FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PENGAMBILAN KREDIT SAPI PERAH SISTEM BERGULIR PADA PETERNAK KOPERASI PETERNAK GARUT SELATAN
SKRIPSI
RETNO SUANDARI H34054269
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
RINGKASAN RETNO SUANDARI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir pada Peternak Koperasi Peternak Garut Selatan. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NETTI TINAPRILLA). Susu sapi merupakan komoditas pertanian yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi bangsa Indonesia. Susu memiliki peran dalam mencerdaskan bangsa melalui penyediaan sumber protein dan energi serta mengandung vitamin yang penting bagi pertumbuhan. Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan yang cukup besar antara permintaan susu dengan penawaran yang ada. Permintaan konsumsi susu lebih besar daripada ketersediaan susu yang dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri. Produktivitas sapi perah yang masih rendah menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi susu dalam negeri. Selain tingkat produktivitas sapi perah yang masih rendah, salah satu faktor utama ketidakmampuan subsektor peternakan Indonesia dalam usaha swasembada susu adalah jumlah populasi sapi perah yang tidak mencukupi. Keberhasilan pembangunan sektor pertanian termasuk subsektor peternakan yang dicapai selama ini tidak terlepas dari berbagai upaya peningkatan pelayanan kredit yang diprogramkan pemerintah. Berkembangnya pelayanan kredit di pedesaan membantu ketersediaan modal yang seringkali menjadi kendala dalam pengelolaan usahaternak sesuai skala ekonomi yang menguntungkan. Keberadaan kredit menjadi penting ketika dihubungkan dengan kemampuan pengadaan modal. Kredit merupakan salah satu sumber modal dalam usaha peternakan khususnya peternakan di negara berkembang. Sangat sedikit peternak yang memanfaatkan kredit sebagai modal usahaternak mereka. Sebagai usaha untuk mengatasi keterbatasan modal dan meningkatkan produksi susu pemerintah mengeluarkan berbagai skema kredit untuk meningkatkan kepemilikan sapi perah yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan peternak. Kelembagaan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat adalah koperasi. Peternak rakyat yang bersatu dalam koperasi diharapkan mendapatkan kemudahan dalam pengadaan input, pembinaan dalam pengelolaan, memiliki kemampuan dalam pengolahan dan memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan peternak yang tidak tergabung dalam koperasi. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis karakteristik peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan, (2) menganalisis kemampuan pengadaan modal sendiri peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan dalam usahaternak sapi perah dan (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir pada peternak Koperasi Peternak Garut Selatan. Penelitian ini dilakukan terhadap peternak anggota dan calon anggota KPGS di Desa Cibodas, Cikajang, Mekarsari dan Giri Awas di Kecamatan Cikajang; Desa Sukatani di Kecamatan Cisurupan; Desa Mulyajaya di Kecamatan Banjarwangi; serta Desa Cihurip dan Mekarwangi di Kecamatan Cihurip. Pembatasan daerah sampel dilakukan berdasarkan hasil stratifikasi kelompok ternak yang memiliki anggota yang melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Juni 2009.
ii
Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara kepada peternak, manajemen KPGS dan pengurus KPGS yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kredit sapi perah sistem bergulir. Data sekunder bersumber dari data Direktorat Jendral Peternakan, KPGS, penelitian terdahulu berupa jurnal, skripsi dan tesis serta buku dan situs internet yang terkait. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan regresi logistik. Karakteristik sosial dan ekonomi peternak responden didominasi oleh peternak dengan kategori dewasa awal yaitu 18-40 tahun, pendidikan lulus SD, pekerjaan utama sebagai peternak, pengalaman usahaternak dalam rentang 0-10 tahun, skala usahaternak pada rentang 0-3 ST, pendapatan rumah tangga pada rentang kurang dari Rp 12.000.000,00 per tahun, luas lahan hijauan pada rentang 0-1000 meter persegi, mengikuti pertemuan kelompok pada rentang 0-5 pertemuan per tahun, dan mengetahui informasi kredit sapi perah sistem bergulir. Karakteristik usahaternak responden sebagian besar memiliki rata-rata produktivitas sapi perah sebesar 3.569,72 liter per ekor per tahun, dengan komposisi 66,37 persen sapi dewasa, menggunakan kandang berukuran 1,5x3x1 meter, menggunakan ember plastik sebagai wadah pengumpulan susu, mencari pakan hijauan dari alam, menggunakan pakan konsentrat dari KPGS, serta melakukan pemerahan pada pagi dan sore hari dengan sistem pemerahan tradisional menggunakan tangan. Sebagian besar peternak responden memiliki kemampuan dalam pengadaan modal sapi perah. Rata-rata pendapatan rumah tangga didominasi oleh pendapatan non usahaternak. Seluruh responden tidak menggunakan kredit formal seperti kredit bank dalam pengadaan modal sapi perah. Peternak yang tidak mampu mengadakan modal sapi perah secara mandiri memilih menjadi peternak gaduhan dan terdapat juga peternak yang mendapatkan modal hibah dari keluarga. Terdapat empat faktor yang signifikan dalam keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir yaitu usia dengan hubungan bersifat negatif, pengalaman dengan hubungan bersifat negatif, luas lahan hijauan dengan hubungan yang bersifat positif dan jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah dengan hubungan yang positif. Faktor pendidikan, skala usaha, pendapatan rumah tangga dan kemampuan peternak dalam pengadaan modal tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir.
iii
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PENGAMBILAN KREDIT SAPI PERAH SISTEM BERGULIR PADA PETERNAK KOPERASI PETERNAK GARUT SELATAN
RETNO SUANDARI H34054269
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
iv
Judul skripsi
: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir pada Peternak Koperasi Peternak Garut Selatan
Nama
: Retno Suandari
NRP
: H340534269
Disetujui, Pembimbing
Ir. Netti Tinaprilla, MM NIP. 19690410 199512 2001
Diketahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1002
Tanggal Lulus: v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “FaktorFaktor yang Mempengaruhi Keputusan Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir pada Peternak Koperasi Peternak Garut Selatan” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009
Retno Suandari H34054269
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1987. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Sutedja Suanda (alm.) dan Ibu Samsurya Magdalena. Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri Barenglor III Klaten pada tahun 1993 dan lulus pada tahun 1999. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Klaten pada tahun yang sama. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri I Klaten. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun kedua di IPB, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor dengan mengambil minor Komunikasi dari Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada organisasi kemahasiswaan. Penulis menjadi staf Departemen Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (BEM FEM IPB) pada tahun 2006-2007. Penulis menjadi asisten responsi mata kuliah Sosiologi Umum untuk mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2007-2008. Selain kegiatan-kegiatan tersebut, penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan berbagai acara yang diadakan oleh kelembagaan kampus baik sebagai staf maupun ketua pelaksana. Prestasi yang dimiliki penulis selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor adalah proposal Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Kemasyarakatan berhasil didanai oleh DIKTI pada tahun 2006. Penulis merupakan pemenang I Lomba Bazar Pojok BNI yang diadakan pada tahun 2007 bersama tim mahasiswa Departemen Agribisnis 42. Selama menjalankan pendidikan di Departemen Agribisnis yaitu sejak tahun 2006-2009, penulis mendapatkan beasiswa penuh dari Tanoto Foundation.
vii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul ” Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir pada Peternak Koperasi Peternak Garut Selatan” ini merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dengan tujuan menganalisis karakteristik peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan, menganalisis kemampuan pengadaan modal sendiri peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan dalam usahaternak sapi perah dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir pada peternak Koperasi Peternak Garut Selatan. Hasil analisis diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi Koperasi Peternak Garut Selatan dalam perbaikan skema kredit sapi perah sistem bergulir. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan, namun skripsi ini adalah hasil terbaik yang telah diupayakan oleh penulis. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2009 Retno Suandari
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1) Ir. Netti Tinaprilla, MM sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan, arahan, serta motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 2) Ir. Wahyu Budi Priatna, M.Si selaku dosen penguji utama, yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini. 3) Yanti Nuraeni Muflikh, SP, M.Agribus selaku dosen penguji wakil Komisi Pendidikan Departemen Agribisnis, atas masukan dan saran kepada penulis terkait penulisan skripsi ini. 4) Kedua orangtua tercinta, Papa Sutedja Suanda (Alm.) dan Mama Samsurya Magdalena serta kedua kakak Erry Wulandari dan Yopi Teja Sentana atas segala doa, harapan, perhatian, dorongan, kepercayaan, serta kasih sayang tiada henti yang diberikan kepada penulis. 5) Dr. Ir Rachmat Pambudy, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan masukan yang berharga selama penulis melakukan perkuliahan di Departemen Agrisbisnis. 6) Seluruh dosen pengajar dan staf Departemen Agribisnis yang telah memberikan
pengetahuan
dan
bantuan
selama
penulis
melakukan
perkuliahan. 7) Bapak Adeng Hardiana sebagai Manajer Utama dan Bapak Ade Hikmat Buana sebagai Koordinator Tim Pengamanan Sapi Bantuan Kemenneg UKM RI beserta seluruh karyawan khususnya petugas kesehatan hewan KPGS dan para peternak sapi perah responden yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini. 8) Kedua enumerator Arlisda Febriana Setyo dan Wiyanto yang selalu bersemangat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi khususnya dalam melakukan pengumpulan data primer dengan wawancara peternak. 9) Teguh Purwadi sebagai pembahas seminar dan rekan penulis dalam pembimbingan skripsi.
ix
10) Tiara Asri Satria, Neina Ayu Kurniasari, Arlisda Febriana Setyo, Nurul Istiamuji dan Anissa Dwi Utami yang selalu memberikan keyakinan kepada penulis untuk terus berjuang mencapai cita-cita. 11) Dian Lestari, Hepi Risenasari, Yusda Mardiah, Rizki Amalia, Zulvan Khaidar dan seluruh sahabat yang selalu menjadi motivasi bagi penulis di Departemen Agribisnis 42 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Bogor, September 2009 Retno Suandari
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................... ..............................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... ................................................. ......................
xv
I
PENDAHULUAN ........................................................................ 1.1. Latar Belakang ................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ......................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .............................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................... 1.5. Ruang Lingkup ..................................................................
1 1 6 8 8 8
II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 2.1. Usahaternak Sapi Perah .................................................... 2.2. Faktor Produksi Usahaternak Sapi Perah ......................... 2.3. Budidaya Sapi Perah ........................................................ 2.4. Koperasi Susu sebagai Lembaga Penunjang .................... 2.5. Struktur Penerimaan dan Biaya Usahaternak Sapi Perah .. 2.6. Kredit Pertanian ............................................................... 2.7. Keputusan Pengambilan Kredit ........................................
9 9 9 11 14 15 16 20
III
KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................... 3.1. Kredit Usaha .................................................................... 3.2. Konsep Kredit Sistem Bergulir ........................................ 3.3. Konsep Pengambilan Keputusan ..................................... 3.4. Analisis Regresi Logistik ................................................. 3.5. Kerangka Pemikiran Operasional ....................................
23 23 25 26 28 28
IV
METODE PENELITIAN .......................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................... 4.2. Metode Penentuan Sampel ............................................... 4.3. Desain Penelitian .............................................................. 4.4. Data dan Instrumentasi ..................................................... 4.5. Metode Pengumpulan Data .............................................. 4.6. Metode Pengolahan Data ................................................... 4.6.1. Analisis Deskriptif ............................................... 4.6.2. Analisis Regresi Logistik ..................................... 4.7. Definisi Operasional .........................................................
35 35 35 37 37 38 38 38 39 45
V
GAMBARAN UMUM KOPERASI PETERNAK GARUT SELATAN .................................................................... 5.1. Sejarah Koperasi Peternak Garut Selatan ........................ 5.2. Bidang Usaha Koperasi Peternak Garut Selatan .............. 5.2.1. Usaha Pengolahan Susu ....................................... 5.2.2. Usaha Makanan Ternak ..................................... 5.2.3. Usaha Simpan Pinjam .......................................... 5.2.4. Usaha Warung Serba Ada .................................... 5.2.5. Penyaluran Kredit Usaha Tani
47 47 47 48 50 50 51
xi
dan Kredit Usaha Pangan ...................................... 5.2.6. Usaha Penyewaan Gedung ................................... 5.3. 5.4. 5.5. 5.6.
VI
VII
Keanggotaan dan Wilayah Kerja Koperasi Peternak Garut Selatan .................................................................... Populasi Sapi Perah Koperasi Peternak Garut Selatan ..................................................................... Sejarah Perkreditan Sapi Perah Koperasi Peternak Garut Selatan .................................................................... Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .................................. 5.6.1. Persyaratan Pengajuan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ..................................................... 5.6.2. Skema Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ............. 5.6.3. Status Kepemilikan Sapi Perah .............................
FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PENGAMBILAN KREDIT SAPI PERAH SISTEM BERGULIR ................................................. 6.1. Karakteristik Responden .................................................. 6.1.1. Karakteristik Sosial Ekonomi ............................... 6.1.2. Karakteristik Usaha .............................................. 6.2 Kemampuan Peternak dalam Pengadaan Modal .............. 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ... 6.3.1. Usia ..................................................................... 6.3.2. Pendidikan ............................................................ 6.3.3. Pengalaman ......................................................... 6.3.4. Skala Usaha .......................................................... 6.3.5. Luas lahan Hijauan ............................................... 6.3.6. Jumlah Kandang yang Mampu Disiapkan untuk Penambahan Sapi Perah ............................. 6.3.7. Pendapatan Rumah Tangga ................................. 6.3.8. Kemampuan Pengadaan Modal Sapi Perah .........
51 51 51 52 53 54 56 57 58
60 60 60 67 71 72 75 77 78 80 81 83 84 85
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 7.1. Kesimpulan ...................................................................... 7.2. Saran .................................................................................
88 88 89
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
91
xii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Sumber Pasokan Susu di Indonesia Tahun 2003-2007 .............
2.
Permintaan Ekspor dan Konsumsi Susu di Indonesia
3. 4.
1
Tahun 2003-2007 .....................................................................
2
Produktivitas Sapi Perah Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2007 ...............................................................................
3
Populasi Sapi Perah Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2004 - 2008 ....................................................................
4
5.
Tahap Pengambilan Sampel Penelitian ....................................
37
6.
Struktur Populasi Sapi Perah KPGS Desember 2008 .................
53
7.
Sebaran Jumlah dan Persentase responden Berdasarkan Usia....
60
8.
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan ................................................................................
61
Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama ........................................................................
62
10. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman ...............................................................................
63
11. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Skala Usaha ...............................................................................
64
12. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga per Tahun ......................................
64
13. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Luas Lahan Hijauan ..................................................................
65
14. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pertemuan Kelompok ...............................................................
66
15. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengetahuan Informasi Kredit ...................................................
67
16. Populasi Sapi Perah Responden ................................................
69
17. Kemampuan Responden dalam Pengadaan Modal Sendiri ......
71
18. Pendapatan Rumah Tangga Petani Responden .........................
72
19. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ............................................
74
20. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Usia dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ........................................................................
76
9.
xiii
21. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .........................................................................
78
22. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pengalaman dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .........................................................................
80
23. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Skala Usaha dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .........................................................................
81
24. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Luas Lahan Hijauan dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .......................................................
82
25. Sebaran dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Kandang yang Mampu Disiapkan untuk Penambahan Sapi Perah dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .......................................................
84
26. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .............................................
85
27. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Kemampuan Pengadaan Modal Sapi Perah dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir ...........
87
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Peta Wilayah Kerja Koperasi Peternak Garut Selatan ..............
95
2.
Populasi Sapi Perah Koperasi Peternak Garut Selatan ............
96
3.
Pengembangan Keturunan Pertama Bantuan Mennegkop dan UKM RI Tahun Anggaran 2002 dalam Usaha Sapi Perah Impor Sistem Koloni .................................................................
97
Pengembangan Keturunan Sapi Perah Bantuan Mennegkop dan UKM RI Tahun Anggaran 2002 dengan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir .........................................................................
98
Bukti Penerimaan Penjualan Susu dan Potongan Biaya Anggota Koperasi Peternak Garut Selatan ...............................
99
6.
Data dalam Penginputan Regresi Logistik ...............................
99
7.
Wilayah Kerja KPGS dengan Kondisi Alam Berbukit-bukit ...
101
8.
Suasana Perkantoran KPGS ......................................................
101
9.
Truk Pengangkut Susu ..............................................................
101
10. Pakan Hijauan untuk Sapi Perah ...............................................
102
11. Kegiatan Sapi Perah Mengkonsumsi Pakan Hijauan ................
102
12. Petugas Kesehatan Hewan KPGS ............................................
102
13. Kegiatan Pemerahan Sapi Perah ...............................................
103
14. Kegiatan Penyaringan Susu .......................................................
103
15. Kegiatan Penyetoran Susu .........................................................
103
4.
5.
xv
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu sapi merupakan komoditas pertanian yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi bangsa Indonesia. Susu memiliki peran dalam mencerdaskan bangsa melalui penyediaan sumber protein dan energi serta mengandung vitamin yang penting bagi pertumbuhan. Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan yang cukup besar antara permintaan susu dengan penawaran susu di Indonesia. Permintaan konsumsi susu lebih besar daripada ketersediaan susu yang dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri. Impor susu dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan. Impor susu terus mengalami kenaikan setiap tahun sedangkan produksi nasional cenderung mengalami penurunan. Hanya pada tahun 2006, produksi susu nasional mengalami kenaikan sebesar 15,06 persen dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 1). Tabel 1. Sumber Pasokan Susu di Indonesia Tahun 2003-2007
2003
Impor Susu FCMP (ton) 117316,10
Impor Susu Setara Susu Segar (ton) 938529,80 (62,91)
Produksi Susu Segar Nasional (ton) 553400,00 (37,09)
Total Pasokan Susu (ton) 1491929,80 (100)
2004
165411,50
1323292,00 (70,64)
549945,00 (29,36)
1873237,00 (100)
2005
173684,40
1389475,20 (72,16)
535962,00 (27,84)
1925437,20 (100)
2006
188128,40
1505027,20 (70,94)
616549,00 (29,06)
2121576,20 (100)
2007
198216,80
1585734,40 (73,64)
567683,00 (26,36)
2153417,40 (100)
Tahun
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009), diolah
Tabel 1 menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor susu dengan jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dapat diproduksi oleh subsektor peternakan dalam negeri. Impor susu dilakukan dengan mengikuti standar harga susu dunia dalam bentuk Full Cream Milk Powder (FCMP). Satu kilogram impor susu dalam bentuk FCMP setara dengan delapan kilogram susu segar yang diproduksi di
Indonesia (Erwidodo dan Sayaka 1998). Total pasokan susu yang mencerminkan total permintaan susu terus meningkat setiap tahun. Permintaan susu di
Indonesia tidak hanya digunakan untuk konsumsi
dalam negeri tetapi juga digunakan untuk ekspor. Perbandingan besarnya impor dan ekpor susu Indonesia menempatkan Indonesia sebagai negara net-consumer produk susu karena jumlah susu yang diimpor lebih besar dibandingkan jumlah susu yang di ekspor. Susu yang diimpor Indonesia merupakan susu bubuk dalam bentuk FCMP sebagai bahan baku pembuatan susu yang akan dipasarkan di Indonesia. Susu produksi dalam negeri dan susu impor dapat diidentifikasi beberapa perbedaan yang cukup mendasar yaitu dari sisi harga dan kualitas susu. Susu impor memiliki kualitas dan harga yang relatif bersaing dibandingkan dengan susu segar dalam negeri. Susu bubuk yang diimpor dianggap lebih murah dibandingkan harga susu peternak rakyat sehingga pihak Industri Pengolahan Susu (IPS) melakukan impor. Susu yang diekspor merupakan susu dengan kualitas tinggi. Pasar domestik di Indonesia belum
mampu menyerap susu
berkualitas tinggi dengan harga yang tinggi, sedangkan pasar luar negeri membutuhkan susu dengan kualitas tinggi. Harga susu berkualitas tinggi dapat diterima oleh pasar luar negeri sehingga produsen yang mampu menghasilkan susu berkualitas tinggi lebih memilih memasarkan hasil produksi susu keluar negeri karena lebih menguntungkan. Tabel 2. Permintaan Ekspor dan Konsumsi Susu di Indonesia Tahun 2003-2007 Ekspor (ton) 495936,0 (33,24)
Konsumsi (ton) 995992,8 (66,76)
Total Permintaan Susu (ton) 1491929,8 (100)
2004
409351,0 (21,85)
1463886,0 (78,15)
1873237,0 (100)
2005
450185,0 (23,38)
1475252,2 (76,62)
1925437,2 (100)
2006
352412,0 (16,61)
1769164,2 (83,39)
2121576,2 (100)
2007
307391,0 (14,27)
1846026,4 (85,73)
2153417,4 (100)
Tahun 2003
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009), diolah
2
Tabel 2 menunjukkan jumlah ekspor produk susu Indonesia mengalami kecenderungan menurun. Walaupun mengalami kecenderungan menurun, ekspor produk susu di Indonesia pada tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 9,98 persen dibandingkan dengan ekspor produk susu pada tahun 2004. Permintaan susu di Indonesia terus meningkat pada tahun 2003-2007. Peningkatan permintaan susu di Indonesia lebih disebabkan karena peningkatan konsumsi yang terus meningkat
pada
tahun
2003-2007.
