FASILITASI PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU PADA KAWASAN TIMUR INDONESIA
Menjadi selalu menarik ketika kita berbicara tentang Raja Ampat, ataupun kawasan wisata lainnya di seluruh penjuru Indonesia. Mari Menengok ke Timur. Setidaknya itulah yang saat ini sedang menjadi fokus Balai Besar PPMB-TPH pada awal 2015 hingga akhir tahun 2016. Diawali dari provinsi paling Timur Indonesia: Papua, Papua Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Bali, Bangka Belitung, Riau dan kini tengah merapat Maluku Utara. Seluruh potensi yang menjadi prioritas fasilitasi penerapan sistem mutu tahun 2016. BPSBTPH Provinsi Papua, UPTD BPSBTPH Provinsi Papua Barat, BPSBTPH Provinsi Gorontalo, UPTD BPSBTPH Provinsi Sulawesi Barat, UPTD BPSBTPH Provinsi Bali, UPTD BPSMB Provinsi Bangka Belitung, UPT PSBTPH Provinsi Riau dan UPTD BP2STP Provinsi Maluku Utara. Penerapan sistem manajemen mutu di laboratorium penguji benih di Indonesia secara garis besar sebenarnya telah banyak diaplikasikan dalam pelaksanaan pengujian benih, hanya saja memang belum seluruhnya tertulis dan terkendali. Menulis apa yang akan dikerjakan dan mengerjakan apa yang telah ditulis. Butuh komitmen dan kontinuitas untuk dapat mewujudkannya.
Gambar 1. Fasilitasi penerapan sistem manajemen mutu UPTD BP2STP Provinsi Maluku Utara Penerapan sistem manajemen mutu laboratorium penguji benih di Indonesia secara umum mengacu pada SNI ISO/IEC 17025:2008 tentang Persyaratan Umum 1 dari 5
Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi. Acuan ini berisi persyaratan manajemen dan persyaratan teknis untuk laboratorium penguji benih dan kalibrasi.
Gambar 2. Fasilitasi penerapan sistem manajemen mutu UPT PSBTPH Provinsi Riau Persyaratan teknis pada SNI ISO/IEC 17025:2008 meliputi: persyaratan umum, personel, kondisi akomodasi dan lingkungan, metode pengujian, peralatan, ketertelusuran pengukuran, pengambilan contoh, penanganan barang, jaminan mutu, dan pelaporan hasil. Beberapa faktor penting yang menentukan kebenaran dan kehandalan pengujian yang dilakukan oleh laboratorium antara lain: faktor manusia (terdapat dalam klausul 5.2 SNI ISO/IEC 17025:2008), kondisi akomodasi dan lingkungan (5.3), metode pengujian dan validasi metode (5.4), peralatan (5.5), ketertelusuran pengukuran (5.6), pengambilan contoh (5.7), dan penanganan barang yang diuji (5.8).
Gambar 3. Praktek pelaksanaan audit internal BPSBTPH Provinsi Bali Faktor manusia (personel) (5.2) berarti kompetensi personel tersebut dalam mengoperasikan peralatan, melakukan pengujian, mengevaluasi hasil dan menandatangani laporan pengujian. Kompetensi personel dapat dibuktikan dengan sertifikat pendidikan, pelatihan dan seminar-seminar terkait tupoksinya sebagai analis. 2 dari 5
Kondisi akomodasi dan lingkungan (5.3) berarti fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh laboratorium; dapat berupa sumber energi, kondisi penerangan, atau kondisi lingkungan laboratorium. Selain harus terpantau, lingkungan pengujian juga harus mampu dikendalikan, direkam dan ditata. Akomodasi termasuk di dalamnya peralatan laboratorium ditata menyesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan dengan tetap memperhatikan faktor lingkungan (seperti sumber pencahayaan, getaran, dll) sehingga tidak mempengaruhi hasil pengujian.
Gambar 4. Penataan peralatan pengujian di laboratorium BPSBTPH Provinsi Gorontalo
Gambar 5. Germinator cabinet milik UPTD BPSB-TPH Provinsi Sulawesi Barat beserta cara pemakaian alat Dalam pelaksanaan pengujian, pengambilan contoh, ataupun kalibrasi perlu mengacu pada metode yang baku atau setidaknya telah divalidasi. Tidak sekedar memiliki acuan, namun diharapkan laboratorium memiliki pedoman tertulis yang 3 dari 5
dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pengujian sehari-harinya. Itulah pentingnya laboratorium memiliki dokumen sistem manajemen mutu sendiri.
Gambar 6. Peragaan untuk Kalibrasi Internal Grinding Mill BPSBTPH Provinsi Papua Barat Selain menjadi acuan dalam pelaksanaan, dokumen sistem manajemen mutu dapat menjadi tolak ukur kinerja laboratorium bersangkutan. Dokumen sistem manajemen mutu juga dapat berfungsi sebagai rekaman bagi laboratorium tersebut. Rekaman merupakan barang bukti seseorang/instansi melakukan pekerjaannya, ketika tidak ada rekaman maka akan dianggap tidak melakukan pekerjaan meskipun pada kenyataanya telah dilaksanakan. Ketertelusuran rekaman juga dapat dipantau melalui dokumen sistem manajemen mutu masing-masing laboratorium. Meskipun demikian, isi dokumen dapat disesuaikan dengan tahap dan ruang lingkup pengujian masing-masing laboratorium. Tidak harus sama dan persis, namun dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan laboratorium bersangkutan.
Gambar 7. Pelaksanaan fasilitasi penyusunan dokumen sistem manajemen mutu UPTD BPSBTPH Provinsi Papua 4 dari 5
Kembali pada penerapan sistem manajemen mutu laboratorium, semua akan kembali pada diri sendiri. Kerja keras dan kebulatan tekad dibungkus dengan kerjasama tim, akreditasi bukanlah hal yang mustahil. Sudah banyak cerita dengan keterbatasan alat ataupun sedikitnya jumlah personil tidak menjadi halangan untuk memperoleh akreditasi. Akreditasi bukanlah tujuan akhir, namun merupakan titik balik untuk meningkatkan kapasitas dan sumberdaya manusia. Sebuah kebahagiaan dan pengalaman tersendiri tentunya ketika kerja keras terbayar. Jarak tentu menjadi tantangan tersendiri, namun setiap tantangan besar justru muncul dari diri sendiri. Balai Besar PPMB-TPH berupaya memfasilitasi terlaksananya penerapan sistem manajemen mutu, tidak hanya secara aplikatif dalam pengujian namun juga melalui dokumen internal laboratorium. Karena setiap provinsi adalah istimewa, setiap provinsi spesial, dan setiap provinsi menghadirkan pengalaman; mudah-mudahan menjadi sebuah kebaikan dan berkah tersendiri ketika Balai Besar PPMB-TPH bertekad memulai fasilitasi penerapan sistem mutu ke BPSB di seluruh Indonesia. Semoga.
Sumber: Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI ISO/IEC 17025:2008, Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.
Penulis,
Unik Nur Rahmawati
5 dari 5