Working Paper Series No. Bulan 20..
Evaluasi Praktik Mandiri Keperawatan Berdasarkan Kaidah Asuhan Keperawatan Di Kabupaten Indramayu Indra Ruswadi, Hari Kusnanto Abstract Background: The issue of the Minister of Health Decree No. 1239 of 2001 on the nurse registration and practice, although providing nurse facility especially for the independent nursing practice, does not give nay clear authority boundary and legal protection for nurses, not to mention that in various regions many nurses complain about the frequent raid against the independent nursing practices since the enactment of Law No. 29 of 2004 on Medical Practices. The researcher observed that the independent nursing practice is not in accordance with the professional standards as to treating, stitching and other invasive measures and is lack of attention to the documentation of nursing care. There are also complaints from the public about nurses who perform operations in their practice places. This will certainly affect the liability of independent nurse which is not fulfilled. Objective: The research aims at evaluating and identifying activities carried out by nurses in Indramayu District associated with the implementation of Independent Nursing Practice based on the nursing care. Method: The research applied a non-experimental method with mixed approaches (mixed method) to identify and evaluate the occurrences or activities that have been performed by nurses in implementing the independent nursing practice and analyze how far the nurses succeed in the implementation of independent nursing practice in a period of time. The data were gathered quantitatively and qualitatively. Result: There was a significant correlation among the factors of nurse right fulfillment, nurse obligation fulfillment, health law understanding and authority boundary in the independent nursing practice which implements the independent nursing practice based on the nursing care codes (p, 0.05). Conclusion: The Independent Nursing Practice based on the nursing care in Indramayu District has not been performed optimally. This is due to the lack of good supervision by Indramayu District Health Office and professional organization such as the Indonesian National Nurse Association (PPNI) of Indramayu. The perception on the nursing rights and understanding on the authority boundaries of nurses in the independent nursing practice are factors influencing the possibility of independent nursing practice based on the nursing care codes. Suggestion: It requires direct guidance and supervision by a special committee established by the District Health Office which contains: the government elements (Health Office) and professionals (PPNI). Keyword: evaluation, independent nursing practice, perception on nurse rights and obligations, health law, nurse authority
PENDAHULUAN Visi Pembangunan Kesehatan yaitu “Indonesia Sehat 2010”, untuk mencapai hal tersebut Departemen Kesehatan membuat visi, yaitu: “Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat”, hal ini tentunya sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu tercapainya derajat kesehatan 1
Working Paper Series No. Bulan 20..
yang optimal bagi setiap penduduk. Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut telah ditetapkan misi pembangunan kesehatan yaitu, “Membuat Rakyat Sehat “ artinya segala bentuk upaya apapun diharuskan mengarah pada tindakan agar seluruh masyarakat Indonesia menjadi sehat, salah satunya dengan memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau. Hal ini sesuai dengan Hal ini sesuai dengan Pasal 9 Ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya” (1). Pelayanan keperawatan yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, dituntut harus lebih mengembangkan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, apalagi tenaga keperawatan merupakan ujung tombak dalam pemberian asuhan keperawatan karena selain berada di garis depan pelayanan kesehatan juga memiliki jumlah yang banyak terutama untuk membantu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Praktik keperawatan merupakan kegiatan dalam upaya penyembuhan, pemulihan, serta pemeliharaan kesehatan dengan penekanan kepada upaya pelayanan utama (PHC) sesuai dengan wewenang, tanggung jawab dan etika keperawatan (2). Hal ini didukung Pasal 18 Kepmenkes RI No. 1239 Tahun 2001,“ Perawat dalam menjalankan praktik perawat harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat”. Sebelum keluarnya Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, perawat bekerja dibawah kebijakan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang No 6 Tahun 1963 pasal 7, tugas pekerjaan tenaga kesehatan perawat pada pokoknya adalah merawat penderita sakit dan membantu dokter dalam hal mengobatinya. Keluarnya UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1239 Tahun 2001 tentang registrasi dan praktik perawat, walaupun mengukuhkannya sebagai profesi di Indonesia ternyata masih juga belum memberikan kejelasan batasan kewenangan, perlindungan hukum yang pasti bagi tenaga perawat, karena sesuai dengan pasal 84 tentang tuntutan hukum bagi praktik yang tidak berizin, yaitu kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak lima belas juta, serta pasal 82 tentang tindakan di luar kewenangan dan keahlianya dapat dipidana lima tahun atau denda maksimal seratus juta. Pelayanan keperawatan di berbagai praktik mandiri di rumah belum mencerminkan praktik pelayanan profesional. Metode pemberian asuhan keperawatan yang dilaksanakan belum sepenuhnya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan klien, melainkan lebih berorientasi pada tugas rutin seorang perawat(3). Selain itu hanya dengan mengandalkan tindakan hukum yang bersifat perikatan yang terjadi antar perawat sendiri dan pasien yang ditolongnya dengan bertumpu pada kekuatan bentuk persetujuan (informed consent) yang tersirat yang disampaikan oleh pasien serta pengetahuan pasien sendiri kalau perawat tersebut paginya memberikan pengobatan di puskesmas sehingga pasien meyakini bahwa perawatpun dianggap mampu memberikan pengobatan di rumah sehingga dengan kondisi tersebut pasien datang sendiri ke rumah perawat, pasien datang lalu minta di suntik, bahkan ada juga pasien yang datang kerumah menyerahkan sejumlah uang sambil langsung mengatakan “pak saya minta disuntik obat untuk menghilangkan badan saya yang pegal ya?” (data primer). Kondisi-kondisi yang mendukung kekuatan hukum praktik perawat yang lain tenaga perawat tinggal di semua Desa yang notabene belum ada tenaga dokter sehingga pertolongan kesehatan semuanya dilakukan oleh tenaga keperawatan akan tetapi perawat jarang sekali dengan sadar bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai profesi telah melakukan kesalahan dalam tugas (malpractice) atau lalai dalam tugas (neglience), misalnya demi kesembuhan pasien yang minta pertolongan, perawat memberikan terapi kepada pasiennya kadang-kadang sampai melampaui 2
Working Paper Series No. Bulan 20..
