EVALUASI KONDISI LINGKUNGAN KERJA PADA BAGIAN PROSES PENGECORAN DI INDUSTRI KERAJINAN COR ALUMUNIUM “ED” JOGJAKARTA Titin Isna Oesman Industrial Engineering Department, Faculty of Engineering IST AKPRIND YOGYAKARTA ti_oesman @yahoo.com
ABSTRACT The process of industrial production in cast aluminum craft PT "ED" is done manually and begins the process of smelting aluminum with temperature (650-700) ° C and continued the process of pouring the mold over and over again (repetitive). This condition can cause heat stress and have health impacts for operators due to heat exposure if not properly managed. The purpose of this study is to determine the condition of the working environment in the process of casting in cast aluminum craft industry "ED" Yogjakarta. The study is conducted in the process of aluminum casting and foundry "ED" in Yogjakarta. The sample in this study is the operators on the production process of aluminum casting and pouring in aluminum craft industry "ED" Jogjakarta which amounted to 12 people. Measuring instruments used in this study are as follows. Camera, Stop watch, WBGTmeter, Luxmeter, Bathroom scale and Digital Sound level meter. Data subject conditions and environmental conditions is obtained and analyzed descriptively. Keywords: environmental conditions, microclimates, noise level and intensity of light
ABSTRAK Proses produksi pada industri kerajinan cor alumunium PT “ED” dikerjakan secara manual dan diawali proses peleburan alumunium dengan suhu (650-700)°C dan dilanjutkan proses penuangan pada cetakan secara berulang-ulang (repetitive). Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya tekanan panas dan mempunyai dampak kesehatan bagi operator akibat dari pajanan panas apabila tidak dikelola dengan baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi lingkungan kerja pada bagian proses pengecoran di industri kerajinan cor alumunium “ED” Jogjakarta. Penelitian dilakukan pada proses pengecoran dan penuangan alumunium “ED” di Jogjakarta. Sampel pada penelitian ini operator pada bagian produksi proses pengecoran dan penuangan alumunium di industri kerajinan alumunium “ED” Jogjakarta jumlahnya 12 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini. Kamera, Stop watch, WBGT-meter, Luxmeter, Timbangan badan dan Sound level meter digital. Data kondisi subjek dan kondisi lingkungan diperoleh dan dianalisis secara deskriptif Kata kunci: kondisi lingkungan, mikroklimat, tingkat kebisingan dan intensitas cahaya
Evaluasi Kondisi … (Titin Isna Oesman)
71
PENDAHULUAN Interaksi manusia dengan mesin mengisyaratkan bahwa operator dalam melakukan pekerjaan, selain berhubungan dengan mesin dan peralatan, juga ada hal lain yang berpengaruh terhadap kerja operator yaitu lingkungan kerja. Kenyataan bahwa lingkungan kerja mempengaruhi kinerja operator bahkan dapat menyebabkan terjadinya human error. Manusia akan mampu melaksanakan aktivitas apabila didukung oleh lingkungan kerja yang baik sehingga tercipta kondisi kerja yang efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien. Kondisi fisik lingkungan tempat kerja operator yang beraktivitas sehari-hari dapat menimbulkan bahaya, langsung maupun tidak langsung bagi kesehatan dan keselamatan operator. Menurut Workplace Safety and Insurrance Board-a (2005), Paparan bahaya tersebut antara lain: (a) Bahaya biologis dan penyakit (biolological hazard and diseases), bahaya kimia (chemical hazards). (b) Temperatur udara dan panas/dingin (heat/cold and air tempratur). (c) Cahaya dan pencahayaan (light and lighting). (d) Kebisingan (noise). (e) Getaran (vibration). Pada