FENOMENA WARUNG KOPI (Suatu Penelitian di Warung Kopi 42 Andalas Kelurahan Paguyaman Kecamatan Kota Tengah Kabupaten Gorontalo) Oleh 1
Zulfahri Huraera, Rahmatia*, Sainudin Latare**, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosioal Universitas Negeri Gorontalo Email:
[email protected]
ABSTRAK Huraera Zulfahri, 2015 Fenomena Warung Kopi (Suatu Penelitian di Warung Kopi 42 Andalas). Skripsi Program Studi S1 Sosiologi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo 2015. Dibimbing oleh Dr. Rahmatiah, S.Pd., M.Si selaku pembimbing I dan Sainudin Latare, S.Pd., M.Si selaku pembimbing II. Penelitian ini mengkaji tentang Fenomena Warung Kopi (Suatu Penelitian di Warung Kopi 42 Andalas Kelurahan Paguyaman Kecamatan Kota Tengah Kabupaten Gorontalo). Pada penelitian ini di jelaskan mengenai Bagaimana Fenomena Warung Kopi yang terjadi di Warung Kopi 42 Andalas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif sesuai dengan permasalahan yang diangkat yaitu bagaimana melihat Suatu Fenomena yang ada di warung kopi. Dalam penelitian ini peneliti terlibat langsung dalam memperoleh data yang akurat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, bahwa Fenomena warung kopi 42 andalas sangat sesuai dengan konsep ataupun teori Jean Baudrillard tentang nilai dan tanda, ruang simulakrum, serta Fungsi sosial yang ada di warung kopi 42 andalas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif yakni menggambarkan bagaimana melihat fenomena warung kopi dan konsep Jean Baudrillard tentang Nilai dan tanda, ruang Simulakrum/simulasi serta Fungsi sosial yang ada.
Kata Kunci
: Fenomena, Warung Kopi 42 Anadalas
1 Zulfahri Huraera, 281411032, Jurusan S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Dr. Rahmatia, S.Pd., M.si, Sainudin Latare, S.Pd., M.si
A. PENDAHULUAN Gorontalo sebagai bangsa lahir dan berdiri berkat nasioanalisme lokal. Sebelum berdiri formal tahun 1942, Gorontalo belum ada. Saat itu yang ada adalah linula-linula yang mempunyai coraknya masing-masing. Ketika gorontalo ditegakkan, kerumunan tadi bermetamorfosa menjadi Gorontalo. Tampak jelas bahwa gorontalo berupa federasi kultural, gabungan linula, kesatuan marga feodal dengan sikap kebudayaanya masing-masing.2 Ternyata nasionalisme lokal yang ditancaplkan tanggal 23 januari 1942 itulah yang mempersatukan berbagai aliran, marga, bahasa, egosektoral dan teritori menjadi satu bangsa; Gorontalo. Maka sesungguhnya nasionalis Gorontalo adalah nasionalisme yang berakar pada aliran, marga, bahasa, ego sektoral dan teritori. Sifat multikultural itu sepantasnya tetap terjaga, eksis bersama, tumbuh kembang bersama pula Lenyapnya atau tertekanya satu unsur kebudayaan tertentu akan menyebabkan sakitnya kebudayaan dan peradaban kita sebagai satu keutuhan.3 Terlepas dari sejarah Gorontalo yang begitu besar nilai Nasionalismenya, masyarakat Gorontalo juga masih mewarisi tradisi yang secara turun temurun tetap ada, yakni tradisi mengkonsumsi kopi. Kopi memang telah menjadi bagian erat dalam kehidupan masyrakat Gorontalo. Kopi pada dasarnya merupakan sesuatu yang menarik untuk dibicarakan, karena kopi merupakan salah satu komuditi terlaris saat ini, yang selalu diburuh, dan di gandrungi oleh para penikmat kopi dimamanpun ia berada. Apabila kita berbicara mengenai kopi maka tidak terlepas dengan tempat yang menawarkan atau menjual aneka minuman kopi atau lebih akrab disebut warung kopi. Saat ini masyarakat mempunyai minat yang besar dalam mengunjungi tempat ini dan dapat dikatakan tempat ini menjadi slah satu pilihan favorit yang digemari oleh semua kalangan. Bagi sebagian besar masyrakat, mengunjungi warung kopi telah menjadi kebutuhan dan kebiasaan. Salah satu contohnya, yakni kebiasaan ngopi (aktifitas mengonsumsi kopi) di warung kopi yang menjadi salah satu kebutuhan bagi sebagian masyrakat yang ingin mengisi waktu luang setelah menjalani rutinitas. Pada awalanya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas untuk mengisi waktu luang, tempat istirahat untuk melepas kepenatan, baik secara individu maupun komunal. Biasanya keberadaan warung kopi diasosiasikan dengan tempat yang jauh dari prestise, bahkan terkesan kumuh.4
2
) Lihat Funco Tanipu, Raut Muka Gorontalo (HPMIG Press, 2008) ) Ibid., 4 ) Fidagta Khoironi, “Ekspresi Keberagaman Komunitas Warung Kopi : Analisis Profil Komunitas Warung Kopi Blandongan di Yogyakarta,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009), hal. 1 3
