FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI INTERNAL DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH
DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013 Dwinda Larasati Widyaputri NIM H14090019
ABSTRAK DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI. Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI. Migrasi merupakan fenomena yang terjadi akibat adanya disparitas antar daerah. Banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan migrasi, salah satunya karena perekonomian di daerah tersebut dan tersedianya lapangan pekerjaan. Arus migrasi masuk di Indonesia cenderung terpusat pada daerahdaerah berpendapatan tinggi, padahal tingkat pengangguran di daerah tersebut juga tinggi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan beberapa provinsi lainnya. Salah satu upaya untuk mengurangi jumlah migrasi adalah dengan melakukan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah ini memberikan kesempatan bagi masing-masing daerah untuk membangun daerahnya sendiri, sehingga diharapkan dapat mengatasi disparitas antar daerah. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor pendorong dan faktor penarik yang memengaruhi migrasi internal di Indonesia sebelum dan setelah otonomi daerah. Metode yang digunakan adalah model ekonometrika dengan data panel. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa variabel yang dianalisis yaitu PDRB per kapita, upah minimum, penduduk tamatan pendidikan tinggi dan menengah berpengaruh positif terhadap migrasi. Sementara itu jumlah pengangguran dan dummy otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap migrasi. Berdasarkan hasil estimasi model, adanya otonomi daerah dapat mengurangi jumlah migrasi masuk. Kata kunci : migrasi, PDRB per kapita, pengangguran, otonomi daerah, data panel ABSTRACT DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI. The Factors Affecting Internal Migration in Indonesia Before and After Regional Autonomy. Supervised by YETI LIS PURNAMADEWI Migration is a phenomenon that occurs due to regional disparities. Many of the factors drive a person to do the migration, such as the economic growth in the region and the availability of jobs. Migration flows in Indonesia tend to be concentrated in high-income areas, while the unemployment rate is also high in the area, such as DKI Jakarta, West Java, and some other provinces. One effort to reduce the amount of migration is to perform regional autonomy. This regional autonomy provides an opportunity for each region to build their own country, which is expected to overcome regional disparities. This study aims to analyze the factors that push and pull factors affecting internal migration in Indonesia before and after the regional autonomy. The method used is the econometric model with panel data. The estimation of the model showed that variables were analyzed, namely GDP per capita, minimum wages, and population of secondary and higher education graduates, positively influence migration. Meanwhile, unemployment and dummy of regional autonomy negatively influence migration. Based on the estimation of the model, regional autonomy can reduce the amount of migration. Keywords : migration, GDP per capita, unemployment, regional autonomy, panel data
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI INTERNAL DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH
DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Nama : Dwinda Larasati Widyaputri NIM : H14090019
Disetujui oleh
Dr. Yeti Lis Purnamadewi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Dedi Budiman Hakim Ketua Departemen
Tanggal lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah migrasi, dengan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah”. Skripsi ini merupakan hasil karya penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Namun pada akhirnya, karya ilmiah ini berhasil penulis selesaikan atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan terimakasih kepada : 1. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc, Agr selaku dosen pembimbing atas saran dan bimbingan yang diberikan dalam penulisan karya ilmiah ini. 2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si., selaku dosen penguji utama dan Laily Dwi Arsyianti, M.Sc selaku penguji komisi pendidikan atas kritik dan masukan yang positif dalam penyempurnaan penulisan. 3. Seluruh dosen dan staff Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan ilmu serta bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 4. Ibunda tercinta, Enny Andrias atas doa dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis. Serta kakak dan adik yang telah memberikan semangat dalam penyelesaian karya ilmiah ini. 5. Sahabat seperjuangan, Farah Meiska, Andrian TS, Tiara Natalia dan Adini atas dukungan serta saran dan kritik yang diberikan. 6. Sahabat sekaligus keluarga Dramaga Cantik, Niken Larasati, Listya Purnamasari, Titiek Ujianti dan Ratu Sarah atas kebersamaan dan dukungannya selama ini. 7. Sahabat tercinta, Perdana Kumara, Distia Auliandyni, Galuh Raga serta teman-teman Ilmu Ekonomi 46 lainnya atas kebersamaan, dukungan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013
Dwinda Larasati Widyaputri
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Definsi, Konsep, dan Model Migrasi Konsep Otonomi Daerah dan Kaitannya dengan Migrasi Model Pertumbuhan Ekonomi Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Perumusan Model Pemilihan Model Data Panel Uji Asumsi Model Definisi Operasional Variabel GAMBARAN UMUM Kondisi Geografis dan Kependudukan Indonesia Kondisi Migrasi Internal di Indonesia Kondisi Perekonomian Kondisi Angkatan Kerja Kondisi Upah HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi keluar Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Masuk di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii vii viii 1 1 5 8 8 9 9 9 13 15 20 21 23 23 23 24 25 26 27 28 29 29 31 32 33 36 39 39 44 47 51 51 52 52 55 62
vii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Produk Domestik Regional Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi 2009-2011 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut provinsi, 2008-2012 Kerangka identifikasi autokorelasi Jumlah kepadatan penduduk tiap provinsi (km2 ) Jumlah migran masuk seumur hidup dan migran keluar menurut pulau tahun 1990-2005 Persentase migran seumur hidup menurut usia dan jenis kelamin Produk Domestik Bruto (PDRB) Indonesia menurut lapangan usaha tahun 2009-2012 Penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan tahun 2010-2012 Pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2010-2012 Jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 1990-2000 Jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 2005-2010 Persentase migran neto tahun 1990-2010 Hasil uji normalitas model faktor-faktor yang memengaruhi migrasi Korelasi antar variabel model persamaan migrasi Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk sebelum dan setelah otonomi daerah
4 7 28 30 31 32 33 34 35 41 42 45 48 48 49
DAFTAR GAMBAR 1 Migrasi masuk seumur hidup beberapa provinsi di Indonesia 2 Persentase migran seumur hidup tahun 2010 3 Kurva fungsi produksi 4 Pertumbuhan populasi dalam model Solow 5 Dampak pertumbuhan populasi terhadap perekonomian 6 Kerangka pemikiran 7 Jumlah penduduk Indonesia 8 Upah nominal pekerja produksi/pelaksana menurut lapangan usaha tahun 2007, 2011-2012 9 Perkembangan rata-rata upah minimum seluruh provinsi Indonesia sebelum otonomi daerah 10 Perkembangan rata-rata upah minimum seluruh provinsi Indonesia setelah otonomi daerah 11 Tren persentase migran seumur hidup 1990-2010 10 Persentase migran keluar seumur hidup tahun 2010
2 3 16 18 19 22 29 36 37 38 39 46
viii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Upah Minimum Nominal dan Riil Menurut Provinsi Tahun 2010-2012 Hasil Estimasi Model Pooled Least Square Hasil Estimasi Model Fixed Effect Hasil Estimasi Model Random Effect Hasil Uji Chow dan Uji Hausman Hasil Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Cross Section Effect Model Migrasi
55 56 57 58 59 60 61
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perbedaan luas wilayah dan karakteristik masing-masing daerah di Indonesia menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Hal ini juga tentunya dipengaruhi oleh faktor lain seperti potensi daerah, tenaga kerja, ketersediaan sumberdaya dan lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di daerah lain biasanya menyebabkan terjadinya migrasi antar daerah. Migrasi merupakan perpindahan seseorang dari suatu daerah ke daerah lain, baik dari desa ke kota ataupun sebaliknya, secara permanen. Meningkatnya arus migrasi penduduk ini tentunya dipengaruhi banyak hal, seperti kondisi perekonomian di daerah tersebut, ketersediaan lapangan pekerjaan, upah minimum regional, daya tarik kota, serta kehidupan yang lebih modern. Tingginya jumlah migran yang masuk setiap tahunnya tentu menimbulkan dampak tersendiri bagi suatu daerah seperti masalah kepadatan penduduk, kemacetan, berkurangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan dan masih banyak dampak yang lainnya. Seseorang dikatakan sebagai migran seumur hidup jika provinsi atau kabupaten/kota tempat lahirnya berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang. Sementara itu, seseorang dikatakan sebagai migran risen apabila provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal 5 tahun lalu berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang. (BPS, 2010) Beberapa daerah di Indonesia menjadi tempat tujuan penduduk untuk melakukan migrasi, seperti DKI Jakarta yang merupakan Ibukota, Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Lampung yang memiliki jumlah migran masuk paling besar. Jumlah migrasi ini juga terus mengalami peningkatan pada tahuntahun berikutnya. Gambar 1 menunjukkan arus migrasi masuk seumur hidup ke beberapa provinsi di Indonesia. Apabila diurutkan maka provinsi yang memiliki jumlah migran masuk terbesar adalah Jawa Barat, disusul kemudian DKI Jakarta, Riau, Lampung, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Keenam provinsi ini memiliki jumlah migrasi masuk yang lebih besar apabila dibandingkan dengan rata-rata migrasi masuk Indonesia. Tidak hanya itu, jumlah migran yang masuk ke provinsi-provinsi tersebut juga melebihi jumlah migran yang keluar dari provinsiprovinsi tersebut. Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 1, di tahun 1971 jumlah migran masuk ke provinsi Riau dan Kalimantan Timur masih lebih rendah dibandingkan jumlah migran masuk rata-rata Indonesia, namun setelah tahun 1980 jumlah migran masuk keenam provinsi ini terus melebihi jumlah migran masuk rata-rata Indonesia hingga tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa keenam provinsi inilah yang menjadi tujuan utama penduduk melakukan migrasi. Jumlah migrasi masuk sampai tahun 2010 paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun apabila dilihat dari persentasenya, provinsi dengan persentase migrasi masuk paling tinggi adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Lampung. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 yang menunjukkan persentase migran seumur hidup terhadap jumlah penduduk masing-masing provinsi pada tahun 2010. Provinsi-provinsi yang memiliki persentase migran masuk seumur hidup paling tinggi adalah DKI Jakarta yaitu 42,5 persen,
2
Kalimantan Timur yaitu 36,8 persen, Riau yaitu 34,5 persen dan Banten yaitu 26 persen. Berdasarkan gambar, provinsi-provinsi ini memiliki jumlah persentase migran masuk yang lebih besar daripada jumlah persentase migran keluar. Artinya provinsi-provinsi tersebut memang menjadi tempat tujuan paling banyak untuk bermigrasi. Sementara itu di provinsi-provinsi lainnya, seperti Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, persentase jumlah migran keluar justru melebihi persentase migran masuk. Sehingga ada kemungkinan bahwa tingginya persentase migrasi masuk di sejumlah provinsi tertentu berasal dari provinsi-provinsi tersebut yang memiliki persentase jumlah migrasi keluar paling tinggi. 6,000,000 5,000,000
Lampung
4,000,000
Riau
3,000,000
DKI Jakarta
2,000,000
Jawa Barat
Kalimantan Timur
1,000,000
Sumatera Selatan
0
Rata-rata Indonesia
1971
1980
1990
2000
2010
Tahun Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Gambar 1 Migrasi masuk seumur hidup beberapa provinsi di Indonesia Menurut Todaro dan Smith (2006), pada awalnya para ekonom memandang migrasi sebagai suatu hal yang positif dalam pembangunan. Migrasi internal (migrasi antar daerah dalam satu negara) dianggap sebagai proses alamiah yang akan menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah-daerah perdesaan ke sektor industri modern di kota-kota yang daya serapnya lebih tinggi. Proses ini dipandang positif secara sosial, karena memungkinkan berlangsungnya suatu pergeseran sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjinalnya tidak hanya positif tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi. Kenyataannya, tingkat migrasi di negara-negara berkembang saat ini, seperti Indonesia salah satunya, telah jauh melampaui tingkat penciptaan atau penambahan lapangan pekerjaan, sehingga migrasi yang saat ini berlangsung sedemikian deras telah jauh melampaui daya serap sekor-sektor industri maupun jasa-jasa pelayanan sosial yang ada di daerah-daerah perkotaan. Dengan demikian, fenomena migrasi tidak bisa lagi dipandang sebagai suatu hal yang positif untuk mengatasi permintaan tenaga kerja di daerah perkotaan. Sebaliknya, sekarang migrasi justru menyebabkan surplus tenaga kerja di perkotaan secara berlebihan sehingga memperburuk masalah pengangguran di daerah perkotaan.
3
Migrasi yang semula dianggap sebagai transfer tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan atau dari suatu provinsi ke provinsi lainnya, justru berdampak pada aspek lainnya seperti perekonomian dan masalah kependudukan. Tingginya tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di berbagai daerah salah satunya disebabkan oleh migrasi, sehingga perlu adanya kebijakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dengan mengatasi jumlah migrasi yang berlebihan di sejumlah provinsi.
Sumber : BPS (2010)
Gambar 2 Persentase migran seumur hidup tahun 2010 Tingginya arus migrasi yang masuk dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada daerah-daerah yang memiliki pendapatan per kapita yang tinggi, tetapi juga pada daerah yang memiliki pendapatan per kapita di bawah rata-rata Indonesia. Tabel 1 menunjukkan jumlah PDRB di masing-masing provinsi di Indonesia. Berdasarkan data yang tersaji pada tabel, provinsi dengan nilai PDRB tertinggi adalah DKI Jakarta yaitu sebesar 422 163 miliar rupiah pada tahun 2011, disusul kemudian provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Provinsi DKI Jakarta juga merupakan salah satu provinsi yang memiliki PDRB per kapita tertinggi. Dengan kondisi demikian, maka jelaslah bahwa Provinsi DKI Jakarta menjadi tempat tujuan utama penduduk melakukan migrasi. Hal yang sama juga dialami oleh provinsi-provinsi lainnya seperti Kalimantan Timur, Riau dan Kepulauan Riau. Provinsi-provinsi ini memiliki jumlah PDRB per kapita yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan provinsiprovinsi lainnya, dengan PDRB yang meningkat setiap tahunnya dan jumlah PDRB per kapita yang melebihi PDRB per kapita Indonesia, yaitu sebesar 10 219 ribu rupiah di tahun 2011. Sehingga jelas membuat provinsi-provinsi ini menjadi tempat tujuan utama penduduk bermigrasi.
