0
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PUS DALAM DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DENGAN METODE IVA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUMEN I KABUPATEN KEBUMEN Proposal Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Sarjana S1 Minat Utama Program Studi Ilmu Keperawatan
Disusun Oleh: YUPI NURHASTUTI NIM: A1.0900564
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG 2013
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Kanker merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian terbesar pada abad ini. Pada tahun-tahun terakhir ini tampak adanya peningkatan kasus kanker karena disebabkan oleh pola hidup yang salah seperti kebiasaan merokok, minuman beralkohol, makanan mengandung lemak jenuh, kehidupan seks bebas dan lain-lain. Kanker merupakan suatu jenis penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan abnormal dan tidak terkendali dari sel-sel tubuh (Hembing, 2005). Penyakit kanker leher rahim merupakan masalah kesehatan yang penting bagi wanita di seluruh dunia. Kanker serviks (kanker leher rahim) adalah sel-sel tidak normal pada leher rahim, yaitu bagian bawah rahim yang menonjol ke dalam kelamin wanita. Kanker serviks pada stadium dini sering tidak menunjukkan gejala atau tanda yang khas, bahkan tidak ada gejala sama sekali (Nasir, 2009). Kanker leher rahim merupakan keganasan yang terjadi pada leher rahim dan disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Kanker ini telah menyerang lebih dari 1,4 juta wanita di seluruh dunia (Depkes RI, 2012). Berdasarkan International Agency for Research on Cancer (IARC) dalam Depkes RI (2012), insidens kanker leher rahim di Indonesia sebesar 16 per 100.000 perempuan. WHO dalam jurnal yang diterbitkan pada tahun 2012
1
2
dengan judul: ”HPV and Cervical Cancer in The World 2012 Report” mengatakan diperkirakan 15050 kasus baru kanker leher rahim muncul setiap tahunnya dan sebanyak 7566 kasus kematian terjadi akibat kanker leher rahim. Di Kabupaten Kebumen tahun 2006 tercatat 473 kasus kanker, 11,42% di antaranya adalah kanker leher rahim dan 31,08% kanker payudara. Kanker leher rahim mempunyai patofisiologi yang jelas dan dapat dideteksi & diobati pada saat lesi pra-kanker/displasia. Berdasarkan laporan cakupan pemeriksaan IVA Kabupaten Kebumen akhir tahun 2011, dari 89.757 sasaran wanita usia subur, yang sudah dilakukan pemeriksaan IVA baru sebanyak 22.370 perempuan (24,9%) dengan IVA (+) 1023 kasus (4,8%) dan curiga ca servik 24 kasus (0,1%). (Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, 2012). Menurut Laporan Puskesmas Kebumen I diperoleh bahwa PUS yang melakukan pemeriksaan kanker serviks dengan metode IVA pada tahun 2010 sebanyak 2.344 PUS (50,82%). Pada tahun 2011 PUS yang melakukan pemeriksaan kanker serviks dengan metode IVA sebanyak 1.505 PUS (32,6%) dan pada tahun 2012 sebanyak 1.230 PUS (26,7%). Untuk mendeteksi dini kanker serviks, diperlukan metode skrining alternatif yang mampu mengenali lesi prakanker serviks. Metode alternatif skrining kanker serviks tersebut salah satunya inspeksi visual dengan pulasan asam asetat (IVA). IVA adalah metode baru deteksi dini kanker leher rahim dengan mengoleskan asam asetat (cuka) ke dalam leher rahim. Bila terdapat lesi kanker, maka akan terjadi perubahan warna menjadi agak keputihan pada leher
3
rahim yang diperiksa. Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku adalah tindakan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2010), bahwa faktor pencetus timbulnya perilaku adalah pikiran dan motivasi untuk berperilaku. Faktor-faktor tersebut meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku. Menurut Nugroho (2008) mengatakan bahwa konsep sakit dan penyakit dibentuk atas dasar nilai budaya setempat. Salah satu hal yang mempengaruh nilai budaya dari suatu daerah adalah tingkat pendidikan masayarakat di daerah tersebut. Dengan demikian, akan terjadi berbagai variasi perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan nilai budaya dari daerah tersebut. Pemeriksaan IVA merupakan bagian dari pemanfaatan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Sementara itu, Syamrilaode (2011) mengatakan bahwa perilaku kesehatan merupakan respon seseorang atau organisme terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan Menurut Hardyowinoto (2009), seseorang yang menjalani hidup dapat diasumsikan bahwa semakin tua usianya, maka pengamalan juga semakin banyak, pengetahuaanya semakin luas, keahliannya semakin mendalam dan kearifannya semakin mantap dalam pengambilan keputusan dan tindakan salah
4
satunya tindakan pemeriksaan IVA. Menurut Nugraheni (2007), pendidikan adalah suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian yang meliputi pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan. Azwar (2011) menyatakan bahwa pendidikan akan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu, untuk mencari pengalaman dan untuk mengorganisasikan pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki akan membentuk suatu keyakinan untuk melakukan perilaku tertentu salah satunya perilaku pencegahan kanker serviks menggunakan metode IVA. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009), menunjukkan bahwa secara simultan pengetahuan dan sikap PUS berpengaruh terhadap perilaku pemeriksaan IVA di Puskesmas Buleleng I, Kecamatan Buleleng, sebesar 72,7%. Terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan dan sikap PUS dengan pemeriksaan IVA di Puskesmas Buleleng I. Menurut penelitian Siti (2012), dalam jurnal AKBID-Purworejo, menunjukkan bahwa ada hubungan antara karakteristik wanita menurut umur, pendidikan, dan pekerjaan terhadap kesadaran pemeriksaan IVA di puskesmas Jekulo kudus. Menurut survei pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 1 Maret 2013 di Puskesmas Kebumen I, kegiatan yang dilakukan pada program deteksi kanker leher rahim ini adalah pemeriksaan IVA. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada petugas IVA, pemanfaatan pelayanan IVA masih rendah,
5
karena banyak wanita yang merasa tidak perlu dan enggan melakukan pemeriksaan IVA. Hasil wawancara terhadap 10 PUS yang memeriksakan diri diperoleh data bahwa kurangnya minat PUS untuk melakukan pemeriksaan kanker serviks dengan metode IVA disebabkan oleh beberapa faktor yaitu responden mengatakan kurang mengetahui tentang pemeriksaan IVA, memiliki aktifitas bekerja sehingga enggan meluangkan waktu pergi ke puskesmas kecuali memiliki keluhan sakit. Dari uraian latar belakang diatas maka hal tersebut yang menarik perhatian peneliti untuk mengangkat permasalahan ini didalam penelitian. Peneliti ingin mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen ?”.