batas kewenangan perawat seharunya hanya boleh memberikan terapi untuk mengurangi respon akibat suatu penyakit, serta memberikan injeksi antibiotik yang seharusnya ada persetujuan dari dokter, tetapi karena terikat dengan perjanjian dengan pasien dalam bentuk penyembuhan penyakit, maka segala daya upaya dilakukan oleh perawat untuk memenuhi perjanjian tersebut. Perawat juga kurang memahami kesalahan yang telah dilakukan tersebut secara hukum kesehatan, termasuk belum memahaminya kesalahan etis maupun yuridis profesi. dalam kenyataanya di lapangan kedua bentuk kesalahan tersebut kadang sulit dibedakan. Selama itu pula praktik perawat tidak jelas apakah ia telah melakukan malpraktik, kejahatan, lalai dalam tugas atau bahkan tanpa disadari telah melanggar standard hukum kesehatan. Standar praktik keperawatan profesional sendiri diartikan sebagai suatu perangkat yang diperlukan oleh setiap tenaga profesional dalam hal ini perawat yang mengidentifikasikan harapanharapan minimal bagi perawat profesional dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif dan etis(4). Usaha-usaha pendekatan ke tingkat penentu kebijakanpun telah dilakukan untuk mendapatkan izin tersebut, walaupun pemerintah telah memberikan izin praktik kepada perawat sebagai tenaga profesional dibidang kesehatan dengan dikeluarkannya KepMenKes No. 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik perawat(5) yang di dalamnya menyangkut tentang Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) namun dalam pelaksanaannya khususnya di Kabupaten Indramayu baru dilaksanakan mulai tahun 2006, hal hal ini menunjukkan bahwa reformasi dalam bidang pelayanan kesehatan mangalami keterlambatan, karena turunnya izin praktik keperawatan ini sudah ditunggu sejak perawat dinyatakan sebagai profesi pada Lokakarya Nasional Tahun 1983. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat, yang memiliki 7 Rumah Sakit, terdiri dari 3 Rumah Sakit milik Pemerintah dan POLRI dan 4 Rumah Sakit milik swasta. Dinas Kesehatan ini menjadi penanggung jawab dari 49 Puskesmas dan dari RS. Jumlah perawat yang bertugas di Kabupaten Indramayu sebanyak 924 orang dengan kwalifikasi pendidikan mulai dari Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) sampai dengan S1 Keperawatan yang dapat dilihat dalam tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Jumlah Perawat Berdasarkan Pendidikan di Kabupaten Indramayu Tahun 2008 No Tingkat Pendidikan 1 Sekolah Perawat Kesehatan 2 Akademi Keperawatan 3 Strata 1 Keperawatan Jumlah Sumber : PPNI Kabupaten Indramayu
Jumlah 68 846 10 924
% 7,36 91,56 1,08 100
Dalam rangka pelaksanaan praktik mandiri keperawatan di Kabupaten Indramayu, pengurus Kabupaten PPNI Indramayu bekerjasama dengan Subdin Pelayanan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu telah menguruskan dan menerbitkan registrasi/izin praktik perawat yaitu pendidikan minimal perawat adalah D III keperawatan standar praktik pelayanan keperawatan mengacu pada juklak KepMenKes. Saat ini perawat di Kabupaten Indramayu sampai dengan bulan Mei 2008 tercatat yang memiliki SIPP baru sejumlah 71 Perawat (7,68%). Berdasarkan latar belakang tersebut dan melalui pengamatan peneliti, bahwa perawat selama melaksanakan praktik mandiri keperawatan tidak sesuai dengan standar profesi seperti melakukan pengobatan, menjahit luka dan tindakan invasif lainnya dan kurang memperhatikan 3
Working Paper Series No. Bulan 20..
pendokumentasian asuhan keperawatan, hal ini tentunya akan berdampak pada kewajiban perawat secara mandiri tidak terpenuhi, selain itu ada pengaduan dari masyarakat mengenai perawat yang melakukan operasi di tempat praktiknya serta hasil wawancara dengan pemegang program di Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, kendala yang ditemui adalah masalah pengawasan yang kurang setelah terbitnya SIPP sehingga dikhawatirkan perawat dalam memberikan praktik mandiri keperawatan menyimpang dari batas kewenangannya. Masalah-masalah tersebut diatas menjadi hal yang sangat penting untuk diteliti sehingga mendapat gambaran dan informasi keberhasilan pelaksanaan Praktik Mandiri Keperawatan Berdasarkan Kaidah Asuhan Keperawatan di Kabupaten Indramayu. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian non eksperimen dengan pendekatan methode campuran (mix method) untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan perawat dalam melaksanakan kebijakan Praktik Mandiri Keperawatan Berdasarkan Kaidah Asuhan Keperawatan dan menganalisis seberapa jauh keberhasilan perawat dalam kegiatan Praktik Keperawatan dimaksud sesuai Petunjuk Pelaksanaan Kepmenkes tersebut dalam satu waktu. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kuantitatif dengan teknik kuesioner dan checklist dan pendekatan kualitatif dilakukan teknik wawancara mendalam. Hasil kedua teknik ini dapat digunakan untuk triangulasi. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif dan analitik. Adapun yang dimaksud deskriptif adalah dilakukan dengan menggambarkan keadaan dari variabel–variabel yang diteliti dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan tabulasi silang. Analitik adalah dilakukan dengan analisa bivariat dengan uji regresi logistik. Sedangkan data kualitatif diolah dengan cara mengkategorikan data-data yang diperoleh dengan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah, selanjutnya dilakukan pengkombinasian dengan teori-teori untuk mendapatkan interpretasi-interpretasi alternatif (6). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 10751'10836' Bujur Timur dan 615' - 640' Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Indramayu 2.000,99 km2 yang terbagi menjadi tiga puluh satu Kecamatan. Kabupaten Indramayu merupakan daerah yang cukup subur. Dari wilayah seluas 204.011 hektar, 41,90 persen merupakan tanah sawah. Saat ini jumlah penduduk Indramayu mencapai 1.778.396 Jiwa yang meliputi laki–laki: 886.264 jiwa dan perempuan 892.132 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.086,70 jiwa per km2 sedangkan sarana kesehatan yang ada meliputi Puskesmas: 49 buah dan Rumah Sakit: 7 buah serta Perguruan Tinggi Kesehatan: 5 buah. 2. Karakteristik Subyek Penelitian Dari kegiatan penelitian yang dilakukan, diperoleh karakteristik responden yang melaksanakan praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan di Kabupaten Indramayu sebanyak 71 orang perawat yang menjadi subyek penelitian yang terdiri dari pendidikan, jenis kelamin, usia dan tempat bekerja. Dari karakteristik tersebut di ketahui bahwa perawat yang mempunyai pendidikan D III paling banyak, yaitu ada 62 orang (87,3%), untuk jenis kelamin lebih di dominasi oleh kaum laki-laki sebanyak 53 orang (74,7%), dilihat dari usia yang paling banyak adalah usia antara 31 – 40 tahun yaitu ada 39 orang (54,9%) 4
Working Paper Series No. Bulan 20..