4
Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi, 2009-2011 PROVINSI
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat INDONESIA Sumber : BPS (2011)
PDRB ADHK 2000 (Miliar Rupiah) 2009 32 219 111 559 36 683 93 786 38 319 16 275 60 453 10 270 7 860 36 256 371 469 303 405 83 454 176 673 20 064 320 861 27 291 28 757 17 658 29 052 105 565 17 150 2 711 16 208 47 326 4 239 10 769 18 874 11 921 3 993 2 812 23 138 7 287
2010 33 118 118 641 38 860 97 707 41 076 17 471 63 858 10 879 8 336 38.378 395 634 322 224 88 526 186 995 21 044 342 281 28 881 30 300 18 804 30 674 110 887 18 377 2 917 17 626 51 200 4 744 11 650 20 070 12 544 4 251 3 036 22 407 9 366
2011 34 780 126 451 41 276 102 606 43 817 18 962 68 011 11 575 8 869 40 829 422 163 343 111 94 222 198 226 22 130 366 984 30 754 32 101 20 071 32 553 115 244 19 734 3 141 19 240 55 117 5 238 12 662 19 432 13 250 4 507 3 230 21 138 11 916
2 178 850
2 313 838
2 463 242
PDRB Per Kapita ADHK 2000 (Ribu Rupiah) 2009 2010 2011 7 312 7 369 7 565 8 676 9 139 9 650 7 657 8 018 8 416 17 480 17 642 17 880 23 841 24 462 24 829 5 384 5 650 5 982 8 248 8 571 8 972 8 633 8 894 9 174 4 649 4 859 5 091 4 817 5 044 5 309 39 144 41 178 43 390 7 166 7 484 7 829 8 045 8 326 8 625 5 471 5 775 6 113 5 855 6 087 6 346 8 617 9 133 9 738 7 149 7 423 7 744 6 593 6 893 7 249 8 109 8 500 8 924 8 152 8 458 8 810 30 731 31 208 31 227 7 638 8 093 8 594 2 659 2 805 2 956 6 258 6 689 7 169 5 950 6 372 6 791 3 747 4 095 4 405 4 913 5 218 5 561 4 237 4 460 4 275 2 592 2 678 2 774 2 669 2 772 2 860 2 769 2 924 3 038 8 564 7 908 7 066 9 904 12 317 15 103 9 294
9 737
10 219
Provinsi yang menjadi tujuan bermigrasi tidak hanya provinsi-provinsi yang maju saja. Apabila dilihat dari persentase jumlah migrasi masuknya, Provinsi Lampung juga termasuk salah satu yang memiliki persentase yang tinggi, begitu juga dengan Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah. Padahal provinsi-provinsi tersebut memiliki PDRB per kapita yang berada di bawah PDRB per kapita Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya provinsi maju saja yang menjadi tujuan utama bermigrasi melainkan ada daya tarik lain dari setiap provinsi yang membuat penduduk bermigrasi ke provinsi tersebut. Pada tahun 2001, pemerintah membuat suatu kebijakan baru yaitu otonomi daerah. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
5
perundang-undangan. Adanya otonomi daerah ini bertujuan agar masing-masing daerah memiliki kewenangan untuk membangun daerahnya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai salah satu upaya pemerataan pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah. Hal ini sebenarnya dapat memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya program-program baru pemerintah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Pelaksanaan otonomi daerah ini memberikan keuntungan sendiri bagi suatu daerah dimana pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan sehingga migrasi keluar dapat dicegah. Pada hakekatnya, migrasi merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Meningkatnya jumlah migran masuk ke beberapa provinsi di Indonesia, tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu tujuan seseorang melakukan migrasi adalah untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik. Apabila migran yang masuk memiliki kualitas dan kapabilitas yang baik, hal ini dapat menambah jumlah tenaga kerja yang produktif di provinsi tersebut. Dengan produktivitas tenaga kerja yang meningkat tentunya akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan PDRB tidak hanya didukung oleh hasil alam tetapi juga bagaimana pengolahan dan produktivitas tenaga kerjanya. Hal ini akan membawa dampak yang positif bagi provinsi-provinsi yang `menjadi tempat tujuan bermigrasi. Namun di sisi lain, meningkatnya jumlah penduduk juga dapat mengurangi kesempatan kerja. Apabila pertumbuhan penduduk telah melampaui ketersediaan lapangan pekerjaan, tentunya hal ini akan memperburuk masalah pengangguran. Perumusan Masalah Migrasi merupakan fenomena perpindahan penduduk yang terjadi karena adanya disparitas antar daerah. Jumlah migrasi yang semakin meningkat menyebabkan masalah kepadatan penduduk bagi suatu daerah. Banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan migrasi, salah satunya karena pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut dan tersedianya lapangan pekerjaan. Beberapa provinsi yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi memang menjadi tempat tujuan utama bermigrasi, seperti DKI Jakarta yang merupakan peringkat pertama dengan pendapatan per kapita sebesar 43 390 ribu rupiah di tahun 2011, kemudian Kalimantan Timur dengan peringkat ke dua yaitu pendapatan per kapita sebesar 31 227 ribu rupiah, dan Kepulauan Riau yang berada pada peringkat ke tiga dengan pendapatan per kapita sebesar 24 829 ribu rupiah. Namun jumlah migrasi masuk yang terus meningkat juga dialami oleh provinsi-provinsi lain yang pendapatan per kapitanya di bawah pendapatan per kapita Indonesia, seperti Provinsi Lampung, Jambi, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah. Apabila dilihat dari persentase jumlah migrasi masuk, provinsi-provinsi ini memiliki persentase yang cukup tinggi. Padahal provinsiprovinsi ini memiliki pendapatan per kapita yang berada di bawah rata-rata
6
Indonesia. Provinsi Jambi memiliki persentase jumlah migrasi masuk sebesar 23,9 persen sementara pendapatan per kapita hanya 5 982 ribu rupiah. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki persentase jumlah migrasi masuk sebesar 23,8 persen sementara pendapatan per kapita juga masih berada dibawah rata-rata Indonesia yaitu 8 924 ribu rupiah. Begitu juga dengan provinsi lainnya yang memiliki pendapatan per kapita rendah namun tetap menjadi tempat tujuan migrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan suatu daerah bukanlah alasan utama mengapa penduduk bermigrasi, melainkan ada faktor-faktor lainnya. Apabila dilihat berdasarkan perkembangan migrasi masuk dari tahun ke tahun, jumlah migrasi cenderung terus meningkat di beberapa daerah yang merupakan daerah dengan pendapatan per kapita tertinggi. Setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi yaitu otonomi daerah, seharusnya masing-masing daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga jumlah migrasi keluar dapat ditekan. Namun ternyata beberapa daerah maju tetap menjadi tujuan utama migrasi sementara daerah-daerah lain tetap ditinggalkan penduduknya meskipun daerah tersebut sudah mengalami peningkatan ekonomi melalui adanya otonomi daerah. Meningkatnya jumlah migrasi tidak hanya menimbulkan masalah kepadatan penduduk melainkan juga menimbulkan masalah pengangguran, karena penduduk asli harus bersaing dengan penduduk migran untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data dari BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) beberapa provinsi di Indonesia memang mengalami penurunan, tetapi tingkat pengangguran yang masih di atas rata-rata Indonesia tidak menghalangi niat penduduk untuk bermigrasi ke daerah tersebut. Tabel 2 menjelaskan besarnya tingkat pengangguran masing-masing provinsi di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS, provinsi yang memiliki tingkat pengangguran paling tinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan Kalimantan Timur. Apabila dilihat, daerah-daerah ini merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang besar. Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, meskipun merupakan provinsi dengan pertumbuhan PDRB yang tinggi dan menjadi salah satu tempat tujuan untuk bermigrasi, namun masih memiliki tingkat pengangguran yang tinggi. Berdasarkan data yang tersaji dalam tabel, tingkat pengangguran terbuka di Kalimantan Timur pada tahun 2012 sebesar 9.2 persen, sementara itu DKI Jakarta dan Jawa Barat memiliki tingkat pengangguran terbuka sebesar 10.72 persen dan 9.8 persen, angka ini melebihi tingkat pengangguran terbuka Indonesia yaitu sebesar 6.32 persen. Dari seluruh provinsi di Indonesia, provinsi yang memiliki tingkat pengangguran terbuka paling tinggi adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten, disusul kemudian Provinsi Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara. Tingkat pengangguran di beberapa provinsi ini memang mengalami penurunan, tapi angka ini masih berada di atas tingkat pengangguran Indonesia dan masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya secara keseluruhan. Sementara itu jumlah migrasi yang masuk ke provinsi-provinsi tersebut terus meningkat setiap tahunnya, walaupun tingkat pengangguran masih tinggi.
7
Tabel 2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut provinsi, 2008-2012 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi
2008
Aceh
2009
2010
2011
2012
9.56
8.71
8.37
7.43
7.88
Sumatera Utara
9.1
8.45
7.43
6.37
6.31
Sumatera Barat
8.04
7.97
6.95
6.45
6.25
Riau
8.20
8.56
8.72
5.32
5.17
Kepulauan Riau
8.01
8.11
6.90
7.80
5.87
Jambi
5.14
5.54
5.39
4.02
3.65
Sumatera Selatan
8.08
7.61
6.65
5.77
5.59
Kep. Bangka Belitung
5.99
6.14
5.63
3.61
2.78
Bengkulu
4.90
5.08
4.59
2.37
2.14
Lampung
7.15
6.62
5.57
5.78
5.12
DKI Jakarta
12.16
12.15
11.05
10.80
10.72
Jawa Barat
12.08
10.96
10.33
9.83
9.78
Banten
15.18
14.97
13.68
13.06
10.74
Jawa Tengah
15.18
14.97
6.21
5.93
5.88
DI Yogyakarta
5.38
6.00
5.69
3.97
4.09
Jawa Timur
6.42
5.08
4.25
4.16
4.13
Bali
3.31
3.13
3.06
2.32
2.11
Nusa Tenggara Barat
6.13
6.25
5.29
5.33
5.21
Nusa Tenggara Timur
3.73
3.97
3.34
2.69
2.39
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
5.41 4.59
5.44 4.62
4.62 4.14
3.88 2.55
3.36 2.71
Kalimantan Selatan
6.18
6.36
5.25
5.23
4.32
Kalimantan Timur
11.11
10.83
10.10
9.84
9.29
Sulawesi Utara
10.65
10.56
9.61
8.62
8.32
Gorontalo
5.65
5.89
5.16
4.26
4.81
Sulawesi Tengah
5.45
5.43
4.61
4.01
3.73
Sulawesi Selatan
9.04
8.90
8.37
6.56
6.46
Sulawesi Barat
4.57
4.51
3.25
2.82
2.07
Sulawesi Tenggara
5.73
4.74
4.61
3.06
3.10
10.67
10.57
9.97
7.38
7.11
Maluku Utara
6.48
6.76
6.03
5.55
5.31
Papua
4.39
4.08
3.55
3.94
2.90
Papua Barat
7.65
7.56
7.68
8.94
6.57
Indonesia
8.39
7.87
7.14
6.56
6.32
Maluku
Sumber : Statistik Indonesia (2012)
Jumlah PDRB yang tinggi mampu menarik minat penduduk untuk bermigrasi, sehingga jumlah migrasi yang masuk meningkat setiap tahunnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan jumlah penduduk ini akan berpengaruh pada tingkat pengangguran. Kondisi yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia, meskipun jumlah PDRB meningkat setiap tahunnya dan
8
memiliki pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, namun tingkat penganggurannya masih cukup tinggi. Sebaliknya, provinsi yang memiliki tingkat pengangguran rendah tapi memiliki PDRB yang juga rendah tetap menjadi tempat tujuan migrasi. Jumlah migrasi ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun pada beberapa provinsi di Indonesia. Salah satu upaya untuk menekan jumlah migrasi yang berlebihan di beberapa daerah adalah dengan mengurangi disparitas antar daerah. Kebijakan otonomi daerah di tahun 2001, memberikan kewenangan kepada masing-masing daerah untuk membangun daerahnya sendiri, hal ini dilakukan sebagai upaya pengembangan daerah yang lebih terfokus. Apabila pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah dapat berjalan dengan seimbang sehingga tidak ada kesesnjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adanya otonomi daerah seharusnya dapat dijadikan suatu langkah untuk mencegah penduduk meninggalkan daerah asalnya, karena penduduk tidak perlu mencari kesejahteraan di tempat lain. Namun ternyata setelah adanya otonomi daerah, arus migrasi tetap meningkat dan terpusat pada daerah-daerah tertentu saja. Dengan demikian dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu : 1. Bagaimana perkembangan migrasi internal di Indonesia sebelum dan setelah adanya otonomi daerah dan apa saja yang menjadi faktor pendorong migrasi keluar? 2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk di Indonesia sebelum dan setelah adanya otonomi daerah?
Tujuan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dibahas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Mengkaji perkembangan migrasi internal di Indonesia sebelum dan setelah adanya otonomi daerah dan menganalisis faktor pendorong migrasi keluar. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk di Indonesia sebelum dan setelah adanya otonomi daerah.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang terkait. Manfaat tersebut antara lain : 1. Bagi Pemerintah atau instansi pengambilan keputusan terkait, diharapkan dapat memberi masukan dan bahan pertimbangan untuk perencanaan dan pembangunan yang terkait dengan jumlah migrasi masuk yang cenderung terpusat pada beberapa daerah serta masalah pengangguran di beberapa provinsi di Indonesia. 2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi tempat untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman.
9
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berkisar pada jumlah migrasi masuk dan keluar di Indonesia pada saat sebelum dan setelah adanya otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini kemudian akan dihubungkan dengan kondisi migrasi yang terjadi di masing-masing provinsi. Jumlah provinsi yang digunakan sebagai objek pengamatan adalah sebanyak 25 provinsi berdasarkan kelengkapan data yang ada. Kurun waktu penelitian adalah tahun 1990, 1995, 2000, 2005 dan 2010 yang dibagi dalam dua periode yaitu periode sebelum otonomi daerah, tahun 1990 dan 1995, serta periode setelah otonomi daerah yaitu tahun 2000, 2005 dan 2010. Migrasi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pendapatan per kapita, pengangguran dan tingkat upah. Hal tersebut dapat menjadi faktor pendorong ataupun faktor penarik migrasi. Perkembangan migrasi dan faktor-faktor yang memengaruhi migrasi keluar dianalisis secara deskriptif, sementara itu analisis kuantitatif digunakan hanya untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk, karena data-data variabel yang digunakan terkait dengan faktor yang dapat memengaruhi migrasi masuk. Hal ini juga untuk membuktikan apakah variabel-variabel yang menjadi faktor penarik berdasarkan teori tersebut dapat memengaruhi migrasi secara signifikan.
TINJAUAN PUSTAKA Definisi, Konsep dan Model Migrasi Migrasi dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu daerah ke daerah lain. Menurut Rusli (1994), migrasi adalah suatu gerak penduduk secara geografis, spasial atau territorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan. Sedangkan definisi migrasi menurut Munir (2000) adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara. Menurut BPS (2010) migrasi dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu 1) Migrasi Seumur Hidup dan 2) Migrasi Risen. Seseorang dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika provinsi atau kabupaten/kota tempat lahirnya berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu sensus). Sedangkan, seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal lima tahun yang lalu berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu sensus). Migrasi merupakan bagian dari mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk ada yang bersifat nonpermanen (sementara) misalnya turisme baik nasional maupun internasional, dan ada pula mobilitas penduduk permanen (menetap). Mobilitas penduduk horizontal atau geografis meliputi semua gerakan (movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu pula. Batas wilayah umumnya dipergunakan batas administrasi misalnya : propinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan atau pedukuhan. Secara operasional,
10
migrasi dapat diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu. Seseorang dapat disebut sebagai seorang migran, apabila orang tersebut melintasi batas wilayah administrasi dan lamanya bertempat tinggal di daerah tujuan minimal enam bulan (Mantra, 1984). Migrasi dapat dibedakan berdasarkan jangkauan kepindahannya, yaitu migrasi lokal atau internal dan migrasi internasional. 1. Migrasi lokal Migrasi lokal/nasional adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam satu negara. Bentuk-bentuk migrasi lokal dapat dibedakan, menjadi berikut ini a). Sirkulasi Sirkulasi merupakan bentuk perpindahan penduduk tidak menetap, namun ada juga yang menetap atau tinggal untuk sementara waktu di daerah tujuan. Sirkulasi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di luar daerah tempat tinggalnya sehingga kadang perlu menetap. Seseorang yang melakukan sirkulasi harian disebut juga dengan commuter. b). Urbanisasi Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota dalam satu pulau. Urbanisasi pada umumnya bersifat menetap, sehingga dapat memengaruhi jumlah penduduk kota yang dituju ataupun jumlah penduduk di desa yang ditinggalkan. c). Ruralisasi Ruralisasi adalah kebalikan dari urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kota ke desa. Ruralisasi pada umumnya banyak dilakukan oleh mereka yang dulu pernah melakukan urbanisasi, namun banyak juga pelaku ruralisasi yang merupakan orang kota asli. d). Transmigrasi Transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari daerah atau pulau yang padat penduduknya ke daerah (pulau) yang berpenduduk jarang. Pelaku transmigrasi disebut dengan transmigran. 2. Migrasi Internasional Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk antarnegara. Migrasi internasional terjadi karena beberapa hal, antara lain, karena terjadi peperangan, bencana alam, atau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Migrasi internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu imigrasi dan emigrasi. a). Imigrasi adalah masuknya penduduk dari luar negeri ke dalam negeri untuk tujuan menetap. Pelaku imigrasi disebut dengan imigran. b). Emigrasi yaitu perpindahan penduduk dari dalam negeri ke luar negeri untuk tujuan menetap. Pelaku emigrasi disebut dengan emigran. Menurut Lee (1966) migrasi dalam arti luas adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Disini tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah perbedaan itu bersifat sukarela atau terpaksa. Jadi migrasi adalah gerakan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan niatan menetap di daerah tujuan. Tanpa mempersoalkan jauh dekatnya perpindahan, mudah atau sulit, setiap migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan dan bermacam-macam rintangan yang menghambat. Faktor jarak merupakan faktor yang selalu ada dari beberapa faktor penghalang. Faktor-faktor migrasi antara lain :
11
1. 2. 3. 4.
Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan Faktor penghalang antara Faktor-faktor pribadi (individu) Menurut Hardjosudarmo (1965) terjadinya migrasi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: 1. Faktor pendorong (push factor) yang ada pada daerah asal, yakni adanya pertambahan penduduk yang mengakibatkan timbulnya tekanan penduduk, adanya kekeringan sumber alam, adanya fluktuasi iklim, dan ketidaksesuaian diri dengan lingkungan. 2. Faktor penarik (pull factor) yang ada pada daerah tujuan, yakni adanya sumber alam serta sumber mata pencaharian baru, adanya pendapatanpendapatan baru, dan iklim yang sangat baik. 3. Faktor lainnya (other factor), yakni adanya perubahan-perubahan teknologi, seperti munculnya mekanisasi pertanian yang bisa menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja untuk pertanian. Hal ini memaksa buruh tani untuk pindah ke tempat atau pekerjaan lain. Selain itu juga karena adanya perubahan pasar, faktor agama, politik, dan faktor pribadi. Menurut BPS (2010) ada beberapa hal yang menjadi faktor-faktor pendorong dan faktor penarik untuk melakukan migrasi. Faktor pendorong tersebut antara lain : Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin sulit diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di wilayah perdesaan yang makin menyempit). Adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal. Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan. Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit. Sementara itu yang menjadi faktor penarik, antara lain : Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup. Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya. Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar. Perpindahan penduduk dari suatu provinsi ke provinsi lain didorong oleh beberapa alasan. Kebanyakan penduduk melakukan migrasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di daerah lain seperti mencari pekerjaan atau ingin tinggal di tempat yang lebih modern. Sehingga jelas daerah yang menjadi tujuan migrasi kebanyakan adalah daerah-daerah yang maju.
12
Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa seseorang mengambil keputusan melakukan mobilitas. Pertama, seseorang mengalami tekanan (stress), baik ekonomi, sosial, maupun psikologi di tempat ia berada. Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga suatu wilayah oleh seseorang dinyatakan sebagai wilayah yang dapat memenuhi kebutuhannya, sedangkan orang lain tidak. Kedua, terjadi perbedaan nilai kefaedahan wilayah antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Apabila tempat yang satu dengan lainnya tidak ada perbedaan nilai kefaedahan wilayah, tidak akan terjadi mobilitas penduduk. Teori migrasi mula-mula diperkenalkan oleh Ravenstein (1885) dan kemudian digunakan sebagai dasar kajian bagi peneliti lainnya (Lee, 1966; Zelinsky, 1971 dalam Wirawan, 2006). Kedua peneliti mengatakan bahwa motif utama yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi adalah alasan ekonomi. Mantra (1998) menyebutkan bahwa beberapa teori yang mengungkapkan mengapa orang melakukan mobilitas, diantaranya adalah teori kebutuhan dan stres. Setiap individu mempunyai beberapa macam kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis. Semakin besar kebutuhan tidak dapat terpenuhi, semakin besar stres yang dialami. Apabila stres sudah melebihi batas, maka seseorang akan berpindah ke tempat lain yang mempunyai nilai kefaedahan terhadap pemenuhan kebutuhannya. Perkembangan teori migrasi demikian dikenal dengan model stress-treshold atau place-utility. Model Migrasi Todaro Pembangunan ekonomi di negara-negara maju, salah satunya didukung oleh perpindahan tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan. Banyaknya penduduk yang melakukan migrasi karena sebagian besar perekonomian di pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, sementara itu perekonomian di daerah perkotaan terpusat pada kegiatan industrialisasi. Oleh karena itu kemajuan perekonomian secara keseluruhan di negara maju disebabkan adanya proses realokasi secara bertahap dari sektor pertanian ke sektor industri. Migrasi di negara-negara berkembang awalnya dipandang sebagai suatu hal yang positif karena dengan adanya migrasi dapat terjadi transfer tenaga kerja dari daerah yang memiliki surplus tenaga kerja ke daerah lain yang kekurangan tenaga kerja. Namun faktanya, lonjakan migrasi yang terjadi di negara berkembang ini bukannya memacu pembangunan di perkotaan melainkan menyebabkan masalah pengangguran. Todaro dan Smith (2006) kemudian mengembangkan sebuah teori baru mengenai migrasi dari desa ke kota dalam rangka menjelaskan adanya suatu hubungan yang bersifat paradoks antara lonjakan migrasi dari desa ke kota yang semakin cepat itu dengan terus meningkatnya pengangguran di perkotaan. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai Model Migrasi Todaro, yang mirip dengan Model Harris-Todaro. Model ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi, meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan. Selanjutnya, model Todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara desa dan kota.
