Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
FAKTORm– bFAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI USIA 0 - 6 BULAN DI KREMBANGAN JAYA SURABAYA FACTORS - FACTORS RELATED TO MATERNAL BEHAVIOR EXCLUSIVELY BREASTFEEDING IN BABIESAGE 0-6 MONTHS IN SURABAYA KREMBANGAN JAYA Martha Lusiana Igo (1),A’im Matun Nadhiroh (2) Program Studi D-IV Kebidanan, STIKES Insan Unggul Surabaya (2) Dosen STIKES Insan Unggul Surabaya
(1)
ABSTRAK Kurangnya perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi di Indonesia. Namun tidak semua ibu mengetahui dan menyadari pentingnya pemberian ASI secara eksklusif pada bayi. Maka dari itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional, populasinya adalah ibu yang mempunyai bayi usia 0 – 6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya sejumlah 47 responden. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling, variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, dukungan suami dan budaya masyarakat, sedangkan variabel dependennya adalah perilaku ibu dalam keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dan dianalisa melalui uji statistik Fisher Exact dengan tingkat signifikan 0,05%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pengetahuan responden jelek sebanyak 22 orang (53%), dukungan suami mayoritas tidak mendapatkan sebanyak 30 orang (71%), budaya masyarakat mayoritas tidak mendukung sebanyak 23 orang (55%) dan perilaku ibu mayoritas tidak memberikan ASI secara eksklusif (81%). Untuk faktor pengetahuan dan perilaku didapatkan nilai p=0.001, untuk faktor dukungan suami dan perilaku didapatkan nilai p =0,000 dan faktor budaya masyarakat dan perilaku didapatkan nilai p=0.018 (p<0,05). Hasil analisa data secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan, dukungan suami, budaya masyarakat dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan. Kata kunci : pengetahuan, dukungan suami, budaya masyarakat dan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif.
ABSTRACT
The lack of mother behavior in giving ASI exclusively represent one of cause of height of Infant mortality rate in Indonesia But do not all mother know and realize its important to gift ASI exclusively at the baby. Hence from that, this research target is to identify the factors which deal with mother behavior in giving ASI exclusively at age baby 0-6 month. Desain Research used by descriptive of correlation with the approach of cross sectional, their populations are 47 mother having age baby 0-6 month in Krembangan Jaya Surabaya. Was taken with simple random sampling, and independent variables in this research are knowledge, support of husband and society culture while variable dependent is mother behavior in exclusive gift ASI efficacy. Data collected by used questioner and with statistical test of Fisher Exact Test with the level of signifikan 0,05%. The result of research indicate bad knowledge as much 22 people ( 53%), do not support of majority husband as much 30 people ( 71%), do not support of society culture as much 23 people ( 55%) and majority mother do not give the ASI exclusively ( 81%). Moreover, result of analysis of Fisher Exact Test for the factor of knowledge and got by behavioral of value p=0.001. Factor of husband support and got by behavioral of value p = 0,000 and cultural factor of society and got by behavioral of value p=0.018 ( p<0,05). Result of inferential data analysis as a whole that there is any correlation between knowledge, husband support, cultural of society behaviorally mother in giving ASI exclusively at age baby 0-6 month. Keyword :
knowledge, husband support, cultural of society and mother behavior in giving ASI exclusively.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
1
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di Indonesia angka kematian dan kesakitan bayi masih sangat tinggi ± 30.000 kematian bayi setiap tahunnya. Salah satu penyebab kematian dan kesakitan bayi adalah kurang kalori dan protein yang banyak ditemukan pada bayi dan anak balita (Sediaoetama 2006). Hal tersebut disebabkan karena kerawanan gizi pada bayi, makanan yang kurang dan juga karena Air Susu Ibu (ASI) banyak yang diganti dengan susu botol, dimana cara dan jumlah pemberiannya tidak sesuai dengan kebutuhan. Menurut Roesli (2000) bayi yang tidak diberikan ASI secara eksklusif kemungkinan akan mengalami gizi buruk dan sekitar 15 sampai 20 persen sel otaknya tidak dapat berfungsi secara normal. Menurut Menteri Kesehatan (2006) akibat kehilangan kesempatan memperoleh Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, lebih dari 5 juta balita menderita kurang gizi serta 1,7 juta balita menderita gizi buruk. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 20022003, tercatat pemberian ASI tanpa tambahan apapun hingga umur lima bulan hanya sebanyak 14 persen, usia tiga bulan sebanyak 46 persen dan usia 2 bulan sebanyak 64 persen. Hal tersebut sangat ironis sekali, karena dengan pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan mampu mencegah 13 persen atau 137 ribu dari 10,6 juta kematian balita tiap tahun. Pemberian ASI secara Eksklusif di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Pendidikan ibu yang relatif kurang, faktor sosial budaya, kurangnya pengetahuan dan dukungan suami akan pentingnya ASI, jajaran kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program pemberian ASI, gencarnya promosi susu formula dan kurangnya dukungan dari masyarakat termasuk institusi yang mempekerjakan perempuan untuk ibu menyusui merupakan salah satu penyebab menurunnya perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yulfira (2007) di kabupaten Karawang, Jawa Barat menunjukkan bahwa sebagian besar ibu mempunyai pengetahuan yang baik tentang menyusui, akan tetapi pengetahuan ibu tentang4. pemberian ASI secara eksklusif masih sangat rendah. Begitu juga dengan perilaku pemberian ASI secara eksklusif, pada umumnya mereka tidak dapat memberikan ASI secara eksklusif. Hal tersebut disebabkan karena masih banyaknya persepsi yang salah di masyarakat terkait dengan pemberian ASI, sehingga hal itu menjadi beban tersendiri bagi ibu menyusui dan proses menyusui menjadi terganggu. Misalnya ibu yang menyusui tidak boleh makan ikan, banyak orang yang menganggap kalau ibunya makan ikan nanti bayinya akan alergi. Padahal jika bayi lebih awal diperkenalkan dengan berbagai rasa melalui ASI maka reaksi imunologisnya menjadi lebih baik.(WWW. Google . com) Dari hasil laporan daerah Krembangan Jaya Surabaya didapatkan bayi usia 0–6 bulan sebanyak 42 bayi, akan tetapi hanya 8 bayi yang mendapatkan ASI secara Eksklusif, berarti ± 81% bayi tidak mendapatkan ASI secara Eksklusif .
Berdasarkan data diatas maka salah satu upaya dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi terutama yang disebabkan oleh karena kekurangan gizi adalah dengan pemberian penyuluhan dan memotivasi para ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif. Dalam hal ini peranan seorang bidan sebagai tenaga kesehatan sangatlah penting, karena dengan berbagai upaya tersebut dapat meningkatkan derajat kesehatan bayi sehingga dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI secara eksklusif. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tentang konsep dasar teori yang meliputi konsep dasar ASI, konsep dasar pengetahuan, konsep dasar dukungan suami, konsep dasar sosial budaya atau lingkungan dan konsep dasar perilaku. A. 1.
Konsep dasar ASI eksklusif Pengertian Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose dan garam-garam organik yang disekresi oleh kelenjar mamae yang berguna sebagai makanan utama bagi bayi. (Soetjiningsih, 1997). Sedangkan ASI Eksklusif adalah perilaku dimana hanya memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sampai umur 6 (enam) bulan tanpa makanan dan ataupun minuman lain kecuali sirup obat dan diteruskan sampai usia bayi 2 tahun. (Depkes RI, 2005). ASI dalam jumlah cukup merupakan makanan terbaik pada bayi dan dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 6 bulan pertama. ASI merupakan makanan alamiah yang pertama dan utama bagi bayi sehingga dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal. (Depkes RI, 2005) Kebaikan ASI dan menyusui. ASI bermanfaat bukan hanya untuk bayi saja, tetapi juga untuk ibu, keluarga dan negara. a. 1.
Manfaat ASI untuk bayi Nutrien (zat gizi) yang sesuai untuk bayi (a) Lemak, (b) Karbohidrat, 2. Protein 3. Garam dan mineral Vitamin 1. Mengandung zat protektif Bayi yang mendapat ASI lebih jarang menderita penyakit, karena ada zat protektif dalam ASI. (a) Laktobasilus Bifidus, (b) Laktoferin, (c) Lizosim, (d) Komplemen C3 dan C4, (e) Faktor Anti streptococcus, (f) Antibodi, (g) Imunitas seluler, (h) Tidak menimbulkan Alergi, (i) Mempunyai efek psikologi yang menguntungkan, (j) Menyebabkan pertumbuhan yang baik, (k) Mengurangi kejadian karies dentis b.
Manfaat ASI untuk ibu 9 (a) Aspek kesehatan ibu, (b) Aspek keluarga berencana Menyusui murni menjarangkan kehamilan. Hormon yang mempertahankan laktasi bekerja menekan hormon untuk ovulasi sehingga dapat menunda kembalinya kesuburan.
Menyusui adalah cara makan anak-anak yang tradisional dan ideal, yang biasanya sanggup memenuhi kebutuhan gizi seseorang bayi untuk masa hidup sampai enam bulan pertama. Bahkan setelah
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
2
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
diperkenankan bahan makanan tambahan yang utama, ASI masih tetap merupakan sumber utama yang bisa mencukupi gizi. Dalam tahap usia sejak lahir sampai 6 bulan, ASI merupakan makanan yang paling utama. Pemberian ASI masa ini memberikan beberapa keuntungan. Betapapun tingginya dan baiknya mutu ASI sebagai makanan bayi, manfaatnya bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi sangat ditentukan oleh jumlah ASI yang dapat diberikan oleh ibu. Jika kebaikan dan mutu ASI yang dapat dihasilkan oleh ibu tidak sesuai dengan kebutuhan bayi, maka dapat mengakibatkan bayi akan menderita gangguan gizi. ASI sebagai makanan tunggal harus diberikan sampai bayi berumur 6 bulan. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan PP-ASI yaitu ASI diberikan selama 2 tahun dan baru pada usia 6 bulan bayi mulai diberi makanan pendamping ASI. ASI paling lambat diberikan sampai usia 6 bulan karena ASI dapat memenuhi kebutuhan bayi pada 6 bulan pertama. (Durjati ,1994). METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas tentang Desain Penelitian, Kerangka Kerja (frame work), variable penelitian, Sampling Desain, Identifikasi Variabel, Definisi Operasional, Pengumpulan data dan Analisis Data, Etika Penelitian dan Keterbatasan
A.
Kerangka Kerja (frame work) Populasi dari penelitian ini adalah ibu yang mempunyai bayi usia 0 – 6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya
Total populasi bayi usia 0 – 6 bulan sebanyak 47 bayi. Jumlah sampel bayi usia 0 – 6 bulan sebanyak 42 bayi
Kuesioner yang sudah Valid
Responden
Angket Kuesioner Pengetahuan, dukungan suami dan budaya masyarakat
Angket Perilaku ibu dalam keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif
Mengumpulan data Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Analitik dimana peneliti hanya menggambarkan ada tidaknya hubungan antara 2 atau beberapa variable dengan menggunakan pendekatan secara cross sectional karena pengukuran dan pengumpulan variabelnya dilakukan sesaat.
Melakukan pengolahan data Menganalisis data Menyajikan Hasil Kerangka kerja peneliti tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya.. Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2001 Populasi, Sampel dan Sampling Populasi Adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut masalah yang diikuti, variabel tersebut bisa berupa orang, kejadian, perilaku, atau sesuatu lain yang akan dilakukan penelitian (Nursalam, 2001). Populasi dari penelitian ini adalah ibu yang mempunyai bayi usia 0–6 bulan di Krembangan Jaya sebanyak 47 orang. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk dapat memenuhi atau mewakili populasi. (Nurasalam, 2003)
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
3
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
a. Kriteria sampel Untuk menentukan layak tidaknya sampel yang akan diteliti, maka ditentukan berdasarka kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut : Kriteria inklusi adalah karekteristik umum penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003). Pada penelitian ini yang termasuk kriteria inklusi adalah: 1. Ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya. 2. Ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan yang bersedia menjadi responden dengan mengisi dan menandatangani formulir informed Consent Kriteria eksklusi adalah menghilangkan / mengeluarkan subyek yang tidak memenuhi criteria inklusi (Nursalam, 2003). Pada penelitian ini yang termasuk kriteria eksklusi adalah : a. Ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan yang tidak bersedia menjadi responden di Krembangan Jaya Surabaya. b. Ibu yang tidak mempunyai bayi usia 0-6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya c. Ibu yang mempunyai bayi usia lebih dari 6 bulan. b. Besar sampel Menurut Notoatmodjo (2003) besarnya sampel dapat ditentukan dengan menggunakan rumus : n=
N 1 N (d 2 )
Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,05) Besar sampel dalam penelitian ini adalah : n=
47 1 47 0,05 2
n=
47 1 470,0025
n=
47 1,1175
n= 42 Jadi jumlah sampelnya sebanyak 42 orang. Sampling Pada penelitian ini cara pengambilan sampel menggunakan probability sampling dengan teknik simple random sampling, dimana setiap anggota populasi yang memenuhi criteria penelitian memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sample. (Nursalam,2001).
Tempat dan waktu penelitian Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah di daerah Krembangan Jaya Surabaya, sedangkan waktu penelitian dilakukan pada bulan desember 2007 Instrumen penelitian Karena instrument ini dibuat sendiri oleh peneliti maka instrument ini dilakukan uji validitas dan reabilitas terhadap 10 responden yaitu ibu-ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan di RW 03 RT 04 Krembangan Mulyo Surabaya dan yang tidak termasuk sebagai sample penelitian menggunakan komputerisasi. Menurut Sugiono (2003) instrument penelitian dikatakan reable bila nilai r hitung lebih besar dari r tabel (0,632). Berdasarkan hasil uji validitas dan reabilitas didapatkan pada Kuesioner bagian B (variabel pengetahuan) dari 22 butir soal pertanyaan 2 butir tidak valid dan tidak reliable (nilai r lebih kecil dari nilai tabel) yaitu butir pertanyaan no 16 dan 21 sehingga jumlah soal yang semula 22 soal menjadi 20 soal saja. Pada pernyataan C (variabel budaya) dari 24 pernyataan 2 yang tidak valid dan tidak reliabel yakni pada pernyataan no 6 dan 10 sehingga jumlah soal yang semula 24 soal menjadi 22 soal. Pengumpulan data dan analisis data 1. Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan menggunakan alat ukur kuesioner dan data yang diambil adalah data primer yaitu data dikumpulkan sendiri oleh peneliti di Krembangan Jaya Surabaya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara angket, peneliti mendatangi rumah-rumah responden, sebelum mengisi kuesioner responden diberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian ini. 2. Pengolahan data Data yang terkumpul dari kuesioner yang telah diisi diolah dengan tahap: a. Editing Langkah ini dilakukan dengan maksud untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan dari data yang telah dikumpulkan serta memonitor jangan sampai terjadi kekosongan dari data yang telah dikumpulkan. Editing dilaksanakan dilapangan, sehingga bila ada kekurangan dapat segera dilengkapi. b. Coding Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka untuk setiap jawaban dari kuesioner yang telah disebarkan diberi kode sesuai dengan karakter masing-masing. Pada kuesioner B (pengetahuan) dan kuesioner bagian D (perilaku) pengolahan data dilakukan dengan cara memberikan penilaian atau scoring 1 untuk jawaban ya dan memberikan penilaian atau scoring 0 untuk jawaban tidak. Untuk kuesioner bagian C (dukungan suami dan budaya masyarakat) diberikan kode sesuai dengan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
4
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
bentuk pernyataan dengan menggunakan skala linkert, bila pernyataan positif maka jika jawabannya SS=5, S=4, RR=3, TS=2, STS=1 sebaliknya untuk pernyataan negatif maka jika jawabannya SS=1, S=2, RR=3, TS=4, STS=5. Hasil pertanyaan pada setiap kuesioner di jumlahkan sehingga didapatkan total jawaban setiap kuesioner. Kemudian dari total jawaban setiap kuesioner dicari rerata dari jawaban tiaptiap kuesioner dibagi dengan jumlah sampel. Setelah diketahui hasil perhitungan tiap-tiap kuesioner kemudian dikelompokkan menjadi dua yang mana kelompok atas adalah mereka yang skornya sama atau lebih besar dari mean sedangkan kelompok bawah adalah subyek yang skornya lebih kecil dari mean (Arikunto,2002). 3. Analisis data Analisa dilakukan secara univariat dan bivariat dengan menggunakan komputerisasi. a. Analisis univariat Analisa ini dilakukan terhadap variabelvariabel penelitian melalui distribusi frekuensi dan presentase. b. Analisis bivariat Analisis ini dilakukan untuk menjelaskan perbedaan yang terjadi antara variabel independen (pengetahuan, dukungan suami dan budaya masyarakat) dan variabel dependen (perilaku pemberian ASI secara eksklusif pada bayi 0-6 bulan). Analisa ini menggunakan uji Chi-square (X²) atau uji Contingency Coefisien yakni untuk mengetahui erat tidaknya suatu hubungan. Bila uji Chisquare tidak dapat digunakan, peneliti menggunakan uji eksak fisher. Apabila dari perhitungan didapatkan harga P ≤ α (taraf signifikan yang telah ditetapkan) maka kesimpulan yang didapat H0 ditolak ada hubungan yang signifikan.
A.
Hasil Penelitian Data Umum
1.
KarakteristikResponden Berdasarkan Usia Bayi Gambar 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Bayi di Krembangan Jaya Surabaya
Karakteristik berdasarkan usia bayi 14% 30% 17%
17% 0-1 bulan
3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
Bila dilihat dari usia bayi, gambar diatas memberikan gambaran bahwa dari 42 responden mayoritas berusia 6 bulan (30%), yang berusia 5 bulan (17%), usia 4 bulan (10%), usia 3 bulan (12%), usia 2 bulan (17%) dan bayi yang berusia 0-1 bulan sebanyak (14%) 2.
Karakteristik Pengetahuan Responden
Gambar 2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan tingkat pengetahuan responden dalam pemberian ASI secara Eksklusif pada bayi di Krembangan Jaya Surabaya
Karakteristik Tingkat Pengetahuan Ibu
HASIL PENELITIAN Dalam bab ini peneliti akan menyajikan hasil dan pembahasan dari pengumpulan data mengenai Faktor – faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI secara eksklusif pada bayi usia 0–6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya yang akan diuraikan sesuai dengan tujuan penelitian. Pada hasil penelitian dan pembahasan ini dibagi dalam dua bagian yaitu data umum, data khusus. Data umum dimulai dari karateristik responden yang meliputi karakteristik usia bayi, tingkat pengetahuan responden, dukungan suami responden, budaya masyarakat dan perilaku responden dalam pemberian ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan Sedangkan data khusus untuk memperoleh gambaran ada tidaknya hubungan antara variabel-variabel dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI secara eksklusif pada bayi usa 0-6 bulan.
2 bulan
12%
10%
48% 52%
Baik
Jelek
Pada gambar 2 menunjukkan bahwa dari 42 responden mayoritas mempunyai pengetahuan jelek sebanyak 22 0rang (52%) dan berpengetahuan baik sebanyak 20 orang (48%).
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
5
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
3. Karakteristik Dukungan Suami Responden Gambar 3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan dukungan suami responden dalam pemberian ASI secara Eksklusif pada bayi di Krembangan Jaya Surabaya
1.
dengan perlaku ibu dalam memberian ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan. Tabulasi silang pengetahuan terhadap perilaku ibu dalam pemberian ASI secara eksklusif.
Tabel 5.1
Karakteristik Responden berdasarkan dukungan suami
Tabulasi silang tingkat pengetahuan dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif
29% Tingkat
Total
pengetahuan
Tidak ASI
ASI
n = 42
eksklusif
eksklusif
n
%
n
%
n
%
Jelek
22
52.4
0
0
22
52.4
Baik
12
28,6
8
19
20
47,6
Total
34
81
8
19
42
100
71% Mendukung
Perilaku ibu
Tidak mendukung
Dari gambar 3 menunjukkan bahwa dari 42 responden mayoritas tidak mendapat dukungan suami sebanyak 30 orang (71%) dan yang mendapat dukungan dari suami dalam memberikan ASI secara eksklusif usia 0-6 bulan sebanyak 12 orang (29%). 4. Karakteristik Budaya Masyarakat Gambar 4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan budaya masyarakat responden dalam pemberian ASI secara Eksklusif pada bayi di Krembangan Jaya Surabaya
Karakteristik Responden Berdasarkan Budaya dalam Masyarakat 48%
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 42 responden mayoritas mempunyai pengetahuan Jelek sehingga tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya sebanyak (52,4%), sedangkan pada responden yang mempunyai pengetahuan baik tentang ASI eksklusif sebanyak (47,6%) namun tidak memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (28,6%) dan yang memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (19%). Berdasarkan uji eksak fisher di peroleh P = 0,001, maka p<α, jadi Ho ditolak, maka ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0 – 6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya.
52%
Mendukung
Tidak mendukung
Pada gambar 4 menunjukkan mayoritas budaya yang ada dalam masyarakat yang tidak mendukung perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif sebanyak 22 orang (52%) dan yang mendukung pemberian ASI secara eksklusif sebanyak 20 orang (48%) Dari gambar 5 menunjukkan bahwa mayoritas ibu tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya sebanyak 34 orang (81 %) dan yang memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya sebanyak 8 orang (19%). B. Hasil Penelitian Data Khusus Berikut ini akan disajikan hasil penelitian dari data khusus berupa tabulasi silang antara tingkat pengetahuan responden, dukungan dari suami responden dan budaya yang ada disekitar masyarakat JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
6
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
2.
Tabulasi silang dukungan suami dengan perilaku ibu Tabel 5.2 Tabulasi silang dukungan suami dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif Dukunga Perilaku ibu Total n Suami
Tidak
ASI
n = 42
ASI
eksklus
eksklusi
3.
Tabungan silang budaya masyarakat terhadap perilaku ibu Tabel 5.3 Tabulasi silang budaya masyarakat dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif Budaya Masyarakat n = 42 Tidak mendukung Mendukung
if
Perilaku ibu Tidak ASI ASI eksklusif eksklusif n % n % 21 50 1 2,4
Total
n 22
% 52,4
13
30.9
7
16,7
20
47,6
34
80,9
8
19,1
42
100
f Total n
%
n
%
n
%
Tidak
3
71,
0
0
3
71,
menduku
0
4
0
4
4
9,5
1
28,
2
6
4
10
2
0
ng Menduku
8
19
ng
Total
3
80,
4
9
8
19
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 42 responden mayoritas tidak mendapatkan dukungan dari suami sehingga responden tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya sebanyak (71,4 %) dan yang mendapatkan dukungan dari suami sebanyak (28,6%) akan tetapi 9,5% tidak memberikan ASI secara eksklusif dan yang memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (19%). Berdasarkan uji eksak fisher di peroleh P = 0,000, maka p<α, jadi Ho ditolak, maka ada hubungan antara dukungan suami dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0 – 6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa dari 42 responden mayoritas tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan masyarakat (faktor budaya dalam masyarakat) sebanyak (52,4%) namun yang memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (2,4%) dan yang tidak memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (50%) sedangkan yang mendapatkan dukungan dari masyarakat sebanyak (47,6%) namun yang tidak memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (30,9%) dan yang ASI eksklusif hanya sebanyak (16,7%).Berdasarkan uji eksak fisher di peroleh P = 0,081, maka p<α, jadi Ho ditolak, maka ada hubungan antara budaya masyarakat dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0 – 6 bulan di Krembangan Jaya Surabaya
PEMBAHASAN Setelah diperoleh hasil pengumpulan data dan dilakukan tabulasi silang dengan perhitungan uji statistik Exact Fisher, maka dapat dilakukan suatu analisa hubungan dari variabel – variabel yang diteliti yaitu : pengetahuan, dukungan suami, budaya masyarakat dan perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif serta membandingkan dengan teori yang ada. A.
