EVALUASI KUALITAS PROTEIN PAKAN BERBASIS JERAMI PADI DENGAN DAUN MURBEI SEBAGAI PENGGANTI KONSENTRAT PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE
SKRIPSI DELIANA
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN DELIANA D24050735 Tahun 2009. Evaluasi Kualitas Protein Pakan Berbasis Kerami Padi Dengan Daun Murbei Sebagai Pengganti Konsentrat Pada Sapi Peranakan Ongole. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Pembimbing Anggota : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS Limbah pertanian khususnya jerami padi memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia karena ketersediaannya cukup berlimpah dan berkesinambungan, terutama di Indonesia. Pemanfaatan jerami padi harus diimbangi dengan penambahan pakan berkualitas yang pada umumnya berupa konsentrat. Daun murbei merupakan salah satu sumber bahan pakan alternatif yang berpotensi cukup tinggi untuk meningkatkan produktivitas ternak karena memiliki kandungan nutrien yang baik, terutama sebagai sumber protein. Ransum dengan kadar protein yang sama bisa jadi memiliki tingkat fermentabilitas, ketahanan protein terhadap degradasi rumen, kecernaan protein oleh enzim pencernaan pasca rumen dan sintesis protein mikroba yang berbeda-beda. Oleh karena itu kadar protein ransum yang tinggi tidak dapat menjamin bahwa ransum tersebut berkualitas baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas protein daun murbei sebagai pengganti konsentrat bila dikombinasikan dengan jerami padi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2008. Sebagai hewan percobaan digunakan 12 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) dengan rataan bobot badan 217,16 ± 10.53 kg yang berasal dari Jawa Tengah. Pemeliharaan ternak dilakukan selama 10 minggu (2 minggu masa adaptasi, 8 minggu masa pengamatan). Koleksi total (balances trial) dilakukan selama lima hari. Ternakternak sapi percobaan dipelihara pada kandang individu. Pakan diberikan 2 kali sehari (pk 07.00 dan 17.00). Air minum diberikan ad libitum. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan antara lain P1 sebagai kontrol (50% jerami padi + 50% konsentrat), P2 (50% jerami padi + 25% konsentrat + 25% tepung daun murbei), dan P3 (50% jerami padi + 50% tepung daun murbei). Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi protein, kecernaan protein, retensi nitrogen, kadar amonia, konsentrasi VFA total, dan kadar alantoin urin. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance) dan uji lanjut menggunakan uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1991). Ternak yang diberi perlakuan P2 menunjukkan hasil yang terbaik, dimana terjadi peningkatan konsumsi protein (0.96 kg/h) dibandingkan ternak dengan perlakuan P1 (0.86 kg/h), konsentrasi alantoin urin (1.73 g/d) dibandingkan ternak dengan perlakuan P1 (2.23 g/d) dan konsentrasi VFA total (108.75 mM) dibandingkan ternak dengan perlakuan P1 (75.33 mM). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas protein daun murbei mampu menggantikan konsentrat sebagai pakan sumber protein yang optimum dalam taraf penggunaan 50% bila dikombinasikan dengan jerami padi terutama meningkatkan konsumsi PK, alantoin urin dan VFA total. Kata-kata kunci: Protein, murbei, jerami padi, ruminansia
ABSTRACT Evaluation of Protein Quality of Rice Straw Based Feed With Mulberry Leaves To Subtitute Concentrate for Ongole Cattle Deliana, K. G. Wiryawan and K. B. Satoto Rice straw is the predominant dry season feed for cattle, despite its low nutritive value. It is deficient in readily fermentable energy, nitrogen, minerals and vitamins, and cannot provide for optimum microbial growth in the rumen or tissue development of the host. Mulberry belongs to the genus Morus of the family Moraceae. Mulberry (M. alba) foliage, characterized by its high digestibility and good protein content, has great possibilities for use in animal feeding, both for ruminants and for monogastrics. The aim of this experiment was to investigate and evaluate quality of protein content from the ration based on rice straw, which is combinated with mulberry to substitute the concentrate as feed for cattle. The experiment was conducted for 56 days with the adaptation periods for 2 weeks. This experiment used completely randomized design, with 3 treatments and 4 replications. The treatments were P1 as control (50% rice straw + 50% concentrate), P2 (50% rice straw + 25% concentrate + 25% Mulberry leaves), P3 (50% rice straw + 50% Mulberry leaves). This experiment used 217.16 ± 10.53 kg male ongole crossbreed. The variables measured were protein consumption, protein digestibility, nitrogen retention, NH3 concentration, allantoin urine and total VFA concentration. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and Duncan Multiple Range Test further tested the significant differences. The cattle given P2 treatment showed the best result for protein consumption (0.96 kg/d) compared to P3 (0.86 kg/d), allantoin urine (1.73 g/d) compared to P1 (2.23 g/d) and total VFA concentration (108.75 mM) compared to P1 (75.33 mM). It can be concluded that quality of mulberry leaves protein can be used to substitute 50% concentrate in the ration as feed protein resources for ruminants especially increasing protein consumption, allantoin urine and total VFA.
Keywords: Protein, mulberry, rice straw, cattle
EVALUASI KUALITAS PROTEIN PAKAN BERBASIS JERAMI PADI DENGAN DAUN MURBEI SEBAGAI PENGGANTI KONSENTRAT PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE
DELIANA D24050735
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
EVALUASI KUALITAS PROTEIN PAKAN BERBASIS JERAMI PADI DENGAN DAUN MURBEI SEBAGAI PENGGANTI KONSENTRAT PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE
Oleh DELIANA D24050735
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 3 September 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan NIP. 19610914 198703 1 002
Ir. Kukuh Budi Satoto, MS NIP. 19490118 197603 1 001
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr NIP. 19670107 199103 1 003
Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc NIP. 19670506 199103 1 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1986 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari Ibu Lily Padmasiri Tjipto. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Strada Wiyatasana Jakarta pada tahun 1999. Pendidikan lanjutan tingkat menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Strada Marga Mulia Jakarta, dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMU Tarakanita I Jakarta. Pada tahun 2005 Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan tahun berikutnya diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) sebagai anggota Biro Khusus Magang periode 2006 – 2007, Wakil lurah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) periode 2005-2006, Tim Pendamping IPB (asisten perkuliahan agama Katolik IPB), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D)
periode 2007-2008
sebagai ketua divisi riset
dan
pengembangan mahasiswa. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan seperti menjadi ketua panitia D’ Farm Festival I (2008). Penulis pernah mengikuti program magang di Taman Margasatwa Ragunan dan University Farm Charoen Pokphand. Penulis berkesempatan menjadi salah satu Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan periode 2006/2007, 2007/2008, dan 2008/2009. Penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Pengantar Manajemen Pastura, Pengantar Ilmu Nutrisi, dan Formulasi Ransum pada tahun 2008, Pada tahun berikutnya penulis juga aktif sebagai asisten praktikum untuk mata kuliah Formulasi ransum serta Fisiologi Nutrisi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa Yang Maha Kuasa untuk segala kasih dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Kualitas Protein Pakan Berbasis Jerami Padi Dengan Daun Murbei Sebagai Pengganti Konsentrat Pada Sapi Peranakan Ongole” yang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Juni sampai dengan September 2008 di Laboratorium lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas protein pakan dengan alternatif daun murbei sebagai pengganti konsentrat bila dikombinasikan dengan jerami padi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Bogor, September 2009
Penulis
3
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN.......................................................................................................
ii
ABSTRACT...........................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP...............................................................................................
v
KATA PENGANTAR...........................................................................................
vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................
xii
PENDAHULUAN ................................................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................................. Tujuan ...........................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................
3
Sapi Peranakan Ongole (PO)......................................................................... Murbei (Morus sp.) ....................................................................................... Jerami Padi.................................................................................................... Senyawa 1-Deoxynojirimycin....................................................................... Konsumsi Protein.......................................................................................... Kecernaan Protein......................................................................................... Retensi Nitrogen............................................................................................ N-Amonia (NH3)........................................................................................... Volatile Fatty Acid (VFA)............................................................................. Alantoin urin..................................................................................................
3 3 7 9 10 11 12 13 14 15
METODE ..............................................................................................................
17
Lokasi dan Waktu ........................................................................................ Materi ........................................................................................................... Alat..................................................................................................... Bahan.................................................................................................. Ternak Percobaan................................................................................ Ransum............................................................................................... Metode ......................................................................................................... Perlakuan Penelitian dan Pemeliharaan Ternak……………..……... Prosedur............................................................................................. Cara Pengambilan Contoh................................................................. Analisa Protein................................................................................... Kecernaan Zat Makanan, Retensi N, Nilai Biologis.......................... Pengukuran Konsentrasi NH3 (Phenol Hypoclorite Assay)............... Analisa VFA Total............................................................................. Analisa Alantoin Urin.........................................................................
17 17 17 17 17 17 18 18 19 19 19 20 20 21 22 4
Rancangan Percobaan.................................................................................... Model.................................................................................................. Peubah yang Diamati ......................................................................... Analisis Data.......................................................................................
22 22 23 23
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................
24
Konsumsi Protein Kasar................................................................................. Kecernaan Protein Kasar................................................................................ Retensi Nitrogen dan Nilai Biologis N.......................................................... Kadar Amonia................................................................................................ VFA Total Rumen.......................................................................................... Produksi Alantoin Urin................................................................................. Siklus Nitrogen..............................................................................................
24 26 27 28 28 29 31
KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................
33
Kesimpulan.................................................................................................... Saran..............................................................................................................
33 33
UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
35
LAMPIRAN .........................................................................................................
40
5
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Luas Areal Tanaman Murbei di Indonesia (ha).................................................
5
2. Kandungan Zat Makanan Lima Jenis Daun Murbei..........................................
6
3. Komposisi Jerami Padi.......................................................................................
8
4. Susunan Ransum Penelitian...............................................................................
18
5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi Nitrogen, dan Nilai Biologis..........
24
6. Rataan Amonia Rumen, Alantoin Urin, dan VFA Total....................................
27
6
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Daun Murbei (Morus sp.)..............................................................................
4
2. Struktur Bangun 1-Deoxynojirimycin...........................................................
9
3. Struktur kimia alantoin..................................................................................
16
4. Persamaan Regresi Konsumsi PK dengan PBB............................................
25
5. Persamaan Regresi Konsumsi PK dengan Kecernaan PK............................
26
6. Persamaan Regresi Alantoin Urin dengan Kecernaan PK............................
30
7. Persentase N Tercerna dan N Teretensi........................................................
31
7
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan.........................................................
41
2. Susunan Ransum P1......................................................................................
42
3. Susunan Ransum P2.....................................................…………………….
43
4. Susunan Ransum P3...............................................………………………...
44
5. Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar (PK)....................…………………..
45
6. Sidik Ragam Kecernaan Protein Kasar (PK)...................................………..
45
7. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Protein Kasar (PK)..……………………….