6
C.
Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen.
2.
Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen. 2. Mengetahui hubungan antara sikap dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen. 3. Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan terhadap perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen. 4. Mengetahui hubungan antara umur dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen.
7
D.
Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas Kebumen I Memberikan masukan bagi program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam upaya meningkatkan cakupan deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA. 2. Bagi Masyarakat Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya PUS tentang deteksi dini kanker serviks dengam metode IVA dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kanker serviks. 3. Bagi Peneliti Dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya tentang faktorfaktor yang hubungan dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen.
E.
Keaslian Penelitian 1. Reny (2012), melakukan penelitian dengan judul “Gambaran pengetahuan wanita tentang pencegahan dan deteksi dini kanker serviks di RT 09 RW VII sawunggaling surabaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan wanita tentang pencegahan dan deteksi dini kanker serviks di Rt 09 RW VII Sawunggaling Surabaya. Desain dalam penelitian
8
ini adalah deskriptif, populasinya adalah seluruh wanita di RT 09 RW VII Sawunggaling Surabaya sebesar 83 orang. Sampel diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling, sehingga didapatkan sampel sebesar 69 responden. Pengambilan data dengan menggunakan kuesioner, kemudian dimasukkan tabel frekuensi distribusi yang dianalisa dalam bentuk persentase. Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 69 responden menunjukkan sebagian kecil (8,6 %) responden memiliki pengetahuan baik, sebagian besar (50,8 %) memiliki pengetahuan cukup, dan hampir setengahnya (40,6 %) berpengetahuan kurang. 2. Kristina (2011) melakukan penelitian dengan judul “Gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang iva sebagai deteksi dini kanker serviks di RT 07 RW VI Pacar Kembang Surabaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang IVA sebagai deteksi dini kanker serviks. Rancang bangun penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang sudah menikah sebanyak 50 responden dan besar sampelnya adalah 45 responden yang diambil dengan cara simple random sampling. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan persentase. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari 45 responden yang memiliki pengetahuan cukup sebesar 17 responden (37,8%), sedangkan yang memiliki pengetahuan baik dan kurang memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 14 responden (31,1%).
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Kanker Leher Rahim a. Pengertian Kanker ginekologik adalah tumbuhnya sel-sel neoplastik secara tidak terkontrol pada jaringan organ genetik wanita terdiri dari uterus, tuba fallopi, ovarium, vagina dan vulva. Kanker pada organ genetika merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar kedua setelah kanker payudara. Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada servik uterus (leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim dan liang sanggama (vagina). Kanker serviks sering disebut juga kanker leher rahim (Sukaca, 2009). b. Penyebab Penyebab kanker leher rahim belum diketahui dengan pasti, namun diduga penyebabnya Human Papilloma Virus (HPV). Infeksi virus papilloma terdapat pada wanita yang aktif secara seksual. Dari beberapa pemeriksaan laboratorium terbukti bahwa lebih dari 90% kondiloma serviks semua neoplasia intraepitel serviks dan kanker leher rahim mengandung DNA
9
10
HPV. HPV ini dapat menyerang alat kelamin bagian luar vagina, leher rahim dan di sekitar anus (Aziz M.F, 2008). c. Faktor Risiko Kanker Leher Rahim Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perempuan terpapar HPV (sebagai penyebab dari kanker leher rahim) adalah sebagai berikut: 1) Hubungan Seks Pada Usia Muda Faktor risiko ini merupakan salah satu faktor risiko terpenting karena Penelitian para pakar menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual maka semakin besar risiko terkena kanker leher rahim. Wanita yang melakukan hubungan seks pertama sekali pada usia kurang dari 17 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar daripada wanita yang berhubungan seksual pertama sekali pada usia lebih dari 20 tahun (Sukaca, 2009). 2) Multipartner Seks Perilaku berganti-ganti pasangan seksual akan meningkatkan penularan penyakit kanker leher rahim. Risiko terkena kanker leher rahim meningkat 10 kali lipat pada wanita mempunyai teman seksual 6 orang atau lebih. Bukan hanya ini saja, bila seorang suami juga bergantiganti pasangan seksual dengan wanita lain misalnya wanita tuna susila (WTS), maka suaminya dapat membawa virus HPV dan menularkan kepada istrinya (Sukaca, 2009).
11
3) Jumlah Paritas Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita pernah melahirkan bayi yang dapat hidup atau viable. Paritas yang berbahaya adalah dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat. Hal ini dikarenakan persalinan yang demikian dapat menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim. Jika jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak dapat menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari epitel pada mulut rahim, dan dapat berkembang menjadi keganasan (Sukaca, 2009). 4) Pemakaian Alat Kontrasepsi Penggunaan kontrasepsi pil dalam jangka waktu lama (5 tahun atau lebih) meningkatkan risiko kanker leher rahim sebanyak 2 kali. Sedangkan pemakaian kontrasepsi oral lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko relatif kanker leher rahim 1,53 kali (Sukaca, 2009). 5) Riwayat Perokok Wanita perokok mempunyai risiko 2 kali lipat terkena kanker leher rahim dibandingkan wanita yang tidak. Lendir serviks wanita perokok mengandung nikotin dan zat lainnya yang terdapat dalam rokok. Zat-zat tersebut menurunkan daya tahan serviks. Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks (Sukaca, 2009).
