Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
MIKROPROPAGASI STROBERI (Fragaria X ananassa Var. Earlibrite) DENGAN PENAMBAHAN BA (BENZYL ADENINE) DAN IBA (INDOLE BUTYRIC ACID) PADA MEDIA MS (MURASHIGE AND SKOOG) Micropropagation Of Strawberry (Fragaria X ananassa Var. Earlibrite) By Addition Of Ba (Benzyl Adenine) And Iba (Indole Butyric Acid) On Ms (Murashige And Skoog Medium) Ruly Budiono1) Tia Setiawati2), Gina G. Pitaloka3), Linda Anggreini 4), Mohamad Nurzaman 5), Asep Zainal Mutaqin6) 1,2,4,5,6) Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor Kabupaten Sumedang 45363; Telp./Fax. (022) 7796412; email:
[email protected] 3) Balai Pengembangan Benih Holtikultura dan Aneka Tanaman Pasir Banteng Jl. Raya Jatinangor Km. 23 Kabupaten Sumedang 45363; Telp. (022) 7911067 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi konsentrasi BA dan IBA yang terbaik dalam pertumbuhan tunas dan akar stroberi secara in vitro. Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan 9 perlakuan kombinasi konsentrasi BA dan IBA, yaitu b1i1 (1 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b1i2 (1 mg/l BA+ 0,75 mg/l IBA), b1i3 (1 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA), b2i1 (1,75 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b2i2 (1,75 mg/l BA+ 0,75mg/l IBA), b2i3 (1,75 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA), b3i1 (2,5 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b3i2 (2,5 mg/l BA+ 0,75 mg/l IBA), dan b3i3 (2,5 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA). Parameter yang diamati adalah waktu muncul, jumlah, dan tinggi tunas yang dianalisis menggunakan ANAVA dan Uji Duncan; serta waktu muncul, jumlah, panjang akar, dan persentase kultur yang terkontaminasi yang dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan b2i2 merupakan kombinasi terbaik yang menghasilkan rata-rata waktu muncul tunas tercepat, yaitu 3 HST; perlakuan b2i1 menghasilkan rata-rata jumlah tunas terbanyak, yaitu 16 buah; perlakuan b2i2 menghasilkan rata-rata tunas tertinggi, yaitu 1,7 cm; perlakuan b1i3 menghasilkan rata-rata waktu muncul akar tercepat, yaitu 4 HST; perlakuan b1i1 dan b1i3 menghasilkan rata-rata jumlah akar tertinggi, yaitu 2 buah; dan perlakuan b3i1 menghasilkan rata-rata panjang akar tertinggi, yaitu 0,53 cm. Kata Kunci : Mikropropagasi, Stroberi, BA, IBA Abstract The goal of this research was to know the best concentration combinated of BA and IBA for strawberry bud micropropagation. The research was using completely randomized design with nine combined of BA and IBA treatments i.e b1i1 (1 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b1i2 (1 mg/l BA+ 0,75 mg/l IBA), b1i3 (1 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA), b2i1 (1,75 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b2i2 (1,75 mg/l BA+ 0,75mg/l IBA), b2i3 (1,75 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA), b3i1 (2,5 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b3i2 (2,5 mg/l BA+ 0,75 mg/l IBA), dan b3i3 (2,5 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA). The parameters of observation were age of bud initiation, total bud, and hight bud with analyzed by Variant Analyze and Duncan Test. The age of roots initiation, total roots, length of roots, and presentation of uncontaminated culture was analyzed by descriftive method. The result showed that the combination of BA and IBA gave the best total bud was b2i1(16 number of bud);age of bud initiation was b2i2 (3 days); and the best hight bud was b1i3 (1.7cm). All of them were significant affected,but no significant to age of root initiation,length of root,and total root. The descriptive analyze shown that the combination of best age of root initiation was b1i3 (4 days); the best total root b1i1 and b3i1 (2 roots); and length of roots was result from b3i1 (0.53 cm). Keyword: Micropropagation, Strawberry, BA, IBA 1126
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
