ACTION LEARNING FOR THE BEST LEARNING PRACTICES IN VOCATIONAL SCHOOL
ART TIKEL L SIM MPOSIIUM GURU G U 2016 6 Rev vitalisa asi Pembellajaran n Vok kasi Menggunak kan Pen ndekattan Acction Learning untuk Menin ngkatk kan Day ya Sain ng Lulu usan SMK Oleh h: Epri N Nuryanto oro, S.Pd d., M.Pd d.
PEMER RINTAH KABUPATE K EN BEKAS SI DINAS S PENDIDIIKAN SMK NEGERI 1 SETU Jl. MT. Haryono H No. 71A Setu Bekkasi 17320 Jaw wa Barat Telp/Faxx : 021 – 826111193 Email:
[email protected] Htttp://www.smkkn1setu.com/
Revitalisasi Pembelajaran Vokasi Menggunakan Pendekatan Action Learning untuk Meningkatkan Daya Saing Lulusan SMK
EPRI NURYANTORO GURU PRODUKTIF TEKNIK OTOMOTIF NIP: 19720417 199907 1 001
Artikel yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Lomba Simposium Guru Tingkat Nasional
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BEKASI
SMK NEGERI 1 SETU TAHUN 2016
PEME,RINTAH KABTJPATEN BE,KASI DII\AS PENDIDIKAIT{
SMKNEGERI l SETU
Jl. MT. HaryonoNo. 7lA SetuBekasiJawaBarat17320Telp.ffax.021 - 8261I 193 Email: info(alsmknlsetu.com Web : www.smknlsetu.com
SURAT PERNYATAAN Nomor i I O'/O /SMKN l/Dis P.18
Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SMK Negeri 1 Setu Kabupaten Bekasi: Nama NIP Pangkat/Gol. Ruang Jabatan
Drs. H. Alinurdin, M.Pd. 19630702.198903.1.007 Pembina Tk. I, IV /b Kepala SMK Negeri 1 Setu
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa artikel yang berjudul "Revitalisasi Pembelajaran Vokasi Menggunakan Pendekatan Action Learning untuk Meningkatkan Daya Saing Lulusan SMK" adalah hasil gagasan pemikiran asli dan benar-benar ditulis oleh: Nama NIP Pangkat/Gol. Ruang Jabatan
EPRI NURYANTORO, S.Pd., M.Pd. 19720417.199907.1.00 1 P e m b i n aT k . I , l V / b Guru Madya - Teknik Mesin/Otomotif
Demikian surat pernyataan ini diberikan, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
10 Nopember2016 .Fqkasi, ' i,
,
:''Kepala,
Pembina Tk. I, IV/b NrP. 19630702 198903 1007
Artikel Simposium Guru 2016 – Praktik Terbaik Pendidikan Kejuruan
REVITALISASI PEMBELAJARAN VOKASI MENGGUNAKAN PENDEKATAN ACTION LEARNING UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING LULUSAN SMK Oleh: Epri Nuryantoro, S.Pd., M.Pd.
