e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017)
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Fraud Pada LPD Desa Pakraman Bontihing 1
Ni Luh Ayu Suaslioni Anantawikrama Tungga Atmadja, 2Made Arie Wahyuni
1
Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail: {
[email protected],
[email protected],
[email protected]}@undiksha.ac.id
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bentuk fraud yang terjadi di LPD Desa Pakraman Bontihing, (2) penyebab terjadinya fraud di LPD Desa Pakraman Bontihing, (3) saran tindakan yang harus dilakukan dalam menindaklanjuti fraud di LPD Desa Pakraman Bontihing. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Subjek penelitian ini adalah LPD Desa Pakraman Bontihing dan objek penelitiannya yaitu kasus fraud, penyebab terjadinya fraud dan cara penanggulangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) ada dua bentuk fraud yang terjadi di LPD Desa Pakraman Bontihing yaitu adanya penggandaan buku tabungan dan penyelewengan kas, (2) faktor penyebab terjadinya fraud diklasifikasikan menjadi empat yaitu akibat lemahnya struktur organisasi dan pembagian wewenang, kontribusi gaji yang belum memadai, moralitas yang rendah akibat adanya kesempatan (opportunity), dan kurang efektifnya kinerja auditor internal LPD, (3) kebijakan terhadap terjadinya fraud yaitu diselesaikan secara kekeluargaan dan memperbaiki sistem pengendalian intern menjadi terkomputerisasi dalam penginputan dan pembuatan laporan keuangan, serta mengoptimalkan pengawasan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan LPD. Kata kunci : bentuk fraud, faktor penyebab fraud, kebijakan terhadap fraud.
Abstract The study aimed at knowing (1) the fraud forms happening at LPD (Village Credit Institution) of Bontihing Customary Village, (2) the causes of fraud at LPD of Bontihing Customary Village, (3) the suggestions of following up fraud at LPD Bontihing Customary Village. This study used a qualitative approach with primary and secondary data sources. The data collection techniques used were observation, interview, literature review, and documentation. The subject of this research was LPD of Bontihing Customary Village and the object of research was fraud case, cause of fraud, and ways overcoming it. The result of this research showed that (1) there were two forms of fraud happening at LPD of Bontihing Customary Village namely the doubling of saving book and cash diversion, (2) the cause of fraud was classified into four namely due to the weakness of organizational structure and division of authority, inadequate salary contribuion, low morality
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) due to available opportunity, and ineffective performance of internal auditor of LPD, (3) the policy toward the fraud was settled in kinship manner and improved the internal control system become computerized in inputting and preparing financial statement, and optimizing supervision by applying caution principle in running the LPD. Keywords: fraud form, fraud cause, policy toward fraud.
PENDAHULUAN Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan lembaga keuangan yang dimiliki oleh desa pakraman di Bali. Keberadaan LPD di Bali sesungguhnya terproses dari sebuah kesadaran dan kemauan bersama dari masyarakat. Kesadaran dan kemauan bersama itu terwadahi melalui organisasi komunitas berbasis wilayah yakni desa pakraman. Tujuan pendirian sebuah LPD pada setiap desa adat, berdasarkan penjelasan Peraturan Daerah No.2/1998 dan No.8/tahun 2002 yaitu mendukung pembangunan ekonomi pedesaan melalui peningkatan kebiasaan menabung masyarakat dan menyediakan kredit bagi usaha skala kecil, untuk menghapus bentuk-bentuk eksploitasi dalam kredit, untuk menciptakan kesempatan setara bagi kegiatan usaha pada tingkat desa dan untuk meningkatkan tingkat monoterisasi di daerah pedesaan. Keberhasilan LPD tidak dapat dipisahkan dari kemampuan lembaga ini dalam menyertakan modal sosial dalam struktur pengendalian internnya (Atmadja, 2006). Modal sosial ini berupa nilai dan norma, yang dimiliki oleh krama desa pakraman (masyarakat desa adat) yang tertuang dalam tata aturan berbentuk awigawig (undang-undang yang dimiliki oleh desa adat) maupun perarem (hasil keputusan rapat desa adat). Melalui keberadaan awig-awig dan perarem ini masyarakat yang berinteraksi dengan LPD akan senantiasa mengikuti tata aturan yang ditetapkan oleh LPD karena jika mereka bertindak sebaliknya akan dikenakan sanksi adat yang dapat berupa denda, kesepekang (tidak diajak berkomunikasi oleh warga lain), hingga diusir dari desa pakraman yang bersangkutan. Ketaatan krama dalam memenuhi tata aturan LPD ini pada akhirnya akan berimplikasi pada penguatan struktur pengendalian intern LPD yang bersangkutan (Atmadja, 2006).
