TEOLOGI AGAMA-AGAMA DALAM PEMIKIRAN PAUL F. KNITTER Skripsi
Disusun Oleh: M. SYAHID JULI ASHARI NIM. 106032101066
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010
TEOLOGI AGAMA-AGAMA DALAM PEMIKIRAN PAUL F. KNITTER
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Disusun Oleh:
M. SYAHID JULI ASHARI NIM: 106032101066
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer NIP: 19510304 198203 1 003
Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi
yang
berjudul
“TEOLOGI
AGAMA-AGAMA
DALAM
PEMIKIRAN PAUL F. KNITTER” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus pada 16 Desember 2010 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Agama.
Jakarta, 16 Desember 2010 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
Sekretaris
Drs. M. Nuh Hasan, MA NIP. 19610312 198903 002
Maulana, MA NIP. 19650207 199903 001
Anggota Penguji I
Penguji II
Dr. Ismatu Ropi, MA NIP. 1691115 199503 1 002
Dr. Media Zainul Bahri, MA NIP. 19751019 200031 21 003
Di bawah bimbingan
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer NIP. 19510304 198203 1 003
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji bagi Allah SWT sudah sepantasnya penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala karunia, rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang telah membimbing dan mengajarkan umat manusia untuk peduli terhadap keadilan dan pembebasan saudara-saudara kita yang tertindas, agar tercipta hubungan yang harmonis antara penguasa dan rakyat, kaya dan miskin, bahkan antar umat beragama. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan sesamanya. Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah membimbing dan membantu penulis. Oleh karena itu, ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada pihakpihak tersebut, terutama kepada : 1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis, terutama mengenai penulisan skripsi yang baik dan benar. 2. Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA; Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Drs. M. Nuh Hasan, MA; Sekretaris Jurusan, Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Sri Mulyati, MA, yang telah memberikan arahan kepada penulis, serta bersedia menerima penulis untuk konsultasi mengenai proposal skripsi.
i
4. Pimpinan dan staf Perpustakaan STF Driyarkara Jakarta dan STT Jakarta, yang telah memberikan banyak sumber utama dan informasi terutama yang berkaitan dengan judul skripsi ini. 5. Pimpinan Perpustakaan Utama dan FU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini memberikan andil dalam hal penyediaan bahan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini. 6. Ibunda Helida Abbas dan Ayahanda Syahruddin Hasyamin yang penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, dengan rasa cinta dan kasih sayang mereka secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis hingga hari ini. Munajat doanya di setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi bahtera kehidupan. 7. Siti Mahbubah tercinta yang tak pernah menyerah memberikan semangat bersaing dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga kita berjodoh di dunia dan akhirat, amin. 8. Adik-adik penulis, M. Syarif Syahruddin, S.Pdi, M. Syafri Syahruddin, M. Syahrir Syahruddin, dan si kecil Siti Shofia Syahruddin, yang selalu memberikan motivasi dan keceriaan disaat kejenuhan menghampiri. 9. Teman-teman mahasiswa Juruasan PA angkatan 2006 (Dwi-Q, Jibrun, Sofyan, Abbas, IskandR, Babeh, Iqbal, Aji Jr., Syamsul BEM, Ay, Nung, Yuni, Y. Bhakti, Ghoffur, Raja, Ratu, Rudi, Riri dll) 10. Bob Acri dengan lantunan pianis Sleeping Away, suara merdu Phil Collins dalam You’ll Be in My Heart, dan senandung Negeri di Awan Katon
ii
Bagaskara, yang telah memberikan inspirasi dan kedamaian di saat-saat penulisan skripsi ini. 11. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan. Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
Jakarta, November, 2010 M Dzul Hijjah 1431 H
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5 D. Metode Penelitian .......................................................................... 6 E. Sistematika Penulisan ................................................................... 7
BAB II SIKAP TEOLOGIS KRISTEN TERHADAP BERBAGAI AGAMA LAIN A. Tipologi Sikap ............................................................................... 8 1. Eksklusivisme ....................................................................... 8 2. Inklusivisme .......................................................................... 12 3. Pluralisme.............................................................................. 16 B. Sikap Gereja Katolik Terhadap Agama-Agama Lain ................... 20 1. Sebelum Konsili Vatikan II .................................................. 21 2. Pasca Konsili Vatikan II ....................................................... 28
BAB III PAUL F. KNITTER A. Riwayat Hidupnya .......................................................................... 34 B. Karya-Karyanya ........................................................................... 39
iv
BAB IV TEOLOGI
KORELASIONAL
DAN
TANGGUNG
JAWAB
GLOBAL A. Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain .......... 43 1. Model Penggantian ............................................................... 44 2. Model Pemenuhan ................................................................ 48 3. Model Mutualitas ................................................................. 52 4. Model Penerimaan ................................................................ 57 B. Arti Kesetiaan Pada Yesus ............................................................ 67 C. Konvergensi Agama-Agama ......................................................... 77 D. Dialog Korelasional dan Tanggung Jawab Global ........................ 84
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………… 94 B. Saran …………………………………………………………….. 96
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pluralisme 1 agama ̶ sampai detik ini masih memicu pro dan kontra yang akhirnya menimbulkan perbedaan sikap terhadap gagasan tersebut ̶ merupakan pandangan yang menerima adanya keragaman 2 kebenaran dan keselamatan agama.
1
Istilah pluralisme perlu dibedakan dengan istilah “Pluralitas” agar tidak terjadi kesalahan
pemaknaan. “Pluralitas” atau dalam bahasa Inggrisnya “plurality” mengandung makna “mayoritas; jumlah besar,” “keadaan jamak.” Istilah “pluralisme” sering diartikan sebagai “suatu konsepsi yang menegaskan adanya pelbagi prinsip, ruang lingkup dan bentuk realitas yang tidak mungkin dikurangi atau dijabarkan lagi. Pluralisme mengasumsikan terjadinya proses diskontinuitas.” Dalam istilah sosiologi, pluralisme adalah “keadaan dimana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil dapat mempertahankan identitas mereka di dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan.” Sedangkan dalam perspektif ilmu politik, pluralisme diartikan sebagai “doktrin yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan di suatu negara harus dibagi-bagikan antara pelbagi golongan karyawan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu golongan. Adapun dalam istilah filsafat, pluralisme diartikan sebagai “Pandangan yang menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi, tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain” (lawan dari monisme). Lihat Kamus Dwibahasa Oxford-Erlangga. Inggris-indonesia indonesia-inggris (Jakarta: Erlangga, 1993), h. 256., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 641., Peter Salim, Salim's Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 2000), h. 1106., Suryono Sukanto, Kamus Sosiologi, cet. 3 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), h. 329, Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Cet 1 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 861. 2
Gerald O’Colins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Suharyo (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), h. 257.
1
2
Jadi tidak hanya ada satu agama yang benar dan mampu memberikan keselamatan bagi pemeluknya, namun banyak agama. Sikap anti (penolakan) terhadap pluralisme memperkeruh hubungan antar agama yang sedang dalam masa konflik, baik intra maupun lintas agama (interreligius). Konflik semacam itu, tak jarang kita temui pada bangsa ini. Misalnya, konflik Poso dan Ambon yang bermula dari konflik politik kemudian diselipkan sentimen keagamaan yang berupa klaim kebenaran dan keselamatan agama tertentu adalah contoh konkret tantangan pluralisme di Indonesia. Secara historis, konflikkonflik itu tidak lepas dari pemahaman dan kesadaran masyarakat yang kurang terhadap pentingnya kerjasama, toleransi, dan hidup berdampingan dengan agama lain. Untuk mengatasi masalah tersebut, kesadaran tentang pluralisme harus ditanamkan sejak dini. Menurut Paul F. Knitter, untuk menciptakan hubungan antar agama tanpa konflik hanya ada satu jalan, yaitu dengan interreligius dialog. Paul F. Knitter, seorang teolog Kristen, bukan orang asing bagi mereka yang selama ini mencurahkan perhatian pada proses dialog antar-iman di Tanah Air, khususnya dari lingkungan Kristiani. Karya besarnya, No Other Name? (1985), yang kontroversial sekaligus menjadi survei kritis tentang berbagai paradigma yang muncul dalam teologi Kristen tentang pluralitas agama-agama. 3 3
Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter", dalam
Soegeng Hardiyanto, Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf Herbert Schumann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 145.
3
Praktek dialog antar-iman bagi Knitter bukan sekadar kenikmatan intelektual semata, melainkan pergulatan yang menyentuh dan mengubah seluruh aspek kehidupan, yaitu suatu pertaruhan eksistensial yang meminta keterlibatan penuh dan terbuka bagi transformasi timbal-balik (mutual transformation) para pelakunya. Di situ terjadi proses perjumpaan suatu keimanan dengan keimanan yang lain yang kemudian menghasilkan keimanan yang berjalan bersama-sama dan mengalami transformasi timbal balik. Hal ini yang menyebabkan Knitter dalam perjalanan rohaninya
berjumpa
dengan
berbagai
tradisi
keagamaan
yang
kemudian
mengubahnya secara radikal: dari seorang misionaris Katolik menjadi pengusung dialog antar-iman. 4 Fakta sejarah menceritakan bahwa terjadi pergeseran-pergeseran paradigma teologi Kristiani beberapa abad lalu, pergeseran dari eklesiosentris (teologi yang berpusat pada gereja) ke teologi agama-agama yang kristosentris (berpusat pada Kristus), yang diembuskan oleh Konsili Vatikan II, kemudian ke teologi agamaagama yang teosentris (berpusat pada Allah). 5 Umumnya, sejak Alan Race (1983),
4
Perubahan paradigma teologi Paul F. Knitter secara panjang lebar dikisahkan dalam
autobiografisnya yang terdapat dalam Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 23-42, dan Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h. 1-31. 5
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), h. 74-91.
4
orang menandai pergeseran-pergeseran itu sebagai pergeseran paradigma dari eksklusivisme menjadi inklusivisme, kemudian pluralism. 6 Menurut Knitter, pergeseran itu belum memadai dan harus dilanjutkan. Di sinilah sumbangan utama Knitter. Ia mengusulkan sebuah langkah baru dalam membangun teologi agama-agama yang pada akhirnya mampu membawa umat beragama untuk duduk bersama menghadapi masalah-masalah, dalam istilah Knitter, eko-manusiawi. 7 Indonesia adalah bangsa yang plural, terdiri dari berbagai etnis, suku, bahasa, dan agama. Hal ini menyimpan potensi konflik yang tinggi. Di samping itu, sikap terhadap agama-agama lain bermacam-macam, mulai dari yang pluralisme hingga eksklusivisme. Seharusnya ajaran agama dapat dipahami sebagaimana setiap agama mengajarkan kepada pemeluknya keharusan menghormati sesama manusia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara sesama. Hal ini yang penulis temui dalam teologi agama-agama Paul F. Knitter yang berusaha menjawab persoalanpersoalan hubungan antar-umat beragama. Oleh karena itu, penulis merasa perlu menggali lebih dalam pemikiranpemikiran Paul F. Knitter terutama mengenai teologi agama-agama yang berujung pada terciptanya dialog antar-iman dengan judul “Teologi Agama-Agama Dalam Pemikiran Paul F. Knitter”. 6
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, h.36, atau lihat Alan Race, Christian and Religious Pluralism: Patterns in Christian Theology of Religions (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1983). 7
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 52-53.
5
B. Rumusan Masalah Untuk menggali lebih dalam bangunan teologi agama-agama Paul F. Knitter, penulis merumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: bagaimana pandangan Paul F. Knitter terhadap berbagai agama yang ada? Jika ada pengakuan terhadap kebenaran agama-agama lain, apakah hal itu berarti meninggalkan kesaksian Kristen yang disampaikan Injil dan tradisi melalui Kristus? Adakah konvergensi agama-agama, dengan kata lain, mungkinkah terdapat semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama? Karena konsep teologi agama-agama Paul Knitter tidak terlepas dari, bahkan menitikberatkan pada upaya terwujudnya dialog antar-umat beragama (interreligious dialog), timbul pertanyaan; bagaimana konsep dialog antar-umat beragama yang dapat membawa kedamaian dan keharmonisan di antara sesama?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah untuk mengetahui rumusan teologi agama-agama Paul F. Knitter yang meliputi pandangannya terhadap agama-agama lain, arti kesetian terhadap Kristus, konvergensi agama-agama, serta konsep dialog antar-umat beragama. Adapun relevansinya terhadap kehidupan bangsa Indonesia adalah timbulnya kesadaran terhadap kebhinekaan masyarakat terutama dalam hal agama, sehingga tercipta pola hubungan antar-agama yang relasional, dialogis dan peduli terhadap penderitaan bangsa Indonesia.
6
D. Metodologi Penelitian Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode riset kepustakaan (library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, serta menuliskan data-data dari buku-buku yang ada relefansinya untuk memperoleh data kepustakaan. Oleh karena itu penulis menggunakan sumber yang diperlukan, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Adapun sumber primer skripsi ini adalah karyakarya intelektual Paul F. Knitter. Di antaranya, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, Pengantar Teologi Agama-Agama, Menggugat Arogansi Kekeristenan, dan Mitos keunikan Agama Kristen. Selain itu, penulis juga menggunakan karya intelektual penulis lain yang menulis pemikiranpemikiran beliau. Untuk membahas permasalahan yang ada, penulis menggunakan pendekatan deskiptif-analitik, yang mana data-data yang diperoleh dijabarkan dan dihubungkan satu sama lain kemudian penulis menganalisis data-data tersebut guna mendapatkan gambaran mengenai permasalahan yang dibahas. 8 Dalam Penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. 8
Lih U. Maman Kh. et. al., Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 29.
7
E. Sistematika Penulisan Agar skripsi lebih terarah, pembahasan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan yang sedikit memaparkan masalah pluralisme agama di Indonesia yang sering menimbulkan konflik atas nama agama, serta memuat latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian. Bab II, berbicara mengenai Sikap Teologis Kristen Terhadap Berbagai Agama Lain yang terdiri dari dua sub bab, yaitu tipologi sikap, serta sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain sebelum dan pasca Konsili Vatikan II. Bab III, memuat biografi singkat Paul F. Knitter beserta karya-karyanya. Adapun Bab IV, berisi pembahasan dari permasalahan skripsi ini, yaitu pandangan Paul F. Knitter terhadap agama-agama lain, arti kesetian terhadap Kristus, konvergensi agama-agama, serta konsep dialog antar-umat beragama dengan beberapa analisa yang penulis buat. Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam Bab V.
BAB II SIKAP TEOLOGIS KRISTEN TERHADAP BERBAGAI AGAMA LAIN
A. Tipologi Sikap Untuk mengetahui sikap umat Kristen terhadap agama-agama lain, perlu digambarkan terlebih dahulu tipologi sikap beragama secara umum. Paul F. Knitter, begitu pula John Hick, membagi sikap Kristen terhadap agama-agama lain menjadi tiga bagian, eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralism. 1 Klasifikasi ini pertama kali digunakan oleh Alan Race (1983). 2 1. Eksklusivisme Istilah “eksklusivisme” berasal dari kata
“eksklusif”. Secara
terminologi, eksklusif diartikan sebagai “terpisah dari yang lain”, “khusus”, atau “tidak termasuk”. Sedangkan “eksklusivisme” dalam perspektif sosial berarti paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. 3
1
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h.36. 2
Klasifikasi ini dapat juga dilihat dalam buku Alan Race yang berjudul Christians and
Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions, diterbitkan oleh Orbis Books pada 1983. 3
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Cet 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990,) h. 221.
8
9
Adapun Eksklusivisme dalam arti teologis merupakan paham yang memandang bahwa hanya ada satu agama saja yang mengajarkan kebenaran dan satu-satunya jalan menuju keselamatan dan pembebasan, yaitu agamanya. Agama lain dipandang keliru bahkan sesat karena merupakan buatan manusia atau telah menyeleweng dari Kitab Suci sehingga tidak ada kemungkinan kompromi dengan kebenaran agama lain. Pengikut-pengikutnya berada di luar lingkup keselamatan dan tidak ada harapan apa pun bagi mereka. 4 Oleh karena itu, mereka berusaha agar umat beragama lain masuk atau memeluk apa yang mereka yakini. Eksklusivisme dapat mengambil beragam bentuk. Ia dapat menekankan nilai penting, keyakinan-keyakinan fundamental yang membentuk inti keselamatan dan tanpanya orang akan merugi, ia dapat menekankan sentralisasi suatu institusi keagamaan otoritatif yang kepadanya orang masuk ke dalam wilayah keselamatan, pada tingkat yang lebih sosiologis ia dapat menekankan signifikasi kelompok etnisnya sendiri sebagai titik pijak keagamaan yang benar. Jenis pertama, fundamental agama Kristen antara tahun 1912-1914 dan melahirkan istilah fundamentalisme; kedua, menemukan ekspresi klasiknya dalam gagasan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra eclesiam nulla salus); dan ketiga, muncul dalam batasan4
Lih John Hick, “Religious Pluralism”, dalam Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion
(New York: Macmillan Library Reverence, 1993), vol 11, h. 331, Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” dalam Peter Connolly, ed. Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002,) h. 345-346, ABD. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 54, Raimundo Pannikar, Dialog Intrareligius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 18-20.
10
batasan kasta yang dibangun dalam tradisi Hinduisme klasik, dan batasan etnik yang dibangun dalam Yahudi klasik, sebagai umat pilihan Tuhan (God’s Chosen People). 5 Menurut Paul F. Knitter, eksklusivisme dalam Kristen memandang umat beragama lain yang tidak mengenal atau tidak tertarik kepada Kristus tidak memperoleh keselamatan. Mereka meyakini walaupun Allah adalah orang tua yang mengasihi dan merangkul semua anak-Nya, Ia sendiri telah memilih untuk melaksanakan karya penyelamatan-Nya, yaitu mengaku dan merespon tawaran kasih ilahi, yang tersedia hanya melalui realitas historis Kristus dan melalui komunitas dimana berita dan kuasa keselamatan ada dalam Gereja Kristen. 6 Contoh model ini adalah evangelikal konservatif dan pentakosta yang bercorak eklesiosentris (terpusat pada Gereja) dengan model kristologis “Kristus bertentangan dengan agama-agama lain.” 7 Dengan demikian, pengakuan terhadap adanya keselamatan dari agama selain Kristen merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah; suatu penghinaan terhadap apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus. Begitupun dalam AlKitab, agama-agama selain Kristen dipandang sebagai usaha manusia yang sia-sia dalam mengenal Allah dan memperoleh keselamatan. Dikatakan sia-sia karena Allah telah mewahyukan kehendak-Nya hanya, 5
Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” h. 345-346, John Hick, “Religious Pluralism”, h.
6
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama; Diolog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
331.
Global, h. 37-38. 7
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 35-36.
11
secara eksklusif, dalam dan melalui Yesus Kristus. Dialah satu-satunya Penyelamat manusia. Walaupun gereja-gereja eksklusivis berdialog dengan agama lainnya, tujuannya tidak lain untuk membuat orang bertobat dan menerima kuasa keselamatan melalui gereja. Menurut mereka, Allah menghendaki Buddha, Hindu, Islam dan Yahudi menjadi Kristen. Karena hanya ada satu agama yang benar. Jika orang penganut agama lain tidak mengenal keselamatan melalui Kristus yang bukan karena kesalahan mereka, itu adalah urusan Allah di alam Tranhistoris, tugas misionaris adalah mengkristenkan manusia. Tokoh pendekatan ini antara lain Karl Barth dan H. Kraemer. 8 Sikap ini, menurut Raimundo Pannikar, telah membawa dua dampak negatif terhadap hubungan antar-agama. Yaitu, pertama, menimbulkan sikap intoleransi, kesombongan, dan penghinaan terhadap agama lain, kedua, sikap ini mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni dan tidak kritis. 9 Kebenaran kitab suci diterima dan ditafsirkan secara tekstual, tanpa adanya interpretasi kontekstual yang melatarbelakangi ayat-ayat eksklusif. Terlepas dari hal tersebut, sikap ini biasanya memiliki komitmen yang teguh dalam memelihara keyakinannya. Jadi eksklusivisme tidak selamanya
8
Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 38, Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid VII:
Pi-Sek (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), h. 17, dan Ensiklopedi Gereja, Jilid IV: Ph- To (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), h. 16. 9
Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 19.
