FAKTOR YANG MEMENGARUHI USIA NIKAH DAN TINGKAT PERCERAIAN DI SINGAPURA Tanjung Ciptosari
Skripsi Pembimbing 1 : Nanang Martono, M.Si. Pembimbing 2 : Tri Rini Widyastuti, M.Si. Penguji : Dra. Sotyania Wardhiana, M.Kes. Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed
ABSTRAK Artikel ini menjelaskan hubungan variabel agama, jenis kelamin, dan etnis dengan usia nikah dan tingkat perceraian di Singapura. Ketiga variabel tersebut memengaruhi keuputusan seseorang untuk menikah maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Oleh karena itu, pernikahan maupun perceraian tidak hanya dipengaruhi oleh keputusan pribadi, namun juga oleh faktor sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis data sekunder yang diambil dari Biro Statistik Singapura. Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan analisis kualitatif berupa studi pustaka. Adanya pengaruh faktor lingkungan sosial tersebut menyebabkan perubahan sosial yang ada pada lingkungan sosial memengaruhi perubahan dalam usia nikah dan tingkat perceraian. Salah satunya adalah pergeseran usia nikah yang semakin meningkat di Singapura. Hal tersebut menyebabkan Pemerintah Singapura terus mencari cara untuk meningkatkan minat warganya untuk menikah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya adanya pemberian insentif bagi wara yang bersedia menikah muda. Kesimpulannya terdapat hubungan antara agama dan jenis kelamin dengan usia nikah serta etnis dan jenis kelamin dengan tingkat perceraian. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pernikahan dan perceraian merupakan hak individu. Seorang lakilaki maupun perempuan berhak untuk memutuskan kapan menikah maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Namun, ada bermacam-macam faktor yang penting untuk menganalisis pernikahan maupun perceraian. Hal ini dikarenakan ada beberapa adat kebiasan yang memengaruhi pernikahan dan perceraian (Abdurahman, 2004). Pernikahan dan perceraian terkait dengan dua hal. Pertama, keputusan seseorang untuk menikah atau bercerai merupakan keputusan pribadi yang terkait dengan prinsip dan kepribadian seseorang. Kedua, keputusan untuk menikah atau bercerai juga terkait dengan faktor
2
lingkungan sosial, yaitu faktor yang berasal dari lingkungan tempat hidup individu tersebut tinggal. Pada lingkungan tersebut, terdapat normanorma sosial yang telah dipelajari individu melalui sosialisasi, sehingga norma-norma tersebut dapat memengaruhi keputusan individu untuk menikah maupun bercerai. Perilaku manusia memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor di luar individu, yakni lingkungan sosial. Oleh karena itu, perubahan sosial turut serta berpengaruh pada perilaku individu, khususnya dalam hal pernikahan dan perceraian. Beberapa hal yang termasuk dalam lingkungan sosial yaitu etnis dan agama, sedangkan faktor yang berasal dari individu itu sendiri salah satunya adalah jenis kelamin. Agama seringkali dianggap memengaruhi usia nikah dikarenakan adanya doktrin-doktrin yang dijadikan pedoman oleh umatnya. Hukum Islam misalnya, mengijinkan seorang gadis dinikahkan tanpa pandang umur, tetapi konsumasinya (hubungan kelamin yang pertama kali dilakukan setelah menikah) harus menunggu sampai ia mendapat haid pertama. Gereja Kristen menuntut agar seorang gadis yang mencapai usia 12 tahun dan seorang jejaka 14 tahun dapat menikah secara resmi (Lucas, 1982). Sama halnya dengan masalah usia nikah, doktrin agama juga mengatur masalah perceraian. Keputusan untuk bercerai jauh lebih sulit dijalankan daripada keputusan untuk menikah. Hal ini dikarenakan, adanya “label negatif” mengenai perceraian dari masyarakat. Label ”janda” atau ”duda” seringkali bernilai negatif di mata masyarakat daripada label ”tuan” ataupun ”nyonya”. Meskipun demikian, hukum agama menjadi salah satu pertimbangan yang penting dalam memutuskan untuk bercerai. Di dalam ajaran Katolik, gereja tidak mengakui perceraian, namun di kalangan ini lazim dikenal istilah pembatalan pernikahan. Bagi kaum Hindu, perceraian diijinkan di seluruh India dengan dikeluarkannya Akte Perkawinan Hindu tahun 1955. Walaupun pada tahun 1966, Kapadia menulis bahwa ”prinsip perceraian adalah asing bagi pola sosial yang telah dianut kaum Hindu selama berabad-abad” (Lucas, 1982). Faktor sosial lain yang dapat memengaruhi pernikahan dan perceraian adalah faktor etnis. Di beberapa kelompok etnis tertentu, terdapat sanksi sosial bagi pasangan yang bercerai. Hal ini mungkin tidak berlaku di kelompok etnis lain. Di Amerika misalnya, perceraian merupakan hal yang lazim (Weeks, 1992). Di lain pihak, masyarakat Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Itali tidak memperkenankan adanya perceraian, meskipun orang-orang Protestan di Portugal dan Spanyol dapat mengadakan perceraian (Goode, 1985). Jenis kelamin juga memiliki korelasi dengan usia nikah pertama. Laki-laki dianggap masyarakat memulai pernikahan di usia yang lebih tua dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki tanggung jawab untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Berbeda