Konsumsi
susu
yang
mengalami
kecenderungan untuk terus meningkat merupakan peluang bagi peternak sapi perah untuk meningkatkan produksi susu. Produktivitas sapi perah yang masih rendah menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi susu dalam negeri. Produktivitas susu sapi perah di Indonesia masih berada di bawah tingkat produktivitas potensial sapi perah di dunia. Produktivitas sapi perah di Indonesia hanya sekitar 3.050 kg per laktasi, masih berada di bawak produktivitas sapi perah di Amerika yang mencapai 7.245 kg per laktasi. Sapi Perah Fries Holland yang biasa dikembangbiakkan di Indonesia seharusnya bisa memproduksi 5.205 kg susu per ekor per tahun (Sudono A et al. 2005). Tabel 3. Produktivitas Sapi Perah Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2007 No
Provinsi
Produktivitas Susu (liter/ekor/tahun)
1
Sumatera Utara
2.040,00
2
Sumatera Barat
1.920,00
3
Sumatera Selatan
2.521,75
4
Bengkulu
1.911,00
5
Lampung
1.620,00
6
DKI Jakarta
2.032,83
7
Jawa Barat
3.891,45
8
Jawa Tengah
2.021,62
9
DI Yogyakarta
3.336,63
10
Jawa Timur
2.953,96
11
Sulawesi Selatan
2.284,80
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009)
Tabel 3 menunjukkan tingkat produktivitas sapi perah yang berbeda di setiap provinsi di Indonesia. Produktivitas sapi perah tertinggi berada di Provinsi 3
Jawa Barat dengan angka 3.891,45 liter per ekor per tahun. Jawa Timur sebagai provinsi dengan angka populasi paling besar (Tabel 4) ternyata memiliki produktivitas sapi perah yang lebih rendah dibandingkan Jawa Barat. Produktivitas sapi perah yang rendah di Indonesia disebabkan oleh pelaksanaan budidaya sapi perah yang kurang baik. Salah satu pelaksanaan budidaya yang sangat mempengaruhi produktivitas sapi perah di Indonesia tidak optimal adalah pemberian pakan yang kurang baik oleh peternak. Pakan yang diberikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas kurang memenuhi kebutuhan sapi perah karena peternak berusaha mencari pakan dengan harga yang rendah. Tabel 4. Populasi Sapi Perah Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2004 - 2008 No
Populasi Sapi Perah (ekor)
Provinsi
1
NAD
2004 82
2
Sumatera Utara
6.777
6.521
6.526
2.093
2.093
3
Sumatera Barat
606
714
608
688
713
4
Riau
0
0
27
49
0
5
Jambi
0
0
12
0
0
6
Sumatera Selatan
250
262
188
109
109
7
Bengkulu
214
149
128
189
246
8
Lampung
118
129
198
230
266
9
DKI Jakarta
3.407
3.347
3.343
3.685
3.710
10
Jawa Barat
98.958
92.770
97.367
103.489
117.059
11
Jawa Tengah
1 12.155
114.116
115.158
116.260
134.060
12
DI Yogyakarta
7.772
8.212
7.231
5.811
6.102
13
Jawa Timur
1 32.789
134.043
136.497
139.277
141.199
14
Bali
43
62
70
105
105
15
Kalimantan Barat
36
33
33
33
31
16
Kalimantan Selatan
70
119
133
135
135
17
Sulawesi Selatan
713
774
1.398
1.784
1.784
18
Papua
69
69
63
45
30
19
Bangka Belitung
0
0
0
40
82
20
Banten
3
0
0
0
7
21
Gorontalo
0
0
0
12
12
361.351
369.008
374.067
407.767
Jumlah 3 64.062 Keterangan : *) Angka sementara Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2009)
2005 31
2006 28
2007 26
2008*) 23
4
Keterbatasan jumlah populasi sapi perah yang dimiliki peternak rakyat dapat disebabkan oleh keterbatasan modal. Berkembangnya pelayanan kredit di pedesaan menyebabkan ketersediaan modal yang membantu mengurangi kendala dalam pengelolaan usahatani sesuai skala ekonomi yang menguntungkan. Keberhasilan pembangunan sektor pertanian termasuk subsektor peternakan yang dicapai selama ini tidak terlepas dari berbagai upaya peningkatan pelayanan kredit yang diprogramkan pemerintah. Selanjutnya, pelayanan kredit membawa dampak positif terhadap peningkatan produktivitas usahaternak yang juga berdampak positif dalam peningkatan pendapatan usahaternak. Pemerintah dan berbagai pihak terkait dalam agribisnis sapi perah telah berusaha mengadakan program peningkatan populasi sapi perah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pasokan susu impor. Salah satu program yang diharapkan mampu meningkatkan populasi sapi perah tanpa memberatkan peternak rakyat adalah penyebaran bibit sapi perah dengan pola bergulir. Program penyebaran bibit sapi perah dengan pola bergulir dilaksanakan sesuai dengan arahan SK Menteri Pertanian No.146/Kpts/HK.050/02/93 tentang penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah melalui koperasi (Ditjennak 1993a). Sembilan puluh persen produksi susu dalam
negeri dihasilkan oleh
peternak rakyat yang berada di dalam wadah berbentuk koperasi (Yusdja et al. 2002). Koperasi susu menangani produksi susu sapi perah tersebut dari penyediaan input hingga mendistribusikannya sampai ke tangan konsumen. Peran strategis koperasi tersebut dirasakan sangat membantu peternak yang tidak lain adalah merupakan anggota koperasi tersebut. Kemajuan pada koperasi akan memberikan dampak kemajuan pula pada peternaknya. Sistem bergulir menjadi pilihan yang cukup menarik mengingat keterbatasan modal yang dimiliki peternak untuk meningkatkan skala usaha yang dimiliki. Peternak yang meminjam sapi perah dengan sistem bergulir tidak mengembalikan bibit yang dipinjam dengan uang tunai melainkan dengan hewan ternak yang akan digulirkan lagi kepada para peternak lain. Peningkatan populasi sapi perah dengan sistem bergulir diharapkan mampu mempercepat penyebaran dan pengembangan populasi sapi perah itu sendiri. 5
1.2. Perumusan Masalah Usahaternak sapi perah merupakan usaha yang membutuhkan modal besar terutama dalam pengadaan modal usaha sapi perah. Harga sapi perah yang tinggi menyebabkan kebutuhan modal
peternak menjadi besar. Keterbatasan modal
sering menjadi penghambat dalam upaya peningkatan produksi dan perluasan skala usaha khususnya pada para peternak rakyat. Peningkatan skala usaha sangat membantu dalam meningkatkan efisiensi usahaternak sapi perah. Rata-rata kepemilikan sapi perah di Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga tingkat efisiensi usaha masih rendah. Jika skala kepemilikan ternak tersebut ditingkatkan menjadi 7 ekor per peternak, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha sekitar 30 persen (Swastika et al. 2000). Hal ini menunjukkan bahwa keterbatasan modal dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan peternak untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Keberadaan kredit menjadi penting ketika dihubungkan dengan pengadaan modal. Kredit merupakan salah satu sumber modal dalam usaha peternakan khususnya peternakan di negara berkembang. Kenyataan yang terjadi, sangat sedikit peternak yang memanfaatkan kredit sebagai modal usahaternak. Sebagai usaha untuk mengatasi keterbatasan modal dan meningkatkan produksi susu pemerintah
mengeluarkan
berbagai
skema
kredit
untuk
meningkatkan
kepemilikan sapi perah yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan usahaternak peternak. Kelembagaan yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan
peternak rakyat adalah koperasi. Peternak rakyat yang bersatu dalam koperasi diharapkan mendapatkan kemudahan dalam pengadaan input, pembinaan dalam pengelolaan, memiliki kemampuan dalam pengolahan dan memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan peternak yang tidak tergabung dalam koperasi. Tabel 2 menunjukkan Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki tingkat produktivitas sapi perah tertinggi di Indonesia. Kabupaten Garut merupakan salah satu pusat peternakan sapi perah yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS) merupakan koperasi susu terbesar di Kabupaten Garut. Pada tahun 2002, KPGS mendapatkan bantuan permodalan berupa sapi perah impor jenis Fries Holland (FH) dari Kementrian Negara 6
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia (Kemennegkop UKM RI). Berdasarkan petunjuk pelaksanaan teknis bantuan,
koperasi diharuskan
memelihara sapi bantuan dengan sistem kandang berkelompok atau disebut kandang koloni baik dalam lingkup koperasi maupun kelompok ternak. Sejalan dengan perkembangan waktu, sistem ini tidak berjalan baik bahkan menimbulkan kerugian bagi koperasi. Koperasi
Peternak
Garut
Selatan
memutuskan
mempercayakan
pemeliharaan sapi perah bantuan Kemennegkop UKM RI untuk dipelihara secara kelompok oleh peternak untuk menghindari kerugian dan kematian ternak yang lebih besar pada tahun 2004. Keturunan sapi perah bantuan Kemennegkop UKM RI akan terus diberikan kepada peternak lain dengan diadakan kredit sistem bergulir. Pelaksanaan kredit sapi perah sistem bergulir dapat dikatakan cukup berhasil. Menurut penuturan Buana AH sebagai ketua tim pengamanan Sapi Bantuan Kemennegkop UKM RI dengan kredit sapi perah sistem bergulir di KPGS, indikator keberhasilan kredit ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian yang tinggi yaitu sekitar 80 persen bahkan tiga tahun sebelum batas akhir pelunasan perguliran tahap I¹. Pada prakteknya, tidak seluruh peternak KPGS mememutuskan untuk melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Peternak mempunyai pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan melakukan atau tidak melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Berdasarkan sejumlah hal yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang berusaha dijawab dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana karakteristik peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan? 2) Bagaimana kemampuan pengadaan modal sendiri peternak Koperasi Peternak Garut Selatan dalam usahaternak sapi perah? 3) Faktor apa yang mempengaruhi keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir pada peternak Koperasi Peternak Garut Selatan? ¹ Buana AH. 2009. Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir di KPGS. Hasil Wawancara [2 Juni 2009].
7
1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini memiliki tujuan: 1) Menganalisis karakteristik peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan. 2) Menganalisis kemampuan pengadaan modal sendiri peternak sapi perah Koperasi Peternak Garut Selatan dalam usahaternak sapi perah. 3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir pada Koperasi Peternak Garut Selatan. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1) Penulis, sebagai sarana untuk memperdalam pembelajaran, meningkatkan wawasan, dan pengalaman. 2) Koperasi Peternak Garut Selatan, untuk dapat mempercepat usaha peningkatan populasi sapi perah yang akan menambah kapasitas produksi susu KPGS. 3) Pemerintah khususnya Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, sebagai masukan dalam penyusunan skema kredit bantuan yang sesuai dengan kebutuhan peternak. 4) Peneliti, sebagai bahan pertimbangan dalam malaksanakan penelitian yang terkait dengan penelitian ini. 1.5 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir oleh peternak anggota dan calon anggota Koperasi Peternak garut Selatan. Kredit pengadaan sapi perah dibatasi hanya pada kredit sistem bergulir yang merupakan pengembangan usaha bantuan sapi perah dari Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Tahun 2002.
8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Usahaternak Sapi Perah Dasar dari usaha peternakan sapi perah adalah susu. Susu adalah sumber
makanan utama dari semua hewan mamalia yang baru lahir dan dapat pula menjadi bagian penting dari bahan makanan manusia. Karena menjadi bagian penting dari bahan makanan manusia, susu menjadi memiliki nilai ekonomis sehingga upaya menghasilkan susu melalui usaha peternakan sapi perah akan mendatangkan keuntungan semakin berkembang. Menurut Sudono (1985), faktor-faktor yang menguntungkan pada peternakan sapi perah adalah: (1) Peternakan sapi perah adalah suatu usaha yang tetap; (2) Sapi perah tidak ada bandingannya dalam efisiensi merubah makanan ternak menjadi protein hewani dan kalori; (3) jaminan pendapatan yang tetap; (4) Penggunaan tenaga kerja yang tetap; (5) Sapi perah dapat menggunakan berbagai jenis hijauan yang tersedia atau sisa-sisa hasil pertanian; (6) Kesuburan dapat dipertahankan. Sedangkan Kelemahan usaha peternakan sapi perah adalah: (1) Memerlukan modal yang relatif lebih besar dibandingkan dengan usaha peternakan sapi potong, baik modal untuk bibit sapi perah, lahan, maupun kandang dan peralatannya; (2) Usaha peternakan sapi perah hanya bisa dilaksanakan di daerah-daerah tertentu, yaitu pada dataran tinggi yang bersuhu antara 15-21derajat celsius untuk sapi FH dan sapi eropa lainnya. Sementara untuk sapi peranakan FH bisa hidup di dataran rendah; (3) Adanya saingan berupa susu impor sehingga harga susu dalam negeri harus lebih murah. 2.2
Faktor Produksi Usahaternak Sapi Perah Lahan selain berfungsi sebagai unsur pokok modal usahatani, juga
merupakan salah satu faktor produksi usahatani. Lahan memiliki sifat-sifat tertentu seperti luas lahan yang relatif tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan sehingga relatif sulit untuk dirubah oleh petani dalam proses produksi (Tjakrawiralaksana dan Soriaatmadja 1983). Lahan merupakan aset produktif yang paling penting dalam pertanian. Dalam kaitannya dengan usaha ternak sapi, besar kecilnya penguasaan dan penggunaan lahan mencerminkan kemampuan peternak dalam menyediakan pakan, terutama pakan hijauan dan kandang
(Adnyana et al. 1999). Koefisien teknis (angka standar) penyediaan lahan hijauan untuk seekor sapi perah dewasa atau satu satuan ternak sapi perah adalah 1.500 meter persegi². Selain lahan, terdapat ternak induk atau bakalan sebagai faktor produksi tetap dalam usahaternak. Bangsa sapi yang digunakan pada usahatani sapi perah di Indonesia pada umumnya merupakan sapi perah bangsa Fries Holland (FH). Sapi perah FH bukan merupakan sapi perah asli Indonesia. Selama ini, bibit yang digunakan berasal dari bibit impor (Belanda, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat) atau merupakan turunan FH yang telah dikembangbiakkan di Indonesia. Sedangkan untuk input ternak induk, peternak membelinya dari sesama peternak atau pasar ternak di wilayah setempat dan sekitarnya bahkan sampai mendatangkannya dari pusat usahaternak sapi perah seperti Boyolali, Jawa tengah dan Pangalengan, Jawa Barat, atau membesarkan sendiri pedet sapi perah jenis yang dipelihara umumnya adalah Peranakan Fries Holland (Swastika et al. 2000). Pakan ternak terbagi dalam dua kelompok, yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat. Pakan konsentrat merupakan pakan yang diformulasikan atas beberapa bahan pakan seperti pollar, bungkil kedelai, dan jagung. Standar nilai koefisien teknis pakan konsentrat adalah satu persen dari berat badan sapi yaitu antara 8-10 kg konsentrat per hari untuk setiap satuan ternak (Sulistiorini et al. 2009). Sementara itu, pakan hijauan berasal dari hasil budidaya atau berasal dari rumput alam yang dicari di lahan terbuka. Selain itu, pakan hijauan dapat juga berasal dari limbah pertanian, seperti jerami padi, jerami jagung dan kelopak kol yang sudah rusak (Swastika et al. 2000). Standar nilai koefisien teknis pakan hijauan adalah sepuluh persen dari berat badan sapi yaitu sekitar 50 kg per hari untuk setiap satuan ternak (Sulistiorini et al. 2009) Selain lahan, bibit ternak, dan pakan ternak, faktor produksi lain yang digunakan usaha peternakan sapi perah adalah obat-obatan dan peralatan kandang. Jumlah dan jenis obat-obatan sangat tergantung pada kasus penyakit yang ada pada suatu daerah. Peralatan kandang yang umum dipakai adalah sabit, skop, parang, ember, milkcan, tali pengikat dan keranjang rumput. ²
Rahardi F. 2001. Memerah Dolar dari Susu. Kontan - edisi 36/V Tanggal 4 Juni 2001. http://www.kontan.co.id [27 Juli 2009].
10
Jenis peralatan kandang yang harganya relatif mahal adalah milkcan sebagai tempat penampungan susu sebelum disetor kepada koperasi maupun sebelum dipasarkan.
Namun demikian, milkcan dapat dipakai dalam jangka
waktu yang cukup lama (Swastika et al. 2000) . Tenaga kerja merupakan hal yang penting dalam usaha peternakan sapi perah. Tenaga kerja yang diperlukan harus terampil dan berpengalaman dalam bidangnya agar penggunaan tenaga kerja menjadi efisien. Menurut Hermanto (1992), kebutuhan dan pencurahan tenaga kerja sangat tergantung pada jenis pekerjaan dan komoditi yang diusahakan. Pada usahaternak sapi perah, pencurahaan tersebut tergantung pada sifat pekerjaan seperti memotong rumput, memberi pakan dan minum, membersihkan sapi, membersihkan dan memperbaiki kandang, dan memeras serta memasarkan susu. Perkandangan penting dalam usahaternak sapi perah di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian Mandaka dan Hutagaol (2005), peternak memelihara sapi dalam kandang atau tidak digembalakan di tempat terbuka seperti padang rumput. Semua sapi dimasukkan dalam kandang yang sama, kecuali pedet yang dipisahkan dari sapi-sapi dewasa dan muda. Hal ini dimaksudkan agar pedet mendapatkan perawatan dan pengawasan yang baik dari peternak. Bangunan kandang pada umumnya merupakan bangunan permanen sederhana sampai dengan bangunan permanen berkonstruksi beton. Tipe kandang yang digunakan umumnya tipe konvensional dua baris. Pada tipe kandang ini, sapi perah ditempatkan dalam satu jajaran yang masing-masing dibatasi oleh suatu penyekat. Sekat ini dimulai dari tempat ransum sampai dengan sepanjang tempat sapi berdiri. Sapi-sapi tersebut ditempakan dalam dua baris saling bertolak belakang dimana antara kedua baris tersebut dibuat jalur untuk jalan. 2.3 Budidaya Sapi Perah Usaha ternak pada umumnya merupakan sumber pencaharian utama peternak. Sekitar 90,32 persen peternak menjadikan peternaknya sebagai mata pencaharian utama dan sisanya sebesar 9,68 persen sebagai mata pencaharian sampingan (Mandaka dan Hutagaol 2005). Hal ini dikarenakan sifat produksi sapi
11
perah tidak bersifat musiman tetapi kontinyu sehingga dapat memberikan jaminan pendapatan berkesinambungan bagi peternak. Perkawinan sapi perah pada umumnya dilakukan dengan menggunakan Inseminasi Buatan (IB) yang teknisnya dibantu petugas dari Dinas Peternakan. Selain menggunakan cara IB, ada pula peternak yang mengawinkan sapinya secara alamiah terutama jika peternak memiliki sapi pejantan dari keturunan yang berkualitas (Mandaka dan Hutagaol 2005). Sistem pemerahan yang dilakukan peternak pada umumnya masih bersifat tradisional yaitu memerah susu secara manual menggunakan tangan. Hal ini tentu saja dapat meningkatkan risiko kerusakan pada produk apabila pemerahan yang dilakukan tidak steril. Kegiatan pemerahan umumnya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu setelah ternak diberi pakan konsentrat dan sebelum pemberian pakan hijauan (sekitar pukul 05.00-06.00 pagi dan 15.00-16,00 sore) (Mandaka dan Hutagaol 2005). Produktivitas sapi perah yang rendah menyebabkan berkurangnya pendapatan dan bahkan dapat menimbulkan kerugian serta mengurangi gairah usaha. Rendahnya produktivitas ternak merupakan akibat dari penggunaan faktor produksi yang belum efisien dimana produktivitas tenaga kerja menunjukkan koefisien yang rendah dengan rasio satuan tenaga kerja dan peternak adalah 1:4 (Rahayu 1986). Ketersediaan air yang cukup dan bersih sangat penting dalam peternakan sapi perah. Sapi yang produksi susunya tinggi membutuhkan air minum dalam jumlah yang tinggi pula. Sudono (1985) mengemukakan bahwa imbangan susu yang dihasilkan dengan air adalah 1: 3,6. Peternakan rakyat memelihara
paling banyak sepuluh ekor dan pada
umumnya tidak memiliki lahan khusus untuk penanaman hijauan pakan dan menggantungkan kebutuhan hijauan pada rumput-rumput alam. Peternakan besar atau perusahaan peternakan memiliki sapi perah lebih dari sepuluh ekor dan pada umumnya sudah memiliki lahan untuk menanam hijauan meskipun kadangkadang belum mencukupi dan sedikit banyak masih tergantung pada rumputrumput alam (Siregar 1996). 12
Pada peternakan sapi perah rakyat, sebagian usaha tersebut terdapat pada kondisi yang serba terbatas dengan skala usaha yang relatif kecil. Namun, usaha tersebut besar artinya bagi peternak karena peternak dapat memanfaatkan tenaga kerja keluarga, limbah usahatani, dan yang paling utama adalah untuk meningkatkan pendapatan petani peternak. Sehingga, usaha ini cukup berarti untuk dikembangkan (Andri1992). Usaha peternakan sapi perah di Indonesia didominasi oleh usahaternak sapi perah skala kecil dan menengah. Rata-rata kepemilikan sapi perah di Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga tingkat efisiensi usaha masih rendah. Jika skala kepemilikan ternak tersebut ditingkatkan menjadi 7 ekor per peternak, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha sekitar 30 persen (Swastika et al. 2000). Jarak beranak mempunyai hubungan yang erat dengan produksi susu dan biaya usahaternak. Standar nilai koefisien teknis calving internal sapi perah menurut Sudono (1985) adalah 12-13 bulan dan jika calving internal (tingkat beranak) kurang dari 12-13 bulan akan menyebabkan turunnya produksi susu pada masa laktasi yang sedang berjalan sebesar 9 persen dan masa laktasi yang akan datang sebesar 3,7 persen. Selanjutnya dikatakan bahwa bila calving interval diperpanjang hingga 450 hari, maka produksi susu pada masa laktasi yang sedang berjalan dan masa laktasi mendatang sebesar 3 persen. Tetapi, kenaikan tersebut tidak seimbang dengan pengeluaran untuk ransum sapi. Dalam usaha peternakan sapi perah, produksi utama yang dihasilkan adalah air susu. Standar nilai koefisien teknis rata-rata produktivitas sapi perah menurut Soekardono (2009) adalah 6-10 liter per hari per ekor untuk jenis sapi perah silangan lokal dan 11-20 liter per hari per ekor untuk jenis sapi perah FH murni. Terdapat juga hasil antaranya, yaitu berupa anak sapi, dan hasil ikutan berupa
pupuk
kandang.
Tingkat
produksi
susu
sangat
mempengaruhi
kelangsungan usaha karena imbangan nilai produksi yang dihasilkan dengan nilai pakan yang digunakan bersifat harian. Sementara itu, pedet merupakan hasil tambahan yang digunakan untuk penggantian investasi baik berupa ternak maupun kandang atau untuk menutupi kebutuhan keluarga. Khusus untuk pupuk kandang 13
adalah merupakan produksi yang belum dapat diharapkan nilai ekonomisnya (Swastika, et. al., 2000) . Faktor-faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi produksi susu adalah penanganan pasca perah dan pemasaran. Seperti yang dikemukakan Andri (1992), penanganan yang kurang baik menyebabkan kerusakan susu dan berakibat kerugian pada peternak sendiri. Pemasaran yang kurang lancar akan menyebabkan peternak kurang bergairah untuk meningkatkan produksinya, karena 90 persen pendapatan peternak diperoleh dari penjualan susu dan 60 persen biaya produksi adalah biaya makanan. 2.4 Koperasi Susu sebagai Lembaga Penunjang Koperasi yang memiliki usaha di sektor peternakan sangat sedikit. Banyak dari koperasi peternakan yang berjumlah sedikit tersebut didirikan pada tahun 1999, yaitu ketika dicanangkannya penyaluran KUT besar-besaran oleh pemerintah. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa berdirinya koperasi peternakan banyak dipengaruhi oleh adanya kebijakan pemerintah (Setiawan 2005). Pergerakan koperasi susu dimulai pada tahun 1949 di kabupaten Pangalengan, Jawa Barat. Selama periode tahun 1962-1970, beberapa koperasi susu didirikan di Jawa, terutama di daerah pusat peternakan sapi sapi perah. Kelompok peternak sapi perah di pegunungan Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur membentuk koperasi susu di wilayah masing-masing. Pada tahun 1979, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) secara resmi dibentuk. Dibantu oleh pekerja pemerintah dan pemimpin peternak lokal, koperasi susu tumbuh dengan pesat dan bertahan dari krisis ekonomi tahun 1997. Pada tahun 1982, sebuah kerjasama ketetapan kementrian pemerintah yang mendukung pembangunan dan perluasan dari pemasaran susu dikeluarkan. Beberapa ketetapan menjadi awal yang sangat penting bagi GKSI untuk memperluas strategi pemasaran. Sebelum diterbitkannya surat keputusan kementrian tersebut, terdapat instruksi presiden No.2/1978 yang mengijinkan koperasi unit desa untuk ikut mengambil bagian dari perkembangan fungsi dan meningkatkan partisipasi peternak sapi perah dalam pergerakan koperasi. Instruksi presiden memerintahkan peternak sapi perah untuk 14
melakukan pembangunan yang lebih baik dalam koperasi tempat mereka bernaung. Suradisastra (2006) melaporkan bahwa pembangunan yang positif dari koperasi susu sering dihubungkan dengan sifat dasar dari bisnis dan materi yang berhubungan dalam bisnis. Sifat dasar dari produk susu sering dianggap faktor pendorong peternak sapi perah untuk bekerjasama dalam koperasi. Susu memiliki karakteristik yang sangat memaksa yaitu voluminous dan perishable, dan oleh karena itu membutuhkan penanganan secara tepat. Namun, keadaan ini tidak berlaku pada komoditi dengan sifat voluminous dan perishable lain seperti hasil perikanan dan sayuran yang tidak menunjukkan pembangunan signifikan dalam pergerakan koperasi. Di sisi lain, sejumlah besar koperasi unit desa yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran susu menunjukkan perkembangan yang baik. 2.5 Struktur Penerimaan dan Biaya Usahaternak Sapi Perah Penampilan produksi sapi perah sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor bangsa sapi, makanan, iklim, periode kering, frekuensi pemerahan, dan manajemen pemeliharaan. Faktor-faktor tersebut pada gilirannya akan menentukan tingkat penerimaan usaha peternakan sapi perah (Andri 1992). Penerimaan dalam usahaternak sapi perah dapat diperoleh dari nilai penjualan produksi susu, penjualan sapi (pedet dan sapi afkir), perubahan inventaris (selisih nilai sapi akhir tahun dan awal tahun analisis), serta penjualan pupuk kandang (Swastika et al. 2000). Biaya variabel dalam usaha peternakan adalah biaya pakan ternak, tenaga kerja, dan obat-obatan, sedangkan biaya tetap terdiri dari biaya kandang, peralatan, dan tanah. Biaya tidak tetap dalam jangka pendek merupakan komponen biaya terbesar dalam struktur biaya produksi peternakan sapi perah. Biaya makanan merupakan komponen biaya produksi yang terbesar dan biaya tenaga kerja merupakan komponen biaya produksi terbesar kedua (Sudono 1985). Dari hasil penelitian Arfa’i (1992) yang dilakukan pada perusahaan sapi potong diperoleh informasi bahwa komponen biaya produksi perusahaan tersebut terdiri dari biaya pakan sebesar 72,61 persen, biaya tenaga kerja 5,67 persen, biaya perawatan/pengobatan 1,20 persen, dan biaya lain-lain 20,52 persen. 15
Keuntungan usaha peternakan sapi perah merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya input tidak tetap (Mandaka dan Hutagaol 2005). Hijauan yang digunakan berupa rumput unggul, rumput lapangan dan limbah pertanian. Harga hijauan adalah harga di tingkat peternak jika hijauan tersebut dibeli, atau bila hijauan tersebut berasal dari kebun rumput sendiri dimana harganya dinilai dari biaya produksinya dan dinyatakan dalam rupiah per kilogram. Pendekatan lain dalam penghitungan nilai/harga hijauan bisa berupa penyetaraan nilai curahan jam kerja dalam mencari rumput (Swastika et al. 2000). 2.6 Kredit Pertanian Permodalan masih menjadi salah satu permasalahan pokok dalam pembangunan pertanian. Untuk menaggulangi permasalahan tersebut, selama kurun waktu empat dekade terakhir pemerintah telah meluncurkan beberapa kredit program/bantuan modal untuk petani dan pelaku usaha pertanian di pedesaan. Di antara program yang cukup populer dapat berupa bantuan langsung (BLT,BLM), bantuan bergulir (BPLM, PMUK), penguatan modal (DPM LUEP, PUAP), subsidi bunga (kredit Bimas, KUT, KKP) maupun yang sudah mendekati komersial (SP3, P4K, KUR) (Ashari 2009). Menurut laporan penelitian Swastika et al. (2000), saat ini belum tersedia kredit murah (seperti KUT untuk tanaman pangan) bagi usahaternak sapi perah. Hal ini merupakan salah satu penyebab kecilnya skala usaha di tingkat peternak. Dengan produksi susu yang bersifat harian, maka secara teoritis pengembalian kredit oleh peternak seharusnya akan jauh lebih mudah dan lebih terjamin dibandingkan KUT pada tanaman pangan, terutama apabila peternak tersebut adalah anggota koperasi dimana akan lebih mudah dalam proses penagihan. Bahkan, peternak mempunyai jaminan berupa ternak yang bisa dijadikan jaminan pembayaran. Untuk menutupi kekurangan modal, petani pada umumnya mengajukan pinjaman ke lembaga pembiayaan di sekitar tempat tinggal mereka, baik formal maupun informal. Kredit formal dapat berupa kredit program dan kredit non program (komersil). Kredit program umumnya terkait dengan pelaksanaan program pemerintah, misalnya KKP. Contoh kelembagaan formal antara lain 16
bank, koperasi, dan pegadaian yang menerapkan persyaratan cukup ketat dalam pelayanan peminjaman. Sementara pada kredit informal, pada umumnya tidak memerlukan persyaratan yang rumit, misalnya keharusan adanya agunan. Pada pasar kredit pedesaan terjadisegmentasi pasar, karena masing-masing memiliki karakteristik yang khas. Penelitian Syukur et al. (2003) menunjukkan masih rendahnya sumber modal usahatani yang berasal dari kredit formal. Sementara itu menurut Hermanto (1992), secara garis besar sumber dana yang tersedia begi masyarakat di perdesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1) sumberdana yang berasal dari masyarakat, (2) kredit dari lembaga formal, (3) kedit program pemerintah dan (4) kredit dari bank swasta dan koperasi. Dari keempat sumber tersebut, umumnya petani memperoleh tambahan modal untuk meningkatkan produktivitas usahataninya dengan menerapkan teknologi yang ada. Hasil kajian Nurmanaf et al. (2006) menunjukkan bahwa petani ternyata tidak mudah untuk mengakses modal dari lembaga pembiayaan di sekitar tempat tinggal mereka, akibat prosedur dan persyaratan yang ketat (di lembaga formal) maupun tingkat suku bunga yang tinggi (di lembaga nonformal). Dari sisi ketersediaan dana, secara teoritis sebetulnya lembaga perbankan formal memiliki potensi besar untuk pembiayaan usaha pertanian. Namun demikian, perbankan yang mempunyai legalitas menghimpun dana masyarakat dalam jumlah yang sangat besar, ternyata belum maksimal dalam mendanai sektor pertanian. Setidaknya hal ini dapat diketahui dari proporsi kredit perbankan nasional untuk sektor pertanian yang masih relatif rendah. Sebagai gambaran, selama kurun waktu 2002-2006, pangsa kredit perbankan untuk sektor pertanian rata-rata 5,72 persen. Besaran pangsa sektor pertanian masih selalu di bawah sektor perindustrian, perdagangan dan jasa usaha. Untuk mendukung ketersediaan modal petani, pemerintah sejak awal orde baru telah meluncurkan kebijakan kredit program yang diawali dengan kredit Bimas. Dari waktu ke waktu model program kredit pertanian ini telah mengalami berbagai perubahan, baik yang terkait dengan prosedur penyaluran, besaran dan bentuk kredit, bunga kredit maupun tenggang waktu pengembalian (Taryoto 1992). Pemerintah juga memberikan bantuan modal dalam bentuk bantuan Langsung Masyarakat (BLM) atau dana bergulir, maupun berupa subsidi bunga. 17
Walaupun telah berganti pemerintahan, kebijakan kredit program tersebut terus dipertahankan dengan argumentasi bahwa modal merupakan faktor penting dalam berusaha. Di lain pihak fasilitas kredit (terutama dengan bunga rendah) oleh pihak swasta maupun LSM dipandang masih sangat minim. Sementara itu, kebutuhan modal usahatani makin lama juga meningkat sejalan dengan makin mahalnya harga sarana produksi. Walaupun pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kredit program untuk sektor pertanian, dampak dalam mendorong pemguatan modal petani masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Fakta menun jukkan bahwa kemampuan sebagian besar petani dalam permodalan masih saja relatif rendah. Di lain pihak, dengan beban anggaran pembangunan yang semakin berat menyebabkan semakin terbatasnya kemampuan finansial pemerintah dalam mendanai kredit pertanian. Dengan anggaran yang terbatas tersebut diperlukan upaya agar anggaran yang dialokasikan untuk bantuan modal/ kerdit program dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi pembangunan pertanian. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kebijakan kredit program yang tepat sehingga dapat diperoleh manfaat yang optimal. Peranan kredit pertanian telah terbukti sangat penting dalam pembangunan sektor pertanian. Kredit merupakan salah satu pendukung utama pengembangan adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sebagai satu titik kritis pembangunan pertanian (critical point of defelopment) (Syukur et al. 1998). Peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) membantu petani kecil, (2) mengurangi ketergantungan pada pedagang perantara dan pelepas uang, (3) mekanisme transfer pandapatan untuk mendorong pemerataan, (4) intensif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. Sementara sebagai simpul kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang perluasan dan penyebaran adopsi teknologi Peran kredit yang strategis dalam pembangunan pertanian dan perdesaan, telah mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai instrumen kebijakan penting. Dalam tataran konseptual, menurut Tampubolon (2002) kredit dianggap mampu memutuskan kemiskinan di pedesaan. Pasokan kredit diharapkan dapat 18
meningkatkan kemampuan petani dalam membeli saprodi sehingga produktivitas panen meningkat. Mengingat tingkat kepentingan kredit, maka dalam proses perencanaan program pembangunan pertanian, aspek permodalan merupakan salah satu faktor penting yang selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu pemberian kredit program biasanya sejalan atau dijadikan sebagai unsur pelancar bagi program pembangunan pertanian lainnya. Secara khusus, kredit yang berasal dari program pemerintah sejak lama dilakukan untuk mengisi kesenjangan dana di pedesaan untuk pembagunan pertanian. Pada umumnya kredit program pemerintah merupakan suatu paket kredit yang menjadi baguan integral dari programintensifikasi pertanian. Sebagai contoh nyata adalah Kredit Bimas yang akhirnya berkembang menjadi KUT adalah pelaksanaan kredit program pertanian dalam peningkatan produksi padi. Berdasarkan sifatnya, kredit program pertanian sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah, terutama dalam pengalokasian dana pembangunan APBN di sektor pertanian. Dengan demikian seberapa besar peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional merupakan faktor yang sangat krusial dalam penentuan besaranya kredit program di sektor pertanian.