dimana pada usia tersebut merupakan usia paling produktif sehingga diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, perawat yang paling banyak adalah yang bekerja di lingkungan rumah sakit sebanyak 41 orang (57,7%). Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Pendidikan, Jenis Kelamin, Usia dan Tempat Bekerja No 1
2
3
4
Karakteristik Responden Pendidikan a. D III b. Strata 1 (S-1) Jenis Kelamin a. Laki - Laki b. Perempuan Usia a. 20 – 30 tahun b. 31 – 40 tahun c. 41 – 50 tahun d. 51 – 60 tahun Tempat Kerja (Instansi) a. Rumah Sakit b. Puskesmas c. Dinkes/Institusi
N
%
62 9
87,3 12,7
53 18
74,7 25,3
16 39 11 5
22,5 54,9 15,5 7,1
41 23 7
57,7 32,4 9,9
3. Analisis Univariat Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk melihat diskriptif pada masingmasing variabel. Hasil analisis univariat masing-masing variabel dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Variabel Bebas dan Variabel Terikat
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel Persepsi atas hak perawat a. Tidak terpenuhi b. Terpenuhi Persepsi atas kewajiban perawat a. Tidak terpenuhi b. Terpenuhi Pemahaman hukum kesehatan a. Tidak paham b. Paham Pemahaman batas kewenangan perawat a. Tidak paham b. Paham Implementasi kebijakan penerbitan
Jumlah (n)
(%)
30 41
42,3 57,7
33 38
46,5 53,5
31 40
43,7 56,3
29 42
40,8 59,2
SIPP 5
Working Paper Series No. Bulan 20..
berdasarkan Kepmenkes RI No. 1239/2001 a. Buruk b. Baik
37 34
52,1 47,9
4. Analisis Bivariat Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel bebas (independent) dengan variabel terikat (dependent) (8). a. Persepsi Atas Hak Perawat dalam Praktik Mandiri Perawat Tabel 4. Hubungan antara persepsi atas hak perawat dalam praktik mandiri perawat dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan Variabel Persepsi atas hak perawat dalam praktik mandiri perawat
P
OR
95% CI
0,000
17,727
5,033-62,441
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa persepsi atas hak perawat dalam praktik mandiri perawat memiliki hubungan yang bermakna dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan dengan nilai P=0,000, OR=17,727, CI=5,033-62,441, yang artinya adalah persepsi atas hak perawat dalam praktek mandiri perawat yang tidak terpenuhi beresiko 17,7 kali lebih besar dibandingkan dengan persepsi atas hak perawat yang terpenuhi dalam praktik mandiri perawat. b. Persepsi Atas Kewajiban Perawat dalam Praktik Mandiri Perawat Tabel 5. Hubungan antara persepsi atas kewajiban perawat dalam praktik mandiri perawat dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan Variabel Persepsi atas kewajiban perawat dalam praktik mandiri perawat
P
OR
95% CI
0,000
9,117
3,065-27,115
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa persepsi atas kewajiban perawat dalam praktik mandiri perawat memiliki hubungan yang bermakna dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan dengan nilai P=0,000, OR=9,117, CI=3,065-27,115, yang artinya adalah persepsi atas kewajiban perawat dalam praktek mandiri perawat yang tidak terpenuhi beresiko 9,1 kali lebih besar dibandingkan dengan persepsi atas kewajiban perawat yang terpenuhi dalam praktik mandiri perawat. c. Pemahaman Hukum Kesehatan Dalam Praktik Mandiri Perawat
6
Working Paper Series No. Bulan 20..
Tabel 6. Hubungan antara pemahaman hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan Variabel P OR 95% CI Pemahaman hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat 0,000 32,148 7,904-130,760 Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa pemahaman hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat memiliki hubungan yang bermakna dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan dengan nilai P=0,000, OR=32,148, CI=7,904-130,760, yang artinya adalah pemahaman hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat yang tidak paham beresiko 32,1 kali lebih besar dibandingkan dengan perawat yang paham tentang hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat. d. Pemahaman Batas Kewenangan Dalam Praktik Mandiri Perawat Tabel 7. Hubungan antara pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan Variabel Pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat
P
OR
95% CI
0,000
17,500
3,621-84,586
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat memiliki hubungan yang bermakna dengan implementasi implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan dengan nilai P=0,000, OR=17,500, CI=3,621-84,586, yang artinya adalah pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat yang tidak paham beresiko 17,5 kali lebih besar dibandingkan dengan perawat yang paham tentang batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat. 5. Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk menindaklanjuti analisis bivariat yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis multivariat yang digunakan adalah pemodelan regresi logistik. Pemodelan regresi logistik dapat membantu peneliti untuk mendapatkan model prediksi yang terbaik untuk menjelaskan variasi nilai dari variabel terikat. Uji statistik yang digunakan pada analisis multivariat adalah analisis logistik dengan tingkat kemaknaan p < 0,25.
7
Working Paper Series No. Bulan 20..
Tabel 8. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Menggunakan Model
Variabel Persepsi atas hak perawat Persepsi atas kewajiban perawat Pemahaman hukum kesehatan Pemahaman batas kewenangan R2 (%) -2 log likelihood N *Signifikan (p<0,05)
Model 1 OR (95% CI) 22,520 (2,439 – 207,967) 0,864 (0,164 – 4,551) 5,924 (1,037 – 33,835) 17,530 (1,271 – 241,786) 0,51 47,641 71
Model 2 OR (95% CI) 22,092 (2,427 – 201,116)
5,721 (1,058 – 30,940) 16,436 (1,335 – 202,417) 0,51 47,671 71
Model 1 dibangun untuk melihat hubungan antara persepsi atas hak perawat dalam praktik mandiri perawat, persepsi atas kewajiban perawat dalam praktik mandiri perawat, pemahaman hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat dan pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat sebagai variabel bebas dengan implementasi implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan sebagai variabel terikat. Tampak pada model 1 bahwa variabel persepsi atas kewajiban perawat dalam praktik mandiri perawat tidak bermakna dengan ditandai nilai OR = 0,864 dan CI = 0,164 – 4,551. Nilai R2 pada model 1 di dapat sebesar 0,51 yang berarti variabel persepsi atas hak perawat dalam praktik mandiri perawat, persepsi atas kewajiban perawat dalam praktik mandiri perawat, pemahaman hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat dan pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat dapat menjelaskan mempengaruhi hubungan variabel implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan sebesar 51%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor yang lain. Model 2 variabel yang diikutkan adalah pemenuhan hak perawat dalam praktik mandiri perawat, pemahaman hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat dan pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat. Dari ketiga variabel tersebut semuanya bermakna dengan ditandai nilai OR = 22,092, CI = 2,427 – 201,116 untuk variabel persepsi atas hak perawat dalam praktik mandiri perawat, OR = 5,721, CI = 1,058 – 30,940 untuk variabel pemahaman hukum kesehatandalam praktik mandiri perawat dan OR = 16,436, CI = 1,335 – 202,417 untuk variabel pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat. Nilai R2 pada model 2 di dapat sebesar 0,51 yang berarti variabel persepsi atas hak perawat dalam praktik mandiri perawat, pemahaman hukum kesehatan dalam praktik mandiri perawat dan pemahaman batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat dapat menjelaskan mempengaruhi hubungan variabel implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan sebesar 51%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor yang lain. 6. Kualitatif a. Pelaksanaan praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan 8
Working Paper Series No. Bulan 20..
