FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IMB DI KOTA DEPOK
Lia Kusumawardhani dan Lisman Manurung Program Studi Ilmu Administrasi Negara Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Abstrak Kebijakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Depok telah dilaksanakan sejak tahun 2001. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi, salah satunya kepatuhan warga atau masyarakat setempat. Kota Depok memiliki tingkat kepatuhan cukup rendah dalam mengimplementasikan kebijakan IMB. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB. Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah kualitatif dengan metode wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa di Kecamatan Sawangan memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat seperti kesadaran hukum yang rendah, motif ekonomi, kurangnya rasa takut akan peraturan, kejelasan informasi, kejelasan sanksi, dan pengetahuan. Sedangkan di Kecamatan Limo memiliki beberapa faktor, tingginya kesadaran hukum, kejelasan informasi, kejelasan sanksi, dan pengetahuan. Kata Kunci: Depok; IMB; Implementasi Kebijakan; Kepatuhan
Abstract Building Development Permit (IMB) policy in Depok has been implemented since 2001. There are several factors that can influance on the successful of implementation, that include citizen’s compliance. Depok has lower compliance level for implementing building development permit policy. The purpose of the researchis to describe the factor that can influencing society compliance of citizen regarding building development permit policy. Researcher used qualitative method with in-depth interview and literature study for this research. The result of this study stated that in Sawangan sub-district has factors that can affect on the level of compliance in the implementation of the policy in Depok, such as lower awareness of legal, economic motives, lower of fears the rules, clarity information, clarity sanction, and knowledge. In Limo sub-district has several factors, such as higher awareness of legal, clarity information, clarity sanction, and knowledge Keywords: Compliance; Depok; IMB; Policy Implementation
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
Pembangunan di Indonesia tergolong cepat dengan perkiraan bahwa pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menyentuh 6,3% (http://www.republika.co.id/. 2012). Luasnya wilayah Indonesia membuat Indonesia dibagi atas 33 provinsi, 399 kabupaten, dan 98 kota berdasarkan data tahun 2010 (http://djkd.depdagri.go.id/, 2010). Untuk mengatur pembangunan diseluruh wilayah Indonesia, pemerintah melakukan desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada masing-masing daerah untuk membangun wilayahnya sendiri. Menurut Sasongko (dalam
Soegijoko, Pratiwi, dan Anwar, 2011, h.202), pada
dasarnya ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan desentralisasi, yaitu tujuan demokrasi yang akan memposisikan Pemda sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional untuk terwujudnya masyarakat madani atau Civil Society dan tujuan kesejahteraan mengisyaratkan Pemda untuk menyediakan pelayanan publik untuk masyarakat lokal secara efektif, efisien dan ekonomis. Pembangunan infrastruktur, berupa pembangunan jalan, sarana transportasi, pembangunan fasilitas umum, serta pemukiman merupakan salah satu tombak bagi keberlangsungan pembangunan daerah itu sendiri. Apabila infrastruktur daerah tersebut sudah tersedia dengan baik, maka ekonomi daerah akan turut berkembang. Sehingga penting adanya pembangunan yang merata di tiap daerah. Demi terciptanya pemerataan pembangunan yang dilakukan, pemerintah membuat suatu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan RTRWN. Pada Undang-Undang tersebut, diatur mengenai ketentuanketentuan dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu. Pengertian pembangunan perkotaan menurut Sasongko (dalam Soegijoko, Pratiwi, dan Anwar, 2011, h.202) adalah semua pembangunan yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta di wilayah kota dan perkotaan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Adapun prinsip pembangunan perkotaan mengacu pada upaya desentralisasi meliputi adanya transparansi pembangunan perkotaan, demokratisasi pengambilan keputusan dan kebijakan, adanya pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat, efisiensi dan efektivitas pengelolaan pembangunan perkotaan, terciptanya percepatan dan ketepatan perumusan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan perkotaan, terwujudnya keadilan bagi setiap warga kota dan aparatnya. Pembangunan di Depok misalnya, Depok merupakan sebuah kota yang menjalankan otonomi daerah sejak tahun 1999 setelah sebelumnya bergabung dengan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
Kabupaten Bogor. Depok yang masih terbilang cukup pesat pembangunannya setelah 14 tahun menjadi kotamadya, seharusnya memperhatikan empat sektor pembangunan, yaitu kesehatan, pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan pendidikan (http://beritabatavia.com/, 2012). Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu pembangunan yang dapat dilihat secara kasat mata pencapaiannya oleh masyarakat Depok sendiri. Hal ini dapat dilihat dari berjamurnya pemukiman-pemukiman penduduk, baik berupa apartemen maupun perumahan, pasar modern, serta kondisi jalan yang merupakan penghubung antara Kota Depok dengan daerah lain yang bersinggungan langsung dengan kota tersebut, yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Bogor. Tata Kota Depok yang semakin padat akibat pembangunan kawasan perumahan atau residensial terus bertambah dan maraknya bangunan mal juga apartemen menyebabkan
