FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PTT PADI DI JAWA TENGAH Agus Hermawan, Abdul Choliq, Samijan, Dian Maharso Yuwono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidomulyo, PO BOX 101, Ungaran-50501 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi yang terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi, mendorong pemerintah untuk mendiseminasikannya secara nasional melalui kegiatan Sekolah Lapang (SL) PTT padi dalam Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sejak tahun 2007. Pada tahun 2011, SL PTT padi ditargetkan dapat dilaksanakan pada 2,8 juta ha. Untuk mengetahui sejauhmana tingkat penerapan teknologi (TPT) PTT di lapangan, dampaknya terhadap produktivitas padi petani, serta faktor penentu adopsi teknologi PTT Padi di Jawa Tengah, dilakukan penelitian dengan metode survey terhadap 240 orang petani di enam kabupaten, yaitu Sragen, Grobogan, Cilacap, Pekalongan, Wonosobo, dan Semarang. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Agustus-Oktober 2011. Hasil penelirian menunjukkan bahwa petani tidak menerapkan paket teknologi PTT secara penuh di lapangan tetapi hanya (berkisar antara 47 hingga 65% teknologi anjuran, walaupun teknologi PTT padi berdampak positif pada peningkatan produktivitas padi petani. Faktor penentu adopsi teknologi PTT meliputi karakteristik sosial ekonomi petani, nilai budaya masyarakat, karakteristik teknologi, dan dukungan infra struktur. Untuk itu disarankan untuk meningkatan efektivitas diseminasi teknologi khususnya dengan merevitalisasi lembaga penyuluhan mengingat sumber informasi utama teknologi petani adalah penyuluh. Kata Kunci: tingkat penerapan teknologi, PTT padi, produktivitas, faktor penentu adopsi PENGANTAR Jatileksono (1996) merumuskan capaian kuantitas produksi pertanian (Q) sebagai fungsi dari kuantitas penggunaan tanah (H), modal (K), tenaga kerja (L), kualitas lingkungan usahatani (E), manajemen/pengelolaan petani (M), dan tingkat penerapan teknologi (T). Lebih lanjut Simatupang (2004) menyebutkan ada lima faktor yang menjadi basis keunggulan kompetitif suatu usaha pertanian (agribisnis), yaitu (1) keunggulan komparatif limpahan sumberdaya lahan dan air, (2) keunggulan komparatif limpahan tenaga kerja, (3) keunikan agroekosistem lahan, (4) keunggulan teknologi, dan (5) keunggulan manajemen. Lebih lanjut disebutkan bahwa tiga faktor pertama menunjukkan keunggulan komparatif berbasis alamiah (natural resource base), sementara dua faktor lainnya menjadi andalan agribisnis modern untuk mengubah tiga faktor pertama menjadi keunggulan kompetitif. Peran teknologi dan manajemen semakin meningkat sejalan dengan tingginya alih fungsi lahan pertanian untuk lahan non pertanian. Alih fungsi lahan telah mengancam keberadaan lahan pertanian (Rozi, 1997). Pada periode 1999-2002 di Indonesia dilaporkan terjadi pengurangan lahan sawah seluas 563.156 hektar karena alih fungsi lahan dan 30% (157.150 ha) di antaranya terjadi di Pulau Jawa. Alih fungsi lahan di Pulau Jawa pada periode 1978-1998 mencapai luasan 1,07 juta hektar dan produksi padi yang hilang akibat konversi tersebut mencapai 4,7 juta ton per tahun (Minardi, 2009). Kondisi tersebut diperparah oleh terjadinya degradasi lingkungan serta ketidak pastian iklim yang menyebabkan kapasitas produksi pertanian menjadi tidak menentu (Tim Sintesis Kebijakan, 2008). Minat tenaga kerja muda untuk bekerja di sektor pertanian juga semakin menurun. Peran teknologi baru dan perbaikan manajemen dalam meningkatkan produksi pertanian cukup signifikan pada era revolusi hijau yang dimulai tahun 1960-an sehingga produksi pangan dapat ditingkatkan secara berarti (Schiere et al., 1999). Di Indonesia, teknologi usahatani padi, sebagai bagian dari revolusi hijau, telah meningkatkan produktivitas padi hingga sekitar tiga kali lipat, yaitu dari 1,77 ton/ha pada tahun 1950 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian
675