3
dengan laki-laki, perempuan seringkali menikah di usia yang lebih dini dikarenakan perempuan memiliki batas usia reproduksi. Selain itu, label perawan tua dari masyarakat jauh lebih “kejam” daripada label bujang lapuk. Agama, etnis, dan jenis kelamin menjadi faktor sosial yang memengaruhi usia nikah dan perceraian. Doktrin agama maupun normanorma sosial dalam suatu etnis merupakan faktor sosial yang turut menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan usia nikah dan atau mengakhiri perceraian. Dengan demikian, ketika terjadi perubahan sosial dalam faktor-faktor tersebut, maka usia nikah dan tingkat perceraian dapat pula berubah. Melonjaknya usia nikah merupakan suatu gejala perubahan sosial untuk wanita di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara (Lucas, 1992). Salah satu negara yang mengalami hal tersebut adalah Singapura. Keengganan wanita Singapura untuk menikah menyebabkan Pemerintah Singapura tengah mencari cara untuk meningkatkan minat warganya untuk menikah di usia yang lebih dini. Ada beberapa hal yang menarik dari penelitian mengenai faktor yang memengaruhi usia nikah dan tingkat perceraian di Singapura: 1. Ketersediaan data dari Biro Statistik Singapura mengenai hubungan antara etnis, agama dan jenis kelamin dengan usia nikah dan tingkat perceraian. 2. Pemerintah Singapura memberikan insentif bagi para mahasiswa yang bersedia menikah muda dan memiliki anak (Sereviratne, 2008). 3. Singapura mengalami boom population pascalepas dari Malaysia pada 1965, namun terus mengalami penurunan angka kelahiran seiring dengan meningkatnya kemajuan bangsa itu. 4. Singapura merupakan negara yang terdiri atas beberapa etnis dan agama. Etnis di Singapura terdiri dari etnis China, India, dan Melayu dengan jumlah terbesar dari etnis China. Meskipun China dan India dianggap sebagai etnis yang paling banyak memiliki anak karena kedua negara itu memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, namun kedua etnis tersebut di Singapura menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Pemerintah Singapura menganjurkan agar para warganya menikah di usia yang lebih dini. Namun berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan, pernikahan di usia muda seringkali dianggap mengandung resiko kesehatan bagi perempuan seperti kematian ibu karena melahirkan (Anonim 1, tanpa tahun). 2. Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah hubungan agama dengan usia nikah di Singapura? b. Bagaimanakah hubungan jenis kelamin dengan usia nikah di Singapura?
4
c. Bagaimanakah hubungan etnis dengan tingkat perceraian di Singapura? d. Bagaimanakah hubungan agama dengan tingkat perceraian di Singapura? 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. menjelaskan hubungan agama dengan usia nikah di Singapura. b. menjelaskan hubungan jenis kelamin dengan usia nikah di Singapura. c. menjelaskan hubungan etnis dengan tingkat perceraian di Singapura. d. menjelaskan hubungan agama dengan tingkat perceraian di Singapura. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan khususnya di bidang kependudukan bagi Pemerintah Singapura. Bagi Pemerintah Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan di bidang kependudukan khususnya mengenai pencatatan kependudukan. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Teori Kapilaritas (Arsene Dumont) Menurut teori ini, setiap orang memiliki kecenderungan untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi dalam lingkungan sosialnya. Ketika proses naik ke atas ini, ia makin lama makin kurang suka memproduksi anak, dan makin lepas dari lingkungan natural dan dari keluarganya, dan selanjutnya juga dari kesejahteraan bangsanya. Selain itu, Dumont mengatakan bahwa gerakan dari kelas ke kelas tersebut merupakan akibat langsung dari tingkat kelahiran: perkembangan jumlah dalam suatu bangsa berbanding terbalik dengan perkembangan perorangannya (Prawiro, 1981). Salah satu negara yang tengah mengalami hal tersebut adalah Singapura. Saat ini Singapura bukanlah negara miskin, tapi telah berkembang pesat. Singapura giat mendorong negaranya untuk lebih maju dalam perekonomian (Wong, 1999). “Singapore is remarkable success story of a country. It has recorded enormous economic gowth that it has been dubbed one of Asia’s strongest economies. In 1959 its per capita GNP was US$ 443, and in 1999 it reached US$ 32.810. Modern economic growth, as emphasised by Nobel Kuznets, is always accompanied by structural change”. Pertumbuhan ekonomi modern tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Kuznets, diikuti oleh perubahan struktural. Meningkatnya perekonomian Singapura menyebabkan tingginya usia nikah sehingga angka kelahiran rendah. Pascalepas dari Malaysia tahun 1965, Singapura mengalami krisis ekonomi dan sosial. Pemerintah Singapura kemudian
5
