Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (FIKRI)
absurdity, Salah beli? Kamu tidak sendiri.
absurdity, Oleh: Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (FIKRI) Copyright © 2014
2
DELAPAN Ujian Minggu ujian adalah minggu yang ditunggu oleh mahasiswa pintar untuk dengan bangga memamerkan nilai A berderet rapi kepada orang tuanya. Tapi buat saya, dan mungkin beberapa teman yang satu kaum, minggu ujian adalah minggu yang kedatangannya selalu diiringi dengan keluhan. Entah hanya diucapkan atau sampai didokumentasikan dalam situs jejaring sosial. Ujian, tiga suku kata. U-ji-an. Uji mendapat akhiran -an. Harusnya Kamus Besar Bahasa Indonesia menambah arti baru untuk kata ini. Arti barunya adalah mencetak foto, tempel di kartu peserta ujian, cek jadwal, cari nomor ponsel anak pintar dan rajin di kelas, SMS dia, pinjam catatannya, lalu yang terakhir fotokopi. Saya adalah mahasiswa B. Saya selalu mendapatkan nilai B. Oke tak selalu, tapi 90% nilai saya adalah B. Entah kenapa, sebodoh-bodohnya saya dalam menjawab soal, saya akan mendapat nilai B. Begitu juga jika saya belajar mati-matian. Belajar mati-matian di sini dapat didefinisikan belajar selama lima belas menit di malam hari untuk ujian keesokan harinya. Saya akan menceritakan beberapa keajaiban yang terjadi saat saya ujian. Mudah-mudahan kamu yang membaca ini terinspirasi untuk mengulang kesuksesan saya dalam berkarier di kampus. Atau setidaknya dijadikan pedoman untuk berbakti bagi universitas dan transkrip nilai. Salah satunya adalah cerita ujian mata kuliah Manajemen Operasi di semester empat. Saya ingat, ujian tengah 3
semester saya hanya mendapat nilai yang keren. Begitu kertas hasil ujian dibagikan, saya tertawa di tengah kelas. Saya mendapat prestasi yang membanggakan. Nilai saya terendah di kelas. Hanya 19. Berbekal pengalaman itu, saya pinjam hasil ujian teman yang saya anggap pintar, Aidi. Ia mendapat nilai di atas 80. Memang, ia termasuk anak yang rajin dalam urusan akademis. Saya pelajari pola jawaban dan struktur kalimatnya. Ternyata dosen senang yang bertele-tele. Yang penting panjang, jawabannya memutar-mutar dan tidak menjawab pertanyaan. Ujian akhir dilaksanakan. Modal saya hanya belajar dari ringkasan materi tiap bab dan cara menjawab yang dosen senangi. Baru tiga puluh menit berjalan, si Aidi sudah melancarkan serangan psikis. Dia berdiri dan menuju meja pengawas ujian. Lalu meminta lembar jawab yang baru dan kembali ke tempat duduknya. Di sana, saya yakin ia pamer kalau lembar jawab yang pertama sudah habis terisi tinta pulpen dengan cara membolak-baliknya dengan suara berlebihan agar semua mata memandangnya. Sialan! Saya pandangi lembar jawab saya. Agak lama. Lembar jawab masih hanya berisi nama dan tanggal. Tapi lembar soal sudah penuh, dengan gambar gunung dan matahari. Satu jam ujian berlangsung, akhirnya saya bisa mengerjakan seluruh pertanyaannya. Tentu saja bisa di sini punya arti belum tentu benar. Dengan kemampuan pas-pasan saya, serta gambar gunung dan matahari, saya kumpulkan lembar jawab ke pengawas ujian. 4