13
Dalil dasar dalam model ini adalah bahwa para migran senantiasa mempertimbangkan dan membanding-bandingkan berbagai macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di sektor pedesaan dan perkotaan, serta kemudian memilih salah satu diantaranya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang diharapkan. Model migrasi dari Todaro memiliki empat pemikiran dasar sebagai berikut: 1. Migrasi desa-kota dirangsang terutama oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri. 2. Keputusan untuk bermigrasi bergantung pada selisih antara tingkat pendapatan yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di pedesaan. 3. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung dengan tingkat lapangan pekerjaan di perkotaan, sehingga berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan. 4. Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja. Kenyataan ini memiliki landasan yang rasional; karena adanya perbedaan ekspektasi pendapatan yang sangat lebar, yakni para migran pergi ke kota untuk meraih tingkat upah lebih tinggi yang nyata. Konsep Otonomi Daerah dan Kaitannya dengan Migrasi Semasa Orde Baru, pemerintah telah membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini tentunya juga didukung oleh inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi ini, kemudian dibentuklah Undangundang No. 5 Tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Kuncoro, 2004). Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: Pertama, desentralisasi yang berarti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah tingkat atasnya kepada pejabatpejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah admisitratif. Pada masa itu, otonomi daerah pada tingkat II (kabupaten/kota) belum sepenuhnya terwujud. Hal ini dikarenakan adanya keengganan dari pemerintah pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah. Kurangnya kewenangan di daerah menyebabkan kelemahan pada kreativitas daerah dalam mengatasi berbagai masalah dan tantangan dalam pembangunan daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perubahan undangundang yang mengatur pemerintahan sentralistik menjadi pemerintahan yang
14
terdesentralisasi. Perubahan UU tersebut kemudian dilakukan pada masa pemerintahan Habibie dan tertuang pada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 (Rasyid dalam Haris, 2005). Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Mardiasmo (2007), tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Ketika otonomi daerah baru berjalan, terjadi banyak penyimpangan karena peraturan otonomi daerah dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dinilai terlalu memberikan kebebasan pada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sehingga kebebasan ini tidak dapat dikendalikan dan menimbulkan dampak negatif. Kemudian dilakukan beberapa perubahan agar landasan hukum mengenai otonomi daerah lebih jelas. Pemerintah kemudian mengganti Undang-undang No. 22 tahun 1999 menajdi Undang-undang No. 32 tahun 2004. Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 6 selanjutnya menyebutkan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Migrasi terjadi karena adanya perbedaan kondisi ekonomi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pada umumnya, penduduk yang melakukan migrasi didorong oleh keinginan untuk mencari kesejahteraan yang tidak mereka dapatkan di daerah asalnya. Semakin timpang perbedaan kondisi antar daerah maka semakin besar pula keinginan seseorang untuk melakukan migrasi. Migrasi yang terjadi di Indonesia cenderung terpusat pada daerah-daerah perkotaan yang berpendapatan tinggi. Sementara itu daerah-daerah dengan pendapatan lebih rendah justru semakin ditinggalkan oleh penduduknya. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi menjadi pemicu utama terjadinya migrasi antar daerah, karena apabila kondisi perekonomian suatu daerah lebih baik daripada daerah lainnya tentunya banyak penduduk yang akan datang kesana untuk mencari kehidupan yang lebih sejahtera.
15
Salah satu upaya untuk mengurangi arus migrasi adalah dengan melakukan pemerataan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah memang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah agar lebih leluasa dalam mengembangkan daerahnya sendiri. Hal ini dimaksudkan agar pengembangan dan pengelolalaan sumberdaya di masing-masing daerah dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Keberhasilan otonomi daerah juga tentunya didukung oleh kesiapan dan kemandirian pemerintah daerah dalam mengelolanya agar dapat berujung pada kesejahteraan masyarakat. Akselerasi pembangunan diharapkan diharapkan terjadi di semua pemerintah daerah sehingga memperkecil jurang ketimpangan antar kabupaten dan provinsi. Berdasarkan hasil studi Takeda dan Nakata (1998) yang mengidentifikasi tingkat disparitas wilayah di Indonesia, apabila dibandingkan dengan negara China dan Brazil yang sama-sama berpenduduk besar, tingkat disparitas ekonomi maupun sosial di Indonesia adalah yang tertinggi, baik dengan atau tanpa pendapatan dari sektor pertambangan. Maksud dan tujuan otonomi daerah memberi makna desentralisasi pembangunan akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan antar daerah yang semakin seimbang sehingga pelaksanaan pembangunan semakin merata. Pemerataan pembangunan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk di seluruh provinsi. Dengan kondisi yang relatif mapan pada semua tingkatan penduduk, implikasi dari otonomi daerah ini diharapkan dapat menekan laju migrasi keluar karena penduduk tidak perlu lagi mencari kesejahteraan di tempat lain. Model Pertumbuhan Ekonomi Teori Pertumbuhan Solow Pertumbuhan Ekonomi adalah pertumbuhan output riil suatu perekonomian sepanjang tahun. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) riil atau Produk Domestik Bruto (PDB) sepanjang waktu atau peningkatan pendapatan perkapita sepanjang waktu. Ukuran yang terakhir tersebut menghubungkan peningkatan output total dengan perubahan jumlah penduduk. Bila output total hanya naik sedikit dibandingkan dengan kenaikan jumlah penduduk, maka hanya terjadi sedikit peningkatan standar hidup rata-rata. Model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pegaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu Negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007). Penawaran barang dalam model Solow didasarkan pada fungsi produksi yang sudah dikenal, yang menyatakan bahwa output bergantung pada persediaan modal dan angkatan kerja : Y = F(K,L) Model pertumbuhan Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan (constan return to scale). Fungsi produksi memiliki skala pengembalian yang konstan jika zY = F(zK, zL)
16
dengan z bernilai positif. Jika modal dan tenaga kerja dikalikan dengan z maka output yang dihasilkan juga dikalikan dengan z. Fungsi produksi dengan pengembalian kosntan digunakan untuk menganalisis seluruh variabel dalam perekonomian dengan dibandingkan jumlah tenaga kerja. Kemudian z = 1/L dimasukkan dalam persamaan di atas untuk mendapatkan Y/L = F(K/L, 1) Persamaan ini menunjukkan bahwa jumlah output per pekerja Y/L adalah fungsi dari jumlah modal per pekerja K/L. Asumsi skala pengembalian konstan menunjukkan bahwa besarnya perekonomian—sebagaimana diukur oleh jumlah pekerja—tidak memengaruhi hubungan antara output per pekerja dan modal per pekerja. Karena besarnya perekonomian tidak menjadi masalah, maka cukup beralasan untuk menyatakan seluruh variabel dalam istilah per pekerja. Jika seluruh variabel dilambangkan dengan huruf kecil dimana y = Y/L adalah output per pekerja dan k = K/L adalah modal per pekerja maka akan didapatkan fungsi produksi sebagai berikut Y = f(k) dimana f(k) didefinisikan sebagai F(k,1). Gambar 3 menunjukkan fungsi produksi ini. Kemiringan dari fungsi produksi ini menunjukkan berapa banyaknya output tambahan yang dihasilkan seorang pekerja ketika mendapatkan satu unit modal tambahan. Angka yang diperoleh merupakan produk marjinal modal MPK, secara sistematis dapat ditulis sebagai MPK = f(k + 1) – f(k) Output per Pekerja, y Output, f(k)
MPK
1
Modal per pekerja, k
Gambar 3 Kurva Fungsi Produksi Pada Gambar 3, ketika jumlah modal meningkat, kurva fungsi produksi menjadi lebih datar, yang mengindikasikan bahwa fungsi produksi mencerminkan produk marjinal modal yang kian menurun. Ketika k rendah, rata-rata pekerja hanya memiliki sedikit modal untuk bekerja, sehingga satu unit modal tambahan begitu berguna dan dapat memproduksi banyak output tambahan. Ketika k tinggi, rata-rata pekerja memiliki banyak modal, sehingga satu unit modal tambahan hanya sedikit meningkatkan produksi
17
Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. Dengan kata lain, output per pekerja y merupakan konsumsi per pekerja c dan investasi per pekerja i : y=c+i Persamaan ini adalah versi per pekerja dari identitas perhitungan pendapatan nasional untuk suatu perekonomian. Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1 - s), dengan demikian fungsi konsumsi dapat dinyatakan c = (1 – s)y, di mana s, tingkat tabungan, adalah angka antara nol dan satu. Untuk melihat apakah fungsi konsumsi ini berpengaruh pada investasi, substitusikan (1 – s)y untuk c dalam identitas perhitungan pendapatan nasional: y = (1 – s)y + i i = sy Persamaan ini menunjukkan bahwa investasi sama dengan tabungan, jadi tingkat tabungan, s juga merupakan bagian dari output yang menunjukkan investasi. Pada setiap momen, persediaan modal adalah determinan output perekonomian yang penting karena setiap persediaan modal bisa berubah sepanjang waktu, dan perubahan itu bisa mengarah ke pertumbuhan ekonomi. Biasanya, terdapat dua kekuatan yang memengaruhi persediaan modal: investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk peluasan usaha dan peralatan baru, hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, dan hal itu menyebabkan persediaan modal berkurang. Perubahan Persediaan Modal = Investasi – Depresiasi Δk = i - δk di mana Δk adalah perubahan persediaan modal antara satu tahun tertentu dan tahun berikutnya. Karena investasi i sama dengan sf(k), maka Δk = sf(k) – δk Suatu perekonomian berada dalam kondisi mapan ketika tingkat persediaan modal berada pada k* di mana jumlah investasi sama dengan jumlah depresiasi. Pada kondisi ini, persediaan modal tidak akan berubah karena investasi dan depresiasi beraksi di dalamnya secara seimbang, yaitu pada k*, Δk = 0 sehingga persediaan modal k dan output f(k) dalam kondisi mapan sepanjang waktu (tidak tumbuh atau menyusut). Model Solow dasar menunjukkan bahwa akumulasi modal dengan sendirinya tidak bisa menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan: tingkat tabungan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang tinggi secara temporer, tetapi perekonomian pada akhirnya mendekati kondisi mapan di mana modal dan output konstan. Untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, model Solow harus diperluas, oleh karena itu perlu dimasukkan sumber lainnya yaitu pertumbuhan penduduk ke dalam model, sehingga perubahan persediaan modal adalah Δk = i – ( δ + n ) k Δk = sf(k) – ( δ + n ) k Persamaan ini menunjukkan bagaimana investasi, depresiasi, dan pertumbuhan populasi memengaruhi persediaan modal per pekerja. investasi meningkatkan k, sedangkan depresiasi dan pertumbuhan populasi mengurangi k.
18
Simbol (δ + n)k menunujukkan investasi pulang-pokok atau impas. Investasi pulang-pokok mencakup depresiasi modal yang ada, yang sama dengan δk. Investasi pulang-pokok juga mencakup jumlah investasi yang dibutuhkan untuk menyediakan modal bagi para pekerja baru. Depresiasi mengurangi k dengan menghabiskan persediaan modal, sedangkan pertumbuhan populasi mengurangi k dengan menyebarkan persediaan modal dalam jumlah yang lebih kecil di antara populasi pekerja yang lebih besar. Gambar 4 menunjukkan dampak pertumbuhan populasi terhadap persediaan modal pada kondisi mapan. Perekonomian akan berada dalam kondisi mapan jika modal per pekerja k tidak berubah. Dalam kondisi mapan, dampak positif investasi terhadap persediaan modal per pekerja akan menyeimbangkan dampak negatif depresiasi dan pertumbuhan populasi. Yaitu pada k*, Δk = 0, dan i* = δk* + nk*. Sekali perekonomian berada dalam kondisi mapan, investasi memiliki dua tujuan. Sebagian dari perekonomian itu (δk*) akan mengganti modal yang terdepresiasi, dan sisanya (nk*) memberi modal untuk para pekerja baru. (δ + n)k
y
i = sf(k) y*
k*
k
Gambar 4 Pertumbuhan populasi dalam model Solow Pertumbuhan populasi dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Adanya pertumbuhan populasi memberikan dampak pada tingkat persediaan modal per pekerja. Apabila terjadi peningkatan pertumbuhan populasi, hal ini akan mengurangi tingkat modal per pekerja pada kondisi mapan. Karena k* lebih rendah, dan karena y* = f(k*), maka tingkat output per pekerja juga lebih rendah. Pada kasus migrasi internal, meningkatnya jumlah migrasi masuk di suatu provinsi berarti meningkatkan pertumbuhan populasi di provinsi tersebut. Pertumbuhan penduduk melalui migrasi ini tentunya akan berdampak pada persediaan modal dan output per pekerja. Hal ini dijelaskan dalam Gambar 5 yang menunjukkan kondisi perekonomian setelah adanya migrasi. Apabila terjadi migrasi, pertumbuhan populasi akan naik dari n1 ke n2 menggeser garis yang menunjukkan pertumbuhan populasi dan depresiasi ke atas. Kondisi mapan yang baru k2* memiliki tingkat modal per pekerja yang lebih rendah dibandingkan kondisi mapan awal k1*. Jadi model solow memprediksi bahwa perekonomian dengan tingkat populasi yang tinggi melalui adanya migrasi
19
akan memiliki tingkat modal per pekerja yang lebih rendah dan pendapatan yang lebih rendah pula. (δ + n2)k
y
(δ + n1)k
i = sy
y1* y2*
k2*
k1*
k
Gambar 5 Dampak pertumbuhan populasi terhadap perekonomian Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional Model pertumbuhan neoklasik Solow merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yakni tenaga kerja, serta menambahkan variabel independen ketiga, yakni teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Namun, berbeda dengan model Harrod-Domar yang mengasumsikan skala hasil tetap dengan koefisien baku, model pertumbuhan neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi-rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow memakai fungsi produksi agregat standar, yakni : Y = Kα (AL)1-α dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja, dan A adalah produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Adapun simbol α melambangkan elasitisitas output terhadap modal (atau kenaikan dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai pangsa modal dalam perhitungan pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marginalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang.