mendirikan Program Keluarga Berencana dan berusaha menggerakkan bangsanya menuju roda perekonomian yang jauh lebih baik (Anonim 2, tanpa tahun). Kebijakan ini berhasil menurunkan angka kelahiran dan sedikit demi sedikit memperbaiki roda perekonomian Singapura. Namun kesempatan ekonomi yang semakin luas membuat penduduknya lebih memilih untuk mengembangkan karier mereka dengan menunda pernikahan. Selain itu, kesempatan karier yang semakin luas ini juga menyebabkan keputusan untuk bercerai semakin mudah. Hal ini dikarenakan peningkatan karier menyebabkan tingkat ketergantungan antarpasangan makin menurun. Oleh karena itu, teori kapilaritas ini dapat berlaku di Singapura. Pernyataan Dumont bahwa perkembangan jumlah suatu bangsa berbanding terbalik dengan perkembangan perorangannya berlaku di Singapura. 2. Faktor yang Memengaruhi Usia Nikah Menurut Biro Statistik Singapura pernikahan adalah ikatan sah antara dua orang berlainan jenis yang telah dicatatkan pada instansi pemerintah dan merupakan pernikahan pertama. Pada sebagian masyarakat perempuan melakukan hubungan seks pada masa remaja karena mereka diharapkan menikah dan melahirkan anak pada usia muda. Pada masyarakat lainnya, pernikahan biasanya dilangsungkan pada usia sedikit tua, tetapi seks pranikah sudah biasa. Sebagian masyarakat dipastikan sedang berada dalam masa transisi dari norma sosial yang satu ke yang lain (Anonim 1, tanpa tahun). Menurut Wongkaren (2000) pendidikan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi usia nikah. Adanya program wajib belajar dari pemerintah misalnya, membuat para pelajar menunda usia nikah karena bersekolah. Hasil penelitian Dommaraju (tanpa tahun) menunjukkan bahwa kelompok perempuan yang menikah muda merupakan yang paling sedikit mendapat pendidikan dibanding dengan kelompok lain. Hasil penelitian Davis dan Blake (dalam Singarimbun, 1982) menunjukkan bahwa pada masyarakat berkembang pada umumnya memiliki suatu tingkat reproduksi yang tinggi dari masyarakat industri. Akibat terancamnya masyarakat-masyarakat pra-industri oleh mortalitas yang tinggi, Sebaliknya, masyarakat industri memperlihatkan nilai fertilitas yang rendah untuk variabel-variabel yang menyangkut tingkattingkat permulaan proses produksi, khususnya usia kawin, proporsi yang berstatus kawin dan penggunaan kontrasepsi. 3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Perceraian Perceraian adalah pernyataan wakil masyarakat bahwa perkawinan itu telah dibatalkan. Perceraian juga diartikan sebagai perubahan dari status kawin menjadi status cerai. Perkawinan yang sah dapat berubah atau rusak karena bercerai, ditinggal mati salah satu pasangan atau ditangguhkan. (Edeng, 2004). Perceraian yang dimaksudkan dalam penelitian ini berakhirnya masa perkawinan yang telah diputuskan oleh
6
pengadilan. Perceraian di sini hanya melihat perceraian yang dicatatkan di biro statistik. Menurut Wongkaren (2000), perceraian disebabkan oleh beberapa faktor. Namun, penyebab perceraian lebih beragam dan bervariasi. Penyebab tersebut dapat berupa masalah keuangan, anak, ketidakcocokan latar belakang dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan Olson dan Defrain (dalam Wongkaren, 2000) menyebutkan ada empat penyebab umum perceraian: penyelewengan, hilangnya perasaan cinta, masalah emosional dan masalah keuangan. Becker (dalam Wongkaren, 2000) menyebutkan peningkatan pendidikan, independensi dan pendapatan perempuan, serta perubahan institusi masyarakat berkaitan dengan meningkatnya perceraian. Dahulu, perempuan sangat terikat pada laki-laki dalam pernikahan. Peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan membuat perempuan tidak lagi selalu harus tergantung pada suami. Kebijakan pemerintah tentang perceraian dapat berpengaruh pada tingkat perceraian di suatu negara. Hasil penelitian Ong (2003) menyebutkan bahwa di Singapura, permohonan perceraian dalam tiga tahun pertama tidak diizinkan, kecuali adanya izin dari pengadilan atas dasar bahwa pernikahan tersebut menimbulkan penderitaan pada pemohon atau terjadinya suatu kejahatan. Adanya kebijakan tersebut merupakan salah satu cara untuk menekan tingginya angka perceraian. 4. Hubungan Agama dengan Usia Nikah Agama dalam penelitian ini adalah suatu kepercayaan yang dianut umat beragama yang mana agama tersebut diakui oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah Singapura. Selain agama, usia nikah juga memiliki beberapa pengertian. Ahli demografi seringkali membedakan usia nikah dengan usia konsumasi perkawinan. Usia nikah merupakan usia saat seseorang berumah tangga, sedangkan usia konsumasi perkawinan merupakan usia saat pertama kali melakukan hubungan seksual setelah menikah (Lucas, 1982). Usia nikah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usia saat seseorang menikah untuk pertama kali dan tidak melihat usia konsumasi seseorang. Doktrin agama seringkali dianggap memengaruhi usia nikah penganutnya. Nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama tersebut merupakan pedoman hidup bagi penganutnya. Salah satu contoh menurut Goode (1985) adalah adanya fenomena kawin pada anak-anak di kalangan Hindu. Dalam agama Hindu bahwa semua gadis sudah harus menikah sebelum pubertas, dan hal itu memang dijalankan. Tahun 1891 umur rata-rata wanita pada waktu menikah ialah 12,5 tahun. Angka ini tidak berubah-rubah sampai sekitar 1930. Namun, hasil penelitian Jones (tanpa tahun) menunjukkan bahwa tingginya jumlah perempuan yang masih melajang tidak terbatas pada satu kelompok agama atau etnis. Terbukti, tren tidak terjadi dalam seluruh wilayah yang sama. Bahkan di