PENDAHULUAN Stroberi merupakan tanaman herba subtropis yang berasal dari Amerika Latin. Tanaman ini mulai masuk ke Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Jenis stroberi yang dibudidayakan di Indonesia adalah stroberi varietas Oso grance, Pajaro, Selva, Ostara, Teniro, Bogota, Elvira, Gorilla, Sweet Charlie, Shantung, dan Red Gauntlet (Kurnia, 2005). Stroberi merupakan salah satu kelompok pangan yang dalam penggolongan FAO dikenal dengan Desireable Dietary Pattern (Pola Pangan Harapan/PPH). Kelompok bahan pangan ini berfungsi sebagai sumber vitamin dan mineral, sehingga kekurangan konsumsinya dapat berpengaruh kurang baik terhadap kondisi gizi. Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, pasar buah dalam negeri pun mengalami peningkatan permintaan. Pertumbuhan permintaan ini memicu meluasnya pasar buah stroberi didalam negeri (Krisna, 2012). Kebutuhan buah stroberi dalam negeri masih dipenuhi secara impor yang berasal dari beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, China, Belanda, dan Swiss. Berdasarkan Dirjen Hortikultura (2012), impor buah stroberi pada tahun 2011 sebesar US$ 1.072.230. Nilai impor tersebut dapat mengalami penurunan, dengan perkembangan produksi buah stroberi dosmetik yang mengalami peningkatan (Darmawan,2013). Sebagai upaya untuk memenuhi permintaan pasar, banyak usaha budidaya stroberi yang sudah dilakukan. Budidaya stroberi dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Bibit generatif didapat dari perbanyakan biji, sedangkan bibit vegetatif dengan memperbanyak tanaman induk. Tanaman induk yang berumur 1-2 tahun akan diambil anakan dan stolonnya untuk dijadikan bibit. Namun untuk tanaman hibrida, tidak layak diperbanyak melalui perbanyakan vegetatif karena akan menimbulkan masalah potensi produktivitas dan daya tumbuh yang terus menerus menurun pada generasi berikutnya (Pribadi, 2001). Kelemahan perbanyakan vegetatif terjadi karena hasilnya merupakan bagian dari tanaman induk yang tumbuh memisah, sehingga jika terus menerus dilakukan perbanyakan akan muncul tanaman baru yang sudah berumur tua. Oleh karena itu, sebaiknya ada batasan perlakuan perbanyakan vegetatif yang dilakukan dari satu indukan (Kurnia,2005). Usaha budidaya stroberi memerlukan adanya perbanyakan benih secara massal, tetapi tidak mengubah mutu dan keseragamannya. Perbanyakan benih tersebut dapat dilakukan secara in vitro dengan melalui teknik kultur jaringan. Zulkarnain (2006) menyebutkan bahwa kultur jaringan memiliki banyak keuntungan, seperti perbanyakan secara massal, keseragaman genetik, bebas virus, produksi tanaman sepanjang tahun yang tidak mengenal musim, stok tanaman induk mikro yang terpelihara, dan dapat memperbanyak tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara komersial. Selain itu, waktu yang dibutuhkan dalam kultur jaringan untuk menghasilkan bibit relatif singkat dan cepat sehingga lebih ekonomis dalam pelaksanaanya (Soeryowinoto,1996). Perbanyakan bibit melalui kultur jaringan memerlukan beberapa tahapan , yaitu multiplikasi tunas, inisiasi dan perakaran serta aklimatisasi (George dan Sherington 1984). Multiplikasi tunas adalah salah satu tahap yang sangat penting dalam memproduksi bibit melalui kultur jaringan. Selain itu, keberhasilan kultur jaringan juga sangat bergantung 1127
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
pada kehadiran zat pengatur tumbuh (ZPT) pada media. Pierik (1987) dalam Zulkarnaen (2009) menyebutkan bahwa sangat sulit untuk menerapkan teknik kultur jaringan tanpa melibatkan ZPT. Regenerasi tunas dan akar in vitro melalui proses organogenesis atau morfogenesis dilakukan secara hormonal oleh ZPT auksin dan sitokinin. Golongan ZPT yang berperan dalam pertumbuhan tunas adalah sitokinin, antara lain BA (Benzyl Adenine). Sedangkan regenerasi akar dalam metode kultur jaringan turut serta dipengaruhi oleh ZPT golongan auksin salah satunya adalah jenis IBA (Indole Butyric Acid) yang memiliki sifat kimia lebih stabil. Thorpe (1987) dalam Davies (1995) menyebutkan bahwa sitokinin dan auksin dalam satu media dapat memacu proliferasi tunas, karena adanya pengaruh sinergisme antara zat pengatur tumbuh tersebut. Gunawan (1992) menyebutkan bahwa media dasar yang digunakan untuk teknik kultur jaringan adalah MS (Murashige and Skoog). Kandungan makronutrien, mikronutrien, dan garam-garam mineral yang tersedia pada media MS dapat memenuhi kebutuhan tanaman yang diperbanyak melalui kultur jaringan. Berdasarkan beberapa hal di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal yang terkait dengan kombinasi konsentrasi BA dan IBA yang terbaik untuk pertumbuhan tunas dan akar stroberi (Fragaria X ananassa Var. Earlybrite) secara in vitro pada media MS. Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam budidaya stroberi untuk menghasilkan bibit dengan kualitas unggul dan sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal berupa 9 perlakuan kombinasi konsentrasi BA dan IBA, yaitu b1i1 (1 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b1i2 (1 mg/l BA+ 0,75 mg/l IBA), b1i3 (1 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA), b2i1 (1,75 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b2i2 (1,75 mg/l BA+ 0,75 mg/l IBA), b2i3 (1,75 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA), b3i1 (2,5 mg/l BA+ 0,25 mg/l IBA), b3i2 (2,5 mg/l BA+ 0,75 mg/l IBA), dan b3i3 (2,5 mg/l BA+ 1,25 mg/l IBA). Masing-masing perlakuan dilakukan dengan tiga kali pengulangan. Parameter yang diamati adalah waktu muncul tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, waktu muncul akar, jumlah akar, tinggi akar, dan persentase kultur yang tidak kontaminasi. Data pengamatan terhadap waktu muncul tunas, jumlah tunas, tinggi tunas dianalisis menggunakan ANAVA, jika berpengaruh nyata dilakukan uji Duncan pada taraf uji α = 5 % (Walpole & Myers, 1995). Sedangkan data pengamatan terhadap waktu muncul akar, jumlah akar, panjang akar, dan eksplan tidak terkontaminasi dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan secara keseluruhan menunjukkan bahwa eksplan tunas stroberi yang dikultur pada media MS dengan kombinasi berbagai konsentrasi BA dan IBA dapat tumbuh pada semua perlakuan. Respon pertumbuhan eksplan meliputi terbentuknya tunas baru, elongasi tunas (pertambahan tinggi tunas), dan pertumbuhan akar. Keberhasilan mikropropagasi pada suatu eksplan khususnya dalam penelitian ini stroberi (Fragaria X ananassa Var. Earlybrite) tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang mendukung seperti 1128
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
suhu, kelembaban, penyinaran, intensitas penyinaran, serta botol kultur yang digunakan (Gunawan, 1995). Hasil pengukuran ruang kultur menunjukkan bahwa suhu rata-rata selama penelitian sekitar 21-23OC. Umumnya temperatur yang digunakan dalam kultur in vitro lebih tinggi dari kondisi suhu in vivo. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan morfogenesis eksplan. Stroberi dapat tumbuh optimum dengan suhu ruang kultur berkisar 24-25OC. Pada suhu ruang kultur dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum pertumbuhan tanaman juga terhambat akibat tingginya laju respirasi eksplan (Zulkarnain, 2006). Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam kondisi in vivo, kuantitas dan kualitas cahaya seperti intensitas, lama penyinaran dan panjang gelombang cahaya mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur in vitro. Pada pelaksanaan penelitian, cahaya yang digunakan adalah cahaya lampu neon dengan daya 40 Watt yang dipasang pada jarak sekitar 50-60 cm dari rak kultur. Lampu ini merupakan sumber cahaya dalam merangsang pertumbuhan tunas. Kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan (Yusnita, 2003). Kelembaban relatif yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah 70 % dan kebutuhan kelembaban didalam wadah kultur mendekati 90 % (Zulkarnain, 2006). Hasil pengukuran kelembaban ruang kultur pada tempat penelitian menunjukkan nilai kelembaban relatif sebesar 80-90 %. Hasil kelembaban yang diperoleh menunjukkan angka yang lebih tinggi. Namun dalam hal tersebut, tidak mengganggu pertumbuhan ekplan yang dikultur. Waktu Muncul Tunas Hasil pengamatan waktu muncul tunas pada akhir penelitian (5 MST) setelah dianalisis menggunakan Anava menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi konsentrasi BA dan IBA berpengaruh nyata terhadap waktu muncul tunas. Hasil perhitungan Anava dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1 Hasil Anava Waktu Muncul Tunas Stroberi dengan Penambahan BA dan IBA pada Berbagai Konsentrasi padaTaraf 5% dalam 5 MST Sumber Ragam Jumlah Kuadrat Df Kuadrat Tengah F.Hit Sig Perlakuan 362.741 8 45.343 2.519 0.049 Galat 324.000 18 18.000 Total 686.741 26 Keterangan: F.Hitung > F.Tabel: Berpengaruh Nyata Nilai Sig. < 0.05 : Perlakukan memberikan pengaruh berbeda nyata Uji Jarak Berganda Duncan dilakukan untuk melihat perbedaan antar perlakuan yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:
1129
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Tabel 2 Rata-rata Waktu Muncul Tunas Stroberi dengan Penambahan BA dan IBA pada Berbagai Konsentrasi Perlakuan Rata-rata Waktu Muncul Tunas (HST) b1i1 (1 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 9,00 ab b1i2 (1 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 9,00 ab b1i3 (1 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 15,67 b b2i1 (1,75 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 8,6 ab b2i2 (1,75 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 3,00 a b2i3 (1,75 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 8,33 ab b3i1 (2,5 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 3,67 a b3i2 (2,5 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 5,33 a b3i3 (2,5mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 3,67 a Keterangan :Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5%. Pada Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata waktu muncul tunas tercepat terdapat pada perlakuan b2i2, yaitu 3 HST, meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali b1i3. Hal ini diduga terjadi karena penambahan BA yang dikombinasikan dengan IBA pada perlakuan b2i2 merupakan konsentrasi yang sesuai untuk mempercepat pertumbuhan tunas stroberi. Hartmann et al. (2002) menyebutkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh yang sesuai dapat meningkatkan aktivitas pembelahan sel dalam proses morfogenesis dan organogenesis. Tunas dengan waktu muncul tunas terbaik dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1 Pertumbuhan Tunas Terbaik pada Perlakuan b2i2 Munculnya tunas stroberi terjadi karena penambahan BA yang dikombinasikan dengan IBA bekerja secara optimum merangsang pembentukan tunas adventif. Sesuai dengan pernyataan George dan Sherrington (1984) bahwa terbentuknya tunas adventif dipengaruhi oleh adanya interaksi antara auksin dan sitokinin. Penggunaan sitokinin dan auksin dalam satu media dapat memacu proliferasi tunas yang bekerja secara sinergis (Thorpe 1987 ; Davies 1995). BA adalah jenis sitokinin yang sering digunakan untuk menginduksi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Konsentrasi BA yang tinggi (1-10 mg/l) mampu menginduksi tunas adventif, tapi pembentukan akar terhambat. Hasil mikropropagasi Solanum lycoperison menunjukan bahwa jumlah pertumbuhan tunas 1130
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
terbanyak terdapat pada konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi daripada auksin, yaitu kombinasi (2 mg/L) BAP + (0.2 mg/L) IBA (Sammaiah et al. , 2012). Perlakuan dengan waktu muncul tunas terlama ditunjukkan pada perlakuan b1i3, yaitu 15,67 HST. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi IBA lebih tinggi daripada BA, sehingga bersifat menghambat pembentukan tunas. BA berperan dominan dalam pembelahan dan diferensiasi sel, sedangkan IBA berperan dalam pembentukan akar. Ghaspar et al. (1996) menyatakan bahwa berbagai aspek pertumbuhan, diferensiasi, dan organogenesis sel dikendalikan oleh interaksi antara sitokinin dan auksin yang optimum pada konsentrasi tertentu sesuai dengan jenis tanaman dan ZPT itu sendiri. Auksin dapat menghambat akumulasi sitokinin, begitu juga sitokinin dapat menghambat kerja auksin. Waktu muncul tunas dihitung setiap hari setelah penanaman eksplan. Munculnya tunas ditandai dengan adanya tonjolan atau kuncup berwarna hijau yang kemudian akan muncul primordia daun pada ujung tonjolan. Tunas muncul pada bagian pangkal planlet stroberi yang digunakan sebagai eksplan. Rata-rata waktu muncul tunas secara lebih jelas dilihat pada Grafik 1 berikut ini: 20 15 Waktu Muncul Tunas 10 (HST) 5