Pengetahuan Dari hasil analisa statistik dengan Exact Fisher test menunjukkan bahwa Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan dengan nilai p=0.001 dan nilai C= 0,453. Hasil penelitian diatas sesuai dengan teori Notoadmodjo (2005) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang terbentuk dari 3 faktor, salah satunya adalah faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dipengaruhi oleh 3 faktor, satu diantaranya
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
7
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
B.
adalah pendidikan. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah seseorang unuk menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki dan sebaliknya makin rendah pendidikan seseorang maka akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan Menurut Nurdiati (1998) yang termasuk pendidikan rendah adalah yang telah menamatkan pendidikan di tingkat SD dan SLTP, pendidikan sedang adalah yang telah menamatkan pendidikan di tingkat SMU atau SLTA dan yang termasuk pendidikan tinggi adalah yang telah menamatkan pendidikan akademi dan perguruan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan mayoritas responden berpengetahuan jelek sebanyak 22 responden (52%) sedangkan yang berpengetahuan baik sebanyak 20 responden (48%). Untuk tingkat pendidikan responden didapatkan hasil mayoritas berpendidikan SMP sebanyak 18 responden (43%), berpendidikan SMU sebanyak 15 responden (36%), berpendidikan SD sebanyak 6 responden (14%) dan berpendidikan Perguruan Tinggi sebanyak 3 orang (7%). Dari 18 responden (43%) yang berpendidikan SMP didapatkan mayoritas berpengetahuan jelek sebanyak 10 responden (24%) dan yang berpengetahuan baik 8 responden (19%). Dari 6 responden (14%) yang berpendidikan SD didapatkan 6 responden pula yang berpengetahuan jelek (14%), hal tersebut berarti tidak ada responden yang berpengetahuan baik. Dari 15 responden (36%) yang berpendidikan SMU didapatkan mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 9 responden (22%) sedangkan yang berpengetahuan jelek sebanyak 6 responden (14%). Dari 3 responden (7%) yang berpendidikan Perguruan Tinggi didapatkan 3 responden pula yang berpengetahuan baik, hal tersebut berarti tidak ada responden yang berpengetahuan jelek. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makin rendah pendidikan seseorang maka makin rendah pula pengetahuannya tentang ASI eksklusif dan makin rendah pula perilaku ibu dalam pemberian ASI secara eksklusif. Dukungan Suami Dari hasil analisa statistik dengan Exact Fisher test menunjukkan bahwa Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan dengan nilai p=0.000 dan nilai C=0,609. Hasil penelitian di atas sesuai dengan teori Notoadmodjo (2005), yang menyatakan bahwa perilaku seseorang terbentuk dari 3 faktor, salah satunya faktor pendukung yang terwujud dalam dukungan suami. Dukungan suami sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2005). Hal tersebut terbukti dari hasil yang terlihat pada tabel 5.2 dimana dari 42 responden mayoritas tidak mendapatkan dukungan dari suami sehingga responden tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya sebanyak (71,4 %).
Dari jawaban pertanyaan 1 yang diperoleh peneliti suami tidak setuju jika bayi hanya diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan sebanyak 17 responden (40%) jawaban ragu-ragu sebanyak 15 responden (36 %) sangat setuju sebanyak 8 responden (19 %) dan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 2 responden (5%) untuk jawaban dari pertanyaan ke 3 diperoleh bahwa mayoritas suami tidak melarang jika ibu memberikan susu botol atau makanan tambahan lain selain ASI pada bayi usia < 6 bulan sebanyak 35 responden (83%) sedangkan suami yang melarang diberikan susu botol atau makanan tambahan lain saat usia bayi <6 bulan sebanyak 7 responden (17%) dan untuk jawaban dari pertanyaan 12 diperoleh jawaban mayoritas suami menganjurkan untuk memberikan makanan tambahan lain / susu botol saat usia bayi < 6 bulan jika bayi masih saja menangis setelah diberikan ASI sebanyak 34 responden (81%) dan responden yang tidak dianjurkan suami untuk memberikan susu botol atau makanan tambahan lain saat usia bayi <6 bulan sebanyak 8 responden (19%). Jadi disini dapat peneliti simpulkan bahwa seorang ibu yang tidak pernah mendapat nasehat ataupun penyuluhan tentang ASI eksklusif dari keluarganya dapat mempengaruhi tindakan ibu itu sendiri untuk tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya. Menurut Roesli (2000) hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga juga akan mempengaruhi lancar tidaknya proses laktasi itu sendiri. Padahal dapat kita ketahui bahwa ASI eksklusif tersebut mempunyai banyak sekali keuntungan bagi keluarga, salah satunya membantu kebutuhan pangan keluarga. Dengan memberikan ASI secara eksklusif kebutuhan akan gizi pada bayi akan terpenuhi, tidak perlu membeli susu ataupun makanan tambahan untuk bayi sehingga ekonomi keluarga dapat dialihkan untuk menambah kualitas pangan bagi anggota keluarga lain, termasuk ibu yang menyusui. Dengan demikian jelas terlihat adanya pengaruh yang signifikan antara dukungan suami dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya.
C.
Budaya Masyarakat Dari hasil analisa statistik dengan Exact Fisher test menunjukkan bahwa Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan dengan nilai p=0.018 dan nilai C= 0,361. Hasil penelitian di atas sesuai dengan teori Notoadmodjo (2005), yang menyatakan bahwa perilaku seseorang terbentuk dari 3 faktor, salah satunya faktor predisposisi yang terwujud dalam budaya / tradisi dalam masyarakat. Hal tersebut terbukti dari hasil yang terlihat pada diketahui
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
8
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
bahwa dari 42 responden mayoritas tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan masyarakat (faktor budaya dalam masyarakat) sebanyak (52,4%) namun yang memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (2,4%) dan yang tidak memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (50%). Dari jawaban pertanyaan 1 yang diperoleh peneliti bahwa mayoritas responden menjawab raguragu bahwa bayi yang tidak diberikan ASI secara eksklusif akan tetap menjadi orang sukses sebanyak 27 responden (64%) dan responden yang menjawab setuju meskipun tidak diberikan ASI secara eksklusif bayi tetap akan menjadi orang sukses sebanyak 11 responden (26%) namun yang tidak setuju jika bayi tidak diberikan ASI secara eksklusif akan menjadi orang sukses sebanyak 4 responden (10%). Untuk jawaban pertanyaan no 5 mayoritas responden menjawab ragu-ragu bahwa bayi yang mendapatkan ASI saja akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja sebanyak 16 responden (38%) dan yang menjawab setuju bahwa bayi yang mendapatkan ASI saja akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja sebanyak 8 responden (19%). Untuk jawaban pertanyaan no 5 mayoritas responden menjawab Ragu-ragu bahwa bayi tidak akan gemuk jika hanya diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan sebanyak 21 responden (50%) dan yang menjawab setuju bahwa bayi tidak akan gemuk jika hanya diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan sebanyak 12 responden (29%) dan yang menjawab tidak setuju sebanyak 9 responden (21%). Dan untuk jawaban no 10 mayoritas responden juga menjawab ragu-ragu bahwa anak akan cerdas jika diberikan ASI secara eksklusif sebanyak 20 responden (48%) sedang yang tidak setuju bahwa bayi jika diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan sebanyak 14 responden (33 %) dan yang menjawab setuju sebanyak 8 responden (19%). Untuk jawaban no 13 mayoritas responden menjawab setuju bahwa dengan menyusui badan akan bertambah gemuk sebanya 23 responden (54%) dan yang menjawab ragu-ragu sebanyak 15 responden (36%) sedangkan yang menjawab tidak setuju hanya 4 responden saja (10%). Untuk jawaban pertanyaan 14 mayoritas menjawab ragu-rag- jika ASI lebih praktis / ekonomis dari susu formula sebanyak 23 responden (54%) dan yang menjawab setuju bahwa ASI lebih praktis/ekonomis dari susu formula sebanyak 12 responden (29%) dan yang menjawab tidak setuju sebanyak 7 responden (17%). Untuk pertanyaan no 15 mayoritas responden menjawab setuju jika payudara yang kecilmaka jumlah air susu akan sedikit sebanyak 22 responden (52%) dan yang menjawab tidak setuju sebanyak 15 responden (36%) sedangkan yang masih ragu-ragu sebanyak 5 responden (12%).Untuk pertanyaan no 20 mayoritas responden menjawab ragu-ragu bahwa bayi cukup hanya diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan sebanyak 23 responden (55%) dan yang menjawab tidak setuju sebanyak 17 responden (40%) sedangkan hanya 2 responden yang menjawab setuju bahwa bayi cukup hanya diberikan ASI saja sampai usia bayi 6 bulan sebanyak 2 responden (5%). Jadi dari beberapa pertanyaan dapat peneliti ketahui
D.
bahwa responden masih ragu-ragu akan manfaat pemberian ASI secara eksklusif selain itu masih banyak responden yang menjawab tidak setuju dengan pemberian ASI secara eksklusif karena mereka beranggapan bahwa meski bayi tidak diberikan ASI bayi tersebut akan tetap menjadi sukses, bayi diberikan ASI saja akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja, bayi juga tidak akan gemuk jika diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan, Dengan pemberian ASI secara eksklusif bayi belum tentu akan menjadi anak yang cerdas, responden juga yakin bahwa dengan menyusui secara eksklusif tubuh akan bertambah gemuk, menyusui merupakan pekerjaan yang merepotkan karena dengan menyusui responden tidak dapat bekerja dan makan tidak bisa sembarangan takut bayi mencret, responden yakin bahwa bentuk payudara yang kecil maka jumlah air susu yang dihasilkan akan sedikit dan responden yakin bahwa bayi tidak akan cukup jika hanya diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan. Menurut Meutia (1997) memberikan makanan tambahan seperti pisang, nasi yang terlalu dini pada hari-hari pertama kelahiran, hal tersebut berbahaya karena usus bayi belum dapat mencerna serta pertumbuhan fungsi ginjal baru dapat beradaptasi untuk menerima makanan dengan kadar garam dan protein yang tinggi pada usia 6 bulan Dengan demikian jelas terlihat adanya pengaruh yang signifikan antara budaya dalam masyarakat dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya Perilaku Ibu Dari hasil analisa statistik dengan Fisher Exact Test antara pengetahuan dengan perilaku didapatkan nilai P=0,001, dukungan suami dengan perilaku didapatkan nilai p=0,000 dan budaya masyarakat dengan perilaku ibu didapatkan nilai p=0,081. Hal tersebut menunujukkan bahwa H0 ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, dukungan suami, budaya masyarakat dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan karena nilai P≤ 0,05 (P< α). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 42 responden, mayoritas tidak memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (81%). Hal tersebut dikarenakan mayoritas responden tidak mendapatkan dukungan dari suami sehingga tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya sebanyak (71,4%), pengetahuan ibu jelek sehingga tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya sebanyak (52,4%), dan tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan masyarakat (faktor budaya dalam masyarakat) sebanyak (52,4%) sehingga tidak memberikan ASI secara eksklusif sebanyak (50%). Adapun berbagai alasan-alasan ibu tidak memberikan ASI secara Eksklusif seperti kurangnya dukungan dari petugas kesehatan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
9
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
dalam membantu keberhasilan program ASI secara eksklusif sudah menjadi kebiasaan turun temurun untuk memberikan makanan tambahan sebelum usia bayi 6 bulan, alasan produksi ASI kurang untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi, pekerjaan yang mengharuskan ibu untuk tidak dapat memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya, ASI belum keluar setelah melahirkan. Dari berbagai alasan diatas mayoritas ibu beralasan bahwa karena sudah mendapatkan pembagian susu formula di tempat ibu melahirkan sebanyak (34%), ASI tidak cukup (21%), Tradisi pemberian makanan seperti pisang pada bayi usia 0-6 bulan sebanyak (19%), ASI tidak keluar setelah melahirkan sebanyak (14%) dan ibu bekerja sebanyak (12%).
4.
DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3.
KESIMPULAN DAN SARAN 4. Berdasarkan hasil penelitian melalui analisa data dan pembahasan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI secara eksklusif pada bayi 0-6 bulan di Krembangan Jaya, Surabaya, maka dapat dirumuskan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
5. 6. 7.
A.
B.
Kesimpulan 1. Dari 42 responden mayoritas memiliki pengetahuan jelek 22 orang (52,4%), yang tidak mendapatkan dukungan dari suami 30 orang 71 %), yang tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat 22 orang (52 %) dan tidak memberikan ASI secara Eksklusif 34 orang (81%) 2. Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara Eksklusif dimana hasil uji statistik fhiser Exact p = 0,001 3. Ada hubungan antara dukungan suami dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara Eksklusif dimana hasil uji statistik fhiser Exact p = 0,000 4. Ada hubungan antara budaya masyarakat dengan perilaku ibu dalam memberikan ASI secara Eksklusif dimana hasil uji statistik fhiser Exact p = 0,018 Saran 1. Bagi instansi yang diteliti Hasil penelitin yang diperoleh diharapkan pada petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya pemberian ASI secara eksklusif 2. Bagi Petugas Kesehatan a. Sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan harapan hidup bayi melalui pemberian ASI Eksklusif. b. Menambah wawasan baru mengenai perilaku tenaga kesehatan dalam membantu keberhasilan ASI Eksklusif 3. Bagi peneliti Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dan membuktikan faktorlain yang
dapat mempengaruhi perilaku ibu dalam memberikan ASI secara Eksklusif. Bagi Masyarakat Bagi ibu perlu diberikan penyuluhan dan informasi yang sesuai dengan tingakta pendidikan dan pengetahuan agar lebih mudah memahami tentang pentingnya penberian ASI secara eksklusif .
8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Arikunto. S. (2002), Prosedur Penelitian. Jakarta, PT Rineka Cipta Ayah Bunda. (2006), Coba MPASI. HTTP://WWW.Google.com Aziz. A. H (2007) Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis. Jakarta, Salemba Medika Depkes. RI (2004), Hak-hak Anak Indonesia Belum Terpenuhi. HTTP://WWW.Google.com DepKes RI. (2005), Manajemen Laktasi. Jakarta , DepKes RI. Gatra. (2006), Bayi Indonesia. HTTP://WWW.Google.com Helther W. (2001), Menyusui Bayi Anda. Jakarta, Dian Rakyat IBI (2006), Bidan Menyonsong Masa Depan, Jakarta Media Indonesia Online. (2005), Program ASI Eksklusif hingga Bayi 6 bulan. HTTP://WWW.Google.com Notoatmodjo. S. (2005), Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta, PT Rineka Cipta Ramairah. S (2006), Manfaat ASI dan Menyusui, Jakarta, PT Bhuana Ilmu Populer, Roesli. U. (2000), Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta, Trubus Agriwidya Roesli. Roesli. U. (2005), Panduan Praktis Menyusui. Jakarta, Puspa Swara Roesli U. (2007), Inisiasi menyusui dini dan ASI Eksklusif. Jakarta, Sentra Laktasi Sediaoetama. A, (2006), Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta , Dian Rakyat. Soetjiningsih (1997ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan, Jakarta, EGC Suradi dkk (2004), Manajemen Laktasi. Jakarta. Swasono. F. M (1998) Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi Dalam Konteks Budaya. Jakarta, Universitas Indonesia
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
10
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU KEPATUHAN DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM TERAPI PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS KOWEL RELATIONS WITH THE KNOWLEDGE LEVEL OF COMPLIANCE IN IMPLEMENTING THE PROGRAM BEHAVIOR THERAPY IN TUBERCULOSIS PATIENTS IN THE CLINIC KOWEL
(1)
Oleh: Ns Andri Setiya Wahyudi, S.Kep.,,(2)Machria Rachman, SST (1) (2) Dosen STIKES Insan Se agung Bangkalan
ABSTRAK Wahyudi. AS, Rachman, M 2009, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Perilaku Kepatuhan untuk mengikuti Program Terapi pada Pasien Tuberkulosis diPuskesmas Kowel Penyakit TBC adalah penyakit kronis yang membutuhkan terapi waktu yang lama dan berkelanjutan, untuk mendukung itu, memiliki tingkat pengetahuan yang dibutuhkan cukup untuk mengikuti program terapi. Setidaknya 8 juta orang di dunia memiliki Tuberkulosis dengan angka kematian 3 juta orang per tahun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan untuk melakukan Terapi Pasien Tuberkulosis Program. Penelitian ini merupakan studi korelasi dengan desain cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah pasien Tuberkulosis di daerah Kowel puskesmas di Pamekasan, teknik sampling Simple Random sampling yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah sampel adalah 24 responden. Instrumen penelitian digunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik dan cukup, dan untuk tingkat kepatuhan pasien sebagian besar adalah bukan perilaku patuh pada program terapi. Hasil penelitian dengan teknik Spearman rho mengungkapkan bahwa p-value = 0,002 <α = 0,05 sehingga H1 diterima, itu berarti bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan terhadap program terapi diikuti pada pasien TBC. Sedangkan nilai korelasi positif 0.601 pengalamatan terarah. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan terhadap program terapi diikuti pada pasien TBC, sehingga dibutuhkan berpartisi untuk semua petugas kesehatan yang memberikan konseling / informasi terapi perhatian Tuberkulosis. Kata kunci: Tuberkulosis, Pengetahuan, Perilaku, Kepatuhan. ABSTRAC
Wahyudi. AS, Rachman, M 2009, The Relation of Knowledge Level and Compliance Behavior to followed Therapy Program in Tuberculosis Patient at Puskesmas Kowel Tuberculosis Disease is chronic disease that require long time therapy and continuation, to support it, have required the enough knowledge level for follow therapy program. At least 8 million people on the world having Tuberkulosis with mortality rate 3 million people per year. This research aim to analyse the relation of knowledge level and compliance behavior to perform Therapy Program in Tuberkulosis Patients. The research was correlation study with sectional cross desain. Population at this research is Tuberculosis patient in Kowel puskesmas areas at Pamekasan, technique sampling was Simple Random sampling that fulfilling criteria inclution. The number of sample were 24 respondent. Research instrument was used quesioner. Result of research revealed that the most respondent have goodness and enough knowledge , and for the level of compliance most patient have is not obedient behavior to therapy program. Result of research by rho Spearmen technique revealed that p-value = 0,002 < α= 0,05 so that H1 accepted, it’s mean that there is relation between knowledge level and compliance behavior to followed therapy program in Tuberculosis patient. While positive value 0,601 addressing directional correlation. Conclution of this research reveal there is relation between knowledge level and compliance behavior to followed therapy program in Tuberculosis patient , so required partisipate for all health provider to giving counselling/ information concern Tuberkulosis therapy. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN Keyword: Tuberculosis, Knowledge, Behavior, Compliance.
11
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit kronis dan menular serta dapat kambuh. Sehingga perawatan dan terapinya membutuhkan waktu yang lama. Menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia terserang Tuberkulosis dengan angka kematian 3 juta orang pertahun (WHO). Diperkirakan sekitar 95% penderita Tuberkulosis berada di negara-negara berkembang. Di Indonesia Tuberkulosis kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan (Danusantoso, 2000). Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomer tiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan pada semua golongan usia dan nomor satu dari golongan penyakit akibat infeksi. Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus Tuberkulosis baru, sedangkan kematian karena Tuberkulosis diperkirakan 175.000 per tahun (Siswono.2004.). Di Pamekasan didapatkan data bahwa jumlah pasien Tuberkulosis yang terbanyak ada diwilayah kerja puskesmas Kowel, yaitu terdaftar 25 penderita pada bulan September, dan pada bulan Oktober serta November 2009 terdaftar 24 penderita. Jadi rata-rata perbulan terdaftar 24 penderita (Rekam medis puskesmas Kowel, 2009) Dengan banyaknya prevalensi Tuberkulosis tersebut maka diperlukan penatalaksanaan Tuberkulosis yang baik. Intervensi keteraturan atau kepatuhan dalam terapi (minum obat) merupakan salah satu intervensi yang penting bagi pasien Tuberkulosis, akan tetapi menurut hasil penelitian ini masih banyak dijumpai pasien yang tidak meneruskan (drop out) dari terapinya. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi Tuberkulosis seperti tingkat pengetahuan penderita yang rendah, status gizi buruk, faktor sosial ekonomi rendah, faktor lingkungan serta kepatuhan minum obat. Dimana obat harus diminum sedikitnya enam bulan, biasanya setelah menjalani terapi selama dua bulan keluhan penderita akan hilang dan penderita malas minum obat lagi. Jika terapi berhenti di tengah jalan maka bukan saja penyakitnya yang tidak sembuh tetapi juga obat yang ada tidak akan ampuh lagi dikarenakan dapat menimbulkan kekebalan pada kuman Tuberkulosis. Untuk itu kepatuhan jangka panjang terhadap kepatuhan minum obat merupakan salah satu aspek yang paling menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan Tuberkulosis karena terapi yang lama seringkali menimbulkan kebosanan bagi penderita Tuberkulosis (Gklinis.2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan adalah tingkat pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, kurangnya informasi tentang terapi, sarana kesehatan serta dukungan dari profesional kesehatan. Pengetahuan merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku, karena dengan didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif maka perilaku akan bersifat langgeng (Notoadmodjo, 2003). Walaupun telah mendapat penyuluhan tentang terapi tuberkulosis namun pada kenyataannya lebih dari 50% pasien yang tidak melaksanakan nasihat mengenai terapi Tuberkulosis secara benar, maka peran evaluasi dan edukasi sangat penting.
