FAKTA : Bagian-bagian tertentu dalam otak manusia lebih aktif selama keadaan tidur dibandingkan saat terjaga.
Semua orang yang ada di halte Bus Way itu terdiam. Wajah-wajah syok menyaksikan kejadian yang terjadi begitu cepat itu. Supir Bus langsung keluar dari pintu kemudi, menghampiri seseorang yang baru saja ditabraknya. Ia tak percaya apa yang dipikirkan wanita itu saat Bus besar bertenaga gas ini memasuki halte. Apa ia mau bunuh diri? tanyanya dalam hati. Seingatnya, ia tidak salah. Bus memasuki halte dan tiba-tiba wanita ini melompat begitu saja dari gerbang. Ia menghampiri tubuh wanita langsing berambut panjang yang terlentang lunglai di aspal itu, “Kau tidak apa-apa?” Tentu saja tidak ada kata-kata yang keluar dari wanita malang itu. Darah mengucur dari dahi wanita itu. Isi tas berserakan di aspal begitu pula pecahan kaca. Supir itu melihat ke Bus yang ia bawa, “Astaga,” Supir itu mendapati kaca depan Bus-nya pecah di bagian kanan atas. Supir itu tidak bisa membayangkan betapa kerasnya hantaman serta dampaknya terhadap wanita ini. “Hei tolong! Ya ampun...jangan cuma bisa melihat!” seru Sang Supir. Semua orang yang ada di sana hanya menonton. Entah karena syok atau mereka terlalu ngeri melihat darah. Supir Bus itu tak mau menunggu lebih lama.
2
Ia mengangkat wanita muda itu, membopongnya. Seragam putihnya mulai kotor karena darah. “J...ja...jam...,” kata wanita itu dengan merintih. Supir itu langsung terperangah mendengarnya. Ternyata wanita itu masih sadar, “Apa?” “J...jam...” “Jam?” Supir itu heran kenapa wanita ini menanyakan jam. “Jamku di...di mana...?” Supir itu menoleh ke kanan dan ke kiri lalu ia menemukan serpihan jam tangan berwarna emas tergeletak di aspal, “Jam milikmu sudah hancur. Kau harus dibawa ke rumah sakit. Tidak perlu jam!” “Tolonglah...” Supir itu tidak peduli. Entah apa maksud perkataan wanita ini. Yang jelas ia harus membawa wanita ini tepat pada waktunya sebelum wanita ini kehilangan nyawa.
3
“Harganya dua puluh lima ribu,” kata si penjual dengan nada ragu. Heri Heriawan tahu harga kacamata itu jauh lebih murah di tempat lain, “Tidak bisa kurang?” “Berapa?” “Sepuluh?” Penjual itu menggelengkan kepala, tidak menampakkan senyum sama sekali. “Dua belas?” Penjual itu tetap menggelengkan kepala. “Lima belas?” “Pergilah.” Heri melangkah pergi. Ia tidak merasa usiran maupun ucapan tak ramah itu membuatnya tersinggung. Perekonomian memang sedang payah. Walaupun begitu, ia masih bisa mendapatkan kacamata yang sama di tempat lain dengan harga sembilan ribu. Lagipula ia tidak perlu kacamata, dua bola matanya jauh lebih indah tanpa hiasan. Heri melanjutkan jalannya, ia melangkah santai di sepanjang emperan toko. Di sepanjang emperan itu, banyak Pedagang Kaki Lima menjajakan apapun. Mainan, pakaian, hingga handphone black market. Perhatian Heri teralih, ia tertarik ke sebuah jam tangan yang dipajang. Ia mendekati etalase si Penjual. Tahu bahwa Heri memperhatikan dagangannya, sang Penjual pun kemudian antusias
4