7
Filipina dan Thailand, proporsi perempuan yang belum menikah di usia 30 dan 40-an pada kedua negara tersebut relatif tinggi. 5. Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia Nikah Jenis kelamin dibedakan menjadi dua hal yaitu secara biologis dan secara sosial yang sering disebut dengan gender (Weeks, 1990). Secara biologis, jenis kelamin merupakan suatu kondisi untuk melihat laki-laki dan perempuan dengan melihat ciri fisik yang melekat. Secara sosial, jenis kelamin atau konstruksi sosialnya disebut gender, merupakan sifat yang dilekatkan oleh masyarakat pada laki-laki dan perempuan. Pada penelitian ini, jenis kelamin yang dimaksudkan adalah perbedaan secara fisik (sex) antara laki-laki dan perempuan yang dapat dilihat, namun juga melihat pandangan masyarakat terhadap kedua jenis kelamin tersebut. Laki-laki diposisikan sebagai kepala rumah tangga saat ia menikah. Artinya, ia memiliki beban sosial untuk menafkahi keluarga. Alasan itulah yang seringkali menyebabkan laki-laki lebih lama mempertimbangkan untuk menikah, sehingga usia nikahnya lebih tua daripada usia nikah perempuan. Goode (1985) menyebutkan bahwa negara-negara di Afrika Utara dan timur Tengah, pria menikah pada usia yang relatif lebih tua daripada wanita di negara yang sama, bila dibandingkan dengan negaranegara Eropa Barat. 6. Hubungan Etnis dengan Tingkat Perceraian Etnis merupakan suatu kelompok atau kategori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan, bukan biologis (Sanderson, 1993). Pada penelitian ini, yang dimaksudkan dengan etnis adalah sekelompok orang yang berbeda secara budaya. Tingkat perceraian diartikan oleh Soekanto (1983) sebagai rasio perceraian yang terjadi dengan rata-rata penduduk selama periode tertentu. Tingkat perceraian diartikan secara demografi sebagai suatu angka perbandingan yang didalamnya terkait perceraian yang terjadi dalam jangka waktu tertentu (Prawiro, 1981). Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan tingkat perceraian adalah rasio mengenai perceraian yang terjadi pada rata-rata penduduk dalam satuan tahun. Setiap etnis memiliki norma-norma sosial masing-masing. Salah satu norma tersebut berkaitan dengan masalah perceraian. Perceraian di suatu etnis tertentu dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar, bahkan merupakan suatu aib. Namun, di etnis yang lain, perceraian dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Sebagai contoh di kalangan masyarakat timur, perceraian merupakan suatu hal yang memalukan karena kalangan ini masih menganggap bahwa pernikahan merupakan suatu lembaga yang sakral, sehingga bila terjadi perceraian hal itu merupakan suatu malapetaka. Selain itu, dalam kelompok etnis tertentu, penyebab perceraian juga telah “ditetapkan” dalam norma masyarakat. Sebagai contoh di Cina kuno (Goode, 1985) kekurangajaran seorang wanita
8
terhadap sanak suaminya yang lebih tua dipandang sebagai alasan yang cukup kuat untuk bercerai.
7. Hubungan Agama dengan Tingkat perceraian Perceraian merupakan hal yang tidak diharapkan oleh pasangan suami isteri. Namun, suatu pernikahan memiliki resiko untuk bercerai bila ada hal yang mendukungnya. Hasil penelitian Goode (1985) menunjukkan adanya pengaruh ajaran agama terhadap keputusan untuk bercerai. Penelitian ini tidak menunjukan sepatuh mana seseorang terhadap ajaran agamanya, tetapi hanya mengatakan status perkawinan atau pengalaman perceraian terhadap hubungan gereja yang formal. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa umumnya perkawinan antarpasangan yang berasal dari satu gereja sedikit kemungkinannya untuk bercerai. Jika kedua-duanya sama agamanya, sedikit atau tidak ada perbedaan terlihat antarangka-angka orang Yahudi, Protestan atau Katolik, menurut tiga penelitian yang ada. C. METODE PENELITIAN 1. Objek Penelitian Data sekunder berupa data statistik dari Biro Statistik Singapura pada tahun 2005 hingga tahun 2007. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dengan metode analisis data sekunder (ADS), sedangkan pendekatan kualitatif dengan menggunakan studi pustaka. ADS merupakan metode penelitian kuantitatif dengan memanfaatkan ketersediaan data pada beberapa dokumen statistik seperti yang dikeluarkan BPS atau masih berupa data mentah yang belum diolah sama sekali (Prasetyo dan Jannah, 2005). 3. Metode Pengumpulan Data Dokumentasi berupa data statistik Singapura mengenai grooms by age group, bride by age group, divorces by ethnic group of couple, female divorce by age group, dan male divorces by age group. 4. Metode Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan analisis kualitatif. Tabel distribusi frekuensi menurut Gulo (1983) merupakan suatu susunan data di mana semua data dari objek pengamatan termasuk dalam salah satu kategori atau kelompok. Tren dianalisis dengan melihat tabel distribusi frekuensi untuk mengetahui hubungan antar dua variabel. D. PEMBAHASAN 1. Hubungan Agama dengan Usia Nikah Ada beberapa agama yang diakui di Singapura, yaitu Islam, Kristen, Khatolik, Budha, Tao, Konghucu, Hindu dan beberapa agama minoritas