20
Menurut Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor, yakni: kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro, 2006). Penelitian Terdahulu Berbagai macam penelitian tentang migrasi telah banyak dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berikut ini akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu dan berbagai metode yang digunakan serta hasilnya. Tommy Firman menulis artikel di majalah Prisma Nomor 7 – 1994 yang berjudul ―Migrasi Antar Provinsi dan Pengembangan Wilayah di Indonesia‖, dengan data yang bersumber dari Sensus Penduduk tahun 1980 dan 1990. Artikel tersebut mengkaji hubungan antara migrasi antar provinsi dengan perkembangan wilayah. Kesimpulan dari pengkajian tersebut adalah yang pertama, pola migrasi antar provinsi dalam kurun waktu 1980-1990 sebagian besar berasal dari dan menuju ke provinsi-provinsi di pulau Jawa. Kedua, wilayah utama migrasi antar provinsi adalah daerah perkotaan di pulau Jawa. Hasil Sensus Penduduk 1980 menunjukkan bahwa perbandingan tujuan ke wilayah perkotaan dan pedesaan masih seimbang, yaitu 48 persen berbanding 52 persen, namun berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1990 proporsi migran yang menuju wilayah perkotaan menjadi 60 persen. Hal ini merupakan indikasi bahwa migrasi antar provinsi di Indonesia baik dalam jumlah absolut maupun persentase semakin berorientasi ke wilayah perkotaan. Solimano (2002) dalam penelitiannya yang berjudul ―Development Cycles, Political Regimes and International Migration: Argentina in the 20 th Century” mengungkapkan migrasi penduduk ke Amerika Serikat dan Eropa atau Negara yang lebih maju dengan pendekatan ekonomi dan politik. Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan Ordinary Least Square (OLS). Pendekatan ekonomi dilakukan dengan melihat tingkat rasio pendapatan nasional negara asal dengan negara tujuan. Sedangkan pendekatan politik dilakukan dengan mamsukkan rezim pemerintahan di negara asal yaitu Argentina. Hasil dari penelitian ini yaitu diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara selisih pendapatan nasional negara penerima dengan negara pengirim migran. Desiar (2003) menganalisis dampak migrasi terhadap pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta. Penelitian ini membahas mengenai faktor apa saja yang memengaruhi masuknya migrasi ke DKI Jakarta dan seberapa besar tingkat pengangguran dan peningkatan sektor informal akibat adanya migrasi. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa migrasi masuk ke DKI Jakarta meningkatkan pengangguran dan sektor informal. Hasil Penelitian Nada (2009) yang mengaitkan migrasi penduduk dengan pertumbuhan kesempatan kerja pada pra dan era otonomi daerah di Jawa Timur menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan adanya peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja. Adanya peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut membuat jumlah migrasi risen keluar berkurang, namun jumlah migrasi keluar seumur hidup tetap meningkat. Ada dua
21
kemungkinan, yang pertama, lapangan pekerjaan di Jawa Timur justru didominasi oleh migran. Kemungkinan kedua, excess supply tenaga kerja yang terjadi pada sektor pertanian membuat keinginan untuk bermigrasi ke wilayah industri semakin tinggi walaupun angka pengangguran di sana tinggi. Selanjutnya, Chletsos dan Roupakias (2012) meneliti tentang keterkaitan imigrasi, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Yunani. Penelitian ini membahas bagaimana ketiga variabel yaitu imigrasi, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi saling memengaruhi satu sama lain. Data yang digunakan adalah data tahunan sebanyak 30 tahun dan dianalisis menggunakan metode Error Correction Model (ECM). Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan jangka panjang dimana pertumbuhan ekonomi dan pengangguran memengaruhi migrasi tetapi tidak sebaliknya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu antara lain, Solimano menganalisis migrasi internasional dari Argentina ke Amerika Serikat, sedangkan penelitian ini menganalisis migrasi internal antar provinsi di Indonesia. Perbedaan dengan penelitian Chletsos dan Roupakias adalah Chletsos dan Roupakias menganalisis keterkaitan antara imigrasi, pengangguran dan pertumbuhan, sedangkan penelitian ini menambahkan variabel lainnya. data yang digunakan juga berbeda yaitu data panel dari beberapa provinsi di Indonesia. Selanjutnya, perbedaan penelitian ini dengan penelitian Desiar adalah Desiar menganalisis dampak migrasi terhadap pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta, sedangkan penelitian ini hanya melihat faktor-faktor yang mempemgaruhi migrasi internal dan tidak membahas sektor informal. Sementara itu penelitian Nada mengaitkan migrasi dengan otonomi daerah namun dengan menghitung pertumbuhan kesempatan kerja yang terjadi setelah adanya otonomi daerah. Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dibahas, banyak faktor yang memengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Provinsi-provinsi yang memiliki sumberdaya alam melimpah dan pendapatan per kapita yang tinggi tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi para migran. Tidak hanya itu, keputusan seseorang melakukan migrasi juga dipengaruhi oleh faktor pendorong dari daerah asal, seperti menyempitnya lapangan pekerjaan di daerah asal, makin berkurangnya sumber-sumber alam, perbedaan upah, alasan perkawinan, bencana alam dan masih banyak faktor lainnya. Perbedaan kondisi di masing-masing daerah inilah yang menjadi alasan seseorang melakukan migrasi. Banyaknya migran yang masuk menyebabkan pertumbuhan penduduk di beberapa daerah semakin tinggi. Menurut Model Migrasi Todaro, keputusan untuk melakukan migrasi merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi, meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan. Seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, meskipun tingkat pengangguran tinggi namun jumlah migran yang masuk juga tetap meningkat. Masuknya migran ke daerahdaerah tertentu ini khusunya kota-kota besar menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Hal ini juga dapat menyebabkan masalah baru yaitu masalah sosial, ekonomi dan kependudukan, karena migrasi cenderung terpusat pada
22
daerah-daerah yang maju, sementara di daerah lain semakin banyak juga penduduk yang keluar untuk pindah ke daerah yang lebih maju. Pada tahun 2001 Pemerintah memberlakukan otonomi daerah untuk memberikan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan daerahnya masing-masing dengan leluasa. Adanya otonomi daerah ditujukan agar tercipta pembangunan yang lebih efisien dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apabila otonomi daerah berhasil dilakukan tentunya dapat mengurangi jumlah migrasi keluar dari daerah tersebut, oleh karena itu perlu dilihat bagaimana perbedaan jumlah migrasi pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah. Perbedaan kondisi perekonomian daerah
MIGRASI INTERNAL
Migrasi Neto
Migrasi Keluar Faktor Pendorong : -PDRB provinsi asal -Ketersediaan lapangan kerja provinsi asal -Kurangnya sumberdaya dan fasilitas provinsi asal -Rendahnya tingkat upah di provinsi asal
Migrasi Masuk Faktor Penarik : -PDRB provinsi tujuan -Ketersediaan lapangan kerja provinsi tujuan -Tersedianya sumberdaya dan fasilitas provinsi tujuan -Tingginya tingkat upah di provinsi tujuan
OTONOMI DAERAH
Analisis kuantitatif
Analisis deskriptif
Faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk sebelum dan setelah otonomi daerah
Perkembangan migrasi internal sebelum dan setelah otonomi daerah dan faktorfaktor pendorong migrasi keluar
Implikasi kebijakan Gambar 6 Kerangka pemikiran
23
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa faktor-faktor yang memengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Oleh karena itu dapat dibuat bebrapa hipotesis penelitian, yaitu : 1. Tingkat PDRB per kapita provinsi tujuan memiliki hubungan yang positif terhadap jumlah migrasi yang masuk ke provinsi tersebut. 2. Jumlah Pengangguran provinsi tujuan memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah migrasi yang masuk ke provinsi tersebut. 3. Tingkat upah provinsi tujuan memiliki hubungan yang positif terhadap jumlah migrasi yang masuk ke provinsi tersebut. 4. Jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dan menengah di provinsi tujuan memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah migrasi yamg masuk ke provinsi tersebut. 5. Dummy sebelum dan setelah otonomi daerah memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah migrasi masuk ke provinsi tersebut.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional, yaitu membahas mengenai migrasi yang masuk antar seluruh provinsi di Indonesia. Data yang digunakan adalah data migrasi masuk, data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dari masing-masing provinsi, tingkat pengangguran di masing-masing provinsi, data tenaga kerja Indonesia dan Upah Minimum Regional (UMR). Provinsi yang dijadikan objek penelitian sebanyak 25 provinsi, hal ini karena ada beberapa provinsi yang mengalami pemekaran daerah sehingga data tidak tersedia dengan lengkap. Pengambilan jumlah objek yang banyak bertujuan untuk memunculkan keunikan yang terjadi di masing-masing provinsi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series (tahun 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010) serta data cross section yang terdiri dari data migrasi masuk seluruh provinsi di Indonesia, PDRB riil per kapita, UMR, dan tingkat pengangguran terbuka. Data diperoleh dari berbagai sumber, yaitu BPS, hasil Sensus Penduduk tahun 1990, 2000, dan 2010 serta Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1995 dan 2005, media internet, artikel, dan literaturliteratur lainnya yang berkaitan. Metode dalam penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan data panel karena terdiri dari data time series dan cross section. Adapun data migrasi yang digunakan adalah migrasi masuk seumur hidup, data PDRB per kapita yang digunakan adalah PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000, hal ini dimaksudkan untuk melihat pendapatan riil di masing-masing provinsi. Data pengangguran yang digunakan adalah tingkat pengangguran terbuka yang didapatkan dari rasio penduduk 15 tahun ke atas yang mencari pekerjaan dengan jumlah angkatan kerja. Sementara itu data UMR yang digunakan adalah UMR nominal, hal ini untuk melihat besarnya nilai nominal upah di masing-masing provinsi pada tahun yang bersangkutan.
24
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan gambaran perkembangan migrasi internal di Indonesia pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah serta faktor-faktor apa saja yang menjadi faktor pendorong migrasi keluar. Analisis secara kuantitatif digunakan untuk menganalisa faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk seumur hidup antar provinsi di Indonesia sebelum dan setelah otonomi daerah. Metode ini menggunakan regresi data panel. Data Panel Dalam menduga suatu model ekonometrik, diperlukan data contoh untuk melihat adanya hubungan antara variabel bebas dangan variabel tak bebas. Data panel merupakan bagian dari pengumpulan gabungan dua jenis bentuk data yaitu data runtut waktu (time series) dan data silang (cross section). Penggunaaan data panel dilakukan bila dalam suatu penelitian ditemukan keterbatasan data baik dalam bentuk pengamatan waktu maupun dalam bentuk pengamatan objek. Kedua kondisi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan data panel yang bertujuan untuk memperoleh hasil estmasi yang lebih baik (efisien). Metode data panel terdiri dari tiga jenis model. Model panel mampu meningkatkan jumlah pengamatan sehingga terjadi peningkatan derajat bebas, dengan demikian panel mampu menghasilkan penduga parameter yang lebih efisien. Model panel tersebut antara lain : 1. Model Pooled Model pooled yaitu model yang didapatkan dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross section dan time series. Model data ini kemudian di duga dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) yaitu : Yit = α + βXit + εit, dimana : Yit = variabel endogen, Xit = variabel eksogen, α = interesep, β = slope, i = individu ke i t = individu ke-t, ε = error/simpangan. 2. Model Efek Tetap (Fixed Effect) Masalah terbesar dalam pendekatan model kuadrat terkecil adalah asumsi interesep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin kurang beralasan. Untuk mengatasi masalah ini maka kita bisa menggunakan Model Efek Tetap (Fixed Effect). Model Efek Tetap (Fixed Effect) yaitu model yang di dapatkan dengan mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam interesep-interesep cross section dan time series. Peubah boneka (dummy) dapat ditambahkan ke dalam model untuk
25
memungkinkan perubahan-perubahan interesep ini lalu model di duga dengan OLS, yaitu : Yit = αiDi + βXit + εit dimana : Yit = variabel endogen, Xit = variabel eksogen, αi = interesep model yang berubah-ubah antar cross section unit, β = slope, D = variabel dummy, I = individu ke-i, t = periode waktu ke-t, ε =error/simpangan. 3. Model Efek Acak (Random Effect) Keputusan untuk memasukkan variabel dummy dalam model efek tetap tak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan konsekuensi. Penambahan variabel boneka akan dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka kita bisa menggunakan Model Efek Acak (Random Effect). Dalam model efek acak parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error. Karena hal inilah model efek acak sering juga disebut model komponen error (error component model). Bentuk model efek acak ini bisa dijelaskan pada persamaan berikut : Yit = αi + βXit + εit εit = uit+ vit+ wit dimana : uit ~ N(0,δu²) = komponen cross section error, vit ~ N(0,δv²) = komponen time series error, wit ~ N(0,δv²)= komponen combination error, kita juga mengasumsikan bahwa error secara individual juga tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Penggunaan model efek acak dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi efisien. Semakin efisien maka model akan semakin baik. Perumusan Model Data diolah dengan menggunakan bantuan program Eviews 6 dan Microsoft Excell 2007. Salah satu langkah dalam penelitian ini adalah merumuskan model umum yang akan digunakan untuk dianalisis dengan fungsi regresi. Penggunaan regresi ditujukan untuk melihat kemungkinan adanya migrasi dari berbagai variabel yang diestimasi. Keputusan seseorang melakukan migrasi dikarenakan adanya alasan ekonomi dan non ekonomi. Menurut model migrasi Todaro, faktor ekonomi yang menjadi alasan seseorang melakukan migrasi adalah pendapatan di daerah lain yang lebih tinggi serta tersedianya lapangan pekerjaan. Oleh karena itu dipilihlah variabel-variabel yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk. Model umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : MIGit = β0 + β1 PDRBPKit + β2 JPit + β3 UMRit + β4 PTMit + β5D + εit
26
dimana : MIGit PDRBPKit JPit UMRit PTMit
= Jumlah migrasi masuk di masing-masing provinsi, = Jumlah PDRB per kapita riil masing-masing provinsi, = Jumlah pengangguran terbuka masing-masing provinsi, = Upah minimum regional masing-masing provinsi, = Jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dan menengah masing-masing provinsi, D = dummy (0 untuk sebelum otonomi daerah, dan 1 untuk setelah otonomi daerah), β0 = intersep model yang berubah-ubah tiap provinsi, βi = slope variabel (i = 1,2,3,4,5), i = provinsi ke- i, t = pada tahun ke- t, ε = error / simpangan. Model ini diestimasi menggunakan metode ekonometrika dengan data panel, karena model ini menggunakan kombinasi data time series dan cross section. Panel data menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teoritik. Panel data juga memiliki beberapa keunggulan, diantaranya sebagai berikut (Baltagi, 2005) : 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu, panel data memberi peluang perlakuan bahwa unit-unit ekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah homogen. 2. Banyak memperoleh informasi lebih banyak, lebih beragam, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat kebebasan serta lebih efisien. Data time series memiliki kecenderungan tingkat kolinearitas yang tinggi, dengan menggunakan panel data, penambahan dimensi cross section dapat memperkaya keragaman dan informasi pada variabel, sehingga akan menghasilkan informasi yang lebih akurat. 3. Panel data lebih baik untuk studi dynamic of adjusment. Salah satu kekurangan apabila menggunakan pendekatan cross section adalah tidak dapat menggambarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan menggunakan panel data, dapat diketahui apakah kondisi yang terjadi tersebut permanen atau temporer. 4. Mampu lebih baik dalam mengestimasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat dideteksi oleh pure cross section atau pure time series. 5. Dapat membangun dan menguji model perilaku (behavioral model) yang lebih kompleks dibanding pure cross section atau data time series. Pemilihan Model Data Panel Pemilihan model data panel ditentukan dengan membuat spesifikasi yang dikembangkan oleh Hausman. Spesifikasi tersebut memberikan penilaian dengan menggunakan Uji F. Ada tiga pengujian statistik yang digunakan dalam data panel untuk menentukan model mana yang paling baik untuk dipilih. 1. Uji F atau chi square statistics Uji F digunakan untuk memilih antara metode PLS tanpa variabel dummy atau Fixed Effects. Uji F statistik disini merupakan uji perbedaan dua regresi
27
sebagaimana uji Chow. Apabila nilai Chow Statistics (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM, begitu juga sebaliknya. 2. Hausman Test Hausman test merupakan pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan model FEM atau REM, dengan hipotesis pengujian : H0 : Model REM H1 : Model FEM Dasar penolakan H0 menggunakan pertimbangan statistik Chi- square. Jika hasil dari Hausman Test signifikan (probabilitas < α) maka tolak H0. Artinya model FEM adalah model yang digunakan. 3. LM Test LM test atau Breusch-Pagan LM Test merupakan pertimbangan statistik dalam pemilhan model REM atau PLS, dengan hipotesis pengujian : H0 : Model PLS H1 : Model REM Dasar penolakan H0 yaitu dengan cara membandingkan statistik LM dengan nilai Chi-square. Jik hasil perhitungan nilai LM lebh besar dari X2 tabel maka cukup bukti untuk melakukan tolak H0 sehingga model yang akan digunakan adalah model REM, begitu juga dengan sebaliknya. Uji Asumsi Model Gujarati (2006) menjelaskan, sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien, tak bias, dan konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran/gangguan asumsi dasar ekonometrika yang berupa gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar daerah atau antar provinsi (cross sectional disturbance), dan gangguan akibat keduanya. Pengujian model yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1). Multikolinearitas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil uji T dan F statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari tstatistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F hitungnya signifikan, maka patut di duga adanya multikolinearitas. Multikoloinearitas salah satunya dapat dihilangkan dengan membuang variabel yang tidak signifikan. 2). Autokorelasi Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan pada model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Tabel 3 menunujukkan kriteria untuk menentukan adanya masalah autokorelasi.
28
Tabel 3 Kerangka identifikasi autokorelasi Nilai DW 4-dl < DW < 4 4-dl < DW < 4-du 2 < DW < 4-du du < DW < 2 dl < DW < du 0 < DW < dl
Hasil Tolak H0, korelasi serial negative Hasil tidak dapat ditentukan Terima H0, tidak ada korelasi serial Terima H0, tidak ada korelasi serial Hasil idak dapat ditentukan Tolak H0, koelasi serial positif
Sumber : Juanda (2009)
3). Heteroskedastisitas Dalam regresi linear berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut adalah Var (ui) = ζ² (konstan), semua varian mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya heteroskedastisitas diperoleh pada data kerat lintang (cross section). Jika pada model dijumpai heteroskodestisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan terjadi ―misleading‖ (Gujarati, 2006). Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas, digunakan uji White Heteroskedasticity yang diperoleh dari hasil estimasi model. Dengan uji White, membandingkan Obs*R-Squared dengan X (Chi-Squared) tabel, jika nilai Obs*R-Squared lebih kecil dari X (Chi-Squared) tabel maka tidak ada heteroskedastisitas pada model. Dalam pengolahan data panel yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Square Resid pada Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Square Resid pada Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi pelanggaran tersebut, model bisa diestimasi dengan metode GLS yaitu dengan White Heteroskedasticity. Definisi Operasional Variabel Untuk mengetahui lebih lanjut variabel apa saja yang digunakan dalam model, maka berikut ini adalah definisi operasional dari variabel-variabel tersebut: 1. Migrasi adalah perpindahan penduduk yang relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Seseorang dikatakan sebagai migran apabila orang tersebut melintasi batas wilayah administrasi dan lamanya bertempat tinggal di daerah tujuan minimal enam bulan. 2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu, dan dalam satu kurun waktu tertentu. Sementara itu nilai PDRB per kapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan regional dengan jumlah penduduk di daerah tersebut. 3. Jumlah pengangguran terbuka adalah jumlah penduduk yang termasuk kelompok usia kerja yang selama periode tertentu tidak bekerja, dan bersedia menerima pekerjaan, serta sedang mencari pekerjaan.
29
4. Upah Minimum Regional (UMR) adalah upah yang ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan menteri yang dinilai dan diukur dari kebutuhan hidup minimum. 5. Jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dan menengah menggambarkan tingkat pendidikan terakhir penduduk di suatu provinsi. 6. Dummy digunakan untuk membedakan kondisi migrasi pada saat sebelum dan setelah dilaksanakannya otonomi daerah.