45
8. Sidik Ragam Kadar Amonia……………………………...………………...
45
9. Sidik Ragam Kadar Retensi Nitrogen...........................................................
46
10. Sidik Ragam VFA Total................................................................................
46
11. Uji Lanjut Duncan VFA Total.......................................................................
46
12. Sidik Ragam Kadar Alantoin Urin................................................................
46
13. Uji Lanjut Duncan Kadar Alantoin Urin.......................................................
46
14. Sidik Ragam Nilai Biologis...........................................................................
47
15. Uji Lanjut Duncan Nilai Biologis..................................................................
47
8
PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak merupakan salah satu aspek penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia, terutama digunakan sebagai sumber protein hewani. Pakan merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam manajemen dan pembangunan peternakan karena mengambil bagian terbesar dari total biaya produksi (70%). Pakan yang baik adalah pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produktivitas ternak. Bila dilihat dari segi proteinnya, maka ransum yang hanya disusun berdasarkan kadar protein saja menjadi kurang akurat. Hal ini dapat dilihat dari ransum yang berbeda namun mengandung kadar energi dan protein yang sama, sering kali menghasilkan tingkat produktivitas yang berbeda-beda. Ransum dengan kadar protein yang sama bisa jadi memiliki tingkat fermentabilitas, ketahanan protein terhadap degradasi rumen, kecernaan protein oleh enzim pencernaan pasca rumen dan sintesis protein mikroba yang berbeda-beda (Puastuti, 2005). Oleh karena itu kadar protein ransum yang tinggi tidak dapat menjamin bahwa ransum tersebut berkualitas baik. Pemanfaatan limbah pertanian khususnya jerami padi memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia karena ketersediaannya cukup berlimpah dan berkesinambungan, terutama di Indonesia. Faktor pembatas jerami padi, yaitu rendahnya kandungan nutrien esensial seperti protein, energi, mineral dan vitamin serta kecernaannya rendah. Protein kasar yang terkandung di jerami padi tergolong rendah, yaitu sebesar 7.72% (Selly, 1994), sehingga pemanfaatan jerami padi dalam ransum harus diimbangi dengan penambahan pakan berkualitas yang pada umumnya berupa konsentrat. Bahan pakan sumber protein pada umumnya relatif sulit pengadaannya dan mahal, sehingga ketersediaannya menjadi kendala. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mengenai sumber daya pakan yang berpotensi menjadi sumber protein alternatif. Tanaman murbei mempunyai potensi sebagai pengganti konsentrat karena memiliki kandungan nutrien yang lengkap dengan protein kasar sebear 22-23% (Datta et al., 2002). Sedangkan Menurut Machii et al. (2000) kandungan protein kasar daun murbei sebesar 20.4% merupakan salah satu indikator bahwa daun murbei memiliki kualitas yang baik sebagai bahan pakan sumber protein. Daya 9
adaptasi tumbuh tanaman murbei pada berbagai kondisi serta potensi produksi tergolong tinggi, mencapai 22 ton BK/ha/tahun. Potensi produksi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan leguminosa lain seperti gamal (Gliricidia sepium) dengan potensi produksi sebesar 7-9 ton BK/ha/tahun (Horne et al., 1994), sehingga diperkirakan penggantian konsentrat dengan daun murbei dapat meningkatkan efisiensi produksi dan efisiensi ekonomi, serta menjadi alternatif pakan komplit yang murah, berkualitas, mudah disediakan serta dapat meningkatkan produktivitas ternak. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas protein daun murbei sebagai pengganti konsentrat bila dikombinasikan dengan jerami padi.
10
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Peranakan Ongole ( PO ) Sapi peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu bangsa sapi yang banyak dipelihara peternak kecil di pulau Jawa. Sapi ini berasal dari persilangan antara bangsa sapi Jawa maupun Madura (sapi lokal) dengan bangsa sapi Ongole (India). Persilangan tersebut merupakan suatu grading up, yaitu keturunan hasil perkawinan itu kembali dikawinkan kembali dengan sapi ongole (Soeprapto, 2006). Sapi Peranakan Ongole (PO) pada tahun 1991 populasinya mencapai 4.600 .000 ekor, mendominasi jumlah sapi potong di Indonesia dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Akan tetapi telah terjadi penurunan yang drastis dan pada tahun 2001 populasi dilaporkan sebesar 874.000 ekor dan konsentrasi tetap di Pulau Jawa (Astuti, 2004). Sapi Peranakan Ongole (PO) mempunyai postur tubuh maupun bobot badan lebih kecil dibandingkan dengan sapi ongole. Warna bulu putih, abu – abu, kipas ekor (bulu cambuk ekor) dan bulu sekitar mata berwarna hitam, berbadan besar, gelambir longgar bergantung, punuk besar dan leher pendek, dan bertanduk pendek. Pertambahan bobot badan harian sangat tergantung dari jenis sapi. Angka nilai rata-rata yang pernah dilaporkan untuk pertambahan bobot badan harian prasapih sapi PO adalah 0,62 kg dan pascasapih 0,24 kg, untuk umur 4-12 bulan berkisar 0,34-0,37 kg, umur 13-24 bulan berkisar 0,31-0,40 kg, umur 2 tahun berkisar 0,44-0,91 kg, Sapi Bali sebesar 0,35 – 0,5 kg dan sapi Brahman sebesar 0,91 – 1,36 kg (Astuti, 2004). Data tersebut menunjukkan bahwa sapi PO mempunyai laju pertumbuhan yang cukup tinggi dibandingkan ternak sapi lokal lainnya. Secara komersial, sapi PO dapat dimanfaatkan sebagai ternak pedaging karena memiliki laju pertumbuhan yang cukup baik dan mempunyai kemampuan konsumsi yang cukup tinggi terhadap hijauan serta mudah pemeliharaannya. Berdasarkan hal tersebut maka sapi PO sangat cocok untuk dikembangbiakan sebagai ternak pedaging lokal guna memenuhi kebutuhan daging di Indonesia.
Murbei (Morus sp.) Menurut Sunanto (1997), murbei dikenal dengan nama umum sebagai besaran (Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali), kertu (Sumatera Utara), gertu (Sulawesi), kitaoc (Sumatera Selatan), kitau (Lampung), moerbei (Belanda), 11
mulberry (Inggris), gelsa (Italia) dan murles (Perancis). Berdasarkan morfologi bunga genus Morus dipilah-pilah menjadi 24 jenis yang kemudian ditambah dengan lima jenis lagi. Murbei pada dasarnya mempunyai bunga kelamin tunggal, meskipun kadang-kadang juga berkelamin rangkap (Atmosoedarjo et al., 2000).
Gambar 1. Daun murbei (Morus sp.) http://www.fruitcity.co.uk/mulberry-morus/ Berdasarkan sistematika tanaman
murbei (Morus spp.)
mempunyai
penggolongan sebagai berikut (Sunanto, 1997) : Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Urticalis
Famili
: Moreceae
Genus
: Morus
Spesies
: Morus sp
Tanaman murbei berbentuk semak (perdu) yang tingginya sekitar 5-6 m, dapat juga berbentuk pohon yang tingginya dapat mencapai 20-25 m. Curah hujan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman murbei antara 635-2500 mm per tahun dengan suhu optimal antara 23,9 0C dan 26,6 0C, tetapi umumnya tanaman murbei dapat tumbuh baik dengan suhu minimum 13 0C dan suhu maksimum 38 0C. Adaptasi tumbuh tanaman murbei relatif baik. Tanaman ini dapat tumbuh pada lokasi dengan variasi suhu, pH tanah, dan ketinggian dari permukaan laut yang sangat 12
besar. Oleh karena itu, tanaman ini mudah dikembangkan untuk kebutuhan lain, seperti sebagai sumber pakan ternak. Tabel 1. Luas Areal Tanaman Murbei di Indonesia (ha) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Propinsi Nangroe Aceh Darusalam Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jawa Barat Banten Jawa Tengah D. I. Yogyakarta Jawa Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur DKI Jakarta Dll Jumlah/Total
2000 140,0 868,0 2.029,0 584,0 584,0 530,0 122,0 5.270,0 -
2001 140,0 868,0 2.992,0 941,3 313,6 540,0 122,0 6588,2 25,0 20,0 -
2002 140,0 868,0 2.992,0 941,3 483,5 540,0 122,0 6.037,7 25,0 20,0 -
2003 140,0 868,0 2.992,0 941,3 496,2 540,0 122,0 4.216,3 25,0 20,0 -
2004** 140,0 3,5 2.992,0 941,3 496,2 540,0 122,0 4.184,5 25,0 20,0 -
10.127,0
12.581,5
12.198,4
10.338,7
9.492,5
Sumber: Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2005) Keterangan: (-)= Tidak Ada Kegiatan; **)= Angka Berdasarkan Laporan s/d Juli 2005
Tabel 1. tersaji data luas areal tanaman murbei beberapa propinsi di Indonesia. Sulawesi Selatan dan Jawa Barat adalah dua wilayah yang memiliki luas areal tanaman murbei di Indonesia, hal ini berkaitan dengan pemeliharaan ulat sutera, dimana murbei merupakan pakan utama dari hewan tersebut (Deptan, 2001). Sampai tahun 2004, areal tanaman murbei di Indonesia baru seluas ±10.000 ha, jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara lain, misalnya Jepang seluas 14.884 ha (Machii et al. 2002), Brazil seluas 37.745 ha (Almeida & Fonseca 2002), Thailand seluas 35.000 ha, bahkan India dan Cina masing-masing mencapai 280.000 dan 626.000 ha (Sanchez 2002). Martin et al. (2002) melaporkan produksi biomassa murbei dengan interval depoliasi 90 hari akan mencapai 25 ton BK/ha/thn dan produksi daun sebesar 16 ton BK/ha/thn, sedangkan Boschini (2002) melaporkan produksi daun sebesar 19 ton BK/ha/tahun. Potensi produksi tersebut lebih tinggi dibanding dengan leguminosa lain seperti gamal (Gliricidia sepium) dengan potensi produksi sebesar 7-9 ton 13
BK/ha/tahun (Horne et al., 1995) dan lamtoro mini (Desmanthus virgatus) dengan potensi produksi sebesar 7,1 – 7,6 ton BK/ha/tahun (Hopkinson, 2004). Menurut Prawerti (1995) bahwa di Indonesia dikenal beberapa spesies murbei yang potensial untuk pakan ulat sutera atau sumber bahan baku pakan ayam, antara lain Morus cathayana A., Morus multicaulis P., Morus nigra L., Morus australis P., dan Morus alba L. Komposisi kimia dari lima jenis daun murbei dapat dilihat pada Tabel 2. Diantara semua jenis tersebut Morus alba merupakan jenis murbei yang banyak digunakan karena kandungan nutrisinya yang baik. Daun murbei memiliki palatabilitas yang cukup tinggi, dapat digunakan sebagai pakan hewan herbivora dan monogastrik serta bahan obat-obatan. Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Lima Jenis Daun Murbei Komposisi Kimia
Jenis Murbei Morus Morus multicaulis cathayana 77.11 79.55
Air (%)
Morus alba 84.28
Morus Nigra 83.17
Morus australis 83.89
Protein Kasar (%)
20.15
20.06
15.51
18.53
19.44
Serat Kasar (%)
13.27
16.19
12.55
12.89
12.82
Lemak Kasar (%)
3.62
3.63
3.64
3.69
4.10
Abu (%)
10.58
10.77
14.46
14.84
10.63
Karbohidrat (%)
39.20
35.94
42.84
38.43
41.80
Fosfor (%)
0.44
0.31
0.30
0.36
0.45
Sumber : Samsijah (1992)
Tabel 2 memperlihatkan daun murbei memiliki kandungan 15.51 – 20.15% PK, 12.55 – 16.19% SK. Kandungan nutrien daun murbei meliputi 22-23% PK, 1218% mineral, 35% ADF, 45.6% NDF, 10-40% hemiselulosa, 21.8% selulosa (Datta et al. 2002). Sedangkan menurut Machii et al. (2000) kandungan protein kasar daun murbei sebesar 20.4% merupakan salah satu indikator bahwa daun murbei memiliki kualitas yang baik sebagai bahan pakan. Kualitas daun murbei yang tinggi juga ditandai oleh kandungan asam aminonya yang lengkap. Pada daun murbei juga teridentifikasi adanya asam askorbat, karotene, vitamin B1, asam folat dan Pro vitamin D (Singh, 2002).