Karena dengan pengetahuan tentang terapi Tuberkulosis yang kurang maka keberhasilan program terapi tidak akan tercapai. Berdasarkan dari hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengetahui sejauh mana hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan melaksanakan program terapi pada pasien Tuberkulosis. Tujuan diadakan penelitian ini untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan melaksanakan program terapi pada pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kowel, mengetahui tingkat pengetahuan dalam ranah tahu, paham, aplikasi tentang program terapi pada pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kowel, mengetahui perilaku kepatuhan dalam melaksanakan program terapi pada pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kowel, mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan dalam melaksanakan program terapi pada pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kowel. Metodologi Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi korelasi, yang menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan melaksanakan program terapi pada penderita Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas KowelPamekasan. Desain penelitian yang dipakai adalah cross sectional yang mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor resiko) terhadap variabel terikat (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat. (Sastroatmojo, 1999). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang didiagnosa menderita Tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Kowel selama penelitian berlangsung. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Simple Random Sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang didiagnosa menderita Tuberkulosis yang memenuhi kriteria sampel penelitian yaitu sebanyak 24 orang, dimana untuk mengumpulkan data digunakan kuesioner Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kuesioner yang merupakan sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya. (Arikunto, 2002). Pasien dengan Tuberkulosis adalah pasien yang didiagnosa menderita Tuberkulosis, yang berkunjung dan terdaftar di puskesmas Kowel selama penelitian berlangsung. Tingkat pengetahuan disini adalah pengetahuan pasien Tuberkulosis dalam ranah tahu, paham, aplikasi tentang program terapi Tuberkulosis meliputi jenis obat, dosis obat, indikasi, efek samping, dan lama terapi. Untuk mengukur tingkat pengetahuan pasien tentang program terapi, peneliti mengunakan kuesioner yang terdiri dari beberapa soal dimana mempunyai skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
12
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekwensi, kemudian diberi interpretasi atas data tersebut berdasarkan subvariabel yang diteliti dengan kriteria kuanlitatif, sebagai berikut; baik bila didapatkan hasil (76%-100%), cukup didapatkan hasil (50%-75%), kurang bila didapatkan hasil (40%-49%), tidak bila didapatkan hasil (< 40%) (Arikunto, 1993). Perilaku Kepatuhan Pada Program terapi Pasien Tuberkulosis adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan program terapi meliputi jenis obat, dosis obat, indikasi, efek samping dan lama terapi. Kuesioner terdiri dari beberapa soal dimana mempunyai skor 3 untuk jawaban rutin, skor 2 untuk jawaban kadang-kadang, skor 1 untuk jawaban pernah, dan skor 0 untuk jawaban berhenti. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, kemudian diberi interpretasi atas data tersebut berdasarkan subvariabel yang diteliti dengan kriteria kualitatif, sebagai berikut; patuh bila didapat hasil (76%-100%), cukup patuh bila didapatkan hasil (50%-75%), kurang patuh bila didapatkan hasil (40%49%), tidak patuh bila didapatkan hasil (< 40%) (Arikunto, 1993). Berikut ini adalah cara kerja dan pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini; (1)Membuat kuesioner untuk mengumpulkan data mengenai tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan pada program terapi pasien Tuberkulosis kemudian menyebarkan pada responden, (2) menguji Validitas dan Reabilitas dari instrumen penelitian. Uji validitas dan reabilitas ini dilakukan langsung pada pasien yang berkunjung / kontrol ke puskesmas Kowel, (3) setelah data terkumpul, masing-masing dicek kelengkapannya, untuk data-data tentang tingkat pengetahuan, diberikan skor dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu tingkat pengetahuan baik, cukup, kurang dan tidak baik, untuk data-data tentang perilaku kepatuhan, setelah jawaban responden terkumpul kemudian data-data tersebut diberi skor dan hasil diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu perilaku patuh, cukup patuh, kurang patuh dan tidak patuh, melihat catatan kunjungan penderita ke puskesmas, menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan melaksanakan program terapi pada pasien Tuberkulosis dengan menggunakan uji Analisis spearman rank corelation. Uji validitas dan reabilitas dilakukan didesa Kolpajung Pamekasan kabupaten Pamekasan dengan cara melakukan kunjungan rumah pasien Tuberkulosis yang kontrol di puskesmas Kowel. Uji validitas dan reabilitas ini juga dilakukan langsung pada pasien yang berkunjung ke puskesmas Kowel. Uji validitas dilakukan sebelum penelitian untuk menunjukkan tingkat kevalidan dari suatu instrumen. Pada penelitian ini, uji validitas instrumennya menggunakan rumus produk-moment atau korelasi pearson, yaitu: rxy
N
N X 2
(Arikunto,2002)
XY
X Y
X 2 N Y 2
Y 2
Uji reabilitas dalam penelitian menggunakan rumus Alpha cronbach, yaitu: r11
k
k
1
1
b2
12
ini
Dengan r11 sebagai reabilitas instrumen, k adalah banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal, b2 adalah jumlah varians butir dan 12 adalah varians total (Arikunto, 2002) Cara pengolahan data adalah sebagai berikut; karakteristik responden (data ditabulasi untuk mengetahui karakteristik usia, tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan),untuk kuesioner tentang tingkat pengetahuan, hasil jawaban responden yang telah diberi skor dijumlahkan dan dibandingkan dengan jumlah nilai tertinggi lalu dikalikan 100% Analisis hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan melaksanakan program terapi pada penderita Tuberkulosis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi tata jenjang. Rumus untuk korelasi tata jenjang yang dikemukakan oleh spearman adalah sebagai berikut: rhoxy
1 N
6 D2 N2 1
Dengan rhoxy sebagai koefisien korelasi tata jenjang, D adalah Difference/beda antara jenjang setiap subyek N adalah banyak subyek Arah korelasi dinyatakan dalam tanda + atau plus dan – atau minus, tanda+ menunjukkan adanya korelasi sejajar dan tanda – menunjukkan korelasi sejajar berlawanan arah. Korelasi + berarti makin tinggi nilai x makin tinggi pula nilai y atau kenaikan nilai x diikuti dengan kenaikan nilai y. Korelasiberarti makin tinggi nilai x, makin rendah nilai y atau kenaikan nilai x diikuti dengan penurunan nilai y. Ada tidaknya korelasi dinyatakan dalam angka indeks, betapapun kecilnya indeks korelasi tersebut jika bukan 0,0000 dapat diartikan bahwa kedua variabel yang dikorelasikan terdapat adanya korelasi (Arikunto, 2002). Indek korelasi yang didapatkan tersebut dikonversikan dalam tabel rho Spearman dengan angka kepercayaan 95%. Bila didapatkan angka lebih besar atau sama berarti H0 ditolak dan sebaliknya bila angka yang didapat dari hasil perhitungan lebih kecil dari angka pada tabel rho Spearman maka H0 diterima. Dengan membandingkan z hitung dan z tabel:
r rs
n 1
Jika z hitung < z tabel, maka H0 diterima, Jika z hitung > z tabel, maka H0 ditolak Untuk n (jumlah sampel) diatas 10, bisa menggunakan uji z Cara mencari z hitung dengan melihat angka probabilitas, dengan ketentuan; Probabilitas > 0,05
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
13
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
maka H0 diterima dan Probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak Seluruh teknik pengolahan data statistik dilakukan dengan komputer dengan menggunakan program software product and service solution 16 Ps (SPSS 16Ps). Sebelum angket diedarkan, terlebih dahulu responden diberikan inform consent yang menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang dilaksanakan dan untuk itu responden diberikan kebebasan dan kesempatan untuk berfikir sehingga responden dapat memutuskan untuk ikut serta atau menolak dalam penelitian. Selain itu kepada responden dijelaskan pula teknik penelitian yang mengedepankan kerahasiaan responden dengan hanya menyantumkan inisial nama saja dan hasil penelitian nantinya akan digunakan semata-mata untuk keperluan penelitian saja tanpa maksud tertentu yang dapat mengakibatkan kerugian material maupun immaterial terhadap responden sebagai individu maupun dalam lingkup institusional. Hasil Penelitian Data distribusi prosentase karakteristik pasien tuberkulosis berdasarkan tingkat pengetahuan di Puskesmas Kowel Tahun 2009 yang sudah diperoleh dan terkumpul bahwa 7 responden mempunyai tingkat pengetahuan yang baik (29,2%), 7 responden lagi mempunyai tingkat pengetahuan yang cukup (29,2%), 5 responden mempunyai tingkat pengetahuan kurang (20,8%), dan 5 responden yang lain mempunyai tingkat pengetahuan yang tidak baik (20,8%). Data distribusi prosentase karakteristik pasien tuberkulosis berdasarkan perilaku kepatuhan di Puskesmas Kowel Tahun 2009 yang sudah diperoleh dan terkumpul bahwa 7 responden (29,2%) patuh terhadap program terapi, 3 responden (12,5%) cukup patuh terhadap program terapi, 5 responden (20,8%) kurang patuh terhadap program terapi dan 9 responden (37,5%) tidak patuh terhadap program terapi. Data distribusi prosentase karakteristik pasien tuberkulosis berdasarkan tingkat pendidikan di Puskesmas Kowel Tahun 2009 yang sudah diperoleh dan terkumpul 8 responden yang berpendidikan SD (33,3%), 6 responden berpendidikan SLTP (25%), 8 responden berpendidikan SLTA (33,3%), dan ada 2 responden yang berpendidikan sampai Perguruan Tinggi (8,4%). Data distribusi prosentase karakteristik pasien tuberkulosis berdasarkan jenis pekerjaan di Puskesmas Kowel Tahun 2009 yang sudah diperoleh dan terkumpul 1 orang responden menjadi PNS (4,2%), 6 orang responden sebagai karyawan swasta (25%), 7 orang responden tidak bekerja (29,2%) dan 10 orang responden berwiraswasta (41,2%). Data distribusi prosentase karakteristik pasien tuberkulosis berdasarkan lama terapi di Puskesmas Kowel Tahun 2009 yang sudah diperoleh dan terkumpul bahwa 7 responden yang telah mendapatkan terapi selama 2-5 bulan (29,2%) dan sebanyak 17 responden yang telah mendapatkan terapi selama 6-9 bulan (70,8%). Data distribusi prosentase karakteristik pasien tuberkulosis berdasarkan usia responden di Puskesmas Kowel Tahun 2009 yang sudah diperoleh dan terkumpul bahwa 7 responden yang berusia antara 17-26 tahun (29,2%), 9 responden yang berusia 27-37 tahun (37,5%), 3
responden yang berusia antara 38-47 tahun (12,5%), 1 responden yang berusia antara 48-57 tahun (4,2%), 3 responden yang berusia antara 58-67 tahun (12,5%), dan 1 responden yang berusia antara 68-77 tahun (4,2%). Data distribusi prosentase karakteristik pasien tuberkulosis berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Kowel Tahun 2009 yang sudah diperoleh dan terkumpul bahwa 13 responden berjenis kelamin lakilaki yaitu 54,2% dan 11 responden berjenis kelamin perempuan yaitu 45,8%. Hasil analisis data tehnik Spearman Rho didapatkan p-value= 0,002 < (0,05) sehingga H1 diterima yang artinya bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan pasien tuberkulosis teradap pelaksanaan program terapi. Sedangkan untuk hasil perhitungan nilai Rho didapatkan hasil 0,601. Maka jika dihubungkan dengan nilai korelasi menurut Young dapat diartikan bahwa antara tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan mempunyai hubungan yang tinggi. Didapatkan hasil yaitu; hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan (tidak patuh), hubungan antara tingkat pengetahuandan perilaku kepatuhan (kurang patuh), hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan (cukup patuh) dan hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan (tidak patuh). Hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan (tidak patuh); pada tingkat pengetahuan baik, pasien mempunyai tingkat ketidakpatuhan terhadap terapi Tuberkulosis lebih kecil dibandingkan pasien dengan tingkat pengetahuan cukup, kurang dan tidak baik, pada tingkat pengetahuan cukup, pasien mempunyai tingkat ketidakpatuhan terhadap terapi Tuberkulosis lebih besar dari pada yang mempunyai tingkat pengetahuan baik, pada tingkat pengetahuan kurang, pasien mempunyai tingkat ketidakpatuhan terhadap terapi Tuberkulosis lebih besar dari pada yang mempunyai tingkat pengetahuan baik, akan tetapi lebih kecil dari pada yang mempunyai tingkat pengetahuan tidak baik, pada tingkat pengetahuan tidak baik, pasien mempunyai tingkat ketidakpatuhan terhadap terapi Tuberkulosis lebih besar dari pada yang mempunyai tingkat pengetahuan baik dan kurang, akan tetapi tingkat ketidak patuhannya sama dengan yang mempunyai tingkat pengetahuan cukup. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan (kurang patuh; pada tingkat pengetahuan baik tidak ada seorangpun yang berperilaku kurang patuh, pada tingkat pengetahuan cukup, pasien mempunyai perilaku kurang patuh terhadap terapi Tuberkulosis lebih kecil dibanding dengan yang mempunyai tingkat pengetahuan kurang dan tidak baik, hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan (cukup patuh), pada tingkat pengetahuan baik tidak ada seorangpun yang mempunyai perilaku kurang patuh terhadap terapi Tuberkulosis, pada tingkat pengetahuan cukup, pasien mempunyai perilaku cukup patuh terhadap terapi
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
14
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Tuberkulosis lebih besar dibanding dengan pada pasien yang mempunyai tingkat pengetahuan kurang, pada tingkat pengetahuan tidak baik, tidak ada seorangpun yang mempunyai perilaku cukup patuh terhadap terapi Tuberkulosis. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku kepatuhan (tidak patuh); pada tingkat pengetahuan baik pasien lebih banyak berperilaku patuh terhadap terapi Tuberkulosis dari pada pasien yang mempunyai tingkat pengetahuan cukup dan pada tingkat pengetahuan kurang dan tidak baik tidak ada seorangpun yang berperilaku patuh terhadap terapi Tuberkulosis. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian ini tampak bahwa 7 responden mempunyai tingkat pengetahuan yang baik (29,2%), 7 responden lagi mempunyai tingkat pengetahuan yang cukup (29,2%), 5 responden mempunyai tingkat pengetahuan kurang (20,8%), dan 5 responden yang lain mempunyai tingkat pengetahuan yang tidak baik (20,8%). Prosentase terbesar penderita Tuberkulosis mempunyai tingkat pengetahuan baik dan tingkat pengetahuan cukup baik. Baiknya pengetahuan responden tentang terapi pada Tuberkulosis ditunjang oleh latar belakang pendidikan yang cukup yaitu sebanyak 33,3% responden mempunyai tingkat pendidikan SLTA dan 8,4% mempunyai pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi, faktor keaktifan petugas kesehatan dalam memberikan informasi serta arus tranformasi ilmu yang semakin luas yang memungkinkan kemudahan dan mengakses informasi yang berhubungan dengan masalah kesehatan pada umumnya dan masalah Tuberkulosis pada khususnya. Prosentase terkecil tingkat pengetahuan responden adalah kurang dan tidak baik. Tingkat pengetahuan yang kurang atau tidak baik, memungkinan terbentuknya persepsi yang salah serta kurangnya kesadaran responden tentang ancaman kesehatan yang ditimbulkan oleh penyakit Tuberkulosis ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoadmodjo, 2003 yang mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour) karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasarkan oleh pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa 7 responden (29,2%) patuh terhadap program terapi, 3 responden (12,5%) cukup patuh terhadap program terapi, 5 responden (20,8%) kurang patuh terhadap program terapi dan 9 responden (37,5%) tidak patuh terhadap program terapi. Prosentase terkecil kepatuhan responden terhadap terapi adalah cukup patuh yaitu 12,5%. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil yang diharapkan karena sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan yang cukup dan baik diharapkan mempunyai tingkat kepatuhan terhadap terapi yang cukup baik. Dimana faktor yang mendukung perilaku kepatuhan pasien Tuberkulosis terhadap terapi adalah pengetahuan dan sikap pasien Tuberkulosis terhadap penatalaksanaan Tuberkulosis serta dukungan dari tenaga kesehatan. Dukungan dari professional kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan. Dukungan mereka, terutama saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat
yang baru tersebut merupakan hal yang penting, mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien,dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program terapinya (Niven, 2002). Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa ada 8 responden yang berpendidikan SD (33,3%), 6 responden berpendidikan SLTP (25%), 8 responden berpendidikan SLTA (33,3%), dan ada 2 responden yang berpendidikan sampai perguruan tinggi(8, 4%). Prosentase terkecil penderita Tuberkulosis berpendidikan perguruan tinggi. Dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi diharapkan mempunyai tingkat kepatuhan terhadap terapi yang baik, hal ini dikarenakan pendidikan perguruan tinggi lebih mudah menerima dan mengakses informasi secara baik melalui penyuluhan, media cetak, media elektronika maupun sumber informasi lain yang menyediakan informasi tentang Tuberkulosis. Disamping berbagai faktor penting seperti hakikat stimulus itu sendiri, latar belakang pengalaman individu, motivasi,status kepribadian dan sebagainya memegang peranan penting dalam menentukan bagaimanakah perilaku seseorang dilingkungannya. Pada gilirannya, lingkungan secara timbal balik akan mempengaruhi sikap, dengan berbagai fakor didalammaupun diluar individu akan membentuk suatu kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang (Azwar, 2003). Prosentase terbesar tingkat kepatuhan penderita Tuberkulosis adalah tidak patuh yaitu 37,5%. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang mayoritas SD, sehingga perilaku sehat penderita Tuberkulosis juga diopengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana tingkat pendidikan merupakan proses belajar pada indvidu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan baik pengetahuan, sikap maupun ketrampilan untuk mencapai hidup sehat secara optimal. Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa ada 1 responden menjadi PNS (4,2%), 6 responden sebagai karyawan swasta (25%), 7 orang responden tidak bekerja (29,2%) dan 10 orang responden berwiraswasta (41,2%). Prosentase terkecil penderita Tuberkulosis bermata pencaharian sebagai PNS yaitu sebesar 4,2%. Hal ini dikarenakan seseorang yang berkerja di institusi pemerintahan lebih banyak menerima informasi baik informasi mengenai kesehatan maupun informasi lain. Disamping itu sebelum seseorang menjadi PNS telah menjalani test kesehatan sehingga penemuan kasus tuberkulosis lebih dapat ditemukan secara dini sehingga terapi dapat lebih efektif. Prosentase terbesar penderita Tuberkulosis bermata pencaharian berwiraswasta yaitu sebanyak 41,7%. Pekerjaan wiraswasta lebih sering berinteraksi dengan banyak orang serta lebih banyak berada di luar ruangan. Faktor ini akan mempermudah individu tersebut terpapar kuman Tuberkulosis (Suddarth & Brunner, 2002).
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
15
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa ada 7 responden yang telah mendapatkan terapi selama 2-5 bulan (29,2%) dan sebanyak 17 responden yang telah mendapatkan terapi selama 6-9 bulan (70,8%). Hal ini berarti bahwa hampir sebagian besar penderita Tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Wonoayu telah mendapatkan terapi > 6 bulan, oleh karena itu diharapkan angka keberhasilan terapi ini dapat tercapai, dikarenakan untuk eradikasi basil dari tubuh dapat tercapai jika terapi dilaksanakan dalam waktu yang cukup lama, seperti halnya dalam pemakaian 2 obat bakterisidal, eradikasi dapat dicapai setelah 9 bulan, tetapi jika salah satu obat yang dipakai bersifat bakteriostatik maka diperlukan waktu sekitar 18-24 bulan. (Danusantoso,2000), namun dari hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa masih ada pasien yang tidak patuh terhadap terapi hal ini dikarenakan setelah mendapat terapi selama 2 bulan pasien akan merasa sudah sembuh sehingga malas untuk melanjutkan terapi, sehingga kuman Tuberkulosis menjadi resistent dan keberhasilan terapi tidak akan tercapai. Pada penelitian ini pembagian usia dimulai dari umur 17 tahun dikarenakan menurut Elizabeth B.Hurlock dalam buku Psikologi Perkembangan menyatakan bahwa usia tersebut dimulailah masa ”pengaturan” (settle down), dimana hari-hari kebebasan mereka telah berakhir dan diganti menjadi masa menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa, sehingga regiment terapi menjadi sepenuhnya tanggung jawab pasien sendiri. Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa ada 7 responden yang berusia antara 17-26 tahun (29,2%), 9 responden yang berusia 27-37 tahun (37,5%), 3 responden yang berusia antara 38-47 tahun (12,5%), 1 responden yang berusia antara 48-57 tahun (4,2%), 3 responden yang berusia antara 58-67 tahun (12,5%), 1 responden yang berusia antara 68-77 tahun (4,2%). Frekuensi distribusi usia penderita Tuberkulosis menunjukan bahwa frekuensi terkecil terjadi pada usia 48 – 57 tahun dan usia 68 – 77 tahun. Kejadian ini dikarenakan pada usia tersebut merasakan kesakitan adalah suatu hal yang wajar yang merupakan dampak dari proses menua. Disamping itu usia 68 – 77 tahun adalah usia dimana individu mulai tergantung terhadap keluarga sehingga dalam penemuan kasus atau penyakit Tuberkulosis tergantung dari kesadaran keluarga dalam membawa penderita tersebut ke pelayanan kesehatan. Dengan demikian angka kejadian tuberkulosis pada usia tersebut jarang ditemukan. Frekuensi distribusi pada hasil penelitian menunjukan bahwa frekuensi terbesar penderita Tuberkulosis berusia 27 – 37 tahun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan usia 27 – 37 tahun adalah usia produktif dimana pada usia tersebut individu banyak melakukan interaksi dengan individu lain, banyak melakukan kontak dengan berbagai agent serta perilaku individu pada usia tersebut mempunyai perilaku yang tidak sehat seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, aktivitas berlebih dan kurang memperhatikan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa ada 13 responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 54,2% dan 11 responden berjenis kelamin perempuan yaitu 45,8%. Berdasarkan hal diatas prosentase terkecil penderita Tuberkulosis berjenis kelamin perempuan. Hal ini terjadi karena perempuan jarang mempunyai perilaku hidup tidak
sehat seperti merokok, mengkonsusmsi alkohol dan perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah sehingga lebih sedikit terpapar oleh lingkungan yang berdebu. Prosentase terbesar penderita Tuberkulosis terjadi pada penderita dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki mempunyai kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol dan lebih banyak mempunyai aktivitas di luar rumah sehingga lebih banyak terpapar debu (Sudden & Brunner, 2002). Setelah hasil penelitian diuji dengan memakai analisis nonparametric correlation dari Spearman (Spearman Rank Correlation), didapatkan didapatkan p-value= 0,002 < (0,05) sehingga H1 diterima artinya bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan pasien Tuberkulosis teradap pelaksanaan terapi. Menurut pendapat Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2004) bahwa terbentuknya perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subyek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek diluarnya. Sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut, dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subyek terhadap obyek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni obyek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yakni berupa tindakan (action) terhadap stimulus atau obyek tadi (Notoatmodjo, 2003). Dalam penelitian Roger dalam Notoadmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang), trial (mencoba) dan adoption dimana seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Pada penelitian ini terdapat responden yang memiliki pengetahuan baik tetapi tidak patuh terhadap terapi, hal ini kemungkinan disebabkan karena terapi Tuberkulosis membutuhkan waktu yang lama sehingga menimbulkan kebosanan pada penderita (http://www.kompas.com / kompas-cetak / 0306 / 24 / iptek / 388146.htm). Kepatuhan jangka panjang terhadap program terapi Tuberkulosis merupakan salah satu aspek yang paling menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan terapi Tuberkulosis. Penderita Tuberkulosis sering diliputi rasa takut dan cemas ketika mendengar dan melihat informasi tentang Tuberkulosis, walaupun tidak semua informasi tersebut salah akan tetapi dapat membuat penderita menjadi putus asa dan tidak meneruskan terapinya dan juga timbul keengganan untuk kontrol secara teratur. Selain itu ketidakpatuhan penderita Tuberkulosis terhadap program terapi juga diakibatkan karena kurangnya dukungan keluarga terhadap penatalaksanaan terapi Tuberkulosis. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga dan teman merupakan faktor-
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
16
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. (Niven, 2002). KESIMPULAN Tingkat pengetahuan dalam ranah tahu, paham, aplikasi tentang program terapi Tuberkulosis didapatkan bahwa hampir setengah dari sampel mempunyai tingkat pengetahuan baik dan cukup yaitu masing-masing tujuh orang (29,2 %). Perilaku kepatuhan dalam melaksanakan program terapi Tuberkulosis didapatkan bahwa prosentase tertinggi adalah penderita yang tidak patuh terhadap terapi yaitu sebanyak 9 orang (37,5 %). Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan dalam melaksanakan program terapi pada pasien Tuberkulosis puskesmas Kowel didapatkan data bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku kepatuhan dalam melaksanakan program terapi pada pasien Tuberkulosis di Puskesmas Kowel. Saran Pasien Tuberkulosis diharapkan berperan aktif dalam program terapi serta mempunyai kesadaran untuk menggali informasi atau pengetahuan tentang tuberkulosis guna membentuk perilaku yang positif dalam terapi Tuberkulosis Tenaga perawat sebagai pelaksna diharapkan lebih mampu mengontrol kelangsungan terapi agar tidak putus dalam meminum obat. Keluarga diharapkan mampu berperan aktif dalam mengawasi penderita dalam minum obat. Tenaga kesehatan diharapkan untuk selalu memberikan pendidikan kesehatan dan meningkatkan pengetahuan tentang terapi Tuberkulosis agar penderita patuh dalam terapi
10. Poerwanto, H. 1999. Pengantar Perilaku Manusia. Jakarta: EGC. 11. Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta EGC 12. Rohani, A. 1997. Medika Instruksional Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta. 13. Sastroasmoro, S 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. 14. Siswono.2004. % Penderita TBC di Indonesia harus sembuh total pada 2005. http://www.Gizi.Net/cgibin/berita/fullnews.Cgi? New sid 1082349328.7519985 dikases tanggal 24-82008) 15. Situmeang, Taufan. 2005. Kematian Karena Tuberkulosis Masih Sangat Tinggi. (http://www.Gizi.Net/cgibin/berita/fullnews.Cgi? New sid 1080101887,40327 diakses tanggal 24-82008) 16. Walgito, B 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta. Andi
DAFTAR PUSTAKA 1. Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 2. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 3. Danusantoso,Sp.P. 2000 . Buku Saku Ilmu Penyakit Paru.. Jakarta.Hipokrates. 4. Gizi klinis..2004. Pengobatan TBC Paru Masih Menjadi Masalah . (http://www.kompas.com/Kompascetak/0306/24/iptek/3881.htm Diakses tanggal 24-82008). 5. Mansyoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta: Medika Aesculapius. 6. Niven, N. 2002. Psikologi Kesehatan: Pengantar untuk perawat dan profesional kesehatan lain. Jakarta: EGC 7. Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 8. -------------------. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta
9.