GAMBARAN UMUM Kondisi Geografis dan Kependudukan Indonesia Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau sebesar 18 110. Secara geografis, Indonesia terletak di antara 6º LU sampai 11º LS dan 95º BT sampai 141º BT, antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, antara benua Asia dan benua Australia, dan pada pertemuan dua rangkaian pegunungan, yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediteranian. Saat ini Indonesia terdiri dari 33 provinsi yang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Awalnya, Indonesia terdiri dari 27 provinsi, kemudian terbentuklah provinsi-provinsi baru hingga saat ini berjumlah 33 provinsi. Dengan beragam pulau yang ada, Indonesia memiliki keragaman daerah dan budaya yang berbeda-beda. Hal ini membuat masing-masing daerah memiliki karakteristik tersendiri. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus penduduk adalah sebanyak 237 641 326 jiwa (BPS, 2010). Sebagian besar penduduk Indonesia tersebar di Pulau Jawa. Hal ini karena di Pulau Jawa terdapat Provinsi DKI Jakarta yang merupakan Ibukota Negara Indonesia, selain itu Pulau Jawa juga menjadi salah satu sentral kegiatan ekonomi di Indonesia. 250,000,000
Jiwa
200,000,000 150,000,000 Indonesia
100,000,000 50,000,000 0 1971
1980
1990
1995
2000
2010
Tahun Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Gambar 7 Jumlah penduduk Indonesia Gambar 7 menjelaskan jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat berdasarkan hasil sensus penduduk. Pada tahun 1971, hasil sensus penduduk menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 119 208 229 dan angka ini
30
terus meningkat pada sensus penduduk selanjutnya, hingga tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia hampir mencapai 240 juta jiwa. Jumlah penduduk yang terus meningkat dalam setiap tahunnya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki angka fertilitas yang tinggi. Tabel 4 menunjukkan kepadatan penduduk per km2 menurut provinsi. Apabila dilihat berdasarkan data pada tabel, sebagian besar penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa, dan yang paling tinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta. Padahal Provinsi DKI Jakarta bukanlah provinsi yang memiliki luas wilayah paling besar di antara provinsi-provinsi lainnya. tingginya jumlah penduduk di Pulau Jawa bukan hanya karena tingginya tingkat fertilitas tetapi juga dipengaruhi jumlah migran yang masuk setiap tahunnya dari provinsi-provinsi lain baik antar provinsi di Pulau Jawa ataupun dari provinsi di luar Pulau Jawa. Sementara itu di luar Pulau Jawa, jumlah kepadatan penduduk berbeda jauh dengan jumlah penduduk di Pulau Jawa, dimana pada Pulau Jawa jumlah kepadatan penduduk mencapai angka ribuan sementara di luar Pulau Jawa jumlah kepadatan penduduk bahkan tidak melebih angka 300 jiwa per km2. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berorientasi ingin tinggal di Pulau Jawa, sementara di pulau lainnya meskipun pertumbuhan penduduk meningkat namun masih jauh dibandingkan laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa. Perbedaan kondisi ini menyebabkan persebaran penduduk tidak merata di berbagai wilayah, karena penduduk sebagian besar terpusat di Pulau Jawa. Tabel 4 Jumlah kepadatan penduduk tiap provinsi (km2) Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Sumber : BPS (2010)
1990 62 145 80 35 45 61 56 181 13 999 764 834 919 678 500 167 68 22 9 69 9 130 25 96 49 25
Kepadatan penduduk per km2 2000 68 160 101 45 45 68 74 194 12 592 1 010 952 996 727 545 199 81 27 12 69 11 131 35 153 48 25
2010 77 178 115 64 62 81 86 219 14 440 1 216 987 1 102 784 673 242 96 30 14 94 17 164 43 172 59 33
31
Kondisi Migrasi Internal di Indonesia Perbedaan karakteristik daerah dan persebaran penduduk yang tidak merata membuat penduduk berpindah dari provinsi asal mereka ke provinsi lain. Migrasi merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan penduduk. Berdasarkan Sensus Penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), tidak ada satu pulau pun yang tidak mengalami migrasi penduduk, baik migrasi masuk maupun migrasi keluar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 yang menunjukan arus migrasi masuk antar pulau di Indonesia. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan mengapa seseorang memutuskan untuk pergi dari daerah asalnya. Sebagian besar penduduk bermigrasi karena ingin mencari pekerjaan di daerah lain yang lebih maju. Selain itu ada pula yang bermigrasi karena alasan menikah, mengikuti orang tua dan sebagainya. Transmigrasi juga dilakukan untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk di suatu daerah agar persebaran penduduk merata. Walaupun pemerintah di daerah perkotaan telah membuat kebijakan untuk menekan jumlah migrasi masuk, namun tetap saja banyak penduduk yang datang untuk mencari pekerjaan. Tabel 5 Jumlah migran masuk seumur hidup dan migran keluar menurut pulau tahun 1990-2005 Pulau
Migran Masuk Seumur Hidup 1990 2000 2005 3 699 393 3 588 945 3 789 848 1 608 136 2 267 873 2 268 508 1 127 938 1 644 690 1 736 308 528 629 653 389 668 508 601 103 703 673 802 946
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Kepulauan Lain Sumber : BPS (2005)
1990 1 175 672 5 053 191 247 594 649 718 439 024
Migran Keluar 2000 1 710 861 5 380 889 289 520 777 450 699 850
2005 1 738 908 5 643 213 338 190 882 788 663 019
Apabila dilihat pada Tabel 5, jumlah migran masuk yang terbesar berada di Pulau Sumatera, sementara itu jumlah migran keluar yang terbesar berada di Pulau Jawa. Beberapa provinsi yang berada di Pulau Sumatera bukanlah provinsi dengan pendapatan per kapita yang tertinggi, namun ternyata arus migrasi ke pulau tersebut lebih besar daripada pulau lainnya. Sementara itu, Pulau Jawa yang dikenal sebagai daerah industrialisasi yang seharusnya bisa menjadi sumber pendapatan justru banyak ditinggalkan oleh penduduknya. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk melakukan migrasi. Setelah diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, jumlah migrasi pada tahun 2005 tidak mengalami penurunan bahkan cenderung meningkat. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa arus migrasi masuk ke Pulau Sumatera dan Kalimantan meningkat dalam jumlah yang cukup tinggi dibandingkan pada tahun 2000. Begitupun untuk jumlah migrasi keluar di tahun 2005, pada semua pulau jumlah migrasi semakin meningkat dibandingkan tahun 2000. Artinya pelaksanaan otonomi daerah belum dapat menekan jumlah migrasi karena arus migrasi tetap terpusat pada daerah-daerah tertentu saja. Tabel 6 menunjukkan persentase migrasi masuk seumur hidup menurut usia dan jenis kelamin. Bila dilihat dari komposisi usia, hampir seluruh kelompok usia
32
pernah melakukan migrasi. Fenomena ini kemudian dapat diartikan bahwa migrasi di Indonesia tidak bersifat individu, tetapi berkelompok, seperti kelompok keluarga (BPS, 2010). Kemudian, hasil SUPAS 2005 juga menunjukkan bahwa sebagian besar alasan utama migran pindah adalah karena keluarga, seperti perkawinan, atau mengikuti orang tua dan sanak saudara. Secara keseluruhan, berdasarkan karakteristik jenis kelamin, pelaku migrasi yang lebih banyak adalah laki-laki. Artinya disini laki-laki lebih mudah melakukan mobilitas daibandingkan perempuan. Hal ini berlaku pada semua jenis kelompok usia, dimana perbandingan persentase migran laki-laki dan perempuan yaitu 52.7 persen berbanding 47.3 persen. Tetapi berbeda hal nya dengan kelompok usia 15 sampai 19 tahun dan kelompok usia 75 tahun ke atas, dimana persentase migran perempuan lebih besar dibandingkan persentase migran lakilaki. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 6, pelaku migrasi paling banyak adalah pada kisaran usia 20 tahun sampai dengan 39 tahun, yaitu berada pada usia kerja. Ada suatu kemungkinan bahwa selain karena alasan keluarga, alasan lain yang mendasari seseorang melakukan migrasi karena adalah untuk mencari pekerjaan. Pada kelompok usia tertentu, perpindahan penduduk terjadi karena terbukanya kesempatan kerja di sektor domestik dan mudahnya memasuki pasar kerja di sektor informal, sehingga semakin banyak tersedia lapangan pekerjaan di suatu daerah tentunya akan semakin meningkatkan arus migrasi ke daerah tersebut pada kelompok usia kerja. Tabel 6 Persentase migran seumur hidup menurut usia dan jenis kelamin Umur Laki-laki 0-4 51,6 5-9 51,6 10-14 51,5 15-19 49,1 20-24 50,6 25-29 51,2 30-34 52,2 35-39 53,5 40-44 54,9 45-49 54,8 50-54 55,6 55-59 56,8 60-64 54,0 65-69 54,3 70-74 51,6 75+ 49,2 Jumlah 52,7 Sumber : BPS (2010)
Perempuan 48,4 48,4 48,5 50,9 49,4 48,8 47,8 46,5 45,1 45,2 44,4 43,2 46,0 45,7 48,4 50,8 47,3
Jumlah 850.912 1.167.184 1.325.821 1.827.975 2.835.669 3.405.116 3.430.552 3.176.792 2.758.209 2.161.703 1.687.703 1.186.538 778.754 556.780 376.951 403.703 27.974.999
Persentase Migran 3,0 4,2 4,7 6,7 10,1 12,2 12,3 11,4 9,9 7,7 6,0 4,2 2,8 1,9 1,4 1,4 100,0
Kondisi Perekonomian Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, tidak hanya dari pertanian tetapi juga dari pertambangan. Perbedaan kondisi dan geografis daerah membuat masing-masing provinsi di Indonesia memiliki keunggulan dan hasil alam yang berbeda-beda pula. Indonesia
33
bagian barat unggul dengan hasil pertaniannya, sementara bagian timur memiliki hasil pertambangan yang melimpah. Dengan hasil alam yang melimpah ini membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Tabel 7 menunjukkan perkembangan nilai Produk Domestik Bruto Indonesia dari tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan. Sektor yang memberikan nilai tambah paling besar dalah sektor industri pengolahan. Pada tahun 2009 sektor industri pengolahan memberikan nilai tambah produk sebesar 570 102.50 miliar rupiah, jumlah ini terus meningkat hingga tahun 2012 mencapai 670 109 miliar rupiah. Selanjutnya, sektor yang memberikan nilai tambah terbesar adalah sektor perdagangan. hotel dan restauran. yaitu 472 646.20 milar rupiah pada tahun 2012. Mengingat Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki banyak tempat wisata, maka sektor perdagangan, hotel dan restauran sangat berperan penting dalam menunjang pariwisata Indonesia sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi pertanian, yaitu 327 549.70 miliar rupiah pada tahun 2012. Sektor pertanian juga memegang peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia. Pulau Jawa dan Pulau Sumatera merupakan penghasil komoditikomoditi pertanian yang terbaik di Indonesia. Pada tahun 2012 sektor pertanian. peternakan dan kehutanan memberikan nilai tambah sebesar 327 549.70 miliar rupiah. Sektor ini terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. begitu juga dengan sektor-sektor lainnya yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Tabel 7 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menurut lapangan usaha tahun 2009-2012 Lapangan Usaha
2009
2010
2011*
2012**
295 883.80
304 777.10
315 036.80
327 549.70
Pertambangan dan Penggalian
180 200.50
187 152.50
189 761.40
192 585.40
Industri Pengolahan
570 102.50
597 134.90
633 781.90
670 109.00
Listrik Gas dan Air Bersih
17 136.80
18 050.20
18 921.00
20 131.40
Konstruksi
140 267.80
150 022.40
159 993.40
171 996.60
Perdagangan Hotel dan Restoran
368 463.00
400 474.90
437 199.70
472 646.20
Pengangkutan dan Komunikasi
192 198.80
217 980.40
241 298.00
265 378.40
Keuangan Real Estate dan Jasa Perusahaan
209 163.00
221 024.20
236 146.60
253 022.70
Jasa-jasa
205 434.20
217 842.20
232 537.70
244 719.80
Pertanian Perikanan
Peternakan
Kehutanan dan
Sumber : BPS (2012)
Kondisi Angkatan Kerja Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak hanya dihasilkan dari sumber daya alam yang melimpah saja, melainkan juga didukung oleh tenaga kerja yang terampil. Tenaga kerja yang memiliki pendidikan dan keahlian menjadi potensi bagi Indonesia untuk mengolah hasil alamnya. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, menurut UU No
34
13 tahun 2003 Bab I Pasal 1 ayat 2. Secara garis besar penduduk Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Menurut BPS tenaga kerja adalah peduduk usia 15 tahun ke atas yang sedang bekerja yang memiliki pekerjaan namun sementara tidak bekerja, seseorang yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan, dikategorikan bekerja. Sedangkan yang termasuk kategori bukan tenaga kerja adalah penduduk berusia 15 tahun ke atas tetapi tidak termasuk dalam tenaga kerja, yaitu mereka yang bersekolah, ibu rumah tangga, dan lainnya. Penduduk Indonesia sebagian besar adalah berada dalam usia produktif. Masih tingginya tingkat pertumbuhan penduduk berarti masih tetap tinggi pula pertumbuhan angkatan kerja. Diperkirakan pertumbuhan jumlah angkatan kerja lebih tinggi daripada pertumbuhan jumlah penduduk, karena struktur umur penduduk yang kebanyakan relatif muda. Tingginya jumlah angkatan kerja sementara ketersediaan lapangan pekerjaan terbatas tentunya akan menimbulkan masalah pengangguran. Apalagi dengan banyaknya jumlah angkatan kerja muda yang belum terampil dan hanya tamatan sekolah, semakin memperburuk keadaan pengangguran di Indonesia. Tabel 8 menunjukkan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas menurut kegiatannya. Tabel 8 Penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan tahun 2010-2012 Jenis Kegiatan Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Angkatan Kerja a) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) b) Bekerja c) Pengangguran Terbuka d) Tingkat Pengangguran Terbuka Bukan Angkatan Kerja a) Sekolah b) Mengurus Rumah Tangga c) Lainnya Sumber : BPS (2012)
2010 Agustus 172 070 339 116 527 546 67.72 108 207 767 8 319 779 7.14
2011 Agustus 171 756 077 117 370 485 68.34 109 670 339 7 700 086 6.56
2012 Agustus 173 926 703 118 053 110 67.88 110 808 154 7 244 956 6.14
55 542 793 14 011 778 32 971 456 8 559 559
54 385 592 13 104 294 32 890 423 8 390 875
55 873 593 14 084 633 33 628 814 8 160 146
Jumlah penduduk usia 15 tahun cenderung semakin bertambah setiap tahunnya. Pada bulan Agustus 2010 penduduk berusia 15 tahun ke atas menurut data dari BPS adalah 172 070 339 jiwa, kemudian bertambah hingga Agustus 2012 mencapai 173 926 703 jiwa. Hal ini menunjukan bahwa seiring bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas juga meningkat artinya sebagian besar penduduk Indonesia berada pada usia kerja. Penduduk usia 15 tahun ke atas dibagi menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah termasuk orang yang bekerja sedang mencari kerja ataupun belum mendapatkan pekerjaan. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) didapatkan dari rasio jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja. TPAK memberi gambaran penduduk yang aktif secara ekonomi dalam kegiatan sehari-hari merujuk pada suatu waktu dalam periode survey. Nilai TPAK pada Agustus 2011 sebesar 68.34 persen namun pada Agustus 2012 turum menjadi 67.88 persen. Dari seluruh penduduk yang termasuk angkatan kerja, hampir seluruhnya bekerja. Namun masih banyak juga penduduk
35
yang tidak bekerja. Jumlah penduduk yang bekerja pada Agustus 2012 adalah 110 juta jiwa, sedangkan masih ada 7.3 juta tiwa penduduk yang tidak memiliki pekerjaan. Hal ini menyebabkan masalah pengangguran di Indonesia. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat penggunaan tenaga kerja adalah dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Nilai TPT didapatkan dari rasio jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja. Tingkat pengangguran di Indonesia memang cenderung turun yaitu dari 7.14 persen di tahun 2010 menjadi 6.14 persen di tahun 2012, namun lebih baik apabila tingkat pengangguran dapat ditekan hingga berada di bawah 4 persen sehingga tingkat pengangguran terbuka dapat dikatakan normal. Masalah pengangguran disebabkan karena lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang mencari pekerjaan. Tingginya pertumbuhan jumlah penduduk melebihi lapangan pekerjaan yang tersedia. Selain itu faktor pendidikan dan keterampilan juga menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap tingkat pengagguran. Kebanyakan lapangan pekerjaan yang tersedia di sektor swasta menuntut pekerja memiliki keahlian khusus dan berpendidikan tinggi, sementara itu tidak semua penduduk memperoleh pendidikan sampai bangku universitas. Tabel 9 menunjukkan jumlah pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Menurut data yang tersaji dalam tabel sebagian besar penduduk yang menanggur adalah tamat SLTA dan SLTP. Umumnya seseorang yang baru tamat dari SLTP dan SLTA masih sangat muda dan belum memiliki keterampilan khusus sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Tahun 2010 jumlah pengangguran terbuka dengan pendidikan terakhir SLTA berjumlah 2.14 juta jiwa dan angka ini bekurang sampai tahun 2012 yaitu berjumlah 1.83 juta jiwa. Sementara itu pengangguran terbuka dengan pendidikan terakhir SLTP berjumlah 1.66 juta jiwa namun angka ini justru bertambah di tahun 2012 yaitu mencapai 1.7 juta jiwa. Tabel 9 Pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2010-2012 Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tidak/belum pernah sekolah Belum/tidak tamat SD SD SLTP SLTA Umum SLTA Kejuruan Diploma I II III/Akademi Universitas TOTAL Sumber : BPS (2012)
