p-ISSN: 2088-8139 e-ISSN: 2443-2946
Submitted: 03-05-2015 Accepted : 24-05-2015 Published : 30-06-2015
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi
EVALUASI PENGGUNAAN INFUS ALBUMIN EVALUATION ON THE USE OF ALBUMIN INFUSION Setiyati Jatiningsih1), I Dewa Putu Pramantara2) dan Fita Rahmawati3) 1) Magister Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2) RSUP dr Sardjito, Yogyakarta 3) Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Penggunaan albumin dalam beberapa kondisi masih kontroversial. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan infus albumin. Penelitian dilakukan dengan rancangan studi cross sectional, pengumpulan data secara prospektif pada 100 pasien, yaitu pasien rawat inap dewasa (>18 tahun) yang menerima terapi albumin selama periode Januari sampai Februari 2015 di RSU Dr. Soetomo. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif berupa persentase indikasi penggunaan albumin, persentase penggunaan albumin yang sesuai dengan guideline, rata-rata kenaikan serum albumin dan kajian kejadian efek samping. Karakteristik 100 subjek penelitian ( P= 44, L = 56) dengan rentang umur 18 – 60 tahun sebanyak 78% dan ≥ 60 tahun sebanyak 22%. Hasil penelitian menunjukan albumin digunakan pada pasien dengan indikasi pada kasus chronic liver disease sebesar 42%, pada kasus diabetes mellitus sebesar 23 %, kasus sindrom nefrotik sebesar 10%, dan 25% pada kasus lainnya. Persentase penggunaan albumin yang sesuai pedoman adalah 59% dan yang tidak sesuai pedoman 41%. Pemberian albumin efektif meningkatkan kadar serum albumin yang dilihat dari rerata kenaikan serum albumin sesudah pemberian infus albumin 20% 100ml pada keempat kelompok penyakit ( p < 0,05 ). Peningkatan kadar serum albumin pada pemberian 2 fls infus albumin 20% 100 ml sama dengan pemberian 3 fls infus albumin ( p > 0,05). Kejadian efek samping dialami oleh 2 pasien (2%) yaitu berupa sesak bertambah setelah pemberian infus albumin. Kata kunci: infus albumin, efek samping, evaluasi ABSTRACT The use of albumin in some conditions remain controversial. The research was aimed to evaluate the use of albumin. The research was conducted with a cross-sectional study design, data collection prospectively, inpatients adult (> 18 years) who received albumin therapy during the period of January-February 2015 at RSU Dr. Soetomo. The data obtained were analyzed descriptively as; the percentage indication of albumin usage, the percentage of albumin usage in accordance with the guidelines, the average increase of albumin serum and study the incidence of side effects. The characteristics of 100 subjects were (Female: 44, Male: 56) with the age range between 18-60 years old 78% and ≥ 60 years 22%. The indications of 20%, 100 ml albumin administration were in the CLD case 42%, in the DM case 23%, the nephrotic syndrome case 10%, and in other cases 25%. The percentage of the use of albumin in accordance with the applicable guidelines are as much as 59% and that is not in accordance with the guidelines is as much as 41%. Albumin infusion of 20% of 100 ml are effective for the four disease groups that received albumin infusion (p < 0,05). Infusion of albumin 20% of 100 ml as many as 2 plabot compared with 3 plabot didn’t differ significantly in increasing the albumin serum (p > 0,05). The incidences of side effect were occure in two patients (2%) in the form of asphyxiate after albumin infusion. Keywords: albumin infusion, side effect, evaluation