------------------- 2003. Pendidikan dan Perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
17
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
GAMBARAN PENGGUNAAN KONDOM PADA GAY DALAM UPAYA MENCEGAH INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) Penelitian Deskriptif di Puskesmas Perak Timur Surabaya USE OF CONDOMS IN GAY IMAGES IN THE EFFORT TO PREVENT SEXUALLY TRANSMITTED INFECTION (IMS) Descriptive Research in Puskesmas Perak Surabaya Timur Oleh: Viji Ika Wijayanti, (2)Eli inayanti, SST (1) Mahasiswa STIKES Insan Unggul Surabaya (2) Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan (1)
ABSTRAK Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang di timbulkan oleh penyakit yang dapat di pindahkan melalui hubungan seksual dari seseorang kepada mitra (partner) seksnya. Kelompok perilaku resiko tinggi yang dapat menyebabkan seseorang terkena IMS adalah usia reproduksi 20-34, pelancong , pekerja seks komersil,pecandu narkotik, homoseks.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui seberapa jauh gambaran penggunaan kondom pada gay dalam upaya mencegah IMS di Puskesmas Perak Timur Surabaya”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional dimana penelitian ini melakukan observasi atau pengukuran variabel sesaat. Populasinya adalah gay yang mengikuti pemeriksaan IMS di Puskesmas Perak Timur Surabaya pada tanggal 18 maret 2009. Sampel diambil secara simple random sampling. Variabel penelitian meliputi : penggunaan kondom, usia, status perkawinan, pekerjaan,seks pasangan dan pendidikan. sampel yang digunakan sebanyak 42 orang. Hasil penelitian didapatkan dari 42 responden sebagian besar (64,28%) kadang-kadang menggunakan kondom pada hubungan seksual 1 minggu terakhir. Dari 42 responden hampir seluruhnya (96,3%) kadang-kadang menggunakan kodom dengan usia ≥ 21 tahun, seluruh responden yang selalu menggunakan kondom adalah responden yang tidak menikah sebesar 100% , seluruh responden yang selalu menggunakan kondom adalah responden beprofesi sebagai pegawai tetap sebesar (100%), dan sebagian besar responden yang tidak pernah menggunakan kondom adalah responden yang tidak memiliki pasangan seksual selama 1 minggu terakhir sebesar (77%) , seluruh responden yang selalu menggunakan kondom adalah responden yang berpendidikan terakhir SMA sebesar 100% . Dari uraian diatas menunjukkan bahwa kepatuhan penggunaan kondom pada gay dalam upaya mencegahan IMS di Puskesmas Perak Timur Surabaya masih kurang. Sebagian besar gay yang mengikuti pemeriksaan IMS di Puskesmas Perak Timur Surabaya 95,24% tidak memiliki kepatuhan terhadap penggunaan kondom yaitu meliputi 30,96% tidak pernah menggunakan kondom dan 64,28% kadang-kadang menggunakan kondom pada hububngan seksual 1 minggu terakhir. Saran peneliti adalah pemberian informasi atau penyuluhan tentang manfaat penggunaan kondom dalam mencegah IMS pada gay di Puskesmas Perak Timur Surabaya agar para gay lebih termotivasi untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks mengingat homoseksual adalah salah satu perilaku yang rentan terkena IMS. ABSTRACT Sexually transmitted infections (IMS) is an infection caused by a disease in which can be transferred through sexual contact from person to partners (partner) sex. The group of high risk behaviors that can cause a person exposed to STIs are of reproductive age 20-34, travelers, commercial sex workers, drug addicts, homoseks.Tujuan this study was to determine how far the idea of condom use in gay in an effort to prevent IMS in Puskesmas Perak Timur Surabaya " . This research uses descriptive method with cross sectional approach in which this research do momentary observation or measurement variables. The population is gay who followed examination at IMS Health Center East Perak Surabaya on March 18, 2009. Samples taken by simple random sampling. Research variables included: condom use, age, marital status, occupation, sex and education partner. sample used by as many as 42 people. The results obtained from 42 respondents the majority (64.28%) sometimes using a condom at last sexual intercourse 1 week. Of the 42 respondents was almost entirely (96.3%) sometimes using kodom with age ≥ 21 years, all respondents who always use condoms are respondents who are not married by 100%, all the respondents who always use condoms is beprofesi respondents as a permanent employee registration (100%), and the majority of respondents who never used condoms were respondents who did not have a sexual partner during the last 1 week for (77%), all respondents who always use condoms is the last high school-educated respondents at 100%. From the description above indicate that adherence to the use of condoms in gay in an effort mencegahan STDs in PHC Surabaya East Silver is still lacking. Most of the gays who take the examination at IMS Health Center Surabaya East Silver 95.24% had no adherence to condom use, covering 30.96% never use condoms and 64.28% sometimes using condoms insexual relationship last 1 week. Suggestions researchers are providing information or counseling about the benefits of using condoms in preventing sexually transmitted infections in MSM in Puskesmas Surabaya Perak timur for many gays are more motivated to JURNAL KESEHATAN, STIKES INSANE homosexual SE AGUNG behavior BANGKALAN always useINSAN condoms during sex is one of considering susceptible to IMS
18
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
PENDAHULUAN IMS (infeksi menular seksual sudah sejak lama menjadi masalah kesehatan) reproduksi masyarakat dunia. Dari sudut epidemiologi IMS berkembang dengan sangat cepat berkaitan dengan peningkatan migrasi penduduk, bertambahnya kemakmuran, serta terjadi perubahan perilaku seksual termasuk di dalamnya transeksualitas (Kesehatan Reproduksi Wanita 2002). Penyakit menular seksual adalah penyakit yang menyerang manusia dan binatang melalui transmisi hubungan seksual, oral seks dan anal seks. Kata infeksi menular seksual semakin banyak digunakan, karena memiliki cakupan pada arti orang yang mungkin terinfeksi, dan mungkin mengeinfeksi orang lain dengan tanda-tanda kemunculan penyakit. Infeksi menular seksual juga dapat ditularkan melalui jarum suntik dan juga kelahiran dan menyusui ( www.google.com http : // Idanati / adln. Lib Unair. / 2005 / IMS dan PMS selasa, 18 Juli 2009). Kelompok perilaku resiko tinggi yang dapat menyebabkan seseorang terkena IMS adalah usia reproduksi 20-34 tahun, pelancong, pekerja seks komersil, pecandu narkotik dan homoseks(2). Gay dalam konteks sosiologi merupakan suatu transeksual yakni laki-laki yang memiliki orientasi seksual terhadap laki-laki. Gay dalam konteks psikologi termasuk dalam transeksual, yakni seseorang yang secara jasmani jenis kelamin jelas dan sempurna, namun secara psikis cenderung untuk menyukai sesama jenis (Heuken dalam Koeswinarno,2004). Menurut Burkitt 2004”homoseksualitas adalah ketertarikan seksual pada orang lain yang berjenis kelamin sama dengan dirinya sendiri daripada kepada jenis kelamin yang berlawanan. Bagi perempuan di sebut lesbian bagi laki-laki di sebut gay”. (4)Orang homoseks adalah orang yang orientasi atau pilihan seks ,baik di wujudkan ataupun tidak di wujudkan, di arahkan kepada sesama jenis kelaminnya. Penelitian di Chicago Amerika Serikat pada akhir tahun 2008 kenaikan jumlah penderita IMS pada pasangan gay mencapai 12 %, di Indonesia belum di ketahui secara pasti peningkatan penderita IMS pada komunitas gay, hal itu di sebabkan sebagian besar gay di Indonesia menyembunyikan identitasnya sebagai gay ( www.google.com http : // Idanati / adln. Lib. Unair. / 2005 / IMS dan PMS selasa, 18 Juli 2009). Data yang di peroleh dari Puskesmas Perak Timur Surabaya pada tahun 2006 dari 171 gay yang mengikuti pemeriksaan IMS, 20 diantaranya (11,6%) positif IMS, tahun 2007 dari 254 gay yang melakukan pemeriksaan 25 diantaranya (9,8%) positif terkena IMS, data terakhir tahun 2008 menunjukkan terjadi peningkatan penderita IMS yaitu dari 424 gay yang mengikuti pemeriksaan IMS 64 diantaranya (15%) positif terkena IMS Berdasarkan data tersebut di ketahui bahwa gay yang tes pemeriksaannya negatif adalah gay yang selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Salah satu perilaku yang mempengaruhi penyebaran IMS adalah berhubungan seks dengan orang yang beresiko tinggi (gay) tanpa menggunakan kondom (Depkes RI 2000). Kondom merupakan salah satu metode kontrasepsi sederhana yang menghalangi masuknya sperma ke dalam rahim(3). Ada jenis yang efeknya terasa dalam 3 hari sesudah terpajan (terkena), ada pula yang membutuhkan
waktu lama. Sebaiknya IMS cepat diobati karena menjadi pintu gerbang masuknya HIV ke dalam tubuh. Pasangan gay ataupun biseksual memiliki kerentanan 2,5x lipat dari pasangan seks pada umumnya karena pasangan gay memiliki frekuensi hubungan seksual yang tinggi dengan oral seks dan anal seks, sering berganti pasangan, serta kapatuhan penggunaan kondom yang rendah ( www.google.com http : // Idanati / adln. Lib Unair. / 2005 / IMS dan PMS selasa, 18 Juli 2009). Optimalisasi program pencegahan IMS dengan menanamkan kesadaran kepada gay untuk menggunakan kondom saat berhubungan seks, dan pemeriksaan rutin IMS dirasakan perlu diadakan ( www.google.com http : // Idanati / adln. Lib.Unair. / 2005 / IMS dan PMS selasa, 18 Juli 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana gambaran penggunaan kondom pada gay dalam upaya mencegah IMS di Puskesmas Perak Timur Surabaya. Hhipotesa penelitian ini BAHAN DAN CARA PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan bersifat cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui penggunaan kondom pada gay dalam upaya pencegahan IMS.. Populasi dalam penelitian ini adalah gay yang mengikuti pemeriksan IMS di Puskesmas Perak Timur Surabaya pada tanggal18 Maret 2009 sebanyak 47 responden dan jumlah sampel yang diambil 42 responden. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis univariate, yang hanya menghasilkan distribusi dan prosentase dari variabel (penggunaan kondom pada gay dalam upaya pencegahan IMS, umur, status perkawinan, pekerjaan, pasangan seks, pendidikan) dengan menggunakan tabel baris kolom dan tabel silang. HASIL PENELITIAN Deskriptif Karakteristik Responden Digunakan untuk menggambarkan karakteristik gay dengan menggunakan distribusi frekuensi, persentase dan mean±SD pada masingmasing kelompok.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
19
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Tabel 1. Karakteristik Gay Variable Umur 13 – 20 tahun > 21 tahun Status Perkawinan Tidak menikah Menikah Cerai Pekerjaan Pegawai tidak tetap Pegawai tetap Tidak bekerja Seks Pasangan Laki – laki Perempuan Mens sexs men Tidak ada Pendidikan SD-SMP SMA PT Keterangan : n = jumlah sampel,
Tabel 3. Tabel Silang antara status perkawinan gay dengan penggunaan kondom pada gay di Puskesmas Perak Timur Surabaya tanggal 18 maret 2009
n (%) 5 (11,9) 37 (88,1)
Status perkawinan
31 (73,8) 9 (21,42) 2 (4,78) 35 (83,3) 7 (16,7) 2 (4,76) 2 (4,6) 13 (30,9) 25 (59,52) 7 (16,7) 28 (66,6) 7 (16,7) % = persentase
Pada tabel 1 diketahui bahwa mayoritas berumur > 21 tahun, yaitu sebanyak 37 (88,1 %) responden dimana ini merupakan usia reproduktif. Dari 42 responden sebanyak 31 (73,8 %) berstatus tidak menikah. Dari segi pekerjaan mayoritas merupakan pegawai tidak tetap yaitu sebanyak 35 (83,3 %) responden dan mayoritas hanya berpendidikan SMA yaitu 28 (66,6 %) responden. Hasil pendataan pada seks pasangan dalam 1 minggu terakhir sebanyak 25 (59,52 %) tidak ada / tidak punya pasangan.
Umur gay Penggunaan kondom
Total
≥ 21 tahun
13-20 tahun
Menikah
Total
Penggunaan kondom
N
%
N
%
N
%
N
%
Tidak pernah
-
-
11
84,6
2
15,4
13
100
Kadangkadang
2
7,4
18
66,7
7
25,9
27
100
Selalu
-
-
2
100
-
-
2
100
Total
2
4,78
31
73,8
9
21,42
42
100
Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa dari 42 responden yang cerai seluruhnya kadangakadang menggunakan kondom yaitu 2 responden (7,4%), sebagian besar responden yang tidak menikah lebih banyak untuk kadang-kadang menggunakan kondom yaitu 18 responden (66,7%), dan sebagian besar responden yang sudah menikah kadang-kadang menggunakan kondom sebanyak 7 responden (25,9%). Tabel 4. Tabel Silang antara pekerjaan gay dengan penggunaan kondom pada gay di Puskesmas Perak Timur Surabaya tanggal 18 maret 2009.
Pekerjaan Tabel 2. Tabel Silang antara umur gay dengan penggunaan kondom pada gay di Puskesmas Perak Timur Surabaya tanggal 18 maret 2009
Tidak menikah
Cerai
Penggunaan Kondom Tidak pernah
Pegawai tidak tetap
Pegawai tetap
Tidak bekerja
Total
N
%
N
%
N
%
N
%
10
77
3
23
-
-
13
100
N
%
N
%
N
% 92,6
2
7,4
-
-
27
100
3
23
10
77
13
100
Kadangkadang
25
Tidak pernah Kadangkadang
1
3,7
26
96,3
27
100
Selalu
-
-
2
100
-
-
2
100
selalu
1
50
1
2
100
Total
35
83,3
7
16,7
-
-
42
100
50
Total
5
11,9
37
88,1
42
100
Dari tabel 2 dapat dijelaskan bahwa dari 42 responden yang berusia 13-20 tahun sebagian besar tidak pernah menggunakan kondom sebanyak 3 responden (23%) dan pada Umur ≥ 21 tahun sebagian besar kadang-kadang menggunakan kondom sebanyak 26 responden (96,3%) .
Berdasarkan tabel 4 dapat dijelaskan bahwa dari 42 responden yang bekerja sebagai wiraswasta sebagian besar kadang-kadang mengunakan kondom dengan jumlah 25 responden (92,6%), gay yang bekerja sebagai pegawai tetap sebagian besar tidak pernah menggunakan kondom dengan jumlah 3 orang responden (23%).
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
20
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Tabel 5. Tabel Silang antara seks pasangan gay dengan penggunaan kondom pada gay di Puskesmas Perak Timur Surabaya tanggal 18 maret 2009 Seks pasangan
Laki-laki
Penggunaan kondom
Perempuan
MSM
Tidak ada
Total
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
Tidak pernah
-
-
-
-
3
23
10
77
13
100
Kadang-kadang
1
3,73
2
9
33,3
15
55,53
27
100
Selalu
1
50
-
-
1
50
-
-
2
100
Total
2
4,76
2
4,6
30,9
25
59,52
42
100
7,4
Berdasarkan tabel 5 dapat disimpulkan bahwa dari 42 responden sebagian besar kadang-kadang memakai kondom (55,53%) serta tidak memiliki pasangan seksual pada 1 minggu terakhir, responden yang memiliki pasangan seks laki-laki dan MSM (50%) selalu memakai kondom. Tabel 6. Tabel Silang antara pendidikan gay dengan penggunaan kondom pada gay di Puskesmas Perak Timur Surabaya tanggal 18 maret 2009 PT
Total
Pendidikan
SD/SM P
Penggunaan kondom
N
%
N
%
N
%
N
%
Tidak pernah
2
15 ,4
9
69,2
2
15,4
13
100
Kadangkadang
5
18 ,5
1 7
62,97
5
18,5 3
27
100
selalu
-
-
2
100
-
-
2
100
Total
7
16 ,7
2 8
66,6
7
16,7
42
100
SMA
Berdasarkan tabel 6 dapat dijelaskan bahwa dari 42 responden yang berpendidikan terakhir SD-SMP sebagian besar kadang-kadang mengunakan kondom sebanyak 5 responden (18,5%), gay yang berpendidikan terakhir SMA sebagian besar kadang-kadang menggunakan kondom sebanyak 17 orang responden (62,97%), gay yang berpendidikan terakhir perguruan tinggi sebagian besar kadang-kadang menggunakan kondom sebanyak 5 orang responden (18,53%)
13
PEMBAHASAN Pengunaan kondom pada gay berdasarkan Umur Dari tabel 2 dapat dijelaskan bahwa dari 42 orang responden yang selalu menggunakan kondom adalah pada kisaran umur 13-20 tahun sebesar (50%), sedangkan pada umur ≥ 21 tahun sebesar (50%). Hal ini tidak sesuai dengan teori Richard Hettlinge(1) bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan memiliki kesadaran lebih dalam menjaga sexualitasnya. Akan tetapi yang ditemukan dalam penelitian ini tidak demikian malah dari jumlah responden yang selalu memakai kondom hanya 50% yang berumur ≥ 21 tahun. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor lingkungan, sosial budaya dan ekonomi yang dimiliki. Kepatuhan menggunakan kondom akan lebih tinggi bila kondisi ekonomi ,lingkungan dan social budaya mendukung. Pengunaan kondom pada gay berdasarkan status perkawinan Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa dari 42 responden sebagian besar responden yang kadang-kadang menggunakan kondom (66,7%) tidak menikah dan seluruh responden yang selalu menggunakan kondom (100%) tidak menikah. Hal ini sesuai dengan yang di kemukakan Richard Hettlinger(1) bahwa seorang gay yang tidak menikah memiliki frekuensi yang tinggi untuk berganti-ganti pasangan seks sehingga cenderung lebih memperhatikan kesehatan reproduksinya.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
21
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Pengunaan kondom pada gay berdasarkan pekerjaan Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa dari 42 responden seluruh responden yang selalu menggunakan kondom (100%) berprofesi sebagai pegawai tetap , dan sebagian besar responden yang kadang-kadang menggunakan kondom (92,6%) berprofesi sebagai wiraswasta. Menurut Richard Hettlinger gay sangat mudah masuk dalam sektor formal maupun informal karena secara fisik mereka terlihat sama seperti lelaki pada umumnya . Penggunaan kondom pada gay berdasarkan seks pasangan Berdasarkan tabel 5 dapat disimpulkan bahwa dari 42 responden dengan yang kadang-kadang memakai kondom sebagian besar (55,53%) tidak memiliki pasangan seksual pada 1 minggu terakhir, responden yang memiliki pasangan seks laki-laki dan MSM (50%) selalu memakai kondom. Hal ini di sebabkan karena gay yang memiliki pasangan seks perempuan sebagian besar terikat dalam perkawinan, mereka berfikir berhubngan seks dengan istri mereka akan aman tanpa memakai kondom . Penggunaan kondom pada gay berdasarkan pendidikan Berdasarkan tabel 6 dapat di simpulkan bahwa dari 42 responden gay yang berpendidikan SMA yang selalu menggunakan kondom (100%), dan responden yang berpendidikan SD-SMP sebagian besar kadang-kadang menggunkan kondom (18,5%), responden ynag berpendidikan perguruan tinggi sebagian besar kadangkadang menggunakan kondom (18,53%).
SARAN Petugas kesehatan khususnya Bidan dalam menjalankan praktek kebidanan komunitas lebih meningkatkan penyuluhan kesehatan reproduksi khususnya tentang pentingnya penggunaan kondom dalam mencegah IMS kepada masyarakat komunitas. DAFTAR PUSTAKA 1. Heetlinger,Richard.2004.Human Sexuality: A Psichososial Perspective .Newyork: The Seabury Press. 2. Kusuma.2005.MateriPenyuluhanRemaja.Surabay a:BiroKeuskupanRemajaKomisi Keluarga Keuskupan Surabaya. 3. Manuaba.2002.Ilmu Kebidanan .Jakarta EGC. 4. Oetomo , Dede.2001. Memberi Suara Pada Yang Bisu.Yogyakarta: Galang Press.