2010 Agustus 157 586 600 221 1 402 858 1 661 449 2 149 123 1 195 192 443 222 710 128 8 319 779
2011 Agustus 190 370 686 895 1 120 090 1 890 755 2 042 629 1 032 317 244 687 492 343 7 700 086
2012 Agustus 82 411 503 379 1 449 508 1 701 294 1 832 109 1 041 265 196 780 438 210 7 244 956
Jumlah pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan paling banyak juga ditunjukkan oleh penduduk yang merupakan tamatan SLTA Kejuruan, SD, belum/tidak tamat SD, dan tamatan Diploma. Namun jumlah pengangguran penduduk dengan pendidikan tertinggi Universitas yang seharusnya memiliki keterampilan khusus justru lebih besar dibandingkan penduduk yang tidak/belum pernah sekolah. Tahun 2012 jumlah pengangguran penduduk yang merupakan tamatan Universitas adalah 438 210 jiwa, angka ini
36
lebih besar dari jumlah pengangguran penduduk yang tidak/belum pernah sekolah yaitu 82 411 jiwa. Kondisi Upah
Upah (juta rupiah)
Upah merupakan balas jasa yang diberikan kepada pekerja atas penyerahan jasa-jasanya kepada pengusaha dalam waktu tertentu. Selain sebagai balas jasa upah juga digunakan sebagai pendorong agar pekerja semakin giat dan produktif. Biasanya semakin tinggi suatu pekerjaan maka semakin besar upah yang didapatkan. Standar besarnya tingkat upah ditetapkan berdasarkan jenis pekerjaan dan kebutuhan fisik minimum pekerja. Kenaikan tingkat upah yang diukur dengan upah nominal, yang menggambarkan rata-rata upah per bulan yang diterima oleh pekerja dari pengusaha terbilang cepat. Akan tetatpi upah yang terus meningkat itu tidak mencerminkan kesejahteraan pekerja yang sebenarnya (BPS 2012) 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0
Industri Pengolahan Hotel Pertambangan Non Migas Perdagangan Peternakan dan Perikanan 2007
I II III IV I 2011 2011 2011 2011 2012
Tahun Sumber : BPS (2012)
Gambar 8 Upah nominal pekerja produksi/pelaksana menurut lapangan usaha tahun 2007, 2011-2012 Secara umum kondisi upah nominal di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 8. Hal ini berlaku untuk seluruh lapangan usaha yang diamati, yaitu industri pengolahan, hotel, pertambangan non migas, perdagangan, serta peternakan dan perikanan. Pada lapangan usaha pertambangan misalnya, dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2011, upah nominal meningkat dari 3.5 juta rupiah sampai 4.16 juta rupiah. Hal yang sama juga terjadi pada lapangan usaha lainnya, seperti peternakan dan perikanan yaitu di tahun 2007 upah nominal sebesar 611 ribu rupiah dan kemudian pada kuartal I tahun 2012 mencapai 1.1 juta rupiah. Persoalan tentang upah masih menjadi suatu topik yang banyak dibahas karena upah adalah salah satu faktor penunjang bagi kebutuhan hidup pekerja. Ada banyak perdebatan yang terjadi mengenai keadilan terkait besarnya tingkat upah terutama bagi para buruh. Penetapan upah minimum diatur dalam Pasal 88 dan 89 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam
37
pasal tersebut dijelaskan bahwa upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperthatikan produktivitas serta pertumbuhan ekonomi. Namun yang selalu menjadi perdebatan adalah besarnya upah yang diberikan oleh pengusaha belum dapat mencukupi kebutuhan hidup para buruh. Apalagi dengan keadaan buruh yang bekerja di daerah perkotaan tentunya membutuhkan biaya hidup yang lebih tinggi. Perbedaan besarnya tingkat upah tidak hanya ditentukan oleh jenis pekerjaan namun juga perekonomian daerah. Saat ini Pemerintah memberlakukan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan di masing-masing daerah. Besarnya tingkat upah yang berbeda di setiap daerah ini juga dikarenakan perbedaan kondisi di masing-masing daerah tersebut. Biasanya daerah-daerah yang memiliki tingkat upah tinggi adalah daerah perkotaan seperti DKI Jakarta atau daerah yang kaya akan sumberdaya alam seperti pertambangan, contohnya di kawasan timur Indonesia. Pada pelaksanaan otonomi daerah, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri untuk mengurus daerah. Besarnya tingkat upah ditentukan oleh Gubernur berdasarkan usulan dari beberapa aspek. Gambar 9 menunjukkan perkembangan rata-rata upah minimum di Indonesia pada masa sebelum otonomi daerah yaitu dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2000. 250000
Upah (ribu rupiah)
200000 150000 100000 50000 0 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Tahun
Rata-rata upah Sumber : BPS, 2000 (diolah)
Gambar 9 Perkembangan rata-rata upah minimum seluruh provinsi Indonesia sebelum otonomi daerah Berdasarkan data pada Gambar 9, perkembangan rata-rata upah dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2000 terus mengalami peningkatan. Namun pada tahun 1998 terjadi penurunan tingkat upah sekitar 8.9 persen. Hal ini diduga karena adanya krisis di tahun 1998. Pada tahun 1999 tingkat upah mulai mengalami peningkatan kembali hingga tahun 2000. Apabila dibandingkan dengan saat setelah otonomi daerah, perkembangan upah pada tahun 2001 sampai dengan 2011 juga mengalami peningkatan, namun selisih kenaikan tingkat upah pada tahun satu ke tahun berikutnya tidak sebesar selisih peningkatan upah pada masa sebelum otonomi daerah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8 yang menunjukkan
38
perkembangan rata-rata upah minimum pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2011. Berdasarkan data pada Gambar 10, rata-rata upah di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Besarnya selisih kenaikan tingkat upah tidak selalu lebih besar daripada selisih kenaikan tingkat upah pada tahun sebelumnya. Artinya, meskipun terus mengalami peningkatan namun perkembangan tingkat upah tidak begitu mengalami banyak perubahan. Apabila besarnya upah setelah otonomi daerah mengalami peningkatan yang cukup besar tentunya ini akan dapat membantu mengurangi jumlah migrasi keluar dari suatu provinsi. Karena tujuan utama penduduk melakukan migrasi adalah untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. 1200000
Upah (ribu rupiah)
1000000 800000 600000 400000 200000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun Rata-rata upah Sumber : BPS, 2011 (diolah)
Gambar 10 Perkembangan rata-rata upah minimum seluruh provinsi indonesia setelah otonomi daerah Lampiran 1 menampilkan data UMP selama tiga tahun terakhir di seluruh provinsi Indonesia. Berdasarkan data pada tabel besarnya UMP seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2012 bervariasi dari yang terendah yaitu Gorontalo sebesar 837 ribu rupiah dan yang terbesar yaitu Papua Barat sebesar 1.58 juta rupiah. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa besarnya UMP secara umum terus meningkat setiap tahunnya. Namun, untuk memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai hubungan antara UMP dengan tingkat daya beli pekerja pada umumnya, maka ditunjukkan pula UMP yang diukur dengan upah riil. Upah riil merupakan tingkat upah pekerja yang diukur dari sudut kemampuan tingkat upah tersebut untuk membeli barang dan jasa keperluan pekerja di tahun yang bersangkutan (BPS 2012). Apabila dilihat berdasarkan upah riil maka data yang tersaji pada tabel menunjukkan bahwa beberapa provinsi mengalami pertumbuhan UMP yang tinggi dalam kurun waktu 2010 sampai 2012. Provinsi-provinsi yang mengalami peningkatan UMP tertinggi tersebut antara lain Provinsi Papua, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Jambi dimana besarnya UMP riil berada pada rentang antara 846 ribu rupiah sampai 1.2 juta rupiah di tahun 2012. Sementara itu
39
ada juga beberapa provinsi yang mengalami penurunan UMP riil dalam kurun waktu 2010 sampai 2012 seperti Provinsi Kepulauan Riau, Banten, dan Nusa Tenggara Barat dimana besarnya UMP riil berada pada rentang antara 699 ribu rupiah sampai 772 ribu rupiah pada tahun 2012.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Fenomena migrasi di Indonesia apabila dilihat perkembangannya dari tahun ke tahun cenderung tidak merata. Lonjakan migrasi yang tinggi hanya terjadi pada beberapa daerah tertentu saja. Biasanya provinsi-provinsi yang menjadi tempat tujuan utama migrasi adalah provinsi-provinsi dengan pendapatan yang tinggi. Gambar 9 menunjukkan tren persentase migran seumur hidup pada tahun 1990 sampai dengan tahun 2010. Pada tahun 1990 provinsi-provinsi yang menjadi tempat tujuan utama migrasi adalah Provinsi DKI Jakarta, Lampung, Kalimantan Timur dan Jambi. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah persentase migran masuk ke daerah-daerah tersebut yaitu 38.2 persen di DKI Jakarta, 32 persen di Kalimantan Timur, 28.7 persen di Lampung dan 23.3 persen di Jambi. Jumlah migrasi ini terus meningkat di provinsi-provinsi tersebut hingga tahun 2010. Tren Persentase Migran Seumur Hidup 1990-2010 60 50 40 30 2010
20
2000 1990
10
Kepulauan Riau DKI Jakarta Kalimantan Timur Riau Papua Barat Banten Jambi Kalimantan Tengah Bengkulu Sulawesi Tenggara Lampung Sulawesi Tengah Bangka Belitung DI Yogyakarta Papua Sulawesi Barat Sumatera Selatan Kalimantan Selatan Jawa Barat INDONESIA Bali Maluku Utara Sulawesi Utara Maluku Sumatera Barat Kalimantan Barat Gorontalo Aceh Sulawesi Selatan Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Jawa Tengah Nusa Tenggara Barat Jawa Timur
0
Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Gambar 11 Tren persentase migran seumur hidup 1990 – 2010
40
Setelah tahun 2000, mulai terbentuk Provinsi Kepulauan Riau dan provinsi ini menjadi tempat tujuan migrasi berikutnya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah migrasi masuk ke Provinsi Kepulauan Riau yaitu sebesar 43.3 persen. Angka ini melebihi jumlah migrasi masuk ke DKI Jakarta yaitu sebesar 42.4 persen, disusul kemudian Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar 35.0 persen dan Riau sebesar 31.3 persen. Adanya otonomi daerah menyebabkan pemekaran di beberapa provinsi seperti Papua Barat dan Banten. Daerah ini juga merupakan tujuan migrasi selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan tren persentase migran yang cukup tinggi yaitu sebesar 31.1 persen di Papua Barat dan 21.7 persen di Banten. Jumlah migrasi masuk di provinsi-provinsi ini terus meningkat pada era otonomi daerah hingga tahun 2010, maka dapat dikatakan bahwa beberapa tempat tujuan utama penduduk melakukan migrasi adalah Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua Barat. Beberapa provinsi ini merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki ketersediaan fasilitas, pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang baik sehingga hal ini menjadi alasan kuat mengapa penduduk bermigrasi ke daerah-daerah tersebut. Migrasi Internal Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan data pada Gambar 11 yang menunjukkan tren persentase migran masuk seumur hidup di seluruh provinsi di Indonesia, arus migrasi masuk yang tinggi cenderung terpusat pada daerah-daerah berpendapatan tinggi seperti DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Provinsi Lampung juga merupakan salah satu yang memiliki arus migrasi cukup tinggi, meskipun provinsi ini tidak semaju provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Tabel 10 menunjukkan jumlah migran masuk di seluruh provinsi Indonesia pada saat sebelum otonomi daerah yaitu tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Apabila dilihat berdasarkan jumlah migran pada Tabel 10, provinsi-provinsi yang memiliki jumlah migran masuk terbesar adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Hal ini dapat dilihat dari jumlah migran masuk yang melebihi jumlah migran rata-rata Indonesia. Pada tahun 1990 dan 1995 provinsi di Indonesia berjumlah 27, pada saat itu beberapa provinsi belum terbentuk yaitu Bangka Belitung, Banten, Gorontalo dan Maluku Utara. Arus migrasi masuk di seluruh provinsi di Indonesia tidak merata dan cenderung terpusat pada daerah-daerah tertentu. Provinsi yang menjadi tempat tujuan utama migrasi adalah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Lampung. Pada tahun 1990 dan 1995 ketiga provinsi ini menjadi provinsi dengan jumlah migran masuk terbesar bahkan mencapai 3 juta jiwa. Sementara itu di provinsi-provinsi lainnya jumlah migran jauh lebih kecil dibandingkan ketiga provinsi tersebut. Tahun 2000, empat provinsi baru mulai terbentuk yaitu Bangka Belitung, Gorontalo, Banten dan Maluku Utara. Provinsi Banten kemudian menjadi tempat tujuan utama migrasi selanjutnya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah migran masuk ke provinsi Banten tahun 2005 mencapai 1.7 juta jiwa, bahkan jumlah ini melebihi jumlah migrasi masuk di Provinsi Lampung. Berdasarkan data jumlah migrasi masuk, hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami peningkatan arus migrasi dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. Pola migrasi juga tidak berubah, pada Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Lampung arus migrasi terus meingkat melebihi jumlah migrasi rata-rata Indonesia. Pada masa sebelum otonomi daerah, penduduk cenderung melakukan
41
migrasi ke daerah-daerah perkotaan dengan pendapatan yang lebih tinggi. Pada tahun 2000, arus migrasi semakin meningkat di daerah-daerah maju yaitu Provinsi DKI Jakarta, Riau dan Kalimantan Timur. Tabel 10 Jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 1990-2000 Provinsi 1990 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Rata-rata Indonesia Sumber : BPS (2010)
194 709 459 652 217 796 689 036 473 434 936 817 251 621 1 730 903 3 170 215 2 408 626 516 315 266 500 574 541 124 919 69 466 48 159 199 829 241 192 274 745 604 549 89 096 287 447 225 279 237 602 186 735 262 873 567 041
Tahun 1995 228 641 552 450 260 845 884 769 482 795 1 038 898 332 080 1 923 928 3 371 384 3 615 099 672 978 347 245 808 995 157 902 75 277 57 915 250 617 325 028 321 955 741 109 76 084 351 609 304 296 260 141 160 477 274 276 687 567
2000 100 166 447 897 245 000 1 534 849 566 153 987 157 355 048 1 485 218 94 334 3 541 972 3 271 882 708 308 385 117 781 590 1 758 408 221 722 107 605 106 053 269 722 423 014 360 324 856 251 147 091 369 634 273 875 366 817 26 888 75 540 60 834 332 015 675 349
Migrasi Internal Setelah Otonomi Daerah Tahun 2001 merupakan awal dilaksanakannya otonomi daerah. Semenjak adanya otonomi daerah, ada beberapa provinsi baru yang merupakan pemekaran. Setelah Provinsi Banten, Bangka Belitung, Gorontalo dan Maluku Utara, Provinsi baru selanjutnya adalah Kepulauan Riau, Papua Barat dan Sulawesi Barat. Arus migrasi masuk kemudian berpindah ke daerah-daerah tersebut. Tabel 11 menjelaskan jumlah migrasi masuk setelah terjadinya otonomi daerah yaitu tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Tahun 2005 arus migrasi masuk masih didominasi oleh Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Selain itu arus migrasi juga cukup tinggi di Provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang merupakan provinsi dengan pendapatan per kapita tertinggi. Tahun 2006, provinsi yang terbentuk selanjutnya adalah Papua Barat. Provinsi Papua Barat juga merupakan salah satu provinsi dengan pendapatan per
42
kapita tertinggi. Pada tahun 2010 arus migrasi masuk ke Papua Barat mencapai 435 773 jiwa, dimana jumlah ini melebihi jumlah migrasi masuk di kawasan timur Indonesia lainnya. Sementara itu, arus migrasi juga semakin meningkat hampir di seluruh provinsi Indonesia terutama di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan Riau. Pola migrasi setelah otonomi daerah tetap tidak berubah karena migrasi cenderung terpusat pada daerah-daerah tersebut. Tabel 11 Jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 2005-2010 Provinsi
Tahun 2005
2010
Aceh *) 213 553 Sumatera Utara 447 332 521 847 Sumatera Barat 300 322 344 254 Riau 1 335 873 1 911 760 Jambi 551 469 738 961 Sumatera Selatan 902 044 1 017 990 Bengkulu 311 326 347 651 Lampung 1 596 545 1 463 929 Bangka Belitung 95 129 206 705 Kepulauan Riau 542 811 801 073 DKI Jakarta 3 337 161 4 077 515 Jawa Barat 3 764 889 5 225 271 Jawa Tengah 741 588 902 711 DI Yogyakarta 466 941 562 384 Jawa Timur 660 663 925 510 Banten 1 731 081 2 766 750 Bali 249 951 406 921 Nusa Tenggara Barat 100 811 115 832 Nusa Tenggara Timur 102 222 185 083 Kalimantan Barat 263 080 293 229 Kalimantan Tengah 393 828 526 737 Kalimantan Selatan 400 562 487 245 Kalimantan Timur 990 736 1 308 485 Sulawesi Utara 165 689 206 139 Sulawesi Tengah 358 601 452 792 Sulawesi Selatan 341 770 364 288 Sulawesi Tenggara 341 057 447 484 Gorontalo 39 487 64 585 Sulawesi Barat 172 113 Maluku 73 356 123 165 Maluku Utara 63 384 107 681 Papua 430 167 250 196 Papua Barat 435 773 Rata-rata Indonesia 703 329 847 746 Sumber : BPS (2010) Keterangan : *) Aceh tidak termasuk dalam cakupan SUPAS 2005 karena peristiwa tsunami
Provinsi-provinsi yang merupakan pemekaran cenderung dijadikan tempat tujuan migrasi selanjutnya. Adanya otonomi daerah justru tidak menghalangi penduduk untuk meninggalkan daerah asalnya. Hal ini terlihat dari jumlah migran yang terus meningkat dan terpusat pada daerah-daerah tertentu. Sementara itu daerah-daerah lainnya justru ditinggalkan oleh penduduk asalnya untuk berpindah ke daerah yang lebih maju.