PENDAHULUAN Albumin merupakan koloidal protein, plasma ekspander yang berperan penting dalam regulasi volume sirkulasi darah. Albumin digunakan sebagai terapi suplemen pada hipoproteinemia, akibat penurunan sintesis maupun peningkatan destruksi/kehilangan albumin yang membahayakan jiwa penderita. Albumin juga digunakan sebagai terapi akibat terjadinya gangguan keseimbangan tekanan onkotik dan rangkaian penyakit/kelainan yang ditimbulkan (RSU Dr Soetomo, 2003). Korespondensi Setiyati Jatiningsih Jetis, Wedomartani, Ngemplak, Sleman Yogyakarta Email :
[email protected] HP : 081328270281
135
Hipoalbuminemia didefinisikan sebagai keadaan serum albumin < 3,5 g/dl, meskipun hipoalbuminemia yang bermakna klinis akan didapatkan dalam kadar albumin < 2,5 g/dl. Hipoalbuminemia biasanya akan terjadi pada pasien elderly khususnya yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, atau pada pasien malnutrisi dan pasien dengan penyakit kronis stadium lanjut (Gatta et al., 2012). Penggunaan albumin intravena pada kondisi hipoalbuminemia merupakan isu yang kontoversial. Hal ini dihubungkan bahwa hipoalbuminemia adalah suatu “symptom” daripada proses primer kondisi yang mendasari. Sehingga pada pasien dengan hipoalbuminemia hal utama yang harus diobati adalah
Volume 5 Nomor 2 – Juni 2015
kondisi/penyakit yang mendasari penyebab terjadinya hipoalbuminemia (Gatta et al., 2012). Penelitian yang dilakukan pada pasien septik syok dengan kontrol (preoperatif bedah ortopedi) memberikan hasil terjadi perbedaan yang signifikan kadar albumin serum pada pasien septik syok dengan kontrol sesudah pemberian bolus 20 % albumin (Margarson dan Soni, 2004). Pada pasien septik syok penurunan serum albumin sesudah pemberian bolus albumin 20 % kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya katabolisme maupun kehilangan albumin melalui urin dan gastrointestinal (Margarson dan Soni, 2004) Terapi albumin saat ini dianjurkan dalam peritonitis bakteri spontan dengan ascites, ascites refractori tidak responsif terhadap diuretik, parasentesis volume besar, sindrom pasca parasentesis, dan pengobatan sindrom hepatorenal sebagai tambahan untuk vasokontriksi (Rozga et al., 2013). Tetapi sebagian besar peresepan albumin tidak sesuai. Human albumin masih sering digunakan untuk intervensi gizi atau untuk memperbaiki hipoalbuminemia. Penggunaan klinis lainnya yang tidak didukung bukti klinis yang kuat adalah pengobatan jangka panjang ascites, sindrome nefrotik, pankreatitis, abdominal surgery, sindrom pernafasan disstres akut dan iskemik otak (Caraceni et al., 2013). Albumin merupakan salah satu obat yang mahal dikaitkan dengan keterbatasan dipasaran dan kesulitan dalam proses produksi. Pada beberapa penelitian mengenai evaluasi penggunaan albumin dilaporkan terjadi ketidaksesuaian dalam peresepan albumin. Penelitian yang dilakukan di dua rumah sakit di Spanyol menemukan lebih dari 90% ketidaksesuaian penggunaan albumin (Vargas et al., 1997) Pada tahun 2011 dilaporkan penggunaan albumin di Teaching University Hospital Iran mengevaluasi penggunaan 1281 vial albumin yang diresepkan pada 135 pasien, ditemukan hanya 411 vial albumin (32.1 %) yang indikasinya sesuai dengan guideline (JahangardRafsanjani et al., 2011). Penelitian lain dilakukan di beberapa rumah sakit di Rio de Janeiro Brasil memberikan informasi 33.1% peresepan yang
sesuai dengan guideline, 61.8% tidak sesuai, 4.6% kontroversi dan 0.4% tidak bisa disimpulkan (Matos dan Rozenfeld, 2005). Penelitian mengenai efek samping penggunaan albumin dengan desain case report pada bulan Januari 1990 dan Desember 2012 pernah dilakukan di China dengan diidentifikasi adanya 61 kasus efek samping yang terjadi. Efek samping yang paling dominan dari penggunaan albumin adalah anaphylaxis (59,02%) dimana terjadi pada 56,67% dari ketidak rasionalan penggunaan albumin, termasuk kecepatan infus yang diberikan. Efek samping lain yang timbul antara lain cardiac inssuficiency dan hemolisis (Zhou et al., 2013). Sampai saat ini penggunaan albumin masih kontroversi. Penggunaannya mungkin lebih didasarkan pada kebiasaan daripada alasan secara ilmiah. Karena ketersediaannya yang terbatas dan biaya yang mahal, penting untuk penggunaan albumin dibatasi pada indikasi yang jelas akan memberikan efikasi (Boldt, 2010). Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran indikasi pemberian albumin, mengetahui persentase penggunaan albumin yang sesuai dengan guideline, mengetahui efektivitas pemberian albumin dilihat dari ratarata kenaikan serum albumin setelah pemberian infus albumin dan mengetahui angka kejadian efek samping pemberian infus albumin. METODE Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah pasien rawat inap yang menerima infus albumin yang berjumlah 100 pasien dengan kriteria tertentu, yaitu dengan umur > 18 tahun dan lengkap data serum albumin sesudah dan sebelum pemberian infus albumin di RSU Dr. Soetomo selama Januari sampai Februari 2015. Alat Ukur Penelitian Pedoman kesesuaian indikasi pemberian albumin berdasarkan kombinasi Pedoman Penggunaan Albumin (Vermeuler et al., 1995), Pedoman Pengunaan Albumin di RSU Dr Soetomo (RSU Dr Soetomo, 2003) dan Clinical Guideline for Human Albumin Use (National Servise Scotland, 2012).
136
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi
Analisis Hasil Penelitian Pada tahap penelitian ini dilakukan pengolahan dan analisis hasil penelitian yaitu dengan mengelompokkan indikasi penggunaan albumin berdasarkan diagnosa primer penyakit pasien. Setelah data dikelompokkan dalam kelompok berdasarkan diagnosa utama kemudian dilakukan penilaian kesesuain indikasi pemberian albumin berdasarkan kombinasi Pedoman Penggunaan Albumin (Vermeuler et al., 1995), (RSU Soetomo, 2003) dan (National Servise Scotland, 2012). Efektivitas albumin dinilai berdasarkan peningkatan kadar albumin plasma sesudah pemberian infus albumin pada tiap kelompok penyakit, menggunakan uji t-berpasangan dengan tingkat kepercayaan 95% dan menilai efektivitas albumin berdasarkan jumlah infus albumin yang diperoleh pasien dengan uji statistika one way anova. Pengkajian kejadian efek samping pemberian albumin disajikan secara deskriptif dengan pencatatan waktu terjadi kejadian efek samping dan jenis efek samping yang dialami pasien.
Karakteristik pasien Umur (tahun)
Tabel I. Karakteristik Pasien Frekuensi (n= 100) (%)
18 – 60 ≥ 60 Jenis Kelamin
78 22
Perempuan Laki-laki Status Pasien
44 56
JKN PBI JKN non PBI JKN PPU
64 27 9
Total infus albumin (20% 100 ml) Kadar albumin sebelum pemberian infus albumin (g/dl)
HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel dalam penelitian ini 100 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dengan jumlah pasien laki-laki 56 (56%) dan jumlah pasien perempuan 44 (44%). Usia subyek penelitian dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu 18 – 60 tahun sebanyak 78 pasien (78%) dan ≥ 60 tahun sebanyak 22 pasien (22%). Karakteristik pasien dapat dilihat pada tabel I. Penggunaan albumin pada penelitian ini sebanyak 100 pasien , 42 pasien (42 %) dengan diagnosa CLD (Chronic Liver Disease), 23 pasien (23%) dengan diagnosa diabetes mellitus (DM), 10 pasien (10%) dengan diagnosa sindrom nefrotik (SN) dan 25 pasien (25%) dengan diagnosa lainnya. Persentase kondisi patologis (penyakit) pasien yang mendapatkan infus albumin dapat dilihat pada tabel II. Dari penelitian ini persentase penggunaan albumin yang sesuai dengan guideline yang berlaku yaitu sebanyak 59% dan yang tidak sesuai dengan guideline adalah sebanyak 41 %. Ketidaksesuaian pengunaan albumin banyak terdapat pada kasus diabetes mellitus dengan persentase sebesar 16% dan ketidaksesuaian penggunaan albumin pada penyakit lainnya dengan persentase sebesar 17%.