15.67 9
9
8.6
8.33 3.67
3
5.33
3.67
0 b1i1
b1i2
b1i3
b2i1
b2i2
b2i3
b3i1
b3i2
b3i3
Perlakuan
Grafik 1 Waktu Muncul Tunas (HST) dengan Penambahan BA dan IBA pada Berbagai Konsentrasi Jumlah Tunas Hasil pengamatan jumlah tunas pada akhir penelitian (5 MST) yang dianalisis menggunakan Anava menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi konsentrasi BA dan IBA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas. Hasil perhitungan Anava dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3 Hasil Anava Jumlah Tunas Stroberi dengan Penambahan BA dan IBA pada Berbagai Konsentrasi padaTaraf 5% dalam 5 MST Sumber Ragam Jumlah Kuadrat Df Kuadrat Tengah F.Hit Sig Perlakuan 314.667 8 39.333 4.658 0.003 Galat 152.000 18 8.444 Total 466.667 26 Keterangan: F.Hitung > F.Tabel: Berpengaruh Nyata Nilai Sig. < 0.05 : Perlakukan memberikan pengaruh berbeda nyata Uji Jarak Berganda dilakukan untuk melihat perbedaan antar perlakuan yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:
1131
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Tabel 4 Rata-rata Jumlah Tunas Stroberi dengan Penambahan BA dan IBA pada 5 MST Perlakuan Rata-rata Jumlah Tunas (buah) b1i1 (1 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 8,67a b1i2 (1 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 6,33a b1i3 (1 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 5,33a b2i1 (1,75 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 16,00b b2i2 (1,75 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 10,33ab b2i3 (1,75 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 6,67a b3i1 (2,5 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 3,67a b3i2 (2,5 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 5,33a b3i3 (2,5mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 5,00a Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5%. Pada Tabel 4 terlihat bahwa rata-rata jumlah tunas tertinggi terdapat pada perlakuan b2i1, yaitu 16 buah, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali b2i2. Hal ini disebabkan pada perlakuan b4i4 mekanisme kerja BA dan IBA terjadi paling efektif dibanding perlakuan yang lain. Tunas dengan jumlah tunas terbaik dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:
Gambar 2 Pertumbuhan Tunas Terbaik pada Perlakuan b4i4 BA merupakan ZPT yang banyak digunakan untuk memacu penggandaan tunas karena mempunyai aktivitas yang kuat dibandingkan dengan jenis sitokinin lainnya (Zaer dan Mapes, l982). Biswas et al. (2008) menyatakan bahwa penggunaan BA dengan konsentrasi rendah lebih efektif dalam pertumbuhan tunas stroberi yang dilakukan pada tiga varietas. Penilitian mikropropagasi stroberi oleh Sitepu (2007) yang menggunakan BAP dengan konsentrasi 2 ppm dan NAA 1 ppm menunjukan hasil jumlah kemunculan tunas rata-rata sebanyak 4,7 buah. Perbedaaan konsentrasi yang optimum tersebut diduga disebabkan oleh respon yang berbeda pada setiap kultivar. Debnath (2006) menyatakan bahwa konsentrasi BAP yang lebih rendah yaitu 2-4 mg/l juga mampu mendorong proliferasi tunas dari eksplan sepal Fragaria ananassa Duch. Hal ini menunjukkan bahwa jenis eksplan dan kultivar dengan berbeda komponen genetiknya akan memberikan respon pertumbuhan yang berbeda pula. ZPT endogen yang disintesis secara alami pada tanaman stroberi diduga juga memberikan pengaruh dalam pertumbuhan tunas. Kandungan sitokinin alami pada stroberi beraktivitas sinergis dengan BA dalam memacu proliferasi tunas. George dan Sherington 1132
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