43
Pola Migrasi dan Pengaruh Otonomi Daerah Migrasi pada dasarnya terjadi karena adanya perbedaan kondisi antara satu daerah dengan daerah lainnya yang membuat seseorang ingin pindah ke daerah yang lebih baik. Para pakar ilmu sosial melihat mobilitas penduduk dari sudut proses untuk mempertahankan hidup. Proses mempertahankan hidup ini harus dilihat dalam arti yang luas, yaitu dalam konteks ekonomi, sosial dan budaya. Alasan kenapa migrasi dilakukan yaitu karena adanya faktor pendorong dan faktor penarik. Menurut Tjiptoherijanto (2000), perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela. Para penduduk yang akan berpindah, telah memperhitungkan berbagai keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh apabila mereka meninggalkan daerah asalnya dan menetap di daerah lain. Pola migrasi biasanya cenderung terpusat pada daerah-daerah dengan pendapatan yang tinggi. Migrasi penduduk antar provinsi dan migrasi antar desakota paling besar terjadi di Pulau Jawa. Jumlah migrasi yang masuk ke Pulau Jawa jauh berbeda dengan jumlah migrasi pada provinsi-provinsi lainnya. Faktor tersebut dipicu adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Pulau Jawa merupakan pusat industri dan jasa, dengan demikian terpusatnya kegiatan industri di kota-kota besar ini menarik minat penduduk dari daerah lain untuk mencari pendapatan yang lebih tinggi. Berdasarkan data migrasi dari sensus penduduk, hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah migrasi yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rata-rata migrai Indonesia, dan jumlah ini pun terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Berbeda dengan Pulau lainnya, dimana hanya provinsi dengan pendapatan tertinggi saja yang memiliki jumlah migrasi paling besar. Sementara itu di Pulau Jawa, selain migrasi masuk yang sangat tinggi, jumlah migrasi keluar pun juga lebih tinggi diantara provinsi-provinsi lainnya. Artinya, ada kemungkinan bahwa lonjakan arus migrasi yang tinggi di Pulau Jawa bukan hanya berasal dari luar Pulau Jawa saja melainkan juga dari penduduk Pulau Jawa itu sendiri. Pada Tabel 10 dan Tabel 11 yang menunjukkan jumlah migrasi masuk sebelum dan setelah otonomi daerah, kecenderungan migrasi terpusat pada daerah yang sama yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat. Hal ini dapat dipahami karena DKI Jakarta sebagai ibukota yang tentunya memberikan pengharapan bagi penduduk untuk mendapatkan upah yang tinggi. Jawa Barat dan DKI Jakarta juga merupakan daerah dengan industri paling banyak dibandingkan provinsi lainnya. Keberadaan industri tentunya masih menjadi daya tarik utama bagi para migran masuk. Selain Jawa Barat dan DKI Jakarta, Provinsi Lampung juga memiliki jumlah migrasi yang tinggi baik pada saat sebelum dan sesudah otonomi daerah. Lampung yang mempunyai kedekatan akses dengan ibukota menjadi daya tarik sendiri yang mengundang para migrant untuk datang. Penduduk di Provinsi Lampung kebanyakan berasal dari suku Jawa, hal ini sudah menjadi budaya tersendiri karena banyak ditemui penduduk Lampung yang merupakan penduduk asli dari Jawa. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan menciptakan kesejateraan masyarakat melalui pembangunan yang merata. Otonomi daerah sebagai salah satu upaya untuk mengurangi ketimpangan antar provinsi yaitu dengan melakukan pembangunan secara seimbang di seluruh provinsi di Indonesia. Migrasi pada
44
dasarnya dilakukan karena adanya perbedaan pendapatan yang timpang antara daerah satu dengan daerah lainnya. Apabila tujuan dari otonomi daerah ini dapat terwujud, jumlah migrasi seharusnya dapat ditekan. Namun ternyata otonomi daerah ini belum berhasil menekan jumlah migrasi, karena berdasarkan data yang ada, arus migrasi masuk tetap terpusat pada daerah-daerah tertentu. Hal ini tidak banyak mengubah kondisi migrasi pada saat sebelum otonomi daerah. Hanya saja, otonomi daerah menyebabkan terjadinya pemekaran provinsi-provinsi baru sehingga arus migrasi masuk menjadi terbagi ke daerah-daerah ini, seperti Kepulauan Riau, Banten, dan Papua Barat yang memiliki jumlah migrasi masuk cukup tinggi. Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Keluar Keputusan seseorang untuk melakukan migrasi tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi perekonomian di daerah tujuan, melainkan juga kondisi daerah asal yang membuat seseorang ingin meninggalkan daerah asalnya. Perbedaan kondisi perekonomian daerah menjadi salah satu faktor utama. Migrasi disebabkan oleh faktor pendorong (push factor) suatu wilayah dan faktor penarik (pull factor) wilayah lainnya Faktor pendorong suatu wilayah menyebabkan orang pindah ke tempat lain, misalnya karena di daerah itu tidak tersedia sumber daya yang memadai untuk memberikan jaminan kehidupan bagi penduduknya. Perpindahan penduduk ini juga terkait dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di suatu wilayah. Para migran kebanyakan berpindah ke daerah yang lebih maju karena untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Selain itu ketersediaan sumberdaya fasilitas dan biaya hidup juga menjadi faktor lain untuk melakukan migrasi. Tabel 12 menunjukkan persentase migran neto masing-masing provinsi di Indonesia. Migrasi neto dihitung dari selisih antara jumlah migran masuk dengan jumlah migran keluar di provinsi tersebut. Artinya apabila jumlah migran neto bernilai positif maka provinsi tersebut lebih banyak didatangi penduduk dan menjadi tempat tujuan migrasi. Berdasarkan data pada tabel, provinsi yang memiliki jumlah migran neto yang tertinggi dan bernilai positif dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010 adalah Provinsi Riau dan Kalimantan Timur. Angka ini pun terus meningkat dari tahun ke tahun, artinya provinsi tersebut lebih banyak didatangi oleh penduduk dari luar dan lebih sedikit penduduk yang meninggalkan daerah tersebut. Begitu juga dengan provinsi Kalimantan Tengah, walaupun persentase migran neto tidak sebesar Riau dan Kalimantan Timur, namun angka ini cukup tinggi dan terus meningkat yaitu sebesar 13.8 persen pada tahun 1990 dan meningkat di tahun 2010 sebesar 19.6 persen. Berbeda halnya dengan Provinsi DKI Jakarta. Persentase migran neto di daerah ini memang cukup tinggi dan bernilai positif, namun jumlah migran tersebut cenderung turun dari tahun 1990 yaitu sebesar 25.3 persen dan kemudian di tahun 2010 turun hingga 11.2 persen. Artinya, selain banyak penduduk yang datang ke DKI Jakarta tetapi banyak juga penduduk yang meninggalkan provinsi tersebut. Pada beberapa provinsi di Sumatera juga mengalami hal yang sama seperti DKI Jakarta, seperti Jambi, Bengkulu dan Lampung.
45
Sementara itu, provinsi-provinsi yang memiliki persentase migran neto yang paling rendah dan bernilai negatif adalah Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Barat. Hal ini terlihat dari jumlah migran neto pada tahun 1990 yang bernilai negatif yaitu sebesar -14.1 persen untuk Jawa Tengah dan -10.7 persen untuk Sumatera Barat, kemudian cenderung turun hingga tahun 2010 yaitu sebesar -18.3 persen untuk Jawa Tengah dan -16.7 persen untuk Sumatera Barat. Artinya kedua provinsi inilah yang paling banyak ditinggalkan oleh penduduk aslinya dan kemungkinan penduduk asli daerah tersebut berpindah ke daerah-daerah tujuan utama migrasi. Tabel 12 Persentase migran neto 1990-2010 Provinsi 1990 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Sumber : BPS (2010)
2,0 -3,1 -10,7 16,8 19,5 7,7 17,3 25,9 25,3 1,8 -14,1 -8,4 -5,9 -3,6 -0,9 -1,6 2,5 13,8 2,7 28,6 -2,7 13,9 -6,0 9,6 4,8 14,0
Migran Neto 2000 -3,7 -7,6 -16,3 27,6 17,3 6,7 18,0 16,3 -2,9 20,3 3.4 -14,9 -12,8 -6,6 15,8 -0,9 -0,9 -1,3 2,9 19,9 3,5 31,2 -0,2 13,3 -7,5 14,9 -10,3 -6,8 2,2 12,8
2010 -1,1 -13,7 -16,7 28,8 18,0 3,2 13,8 9,9 7,5 42,7 11,2 6,3 -18,3 -9,8 -7,8 20,8 3,5 -1,8 -1,8 1,5 19,6 4,8 32,6 -0,5 12,5 -13,0 12,1 -5,0 7,1 -5,8 4,3 26,5 12,3
Jumlah persentase migran neto yang bernilai negatif juga terjadi pada beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, D.I Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Angka ini juga cenderung turun dari tahun ke tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi-provinsi ini juga merupakan provinsi yang paling banyak ditinggalkan penduduknya. Persentase migran neto yang cenderung turun dari tahun ke tahun biasanya terjadi pada daerah-daerah dengan penapatan per kapita
46
di bawah rata-rata. Meskipun dengan adanya otonomi daerah, suatu provinsi dapat mengembangkan daerah namun hal ini tidak dapat mencegah penduduk untuk tidak meninggalkan daerah asalnya. Karena pola migrasi tidak berubah, dimana provinsi dengan pendapatan per kapita tinggi selalu dijadikan tujuan utama sedangkan provinsi dengan pendapatan per kapita rendah juga semakin banyak ditinggalkan oleh penduduknya. Seseorang memutuskan untuk meninggalkan daerah asalnya dengan harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik di daerah lain. Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2010 persentase migran keluar yang paling tinggi terjadi pada Provinsi DKI Jakarta, D.I Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah, yaitu sebesar 31.2 persen, 26.1 persen, 23.8 persen, dan 21.1 persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 12 yang menunjukkan besarnya persentase migran keluar di masing-masing provinsi.
Persentase Migran keluar
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Barat
35 30 25 20 15 10 5 0
Persentase Migran keluar Sumber : BPS, 2010 (diolah)
Gambar 12 Persentase migran keluar seumur hidup tahun 2010 Provinsi DKI Jakarta tidak hanya menjadi provinsi tujuan utama migrasi, namun banyak juga penduduk Jakarta yang pergi ke daerah lain. Apabila dilihat dari kondisi perekonomian, DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi yang kaya sehingga banyak orang yang datang ke provinsi tersebut. Namun banyak juga penduduk yang meninggalkan Jakarta karena tingginya pengangguran, banyaknya penduduk yang berdatangan membuat kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi lebih kecil. Hal ini juga merupakan salah satu faktor pendorong. DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi yang paling banyak penduduknya. Selain karena angka kelahiran yang tinggi, banyaknya jumlah penduduk juga disebabkan karena tingginya arus migrasi. Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk tahun 2010, kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 14 440 jiwa/km2, dimana provinsi lain yang juga memiliki jumlah penduduk terbesar yaitu Jawa Barat, hanya memiliki kepadatan penduduk 1 216 jiwa/km2. Dengan kondisi penduduk yang demikian padat, membuat DKI Jakarta menjadi daerah yang terkenal dengan
47
masalah kemacetan, sehingga ini juga menjadi salah satu faktor mengapa penduduk meninggalkan daerah tersebut. Provinsi-provinsi lain yang juga merupakan daerah dengan jumlah migran keluar paling tinggi antara lain D.I Yogyakarta, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Maluku. Apabila dilihat dari kondisi perekonomian, provinsi-provinsi ini memiliki pendapatan per kapita yang berada di bawah ratarata pendapatan per kapita Indonesia. Hal ini menjadi salah satu alasan penduduk untuk berpindah ke daerah yang lebih maju. Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Masuk di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Selain faktor pendorong, tentunya ada faktor penarik yang membuat seseorang datang ke daerah tujuan. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan seseorang untuk melakukan migrasi tersebut dapat dilihat dengan meregresikan model persamaan migrasi. Persamaan fungsi migrasi dalam penelitian ini mengunakan program Eviews6 dengan metode data panel. Model yang digunakan diestimasi dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model). Pemilihan model Fixed Effect ini dimaksudkan untuk melihat heterogenitas tiap individu dari contoh penelitian. Dengan model efek tetap intersep antar individu akan saling bervariasi dan perbedaan konstanta ini diasumsikan sebagai perbedaan antar unit individu. Uji Kesesuaian Model Model Fixed Effect dipilih berdasarkan uji-uji yang telah dilakukan. Dari ketiga model yang ada yaitu Model Pooled, Model Fixed Effect, dan Model Random Effect, hasil estimasi yang ditunjukkan berbeda-beda. Dengan menggunakan Model Pooled dan Model Random Effects hasil estimasi yang ditampilkan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Banyak variabel yang tidak signifikan, tidak sesuai teori dan nilai R-squarednya pun lebih kecil. Selain itu pemilihan Model Fixed Effect juga berdasarkan uji-uji yang dilakukan yaitu Uji Chow untuk membandingan Model PLS dengan Model Fixed Effects dan Uji Hausman untuk membandingkan Model Fixed Effects dengan Model Random Effects. Setelah menentukan model terbaik dengan uji pemilihan model, selanjutnya didapatkan hasil estimasi Model Fixed Effect yang dapat menjelaskan faktorfaktor yang memengaruhi migrasi masuk pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah. Model ini terlebih dahulu harus dilakukan uji asumsi sebagai syarat agar diperoleh penduga yang baik. Berdasarkan hasil estimasi model Fixed Effect, nilai uji-F signifikan pada taraf nyata 5 persen karena probabilitas F-stat menunjukkan nilai 0.0000 yang lebih kecil dari nilai α = 5 persen (0.005), hal ini menunjukkan bahwa minimal ada satu variabel yang berpengaruh nyata pada model. Dari seluruh variabel yang diestimasi, semua variabel signifikan terhadap model. Selain itu model ini juga memiliki nilai R-squared yang tinggi yaitu sebesar 0.97 yang artinya sebesar 97 persen perubahan migrasi dapat dijelaskan oleh variabelvariabel di dalam model, sementara itu sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
48
Berdasarkan uji asumsi, model ini sudah memenuhi kriteria. Yang pertama yaitu normalitas. Uji normalitas dapat dilihat berdasarkan probabilitas JarqueBera pada model. Tabel 13 menunjukkan nilai probabilitas Jaque-Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen maka terima H0 yang artinya residual dalam model sudah menyebar normal. Tabel 13 Hasil Uji Normalitas Model Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Kriteria Jarque-Bera Probabilitas Hasil uji normalitas 3.303952 0.191671 Sumber : Hasil olahan Eviews 6
Uji kesesuaian model berikutnya adalah multikolinearitas. Masalah multikolinearitas memiliki dampak tersendiri bagi model. Adanya multikolinearitas salah satunya menyebabkan nilai R-squared yang tinggi namun variabel-variabel pada model tidak signifikan Berdasarkan hasil estimasi model dapat dilihat bahwa tiga dari empat variabel berpengaruh nyata terhadap model Selain itu nilai R-squared tinggi yaitu sebesar 97.00 persen, hal ini cukup mengindikasikan bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas. Penggunaan panel data sendiri sebenarnya dapat mengabaikan pelanggaran asumsi multikolinieritas karena adanya penggabungan data time series dan cross section, sehingga akan lebih banyak variasi data dan lebih sedikitnya korelasi antar variabel. Tabel 14 Matriks korelasi antar variabel pada model persamaan migrasi Variabel Korelasi MIG PDRBPK JP UMR PTM DUMMY MIG 1.000000 0.460305 0.628184 0.133013 0.648941 0.108997 PDRBPK 0.460305 1.000000 0.059074 0.262114 0.142860 0.142860 JP 0.628184 0.059074 1.000000 0.093367 0.916131 0.180884 UMR 0.133013 0.262114 0.093367 1.000000 0.182941 0.872558 PTM 0.648941 0.146306 0.916131 0.182941 1.000000 0.218453 DUMMY 0.108997 0.142860 0.180884 0.872558 0.218453 1.000000 Sumber : Hasil olahan Eviews 6
Tabel 14 menunjukkan nilai korelasi antara variabel satu dengan variabel lainnya. Multikolinearitas dapat terindikasi apabila korelasi antar variabel melebihi nilai R-squared pada model yaitu 0.970013 atau 97.00 persen. Nilai korelasi antar variabel yang tertera dalam tabel hampir semua berada dibawah nilai R-squared maka model dapat dikatakan terbebas dari masalah multikolinearitas. Uji kesesuaian model berikutnya adalah autokorelasi. Autokorelasi dapat dilihat berdasarkan kriteria nilai Durbin Watson pada model. Dengan jumlah observasi (n) sebanyak 125 serta peubah bebas (k) sebanyak 5 yang digunakan, maka didapatkan nilai batas bawah (du) yaitu 1.6258 dan batas atas (dl) yaitu 1.7919. Model terbebas dari autokorelasi apabila nilai Durbin Watson berada pada selang du < DW < 4-du atau 1.6258 < DW < 2.3742. Pada model migrasi ini, didapatkan nilai Durbin Watson sebesar 1.62715, artinya model tersebut sudah terbebas dari masalah autokorelasi.