menjadi 4,63 ton/ha pada tahun 1994 (Jatileksono, 1996). Revolusi hijau menyangkut perbaikan teknologi pada sub sistem produksi (mekanisasi pertanian, penggunaan pupuk buatan/ anorganik, obat-obatan, varietas unggul, dan sarana produksi lainnya) maupun sub sistem lainnya (perbaikan irigasi, layanan kredit, dan penyuluhan). Paska gerakan revolusi hijau, peningkatan produktivitas padi cenderung leveling off. Untuk meningkatkan produktivitas padi, Badan Litbang Pertanian mengembangkan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) sejak tahun 2000. Teknologi PTT terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi sebesar 16-36% dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik hingga 35% (Las et al. 2002). PTT juga terbukti dapat diterapkan pada semua kondisi lahan karena pemilihan teknologi mengedepankan keserasian dan keterpaduan antara potensi dan masalah di setiap wilayah atau sesuai kondisi spesifiknya (Sirappa, 2006). Penerapan PTT di 28 kabupaten pada tahun 2002-2003 telah meningkatkan hasil panen rata-rata sebanyak 19% dan pendapatan sebesar petani 15%. (Deptan 2007). Kinerja teknologi PTT mendorong pemerintah sejak tahun 2007 untuk memasalkan PTT padi melalui Sekolah Lapang (SL) PTT sebagai bagian dari kegiatan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Pada tahun 2011, SL PTT padi ditargetkan dapat dilaksanakan pada 2,8 juta ha. Teknologi PTT padi sawah meliputi komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar PTT padi terdiri dari: (1) Varietas Unggul baru (inbrida atau hibrida); (2) Benih bermutu dan berlabel, (3) Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos/pupuk kandang; (4) Pengaturan populasi tanaman secara optimum (misalnya sistem tanam jajar Legowo 2:1); (5) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah; dan (6) Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) melalui pengendalian hama terpadu (PHT). Komponen teknologi pilihan PTT padi sawah meliputi (1) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam; (2) Penggunaan bibit muda (< 21 hari); (3) Tanam bibit 1-3 batang per rumpun; (4) Pengairan secara efektif dan efisien; (5) Penyiangan dengan landak atau gasrok; dan (6) Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok (Deptan, 2007). Untuk mengetahui sejauh mana tingkat peneraoan teknologi PTT padi di tingkat petani, dan bagaimana dampak penerapan PTT terhadap produktivitas padi, serta faktor penentu adopsi teknologi PTT Padi di Jawa Tengah, dilaksanakan penelitian di enam kabupaten pelaksana SL PTT. Hasil penelitian dipaparkan dalam makalah ini. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada Bulan Agustus-Oktober 2011. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari laporan instansi terkait, sementara data primer diperoleh dengan mengadakan survei dengan teknik wawancara kepada petani padi sawah. Survei dilaksanakan di enam kabupaten yang dipilih secara purposive (sengaja), yaitu Kabupaten Sragen, Grobogan, dan Cilacap (kabupaten dengan produktivitas padi sawah tinggi) dan Wonosobo, Semarang dan Pekalongan (kabupaten dengan produktivitas padi sawah rendah). Pada setiap kabupaten, dipilih satu kecamatan dan dua desa sampel. Dari setiap desa, dipilih 20 orang petani, sehingga total petani sampel ada sebanyak 240 orang. Sementara pada setiap kabupaten juga diwawancarai masing-masing 14 petugas teknis (terdiri dari unsur Bapeluh, Dinas Pertanian, BPP/Koordinator Penyuluh, dan PPL/THL TBPP). Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan eksplanatif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi, Padi Sawah Menurut data BPS, luas panen, produktivitas, dan produksi padi sawah Provinsi Jawa Tengah dalam kurun 1994-2009, cenderung naik. Kegiatan SL PTT yang dimulai tahun 2007, teningkatkan luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah di Jawa Tengah. Koefisien regresi dari masing-masing variabel yang dianalisis setelah pelaksanaan
676
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian
SL PTT nilanya lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Nilai kjoefisien regresi yang lebih besar menunjukkan laju peningkatan luas panen, produksi, dan produktivitas padi di Jawa Tengah setelah pelaksanaan SLPTT tahun 2007 lebih tinggi dari pada sebelumnya.