fungsi-fungsi
Kota
Depok
sebagai
resapan
air
terus
berkurang
(http://property.okezone.com/, 2012). Untuk dapat menopang pembangunan di Kota Depok, khususnya pembangunan infrastruktur bangunan, baik berupa bangunan yang akan digunakan sebagai tempat usaha maupun pemukiman perlu adanya izin dalam mendirikan bangunan tersebut. Izin itu dinamakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pengertian IMB adalah izin yang harus dimiliki oleh seseorang atau badan hukum/lembaga yang akan mendirikan, merombak ataupun merobohkan bangunan di daerah. Manfaat IMB adalah memberikan kepastian hukum dan memberikan keamanan, keindahan, dan kenyamanan pada masyarakat, membantu pemerintah mengendalikan bangunan, dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pesatnya pembangunan permukiman dan perdagangan harus mengantongi izin dari Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T) Kota Depok. Adanya penerbitan izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh BPMP2T Kota Depok berdasarkan kelengkapan dokumen yang dibawa oleh pemohon izin dengan menimbang perencanaan tata ruang yang telah dibuat oleh Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok dalam rangka pemanfaatan ruangnya. Hal ini merujuk pada perbedaan potensi pembangunan antar daerah sehingga perlu adanya pembuatan rencana tata ruang kota yang dapat menjadi pedoman kota tersebut akan dibuat menjadi wilayah seperti apa. Namun pada praktiknya, masih banyak bangunan yang berdiri tanpa adanya izin. Berikut adalah data bangunan yang belum memiliki IMB DI Kota Depok periode 2009-2011: Tabel 1.1 Data Bangunan yang Belum Memiliki IMB Tahun 2009-2011 Kecamatan Sawangan Bojongsari Limo
Jumlah 23.203 17.457 16.676
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
Beji Cinere Tapos Cimanggis Sukmajaya Cilodong Pancoran Mas Cipayung Total
25.186 19.297 33.074 31.779 26.177 13.207 23.282 10.508 293.846
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok, 2012
Data diatas menunjukkan bahwa 75,97% bangunan di Kota Depok masih tidak memiliki IMB pada kisaran tahun 2009-2011. Padahal, pada tahun 2006 sudah disahkan adanya landasan hukum yang mengatur tentang izin mendirikan bangunan beserta retribusi izin mendirikan bangunannya. Merujuk pada Anderson (Anderson, 1984, h.100) yang mengatakan bahwa dalam impementasi kebijakan publik, perlu adanya suatu kepatuhan (compliance) dalam pelaksanaannya. Jika dilihat dari tabel 1.1, maka seharusnya dengan adanya Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2006 tentang Bangunan dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan merupakan salah satu kebijakan publik yang diharapkan dapat dipatuhi oleh masyarakat Kota Depok. Oleh sebab itu, permasalahan penelitian yang diangkat adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Depok berdasarkan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2006 tentang Bangunan dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan khususnya diantara Kecamatan Sawangan dengan Kecamatan Limo?. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi adanya perbedaan kepatuhan masyarakat Kota Depok dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah tersebut khususnya di Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Limo. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2006 tentang Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik. Banyak ahli yang menafsirkan definisi kebijakan publik berbeda-beda. Menurut Thomas R. Dye (Dye, 1978, h.3), “Public Policy is whatever government choose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Berdasarkan pada definisi tersebut, maka kebijakan publik meliputi segala sesuatu yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, kebijakan publik juga merupakan kebijakan-kebijakan yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui mengapa terjadi perbedaan tingkat kepatuhan dalam implementasi Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2006 tentang Bangunan dan Izin
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
Mendirikan Bangunan. Oleh sebab itu, penting adanya konsep dari implementasi kebijakan publik.Charles O. Jones (1991) secara sederhana mendefinisikan implementasi sebagai “getting the job done” dan “doing it”. Artinya, implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah, akan tetapi dalam pelaksanaannya menuntut adanya syarat: adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources. Lebih lanjut, Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Menurut Anderson, terdapat empat aspek dalam implementasi kebijakan, yaitu siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan, hakekat dari proses administrasi, kepatuhan atau ketidakpatuhan pada kebijakan, dan dampak dari pelaksanaan kebijakan. Berikut adalah tiga esensi cara yang mana lembaga administrasi atau badan pemerintah lainnya memperhatikan implementasi kebijakan publik yang dapat mempengaruhi orang untuk melakukan perilaku alternatif untuk menghasilkan kepatuhan dalam melakukan kebijakan (Anderson, 1984, h.105-106):
Pertama, untuk mencapai hasil yang diinginkan, lembaga dapat berusaha untuk membentuk, mengubah, atau memanfaatkan nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam membuat pilihan. Contohnya memberikan pendidikan maupun ajakan secara persuasif.