(1984) mengemukakan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh baik auksin maupun sitokinin eksogen dapat meningkatkan biosintesis hormon alami. Rata-rata jumlah tunas terendah terdapat pada perlakuan b3i1, yaitu 3,67 buah. Hal ini diduga terjadi karena konsentrasi BA pada kombinasi tersebut terlalu tinggi hingga tidak optimum memicu proliferasi tunas. Naik et al.(1999) menyatakan bahwa meningkatnya konsentrasi sitokinin akan menyebabkan penurunan dalam mikropropagasi tunas dan terhambatnya elongasi tunas. Rata-rata jumlah tunas secara lebih jelas dapat dilihat pada Grafik 2 berikut: 16 14 12 10 Jumlah Tunas 8 (buah) 6 4 2 0
16 10.33 8.67 6.33
6.67
5.33
5.33
5
b3i2
b3i3
3.67
b1i1
b1i2
b1i3
b2i1
b2i2
b2i3
b3i1
Perlakuan
Grafik 2 Rata-rata jumlah tunas pada berbagai kombinasi sitokinin dan auksin Tinggi Tunas Hasil pengamatan tinggi tunas pada akhir penelitian (5 MST) yang dianalisis menggunakan Anava menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi konsentrasi BA dan IBA berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Hasil perhitungan Anava dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini: Tabel 5 Hasil Anava Tinggi Tunas Stroberi dengan Penambahan BA dan IBA pada Berbagai Konsentrasi padaTaraf 5% dalam 5 MST Sumber Ragam Jumlah Kuadrat Df Kuadrat Tengah F.Hit Sig Perlakuan 3.423 8 .428 2.579 0.018 Galat 2.987 18 .166 Total 6.410 26 Keterangan: F.Hitung > F.Tabel: Berpengaruh Nyata Nilai Sig. < 0.05 : Perlakukan memberikan pengaruh berbeda nyata Uji Jarak Berganda Duncan dilakukan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan dengan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini:
1133
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Tabel 6 Rata-rata Tinggi Tunas Stroberi dengan Penambahan BA dan IBA pada Berbagai Konsentrasi Perlakuan Rata-rata Tinggi Tunas (cm) b1i1 (1 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 1,2ab b1i2 (1 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 0,53a b1i3 (1 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 1,70b b2i1 (1,75 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 0,73a b2i2 (1,75 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 1,00ab b2i3 (1,75 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 0,83a b3i1 (2,5 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) 1,00ab b3i2 (2,5 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA) 0,53a b3i3 (2,5mg/l BA + 1,25 mg/l IBA) 1,00a Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan taraf nyata 5% Pada Tabel 6 terlihat bahwa rata-rata tinggi tunas tertinggi terdapat pada perlakuan b1i3, yaitu 1,70 cm. Hal ini diduga karena pengaruh BA yang berfungsi dalam proses diferensiasi sel pada tunas stroberi. IBA sebagai auksin juga berperan mendukung pertambahan tinggi tunas dalam perpanjangan sel-sel tanaman stroberi, sehingga banyak bahan dinding sel primer yang dihasilkan dan ditransfer pada kedua ujung sel, kemudian struktur sel diregangkan dan akan membentuk dinding sel yang lebih banyak. Tunas dengan tinggi terbaik dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini:
Gambar 5 Pertumbuhan Tinggi Tunas Terbaik pada Perlakuan b3i3 Pada perlakuan b1i2) dan b3i2) menunjukkan rata-rata tinggi tunas terendah. Hal ini diduga penambahan IBA pada konsentrasi 0,75 mg/l tidak mampu mendukung pertumbuhan tinggi tunas. Meskipun secara alami eksplan menghasilkan auksin endogen, namun diduga masih belum mencukupi kebutuhan eksplan untuk memacu pertumbuhan tinggi tunas, sehingga membutuhkan penambahan auksin eksogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari 0,75 mg/l. Pertumbuhan tunas stroberi yang terjadi selama 5 MST mengalami pertambahan tinggi karena pengaruh auksin IBA. Salah satu mekanisme kerja auksin adalah mempengaruhi perpanjangan sel. Auksin mendorong elongasi sel pada ruas-ruas tanaman. Elongasi sel terutama terjadi pada arah vertikal dan diikuti dengan pembesaran sel. Rata-rata tinggi tunas secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini:
1134
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016 2 1.7
1.5 1.2 Tinggi Tunas (cm)
1
1 0.73
0.83
1
0.53
0.5
1 0.53
0 b1i1
b1i2
b1i3
b2i1
b2i2
b2i3
b3i1
b3i2
b3i3
Perlakuan