Y= + .T + ; Y = va ria be l be = koe fis ie n re gre s i; = e rror Gambar 1. Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah di Jawa Tengah, sebelum dan setelah pelaksanaan SL PTT
Model:
Introduksi teknologi PTT meningkatkan produktivitas padi di lima kabupaten sampel. Hanya di Kabupaten Pekalongan rata-rata produktivitas padi setelah SL PTT sedikit menurun (dari 4,88 t/ha menjadi 4,84 t/ha). Namun demikian penurunan produktivitas padi di kabupaten tersebut terkompensasi oleh peningkatan luas panen sehingga produksi setelah SL PTT tetap meningkat. Peningkatan produktivitas padi yang terjadi di Kabupaten Cilacap (0,33 t/ha, yaotu (dari 5,39 t/ha menjadi 5,70 t/ha), berhasil meningkatkan produksi padi walaupun luas panennya turun (dari 114.783 hektar menjadi 112.662 hektar). Rata-rata produksi padi sawah setelah pelaksanaan SL PTT dengan demikian lebih tinggi dibandingkan sebelumnya (Tabel 1). Perlu dipahami bahwa kegiatan SL PTT tidak menjangkau seluruh areal padi. DI tingkat provinsi, kegiatan SL PTT tahun 2010 hanya menjangkau sekitar 9.7% rata-rata luas panen tahun 1999-2009. Sementara itu SL PTT di kabupaten sampel hanya menjangkau sekitar 7% - 11,9% luas panen, sehingga peningkatan produksi dan produktivitas padi tidak sepenuhnya merupakan dampak implementasi kegiatan SL PTT. Peningkatan produktivitas akibat penerapan teknologi PTT padi sebenarnya jauh lebih tinggi, yaitu berkisar antara 0,4 t/ha di Cilacap (meningkat 7,33%) hingga 0,84 t/ha di Grobogan (meningkat 15.08%) dan Semarang. (meningkat 15.47%) (Tabel 2), Mengacu kepada peningkatan produktivitas PTT yang mencapai 19% (Deptan 2007) atau bahkan berkisar 16-36% (Las et al. 2002), penerapan teknologi PTT di enam kabupaten sampel dan Provinsi Jawa Tengah masih lebih rendah, khususnya di Cilacap, Pekalongan, dan Sragen. Kesenjangan kinerja teknologi antara lembaga penelitian dan di lahan petani serta setelah diimplementasikan dalam skala luas memang sering terjadi. Hal ini terkait dengan semakin kompleksnya interaksi berbagai faktor yang tidak dapat dikontrol dan terkait dengan tidak diterapkannya teknologi rekomendasi secara penuh. Namun demikian peningkatan produksi padi di lokasi contoh melalui implementasi PTT masih signifikan karena berdasarkan Tabel 1, peningkatan produktivitas sebelum dan setelah kegiatan SL PTT baru berkisar antara -0,1 % (Kabupaten Pekalongan) hingga 1,12 % (Kabupaten Grobogan). Tingkat Penerapan Teknologi (TPT) PTT Padi
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian
677
Tabel 1. Rata-rata luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah sebelum (1994-2006) dan setelah (2007-2009) kegiatan SL PTT Kabupaten/ Provinsi Cilacap Wonosobo Sragen Grobogan Semarang Pekalongan Jawa Tengah
Luas panen (000 ha) Sebelum Sesudah 114,78 112,66 29,28 29,36 81,66 82,53 91,89 102,02 38,14 41,58 43,68 47,69 1617,00 1666,15
Produksi (000 ton) Sebelum Sesudah 617,70 642,50 148,80 152,32 430,79 473,86 499,34 616,05 183,69 209,28 212,14 230,50 8354,39 9117,89
