FALSAFAH HIBUALAMO Suatu Upaya Membangun Rekonsiliasi di Halmahera Utara Anselmus Puasa
Abstrak Konflik ada sesuatu yang lumrah dalam kehidupan bersama. Kata orang konflik ibarat api, kecil dibutuhkan dan diperlakukan sebagai sahabat. Tetapi besar dan tak terkendali, menjadi musuh yang merusak dan menghancurkan. Begitu juga perihal konflik. Akantetapi tidak semua orang paham tentang kelumrahan dari konflik yang terjadi. Akibatnya konflik berubah menjadi tindak kekerasan yang melibas siapa saja yang ada, tanpa mengenal status social, etnis, umur, pekerjaan, jenis kelamin dan lain sebagainya. Pengalaman pahit itulah yang melanda, masyarakat Maluku Utara di akhir tahun 1999. Ketika konflik dan tindak kekerasan telah mencabik-cabik rasa kemanusian, sebagai orang beradab, kita lantas mencari jalan untuk lari menyelamatkan diri. Tetapi ada segelintir orang berupaya untuk mencari jalan dan membangun jembatan, agar hubungan yang telah terputus, akibat konflik dan tindak kekerasan di antara sesama anak manusia, sesama keluarga, sesama sahabat bisa terhubung kembali. Salah satu jalan dan jembatan yang dibangun adalah menghidupkan kembali falsafah Hibualamo yang mengandung nilai-nilai kehidupan berupa Odora (memelihara kasih sayang antar sesama); O diari (pentingnya menjunjung nilai kebenaran); dan O adili (penerapan prinsip keadilan dalam kehidupan bermasyarakat). Jadi falsafah Hibualamo yang mengandung nilai-nilai yang telah disebutkan di atas, akan menjadi modal sosial dalam membangun rekonsiliasi dan hidup yang berdampingan sebagai sesama saudara. Sebab torang memang samua basudara. Kata kunci: Hibualamo, konflik, kekerasan, rekonsiliasi.
A. Pendahuluan Dahulu bangsa Indondonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat ramah dan selalu berusaha untuk memelihara nilainilai budaya sebagai wujud identitasnya. Selain dikenal sebagai bangsa yang ramah, Indonesia juga adala bangsa yang majemuk, tetapi hidup dalam satu Negara persatuan, sesuai dengan semboyan yang dianut bangsa ini yakni, Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi satu. Semboyan yang indah, bukan hanya mengandung nilai-nila persatuan sebagai satu bangsa namun juga mengandung nilainilai kebersamaan. Akan tetapi, rezim orde baru yang cenderung otoriter-militeristik, telah mereduksi nilai-nilai persatuan dan
kebersamaan. Kalau toh ada, itu hanya sebatas retorika belaka. Walaupun kemudian berganti orde reformasi, masih saja terjadi persitiwa yang menyakitkan hati rakyat. Berbagai peristiwa, terutama konflik dan kekerasan yang menyangkut pelanggaran Hak Asasi Manusia, terus terjadi. Hal ini mengakibatkan di negeri tercinta ini, harga nyawa seorang anak cucu Adam sama bahkan jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga seekor anak Ayam. Perjuangan demokratisasi yang seharusnya bermuara kepada supremasi hukum dan tegaknya HAM, ternyata membawa dampak terhadap tindak sewenang-wenang, baik dari pemerintah
terhadap rakyat (tirani, otoriterianisme dan militerisme) ataupun sebaliknya rakyat terhadap pemerintah (anarkhisme). Bila nilai-nilai persatuan dan kebersamaan belum tercabut sepenuhnya, artinya masih ada harapan, tetapi tetap saja kita ini hidup dalam kecurigaan, kecemasan dan ketakutan sebab konflik dan kekerasan sudah menjadi hal yang rutin terjadi setiap saat. Konflik Ambon, konflik Poso, dan konflik Sampit serta konflik di Maluku Utara. Ini menunjukan bahwa persoalanpersoalan yang tengah dihadapi masyarakat bangsa Indonesia, entah persoalan kecil atau besar, jangan dianggap sepele sebab dapat berakibat fatal, jika penyelesaiannya tak sampai tuntas. Dalam situasi dan kondisi seperti inilah maka rekonsiliasi 1 diperlukan. Dan dalam konteks Halmahera, ketika