Falsafah Hibualamo Sebagai Dialog Etis-Praktis (Paul Knitter) yang Mempersatukan Islam-Kristen di Halmahera Utara Remelia F. Dalensang Fakultas Teologi Prodi Ilmu Teologi
Abstraksi Konflik mengindikasikan, bahwa ada ketegangan dalam masyarakat. Ketegangan ini dapat dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, baik dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Di satu pihak, konflik sosial dianggap perlu karena merupakan dasar perubahan sosial. Dalam hal ini, setiap perubahan sosial harus diawali dengan konflik. Karena itu, konflik diperlukan untuk kemajuan dan perkembangan masyarakat serta perkembangan diri sendiri. Sementara di lain pihak, konflik dipandang sebagai hal yang negatif karena dapat menghancurkan tatanan hidup bersama (antar komunitas), merusak jaringan sosial dan menimbulkan kebrutalan serta tindakan anarkis. Kehidupan masyarakat Halmahera Utara pasca konflik memperlihatkan dampak negatif dari konflik. Masyarakat Halmahera Utara yang dilahirkan, dibentuk dan dibesarkan oleh budaya, telah mencoreng nilai budaya itu sendiri. Budaya Hibualamo, bukanlah satu-satunya budaya yang ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Halmahera Utara. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam budaya Hibualamo terkandung nilai dan makna yang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana untuk mendialogkan dan mempersatukan masyarakat Halamahera Utara (baik Islam maupun Kristen). Dalam melakukan hal ini, budaya Hibualamo akan dipertemukan dengan dialog Etis-Praktis dari Paul Knitter sebagai dasar teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan mempertemukan keduanya (budaya Hibualamo dan dialog Etis-Praktis) diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberagaman yang terjadi dan pentingnya kebersamaan dalam kepelbagaian antar umat beragama. Kata kunci: Konflik, Masyarakat Halmahera Utara, Hibualamo, dialog Etis-Praktis, IslamKristen, nilai dan makna budaya, keberagaman, kepelbagaian dan kebersamaan.
Pendahuluan Pluralisme agama merupakan salah satu pergumulan masyarakat di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan juga oleh Gerrit Singgih (2005:58), bahwa pada umumnya Indonesia diperhadapkan dengan konteks keanekaragaman agama, kemiskinan yang parah, penderitaan, ketidakadilan (ketidakadilan gender) dan kerusakan ekologi. Pluralisme itu sendiri mempunyai pengertian yang lebih luas dari pluralitas agama. Pluralisme tidak cukup dengan mengatakan bahwa banyak tradisi agama yang ada dalam masyarakat, karena hal ini menunjukkan lebih dari keanekaragaman agama. Oleh karena itu, dalam pengertian ini lebih tepat jika dikatakan bahwa pluralisme agama berarti terlibat dalam keanekaragaman agama (lih. Philips Gerardette,
2013:198). Itu berarti bahwa berbicara tentang2pluralisme agama tidak hanya berhenti pada pengertian tentang keanekaragaman agama, tetapi bagaimana sikap setiap penganut agama dalam menghadapi keanekaragaman tersebut. Biasanya sikap ini lebih baik jika dibandingkan dengan sikap eksklusivisme atau pun inklusivisme. Tetapi tulisan ini tidak bermaksud melihat kelemahan-kelemahan dari model-model tersebut. Karena itu, fokus penelitian dalam tulisan ini tetap diarahkan pada keanekaragaman agama tanpa menilai kelemahan dan kelebihan sikap pluralis, inklusivis maupun eksklusivis. Melainkan bagaimana sikap setiap agama dalam berelasi dengan agama lain, khususnya Islam-Kristen di Halmahera Utara (selanjutnya disebut Halut) Sebagai masyarakat yang dilahirkan, dibesarkan dan dibentuk oleh budaya, masyarakat Halut tentunya tidak dapat dipisahkan dari budaya. Budaya Hibualamo merupakan salah satu kearifan atau falsafah hidup masyarakat Halut. Penulis memilih budaya Hibualamo dengan dua pertimbangan, yakni pertama, Hibualamo merupakan salah satu budaya yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mempertemukan dan mempersatukan masyarakat. Kedua, nilai dan makna yang terkadung didalamnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal (baik Islam maupun Kristen), bahkan mengandung nilai spiritual yang sangat dalam. Hubungan Islam-Kristen di Halut terjalin dalam relasi yang kurang harmonis. Hal ini terlihat dari konflik berdarah yang terjadi tahun 1999-2001. Meskipun konflik tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan politik segelintir orang, tetapi tidak dapat disangkal bahwa perbedaan fundamentalis (dasar kepercayaan) keduanya juga turut mempengaruhi konflik tersebut. Untuk menjawab persoalan tersebut maka tulisan ini berusaha memperlihatkan peranan budaya Hibualamo dalam membangun hubungan yang harmonis antara Islam-Kristen. Tentunya tidak terlepas dari pandangan keduanya terhadap satu sama lain, khususnya dasar kepercayaan. Bagaimana kepercayaan Kristen dapat dipertemukan dengan kepercayaan Islam? Dapatkah konsep keselamatan Allah yang dipahami oleh orang Kristen sebagaimana nyata dalam pribadi Yesus (keunikan Yesus) dikomunikasikan dalam agama Islam? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya sekedar menggelitik hati dan perasaan kedua agama, tetapi menancap sangat dalam terhadap paham fundamentalis keduanya. Karena itu, tulisan ini berusaha mengkaji bagaimana peranan budaya Hibualamo yang merupakan falsafah hidup masyarakat Halut dapat mempersatukan keduanya. Sejarah dan Fungsi Hibualamo