Perawat yang melaksanakan Praktik Mandiri Keperawatan sesuai sesuai dengan kaidah asuhan keperawatan berdasarkan Kepmenkes No. 1239 Tahun 2001 wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) beserta Buku Petunjuk pelaksanaannya, hal ini tentunya untuk mencegah timbulnya praktik yang salah dari perawat yang melaksanakan praktik mandiri karena buku petunjuk ini dapat menjadi pedoman dalam melaksanakan praktik mandiri keperawatan, namun dalam pelaksanaannya tidak semua perawat yang praktik mengetahui buku petunjuk ini sebagaimana terungkap dalam wawancara. ” Buku Petunjuk saya belum tahu, kayanya ada di PPNI atau bagian perizinan ” (Informan 14) ”Yang saya ketahui ada yang punya buku petunjuk dan ada yang tidak punya...” (Informan 07) Selain itu pelaksanaan praktik mandiri Perawat berdasarkan kaidah asuhan keperawatan yang meliputi: pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan agar sesuai dengan standar profesi yang dibuat organisasi profesi PPNI perlu dilakukan pengawasan yang rutin dan terpadu. Kenyataan dilapangan dalam pengawasan ini belum dilaksanakan secara optimal, sebagaimana diungkapkan berikut ini. ” Paling nanya – nanya pada saat ada pertemuan di Dinas Kesehatan ...” (Informan 16) ”Selama saya praktek, tidak pernah dikunjungi tim dari Dinas Kesehatan atau PPNI......” (Informan 16) ”Pengawasannya dilakukan pada saat kunjungan ke daerah, itupun sifatnya hanya supervisi biasa..... (Informan 7) ”Tidak ada pembinaan khusus, pada saat kunjungan ke Puskesmas biasanya diselipkan masalah PPNI dalam praktek keperawatan dan kadang-kadang kami juga mengundang perawat perawat dari PKM yang berhubungan dengan program kesehatan misalnya juga diselipkan tentang praktek keperawatan yang mandiri yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan ....” (Informan 1) b. Persepsi atas Hak Perawat Hak perawat adalah kekuasaan yang dimiliki oleh perawat untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu dan merupakan bentuk pemenuhan terhadap pelaksanaan kewajiban yang telah dilakukannya. Ada beberapa perawat yang merasa haknya sudah terpenuhi selama melaksanakan praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan seperti perlindungan hukum terhadap resiko kerja dan memperoleh kesejahteraan. Seperti terungkap dalam hasil wawancara.
9
Working Paper Series No. Bulan 20..
”Merasa mendapat perlindungan hukum karena dalam SIPP ada wewenang yang boleh dilakukan perawat pada saat praktik mandiri dan mendapat uang dari pasien.....” (Informan 13) ”Kalau pasien berobat, diberi imbalan sesuai kesepakatan…” (Informan 8) c. Persepsi atas Kewajiban Perawat Kewajiban perawat adalah sesuatu yang harus diperbuat atau dilakukan perawat sesuai dengan profesinya. Perawat merasa sudah melaksanakan kewajiban selama menjalankan praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan walaupun belum maksimal seperti merujuk kasus yang tidak dapat ditangani harusnya disertai dokumentasi rangkap 2 (dua) sebagai bukti perawat melakukan kewajibannya, ternyata dilapangan dalam merujuk kasus perawat masih secara lisan tanpa disertai dokumentasi, seperti yang diungkapkan dibawah. ”Kalau mengirim pasien ke Rumah Sakit ya ngirim saja, tinggal bicara pada keluarganya…” (Informan 15) Dokumentasi keperawatan dalam praktik mandiri keperawatan sesuai kaidah asuhan keperawan merupakan sesuatu hal yang penting dalam standar praktik keperawatan sebagai bentuk pertanggung jawaban dan pertanggung gugatan (responsibility and acountability), namun dalam pelaksanaannya tidk dilaksanakan dengan baik seperti diungkapkan berikut. ”Menulis menurut Askep habis waktu saya, apalagi pendokumentasiannya yang banyak, mending nanya singkat langsung diobati atau disuntik...” (Informan 15) Mematuhi standar dan kode etik profesi merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi bila ingin melaksanakan praktik mandiri keperawatan secara profesional, sehingga dengan mematuhi standar profesi perawat akan memberikan pelayanan keperawatan sesuai rambu – rambu yang diatur dalam peraturan yang berlaku sekaligus melindungi pasien dari praktik perawat yang salah juga untuk melindungi perawat dari jeratan hukum. Kenyataan dilapangan, pelaksanaan kewajiban ini belum optimal, seperti yang diungkap dalam wawancara di bawah. ”Ya saya belum banyak tahu ya khan saya baru 6 bulan tapi ada praktek praktek perawat yang sebenarnya tidak jauh beda dengan praktek dokter...” (Informan 2) ”Jadi ada pengobatan juga perawat, jadi pelanggaran – pelanggarannya seperti itu? ” (Informan 1) ” Saya banyak mendapatkan informasi dan saya sendiri juga tahu karena saya memang seorang dokter dan pengurus IDI juga dan ee ya banyak perawat yang saya tahu ya ee waktu saya lagi di puskesmas juga begitu ya ada beberapa waktu saya di Puskesmas saya menjadi penanggung jawab sebuah BP hanya beberapa orang pelaksana harian seorang perawat tapi yang lainnya perawat tapi ya nggak 10
Working Paper Series No. Bulan 20..
nggak nggak punya kadangkala secara hukum nggak punya legalitas tapi mereka ee memberikan pengobatan juga. (Informan 9) Meminta persetujuan tindakan merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi untuk menghindari masalah hukum selama menjalankan praktik mandiri keperawatan. Pemberian Informed Consent pada pasien yang mendapatkan intervensi keperawatan, di Kabupaten Indramayu tidak dilaksanakan dengan optimal, karena ada anggapan informed consent hanya untuk tindakan medis. Seperti yang teruangkap dalam hasil wawancara dengan salah satu perawat yang menjalankan praktik keperawatan mandiri. ”Saya tidak pernah memberikan apa itu… informed consent, khan itu untuk tindakan medis...” (Informan 16) d. Pemahaman Hukum Kesehatan Pemahaman hukum kesehatan adalah pengetahuan yang harus dimiliki perawat secara menyeluruh (comprehenship) mengenai aspek hukum dan penerapannya termasuk hukum pidana dan perdata hal ini sangat penting bagi perawat yang menjalankan praktik mandiri keperawatan sesuai kaidah asuhan keperawatan, Pemahaman tentang dasar hukum kesehatan sudah dimiliki oleh Perawat, sebagaimana diungkapkan di bawah. ”Ya, kalau aturan – aturan praktik setahu saya sudah paham.....” (Informan 7) ”Sepengetahuan saya ada, tapi tidak berkaitan dengan praktik mandiri keperawatan … itu karena resiko tugasnya sebagai pelaksana program...” (Informan 15) ””Saya tahu, orang yang salah pasti ada sangsinya, paling kalau berkaitan dengan adminisatrasi dicabut izinnya sedangkan berkaitan dengan pidana baru dihukum, itupun setelah melalui proses yang panjang...” (Informan 13) e. Pemahaman Batas Kewenangan Perawat Kewenangan Perawat adalah hak dan otonomi perawat untuk melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pada kondisi sehat maupun sakit kepada individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat (Nursalam, 2001). Dalam penelitian ini perawat sebagian besar sudah mengetahui batas kewenangannya, namun dalam menjalankan praktik mandiri keperawatan lebih kepada kewenangan pendelegasian. Sebenarnya kewenangan pendelegasian tersebut ada masalah karena tidak didukung bukti tertulis dari orang yang mendelegasikannya (dokter) selain itu perawat lebih memilih selama menjalankan praktik mandiri hanya dalam hal penanganan respon pasien terhadap penyakit daripada pemberian asuhan keperawatan, seperti terungkap dalam wawancara di bawah. ”Yang saya lakukakan selama praktik di rumah, tinggal nanya keluhannya, diberi obat lalu pulang. Obat yang saya berikan tidak jauh beda dengan yang di Puskesmas tempat saya kerja....” (Informan 16)
11
Working Paper Series No. Bulan 20..
”Menulis menurut Askep habis waktu saya, apalagi pendokumentasiannya yang banyak, mending nanya singkat langsung diobati atau disuntik.... (Informan 15) PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Praktik Mandiri Keperawatan Berdasarkan Kaidah Asuhan Keperawatan Sebagai tenaga kesehatan yang diberi wewenang melaksanakan praktik mendiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan, perawat dituntut melaksanakan praktik mandiri secara profesional berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada dan juga berdasarkan Kepmenkes RI No. 1239 Tahun 2001 tentang registrasi dan praktik perawat. Untuk itu selain niat dan keinginan perawat sendiri untuk melaksanakan praktik mandiri keperawatan secara profesional juga perlu adanya pengawasan terbaik yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan dan Organisasi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai wadah organisasi perawat. Pelaksanaan praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah keperawatan yang dilaksanakan oleh perawat yang sudah memiliki Surat Izin Praktik Perawat di Kabupaten Indramayu belum optimal, berdasarkan hasil penelitian sebagian besar pelaksanaan praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah keperawatan masih buruk (52,1%) hal ini berdasarkan hasil wawancara disebabkan kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu khususnya bagian perizinan yang berfungsi sebagai pengawas. Pengawas ini yang nantinya berfungsi sebagai penilai dan alat kontrol sehingga perawat yang melaksanakan praktik mandiri keperawatan tidak menyimpang dari standar yang telah dibuat. Untuk itu dalam hal pengawasan sebaiknya tidak dilakukan oleh satu instansi saja tetapi juga sebuah tim yang berpengalaman di bidangnya, seperti yang diungkapkan(7), ”Para penilai yang berpengalaman tahu bahwa evaluasi yang sukses harus dimulai dengan baik sebelum program baru diterapkan”. 2. Persepsi Atas Hak Perawat dalam Praktik Mandiri Keperawatan Perawat sebagai tenaga kesehatan profesional dalam menjalankan kewajibannya khususnya mengenai praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan memiliki berbagai hak seperti yang tertuang dalam pasal 27 ayat (1) Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (1), bahwa “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”. Selain itu ada hak–hak lain seperti: mendapat jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya, menuntut jika nama baiknya dicemarkan oleh klien atau tenaga kesehatan lainya, menolak pihak lain yang memberikan anjuran atau permintaan tertulis untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang, Standar dan Kode Etik Profesi dan mendapat informasi yang jujur dan lengkap dari klien atas pelayanan keperawatan yang diberikan. Untuk mengetahui keberhasilan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan ini diperlukan evaluasi persepsi atas hak perawat dalam menjalankan praktik mandiri keperawatan yang dihubungkan dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan. Berdasarkan hasil statistik dinyatakan bahwa terdapat hubungan persepsi atas hak perawat dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan, dimana analisa bivariat 12
Working Paper Series No. Bulan 20..
menunjukan nilai p value = 0,0000 (< 0,005) oleh karena itu dapat dilanjutkan dengan analisa multivariat. Perawat yang mendapatkan persepsi atas haknya selama menjalankan praktik perawat sebanyak 57,7%. Sesuai dengan hasil wawancara hak perawat sebagian besar terpenuhi. Persepsi Perawat atas hak yang terpenuhi ini bisa jadi dikarenakan dengan keluarnya Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) perawat merasa nyaman dalam melaksanakan praktik mandiri keperawatan, apalagi dalam sertifikat yang dikeluarkan dibelakangnya jelas tertulis batas kewenangan yang boleh dilakukan oleh perawat dalam menjalankan praktik mandiri didukung lagi Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Pasal 23 (1) bahwa perlindungan hukum diberikan pada tenaga kesehatan yang melakukan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan. Hal ini sesuai dengan teori berubah mengenai pendekatan normatif–reedukatif (8), bahwa motivasi manusia bergantung pada norma sosiokultural dan komitmen individu terhadap norma–norma itu. Dalam hal ini perubahan terjadi apabila orang yang terlibat mengembangkan sikap dan nilai baru dengan mendapatkan informasi baru. Penerbitan SIPP sebagai payung hukum praktik mandiri keperawatan apalagi disertai sosialisasi dari pemegang program sendiri ditambah lagi adanya uraian hal–hal yang harus dilakukan bagi pemegang SIPP dapat merubah perilaku perawat yang melaksanakan praktik mandiri menjadi bertambah wawasan dan memiliki sikap tenang dan profesional dalam memberikan pelayanan sesuai yang tertulis di SIPP sendiri dan dampaknya perawat juga merasa dilindungi haknya dalam menjalankan praktik keperawatan yang notabene jelas jelas membantu pasien yang membutuhkan pertolongan. Hubungan persepsi atas hak perawat dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan di Kabupaten Indramayu sangat tergantung pada kebijakan langsung dari Pimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu sebagai pimpinan institusi yang menerbitkan SIPP, kebijakan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu bersumber pada peraturan–peraturan yang barlaku seperti Kepmenkes No. 1239 Tahun 2001 beserta petunjuk teknisnya dan peraturaan daerah tentang perizinan. Selain itu tergantung juga pada komitmen Organisasi PPNI dalam membantu anggotanya memenuhi rasa nyaman selama menjalankan praktik keperawatan dengan mengeluarkan surat keterangan yang mendukung pelaksanaan praktik mandiri serta didukung suasana kondusif baik secara kultur maupun komitmen pimpinan dalam hal ini Bupati Indramayu yang secara tegas menyatakan bahwa setiap permasalahan pasti ada solusinya. Persepsi atas hak perawat juga tergantung dari legitimasi perawat itu sendiri di mata masyarakat. Perawat yang melaksanakan Praktik Keperawatan mandiri dituntut memiliki sikap profesional yang dapat menggugah masyarakat untuk membantu memenuhi kebutuhan dasarnya. Perawat yang dipercaya masyarakat tentunya sangat dicari oleh pasien/ keluarga yang membutuhkan dan dengan sukarela pasien atau keluarga membayar sesuai dengan kesepakatan yang tentunya berdampak pada peningkatan kesejahteraan perawat. dikatakan bahwa meningkatnya jumlah pelanggan perawat dikarenakan perilaku yang ditunjukan oleh dokter Puskesmas dan tingginya harga jasa pelayanan yang mereka tarik ditempat praktek pribadi(9). 3. Persepsi atas Kewajiban Perawat dalam Praktik Mandiri Keperawatan Kewajiban perawat adalah sesuatu yang harus diperbuat atau dilakukan perawat sesuai dengan profesinya. Untuk mengetahui keberhasilan implementasi praktik mandiri keperawatan 13
Working Paper Series No. Bulan 20..