agama baik Kristen maupun Islam, langsung maupun tidak dianggap terlibat dalam kerusuhan, maka nilai-nilai budaya kembali digali dan dicari sebagai wadah untuk melakukan proses rekonsiliasi. Nilai-nilai budaya yang masih dipegang sebagai falsafah bersama orang Halmahera umumnya dan secara khususnya masyarakat Halmahera Utara, adalah Hibualmo. Pertanyaan yang dapat diajukan dalam tulisan ini adalah “sejauh mana falsafah Hibualamo dapat mengikat persatuan dan kebersamaan orang-orang Halmahera pasca kerusuhan ? Apakah nilainilai dari falsafah Hibualamo masih mempunyai makna bagi proses rekonsiliasi di Halmahera kini dan di masa depan ?” 1
Rekonsiliasi dari kata reconciliation (pendamaian) dilatar belakangi oleh adanya kondisi permusuhan dan perseturuan sehingga membutuhkan upaya pemulihan hubungan sebagai akibat dari adanya permusuhan. Keith Crim, et.al, The Interpreters Dictionary of The Biblle, (Abingdom press, 1984), p. 278.
Berdasarkan pertanyaan tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan dari tulisan ini adalah menawarkan falsafah Hibualamo sebagai salah satu wadah dalam membangun rekonsiliasi dan masa depan yang lebih baik di Halmahera. B.
Runtuhnya Masyarakat Hibualamo.
1. Masyarakat Halmahera. Dalam gugusan kepulauan Provinsi Maluku Utara2 yang berjumlah sekitar 352 pulau kecil dan besar, Halmahera merupakan pulau besar. Gugusan kepulauan ini terletak pada lintas garis khatulistiwa dan berada pada 125/129 derajat Bujur Timur, dan 3 derajat Lintang Utara sampai 3 derajat Lintas Selatan.3 Dikisahkan bahwa masyarakat Halmahera masih satu kerabat, oleh karena semuanya berasal dari satu nenek moyang, yang menghuni atau tinggal di kampung Gura. Perkampungan ini berada di pulau yang terletak di tengah Telaga Lina. Telaga Lina ini berada di pedalaman, di lereng gunung Rau dan terletak tepat pada titik tengah Halmahera bagian Utara. Bila berpatokan pada batas-batas daerah, maka Telaga Lina di sebelah Barat Daya Tobelo; di sebelah selatan Galela; di sebelah Selatan Tenggara Loloda; dan di sebelah Timur daerah Ibu; sedangkan di sebelah Utara ada daerah Jailolo dan di sebelah Barat Laut terletak daerah Kao. 2
Maluku Utara dikenal dengan sebutan Moloku Kie Raha (empat gugusan pulau/gunung), sebutan untuk empat kesultanan di wilayah itu, yakni Tidore,Bacan, Jailolo dan Ternate. Secara harafiah, Moloku Kie Raha berarti gugusan empat pulau bergunung. Maluku Utara resmi menjadi provinsi otonom lewat terbitnya UU no 46/1999, tanggal 1999. dengan luas daratannya 33.278 kilometer persegi serta dikelilingi laut seluas 106.977 kilometer persegi. Sumber www. Kompas. Com, Rabu 3 April 2002. 3 Judo Poerwowidagdo, Menuju Rekonsiliasi di Halmahera, (Jakarta: PPRP,2003), hal.2
Sebagaimana yang dituturkan secara turun temurun bahwa yang menjadi penghuni kawasan Telaga Lina ini terdiri dari empat keluarga besar yaitu, Hoano (klan) Gura, Hoano Lina, Hoano Huboto dan Huano Momulati. Hoano Gura adalah klan yang menghuni pulau Gura yang terletak di tengah Telaga Lina. Pulau dan Klan Gura ini menjadi pusat Adat dan pusat Spiritual, sehingga Kimalaha (pimpinan pemerintah) dan O Gomatere (pimpinan Spiritual) atau disebut juga Ogomanga Yohakai (pimpinan upacara adat) 4 tinggalnya juga di pulau Gura. Sedangkan Hoano Lina adalah klan yang menghuni kawasan sekitar telaga. Hoano Huboto tidak tinggal menetap, tetapi menyebar jauh dari Telaga, tinggalnya di hutan-hutan pedalaman sebagai pemburu. Sedangkan Hoano Momulati tinggal di sekitar muara sungai Tuguis, sebuah sungai yang mengalir dari Telaga Lina sampai ke teluk Kao. Hoano Momulati berperan penting sebagai perantara peradaban ‘dalam’ dengan peradaban yang datang dari ‘luar’ termasuk dalam perdagangan.