Produktivitas (t/ha) Sebelum Sesudah 5,39 5,70 5,08 5,19 5,30 5,75 5,43 6,03 4,81 5,04 4,88 4,84 5,14 5,47
Tabel 2. Peningkatan produtivitas padi sawah pada kegiatan SL PTT di Jawa Tengah tahun 2010 No
Kabupaten
Luas Areal Produktivitas MT III (T/Ha) (Ha) SL PTT Non SL PTT 1 Grobogan 7.500 6,41 5,57 2 Sragen 8.000 7,03 6,40 3 Cilacap 8.000 5,86 5,46 4 Wonosobo 3.500 6,19 5,39 6 Semarang 3.500 6,27 5,43 5 Pekalongan 3.500 6,17 5,68 Total Provinsi 158.750 6.25 5,57 Sumber: BPTP Jawa Tengah (2011)
Kenaikan produktivitas (T/Ha) (%) 0,84 15.08 0,63 9.84 0,40 7.33 0,80 14.84 0,84 15.47 0,49 8.63 0,68 12,21
Tabel 3. Skor tingkat penerapan komponen teknologi (TPT) PTT padi Skor tingkat penerapan teknologi PekaKomponen Teknologi Skor Grobo CilaSraWono Semalonga Maks gan cap gen sobo rang n Teknologi dasar 1. VUB 80 73,3 66,0 75,1 65,5 69,1 57,7 2. Benih bermutu, 80 58,1 55,8 60,5 51,6 57,0 46,9 3. Populasi tanaman optimum 140 71,7 72,9 77,2 64,3 75,0 47,5 4. Pemupukan spesifik lokasi 120 69,0 44,6 82,5 64,0 49,5 45,3 5. Pengendalian OPT 120 68,4 56,1 23,8 38,7 29,4 27,5 Teknologi pilihan 1. Pengolahan tanah/pola 30 25,8 22,2 11,0 15,1 12,7 16,9 tanam 2. Bibit muda 80 60,6 55,3 69,2 47,3 52,6 54,1 3. Jumlah bibit 70 45,2 45,2 45,2 45,2 45,2 45,2 4. Pengairan berselang 50 29,5 19,7 33,0 7,8 19,6 22,3 5. Penyiangan tanaman 40 14,8 19,6 39,3 7,7 36,8 15,2 6. Panen dan perontokan 30 22,8 25,1 25,7 10,2 19,5 12,4 Total 840 549,0 490,6 542,5 424,1 475,1 397,4 Hasil penelirian menunjukkan bahwa petani di lapangan belum menerapkan paket teknologi PTT secara penuh sesuai yang direkomendasikan (Tabel 3). Berdasarkan skor
678
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian
tingkat penerapan teknologi, rata-rata petani hanya menerapkan teknologi anjuran antara 47% (Kabupaten Semarang) hingga 65 % (Kabupaten Sragen). Gambar 2 yang memetakan sebaran tingkat penerapan komponen teknologi (TPT) PTT di enam kabupaten menunjukkan tingginya variasi persentase penerapan komponen teknologi. Sesuai rekomendasi teknologi PTT, variasi persentase penerapan komponen teknologi dasar lebih rendah dibandingkan komponen teknologi pilihan. Persentase penerapan komponen teknologi VUB paling tinggi, sementara komponen teknologi pengendalian OPT secara terpadu justru paling rendah dan variasinya paling besar. Sangat menarik bahwa petani Sragen walaupun secara total TPT-nya paling tinggi, TPT pengendalian OPT secara terpadu justru paling rendah. Hal ini diduga terkait dengan pola pikir safety first dan risk avers dari petani dengan tindakan antisipatif berupa penyemprotan obat-obatan kimia pada tanaman padi mereka walaupun tingkat serangan OPT nya masih jauh di bawah ambang batas pengendalian. Sebaran persentase TPT komponen pilihan PTT antar kabupaten sangat tinggi. Kondisi ini menggambarkan adanya sifat spesifik lokasi dan variasi kebutuhan lapangan. Petani memang diberi kebebasan untuk memilih komponen teknologi pilihan yang tepat sesuai potensi sumberdaya dan permasalahan lapangannya. Dalam hal ini variasi paling rendah antar kabupaten tetapi TPT-nya cukup tinggi