Sebaik-baiknya sistem yang dibuat dan seketat apapun pengawasan yang dilakukan, namun jika moralitas dari masing-masing individu pegawai masih bobrok, sistem dan pengawasan perusahaan tidak akan ada artinya. Moralitas yang dimiliki pegawai akan mempengaruhi perilaku etis mereka. semakin tinggi tingkat penalaran moral seseorang, akan semakin mungkin untuk melakukan ‘hal yang benar’. Individu yang memiliki penalaran moral yang rendah akan senantiasa melakukan tindakan kecurangan. Kecurangan atau fraud banyak terjadi di lingkungan kita, baik itu di lembaga keuangan pemerintah maupun swasta. Fraud tidak hanya bisa terjadi pada oknum-oknum berdasi yang membawahi perusahaan-perusahaan besar swasta maupun pemerintah. Berdasarkan fakta dilapangan, anak-anak yang baru menginjak remajapun kerap melakukan kecurangan yang secara sengaja dilakukan demi kepuasan mereka. Cressy dalam Norbarani (2012) menyimpulkan bahwa kecurangan secara umum mempunyai tiga sifat yaitu “Fraud Triangle” yang terdiri dari tiga kondisi yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu Pressure (Incentive), Opportunity (Kesempatan), Rationaliation. The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat (2004), mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu, Penyimpangan atas asset (Asset Misappropriation), Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement), dan Korupsi (Corruption). Salah satu kasus korupsi yang terjadi di Indonesia adalah penggelapan uang yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, seorang pegawai Dirjen Pajak golongan III A ditemukan memiliki kekayaan di rekeningnya sebesar Rp 28 miliar, rumah mewah di kawasan kelapa gading bernilai
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) sekitar Rp 1 miliar dan dua buah mobil mewah. Berdasarkan laporan hasil analisa (LHA), uang Rp 28 miliar itu disimpan di 20an rekening di Bank Panin dan BCA. Setelah blokir dibuka oleh penyidik, Gayus sempat menarik uang untuk menyuap para penegak hukum. Uang yang tersisa saat diblokir kembali tinggal Rp 10 miliar (www.nasional.kompas.com). Kasus ini tentunya sangat merugikan negara dan telah mencoreng nama baik pemerintah khususnya bagi Direktorat Jenderal Pajak. LPD Desa Pakraman Bontihing, terletak di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. LPD ini adalah salah satu contoh LPD yang sering terjadi tindak kecurang oleh pegawai. LPD Desa Pakraman Bontihing berdiri tahun 1989 dan sampai sekarang sudah dilakukan 4 kali pergantiang pengurus. Pengendalian intern pada LPD Desa Pakraman Bontihing dapat dikatakan masih lemah. Hal ini didasari dari pencatatan dan pengimputan transaksi masih menggunakan sistem manual, dan beberapakali terjadi tindakan kecurangan.
Seringnya terjadi tindakan kecurangan menyebabkan LPD Desa Pakraman Bontihing beberapa kali mengalami kebangkrutan. Pada tahun 2014 keuntungan yang diperoleh LPD Desa Pakraman Bontihing mengalami penurunan derastis. Hal ini terjadi karena pengurus yang bertugas dalam tabungan melakukan tindak kecurangan. Kecurangan terjadi karena moralitas pegawai yang rendah sehingga ketika ada kesempatan, mereka akan melakukan tindakan kecurangan tanpa membertimbangkan dampak yang akan terjadi pada LPD. Pengurus melakukan penyelewengan modal finansial dengan memungut uang tabungan nasabah dan angsuran tanpa adanya pencatatan, serta pemalsuan tanda tangan kepala LPD Desa Pakraman Bontihing dalam pembuatan deposito. Kecolongan yang terjadi beberapakali ini sangat merugikan LPD yang sempat mengalami kebangrutan. Adapun data penggunaan uang oleh kolektor yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 1 Data Penggunaan Uang LPD per April 2016 Nama : Kolektor A (nama disamarkan) Alamat : Br. Kanginan Desa Bontihing No Keterangan Nominal 1 Tabungan Nasabah +Rp 16.000.000,00 2 Tabungan fiktif (Deposito) Rp 4.000.000,00 3 Kredit Rp 6.200.000,00 Total Penggunaan Uang +Rp 26.200.000,00 Sumber : Dokumen Resmi, LPD Desa Pakraman Bontihing Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraud pada LPD desa pakraman bontihing”. METODE Penelitian yang dilakukan di LPD Desa Pakraman Bontihing menggunakan metode kualitatif karena permasalahan yang dihadapi luas dan belum menemukan patokan yang kuat dalam menentukan batasan penelitian ini. Sedangkan sumber data penelitian dibagi ke dalam dua kategori data yaitu data primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,
wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Adapun informan pada penelitian ini adalah Kepala LPD Desa Pakraman Bontihing, Karyawan LPD Desa Pakraman Bontihing, Badan Pengawas LPD Desa Pakraman Bontihing, dan yang dianggap paham dan mengetahui tindakan fraud yang terjadi. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Fraud yang Terjadi di LPD Desa Pakraman Bontihing Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah peneliti lakukan, kelemahan pengawasan LPD Desa Pakraman Bontihing terletak pada sistem yang tidak terprogram dengan baik yang
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) menyebabkan terjadi kecurangan. Seperti halnya kartu tabungan dan stempel LPD di simpan di sembarangan tempat sehingga pegawai bisa membuat buku tabungan lebih dari satu. Pegawai bisa melakukan kecurangan dengan mengeluarkan buku tabungan ganda untuk satu nama nasabah, jadi selain nasabah pegawai juga memegang buku tabungan yang sah. Buku tabungan yang di miliki oleh nasabah sudah terdaftar langsung di perusahaan. Penyetoran uang oleh nasabah dicatat kedalam dua buku tabungan, sehingga ketika pegawai yang menggunakan tabungan itu seolah-olah penarikan tabungan oleh nasabah. Kenyatannya dalam rekening tabungan yang di pegang nasabah tidak ada transaksi yang terjadi. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan pegawai tata usaha dan pegawai bagian bendahara. Pada saat diwawancarai pegawai tata usaha ( Ni Made Dwi A.A, 25 tahun) menjelaskan bentuk fraud yang terjadi, beliau mengatakan: “Due ye ngae buku tabungan tanpa sepengetahuan kepala. Untuk ye besik dan untuk nasabah besik. Ye narik pis ke bendahara nganggo tabungan nasabah ne gisange ye , padahal nasabah sing maan narik pis”. Hal serupa juga dikatakan oleh pegawai bagian bendahara (Ni Luh Yuli, 27 tahun) yang terlukis pada kutipan wawancara di bawah ini: “Karena kan dia bikin kartu tabungan dua untuk nasabah satu untuk dia sendiri satu”. Kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa masih lemahnya tata kelola penyimpanan barang-barang penting pada LPD. Kelemahan tersebut tentunya akan menimbulkan peluang bagi pegawai untuk berbuat kecurangan. Pencatatan yang tidak dilakukan atas pengambilan buku tabungan ini menyebabkan pihak atasan tidak mengetahui berapa banyak nasabah yang membuka rekening di LPD. Seperti yang kita ketahui, bahwa kas tersebut bersifat liquid. Kas merupakan elemen yang rawan untuk dicuri atau diselewengkan (Sugiarto, 1987). Pressure (incentive atau motivation), merupakan
dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan fraud karena tuntutan gaya hidup, ketidak berdayaan dalam soal keuangan, perilaku gambling, mencobacoba untuk mengalahkan sistem dan ketidakpuasan kerja (Salman dalam Wibowo, 2009). Tunggal (2012) menyatakan ada sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan manajemen atau pegawai untuk melakukan tindakan yang tidak jujur, atau mereka berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan yang tidak jujur. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari kepala LPD Desa Pakraman Bontihng (Nyoman Semare, 75 tahun) berikut ini: “Uang nasabah disetor setiap hari, tapi waktu sistemnya manual ada indikasi kerjasama antara bagian dana dan tata usaha sehingga terjadi selisih antara nota prima dengan buku tabungan. Uang itu di pakek untuk keperluan sendiri dan menutupi kecurangan di nasabah yang lain”. Hal senada juga disampaikan oleh pegawai bendahara (Ni Luh Yuli, 27 tahun) sebagai berikut: “Uang tabungan dan kredit dia yang makek mungkin untuk keperluan dadakan. Yang saya lihat dia juga agak glamor .intinya dia tidak jujur”. Penyelewengan uang juga terjadi pada kredit. Hal ini terjadi karena pengawasan kredit yang masih kurang disertai itikad nasabah yang kurang baik. penggunaan kredit langsung merupakan penggunaan dana secara langsung dari piutang yang telah dibayarkan nasabah oleh pihak pegawai yang bersangkutan. Pada peraturan LPD, nasabah yang ingin melakukan transaksi menabung dan melunasi kredit harus datang langsung ke LPD, namun kebanyakan nasabah enggan datang langsung ke LPD. Adapun kutipan wawancara Kepala LPD (Nyoman Semara, 75 tahun) yang mencerminkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut: “Penggunaan kredit langsung itu, nasabah yang membayar kredit uangnya tidak disetor ke kantor. Yang bayar tidak dibayarkan. Idealnya yang nabung, yang bayar, dan penarikan harus ke kantor tapi karena
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) masyarakat Bontihing males, ah nitip saja sama dia”. Dari beberapa kutipan wawancara di atas, kecurangan ini sejalan dengan pengertian yang di tulis Tunggal (2012:189) diartikan sebagai “penipuan di bidang keuangan yang disengaja, yang dimaksudkan untuk mengambil aset atau hak orang maupun pihak lain”. Kecurangan (fraud) jenis ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sukrisno (1996:241) yaitu (1) Mengantongi pembayaran piutang dari pelanggan, dan membuat bukti penerimaan pembayaran uang yang tidak sah atau bukti buatan sendiri, (2) Menerima pembayaran tagihan, mengambil uangnya untuk kepentingan pribadi dan tidak melaporkannya. Penyebab Terjadinya Fraud di LPD Desa Pakraman Bontihing Lemahnya Struktur Organisasi dan Pembagian Wewenang Struktur organisasi yang berfungsi sebagai pengatur dan penggerak suatu organisasi layaknya seperti tubuh manusia ini belum mampu difungsikan dengan baik oleh LPD. Struktur organisasi yang tidak berfungsi dengan baik, tentunya akan berimbas pada terjadinya perangkapan tugas yang nantinya akan menimbulkan celah risiko. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan karyawan bagian tata usaha ( Ni Made Dwi A.A, 25 tahun) yang menjelaskan: “Tugas yang diberikan merangkap. Sebenehne mbok bertugas di tata usaha yaitu administrasi tapi jani tugas di tabungan, kredit, jak deposito. Melingkup dadi besik karena pegawai cuma dadue”. Hal senada juga diungkapkan oleh ketua LPD (Nyoman Semare, 75 tahun) sebagai berikut: “Perangkapan tugas itu sudah pasti, karena pegawai disini hanya 2 orang”. Hartadi (1987) menyebutkan bahwa ciri utama sistem pengendalian intern yang memuaskan adalah memiliki struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tepat dan tingkat kecakapan pegawai sesuai dengan tanggung jawabnya. Jika pegawai dalam
suatu perusahaan tidak bekerja sesuai dengan tanggung jawab dan kecakapan yang dimiliki, maka hal ini akan menimbulkan terbukanya peluang (opportunity) bagi pegawai yang memiliki itikad tidak baik dan tidak jujur untuk melakukan kecurangan. Jumlah pegawai pada LPD Desa Pakraman Bontihing hanya 3 orang itu termasuk kepala LPD Desa Pakraman Bontihing. Teori Lewis (1959) dalam Mulyadi (2001) mengemukakan bahwa kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan suatu masalah. Kelebihan pekerja satu sektor akan memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sektor lain. Berikut pernyataan dari pegawai tata usaha (Ni Made Dwi A.A, 25 tahun) : “Dulu pegawaine 4 setelah ade kecurangan jani Cuma due pegawaine, tata usaha jak bendahara”. Hal senada juga dikatakan oleh kepala LPD Desa Pakraman Bontihing (Nyoman Semara,75 tahun) dalam wawancara yang dilakukan sebagai berikut: “Dulu karyawan diberikan oleh desa pakraman 4 orang, karena terjadi kecurangan sekarang jadinya 2. Niat untuk merekrut lagi ada tapi saya belum bisa menggaji”. Kontribusi Gaji Yang Belum Memadai