Kedua, lembaga dapat berusaha untuk membatasi pilihan yang tersedia untuk dapat diterima orang, seperti dengan melampirkan hukuman dengan alternatifalternatif yang tidak diinginkan dan manfaat atau keuntungan untuk alternatif yang diinginkan.
Ketiga, lembaga dapat mencoba untuk menafsirkan dan mengelola kebijakan dengan cara yang dirancang untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan mereka Pada implementasi kebijakan publik berdasarkan compliance (kepatuhan), agen
administrasi memiliki peranan sangat penting.Selain itu, adanya kepatuhan terhadap hukum, kesadaran untuk menjalankan kebijakan publik tersebut, serta adanya sanksi juga merupakan elemen penting dalam implementasi kebijakan publik berdasarkan kepatuhan. Menurut Bridgman dan Davis (2004) (dalam Suharto, 2008, h.36-39), keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh beberapa instrument yang mendukungnya. Instrumen tersebut dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu tindakan paksaan dan tindakan tanpa paksaan. Namun, dalam penelitian ini hanya digunakan instrumen pada tindakan paksaan yang terdiri dari:
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
Lisensi. Pemerintah memiliki otoritas untuk memberi lisensi atau sertifikat untuk menetapkan lembaga-lembaga mana saja yang berhak menjalankan kebijakan atau merencanakan programnya. Legislasi dan regulasi. Hukum dan perundang-undangan dapat dijadikan instrument untuk mendukung agar kebijakan dapat diterapkan. Petunjuk administrasi. Pedoman administrasi seperti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dapat memberi petunjuk kepada para petugas pelaksana untuk menjalankan program. Pelaporan. Persyaratan wajib yang diberikan kepada pihak-pihak pelaksana kebijakan untuk melaporkan aspek-aspek operasional dan keberhasilan tugasnya mengimplementasikan program. Pemajakan. Pajak dapat dijadikan alat atau insentif yang ampuh dalam memaksa orang atau lembaga yang melaksanakan suatu kegiatan. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. untuk memahami “sesuatu” yang dapat berarti banyak hal, misalnya memahami apa yang dirasakan orang lain, memahami pola pikir dan sudut pandang orang lain, memahami suatu fenomena (central phenomenon) berdasarkan sudut pandang sekelompok orang atau komunitas tertentu dalam setting alamiah (Herdiansyah, 2011, h.5). Fenomena yang dimaksud adalah dengan adanya perbedaan kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB di Kota Depok. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian yang disusun ini termasuk kedalam penelitian deskriptif karena penulis hanya ingin menggambarkan penyebab terjadinya perbedaan kepatuhan dalam implementasi kebijakan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Depok. Manfaat dari penelitian ini termasuk penelitian murni yang menjelaskan pengetahuan yang amat mendasar mengenai dunia sosial. Penelitian ini diselenggarakan dalam rangka memperluas dan memperdalam pengetahuan secara teoritis (Nawawi, 1985, h.30). Metode pengumpulan yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam hanya menggunakan pedoman secara garis besarnya saja yang mendukung tema dalam penelitian ini, dan studi kepustakaan. Lokasi penelitian yang dipilih penulis dalam penelitian skripsi ini adalah Kota Depok. Alasan penulis memilih lokasi di Kota Depok adalah berdasarkan fenomena yang ada bahwa lebih dari 75,97% bangunan (Distarkim Kota Depok, 2012) di Kota Depok tidak memiliki IMB. Selain itu
pihak
developer/investor
permukiman
juga
terkadang
membangun
jumlah
bangunan/rumah tidak sesuai dengan apa yang tercantum di dalam surat permohonan izin mendirikan bangunan. Pengambilan sample dilakukan di Kecamatan Sawangan yang
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