ditunjukkan oleh komponen jumlah bibit per rumpun. Komponen teknologi penyiangan tanaman dengan alat gosrok/landak variasinya sangat tinggi. TPT teknologi ini terendah ditunjukkan oleh Kabupaten Wonosobo, karena kondisi wilayahnya begunung-gunung sehingga petakan lahannya sangat sempit dan tidak teratur sehingga petani sulit mengaplikasikan teknologi ini. Hal yang sama juga menjelaskan mengapa TPT pengairan berselang di Kabupaten Wonosobo rata-rata sangat rendah. Sumber air di lokasi contoh umumnya adalah mata air yang mengalir sepanjang waktu. TPT pengaturan air berselang sesuai kebutuhan tanaman tidak dapat diterapkan di lokasi ini.
Penyiangan…
VUB padi 100 80 60 40 20 0
Benih bermutu
Pemupukan
Jumlah bibit Bibit muda Grobogan
Cilacap
Gambar 2. Pemetaan tingkat penerapan komponen teknologi PTT padi di enam kabupaten sampel Faktor penentu adopsi teknologi PTT Secara umum faktor penentu adopsi teknologi PTT meliputi karakteristik sosial ekonomi petani, nilai budaya masyarakat, karakteristik teknologi, dan dukungan infra struktur. Karakteristik sosial ekonomi petani contoh ditampilkan pada Tabel 4. Secara umum petani berada pada usia produktif (45,2-51,1 tahun) dengan pendidikan SMP. Namun demikian tingkat pendidikan formal dipandang bukan merupakan prioritas dan hanya menempati urutan kelima dalam adopsi teknologi (Tabel 5). Keterbatasan pendidikan formal petani terkompensasi oleh pengalaman yang cukup dan pendidikan non formal. Pengalaman petani Wonosobo dan Cilacap relatif lebih rendah dibandingkan petani
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian
679
kabupaten lainnya. SL PTT merupakan bentuk pendidikan informal sebagai upaya pelatihan dan pembinaan agar petani dapat secara cepat menguasai teknologi PTT, Penurunan minat generasi muda dalam usahatani dapat diketahui dengan membandingkan jumlah tanggungan keluarga dan jumlah ternaga kerja dalam usahatani. Khususnya di Grobogan, Cilacap, dan Wonosobo, anak-anak tidak banyak terlibat dalam kegiatan usahatani. Generasi muda tampaknya lebih tertarik untuk bekerja di luar usahatani. Penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi bukan satu-satunya sumber pendapatan petani. Petani mempunyai sumber penghasilan lain, baik sebagai peternak, pedagang, buruh, bengkel, atau pekerjaan lain karena lahan yang digarap tidak terlalu luas. Lahan garapan paling luas adalah di Sragen (0.840 hektar), sementara di kabupaten lainnya berkisar antara 0,497-0.652 hektar. Masalahnya lahan tersebut tidak seluruhnya milik sendiri. Sebagian lahan merupakan lahan sewa atau garapan dengan sistem bagi hasil (sakap). Status lahan berpengaruh terhadap adopsi dan TPT. Petani penyewa/penyakap lahan musiman yang tidak mempunyai jaminan untuk menggarap tersebut dalam jangka panjang cenderung menggunakan teknologi instan dan eksploratif. Pupuk kandang/organik dengan efek jangka panjang, tidak akan diterapkan karena slow release dan tidak langsung terasa manfaatnya. Tabel 4. Karakteristik petani responden Karakteristik Petani Grobogan Cilacap Umur (tahun) 45,2 47,1 Pendidikan formal (tahun) 8,0 8,2 Pengalaman dalam usahatani padi 21,7 15,1 (tahun) Jumlah tanggungan keluarga (orang) 3,4 3,7 Jumlah keluarga aktif dalam 1,9 1,7 usahatani (orang) Luas garapan sawah (ha) 0,497 0,652 Status lahan (%): Milik 79,1 65,0 Sewa 46,5 30,0 Sakap 7,0 27,5