A. Pengantar Indonesia sebagai bangsa berdaulat dan berdemokrasi tentunya tidak dapat menghindari bentuk hubungan global dengan masyarakat dunia. Tanpa terasa kita telah memasuki era persaingan global, pasar bebas tingkat AFTA maupun
AFLA sejak Tahun 2003, perdagangan
bebas APEC sejak Tahun 2010, serta memasuki pasar tenaga kerja dan ekonomi global tingkat ASEAN
(AEC: Asean Economic Community)
mulai Tahun 2016 ini. Persaingan di Era Global tersebut tentunya lebih menuntut keunggulan kompetitif, dimana mutu dan profesionalisme menjadi parameter yang diminta. Untuk itu peran SMK sangat penting dalam mempersiapkan siswa-siswanya agar mampu bersaing, sehingga jangan sampai menjadi penonton di negerinya sendiri karena tidak mampu bersaing dalam memperebutkan kesempatan kerja yang telah bersifat global. Menyikapi tantangan global di atas serta sejalan dengan Instruksi Presiden RI untuk merevitalisasi pendidikan kejuruan di Indonesia, maka SMK dituntut mampu merevitalisasi pembelajaran vokasi/kejuruan melalui sebuah inovasi pembelajaran menggunakan Pendekatan Pembelajaran Action Learning. Dengan menerapkan pendekatan pembelajaran ini siswa tidak hanya belajar dengan metode konvensional/tradisional yang masih banyak dipraktikkan oleh guru-guru produktif SMK saat ini, namun belajar dengan Pendekatan Pembelajaran Action Learning sesuai yang telah dikembangkan oleh UNESCO khusus untuk pendidikan teknologi dan
1
2
kejuruan
yakni
pembelajaran
menggunakan
dengan
metode
metode
belajar
terpilih,
instruksi
terprogram
seperti;
(Programmed
Instruction), proyek (Project Learning), studi kasus (Study Case), bermain peran (Role Play), dan uji-coba (Experiment).1
B. Masalah Berbicara daya saing tenaga kerja Indonesia, tentunya kita semua mengetahui bahwa permasalahan utama yang masih dihadapi sampai saat ini memang ada pada daya saing tenaga kerja kita. Kondisi tersebut dapat dicermati dari masih banyaknya tenaga kerja kita baik di industri dalam negeri maupun luar negeri yang hanya dapat mengisi lapangan pekerjaan tingkat rendah (buruh) seperti; pembantu rumah tangga, pengemudi, pekerja bangunan, buruh pabrik, maupun tenaga kasar lainnya. Oleh karena itu SMK dipandang memiliki peran strategis dalam menghasilkan lulusan dengan kompetensi teknik kejuruan yang baik dan berdaya
saing
global,
sehingga
mampu
berkontribusi
mengatasi
permasalahan di atas. Permasalahan di atas tentunya tidak dapat kita tangani dalam waktu singkat, namun perlu diselesaikan sedikit demi sedikit (Kaizen) atau dilakukan secara bertahap dengan perbaikan berkelanjutan (Continuous Improvement) melalui pelibatan seluruh warga sekolah dan pemangku kepentingan
(Stakeholder).
Sehingga
tercipta
sebuah
proses
pembelajaran bermutu yang mampu mencetak lulusan-lulusan SMK kompeten dan handal (memiliki ketrampilan teknik tinggi) serta berdaya saing global. Penulis memandang bahwa perlu adanya sebuah aksi pemicu (Trigger Action) yang dapat merangsang warga internal SMK untuk berkinerja dengan budaya mutu.
1
Frank Bunning, Approaches to Action Learning in Technical and Vocational Educatioan and Training – TVET (Germany: In-Went UNEVOC, 2007), hh. 41 – 49.
3
Sebagai landasan empiris atas kondisi hasil belajar kompetensi teknik kejuruan di SMK, diantaranya penulis temui selama menjadi konsultan/trainer pelatihan otomotif di berbagai industri baik berskala nasional maupun internasional. Yakni pihak industri mengeluhkan masih rendahnya mutu lulusan SMK pada kompetensi teknik kejuruan, dimana pihak industri masih harus bersusah payah memberikan pelatihan dasar kompetensi teknik kejuruan yang belum dikuasai oleh lulusan SMK akibat proses pembelajaran yang kurang bermutu. Berangkat dari landasan empiris di atas, penulis memandang perlunya
merevitalisasi
pembelajaran
vokasi
sebagai
inti
(Core)
pembelajaran di SMK menggunakan Pendekatan Pembelajaran Action Learning.