berdasarkan kaidah asuhan keperawatan diperlukan evaluasi persepsi atas kewajiban perawat dihubungkan dengan implementasi kebijakan penerbitan SIPP. Hubungan kewajiban perawat dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan berdasarkan hasil statistik menunjukan terdapat hubungan yang bermakna yaitu nilai p value = 0,0000 (< 0,005). Persepsi atas kewajiban perawat selama menjalankan praktik perawat sebanyak 53,5% merasa terpenuhi. Kewajiban perawat tertulis pada Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, seperti dalam Bab III Perizinan pasal 8 (3) bahwa perawat yang melaksanakan praktik perorangan/ berkelompok harus memiliki Surat Izin praktik Perawat (SIPP), pasal 13 ayat 2 setiap perawat yang melaksanakakan praktik keperawatan berkewajiban meningkatkan keilmuan dan atau keterampilan bidang keperawatan melalui pendidikan dan atau pelatihan, pasal 16 perawat berkewajiban untuk: menghormati hak pasien, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, memberikan informasi, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan catatan perawatan dengan baik. Sedangkan perawat dalam melakukan praktik keperawatan harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta dalam memberikan perawatan berkewajiban mematuhi standar profesi. Kewajiban perawat merupakan merupakan suatu bentuk tanggung jawab dalam menjalankan tugas/pekerjaan, kewajiban ini sebagai akibat dari adanya suatu perjanjian. Perjanjian dalam praktik mandiri keperawatan adalah perjanjian antara perawatan dan pasien (2) . Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas tentang kewajiban perawat bahwa timbulnya kewajiban tenaga kesehatan disebabkan: (1) ditetapkan oleh peraturan/ perundang-undangan, dan (2) akibat dari adanya suatu hubungan hukum/ perjanjian perawatan(10). Perawat yang melakukan praktik mandiri keperawatan wajib memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). SIPP ini berlaku selama SIPnya belum habis (masih berlaku) dan di Kabupaten Indramayu dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu. Penerbitannya diberikan bila memenuhi persyaratan yang telah ditentukan sebagai berikut: Pasal 12 ayat (1) SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Ayat (2) SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi lebih tinggi dan ayat (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan: (!) Foto kopi ijazah ahli madya keperawatan, atau ijazah pendidikan dengan kompetensi lebih tinggi yang diakui pemerintah; (2) Surat keterangan pengalaman kerja minimal 3 (tiga) tahun dari pimpinan sarana tempat kerja, khusus bagi ahli madya keperawatan; (3) Foto kopi SIP yang masih berlaku; (4) Surat keterangan sehat dari dokter; (5) Pas foto ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar; (6) Rekomendasi dari Organisasi Profesi. Sosialisasi terhadap peraturan sudah dilakukan dalam pertemuan rutin maupun pada saat melakukan kunjungan kerja ke puskesmas yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, namun kenyataan yang ada kurang dari 10% perawat yang memiliki SIPP hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman perbedaan SIP dengan SIPP, SIP dianggap Surat Izin melakukan praktik keperawatan secara mandiri. Penelitian lain menyatakan bahwa penerbitan SIPP banyak tidak dipenuhi oleh perawat seperti penelitian Ahmad Farid Rivai (2008) di Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Jati Cirebon dan Antono D.W. (2004) di Puskesmas Wilayah Dinas Kesehatan Sidoarjo. Di Indonesia, SIPP dapat diperpanjang lagi dengan membawa SIP yang baru dan mengajukan permohonan perpanjangan SIPP, dalam pengajuan ini tidak mensyaratkan adanya 14
Working Paper Series No. Bulan 20..
pendidikan berkelanjutan, yang penting sudah memenuhi aturan yang ada minimal pendidikan D III Keperawatan maka SIPP dapat dimiliki oleh perawat. Hal ini berbeda dengan di luar negeri seperti yang dipersyaratkan oleh NMC (The Nursing and Midwifery Council) perawat tidak dapat memperpanjang surat izin praktiknya bila tidak ada bukti bahwa mereka telah cukup mengikuti pendidikan keperawatan berkelanjutan. Kewajiban lain yang belum dilaksanakan secara optimal, yaitu: (1) Melakukan dokumentasi. Dokumentasi merupakan kegiatan sehari–hari yang dilakukan perawat yang melaksanakan praktik mandiri keperawatan. Dokumentasi merupakan komponen penting yang memberi sumber kesaksian hukum. Menurut (2), betapapun mahir keterampilan anda dalam memberi perawatan. Jika tidak dicatat atau dicatat tapi tidak lengkap, tidak dapat membantu dalam persidangan. Perawat yang melakukan Praktik Mandiri Keperawatan dalam hal pendokumentasian ini masih lemah hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara berkaitan dengan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani masih belum optimal, harusnya disertai dokumentasi rangkap 2 (dua) sebagai bukti perawat melakukan kewajibannya, ternyata dilapangan dalam merujuk kasus perawat masih secara lisan tanpa disertai dokumentasi. Hal ini dapat beresiko timbulnya perkara di pengadilan, seperti pendapat (11). bahwa setiap kali anda memberikan perawatan di bawah standar hukum dan standar keperawatan terkini. Anda membuat diri anda menjadi target perkara hukum malpraktik. Diantara standar hukum dan standar perawatan terkini adalah dokumentasi/catatan yang lengkap yang dapat menjadi alat pembelaan terbaik. Menurut (12). Prinsip dokumentasi dan standar praktik keperawatan adalah: Lakukan: a. catat secara obyektif, tulis apa yang anda lihat, dengar, bau dan rasakan. b. Catat secara lengkap: untuk obat, catat apa, dimana dan bagaimana. c. Harus akurat: bila membuat kesalahan, tulis kembali atau silang tanpa menghilangkan tulisan yang salah. d. Harus spesifik. e. Catat perkembangan dan perubahan pasien. f. Catat perilaku abnormal pasien. g. Tulis dengan cara yang dibenarkan hukum (misalnya menggunakan tinta hitam bukan pensil) h. Gunakan hanya singkatan–singkatan standar (sudah baku) i. Hati–hati dalam menulis pernyataan. j. Catat tingkat pendidikan pasien. k. Catat waktu dan tanggal. l. Cantumkan tanda tangan. Jangan lakukan: a. Memakai pensil. b. Membuat catatan yang berkebalikan, kritik atau pernyataan berlebihan tentang seseorang berdasarkan pendapat pribadi. c. Lupa mencantumkan data seperti jumlah cairan, dosis oksigen, hasil kunjungan dokter. d. Membuat perkiraan, misalnya tanda vital dan output. e. Berdusta atau menyimpang dari yang dicantumkan di atas. f. Meminta tolong orang lain untuk membuat catatan. g. Membantu membuat catatan untuk orang lain. 15
Working Paper Series No. Bulan 20..
(2) Meminta persetujuan setiap tindakan yang akan dilakukan. Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Nomor: YM.02.04.3.5.2504 tanggal 10 Juni 1997 Tentang Pedoman HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, DOKTER DAN RUMAH SAKIT. Pada Bab I butir Id. Pedoman Persetujuan Tindakan Medik, disebutkan bahwa: Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapat informasi dan Consent berarti persetujuan (ijin). Yang dimaksud dengan Informed Consent dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan infornasi cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud. Informed Consent di Kabupaten Indramayu tidak dilaksanakan dengan optimal, karena ada anggapan informed consent hanya untuk tindakan medis. Informed consent untuk tindakan keperawatan dilaksanakan secara lisan yang sudah tertuang dalam komunikasi keperawatan khususnya fase Orientasi dimana didalamnya mencakup kontrak waktu, tempat, dan topik permasalahan. Begitu pula dengan kewajiban memberikan informasi sesuai batas kewenangan perawat dilakukan secara lisan yang tentunya beresiko timbulnya masalah hukum dikemudian hari. Secara umum kewajiban perawat dalam praktik mandiri keperawatan belum dilaksanakan secara maksimal oleh perawat, karena: (1) Pengawasan dilakukan tidak secara langsung tetapi melalui kegiatan lain seperti kunjungan ke Puskesmas atau pemanggilan perawat selanjutnya diselipkan masalah praktek keperawatan sedangkan yang sifatnya langsung dilakukan hanya kalau ada laporan dari masyarakat. (2) Pengawasan pelaksanaan asuhan keperawatan tidak dilakukan oleh komite keperawatan karena sampai saat ini di PPNI kabupaten Indramayu sendiri belum ada komite yang melakukan pengawasan. (3) Penetapan standar praktik keperawatan masih kabur (belum jelas perbedaannya antara perawat profesional dan asisten perawat) sehingga ini beresiko timbulnya masalah hukum. Di luar Negeri sendiri hukum menetapkan standar tindakan yang lebih tinggi dari pada individu dengan pengetahuan, keterampilan atau pelatihan tingkat tinggi (11). 4. Pemahaman Hukum Kesehatan Pemahaman hukum kesehatan adalah pengetahuan yang harus dimiliki perawat secara menyeluruh (comprehenship) mengenai aspek hukum dan penerapannya termasuk hukum pidana dan perdata hal ini sangat penting bagi perawat yang menjalankan praktik mandiri keperawatan. Hubungan Pemahaman hukum kesehatan dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan berdasarkan hasil statistik menunjukan terdapat hubungan yang bermakna yaitu nilai p value = 0,0000 (< 0,005). Perawat yang melakukan praktik mandiri keperawatan memahami hukum kesehatan sebanyak 56,3%. Hal ini bisa jadi dikarenakan faktor pendidikan perawat itu sendiri yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku minimal pendidikan D III Keperawatan di dalamnya ada sub pokok bahasan mengenai hukum kesehatan di Mata Ajaran Keperawatan Profesional. Didukung hasil wawancara menunjukan hukum kesehatan sebagian besar sudah dipahami perawat yang menjalankan praktik keperawatan. Namun mengingat masih adanya perawat yang belum memahami hukum kesehatan, peran organisasi PPNI dalam meningkatkan pengetahuan anggotanya sangat penting seperti melakukan sosialisasi hukum kesehatan, penyuluhan bahkan seminar keperawatan berkaitan dengan masalah hukum kesehatan serta menganjurkan anggotanya untuk selalu membaca dan mendengarkan baik melalui media cetak 16
Working Paper Series No. Bulan 20..
maupun elektronik sehingga dampaknya seluruh perawat yang menjalankan praktik mandiri keperawatan memiliki pengetahuan dan memahami hukum kesehatan secara komprehensip. Pemahaman hukum kesehatan bagi perawat yang menjalankan praktik mandiri keperawatan akan menghindari perawat dari sangsi hukum. Ada beberapa prinsip yang harus dilakukan perawat yang merupakan nurse defender terhadap masalah hukum, yaitu: a. Ketahui hukum/undang–undang yang mengatur praktik dan kewenangan anda. b. Jangan melakukan apapun yang anda tidak tahu bagaimana melakukannya. c. Pertahankan kompetensi praktik anda dan sadari pentingnya mengikuti pendidikan keperawatan berkelanjutan/pelatihan sesuai bidang anda. d. Sebagai penuntun untuk meningkatkan praktik, mendapatkan kritik dan kesenjangan pengetahuan/keterampilan lakukan pengkajian diri, evaluasi kelompok, audit dan evaluasi dari penyelia (supervisor). e. Jangan sembrono. f. Tetap perhatian pada pasien dan keluarganya. g. Bekerja secara interdipendensi dan jaga komunikasi dengan pihak lain yang terkait dengan praktik anda. h. Catat secara akurat, obyektif dan lengkap, jangan di hapus. i. Delegasikan secara aman dan absah, ketahui persiapan dan kemampuan orang-orang di bawah pengawasan anda. j. Ikut aktif dalam mengembangkan kebijakan dan petunjuk pelaksanaan/pedoman sesuai kebutuhan. k. Lindungi anda dengan mengikuti asuransi malpraktik jika sarana ini tersedia (12). 5. Pemahaman batas Kewenangan Perawat Seperti halnya pemahaman hukum kesehatan, pemahaman batas kewenangan perawat merupakan hal yang penting dalam menjalankan praktik mandiri keperawatan. Hubungan Pemahaman batas Kewenangan Perawat dengan implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan berdasarkan hasil statistik menunjukan terdapat hubungan yang bermakna yaitu nilai p value = 0,0000 (< 0,005). Perawat yang melakukan praktik mandiri keperawatan memahami batas kewenangan perawat sebanyak 59,2 %. Hal ini bisa jadi dikarenakan selain faktor pendidikan perawat itu sendiri yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku minimal pendidikan D III Keperawatan juga perawat proaktif dalam mencari informasi mengenai batas kewenangan dengan cara membaca buku kesehatan atau melihat melalui media cetak dan elektronik . Kewenangan perawat merupakan otonomi dalam melaksanakan praktik mandiri keperawatan. Ada beberapa kewenangan yang di atur menurut Kepmenkes RI No. 1239 Tahun 2001 Pasal 15 Perawat, yaitu: (1) Melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan. (2) Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud meliputi: intervensi keperawatan observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. (3) Dalam melaksanakan asuhan keperawatan harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi. (4) Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter. Dari beberapa kompetensi kewenangan yang dimiliki perawat di Kabupaten Indramayu yang menjalankan praktik mandiri keperawatan menunjukan perawat lebih memilih selama menjalankan praktik mandiri hanya dalam hal penanganan respon pasien terhadap penyakit 17
Working Paper Series No. Bulan 20..
daripada pemberian asuhan keperawatan dan pemberian obat tidak berdasarkan order/pesanan dokter. Padahal jelas–jelas tertulis di Kepmenkes RI No. 1239 Tahun 2001 tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter. Perawat yang melakukan praktik mandiri keperawatan dalam melakukan kewenangannya menghadapi dua pilihan yang dirasa sulit oleh perawat sendiri, kalau menjalankan praktik keperawatan sesuai aturan beresiko ditinggal pasien karena pelayanan dirasakan lama dimulai pengkajian sampai evaluasi ditambah lagi ada persepsi di masyarakat kalau tidak disuntik atau diobati tidak akan sembuh. Seperti pendapat(9). bahwa bagi penduduk desa perawat berhak untuk mengobati pasien, mereka tidak menganggap pengobatan yang dilakukan perawat tidak layak atau berbahaya. Sebaliknya kalau perawat menjalankan praktik keperawatan tidak sesuai dengan kewenangannya beresiko berurusan dengan masalah hukum. Dilema ini yang dihadapi Perawat indramayu dalam melaksanakan praktik mandiri keperawatan. Untuk itu Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu dalam implementasi praktik mandiri keperawatan ini membatasi perawat hanya pada pengobatan dasar yang sudah biasa dilakukan perawat pada saat kerja di sarana pelayanan kesehatan khususnya Rumah Sakit. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas tentang Evaluasi Praktik Mandiri Keperawatan Berdasarkan Kaidah Asuhan Keperawatan di Kabupaten Indramayu, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Praktik Mandiri Keperawatan Berdasarkan Kaidah Asuhan Keperawatan Di Kabupaten Indramayu belum dilaksanakan secara optimal, hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan baik yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu maupun Organisasi Profesi dalam hal ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Indramayu. b. Terdapat hubungan yang signifikan dalam implementasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan dengan persepsi atas hak perawat, persepsi atas kewajiban perawat, pemahaman hukum kesehatan dan batas kewenangan dalam praktik mandiri perawat. c. Persepsi atas hak dan pemahaman atas batas kewenangan perawat dalam praktik mandiri keperawatan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kemungkinan praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan. 2. Saran Beberapa saran untuk mewujudkan tenaga keperawatan yang inovatif, kreatif, mandiri dan profesional sesuai dengan peraturan yang ada, yaitu: a. Pembenahan Dinas Kesehatan Kabupaten, antar lain: • Perlunya pembinaan dan Pengawasan langsung oleh Tim Khusus atau Komite yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan Kabupaten yang berisi: dari unsur pemerintah (Dinas Kesehatan) dan para profesional (PPNI). • Perlunya peningkatan peran bidang regulasi dalam mengatur perizinan praktik tenaga kesehatan. • Perlunya dibuat Peraturan Daerah atau minimal Keputusan Bupati untuk mendukung dan menguatkan Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 selama 18
Working Paper Series No. Bulan 20..
Undang – Undang praktik Keperawatan yang saat ini masih dibahas di DPR belum disyahkan/diundangkan. b. Pembenahan yang dilakukan Organisasi PPNI, antara lain: • Agar lebih proaktif dalam melakukan pengawasan terhadap anggotanya yang melakukan Praktik Mandiri Keperawatan. • Perlunya penilaian secara berkala mengenai kompetensi tenaga keperawatan yang melaksanakan praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan. • Perlunya pembinaan secara berkala minimal 1 bulan sekali untuk peningkatan pengetahuan dan pemahaman anggota PPNI yang melakukan Praktik Mandiri Keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. (2009). UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Depkes RI. Jakarta. 2. Priharjo, (2008). Konsep dan Perspektif Praktik Keperawatan Profesional. EGC. Jakarta. 3. Priharjo, (1995) Praktik Keperawatan Profesional Konsep Dasar dan Hukum, EGC, Jakarta. 4. Depkes RI (2001). Kepmenkes RI No 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Depkes RI. Jakarta. 5. Sugiyono., 2003. Statistika untuk Penelitian. CV Alfabeta, Bandung 6. Yin, RK, (2000) Studi Kasus (Desain dan Metode). Raja Grafindo Persada. Jakarta. 7. Mark J. Robert (2007). Getting Health Reform Right. New York. 8. Blais et all (2007). Praktik Keperawatan Profesional Konsep dan Perspektif. EGC, Jakarta. 9. Sciortino., 2008. Perawat Puskesmas diantar Pengobatan dan Perawatan. CV Alfabeta, Bandung 10. Karbala H. (2007). Hukum Kesehatan. Naskah dipresentasikan dalam pelatihan Hukum Kesehatan FH. Jakarta. 11. Ann Helm (2006). Malpraktik Keperawatan Menghindari Masalah Hukum. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 12. Kelly L. Y. (1987). The Nursing Experience, trends, Challenges and Transitions. New York: Mac Millan.
19