menawarkan jualannya, bersiap menawarkan harga yang miring, “Silakan, jam merek Eropa ada Mas.” “Benar-benar Eropa?” “Tidak juga.” Heri dan Penjual Jam tertawa. Tentu saja tidak ada Eropa di Kaki Lima. Yang ada mungkin Cikarang atau Padalarang. Heri tertarik ke sebuah jam tangan analog warna hitam merek Diesel ber-frame persegi. Jam bertali karet itu seolah meminta Heri untuk menyentuhnya. Ia tak segera mengambilnya, ia justru langsung ingat dengan jam tangan miliknya, sama persis dengan jam merek Diesel itu. Sama persis! Heri menilik jam miliknya yang ia ikat di lengan kiri kurusnya. Memang jam miliknya sama persis dengan yang dijual. Namun, yang lebih penting baginya adalah jarum jam dan perputarannya. Ia memperhatikan dengan teliti. Semuanya normal, tidak ada yang aneh saat ia melihat jamnya pertama kali. Mudah-mudahan. Heri melakukan suatu Tes Realitas yang sudah sangat sering ia lakukan. Untuk memastikan apakah ia sedang bermimpi atau tidak. Akan tetapi ia ragu sekali, ia tak mau mengecek untuk kedua kalinya. Ia menunda tes itu. Ia masih berharap ia tidak bermimpi saat ini. Tidak lagi. Penjual Jam itu menunggunya. Ia pun bicara lagi dengan si Penjual Jam, “Kau punya jam yang klasik, yang kuno?” 5
“Aku punya, mau merek apa?” Tidak ada yang aneh dari ucapan Penjual itu, tetapi Heri merasa ada yang salah, “Tidak, lupakan.” Heri ingin beranjak pergi tapi ia bertanya lagi, “Kau punya jam yang berputar ke arah kiri?” “Punya, aku punya apapun yang kau mau.” Situasi ini membuatnya tak nyaman, ia mulai yakin ia memang bermimpi. Ia selalu ingin bermimpi normal, tidak ingin mengendalikan mimpi lagi seperti yang selama ini ia terus lakukan setiap kali bermimpi. “Lucid lagi?” bisiknya. Ia tak mau lama-lama di sana, ia pun meninggalkan Penjual itu tapi si Penjual malah menahannya, “Mau ke mana kau, Her?! Kau ingin lari dari sesuatu?!” teriak penjual itu yang tibatiba langsung mengenalinya. Heri terus berjalan, tidak menghiraukan perkataan orang itu. Ia melangkahkan kakinya lebih cepat. Orang-orang di sekitar sana mulai memperhatikan Heri, mata-mata itu mencengkau setiap gerakannya, ia semakin tidak nyaman. “Her, ingatlah! Aku selalu ada di sini. Tak akan pernah mati,” tegas Penjual aneh itu dari kejauhan. Mayor, pikir Heri. Mayor adalah istilah Heri untuk karakter yang mirip sekali Ayahnya, tetapi gaya bicaranya tidak seperti Ayahnya, kasar, belogat Jawa Timur serta gemar sekali meneriakinya seperti Tentara. Mayor sering sekali muncul di mimpi Heri walaupun dia tidak menginginkannya, walaupun ia dalam keadaan Lucid atau dapat mengendalikan seratus persen cerita dalam mimpinya. Wujud Mayor selalu berubah-ubah tidak selalu sama. Ciri khas 6
orang ini adalah gaya bicara, agresif dan sangat ingin menyakitinya. Heri bergerak lebih cepat lagi menembus emperan yang ramai tapi si Penjual tadi tidak menyerah, ia mengikuti Heri, mengintai Heri seperti mangsa buruan. Sadar ia diikuti, ia pun mengumpulkan tenaga lalu berlari kencang menerobos orang-orang di depannya. Kerumunan orang-orang di hadapannya di tabraknya saja. Ia menyelipkan tubuh kurusnya di antara keramaian tanpa permisi. Orang-orang tentu kesal dan meneriakinya tapi ia tidak peduli. Makhluk bernama Mayor itu yang ia pedulikan. Sambil berlari, ia menyakinkan dirinya bahwa ia sepenuhnya bermimpi. Ia melakukan Tes Realitas lagi. Ia melihat jam tangannya. Semua tampak normal. Kemudian ia melihat lagi, “Baiklah...” Jam tangannya normal, tetapi jarum jamnya bergerak ke arah yang salah. Ia akhirnya memastikan kalau ia sedang berada dalam mimpi. Namun, saat ia tahu hal itu, pria yang ia sebut sebagai Mayor itu menyergapnya dari belakang. Keduanya terjatuh terhempas menabrak kios kecil pedagang pakaian. Kios itu ambruk, pakaian berserakan. Heri dan Mayor berjibaku di tumpukan pakaian. Heri berusaha kabur tapi Mayor lebih sigap menarik kaki Heri. Setiap kemunculan orang ini di dalam mimpinya, Heri nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bisa melakukan apa saja di dalam mimpinya kecuali menghindari Mayor. 7