Kesimpulan 1. Sebagian besar gay yang mengikuti pemeriksaan IMS diPuskesmas Perak Timur Surabaya 95,24% tidak memiliki kepatuhan terhadap penggunaan kondom yaitu meliputi 30,96% tidak pernah menggunakan kondom dan 64,28% kadang-kadang menggunakan kondom pada hububngan seksual 1 minggu terakhir. 2. Sebagian besar gay yang kadang-kadang menggunakan kondom adalah pada umur ≥ 21 tahun sebesar 96,3%, dan tidak pernah menggunakan kondom pada umur ≥ 21 tahun sebesar 77%. 3. Sebagian besar gay yang kadang-kadang menggunakan kondom adalah berstatus tidak menikah sebesar 66,7%, dan tidak pernah menggunakan kondom berstatus tidak menikah sebesar 84,6%. 4. Sebagian besar gay yang kadang-kadang menggunakan kondom adalah yang memiliki pekerjaan tidak tetap sebesar 92,6% , dan tidak pernah menggunakan kondom pekerjaan tidak tetap sebesar 77%. 5. Sebagian besar gay yang kadang-kadang menggunakan kondom adalah tidak memiliki pasangan seksual sebesar 55.53% , dan gay yang tidak memiliki pasangan seksual serta tidak pernah menggunakan kondom sebesar 77% . 6. Sebagian besar gay yang kadang-kadang menggunakan kondom adalah gay yang berpendidikan terakhir SMA 62,97%, gay yang berpendidikan terakhir SMA serta tidak pernah menggunakan kondom sebesar 69,2%.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
22
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
HUBUNGAN PERAN SERTA KADER POSYANDU DAN KELUARGA DENGAN PERILAKU IBU DALAM MEMBAWA BALITA KE POSYANDU DI DESA BANDANG DAYA KECAMATAN TANJUNG BUMI (1)
Anis Rusana, (2)Sutio Rahardjo, S. Pd, s. Kep.Ns Mahasiswa STIKES Insan Se Agung Bangkalan (2) Dosen Politeknik Kesehatan DEPKES Surabaya, Prodi Kebidanan Bangkalan (1)
ABSTRAK Saat ini terjadi pergeseran paradigma sakit ke paradigma sehat, peran serta masyarakat perlu terus dikembangkan. Posyandu sebagai suatu forum komunikasi, alih teknologi dan tempat kegiatan pelayanan kesehatan secara terpadu perlu diaktifkan kembali. Kader posyandu merupakan anggota masyarakat yang dipilih oleh masyarakat setempat untuk melaksanakan kegiatan secara sukarela dan bertanggung jawab. Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya hubungan peran serta kader dan keluarga dengan perilaku ibu dalam membawa balita ke posyandu di Desa Bandang Daya Kecamatan Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan. Metode penelitian yaitu menggunakan metode analitik, dengan desain penelitiannya menggunkan Cross Sectional. Populasinya adalah seluruh keluarga yang mempunyai anak balita yaitu 350 orang dengan tekhnik Probability Sampling dan mendapatkan sampel penelitian sebanyak 184 sampel. Variabel independennya adalah peran serta kader dan keluarga dan variabel dependennya adalah perilaku ibu. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Sedangkan uji hipotesisnya menggunakan uji Regresi Logistic Ganda dengan tingkat signifikan 0,05. Hasil penelitian menunjukkan peran serta kader aktif ibu berperilaku positif sebanyak 93 orang ( 91,2% ). Setelah dilakukan uji hipotesis diperoleh hasil nilai probability lebih kecil dari nilai taraf signifikan ( 0,000 < 0,05 ), sehingga Ho ditolak dan menerima H1.Keluarga dengan peran aktif dan ibu berperilaku positif sebanyak 97 orang ( 92,4% ). Setelah dilakukan uji hipotesis diperoleh hasil nilai probability lebih kecil dari nilai taraf signifikan ( 0,000 < 0,05 ), sehingga Ho ditolak dan menerima H1. . Terdapat hubungan antara peran serta kader dan keluarga dengan perilaku ibu, serta masih ada kader dan keluarga yang tidak aktif ,ibu berperilaku negatif dalam membawa balita ke Posyandu, sehingga perlu diadakan kerjasama yang lebih baik dari semua pihak, melibatkan semua elemen masyarakat dalam pelaksanaan posyandu dan peningkatan keterampilan serta kesejahteraan kader . Kata Kunci : Peran Serta Kader, Keluarga, Perilaku
ABSTRACT Currently, a paradigm shift to a paradigm of ill health, community participation must be supported. Posyandu as a forum for communication, transfer of technology and the activities in an integrated health service needs to be reactivated. Kader Posyandu are chosen by community members of local communities to implement activities voluntarily and responsibly. The purpose of this research is to know the relationship and the role of cadres and family with maternal behavior in bringing children into the neighborhood health center in the village of Tanjung Bumi Bandang Power District Bangkalan. The research method is to use the analytical method, by using cross sectional research design. The population is all the families who have children under five is 350 people with Probability Sampling techniques and get a sample of 184 samples. The independent variable is the role of the cadre and their families and dependent variable is the behavior of mothers. Data collection using questionnaires. While hypothesis test using Multiple Logistic Regression test with significance level 0.05. The results showed the active role of the cadre of mothers positive behavior as much as 93 people (91.2%). After being tested the hypothesis obtained by the probability value is lower than the significant level (0.000 <0.05), so that Ho is rejected ie there is a relationship between the role of the cadre with the behavior of mothers in bringing children into the neighborhood health center. Families with active participation and positive maternal behavior as much as 97 people (92.4%). after being tested the hypothesis obtained by the probability value is lower than the significant level (0.000 <0.05), so that Ho is rejected ie there is a relationship between the role of the family with the mother's behavior in bringing children into the neighborhood health center. From the research results are also in getting the data cadres and family who are inactive and mothers with negative behavior so that there should be greater cooperation from all parties, involving all elements of society in the implementation of neighborhood health center and improving the skills and welfare of cadres. Keywords: Participation Kader, Family, Behavior JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
23
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
PENDAHULUAN Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal diperlukan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat bersama petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan UU No. 23 tahun 1992 yaitu pasal 5 yang menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan lingkungan ( SKN dan Buku Petunjuk Kinerja Puskesmas,2002 ). Pencapaian tujuan tersebut dijumpai banyak kendala seperti keadaan geografis, sosiologis, budaya, kemampuan, pengetahuan dan pendapatan penduduk yang masih rendah, sehingga diperlukan usaha-usaha untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan dan memberdayakan kemampuan masyarakat. Salah satunya dengan aktifnya kembali kegiatan Posyandu. Menurut Peraturan Presiden No.7 Th. 2005 diantara sasaran pembangunan Kesehatan adalah menurunnya Prevalensi Gizi Kurang Anak Balita dari 25,8% menjadi 20% sesuai KEP.MENKES No. 1202 TH 2003 40% Posyandu Aktif dengan tingkatan purnama dan mandiri.( Depkes Propinsi Jawa Timur, 2006 ), Maka Posyandu sebagai suatu forum komunikasi, alih teknologi dan tempat kegiatan pelayanan kesehatan secara terpadu perlu diaktifkan kembali(4). Dalam Rangka meningkatkan Peran serta Masyarakat dalam pembangunan Kesehatan, di Kecamatan Tanjung Bumi telah dilakukan Upaya untuk mendorong gerak maju aktifitas Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat ( UKBM ) yaitu Kegiatan Revitalisasi Posyandu Di Wilayah Desa Bandang Daya terhadap 7 Dusun, dengan jumlah Penduduk 3545 jiwa dengan jumlah KK 394 KK, jumlah Balita 350 Balita, jumlah Posyandu sebanyak 4 Pos, Kader Posyandu sebanyak 12 orang dan Tenaga Kesehatan yang ada 3 orang (Laporan Puskesmas Tanjung Bumi, tahun 2009). Sedangkan jumlah Balita ditimbang di Posyandu rata-rata perbulan 130 orang ( 37,9% ) sedangkan target penimbangan Balita sebanyak 90% (Laporan Kegiatan Posyandu tahun 2009). Rendahnya perilaku ibu membawa balitanya ke Posyandu dan kurangnya peran serta masyarakat disebabkan oleh faktor eksternal dan internal dari ibu dan masyarakat. Menurut Notoadmodjo(9) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan dan Perilaku Kesehatan mengemukakan bahwa determinasi perilaku meliputi faktor internal dan faktor eksternal . Faktor internal terdiri dari tingkat kecerdasan, tingkat emosi, jenis kelamin, dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari lingkungan baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan peran serta kader posyandu dan keluarga dengan perilaku Ibu dalam membawa balita ke Posyandu di Desa Bandang Daya Kecamatan Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan. TINJAUAN PUSTAKA Konsep dasar peran serta kader posyandu Kader posyandu adalah warga yang terlibat dalam seksi 7 dan seksi 10 LKMD (tim penggerak PKK) yang bergabung dalam Pokja IV yang membidangi masalah
kesehatan dan KB dan aktif dalam kegiatan Posyandu(4). Peran Kader Dalam Penyelenggaraan Posyandu adalah : a. Memberitahukan hari dan jam buka Posyandu kepada para ibu pengguna Posyandu ( ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan anak balita serta ibu usia subur ) sebelum buka Posyandu. b. Menyiapkan peralatan untuk penyelenggaraan Posyandu sebelum Posyandu dimulai. c. Melakukan pendaftaran bayi, balita, ibu hamil dan ibu usia subur yang hadir di Posyandu. d. Melakukan penimbangan bayi dan balita. e. Mencatat hasil penimbangan kedalam KMS f. Melakukan penyuluhan perorangan kepada ibu-ibu di meja IV sesuai dengan permasalahan yang dihadapi ibu yang bersangkutan. g. Melakukan penyuluhan kelompok kepada ibuibu sebelum meja I atau setelah meja V ( jika diperlukan ). h. Melakukan kunjungan rumah khususnya pada ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan balita serta pasangan usia subur, untuk menyuluh dan mengingatkan agar datang ke Posyandu. LKMD juga mempunyai peranan besar dalam upaya peningkatan taraf kesehatan masyarakat di desa / kelurahan, dalam hal ini termasuk upaya penurunan angka kematian bayi, anak balita, ibu hamil dan angka kelahiran, khususnya yang diupayakan melalui kegiatan Posyandu. Peranan LKMD dalam pembentukan Posyandu ; a. Mengusulkan, mendorong dan membantu kepala desa / kelurahan untuk membentuk Posyandu diwilayahnya. b. Memberitahu masyarakat tentang pentingnya Posyandu serta cara pembentukannya. c. Membantu secara aktif pelaksanaan pengumpulan data musyawarah masyarakat dalam rangka membentuk Posyandu, penentuan lokasi, jadwal, pemilihan kader dan lain-lain. d. Meningkatkan, mendorong dan memberi semangat agar kader selalu melaksanakan tugasnya di Posyandu dengan baik. e. Mengingatkan ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan anak balita serta ibu usia subur agar datang ke Posyandu sesuai jadwal yang telah ditentukan. f. Mengamati apakah penyelenggaraan Posyandu telah dilakukan secara teratur setiap bulan atau sesuai jadwal yang telah disepakati. g. Mengamati apakah penyelenggaraan Posyandu secara lengkap ( KIA, KB, Gizi, Imunisasi dan Penanggulangan Diare ). h. Memberikan saran-saran kepada Kepala Desa / Lurah dan Kader Jadal, melakukan pelayanan secara lengkap dan dikunjungi ibu hamil, ibu dan anak balita serta ibu usia subur.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
24
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
i.
j.
k.
l.
m.
Bila dipandang perlu, membantu mencarikan jalan agar Posyandu dapat melakukan pemberian makanan tambahan kepada bayi dan anak balita secara swadaya. Mengingatkan kader untuk melakukan penyuluhan kerumah-rumah ibu (kunjungan rumah dengan penyuluhan yang tersedia). Mencarikan jalan dan memberi saran-saran agar kader dapat bertahan melaksanakan tugas dan perannya (tidak drop out) misalnya dengan pemberian penghargaan, mengupayakan alat tulis atau bantuan yang lain. Membahas bersama Kepala Desa /Kelurahan dan Tim Pembina LKMD kecamatan cara-cara pemecahan yang dihadapi Posyandu. Agar pembinaan Posyandu dan pembinaan kader dilakukan oleh LKMD ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka cara dan pesan-pesan penyuluhan yang berkaitan dengan promosi Posyandu juga perlu dipahami oleh LKMD.
Tabel 2. Distribusi Frekwensi Pekerjaan di Desa Bandang Kec. Tanjung Bumi Kab. Bangkalan Bulan Oktober Tahun 2010. Pekerjaan
Frekwensi
Prosentase
Petani Swasta Buruh PNS Total
184 184
100 100
Sumber : Data Primer 2010 Tabel 3. Distribusi Peran Serta Kader Dalam Kegiatan Posyandu di Desa Bandang Kec. Tanjung Bumi Kab. Bangkalan Bulan Oktober Tahun 2010. Peran Serta Kader Aktif Tidak Aktif
Frekwensi 102 82
Total 184 Sumber : Data Primer 2010
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Prosentase 55,4 44,6 100
Penelitian ini bersifat analitik dengan rancangan studi Cross Sectional. Populasinya adalah seluruh ibu yang mempunyai anak balita di wilayah desa Bandang Daya Kecamatan Tanjung Bumi Bangkalan pada bulan Oktober tahun 2010 yang berjumlah 350 orang. Jumlah sampel sebanyak 184 responden dari hasil Probability Sampling dengan pengambilan sample acak statifikasi (Stratified Random Sampling ). Analisis yang digunakan Uji Regresi Logistic ganda dengan tingkat signifikasi (α) : 0,05. Variabel penelitian ini tersusun dari variable independen (peran serta masyarakat) dengan variable dependen ( perilaku ibu).
Tabel 4. Distribusi Peran Keluarga Dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu di Desa Bandang Kec. Tanjung Bumi Kab. Bangkalan Bulan Oktober Tahun 2010.
HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekwensi Tingkat Pendidikan Keluarga di Desa Bandang Kec. Tanjung Bumi Kab. Bangkalan Bulan Oktober Tahun 2010.
Sumber : Data Primer 2010
Pendidikan Sekolah Dasar SMP SMA
Frekwensi 184 -
184 Total Sumber : Data Primer 2010
Prosentase 100 100
Peran Keluarga
Frekuensi
Prosentase
Aktif
105
57,1
Tidak Aktif
79
42,9
Total
184
100
Table 5. Distribusi Perilaku ibu dalam membawa Balita ke Posyandu di Desa Bandang Kec. Tanjung Bumi Kab. Bangkalan Bulan Oktober Tahun 2010. Perilaku
Frekuensi
Prosentase
Positif
104
56,5
Negatif
80
43,5
Total
184
100
Ibu
Sumber : Data Primer 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
25
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Tabel 6. Tabulasi Silang Hubungan Antara Peran Serta Kader dengan Perilaku Ibu dalam membawa Balita ke Posyandu di Desa Bandang Kec. Tanjung Bumi Kab. Bangkalan Bulan Oktober Tahun 2010. Perilaku Ibu
Peran
Positif
Serta
Total
Negatif
%
8,8
102
100
86,6
82
100
184
100
%
Aktif
93
91,2
9
Tidak
11
13,4
71
104
56,5
80
43,5
Kader
%
Aktif Total
Sumber : Data Primer 2010 Tabel 7. Tabulasi silang hubungan antara peran keluarga dengan perilaku ibu dalam membawa balita ke posyandu di Desa Bandang Kec.Tanjung Bumi Kab. Bangkalan Bulan Oktober Tahun 2010. Perilaku ibu Peran Kelu arga
Positif
Total
negatif
%
7,6
105
100
91,1
79
100
184
100
%
Aktif
97
92,4
8
Tidak
7
8,9
72
104
56,5
80
43,5
%
aktif Total
Tabel 8. Uji regresi logistik ganda hubungan peran serta kader dengan perilaku ibu dalam membawa balita.
Tabel 9. Uji regresi logistik ganda hubungan peran serta kader denga perilaku ibu dalam membawa balita ke posyandu Sesuai table 8 hasil analisis dengan uji statistic regresi logistic ganda menunjukkan nilai probability lebih kecil dari nilai taraf signifikan ( 0,000 < 0,05 ), maka Ho ditolak dan H1 diterima. Pada tabel 9 hasil uji Regresi Logistic Ganda juga menunjukkan bahwa nilai probability lebih kecil dari nilai taraf signifikan ( 0,000 < 0,05 ) yang mengartikan Ho ditolak dan H1 diterima, yaitu terdapat hubungan antara peran serta kader dengan perilaku ibu dalam membawa balita ke Posyandu di Desa Bandang Kec. Tanjung Bumi Kab. Bangkalan.
PEMBAHASAN Berdasarkan table 6, peran serta kader di posyandu di Desa Bandang Daya rata – rata aktif (55,4 %). Meskipun tingkat pendidikan ibu dan kader yang ada mayoritas adalah sekolah dasar (SD) tetapi dengan aktifnya kader yang ada dalam memberikan informasi maupun kehadirannya dalam pelaksanaan posyandu ibu sudah menilai bahwa kader tersebut aktif. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Suhendra (2006) yaitu partisipasi ditafsirkan sebagai pendekatan dan tekhnik – tekhnik pelibatan dalam proses pemikiran yang berlangsung selama kegiatan. Pendidikan yang rendah serta faktor ekonomi, faktor lain yang mempengaruhi ketidak aktifan kader (44,6 %) di Desa Bandang Daya adalah kurangnya dukungan dari LKMD yang ada. Padahal LKMD mempunyai peran besar dalam upaya peningkatan taraf kesehatan masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Depkes RI(5) yaitu diantara salah satu peranan LKMD dalam pembentukan posyandu meningkatkan, mendorong dan memberi semangat agar kader selalu melakukan tugasnya di posyandu dengan baik, agar pembinaan posyandu dan pembinaan kader yang dilakukan LKMD dapat dilaksanakan dengan baik maka cara dan pesan – pesan penyuluhan yang berkaitan dengan promosi posyandu juga perlu dipahami oleh LKMD. Petugas kesehatan juga memberikan peranan yang sangat penting dalam memotivasi keaktifan kader posyandu. Salah satunya dengan memperhatikan faktor - faktor : 1) Adanya kesempatan, 2) Memiliki keterampilan, 3) Rasa memiliki, 4) Faktor tokoh masyarakat, seperti sehingga kader berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan posyandu(2). Peran serta keluarga dalam kegiatan posyandu di Desa Bandang Daya rata – rata relatif aktif (57,1 %). Sebagian besar dari keluarga tersebut aktif dalam kegiatan posyandu dikarenakan mereka mulai merasakan manfaat dari kegiatan, adanya kesempatan dalam mengikuti posyandu yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keinginan masyarakat, tidak mengganggu aktifitas, keluarga sudah melihat hal – hal bermanfaat dalam posyandu, adanya rasa memiliki dari keluarga dan masyarakat, serta adanya tokoh masyarakat dalam hal ini kader yang disegani(2). Keluarga merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua individu atau lebih yang memiliki hubungan darah maupun tidak dan membentuk keluarga yang memiliki fungsinya masing – masing, seperti yang dikemukakan Friedman(9). Jadi tidak mudah untuk mengaktifkan keluarga dalam pelaksanaan posyandu. Sehingga di Desa Bandang Daya masih ada keluarga yang tidak aktif dalam kegiatan posyandu (4,29%). Apalagi dengan tipe keluarga besar yang teridiri dari keluarga inti ditambah dengan sanak saudara seperti yang dikemukakan oleh Effendi (1998) sehingga banyak kendala bagi keluarga dalam melaksanakan tugas keluarga dibidang kesehatan. Salah satu tugas keluarga di bidang kesehatan seperti yang dikemukakan oleh Suprajitni(9) yaitu memanfaatkan fasilitas kesehatan di sekitarnya bagi keluarga, karena
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
26
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
untuk memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga harus melalui fungsi sosialisasi dalam keluarga seperti yang dikemukakan oleh Friedman(9) dimana individu secara kontinyu mengubah perilaku mereka sebagai respon terhadap situasi yang terpola secara sosial. Menurut table 6, dari 102 ibu yang menyatakan peran serta kader aktif, sebagian besar ibu berperilaku positif (91,2%). Dari 82 ibu yang menyatakan peran serta tidak aktif namun masih ada yang berperilaku positif (13,4%). Dan hasil uji hipotesis dengan uji regresi logistic ganda menunjukkan nilai Probability lebih kecil dari nilai taraf signifikasi (0,000 < 0,05) berarti Ho ditolak dan menerima H1. sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara peran serta kader dengan perilaku ibu dalam membawa Balita ke posyandu. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Rakhmat dan Didi Suherdi(8), perilaku dapat diartikan sebagai gerakan, perubahan atau respon dari suatu individu atau system yang bertalian dengan situasi dan lingkunganya. Kemudian timbul bentuk perilaku ibu, bisa pasif atau sebaliknya aktif. Dalam hal ini perilaku ibu dipengaruhi oleh aktifnya peran serta kader dalam kegiatan posyandu. Dalam hal ini informasi dan motivasi yang diberikan oleh kader dan keluarga akan mempengaruhi pengetahuan sekaligus perilaku ibu. Seperti yang dikemukan oleh Notoadmodjo(9) pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu object tertentu. Dengan pengetahuan yang didapatnya maka ibu akan mengaplikasikan ke dalam perilakunya. Hal ini akan melalui proses sampai timbul perilaku yang diingikan seperti yang dikemukan oleh Rogers (Notoadmodjo, 2003) yaitu : Awareness (Kesadaran), Interest (merasa tertarik), Evaluation (Penilaian), Trial (Mencoba), dan Adaptation (Penyesuaian). Dari table 7 didapatkan dari 105 ibu yang menyatakan keluarga berperan aktif sebagian besar ibu berperilaku positif (92,4%). Dari 79 ibu yang menyatakan peran keluarga tidak aktif namun masih ada yang berperilaku positif (8,9%). Dan hasil uji hipotesis dengan uji regresi logistic ganda menunjukkan nilai Probability lebih kecil dari nilai taraf signifikasi (0,000 < 0,05) Ho ditolak dan menerima H1. Jadi artinya terdapat hubungan antara peran keluarga dengan perilaku ibu dalam membawa balita ke posyandu. Di desa Bandang Daya keluarga merupakan faktor dominan dalam memutuskan suatu tindakan. Sehingga untuk merubah perilaku ibu ke arah positif harus mengetahui faktor – faktor yang berpengaruh terhadap keluarga tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Purwanto(7) dalam terbentuknya sikap salah satu faktornya adalah faktor intern yaitu faktor – faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan itu sendiri, seperti selektifitas. Kita tidak dapat menangkap seluruh rangsang dari luar melalui resepsi. Oleh karena itu kita harus memilih rangsangan mana yang akan kita dekati dan yang akan kita jauhi Selain itu petugas kesehatan harus bisa menanamkan persepsi positif dari keluarga tentang manfaat dari kegiatan posyandu. Karena dari persepsi keluarga yang positif akan timbul kerangka berpikir, sikap, tingkah laku,
dan perbuatan seseorang didasarkan pada persepsi awal individu yang didasarkan dari pengalaman inderawi. Seperti yang dikemukakan oleh Cristina(1) tentang fungsi persepsi yaitu membentuk pola atau kerangka berpikir, sebagai proses interaksi manusia dengan lingkungan. Untuk itu dengan cukupnya pengetahuan ibu tentang posyandu yang diberikan oleh kader, keluarga dan petugas kesehatan baik yang berupa informasi, motivasi maupun sarana lain akan mengubah perilaku ibu dalam membawa balita ke posyandu. Sehingga dengan aktifnya kader dan keluarga dalam pelaksanaan posyandu akan meningkatkan kualitas dan kuantitas balita di posyandu. KESIMPULAN DAN SARAN Rata – rata kader posyandu yang ada di Desa Bandang Daya sudah aktif dalam pelaksanaan kegiatan posyandu (55,4%), begitu juga dengan keluarga sudah berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan posyandu (57,1%) dan mau membawa membawa balita ke posyandu di Desa Bandang Daya ( 56,5% ). 2. Ada hubungan antara peran serta kader dengan perilaku ibu dalam membawa balita ke posyandu di Desa Bandang Daya. Karena setelah dilakukan uji statistik aktifnya kader dapat mempengaruhi perilaku ibu. 3. Ada hubungan antara peran serta keluarga dengan perilaku ibu dalam membawa balita ke posyandu di Desa Bandang Daya. Karena setelah dilakukan uji statistik aktifnya keluarga dalam memotivasi ibu dapat mempengaruhi perilaku ibu. Dari pembahasan kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut : 1.