12
bisa disalahkan dan dipandang negatif, tetapi sikap tersebut lebih banyak dipengaruhi minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya, bahkan sangat terpengaruh terhadap lingkungan sosial dan kultural di mana ia tinggal. Jadi eksklusivisme adalah suatu pandangan yang mengklaim bahwa hanya agama, bahkan alirannya yang benar dan satu-satunya jalan menuju keselamatan. Agama lain dipandang sesat, tidak ada keselamatan darinya, dengan begitu ia berusaha untuk memasukkan penganut agama lain ke dalam apa yang dipahaminya. Eksklusivisme memiliki dampak negatif terhadap hubungan antar agama, akan tetapi ia juga memilki bentuk-bentuk positif, terutama terhadap keteguhan memegang kepercayaannya sendiri.
2. Inklusivisme Menurut John Hick, inklusivisme merupakan suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan lain juga memuat kebenaran religius namun di hari akhir akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki. 10 Ia menambahkan bahwa inklusivisme merupakan paham bahwa suatu agama tertentu adalah kebenaran terakhir agama-agama lain. Raimundo Panikkar berpendapat bahwa walaupun sikap ini lebih toleran terhadap keyakinan-keyakinan agama lain, pada akhirnya “anda menyatakan sebagai pemilik kebenaran yang lebih penuh dibandingkan dengan semua orang lain
10
Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” h. 344.
13
yang hanya mempunyai kebenaran-kebenaran parsial dan relative.” 11 Dengan kata lain kebenaran agama-agama lain adalah sementara, tidak sempurna, dan mencerminkan adanya kebenaran final dalam agamanya. Oleh karena itu, melalui agamanya lah penyempurnaan itu terjadi. Paham ini muncul melalui perjumpaan dengan nilai-nilai dari agama lain yang menyadarkan bahwa jalan menuju Tuhan tidak terbatas pada agama tertentu, namun tidak sesempurna agama yang dianutnya. Umat Buddha sering melihat aspek Dharma yang tercermin dalam agama-agama lain yang tidak lengkap 12. Kalangan Islam inklusif memandang bahwa agama semua nabi adalah satu, dimana masing-masing umat telah ditetapkan syari’atnya menurut situasi dan kondisi zamannya masing-masing. 13 Konsili Vatikan II (Oktober 1962) merupakan awal lahirnya pengakuan pihak gereja terhadap kebenaran dan nilai-nilai dari agama Hindu, Buddha, Islam yang sebelumnya tidak pernah diakui dalam satu dokumen resmi gereja. Dasar teologis dari inklusivisme terdapat dalam kristologinya yang bercorak kristosentris, Kristus sebagai pusat keselamatan. Beberapa di antara mereka memandang bahwa Yesus bersifar konstitutif atas keselamatan. Maksudnya ialah bahwa tawaran Allah atas kebenaran dan anugerah
11
Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 21-22.
12
Hick, “Religious Pluralism”, h. 331.
13
Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 47.
14
penyelamatan telah berlangsung atau telah dimungkinkan oleh kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus historis. Jadi, apa pun kebenaran dan kehadiran Roh dalam agama-agama lain adalah secara anonim bersifat Kristen (anonymous Christian), Kristen tanpa nama, disebabkan oleh dan diarahkan ke pemenuhan di dalam Yesus dan umat-Nya. 14 Tokoh yang terkenal dalam perspektif ini adalah Karl Rahner. Karl Rahner adalah orang yang telah meletakkan dasar-dasar teologis bagi pandangan Vatikan II yang baru dan positif tentang agama-agama dunia lainnya. Ia berpendapat bahwa orang Kristen bukan hanya bisa tetapi harus menganggap agama-agama lainnya sebagai “sah” dan merupakan “jalan keselamatan,”
15
dalam istilahnya disebut “Kristen Anonim”, yaitu mereka
yang bukan Kristen yang “diselamatkan” oleh anugerah dan kehadiran Kristus secara terselubung dalam agama-agama mereka. 16 Jadi ada pandangan bahwa manusia hanya bisa diselamatkan dengan perantaraan Kristus namun Allah juga ingin menyelamatkan semua orang. Oleh karena itu orang yang tidak mengenal Kristus memperoleh keselamatan dari agama-agama mereka sendiri namun tanpa disadari Kristuslah yang menyelamatkan mereka. 17
14
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h 39.
15
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 6-7.
16
Lih Adolf Heuken, Ensiklopedia Gereja, Jilid III,: H-J, Edisi ke-4 ( Jakarta: Yayasan Cipta
Loka Caraka, 2004), h. 111, dan Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 8. 17
Atau dimaksudkan oleh Allah, untuk mencari pemenuhan final dan identitas di dalam
Yesus Kristus. Lih Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid VII: Pi-Sek, h. 17.
15
Perspektif kristologis berikutnya ialah Yesus sebagai reperesentative, wakil, kasih dan kebenaran Allah yang menyelamatkan. Ia bukan penyebab adanya kasih Allah, sebab kasih adalah bagian dari struktur keberadaan Allah. Namun Yesus mewujudkan dan menyatakan kasih Allah dan karena itu Dia mewakili kasih itu yang menyelamatkan secara sepenuhnya di dalam lingkungan hidup manusia. Aliran ini masih segan mengatakan umat agama lain, seperti Buddha, sebagai Kristen tanpa nama, mereka lebih cenderung mengatakan umat Buddha sebagai “Kristen Potensial”, yaitu kebenaran yang diperoleh umat Buddha diwakili oleh Kristus dan Karen itu memperoleh kepenuhan di dalam-Nya. 18 Sikap ini membawa individu untuk bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain dan hendak merangkul agama lain dengan cara halus untuk hidup harmonis di tengah-tengah keragaman. Cara pandang ini memang terbuka terhadap adanya berbagai jalan menuju Tuhan, tetapi mereka menganggap jalan yang paling benar atau paling sempurna adalah melalui agamanya. Panikkar menambahkan, sikap ini juga menimbulkan kesombongan sebab hanya agama tertentu yang memiliki privilese atas kebenaran yang mencakup semua. Jadi patokan agamanyalah yang digunakan untuk menilai agama lain sehingga sikap ini masih menginginkan kelompok lain di luar agama atau kelompok mereka menempuh jalan yang sama dengan dirinya. 19
18 19
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 39. Lih Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 61, dan Pannikar, Dialog Intra
religious, h. 21.
16
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa inklusivisme adalah paham bahwa semua tradisi keagamaan memiliki jalan keselamatannya masing-masing. Namun jalan tersebut tidak sempurna, sebab agama yang dianutnya adalah bentuk pemenuhan/ final dari agama-agama lain.
3. Pluralisme 20 Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa pluralisme, yang dimaksud adalah pluralisme agama, adalah suatu pandangan yang menerima adanya keragaman kebenaran dan keselamatan agama (secara
teologis), suatu paham bahwa tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the real) dan memberi respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultural yang berebeda-beda bagi manusia. 21 Adapun menurut John Hick, pluralisme adalah “teori bahwa agamaagama besar dunia merupakan konsepsi dan persepsi berbeda dari, dan tanggapan terhadap, sesuatu yang abadi atau realitas misterius ilahi.”22 Pandangan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh
20
Raymundo Panikkar lebih sering menyebut paralelisme dari pada Pluralisme, lih Raimundo
Panikkar, Dialog Intra religious, h. 22-24. 21
Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” dalam Peter Connolly, ed. Aneka Pendekatan Studi
Agama, terj. Imam Khoiri, h. 344-345. 22
Hick, “Religious Pluralism”, h. 331.
17
Knitter, 23 bahwa agama-agama lain juga memiliki pandangan dan respons mereka sendiri yang abash terhadap Misteri ini (Misteri Ilahi). Jadi mereka tidak perlu dimasukkan dalam kekeristenan (eksklusif dan inklusif). 24 Dengan kata lain, setiap agama memiliki perbedaan dalam rumusan teologis, doktrin, dan ritual sebagai respon mereka terhadap realitas Tunggal. Meskipun berbeda, setiap agama memiliki tujuan yang sama, yaitu membawa para pengikutnya kepada keselamatan akhirat. Berbeda dengan perspektif mereka berdua, Hick dan Knitter, Panikkar berpendapat bahwa, semua kepercayaan yang berbeda-beda sesungguhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada eschaton, akhir kehidupan manusia. Oleh karena itu, setiap agama merupakan jalan-jalan yang sejajar dan setiap pemeluk agama selayaknya tidak mencampuri, mengklaim sesat atau merendahkan ketidaksempurnaan, agama lain. 25 Walaupun berbeda perspektif, pluralisme/paralelisme mengindikasikan adanya fenomena “Satu Tuhan banyak agama” yang berarti suatu sikap menerima dan menghargai terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan, dan ini merupakan suatu keuntungan yang sangat positif bagi hubungan antar-
23
Dalam Satu Bumi Banyak Agama sikap teologis Knitter tidak lagi pluralis, sebagaimana
yang dapat dilihat dalam No Other Name?. Ia telah beranjak menuju suatu teologi “korelasional.” Pembahasan tersebut penulis tuangkan dalam bab IV pada sub judul “Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain.” 24
Lih Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), h. 37, dan Satu Bumi Banyak Agama, h. 11. 25
Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 22-23.
18
agama. 26 Dengan demikian tradisi-tradisi keagamaan harus dianggap sebagai alternatif keselamatan di mana atau sepanjang semua manusia dapat menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan di dalamnya. Kita menemukan contoh visi keagamaan, baik inklusivis atau pluralis, yang mampu berkembang dalam masing-masing tradisi agama-agama dunia, walaupun biasanya tidak sebagai tema sentral. Jadi, dalam bukti baru ini tertulis bahwa logos yang berinkarnasi sebagai Yesus Kristus, adalah "cahaya yang mencerahkan setiap orang" (Yoh 1:9). Dalam Bhagavadgita dikatakan bahwa, "siapapun manusia dapat mendekati saya, bahkan begitu juga saya menerima mereka, sebab, pada semua pihak, apa pun jalan mereka pilih adalah milikku/jalanku: (4.11). dan dalam aliran Buddhisme Mahayana, Bodhisattva
memberikan
diri
"untuk
keselamatan
semua
makhluk"
(Siksasamuccaya 280). Di dalam Alquran (2:115) kita membaca:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Penyair sufi muslim, Rumi, menuliskan hal tersebut dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda: "lampu berbeda tetapi cahaya kami sama: yaitu berasal dari luar jangkauan." 27
26
Lih Budhi Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. 51, dan
Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 23 27
Hick, “Religious Pluralism”, h. 331-332.
19
Menghadapi pluralitas agama tidak hanya melahirkan sikap eksklusif dan inklusif, akan tetapi membawa individu kepada suatu paradigma yang mengakui bahwa jalan menuju Tuhan tidaklah tunggal. Jalan tersebut terdapat di dalam setiap agama, semuanya bergerak menuju tujuan yang satu, Tuhan. Tuhan yang satu tidak dapat dipahami secara tunggal oleh umat manusia karena adanya perbedaan kualitas intelektual dan pencerapan setiap individu 28. Setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim kebenaran sepihak (eksklusif), atau yang melengkapi maupun mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. 29 Konsekuensi dari paradigma ini adalah pemberian hak yang sama terhadap semua agama untuk tumbuh dan berkembang termasuk hak pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Dengan begitu diharapkan tercipta sikap saling mengakui dan saling mempercayai, tanpa ada kekhawatiran untuk dikonversikan ke dalam agama tertentu. Jadi paradigma seperti ini tidak menyatakan bahwa semua agama adalah sama (paralel). 30 Sekalipun pluralisme memiliki efek positif bagi kelangsungan hubungan antar-agama, model ini juga memiliki sisi negatif, terutama terhadap pengakuan banyak agama yang benar dan relatif. Knitter berpendapat bahwa pluralisme seringkali terjebak dalam universalisme dan
28
Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme, h. 59.
29
Budhi Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. 48.
30
Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 60.
20
sinkritisme serta tidak jarang para teolog tergelincir dalam imperialisme dan relativisme. 31 Dari keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa, Pluralisme adalah pandangan bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama, sebagai akibat dari respon dan persepsi, walaupun berbeda-beda, terhadap realitas Ilahi yang satu. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa banyak agama yang benar dan menyelamatkan. Pluralisme membawa sikap positif bagi hubungan antar-agama yang saling menerima dan menghargai eksistensi agama-agama lain, akan tetapi juga berdampak negatif karena pluralisme seringkali terjebak dalam universalisme dan sinkritisme serta tidak jarang para teolog tergelincir dalam imperialisme dan relativisme.
B. Sikap Gereja Katolik Terhadap Agama-Agama Lain Konsili Vatikan II, 8 Desember 1965, disebut sebagai titik tolak sikap Gereja yang dialogis. Namun hal ini tidak berarti bahwa sebelum konsili Vatikan II sikap Gereja yang dialogis tidak ada. Menurut penelitian Jean L. Jadot (1983) bahwa sikap Gereja, melalui pendekatan Paulus dan para rasul lain, mengutamakan dan
31
Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 44-45, dan Togardo Siburian, “Tren-Tren
Teologis dalam Spirit Pascamodernisme” dalam, Jurnal Teologis Stulos (Bandung: Yayasan STT Bandung, September 2009), h. 142. Ulasan mengenai kritik Knitter terhadap pluralisme penulis bahas pada bab IV dengan sub judul “Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain.”
21
menghargai pribadi-pribadi lain. Hal tersebut merupakan suatu contoh sikap positif terhadap umat kepercayaan lain. 32 Sikap positif Gereja terhadap agama lain sebenarnya kurang menjadi sikap yang menonjol dan mendasar. Sebaliknya sikap yang menonjol adalah eksklusivisme, triumphalisme, dan sejenisnya. Akibatnya Gereja sebelum Vatikan II tampak tertutup dan kurang memandang positif agama-agama lain.
1. Sebelum Konsili Vatikan II Telah dikemukakan di atas bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama lain sebelum Vatikan II menunjukkan sikap bersahabat dan tidak menampilkan agresivitas kekerasan. Sikap ini diwariskan kepada Bapa Gereja, seperti Ireneus, Origenes, Hippolitus, dan Gregorius Nazianse (sekitar abad ke-3). Mereka merefleksikan peranan agama-agama non-Kristen dalam rencana keselamatan universal Allah. 33 Ketika Eropa mulai melakukan ekspansi ke benua-benua baru, sekitar abad ke-16 dan 17, terjadilah perjumpaan yang intens antara Kristen dengan agama-agama lain. Pada 1510 kekeristenan masuk ke Goa, pada tahun yang sama juga sampai ke Congo. Kemudian, Fransiskus Xaverius tiba di Jepang pada 1549. Perjuampaan Kristen dengan agama dan kebudayaan lain membuat para misionaris, menurut penulis mereka terpaksa, mengambil sikap
32
Armada Rianto, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius,
1995), h. 23-24. 33
Rianto, Dialog Agama, h. 24.
22
toleran 34 dan merangkul agama dan kebuadayaan pribumi. Tokoh-tokoh seperti Matteo Ricci di China, Valignano di Jepang, dan De Nobili di India merupakan tokoh-tokoh yang mengambil sikap positif dan menegaskan bahwa iman Kristen tidak eksklusif dan tidak mengucilkan apa yang baik dan suci dari agama serta budaya lain. Sikap positif Gereja Katolik terhadap agama-agama lain ditegaskan pula oleh Kongregasi untuk Penyebaran Iman (Propaganda Fide, berdiri pada 1622) dalam surat, dibuat pada 1659, yang memuat norma-norma bagi para Uskup Eropa yang menadapat tugas memimpin Gereja-Gereja Asia. Norma-norma tersebut berbicara mengenai desakan untuk tidak memaksa masyarakat pribumi mengubah ritus-ritus asli, kebudayaan, dan cara-cara hidup khas mereka, kecuali jelas-jelas bertentangan dengan agama dan moral. Ditegaskan pula agar tidak memunculkan budaya baru seperti (sinkritisme) Prancis-China, Spanyol-Philipina, dan Portugis-Indonesia. Budaya-budaya asli patut dipertahankan dan dilestarikan kerena mengarah pada benih-benih keselamatan. 35
34
Tolerant atau dalam bahasa Latin Tolerantis berasal dari kata Tolero. Berarti kemampuan
untuk menahan terhadap/ dapat menerima. Toleransi yang dimaksud adalah kecenderungan untuk sabar menghadapi/ tahan terhadap keyakinan orang lain yang berbeda-beda. Jadi, menurut penulis, walaupun tidak ada penerimaan terhadap keyakinan orang lain. Namun masih ada sikap menerima (selain konsep teologis) dan kesediaan bekerja sama dengan umat agama lain. Lih Philip Babcok Gove, ed., The New Grolier Webster’s International Dictionary of The English Language, Vol II (Massachusetts: G & C. Merriam Company Publishers, 1960), h. 1035. 35
Rianto, Dialog Agama, h. 24-25.
23
Sikap positif ini kemudian meluntur ketika praktek kolonialisme dilancarkan, salah satu usahanya ialah mengganti kebudayaan pribumi dengan kebudayaan Eropa, termasuk agama sehingga pewartaan misionaris identik dengan invasi kubudayaan Eropa. Ditambah lagi dengan muculnya aliran/ordo Yansenisme yang mempropogandakan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan, dikenal dengan istilah Extra Ecclesiam Nulla Salus yang mendapat simpati luas pada abad ke-18 hingga 19 36. Dengan demikian, sikap eksklusivisme Gereja Katolik muncul sekitar abad 18-19 M. Namun menurut Harold Coward, pertikaian Arius dan Athanasius mengenai hakikat hubungan antara Allah dan Yesus, yang dimenangkan oleh Athanasius, bahwa Yesus adalah penjelmaan sejati satu-satunya, merupakan puncak sikap tertutup dan eksklusif agama Kristen, sebelumnya sikap tersebut telah dimulai pada masa Gnostik (abad ke-2). 37 Adapun John Hick berpandangan bahwa, sikap eksklusivisme merupakan fase awal dari perkembangan sikap Kristen terhadap agama-agama lain, ditandai dengan adanya Konsili Florence (1438-1445) yang menyatakan bahwa “tidak ada seorang pun yang berada di luar Gereja Katolik dapat menjadi bagian di dalam kehidupan abadi tetapi mereka akan pergi ke dalam
36 37
Rianto, Dialog Agama, h. 25. Harold Coward, Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama, terj. Bosco Carvallo
(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 84-85.