Kehidupan masyarakat Halut tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan religius lokal yang mereka yakini, sebelum mereka menganut agama Islam dan Kristen. Dalam3sistem kepercayaan religius lokal, mereka meyakini roh leluhur sebagai penjaga kehidupan. Roh ini diyakini berasal dari tokoh yang kuat sehingga dapat menjadi pelindung dan penolong bagi orang yang masih hidup. Sistem kepercayaan ini dapat dikategorikan sebagai kepercayaan3animisme, karena menyembah kepada banyak roh (lih. Haire,1998:233).Dikisahkan juga bahwa masyarakat Halmahera berasal dari satu nenek moyang yang tinggal di3kampung Gura. Perkampungan ini terletak di pulau Telaga Lina yang berada di pedalaman Halmahera bagian Utara. Berdasarkan laporan historis, masyarakat yang mendiami kampung Telaga Lina terdiri dari empat keluarga besar, yaitu Hoano (klan) Gura, Hoano Lina, Hoano Huboto dan Huano Momulati. Keempat Hoano ini, tersebar di beberapa perkampungan di sekitar Telaga Lina. Meskipun demikian mereka menyebut diri mereka sebagai O Tobelohoka yang artinya kaum Tobelo atau suku Tobelo, dan semuanya mengakui O Hibualamo yang ada di Telaga Lina sebagai tempat tinggal agung (pemujaan) semua roh leluhur mereka dan juga pada waktu-waktu tertentu digunakan sebagai tempat musyawarah adat ketika masyarakat menghadapi persoalan (Labada, 2007). Dalam perkembangannya, keempat Hoanoini membentuk satu sistem kekerabatan dan kepercayaan sehingga berkembang menjadi keluarga besar dan beranak-cucu, kemudian menyebar ke berbagai tempat di pulau Halmahera. Secara keseluruhan ada enam suku besar dari kaum Tobelahoka, yaitu suku Tobelo, suku Tobaru, suku Towilako, suku Tugutil, suku Galela dan suku Sahu (bnd. Tindage,2006:22). Dengan demikian maka pola hidup Hibualamo mengalami perubahan serta ikut menyebar dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Halmahera secara keseluruhan. Secara etimologi Hibualamo berasal dari kata (bahasa Tobelo) hibua yang artinya rumah dan lamo yang artinya besar. Jadi Hibualamo berarti rumah besar. Dalam perkembangannya, Hibualamo tidak hanya berfungsi sebagai tempat musyawarah dan pemujaan terhadap roh-roh leluhur tetapi juga digunakan sebagai tempat pertemuan berbagai suku untuk makan dan minum bersama. Dengan demikian Hibualamoberfungsi sebagai sarana yang mempersatukan berbagai suku. Hal ini ditegaskan juga oleh Hein Namotemo (2001:3), Hibualamomenjadi falsafah hidup masyarakat Halmahera Utara yang juga dapat menjadi pemersatu berbagai suku dan agama di Halmahera Utara (bnd. juga Tindage,2006:25). Konflik Islam-Kristen
Sebagai prinsip yang mempersatukan berbagai suku dan agama di Halut, Hibualamo tentunya mempunyai nilai-nilai yang dijunjung dan dihargai oleh masyarakat itu sendiri. Jelas bahwa Hibualamosebagaimana yang dikembangkan dalam masyarakat Halmahera saat ini tidak terlepas dari nilai dan makna sejarah serta budaya nenek moyang mereka. Berbicara tentang konteks Halut, tentunya selain tidak dapat dilepaskan dari budaya, juga tidak dapat dilepaskan dari kerusuhan yang melanda Halut dan sekitarnya kira-kira 16 tahun lalu. Peristiwa ini tentunya tersimpan dalam memori masyarakat, meskipun telah terjadi rekonsiliasi tetapi tidak berarti bahwa peristiwa tersebut telah hilang atau dilupakan. Konflik tersebut berakar dari keputusan pemerintah, yakni PP No. 42 tahun 1999 tentang Pembentukan Kecamatan Malifut, dengan mengalihkan 5 (lima) desa dari Kecamatan Kao (desa Gayok, Balisoan, Sosol, Wangeotak dan Tabobo) ke Kecamatan Malifut. Ternyata hal ini menimbulkan masalah baru bagi masyarakat Kao, karena mereka menolak akan kebijakan pemerintah dengan alasan sosio-budaya, bahwa 5 (lima) desa tersebut merupakan bagian dari tanah adat yang sejak dulu mempunyai nilai budaya tersendiri (lih.Puasa,2010:4; Tindage,2006:11). Penolakan masyarakat Kao terhadap keputusan pemerintah ini, membangkitkan amarah masyarakat Malifut karena mereka merasa menjadi pihak yang dirugikan. Kemudian masyarakat Malifut menyerang 2 (dua) desa Kao yaitu Sosol dan Wangeotak pada tanggal 18 Agustus 1999. Selang beberapa bulan kemudian tepatnya tanggal 24 Oktober 1999, terjadilah konflik besarbesaran yang melibatkan seluruh masyarakat Kao dan Malifut. Hal ini diakibatkan karena konflik pertama tidak diselesaikan dengan serius oleh pemerintah sehingga merambat pada kedua komunitas secara keseluruhan. Kemarahan masyarakat Malifut merambat sampai ke Ternate, sehingga masyarakat Kao yang ada di Ternate pun menjadi tempat pelampisan kekesalan mereka. Namun dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya masyarakat Kao yang menjadi sasaran, tetapi semua orang Kristen. Peristiwa ini diawali dengan pembunuhan seorang pendeta di Ternate tanggal 3 November 1999 dan pada tanggal 4 November seluruh orang Kristen yang ada di Ternate menjadi sasaran amukan masyarakat Makian. Akhirnya konflik ini pun merambat ke seluruh wilayah Maluku Utara (bnd.Tindage, 2006:8-15). Dengan demikian maka jelaslah konflik Maluku Utara yang berakar dari konflik KaoMalifut bukan merupakan konflik antaragama (Islam-Kristen). Konflik ini lebih bernuansa sosiopolitik karena berkaitan dengan perebutan wilayah yang dianggap sebagai tanah budaya (adat). Tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa tendensi perbedaan paham fundamentalis keduanya
juga turut mengambil bagian dalam konflik tersebut. Bahkan menurut penulis hal inilah yang menjadi penyebab utama konflik tersebut. Konflik ini menjadi konflik agama karena dalam konflik tersebut simbol-simbol dan kepercayaan agama dipakai untuk menjustifikasi tindakan kekerasan dan pembunuhan. Misalnya orang Kristen menggunakan Alkitab, salib dan nyanyian untuk menyerang bahkan membunuh orang Islam, begitu pun sebaliknya. Karena itu, menurut penulis konflik ini tidak terlepas dari klaim kebenaran dari masing-masing agama. Dalam situasi seperti ini ikatan kekeluargaan, kekerabatan dan persahabatan yang telah lama dipelihara dan dipertahankan oleh para leluhur dalam falsafah Hibualamo lenyap begitu saja.Pertanyaannya ialah nilai atau makna apa yang terkandung dalam falsafah (pola hidup) Hibualamo dan apa implementasinya bagi kehidupan dan hubungan Islam-Kristen saat ini? Dapatkah nilai dan makna Hibualamodipertahankan sebagai dialog etis-praktis antar kedua komunitas?