memiliki kepatuhan terendah, dan Kecamatan Limo yang memiliki tingkat kepatuhan tertinggi di Kota Depok. Informan dalam penelitian ini merupakan pihak-pihak yang mengerti dan menguasai proses perizinan mengenai izin mendirikan bangunan di Kota Depok. Informan penelitian ini, adalah: 1. Bapak Shandy Syamsurizal, K.H, S.Si, ME selaku Kepala Bidang Perizinan I, Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Depok. Narasumber ini dipilih oleh peneliti dengan alasan mengerti benar mengenai alur proses pelayanan dari mulai pemohon memberikan permohonan perizinan sampai dengan surat izin mendirikan bangunan itu diterbitkan 2. Bapak Haryanto, S.Sos selaku Kepala Sub Bagian Pelayanan Informasi dan Pengaduan Masyarakat, Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Depok. Narasumber ini dipilih oleh peneliti dengan alasan mengerti mengenai alur pelayanan dan juga manajemen keluhan mengenai pelayanan, khususnya IMB. 3. Bapak Rachman Daya Prasida, SH selaku Kepala Seksi Penertiban Bangunan. Narasumber ini dipilih karena penertiban bangunan merupakan salah satu aspek yang dapat dilihat dalam implementasi kebijakan IMB yaitu penegakkan sanksi terhadap bangunan yang melanggar. 4. Bapak Lutfi Fauzi, SH, M.Si selaku Kepala Bidang Penegakan Peraturan Satpol PP Kota Depok. Narasumber ini dipilih peneliti karena narasumber ini berada di bagian ujung tombak dari proses eksekusi bagi pemilik yang masih bertahan memiliki bangunan tanpa IMB 5. Tujuh orang pemohon diberikannya izin mendirikan bangunan. Narasumber ini dapat memberikan peneliti informasi mengenai alasan-alasan apa yang dapat mendorong mereka untuk mengurus izin mendirikan bangunan 6. Tujuh orang pemilik bangunan tanpa IMB. Narasumber ini dapat memberikan peneliti informasi mengenai alasan-alasan apa yang dapat mendorong mereka untuk tidak langsung mengurus IMB. Pada dasarnya terdapat begitu banyak masalah yang terdapat dalam implementasi kebijakan IMB di Kota Depok. Namun, penulis hanya membatasi penelitian pada faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB untuk bangunan rumah tinggal di Kota Depok. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa di Kecamatan Sawangan memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat seperti kesadaran hukum yang rendah, motif ekonomi, kurangnya rasa takut akan peraturan,
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
kejelasan informasi, kejelasan sanksi, dan pengetahuan. Sedangkan di Kecamatan Limo memiliki
beberapa
faktor,
tingginya
kesadaran
hukum,
ketidakjelasan
informasi,
ketidakjelasan sanksi, dan pengetahuan. Pembahasan dibagi menjadi dua bagian, yaitu analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB di Kecamatan Sawangan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB di Kecamatan Limo. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat di Kecamatan Sawangan terdiri dari kesadaran hukum yang rendah, motif ekonomi, sanksi yang kurang jelas, informasi yang kurang jelas, dan kurangnya pengetahuan. Faktor kesadaran hukum yang rendah terdiri dari tidak adanya penekanan untuk mematuhi IMB membuat masyarakat enggan untuk patuh. Hal ini disebabkan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara bangunan yang memiliki IMB maupun tidak memiliki IMB. Bangunan yang memiliki IMB tidak memiliki tanda khusus yang dapat membedakannya dengan bangunan yang tidak memiliki IMB. Sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat menganggap bahwa bangunan yang tidak memiliki IMB dapat tersamarkan karena tidak memiliki ciri khusus. Disamping itu juga seiring dengan banyaknya jumlah perumahan/town house yang ada, beberapa diantaranya dimiliki oleh developer yang bermasalah seperti manajemen yang buruk dan juga bangkrut. Contohnya adalah di Perumahan X dimana terdapat manajemen yang kurang baik dalam pelayanannya, namun pada akhirnya pembeli yang terkena dampaknya dengan adanya penundaan dalam pemberian IMB pemecahan (per-bangunan). Ditambah lagi dengan jumlah perumahan lama bermasalah yang tidak sedikit, turut berpengaruh dalam jumlah kepemilikan IMB di Kecamatan Sawangan. Umumnya, perumahan-perumahan lama yang bermasalah ini bangkrut dan akhirnya ditinggal pergi oleh developer. Sehingga urusan kepemilikan IMB menjadi tanggung jawab dari setiap pemilik bangunan. Motif ekonomi terdiri