24
api kekal yang disiapkan untuk setan dan pengikutnya kecuali jika sebelum akhir hidupnya mereka menjadi anggota Gereja.” 38 Jadi ada tiga pendapat mengenai awal mula sikap eksklusif Kristen terhadap agama-agama lain, pertama, dimulai pada abad pertengahan ketika Bangsa Eropa mulai mempraktekkan Kolonialisme (abad ke-16, namun secara intens terjadi pada abad 18-19), Kedua, dimulai sejak awal perkembangan agama Kristen ketika berjumpa dengan filsafat Yunani (abad ke-2), dan ketiga, sejak diadakannya Konsili Florence pada abad ke-15. Meskipun demikian, menurut Armada Rianto, pendapat pertama mengenai awal mula sikap eksklusif Kristen dipertegas dan diperkuat oleh pernyataan bahwa extra ecclesiam nulla salus adalah ungkapan yang berasal dari Santo Cyprianus (abad ke-3) yang sebenarnya bersifat apologetik dan bukan eksklusif, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ungkapan tersebut disalahartikan. Sesungguhnya ungkapan Cyprianus tersebut ditujukan kepada baptisan yang diberikan oleh para bidaah (yang memisahkan dari dari Gereja yang benar). Ditegaskan bahwa baptisan para bidaah itu sesat dan tidak membawa kepada keselamatan. Hanya melalui Gereja Katolik yang membawa keselamatan, “baptisan” di luar Gereja tidak ada keselamatan. Pandangan tersebut bertolak dari pemikiran bahwa Gereja merupakan “bahtera” Nuh yang menyelamatkan para penghuni di dalamnya, yang memisahkan diri dengan sendirinya juga menjauhkan diri dari keselamatan. 38
John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf dan Taufik Aminuddin
(Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 2006), h. 23-24.
25
Pernyataan serupa juga disampaikan Santo Agustinus yang menyatakan bahwa “di luar Gereja Katolik ada apa saja, kecuali keselamatan.” Pandangan tersebut semakin meluas sejak disebarluaskan oleh murid Santo Agustinus, Uskup Fulgentius (467-533). 39 Menurut John Hick, doktrin extra ecclesiam nulla salus menekankan bahwa hanya orang Katolik yang dapat diselamatkan. Meskipun demikian, orang-orang yang bukan Katolik secara metafisis adalah Katolik sebab mereka mungkin mempunyai iman implisit sebagai ganti iman yang eksplisit. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Sri Paus Pius XI pada 1854, sebagai berikut:
tentu saja itu harus dipegang sebagai persoalan iman bahwa di luar Gereja kerasulan Roma tidak seorang pun dapat diselamatkan, serta bahwa Gereja menjadi satu-satunya perahu keselamatan dan siapa pun yang tidak memasukinya akan binasa dalam banjir. Pada sisi lain, harus diyakini sebagai hal khusus bahwa siapa pun yang dipengaruhi oleh ketidakmengertian akan agama yang benar bukanlah orang yang harus menanggung kesalahan dari permasalahan ini di hadapan Tuhan jika itu merupakan ketidakmengertian yang tidak terelakkan. 40
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa, umat agama lain selain Kristen yang tidak mengenal karya penyelamatan Yesus karena informasi mengenai Dia tidak sampai pada mereka, secara tidak sadar atau secara implisit adalah Kristen. Hal ini akan kembali dipertegas oleh Rahner dengan istilah “Kristen Anonim.”
39
Rianto, Dialog Agama, h. 26.
40
Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, h. 26-27.
26
Menurut Walter Kasper bahwa ungkapan extra ecclesiam nulla salus pada awalnya tidaklah eksklusif. Ungkapan tersebut hanyalah sebagai “pagar” bagi kesatuan dan persatuan umat Kristen yang pada masa itu mulai goyah. Dengan kata lain ungkapan extra ecclesiam nulla salus digunakan untuk mencegah keluarnya umat Kristen dari ajaran yang benar (Gereja Katolik) dan untuk meyakinkan kesesatan pandangan-pandangan para bidaah dan kaum gnostis. Diketahui bahwa pada masa itu Bapa Gereja hanya mengenal satu Gereja yang benar, Gereja Katolik. Adapaun Fulgentinus adalah Uskup Rospe, Afrika Utara dan murid setia Santo Agustinus yang dikenal sebagai penentang kuat aliran sesat Arianisme. Kemudian pada 1442 dalam Konsili Florence ungkapan extra ecclesiam nulla salus pertama kali, dalam dokumennya, ditujukan kepada orang kafir atau, secara khusus, orang yang sesat dalam beriman Kristen sebagai apologetika, bukan kepada orang beragama lain. 41 Dengan demikian wajar jika ungkapan tersebut dimunculkan. Namun, seperti yang telah disebutkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, ungkapan tersebut disalahartikan. Penafsiran mengenai di luar iman Kristus atau bahkan di luar Gereja Katolik tidak ada keselamtan semakin meluas, terutama setelah ditemukannya benua-benua baru sekitar abad ke-15. Oleh karena itu, para misionaris meyakini bahwa memenangkan jiwa-jiwa yang dipandang celaka karena tidak mengenal Kristus merupakan tugas mulia.
41
Rianto, Dialog Agama, h. 26-27.
27
Menurut Aloysius Pieris bahwa semangat misionaris pada waktu itu bukanlah eksklusif, akan tetapi lebih kepada kesadaran dan tanggung jawab besar terhadap keselamatan orang kafir dan tidak bersifat negatif bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Dengan begitu dasar pewartaan para misionaris adalah berdasarkan cinta kepada Kristus dan kemiskinan rohani orang-orang kafir. 42 Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama lain sebelum Konsili Vatikan II adalah bersahabat dan toleran, meskipun ada ungkapan bahwa umat non-Kristen, walaupun tidak mengenal Yesus dan Gerejanya bukan karena kesalahan mereka, memiliki keterarahan pada Kristus (inklusivisme). Munculnya ungkapan extra ecclesiam nulla salus pada awalnya dimaksudkan untuk membentengi kesatuan dan persatuan umat Kristen yang pada masa tersebut mulai goyah akibat munculnya para bidaah yang digolongkan sebagai kaum gnostis. Seiring dengan jalannya waktu, terjadi salah penafsiran terhadap ungkapan tersebut, terutama ketika ditemukannya benua-benua baru dan kolonialisme, menjadi tidak ada keselamatan pada agama-agama lain. Hal ini berlangsung hingga Konsili Vatikan II yang merubah sikap eksklusivisme Gereja menjadi lebih terbuka terhadap agam lain, inklusif.
42
Rianto, Dialog Agama, h. 27.
28
2. Pasca Konsili Vatikan II Sikap Gereja terhadap agama-agama lain pasca Konsili Vatikan II tidak jauh berbeda dari apa yang dirumuskan dalam Nostra Aetate seperti yang terungkap dalam NA 2:
Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama. Gereja memandang dengan penghargaan yang tulus cara hidup dan cara bertindak, peraturan dan ajaran agama-agama itu, yang biarpun dalam hal banyak berbeda dengan apa yang dipahami dan diajarkan Gereja, toh tidak jarang memantulkan cahaya Kebenaran, yang menerangi semua manusia.” 43
Penilaian teologis mengenai tradisi agama-agama berangkat dari prinsip bahwa semua manusia diselamatkan oleh dan dalam Kristus. Berikut adalah beberapa ayat yang berbicara mengenai hal tersebut:
Allah menghendaki semua manusia diselamatkan. Rencana keselamatan Allah itu sudah mulai sejak awal penciptaan. Sebab penciptaan sendiri merupakan pencetusan awal keselamatan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, janji keselamatan Allah kepada semua manusia diwartakan. Dan janji keselamatan Allah itu terpenuhi dalam diri Kristus. Allah Putra yang menjelma menjadi manusia. Yesus Kristuslah Sang Penyelamat satu-satunya yang dengan wafat di salib menuntaskan karya penyelamatan Allah bagi manusia. Yesus Kristus mati di salib sebagai tebusan bagi semua orang. (1 Tim 2:3-7)
43
Lih Riyanto, Dialog Agama, h. 83, dan Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana
(Jakarta: Yayasan Obor, 1993), h. 310, dan Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama (Ende: Arnoldus Ende Flores, 1966), h. 32.
29
“Maka Kristus adalah Penebus dan Penyelamat bagi semua orang.” (Kis 2:38; 4:12; 10:43)
Dalam Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal terbitan Lembaga Alkitab Indonesia 44 disebutkan bahwa “…Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia.” (1 Tim 2: 5-6) dan dalam Kisah Para Rasul pasal 4 ayat 12 yang menyatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, menurut penulis, adalah tanda bahwa sebenarnya Allah menginginkan semua manusia selamat melalui peran Kristus. Akan tetapi, tidak semua manusia mengenal Kristus sebagai penyelamat, sehingga Kasih Allah yang universal bertentangan dengan peran Yesus yang partikular. Hal tersebut memicu perdebatan di kalangan teolog Kristen. Inilah yang berusaha dijawab oleh Gereja Katolik Roma dengan teori “iman implisit” atau “Kristen Anonim” Karl Rahner.
Gereja memandang setiap tradisi-tradisi keagamaan merupakan ungkapan hasil rahmat Allah. Sebagaimana yang diajarkan oleh Bapa Gereja, seperti Ireneus dan Clemens dari Alexandria yang meyakini bahwa Allah juga menyatakan diri-Nya di luar kekeristenan. Namun pernyataan Allah tersebut tidak sempurna seperti dalam kesempurnaan iman Kristen. Sebab Kristus adalah pemenuhan definitif Wahyu Allah, maka tradisi-tradisi keagamaan memiliki keterarahan kepada Kristus. 45
44
Lih Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal, cet ke-3 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia,
2008), h. 319. 45
Riyanto, Dialog Agama, h. 84-85.
30
Inilah yang disebut oleh Karl Rahner sebagai Kristen Anonim atau dalam istilah Gereja “Iman implisit”, yaitu iman yang disatu pihak perlu bagi keselamatan ̶ sejauh memenuhi syarat yang dituntut pembenaran dan keselamatan kekal, yaitu pengharapan dan cinta kasih kepada Tuhan dan manusia ̶ tetapi dilain pihak iman itu tercetus tanpa hubungan eksplisit dan sadar atas imannya kepada Kristus. 46 Dengan kata lain iman implisit adalah kesaksian atas Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa pengakuan Kristus sebagai juru selamat. Istilah imam implisit atau Kristen anonin tidak tertulis dalam dokumen-dokumen konsili Vatikan II, akan tetapi istilah tersebut tersirat dalam beberapa dokumennya, antara lain: Lumen Gentium, seterusnya disingkat menjadi LG (konstitusi dogmatik tentang Gereja) 13, mengenai hubungan antara Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi seluruh manusia dengan agama-agama lain pada umumnya, LG 16, tentang keterarahan mereka yang belum menerima Injil kepada Umat Allah yang baru dalam Kristus sebagai kepalanya, LG 17, berisi penetapan Kristus sebagai dasar penyelamatan seluruh dunia oleh Allah di satu pihak dan semakin tidak sedikit/banyak manusia yang belum mengenal Kristus di pihak lain, Gaudium et Spes (konstitusi pastoral tentang Gereja dalam dunia modern) 22, tentang partisipasi semua manusia dalam misteri Paskah Kristus, dan Nostra Aetate (deklarasi hubungan Gereja dengan agama bukan Kristen) 2 yang berisi 46
Riyanto, Dialog Agama, h. 86-87, Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, h. 30, dan Knitter,
Satu Bumi Banyak Agama, h 39.
31
mengenai nilai-nilai keselamatan yang hadir dalam tradisi-tradisi keagamaan lain. 47 Dengan demikian Gereja mengakui bahwa iman implisit atau Kristen anonim dapat menjadi syarat yang cukup untuk keselamatan. Sebab mereka yang bukan karena kesalahnnya sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati yang tulus mencari Allah, serta karena terdorong oleh rahmat dengan perbuatan mereka berusaha memenuhi kehendak Allah yang dikenal melalui suara hatinya, mereka itu dapat memperoleh keselamtan abadi. Sungguh apa yang benar dan baik dari agamaagama lain dipandang oleh Gereja sebagai persiapan akan Injili. 48 Istilah “persiapan Injili” (preparation Evangelica) pertama kali dicetuskan oleh Eusebius dari Cesarea yang dimaksudkan sebagai paham mengenai apa-apa yang baik, benar, dan suci dari agama-agama lain. Persiapan Injili adalah ide-ide yang baik dan benar mengenai Allah, jiwa manusia serta kebenaran-kebenaran yang ditampilkan dalam berbagai ritual keagamaan. Persiapan Injili merangkum pengertian dan praktik hubungan antara Allah dengan manusia serta hubungan antara manusia yang dikatakan dapat menjadi persiapan yang tepat untuk wahyu Injili. Persiapan Injili juga mencakup keyakinan-keyakinan bahwa sejarah manusia selalu ada dalam bimbingan Allah. Allah mendidik manusia dalam sejarahnya agar manusia siap menerima Wahyu Kristus. Agama-agama lain 47
Riyanto, Dialog Agama, h. 86.
48
Riyanto, Dialog Agama, h. 91.
32
disebut sebagai persiapan akan Injili, bila sejauh agama tersebut mengajarkan ajaran-ajaran yang membuat para pemeluknya terbuka akan kebenaran Injil. 49 Oleh karena itu, Gereja mengajak umatnya agar melalui dialog dan kerja
sama
dengan
para
penganut
agama
lain,
memelihara
dan
mengembangkan hal-hal yang baik, spiritual dan moral, maupun nilai-nilai sosio-kultural yang terdapat di kalangan orang-orang tersebut. Gereja pun berusaha membina dan memelihara hubungan baik dengan kepercayaankepercayaan lain demi kepentingan seluruh umat manusia, mengutuk keras tindakan diskriminasi kepada siapa pun, karena hal itu bertentangan dengan semangat Kristus. 50 Dari keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sikap Gereja terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II lebih terbuka, dialogis dan telah benar-benar menghilangkan sikap eksklusif mereka. Hal tersebut ditandai dengan dikeluarkannya dokumen Nostra Aetate yang berisi sikap Gereja terhadap agama non-Kristen. Jika diperhatiakn, sikap toleran Gereja terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II tidak jauh berbeda dari sebelumnya . Kristus merupakan kepenuhan dari agama
-agama lain , dengan kata lain ,
agama-agama yang bukan Kristen ̶ walaupun eksistensinya diakui oleh Gereja ̶
49 50
memerlukan Kristus sebagai jalan Final menuju keselamatan,
Riyanto, Dialog Agama, h. 92. Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama
Bukan Kristen, Kebebasan Beragama, h. 32-37.
33
meskipun mereka tidak menyadari kehadiran Kristus sebagai iman implisit maupun sebagai Kristen anonim.
BAB III PAUL F. KNITTER
A. Riwayat Hidupnya Paul F. Knitter lahir pada 25 Februari 1939 di Chicago. 1 Pada usianya yang ke-13, ia mulai menjalani kehidupan kependetaan Katolik. Pada tahun 1958 setelah empat tahun belajar di seminari ditambah dua tahun novisit, Knitter resmi menjadi anggota “Divine Word Missionaries” (SDV, singkatan dari Societas Verbi Divini) sebagai seorang misionaris. Hal tersebut merupakan fase awal dari kehidupannya yang dipengaruhi oleh keberadaan agama lain terutama setelah ia mempelajari “adaptasi misioner”, yaitu proses mencari titik persamaan agama Kristen dengan agama lain 2 sebagai langkah awal misi pertobatan. Setelah meraih gelar sarjana muda filsafat dari Divine Word Seminary pada 1962, ia mulai merasakan bahwa model Kristen yang eksklusif sebagai terang dan agama lain sebagai kegelapan tidak sesuai dengan kenyataannya. 3 Knitter melanjutkan studinya di Pontifical Gregorian University, Roma, pada 1962, bertepatan dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II 11 Oktober 1962. Pada 1965 Karl Rahner menjadi guru besar tamu di Universitas Gregorian
1
Paul F. Knitter, artikel
diakses pada 03 Juni 2010 dari situs resmi
Union Theological Seminary New York, http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381 2
Bagi Knitter adaptasi missioner merupakan langkah awal untuk mengakui nilai-nilai
positif dari agama-agama lain. Hal ini, pada perkembangan selanjutnya, sangat mempengaruhi perspektif teologisnya. 3
Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 4-6, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi
Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 29-31.
34
35
tempat Knitter menuntut ilmu. Melalui gagasan-gagasan Rahner, sikap teologis Knitter terhadap agama lain mulai bergeser dari eksklusivisme menjadi lebih terbuka terhadap agama lain, inklusivisme. Setelah memperoleh gelar lisensiat bidang teologi di Roma (1968), ia melanjutkan studi ke Universitas Münster, Jerman (1972) dibawah bimbingan Karl Rahner dengan tesis berjudul “Sikap Katolik Terhadap Agama-Agama Lain”. Karena ada kesamaan judul dengan disertasi orang lain di Roma, ia disarankan untuk menulis hal yang sama dalam sudut pandang Protestan Kontemporer. Akhirnya Knitter pindah ke Universitas Marburg, Jerman (1972) di bawah bimbingan Prof. Carl Heinz Ratschow, Penasehat bantuan dari Prof. Rudolf Bultman, dengan judul disertasi “Menuju Suatu Teologi Agama-Agama Protestan”. Hal tersebut menjadikannya sebagai orang Katolik Roma pertama yang mendapatkan gelar Doktor Teologi dari Departement of Protestant Theology dari University of Marburg. 4 Pada 1972 Knitter mulai mengajar mata kuliah teologi agama-agama di Teologi Union Katolik (Catholic Theological Union), Chicago, sebagai asisten profesor studi doktrinal. Pada 1975 ia keluar dari SDV dan pindah ke Universitas Xavier, Cincinnati, Ohio dan mengajar studi yang sama. Dari mata kuliah yang diajarkannya dan perjumpaan dengan orang beragama lain yang lebih baik dari orang Kristen yang dikenalnya, Knitter merasakan jembatan Rahner mulai goyah.
4
Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 6-8, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h.
31-34. dan Paul F. Knitter, http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
36
Oleh karena itu ia mulai mencari pedoman/perspektif baru dalam memandang “sesuatu yang religius” di luar teori Kristen anonim Rahner. Di antara sekian banyak pedoman yang dipercaya dan berani yang digunakannya tercermin dalam dua tokoh, Raimundo Panikkar dan Thomas Merton sebelum akhirnya ia membaca buku Hans Küng, On Being a Christian (1976). Menurt Knitter, kritik Küng terhadap teori Kristen anonim telah membuatnya keluar dari jembatan Rahner, akan tetapi ia tidak sependapat dengan Küng, dan itu dianggapnya salah, ialah mengenai finalitas Kristus. Pada 1985 Knitter menulis buku No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions sebagai survei kritis atas sikap Kristen. Sebelumnya pada 1984 ia dan istrinya, Cathy, menjadi anggota “Santuary Movement”, yaitu suatu organisasi oikumenis dari berbagai gereja dan sinagoge yang memberi bantuan dan tempat perlindungan bagi para pengungsi korban perang El Savador, Amerika Tengah. Dari kegiatan organisasi ini, Knitter mengunjungi El Savador dan Nikaragua dengan membawa misi kemanusiaan. Di sana ia menyaksikan langsung bagaimana penderitaan yang dialami masyarakat El Savador. Oleh karena itu, bagi Knitter teologi pembebasan bukan saja sebagai “metode baru”, tetapi suatu pemahaman baru tentang agama dan kesetiaan sebagai murid Yesus dengan mendahulukan mereka yang tertindas sebagai tuntutan. Hal ini berpengaruh terhadap cara berteologinya di mana ia tidak dapat menjalankan teologi agama-agama kecuali ada kaitannya dengan teologi pembebasan. 5
5
39.