2. Hibualamo sebagai Falsafah Hidup. Meski daerah-daerah kediaman keluarga-keluarga besar itu tersebar,namun semuanya menamakan diri sebagai O Tobelohoka, kaum tobelo atau suku Tobelo. Bahasa mereka juga bukan bahasa Halmahera, tetapi bahasa Tobeloho, dan semuanya mengakui O Hibualamo di telaga Lina sebagai bangsal agung semua wongemi Tingidu (Dilikini atau arwah leluhur) mereka. Secara periodic, dan pada waktu-waktu tertentu saat menghadapi persoalan, mereka berkumpul di Hibualamo untuk melaksanakan higaro atau musyawarah adat. 4
Lih. Y.B. Mangunwijaya, Ikan-Ikan Hiu, Ido Homa,(Jakarta: Jambatan, 1987)
Ketika kaum tobelohoka ini semakin banyak, mereka mulai menyebar dan mendiami daerah-daerah yang terpencar di pulau Halmahera, ada enam suku besar yang semuanya berasal dari kaum tobelohoka, yaitu: 1. Suku Tobelo (kini penghuni mayoritas daerah Tobelo). 2. suku Tobaru (kini penghuni daerah Loloda, Sahu dan Ibu). 3. Suku Towilako (kini penghuni daerah Kao). 4. Suku Tugutil (lebih banyak bertahan di pedalaman hutan. Mereka sekarang yang oleh orang modern disebut sebagai suku terasing). 5. suku Galela (kini penghuni daerah Galela) 6. suku Sahu (kini penghuni daerah Sahu dan Jailolo). Ketika suku-suku ini mulai mengenal kehidupan laut, penyebaran menjadi semakin luas; mulai dari Morotai dan pulau-pulau kecil lain di sebelah Timur sampai ke pantai Timur Teluk Kao serta Halmahera Tengah dan Selatan; bahkan hingga ke pulau-pulau kecil di sebelah barat Halmahera. Mereka yang menyeberang dan kemudian tinggal di pulau-pulau itu, menjadi cikal bakal penduduk setempat. Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke Halmahera, masyarakat di sana telah menganut satu system kepercayaan yang meyakini arwah leluhur sebagai penjaga kehidupan. Arwah ini diyakini berasal dari orang-orang kuat atau tokoh yang sudah meninggal sehingga menjadi pelindung dan penolong bagi orang yang masih hidup. System kepercayaan ini dapat dikategorikan sebagai kepercayaan animise, karena menyembah banyak arwah. Akan tetapi, dalam kepercayaan ini juga telah dikenal adanya roh tertinggi yang disebut O Gikiri Moi. Sekitar tahun 1250-an terjadi perubahan penyebutan terhadap kuasa tertinggi; dari O Gikiri Moi menjadi O Jou
Latala, yang berarti Tuhan yang maha tinggi. Perubahan ini juga sebetulnya karena pengaruh agama Islam.5 Sebab saat berdirinya Kerajaan Ternate pada tahun 1257, meskipun belum dinyatakan sebagai Kerajaan Muslim karena gelar yang dipakai raja masih Kolano, di Ternate sudah banyak perkampungan yang berbasis Islam. Ternate diproklamirkan sebagai kesultanan Islam baru dimulai pada tahun 1486, pada saat pelantikan kolano 19 dengan gelar Sultan Zainal Abidin. Kemudian pada tahun 1512, Ternate kedatangan bangsa Portugis; dan pada tahun 1621, hadirnya gereja Kristen protestan di Ternate.6 3. Peta Konflik dan Kekerasan Sosial Berbicara tentang keberadaan orang Halmahera sekarang ini, tidak dapat dilepaskan dari peristiwa kerusuhan yang melanda Halmahera dan sekitarnya beberapa waktu yang lalu. Bila orang ingin mencari akar dari konflik social dan kekerasan social 7 yang terjadi di Maluku 5