Dampak
pembelajaran
ini
yang adalah
penulis
harapkan
terselenggaranya
dengan proses
revitalisasi
pembelajaran
berkualitas di SMK, dimana para guru produktif dapat melaksanakan pembelajaran
dengan
Pendekatan
Pembelajaran
Action
Learning
sehingga kualitas lulusan SMK dapat ditingkatkan dan benar-benar mampu menjawab tuntutan kebutuhan industri/dunia kerja. Adapun landasan berpikir teoritis (deduktif) yang menjadi pijakan penulis dalam artikel ini diantaranya terinspirasi dari pandangan Atkinson (1990) dalam R.P. Mohanty & R.R. Lakhe berikut ini; “Total Quality Management as a strategic approach to produce the best product and service possible through constant innovation.”2 Selanjutnya bila pandangan di atas dikaitkan dengan hasil belajar kompetensi teknik kejuruan di SMK yang relatif masih kurang/rendah, maka SMK sebagai sebuah institusi pelayanan pendidikan tentu masih perlu melakukan inovasi yang konstan dan atau terus-menerus khususnya melalui
inovasi
pembelajaran
vokasi/kejuruan
sehingga
dapat
menghasilkan lulusan berkualitas dan berdaya saing global. 2
R.P. Mohanty & R.R. Lakhe, Handbook of Total Quality Management (Mumbai: Jaico Publishing House, 2000), h. 5.
4
Berbicara tentang mutu lulusan SMK tentu akan berkaitan dengan masalah kualitas proses dan hasil belajar kompetensi teknik kejuruan para siswanya. Untuk itu berfokus pada sasaran meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kompetensi teknik kejuruan, penulis memandang bahwa Pendekatan Pembelajaran Action Learning dapat digunakan untuk merevitalisasi pembelajaran vokasi di SMK. Pendekatan pembelajaran ini penulis nilai sangat sesuai untuk diterapkan di SMK, mengingat pola pembelajaran di SMK saat ini masih banyak menggunakan pendekatan konvensional/tradisional yang mana secara umum mutu lulusannya masih belum dapat memenuhi tuntutan dunia usaha/industri. Permasalahan peningkatan mutu lulusan SMK sampai sekarang pun masih mencari bentuk, format, model, maupun pendekatan pembelajaran yang tepat untuk digunakan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bagaimana upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pembinaan SMK dengan Program SMK Berstandar Nasional dan Internasional, program ini pun telah digugat dan telah resmi diputuskan untuk tidak dilanjutkan oleh pemerintah. Apalagi dengan berjalannya nadi pengelolaan SMK dari Pusat ke Daerah, nampaknya justru
menambah
banyak
problem
tentang
bagaimana
upaya
meningkatkan hasil belajar di SMK. Mencermati kondisi di atas penulis memandang diperlukan sebuah revitalisasi pembelajaran dalam bentuk transformasi pengajaran dan pembelajaran terbarukan di SMK. Inovasi pembelajaran ini bisa menjadi solusi bagi SMK dalam memperbaiki pengajaran konvensional yang hanya menyampaikan proses abstrak formal dan sering jauh dari praktik dunia nyata. Jika benar praktik pembelajaran di SMK masih seperti itu, maka masuk akal bila hasil belajar siswa masih rendah dan bahkan ada informasi yang menguatkan bahwa justru lulusan SMK banyak yang menganggur dibandingkan lulusan SMA.
5
Untuk
itu
peneliti
terinspirasi
dengan
filosofi
dasar
Pendekatan
Pembelajaran Action Learning dari Profesor Reginald Revans berikut ini; “There is no learning without action and no (sober and deliberate) action without learning.”3 Dari filosofi tersebut dapat diartikan bahwa, “Tidak ada pembelajaran tanpa tindakan dan tidak ada tindakan (sadar maupun disengaja) tanpa belajar”. Dengan demikian, Filosofi Prof. Reg Revans tentang Action Learning sangat relevan bila kita kaitkan dengan permasalahan proses pembelajaran tradisional yang masih banyak digunakan di SMK yakni dengan hanya menyampaikan proses pembelajaran abstrak formal jauh dari tindakan/praktik nyata di dunia usaha maupun industri.