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 8-12, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 34-
37
Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agamaagama dan teologi pembebasan yang ia sebut sebagai teologi korelasional yang bertanggung jawab secara global. Hal ini membuat Harvey Cox memberikan apresiasi penuh terhadap langkah Knitter dalam menyatukan teologi yang tampak berbeda tersebut, bahwa keprihatinan terhadap mereka yang menderita (Suffering Others) dan terhadap mereka yang berkeyakinan lain (religious Others) merupakan keprihatinan bersama, keduanya saling membutuhkan dan akan timpang dan tidak efektif jika salah satunya ditiadakan. 6 Hal tersebut mempengaruhi tulisannya, Toward a Liberation Theology of Religions, dalam buku yang ditulis Knitter bersama John Hick dan beberapa teolog untuk melihat sejauh mana pengaruh pluralisme di antara para teolog Kristen dengan judul The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic Theology of Religions (1987). 7 Sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun CRISPAZ (Umat Kristen untuk perdamaian di El Savador), Knitter aktif dalam berbagai kelompok perdamaian dan keadilan di Cincinnati. Ia telah mengunjungi El Savador dan Nikaragua selama musim panas 84, 85, 86, 88, 90, 91 dan Januari 95, 96 untuk mempelajari situsi politik dan kehidupan gereja-gereja disana. 8 Pada 1991 Knitter mengunjungi India selama lima bulan cutinya. Di sana ia menemukan bahwa dialog dan pembebasan harus merupakan dua segi dari
6
Harvey Cox dalam “Pengantar”, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h.
7
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 11-12, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39.
8
Paul F. Knitter, http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
14-15.
38
agenda yang sama. Hal ini telah berlangsung di India, diantara umat Hindu, Kristen dan Muslim yang bersatu memerangi penindasan selama berabad-abad. Disamping hal tersebut, ia juga belajar bahwa penderitan bukan hanya meliputi manusia, tetapi semua makhluk lainnya termasuk bumi. Senada dengan Hans Küng mengenai etika global, bahwa keprihatinan bagi suatu dialog harus dipadukan dengan keprihatinan terhadap keadilan. Dengan kata lain, dialog antaragama harus memasukkan masalah etis di balik penderitaan manusia dan bumi sebagai agenda yang paling mendesak. 9 Pada 2002 Knitter menjadi Profesor Emeritus Teologi di Xavier University sebelum ia bergabung dengan Uni Theologi Seminary, New York pada 2007. Sebagian besar penelitian dan tulisan Knitter berkaitan dengan pluralisme agama dan dialog antar-agama. Sejak menulis buku No Other Name? (1985), Knitter telah menjelajahi bagaimana
komunitas
beragama
di
dunia
dapat
bekerja
sama
dalam
mempromosikan kesejahteraan manusia dan ekologi, hal tersebut ia tuangkan dalam buku One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue & Global Responsbility (1995) dan Jesus and the Other Names: Christian Mission and Global Responsibility (1996), dan survei kritis tentang pendekatan Kristen terhadap agama lain: Introducing Theologies of Religions ( Orbis Books, 2002). Pada 2005, Knitter mengedit buku mengenai eksplorasi antar-agama dengan The Myth of Religious Superiority (Orbis Books). Saat ini proyek tulisannya
9
42.
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 14-15, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39-
39
dijadwalkan dipublikasikan pada awal tahun 2009, adalah Without Buddha I Could Not Be A Christian: A Personal Journey of Passing Over and Passing Back. 10
B. Karya-karyanya Karya-karya intelektual Knitter yang berupa buku kurang lebih berjumlah 15 buah, sedangkan yang berbentuk artikel berjumlah sekitar 53 11. Karya-karya intelektual Paul F. Knitter yang terpenting terutama yang berkaitan dengan pluralisme dan dialog antar-agama adalah, Towards a Protestant Theology of Religions (1974), merupakan karya pertama Knitter yang berupa disertasi mengenai teologi agama-agama dalam sudut pandang Protestan. Hal ini menjadikannya sebagai orang Katolik pertama yang mendapatkan gelar Doktor Teologi dari Departement of Protestant Theology dari University of Marburg. Selain itu, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions (1985) juga termasuk karya monumentalnya, merupakan survey kritis mengenai sikap Kristen terhadap agama-agama lain. Buku ini ditulis setelah Knitter merasa perlu dan harus melampaui inklusivisme Rahner dan Küng. Ada pun The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic Theology of Religions (1987), merupakan kumpulan tulisan mengenai tinjauan para teolog terhadap pluralisme. Buku ini diedit oleh Kintter dan John Hick, ia
10
Paul F. Knitter, artikel diakses pada 03 Juni 2010 dari
http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381 11
Untuk lebih jelas, lih Paul F. Knitter, dalam Union Theological Seminary of New York
http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
40
sendiri menulis dalam buku tersebut sebuah judul, yaitu “Toward Liberation of Religions” yang merupakan konsep awal teologi korelasional dan bertanggung jawab global, perpaduan antara teologi agama-agama dengan teologi pembebasan. Pada 1990, Knitter menulis sebuah buku yang berjudul Buddhist Emptiness and Christian Trinity Essays and Explorations (1990). Buku tersebut merupakan editan Knitter bersama Roger Corless. Pada tahun yang sama ia bersama John B. Cobb, Jr., Monika Hellwig, dan Leonard Swidler menulis buku yang berjudul Death or Dialogue: From the Age of Monologue to the Age of Dialogue (1990), yang berisi tentang perkembangan dan pentingnya dialog antaragama. Selain itu, ia juga menulis mengenai pluralisme dan tantangan terhadap teologi agama-agama yang dikarang oleh beberapa teolog dengan judul Pluralism and Oppression: Theology in World Perspective (1990) diedit oleh Knitter pada tahun yang sama. Buku Knitter yang cukup populer, diterbitkan dalam berbagai bahasa, salah satunya berbahasa Indonesia adalah One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue and Global Responsibility (1995). Buku tersebut diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia pada 2008 dengan judul Satu Bumi Banyak Agama: Dialog MultiAgama dan Tanggung Jawab Global. Buku ini berisi mengenai hubungan antar agama yang tidak hanya pada tataran intelektual dan spiritual, akan tetapi berbagai agama yang berbeda bersama-sama menaggapi penderitaan eko-manisiawi dalam praksis pembebasan, dimulai dengan dialog yang korelasional. Selanjutnya Jesus and the Other Names: Christian Mission and Global Responsibility (1996), merupakan tantangan kristologi Kristen mengenai misi dan
41
respon Gereja/Kristen terhadap dunia global. Buku ini merupakan kelanjutan dari One Earth Many Religions dan lebih menitikberatkan pada masalah kristologi. Diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Menggugat Arogansi Kekeristenan oleh penerbit Kanisius, 2005. Setahun kemudian, Leonard Swidler dan Paul Mojzes menjadi editor buku The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul Knitter (1997), buku ini berisi tentang lima Thesis Knitter terhadap keunikan Yesus beserta tanggapan dari para teolog. Pada 2005, Knitter mengedit buku mengenai eksplorasi antar-agama dengan dengan judul The Myth of Religious Superiority. Karya terakhir Knitter sebelum ia mengeluarkan buku Without Buddha I Could Not Be A Christian: A Personal Journey of Passing Over and Passing Back pada awal 2009 adalah Introducing Theologies of Religions (2002). Buku tersebut merupakan revisi dari No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions (1985), berupa deskripsi mengenai model sikap Kristen terhadap agama-agama lain dengan tambahan satu model baru yang disebut model pemenuhan (teologi korelasional).
BAB IV TEOLOGI KORELASIONAL DAN TANGGUNG JAWAB GLOBAL
Pada bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana pergeseran paradigma teologi Knitter, diawali dengan paradigma eksklusif dengan perspektif kristologi eklesiosentris ketika ia bergabung dengan SDV, kemudian inklusifkristosentris, dan akhirnya pluralis yang teosentris saat pengaruh mereka yang berkeyakinan lain dan mereka yang menderita semakin kuat. Namun menurut Knitter, pergeseran tersebut belum memadai dan harus dilanjutkan. Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agama-agama dan teologi pembebasan, yang disebut sebagai teologi korelasional dan tanggung jawab global. Hal ini membuat Harvey Cox memberikan apresiasi penuh terhadap langkah Knitter dalam menyatukan teologi yang tampak berbeda tersebut, bahwa keprihatinan terhadap mereka yang menderita (Suffering Others) dan terhadap mereka yang berkeyakinan lain (religious Others) merupakan keprihatinan bersama, keduanya saling membutuhkan dan akan timpang dan tidak efektif jika salah satunya ditiadakan. 1 Alasan Knitter menggabungkan teologi agama-agama dengan teologi pembebasan adalah pertama, agama berperan penting dalam menghasilkan 1
Harvey Cox dalam “Pengantar”, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M.
Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 14-15.
42
43
transformasi sosial dan politik. Pembebasan ekonomi, politik, dan sosial merupakan tugas yang sangat berat bagi satu bangsa, budaya, maupun agama. oleh karena itu, gerakan pembebasan membutuhkan bukan hanya satu agama, tetapi berbagai agama dalam suatu kerja sama lintas budaya, antar agama dalam praksis pembebasan. Kedua, dialog antar agama tidak hanya terjadi di tataran teologis. Namun juga mengharapkan aksi berbagai agama terhadap penderitaan yang dialami manusia, seperti kemiskinan dan ketidakadilan, serta terhadap penderitaan bumi yang diakibatkan oleh ulah manusia sendiri 2. Adapun
unsur-unsur
penting
dalam
teologi
korelasional
dan
bertanggungjawab secara global yang penulis bahas adalah pemahaman tentang agama-agama lain, pemahaman tentang kesetiaan kepada Kristus dan titik temu (konvergensi) agama-agama, kesemuanya itu berujung atau tertuju pada dialog antaragama dan tanggung jawab global.
A. Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain Salah satu tugas yang paling mendesak yang dihadapi teologi Kristen hari ini adalah memberikan laporan tentang eksistensi dan vitalitas baru dari agama -agama lain ̶ dengan kata lain , suatu teologi agama-agama dunia. Jika peran teologi adalah untuk memfokuskan terang Kitab Suci dan tradisi sejarah berlangsung pada pengalaman manusia, maka pengalaman baru dari pluralisme agama menuntut 2
Paul F. Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, dalam John Hick & Paul F.
Knitter, ed. Mitos keunikan Agama Kristen (Jakarta: PT PBK Gunung Mulia, 2001), h. 276-279.
44
semacam interpretasi terhadap kekristenan. 3 Untuk itulah, Knitter berusaha menafsir ulang doktrin-doktrin Kristen agar dapat “berjalan bersama” dengan agama lain. Sebelum membahas perspektif Knitter terhadap agama-agama lain, ada baiknya penulis mendeskripsikan secara ringkas beberapa model teologi agamaagama Kristen menurut Knitter. Dalam perspektif teologis Kristen terhadap agamaagama lain (teologi agama-agama), Knitter membagi empat model pendekatan, yaitu: 1. Model Penggantian Model penggantian menghormati perbedaan yang ditemui dalam agama-agama lain, namun tujuannya menghilangkan dan menggantikannya dengan tradisi Kristen (eksklusivisme). Agama Kristen diciptakan untuk menggantikan semua agama lain. Sikap ini juga dominan dan pada umumnya dianut sepanjang sebagian besar sejarah agama Kristen. Di dalam model ini, Allah menghendaki hanya satu agama, yaitu agama Kristen. Kasih Allah memang universal untuk semua orang, namun kasih itu diwujudkan melalui komunitas Yesus Kristus yang partikular dan singular. Model ini terutama dianut oleh komunitas Kristen beraliran Fundamentalisme atau Evangelikalisme. 4 Dalam menganalisis model penggantian, Knitter membaginya ke dalam dua bagian, penggantian total dan parsial. 3
Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World
Religions (Maryknoll: Orbis, 1985), h. 17. 4
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), h. 21.
45
a. Penggantian Total Model ini menganggap bahwa ada yang kurang, atau menyimpang, di dalam agama-agama lain. Dengan kata lain, tidak ada nilai dalam agama-agama lain. Sikap semacam ini masih dianut oleh banyak gereja fundamentalis dan sebagian gereja Pentakosta. 5 Salah satu tokohnya adalah Karl Barth 6 (1886-1968). Model penggantian total menganggap bahwa di dalam agamaagama lain tidak ada nilai, tidak ada kehadiran Allah. Agama-agama lain dianggap buatan manusia sehingga menjadi penghalang, 7 bukan 5 6
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 25. Dasar pemikiran Barth tertuang dalam perkataannya “Biarlah Tuhan menjadi Tuhan – di
dalam Yesus Kristus”. Ia berpendapat bahwa berdasarkan kitab-kitab Injil dan surat-surat Santo Paulus, manusia tidak sanggup bertindak sendiri tanpa Allah. Agar hal itu dimungkinkan, manusia harus membiarkan Allah menjadi Allah. Bagi Barth, hal tersebut terkandung dalam Perjanjian Baru, khususnya yang diberitakan Santo Paulus dan para Revormator yang dijelaskan dalam empat “hanya”, yaitu: pertama, “Kita diselamatkan hanya oleh rahmat”. Menurut Barth, ketika kejatuhan manusia (dosa asal), manusia akan selamanya menderita kecuali ia mengakui adanya satu “Kekuasaan yang Lebih Tinggi”, disebut rahmat; kedua, “Kita diselamatkan hanya oleh iman”, agar bias menerima rahmat, kita harus mundur, keluar dari jalan yang salah, dan mengakui ketidakmampuan kita menuntun kehidupan kita sendiri. Namun, hal ini bisa dilakukan hanya kalau percaya; ketiga, “Kita diselamatkan hanya oleh Kristus”, dan keempat, “Kita diselamatkan hanya oleh firman Tuhan”. Dengan begitu, hanya umat Kristen lah yang selamat dari penderitaan karena telah memenuhi syarat empat “hanya” di atas. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 26-27. 7
Menurut Barth, semua agama pada dasarnya sama yaitu, sama-sama menghalangi yang
Ilahi, termasuk Kristen. Karena agama adalah ketidakpercayaan, tepatnya di dalam agama dan karena agama, manusia tidak percaya dan tidak membiarkan Allah menjadi Allah di dalam Kristus. Jadi tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa Kristen lebih baik dari pada yang lain. Akan tetapi,
46
saluran, kasih Allah. Dalam istilah teologi, tidak ada wahyu maupun keselamatan di dalam agama-agama lain. Atas dasar itu umat Kristen, dengan model penggantian total, tidak memungkinkan untuk berdialog dengan agama-agama lain, bahkan Barth melarang para misionaris mencari titik temu di dalam agama-agama lain. Kalau pun ada, dialog antara umat Kristen dengan umat beragama lainnya hanya berupa usaha memahami agama-agama lain secara mendalam agar bisa menggantikan agama-agama itu dengan agama Kristen. 8 Dalil yang sering digunakan untuk memperkuat paham mereka adalah : “dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis 4; 12). “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:16). 9
menurut Barth, Kristen merupakan agama yang benar karena merupakan satu-satunya agama yang sadar akan kepalsuan dirinya dan juga tahu betul bahwa umatnya diselamatkan melalui Yesus Kristus. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 28-29. 8
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 29
9
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 29-31.
47
b. Penggantian parsial Model ini lebih halus dalam memandang agama-agama lain, perbedaannya dengan pergantian total terletak pada masalah wahyu. Menurut mereka yang beraliran penggantian parsial bahwa wahyu Allah ada dan tersebar dalam agama-agama lain yang disebut sebagai “wahyu/ rahmat penciptaan” atau “wahyu umum”. Jadi dalam model ini, agama-agama lain bukan “buatan manusia”, seperti yang dikatakan Barth, tetapi agama-agama lain itu dikehendaki oleh Allah, mereka adalah “wakil” Allah, “alat” Allah di mana Allah menjalankan rencana ilahinya. Dengan kata lain, Allah berbicara kepada umat beragama lain melalui agama mereka masingmasing. 10 Meskipun wahyu Allah ada pada agama-agama lain, Allah tidak memberi keselamatan di dalam agama-agama lain dengan alasan kesaksian Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa keselamatan dibawa dan diperkenalkan hanya oleh Yesus Kristus, dan bukti yang berasal dari agama-agama itu sendiri, yaitu bahwa agama-agama lain tidak membiarkan Allah bekerja sebagai Allah. Maksudnya ialah agama-agama lain berusaha dengan berbagai cara dan tingkatan
10
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 37-40.
48
menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa mengakui atau menyadari karya Allah melalui Kristus. 11 Berkaitan dengan sikap teologis agama Kristen dengan agamaagama lain, model ini menyetujui adanya dialog. Namun, dialog pada akhirnya sampai pada perbedaan yang jelas-jelas berbeda antara agama Kristen dengan agama-agama lain. Hal ini yang menjadikan dialog bukan hanya saling berbagi informasi atau menyelesaikan masalah-masalah sosial, tetapi juga membicarakan apa yang menjadi kendala dalam hubungan antar agama, yaitu klaim kebenaran. Dengan begitu dialog menjadi ajang kompetisi suci, di mana setiap agama berusaha membuktikan bahwa dirinya lebih mampu menerangi kehidupan, menjawab berbagai masalah hidup dan kebutuhan rohani manusia. 12 Meskipun kedua model pergantian di atas berbeda, keduanya tetap bersikukuh bahwa tidak seorang pun akan diselamatkan kecuali mereka yang berada dalam hubungan khusus dengan Yesus dan injilnya.
2. Model Pemenuhan Model pemenuhan merupakan satu langkah ke depan dalam usaha agama Kristen membangun satu pemahaman yang berimbang tentang agama11
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 40-44.
12
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 45-46.
49
agama lain. Model ini menawarkan satu teologi yang dapat memberikan bobot yang sama kepada dua keyakinan dasar Kristen yaitu, bahwa kasih Allah itu universal, diberikan kepada semua bangsa, namun kasih itu juga partikular yang hanya diberikan secara nyata di dalam Yesus Kristus. Model pemenuhan mewakili pandangan mayoritas umat Kristen saat ini, yaitu gereja-gereja “aliran utama”: Lutheran, Reformasi, Methodis, Anglikan, Ortodoks Yunani, dan Roma Katolik. 13 Mereka percaya bahwa agama-agama lain memiliki nilai, Tuhan ada pada mereka, dan umat Kristen perlu berdialog dengan mereka, bukan sekedar memberitakan Injil. 14 Meskipun
demikian,
terdapat
keterbatasan
dalam
model
ini.
Pandangan yang menyeimbangkan pengakuan kehadiran Tuhan di dalam agama-agama lain dan kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus tidak dapat diperjelas lagi, sebab kalau beranjak terlalu jauh (menuju pluralisme, menurut penulis), identitas Kristen akan hilang, keunikan Yesus sebagai penyelamat manusia dan inkarnasi Tuhan tidak berarti. 15 Jadi model pemenuhan mengakui adanya kebenaran dan keselamatan dalam agamaagama lain, namun agama-agama tersebut memiliki keterarahan kepada Kristus melalui Gereja (inklusivisme).
13
Pembahasan model pemenuhan memfokuskan pada komunitas Kristen yang pertama kali
mengembangkan model ini, yaitu Gereja Roma Katolik. 14
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 73.
15
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 73-74.