Judo Poerwawidagdo, menuju…, hal.16. Judo Poerwawidagdo, menuju…,hal.20-27. 7 Konflik social dan kekerasan social adalah dua hal yang berbeda, sebagaimaa dijelaskan oleh Prior: “konflik social di masyarakat mana pun sejak dulu sampai sekarang adalah sangat normal, biasa, malah perlu. Tanpa konflik, politik menjadi represif; tanpa konflik, segelintir konglomerat bebas memiliki jaringan ekonomi Negara; tanpa konflik, lembaga agama manapun cenderung menjadi feudal reaksioner; tanpa konflik, bahasa dan budaya kaum penguasa menjadi satu-satunya tolok ukur kaum beradab (hegemoni cultural), sedangkan jati diri kaum pinggiran tersingkirkan (penindasan cultural). Tanpa konflik, generasi muda tidak bisa keluar dari kepompong generasi tua. Demi kemajuan ekonomi dan kebebasan politik, demi pemekaran kepribadian dan penegakan harkat manusia, konflik social sungguh kita butuhkan.” Sedangkan kekerasan social adalah, apa saja yang memaksa pihak lain dan melukai martabat serta kebebasan pihak lain itulah kekerasan. Kekerasan melecehkan hak-hak asasi perseorangan atau golongan. Kekerasan adalah pengendalian dan penaklukan seseorang atau 6
Utara, biasanya kita langsung merujuk pada keputusan pemerintah yakni PP No. 42 tahun 1999 tentang pembentukan kecamatan Malifut. Kecamatan Malifut yang mau dimekarkan tersebut adalah orang-orang yang berasal dari etnis Makian yang tadinya tinggal di 16 desa di pulau Makian. Oleh karena peristiwa meletusnya gunung Kie Besi Makian pada tahun 1975, maka penduduk pulau Makian dipindahkan ke tempat baru. Mereka lalu dimukimkan di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Malifut, dekat tanah genting Bobaneigo, bagian terselatan Halmahera Utara. Dengan terbitnya PP No. 42 tahun 1999, sebenarnya tidak mendapat tanggapan positif dari lima desa kecamatan Kao yang berada di Malifut. Merasa tidak mendapat dukungan dari ke lima desa Kao, maka terjadilah konflik kecil-kecilan yang dilakukan oleh penduduk makian Malifut terhadap dua desa Kao, yakni: desa Sosol dan Wangeotak. Dari konflik kecil-kecilan ini (konflik social) kemudian terjadilah kekerasan social jilid pertama pada tanggal 18 Agustus 1999, antara etnis Makian dengan etnis Kao.8 Dalam kekerasan social sekelompok orang pada kehendak pihak lain; kekerasn meremehkan martabat baik si korban maupun si penindas; oleh karena itu, kekerasan melanggar tatanan ciptaan seperti yang telah ditetapkan Allah. Kekerasan social paling tampak dalam pertikaian-pertikaian antar kelompok.” John Mansford Prior, conflict resolution: konflik dan kekerasan, gerakan Yesus dan dinamika perwujudan social, dalam J.B. Banawiratma, gereja Indonesia Quo Vadis ? Hidup menggereja kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 105-106. nuansa konflik yang terjadi di Halmahera yang lebih dominant adalah kekerasan social. 8 Menurut Tamrin Tomagola, konflik yang terjadi di Kao-Malifut, berakar pada tiga persoalan, yakni: pertama, persoalan tanah. Hal ini terkait dengan sumber daya alam,karena tanah yang masuk di wilayah Malifut khususnya desa Gosowong terdapat tambang emas yang