1.
2.
3. 4.
Perlu adanya kerjasama yang lebih baik antara petugas kesehatan, kader dan keluarga dalam merubah perilaku ibu ke arah yang positif. Sebaiknya melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat dan LKMD dalam pelaksanaan kegiatan posyandu Pelatihan kader lebih ditingkatkan kualitasnya dan kesejahteraannya perlu diperhatikan Kualitas pelayanan posyandu perlu ditingkatkan
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4. 5.
Christina, Lia dkk. (2003). Komunikasi Kebidanan. Jakarta : EGC. Deliveri. (2002). Buku Panduan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat. Tersedia dalam http : //www.deliveri.org. (Diakses 20 April 2009). Departemen Kesehatan RI. (2001). Arrif. Pedoman Manajemen Peran Serta Masyarakat. Jakarta. (1999). Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. (2005). Pedoman Pengelolaan Posyandu Cetakan Ke-1. Jakarta.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
27
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
6. 7. 8. 9.
(2007). Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta : rineka cipta. Purwanto, Heri. (2007). Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. Rakhmat, Cece dan Didi Suherdi. (1998). Evaluasi Pengajaran. Jakarta : DEPDIKBUD Dirjen Dikti. (2007). Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta : rineka cipta.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
28
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
KEMITRAAN DUKUN BAYI DENGAN BIDAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALIPARE KECAMATAN KALIPARE KABUPATEN MALANG Penelitian Diskriptif Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang Oleh: Sisilia Ira Novita, (2)Erda Restya A. (1) Mahasiswa STIKES Insan Unggul Surabaya (2) Dosen STIKES Insa Se Agung Bangkalan (1)
ABSTRAK Kemitraan dukun dengan bidan adalah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara bidan dengan dukun bayi dalam pertolongan persalinan dengan tetap melibatkan dukun bayi pada peran yang terbatas. Masalah dalam penelitian ini adalah masih tingginya profesi sebagai dukun bayi sehingga tingkat pertolongan persalinan dukun masih tinggi dan tingkat kematian bayi baru lahir dan kesakitan ibu nifas masih ada. Hal ini didukung dengan rendahnya tingkat pendidikan dukun bayi, adanya keinginan mencari pekerjaan tambahan, tingkat pendapatan yang rendah, sehingga jarak yang dekat dengan rumah bidan tidak berpengaruh tetapi jarak yang jauh dengan rumah ibu bersalin tidak membuat dukun bayi patah semangat untuk melakukan pertolongan persalinan, oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui bagaimana kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah semua dukun bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang. Sampel diambil secara total sample. Variabel penelitian meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jarak rumah dukun bayi dengan bidan dan ibu bersalin. Responden yang digunakan sebanyak 15 orang. Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas (100%) responden mempunyai pendidikan rendah, sebagian besar (73,3%) bekerja sebagai tani, mayoritas (100%) berpendapatan rendah, jarak rumah dukun bayi dengan bidan sebagian besar (66,7%) bejarak cukup dekat, jarak rumah dukun bayi dengan ibu bersalin setengahnya (46,7%) berjarak jauh dan kemitraan dukun bayi dengan bidan hampir seluruhnya (80%) tidak bermitra. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jarak rumah dukun bayi dapat mempengaruhi dukun bayi dalam bermitra dengan bidan. Saran peneliti adalah pemberian pelatihan atau penyuluhan tentang bahaya dan resiko persalinan pada dukun bayi, dan pendekatan bidan dengan dukun bayi yang lebih kooperatif dengan kerjasama yang saling menguntungkan tanpa merugikan pihak dukun bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang masih perlu dan ditingkatkan lagi. Kata kunci :Kemitraan, Dukun bayi, dan Bidan. ABSTRACT Shaman partnership with midwives is a form of mutually beneficial cooperation between midwives with traditional birth attendants in childbirth aid while still involve traditional birth attendants in a limited role. The problem in this research is still high so that the profession as a midwife childbirth aid levels are still high shaman and neonatal mortality rates and maternal childbirth pain is still there. This is supported by low levels of education midwife, the desire to find additional work, low income levels, so the distance is closer to home midwife had no effect but a long distance with the home birth mothers do not make traditional birth attendants discouraged to make childbirth aid, by So researchers wanted to find out how the TBAs partnership with midwives at the Work Area Health Center District Kalipare Kalipare Malang. The purpose of this study was to find out how the TBAs partnership with the midwife at Puskesmas working area Kalipare Kalipare Malang District. This research uses descriptive method with cross sectional approach. The population is all traditional birth attendants at the Work Area Health Center District Kalipare Kalipare Malang. Samples were taken in total sample. Research variables include: education, employment, income, distance home with midwives and traditional birth mother giving birth. Respondents who used as many as 15 people. The results showed that the majority (100%) of respondents have a low education, the majority (73.3%) worked as farmers, the majority (100%), low income, distance home with midwife midwife majority (66.7%) bejarak enough close, distance home with traditional birth attendants maternal half (46.7%) distant and traditional birth attendants partnership with midwives almost entirely (80%) are not partnered. From the description above can be concluded that education, occupation, income and distance from the house can affect traditional birth attendants TBAs in partnership with the midwife. Researchers are giving training advice or counseling about the dangers and risks of labor on the traditional birth attendants and midwives approach with traditional birth attendants are more cooperative with the mutually beneficial cooperation without harming the traditional birth attendants at the Work Area Health Center Kalipare Kalipare District of Malang Regency still need and room for improvement. Keywords: Partnership, Shaman baby, and midwives. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
29
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
PENDAHULUAN Salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan di Indonesia adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu. Safe Motherhood di Indonesia menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya kematian ibu antara lain kualitas pelayanan antenatal masih rendah dan dukun bayi belum sepenuhnya mampu melaksanakan deteksi resiko tinggi pada ibu(2). Menurut Manuaba(6), bahwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan bahwa pertolongan persalinan oleh dukun masih dominan sekitar 80%. Demikian juga diseluruh dunia pertolongan persalinan oleh dukun masih tinggi sekitar 70% sampai 80%. Upaya meminimalisasi dan menurunkan tingkat kesakitan dan kematian ibu hamil, bayi dan balita, maka semua persalinan yang ditangani oleh dukun bayi, harus ditangani oleh tenaga kesehatan yang terlatih, tidak termasuk hal-hal yang berhubungan dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat, dengan menjalin hubungan kemitraan antara dukun dengan bidan(4). Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektor dan mitra lainnya(8). Dari keseluruhan persalinan di Jawa Timur diketahui hanya 117.865 (30,16%) yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan 253.128 (64,78%) ditolong oleh dukun terlatih dan selebihnya oleh dukun yang tidak terlatih(9). Dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di dapatkan ± 15 dukun bayi di 2 Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang. Dari ± 15 dukun bayi yang ada hanya 1 dukun bayi yang sudah bermitra secara penuh dan tidak melakukan pertolongan persalinan, sedangkan yang lainnya masih tetap melakukan pertolongan persalinan meskipun sebagian dari dukun bayi tersebut ± 3 dukun bayi sudah mendapatkan pembinaan. Satu dari dua kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang dalam 3 bulan terakhir didapatkan masalah akibat pertolongan persalinan dukun bayi yang sering ditemukan sewaktu kontrol ke petugas kesehatan yaitu adanya luka robekan perinium yang tidak mendapatkan panjahitan, keadaan umum ibu yang lemas, pusing karena perdarahan dan didapatkan 1 kematian bayi baru lahir karena kesalahan dalam pemotongan talipusat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kemitraan dukun dengan petugas kesehatan terutama bidan sangat diperlukan. Untuk mendukung program Pemerintah dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi tersebut maka dukun bayi dapat bersama-sama dengan tenaga kesehatan melaksanakan upaya keselamatan ibu dengan melakukan kerjasama yaitu bermitra dalam setiap persalinan dengan melakukan rujukan kepetugas kesehatan terutama bidan(8). Kemitraan dukun dengan bidan adalah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dengan berlandaskan rasa saling memahami struktur masingmasing, saling memahami kapasitas masing-masing, saling menghubungi, saling mendekati, saling terbuka dan membantu, saling mendorong dan mendukung, dan saling menghargai(8). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah Kerja
Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang. TINJAUAN PUSTAKA (3) Dukun bayi adalah suatu profesi yang umumnya merupakan sebuah ilmu turun – temurun berdasarkan penetahuan dan pengalaman seseorang saja tanpa didasari ilmu praktik yang jelas. Berdasarkan kenyataan dewasa ini bahwa dukun bayi masih sangat berperan dalam pertolongan persalinan di masyarakat(5), karena : 1. Dukun tinggal dekat dan membaur dengan warga setempat dan mudah dihubungi, 2. Dalam melakukan pekerjaannya tampil dan bersikap tidak formal, dan memiliki hubungan dekat dengan warga, 3. Secara psikologis sentuhan-sentuhan tangannya kepada para pasienya dianggap mampu meminimalkan gangguan fisik atau sakit mereka pada saat bersalin, 4. Mampu tampil menurut peran dan fungsinya yang memberi keuntungan kepada warga masyarakat, serta tetap diyakini keberhasilan, 5. Kedekatan antara masyarakat atau dalam hal ini ibu hamil dengan para dukun bayi karena mereka tidak hanya membantu proses persalinan, tetapi juga biasanya merawat ibu maupun bayi pasca melahirkan, seperti mencucikan baju sang ibu setelah melahirkan, memijat ibu dan bayi, dan sebagainya, 6. Menetapkan tarif biaya secara tidak lugas dan biasanya hanya menerima pembayaran berdasarkan kemauan dan kemampuan ekonomi para keluarga yang di layaninya, atau bisa juga dengan bahan pokok. (1) Pelatihan dukun ini merupakan pedoman dalam rangka melatih dan membina dukun bayi. Beberapa hal yang mampu dilaksanakan dukun, yaitu : perawatan kehamilan, perawatan persalinan normal, perawatan bayi, perawatan nifas dan ibu menyusui, penyuluhan kesehatan masyarakat, pencatatan dan pelaporan serta rujukan. (3)Pembinaan dukun bayi adalah upaya pemeliharaan dukun bayi dalam upaya peningkatan keterampilan, peran dan tugas dukun bayi dalam pertolongan persalinan. Hasil yang diharapkan dari pembinaan adalah : a Dukun dapat megidentifikasi risti sedini mungkin dan merujuk pada waktu yang tepat, b Dapat melaksanakan pertolongan persalinan dengan aman dan benar jika perlu harus meminta bantuan bidan atau puskesmas pada waktu yang tepat, c Agar tidak dapat mengulangi tidakan yang dapat merugikan masyarakat terutama ibu dan bayi, d Dapat memberi penyuluhan kesehatan tentang gizi, ASI eksklusif, tablet Fe, imunisasi, personal higiene, e Dapat meningkatkan motivasi pada ibu agar melakukan kunjungan ke puskesmas. Program kemitraan dukun dengan bidan sudah ada pembagian kinerja sendiri, seperti dukun tidak
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
30
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
boleh melaksanakan proses persalinan melainkan bidan yang melaksanakan, sehingga tugas dukun adalah mengantar ibu hamil yang datang padanya kepada bidan, dan juga melaksanakan tugas –tugas pasca persalinan. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan pendekatan bersifat cross-sectional. Populasi dari penelitian ini adalah semua dukun bayi yang masih aktif, yaitu masih melakukan aktifitas pertolongan persalinan maupun perawatan ibu nifas dan bayi baru lahir, baik yang sudah bermitra dengan bidan maupun yang belum bermitra dengan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang yang berjumlah 15 orang. Sampel yang akan diteliti sejumlah 15 orang (sampel total). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009. Variable penelitian terdiri dari : kemitraan dukun bayi dengan bidan dilihat berdasarkan faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan jarak rumah dukun bayi dengan bidan dan ibu bersalin. Informasi diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner yang dibagikan kepada semua Dukun bayi yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang, pembagian kuisioner ini dilakukan oleh peneliti sendiri HASIL PENELITIAN Tabel 1.
Distribusi frekuensi Usia Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang Bulan April 2009 N o
Usia (tahu n) 1 < 50 2 50-60 3 > 60 Jumlah
Juml ah
Persent ase (%)
0 2 13 15
0,0 13,3 86,7 100,0
Sumber : Data primer
Tabel 2.
Distribusi frekuensi Pendidikan Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang Bulan April 2009 No
1. 2.
Pendidikan dukun bayi
Tabel 3. Distribusi Pekerjaan Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas KalipareKecamatan Kalipare Kabupaten Malang Bulan April 2009 No
1. 2. 3. 4.
%
Rendah Sedang
15 0
100 0,0
Total
15
100
Ibu Rumah Tangga Buruh Tani Wiraswasta Total
Total n
%
1 3 11 0 15
6,7 20 73,3 0,0 100
Sumber : Data primer
Tabel 4.
No
1. 2. 3. 4.
Distribusi Pendapatan Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang Bulan April 2009 Pendapatan dukun bayi
Total n
%
Rendah Sedang Tinggi
15 0 0
100 0,0 0,0
Total
15
100
Sumber : Data primer
Tabel 5.
No
Total n
Pekerjaan dukun bayi
1. 2. 3. 4.
Distribusi frekuensi Jarak Rumah Dukun Bayi dengan Rumah Bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang Bulan April 2009 Jarak (A) rumah dukun bayi dengan bidan Dekat Cukup Dekat Jauh Sangat Jauh Total
Total n
%
3 10 2 0 15
20 66,7 13,3 0 100
Sumber : Data primer
Sumber : Data primer
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
31
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Tabel 6.
No
1. 2. 3. 4.
Distribusi frekuensi Jarak Rumah Dukun Bayi dengan Rumah Ibu Bersalin di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang Bulan April 2009 Jarak (B) rumah dukun bayi dengan ibu bersalin Dekat Cukup Dekat Jauh Sangat Jauh Total
Total n
%
2 6 7 0 15
13,3 40 46,7 0 100
Sumber : Data primer
Tabel 7.
No
1. 2.
Distribusi frekuensi Kemitraan dukun bayi dan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang Bulan April 2009 Kemitraan dukun bayi dengan bidan
Bermitra Tidak Bermitra
Total n
%
3 12
20 80
15
100
Sumber : Data primer PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 2 diperoleh data baku seluruh dukun bayi yang ada di di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang (100%) memiliki tingkat pendidikan rendah, sehingga tingkat pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya arti kesehatan masih kurang optimal dan masih melakukan pertolongan persalinan karena pengetahuan tentang kesehatan persalinan yang baru tidak didapatkan. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori tentang pendidikan menurut Notoatmodjo(7), bahwa semakin rendah pendidikan maka penilaian akan kesehatan sangat sulit untuk dicapai, terutama dalam hal ini adalah pendidikan dukun bayi yang mayoritas rendah. Dari tabel 3 disebutkan bahwa dari 15 responden lebih dari setengahnya yaitu 11 responden (73,3%) bekerja sebagai petani, dan sisanya bekerja sebagai buruh dan ibu rumah tangga. Karena itu sebagian besar waktu dukun bayi dihabiskan di lahan pertaniannya dan kurang mendapat informasi tentang kesehatan persalinan dan didukung dengan tingkat pemenuhan kebutuhan. Sehingga menyebabkan masih banyaknya dukun bayi yang tetap menolong persalinan untuk pekerjaan tambahan karena adanya tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan waktu untuk hubungan dengan tenaga kesehatan kurang. Pendapatan keluarga dukun bayi masih tergolong rendah
dari Upah Minimum Rata-rata (UMR), ini membuat dukun bayi mencari pengahasilan tambahan untuk menambah pendapatan keluarga dengan memanfaatkan keahliannya dalam menolong persalinan. Faktor rendahnya tingkat pendapatan inilah yang membuat dukun bayi sampai sekarang masih melakukan pertolongan persalinan untuk memperoleh pendapatan yang lebih. Jadi pendapatan dapat mempengahui kemitraan dukun bayi dengan bidan. (7) Seseorang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja maka informasi yang diperoleh akan semakin sedikit terutama informasi tentang kesehatan dalam hal ini adalah dukun bayi yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Dari tabel 6 didapatkan bahwa 10 responden (66,7%) memiliki jarak rumah dengan rumah bidan cukup dekat, sedangkan yang lainnya jarak rumahnya dekat dan jauh dari rumah bidan, serta didapatkan bahwa dari 15 responden setengahnya yaitu 7 responden (46,7%) memiliki jarak rumah jauh dari rumah ibu bersalin sedangkan yang lainnya memiliki jarak rumah cukup dekat dan dekat dengan rumah ibu bersalin. (8)Jarak yang jauh (3-4 km atau lebih) akan menyebabkan rasa enggan dan malas untuk pergi dan merujuk persalinan Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan sebagian besar rumah dukun bayi cukup dekat dengan rumah bidan tapi rujukan persalinan hampir tidak pernah dilakukan, hal ini tidak sesuai dengan anggapan bahwa jarak antara rumah bidan dengan tempat tinggal dukun bayi dapat mempengaruhi rutinitas untuk kunjungan atau pelaporan serta melakukan rujukan. Karena meskipun rumah dukun bayi tersebut tergolong cukup dekat tapi tingkat rujukan, kunjungan dan pelaporan belum optimal, oleh karena itu bidan harus proaktif untuk melakukan kunjungan rutin dan pendekatan dengan dukun bayi agar pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bisa optimal. Dalam hal ini jarak yang cukup dekat dengan rumah bidan tidak dapat mempengaruhi dukun bayi untuk merubah kebiasaanya melakukan pertolongan persalinan. Jauhnya jarak antara rumah dukun bayi dengan ibu bersalin tidak menyurutkan semangat dukun bayi untuk mendatangi dan menolong persalinannya meskipun dukun bayi menggunakan alat transportasi untuk sampai di rumah ibu bersalin. Hal ini yang menyebabkan tingkat cakupan bidan sangat sulit karena dukun bayi cenderung melakukan pertolongan persalinan diluar wilayah kerja bidan dan cenderung mendekati masyarakat di wilayah pelosok. Dalam hal ini jarak yang jauh tidak mengahalangi seorang dukun bayi untuk melakukan pertolongan persalinan, karena dukun bayi menganggap masyarakat pelosok lebih percaya pada dukun bayi dan sudah menjadi suatu kebiasaan (langganan). Kemitraan dukun bayi dan bidan penerapannya masih kurang karena belum sesuai dengan tujuan, batasan, prinsip-prinsip dan landasan kemitraan bidan dan dukun bayi yang seperti yang diungkapkan oleh DINKES Surabaya(3) yaitu
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
32
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
meningkatkan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan mengalihkan peran dukun bayi, menurunkan persalinan oleh dukun bayi, meningkatkan peran dukun bayi sebagai kader kesehatan, dan lain-lain. Dalam kenyataannya masih banyak dukun bayi yang masih melakukan pertolongan persalinan sendiri, menangani tingkat kesulitan persalinan sendiri, jarang melakukan rujukan dan kurang baiknya hubungan antara dukun bayi dengan bidan yang menyebabkan hubungan kerjasama antara dukun bayi dan bidan sulit dilakukan. Hal ini yang membuat penerapan kemitraan dukun bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang masih kurang dan masih jauh dari berhasil, dikarenakan dukun bayi takut akan kehilangan penghasilannya apabila setiap persalinan dirujuk ke petugas kesehatan. Oleh karena itu maka bidan harus mengupayakan suatu kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak agar dukun bayi tidak beranggapan dirugikan apabila merujuk persalinan ke petugas kesehatan. Apabila semua ketentuan dan persyaratan dalam bermitra di jalankan maka tingkat persalinan tenaga kesehatan yang terlatih akan semakin meningkat dan persalinan dukun bayi akan semakin menghilang.
http://library.usu.ac.iddownloadfkmfkmsyarifah.pdf. (Diakses 8 Maret 2009).
DAFTAR PUSTAKA 1.
Depkes RI. (1994a). Kurikulum Pelatihan Dukun. Jakarta.
2.
Depkes RI. (1999). Upaya Akselerasi Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta.
3.
Dinkes Surabaya. (2008). Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi. Surabaya.
4.
Dinkes Sulawesi Tengah. (2007). Kemitraan Bidan dengan Dukun Bayi Dalam Rangka Alih Peran Pertolongan Persalinan Di Sulawesi Tengah. Bersumber dari http://dinkesprovsulteng.wordpress.com. (Diakses 10 Maret 2009).
5.
Dinkes Sidoarjo. (1997). Partisipasi Dukun Bayi Terhadap Penurunan Angka Kematian Bayi Karena Tetanus Neonatorum. Surabaya. Manuaba, I.B.G. (1999). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
6.
7.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
8.
Nurhayati. (2008). Bermitra Dengan Dukun Bayi. Bersumber dari http://gash5wordpress.com/2008/11/18/bermitradengan-dukun-bayi/. (Diakses 10 Maret 2009).
9.