Hadiwiryo dalam Wirawan (2012) menyatakan gaji dapat berperan dalam meningkatkan motivasi karyawan untuk bekerja lebih efektif, meningkatkan kinerja, meningkatkan produktivitas dalam perusahaan, serta mengimbangi kekurangan dan keterlibatan komitmen yang menjadi ciri angkatan kerja masa kini. Gaji bukanlah merupakan satu-satunya motivasi karyawan dalam berprestasi, tetapi gaji merupakan salah satu motivasi penting yang ikut mendorong karyawan untuk berprestasi, sehingga tinggi rendahnya gaji yang diberikan akan mempengaruhi kinerja dan kesetiaan karyawan (Poerwono dalam Wirawan, 2012). Hal ini terefleksi dari argumen yang dilontarkan pegawai tata usaha (Ni Made Dwi A.A, 25 tahun) dan bendahara ( Luh Yuli H, 27 tahun) berikut ini:
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) “Sistem penggajian dini nganggo persentase, amen bedik pendapatane bedik gajihne dan setiap 1 tahun 2 kali bange THR , Nyepi dan galungan”. “Biasane kasir 33% dan tata usaha 32%”. Hal senada juga dikatakan oleh kepala LPD (Nyoman samara, 75 tahun) mengenai sistem penggajian pegawai Sebagai berikut: “Berdasarkan laba, kalau laba kurang maka kebijaksanaan pimpinan yang di pakek (UMD). Diperkirakan sajalah kalu hidup di desa dengan sederhana mungkin bagi mereka 600 ribu itu sudah cukup. kalau laba bagus mungkin 1 jutaan itu dapet gaji. selain itu saya ngasih THR 1 tahun 2 kali, nyepi dan galungan. Idepan pengabdian gto lo”. Kutipan wawancara diatas menunjukkan, Pemberian Gaji pada LPD Desa Pkraman Bontihing belum mampu untuk mencukupi kebutuhan pegawai. Pemberian gaji khususnya pada pegawai perusahaan didasarkan pada presentase setoran setiap bulannya dan aktivitas kerjanya. Hal ini sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan dari pihak perusahaan dalam pemberian gaji yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR). Pihak pegawai juga harus mampu menyadari bagaimana kinerja yang harus mereka lakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka. Moralitas Yang Rendah Akibat Adanya Kesempatan(Opportunity). LPD Desa Pkraman Bontihing sangat menjunjung tinggi sistem kekeluargaan dalam menjalankan operasional perusahaan. Kepercayaan antar pimpinan dengan bawahan maupun sesama pegawai diterapkan dalam perusahaan ini. Maka dari itu semua dipercayakan pada pegawai, baik itu dalam hal tabungan maupun pembayaran piutang debitur bahkan deposito. Ketamakan seseorang dapat mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Dalam ilmu ekonomi disebutkan bahwa salah satu sifat manusia adalah tidak pernah merasa puas. Tingkat kepuasan seseorang tidak dapat
diukur, itu semua tergantung dari seberapa besar rasa syukur dan nikmat yang mereka rasakan, ini karena moralitas individu yang masih rendah. Hal ini terefleksi dari hasil kutipan wawancara yang dilakukan dengan kepala LPD (Nyoman Semare, 75 tahun) berikut ini: “Moralis dia yang jelek, dia sudah berkali-kali melakukan kesalahan tapi saya berikan kesempatan lagi mengingat dia orangnya pinter, yang patal sekali dia memalsukan tanda tangan saya dalam deposito. Langsung keesokan harinya (minggu) saya rapatkan sama badan pengawas dan pegawai bahwa saya sudah tidak bisa lagi memakai orang ini, saya minta dia memundurkan diri”. Suatu kebiasaan yang sudah mempola, dibentuk oleh lingkungan hidup, oleh kebutuhan/needs ataupun oleh kehendak meniru, kepatuhan mengikut, biasanya sukar diubah karena kebiasaan ini pun sudah menghilangkan pengaruh dari kewibawaan diri sendiri. Karena suatu kebiasaan yang jelek membuat moralitas diri menjadi kurang maka dari itu sebaik apapun sistem yang dibuat LPD jika moralitas dari masing-masing individu pegawai masih jelek, sistem dan pengawasan perusahaan tidak akan ada artinya. Kurang Efektifnya Kinerja Auditor Internal Peran auditor internal dalam suatu perusahaan sangat diperlukan untuk dapat mengetahui dan menilai kinerja suatu perusahaan tersebut. Sudaryati (2009) menyatakan bahwa peran utama internal auditor berupaya untuk mengeliminasi sebab-sebab timbulnya fraud tersebut. Pemeriksaan atas kinerja yang dilakukan karyawan pada LPD Desa Pakraman Bontihing dilakukan kepala LPD dan badan pengawas LPD. Kinerja kepala LPD dan badan pengawas hampir sama dengan auditor internal LPD. Informasi yang didapatkan berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan kepala LPD bahwa setiap hari melakukan pemantauan maupun pengecekan terhadap laporan yang dibuat pegawainya. Hal ini diperkuat dari kutipan wawancara yang telah dilakukan dengan