ini, desa Sosol dan desa Wangeotak terbakar; oleh karena letaknya berdekatan dan bahkan bersama dengan desa-desa Malifut. Rupanya konflik jilid pertama, tidak diselesaikan dengan baik oleh pihak pemerintah, sehingga pada tanggal 24 Oktober 1999 pecahlah kekerasan social jilid kedua yang jauh lebih besar lagi; sehingga 16 desa etnis Makian di Malifut tersebut hancur dan semua penduduknya pun harus diungsikan ke Ternate. Lalu di Ternate, etnis Makian pun melaksanakan aksi awal dengan mencari dan merusak rumah milik hanya orang-orang Kao. Namun, dalam perkembangn selanjutnya ternyata, bukan hanya orang Kao, tetapi semua orang Kristenlah yang dicari. Persitiwa penggebrekan terhadap orang Kristen, diawali dengan pembunuhan pendeta Risakotta, di Tidore pada tanggal 3 November 1999. lalu pada tanggal 4 November 1999 orang Kristen di Ternate menjadi sasaran amukan orang-orang Makian. Sehingga orang-orang Kristen di Tidore dan Ternate, diungsikan ke Bitung dan Manado. Dari Ternate, konflik dan tindak kekerasan terus berlanjut ke Halmahera dan sekitarnya. Konflik Kao-Malifut, sebetulnya adalah konflik karena perebutan wilayah atau tanah antara etnis Makian dan etnis Kao. Tetapi kini, konflik tersebut telah berkembang atau ber-metamorfosa menjadi konflik agama, karena dalam konflik tersebut symbol-simbol agama dipakai untuk menjustifikasi tindak kekerasan tersebut. Dan sebagai akibat dari konflik sekarang di kelola oleh PT. Nusa Halmahera Mineral. Kedua, persoalan susesi kepemimpinan di tingkat daerah provinsi, menjelang pemilihan gubernur. Ketiga, menyangkut dengan persoalan agama. www. Kompas. Com, konflik Maluku Utara dikendalikan Elite Jakarta,kamis 6 Januari 2000.
dan tindak kekerasan itu telah memakan banyak korban. Menurut data dari Kompas, konflik horizontal yang amat dahsayat itu telah mengakibatkan 2.364 warg atewas, 1.769 luka berat dan ringan, serta 2.315 warga yang lari dan hilang di hutan-hutan; selain belasan ribu rumah dan fasilitas umum musnah terbakar. Belum lagi korban harta benda lainnya serta anjloknya nilainilai social dan kemanusiaan yang sulit diukur dan dikalkulasi secara matematika.9 Benar atau tidak data yang ada ini, namun tujuan mengutip angka-angka yang ada ini mau menunjukan bahwa akibat suatu konflik dan tindak kekerasan, biayanya sangat mahal sebab banyak yang menjadi korban. Ikatan kekeluargaan dan kekerabatan serta persahabatan sebagaimana yang ada dalam falsafah Hibualamo runtuh dan hancur sudah. Hal ini menyebabkan keberadaaan masa depan komunitas plural dan segala bentuk kerjasama, toleransi, demokrasi dan potensi untuk hidup ko-eksistensi damai terancam hancur dan punah.10 Suatu peristiwa konflik dan tindak kekerasan yang terjadi, hanya menyisahkan dan meninggalkan jejak penderitaan dan pelbagai luka-lika bathin akibat strees dan traumatic yang berkepanjangan, sekalipun konflik dan tindak kekerasan itu kini “tidak ada” lagi.