Grafik 3 Rata-rata Tinggi Tunas Stroberi dengan Penambahan BA dan IBA pada Berbagai Konsentrasi (5 MST) Waktu Muncul Akar, Jumlah akar dan Panjang akar Pada penelitian ini, pembentukan akar tidak terjadi pada semua perlakuan, tetapi hanya pada empat perlakuan yaitu b1i1, b1i3, b3i1, dan b3i3. Hal ini diduga karena keberadaan BA menyebabkan terhambatnya pembentukan akar. Sejalan dengan kondisi tersebut, Kaabi dan Hassan (2008) menyatakan bahwa konsentrasi sitokinin yang tinggi pada kultur Phoenix dactylifera L. dapat menyebabkan menurunnya persentase pembentukan akar. Pertumbuhan akar dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini:
Gambar 7 Pertumbuhan akar stroberi pada perlakuan b1i1, b1i3, b3i1, dan b3i3 Perbedaan respon pertumbuhan yang terjadi diduga juga karena kombinasi konsentrasi yang ada pada perlakuan lain belum mampu menginduksi akar stroberi. Kandungan sitokinin endogen pada perlakuan b1i2, b2i1, b2i2, b2i3, dan b3i1 diduga cukup tinggi, sehingga total sitokinin pada eksplan meningkat dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar. Hal ini sesuai dengan Prakash (2004) yang menyatakan perbandingan interaksi auksin dan sitokinin pada media kultur sangat menentukan arah morfogenesis dalam pembentukan tunas dan akar. Hasil pengamatan terhadap waktu muncul akar, jumlah akar dan panjang akar dapat dilihat pada Grafik 4 berikut ini:
1135
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
12
11
10 8
7
6 4 2 0
6
4 2
2
2
1
0.260.320.530.26
Waktu Muncul Akar Jumlah Akar (buah) Panjang Akar (cm) (HST)
Perlakuan
b1i1
b1i3
b3i1
b3i3
Grafik 4 Rata-rata waktu muncul akar, jumlah akar, panjang akar dengan penambahan BA dan IBA pada berbagai konsentrasi Berdasarkan Grafik 4 terlihat bahwa waktu muncul akar tercepat terdapat pada perlakuan b1i3. Hal ini diduga karena BA bersinergisme baik dengan IBA dalam pembentukan akar. Waktu muncul akar terendah terdapat pada perlakuan b3i3. Hal ini diduga karena rasio sitokinin lebih besar daripada auksin. Tingginya konsentrasi sitokinin, secara umum cenderung akan menghambat atau memperlambat pembentukan akar (Ben Jaacov et al., 1991). Jumlah akar tertinggi terdapat pada perlakuan b1i1, b1i3, b3i1 dan terendah pada perlakuan b3i3. Pertumbuhan akar terjadi karena aktivitas kombinasi BA dan IBA bekerja dengan fungsinya masing-masing. IBA dapat menstimulir perakaran, tetapi juga dapat menekan pembentukan tunas. Bohidar et al.(2008) menyebutkan bahwa IBA diangkut secara basipetal sehingga terjadi akumulasi auksin pada bagian pangkal tunas dan akhirnya terbentuk akar. Rata-rata panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan b3i1. Hal ini terjadi karena IBA mampu berperan secara optimum dalam pembelahan sel dengan cara menginduksi sekresi H+ ke luar sel melalui dinding sel. Pengasaman dinding sel menyebabkan susunan matrix dinding sel meregang (walllossening), akibatnya air masuk ke dalam sel, sehingga sel membesar. Persentase Eksplan yang Tidak Terkontaminasi Eksplan tunas stroberi (Fragaria ananassa) yang dikultur pada media MS dengan penambahan BA dan IBA sebagai media pertumbuhan selama 5 minggu mengalami pertumbuhan yang baik. Tingkat kultur yang tidak mengalami kontaminasi, yaitu 92 %. Hal tersebut dapat diketahui dengan tidak munculnya jamur atau bakteri pada media ataupun pada eksplan. Eksplan yang mengalami kontaminasi dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini:
Gambar 9 Eksplan yang terkontaminasi jamur 1136
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Kontaminasi yang terjadi pada eksplan diduga karena pengemasan dengan plastik wrap dan karet yang memungkinkan bakteri atau spora jamur masuk ke dalam botol kultur dan tumbuh optimum, sehingga menyebabkan kematian eksplan. Hal ini didukung dengan pernyataan Gunawan (1992) bahwa beberapa jenis kontaminan ini melepaskan senyawa beracun yang dapat menyebabkan kematian eksplan. PENUTUP Kesimpulan 1. Perlakuan yang terbaik dalam mempercepat waktu muncul tunas adalah pada b2i2 (1,75 mg/l BA + 0,75 mg/l IBA), yaitu 3 hari; jumlah tunas dengan rataan tertinggi pada b 2i1 (1,75 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA), yaitu 16 buah; dan tinggi tunas dengan rataan tertinggi pada b1i3 (1 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA), yaitu 1,7 cm). 