EVENAAR Sang Utusan
KUPRET EL KAZHIEM (Buku Pertama)
Untuk mereka yang mau menerebos keterpasungan dan mencari secercah pencerahan. Tetaplah percaya bahwa dunia tak sebatas hati yang merasakan dan mata yang memandang. Untuk mereka yang merendahkan, ternyata dunia tak sebatas apa yang mereka tinggikan.
2
3
Daftar Isi 1.
Badai Cahaya
2.
Vimana
3.
Anamnesis
4.
Anamorfosa
5.
Anagogi
6.
Antima
7.
Gerima
8.
Nausea
9.
Satmata
10. Absolum 11. Anathema 12. Quintessa 13. Ennoia
4
I BADAI CAHAYA Saat dunia dilanda bencana besar, keajaiban telah menyelamatkan Evenaar dari kehancuran. Leluhur kami percaya bahwa kehidupan akan selalu ada. Itulah satu-satunya kepastian. Ruang dan waktu silih berganti, yang abadi selalu abadi. Para pendatang sering menyebut negeri kami negeri keabadian. Mungkinkah keabadian itu berakhir? *** Angkasa Evenaar memerah. Sebentar lagi badai cahaya menghujam semesta. Penduduk lekas berlindung. Sebagian yang tetap melanjutkan kesibukan harus mengenakan pelindung mata dan tudung kepala. Rentetan pilar cahaya menggerus ganas. Hening tersapu deras. Apa yang aku takutkan benar terjadi, bahwa kehidupan akan terhenti. Meskipun kehidupan dan kematian selalu beriringan, tak seorang pun mengetahui cara menggerakkan kehidupan yang terhenti. Kuharap badai ini cepat berlalu. Tiba-tiba terdengar jerit mengejutkan. Tanpa pikir panjang kulepas pelindung mataku dan seketika cahaya laknat itu menembus wajahku. Berulang kali kucoba memejam, tapi mataku serasa berlubang. Panas dan perih menyebar. Telingaku dijejali bising. Suaraku tercekik di tenggorokan dan tak kulihat penolongku. Bahkan seluruhnya sirna; langit, pepohonan, jalanan, dan bangunan yang berjejer bertingkat. Jiwa ragaku tercerai berai. “Antarkan ke Smaragad!” Nama tempat itu kedengaran tidak asing. Tapi siapa yang membawaku? Smaragad, kastil beratap kubah besar kehijauan dengan menara kembar berbentuk persegi yang katanya digunakan para abbat untuk mengurung diri. Mereka yang pernah memasukinya sering menceritakan keindahan ornamen dan keajaiban bangunan itu, tapi belum pernah seorang pun menggambarkan bagaimana rupa para penghuninya. Sejak bocah, Smaragad telah membuatku penasaran. Aku tak tahu bagaimana caranya masuk karena 5
gerbang besar bangunan itu tak pernah terbuka untukku. Yang aku lakukan hanya menunggu sambil sesekali menimpuki dengan batu, tetap saja nihil. Benarkah aku di dalamnya? Rasanya memang berbeda, yang jelas bukan di rumah. Aku terbaring pasrah dalam keadaan buta. Siapa yang membawaku ke sini? tanya batinku. Mendadak terdengar suara mengejutkan, “Selamat datang.” Siapa yang menyapaku. “Di mana ini? Kau siapa?” teriakku. “Kau di Smaragad dan aku bukan siapa-siapa.” “Bukan siapa-siapa?” Aku mengulang. Jawaban seperti itu membuatku kesal. “Kau pasti punya nama, kan?” ujarku ketus atas sikapnya. “Aku Romina,” katanya. “Aku Aqiel, katakan di mana aku?” “Kalau kaukira ada di Smaragad, inilah Smaragad.” “Mengapa kaubawa aku kemari? “Kau terluka, di sinilah tempatmu.” “Ini bukan tempatku. Aku saja tak mengenalmu. Seenaknya membawaku.” Menurutku dia perempuan yang rumit. Ingatanku memutar peristiwa badai cahaya itu. Sungguh mengenaskan. Bahkan penglihatanku harus dikorbankan, kenapa tak mati saja sekalian. “Baiklah Aqiel, mari aku tunjukkan tempat ini seperti apa.” Suara itu menyadarkanku dari lamunan dan terdengar seperti hinaan. “Percuma saja, aku tidak bisa melihat,” ucapku seraya menunjuk kedua mataku. “Kalau kau bisa mengarahkan telunjukmu, itu tandanya kau bisa. Ayo, sebentar lagi ritualnya akan dimulai.” Romina menggamit lenganku. “Ritual? Ritual macam apa?” “Kau akan melihatnya begitu kita sampai.” Entah ke mana dia mengajakku. Langkahnya tak mau berhenti. Lengannya begitu kuat menarikku. Meskipun enggan, tubuhku seperti kapas melayang kian kemari. “Nah, lihatlah!” ujarnya. 6
“Apa maksudmu?” “Sekarang coba buka matamu.” “Aku tidak butuh hinaanmu.” “Coba saja. Percayalah bahwa kaumampu.” Kucoba mengangkat pelipis dan menggerakkan kelopak mataku perlahan. Di luar dugaan, penglihatanku kembali. Benar-benar mengagetkan. Bagaimana bisa? Jemari, badan, wajah, dan seluruhnya sempurna. “Bagaimana rasanya?” ucap Romina. “Terima kasih.” Cuma itu yang keluar. Romina tersenyum. Nyatanya dia begitu cantik, aku terkesima. “Kau akan terbiasa dengan ritual ini nantinya.” Kemudian dia memutar pandangannya ke sekumpulan orang di bawah. Ruangan ini berbentuk oval dengan dinding pualam yang memantulkan warna keperakan. Sinar rembulan memancar masuk dari sebuah lubang di bagian atap, bibirku bergumam, “Ini menakjubkan.” Sebuah panggung besar berada di bagian dasar. Dua lantai di atasnya dipenuhi orang-orang yang mengenakan mantel biru tua. Mereka memandangi sepasang manusia berjubah hitam dengan topeng putih berwajah datar yang berada di tengah panggung. “Siapa mereka?” tanyaku pada Romina. “Mereka orang-orang yang mencari penglihatan.” “Maksudmu ramalan?” “Bukan ramalan, ini adalah penglihatan, penglihatan yang sesungguhnya!” “Dua orang itu yang memberikan penglihatan?” “Mereka yang menuntun kita menuju ke sana.” “Sebenarnya apa isi penglihatan itu?” Romina menjawab pertanyaanku dengan tatapan mata yang tertuju kepada sepasang topeng di tengah panggung. “Tergantung pembacaanmu.” Ekspresi wajahnya menampakkan penghayatan begitu dalam, tak ingin ketinggalan satu pun rangkaian prosesi ritual ini. Asap berwarna ungu merebak dari mantel hitam kedua 7
orang itu. Wanginya sangat menyengat. Disertai suara geraman dan kata-kata aneh, lambat laun kepulan asap terus menggumpal di atas kepala. Berputar bak pusaran cahaya. Semula putarannya cepat kemudian melambat pelan-pelan sampai menampilkan gambaran kehancuran; peperangan, pembantaian, kematian, dan tangisan. Pandangan Romina tak beralih, matanya tak berkedip, berbeda denganku yang kebingungan. Suara tangis berganti alunan musik dan kedua topeng itu berhenti berisik. Keteduhan merasuk, mengembuskan ketenteraman, sesuatu yang belum pernah aku alami. Bagaimana mengatakannya, apakah ini perasaan, penglihatan, atau sekadar pengalaman alam bawah sadar? Namun alunan bunyi di sekitarku kedengaran akrab. Mirip seruling Paman Muzein di taman Geneyna. Dahulu sering kudengar lantunan Paman Muzein berjam-jam lamanya sampai lupa makan dan bekerja. Biasanya Ibu langsung memarahiku sesampai di rumah, “Mendengarkan seruling membuat orang lupa diri. Tidak memberikan manfaat apa pun!” umpatnya. Aku memaklumi kemarahan ibuku. Kami orang miskin yang membutuhkan sesuatu untuk dimakan setiap hari. Aku membantu Ibu di perkebunan tebu. Pemilik kebun memberikan upah tiap kami pulang. Dengan terus bekerja maka upah yang diberikan pun bertambah. Namun sering diam-diam kutinggal pekerjaan itu untuk menikmati seruling paman bernyanyi. Selain meniup seruling, Paman Muzein juga suka berpuisi dengan gaya menggebu-gebu. Bagiku dia seorang penyair besar. Penampilannya saja yang kumal. Suatu hari kebiasaan nakalku terbongkar. Ibu menyambangi Paman Muzein, membentakku kasar, menasihati orang tua itu agar tidak memengaruhiku dengan deretan nada yang disebutnya suara iblis. Ibu juga menganggap cara Paman berpuisi mirip orang kerasukan. Ketika ibuku sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia, Paman Muzein menyematkan puisi di nisan kuburnya: 8
Kupajang lukisanmu di atas meja yang rapuh. Bersanding lukisan pribadi. Kupajang kenanganmu menggantung sendu. Menemani usia yang tak abadi. Saat kematian menyapamu, sempatkah kau merasakan keramahannya. Saat maut menyeka nadimu, bisakah kau tersenyum hangat. Kenangan ini kerap melelehkan air mataku, tapi aku tak mau kelihatan cengeng di depan perempuan yang baru saja kukenal. Romina menepuk pundakku, “Kau mendapat penglihatan?” tanyanya diiringi senyuman. “Kau mempunyai penglihatan yang bagus,” tegur seseorang dari belakang punggungku. Aku menoleh dan pria tua itu berjarak tiga langkah dariku. “Kau siapa?” tanyaku heran. “Aku adalah aku,” jawabnya. “Apa maksudmu dengan „aku adalah aku‟?” protesku. Sebuah jawaban aneh dari penghuni kastil ini. Apakah semua orang di sini bergaya-bicara serupa, atau hanya ingin bikin pusing. “Aku tidak menjadi aku jika tidak karena kau dan dia.” “Siapa yang menyamakan aku adalah aku, apakah diriku, atau kau, atau dia?” kubalik tanya meniru caranya membingungkanku. “Bukankah sudah kubilang bahwa aku adalah aku?” “Lalu siapa kau sebenarnya?” “Aku.” “Tapi bukan aku?” “Karena kau bukan dia, bukan pula aku.” “Bagaimana supaya aku mengenalimu?” “Kenalilah ke-aku-anmu, karena aku bisa menjadi akunya kau, akunya dia, dan akunya aku.” 9
*** Orang tua itu membuatku senewen, percakapan di ruang oval tadi hanya obrolan yang melantur. Beginikah tingkah laku para abbat? Oh, Smaragad, menyesal rasanya bertahun-tahun penasaran untuk sebuah tempat berpenghuni orang-orang bodoh yang bicara tanpa ujung pangkal. Aku tak sabar untuk pergi. Kupikir inilah waktunya, lantaran pandanganku semula kembali. “Romina, dapatkah aku pulang?” “Apakah kau mendapat penglihatan?” “Mengapa kau terus menanyakan hal itu, Romina?” “Karena itu jalan yang harus kautempuh. Tidakkah Abbat Khom menjelaskannya padamu?” “Orang tua berjanggut itu? Menurutku dia bodoh.” “Kau tidak boleh menghina Abbat khom, itu racun yang akan mematikan dirimu sendiri,” sergahnya. Kelihatan sekali dia sangat tersinggung, membuatku merasa bersalah, “Baiklah, maafkan aku. Hanya saja aku tak betah di sini.” Romina tak menanggapi ucapanku, dia menyusuri dinding sembari mengamati relief-reliefnya. “Ukiran-ukiran di sini menggambarkan keadaan sebuah dunia yang damai sebelum kehancuran melanda,” ujarnya, sementara jemarinya mengikuti kontur dinding. “Kita tidak tahu apakah dunia ini selamanya dalam kedamaian, kita harus mencari kedamaian itu sendiri. Di tempat inilah kau akan berlatih untuk menemukannya.” Dia kembali menatapku dan suasana berubah menjadi canggung. “Bukankah sekarang kita sudah hidup dalam kedamaian?” “Kedamaian yang kau rasakan, apakah menurutmu yang sesungguhnya, atau penuh kepalsuan?” “Kupikir kau sendiri takkan mampu menemukan-nya.” Dia menoleh, menatapku tajam. “Tugasku hanya melatihmu.” “Hei, siapa yang memintamu menjadi guruku!” “Siapa juga yang mau menjadi gurumu.” 10
“Kau seumuran denganku, mana pantas melatihku!” “Tidak ada kaitan sama sekali dengan usiaku.” “Aku tidak butuh latihan. Kembalikan aku ke Evenaar.” “Kau belum lihat Kolam Pengetahuan, kan?” “Kolam Pengetahuan?” Romina mengajakku ke tempat terbuka dikelilingi pilarpilar yang berdiri bebas. Di tengahnya terdapat kolam berbentuk lingkaran yang memancarkan cahaya kehijauan. Beberapa pohon bonsai dan pot bunga berwarna warni tertata rapi di sepanjang jalan menuju kolam itu. “Ketidaktahuan harus dibasmi dengan pengetahuan, di sinilah segala pengetahuan berasal. Pernah dengar kisah Pandora?” tegur Romina. “Setahuku dia seorang perempuan telah menyebabkan segala kejahatan dan keburukan terlepas ke muka bumi. Tindakannya sangat ceroboh karena mengabaikan perintah untuk tetap menjaga kotak itu dalam keadaan tertutup,” jawabku sekenanya. “Kalau begitu, hanya sedikit sekali kebenaran kisah yang kautahu.” “Aku mendengarkan kisah itu lama sekali, mungkin ada bagian yang terlupakan.” Romina tersenyum seolah menertawai kebodohanku yang bersembunyi dibalik kealpaan. “Pandora adalah perempuan yang mendapatkan penglihatan,” lanjutnya. “Dia bukan orang bodoh, tidak pula bertingkah ceroboh akibat rasa keingintahuanya. Pandora membuka kotak itu karena merasakan ketidakadilan si Pemilik kotak yang berusaha menyembunyikan pengetahuan dari umat manusia. Apa yang ada di dalam kotak itu bukanlah kejahatan, kebencian dan seluruh keburukan, melainkan pengetahuan. “Menurutnya, pengetahuan tak boleh tersimpan rapat. Seluruh umat manusia harus mendapatkannya. Panggilan jiwa dan tanggung jawabnyalah yang melatar belakangi mengapa kotak itu mesti dibuka olehnya. Seketika dia menangis bahagia karena tugasnya telah ditunaikan. Kotak itu terbuka. Air matanya adalah air mata kedamaian yang mengisi relung jiwanya. 11
“Akhirnya manusia dapat memiliki pengetahuan; mampu menaklukkan api, membelah air, mengendarai angin, mengolah tanah, mengukir kayu, dan menempa besi. Tetapi kotak itu bukanlah berbentuk kotak sebenarnya seperti yang disangka banyak orang, melainkan berbentuk seperti apa yang kaulihat di hadapanmu.” “Kolam ini?” “Dahulu kolam ini berada di bawah pohon kehidupan. Manusia mendatangi pohon itu, meratap, menangis dan memohon agar mereka diberikan sesuatu untuk bertahan hidup di muka bumi. Kemudian pohon itu mulai berbuah, orang-orang memungut dan memakannya. Tidak peduli berapa banyak manusia yang datang, pohon kehidupan terus berbuah tanpa henti.” “Lalu, ke mana pohon besar itu, aku tidak melihat-nya?” tanyaku menyela tak sabaran. “Bukankah kau sudah tahu kelanjutan ceritanya? Kotak itu dibuka oleh Pandora, dia yang merobohkan pohon kehidupan.” Aku terdiam dengan sejuta imajinasi dan tumpukan pertanyaan—tak terucap tentang Pandora. Perlahan tapi pasti batinku ditumbuhi kegelisahan sekaligus ketertarikan. Harus aku akui bahwa setelah melihat Kolam Pengetahuan dan mendengarkan penuturan Romina, hatiku tergugah untuk mempelajari banyak hal. Akan tetapi Romina terus menyuruhku untuk menyelami penglihatan. ini yang membuatku lekas putus asa karena kurasa aku tak mampu. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” “Terus mencari,” jawab Romina “Aku bingung.” “Abbat Khom pernah berkata bahwa kebingungan adalah langkah awal yang bagus, malah meningkatkan upayamu membuka diri pada hal-hal yang dapat memberikan penglihatan.” “Romina, mengapa kau menanyakan penglihatanku terus? Jelas sekali aku sudah bisa melihat.” “Saat kau menyaksikan dua orang bertopeng, apa yang 12
kaulihat?” Aku sendiri tidak yakin benar. “Adakah sesuatu yang semestinya kulihat?” “Mereka menampakkan sesuatu, setiap orang harus membacanya.” Apa yang harus kubaca? Entah. Kucoba mengalihkan pembicaraan. “Ketika dibawa ke sini, sepertinya ada orang lain yang keadaannya mirip denganku, di mana dia?” “Dia sudah kembali setelah matanya sembuh.” “Kenapa dia boleh kembali sedangkan aku tidak?” “Dia tidak mendapat penglihatan, berbeda denganmu.” “Kaupikir aku mendapatkan penglihatan?” “Tentu saja, kau seorang abbat.” “Apa?” “Abbat Khom yang mengatakannya.” “Kalian salah menilaiku, di sini bukan tempatku.” “Sudahlah, sekarang ikut aku latihan.” Romina menyuruhku duduk bersila seraya menutup mata di sekitar kolam pengetahuan. “Kau harus membiarkan setiap elemen kehidupan merasukimu, biarkan keheningan menyerapmu.” Aku menolak karena tak ada gunanya bagiku. Latihan semacam itu menghabiskan waktu sia-sia, lebih baik aku bekerja di kedai minum dan mendapatkan beberapa peser upah. “Aku cuma ingin pulang, itu saja!” bersikeras dengan pendirianku. “Tidak bisa, Aqiel. Kau harus tetap di sini.” “Mengapa aku harus susah payah belajar soal penglihatan? Ini semua tidak ada manfaatnya.” “Begitulah tugas seorang abbat!” baru kali ini kudengar Romina membentakku, biasanya dia seorang yang lembut. Justru berulang kali aku yang bersuara lantang kepadanya. Dia mengambil alih dan ketegasannya membuatku tak berdaya. Kami terdiam seribu kata, hatiku bimbang dan gundah. “Kau ingin pulang?” tanyanya, entah apa yang membuatnya menyerah, “Baiklah, kau bisa pulang sekarang.” Dia menjetikkan 13