dari adanya ganti rugi apabila digusur, dan sebagai jaminan ketika meminjam uang di bank dengan jumlah besar. Munculnya kepatuhan masyarakat dalam implementasi IMB timbul ketika pesatnya perkembangan Kota Depok sebagai kawasan permukiman dengan maraknya perumahan-perumahan maupun town house yang bermunculan serta pembuatan jalan tol demi memudahkan akses bagi masyarakat Kota Depok untuk ke wilayah Kota Depok lainnya maupun kota-kota disekitar Kota Depok. Adanya IMB membuat masyarakat memiliki keuntungan atas dibayarnya bangunan yang dibebaskan oleh pemerintah.Rendahnya rasa takut atas peraturan terdiri dari pengawasan yang kurang merata di setiap wilayah, serta tidak adanya labelling atas bangunan yang tidak memiliki IMB sehingga tidak terlihat mana yang
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
patuh dan mana yang tidak. Kejelasan informasi di Kecamatan Sawangan kurang baik. Hal ini terlihat pada munculnya perbedaan tarif permohonan IMB yang di informasikan oleh pihak kelurahan maupun Ketua RT, terjadinya sosialisasi yang kurang efektif antara aparat pemerintah, developer yang terkadang ingkar janji sehingga proses kepemilikan dalam pemecahan IMB menjadi terhambat, kurangnya transparansi Pemerintah Kota Depok dalam laporan penggunaan maupun pemasukan dana dari biaya permohonan IMB yang dibebankan. Kejelasan sanksi di Kecamatan Sawangan juga masih kurang jelas. Kurangnya personil dari pengawas dalam penerapan sanksi berjalan tidak optimal. Sehingga, sulit untuk memberikan masyarakat efek jera dengan memperlihatkan bangunan yang disegel ataupun dibongkar. Sepengetahuan responden, hanya terdapat satu bangunan yang sampai pada tahap ditindak oleh aparat pemerintah. Bangunan ditindak dengan cara dibongkar, dan terletak di pinggir jalan raya. Pengetahuan yang kurang di Kecamatan Sawangan disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat asli Kota Depok yang bermukim di kecamatan tersebut dengan pola pikir “ini tanah punya gue, mau gue apain kenapa harus izin pemerintah? Bayar lagi”. Sehingga dengan adanya pola pikir tersebut, mereka menganggap bahwa memiliki IMB tidak ada manfaatnya. Tabel 1.2 Karakteristik Masyarakat Kecamatan Sawangan Kelurahan Kelurahan Kedaung Kelurahan Sawangan
Kelurahan Cinangka Kelurahan Sawangan Baru
Kelurahan Bedahan Kelurahan Pengasinan Kelurahan Pasir Putih
Karakteristik Kepadatan tinggi Laju pertumbuhan penduduk tinggi, Jumlah angka kerja tinggi, Pendatang tertinggi, dan Angka lahir tinggi Jumlah penduduk terkecil, dan Pendatang terendah Laju pertumbuhan penduduk terkecil, dan Penduduk lulusan Perguruan Tinggi banyak Jumlah penduduk paling banyak, dan Kepadatan rendah Tidak tamat SD tertinggi, dan Bermata pencaharian petani cukup tinggi Penduduk pindah tinggi, dan Angka mati kecil Sumber: Diolah oleh peneliti, 2012
Karakteristik masyarakat Kecamatan Sawangan dengan pendidikan terakhir tidak tamat SD tertinggi yang berada di Kelurahan Pengasinan membuat kepatuhan masyarakat di kelurahan tersebut terendah di tingkat Kecamatan Sawangan. Berdasarkan data yang telah di
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
dapat dari Distarkim Kota Depok, terdapat 4.352 bangunan yang belum memiliki IMB. Sedangkan untuk karakteristik responden, umumnya memiliki pendidikan umumnya tamat SMA yang membuat pengetahuan mereka akan manfaat dan sanksi dari implementasi kebijakan IMB menjadi sangat minim. Pola pikir masyarakat asli Kota Depok yang kurang mengerti pentingnya IMB disebabkan oleh komunikasi yang kurang jelas dari Pemerintah Kota Depok. Sosialisasi mengenai IMB biasanya dilakukan hanya pada saat awal diumumkannya Peraturan Daerah itu terbentuk. Padahal tidak semua masyarakat mengetahui informasi tersebut. Ditambah lagi, informasi yang disampaikan oleh Pemerintah Kota Depok melalui pihak kecamatan maupun kelurahan tidak sampai seutuhnya kepada masyarakat. Sehingga pendidikan terakhir juga berpengaruh dalam tumbuhnya kepatuhan masyarakat. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB di Kecamatan Limo adalah kesadaran hukum yang tinggi, sanksi yang kurang jelas, informasi yang kurang jelas, dan pengetahuan yang mencukupi. Kesadaran hukum yang tinggi berupa Sebagian besar yang memiliki kesadaran untuk taat kepada kebijakan memiliki IMB ini adalah penduduk pendatang. Walaupun ada pula penduduk asli yang ditemui oleh peneliti yang sudah memiliki IMB. Umumnya masyarakat yang memiliki kesadaran untuk patuh kepada kebijakan IMB adalah masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi maupun yang bekerja sebagai aparat pemerintah (RT, RW, Kelurahan). Sedangkan untuk penduduk pendatang lebih kearah saat membeli rumah atau ingin membangun rumah, dengan secara langsung memeriksa kelengkapan surat-surat seperti akta jual beli, sertifikat rumah, dan IMB. Namun, apabila bangunan yang dibeli tidak memiliki IMB, pembeli bangunan biasanya langsung mengurus persyaratan untuk kemudian dibuat IMB. Di Kecamatan Limo, dalam penerapan sanksi masih terdapat adanya tawar-menawar antara oknum aparat pemerintah dengan pelanggar. Hal ini senada diungkapkan oleh Bapak Aman, seorang wiraswasta mengatakan: “Dulu pernah ada yang kesini. Seragamnya sih PNS. Mau ngasih surat SP. Tapi ditawarin kalo mau „damai‟ juga bisa. Bayar kira-kira 200 ribu-300 ribu. Sampe sekarang udah gak ada yang kesini lagi” (Hasil wawancara dengan Bapak Aman, 8 Juli 2012) Adanya tawar-menawar dalam pemberian sanksi menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah lemah. Pengawasan masalah IMB dilakukan oleh Distarkim bagian pengawasan dan pengendalian. Setiap wilayah kecamatan hanya dipegang oleh satu sampai dua orang. Kejelasan informasi yang ada di Kecamatan Limo dinilai kurang. Contoh
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
dari perbedaan informasi yang terjadi adalah masalah biaya pembuatan IMB. Jumlah biaya yang berbeda di setiap kelurahan membuat masyarakat bingung atas keresmian biaya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Depok. Kecurigaan akan adanya additional cost juga muncul seiring dengan perbedaan informasi yang diberikan oleh aparat pemerintah di tingkat kelurahan. Perbedaan dalam penghitungan IMB yang dilakukan oleh BPMP2T umumnya tidak diketahui oleh masyarakat. Masyarakat hanya mengetahui total biaya yang harus dibayar sehingga seringkali menimbulkan kesalahpahaman. Adanya biaya tambahan dalam pengurusan IMB juga menjadi penyebab dari mahalnya biaya untuk memiliki IMB. Biaya tambahan ini umumnya disebut dengan uang rokok atau uang jalan oleh oknum aparat yang menawarkan jasa untuk mengurus IMB. Masyarakat yang menggunakan jasa dari oknum itu biasanya adalah masyarakat yang tidak mau repot atau hanya ingin terima beres, dan juga sibuk bekerja. Sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota dalam implementasi kebijakan IMB di Kota Depok tidak hanya diberikan kepada masyarakat, tetapi juga diberikan kepada aparat pemerintah. Sosialisasi dilakukan agar aparat juga memahami secara jelas mengenai seluk-beluk kebijakan IMB guna menghindari adanya ketidakjelasan informasi di masyarakat. Selain itu juga menghindari timbulnya kepentingan pribadi diantara aparat pemerintah di tingkat kelurahan dan kecamatan, contohnya adalah additional cost dalam mengurus IMB seperti pungutan ketika memberi cap persetujuan permohonan IMB di kelurahan maupun kecamatan. Penerapan sanksi terdiri dari beberapa tahapan. Tahap awal adalah berupa teguran. Teguran ini dapat diberikan oleh Ketua RT, pihak kelurahan, maupun pengawas yang sedang bertugas kepada masyarakat yang tidak memiliki IMB maupun yang memiliki bangunan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ketika tahapan ini tidak dihiraukan oleh pelanggar, maka Distarkim akan mengirimkan surat peringatan kepada pelanggar. Surat peringatan ini pun juga terdiri dari surat peringatan pertama hingga surat peringatan ketiga. Apabila pelanggar sudah memperbaiki kesalahannya, baik mengurus permohonan IMB maupun memperbaiki bangunan sesuai dengan ketentuan pemerintah. Pelanggar yang telah memperbaiki kesalahannya, namanya akan dipajang pada situs Pemerintah Kota Depok, dan selanjutnya permasalahannya tidak akan dilanjutkan pada penindakan. Sanksi terakhir dilakukan apabila dengan adanya surat peringatan, pelanggar tetap bersikeras tidak mau mengikuti ketentuan kebijakan IMB yang berlaku. Satpol PP memiliki kewenangan atas penerapan sanksi terakhir yang berupa penindakan. Penindakan ini bisa berupa penghentian pembangunan, pencabutan kembali atas izin yang telah diberikan, maupun pembongkaran. Kebijakan IMB di Kota Depok ditujukan sebagai upaya pemerintah untuk mengendalikan bangunan yang berdiri di Kota Depok. Pengendalian ini dilakukan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
dengan cara pemberian standar ketemtuan yang terdapat pada Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2006 tentang Bangunan dan Retribusi IMB. Sedangkan untuk pemberian beban biaya, diberikan untuk biaya tim teknis dalam meninjau bangunan, biaya administrasi, dan juga menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Depok. Pada sebagian orang adanya pemajakan ini nampaknya malah membuat masyarakat menjadi enggan untuk mematuhi kebijakan IMB. Masyarakat menganggap biaya yang ditetapkan terlalu mahal. Padahal, Pemerintah Kota Depok memberikan sanksi apabila masyarakat tidak memiliki IMB, telat membuat IMB, tidak memperbaharui IMB apabila merubah telah merubah bangunan, serta membuat bangunan yang melanggar ketentuan yang terdapat di Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2006. Pemajakan ini membuat masyarakat di Kecamatan Limo sadar akan kewajibannya untuk membayar pajak, sehingga mereka memutuskan untuk patuh mengimplementasikan kebijakan IMB. Faktor pengetahuan mengenai kepatuhan masyarakat dalam implementasi IMB di Kecamatan Sawangan sudah terbilang baik. Meskipun fasilitas di Kecamatan Limo tidak selengkap di Kecamatan Sawangan, khususnya untuk fasilitas kesehatan. Namun, letak Kecamatan Limo yang berbatasan dengan Kecamatan Cinere membuat Kecamatan Limo terpenuhi kebutuhan akan fasilitas penunjang. Apalagi mengingat Kecamatan Cinere berbatasan langsung dengan Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta. Kawasan Cinere yang terkenal dengan kawasan elit dimana Kecamatan Cinere merupakan kecamatan dengan NJOP tertinggi di Kota Depok. Oleh sebab itu, Kecamatan Limo seolah menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin memiliki tempat tinggal disekitar Kecamatan Cinere dengan harga yang lebih rendah. Developer menganggap hal ini sebagai suatu lahan potensial. Sehingga meskipun jumlah perumahan tidak banyak, namun tetap diminati oleh masyarakat. Khususnya di Kelurahan Limo maupun Kelurahan Krukut yang berbatasan dengan Kecamatan Cinere, pihak developer menggunakan taktik branding dengan memakai nama “Cinere” sebagai nama perumahan yang dibangunnya. Padahal, perumahan yang mereka bangun masih berada di wilayah Kecamatan Limo, bukan Kecamatan Cinere. Pengetahuan masyarakat untuk patuh mengimplementasikan kebijakan IMB lebih tinggi di Kecamatan Limo. Hal ini didasari oleh penduduk pendatang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, serta kesadaran masyarakat untuk memiliki IMB karena menyadari bahwa wilayahnya berbatasan dengan Kecamatan Cinere yang memiliki NJOP tertinggi di Kota Depok, dan kemungkinan akan menjadi investasi di kemudian hari. Selain itu memang tingkat pendidikan di Kecamatan Limo lebih tinggi, terutama di Kelurahan Limo. Sehingga memang untuk menyadari pentingnya memiliki IMB dalam kepemilikan bangunan,
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