Heri menendang-nendang, berusaha keras melepaskan tarikkan itu, “Pergi dariku atau kubunuh kau!” bentak Heri. Mayor tak bergeming. Ia tertawa saja, tak berhenti memegangi, mencapit, mengunci tubuh Heri. Membuat Heri nyaris tak bisa bergerak, hampir tak dapat bernapas. Mayor mencengkram tubuh Heri kuat sekali seperti lengan raksasa Kepiting Lobster. “Lepaskan aku, aku mohon!” jerit Heri. Orangorang yang ada di sana tidak melakukan apa-apa. Heri tahu tidak akan ada yang menolongnya. Orangorang ini hanya proyeksi acak di ingatan bawah sadarnya. Orang-orang yang menonton itu tidak eksis di dunia nyata. Heri menyerahkan nasibnya pada diri sendiri. Paling tidak hingga ia terbangun. Heri masih berjibaku dengan Mayor. Ia tahu orang ini tak akan melepaskannya. Ia tak ingin bangun dalam keadaan bermimpi buruk. Ia harus menyelesaikan sesuatu. Heri menginginkan sebuah senjata. Ia dalam keadaan Lucid, ia bisa menginginkan apa saja dalam mimpinya. Termasuk senjata. Satu detik saja, sebuah Pistol sudah ada di genggamannya, “Aku punya Pistol, aku akan menembakmu.” “Tembak aku,” tantang Mayor tanpa rasa takut. Tak ragu-ragu Heri menembak kepala Mayor. Kepala Mayor terjungkal menarik tubuhnya terlempar ke belakang, cengkraman Mayor akhirnya terlepas. Ia bisa bernapas dengan sempurna lagi. Ia pun bangkit seraya mengatur napas.
8
Mayor tak bergerak, ia tergeletak. Darah keluar dari kepalanya yang bocor, menggenangi separuh tubuhnya yang terbaring di atas trotoar batako. Orang-orang di seputaran Heri memandanginya dengan tatapan yang sama, tatapan dingin. Heri pun berdengung kencang, “Apa yang kalian lihat?!” Namun, orang-orang di sana masih tetap memandanginya, tak terpengaruh jeritan Heri. Heri akhirnya menyerah ia ingin segera bangun dari mimpi buruk ini, “Aku bangun sekarang.”
9
Heri, Arman dan Sarah berada di sebuah kamar cukup luas di rumah Arman yang berada seratus meter dari restorannya. Kamar dengan dinding bercat putih ini terletak di lantai dua. Di dalam kamar ini terdapat tiga buah ranjang yang diletakkan berdekatan. Jendela berkusen coklat tak berteralis itu adalah saluran udara, tidak ada AC. Sebuah meja kantor yang di atasnya terdapat Laptop dilengkapi sebuah monitor LCD 14 inci, diletakkan di dekat pintu, tepat di samping Sarah berdiri. Sarah memandangi semua isi ruangan ini, ia merasa sedang berada di Rumah Sakit. “Tempat ini menyeramkan. Creepy.” Arman tak setuju, “Seram? Ini adalah ruang praktik kami,” bantahnya sembari mengedipkan mata ke Heri. “Itu ‘Kotak Bawah Sadar’,” kata Heri sambil menunjuk ke sebuah kotak seukuran mesin game Xbox di atas sebuah meja kecil yang terletak di samping meja kantor di dekat Sarah. “Itu yang menghubungkan mimpi?” “Ya.” Sarah penasaran, lantas mendekati kotak itu. Ia mengecek seluruh sudut benda itu. Ada banyak slot dan lubang konektor di sisi-sisinya. Sarah mengambil sebuah benda berbentuk seperti kacamata tokoh Marvel, Cyclops tapi ukuranya lebih besar. “Ini yang kalian katakan kacamata REM itu?” 10