Nilai dan Makna Hibualamo dan Implementasinya bagi Hubungan Islam-Kristen Masyarakat Halut merupakan masyarakat yang pluralis karena terdiri dari berbagai suku, etnik, budaya dan agama. Pluralitas ini bisa menjadi kekayaan masyarakat yang sangat produktif, jika pluralisme ini disadari dan dihargai bersama. Tetapi bisa juga menjadi kekayaan yang produktif untuk tumbuhnya permusuhan ketika kebencian, keangkuhan dan klaim terhadap kebenaran masing-masing muncul di tengah masyarakat. Jika melihat konteks masyarakat Halut, maka dapat dikatakan bahwa hilangnya rasa persatuan, kekerabatan, kekeluargaan dan persahabatan diakibatkan oleh infeksi sosio-politik dari segelintir orang yang berusaha memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi atau pun kelompok. Tetapi paham fundamentalis dan klaim-klaim kebenaran dari masing-masing agama juga tidak dapat diabaikan. Menghilangkan rasa persaudaraan yang telah lama dipelihara dan dipertahankan merupakan suatu penyangkalan bahkan penolakan akan keanekaragaman sebagai warisan para leluhur (sebagaimana kepercayaan religius lokal Halmahera terkait dengan yang ilahi). Konsekuensi logis dari hal ini ialah kemerosotan moral dan nilai budaya yang membuat masyarakat tidak dapat membangun kekeluargaan dan persatuan. Dalam situasi seperti ini, sebagai masyarakat yang lahir, dibesarkan dan dibentuk oleh budaya, masyarakat Halut kembali disadarkan oleh budaya itu sendiri. Salah satu semboyan yang sangat terkenal dalam masyarakat Halut ialah “torang samua basudara” (kita semua bersaudara) merupakan 5pecia utama yang membingkai falsafah Hibualamo, kembali dikumandangkan oleh
para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Prinsip ini didasarkan pada nilai serta makna sejarah dan budaya nenek moyang mereka. Sebagaimana terlihat (pada pembahasan sejarah dan arti Hibualamodi atas) Hibualamo merupakan tempat tinggal agung (pemujaan) semua roh leluhur dan juga tempat musyawarah adat, mempunyai makna simbolis bagi masyarakat, baik Islam maupun Kristen bahwa mereka berasal dari suku yang sama, memiliki adat dan nilai yang sama dan tinggal dalam rumah besar yang sama. Karena itu, sebagai sebuah falsafah hidup, Hibualamo mengandung nilai-nilai dan makna yang memelihara kasih sayang antar sesama (o dora), pentingnya menjunjung nilai kebenaran (o diari), menerapkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat (o adili), saling menyayangi satu sama lain (o hayangi), dan kepedulian terhadap sesama (o baliara) (Nanuru,2013:175-177; Puasa,2010:7). Secara resmi konflik berdarah antaragama ini berakhir pada tanggal 19 April 2001, dengan adanya pembacaan deklarasi damai oleh beberapa pemuka agama yang juga didampingi pemerintah dan disaksikan oleh masyarakat. Deklarasi damai ini, didasarkan pada nilai dan makna yang terkandung dalam falsafah Hibualamo. Dengan jiwa dan semangat Hibualamo, masyarakat dapat kembali membangun persatuan, kebersamaan dan perdamaian satu sama lain. Penghormatan kepada leluhur yang masih dijunjung oleh masyarakat yang membuat kedua komunitas sadar akan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika terjadi konflik, masing-masing pihak (Islam-Kristen) yang bertikai tidak lagi berdiri pada posisinya sebagai masyarakat adat dengan identitas budaya yang sama, tetapi sebagai agama yang berbeda. Tetapi ini tidak berarti bahwa falsafah Hibualamohendak menghilangkan identitas keanekaragaman agama dalam masyarakat. Hal ini justru kembali mengingatkan masyarakat tentang pentingnya hidup dalam persatuan dan perdamaian di tengah perbedaan yang terjadi. Meskipun Islam-Kristen berbeda secara dasariah (fundamental), tetapi tidak berarti bahwa keduanya tidak dapat hidup bersama secara damai dalam persatuan dan persahabatan. Jika sebelumnya pandangan terhadap sesama yang berbeda agama sebagai “yang lain” (the others) atau bahkan sebagai musuh maka dengan kesadaran dan spirit Hibualamo,pandangan tersebut secara berangsur-angsur lenyap. Penulis tidak mengatakan bahwa falsafah Hibualamo secara langsung dapat menghilangkan konflik, meskipun konflik berdarah secara resmi telah berakhir, tetapi pengalaman konflik itu menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat. Jadi falsafah Hibualamo itu sendiri juga bukan merupakan satu-satunya sarana yang dapat mempersatukan Islam-Kristen dalam keharmonisan. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
konteks masyarakat Halut, nilai dan makna yang terkandung dalam falsafah Hibualamo dapat menjadi sumber pemersatu karena menjunjung nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana juga diakui dalam Islam dan Kristen. Karena itu, falsafah Hibualamodapat menjadi modal utama bagi kelangsungan hubungan Islam-Kristen dengan memperjuangkan dan menjunjung tinggi kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebersamaan, kepedulian dan menghargai perbedaan dalam kehidupan masyarakat.