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) kepala LPD (Nyoman Semara, 75 tahun) berikut ini: “Sebenarnya dewan pengawas itu adalah auditor internalnya. Dia boleh cek-cek setiap kesini, cek semua juga boleh selain itu saya juga sebagai auditor internal. Saya yang mengawasi semua saya juga yang kadang-kadang membantu buat laporan”. Hal senada juga disampaikan oleh badan pengawas (Ketut kita, 75 tahun) sebagai berikut: “Badan pengawas juga sebagai auditor internal karena saya yang memantau dan mengawasi LPD”. Kutipan wawancara di atas menunjukkan bahwa auditor internal LPD belum memadai. Tugas dari seorang auditor internal tidak hanya mengecek pembukuan saja, tetapi juga harus menilai kepatuhan terhadap kebijakan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh manajemenm perusahaan. Dalam hal ini peran auditor internal sangat penting untuk mengetahui terjadinya fraud sedini mungkin. Saran Tindakan Yang Dilakukan Pihak LPD Desa Pakraman Bontihing Terhadap Kecurangan Yang Terjadi Pengungkapan (exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila perbuatannya terungkap (Sunaryadi dalam Wibowo, 2009). Penyelesaian kasus fraud pada LPD Desa Pakraman Bontihing diselesaikan dengan jalan damai, namun pengembalian atas dana yang digunakan tetap harus dipertanggungjawabkan. Ada beberapa cara penanggulangan yang dilakukan pihak LPD untuk menyelesaikan permasalahan ini dan mencari solusi agar kecurangan tidak terjadi lagi. Dalam menyelesaikan permasalahan yang telah terjadi, pihak LPD tidak menyelesaikan kasusnya di meja hijau. Pihak LPD lebih memilih untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Informasi ini terdapat dalam pernyataan oleh Kepala LPD (Nyoman Semara, 75 tahun) berikut ini:
“Dekati secara kekeluargaan dulu. Kasih surat peringatan jika dia tidak mau bayar. kalau masih tidak dibayar, saya umumkan di desa pakraman dan saya sita sertifikat tanah atau bpkb motor. Aapapun yang dia miliki yang ada maupun yang akan ada. karena disisni sistemnya tanggung renteng”. Hal ini juga diperkuat dengan argumen dari pegawai tata usaha (Ni Made Dwi A.A, 25 tahun) yang dipaparkan dalam kutipan wawancara berikut: “Ada surat peringatan pertama sampai ketiga yen sing ade konfirmasi mai, ya terpaksa barang apa yang dia miliki, yang ada maupun yang akan ada harus disita sesuai dengan jumlah hutangnya”. Hal lain juga disampaikan oleh badan pengawas LPD Desa Pakraman Bontihing (Ketut Kita, 75 tahun) dalam kutipan wawancara berikut: “Penyelesaiannya masih kekeluargaan. Supaya nama baiknya tidak jelek”. Pegawai yang melakukan kecurangan yang disebabkan oleh sifat keserakahannya atau moralitas pegawai yang rendah, dalam hal ini pegawai yang melakukan fraud pada tahun 2013, diberikan tenggang waktu untuk melunasi utang-utangnya. Adapun solusi yang dijalankan oleh pihak LPD agar peristiwa ini tidak terjadi lagi adalah pertama, dengan memperbaiki (pembaharuan) sistem pengendalian intern dari sistem pencatatan manual menjadi pencatatan terkomputerisasi dalam penginputan dan pembuatan laporan keuangan. Untuk membuka akses komputer masing-masing pegawai telah memiliki password pribadi sehingga pegawai yang satu dengan yang lain hanya terpokus dengan masing-masing tugas yang diberikan. Solusi yang lain adalah setiap nasabah yang melakukan penarikan buku tabungan harus di setorkan ke pihak LPD setelah dilakukan pengecekan di kantor baru uangnya bisa di berikan ke pihak nasabah. Hal ini diperkuat dengan kutipan wawancara dengan pegawai tata usaha (Ni Made Dwi A.A, 25 tahun) berikut: “Jani masing-masing pegawai be ngelah password anggo muka komputer jadi yen ade pegawai ne len