jarinya, seketika kurasa diriku seperti terhisap ke dalam pusaran. Akhirnya kudapati tubuhku berada di pusat kota dengan mata berkunang dan lunglai. Syukurlah, akhirnya aku kembali. Detik itu juga aku bertekad takkan pernah membuka pelindung mata lagi saat badai cahaya tiba. *** Virus-virus lapar membuatku serakah semenjak meninggalkan Smaragad. Bamyeh, adik ibuku yang sekarang menjadi waliku, keheranan melihat selera makanku. Setiap kali aku menyantap makanan, dia terus menasihati dampak buruknya sikap berlebihan. Saking tidak tahan melihat ulahku, dia mengancam tidak memberi makan. Menurutnya aku keterlaluan. Sebagai timbal balik untuk seluruh makanan yang telah kulahap, dia membebaniku tugas membersihkan perkakas. “Ini salahmu. Aku sengaja memecat anak tetanggaku sendiri agar kau mengerjakan semuanya. Bisa habis seluruh persediaan bahan makanan kalau kau aku biarkan.” Aku turuti saja perintah Bamyeh. Untungnya masih ada yang memberiku tempat tinggal dan makanan gratis. Tapi kebiasaanku waktu kecil juga tidak bisa hilang, diam-diam kabur dari pintu belakang mencari udara segar, menghabiskan waktu di taman, atau sekadar berkeliling kota membuang rasa suntuk dan kebuntuan. Di tengah keramaian pasar di pusat kota, kulihat seseorang sedang menceritakan kepada khalayak ramai mengenai Smaragad. Namanya Sofis, dia mengaku sebagai seorang abbat dan telah mendapatkan penglihatan dari Smaragad. Sebentar lagi dunia akan hancur, demikian katanya. Manusia harus kembali ke jalan yang benar. Jalan para abbat adalah jalan kebenaran, dia diutus untuk menyampaikan jalan tersebut. “Kebenaran adalah lawan dari kejahatan. Seluruh petunjuk dari para abbat mengandung kemurnian, di sanalah terletak kebenaran sejati.” Sofis beranggapan bahwa dia mewarisi pembacaan yang benar. Selain itu, masih ada puluhan kisah menarik mengenai keajaiban-keajaiban di dalam Smaragad termasuk acara salak14
menyalak dua orang bertopeng. Dia menambahkannya dengan adegan bidadari cantik jelita yang menari dengan anggun. Selanjutnya dia bertanya kepada perempuan-perempuan yang menyimak ocehannya, “Apakah di antara kalian ingin menjadi seperti bidadari-bidadari tersebut?” Mereka mengangguk. Sofis mulai memerinci atribut serta tingkah laku bidadari yang ada di dalam bayangannya, supaya para perempuan itu sungguh mengikutinya. Aku tertawa keras ketika dia menggambarkan ukiran dinding dan ornamen Smaragad, menceritakan kisah kepahlawanan para abbat memerangi makhluk raksasa Joh Majoh. “Hei, Sofis, pernahkah kaulihat para abbat itu berkeliaran? Mereka saja takut keluar gua, bagaimana mau berperang?” Akibat ocehanku, dia mengancam bahwa menertawai para abbat adalah racun yang akan mematikan diriku sendiri. Sebagian hadirin ikut tertawa mendengar ucapanku, sebagian lain yang memercayai kata-katanya terus memandangiku dengan kebencian. Raut wajah Sofis mengekspresikan kemarahan. Segera langkahku melenggang pergi penuh kegembiraan. Semula ceritanya membuatku terpingkal-pingkal. Kejailan itu sedikit demi sedikit membunuh jenuh walau lama kelamaan berbalik membosankan. Geneyna, di situ pemberhentian terakhirku. Sungai buatan yang mengalir di bawahnya begitu jernih. Beberapa bunga nucifera memberikan corak kemerahan di sisinya. Menyegarkan kenangan yang terasa mulai usang, kerinduan yang dalam pada sosok Paman Muzein. Dahulu Paman biasa duduk di bangku kayu di antara pepohonan, dikelilingi burung-burung yang mendengarkan nyanyian serulingnya seperti tengah berdoa bersama. Saat malam tiba tubuhku merebah di bangku itu, memandangi bulan dan sinar peraknya yang memancar terang. Bulan itu semakin menambah kerinduan hatiku, di manakah kau berada kini, Paman? Tiada petunjuk mengenainya, paman menghilang begitu saja sejak kematian ibuku. Andai aku dapat 15
menahannya untuk tetap di sini di taman ini. Aliran sungai yang tenang nan jernih memantulkan cahaya bulan. Setiap kali aku datang ke taman, pada momen paling indah, air itu beriak kehausan ingin meminumku selagi aku dahaga. Pikiranku membeku dan mataku terkatup. Di antara lelap dan mimpi kudengar bisikan, “Pikiranmu masih sibuk dengan dirimu sendiri, hingga tak ada ruang untuk dimasuki hal lain.” Suara itu terus menggema di kepalaku dan menimbulkan sakit yang luar biasa, tapi entah mengapa ragaku tak mau bangkit dan mataku terus terpejam. Langit seperti terbelah, bumi berguncang. Dari ujung kaki hingga kepalaku gemetar tak keruan. Kujambak rambut sendiri, namun sakit yang mendera tak kunjung pudar. “Siapa kau?” teriakku. “Kebuntuan!” hardik suara itu, “dalam kebuntuan, tak ada yang bisa kau lakukan. Jiwa yang terjebak dan terhalang, terhisap ke dalam ruang minus. Dalam kebuntuan, pancaindra mengatup, menutup jalan keluar. Semua meredup terselimuti kabut. Semua merapat dalam langit pekat.” Tiba-tiba terdengar tiupan seruling yang sangat kukenal. Alunan syahdu yang mengalir bersama desir angin di antara pepohonan, seperti menyuarakan kelembutan sinar temaram. Kerinduan hati perlahan menyusuri taman, mengikuti jeram kesuraman dan membasahi gurun Malal yang gersang. “Dalam kebuntuan, kebebasan terasa kian menghimpit. Kita berusaha menggapai cahaya. Setiap napas terhela, pikiran membatu, imajinasi membisu, hati menyesal, dan tubuh melayu terkapar. Dalam kebuntuan muncul kegamangan, putus asa, dan kesendirian. Tiada pepatah bisa terucap, suara hati meluap lalu kering menguap. Inspirasi pupus lalu sepi terberangus, pasrah dan terjerumus.” Suara itu makin mirip dengan Paman Muzein. “Paman!” teriakku spontan, tapi tak ada sahutan. Aku ingin paman menyudahi kata-katanya dan membalas panggilanku. Badanku terasa berat dan lambat laun terjatuh dalam gelap, “Paman Muzein,” lirihku menyebut namanya. Sayup-sayup masih terngiang ucapannya, “Dalam 16
kebuntuan, kita akan—dipaksa—menerobos tembok yang tebal.” Untaian kata-kata itu seperti refleksi kehidupan yang terus kulalui dengan kehilangan demi kehilangan. “Hah!” aku terjaga dan serentak terperanjat. Keringat bercucuran sementara udara malam amatlah dingin. Apakah tadi itu mimpi? Di dalam kondisi suhu seperti ini memang paling nikmat bersembunyi di bawah selimut dan bermimpi panjang, tak peduli angin kencang menerpa dinding. Kumpulan pengemis di luar bersenandung lirih mengusir mimpi yang tak sepantasnya datang. Kusengaja menahan langkah agar tak berlari dan menimbulkan gangguan, tapi terus kuayun langkah yang menggesa. Tiada harapan lain, selain lekas sampai di tujuan. Akhirnya pandanganku mulai melihat gerbang kayu itu, semakin dekat hingga jemariku mampu menyentuhnya. DOK, DOK, DOK. “Romina,” teriakku, “Romina, buka pintunya!” Entah kekuatan apa yang merasuk diriku sehingga berani berbuat demikian, “Romina, aku ingin masuk ke dalam!” ucapku mengulangi namanya sembari menggedor pintu itu secara tak beraturan. “Aku ingin masuk ke dalam. Romina, ajari aku caranya, ajari aku cara membaca penglihatan!” Tak ada yang berubah, gerbang kayu itu takkan terbuka untukku. Tubuhku melemas, semakin lemas... lenyap. *** Enam kali genderang halilintar berbunyi sebagai pertanda hujan, berhamburan menyerang dunia. Benarkah ini hujan? Sudah lama aku tak menghirup baunya yang menuntunku saat masih bocah. Hujan, mengapa kau membawa kembali kenangan itu. Aku berlari dan tertawa. Tiba-tiba tersandung jatuh dan menangis. Perempuan itu datang merengkuh tubuhku, mengusap lutut mungilku yang tergarut. Bibirnya merah merona mengecup luka, penuh kesabaran dan membasuh air mata putranya. Jangan menangis, kesatriaku, hibur ibuku. Suaranya yang merdu meredam butiran isak tangis. Kelembutan hatinya kini hilang terhempas bersama kepergiannya. Hujan, kali ini aku takkan 17
bersembunyi di balik dirimu. Aku akan melangkah jauh menatap masa depanku sendiri. Kehidupan adalah persoalan pengakuan akan keberadaan. Aku tidak akan memalingkan muka lagi dari segala penglihatan. “Aqiel,” tegur Romina, “seharian kau tidak berlatih, ada apa?” Dia berhenti mengerjakan kesibukannya menyirami tanaman dan menatapku tajam. “Tidak ada, hanya iseng,” kilahku. Ada perasaan aneh tiap kali mata kami bertemu, kucoba mengalihkan canggung dengan mengajukan pertanyaan, “Romina, boleh kutahu penglihatanmu seperti apa?” Dia menggeleng. “Aku tidak mendapatkan penglihatan,” lanjutnya dengan senyuman. “Lalu mengapa kau di sini bersama para abbat?” “Karena aku penjaga kolam ini.” “Untuk apa?” “Untuk mempelajari pengetahuan.” “Kau sama sekali tidak bosan?” “Bosan?” “Ya. Apa kau tidak pernah ingin menyelinap keluar?” “Memangnya aku pencuri?” “Kau berniat menghabiskan sisa usiamu di sini?” Dia melihatku dan tersenyum. Senyuman misterius itu sesungguhnya mengerikan buatku. “Masa sih?” “Di luar sana tak setenang di dalam.” “Paling tidak, ada kesenangan.” “Kesenanganku adalah menjaga kolam ini.” Dasar keras kepala. “Bagaimana dengan keluarga-mu; Ayah-ibumu?” Dia mengangkat bahu. “Maafkan aku.” “Mereka meninggal dalam peperangan.” “Mereka ikut berperang?” “Sesungguhnya yang terjadi adalah pembantaian. Di desaku tidak ada yang mengangkat senjata. Semuanya menggembalakan ternak atau bertani. Musuh datang dan merampas apa saja. Orang tuaku melawan sebisanya. Sudahlah, ayo latihan.” Romina 18
melepas kreghi, topi bundar dengan sebuah kuncup berbentuk kerucut yang condong ke belakang. Rambutnya tergerai. “Perhatikan ini.” Romina menggerakkan tangan seperti menari, “Para abbat berlatih mengendalikan energi untuk menggerakkan benda-benda di sekelilingnya,” Dia mengangkat tangan kanannya, pot-pot bonsai melayang mendekat beterbangan di sekeliling kami. “Kau harus mengikuti alurnya, pergerakan yang tak dapat kau lihat secara kasatmata.” Kini tubuhnya ikut menari, dan pepohonan itu menuruti gerakannya. “Mungkin pula kau meningkatkan sedikit kemampuanmu.” Kelopak bunga warna-warni berdatangan seolah mengucur dari langit dengan sendirinya. Bergelombang mengitari Romina, melengkapi tarian harum bunga yang indah. Aku terpana. “Akan tetapi, kalau kau mengabaikan prinsip-prinsip kehidupan, kemampuan itu hanya akan membuatmu dalam bahaya.” Tiba-tiba Abbat Khom muncul mengejutkan kami, semuanya berjatuhan termasuk pot-pot lempung yang hancur berantakan. Romina menunduk. Sepertinya dia ketakutan. Abbat Khom menghampiri kami seraya mengusap janggut putihnya. “Pertama adalah siklus kehidupan, selama ada kematian akan selalu ada kehidupan. Sesuatu yang utuh akan hancur, tetapi yang hancur pun akan kembali utuh.” Abbat Khom menggerakkan lengan kanannya membentuk putaran beberapa kali, pecahan-pecahan yang berserakan di hadapanku kembali seperti semula. “Nah, mulailah berlatih kembali,” perintahnya sebelum meninggalkanku. Romina bergegas membereskan kembali. Hari-hari berikutnya Romina melatihku beberapa gerakan serupa tarian. Karena tidak terbiasa sangat risih rasanya waktu pertama kali melakukan, tapi berbeda jika sudah kesekian kali. Kadang tergelitik untuk menertawai diri sendiri, kadang hanyut menikmati walau malu tatkala Romina mengawasiku. “Dengan bergerak, kita bisa menghasilkan kemam-puan untuk menggerakkan sesuatu,” jelasnya, “pada dasarnya dunia 19
dan segala isinya selalu bergerak. Manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain dikendalikan oleh „gerak‟. Untuk dapat melihatnya, maka harus mengikuti inti dari gerak itu sendiri, yakni sebuah perputaran.” Dia begitu gemulai sedangkan aku sangat kaku. Abbat Khom memasuki areal Kolam Pengetahuan ketika aku tengah hanyut dalam keheningan. Kedatang-annya bak halimun, tak mungkin aku ketahui jika dia tidak melempar sesuatu ke kolam. Bulan menampakkan sinar peraknya dengan gagah, riak air bergelombang dengan corak cahaya yang berubahubah. “Abbat Khom, maaf saya tak menyadari kedatangan Anda,” ungkapku sembari menunduk sekali memberi hormat, pun sikapku ikut berubah. “Aku tak ingin mengganggumu, Aqiel.” “Tidak, sebenarnya hari ini saya tak banyak berlatih.” “Ya, bisa kulihat itu. Kau lebih sering menghabiskan waktumu dengan melamun.” “Maaf.” Kali ini dipenuhi rasa bersalah, tetapi dia malah tersenyum. Sesuatu dari kolam pengetahuan melayang ke arahnya. “Lihat ini!” dalam genggamannya terdapat dua buah cawan berbentuk kerucut saling menyatu berhadapan, seperti tabung yang menyusut di bagian tengahnya. “Ini adalah gelas kaca, dahulu kita mengisinya dengan pasir karena kita mengira bumi akan selalu berputar sebagaimana adanya. Akan tetapi, sekarang kita tak bisa menaruh pasir di dalamnya karena usia kita yang sulit diprediksi. Lalu apa yang harus kita lakukan jika bumi tak lagi berputar?” Dia memandangiku seolah menagih jawaban meski kupikir jawabannya sudah dia ketahui. “Saya tidak tahu.” Mungkin jika bumi tak lagi berputar, aku akan pasrah menerima dan menyadari bahwa kehidupan telah berhenti, batinku berucap lebih panjang. “Kau tak bisa menyerah begitu saja,” ujarnya seakan membaca isi batinku, “sebelum kautahu bahwa kematian menyentuh urat lehermu, kau harus tetap bertahan hidup.” 20
“Kehidupan tak memberikan apa pun selain kesengsaraan, mengapa saya harus bertahan hidup?” “Lihatlah kolam itu yang tersisa hanya airnya saja, ke mana larinya seluruh pengetahuannya?” Abbat Khom diam sejenak memberikan jeda bagiku untuk mencerna ucapannya. Satu hal yang paling membuatku bingung, mengapa orang dewasa gemar menyarangkan pertanyaan bertubitubi kepada orang yang jauh lebih muda usianya? Apa itu sangat wajar bagi mereka? “Bayangkan bila kau berjalan mengarungi samudra pasir Malal dan tiba-tiba menemukan mata air, kukira kau langsung menenggelamkan kepalamu minum sebanyak yang kaumampu?” Aku hanya mengangguk mengangguk menanggapi. “Kau tahu apa sebabnya?” sambungnya, dan lagi-lagi pertanyaan. “Karena kehausan, saya akan terus meminumnya.” jawabku. Abbat Khom menggelengkan kepala, “Karena mata air itu adalah harapan.” “Harapan?” “Mata air adalah sumber kehidupan. Begitu juga harapan. Kita bertahan hidup karena adanya harapan.” “Apakah yang tersisa hanya harapan?” “Biarpun manusia menguasai seluruh pengetahuan di muka bumi, apalah artinya tanpa ada harapan? Takkan ada yang dapat bertahan hidup.” Dia membuka telapak kananku dan menaruh gelas waktu yang kini berisi air di dalamnya, kemudian pamit meninggalkanku sendirian. Ucapan Abbat Khom membuatku tak bisa tidur, sepanjang hari terus memikirkannya. Benarkah harapan membuat manusia tetap bertahan hidup? Kebiasaan lamaku tak pernah kulupa, tapi sangat sulit untuk menyelinap kabur dari dinding Smaragad. Kastil ini memiliki tembok luar yang tinggi dan semuanya tampak presisi. Tak tahu harus mulai dari mana menebak letak pintu masuknya. Rasanya seperti disekap sebagai sandera tak boleh pergi ke mana-mana. 21
“Romina, kapan kau mengajariku?” kataku sambil mempraktikkan jentikkan jari. Aku meminta Romina mengajari caranya, tapi dia bersikeras tak mau memberitahu rahasianya agar aku terus berlatih. “Hmmm ...” Dia menghela napas tanda sebal. “Baiklah, aku takkan memintanya lagi.” Aku membalikkan badan hendak meninggalkannya sendiri, tapi sebenarnya itu hanya usaha merajuk walau kutahu takkan mungkin berhasil membuatnya takluk. Tak mudah meruntuhkan keangkuhan perempuan itu. Keadaan ini membuatku kesal dan malas, saking malasnya aku tidur seharian. Kalau sudah begitu dia akan menggunakan kemampuannya dan membolak-balikkan tubuhku di atas ranjang. Keadaan berbalik, justru dia berkuasa dan berhasil memaksaku berlatih. Sempat terlintas untuk mencari Abbat Khom, mungkin saja permohonanku terkabul jika kupinta Abbat Khom memerintahkan Romina untuk mengajarkan teknik jentikan jari yang ajaib itu. Huh, percuma saja! aku sendiri tak tahu harus mencari Abbat Khom di mana. Memang terbayang menakutkan bagaimana caranya datang dan menghilang, tetapi aku harus mencarinya karena sudah bosan berada di sini—apalagi bersama perempuan angkuh itu. Kususur tiap dinding ruangan dan mencari pintu menuju ruangan lain. Tiba-tiba tubuhku terasa menciut dan sakit bukan main, seperti terhisap ke dalam lubang jarum. Gambaran di sekelilingku awalnya tampak kalang kabut. Perlahan kemudian mulai menampilkan pemandangan lebih jelas. Diriku sudah berada di tengah kota. Pemandangan yang tak biasa, Evenaar banyak berubah. Kotanya semakin ramai, berbagai macam manusia dengan penampilan berbeda hilir mudik di sepanjang jalan. Burung-burung bertengger di tugu marmer yang berjajar menuruni bukit, berpindah dari satu puncak ke puncak yang lain. Gara-gara memerhatikan tingkah unggas itu, teringat ucapan Abbat Khom mengenai harapan. Burung-burung itu berkumpul di tanah mencari apa pun sembari berharap ada cacing, 22