Rerata ± SD
156 fls 2,06± 0.46
Kadar albumin sesudah 2,30± 0.45 pemberian infus albumin (g/dl) Ket : JKN : Jaminan Kesehatan Nasional, PBI : Penerima Bantuan Iuran, PPU : Pegawai Penerima Upah
137
Volume 5 Nomor 2 – Juni 2015
Tabel II. Profil Penyakit Pasien yang Mendapatkan Infus Albumin Jenis Penyakit
Frekuensi n (%)
CLD DM SN Lainnya : CKD (5 pasien) CKDdan CHF (4 pasien SLE dan anemia (2 pasien) PPOK (2 Pasien) TB paru (5 pasien) Abses hati (2pasien) Malnutrisi berat (1pasien) ISK, anemia, udem kedua kaki (4 pasien) TOTAL
42 (42%) 23 (23%) 10 (10%) 25 (25%)
100 (100%)
Keterangan : CLD (chronic liver disease), DM (diabetes mellitus), SN (sindrome nefrotik), CKD (chronic kidney disease, CHF (chronic heart failure), SLE (sistemic lupus eritematosus), PPOK (penyakit paru obstruksi kronis), TB (tubercullosis), ISK (infeksi saluran kemih).
Tabel III. Persentase Kesesuaian Indikasi Pemberian Infus Albumin Jumlah sampel Sesuai pedoman (%) Tidak sesuai (%) CLD (42) 34 8 DM (23) 7 16 NS (10) 10 Lainnya (25) 8 17 TOTAL (100%) 59 % 41 %
Pasien sirosis (kelompok CLD) yang menjalani parasentesis sebanyak 3 pasien, dengan pengambilan cairan ascites > 4 L. Pasien yang menjalani parasentesis akan berpotensi mengalami paracentesis induced circulatory dysfunction (PICD) yang ditandai dengan adanya penurunan volume darah arterial efektif dan aktivasi faktor-faktor vasokontriktor dan antinatriuretik. Disfungsi sirkulasi setelah parasentesis volume besar terkait dengan tingginya kejadian asites kambuhan, terjadinya sindrom hepatorenal dan tingginya mortalitas (Ginnes P et al., 2004). Pasien yang menjalani parasentesis volume besar diindikasikan mendapat infus albumin sebagai upaya pencegahan terjadinya PICD (García-Compean et al., 2002; Simonetti et al ., 1996). Penggunaan albumin pada ketiga pasien dalam penelitian ini sudah sesuai pedoman, direkomendasikan pemberian infus albumin pada tindakan parasentesis dengan volume cairan > 4 L (RSU
Dr Soetomo, 2003; National Servise Scotland, 2012; Vermeuler et al., 1995) Sebanyak 34 pasien CLD sesuai dengan pedoman pemberian albumin karena mempunyai kadar albumin < 2,5 g/dl, sedangkan 8 pasien tidak sesuai dengan pedoman karena mampunyai kadar serum albumin sebelum pemberian infus albumin > 2,5 g/dl. Sebanyak 16 pasien DM dengan kadar albumin > 2,0 g/dl sebelum diberikan infus albumin tidak sesuai dengan pedoman pemberian albumin dan sebanyak 7 pasie DM dengan kadar albumin < 2,0 sesuai dengan pedoman pemberian albumin. Pada sindrom nefrotik 10 pasien sesuai dengan pedoman pemberian albumin karena mengalami sindrom nefrotik akut yang disertai edema anasarka dan edema pulmo. Dalam hal ini albumin direkomedasikan untuk diberikan. Pada pasien dalam kelompok lainnya sebanyak 17 pasien tidak sesuai dengan pedoman pemberian infus
138
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi
albumin karena mempunyai kadar albumin serum > 2,0 g/dl. Sintesis albumin oleh hepatosit membutuhkan mRNA untuk translasi, asupan asam amino, dan energi dalam bentuk ATP dan atau GTP. Status hormon pasien dapat mempengaruhi konsentrasi mRNA. Sintesis albumin yang cukup membutuhkan insulin. Pasien dengan diabetes mengalami penurunan kecepatan sintesis albumin yang dapat diperbaiki dengan pemberian insulin (Nicholson et al., 2000). Sintesis albumin distimulasi oleh beberapa hal seperti asupan nutrisi, insulin dan tekanan onkotik (Arques dan Ambrosi, 2011). Pemberian infus albumin pada kasus DM dengan hipoalbuminemia sejauh pengetahuan peneliti belum ditemukan pustaka yang menyebutkan secara spesifik indikasi penggunaannya. Hampir semua pasien DM yang mendapatkan infus albumin masingmasing mempunyai penyakit penyerta yang lain seperti CKD, sepsis maupun CHF. Pada kondisi chronic kidney disease (CKD) hipoalbuminemia kemungkinan bisa disebabkan karena kombinasi dari inflamasi maupun inadekuat asupan kalori maupun protein. Inflamasi dan malnutrisi keduanya akan menurunkan sintesis albumin, jika hanya terjadi inflamasi saja akan berakibat meningkatnya katabolisme, dan pada kondisi yang parah akan meningkatkan perpindahan albumin dari kompartemen vaskular (Don dan Kaysen, 2004). Penyebab hipoalbuminemia bisa juga terjadi karena protein loss nephrophaty akibat kerusakan gijal (Arques dan Ambrosi, 2011). Pada penelitian ini terdapat 10 pasien dengan diagnosa sindrome nefrotik yang mendapatkan infus albumin. Pemberian albumin dengan diagnosis sindrom nefrotik semua sudah sesuai dengan pustaka. Guideline for the Management of Nephrotic Syndrome merekomendasikan pemberian albumin pada sindrom nefrotik akut yang disertai dengan hipovolemia dan edema (Renal Clinician Group, 2007).
139
Pada kasus sindrom nefrotik akut yang disertai edema, albumin direkomendasikan sebagai terapi untuk meningkatkan respon obat diuretik (RSU Dr Soetomo, 2003). Penelitian mengenai kombinasi furosemid bersama dengan albumin dibandingkan dengan furosemid tunggal pada pasien nefrotik sindrom dengan edem anasarka memberikan hasil kombinasi furosemid dan albumin terbukti lebih efektif dibandingkan dengan furosemid tunggal dalam hal diuresis, natriuresis maupun penurunan berat badan pasien (Darmaraj et al., 2009) Sebanyak 25 pasien pada penelitian ini yang mendapatkan infus albumin dengan diagnosa lainnya meliputi : CKD, CHF, PPOK, anemia, TB, abses hati, dan malnutrisi berat. Pada kelompok pasien ini sebanyak 8 pasien dengan kadar serum albumin < 2,0 g/dL, sehingga pemberian albumin sudah sesuai dengan pedoman. Sebanyak 17 pasien tidak sesuai dalam pemberian infus albumin karena mempunyai kadar serum albumin > 2,0 g/dL. Hipoalbuminemia biasa terjadi pada pasien dengan gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Hipoalbumin bisa terjadi karena malnutrisi, inflamation maupun penyebab lain seperti hemodilusi, kerusakan hati, protein-lossing nephrophaty pada kerusakan ginjal, meningkatnya transcapillary escape rate, dan sindrom nefrotik (Arques dan Ambrosi, 2011). Mekanisme terjadinya hipoalbuminemia pada kasus heart failure (HF) belum diteliti secara spesifik pada pasien HF. Malnutrisi kemungkinan adalah salah satu penyebab yang bisa diakibatkan dari kebiasaan diet yang salah maupun infeksi sistemik. Hipoalbuminemia ringan mungkin terjadi karena hemodilusi yang biasanya ditunjukan dalam keadaan kelebihan beban cairan (Arques dan Ambrosi, 2011). Sebanyak 5 pasien terdiagnosis TB Paru dengan hipoalbuminemia. Pasien TB paru rentan dalam kondisi malnutrisi yang dikarenakan nafsu makan yang tidak baik. Selain itu infeksi juga sangat mempengaruhi
Volume 5 Nomor 2 – Juni 2015
Tabel IV. Nilai Serum Albumin pada Tiap Penyakit yang Menerima Infus Albumin Penyakit Kadar serum albumin Kadar serum albumin P sebelum pemberian infus sesudah pemberian infus albumin (g/dl) albumin (g/dl) CLD 2,12±0,42 2,49±0,37 0,001 DM 2,07±0,41 2,33±0,48 0,001 SN 1,67±0,30 2,06±0,35 0,001 LAIN 2,10±0,54 2,46±0,53 0,001 Keterangan : CLD (chronic liver disease), DM (diabetes mellitus), SN (sindrome nefrotik), CKD (chronic kidney disease, CHF (chronic heart failure), SLE (sistemic lupus eritematosus), PPOK (penyakit paru obstruksi kronis), TB (tubercullosis), ISK (infeksi saluran kemih).
terhadap kejadian hipoalbuminemia pada pasien TB. Pemberian albumin untuk kondisi malnutrisi tidak direkomendasikan apalagi ke 5 pasien mempunyai kadar serum albumin > 2,0 g/dL. Efektivitas pemberian albumin dinilai berdasarkan kenaikan serum albumin sesudah pemberian infus albumin. Pada penelitian ini infus albumin yang diberikan mempunyai kadar yang sama untuk tiap-tiap pasien yaitu 20% 100 ml. Penilain efektivitas pemberian albumin dinilai berdasar masing-masing kondisi patologis pasien. Uji statistika yang digunakan dalam penilaian efektivitas albumin ini adalah paired t-test data berpasangan dengan tingkat kepercayaan 95%. Uji data dilakukan terlebih dahulu dan didapat hasil data terdistribusi normal. Hasil dari uji statistika dapat dilihat pada tabel IV. Dari ke empat kelompok penyakit yang menerima infus albumin diatas mempunyai nilai pvalue kurang dari 0.05 artinya secara statistika dengan taraf kepercayaan 95% pemberian albumin 20% 100 ml mempunyai efektivitas menaikan serum albumin secara bermakna pada semua kelompok penyakit tersebut. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Margarson dan Soni (2004) menyebutkan terdapat perbedaan kadar albumin setelah pemberian infus albumin. Pada kelompok pasien sepsis yang mendapatkan infus albumin kadar albumin akan turun secara drastis sesudah 1 jam pemberian infus albumin. Penelitian ini melibatkan 156 botol infusa albumin 20% 100 ml yang diresepkan pada 100 pasien. Peresepan infus albumin pada
semua pasien dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel V. Pada penelitian ini jumlah albumin 20% 100ml yang diresepkan pada pasien berbeda-beda. Sebanyak 55 pasien mendapatkan 1 fls infus albumin, 34 pasien mendapatkan 2 fls infus albumin dan sisanya 11 pasien mendapatkan 3 fls infus albumin. Kenaikan serum albumin pada pasien yang mendapatkan infus albumin dengan jumlah yang berbeda dapat dilihat pada tabel VI. Dari ketiga kenaikan serum albumin diatas diperoleh p value sebesar 0,001 (< 0,05) yang artinya pemberian infus albumin 1 fls dibanding 2 fls dan dibanding dengan 3 fls berbeda signifikan dalam menaikan serum albumin. Kemudian dilakukan multiple comparisons untuk melihat pemberian mana saja (1 fls atau 2 fls atau 3 fls) yang berbeda dalam efek kenaikan serum albumin. Perbedaan efektifitas dari masingmasing pemberian dapat dilihat pada tabel VII. Dari tabel VII dapat dilihat perbedaan kenaikan serum albumin pada pemberian 1 fls infus dibanding dengan 2 fls infus dan dibandingkan dengan 3 fls infus. Pada pemberian 1 fls infus kenaikan serum albumin berbeda bermakna dibandingkan dengan pemberian 2 fls (p value 0,01) maupun 3 fls (p value 0,01). Tetapi pada pemberian 2 fls infus albumin tidak berbeda bermakna dengan pemberian 3 fls infus albumin (p value 0,90), artinya kenaikan serum albumin tidak berbeda bermakna pada pasien yang mendapatkan 2 fls infus maupun 3 fls infus albumin.
140
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi
Tabel V. Jumlah Peresepan Infus Albumin pada Tiap Penyakit Jenis penyakit Jumlah pasien Total peresepan infus albumin (fls) CLD (Sebanyak 17 pasien mendapatkan 1 fls, 21 pasien 2 fls, 4 pasien mendapatkan 3 fls)
42
71
DM (sebanyak 18 pasien mendapatkan 1 fls, 2 pasien 2 fls dan 3 pasien mendapatkan 3 fls) NS (sebanyak 2 pasien mendapatkan 1fls, 5 pasien 2 fls, dan 3 pasien 3 fls)
23
31
10
21
Lainnya (sebanyak 18 pasien mendapatkan 1 fls, 6 pasien 2 fls dan 1 pasien mendapatkan 3 fls)
25
33
TOTAL
100
156 fls
Tabel VI. Kenaikan Serum Albumin yang Mendapatkan Infus Albumin dengan Jumlah Berbeda Jumlah albumin infus albumin X ± SD (g/dl) p value 20% 100 ml (fls) 1
0,26 ± 0,17
2
0,41 ± 0,33
3
0,57 ± 0,42
0,001
Tabel VII. Perbandingan Efektivitas Infus Albumin Berdasarkan Jumlah Pemberian Infus Albumin (20% 100 ml) Jumlah fls (kenaikan g/dl) Jumlah fls (kenaikan g/dl) P value (0,26 ± 0,17)* (0,41 ± 0,33)2 0,01 (0,57 ± 0,42)3 0,01 (0,41 ± 0,33)** (0,57 ± 0,42)***
(0,26 ± 0,17)1 (0,57 ± 0,42)3 (0,26 ± 0,17)1 (0,41 ± 0,33)2
0,01 0,90 0,01 0,90
Ket : *pemberian 1 fls , **pemberian 2 fls, ***pemberian 3 fls
Dari penelitian ini terdapat 2 pasien yang mengalami efek samping setelah pemberian albumin yaitu pasien dengan diagnosa DM disertai udem pada kedua tangan kaki dan mengeluhkan sesak dan satu pasien dalam kelompok diagnosa lainnya. Pasien mengeluhkan sesak setelah pemberian infus albumin. Sesuai dengan pedoman penggunaan albumin RSU dr Soetomo, salah satu efek samping dari pemberian albumin adalah hipervolemia yang bisa mengakibatkan edema paru dengan keluhan sesak nafas. Pemberian infus albumin secara tetesan perlahan dapat meminimalkan efek samping tersebut.
141
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian albumin efektif meningkatkan kadar serum albumin pada keempat kelompok penyakit (p < 0,05). Peningkatan kadar serum albumin pada pemberian 2 fls infus albumin 20% 100 ml sama dengan pemberian 3 fls infus albumin (p > 0,05). Indikasi penggunaan infus albumin pada 100 sampel pasien yang memenuhi kriteria inklusi adalah 42% pada kasus CLD, 23 % pada kasus DM, 10% pada kasus Nefrotik Sindrom dan 25 % pada kasus lainnya. Persentase penggunaan albumin yang sesuai pedoman adalah 59% dan yang tidak
Volume 5 Nomor 2 – Juni 2015
sesuai pedoman adalah 41%. Terdapat 2 pasien (2%) yang mengalami adverse drug event berupa sesak bertambah setelah diberikan infus albumin. DAFTAR PUSTAKA Arques, S., dan Ambrosi, P., 2011, Human Albumin in the Clinical Syndrome of Heart Failure, Journal of Cardiac Failure, 17 (6): 451 - 458 Boldt, J., 2010, Use of Albumin: an Update, British Journal of Anaesthesia, 104 (3): 276– 284. Caraceni, P., Domenicali, M., Tovoli, A., Napoli, L., Ricci, C.S., Tufoni, M., et al., 2013, Clinical Indications for the Albumin Use: Still a Controversial Issue, European Journal of Internal Medicine, 24 (8): 721–728. Darmaraj, R., Hari, P., Bagga, A., 2009, Randomized Cross-over Trial Comparing Albumin and Furosemide Infusion in Nephotic Syndrome, Pediatric Nephrol, 24 (4): 775–782. Don, B.R., dan Kaysen, G., 2004, Serum Albumin: Relationship to Inflammation and Nutrition, Seminars in Dialysis, 17 (6): 432–437. García-Compean, D., Blanc, P., Larrey, D., Daures, J.-P., Hirtz, J., Mendoza, E., et al., 2002, Treatment of Cirrhotic Tense Ascites with Dextran-40 versus Albumin Associated with Large Volume Paracentesis: a Randomized Controlled Trial, Annals of Hepatology, 1 (1): 29–35. Gatta, A., Verardo, A., Bolognesi, M., 2012, Hypoalbuminemia, Internal and Emergency Medicine, 7 (3): S193–S199. Ginnes, P., Torre, A., Guevara, M., 2004, Pharmacological Treatment of Hepatorenal Syndrome, 20 (3): 57–62. Jahangard-Rafsanjani, Z., Javadi, M.R., Torkamandi, H., Alahyari, S., Hajhossein Talasaz, A., Gholami, K., 2011, The Evaluation of Albumin Utilization in a Teaching University Hospital in Iran. Iranian Journal of Pharmaceutical Research, 10 (2): 385–390.
Margarson, M.P., dan Soni N.C., 2004, Changes in Serum Albumin Concentration and Volume Expanding Effects Following a Bolus of Albumin 20% in Septic Patients, British Journal of Anaesthesia, 92(6) :821-826 Matos, G.C. de, dan Rozenfeld, S., 2005, Evaluation of Human Albumin Use in a Brazilian Hospital, Cadernos De Saúde Pública, 21 (4): 1224–1233. National Servise Scotland, 2012, Clinical Guidelines for Human Albumin Use, National Service Scotland, Eidenburg. Nicholson, J.P., Wolmarans, M.R., Park, G.R., 2000, The Role of Albumin in Critical Illness, British Journal of Anaesthesia, 85 (4): 599–610. Renal Clinician Group, 2007, Guidelines for the Management of Nephrotic Syndrome, NHS Glasglow. Rozga, J., Piątek, T., Małkowski, P., 2013, Human Albumin: Old, New, and Emerging Applications, Annals of Transplantation, 18: 205–217. RSU Dr Soetomo, 2003, Pedoman Penggunaan Infus Albumin, 2nd ed, RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Simonetti, R.G., Gluud, C., Milazzo, G., Pagliaro, L., 1996, Albumin and Other Plasma Expanders for Paracentesis Treatment of Ascites in Cirrhotic Patients, Cochrane Database of Systematic Reviews, John Wiley & Sons Ltd. Vermeulen, L.C., Ratko, T.A., Erstad, B.L., Brecher, M.E., Matuszewski, K.A., 1995, A Paradigma for Consensus, Guideline for the Use Albumin, Non-Protein Colloidal, and Crystalloid Solution, Archive Internal Medicine, 155 (4): 373-379 Vargas, E., de Miguel, V., Portolés, A., Avendaño, C., Ambit, M.I., Torralba, A., et al., 1997, Use of Albumin in Two Spanish University Hospitals, European Journal of Clinical Pharmacology, 52(6): 465–470. Zhou, T., Lu, S., Liu, X., Zhang, Y., Xu, F., 2013, Review of the Rational Use and Adverse Reactions to Human Serum Albumin in the People’s Republic of China, Patient Preference and Adherence, 7: 1207–1212.
142