Di dalam soal ujian ini juga terkandung pertanyaan bonus. Bobotnya lumayan buat menambah nilai. Berhubung soal lain saya kerjakan dengan semena-mena, saya berharap banyak pada pertanyaan ini. Pertanyaannya ada dua, tidak ada sangkut-pautnya dengan mata kuliah Manajemen Operasi. Apa nilai yang kamu harapkan dari mata kuliah ini? Begini Bu, berhubung nilai ujian midterm saya hanya mendapatkan nilai 19, maka tidak mungkin saya mengharapkan B. Apalagi bermimpi mendapat A. Saya cukup berharap dapat lulus dengan nilai C. Itu sudah cukup sekali buat saya. Evaluasi kegiatan perkuliahan kita selama 1 semester yang lalu! Subjektivitas saya, cara mengajar Ibu agak sedikit otoriter dan banyak intimidasi. Mahasiswa menjawab pertanyaan yang Ibu berikan karena takut mendapat siksaan verbal dari Ibu. Bukan karena mereka sudah membaca materi beberapa hari sebelumnya. Mereka membaca bahan kuliah bukan karena mereka ingin tahu. Tapi mereka belajar atau membaca materi supaya tidak diintimidasi Ibu dan menjadi bahan tertawaan di dalam kelas. Saya tidak tahu apa yang membuat saya berani menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat sejenius itu. Itu bego banget! Begitu ujian selesai, saya menghampiri teman-teman sekelas yang sudah 5
berkumpul beberapa meter dari ruangan ujian. Mereka masih membicarakan soal ujian Manajemen Operasi. “Gimana ujian lo, fik? Bisa ga?” Aidi bertanya langsung ke inti permasalahan. “Bisa dong! Bisa ngulang semester depan!” Disambut derai tawa belasan mulut teman-teman saya. “Eh tadi di pertanyaan bonus, lo minta nilai apa? Terus evaluasi lo gimana?” Saya beri tahu jawaban yang sudah saya tulis ke temanteman saya. Mereka memberi satu solusi yang sangat brilian. “Lo mendingan nunggu 2 semester lagi aja, fik!” “Hah 2 semester nunggu? Buat apaan?” “Si Ibu mau S3 ke Norwegia semester depan. Jadi kalau mau ngulang kan enak, ga bakal ketemu doi lagi.” “Babi! Hahaha.” Beberapa minggu kemudian, nilai ujian sudah ditampilkan di akun masing-masing mahasiswa. Aidi menghubungi saya. “Fik, Manajemen Operasi lo dapet apaan? Bangsat gue dapet C!” “He? Udah keluar ya nilainya? Gue belum ngecek nih! Palingan gue kagak lulus, lo tau ndiri kan gue jawabnya kayak apaan? Udah sama kayak ngisi TTS yang serebuan.” “Ya udah lo buruan cek sana. Gue mau ngulang, bareng aja nanti.” 6
“Yoi sip beres!” Saya bergumam dalam hati, “Aidi yang panjang jawabannya ga mampu ditampung satu lembar folio saja dapet C, gimana saya?” kalau di sinetron suara gumaman hati ini dikeraskan agar penonton ikut mendengar. Saya langsung menuju warung internet terdekat. Saya buka situs akademik. Setelah memasukkan username dan password, saya langsung menghubungi Aidi. “Di! Semester depan gue ga mau ngulang Manajemen Operasi!” “Kenapa? Dua semester lagi? Nunggu si Ibu ke Norwegia?” “Engga, gue males ngulang. Gue dapet B!” “Lo emang bangsat kayak babi! Hoki lo gede kayak anjing!” “Hahahaha.” *** Kalau ujian Statistika I saya lalui dengan menahan kantuk, lain lagi dengan Statistika II. Walau sebenarnya saya suka matematika, tapi statistik itu beda persoalan. Statistika itu seperti angka-angka yang dikombinasikan dengan rumus kemudian memunculkan rumus turunan baru, lalu muncul turunannya lagi. Secara kasar, statistika itu adalah ternak rumus untuk diambil keturunannya.
7
Dosen Statistika II adalah dosen impor. Beliau tidak berasal dari Fakultas Ekonomi, tapi dari Fakultas Matematika dan IPA. Jadi, apa yang saya harapkan dengan dosen yang sehari-harinya mengajar mahasiswa yang berkutat dengan angka? Soal bilangan prima dan KPK atau FPB. Saya sekelas dengan Senti, Pakpahan, Bison, Taufiq, dan Yudis. Mereka sebelas dua belas dengan saya. Dari empat belas kali pertemuan di kelas Statistika II, saya hanya masuk empat kali. Saya ingat, tujuan saya masuk selain untuk mengumpulkan tugas, juga untuk memberikan panduan tanda tangan agar dapat ditiru oleh temanteman keren saya. Alasan saya sepele, kuliah Statistika II dimulai jam tujuh pagi. Saya tidak akan bangun pagi kecuali untuk hal yang penting. Statistika II dengan dosen impor bukan salah satu hal yang penting menurut saya. Singkat cerita, ujian akhir semester sudah menunggu keesokan hari. Saya belajar, eh maksudnya saya membuka-buka buku. Melihat rumus yang terus saja memberi keturunan, saya lebih baik mendongakkan kepala ke langit, dan berharap semesta yang mengerjakan sisanya. Yang penting saya sudah usaha membuka buku. Ujian berlangsung. Senti duduk tepat di depan pengawas, saya di belakangnya, disusul Bison, lalu Pakpahan, dan Taufiq duduk di deretan paling belakang. Begitu soal dibagikan, saya tertawa. Soalnya bahasa Inggris! Sekali lagi, soalnya bahasa Inggris! Bukan, bukan saya tidak mengerti bahasa Inggris. Tapi kombinasi angka dan 8
bahasa Indonesia saja hampir mustahil dikerjakan, apalagi dengan bahasa Inggris. Lima belas menit, lembar jawaban saya masih kosong. Bahkan setelah membaca soal tersebut, mengisi nama dan tanggal saja rasanya harus menyontek. Tiga puluh menit kemudian, saya mampu mengerjakan soal yang bobot nilainya paling kecil. Akhirnya ada coretan pulpen di atas lembar jawaban saya. Saya lihat pengawas ujian pun sujud syukur dan bernapas lega melihat hal itu. Ternyata hanya soal tersebut yang saya bisa kerjakan, sisanya? Entahlah. Saat situasi dan kondisi mendukung, saya colek Senti sekaligus berbisik manja. “Sstt Sen! Liat yang kamu bisa dong, aku nyontek!” Senti tidak memberikan sontekan, ia hanya menggeleng. Dari gelengan kepalanya, saya kira Senti adalah orang yang jujur. Ia tidak membiarkan saya berbuat curang dengan menyontek. Kemudian hal yang tak saya duga terjadi, ia menggeser kertas buram yang digunakan untuk corat-coret hitungan. Saya intip. Gambar pohon beringin. Saya tertawa. Sasaran saya pindah, kali itu ke Bison yang berada persis di belakang saya. “Sstt Son! Liat jawaban yang mana aja deh, gue ga bisa sama sekali!” Tak beberapa lama, Bison menyerahkan sobekan kertas buram lewat bawah kursi. Saya ambil perlahan. Saya buka pelan-pelan gumpalan kertas tersebut. Isinya mengagumkan.
9
Gw ga bisa, cuman bisa yang ini! Saya tertawa lagi. Benar kata pakar, orang bisa melakukan apa saja kalau sedang dalam keadaan terjepit. Saya sedang dalam keadaan terjepit saat otak saya memikirkan ide yang sangat amat jenius dalam sejarah peradaban manusia: menyalin soal agar lembar jawaban terlihat penuh. Akhirnya semua soal saya salin serapi dan sedetail mungkin. Bahkan saya sempat berniat untuk menambah kertas lembar jawaban. Setelah pergulatan logika, niat mulia itu tidak jadi dilaksanakan. Setelah selesai, lembar jawaban saya berisi satu nomor jawaban dan empat atau lima nomor yang lain adalah soal sepersis mungkin. Lengkap dengan tabel dan perintah pengerjaan soal. Saat nilai keluar, lagi-lagi nilai B mengisi daftar nilai saya.
10