Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
EVALUASI KECERNAAN GAPLEK DENGAN UREA YANG DIOLAH MELALUI PROSES PENGUKUSAN (The Evalution Degradation Dried Cassava and Urea Processed with Steaming) SOEHARSONO, A. MUSOFIE dan SUPRIADI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta
ABSTRACT The use of starch for ruminant feed is less efficient, and abundant amount of starch given to ruminant can cause acidosis, so with give NPN (urea). Efficiency use of urea as nitrogen source depend on fermentability carbohydrate by microorganism rumen to be converted to the protein microbes. This research aims to know the influence of steaming of cassava dried by various level of urea to dry matter and organic matter degradability in in vitro and in sacco methods. The steaming cassava dried with urea conducted to 5 kg of dough cassava dried by urea with 50–60% water capacity for 20 minutes. Complete randomized design (CRD) used with four replications. The level of urea are: A = 0%; B = 3%; C = 6% and D = 9%, respectively. The biomass resulted was analysed for crude protein and evaluated in vitro Tilley and Terry and in sacco degradation. The result of research indicated that the crude protein biomass of treatment A = 2.10; B = 7.47; C = 14.12 and D = 23.27%, respectively, it increased significantly defferent (P<0.01). Dry matter and organic matter degradation with in vitro were not different. Dry matter degradation of treatment A = 83.20; B = 83.21; C = 82.52; and D = 84.03%, respectively, while organic degradation of treatment A = 93.63; B = 93.72; C = 93.33 and D = 94.84%, respectively. Degradation theory (DT) of dry matter showed sifnificantly different (P<0.01), dry matter digesting of treatment A = 90.59%; B = 91.06%; C = 89.23%; and D = 88.16%, respectively. While the result of cassava dried and urea by steaming were able to improve the quality and the better digesting level and reduced the kinetic degradation in rumen. Key words: Urea, dried cassava, steaming, in vitro, in sacco ABSTRAK Penggunaan pati sebagai pakan ruminansia kurang efisien, pemberian pati yang berlebihan pada ternak ruminansia akan berefek racun (acidosis), begitu juga dengan pemberian NPN (urea). Efisiensi pengunaan urea sebagai sumber nitrogen tergantung pada fermentabilitas karbohidrat oleh mikroorganisme untuk dikonversi menjadi protein mikrobia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengukusan tepung gaplek dengan berbagai aras urea terhadap degradasi bahan kering dan bahan organik secara in vitro dan in sacco. Pengukusan gaplek bersama-sama urea dilakukan terhadap 5 kg adonan gaplek dengan urea dengan kadar air 50–60% selama 20 menit. Rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat ulangan. Perlakuan aras urea masing-masing: A = 0%; B = 3%; C = 6% dan D = 9%. Hasil pengukusan dikeringkan selanjutnya dianalisis kandungan protein kasar dan dievaluasi kecernaan in vitro Tilley and Terry dan in sacco. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi protein kasar pada biomasa hasil olahan perlakuan A = 2, 10; B = 7,47; C = 14,12 dan D = 23,27% meningkat sangat nyata (P<0,01). Kecernaan in vitro bahan kering dan kecernaan bahan organik tidak berbeda. Kecernaan bahan kering perlakuan A = 83,20; B = 83,21; C = 82,52; dan D = 84,03%, sedangkan kecernaan bahan organik perlakuan A = 93,63; B = 93,72; C = 93,33; dan D = 94,84%. Degradasi teori bahan kering (DTBK) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada (P<0,01), kecernaan bahan kering perlakuan A = 90,59%; B = 91,06%; C = 89,23%; dan D = 88,16%, sedangkan kecernaan bahan organik perlakuan A = 91,80; B = 91,18; C = 89,95 dan D = 88,63%. Hasil olahan gaplek dan urea dengan pengukusan mampu meningkatkan kualitas dengan tingkat kecernaan lebih baik dan menurunkan kinetika degradasinya di dalam rumen sapi. Kata kunci: Urea, tepung gaplek, pengukusan, in vitro, in sacco
817
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENDAHULUAN Kebutuhan energi ternak ruminansia dicukupi dari hasil fermentasi pakan yang dikonsumsi oleh mikroorganisme rumen. Energi ini berupa asam asetat, propionat dan butirat. Kebutuhan protein ternak ruminansia terdiri atas protein pakan yang tidak terdegradasi di dalam rumen dan protein mikrobia. Peningkatan produktivitas ternak ruminansia dapat juga dilakukan dengan memanipulasi ekosistem rumen. Gaplek adalah umbi ketela pohon yang telah dikupas dan diiris selanjutnya dikeringkan dibawah sinar matahari. Gaplek merupakan bahan pakan sumber energi yang baik, dengan kandungan energi 3000 kkal per kg, protein kasar 3,30%, lemak kasar 5,30%, fosfor 0,17%, dan kalsium 0,57% (TILLMAN et al., 1991). Tingginya kandungan karbohidrat dalam gaplek mengakibatkan tingkat degradasi di dalam rumen juga tinggi dan berlangsung cepat. Hal ini akan mengakibatkan acidosis yang bersifat meracuni ternak (ARORA, 1995). Penyediaan energi dari fermentasi tepung gaplek dalam rumen perlu diimbangi dengan penyediaan sumber N. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penambahan urea kedalam ransum. Ketersediaan energi dan N di dalam rumen yang berlangsung bersamaan diharapkan dapat meningkatkan sintesis protein mikrobia yang pada akhirnya dapat meningkatkan kecernaan bahan pakan secara umum. Salah satu pembatas dalam penggunaan urea sebagai pakan ternak ruminansia adalah kecepatan perubahan urea menjadi NH3 yang 4 kali lebih cepat dari pada kecepatan penggunaan NH3 menjadi sel mikrobia. Akumulasi NH3 didalam rumen meningkatkan kadar NH3 dalam darah yang apabila melebihi 5 mg per 100 ml dapat menyebabkan keracunan (VAN SOEST, 1994). Keberhasilan penggunaan NPN dapat dilakukan dengan mengontrol pembentukan dan penggunaan NH3 oleh mikrobia rumen. Sehingga produksi NH3 dan penggunaannya seimbang dalam kondisi aktifitas mikrobia maksimum. Dalam memperlambat pembentukan NH3 dari urea, beberapa usaha dapat dilakukan dengan pembuatan biuret, preparat ini dibuat dari pemanasan urea secara berlebihan (overheating), pembuatan pellet dan usaha
818
menyelaputi atau coating urea yang bersifat lilin (PARAKASI, 1999). Efisiensi penggunaan urea sebagai sumber N tergantung pada fermentabilitas karbohidrat oleh mikrobia rumen untuk sintesis protein mikrobia. Penggunaan pati sebagai pakan ruminansia kurang efisien, namun demikian secara tidak langsung gelatinisasi pati dapat meningkatkan degradasi di dalam rumen (VAN SOEST, 1994). Pati yang dimasak dari biji-bijian, ketela pohon, ketela rambat mempunyai kecernaan sampai 90%, namun pati yang tidak dimasak mempunyai kecernaan lebih rendah dari yang dimasak. Hal ini diduga berhubungan dengan tingkat kristalisasi dari lapisan luar granulanya, jadi dengan pemasakan akan merusak lapisan luarnya yang akan meningkatkan kecernaanya (WIDYOBROTO, 1998). Oleh karena itu usaha untuk memanfaatkan pati sebagai bahan pakan perlu adanya pengolahan. Gelatinisasi tapioka–urea diharapkan dapat memperlambat tingkat degradasi karbohidrat sekaligus urea dalam rumen. Proses gelatinisasi pati akan mampu menyerap air yang mengandung protein. Stabilisasi suatu protein dapat dilakukan dengan penangkapan secara fisik ke dalam gel dan mikrokapsul dari protein (NOSOH dan SEKIGUCHI, 1991). Bersamaan dengan proses gelatinisasi, masuknya molekul air ke dalam granula-granula pati disertai dengan masuknya molekul-molekul protein terlarut ke dalam struktur gel. Sehingga molekul protein terperangkap dalam granula-granula pati (SOEHARSONO, 2001). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan pengikatan berbagai aras urea dalam proses gelatinisasi gaplek dengan metode pengukusan dan mengetahui tingkat degradasi biomassa olahan secara in vitro dan in sacco. MATERI DAN METODE Pengolahan gaplek-urea dilakukan gelatinisasi dengan proses pengukusan. Proses gelatinisasi gaplek-urea dilakukan dengan cara pengukusan selama 20 menit dengan kadar air bahan 50–60%. Rancangan percobaan digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan tingkat penambahan urea (A = 0%, B = 3%, C = 6% dan D = 9%) bahan dengan empat ulangan. Biomasa hasil
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
pengukusan dikeringkan dan dianalisis kandungan protein kasar, dilanjutkan dengan evaluasi kecernaan bahan bahan kering, dan bahan organik secara in vitro dan degradasi in sacco (ORSKOV et al., 1980). Data dianalisis sidik ragam (STEEL dan TORRIE, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan gaplek–urea Prinsip pengolahan gaplek–urea dengan metode pengukusan mirip dengan proses pembuatan adonan thiwul (makanan jawa). Setelah dilakukan pengeringan menggunakan sinar matahari, proses pengukusan gaplek bersama–sama urea dihasilkan biomasa yang berbentuk butiran-butiran crumble berwarna cokelat Kemampuan pengikatan secara fisik urea pada proses pengukusan gaplek dapat diketahui dengan komposisi protein kasar pada biomasa hasil olahan. Komposisi protein kasar biomasa masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil pengolahan gaplek–urea dengan pengukusan menunjukkan bahwa konsentrasi urea 9% mempunyai komposisi protein kasar tertinggi (Tabel 1). Selama proses pengukusan tersebut urea dapat ditangkap dalam struktur pati gaplek. Dengan adanya proses panas, maka struktur pati akan mengembang dan molekul air yang mengandung urea masuk dalam struktur pati. Hal ini ditunjukkan pula bahwa selama proses pengeringan urea tidak mengalami penguapan. Tingkat konsentrasi
protein kasar (Yp) bahan hasil olahan meningkat secara linier (Yp = 1,216 + 2,33867 Xu ; r = 0,992673) sejalan dengan peningkatan konsentrasi urea (Xu) yang ditambahkan pada gaplek. Bersamaan dengan proses gelatinisasi, masuknya molekul air ke dalam granulagranula pati disertai dengan masuknya molekul-molekul protein terlarut ke dalam struktur gel. Sehingga molekul protein terperangkap dalam granula-granula pati (SOEHARSONO, 2001). Kerusakan fisik bahan selama penyimpanan menunjukkan bahwa crumbel dari hasil pengolahan gaplek lebih tahan lama dibandingkan dengan gaplek tanpa pengolahan. Kerusakan fisik selama penyimpanan diakibatkan oleh serangga. Dalam waktu kurang 2 bulan gaplek sudah mulai keropos, akan tetapi hasil pengolahan gaplek selama 8 bulan tidak ada tanda-tanda adanya serangan. Hal ini disebabkan oleh tekstur hasil pengolahan gaplek–urea lebih keras dan liat dibanding dengan gaplek tanpa pengolahan. Oleh karenanya bahwa pengolahan gaplek–urea dengan pengukusan sebagai pakan ternak dapat digunakan sebagai cadangan pakan untuk mengantisipasi kekurangan pakan ternak. Konsentrasi protein kasar pada tingkat urea 9% (23,27%) diharapkan dapat digunakan sebagai sumber energi sekaligus dapat berfungsi sebagai sumber protein kasar yang aman untuk ternak ruminansia. Bahan hasil olahan tersebut dapat digunakan untuk mensubstitusi dua sumber bahan sekaligus yaitu bahan pakan sumber energi (karbohidrat terlarut) dan bahan pakan sumber protein secara bersamaan.