biji-bijian, dan apa saja yang bisa dimakan. Mungkin manusia juga begitu, terus bertahan hidup sambil berharap bahwa dunia mendadak berubah indah. *** Irama semilir angin menghipnotis sekelompok orang untuk mengarungi samudra pasir yang ganas dan penuh marabahaya. Mereka adalah Kafilah Darzat yang dikenal sangat tangguh menaklukkan gurun. Di Evenaar kedatangan mereka selalu dinantikan, terutama barang dagangan yang mereka bawa. Banyak benda unik dan tak lazim dari seantero dunia yang diperjualbelikan. Harganya pun beragam dan berubah tergantung suasana hati saat bertransaksi dengan para pembeli. Meskipun begitu, penduduk Evenaar telah mengetahui rahasia agar mendapatkan barang bagus dengan harga murah, yaitu dengan mengenakan pakaian bangsawan. Anggota kafilah ini menyukai keindahan, kesan itulah yang tampak saat celana dan jas berbahan sutra, sepatu dari kulit singa, serta mantel beludru membungkus ketelanjangan tubuh orang-orang yang mendatangi tenda mereka. Para penjelajah itu beristirahat di sebuah penginapan dekat gerbang kota milik pasangan suami istri Yazed. Dulunya letak penginapan itu bersebelahan dengan restoran Bamyeh. Tempatnya kecil dan hanya mempunyai dua kamar saja, satu ditempati oleh mereka berdua dan lainnya untuk disewakan. Tak ada orang yang mau memesan kamar itu karena tempatnya kelihatan usang dan rapuh. Biasanya para pendatang sudah membawa tenda-tenda sendiri yang didirikan di luar kota. Mereka datang silih berganti untuk berdagang, menikmati pemandangan alam, juga bekerja. Namun, tiada satu pun yang melirik, atau tertarik menginap di penginapan Tuan dan Nyonya Yazed. Mereka berdua bekerja keras mempromosikan kamar itu kepada semua orang, tetapi respon yang diberikan oleh masyarakat hanya senyuman, atau diam meninggalkan keduanya karena merasa kasihan. Semenjak putra mereka mengaku pernah memasuki Smaragad, barulah banyak pengunjung mulai menyewa kamar. Keuntungan demi keuntungan didapatkan, kisah 23
penderitaan mereka menjadi seusang kamar yang mereka tinggalkan. Mereka berhasil membeli gedung bertingkat dekat gerbang kota. Pemasukan suami istri itu semakin bertambah setiap kali tamu menginjakkan anak tangga pertama penginapan. Mereka menyambut dengan semringah dan gembira. Tak lupa pasangan itu terus menceritakan pengalaman anak mereka ketika mempelajari pengetahuan suci. Bahkan, mereka berani mengatakan bahwa Sofis telah terpilih menjadi abbat. Kebanggaan Tuan dan Nyonya Yazed begitu dalam dan menggelora. Tiap baris kata dalam kisah kehebatan putra mereka selalu dibawakan dengan semangat menggebu-gebu. Sofis ibarat malaikat yang diutus untuk melindungi penghuni Evenaar, seorang penyelamat ketika tanda-tanda kehancuran dunia semakin tampak. Ketenarannya memuncak pesat. Orang-orang datang dari penjuru dunia untuk mendengarkan petuahnya yang menyejukkan dan memberikan ketenangan jiwa. Sofis tak lagi berkhutbah dekat air mancur di pusat kota, melainkan di sebuah aula besar yang didirikan pengikutnya. Dalam waktu singkat dia telah berubah, keluarganya berubah, dan semua orang di Evenaar juga berubah. Di penginapan keluarga Yazed, rombongan Kafilah Darzat mendapatkan pelayanan istimewa; kuda dan bagal mereka diikat dalam kandang khusus dengan penanganan spesial. Tuan Yazed memimpikan sebuah pusat perda-gangan yang indah dan mewah, dia menyulap aspal jalan menjadi permadani-permadani dengan warna dasar merah dan corak yang beragam. Di pelataran penginapan didirikan tenda besar untuk menyimpan barangbarang dagangan. Dijaga oleh biro pengawalan yang disewa oleh Tuan Yazed dengan bayaran mahal. Lentera beraneka warna dipasang di sekitar atap dan dihubungkan dari satu bangunan ke bangunan lain. Penduduk berlalu lalang di sekitar tenda seraya berdecak kagum. Bulan tak menunjukkan rupanya. Mungkin saja kelelahan kalau harus berdandan dan tampil cantik tiap malam. Sementara itu, keriuhan pesta membuat Evenaar bagai pelita yang berpijar di antara pekatnya kegelapan. Kebisingan kota mengundang hewan 24
malam memicingkan mata menunggu kesempatan seraya menggeram, sedangkan biro pengawalan terus berjaga-jaga di sekitar dinding dan gerbang. Para pengawal rela bersiap siaga di pos masing-masing tatkala penduduk kota mabuk kepayang karena berharap bisa menghidupi keluarga dengan imbalan upah berkali lipat. Padahal, keinginan untuk berbaur dengan riuh tawa dan kesenangan demikian besar. Beberapa pria memainkan batang kayu yang disulut api di kedua ujungnya, gerakan mereka begitu luwes memutar-mutar galah tersebut. Dua orang lain meniup obor dengan minyak tanah, semburan api bergulung-gulung di udara. Semangat mereka makin terbakar saat orang-orang yang menonton menyemangati dengan bersorak dan tepuk tangan. Gendang pun ditabuh, dawai dipetik, dan seruling ditiup para chebi. Mereka melantunkan tembang-tembang kegembiraan. Sembilan gadis belia menari dengan lenggokan tubuh yang gemulai dan sorotan mata yang menyirap jiwa raga siapa saja yang menyaksikannya. Penampilan mereka seperti putri-putri raja. Gaun yang membalut tubuh mereka merupakan kain sutra terbaik, perhiasan yang menempel dari mata kaki sampai lengan mereka dilapisi emas murni, dan di leher jenjang mereka melingkar sebuah kalung mutiara. Kecantikan bidadari-bidadari itu makin sempurna dengan mahkota permata yang tersemat di antara rambut hitam yang terurai indah. Seluruh pengunjung memuji meluapkan sukacita tanpa henti. Di bagian lain, seorang kehan berusaha membujuk langit agar tidak menurunkan musibah dengan mengipasi asapasap bikinan. Seisi Evenaar larut dalam kebahagiaan, sejenak melupakan derita dan kesengsaraan. Selagi asik menikmati kemeriahan ini, mataku menangkap sekelibat bayangan berseliweran dari satu tenda ke tenda lain seolah sedang mencari tempat sembunyi dari perhatian orangorang. Dituntun oleh rasa penasaran, kucoba mencari tahu dengan mengejar bayangan itu diam-diam. Walaupun berdesakan, mataku mengikuti arah yang dituju. 25
Gerakannya gesit sekali, kadang menyusuri pedestrian dan bergabung dengan bayangan lain sehingga sulit menerka ke mana larinya. Lalu kulihat dia mengendap-endap di belakang seorang anggota kafilah yang tengah bertransaksi dengan pembelinya. Pedagang itu menjual berbagai jenis kudapan langka, sebagian disimpan dalam wadah toples kaca berwarna-warni, sebagian lain diletakkan dalam guci-guci porselen. Akan tetapi, bayangan tadi cepat melompat mendekati lapak penjual roti dan tiba-tiba meregangkan salah satu bagiannya seperti membelah diri dari tubuh aslinya. Sulur hitam itu merambat menghampiri tiga orang pembeli yang juga tak menyadari adanya marabahaya. Aku tersentak melihat salah seorang di antaranya. Itu Sofis! Aku harus mencegah sulur hitam itu sebelum Sofis dan dua orang pengikutnya terluka. Aku mempercepat langkah mendekati mereka, sementara bayangan itu merangkak di sela keranjang-keranjang roti dan perlahan mencapai pergelangan kaki Sofis. “Pergi dari situ, dia mau membunuhmu!” teriakku. Aku melompat sekuat tenaga berusaha menghalangi bayangan yang hendak menyerang Sofis. Karena terkejut dengan teriakanku serta merta orang-orang di sekitarnya menoleh dengan mata terbelalak. Tubuhku terjerembap menubruk meja berisi dagangan, semua kudapan dan roti berjatuhan menimpaku. Mereka pasti menganggapku orang gila yang mencari sensasi. “Bodoh, apa yang kau…. lihat ulahmu, seisi tenda hancur lebur!” bentak si Tukang roti. Kejadian itu membuatku menjadi bahan tontonan, semua berbisik heran dan memelototiku, tak terkecuali Sofis. “Keterlaluan kau, di mana saja kau berada, kekacauan selalu mengikutimu. Dasar manusia terkutuk!” ujarnya. Ingin sekali rasanya menghajar abbat gadungan itu, tetapi tatapan beringas di sekelilingku membuat nyali kecut bercampur malu. “Tangkap dia!” Beberapa pengawal membangunkan dan meringkus kedua tanganku. Di depanku Kepala Biro Pengawalan berkacak pinggang, namanya Tuan Valhalad. Sosoknya berwibawa dan terpandang di Evenaar. Badannya kekar dan 26
wajahnya berahang tinggi dengan rambut tipis serta sorot mata tajam, menyiratkan pembawaannya yang disiplin dan tegas. “Sekap dia, pastikan tidak dapat berbuat onar lagi!” Mereka menggiringku ke ruang bawah tanah, memenjarakanku di balik jeruji-jeruji dingin yang pekat. *** Seseorang di sudut jeruji itu terus tertawa. Hahaha ... hahaha ... sosok tua renta yang tengah menikmati tawanya yang semakin mengakak, kadang tersedak liur sendiri. Bahkan, tidak sempat meluangkan waktu sedikit pun untuk mengambil napas. Badannya yang hanya tulang dibalut kulit seperti melawak sendirian. Sudah beberapa kali kepalanya menatap dinding tempat bersandar tanpa sadar. Sel kakek tua itu tepat di sebelahku, entah menertawai apa, atau siapa. Tempat ini lebih mirip sebuah gua batu ketimbang penjara, penerangannya cuma kobaran api di atas tungku yang digantung di langit-langit sepanjang lorong. Mungkin dia takkan mengeluh tentang bau menyengat yang membuatku muak. Tubuhnya baku seolah dia-lah pemilik sesungguhnya ruang bawah tanah ini. “Aku tertawa … aku tertawa … hahaha. Biarkan aku tertawa, hahaha!” girangnya, sementara bagiku sikapnya sangat menyebalkan. Barangkali dia terpenjara gara-gara kebanyakan tertawa sehingga orang-orang yang tidak mengerti dari mana dia datang dan yang tak mau mengerti kemana dia akan pergi, merasa terganggu oleh suaranya yang serak dipenuhi dahak. “Kek, kakek sedang menertawakan apa?” Kupikir dengan mengajaknya ngobrol bisa menghentikan tawanya, paling tidak gangguan itu menjauh dari pendengaranku. Akan tetapi, dia terus tertawa sehingga kekesalanku membeludak. “Bisa diam tidak, Kek?” bentakku. Kakek itu tiba-tiba terdiam. “Ssst ...,” dia mendesis seraya telunjuknya mengunci bibir, “diam!” Suasana berubah hening. “Apa yang kau tertawakan?” tanyaku setengah berbisik. Kakek itu tak menjawab. Pandangan matanya kosong, tapi bola matanya bergerak ke sana-sini seolah sedang mencari sesuatu. 27
“Bunga,” jawabnya. “Memangnya ada apa dengan bunga?” “Bunga … sedang …” Kali ini kalimatnya terbata-bata, lalu dia menggeser duduknya mendekati jeruji besi selku. Kakek itu menempelkan telinga di dinding sambil menatap. “Hamil,” ucapnya. “Hamil?” Dasar aneh! Kugeser posisiku menjauh darinya. “Kenapa menjauh? kau tahu, kehidupan di dunia ini berawal dari kehamilan,” sewotnya. “Semua orang juga mengerti soal itu.” “Berarti, kalau tidak ada perempuan yang hamil maka tidak akan ada kehidupan!” Usai bicara badannya mengerang seperti penderita ayan. “Kau kenapa, Kek?” Pertanyaanku malah dijawab oleh tawanya dan kontan membuatku geram. “Gara-gara hamil saja sampai tertawa seperti itu, dasar gila!” Tiba-tiba dia menerjang jeruji pembatas sel kami, “Tapi anak yang sedang dikandungnya bukan anak pejantannya!” Dengusan napasnya yang bau dan giginya yang menguning itu menyerangku. Badannya berbalik bergetar dan kepalanya menggeleng berulang kali. “Tidak, oh tidak!” teriaknya, “Jangan bungaku, tidak!” “Mati saja kau tua gila. Mati saja kau!” umpatku saking ketakutan. “Kau begitu sombong tentang cinta, seolah kau mengerti segalanya.” Air liurnya menetes seakan melihat hidangan lezat di hadapannya. Tangannya menggenggam jeruji dengan erat, menitisinya dengan gejolak berapi-api. Kepalanya diusap-usapkan dan lidahnya terjulur menjilat besi yang dingin. Apakah seperti ini rupanya orang yang kerasukan setan, pikirku. “Di zaman ini kita makan untuk hidup, lama-lama menjadi kebutuhan yang membuat kita menderita.” Jemarinya mencakar dinding, tubuhku serasa dikuliti oleh derit suara yang ditimbulkan. Lalu dia melanjutkan kalimatnya, “Kebutuhan membuat kita lupa dan diperbudak oleh kehidupan itu sendiri. 28
Kebutuhan hidup mengubah cinta menjadi sekelas makanan pengisi perut, menya-maratakan urusan di bawah perut sama halnya dengan di atasnya. “Tidak lagi karena cinta, tidak lagi atas nama cinta, tapi—” dia menghentikan ucapannya sebentar, mengalihkan pandangan kepadaku, “karena kebutuhan,” kepalanya dibenturkan, lalu membuat gerakan memasukkan sesuatu ke mulutnya, “seperti saat kita makan!” Dia melompat sambil tertawa dan terus tertawa. Ramalanku benar terjadi, obrolan kami bukan cuma tak keruan. Lebih tepatnya menyesatkan. Hahaha … hahaha … kebutuhan hidup … kutukan … hahaha. *** Matahari menyinari wajahku dari sebuah lubang kecil dan tepat mengenai kelopak mataku, rasanya seperti dibakar hiduphidup. Sayup-sayup terdengar gemuruh. Bukan disebabkan sambaran petir dan retakan bumi, melainkan teriakan lantang para penduduk Evenaar. Rupanya mereka tengah mengelukan pembacaan vonis hukuman bagi seorang nelayan bernama Hallag. Sepulangnya dari pelayaran selama berbulan-bulan, Hallag mendapati isterinya tengah bercinta dengan orang lain dan langsung mengambil tindakan main hakim sendiri. Pengadilan memutuskan Hallag harus menjalani penyiksaan di penjara sebelum mendapat hukuman mati lantaran pembunuhan itu bukan saja merenggut nyawa isteri dan selingkuhannya, tetapi juga janin yang sedang dikandung. Dari sebuah lubang kecil, entah kebetulan atau tidak, mataku tepat menangkap pemandangan ketika Sang Algojo membuka selubung yang menutupi kepala terpidana. Semua mengikuti kapak besi yang diangkat tinggi-tinggi dan kemudian melesat cepat melewati bagian leher. Wajahnya mengikuti putaran, menggelinding dengan senyuman yang tak asing. Senyum yang mengingatkan pada lawan bicaraku semalam; si Tua gila. Mengapa dia menyunggingkan senyum? Apakah karena kematian sungguh memerdekakan hidupnya? 29
Jika kehidupan bukanlah kepastian dan hanya kematian yang dapat dikatakan kepastian, tentunya menunggu kepastian dalam ketidakpastian sangatlah membosankan. Apakah Hallag melakukan pembunuhan terhadap pasangan selingkuh itu cuma untuk menghilang-kan kebosanan? Yang benar saja! Haruskah aku menghibur diri dalam ketidakpastian seraya terus menerus menggantungkan seluruh kehidupanku pada harapan? Meski jijik terhadapnya—terutama obrolan aneh yang dia bangun, tetapi Hallag berhasil meninggalkan kesan mendalam bagiku. Senyumannya terus bertahan sampai detik akhir, menyiratkan harapan sekaligus pertaruhan. Mungkin seharusnya aku pun bertaruh; bahwa suatu saat kepastian hidup akan datang? Para bangsawan Evenaar berencana mengadakan upacara penyucian kota setelah hukuman pancung dilaksanakan. Upacara itu membutuhkan hewan ternak berupa delapan ekor domba yang harus disediakan oleh pihak keluarga dari mana aib itu berasal. Artinya, kerabat dan sanak keluarga dari Hallag akan menyiapkan segala yang dibutuhkan dalam upacara tersebut. Akan tetapi, tidak satu pun anggota keluarga Hallag yang mengakui kakek tua itu. Mereka menutup diri selamanya dari masyarakat. Dewan Kota yang berisikan bangsawan-bangsawan Evenaar kebingungan. Sementara itu, Sofis malah memprotes rencana penyucian kota. Menurut Sofis, upacara itu hanya boleh dilakukan pada hari raya Evenaar, yaitu hari Urs. Tuan Yazed geram melihat sikap keras hati anaknya. Padahal, pamor Sofis sangat terkenal bak seorang pahlawan. Bagi Tuan Yazed, upacara itu merupakan momen yang tepat untuk menunjukkan siapa dirinya di kalangan bangsawan Evenaar. Bertahun-tahun Tuan Yazed berusaha keras agar status dan posisinya disejajarkan dengan mereka, hal ini membuat Tuan Yazed berada dalam dilema. Karena obsesinya yang demikian muluk, dia berusaha membujuk Sofis supaya tidak menentang keinginan Dewan Kota. Akan tetapi, Sofis tak menggubris permintaan ayahnya. Justru dia memarahi dan memperingatkan ayahnya agar tidak terjerumus 30
menuju kesesatan. Akhirnya Tuan Yazed tidak mau menegur dan berbicara dengan Sofis, kecewa dengan kelakuan putranya. Aku diberitahu berita penyucian kota itu oleh Bamyeh ketika dia menebus pembebasanku dari penjara, tetapi ceritanya disertai dengan amarah. Katanya, hampir semua orang di Evenaar mengetahui perbuatan memalukanku. Kalau dirinya sekaya Tuan Yazed, dia akan membeli seratus ekor domba lalu mengadakan upacara penyucian kota selama sepuluh hari akibat aib yang diterima keluarga besarnya karenaku. Masyarakat Evenaar adalah masyarakat kecil yang mengenal silsilah keluarga mereka, atau hampir seluruhnya mempunyai pohon keluarga yang sama. Dalam setiap pertemuan, mereka suka membanggakan diri dan bergunjing. Mereka merasa malu dijadikan bahan pergunjingan jika ada salah satu anggota keluarga yang berbuat aib. Bahkan sampai mengunci diri, menyesal, dan meratap berhari-hari, Pengorbanan, haruskah aku menyaksikannya? pikiranku bergidik ngeri membayangkan kisah-kisah penebusan dosa sepanjang sejarah umat manusia. Nyawa-nyawa yang dikorbankan, dijadikan tumbal dan dipersembahkan untuk hal-hal yang tidak mudah dimengerti; kemenangan, keselamatan, kesejahteraan, ketenangan, atau perdamaian. Bahkan, tak jarang pengorbanan dilakukan hanya karena kepatuhan dan ketundukan belaka. *** Akankah kehidupan berakhir saat kematian? Jika ternyata kita tak meninggalkan siapa pun, apakah orang seperti Hallag yang tak mempunyai keturunan dan ditinggalkan keluarga besarnya dapat memberitahu bagaimana rasanya hidup sendirian? Begitu pula dengan istrinya yang bekerja di sebuah pabrik pencelupan kain, di tempat itu tak ada yang benar-benar peduli untuk sekadar mencari tahu dari mana dia berasal. Semestinya tiada yang dipermalukan dan harus menanggung aib keduanya. Akan tetapi, bukan malu yang dirasakan penduduk Evenaar, melainkan ketakutan akan datangnya hukuman. Mereka bertanya31
tanya tentang siapa yang akan melepaskan aib tersebut. Di dalam sebuah forum terbuka, Dewan Kota memutuskan akan menanggung seluruh biaya upacara penyucian. Mereka mendesak supaya tetap diselenggarakan, meski masyarakat Evenaar terbagi; ada yang setuju dan ada yang menentang. Pada kesempatan itu Sofis berkhutbah dengan lantang, “Leluhur kita, generasi terdahulu dari manusia Evenaar tidak pernah mengadakan upacara penyucian kota selain di hari Urs karena hari itu adalah hari raya bagi kita. Tradisi ini sudah ditetapkan generasi terdahulu. Apakah kita akan meninggalkannya dan membuat tradisi baru? Sungguh perbuatan itu akan mendatangkan bencana pada negeri ini. “Wahai penduduk Evenaar, janganlah kalian melupakan bahwa sendi-sendi negeri ini dibangun oleh darah dan perjuangan para abbat. Merekalah yang memegang kunci pengetahuan dan terus menjaga kita dari kesengsaraan dan malapetaka. Mestinya kita tidak berpaling dan mengadakan tradisi-tradisi baru yang bertentangan. Apalagi, hanya untuk menghamburkan harta dan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Para abbat telah menurunkan bagaimana caranya memelihara kemuliaan negeri ini. Kita harus menjunjung tinggi tradisi generasi awal, generasi leluhur kita para abbat.” Keyakinan masyarakat Evenaar yang semula ragu bertambah meningkat setelah mendengar kata-kata Sofis. Mereka mendukung Sofis dan kian percaya bahwa Sofis adalah sang Juru selamat. Seolah tersadarkan dari mimpi panjang, mereka berteriak mengagungkan Sofis dengan bebas. Melihat gelagat sebagian besar masyarakat yang berpaling mendukung Sofis, forum pun dihentikan untuk sementara waktu. Anggota dewan berunding kembali. Dewan Kota diketuai oleh seorang bangsawan bernama Darmin Darius, perawakannya jangkung, berkepala botak, dan mempunyai janggut tipis di dagunya. Dari ekspresi tulang pipi yang besar dan menonjol di wajahnya, tampak dia membenci apa yang baru saja terjadi. 32
Anggota dewan lain menangkap mimik kekesalan di wajah Darius, tapi mereka sama sekali tak bisa mengusulkan solusi jitu. Semuanya hanya diam menutupi kepura-puraan, seperti memikirkan hal lain yang lebih menyenangkan. Mendadak pintu terbuka dan mereka terkejut melihat siapa yang hadir. Tuan Yazed tersenyum menatap anggota Dewan Kota dengan pakaian mantel beludru yang membuatnya terkesan pongah. “Apa kabar, kawan-kawan?” sapanya. “Yazed, mau apa kau?” “Sabar, Darius. Wajah itu seharusnya tidak kau pasang, terlalu banyak kekecewaan di dalamnya. Wajar saja karena kau dikelilingi oleh orang bodoh,” ujar Yazed. Dari dulu dia selalu menganggap anggota Dewan Kota adalah sekumpulan orang yang kerjanya hanya menghabiskan harta, bodoh, dan tidak terampil mengembangbiakkan pundi uang. “Lalu apakah tujuanmu sebenarnya?” tanya Darius. “Aku punya saran yang bagus untukmu kalau kau tidak keberatan mendengarnya.” Darius mempersilakan Yazed menjelaskan rencananya sebab dia menyadari bahwa mustahil mendapatkan usul lebih bagus dari anggota yang lain. Raut muka Yazed berseri-seri, dia tahu caranya mengambil kesempatan demi menuju ambisinya. Dibeberkan semua yang direncanakan sampai berbusa. Bahkan, beberapa detail penting telah dijalankannya terlebih dahulu; seperti membayar seorang kehan yang sangat masyhur dan telah diakui keahliannya untuk meminta langit menurunkan badai cahaya berulang kali. Yazed juga mengirimkan surat kepada kerajaan agar utusan kerajaan sudi mengunjungi Evenaar. Setelah beberapa saat perundingan itu dilakukan, Dewan Kota memasuki forum terbuka. Darius berdiri di atas panggung dan masyarakat menyorakinya. Darius tetap maju berkhutbah, “Wahai, penduduk Evenaar. Ketahuilah bahwa negeri ini adalah negeri yang dianugerahi pengetahuan dan kejayaan. Kemuliaan kita berpijak pada tradisi-tradisi yang dibangun oleh para leluhur. Tradisi merupakan pondasi yang kuat maka kita tak boleh 33
melupakan ajaran dan tradisi generasi terdahulu. Tradisi sangat pantas untuk kita hormati dan junjung tinggi selama tradisi itu patut untuk kita hormati. Upacara penyucian kota merupakan tradisi yang dilakukan para leluhur untuk menghalau negeri ini dari marabahaya, mencegah kehancuran dan kepunahan. Karena itu, kita patut melestarikan tradisi ini sebisa mungkin untuk mempertahankan Evenaar. Sekarang ini banyak sekali tragedi yang menimpa kita, apakah terlarang untuk kita melakukan upacara tersebut walaupun sekadar untuk bertahan hidup?” Setelah dia menghabiskan kalimatnya, Darius mempersilakan perwakilan dari Kafilah Darzat berbicara, “Dalam kesempatan ini saya mengundang Tuan Turgimahn untuk menyampaikan pendapatnya sebagai pengelana yang telah berulang kali mengunjungi Evenaar.” Tuan Turgimahn pun melangkah maju. “Salam, masyarakat Evenaar. Kami berterima kasih atas penerimaan kalian yang sangat baik dan terpuji. Kami merasa senang dan nyaman di negeri ini atas perlakukan yang kami terima. Kami menganggap kalian sudah seperti saudara sendiri yang dipertemukan kembali setelah perpisahan panjang. Percayalah, bahwa bagi kami yang sering berkelana dan mengunjungi negeri-negeri, tidak ada yang lebih indah dibandingkan udara di Evenaar. Pengembara seperti kami sangat jarang melihat keistimewaan di setiap tempat yang disinggahi. Pada dasarnya semuanya sama saja, tetapi tidak dengan Evenaar. Banyak hal yang membuat kami merindukan tempat ini. Kehangatan yang menuntun langkah kuda dan bagal untuk selalu memutar arah kembali ….” Sofis lekas memotong ucapan Turgimahn, “Bicara hakikat, bicaralah hakikat. Bicara adat, bicaralah adat. Bicara ayat, bicaralah ayat. Satu demi satu, bukan bercampur aduk. Urut tertata, bukan semena lupa. Berbaris dalam jalur, bukan berkelindan pada alur. Ambil satu sikap, ambil satu sandaran, ambil satu pegangan, ambil satu ketegasan. Tak perlu berdusta 34
jika percaya dirimu benar!” Turgimahn tidak kehilangan akal, dia memikirkan sesuatu untuk membalas, “Apakah kalian akan membiarkan negeri seindah ini punah begitu saja? Apakah kalian akan membiarkan para kafilah tak bisa menemukan Evenaar dalam peta-peta perjalanan mereka? Apakah kalian mengharapkan semua yang telah kalian jaga menghilang begitu saja? Jika jawabannya tidak, maka menurut kami sebagai orang asing yang memuja negeri keabadiaan, sebaiknya tradisi penyucian kota tetap dilaksanakan demi mencegah Evenaar dari kehancuran,” demikian teriaknya. Semua masyarakat Evenaar serta merta terdiam. Keadaan hening sampai ada salah satu dari mereka yang bertepuk tangan serta berteriak, “Hidup Evenaar, hidup Evenaar, hidup!” masyarakat pun menyambut teriakan itu dengan melakukan hal yang sama, mereka meneriakkan kejayaan dan kebanggaan terhadap tanah mereka. Darius dan anggota dewan lain tersenyum menyaksikan reaksi yang diberikan. Mereka mengagumi dan mengakui skenario jitu yang tengah dijalankan Yazed. *** Cuaca mendung menyelimuti Evenaar selama berhari-hari, masyarakat mulai menyadari kejanggalan langit. Mereka dihantui cemas dan takut, khawatir bila tanah di mana mereka tinggal segera ditimpa bencana besar. Menurut legenda, dahulu kala ada suatu negeri yang sangat indah dan makmur. Kemudian suatu hari musibah datang melanda, langit menjadi gelap, dan menurunkan hujan api. Seisi negeri itu hancur lebur. Peristiwa demikian yang kini ditakuti oleh penduduk Evenaar, takut terulang kembali di tanah kelahiran mereka. Desakan agar upacara penyucian kota segera dilaksanakan bertambah gencar, tapi belum ditemukan hewan ternak yang pantas untuk dikorbankan. Bamyeh memberikan pendapatnya sendiri tentang sulitnya menemukan domba berkualitas tinggi. Katanya, “Belakangan ini rumput segar jarang didapat. Akibatnya, hewan-hewan memakan apa pun termasuk wabah.” “Mengapa harus domba yang dikorbankan? Begitu 35
susahnya mencari domba yang sesuai, kenapa tidak diganti hewan lain saja?” tanyaku saat melihat rombongan orang berbondong mendatangi pelataran gedung pengadilan. “Seperti kuda maksudmu? Kuda lebih baik dijual karena menguntungkan.” “Bagaimana kalau sapi, di sini sapi-sapi sangat gemuk dan warnanya kuning keemasan. Dua ekor sapi bisa mengganti delapan ekor domba.” “Seekor domba yang berbulu seputih susu adalah lambang kesucian. Kauingin mengubah tradisi, heh?” “Kenapa hewan suci harus dibunuh? Kenapa tidak diganti dengan hewan menjijikkan seperti ular? Hewan melata itu katanya penjelmaan setan, pantas untuk dibunuh.” “Ini bukan pembunuhan, tapi penyucian. Upacara suci harus menggunakan hewan suci, dasar bodoh!” “Lebih baik domba itu kita makan, bulunya kita jual, atau dibikin sepatu.” “Sepatu terbuat dari kulit ular, bukan domba. Kau ini memang bodoh!” umpat Bamyeh dari balik dapur sementara orang-orang yang berlari makin banyak, hal itu menarik keingintahuanku. “Hei, Bamyeh, aku mau keluar melihat keramaian.” “Kembali sebelum gelap, aku tidak mau dengar banyak alasan!” teriaknya masih dari balik dapur, entah apa yang sedang dia kerjakan. Rupanya sebagian orang tidak hanya berlari ke gedung pengadilan, tapi juga menuju aula kediaman Sofis dan para pengikut setianya. Mereka bergabung bersama melakukan ritual permohonan. Dalam posisi duduk bersimpuh kedua tangan kanan mereka menyilang di dada, tangan kanan di atas yang kiri, sembari bibir mereka berteriak meratap melantunkan doa, dan air mata mengucur deras membasahi pakaian. Sementara dari pelataran gedung pengadilan, Tuan Darius mengumumkan berita bahwa utusan dari kerajaan akan datang menghadiri upacara penyucian dan bersedia menghadiahkan hewan-hewan korban. 36
Masyarakat berkumpul mendengarkan penuh harapan, mereka meneriakkan kegembiraan. Kebisingan pun membahana. Sebagaimana yang diumumkan oleh Tuan Darius, keesokan hari rombongan kerajaan memasuki gerbang kota. Mereka disambut meriah oleh masyarakat Evenaar yang telah berbenah menghias kota sejak dini hari. Tak terkecuali diriku dan Bamyeh, kami mengecat dinding, membentangkan karpet di pintu masuk, dan menggantung lampion warna-warni di teras restoran kami. Bamyeh membeli daging sapi kualitas terbaik, roti, rempah-rempah, dan bahan masakan lain, seseorang memberi informasi padanya bahwa kari dan daging asap sangat digemari orang-orang kerajaan. Baru kusadari apa yang membuatnya sibuk seharian di dalam dapur, rupanya dia sangat antusias menyiapkan menu tersebut. “Mereka akan memutuskan untuk singgah di sini karena mencium aroma masakanku,” ucap Bamyeh berbangga diri. Bamyeh sibuk membanggakan cita rasa hidangan istimewanya sementara aku menyelinap pergi. Di luar restoran orang-orang berjejal menyaksikan parade utusan kerajaan. Lima prajurit pengawal lengkap dengan kuda-kuda mereka yang gagah berjalan lambat, kemudian diikuti kereta kuda dan satu pasukan infanteri yang berjumlah dua belas orang. Di belakang mereka masih ada kereta kuda dan tiga orang pengawal. Kereta yang terakhir kemungkinan berisi hewan kurban, tetapi masyarakat tak dapat melihat ke dalam karena terhalang kain berwarna hitam berlambang kerajaan. Rombongan itu berhenti Saat tiba di depan gedung pengadilan, seorang pengawal memasang tangga kecil. Tuan Darius membuka pintu kereta, dan semua orang membungkukkan badan. Rasa penasaran di dadaku berdegup kencang. Begitu berhasil mendapatkan posisi yang tepat, malah pandanganku yang terhalang oleh pakaian utusan itu. Ternyata sia-sia belaka. Seluruh tubuhnya dibalut pakaian serba hitam dari ujung kaki hingga kepala, dan hanya kedua matanya saja yang ditampakkan. Kupikir pakaian utusan kerajaan sangat mewah, sebaliknya, sungguh 37
mengecewakan. “Tundukkan lehermu!” teguran itu membuatku membalikkan badan dan mendapati seorang gadis bertudung merah dengan sebuah keranjang buah dalam genggamannya. “Kau dilarang melihat anggota keluarga kerajaan!” “Mengapa?” tanyaku. “Karena itulah peraturannya. Kaum perempuan bangsawan dan keluarga kerajaan harus mengenakan pakaian begitu supaya berbeda dari perempuan biasa.” “Jadi utusan itu perempuan?” “Tentu, dan orang biasa seperti kita bisa kena hukuman jika berani melihat mereka.” “Mengapa?” “Tadi sudah aku jelaskan, masih terus bertanya. Kalau kau bukan bangsawan lebih baik menunduk.” “Lalu kenapa kau ada di sini bersamaku?” Dia baru menyadari sedang bersamaku di atas atap yang sama. “Aku hanya mengikutimu yang mengendap-endap memanjat kemari, barangkali kau berniat buruk terhadap utusan kerajaan.” “Aku cuma ingin melihat wajahnya saja, kaupikir aku mau berbuat apa?” “Anak kecil sepertimu sanggup menciptakan keributan yang melibatkan seisi kota!” jawabnya. Seketika itu emosiku bergejolak. Sebisa mungkin kutahan agar keributan yang diperkirakan tidak benar-benar terjadi. Kesialanku hari ini begitu lengkap setelah rasa kecewa sebelumnya bercampur dengan kekesalan, sepertinya mereka tak kenal lelah menghampiri takdirku. Jika kesialan merupakan tingkatan terendah dari keburukan, semoga yang paling tinggi bukanlah sesuatu yang disebut keberuntungan. Lalu sengaja aku tinggalkan gadis itu sendirian tanpa menghiraukan panggilannya. “Tolong aku sebentar,” ujarnya setengah berteriak. “Turun saja sendiri!” “Bantu aku turun dulu!” 38
“Akui dulu siapa yang akhirnya bikin keributan!” “Dasar pemarah!” Sepanjang hari aku menggumam tak jelas mengulang beberapa kejadian yang memalukan dan mengutuknya. Lalu menggali kenangan yang lain dan mengumpatnya kembali. Kisahkisah perjalanan ini membuatku terus menyesal dan berharap esok hari jauh lebih baik. Tak perlu menunggu gelap untuk melewati penderitaan. Matahari masih bisa mengetuk kelopak mataku, meskipun kutantang dengan tatapan amarah. Sinarnya selalu membalasku penuh kehangatan sementara tragedi lain terus menantiku keluar dari tempat persembunyian. Kadang suatu hal terjadi karena suatu alasan yang tak pernah kutahu. Bahkan, tak bisa aku kenali walau ada di depan mata. Mengapa domba-domba itu dikorbankan? Mereka terus membuat kegaduhan dalam kandang, mungkin lebih dahulu menyadari apa yang akan terjadi. Seharian penuh mereka kelaparan, terbelenggu oleh naluri yang seharusnya menenangkan. Kutahu bahwa beberapa jam lagi dari sekarang mereka akan dikorbankan. Dengan matahari di titik puncak dan panas yang sangat terik, kawanan domba itu tidak akan sanggup menahan. Mereka akan mengembik tak keruan dan menendang kandang seberisik mungkin. Sama saja seperti diriku yang tak tahan ingin melampiaskan semua kekesalan. Seperti membuat kekacauan di tengah kota, menari telanjang, atau mengamuk mengganggu orang-orang di pasar. Baru mereka akan percaya bahwa manusia mempunyai naluri kebinatangan. Setelah itu mereka akan membiarkan kejadian itu berlalu hanyut bersama waktu, karena manusia tak lebih dari binatang yang ditempeli akal dan mudah sekali melupakan. Mungkin memang manusia tidak pernah memikirkan alasan-alasan, tapi kurasa semua itu adalah hal yang setimpal. Bukan karena sebab musabab, melainkan untuk suatu tujuan yang disebut kesucian. Sesaat nanti upacara itu akan menyucikanku dan seluruh manusia di kota ini. Apakah kebinatanganku, 39
kebinatangan manusia Evenaar dapat dihilangkan? Bahkan, dengan membunuh binatang itu sendiri? Ya, ampun! Aku terkejut dengan pikiran-pikiranku sendiri yang boleh dibilang sungguh liar. Tiba-tiba gadis bertudung merah itu muncul dari dunia antah-berantah. Siapa sih dia? Berkeliaran seenaknya. Senyumannya juga terkesan aneh, seperti menyimpan seribu satu pertanda antara kebaikan dan keburukan, sekaligus memaksaku mengakui bahwa tanpa senyuman itu kecantikannya takkan membiusku. “Kenapa?” sapanya, “sepertinya kau tidak menyukai kehadiranku?” sekarang dia berani membaca pikiranku. “Mau apa kau sebenarnya?” “Apa maksudmu?” “Kau muncul seolah kita sudah berbaikan.” “Memangnya kita pernah bermusuhan? “Sampai sekarang aku masih membencimu.” Gadis itu duduk di hadapanku, “Kau harus belajar melupakannya.” Semudah itu dia mengatakannya. Padahal, dia telah membuatku apes seharian. “Aku datang ke sini karena ingin menyaksikan upacara penyucian.” “Mengapa harus di sebelahku, kau bisa mencari tempat lain,” sewotku seraya memelototinya. “Di sini sangat menarik,” kata gadis itu membalas tanpa melepaskan tatapan matanya. Terus terang membuatku terdiam gelisah. Sengaja aku beralih darinya. Duar! Sontak langit berteriak, disusul gemuruh seakan runtuh. Awan hitam memburu dengan derap tak sabar. Cras! Cras! Cras! Halilintar menunjukkan kuasanya. Dia tidak sedang bermain, atau berada di puncak kenakalan. Bumi menjerit takut, tak jauh berbeda dengan mereka yang menginjaknya. Bagi orang gurun seperti kami, semua yang turun dari langit adalah petaka dan menakutkan. Tidak ada kebebasan yang membiarkan kami berlari telanjang kaki, tidak ada kecipakkecipuk air dalam genangan, tidak ada dunia yang indah. Duar! Kami memekik ngeri. Lonceng-lonceng dibunyikan, para 40
pengawal berteriak mengumpulkan warga dari empat menara penjuru mata angin. Rupanya Dewan Kota berniat mempercepat prosesi upacara. kawanan domba yang telah dipersiapkan diarak menuju alun-alun kota. Dengan segenap kekuatan mereka memberontak tatkala dipaksa menaiki altar, menendang ke segala arah agar terlepas dari tangan-tangan perkasa yang membekap tubuh mereka. Kemudian delapan orang gadis bergaun putih memasuki pelataran, melangkah dengan hati-hati sembari membawa delapan buah guci berisikan delapan macam wewangian. Sebanyak delapan kali pula para bidadari itu mengelilingi altar, lalu menyiram berbagai jenis wewangian tersebut ke masing-masing hewan korban. Seorang kehan berteriak dari atas panggung di samping altar. Selain dirinya terdapat pula anggota Dewan dan utusan kerajaan turut menyaksikan kelangsungan prosesi upacara dari gedung Dewan Kota; Darius membuka acara itu dengan khutbahnya, “Hari ini kita menyaksikan peristiwa yang telah lama kita nantikan, menulis sebuah sejarah baru bagi Evenaar, goresan tinta emas yang akan terus dikenang dan menyinari negeri ini sepanjang masa. Semoga langit mendengar doa-doa yang kita pinta, merestui ketundukan yang kita tunjukkan, dan mewujudkan apa yang kita harapkan.” Kemudian sang Kehan membakar rempah-rempah, dan mengasapi seluruh hewan korban, sementara pembantunya menyerahkan sepasang boneka yang terbuat dari kulit kayu yang diukir dan dilukis menyerupai manusia. Sebelum menyentuhnya, kehan itu membaluri tubuh sendiri dengan asap. Terdapat tangkai kayu di bagian bawah boneka tersebut yang digunakan sebagai penopang sekaligus genggaman untuk mengendalikannya. Lalu dia mulai bercerita tentang bocah laki-laki yang berkelana atas nasihat seorang raja tua. Sebuah perjalanan anak manusia yang mencari jati diri dan makna kehidupan. Dengan melewati beragam peristiwa, bocah itu mempelajari cara meraih kesucian jiwa. Tubuh memenjarakan jiwa yang bergerak bebas di alam semesta. Akan tetapi, jiwa terus 41
mencari kesempatan melepaskan diri dan memberontak terhadap tubuh. Bahkan, memengaruhi tubuh dengan mengubahnya menjadi rapuh. Karena itu, jiwa manusia harus disucikan. Setelah bocah itu kembali dari perjalanannya, dia mengetahui bahwa raja tua telah meninggal. Untuk mengenang jasanya, bocah itu menetap di dekat sumur yang letaknya tidak jauh dari makam sang Raja. Setiap hari dia melayani kafilah yang lewat, menyediakan air, menyampaikan beberapa pepatah dan nasihat. Rombongan kafilah yang datang terus bertambah, mereka menyukai kata-kata bijak penunggu sumur. Lambat laun usianya terus menua, dirinya bukan lagi si Bocah. Suatu hari dia bermimpi mendapati tempat itu telah berubah menjadi pemukiman yang sangat ramai, dan dicatat dalam petapeta para kafilah. Saat dirasakan ajal kian dekat, dia menceritakan seluruh kisah hidupnya, termasuk suara angin yang terus membisikkan sebuah nama di telinganya. Bisikan itu telah membuatnya menderita. Sampai tubuhnya tak berdaya oleh kelumpuhan, bisikan itu terus terdengar sehingga dia berupaya mematikan pendengarannya. Sang Penunggu sumur telah tiada, orang-orang melaksanakan wasiat terakhirnya; mengadakan upacara pengorbanan untuk menyucikan jiwanya. “Menuju istana surga dia berlayar. Menepis badai di langit, menduduki pendulum takdir. Singgasana kedamaian nan abadi. Tiada gusar angin mengguncang. Berlabuh di dermaga keberkahan.” Usai bercerita dan berpuisi, kehan itu lekas menaruh boneka-boneka kayu. Mengganti dengan hunusan pedang. Prosesi penyembelihan segera dilakukan, semua mata tertuju ke arah altar. “Dan domba tetap menjadi domba, takkan berubah menjadi singa sampai langit membuka pintunya dan terlahir kembali ke dunia.” Demikian ucapan terakhir sang Kehan. Awan hitam berarak rendah. Tiap orang menanti walau hati dipenuhi gelisah. Ingatan masa lalu menjadi trauma abadi. Penyembelihan mulai dilakukan, mata pedang yang tajam itu melakukan tugasnya dengan baik. Sebentar saja hewan 42
pertama mulai kehabisan darah dan tubuhnya berhenti meronta. Kondisi serupa juga berlaku bagi yang kedua. Perlahan rasa lega menyeruak. Disadari, atau tidak, hampir semua orang menghela napas berbarengan. Rangkaian ritual kelihatannya berjalan lancar pertanda segalanya baik-baik saja. Sebagaimana kata pepatah, sesuatu yang datang kedua kali, akan kembali untuk ketiga kali, keempat kali dan seterusnya. Duar! Secercah kilat tiba-tiba menyambar mengakibatkan kehan di atas altar terpental jauh. Terdengar jerit ketakutan, terlebih ketika petir itu membakar altar, termasuk hewan-hewan korban. Kepanikan pun tak bisa dielakkan. Lalu dari arah lain datang serangan tak terduga, gerombolan orang menyerang dan mengepung alun-alun kota. Tuan Valhalad dan anak buahnya berusaha memberikan perlawanan, tapi senjata mereka terlucuti dengan sendirinya. Mereka terkejut bukan main. “Menyerahlah orang-orang Evenaar!” Perintah itu datang dari seorang pria yang mereka kenal. Baru mereka sadari apa yang dilakukan pria itu bersama pengikutnya bukan hanya sekadar perkumpulan biasa. “Kalian telah mengkhianati para abbat, padahal Smaragad masih berdiri kokoh.” Tongkat hitam dalam genggamannya menunjuk ke atas bukit. “Sofis, kau!” bentak Yazed, ayahnya sendiri, “Kau gila!” Dia tak habis pikir menyaksikan perbuatan putranya yang kelewat batas. “Kalian para penduduk Evenaar yang telah gila, hanya demi ambisi pribadi kalian berani mengubah apa yang telah ditetapkan oleh para abbat.” “Lihat perbuatanmu, kau telah membuat kekacauan!” balas Tuan Darius. “Apa yang aku perbuat adalah mengembalikan apa yang seharusnya. Inilah ketetapan para abbat yang suci dan tak mungkin berganti!” “Itu hanya bualanmu semata, sebuah jargon indah dengan agenda busuk!” bentak Valhalad. “Lihatlah, Smaragad itu hanya tumpukan batu yang tidak berbicara. Apa yang mereka wariskan adalah apa yang kita jalani, tapi bukan berarti kita tidak dapat membuat keputusan sendiri!” 43
“Diam kau, Valhalad!” hardik Sofis, “kau pikir dirimu siapa, lancang berucap seperti itu!” Dia memukulkan tongkatnya ke tanah, dan sulur-sulur hitam bergerak melesat ke arah Tuan Valhalad lalu menjerat leher pria bertubuh tinggi itu. Semua orang tersentak dan bergidik ngeri. Bahkan, ada yang lekas menutup mata tak sanggup menyaksikan Tuan Valhalad bertarung mempertahankan napas terakhirnya. Mereka pun tak menyangka jika Sofis memiliki kekuatan sebesar itu. *** Apakah kita akan baik-baik saja? Itulah ucapan terakhir yang kudengar dari si Gadis bertudung merah. Dari pertanyaan itu, nampaknya ketidakpastian telah merenggut kesadaran pribadinya. Kadang di saat genting seperti ini, hidup dan mati adalah sesuatu yang tak pasti. Hanya kehampaan tersirat di wajah dan ingatan akan kisah masa lalu tak bermakna. Jiwanya dikuasai praduga bahwa kehancuran kian dekat dan kebinasaan tak mungkin dihentikan. Niatku hendak mengatakan sejujurnya tentang suasana di luar, tapi rasa iba membuatku berdusta. “Tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa pada kita,” jawabku mencoba menghibur hatinya. “Benarkah?” tanyanya. Kutahu dia meminta kepastian, tapi bukan diriku yang dapat memberikan. Aku tidak tahu, jawab batinku. “Ayo, kita pergi dari sini!” “Ke mana?” “Nanti saja aku pikirkan, yang penting kita harus pergi sebelum tertangkap oleh mereka.” Apa yang tengah aku rencanakan, pikiranku buntu seketika. Intuisiku menyuruh supaya menjauh dan hanya ada satu kata yang terngiang di kepalaku; Smaragad. Hanya tempat itu yang dapat melindungi kami. Setidaknya aku masih bisa berharap dan harapan itu yang memacu langkah kakiku menuju Smaragad, tapi tidak demikian dengan si Tudung merah. Bahkan, baru separuh perjalanan dia tak sadarkan diri. Akhirnya aku putuskan untuk menyembunyikan gadis itu di gudang tempat penyimpanan hasil panen, tubuhnya kututup dengan jerami agar tidak ketahuan. Lagi pula jika kuajak 44
dia ke Smaragad belum tentu bisa membawanya masuk, aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Yang aku pikirkan sekarang adalah Romina, aku berusaha menghubungkan diriku dengannya. “Romina, tolong aku. Romina, bawa aku menemui Abbat Khom,” ucapku sendirian. “Romina—” tiba-tiba aku telah berada di ruangan batu yang kukenal. “Romina!” teriakku mencarinya dari satu ruangan ke ruangan yang lain, “Abbat Khom, siapa saja, tolonglah!” “Aqiel.” terdengar suara Romina memanggilku, dan dia berada di sekitar kolam pengetahuan bersama Abbat Khom. Rupanya mereka telah menungguku. “Kalian sedang apa, Evenaar dalam bahaya!” “Tenanglah, kami tahu apa yang sedang terjadi di luar sana,” jawab Romina. “Kenapa kalian masih di sini, kalian harus menolong orangorang dan juga Evenaar.” “Kami tidak bisa, Aqiel.” Kata-kata Abbat Khom menyirap amarahku, lagi-lagi aku merasa kecewa kepadanya. “Kenapa, bukankah kau seorang abbat?” “Aqiel, jaga—” “Kau tak perlu menasihatiku, Romina. Mengapa kalian para Abbat hanya diam saja saat kekacauan terjadi di luar. Evenaar akan hancur akibat kesengajaan kalian membiarkannya.” “Kemarilah, tahan amarahmu dahulu.” Abbat Khom memintaku mendekat, dia masih memperlihatkan senyuman hangatnya seolah tidak ada peristiwa apa pun di dunia ini yang perlu dikhawatirkan, dan karena itu pulalah akhirnya aku turuti permintaannya. Kolam itu memancarkan cahaya kehijauan yang menenangkan dan semakin berpendar ketika dihampiri olehku. “Aku pernah mengatakan padamu bahwa air adalah sumber kehidupan.” “Ya, saya mengerti soal itu.” “Jasad yang kekeringan akan bangkit kembali oleh air, tapi air hanya menghidupi tubuh. Sedangkan manusia membutuhkan 45
lebih dari sekadar air. Jauh di dalam diri mereka, manusia dikendalikan oleh harapan.” “Tapi bukankah Anda sendiri mengatakan bahwa manusia harus mempertahankan harapannya.” “Benar sekali.” “Supaya bisa bertahan, apakah menurut Anda mereka tidak pantas ditolong?” “Setiap pribadi harus menolong diri mereka sendiri. Hanya mereka yang mengetahui apa yang sebenarnya mereka harapkan, bukan orang lain.” “Tapi mereka menderita di luar sana, saya menyaksikan sendiri keadaan sesungguhnya.” “Kau sudah membaca penglihatanmu sendiri?” “Belum.” “Seorang abbat harus mempelajarinya.” “Mereka menyerang orang-orang dengan mengatasnamakan para abbat, sedangkan Anda sendiri seorang abbat seharusnya membantu orang-orang itu. Tapi permasalahannya Anda tidak melihat kejadiannya.” “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, di luar sana bukan dunia kami.” “Lalu di mana semestinya?” “Bukan itu maksudku. Jiwa kami terikat dengan tempat ini, maka kami tidak bisa meninggalkannya.” “Apa?” apakah aku tak salah dengar, jawaban Abbat Khom memunculkan kecurigaan dalam diriku, bahwa keberadaan mereka cuma sia-sia belaka bagi Evenaar. “Ternyata para abbat tak mampu berbuat apa pun, sementara banyak orang yang memuja mereka.” Kebencian telah menguasaiku. Aku bersumpah takkan mau kembali ke Smaragad. “Aqiel!” sergah Romina. “Bahkan, di antara dinding-dinding yang diabdikan kepada doa tak ada kasih sama sekali!” “Semua itu ada di dalam dirimu. Hanya saja kau tidak menyadarinya!” 46