Pada saat ini pemerintah
mengalami keterbatasan dana untuk pembangunan, maka dana yang tersedia untuk kredit program harus digunakan secara optimal. Dalam pelaksanaan kebijakan kredit program, menurut Hermanto (1992) sebenarnya pemerintah telah memberikan subsidi pada beberapa hal, diantaranya: (1) subsidi terhadap tingkat suku bunga, (2) subsidi terhadap biaya risiko kegagalan kredit, (3) subsidi biaya administrasi dalam penyaluran pelayanan dan penarikan kredit. Disamping itu, jika ditelaah secara lebih dalam kredit yang pada umumnya diwujudkan dalam sarana produksi, maka subsidi pemerintah yang diberikan untuk impor pupuk, benih dan obat-obatan merupakan subsidi secara tidak langsung bagi kredit program. Dengan demikian, sesungguhnya korbanan yang harus dikeluarkan untuk mendukung kredit program cukup besar. Penyebaran ternak pemerintah kepada peternak melalui pola gaduhan bergulir telah lama dilaksanakan di beberapa wilayah, khususnya untuk ternak sapi potong, kerbau, domba dan kambing. Dalam pola gaduhan bergulir peternak penggaduh memperoleh ternak dari pemerintah untuk selanjutnya ternak 19
keturunannya disebarkan kembali (revolving) ke peternak lain. Pola pengembalian untuk satu ekor induk betina, peternak penggaduh harus mengembalikan sebanyak dua ekor ternak keturunannya dalam waktu dua tahun atau kalau ditulis dalam sebuah rumus menjadi 1:2:2 untuk ternak domba dan untuk kerbau 1:8:2. Secara teoritis rumus tersebut sangat mudah untuk difahami, tetapi dalam prakteknya banyak hambatan yang dialami peternak, beberapa diantaranya yaitu: kematian ternak pokok, realisasi pengembalian, intensitas dan kualitas pembinaan serta monitoring (Paturochman 2001). 2.7 Keputusan Pengambilan Kredit Penelitian Sumaryanto (1992) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk meminjam kredit usahatani bertujuan untuk mengetahui keragaan tingkat kesembadaan petani dalam membiayai sendiri usahataninya, partisipasi
petani
dalam
pengambilan
kredit
usahatani
(KUT),
dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku permintaan kredit usahatani (KUT). Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan utama petani mengambil KUT adalah modal usahatani yang tidak mencukupi untuk penerapan teknologi anjuran, partisipasi pengambil KUT dalam kredit lain masih rendah dibanding petani yang tidak mengambil KUT, dan faktor luas kepemilikan sawah, keikutsertaan petani menjadi anggota kelompok tani, partisipasi petani dalam program intensifikasi dan risiko kegagalan usahatani berpengaruh nyata terhadap keputusan petani untuk mengajukan pinjaman KUT. Faktor pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan dan risiko terkena hama tidak berpengaruh signifikan. Penelitian Irawan (1989) mengenai Pelayanan Kredit Non Formal di Pedesaan Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengidentifikasi jenis lembaga dan sistem perkreditan pada lembaga kredit non formal, mengkaji keterlibatan petani dalam aktivitas perkreditan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan keterlibatan petani dengan lembaga perkreditan. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah pemanfaatan lembaga perkreditan yang cukup luas menandakan kehadiran lembaga perkreditan dibutuhkan, lembaga non formal 20
lebih banyak melayani pinjaman petani dibandingkan dengan lembaga formal seperti KUD dan BRI , dan faktor jarak ke KUD merupakan salah satu kendala yang cukup serius bagi petani untuk berhubungan dengan lembaga tersebut. Penelitian Bagi (1983) yang berjudul A Logit Model Farmer’s Decisions About Credit di Amerika Serikat bertujuan untuk meramalkan kemungkinan penggunaan kredit jangka pendek dan kredit jangka panjang oleh petani berdasarkan karakteristik individu petani dan aspek ekonomi dari rumah tangga petani. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah kemungkinan petani untuk mengambil kredit jangka pendek maupun jangka panjang secara langsung dipengaruhi oleh skala usaha, pengalaman bertani, pendidikan formal, frekuensi pertemuan dengan agen ekstensi, dan jumlah anak di bawah usia 14 tahun. Kemungkinan meminjam lebih tinggi pada petani kulit putih yang secara penuh bekerja pada bidang pertanian dibandingkan petani kulit hitam yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan sampingan. Penelitian Ati (1996) tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi peternak dalam pengambilan paket kredit ternak domba di Kabupaten Majalengka bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi peternak dalam pengambilan paket kredit ternak domba dan menentukan hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan motivasi pengambilan paket kredit ternak domba. Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian adalah tingkat motivasi peternak penerima kredit lebih tinggi dari peternak bukan penerima kredit, motivasi peternak penerima kredit dipengaruhi oleh umur, pendidikan dan tingkat komunikasi langsung, sedangkan pada peternak bukan penerima kredit tidak ada faktor yang berpengaruh nyata. Faktor-faktor yang signifikan berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat dikelompokkan ke dalam karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usaha dan karakteristik kredit.
Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan,
pengalaman bertani, jumlah anak di bawah usia 14 tahun, frekuensi pertemuan dengan agen ekstensi, tingkat komunikasi langsung, keikutsertaan petani menjadi anggota kelompok tani dan partisipasi petani dalam program intensifikasi. 21
Karakteristik usahaternak meliputi luas kepemilikan sawah, skala usaha dan risiko kegagalan usahatani. Karakteristik kredit meliputi faktor jarak rumah dengan lembaga pemberi kredit, besarnya hasil yang akan datang, biaya untuk mengusahakan pinjaman kredit, sanksi yang akan diterima apabila tidak dapat melunasi kredit pada waktunya, tingkat kesulitan dalam memperoleh kredit, serta ketepatan waktu antara diperolehnya kredit dengan saat dibutuhkannya kredit. Faktor-faktor yang signifikan pada suatu penelitian belum tentu memiliki signifikansi yang sama pada penelitian yang lain. Signifikansi suatu faktor sangat bergantung pada objek yang dikaji dalam penelitian. Kesamaan yang terdapat dalam penelitian ini dengan beberapa penelitian terdahulu adalah kesamaan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Faktor yang diduga berpengaruh tercakup dalam karakteristik sosial ekonomi meliputi usia, pendidikan, pengalaman dan pendapatan rumah tangga serta karakteristik usaha meliputi skala usaha, luas lahan hijauan. Selain itu, penggunaan alat analisis deskriptif dan regresi logistik juga memiliki kesamaan seperti penelitian Sumaryanto (1992), Irawan (1989) dan Bagi (1983). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada jenis kredit yang belum banyak diteliti yaitu kredit sapi perah sistem bergulir dan lokasi penelitian yang berada di Koperasi Peternak Garut Selatan. Selain itu, penelitian mengenai pengambilan kredit sapi perah belum banyak dilakukan. Penelitian ini menggunakan faktor tambahan yang diduga berpengaruh namun belum terdapat dalam penelitian terdahulu seperti kemampuan penyediaan kandang dan kemampuan penyediaan modal sendiri sapi perah.
22
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kredit Usaha Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu Credere yang berarti
kepercayaan (Suyatno et al. 1992). Kredit yang diberikan seseorang atau suatu lembaga didasarkan atas kepercayaan. Dengan demikian, pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan. Secara umum, pengertian kredit adalah kegiatan pinjam meminjam antara kreditur dengan debitur yang dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan yang berlangsung selama kurun waktu tertentu (Suyatno et al. 1992). Di dalam kredit terkandung beberapa unsur pokok yang membentuknya. Unsur-unsur yang terdapat dalam kredit adalah: 1) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa transaksi yang diberikannya akan diterima kembali dalam jangka waktu tertentu. 2) Waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian transaksi dengan kontrak transaksi akan diterima pada masa yang akan datang. 3) Risiko, yaitu suatu kemungkinan yang dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu dari pengembalian transaksi yang diberikan. 4) Transaksi atau objek kredit yang bisa berupa uang, barang dan jasa. Pemberian kredit yang dilakukan baik oleh lembaga formal maupun oleh lembaga non formal memiliki tujuan yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi kredit adalah untuk memperoleh keuntungan yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pemberi kredit dan dari sisi penerima kredit. Dari sisi pemberi kredit, tujuan pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan yang terwujud dalam bentuk bunga. Sedangkan dari sisi penerima kredit, tujuan penerimaan kredit adalah untuk memperluas usaha, melaksanakan rehabilitasi usaha, menciptakan efisiensi usaha yang lebih tinggi, serta untuk menciptakan kegiatan usaha baru. Kredit yang diterima juga dipergunakan untuk kegiatan sosial dan kegiatan konsumsi. Secara umum, tujuan pemberian kredit untuk komoditi ternak adalah (Ditjennak 1992): 1) Membantu peternak yang berpendapatan rendah (miskin). 2) Mempercepat proses pembangunan peternakan.
3) Melayani kesejahteraan masyarakat. 4) Memperbaiki sikap masyarakat terhadap kredit. Dalam pemberian kredit, terhadap prinsip-prinsip penilaian kredit. Prinsipprinsip harus dipenuhi oleh pemohon kredit karena dalam kredit terdapat unsur kepercayaan dan risiko yang dipertaruhkan dalam bentuk sejumlah uang atau setara uang. Prinsip-prinsip klasik dalam penilaian kredit (Riyanto 1995) adalah karakter,
kapasitas, kapital, agunan dan kondisi ekonomi. Prinsip karakter
menyangkut kejujuran dan integritas serta tekad untuk memenuhi kewajiban dari calon debitur. Prinsip kapasitas menunjukkan kemampuan kreditur untuk melunasi pinjamannya. Prinsip kapital menunjukkan jumlah modal sendiri yang dimiliki. Sedangkan, yang dimaksud dengan agunan adalah barang yang menjadi jaminan atas kreditnya yang diterima dan kondisi ekonomi merupakan situasi ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang mempengaruhi kelancaran usaha calon debitur. Sebagai alat untuk menciptakan modal, maka jenis kredit dapat dibagi sesuai dengan jenis modal yang diperoleh dari kredit tersebut (Wiliasih 1999), meliputi: 1) Kredit investasi, yaitu merupakan kredit yang dipergunakan untuk membeli barang-barang modal tetap yang tidak habis dalam proses produksi. 2) Kredit modal kerja, yaitu merupakan kredit yang dipergunakan untuk membeli barang-barang modal tidak tetap yang habis pakai dalam satu proses produksi. Selain itu, berdasarkan penerimaan kredit baik secara langsung maupun tidak langsung serta pengaruhnya terhadap kesuksesan suatu usahatani, maka muncul kredit pertanian yang dibedakan atas: 1) Kredit usahatani, yaitu merupakan kredit yang dipergunakan secara langsung dalam usahatani oleh petani. 2) Kredit konsumsi, yaitu merupakan kredit yang dipergunakan secara langsung dalam rumah tangga petani. Kredit di bidang pertanian lebih tepat
jika dibedakan atas hasil
pemakaiannya dapat dibedakan atas tiga macam: 24
1) Kredit positif atau kredit produktif, dimana setelah jangka waktu peminjaman dan uang yang dipinjam sudah habis dipakai, petani mendapatkan hasil sebesar jumlah pinjaman ditambah bunga, ongkos-ongkos pinjaman lainnya, dan keuntungan untuk dirinya. 2) Kredit netral (maintenance credit), yaitu kredit hasil pemakaiannya hanya menghasilkan jumlah pinjaman ditambah dengan bunga dan ongkos-ongkos pinjaman lainnya. 3) Kredit negatif atau kredit tidak produktif, dengan hasil yang diperoleh dari pemakaian pinjaman kurang dari jumlah yang diperlukan untuk membayar jumlah pinjaman ditambah bunga dan ongkos-ongkos pinjaman lainnya. Jenis kredit lain adalah kredit berdasarkan hasil investasi yang dibedakan atas kredit statis dan kredit dinamis (Wiliasih 1999). Kredit statis adalah kredit yang setelah dipakai oleh peminjam tidak berdampak terhadap kenaikan hasil produksi, kekayaan, atau penghasilannya. Sementara itu, kredit dinamis adalah kredit yang setelah dipakai oleh peminjam berdampak terhadap kenaikan dari satu atau beberapa bahkan semua dari keempat faktor, yaitu pokok pinjaman, bunga, besar pinjaman, dan keuntungan. Selain itu, terdapat kredit berdasarkan jangka waktu yang dibedakan atas kredit jangka pendek (berjangka waktu maksimum 1 tahun), kredit jangka menengah (berjangka waktu 1 sampai 3 tahun), dan kredit jangka panjang (berjangka waktu lebih dari 3 tahun) serta kredit berdasarkan jaminan (kredit yang memakai jaminan dan kredit yang tidak memakai jaminan) (Kusafarida 2004). Faizal (1995) menyatakan bahwa kredit pertanian, khususnya subsektor peternakan dapat dibagi berdasarkan tujuan pemakaian yang salah satunya adalah kredit produksi. Kredit produksi ini biasanya kredit jangka pendek atau jangka menengah dengan tujuan untuk: membeli bibit atau bakalan ternak, makanan ternak, dan obat-obatan, feeder livestock, range livestock, ternak dewasa, dan membayar ongkos-ongkos operasional. 3.2.
Konsep Kredit Sistem Bergulir Berdasarkan
SK
Direktorat
Jenderal
Peternakan
No.50/HK.050/KPST/2/93 Tahun 1993 (Ditjennak 1993b), yang dimaksud 25
dengan sistem bergulir adalah sistem penyebaran ternak dari pemerintah kepada peternak dan dalam kurun waktu tertentu, maka peternak harus mengembalikan ternak pengganti hasil keturunan dari ternak yang pernah diberikan kepadanya dan tidak dinilai dengan uang. Semi bergulir adalah sistem penyebaran ternak pemerintah dimana ternak yang digaduhkan pemerintah kepada petani yang pengembaliannya berupa ternak yang dinilai dengan uang. Penggaduh adalah peternak yang berdasarkan suatu perjanjian tertentu memelihara ternak bergulir. Ternak pokok adalah ternak bibit yang diserahkan kepada penggaduh untuk dikembangbiakkan. Ternak setoran adalah ternak keturunan hasil pengembangan ternak dari pemerintah yang diserahkan oleh penggaduh sebagai kewajiban pengembalian bergulir sesuai dengan peraturan (Hadiana 1996). Berdasarkan pengertian kredit menurut FAO (1965), tujuan sistem bergulir ternak pada dasarnya identik dengan kredit produksi, keduanya dibangun atas kesepakatan kedua belah pihak antara peminjam (penggaduh) dengan pemilik modal. Penggaduh memperoleh kewenangan untuk menggunakan aset pada saat sekarang dengan perjanjian kelak pada saat tertentu akan dikembalikan. Perbedaannya terletak pada cara dan bentuk pengembalian pinjaman. Pada sistim bergulir setoran berbentuk natura (ternak setoran), sedangkan dalam sistem kredit produksi, pengembalian berupa innatura atau kalaupun dibayar secara natura, namun tetap didasarkan atas ukuran uang (Hadiana 1996). 3.3
Konsep Pengambilan Keputusan Secara populer dapat dikatakan bahwa mengambil atau membuat
keputusan berarti memilih satu di antara sekian banyak alternatif. Pada umumnya keputusan dibuat dalam rangka untuk memecahkan permasalahan, setiap keputusan yang dibuat pasti ada tujuan yang akan dicapai (Supranto 1991). Pengambilan keputusan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Faktor keadaan intern organisasi 2) Faktor tersedianya informasi yang diperlukan 3) Faktor keadaan ekstern organisasi 4) Faktor kepribadian dan kecakapan pengambil keputusan
26
Inti dari pengambilan keputusan ialah terletak dalam perumusan berbagai alternatif tindakan sesuai dengan yang sedang dalam perhatian dan dalam pemilihan altenatif yang tepat setelah suatu yang dikehendaki pengambil keputusan. Salah satu komponen terpenting dari proses pembuatan keputusan ialah kegiatan pengumpulan informasi darimana suatu apresiasi mengenai situasi keputusan dapat dibuat (Supranto 1991). Pada dasarnya terdapat empat kategori keputusan yaitu: 1) Keputusan dalam keadaan ada kepastian (certainty) Keputusan dalam keadaan terdapat kepastian dapat dilakukan ketika semua informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan diketahui secara sempurna dan tidak berubah. 2) Keputusan dalam keadaan ada risiko (risk): Keputusan dalam keadaan terdapat risiko dilakukan ketika informasi yang bersifat sempurna tidak tersedia, tetapi seluruh peristiwa yang akan terjadi beserta probabilitas peristiwa tersebut diketahui 3) Keputusan dalam keadaan ketidakpastian (uncertainty) Keputusan dalam keadaan ketidakpastian dilakukan ketika seluruh informasi yang mungkin terjadi diketahui tanpa mengetahui probabilitas peristiwa yang akan terjadi. 4) Keputusan dalam keadaan ada konflik Keputusan dalam keadaan terdapat konflik dilakukan ketika kepentingan dua atau lebih pengambil keputusan berada dalam pertarungan aktif diantara kedua belah pihak Apabila informasi yang cukup dapat dikumpulkan guna memperoleh suatu spesifikasi yang lengkap dari semua alternatif tingkat keefektivannya`dalam situasi yang sedang menjadi perhatian, proses pembuatan atau pengambilan keputusan relatif sangatlah mudah. Akan tetapi, pada prakteknya sangat tidak mungkin untuk mengumpulkan informasi secara lengkap, mengingat terbatasnya waktu dan tenaga (Supranto 1991).
Di dalam keadaan di mana informasi tidak
lengkap atau data hanya perkiraan saja, maka pembuat keputusan akan membuat keputusan dalam keadaan ketidakpastian. Teori peluang merupakan teori dasar dalam pengambilan keputusan yang memiliki sifat ketidakpastian (Waluyo 2001). 27
3.4 Analisis Regresi Logistik Metode regresi telah menjadi bagian menyeluruh dari analisis data yang fokus digunakan untuk menjelaskan hubungan antara suatu variabel dengan satu atau lebih variabel penjelas. Pada suatu kasus, sering didapatkan bahwa variabel hasil atau sering disebut dengan variabel terikat yang diinginkan berupa data diskret dengan dua nilai atau lebih (Hosmer dan Lameshow 2000). Regresi logistik telah menjadi standar metode analisis penyelesaian dalam situasi variabel hasil yang diinginkan berupa data diskret dengan dua atau lebih dari dua variabel. Tujuan analisis regresi logistik memiliki kesamaan dengan setiap pemodelan statistik yang dibangun dengan metode lain yaitu menemukan model yang paling tepat dan paling sederhana untuk menjelaskan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen (Hosmer dan Lameshow 2000). 3.5
Kerangka Pemikiran Operasional Produksi susu dalam negeri yang belum mencukupi kebutuhan disebabkan
oleh produktivitas sapi perah yang rendah dan populasi sapi perah yang rendah. Produktivitas sapi yang rendah selain disebabkan oleh pelaksanaan usahaternak yang kurang baik juga dapat disebabkan oleh usahaternak yang kurang efisien karena skala usaha yang kecil. Efisiensi usahaternak dapat ditingkatkan dengan usaha peningkatan populasi sapi perah. Peningkatan populasi sapi perah membutuhkan modal yang tidak sedikit. Pelaksanaan peningkatan populasi sapi perah perlu dikaitkan dengan kemampuan peternak dalam pengadaan modal sapi perah. Kemampuan peternak dalam membiayai sendiri pengadaan modal sapi perah merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam mengenali karakteristik permintaan peternak terhadap kredit usahaternak. Kredit sapi perah sistem bergulir merupakan salah satu pilihan skema kredit yang dapat digunakan oleh peternak untuk melakukan penambahan skala usaha. Tidak semua peternak KPGS berpartisipasi dalam pengambilan kredit sapi perah bergulir. Permintaan kredit sapi perah bergulir dianalisis dengan mempertimbangkan karakteristik ekonomi dan sosial baik dari peternak pengambil kredit maupun peternak non pengambil kredit sapi perah sistem bergulir. 28
Faktor-faktor yang dipertimbangkan peternak yang mempengaruhi keputusan pengambilan kredit merupakan bagian penting yang harus diperhatikan lembaga penyalur kredit. Lembaga penyalur kredit perlu mengidentifikasi faktor apa saja yang mampu mempengaruhi keputusan peternak sehingga menggunakan suatu sistem kredit tertentu. Faktor yang diduga mempengaruhi keputusan peternak dianalisis menggunakan analisis regresi logistik untuk mendapatkan faktor-faktor yang berpengaruh nyata dalam keputusan pengambilan kredit. Pengenalan faktor yang mampu mempengaruhi secara nyata keputusan peternak menjadi pertimbangan dalam perbaikan skema kredit untuk mempercepat penambahan populasi sapi perah yang akan berdampak pada peningkatan produksi susu. Keputusan peternak dalam pengambilan kredit seperti sistem bergulir dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian terdahulu mengenai pengambilan kredit program bantuan pemerintah menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pengambilan kredit program pemerintah berasal dari faktor sosial ekonomi peternak dan faktor usahaternak. Berdasarkan penelitian terdahulu dan hasil hasil pembelajaran dengan pihak-pihak yang memahami agribisnis sapi perah, faktor yang diduga mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit bibit sapi perah adalah: 1) Usia Usia merupakan suatu parameter yang dapat menggambarkan tingkat kematangan
sekaligus
menggambarkan
kondisi
fisik
seseorang.