14
Daun murbei merupakan pakan alami bagi ulat sutera (Bombxy mori L) dan sampai saat ini belum ada penggantinya. Daun murbei mengandung suatu zat perangsang, yaitu glukosida. Glukosida adalah sejenis zat yang mampu merangsang ulat sutera untuk mengenali pakannya. Zat perangsang tersebut tidak terdapat pada tumbuhan lain, sehingga menyebabkan ulat sutera akan menolak memakan tumbuhan lain (Ekastuti, 2005). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) daun tanaman murbei mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ulat sutera, yaitu air, protein, asam amino, senyawa N yang bukan protein, karbohidrat, lemak, mineral serta vitamin. Protein pakan sangat penting dalam pembentukan fiborin yang menyusun serat sutera. Kandungan protein kasar daun murbei (22-23%) lebih tinggi dibandingkan hijauan lainnya seperti rumput raja (8,2%), star grass (8,9%), alfalfa (17%), rumput gajah (9%) (Boschini, 2002). Sedangkan bila dibandingkan dengan legum Leucaena yang mengandung protein kasar sebesar 21,5% (yulistiani, 2008) maka jika dilihat dari kadar protein, murbei dapat digunakan sebagai pengganti legum. Kandungan tanin daun murbei sebesar 0,85% (Datta et al. 2002), nilai yang sangat kecil untuk berpotensi mengikat protein dibandingkan dengan daun kaliandra yang mengandung tanin sebesar 11,3% (Makkar, 1993) dan Leucaena leucocephala sebesar 13,9% (Yulistiani, 2008). Belum dilaporkan adanya dampak senyawa aktif yang terdapat pada daun murbei terhadap produktivitas ternak. Kadar tanin di atas 5% dapat menurunkan degradasi protein, N amonia, dan kecernaan serat (Makkar, 1993). Komposisi nutrien yang lengkap serta produksi daun yang tinggi, menjadikan tanaman murbei potensial dijadikan bahan pakan ternak, menggantikan konsentrat khususnya untuk ternak ruminansia (Doran et al. 2006; Shayo, 2002; Makkar dan Singh, 2002; Boschini, 2002). Jerami Padi Jerami padi merupakan bagian dari batang tumbuhan tanpa akar yang tertinggal setelah dipanen butir buahnya (Shiddieqy, 2005). Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang sangat potensial sebagai sumber energi untuk ternak ruminansia, karena produksi jerami padi sangat banyak dan tersedia sepanjang tahun. Menurut Deptan (2001), produksi padi tahun 2000 sebanyak 50.866.387 ton, bila diasumsikan jumlah jerami padi adalah 50% dari produksi padi yang dihasilkan pada 15
tahun yang sama sebanyak 25.433.194 ton. Dari jumlah tersebut baru sekitar 7,8% yang sudah dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Jerami padi merupakan bahan pakan herbivora yang tergolong bahan pakan yang berkualitas rendah antara lain karena dinding selnya tersusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika (Budiman, 2007). Penggunaan jerami padi sebagai makanan ternak mengalami kendala terutama disebabkan adanya faktor pembatas dengan nilai nutrisi yang rendah yaitu kandungan protein rendah, serat kasar tinggi, serta kecernaan rendah. Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan baru mencapai 3139%, sedangkan yang dibakar atau dikembalikan ke tanah sebagai pupuk 36-62%, dan sekitar 7-16% digunakan untuk keperluan industri (Syamsu, 2007). Tabel 3. Komposisi Jerami Padi Komponen
Selly (1994)
Laconi (1992)
Sofyan (2004)
Bahan kering (%)
89,41
100
100
Bahan organik (%)
78,96
78,27
-
Abu (%)
-
21,73
-
Serat kasar (%)
-
30,80
35,1
3,35
3,53
6,95
-
-
33
Silika (%)
18,32
18,32
16
Protein kasar (%)
7,72
6,63
4,2
Lignin (%) Selulosa (%)
Daya cerna yang rendah dari jerami padi akibat struktur jaringan penyangga tanaman yang sudah tua. Jaringan tanaman ini sudah mengalami proses lignifikasi, terjadi lignoselulosa dan ligno-hemiselulosa yang sulit dicerna (Shiddieqy, 2005). Menurut Suminar (2005), lignin merupakan faktor yang lebih banyak mempengaruhi rendahnya daya cerna dari jerami tanaman pada umumnya, sedangkan pada jerami padi rendahnya daya cerna disebabkan oleh tingginya kandungan silika. Lignifikasi dan silifikasi bersama-sama mempengaruhi rendahnya daya cerna jerami padi. Kandungan NH3 yang terdapat pada jerami padi sebesar 4.89 mM dan VFA sebesar 49.26 mM. Nilai kecernaan bahan kering (KCBK) sebesar 20.97% dan KCBO 20.1% (Selly, 1994). Menurut Arinong (2003), kandungan silika pada jerami padi sebesar 13,5 % sedangkan pada jerami lain sebesar 3 – 5 %. Berbeda halnya 16
dengan kandungan lignin, dimana lignin jerami padi sebesar 4,9 %, sedangkan jerami lain sebesar 10 – 12 %. Jerami padi dalam keadaan segar relatif lebih hijau, mempunyai kadar air, palatabilitas dan kecernaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah kering dan bertumpuk (Suminar, 2005). Upaya peningkatan nilai pakan jerami padi sebagai pakan ternak antara lain dengan penambahan pakan konsentrat, penambahan sumber protein yang berupa tanaman leguminosa dan atau dengan perlakuan biologis, fisik maupun kimia (Yulistiani et al., 2003). Daryanti et al. (2002) melaporkan, penggemukan sapi PO yang memperoleh ransum dasar jerami padi teramoniasi dengan tambahan konsentrat 4 kg/ekor/hari, menghasilkan pertambahan berat badan ternak sebesar 717 g/ekor/hari. Senyawa 1-Deoxynojirimycin Senyawa deoxynojirimycins (DNJ) merupakan kumpulan stereokimia dari monosakarida yang memiliki potensi menghambat ceramid glukosyltransferase dan (α, β) glukosidase secara spesifik (Mellor, 2002). Menurut Oku et al. (2006) derivat DNJ berupa D-glukosa mampu menghambat α-glukosidase usus dan α-glukosidase pankreas, sehingga DNJ dapat menghambat hidrolisis oligosakarida. Komponen penghambat tersebut tersebar dalam daun dan akar murbei. Pertama kali deoxynojirimycin diisolasi dari akar tanaman murbei pada tahun 1976 dan diberi nama moroline. Senyawa ini ditemukan terdapat pada tanaman murbei sebanyak 0.24% (Oku et al., 2006) dan diketahui dapat menekan kadar glukosa darah, sehingga dapat mencegah diabetes (Kimura et al., 2004).
CH2OH
CH3
OH OH
OH
Gambar 2. Struktur Bangun 1-Deoxynojirimycin http://www.biochemj.org/bj/imps_x/pdf/BJ20031822.pdf
17
Senyawa
DNJ
bekerja
secara
spesifik
dalam
menghambat
proses
glikogenesis, dalam memecah oligosakarida (Gross et al., 1983). DNJ berperan sebagai penghambat glukosidase yang kompetitif, yaitu berkompetisi dengan substrat melekat pada sisi aktif enzim glukosidase selama proses katalisis berlangsung oleh enzim (Hettkamp et al., 1984). Struktur bangun senyawa 1-DNJ (C6H13NO4) dapat dilihat pada Gambar 2. Komponen daun murbei seperti DNJ, α-arylbenzofuran alkaloid menghambat aktivitas α-glukosidase dalam usus kecil dan juga mencegah hidrolisis disakarida menjadi monosakarida (Yatsunami et al., 2003; Arai et al., 1998). Hock dan Elstner (2005) menyatakan bahwa senyawa DNJ bersifat menghambat aktivitas αglukosidase dalam usus halus secara kompetitif sehingga pemecahan ikatan glikosida substrat (karbohidrat) menjadi monosakarida lebih lambat. Hal ini menyebabkan sel tidak memperoleh energi yang cukup dalam bentuk monosakarida, sehingga terjadi perombakan cadangan glikogen dalam tubuh yang menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan. Konsumsi Protein Protein adalah senyawa organik kompleks dengan berat molekul yang tinggi. Seperti halnya karbohidrat dan lipida (lemak), protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi protein mempunyai kelebihan, yaitu mengandung nitrogen dan sulfur (Tillman et al.,1998). Protein ditemukan di semua makhluk hidup, yang secara dekat berhubungan dengan semua tahap aktivitas yang membantu kehidupan makhluk hidup. Tiap spesies mempunyai jenis protein sendiri dan organisme tunggal mempunyai banyak protein berbeda pada sel dan jaringan. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar protein terdapat di alam (McDonald et al., 1995). Penyediaan protein dalam ransum sangat penting untuk memenuhi protein hidup pokok dan produksi (bulu, pertumbuhan, reproduksi dan laktasi) yang memerlukan kualitas protein yang baik dengan jumlah yang cukup. Anggorodi (1995) menambahkan bahwa protein juga berperan dalam perbaikan jaringan tubuh, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme energi, metabolisme ke dalam zat-zat vital dalam fungsi tubuh dan sebagai enzim-enzim yang esensial bagi tubuh. Menurut 18
NRC (1984), kebutuhan protein kasar untuk sapi pedaging jantan dengan BB 200 250 kg dan PBB 0,5 – 1,1 kg adalah sebanyak 554 – 782 gram. Daun murbei dapat digunakan sebagai sumber protein bagi ruminansia karena mengandung protein yang tinggi, serat yang rendah dan palatabilitasnya yang tinggi sehingga konsumsi ternak meningkat (Yulistiani, 2008). Kecernaan Protein Protein adalah senyawa organik kompleks dengan berat molekul yang tinggi. Seperti halnya karbohidrat dan lipida (lemak), protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi protein mempunyai kelebihan, yaitu mengandung nitrogen dan sulfur (Tillman et al.,1998). Protein ditemukan di semua makhluk hidup, yang secara dekat berhubungan dengan semua tahap aktivitas yang membantu kehidupan makhluk hidup. Tiap spesies mempunyai jenis protein sendiri dan organisme tunggal mempunyai banyak protein berbeda pada sel dan jaringan. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar protein terdapat di alam (McDonald et al., 1995). Daya cerna protein kasar akan tertekan dengan meningkatnya kadar serat kasar dalam ransum, tetapi kecernaan protein akan meningkat apabila tingkat protein dalam ransum baik. Sebaliknya koefisien cerna protein juga bisa menurun dengan semakin banyaknya N feses yang dikeluarkan (Nasution, 1984). Kecernaan protein kasar juga dipengaruhi oleh tingginya kandungan protein kasar dalam ransum (Gracia et al., 1993). Faktor lain mempengaruhi kecernaan yaitu kandungan tanin dan lignin dalam ransum. Tanin dapat berikatan dengan membentuk ikantan kompleks protein-tanin, sehingga protein sulit dicerna oleh mikroba. Efisiensi penggunaan nitrogen meningkat dengan semakin meningkatnya suplai asam amino ke duodenum. Asupan asam amino tersebut berasal dari mikroba rumen dan protein yang tidak didegradasi oleh mikroba. rumen (protein bypass). Mikroba rumen merupakan sumber protein yang berkualitas sangat baik, tetapi jumlahnya tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan untuk hidup pokok dan produksi. Protein bypass dapat meningkatkan jumlah protein dan ketersediaan asam amino untuk dicerna dan diserap oleh usus untuk mendukung produksi ternak (Henson et al., 1997). Protein pakan sebagian mengalami degradasi di dalam rumen menghasilkan amonia sebagai sumber nitrogen bagi sebagian besar mikroba rumen 19
untuk sintesis protein tubuhnya. Sementara itu, sebagian lain yang lolos dari degradasi mikroba rumen dapat dicerna oleh enzim pencernaan pascarumen untuk diserap. Berbagai bahan sumber protein dengan kadar protein berbeda mempunyai karakteristik yang bermacam-macam. Pada ruminansia, kualitas protein lebih ditentukan oleh banyaknya protein yang dapat diserap. Singh (2002) melaporkan bahwa degradabilitas protein murbei mencapai 95%. Menurut Makkar (1993) kecernaan protein untuk daun murbei berkisar antara 54.9% sampai 93.4%. Retensi Nitrogen Efisiensi penggunaan protein adalah banyaknya protein yang dapat diretensi oleh ternak dan digunakan untuk pertumbuhan atau produksi. Perhitungan nilai retensi protein dilakukan untuk mngetahui nilai kecernaan protein suatu bahan makanan. Dalam perhitungan retensi dapat diduga dari retensi nitrogen suatu bahan pakan. Menurut NRC (1994), retensi nitrogen untuk setiap jenis ternak, umur dan faktor genetik adalah berbeda. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan menbgakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen dan energi dibanding terjak yang tidak meretensi nitrogen, tingkat retensi nitrogen tergantung pada konsumsi nitrogen dan energi metabolis ransum, namun peningkatan energi metabolis ransum tidak selalu diikuti peningkatan retensi nitrogen (Wahju, 2004). Meningkatnya konsumsi nitrogen diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen tetapi tidak selalu disertai dengan peningkatan bobot badan bila energi ransum rendah. Konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Retensi nitrogen merupakan selisih dari konsumsi nitrogen dengan ekskresi nitrogen melalui feses dan urin yang dapat digambarkan melalui persamaan : RN = NK – (NF + NU); dimana RN = neraca nitrogen, NK = konsumsi nitrogen, NF = nitrogen feses, NU = nitrogen urin (Maynard dan Loosli, 1969). Neraca nitrogen dapat bernilai positif, negatif, atau seimbang (nol). Neraca nitrogen positif bila jumlah nitrogen yang keluar melalui urin dan feses lebih sedikit 20
dari yang dikonsumsi, dalam hal ini ternak mengalami pertambahan bobot badan karena terjadi penambahan pada tenunan urat dagingnya. Neraca nitrogen negatif bila jumlah nitrogen yang keluar melalui urin dan feses lebih banyak dari yang dikonsumsi, dalam hal ini ternak mengalami penurunan bobot badan karena terjadi suatu kehilangan nitrogen jaringan melalui katabolisme sebagai akibat nitrogen yang dimakan tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak. Neraca nitrogen seimbang (nol) bila jumlah nitrogen yang dikonsumsi sama dengan jumlah nitrogen yang dikeluarkan melalui urin dan feses, jadi nitrogen yang dimakan hanya untuk hidup pokok saja (Crampton dan Harris, 1969; Maynard dan Loosli, 1969). Faktor yang mempengaruhi neraca nitrogen antara lain energi ransum, kualitas protein dan konsumsi protein (nitrogen). Meningkatnya energi ransum akan diikuti oleh meningkatnya retensi nitrogen, tetapi nitrogen, tetapi pengaruh ini akan lebih besar jika ransum tersebut mengandung protein berkualitas baik (Boorman, 1980). Amonia (NH3) Amonia merupakan hasil perombakan protein pakan menjadi peptida dan asam amino oleh mikroba rumen dan hidrolisisurea (Perry et al., 2003). Menurut Sakinah (2005), amonia tersebut digunakan oleh mikroba sebagai sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba. Pertumbuhan mikroba rumen dapat mencapai optimum apabila jumlah protein asal pakan yang terdegradasi dalam rumen sekitar 14-15% BK (Rimbawanto, 2001). Produksi NH3 tergantung pada kelarutan protein ransum jumlah protein ransum, lamanya makanan di dalam rumen, dan pH rumen. Arora (1989) menyatakan bahwa produksi amonia dalam rumen sangat tergantung sifat protein pakan untuk didegradasi oleh mikroba rumen. Proporsi protein pakan yang masuk ke dalam tubuh perlu diatur untuk menghindari adanya produksi amonia berlebih. Amonia yang melebihi 5 mg% akan diserap dan disekresikan dalam urine. Menurut McDonald et al. (2002), proporsi protein pakan yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun ternak terdiri atas protein yang mudah didegradasi sebesar 70-80% dan 30-40% berupa protein yang lebih sulit didegradasi. Protein yang mudah larut dapat berasal dari pakan hijauan yang kaya akan protein, pakan bentuk bungkil, dan bijian. 21
Konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan urea-dedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba dan menghasilkan konsentrasi amonia masing-masing sebesar 17.8; 21.3 dan 23.0 mg/100 ml. Volatile Fatty Acid (VFA) Volatile Fatty Acid (VFA) yang biasa disebut asam lemak terbang merupakan salah satu produk fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia, dan dapat menyumbang 55-60% dari kebutuhan energi. Konsentrasi VFA pada cairan rumen dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur fermentabilitas pakan dan sangat erat kaitannya dengan aktivitas mikroba rumen (Parakkasi, 1999). Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa, dan pentosa. Selanjutnya, gula sederhana tersebut dipecah menjadi asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2, dan CH4 (McDonald et al., 2002). Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi berupa VFA antara lain yang utama yaitu asetat, propionat, dan butirat dengan perbandingan di dalam rumen berkisar pada 65% asetat, 20% propionat, dan 5% valerat. VFA kemudian diserap melalui dinding rumen melalui penonjolanpenonjolan yang menyerupai jari yang disebut vili. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen masuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap di usus halus (McDonald et al., 2002). VFA ini penting untuk pertumbuhan mikroorganisme yang membantu mencerna serat kasar dalam rumen serta sebagai sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba (Sakinah, 2005). VFA total menunjukkan jumlah pakan (terutama karbohidrat yang merupakan prekursor VFA total) yang difermentasikan oleh mikroba rumen. Produksi VFA total yang dihasilkan dalam 22
rumen sangat bervariasi tergantung pada ransum yang dikonsumsi dan lama waktu setelah makan yaitu antara 70-150 mM (McDonald et al., 2002). Kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan optimal rumen adalah 80-160 mM (Sutardi, 1980). Menurut penelitian yang dilakukan Sakinah (2005), semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya. Total VFA yang diperoleh pada penelitian Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan urea-dedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba menghasilkan konsentrasi masing-masing sebesar 120.3; 106.6 dan 105.9 mM. Alantoin urin Alantoin, asam urat, xanthin dan hipoxanthin merupakan produk degradasi purin yang dapat dideteksi dalam urin. Alantoin mempunyai rumus kimia C4H6N4O3 dan nama IUPAC (2,5-Dioxo-4-imidazolidinyl) urea. Alantoin dalam urin dapat mengestimasi besarnya penyedia protein mikroba rumen terhadap induk semangnya (Chen et al., 1992). Jika ekskresi alantoin dalam urin tinggi sebagai indikasi bahwa protein banyak yang diserap oleh mikroba rumen dan terjadi proses katabolisme. Meningkatnya pertumbuhan bakteri rumen tercermin pula dari meningkatnya sintesis protein mikroba. Pengukuran parameter alantoin dapat menggambarkan nilai hayati protein pakan untuk ternak ruminansia (Laconi, 1998).
Gambar 3. Struktur kimia alantoin [http://en.wikipedia.org/wiki/Alantoin]
23
Metode yang dapat digunakan untuk memprediksi sintesis protein mikroba adalah melalui derivat purin yang diekskresikan melalui urin. Purin (hasil degradasi asam nukleat dalam rumen) yang diabsorbsi dikonversikan menjadi derivat purin yaitu berupa asam urat dan alantoin. Purin yang diekskresikan per hari mempunyai korelasi linier dengan jumlah purin mikroba yang diabsorbsi. Diasumsikan ratio protein dan purin konstan dalam populasi mikroba, maka ekskresi derivat purin digunakan sebagai index untuk menentukan protein mikroba (Chen et al., 1990; Singh et al., 2007). Menurut Laconi (1998), ekskresi alantoin dalam urin berkisar antara 2.85 – 5.10 g/h, sedangkan menurut Erwanto (1993), ekskresi alantoin urin mempunyai nilai antara 2.41 – 5.81 g/h pada sapi dewasa dengan ransum yang mengalami defaunasi dan suplementasi sulfur. Kadar alantoin yang didapat pada umumnya 2.13 mmol hari-1. Suplai protein meningkat seiring dengan meningkatnya kadar alantoin. Ekskresi alantoin berbanding lurus dengan alantoin mikroba rumen yang diserap, jika diasumsikan perbandingan protein dengan alantoin dalam populasi mikroba rumen adalah tetap. Sintesis protein mikroba rumen dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan Y = 1.995 + 3.8799 X (Chen et al., 1992). Ekskresi alantoin urin yang diperoleh pada penelitian Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan ureadedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba menghasilkan konsentrasi masing-masing sebesar 0.83; 0.82 dan 0.88 g/h.
24
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan September 2008 di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Materi Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain kandang sapi individu, timbangan digital kapasitas 1 ton dengan ketelitian 1 kg, timbangan pegas 25 kg dengan ketelitian 100 gram, botol penampung urin, pompa vacum penyedot cairan rumen, syringe, waterbath, termometer, timbangan digital, mikroburet, pH meter, oven 105
0
C, labu Kjeldahl, tabung Folin-Wu, tanur, sentrifuse,
spektrofotometer, cawan Conway, labu Erlenmeyer, labu ukur, botol gelas gelap, botol polyethylene gelap. Bahan Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah kloroform 0.5%, HCl pekat 2%, Selenium mixture, NaOH 40%, Asam Borat 4%, Mix Indikator, H2SO4 15%, Phenylhydrazine hydrochloride 0,67%, H2SO4 5%, NaOH 5%, HCl 6,0 N , Ferycyan kalium 1,67%, sodium nitroferricianida, sodium hidroksida, disodium posfat heptathidrat (Na2HPO4.7H2O), pemutih komersial Baycline (5,25% Sodium hypochlorite), botol polyethylene, amonium sulfat, NaCl 20%, larutan NaOH 0,5%, larutan HCl 0,5 N, dan aquadest. Ternak Percobaan Ternak yang digunakan adalah sapi peranakan ongole (PO) jantan sebanyak 12 ekor bobot badan 217,16 ± 10,53 kg yang berasal dari Wonosari, Jawa Tengah. Ransum Bahan Pakan yang digunakan sebagai penyusun ransum percobaan berupa jerami padi, konsentrat serta daun murbei. Jerami padi diperoleh dari sekitar Dramaga dalam kondisi segar yang dipotong 3-5 cm lalu dikeringkan dan diberikan 25
ke ternak. Daun murbei yang digunakan merupakan varietas Morus alba yang diperoleh dari kebun murbei IPB dan kebun murbei Pasir Sarongge Cipanas Kab. Cianjur dalam bentuk segar dan diberikan ke ternak dalam bentuk kering giling dengan ukuran 40 mash. Susunan ransum penelitian yang diberikan ke ternak tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Susunan Ransum Penelitian Bahan/Nutrien Komposisi Bahan (% BK) Jerami padi Jagung Kuning Bungkil Kedelai Bungkil Kelapa Pollard Onggok Molases Tepung daun murbei Ca(Urea)4Cl2 DCP TOTAL Komposisi Nutrien (%) Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar BETN Abu TDN
P1
Ransum Perlakuan P2
50,00 10,72 8,93 7,50 15,10 3,00 3,50 0,00
50,00 5,35 4,47 3,75 7,55 1,50 1,75 25,00
1,00 0,25
0,50 0,125
P3 50,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 50,00 0,00 0,00
100,00
100,00
100,00
13,70 3,35 15,48 51,76 15,70 60,60
13,70 2,73 16,95 49,46 17,20 59,40
13,70 2,11 18,41 47,17 18,70 58,20
Metode Perlakuan Penelitian dan Pemeliharaan Ternak Perlakuan yang diberikan pada ternak sapi ialah : P1
= 50% jerami padi + 50% konsentrat (kontrol)
P2
= 50% jerami padi + 25% konsentrat + 25% murbei
P3
= 50% jerami padi + 50% murbei Prosedur Ternak-ternak sapi percobaan dipelihara pada kandang individu. Ransum
sebanyak 2,5 – 3,0% BB diberikan 2 kali sehari (06.00-07.00 dan 16.00-17.00). Air 26
minum diberikan secara ad libitum. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan selama 10 minggu (2 minggu masa adaptasi, 8 minggu masa pengamatan). Koleksi total dilakukan selama lima hari ditengah periode pengamatan (Minggu ke 5). Cara Pengambilan Contoh Feses. Pengambilan sampel feses sebanyak 5% dari total pengeluaran harian, juga dikompositkan dan ditambahkan bahan pengawet, yaitu kloroform 0.5% dari bobot feses. Sampel yang dikoleksi kemudian dianalisa proksimat. Urin. Urin ditampung dengan menggunakan botol plastik yang sebelumnya telah ditambahkan HCl pekat 2% (v/v). Koleksi urin dilakukan selama lima hari. Koleksi urin diambil sebanyak 5% untuk kemudian disimpan di dalam freezer. Sampel urin sebanyak 1% dikomposit untuk kemudian dianalisa kandungan nitrogennya. Analisa Protein Prinsip yang digunakan untuk pengukuran kadar nitrogen yang terdapat dalam contoh bahan dengan menggunakan metode makro Kjedahl yang terdiri dari tahap destruksi, tahap destilasi, dan tahap titrasi (AOAC, 1980). Cara mendapatkan kadar protein adalah pertama ditimbang sebanyak 0.2 gram contoh lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, disiapkan juga untuk blankonya. Setelah itu sebanyak 0,2 gram selenium mixture ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 3-5 ml H2SO4 (p) di ruang asam kemudian didestruksi dalam ruang asam selama 30 menit (terbentuk larutan jernih/putih). Setelah terbentuk larutan jernih kemudian didinginkan dan ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml. Destilasi dilakukan dengan menambahkan NaOH 40% 15-20 ml ke dalam larutan contoh/blanko. Sementara itu, 10 ml asam borat 4% dan 2 tetes mix indikator dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml sebagai penampung hasil destilasi (warna larutan merah). Destilasi dihentikan setelah erlenmeyer 100 ml berisi 50-75 ml (warna larutan hijau) kemudian dititrasi dengan HCl yang telah ditetapkan normalitasnya terhadap contoh dan blanko sampai warna merah muda.
N Total (%) =
[(ml titrasi contoh - ml titrasi blanko) N HCl 4]
100%
mg contoh
27
Konsumsi protein (g) = konsumsi bahan kering (g) x % nitrogen ransum Pengukuran Kecernaan Zat Makanan, Retensi Nitrogen dan Nilai Biologis Kecernaan zat-zat makanan, retensi dan nilai biologis N, dihitung berdasarkan rumus : Nutrien terkonsumsi – nutrien feses Kecernaan
=
x 100% Nutrien terkonsumsi
Retensi Nitrogen = Konsumsi N – N Feses – N Urin Nilai biologis
= Retensi N Kecernaan N
Pengukuran Konsentrasi NH3 (Phenol Hypoclorite Assay) Pengukuran konsentrasi amonia cairan rumen dilakukan dengan metode phenol hypoclorite assay (Broderick & Kang 1980), dengan tahapan pekerjaan diuraikan sebagai berikut: Pembuatan Reagen Phenol Reagen Phenol dibuat dengan cara 5 gram sodium nitroferricianida dilarutkan dalam 0,5 liter aquades, kemudian ditambahkan 11 ml (90% w/v) larutan phenol lalu diaduk perlahan dan ditambahkan aquades sampai volume larutan mencapai 1 liter dan diletakkan dalam botol gelas gelap. Pembuatan Reagen Hypochlorite Reagen Hypochlorite dibuat dengan cara 0,15 gram sodium hidroksida dimasukkan ke dalam 2 liter aquades dan ditambahkan 113,6 gram disodium pospat heptathidrat (Na2HPO4.7H2O) ke dalam larutan sambil diaduk dan dipanaskan. Setelah didinginkan, kemudian ditambahkan 150 ml pemutih komersial Baycline (5,25% Sodium hypochlorite) dan diaduk rata. Lalu ditambahkan aquades sampai volume larutan mencapai 3 liter dan larutan diletakkan dalam botol polyethylene yang terlindung dari cahaya. Pembuatan Standar Larutan Amonium Pembuatan stok larutan Amonium 100 mM dengan cara melarutkan 0,6607 gram amonium sulfat ke dalam 100 ml HCl 1 N. Sebelum digunakan, amonium sulfat dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven 100 0C selama semalam. Kemudian 28
untuk mendapatkan standar digunakan 1, 2, 4, 6 dan 8 mM yang dibuat dengan pengenceran larutan stok amonium yang telah dibuat sebelumnya. Pengukuran konsentrasi NH3 menggunakan Phenol Hypochlorite assay dilakukan dengan cara 0,05 ml (50 l) sampel atau larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 2,5 ml reagen Phenol dan 2 ml reagen Hypochlorite diaduk merata. Setelah itu, tabung reaksi ditempatkan ke dalam penangas air dengan suhu 95 0C selama 5 menit lalu didinginkan. Untuk pembacaan dilakukan menggunakan spektrofotometer pada = 630 nm. Penghitungan kadar amonia yang terkandung dengan memasukkan hasil pembacaan pada spektrofotometer ke dalam persamaan yang didapat dari pembacaan kurva standar larutan amonium. Analisis VFA Total Konsentrasi VFA diukur menggunakan teknik destilasi uap (Steam destilation) (AOAC, 1991). Lima mililiter supernatan (berasal dari tabung yang sama dengan supernatan untuk analisa NH3) dimasukkan ke dalam tabung destilasi, kemudian ditambahkan satu ml H2SO4 15%. Dinding tabung dibilas dengan aquadest dan secepatnya ditutup dengan sumbat karet yang telah dihubungkan dengan pipa destilasi berdiameter 0,5 cm. Kemudian ujung pipa yang lain dihubungkan dengan alat pendingin Laibig. Tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu didih yang telah berisi air mendidih tanpa menyentuh permukaan air tersebut.
Hasil destilasi
ditampung dengan labu erlenmeyer 500 ml yang telah diisi 5 ml NaOH 0,5 N. Proses destilasi selesai pada saat jumlah destilat yang ditampung mencapai 300 ml. Destilat yang tertampung ditambah indikator phenophtalein (PP) sebanyak 2-3 tetes, lalu dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai terjadi perubahan dari warna merah jambu menjadi tidak berwarna (bening). Konsentrasi VFA total dapat dihitung dengan rumus: Konsentrasi VFA total (mM) = (a-b) x N HCl x 1000/5 ml Keterangan : a = volume titran blanko (ml) b = volume titran sampel (ml)
29
Analisa Alantoin Urin Analisis alantoin urin menggunakan metode Larson (1954) modifikasi Mitsumoto (1994). Sampel beku diencerkan , jika perlu dicentifuge pada 3000 rpm selama 15 menit. Larutan standar disiapkan pada 12, 6, 3, dan 0 mg/dl, kemudian urin diencerkan sebanyak 20 kali dengan mencampurkan 100 mikroliter urin dan 1900 mikroliter air. Dari larutan tersebut diambil sebanyak 0,4 ml lalu dimasukkan ke tabung berpenutup dan dicampurkan di dalamnya 1 ml 0,2N NaOH. Larutan dipanaskan dalam air mendidih yang telah disiapkan selama 1 menit lalu didinginkan kemudian
ditambahkan
dengan
1
ml
campuran
0,67%
phenylhydrazine
hydrochloride. Dipanaskan kembali selama 2 menit lalu didinginkan. Ditambahkan ke dalam tabung sebanyak 3 ml 6,0N HCl dan 0,5 ml larutan 1,67% ferricianida kalium. Kemudian dilakukan pembacaan pada panjang gelombang 520 nm. Larutan alantoin standar 1 mg dibuat untuk dibandingkan dengan sampel. Rancangan Percobaan Model Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991) :
Yij = µ + τj + εij Keterangan : Yij
= hasil pengamatan perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ
= nilai tengah
τi
= pengaruh perlakuan ke-i
εij
= galat perlakuan ke-j i
= perlakuan yang diberikan (P1=JP+K, P2=JP+K+DM, P3=JP+DM)
j
= ulangan dari masing-masing perlakuan (1, 2, 3, 4)
(Keterangan: Jerami padi (JP), Konsentrat (K), Daun murbei (DM))
30
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini antara lain konsumsi protein, kecernaan protein, retensi nitrogen, kadar amonia, konsentrasi VFA total dan kadar alantoin urin. Analisa Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi Nitrogen, dan Nilai Biologis Perlakuan
Peubah P1 0,86±0,09 74,03±1,34 B 40,27±3,4 28,39±0,85A
Konsumsi PK (kg/h) Kecernaan PK (%) Retensi Nitrogen (g/h) Nilai Biologis (%)
P2 0,96±0,03 70,88±2,57 B 46,01±5,44 29,93±3,47A
P3 0,77±0,13 54,93±2,86 A 47,34±6,52 35,22±4,17B
Ket : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Konsumsi Protein Kasar Konsumsi protein kasar pada perlakuan P2 (jerami padi + konsentrat + daun murbei) lebih tinggi dibanding dengan ransum P1 (jerami padi + konsentrat) dan P3 (jerami padi + daun murbei), yaitu 0,96 kg/h dibanding 0,86 dan 0,77 kg/h. Konsumsi PK pada perlakuan P3 memiliki nilai terendah, tetapi masih memenuhi standar kebutuhan sapi pedaging jantan kerangka sedang dengan bobot badan 200 250 kg dan pertambahan bobot badan (PBB) harian 0,5 – 1,1 kg yaitu sebanyak 0,554 – 0,782 kg (NRC, 1996). Pertambahan bobot badan yang diperoleh pada ternak percobaan adalah 0,79 – 0,97 kg/e/h (P1=0,91; P2=0,97; P3=0,79 kg/e/h) dan konsumsi protein kasar pada ternak tersebut sebesar 0,77 – 0,96 kg/h. Ransum yang diberikan mengandung PK yang sama (isoprotein) sehingga perbedaan konsumsi PK pada ternak percobaan diduga ada kaitannya dengan konsumsi bahan kering, selain perbedaan sumber protein dan kualitas protein dari masing-masing ransum. Konsumsi bahan kering ransum P2 memiliki nilai tertinggi (7,01 ± 0,20 kg/e/h) dibandingkan ransum P1 (6,27 ± 0,64 kg/e/h) dan P3 (5,64 ± 0,97 kg/e/h). Rendahnya konsumsi bahan kering pada ransum P3 kemungkinan disebabkan oleh sifat berdebu ransum dan bau yang menyengat karena daun murbei diberikan ke ternak dalam bentuk giling tepung, akibatnya palatabilitas menurun sehingga berpengaruh terhadap konsumsi.
32
Konsumsi bahan kering dengan konsumsi protein kasar memiliki korelasi yang sangat nyata (P<0,01) dengan derajat korelasi (r) sebesar 1. Hal tersebut menggambarkan bahwa antara konsumsi bahan kering dan konsumsi protein kasar memiliki korelasi linier yang sempurna. Korelasi tersebut bernilai positif (+), yaitu setiap peningkatan konsumsi bahan kering diikuti dengan peningkatan konsumsi protein kasar. Sedangkan korelasi determinasi (r2 = R) yang diperoleh sebesar 0,999 menunjukkan bahwa 99,9% proporsi keragaman nilai peubah Y (konsumsi PK) dapat dijelaskan oleh nilai peubah X (konsumsi BK) melalui hubungan linier. Sisanya, yaitu 0,1 % dijelaskan oleh hal-hal lain. Korelasi tersebut memiliki persamaan regresi y = 0,138x – 0,008. Hal ini sejalan dengan Syamsu (2003) yang menyatakan bahwa palatabilitas seiring dengan konsumsi BK juga sejalan dengan konsumsi PK.
Gambar 4. Persamaan Regresi Konsumsi PK dengan PBB
Nilai r sebesar 0.781 menunjukkan bahwa konsumsi PK dan PBB berkorelasi linier yang positif. Derajat determinasi yang diperoleh dari kedua peubah sebesar 61%, artinya besarnya sumbangan X terhadap naik turunnya Y adalah 61%, sedangkan 39% disebabkan oleh faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y=1,096x-0,059 (Gambar 4). Semakin banyak protein yang masuk ke dalam tubuh ternak maka akan menambah bobot badan ternak yang bersangkutan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yulistiani (2008) juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi protein kasar maka semakin tinggi pula pertambahan bobot badan yang diperoleh.
33
Kecernaan Protein Kasar Kecernaan protein kasar ransum P3 (jerami padi+daun murbei) sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibandingkan dengan ransum P1 (jerami padi+konsentrat) dan P2 (jerami padi+konsentrat+daun murbei), yaitu 54,93% dibanding 74,04% dan 70,88%, walaupun masih dalam kisaran normal menurut Makkar (1993) yaitu sebesar 54,9 – 93,4%. Rendahnya kecernaan PK ransum P3 diduga disebabkan sumber PK sebagian besar berasal dari protein tanaman, yaitu daun murbei yang berada di dalam isi sel sehingga lebih sulit untuk didegradasi karena terhalang oleh dinding sel (Russel, 1992). Hans (1997) menambahkan bahwa adanya dinding sel pada sel tumbuhan digunakan untuk mempertahankan bentuk sel dan melindungi sel dari kerusakan mekanis. Hal ini digambarkan dengan semakin tingginya N feses yang dikeluarkan pada ransum P3 dibanding ransum P1 dan P2, yaitu 1,69±0,13b kg/h dibanding 1,45±0,05a dan 1,63±0,03b kg/h. Nasution (1984), menyatakan bahwa koefisien cerna protein menurun dengan semakin banyaknya N feses yang dikeluarkan. Rendahnya kecernaan PK pada ransum dengan perlakuan P3 diduga pula karena murbei berpotensi sebagai bypass protein sehingga sebagian protein kasar dicerna di pasca rumen.
Gambar 5. Persamaan Regresi Konsumsi PK dengan Kecernaan PK Kecernaan protein kasar berkorelasi positif dengan konsumsi protein kasar, dimana derajat korelasi antara kedua peubah tersebut sebesar 0,611 (P<0,05). Persamaan regresi yang diperoleh dari korelasi antara kecernaan protein dan konsumsi protein adalah y = 47,78x+26,189 (Gambar 5). Pada penelitian yang 34
dilakukan oleh Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan urea-dedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba menunjukkan bahwa tingkat konsumsi dipengaruhi oleh tingkat kecernaan suatu bahan pakan. Retensi Nitrogen dan Nilai Biologis N Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein adalah menghitung nilai neraca nitrogen. Semakin tinggi nilai retensi nitrogen, semakin sedikit nitrogen yang terekskresi ke urine, sehingga kualitas protein ransum semakin baik, karena sebagian besar protein ransum yang tercerna dapat terdeposit ke dalam tubuh. Ternak pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata jika dilihat dari retensi nitrogen. Berdasarkan nilai biologis, ransum P3 (jerami padi+daun murbei) sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan ransum P1 (jerami padi+konsentrat) dan P2 (jerami padi+konsentrat+daun murbei), hal ini menunjukkan bahwa daun murbei mengandung protein yang berkualitas baik. Hal ini sesuai dengan Boorman (1980) yang mengatakan bahwa retensi nitrogen akan lebih besar jika ransum tersebut mengandung protein berkualitas baik. Kualitas protein ransum P3 yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh kandungan asam amino yang lengkap pada daun murbei. Hal tersebut didukung oleh Machii et al. (2002), dimana daun murbei memiliki asam amino yang tergolong lengkap. Hasil penelitian terhadap kadar amonia rumen, VFA rumen dan alantoin urin tertera pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Amonia Rumen, Alantoin Urin, dan VFA Total Peubah Amonia Rumen (mM) VFA Total (mM) Alantoin Urin (g/h)
Perlakuan P1 19,22±1,08 75,33±7,54 a 1,73±0,08B
P2 19,66±0,29 108,75±20,32 b 2,23±0,18C
P3 19,37±2,06 89,12±3,12 ab 1,28±0,14 A
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan perbedaan nyata (P<0,05) dengan huruf kecil
35
Kadar Amonia Konsentrasi NH3 rumen merupakan salah satu cara untuk menilai fermentabilitas protein pakan dan erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikroba rumen, juga merupakan salah satu kunci bagi sintesis protein mikroba rumen. Apabila protein pakan tahan terhadap degradasi maka konsentrasi amonia menjadi rendah dan sintesis mikroba rumen terhambat. Konsentrasi memperlihatkan
amonia
rumen
dari
masing-masing
perlakuan
tidak
adanya perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa semua perlakuan masih dalam kadar yang cukup untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen menurut McDonald et al. (2002) berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM, sedangkan konsentrasi amonia rumen yang dihasilkan dari keseluruhan perlakuan berkisar antara 19.22-19.66 mM. Relatif tingginya kadar amonia rumen yang diperoleh pada penelitian ini lebih diakibatkan oleh ketersediaan protein sebagai sumber amonia yang tinggi dalam semua ransum perlakuan. Ransum yang digunakan pada penelitian ini merupakan isoprotein dengan kandungan protein kasar sebesar 13,7%. Diketahui bahwa untuk sintesis protein mikroba disamping membutuhkan amonia sebagai sumber nitrogen, juga membutuhkan energi, asam amino asal protein pakan yang bermutu sebagai kerangka karbon. VFA Total Rumen Hasil pencernaan fermentatif karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia. VFA merupakan produk akhir dari fermentasi karbohidrat berupa asam asetat, propionat, dan butirat, serta gas CH4 dan CO2 sebagai hasil samping (Arora, 1989). Secara umum, semakin tinggi konsentrasi VFA mengindikasikan proses fermentasi semakin efektif, meskipun demikian, konsentrasi VFA yang terlampau tinggi dapat berdampak mengganggu keseimbangan sistem rumen. Produksi VFA rumen nyata dipengaruhi oleh ransum perlakuan (P<0,05), dimana ransum jerami padi dan konsentrat (P1) memiliki nilai terendah dibanding ransum kombinasi jerami padi, konsentrat dengan daun murbei (P2) dan ransum jerami padi dan daun murbei (P3), yaitu sebesar 75,33 mM banding 89,12 dan 108,75 mM. Ketiga perlakuan masih berada pada kisaran normal, yaitu antara 70 sampai 130 mM (France & Dijkstra, 2005). Namun ransum P1 memiliki konsentrasi VFA total 36
lebih rendah menurut Sutardi (1980), yaitu sebesar 80-160 mM, hal ini diduga karena penggunaan VFA sebagai kerangka karbon dalam pembentukan protein mikroba dan tidak adanya senyawa DNJ (1-deoxynojirimycin) yang dapat membantu proses fermentabilitas sehingga karbohidrat mudah tercerna. Rendahnya konsentrasi VFA rumen pada perlakuan P1 juga disebabkan ransum tersebut banyak mengandung pati sehingga tidak terbentuk VFA namun terbentuk asam laktat, hal tersebut juga terlihat dari cukup tingginya konsentrasi alantoin urin yang menggambarkan mikro organisme di dalam rumen berkembang dengan baik. Tingginya produksi VFA total ransum P2 kemungkinan disebabkan tersedianya karbohidrat non struktural dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan karena adanya senyawa DNJ yang dapat menghambat hidrolisis karbohidrat non struktural sehingga membantu proses fermentasi dalam rumen dengan menyediakan RAC (Readily Available Carbohydrate) secara berkesinambungan dalam sistem rumen sehingga fermentabilitas pakan berserat tinggi seperti jerami padi menjadi lebih baik. RAC atau karbohidrat non struktural merupakan salah satu cara peningkatan fermentabilitas bahan pakan dalam sistem rumen dengan bantuan senyawa yang bertindak sebagai agen lepas lambat RAC. Pada daun murbei terdapat senyawa aktif yang dapat menjadi agen lepas lambat RAC, yaitu senyawa 1-deoxynojirimycin (DNJ) sebanyak 0,24% yang mampu menghambat hidrolisis karbohidrat non struktural asal konsentrat atau daun murbei dalam sistem rumen (Oku et al., 2006). Sebaliknya rendahnya konsentrasi VFA total pada ternak dengan perlakuan P3 diduga karena kurangnya RAC yang diperoleh dari konsentrat sehingga mikroba rumen banyak menggunakan karbohidrat struktural yang relatif sulit difermentasi. Produksi Alantoin Urin Produksi alantoin urin ransum P2 sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding ransum P1 dan P3, yaitu 2,23 g/h banding 1,73 dan 1,28 g/h, hal tersebut juga diikuti dengan tingginya VFA total pada ransum P2. Puastuti (2005), menyatakan tingginya produksi VFA total menunjukkan aktivitas fermentasi yang meningkat karena produksi purin yang tinggi sebagai indikator sintesis mikroba rumen. Alantoin, asam urat, xanthin dan hipoxanthin merupakan produk degradasi purin yang dapat dideteksi dalam urin. Alantoin dalam urin dapat mengestimasi besarnya kontribusi protein mikroba rumen terhadap induk semangnya (Chen et al., 1992). 37
Produksi alantoin yang diekskresikan melalui urin menunjukkan pola yang sama dengan sintesa protein mikroba. Hal ini sejalan dengan Laconi (1998) dimana terdapat korelasi positif antara protein mikroba yang disintesis dengan ekskresi alantoin di dalam urin. Jika ekskresi alantoin dalam urin tinggi sebagai indikasi bahwa nitrogen banyak yang diserap oleh mikroba rumen dan digunakan untuk sintesis protein mikroba rumen sehingga kecernaan menjadi meningkat. Gambar 6 memperlihatkan adanya korelasi yang sangat nyata (P<0,01) antara alantoin urin dengan kecernaan PK dengan persamaan regresi y=0,0334x – 0,4784 dengan derajat korelasi sebesar 0,713 dan derajat determinasi sebesar 50,84% diantara keragaman total nilai-nilai Y dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan nilai-nilai X.
Gambar 6. Persamaan Regresi Alantoin Urin dengan Kecernaan PK Ransum jerami padi dan konsentrat mendukung perkembangan mikroba rumen yang baik untuk proses fermentasi, dengan indikator ekskresi alantoin urin yang lebih tinggi dibandingkan ransum jerami padi dan tepung daun murbei. VFA total yang diperoleh ransum P3 tidak berbeda nyata dengan ternak yang diberi perlakuan P1 dan P2, namun kadar alantoin urin ransum P3 memiliki nilai terendah yang menggambarkan rendahnya perkembangan bakteri rumen dan akan berdampak pada tingkat degradasi pakan yang menjadi rendah pula. Hal tersebut diduga karena murbei berpotensi sebagai bypass protein sehingga sebagian protein kasar dicerna di pasca rumen yang menyebabkan kecernaan di rumen menjadi rendah dan berakibat terhambatnya perkembangan mikroba rumen Ekskresi alantoin dalam urin pada penelitian ini berkisar antara 1.28 – 2.23 g/h. Nilai tersebut lebih rendah dari Laconi (1998) dan Erwanto (1995), yaitu 2.85 – 38
5.10 g/h, dan 2.41 – 5.81 g/h pada sapi dewasa dengan ransum yang mengandung agen defaunasi dan suplementasi sulfur. Sedangkan penelitian Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan ureadedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba menghasilkan konsentrasi alantoin urin masing-masing sebesar 10,2; 8,6 dan 10,4 (g/h). Pada penelitian ini diperoleh hasil yang terbaik untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah ransum kombinasi murbei dan konsentrat, sedangkan berdasarkan penelitian
Yulistiani
(2008)
ransum konsentrat
terbaik
untuk
menunjang
pertumbuhan mikroba rumen. Secara keseluruhan, proses fermentasi pakan dalam rumen sapi yang mendapat ransum perlakuan P2 lebih efektif dibandingkan dengan P1 dan P3, ditandai dengan konsentrasi VFA total dan ekskresi alantoin yang lebih tinggi. Siklus Nitrogen Siklus nitrogen diperlihatkan pada Gambar 7. dimana perlakuan penambahan tepung daun murbei nyata menurunkan persentase N tercerna. Hal tersebut diduga karena sumber protein pada daun murbei berada pada isi sel, sehingga terhalang oleh dinding sel dan menyebabkan sulit tercerna. Ternak dengan perlakuan P1 memiliki persentase N tercerna tertinggi, sedangkan P3 memiliki persentase terendah.
Gambar 7. Persentase N Tercerna dan N Teretensi Sebaliknya, penambahan tepung daun murbei nyata meningkatkan persentase N teretensi. dimana ternak yang diberi perlakuan P3 memiliki nilai tertinggi dan P1 memiliki nilai terendah. Berdasarkan uji Duncan, ternak dengan perlakuan P1 dan P2
39
berbeda nyata dengan perlakuan P3. Hal ini diduga karena daun murbei memiliki kualitas protein yang lebih baik dibanding dengan konsentrat. Jumlah N yang didegradasi dalam rumen dan dikonversi menjadi protein mikroba menentukan efisiensi penggunaan ransum oleh ruminansia. Jika ransum mempunyai efisiensi konversi N yang tinggi, maka protein mikroba lebih banyak diproduksi dan sedikit N yang diekskresikan lewat urin. Hal tersebut sejalan dengan Puastuti (2005) dimana semakin tinggi konversi N maka semakin tinggi pula protein mikroba dan semakin sedikit N yang diekskresikan melalui urin.
40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kualitas protein tepung daun murbei mampu mensubstitusi konsentrat sebagai pakan sumber protein yang optimum pada taraf 50% yang dikombinasikan dengan jerami padi terutama pada konsumsi PK, kecernaan PK, alantoin urin dan VFA total. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengkombinasikan tepung daun murbei dengan sumber serat lainnya.
41
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari selama penelitian dan penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Keluarga yang selalu memberikan perhatian, terutama doa dan dukungannya yang selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan dan Ir. Kukuh Budi Satoto, MS serta Ir. Syahriani Syahrir M.Si selaku dosen pembimbing atas segala kesabaran dan waktu yang telah diberikan dalam memberikan bimbingan, nasihat serta pengarahan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini di tengah kesibukannya. 3. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS selaku dosen penguji pada seminar atas segala saran dan nasihatnya dalam menyempurnakan penulisan skripsi. 4. Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. dan Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRurSc. selaku dosen penguji pada sidang atas segala saran dan nasihatnya dalam menyempurnakan penulisan skripsi. 5. Staf Laboratorium lapang nutrisi ternak daging dan kerja, Institut Pertanian Bogor, Bpk Jaja,
Pak Edi, Asep atas bantuan dan perhatiannya dalam
penyelesaian penelitian ini. 6. Teman-teman INTP 42, terutama Thesa, Rita, Ida, Shiro, Chandra, dll. 7. Teman sepenelitian antara lain Lina, Akbar dan Izul. 8. Teman-teman Perwira 45.
Bogor, September 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Allantoin. Http://en.wikipedia.org/wiki/Allantoin [28 Juni 2008] Anggorodi, R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. Arai, M., M. Shinya, T. Genzou, U. Yoshihiro, K. Tatsuya, T. Hisato, F. Takako, H. Masaya, Y. Yoshiaki, and Fujiwara. 1998. N-Methyl-1 deoxynojirimycins (MOR-14) an alpha glucosidase inhibitor, markedly reduced infarct size in rabbit hearts. American Hearth Association, Inc. J. Anim. Sci. 97:1290-1297. Arinong, R. 2003. Pemanfaatan jerami padi untuk konservasi dan pakan ternak. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian. Gowa. Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Methodes of Analysis. 13rd Edition. Washington DC. Astuti, D. A. 1992. Evaluasi pemanfaatan nutrien berdasarkan curahan melalui sistem vena porta dan organ terkait pada kambing tumbuh dan laktasi. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Astuti, M. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi peranakan ongole (PO). Buletin Ilmu Peternakan Indonesia ( WARTAZOA), Volume 14 No. 3. Atmosoedarjo, S., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Jaya. Jakarta. Boorman, K. N. 1980. Dietary Constraint on Nitrogen Retention. In : P.J. Buttery and D.B. Lindsay (Editor). Protein Deposition in Animals. Butterworth Publisher. London. Boschini, C. F. 2002. Nutritional quality of mulberry cultivation for ruminant feeding. Di dalam: Sanchez MD, editor. Mulberry for animal production. proceedings of an electronic conference carried out, May and August 2000. Roma: FAO Animal Production and Health Paper 147:173-182. Brunetti, J. 2004. True Protein vs. ‘Funny Protein”. Acres USA. Canada. BSN. Badan Standardisasi Nasional. 2008. Bibit Sapi Peranakan Ongole (PO), SNI 7356:2008. Jakarta. Budiman. 2007. Pengaruh berbagai kombinasi jerami padi dengan daun gamal (Gliricidia maculata) terhadap kualitas silase. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol. 6 (1) : 2007 ISSN 1411-4577 Chen X. B., F. D. Howell, D. E. Orskov, and Brower. 1990. Excretion of purine derivative by ruminant: effect of exogen nucleic acid supply on purine derivative excretion by sheep. Br. J. Nutr. 63:131-142. Chen, X. B., Y. K. Chen, E. R. Orskov and W. J. Sand. 1992. The effect of feed intake and body weight on purine derivative excretion and microbial protein supply in sheep. J. Anim. Sci. 70:1534. Daryanti, S., M. Arifin dan Sunarso. 2002. Respon produksi sapi peranakan ongole terhadap aras pemberian konsentrat dan pakan jerami padi fermentasi. Proceeding seminar nasional inovasi teknologi dalam mendukung agribisnis.
41
Yogyakarta, Yogyakarta.
2
November
2002.
Yogyakarta:
Teknologi
Pertanian
Datta, R. K., A. Sarkar, P. R. M. Rao, and N. R. Singhvi. 2002. Utilization of mulberry as animal fodder in India. Dalam: M. D. Sanchez (Editor). Mulberry for animal production. Proceedings of an electronic conference carried out, May and August 2000. Roma: FAO Animal Production and Health Paper 147: 183-188. Deptan. 2001. Produktivitas Ulat Sutera. Http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ JAE22-2b.pdf [28 Juni 2008] Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2005. Tanaman Murbei di Indonesia. Jakarta. Doyle, P. T., C. Devendra, and G. R. Pearce. 1986. Rice straw as a feed for ruminant. International Development Program of Australian Universities and Colleges Limited. Canberra. Ekastuti, D. R. 1996. Pemeliharaan berbagai jenis tanaman murbei. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Erwanto. 1995. Optimalisasi sistem fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur difaunasi, reduksi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada ternak ruminansia. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Garcia, J., F. Galvez and J. C. De Blas. 1993. Effect substition of sugarbeet pulp of barley in diets for finishing rabbits on growth performance and on energy and nitrogen efficiency. J. Anim. Sci. 71 : 1823-1830. General Laboratory Procedures. 1966. Departement of Dairy Science. University of Wisconsin. Madison. Gross, V., T. Andus, T. A. Tran-Thi, R. T. Schwars, K. Decker and P. C. Henrich. 1983. 1-Deoxinojirimycins impairs oligosacaride processing of alpha 1proteinase inhibitor and inhibits its secretion in primary cultures of rat hepatocytes. J. Biol. Chem., 12203-12209. Henson J. E., J. S. David and A.M. Harouna. 1997. Lactational evaluation of protein supplements of varying ruminal degradabilities. J. Dairy Sci. 80: 385 – 392. Hettkamp, H., G. Legler and E. Bause. 1984. Purification by affinity chromatography of glucosidase I, an endoplasmic reticulum hydrolase involved in the processing of asparagines-linked oligosaccarides. Eur. J. Of Biochem., 142 : 85-90 (Abstr). Hock, B., and Elstner. 2005. Plant Toxycology. 4th Ed. Technische Universitat Munchen, Freising. Hopkinson, J.M. and B. H. English. 2004. Germination and hardseededness in Desmanthus . Tropical Grasslands. J. Anim. Sci. 38: 1-16. Horne, P. M., K. R. Pond and L. P. Batubara. 1994. Sheep under rubber: prospects and research priorities in Indonesia. In: Mullen, B. F dan H. H. Shelton, Integration of ruminants into plantation systems in Southeast Asia. Pg. 58-64.
42
Jung, H. J. G. 1997. Analysis of forage fiber and cell walls in ruminant nutrition. J. Anim. Nutr. 127 (5):810S-813S. Kimura, T., K. Nakagawa, Y. Saito, K. Yamagishi, M. Suzuki, K. Yamaki, H. Shinmoto and T. Miyasawa. 2004. Determination of 1-Deoxinojirimycins in Mulberry Leaves Using Hydrophilic Interaction Chromatography with Evaporative Light Scattering Detection. J. Of Agric. Food Chem. 52 (6) : 1415-1418. Laconi, E. B. 1992. Pemanfaatan manure ayam sebagai suplemen non protein nitrogen (NPN) dalam pembuatan silase jerami padi untuk ternak kerbau. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Laconi, E. B. 1998. Peningkatan mutu pod kakao melalui amoniasi dengan urea dan biofermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium serta penjabarannya ke dalam formulasi ransum ruminansia. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lloyd, L. E., B. E. McDonald and E. W. Crampton. 1978. Fundamental of Nutrition. 2nd Edition. W. H. Freeman and Co. USA. Machii, H. A, Koyama, and H. Yamanouchi. 2000. Mulberry Breeding, Cultivation and Utilization in Japan. National Institute of Sericultural and Entomological Science. Owashi. Japan. Makkar, H. P. S., B. Singh. 2002. The potential of mulberry foliage as a feed supplement in India. J. Anim. Prod. 147: 139-154. Maynard, L. A., J. K. Loosli. 1969. Animal Nutrition. 4th Edition. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman Scientific and Technical. New York. Mellor, H. R, R. A. Dwek, G. W. J. Fleet, J. Nolan, F. M Platt, L. Pickering, M. R. Wormald and T. D. Butters. 2002. Preparation, biochemical characterization and biological properties of radiolabelled N-alkylated deoxinijirimycins. J. Of Biochem. 366 : 225-233. Mellor, Howard R., David C. A. Neville, David J. Harvey, Frances M. Platt, Raymond A. Dwek and Terry D. Butters. 2004. Cellular effects of deoxynojirimycin analogues. 1: Uptake, retention and inhibition of glycosphingolipid biosynthesis. J. of Biochem. Immediate Publication (BJ20031822). Glycobiology Institute, Department of Biochemistry, University of Oxford, UK. http://www.biochemj.org/bj/imps_x/pdf/ BJ20031822.pdf [11 September 2009] Mulberry Morus alba. Http://www.fruitcity.co.uk/mulberry-morus/ Nasution, K.W. 1984. Pengaruh penambahan calcium belerang dan “cattle mix” terhadap retensi nitrogen sapi Madura dengan ransum dasar jerami padi dan penguat serta mineral lengkap. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. National Research Council. 1996. Nutrien Requirement of Beef Cattle. 7th Revised Edition. National Academy Press. Washington DC. 43
Oku, T. Y. Mai, N. Mariko, S. Naoki, and N. Sadako. 2006. Inhibitory effects of extractives from leaves of morus alba on human and rat small intestinal disaccaridase Activity. J. Anim. Nutr. 95: 933-938. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. University of Indonesia Press. Jakarta. Perry, T. W., A. E. Cullison and R. S. Lowrey. 2003. Feeds and Feeding, 6th Edition. Prentice Hall of Upper Saddle River. New Jersey. Prasetiyono, B. W. H. E. 2008. Rekayasa suplemen protein pada ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prawerti, D. 1995. Agribisnis sutera alam di Indonesia dan prospek perkembangannya. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Puastuti, W. 2005. Tolok ukur mutu protein ransum dan relevansinya dengan retensi nitrogen serta pertumbuhan domba. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rimbawanto, E. A., S. N. O. Suwandyastuti dan N. Iriyanti. 2001. Pengaruh karbohidrat nonserat dan degradable intake protein terhadap produk fermentasi rumen, kecernaan nutrien dan kinerja domba lokal. J. Produksi Ternak 3(2) : 53-61. Russel, J. B., P. J. Van Soest, J. D. O’Connors, and D. G. Fox. 1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating cattle diets : l. Ruminal fermentation. J. Anim . Sci . 70 : 3551-3561 . Sakinah, D. 2005. Kajian Suplementasi Probiotik Bermineral Terhadap Produksi VFA, NH3, dan Kecernaan Zat Makanan pada Domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Samsijah. 1992. Pemilihan tanaman murbei (Morus sp.) yang sesuai dengan daerah sindang resmi Sukabumi, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan. 547:45-59. Selly. 1994. Peningkatan kualitas pakan serat berkualitas rendah dengan amoniasi dan inokulasi digesta rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Shayo, C. M. 2002. The potential of mulberry as feed for ruminants in central Tanzania. J. Of. FAO. Anim. Prod. And Health Paper. 147: 131-138. Shiddieqy, M. I. 2005. Pakan Ternak Jerami Olahan. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/24/cakrawala/lainnya1.htm [10 April 2006] Singh, B., H. P. S. Makkar. 2002. The potential of mulberry foliage as a feed supplement in India. Di dalam : Sánchez MD. Editor. Mulberry for animal production. Proceedings of an electronic conference carried out, May and August 2000. J. Of. FAO. Anim. Prod. And Health Paper. 147: 139-156. Soeprapto, H. 2006. Cara Tepat Penggemukan Sapi potong. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
44
Sofyan, M. I. 2004. Kinetika fermentasi selulosa murni oleh Trichoderma reesei QM 9414 menjadi glukosa dan penerapannya pada jerami padi bebas lignin. J. Of Food Sci. Tech. 25(3): 199-206. Steel, R. G. D., J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: M. Syah. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suminar, A. A. 2005. Palatabilitas, kecernaan dan aktivitas ruminasi domba lokal yang diberi ransum komplit berbahan baku jerami padi hasil olahan cairan rumen dan amoniasi. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sunanto, H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Kanisius. Yogyakarta. Syamsu, J. A. 2003. Kajian fermentasi jerami padi dengan probiotik sebagai pakan sapi Bali di Sulawesi Selatan. J. Ilmu Ternak. 3(2): 26-35. Syamsu, Jasmal A. 2007. Teknologi Pengolahan Jerami Padi sebagai Pakan Ternak. http://jasmal.blogspot.com/2007/09/teknologi-pengolahan-jerami-padi.html [10 September 2009] Yatsunami, K., F. Eiichi, O. Kengo, S. Youichi and O. Satoshi. 2003. α–Glucosidase inhibitory activity in leaves of some mulberry varieties. J. of Food Sci. Tech. 9 (4) : 392-394. Yulistiani D, Gallagher JR, Van Burneveld RJ. 2003. Intake and digestibility of untreated and urea treated rice straw base diet. J. Ilmu Ternak dan Vet 8(1): 8-16. Yulistiani, D. 2008. Effect of mulberry (Morus alba) foliage supplementation on sheep fed with rice straw. Disertasi. Universiti Putra Malaysia. Malaysia.
45
LAMPIRAN
46
Lampiran 1. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan No.
Sampel
Kadar Air
Abu BS
BK
Lemak BS
BK
Protein BS
BK
SK BS
BK
………………………………..%……………………………….. 1
JK
11.40
1.62
1.93
5.23
5.90
7.40
8.35
2.68
3.02
2
Pollard
10.48
4.02
4.49
3.50
3.91
14.19 15.85
6.75
7.54
3
B.Kdl
10.60
7.59
8.49
1.14
1.28
41.52 46.44
4.75
5.31
4
B.Klp
7.34
5.93
6.40
18.39 19.85 18.70 20.18 12.18 13.14
5
Dedak
8.54
13.27 14.51 10.76 11.76
8.36
9.14
18.97 20.74
6
Onggok
11.76
9.76
11.06
0.49
0.56
1.18
1.34
5.61
7
Murbei
10.43
9.51
10.62
2.86
3.19
21.22 23.69 10.81 12.07
8
Jerami
41.09
15.66 26.58
0.60
1.02
3.83
6.50
6.36
14.57 24.73
Keterangan: BS : Berat Segar, BK : Berat Kering, JK : Jagung Kuning, B.Kdl : Bungkil Kedelai, B.Klp : Bungkil Kelapa
41
Lampiran 2. Susunan Ransum P1 Ransum P1
jerami padi jagung kuning bkl kedelai bkl kelapa pollard onggok dedak padi tetes murbei ca (urea) garam DCP Total
Kandungan PK TDN LK
SK
% Sumbangan Nutrien ransum PK TDN LK
SK
As Fed % KA % BK
6,5 8,4
41 89,9
1,02 5,9
24,73 3,02
50 10,72
3,3 0,9
20,5 9,6
0,510 0,632
12,365 0,324
11 11,4
89 88,6
46,4 20,2 15,9 1,3 9,1 5,4 20,8 125
81 78 79,2 69 56,3 96 82
1,28 19,85 3,91 0,57 11,76
5,31 13,14 7,54 6,36 20,74
8,935 7,5 15,095 3 0 3,5 0 1 0 0,25 100
4,1 1,5 2,4 0,0 0,0 0,2 0,0 1,3 0,0 0,0 13,7
7,2 5,9 12,0 2,1 0,0 3,4 0,0 0,0 0,0 0,0 60,6
0,114 1,489 0,590 0,017 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 3,353
0,474 0,986 1,138 0,191 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 15,478
10,6 7,34 10,48 11,76 8,54 26 10,43 37 1 1 146,55
89,4 92,66 89,52 88,24 91,46 74 89,57 63 99 99 1053,45
3,19
12,09
Koef % As Fed 56 49,72 12 10,71 10 8 17 3
8,84 7,16 14,92 3,01
5
4,19
2
1,4
0 113
0,22 100
Harga As Fed Jml 100 4000
50 428
6500 2500 2600 1000 1400 2500 2800 2500 1000 23000 49900
575 179 388 30 0 105 0 35 0 51 1841
42
Lampiran 3. Susunan Ransum P2 Ransum P2
jerami padi jagung kuning bkl kedelai bkl kelapa pollard onggok dedak padi tetes murbei ca (urea) garam DCP Total
Kandungan PK TDN LK
SK
6,5 8,4
41 89,9
1,02 5,9
24,73 50 3,02 5,36
3,3 0,5
20,5 4,8
0,510 0,316
12,365 11 0,162 11,4
89 88,6
46,4 20,2 15,9 1,3 9,1 5,4 20,8 125
81 78 79,2 69 56,3 96 82
1,28 19,85 3,91 0,57 11,76
5,31 13,14 7,54 6,36 20,74
2,1 0,8 1,2 0,0 0,0 0,1 5,2 0,6 0,0 0,0 13,7
3,6 2,9 6,0 1,0 0,0 1,7 20,5 0,0 0,0 0,0 61,1
0,057 0,744 0,295 0,009 0,000 0,000 0,798 0,000 0,000 0,000 2,729
0,237 0,493 0,569 0,095 0,000 0,000 3,023 0,000 0,000 0,000 16,944
89,4 92,66 89,52 88,24 91,46 74 89,57 63 99 99 1053,45
3,19
% Sumbangan Nutrien ransum PK TDN LK SK
4,4675 3,75 7,5475 1,5 0 1,75 12,09 25 0,5 0 1,125 100
As Fed % KA % BK
10,6 7,34 10,48 11,76 8,54 26 10,43 37 1 1 146,55
Koef % As Fed 56 49,72 6 5,35 5 4 8 2
4,42 3,58 7,46 1,5
2 28 1
2,09 24,7 0,7
0 112
0,11 100
Harga As Fed 100 4000 6500 2500 2600 1000 1400 2500 2800 2500 1000 23000 49900
Jml 50 214 287 90 194 15 0 52 692 18 0 26 1638
43
Lampiran 4. Susunan Ransum P3 Ransum P3
jerami padi jagung kuning bkl kedelai bkl kelapa pollard onggok dedak padi tetes murbei ca (urea) garam DCP Total
Kandungan PK TDN LK
SK
% Sumbangan Nutrien ransum PK TDN LK
SK
As Fed % KA % BK
6,5 8,4
41 89,9
1,02 5,9
24,73 3,02
50 0
3,3 0,0
20,5 0,0
0,510 0,000
12,365 0,000
11 11,4
89 88,6
46,4 20,2 15,9 1,3 9,1 5,4 20,8 125
81 78 79,2 69 56,3 96 82
1,28 19,85 3,91 0,57 11,76
5,31 13,14 7,54 6,36 20,74
3,19
12,09
0 0 0 0 0 0 50 0 0 0 100
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 10,4 0,0 0,0 0,0 13,7
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 41,0 0,0 0,0 0,0 61,5
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 1,595 0,000 0,000 0,000 2,105
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 6,045 0,000 0,000 0,000 18,410
10,6 7,34 10,48 11,76 8,54 26 10,43 37 1 1 146,55
89,4 92,66 89,52 88,24 91,46 74 89,57 56 63 99 99 1053,45 112
Koef % As Fed 56 49,72
49,84
100
Harga As Fed 100 4000 6500 2500 2600 1000 1400 2500 2800 2500 1000 23000 49900
Jml 50
1396
1446
44
Lampiran 5. Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar (PK) Sumber Keragaman
JK
db
KT
Perlakuan
0,070
2
0,035
Error
0,081
9
0,009
Total
0,152
11
F
F0.05
F0.01
3,899
4,26
8,02
Lampiran 6. Sidik Ragam Kecernaan Protein Kasar (PK) Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
F0.05
F0.01
75,772**
4,26
8,02
Perlakuan
838,824
2
419,412
Error
49,817
9
5,535
Total
888,641
11
Lampiran 7. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Protein Kasar (PK) Perlakuan
N
Subset 1
2
P3
4
54,9325
P2
4
70,8775
P1
4
74,0350
Sig.
1,000
0,090
Lampiran 8. Sidik Ragam Kadar Amonia Sumber Keragaman
JK
db
KT
Perlakuan
0,403
2
0,202
Error
16,482
9
1,831
Total
16,886
11
F
F0.05
F0.01
0,110
4,26
8,02
45
Lampiran 9. Sidik Ragam Kadar Retensi Nitrogen Sumber Keragaman
JK
db
KT
Perlakuan
112,820
2
56,410
Error
251,119
9
27,902
Total
363,939
11
F
F0.05
F0.01
2,022
4,26
8,02
Lampiran 10. Sidik Ragam VFA Total Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Perlakuan
2256,137
2
1128,069
Error
1438,604
9
159,845
Total
3694,741
11
7,057*
F0.05
F0.01
4,26
8,02
Lampiran 11. Uji Lanjut Duncan VFA Total Perlakuan
N
Subset 1
P1
4
75,3325
P3
4
89,1250
P2
4
2
89,1250 108,7500
Sig.
0,157
0,056
Lampiran 12. Sidik Ragam Kadar Alantoin Urin Sumber Keragaman
JK
db
KT
Perlakuan
1,778
2
0,889
Error
0,176
9
0,020
Total
1,955
11
F
F0.05
F0.01
45,427**
4,26
8,02
46
Lampiran 13. Uji Lanjut Duncan Kadar Alantoin Urin Perlakuan
N
Subset 2
1 1,2850
P3 4 P1 4 P2 4 Sig. 1,000 Lampiran 14. Sidik Ragam Nilai Biologis Sumber Keragaman Perlakuan
JK
db
3
1,7300 2,2275 1,000
1,000
KT
102,561
2
51,281
Error
90,625
9
10,069
Total
193,186
11
F
F0.05
F0.01
5,093*
4,26
8,02
Lampiran 15. Uji Lanjut Duncan Nilai Biologis Perlakuan
N
Subset 1
P1
4
28,395
P2
4
29,930
P3
4
Sig.
2
35,220 0,511
1,000
47