Wonosobo 46,5 7,3 14,7
Sragen 51,1 7,7 25,8
Pekalongan 48,9 8,3 20,5
3,2 1,7
3,2 2,1
3,9 2,1
0,483
0,840
0,551
94,3 17,1 11,4
59,5 16,2 45,9
85,0 35,0 15,0
Tabel 5. Pengaruh berbagai faktor penentu tingkat adopsi teknologi PTT Faktor Grobogan Cilacap Sragen Wonosobo Pekalongan Semarang Pendidikan petani 3,00 3,07 2,47 2,85 3,07 3,19 Kesejahteraan 3,06 2,93 2,47 2,85 2,62 2,88 masyarakat Orientasi kepala desa 3,00 3,21 3,00 3,00 3,13 3,00 Petani maju /KTNA 3,19 3,21 3,13 2,85 2,93 3,25 Religiusitas masyarakat 2,25 2,57 2,87 2,46 2,67 2,87 Dominasi etnis tertentu 1,44 2,07 1,40 2,08 1,80 1,75 Tingkat kesuburan 2,91 3,43 2,73 2,77 2,93 2,50 lahan Jaringan irigasi teknis 3,38 3,50 3,00 2,87 3,07 2,69 Lembaga keuangan 2,56 2,64 2,53 2,38 2,40 1,69 Penyedia sarana 3,13 3,14 3,07 3,00 3,07 2,63 produksi {engolahan hasil (RMU) 2,56 2,71 3,07 2,62 2,73 2,38 Akses pasar 2,86 3,08 3,00 3,00 2,79 2,80 Keterangan: 4 = Sangat Tinggi; 3 = Tinggi, 2 = Rendah, 1 = Sangat rendah
680
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian
Tingkat kesuburan lahan menempati urutan ketujuh dalam adopsi. Responden tampaknya menyadari bahwa kualitas lahan dapat dimodifikasi melalui penerapan PTT. Penerapan komponen PTT tidak selalu memerlukan tambahan modal, bahkan justru meningkatkan efisiensi misalnya jumlah bibit/rumpun, bibit muda, pengendalian OPT secara terpadu, dan penggunaan bagan warna daun/BWD. Ketersediaan lembaga keuangan di lokasi juga dianggap tidak menentukan adopsi karena teknologi PTT dipandang bebas skala dan tidak eksklusif atau dapat diterapkan oleh petani kecil maupun besar serta dapat diterapkan oleh semua etnis dan kepercayaan. Tingkat kesejahteraan masyarakat juga dipandang tidak berperan dalam adopsi dan menempati urutan kedelapan dari dua belas faktor pilihan (Tabel 5). Keberadaan KTNA atau petani maju di lokasi sebagai sumber inovasi justru menempati urutan tertinggi dalam penentuan tingkat adopsi. Setelah KTNA, kepala desa yang berorientasi maju juga penting dan menempati urutan ketiga. Kepala desa memang tidak mempunyai kemampuan teknis PTT, namun posisinya sebagai penguasa wilayah mempunyai kemampuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi. Keberhasilan usahatani padi sawah lebih ditentukan oleh ketersediaan air sehingga dukungan sistem irigasi dipandang sangat penting dan menempati urutan kedua. Jaringan irigasi memang tidak dikontrol oleh petani tetapi diatur oleh otoritas tertentu. Jaringan irigasi diperlukan dalam penerapan komponen teknologi pengairan berselang. Dalam beberapa kasus, jaringan irigasi tidak selalu dapat dibangun misalnya di lokasi Wonosobo dan Semarang yang topografi lahannya berbukit dan berteras sehingga menyulitkan pembangunan jaringan irigasi. Sementara itu