9
Menurut B. Adeney, bahwa ia belum menemukan data statistic yang meyakinkan. Namun, perhitungan kasar beliau, 30.00050.000 jiwa yang dibunuh di Kalimantan; 10.000-20.000 di Maluku; 5.000-7.000 di Sulawesi, 10.000 di Aceh; 3.000-5.000 di Papua Barat; 1.000-2.000 di Timor-Timur dan ratusan di Jawa. Bernard T. Adeney-Risakotta, draft buku: Kuasa, Agama dan Teror di Indonesia, Bab I hal, 4. 10 Lambang Trijono, Keluar dari kemelut Maluku,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 88.
C. Membangun kembali Hibualamo 1. Peran Lembaga Adat. Pluralitas masyarakat Halmahera dengan pelbagai ragam suku, etnik,agama dan budaya sebenarnya sebuah kekayaan masyarakat yang produktif ketika pluralisme menjadi sebuah kesadaran bersam (collective consiousness), namun dapat saja menjadi “lahan subur” bagi tumbuhnya benih permusuhan ketika yang muncul di tengah masyarakat adalah kebencian dan keangkuhan antara satu dengan yang lain.11 Hilangnya rasa persatuan dan kebersamaan atau dengan kata lain tidak adanya kesadaran bersama akan kepelbagaian itu, disebabkan adanya unifkasi budaya yang dilakukan kekuasaan orde baru. Sehingga yang terjadi sudah dapat diduga, bahwa bangsa ini menjadi bangsa yang kerdil dan tidak memiliki inisiatif yang produktif-kreatif dalam membangun civil society sebagai sebuah bangunan masyarakat yang mencerminkan adanya keadilan, kebebasan dan kemandirian. Dengan kata lain bangsa ini gagal menjadi bangsa yang berkeadaban dan yang berbudaya. Unifikasi budaya ini diperkuat lagi dengan tata pemukiman yang lasim terjadi di Maluku umumnya, yakni, dimana ada desa yang masyarakatnya dominant Kristen atau bahkan mayoritas, sementara umat muslim juga demikian. Akibatnya, ketika konflik terjadi, komunitas yang dulunya plural atau beragam kini telah hancur berkeping-keping terbelah total menjadi dua bagian komunitas eksklusif berdasar
agama, yakni: komunitas Kristen dan komunitas Islam. 12 Terjadinya segregasi oleh karena lemabaga adat yang semula menjadi pengikat bagi komunitas di Halmahera karena kesamaan akar budaya dan nenek moyang juga telah berangsurangsur kehilangan posisinya. Selama pemerintah orde baru, lembaga-lembaga seperti ini dimarginalkan. Padahal lembagalembaga adat terdapat kearifan dan kemampuan local dalam mengatasi berbagai masalah. Lembaga adat telah kehilangan taringnya sebagai kekuatan untuk mengikat mereka sebagai anggota komunitas, sementara lembaga agama juga banyak dimasuki kepentingan-kepentingan lain sehingga bisa ikut andil dalam membuat jarak social.13 2. Falsafah Hibualamo Perang sesama saudara telah menyentak warga Maluku, khususnya Maluku Utara (Halmahera) untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan keterlenaan perang maut dan kematian, kesengsaraan, kebencian serta kebodohan. Warga Maluku Utara kembali diingatkan bahwa ternyata torang samua basudara (kita semua bersaudara). Kalau begitu buat apa berperang yang kemudian berakibat sangat fatal dan parah terhadap generasi mendatang, generasi anak cucu yang pada akhirnya harus memikul beban sejarah yang amat berat, yakni dilanda kebodohan,kemiskinan, serta kemelaratan dan ketertinggalan.14 Untuk keluar dari masalah ini, berbagai langkah mendorong transisi dan transformasi konflik menuju kerja sama dan koeksistensi damai, menjadi kebutuhan pokok yang sangat mendesak. Berangkat
11
Zuli Qodir, Hubungan antar Etnik dan Agama dalam Masyarakat Multikultural, dalam Judo Poerwidagdo, Mendayung Juanga, (Jakarta:PPRT, 2003), hal. 91.