9
seperti Zoroaster, Yahudi, Sikh, serta Jains. Setiap agama tersebut memiliki norma dan nilai yang berbeda dalam memandang pernikahan. Salah satunya mengenai usia nikah. Hubungan antara agama dengan usia nikah dapat dilihat pada grafik berikut: non muslim 451 5.369
muslim
400
8.993
2.018
0%
2.590
20% <20
20-24
40% 25-29
30-34
1.183 60%
35-39
40-44
3.846 2.119 1.121
672 446 80%
45-49
290 100%
>50
Gambar 1. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2005 non muslim 407 5.226 muslim
354
16.154 1.873
0%
2.668
20% <20
20-24
9.542
40% 25-29
30-34
1.264 60%
35-39
40-44
3.973 1.931 1.165 1.124 637 507 276311 80%
45-49
100%
>50
Gambar 2. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2006 non muslim 436 4.802 muslim 323
16.080 1.888
0%
2.916
20% <20
20-24
9.827
40% 25-29
30-34
1.251 60%
35-39
40-44
4.205 2.061 1.137 1.158 660 529 340319 80%
45-49
100%
>50
Gambar 3. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2007 Ketiga grafik tersebut menunjukkan doktrin agama berhubungan dengan usia nikah pemeluknya. Penduduk yang menikah di bawah usia 24 tahun lebih banyak Muslim daripada non-Muslim. Proporsi usia nikah Muslim di bawah 24 tahun dari tahun 2005-2007 cukup besar (30 persen untuk tahun 2005, 29 persen untuk tahun 2006, dan 27 persen untuk tahun 2007), sedangkan proporsi usia nikah non-Muslim di bawah 24 tahun hanya separuh dari proporsi usia nikah Muslim di usia yang sama (15 persen untuk tahun 2005, 14 persen untuk tahun 2006, dan 13 persen untuk tahun 2007). Mayoritas penduduk Muslim dan non-Muslim menikah di usia 25-29 tahun, meskipun demikian jumlah Muslim yang menikah pada usia tersebut lebih sedikit daripada jumlah penduduk nonMuslim. Secara umum, tren usia nikah baik Muslim maupun non-Muslim mengalami kenaikan.
10
Banyaknya jumlah penduduk Muslim yang menikah di bawah usia 24 tahun daripada penduduk non-Muslim menunjukkan bahwa doktrin agama Islam berpengaruh terhadap usia nikah pemeluknya. Doktrin agama Islam menekankan umatnya untuk segera menikah begitu memasuki usia baligh. Salah satu doktrin tersebut adalah adanya hadits yang berisi anjuran untuk segera menikah. Jones (tanpa tahun) juga menyatakan bahwa banyak artikel yang menekankan Islam mewajibkan umatnya untuk menikah dan memiliki keluarga besar. Tren usia nikah yang semakin tinggi baik bagi penduduk Muslim maupun non–Muslim menunjukkan bahwa selain doktrin agama, ada faktor lain yang berpengaruh. Hasil penelitian Jones (tanpa tahun) menunjukkan bahwa tingginya usia nikah tidak terbatas pada salah satu kelompok agama saja. Salah satu faktor tersebut adalah struktur sosial yang turut membentuk perilaku masyarakat sekitarnya. Struktur penduduk di Singapura, kebanyakan dari mereka adalah imigran dari China dan India. Kedua etnis tersebut datang ke Singapura setelah Singapura melepaskan diri dari Malaysia. Sejarah menunjukkan bahwa Singapura pernah mengalami baby boom pada tahun 1960an. Namun, kondisi Singapura yang belum stabil pascamerdeka, membuat Pemerintah Singapura khawatir dengan jumlah penduduk yang besar. Pemerintah Singapura melihat pertumbuhan penduduk yang cepat sebagai sebuah ancaman bagi kehidupan dan stabilitas politik. Hal ini dikarenakan dengan banyaknya anak-anak dan kaum muda, maka diperlukan kemampuan ekonomi yang kuat untuk menyediakan pelayan kesehatan, pendidikan, dan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ekonomi Singapura belum memungkinkan karena baru saja lepas dari Malaysia dan mengalami krisis ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu, Pemerintah Singapura kemudian memperkenalkan Program Keluarga Berencana pada tahun 1965 (Anonim 2, tanpa tahun). Kebijakan Pemerintah Singapura pada Program Keluarga Berencana menekan warganya untuk memiliki keluarga kecil jika ingin mendapat fasilitas kesehatan dan pengurangan biaya hidup. Hal ini membuat warga Singapura mengharuskan diri mereka untuk memiliki keluarga kecil sesuai dengan program tersebut. Apalagi selain program ini, pemerintah juga berusaha menekan angka kelahiran dengan cara sterilisasi dan aborsi sukarela yang telah disahkan Pemerintah Singapura pada 1970 (Anonim 2, tanpa tahun). Program tersebut menunjukkan bahwa di Singapura terdapat ”tuntutan” sosial untuk memiliki keluarga kecil. Selain itu, peningkatan usia nikah juga merupakan konsekuensi tersendiri dari pembangunan ekonomi di Singapura. Krisis sosial, ekonomi dan politik yang dialami Singapura di awal ”kelahirannya” membuat Pemerintah Singapura ”mengorbankan” peningkatan jumlah penduduk dengan berbagai program. Hal ini justru dianggap oleh warga Singapura sebagai nilai yang dianut selain doktrin ajaran agama mereka. Oleh karena itulah, teori Dumont (dalam Prawiro, 1981) mengenai