dukungan lembaga penyedia sarana produksi (kios/toko saprotan) juga penting dan menempati urutan keempat. Sarana produksi harus tersedia agar dapat diaplikasikan secara tepat (jumlah, waktu, takaran, dan cara). Keberadaan lembaga pengolah hasil padi yang berupa Rice mill Unit (RMU) di lokasi penelitian, di sisi lain, umumnya dipandang tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat adopsi komponen teknologi PTT. Hal ini disebabkan sebagian besar petani tidak melaksanakan panen sendiri, umumnya mereka menjual hasil panennya saat di sawah dengan cara tebasan. KESIMPULAN DAN SARAN (1) Kegiatan SL PTT pada 7% - 11,9% dari total luas panen, berdampak positif pada laju peningkatan luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah. (2) Capaian peningkatan produktivitas padi sebagai dampak penerapan teknologi PTT padi masih lebih rendah dibandingkan hasil penelitian sebelumnya. Hal ini terkait dengan TPT PTT petani yang hanya berkisar antara 47 hingga 65% teknologi anjuran. (3) Dari sejumlah faktor penentu adopsi teknologi PTT, keberadaan tokoh informal (petani maju) maupun formal (kepala desa) dan dukungan infra struktur sangat menonjol. (4) Dampak positif Inovasi PTT mendorong perlunya peningkatan efektivitas diseminasi teknologi, khususnya dengan merevitalisasi lembaga penyuluhan mengingat penyuluh adalah sumber informasi teknologi utama bagi petani. DAFTAR PUSTAKA Deptan, 2007. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi. Departemen Pertanian. Jakarta. Jatileksono, T. 1996. "Meningkatkan pendapatan petani dengan teknologi". Makalah pada Seminar Jaringan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Bappeda TK I Jawa Tengah, Semarang 13-14 Nopember 1996. Las, I., A. K. Makarim, Husin M. Toha, dan A.Gani. 2002. Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah irigasi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian
681
Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Guru Besar Universitas Sebelas Maret, Surakarta. http://pustaka.uns.ac.id/?menu=news&option=detail&nid=134 Rozi. F. 1997. Nilai ekonomi dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya tanah. Dalam Sudaryono et al. (Eds.). Perlindungan Sumberdaya Tanah untuk Mendukung Kelestarian Pertanian Tangguh. Balitbangtan, Puslitbangtan, Balitkabi. Edisi Khusus Balitkabi No. 10-1997. Pp. 112-119. Schiere, J. B., J. Lyklema, J. Schakel, K. G. Rickert. 1999. Evolution of Farming Systems and System Philosophy. Systems Research and Behavioral Science, Special Issue: Linking People, Nature, Business and Technology, Volume 16, Issue 4, pages 375– 390, July/August 1999. Simatupang, P. 2004. Dukungan Penelitian dan Pengembangan dalam Pembangunan Agribisnis. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 2 No. 3, September 2004: 445 – 463. Tim Sintesis Kebijakan, 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian, Serta Strategi Antisipasi Dan Teknologi Adaptasi. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: 138-140
682
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian