Nur Berlian VA, Faktor-faktor yang Terkait dengan Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Faktor-faktor yang Terkait dengan Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Nur Berlian VA Peneliti Muda pada Puslitjaknov, Balitbang Kemdiknas
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh informasi tentang daerah-daerah yang paling rendah dalam pencapaian Wajar Dikdas; 2)mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan rendahnya pencapaian Wajar Dikdas, dan 3) merumuskan alternatif upaya pemecahan masalah penuntasan Wajar Dikdas. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitif terhadap data sekunder dan dipadukan dengan pengumpulan data secara kualitatif melalui pengamatan lapangan di beberapa daerah kasus. Hasil temuan:1) Tingkat pencapaian Wajar Dikdas yang rendah didominasi oleh Kawasan Timur Indonesia (KTI), yaitu dimulai dari tingkat SD/MI, sedangkan di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) permasalahannya lebih banyak di tingkat SMP/MTs; 2) faktor-faktor penyebab di setiap daerah cukup bervariasi a.l. faktor 1) kemiskinan penduduk, 2) kesulitan menuju sekolah, 3) kurangnya layanan pendidikan, 4) rendahnya motivasi orangtua dan siswa terhadap pendidikan, 5) kurangnya dukungan pemeritah daerah dan masyarakat terhadap pendidikan, serta 6) faktor sosial budaya; 3) alternatif upaya pemecahan masalah penuntasan Wajar Dikdas perlu didasarkan pada faktor penyebabnya, a.l. perlu penghapusan biaya pendidikan a.l. melalui pola subsidi untuk menghapus/meringankan biaya pendidikan, perlu perluasan program alternatif layanan Dikdas, perlu peningkatan sosialisasi dan penghargaan, perlu pengalokasian anggaran pendidikan dengan memprioritaskan kabupaten yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam program penuntasan Wajar Dikdas. Kata kunci: wajib belajar dan pendidikan dasar Abstract: The objectives of the study were 1) to get information about the areas with the lowest attainment of compulsory basic education (CBE) by provinces and districts, 2) to identify factors related to the low attainment CBE, and 3) to formulate an alternative problem solving efforts in completing CBE. The study based on quantitative approach to secondary data combined with qualitative research data through field observation. The findings of this research are: 1) low attainment of CBE dominated by Eastern Region of Indonesia (KTI), started from primary school level, whereas in the Western Region of Indonesia (KBI) more problems found at the secondary shool level, 2) some factors related to attainment of CBE are proverty, geographic condition, education infrastructure, motivation of parent and student, lack of support from local government and communities to education, and sosio culture of community, 3) problem solution should be based on the factors related to the problem: free basic education, education subsidy for poor people, expanding basic education services, improving socialization about CBE, budget allocation priority for poor districts, and increasing public participation in the completion of CBE program. Key words: compulsory education and basic education
Pendahuluan Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap
pemerintah telah menginstruksikan agar setiap
warga negara kesatuan Republik Indonesia, seperti
warga dapat menempuh pendidikan serendah-
yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
rendahnya sampai dengan jenjang pendidikan
1945 dan ditindaklanjuti dalam UU Nomor 20
dasar. Hal ini ditegaskan melalui Instruksi Presiden
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 1, Tahun 1994 tentang Penuntasan Wajib
yang menetapkan bahwa Pemerintah berkewajib-
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, dan
an memenuhi hak setiap warga negara untuk
diharapkan tuntas pada tahun 2004. Namun, karena
memperoleh pendidikan yang bermutu.
Sebagai
terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, program
memenenuhi hak dasar tersebut,
ini tidak dapat memenuhi target. Oleh karena itu,
upaya untuk
43
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dijadwal ulang
penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun.
dan ditargetkan tuntas pada akhir tahun 2008. Hal tersebut ditegaskan dalam Inpres Nomor 5, Tahun
Kajian Literatur
2006 tentang Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas
Pemerataan Memperoleh Layanan
9 Tahun dan Pem-berantasan Buta Aksara. Indikator
Pendidikan
yang digunakan untuk ketuntasan Wajar Dikdas
Pemerataan memperoleh layanan pendidikan
9 tahun adalah APM SD/MI/setara dan APK SMP/
memiliki arti pemberian kesempatan yang sama
MTs/setara secara nasional rata-rata mencapai nilai
kepada setiap orang untuk memperoleh pendidikan.
sekurang-kurangnya 95 persen.
Pemerataan kesempatan untuk memperoleh
Walaupun secara nasional Wajar Dikdas sudah
pendidikan memiliki dua aspek, yakni persamaan
dinyatakan tuntas pada akhir tahun 2008 yang
kesempatan (equality,) dan keadilan (equity).
ditunjukkan oleh pencapaian APM SD/MI/setara
Persamaan kesempatan untuk mem-peroleh
dan APK SMP/MTs/setara sudah di atas 95 persen,
pendidikan mengkaji apakah akses terhadap
namun pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota
pendidikan telah merata, sedangkan keadilan
masih terjadi kesenjangan antar-daerah cukup
dalam memperoleh pendidikan meninjau apakah
tinggi. Pada tingkat provinsi, pencapaian APM
kesempatan memperoleh pendidikan telah sama
SD/MI/setara berkisar dari paling rendah 85,74
antar-berbagai kelompok.
persen (Papua) s.d. paling tinggi 97,12 persen (DKI
dilakukan dengan perbandingan antar-jender (pria/
Jakarta), dan untuk APK SMP/MTs/setara berkisar
wanita), lokasi geografis (desa/kota), dan antara
64,46 persen s.d. 106,85 persen. Sedangkan pada
penduduk yang kaya dan miskin (Purwadi dan
tingkat kabupaten/kota, antara kabupaten dengan
Siswantari, 2002).
Tinjauan keadilan ini
kota masih terjadi disparitas cukup tinggi terutama
Walter Scada (2004) dalam Mahdiansyah
untuk APK SMP/setara yaitu 80,45 persen (rata-
(2006) secara jelas membedakan antara equity
rata APK SMP/Setara kabupaten) dan 92,57 persen
dan equality. Lebih jauh dikatakan bahwa equity
(rata-rata APK SMP/Setara kota), sementara untuk
sebagai hak dan equality sebagai persamaan.
APM SD/MI/setara tidak ditemukan perbedaan yang
Equity sebagai hak dapat diterjemahkan sebagai
berarti antara kabupaten dan kota (92,85% dan
sesuatu yang harus diterima dalam jumlah yang
92,57%).
sama oleh setiap elemen. Kemudian equality
Beberapa permasalahan yang muncul dan akan
dapat diartikan sebagai suatu yang benar atau
dijawab melalui penelitian ini adalah 1) Daerah-
senyatanya terjadi. Pada prinsipnya yang diharap-
daerah mana yang memiliki masalah rendahnya
kan oleh semua lapisan adalah equity, namun yang
pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun?, 2) Faktor-faktor
seringkali terjadi dalam kenyataan adalah inequality.
apa yang mempengaruhi rendahnya pencapaian
Hal yang hampir sama disampaikan oleh Lorena
Wajar Dikdas 9 Tahun?, dan 3) Alternatif upaya apa
(2000) bahwa equity adalah memberikan apa yang
yang diperlukan untuk meningkatkan pencapaian
menjadi hak seseorang dan mengakui perbedaan
penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di daerah yang
tanpa diskriminasi. Kemudian equality merujuk
paling rendah pencapaian Wajar Dikdas?
pada kemiripan antara dua atau lebih, baik secara
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
kuantitas maupun kualitas.
bahan kebijakan tentang langkah-langkah dan
Menurut Psacharopoulos and Woodhall (1997),
strategi untuk memperkecil kesenjangan pencapaian
equity tidak semata-mata hanya ditujukan pada
Wajar Dikdas 9 Tahun. Secara operasional tujuan
distribusi atau pembagian (sharing) sumber daya di
pengkajian ini adalah: 1) memperoleh informasi
antara individu atau kelompok, namun juga terkait
tentang daerah-daerah yang paling bermasalah
dengan keadilan (justice). Oleh karena itu, berbagai
dalam penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun, 2)
pertimbangan equity hendaknya didasarkan
mengkaji faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
pada fakta-fakta dan pertimbangan normative
rendahnya pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun di
tentang bagaimana sumber daya didistribusikan
daerah yang paling bermasalah, dan 3) merumuskan
kepada masyarakat.
alternatif upaya pemecahan masalah penuntasan
pertimbangan akan berbeda yang disebabkan oleh
Wajar Dikdas di daerah paling bermasalah dalam
perbedaan pandangan masyarakat mengenai prinsip
44
Dalam kaitan ini, berbagai
Nur Berlian VA, Faktor-faktor yang Terkait dengan Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
moral dan philosofi. Bahkan, aspek-aspek faktual
penurunan ketidakmerataan akses, alternatifnya
tentang analisis equity akan menyertakan berbagai
adalah dengan membangun sekolah di sejumlah
pertimbangan tentang bagaimana suatu kelompok
area atau menurunkan biaya untuk mengurangi
yang memiliki sumber daya akan didistribusikan
beban bagi masyarakat yang tidak mampu
secara berbeda. Dengan kata lain, analisis tentang
menyekolahkan anak. Di negara lainnya perhatian
bagaimana suatu sumber daya akan didistribusikan
terhadap penurunan ketidakmerataan dalam
tidak dapat berhasil jika populasi pertama kali
partisipasi pendidikan adalah dengan menyediakan
tidak diklasifikasikan ke dalam kelompok yang
insentif bagi masyarakat yang tidak menyekolahkan
saling menguntungkan. Dasar pertimbangan untuk
anaknya.
pengelompokkan bisa menurut usia, jenis kelamin,
Naskah kebijakan sektor pendidikan tahun 1980
strata sosial, tingkat pendapatan, pekerjaan atau
menyarankan bahwa perhatian terhadap akses,
variabel relevan lainnya.
equity, dan efisiensi secara relatif merupakan fungsi
Bukti-bukti untuk beberapa kelompok di
dari tingkat perkembangan pendidikan di suatu
negara-negara berkembang memiliki akses terhadap
negara. Jika angka partisipasi rendah (kurang dari
pendidikan yang lebih baik dibanding lainnya, tetapi
30%), pemerintah terutama akan memberi perhatian
faktor-faktor yang menentukan akses tersebut
pada peningkatan akses dengan memperbanyak
bervariasi di antara negara-negara. Sebagai suatu
sekolah untuk memper-banyak murid. Saat angka
gambaran perbedaan partisipasi pendidikan secara
partisipasi meningkat menjadi 70-80%, perhatian
individu dikelom-pokkan menurut jenis kelamin,
utama menjadi memaksimalkan efisiensi internal
social ekonomi, kota, desa, suku bangsa, bahasa,
dan meyakinkan distribusi pemerataan sumber
dan agama. Sebagai contoh di Malaysia, disparitas
daya. Kebanyakan analisis distribusi pendidikan
terjadi tidak hanya pada laki-laki dan perempuan,
di negara-negara berkembang lebih memberi
serta wilayah geografi, tetapi juga antara suku
perhatian pada indikator kuantitatif.
bangsa Malay dan Cina. Di Sri Lanka, perbedaan
Untuk menunjukkan tingkat pemerataan
etnik dan agama memiliki peran penting dalam
pendidikan digunakan indikator pemerataan.
peranan pendidikan. Di Peru, bahasa merupakan
Indikator adalah angka menunjukkan tingkat
faktor penentu.
Tingkat pendapatan merupakan
pemerataan. Indikator yang sering dipakai untuk
faktor yang signifikan di Columbia, Malaysia dan
menganalisis pemerataan memperoleh layanan
di sejumlah negara angka partisipasi sangat
pendidikan adalah angka partisipasi.
bervariasi antara daerah kota dan desa. Sebagai
Angka partisipasi adalah perbandingan antara
simpulan tentang distribusi pendidikan tergantung
jumlah murid dan jumlah penduduk usia belajar.
pada bagaimana populasi diklasifikasikan dan juga
Penduduk usia Wajar Dikdas 9 Tahun adalah anak
bagaimana partisipasi pendidikan diukur.
umur 7 s.d. 15 tahun. Terdapat dua macam angka
Istilah equity dan equality secara nyata sangat berbeda dari sinonimnya, walaupun kadang-kadang
partisipasi, yaitu: angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM).
suka dipertukarkan, khususnya dalam diskusi
Angka partisipasi kasar adalah perbandingan
tentang distribusi pemerataan memper-oleh layanan
antara jumlah siswa (tanpa mempedulikan
pendidikan. Konsep equity sering diperdebatkan,
umurnya) dengan jumlah penduduk usia sekolah
biasanya terkait dengan isu philosofi dibanding
jenjang tertentu. Jadi, APK SMP/MTs/setara adalah
pertimbangan ekonomi (Psacharopoulos and
perbandingan antara jumlah semua siswa SMP/
Woodhall, 1997).
MTS/setara dengan jumlah penduduk usia SMP/
Perbedaan lain yang perlu diperjelas adalah
MTs/Setara (13 s.d. 15 tahun) di suatu daerah,
akses terhadap pendidikan dan partisipasi, karena
sedangkan angka partisipasi murni (APM) adalah
distribusi enrollment mungkin terkait dengan
perbandingan antara jumlah siswa kelompok umur
sejumlah faktor yang mempengaruhi permintaan
yang relevan dengan jumlah penduduk usia sekolah
pribadi, begitu pun dengan akses terhadap
jenjang tertentu. Dengan demikian, APM SMP/MTs/
pendidikan di daerah yang berbeda atau area
setara adalah perban-dingan antara jumlah siswa
geografi. Misalnya kebijakan pemerintah di beberapa
umur 13 s.d. 15 tahun dengan jumlah penduduk
negara mungkin lebih memperhatikan pada
usia 13-15 tahun.
45
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
Namun karena terjadi krisis ekonomi pada tahun Wajib Belajar
1997, program ini tidak dapat berjalan sebagai-
Ketentuan tentang Wajar Dikdas dituangkan dalam
mana yang diharapkan, dan akhirnya target tidak
UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang antara lain
tercapai. Oleh karena itu, penuntasan Wajar Dikdas
berbunyi sebagai berikut: 1) Pasal 5, ayat 1: Setiap
9 Tahun dijadwal ulang dan ditargetkan tuntas
warga negara mempunyai hak yang sama untuk
pada akhir tahun 2008. Indikator dan target yang
memperoleh pendidikan yang bermutu; 2) Pasal
digunakan dalam penuntasan Wajar Dikdas adalah
6, ayat 1: Setiap warga negara yang berusia tujuh
Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/setara dan
sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti
Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/sederajat
pendidikan dasar. Pasal 11, ayat 1: Pemerintah
secara nasional mencapai sekurang-kurangnya 95
dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan
persen.
dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga Negara tanpa
Metodologi
diskriminasi; 3) Pasal 11, ayat 2: Pemerintah dan
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif
Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya
melalui analisis data sekunder terhadap data yang
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap
terkait dengan tingkat pencapaian Wajar Dikdas
warga negara berusia tujuh sampai dengan lima
(APM SD/MI/setara, APK SMP/MTs/setara, jumlah
belas tahun; 4) Pasal 34, ayat 2: Pemerintah dan
dan persentase anak usia Wajar Dikdas yang tidak
Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya
sekolah, serta angka melanjut-kan lulusan SD/
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
setara ke SMP/setara) dan faktor-faktor yang diduga
dasar tanpa dipungut biaya, 5) Pasal 34, ayat 3:
mempengaruhinya (kemiskin-an, kemampuan fiskal
Wajib belajar merupakan tanggung jawab Negara
Pemda, motivasi orangtua terhadap pendidikan, dan
yang
pelayanan Dikdas). Data tersebut bersumber dari
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas,
Ke t e n t u a n r i n c i t e n t a n g Wa j i b B e l a j a r
Ditjen Pendidikan Agama Islam Depag, dan Badan
selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pusat Statistik. Untuk mendukung analisis data
(PP) No. 47 Tahun 2008.
PP tersebut memuat
sekunder, dilakukan pengumpulan data kualitatif
sembilan bab meliputi: ketentuan umum, fungsi dan
melalui pengamatan lapangan di daerah-daerah
tujuan, penyelenggaraan, pengelolaan, evaluasi,
yang memiliki masalah penuntasan Wajar Dikdas.
penjaminan Wajib Belajar, hak dan kewajiban
Analisis data sekunder dilakukan dengan
masyarakat, pengawasan, dan ketentuan penutup.
diagram scatter plot yang menunjukkan posisi
Pasal 12 dalam PP tersebut dinyatakan bahwa: 1)
provinsi atau kabupaten/kota menurut jumlah
Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar
absolut dan persentase anak tidak sekolah (usia
wajib mengikuti program wajib belajar; 2) Setiap
7-12 tahun untuk SD/setara atau usia 13-15 tahun
warga negara Indonesia yang memiliki anak usia
untuk SMP/setara).
wajib belajar bertanggung jawab memberikan
dikelompokkan ke dalam empat kuadran dengan
pendidikan wajib belajar kepada anaknya; dan 3)
cutting point angka rerata nasional tingkat provinsi
Pemerintah kabupaten/kota wajib mengupayakan
(untuk analisis antar-provinsi) dan angka rerata
agar setiap warga negara Indonesia usia wajib
nasional tingkat kabupaten/kota (untuk analisis
belajar mengikuti program wajib belajar.
tingkat kabupaten/kota). Dengan demikian diperoleh
Posisi tersebut kemudian
Dalam rangka penuntasan Wajib Belajar
empat posisi kuadran, yaitu: kuadran 1, untuk
Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun,
daerah yang memiliki jumlah anak tidak sekolah
Pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) No
tinggi namun memiliki persentase jumlah anak
5 tahun 2006 telah menegaskan tentang Gerakan
tidak sekolah yang rendah; kuadran 2, untuk daerah
Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9
yang memiliki jumlah dan persentase anak tidak
Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
Inpres
sekolah yang tinggi; kuadran 3, untuk daerah yang
tersebut merupakan kelanjutan dari Inpres No. 1
memiliki jumlah anak tidak sekolah yang rendah
Tahun 1994 tentang Penuntasan Wajar Dikdas 9
namun memiliki persentase anak tidak sekolah yang
Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2004.
tinggi; dan kuadran 4, untuk daerah yang memiliki
46
Nur Berlian VA, Faktor-faktor yang Terkait dengan Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
APM SD/MI/setara untuk mencapai target 95%),
jumlah dan persentase anak tidak sekolah yang
namun bila ditinjau berdasarkan pencapaian pada
rendah. Daerah yang bermasalah adalah daerah
tingkat provinsi dan kabupaten/kota, ditemukan
yang berada di posisi kuadran 1, 2, dan 3. Analisis
banyak daerah yang masih bermasalah terutama
lebih lanjut kemudian dilakukan untuk menemukan
di Kawasan Timur Indonesia khususnya Papua.
faktor-faktor yang diduga mempengaruhi rendahnya
Dari daerah yang mengalami permasalahan Wajar
pencapaian Wajar Dikdas.
Dikdas pada tingkat SD/MI/setara, tidak satupun berasal dari wilayah Indonesia bagian Barat. Dengan
Hasil Penelitian dan Pembahasan
demikian dalam hal penuntasan Wajar Dikdas,
Dalam kajian ini layanan Dikdas tingkat SD/setara
khususnya pada tingat SD/MI/setara, pemerintah
didekati dari jumlah dan persentase anak usia 7-12
perlu memberi perhatian yang lebih besar terhadap
tahun yang tidak sekolah. Semakin tinggi nilainya
daerah-daerah di wilayah Indonesia Timur.
berarti layanan SD/setara di daerah tertentu
Dalam kajian ini layanan Dikdas tingkat SMP/
semakin rendah, dan demikian sebaliknya.
MTs/setara didekati dari jumlah dan persentase anak
Berdasarkan diagram scatter plot yang
usia 13-15 tahun yang tidak sekolah. Seperti halnya
menggambarkan posisi provinsi dan kabupaten/
pada tingkat SD/MI/setara, maka semakin tinggi
kota menurut persentase dan jumlah anak usia 7-12
nilainya berarti layanan SMP/MTs/Setara di daerah
tahun yang tidak sekolah, ditemukan 3 provinsi yang
tertentu semakin rendah, dan demikian sebaliknya.
masuk dalam kuadran II atau memiliki persentase
Selain itu, karena untuk masuk SMP/MTs/Setara ada
dan jumlah anak 7-12 tahun tidak sekolah paling
persyaratan harus lulus SD/MI/Setara maka tingkat
tinggi, yaitu Papua, NTT, dan Sulsel, sedangkan
partisipasi pendidikan pada tingkat SMP/MTs/Setara
untuk tingkat kabupaten/kota ditemukan 60
dikaji juga dari angka melanjutkan lulusan SD/MI/
kabupaten. Dari 60 kabupaten tersebut terdapat 8
Setara ke SMP/MTs/Setara.
kabupaten yang paling bermasalah, yaitu kabupaten
Daerah paling bermasalah dalam jumlah dan
yang masuk dalam kuadran II setelah dilakukan dua
persentase anak usia 13-15 tahun tidak sekolah.
kali “pengkuadranan”. Ke delapan kabupaten yang
Ditemukan 6 provinsi yang memiliki persentase dan
paling bermasalah tersebut adalah Sumba Barat,
jumlah anak 13-15 tahun tidak sekolah paling tinggi,
Jeneponto, Biak Numfor, Jayapura, Mappi, Merauke,
yaitu Jabar, Jateng, Banten, Sulsel, Lampung, dan
Puncak Jaya, dan Sarmi. Untuk lebih jelasnya, lihat
Sumsel. Pada tingkat kabupaten/kota ditemukan
Gambar 1 dan 2.
50 kabupaten/kota yang memiliki persentase dan
Kondisi data tersebut menggambarkan bahwa
jumlah anak 13-15 tahun tidak sekolah paling
sekalipun Wajar Dikdas pada tingkat SD/MI/setara
tinggi. Setelah dilakukan dua kali “pengkuadranan”,
secara nasional sudah hampir tuntas (tersisa 0,27%
Gambar 1. Penduduk 7-12 tahun yang belum terlayani di SD/MI (angka absolut dan %) 47
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011 Gambar 3. Posisi Kab/Kota dalam Kuadran II tahap I Menurut Jumlah dan Persentase Penduduk 7-12 Tahun Tidak Sekolah 40 Kab Bogor
35
Jumlah (ribu)
30 25
I
20
II
15 Kab Sumba Barat Kab. Cirebon
10
Kab. Biak Numfor
Kab. Lombok Barat Kab. Lebak Kab. Tegal Kab. Gowa Kota Makassar Kab. Belu Kab. 10.12 Gorontalo Kab. Fakfak
5
Kab. Jayawijaya
0 0
10
20
Kab Merauke
Puncak Jaya Kab.Kab. Jayapura Kab. Mappi Kab. Paniai
Kab. Sarmi Kab Supiori
III
Kab. Pegunungan Bintang
30
40
50
60
70
%
Gambar 2. Posisi Kab/Kota dalam kuadran II tahap I Menurut Jumlah dan Persentase Penduduk 7-12 tahun Tidak Sekolah dari ke 50 kabupaten/kota tersebut ditemukan 16
tidak sekolah, sehingga hal ini akan memberikan
kabupaten yang paling bermasalah karena memiliki
kontribusi yang cukup besar terhadap pencapaian
jumlah dan persentase anak 13-15 tahun tidak
Wajar Dikdas secara nasional.
sekolah paling tinggi, yaitu
Namun, tidaklah
Kabupaten Bogor,
adil apabila daerah-daerah yang memiliki jumlah
Sukabumi, Cianjur, Garut, Cirebon, Karawang,
penduduk sedikit tetapi memiliki persentase anak
Banjarnegara, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes,
usia 13-15 tahun yang tidak sekolah cukup tinggi
Probo-linggo, Bangkalan, Sampang, Lebak, dan
kurang diperhatikan.
Serang.
tersebut, pemerintah juga perlu memberikan
Data tersebut
menggambarkan bahwa
Terhadap daerah-daerah
perhatian cukup besar.
permasalahan Wajar Dikdas pada tingkat SMP/MTs/
Daerah paling bermasalah dalam jumlah dan
setara masih banyak dialami oleh daerah-daerah
persentase lulusan SD/setara yang tidak melanjut-
berpenduduk besar terutama daerah di pulau Jawa.
kan ke SMP/setara.
Kondisi ini berbeda dengan permasa-lahan pada
746.006 orang atau 20,27 persen lulusan SD yang
tingkat SD/MI/setara yang didominasi oleh daerah-
tidak melanjutkan ke SMP. Dari jumlah tersebut,
daerah yang berpenduduk sedikit di Indonesia Timur.
Jawa Barat memiliki jumlah lulusan SD yang tidak
Tidak tampaknya daerah-daerah di Indonesia Timur
melanjutkan paling tinggi yaitu 200.576 orang
yang masuk sebagai daerah yang bermasalah dalam
atau 26,89 persen dari nasional. Sedangkan dari
permasalahan Wajar Dikdas pada tingkat SMP/
persentase ATM, persentase tertinggi ditemukan
MTs/setara disebabkan oleh jumlahnya yang tidak
di Irian Jaya Barat yaitu 35,49 persen, namun
terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah anak
dengan jumlah hanya 3.868 orang (Pusat Statistik
13-15 tahun tidak sekolah yang berada di daerah
Pendidikan, 2006).
Secara nasional terdapat
berpenduduk besar, sehingga ketika dilakukan
Provinsi dan kabupaten/kota di wilayah
perbandingan antar-daerah terutama dalam hal
Indonesia Timur yang berpenduduk relatif sedikit,
jumlah anak usia 13-15 tahun yang tidak sekolah
umumnya memiliki masalah Wajar Dikdas dari
maka yang lebih dominan ditemukan adalah daerah-
segi tingginya persentase yang tidak sekolah,
daerah yang berada di pulau Jawa.
sedangkan di Jawa, Sumatera, dan wilayah lain yang
Dalam kaitannya dengan penuntasan Wajar
berpenduduk besar, umumnya menghadapi masalah
Dikdas untuk tingkat SMP/MTs/setara, apabila ke-
dari aspek tingginya jumlah anak yang tidak sekolah.
16 kabupaten tersebut lebih diprioritaskan untuk dituntaskan maka yang paling bermasalah adalah
Faktor-faktor yang terkait dengan rendahnya
karena banyaknya anak usia 13-15 tahun yang
pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun
48
Nur Berlian VA, Faktor-faktor yang Terkait dengan Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Faktor-faktor yang terkait dengan rendahnya
penduduk dan kemiskinan memiliki korelasi paling
pencapaian Wajar Dikdas dalam pengkajian ini
kuat dan signifikan terhadap APM SD/MI. Secara
dianalisis dengan menggunakan data sekunder
rinci periksa tabel berikut.
dan hasil pengamatan lapangan.
Pengkajian
Demikian pula halnya untuk tingkat SMP/
berdasarkan analisis data sekunder sangat
MTs, korelasi paling kuat dengan APK ditemukan
tergantung pada ketersediaan data pada tingkat
untuk variabel tingkat pendidikan dan kemiskinan
provinsi dan kabupaten, sedangkan kajian
penduduk. Secara rinci periksa Tabel 2.
berdasarkan pengamatan lapangan lebih bersifat
Untuk mengetahui lebih jauh kondisi faktor-
kasus tergantung pada karakteristik daerah yang
faktor terkait dengan tingginya jumlah dan
menjadi objek pengamatan.
persentase anak 7-12 tahun yang tidak sekolah
Berdasarkan analisis data sekunder, rendahnya pencapaian Wajar Dikdas dapat dikatkan
di 3 provinsi dan 8 kabupaten paling bermasalah disajikan pada Tabel 3.
dengan faktor-faktor: (i) kemiskinan penduduk; (ii)
Tabel 3. menunjukkan bahwa terdapat dua
kapasitas fiskal Pemda; (iii) faktor geografi (jarak
variabel yang sangat menentukan tingginya jumlah
ke sekolah yang jauh); (iv) ketersediaan layanan
dan persentase anak 7-12 tahun tidak sekolah yaitu
pendidikan (rasio jumlah anak usia 7-12 tahun per
kapasitas fiskal dan tingkat pendidikan yang rendah.
ruang kelas SD/MI atau rasio jumlah anak usia 13-
Selain itu, tingginya persentase penduduk miskin
15 tahun per ruang kelas SMP/MTs; dan (iv) tingkat
dan jauhnya jarak ke sekolah juga berpengaruh
pendidikan penduduk.
terhadap angka partisipasi. Tingginya % penduduk
Hasil uji korelasi secara nasional terhadap
miskin banyak ditemukan di Papua, sedangkan
jumlah semua kabupaten/kota dan hanya dengan
untuk sekolah jauh banyak ditemukan di Papua
kabupaten/kota yang memiliki APM lebih rendah
dan Sulawesi Selatan. Di NTT tidak terlalu tampak
ditemukan bahwa faktor tingkat pendidikan Tabel 1. Korelasi antar-variabel yang terkait dengan pencapaian APM SD/MI
Ket
: Data diolah dari sumber data BPS (2006), Pusat Statistik Pendidikan (2006),
dan Depkeu (2006) **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
49
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
jarak ke sekolah yang jauh antara lain disebabkan
fiskal Pemda, jauhnya jarak ke sekolah, dan
oleh tipologi daerah yang relatif mengelompok,
rendahnya motivasi penduduk terhadap pendidikan
sehingga jarak ke SD/setara relatif tidak masalah,
yang diindikasikan oleh rendahnya tingkat pendidikan
hal ini didukung pula oleh ketersediaan sarana ruang
penduduk. Begitu pun untuk kasus di Kab Puncak
kelas yang memadai.
Jaya, rendahnya pencapaian Wajar Dikdas terkait
Tabel 4. dapat ditafsirkan bahwa rendahnya
dengan keempat faktor seperti yang dialami oleh
pencapaian Wajar Dikdas tingkat SD/MI/setara,
provinsi Papua.
misalnya untuk kasus
di Papua terkait dengan
seperti di Papua maka dapat ditemukan pula faktor-
Dengan penafsiran yang sama
tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya kapasitas
faktor yang terkait dengan rendahnya pencapaian
Tabel 2. Korelasi antar-variabel yang terkait dengan pencapaian APK SMP/MTs
Ket
: Data diolah dari sumber data BPS (2006), Pusat Statistik Pendidikan (2006), dan Depkeu (2006) **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed
Tabel 3. Faktor-faktor yang terkait dengan tingginya jumlah dan persentase anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah di 3 provinsi APK paling bawah
Keterangan: Data diolah dari sumber data BPS (2006), Pusat Statistik Pendidikan (2006), dan Depkeu (2006) 50
Nur Berlian VA, Faktor-faktor yang Terkait dengan Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Wajar Dikdas tingkat SD/MI/setara di provinsi dan
dengan rendahnya kapasitas fiskal, ketersediaan
kabupaten lainnya yang APK-nya masih rendah.
ruang kelas, jarak ke sekolah yang jauh, dan
Sementara itu, untuk tingkat SMP/MTs/
rendahnya motivasi terhadap pendidik-an yang
setara, faktor-faktor yang dapat dikaitkan dengan
diindikasikan oleh rendahnya tingkat pendidikan
rendahnya pencapaian Wajar Dikdas dapat disimak
penduduk, sedangkan dari faktor kemiskinan tidak
pada Tabel 3 dan Tabel 4. Untuk kasus di provinsi
tampak keterkaitannya karena persentasenya relatif
Sulsel, rendahnya pencapaian Wajar Dikdas terkait
rendah.
Kasus di Kab Sampang agak berbeda,
Tabel 4. Faktor-faktor yang terkait dengan banyaknya dan tingginya persentase anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah di 8 kabupaten APK di bawah 80%
Ket
: Data diolah dari sumber data BPS (2006), Pusat Statistik Pendidikan (2006), dan Depkeu (2006)
rendahnya pencapaian Wajar Dikdas lebih terkait
terjadinya putus sekolah.
dengan tingginya kemiskinan, kapasitas fiskal
Lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP/
yang rendah, dan rendahnya motivasi terhadap
setara ditemukan di tiga kabupaten ini. Adapun
pendidikan, sedangkan dari faktor ketersedian
faktor-faktornya cukup kompleks dan saling
ruang kelas tidak banyak terkait karena memiliki
berhubungan satu sama lain, antara lain: 1) jarak
keadaan sedang.
dari rumah ke SMP/setara sangat jauh (tidak
Selain melakukan analisis data sekunder,
semudah akses ke SD/setara dengan jarak sekitar 3
identifikasi faktor-faktor yang terkait dengan
s.d. 8 km dengan kondisi jalan terjal dan berbatu);
rendahnya pencapaian Wajar Dikdas juga dilakukan
2) orangtua tidak memiliki cukup biaya untuk
berdasarkan pengamatan lapangan di Kabupaten
menyekolahkan anaknya karena untuk memenuhi
Lebak, Sumedang, dan Tasikmalaya. Berdasarkan
kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit, biaya
data ini putus sekolah SD hanya ditemukan
yang cukup memberatkan adalah biaya personal
di Kabupaten Lebak, sedangkan di kabupaten
yaitu buku, seragam, transpor, dan uang jajan; 3)
Sumedang dan Tasikmalaya tidak ditemukan.