Fenomena menjamurnya warung kopi tidak terlepas dari kebiasaan ataupun budaya minum kopi masyarakat. Budaya minum kopi di setiap daerah ataupu kota-kota di seluruh dinia berbeda-beda. Dikota Vienna (Austria), kebiasaan minum kopi pada pagi hari di warung kopi sudah menjadi aktivitas wajib bagi penduduk lokalnya. Warung kopi dengan ciri khas yang mewah
dan elegan menjadi warisan budaya di vienna. Lain lagi di Amsterdam
(Belanda), yang masyrakatnya sangat suka bersosialisasi di tempat-tempat semacam warung kopi, sehingga disana terdapat banyak warung kopi. Kemudian di negara Selandia baru, kota Wellington merupakan kota favorit bagi warga penikmat kopi Pada saat ini warung kopi telah mengalami pergeseran makna, yang mana mengunjungngi warung kopi bukan hanya sebagai tempat sebagian orang melakukan aktifitas konsumsi akan tetapi mengunjungi warung kopi juga sudah menjadi salah satu gaya hidup bagi sebagian besar masyarakat saat ini. Seiring berkembangnya perubahan fisik juga tampak pada berdirinya warkop-warkop yang bernuansa modern yang lebih banyak menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang publik untuk menarik pengunjung. Warung kopi yang bernuansa modern memberikan berbagai fasilitas baik dari segi menu maupun sarana dan prasarana yang berbeda dengan warung kopi pada umumnya. Dan perbedaan yang paling menonjol adalah dari segi harga minuman kopi yang jauh lebih mahal dibandingkan menu kopi di warung kopi biasa. Kehadiran warung kopi modern menawarkan aktifitas ngopi yang berbeda dengan warkop-warkop sebelumnya. warung kopi 42 Andalas kota Gorontalo misalnya, citra warung kopi yang terletak di jalan John Aryo Katili, keluraha Paguyaman, kecamatan kota tengah ini memiliki kesan yang bergengsi dan elit dimata pengunjungnya. Salah satu pengaruh keberhasilan warung kopi 42 andalas ini tidak terlepas dengan citra yang berhasil dimunculkan, bukan hanya terkenal dengan kopi pinogunya yang nikmat namun sarana dan prasarana yang di tawarkan sangan menunjang bagi penikmat kopi. Fasilitas Wifi yang di hadirkan ditengah-tengah penikmat kopi memberikan kesan tersendiri. Kemudian warung kopi 42 andalas buka 24 jam, maka dari itu jangan heran ketika lewat di depan warung kopi 42 andalas pasti akan selalu ramai dikunjungi oleh para penikmat kopi. Keberadaan warung kopi di kota Gorontalo juga memenuhi kebutuhan masyarakat akan hal-hal baru yang tidak ditemui selain di warung kopi. Tak aneh rasanya bila pengunjung berkumpul mampu menciptakan suasana baru di warung kopi. Ada nilai serta tanda tersendiri sampai kenapa banyak masyarakat yang lebih memilih untuk minum ataupun mengkonsumsi kopi di warung kopi. Warung kopi adalah sebuah wadah yang dapat
memberikan tempat bagi masyarakat khususnya masyarakat Kota Gorontalo untuk berkomunikasi satu sama lain. Kondisi di mana orang-orang dengan cara berinteraksi di warung kopi. warung kopi selalu dijadikan opsi untuk melakukan interaksi oleh masyarakat Kota Gorontalo. Sebenarnya orang-orang mengunjungi warung kopi untuk mencari lawan bicara sehingga tidak akan ditemukan warung kopi yang luput dari hiruk-piku percakapan (Maurisa, 1998). Selain itu tidak sedikit yang mengaku bahwa warung kopi dapat memberikan inspirasi dan informasi. Hal ini tidak terlepas dari manfaat warung kopi yaitu sebagai tempat menemukan ide dan gagasan. Maka tidak heran begitu banyak kelompokkelompok sosial dari berbagai kalangan datang dan menjadi pelanggan tetap pada warung kopi ini. Hal ini tentu menarik untuk dikaji, keberadaan warung kopi yang terus berkembang telah menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dalam melakukan rutinitas keseharianya dengan latar belakang pengguna yang beragam. Bagi kaum muda khususnya pelajar dan mahasiswa, warung kopi telah dimanfaatkan untuk mengerjakan tugas, diskusi kelompok, dan rapat organisasi. Artinya ada makna dan nilai serta tanda tersendiri bagi mereka yang datang ke Warung kopi, karena secara sederhana aktivitas mengkonsumsi kopi dapat di lakukan di manapun, bahkan di rumah sebagai contoh sederhananya, namun sampai mengapa masyarakat pada umumnya lebih memilih untuk mengkonsumsi kopi di Warung kopi. Hal ini yang membuat mengapa peneliti ingin melakukan penelitian terkait dengan fenomena warung kopi di Wrung Kopi 42 Andalas.
Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimana Fenomena Warung Kopi di Warung Kopi 42 Andalas?
Tujuan Penelitian
Menganalisis aktifitas konsumsi dalam konsep nilai tanda Di Warung kopi 42 Andalas. Menganalisis tentang Realitas semu dari Warung Kopi 42 Andalas. Menganalisis tentang Fungsi Sosial Dri Warung Kopi 42 Andalas.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Manfaat untuk Alamamater yaitu diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan terhadap seluruh elemen Intelektual yang ada dalam Atmosfir Akademika. Sekurang-kurangnya Penelitian ini dapat berguna sebagai sumbang pemikiran bagi Dunia Ilmu Pengetahuan.
Manfaat Praktis
Manfaat untuk diri sendiri yaitu diharapkan agar penelitian ini dapat menambah wawasan diri sebagai kaum Intelektual yang peka dengan masalah-masalah sosial. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut, serta referensi terhadap penelitian yang sejenis. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi pengguna atau atau pengunjuk warung kopi terkait dengan dampak-dampak yang ditimbulkan pada saat mengkonsumsi kopi di warung kopi. B. KAJIAN PUSTAKA Konsep Nilai dan Tanda (Jean Baudrillard) Perkembangan kapitalisme lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukan perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat konsumen. Bila dalam era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme lanjut, konsumsi adalah determinan pasar kapitalisme yang juga berubah : semakin bersifat monopolitis.5 Sejak tahun 1960-an, kedudukan dominasi faktor konsumsi bahkan tidak hanya dalam kawasan ekonomi. Lebih dari era-era sebelumnya, kini konsumsi menjadi motif utama dan penggerak realitas sosial, budaya, bahkan politik.6 Dalam era ini, segala upaya ditunjukan pada penciptaan dan peningkatan kapitalisme konsumsi melalui permasalahan produk, diferensiasi produk, dan manajemen pemasaran. Iklan, teknologi, kemasan, pameran, media massa dan shopping mall merupakan ujung tombak strategi baru era konsumsi. Inilah awal lahirnya masyarakat konsumen, masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan, dengan hasrat untuk selalu dan selalu mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumen, objek-objek konsumsi yang berupa komuditas tidak lagi sekedar
5 6
) Medhy Aginta Hidayat, Menggugat Modernisme (2012 : 59) ) Lihat Kellner (1994:3), Dalam Medhy Aginta Hidayat (2012), hal.59
memiliki manfaat nilai guna dan nilai tukar seperti dijelaskan oleh Marx. Namun lebih dari itu, ia kini menandakan status, prestise dan kehormatan (nilai tanda dan nilai-nilai simbol). Nilai tanda dan nilai simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumen. Pergeseran yang terjadi seiring dengan perubahan karakter masyarakat postmodern inilah yang kemudian menarik perhatian Baudrillard untuk mengkajinya secara mendalam. Dalam bukunya For a Critique of The Political Economi of The Sign (1981), Baudrillard menggabungkan semiologi Barthes, pemikiran ekonomi politik Marx, pemikiran Mauss, dan batailletentang sifat non-utilitarian aktivitas konsumsi manusia, serta konsep the society of spectacle Guy Debord, untuk menyatakan bahwa konsep nilai guna dan nilai tukar yng disarankan Marx, kini telah diganti oleh nilai tanda dan nilai simbol. Menurutnya, konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi spesies manusia.7 Sambil menyanggah pendapat Galbraith yang menyatakan bahwa manusia adalah homo psychoeconomicus, Baudrillard menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan nilai simbol, dan bukan karena kebutuhan dan hasrat mendapat kenikmatan (Baudrillard, 1970 : 47). Masyarakat konusmsi yang berkembang saat ini adalah masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi, dimana kegunaan dan pelayana bukanlah motiv terakhir dari tindakan konsumsi. Melainkan lebih kepada produksi dan manupulasi penandaan-penandaan sosial. Individu mnerima identitas mereka dalam hubunganya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukanya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki dan tampilkan dalam interaksi sosial. Dalam masyarakat konsumen tanda adalah cerminan aktualisasi dari individu yang paling meyakinkan.
Ruang Simulakrum atau Simulasi (Realitas Semu)
Semua yang nyata kini semua menjadi simulasi. Kini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dhasyat, menurut Baudrillard, tidak hanya nila-nilai sublim dan luhur yang menguap, tapi bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak hanya sekedar dapat diceritakan, dipresentasikan, dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa, dan disimulasi. Dalam realitas buatan, realitas simulasi ini, segala sesuatu bercampur baur, bersilang-sengkarut. Realitas-realitas buatan adalah ciri zaman ini, sebuah tanda zaman tengah menjelangnya sebuah era kebudayaan baru : kebudayaan postmoder. Dengan mengambil ahli 7
) Lihat Baudrillard (1970), Dalam Medhy Aginta Hidayat (2012), hlm.62
dan mengembangkan gagasan para pendahulunya : semiologi Saussure, Fetisise komoditas Marx, teori Defferance Derrida, mitologi Barthes, serta geneologi Foucault, Baudrillard mencoba membaca karakter khas masyarakat barat.8 Melalui bukunya yang banyak menarik perhatian, simulation (1983), Baudrillard memaparkan kondisi sosial budaya masyarakat barat yang disebutnya tengah berada dalam dunia simulakra, simulakrum dan simulasi. Inilah dunia yang terbangun dari konsekuensi relasi perkembangan ilmu dan teknologi, kebudayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme serta runtuhnya narasi-narasi besar modernisme. Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang berdiri diatas logika produksi serta disuarakan Marx kini suda tidak relevan lagi. Jika era pra-modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik ( symbolic exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, maka kini, menjelang era baru, yakni era postmodern, yang ditandai denga era simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut Baudrillard, maka prinsipprinsip modernisme pun tengah menghadapi saat-saat kematianya. Dalam bahasanya yang khas, Baudrillard mengumandangkan berakhirnya modernisme dengan logika produksinya.9 Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluru proses komunikasi manusia. Dalam masyarakat simulais seperti ini, segala sesuatu ditentuka oleh relasi tanda, citra dan kode. Tanda adalah segalah sesuatu yang mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi saussurean memiliki dua unsur, yakni penanda (bentuk) dan petanda ( makna). Citra adalah segala sesuatu yang nampak oleh indra, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi subtansial. Sementara kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain (piliang 1998: 13).10 Dalam dunia simulasi, identitas seseoreang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendir. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin bagaiman seorang individu memahami diri mereka hubunganya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur oleh logika simulasi
8
) Lihat Rojek (1993), Dalam Medhy Aginta Hidayat (2012), hlm.73 ) “berakhirnya kerja. Berakhirnya produksi. Berakhirnya ekonomi politik. Berakhirnya dialektika penanda/petanda yang meproduksi akumulasi pengetahuan dan makana, dan sintagma linear serangkaian diskursus. Era kematian dialektik simultan antara nilai tukar/nilai guna yang memungkinkan proses akumulasi kapital dan produksi. Era kematian diskursus linear. Era kematian mekanisme perdagangan linear. Era kematian era klasik imperium tanda. Era kematian era produksi” (Baudrillard, 1983:20) 10 ) Lihat Piliang (1998), Dalam Medhy Aginta Hidayat Menggugat Modernisme (2012), hlm.74 9
ini, diman kode an model-model menentuka seorang harus bertindak dan memahami lingkunganya.
Simulakra Orde Pertama
Simulakra orde pertama berlangsung semenjak era Renaisans-feodal hingga permulaan revolusi industri. Dalam orde ini, realitas dunia dipahami berdasarkan prinsip hukum alam, dengan ciri ketertiban, keselarasan, hirarki alamiah serta bersifat Transenden. Alam menjadi pendukung utama sekaligus determina kebudayaan. Tanda-tanda yang di produksi dalam orde ini adalah tanda-tanda yang mengutamakan integrasi antara fakta dan citra secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan erat dengan kehendak manusia zaman itu untuk mempertahankan struktur dunia yang alamiah. Dengan demikian, prinsip dominasi yang menjadi ciri simulakra orde pertama adalah prinsi representasi. Bahasa, objek, dan tanda adalah tiruan dari realitas alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal. Sebagi tiruan, bahasa, objek dan tanda masi memiliki jara dengan objek aslinya.11
Simulakra Orde Kedua
Simulakra orde kedua, berlangsung bersamaan dengan semakin gemurunya era industrialisasi yang merupakan konsekuensi logis revolusi industri. Revolusi industri, disatu sisi telah memberikan sumbangan terbesar bagi perkembangan kebudayaa. Namun disisi lain, revolusi industri juga telah menimbulkan ekses-ekses negatif bagi kebudayaan. Logika produksi, yang menjadi prinsi simulakra orde kedua, telah mendorong perkembangan teknologi mekani sampai pada batasanya yang terjauh. Mengikuti Walter Benjamin, dalam esainya, The Word Art in The Era of Mechanical Reproduction (1969), Baudrillard menyatakan bahwa denga teknologi reproduksi mekanik sebagai media dan prinsip produksi, objek-objek alamiah telah kehilangan aurah dan sifat transendensinya. Objek kini bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti yang asli. Dengan kemjuan teknologi reproduksi mekanik inilah, prinsip komoditas dan produksi masa menjadi ciri dominan era simulakra orde kedua.
Simulakra Orde Ketiga
Simulakra Orde Ketiga, lahir sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global, media masa, konsimerisme dan kapitalisme pada era
11
) Lihat Kellner (1994: 103), Dalam Medhy Aginta Hidayat Menggugat Modernisme (2012), hlm.76
paska perang dunia kedua. Lebih dari pada masa-masa sebelumnya, pada orde ini relasi berbagai unsur struktur budaya mengalami perubaha mendasar. Tanda, citra, kode, dan subjek budaya tidak lagi meruju pada refrensi dan realitas yang ada. Simulakra orde ketiga ini ditandai dengan hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan memberi makna realitas. Inilah era yang disebut Baudrillard sebagai era simulasi.
Simulakra Orde Keempat atau Orde Fraktal (Baudrillard)
Istilah fraktal, dipinja Baudrillard dari bidang matematik, yakni sebuah proses perkembangbiakan nilai-regular dalam keacakan matematis. Orde fraktal menunjukan pada suatu kondisi keacakan dimana batas-batas antara baerbagai hal melebur dan berubah menjadi sekadar permainan bebas diantara berbagai hal tersebut. Sebagai contoh paling umum, baudrillard menyatakan bahwa dewasa ini masalah seksualitas tidak lagi sebatas berada dalam wilayah seksualitas, namun dapat ditemukan hampir disemua aspek kehidupan. Atau masalah politik, yang kini telah memasuki wilayah-wilayah lain seperti ekonmi, sosial, teknologi, dan seni. Dalam era simulasi ini, realitas tidak lagi memiliki eksistensi . realitas telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra, dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi yang real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan, tanda dan ede, serta yang semu dan yang nyata. Yang ada hanyalah campur aduk diantara semuanya. Sebuah realitas yang tak lagi memiliki referensi.12 Teori orde simulakra Baudrillard ini, dalam beberapa tingkatan, bisa dipandang sebagai suatu konsepsi baru proses perkembangan sosial
yang berakar pada prinsip
perubahan karakter objek-objek reproduksi. Dalam perkembanganya kemudian, melalui bukunya Transparency of Evil (1993), Baudrillard mengemukakan satu orde baru yang disebutnya sebagai orde keempat atau orde Fraktal. Istilah fraktal, di pinjam Baudrillard dari bidang matematika. Yakni sebuah proses perkembangbiakan nila-reguler dalam keacakan matematis. Orde fraktal menunjukan pada suatu kondisi keacakan dimana batas-batas antara berbagai hal melebur dan berubah menjadi sekadar permainan bebas diantara berbagai hal tersebut. Sebagai contoh paling umum, baudrillard menyatakan bahwa dewasa ini masalah seksualitas tidak lagi sebatas berada dalam wilayah seksualitas, namun dalat ditemukan hampir disemua aspek kehidupan. Atau masalah politik, yang kini sudah memasuki wilayahwilayah lain seperti ekonomi, sosial, teknologi, dan seni. ) “Bukan berarti yang satu simulakrum kemudian yang lain realitas. Apa yang kita alami sekarang adalah hilangnya acuan segala sesuatu. Yang ada hanyalah simulakra” (Baudrillard, 1983: 86) 12
Fungsi Sosial
Fungsi sosial oleh suharto dkk (2009, h.28) diartikan sebagai kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok atau masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi atau merespon kebutuhan dasar, menjalankan peran sosial serta menghadapi goncangan dan tekanan (shocks and stresses). Pada suatu ketika, ada kalanya seseorang mengalami gangguan fungsi sosial yang disebabkan oleh beberapa faktor (Sofa, 2008).13 antara lain : 1. Apabila ada kebutuhan yang tidak terpenuhi 2. Fungsi sosial menjadi terganggu apabila ada kebutuhan yang tidak terpenuhi 3. Apabila seseorang mengalami gangguan kesehatan, kedudukan yang berat, penderitaan yang lain sebagai akibat bencana alam maka fungsi sosialnya akan terganggu (Sofa, 2008) C. METODE PENELITIAN Berdasarkan judul penelitian ini, yaitu “Fenomena Warung Kopi” (Suatu Penelitian di Warung Kopi 42 Andalas Kota Gorontalo)”, Adapun lokasi penelitian yang peneliti pilih yaitu di Warung Kopi 42 Andalas Kota Gorontalo. Dengan alasan: (1) Peneliti memilih lokasi ini karena sepengetahuan penulis belum ada yang melakukan penelitian terkait dengan fenomena Warung kopi khususnya di Kota Gorontalo. (2) karena lokasi penelitian ini mudah dijangkau oleh peneliti dan tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk menjangkaunya. Sehingga peneliti mengalami kemudahan dalam melakukan penelitian ini. (3) Dari pengetahuan peneliti bahwa sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian sehubungan dengan masalah yang akan diteliti di Warung Kopi tersebut. Adapun waktu perencanaan awal dilakukannya penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 Maret sampai dengan 10 Mei 2015. Waktu penelitian ini juga menyesuaikan dengan proses penyusunan dan bimbingan proposal penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Sehingga waktu penelitian yang telah ditetapkan tidaklah mutlak, akan tetapi dapat berubah suatu waktu sesuai dengan telah dilakukannya ujian proposal penelitian. Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan pendekatan deskritif dan jenis penelitiannya adalah interpretif dasar. Metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang berupaya untuk memahami dan membuat mengerti mengenai suatu fenomena ) Prinda Kartika Mayang Ambari,”Hubungan antara dukungan keluarga dengan keberfungsan sosial pada pasien Skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit,”(Skripsi Sarjana,Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang,2010), hal.8 13
dari sisi perspektif partisipan.14 Sedangkan menurut Patton, penelitian kualitatif adalah sebuah usaha untuk memahami situasi dalam keunikan mereka sebagai bagian sebuah konteks khusus dan interaksi yang terjadi di sana.15 Dalam metode penelitian ini, teknik pengumpulan datanya dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis datanya bersifat induktif, serta hasil penelitiannya lebih menekankan pada suatu makna daripada generalisasi.16 Sementara itu, penelitian kualitatif interpretif dasar merupakan suatu penelitian kualitatif yang menunujukkan karakteristik penelitian di mana peneliti tertarik dalam memahami bagaimana partisipan membentuk makna terhadap situasi atau fenomena, makna ini diperantarai melalui peneliti sebagai instrumen, strateginya adalah induktif, dan hasilnya adalah deskritif. Dalam melakukan jenis penelitian ini, peneliti mencoba menemukan dengan menjelajahi dan memahami sebuah fenomena, sebuah proses, perspektif dan cara berpikir, bertindak dan keyakinan (worldview) orang-orang yang terlibat dalam penilitian, atau sebuah kombinasi dari semua hal tersebut. Data dalam penelitian ini dianalisa secara induktif untuk mengidentifikasi pola berulang atau topik-topik yang sering muncul di setiap data yang dikumpulkan.17 Ada beberapa proses yang harus dilakukan oleh peneliti ketika akan melakukan pengumpulan data, proses-proses pengumpulan data tersebut pada dasarnya adalah untuk mengatasi apabila terdapat kemandekkan atau kebingungan untuk mengupulkan data ketika dilokasi penelitian. Hal ini akan terjadi kepada peneliti apabila sebelum terjun ke lapangan tanpa pembekalan studi sebelumnya terlebih dahulu. Menurut Rudito dan Budimanta, prosesproses tersebut di antaranya terdiri atas:18
Menetapkan batas-batas penelitian yang terdiri dari: lokasi (tempat penelitian akan dilaksanakan), pelaku (orang atau pihak-pihak yang akan diamati atau diwawancarai, peristiwa (apa yang akan diamati atau wawancarai), dan proses (sifat kejadian yang dilakukan pelaku di dalam lokasi).
Starategi yang akan dilakukan, diantaranya: mengumpulkan informasi dengan pengamatan, wawancara, dokumen-dokumen dan bahan visual lain yang dibutuhkan sebagai data.
14
) Sharan B. Merriam, dkk., Qualitative Research in Practice, CA: Josey-Bass, San Fransisco, 2002, hlm.
6. 15
) Ibid., hlm. 5. ) Sugiyono, Penelitian Kualitatif, CV Alvabeta, Bandung, 2013, hlm. 1. 17 ) Ibid., hlm. 6. 18 ) B. Rudito, dan M. Famiola, Social Maping-Metode Pemetaan Sosial: Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti, Rekayasa Sains, Bandung, 2013, hlm. 125-126. 16
Menetapkan aturan untuk mencatat informasi. Menurut Creswell, pada tahap ini disarankan untuk membuat catatan yang terbagi-bagi dalam bentuk obyek yang akan dicatat yang terjadi dari potret informan, rekonstruksi dialog, penjelasan latar fisik, laporan kejadian khusus dan kejadian yang ada.
Sejak mulanya peneliti berusaha untuk mencari makna data yang disimpulkannya. Untuk itu peneliti mencari pola, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis, dan sebagainya. Jadi data yang diperoleh peneliti, sejak awal mencoba mengambil kesimpulan. Kesimpulan itu mula-mula masih sangat tentatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahnya data, maka kesimpulan itu lebih “gorunded”. Jadi kesimpulan senantiasa harus diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi dapat singkat dengan mencari data baru, dapat pula lebih mendalam bila penelitian dilakukan oleh suatu team untuk mencapai “inter-subjective consensus” yakni persetujuan bersama agar lebih menjamin validitas atau “confirmability”.19 D. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil uraian dan penjelasan terkait dengan penelitian tentang fenomena warung kopi, peneliti menarik tiga rumusan masalah yang ada, yang pertama melihat bagaimana fenomena warung kopi 42 andalas yakni aktivitas konsumsi dalam konsep nilai dan tanda yang ada di warung kopi 42 andalas, kedua melihat bagaimana ruang simulakrum/simulasi yang ada di warung kopi 42 andalas dan yang ketiga melihat bagaimana fungsi sosial yang terjadi di warung kopi 42 andalas. Gorontalo sebagai bangsa yang lahir dan berdiri berkat nasioanalisme lokal. Sebelum berdiri formal tahun 1942, Gorontalo belum ada. Saat itu yang ada adalah linula-linula yang mempunyai coraknya masing-masing. Ketika gorontalo ditegakkan, kerumunan tadi bermetamorfosa menjadi Gorontalo. Tampak jelas bahwa gorontalo berupa federasi kultural, gabungan linula, kesatuan marga feodal dengan sikap kebudayaanya masing-masing.20 Ternyata nasionalisme lokal yang ditancaplkan tanggal 23 januari 1942 itulah yang mempersatukan berbagai aliran, marga, bahasa, egosektoral dan teritori menjadi satu bangsa; Gorontalo. Maka sesungguhnya nasionalis Gorontalo adalah nasionalisme yang berakar pada aliran, marga, bahasa, ego sektoral dan teritori. Sifat multikultural itu sepantasnya tetap terjaga, eksis bersama, tumbuh kembang bersama pula Lenyapnya atau tertekanya satu unsur kebudayaan tertentu akan menyebabkan sakitnya kebudayaan dan peradaban kita sebagai satu
20
19 ) Ibid., hlm. 130. ) Lihat Funco Tanipu, Raut Muka Gorontalo (HPMIG Press, 2008)
keutuhan.21 Terlepas dari sejarah Gorontalo yang begitu besar nilai Nasionalismenya, masyarakat Gorontalo juga masih mewarisi tradisi yang secara turun temurun tetap ada, yakni tradisi mengkonsumsi kopi. Kopi memang telah menjadi bagian erat dalam kehidupan masyrakat Gorontalo. Fenomena warung kopi muncul sebagai wahana sejarah baru yang selalu di rekonstruksikan tidak hanya pada orientasi Transaksionitis-nya, pola-pola estetis dan gaya yang khas, tetapi juga makna yang kini fungsinya semakin mendapatkan legitimasi dihati publik masyarakat. Selain terjangkau harganya, nilai estetis sebuah warung kopi juga menjadi hiburan yang tak tergantikan dari kehidupan harian masyarakat Gorontalo. Secara di sadari atau tidak, warung kopi telah menjadi tanda yang mengukuhkan sebuah identitas baru, mulai bertemunya beragam orang, lembaga, status sosial, dan bahkan identitas yang multikultur sekaligus. Jadi dapat dikatakan bahwa aktivitas mengkonsumsi kopi di warung kopi sudah bukan menjadi hal untuk mengkonsumsi kopi melainkan ada nilai-nilai tersendir sampai mengapa kebanyakan orang lebih memilih mengkonsumsi kopi di warung kopi. Sama halnya dengan Warung kopi yang terletak di jalan Jhon Aryo Katili, Kelurahan Paguyaman, Kecamatan Kota tengah Gorontalo, yaitu Warung kopi 42 Andalas. Bapak Oneng Iskandar merupakan pemilik warkop 42 andalas. Warkop 42 andalas resmi berdiri pada tanggal 9 November 2014, latar belakang sampai mengapa bapak Oneng Iskandar membuka usaha warkop ini adalah dari minatnya yang cukup besar di dunia bisnis, ia ingin membuat suatu tembat ataupun usaha yang mana dapat menarik minat pengunjung untuk dapat berkumpul dan menikmati usaha yang nantinya ia akan buka. Sampai akhirnya ia membuka usaha warung kopi, yang di beri nama Warung Kopi 42 Andalas. Warung kopi yang buka 24 jam ini, memiliki pengunjung yang mayoritas adalah kaum muda, dimana waktu yang paling ramain di kunjungi sekitar jam 4 sore sampai dengan larut malam. E. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah di uraikan pada bab-bab sebelumnya pada bagian akhir penulisan skripsi ini dapat ditarik beberapa poin yang berupa kesimpulan sebagai berikut : Proses terbentuknya penilaian konsumen warung kopi 42 terhadap gaya hidup ngopi, disalurkan warungkopi 42 melalui nilai tanda yang dimilikinya. Adapun
21
) Ibid.,
nilai tanda tersebut seperti halnya tata ruang yang baik, desain interior yang mewah, serta berbagai fasilitas maupun sistem pelayanan warung kopi 42. Dari segala tanda-tanda yang dimiliki warung kopi 42, maka menghasilkan simulakrum yang menyebabkan terciptanya sebuah pandangan imajiner bagi konsumen akan sebuah tempat ngopi yang elit dan ekslusif. Maka hal tersebut sesuai dengan apa yang di sebut simulasi oleh Jean P Baudrillard. Kecendrungan pergeseran fungsi warung kopi dimata konsumen yang bukan lagi di dasari oleh kebutuhan dan kegunaan melainkan pada hasrat untuk dapat menampilkan prestise, status sosial, dan lain sebagainya telah menghasilkan sebuah realitas semu. Fungsi dari warung kopi pada uumnya mengalami pergeseran dari nilai guna setelah munculnya coffe shop seperti wrung kopi 42. Karena semula konsumen mengunjung warung kopi guna mendapatkan secangkir kopi untuk di konsumsi, akan tetapi dengan munculnya warung-warung kopi yang menyajikan kesan mewah seperti warung kopi 42, telah bergeser kearah kepentingan lain. warung kopi 42 tidak hanya menawarkan kopi sebagai produk utamanya, akan tetapi secara tidak langsung juga memberikan makna bagi konsumenya yakni sebuah aktivitas konsumsi yang ekslusif. Dalam artian apa yang di tampilkan konsumen warung kopi 42 saat melakukan aktivitas konsumsi adalah sebuah cerminan gaya hidup. Namun tidak dapat di pungkiri bahwa warung kopi 42 Andalas juga memberikan dampak positif dimana dengan adanya warung kopi tersebut telah banyak terjadi interaksi antar manusia di tempat tersebut yang bisa di sebut sebagai fungsi sosial, mengapa demikian, semua itu karena warung kopi 42 sering menjadi tempat pertemuan orang, tempat diskusi organisasi-organisasi ataupun kelompok-kelompok muda.
Saran
Berdasarkan dari hasil uraian pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan saran sebagai berikut: Harapkan dari peneliti bahwasanya Warung kopi-warung kopi khususnya yang ada di gorontalo dapat memberikan kesan sederhana, agar tidak ada yang namanya pembedaan antara seluruh elemen masyarakat, karena mengkonsumsi kopi pada umunya adalah suatu kebudayaan atupun aktivitas yang sudah ada sejak dahulu.
Di harapkan pemerintah daerah dalam hal ini dapat memberikan suatu ruang kebersamaan dalam hal ini untuk meningkatkan tali persaudaraan antar sesama, dengan membuatkan suatu wadah ataupun tempat dimana seluruh masyarakat dapat menikmati kopi tanpa ada kepentingan lain. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi bagi peneliti yang akan melakukan penelitan menyangkut
tentang Fenomena Warung kopi yang ada di
indonesia umumnya dan di Gorontalo khususnya. Serta Penelitian ini semoga dapat menjadi bahan menjadi bahan bacaan yang baik dan mampu menambah wawasan kita dalam membagun cakrawala berpengetahuan antar sesama masyarakat pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA Buku : Hidayat, M A, 2012. Menggugat Modernisme : Mengenali Tentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrlillard. Yogyakarta : Jalasutra Tanipu, Funco. Raut Muka Gorontalo. Yogyakarta: HMPIMG PRESS, 2008. Emzir.2011. Metode Penelitian Kualitatif Analisi Data. Jakarta : Raja Ritzer, G. 2009. Teori Sisial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana Piliang, Y A. 1998. Sebuag dunia yang dilipat . Bandung : mizan Saputra, E.2008. Kopi; dari sejarah, Efek bagi kesehatan tubuh dan gaya hidup. Yogyakarta : harmoni, Grafindo Suyanto, M. 2004. Smart in Entrepreneur: Belajar dari kesuksesan Pengusaha Top Dunia. Yogyakarta: ANDI Ritzer, G. 2009. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: kreasi wacana Sugiono. Penelitian Kualitatif. Bandung : CV Alvabeta, 2013. Emzir. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta : Raja Nasution, B. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito, 1988. Rudito B, M Famiola. Social Maping-Metode Pemetaan Sosial : Teknik Memahami Suatu Masyarakat Atau Komuniti. Bandung : Rekayasa Sains, 2013. Merriam, Sharan B. dkk. Qualitative Research in Practice. San Fransisco : Josey-Bass, 2002. Ritzer, George, 2012, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Terakhir Postmodern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Perkembangan
Soekanto, Soejono, 2012, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta. Sugiyono, 2013, Penelitian Kualitatif, CV Alfabeta, Bandung Haryanto, Agung T ., dan Sujatmiko, Eko, 2012, Kamus Sosiologi Menurut Istilah-Istilah Esensial Di Bidang Sosiologi Definisi Ringkas, Disertai Penjelasan Tambahan Di Lengkapi Linimas Dan Biografi Tokoh Sosiologi, Aksara Sinergi Media, Surakart Jurnal/literatur ilmiah/Skripsi : Nurazizi, Reza. “Kedai Kopi Dan Gaya Hidup Konsumen : Analisis Simulacrum Jean P Baudrillard Tentang Gya Hidup Ngopi di Excelso.” Skripsi Sarjana, Fkultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang, 2013.
Arief, Kamardi. “Fungsi Sosial Ekonomi Pasar Tradisional : Studi Tentang Pasar Tradisional Lebak Keranji, Kelurahan Bukit Lama Kecamatan Ilir Barati Palembang.” Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya, Palembang, 2013. Hendrasta. “Makna Pelayanan Perempuan Warung Kopi Bagi Masyarakat Desa Gebang Kecamatan Pakel Kbupaten Tulungagung.” Skripsi Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang, 2008. Khoironi, Fidagta. “Ekspresi Keberagaman Komunitas Warung Kopi : Analisis Profil Komunitas Warung Kopi Blandongan di Yogyakarta” Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009. Kartika, Prinda. “Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Keberfungsian Sosial pada pasien skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit.” Skripsi Sarjana, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang, 2010. Internet : (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30584/4/Chapter%20II.pdf, pada tanggal 2/05/2015)
diakses
http://www.desantara.or.id/04-2009/107/mimikri/, diakses pada tanggal 21/5/2013)