Syarifah. (2004). Pengetahuan dan Perilaku Dukun Bayi Tentang Kasus Resiko Tinggi dan Rujukan Puskesmas Setelah Mendapat Latihan dengan Metode Permainan Simulasi. Bersumber dari
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
33
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN DAN POLA MAKAN TERHADAP STATUS NUTRISI IBU HAMIL TRIMESTER II DAN III DI POLIKLINIK BKIA RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA. RELATIONSHIP BETWEEN KNOWLEDGE LEVEL AND EATING PATTERN AGAINST NUTRITIONAL STATUS OF PREGNANT WOMAN IN 2ND TRIMESTER AND 3RD TRIMESTER AT POLIKLINIK BKIA RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA. (1)
(1)
Marniyah Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan
ABSTRAK Status nutrisi ibu hamil merupakan suatu gambaran keadaan gizi yang dapat dipengaruhi oleh bebagai faktor. Salah satu faktor yang paling dominan adalah komposisi makanan yang dikonsumsi tiap harinya. Pemilihan komposisi makanan ini membutuhkan pengetahuan yang cukup. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh tingkat pengetahuan dan pola makan terhadap status nutrisi ibu hamil Trimester II dan III di Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya. Penelitian ini menggunakan desain analitik dengan metode cross sectional. Populasi dalam penelitian adalah ibu hamil Trimester II dan III yang memeriksakan diri ke Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya berjumlah 344 orang dengan jumlah sampel 34 orang. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling yang menggunakan metode pengambilan data melalui kuesioner dan check list kemudian digunakan uji statistik koefisien Rank Spearman dengan taraf kemaknaan α = 0,05 untuk mengetahui pengaruh antar variabel Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemaknaan α untuk tingkat pengetahuan dengan pola makan (0,772), pola makan dengan status nutrisi (0,361) serta tingkat pengetahuan dengan status nutrisi (0,285) pada responden di Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya. Sehingga dapat disimpulkan tidak ada pengaruh antara tingkat pengetahuan terhadap pola makan, tidak ada pengaruh pola makan terhadap nutrisi dan tidak ada pengaruh tingkat pengetahuan terhadap status nutrisi ibu hamil Trimester II dan III di Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya. Status nutrisi pada ibu hamil sangat penting untuk kesehatan ibu dan janin yang dikandung, oleh karenanya peningkatan pengetahuan, pola makan dan status nutrisi ibu hamil harus tetap diperhatikan. Kata kunci : Tingkat pengetahuan, pola makan, status nutrisi ABSTRACT Nutritional status of pregnant woman is the description of nutritional condition which can be influenced by some factors. One the main factor is good composition that consumed every day. Food selection needs well knowledge. The purpose of this study is to analyze relationship between knowledge level and eating pattern against nutritional status of pregnant woman in 2nd trimester and 3rd trimester at Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya. This study use analytic design with cross sectional method. Population of this study were pregnant woman in 2nd trimester and 3rd trimester who check at Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya that amount of 344 with size of samples were 34 person. Samples were taken by consecutive sampling, while data were taken by questioner and check list then statistically tested by Rank Spearman Correlation test with significance α = 0,05 to know influence among variables. Study result show that α for knowledge level with eating pattern (0,772), eating pattern with nutritional status (0,361) and knowledge level with nutritional status (0,285) at Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya. So can be concluded that there is no relationship between knowledge level and eating pattern against nutritional status of pregnant woman in 2nd trimester and 3rd trimester at Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya. Nutritional status on pregnant woman is very important for the health of mother and fetus as well. That’s why increasing knowledge level, eating pattern and nutritional status must be still give much attention. Key word : knowledge level, eating pattern, nutritional status
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
34
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
A. PENDAHULUAN Nutrisi diperlukan untuk mempertahankan fingsi tubuh. Selain untuk pertumbuhan, nutrisi juga bermanfaat sebagai bahan bakar sehingga menghasilkan energi untuk sel tubuh melakukan metabolisme. Oleh karena itu nutrisi masing-masing orang berbeda. Contohnya pada wanita hamil dengan wanita yang tidak hamil mempunyai kebutuhan nutrisi yang berbeda. Wanita hamil membutuhkan tambahan nutrisi karena adanya janin yang dikandung sehingga meningkatkan metabolisme tubuh. Nutrisi ibu hamil adalah makanan yang mengandung zat gizi seimbang, jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebihan(2). Wanita hamil harus benar-benar mendapatkan perhatian tentang susunan dietnya, terutama mengenai jumlah kalori, protein yang berguna untuk pertumbuhan janin dan kesehatan ibu hamil. Semua zat gizi tersebut dapat diperoleh dari makanan sehari-hari seperti buahbuahan dan sayur-sayuran karena nilai gizinya tinggi untuk kesehatan juga diperlukan pengobatan tambahan bila ada kekurangannya(3). Sebagai pengawasan ibu hamil tentang kecukupan gizi dan kebutuhan kandungannya dapat diukur dengan kenaikan berat badan. Kenaikan berat badan ratarata ibu hamil 10 – 14,5 kg dengan pola kenaikan antara 1 – 2 kg pada trimester I dan 0,3 – 0,4 kg perminggu pada trimester II dan III. Bila kenaikan berat badan ibu kurang dari 10 kg dikhawatirkan terjadi anemia, abortus, partus prematurus, inertia utery, perdarahan pasca persalinan, sepsis puerpuralis, dan gangguan pertumbuhan janin atau berat badan lahir kurang, sedangkan bila melebihi 15 kg mengakibatkan komplikasi seperti gemuk, preeclampsia, bayi besar(4). Masalah pokok yang berpengaruh terhadap nutrisi atau gizi, diantaranya banyak wanita berpendapat bahwa selama hamil makan dikurangi, karena mereka takut janin menjadi besar sehingga sulit melahirkan. Pendapat ini tidak mempunyai dasar, yang benar adalah ibu hamil memerlukan tambahan beberapa zat gizi untuk pertumbuhan janinnya agar sehat dan ini hanya bisa diperoleh dari makanan. Banyak juga ibu hamil yang berpantangan terhadap makanan tertentu karena budaya, padahal itu dapat memperburuk keadaan gizi(3). Pola makan yang kurang beragam seperti menu yang hanya terdiri dari nasi dan kacang-kacangan saja turut menunjang kurangnya asupan nutrisi bagi tubuh, karena pola makan yang beragam seperti pangan hewani yang cukup daging, ikan, ditambah dengan sumber-sumber vitamin dan mineral dapat memenuhi kebutuhan selama masa kehamilan(5). Angka Kematian Ibu (AKI) atau MMR (Maternal mortality Rate) adalah jumlah kematian maternal selama satu tahun dalam 100.000 kelahiran hidup. Indonesia tidak mempunyai vital statistic yang dapat digunakan untuk menghitung angka kematian ibu. Biasanya dilakukan estimasi berdasarkan survey yang ada seperti Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)dan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Dari analisis SDKI 1991, 1994 diperkirakan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup untuk periode tahun 1992 – 1997. Sebelum tahun 1997, pemerintah Indonesia menargetkan penurunan AKI ini dari 450 (1995) menjadi
225 (1999). Melihat variasi AKI di lima propinsi dari analisi SKRT 1995 yang menunjukkan AKI antara 1025 (irian), 766 (Maluku), 686 (Jawa barat), 554 (NTT), dan 248 (jawa tengah). Diasumsikan AKI masih bermasalah memasuki millennium ketiga ini(6). Pada tahun 2002 dalam Visi Indonesia Sehat 2010 telah ditetapkan 50 indikator kesehatan, untuk Angka Kematian Ibu (AKI) target yang hendak dicapai di tahun 2010 adalah 150 per 100.000 kelahiran hidup(7). Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia, seperti halnya di negara lain adalah perdarahan, abortus, infeksi, eklampsi dan persalinan macet. Selain itu keadaan ibu sejak pra hamil dapat berpengaruh terhadap kehamilannya. Penyebab tidak langsung kematian ibu ini antara lain adalah anemia, Kurang Energi Kronis (KEK) dan keadaan “4 terlalu” (terlalu muda/tua, sering dan banyak). Tahun 1995 kejadian anemia ibu hamil sekitar 51% dan kejadian resiko KEK pada ibu hamil (lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm) sekitar 30%(8). Pada tahun 2003 jumlah ibu hamil yang menderita anemia di Poli BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya tercatat sebanyak 165 orang. Jumlah ini menurun pada tahun 2004 menjadi 93 orang sedangkan pada tahun 2005 sampai dengan bulan agustus tercatat 58 orang ibu hamil yang menderita anemia. Hal ini menunjukkan bahwa anemia masih menjadi masalah bagi kebanyakan ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di Rumah Sakit Islam Surabaya. Pengetahuan tidak cukup untuk menghasilkan perilaku sehat. Wanita harus diyakinkan bahwa ia memiliki kontrol terhadap hidupnya dan kebiasaan hidup sehat, termasuk pemeriksaan kesehatan periodic, sebagai suatu investasi. Wanita harus yakin terhadap kemanjuran suatu pencegahan, deteksi dini dan terapi serta kemampuannya untuk melaksanakan praktik perawatan mandiri. Disinilah perawat dibutuhkan untuk menggali persepsi aktual setiap wanita tentang perilaku kesehatan dan pengajaran secara individual jika mengharapkan pengajaran yang efektif(9). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat pengetahuan dan pola makan terhadap status nutrisi ibu hamil. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan suatu hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu malalui panca indera manusia. Sebagian diperolah malalui indera mata dan indera telinga, jadi pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, namun demikian dalam kenyataannya seseorang dapat bertindak tanpa mengetahui terlebih dahulu maksudnya(10). Menurut Notoatmodjo (1997), pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan : 1) Tahu (know)
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
35
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebalumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu merupakan tingkat pengatahuan yang paling rendah. 2) Mamahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar obyek yang diketahuai dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar, oreang yang paham terhadap obyek atau materi harusdapat menjelaskan, menyimpulkan, contoh terhadap obyek yang telah diteliti. 3) Aplikasi (application) Aplikasi artinya kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. 4) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya antara yang satu dengan yang lain. 5) Sentetis (synthesis) Sintetis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk melatakkan atau menghubungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau menyusun formulasi-formulasi Yang ada. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi terhadap suatu materi atau obyek. Pengukuran pengatahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari materi subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau data yang diukur dapat kita sesuaikan dengan tingkattingkat tersebut diatas . Menurut Arikunto ( 1998 ), tingkat pengetahuan dibagi menjadi 4, yaitu : 1. hasilnya 76 – 100 % = Baik 2. hasilnya 56 – 75 % = cukup 3. hasilmya 40 – 55 % = kurang 4. hasilnya < 40 % = buruk Perhitungan prosentase diatas mengguanakan rumus : skor dalam menjawab kuisioner Nilai = X 100 % Skor yang diharapkan Dimana skor 1 diberikan jika jawaban benar dan skor 0 diberikan jika jawaban salah. 2. Konsep dasar kehamilan Hamil merupakan suatu proses perubahan dalam rangka melanjutkan keturunan yang terjadi secara alami, menghasilkan janin yang tumbuh dari dalam rahim ibu(11). Tanda dan gejala kehamilan Menurut Mochtar (1998) tanda dan gejala kehamilan adalah sebagai berikut : 1) Amenorea ( tidak dapat haid)
2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Mual dan muntah (nausea dan vomiting) Mengidam (ingin makanan khusus) Tidak tahan terhadap bau-bauan Pingsan Tidak ada selera makan Lelah (fatigue) Payudara membesar, tegang, dan sedikit nyeri, disebabkan pengaruh estrogen dan progesteron yang merangsang ductus dan alveoli payudara. Kelenjar Montogmery terlihat lebih membesar. 9) Miksi sering 10) Konstipasi atau obstipasi karena tonus otot-otot menurun oleh pengaruh hormon steroid. 11) Pigmentasi kulit oleh pengaruh hormon kortikosteroid plasenta, dijumpai di muka (cloasma gravidarum), aerola payudara, leher dan dinding perut (linea nigra). 12) Epulis : hipertropi dari papil gusi 13) Pemekaran vena-vena (varces) dapat terjadi pada kaki, betis dan vulva biasanya dijumpai pada triwulan akhir. Faktor yang mempengaruhi kehamilan : Kemiskinan, keadaan lingkungan yang buruk, pendidikan yang kurang, kebiasaan makan yang jelek dan penyakit kronis memberikan efek yang buruk terhadap ibu hamil. Keadaan ini akan menimbulkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBL) < 2,5 kg dan bahkan kematian bayi. Banyak faktor yang mempengaruhi BBLR akan tetapi keadaan nutrisi yang baik sebelum dan selama kehamilan diduga memberikan pengaruh yang paling besar(9)). 3. Konsep Dasar Status Nutrisi Menurut Tarwodjo dalam Beck (1993) status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang sebagai refleksi dari konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh. Sedangkan menurut Beck (1993) status gizi adalah status yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi. Manusia mendapat zat gizi yang diperlukan terutama melalui makanan sehari-hari. Bila zat gizi yang diperoleh kurang dari kebutuhan, maka tubuh akan mengadakan kompensasi dengan mengambil cadangan dari dalam tubuh. Bila mengalami kekurangan energi maka tubuh akan mengatasi dengan mengurangi lemak tubuh(12). 1) Kebutuhan Nutrisi Ibu Hamil Kebutuhan nutrisi ibu hamil berbeda dengan wanita biasa. Nutrisi selama kehamilan sangat menentukan baik tidaknya hasil kehamilan. Pada trimester I kebutuhan nutrisi masih relatif sedikit, hal ini karena konsepsi masih berupa embrio atau jaringan kecil, berbeda dengan trimester II dan III dimana hasil konsepsi membutuhkan sumber energi dan mineral yang cukup. Faktor yang mempengaruhi meningkatnya kebutuhan nutrisi selama kehamilan antara lain : (1) Unit uterus – plasenta – janin ;Plasenta adalah suatu jaringan yang berfungsi menyuplai nutrisi dari ibu ke janin memegang peranan penting dalam pemenuhan nutrisi janin. Plasenta yang kecil akan menyebabkan suplai nutrisi ke janin akan sedikit, hal ini akan menyebabkan bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). (2) Volume darah selama masa
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
36
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
kehamilan ; Selama masa kehamilan volume darah total meningkat sekitar 33 % dari volume normal. Plasma darah pada primigravida meningkat 50 % dari multigravida. Sel darah merah meningkat secara perlahan-lahan, hal tersebut terjadi karena kenaikan plasma yang cepat. (3) Perubahan payudara ; Kemungkinan terjadi peningkatan saluran menyusui dan jaringan alveolar – lobuler. (4) Kebutuhan basal metabolisme ; Kebutuhan basal metabolisme ibu hamil meningkat 20 % dari wanita biasa, ini diperlukan untuk pembentukan jaringan baru(9). Nutrisi ibu hamil adalah makanan yang dikonsumsi mengandung zat gizi yang seimbang, jumlahnya sesuai dengan kebutuuhan dan tidak berlebihan(2). Kebutuhan nutrisi ibu hamil ditentukan oleh kenaikan BB (Berat Badan) janin dan kecepatan janin mensintesa jaringan baru. Dengan demikian kebutuhan zatzat gizi akan maksimum pada minggu-minggu mendekati kelahiran. Zat gizi ini diperoleh dari simpanan ibu pada masa anabolik dan dari makanan ibu sehari-hari sewaktu hamil yang meliputi : (1) Hidrat arang / karbohidrat (2) Kebutuhan energi Kebutuhan pada waktu hamil adalah sama dengan wanita biasa pada kehamilan trimester pertama (2200 kkal) dan penambahan 300 kkal lebih banyak pada trimester II dan III. Penambahan termasuk zat-zat gizi lain seperti protein, lemak, vitamin dan mineral juga ikut terpenuhi baik untuk kebutuhan ibu maupun kebutuhan janin dalam kandungan (Lowdermilk, dkk, 1999). Penggunaan kalori tidak sama selama masa kehamilan, pada awal kehamilan trimester I kebutuhan energi sangat sedikit, namun pada akhir trimester terjadi peningkatan. Pada trimester II kalori dibutuhkan untuk penambahan darah, pertumbuhan uterus, pertumbuhan jaringan mamae dan pertumbuhan jaringan lemak. Selama trimester akhir kalori digunakan khusus untuk pertumbuhan janin dan plasenta. Kekurangan energi selama hamil dapat mengakibatkan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). (3) Protein / zat putih telur Kebutuhan protein meningkat selama hamil guna memenuhi asam amino untuk perkembangan janin, penembahan volume darah dan pertumbuhan mamae ibu serta jaringan uterus, plasenta pun memerlukan protein untuk membantu mengangkut makanan ke tubuh janin. Kebutuhan protein pada ibu hamil 60 gram lebih banyak dari yang tidak hamil. Kekurangan protein selama masa kehamilan dapat mengkibatkan bayi lahir dengan lingkar kepala yang kecil. 111 protein yang dibutuhkan oleh wanita hamil sebaiknya dari tumbuhan dan 213 nya berasal dari protein hewani karena mutunya lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati dan lebih mudah diserap oleh sel-sel tubuh(2). (4) Lemak
2)
3)
Sebagian besar dari 500 gram lemak tubuh janin ditimbun antara 35 – 40 kehamilan. Sampai pertengahan kehamilan hanya sekitar 0,5 % lemak dalam tubuh janin, setelah itu jumlah meningkat mencapai 78 % pada minggu ke-34 dan 16 % sebelum lahir. Pada bulan terakhir kehamilan sekitar 14 gram lemak perhari ditimbun. Transport asam lemak melalui plasenta sekitar 40 % dari lemak ibu, sisanya disintesa janin. (5) Vitamin dan mineral Contoh dari makanan yang mengandung vitamin adalah aneka buah-buahan, saat ini vitamin dapat diperoleh dalam bentuk tablet. Pada awal kehamilan pemberian vitamin A harus hati-hati, tidak boleh terlalu sedikit atau banyak. Hal tersebut untuk menghindari efek teratogen pada akhir kehamilan, intake vitamin A yang adekuat diperlukan untuk cadangan makanan pada bayi dan ASI (Air Susu Ibu). (6) Cairan Jumlah cairan yang diminum atau dimakan paling sedikit harus dapat menggantikan cairan yang hilang dalam sehari. Cairan yang diminum sebenarnya tidak dibatasi, tetapi pada orang dewasa dianjurkan mengkonsumsi 2 liter sehari. Keperluan ibu hamil tidak banyak berbeda dengan ibu-ibu yang tidak hamil, yaitu sesuai dengan kebutuhan, walaupun demikian dianjurkan untuk tidak boleh sampai kekurangan, dan toleransi terhadap peningkatan kebutuhan vitamin yang antara lain larut dalam air. Untuk wanita yang menyusui di anjurkan untuk minum 8 – 12 gelas dalam sehari. Manfaat Nutrisi (1) Manfaat nutrisi bagi tubuh : Sebagai sumber energi atau tenaga, memelihara jaringan dan mengganti yang rusak, mengatur metabolisme dan mengatur keseimbangan air dan mineral, berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit. (2) Manfaat nutrisi bagi ibu hamil :Pertumbuhan janin dan plasenta, pertumbuhan uterus dan buah dada, kenaikan metabolisme, pertahanan kesehatan ibu, sebagai cadangan makanan dalam masa laktasi, mempercepat proses penyembuhan luka persalinan dalam masa nifas(13). Dampak kekurangan nutrisi (1) Pada ibu : Lemah anoreksia, perdarahan, pre Eklampsia dan eklampsia, Infeksi dan sepsis puerpuralis (2)
Pada janin : abortus, lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi,
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
37
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
asfiksia intra partum, berat badan lahir rendah ( bblr), nilai apgar skor (as) kurang dari normal (<10). (3)
Pada persalinan : persalinan sulit dan lama, persalinan belum waktunya (prematur), perdarahan pasca persalinan, persalinan dengan operasi cenderung meningkat(2).
4. Penentuan Status Nutrisi Penentuan status gizi adalah perbandingan keadaan gizi menurut pengukuran terhadap standart yang sesuai dari individu atau kelompok tertentu(14). Menurut Supriasa dkk (2001) metode status gizi dibagi menjadi 2 yaitu : 1) Pengukuran langsung Pengukuran status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu : antropometri, klinis, biokimia dan fisik. 2) Pengukuran tidak langsung Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu : survey konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. 5. Penentuan Status Gizi Dengan Antropometri Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi. Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari bagian tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak dibawah kulit(14). Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. 6. Pengukuran Status Nutrisi Pada Ibu Hamil Status nutrisi pada ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan. Apabila status gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan dan selama kehamilan akan menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR). Disamping itu, akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru lahir, bayi baru lahir mudah terinfeksi, abortus dan sebagainya(14). Jenis pengukuran yang dipakai untuk menentukan status nutrisi ibu hamil adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dirumuskan : Keterangan : BB IMT = IMT : Indeks Massa Tubuh BB : Berat badan (TB)2 (kg) TB : Tinggi badab (m) Dari hasil pengukuran dapat dikategorikan menjadi buruk jika kurang dari 19,8, kurang jika berada pada 19,8 – 26, normal jika berada pada 26 – 29 dan lebih jika lebih dari 29. 7. Pola Makan Ibu Hamil
Pola makan ibu hamil adalah suatu gambaran mengenai macam-macam model bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan menjadi ciri khas kelompok tertentu(15). Adapun indikator pola makan pada ibu hamil terdiri dari : 1) Jenis makanan Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang dimakan. Dicerna dan diserap yang akan menghasilkan paling sedikit 1 (satu) jenis zat gizi atau nutrient. 2) Makanan pantangan Makanan pantangan adalah makanan yang karena suatu kepercayaan atau keyakinan dilarang atau dihindari sementara waktu atau untuk selamanya. 3) Frekwensi makan Frekwensi makan adalah jumlah makan dalam sehari baik secara kualitatif maupun kuantitatif. 4) Kebiasaan makan Kebiasaan makan adalah suatu gambaran kebiasaan makan ibu hamil yang meliputi jenis dan frekwensi makan. Makanan bagi ibu hamil yang perlu diperhatikan adalah cara mengatur menu yang seimbang dan kualitas maupun kuantitas. Makanan itu tidak ditentukan oleh harga mahal atau murah tetapi ditentukan oleh zat gizi yang terkandung dalam makanan tersebut. Oleh karena itu makanan hendaknya beraneka ragam berganti-ganti dan tidak makan dengan menu yang sama karena kekurangan salah satu jenis zat gizi dari menu hari ini dapat diimbangi dengan menu berikutnya juga jenis pengolahan makanannya harus diperhatikan karena dapat mengurangi nilai makanan(16). Beberapa hal yang mempengaruhi pola makan antara lain : 1) Kultur Perbedaan etnik seringkali mempunyai perbedaan makanan pokok. Hal inilah yang menyebabkan antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain memiliki jenis makanan yang berbeda. 2) Agama Perbedaan agama juga memberikan efek terhadap konsumsi makan. Tiap-tiap agama biasanya memiliki pantangan tersendiri terhadap makanan. 3) Status ekonomi Jumlah, frekwensi dan variasi makan seseorang ditentukan oleh status ekonominya, dimana seseorang dengan status ekonomi rendah tidak akan mempedulikan komposisi bahan makanan yang dikonsumsinya. 4) Golongan (peer) Golongan atau grup yang biasa terdiri dari kesamaan umur, jenis kelamin, pekerjaan juga mempengaruhi pemilihan makanan. 5) Kesukaan Seseorang suka atau tidak pasti memiliki kekhususan terhadap kebiasaan makan.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
38
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
6)
Gaya hidup Pemilihan makanan pada orang yang memiliki gaya hidup selalu dipengaruhi oleh lingkungannya. Seseorang yang selalu sibuk akan lebih senang makan di restoran. Hal ini tentunya berbeda dengan orang yang memiliki banyak waktu luang dirumah yang akan menyiapkan menunya sendiri. 7) Kepercayaan akan efek makanan terhadap kesehatan Kepercayaan akan efek makanan terhadap kesehatan cenderung akan membuat seseorang memilih makanan yang akan dikonsumsi. 8) Iklan Pengusaha makanan akan selalu berusaha menarik perhatian konsumen untuk mencoba hasil produksinya. Hal ini tentunya akan berdampak pada keinginan konsumen untuk mencoba barang yang diiklankan. 9) Faktor psikologi Anoreksia dan penurunan berat badan dapat menunjukkan seseorang mengalami stres yang berkepanjangan walaupun sebagian orang akan makan lebih banyak ketika sedang stres, akan tetapi beberapa yang lain justru lebih sedikit. 10) Status kesehatan Status kesehatan seseorang sangat berpengaruh besar terhadap status nutrisinya, banyak penyakit dapat menurunkan jumlah makanan yang dikonsumsi tiap harinya. 11) Alkohol dan obat obatan Pemakaian alkohol yang berlebihan akan menurunkan keadaan nutrisi seseorang. Konsumsi alkohol yang lama dapat menurunkan kadar protein, thiamin, asam folat niacid dan vitamin B6, obatobatan juga berpengaruh besar terhadap keadaan nutrisi. Pemakaian obat-obatan akan dapat merusak penginderaan rasa dan juga memepengaruhi penyerapan dan pengeluaran makanan(17). 8. Pedoman antisipasi untuk mencegah dan meningkatkan kesehatan. Salah satu peran perawat adalah educator dan konselor. Menurut Lowermick,dkk (2004) konseling yang harus diberikan perawat selama masa kehamilan antara lain: 1) Nutrisi Menurut healthy people 2000 (1990), diet buruk terkait dengan 5 dari 10 penyebab utama kematian di Amerika Serikat: penyakit jantung koroner, jenis kanker tertentu, stroke, diabetes mellitus dan bunuh diri karena asupan alkohol yang berlebihan. Asupan makanan tinggi lemak dan rendah serat serta kalsium yang tidak adekuat perlu mendapatkan perhatian khusus pada wanita begitu pula dengan gangguan makan sehingga kelaparan dan status nutrisi marginal merupakan masalah nutrisi yang sangat penting.merupakan masalah nutrisi yang sangat penting. Healthy people 2000 (1999), menganjurkan supaya asupan lemak dikurangi rata-rata 30% atau kurang dari total asupan kalori, dengan rata-rata asupan lemak jenuh diturunkan samapi kurang dari 20 % kalori. Perawat harus memberikan informasi tentang resiko yang berhubungan dengan asupan tinggi lemak serta meningkatkan asupan serat.