“Aqiel!” kudengar Romina memanggilku, tapi sengaja aku abaikan. Walaupun sekuat tenaga kulawan, sesuatu yang lebih dahsyat berhasil memaksaku menyerah. Dengan kemampuannya, dia menahan langkahku. Rasanya seperti dipecundangi berulang kali. “Apa maumu?!” bentakku sekerasnya. Sebenarnya, sikap seperti itu sangat tidak perlu, tapi aku telanjur malu akibat ditaklukan oleh perempuan. “Kau tak perlu marah.” tatap Romina dalam menyen-tuh batinku. “Kuyakin ucapan Abbat Khom bisa kaucerna dengan baik. Gunakanlah akal sehatmu.” “Untuk apa?” serangku, “sudah cukup kudengar bualan penglihatan, harapan dan hal konyol lainnya Sekarang ini akal sehatku mengatakan bahwa mereka harus ditolong!” “Kau belum siap, kau tidak tahu bagaimana caranya.” “Bahkan, jika aku harus mati!” “Kalau kau terus menghindar, kau akan selalu ketakutan!” Kemudian dia menatapku dalam diam. Kekecewaan di dadaku teramat dalam. Hanya pandangan kami yang menyiratkan sejuta makna dan dia tak bisa menahanku untuk kedua kali. Seketika itu juga keanehan pun terjadi, pemandangan di sekitarku berubah; perlahan Romina memudar di hadapanku, dilanjutkan dengan raibnya seisi Smaragad. Kastil yang tadinya berdiri megah tibatiba menjadi puing reruntuhan yang ditumbuhi lumut-lumut tinggi. Ada apa ini? pikirku. Namun, mendadak di dalam kepalaku menggema suara lainnya, “Tidakkah kau melihat pertandapertanda masa lalu?” Pertanda apa, kucoba untuk menanggapinya. Suara itu bukan milik Romina, atau Abbat Khom. Suara yang begitu asing, tapi kedengarannya familiar. “Pertanda-pertanda yang akan membantumu membuka penglihatan.” jawabnya. Sudah cukup! Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk melupakan semua katamu, jawab batinku. 47
Suara itu terus menjejaliku, “Kau cuma tak mau, bukan berarti tak mampu.” Aku sudah mencoba, tetapi hasilnya sama saja. “Kau pasti sanggup.” Tidak perlu memaksaku, percuma saja. “Kau tahu caranya.” Bagaimana? Sekonyong suara itu menghilang meninggalkanku begitu saja. Hari mulai gelap saat kulihat melalui atap yang nyaris hancur, dan bintang-bintang bermunculan menggodaku. Aku tak ingin teperdaya. Mungkin suara tadi ulah Romina yang hendak memengaruhi untuk kedua kali. “Romina!” teriakku. Tidak ada jawaban. “Romina!” serta merta hatiku cemas. Walaupun aku meneriaki namanya, tetapi tak ada balasan lain, kecuali gema suaraku sendiri. *** Mengapa hidup seolah menjadi misteri. Bukankah hidup itu harus dijalani dan bukan dipikirkan? Sebenarnya hidup itu apa? Apakah tujuan daripada hidup, haruskah manusia mengejar tujuan-tujuan dalam kehidupan mereka? Bagaimana kehidupan menjadi sungguh bermakna, atau masihkah manusia berkutat mencari makna kehidupan? Segumpal pertanyaan memenuhi kepalaku tatkala menyaksikan masyarakat Evenaar yang tertawan. Apakah mereka memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan? Saat kembali ke gudang, aku dapati gadis bertudung merah itu tengah melamun. Rupanya dia takut untuk keluar sehingga tetap berdiam diri di bawah tumpukan jerami. Aku memberitahukan padanya situasi di alun-alun kota, masyarakat dikumpulkan dan dipilah antara yang bersikeras menentang Sofis dan yang bersedia menjadi pengikutnya. Banyak yang kemudian menyerah dan berpaling menjadi pengikutnya, termasuk beberapa anggota Dewan Kota. Mengenai keberadaan dewan itu, saat ini telah dibubarkan. 48
Evenaar tak lagi dipimpin oleh sejumlah bangsawan yang tergabung dalam Dewan Kota. Sofis memproklamirkan diri sebagai Raja Evenaar. Entah bagaimana nasib utusan Zalikan, mungkin juga dijebloskan ke dalam penjara, atau sudah kehilangan nyawanya. Gadis itu semakin ketakutan mendengar ceritaku. Tubuhnya meringkuk di tempat gelap sembari berharap tiada satu pun pengikut Sofis yang mendatangi tempat persembunyian kami. Aku sendiri tak mampu berbuat apa pun untuk menenangkannya, apalagi memastikan bahwa kami akan baik-baik saja. Keberanianku mungkin sama sirnanya dengan orang-orang di luar sana. Hanya saja di sini aku masih merasa aman. Dalam keadaan demikian justru ingatanku tertuju pada salah satu isi khutbah Sofis tentang kehidupan. Menurutnya hidup itu mencari kebahagiaan. Manusia bisa menjadi kaya, atau miskin. Bisa menjadi apa saja dan bisa mendapatkan apa saja di dunia. Akan tetapi, hanya kebahagiaanlah yang susah untuk didapat. Waktu itu aku sempat protes; mencari berarti untuk menemukan, jika dibenturkan dengan kematian maka yang muncul cuma sekadar hiburan setengah matang. Sebelum menemui ajal, terlebih dulu manusia dituntut untuk menemukan kebahagiaan, dengan kata lain hidup itu ibarat menanti kematian yang membosankan. Lalu sebagai alternatif kejenuhan, manusia mengisi penantian mereka dengan hal-hal yang dianggap membahagiakan. Akhirnya manusia dibiarkan berandai dengan imajinasi, berspekulasi bahwa diri mereka telah menemukan kebahagiaan. Apakah spekulasi adalah kehidupan? Jika jawabannya benar, berarti mau tidak mau manusia akan terus berspekulasi. Sedangkan manusia tidak pernah merasa puas. Apakah kebahagiaan sungguh sangat memuaskan? Tetapi jika hidup bukanlah spekulasi, tetap saja manusia berada di antara ketidakpastian. Karena ketidakpuasan ketika kebahagiaan belum didapat sama saja dengan menghadapi ketidakpastian, lantas dapatkah dikatakan bahwa hidup adalah ketidakpastian? 49
Lalu hidup itu apa? Hidup berarti bernapas, hidup berarti beraktifitas, hidup berarti ada, dan ada banyak orang di dunia membicarakan soal hidup. Melalui pengalaman masing-masing mereka mencoba memahami hidup. Ada yang beranggapan bahwa hidup tak lain dari sekadar proses pemahaman tanpa henti. Ada pula orang-orang yang menganggap hidup adalah masalah dan hidup tanpa masalah sama saja mati. Kalau mengingat apa yang dikatakan ayahku bahwa hidup itu sesungguhnya sederhana maka baginya inti kehidupan terletak pada tujuannya. Tujuan hidup manusia tak lebih untuk membangun keluarga, menafkahi keluarga dan mati. Akan tetapi, sesederhana itukah hidup ini? Jika hidup sesederhana itu, untuk apa ada orang-orang yang membuka restoran seperti Bamyeh, atau seperti Tuan Darius yang begitu membanggakan kebang-sawanannya, atau semacam Sofis yang mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya. Bahkan untuk apa ada Smaragad dan penghuninya yang tidak bisa berbuat apa-apa, sedangkan di sisi lain banyak orang yang terpinggirkan dan memiliki keterbatasan untuk meraih tujuan hidup. Mereka tidak mengetahui apa tujuan hidup ini. Apakah sesederhana ayahku, atau justru serumit sulitnya kehidupan yang mereka jalani sehari-hari. Lantas di mana letak sederhananya? Mengapa pikiranku amat gemar bercabang dan semua ruasnya membuatku jenuh. Tak pernah kudapat jawaban yang lebih baik. Bahkan, semakin gelisah. Hidup itu apa? “Hei.” Gadis bertudung itu membuyarkan lamunanku dengan melempar beberapa helai jerami mengenai wajahku. “Eh,” aku bersihkan jerami yang masih bersarang di rambutku sembari mendengarkan tawa kecilnya yang tengah menikmati kekagetanku. “Dasar gila!” “Habisnya kau diam terus.” “Terserah aku, apa pedulimu?” “Pasti kau memikirkan sesuatu,” dia menghampiriku sembari memasang tampang curiga, “atau jangan-jangan kau sedang merencanakan hal buruk terhadapku.” “Hidup, yang aku pikirkan adalah hidup.” 50
“Hidup?” matanya mendelik, “untuk apa susah-susah memikirkan hidup?!” “Kita cukup menjalaninya, bukan memikirkannya. Begitu kan yang mau kau katakan?” tetapi gadis itu menggeleng. “Apa yang kau bilang barusan mungkin benar adanya, tetapi bukan itu yang mau aku katakan.” bantahnya. “Kalau bukan, lantas apa?” “Menurutku, kita tak perlu susah payah memikirkan hidup sebab hidup itu sendiri adalah kontroversi.” “Kontroversi?” “Ya, bukankah sejak pertama kali manusia diciptakan, kehadiran manusia menimbulkan pertentangan di langit dan di bumi? Makanya, hidup manusia itu kontroversi.” “Kalau berpikiran begitu, berarti kau hanya menjalani hidup seperti orang putus asa?” “Tidak, masih banyak yang bisa aku pikirkan—” “Contohnya?” “Dunia yang hidup ini.” “Aku ingat kata ayahku, „Betapa pun hebatnya manusia, nantinya pasti mati juga. Jadi, untuk apa kita terlalu berlebihan memikirkan dunia?‟ ” “Kau sendiri yang bilang kita pasti mati. Saat kematian menjemput kita, dunia seperti apa yang mau kau tinggalkan untuk yang masih hidup?” “Kau takut meninggalkan kehidupan.” “Tidak, aku cuma ingin menghidupkan dunia ini ketimbang susah payah memikirkan hidup sendiri.” “Aku masih tak mengerti. Para abbat yang banyak dipuja dan disucikan oleh semua orang, ternyata masih sibuk memikirkan kehidupan mereka pribadi. Justru gadis antahberantah sepertimu malah berpikiran sebaliknya.” “Tolong jangan panggil aku gadis antah-berantah, aku juga punya nama.” “Memangnya nama sangat berarti buatmu? Katamu tidak memikirkan diri sendiri, kenapa sewot soal panggilan?” 51
“Kalau ada seekor kerbau yang namanya persis namamu, memangnya kau mau dipanggil dengan nama yang sama? Apalagi, kalau hewan itu ada di sampingmu.” “Memangnya seekor kerbau tidak boleh punya nama yang sama denganku? Kerbau punya kehidupan dan namanya sendiri, begitu juga aku. Jadi, apalah artinya sebuah nama,” ucapku seraya tersenyum padanya. Kok kata-kataku mirip si Abbat bodoh itu, pikirku geli sendiri. Gadis itu memalingkan muka, “Huh, dasar kerbau!” “Menurutku wajahmu tambah lucu ketika kesal.” “Benarkah?” “Aku tidak bohong.” “Jangan bicara padaku seolah aku ini anak kecil.” “Kau memang belum dewasa.” “Ya, tapi tingkahmu lebih kekanakan. Terlalu banyak argumen untuk membahas soal nama. Pikiran dan ucapanmu melebar ke mana-mana.” “Apa kau sadar kalau kau sendiri menggunakan perasaan terlalu berlebihan waktu kupanggil gadis antah-berantah. Kenyataannya memang kau orang asing bagiku.” “Asing?” “Ya, aku tidak tahu asal, keluarga, atau kerabatmu. Masyarakat Evenaar rata-rata saling mengenal satu sama lain. Kemunculanmu waktu itu sangat aneh karena sebelumnya aku tak pernah melihatmu berkeliaran di kota. Siapa kau sebenarnya?” gadis itu sedikit terkejut dan berusaha menyembunyikan, keadaan malah berubah sunyi. “Kenapa mendadak bisu?” “Omonganmu bikin pusing dan membuat orang lain tersinggung. Malas berbicara denganmu.” “Sama.” “Dalam kehidupan ini ada hal-hal yang tidak perlu dibagikan kepada orang lain. Camkan itu!” tambahnya kemudian menjauhkan diri dan memejamkan mata. Sekarang aku terjaga sendirian ditemani beberapa suara 52
binatang malam dari kejauhan. Gudang ini sangat lembap. Udara dingin merembes masuk lewat pori-pori dinding, celah pintu dan atap. Bulan muda mengintip malu, rasanya aku menemukan ketenangan yang belum lama menghilang. Perasaan rindu begitu cepat menggantikan semua rasa. Kembali diliputi kehilangan satu persatu orang terdekat dalam hidupku, terutama Paman Muzein. Aku percaya dia belum mati. Mungkin dia harapan satusatunya ke mana aku melangkah. Aku tak mau pulang ke restoran, aku tak ingin mengekor orang-orang yang memilih lebih baik selamat ketimbang ditangkap. Aku mencintai Evenaar, tapi membenci kerajaan barunya. Evenaar tidak pernah dipimpin seorang raja. Kota perniagaan yang bebas. Hanya Dewan Kota yang bertugas sebagai pelaksana peraturan. Anggotanya dipilih dari beberapa orang kaya yang disebut kalangan bangsawan. Akan tetapi, penduduk kota dikenai pajak oleh kerajaan Zalikan yang terletak di Tehravim. Membutuhkan waktu sehari semalam untuk sampai ke sana. Dari cerita orang-orang yang pernah mengunjungi Zalikan, kota itu merupakan kota militer yang luasnya lebih besar daripada Evenaar. Kerajaan tidak mengurusi Evenaar kecuali dalam kepentingan militer sehingga di dalam kota cuma biro pengawalan yang diperbolehkan membawa senjata perang. Entah bagaimana jadinya kalau pihak kerajaan mengetahui perbuatan Sofis dan para pengikutnya. *** Orkel adalah kepingan uang yang terbuat dari logam orichalcum, nilainya sepuluh kali lipat isfar yang terbuat dari emas, dan seribu kali lipat kepingan perak severum. Mungkin jika suatu hari nanti kekayaanku seperti Tuan Darius, atau melebihinya, sebuah gudang orkel akan berdiri megah di sebelah rumahku. Bahkan, akan kubeli tambang yang dapat menghasilkan orkel dengan sendirinya. Hidupku akan bahagia, mimpiku akan tercapai, sehingga kesuksesan dapat kuraih. Selama ini kudengar orang-orang bilang bahwa kesuksesan 53
adalah pencapaian, atau sebuah keyakinan yang benar-benar harus diyakini agar memberi kekuatan untuk mencapainya. Namun kesuksesan itu tak juga tercapai seberapa pun besarnya keyakinanku. Setidaknya ini pandanganku tentang kesuksesan. Rasanya sudah capek duluan gara-gara membayangkan kesuksesan. Ketidak-pastian yang melelahkan. “Hei, kerbau, apa kita terus bersembunyi di sini?” Lagi-lagi gadis bertudung merah itu membuyarkan lamunanku. “Puas memanggilku kerbau?” “Kau sendiri yang tak mau direpotkan soal nama.” “Aku telah membuka jalan agar kau menemukan satusatunya keahlian pribadimu, yakni menghina orang.” “Katamu takkan tersinggung kalau kupanggil kerbau.” “Namaku Aqiel, bukan kerbau.” Gadis bertudung merah itu malah tertawa riang. Air mukanya berseri-seri. “Ya, ampun. Andaikan bisa memilih, aku tidak mau di sini bersama orang sepertimu.” “Aku juga.” “Terus kenapa kau masih di sini?” “Baru saja aku mau pergi cari makanan.” “Semalam kau ketakutan, tapi sekarang cerewet sekali. Sudah bisa menjaga dirimu sendiri, ya?” “Tentu saja, pokoknya aku ingin pergi dari sini.” “Kalau keberanianmu sudah pulih, pergi saja sendiri!” “Ini semua salahmu. Kalau kau tidak mengajakku ke sini, aku tidak akan menderita.” keluhnya. “Kau akan lebih menderita kalau ada di luar sana.” “Apa kau selalu begini, bersikap sombong dan merasa benar sendiri?” “Kau tidak sadar dengan kelakuanmu yang manja, arogan dan suka mengganggu orang lain?” “Dasar kerbau!” “Bakat terpendammu muncul. Dasar gadis aneh dari negeri antah-berantah.” “Jangan panggil aku begitu. Namaku Naya, tau!” 54
“Terserah siapa namamu, aku cuma mau tahu dengan apa kau membeli makanan?” “Dengan ini,” katanya seraya mengeluarkan sekeping orkel dari balik saku pakaiannya. Sontak aku terkejut menyaksikan benda berharga itu. “Astaga, dari mana kau mendapatkannya?” pandanganku tak pernah lepas dari kepingan itu. “Makanya jangan suka meremehkan orang lain, kau tidak perlu tahu bagaimana aku mendapatkannya. Dengan ini aku bisa mendapatkan segala yang kumau; makanan, pakaian dan perlindungan.” Dia menyimpan kembali uang itu. Kecurigaanku pada gadis itu bertambah besar. “Kurasa kau mencurinya, itu bukan milikmu.” “Tepat!” dia tersenyum simpul, “Nah, aku lapar. Penawaranku cuma sekali. Kauikut denganku, tidak?” “Aku tidak mau. Lebih baik kita berpisah saja di sini!” “Kenapa? Aku tahu kau kelaparan sama sepertiku.” “Tidak, lagi pula kalau aku ikut denganmu seolah-olah harga diriku sedang kujual padamu.” “Siapa pula yang sedang tawar-menawar denganmu. Kau merasa punya harga diri? Sebutkan hargamu!” Ajakannya kutampik dengan gelengan. Benci merayap merasukiku, memancarkan keangkuhan di mataku. “Kuharap kita tidak pernah berjumpa lagi.” Dia membuka pintu gudang dan meninggalkanku. Kepergiannya terus aku ikuti sejauh mata memandang. Hanya sunyi yang kudengar. Akhirnya, aku melangkahkan kakiku menerobos siang yang garang. Keputusan tak dapat diambil kalau cuma berdiam diri dan mendengarkan kegelisahan. Sekujur tubuhku terjaga dari lelap dalam udara yang lembap. Bagai tersentak dan berubah galak, keringat bercucuran dan gatal pun menjalar. Sebelum pergi dari sini, mendadak tercetus keinginan melihat Geneyna untuk terakhir kali. Dalam semalam semua porak-poranda, taman itu tak berwujud seperti dulu. Keindahannya hancur berantakan. 55
Pepohonan tumbang dan dedaunan berserak mengering cepat. Kelopak bunga layu dengan sendirinya. Sungai-sungai kecil tak lagi dialiri air karena sumber mata air dibendung dan dibuat aliran baru yang menuju aula besar. Masyarakat tidak bebas mendapatkan air, tapi dijatah sebatas kebutuhan harian. Yang mau mendapatkan lebih harus membeli. Kini tidak sembarang orang bisa masuk Evenaar, para penjaga memeriksa siapa pun yang masuk dan keluar, rata-rata yang diizinkan adalah petani dan gembala. Untungnya aku masih berada di dalam kota. Pengikut Sofis berkeliaran. Mereka sangat tunduk pada raja baru. Ke mana orang-orang yang menentang Sofis? Apakah semuanya telah dipenjarakan? Aku tak percaya jika yang tersisa dari penduduk Evenaar hanya mereka yang setia dan patuh padanya. Di tengah orang-orang ini, amat berbahaya. Mereka pasti menyadari siapa diriku yang terkenal sering menertawakan Sofis saat berkhutbah, mengejek ajaran dan petuahnya. Beberapa orang yang melihatku sengaja diam mengamati dan menungguku tergelincir. Masih sempat pikiranku menerka apakah mereka akan melaporkan, atau langsung menghakimiku. Sialnya, mereka memutuskan untuk menangkapku. Sedikit demi sedikit kerumunan orang mendekat, firasatku mereka akan menyerang serentak. Sebelum mereka bertambah banyak, kuputar badanku mengambil langkah seribu. *** Untuk berkuasa, manusia harus memiliki alat. Di wilayah tandus seperti gurun, oasis adalah sumber kehidupan. Mau tidak mau, masyarakat menggunakan mata air untuk membuka ladang dan menyuburkan tanah. Kemudian tanah yang telah diolah dengan lumpur endapan akan siap ditanami, atau dibiarkan rerumputan liar tumbuh sendiri sebagai makanan hewan gembala. Kerajaan besar biasanya menguasai satu hingga dua mata air. Mereka membendungnya menjadi situ buatan dan mengalirkan ke sumur-sumur untuk memenuhi kebutuhan akan air. Walaupun air bukanlah alasan pasti, banyak perang terjadi akibat perebutan 56
mata air dan terbukti ampuh untuk dijadikan alat meraih kekuasaan. Karena itu, manusia sejatinya makhluk yang enggan untuk berbagi. Sesuatu yang alamiah bahwa kekuasaan mendatangkan kekayaan dan kendali. Bukankah orang-orang yang bisa mengen-dalikan sesamanya, disebut orang-orang yang mulia? Walaupun ketidakpatuhan adalah sifat dasar manusia, tapi kepatuhan masyarakat akan dapat ditundukkan dengan kendali penuh atas urusan air. Buktinya adalah kepunahan tradisi-tradisi lama, seperti keberadaan oasis yang diyakini orang-orang dulu sebagai daerah netral. Mereka tidak pernah berperang dan menyerang penduduk yang tinggal berdekatan dengan sumber mata air. Semenjak sumber kehidupan dikuasai, beberapa oasis bukan lagi daerah yang bebas—dan tempat orang-orang menemukan kebebasan. Peraturan demi peraturan bermunculan untuk membatasi sekaligus mengawasi masyarakat; dari mulai jumlah penduduk, sampai berbagai jenis hiburan. Para raja khawatir pajak yang disetorkan akan berkurang, tetapi kerajaan tak ingin rakyatnya menemukan kebebasan dan membuat seolah-olah kebebasan itu merusak tatanan. Pada dasarnya manusia adalah binatang yang egois; saling memerlukan bila memang ada maunya. Tanpa hal tersebut, makhluk paling berakal ini akan berselisih seperti pesakitan. Moral, etika dan peradaban adalah lelucon buruk yang membuat manusia betah dengan kemunafikan. Bahkan, menjadi hal yang alamiah dan tak perlu ditutup-tutupi. Akan tetapi, perubahan terus bergulir tak bisa dibendung. Kalangan bangsawan Evenaar meradang dan sakit hati ketika tanah mereka diambil paksa oleh raja baru. Diam-diam mereka mengirim surat, mengadukan peristiwa itu pada bangsawan-bangsawan di Zalikan. Umumnya, antara tuan tanah di Evenaar dan bangsawan di Zalikan masih memiliki pertalian darah. Ketika kalangan bangsawan mengadukan hal itu pada penguasa dataran tinggi Tehravim, kontan sang Raja berang. Setiap jengkal tembok istana merasakan amarahnya 57
semakin menjadi-jadi saat mengetahui di tengah rakyatnya ada sekumpulan orang yang berusaha menemukan kebebasan, tindakan nekat yang hina dan merusak ketenteraman bersama. Raja tak ingin keributan di Evenaar merambat sampai ke pusat kekuasaan, beberapa keributan kecil di Zalikan selalu dicurigai berkaitan dengan pemberontakan di Evenaar. Sebenarnya, yang ditakutkan bukanlah seberapa besar kekuatan lawan, tapi kenangan yang khawatir terulang di mana dirinya berperan meruntuhkan penguasa Evenaar di masa lalu. Bahkan dia yang paling antusias memainkan peran itu sesempurna mungkin. Jika pertunjukannya sempurna maka dengan sendirinya banyak orang akan tertarik mengelukan, memuja, mendukung dirinya sebagai raja baru. Namun saat ini sang Raja tak ingin peristiwa yang sama terjadi kepada diri sendiri, dia menggunakan segala cara untuk memadamkan bara api itu. Gambaran istananya berada di ambang kehancuran terus menghantui. Wajah sang Raja memerah, matanya membelalak, seluruh tubuhnya gemetaran tatkala mendengar kabar bahwa utusan kerajaan tewas dalam peristiwa pemberontakan yang dipimpin seorang pemuda bernama Sofis. Jiwanya bercampur aduk ketakutan, gelisah dan amarah. Dinding-dinding kemanusiaan di relung hatinya porak poranda. Satu per satu pondasi kebengisan tersusun menancapkan pilar-pilar harga diri sebagai seorang penguasa. “Pengkhianat!” Suaranya menggelegar. “Laknat!” Seisi istana bergetar. Semua orang terperanjat sekaligus terkesima, raja tua itu tak lagi menampakkan sosok yang mulai merapuh. Baju zirahnya amat berisik ketika dia berdiri tegak, pertanda tragedi. Tiba-tiba dua orang utusan bergegas masuk. Setelah berlutut mereka memberikan laporan bahwa kerajaan Suta telah menyerahkan diri dan tunduk di bawah kerajaan baru. Pada saat yang sama, semua biro pengawal di setiap pos penjagaan wilayah kerajaan Zalikan telah dilumpuhkan. Sontak dia kembali mengumpat, “Terkutuklah orang-orang Gargiria!” 58
Dari atas singgasana diedarkan pandangannya ke arah para menteri dan jenderal perang. Kemarahannya semakin menjadi. Segala sumpah serapah berserakan di lantai pualam. Mereka yang mendengarnya mungkin merasa mual, tapi tak ada yang berani memuntahkan. Sedangkan genderang perang telah ditabuh. “Akulah Barbahar putra Barsisa, penguasa jagad raya, pewaris takhta Zalikan, bersumpah sampai tetes darah terakhir takkan pernah menyerah. Kota demi kota sekali lagi akan terbakar, setiap jiwa tunggang langgang mencari pengampunan yang mustahil mereka temukan. Siapa saja yang berkhianat padaku akan menerima akibatnya.” Raja tua itu telah bersumpah dan memerintahkan para jenderal untuk menyiapkan pasukan. “Katakan pada pengkhianat laknat itu. Zalikan takkan tunduk. Pewaris takhta Zalikan, Barbahar yang agung, siap berperang untuk membumihanguskan mereka!” Sudah menjadi naluri manusia untuk keluar dari kemelut. Kesengsaraan merupakan penjahat yang terbesar. Kadang kala menimpa satu garis keturunan dari moyang hingga generasi terakhir yang masih bisa bertahan sebelum punah. Akan tetapi, biang keladi kejahatan sesungguhnya adalah keputus-asaan. Banyak orang di dalam istana telah memahami perihal keputusasaan ini. Putus asa adalah legenda yang menelan sejarah manusia. Dalam diam mereka mencemooh titah perang Raja Barbahar. Perang dapat membuat orang-orang putus asa, dan menurunkan derajat manusia serendah mungkin. Sedangkan kehidupan di dalam istana sangat menyenangkan. Begitu pula penduduk Zalikan dalam keadaan sejahtera dan kemakmuran yang melampaui kota lainnya. Semua itu akan luluh lantak oleh karena peperangan. Mereka pun merencanakan sesuatu agar apa yang mereka khawatirkan tidak benar-benar terjadi. *** Fairouz mengamati ratusan pasukannya yang tengah berlatih, sementara para pengrajin besi terus bekerja siang malam membuat senjata. Dapur-dapur di barak militer mengepul tiada henti menyiapkan kebutuhan pasukan untuk berperang. Namun, 59
ada yang mengganjal hati jenderal besar itu, dia merasa pasukannya belum siap bertempur. Situasi damai telah membuat prajurit-prajurit yang tadinya gagah berani menjadi lemah secara mental. Tak bisa dipungkiri kondisi itu bukan cuma menerpa pasukannya. Termasuk juga perasaannya sendiri yang mulai tak menentu. Sering kali dia bertanya apa yang sesung-guhnya telah dia dapatkan, seluruh perjalanan hidupnya dipenuhi peperangan. Setiap kemenangan yang diraih menuntunnya ke posisi orangorang penting istana, tetapi semakin dekat dengan rajanya maka jiwa raganya kian hampa. Peperangan yang dilalui tampak seperti dipaksakan seolah ada yang mengatur agar peperangan terus terjadi dan membuai dirinya dengan kemenangan. Lalu apa yang dia peroleh selain kejayaan jika pangkat jabatan tak mampu mengusir kesendiriannya? Dia menaiki tangga marmer dengan derap kaki dan jubah berkibaran. Suara keras teriakan para prajurit tak dihiraukan. Kegalauan besar bersarang di dada saat Fairouz menuju aula utama barak militer. Dapatkah jiwaku mengendalikan sangkar jasadku, tanyanya kepada diri sendiri. Aku tak ingin raga ini memenjaraku. Rasanya sungguh muak dihinggapi anekdot paling sempurna yang membuatnya tak keruan. Tiba-tiba seseorang menghentikan langkahnya dengan senyum semringah. Pria yang usianya lebih setengah abad, rambutnya keperakan dengan wajah selalu berseri. Orang-orang akan gampang tertular kegembiraan saat mendengar cara bicaranya yang penuh gairah. “Bagaimana kudamu? Apa dia sudah kau beri makan? Kuda yang sehat lagi kuat dapat memanjangkan usia dan memperbaiki kehidupanmu, kau tahu itu?” sergah orang tua itu. Fairouz mengangguk dan ikut tersenyum sembari menyahut, “Bahamut, kapan kau berhenti memedulikan kudaku?” Mereka saling menggamit lengan bersalaman. “Kau Jenderal terhebat yang dimiliki negeri ini, sudah pasti aku peduli padamu, tapi kau tak pernah peduli pada kudamu saat dia sakit dan ogah-ogahan.” Dia tertawa riang. 60
“Bagaimana denganmu, apa masih sibuk dengan perkamenperkamen usang?” “Tepatnya, hampir punah. Tak ada yang peduli lagi dengan mereka. Bahkan, generasi-generasi muda sekarang menganggap warisan sejarah itu lebih baik dibakar.” Sepertinya pikiran mereka tak jauh berbeda denganku, pikir Fairouz. Pria yang dipanggil Bahamut itu mengajaknya ke ruangan tempat dia bekerja. Sulit untuk melupakan aroma aneh— kalau tidak bisa dibilang memuakkan—di dalam bilik serupa gua itu. “Katakan alasannya mengapa kita harus ke sana?” “Akan aku beritahu begitu sampai di dalam. Ayolah, kau sendiri sudah terbiasa.” “Aku berusaha membiasakan diri setiap masuk ke ruanganmu, bukan „terbiasa‟ seperti katamu.” Pintu yang terbuat dari kayu gafir itu terbuka, bau menyengat mulai menyerang mereka. Sekali lagi Fairouz berusaha membiasakan diri, dia menarik udara segar dalam-dalam lalu mengikuti langkah Bahamut masuk. Pintu itu berdebam menutup, cahaya temaram membuatnya waspada agar tak salah langkah. Gelas-gelas mungil berjejer di rak sebelah kiri, dipenuhi cairan aneka warna, sebentar-bentar terdengar bunyi “plop”. Jika pria itu sedang mengerjakan sesuatu, desis api akan mengiringi suara aneh tadi. “Duduk di sini, silakan.” Kursi kayu berlapis anyaman serat abaka saling berhadapan, diselingi meja kecil yang diatasnya tersedia sebotol minuman. Bahamut menuangkan isinya ke sepasang gelas perak. “Ini minuman racikanku sendiri, pasti ketagihan hingga kau akan rajin mengunjungiku.” Fairouz menenggak minuman tersebut, rasanya begitu keras dan membuat tenggorokannya terbakar. Sial, dia menipuku. Walau sempat curiga, tapi kemudian sekujur tubuhnya terasa hangat. “Nyaman sekali,” gumamnya. Pria tua itu tersenyum menganggukkan kepala. “Benar, kan kataku? Ini terbuat dari darah menjangan, membuatmu bergairah sepanjang hari.” “Serius?” 61
“Hahaha … aku bercanda, ini campuran anggur, lemon, dan madu.” Lagi-lagi pria itu terkekeh. Ternyata dia benar-benar menipuku. Fairouz meminum kembali dengan raut masam. “Nah, sekarang katakan, kenapa kau mengundangku?” tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan dan perasaan teperdaya. “Ada yang ingin aku bicarakan, sifatnya sangat rahasia. Maukah kau berjanji takkan membocorkannya pada siapa pun, meski kudamu sendiri.” Mendengar itu dia tergelak, pria semacam Bahamut takkan mungkin mempunyai rahasia, dia terlalu ramah dan lugas hingga kadang ucapannya keterlaluan ketika mengumbar aib orang lain. Sebagian orang membencinya, terutama yang pernah jadi korbannya. Namun, wajah pria itu kelihatan tidak senang, sehingga dia sadar bahwa lawan bicaranya teramat serius. “Baiklah, aku berjanji dengan syarat tanpa tipuan.” “Astaga, aku serius. Lihatlah jemariku gemetaran!” “Mungkin karena kau semakin menua?” “Bukan soal itu, yang mau aku katakan sangatlah penting. Kau sendiri takkan percaya, tapi harus kuungkap kepadamu. Cuma kau yang bisa kupercaya.” “Katakanlah, aku jamin pilihanmu tidak salah!” Bahamut menaruh gelasnya, “Kerajaan ini akan hancur.” Lugas sebagaimana pembawaannya. “Setiap perang yang kulalui, kata-kata seperti itu sering kali kudengar. Apa kaulupa? Dulu kau juga sering berperang.” “Ini hal yang berbeda—” ucapannya terhenti. Akan tapi, tatapannya terus menyusuri wajah jenderal besar itu, seakan mencari sesuatu yang hilang, “kehancuran dari dalam yang tak seorang pun menyadarinya, termasuk dirimu.” “Apa maksudmu?” “Pernahkah kau melihat buah yang tampak segar dari luar, tapi di dalamnya begitu busuk? Seperti itulah nasib kerajaan ini sekarang.” “Entah apa makna ucapanmu, sepertinya aku tidak bisa 62
memercayainya.” “Mengapa?” “Karena kerajaan ini takkan mudah hancur. Ulat-ulat paling ganas pun mustahil sanggup membusukkan kerajaan ini dalam semalam. Dinding tebal di luar sana bukanlah buah yang lunak dan kerajaan ini mempunyai militer paling tangguh. Satu lagi, raja kita adalah pemimpin terhebat.” “Bagaimana kalau kuanggap bahwa runtuhnya dindingdinding itu akibat pengetahuan manusia?” Dahi jenderal itu berkerut, bulu-bulu halus timbul seolah menyatukan kedua alis tebal di jembatan hidungnya. Matanya meruncing, telinganya sesekali bergerak, tapi dia tahu nyalinya lebih besar dari tubuhnya sendiri. Perlahan dia mencabut sebuah pedang besar yang kedua sisinya sangatlah tajam dan berukir nama di bagian badannya. “Bagiku pedang inilah pengetahuan yang sebenarnya. Bisa digunakan untuk membunuh musuhmu, atau memenggal kepala domba makan malammu. Tergantung siapa yang menggunakannya.” “Kalau seketika pedangmu sendiri yang menjemput ajalmu, apa kau baru percaya padaku?” “Kau hanya takut sesuatu yang belum kau ketahui sehingga mengada-ada. Kita ini bangsa pejuang, takdir itu mengalir deras dalam darah kita.” “Tak ada sesuatu yang hendak kau sebut khayalan untuk orang seusiaku, Jenderal.” “Pada dasarnya kita memang sering berkhayal, tidak peduli orang tua dan anak kecil.” “Ini bukan khayalanku, kerajaan sedang dalam bahaya. Beberapa orang berencana menghancurkan dari dalam. Kuyakin kau juga tahu, tapi tak bisa berbuat apa-apa.” “Buat apa kita berandai-andai dan menuduh orang seenaknya. Kita tidak tahu kebenaran itu seperti apa karena kebenaran hanya hadir di akhir.” “Baiklah, mungkin untuk orang setua diriku harus banyak mengalah.” Bahamut membalikkan badan, beranjak menuju peti 63
penyimpanan yang terbuat dari perunggu hitam. Fairouz sering mengejek benda itu sebagai pintu masuk gua bawah tanah karena dasarnya menjadi tak tampak karena selalu dalam keadaan gelap, sedangkan bahamut menganggapnya sebagai peti harta karun. Beberapa barang yang menurutnya berharga dan tak dapat diperlihatkan ke sembarang orang disembunyikan di dalamnya. Kini dia meraih sebuah gulungan perkamen, lalu menyerahkannya pada Fairouz. Mengingat kedekatannya dengan pria itu, membuat Fairouz tak berani berceloteh. Hanya kertas usang? Meskipun ingin menolak dan mempertanyakan apa isinya, Fairouz masih menimang-nimang pemberian itu. Di bagian tengah perkamen terdapat segel lilin bergambar burung. Matanya mencermati, seperti akrab dengan gambar tersebut. Bahamut menangkap gelagatnya dan lekas menerangkan, “Itu hewan legenda, burung garuda.” “Tentunya bukan milik kerajaan,” tukas Fairouz. Semua yang menjadi milik kerajaan pasti berlambang sepasang pedang menyilang. Bahamut tersenyum, “Itu segel keluarga. Konon, garuda adalah raksasa penguasa langit. Saking besarnya sampai-sampai ketika sayapnya dibentangkan, sinar matahari terhalangi dan bumi menjadi gelap.” “Sejumlah hewan memang sering diangkat menjadi legenda dan mitos yang tak masuk akal. Jadi ini lambang keluarga, perkamen ini pasti sangat berharga buatmu.” “Tepat sekali!” “Mengapa kau berikan padaku?” “Aku tidak memberikan secara cuma-cuma, aku ingin kau menjaganya.” Fairouz terenyak, “Apa?” permintaan konyol. “Kau bilang dirimu bisa dipercaya?” “Itu benar, tapi mengapa—” “Benda ini tak dijaga oleh anggota keluargaku?” “Ya, perasaanku tidak enak mengenai ini. Kautahu kan, 64