12
d. Gejala Klinik Pada permulaan penyakit yaitu pada stadium awal belum dijumpai gejala-gejala yang spesifik bahkan pada umumnya tanpa gejala. Pada stadium awal ini dapat dideteksi secara dini (Manuaba, 2008). Gejala yang mungkin dapat dideteksi ialah mula-mula keluar cairan encer keputihan, kemudian warna sekrit menjadi merah muda lalu coklat seperti air kotor dan berbau busuk yang disebabkan oleh jaringan tumor nekrosis dan infeksi (Nugroho BD, 2007). Pada awal stadium lanjut dijumpai riwayat pendarahan intermenstrual. Biasanya timbul pendarahan setelah senggama (contact bleeding), anemi sering ditemukan sebagai akibat dari pendarahan yang terus berlangsung (Rayburn, 2008). Pada stadium lanjut terdapat nyeri di daerah panggul akibat tumor yang nekrotik, perasaan nyeri juga menjalar ke paha. Gejala hematuri dan pendarahan rektal timbul bila tumor sudah menjalar ke vesika urinaria dan rectum. Penurunan berat badan dan anemia adalah karakteristik sari stadium kanker leher rahim (Sinclair, 2012). e. Upaya Pencegahan Leher Rahim Pencegahan penyakit kanker leher rahim adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan dan angka kematian akibat kanker leher rahim, yang dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
13
1) Pencegahan Primer Pencegahan primer dapat dilakukan melalui penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat mengenai faktor penyebab terjadinya kanker leher rahim. Keberhasilan program penyuluhan yang dilanjutkan dengan skrining terbukti efektif dalam menurunkan kasus kanker leher rahim di beberapa negara seperti Finlandia dan Amerika Serikat, sedangkan untuk individu penyuluhan dilakukan dalam upaya mencegah masuknya virus ke dalam tubuh dengan menghindari berganti-ganti pasangan seks, pemberian vaksin HPV dan menekan faktor risiko penyebab kanker, seperti merokok, menghindari hubungan seks pada usia muda, berperilaku hidup sehat serta memperbanyak konsumsi sayuran dan buah (Hidayanti, 2011). 2) Pencegahan Sekunder Salah satu bentuk pencegahan sekunder kanker leher rahim adalah dengan melakukan deteksi dini terhadap kanker dan pemeriksaan gejala klinis pada stadium awal. Bagi wanita yang tidak berganti-ganti pasangan, tidak melakukan hubungan seksual dibawah usia 20 tahun, selalu merawat kebersihan alat kelamin dan tidak merokok, pemeriksaan tes Inspeksi Visual Asetat dapat dilakukan sekali dalam 5 tahun, terutama wanita dengan usia 30 tahun sampai dengan 50 tahun (Tambunan, 2005).
14
3) Pencegahan Tertier Pencegahan
tertier
yang
dapat
dilakukan
berupa
mempertahankan kualitas hidup orang yang positif menderita kanker dengan cara pemberian asupan gizi yang baik, memberi dukungan kepada penderita baik dari keluarga maupun dari petugas kesehatan. Pencegahan lainnya berupa pengobatan dan penatalaksanaan medis untuk mencegah atau memperlambat proses penyebaran kanker ke bagian tubuh yang lain. Penyuluhan terhadap pasangan penderita kanker leher rahim yang telah menjalani histerektomi total agar tetap mempertahankan keharmonisan hubungan suami istri (Hidayanti, 2011). f. Deteksi Dini Kanker Leher Rahim Menurut Octiyanti (2006), deteksi dini kanker leher rahim merupakan upaya pencegahan sekunder kanker leher rahim. Dilakukan skrining menggunakan tes tertentu untuk mendeteksi dini kanker leher rahim pada fase pra kanker. Deteksi Dini Kanker Leher Rahim perlu dilakukan karena: 1) Kanker leher rahim merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di negara-negara berkembang dengan sumber daya terbatas. 2) Fase pra kanker dapat dikenali dan dideteksi sehingga dapat ditatalaksana secara aman, efektif dan dengan cara yang dapat diterima.
15
3) Perkembangan
dari
fase
pra
kanker
menjadi
kanker
dapat
membutuhkan waktu relatif lama (hingga sepuluh tahun) sehingga cukup waktu untuk melakukan deteksi dan terapi. 4) Terapi pada fase pra kanker amat murah dibandingkan dengan penatalaksanaan bila sudah terjadi kanker. 5) Target : menemukan lesi pra kanker leher rahim (lesi intra epitel leher rahim/ neoplasia intra epitel leher rahim) 6) Bila dilakukan terapi pada lesi pra kanker leher rahim, kesembuhan dapat mencapai 100%. 2. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) a. Pengertian Pemeriksaan
Inspeksi
Visual
Asam
Asetat
(IVA)
adalah
pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter, bidan, perawat, paramedis) mengamati serviks yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata langsung (Nurlaila, 2005). IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan cara inspeksi visual pada serviks dengan aplikasi asam asetat. Dengan metode inspeksi visual yang lebih mudah, lebih sederhana, lebih mampu laksana, maka skrining dapat dilakukan dengan cakupan lebih luas, diharapkan temuan kanker serviks dini akan bisa lebih banyak (LPKI Jateng, 2011).
16
Metode pendeteksian dini terhadap kanker serviks tergolong sederhana, nyaman dan praktis. Dengan mengoleskan asam cuka (asam asetat) pada leher rahim dan melihat reaksi perubahan, prakanker dapat dideteksi. Selain prosedurnya tidak rumit, pendeteksian dini ini tidak memerlukan persiapan khusus dan juga tidak akan menyakitkan pasien. Letak kepraktisan penggunaan metode ini yakni dapat dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan sarana khusus, cukup bed sederhana yang representative dan metode IVA ini dapat dilakukan oleh bidan atau perawat terlatih (Tapan, 2005). b. Kelebihan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) 1) Mudah, praktis dan sangat mampu laksana. 2) Butuh bahan dan alat yang sederhana dan murah. 3) Sensivitas dan spesifikasitas cukup tinggi. 4) Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter gynekologi. 5) Dapat dilakukan oleh bidan disetiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu atau dilakukan oeh semua tenaga medis yang sudah terlatih. 6) Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan sederhana (Tapan, 2005). c. Teknik pelaksanaan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Dengan spekulum melihat serviks yang telah dipulas dengan asam asetat 3-5%. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white ephitelum. Dengan tampilnya porsio dan bercak
17
putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA positif, dan sebagai tindak lanjutnya dapat dilakukan biopsy (LPKI Jateng, 2011). d. Syarat melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) 1) Sudah pernah melakukan hubungan seksual. 2) Tidak sedang datang bulan atau haid. 3) Tidak sedang hamil. 4) 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual (Tapan, 2005). e. Pelaksanaan skrining Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Menurut Tapan (2005), untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat sebagai berikut: 1) Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi. 2) Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi. 3) Terdapat sumber cahaya untuk melihat serviks. 4) Spekulum vagina. 5) Asam asetat (3-5%). 6) Swab-lidi berkapas. 7) Sarung tangan.
18
f. Kategori pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Tabel 2.1 Kategori Pemeriksaan IVA (LPKI Jateng, 2011) Kategori IVA IVA negatif IVA radang IVA positif IVA-kanker serviks
Hasil serviks normal. serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya (polip serviks). ditemukan bercak putih (aceto white ephitelium). ditemukan adanya kanker serviks, baik dalam stadium invasive dini maupun lanjut.
Tabel 2.2 Kategori pemeriksaan IVA (Depkes, 2008) Kategori IVA Negatif
Hasil -
Positif 1 (+)
-
Positif 2 (++)
-
Tidak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion) Bercak putih pada polip endoservikal atau kista nabothi Garis putih mirip lesi acetowhite pada sambungan skuamokolumnar Samar, transparan, tidak jelas, terdapat lesiercak putih yang ireguler pada serviks Lesi bercak putih yang tegas, membentuk sudut (angular), geographic acetowhite lesion yang terletak jauh dari sambungan skuamokolumnar Lesi acetowhite yang buram, padat dan berbatas jelas sampai ke sambungan skuamokolumnar Lesi acetowhite yang luas, berbatas tegas, tebal dan padat Pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite
19
3. Perilaku Kesehatan Menurut teori Green (1980) yang dikutip oleh Notoatmojo (2007), bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku, termasuk dalam hal ini adalah perilaku PUS pada deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA. Perilaku kesehatan menurut Becker (1979) cit. Notoatmojo 2007 yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara
dan
meningkatkan
kesehatannya.
Bloom
(1908)
dalam
Notoatmojo 2007 membagi perilaku ke dalam 3 domain (ranah/kawasan) yaitu: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari: a.
Pengetahuan 1) Pengertian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu,
20
termasuk di dalamnya adalah ilmu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung turut memperkaya hidup kita (Suriasumantri, 2000). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), ilmu artinya adalah pengetahuan. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan lainnya. Pengetahuan merupakan hasil “tahu” pengindraan manuasia terhadap suatu obyek tertentu. Proses pengindraan terjadi
melalui
panca
indra
manusia,
yakni
indra
penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan melalui kulit. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior) (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Dalam pengertian lain pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi (Wikipedia, 2008). 2) Cara memperoleh pengetahuan Cara memperoleh pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005) ada beberapa cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu:
21
1) Cara Coba-Salah (Trial and Error) Cara
coba-coba
ini
dilakukan
dengan
menggunakan
kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal pula, maka dicoba dengan kemungkinan ketiga, dan apabila kemungkinan ketiga gagal dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya, sampai masalah tersebut dapat dipecahkan. Itulah sebabnya maka cara ini disebut metode trial (coba) and error (gagal atau salah) atau metode coba-salah atau coba-coba. 2) Cara Kekuasaan atau Otoritas Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaankebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaankebiasaan ini biasanya diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya dengan kata lain, pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli-ahli ilmu pengetahuan. Prinsip ini adalah, orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan
22
karena orang yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa yang dikemukakannya adalah benar. 3) Berdasarkan Pengalaman Pribadi Pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah, pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan. 4) Melalui Jalan Pikiran Sejalan dengan perkembangan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi. 5) Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan Cara baru dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah”
atau
methodology).
lebih
dikenal
metodelogi
penelitian
(research
23
3) Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah: 1) Sosial ekonomi Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang. Orang-orang yang hidup dalam lingkungan sosial yang positif, akan lebih banyak pengetahuan dibandingkan dengan orang yang berada di lingkungan tertutup (introvert) dan keinginan belajarnya sedikit. Ekonomi dikaitkan dengan pendidikan. Hal ini adalah hal yang paling umum terjadi. Tingkat ekonomi yang baik akan meningkatkan tingkat pengetahuan yang baik pula. 2) Budaya Budaya sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, karena informasi yang baru akan disaring sesuai atau tidak dengan budaya yang dianut. Beberapa budaya tidak memperbolehkan mengetahui sesuatu karena kepercayaan dan kebiasaan. 3) Sumber Informasi lain misalnya media-media informasi yang terus berkembang, surat kabar, internet, televisi, dan lain sebagainya. Menurut Notoatmodjo (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yang lain adalah:
24
1) Pengalaman Merupakan
suatu
cara
untuk
memperoleh
kebenaran
pengetahuan, baik dari pengalaman diri sendiri maupun orang lain. Hal tersebut dilakukan dengan cara pengulangan kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Bila berhasil maka orang akan menggunakan cara tersebut dan bila gagal tidak akan mengulangi cara itu. 2) Pendidikan Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai baru yang diperkenalkan. 3) Kepercayaan Adalah sikap untuk menerima suatu pernyataan atau pendirian tanpa menunjukkan sikap pro atau anti kepercayaan. Sering diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Kepercayaan berkembang dalam masyarakat yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama. Kepercayaan dapat tumbuh bila berulang kali mendapatkan informasi yang sama (Notoatmodjo, 2005).
25
4) Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif. Dalam domain kognitif berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat intelektual (cara berpikir, berintraksi, analisa, memecahkan masalah dan lain-lain) yang berjenjang sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2005). a) Tahu (Knowledge). Menunjukkan keberhasilan mengumpulkan keterangan apa adanya. Termasuk dalam kategori ini adalah kemampuan mengenali atau mengingat kembali hal-hal atau keterangan yang pernah berhasil di himpun atau dikenali (recall of facts). b) Memahami (Comprehension) Pemahaman diartikan dicapainya pengertian (understanding) tentang hal yang sudah kita kenali. Karena sudah memahami hal yang bersangkutan maka juga sudah mampu mengenali hal tadi meskipun diberi bentuk lain. Termasuk dalam jenjang kognitif ini misalnya
kemampuan
menterjemahkan,
menginterpretasikan,
menafsirkan, meramalkan dan mengeksplorasikan. c) Menerapkan (Aplication) Penerapan diartikan sebagai kemampuan menerapkan hal yang sudah dipahami ke dalam situasi dan kondisi yang sesuai.
26
d) Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan hal tadi menjadi rincian yang terdiri unsur-unsur atau komponen-komponen yang berhubungan antara yang satu dengan lainnya dalam suatu bentuk susunan berarti. e) Sintesis (Syntesis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun kembali bagianbagian atau unsur-unsur tadi menjadi suatu keseluruhan yang mengandung arti tertentu. f) Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk membandingkan hal yang bersangkutan dengan hal-hal serupa atau setara lainnya, sehingga diperoleh kesan yang lengkap dan menyeluruh tentang hal yang sedang dinilainya. 4) Pengukuran Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subyek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ukur atau kita ketahui dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatannya. Adapun pertanyaan yang dapat digunakan untuk pengukuran pengetahuan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu:
27
a) Pertanyaan subyektif, misalnya jenis pertanyaan essay. b) Pertanyaan obyektif, misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple choise), betul salah, dan pertanyaan menjodohkan. Pertanyaan essay disebut pertanyaan subyektif karena penilaian untuk pertanyaan ini melibatkan faktor subyektif dari penilai, sehingga nilainya akan berbeda dari seseorang penilai satu dibandingkan dengan yang lain dari satu waktu ke waktu yang lainnya. Pertanyaan pilihan ganda, betul salah, menjodohkan disebut pertanyaan obyektif karena pertanyaan-pertanyaan itu dapat dinilai secara pasti oleh penilai. Dari kedua jenis pertanyaan tersebut, pertanyaan obyektif khususnya pertanyaan pilihan ganda lebih disukai untuk dijadikan sebagai alat ukur dalam pengukuran pengetahuan karena lebih mudah disesuaikan dengan pengetahuan yang akan diukur dan penilaiannya akan lebih cepat (Arikunto, 2001) b.
Sikap 1) Pengertian Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanan motif tertentu (Notoatmodjo, 2007).
28
2) Komponen Sikap Menurut Notoatmodjo (2007), ada tiga komponen yang secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (totalattitude) yaitu : a) Kognitif (cognitive) Berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk maka ia akan menjadi dasar seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari obyek tertentu. b) Afektif (affective) Menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki obyek tertentu. c)
Konatif (conative) Komponen konatif atau komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku dengan yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapi.
3) Tingkatan Sikap Menurut Notoatmodjo (2007), berbagai tingkatan dalam pembentukkan sikap yaitu :
29
a) Menerima (receiving) Pada tingkat ini, seseorang sadar akan kehadiran sesuatu (orang nilai perbedaan) dan orang tersebut akan menjelaskan sikap seperti mendengarkan, menghindari atau menerima keadaan tersebut. b) Merespon (responding) Yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan atau menjelaskan tugas yang diberikan sebagai sikapnya terhadap hal tertentu. c) Menghargai (valuing) Yaitu sikap untuk mengajak orang lain mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. d) Bertanggung jawab (responsible) Yaitu rasa tanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko. c.
Pendidikan Pendidikan adalah usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dari proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki karakter spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan dirinya, masyarakat dan negara (Depdiknas, 2003). Pendidikan adalah proses di mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh
30
pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik (Adleer, 2011). Pendidikan berkaitan
erat
perkembangan
dengan
segala
sesuatu
yang
manusia
mulai
perkembangan
bertalian fisik,
dengan
kesehatan,
keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial sampai kepada perkembangan iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan bermoral. Dari berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa definisi tersebut
dapat
dibuktikan
kebenarannya.
Terutama
menyangkut
permasalahan hidup manusia, dengan kemampuan-kemampuan asli dan yang
diperoleh
atau
tentang
bagaimana
proses
mempengaruhi
perkembangannya harus dilakukan. Suatu pandangan atau pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan obyek pembahasan menjadi pola dasar yang memberi corak berpikir ahli pikir yang bersangkutan. Bahkan arahnyapun dapat dikenali juga. Pendidikan juga merupakan proses pengoperasian secara urut mengenai pengetahuan, ide-ide, opini-opini dari satu pihak ke pihak lain yang menyebabkan seseorang baik perilaku dalam berpikir, sikap mental, maupun nilai-nilai maka yang demikian
31
diharapkan semakin tinggi pendidikan masyarakat maka akan semakin mudah untuk mengubah tingkah lakunya. d.
Umur Menurut Elisabeth yang di kutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Hucklok (2008) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa. Resiko penderita kanker serviks adalah wanita yang sudah berumur lebih dari 35 tahun karena pada usia tersebut system reproduksi mulai berkurang, namun studi epidemiologic menunjukan faktor resiko juga terjadi pada wanita yang aktif berhubungan seks sejak usia sangat dini (< 20 tahun), sering berganti pasangan seks, atau yang berhubungan seks dengan pria yang suka berganti pasangan. Gejala kanker ini tidak terlalu kelihatan pada stadium dini, oleh karena itu kanker serviks dianggap sebagai “The Silent Killer”.(Sukaca, 2009).
32
4. Pasangan Usia Subur Pasangan suami istri yang pada saat ini hidup bersama, baik bertempat tinggal resmi dalam satu rumah ataupun tidak, dimana umur istrinya antara 15 tahun sampai dengan 44 tahun. Batasan umur yang digunakan disini adalah 15 sampai 44 tahun dan bukan 15–49 tahun (Wirosuhardjo, 2010).
33
B. Kerangka Teori Kanker Serviks Penyebab Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) Faktor yang menyebkan perempuan terpapar HPV : 1. Hubungan seks pada usia muda 2. Multipartner seks 3. Jumlah paritas 4. Pemakaian alat kontrasepsi 5. Riwayat perokok
Perilaku WUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA
Faktor yang mempengaruhi perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA: 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tingkat pendidikan 4. Umur
Pencegahan
Primer Penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat mengenai faktor penyebab terjadinya kanker serviks.
Sekunder Deteksi dini terhadap kanker dan pemeriksaan gejala klinis pada stadium awal.
Tertier Mempertahankan kualitas hidup orang yang positif menderita kanker.
Gambar 2.1. Kerangka Teori Sumber: Rayburn (2008), Hidayanti (2011), Hidayanti (2011), Notoadmodjo (2007), Tambunan (2005)
34
C. Kerangka Konsep Penelitian Variabel bebas
Variabel terikat
Faktor-faktor : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Pendidikan 4. Umur
Perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA
Variabel Pengganggu 1. Pencegahan Primer Penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat mengenai faktor penyebab terjadinya kanker leher rahim. 2. Pencegahan Tertier Mempertahankan kualitas hidup orang yang positif menderita kanker
Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.2. Kerangka Penelitian
35
D. Hipotesis Hipotesis adalah sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiono, 2007). Hipotesis alternatif atau hipotesis kerja (Ha) adalah hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antar variabel (Sugiono, 2007). Ha 1 : Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen. Ha 2 : Ada hubungan antara sikap dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen. Ha 3 : Ada hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen. Ha 4 : Ada hubungan umur dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen.
36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian Metode penelitian ini adalah deskriptif korelasi yaitu suatu metode penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen. Rancangan yang dipakai yaitu dengan cross sectional yakni dengan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk memperoleh data yang lebih lengkap dengan satu kali pengumpulan data pada suatu saat (Arikunto, 2006).
B. Populasi dan sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian (Saryono, 2008). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh PUS di wilayah kerja Puskesmas Kebumen I Kabupaten Kebumen yang berjumlah 4.612 PUS. 2. Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiono, 2008). Dalam penelitian ini menggunakan teknik
36
37
proportionale stratified random sampling yaitu suatu cara pengambilan sampel yang digunakan bila anggota populasinya tidak homogen yang terdiri atas kelompok yang homogen atau berstrata secara proportional (Hidayat, 2007). Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sederhana untuk populasi kecil < 10.000 (Notoatmodjo, 2003) : Rumusnya : n =
N 1+(Nxd2)
Keterangan: n
: Sampel
N
: Populasi
d2
: Standar defiasi (0,1)
n=
4.612 1 + (4612 x 0,01) 4612 1+ 46,12
=
4612
= 97,87
98 PUS
47,12
Jadi jumlah sampel penelitian adalah 98 PUS
38
Untuk mengetahui jumlah PUS digunakan teknik proportionale stratified random sampling dengan jumlah 11 desa, sehingga untuk mengetahui jumlah sampel per desa di gunakan rumus : ∑ PUS x Sampel Populasi Tabel 3.1 Jumlah Sampel per Desa No
Desa
Jumlah
Jumlah Sampel per Desa
PUS 1
Bandung
300
300 x 98 = 6,37 = 6 4612
2
Candimulyo
141
141 x 98 = 2,99 = 3 4612
3
Candiwulan
325
325 x 98 = 6,90 = 7 4612
4
Kalijirek
167
167 x 98 = 3,54 = 4 4612
5
Kawedusan
250
250 x 98 = 5,31 = 5 4612
6
Kembaran
191
191 x 98 = 4,05 = 4 4612
39
7
Muktisari
441
441 x 98 = 9,37 = 9 4612
8
Murtirejo
235
235 x 98 = 4,99 = 5 4612
9
Panjer
1198
1198 x 98 = 25,45 = 25 4612
10
Sumberadi
296
296 x 98 = 6,33 = 6 4612
11
Tamanwinangun
1072
1072 x 98 = 22,77 = 23 4612
Total
4612
98
Sampel yang diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan, yaitu: 1) Kriteria inklusi Adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target terjangkau yang akan diteliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: a) Wanita pasangan usia subur 15-45 tahun b) Dapat membaca dan menulis. c) Bersedia menjadi responden.
40
2) Kriteria eksklusi a) Wanita yang menderita gangguan jiwa. b) PUS yang pernah menderita/operasi kanker serviks
C. Variabel Penelitian Variabel adalah obyek penelitian atau apa saja yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2006). 1. Variabel bebas Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah Pengetahuan, sikap,
tingkat
pendidikan dan umur.
2. Variabel terikat Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA.
41
D. Definisi Operasional Tabel No.3.1 Definisi Operasional No
Variabel
Definisi Operasional Jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh responden
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
1
Pendidikan
Menggunakan kuesiner
Ordinal
Pengetahuan
Pengetahuan adalah kemampuan responden dalam menjawab pertanyaanpertanyaan tentang pengetahuan kanker serviks.
Menggunakan kuesioner tertutup dengan 15 pertanyaan. Untuk jawaban benar diberikan nilai 1 dan salah diberikan nilai 0.
Dikategorikan menjadi: a. Tidak lulus sekolah b. Pendidikan dasar (tamat SD/SMP) c. Pendidikan Menengah (tamat SMA) d. Pendidikan Tinggi (tamat Perguruan Tinggi) Dikategorikan baik : a. Baik Jika jawaban benar >75% b. Cukup jika jawaban benar antara 60-75% c. Kurang bila jawaban benar < 60%.
2
3
Sikap
Sikap merupakan tanggapan PUS tterhadap pemeriksaan IVA.
Menggunakan Dikategorikan : kuesioner a. Baik Jika sebanyak 15 jawaban benar soal dengan >75% pengukuran b. Cukup jika skala Gutt Man jawaban benar Skor untuk tiap antara 60-75% jawaban: c. Kurang bila Ya jawaban benar (melakukan) : < 60%. 1, Tidak (tidak melakukan): 0
Ordinal
Ordinal
42
4
Umur
Lama waktu hidup dimulai sejak di lahirkan sampai di lakukan penelitian.
Menggunakan kuesioner
Dikategorikan menjadi a. Berisiko, jika < 20 tahun atau >35 tahun b. Tidak berisiko 20-35 tahun
Nominal
5
Perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA
Tindakan atau praktek seseorang tentang keinginan atas kesadaran sendiri untuk melakukan pemeriksaan IVA
Menggunakan kuesioner
Dikategorikan: a.Tidak melakukan pemeriksaan IVA b.Melakukan pemeriksaan IVA
Nominal
E. Instrumen Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel tingkat usia, pendidikan PUS berupa kuesioner tertutup masing-masing berisi 1 item pertanyaan. Untuk kuesioner tingkat pengetahuan PUS berupa pertanyaan benarsalah, jawaban “benar” diberi skor 1 jawaban “salah” skor 0. Selanjutnya untuk kuesioner tingkat sikap berupa kuesioner jawaban “ya” diberi skor 1 jawaban “tidak” skor 0.
43
Tabel No.3.2 Kisi-kisi Kuesioner Tingkat Pengetahuan Indikator
Nomor Butir 1 2 3 4 5 6, 7, 11 8 9 10 12 13, 15 14
Jumlah Butir 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 2 1
Nomor Butir 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15
Jumlah Butir 15
1. Pengertian kanker serviks 2. Penyebab kanker serviks 3. Faktor risiko kanker serviks 4. Gejala klinik kanker serviks 5. Pencegahan kanker serviks 6. Pengertian IVA 7. Tujuan IVA 8. Manfaat IVA 9. Cara melakukan pemeriksaan IVA 10. Kelebihan IVA 11. Syarat melakukan IVA 12. Usia melakukan IVA
Tabel No.3.3 Kisi-kisi Kuesioner Tingkat Sikap Indikator 1. Deteksi dini IVA
F. Teknik Pengumpulan Data Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1. Peneliti menjumpai responden yaitu PUS yang sesuai dengan kriteria inklusi dan menanyakan kesediaan menjadi sampel penelitian. Jika tidak bersedia maka tidak diambil sebagai sample.
44
2. Responden diberi angket yang berisi kuisioner dan diminta untuk mengisi didampingi oleh peneliti. 3. Angket yang telah diisi diserahkan kembali saat itu juga dan diperiksa kelengkapanya, apabila ditemukan data yang kurang lengkap maka peneliti langsung melakukan klarifikasi kepada responden, kriteria angket yang diolah adalah pengisian sesuai petunjuk, pengisian jelas, dan lengkap, tidak ada lembar yang hilang.
G. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Uji coba instumen dilaksanakan di Puskesmas Kebumen II yang memiliki karakteristik hampir sama dengan
Puskesmas Kebumen I, dengan jumlah
responden sebanyak 20 orang. 1. Uji validitas Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keadaan instrument dalam mengumpulkan data. (Nursalam, 2003). Untuk memperkecil terjadinya bias dalam skala pengukuran, maka dilakukan uji validitas pada instrument yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam uji validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan rumus korelasi product moment.
45
Keterangan: x
= skor rata-rata dari x
r
= koefisien korelasi
y
= skor rata-rata dari y
N
= jumlah skor
Validitas alat diukur dengan menghitung korelasi antara masing-masing item pertanyaan dengan skor
total menggunakan rumus korelasi product
moment. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan nilai product moment (Arikunto, 2002). Cara yang lebih mudah untuk menentukan valid tidaknya butir yang diuji bila menggunakan program statistik komputer adalah dengan mengacu pada nilai signifikansi (p) yang diperoleh. Bila nilai signifikansi (p) yang diperoleh lebih kecil daripada 0,05 maka butir yang diujikan valid (Riwidikdo, 2007).
Hasil pengujian validitas instrumen adalah sebagai
berikut: a.
Pengetahuan Tentang IVA Semua pertanyaan tentang pengetahuan tentang IVA setelah dilakukan uji coba kuesioner menunjukan nilai p<0,05 yang berarti pertanyaan tersebut adalah valid.
b. Sikap Tentang IVA Semua pertanyaan tentang sikap tentang IVA setelah dilakukan uji coba kuesioner menunjukan nilai p<0,05 yang berarti pertanyaan tersebut adalah valid.
46
2. Uji reliabilitas Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran dalam waktu yang berlainan (Nursalam, 2003). Pengujian reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument tersebut sudah baik. Untuk mengetahui reliabilitas soal test menurut (Riwidikdo, 2007). Kuesioner atau angket dikatakan reliabel jika memiliki nilai alpha minimal 0,7. Pengujian ini tetap mengunakan internal consistency dengan alat yang diajukan hanya satu kali. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan rumus Alpha Cronbach.
r11
: Reliabilitas instrument
k
: Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal. : Jumlah varian butir : varian total. Hasil pengujian realibilitas sebagaimana dijelaskan dibawah ini :
a. Hasil cronbach alpha untuk konstruk pengetahuan tentang IVA diperoleh nilai sebesar 0,912 (> 0,7), disimpulkan bahwa konstruk bersifat reliabel. b. Hasil cronbach alpha untuk konstruk sikap tentang IVA diperoleh nilai sebesar 0,913 (> 0,7), disimpulkan bahwa konstruk bersifat reliabel.
47
H. Teknik Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Menurut Notoatmodjo (2007), data yang diperoleh langsung dari penelitian masih mentah, belum siap untuk disajikan. Guna memperoleh penyajian data sebagai hasil yang berarti, diperlukan pengolahan data. Khusus untuk penelitian kuantitaitif, yakni yang berhubungan dengan angkaangka, pengolahan datanya meliputi: editingdata, koding dan skoring, entry data, dan tabulating. Pengolahan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut: a. Editing data, dilakukan untuk mengontrol kualitas data yang telah diperoleh. b. Koding dan skoring, yaitu kegiatan memberi kode setiap data yang diperoleh,
kemudian
memberinya
skor,
dengan
tujuan
untuk
mempermudah analisis data, baik untuk analisis deskriptif maupun analisis inferensialnya. c. Entry data, yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam komputer untuk selanjutnya dapat dilakukan analisis data. d. Tabulating, yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan mengatur angka-angka yang diperoleh, sehingga dapat dihitung distribusi dan persentasenya, serta dapat dianalisis secara inferensial.
48
2. Analisis Data Pada penelitian ini analisis data yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setelah semua data-data berhubungan dengan variabel-variabel yang ada dalam komponen variabel penelitian dikumpulkan. Kemudian dianalisis dengan langkah sebagai berikut yaitu : a. Analisis Univariat Pada analisis univariat data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dapat disajikan bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Analisa univariat
digunakan
untuk
menjelaskan
atau
mendeskriptifkan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti yaitu pengetahuan, sikap, pendidikan, pekerjaan, umur dan perilaku PUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA, khususnya berupa distribusi frekuensi dan persentase. Rumus: P= ----f---- x 100 % N Keterangan : P = angka presentase f = frekuensi N = banyaknya responden (Sugiyono, 2005)
49
b. Analisis Bivariat Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel baik komparatif, asosiatif maupun korelasi (Saryono, 2008). Pada analisis bivariat ini dilakukan uji statistik pada variabel yang saling berhubungan, statistik korelasi yang digunakan adalah korelasi Chi Square. Korelasi chi square digunakan untuk data diskrit nominal dan ordinal. Untuk data nominal dan nominal menggunakan uji koefisien kontingensi. Rumus Chi Square: 2
x =∑
( f o − f h )2 fh
Keterangan:
x 2 = chi square. fo = frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan sampel. fh = frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan dan frekuensi yang diharapkan dari populasi. Jika Chi Square lebih kecil dari Chi Square Tabel maka H0 atau hipotesis statistik diterima. Jika Chi Square hitung lebih besar dari Chi Square Tabel maka H0 atau hipotesis statistik ditolak. Jika probabilitas (Asym. Sig) lebih kecil dari 0,05 maka H0 atau hipotesis statistik ditolak. Jika probabilitas (Asym. Sig) lebih besar dari 0,05 maka H0 atau hipotesis statistik diterima (Sugiyono, 2007).
50
Seperti kita ketahui, uji Chi Square menuntut frekuensi harapan atau ekspekstasi (E) dalam masing-masing sel tidak boleh terlampau kecil. Jika frekuensi sangat kecil, penggunaan uji ini mungkin kurang tepat.
Oleh
karena
itu
dalam
penggunaan
Chi
Square
harus
memperhatikan keterbatasan-keterbatasan uji ini. Adapun keterbatasan uji Chi Square adalah sbb: 1. Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan (nilai E) kurang dari 1. 2. Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan (nilai E) kurang dari 5, lebih dari 20% dari jumlah sel. Jika keterbatasan tersebut terjadi pada saat uji Chi Square peneliti harus menggabungkan kategori-kategori yang berdekatan dalam rangka
memperbesar
frekuensi
harapan
dari
sel-sel
tersebut
(penggabungan ini dapat dilakukan untuk analisis tabel silang lebih dari 2x2, misalnya 3x2, 3x4 dsb). Penggabungan ini ternyata diharapkan tidak sampai membuat datanya kehilangan makna. Andai saja keterbatasan tersebut terjadi pada tabel 2x2 (ini berarti tidak bisa menggabungkan kategori-kategorinya lagi), maka dianjurkan menggunakan uji Fisher’s Exact (Hastono, 2007).
51
I. Etika Penelitian 1. Prinsip Manfaat a. Bebas dari penderitaan, artinya dalam penelitian ini tidak menggunakan tindakan yang menyakiti atau membuat responden menderita. b. Bebas dari eksploitasi, artinya data yang diperoleh tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan responden. 2. Prinsip Menghargai Hak a. Informed consent Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, calon responden diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan, apabila calon responden bersedia untuk diteliti maka calon responden harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, dan jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya. b. Anonymity Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam pengolahan dan penelitian, peneliti akan menggunakan nomor atau kode responden. c. Confidientiality Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul dijamin kerahasiaanya oleh peneliti.