orang itu ialah pesuruh Din, jang meminta supaja Oemar pulang sebentar ke Lampisang. Lalu berangkatlah ia kerumah isterinja di Lampisang . . . Sebelum mentjeriterakan hal pertemuan Din dengan Oemar, hendak ditindjau dahulu hal ichwal Oeloebalang Neh (Muda). Pada waktu-waktu jang achir ini Neh tidak memegang suatu peranan jang penting didalam Sandiwara Oemar. Ia mentjahari tempatnja diruangan penonton sahadja. Tapi tidak pula ia hendak menantikan sampai lajar diturunkan. Masih dilihatnja Oemar sedang ada diistananja di Lampisang, bersama-sama dengan Din. Rumah itu penuh dengan para Ulama jang bcrapat. Mereka sedang asjik memperkatakan siasat-siasat Perang Sabil. Neh mengambil keputusan buat menonton sandiwara itu dari djauh sahadja. Lalu berangkatlah ia ke Pulau Pinang entah untuk berapa lamanja, tidak di tentukan. Nell telah mengctahui dan mengalami pula, bahwa tentara Belanda dengan senang hati mengangkat djangkar, bila ia berasa tersesak. Djika sampai kepada keadaan jang demikian, akan tinggallah Nell seorang diri ditcngah-tengah musuhnja. Lebih baik ia menghilang siang-siang . . . Bulan Maret dalam tahun 1896. Oemar naik djandjang istananja di Lampisang, memakai pakaian scragamnja bcrwarna biru tua dan bcrsulam benang-benang emas jang berkilau-kilauan. Maka masuklah ia kedalam kamar, jang disediakan chusus untuk isterinja. Kamar jang sebuah itu telah diisi oleh Din dengan segala pcrkakas dan perhiasan, jang lazim kedapatan disekalian rumah di Atjch. Bersandar kepada dinding, adalah diletakkan sebuah perkakas tcnun. Diatas lantai dikembangkan beberapa hclai tikar. Diatas sebuah tempat ketinggian jang bertilam sutcrasutera bcrsulam, disediakan tempat kedukukan untuk suami. Tempat sirih ada pula terletak dilantai, dimuka tempat duduk suami itu. Pada dinding banjak tcrgantung surat-surat jang ditulisi dengan huruf Arab. Sembojan-sembojan, petikan-petikan dari Qur'an, do'a-do'a dan sebagainja, jang tidak pernah kctinggalan ditiap-tiap rumah orang Atjch. Tjahaja matahari jang hendak silam, membawa udara kcgelap-gelapan kedalam kamar. Asap kemenjan menjebarkan harum baunja diseluruh kamar, merawankan hati Oemar jang datang dari luar. Maka berkisarlah fikiran Oemar dengan sekctika kcalam jang sudah, demi ia mengindjak lantai rumah Atjeh itu. Dan makin rawanlah hatinja, ketika ia menudju ketempat jang telah disediakan untuknja itu. Din jeng berhias dan bersolck menantikan kedatangan suaminja itu, menjambutnja dengan ramah tamah dan senjum simpul jang manis, lalu mcmpersilahkannja duduk. Darah Oemar gemparlah sekctika, demi bcrpandangan dengan isterinja jang tjantik molek itu. Meskipun telah agak umur, tapi iapun masih patut masuk golongan perempuan djelita, apalagi djika ia telah berhias dan bersolek setjara jang telah dilakukannja pada hari itu.
186
Tjoet Nja Din
Segala kckcrasan dan ketegangan jang biasa tergambar pada wadjah Din pada waktu-waktu jang achir ini, dalam ia berdjuang mempertahankan pendiriannja, hilanglah pada hari itu, diganti oleh wadjah jang hening dan tenang, jang scnantiasa dihiasi oleh senjum manis. Lemah lembut suaranja dan manis nian budi bahasanja, ketika Din mengutjapkan selamat datang kepada suaminja, dengan perkataan: ,,Semoga Tuhan menurunkan bahagia atas dirimu, Oemar, pada hari cngkau pulang kerumah kita ini! Terima kasih Oemar, atas kemurahan hatimu! Karena engkau telah mcringankan langkah datang kemari atas kehcndakku! Tapi. . . rupanja engkau sedang lelah . . . duduklah! . . . Nanti aku menjuruh hidangkan kopi setjangkir!" ,,Allah bescrtamu, Din! Memang, aku berasa amat lelah. Setjangkir kopi pastilah akan mcngembalikan kekuatan tubuh anggotaku!" Maka duduklah ia, sambil membuka badju angkatannja. Rentjongnja dilctakkan disamping dengan segala chidmatnja. Seorang budak perempuan datanglah membawa tjangkir kopi diatas baki, lalu minumlah Oemar. Sesudah mengapur sirih serta mengunjah-ngunjah, maka bertanjalah ia dengan suara lemah lembut: ,,Adakah jang penting jang hendak engkau tjeritcrakan, Din?" ..Pendek jang hendak kutjeritcrakan, Oemar! Tapi sungguh pendek, berpandjang-pandjang. Rasanja tak usah lagi kita merantang pandjang bitjara kita, karena engkau telah lebih maklum pula!" Setelah bcrdiam scdjurus, Din memandang dengan njata-njata kepada suaminja, lelu berkata pula: ,,Sudah tentu engkau sendiri telah insjaf, bahwa Sandiwara jang telah kita mainkan tiga tahun lamanja berturut-turut, telah sampai kepada achirnja. Seluruh ,,Partai Perang" sekarang telah mengctahuinja, bahwa orang Belanda hendak menjuruhmu buat melakukan suatu pekerdjaan jang tidak dapat dan tidak mungkin kaulakukan! Jaitu penjerbuan Lamkrah, bahu membahu dengan kaphe! Sedunia Muslimin ditanah air kita ini telah berkejakinan penuh, bahwa Teuku Oemar tidak akan suka melakukan pekerdjaan itu. Oleh karena itu seluruh pedjuang Atjeh sekarang sedang menanti-nantikan pulangnja Teuku Oemar kemedan perang jang aseli, kepadang Sabilullah, tjara jang sudah-sudah. Ulama Tanah Ab'ee, Teuku Bait, menantu kita Teungku Majet dari Tiro, Tuanku Hasjim dengan Sultan di Kemala, masing-masing sedang menantikan kedatanganmu! Dan bukan orang-orang jang aku scbutkan itu sahadja jang mengharap-harap tampilnja Teuku Oemar kemedan pertempuran kita bersama, tapi anak kita, jang sedang aku kandung sekarang, tentu menantinatikan kedatangan ajahnja di Padang Sabilullah . . . Ja, Oemar! Baiklah aku mentjeriterakannja sekarang kepada cngkau, bahwa aku, meskipun berkejakinan bahwa waktunja telah mclampau, sedang mengandung pula. Menurut tindjauan para Ulama, anak jang akan Iahir ini ialah laki-laki, jang akan meneruskan pekerdjaan ajahnja guna tanah air dan guna Agama, sekiranja dengan takdir Allah Subhana Wataala pekerdjaan siajah itu mendjadi terbengkaila.
Sandiwara Oemar
187
Oemar! Suamiku! Djanganlah kita berlalai-lalai. Adat perang itu dahulumendahului. Djangan kaphe jang mcndahului mcmbinasakan cngkau atau merintangi pekerdjaan kita, sebelum kita siap buat melakukannja! Tempatmu sekarang hanja dibarisan kita, barisan „Pantang tunduk"! Sekarang datanglah waktu bagi kita untuk mencgakkan kemenangan jang achir!" Oemar mendengarkan uraian isterinja dengan penuh chidmat. Sepatahsepatah dari pada kata-kata Din itu njata diterimanja dengan penuh perhatian. Tak adalah kesan-kesan jang hendak menopang dari pihaknja. Setelah Din berdiam diri, maka berkatalah Oemar: ,,Buat mentjapai kemenangan achir. . . atau menerima kekalahan mutlak! Berarti kehantjuran seluruhnja!" . . . ,,Apa boleh buat; Oemar! Djika Allah Subhana Wataala menakdirkan sampai kesana! Sahidlah kita scmuanja! Tapi anak tjutju kita akan tampil kemuka buat menuntut bela. Tidak mungkin mereka akan membiarkan sahadja kafir menghantjurkan tanah airnja, menumpas nenck mojangnja! Imanlah Oemar! Insja Allah! Tuhan senantiasa beserta kita!" Oemar tinggal berdiam diri. Tidak banjak kata-kata jang keluar dari mulutnja. Tapi fikirannja telah mendjalar, menghadapi siasat baru. Memang telah maklumlah ia bahwa tempatnja kemuka hanjalah didalam barisan pedjuangpedjuang Atjeh. Bukan sahadja para Ulama jang akan menjertainja berperang melawan Belanda, tapi pastilah seluruh Atjeh! Insjaflah ia bahwa dengan djalan demikian, sebagai pemimpin Perang Sabil kedudukannja akan lebih mulia dari pada mendjadi Teuku Djohan Pachlawan, Panglima Perang Besar, jang diperintah membantu tentara Belanda! Djadi telah sepakatlah ia dengan Din dalam perkara memilih djalan pada persimpangan itu . . . Hari Ahad tanggal 29 Marct 1896, pukul setengah empat petang. Sekonjong-konjong terdengarlah bunji tanda bahaja, jang menggemparkan seluruh Kotaradja. Sekalian angkatan perang keluar berhamburan, dengan tergesa-gesa ketempat appel masing-masing. Sandiwara telah berachir! Oemar, bukan ,,Sekutu Kita" atau Teuku Djohan Pachlawan lagi, mclainkan Oemar beserta sekalian anak buahnja telah pindah menggabungkan diri kepada gerombolan pembcrontak! Jang dibawanja lari ialah: 800 putjuk scnapang, 25.000 butir peluru senapang bumon, 500 kilogram mensiu, 5000 kilogram timah dan 18.000 dollar!
KETURUNAN MACHOEDOEN SATI Letnan Djcndcral Vetter, jang berpangkat komisaris pemerintah Belanda di Atjeh, telah mengeluarkan proklamasi, bunjinja: Mcnjatakan perang kepada Teuku Oemar! Bukan kepada Atjeh! Sekedar hendak mcmpcrolok-olokkan musuh lamanja, Oemar memberi penjahutan atas tantangan perang itu, katanja: Sekedar hendak mcmperolok-olokkan musuh lamanja, Oemar memberi penjahutan atas tantangan perang itu, katanja: ,,Baiklah! Tapi sebetulnja kami masih sanggup memadamkan api jang sedang mengantjam dengan segala hebatnja. Buat penutup ongkos tidak banjak jang kami minta: hanjalah 150.000 rupiah tiap-tiap bulan, beserta sebuah bintang, Militairc Willems Orde!" . . . Vetter membcri penjahutannja, berupa: 1. Pentjabutan kepangkatan Oemar sebagai Panglima Perang Besar. 2. Pentjabutan gelar kebesaran „Djohan Pahlawan". 3. Pemberhentian Oemar daripada mendjadi Oeloebalang Lepong. 4. Tuntutan pcngcmbalian sekalian sendjata ,,kumpeuni" dan pelurupelurunja. Sahut Oemar: ,.Sekalian sendjata ,,kumpeuni" itu akan kami djaga baik-baik!" Dihari-hari hendak kembalinja bcrkobar peperangan itu, maka wafatlah Nanta Setia di Lampisang, didalam usia jang landjut, serta buta pula. Djcnazahnja dimakamkan di Lepong, tempat Oemar mendjadi Oeloebalang. Nanta tidak dapat lagi melihat segala parit-parit dan kubu-kubu baru, jang telah diperbuat orang discgala tempat-tempat jang lama, jaitu disebelah Rawa Tjangkoel dan discpandjang sungai Ning, dimuka Lampisang dan disekitar Pakan Bada, Lamhassan dan Adjoen. Tidak pula dialaminja timbul pertempuran sengit sepandjang-pandjang Linie Kedua. Tidak disaksikannja segala tindakan-tindakan orang Belanda tiap-tiap memulai pcrtempurap, jaitu jang berupa rcntetan tembakan-tembakan meriam dari pelabuhan Olch-lch dan hudjan granat dikampung-kampung, disusul oleh kebakaran-kebakaran besar dimana-mana. Nanta tidak melihat lagi segala persiapan jang dilakukan oleh penduduk 6 Moekim buat bertempur dan bertahan, dan sesudah itu buat menghindar. Perkara menghindar itu telah dirantjang-rantjang oleh Oemar. Buat Din segala temasa itu adalah bcrarti ulangan daripada kedjadian-kedjadian jang telah bcrlaku dahulu, dua puluh tahun kebelakang. Oemar berkata kepadanja, djika telah dipcrintahkan, djanganlah ia melalailalaikan bcrangkat keluar kampung, sampai kepada saat penghabisannja, sebagai dahulu dilakukannja di Lampadang. ,,Ini tidak berarti lari!" demikian ia berkata. „Tindakan menghindarkan segala perempuan dan kanak-kanak beserta orang tua-tua buat sementara itu, sengadja aku lakukan buat mendjaga djangan kampung-kampung mendjadi sangat mudah dibinasakan oleh kaph£,'
Keturunan Machoedoen Sati
189
djika pertempuran telah berkobar. Aturan jang telah aku perbuat itu mengcnai seluruh penduduk dari segala kampung, dan engkau beserta anak kita ada takluk pula kebawahnja. Dipegunungan, dekat Blang Kala, telah disediakan asrama-asrama perlindungan. Sekalian penduduk jang tidak turut bertempur, dikumpulkan disana. Dan masing-masing boleh mengangkut harta bendanja beserta ternaknja ke Lepong. Engkau pun harus pula bcrlaku setjara itu, Din! Dengan djalan demikian, maka tugas kami. laki-laki, tidak lain hanjalah tinggal mempertahankan tanah kita dari penjerbuan kaphe. Tak akan ada kanak-kanak atau lembu jang mungkin menghambat-hambat langkah kami!" Gubernur Deykerhoff menerima surat pemberhentian dari djabatannja ,, dengan hormat", disertai oleh utjapan terima kasih dari fihak Pemerintah atas segala djasa-djasanja jang baik." Tentara Belanda turunlah dipelabuhan Kotaradja, untuk menambah angkatan Perang jang telah ada di Atjeh. Dipelabuhan Djakarta van Heutsz naik kckapal, buat bertolak ke Atjeh. Ia didjadikan pemimpin peperangan. Sementara itu Tjoet Nja Din membungkus barang-barangnja, dibantu oleh Tjoet Nja Gambang, anaknja. Dan sekalian penduduk kampung jang tidak hendak turut bertempur, mengumpulkan ternaknja dan mengangkat orang-orang luka dan gugur kedalam usungan. Sekalian harta benda jang dapat dibawa, didjundjung diatas kepala. Berdujun-dujun mereka datang kcrumah Oemar, lalu menantikan dihalaman. Din, beserta anaknja dan sekalian pcngiring dan para pengawalnja, datanglah menggabungkan diri kepada orang banjak itu. Sesudah melalui pintu gerbang ditepi kampung, maka Din buat kedua kalinja melalui pematang-pematang sawah jang ditempuhnja dahulu, ketika ia pulang dari tempat pcngungsian, disongsong oleh seluruh penduduk kampung. Pembatja masih ingat, didalam keadaan apa Din dua puluh tahun kebelakang telah meninggalkan kampung halamannja di Lampadang. Dengan tekad hendak menentang segala musuh, sambil membimbing anak-anaknja pada tangan. Rumah miliknja sendiri, tempat ia dipcrtcmukan sebagai suami isteri dengan Ibrahim, tempat hatinja telah melekat, ditinggalkannjalah pada ketika itu. Tapi sekarang ia sedang turun pula dari rumah kediamannja. Hanja, bukan rumah sendiri, melainkan ,,istana" Teuku Djohan Pahlawan, dipindjamkan oleh orang Belanda. ,,Rumah kaphe", demikianlah Din menamai tempat kediamnnja pada ketika itu. Tempat itu ditinggalkannja dengan selcsai dan hati tenang. Hati itu hanja tcrharu ketika ia melihat bahwa kampung Adjocn telah mendjadi lautan api, bahwa penduduk kampung dan segala tcrnak telah tjampuh dan bcrlari-larian kian kemari; bahwa kaplie telah bcrkemah di Lamhassan; bahwa tentara Belanda sedang bertahan mati-matian daripada penjerangan-penjerangan jang dilakukan oleh lasjkar Atjeh dari Linie Kedua; bahwa sekalian wanita orang Belanda lari dengan ketakutan beserta anak-anaknja kckapal-kapal perang jang ada dipelabuhan. Din mclangkah, dengan kcjakinan penuh, bahwa kemenangan akan ada difihak orang Atjeh . . .
190
Tjoet Nja Din
Apakah rupanja sendjata jang dahulu dipergunakan oleh Ibrahim buat melawan kaphe? Bedil-bedil sitinggar dari Pulau Pinang, dengan peluru timah jang dituang sendiri, dan kelewang! Dan adakah Ibrahim mengctahui rahasiarahasia siasatnja kaphe berperang? Tapi Oemar?. . . Oemar ada mempunjai beratus-ratus putjuk senapan baru, jang sama rupanja, sama kuatnja dengan senapan ,,kumpeuni". Dan ia menaruh berpuluh ribu peluru untuk senapan-senapan itu! Oemar telah hidup bergaul dengan kaphe bcrtahun-tahun lamanja. Rahasia-rahasia mereka berperang ada diketahuinja. Dan ia mengctahui pula tjara apa mereka itu berfikir. Kcpandaian, ketjerdikan kelitjinan, keberanian, serta pengetjutnja mereka sudah bukan rahasia lagi bagi Oemar. Dan sebahagian daripada anak buah Oemar adalah memakai pakaian ketentaraan Belanda. Oemar telah menjuruh memperbuatnja oleh sebuah toko Eropah jang ada di Kotaradja. Dengan pakaian jang menjerupai ,,kumpcuni" itu, mereka nanti akan mentjampurkan diri kedalam barisan tentara Belanda, lalu dapat menimbulkan katjau. Dan setiap hari, selagi ,,kumpcuni" bersiap-siap hendak perang, lasjkar Oemar berangsur-angsur mendjadi kuat. Berturut-turut datanglah kawankawan baru menggabungkan diri kepada lasjkar Oemar, meskipun dahulu mereka mentjurigainja dan tak ada ingatan hendak menjertai peperangan. Diantara kawan-kawan jang datang menggabungkan diri adalah: Nja Makam dari Lamgna, Hoessin Longbata, Imam Longbata jang telah tua, Kepala Lamtengah, Kepala Mon Tassik, Kepala Lamkrah, dan Teuku Rajoet, adik Din jang dikatakan pandir, saudara-saudara Oemar dengan angkatan perangnja masing-masing dari pantai Barat. Djuga di 7 Moekim rakjat menjiapkan sendjata, sedang dipegunungan penduduk telah tjampuh pula. Kebanjakan meninggalkan rumah dan sawah ladangnja, lalu membuat tempat-tempat perlindungan dirimba-rimba dekat Sela Glitaroen. 4 Moekim datang menggabungkan diri kepada Oemar. Banjak orang Pedie jang berangkat kc Atjeh Besar. Sedangkan Mat Amin telah mendjadi kawan pula. Para Ulama di Tiro, dibawah pimpinan Teungku Majet, menantu Din, sibuk menggembor-gemborkan semangat rakjat buat turun kepadang Sabilullah. Dari Sultan jang bcrsemajam di Kemala, datanglah amanat, mcnjatakan setudjunja Sultan akan gerakan Perang Sabil itu. Neh telah lari keseberang laut! Scsungguhnja! Pemberontakan jang terbesar didalam sedjarah Perang Sabil, jang hendak melepaskan umat Islam dari tjengkeraman kafir, sedang dipcrsiapkan! Didalam kcjakinan itu, Din meninggalkan Lampisang, melalui Ngalau Beradin, mengindjak djalan raja buatan ,,kumpcuni", menudju kepegunungan Lepong, tempat Oemar dahulu mendjadi Oeloebalang. Sepeninggal Din itu, peperangan sengit telah bcrkobar-kobar. Van Heutz, jang memimpin pertempuran-pertempuran, telah memukul 6 Moekim dengan sckcras-kerasnja, djauh lebih keras daripada pukulan jang dahulu, jang telah diberikan oleh Djcndcral Pel.
Keturunan Machoedoen Sati
191
Maka terdjadi pulalah di 6 Moekim setjara jang telah dialaminja dahulu. Tapi siasat nan Heutsz agak bcrlain dari dahulu. Datangnja tentara Belanda pada pagi-pagi buta ialah dari batas 6 Moekim dengan 9 Moekim, jang ada disebelah Timur. Dan seiring dengan penjerbuan di Timur itu, masuk menjerang pulalah tentara Belanda dari Utara, disertai oleh tembakan-tembakan meriam dari tempat pertahanan Belanda di Lamdjamoe. Sekalian rentetan penjerbuanpenjerbuan diseluruh daerah, tidaklah dilakukan berturut-turut, melainkan diseranglah dengan sercntak: Kampung Adjocn, Lambassan, Pakan Bada, Tjot Tjako, dekat Lampisang. Maka bertahanlah Adjocn dan Lamhassan, sampai keduanja diratakan dengan tanah oleh api. Di Pakan Bada rumah tempat kediaman Oemar dengan rekan-rekannja, telah mendjadi abu pula. „Istana Djohan Pachlawan" di Lampisang didjadikan saringan oleh peluru-peluru tentara Belanda. Penghantjuran dan pembasmian sekarang, lebih tjepat pula berlakunja dari pada dahulu. Tanggal 23 dan 24 Mei 1896 timbullah pertempuran di Lampisang, tempat markas besar Oemar. Adjoen, Lamhassan, Pakan Bada, Lamtengah jang dipantai, telah djatuh semua. Bukit Tjot Tjako telah ada ditangan ,,kumpeuni". Meriam-meriam Djendral Van Heutsz sampai beberapa putjuk, dipasang dipuntjaknja jang rata itu. Lampisang, jang tidak berkeputusan dihudjani dengan granat-granat, telah ditinggalkan oleh penduduk dan pedjuang-pedjuang jang mempcrtahakannja. Oemar beserta Nja Makam Lamgna telah memindahkan lasjkarnja kerimbarimba jang ada dilereng Gunung Paran. Ada pula jang disuruh mentjahari tempat bcrlindung dibelakang batu-batu karang jang banjak kedapatan ditempat itu. Maka mendesing dan mengguruhlah djalan segala peluru meriam dan scnapan, melintasi Ngalau Beradin, memctjah dinding-dinding batu karang, sambil menggema diseluruh pcgunungan. Dengan panatik pedjuang Atjeh mempertahankan tanah dan kedudukannja. Tapi meskipun demikian, segala perlawanan mereka tinggal mendjadi sia-sia. Karena Oemar memang mempunjai senapan tjukup dengan pclurunja, tapi meriam-meriam atileri tak ada padanja. Maka pagi-pagi tanggal 24 Mei itu, turunlah tentara Belanda dari puntjak bukit Tjot Tjako, lalu menundju ke Lampisang. Pukul 10.35 barisan infantcri angkatan perang Belanda masuklah kedalam lingkungan pagar Gedung Pemerintah di Lampisang, „islana Teuku Djohan Pachlawan" jang dibangunkan tepat menurut tjontoh Gedung Pemerintah Belanda jang ada di Kotaradja. Dipuntjak atap pondok pengawal, jang didirikan dipintu gerbang masuk halaman, adalah berkibar bendera perang tentara Atjch. Bendera itu scgera diturunkan oleh orang Belanda, sambil memperdengarkan lagu kebangsaannja, jang membcri alamat bahwa kemenanganadadipihakmercka. Maka berdujun-dujunlah masuk kedalam halaman itu sekalian anggota angkatan perang Belanda: Barisan berkuda, barisan meriam, infantcri, barisan
192
Tjoet Nja Din
tentara Hindia Belanda jang tcrdiri dari seribu orang Belanda, Djawa, Ambon, Djerman, Austria, Swedia, Denmark , . . Bersama-sama mereka adalah menjertai pula kuda-kuda jang menarik meriam, pegawai-pegawai dapur, dan sebagainja. Bermatjam-matjamlah machluk jang nampak dihalaman bekas istana Djohan Pachkwan itu. Sekalian serdadu berdesak-desak memasuki rumah dan segala ruangan jang ada didalamnja, sampai kepada tempat peraduan, kamar-kamar gudang, dapur, kakus dan sebagainja. Perampasan harta benda musuh jang telah dikalahkan, memang tidak sahadja digalibkan, bahkan bagi serdadu adalah ia dipandang mendjadi suatu hak jang ditetapkan didalam undangundang jang tidak tcrtulis. Sekalian barang-barang isi rumah jang tidak hendak dibawa, dihantjurkannjalah ditempat itu. Mula-mula mereka heran dan tertjengang-tjengang melihat segala barangbarang mewah, perkakas rumah jang mahal-mahal itu, beserta segala perhiasan jang belum pernah dilihat-lihat oleh mereka, apa lagi dimiliki seumur hidupnja. Maka dari heran, laku mereka bcrubah mendjadi mentjemooh, dan achirnja mendjadi gemas, seolah-olah fiil orang jang hendak melepaskan sakit hati. Mana jang mudah dibawa atau disembunjikan kedalam kantung, dimiliki. Tempat-tempat sirih, tikar-tikar kctjil, kcpala-kepala bantal jang berukir emas, rentjong, sebuah Qur'an lama jang tidak ternilai-nilai harganja, segala sesuatunja berpindah ketangan ,,orang jang menang". Tapi jang besar-besar, umpamanja kursi gojang, medja-medja batu pualam, tjermin-tjermin besar, lemarilemari, tempat kctiduran, segala barang-barang buatan Eropah itu, dihantjurkan dengan siku senapang atau dengan kclcwang. Lemari-lemari dipetjahkan kuntjinja, dikosongkan isinja. Peti-pcti dibongkar pula, dan dirampas segala jang ada didalamnja. Dan didalam merampok dan membinasakan itu, hiruk pikuklah sorak mereka menandakan suka tjitanja telah memuntjak. Seorang serdadu datang mendjindjing scekor ajam pada tangannja. Nampak pula kawannja jang lain, asjik menuntun-nuntun seekor kambing, jang bertangguh hendak madju. Dan ada pula nampak jang mengedjar-ngedjar seekor bebek Manilla, jang belum ada maksud hendak tunduk menjerah. Maka sekalian barang-barang rampasan jang dapat diangkat, dipindahkannja ke Tangsi Lamdjamoe, jang ada digaris Linie. Pada hal tempat itu tidak mengalami peperangan lagi dua puluh tahun lamanja bcrturut-turut. Scmendjak itu Oemar mempertahankan diri dilcreng Gunung Paran. Tapi setelah bertempur dua hari lamanja, baharulah tentara Belanda dapat menghalaunja keluar Ngalau Beradin. Sekalian kampung-kampung disana, telah mendjadi lautan api. Asap tebal bergumpal-gumpal melalui lereng-lereng bukit jang bcrhampiran. Tak ada sesuatunja jang dibiarkan atau dipcrlindungi. Jang mendjadi tempat kediaman atau milik orang Atjeh, ditatakan seluruhnja dengan tanah. Tanggal 28 Mei 1896, kembalilah tentara Belanda ke Lampisang dari operasinja di Ngalau Beradin.
Keturunan Machoedoen Sati
193
Tepat pukul 12 tengah hari, dimulailah membinasakan Gedung pemerintah, jang dahulu diuntukkan buat Teuku Djohan Pachlawan, guna rumah kediamannja. Pada lantai-lantai betonnja dikuburkan dahulu beberapa buah dinamit, lalu dipasang. Gemuruhlah suara sekalian alat pclcdak itu, dan tcrdcngarlah ia sampai kemana-mana. Dan scketika djuga betcrbanganlah bahagian-bahagian bangunan itu keudara, lalu menebar keseluruh tempat. Sesudah itu sekalian bahagian jang masih tegak, disiramlah dengan minjak tanah, lalu dibakar. Didalam sckedjap mata, jang tinggal pada istana itu hanjalah pagar besinja sahadja, mclingkungi runtuhan-runtuhan jang telah mendjadi abu. Pukul 4 petang hari, baharulah tentara Belanda kembali ketangsinja masingmasing, sambil meningalkan kampung-kampung orang Atjeh, jang telah rata dengan tanah. Sekalian penduduk dari Ngalau Beradin, dari Lamruku, Sabocn dan . . . jang Iain-lain telah kehilangan tempat kediamannja. Pada malamnja masih nampak tjahaja-tjahaja api diantero tempat, menandakan bahwa politik ,,bumi hangus" jang didjalankan oleh orang Belanda, belum sempurna dilaksanakannja . . . Tapi empat belas hari sedudah itu, kcmbalilah Oemar kckampung Lampisang jang telah dikosongkan oleh penduduknja. Dan 500 meter djauhnja dari sana, jaitu di Lamdjamoe, anak-anak buahnja telah mempcrhebat perdjuangan pula. Tiga tahun lamanja Teuku Oemar dapat bertempur dengan Djcndral Van Heutsz. Oemar telah kehilangan segala-galanja, jang berhubung dengan keduniaan dan hidup mewah didjaman jang lampau. Tapi pcrdjuangannja sekarang telah tcrbangun diatas dasar jang murni. Djika ia dahulu bertempur dan pura-pura bertempur sambil mendjalankan tipu muslihat, pengchianatan dan berminjak air, untuk mentjari keuntungan bagi dirinja sendiri, dan untuk mentjari kedudukan jang tinggi, maka sekarang ia telah berdjuang sebagai pachlawan tanah air, jang sedang membcla kemerdckaan untuk tanah air dan untuk bangsa Atjch. Tak usah lagi ia berdusta atau berlaku pura-pura kepada Din, isterinja jang sungguh-sungguh ditjintainja dengan pcrtjintaan jang semurni-murninja. Didalam tahun jang tiga itu adalah Din menjertainja, disegala tempat dan pada tiap-tiap waktu. Dengan setia ia menurutkan Oemar didalam kchidupannja jang sengsara, dan berkesukaran sepandjang masa. Antara kedua suami isteri tak pernah lagi keluar kata-kata jang tadjam, jang patut menjakitkan hati. Sedangkan air muka keruh tak pernah lagi kclihatan pada wadjah kedua. Din menjerahkan nasibnja ketangan Oemar, dan Oemar memperturutkan segala kehendak dan pendapat isterinja. Hal mengandungnja Din njata tidak sampai kedjadian setjara jang diharapharapnja. Setelah Oemar kembali kesampingnja, sebagai seorang suami jang tadinja scsat didjalan, maka segala tanda-tanda hamil dahulu pada Din, hilanglah sama sekali. Rupanja tanda-tanda mengandung itu hanjalah terdjadi bcrhubung dengan pcrsabungan-persabungan hebat jang terkandung dalam hati Din, selama Oemar terscsat itu. Tapi berachir-achirsenang djualah hatinja, karena ia tak djadi mengandung itu. Din sangat membutuhkan tenaga jang sepenuh-penuhnja buat hari-hari dimuka.