kondisi kerja yang aman dan sehat yaitu kondisi di mana peluang bahaya di atas ditangani dengan benar sehingga operator dapat bekerja normal baik fisik maupun mental. Sehingga pada akhirnya, perusahaan akan lebih mudah melaksanakan berbagai rencana peningkatan produktivitas kerja. Sebaliknya pada tingkat pengelolaan kualitas lingkungan kerja yang asal-asalan, peluang tercapainya target-target dalam produktivitas kerja secara otomatis menjadi kecil. Lebih jauh lagi rendahnya kualitas lingkungan kerja secara fisik dan mental akan menimbulkan tekanan-tekanan non produktif pada operator sehingga banyak muncul kejadian yang mengganggu aktivitas kerja operator berupa kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta dampaknya akan merugikan pekerja secara individual, kelompok dan bahkan tingkat perusahaan. Manusia sebagai mahluk yang tidak sempurna tidak luput dari kekurangan dalam arti segala kemampuannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi manusia bisa datang dari diri sendiri (intern) dan dari pengaruh luar (extern). Salah satu diantaranya dari faktor luar adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja sudah menjadi kenyataan sangat mempengaruhi hasil kerja. Industri Kerajinan Cor Alumunium “ED” merupakan salah satu industri kerajinan alumunium yang memproduksi peralatan masak-memasak dan velg sepeda motor di Daerah Istimewa Yogjakarta. Proses produksi pada industri kerajinan cor alumunium dikerjakan secara manual dan diawali proses peleburan alumunium dengan temperatur (650-700) °C dan dilanjutkan proses penuangan pada cetakan secara berulang-ulang (repetitive). Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya tekanan panas dan dampak kesehatan bagi operator akibat dari pajanan panas apabila tidak dikelola dengan baik. Menurut Oesman (2010) kerja manual dan berulang-ulang pada kondisi lingkungan yang panas merupakan salah satu faktor yang berpotensi meningkatkan beban kerja fisik dan terjadinya kecelakaan kerja sehingga dapat menimbulkan penyakit akibat kerja (keluhan muskuloskeletal dan kelelahan). Salah satu upaya perlindungan terhadap operator dari bahaya dan risiko dalam bekerja adalah dengan perbaikan kondisi kerja melalui intervensi ergonomi yang berpatokan pada prinsip fitting the task to the man. Agar tercipta kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien, serta tercapainya produktivitas yang setinggi-tingginya diperlukan pemanfaatan fungsional tubuh manusia secara optimal dan maksimal (Kroemer & Grandjean, 2000). Hasil studi dengan cara evaluasi sistem kerja yang dilakukan oleh Batubara, H.(2010) di Industri Kerajinan Cor Alumunium “ED” operator menyatakan bahwa 92,6% kelelahan setelah bekerja; 64,3% sakit kepala; 92,93% kaki terasa berat; 85,8% pikiran terasa kacau; 100% merasa mengantuk; 78,6% ada beban pada mata, kaku di bagian bahu dan terasa tertekan; 92,6% sakit pada pinggang; 71,4% sakit pada punggung; 63,3% sakit lengan atas kanan dan kiri; 50% sakit pada kaki
72
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 71-78