50
Karl Rahner dianggap sebagai tokoh yang membuka hubungan yang dialogis dengan agama-agama lain (lihat bab II). Masalah utama teologi agama-agama Rahner berkaitan dengan Kasih Tuhan, di mana Rahner menjelaskan implikasi Kasih Tuhan bahwa kalau Tuhan mau merangkul dan menjangkau semua orang dan makhluk hidup dengan kasih-Nya, Tuhan akan bertindak melakukan apa pun agar maksud-Nya tercapai. Menurut Rahner, tindakan yang Tuhan lakukan adalah, Ia menyatakan diri-Nya kepada semua orang dengan memampukan tiap-tiap orang mengalami realitas –damai, penguatan, ketertarikan, perhatian ̶
dari kehadiran Tuhan. Dengan begitu
Allah mengaruniakan rahmat keselamatan kepada setiap manusia. Kalau tidak, berarti Tuhan tidak mengasihi tiap-tiap orang. 16 Rahner mengungkapkan arti Tuhan itu kasih dengan keyakinan bahwa rahmat, atau kehadiran Allah penuh kasih, merupakan bagian dari tiap kodrat manusia. Oleh karena itu, rahmat harus selalu diwujudkan dalam bentuk materi, yaitu agama. kemudian ia menambahkan satu keyakinan Kristen ke teologi agama-agamanya sehingga menjadi teologi Kristen, yaitu bahwa semua rahmat adalah anugerah Kristus. 17
16
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 79-80.
17
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 80-84.
51
Berbeda dengan penganut Evangelikal yang meyakini bahwa Yesus merupakan sebab efisien, 18 Rahner berkeyakinan lain, bahwa Yesus merupakan sebab final, yaitu bahwa mereka yang tidak mengenal Yesus masih bisa merasakan kasih Allah yang menyelamatkan, namun belum mampu melihat dengan jelas arah dan tujuannya (belum sempurna). 19 Atas dasar itu, setiap umat Buddha, Hindu, dan Islam yang mengalami rahmat kasih Allah di dalam agama mereka maing-masing, sudah terhubung dengan Yesus yang adalah representasi dari tujuan rahmat kasih Allah yang Maha Sempurna. Mereka, komunitas yang memberitakan berita baik Yesus sepanjang sejarah, yang “dianugerahi” juga telah terorientasi pada gereja Kristiani, mereka dapat dikatakan sudah menjadi Kristen tanpa nama, atau umat Kristen anonym. 20
18
Artinya bahwa siapa saja yang tidak mengenal Yesus, tidak akan merasakan kasih Allah
yang merangkul dan menyelamatkan. 19
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 85.
20
Menurut Knitter bahwa pandangan Rahner tentang Kristen anonim hanya ditujukan untuk
kalangan Kristen dengan tujuan agar umat Kristen terbebas dari pandangan negatif tentang mereka yang berada di luar gereja dan memampukan umat Kristiani untuk menyadari bahwa Tuhan bisa memanggil siapa pun untuk mengikuti Kristus, di mana pun dan kapan pun Ia kehendaki. Jadi Rahner tidak menghendaki umat Kriatiani mengatakan kepada mereka yang beragama Buddha atau Islam telah berada di dalam lingkungan Kristen. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 85-86. Menurut penulis, maksud Knitter dengan pandangan Rahner mengenai Kristen anonim adalah mereka yang berada di luar gereja Roma Katolik, sebab Rahner berbicara sebagai seorang teolog Katolik. Namun perspektif ini perlu dikaji lebih dalam lagi.
52
Berbeda dengan model penggantian, Bagi model pemenuhan, berbagai perbedaan yang diterima umat Kristen dalam agama-agama lain harus diberi nilai, dihormati dan dipelajari, namun yang terpenting dalam model ini adalah kesamaan yang bisa dijumpai oleh umat Kristen dan umat agama-agama lain.
3. Model Mutualitas Model mutualitas lebih berpihak pada kasih dan kehadiran Allah yang universal di dalam agama-agama lain dari pada kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus. Umat Kristen yang menganut model mutualitas merasa bahwa teleskop teologis tradisional yang menganggap agama-agama lain sebagai agama
yang
akhirnya
harus
digantikan
(model
penggantian)
atau
disempurnakan (model pemenuhan) oleh agama Kristen sama sekali tidak menunjukkan apa yang sebenarnya ada di dalam agama-agama lain maupun di dalam Injil Yesus. Oleh karena itu, mereka menolak model-model yang mapan ini. Jadi, mereka sedang mencari jalan yang dapat menghindarkan mereka dari apa yang disebut sebagai pemahaman Kristus dan agama Kristen yang “absolut” (di mana Kristus merupakan satu-satunya Juru Selamat dan Kata akhir) dan yang bisa membawa mereka ke sesuatu yang bersifat “rendah hati.” 21
21
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.129.
53
Bagi model ini, dialog dengan agama-agama lain merupakan satu kewajiban etis, sebab dialog merupakan bagian mutlak dari kewajiban mengasihi sesama. Oleh karena itu, apa yang dijumpai umat Kristen di dalam berbagai tradisi agama lain yang begitu luas bukan hanya keragaman tetapi mitra dialog yang potensial. Atas dasar itu, hubungan lebih penting dari pada pluralitas. Hubungan tersebut harus mutual, artinya hubungan dan percakapan dua arah yang memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan mendengarkan, terbuka untuk belajar dan berubah. 22 Untuk menciptakan kesetaraan dalam dialog, menurut model mutualitas, dibutuhkan sebuah “keseimbangan kasar” di antara agama-agama. Maksudnya adalah semua agama memiliki “hak sederajat” untuk berbicara dan didengarkan, berdasarkan nilai yang melekat pada mereka tanpa adanya superioritas, final, atau absolut pada salah satu agama. Jika demikian perlu pemahaman baru mengenai keunikan Yesus agar dialog dapat terus dipertahankan. Dalam usaha membina dialog yang setara, model ini tetap memelihara keragaman dan perbedaan yang nyata di antara berbagai agama yang ada. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa semua agama secara esensial sama atau
22
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.130.
54
hanya berbicara yang sama perlu dihindari. Namun, harus ada sesuatu yang sama di antara agama-agama sehingga memungkinkan adanya dialog. 23 Model ini telah melampaui apa yang dikenal sebagai model penggantian (eksklusivisme), dan telah menyeberangi jembatan kaum gereja Katolik dengan model pemenuhan (inklusivisme). Citra yang sering digunakan penganut model mutualitas untuk menggambarkan berbagai implikasi dari prospek mereka adalah “menyeberangi sungai Rubicon.” 24 Ada tiga jembatan yang berbeda, namun tetap saling mengisi, yang merupakan isyarat bagi umat Kristen untuk menyeberang ke model mutualitas, 25 yaitu: a. Jembatan Filosofis-Historis Jembatan ini bertumpu pada dua pilar: keterbatasan historis dari semua agama 26 dan kemungkinan filosofis bahwa ada satu Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Tokoh yang
23 24
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 130-132. Sungai yang memisahkan kekuasaan Romawi dengan wilayah lain. Ungkapan ini
menggambarkan keberanian Julius Caesar memasuki medan/ wilayah baru yang penuh dengan berbagai kemungkinan baru maupun ketidakpastian baru. Lih Knitter, Pengantar Teologi AgamaAgama, h.133. 25
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.133.
26
Umat beragama hanya mampu memahami fenomena dari Yang Nyata, tetapi tidak mampu
memahami Yang Nyata dalam dirinya sendiri atau nomena-Nya. Inilah yang disebut relativisme historis. Dengan demikian, tidak ada satu agama pun yang dapat menganggap kebenaran penuh, final, dan tak tersaingi tentang Yang Ilahi karena pengetahuan manusia secara historis maupun sosial terbatas. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 135-139.
55
terkenal dengan perspektif ini adalah John Hick dengan teori “revolusi Kopernikus”. Singkatnya, menurut Hick bahwa pusat religious semua agama yang memungkinkan terciptanya dialog yang setara bukanlah gereja (eklesiosentris), bukan pula pada Kristus (kristosentris), melainkan pada Allah (teosentris). Sadar bahwa citra Allah sering kali diartikan “buatan agama Kristen”, dan juga Islam, serta agama-agama seperti Buddha tidak berbicara tentang Allah atau suatu Makhluk Ilahi, Hick kemudian memakai istilah “yang Nyata” atau yang “benar-benar Nyata” sebagai pusat semua agama. 27 b. Jembatan Religius-Mistik Berbeda
dengan
jembatan
filosofis-historis,
pendekatan
religious-mistik menekankan bahwa apa yang terdapat di pusat tiap agama (Yang Ilahi) adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan manusia baik individu maupun kelompok. Yang Ilahi lebih dari pada apa yang diketahui agama namun justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Oleh karena itu, Yang Ilahi tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia, biarkanlah
27
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 134-135.
56
Yang Ilahi beragam seperti halnya agama. Salah satu tokoh yang terkenal dengan pendekatan ini adalah Raimundo Pannikar. 28 c. Jembatan Etis-Praktis Kebanyakan agama mampu membangun jembatan ini, yaitu pengakuan bahwa kemiskinan dan penderitaan yang merusak kemanusian dan bumi ini merupakan keprihatian semua agama. Semua agama terpanggil untuk mengatasi berbagai penderitaan ini, yang kalau dilaksanakan secara serius akan memampukan mereka mengakui bahwa dialog yang lebih efektif di antara mereka perlu dilakukan. Salah satu tokohnya adalah Thomas Berry. Ia berpendapat bahwa kepedulian bagi kesejahteraan planet ini merupakan kepedulian yang diharapkan dapat membawa berbagai bangsa dan agama ke dalam komunitas antar bangsa dan antar agama. 29 Bertindak bersama-sama memampukan agama-agama untuk saling mengenal dengan baik. Dengan adanya tanggung jawab terhadap dunia dan penderitaan manusia, agama-agama berkesempatan untuk memahami baik dirinya sendiri maupun sesama. Oleh karena 28
Menurut Pannikar, walaupun perbedaan agama tak terbandingkan, ada satu Roh yang
menggerakkan dan hidup di antara kepelbagaian itu, ia juga yakin bahwa ada kemungkinan dan kebutuhan untuk menghubungkan, atau membangun relasi di antara berbagai agama. Pannikar secara eksplisit mengatakan bahwa ada koeksistensi damai di antara agama-agama yang dengan saling berhubungan, melalui dialog, mereka akan menemukan dan memperluas identitas mereka masingmasing. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 149-150. 29
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 160-164.
57
itu, masalah penderitaan dunia dan manusia merupakan asas bersama dalam dialog agama-agama. 30
4. Model Penerimaan Model ini merupakan reaksi terhadap kekurangan model-model sebelumnya; model penggantian dan pemenuhan lebih menekankan partikularitas satu agama sehingga validitas agama-agama lain hancur, model mutualitas lebih menitikberatkan pada universalitas dari semua agama sehingga menutupi perbedaan partikularitas yang ada. 31 Bagi model ini, perbedaan antar agama bukan hanya pada bahasa, melainkan, lebih jauh lagi, menyangkut tujuan terakhir dan “pemenuhan” dalam setiap agama. Agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, tetapi juga berbeda dalam tujuan dan keselamatan. Sebagai contoh, apa yang diartikan oleh umat Buddha dengan pencerahan dalam tingkat kebahagiaan yang non-persona jelas-jelas berbeda dengan apa yang umat Kristen artikan dengan persekutuan dengan Tuhan yang penuh kasih, keduanya merupakan titik-tujuan yang berbeda, dua “pemenuhan” yang berbeda, karena hal tersebut merupakan dua realitas yang berbeda. 32 Umat Buddha tiba di Nirwana, umat Kristen tiba dalam persekutuan dengan Tuhan, mereka semua bahagia. Oleh
30
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 165.
31
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 205.
32
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 227-228.
58
karena itu, perbedaan bukan hanya sesuatu yang bisa diterima secara temporer, tetapi sesuatu yang ingin diterima secara permanen. Salah satu tokoh dari pendekatan ini adalah S. Mark Heim. Ia mengusulkan satu konsep bahwa semua agama yang berbeda-beda memimpikan dan berusaha mencapai salvations, bukan salvation, bahwa ada lebih dari satu keselamatan di antara berbagai agama. 33 Jadi, usaha yang dilakukan teolog penganut model mutualitas untuk mencari persamaan atau satu tujuan yang sama di antara berbagai agama, bahwa walaupun agamaagama berbeda, semua agama memiliki satu tujuan yang sama (Yang Nyata), harus dihindari. Selain mengakui bahwa tujuan akhir (eskatologis) tiap agama berbedabeda, Heim menambahkan bahwa mungkin saja ada lebih dari satu Wujud Ilahi (Devine Being) atau Tuhan. Perbedaan agama terjadi karena adanya perbedaan Tuhan. Untuk menjelaskan maksud tersebut kepada umat Kristen, Heim menggunakan kerangka teologi tradisional Kristen, bahwa Tuhan berbentuk Tritunggal. 34 Hal ini berarti bahwa semua umat beragama harus
33
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 228.
34
Melalui wahyu Yesus sebagai Kristus dan di dalam apa yang dialami Yesus sebagai yang
Ilahi, umat Kristen merasa dan berusaha menjelaskan perasaan mereka bahwa Yang Ilahi itu bukanlah satu realitas. Yang Ilahi itu juga banyak, banyak dalam cara Allah berhubungan dengan dunia, serta banyak pula dalam cara Allah berhubungan dengan dirinya sendiri. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 230.
59
menggali keberadaan dan kehidupan mereka dalam perbedaan yang memunculkan hubungan antar agama, yaitu melaui dialog. Ketika dialog dilakukan, para penganut model mutualitas merasa perlu menanggalkan sesuatu yang absolut dari berbagai agama agar dialog dapat berjalan seimbang. Berbeda dengan model tersebut, Heim berpendapat bahwa justru berbagai yang absolut itu merupakan substansi dan energi untuk berdialog. Dalam dialog, peserta dialog harus tetap mempertahankan perbedaannya masing-masing. Dengan begitu, umat beragama yang berbedabeda akan saling berdialog dan belajar. Perbedaan yang tak dapat dihindari ini, bagi Heim disebut “pluralisme orientasional.” 35 Perspektif semacam ini juga tercermin dalam apa yang diusahakan Knitter dalam tahun-tahun terakhir perjalanan teologisnya. Knitter mengajukan sebuah model baru, setidaknya Knitter bukan orang pertama yang mengajukan pendekatan seperti ini, 36 pendekatan yang lebih korelasional terhadap agama-agama lain dengan alasan bahwa, esklusivisme telah menimbulkan dampak negatif terhadap hubungan antar agama sehingga perlu dihindari dan dikoreksi. Begitupun inklusivisme, telah memunculkan ambiguitas terhadap kebenaran agama-agama lain, 37 di samping
35
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 233-234.
36
Perhatikan pembahasan tentang model penerimaan di atas.
37
Maksud ambiguitas disini adalah, agama-agama lain benar dan mampu menyelamatkan
manusia, namun tidak sempurna sebagaimana agamanya. (di satu sisi benar, di sisi lain tidak sempurna). Lih Paul F. Kintter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h. 41.
60
adanya keyakinan bahwa orang-orang dari latar belakang religius yang berbeda dapat berdialog dan saling memahami untuk dapat membuat pembicaraan bermanfaat, memperkaya dan mungkin transformatif. 38 Oleh karena itu, suatu pendekatan korelasional terhadap penganut agama lain berusaha menghilangkan bahasa “absolutis”. Sehingga, klaim bahwa umat Kristen memiliki kata akhir yang diberikan Allah atas semua kebenaran dapat dihindari. 39 Hal ini senada dengan apa yang telah diupayakan para teolog model mutualitas seperti John Hick dan Raimundo Pannikar. Dalam hubungan dengan agama-agama lain, teologi pluralis atau korelasional pertama-tama mengakui, menegaskan, merangkul, dan menggumuli perbedaanperbadaan yang nyata, jelas, bahwa tradisi-tradisi keagamaan memang berbeda dan kadang tidak bisa dibandingkan di antara berbagai tradisi agama. 40 Kemudian mengakui nilai dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai. Bagi Knitter inilah yang disebut “kesamaan yang kasar” di antara berbagai tradisi. 41 Keberagaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, melainkan suatu kekayaan yang harus diterima dan disambut oleh semua agama, sebab kita tidak dapat
38
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 60-61.
39
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 42.
40
Perbedaan disini seperti yang telah dikatakan Heim di atas bahwa agama-agama bukan
hanya berbeda dalam bentuk, mereka bahkan berbeda dalam tujuan dan Tuhan. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 259. 41
Knitter, satu Bumi Banyak Agama, h. 45.
61
menghindari atau menutup mata dari keragaman agama di sekitar kita. 42 Jadi, biarkanlah perbedaan (diversitas) agama terjadi. Akan tetapi, perlu ditekankan kehati-hatian terhadap pengakuan adanya kemungkinan nilai dari agama-agama lain. Seperti yang dikatakan Schubert Odgen, kebanyakan tokoh Kristen yang pluralis terlalu cepat mengatakan “ada banyak agama yang benar.” Generalisasi sepintas tersebut sama kelirunya atau mungkin sama berbahayanya kalau dikatakan bahwa “semua orang Amerika itu demokratis.” Jika melihat sejarah bagaimana agama-agama telah dipakai sebagai alat manipulasi dan eksploitasi, seperti di Ambon dan Poso, diperlukan bukti sebelum menyatakan bahwa semua agama baik dan bernilai. 43 Peringatan ini juga diperkuat oleh pendapat Hick, bahwa perbedaan tetap bermasalah, tidak semua jalan atau agama mengarah pada puncak gunung (Yang Nyata). Hal ini disebabkan dalam sejarah agama, Yang Nyata seringkali digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. 44 Namun, Hick tetap dalam pendiriannya bahwa ada satu Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Inilah yang membedakan cara pandang Hick dengan perspektif Knitter terhadap agama-agama lain.
42
Agama-agama jelas berbeda dan tidak mungkin mengumpulkan mereka dalam satu “kata
akhir” atau apa yang disebut Hick sebagai “Yang Nyata”. Lih Knitter, Pengantar Teologi AgamaAgama, h. 9, dan Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 68-70. 43
Dalam konteks ini, Knitter mencontohkan India sebagai negara yang pemerintahannya
menjadikan agama sebagai objek eksploitasi untuk melanggengkan kekuasaan. 44
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 139-140.
62
Knitter mengkritik para teolog pluralis, seperti Hick, bahwa mereka seringkali mengabaikan bahkan menyelewengkan diversitas (bahwa agama-agama benar-benar berbeda termasuk perbedaan keselamatan). Memaksakan semacam asas bersama45 dan aturan main bersama dalam berdialog telah membuat para teolog pluralis terjebak dalam imperialisme. Para teolog pluralis tidak sadar bahwa asas dan aturan main bersama tersebut seringkali merupakan perspektif dari satu agama. Hal senada seperti yang diungkapkan S. Mark Heim bahwa kalau mereka meyakini Tuhan sebagai yang absolut bagi semua agama tanpa menyebut Tuhan siapa yang mereka maksud, mereka telah menjadikan dirinya menjadi Tuhan. 46 Jadi terhadap pernyataan bahwa banyak agama yang benar adalah betul dan memang hal itu merupakan kenyataan, akan tetapi bukan berarti semuanya benar dan memiliki tujuan yang sama. Setiap agama memiliki tujuannya masing-masing. Hal ini merupakan sikap kehati-hatian Knitter yang hampir menyerupai sikap Heim terhadap berbagai agama lain. Menurut penulis, pandangan Knitter terhadap berbagai agama lain tidak terlepas dari pengaruh Mark Heim. Namun, penulis belum menemukan argumen yang menunjukkan bahwa Knitter setuju dengan pandangan Heim mengenai perbedaan agama yang mungkin disebabkan akibat perbedaan Tuhan.