2. Perlakuan yang terbaik dalam waktu muncul akar dengan rataan tertinggi pada b1i3 (1 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA), yaitu 4 hari; jumlah akar dengan rataan tertinggi pada b 1i1 (1 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA) dan b1i3 (1 mg/l BA + 1,25 mg/l IBA), yaitu 2 buah; dan tinggi akar dengan rataan tertinggi pada b3i1 (2,5 mg/l BA + 0,25 mg/l IBA), yaitu 0,53 cm. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai konsentrasi yang lebih tinggi untuk mendapatkan hasil pertumbuhan tunas dan akar stroberi secara in vitro dan menambah waktu pengamatan menjadi lebih lama untuk mendapatkan pertumbuhan yang lebih optimum. DAFTAR PUSTAKA Ben Jaacov, Fihrin Astro, & Manyela. 1991. In-Vitro Rooting and Axillary Shoots Proliferation of Faidherbia albida (Del.) A. Chev. Under Varying Levels of Plant Growth Regulators. African Crop Science Journal, 7 (4): 303-311. Biswas et al. 2008. Plant Propogation: Principle and Practices. New Jersey: PrentinceHall International Bohidar, S, M. Thirunavookkasasu, & TV Re. 2008. Effect of Plant Growth Regulators on in vitro micropropagation of ―Garden Rue‖ (Ruta graveolans L.). International Journal of Integratif Biology, IJIB (3): 36-43. Darmawan, W. 2013. Stroberi. Jakarta: Penebar Swadaya. Davies, P. J. 1995. Plant Hormones and their Role in Plant Growth and Development. Boston: Martinus Nijhoff Publisher. Debnath, S. C. 2006. Strawberry Sepal: Another Explant for Thidiazuron-Induced Adventitious Shoot Regeneration. In Vitro Cell: 41: 671-676 George, E. F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Basingstoke: Exegetics Ltd. Eversley. Ghasper, U. L. Kumar M. B. Barker R. E & Reed. 1996. Plant Hormones and Plant Growth Regulators in Pant Tissue Culture In Vitro Cell. Dev. Biol-Plant, 32: 272-289 Gunawan,L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: PAU Bioteknologi IPB. Hartman, H. T. D. E. Kester, F. T. Davies, & R. L. Geneve. 2002. Plant Propagation Principles and Practiese, 6th Ed. New Delhi: Prentice Hall of Insia Private Limited. 1137
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Kaabi and I. J. Hassan. 2008. Morpho-regulatory role of thidiazuron: Substitution of auxin and cytokinin requirement for the induction of somatic embryogenesis in geranium hypocotyls culture. Plant Physiol, 99: 1704-1707. Krisna, A. 2012. Analisis Usaha Tani Stroberi (Studi Kasus: Desa Tongkoh Kecamatan Tiga Panah dan Desa Korpri Kecamatan Brastagi Kabupaten Karo). Medan: USU Kurnia, W. 2005. Budidaya Tanaman Stroberi. Jakarta: Pradnya Paramitha. Naik, S. K., S. Pattnaik., & P. K. Chand. 1999. In Vitro Propagation of Pomegranate (Punica granatum L. cv. Ganesh) Through Axillary Shoot Proliferation from Nodal Segments of Mature Tree. Sci. Hort. 79: 175-183 Prakash, S., M. I. Hoque, & T. Brinks. 2004. Culture Media and Containers. Proceedings of a Technical Meeting organized by the Hoint FAO/ IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture and held in Vienna. 26-30 August 2002. Pribadi, E. M.. 2001. Pengaruh Pemangkasan Cabang dan Penjarangan Bunga Jantan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Ketimun dengan Budidaya Hidroponik. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sammaiah, et al. 2012.In Vitro Multiple Shoot Induction in Solanum lycoperisco (Mill.), Westtst. Through Nodal Culture. Plant Sciences Feed, 2 (11): 231-1971 Sitepu. G. H. 2007. Mikropropagasi Tunas Stroberi (Fragaria sp.) dengan Penambahan NAA dan BAP pada Media MS. Skripsi yang tidak diterbitkan. Medan: Prodi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utama Soeryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Yogyakarta: Kanisius Walpole, R. E. & R. H. Myers. 1995. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwan. Edisi ke-4. Bandung: Penerbit ITB Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Jakarta: Agromedia Pustaka Zaer & Mapes. 1982. Experiment in Plants Tissue Culture. London: Cambridge University Press Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tumbuhan. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara
1138