2)
3)
4)
5)
6)
Latihan fisik Salah satu tujuan Healthy people 2000 (1999) adalah meningkatkan jumlah petugas kesehatan primer yang secara rutin mengkaji dan menganjurkan pasien tentang praktek kegiatan fisik. Perawat dihargai sebagai pemberi perawatan yang dapat mempengaruhi pasien menjadi lebih aktif dan mengembangkan suatu program latihan yang disesuaikan dengan usia, kebugaran pribadi dan tujuan. Latihan kegel Latihan kegel merupakan latihan dasar panggul untuk memperkuat otot-otot pelvis vagina agar dapat mengontrol inkontinensia stres, penguatan otot koksigeus dan meningkatkan respon seksual yang dikembangkan oleh dr. Kegel. Dalam hal ini perawat harus memberikan pembelajaran dan dapat dikatakan pengajarannya berhasil dengan efektif jika ibu hamil melaporkan perbaikan tonus otot untuk mengontrol aliran kemih dan sewaktu berhubungan seksual. Penatalaksanaan stres Pengaruh harapan yang tinggi, gaya hidup baru, perubahan peran, norma, gender, serta sumbersumber stres lainnya memberikan efek yang merusak kesehatan mental wanita dan perilaku terkait kesehatan. Wanita memiliki kemungkinan menderita depresi dua atau tiga kali lebih besar daripada pria dan masalah ini biasanya tidak terdiagnosis. Para perawat perlu mewaspadai gejala gangguan mental yang serius, seperti depresi dan ansietas, dan jika perlu merujuk klien ke praktisi kesehatan mental. Penggunaan zat Penggunaan tembakau dapat menimbulkan lebih banyak penyakit yang tidak dapat dicegah dan kematian di Amerika daripada faktor lain yang pernah diketahui. Seseorang yang merokok lebih dari dua bungkus perhari memiliki kemungkinan meninggal akibat kanker paru 15 – 25 kali lebih besar daripada orang yang tidak merokok. Wanita yang merokok dan menggunakan kontrasepsi oral memiliki resiko tinggi untuk terkena serangan jantung dan stroke. Karena belum ada obat yang dapat efektif untuk kanker, maka pencegahan adalah kuncinya. Perawat harus menanamkan penggunaan strategi untuk meningkatkan rasa percaya diri dan keterampilan koping yang baru supaya dapat menolak penggunaan rokok dan alkohol. Isu seksualitas Seksualitas merupakan pusat identitas seseorang dan pengkajian fungsi seksual dan pembahasan masalah seksual meupakan bagian utuh dari perawatan kesehatan yang holistik. Banyak wanita perlu mendapat informasi tentang masalah seksual dan seorang perawat yang sensitif dapat mendapat memberikan informasi dan memperbaiki mitos dan kesalahpahaman sedemikian rupa sehingga wanita tersebut memahami pentingnya masalah ini.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
39
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
C. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan desain penelitian analitik dengan rancangan studi cross sectional yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan melakukan pengukuran hanya satu kali saja pada satu saat(18). Populasi yang diambil dalam penelitian ini yaitu semua ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di Poliklinik BKIA Rumah Sakit Islam Surabaya yaitu sejumlah 4130 orang selama tahun 2004 yang rata-rata perbulannya 344 orang. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 120,4 orang atau dibulatkan menjadi 120 orang yang diambil secara non probability sampling dengan tehnik purposive sampling(18). Selanjutnya dilakukan tabulasi dan analisis data secara kuantitatif dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan ketentuan ά = 0,05. Variabel dalam penelitian ini adalah, variabel independen (tingkat pengetahuan tentang nutrisi ibu hamil trimester II dan III ), variabel moderator (pola makan ibu hamil trimester II dan III, variabel dependen (status nutrisi ibu hamil trimester II dan III). D. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum Responden Tabel 1. Karakteristik Ibu Hamil Variabel n (%) Umur 20 – 23 6 17,6% 24 – 27 8 23,5% 28 – 31 9 26,5% 32 – 35 11 32,4% Usia Kehamilan Trimester II 11 32,4% Trimester III 23 67,6% Tingkat 0 0,0% Pendidikan SD 7 20,6 % SLTP 13 38,2 % SLTA 14 41,2% PT/ Akademi Sumber : Data primer 2005 Dari tabel 1 menunjukkan bahwa responden yang berusia 20 – 23 tahun sebanyak 6 (17,6%) responden, berusia 24 – 27 tahun sebanyak 8 (23,5%) responden, berusia 28 – 31 tahun sebanyak 9 (26,5%) responden, dan berusia 32 – Dari tabel 1 menunjukkan bahwa responden yang usia kehamilannya trimester II sebanyak 11 (32,4 %) responden dan yang usia kehamilannya trimester III sebanyak 23 (67,6 %) responden. Dari tabel 1 menunjukkan bahwa responden dengan pendidikan SD sebanyak 0 (0%) responden, responden dengan pendidikan SLTP sebanyak 7 (20,6%) responden, responden dengan pendidikan SLTA sebanyak 13 (38,2 %) responden dan responden dengan pendidikan perguruan tinggi atau Akademik sebanyak 14 (41,2%) responden.
2. Data Khusus Responden 1) Pengetahuan Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan Tingkat Pengetahuan Frekwensi Prosentase Baik 13 38,2 % Cukup
15
44,1 %
Kurang
4
11,8 %
Buruk
2
5,9 %
Jumlah 34 100,0% Sumber : Data Primer 2005 Dari tabel 2 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai tingkat pengetahuan baik sebanyak 13 (38,2%) responden, yang mempunyai pengetahuan cukup sebanyak 15 (44,1%) responden, yang mempunyai pengetahuan kurang 4 (11,8%) responden dan yang memepunytai poengetahuan buruk 2 (5,9%) 2) Pola Makan Tabel 4.5 Distribusi responden berdasarkan pola makan Pola Makan Frekwensi Prosentase Baik
5
14,7 %
Cukup
6
17,6 %
Kurang
21
61,8 %
Buruk
2
5,9 %
34
100,0 %
Jumlah
Sumber : Data Primer 2005 Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai pola makan baik sebanyak 5 (14,7%) responden, yang mempunyai pola makan cukup sebanyak 6 (17,6 %) responden, yang mempunyai pola makan kurang sebanyak 21 (61,8%) responden dan yang mempunyai pola makan buruk sebanyak 2 (5,9%) responden. 3) Status Nutrisi Tabel 4.6 Distribusi responden berdasarkan status nutrisi Status Nutrisi Frekuensi Prosentase Lebih 5 14,7% Normal 5 14,7% Kurang 12 61,8% Buruk 3 8,8% Jumlah 34 100,0% Sumber : Data Primer 2005 Dari tabel diatas menunjukkan bahwa dari 34 responden terdapat 5 (14,7%) responden memiliki status nutrisi baik, 5 (14,7%) responden memiliki status nutrisi normal, 21 (61,8%) responden memiliki status nutrisi kurang dan 3 (8,8%) responden memiliki status nutrisi buruk.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
40
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
3. Pengaruh Tingkat Pengetahuan dan Pola Makan Ibu Hamil Terhadap Status Nutrisi 1) Pengaruh Tingkat Pengetahuan Terhadap Pola Makan Tabel 4.7 Tabulasi silang antara tingkat pengetahuan dengan pola makan Tkt Pengetahu an
Pola Makan Baik
Cukup
Kurang
Baik
2(5,9% )
2(5,9%)
8(23,5%)
Cukup
2(5,9% )
3(8,8%)
9(26,5%)
Kurang
1(2,9% )
Buruk Jumlah
5(14,7%)
Buru k 1(2,9 %) 1(2,9 %)
3(8,8%) 1(2,9%)
1(2,9%)
6(17,6% )
21(61,8% )
2(5,9 %)
Jumlah 13(38,2 %) 15(44,1 %) 4(11,8% ) 2(5,9%) 34(100 %)
Sumber : Data primer 2005 Dari tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa dari 34 responden terdapat 13 (38,2%) responden dengan tingkat penbgetahuan baik yang dirinya terdapat 2(5,9%) responden memiliki pola makan baik, 2(5,9%) responden memiliki pola makan Cukup,8(23,5%) responden memiliki pola makan kurang dan 1(2,9%) memiliki pola makan beruk. Dari 15 (44,1%) responden dengan tingkat pengetahuan cukup, 2(59%) responden memiliki pola makan baik, 3 (8,8%) responden memiliki pola makan cukup, 9 (26,5%) responden memiliki pola makan kurang dan 1 1 (2,9%) responden memiliki pola makan buruk. Dari 4 (11,8%) responden dengan tingkat pengetahuan kurang, 1 (2,9%) memiliki pola makan baik dan 3 (8,8%) responden memiliki pola makan kurang. Dari 2 (5,9%) responden dengan tingkat pengetahuan buruk, 1(2,9%) responden memiliki pola makan cukup dan 1 (2,9%) responden memiliki pola makan kurang. 2) Pengaruh Pola Makan Terhadap Status Nutrisi Tabel 4.8 Tabulasi silang antara pola makan dengan status nutrisi Status Nutrisi Pola Jumlah Makan Lebih Normal Kurang Buruk Baik
1 (2,9%)
Cukup
1 (2,9%)
Kurang
3 (8,8%)
Buruk
4 (11,8%)
5 (14,7%)
2 (5,9%)
3 (8,8%)
6 (17,6%)
3 (8,8%)
12 (35,3%) 2 (5,9%)
3 (8,8%)
21 (61,8%)
memiliki status nutrisi kurang. Dari 6 (17, 6%) responden dengan pola makan cukup, 1 (2,9%) responden memiliki status nutrisi lebih, 2 (5,9%) responden memiliki status nutrisi normal dan 3 (8,8%) responden memiliki status nutrisi kurang. Dari 21 (35,3%) responden dengan pola makan kurang terdapat 3 (8,8%) responden memiliki status nutrisi lebih dan 3 (8,8%) responden memiliki status nutrisi normal. 12 (35,3%) memiliki status nutrisi kurang dan 3 (8,8%) responden memiliki status nutrisi buruk. Serta dari 2 (5,9%) responden dengan pola makan buruk kesemuanya memiliki status nutrisi kurang. 3)
Pengaruh Tingkat Pengetahuan Terhadap Status Nutrisi Tabel 4.9 Tabulasi silang antara tingkat pengetahuan dengan status nutrisi Tingkat Status Nutrisi Pengetah Lebih Normal Kurang Buruk uan 3 6 1 Baik 3 (8,8%) (8,8%) (17,6%) (2,9%) 1 12 1 Cukup 1 (2,9%) (2,9%) (35,3%) (2,9%) 1 1 Kurang 2 (5,9%) (2,9%) (2,9%) Buruk 1 (2,9%) 1 (2,9%) 5 3 5 21 Jumlah (14,7% (8,8% (14,7%) (61,8%) ) ) Sumber : Data Primer 2005 Dari tabel 4.9 diatas menunjukkan bahwa dari 34 responden terdapat 13 (38,2%) responden dengan tingkat pengetahuan baik yang darinya terdapat 3 (8,8%) responden memiliki status nutrisi lebih, 3 (8,8%) responden memiliki status nutrisi normal, 6 (17,6%) responden memilliki status nutrisi kurang dan 1 (2,9%) responden memilikistatus nutrisi buruk. Dari 15 (44,1%) responden dengan tingkat pengetahuan cukup, 1 (2,9%) responden memiliki status nutrisi lebih, 1 (2,9%) responden memiliki status nutrisi normal, 12 (35,3%) responden memiliki status nutrisi kurang dan 1 (2,9%) responden memiliki status nutrisi buruk. Dari 4 (11,8%) responden dengan tingkat pengetahuan kurang terdapat 1 (2,9%) responden memilki status nutrisi lebih, 2 (5,9%) responden memilki status nutrisi kurang dan 1 (2,9%) responden memiliki status nutrisi buruk. Serta 2 (2,9%) responden dengan pola makan buruk, 1 (2,9%) memiliki status nutrisi normal dan 1 (2,9%) memiliki status nutrisi kurang.
2 (5,9%)
E. PEMBAHASAN 1. Tingkat Pengetahuan Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa responden 5 5 21 3 34 Jumlah yang mempunyai tingkat pengetahuan baik sebanyak (14,7%) (14,7%) (61,8%) (8,8%) (100%) 13 (38,2%) responden, yang mempunyai pengetahuan Sumber : Data Primer 2005 cukup sebanyak 15 (44,1%) responden, yang Dari tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa dari 34 mempunyai pengetahuan 4 (11,8%) responden dan responden terdapat 5 (14,7%) responden dengan pola yang mempunyai pengetahuan buruk 2 (5,9%) makan baik yang darinya terdapat 1 (2,9%) responden responden. Dari data tersebut didapatkan rata-rata memiliki status nutrisi lebih, dan 4 (11,8%) responden pencapaian skor responden adalah 3,14 yang JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
41
Jumlah 13 (38,2%) 15 (44,1%) 4 (11,8%) 2 (5,9%) 34 (100%)
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan responden berada pada rentang cukup. Hal ini dimungkinkan oleh berkembang pesatnya media informasi di masyarakat sehingga para ibu hamil dapat mengakses berbagai informasi yang berkaitan dengan kehamilan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Notoatmodjo (1997), yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan suatu hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu melalui panca indera. Sebagian diperoleh malalui indera mata dan indera telinga. Disamping itu respon rata-rata meliliki pendidikan yang cukup sebagaimana dalam tabel 4.3 yang menunjukkan bahwa dari 34 responden 13(38,2%) diantaranya berpendidikan SMU dan 14 (41,2%) responden berpendidikan Akademik atau Perguruan Tinggi. 2.
Pola Makan Pola makan ibu hamil ini dapat dilihat dari jumlah kalori yang dikonsumsi tiap hari selama hamil. Pada usia kehamilan trimester II dan III jumlah kalori yang harus dikonsumsi oleh ibu hamil sekitar 2500 kkal perhari. Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai pola makan baik sebanyak 5 (14,7%) responden, yang mempunyai pola makan cukup sebanyak 6 (17,6%) responden, yang mempunyai pola makan kurang sebanyak 21 (61,8%) responden dan yang mempunyai pola makan buruk sebanyak 2 (5,9%) responden. Hal ini menggambarkan bahwa pola makan responden masih kurang yang dibuktikan dengan rata-rata pencapaian skor 2,4. padahal kebutuhan gizi pada masa kehamilan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan terutama setelah memasuki kehamilan trimester II. Sebab pada saaat itu pertumbuhan janian berlangsung sangat cepat. Pada dua bulan terakhir kehamilan, otak bayi berkembang sangat cepat. Pada periode ini gizi diperlukan bagi perkembangan otak dan jaringan syaraf sang bayi. Ini menunjukkan pentingnya pemenuhan nutrisi ibu hamil pada masa kehamilan. Hal yang sama diungkapkan oleh Curtis Glade (2000). Yang menyatakan bahwa makanan dengan pola yang baik mengurangi berbagai macam resiko komplikasi dan membatasi beberapa efek samping penyakit pada kehamilan. Status Nutrisi Dari tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 34 responden terdapat 5 (14,7%) responden memiliki status nutrisi lebih, 5 (14,7%) responden memiliki status nutrisi normal, 21 (61,8%) responden memiliki status nutrisi kurang dan 3 (8,8%) responden memiliki status nutrisi buruk. Ini menunjukkan bahwa rata-rata ibu hamil memeiliki status nutrisi kurang sebagaimana rata-rata pencapaian skor stratus nutrisi 2,3. Kenyataan seperti ini membutuhkan penanganan yang serius karena kekurangan gizi pada ibu hamil menyebabkan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah besar kemungkinan mengalami retardasi mental (Syahrah Obos, 1997). Lain halnya dengan ibu hamil yang selama hamil status nutrisinya selalu baik, ibu hamil seperti ini akan
terhindar dari komplikasi dan akan melahirkan bayi yang sangat sehat tanpa kelainan(19). Hal yang sama diungkapkan oleh Sukmaniah (2003) yang menyatakan bahwa Gizi yang baik pada saat kehamilan akan menunjang fungsi optimal alatalat reproduksi. Selain itu gizi yang baik diperlukan untuk memepersiapkan cadangan energi bagi tubuh kembang janin dalam kandungan serta untuk mempertahankan status nutrisi sang ibu. Dari berbagai pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa status nutrisi yang baik perlu diperhatikan agar diperolah generasi baru yang berkualitas. 4.
Pengaruh tingkat pengetahuan terhadap pola makan ibu hamil Dari tabulasi silang pada tabel 4.7 setelah dilakukan uji statistik Rank Sperman dengan bantuan program aplikasi komputer SPSS dengan taraf kemaknaan 0,05 didapatkan sign 2 tailed 0,772. ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh tingkat pengetahuan terhadap pola makan ibu hamil trimester II dan III. Hal ini bisa dimungkinkan karena pola makan tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pengatahuan. Banyak faktor yang memepengaruhi pola makan diantaranya agama, kepercayaan, budaya kesukaan, gaya hidup dan status sosial ekonomi(20). Hal lain yang tidak bisa dipungkiri adalah keadaan ekonomi seseorang, keadaan ekonomi yang terbatas atau kurang. Orang yang memiliki tingkat ekonomi rendah seringkali tidak mampu membeli makanan yang mengandung cukup nutrisi(17). Pada kehamilan seorang ibu akan mengalami morning sickness atau mual muntah di waktu pagi, gangguan ini biasanya hilang pada awal trimester II akan tetapi sekitar 20% nya akan mengalami terus sampai akhir masa kehamilan. Keadaan seperti ini akan mengurangi asupan makanan pada ibu hamil sehingga mempengaruhi pola makannya(9). Oleh karenanya pengetahuan bukanlah satusatunya faktor yang mempengaruhi pola makan pada ibu hamil karena seseorang yang memiliki pengetahuan baik belum tentu bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
3.
5.
Pengaruh Pola Makan Terhadap Status Nutrisi Pola makan adalah berbagai upaya yang memberikan gambaran mengenai macam-macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas kelompok tertentu(15). Dari hasil uji statistik korelasi Rank Spearman setelah dilakukan tabulasi silang antara pola makan dengan status nutrisi sebagaimana tabel 4.8 didapatkan sign 2 tiled = 0.361 ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pola makan terhadap status nutrisi ibu hamil karena diketahui taraf kemaknaan untuk uji statistik korelasi rank Spearman α = 0,005. Hal ini sangatlah bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Rusilanti (2005) yang
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
42
Vol. 1 NO. 2, Desember 2009
menyatakan bahwa kebutuhan kalori pada ibu hamil bertambah 258 gr dari keadaan normal. Energi ini digunakan untuk mengubah energi makanan menjadi energi dalam metabolisme. Rata-rata kebutuhan protein bertambah 8,5 gr perhari pada saat puncak kehamilan. Hal ini untuk menutupi perkiraan 925 gr protein yang dideposit dalam janin, plasenta dan jaringan maternal. Dianjurkan untuk mengkonsumsi protein sebanyak 85 – 100 gr/hari pada 5 bulan pertama kehamilan. Selanjutnya dapat mengonsumsi protein pada tingkat normal. Konsumsi protein selama sembilan belas minggu pertama kehamilan dapat mendukung pertumbuhan sel otak bayi sehingga semakin baik zat makanan yang dikonsumsi oleh ibu hamil maka pertumbuhan janin akan semakin baik. Hal serupa dikemukakan oleh Khamid Wijaya (2004) yang menyatakan bahwa pemenuhan gizi selama masa kehamilan sangatlah penting karena pada janin terjadi pertumbuhan otak secara proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi pembelahan sel yang sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang, asupan gizi pada janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun, terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lipid dan enzim. Fungsi neurotransmitternya pun menjadi tidak normal. Kenyataan ini sangat berbeda dengan hasil yang telah didapatkan yang menunjukkan bahwa tidak selamanya seseorang dengan pola makan yang baik memiliki status nutrisi baik dan juga sebaliknya pola makan yang buruk menyebabkan status gizi buruk. Hal ini dimungkinkan karena adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi status nutrisi seseorang disamping pola makan.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Jumiarni. 1995. Asuhan Keperawatan Perinatal, EGC. Jakarta.
2.
Depkes RI. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010. Jakarta.
3.
Saifuddin. 2001. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, YBP-SP. Jakarta.
4.
Lowdermilk, et al 1999. Maternity Nursing, Mosby – year book. New york.
5.
Notoatmodjo, S. 1997. Perilaku dan Pendidikan Kesehatan, Andi Offset. Jakarta.
6.
Beck, ME. 1993. Ilmu Gizi dan Diet, Yayasan Essentia Medika. Jakarta.
7.
Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri, EGC. Jakarta.
8.
Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi, EGC. Jakarta.
9.
Mary, Courtney More. 1999. Terapi Diet dan Nutrisi, EGC. Jakarta.
10. Bahar, Azrul. 2001. Makanan dan Gizi, UNESA University Press. Jakarta. 11. Kozier. 1991. Fundamental of Nursing, Addison-
6.
Pengaruh tingkat pengetahuan terhadap status nutrisi Dari hasil uji statistik kolerasi Rank Spearman setelah dilakukan tabulasi silang antara tingkat pengatahuan dengan status nutrisi sebagaimana tabel 4.9 didapatkan sign 2 tiled = 0,285. ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pola makan terhadap status nutrisi ibu hamil karena diketahui taraf kemaknaan untuk uji statistik kolerasi Rank Spearman α =0,05. Hal ini dimungkinkan karena pengatahuan yang baik tidaklah cukup memepengaruhi status nutrisi seseorang. Semakin berkembang pesatnya media informasi memungkinkan seseorang dapat mengakses pengatahuan dengan berbagai cara, bukan tidak mungkin seseorang yang memiliki status nutrisi buruk bisa memiliki penmgatahuan yang baik karena mendapat informasi yang memadai. Hal lain yang bisa berpengaruh adalah status nutrisi ibu hamil sebelum masa kehamilan. Peningkatan status gizi yang terprogram pada masa kehamilan lebih dapat menunjukkan aplikasi dari pengatahuan seseorang setelah mendapatkan informasi karena yang terpenting adalah pola kenaikan berat badan selama masa kehamilan dan bukan total kenaikan berat badan(21). Kenyataan ini membuktikan bahwa status nutrisi responden tidak bisa dilihat hanya dalam satu kali pengukuran karena tidak bisa menggambarkan keadaan gizi sebelum masa kehamilan dan pola kenaikan berat badan ibu hamil.
weshley publishing Company. California. 12. Nursalam. Metodologi
2003.
Konsep
Penelitian
dan
Ilmu
Penerapan
Keperawatan,
Salemba. Jakarta. 13. Krisnatuti, D. 2000. Menu Sehat Untuk Ibu Hamil dan Menyusui, Ayah Bunda. Jakarta. 14. Nurrachmah,
Elly.
2001.
Nutrisi
Dalam
Keperawatan, CV INFOMEDIKA. Jakarta.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
43