11
perkembangan jumlah suatu bangsa berbanding terbalik dengan perkembangan perorangannya berlaku di Singapura. Peningkatan ekonomi yang diprioritaskan pemerintah telah membuat warga Singapura lebih memilih meningkatkan karier mereka daripada menikah. 2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia Nikah Di Singapura, laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama di bidang pendidikan maupun karier. Oleh sebab itu, kedua jenis kelamin tersebut sama-sama memiliki keputusan yang sama untuk menikah. Hubungan antara jenis kelamin dan usia nikah di Singapura dapat dilihat pada grafik berikut: laki-laki 1202.056
perempuan 731
7.936
5.331
0%
<20
5.960
9.634
20%
20-24
2.873 1.7951.108 1.144
4.216
40%
25-29
60%
30-34
35-39
1.645770 398 267
80%
40-44
45-49
100%
>50
Gambar 4. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2005
laki-laki 125 1.985
perempuan 636
8.505
5.114
0%
<20
6.327
10.317
20%
20-24
2.929 1.613 1.158
25-29
4.479
40%
60%
30-34
35-39
1.681825277
80%
40-44
100%
45-49
>50
Gambar 5. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2006 laki-laki 116 1.899
perempuan 643
0%
<20
20-24
8.468
4.791
6.398
10.528
20%
25-29
40%
30-34
3.040 1.7711.078 1.196
4.680
60%
35-39
1.825819 399 281
80%
40-44
45-49
100%
>50
Gambar 6. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2007 Ketiga grafik tersebut menunjukkan penduduk yang menikah pada usia kurang dari 20 tahun kebanyakan adalah perempuan. Semakin tinggi usia nikah, jumlah laki-laki yang menikah semakin banyak, sebaliknya jumlah perempuan yang menikah semakin sedikit.
12
Secara biologis, usia 20an merupakan usia emas reproduksi perempuan. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang tidak memiliki batas usia reproduksi. Secara sosial, label perawan tua di kalangan masyarakat mengandung arti yang negatif dibandingkan label bujang lapuk. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama yang harus menafkahi isteri dan anak-anaknya. Hal ini membuat laki-laki harus menyiapkan materi terlebih dahulu sebelum menikahi seorang perempuan. Mayoritas laki-laki dan perempuan di Singapura menikah di usia 25 tahun ke atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa program insentif dari pemerintah untuk mendorong mahasiswanya menikah di usia muda kurang berhasil. Pada usia 25 ke atas biasanya mahasiswa telah menyelesaikan kuliahnya. Oleh karena itu, kebanyakan penduduk Singapura menikah setelah menyelesaikan pendidikan di bangku perguruan tinggi. Grafik di atas juga menunjukkan bahwa penduduk Singapura yang menikah di usia 30 tahun ke atas lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Ada beberapa faktor untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama adalah pendidikan. Hasil penelitian Dommaraju (tanpa tahun) menyatakan bahwa kelompok perempuan yang menikah muda merupakan kelompok yang paling sedikit mendapat pendidikan dibanding dengan kelompok lain. Artinya, kelompok perempuan yang masih melajang atau yang menikah di usia yang lebih tinggi merupakan kelompok yang berpendidikan lebih tinggi. Terdapat dikotomi pola perkawinan di Singapura antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah di usia 30 hingga 40an, yaitu lakilaki dengan pendidikan rendah dan perempuan dengan pendidikan tinggi. Laki-laki berpendidikan tinggi cenderung lebih suka menikahi perempuan yang lebih muda darinya dengan pendidikan di bawah pendidikannya, tetapi perempuan berpendidikan tidak ingin menikahi laki-laki yang pendidikannya di bawah dirinya, dan laki-laki dengan pendidikan rendah juga grogi bila menikahi perempuan dengan pendidikan yang lebih baik dari dirinya. Oleh karena itu, pada situasi di mana tingkat pendidikan mengalami kenaikan dengan cepat, ada kecenderungan perempuan berpendidikan tinggi dan laki-laki berpendidikan rendah mengalami kesulitan untuk menemukan jodoh sesuai keinginan mereka karena kekurangan secara jumlah yang tersedia dan kecocokan (Jones, tanpa tahun). Hal tersebut terjadi karena adanya budaya patriarkhi yang terbangun dalam masyarakat. Laki-laki Singapura beranggapan bahwa mereka merupakan makhluk yang akan menjadi pemimpin untuk rumah tangganya kelak, sehingga standar pasangan hidupnya harus berada di bawahnya. Hasil penelitian Jones (tanpa tahun: 16) menyebutkan bahwa laki-laki Singapura berpandangan pendidikan tinggi tidak membuat seorang perempuan menjadi isteri yang baik. Perempuan dengan pendidikan tinggi juga ”terikat” dengan budaya patriarkhi. Standar pasangan hidup yang pantas bagi mereka adalah laki-
13
laki dengan pendidikan dan usia yang lebih dari dirinya. Oleh karena itu, menikah dengan laki-laki yang lebih muda dan berpendidikan lebih rendah dapat ”menurunkan” martabat diri. 3. Hubungan Etnis dengan Tingkat Perceraian di Singapura Ada tiga etnis yang paling dominan di Singapura yaitu China, Melayu dan India. Ketiga etnis tersebut memiliki norma masing-masing. Normanorma tersebut juga ada yang berkaitan dengan perilaku perceraian kelompok etnis tersebut. Beberapa grafik berikut menunjukkan hubungan antara etnis dan tingkat perceraian di Singapura: Etnis lain
9%
India
2%
Melayu
37%
China
22% 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
Gambar 7. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2005 Etnis lain
7%
India
3%
Melayu
37%
China
22% 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
Gambar 8. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2006
Etnis lain
6%
India
3%
Melayu
32%
China
23% 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Gambar 9. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2007 Ketiga grafik di atas menunjukkan bahwa etnis Melayu merupakan etnis yang paling banyak bercerai. Etnis China menempati posisi terbesar kedua yang paling banyak bercerai, sedangkan etnis India merupakan
14
etnis yang paling sedikit bercerai. Meskipun demikian, tren yang terjadi di masing-masing etnis berlainan. Tren pada etnis Melayu cenderung turun, sedangkan tren pada etnis China dan India cenderung mengalami kenaikan. Penyebab tingginya perceraian di kalangan etnis Melayu lebih disebabkan aspek sosial dan struktur keluarga etnis tersebut. Hasil penelitian Jones (1981) menyebutkan bahwa ada beberapa aspek sosial dan struktur keluarga pada etnis Melayu yang memudahkan terjadinya perceraian, yaitu: 1) ketidakmatangan pasangan saat menikah; 2) pandangan bahwa perceraian merupakan solusi alami jika pernikahan tidak lagi berjalan dengan baik, sehingga kalangan etnis Melayu mentolerir adanya perceraian; 3) tradisi kurang dekatnya pertalian suami isteri; 4) fokus pada individu masing-masing pasangan, bukan pada tujuan bersama sebagai suami isteri; 5) tradisi persamaan hak suami isteri pada hubungan perkawinan, perempuan memegang peranan penting dalam perekonomian dan memiliki tingkat kemandirian yang tinggi; 6) mudahnya penerimaan pernikahan yang kedua di kalangan etnis Melayu. Faktor-faktor tersebut menurut Jones merupakan beberapa alasan yang mendasari terjadinya perceraian di kalangan etnis Melayu. Sumber dari penyebab perceraian tersebut adalah budaya yang berkembang dalam etnis tersebut. Perceraian di kalangan etnis China lebih disebabkan tingginya tingkat independensi perempuan. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan perempuan etnis China lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan perempuan etnis Melayu dan India. Artinya, tingkat ketergantungan perempuan etnis China lebih rendah daripada tingkat ketergantungan perempuan etnis lain terhadap suaminya. Etnis China juga memegang peranan yang dominan di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Pada hal ini termasuk juga kaum perempuannya. Peran kaum perempuan dari etnis ini di berbagai bidang lebih tinggi dari peran perempuan dari etnis lain (Lee dan Alvarez, 1991). Nilai budaya yang dianut etnis China yaitu adanya tingkat independensi perempuan etnis China menyebabkan ia semakin memiliki keberanian untuk mengatur dirinya sendiri. Ketika keluarga suami yang lebih tua ikut mencampuri masalah keluarga, maka bukan tidak mungkin sang isteri mengajukan keberatan. Etnis India di Singapura merupakan etnis dengan proporsi terkecil yang melakukan perceraian. Ada beberapa faktor yang mendasari hal tersebut. Faktor-faktor tersebut juga berasal dari tradisi dan budaya yang berkembang di kalangan etnis India. Hasil penelitian (Anonim 5, tanpa tahun) menyebutkan bahwa salah faktor tersebut adalah etnis India memegang teguh tradisi untuk merawat orang tua sampai usia lanjut. Tradisi ini menyebabkan orang tua dan anak hidup satu atap dan hubungan keduanya menjadi solid.
15
Budaya pada etnis India yang berpandangan bahwa pernikahan merupakan faktor utama untuk perlindungan sosial ekonomi bagi perempuan (Kitamura, 2000). Pandangan tersebut menjadikan perempuan lebih memiliki ”daya tahan” dalam mempertahankan pernikahan atau dengan kata lain tingkat ketergantungan isteri pada suami pada etnis ini tinggi. Tingkat ketergantungan yang tinggi tersebut menjadikan hubungan suami isteri menjadi lebih dekat. 4. Hubungan Agama dengan Tingkat Perceraian di Singapura Setiap agama memiliki norma-norma tersendiri yang mengatur perceraian umatnya. Hubungan antara agama dengan tingkat perceraian di Singapura dapat dilihat pada grafik berikut:
muslim
47%
non-muslim
26%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
Gambar 10. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2005
muslim
49%
nonmuslim
25%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Gambar 11. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2006
muslim
42%
nonmuslim
26%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
Gambar 12. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2007 Ketiga grafik di atas menunjukkan bahwa proporsi Muslim yang bercerai lebih banyak daripada proporsi non-Muslim. Meskipun demikian, tren yang terjadi di kalangan Muslim cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya, tren yang terjadi di kalangan non-Muslim cenderung mengalami kenikan.
16
Tingginya perceraian di kalangan Muslim disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ketidakmatangan pasangan saat menikah. Penduduk Singapura yang menikah di bawah usia 24 tahun kebanyakan adalah Muslim. Pada usia ini, pasangan belum terlalu matang untuk membina sebuah rumah tangga. Ketidakmatangan pasangan saat menikah juga menjadi salah satu penyebab tingginya perceraian di kalangan etnis Melayu. Diasumsikan mayoritas etnis Melayu beragama Islam. Kedua, adanya doktrin agama Islam yang memperbolehkan untuk bercerai, meskipun hal tersebut merupakan perbuatan yang dibenci oleh Alloh. Perceraian di kalangan non-Muslim lebih disebabkan karena faktor anak. Hasil penelitian Lim (tanpa tahun) menunjukkan bahwa banyak pasangan non-Muslim yang bercerai di usia 50 ke atas cenderung tidak memiliki tanggungan, dalam hal ini anak dengan usia di bawah 18 tahun. Artinya anak-anak mereka telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri. Perceraian yang terjadi di kalangan usia tua ini salah satu penyebabnya adalah anak-anak yang dewasa. Anak-anak yang berusia di atas 18 tahun menunjukkan bahwa mereka tak lagi memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada orangtuanya. Oleh karena itu, solidaritas antara suami isteri dalam merawat anak tak lagi seerat saat anak-anak masih berusia di bawah 18 tahun. Mereka merasa bahwa tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan pernikahan karena anak yang selama ini menjadi alasan kebersamaan dalam perkawinan tidak ada lagi. E. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Terdapat hubungan antara agama dengan usia nikah pemeluknya di Singapura. Penduduk yang menikah di bawah usia 24 tahun lebih banyak Muslim daripada non-Muslim. Mayoritas penduduk Muslim dan non-Muslim menikah di usia 25-29 tahun, meskipun demikian jumlah Muslim yang menikah pada usia tersebut lebih sedikit daripada julmlah non-Musim. b. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan usia nikah di Singapura. Perempuan di Singapura cenderung menikah di usia yang lebih muda dari laki-laki dikarenakan beberapa faktor. Pertama, aspek biologis yang berkaitan dengan reproduksi; kedua, berkaitan dengan aspek sosial yaitu adanya nilai yang menyatakan bahwa laki-laki merupakan pencari nafkah utama. c. Terdapat hubungan antara etnis dengan tingkat perceraian di Singapura. Etnis Melayu merupakan etnis dengan proporsi bercerai paling banyak, disusul etnis China dan etnis India. Tren perceraian pada etnis Melayu cenderung turun, sedangkan tren pada etnis China dan India cenderung naik. Budaya dan tradisi yang berkembang dalam suatu etnis tertentu memengaruhi perilaku masyarakat etnis tersebut. d. Terdapat hubungan antara agama dengan tingkat perceraian di Singapura. Proporsi tertinggi yang paling banyak bercerai adalah
17
Muslim daripada non-Muslim. Tren yang terjadi di kalangan Muslim cenderung menurun, sementara di kalangan non-Muslim meningkat dikarenakan perceraian di kalangan Muslim lebih disebabkan adanya doktrin agama yang memperbolehkan perceraian. 2. Saran Meningkatnya kemakmuran masyarakat Singpura ternyata diiringi oleh semakin tidak populernya perkawinan. Hal ini dikarenakan mind set warga Singapura telah membentuk pemikiran bahwa pernikahan dan anak merupakan beban. Diperlukan suatu upaya untuk mengubah mind set tersebut. Salah satunya dengan cara mengkampanyekan nilai-nilai keluarga yang juga terkandung dalam Asian Values. Nilai-nilai tersebut antara lain bahwa anak merupakan ”investasi” di hari tua. Selain bertujuan untuk meningkatkan minat warga Singapura untuk berkeluarga, kampanye tersebut juga bertujuan untuk mengurangi tingkat perceraian. DAFTAR PUSTAKA Anonim 1. ”Kontrol Populasi Kebijakan”. http://countrystudies.us/singapore. Diakses pada Rabu, 11 Maret 2009. Anonim
2. ”Marriage and Family Formation Patterns”. http://translategoogle.co.id. diakses 26 Desember 2009.
Situs:
Gulo, W. 1983. Dasar-dasar Statistika Sosial. Satyawacana. Semarang. Johnson, Doyle Paul 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (diterjemahkan dari: Sociological Theory: Classical and Modern, oleh: Robert M.Z Lawang ). Jones, Gavin W. Tanpa tahun. The “Flight from Marriage” in South-east and East Asia, National University of Singapore, Singapore. --------. 1981.”Malay Marriage and divorce in Peninsular Malaysia: Three Decades of Changes”. dalam: Population and Development Reviews, The Center of Policy Studies of the Population Studies, New York. Kitamura, Yuri. 2000. “Anthropological Study of ‘Gender and Development in India: The Women’s Movement in Kerala”. dalam: APC Journal of Asian Pacific Studies, Momochihama2-Chome Sawaruku, Japan. Lee, Sharon M dan Alvarez, Gabriel. 1991. Fertility Decline and Pronatalist Policy in Singapore. A Publication of The Alan Guttmacher Institute. USA. Lim Soon Hock. “In Singapore State of the Family”. http://www.nfc.org.sg. Diakses pada Kamis, 26 November 2009. Prasetyo, Bambang dan Jannah, Lina Miftahul. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
18
Prawiro, Ruslan H. 1983. Kependudukan: Teori, Fakta, dan Masalah. Penerbit Alumni. Bandung. Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Tamura, Keiko T. 2000. “Women and Labor in Singapore: Changing Economic Policy and Images the Ideal Women”. dalam: The APC Journal of Asian Pacific Studies, Momochihama 2-Chome Sawara-ku, Japan Wong Kan Seng. “New Insentif untuk Married Pasangan Have more untuk Anak”. Situs: www.pap.org.sg, diakses 11 Maret 2009. Yearbook Statistics of Singapore 2008. 2008. Biro Statistik. Singapura.
▼▼▼▼▼▼