C. Pembahasan dan Solusi Sebelum membahas lebih jauh mengenai Pendekatan Pembelajaran Action Learning secara utuh, maka alangkah baiknya kita ketahui filosofi, penemu, dan sejarah perkembangan dari Action Learning Theory (Teori Pembelajaran Berbasis Tindakan) ini. Pembelajaran dengan tindakan (Action) pertama kali mulai dikembangkan oleh Profesor Reginald Revans dari University of Cambridge London sejak Tahun 1940. Pada perkembangan selanjutnya belajar dengan tindakan kemudian menjadi terkenal sebagai sebuah inovasi pembelajaran pada akhir tahun 1960, terutama melalui inisiatif yang dilakukan oleh Konsorsium Rumah Sakit London Inggris. Meskipun tidak terbatas pada pengembangan organisasi atau manajemen pendidikan, pembelajaran tindakan telah menjadi terkenal di sini, dimana Profesor Reginald Revans mendorong para pimpinan untuk bertemu bersama dalam kelompok-kelompok kecil, kemudian berbagi pengalaman dan saling bertanya tentang apa yang mereka lihat dan dengar untuk memecahkan masalah. 3
Reginald Revans, ABC of Action Learning (England: Gower Publishing Company, 2011), h. 61.
6
Menurut Revans, cara ini akan lebih efektif daripada mengundang para ahli yang tidak mengetahui langsung pengalaman nyata di sini untuk memecahkannya. Melalui pengalaman ini, ia menyimpulkan bahwa metode pembelajaran konvensional sebagian besar tidak efektif, oleh karena itu diperlukan sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikannya.4 Telah lebih dari enam puluh tahun terakhir pembelajaran tindakan dikembangkan sebagai pendekatan untuk pengembangan baik individu dan organisasi. Kita akan menemukan apa yang disampaikan dalam konteks dan cara-cara yang berbeda, namun beberapa memperhatikan hal
yang
di
antaranya
nyata secara lebih dekat serta selalu
menantang dan informatif. Potensi pembelajaran dalam pendidikan bagi siswa adalah melibatkan langsung tiap siswa dalam pembelajaran praktik nyata serta mengidentifikasi tindakan yang dapat membuat perbedaan positif terhadap efektivitas hasil pembelajaran. Prof. Revans adalah salah satu orang pertama yang memperkenalkan gagasan bahwa guru, perawat, dokter, dan administrator perlu mendengarkan dan memahami satu sama lain melalui sebuah skema pembelajaran tindakan. Lebih lanjut Prof. Revans menekankan manfaat dan keuntungankeuntungan dengan menerapkan pembelajaran tindakan sebagai berikut. 1) Refleksi didasarkan pada situasi praktis atau nyata. 2) Mempraktikkan cara berpikir dan mengambil keputusan yang hati-hati. 3) Belajar dengan pola paralel antara perilaku dan tindakan. 4) Mengajarkan tanggung jawab atas tindakan dan apa dampaknya. 5) Penetapan tujuan dan pengembangan pilihan kegiatan, tindakan, maupun operasi yang relevan dengan kebutuhan dunia nyata. 6) Belajar tentang dinamika kelompok dan bagaimana untuk berkontribusi secara efektif dalam suatu kelompok.
4
Mike Pedler, Action Learning in Practice (Diunduh Tanggal 26 Oktober 2013, dari: http://www. gowerpublishing.com/isbn/97814094184120), h. 2.
7
Pembelajaran tindakan sangat memperhatikan adanya perubahan di dalam konteks apapun yang didasarkan pada kenyataan/masalah yang ada. Pembelajaran tindakan merupakan menekankan belajar
sebuah
pendekatan
yang
proses pembelajaran didasarkan pada keyakinan bahwa
terbaik
adalah
dengan
merenungkan
pengalaman
dan
bereksperimen dengan melakukan sesuatu yang nyata dan berbeda. Setiap orang dalam kelompok didukung, ditantang dan didorong untuk mengambil tindakan atas isu atau masalah yang mereka hadapi, dan selanjutnya proses belajar dimulai dari sini. Refleksi dan ulasan dalam kelompok memungkinkan pembelajaran terjadi sehingga tindakan efektif dapat diambil. Jadi, esensi dari pembelajaran tindakan seperti apa yang dinyatakan oleh Prof. Revans adalah; “Tidak akan ada pembelajaran tanpa tindakan, dan tidak ada tindakan (sadar dan disengaja) tanpa belajar.”
