FENOMENA NIKAH MASSAL DAN KORELASI TERHADAP ISBAT NIKAH ( Titik Singgung Wewenang 2 in 1 Pengadilan Agama dengan Kementerian Agama ) Oleh : Mhd. Habiburrahman. SHI1
A. Pendahuluan Kesadaran masyarakat kita dalam memahami hukum dan kepastian hukum yang telah ditetapkan sangat beragam, sehingga seringnya terjadi multi penafsiran. Terutama dalam masalah perkawinan, yaitu perkawinan yang dilakukan secara agama Islam, yang notabene jika terjadi permasalahan dalam perkawinannya dan diajukan ke Pengadilan Agama, maka hal tersebut akan menjadi dan merupakan salah satu wewenang absolut dari Pengadilan Agama. Namun sering terjadi suatu hal yang bersifat misunderstanding (salah
paham/pengertian),
sehingga
menimbulkan
efek
salah
kaprah
dalam
menterjemahkan wewenang siapa sebenarnya permasalahan tersebut?, dan diarahkan kemana seharusnya permasalahan itu?, maka akan timbul suatu problematika ditengahtengah masyarakat itu sendiri. Sehingga menjadi kewajiban kita untuk memberikan sedikit pencerahan yang mungkin tidak akan berhenti sampai disini saja, dikarenakan pemahaman masyarakat yang berbeda-beda sehingga memiliki penafsiran yang berbeda pula dan hal tersebut selalu membutuhkan waktu dan kesabaran kita bersama. Ditengah-tengah masyarakat kita yang majemuk saat ini, ada yang berpendapat dan memiliki pemahaman bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama saja sudah cukup karena itu hal yang sah dan tidak perlu harus dicatatkan dihadapan pejabat yang berwenang. Namun efek kedepan dari hasil perkawinan tersebut tidak pernah terbayangkan sebelumnya, yaitu yang pertama ; jika hasil dari perkawinan tersebut memiliki anak-anak, dimana suatu ketika si anak dewasa dan akan memasuki masa pendidikan, namun tidak memiliki dokumen-dokumen resmi yang cukup sehingga akhirnya si orang tua tersebut kebingungan sendiri, yang biasanya akan menyalahkan atau “mengkambing hitamkan” hukum yang berlaku dikarenakan terlalu mempersulit, yang kedua ; jika terjadi permasalahan dalam rumah tangganya dan tidak dapat disatukan kembali, salah satu pihak otomatis akan dirugikan, dan dalam hal ini adalah perempuan (isteri) dikarenakan tidak adanya kejelasan status yang kuat menurut hukum, yang ketiga ; harta-harta yang diperoleh selama perkawinan ataupun harta peninggalan
1
Hakim Pengadilan Agama Tanjung Selor, Kalimantan Timur.
tidak jelas statusnya, yang keempat ; tidak jelasnya nafkah anak-anak hasil perkawinan jika terjadi permasalahan antara suami isteri tersebut. Dalam menyikapi permasalahan yang sering terjadi ini dan untuk memahami sahnya suatu perkawinan, kita harus melihat ketentuan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dari ketentuan ini, maka pernikahan bagi ummat Islam adalah sah bila dilakukan menurut hukum Islam, selanjutnya pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku2. Dalam ketentuan pasal 2 ini, sahnya perkawinan dengan pencatatan perkawinan dijadikan dalam 2 (dua) poin, dikarenakan sahnya suatu perkawinan dan pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang hal berbeda, tidak melekat. Sahnya perkawinan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, dikaitkan dengan aturan agama dan pencatatan perkawinan juga berdiri sendiri, yang sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, dan dilaksanakan oleh pegawai pemerintah. Sudah barang tentu ketentuan pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 ini membuka peluang untuk berbeda pemahaman. Oleh karena itu ada sebagian masyarakat yang mencukupkan pernikahannya dengan syarat dan rukun yang diatur secara agama saja dan memiliki pemahaman bahwa hal tersebut sah, dikarenakan hal tersebut merupakan salah satu hak asasi manusia, namun tidak memenuhi aturan pencatatan perkawinan, yang dilaksanakan di depan pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan. Dan inilah yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat dikenal dengan istilah ; nikah agama, nikah siri, kawin liar, kawin dibawah tangan dsb. Suatu hal yang sangat dilematis, namun pemahaman yang demikian tentu tidak bisa disalahkan. Dalam praktek yang terjadi di tengah masyarakat, yang konon sangat kental dengan pengaruh madzhab Syafii, maka rukun perkawinan itu ada 5, yaitu ; (1) Adanya calon suami, (2) Calon isteri, (3) Wali Nikah, (4) Dua orang saksi, dan (5) Ijab Kabul3. Kalau 5 rukun ini sudah ada dan masing-masing rukun itu telah memenuhi persyaratannya, maka perkawinan itu telah sah menurut hukum agama, yang juga sah menurut hukum negara. Hanya saja karena tidak dilakukan pencatatan pernikahan, maka hak-hak sipilnya tidak akan mendapatkan perlindungan hukum publik dari negara, misalnya ; antara lain, kalau ada anak dari perkawinannya itu, tidak bisa dibuatkan akta
2 3
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Buku I Hukum Perkawinan ( Bab IV, tentang Rukun dan Syarat Perkawinan ).