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) muka tidak bisa. Selain itu pencatatan ne ipidan manual jani be terprogram, be terkomputerisasi”. Hal senanda juga dinyatakan oleh kepala LPD Desa Pakraman Bontihing (Nyoman Semara, 75 tahun) sebagai berikut: “Untuk mencegah terjandinya kecurangan lagi, saya telah mengganti sistem pencatatan manual menjadi sistem pencatatan komputerisasi. Sistem manual itu gampang sekali untuk dibobol. Oleh karena itu dengan sistem pengendalian internal yang berbasis komputerisasi saya harapkan mampu mengurangi terjadinya kecurangan tersebut”. Solusi kedua yang dilakukan LPD Desa Pakraman Bontihing adalah lebih mengoptimalkan dalam hal pengawasan. Pengecekan yang dilakukan lebih diefektifkan baik itu pengecekan kredit maupun tabungan. Pengecekan dilakukan terhadap laporan keuangan di komputer setiap hari oleh kepala LPD Desa Pkraman Bontihing. Adapun pernyataan dari kepala LPD Desa Pakraman Bontihing (Nyoman Semara, 75 tahun) dipaparkan sebagai berikut: “Setiap hari saya melakukan pengecekan ke Komputer disana kelihatan yang bayar dan tidak, terus penarikan dan nabungnya juga, saya akan tau balance atau tidak”. Adapun pernyataan dari Badan Pengawas (Ketut Kita, 75 tahun) yang dipaparkan sebagai berikut: “Pengawasan diperketat, baik itu terhadap karyawan maupun terhadap laporan keuangan LPD dan tetap berpegang pada sistem kehatihatian”. Kutipan wawancara di atas menunjukkan Pengawasan terhadap kinerja karyawan maupun laporan keuangan LPD Desa Pakraman Bontihing harus ditingkatkan lagi. Hasil observasi yang dilakukan peneliti di LPD Desa Pakraman Bontihing, dapat diketahui bahwa telah terjadi korupsi sebanyak dua kali pada era kepemimpinan Ketua LPD Desa Pakraman Bontihing yang sekarang. Korupsi dilakukan oleh karyawan LPD yang menjabat sebagai bagaian kredit dan tata usaha, hal itu
membuktikan bahwa kurangnya peemantauan dan pengawasan yang dilakukan oleh Ketua LPD dan sistem pengendalian internal LPD Desa Pakraman Bontihing yang kurang memadai. Hal ini didukung dengan pendapat Simamora (1997) dalam Rayadi (2012) ada beberapa permasalahan pada sumber daya manusia yang membuat kegagalan perusahaan antara lain: buruknya kualitas karyawan, sikap dan pola pikir negatif dari para pegawai yang sudah berakar kuat dalam perusahaan, tingginya perputaran karyawan yang berbiaya besar dan beralihnya karyawan-karyawan penting ke perusahaan pesaing, serta faktor-faktor lainnya, meliputi buruknya program jaminan insentif bagi karyawan. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa terjadi penggandaan buku tabungan oleh pegawai yaitu dengan mengeluarkan buku tabungan ganda untuk satu nama nasabah, jadi selain nasabah pegawai juga memegang buku tabungan yang sah. Buku tabungan yang di miliki oleh nasabah sudah terdaftar langsung di perusahaan. Penyetoran uang oleh nasabah dicatat kedalam dua buku tabungan, sehingga ketika pegawai yang menggunakan tabungan itu seolah-olah penarikan tabungan oleh nasabah. Kenyatannya dalam rekening tabungan yang di pegang nasabah tidak ada transaksi yang terjadi. Selain itu penyelewengan uang juga terjadi di LPD ini. Uang yang digunakan merupakan uang dari tabungan dan kredit yang digunakan untuk keperluan pribadi pegawai. Hal ini terjadi akibat masih lemahnya sistem pencatatan dan pengawasan kepada pegawai. Pengendalian internal meliputi rencana organisasi dan semua metode serta peraturan yang sederajat yang digunakan di dalam perusahaan. Pengendalian internal pada LPD Desa Pakraman Bontihing sebagian besar belum diterapkan dengan baik, dimana terjadinya perangkapan tugas pada pagawai karena LPD hanya memiliki 2 pegawai.
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) Pemberian gaji khususnya pada pegawai perusahaan didasarkan pada presentase setoran setiap bulannya dan aktivitas kerjanya sehingga pemberian gaji tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR). Moralitas yang dimiliki pegawai masih rendah karena pegawai belum memiiliki kesadaran akan menjaga aset dan nama baik perusahaan. Ketika ada kesempatan pegawai yang moralitasnya rendah akan melakukan tindakan yang tidak baik. Pemeriksaan atas kinerja yang dilakukan karyawan pada LPD Desa Pakraman Bontihing dilakukan langsung kepala LPD dan badan pengawas LPD. Sehingga kinerja auditor internal kurang efektif. Saran tindakan yang dilakukan oleh pihak LPD adalah menyelesaikan permasalahan kecurangan dengan kekeluargaan, tanpa berujung ke meja hijau dengan syarat pelunasan atas utang yang dimiliki tetap dipertanggungjawabkan. Pencegahan juga dilakukan oleh pihak LPD agar kecurangan tidak terjadi lagi yaitu dengan mengganti pencatatan manual menjadi terkomputerisasi dan masingmasing karyawan memiliki kode akses untuk membuka komputer, serta menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengawasan terhadap karyawan maupun laporan keuangan. SARAN Saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan yang sudah dipaparkan di atas yaitu: 1. Bagi Pihak LPD Diharapkan kepada pihak LPD yang terlibat, khususnya Pimpinan LPD untuk lebih memperhatikan dan mengawasi kinerja karyawan agar mentaati aturanaturan yang telah ditetapkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa. Menambah jumlah karyawan berdasarkan kompetensi yang dimiliki serta memberikan arahan maupun menerapkan pelatihanpelatihan guna mendukung sistem kerja LPD sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Pengawasan dan pengecekan
terhadap karyawan, kredit, dan laporan keuangan lebih dioptimalkan serta menerapkan prinsip kehati-hatian pada LPD. 2. Bagi Pihak Karyawan Diharapkan agar karyawan mampu menanamkan rasa memiliki terhadap lembaga, lebih mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan lembaga, dan meningkatkan moralitas maupun kejujuran pada diri karyawan dalam bekerja sehingga tidak merugikan nasabah dan mencoreng nama baik LPD. UCAPAN TERIMAKASIH Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbigan, masukan, dorongan, arahan dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Dr. Anantawikrama Tungga Atmadja. S.E.,M.Si.,Ak selaku Ketua Jurusan Akuntansi Program S1 serta Pembimbing I yang telah memberikan arahan, masukan, dan bimbingan kepada penulis serta tidak lelah-lelahnya memberikan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir, sehingga penyusunan skripsi ini menjadi lancar dan terselesaikan dengan baik. 2. Made Arie Wahyuni, S.E., M.Si. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan, masukan, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Berkas Korupsi Gayus Lengkap. [Online], Tersedia di http://nasional.kompas.com/read/20 11/05/06/14400221/Berkas.Korupsi. Gayus.Lengkap [Diakses tanggal 2 Desember 2016]. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). 2004. Report To The Nation On Occupational Fraud And Abuse, TX: Association of Certified Fraud Examiners.
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 8 No: 2 Tahun 2017) Atmadja, A. T. 2012. Accounting Fraud: Background and Its Prevention On The Perspective of Hindu Psychogenetics. Makalah. Disampaikan dalam The Fourth UB Interntional Consortium on Accounting yang diselenggarakan di Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 20-24 November 2012. ----------------------- 2012. Kajian Kritis Kebangkrutan Lembaga Perkreditan Desa di Desa Pakraman Bontihing Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali. Disertasi yang tidak diterbitkan pada Program Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya. Cressey, D. 1953. Other people’s money, dalam: The Internal Auditor as Fraud buster, Hillison, William. Et. Al. 1999. Managerial Auditing Journal, MCB University Press. Vol.14, No.7, Hal: 351-362. Hartadi, Bambang.1987. Auditing Suatu Pedoman Pemeriksaan Akuntansi Tahap Pendahuluan.Yogyakarta: BPFE. Mulyadi. 2001. Sistem Akuntansi, Edisi Ketiga. Yogyakarta: YKPN. Norbarani, Listiana. 2012. Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan dengan Analisis Fraud Triangle yang Diadopsi dalam SAS NO.99. Skripsi. Jurusan Akuntansi, FEB Universitas Diponegoro Semarang. Pemerintah Daerah Provinsi Bali. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa. Rayadi. 2012. Faktor Sumber Daya Manusia yang Meningkatkan Kinerja Karyawan dan Perusahaan di Kalbar. Jurnal EKSOS. Vol.
8,No.2.Pontianak: Bhakti.
AMIK
Panca
Salman, Khairansyah. 2005. Audit Investigatif, Metoda Efektif dalam Pengungkapan Kecurangan. Makalah Seminar Nasional Auditing Forensik, PPA UGM, Yogyakarta. Sudaryati, D. 2009. Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Auditor Internal dalam Mendukung Good Corporate Governance. Skripsi. Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Muria Kudus. Sugiarto.1987. Dasar-dasar 2.Yogyakarta: BPFE
Akuntansi
Sukrisno. 1996. Auditing (Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tunggal, Amin Widjaja. 2012. Pedoman Pokok Audit Internal. Jakarta: Harvarindo. Wibowo dan Winny. 2009. Pengaruh Penerapan Fraud Early Warning System (FEWS) Terhadap Aktivitas Bisnis Perusahaan. Jurnal lnformasi perpajakan akuntansi dan keuangan publik. Vol.4, No. 2, Hal: 77-111. Wirawan, Kadek Hari. 2012. Prosedur Penggajian dan Pemberian Kredit pada PT. BPR Kapal Basak Pursada Cabang Singaraja.Tugas Akhir (tidak diterbitkan).Jurusan Akuntansi Program D3, FEB Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.