12
Lambang Trijono, Keluar dari…Ibid, hal. 88. Lambang Trijono, Keluar dari…Ibid, hal. 106. 14 www. Kompas. Com. Maluku Utara sebuah Kenangan Sejarah, Rabu 3 April 2002. 13
dari kesadaran ini, maka pada tanggal 19 April 2001, tepatnya di Lapangan Hibualamo diadakannya sebuah pertemuan masyarakat adat Hibualamo dengan menghasilkan kesepakatan untuk menghentikan konflik dan tindak kekerasan. Pertemuan damai yang dilakukan di lapangan Hibualamo ini, tidak dilakukan secara kebetulan, akan tetapi punya makna dan nilai budaya nenek moyang dan sejarah. Hibualamo secara harafia berasal dari suku kata yakni Hibua, berarti ‘rumah’ dan Lamo, yang berarti ‘besar’. Jadi Hibualamo berarti rumah besar. Konon, Hibualamo yang berada di Telaga Lina, merupakan bangsal agung semua Delikini atau arwah leluhur. Hibualamo juga menjadi tempat bagi upacara-upacara adat yang dipimpin oleh pemimpinan spiritual (O Gumanga Yohakai). Dan itu mempunyai makna simbolis bahwa mereka, baik yang Kristen maupun yang Islam berasal dari suku yang sama, memiliki adat dan nilai yang sama, dan tinggal dalam rumah besar yang sama. Dalam falsafah Hibualamo juga terkandung falsafah yang mengajarkan Odora (memelihara kasih sayang antar sesama); O diari (pentingnya menjunjung nilai kebenaran); dan O adili (penerapan prinsip keadilan dalam kehidupan bermasyarakat). Pertemuan damai yang secara sengaja dilakukan di lapangan Hibualamo, itu bukan sekedar mengukuhkan kebersamaan mereka sejak nenek moyang, tetapi juga sebagai pengikat dan proteksi dalam mengantisipasi perkembangan social selanjutnya. Sehingga jarak social atau segregasi yang muncul di antara dua komintas agama besar di Halmahera ini perlahan diminimalisasi dan peran adat Hibualamo yang telah dibentuk kembali, diharapkan dapat menjadi satu kekuatan spiritual dalam membangun ketahanan masyarakat dalam mengeliminasi setiap potensi konflik. Semangat dan roh
persaudaraan, kebersamaan dan perdamaian yang hilang kini kembali mulai bersemi di Halmahera. Di mana-mana orang bertutur tentang betapa hidup dalam damai jauh lebih menyenangkan, ketimbang hidup dalam perang dan pertikaian yang melahirkan saling membunuh, saling menghabisi, dan menanamkan kebencian yang dalam.