kemampuan belajar anak yang rendah, didukung
Jika dikaitkan dengan kondisi daerah, Kabupaten
oleh rendahnya motivasi orangtua terhadap
Lebak masih relatif banyak daerah yang terpencil
pendidikan (karena terkait juga dengan faktor
bahkan suku terasing (suku Baduy). Faktor-faktor:
ekonomi), dan pengaruh temannya yang juga tidak
1) keadaan geografis, jarak dengan sekolah, 2)
sekolah; 4) pandangan orangtua bahwa pendidikan
tidak adanya akses kendaraan umum ke sekolah,
bukan merupakan kebutuhan pokok, tamat SD saja
3) orangtua
sudah cukup karena banyak juga lulusan pendidikan
tidak sanggup membiayai, tingkat
pendidikan orangtua, 4) dorongan orangtua, 5)
tinggi yang menganggur.
rendahnya motivasi belajar anak, dan 6) rendahnya
Hasil pengumpulan data kualitatif di beberapa
kemampuan belajar anak menjadi alasan/penyebab
lokasi kecamatan yang memiliki pencapaian Wajar 51
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
Tabel 5. Faktor-faktor yang terkait dengan banyak dan tingginya persentase anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah di 6 provinsi dengan APK belum tuntas
Ket : Data diolah dari sumber data BPS (2006), Pusat Statistik Pendidikan (2006), dan Depkeu (2006)
Tabel 6. Faktor-faktor yang terkait dengan banyak dan tingginya persentase anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah di 16 kabupaten APK rendah
Ket: Data diolah dari sumber data BPS (2006), Pusat Statistik Pendidikan (2006), dan Depkeu (2006)
52
Nur Berlian VA, Faktor-faktor yang Terkait dengan Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Dikdas yang masih rendah menunjukan bahwa putus
kabupaten yang paling bermasalah, yaitu Kabupaten
sekolah SMP ditemukan di Kabupaten Lebak dan
Sumba Barat, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten.
Sumedang, sedangkan di kabupaten Tasikmalaya
Biak Numfor, Kabupaten. Jayapura, Kabupaten.
tidak ditemukan. Melalui hasil pendalaman kasus
Mappi, Kabupaten. Merauke, Kabupaten. Puncak
di kabupaten Lebak diketahui faktor penyebab
Jaya, dan Kabupaten Sarmi.
terjadinya anak putus sekolah adalah 1) jauhnya
Untuk anak usia 13-15 tahun, ditemukan 6
jarak sekolah dengan tempat tinggal (sekitar 3 s.d.
provinsi yang memiliki persentase dan jumlah anak
8 km) dengan kondisi jalan umumnya terjal dan
13-15 tahun tidak sekolah paling tinggi, yaitu Jabar,
berbatu, 2) tidak tersedia akses kendaraan umum ke
Jateng, Banten, Sulsel, Lampung, dan Sumsel.
sekolah, 3) orang tua tidak sanggup membiayai, 4)
Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota ditemukan
orangtua kurang memahami arti pendidikan karena
50 kabupaten/kota yang memiliki persentase dan
tingkat pendidikan mereka juga rendah, sehingga
jumlah anak 13-15 tahun tidak sekolah yang tinggi.
dorongan orang tua untuk menyekolahkan anaknya
Dari ke 50 kabupaten/kota tersebut terdapat 16 kab
sangat kurang, 5) rendahnya motivasi belajar anak,
yang memiliki persen-tase dan jumlah anak 13-
dan 6) rendahnya kemampuan belajar anak menjadi
15 tahun tidak sekolah paling tinggi, yaitu Bogor,
alasan terjadinya putus sekolah SD. Sedangkan di
Sukabumi, Cianjur, Garut, Cirebon, Karawang,
kabupaten Sumedang, putus sekolah siswa SMP
Banjarnegara, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes,
a.l. disebabkan oleh faktor: 1) rendahnya motivasi
Probo-linggo, Bangkalan, Sampang, Lebak, dan
orang tua untuk menyekolahkan anak ke tingkat
Serang.
SMP, 2) motivasi belajar anak yang rendah, dan
Faktor-faktor yang terkait dengan rendahnya
3) kemampuan belajar anaknya yang juga rendah.
pencapaian Wajar Dikdas di provinsi dan kabupaten
Alternatif upaya pemecahan masalah rendahnya pencapaian Wajar Dikdas. Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mempercepat pencapaian Wajar Dikdas perlu didasarkan pada faktor-faktor yang dihadapi oleh setiap daerah yang bersangkutan.
Faktor-faktor tersebut bersifat khas
tergantung pada karakteristik dan kasus yang dihadapi oleh setiap daerah yang bersangkutan. Secara rinci alternatif upaya pemecahan yang disarankan disajikan pada bagian rekomendasi kebijakan. Simpulan dan Saran Simpulan Provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Indonesia Timur pada umumnya memiliki masalah Wajar Dikdas dari segi tingginya persentase anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. Sedangkan di wilayah Jawa dan Sumatera atau daerah yang memiliki jumlah penduduk cukup tinggi, umumnya menghadapi masalah karena tingginya jumlah anak yang tidak sekolah (angka absolut). Berdasarkan pertimbangan kedua aspek (persentase dan angka absolut), maka ditemukan 3 provinsi yang memiliki persentase dan jumlah anak 7-12 tahun tidak sekolah paling tinggi, yaitu provinsi Papua, NTT, dan Sulsel. Pada tingkat kabupaten/kota ditemukan 7
yang APK-nya masih rendah adalah 1) kemiskinan penduduk; 2) kesulitan menuju sekolah (faktor geografi yang kurang mengun-tungkan); 3) kurangnya layanan pendidikan; 4) rendahnya motivasi orangtua & siswa terhadap pendidikan; 5) kurangnya dukungan pemerintah daerah dan masyarakat terhadap pendidikan; serta 6) faktor sosial budaya yang kurang mendukung terhadap pendidikan. Saran Kebijakan U p aya - u p aya ya n g p e r l u d i l a k u k a n u n t u k mempercepat pencapaian Wajar Dikdas perlu didasarkan pada faktor-faktor yang dihadapi oleh setiap daerah yang bermasalah.