hukum di kerajaan ini ….” “Bahwa semua perkamen harus diserahkan pada Dewan Taftis kerajaan sebelum disebarkan ke masyarakat?” Bahamut mengambil pipa kulit sapi untuk membungkus perkamennya. Dengan isyarat tangan, dia meminta Fairouz memasukkan perkamen itu dalam selongsong sembari meneruskan penjelasannya, “Dewan Taftis, menurutku mereka tak lebih dari cecunguk yang tak punya pikiran, seperti anjing yang bisa kauperintah apa saja. Mereka seenaknya menyita perkamen, mengobrak abrik isinya kemudian menyebarkan ke masyarakat dengan menetapkan makna berikut cara membacanya. Sangat arogan, kan?” “Tapi kau tak bisa menyerahkan perkamen secara diamdiam pada pejabat kerajaan, kita berdua bisa dijatuhi hukuman dengan tuduhan pengkhianatan pada raja.” “Itupun kalau ketahuan, bagaimana jika sebaliknya?” “Kau tidak bisa memaksaku melakukan pelang-garan.” “Sejak kapan kau bersikap—dan merasa—seperti pejabat kerajaan? Bukankah niatmu masuk militer karena ingin membela tanah kelahiranmu saja? Kutahu kau membenci birokrasi.” Sorot mata renta itu terasa menusuk jantungnya. Ingatan masa lalu mengilas balik di kepalanya ketika dia terpilih menjadi seorang prajurit kelas rendah di antara ratusan pemuda sebayanya. Di hadapan seorang jenderal, dia mengucapkan sumpah setia prajurit; menyerahkan segenap jiwa raga membela tanah kelahiran sampai titik darah penghabisan. Seiring dengan ketangguhannya di medan perang, karirnya pun menanjak cepat. Pada usia dua puluh tiga tahun, dia telah menjadi komandan pasukan ke-sembilan yang ditempatkan di perbatasan. Tiga tahun kemudian, dia ditempatkan dalam satuan khusus. Saat itu pertama kali dia berjumpa dengan Bahamut, atasannya sendiri. Dalam pandangan Fairouz, sosok Bahamut merupakan pemimpin kharismatik, bersahabat dan cerdas. Banyak pengetahuan dan strategi berperang yang diajarkan oleh Bahamut. Tetapi di luar urusan militer, dia menganggapnya sebagai figur 65
seorang ayah yang telah lama menghilang. Sedangkan dalam peperangan, mereka tak ubahnya kakak beradik sekaligus sahabat dekat yang sulit dipisahkan. Kini pria itu telah pensiun. Raja tak ingin menyiakan keterampilan dan pengabdiannya maka Bahamut diangkat sebagai penasihat istana, dia mendapatkan ruang pribadi serta sejumlah fasilitas istimewa. Namun, hari ini Bahamut bersikap tidak biasanya. Bertindak di luar batasan-batasan yang bisa dikenali. Mungkin setelah keluar dari ruangan pengap ini dia berani mengatakan bahwa Bahamut menjadi gila seketika. Kalau tidak gila, sebutan apa yang paling tepat? “Kuharap kau tidak menganggapku gila.” “Baru saja mau kuanggap begitu.” “Sepertinya aku mempunyai keahlian baru dalam membaca pikiran orang, tapi aku tahu kau sependapat denganku mengenai Dewan Taftis itu.” “Kau juga sangat memahami sumpah setiaku pada kerajaan.” “Maka buktikan sumpahmu dengan melindungi kerajaan ini sekuat tenagamu. Ada upaya penghancuran sedang terjadi di luar sana dan aku memintamu untuk menjaga perkamen yang aku berikan.” “Tapi persoalan ini malah menumbuhkan dilema karena tidak ada sangkut pautnya dengan keamanan kerajaan. Yang sedang terjadi sekarang adalah kau berusaha membuatku melanggar peraturan. Itukah keinginanmu?” “Apa?” “Memanfaatkan posisiku.” “Apa kelihatannya aku sedang memanfaatkanmu?” “Kurang lebih .…” “Sekarang kau benar-benar menunjukkan sisi birokrasimu.” Untuk kesekian kali Bahamut menyudutkan dirinya. Pria itu benar-benar mengerti seluk beluk perihal tingkah laku dan kebiasaannya. “Dahulu kau yang mengkritikku supaya tidak terlalu formal, 66
sekarang kau hendak menarik ucapanmu kembali?” “Astaga, Bahamut! Jangan salah sangka …, baiklah! Kita lupakan soal Dewan Taftis. Kuyakin kau tidak bermaksud menyebarkan isi perkamen ini ke masyarakat. Lalu apa tujuanmu menyerahkannya padaku?” “Aku hanya ingin kau menjaganya.” “Sampai kapan? Menyimpan rahasia dalam waktu lama adalah tugas yang sangat sulit.” “Aku paham, tidak semua orang sanggup melakukannya. Setiap waktu kau merasa tergelitik untuk membocorkannya. Aku juga pernah mengalami hal itu.” “Artinya, segel itu tidak pernah terlepas selama di tanganmu?” Bahamut mengangguk membenarkan, “Aku menjaga rahasia yang merahasiakan dirinya dariku.” Fairouz menggelengkan kepala tak percaya. Separuh dirinya menganggap Bahamut terlalu konyol, atau tolol. Sama saja! “Bagaimana akibatnya kalau terbuka?” “Dengan sendirinya?” “Terbuka sendiri, atau seseorang membukanya?” “Kalau kondisinya seperti itu, orang itu pasti mati.” “Mati dengan sendirinya?” Dia terbelalak. “Bisa jadi begitu, atau karena sebab lain yang memungkinkan campur tangan manusia.” “Maksudmu, dibunuh? Oleh siapa?” “Sang Penjaga perkamen.” Fairouz merasakan detak jantungnya hampir berhenti, lututnya mulai lemas ketika mencerna perkataan Bahamut. Aku tak percaya dia sedang memintaku agar cepat mati. Seraya membetulkan posisi duduknya, dia mengangguk lemah. Perlahan dia menyadari apa yang terjadi saat ini. “Orang yang tidak bersalah bisa terbunuh, atau malah membunuh, hanya karena gulungan kertas usang ini?” “Nah, sekarang kau mirip dengan mereka yang suka menghina koleksiku,” tandas Bahamut. “Tapi kau gila, Bahamut! Pantang bagiku membunuh orang tak bersalah!” 67
“Mengapa? Memangnya kau baru pertama kali mencabut nyawa manusia?” Mata tajam Bahamut kini menantangnya. Fairouz tak menjawab, matanya memejam ketika menghabiskan isi gelas perak itu. Seharusnya dari dulu dia menyadari bahwa hari-hari seperti ini akan terjadi, hari di mana dia menemukan jawaban mengapa kalangan bangsawan tak membiarkan anggota keluarga mereka masuk barak militer, tempat pelatihan bagi rakyat biasa yang terpaksa menjadi prajurit rendahan. Mental prajurit rendahan akan selalu dibawa sekalipun berpangkat tinggi sepertinya. Keturunan bangsawan akan langsung menjadi komandan pasukan sebab mereka dididik dalam tradisi tinggi yang menjunjung kehormatan, harga diri, pengorbanan, dan kepemimpinan. Akan tetapi, semua nilai kebangaan itu sirna tatkala dia menyaksikan yang sesungguhnya berlaku adalah siapa yang berada di posisi menguntungkan. Sialnya, keberuntungan tidak berasal dari langit, melainkan ditentukan oleh perbedaan kelas. Andaikan saja dia bisa menukar semua itu dengan sesuatu bernama kebebasan. Sepanjang pengalaman hidupnya mengikuti peperangan, dia telah mengabaikan kebebasan. Mungkin kebebasan memang sulit ditemukan dan tidak patut untuk dicari. Mungkin pula kebebasan tidak pantas untuknya. Khayalan kebebasan mulai sulit dihapuskan dari benaknya. “Kau memberiku pilihan yang rumit.” “Kau sama sekali tidak punya pilihan, Jenderal.” “Mungkin tepatnya ancaman.” “Ancaman katamu? Kusebut ini sebagai bantuan.” “Ya, istilah yang kau buat untuk sebuah perangkap.” “Perangkap itu terletak pada prasangka burukmu padaku. Kau harus belajar menghargai orang tua yang mengabdikan diri bertahun-tahun demi kerajaan ini.” “Sayangnya, terlalu sering berbaik sangka padamu membuatku semakin jauh dari kenyataan.” “Kenyataan, kau pikir kerajaan ini nyata? Kenyataan itu tak 68
pernah ada jika kau menganggapnya sesuatu yang alamiah. Kenyataan adalah buatan tangan manusia, rekayasa, dan kepalsuan yang menjadi sejarah. Kenyataan sebenarnya ada di dalam hatimu, angan-angan yang tak pernah kau lihat, dengar, dan rasakan. Hatimu terus mendambakan dan menyebut namanya setiap kali menunggang kuda menuju medan perang, begitupun saat kembali dengan kemenangan. Itulah kenyataan yang kutahu bersemayam di hatimu. Aku menawarkan bantuan padamu untuk mewujudkannya.” “Aku tidak mengerti arah perbincangan kita.” “Putri Ahanni. Kau sangat tergila-gila padanya, kan?” “Dugaanmu sangat berlebihan. Jelas sekali kau telah merendahkannya. Putri Ahanni adalah Putri Bulan!” “Putri Bulan? Aku baru tahu kaupercaya bualan istana tentang Putri Bulan.” “Bualan, apa kaupikir raja telah berbohong?” “Jenderal, apakah tidak terpikirkan olehmu jika raja dan penasihatnya juga bisa berbohong? Ingatlah! Aku juga seorang penasihat kerajaan dan aku tahu kejadian sesungguhnya bahwa Putri Bulan hanya omong kosong yang dijadikan legenda agar semua orang tua menceritakan dongeng itu sebelum anak perempuan mereka tertidur.” “Dongeng? Bicaramu mulai ngawur. Tiap purnama muncul, sinarnya selalu tertuju pada istana sang Putri dan semua orang melihat bayangan Putri Ahanni.” “Sebenarnya kau yang ngawur, seisi kerajaan dibuat ngawur oleh dongeng itu. Kebenaran tentang Putri Ahanni lebih tragis dari yang bisa kau bayangkan.” “Bahamut, hentikan!” Fairouz menghunus pedangnya ke leher Bahamut. “Kau melewati batas.” “Batas?” Dengan tenang Bahamut berdiri. Mata pedang di hadapannya terus mengikuti, tapi ucapannya sama sekali tak mau berhenti, “Pedang inikah yang membatasi seorang pemimpi kebebasan belakangan ini? Mungkin orang seperti itu benar-benar tidak pantas mendapatkan kebebasan.” 69
“Kebebasan tidak pantas untukku dan juga untukmu. Kau akan dijebloskan ke penjara karena menghina Putri Bulan.” “Yang tidak kau ketahui adalah bahwa bulan tidak pernah mengambil jiwa raga manusia, tapi manusia bisa melakukannya. Putri Ahanni ada di antara kita. Kita saja tidak pernah menemukannya, istana hanya mengarang legenda Putri Bulan tersebut.” Fairouz bergeming dengan posisi masih mengacungkan pedangnya, sementara Bahamut mencari cara agar pedang itu kembali ke sarungnya. “Putri Ahanni adalah putri raja. Bagaimana menurutmu jika seorang putri raja kabur dari kerajaan? Dapatkah kau membayangkan betapa malunya sang Raja?” Tidak, pikiran Fairouz bersikeras menampik kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir pucat itu. “Jenderal, tentunya kautahu Putri Ahanni tak pernah mencintai pria yang dijodohkan raja kepadanya. Cintanya tertambat pada pria lain, dia tergila-gila dan tentunya orang itu bukan kau. Namun, jangan putus asa dahulu. Kuyakin waktumu akan tiba pada gilirannya.” Benarkah yang dikatakan Bahamut? Benarkah putri mencintai seseorang, apakah itu diriku, atau selainnya? Tangan Fairouz gemetaran, Bahamut melihat reaksi baik dan tersenyum. “Putri Ahanni tak punya pilihan. Bahkan, untuk memilih siapa yang dia cintai. Orang biasa pun bisa mendapatkan cinta sejati, tapi mengapa seorang putri kerajaan malah terkekang?” Orang biasa? Aku terbiasa menjadi orang biasa. Apakah sekarang aku luar biasa? Kalau benar demikian seharusnya aku layak untuk Putri Ahanni. “Katakan siapa pria yang dicintainya?” Pedang di tangannya mulai gemetaran. “Kau ingin tahu siapa pria beruntung itu? Kuanggap kau sedang cemburu.” Bahamut tertawa terbahak-bahak. “Katakan, atau kutebas lehermu!” “Lakukanlah! Sepanjang hidupmu akan didera penasaran.” “Lebih baik rahasia itu terkubur bersama kematian-mu. Jangan bertele-tele, cepat katakan!” 70
“Aku yakin kau tak ingin melakukannya, lagi pula sedari awal aku berniat memberi seluruh rahasia yang kutahu padamu bila kau ucapkan sumpahmu.” pancing Bahamut. “Kau!” Fairouz menurunkan senjatanya. Keduanya terdiam sejenak. “Aku tidak yakin mengetahui lebih banyak darimu,” katanya kemah, “entah mengapa, tapi ucapanmu sering kali terbukti benar.” “Baguslah, kau menyadari itu. Aku berjanji perkamen itu takkan membahayakanmu, meski tanpa pengawasanku.” “Tanpa pengawasan? Kau akan pergi?” “Tidak, pekerjaanku sangat berat. Tidak ada waktu luang sama sekali.” “Jadi, sekarang ini waktu luangmu?” “Bukan urusanmu, tapi percayalah bahwa aku selalu mengamati dari jauh.” “Mungkin dengan dongeng menakjubkan lainnya.” “Sudahlah, kita tuntaskan perbincangan ini dan bersiap untuk bersumpah padaku.” Langit benar-benar pekat, semua rahasia besar yang digenggamnya terasa menyakitkan. Lubang hatinya bertambah dalam. Tak ada lagi yang berharga untuk dikenang—dia ingin membunuh kenangannya sendiri. Derap langkah pasukan terdengar menjijikkan dan dipenuhi dendam. Fairouz membenci kenyataan dan terlebih lagi membenci kebenaran tentang sosok perempuan yang dicintainya. Dalam kemah perang dia mengurung diri, tak satu pun bawahannya diperbolehkan masuk. Bahkan, dia tak mau menerima laporan komandan-komandan pasukan dan utusan istana. Hal yang sangat tidak lazim, mengingat jenderal besar itu gemar menyaksikan latihan para pasukan. Sikap acuh tak acuh ini menulari mental seluruh prajurit. Kedengkian dan ambisi adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Sering kali sumpah kesetiaan yang diucapkan melalui bahasa lidah tidak sejalan dengan ucapan hati. Sejumlah jenderal muda khawatir semangat prajurit ikut merosot. Mereka mulai 71
meragukan kepemimpinan Jenderal Besar Fairouz. Isu pergantian jabatan berembus di sekitar mereka. Entah siapa yang memulainya, tapi dengan mudah dijadikan pembenaran oleh masing-masing jenderal. Apa yang dilakukan Fairouz hanya meratapi kisah cintanya yang berujung getir. Tak ada kisah tanpa ada akhir, ungkapan itu hanya menjadi lelucon buruk ketika kenangan yang tersimpan tak kunjung pudar. Hasrat yang menyakitkan terus berkobar dalam hati. Cintanya tumbuh semakin kuat walau dia sembunyikan. Membuatnya lemah dan kalah. Entah karena takdir atau bukan, kegilaan belum juga datang dan menghanyutkannya dalam air mata. Satu kesalahan terbesar yang dia lakukan adalah mencintai sosok bidadari yang terperosok jatuh ke bumi. Orang-orang memanggilnya Putri Ahanni, perempuan idaman sekaligus panutan bagi seluruh penghuni kerajaan. Kecantikannya konon tiada tara, tapi peraturan kerajaan membatasi perempuan-perempuan terhormat dari mata orang biasa dan diwajibkan menutupi wajah agar berbeda dari perempuan kelas rendah. Kebanyakan orang sulit menggambarkan karena tak pernah benar-benar melihatnya, tapi tidak demikian bagi Fairouz yang merasa telah mendapat anugerah terindah. Dalam suatu kesempatan langka dia menyaksikan wajah sang Putri yang tak terbungkus kain. Rupa secantik bulan yang berkilauan dengan pesona dan keanggunan sempurna telah melepaskan panah cinta ke dadanya. Dari sebatas puji hingga keinginan untuk memiliki, selalu saja membuatnya luluh. Kesedihan karena perpisahan selalu tertanam dalam hati, terekam dalam kenangan.
72
Profil Penulis
KUPRET EL KAZHIEM Pelarian, Pengangguran, Serabutan, Penduduk Bumi Mengapa saya memilih Kupret. Karena nama saya di KTP adalah Pratama sehingga sering dipanggil “Prat” dan bermetamorfosis menjadi “Pret”, lalu ada seorang kawan berceletuk “Kupret” maka jadilah sejak SMA sampai sekarang dipanggil Kupret. Kalau el-Kazhiem diambil dari bahasa Arab yang artinya “Orang yang selalu bersedih”, maksudnya karena sering gagal mencapai sesuatu, jadi sering sedih. Saya rasa kata itu cocok untuk menjuluki saya. Profil singkat saya lahir di Jakarta 17 Juli 1984, sekarang ini aktif menulis di situs http://kupretist.wordpress.com. Ada suatu momen dalam hidup saya yang membuat saya harus memutuskan untuk pergi dari rumah. Saya berpikir bahwa hidup adalah persoalan how to survive, dan saya telah memutuskan bahwa menulis adalah jalan hidup saya.
73
74