D. Implementasi “Hibualamo” kini dan ke depan. Kalau selama ini atau sebelumnya (pada waktu kerusuhan) pandangan kita terhadap sesama sebagai “yang lain” (the others)yang berbeda dengan kita, atau sebagai “musuh” (the enemis), maka sudah saatnya paradigma lama itu harus dirubah. Dan inilah moment bagi kita untuk saling membagi pengalaman spiritual dalam membangun hidup bersama secara manusiawi dalam perjalanan ziarah menuju kehidupan yang abadi. Sebagai lembaga adat, Hibualamo dapat dijadikan sebagai wadah untuk mendialogkan atau tempat sharing bersama seputar pengalamanpengalaman hidup keberagamaan yang beragam. Sedangkan sebagai falsafah hidup, nilai dan makna simbolis Hibualamo dapat membangun spiritualitas yang dalam akan sang khalik, yakni: Jou Madutu, Jou Maduhutu, Juo La ta ala:Tuhan yang maha tinggi. Dan membangun nilai-nilai spiritualitas kemanusiaan dengan memperjuangkan dan menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, gotong royong dan menghargai perbedaan dalam hidup bersama sekarang maupun ke depan. Dalam konteks Halmahera pasca kerusuhan, yang menyisahkan penderitaan, kepedihan, strees dan traumatic, maka falsafah Hibualamo dapat menjadi modal social yang sangat berharga dan bermakna
dalam menjaga dan melanggengkan rekonsiliasi yag sudah berjalan. Mengapa falsafah Hibualamo yang diangkat ? Menjawab pertanyaan yang dikemukakan ini, ada beberapa alasan yang dapat dipertimbangkan, yakni: pertama, falsafah Hibualamo, umumnya dikenal oleh penduduk Halmahera dan sekitarnya. Kedua, Hibualamo sebagai symbol pemersatu, masih dipelihara dan bertahan sampai sekarang. Ketiga, nilai dan makna yang terkandung didalamnya, mengandung kebaikan dan kebajikan serta kearifan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal dan bahkan punya makna spiritualitas yang sangat dalam. Alasan-alasan inilah, yang mendorong penulis untuk mengangkat dan memberi apresiasi terhadap falsafah Hibualamo. A. Penutup Falsafah Hibualamo yang ditawarkan disini sebagai modal social dalam rangka membangun masyarakat Halmahera yang lebih baik lagi, masih perlu dikaji dan dikritisi lebih dalam dan serius lagi. Oleh karena ini hanya sebagai sebuah upaya awal yang tentunya tidak mudah. Namun bila upaya ini diterima sebagai salah satu bagian dalam membangun “kearifan local” di Halmahera, maka hal ini merupakan suatu kekayaan bagi khasana pengembangan budaya Halmahera ke depan. Harapan kita bersama, falsafah Hibualamo dapat menjawab kebutuhankebutuhan yang ada dalam konteks Halmahera, paling tidak menjadi pengikat bagi kebersamaan dan persaudaraan yang sejati antara sesama manusia dan alam serta lingkungan hidup di mana kita tinggal dan hidup. Dan yang terpenting adalah konflik dan tindak kekerasan yang dialami dulu, tidak terulang lagi.
Daftar Pustaka Adeney-Risakotta, Bernard T, draft buku: Kuasa, Agama dan Teror di Indonesia. Crim, Keith, et.al, 1984, The Interpreters Dictionary of The Biblle, Abingdom press. Mangunwijaya, Y.B., 1987, Ikan-Ikan Hiu, Ido Homa,Jakarta: Jambatan. Mansford Prior, John, conflict resolution: konflik dan kekerasan, gerakan Yesus dan dinamika perwujudan social, dalam J.B. Banawiratma, 2000, Gereja Indonesia Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius. Poerwowidagdo, Judo, 2003, Menuju Rekonsiliasi di Halmahera, Jakarta: PPRP. Qodir, Zuli, Hubungan antar Etnik dan Agama dalam Masyarakat Multikultural, dalam Judo Poerwidagdo, 2003, Mendayung Juanga,Jakarta:PPRT. Trijono, Lambang, 2001, Keluar dari kemelut Maluku,Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://www. Kompas. Com. Maluku Utara sebuah Kenangan Sejarah, Rabu 3 April 2002. http://www. Kompas. Com, konflik Maluku Utara dikendalikan Elite Jakarta,kamis 6 Januari 2000.