194
Tjoet Nja Din
Setelah ia dapat membawa Oemar kcdjalan jang dikehendakinja itu, maka tetaplah tekadnja hendak menjertai sisuami itu didalam pcrdjuangannja discgala sasaran, siangdanmalam.Setapakia tidak hendakmentjeraikannja, pada lahir dan padabathin. Alangkah tcrhambat djalannja guna itu, djika ia sungguh-sungguh mengandung, dan achirnja menjusui anaknja pula! Mula-mula Din tinggal di Lepong. Oemar-pun telah menghindar kesana, setelah ia dikalahkan di Lampisang. Din hidup di Lepong setjara ia telah hidup dahulu di Mon Tassik: Membuang diri, teguh pada pendirian ,,berpantang tunduk". Oemar meneruskan pcrdjuangannja di Lepong. Antara sebentar ia masuk menjerbu kc 6 Moekim dan 4 Moekim. Disana ia kadang-kadang dapat bertahan lama, sampai terpaksa pula menghindar, lalu kembali ke Lepong. Tapi meskipun pertempuran-pertempuran itu tidak dapat dilakukannja berlama-lama, sedang kemenangan jang berarti belum pernah diperolehnja, akan tetapi Oemar telah teraku oleh umum mendjadi seorang pachlawan bangsa dan tanah air, jang sedang mempertaruhkan njawa didalam memperdjuangkan kemcrdekaan bangsa Atjeh. Sekalian- pcmimpin-pemimpin perdjuangan insjaflah, bahwa Oemar telah scpatutnja disertai dan ditundjang, djik tjita-tjita Perang Sabil hendak ditjapai. Maka semufakatlah semua buat menjusun pula gerakan besar-besaran, jang kuat bcrhadapan dengan Djcndral kaphe jang baru itu, Van Heutsz, jang sangat ditakuti. Rombongan lasjkar ,,Muslimin" jang baru dibentuk, ditetapkan turun dari Pedie, dibawah pimpinan 7mam Longbata jang sudah sangat tua, Bait, Polim, Ulama-Ulama dari Tiro, Sultan Daud dan Tuanku Hasjim. Sebab ia dipanggil ke Pedie', buat dibawa bcrmusjawarat tentang gerakan penjerangan jang sedang disusun itu, maka berangkatlah Oemar beserta Din dan sekalian rekan dan pengiring-pengiring isterinja dari Lepong kc Pedie. Djalan jang ditempuh tidaklah djalan jang scdekat-dekatnja, jaitu melalui Lembah Atjch. Dilcmbah Atjeh itu Djcndral Van Heutsz bcrkuasa besar, karena disanalah ia memusatkan angkatan perangnja. Oleh karena itu tcrpaksalah Oemar mentjahari djalan jang berkeliling dari Barat ke Timur, dengan djalan jang ditudjukan arah ke Selatan dahulu. Dengan hal jang demikian Oemar beserta sekalian rombongannja terpaksa menempuh rimba-rimba dan semak belukar dipegunungan, jang amat memberatkan perdjalanan. Tapi tjita-tjita hendak sampai ke Pedie dengan tjepat, agar dapat bcrkumpul disana dengan sekalian kawan-kawan, tetaplah ada pada mereka. Perdjalanan itu kadang-kadang menaiki bukit, menurun lurah, adakalanja sampai terpaksa mentjari djalan setapak dihutan-hutan raja dan menjebcrangi sungai-sungai dalam, jang dcras alirannja. Didalam perdjalanan itupun Din dengan sekalian perempuan pengiring-pengiringnja adalah menjertai suaminja dengan tekad hendak sampai kc Pedie. Berpekan-pckan lamanja perdjalanan jang sedjauh itu dilakukan, dengan menderita kesengsaraan dan kesukaran sepandjang djalan. Tidur mereka paling mudjur adalah hanja dalam dangau-dangau jang terdapat dirimba dan diladang
Keturunan Machoedoen Sati
'95
atau dibawah dangau-dangau jang diperbuat pada ketika itu. Berangin-angin, kehudjanan, dan kedinginan, itulah nasib mereka dari malam kemalam. Disamping itu kekurangan makanan pula. Sekeliling-keliling mereka hanjalah terbentang rimba raja bclaka, jang selalu mengantjam dan menimbulkan segala kcsukaran. Alangkah djauhnja kampung dan halaman, jang dapat mcmbcrikan kescnangan, dari rimba-rimba itu! Terbajanglah kampung didalam chajal, jang memperlihatkan rumah-rumah dan halamannja, dipagar oleh bambu duri, kandang-kandang tcrnak dan lumbunglumbung padi, jang penuh bcrisi! Fikiran Din mendjalar kehari jang penghabisan, ketika ia disuruh menghindar dari Lampisang. Maka pada hari itu sibuklah Oemar menjiapkan sendjatanja, dan angkatan pcrangnja, kcluarlah sekalian laki-laki, siap dengan segala alat sendjatanja. Lalu timbullah pcrtempuran jang maha seru. Majat bertimbuntimbun, darah mengalir, api bcrkobar-kobar, angkasa bagaikan hendak pctjah belah karena rcntetan dentuman-dentuman meriam, beserta sekalian senapan, jang tidak putus-putusnja mendcrak dan mendcru. Itulah awal dari pada achir. Karena Djendral Van Heutsz njata sangat lain dari musuh jang sudah-sudah. Ia belum puas dengan kemenangan dan pengusiran musuhnja sahadja , , . Van Heutsz njata berpemdapat bahwa kemenangan achir njata akan diperolehnja, djika ia dapat mcngahntjur-lcburkan seluruh Atjeh dengan bangsa Atjehnja! Dalam pada itu Van Heutsz berkejakinan pula, bahwa pusat dari pemberontakan adalah pada diri Teuku Oemar. Selama Teuku Oemar hidup, tidaklah pemberontakan Atjeh akan padam-padamnja. Djadi didalam usahanja hendak menghantjur-luluhkan Atjch dan hendak membasmi orang Atjch itu, maka Djendral Van Heutsz bcrpendapat, bahwa jang terlebih dahulu harus dibunuh ialah Teuku Oemar! Djika pachlawan tanah air jang mendukung pandji-pandji „berpantang tunduk" itu sudah mati, semangat seluruh rakjat Atjeh hendak berontak, akan dapat dipatahkan dengan mudah, demikian kcjakinan Van Heutsz. Oleh karena itu ,,Djendral kaphe jang baru" itu memusatkan segala siasat berperangnja kepada tindakan mengedjar-ngedjar Teuku Oemar terlebih dahulu. Seluruh angkatan perang dikerahkannja buat mentjari-tjari djedjak Oemar, dan djika bcrtcmu, menangkapnja, mati atau hidup. Kedatangan Oemar ke Pedie itu sudah tentu tidak mendjadi rahasia bagi Van Heutsz. Mata-matanja jang banjak telah membawa berita itu kepadanja, pada hari pertama Oemar mengindjak Pedie. Lalu Van Heutsz mengepungnja disana. Dari Pedie Oemar terpaksa menghindar, terus mencrus dikedjar oleh Van Heutsz sampai melintasi bukit Barisan. Perdjalanan jang seberat dan sesulit itu tidak mendjadihalanganbagi VanHeutsz, jang mengedjar-ngedjar Oemar selaku andjing pemburu menurut-nurutkan djedjak rusa. Rombongan Oemar dikedjarnja ke Barat, ke Lepong — dari Lepong kc Selatan pula, menudju kearah Lhong, dari sana terus ke Selatan, kedacrah Daja, dari Daja terus ke Selatan, melalui rimba raja, daerah-daerah Sungai Wojla dan Sungai Meulaboh,
196
Tjoet Nja Din
Berbulan-bulan lamanja Oemar dengan rombongannja dapat menghindar dengan djalan itu, sambil melindungi diri dari pada antjaman barisan marsus'e jang menurutkannja dibclakang tumit. Scpandjang-pandjang djalan lari itu, Tjoet Nja Din tidak mentjerai-tjeraikannja barang setapak. Suaminja diturutkannja, bcrhudjan, berpanas, dimuka sasaran peluru marsus'e. Kedua madunja Tjoet Nja Sapiah dan Tjoet Nja Maligoi, telah lama tinggal bersenang-senang dirumah keluarganja masing-masing. Pada awalnja mereka masih dapat ditumpang-tumpangkan discsuatu kampung jang ada dipantai Barat. Tetapi marsus'e dengan Kan Heutsz jang mengedjar-ngedjar, mengetahuilah tempat persembunjian isteri-isteri Teuku Oemar itu. Lalu keduanja terpaksa pula dilarikan ketempat lain, jang lebih aman. Kampung jang ditumpangi oleh mereka, meskipun hanja sckedjap, dituduh ,,bcrsekutu dengan Teuku Oemar" lalu menerima hukumannja dari Kan Heutsz, jaitu diratakan dengan tanah! . . . Sementara itu Oemar dan Din beserta sekalian pcngiring dan rekan-rekan sepcrdjuangannja jang setia, meneruskan pcrdjalanannja jang tcrgesa-gesa. Dari rimba kerimba, dari djurang-kedjurang. Atjapkali mereka terpaksa tidur bcratapkan langit, berselimut embun dan sinar rcmbulan. Dimana mungkin ditjaharinja gua-gua atau ngalau-ngalau didalam rimba, jang didjadikan tempat kediaman untuk sementara waktu. Tapi djika sudah tcrdengar pula suara gemuruh jang timbul dari indjakan sepatu-sepatu marsuse dibatu-batu karang, maka terpaksa pulalah mereka lari dari sana. Tempat persembunjian jang telah sekali ditinggalkannja itu, tidak pernah didiami kembali, karena Kan Heutsz selalu membakar dan menghantjurkannja, sedang sekalian bekal untuk makanan dan sebagainja dirampas atau dimusnahkannja pula. Maka didalam keadaan jang demikian, kadang-kadang tempat kediaman baharu jang dapat diperbuat disesuatu tempat persembunjian jang diperoleh, hanjalah merupakan tanah sebidang jang beratap daun-daun kaju rindang, paling mudjur berdinding daun-daunan sahadja. Pada galibnja mereka tidak pula bcrani mcnjalakan api unggun, untuk memasak air minum, atau untuk mendjauh-djauhkan binatang buas. Didalam kesengsaraan dan kedinginan itu mereka hanja menanti-nantikan hari siang sahadja, supaja dapat ditjari jang hendak dimakan dan diminum. Kesukaran dan kesengsaraan memuntjak, setelah datang musim hudjan, lalu menurunkan hudjan lebat siang dan malam. Penjakit perut dan demam-demam telah menambah pula kesengsaraan hidup mereka. Didalam kegentingan hidup serupa itu, masih banjak anggota-anggota pcrdjuangan pcngiring Oemar jang luka, jang dibawa pulang ketempat persembunjian, atau jang sahid, lalu dikuburkan dirimba sebaik-baiknja. Dan masih ada pula isteri-isteri pedjuang jang melahirkan anak! Sedapat-dapat para wanita jang menurut-nurutkan rombongan pelarian itu, mcmelihara dan mengobati kawan-kawan jang luka. Mana jang sampai pada adjalnja, dikuburkanlah setjara patut. Tapi kuburan itu tak pernah dikundjungi lagi, karena sesudah menguburkan kawan, mereka telah terpaksa menghindar, djauh dari sana.
Keturunan Machoedoen Sati
W
Adakalanja Oemar beserta seluruh rombongannja mcntjoba-tjoba djua menghampiri pantai, lalu memasuki sesuatu kampung. Maka keluarlah anak buahnja mentjari bcras dan sebagainja untuk bekal hidup. Sambil mentjari beras itu, mereka bcrdaja upaja pula mengumpulkan kawan-kawan jang ichlas menggabungkan diri kepada sisa-sisa dari pada pasukan gerilja, jang hanja tinggal sedikit itu. Akan tetapi dimana-mana tampaklah bajang-bajang Van Heutsz. Anak buahnja berkeliaran terus menerus melakukan patrolinja. Maka tcrpaksalah pasukan Oemar menghindar pula, melindungi diri dari pada meriam-meriam dan scnapan marsuse, jang mcletus dari segala tempat jang tidak disangka-sangka. Oemar beserta kawan-kawannja mendjauh-djauh pulalah, mentjari tempat jang agak
,,Kalahkah engkau, Oemar?" tanja Din pada suatu hari dengan hati bimbang, setelah ia melihat Oemar agak tcrmenung-menung. Pada ketika itu teringatlah ia kepada djaman „Teuku Oemar tunduk", dan tjemaslah hatinja. Mendengar perkataan Din itu Teuku Oemar bagaikan disengat kala djengking. Maka agak bcrnafsu, menjahutlah ia: ,,Aku akan kalah, djika aku telah rubuh! Sebelum rubuh, aku tak tcrima kalah!" . . . (Dengan suara lemah lembut): „Hanja dengan terus terang aku berkata, kadang-kadang hatiku berasa bimbang, karena aku memikirkan nasibmu, Din! Selagi aku bertempur, mungkin mereka dapat menangkap cngkau. Tidakkah lebih baik, djika cngkau bcrsembunji sahadja ditempat jang aman?" Din memandang kepada suaminja dengan penuh kasih sajang. Maka ditjabutnjalah sebuah rentjong ketjil jang bertatahkan ratna mutu manikam pada hulunja, dari pinggang, lalu berkatalah ia dengan tenang: ..Diriku djangan sekali-kali engkau risaukan, Oemar! Berdjuanglah terus! Hanja diudjung sendjata ini kaphe akan dapat meraba tubuhku, atau mercbut njawaku." Setelah tcrmenung scdjurus, bagaikan ragu-ragu hendak mengeluarkan tutur, maka berkata pulalah Din: ,,Sekiranja Allah Subhana Wataala menimbang telah datang waktunja buat memanggil engkau pulang dari dunia jang fana ini kedunia jang baka, terlebih dahulu hendaklah rckanmu jang setia, panglima perangmu jang ulung, Pang La'ot, telah menerima amanatmu, jang wadjib ditaatinja. Katakanlah kepada Pang La'ot, supaja ia menjembunjikan djenazah engkau ditempat jang aman. Agar kaphe tidak menghanjutkannja kclaut, karena mereka takut bahwa makammu pastilah kelak akan mendjadi tempat keramat, tempat rakjat Atjeh berziarah, mengekal dan menguatkan rasa tjinta bangsa dan tjinta tanah air didalam kalbu mereka!" . . . Pada suatu hari sampailah rombongan Oemar kesuatu kampung jang ada dimuara Wojla. Maksud mereka hendak menumpang untuk bcristirahat sementara waktu disana.