Usia
yang
bertambah
tingkat kematangan berpikir yang semakin baik, namun
bertambahnya usia juga mengindikasikan kondisi fisik dan produktivitas yang menurun. Peluang seorang petani menggunakan kredit diduga mengikuti pola harapan hidup dengan peluang yang lebih baik pada usia yang lebih muda. Dalam kaitan dengan peluang penggunaan kredit, usia dari pelaku usahatani juga sangat mungkin dipertimbangkan sehubungan dengan kondisi fisik dan tingkat produktivitas. Berdasarkan pertimbangan yang telah diuraikan, usia yang semakin bertambah diduga berpengaruh negatif terhadap keputusan pengambilan kredit.
29
2) Pendidikan Kemampuan seseorang berpikir secara logis dan sistematis sering dikaitkan dengan tingkat pendidikannya. Pendidikan adalah proses pengembangan kepribadian seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Wardhani 1987, diacu dalam Ati 1996). Pendidikan diperlakukan sebagai indikator dari kemampuan seorang peternak dalam menangkap dan merespon perubahan yang terjadi. Peningkatan pendidikan dari petani kemungkinan besar meningkatkan kemampuan manajerial yang dimiliki. Oleh karena
itu, karakter pendidikan
kemungkinan besar berhubungan positif dengan peluang penggunaan kredit. 3) Pengalaman Pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar mengajar yang dialami oleh seseorang. Pengalaman seseorang akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapan untuk belajar lebih banyak. Peternak yang memiliki pengalaman dalam usahaternak pada umumnya memiliki kemampuan dan teknik produksi yang lebih baik. Peningkatan pengalaman dari petani kemungkinan besar meningkatkan kemampuan manajerial dan kemampuan dalam memformulasikan dan menjalankan
perencanaan usahatani dengan lebih baik. Berdasarkan
pertimbangan yang telah diuraikan, pengalaman kemungkinan besar berhubungan postif dengan peluang penggunaan kredit. 4) Skala usaha Skala usaha
mungkin berpengaruh dalam peluang penggunaan kredit.
Semakin besar skala usaha, sejumlah input yang lebih besar dibutuhkan untuk menjalankan usahatani. Selain itu, petani skala besar kemungkinan cenderung menggunakan pengadaan input yang lebih banyak dalam kaitan sifat yang lebih komersial dari kegiatan pertanian yang dijalankan. Oleh karena itu, seorang pelaku yang cenderung menjalankan usahatani dengan skala yang lebih besar mungkin menggunakan kredit untuk membeli sejumlah input pertanian yang cukup. Tetapi, terdapat kemungkinan bahwa dengan meningkatnya skala usaha, tabungan pribadi mungkin juga meningkat, dan membawa dampak pada peluang seorang petani menggunakan kredit mungkin menurun dengan peningkatan skala 30
usaha. Berkaitan dengan pengambilan kredit sapi perah, peluang peternak mengambil kredit diduga berhubungan negatif dengan skala usaha karena kredit yang diberikan berupa pedet sehingga bagi peternak dengan skala usaha yang lebih besar akan lebih mudah mendapatkan pedet dari hasil usahaternak yang dikerjakan. 5) Luas lahan hijauan Pakan hijauan merupakan kebutuhan pokok dalam usahaternak sapi perah. Luas lahan hijauan digunakan sebagai pendekatan dalam kemampuan peternak dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pakan hijauan sapi perah yang diusahakan. Peternak yang memiliki lahan hijauan lebih luas diduga memiliki peluang untuk mengambil keputusan dalam pengambilan kredit yang lebih besar karena sumberdaya lahan yang dimiliki lebih mampu menjamin kebutuhan pangan sapi perah dengan adanya peningkatan skala usaha. Berdasarkan pertimbangan yang telah diuraikan, luas lahan hijauan berhubungan positif dalam peluang pengambilan kredit. 6) Jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah Kandang merupakan perlengkapan yang sangat penting dalam usahaternak sapi perah. Kandang digunakan sebagai pendekatan dalam kemampuan peternak untuk menambah skala usaha dilihat dari kemampuan pengadaan lahan dan kemampuan penyediaan bangunan kandang tempat sapi perah dipelihara. Terkadang peternak tidak perlu membangun kandang baru untuk penambahan skala usaha karena jumlah sapi perah yang dimiliki lebih sedikit dibandingkan kandang yang sudah pernah dibangun. Semakin besar jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah diduga berhubungan positif dengan peluang pengambilan kredit. 7) Pendapatan rumah tangga Pendapatan rumah tangga merupakan ukuran kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Semakin besar pendapatan rumah tangga, peternak diduga lebih memiliki kemampuan lebih besar dalam penyisihan berupa simpanan dari sisa pendapatan rumah tangga yang tidak digunakan. Simpanan peternak dapat digunakan sebagai modal dalam penambahan skala usahaternak sapi perah. 31
Berdasarkan pertimbangan tersebut, terdapat dugaan bahwa pendapatan rumah tangga berhubungan negatif dengan peluang pengambilan kredit. 8) Kemampuan peternak dalam pengadaan modal sapi perah Pengadaan modal sapi perah merupukan ukuran kemampuan peternak dalam membiayai sendiri usahaternak yang dijalankan. Peternak
yang
menggunakan modal sendiri dalam kegiatan usahaternak yang dijalankan cenderung memiliki kemampuan dalam membiayai usahaternak sehingga tidak membutuhkan penambahan skala usaha dari sumber pembiayaan kredit. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemampuan peternak dalam pengadaan modal sapi perah diduga berhubungan negatif dengan peluang pengambilan kredit. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan peternak akan dirumuskan untuk menjadi rekomendasi dalam program peningkatan populasi sapi perah. Alur kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 1.
32
Produksi susu dalam negeri rendah
Produktivitas sapi perah rendah
Efisiensi usahaternak rendah
Peningkatan teknik budidaya usahaternak
Program peningkatan populasi sapi perah di Kabupaten Garut
Populasi sapi perah rendah
Program kredit sapi perah sistem bergulir KPGS Tingkat kemampuan peternak dalam pengadaan modal sapi perah Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pengambilan Kredit Sistem Bergulir Peternak Pengambil kredit sistem bergulir
Karakteristik sosial ekonomi: Usia Pendidikan Pengalaman Pendapatan rumah tangga Karakteristik usahaternak: Skala usahaternak Luas lahan hijauan Jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah Kemampuan Pengadaan modal sapi perah
Peternak Non pengambil kredit sistem bergulir
Analisis Regresi Logistik
Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan peternak Gambar 1. Kerangkan Pemikiran Operasional Penelitian 33
3.6
Hipotesis Hipotesis digunakan agar penelitian lebih terarah. Hipotesis yang diajukan
sebagai pertimbangan dalam penelitian adalah: 1) Faktor-faktor yang diduga berpengaruh positif dan nyata terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir adalah pendidikan, pengalaman, luas lahan hijauan, jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah. 2) Faktor-faktor yang diduga berpengaruh negatif dan nyata terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir adalah usia, skala usaha, pendapatan rumah tangga dan kemampuan pengadaan modal sapi perah.
34
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir dilakukan pada 8 desa yang tersebar dalam 4 kecamatan yaitu Desa Cibodas, Cikajang, Mekarsari dan Giri Awas di Kecamatan Cikajang; Desa Sukatani di Kecamatan Cisurupan; Desa Mulyajaya di Kecamatan Banjarwangi; serta Desa Cihurip dan Mekarwangi di Kecamatan Cihurip yang termasuk dalam wilayah kerja Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS). Pemilihan lokasi pada wilayah kerja KPGS dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa KPGS merupakan koperasi peternakan sapi perah terbesar di Kabupaten Garut yang melaksanakan pengadaan kredit sapi perah sistem bergulir sejak tahun 2004. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Juni 2009. 4.2. Metode Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian berjumlah 1911 peternak yang terdiri dari 315 peternak pengambil kredit sapi perah sistem bergulir dan 1596 peternak non pengambil kredit sapi perah sistem bergulir. Metode penarikan sampel dilakukan secara bertahap. Pada awal penelitian, terdapat 12 variabel indipenden yang diduga berpengaruh terhadap keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir yaitu usia, pendidikan, pengalaman, skala usaha, luas lahan hijauan, jumlah kandang yang mampu disiapkan, pendapatan rumah tangga, kemampuan pengadaan modal sapi perah sendiri, persepsi mengenai keuntungan kredit sistem bergulir, persepsi peternak terhadap kualitas pedet yang digulirkan, jumlah kehadiran dalam pertemuan kelompok ternak dan jarak rumah peternak dengan KPGS. Jumlah sampel ditentukan sebanyak 60 peternak dengan pertimbangan bahwa jumlah sampel minimal berjumlah lima kali jumlah variabel independen (Hair et al. 1998). Setelah dilakukan pengolahan data, variabel persepsi mengenai keuntungan kredit sistem bergulir, persepsi peternak terhadap kualitas pedet yang digulirkan, jumlah kehadiran dalam pertemuan kelompok dan jarak rumah dengan KPGS tidak berpengaruh signifikan terhadap keputusan pengambilan kredit. Ketika keempat variabel yang tidak signifikan tersebut dihilangkan, model regresi
logistik yang dihasilkan menjadi lebih baik sehingga penelitian ini hanya melibatkan delapan variabel. Pengambilan sampel direncanakan dilakukan dengan proporsional yaitu 30 sampel dari peternak pengambil kredit sapi perah bergulir pada tahun 2009 dan 30 sampel dari peternak non pengambil kredit yang belum pernah melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir sampai tahun 2009 dengan cara simple random. Namun, berdasarkan data yang didapat dari KPGS peternak pengambil kredit sapi perah sistem bergulir pada tahun 2009 hanya berjumlah 26 peternak yaitu peternak pengambil kredit sapi perah bergulir tahap XI yang dilakukan pada Maret 2009 sehingga keseluruhan peternak penerima kredit menjadi sampel dalam penelitian. Sampel peternak non penerima kredit ditentukan berjumlah 34 peternak agar seluruh sampel tetap berjumlah 60 sesuai dengan minimal jumlah sampel yang disyaratkan oleh Hair et al. (1998). Pemilihan sampel yang terdiri dari peternak pengambil kredit dan peternak non pengambil kredit dibatasi pada kelompok ternak yang memiliki anggota penerima kredit sapi perah bergulir tahap XI yaitu kelompok ternak Ngamplang, Cikajang, Situgede, Giri Awas, Cimanyar I, Cimanyar II, Jalan Lempeng, Lemah Duhur dan Cihurip. Responden non penerima kredit diambil dengan cara simple random di tingkat kelompok ternak setelah menghilangkan nama peternak yang pernah melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir dari daftar nama calon responden peternak non penerima kredit. Sampel dibatasi pada peternak yang menerima kredit sapi perah sistem bergulir tahun 2009 karena dalam penelitian dibutuhkan data pendapatan tunai usahaternak selama tahun 2008 dari peternak penerima kredit dan non penerima kredit sebelum kredit dikeluarkan. Hal ini dikarenakan pendapatan tunai usahaternak sebelum dilakukan penngambilan kredit yaitu selama tahun 2008 menjadi komponen data pendapatan rumah tangga yang dibutuhkan.
36
Tabel 5. Tahap Pengambilan Sampel Penelitian Tahap Penarikan Sampel Jumlah Populasi
Stratifikasi Populasi
Pembatasan Tahapan Kredit
Peternak Peternak pengambil pengambil kredit sapi kredit sapi perah sistem perah sistem bergulir: bergulir tahun 2009: 315 peternak
26 peternak
1911 peternak
Pembatasan Kelompok Ternak Responden Secara Penentuan Purposive Jumlah Nama Sampel Jumlah Kelompok Ternak
1596 peternak
Nama Kelompok Ternak
Jumlah Sampel
Ngamplang
1
Ngamplang
1
Cikajang
1
Cikajang
1
Situgede
1
Situgede
1
Giri Awas
1
Giri Awas
1
Cimanyar I
1
Cimanyar I
1
Cimanyar II
3
Cimanyar II
3
Jalan Lempeng
5
Jalan Lempeng
5
Lemah Duhur
7
Lemah Duhur
7
Cihurip
6
Cihurip
6
Jumlah
26
Jumlah
26
Ngamplang
49
Cikajang Situgede Non peternak Non peternak Giri Awas pengambil pengambil kredit sapi kredit sapi Cimanyar I perah sistem perah sistem bergulir: bergulir: Cimanyar II 1596 peternak
Populasi
Teknik Penarikan Sampel di Tingkat Kelompok Ternak
Sensus
60 peternak
Ngamplang
4
34
Cikajang
6
37
Situgede
6
37
Giri Awas
6
Cimanyar I
6
Cimanyar II
4
27 56
Simple Random Sampling
Jalan Lempeng
90
Jalan Lempeng
2
Lemah Duhur
54
Lemah Duhur
0
Cihurip
0
Cihurip
0
Jumlah
384
Jumlah
34
4.3. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kasus. Data yang didapat dalam penelitian merupakan gejala-gejala dalam usahaternak sapi perah yang berhubungan dengan faktor pengambilan kredit. Penelitian dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan keterangan terperinci tentang faktor yang mempengaruhi pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir di KPGS.
37
4.4. Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil pengamatan langsung dan wawancara menggunakan panduan kuisioner yang telah dipersiapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Data primer yang diambil meliputi karakteristik sosial individu peternak sapi perah, karakteristik sosial ekonomi peternak, karakteristik usahaternak yang mewakili faktor pengambilan kredit dari sisi peternak. Selain dari sisi peternak, data primer juga diambil dari sisi koperasi untuk mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan kredit sapi perah sistem bergulir dan informasi terkait seperti pengadaan kredit sapi perah selain sistem bergulir yang diadakan oleh KPGS. Data sekunder digunakan sebagai data penunjang dan pelengkap yang diperoleh dari dokumen tertulis berbagai instansi terkait seperti Direktorat Jenderal Peternakan dan Koperasi Peternak Garut Selatan. Selain itu, data sekunder juga didapatkan dari buku, jurnal ilmiah, artikel dan situs internet yang terkait dengan penelitian. Instrumentasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat pengumpul data dan alat ukur. Alat pengumpul data yang digunakan adalah alat pencatat, daftar pertanyaan, kuesioner, perekam suara dan alat potret. Sedangkan alat ukur yang digunakan adalah alat pengukur jarak yang terdapat dalam kendaraan bermotor untuk mengukur jarak KPGS dengan rumah peternak. 4.5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik wawancara langsung menggunakan panduan kuesioner. Pelaksanaan wawancara dilakukan oleh peneliti dan dua enumerator pada saat peternak tidak sedang bekerja di lahan pertanian yaitu setelah pukul 12.00 selama sepuluh hari. Pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara mendalam kepada pihak terkait seperti manajer utama, penanggung jawab kredit sapi perah sistem bergulir, karyawan bagian kredit dan keuangan KPGS. Ketersediaan data mengenai keadaan lokasi penelitian sangat
terbantu
oleh
pengalaman
peneliti
pada
program
Gladikarya
38
Pengembangan Agribisnisi Sapi Perah selama 47 hari di Desa Cibodas dan KPGS Kecamatan Cikajang pada tahun 2008. 4.6 Metode Pengolahan Data Data yang diperoleh dari wawancara dengan peternak, wawancara dengan pihak KPGS dan pengamatan langsung dikumpulkan untuk selanjutnya dilakukan tabulasi dan diolah. Pengolahan data dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif yang dilakukan berupa analisis deskriptif, sedangkan analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi logistik dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan Minitab 11. 4.6.1
Analisis Deskriptif Data mengenai karakteristik individu dan ekonomi peternak serta
karakteristik usahaternak ditabulasikan dalam kerangka tabel untuk selanjutnya dilakukan analisis. Menurut Natzir (1999), analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis deskriptif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis mengenai karakteristik responden dan analisis mengenai kemampuan responden dalam pengadaan modal sapi perah. 4.6.2
Analisis Regresi Logistik Menurut Waluyo (2001), teori peluang merupakan teori dasar dalam
pengambilan keputusan yang memiliki sifat ketidakpastian. Kredit sapi perah sistem bergulir dapat dikategorikan dalam keputusan yang tidak memiliki kepastian karena peternak tidak dapat memastikan keuntungan yang akan diperoleh dengan melakukan pengambilan kredit. Peluang pengambilan kredit peternak anggota dan calon anggota KPGS merupakan suatu acak yang diduga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial serta faktor usahaternak peternak. Regresi logistik dapat digunakan untuk mengetahui peluang peternak dalam pengambilan keputusan kredit sapi perah sistem bergulir. 39
Regresi logistik didefinisikan sebagai suatu pendekatan matematika yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan beberapa variabel bebas dengan sebuah variabel tidak bebas yang mempunyai dua nilai (Kleinbaum 1994). Definisi yang diberikan Kleinbaum (1994) sebenarnya mengacu pada regresi logistik binomial. Regresi logistik binomial adalah bentuk regresi yang digunakan pada saat variabel tidak bebas berupa dikotomi dan variabel bebas dapat berasal dari beberapa tipe seperti berupa data kantinu dan data kategorik. Penanganan kasus regresi logistik ketika variabel tidak bebas memiliki kelas beranggotakan lebih dari dua nilai dilakukan dengan regresi multinominal. Sedangkan penganganan kasus regresi logistik ketika variabel tidak bebas berjumlah banyak digunakan regresi logistik ordinal. Regresi logistik dapat dimanfaatkan untuk memprediksikan suatu variabel tidak bebas berdasarkan variabel bebas yang bersifat baik kontinu atau kategorik. Selain itu, seperti regresi lainnya, regresi logistik juga dapat digunakan untuk menentukan persentase varian di dalam variabel tidak bebas dijelaskan oleh variabel bebas dan untuk yang dilibatkan dalam model (Garson 2008). Menurut Hosmer dan Lemeshow (2000), vektor menotasikan sebanyak
variabel bebas yang dilibatkan.
(
=(
,
,…,
= 1| ) =
)
( )
adalah peluang bersyarat bahwa variabel tidak bebas menyatakan kejadian (y=1). adalah konstanta dan
,
,…,
adalah koefisien dari masing-masing
variabel bebas. Bentuk spesifik dari model regresi logistik adalah: = 1+
( )dapat ditransformasikan dalam logit, =
( )=
+
+
( m ) enjadi:
( ) 1− ( ) +⋯+
Penelitian ini menggunakan model regresi logistik untuk menduga peluang peternak mengambil kredit sapi perah sistem bergulir. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh, serta formulasi model tersebut adalah sebagai berikut: Dengan demikian, model regresi logistik dalam penelitian ini adalah 40
dimana,
( ) = Yi =
+
+
+
+
+
+
+
+
Yi = Peluang peternak mengambil kredit sapi perah sistem bergulir, dimana Yi = 1 jika peternak mengambil kredit sapi perah sistem bergulir Yi = 0 jika peternak tidak mengambil kredit sapi perah sistem bergulir X1 = usia (dalam tahun) X2 = pendidikan (tahun) X3 = pengalaman (tahun) X4 = skala usaha (satuan ternak) X5 = luas lahan hijauan (meter persegi) X6 = jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah (kandang) X7 = pendapatan rumah tangga per tahun (rupiah) D1 = dummy kemampuan peternak dalam pengadaan modal sapi perah sendiri, dimana D1 = 1, jika dalam usahaternak peternak membiayai sendiri pengadaan modal sapi perah D1 = 0, selain peternak membiayai sendiri pengadaan modal sapi perah Berkaitan dengan model regresi logistik yang digunakan dalam penelitian ini, variabel tidak bebas model adalah peluang peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Sedangkan variabel bebasnya adalah usia, pendidikan, pengalaman, skala usaha, luas lahan hijauan, jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah, pendapatan rumah tangga per tahun dan dummy kemampuan peternak dalam pengadaan modal sapi perah. 4.6.2.1 Metode Pengestimasi Model Regresi logistik menerapkan Maximum Likelihood Estimation (MLE) setelah mentransformasikan variabel tidak bebas ke dalam suatu variabel logit (logaritma natural atas odds dari variabel tidak bebas menyatakan kejadian atau ketidakjadian). Perlu diketahui bahwa regresi logistik menghitung perubahan di 41
dalam log odds dari variabel tidak bebas, bukan perubahan dalam variabel tidak bebas itu sendiri sebagimana didalam regresi Ordinary Least Square (OLS) (Garson 2008). Ordinary Least Square berusaha untuk meminimalkan penjumlahan dari kuadrat jarak antara titik data dengan garis regresi sehingga berbeda dengan MLE. Maximum Likelihood Estimation berusaha untuk memaksimalkan log likelihood (LL) yang merefleksikan bagaimana kemungkinan bahwa nilai observasi dari variabel tidak bebas dapat diprediksi dari nilai observasi variabel bebas. Diasumsikan bahwa sampel yang didapatkan adalah sebanyak pengamatan bebas berupa pasangan ( ,
),
= 1,2, … , . Untuk membuat
model, perlu ditentukan estimasi dari koefisien variabel penjelas yang berupa =( ,
vektor
,…,
). Bentuk fungsi likelihood adalah: ( )=
( )
Prinsip likelihood maksimum menekankan bahwa nilai digunakan sebagai estimasi model adalah nilai
yang akan
yang memaksimumkan fungsi
( ) di atas. Untuk memudahkan perhitungan, bentuk yang digunakan adalah log
dari fungsi tersebut disebut dengan log likelihood. Bentuk dari persamaannnya adalah: ( ) = ln[ ( )] =
{ ln[ ( )] + (1 −
Untuk menemukan nilai masing-masing
) ln[1 − ( )]}
yang memaksimumkan ( ), ( )
perlu dideferensiasikan terhadap masing-masing
dan menyamadengankan nol
persamaan tersebut. Akan ada p+1 persamaan likelihood yang diperoleh dari mendeferensiasikan fungsi ( ) terhadap p+1 koefisien. Persamaan likelihood
yang dihasilkan untuk memenuhi prosedur tersebut dapat berbentuk sebagai berikut:
dan
[
− ( )] = 0 42
[
− ( )] = 0
Untuk j=1, 2, …, p (Hosmer dan Lameshow 2000) 4.6.2.2 Metode Pengujian Parameter Model
Pengujian parameter model dilakukan dengan menguji semua parameter secara keseluruhan (simultan) dan menguji masing-masing parameter secara terpisah (individual). Uji rasio likelihood (likelihood ratio test) dapat digunakan untuk melihat pengaruh variabel-variabel penjelas yang dimasukkan dalam model. Untuk menguji apakah variabel penjelas memberikan pengaruh terhadap kebaikan dari model dengan uji rasio likehood, mula-mula dicari nilai statistic G. ( = −2ln [
Hipotesis yang dipakai adalah:
ℎ
ℎ
ℎ
H0: β1=β2=…=βp=0 H1: Minimal ada satu βi≠0, dengan i=1,2,…,p. Pada hipotesis nol bahwa koefisien dari variabel tertentu yang diuji bernilai nol, statistik G terdistribusikan mengikuti sebaran chi-square dengan derajat bebas p. H0 diterima ketika nilai statistik P value > α. Adapun P value adalah (
(p atau derajat bebas) > G).
Untuk melakukan pengujian pengaruh variabel penjelas secara individual terhadap variabel respon, Uji Wald (Wald Test) bisa diterapkan. Statistik Wj perlu dihitung untuk melakukan Wald Test.
adalah penduga dari
dan
=
( )
adalah penduga dari standard error untuk
.