Faktor-faktor
tersebut bersifat khas tergantung pada karakteristik dan kasus yang dihadapi oleh setiap daerah yang bersangkutan. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka rekomendasi kebijakan yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut. Upaya pemecahan masalah tingginya anak usia Wajar Dikdas tidak sekolah karena tingginya tingkat kemiskinan: 1) Pembebasan segala jenis pungutan di sekolah terutama bagi anak dari keluarga miskin; 2) Sebagai konsekuensi dari usulan butir 1), maka pemerintah perlu menyediakan subsidi untuk segala keperluan sekolah terutama bagi sekolah yang siswanya banyak berasal dari keluarga miskin,
53
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
seperti beasiswa miskin, dan beasiswa untuk SMP Terbuka; 3) Pemberian subsidi ke sekolah
Upaya pemecahan masalah tingginya anak
selama ini telah ditutupi oleh pemerintah Pusat
usia Wajar Dikdas tidak sekolah karena kurangnya
dalam bentuk BOS, sedangkan untuk membantu
p e r h a t i a n Pe m d a t e r h a d a p p e m b a n g u n a n
meringankan biaya pribadi siswa, terutama bagi
pendidikan: 1) pengalokasian anggaran pendidikan
siswa miskin, maka perlu adanya upaya-upaya
dari Pusat ke Kabupaten dengan memprioritaskan
terutama dari pemerintah daerah, dan pihak
kabupaten yang memiliki kapasitas fiskal yang
sekolah melalui kerjasama dengan komite sekolah;
rendah, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK); 2)
4) Pola subsidi pada butir 1) s.d. 3) lebih banyak
peningkatan partisipasi masyarakat dalam program
ditujukan bagi anak usia Wajar Dikdas yang saat
penuntasan Wajar Dikdas.
ini sudah bersekolah, sedangkan bagi anak yang tidak/belum bersekolah karena putus sekolah, tidak
Pustaka Acuan
melanjutkan, atau belum sekolah sama sekali belum
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1994 tentang
tersentuh.
Untuk itu perlu diupayakan pola-pola
pemberian subsidi bagi anak usia Wajar Dikdas yang belum/tidak bersekolah agar bisa masuk sekolah. Upaya pemecahan masalah tingginya anak
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Jakarta: Sekretariat Negara. Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan
usia Wajar Dikdas tidak sekolah karena sulitnya
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
akses menuju sekolah.
dan Pemberantasan Buta Aksara. Jakarta:
Sulitnya akses menuju
sekolah terutama lebih banyak terjadi pada tingkat SMP/setara, sedangkan untuk akses menuju SD/setara pada umumnya relatif sudah baik.
Untuk itu disarankan agar pemerintah
Sekretariat Negara. Lorena, Aguilar, Lic. 2000. Definitions of Equity and Equality, Pop Planet, Juli 2000. Mahdiansyah, 2006. Studi Pemerataan Perguruan
perlu bekerjasama dengan masyarakat setempat
Tinggi, Fakultas, dan Program Studi
berupaya menyediakan layanan pendidikan SMP/
Antar-Wilayah Indonesia Sesuai dengan
setara yang mudah terjangkau atau dekat dengan
Kebutuhan Masing-Masing. Jakarta:
pemukiman penduduk, seperti halnya akses menuju SD. Program yang selama ini telah berjalan seperti
Puslitjaknov, Balitbang Depdiknas. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008
pembukaan SD-SMP Satu Atap, SMP Terbuka,
tentang Wajib Belajar. Jakarta:
dan Paket B jumlahnya masih terbatas dan belum
Depdiknas.
menjangkau semua daerah kantong yang memiliki
Pusat Statistik Pendidikan, 2006. Statistik
banyak lulusan SD yang tidak melanjutkan. Layanan
Persekolahan SD 2005/2006. Jakarta:
program ini masih belum meluas sampai ke setiap
Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang
pemukiman penduduk seperti halnya SD, namun
Depdiknas.
masih terbatas di pusat kecamatan atau desa. Dengan demikian kampung-kampung lain yang
____, 2006. Statistik Persekolahan SMP 2005/2006. Jakarta: Pusat Statistik
memiliki jarak cukup jauh dengan pusat kecamatan
Pendidikan, Balitbang Depdiknas.
atau desa masih perlu memperoleh layanan program
____, 2006. Indonesia Educational Statistics in
ini.
Brief 2005/2006. Jakarta: Pusat Statistik Upaya pemecahan masalah tingginya anak usia
Wajar Dikdas tidak sekolah karena rendahnya motivasi
Pendidikan, Balitbang Depdiknas. Psacharopoulos, G. and M. Woodhall. 1997.
orangtua terhadap pendidikan: 1) peningkatan
Education for Development. New York:
sosialisasi tentang pentingya pendidikan; 2)
Oxford University Press for The World
pemberian penghargaan bagi daerah-daerah yang
Bank.
cukup berhasil dalam menuntaskan program Wajar Dikdas.
Selain itu karena rendahnya motivasi
juga terkait dengan faktor lain yaitu rendahnya kemampuan ekonomi, maka pemecahan masalah dapat diintegrasikan dengan faktor tersebut.
54
Purwadi, Agung dan Siswantari. 2002. Analisis
Nur Berlian VA, Faktor-faktor yang Terkait dengan Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Pemerataan Kesempatan Memperoleh Pendidikan. Seri Analisis Kebijakan Pendidikan, Buku 3. Jakarta: Puslitjak, Depdiknas. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: DPR RI. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
55