198
Tjoet Nja Din
Maka disana njatalah bagi Oemar dan Din, bahwa penduduk kampung itu ialah orang-orang suku Minangkabau! Bahwa sesungguhnjalah demikian. Sebab kampung jang dimasuki oleh mereka ialah Pasir Atjeh! Kampung jang didirikan oleh almarhum Machoedoen Sati, semasa ia berperang dengan anak buah Sultan Djeumaloj. Tempat ia mendirikan rumah gcdangnja jang akan didiami oleh anak tjutjunja sundut-bcrsundut, Selagi Oemar dan Din bermalam dikampung nenek mojangnja itu, maka pada suatu malam hari datanglah orang menemuinja. Orang itu mandi peluh, nafasnja sesak, rupanja ia datang ke Pasir Atjeh berlari-lari. Setelah berhadapan dengan Oemar, berkatalah ia dengan kata terputus-putus: ,,Teuku! Djendral kaphe sedang berdiam dibenteng Meulaboh, jang sedang tak ada pendjagaan. Seluruh angkatan pcrangnja telah disuruhnja mengepung Muara Wojla, untuk menangkap Teuku! Djadi pada ketika ini ia sedang tinggal seorang diri!" Mendengar perkataan orang itu, bagi Oemar dengan sekctika tcrbajanglah kemungkinan buat mcnjelcsaikan hutang pihutang dengan ,,Djendral kaphe" jang tcrkutuk itu, selagi ia agak terdjauh dari scnapan-senapan dan mcriamnja. Tetaplah tekadnja hendak menerkam benteng Meulaboh, dan hendak menangkap Kan Heutsz, hidup atau mati. Bagi Van Heutsz adalah kejakinan bahwa Teuku Oemarlah jang mendjadi induk pemberontakan dan lambang persatuan orang Atjeh. Hidup atau matinja Teuku Oemar akan berarti berdiri tegak atau rubuhnja pemberontakan. Djadi Kan Heutsz berhasrat besar hendak membinasakan Teuku Oemar lebih dahulu didalam perdjuangan jang dahsjat itu. Oemar difihaknja bcrkejakinan pula, bahwa Kan Heutsz ialah Lambang kekuatan ,,kumpeuni". Selama Kan Heutsz masih hidup, tidaklah ,,kumpcuni" akan menghindar dari Atjch. Selama itu pula semangat pemberontakan difihak orang Atjch akan mcngalami djalan pertjobaan, jang sangat bcrbahaja bagi hidupnja api Perang Sabil. Djadi Oemar dipihaknjapun bcrkejakinan, bahwa terlebih dahulu Kan Heutsz harus dibunuh, djika kemenangan achir bagi orang Atjch akan dapat dilaksanakan. Djika lambang itu telah dibinasakan, kekuatan ,,kumpeuni" pun akan patah sendiri. Demikianlah kejakinan Oemar. Maka disiapkanlah segala rekannja jang ada, dan dengan kekuatan 800 orang pedjuang, turunlah ia dari Pasir Atjch, menudju kc Meilaboh. Di» melcpasnja dikepala djandjang dengan hati tcrharu. Lidah kedua suami isteri bagaikan terkalang, kcrongkongan rasa tersumbat pada saat itu. Diantara kedua tak ada seorang jang hendak berkata-kata. Dari pada laku perangai kedua sampailah djelas apa jang dirasai oleh mereka, dan apa pula jang hendak dikatakan, tapi tak kundjung terhambur dari mulut. . . Oemar turunlah ketanah dengan wadjah rupa berseri-scri, tapi hati jang bimbang. Sebagai jang galib dilakukannja dimasa-masa jang genting itu, nampak pulalah pada ketika itu: perdjalanannja agak gontai, bcrhati-hati, siap scdia menantikan segala kemungkinan. Kepala agak ditundukkan dan diherengkan, seolah-olah hendak mcnilik-nilik segala bahaja jang mungkin datang dari muka.
Keturunan Machoedoen Sati
199
Kelewang tcrhunus tinggal tergenggam ditangan kanan, senapan dipikul oleh seorang rekan jang ada disampingnja. ,.Allah bescrtamu, Oemar!" kata Din dengan suara lemah lembut, ketika Oemar melangkah turun anak djandjang. ,,Arwah nenek mojang kita Machoedoen Sati semoga mendjclma kedalam kalbumu!" ,,Tolong-tolonglah aku dengan do 'a, Din" hanja sekian Oemar berkata pada saat itu. Tahukah mereka bahwa perpisahan itu ialah pcrtjeraian untuk scumur hidup?. . . Kedalam benteng Meulaboh pun telah datang seorang mata-mata. Ia berkata kepada van Heutsz, bahwa Teuku Oemar telah turun dari muara Wojla beserta beratus-ratus'rekannja dan bermaksud hendak menggempur benteng Meulaboh! Benteng Meulaboh sesungguhnjalah umpama kosong pada ketika itu. Luar dari Djcndcral van Heutsz, jang ada hanjalah: Letnan Verbrugh, 2 orang serdadu Belanda, 16 orang serdadu Djawa, tukang sepatu dan tukang mendjahit! Scisi benteng sedang mengintai dan mengepung dekat muara Wojla! Maka berkatalah van Heutsz:
„Semua kc Oedjoeng Kala! Disana kita menantikan mereka!" Tengah malam tanggal 10 menghadap n Pebruari 1899. Bulan sabit dilangit memberi penerangan remang-remang diseluruh tempat. Tak akan lama lagi fadjar akan turun mendjclma kedunia. Kersik jang ada ditcpi pantai masih basah, karena pasang baru surut. Diseluruh pcrmukaan laut nampak tjahaja berkilau-kilauan, laksana intan jang tcrserak. karena putus untaiannja. Tjahaja-tjahaja tjcmcrlang itu ditimbulkan oleh radai gelombang jang memctjah-mctjah sepandjang djalan. Suara ombak jang menggulung-gulung lalu menghempas ditcpi pantai, merawankan hati jang mendengarkannja. Didalam alam jang hampir gclap itu, djelas djua nampaknja bentuk pohonpohon njiur dan Iain-lain pohon, beserta rumpun-rumpun semak bclukar, jang ada disepandjang pantai. Sekonjong-konjong. . .! Salah satu daripada benda-benda jang berbentuk itu, rupa bergerak! Nampaklah ia meluntjur kemuka, perlahan-lahan! Setapakdemi setapak! Tegaknja bertambah tinggi. Njata sekali bahwa ia hidup dan sedang bergerak madju kemuka, menghampiri tempat perlindungan Kan Heutsz dan kawan-kawannja. Jang nampak itu ialah gerombolan Teuku Oemar! Delapan ratus orang banjaknja! Ditcngah-tengah terpantjang tinggi tubuh Teuku Oemar, jang memimpin rekan-rekannja. Sekiranja mereka tidak dapat dihalaukan ditempat penjembunjian tentara Belanda jang disediakan oleh Kan Heutsz itu, nistjajabukanlahsahadja Meulaboh jang akan hantjur luluh, tapi njawa Kan Heutsz pun telah dapat dipastikan akan melajang. Saat sedctik itulah jang akan menentukan bangun rubuhnja Kotaradja, aman atau tjampuhnja Atjeh dimasa jang akan datang. Salah seorang: Kan Heutsz atau Oemar . . .
2oo
Tjoet Nja Din
Belum pernah Oemar berhadapan dengan musuhnja, sambil membawa angkatan perang jang berpuluh kali lipat ganda bilangannja dari pada musuh jang ada dimukanja. Dan belum pernah pula terdjadi bahwa perbandingan kekuatan jang serupa itu, mengandung arti jang sebesar-besarnja bagi Oemar! „Dia, atau aku!" hanja itulah jang mengisi alam fikiran Oemar pada saat itu. Apakah kegembiraan hati jang sebesar-besarnja itu, jang telah melemahkan urat-urat sjarafnja? Entahlah! Segala sesuatunja ada ditangan Tuhan. Tuhan berkuasa menurunkan takdirnja, jang menentukan nasib peruntungan manusia. Oemar, pachlawan tanah air jang terbilang tangkas, dan belum pernah merasai gentar atau ragu-ragu dalam berhadapan dengan musuh, Oemar tertegun pada waktu itu! Lakunja adalah sebagai seekor binatang buas, jang mentjium sesuatu bahaja. Kepalanja menondjol kemuka, lubang hidungnja terbuka besar, telinganja dipasang, bersedia untuk mendengarkan sesuatu suara. . . Sekelilingnja adalah tegak sekalian rekan-rekan, menahan-nahan nafas, menantinantikan komando pemimpin. Disamping Oemar berdiri Pang La'ot, rekan lama didjaman Oemar masih mendjadi Kuasa Lautan Barat. Maka berbisiklah Oemar kepadanja: ,,Djika aku sahid, Pang La'ot, djanganlah aku sampai djatuh ketangan kaphe! Sembunjikanlah majatku, saudara! Dan rahasiakan pula kuburanku! Agar kaphe tidak menodainja!" „Insja Allah, saudara!" sahut Pong La'ot. Sedetik lagi Oemar tertegun. Tangan kirinja meraba raba rusuk, seolah-olah hendak mentjahari azimatnja. Maka mengapunglah kelewangnja, lalau keluar perintahnja: ,,Madju!" Serentak, tapi tjepat dengan tidak gempar atau menimbulkan bising, bergeraklah gerombolan madju kemuka. Masing-masing menjediakan sendjatanja. Tiba-tiba mcnderaklah suara rcntctan tembakan dari tempat pengintaian Van Heutsz. Salvo demi salvo keluarlah ditempat gelap itu. Anak buah Kan Heutsz rupanja tidak hendak memberi waktu untuk bcrnafas kepada musuhnja jang datang menudju ketempat itu dengan tidak insjaf akan bahaja maut jang ada dimuka. Rombongan Oemar mundur sctapak. Didalam barisan jang tadinja padat, timbullah lowongan-lowongan. Sedangkan tubuh pemimpin jang tinggi terpantjang ditcngah-tengah mereka, sudah tak kclihatan lagi! Sementara itu salvo-salvo rcntctan tembakan tentara Belanda jang dilakukan dengan senapansenapan repctcer, tidak hendak berkeputusan. Kawan-kawan Oemar jang belum sempat mcmbalas, rubuhlah bcrdujun-dujun, tidak tcrhitung lagi banjaknja. Maka gcmparlah mereka, lalu lari membawa sekalian kawan-kawan jang. sahid dan jang luka. , Oemar rubuh, karena dua buah peluru telah menembus perutnja. Djenazahnja dipikul oleh rekan-rekan kekampung Boeloh, melalui rimba-rimba. Disana ulama scgera menjembunjikannja didalam surau.
Keturunan Machoedoen Sati
201
Setelah bermusjawarat berlama-lama, penduduk kampung mengambil keputusan buat membawanja kckampung Mocgo, jang djauh diulu letaknja, dan hanja dapat ditempuh dengan perahu memudikkan Sungai Meulaboh. Dibawah pimpinan Oeloebalang, djenazah Oemar diamakamkanlah dengan diam-diam dihalaman surau di Moego itu. Sesudah memakamkan rekan jang dikasihi itu, Pang La'ot membawa sekalian kawan-kawan ke Pasir Atjeh, buat mentjeriterakan bentjana itu kepada Din.
PENUTUP Din sedang duduk terpckur didalam kamar dirumah tempat ia menumpang di Pasir Atjeh, mendoa-doa untuk keselamatan perdjalanan Oemar. Maka tcrperandjatlah ia ketika ibu rumah masuk, lalu mengatakan bahwa serombongan pedjuang dibawah pimpinan Pang La'ot ada dihalaman. Mereka berkata hendak berdjumpa dengan Tjoet Nja Din. Darah Din rasa tersembur didalam dada, demi mendengar berita itu. Pang La'ot dengan rombongannja ada dihalaman! Kemanakah Oemar? . . . Maka mcnghamburlah ia keluar, lalu turun kehalaman. Pang Ija'ot tidak hendak berkata barang sepatah, kerongkongannja bagai tcrsumbat. Kescdihan hati jang sedang dikandungnja djelas tcrgambar pada wadjahnja, ketika ia berpandangan dengan isteri pemimpinnja jang telah gugur itu. Rekan-rekan Oemar jang banjakpun sama pula menundukkan kepala. Din sendiri tak kuasa pula hendak membuka mulut, atau menanjakan sesuatunja. Bagaikan terpaku pada tanah bcrpandanganlah ia dengan Pang La'ot, didalam kcjakinan, bahwa jang akan sangat menjedihkan hatinja telah mendjadi kenjataan, meskipun ia telah bcrsedia-sedia scnantiasa buat menanti datangnja kabar buruk. Berlainan sekali laku Din dengan dahulu, ketika orang membawa usungan majat Ibrahim kehalaman. Wadjah suami kang sahid itu masih dapat dipandangnja untuk penghabisan kali. Djenazah itu masih dapat diratapinja. Segala apa jang tcrkandung dalam kalbu, jang mendjadikan dada penuh scsak, masih dapat ditjurahkannja. Tapi sekarang! Dimanakah Oemar? Suaminja itu sudah tak ada, tapi dimanakah ia? Jang dapat dilakukannja hanjalah menutup mata dengan kedua tapak tangan. Sesudah itu ditekannja pula tangan itu kedadanja, lalu gojahlah tegaknja. Pastilah Din akan rubuh ketanah, sekiranja Pang Tji'ot tidak segcra menjanggapja. Maka berkatalah Pong La'ot dengan suara jang lemah lembut: ,,Sabarkan hati Tjoct Nja Din! Oemar telah sahid sebagai pahlawan tanah air! Ia meninggalkan kita sebagai pedjuang jang berkurban untuk kemerdckaan bangsanja, bukan sebagai kaki tangan kaphe! Ia sahid guna mempertahankan agama kita!" Tjoet Nja Din tegak kembali, seolah-olah agak kemalu maluan, karena ia telah menundjukkan kelemahan itu dimuka beratus-ratus orang pedjuang. Maka mcmandanglah ia kepada Pang La'ot, seolah-olah hendak bertanja. Lalu berkatalah Pang TLa'ot; ,,Djanganlah bimbang, tuanku! Djenazahnja telah kami bawa djauh. Oeloebalang Moego sendiri jang menguburkannja! Tidak seorang kaphe' jang akan dapat mengganggunja. Amanat Teuku adalah kami taati!" Tjoet Nja Din menatik nafas pandjang, dadanja berasa lapang. Nampaknja keluar rupa dapatlah ia menjabar-njabarkan hati. Tapi didalam hati itu mendjcritlahia: „Ja, Allah! Ja Rabbi! Ini pula! Hendak kemana aku menjangsang?"
Penutup
203
Djcritan itu hanja keluar sekali sadja. Timbul dari hati orang jang terkedjut, karena tiba-tiba berhadapan dengan malapetaka jang tidak disangka-sangka pada saat itu. Scketika djuga tcrdengar pula suara lain, jang berkata: ,,Kedua suamiku mati! Tapi aku masih hidup!" . . . Maka sekonjong-konjong dipcgangnjalah pangkal lengan Pang La'ot, lalu berkatalah ia dengan suara keras, agak memcrintah: ,,Pang Laot! Aku tahu bahwa saudara dengan Oemar bagaikan kulit dengan daging, dari dahulu! Enjahlah kita dari tempat ini! Dengan scketika! Kumpeuni sedang mentjari-tjari kita! Marilah kita menghindar! Djauh-djauh keulu! Sampai kerimba-rimba raja, dimudik Moego. Aku hendak meminta kepada Oeloebalang Moego buat memindahkan kuburan Oemar kesana, kesesuatu tempat jang tidak akan dapat ditjari oleh kaphe! Ditempat kuburan rahasia itulah kita akan bcrdjaga-djaga! Ditempat itu arwah Oemar akan menjertai kita! Dari sanalah hendak kita penuhi tugas-tugas gerilja, setjara jang biasa dilakukan oleh Oemar, setjara jang diperintahkan oleh Tuhan kepada kita! Pang La'ot! Selama aku masih hidup, dan masih bcrdaja, perang sutji melawan kaphe ini hendak kuteruskan! Demi Allah! Polim hidup! Bait hidup! Imam Longbata hidup! Sultan Daoed hidup! Tuanku Hasjim hidup! Menantuku Teungku Majet di Tiro hidup! Anakku Tjoct Nja Gambang hidup! Ulama tanah Abee hidup! Pang La'ot hidup! Dan kita hidup! Belum ada jang kalah! Oemar sahid! Marilah kita mencruskan pekcrdjaannja! Guna agama! Guna kemcrdekaan bangsa kita! Guna Atjeh! Guna Allah!" Enam tahun lamanja Tjoet Nja Din melakukan gerilja melawan tentara Belanda. Dari tempat persembunjiannja, dari kuburan Oemar, djauh didalam rimba, tcrlctak didaerah-daerah Sungai Wojla dan Sungai Meulaboh, dipimpinnjalah perdjuangan Perang Sabil dengan semangat jang mcluap-luap. Tjita-tjitanja hanjalah satu: ,,Mengusir kumpcuni dari tanah Atjeh!" Segala daja dan upaja telah pula dilakukannja untuk menjusun peperangan besar-besaran diseluruh Atjeh. Din mengirimkan utusan kcscgala tempat, buat mengumpulkan sekalian rekan-rekan jang ,,pantang tunduk". Dan menambah kawan-kawan berdjuang buat melawan orang Belanda. Sampai-sampai ketanah Minangkabau ia mengirimkan orang, buat meminta bantuan dipadang Sabilullah! Segala barang-barang berharga jang masih ada padanja dikeluarkannja buat mengisi kas peperangan dan menjusun barisan-barisan penggempur. Segala emas dan intan pusaka jang masih ada dikurbankannja. Sultan, Polim, Bait, Imam Longbata, Ulama-ulama di Tiro, sekalian pemimpin perdjuangan itu tidak djemu-djemu daripada mcnjala-njalakan api Sabilullah. Tapi meskipun pertempuran-pertempuran jang berkctjil-ketjil masih ada, semangat Sabilullah setjara dahulu, njata telah mulai padam. Karena Djendral Kan Heutsz tidak hendak memberi waktu untuk bcristirahat kepada mereka, walau agak sckedjap mata. Tindakan van Heutsz diantcro tempat, sehabis-habisnja pcrtempuran, baik besar, maupun kctjil, masih tetap tjara
204
Tjoet Nja Din
semula: jaitu mengedjar terus, membakar, menghantjurkan dan membasmi orang Atjeh! Barang siapa jang sudah dikedjarnja, tidaklah hendak dilepaslepaskannja. Melainkan dihalaunja dari gua-kegua, dari djurang kedjurang, dari rimba kenmba, sampai-sampai ketengah hutan pulau Sumatera! Sekalian perempuan dan kanak-kanak jang datat ditangkapnja, didjadikannja tawanan untuk memaksa suaminja atau ajahnja tunduk. Dan djika sisuami dan siajah itu tidak mau tunduk, maka perempuan-perempuan dan kanak-kanak itu diantjamnja dengan buangan! Maka tunduklah Polim! Guna melepaskan isterinja jang kesatu dari tawanan van Heutsz. Dan Sultan Daoed pun tunduk pula, karena tak kuat lagi dikedjarkedjar dan dikepung-kepung oleh van Heutsz. Dan sesudah Polim dan Sultan tunduk, menjerah pulalah sebahagian besar dari pcmimpin-pemimpin pemberontakan dan kepala-kepala daerah. Dibawah pukulan palu godam van Heutsz, jang turun bertubi-tubi, Atjch tak dapat bergerak lagi. . . lemas! . . . rcmuk! . . . Lalu diperbaharui pula tindakan-tindakan ,,perdamaian". Lebih tepat, lebih tegas dari dahulu. Sultan telah ditetapkan kehilangan kcradjaan. Jang bcrkuasa diseluruh tanah Atjeh ialah Gubernur, jang mendapat tempat kediamannja di Keraton. Polim dikembalikan kepada kebesarannja. Ia tinggal ditanah pcgunungan, dibawah kekuasaan Gubernemen Hindia Belanda. Neh telah pulang dari tempat Iiburannja di Pulau Pinang. Panglimanja jang disuruh memcrintah di 6 Moekim, lalu mendapat tempat kedudukan di Pakan Bada, jang ditaklukkan kebawah perintah Oleh-leh. Imam Longbata mcnghilang pula untuk kedua kalinja. Ia tetap masuk golongan ,,berpantang tunduk". Hanja ia tinggal diluar gelanggang perdjuangan. Harihari tuanja dihabisi dengan hidup tafakur dan melakukan ibadat semata-mata. Pemerintah Belanda mencruskan segala pekerdjaannja jang telah terbengkalai dahulu, jaitu memperbuat djembatan dan djalan. Rumah-rumah sakitpun didirikan pula. Orang-orang jang agak ditjurigai, meskipun telah tunduk dan menerima damai, dibuang. Untuk membuang dan mcrampas harta kckajaan mereka, orang Belanda tidak kekurangan djalan. . . Pasar-pasar mendjadi ramai kembali. Mesdjid Agung mendjadi penuh scsak pula tiap-tiap hari Djum'at, meskipun ia tidak dinamakan Beitul Rachman lagi oleh orang Atjeh. Geconcentreerde Linie jang aseli dan jang ke II, telah dihapuskan. Seluruh Atjch dengan sekalian daerah takluknja didjadikan daerah djadjahan Keradjaan Belanda. Sawah-sawah dan ladang-ladang ditjangkul kembali. Uang bclasting masuk dengan lantjar kedalam kas negeri. Radja-radja lama didjadikan pegawaipegawai Gubernemen jang digadji. Hanja satu satunja sahadja jang masih dapat mempcringatkan orang kepada djaman peperangan Atjeh. Jaitu patroli-patroli tentara Belanda, jang masih tetap bcrsimpang siur keluar masuk kampung, sampai-sampai kepegunungan.
Penutup
205
Disegala rimba mereka itu masih nampak bekcliaran. Karena dipegunungan itu suasana masih belum sempurna dingin. Bait, jang bentji kepada Polim, masih belum tunduk. Hanja ia tidak mau memberi djalan kepada pemerintah Belanda, buat membuangnja. Din beserta rekan-rekan Oemar, jang dipimpin oleh Pang La'ot, masih hidup bertualang dirimba-rimba Moego. Tempat perlindungannja ialah sebuah gua, didekat kuburan Oemar jang discmbunjikan dikaki bukit. Makam itu ditandai oleh dua buah batu kuburan besar, jang direndengkan menantjapkannja. Disinilah Din mengenang-ngenangkan nasibnja, sambil merantjang-rantjang tindakan buat menuntut balas. Kadang-kadang sampai berdjam-djam lamanja ia duduk terpekur. Digambarkannja dimuka chajal, djalan jang masih mungkin ditempuh buat melepaskan sakit hati kepada kaphe. Lalu berkatalah ia kepada kawan-kawan jang masih besertanja, dengan wadjah jang bcrseri-seri: ,,Aku melihat djalan setapak didalam rimba. Kusangka pada awalnja bahwa djalan itu lengang. Tapi sebenarnja tidaklah demikian keadaannja. Hawa daripada orang banjak jang sedang bernafas, meliputi punggung-punggung engkau sekalian, jang sedang bersembunji dibalik pohon-pohon kaju, didalam semakscmak. Suara sepatu jang menderak-derak ditanah, menandakan bahwa ada serombongan patroli kaphe jang hendak melalui tempat cngkau bersembunji itu. Tidak salah! Sekawan patroli ,,kumpeuni" datang menghampiri, dengan tak mengandung sjak hati barang serambut. Maka berhamburanlah engkau keluar, memegang kelewang tcrhunus pada masing-masing tangan. Didalam sekedjap mata kepala dan kaki tangan mereka telah tcrtjerai dari tubuhnja!" Demikianlah perbuatan Tjoet Nja Din guna mcnjalakan api semangat mereka, rekan-rekannja, dan buat menghibur-hibur katinja sandiri. Dan kata-katanja itu masih ada membuawa buah. Sekali-sekali habislah patroli Belanda jang meronda kegunung, dipantjung orang, dengan tidak dikctahui siapa musuh jang telah menjerang mereka, dan dari mana pula datangnja musuh itu. Nama Tjoet Nja Din sudah tidak tcrscbut-sebut lagi. Harta bendanja telah habis, masjarakat telah melupakannja. Oleh karena itu luputlah ia dari pemandangan mata orang jang mentjari-tjarinja. Kchidupan Din telah sangat sengsara. Lain daripada tekad ,,bcrpantang tunduk" tak ada sesuatunja lagi jang mendjadi miliknja. Sedangkan kemerdckaan bergerak sudah tak ada pula padanja, karena lama kebelakang ia telah dinjatakan mendjadi orang buruan. Kadang-kadang jang hendak dimakanpun tidak ada, perkakas rumah dan pakaian telah habis sama sekali. Didalam kchidupan jang serba sengsara itu, kewarasan tubuh Din telah sangat mundur pula. Penjakit entjok telah mclemahkan segala anggota tubuhnja. Penjakit mata ajahnja rupanja turun kepadanja. Tjoet Nja Din achirnja mendjadi buta pula. Adakah djasanja buat meneruskan perlawanan didalam keadaan jang serupa Itu?. . . Pada suatu hari Pang La'ot telah menjampaikan pertanjaan itu kepada Din.
206
Tjoet Nja Din
Maka amarahlah ia, lalu meludah-ludah dan berkata dengan suara keras: „Takluk kepada kaphe? Tjis! Nadjis! Semoga Allah Subhana Wataala mendjauh-djauhkan perbuatan jang sehina itu dari diriku!" Tapi sementara itu, sisa-sisa daripada rekan jang setia itupun telah djemu pula meneruskan perdjuangan jang sia-sia itu . . . Sendja hari tanggal 16 Oktober 1905. Selagi Letnan van Vuuren duduk diadalam rumahnja di Kota Baru, maka datanglah seorang bangsa Atjeh berpakaian segala buruk, jang minta bitjara dengan kumandau. Ia berkata bahwa ia adalah seorang suruhan dari Pang La'ot, jang didalam ketentaraan Belanda tcrkenal sebagai seorang Panglima jang masuk golongan ,,djahat", jang sangat berbahaja bagi orang Belanda. Pang La'ot ingin sekali hendak berunding dengan tuan Letnan tentang suatu rahasia. Djika ada kemurahan hati tuan Letnan, Pang La'ot mengharap supaja tuan Letnan sudi meringankan langkah datang bcrkundjungan ketempat kediamannja, jang akan ditundjukkan oleh suruhannja itu. Tapi Pang La'ot memohon supaja tuan Letnan datang dengan tidak bcrsendjata. Mula-mula hati van Vuuren agak enggan untuk memenuhi kehendak itu. Nama Pang Loot memang sangat buruk bunjinja dikalangan ketentaraan Belanda. Kalau-kalau undangan itu dimaksudkan untuk memikat van Vuuren masuk kedalam perangkap . . . Pada ketika itu ialah bulan puasa! Tapi setelah memikirkan scdjurus, berangkat djualah van Vuuren menurutkan suruhan itu. Rupa dan laku orang itu berkata-kata menimbulkan kepertjajaan didalam hati van Vuuren. Van Vuuren hanja disertai oleh dua orang serdadu dan seorang penundjuk
djalan. Setelah 24 djam menempuh djalan masuk rimba, maka sampailah mereka keperkemahan Pang La'ot, Disana Panglima Perang itu telah menanti-nantikan kedatangan von Vuuren. Ia dikclilingi oleh scrombongan ketjil orang Atjeh, jang amat bersahadja sendjatanja dan tjompang-tjamping pakaiannja. „Engkau minta bitjara dengan aku, Pang La'ot? Aku bersuka tjita karena melihat engkau masih hidup. Pada hal engkau adalah masuk bilangan orang buruan, jang telah sangat lama kami tjari-tjari!" ,,Terima kasih, tuan letnan! Njawa segala mansusia ada ditangah Tuhan . . . Saja ingin berunding dengan tuan letnan tentang nasibnja Tjoet Nja Din!" „Tjoet Nja Din masih hidup?" „Masih hidup, tuan letnan! Tapi hidupnja itu amat sengsara. Djika ia tinggal berlama-lama ditempat perscmbunjiannja itu, akan matilah ia kelaparan. Oleh karena itu seharusnjalah ia ditolong, jaitu dilepaskan dari sana! Saja berkata ditolong melepaskan, tuan letnan! Sebab saja tidak ingin djika ada orang jang hendak mengatakan, bahwa saja telah bcrchianat terhadap radja saja! Tjoct Nja Din telah sangat tua, buta dan telah timpang pula, hampir-hampir tak dapat melangkah. Kchidupannja sangat sengsara, tapi sekali-kali ia tak ada ingatan hendak tunduk. Maksud saja hendak meminta kepada tuan letnan buat meno-
Penulup
207
longnja. Tapi didalam hal itu besar harapan saja supaja tuan letnan sudi merahasiakan bahwa saja ada tjampur tangan didalam hal ini." ,,Kepcrtjajaanmu kepadaku itu akan aku muliakan, Pang La'ot! Tjcriterakanlah maksudmu!" Maka dirundingkanlah setjara apa Tjoet Nja Din hendaknja dilepaskan dari siksaannja itu. Kepada letnan van Vuuren akan diserahkan dua orang pcnundjuk djalan, jang akan membawanja ketempat penjembunjian Tjoet Nja Din. Disana ia pura-pura diserbu oleh patroli tentara Belanda lalu ditangkap, dengan tidak mengabaikan laku sopan santun. Sckali-kali hati Tjoet Nja Din tidak boleh disakiti, depadanja djangan dilakukan sesuatu kckerasan. Malah segala jang patut diperlakukan atas diri orang jang bcrdcradjat radja, hendaklah dita'ati ketika menangkapnja itu. Bagi ,,kumpeuni" Tjoet Nja Din sudah tidak berbahaja lagi. Sebenarnja bolehlah orang membiarkannja tinggal di Lampisang sampai kepada adjalnja. Tanggal 6 Nopembcr 1905 berangkatlah scpasukan patroli tentara Belanda, jang hendak menangkap Din itu. Tengah-tcngah malam buta mereka telah berdjumpa dengan Pang JLa'ot, jang hendak menundjukkan djalan masuk kc rimba. Sehari-hari itu adalah turun hudjan lebat. Djalan-djalan dirimba jang gelap gclita itu mendjadi sangat sulit. Hanja dengan bcrsusah pajah sadja patroli dapat mencruskan perdjalanan nja. Kadang-kadang mereka harus mcrangkakrangkak, sambil bcrgantung kepada urat-urat kaju, djika djalan mendjadi sangat tunggang. Achirnja sampailah mereka kc ,,sarang penjamun" jang ditjari itu. Letaknja memang djauh dan ketinggian didalam rimba raja. Tiap-tiap musuh jang datang hendak menjerbu kesana, pastilah akan mendjumpai pelbagai rupa kesulitan. Ditempat itu adalah diperbuat beberapa buah dangau-dangau jang scderhana, dan hanja dapat menahan hudjan dan panas sadja. Ketika patroli sampai kesana, maka fadjar sedang menjingsing. Disuatu tempat tanah terluang, nampaklah sebuah unggun, jang dikelilingi oleh beberapa orang Atjeh. Pakaian mereka itu sudah sangat buruk, persendjataannja pun amat bcrsahadja. Pada ketika itu, dengan tidak discngadja, mclctuslah senapan jang ada ditangan salah seorang anggota patroli. Maka tcrperandjatlah sekalian orang jang sedang duduk mentjangkung disckitar unggun itu, lalu tegak berdiri, masingmasing memegang kclcwang tcrhunus. Dari dalam salah sebuah dangau-dangau nampak keluar seorang bangsa Atjch jang bcrdjanggut pandjang. Tinggi dan besar rupa tubuhnja, sedang pada punggungnja adalah ia mendukung seorang perempuan tua jang tidak berdaja rupanja. Didalam sekedjap mata ia telah menghilang kedalam rimba dengan orang jang didukungnja itu. Sctelah patroli mengedjar-ngedjarnja, didalam setengah djam lamanja dapatlah ia ditangkap. Tjoet Nja Din, jang telah tidak berdaja dan buta pula, mengangkat kedua belah tangan, seolah-olah hendak membantah. Kcscpuluh djarinja dikembang-
2o8
Tjoet Nja Din
kannja. Lakunja sangat menentang. Rupanja hanja dengan bcrsusah pajah sadja ia dapat menahan amarahnja. Maka keluarlah dari mulutnja: ,,Ja Allah! Ja Tuhan! Inikah nasib pcruntunganku? Didalam bulan puasa aku diserahkan ketangan kafir?" Maka menurunlah tangan kanannja, lalu mentjabut rcntjong jang tersisik dipinggang orang jang sedang mendukungnja. Didalam sekedjap mata pisau itu telah mengapung ditangannja, udjung rcntjong tepat dihadapkan kepada dada. Sebelum ia dapat menikam dadanja itu, dengan tjepat djari Letnan van Vuuren telah mengatam buku tangan Tjoet Nja Din, lalu sendjata itu direbutlah dari tangannja. ,.Djangan kau menjinggung kulitku, kafir!" demikian Din berkata setengah mendjerit. ,,Djangan kaunodai tubuhku!" Pang La'ot menghampirinja, lalu berkata dengan suara lemah lembut: ,,Djangan takut, Tjoet Nja Din! Tak ada seorang jang akan berbuat djahat atas diri tuanku! Mereka akan memperlakukan tuanku dengan segala kesopa nannja!" Maka dirabanjalah tangan Din buat membudjuk. ,,Tjis! Djangan kau menjinggung kulitku! Pengchianat cngkau, Pang La'ot! Tidak kusangka sekali-kali! Lebih baik cngkau menundjukkan budi baikmu kepadaku dengan djalan menikam aku!" Maka dipindahkanlah Tjoet Nja Din keatas sebuah tandu, lalu diangkut kcsalah sebuah tempat pendjagaan tentara Belanda. Mula-mula Tjoet Nja Din masih mclcpas-lepaskan sakit hatinja dengan djalan menista dan memaki-maki, sambil meludah-ludah. Maka bertanjalah Kapten Veltman, apakah ia sungguh-sungguh puteri Tjoet Nja Din, jang dikenal orang sebagai seorang anak radja? Ia sangat heran, djika ia sebenarnja sedang berhadapan dengan seorang puteri. Karena puteri itu njata telah berlaku sebagai orang perempuan kebanjakan sadja . . . Kata-kata Kapten Veltman itu njata bagai menikam djantung Tjoet Nja Din. Maka timbullah keangkuhannja. Sambil mengetamkan bibir, duduk luruslah ia diatas tandu, dengan tidak hendak menghiraukan lagi apa jang sedang terdjadi disekitarnja. Ditempat pendjagaan tentara Belanda itu, ia ditempatkan disebuah kamar jang dikuntji pintunja, dan didjaga setjara mestinja. Didalam kamar itu disediakan untuknja sebuah tempat ketiduran jang patut, medja dan kursi-kursi setjukupnja. Letnan van Vuuren menctapi djandjinja, jaitu hendak memperlakukan Tjoet Nja Din setjara jang lajak untuk deradjatnja. Dengan tjepat berita „Tjoet Nja Din ditawan" itu telah mendjalar diseluruh Atjeh. Banjaklah Kepala-Kepala beserta para ulama bangsa Atjeh jang minta izin buat datang melawatnja. Izinan itu diberikan, dengan tak ada seorang jang dikctjualikan. Masing-masing Kepala itu masuklah kedalam kamar. Maka terperandjatlah mereka melihat segala perubahan jang terdjadi atas diri Tjoet Nja Din. Seorang
Penutup
209
tua jang kurus kering, kerimput kulit diseluruh tubuhnja, buta dan tidak berdaja! Itukah puteri Nanta Setia, isteri Ibrahim, sesudah itu isteri Teuku Oemar, jang masjhur tentang kctjantikan parasnja? Apakah orang tua bungkuk jang duduk menundukkan kepala itu sungguh-sungguh ,,Pahlawan Betina Atjeh"? Jang tcraku dahulu mendjadi sckuntum bunga jang molck didunia wanita Atjeh? Sebab Din tidak incnampak maka tiap-tiap jang datang itu bcrganti-gantilah menjebutkan namanja masing-masing. Kepala Lamtengah, Kepala Lamhassan, Bital, Adjocn, Pakan Bada . . . dan sebagainja. Mendengar nama-nama jang dikenalnja itu, dan sctelah ia berhadapan pula dengan sekalian orang jang telah ,,menjcberang" dan mendjadi kaki tangan orang Belanda, maka dengan tibatiba timbul pulalah kcangkuhan Tjoet Nja Din, jang mendjadi sifat baginja selama ia bergaul dengan para pedjuang Atjeh dan mendjadi pemimpin rakjat jang terkemuka. Sambil mengangkat kepala, duduk luruslah ia, bersedia mendengarkan segala bitjara jang hendak dikcluarkan oleh sekalian tctamu itu. Barulah sekalian tamu itu insjaf, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang berhadapan dengan Tjoet Nja Din. Jang duduk lurus dengan mengangkat kepala itu sungguh Tjoet Nja Din dahulu, pedjuang Atjch jang „berpantang tunduk," pemimpin perdjuangan Atjeh jang bertckad hendak mengusir kaphd dari tanah airnja. Pahlawan Betina jang menggemparkan tanah Atjeh dan ditakuti orang didunia ketentaraan Belanda! Maka sekalian tamu itu menundukkan kepala, dan jang tcrtua berkatalah: ,,Kami menanti-nantikan pulangnja tuanku, Tjoet Nja Din! Sebab Djenderal kaphe jang kedjam itu telah meninggalkan tanah Atjeh!" Peristiwa itu, sampai kepada kata-kata jang terhambur dari mulut pembesar Atjeh itu, disampaikan oranglah kepada Djenderal van Daalen. Maka itulah rupanja jang mendjadi sebab, maka Gubernur di Kotaradja, Djenderal van Daalen, menolak andjuran-andjuran orang jang meminta djanganlah hendaknja Tjoet Nja Din dibuang. Karena hukuman buang itu, jang bcrarti mentjeraikan orang dari tanah airnja, bagi orang Atjch adalah suatu hukuman jang scberat-besratnja. Hcndaklah Pemerintah Belanda membiarkannja tinggal berdiam di Lampisang, menanti-nantikan hari adjalnja, jang memang telah dekat itu. Diantara opsir-opsir Belanda jang masih muda, banjaklah kedapatan jang menundjang andjuran itu. Letnan van Vuuren, jang terikat akan djandjinja kepada Pang La'ot, adalah pula masuk golongan orang jang menundjang. Tapi Djenderal van Daalen tetap menolaknja. Ia tahu bahwa tentara Belanda tidak lama lagi akan dikembalikan ketanah Djawa. Ia tahu pula bahwa para Ulama masih belum ditundukkan. Ia chawatir, kalau-kalau api Perang Sabil akan menggolak-golak kembali. Maka dibuanglah Tjoet Nja Din ketenah Djawa! Alangkah mulia bagi nama orang Belanda, djika dikemudian hari chalajak ramai dapat berkata: „Tjoet Nja Din, musuh orang Belanda jang pantang tunduk, telah menutup
210
Tjoet Nja Din
mata didalam keadaan merdeka, dan djenazahnja dapat dimakamkan ditanah Atjeh, tempat jang sesutji-sutjinja bagi seorang pahlawan tanah air!" . . . Tjoet Nja Din tinggal berdiam di Sumedang, sampai kepada adjalnja. Hidupnja ditempat pembuangan itu adalah scsuai dengan kcadaannja di Atjeh, sebagai puteri Oeloebalang dan isteri Panglima. Tjukuplah pengiring-pengiring bangsa perempuan jang menjertainja. Sedang dari fihak Pemerintah Belanda adalah ia dipcrlakukan dengan sopan dan hormatnja pula. Doktor telah menjembuhkan matanja jang rabun, sehingga dapatlah ia melihat setjara sediakala. Tanah Priangan jang maha pcrmai itu terbentanglah dengan segala keindahannja dimuka pemandangan Tjoet Nja Din. Tidak berbeda dengan dinegcrinja sendiri, di Atjch. Tapi sungguhpun serupa, jang nampak dimukanja itu bukanlah tanah Atjeh! Bukan pegunungan Atjeh! Udara sedjuk jang dihirupnja sehari-hari, bukan pula udara Atjeh! Tiap-tiap ia duduk termenung diberanda muka itu, maka dibclakang alam jang sedang dipandangnja, nampak djualah alam jang lain . . . Sawah-sawah sekitar Lampadang, Makam Keramat dikaki Pcgunungan Paran, djalan ketjil diatas pematang jang menudju ke Lampisang, Budit Tjot Tjako jang ada dimuka pintu Ngalau Beradin . , . Duduknja diberanda muka itu bagaikan melekat diatas kursinja. Mata jang memandang keluar tidaklah dikedjap-kedjapkan, dan tidak pula dikisarkisarkan. Mata itu tinggal bertaut pada sesuatunja jang tidak ada, djauh mclintasi puntjak-puntjak gunung, sampai kctcpi langit. . . Jang bergerak sekali-sckali pada tubuh Tjoet Nja Din hanjalah tangannja sadja. Kedua belah tangan tertjerai menumpu diatas hariabannja. Sekali-sckali iapun diangkat keatas, lalu disusun dengan segala chidmatnja. Tidak lama pula antaranja, maka kedua belah tepak tangan itu telah kembali melekat pula keatas dengkulnja. Sekiranja kita dapat sedjenak memindahkan sukma kita kedalam kalbu perempuan tua jang duduk termenung-menung itu. Lalu kita mengenangkan Ibrahim Lamgna jang gugur di Sela Glitaroen, kita kenangkan Lampadang, jang telah mendjadi rata dengan tanah, Ngalau Beradin jang dahulu telah mendjadi lantan api; kita memandang dalam chajal kepada Makam Oemar jang tcrscmbunji didalam rimba raja, didaerah Sungai Meulaboh dan Sungai Wojla, sedang perempuan tua itu sudah tak ada harapan lagi buat dapat ziarah kesana; kita kenangkan scdjurus saat kapal Pakctvaart bertolak dari pelabuhan Atjeh buat membawa Tjoet Nja Din ketempat pembuangannja . . . Kita ketahui bahwa perempuan tua jang duduk termenung itu tc'ah kehilangan harta bendanja, rumah dan halamannja dan kehilangan segala-galanja jang ditjintainja, tempat hatinja melekat, karena „budi" orang Belanda! Maka patutkah kita mengumpat atau menjalahinja, djika didalam kalbunja telah bersarang dan berurat berakar rasa dendam jang tidak berkeputusan terhadap
Penutup
kepada bangsa Belanda, sampai kepada detak djantungnja jan^ bisanr...
^ h c , , TAMAT
Guna mengarang bukunja, adalah penulis, Njonja M. 77. Szekely-Lulofs mempergunakan Perpustakaan dan Naskah-Naskah jang tersebut dibawah ini: Dr. C. Snouck Hurgronje: De Atjehers. „ Vcrspreide Geschriften, IV en I. Mekka. E. B. Kielstra: Beschrijving v. d. Atjeh-Oorlog, III, dl. J. B. van Heutsz: De onderwerping van Atjch. G. B. Hooyer: Krijgsgeschicdenis van Ned.-Indie van i8n-'94. K. F. H. van Langcn: De Inrichting v. h. Atjehse Staatsbestuur onder het Sultanaat. „ Informatieboekje betreffendc Groot-Atjehse personen en aangelegenheden. „ Atjeh's Westkust. Prof. P. J. Veth: Atjeh en zijne Betrekkingcn tot Nederland. J. A. J. Gerlach: Atjch en de Atjeneezen. E. S. de Klcrck: De Atjeh-oorlog. J. Kreemcr: Atjeh. J. A. Kruyt: Atjeh en de Atjeher. ,_ Dr. J. Jacobs: Familie- en Kamponglcvcn in Atjeh. J. Jongejans: Land en Volk van Atjeh, vroeger en nu. H. C. Zentgraaff: Atjch. A. Kruisheer: Atjeh 1896, II dl. C. B. E. J. Hotz: Bcknopt geschiedkundig overzicht v. d. Atjeh-oorlog. J. van Swieten: De waarheid over onze Vestiging in Atjch. Anonym: De Toekoe Oemar politiek. Maandschrift voor Geschiedcnis: Historia, 2 Maart 1936, H. J. Schmidt Artikel. J. C. Lamster: J. B. van Heutsz. H. T. Damste: Hikajat Prang Sabil. Indische Gids 1880. Indisch Militair Tijdschrift, 1884, 1892. Tijdschrift voor Nedcrlands Indie, 1874, 1893. Koloniaal Verslag 1910. De Gids 1849: Veth: Geschiedcnis van Sumatra. De Gids 1918: C. van de Pol: Tjoet Nja Din. Bijdragen Taal-, Land- en Volkenkunde, Dl.55, Dl. 66. Fragment uit dc Hikajat Prang Kompcuni van Dokarim, mondeling vertaald door H. F. Damste. Dagblad De Locomotief: Jaargangen 1872, 1873, 1875, 1876, 1878, 1885, 1893,