45
Asas bersama yang dimaksud seperti yang diusulkan beberapa teolog, "common essence"
(A. Toynbee) atau "universal faith" (W.C. Smith, B. Lonergen) atau "mystical faith" (W. Stace, Th. Merton. F. Schuon). 46
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 187-189.
63
Dalam perspektif pluralis atau model mutualitas, umat Kristen menolak dan menghindari diri dari berbagai kata sifat seperti “hanya satu-satunya”, “definitif”, “superior”, “absolut”, “final”, “tak terlampaui”, “total” untuk menjelaskan kebenaran yang ditemukan dalam Injil Yesus sang Kristus. Knitter menambahkan, tanpa mengklaim bahwa semua agama setara (equal), sehingga relativisme dapat dihindari. 47 Equal disini seperti apa yang telah dibahas di atas bahwa semua agama, dalam diversitasnya memiliki tujuan universal atau keselamatan yang sama. Dengan demikian umat Kristen bisa dan harus mendekati agama-agama lain bukan hanya dengan harapan bahwa mereka mungkin (possibly) akan menemukan kebenaran dan kebaikan di dalamnya, seperti apa yang diyakini oleh para teolog pendekatan model penerimaan (inklusif) seperti Rahner, tetapi bahwa mereka lebih mungkin (probably) menemukannya 48 tanpa harus menanggalkan perbedaan. Teologi
korelasional
memungkinkan
umat
Kristen
berpegang
pada
kemungkinan, dan mendorong probabilitas, bahwa sumber kebenaran dan transformasi yang mereka sebut Allah dari Yesus Kristus memilki lebih banyak kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada yang telah dinyatakan dalam Yesus. Maksudnya adalah sumber kebenaran dan keselamatan bukan hanya dapat diperoleh melalui Kristus, agama-agama lain pun memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, namun dengan jalannya masing-masing.
47
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 42.
48
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 45-48.
64
Model teologi agama-agama yang pluralistik-korelasional bukan hanya menegaskan kemungkinan tetapi juga realitas umat beragama yang otentik lainnya dan karena itu menegaskan adanya agama-agama benar lainnya. Sampai sejauh mana hal ini bisa dibandingkan dengan yang lainnya, dapat diketahui hanya melalui dialog. Semua usaha membangun teologi agama-agama harus dimulai dengan dialog dengan agama-agama lain. 49 Dengan demikian, karena kapelbagaian berbagai agama harus diakui dan dijaga, dan karena kepelbagaian itu diyakini bernilai dan penting secara potensial bagi semua orang, maka kandungan yang bernilai dari agama-agama tersebut harus dibagi dan dikomunikasikan, agama-agama dunia harus berdialog. Oleh karena itu, model korelasional yang diusulkan Knitter juga menegaskan hakikat agama yang relasional dan dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan bertindak bersama. Walau pun model ini mengakui adanya perbedaan dan partikularitas radikal dan tidak terhidarkan di antara semua agama, ia juga mengakui adanya hubungan antar-sesama yang muncul dari ketidaksempurnaan dalam diri semua agama. 50 Perspektif teologi agama-agama Paul F. Knitter, teologi korelasional dan bertanggung jawab secara global, 51 menolak klaim-klaim kebenaran dan keselamatan
49
Knitter, Teologi Agama-Agama, h. 261-264.
50
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 48-49.
51
Dalam hal ini, Knitter mengajukan dukungan kultural bagi model korelasional dan
bertanggung jawab secara global, yaitu kesadaran akan yang lain, bahwa kita tidak dapat menutup mata dari keberagaman agama yang ada disekitar kita, kesadaran akan sejarah, bahwa semua agama, pengetahuan yang kita peroleh, terbatas pada konteks sejarah. Jadi perlu reinterpretasi ulang terhadap
65
yang hanya dimiliki satu agama (eksklusivisme), klaim bahwa Kristus merupakan kata akhir dari semua agama (inklusivisme), bahkan melampaui pluralisme yang menyatakan banyak agama yang benar karena agama-agama merupakan manifestasi Tuhan di dunia dalam berbagai tingkat cakrawala pikiran manusia sehingga semua agama relatif. Meskipun secara filosofis Knitter menggunakan perspektif ini, ia merasa perspektif tersebut belum cukup untuk merangkul semua agama. Perbedaan fundamental antara Knitter dan Hick dalam memandang agamaagama lain terletak pada penerimaan dan penghargaan Knitter terhadap agama-agama lain tanpa mencari kesamaan teologis sebagaimana yang diupayakan Hick dengan pendekatan teosentris. Bagi Knitter biarlah agama-agama tetap berbeda tanpa melepaskan keunikan masing-masing. Namun tetap menerima dan menghargai kebenaran dalam setiap agama. Walaupun ia sangat berhati-hati dengan pengakuan adanya nilai kebenaran dalam suatu agama. Hal ini dilakukannya untuk menghindari penyalahgunaan agama demi kepentingan suatu kelompok tertentu. Cara pandang Knitter dengan penekanan terhadap diversitas agama-agama, tapi juga mengkritik absolusitas dan normativitas Kristus yang telah mapan dalam doktrin Kristen, menurut penulis, merupakan upayanya untuk menghilangkan
klaim-klaim agama yang telah terbentuk oleh sejarah, kesadaran imperiatif moral dialog, bahwa dialog di antara agama-agama tidak lagi suatu kemewahan tetapi merupakan kebutuhan teologis, jadi untuk menemukan kebenaran kita sendiri, kita harus berdialog dengan kebenaran dari yang lain, Kesadaran akan tanggung jawab bagi dunia, bahwa umat beragama tidak hanya terfokus pada dialog antar-iman, penderitaan yang lain termasuk dunia merupakan tanggung jawab semua agama. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 68-83.
66
eksklusivisme dan inklusivisme dalam Kristen. Namun tetap mempertahankan keunikan Kristus sebagai sesuatu yang unik dalam agama Kristen. Menurut penulis keunikan yang dimaksud Knitter dalam setiap agama adalah sesuatu yang membuat agama tersebut spesial, khusus dan berbeda dari agama-agama lain ̶ seperti Kristus dan Kerajaan Allah dalam Kristen, Gaotama dan Sunyata dalam Buddha ̶
bukan
yang menyebabkan suatu agama menjadi absolut, normatif dan final. 52 Oleh karena itu, ketika berdialog setiap agama tidak perlu menanggalkan keunikannya masingmasing sebagai komitmen terhadap agama yang dianutnya. Akan tetapi, yang perlu dihilangkan adalah sikap eksklusif dan inklusif dari setiap agama. Dengan demikian, pandangan Knitter terhadap agama-agama lain terbuka terhadap kemungkinan bahwa, secara filosofis, ada banyak agama yang benar dan menyelamatkan, karena merupakan manifestsi dari Tuhan yang satu, dan bahwa agama Kristen merupakan salah satu cara di mana Allah menyentuh dan merubah dunia, namun tetap menekankan diversitas agama-agama. Selain mengakui eksistensi agama lain, umat Kristen juga harus tetap melihat ada perbedaan besar antara Kristen dan agama lain yang tidak mungkin disatukan, sehingga setiap agama meyakini doktrin agama mereka masing-masing namun tetap terbuka terhadap perbedaan tersebut. Selanjutnya untuk mengenal dan memahami agama lain dilakukan melalui dialog yang korelasional, dimana setiap agama memiliki hak yang sama dalam berdialog, tidak ada yang mendominasi agama lain. 52
Lihat selengkapnya di pembahasan mengenai “Arti Kesetiaan Pada Yesus”.
67
B. Arti Kesetiaan Pada Yesus Mengakui kebenaran agama-agama lain, bagi Knitter tidak berarti meningglkan kesaksian Kristen yang disampaikan Injil dan tradisi melalui Kristus. Kesetiaan, bagi Knitter, bukan sesuatu yang dimiliki seseorang tetapi lebih merupakan sesuatu yang dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itu, sumber dari iman yang setia tidak hanya terdapat dalam Injil atau Kitab Suci (ortodoksi). Akan tetapi ada keharusan menghubungkan atau menerapkan apa yang kita dengar dari Kitab Suci dalam kehidupan yang real (ortopraksis). Oleh karena itu, ada dua sumber dari mana seharusnya menghayati iman dan membangun kesetiaan, Kitab Suci dan kehidupan nyata (praksis). Kesetiaan pada tradisi Kristen, khususnya pada Kitab Suci “yang normatif”, bersumber dari kata yang benar (ortodoksi) yang berakar dalam tindakan yang benar (ortopraksis). Jadi kesetiaan terhadap Yesus tidak hanya merupakan pengakuan dan keyakinan terhadap-Nya. Namun kesetiaan itu juga berarti sejauh mana seseorang dapat mengikuti hidup dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Yesus 53. Tetapi, bagaimana umat Kristen dapat memahami keunikan Yesus sedemikian rupa sehingga
53
Lih Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 130-135, dan Leonard Swidler dan Paul
Mojzez, ed., The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F. Knitter (Maryknoll: Orbis Books, 1997), h. 14.
68
tetap setia pada kesaksian Kristen, dan pada saat yang sama sungguh-sungguh terbuka terhadap pembicaraan dan kerja sama yang otentik dengan iman orang lain? Untuk itu, di bawah ini, penulis memaparkan bagaimana reinterpretasi Knitter terhadap klaim kristologi tradisional 54 atas keunikan Yesus Kristus sebagai dokrtin dalam Kristen. Bagi Knitter, Yesus Kristus itu unik, namun dengan keunikan yang ditetapkan oleh kemampuannya berelasi dengan figur agama lain yang juga unik. Dengan kata lain, keunikan yang dikemukakan Knitter adalah keunikan relasional 55, bahwa Yesus sungguh-sungguh dan bukan satu-satunya transformasi Allah di dunia. Muhammad, Musa, dan Gaotama juga merupakan transformasi itu. 56 Keunikan relasional, bagi Knitter, konsisten dengan pendirian teologis pluralisme yang teosentris. Yesus dalam pelayanannya sebagai juru selamat terarah pada Allah, sama seperti figur agama lain pun terarah pada Allah. Semua figur agama yang ada terkait dan terhubung satu sama
54
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam dia, sebab di bawah
kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis 4:12). Ayat tersebut menunjukkan bahwa Yesus merupakan satu-satunya jalan keselamatan, dengan kata lain kristologi tradisional menekankan finalitas, absolusitas, dan nomativitas Yesus. Kristologi semacam ini seperti yang diakui dan diyakini oleh penganut model penggantian. Pembahasan ini merupakan kritik Knitter terhadap model penggantian, pemenuhan, dan juga model mutualitas. 55
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 162-167.
56
Leonard Swidler dan Paul Mojzez, ed., The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F.
Knitter, h. 10-11.
69
lain, terarah pada satu Allah, 57 dan bahkan lebih jauh lagi, penulis membahasnya dalam poin selanjutnya, kepada soteriosentrisme. Dalam Jesus and the Other Names, Knitter berusaha membuat klarifikasi mengenai terminologi unik. Baginya, unik tidak perlu menunjukkan tidak adanya sesuatu yang lain. Keunikan seseorang lebih berarti sesuatu yang membuat ia spesial, khusus dan berbeda, yang tanpanya orang itu tidak menjadi pribadi sebagaimana adanya ia. Dengan menghilangkan kualitas unik tersebut kita akan berjumpa dengan pribadi yang lain. 58 Knitter mencoba untuk memperlihatkan dasar Alkitabiah dari keunikan Yesus. Pertama, sejak semula karya Yesus terarah kepada Allah Bapa, atau tepatnya pada kerajaan Allah. Yesus tidak memberitakan diri-Nya sendiri, tetapi mewartakan datangnya kerajaan Allah yang membawa keselamatan bagi manusia. Dari sini Knitter sebenarnya mengusulkan suatu istilah lain untuk menggantikan teosentrisme, yaitu kingdomsentrisme 59 atau soteriasentrisme.
57
Ini merupakan perspektif teologi agama-agama Knitter ketika berada pada model
mutualitas. Selanjutnya ia akan beralih ke model penerimaan. Lih Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 145-146, dan Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter", dalam Soegeng Hardiyanto, Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf Herbert Schumann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 145. 58 59
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 169. Knitter bukan orang pertama yang menggunakan istilah tersebut. Kingdomsentrisme atau
berpusat pada Kerajaan Allah merupakan kristologi dan misi Yesus yang diperkenalkan oleh Jon Sobrino. Lih pada pembahasan konversi agama-agama.
70
Kedua, kristologi yang yang dipaparkan dalam Alkitab sejak semula beragam tidak pernah ada definisi tentang siapa Kristus, tetapi yang ada adalah interpretasiinterpretasi tentang siapa Kristus. Jadi tidak boleh ada satu kristologi (interpretasi atas Kristus) yang bisa dimutlakkan dan meniadakan kristologi lainnya. Ketiga, klaim Kristus sebagai juruselamat satu-satunya tidak boleh dipandang secara tekstual, melainkan lebih sebagai ungkapan konvensional. Hal ini membuat kita bisa lebih terbuka pada pengakuan-pengakuan iman agama-agama lain 60. Maksud utama bahasa dan gelar-gelar kristologis Perjanjian Baru bukanlah menawarkan pernyataan-pernyataan ontologis yang definitif tentang pribadi atau karya Yesus, melainkan memampukan manusia untuk merasakan kuasa serta daya tarik visi Yesus dan kemudian untuk pergi dan melakukan hal yang sama, 61 seperti sifat kasih terhadap semua orang tanpa memandang ras dan agama. Menurut Knitter, akan lebih tepat secara penggembalaan efektif, bila kita menyebut klaim-kliam Perjanjian Baru mengenai Yesus sebagai "bahasa aksi". Ia disebut "satu-satunya" atau "anak satu-satunya" bukan terutama untuk memberikan kepada kita pernyataan-pernyataan teologis-filosofis yang definitif, dan bukan terutama untuk menyisihkan yang lainnya, melainkan untuk mendorong aksi atau praktik komitmen total kepada visi dan jalan-Nya, terhadap hal-hal yang Yesus selalu menempatkan diri di bawahnya, yaitu kerajaan kasih, kesatauan dan keadilan. 60
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 299-300, Joas Adiprasetya,
"Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter," h. 145-146, dan Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 176-182. 61
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307-308.
71
Guna melayani dan mengembangkan kerajaan ini, ada keinginan untuk berdialog dan bekerja dengan orang lain dan terbuka terhadap kemungkinan bahwa ada guru-guru dan pembebas-pembebas serta juruselamat-juruselamat lain yang dapat menolong kita memahami dan bekerja demi kerajaan itu dalam cara-cara yang belum pernah kita dengat atau berada di luar imajinasi kita. "barang siapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita" (Mrk. 9:40). Dengan demikian, kristologi pembebasan mengizinkan dan bahkan menuntut kita mengakui kemungkinan hadirnya pembebas lainnya dari agama-agama lain. 62 Pemahaman Kristen tradisional mengenai Yesus Kristus sebagai suara Allah yang normatif, definitif, dan final perlu ditata kembali guna menghindari posisi-posisi absolut yang telah dimapankan dan menghalangi dialog yang sungguh-sungguh korelasional. Dalam hal ini, Knitter mencoba mengaitkan topik keunikan Kristus dengan praksis pembebasan, antara teologi agama-agama dan teologi pembebasan yang kaitannya terletak pada pentingnya praksis. Menurutnya, kristologi yang harus diupayakan adalah yang berbasis pada praksis. 63 Sehubungan dengan ini, ada empat hal yang penting, yaitu: Pertama, pengakuan dan pewartaan Kristen bahwa Yesus adalah pernyataan Allah yang final dan normatif tak dapat berhenti pada perumusan doktrin atau pengalaman personal. Keunikan Kristus dapat dikenal dan ditegaskan hanya dalam praksis keterlibatan historis. 62 63
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 308-309. Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter," h. 147.
72
Praksis merupakan titik tolak bagi semua kristologi, ia tetap menjadi kriterium bagi semua kristologi karena segala sesuatu yang diketahui atau dikatakan mengenai Yesus harus terus-menerus dikonfirmasikan, diperjelas dan mungkin dikoreksi di dalam praksis, yaitu dengan tindakan menghidupkan visi-Nya di dalam kontekskonteks sejarah yang berubah. Kita tidak dapat mulai mengenal siapa Yesus dari Nazaret itu kecuali kalau kita mengikuti Dia, mempraktikan pesan-Nya di dalam hidup kita. Dari sinilah proses perumusan gelar-gelar Perjanjian Baru untuk Yesus; gelar-gelar itu adalah buahnya, kerugma penuh sukacita, yang digali dari pengalaman mengikuti Dia. Karena pengalaman ini berbeda-beda menurut berbagai komunitas dan konteks jemaat-jemaat perdana, gelar-gelar Yesus pun berkembang. Oleh karena itu, tidak ada satu pun yang kita katakan mengenai Yesus itu final, tidak ada gelar yang diberikan kepada Kristus yang dapat dimutlakkan. 64 Jadi, secara kongkret, bahwa bila kita tidak terlibat di dalam praksis dialog Kristen dengan agama-agama lain, mengikuti Kristus, menerapkan pesan-Nya, di dalam dialog dengan orang-orang percaya lainnya, kita tidak dapat mengalami dan mengukuhkan apa arti keunikan dan normativitas Kristus. 65
64
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 299-300, dan Joas
Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter," h. 147. 65
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 300.
73
Kedua, mengutamakan ortopraksis di atas ortodoksi, maksudnya ialah bahwa keprihatinan utama suatu teologi pembebasan agama-agama 66 yang soteriosentris bukanlah kepercayaan yang benar tentang keunikan Kristus, melainkan praktik yang benar dengan agama-agama lain, dalam memperluas kerajaan dan soteria-Nya. Kejelasan tentang apakah Kristus dan bagaimana Ia menjadi satu Tuhan dan juruselamat, maupun kejelasan tentang doktrin lain mana pun, mungkin penting, tetapi tidak lebih lebih penting dibandingkan dengan melaksanakan pengutamaan kaum miskin dan nonpribadi. 67 Menurut Knitter orang Kristen tidak membutuhkan kejelasan dan kepastian ortodoksi mengenai Yesus sebagai Juruselamat “satu-satunya” atau “final” atau “universal” guna mengalami dan sepenuhnya, menyerahkan diri mereka demi kebenaran yang membebaskan dalam pesan-Nya. Apa yang memang diketahui orang Kristen, berdasarkan praksis mereka dalam mengikuti Yesus, adalah bahwa pesanNya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan penindasan, bahwa pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan 66
Dalam buku Mitos Keunikan Agama Kristen (1987), Knitter menulis judul “Menuju
Theologi Pembebasan Agama-Agama” (Towards a Liberation Theology of Religions). Dalam buku tersebut ia memperkenalkan suatu teologi agama-agama yang berhubungan, sengaja dihubungkan oleh Knitter, dengan teologi pembebasan dan ia menyebutnya sebagai teologi pembebasan agama-agama. Sejalan dengan perkembangan pemikirannya, model tersebut berubah menjadi teologi korelasional yang bertanggung jawab secara global, seperti yang terdapat dalam kedua bukunya, Satu Bumi Banyak Agama dan Menggugat Arogansi Kekeristenan. 67
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 301.
74
mengembangkan kerajaan Allah. Tidak mengetahui apakah Yesus itu unik, apakah Ia adalah firman Allah yang final dan normatif untuk segala zaman, tidaklah menggangu komitmen untuk melakukan praksis mengikuti Dia dan bekerja sama dengan agamagama lain, untuk membangun kerajaan. 68 Jadi, penekanan pada pentingnya praksis tidak lantas membuat orang Kristen dapat memiliki alasan untuk mengatakan bahwa finalitas dan normativitas Yesus telah utuh dan dipenuhi. Data mengenai praksis Yesus tidak memadai untuk menekankan keunikan Kristus. Ketiga, Kriteria soteriosentris untuk dialog antar-agama yang terkandung di dalam pengutamaan kaum tertindas menawarkan kepada orang Kristen perangkatperangkat untuk secara kritis menguji dan barangkali merevisi pemahaman tradisional tentang keunikan Kristus, bahwa Kristus adalah satu-satunya sarana, jalan keselamatan 69. Klaim tersebut perlu ditafsir ulang agar umat Kristen dapat berdialog secara korelasional dengan umat agama lain tanpa adanya hirarki. Dalam perjuampaan dengan orang-orang percaya dan jalan-jalan lain, para teolog Kristen dapat menemukan bahwa meskipun ada juruselamat-juruselamat lain di dalam tradisi-tradisi lain, Yesus dari Nazaret tetap tampil bagi mereka sebagai pembebas yang unik dan bagaimanapun juga istimewa, sebagai Dia yang mempersatuakan dan menggenapi semua upaya lain menuju soteria. Kemungkianan lain, orang Kristen mungkin menemukan bahwa agama-agama lain dan tokoh-tokoh 68
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 302.
69
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 303.
75
agama lain menawarkan cara dan visi pembebasan yang sejajar dengan apa yang diwartakan Yesus, bahwa tidak mungkin menggolongkan juruselamat atau makhluk yang mendapat pencerahan dalam pengertian memperingkatkan mereka. Dengan demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya yang juga unik, Ia akan menjadi juruselamat yang universal, bersama-sama dengan para juruselamat lain yang universal. Universalitas dan keunikannya tidak akan eksklusif ataupun inklusif, tetapi saling melengkapi. Meskipun demikian, pencermatan-pencermatan tentang keunikan dan finalitas pada akhirnya dibuat atau tidak tidaklah penting dalam analisi terkahir, sejauh bahwa kita dengan semua orang dan agama, mencari dahulu kerajaan dan keadilannya. Atas dasar itu, jika metode kristologi pembebasan memperlihatkan mengapa klaim normatif bagi Yesus, bahwa Yesus adalah satu-satunya, tidaklah mungkin, maka jelas itu bahwa hal itu sebenarnya tak perlu. Jika memang titik perhatian kita terletak pada praksis, maka pertanyaan doktiner mengenai keunikan Kristus menjadi tak begitu perlu. 70 Keempat, Dengan memahami dan mengukuhkan keutamaan otopraksis, orang beriman, dapat ditolong untuk melihat bahwa di dalam menerima pandanganpandangan baru tentang Yesus, 71 mereka bukan hanya sekedar setia pada kesaksian 70
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 303-304, dan Joas
Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter," h. 147. 71
Mengenai berbagai kemungkinan paham nonabsolutis atau nondefinitif Kristus, para teolog
seperti mengalami kesulitan terhadap paham tersebut. Ada dua alasan yang dikemukakan Küng terhadap kesulitannya itu, pemahaman tersebut cenderung mengasingkan dirinya dari komunitas
76
Perjanjian Baru dan tradisi, melainkan juga ditantang untuk memiliki komitmen, yang bahkan lebih mendalam kepada Kristus dan Injil-Nya. 72 Orang-orang Kristen yang ditantang dan dimampukan untuk menciptakan hubungan antara pengalaman mereka sendiri, Injil dan praksis yang membebaskan, akan setuju bahwa hakikat menjadi Kristen adalah melakukan kehendak Bapa dari pada mengetahui atau menekankan bahwa Yesus adalah satu-satunya atau yang terbaik dari kelompok itu. Malah, psikologi kasih dan komitmen tampaknya mengatakan bahwa semakin mendalam dan semakin kukuh komitmen seseorang kepada suatu jalan atau orang tertentu, ia akan semakin terbuka kepada keindahan atau kebenaran jalan-jalan dan orang-orang lain. Orang Kristen dapat diajak untuk melihat bahwa komitmen mereka terhadap Yesus ataupun kemampuan mereka untuk menyembah-Nya (lex orandi) tidak akan perlu dijungkirbalikkan hanya karena ada yang lain yang seperti Dia. 73 Jadi, pengakuan akan nilai agama-agama lain tidak mengurangi kesetiaan umat
Kristen
terhadap
Kristus,
bahkan
memampukan
mereka
untuk
imannya (gereja) dan akan cenderung mengurangi kedalaman dan kekukuhan komitmen pribadi orangorang Kristen kepada Yesus Kristus. Keraguan-keraguan ini didasarkan pada bentrokan yang disadari terjadi antara pandangan-pandangan nonabsolutis yang baru tentang Kristus dangan (kepekaan naluriah dalam hal iman yang dimiliki seluruh umat beriman). Jadi, bila kristologi-kristologi baru ini mempunyai masa depan di lingkungan teologi Kristen, kristologi ini membutuhkan sebuah perantaraan gerejawi yang lebih baik agar dapat diterima oleh umat, kristologi ini perlu disosialisasikan. Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 304-306. 72 73
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307. Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307.
77
mengaktualisasikan karya Yesus dalam keterlibatan dengan agama-agama lain. Oleh karena itu, perlu reinterpretasi klaim kristologi tradisional akan keunikan Yesus. Dengan menekankan praksis dalam kristologi, klaim bahwa Yesus satu-satunya, absolut, normatif, dan final harus ditolak, kemudian memunculkan interpretasi baru bahwa Yesus “sungguh-sungguh, tapi bukan satu-satunya”, bahwa pesan-Nya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan penindasan, kemudian pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan mengembangkan kerajaan Allah. Dengan demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya yang juga unik, Ia akan menjadi juruselamat yang universal, bersama-sama dengan para juruselamat lain yang universal.
C. Konvergensi Agama-Agama Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya, bahwa rumusan teologi agamaagama Knitter berujung pada suatu dialog antar-agama. Untuk itu, Knitter mengajukan sebuah pendekatan atau konteks bersama yang dapat mempertemukan beragam
tradisi
agama-agama,
namun
tradisi-tradisi
tersebut
tetap
dalam
kepelbagaiannya masing-masing. Bagi Knitter, ada semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, suatu konteks
78
bersama yang di dalamnya terdapat berbagai masalah yang kompleks. Konteks ini membutuhkan suatu agenda bersama di mana semua agama dapat bersama-sama memahami dan memberi makna satu sama lain. Namun mengusulkan Allah, dan bukan gereja atau Kristus, sebagai basis bersama, secara implisit, para teolog tidak sadar tetapi masih imperialistis memaksakan pemahaman-pemahaman tertentu tentang yang ilahi atau Yang Tertinggi, kepada orang-orang percaya lain. Seperti kebanyakan umat Buddhis 74, mereka mungkin malah tidak ingin berbicara tentang Allah, atau mereka mengalami Yang Tertinggi sebagai sunyata, yang sama sekali tidak atau sedikit sekali berhubungan dengan apa yang orang Kristen alami dan disebut sebagai Allah. 75 Jadi konteks bersama tersebut tidak boleh berawal dan berbasis dari sebuah dasar bersama (commond ground) yang dimiliki semua agama, seperti yang diusulkan beberapa teolog, "common essence" (A. Toynbee) atau "universal faith" (W.C. Smith, B. Lonergen) atau "mystical faith" (W. Stace, Th. Merton. F. Schuon). Gagasan tersebut ditolak Knitter karena merupakan bentuk lain dari foundationalism atau objectivism. Apa yang sama dalam berbagai masalah ini maupun dalam konteks
74
Menurut penulis, maksud Knitter dengan memaksakan pemahaman tentang Yang Ilahi
berarti sama seperti dengan imperialisme atau penjajahan keyakinan orang lain, sebab tidak semua agama berbicara mengenai Yang Ilahi. Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah landasan etis bersama, suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, tanggung jawab global. Tanggung jawab global bagi Knitter, merupakan konteks yang dapat menyatukan berbagai agama-agama yang jelas berbeda, walaupun dengan respon yang tidak satu. 75
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 286.
79
yang dimaksudkan oleh Knitter 76 adalah pengalaman atas kenyataan penderitaan yang mengerikan, penderitaan yang menguras kehidupan dan membahayakan masa depan umat manusia. Tetapi, penderitan bukan hanya meliputi manusia, melainkan semua makhluk lainnya termasuk bumi. Bagi para teolog pembebasan, konteks bersama ini adalah pengutamaan kaum miskin dan nonpribadi, artinya pengutamaan untuk bekerja dengan dan untuk para korban dunia ini. 77 Oleh karena keadaan yang memprihatinkan dari penderitaan-penderitaan dunia ini, ada sekelompok orang yang berusaha merumuskan suatu etika global yang dapat dipakai sebagai dasar yang dapat menuntut sikap bersama untuk mengatasi semua krisis yang ada. Salah satunya adalah Hans Küng yang berpendapat bahwa masalah-masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu, namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh satu persetujuan bersama tentang tujuan etis dan cara-cara etis yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. Etika global semacam itu, yang diperlukan untuk melestarikan aksi global tidak bisa dirumuskan tanpa sumbangan agama. Dalam berbagai simbol dan naratif yang sangat berbeda-beda, agama menawarkan kepada para pengikutnya suatu visi
76
Walaupun Knitter tidak setuju dengan “jembatan” filosofis-historis dan religius-mistik,
tampaknya Knitter sejalan dengan para teolog model mutualitas yang menggunakan jembatan etispraktis sebagaimana yang akan terlihat dalam pembahasan selanjutnya. 77
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 288, Knitter, Satu Bumi
Banyak Agama, h. 84, dan Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter", h. 148.
80
tentang pengharapan bahwa mereka dan dunianya bisa berbeda, bisa mengalami transformasi, bisa menjadi lebih baik. Keyakinan religius bahwa visi pengharapan ini bisa terlaksana didorong dan dikuatkan oleh energi yang dimiliki agama untuk menjalankan keyakinan itu, menghimpun kita semua untuk tujuan itu, apa pun yang terjadi. Inilah kontribusi dari visi dan energi yang dapat dan harus diberikan agama dalam merumuskan dan menindaklanjuti suatu etika global. Usulan Küng ini, walaupun barangkali lebih kompleks dari yang diduganya, dan walaupun harus dilaksanakan dengan lebih berhati-hati dalam bentuk yang lebih berbeda dari yang diusulkannya, merupakan pandangan yang akan diterima oleh lebih banyak orang dan bangsa-bangsa di dunia ini. Masyarakat membutuhkan bentukbentuk kerjasama etis baru yang bisa dipakai untuk melaksanakan dialog dan konsensus etis yang baru, dan untuk inilah, semua agama – secara bersama-sama, bukan sendiri-sendiri – memainkan peranan yang sangat penting. 78 Dengan kata lain, apabila agama-agama dunia dapat menyadari kemiskinan dan penindasan sebagai masalah bersama, apabila mereka dapat memiliki komitmen bersama, yang diungkapkan dalam bentuk yang berbeda-beda, untuk menyingkirkan kejahatan-kejahatan seperti itu, mereka akan mempunyai dasar untuk menyebrangi ketidaksebandingan dan perbedaan-perbedaan mereka, untuk saling mendengar dan memahami yang lain dan kemungkinan diubah di dalam prosesnya.
78
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 101-108.
81
Pemahaman tentang peranan sentral pengutamaan kaum miskin dan nonpribadi di dalam dialog antar-agama berarti bahwa evolusi dalam sikap-sikap Kristen terhadap agama-agama lain telah berkembang dari eklesiosentrisme kepada kristosentrisme kemudian teosentrisme, sikap-sikap tersebut harus terus berlanjut dengan apa yang disebut sebagai “kerajaan sentrisme” atau yang lebih universal “soteriosentrisme.” 79 Konteks bersama ini, berkaitan dengan pandangan Jon Sobrino mengenai kristologi dan misi Yesus. Sebagaimana yang dikutip Knitter dalam bukunya Menggugat Arogansi Kekeristenan, Sobrino menegaskan bahwa, Pertama, “Yesus bukanlah yang pokok pada diri-Nya sendiri” (kristosentris), kedua, “Yang pokok bagi Yesus tidak hanya Allah,” maksudnya adalah, Yesus tidak hanya mewartakan Allah, Allah tidak hanya dan sama sekali tidak secara absolut merupakan referansi utama Yesus (Teosentris), ketiga, “Pokok perhatian Yesus juga bukan Gereja atau Kerajaan surga” (eklesiosentris). Namun “yang utama bagi Yesus adalah Kerajaan Allah” (Soteriosentris). 80 Kerajaan Allah yang dimaksud adalah realitas duniawi, yaitu kerajaan Allah yang hadir di dunia dimana Yesus mengarahkan tindakan-Nya untuk perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih baik bagi orang-orang disekitarnya, terutama yang menderita. Singkatnya, bagi Sobrino, Kerajaan Allah adalah “segala 79
Knitter memakai kata Yunani soteria sebagai istilah yang heuristik atau petunjuk arah
untuk menegaskan bahwa keperihatinan terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan dapat menjadi titik berangkat atau pertemuan untuk berdialog. Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 53, dan Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 291. 80
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 177.
82
sesuatu yang memajukan kesejahteraan manusia dan menghilangkan penderitaan.” 81 Dari penjelasan Jon Sobrino, yang dimaksud Knitter dengan soteria, yaitu upaya mensejahterakan dan membebaskan orang-orang yang tertindas dari penderitaan, termasuk penderitaan dunia, dalam istilah Knitter, eko-manusiawi. Pendekatan
soteriosentris
dapat
dibedakan
dari
kristosentrime
atau
teosentrisme, yaitu dalam soteriosentrisme adanya pengakuan yang eksplisit bahwa di hadapan misteri soteria, tidak satu pun perantara atau sistem lambang yang mutlak. Perspektif soteria yang diberikan oleh seorang perantara selalu terbuka untuk diperjelas, dilengkapi, barangkali dikoreksi oleh pandangan-pandangan perantaraperantara lain. 82 Knitter megajukan kriteria soretiosentris, di mana tidak perlu menggiring pada suatu bentuk fondasionalisme di luar praksis pembebasan dan dialog. kriteria soteriosentri berfungsi sebagai sebuah perangkat yang heurustis dan bukan sebagai sebuah basis yang didefinisikan. Kriterianya dapat dikenal hanya di dalam praksis sesungguhnya dalam bergumul untuk mengatasi penderitaan dan penindasan dan hanya dalam praksis dialog. Misalnya, apa cara terbaik untuk menghapuskan penderitaan dan penindasan? Analisis sosial-budaya apakah yang dibutuhkan? Transformasi pribadi atau perubahan kesadaran apakah yang dibutuhkan? Pengutamaan kaum miskin tidak meberikan jawaban-jawaban yang sudah baku terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, titik tolak untuk bergumul 81
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 179-180.
82
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 298.
83
bersama, menuju jawaban-jawaban yang diberiakan dalam pengutamaan fundamental untuk, dan dalam komitmen kepada, kaum tertindas. Meskipun kemungkinan ada kesepakatan umum tentang bagaimana meningkatkan keadilan dan menyingkirkan penindasan, setaip agama atau tradisi akan mempunyai pemahamannya sendiri tentang apa yang dilahirkan oleh soteria atau pembebasan. 83 Jadi, untuk menghindari relativisme, imperialisme dan fondasionisme, Knitter mengajukan semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama. Konteks bersama akan membantu agama-agama untuk menilai satu sama lain. Konteks bersama tersebut adalah soteriasentris (Kerajaan Allah). Kerajaan Allah yang dimaksud adalah realitas duniawi, yaitu kerajaan Allah yang hadir di dunia dimana Yesus mengarahkan tindakan-Nya untuk perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih baik bagi orang-orang disekitarnya, terutama yang menderita, termasuk bumi yang semakin lama semakin rusak. Konteks ini lebih dikenal dengan sebutan tanggung jawab global. Meletakkan tanggung jawab global sebagai konteks bersama, bukanlah sebagai pereduksian agama pada moralitas. Namun, berdasarkan unsuru-unsur hakiki yang ada dalam agama, yaitu spirit transformatif. Agama-agama pada dasarnya bertujuan mengantar orang pada transformasi diri, disamping itu faktanya bahwa ajaran agama memilki sumber etis yang tidak hanya mengarah pada dunia lain (eskatologi).
83
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 295-297.
84
D. Dialog Korelasional dan Tanggung Jawab Global Setelah membahas bagaimana Knitter memahami agama-agama lain tanpa meninggalkan kesetiannya terhadap kesaksian Kristus, ia juga menawarkan suatu konteks bersama, di mana semua agama dapat memberikan respon mereka yang berbeda-beda, suatu tanggung jawab bersama terhadap penderitaan eko-human. Seluruh gagasan teologis Knitter itu akhirnya berakhir pada, apa yang disebutbya sebagai, dialog korelasional yang bertanggung jawab secara global. Oleh karena itu, penulis akan sedikit mereview rumusan teologi agama-agama Knitter, kemudian dihubungkan dengan dialog antar-agama sebagai tujuan dasar teologi Knitter. Ada dua kata kunci penting di sini. Pertama, kata korelasional, yang berarti hubungan dialogis dua arah dan dilakukan dalam suatu komunitas yang egaliter dan bukan hierarkis. Tidak boleh ada pihak yang lebih unggul (kelemahan dasar eksklusivisme), apalagi yang menjadi "norma" (kelemahan dasar inklusivisme yang bersandar pada Kristus sebagai norma). Dialog juga sebaiknya tidak berhenti pada relativisme (kelemahan dasar pluralisme). Dengan demikian, dialog semacam ini berupaya melaksanakan suatu dialog yang benar-benar korelasioanal antar agama, suatu dialog di mana semua pihak bisa
85
saling mendengar dan menantang, suatu hubungan dialogis yang otentik dan sungguh timbal-balik di antara komunitas-komunitas agama di dunia. 84 Kedua, tanggung jawab global. Bagi Knitter, tanggung jawab global harus merupakan konteks, basis, titik berangkat, atau sasaran semua praktek dialog antaragama. Melaksanakan suatu dialog antar-agama yang soteriosentris yang memiliki tanggungjawab global sebagai konteksnya, titik berangkatnya, dan tujuannya adalah mengusulkan suatu dialog di mana praksis memainkan peranan penting. Mitra dialog tidak boleh hanya berbicara tentang tradisi religius mereka masing-masing tetapi juga tentang bagaimana tradisi itu bisa dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer kita. Dialog harus menghubungkan tradisi kita dengan pengalaman kita dan dunia ini. Penderitaan itu universal dan bersifat langsung sehingga menjadi ranah yang sangat cocok, dan diperlukan untuk membangun suatu dasar bersama dalam melaksanakan perjumpaan antar-agama. Oleh karena itu, suara korban yang tersingkir, termasuk mereka yang berbicara atas nama Bumi yang dikorbankan, memiliki tempat terhormat dalam dialog, bukan karena mereka begitu berbeda, tetapi karena perbedaan mereka menantang dan bisa merusak atau mengalihkan kesadaran kita. 85 Dengan kata lain, tanggung jawab global menjadi "kunci teologis untuk mendengar dan memahami Injil dalam keterbukaan yang lebih dialogis terhadap 84
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 50.
85
Knitter, satu Bumi Banyak Agama, h. 122-135.
86
agama-agama lain", sekaligus sebagai “kunci hermeneutis untuk mendengar dan memahami keberlainan dan perbedaan-perbedaan yang ada dalam berbagai jalan rohani lainnya.” 86 Bagi Knitter, kebutuhan akan teologi seperti itu merupakan upaya kekristenan dalam menjawab tantangan zaman yang paling krusial pada abad ini. Senada dengan Hans Küng mengenai etika global, bahwa keprihatinan bagi suatu dialog harus dipadukan dengan keprihatinan terhadap keadilan. Dengan kata lain, dialog antar-agama harus memasukkan masalah etis di balik penderitaan manusia dan bumi sebagai agenda yang paling mendesak. 87 Penderitaan manusia dan lingkungan dapat menjadi konteks dan kriteria bersama bagi semua umat beragama untuk menilai berbagai klaim kebenaran religius, karena hal tersebut universal dan langsung. Sifatnya yang langsung ini memampukan agama-agama untuk saling menatap dan bertanya dan kemudian bergabung dalam penilaian bersama terhadap kebenaran. Namun, dapatkah soteria benar-benar berfungsi sebagai kaca mata bersama di antara berbagai umat beragama yang jelasjelas memilki cara pandang yang berbeda terhadap penderitaan manusia dan lingkungan? Oleh karenanya, tidaklah cukup bahwa para peserta dialog antar-agama hanya “mengingat” kenyataan penderitaan, korban ketidakadilan manusiawi dan ekologis. Yang menderita, para korban, harus turut menentukan agenda dialog, prosedur, format, tempat dan juga bahasanya. Dengan kehadiran aktif suara mereka yang 86
Knitter, satu Bumi Banyak Agama, h. 53.
87
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 14-15, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39-42.
87
menderita dalam wacana antar-agama, para peserta bisa menerapkan kriteria etispolitis 88 dengan lebih realistis dan efektif terhadap penderitaan yang dialami ekomanusiawi. Jadi, terutama dalam tingkat praktis ini, umat beragama dapat mengalami klaim kebenaran mereka sebagai absolut dan relatif. Absolut, ketika klaim mereka terhadap keadilan mengharuskan menolak klaim-klaim dari yang lain, pada saat yang sama mereka juga merangkul yang lain dan siap belajar dari yang lain tersebut (relatif). Jadi dengan proses dialog ̶ di mana satu visi keadilan bias memperlembut
,
mengkritik, dan memperdalam yang lain sehingga setiap visi menjadi lebih kaya dalam pemahaman dan penerapan ̶
keadilan bukan hanya ditegaskan, tetapi juga
diciptakan. Refleksi tentang kesejahteraan manusia dan lingkungan sebagai kriteria relatif-absolut semacam ini bisa berwawasan, bahkan juga inspiratif. 89 Dialog selalu merupakan langkah kedua, setelah praksis pembebasan, seperti apa yang dikatakan oleh para teolog pembebasan (teologi selalu merupakan langkah kedua). Melihat pembahasan sebelumnya, Knitter sangat menekankan praksis dalam teologi agama-agama, dan ini berdampak pada dialog yang juga harus didasarkan pada praksis. Ketika umat beragama berbagi pergumulan bersama sebagai umat beragama, mereka akhirnya akan berbicara tentang agama. Mereka akan berbagi apa
88
Kriteia ini bisa lebih dimengerti melalui pertanyaan, “Bagaimana pengalaman dan
keyakinan keagamaan kita bisa membuat dunia menjadi lebih baik, baik untuk kepentingankepentingan kita dan masyarakat?” 89
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 184-190.
88
yang menggerakkan dan menuntun mereka dalam ketekunan mereka mengobati penderitaan sesama dan bumi ini. Dari hal itu lah dialog praksis diarahkan. Di dalam metode yang liberatif atau yang bertanggungjawab secara global, roda hermeneutik berputar dengan empat jari-jari yang terus-menerus saling mengajak dan membantu. Semua kata yang menggambarkan empat jari-jari ini mulai dengan awalan atau preposisi cum (“with”) yang diinggriskan: com-passion, conversion, col-laboration, com-prehension. 90 Compassion (belas kasih) adalah gerakan pertama menuju perjumpaan antarumat berbeda agama. Mereka yang merasakan hal tersebut akan mendapatkan diri mereka terhubung dua arah: dengan para korban dan dengan mereka yang menanggapi dengan belas kasih yang sama. Dari sinilah, awal prinsip persatuan dapat ditemukan antar berbagai agama. Conversion 91 (pertobatan) yaitu merasa bersama, dan bagi sesama yang menderita berarti merasa diklaim oleh mereka. Mereka bukan hanya menyentuh perasaan kita, tetapi juga mengajak kita memberi tanggapan. Sesungguhnya, merasa berbelas kasih berarti bertobat; hidup kita berbalik dan berubah. Maksudnya adalah, adanya suatu keinginan untuk bersama-sama dengan berbagai agama lain yang juga
90 91
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 199-202. Menurut penulis, conversion semacam kesadaran terhadap penderitaan orang lain atau lebih
dikenal dengan istilah empati yang menuntut tanggapan dari berbagai pihak.
89
mengalami conversion, ketika mereka yang menderita “menuntut” tanggapan terhadap penderitaan dan ketidakadilan yang mereka derita. 92 Namun ini adalah pertobatan bersama. Jadi dalam pertemuan-pertemuan awal dari satu dialog liberatif, umat berbeda agama akan berbicara tentang bagaimana mereka merasa berbelas kasih dan bagaimana mereka merasa diubah oleh berbagai pengalaman ketidakadilan atau penderitaan manusia dan lingkungan atau bagaimana mereka sendiri menjadi korban. Hal ini yang membuat mereka dapat berkumpul bersama dan memberi tanggapan dengan jalan masing-masing. Collaboration (kolaborasi). Rasa belas kasih terhadap penderitaan dan bertobat atas penyebabnya akan memungkinkan lahirnya tindakan, yaitu suatu kolaborasi terhadap penderitaan. Di sinilah letaknya pusat praksis liberatif yang akan mempererat ikatan eksistensial manusia di antara umat yang berbeda latar belakang agama. Praksis ini menunjuk agar sesudah menyetujui masalah-masalah yang akan ditangani, para peserta dialog berupaya mengidentifikasi dan memahami asal-usul atau penyebab masalah-masalah tersebut. Ini membutuhkan semacam analisis sosioekonomi bersama. 93 Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk saling mendengarkan analisis dan usulan masing-masing yang berakar di dalam dan ditopang oleh sikap belas kasih terhadap mereka yang menderita. Jadi, keprihatinan utama yang mengarahkan pembicaraan bukanlah keinginan masing-masing untuk memperkenalkan agenda atau 92 93
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 203. Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 204-205.
90
keyakinan religius masing-masing, tetapi keinginan untuk menghapus penderitaan dan memperbaiki keadaan. Lebih efektif lagi, segala upaya yang dilakukan oleh berbagai agama dalam membangun kolaborasi dari dalam kepelbagaian analisis dan rencana akan dituntun dan selalu dikoreksi oleh para korban dan kaum miskin yang tengah berjuang. Mereka berfungsi sebagai “wasit” di antara berbagai pemikiran umat beragama yang berbeda-beda. Comprehension (pemahaman), terlaksana setelah berbagai agama ini bertindak dan merasakan penderitaan para korban dari bumi ini, kini mereka akan merenungkan dan berbicara tentang berbagai keyakinan dan motivasi religius mereka. Mereka mulai berusaha “mendengar kembali” atau “meninjau ulang” kitab suci, keyakinan dan kisah masing-masing serta kemudian menjelaskannya bukan hanya kepada mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain tentang apa yang menggerakkan dan menuntun serta melestarikan sikap belas kasih, pertobatan, dan kolaborasi mereka demi kesejahteraan manusia dan lingkungan. 94 Dengan demikian, keempat komponen tersebut ̶ compassion, conversion, collaboration, comprehension ̶ dapat menghasilkan penegakan keadilan, dan tidak hanya itu, komunikasi dan saling pengertian di antara berbagai agama akan semakin terjalin dengan baik. Menurut Knitter, agama-agama di dunia ini harus bersekutu (bersatu), bukan untuk membentuk suatu agama tunggal (absolut), tetapi suatu komunitas dialogis dari
94
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 205-207.
91
berbagai komunitas. Oleh karena itu diperlukan komunitas basis manusiawi seperti, Parlemen Agama-Agama Sedunia (World Parliament of Religions) di Chicago 1993 dan di Cape Town tahun 1999. Dalam perkumpulan itu, para tokoh agama-agama besar dunia menekankan akan pentingnya kerjasama antar agama. 95 Komunitas basis manusiawi diharapkan bukan hanya sebagai suatu sarana berbagai agama untuk menaggapi penderitaan manusia dan lingkungan, tetapi juga sebagai salah satu cara untuk mencegah penyalahgunaan agama, seperti pengeksploitasian agama untuk tujuan-tujuan politik yang terdapat di India. Jadi hal pertama yang dilakukan dalam membangun komunitas berbasis manusiawi yang terdiri dari banyak umat beragama yang berbeda-beda, adalah mencurigai kejahatan yang telah terjadi atau sedang terjadi atas nama agama. Dalam komunitas ini, upaya mereka untuk saling berinteraksi harus juga melibatkan keprihatinan bersama tentang kesejahteraan manusia dan ekologi. 96 Jadi prioritas utama sebagai tipe dialog yang liberatif dan bertanggungjawab secara global adalah dialog aksi. Akan tetapi, walaupun demikian dialog semacam itu harus juga mencakup dialog studi dan dialog spiritualitas agar dapat kuat dan berputar. 97 Dengan demikian, dialog korelasional dan bertanggung jawab global yang diusung Knitter adalah suatu dialog di mana semua pihak bisa saling mendengar dan
95
Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, h. 9.
96
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 208-221.
97
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 221-222.
92
menantang, suatu hubungan dialogis yang otentik dan sungguh timbal-balik di antara komunitas-komunitas agama di dunia, serta bertanggung jawab terhadap pembebasan dan keadilan eko-manusiawi. Oleh karena itu, suara korban yang tersingkir, termasuk mereka yang berbicara atas nama bumi yang dikorbankan, memiliki tempat terhormat dalam dialog. Dalam metode dialog, Knitter mengajukan empat langkah, compassion, conversion, collaboration dan comprehension yang berlangsung dalam komunitas basis manusiawi. Diharapkan komunitas basis manusiawi, setelah melalui langkahlangkah tersebut, akan saling memahami satu sama lain, bersama-sama menanggapi penderitaan manusia dan lingkungan serta mampu mencegah penyalahgunaan agama. Dengan melihat teologi agama-agama Knitter, penulis berpendapat bahwa Knitter adalah seorang teolog yang selalu gelisah dan sangat berhati-hati terhadap apa yang diyakininya. Ia juga seorang yang selalu ingin berubah menjadi lebih baik lagi, dinamis dan tidak fanatik terhadap pandangan tertentu. Sikap Knitter terhadap agama-agama lain yang selalu berubah dan dinamis, merupakan pengaruh dari Whitehead, seorang filosof yang mengedepankan filsafat proses dalam metode filsafatnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dari perspektif teologis Knitter terhadap agama lain yang selama perjalanan hidupnya selalu berubah-ubah, dari eksklusif, inklusif, pluralis, dan akhirnya pluralis yang korelasional, yang ia ceritakan secara jujur dalam autobiografisnya pada Satu Bumi Banyak Agama dan Menggugat Arogansi Kekeristenan.
93
Knitter juga termasuk orang yang berani mengkritik pandangan teolog-teolog lain seperti John Hick dengan relativismenya, Hans Küng dengan finalitas Kristus, dan Scubert Odgen yang hanya berani menyatakan adanya kemungkinan kebenaran dalam agama-agama lain. Meskipun hal tersebut tidak murni dari pemikirannya sendiri, Knitter mengakui bahwa pemikirannya tersebut merupakan “adopsi” dari berbagai perspektif teologi yang diramunya sehingga melahirkan teologi korelasional yang bertanggung jawab global. Menurut penulis, kekurangan dari teologi agama-agama Knitter adalah penekanannya pada sisi sosiologis dari pada teologis. Sedangkan teologi agamaagama seharusnya lebih banyak berbicara pada tataran teologis. Terlepas dari itu, suatu hal yang menarik dari Knitter adalah bahwa ia tidak hanya seorang pemikir, akan tetapi ia juga termasuk seorang aktivis. Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaannya pada aksi kemanusiaan di El-Savador dan India.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Knitter menyadari bahwa ada banyak agama yang benar dan menyelamatkan dan bahwa agama Kristen merupakan salah satu cara di mana Allah menyentuh dan merubah dunia, sebagaimana Hick berpendapat bahwa agama-agama adalah respon manusia terhadap Yang Nyata, namun tetap menekankan diversitas agama-agama, bahwa agama-agama itu berbeda termasuk dalam tujuan dan keselamatan. Selain mengakui eksistensi agama lain, umat Kristen juga harus tetap melihat ada perbedaan besar antara Kristen dan agama lain yang tidak mungkin disatukan, sehingga setiap agama meyakini doktrin agama mereka masing-masing, namun tetap terbuka terhadap perbedaan tersebut. Selanjutnya untuk mengenal dan memahami agama lain dilakukan melalui dialog yang korelasional, dimana setiap agama memiliki hak yang sama dalam berdialog, tidak ada yang mendominasi agama lain. Dengan
demikian,
ketika
berdialog
setiap
agama
tidak
perlu
menanggalkan keunikannya masing-masing sebagai komitmen terhadap agama yang dianutnya. Akan tetapi, yang perlu dihilangkan adalah sikap eksklusif dan inklusif dari setiap agama. Bagi Knitter, pengakuan akan nilai agama-agama lain tidak mengurangi kesetiaan umat Kristen terhadap Kristus, bahkan memampukan mereka untuk
94
95
mengaktualisasikan karya Yesus dalam keterlibatan dengan agama-agama lain. Oleh karena itu, ia “menerjemahkan ulang” klaim kristologi tradisional tentang keunikan Yesus. Dengan menekankan praksis dalam kristologi, klaim bahwa Yesus satu-satunya, absolut, normatif, dan final harus ditolak, kemudian memunculkan interpretasi baru bahwa Yesus “sungguh-sungguh, tapi bukan satusatunya”, bahwa pesan-Nya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan penindasan, kemudian pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan mengembangkan kerajaan Allah. Dengan demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya yang juga unik, Ia akan menjadi juruselamat yang universal, bersamasama dengan para juruselamat lain yang universal. Knitter berpendapat bahwa memaksakan pemahaman tentang Yang Ilahi berarti sama seperti dengan imperialisme atau penjajahan keyakinan orang lain, sebab tidak semua agama berbicara mengenai Yang Ilahi. Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah landasan etis bersama, suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, tanggung jawab global. Tanggung jawab global, bagi Knitter, merupakan konteks yang dapat menyatukan berbagai agama-agama yang jelas berbeda, walaupun dengan respon yang tidak satu. Teologi agama-agama Knitter tidak dapat dipisahkan dari dialog antar agama, karena dialog merupakan sarana untuk mempelajari lebih dalam keyakian pribadi maupun keyakinan orang lain. Oleh karena itu, Knitter mengusung suatu
96
bentuk dialog korelasional dan bertanggung jawab global, di mana semua pihak bisa saling mendengar dan menantang, suatu hubungan dialogis yang otentik dan sungguh timbal-balik di antara komunitas-komunitas agama di dunia, serta bertanggung jawab terhadap pembebasan dan keadilan eko-manusiawi. Atas dasar tersebut, suara korban yang tersingkir, termasuk mereka yang berbicara atas nama Bumi yang dikorbankan, memiliki tempat terhormat dalam dialog. Dalam metode dialog, Knitter mengajukan empat langkah, compassion, conversion, collaboration dan comprehension yang berlangsung dalam komunitas basis manusiawi. Diharapkan komunitas basis manusiawi, setelah melalui langkah-langkah tersebut, akan saling memahami satu sama lain, bersama-sama menanggapi penderitaan manusia dan lingkungan serta mampu mencegah penyalahgunaan agama.
B. Saran Agar tercipta pola hubungan antar-agama yang relasional, dialogis dan peduli terhadap penderitaan bangsa Indonesia, penulis mengharapkan pemerintah bersama tokoh agama duduk bersama mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah hubungan antar agama yang kurang harmonis. Salah satu contohnya adalah, penguatan fungsi, revitalisasi, FKUB dalam menyelesaikan perseteruan antar agama. Selain itu, penulis berharap forum dialog antar umat agama ditingkatkan, mulai dari tingkat desa hingga perkotaan yang tidak hanya berbicara tentang
97
keyakinan masing-masing pemeluk agama, tetapi juga berusaha mencari solusi terbaik bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang tertindas dan juga mengenai problem-problem mendasar dari kerusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiprasetya, Joas. "Etikosenrisme Hans Küng dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter". Dalam Soegeng Hardiyanto. Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf Herbert Schumann. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. Coward, Harold. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Terj. Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1989. Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Cet 1. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997. Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap AgamaAgama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama. Ende: Arnoldus Ende Flores, 1966. Dokumen Konsili Vatikan II. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Yayasan Obor, 1993. Hick, John. Tuhan Punya Banyak Nama. Terj. Amin Ma’ruf dan Taufik Aminuddin. Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 2006. ________. “Religious Pluralism”. Dalam Mircea Eliade, ed. In Chief, The Encyclopedia of Religion. 16 Volume. New York: Macmillan Library Reference, 1995, 11: 331-333.
Heuken, Adolf. Ensiklopedia Gereja, Jilid III: H-J. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004. ________. Ensiklopedi Gereja, Jilid VII: Pi-Sek. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005. ________. Ensiklopedi Gereja, Jilid IV: Ph- To. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994. Kamus
Dwibahasa Oxford-Erlangga. (Jakarta: Erlangga, 1993)
Inggris-indonesia
indonesia-inggris,
Kh., U. Maman, et. al, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006. Knitter, Paul F.. Pengantar Teologi Agama-Agama. Terj. Nico A. Likumahua. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
________. Menggugat Arogansi Kekeristenan. Terj. M. Purwatman. Yogyakarta: Kanisius, 2005. ________. “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”. Dalam John Hick & Paul F. Knitter, ed. Mitos keunikan Agama Kristen. Terjemahan. Jakarta: PT PBK Gunung Mulia, 2001. ________. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions. Maryknoll: Orbis, 1985. ________. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global. Terj. Nico A. Likumahua. Jakarta: Gunung Mulia, 2008. Moqsith Ghazali, ABD. Argumen Pluralismee Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Depok: KataKita, 2009. Munawar Rachman, Budi. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001. O’Colins, Gerald dan Farrugia, Edward G. Kamus Teologi. Terj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996. Pannikar, Raimundo. Dialog Intrarelogius. Terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal. Cet ke-3. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2008. Rianto, Armada. Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Salim, Peter. Salim's Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press, 2000. Siburian, Togardo “Tren-Tren Teologis dalam Spirit Pascamodernisme”. Dalam Jurnal Teologis Stulos. Bandung: Yayasan STT Bandung, September 2009. Sukanto, Suryono. Kamus Sosiologi. cet. 3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993. Swidler, Leonard dan Paul Mojzez, ed.. The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F. Knitter. Maryknoll: Orbis Books, 1997. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet. 3. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: CeQDA UIN Jakarta, 2007. Whaling, Frank. “Pendekatan Teologis”. Dalam Peter Connolly, ed. Aneka Pendekatan Studi Agama. Terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002.
Website : Paul F. Knitter, artikel diakses pada 03 Juni 2010 dari situs resmi Union Theological Seminary New York, http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381