49
Uji kesesuaian model yang terakhir adalah heteroskedastisitas. Masalah heteoskedastistas dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross section weight dan white-heteroscedastisity-consistent covariance untuk mengantisipasi data yang tidak homoskedastisitas (Gujarati, 2006). Model ini sudah diestimasi dengan menggunakan metode GLS (Generalized Least Square) dengan white heteroscedastisity sebagai pembobot, maka masalah heteroskedastisitas dapat diabaikan. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Masuk Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Setelah model diestimasi menggunakan metode panel data, langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi. Karena masing-masing variabel memiliki satuan yang berbeda maka interpretasi model menggunakan elastisitas. Elastisitas digunakan untuk mengatahui besarnya pengaruh masing-masing variabel terhadap perubahan migrasi. Tabel 15 menunjukkan hasil estimasi model migrasi dengan model terbaik yang terpilih yaitu Model Fixed Effect. Tabel 15 Hasil Estimasi Model Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Masuk Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Variabel Koefisien Probabilitas Elastisitas PDRBPK 4.057982 0.0328** 0.039 JP -0.149634 0.0026** -0.049 UMR 0.133581 0.0000** 0.062 PTM 0.218910 0.0000** 0.346 DUMMY -37534.11 0.0008** C 469632.6 0.0000 Uji Kesesuaian Model R-squared 0.97003 Durbin Watson 1.62715 Prob(F-stat) 0.000000** Sumber : Hasil olahan Eviews 6 Keterangan : (**) signifikan pada taraf nyata 5 persen
Berdasarkan hasil estimasi model yang ditunjukkan pada Tabel 15, semua variabel signifikan pada taraf nyata 5 persen, artinya variabel-variabel ini dapat memengaruhi jumlah migrasi. Variabel PDRBPK memiliki probabilitas yang kurang dari α = 5 persen yaitu 0.0328 dengan koefisien sebesar 4.057982 dan nilai elastisitas 0.039. Tanda positif pada koefisien menunjukan hubungan yang positif terhadap jumlah migrasi masuk Artinya, apabila PDRB per kapita suatu provinsi tujuan naik 1 persen maka jumlah migrasi masuk ke provinsi tersebut akan naik sebesar 0.039 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis karena semakin besar pendapatan per kapita suatu daerah maka akan semakin banyak penduduk yang ingin tinggal di daerah tersebut. Apabila dilihat pada data PDRB per kapita
50
Indonesia provinsi-provinsi yang memiliki PDRB per kapita tertinggi adalah Kalimantan Timur, DKI Jakarta dan Riau. Jumlah migrasi masuk ke provinsiprovinsi ini pun menunjukkan tren yang paling tinggi diantara migrasi masuk di provinsi lainnya, hal ini menjadi salah satu bukti bahwa penduduk ingin datang ke daerah yang pendapatan per kapitanya lebih tinggi dari daerah asal mereka. Variabel JP memiliki probabilitas yang kurang dari α = 5 persen yaitu 0.0026 dengan koefisien sebesar -0.149634 dan nilai elastisitas -0.049. Tanda positif negatif pada koefisien menunjukkan hubungan yang negatif terhadap jumlah migrasi masuk. Artinya apabila jumlah pengangguran di provinsi tujuan naik sebesar 1 persen maka akan mengurangi jumlah migrasi masuk ke provinsi tersebut sebesar 0.049 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis dimana tingginya jumlah pengangguran akan mengurangi minat seseorang untuk datang ke daerah tersebut, karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang terbatas. Variabel UMR memiliki probabilitas yang kurang dari α = 5 persen yaitu 0.0000 dengan koefisien sebesar 0.133581 dan nilai elastisitas sebesar 0.062. Tanda positif pada koefisien menunjukkan hubungan yang positif terhadap jumlah migran masuk. Artinya, apabila tingkat upah di provinsi tujuan naik sebesar 1 persen maka jumlah migrasi masuk ke provinsi tersebut akan naik sebesar 0.062 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis dimana semakin tinggi upah di suatu daerah maka semakin banyak penduduk yang ingin bekerja di daerah tersebut Salah satu alasan seseorang untuk bermigrasi adalah karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik dengan mencari pekerjaan di daerah perkotaan. Selain itu, menurut Todaro dan Smith (2006) penyebab migrasi adalah untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi . Variabel PTM memiliki probabilitas yang kurang dari α = 5 persen yaitu 0.0000 dengan koefisien sebesar 0.218910 dan nilai elastisitas sebesar 0.346. Tanda positif pada koefisien menunjukkan hubungan yang positif terhadap jumlah migran masuk. Artinya, apabila jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dan menengah di suatu provinsi meningkat sebesar 1 persen, maka jumlah migrasi masuk ke provinsi tersebut akan meningkat sebesar 0.346 persen. Namun hal ini tidak sesuai dengan hipotesis dimana variabel PTM seharusnya berhubungan negatif dengan jumlah migrasi masuk. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki kesejahteraan yang tinggi dan kualitas penduduk yang baik justru akan semakin dikunjungi oleh para migran. Semakin baik kualitas pendidikan seseorang tentunya keinginan untuk medapatkan pekerjaan yang lebih baik juga semakin besar. Kebutuhan tenaga kerja di sektor formal telah terisi oleh penduduk yang berpendidikan tinggi, sementara itu lapangan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus justru kekurangan tenaga kerja. Menurut model migrasi Todaro, penduduk melakukan migrasi semata-mata untuk mencari pendapatan yang lebih tinggi sehingga mereka akan datang ke daerah yang memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Seperti yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Riau contohnya. Provinsi-provinsi ini adalah
51
provinsi dengan pendapatan yang tinggi serta fasilitas pendidikan yang baik. Jika banyak memiliki kapabilitas yang baik, mereka akan bersaing untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kualitas mereka dan tentunya dengan upah yang tinggi. Lapangan pekerjaan dengan tingkat upah yang tinggi telah terisi oleh penduduk yang berpendidikan tinggi, sementara itu lapangan pekerjaan di sektor lain kekurangan tenaga kerja karena sebagian besar penduduknya memilih pekerjaan yang upahnya lebih tinggi sesuai dengan kualitas mereka. Hal ini menyebabkan banyak orang yang tetap datang ke daerah-daerah ini untuk mengisi kekosongan lapangan pekerjaan tersebut. Umumnya penduduk yang melakukan migran adalah penduduk dengan tamatan SMP dan SMA, dengan taraf pendidikan yang mereka miliki, mereka dapat mengisi kekosongan lapangan pekerjaan yang terdapat di kota-kota besar. Variabel dummy yang memiliki nilai 0 untuk sebelum otonomi daerah dan nilai 1 untuk setelah otonomi daerah, memiliki nilai probabilitas yang kurang dari α = 5 persen yaitu 0.0008 dan nilai koefisien sebesar -37534.11. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan hubungan yang negatif terhadap jumlah migrasi masuk. Dummy yang digunakan dalam model ini dibedakan berdasarkan tahun yaitu sebelum dan setelah dilaksanakannya otonomi daerah. Berdasarkan hasil estimasi model, koefisien dummy bernilai negatif yang artinya beda rata-rata antara jumlah migrasi sebelum otonomi daerah dan setelah otonomi daerah adalah sebesar 37534.11 satuan. Koefisien negatif menandakan bahwa migrasi sebelum otonomi daerah lebih besar daripada setelah otonomi daerah. Hal ini sesuai dengan hipotesis dimana dengan adanya otonomi daerah, masing-masing provinsi memiliki kebebasan untuk mengembangkan daerahnya sendiri serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, pelaksanaan otonomi daerah seharusnya dapat mengurangi jumlah migrasi keluar karena penduduk tidak perlu lagi berpindah ke daerah lain yang lebih maju apabila daerahnya sendiri sudah mengalami perkembangan kondisi ekonomi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan fenomena terjadinya migrasi internal antar provinsi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi yaitu : 1. Perkembangan migrasi di hampir seluruh provinsi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Setelah adanya otonomi daerah, jumlah migrasi pada tahun 2005 dan 2010 terus mengalami peningkatan dan arus migrasi yang tinggi juga cenderung terpusat pada daerah-daerah berpendapatan tinggi seperti DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan saat sebelum otonomi daerah. 2. Jumlah migasi keluar dipengaruhi oleh faktor pendorong yaitu pendapatan per kapita daerah, upah minimum dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pada
52
daerah-daerah yang berpendapatan rendah, arus migrasi keluar semakin meningkat sementara pada daera-daerah yang berpendapatan tinggi arus migrasi masuk juga semakin meningkat. 3. Berdasarkan hasil estimasi model, PDRB per kapita, upah minimum dan jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dan menengah berpengaruh positif terhadap migrasi. Sementara itu jumlah pengangguran dan dummy otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap migrasi. 4. Variabel jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dan menegah signifikan terhadap model namun memiliki hubungan yang positif terhadap migrasi. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis. Pada kenyataannya, daerah yang memiliki banyak penduduk berpendidikan tinggi mencerminkan bahwa daerah tersebut sejahtera, sehingga lapangan pekerjaan dengan upah yang tinggi telah terisi oleh penduduk berpendidikan tinggi. Sementara itu, penduduk yang melakukan migrasi ke daerah tersebut mengisi kekosongan lapangan pekerjaan di sektor-sektor yang tidak membutuhkan keterampilan khusus dan pendidikan tinggi. 5. Berdasarkan hasil estimasi model, adanya otonomi daerah dapat mengurangi jumlah migrasi masuk karena otonomi daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah secara merata. Hal ini dapat dilihat dari PDRB masing-masing provinsi di mana secara umum PDRB terus mengalami peningkatan setelah adanya otonomi daerah. Namun ternyata otonomi daerah belum dapat mengubah pola migrasi karena migrasi masih terpusat pada daerah-daerah tertentu. Saran Adapun saran dari penelitian ini adalah : 1. Pemerintah lebih cermat dalam menetapkan kebijakan peningkatan upah minimum, karena dampak peningkatan upah minimum dapat meningkatkan pengangguran, selain itu perbedaan tingkat upah minimum yang timpang di berbagai daerah dapat meningkatkan jumlah migrasi. 2. Mengatasi pengangguran bukan hanya dengan menciptakan lapangan pekerjaan, melainkan juga meningkatkan kualitas tenaga kerja. Karena, meskipun lapangan pekerjaan sudah ditambah namun tingkat pengangguran tetap saja tinggi. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu membuat program untuk perbaikan kualitas tenaga kerja di daerah-daerah pengirim migran . 3. Adanya otonomi daerah diharapkan mampu mengurangi jumlah migrasi yang berlebihan, namun pola migrasi tetap tidak berubah setelah adanya otonomi daerah. Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya secara lebih maksimal agar tujuan dari otonomi daerah dapat tercapai.
53
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 1991. Statistik Indonesia 1990. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 1996. Statistik Indonesia 1995. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 1999. Statistik Upah 1998. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2000. Statistik Upah 1999. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2001. Statistik Indonesia 2000/2001. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2002. Statistik Upah 2001/2002. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2003. Statistik Upah 2002/2003. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Jakarta (ID): BPS ______________________. 2007. Statistik Upah 2006. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2009. Statistik Upah 2008. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2010. Sensus Penduduk 2010. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2011. Statistik Indonesia 2010. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2012. Statistik Upah 2011. Jakarta (ID): BPS. ______________________. 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta (ID): BPS. Baltagi BH. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. England (GB): John Willey & Sons. Chletsos M, Roupakias S. 2012. Immigration, Unemployment and Growth: Empirical Evidence in Greece : dalam MPRA Paper Nomor 39927, 8 Juni 2012. Desiar R. 2003. Dampak Migrasi terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Firman T. 1994. Migrasi Antar Provinsi dan Pengembangan Wilayah di Indonesia : dalam Prisma No 7, Juli 1994. Gujarati D. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga. Hardjosudarmo S. 1965. Kebijaksanaan Transmigrasi : dalam rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia. Bhratara. Jakarta (ID). Haris S. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. LIPI Pers. Jakarta (ID). Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr. Kuncoro M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Erlangga. Jakarta (ID). Lee E. 1966. A Theory of Migration : dalam Demography Vol. 3 No. 1 pp 47-57. Mankiw NG. 2007. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Alih Bahasa: Imam Nurmawam. Jakarta (ID): Erlangga. Mantra I. 1984. Mobilitas Penduduk di Indonesia dan Implikasi Kebijaksanaan. Yogya(ID). Pusat Penelitian Kependudukan. Mantra I, Agus J. 1998. Kumpulan Beberapa Teori Mobilitas Penduduk Buku I. Fakultas Geografi. UGM (ID). Mardiasmo. 2007. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Jakarta (ID). Munir R. 2000. Migrasi. Dalam Lembaga Demografi FEUI. Dasar-dasar Demografi: edisi 2000. Lembaga Penerbit UI, Jakarta (ID). Nada K. 2009. Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur dan Kaitannya dengan Migrasi Penduduk. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
54
Pemerintah Republik Indonesia. 1974. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Rusli S. 1994. Pengantar Ilmu Kependudukan. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial. Jakarta (ID). Solimano A. 2002. ―Development Cycles Political Regimes and International Migration: Argentina in the 20th Century‖. Dalam makalah konfrensi Poverty International Migration and Asylum. Helsinki. Takeda T, Nakata R. 1998. Regional Disparities in Indonesia, OECF Research Papers 23. Tjiptoherijanto P. 2000. Moblitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Naskah No. 20, Juni-Juli, 2000 (ID). Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid I. Erlangga. Jakarta (ID). Zelinsky W. 1971. The Hypothesis of the Mobility Transition : dalam The Geographical Review, Volume LXI.
55
LAMPIRAN Lampiran 1 Upah Minimum Nominal dan Riil Menurut Provinisi 2010-2012 Provinsi Upah Nominal Upah Riil2) 2010 2011 2012 2010 2011 2012 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Rata-rata
1 300 965 940 1 016 900 927 8 780 767 5 910 925 1 118 671 5 660 745 7 630 955 3 829 3 890 8 800 741 986 6 1 024 5 1 002 1 000 777 5 1 000 860 710 944 2 840 847 1 210 1 316 908 8
1 350 1 035 5 1 055 1 120 1 028 1 048 4 815 855 1 024 975 1 290 732 675 808 705 1 000 890 950 850 802 5 1 134 6 1 126 1 084 1 050 827 5 1 100 930 762 5 1 006 900 889 4 1 410 1 403 988 8
1 400 1 200 1 150 1 238 1 142 5 1 195 2 930 975 1 110 1 015 1 529 2 1) 1)
892 7 1)
1 042 967 5 1 000 925 900 1 327 5 1 225 1 177 1 250 885 1 200 1 032 3 837 1 127 975 960 1 585 1 450 1 121 5
1 009 7 814 3 781 4 875 751 1 781 1 638 4 619 8 738 4 777 8 959 2 580 3 563 5 635 7 544 7 774 5 706 2 730 1 643 4 607 3 830 4 853 819 1 845 642 840 8 696 1 597 8 764 7 690 3 693 915 6 1 106 770 1
1 078 5 808 4 796 7 892 777 2 830 7 612 3 625 8 751 5 763 9 1 044 5 606 6 538 9 639 7 566 3 764 3 700 6 705 8 631 9 607 2 877 1 867 6 813 2 830 3 635 8 864 8 715 8 599 3 782 4 707 8 703 8 1 020 3 1 122 4 783
1 101 1 906 9 849 9 945 846 6 918 5 677 1 686 772 8 772 2 1 190 9 684 4 773 5 735 699 2 664 9 649 7 953 5 879 1 840 4 992 5 655 3 918 6 763 7 622 4 838 9 727 6 725 9 1 247 5 1 016 3 856 8
Sumber : BPS (2012) Catatan : Provinsi Jawa Barat Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak menetapkan UMP 2012 2) Upah riil diperoleh dengan mendeflasikan upah nominal dengan Indeks Harga Konsumen Bulan Januari tahun yang bersangkutan (tahun dasar 2007 = 100)
1)
56
Lampiran 2 Hasil Estimasi Model Pooled Least Square Dependent Variable: MIG Method: Panel Least Squares Date: 06/21/13 Time: 19:44 Sample: 2006 2010 Periods included: 5 Cross-sections included: 25 Total panel (balanced) observations: 125 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
JP PDRBPK PTM UMR DUMMY C
0.930958 50.46649 0.137864 0.125885 -214654.7 21898.26
0.355398 7.806722 0.091359 0.394801 247502.6 98554.92
2.619483 6.464492 1.509040 0.318856 -0.867282 0.222193
0.0100 0.0000 0.1339 0.7504 0.3875 0.8245
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.587619 0.570292 629825.9 4.72E+13 -1843.443 33.91362 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
756315.6 960801.9 29.59108 29.72684 29.64624 0.500320
57
Lampiran 3 Hasil Estimasi Model Fixed Effect Dependent Variable: MIG Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/23/13 Time: 13:31 Sample: 2006 2010 Periods included: 5 Cross-sections included: 25 Total panel (balanced) observations: 125 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
JP PDRBPK PTM UMR DUMMY C
-0.149634 4.057982 0.218910 0.133581 -37534.11 469632.6
0.048296 1.873554 0.019570 0.022189 10810.53 15275.61
-3.098282 2.165927 11.18621 6.020145 -3.471996 30.74395
0.0026 0.0328 0.0000 0.0000 0.0008 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.970031 0.960882 267267.1 106.0307 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1997344. 1615528. 6.79E+12 1.627159
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.929913 8.02E+12
Mean dependent var Durbin-Watson stat
756315.6 2.393652
58
Lampiran 4 Hasil Estimasi Model Random Effect Dependent Variable: MIG Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/21/13 Time: 20:11 Sample: 2006 2010 Periods included: 5 Cross-sections included: 25 Total panel (balanced) observations: 125 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
JP PDRBPK PTM UMR DUMMY C
0.168806 19.10115 0.208817 0.070704 -47337.89 315395.6
0.196312 11.22680 0.058784 0.194711 117873.4 136670.6
0.859886 1.701388 3.552273 0.363120 -0.401599 2.307706
0.3916 0.0915 0.0005 0.7172 0.6887 0.0227
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
560412.3 286174.4
Rho 0.7932 0.2068
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.337407 0.309567 300760.9 12.11949 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
168384.4 361960.0 1.08E+13 1.743070
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.475672 6.00E+13
Mean dependent var Durbin-Watson stat
756315.6 0.312616
59
Lampiran 5 Uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ01 Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F
Statistic
d.f.
Prob.
(24,95)
0.0000
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
0.000000
5
1.0000
78.315261
Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ01 Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
60
Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas 9
Series: Standardized Residuals Sample 2006 2010 Observations 125
8 7 6 5 4 3
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-1.47e-11 -15186.88 503118.1 -463645.4 233935.6 0.063585 2.213751
Jarque-Bera Probability
3.303952 0.191671
2 1 0 -250000
0
250000
500000
Hasil Uji Heteroskedastisitas 3
2
1
0
-1
-2
-3 25
50
75
Standardized Residuals
100
125
61
Lampiran 7 Cross Section Effect Model Migrasi CROSSID 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua
Effect -482050.8 -396516.9 551151.6 -22704.6 253442.9 -233264 985349.8 2269439.0 2107629.0 -456902.0 -269525.0 -661914.5 -426625.6 132555.2 -197508.7 -243763.9 155575.9 -475878.7 -210356.6 -438081.6 -236758.3 -498047.3 -474264.6 -438981.2 -291999.1
62
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1991 dari ayah Widya Waseso dan ibu Enny Andrias Septorini. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar penulis ditempuh di SD Negeri Meruya Selatan 03 Pagi, kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 75 Jakarta dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima di SMA Negeri 112 Jakarta dan lulus pada tahun 2009. Kemudian di tahun 2009 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan organisasi yaitu himpunan mahasiswa HIPOTESA sebagai staff divisi LABLE pada tahun 2011 dan sebagai Ketua Divisi LABLE pada tahun 2012. Selain itu penulis juga aktif dalam mengikuti berbagai kepanitiaan baik yang diadakan oleh HIPOTESA maupun BEM KM yaitu HIPOTEX-R 7th, HIPOTEX-R 8th, Masa Perkenalan Depatemen Ilmu Ekonomi, dan Olimpiade Mahasiswa IPB 2011. Penulis pernah magang di salah satu perusahaan asuransi di Jakarta yaitu PT. Staco Mandiri. Selama kuliah, penulis mendapatkan program beasiswa dari IPB yaitu Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM).