JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
1
Evaluasi Kinerja Infrastruktur Coal Terminal Pelabuhan Tarahan milik PT. X Aditya Setyawan Moekti dan Dr. Ir. I Ketut Gunarta, M.T. Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak— Batu bara merupakan salah satu sumber energi yang masih dominan digunakan saat ini. Permintaan akan batu bara umumnya datang dari perusahaan pembangkit listrik (PLTU) yang menyerap lebih dari 80% dari permintaan domestik batu bara. Kemudian disusul oleh perusahaan semen, metalurgi, dan industri lainnya. Dengan telah selesainya proyek pembangunan PLTU dengan total kapasitas sebesar 10.000 MW milik PLN serta disahkannya PP no.1 Tahun 2014 yang mengatur tentang larangan ekspor mineral dalam bentuk bijih (ore / raw material) tanpa melalui proses pengolahan dan pemurnian, permintaan akan batu bara diproyeksikan terus meningkat. PT. X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perdagangan, pengolahan, serta pemanfaatan batu bara. Untuk memenuhi tingkat produksi yang diproyeksikan meningkat akibat kenaikan permintaan batu bara di masa mendatang, PT. X meningkatan kapasitas produksi salah satu Unit Pertambangannya. Dengan telah selesainya pembangunan infrastruktur di Pelabuhan Tarahan, diperlukan evaluasi kembali terkait dengan kemampulaluan Pelabuhan Tarahan untuk mengantisipasi peningkatan kapasitas. Penelitian ini menghasilkan model simulasi yang merepresentasikan seluruh kegiatan di Coal Terminal. Kemampulaluan rata-rata yang dihasilkan dari pengembangan fasilitas masih berada di nilai 10,447,740. Rendahnya tingkat kemampulaluan disebabkan oleh rendahnya tingkat penerimaan. Tingkat penerimaan yang rata-rata sebesar 10,549,242 besar dipengaruhi oleh keterbatasan SOP terkait headway antar kereta 111 menit. untuk memenuhi permintaan sebesar 25,660,000 diperlukan headway antar kereta sebesar 55.56 menit. Minimasi headway dapat dilakukan dengan membangun jalur double track. Kata Kunci— Coal Handling Facility, Coal Terminal, Evaluasi, Kemampulaluan, Optimasi.
I. PENDAHULUAN
B
ATU bara merupakan salah satu sumber energi fosil yang masih cukup dominan digunakan. Hal ini dikarenakan dari sisi ekonomis, batu bara dinilai lebih efisien dalam penggunaannya dibandingkan dengan minyak bumi. Untuk pasar domestik, kegunaan batu bara utamanya adalah sebagai sumber energi pada PLTU yang menyerap lebih dari 80% dari total permintaan batu bara. Dengan selesainya proyek pembangunan PLTU dengan total kapasitas sebesar 10.000 MW milik PLN pada tahun 2013 lalu, kebutuhan batu bara diproyeksikan akan terus meningkat. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi listrik, batu bara umumnya digunakan pada industri semen, metalurgi, tekstil,
pupuk, dan pulp. Dengan telah disahkannya Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 2014 yang mengatur tentang larangan ekspor mineral dalam bentuk bijih (ore / raw material) tanpa melalui proses pengolahan dan pemurnian pada tanggal 12 Januari 2014 lalu, pertumbuhan industri pengolahan mineral di Indonesia diproyeksikan akan terus tumbuh. Dengan meningkatnya kapasitas industri pengolahan mineral, permintaan batu bara sebagai bahan bakar utama smelter pun akan ikut meningkat. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral memproyeksikan kebutuhan domestik batu bara mencapai 95,55 Juta ton dengan rincian sebesar 82,37% dialokasikan untuk kebutuhan PLTU, sebesar 10,26% untuk kebutuhan industri semen, 3,38% untuk kebutuhan industri metalurgi, dan sisanya sebesar 4,00% dialokasikan untuk industri lainlain yang meliputi dan terbatas pada industri tekstil, pupuk, dan pulp. Tabel 4.1 di bawah ini menunjukkan secara rinci kebutuhan domestik batu bara seperti yang tercantum pada Keputusan Menteri ESDM No. 2901 K/30/MEM/2013. PT. X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perdagangan, pengolahan, serta pemanfaatan batu bara. PT. X telah berdiri sejak tahun 1981 dan kemudian melemparkan sahamnya ke publik melalui IPO pada Desember 2002. PT. X mengoperasikan tiga unit tambang serta sepuluh anak perusahaan yang terbagi dalam lima jenis bidang usaha yaitu Batu Bara, Trading, PLTU, Logistik, serta Pengolahan Gas Metana. Untuk memenuhi tingkat produksi yang diproyeksikan meningkat akibat kenaikan permintaan batu bara di masa mendatang, PT. X meingkatan kapasitas produksinya pada Unit Pertambangan Tanjung Enim menjadi sebesar 22,7 Juta Ton seperti tertuang pada RJPP 2013-2017. Seiring dengan peningkatan kapasitas produksi, kebutuhan fasilitas penunjang batu bara berupa infrastruktur turut dikembangkan. Infrastruktur pendukung kegiatan produksi serta distribusi batu bara yang dikembangkan meliputi pengembangan CHF & MSF di Tanjung Enim, pengembangan angkutan KA dan pengembangan Pelabuhan Tarahan serta Dermaga Kertapati. Di dalam penelitian ini akan dilakukan evaluasi terhadap tingkat efisiensi dan produktivitas sitem eksisting, kelemahan prosedur pada sistem eksisting, serta dampak kelemahan sistem eksisting pada Unit Pelabuhan Tarahan terhadap target pencapaian yang telah ditentukan oleh perusahaan.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
Tabel. 1. Sepuluh perusahaan kontrak karya dengan penjualan domestik terbesar.
No
Nama Perusahaan
Produksi (Ton)
Tarahan yang diidentifikasi mulai dari output pasokan batu bara oleh kereta api menuju stockpile hingga proses loading batu bara melalui coal handling facility ke atas kapal tongkang.
1
PT Kaltim Prima Coal
13,131,105
2
PT Adaro Indonesia
12,950,683
3
PT Kideco Jaya Agung
9,583,505
4
PT Arutmin Indonesia
7,114,854
5
PT Berau Coal
5,957,314
6
PT X
4,498,880
7
PT Indominco Mandiri
3,599,104
Running Model Simulasi Eksisting Model yang terbentuk pada tahap sebelumnya, kemudian dilakukan proses verifikasi dan validasi untuk menguji kelayakan model. Verifikasi dilakukan untuk menguji apakah terjadi kesalahan pada model konseptual yang telah dibangun. Sedangkan validasi dilakukan untuk menguji kemampuan model simulasi untuk mendekati sistem riil. Jika model telah terverifikasi dan tervalidasi, maka model dapat dinyatakan layak untuk dilakukan analisa.
8
PT Mahakam Sumber Jaya
2,474,651
3)
9
PT Antang Gunung Meratus
1,687,080
10
PT Trubaindo Coal Mining
1,600,860
II. URAIAN PENELITIAN A.
Tahap Identifikasi Pada tahap ini dilakukan identifikasi permasalahan dan tujuan penelitian, serta studi literatur berupa pengkajian buku, jurnal, artikel, report, maupun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Serta dilakukan kajian pustaka mengenai teori dari konsep optimasi, simulasi, proses coal handling facility dan penanganan batu bara, serta coal supply chain management. Studi lapangan dilakukan untuk mengetahui sistem coal handling facility eksisting di Pelabuhan Tarahan, Lampung. Serta dilakukan wawancara langsung terhadap pihak pihak yang terkait dengan operasional Pelabuhan Tarahan. B.
Tahap Penentuan Variabel dan Pengumpulan Data Pada tahap ini dilakukan penetapan variabel yang akan dijadikan sebagai input riset dan dilakukan pengumpulan datadata dari variabel yang telah ditentukan. Variabel yang dianggap sesuai sebagai input riset antara lain adalah: kinerja penerimaan, penumpukan dan pengapalan batu bara di Pelabuhan Tarahan, kinerja dan availabilitas peralatan, kinerja sistem manajemen, serta dilakukan wawancara, observasi, dan pengambilan sample pada entitas yang terkait dalam kajian dan evaluasi kemampulaluan pelabuhan tarahan. C.
Tahap Pengolahan Data dan Simulasi Dari data yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya, Pada tahap ini dilakukan penyusunan model konseptual dari sistem coal handling facility pada Pelabuhan Tarahan hingga penyusunan rekomendasi desain Coal Handling Facility sebagai keluaran dari optimasi pada simulasi model eksisting. Secara lebih rinci, tahap pengolahan data dan simulasi dijelaskan pada sub-subbab selanjutnya. 1)
2
Penyusunan Model Tahap ini bertujuan untuk membangun dan mensimulasikan model baru yang merepresentasikan kinerja Pelabuhan
2)
Optimasi Model Simulasi Pada tahap ini, hasil simulasi model eksisiting dioptimalkan dengan kriteria tertentu untuk menguji kemampulaluan Pelabuhan Tarahan dalam menangani proyeksi produksi yang meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Kriteria yang dimaksud berupa input deterministik model yang ditingkatkan menjadi konstan pada target tertentu serta optimasi pada biaya yang dikeluarkan serta memenuhi kriteria produktivitas perusahaan. Kriteria tersebut dimaksudkan untuk mencapai Best Practice. 4)
Running Model Simulasi Optimasi Pada tahap ini dilakukan running simulasi terhadap model yang telah dibuat sebelumnya dengan mempertimbangkan variabel-variabel optimasi, dengan harapan dari simulasi dapat diperoleh dan diidentifikasi perilaku dari sistem yang terlibat. 5)
Desain Pelabuhan Tarahan Berdasarkan Skenario Optimasi Hasil simulasi dengan skenario optimasi kemudian digunakan sebagai variabel penentu desain pelabuhan berupa sistem Coal Handling Facility yang akan digunakan. D.
Tahap Analisis dan Pembahasan Pada tahap ini, dilakukan analisa dari keluaran simulasi eksisting berupa evaluasi tingkat efisiensi dan produktivitas sistem, kelemahan sistem dan prosedur eksisting, serta dampak dari kelemahan sistem eksisting. Selanjutnya dilakukan analisa dan rekomendasi tahapan pengembangan peningkatan kemampulaluan Coal Handling Facility pada pelabuhan tarahan. E.
Tahap Penarikan Kesimspulan dan Saran Setelah dilakukan analisa mengenai kondisi yang ada dengan kondisi usulan dilakukan penarikan kesimpulan sesuai tujuan awal penelitian dan perumusan beberapa saran untuk pihak terkait dengan penelitian ini yang berguna untuk penelitian selanjutnya dan Simulasi Coal Handling Facility itu sendiri.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F.
Formulasi Model Konseptual Mulai
Babaranjang Datang dari Tanjung Enim
Unloading Babaranjang melalui Rotary Car Dumper
Stock Pile available?
Babaranjang Mengantre
Kapal Melakukan Pengisian
Kapal Bertambat ke Dermaga
Batu Bara masuk Stock Pile?
Penempatan Batu Bara di Stock Pile
Dermaga Available?
Kapal Berlabuh di Kolam Labuh
Batu Bara Available?
Anjlokan tersebut memberikan dampak yang relatif besar terhadap kinerja RCD 2. Dengan adanya anjlokan tersebut, waktu tunggu rata-rata kereta setelah mencapai Stasiun Tarahan menuju stasiun pembongkaran meningkat menjadi 4 jam setiap rangkaian dibandingkan dengan nilai sebelumnya yang hanya 40 menit. Jika kita mengabaikan permasalahan input yang menurun, dapat kita lihat bahwa nilai penerimaan cenderung konstan dengan pola yang meningkat. Sehingga data pada tahun 2013 dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan analisa berikutnya. Tabel 3 Penggunaan Moda Operasi 2013
Muatan Sudah Penuh?
Kapal Mengantre
Kapal Pelanggan Datang
1 RCD
Kapal Keluar dari Dermaga
Selesai
Gambar. 1. Model Konseptual Actual Cycle Diagram
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Perhitungan Input Output Eksisting Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Tonase Δ thd RataInput Rata 934,650 3% 818,900 -10% 957,350 6% 871,850 -4% 793,400 -12% 948,550 5% 963,450 6% 908,650 0% 943,300 4% 872,700 -4% 938,650 4% 927,900 2%
2013 Δ thd Tonase Δ thd RataΔ thd Max Max Output Rata -3% 943,562 4% -16% -15% 741,722 -18% -34% -1% 892,155 -2% -21% -10% 928,315 2% -18% -18% 814,242 -10% -28% -2% 701,875 -23% -38% 0% 976,984 8% -13% -6% 990,733 9% -12% -2% 841,205 -7% -25% -9% 971,201 7% -14% -3% 1,125,959 24% 0% -4% 959,877 6% -15%
Tabel 2 Perhitungan Input Output Tahunan Eksisting Tahun 2011 2012 2013
Tonase Δ thd Rata% Tonase Δ thd Rata% Input Rata Peningkatan Output Rata Peningkatan 9,233,144 -8% 0% 9,263,393 -8% 0% 10,005,794 0% 8% 9,946,346 -1% 7% 10,879,350 8% 9% 10,887,829 9% 9%
Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa tonase input sejak 2011 hingga 2013 relatif stabil dengan nilai delta terhadap rata-rata masih berada di bawah 10% dengan trend peningkatan berada di kisaran 8%9% setiap tahunnya. Data tersebut juga menampilkan bahwa pada tahun 2013 terjadi penurunan tingkat penerimaan yang cukup drastis pada bulan Februari dan bulan Mei. Penurunan tingkat penerimaan di bulan Februari disebabkan oleh minimnya tingkat produksi dari Unit Pertambangan Tanjung Enim. Tanjung Enim tidak dapat memenuhi kesepakatan produksi pada bulan Februari dikarenakan terjadi kendala teknis di mulut tambang. Sedangkan pada bulan Mei, rendahnya tingkat penerimaan terjadi karena mayoritas penerimaan pada bulan tersebut hanya dibongkar dengan menggunakan 1 RCD saja, RCD 1. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya anjlokan pada RCD 2.
3
2
Stock Pile BP 1 2 3 6,750 2,316,150 3,336,550 5,500 0.12% 40.89% 58.90% 0.10% 1,500 6,450 32,850 5,173,600 0.03% 0.12% 0.63% 99.22%
% 52% 48%
Tabel 3 menunjukkan tingkat proporsi penggunaan moda yang digunakan dalam proses pembongkaran muatan batu bara melalui kereta api. Secara umum terlihat bahwa RCD 1 relatif sedikit lebih sering digunakan untuk melakukan bongkar dibandingkan dengan RCD 2. RCD 1 memiliki kapasitas yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan RCD 2. Perbedaan kapasitas ini terjadi karena adanya perbedaan feeder yang digunakan untuk menarik batu bara menuju konveyor selanjutnya untuk keluar dari RCD. RCD 1 menggunakan feeder berupa Appron Feeder, sedangkan RCD 2 menggunakan Chain Feeder yang secara matematis memiliki kapasitas angkut 10% lebih kecil dibandingkan dengan Appron Feeder. Proporsi yang diberi highlight dengan warna kuning memiliki arti bahwa moda tersebut merupakan moda emergency. Moda tersebut hanya digunakan ketika terjadi permasalahan pada jalur moda tersebut, dimana batu bara telah selesai dibongkar pada RCD. Contohnya adalah ketika Primary Crusher 1 mengalami overload yang disebabkan butiran batu bara yang masuk terlalu besar. Sehingga, batu bara dari RCD 1 harus dilarikan menuju Stock Pile 3. Sedangkan moda Bypass (BP) terlihat jarang sekali digunakan. Hal ini terjadi karena PT Bukit Asam (Persero) Tbk. memang berusaha meminimalisir tingkat penggunaan moda bypass. Penggunaan tersebut diminimalisir dikarenakan dalam proses pengangkutan batu bara, diberlakukan sistem mixing untuk mendapatkan atribut batu bara yang sesuai. Moda bypass menyebabkan mixing tidak dapat dilakukan dengan baik dikarenakan kuantitas yang dikeluarkan dari kereta terlalu kecil, sehingga mengakibatkan mixing menjadi semakin rumit. Di sisi lain, penggunaan moda bypass membuat kontrol stok batu bara serta atributnya menjadi lebih sulit. Pada RCD 1, terlihat bahwa penggunaan moda menuju stock pile 3 lebih besar dibandingkan dengan stock pile 1. Hal ini disebabkan oleh kecilnya kapasitas stock pile 1 yaitu sebesar 60.000 yang relatif dibandingkan dengan stock pile 3 yang sebesar 250.000. Pada RCD 2, terlihat bahwa mayoritas penggunaan moda menuju stock pile 3. Hal ini dikarenakan moda operasi dari RCD 2 menuju stock pile 3 merupakan moda baru yang efektif
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) digunakan mulai Januari 2014. Sehingga pada data 2013, moda tersebut masih termasuk pada kategori emergency. Untuk tonase output mulai dari tahun 2011 hingga tahun 2013 tidak terlalu signifikan, dimana menurut pandangan kami delta rata-rata tidak lebih dari 10%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa output tonase batubara dari tahun 2011, 2012, dan 2013 relatif stabil dikisaran angka 10,9 jutan ton per tahun. Dari tahun 2011 ke 2013 terjadi peningkatan output tonase batubara sebesar 7%-9% per tahun. Peningkatan tersebut diimbangi dengan adanya peningkatan input dari tahun 2011 ke 2013 sebesar 13 %. Peningkatan yang terjadi pada output PTBA, dikarenakan peningkatan pasar batubara. Pasar batu bara merupakan jenis usaha business to business. Sehingga proyeksi permintaan dapat diperkirakan secara sederhana. Hal tersebut dikarenakan pembelian batu bara mayoritas dilakukan dengan sistem kontrak. Pihak pembeli membuat kontrak tertentu yang berisi tentang spesifikasi, tonase, hingga jadwal pengambilan batu bara. Sehingga dalam melakukan proyeksi, akan lebih mencerminkan ketika menggunakan data rencana penjualan perusahaan sebagai acuan pengeluaran batu bara. Perhitungan terkait dengan kemampuan Unit Pelabuhan Tarahan PT Bukit Asam (Persero) Tbk. telah dilakukan dengan didasarkan pada SOP dan tingkat utilitas tertentu berdasarkan Design Capacity dari mesin yang digunakan pada Pelabuhan Tarahan. Dari segi SOP, kemampuan Pelabuhan Tarahan berada pada angka 31.779.000 Ton per tahun. Nilai tersebut dirasa masih kurang optimal dikarenakan SOP untuk RCD 1 dan 2 disamaratakan dengan RCD 3 dan 4 yang secara kapasitas sebenarnya 2 kali lebih kecil. RCD 1 dan 2 memiliki design capacity sebesar 1650 tph. Sedangkan RCD 3 dan 4 memiliki design capacity sebesar 3300 tph. Sedangkan dengan pendekatan utilitas, tingkat kemampuan Pelabuhan Tarahan yang dihasilkan jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 55,821,428 ton per tahun pada tingkat utilitas sebesar 80%, dan 60,209,648 ton per tahun pada tingkat utilitas 90%. Di sisi lain, kapasitas maksimum baik dengan menggunakan pendekatan SOP dan utilitas masih belum dapat dipenuhi dikarenakan adanya ketidakpastian dari segi kedatangan kereta. Dengan mengakomodasi ketidakpastian tersebut, tingkat kemampuan Pelabuhan Tarahan berada pada kisaran 10,500,000 ton per tahun hingga 10,800,000 ton per tahun. Pada sisi penerimaan, skenario rencana penjualan sebesar 19,030,000 dan 25,660,000 menghasilkan tingkat penerimaan masing-masing sebesar 10,545,250 dan 10,553,335. Dengan tingkat penerimaan harian rata-rata sebesar 31,979.8 Ton untuk skenario 19 Juta dan 31,955 Ton untuk skenario 25 Juta. Tingkat penerimaan tersebut menunjukkan kedatangan kereta sebesar 11.2 rangkaian setiap harinya. Untuk saat ini PTBA dan PTKAI memiliki kesepaktan untuk mendatangkan kereta sebanyakk 15 rangkaian per hari. Besarnya muatan dan jenis batubara yang dikirim ditentukan oleh pihak operasional PTBA. Namun, hingga saat ini PTKAI hanya dapat menyanggupi pengiriman sebesar 11-12 rangkaian kereta per hari sehingga input tidak maksimal.
4
Kendala ini terjadi karena adanya permasalahan teknis pada kereta serta pada jalur kereta itu sendiri. Dari segi teknis kereta tidak menyumbang kendala yang terlalu besar, tetapi peningkatan panjang rangkaian yang diseragamkan menjadi 60 gerbong dapat meningkatkan kapasitas angkut tiap rangkaian. Di sisi lain, setiap gerbong kereta hanya diisi dengan 50 ton batu bara. Sedangkan, kapasitas maksimal masing masing gerbong sebesar 60 ton. Penambahan panjang rangkaian kereta api menghadapi permasalahan longsliding. Pengertian longsliding sendiri merupakan panjang jalur bebas di stasiun untuk memberikan kesempatan silang atau susul pada jalur single track. Standar panjang longsliding adalah sebesar 700-900 m. Sedangkan pada PT KAI Divre III, sebagian besar panjang longsliding stasiun masih di bawah 800 m. Jika masing-masing gerbong babaranjang memiliki panjang sebesar 15 m, maka total panjang rangkaian 60 gerbong adalah sebesar 930 m dan rangkaian 45 gerbong sebesar 705 m termasuk 2 buah lokomotif yang digunakan untuk menarik babaranjang tersebut. Oleh karena itu, longsliding kereta di sepanjang jalur babaranjang sebagian besar hanya dapat menampung kereta api babaranjang dengan panjang rangkaian 45 gerbong. Hal demikian yang menyebabkan PT KAI tidak dapat menyeragamkan rangkaian sebesar 60 gerbong. Di sisi peningkatan kapasitas masing masing gerbong, kendala yang dihadapi adalah kendala keselamatan. Dari total panjang rel sebesar 413.6 Km lintasan dari Tanjung Enim hingga Tarahan, 400 Km menggunakan rel tipe R54 sedangkan sisanya sejauh 13.6 Km masih menggunakan rel tipe R42. Berikut disajikan tabel spesifikasi masing masing rel. Tabel 4 Spesifikasi Masing Masing Rel
Kelas Jalan
II IV
Daya Angkut Vmax Lalu Lintas (kph) (ton/tahun) 10.106-20. 106 2.5. 106-5. 106
110 90
Tipe Rel
Jenis Bantalan
R54/R 50 R50/R 42
Beton Kayu / Baja
Lebar Bahu Balas (cm) 50 40
Pelanggaran terhadap standar keselamatan dapat memperbesar kemungkinan kereta anjok. Dari segi kedatangan kereta, PT KAI terkendala permasalahan SOP, dimana kedatangan antar kereta harus memiliki jarak (headway) sebesar 111 menit. Dari hasil analisa didapatkan bahwa penentuan SOP tersebut didasarkan pada jarak tempuh jalur single track tanpa stasiun terpanjang ditambahkan dengan waktu persiapan untuk lansir kereta. Saat ini jalur dari mulut tambang di Tanjung Enim sudah menggunakan jalur ganda (double track). Tetapi pembangunan jalur ganda tersebut hanya selesai hingga prabumulih. Untuk memenuhi permintaan sebesar 25,660,000 ton per tahun, diperlukan setidaknya 26 kali kedatangan kereta setiap harinya. Sehingga headway antar kereta menjadi 55.55 menit. Dengan mengasumsikan kecepatan babaranjang melaju sebesar 50 Km/Jam, dapat ditarik alternatif sebagai berikut.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1. Penambahan jumlah stasiun lansir menjadi setiap 43,4 Km dengan mengasumsikan waktu persiapan lansir kereta sebesar 3 menit. 2. Pembangunan jalur ganda oleh PTKAI. 3. Pembangunan jalur ganda khusus PTBA oleh anak perusahaan PTBA, PTBA Trans Railway. Dari ketiga alternatif, alternatif ketiga memiliki keuntungan lebih besar. Selain dapat mengurangi headway, pembangunan shortcut jalur kereta oleh PTBA Trans Railway dapat mengurangi Waktu Putar Gerbong. Sehingga untuk menghasilkan tonase yang sama, PTBA membutuhkan total rangkaian yang lebih kecil. IV. KESIMPULAN/RINGKASAN Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: 1. Kemampuan statis Coal Handling Facility Pelabuhan Tarahan PT Bukit Asam (Persero) Tbk dengan tingkat utilitas sebesar 90% menghasilkan nilai 60,209,468 Ton per tahun. Sedangkan hasil simulasi menunjukkan rata-rata pengeluaran hanya sebesar 10,447,740 Ton per Tahun. Ketidakmampuan pencapaian target pengeluaran disebabkan oleh rendahnya tingkat penerimaan di Pelabuhan Tarahan yang secara rata-rata hanya 10,549,242 Ton per tahun. Evaluasi pada titik penerimaan terdapat di tiga hal yaitu: a. Jumlah rangkaian kurang efisien, lokomotif yang digunakan dapat menarik hingga 60 gerbong b. Jumlah muatan per gerbong kurang optimal, kapasitas maksimum gerbong 60 Ton hanya diisi 50 Ton c. SOP terkait jarak kedatangan antar kereta (headway) sebesar 110 menit dinilai terlalu besar. Untuk mencapai kemampulaluan sebesar 25,660,000 dibutuhkan headway sebesar 55.56 menit 2. Sistem Coal Handling Facility sangat mumpuni untuk mengakomodasi tingkat kemampulaluan sebesar 25,660,000. Permasalahan kemampulaluan terletak pada sisi penerimaan. Untuk mencapai target kemampulaluan, hal-hal yang dapat dilakukan sebagai berikut: a. Memperpanjang longsliding tiap stasiun menjadi 940 m yang termasuk clearance sebesar 10 m. b. Meningkatkan kualitas rel kereta api di jalur babaranjang sepanjang 13.6 Km yang sebelumnya menggunakan R42 menjadi R54 untuk meminimalisir kemungkinan kereta anjlok. c. Memperkecil headway antar kereta dengan cara: a. Membangun stasiun untuk lansir kereta setiap 43.6 Km b. Pembangunan jalur double track oleh PT KAI c. Pembangunan jalur shortcut oleh PTBA Trans Railway
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis A.S. (inisial nama mahasiswa) mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah
5
memberikan dukungan finansial melalui Beasiswa Bidik Misi tahun 2010-2014 DAFTAR PUSTAKA [1]. Alexy, R. T. (2013). VALUASI FINANSIAL PEMBANGUNAN COAL TERMINAL BERDASARKAN KAPASITAS STOCKPILE YANG OPTIMAL PADA PT. X DENGAN PENDEKATAN SIMULASI. (Sarjana Tugas Akhir), Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. [2]. Andrei Borshchev, A. F. (2004). From system dynamics and discrete event to practical agent based modeling: reasons, techniques, tools. [Simulation Modeling: Abstraction Levels, Major Paradigm]. Proceedings of the 22nd international conference of the system dynamics society. [3]. Asam, P. B. (2013). Growing In Confidence. [Tinjauan Operasional]. PT Bukit Asam (Persero) - 2013 Annual Report, 2013(1), 50-109. http://ptba.co.id/assets/datafiles/bukit_asam_-_ar_2013.pdf [4]. Davis, G. B. (1992). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian 1. Jakarta: PT Pustaka Binamas Pressindo. [5]. Geary A. Rummler, A. P. B. (1990). Improving Performance. San Fransisco: JOSSEY-BASS. [6]. Hidayati, R. (2008). Model Peringatan Dini Penyakit Demam Berdarah dengan Informasi Unsur Iklim. (Pascasarjana Disertasi), Institut Pertanian Bogor, Bogor. [7]. Hidayatullah, M. (2010). ANALISIS PERFORMANSI SISTEM DISTRIBUSI PERUSAHAAN BATUBARA ‘XYZ’DENGAN ADANYA PENAMBAHAN COAL TERMINAL BARU. (Sarjana Tugas Akhir), Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. [8]. Indonesia, P. R. (2009). Peraturan Pemerintah. (61). Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. [9]. Indonesia, P. R. (2011). Peraturan Pemerintah. (8). Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. [10]. Indonesia, P. R. (2014). Peraturan Pemerintah. (1). Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. [11]. Indrajit. (2001). Analisis dan Perancangan Sistem Berorientasi Object. (Sarjana Tugas Akhir), Institut Teknologi Bandung, Bandung. [12]. Institute, W. C. (2005). Tinjauan Lengkap Mengenai Batubara. [Pengertian Batubara]. Sumber Daya Batubara, 1(1), 2-6. Retrieved from World Coal Institute website: http://www.worldcoal.org/_assetrequest.php?doc=/bin/pdf/original_pdf_ file/coal_resource_overview_coal_indonesian(03_06_2009).pdf [13]. Jogiyanto, H. M. (2005). Analisis & Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis. Yogyakarta: Andi. [14]. Laut, D. J. P. (2011). Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Laut. (UM.002/38/18/DJM.11). Jakarta: Direktorat Jendral Perhubungan Laut. [15]. Laut, D. J. P. (2011). Keputusan Direktur Jendral Perhubungan Laut. (UM.002/38/18/DJM.11). Jakarta: Direktorat Jendral Perhubungan Laut. [16]. Mineral, K. E. d. S. D. (2013). Keputusan Menteri ESDM. (2901 K/30/MEM/2013). Jakarta: Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. [17]. Pidd, M. (2004). Systems modelling: theory and practice. Inggris: Wiley