Kesatuan dalam Perbedaan Perbedaan sebenarnya tidak menuntut kesamaan. Jika perbedaan menuntut persamaan, maka sama saja dengan berharap memeluk bulan. Perbedaan seyogianya mengharapkan persatuan, pengertian, pemahaman, pengakuan dan penerimaan satu sama lain. Persatuan tidak berarti harus sama atau identik satu sama lain. Persatuan sejati tercermin dalam sikap yang berani terbuka, mengaku dan menerima bahwa kita memang berbeda tetapi tidak harus saling menyerang, saling menyalahkan dan bahkan saling menjatuhkan satu sama lain. Dalam konteks masyarakat Halutbagi penulis, budaya atau falsafah Hibualamomenjadi alat pluralisme sejati yang dapat menjamin perdamaian dan persatuan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga disadari oleh tokoh-tokoh agama maupun masyarakat serta pemerintah daerah sehingga falsafah Hibualamodiabadikan dalam satu bangunan besar di tengah kota Tobelo (ibukota Kabupaten Halmahera Utara) dengan konstruksi bangunan modern. Bangunan tersebut sekarang menjadi tempat berkumpulnya para pemuka agama, pemuka masyarakat dan bahkan pemerintah untuk berdialog membahas persoalan yang dihadapi masyarakat pasca konflik. Dengan melihat kembali konflik serta akar permasalahannya, maka jelas bahwa kesadaran untuk menghidupkan kembali pola hidup Hibualamodimulai dengan perjumpaan para petinggi agama dan pemerintah setempat. Tentunya bahwa perjumpaan ini didasarkan pada keinginan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik, dimana dapat hidup berdampingan dalam keadaan aman, damai, sejahtera dan saling menghargai satu sama lain. Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat menghargai perbedaan yang menekankan “kesatuan dalam keanekaragaman” dan bukan sebaliknya “keanekaragaman dalam kesatuan” (Omar,2010:110). Apa yang ditekankan oleh Omar ini (2010), merupakan suatu kritikan terhadap orang atau pun kelompok yang berusaha membuat suatu dasar bersama dalam konteks pluralisme agama, seperti tercermin dalam dorongan ideologi “pasar global, global etik dan dialog global. Bagi penulis,
meskipun terdapat perbedaan mendasar dalam setiap agama tidak berarti bahwa tidak dapat ditemukan satu asas atau dasar bersama dalam mewujudkan suatu masyarakat yang lebih baik. Memang tidak mudah mencari suatu dasar bersama yang dapat mempersatukan perbedaan tersebut. Tetapi kesadaran akan kepedulian terhadap sesama inilah yang dapat menjadi titik temu keduanya. Sebagaimana ditekankan oleh J. Dupuis (1998:375), bahwa teologi dan tradisi setiap agama itu berbeda, namun setiap agama secara bersama dapat memperjuangkan kebebasan manusia, HAM dan keadilan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka pola hidup Hibualamo yang memperjuangkan
nilai-nilai
kemanusiaan
seperti
kasih
sayang,
kebenaran,
keadilan,
kebersamaan, kepedulian dan menghargai perbedaan dalam kehidupan masyarakat, menurut penulis sejalan dengan model mutualis melalui dialog etis-praktis sebagaimana dikemukakan oleh Paul Knitter.
Model Mutualis Paul Knitter: Jembatan Etis-Praktis Model mutualis lebih berpihak pada kasih dan kehadiran Allah secara universal di dalam agama-agama lain. Bagi para penganut model mutualis membangun dialog dengan agama-agama lain sama pentingnya dengan kepercayaan dan kesetiaan mereka kepada Yesus dan Injil-Nya. Karena itu, mereka tidak dapat membayangkan mengikuti Yesus tanpa berdialog dengan agama lain dan sebaliknya. Bagi mereka dialog merupakan suatu kewajiban dalam mengasihi sesama, karena kita tidak bisa mengasihi orang lain kecuali kita mendengarkan, menghormati dan belajar dari mereka. Perjumpaan dengan tradisi agama lain bukan hanya sekedar keanekaragaman tetapi merupakan mitra dialog. Dalam hal ini yang dipentingkan bagaimana satu sama lain saling berhubungan. Hubungan ini memungkinkan kedua belah pihak, untuk saling berbicara dan mendengarkan, terbuka untuk belajar dan berubah (Lih.Knitter, 2008:129-130). Model ini menolak anggapan bahwa ada agama yang memiliki superioritas atas agama lain sehingga agama itu menjadi lebih unggul atau absolut. Dalam dialog semua agama memiliki kesetaraan atau kesederajatan.Dalam arti bahwa mereka memiliki hak yang sama untuk berbicara dan didengarkan berdasarkan nilai yang melekat pada mereka. Model ini tetap mempertahankan perbedaan dan keanekaragaman di antara agama-agama, karenanya menolak semua agama secara esensial sama atau hanya berbicara tentang masalah yang sama. Tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa ada sesuatu yang sama di antara agama-agama yang memungkinkan adanya dialog (Knitter,2008:130-131; Kristiawan, 2005:57). Model ini bukan merupakan sesuatu yang
baru, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model ini melakukan eksplorasi terhadap sesuatu yang memang baru (sehingga membutuhkan peninjauan ulang secara radikal). Dapat dikatakan bahwa model ini menjadi penggerak bagi umat Kristen dalam membangun relasi dengan umat lain. Adapun cara bergerak itu dapat dilalui dengan tiga jembatan yaitu jembatan filosofis-historis, jembatan
9pecial9e-mistik
dan
jembatan
etis-praktis(Knitter:2008:133).
Tetapi
untuk
kepentingan tulisan ini, penulis hanya akan memfokuskan pada jembatan ketiga jembatan etispraktis(tanpa bermaksud mengabaikan kedua jembatan lainnya) yang menurut penulis sesuai dengan pola hidup Hibualamo yang dijunjung oleh masyarakat Halut. Agama-agama mempunyai tugas yang sama untuk menanggulangi persoalan yang terjadi dalam dunia maupun masyarakat. Dalam hal ini, masalah dan tanggung jawab etis merupakan jembatan yang baik untuk menunjang kerja sama antar agama. Tanggung jawab etis ini sering disebut dengan tanggung jawab global. Penganut etis-praktis berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang universal, yang dihadapi oleh semua agama di dunia yang tidak dapat disangkal dan ditolak oleh siapa pun. Realitas universal yang dihadapi oleh semua agama ialah penderitaan. Dengan berusaha mencari realitas universal (asas bersama) tidak berarti bahwa jembatan etis-praktis ini hendak menyangkal atau bahkan meniadakan pluralitas agama (keanekaragaman dalam kesatuan), melainkan sebaliknya hendak mempertahankan keunikan setiap agama sekaligus menghubungkan agama-agama untuk bertemu dan berdialog (Kristiawan,2005:63; Kees de Jong,2006:53). Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap agama mempunyai pengalaman penderitaan bersama. Pengalaman ini menjadi tantangan dan panggilan bagi mereka semua untuk bersama menghadapinya. Jika ada agama yang berusaha menghindari penderitaan, maka agama tersebut telah kehilangan relevansi dan validitasnya. Karena pada dasarnya setiap agama mempunyai tanggung jawab global untuk mewujudkan kesejahteraan, perdamaian, keadilan dan kebaikan untuk semua. Sehingga dalam menghadapi suatu masalah etis, maka setiap agama harus bekerja sama dan bertindak secara bersama, tetapi tindakan bersama itu membutuhkan dasar etis bersama (Knitter,2008:164; Kees de Jong,2006:66). Tanggung jawab global merupakan perwujudan nilainilai etis tentang harkat manusia, integritas bumi, komunikasi dan tanggung jawab yang menyatukan semua agama serta kebutuhan akan kasih dan keadilan (Knitter,2008:165). Dalam rangka penyelesaiankonflik antaragama tujuan utama tidak menunjukkan bahwa agamaku lebih baik dari agamamu, agamaku menyempurnakan agamamu, Juruselamatku lebih
hebat dari milikmu atau pun solusi yang agamaku tawarkan lebih efektif dari agamamu. Melainkan bagaimana pertikaian dan konflik dapat diselesaikan. Kebenaran atau Allah atau Juruselamat atau apa pun atau siapa pun dapat menyelesaikan masalah ini, jika bersama saling mendengar dan belajar (Knitter,2008:167). Dalam rangka mewujudkan dan menjalankan tanggung jawab global, maka dibutuhkan kerja sama antaragama. Hal ini dapat terjadi melalui dialog antaragama. Timbul pertanyaan jika kerja sama antaragama ini hanya berfokus pada masalah-masalah kemanusiaan, bagaimana setiap agama dapat bersaksi tentang inti kepercayaan mereka yang menjadi tujuan sentral dalam dialog? Bagaimana umat Kristen dapat bersaksi tentang keunikan Yesus Kristus bagi Islam dan sebaliknya bagaimana umat Islam dapat bersaksi tentang keunikan mereka bagi Kristen?
Dialog Etis-Praktis Sebagai Bentuk Kesaksian Dialog dengan agama lain sangat penting di era pluralisma ini, karena setiap agama tidak dapat dipisahkan dari dunia atau konteks yang dihadapi. Agama tidak bisa mengasingkan atau bahkan melarikan diri dari kenyataan dunia yang dihadapi tetapi bekerja bersama dan ikut bertanggung jawab dengan pengikut-pengikut agama yang lain. Karena itu, dialog antaragama sangat dibutuhkan dalam dunia10pluralisme yang semakin berkembang ini (Kees de Jong,2009:100). Perjumpaan yang sejati dalam dialog dimulai dari titik ketidaksetujuan atau perbedaan. Seringkali dalam dialog ada kecenderungan setiap agama untuk menghindari permasalahan teologis (fundamentalis) agar terhindar dari perdebatan dengan agama lain. Pokok teologis seakan-akan menjadi ranah10sakral yang tidak bisa dibicarakan atau bahkan dibagikan dengan agama lain. Tetapi seharusnya dalam dialog dengan agama lain permasalahan teologis dan klaim kebenaran tidak bisa diabaikan tetapi menjadi sebuah tantangan bagi setiap agama. Karena hal itu penting untuk didiskusikan, diperdebatkan dan dipermasalahkan, tetapi dengan cara yang sesuai (Senk,1997:218). Dengan perbedaan mendasar ini, setiap agama dapatmenjelaskan inti kepercayaan masing-masing, sehingga dialog dapat memperkaya pemahaman tentang agama sendiri. Tetapi hal ini dapat terjadi jika setiap agama terbuka bagi yang lain dan tidak menganggap inti kepercayaannya sebagai kebenaran mutlak. Itulah sebabnya, dalam dialog setiap agama harus berani memberi kesaksian yang sebenarnya tentang inti kepercayaannya, tanpa harus menyembunyikan sesuatu tetapi sekaligus menerima bahwa kesasian setiap agama berbeda satu
sama lain (Kees de Jong,2009:103-104). Terkait dengan hal ini, maka dialog etis-praktis terkesan mengabaikan permasalahan teologis dengan berusaha mencari asas bersama, seakan perbedaan mendasar tersebut dileburkan atau dihilangkan dalam satu tujuan. Dialog etis-praktis meskipun menitikberatkan pada asas bersama setiap agama dalam memperjuangkan dan mewujudkan masyarakat yang lebih baik, tidak berarti bahwa hal itu mengabaikan inti kepercayaan dari masing-masing agama. Dalam dialog etis-praktis Yesus lebih mudah dipahami. Yesus dipahami sebagai pembebas sosial dan pemahaman inilah yang dikumandangkan dalam dialog. Dalam kepercayaan Kristen, pelayanan dan pemberitaan Yesus tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Allah. Karena pemerintahan Allah berpusat pada misi dan hidup Yesus, pesan serta perbuatan-Nya, itulah sebabnya Kerajaan Allah merupakan tujuan utama dalam pemberitaan Yesus (Dupuis,1998:358). Atas dasar inilah maka dialog etis-praktis sampai pada kesimpulan bahwa jika pemberitaan dan perbuatan Yesus berpusat pada Kerajaan Allah, maka teologi agama-agama kristiani pun harus berpusat pada Kerajaan Allah. Secara bersama semua agama mewujudkan Kerajaan Allah, dimana sebenarnya mereka mencoba menggantikan dunia penderitaan dan ketidakadilan dengan dunia yang penuh dengan kasih dan kesetaraan. Karena itu, umat kristiani tidak lagi menganggap agama lain sebagai “Kristen anonym”, tetapi sebagai “rekan sekerja” untuk bersama-sama mewujudkan Kerajaan Allah di dunia ini (Knitter,2008:173). Keyakinan dasariah inilah, yang membuat orang Kristen dapat bersaksi tentang inti kepercayaan agamanya kepada Islam bahkan sebaliknya. Tentunya Islam juga mempunyai keyakinan dasariah tertentu yang membuat mereka dapat bersaksi tentang agama mereka kepada orang Kristen. Hal ini dapat terjadi jika masing-masing agama menyadari dan mengakui kebenaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap agama. Kebenaran itu dapat bersifat teologis dan empiris (Kristiwan,2005:58). Secara teologis, kekristenan memahami bahwa Allah mengasihi semua manusia dan ingin menyelamatkan mereka. Dalam kekristenan kasih Allah yang universal ini diwujudkan melalui Yesus Kristus. Jika kasih Allah universal, maka itu juga berlaku dalam agama-agama lain. Penyangkalan umat Kristen terhadap hal ini sama artinya dengan menyangkali kasih Allah dalam kekristenan itu sendiri. Sedangkan secara empiris, kehadiran Allah dapat dialami dari praktek kehidupan yang membuahkan kebenaran dimana mewujudkan cinta, kasih, keadilan dan kesucian.Karena itu, dialog etis-praktis membuka jalan bagi suatu dialog religius yang lebih efektif dan lebih bermakna (Kristiawan,2005:58). Jika umat
beragama bersama bertindak memperjuangkan keadilan, perdamaian demi terwujudnya suatu masyarakat yang sejahtera (civil society), maka mereka akan lebih leluasa berbicara tentang pengalaman dan keyakinan bahkan bersaksi tentang inti kepercayaan mereka.
Dasar Teologis Perjumpaan Islam-Kristen: Perspektif Kristen Dalam dialog dengan agama lain, setiap agama tidak dapat menyembunyikan inti kepercayaan agamanya. Inti kepercayaan itu menjadi modal utama dalam berdialog dengan agama lain, bukan untuk mencari kelemahan dan kekurangan melainkan untuk saling mengakui, menerima dan belajar satu sama lain dari perbedaan yang ada. Karena itu, dialog tidak sekedar pembicaraan atau penjelasan tentang agama melainkan tentang iman. Dalam kekristenan, Yesus Kristus merupakan pusat iman atau inti kepercayaan, sebabnya dalam dialog orang Kristen harus mampu berbicara dan bersaksi tentang-Nya terhadap agama lain. Tetapi apakah Alkitab mendukung dialog dengan agama lain? Ataukah ada ajaran yang justru bertentangan dengan prinsip dialog yang sesungguhnya? Harus diakui bahwa dalam Alkitab tidak ada perintah atau petunjuk langsung bagaimana orang Kristen harus berdialog dengan agama lain. Petunjuk atau perintah itu hanya secara implisit ada, tergantung bagaimana interpretasi kita terhadap teks-teks Alkitab. Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun Alkitab tidak secara langsung berbicara tentang agama lain, tetapi dalam beberapa cerita atau kesaksian Alkitab jika dicermati ada juga yang membahas tentang hubungan dengan yang lain. Misalnya kisah Yunus memperlihatkan, bahwa betapa besar kasih dan rahmat Allah kepada umat manusia dan bahwa sesungguhnya kasih Allah itu tidak dapat dibatasi oleh siapa pun dan apa pun juga. Eksklusivitas Yunus diminimalisir oleh keuniversalan akan kasih dan rahmat Allah (Ariarajah,2003:20-21). Kisah perjumpaan yang menarik ialah perjumpaan antara Kornelius dan Petrus (Kis 10). Dari kisah ini dapat dilihat bahwa bagaimana Petrus bersikeras untuk tidak mau bertemu dengan Kornelius, karena Petrus masih memegang kuat tradisi Yahudi, dimana orang Yahudi dilarang keras untuk bergaul atau bahkan masuk dalam rumah orang yang bukan Yahudi. Tetapi Allah sendiri yang membuka pikiran serta menyadarkannya bahwa tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir (Kis 10:28).Petrus sadar bahwa hukum-hukum agama tidak dapat membatasi tindakan Allah yang universal atau dengan kata lain tindakan Allah tidak dapat dibatasi dalam tradisi agama tertentu. Sehingga melalui kesadaran ini, Petrus merekonstruksi pemahamannya tentang bagaimana
seharusnya ia memandang sesamanya dan akhirnya ia menyimpulkan bahwa Allah tidak membedakan orang (Kis 10:34) (Ariarajah,2003:22-24). Teks-teks ini, tidak dapat menutupi teks lain yang lebih bersifat eksklusif. Hal ini disebabkan dalam Alkitab sendiri terdapat ambivelensi antara penyataan Allah secara khusus dalam diri Yesus tetapi juga tindakan penyelamatan Allah yang bersifat universal. Berdasarkan ambivalensi ini maka tidak mengherankan jika orang Kristen memberi penilaian yang berbeda terhadap agama-agama lain (Kees de Jong,2006:52). Kesaksian Alkitab yang menyatakan keunikan Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan dan pengantara (Yoh 3:16,18; 14:5-6; Kis 4:11-12; I Tim 2:5; Roma 3:21-22) oleh sebagian orang Kristen dijadikan senjata untuk menyerang agama lain (Islam). Tetapi jika penilaian kita hanya tertuju pada teks-teks Alkitab tertentu saja maka sebenarnya kita menyangkali akan inti kepercayaan kita sendiri. Pemberitaan dan ajaran Yesus disaksikan dengan jelas dalam Injil Sinoptik. Dalam Injil Sinoptik terlihat jelas bagaimana Yesus mengungkapkan diri-Nya sendiri, dimana kehidupan dan perbuatan-Nya tidak berpusat pada diri sendiri melainkan pada Allah dan Kerajaan-Nya. Karena itu, Ia sangat menekankan bagaimana hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesama. Tetapi Yesus memperlihatkannya dengan tindakan yang 13pecia yang lebih dari sekedar percaya dan perkataan. Dan jika kita melihat kesaksian dalam Injil Sinoptik jelas bahwa Yesus tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai satu-satunya jalan dan pengantara. Mengenai hal ini, Ariarajah (2003:33) menegaskan bahwa klaim eksklusif yang dikenakan pada Yesus seperti jalan satu-satunya, juruselamat dan pengantara yang esa dibuat dalam bahasa iman dan harus dipahami dalam konteks komitmen gereja. Lebih lanjut ia menegaskan berdasarkan kesaksian Alkitab, umat Kristen sebenarnya tidak dipanggil untuk membuat klaim-klaim atau memutlakkan kebenaran, tetapi untuk membuat satu komitmen yang membuka diri mereka terhadap umat beragama lain sambil meyakini bahwa umat beragama lain juga mempunyai komitmen yang sama. Sehingga dialog antaragama merupakan perjumpaan antar komitmen dimana setiap agama dapat melihat dan saling mendengar kesaksian satu sama lain (2003:39). Senada dengan itu, Knitter (2005:144) mengakui dunia PB merupakan dunia yang pluralistic. Sadar akan pluralitas ini, maka umat Kristen perdana menjawab dengan menegaskan keunikan Yesus secara eksklusif dengan menggunakan teks-teks Alkitab sebagai tindakan membatasi diri dengan agama lain. Hal ini dikarenakan pada zaman PB,pluralisme cenderung
mengarah pada relativisme atau sinkritisme sehingga toleransi beragama berarti membiarkan segala sesuatu. Akhirnya, pluralismedapat mengaburkan visi Yesus tentang Kerajaan Allah karena dapat mentolerir semua pandangan yang bertentangan dengan Kerajaan Allah. Itulah sebabnya pluralisme saat ini tidak dapat disamakan dengan pluralism abad pertama karena konteks yang dihadapi umat Kristen itu berbeda. Penekanan penting dalam hal ini ialah bahwa meskipun dalam Alkitab terdapat ambivalensi, tetapi sebagai orang Kristen kita harus mengakui bahwa ambivalensi itu menjadikan kita lebih kritis terhadap iman kita sendiri dan iman orang lain. Ambivalensi ini menuntut pembacaan ulang kita tentang keunikan Yesus dan bagaimana sikap serta penilaian kita terhadap agama lain. Ambivalensi ini juga tidak hanya terjadi dalam Alkitab, tetapi nyata juga dalam Alquran. Terhadap hal ini, Ayoub (2007:208) mengatakan bahwa Alquran biasanya bersikap ambivalensi terhadap orang Yahudi dan Kristen. Menanggapi hal ini, lebih lanjut Ayuob mengatakan teks-teks yang eksklusif seharusnya tidak digunakan untuk menghilangkan teks-teks positif yang lebih banyak dan lebih empatik terhadap Kristen sebagai desakan pengakuan bersama dan dialog yang adil antara Islam dan Kristen (Yahudi). Klaim eksklusif terhadap keunikan Yesus yang dianggap sebagai kebenaran mutlak untuk menilai dan menganggap agama sendiri lebih unggul, dipatahkan oleh tindakan universalitas Allah untuk keselamatan seluruh dunia. Tindakan universalitas Allah tidak dapat dikurung dalam kekristenan atau keunikan Yesus. Keunikan Yesus seharusnya tidak menjadi penghalang bagi tindakan universalitas Allah, karena Yesus sendiri bersaksi dan menyatakan tentang keselamatan seluruh umat manusia. Karena itu, beriman kepada Yesus Kristus seharusnya tidak membuat orang Kristen merasa lebih unggul dari yang lain tetapi sebaliknya menganggap bahwa keunikan dan kebenaran agamanya adalah universal sehingga umat beragama lain perlu mengenal Yesus tanpa menjadi Kristen. Hal ini juga berlaku bagi umat Kristen seharusnya menerima dan mengakui kebenaran dan kepercayaan agama Islam sehingga baik Islam maupun Kristen keduanya dapat ditransformasi, diperkaya, dikoreksi dalam kebenaran satu sama lain.
Penutup Dengan menghubungkan dan mempertemukan falsafah hidup Hibualamo dengan model mutualis melalui jembatan (dialog) etis-praktis, penulis tidak berusaha mencocok-cocokkannya tanpa alasan yang kuat. Jelas bahwa pola hidup Hibualamo dalam masyarakat Halut merupakan
sarana atau alat pemersatu terhadap hubungan Islam-Kristen dengan kesadaran menjunjung nilainilai kemanusiaan. Meskipun konflik Haluttidak sepenuhnya dapat diatasi, karena trauma masyarakat yang mendalam terhadap konflik sehingga saat ini masyarakat menjadi sangat sensitif terhadap masalah-masalah keagamaan. Tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Hibualamo setidaknya menyadarkan masyarakat (Islam-Kristen) untuk hidup dalam perdamaian, keadilan, kepedulian dan kasih terhadap sesama itu sangat penting. Hal ini tidak bertentangan dengan inti kepercayaan Kristen. Dialog etis-praktis tidak hanya menekankan iman kepada Yesus melainkan meneladani apa yang dilakukan Yesus, bukan hanya sekedar ortodoksi melainkan ortopraksis. Dengan dasar inilah, setidaknya orang Kristen bisa terbuka dengan umat Islam dan tidak hanya mengklaim kebenaran, keselamatan, dan keunikan Yesus secara mutlak dan absolut milik mereka serta tidak berlaku bagi agama Islam. Dialog yang mewujudkan kesejahteraan bersama disimbolkan oleh Knitter sebagai keselamatan. Konsep keselamatan bagi Knitter dipahami sebagai suatu petunjuk arah dan lentera yang menuntun setiap agama ke arah tertentu dan memberi cahaya untuk menemukan apa yang menjadi tujuan bersama. Penggunaan simbol keselamatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa agama-agama pada dasarnya mempunyai keprihatinan terhadap dunia dan menjadikan dunia lebih baik lagi. Selanjutnya Kniiter menegaskan, bahwa penyataan Allah dalam Yesus dapat juga ditemukan dalam agama-agama lain (Islam), karena kebenaran dan keunikan Yesus itu bersifat universal. Hal itu tidak berarti bahwa orang Kristen menyangkal dan menolak kebenaran serta keunikan Yesus melainkan sebaliknya orang Kristen dapat bersaksi tentang hal itu bagi agama lain begitu pun sebaliknya. Karena bagi Knitter keunikan tidak dipahami sebagai sesuatu yang meniadakan yang lain, melainkan sesuatu yang menjadikan seseorang spesial dan berbeda. Itulah sebabnya keunikan Yesus membuat diri-Nya berbeda dan spesial sehingga mudah dikenali. Dengan demikian, jelas bahwa menjunjung nilai-nilai kemanusiaan tidak menghilangkan kesaksian orang Kristen tentang Yesus bagi umat Islam begitu pun sebaliknya. Falsafah hidup Hibualamosecara tidak langsung selain menjadi sarana pemersatu juga dapat menjadi sarana kesaksian iman atau inti kepercayaan bagi umat Kristen dan Muslim dalam menciptakan masyarakat yang adil, damai, peduli terhadap sesama dan saling mengasihi satu sama lain. Dalam hal ini falsafah Hibualamo yang penulis tampilkan ini bukan merupakan suatu yang final, melainkan perlu dikaji dan dikritisi lebih dalam lagi. Tetapi setidaknya falsafah Hibualamo dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat saat ini, menjadi pengikat bagi persaudaraan dan
kebersamaan sejati antar sesama manusia. Meskipun saat ini masih sering terjadi konflik kecilkecilan, hal ini tidak mengakibatkan konflik yang berkepanjangan karena falsafah Hibualamotelah melekat dalam kehidupan masyarakat. Sehingga masyarakat Halut menyebut tempat tinggal mereka sebagai bumi Hibualamo. Karena itu, menjadi pergumulan dan tugas bersama dalam menciptakan serta mewujudnyatakan bumi Hibualamo dalam kehidupan bersama.
Daftar Pustaka Ariarajah Wesley, 2003, Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan Lain, terj. Eka Damaputera, Jakarta: BPK Gunung Mulia Clion
K.
Labada,
Asal-usul
dan
Eksistensi
Hibualamo,
2007,
dalam
http://www.halmaherautara.com/artl/41/labada/asal-usul-dan-eksistensihibualamo, Dupuis Jacques, 1998, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, Maryknoll, N.Y: Orbis Books Haire James, 1998, Sifat dan Pergumulan Gereja Halmahera 1941-1979, Jakarta: BPK Gunung Mulia Hein Namotemo, 2001, Mengenali Jati Diri Halmahera Dipandang dari Kacamata Budaya Orang Tobelo, Tobelo Kees de Jong, 2006, “Hidup Rukun Sebagai Orang Kristen: Spiritualitas dari Segi Theologia Religionum”, Gema Teologi, Jurnal Fakultas Theologia, 2006, 30:2 ________________, “Dialog Dan Proklamasi Di Era Pluralisme”, Gema Teologi, Jurnal Fakultas Theologia, 30:1 Knitter Paul F., 2005, Menggugat Arogansi Kekristenan, terj, M. Purwatma, Yogyakarta: Kanisius _____________, 2008, Pengantar Teologi Agama-Agama, Terj. Nico A. Likumahuwa, Yogyakarta: Kanisius Kristiawan Danang, 2005, Meretas Tanggung Jawab Global Agama-Agama: Kajian Mengenai Dialog Antaragama dan Theologia Religionum Kristen Menurut Pemikiran Paul F. Knitter, Ungaran: STT Abdiel Nanuru Ricardo F., 2013, Ontologi Hibualamo dalam Perspektif Jurgen Habermas, dalam Menjadi Gereja Halmahera Kenangan Kepada Pendeta A.N. Aesh, Yogyakarta: Kanisius
Omar Irfan A., 2010, ”Worl Interfaith Theology of Religious Pluralism: A Muslim Perspective”, dalam Along The Many Paths Of God V: Toward a Planetary Theology, Ed by Jose M. Vigil, Montreal: Dumanis Publishers Philips Gerardette, 2013, Beyond Pluralism: Open Integrity As A Suitable Approach To MuslimChristian Dialogue, Yogyakarta: Interfidei Puasa Anselmus, 2010, Falsafah Hibualamo: Suatu Upaya Membangun Rekonsiliasi di Halmahera Utara, Jurnal Uniera Vol.39 Singgih G. Emanuel, 2005, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, Jakarta: BPK Gunung Mulia