masyarakat harus memiliki pengetahuan yang lebih. Mencari tahu lewat internet, membaca buku, maupun bertanya kepada orang yang memiliki kompetensi yang baik di bidangnya. Kepatuhan merupakan hal yang penting dalam implementasi kebijakan IMB. Kepatuhan dapat mendorong seseorang untuk mengimplementasikan kebijakan IMB. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB di Kota Depok, yaitu kesadaran hukum, rasa takut atas peraturan, motif ekonomi, kejelasan sanksi, kejelasan informasi, dan pengetahuan. Di Kecamatan Sawangan yang di dominasi oleh masyarakat asli Kota Depok, ditemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB adalah kesadaran hukum yang rendah, motif ekonomi, sanksi yang kurang jelas, informasi yang kurang jelas, dan kurangnya pengetahuan. Sedangkan di Kecamatan Limo, sebagian besar masyarakatnya sudah bercampur dengan masyarakat pendatang. faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam implementasi kebijakan IMB di Kecamatan Limo adalah kesadaran hukum yang tinggi, sanksi yang kurang jelas, informasi yang kurang jelas, dan pengetahuan yang mencukupi. Berdasarkan simpulan diatas, maka peneliti memberi beberapa saran berupa: 1. Penyesuaian jumlah pengawas terhadap luas wilayah tanggung jawab kerja sehingga seluruh wilayah Kota Depok dapat diawasi secara merata serta kinerja tim teknis untuk meninjau bangunan tidak mengganggu SOP penerbitan IMB yang dilakukan oleh BPMP2T 2. Sosialisasi yang lebih digencarkan terutama untuk sosialisasi kepada aparat, serta dalam penyampaiannya dicek kembali apakah informasi yang sampai kepada masyarakat, sama dengan informasi yang diberikan oleh pemerintah (BPMP2T maupun Distarkim Kota Depok) 3. Pemberian sanksi yang lebih tegas untuk membuat efek jera bagi masyarakat yang melanggar kebijakan IMB 4. Laporan penerimaan serta penggunaan biaya yang dipungut untuk bisa mendapatkan IMB secara transparan dengan menampilkan di situs Pemerintah Kota Depok 5. Merubah pola pikir masyarakat dengan menjelaskan pentingnya mematuhi kebijakan IMB dan menjelaskan sanksi yang akan diberikan apabila melanggar dengan cara persuasif, dengan cara melakukan pendidikan maupun dengan menggunakan spanduk atau brosur yang mengingatkan pentingnya mematuhi kebijakan IMB 6. Fitur pada situs BPMP2T Kota Depok ditambah dengan fitur komentar, tarif retribusi dengan mengacu pada Peraturan Daerah yang baru, yaitu Peraturan Daerah Kota
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
Depok Nomor 12 Tahun 2012 tentang Retribusi IMB sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi terbaru dan akurat tanpa harus datang ke BPMP2T dan terhindar dari percaloan 7. Adanya persamaan standar operasional penerbitan IMB antara BPMP2T dengan Distarkim, agar tidak terjadi pelemparan tanggung jawab jika terjadi keterlambatan dalam penerbitan IMB
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013
DAFTAR REFERENSI Buku: Anderson, James E. 1984. Public Policy Making, Third Ed. New York: CBS College Publishing. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kota Depok. 2010. Laporan Akhir Penyusunan Identifikasi Potensi Masalah, dan Penjaringan Issue RTRWN Kota Depok (2010-2030). Depok: Pemerintah Kota Depok Dye, Thomas R. 1978. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc. Herdiansyah, Haris. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada Soegijoko, Budhy TS, Nila Ardhyarini Hayuning Pratiwi, dan Aris Choirul Anwar. 2011. Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Tjokroamidjojo, Bintoro. 1980. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: PT Gunung Agung --------------------------------. 1981. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus. Edisi Revisi. Yogyakarta: PT Buku Seru
Sumber Internet: Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. 2010. Data Luas Wilayah Tahun 2010 Provinsi, Kabupaten/Kota. Available at: http://djkd.depdagri.go.id/?jenis=dbstatis&kodedoc=7 [2012, 10 Desember] Redaksi. Persyaratan Pengajuan KPR Mandiri. Available mandiri.com/persyaratanumum.htm [2012, 15 Desember]
at:
http://www.dana-
Rini, Citra Listya. 2012. Bank Dunia: 2013 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 6,3 Persen. Available at: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/12/12/18/mf7y5i-bankdunia-2013-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-63-persen [2012, 18 Desember]
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ..., Lia Kusumawardhani, FISIP UI, 2013