kelahirannya dan lain sebagainya, banyak sekali problema yang akan muncul diakibatkan dari adanya perkawinan sirri ini. Pertama tentang Wali Nikah, ada diantara pelaku nikah sirri ini yang diduga menggunakan Wali Nikah yang tidak sah. Calon pengantin wanita menunjuk seseorang yang tidak ada hubungan nasab sama sekali dengannya, biasanya “pak imam” atau tokoh adat setempat, untuk menjadi Wali Nikah bagi pernikahan sirrinya itu, sebagai Wali Hakim. Sudah barang tentu Wali Nikah yang semacam ini tidak diakui karena untuk menjadi Wali Hakim itu tidak bisa sembarangan orang. Hal ini sudah ada aturannya, yaitu Peraturan Menteri Agama RI Nomor 30 tahun 2005, yang menetapkan Kepala KUA Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah sebagai Wali Hakim bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai Wali Nasab4. Yang kedua, tentang bukti pernikahan, karena perkawinannya secara rahasia, tidak diketahui orang banyak, tidak dicatat, maka tidak ada bukti tertulis yang dapat menjamin tentang terjadinya perkawinannya itu. Kalaupun ada bukti surat, pasti hanya dibuat dibawah tangan, tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk hal itu, yaitu Kantor Urusan Agama Kecamatan. Jadi akan membuat kehidupan suami isteri itu tidak tenteram, resah dengan tetangga kanan kiri, karena perkawinannya berbeda dengan warga masyarakat pada umumnya. Ketiga, bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi. Tetapi adakalanya sering terjadi perselisihan antara suami isteri dan kalau terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga yang kemudian tidak bisa diselesaikan antara suami isteri tersebut, maka ke lembaga mana mereka akan mengadu?. Sudah barang tentu tidak akan ada lembaga yang mau menerima pengaduannya. Yang paling sering terjadi suami akan menjatuhkan talak terhadap isterinya, dan pasti juga dilakukan secara sirri, atau cara dibawah tangan. Kalau sudah demikian biasanya pihak perempuanlah yang paling banyak menderita kerugian. Dibilang janda, tidak punya akta cerai, dibilang perawan tetapi sudah punya anak dan lain sebagainya. B. Pembahasan Kalau sudah terlanjur nikah agama atau nikah siri atau nikah liar, atau nikah dibawah tangan, maka untuk memperbaikinya harus mengajukan “itsbat nikah”5 atau pengesahan nikah ke Pengadilan Agama. Bukan dengan cara mengikuti nikah massal, 4 5
Peraturan Menteri Agama RI, No. 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim. Keputusan Ketua MA-RI, No. KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Edisi Revisi 2010, (Bab Beracara Pada PA/MSy-Pedoman Khusus : Tentang Pengesahan Perkawinan atau Isbat Nikah ; hal. 147)
yang selama ini sering diadakan, dimana tujuan dari diadakannya prosesi pernikahan massal adalah bertujuan untuk membantu pasangan-pasangan yang dianggap tidak mampu atau pra sejahtera atau bagi pasangan yang belum menikah dan atau bagi duda dan janda yang telah memiliki akta cerai. Nikah massal ini menurut penulis bukan untuk pengesahan nikah bagi pasangan-pasangan yang telah melakukan nikah sirri atau nikah dibawah tangan yang dilakukan tanpa proses pemeriksaan untuk mengetahui apa alasan dan dasarnya sehingga dapat dilakukannya pengesahan nikah atau proses terjadinya nikah massal tersebut6. Apakah pihak-pihak yang menyelenggarakan proses nikah massal tersebut telah mengetahui atau tidak pernah melakukan pemeriksaan sama sekali saat pertama sebelum melangsungkan nikah massal itu? Apakah pihak laki-laki tersebut hanya memiliki seorang isteri saja yang akan disahkan pernikahan sirrinya atau telah memiliki isteri lain yang telah dinikahinya secara sirri juga di tempat lain?, hal inilah nantinya yang akan menimbulkan efek penyelundupan hukum, seperti terjadinya praktik poligami liar, maka hal-hal inilah yang wajib diketahui dan dipahami oleh pejabatpejabat KUA, sehingga tidak melakukan suatu persinggungan atau tidak adanya koordinasi dengan instansi terkait seperti Pengadilan Agama, yang sebenarnya memiliki hak juga dalam memberikan masukan atas proses tersebut, dimana masalah perkawinan dan perceraian saling berkaitan dan menjadi titik singgung hak dan wewenang antara KUA dengan Pengadilan Agama dimana jika terjadi permasalahan hukum maka “ujungujungnya” baru ke Pengadilan Agama. Karena khawatir dengan hal tersebut, maka sangat diharapkan sebelum melaksanakan suatu proses perbuatan hukum, khususnya dalam hal ini masalah perkawinan yang masuk kedalam ranah hukum perdata Islam, agar terlebih dahulu memahami apa alasan hukum dan dasar hukum melaksanakan prosesi nikah massal tersebut, yang secara tidak langsung akan dapat menimbulkan efek permasalahan hukum yang baru dan ini akan menimbulkan pemahaman tidak “sadar” hukum di dalam masyarakat itu sendiri. Problem mendasar yang muncul dan perlu dipertanyakan terhadap pelaku nikah sirri, terutama yang mengikuti prosesi nikah massal ini, yakni bahwa mereka melakukan dua kali ijab kabul dalam pernikahannya, yaitu ijab kabul dalam nikah sirri dan ijab kabul dalam nikah massal, ijab kabul yang mana yang dijadikan ukuran tentang sahnya pernikahan tersebut ?. Kalau ijab kabul dalam nikah sirri yang dijadikan ukuran sahnya pernikahan, mengapa ia harus mengikuti ijab kabul dalam nikah massal, untuk apa ?, secara normatif baik yang tersurat dan tersirat tidak ada istilah memperbaharui nikah atau “tajdidunnikah”7 ?. Kalau untuk
6 7
Ibid, poin ( c ) tentang Pengesahan Perkawinan atau Isbat Nikah. Diskusi singkat dengan Drs. Nur Mujib, MH, Ketua Pengadilan Agama Tanjung Pinang Kls IB Propinsi Kep.Riau.
mendapatkan buku nikah, caranya dengan membuktikan bahwa ia telah melakukan nikah yang sah menurut agama. Membuktikannya tentu tidak ke KUA, tetapi ke Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan pengesahan nikah “itsbat nikah”. Kalau yang dijadikan ukuran itu ijab kabul dalam nikah massal, lalu bagaimana dengan status hukum dari hubungan suami isteri selama ini?, apakah disebut sebagai perzinahan ? Bagaimana pula kalau dalam nikah sirrinya itu sudah lahir beberapa orang anak ? Apa status anak itu ? Bagaimanapun juga, dalam satu pernikahan itu tidak boleh terjadi dua kali akad nikah, dua kali ijab kabul8. Maka kalau dahulunya telah nikah sirri, untuk mendapatkan Kutipan Akta Nikah dari KUA, terlebih dahulu harus disahkan “diitsbatkan” di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama akan memeriksa dan kalau ternyata perkawinan sirrinya telah memenuhi syarat dan rukun menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Munakahat, maka Pengadilan Agama akan menetapkan perkawinannya itu sebagai perkawinan yang sah dan selanjutnya, yang bersangkutan akan diperintahkan untuk mencatatkan perkawinan yang telah disahkan tersebut ke KUA Kecamatan, yang kemudian KUA Kecamatan akan mencatat perkawinannya itu dan kepada yang bersangkutan akan diberikan Kutipan Akta Nikah9, dan sikap dari penetapan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah menyatakan pernikahannya sah menurut hukum positif dan terpenuhi legal procedure-nya, sehingga status sosial, psikologis dan hak hukum sipil isteri dan anak-anak yang dihasilkan diakui dimata hukum10. Bagi ummat Islam, pernikahan adalah sah bila telah terpenuhi syarat dan rukun sebagaimana diatur dalam al Qur’an dan Hadits, atau yang telah terhimpun dalam khasanah hukum fiqih konvensional, yang dipelajari di pondok pesantren atau sekolahsekolah agama. Yang secara akademik, hal ini sangat luas cakupannya mengingat bahwa dalam agama Islam itu dalam kesejarahannya telah diwarnai dengan pemahaman berbagai madzhab. Yang sudah barang tentu ada kemungkinan perbedaan dalam menafsirkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits, antara madzhab yang satu dengan madzhab yang lain. Sementara itu Undang -Undang Perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya tidak menyebut hukum Islam yang mana, hukum Islam yang bermadzhab apa, yang dijadikan ukuran untuk menentukan sahnya pernikahan itu.
8
Ibid, Bab VIII tentang Kawin Hamil. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946, Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. 10 A.G. Peters dalam Ronny Hanitijo Soemitro, Study Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1985, Hal. 10. 9
Sekali lagi, bagi para pelaku nikah sirri atau nikah dibawah tangan atau nikah agama atau apapun istilahnya, maka untuk mendapatkan perlindungan hukum publik, hendaknya mengajukan pengesahan nikah atau itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Kadangkala masalah perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri ini seperti efek “bola salju”, yang jika tidak hati-hati akan membawa kepermasalahan yang jauh melebar, sehingga untuk mengurangi efek tersebut, alangkah lebih baiknya jika lembaga yang berwenang dan berkompeten dalam masalah ini dapat saling berkoordinasi secara berkesinambungan untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum ditengah-tengah masyarakat kita yang sebenarnya masih sangat awam dan berbeda pemahaman. Wallahua’lam bishshowab.