kanan; dan 57,1% sakit pada bahu kanan). Jika kondisi ini dibiarkan akan berdampak negatif terhadap kualitas kerja dan kepuasan kerja. Di samping itu efisiensi waktu juga tidak optimal sebagai akibat dari adanya keluhan muskuloskeletal dan kelelahan. Dari uraian di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah dievaluasi kondisi lingkungan kerja pada proses peleburan dan penuangan alumunium di industri kerajinan ”ED”. Tujuan dan manfaat yang diharapkan adalah mengetahui seberapa besar (a) suhu. (b) kebisingan. (c) kelembaban. (e) kecepatan udara. (f) intensitas cahaya di lingkungn kerja tersebut. Dengan adanya evaluasi tersebut diharapkan pada penelitian berikutnya diperbaiki kondisi kerja sehingga pajanan panas dikurangi, menurunkan beban kerja operator serta kontraksi otot statis karena pekerjaan yang berulang-ulang (repetitive) dapat berkurang. Tinjauan Pustaka Beban Kerja. Denyut nadi per menit menggambarkan aktivitas jantung dalam memompa darah ke luar masuk organ jantung. Semakin besar frekuensi denyut jantung per menit berarti semakin tinggi aktivitas tubuh sehingga tingkat metabolisma tubuh semakin tinggi (Adiputra, 2002). Secara ergonomis, setiap beban kerja yang diterima oleh tubuh harus sesuai dengan kemampuan fisik, kemampuan kognitif dan keterbatasan manusia. Untuk masing-masing orang kemampuan kerja akan berbeda satu dengan yang lainnya. Kemampuan seorang tenaga kerja berbeda satu dengan yang lainnya dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran tubuh dari pekerja. Menurut Astrand & Rodahl (1997), hubungan antara kapasitas dengan beban kerja dipengaruhi beberapa faktor: (a) Somatis: jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan dan status gizi. (b) Psikis: sikap, motivasi, persepsi, keinginan dan emosi. (c) Jenis kerja: tipe, beban, irama, waktu, jadwal, sikap dan teknik kerja. (d) Lingkungan kerja: suhu, kebisingan, getaran, kelembaban, kecepatan udara dan polusi. Berat ringannya suatu aktivitas dapat dinilai dari kebutuhan oksigen, kapasitas ventilasi paru, perubahan suhu inti tubuh, kebutuhan energi, produksi keringat atau perubahan berat badan selama melaksanakan aktivitas tersebut (Christensen, 1991). Denyut jantung merupakan suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik. Kategori berat ringannya beban kerja didasarkan pada metabolisme, respirasi, suhu tubuh dan denyut jantung (tabel 1). Menurut Adiputra (2002) denyut nadi merupakan salah satu variabel fisiologis tubuh yang menggambarkan tubuh dalam keadaan statis atau dalam keadaan dinamis. Denyut nadi per menit menggambarkan aktivitas jantung dalam memompa darah ke luar masuk organ jantung. Hal ini sangat berhubungan dengan metabolisme tubuh. Semakin besar denyut jantung per menit itu berarti semakin tinggi aktivitas tubuh sehingga tingkat metabolisme tubuh pun semakin tinggi. Tabel 1 Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Jantung Kategori Beban Kerja Sangat ringan Ringan Sedang Berat
Pemakaian O2 (liter/menit) < 0,5 0,5–1 1–1,5 1,5–2
Denyut Jantung (denyut/menit) 60 – 70 75 – 100 100 – 125 125 – 150
Respirasi (liter/menit) 6 – 7 11 – 20 20 – 31 31 – 43
Suhu rektal (o C) 37,5 37,5 37,5– 38 38– 38,5
Sangat berat Sangat berat sekali
2–2,5 > 2,5
150 – 175 > 175
43 – 56 60 – 100
38, – 39 > 39
Sumber: Christensen, 1991
Evaluasi Kondisi … (Titin Isna Oesman)
73
Denyut nadi istirahat. Denyut nadi yang diukur dalam keadaan istirahat disebut sebagai denyut nadi istirahat. Untuk mengukur denyut nadi istirahat, subjek harus dalaim keadaan diam dan tenang. Oleh karena itu sebaiknya subjek duduk atau berdiri atau dalam posisi tidur, lalu diukur denyut nadinya. Pengukuran dianggap valid kalau dilakukan tiga kali berturut-turut dan didapatkan hasil yang konstan. Dalam pengukuran, kalau didapatkan denyut nadi istirahat masih di atas 80 denyut per menit maka menurut Astrand & Rodahl (1997) subjek harus diberikan kesempatan lebih lama dalam keadaan tenang dan diupayakan supaya tenang. Bila hasilnya ternyata di bawah 60 kali per menit, keadaan itu disebut sebagai bradikardia dan kemungkinan subjeknya adalah atlet terlatih, atau dalam keadaan patologis. Dalam penelitian ini denyut nadi sebagai indikator, maka denyut nadi istirahat dianggap sebagai kondisi dasar kondisi awal subjek. Denyut nadi kerja. Denyut nadi kerja diukur saat subjek sedang melaksanakan kerja. Menurut Adiputra (2002) besarnya denyut nadi kerja menggambarkan tingginya metabolisme tubuh saat itu. Pengukuran denyut nadi kerja dapat diukur selama bekerja bila tersedia peralatan laboratorium yang lengkap. Apabila peralatan tidak memungkinkan, pengukuran denyut nadi dapat pula diukur setiap lima menit sejak mulai sampai akhir kerja. Selain itu dapat pula dilakukan setiap 30 menit atau setiap satu jam kerja tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan. Pengukuran dengan menggunakan metode sepuluh denyut (ten pulses method) tepat pada saat akhir bekera dapat dan banyak dipakai untuk menggambarkan denyut nadi kerja (Adiputra, 2002). Menurut Adiputra (2002) pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa denyut nadi menjadi data penting dalam: penelitian ergonomi, faal kedokteran, dan olahraga. Hanya dengan modal keterampilan palpasi hal itu dapat diandalkan, yang ternyata hasilnya sangat sesuai dengan hasil pengukuran dengan menggunakan alat yang lebih canggih, seperti pulse meter, atau dengan EKG. Lingkungan Kerja. Kondisi lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung (Manuaba, 2000; Astrand & Rodahl, 1997; Grantham, D. 1992). Kondisi mikroklimat, kebisingan, getaran, penerangan dan kualitas udara yang melebihi nilai ambang batas atau standar yang telah direkomendasikan, dapat memperlemah fungsi tubuh, menurunkan kinerja dan pada akhirnya menurunkan produktivitas kerja. Pada penelitian ini kondisi lingkungan dicermati adalah mikroklimat, kebisingan, penerangan. Mikroklimat. Suhu udara panas dapat menurunkan prestasi kerja dan derajat kesehatan seseorang karena sengatan panas (heat stroke) yang dapat berakhir dengan kematian (Grandjean, 1993). Pada saat pekerja melakukan tugasnya di lingkungan panas, tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan dengan menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Priatna (1990) menyatakan bahwa suhu tubuh manusia dipertahankan hampir menetap (homoeotermis) oleh suatu sistem pengaturan suhu di dalam tubuh (thermoregulatory system). Suhu menetap ini dapat dipertahankan karena keseimbangan antara tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Produksi panas di dalam tubuh tergantung dari kegiatan fisik tubuh, makanan, gangguan sistem pengaturan panas seperti kondisi demam dan sebagainya. Sementara itu, faktor-faktor yang menyebabkan pertukaran panas di antara tubuh dengan lingkungan di sekitarnya adalah panas konduksi, panas konveksi, panas radiasi dan panas penguapan. Reaksi fisiologis tubuh terhadap pengaruh tekanan panas. Reaksi fisiologis tubuh yang disebabkan oleh paparan udara panas di luar comfort zone adalah sebagai berikut: (a) Vasodilatasi. (b) Denyut jantung meningkat. (c) Temperatur kulist meningkat dan suhu inti tubuh pada awalnya turun, tetapi beberapa saat berikutnya meningkat. Apabila paparan panas terus berlanjut, dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Menurut Grantham (1992), reaksi fisiologis akibat paparan panas berlebihan dimulai dari gangguan fisiologis sederhana sampai terjadinya penyakit sangat serius seperti heat stroke. Paparan panas berlebihan juga menyebabkan terjadinya kehilangan berat badan. Hasil penelitian Priatna (1990) menunjukkan bahwa pekerja Indonesia yang terpapar panas pada suhu 32,0233,01 oC selama 6 minggu mengalami kehilangan berat badan sebesar 4,23%.
74
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 71-78
Kebisingan. Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang bersifat mengganggu dan bahkan dapat menurunkan daya dengan seseorang yang terpapar. Kebisingan di tempat kerja dapat mengurangi kenyamanan dan ketenangan kerja. Selain gangguan pendengaran, kebisingan juga menimbulkan akibat lain seperti tekanan darah meningkat, denyut jantung dipercepat, kontraksi pembuluh darah kulit, meningkatkan metabolisme, menurunnya aktivitas alat pencernaan, tensi otot bertambah sehingga mempercepat timbulnya kelekahan yang pada akhirnya menurunkan produktivitas kerja (Manuaba, 2000).
METODE Penelitian dilakukan pada proses pengecoran dan penuangan alumunium “ED” di Yogjakarta. Sampel pada penelitian ini adalah operator pada bagian produksi proses pengecoran dan penuangan alumunium di industri kerajinan alumunium “ED” Yogjakarta yang berjumlah 12 orang. Variabelvariabel dalam penelitian ini diidentifikasikan adalah yang berhubungan dengan operator yaitu: (a) umur. (b) jenis kelamin. (c) berat badan. (d) lamanya pengalaman kerja. Sementara yang berhubungan dengan lingkungan kerja yaitu (a) tingkat kebisingan (dBA). (b) suhu ruangan (0C). (c) Intensitas cahaya (lux). (d) kelembaban udara (%). (e) denyut nadi istirahat/kerja (dpm). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera, stop watch, WBGT-meter, luxmeter, timbangan badan dan sound level meter digital. Data kondisi subjek dan kondisi lingkungan akan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data dikumpulkan pada penelitian ini antara lain karakteristik pekerja (tabel 2) dengan sampel sebanyak 12 orang (pekerja pada proses peleburan dan pengecoran alumunium), suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin, intensitas kebisingan dan intensitas cahaya. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut: (a) Form dan alat tulis menulis yang digunakan untuk mencatat data-data; (b) WBGT-meter Seri 113 (mengukur suhu udara dan kelembaban); (c) Sound Level Meter merek Lutron SL-4001 (mengukur kebisingan). (d) Light Meter merek Lutron LX-103 (mengukur pencahayaan). (e) Kamera digital (dokumentasikan hal-hal yang berhubungan di lapangan). Tabel 2 Karakteristik Pekerja Deskripsi Umur (tahun) Tinggi (cm) Berat Badan (kg) Pengalaman (bulan) Indeks Massa Tubuh
Jumlah (N)
Minimum
Maksimum
Rerata
12 12 12 12 12
18 150 45 1 18
39 170 77 144 28
30 161.25 55.167 19.83 20.75
Simpangan Baku 6.48 5.34 8.99 40.26 3.02
Status gizi pekerja diketahui antara lain dengan berat badan, tinggi badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT didapat dari hasil pembagian berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter dikuadratkan. Rerata tinggi badan penelitian adalah 161.25 ± 5.34 cm, rerata berat badan 55.167 ± 8.99 kg. Pada penelitian ini digunakan IMT guna menggambarkan status gizi secara keseluruhan. IMT tubuh pekerja (20.75 + 3,02) termasuk kategori normal dan mempunyai asupan gizi yang baik berarti pekerja dapat bekerja secara optimal. Apabila kelebihan/kekurangan berat badan mempengaruhi kinerja operator dan akan mempercepat timbulnya kelelahan. Walaupun diantara pekerja ada kelebihan berat badan (dua orang) dan obese (satu orang). Rerata umur pekerja penelitian
Evaluasi Kondisi … (Titin Isna Oesman)
75
ini adalah (30 ± 6,48) tahun dengan rentangan (18-39) tahun menunjukkan pada rentang usia yang produktif, hal ini sesuai dengan pendapat Kroemer & Grandjean, 2000, umur produktif berkisar antara 25 – 40 tahun. Kondisi mikroklimat pada industri kerajinan alumunium “ED” suhu udara = (34,3-36,5) 0C; kelembaban udara (Rh) = 63%. Kondisi masih perlu dicermati karena paparan panas berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya kehilangan berat badan. Hasil penelitian Priatna (1990) menunjukkan pekerja Indonesia terpapar panas pada suhu 32,02 - 33,01 oC selama 6 minggu mengalami kehilangan berat badan sebesar 4,23%. Sebenarnya kondisi ventilasi dalam ruang cukup memadai. Hampir sepanjang dinding dipasang jendela yang luas, plafon cukup tinggi namun paparan panas terjadi karena tungku (pencairan logam) terbuka dan berdekatan dengan proses penuangan. Apabila pekerja harus berada pada lingkungan lebih panas dari 300 C, maka perlu proses aklimatisasi. Proses aklimatisasi menyebabkan denyut jantung lebih rendah dan laju pengeluaran keringat meningkat. Khusus untuk pekerja yang baru berada di lingkungan panas, memerlukan waktu aklimatisasi selama 1-2 minggu. Seseorang yang dalam proses aklimatisasi hanya boleh terpapar selama 50% dari waktu kerja pada tahap awal, kemudian dapat ditingkatkan 10 % setiap hari (Grantham, 1992). Sumber kebisingan di lingkungan kerja di industri kerajinan alumunium “ED” pada umumnya berasal dari antara lain suara mesin atau alat-alat bantu kerja pada proses produksi, antara lain generator, bubut konvensional, CNC, bubut besi, mesin frais, mesin welding. Sumber-sumber suara tersebut diwaspadai dan diidentifikasi tingkat kebisingan untuk mencegah dampaknya baik terhadap fisiologis tubuh maupun perilaku pekerja. Penilaian tingkat kebisingan di perusahaan biasanya diarahkan tujuan sebagai berikut (1) Memperoleh data intensitas kebisingan pada sumber suara; memperoleh data intensitas kebisingan pada penerima suara (pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan). (2) Menilai efektifitas sarana pengendalian yang telah ada. (3) Sebagai dasar untuk melakukan langkah perbaikan seperti mengurangi intensitas suara baik pada sumber maupun pada penerima. (4) Sebagai dasar untuk memilih alat pelindung diri dari kebisingan yang tepat sesuai dengan jenis kebisingannya. Untuk tujuan tersebut, maka harus dilakukan pengukuran intensitas kebisingan secara langsung pada tempat-tempat yang diprediksi sebagai sumber kebisingan serta tempat-tempat yang menerima efek dari kebisingan tersebut. Di Indonesia, berdasarkan SE Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi no. SE 01/Men/1978, nilai ambang batas (NAB) pendengaran apabila dikaitkan dengan waktu papar yang direkomendasikan (Tabel 3) berikut ini.
Tabel 3 Nilai Ambang Batas (NAB) Pendengaran dan Batasan Waktu Papar Tingkat kebisingan (dB (A))
Waktu papar (jam)
82
16
85
8
88
4
91
2
94
1
97
½
100 1/4 Sumber: Labour Occupational Health Program U.C. Berkeley &Maquiladora Health & Safety Support Network, 2000.
76
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 71-78
Tabel 3 menunjukkan bahwa untuk tingkat kebisingan ≥ 100 dB (A), waktu papar maksimum adalah 15 menit, Menurut Vce (1991), nilai intensitas kebisingan di antara 70-80 dB (A) termasuk kategori mengganggu dan tidak nyaman untuk dilakukan percakapan, intensitas kebisingan > 85 dB (A) dapat membahayakan kesehatan, khususnya gangguan pendengaran. Waktu papar 4 jam NAB kebisingan ≤ 88 dB (A). Hasil penelitian ditunjukkan bahwa tingkat kebisingan di industri kerajinan alumunium “ED” sebesar 96,6 dBA dengan waktu papar lebih dari 4 jam. Ini berarti bahwa tingkat kebisingan yang ada dalam kategori yang sangat membahayakan kesehatan, hal ini dapat diantisipasi dengan memakai ear-plug. Hasil pengukuran intensitas pencahayaan di industri kerajinan alumunium “ED” sebesar 413738 lux. Manuaba (2000) yang menyebutkan bahwa pencahayaan yang diperlukan untuk dapat menjalankan tugas dengan baik minimal 200 lux, maka kondisi lingkungan pencahayaan di industri dikategorikan baik. Kondisi lingkungan pencahayaan tersebutt sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri yang menyebutkan bahwa pekerjaan kasar dan dilakukan terus menerus membutuhkan tingkat pencahayaan minimal 200 lux.
SIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan diambil kesimpulan bahwa kondisi temperatur pada bagian proses pengecoran dan penuangan di industri kerajinan cor alumunium “ED” Jogjakarta masuk kategori tinggi sebesar (34,3-36,5) 0C; kelembaban udara (Rh) = 63%. Kondisi temperatur ini masih perlu dicermati lebih lanjut karena paparan panas yang berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya kehilangan berat badan pada operator bagian proses pengecoran. Kondisi tingkat kebisingan pada bagian proses pengecoran dan penuangan di industri kerajinan cor alumunium “ED” Jogjakarta termasuk dalam kategori tinggi (96,6 dBA) dan berbahaya (dapat berakibat terjadinya kurang pendengaran/hearing-loss). Kondisi ini dapat diantisipasi dengan pemakai ear-plug pada seluruh operator pada bagian proses pengecoran. Kondisi intensitas pencahayaan pada bagian proses pengecoran dan penuangan di industri kerajinan cor alumunium “ED” Jogjakarta masuk kategori baik (413 – 738 lux).
DAFTAR PUSTAKA Adiputra, N. Juni (2002). Denyut Nadi dan Kegunaannya dalam Ergonomi. Jurnal Ergonomi Indonesia (The Indonesian Journal Of Ergonomics), 3(1), 22-26. Astrand, P. O., Rodahl, K. (1997). Textbook of Work Physiology, Physiologycal Bases Of Exercise.. New York: Mc. Graw-Hill Book Company Batubara, H. (2010). Work System Evaluation Based On Ergonomics In PT. “ED” Alumunium Yogyakarta. Proceeding of International Joint Conference. APCHI-ERGOFUTURE 2010 2th-6th August. Bali. Christensen, E.H. (1991). Physiology Of Work. Dalam Parmeggiani, (Ed), Encyclopedia of Occupational Helath And Safety. Third (revised) Edition. Geneva: ILO Grandjean, E. (1993). Fitting the Task to The Man. London: Taylor & Francis
Evaluasi Kondisi … (Titin Isna Oesman)
77
Grantham, D. (1992). Occupational Health & Hygiene. Guidebook for the WHSO. Australia Merino Lithographics Moorooka Queensland: Taylor & Francis. Kroemer K.H.E, Grandjean E. (2000). Fitting The Task to The Human Fifth Edition A Textbook of Occupational Ergonomics. U.K: Taylor & Francis. Manuaba, A. (2000). Penerapan Ergonomi Meningkatkan Produktivitas. Makalah. Denpasar: Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Oesman, T., I., (2010). Intervensi Ergonomi Pada Proses Stamping Part Body Component Meningkatkan Kualitas Dan Kepuasan Kerja Serta Efisiensi Waktu di Divisi Stamping Plant PT ADM JAKARTA. Disertasi. Program Studi Ergonomi Fisiologi Kerja Universitas Udayana, Denpasar. Priatna, B.L. (1990). Pengaruh Cuaca Kerja Terhadap Berat Badan. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja, XXIII(3), 39-49. Vce, P, (1991). Sound. Australia: Victorian Occupational Health and Safety Commission and the Victorian Curriculum and Assessment Board. Workplace Safety and Insurance Board-a. (2005) What is an Occupational Desease? Diakses 2007 Maret 6), dari http://www.wsib.on.ca/wsib/wsib-site.nsf/public/What
78
INASEA, Vol. 15 No.1, April 2014: 71-78