Hipotesis yang diterapkan untuk uji ini adalah: H0:
=0
H1:
≠ 0, j=1,2,…,p Kriteria yang dipakai untuk menolak H0 adalah ketika nilai dari two-tailed
p value < α. Adapun two-tailed p value adalah
(| | >
), dengan Z 43
menyatakan suatu variabel acak yang mengikuti distribusi normal standar. Atau jika
lebih besar dari nilai kritis maka H0 diterima. Jika nilai kritis yang dipakai
adalah dua maka tingkat signifikansi yang dipakai adalah 5% (Hosmer dan Lemeshow 2000). Sebenarnya dengan mengkuadratkan statistik
, akan
didapatkan suatu statistik yang terdistribusi mengikuti sebaran chi-square dengan derajat bebas satu (Kleinbaum 1994). 4.6.2.3 Interpretasi Koefisien Pada model regresi logistik dengan satu variabel bebas, koefisien dari variabel bebas dirumuskan
= (
+ 1) −
( .)Koefisien slope menyatakan
perubahan pada logit akibat suatu perubahan satu unit pada variabel bebas. Interpretasi yang tepat terhadap koefisien pada sebuah model regresi logistik tergantung dari adanya kemampuan untuk memberikan makna pada perbedaan antara dua logit (Hosmer dan Lemeshow 2000). Cara yang paling umum untuk menginterpretsikan model logistik adalah dengan melibatkan istilah rasio odds. Oleh karena itu logits (koefisien model regresi logistik) harus diubah ke dalam rasio odds (odds ratio). Estimasi odds ratio dapat dinyatakan dalam dua bentuk yaitu estimasi titik dan estimasi selang. Estimasi titik menghasilkan nilai estimasi rasio odds berupa satu angka tertentu. Sedangkan dalam estimasi selang, nilai estimasi rasio odds berada dalam suatu selang kepercayaan tertentu atau bukan menyatakan satu titik tertentu. Konsep tentang odds ratio dimulai dari istilah odds. Pada kasus model regresi logistik yang mengandung variabel bebas (x) dikotomos bernilai 1 dan 0, odds variabel tidak bebas dari individu yang mempunyai x = 1 didefinisikan sebagai
(1)/[1 − (1)]. Sementara odds untuk variabel hasil yang terjadi dari
individu dengan x = 0 adalah
(0)/[1 − (0)]. Rasio odds merupakan
perbandingan antara odds untuk x = 1 dan odds untuk x = 0. Adapun rumus dari odds ratio (OR) adalah: =
(1)/[1 − (1)] (0)/[1 − (0)] 44
Secara umum, apabila ada dua nilai variabel bebas yaitu x = a dan x = b, maka perbedaan antara estimasi logits yang dihitung pada dua nilai tersebut adalah: ln [
=
( , )] = ( +
=
∗
= )−
∗(
−
−
(
+
=
∗
)
)
Estimasi dari rasio odds diperoleh dari mengeksponensialkan perbedaan estimasi logits di atas. ( , ) = exp [
∗(
− )]
Rumus di atas menunjukkan hubungan antara estimasi rasio odds dengan estimasi koefisien variabel bebas. Adapun rumus umum estimasi rasio odds pada asalnya adalah ( (
( , )=
( )/[1 − ( )/[1 −
= =
= )] = )]
Estimasi odds ratio selang kepercayaan 100*(1-α)% diperoleh dengan menghitung titik-titik ujung (endpoints) dari suatu selang kepercayaan untuk koefisien ( ), kemudian mengeksponensialkan nilai tersebut. Pada variabel bebas kategorik baik dikotomos atau polikotomos, rumus endpoints: exp
±
∗
±
∗
Sedangkan rumus umum endpoints pada variabel bebas kontinu, adalah exp
Dengan c menyatakan besarnya unit perubahan pada variabel bebas kontinu (Hosmer dan Lemeshow, 2000). Ada beberapa kemungkinan jenis variabel bebas (penjelas) yang ada pada model. Variabel penjelas bisa berupa variabel yang bersifat dikotomos, kategorik, kontinu, atau kombinasi dari dua atau tiga jenis tersebut. Ada cara tersendiri untuk menginterpretasikan koefisien pada masing-masing jenis variabel bebas tersebut. 4.7
Definisi Operasional Penjelasan mengenai definisi dan batasan istilah dan variabel dalam
penelitian dijelaskan melalui definisi operasional berikut: 45
1) Kredit sapi perah sistem bergulir adalah pinjaman yang diberikan berupa pedet sapi jantan maupun betina berusia enam bulan dengan pengembalian berupa dua keturunan pertama baik jantan maupu betina untuk digulirkan kembali kepada peternak lain. 2) Gaduhan adalah sistem begi hasil dengan memberikan pokok atau modal dari seseorang kepada orang lain untuk diusahakan atau dipelihara dan pembagian keuntungan serta mekanisme pelaksanaannya tergantung pada persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak. 3) Peternak aktif adalah peternak sapi perah anggota koperasi yang aktif menjual susunya kepada koperasi secara kontinyu. 4) Calon anggota adalah peternak yang berminat menjadi anggota KPGS dengan mendaftarkan diri ke KPGS dan menjalankan usahaternak sapi perah namun belum pernah melakukan penyetoran susu kepada KPGS. 5) Satuan Ternak (ST) adalah satuan yang digunakan untuk menetukan populasi ternak sapi perah dimana satu ST setara dengan satu ekor sapi dewasa atau setara dua ekor sapi dara atau jantan muda atau setara empat ekor pedet. 6) Usia adalah usia responden pada tahun 2008. 7) Pendidikan adalah lama pendidikan formal yang ditempuh responden sampai tahun 2008. 8) Pengalaman adalah pengalaman responden dalam berusahaternak baik usahaternak milik sendiri maupun membantu usahaternak pihak lain. 9) Skala usaha adalah jumlah sapi perah yang dipelihara dalam satuan ternak. 10) Luas lahan hijauan adalah luas lahan yang khusus digunakan untuk penanaman pakan hijauan sapi perah pada tahun 2008. 11) Jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah merupakan jumlah kandang yang dapat disiapkan responden untuk penambahan skala usaha baik berupa kandang kosong yang tidak digunakan maupun pembangunan kandang baru. 12) Pendapatan rumah tangga dalah pendapatan total antara pendapatan usahaternak dengan pendapatan non usahaternak dalam satu rumah tangga 13) Kemampuan peternak dalam pengadaan modal sapi perah sendiri merupakan keadaan peternak yang mengadakan modal sapi perah dengan modal sendiri atau keadaan peternak selain mengadakan modal sapi perah dengan modal sendiri. 46
V GAMBARAN UMUM KOPERASI PETERNAK GARUT SELATAN 5.1 Sejarah Koperasi Peternak Garut Selatan Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS) merupakan koperasi peternak sapi perah yang berada di Kecamatan Cikajang. Pembentukan KPGS pada awalnya dimaksudkan sebagai penggabungan dari Koperasi Pertanian (Koperta) Desa Cikajang, Desa Cikandang, dan Desa Cigedug pada tanggal 29 Juli 1974 dengan nama KUD Cikajang I dan memperoleh badan hukum Nomor 6093/BH/DK.10/22 tanggal 21 Desember 1974. Perkembangan selanjutnya sejalan dengan kebijakan pemerintah melalui kredit program sapi perah pada tahun 1979, KUD Cikajang I merupakan KUD pertama di Garut yang menangani usaha susu sapi. Sejalan dengan perkembangan usaha sapi perah, jumlah anggota, dan pelayanan kepada anggota maka KUD Cikajang I melalui rapat anggotanya memandang perlu untuk mengadakan perubahan anggaran dasar pada tanggal 28 April 2005 dengan badan hukum 6093/BH/PAD/KWK.10/VII/1996 tanggal 17 Juli 1996 maka nama koperasi menjadi Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS). Perubahan nama menjadi KPGS dimaksudkan untuk tidak membatasi wilayah kerja koperasi hanya pada suatu kecamatan tertentu. Wilayah kerja KPGS berada di Kabupaten Garut bagian Selatan yang memiliki potensi dalam pengembangan peternakan sapi perah. Potensi Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat dari ketersediaan lahan yang belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga dapat dimanfaatkan sebagai lahan pakan hijauan yang sangat dibutuhkan dalam peternakan sapi perah oleh penduduk. 5.2 Bidang Usaha Koperasi Peternak Garut Selatan Berbagai bidang usaha dikelola oleh KPGS. Bidang usaha tersebut antara lain, usaha pengolahan susu sapi, produksi makanan ternak, penyaluran simpan pinjam kepada anggota, pengeloaan warung serba ada, produksi susu pasteurisasi, penyaluran Kredit Usaha Tani, penyaluran kredit usaha pangan, penyewaan gedung perkantoran dan gedung serbaguna, serta pengelolaan sapi bantuan Mennegkop dan UKM RI TA 2002.
5.2.1 Usaha Pengolahan Susu Usaha pengolahan susu merupakan unit usaha utama yang dimiliki KPGS. Usaha pengolahan susu membutuhkan pasokan susu dari peternak anggota KPGS. Susu hasil usaha peternak anggota wajib disetorkan kepada KPGS untuk kemudian dijual kepada Industri Pengolahan susu (IPS) sebesar 99,93 persen, pembeli non IPS yaitu pedagang pangan berbahan dasar susu dan konsumen akhir sebesar 0,06 persen serta konsumen akhir dalam bentuk susu pasteurisasi sebesar 0,01 persen. Usaha pasteurisasi susu dilakukan dengan memproduksi susu siap konsumsi dalam kemasan plastik dengan kemasan 1000 ml, 500ml dan 240 ml. Susu pasteurisasi masih mengalami kendala karena belum dilakukannya perluasan pasar. Wilayah pemasaran susu pasteurisasi KPGS masih terbatas di Kabupaten Garut. 5.2.1.1 Distribusi Susu Jalur pemasaran yang terdapat di KPGS adalah sebagai berikut: 1) Peternak – KPGS – Industri Pengolahan Susu (IPS) 2) Peternak – KPGS – pedagang pangan berbahan dasar susu 3) Peternak – KPGS – konsumen akhir Sistem pendistribusian susu dari peternak kepada koperasi dilakukan pada waktu-waktu tertentu untuk mengumpulkan susu dari para peternak di tempat penampungan susu (TPS). Satu TPS disediakan untuk setiap satu kelompok peternak di setiap wilayah yang berada di sekitar peternakan. Pengumpulan susu segar dilakukan langsung dari para peternak yang menyerahkan susu kepada koperasi antara pukul 06.00-07.00 WIB dan 16.00-17.00 WIB di TPS dengan menggunakan armada truk setiap hari. Truk susu ini dilengkapi dengan drumdrum plastik yang berfungsi untuk menampung susu yang dihasilkan oleh peternak untuk TPS yang berada tidak terlalu jauh dengan KPGS. Sedangkan untuk TPS yang berada cukup jauh dengan KPGS, truk yang digunakan untuk mengangkut susu merupakan truk yang dilengkapi dengan tanki pendingin khusus untuk menjaga suhu dan kualitas susu. 48
Sebelum diangkut, pada saat pengumpulan dan penampungan susu di TPS petugas KPGS melakukan uji alkohol dengan alkohol 73 persen dan uji organoleptik, yaitu uji rasa, warna, bau, dan kekentalan susu. Susu yang diterima KPGS harus melewati uji-uji tersebut yang menyatakan bahwa susu tidak dalam keadaan rusak dan memiliki rasa yang gurih, warna putih kekuning-kuningan, bau yang sedikit lebih amis, dan tanpa penambahan zat cairan lain. Pada tahap pengujian di tingkat peternak, masih terdapat oknum peternak yang mencampur susu dengan bahan lain sehingga dapat merusak kualitas susu untuk menambah kuantitas susu. Berdasarkan penuturan petugas penguji kualitas dan kuantitas susu di TPS, oknum peternak yang diduga mencampur sebenarnya sudah dicurigai namun sebelum ada bukti yang kuat pihak KPGS hanya akan memasukkan peternak tersebut ke dalam daftar peternak yang tidak akan menerima bantuan program maupun bantua kredit dari koperasi. Sebelum dipasarkan ke IPS, susu yang telah ditampung di TPS-TPS dan telah melalui uji alkohol dan uji organoleptik terlebih dahulu dibawa ke KPGS untuk selanjutnya dipindahkan ke chilling unit kemudian dilanjutkan dengan uji berat jenis dan uji kadar lemak yang dilakukan di labolatorium KPGS. Setelah susu melalui proses pendinginan, KPGS mendistribusikan susu segar tersebut kepada industri pengolahan susu. Sedangkan susu pasteurisasi diolah dengan mesin pasteurisasi dari hasil susu yang telah melalui proses pendinginan. Industri Pengolahan Susu (IPS) yang menjadi mitra KPGS antara lain PT Indomilk, PT Indolacto, PT Ultrajaya Milk Industry Tbk, PT Danone. Apabila kualitas susu yang diterima di atas standar kualitas yang ditentukan, IPS akan memberikan bonus. Sebaliknya apabila kualitas susu di bawah standar, IPS akan memberikan sanksi berupa penurunan harga. 5.2.1.2 Penentuan Harga Susu Harga susu sangat ditentukan oleh kualitas susu yang dihasilkan. Kualitas susu ditentukan dengan besarnya berat jenis susu, kandungan lemak dan kandungan TC yang mengindikasikan kandungan bakteri dalam susu. Berat jenis susu yang semakin besar, kandungan lemak yang semakin besar dan angka TC yang semakin kecil menggambarkan kualitas susu yang semakin baik. 49
Harga susu yang diterima oleh peternak ditentukan berdasarkan kualitas yang ditetapkan oleh KPGS. Harga yang diterima peternak ditetapkan sama untuk seluruh peternak dalam satu kelompok ternak. Penentuan harga dilakukan berdasarkan hasil rata-rata kualitas susu peternak yang dilakukan setiap pengambilan susu di TPS oleh petugas KPGS. Perubahan harga susu dilakukan setiap bulan untuk setiap kelompok ternak mengikuti kualitas dan standar harga susu berdasarkan kualitas yang berlaku di pasar. Fluktuasi harga susu internasional dan nasional sangat mempengaruhi perubahan harga susu di tingkat peternak karena koperasi bersaing dengan susu impor dalam pemenuhan kebutuhan susu di IPS. 5.2.2 Usaha Makanan Ternak Usaha makanan ternak KPGS berupa pakan konsentrat selama tahun 2007 dan 2008 mengalami kerugian akibat kenaikan harga bahan baku yang tidak diimbangi dengan kenaikan harga jual. KPGS melakukan kebijakan dengan memberi subsidi pada harga makanan ternak yang menjadi pengeluaran tunai terbesar dalam usahaternak sapi perah. Kebijakan subsidi dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada anggota karena makanan ternak sejenis di pasaran memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan harga di KPGS. 5.2.3. Usaha Simpan Pinjam Usaha simpan pinjam KPGS memberikan layanan simpan pinjam bagi para anggota dan karyawan KPGS. Awalnya, Unit Simpan Pinjam ini ditujukan hanya untuk para karyawan yang memungkinkan para karyawan memperoleh uang tunai pada saat dibutuhkan. Pada perkembangan selanjutnya, unit ini diberlakukan juga bagi para anggota koperasi yang merupakan para peternak sapi perah. Jumlah maksimum yang dapat dipinjam oleh anggota adalah sebesar Rp.3.000.000,00, sedangkan jumlah maksimum yang dapat dipinjam oleh para karyawan adalah sebesar Rp.15.000.000,00. Usaha simpan pinjam tidak dimaksudkan sebagai usaha permodalan karena jumlah maksimum pinjaman sebesar Rp.3.000.000,00 jauh dari cukup untuk membeli seekor sapi dewasa seharga Rp.12.000.000,00. Bunga pinjaman pada unit simpan pinjam ini ditetapkan sebesar dua persen. Pengembalian pinjaman para anggota diambil dari 50
hasil penjualan susu kepada koperasi yang kemudian dipotong sesuai besar angsuran yang telah disepakati bersama. Sedangkan pengembalian pinjaman para karyawan dipotong dari gaji karyawan. 5.2.4 Usaha Warung Serba Ada Usaha warung serba ada (waserda) dijalankan dengan menjual barangbarang kebutuhan sehari-hari bagi peternak juga karyawan. Berdasarkan laporan pertanggungjawaban pengurus dan pengawas tahun buku 2008, usaha waserda KPGS berjalan dengan baik dengan pencapaian keuntungan yang melebihi target perencanaan tahun 2007. 5.2.5 Penyaluran Kredit Usaha Tani dan Kredit Usaha Pangan Selain mengelola bidang persusuan, KPGS juga menjalankan fungsi membantu program pemerintah dalam penyaluran dan pengembalian Kredit Usaha Tani (KUT) dan Kredit Usaha Pangan. Kedua program pemerintah ini berjalan dengan tidak baik karena sulitnya nasabah membayar angsuran maupun pelunasan kredit sehingga menjadi beban moril dan materiil bagi KPGS. 5.2.6 Usaha Penyewaan Gedung Usaha baru juga dimiliki KPGS dengan selesainya pembangunan gedung perkantoran yang dilengkapi dengan gedung olahraga dan gedung pertemuan. Gedung perkantoran baru tersebut selain digunakan sebagai kantor KPGS juga disewakan bersama dengan gedung pertemuan dan gedung olahraga yang dapat menjadi pemasukan bagi KPGS. 5.3 Keanggotaan dan Wilayah Kerja Koperasi Peternak Garut Selatan Kedudukan anggota dalam suatu koperasi memiliki peran yang sangat penting. Anggota Koperasi Peternak Garut Selatan juga memiliki peran yang sangat penting yaitu sebagai pemilik dan pengguna koperasi. Sebagai koperasi yang tidak membatasi wilayah pada kecamatan tertentu, KPGS memiliki wilayah kerja yang tersebar di beberapa kecamatan. Wilayah kerja KPGS berada di Garut Selatan
yaitu
Kecamatan
Cikajang,
Cisurupan,
Pamulihan,
Pakenjeng,
Banjarwangi, Cihurip, Singajaya, Peundeuy dan Cisompet. Belum seluruh kecamatan ditangani oleh KPGS, namun untuk persiapan pengembangan usaha 51
KPGS selanjutnya kedelapan kecamatan perlu mendapatkan perhatian khususnya mengenai perkoperasian dan teknolohgi serta manajemen sapi perah. Seluruh anggota KPGS berjumlah 6445 orang pada tahun 2008 dengan komposisi peternak sapi perah aktif sebanyak 1900 orang. Selain anggota, KPGS juga memiliki calon anggota. Keanggotaan peternak KPGS dimulai sejak peternak menyetorkan susu hasil usahaternak sapi perah yag dimiliki kepada KPGS. Sedangkan calon anggota adalah pihak yang berminat menjadi anggota KPGS dan sudah terdaftar di KPGS namun usahaternak sapi perah yang dijalani belum menghasilkan susu untuk disetorkan kepada KPGS. Seluruh anggota dan calon anggota KPGS tersebar di 30 kelompok ternak pada tahun 2008. Setiap kelompok ternak memiliki seorang ketua kelompok. Peran ketua kelompok sangat penting baik bagi para peternak maupun bagi KPGS. Ketua kelompok yang berkompeten berusaha meningkatkan kualitas yang akan berimplikasi terhadap harga susu kelompok dengan memotivasi peternak anggota untuk menjalankan usahaternak sapi perah sesuai saran yang diberikan KPGS maupun UPTD Peternakan. Ketua kelompok juga memiliki tanggung jawab dalam pengambilan dan pembagian pakan konsentrat dari KPGS kepada peternak anggota serta bertanggungjawab terhadap pembagian gaji peternak sesuai slip gaji yang diberikan KPGS. Selain itu, ketua kelompok bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi peternak yang berhak menerima bantuan program dan kredit baik kredit simpan pinjam maupun kredit pengadaan sapi perah. 5.4 Populasi Sapi Perah Koperasi Peternak Garut Selatan Populasi sapi perah yang dimiliki anggota KPGS terdiri dari laktasi bunting, laktasi kosong, kering kandang, dara bunting, sapi muda jantan, sapi muda betina, anak jantan dan anak betina. Jumlah populasi yang dimiliki anggota KPGS pada tahun 2008 adalah 5057 ekor sapi perah. Komposisi sapi perah anggota KPGS dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 menunjukkan jumlah sapi perah terbesar (54,82 persen) merupakan sapi perah betina yang berada pada kelompok umur dewasa. Sapi perah yang dikategorikan dalam kelompok umur anak adalah pedet sapi perah dengan umur 0-11 bulan. Kelompok umur sapi muda dibatasi pada sapi perah dengan umur 12-18 bulan. Sapi perah dalam kelompok umur dewasa merupakan sapi perah dengan umur lebih dari 18 tahun .
52
Tabel 6. Struktur Populasi Sapi Perah KPGS Desember 2008 Jenis Sapi Perah
Kelompok Umur
Jumlah (ekor)
Persentase (%)
Betina
Dewasa
2275
54,82
Muda
1063
21,02
Anak
670
13,25
Dewasa
0
0
Muda
198
3,92
Anak
354
7
5057
100
Jantan
Jumlah Total
Sumber: Koperasi Peternak Garut Selatan (2008), diolah
5.5 Sejarah Perkreditan Sapi Perah Koperasi Peternak Garut Selatan Koperasi Peternak Garut Selatan sudah menyalurkan kredit pengadaan sapi perah dari berbagai pihak sejak mulai bergerak di bidang persusuan tahun 1979. Seluruh kredit berasal dari modal pihak ketiga yaitu berbagai pinjaman Bank dan bantuan pemerintah. Penyaluran kredit sapi perah pertama yang diadakan KPGS adalah kredit Bank Rakyat Indonesia (BRI) tahap I pada tahun 1979. Keberhasilan program tahap I dengan dukungan penuh pemerintah menjadikan KPGS pelopor koperasi peternak sapi perah di Kabupaten Garut menjadikan kredit BRI tahap I berlanjut menjadi kredit BRI tahap II, tahap III, tahap IV dan Tahap VI sejak tahun 1979 sampai 1985. Sapi perah yang berhasil disalurkan melalui kredit BRI tahap I sampai V sejumlah 85 ekor. Setelah berhasil menyalurkan kredit BRI tahap I sampai V, KPGS menyalurkan kredit sapi perah lanjutan dari BRI dari Bank Bukopin. Penamaan tahapan kredit melanjutkan tahapan yang telah dilakukan pada kredit BRI sehingga diberi nama kredit Bukopin tahap VI, tahap VII, tahap VIII pada tahun 1987, 1988 dan 1989. Sapi perah yang berhasil disalurkan melalui kredit Bukopin tahap VI sampai VIII berjumlah 350 ekor. BRI kembali menyalurkan kredit yang disebut dengan kredir BRI tahap IX yang diberikan pada tahun 1999. Sapi perah yang berhasil disalurkan melalui kredit BRI tahap IX sejumlah 200 ekor. Selain BRI dan Bukopin, terdapat lembaga perbankan swasta yang tertarik menyalurkan kredit kepada peternak sapi perah melalui KPGS. Lembaga 53
perbankan swasta yang berpusat di Bandung yaitu Bank Arthos Indonesia (BAI) menyalurkan kredit pengadaan sapi perah melaui KPGS yang diberi nama kredit BAI tahap X sampai XIII pada tahun 1999 sampai 2007. Sapi perah yang berhasil disalurkan melalui kredit BAI tahap X sampai XIII sejumlah 754 ekor. Bunga pinjaman yang berlaku dari berbagai program kredit bank tahun 1979 sampai 2007 besarnya sama yaitu 1,33 persen dari besarnya pinjaman setiap bulan. Pada umumnya peternak mengambil kredit dengan periode waktu pelunasan selama empat sampai lima tahun. Sistem bunga yang berlaku pada kredit pinjaman bank belum dipahami dengan baik oleh seluruh peternak pengambil kredit sehingga masih terdapat peternak yang kecewa pendapatan susu yang diperoleh terus menerus dipotong. Seharusnya pihak bank dan koperasi sebagai penyalur kredit memberikan pemahaman yang mendalam tentang sistem bunga dan pelunasan yang akan disepakati oleh peternak agar tidak terjadi kecurigaan terhadap pengembalian kredit dari peternak. Prestasi koperasi yang terus meningkat menyebabkan KPGS mendapatkan kepercayaan berupa bantuan pengadaan sapi perah dari pemerintah. KPGS mendapatkan bantuan berupa 150 ekor sapi perah dewasa pada tahap I tahun 2002 dan 75 ekor sapi perah
pada tahap II tahun 2009 dari pemerintah melalui
Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia (Kemennegkop UKM RI). 5.6 Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Koperasi Peternak Garut Selatan mendapatkan bantuan 150 ekor sapi perah impor jenis Fries Holland (FH) berdasarkan surat Keputusan Kementerian Negara Koperasi dan UKM RI Nomor: 103/Kep/M.KUKM/X/2002 tentang Pedoman Teknis bantuan Perkuatan Berupa Dana Bergulir untuk Pengadaan sapi perah (Impor dan Lokal) pada November 2002. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan Kemenkop UKM RI, pengelolaan sapi perah bantuan harus dilaksanakan secara koloni dan dapat dikolonikan baik di tingkat Koperasi maupun di tingkat kelompok ternak. Pada tahun 2002, KPGS memutuskan pengelolaan sapi koloni dilakukan dengan pembuatan kandang tunggal untuk
54
menampung seluruh sapi bantuan dengan maksud koperasi lebih mampu mengontrol manajemen dan pelaksanaan usahaternak. Sapi perah bantuan Kemenneg UKM RI tahun anggaran 2002 dalam kandang tunggal dikelola oleh petugas khusus dari KPGS. Letak kandang yang tidak berdekatan dengan tempat tinggal petugas menjadi salah satu penyebab kegagalan sistem pemeliharaan kandang tunggal karena keadaan sapi perah tidak mendapatkan perhatian penuh seperti pada sapi perah yang dipelihara peternak KPGS. Peternak KPGS pada umumnya memelihara sapi perah dalam kandang yang terletak tidak jauh dari rumah peternak tersebut. Selain itu, pengelolaan sapi perah dalam skala besar ternyata belum mampu dilaksanakan dengan baik oleh KPGS. Skala usaha sapi perah yang optimal adalah 10-12 ekor sapi perah per peternak³. Pengelolaan sapi bantuan dalam satu kandang tunggal ternyata menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi KPGS. Kerugian yang dialami KPGS adalah besarnya biaya dalam pemberian pakan konsentrat yang tidak seimbang dengan penerimaan penjualan susu. Selain itu, kurangnya pengawasan terhadap kesehatan ternak dalam kandang tunggal mengakibatkan 22 ekor sapi bantuan mati. Kematian 22 ekor sapi sangat merugikan dan dikhawatirkan jumlah kematian sapi bantuan akan terus bertambah jika tidak dilakukan perubahan sistem pemeliharaan. Pengurus, tim manajemen, ketua kelompok dan perwakilan anggota dan perwakilan Kemenkop UKM RI mengadakan rapat untuk menindaklanjuti pengelolaan sapi perah bantuan agar tidak terus mengalami kerugian. Hasil rapat akhirnya memutuskan bahwa sapi perah bantuan dibagikan kepada anggota yang memenuhi syarat sebagai titipan untuk dikelola sesuai kesepakatan. Sesuai keputusan rapat, KPGS membagikan 128 ekor sapi perah kepada 82 anggota koperasi yang memenuhi syarat pada tanggal 18 Februari 2004 di kandang koloni.
³ [Bapennas] Badan Perencanaan Nasional. 2008. Model Integrasi Vertikal Usaha Mikro/ Kecil melaui Koperasi di Sektor Agribisnis/ Agroindustri. Info Kajian Bapennas Vol. 5 No. 2 Desember 2008.
55
Syarat ditetapkan KPGS bagi penerima sapi perah titipan ini adalah kepemilikan agunan yang mampu disediakan oleh anggota untuk mengurangi risiko kerugian yang lebih besar bagi koperasi. Peternak yang menerima sapi perah bantuan dengan agunan memiliki kewajiban memberikan pengembalian berupa dua ekor pedet pertama yang dilahirkan baik jantan maupun betina kepada KPGS. Pedet yang harus dikembalikan kepada KPGS harus memenuhi persyaratan usia dan ukuran lingkar dada. Pedet yang wajib dikembalikan kepada KPGS harus sudah berusia lebih dari enam bulan dengan ukuran lingkar dada minimal 110 centimeter. Pengembalian pedet dari para peternak anggota yang menerima pinjaman pengadaan sapi perah pada tanggal 18 Pebruari 2004 digulirkan lagi kepada anggota KPGS dan pengembalian berikutnya akan digulirkan kembali sehingga disebut dengan kredit sapi perah sistem bergulir. Penerima pinjaman sapi perah pada tanggal 18 Februari dengan agunan belum disebut pengambil kredit sapi perah sistem bergulir, walaupun pedet yang dikembalikan merupakan sapi perah perguliran tahap I. 5.6.1 Persyaratan Pengajuan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Persyaratan penerimaan kredit sistem bergulir berbeda dengan persyaratan penerimaan sapi perah yang dibagikan pada saat pembubaran pengelolaan sapi sistem koloni. Penerima kredit sistem bergulir tidak perlu mengajukan agunan kepada KPGS. Persyaratan pengajuan kredit sapi perah sistem bergulir adalah: 1) Mengajukan surat permohonan yang ditandatangani oleh ketua kelompok 2) Melampirkan fotokopi kartu anggota Koperasi Peternak Garut Selatan bagi anggota atau fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi calon anggota 3) Melampirkan fotokopi bukti setoran susu selama dua bulan terakhir dari masa pengajuan bagi anggota 4) Memiliki kandang kosong untuk tiga ekor sapi 5) Memiliki lahan penanaman pakan hijauan Persyaratan yang diajukan KPGS memungkinkan calon anggota yang belum pernah menghasilkan susu dari usahaternak sapi perah untuk mengajukan dan mendapatkan kredit sapi perah sistem bergulir. Sebelas orang calon anggota 56
telah mengambil kredit sapi perah sistem bergulir pada perguliran tahap XI yang diadakan pada Pebruari 2009. Pelampiran bukti setoran susu dimaksudkan untuk membuktikan bahwa peternak yang mengajukan kredit memang peternak aktif. Persyaratan peternak untuk menyediakan kandang kosong yang dapat digunakan untuk tiga ekor sapi dimaksudkan agar pemeliharaan sapi perah tidak keluar dari peraturan awal pemberian bantuan yaitu pemeliharaan secara koloni. Sapi perah hasil pengajuan kredit sistem bergulir wajib diusahakan dalam kandang berkelompok yang disebut dengan kandang koloni. Peternak yang ingin mengajukan kredit sistem bergulir juga harus memiliki lahan hijauan untuk menjaga keberlangsungan usahaternak sapi perah dan pengembalian pedet kepada KPGS karena pakan hijauan merupakan salah satu komponen penting dalam usahaternak sapi perah. Selain itu, KPGS juga memiliki catatan tersendiri terhadap peternak yang diduga sering bertindak tidak jujur dengan mencampurkan komponen selain susu pada susu yang disetorkan sehingga volume besar namun kualitas susu buruk bahkan merusak kualitas susu peternak lain yang ikut tercampur. Peternak yang dianggap bermasalah maupun sering melakukan pencampuran susu tidak akan diberikan kredit. Penilaian untuk calon anggota dilakukan dengan meminta surat rekomendasi kelakuan baik dari tokoh masyarakat, ketua RW, ketua RT dan bahkan rekomendasi lisan dari orang terpercaya dapat menjadi pertimbangan. 5.6.2 Skema Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Koperasi Peternak Garut Selatan berusaha mengamankan keberadaan dan keberlanjutan sapi perah bantuan Kemenkop UKM RI dengan menggulirkan keturunan sapi tersebut kepada peternak. Pengguliran selain dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup sapi dan keturunannya juga diharapkan dapat membantu peternak yang mengalami kesulitan permodalan pengadaan sapi perah. Skema yang ditawarkan dalam kredit sapi perah sistem bergulir diharapkan dapat menarik minat peternak karena tidak mengharuskan pembayaran dalam bentuk uang tunai. Skema yang dijalankan dalam kredit sapi perah sistem bergulir adalah:
57
1) Peternak penerima kredit mendapat pinjaman berupa satu ekor bibit sapi perah baik jantan maupun betina dengan umur minimal enam bulan dan lingkar dada 110 centimeter. 2) Penerima kredit yang mendapatkan pedet jantan tetap menjalankan usahaternak sapi perah dengan
menukarkan ternak jantan yang diterima
menjadi ternak betina dengan sepengetahuan petugas yang ditunjuk KPGS. 3) Peternak penerima kredit diwajibkan melakukan pengembalian dalam bentuk dua ekor pedet keturunan pertama baik jantan maupun betina dengan umur minimal enam bulan dan memiliki lingkar dada 110 centimeter. 4) Peternak penerima kredit harus sudah melakukan pengambalian dua ekor pedet dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 tahun setelah surat perjanjian antara penerima kredit dan KPGS sebagai penyelenggara kredit ditandatangani. Bantuan sapi perah yang diberikan Kemennegkop UKM RI yang kemudian diusahakan menjadi kredit sapi perah sistem bergulir oleh KPGS merupakan bantuan berupa hibah. KPGS tidak memiliki kewajiban melakukan pengembalian dalam bentuk sapi perah maupun dalam bentuk uang. Kewajiban yang dimiliki KPGS dengan adanya bantuan yang diberikan adalah pelaporan tertulis tentang keadaan dan perkembangan bantuan sapi perah yang telah diberikan setiap tahun. Walaupun bantuan yang diberikan berupa hibah, KPGS berusaha agar sapi bantuan dapat terus diusahakan untuk menambah kesejahteraan anggota dan menambah keuntungan koperasi. Oleh karena itu, KPGS menetapkan aturan yang cukup keras dalam pemberian kredit. Peternak diwajibkan menandatangani surat perjanjian pemeliharaan sapi perah impor bantuan Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia antara peternak, pengurus KPGS dan saksi. Peternak kredit yang telah menandatangani surat perjanjian memiliki hak dan kewajiban yang harus dipatuhi. 5.6.3 Status Kepemilikan Sapi Perah Kredit sapi perah sistem bergulir mreupakan kredit dengan bantuan dana dari pemerintah. Mekanisme kredit sapi perah sistem bergulir menetapkan 58
kejelasan status kepemilikan sapi perah untuk menjaga keberlangsungan perguliran. Status kepemilikan sapi perah yang berlaku dala kredit sapi perah sistem bergulir adalah: 1) Sapi perah bantuan Kemenkop dan UKM RI dan dua ekor turunan pertama dari ternak perguliran adalah milik negara yang dalam hal pengelolaannya dititipkan kepada peternak melalui KPGS 2) Sapi perah bantuan Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI menjadi hak milik peternak apabila telah memenuhi kewajiban pebngembalian dua ekor keturunan dengan kriteria yang telah ditetapkan 3) KPGS berwenang mencabut dan memindahkan hak pengelolaan dari peternak apabila menurut pengamatan dan penilaian dianggap tidak memenuhi standar teknis pemeliharaan yang baik dan atau melanggar ketentuan dan aturan yang disepakati.
59
VI FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETERNAK DALAM PENGAMBILAN KREDIT SAPI PERAH SISTEM BERGULIR 6.1 Karakterisitik Responden Karakteristik responden pada penelitian terdiri dari karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik usahaternak. Karakteristik sosial ekonomi peternak terdiri dari usia, pendidikan, pekerjaan utama, pengalaman, skala usahaternak, pendapatan rumah tangga, luas lahan hijauan, partisipasi peternak dalam pertemuan kelompok, dan pengetahuan informasi kredit sistem bergulir. Karakteristik usahaternak terdiri dari produktivitas sapi perah, komposisi sapi perah, perkandangan dan perlengkapan, pemberian pakan, waktu pemerahan dan sistem pemerahan. Sebanyak 60 responden yang mewakili seluruh peternak KPGS terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok penerima kredit sapi perah sistem bergulir sejumlah 26 peternak dan kelompok non penerima kredit sapi perah sistem bergulir sejumlah 34 peternak. 6.1.1 Karakteristik Sosial Ekonomi 6.1.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Rogers (1995) menyatakan bahwa usia dibagi ke dalam empat kategori yaitu remaja (13-18 tahun), dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun) dan dewasa akhir (lebih dari 60 tahun). Berdasarkan hasil lapang, KPGS memiliki anggota peternak dengan beragam tingkatan usia. Tabel 7. Sebaran Jumlah dan Persentase responden Berdasarkan Usia Variabel
Jumlah
Persentase
Usia
(orang)
(%)
13-18 tahun
1
1,67
18-40 tahun
28
46,67
40-60 tahun
26
43,33
5
8,33
60
100,00
>60 tahun Total
Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar (46,67 persen) responden yang mewakili peternak anggota KPGS berada dalam kategori dewasa awal. Besarnya peternak yang berada pada kategori dewasa awal dapat menunjukkan
bahwa usahatani sapi perah masih diminati oleh generasi muda yang produktif. Kategori usia terbesar kedua yaitu dewasa madya yang hanya memiliki perbedaan sebesar 3,34 persen dengan peternak pada kategori dewasa awal. Sedangkan pada kategori dewasa akhir, hanya terdapat lima peternak (8,33 persen) yang melakukan usahaternak sapi perah. Kecilnya jumlah peternak yang berada pada usia dewasa akhir dikarenakan besarnya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usahaternak sapi perah terutama dalam tenaga kerja pencarian pakan hijauan. 6.1.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Pemanfaatan fasilitas kredit di pedesaan memiliki keterkaitan dengan pendidikan. Pendidikan yang digunakan sebagai indikator karakteristik responden adalah pendidikan formal yang didapat dalam sekolah. Hasil lapang menunjukkan bahwa peternak responden memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah dengan tingkatan pendidikan tertinggi adalah menjalani pendidikan formal hingga lulus SMP (23,33 persen). Sedangkan tingkat pendidikan dengan jumlah peternak paling besar (53, 33 persen) berada pada tingkat pendidikan lulus SD. Responden dengan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi bahkan SMA tidak didapatkan dalam penelitian ini. Tabel 8. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan Variabel
Jumlah
Persentase
Pendidikan
(orang)
(%)
Tidak Sekolah
1
1,67
Tidak Lulus SD
14
23,33
Lulus SD (6 tahun)
32
53,33
Lulus SMP (9 tahun)
13
21,67
Total
60
100,00
Rendahnya pendidikan di lokasi penelitian disebabkan oleh minimnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan. Bahkan berdasarkan keterangan peternak responden pada saat wawancara, masih terdapat generasi anak peternak yang berada dalam usia wajib belajar namun tidak melanjutkan pendidikan pada tingkat pendidikan setelah SD. 61
6.1.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama Pekerjaan responden pada umumnya masih berada dalam batasan dunia pertanian. Hanya terdapat dua orang dari 60 responden yang memiliki pekerjaan utama tidak berhubungan dengan pertanian yaitu pekerja swasta di bengkel motor dan buruh bangunan. Sedangkan pekerjaan utama responden yang lain masih berada dalam batasan dunia pertanian seperti peternak, petani, buruh angkut sayur, pedagang produk pertanian dan pegawai swasta tester kualitas dan kuantitas susu KPGS. Tabel 9. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama Pekerjaan Utama Peternak Petani Buruh Angkut Sayur Buruh Bangunan Pedagang Swasta Total
Jumlah (orang)
Persentase (%) 36 12 5 1 4 2 60
60,00 20,00 8,33 1,67 6,67 3,33 100,00
Pekerjaan utama ditentukan dengan pendekatan tenaga kerja maupun waktu terbesar yang diluangkan oleh seseorang dalam bekerja untuk memperoleh pendapatan baik dalam bentuk uang maupun bentuk pendapatan lain seperti hasil pertanian maupun hasil peternakan. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar (60,00 persen) responden menjadikan usahaternak sapi perah sebagai pekerjaan utama. Sedangkan responden yang menjadikan usahaternak sapi perah sebagai pekerjaan tambahan yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani hanya sebesar 20,00 persen dan pekerjaan lain sebesar 20,00 persen. Besarnya persentase yang menjadikan usahaternak sapi perah dijadikan mata pencaharian utama dikarenakan kontinuitas penerimaan tunai didapatkan peternak setiap bulan ketika sapi perah dalam masa laktasi.
62
6.1.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Pengalaman beternak sapi perah merupakan akumulasi dari proses belajar yang dialami oleh peternak. Selain mendapatkan pengalaman beternak sapi perah dengan berusahaternak sendiri, peternak juga mendapatkan pengalaman sejak membantu orangtua maupun keluarga yang memiliki usahaternak. Pengalaman memiliki peran penting dalam kegiatan usahaternak. Peternak yang memiliki pengalaman lebih menguasai teknis kegiatan usahatani. Namun, pengalaman yang diberikan secara turun temurun dapat menyebabkan sulitnya pernerimaan terhadap perubahan pada usahaternak yang dijalankan. Tabel 10. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Variabel
Jumlah
Persentase
Pengalaman
(orang)
(%)
0- 10 tahun
28
46,67
10-20 tahun
17
28,33
20-30 tahun
12
20,00
30-40 tahun
3
5,00
60
100,00
Total
Tabel 10 menunjukkan bahwa peternak dengan pengalaman 0-10 tahun memiliki proporsi paling besar yaitu 46,67 persen. Besarnya proporsi peternak dengan pengalaman dibawah sepuluh tahun menunjukkan minat peternak pemula untuk mulai menjalankan usahaternak sapi perah. Sedangkan peternak dengan pengalaman 30-40 tahun memiliki proporsi paling rendah (5,00 persen) dikarenakan peternak yang memiliki pengalaman 30-40 tahun pada umumnya sudah memasuki usia dewasa akhir. 6.1.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Skala Usaha Skala usaha dalam penelitian menggunakan satuan Satuan Ternak (ST). Dalam dunia peternakan sering digunakan satuan ST dengan pertimbangan satuan ini lebih menggambarkan keadaan usahaternak responden. Rogers (1995) menyatakan bahwa petani yang memiliki unit pertanian lebih luas akan lebih cepat merespon perubahan yang terjadi dalam usahatani yang 63
dijalankan. Unit pertanian dalam usahaternak sapi perah adalah jumlah sapi perah yang diusahakan oleh petrnak. Tabel 11 menunjukkan hampir seluruh peternak yaitu sebesar 90,00 persen responden mengusahakan hanya 0-3 ST yang apabila dikonversi paling banyak memiliki tiga ekor sapi dewasa. Tabel 11. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Skala Usaha Variabel
Jumlah
Persentase
Skala
(orang)
(%)
0-3 ST
54
90,00
3-6 ST
4
6,67
6-9 ST
2
3,33
60
100,00
Total
6.1.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan
rumah
tangga
peternak
didapatkan
dari
pendapatan
usahaternak dan pendapatan non usahaternak. Pendapatan usahaternak diperoleh dengan mengitung penerimaan tunai peternak dikurangi biaya tunai usahaternak sapi perah pada tahun 2008. Pendapatan non usahaternak didapatkan dari jumlah penerimaan usahatani bagi peternak yang juga bekerja sebagai petani dengan pendapatan lainnya yang berasal dari pendapatan buruh angkut sayur, pendapatan buruh bangunan, pendapatan berdagang dan pendapatan pensiun selama satu tahun. Tabel 12. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga per Tahun Variabel
Jumlah
Persentase
Pendapatan Rumah Tangga
(orang)
(%)
<12juta
40
66,67
12-24 juta
11
18,33
24-36 juta
6
10,00
36-48
1
1,67
>48 juta
2
3,33
60
100,00
Total
64
Tabel 12 menunjukkan responden terbesar (66,67 persen) berada pada rentang pendapatan rumahtangga kurang dari Rp.12.000.000,00 per tahun. Bahkan terdapat satu peternak yang memiliki pendapatan rumah tangga dengan koefisien tanda negatif yang berarti pendapatan rumah tangga responden lebih kecil dibanding pengeluaran rumah tangga. Hal ini disebabkan karena peternak tersebut menggunakan tabungan yang dimiliki untuk membeli sapi perah yang harganya melebihi pendapatan rumah tangga peternak dalam satu tahun. 6.1.1.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan Hijauan Pakan hijauan merupakan komponen usahaternak yang menggunakan tenaga kerja paling besar. Pakan hijauan belum bernilai ekonomis karena ada umumnya peternak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Hanya pada saat kemarau pakan hijauan dibeli secara tunai oleh peternak. Namun, tidak semua peternak memiliki lahan pakan hijauan sendiri karen keterbatasan modal. Peternak yang tidak memiliki lahan pakan hijauan memiliki risiko kurangnya kuantitas pemberian pakan hijauan terutama pada saat kemarau. Tabel 13. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Luas Lahan Hijauan Variabel
Jumlah
Persentase
Luas Lahan Hijauan
(orang)
(%)
0-1000 m²
37
61,67
1001-2000 m²
10
16,67
2001-3000 m²
3
5,00
3001-40000 m²
2
3,33
>40000 m²
8
13,33
60
100,00
Total
Berdasarkan hasil lapang, masih sedikit peternak yang memiliki luas lahan hijauan yang ideal. Standar nilai koefiesien teknis penyediaan lahan hijauan yaitu 1500 m² per ST4. Peternak responden sebesar 61,67 persen hanya menggunakan lahan hijauan pada rentang 0-1000 m². Kurangnya lahan hijauan dapat berakibat 4
Rahardi F. 2001. Memerah Dolar dari Susu. Kontan - edisi 36/V Tanggal 4 Juni 2001. http://www.kontan.co.id [27 Juli 2009].
65
pada kurangnya pemberian pakan kepada sapi perah. Sapi perah yang kekurangan pakan akan menghasilkan susu dengan kualitas yang rendah. 6.1.1.8 Partisipasi Responden dalam Pertemuan Kelompok Ternak Kelompok ternak memiliki peran yang sangat penting dalam usahaternak sapi perah anggota KPGS. Ketua kelompok ternak yang aktif sangat dibutuhkan dalam memajukan kelompok ternak karena ketua kelompok ternak berperan sebagai perwakilan para peternak di KPGS. Seluruh anggota KPGS seharusnya mengikuti pertemuan dengan kelompok minimal sebanyak satu kali dalam satu tahun yaitu pada saat rapat Anggota Tahunan (RAT) dengan seluruh anggota dan pengurus KPGS. Tabel 14. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pertemuan Kelompok Variabel Pertamuan Kelompok Ternak
Jumlah
Persentase
(orang)
(%)
0-5 pertemuan
55
91,67
6-10 pertemuan
2
3,33
11-15 pertemuan
3
5,00
60
100,00
Total
Pertemuan dibatasi pada pertemuan responden dengan ketua kelompok ternak dan anggota lain dalam membahas keberlangsungan ushaternak. Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (91,67) mengikuti pertemuan kelompok ternak sebanyak 0-5 kali dalam satu tahun. Pertemuan kelompok dilakukan peternak untuk mengikuti rapat pra RAT, RAT, pertemuan penyuluhan, dan pertemuan untuk membahas program KPGS. 6.1.1.9 Pengetahuan Peternak tentang Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Pengetahuan peternak mengenai informasi keberadaan dan skema kredit sapi perah sistem bergulir pada kenyatannya tidak dimiliki oleh seluruh responden. Peternak yang aktif seharusnya sudah mengetahui keberadaan dan
66
skema kredit sapi peran sistem bergulir karena kredit sapi perah sistem bergulir sudah diadakan sejak Maret 2005. Tabel 15. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengetahuan Informasi Kredit Variabel Pengetahuan Informasi Kredit
Jumlah
Persentase
(orang)
(%)
Mengetahui
46
76,67
Tidak Mengetahui
14
23,33
Total
60
100,00
Sebesar 76,67 persen peternak responden mengetahui informasi kredit namun sebesar 23,33 tidak mengetahui. Berdasarkan hasil lapang, sebesar 44,44 persen yaitu sebanyak 20 peternak yang mengetahui informasi kredit tidak melakukan pengambilan kredit. Sumber informasi bagi peternak berasal dari petugas kesehatan hewan KPGS, ketua kelompok ternak dan sesama peternak. Penyampaian informasi dapat berasal dari KPGS khususnya petugas kesehatan hewan yang bertugas menjaga kesehatan hewan dengan berinteraksi langsung mendatangi peternak sampai di kandang dan rumah milik peternak baik dalam pengadaan inseminasi buatan (IB) maupun perawatan kesehatan sapi perah. Peternak juga dapat mengetahui informasi keberadaan dan skema kredit dari ketua kelompo ternak. Ketua kelompok ternak sangat dilibatkan dalam programprogram yang diadakan oleh KPGS sehingga KPGS menginformasikan kredit sapi perah sistem bergulir kepada peternak melalui ketua kelompok. Peternak yang sudah mengetahui informasi kredit sapi perah sistem bergulir juga dapat menjadi sumber informasi bagi peternak lain yang belum mengetahui informasi keberadaan dan skema kredit. 6.1.2 Karakteristik Usahaternak Usahaternak anggota Koperasi Peternak Garut Selatan dijalankan dengan metode yang tidak jauh berbeda. Karakter usahaternak penting untuk dianalisis karena berhubungan dengan teknis pelaksanaan usahaternak yang akan
67
berpengaruh pada biaya usahaternak, kualitas susu yang dihasilkan dan penerimaan usahaternak peternak. 6.1.2.1 Karakteristik Produksi Susu Responden Produksi pada penelitian ini merupakan rata-rata produksi susu yang dihasilkan sapi perah dewasa yang mengalami laktasi pada tahun 2008. Produksi yang dicatat merupakan produksi susu yang dijual kepada KPGS karena seluruh responden menyatak tidak mengkonsumsi susu hasil usahaternak dan susu yang diberikan kepada pedet yang dilahirkan hanya berjumlah sangat kecil sehingga tidak diperhitungkan. Produksi susu yang dihasilkan dilihat dari jumlah susu yang disetorkan kepada KPGS karena seluruh anggota memiliki kewajiban untuk menjual susu hasil usahaternak sapi perah hanya kepada KPGS. Bahkan terdapat responden pada saat tertentu yang ingin mengkonsumsi susu dalam jumlah cukup besar harus menjual terlebih dahulu kepada KPGS dan langsung membeli kembali susu di TPS pada saat penyetoran. Total produksi susu sapi perah seluruh responden berjumlah 267.728,80 liter pada tahun 2008 dengan sapi dewasa yang telah memproduksi susu berjumlah 75 ekor sapi perah. Rata-rata produktivitas sapi perah responden sebesar 3.569,72 liter per ekor per tahun atau setara dengan 11,70 liter per ekor per hari. Rata-rata produkstivitas sapi perah responden masih berada di bawah rata-rata produktivitas sapi perah di Jawa Barat pada tahun 2007 yaitu sebesar 3.891,45 liter per ekor per tahun. 6.1.2.2 Karakteristik Populasi Sapi Perah Responden Sapi perah milik responden terdiri dari sapi dewasa, dara serta pedet jantan dan betina. Sapi dewasa jantan dan sapi muda jantan tidak dimiliki oleh responden sehingga sapi dengan umur dewasa hanya terdiri dari sapi laktasi dan sapi muda hanya terdiri dari dara. Populasi sapi perah responden dibedakan menjadi sapi laktasi dan sapi non laktasi. Sapi laktasi merupakan sapi perah dewasa yang sedang berada pada masa produktif menghasilkan susu, sedangkan sapi non laktasi terdiri dari sapi dara serta pedet jantan dan betina yang dimiliki peternak.
68
Tabel 16. Populasi Sapi Perah Responden Populasi
Dewasa Betina
Dara
Pedet
Jumlah
Persentase
sapi perah
(ekor)
(ekor)
(ekor)
(ekor)
(%)
Laktasi Non laktasi
75
-
-
75
66,37
-
10
28
38
33,62
Keseluruhan responden memiliki 75 ekor sapi perah laktasi yang merupakan sapi dewasa betina serta 38 ekor sapi perah non laktasi yang terdiri dari 10 ekor dara dan 28 ekor pedet. Rasio komposisi kepemilikan ternak responden dianggap kurang ideal. Menurut Sudono et al. (2005), komposisi ideal usahaternak sapi perah adalah 80 persen laktasi dan 20 persen non laktasi sedangkan komposisi usahaternak sapi perah responden 66,37 persen laktasi dan 33,62 non laktasi. 6.1.2.3 Karakteristik Perkandangan dan Perlengkapan Responden Seluruh responden memelihara sapi perah yang diusahakan dalam kandang. Sapi perah yang diusahakan oleh responden ditempatkan pada kandang dengan ukuran panjang 3 meter dan lebar 1,5 meter dan tinggi 1 meter. Kandang peternak responden terbuat dari kayu dan terdapat pula kandang yang sudah berupa bangunan permanen dengan bahan berupa semen. Lokasi kandang berada tidak jauh dari rumah tempat tinggal peternak, untuk memudahkan pengawasan dan kegiatan usahaternak. Peternak melakukan pembersihan kandang pada pagi dan sore hari sebelum dilakukan pemerahan susu. Petani responden tidak memiliki instalasi biogas sehingga kotoran hanya dibiarkan sampai mengering di sekitar kandang untuk dijadikan pupuk kandang, namun terdapat juga responden yang langsung membuang kotoran di selokan sekitar kandang sehingga mengganggu kebersihan lingkungan. Perlengkapan usahaternak yang digunakan oleh responden seperti ember untuk memerah, ember untuk menyetorkan susu (milk can), tambang pengikat sapi perah, sabit untuk mengambil pakan hijauan dan keranjang pengangkut hijauan. Penyetoran susu paling baik dilakukan menggunakan milk can yang 69
terbuat dari bahan stanless steel karena menjaga suhu dan kualitas susu lebih baik. Namun, hanya terdapat satu responden yang menggunakan milk can sesuai standar seperti milk can yang digunakan oleh peternak sapi perah di Bandung Utara dan Bandung Selatan karena harga yang cukup tinggi yaitu Rp 250.000,00 per milk can. Peternak responden pada umumnya menggunakan ember plastik dengan tingkat ketebalan cukup tinggi dan dilengkapi dengan tutup untuk menyetorkan susu karena harga yang lebih terjangkau yaitu Rp 25.000,00 per ember. 6.1.2.4 Karakteristik Pemerahan Sapi Perah Responden Responden melakukan pemerahan secara tradisional yaitu menggunakan tangan. Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi hari sekitar pukul 04.30-06.00 dan sore hari sekitar pukul 14.00-15.300.
Sebelum melakukan
pemerahan, responden membersihkan seluruh benda yang akan digunakan meliputi ember sampai tangan pemerah sendiri dengan air hangat. Kemudian peternak membersihkan puting dengan air hangat yang dibasahi pada kain. Peternak mengoleskan pelicin pada tangan yang berupa minyak padat saat melakukan pemerahan agar puting sapi perah tidak mengalami lecet. 6.1.2.5 Karakteristik Pemberian Pakan Responden Pakan sapi perah yang diberikan responden berupa pakan konsentrat dan pakan hijauan. Pakan konsentrat disediakan oleh KPGS dengan sistem pembayaran potongan penerimaan susu. Responden terkadang memberi pakan konsentrat tambahan ketika harga dedak sedang murah di pasaran yaitu sekitar Rp 1.000,00 sampai Rp1.100,00 per kilogram. Responden yang berada di dekat pabrik pengolahan tahu juga memberikan pakan tambahan berupa ampas tahu seharga Rp 1.500,00 per kilogram. Rata-rata pemberian pakan konsentrat KPGS adalah 191,53 kilogram per satuan ternak per bulan. Konsentrat yang tidak berasal dari KPGS merupakan pakan yang bersifat tambahan. Namun bagi peternak yang telah memelihara sapi perah namun belum memasuki periode laktasi, pembelian pakan konsentrat dengan sistem potongan pendapatan susu belum dapat dilakukan sehingga seluruh pakan konsentrat tidak berasal dari KPGS. Sebanyak 21 responden menggunakan 70
konsentrat selain dari KPGS dengan rata-rata penggunaan sebesar 44,69 kilogram per bulan per satuan ternak. Berbeda dengan penyediaan pakan konsentrat, penyediaan pakan hijauan masih ditangani sendiri oleh para peternak. Bagi peternak, penyediaan pakan hijauan masih menjadi kendala dalam pengadaannya. Akibat adanya keterbatasan kepemilikan lahan dan biaya dalam pengadaan pakan hijauan, hanya sebagian kecil peternak responden yang memberikan pakan hijauan berupa rumput gajah sedangkan sebagian besar peternak hanya memberikan pakan hijauan yang diperoleh tanpa mengeluarkan biaya dengan mencari rumput liar pada lahan kosong, mencari sisa daun singkong yang sudah panen maupun memanfaatkan sisa panen kol, wortel jagung dan tanaman pertanian lain yang tidak digunakan. Pemberian pakan yang tidak berkualitas sangat mungkin akan menurunkan tingkat produktivitas sapi perah dan mengurangi tingkat kesehatan sapi perah. 6.2 Kemampuan Peternak dalam Pengadaan Modal Sendiri Kemampuan peternak dalam membiayai sendiri usahaternak yang dikelola merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengidentifikasi karakteristik pengambilan kredit usahaternak. Peternak yang tidak menggunakan modal sendiri secara logika memiliki kebutuhan memenuhi biaya usahternak dari pihak luar. Peternak yang menggunakan modal sendiri menanggung sendiri seluruh biaya usahaternak yang dikeluarkan dan menerima seluruh penerimaan yang diperoleh baik dari penjualan susu maupun dari penjualan sapi perah. Peternak penggaduh pada umumnya tidak menanggung biaya tunai usahaternak namun proporsi penerimaan usahaternak dalam bentuk susu dan kelahiran pedet dibagi dengan pemilik modal dengan proporsi sesuai kesepakatan. Tabel 17. Kemampuan Responden dalam Pengadaan Modal Sendiri Kemampuan Modal
Pengadaan Modal Sendiri
Peternak menggunakan modal sendiri Peternak tidak menggunakan modal
Gaduhan
Hibah
Total
Persentase
(orang) 33
(orang) -
(orang) -
(orang) 33
(%) 55,00
-
26
1
27
45,00
71
sendiri
Hasil penelitian (Tabel 17) menunjukkan sebagian besar peternak (55,00) sudah mampu membiayai sendiri usahaternak yang dijalankan. Peternak yang tidak membiayai sendiri usahaternak yang dijalankan khususnya dalam pengadaan modal sapi perah sebesar 45,00 persen dari seluruh responden. Peternak yang tidak menggunakan modal sendiri terdiri dari peternak penggaduh dan peternak yang mendapatkan hibah modal sapi perah dari orang tua. Besarnya
kemampuan
peternak
dalam
pengadaan
modal
sendiri
seharusnya memiliki hubungan yang erat dengan pendapatan rumah tangga peternak. Pendapatan rumah tangga berasal dari pendapatan usahaternak dan pendapatan non usahaternak. Tabel 18 menunjukkan sebagian besar (61,50 persen) pendapatan rumah tangga responden berasal dari pendapatan non usahaternak walaupun sebagian besar responden memiliki pekerjaan utama sebagai peternak sapi perah (Tabel 9). Besarnya tingkat pendapatan usahaternak sapi ditentukan oleh skala usaha, status pengusahaan dan peroduktivitas sapi perah. Rendahnya persentase pendapatan usahaternak responden dapat disebabkan kecilnya skala usaha yaitu 87 ST oleh 60 responden dengan rata-rata pengusahaan hanya 1,45 ST per peternak. Tabel 18. Pendapatan Rumah Tangga Petani Responden Rata-rata Pendapatan Responden
Usahaternak Sapi Perah (Rp / tahun) 4.81.957,09 (38,50)
Non Usahaternak Sapi Perah (Rp / tahun) 7.685.741,67 (61,50)
Rumah Tangga (Rp / tahun) 12.496.698,76 (100,00)
Seluruh peternak responden tidak pernah mengadakan pinjaman dalam bentuk kredit pengadaan modal sapi perah pada tahun 2008.
Responden
memanfaatkan kredit yang yang disediakan KPGS hanya dalam peminjaman pada unit usaha simpan pinjam untuk menutupi kebutuhan hidup. Terdapat beragam alasan responden tidak mengambil kredit. Responden memberikan alasan tidak mengambil kredit pengadaan sapi perah karena merasa takut tidak dapat membayar hutang tersebut dengan uang tunai karena tidak memiliki pendapatan 72
yang tetap. Responden yang merasa memiliki kemampuan secara finansial berpendapat tidak membutuhkan kredit usahaternak karena sanggup membiayai kebutuhan seluruh modal usahaternak yang dijalankan. Namun, terdapat pula responden yang memiliki keinginan untuk melakukan pinjaman modal pengadaan sapi perah dari Bank Arthos Indonesia melaui KPGS, namun terbentur dalam prosedur keterbatasan kepemilikan agunan. 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Analisis regresi logistik digunakan sebagai alat untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir dalam penelitian ini. Selain itu, pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat juga dapat diketahui dengan menggunakan analisis regresi logistik. Terdapat delapan variabel bebas yang diduga mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Variabel bebas tersebut adalah usia, pendidikan dan pengalaman, skala usaha, luas lahan hijauan, jumlah kandang yang mampu disiapkan, pendapatan rumah tangga dan kemampuan pengadaan modal sapi perah sendiri. Variabel terikat merupakan keadaan peternak yang berada dalam dua kemungkinan kondisi. Kondisi pertama ,variabel terikat bernilai 1 ketika peternak responden adalah peternak penerima kredit sapi perah sistem bergulir periode XI. Kondisi kedua, variabel terikat bernilai 0 ketika peternak responden adalah peternak yang belum pernah menerima kredit sapi perah sistem bergulir. Analisis regresi logistik dilakukan dalam empat tahap kegiatan. Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penentuan model terbaik. Tahap kedua dilakukan dengan melakukan pendugaan terhadap masing-masing koefisien dalam model. Tahap ketiga dilakukan dengan uji signifikansi masingmasing variabel penjelas dalam model dan menilai kelayakan model. Tahap keempat dilakukan dengan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir berdasarkan hasil analisis tahap sebelumnya. Ketepatan model yang digunakan diuji menggunakan uji statistik chisquare. Nilai chi-square dalam output pengolahan data menggunakan minitab 73
dapat dilihat dari nilai G. Signifikansi variabel bebas dalam regresi logistik dilakukan dengan menggunakan menggunakan wald test. Suatu variabel bebas dikatakan berpengaruh nyata pada taraf α terhadap variabel terikat ketika nilai pvalue variabel tersebut lebih kecil atau sama dengan nilai α yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dengan metode MLE diperoleh persamaan: Ln Y = 1,259 – 0,04370 X1 - 0,0159 X2 - 0,07351 X3 + 0,1331 X4 + 0,02639 X5 + 0,11201 X6 + 0,00100 X7 – 0,7471 D1 Tabel 19. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Odds Variabel Constant Usia
Koefisien
P - value
Ratio
1,259 0,496 -0,04370 0,184*
0,96
Pendidikan
-0,0159 0,940
0,98
Pengalaman
-0,07351 0,131*
0,93
Skala usaha
0,1331 0,588
1,14
Luas lahan
0,02639 0,198*
1,03
Jumlah kandang yang mampu disiapkan
0,11201 0,077**
1,12
Pendapatan rumah tangga
0,00100 0,983
1,00
Kemampuan pengadaan modal sapi perah
-0,7471 0,314
0,47
G = 24,854
DF = 8
P-Value = 0,002**
Keterangan: **, *, berturut-turut menunjukkan signifikansi secara statistik pada tingkat taraf nyata sebesar 10% dan 20%
Tabel 19. menunjukkan hasil regresi logistik terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Berdasarkan hasil regresi logistik, diperoleh nilai chi-square yang ditunjukkan oleh nilai G sebesar 24,854 dan signifikan pada taraf 10 persen. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model dengan variabel bebas secara penuh berbeda secara nyata pada taraf 10 persen dengan model yang hanya melibatkan konstanta saja. Artinya, paling tidak terdapat satu variabel prediktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap variabel respon. 74
Berdasarkan Tabel 19, uji signifikansi memperlihatkan empat
peubah
bebas yang berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Terdapat satu peubah bebas yang berpengaruh signifikan pada taraf 10 persen yaitu variabel jumlah kandang yang mampu disiapkan. Pada taraf nyata 20 persen, variabel usia, pengalaman dan luas lahan hijauan berpengaruh signifikan terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Penggunaan α sebesar 20 persen dilakukan dengan dasar bahwa risiko kesalahan yang terjadi maksimal 20 persen masih dapat ditoleransi dalam penelitian sosial. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir adalah pendidikan, skala usaha, pendapatan rumah tangga dan kemampuan pengadaan modal sapi perah sendiri. 6.3.1 Usia Variabel usia memiliki nilai odds ratio sebesar 0,96. Nilai odds ratio sebesar 0,96 dapat diartikan bahwa peternak yang memiliki usia satu tahun lebih tua memiliki peluang sebesar 0,96 kali untuk mengambil kredit dibanding peternak yang memiliki usia lebih muda satu tahun, cateris paribus. Artinya, peternak yang memiliki usai lebih tua memiliki peluang yang lebih rendah dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Hal ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara usia dengan keputusan peternak dalam pengambilan kredit. Hubungan negatif antara variabel usia dengan keputusan pengambilan kredit sesuai dengan hipotesis dan hasil penelitian Bagi (1983) tentang pengaruh usia terhadap keputusan pengambilan kredit pertanian baik kredit jangka panjang maupun jangka panjang. Seseorang dengan usia muda pada umumnya belum memiliki tabungan dengan nilai yang besar, sehingga bagi peternak muda adanya kredit dengan pengambalian berupa pedet sangat membantu keterbatasan modal dalam pengadaan sapi perah. Selain itu, harapan hidup peternak usia muda lebih besar dibandingkan harapan hidup peternak yang sudah tua sehingga peternak muda
75
merasa mampu memenuhi kewajiban pengembalian dalam jangka waktu yang telah ditetapkan selama maksimal enam tahun. Tabel 19 memperlihatkan bahwa nilai p-value variabel usia sebesar 0,184 yang memiliki arti variabel usia berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 80 persen terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa proporsi peternak pengambil kredit paling besar (61,54 persen) berada pada usia 18-40 tahun yang tergolong dalam usia dewasa awal. Dengan selang kepercayaan sebesar 80 persen, dapat diambil kesimpulan bahwa
pengambilan kredit lebih banyak dilakukan
oleh peternak yang berumur muda. Tabel 20. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Usia dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Variabel Usia 13-17 tahun
Peternak Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 0 0,00
Peternak Non Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 1 2,94
Total Responden Jumlah (orang)
Proporsi (%) 1 1,67
18-40 tahun
16
61,54
12
35,29
28
46,67
40-60 tahun
8
30,77
18
52,94
26
43,33
>60 tahun
2
7,69
3
8,82
5
8,33
26 35,20
100,00
34 44,79
100,00
60 40,60
100,00
Jumlah Rata-rata (tahun)
Signifikansi variabel usia dengan hubungan yang bersifat negatif juga disebabkan oleh sebaran data seperti terlihat pada Tabel 20 yang menunjukkan bahwa rata-rata usia peternak penerima kredit lebih rendah yaitu sebesar 35,20 tahun dibandingkan dengan rata-rata usia peternak non penerima kredit yaitu sebesar 44,79 tahun. Selain itu, proporsi peternak penerima kredit cenderung menurun pada rentang usia yang semakin tua. Berdasarkan tabulasi data pada Tabel 20, terdapat dua peternak berusia lebih dari 60 tahun yang menerima kredit. Hal ini dapat menjadi masukan bagi KPGS dengan meninjau kembali penerima kredit pada klasifikasi usia dewasa akhir. Usia lebih dari 60 tahun bukan merupakan usia produktif mengingat besarnya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pemeliharaan sapi perah. Peternak 76
yang masuk dalam klasifikasi usia dewasa akhir memiliki risiko tidak dapat melanjutkan pemeliharaaan sapi perah kredit sistem bergulir yang besar baik karena ketidaksanggupan fisik dalam melakukan pemeliharaan sapi perah maupun risiko meninggal dunia. Hal ini dapat merugikan peternak mengingat dalam skema kredit yang diajukan, ketika peternak tidak mampu melanjutkan pemeliharaan baik mengundurkan diri maupun meninggal dunia sebelum melakukan kewajiban pembayaran, maka pengelolaan sapi perah yang digulirkan menjadi hak KPGS untuk menggulirkan kembali sapi perah tersebut. Sedangkan biaya pemeliharaan sapi perah yang telah dikeluarkan oleh peternak tidak mendapatkan kompensasi penggantian. 6.3.2 Pendidikan Variabel pendidikan memiliki nilai odds ratio sebesar 0,98. Nilai odds ratio sebesar 0,98 dapat diartikan bahwa peternak yang memiliki pendidikan formal satu tahun lebih tinggi memiliki peluang sebesar 0,98 kali dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir dibandingkan peternak yang memiliki pendidikan formal satu tahun lebih rendah, cateris paribus. Artinya, peternak dengan pendidikan formal lebih tinggi memiliki peluang yang lebih kecil dalam pengambilan kredit. Tabel 19 memperlihatkan bahwa nilai p-value variabel pendidikan bernilai 0,940 yang berarti variabel pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Namun koefisien tanda variabel pendidikan berdasarkan hasil estimasi model regresi logistik menunjukkan tanda negatif. Hubungan negatif antara variabel pendidikan dengan keputusan pengambilan kredit berbeda dengan hasil penelitian Bagi (1983) tentang keputusan petani dalam pengambilan kredit, namun hubungan negatif ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Sumaryanto (1992) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengambil KUT. Tabel 21 memberikan informasi bahwa rata-rata pendidikan formal peternak hampir sama yaitu 6,08 tahun untuk peternak penerima kredit dan 5,44 tahun untuk peternak non penerima kredit. Variabel pendidikan peternak responden yang tidak signifikan mempengaruhi pengambilan kredit disebabkan 77
oleh rendahnya tingkat pendidikan responden yang hampir merata baik dalam kelompok peternak penerima kredit maupun kelompok non pemerima kredit. Tingkat pendidikan yang rendah di lokasi penelitian terjadi karena kurangnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan bagi kemajuan intelektual dan finansial seseorang. Bahkan pada saat penelitian masih banyak ditemui generasi muda dan anak peternak yang hanya melanjutkan pendidikan hingga tingkat SD. Tabel 21.
Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir
Variabel Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Lulus SD Lulus SD Lulus SMP Jumlah Rata-rata (tahun)
Peternak Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 0 0,00
Peternak Non Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 1 2,94
Total Responden Jumlah (orang) 1
Proporsi (%) 1,67
2
7,69
12
35,29
14
23,33
15
57,69
17
50,00
32
53,33
9
34,62
4
11,76
13
21,67
26 6,08
100,00
34 5,44
100,00
60 5,72
100,00
Tidak signifikannya variabel pendidikan juga disebabkan oleh skema kredit sapi perah sistem bergulir yang tidak memerlukan perhitungan rumit dalam pengembalian mudah dipahami oleh peternak dengan pendidikan tinggi maupun peternak dengan pendidikan rendah. Selain itu, berdasarkan hasil lapang KPGS tidak menetapkan syarat pendidikan dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. 6.3.3 Pengalaman Variabel pengalaman memiliki odds rato sebesar 0,93. Nilai odds ratio sebesar 0,93 dapat diartikan bahwa peternak dengan pengalaman satu tahun lebih lama memiliki peluang 0,93 kali dalam pengambilan kredit dibandingkan dengan peternak yang memiliki pengalaman lebih rendah satu tahun, cateris paribus. Artinya, peternak yang lebih berpengalaman memiliki peluang lebih kecil dalam pengambilan kredit. Tabel 19 memperlihatkan bahwa nilai p-value variabel pengalaman sebesar 0,131 yang berarti bahwa variabel pengalaman berpengaruh 78
nyata pada terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Variabel pengalaman memiliki hubungan yang negatif dan signifikan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara variabel pengalaman peternak dalam usahaternak sapi perah dengan keputusan pengambilan kredit. Hubungan negatif antara variabel pengalaman dengan pengambilan kredit berbeda hipotesis awal dan berbeda dengan hasil penelitian Bagi (1983) tentang keputusan petani dalam pengambilan kredit serta Sumaryanto (1992) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengambil KUT. Signifikansi variabel pengalaman disebabkan oleh tingginya minat untuk memulai melakukan usahaternak saat harga susu di tingkat peternak dirasakan cukup tinggi sekitar pada tahun 2006. Mengacu pada hasil lapang, peternak KPGS merasakan harga susu terbaik yang terbaik sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2008 akhir karena harga susu peternak di koperasi lebih murah dibandingkan harga susu impor. Penghapusan bea masuk impor susu pada akhir tahun 2008 menyebabkan harga susu peternak kurang dapat bersaing dengan harga susu impor yang lebih murah. Namun, penurunan harga akibat penghapusan bea masuk susu tidak terlalu dirasakan peternak karena banyak kelompok ternak berhasil meningkatkan kualitas susu yang dihasilkan. Pada saat harga susu tinggi, masyarakat di sekitar wilayah kerja KPGS yang belum melakukan usahaternak sapi perah mulai tertarik untuk memulai usahaternak sapi perah. Pengalaman yang kurang dari dalam melakukan usahaternak sapi perah menyebabkan risiko kerugian yang besar bagi peternak pemula. Untuk mengurangi risiko tersebut, peternak pemula mencari alternatif pengadaan modal usahaternak dengan memilih menggunakan kredit kredit sapi perah sistem bergulir. Kredit sapi perah bergulir dilaksanakan dengan pendampingan tenaga kesehatan KPGS yang intensif mengingat penanggungjawab dan pelaksana pengadaan kredit adalah kepala bagian dan petugas kesehatan hewan KPGS. Peternak yang kurang berpengalaman akan sangat terbantu dengan adanya pengawasan intensif dari petugas kesehatan hewan KPGS. Ketika sapi perah yang digulirkan tidak efisien secara ekonomi karena faktor kesehatan yang tidak dapat diperbaiki, peternak diperbolehkan melakukan penukaran hewan ternak dengan 79
menjual sapi perah yang digulirkan dan membeli sapi perah yang lebih efisien secara ekonomi di bawah pengawasan KPGS. Pengambilan kredit oleh peternak dengan pengalaman yang masih sedikit dianggap menguntungkan karena ketika peternak merasa tidak sanggup meneruskan usahaternak sapi perah hasil pengambilaan kredit sistem bergulir sebelum melakukan pelunasan kewajiban pengembalian dua ekor pedet, peternak cukup mengembalikan sapi perah yang digulirkan tersebut kepada KPGS. Peternak yang mengembalikan sapi perah karena tidak sanggup meneruskan pada umumnya belum mengeluarkan biaya tunai dalam jumlah yang besar walaupun telah mengeluarkan biaya tidak tunai dalam tenaga kerja pencarian pakan. Tabel 22.
Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pengalaman dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir
Variabel Pengalaman 0- 10 tahun
Peternak Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 16 61,54
Peternak Non Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 12 35,29
Total Responden Jumlah (orang) 28
Proporsi (%) 46,67
10-20 tahun
6
23,08
11
32,35
17
28,33
20-30 tahun
3
11,54
9
26,47
12
20,00
30-40 tahun
1
3,85
2
5,88
3
5,00
26 8,04
100,00
34 14,15
100,00
60 11,50
100,00
Total Rata-rata (tahun)
Signifikansi variabel pengalaman juga dapat dilihat pada Tabel 22 dengan rata-rata pengalaman peternak penerima kredit yang lebih rendah yaitu sebesar 8,04 tahun dibandingkan dengan rata-rata pengalaman peternak non penerima kredit sebesar 14,15 tahun. Selain itu, proporsi peternak penerima kredit cenderung meningkat pada rentang pengalaman yang lebih kecil. 6.3.4 Skala Usaha Variabel skala usaha memiliki nilai odds ratio sebesar 1,14. Nilai odds ratio sebesar 1,12 dapat diartikan bahwa peternak yang memiliki skala usaha satu satuan ternak lebih besar memiliki peluang sebesar 1,14 kali dalam pengambilan 80
kredit sapi perah sistem bergulir dibandingkan peternak yang memiliki skala usaha satu satuan ternak lebih kecil, cateris paribus. Artinya, peternak dengan skala usaha lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk melakukan pengambilan kredit. Walaupun tidak nyata secara statistik, hal ini menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel skala usaha dengan peluang peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Hubungan positif antara variabel skala usaha dengan keputusan pengambilan kredit berbeda dengan hipotesis awal dan hasil penelitian Bagi (1992) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengambil KUT. Meskipun tidak signifikan secara statistik, hubungan positif dapat dilihat dari proporsi peternak penerima kredit yang cenderung meningkat pada peningkatan rentang skala usaha. Tabel 23. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Skala Usaha dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Variabel Skala Usaha 0-3 ST
Peternak Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 23 88,46
Peternak Non Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 32 94,12
Total Responden Jumlah (orang) 54
Proporsi (%) 90,00
3-6 ST
2
7,69
1
2,94
4
6,67
6-9 ST
1
3,85
1
2,94
2
3,33
Jumlah
26 1,39
100,00
34 1,50
100,00
60 1,45
100,00
Rata-rata (ST)
Tabel 19 memperlihatkan bahwa nilai p-value variabel skala usaha bernilai 0,588 yang berarti variabel skala usaha tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Tidak signifikannya skala pengusahaan sapi perah terhadap peluang pengambilan kredit disebabkan oleh proporsi skala usaha yang hampir sama antara peternak penerima maupun peternak non penerima kredit dalam setiap rentang skala usaha (Tabel 23). Selain itu, skala usaha seluruh responden hampir sama rendah dengan proporsi 90,00 persen peternak mengusahakan 0-3 ST dengan rata-rata skala sebesar 1,45 ST. Berdasarkan hasil lapang, peternak dengan skala usaha kecil dan skala usaha besar memiliki peluang yang sama besar, padahal sebenarnya peternak yang memiliki 81
skala usaha besar atau minimal memiliki satu sapi perah dewasa memiliki peluang mendapatkan pedet setiap tahun dari hasil kelahiran sapi perah yang diusahakan.
6.3.5 Luas Lahan Hijauan Variabel luas lahan hijauan memiliki nilai odds ratio sebesar 1,03. Nilai odds ratio sebesar 1,03 dapat diartikan bahwa peternak yang memiliki luas lahan hijauan seratus meter persegi lebih besar memiliki peluang sebesar 1,03 kali dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir dibandingkan peternak yang memilki luas lahan hijauan seratus meter persegi lebih kecil, cateris paribus. Artinya, peternak dengan luas lahan hijauan lebih tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan pengambilan kredit. Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel luas lahan hijauan dengan keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Tabel 24. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Luas Lahan Hijauan dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Variabel Luas Lahan Hijauan 0-1000 m²
Peternak Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 12 46,15
Peternak Non Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 25 73,53
Total Responden Jumlah (orang) 37
Proporsi (%) 61,67
1001-2000 m²
5
19,23
5
14,71
10
16,67
2001-3000 m²
3
11,54
0
0,00
3
5,00
3001-4000 m²
0
0,00
2
5,88
2
3,33
>4000 m²
6
23,08
2
5,88
8
13,33
26 5964,23
100,00
34 914,85
100,00
60 3102,92
100,00
Jumlah Rata-rata
Tabel 19 memperlihatkan bahwa nilai p-value variabel luas lahan hijauan bernilai 0,198 yang berarti variabel luas lahan hijauan berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 80 persen dalam keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Hubungan yang positif dan signifikan antara variabel luas lahan hijauan dan pengambilan kredit sesuai dengan hipotesis awal. 82
Hubungan yang positif dan signifikan antara luas lahan hijauan dan peluang pengambilan kredit disebabkan karena peternak dengan luas lahan hijauan yang lebih besar merasa perlu mengoptimalkan potensi lahan yang dapat ditanami pakan hijauan dengan meningkatkan skala usaha melalui pengambilan kredit. Keadaan sebaliknya terjadi pada peternak dengan luas lahan penanaman pakan hijauan yang lebih sempit, peternak merasa tidak perlu melakukan penambahan skala usaha karena mengalami kesulitan pengadaan pakan hijaun. Signifikansi variabel luas lahan hijauan juga dapat dilihat dari rata-rata luas lahan penanaman pakan hijauan peternak penerima kredit lebih tinggi yaitu sebesar 5.964,23 m² jika dibandingkan dengan rata-rata luas lahan penanaman pakan hijauan peternak non penerima kredit yaitu sebesar 914,85 m². Berdasarkan hasil lapang, KPGS menetapkan syarat lahan hijauan kepada peternak pengambil kredit untuk menjamin keberlangsungan usaha ternak. Pakan hijauan dapat ditanam khusus pada lahan kosong, ditanam sebagai tanaman di sekeliling lahan pertanian, maupun memanfaatkan lahan milik perhutani atau perkebunan yang tidak digunakan dan sudah mendapat ijin dari pihak terkait. 6.3.6 Jumlah Kandang yang Mampu Disiapkan untuk Penambahan Sapi Perah Variabel jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah memiliki nilai odds ratio sebesar 1,12. Nilai odds ratio sebesar 1,12 dapat diartikan bahwa peternak yang mampu menyiapkan satu kandang lebih banyak untuk penambahan sapi perah memiliki peluang sebesar 1,12 kali dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir dibandingkan dengan peternak yang memiliki kemampuan menyiapkan satu kadang lebih sedikit untuk penambahan sapi perah, cateris paribus. Artinya, peternak dengan kemampuan menyiapkan kandang untuk penambahan sapi perah dengan jumlah yang lebih besar memiliki peluang lebih besar dalam pengambilan kredit. Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah dengan peluang peternak dalam pengambilan kredit. Tabel 19 memperlihatkan bahwa nilai p-value variabel jumlah kandang bernilai 0,077 yang berarti variabel jumlah kandang yang mampu disiapkan 83
peternak berpengaruh nyata pada taraf nyata 90 persen. Variabel jumlah kandang yang mampu disiapkan berpengaruh signifikan dan berhubungan positif dapat dilihat dari rata-rata jumlah kandang yang mampu disiapkan peternak penerima kredit lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jumlah kandang yang mampu disiapkan peternak non penerima kredit. Selain itu, signifikansi variabel yang berhubungan positif juga dapat dilihat dari proporsi peternak penerima kredit yang cenderung meningkat dibandingkan dengan proporsi peternak non penerima kredit yang cenderung menurun. Tabel 25. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Jumlah Kandang yang Mampu Disiapkan untuk Penambahan Sapi Perah dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Variabel Jumlah kandang 0-5 kandang
Peternak Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%) 8 30,77
Peternak Non Total Responden Penerima Kredit Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (%) (orang) (%) (orang) 21 61,76 29 48,33
6-10 kandang
11
42,31
9
26,47
20
33,33
11-15 kandang
2
7,69
3
8,82
5
8,33
16-20 kandang
0
0
1
2,94
1
1,67
>20 kandang
5
19,23
0
0,00
5
8,33
26 16
100,00
34 6
100,00
60 10
100,00
Jumlah Rata-rata (kandang)
Berdasarkan hasil lapang, signifikansi variabel jumlah kandang yang mampu disiapkan peternak disebabkan karena peternak yang memiliki kemampuan mempersiapkan kandang akan berusaha memaksimalkan kemampuan lahan dan biaya yang tersedia kandang dengan berusaha meningkatkan skala usaha melalui pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Selain itu, penyediaan kandang kosong merupakan syarat yang diberikan oleh KPGS dalam mekanisme kredit sapi perah sistem bergulir. 6.3.7 Pendapatan Rumah Tangga Variabel pendapatan rumahtangga memiliki nilai odds ratio sebesar 1,00. Nilai odds rati sebesar 1,00 dapat diartikan bahwa peternak yang memiliki pendapatan rumah tangga satu juta rupiah memiliki peluang sebesar 1 kali dalam 84
pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir dibandingkan peternak yang memiliki pendapatan rumah tangga satu juta rupiah lebih kecil, cateris paribus. Artinya, peternak dengan pendapatan rumah tangga lebih besar memiliki peluang sama untuk melakukan pengambilan kredit. Namun koefisien tanda variabel pendapatan rumah tangga berdasarkan hasil estimasi model regresi logistik menunjukkan tanda positif. Hubungan positif antara variabel pendapatan rumah tangga dan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir berbeda dengan hipotesis awal dan berbeda dengan penelitian Sumaryanto (1992). Tabel 19 memperlihatkan bahwa nilai p-value variabel pendapatan rumah tangga bernilai 0,983 yang berarti variabel pendapatan rumah tangga tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Meskipun tidak nyata secara statistik, terdapat kecenderungan peternak dengan pendapatan rumah tangga lebih tinggi memiliki peluang yang lebih besar dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata pendapatan rumah tangga peternak kredit sebesar Rp 14.424.144,31 lebih besar jika dibandingkan rata-rata pendapatan rumah tangga peternak non penerima kredit yang hanya sebesar Rp11.022.769,71. Tabel 26.
Variabel Pendapatan Rumah Tangga
Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Peternak Penerima Kredit
15
Proporsi (%) 57,69
25
Proporsi (%) 73,53
12-24 juta
6
23,08
5
24-36 juta
3
11,54
36-48
1
>48 juta
<12juta
Jumlah Rata-rata (Rp)
Jumlah (orang)
Peternak Non Penerima Kredit
40
Proporsi (%) 66,67
14,71
11
18,33
3
8,82
6
10,00
3,85
0
0,00
1
1,67
1
3,85
1
2,94
2
3,33
26
100,00
34
100,00
60
100,00
14.424.144,31
Jumlah (orang)
Total Responden
11.022.769,71
Jumlah (orang)
12.496.698,76
Hubungan yang tidak signifikan antara variabel pendapatan rumah tangga dan pengambilan kredit disebabkan oleh sebaran data dengan proporsi yang 85
hampir sama pada setiap rentang pendapatan antara peternak penerima kredit dan peternak non penerima kredit. Berdasarkan hasil lapang, tidak terdapat persyaratan pendapatan minimum maupun pendapatan maksimum yang harus dicantumkan dalam formulir pengajuan kredit. Baik peternak dengan pendapatan rumah tangga tinggi maupun peternak dengan pendapatan rumah tangga rendah mayoritas menganggap kredit sapi perah sistem bergulir ini menguntungkan. Hanya terdapat 2 peternak non penerima kredit (3,33 persen) dari 60 responden yang menganggap kredit sapi perah sistem bergulir tidak menguntungkan yang berada dalam rentang pendapatan kurang dari Rp 12.000.000,00. 6.3.8 Kemampuan Pengadaan Modal Sapi Perah Sendiri Variabel kemampuan pengadaan modal sapi perah memiliki nilai odds ratio sebesar 0,47. Variabel kemampuan pengadaan modal sapi perah variabel dummy sehingga nilai odds ratio sebesar 0,47 dapat diartikan bahwa peternak yang manpu mengadakan modal sapi perah dengan modal sendiri memiliki peluang sebesar 0,47 kali dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir dibandingkan peternak yang tidak memiliki kemampuan pengadaan modal, cateris paribus. Artinya, peternak yang memiliki kemampuan pengadaan modal sapi perah memiliki peluang lebih kecil untuk melakukan pengambilan kredit. Hal ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara variabel kemampuan pengadaan modal sapi perah dengan peluang peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Tabel 19 memperlihatkan bahwa nilai p-value variabel kemampuan pengadaan modal sapi perah sendiri bernilai 0,314 yang berarti variabel kemampuan pengadaan modal sapi perah sendiri tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan peternak dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Meskipun tidak nyata secara statistik, terdapat kecenderungan bahwa peternak yang mampu mengadakan modal sapi perah sendiri memiliki peluang lebih kecil dalam pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Kecenderungan hubungan negatif ini dapat dilihat pada Tabel 27, dengan proporsi peternak penerima kredit sapi perah sistem bergulir selain modal sapi perah berasal dari modal milik sendiri
86
lebih besar dibandinkan proporsi peternak penerima kredit yang modal sapi perah berasal dari modal milik sendiri. Variabel kemampuan pengadaan modal sapi perah tidak secara nyata berpengaruh dalam keputusan pengambilan kredit. Hal ini dapat dilihat dari proporsi yang hampir sama antara peternak penerima kredit dan non penerima kredit baik yang memiliki kemampuan pengadaan modal maupun yang tidak. Koperasi Peternak Garut Selatan juga tidak menetapkan persyaratan bahwa pengambil kredit harus merupakan peternak pemilik sapi perah, peternak yang mendapatkan hibah sapi perah, peternak penggaduh yang tidak memiliki kemampuan pengadaan modal maupun peternak yang belum pernah melakukan usahaternak sehingga dikategorikan sebagai peternak yang tidak melakukan pengadaan modal sapi perah sendiri. Tabel 27. Sebaran dan Proporsi Responden Berdasarkan Kemampuan Pengadaan Modal Sapi Perah Sendiri dan Keputusan Peternak dalam Pengambilan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir Variabel kemampuan Pengadaan Modal Sapi Perah
Peternak Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%)
Peternak Non Penerima Kredit Jumlah Proporsi (orang) (%)
Total Responden Jumlah (orang)
Proporsi (%)
Modal sapi perah berasal dari modal milik sendiri
11
42,31
22
64,71
33
55,00
Selain modal sapi perah berasal dari modal milik sendiri
15
57,69
12
35,29
27
45,00
Jumlah
26
100,00
34
100,00
60
100,00
Baik peternak yang sudah mampu mengadakan modal sapi perah sendiri maupun peternak yang belum mampu mengadakan modal sapi perah sendiri sama-sama memiliki keinginan menambah skala usaha dengan melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 27, dengan persentase yang hampir sama sebesar 42, 31 persen peternak yang memiliki kemampuan pengadaan modal dan 57,69 persen peternak yang tidak mengadakan modal sapi perah sendiri memutuskan melakukan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir.
87
VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Peternak responden didominasi oleh peternak dengan kategori dewasa awal yaitu 18-40 tahun, pendidikan lulus SD, pekerjaan utama sebagai peternak, pengalaman usahaternak dalam rentang 0-10 tahun, skala usahaternak pada rentang 0-3 ST, pendapatan rumah tangga pada rentang kurang dari Rp 12.000.000,00 per tahun, luas lahan hijauan pada rentang 0-1000 meter persegi, mengikuti pertemuan kelompok pada rentang 0-5 pertemuan per tahun, dan mengetahui informasi kredit sapi perah sistem bergulir. Peternak responden sebagian besar memiliki rata-rata produktivitas sapi perah sebesar 3.569,72 liter per ekor per tahun, dengan komposisi 66,37 persen sapi dewasa, menggunakan kandang berukuran 1,5 x 3 x 1 meter, menggunakan ember plastik sebagai wadah pengumpulan susu, mencari pakan hijauan dari alam, menggunakan pakan konsentrat dari KPGS, serta melakukan pemerahan pada pagi dan sore hari dengan sistem pemerahan tradisional menggunakan tangan. Sebagian besar peternak responden memiliki kemampuan dalam pengadaan modal sapi perah. Rata-rata pendapatan rumah tangga didominasi oleh pendapatan non usahaternak. Seluruh responden tidak menggunakan kredit formal seperti kredit bank dalam pengadaan modal sapi perah. Peternak yang tidak mampu mengadakan modal sapi perah secara mandiri memilih menjadi peternak gaduhan dan terdapat juga peternak yang mendapatkan modal hibah dari keluarga. Terdapat empat faktor yang signifikan dalam keputusan pengambilan kredit sapi perah sistem bergulir yaitu usia dengan hubungan bersifat negatif, pengalaman dengan hubungan bersifat negatif, luas lahan hijauan dengan hubungan yang bersifat positif dan jumlah kandang yang mampu disiapkan untuk penambahan sapi perah dengan hubungan yang positif. Faktor pendidikan, skala usaha, pendapatan rumah tangga dan kemampuan peternak dalam pengadaan modal tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan penngambilan kredit sapi perah sistem bergulir.
7.2 Saran Saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil penelitian adalah: 1) Koperasi Peternak Garut Selatan diharapkan meningkatkan sosialisasi tentang kredit sapi perah sistem bergulir kepada peternak usia muda yang memiliki potensi lahan yang untuk penyediaan kandang dan penanaman pakan hijauan. 2) Koperasi Peternak Garut Selatan diharapkan meningkatkan pendampingan dan kesempatan penerimaan kredit sapi perah kepada peternak yang belum berpengalaman namun memiliki potensi lahan yang masih luas untuk penyediaan kandang dan penanaman pakan hijauan. 3) Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan mengkaji kelayakan sistem kredit sapi perah sistem bergulir yang dilakukan Koperasi Peternak Garut Selatan dibandingkan dengan kredit bank umum seperti kredit Bank Arthos Indonesia yang dilaksanakan melalui koperasi.
89
DAFTAR PUSTAKA [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 1992. Pembangunan Peternakan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 1993a. Pedoman Umum Pelaksanaan Penyebaran Dan Pengembangan Ternak Pemerintah. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.146/Kpts/HK. 050/2/93. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan. _________ 1993b. Petunjuk Pelaksanaan Penyebaran dan Pengembangan Ternak Pemerintah. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan No. 50/HK.050/Kpts/2/93. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Pusat Data dan Informasi Pertanian. http://www.ditjennak.go.id [26 Juli 2009]. [FAO] Food and Agricultural Organitation. 1965. Farm Management Manual. Bangkok: FAO Regional Office for Asia and The Far East. [KPGS] Koperasi Peternak Garut Selatan. 2008. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus dan pengawas Tahun Buku 2008. Garut: KPGS. Adnyana MO, Kariyasa K, Ilham N, Saktyanu KD, Sadikin I. 1999. Prospek dan kendala agribisnis sapi potong di Indonesia memasuki era globalisasi ekonomi. Di dalam Simatupang, editor. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian Buku 2. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Agresti A. 1996. Categorical Data Analysis. New York: John Wiley and Son. Andri. 1992. Analisis aspek teknis, fungsi keuntungan, dan efisiensi ekonomi relatif usaha peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Arfa’i. 1992. Analisis fungsi produksi dan biaya produksi perusahaan peternakan sapi potong di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Ashari. 2009. Optimalisasi kebijakan kredit program sektor pertanian di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 7 No 1 (Maret) 2009: 2142. Ati S. 1996. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi peternak dalam pengambilan paket kredit ternak domba di Kabupaten Majalengka [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bagi FS. 1983. A logit model of farmers' decisions about credit. Southern Journal of Agricultural Economics (December).
Erwidodo, Sayaka B. 1998. Dampak krisis terhadap industri persusuan di Indonesia. Di dalam Suryana, editor. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku 2. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Faizal R. 1995. Hubungan karakteristik peternak terhadap perilaku penerimaan kredit peternakan sapi perah di Pengalengan Bandung [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Firman A. 2007. Kajian kelompok peternak di Jawa Barat bagian timur. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung Garson DG. 2008. Logistic regression, from statenotes: topics in multivariate analysis. http:www.chass.ncsu.edu/garson/pa765statenote.htm Hair JF, Anderson RE, Tathom RL, Black WC. 1998. Multivariate Data Analysis: with Reading. New Jersey: Prentice Hall. Hadiana H. 1996. Kajian evaluasi pelaksanaan sistem pola bergulir ternak pemerintah. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Dinas Peternakan Propinsi DT I Jawa Barat. Hermanto. 1992. Keragaan penyaluran kredit pertanian: suatu analisis data makro. Di dalam perkembangan perkreditan di Indonesia. Di dalam Taryoto AH, Abunawan M, Soentoro dan Hermanto, editor. Monongraph Series No 3. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hoshmer DW, Lemeshow S. 2000. Aplied Logistic Regression. Second Edition. New York: John Wiley and Son. Irawan B. 1989. Pelayanan kredit non formal di Pedesaan Sulawesi Selatan. Jurnal Agro Ekonomi Volume 8 No 2. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Kleinbaum DG. 1994. Logistic Regression, a Self-Learning Text. New York: Springer-Verlag New York Inc. Kuntjoro. 1983. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran kembali kredit Bimas padi, studi kasus di Kabupaten Subang, Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kusafarida W. 2004. BPR konvensional dan BPR syariah: perbandingan analisis kinerja keuangan dan efektivitas penyaluran [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Petanian Bogor Mandaka S, Hutagaol PM. 2005. Analisis fungsi keuntungan, efisiensi ekonomi dan kemungkinan skema kredit bagi pengembangan skala usaha peternakan sapi perah rakyat di Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor. Jurnal Agro Ekonomi, volume 23 No 2 (Oktober) 2005: 191-208. 91
Mubyarto, Hamid ES. 1990. Kredit Perdesaan di Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Natzir M. 1999. Metodologi Penelitian. Cetakan ke-3. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nurmanaf R, Hastuti EL, Ashari, Friyanto S, Budi W. 2006 Analisis sistem pembiayaan mikro dalam mendukung usaha pertanian di perdesaan. Pusat Analisis Sesial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Paturochman M. 2001. Studi perbandingan sistem kredit ternak domba dan kerbau di Kabupaten Sumedang dan Tasikmalaya. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Dinas Peternakan Propinsi DT I Jawa Barat. Rahayu S. 1986. Analisis usaha ternak sapi perah dalam sistem usahatani [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Riyanto B. 1995. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi 4. Yogyakarta: BPFE. Rogers EM. 1995. Diffusion of Innovations. Fourth Edition. New York: The Tree Press. Setiawan N. 2005. Performa kelembagaan, struktur permodalan, dan usaha koperasi peternakan di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Bandung: Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Siregar SB. 1996. Sapi Perah: Jenis, Teknik, Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Jakarta: Penebar Swadaya. Soekardono. 2009. Ekonomi Agribisnis Peternakan: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Akademika Pressindo. Sudono A. 1985. Produksi Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Sudono A, Rosdiana F, Setiawan BS. 2005. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta: Agromedia Pustaka. Sulistiorini TE, Sawitri ME, Muharlien. 2009. Budidaya 22 Ternak Potensial. Jakarta: Penebar Swadaya. Sumaryanto. 1992. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengambil KUT. Di dalam perkembangan perkreditan di Indonesia. Di dalam Taryoto AH, Abunawan M, Soentoro dan Hermanto, editor. Monongraph Series No 3. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Supranto J. 1991. Teknik Pengambilan Keputusan. Jakarta: Rineka Cipta. Suradisastra K. 2006. Agricultural cooperative in Indonesia. FFTC-NACF International Seminar on Agricultural Cooperatives in Asia: Innovations 92
and Opportunities in the 21st Century, Seoul, Korea, 11-15 September 2006. Suyatno T, Chalik HA, Sukada M, Tinru, Marala DT. 1992. Dasar-Dasar Perkreditan. Edisi Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama. Swastika DKS, Ilham N, Purwantini TB, Sodikin I. 2000. Dampak krisis ekonomi terhadap prospek pengembangan peternakan sapi perah. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Syukur M, Sugiarto, Hendiarto, Wiryono B. 2003. Analisis rekayasa kelembagaan pembiayaan usaha pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Tampubolon SMH. 2002. Kredit untuk petani. Di dalam suara dari Bogor sistem dan usaha agribisnis. Kacamata sang pemikir. Harianto, Pambudy R, Tungkot S, Burhanuddin, editor. Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation. Taryoto AH. 1992. Perkreditan pertanian Indonesia: suatu pengantar dalam perkembangan perkreditan di Indonesia. Di dalam Taryoto AH, Abunawan M, Soentoro dan Hermanto, editor. Monongraph Series No 3. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Tjakrawiralaksana A, Soriaatmaja MC. 1983. Usahatani. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Waluyo SD. 2001. Statistika: untuk Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Wiliasih R. 1999. Analisa perbandingan skema kredit usahatani dan kredit bantuan modal kerja bumn serta faktor-faktor yang mempengaruhi akses petani ke sumber kredit (studi kasus petani kentang Kecamatan Pengalengan dan PUKK Sucofindo Cabang Bandung) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Yusdja Y, Husni M, Bambang W, Rosmijati S. 2002. Analisis kebijakan pengembangan agribisnis komoditi unggulan peternakan. Jurnal Buletin Agroekonomi, 2 (3): 15-18.
93
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Wilayah Kerja Koperasi Peternak Garut Selatan
Sumber: Koperasi Peternak Garut Selatan (2008)
95
Lampiran 2. Populasi Sapi Perah Koperasi Peternak Garut Selatan
Sumber: Koperasi Peternak Garut Selatan (2008)
96
Lampiran 3. Pengembangan Keturunan Pertama Bantuan Mennegkop dan UKM RI Tahun Anggaran 2002 dalam Usaha Sapi Perah Impor Sistem Koloni
Sumber: Koperasi Peternak Garut Selatan (2008)
97
Lampiran 4. Pengembangan Keturunan Sapi Perah Bantuan Mennegkop dan UKM RI Tahun Anggaran 2002 dengan Kredit Sapi Perah Sistem Bergulir
Sumber: Koperasi Peternak Garut Selatan (2008)
98
Lampiran 5.
Bukti Penerimaan Penjualan Susu dan Potongan Biaya Anggota Koperasi Peternak Garut Selatan
Sumber: Koperasi Peternak Garut Selatan (2008)
Lampiran 6. Data dalam Penginputan Regresi Logistik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Y 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1
X1 28 30 43 30 18 30 24 32 60 30 40 27 24 22 64 60 31 50 21 25 42
X2 7 6 6 6 6 6 6 6 6 5 6 6 6 6 10 6 6 4 9 6 6
X3 18 5 19 10 6 1 3 2 20 24 2 10 12 1 3 25 14 20 9 1 3
X4 1,5 2 1,25 1,25 0 0 0 2,25 8,25 3,25 5,5 2 0,5 1,25 2,25 1,25 0,25 1,5 1 0 0
X5
X6
3,5 1,75 7 1,75 100 50 1000 28 87,5 10,5 10,5 18 7 7 50 3,5 0 35 0 50 50
36 24 2 5 10 38 50 5 3 12 1 9 2 1 6 104 3 11 0 8 10
X7 9,7753 31,8695 7,1825 8,6286 4,8 4,2 60 7,2335 41,62 14,5233 13,2329 9,3903 5,4 3,1763 50,5438 15,9929 5,49 0,405 6,3275 2,1 10,5
D1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0
99
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
45 29 51 52 29 41 30 35 40 50 25 30 45 50 53 55 35 52 45 30 50 36 35 38 43 55 60 45 58 54 17 90 26 25 20 52 47 41 50
5 6 6 5 6 3 4 6 6 3 6 6 6 2 6 5 6 4 0 5 8 6 9 8 2 6 6 3 6 9 6 2 6 6 9 6 6 6 6
30 8 6 10 19 27 10 2 2 20 14 2 25 25 20 10 15 20 20 4 4 23 20 3 10 35 5 17 19 20 4 30 3 0 0 1,5 0 0 0,3
2,75 1,5 1,5 2 1 2,5 1 1,75 1 1,5 1 0,25 2 1 1 1 1 1 2 1,25 1 1 6,75 2 1,5 0,75 1 2 3,25 1 1 1 1 0 0 0,25 0 0 0,25
10,5 2 0,1 0 0,84 10,5 0 2,1 0 7 0,78 2,6 17,5 12,25 0 3,08 2,1 2,2 0 0 0 0 35 17,5 0 1,8 2,4 87,5 0 2 3,5 14 3,5 10 10 15 25 30 10
2 1 6 2 1 4 1 6 5 7 2 3 3 4 5 4 6 6 2 2 1 6 18 5 14 7 6 9 6 14 2 7 4 13 11 6 8 10 7
9,7132 7,2744 11,9832 9,2744 3,6 10,4957 4,2132 3,1759 17,2583 16,4049 7,265 5,406 21,4616 10,7209 7,1342 4,184 2,4599 2,8291 4,719 2,9333 3,5438 -4,4675 28,8976 4,3777 10,3304 0,334 13,6606 31,3183 10,5987 24,1616 7,5012 25,9574 8,6371 15 2,6 13,805 35,7 25,4985 17,45
1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1
100
Lampiran 7. Wilayah Kerja KPGS dengan Kondisi Alam Berbukit Berbukit-bukit
Lampiran 8. Suasana Perkantoran KPGS
Lampiran 9. Truk Pengangkut Susu S
101
Lampiran 10. Pakan Hijauan Sapi Perah
Lampiran 11. 11 Kegiatan Sapi Perah Mengkonsumsi Pakan Hijauan
Lampiran 12. Petugas Kesehatan Hewan KPGS
102
Lampiran 13. Kegiatan Pemerahan P Sapi Perah
Lampiran 14. Kegiatan Penyaringan enyaringan Susu
Lampiran 15. Kegiatan Penyetoran Susu
103