Belajar
harus membuat individu terbuai dalam tugas, yang kemudian dilengkapi melalui
refleksi
atas
pengalaman
setelah
mengambil
tindakan.
Pembelajaran yang terbaik adalah ketika apa yang dipelajari minimal sama atau lebih besar dari tingkat perubahan/kemajuan yang terjadi di sekitar kita atau dunia nyata, sehingga dari premis inilah lahir Hukum Pembelajaran Revans (Revans’s Law) di bawah.5
L≥C Gambar 1. Hukum Pembelajaran Revans
Dimana: L = Learning (Pembelajaran) C = Change (Perubahan) 5
Action Learning – The Basics (Diunduh Tanggal 26 Oktober 2013, dari 3D COACHING LTD:http://www.3dcoaching.com/wp-content/uploads/2011/06/2011-ALS-The-Basics.pdf), hh. 4 – 5.
8
Selanjutnya agar sebuah kegiatan pembelajaran dapat memenuhi hukum pembelajaran tersebut, maka secara radikal Prof. Revans membuat sebuah persamaan pembelajaran yang dikenal dengan Revans’s Learning Formula.6
L=P+C Gambar 2. Rumus (Formula) Pembelajaran Revans Dimana: L = Learning (Pembelajaran) P = Programmad Knowledge (Pengetahuan Terprogram) Q = Questioning Insight (Pertanyaan Pancingan/Penstimulus)
Dari persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran (L) merupakan
kombinasi
antara
Pengetahuan
Terprogram
(P)
yang
merupakan isi dari pengajaran tradisional dan Pertanyaan Pancingan (Q) yang berasal dari pertanyaan segar dan refleksi kritis. Persamaan di atas juga
mengandung
kemampuan
makna
individu
atau
bahwa
pembelajaran
kesediaannya
untuk
ditentukan
oleh
mempertanyakan
pengetahuan yang telah diprogramnya menggunakan stimulus masalahmasalah kehidupan nyata yang memiliki; (1) dukungan dari orang lain yang juga belajar untuk mengembangkan diri, (2) tantangan yang disediakan oleh fasilitator, dan (3) refleksi dari tindakan belajar.
6
Reginald Revans, ABC of Action Learning (England: Gower Publishing Company, 2011), h. 14
9
Sebagai contoh, seorang siswa belajar bahwa knalpot itu panas, caranya bukan dengan menyentuhnya (Test), tetapi melalui pencerminan rasa sakit yang berasal dari luka bakar setelah menyentuhnya (refleksi). Jadi di sini, pembelajaran ditunjukkan bila dia tidak menyentuh knalpot panas lagi. Dari contoh ini bisa digambarkan bahwa ruh dari pembelajaran tindakan adalah Learning by Doing. Sehingga definisi pembelajaran tindakan adalah proses dimana siswa belajar dengan mempraktikkan atau bertindak/beraksi nyata dalam mengatasi masalah dan merefleksikan tindakan mereka. Pembelajaran tindakan berjalan dengan melibatkan siswa pada problem-problem nyata, berfokus pada solusi implementasi secara aktual. Lebih jauh dapat diterangkan bahwa, pengetahuan terprogram (P) bisa didapatkan siswa melalui buku, ceramah maupun mekanisme pembelajaran terstruktur lainnya. Ini adalah format yang dapat diakses untuk pengetahuan, tetapi mungkin diperlukan waktu untuk menemukan apa yang dibutuhkan. Pertanyaan Pancingan (Q) adalah kunci untuk proses pembelajaran tindakan. Dimana, “P” tidak akan membawa siswa sangat jauh kecuali bila siswa fokus pada sisi reflektif dari apa yang dilakukan. Revans berpendapat bahwa “P” bukan hanya melakukan tapi belajar sambil bekerja dan di sini “Q” memegang peranan terpenting. Perhatikan diagram di bawah sebagai gambaran alur kerja bagaimana menumbuhkan belajar dengan tindakan nyata.
Gambar 3. Skema Pembelajaran Menurut Formula Revans
10
Untuk dapat mempraktikkan skema di atas harus dimulai dari pemahaman bahwa kita semua dilahirkan dengan kemampuan alami untuk belajar melalui pertanyaan, namun masalahnya adalah bahwa dalam masyarakat tradisional telah terjadi penekanan selama bertahuntahun dalam cara belajar. Aksi belajar seharusnya disandarkan atas usaha memberdayakan proses interogasi dan memungkinkan orang untuk mengembangkan diri melalui: 1) Belajar pada masalah kehidupan nyata. 2) Belajar didorong untuk mempertanyakan apa yang terjadi. 3) Belajar dengan mencobakan solusi yang disarankan (melakukan sesuatu yang berbeda). 4) Langkah mundur dan refleksi apa yang terjadi, serta mengapa terjadi. 5) Berbagi pengalaman dengan mereka yang telah mempraktikkan. Melalui
pembelajaran
tindakan
peserta
didik
memperoleh
pengetahuan melalui tindakan nyata dan praktik daripada hanya melalui instruksi tradisional. Tindakan belajar dilakukan dalam hubungannya dengan orang lain, dalam kelompok-kelompok kecil yang disebut set tindakan belajar. Jadi, dengan demikian dapat pula diformulasikan definisi tentang pembelajaran tindakan sebagai; “L” adalah pembelajaran, “P” adalah pemrograman, dan “Q” adalah pertanyaan untuk menciptakan stimulus kepada siswa dalam melihat, mendengar, dan merasakan atau mempraktikkan. Dalam pembelajaran tindakan disarankan digunakan pertanyaan pancingan/penstimulus berbentuk: 1) Pertanyaan tertutup; siapa, apa? 2) Pertanyaan obyektif; berapa banyak? 3) Pertanyaan relatif; dimana, kapan? 4) Pertanyaan terbuka; mengapa, bagaimana? Dari penjelasan di atas sudah cukup jelas bahwa belajar dengan basis tindakan menyediakan metode yang memungkinkan siswa mampu menyelesaikan atau mengatasi situasi sulit secara lebih efektif. Aksi belajar menekankan pertanyaan dan refleksi untuk mendorong tingkat
11
analisis
yang
lebih
dalam,
untuk
menguji
asumsi,
dan
untuk
mengeksplorasi segala kemungkinan. Dimana, dalam suatu kelompok belajar,
masalah
merupakan
basis
untuk
membangkitkan
tindakan/aksi/kerja yang kemudian dibingkai dalam konteks pembelajaran. Jadi dari pengertian pembelajaran tindakan yang diuraikan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Teori Action Learning sangat sesuai diterapkan pada pembelajaran teknik kejuruan di SMK, dimana pada pembelajaran ini sangat ditekankan praktik nyata dan bukan hanya pengajaran klasikal yang tidak menstimulus siswa untuk aktif dan banyak melakukan aktivitas motorik. Sehingga dengan banyak aktivitas motorik nyata akan dihasilkan siswa yang benar-benar terampil dalam bidang teknik kejuruan yang diajarkan, sehingga berimplikasi pula pada kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan perubahan dunia/teknologi yang cepat. Sekarang tinggal bagaimana cara kita sebagai Guru SMK mampu menciptakan pembelajaran seperti yang telah diajarkan Profesor Reginald Revans dalam pembelajaran teknik kejuruan bermutu dan berdampak nyata atau tidak.
D. Kesimpulan dan Harapan Penulis Salah satu prinsip dasar kegiatan pembelajaran adalah proses pengubahan tingkah laku siswa yang berpusat pada siswa itu sendiri. Dengan demikian keaktifan atau aktivitas siswa dalam pembelajaran merupakan hal yang paling penting agar perubahan tingkah laku yang diharapkan tadi muncul dari diri dan dilakukan oleh siswa sendiri. Keaktifan siswa untuk melakukan aktivitas atau tindakan yang merupakan pusat dari proses pembelajaran salah satunya dapat diciptakan dan dikondisikan melalui penerapan Pendekatan Pembelajaran Action Learning. Dimana, sesuai filosofi Pendekatan Pembelajaran Action Learning bahwa Pembelajaran (L) merupakan hasil penjumlahan dari Pemrograman (P) dengan Pertanyaan (Q). Dalam pendekatan ini siswa sudah dapat dikatakan belajar apabila dia mendapatkan pengetahuan
12
yang telah diprogram ditambah dengan pertanyaan pancingan yang berorientasi pada praktik di dunia nyata. Untuk mewujutkan hal tersebut maka perlu dirancang sebuah metode diantaranya; metode instruksi terprogram (Programmed Instruction), proyek (Project Learning), studi kasus
(Study
Case),
bermain
peran
(Role
Play),
dan
uji-coba
(Experiment), sehingga hasil belajar siswa yang dapat dicapai minimal sama atau lebih besar dari apa yang terjadi di dunia nyata. Akhirnya penulis hanya dapat berharap agar Pendekatan Action Learning ini dapat menjadi fokus dalam merevitalisasi pembelajaran vokasi di Indonesia sehingga daya saing tenaga kerja kita menjadi lebih baik. Untuk memenuhi harapan tersebut, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut. 1) Pendekatan Pembelajaran Action Learning telah terbukti mampu meningkatkan mutu proses dan hasil belajar vokasi. Oleh sebab itu Guru SMK dan atau Calon Guru SMK dapat mencobakan atau dapat mengembangkan lagi pendekatan pembelajaran ini sebagai solusi untuk meningkatkan mutu lulusan SMK. 2) Pelaksanaan pembelajaran di SMK yang hanya mengandalkan metode atau teknik konvensional terbukti tidak akan banyak membawa dampak terhadap hasil pembelajaran dan apalagi meningkatkan mutu lulusan, untuk itu disarankan agar semua pihak yang terlibat pada penanganan pendidikan
dan
pelatihan
kejuruan
dapat
menerapkan
filosofi
pembelajaran “Action Learning” dari Profesor Reginal Revans sebagai sebuah inovasi pembelajaran terbaik dalam upaya meningkatkan kompetensi lulusan. 3) Sebelum menerapkan Pendekatan Pembelajaran Action Learning, maka guru harus mempersiapkan dengan baik RPP, Pre Test, Post Test, soal praktik terstruktur, lembar aksi/tindakan (job sheet), lembar tugas/proyek,
lembar
bermain
peran,
dll.
sebagai
kunci
berlangsungnya proses pembelajaran berbasis problem/masalah dan praktik dunia nyata yang bernuansa “Learning by Doing”.
13
4) Pembelajaran
dengan
Pendekatan
“Action
Learning”
menuntut
kemauan, semangat, dan kerja yang tinggi dari guru karena dalam prosesnya guru harus intens dalam membimbing, mengarahkan, memandu latihan dengan lembar aksi instruksi terprogram dan sekaligus tidak hanya memberikan tes teori tetapi juga tes praktik kepada setiap siswa untuk memastikan keterlibatannya dalam peningkatan kompetensi secara individu. 5) Ketrampilan guru dalam menyusun lembar aksi/tindakan sebagai instrumen utama berlangsungnya pembelajaran berbasis tindakan, menuntut latihan yang terus menerus dalam merancang dan mendisain bentuk-bentuk aksi/tindakan dan operasi pembelajaran yang harus dilakukan siswa. Disarankan kepada guru untuk menggunakan literatur yang tepat seperti Manual yang dikeluarkan oleh pabrik/industri, sehingga apa yang dibuat benar-benar sesuai dengan praktik-praktik yang dibutuhkan di dunia nyata. 6) Sesuai kondisi di lapangan terlihat kemampuan guru khususnya Guru SMK
kebanyakan
kurang
ditunjang
dengan
pengetahuan
dan
pengalaman praktik di dunia nyata/industri, sehingga nampak masih banyak
guru
di
SMK
tetap
saja
menggunakan
pendekatan
konvensional dalam pembelajarannya. Dan inilah sumber masalah upaya peningkatan mutu lulusan SMK. Perlu diingat bahwa SMK adalah institusi yang dirancang untuk menyelenggarakan pembelajaran berbasis praktik (aksi/psikomotorik) agar siswanya bisa terampil, namun tentu guru yang harus terampil terlebih dahulu baru siswanya. Untuk itu disarankan kepada guru-guru agar banyak mengikuti pelatihan yang diselenggarakan di industri dan juga mengikuti pemagangan (OJT) langsung di lapangan, sehingga guru memiliki kemampuan/kompetensi teknikal atau praktik nyata dan bukan hanya berbekal penguasaan teori/berorientasi pada buku semata dalam pembelajarannya.
14
7) Disarankan kepada seluruh Stakehoders pendidikan khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten/Propinsi sebagai regulator pendidikan di tingkat lokal serta Kemdikbud sebagai regulator di tingkat nasional, agar lebih banyak
memfokuskan
kompetensi
teknikal
diri
pada
guru
program-program
dengan
peningkatan
memberikan
banyak
bantuan/beasiswa sehingga banyak guru bisa berlatih dan magang di industri. Sebaik apapun sistem pendidikan, kurikulum, maupun tunjangan guru, namun bila gurunya tidak disentuh dan dikembangkan kemampuan teknikalnya maka akan sia-sia upaya tersebut, dan kesan inilah yang sekarang masih banyak dilakukan dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
E. Daftar Pustaka Action Learning – The Basics. Diunduh Tanggal 26 Oktober 2013, dari http://www.3dcoaching.com/wp-content/uploads/2011/06/2011-ALS-TheBasics.pdf. Bunning, Frank. Approaches to Action Learning in Technical and Vocational Educatioan and Training (TVET). Germany: In-Went UNEVOC, 2007. Catts, Ralph, Ian Falk, and Ruth Wallace. Vocational Learning: Innovative Theory and Practice. Germany: Springer, 2011. Firdausi, Arif, dan Barnawi. Profil Guru SMK Profesional. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Gaspersz, Vincent. Total Quality Management. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Lucas, Bill, Ellen Spencer, and Guy Claxton. How to Teach Vocational Education: A Theory of Vocational Pedagogy. London: The City and Guilds of London Institute, 2012. Maclean, R, David Wilson, and Chris Chinien. International Handbook of Education for The Changing World of Work: Bridging Academic and Vocational Learning. Germany: Springer, 2009. Mohanty, R.P, and R.R. Lakhe. Handbook of Total Quality Management. Mumbai: Jaico Publishing House, 2000.
15
Nasution, M.N. Manajemen Mutu Terpadu. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005. Participation in Formal TVET Worldwide: An Initial Statistical Study. Bonn: UNESCO-UNEVOC International Center, 2006. Pedoman Penyelenggaraan Program Pengembangan SMK Berstandar Nasional dan Internasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Pedler, Mike. Action Learning in Practice. Diunduh Tanggal 26 Oktober 2013, dari http://www.gowerpublishing.com/isbn/97814094184120. Salis, Edward. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Ltd, 2002. Revans, Reginald. ABC of Action Learning. England: Gower Publishing Company, 2011. Tenner, Arthur R, and Irving J. Detoro. Total Quality Management: Three Steps to Continuous Improvement. Massachusetts: Addison-Welsey Publishing Company, 1992.