Tabel 1. Komposisi protein kasar biomasa pengolahan gaplek–urea melalui pengukusan dengan konsentrasi urea yang berbeda Ulangan
1 2 3 4 Rata-rata a,b,c,d
Perlakuan A B C D ………………………………% BK…………………………………… 2,22 7,87 15,42 23,59 2,08 7,00 13,35 21,70 1,96 7,35 14,26 24,33 2,12 7,65 13,46 23,45 7,47b 14,12c 23,27d 2,10a
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
819
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
protein. Protein yang terikat dalam struktur karbohidrat memiliki degradasi yang rendah.
Degradasi in vitro biomassa Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro biomassa gaplek–urea yang diolah dengan pengukusan dapat ditunjukkan pada Grafik 1. Nilai kecernaan bahan kering (KcBK) dan bahan organik (KcBO) tersebut menunjukkan tidak berbeda nyata. Besarnya kecernaan bahan kering pada masing-masing perlakuan A = 83,16%; B = 83,21%; C = 82,52% dan D = 84,03%. Sedangkan kecernaan bahan organik pada masing–masing perlakuan A = 93,63%; B = 93,73%; C = 93,33% dan D = 94,84%. KcBK dan KcBO yang tinggi pada bahan hasil olahan disebabkan oleh komposisi bahan yang mudah terdegradasi yaitu karbohidrat yang mudah larut dan urea. Ubi kayu merupakan bahan pakan kaya pati yang mempunyai kandungan N sekitar 0,5% dan sekitar 91% berupa bahan ekstrak tanpa nitrrogen (RAHARJO et al., 2000). Urea yang terikat di dalam struktur karbohidrat akan terdegradasi bersamaan dengan tingkat degradasi karbohidrat. Melalui proses gelatinisasi patiurea maka tingkat kelarutan urea di dalam rumen dapat diperlambat. Efek degradasi protein bervariasi tergantung pada sumber
Degradasi in sacco biomassa Kinetik kecernaan bahan kering (KcBK), bahan organik (KcBO) biomassa gaplek–urea yang dikukus dengan berbagai aras urea dapat ditunjukkan pada Tabel 2. Laju degradasi bahan kering (KcBK) dan bahan organik (KcBO) pada kontrol (K) meningkat tajam pada inkubasi 2 jam, sedangkan pada perlakuan A; B; C dan D peningkatan secara tajam pada inkubasi 4 jam. Kinetik KcBK dan KcBO gaplek–urea yang dikukus dengan berbagai aras urea meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. ORSKOV et al. (1980) melaporkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mendegradasi sempurna berbeda untuk setiap bahan pakan yang diinkubasikan. Untuk bahan konsentrat diperlukan waktu 12–36 jam, hijauan kualitas baik 24–60 jam dan hijauan berkualitas rendah 48–72 jam. Namun laju degradasi semakin berkurang, hal ini menunjukkan bahwa pengukusan dengan berbagai aras urea dapat menurunkan laju degradasi bahan kering dan bahan organik (Grafik 2 dan 3).
100
Kecernaan (%)
90 80 70 60 50 0
3 Konsentrasi urea (%)
6
9 KcBK
KcBO
Grafik 1. Kecernaan bahan kering (KcBK), bahan organik (KcBO) in vitro biomassa hasil olahan
820
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 2. Kinetik degradasi bahan kering (KcBK), bahan organik (KcBO) gaplek–urea yang dikukus dengan berbagai aras urea Perlakuan
Waktu inkubasi
K
A
B
C
D
KcBK
KcBO
KcBK
KcBO
KcBK
KcBO
KcBK
KcBO
KcBK
KcBO
0 2
37,65c 80,22e
31,82b 78,6d
82,41c
80,19b
24,52q 73,65q 80,43q
26,32a 70,39a
83,08cd
30,29r 75,76r 83,53r
27,45a 73,81b
82,75cd
30,42r 81,64s 83,53r
30,19b 76,34c
4
37,59s 82,44t 83,58r
77,92a
23,38p 69,75p 77,49p
bc
q
c
r
bc
r
b
q
89,17a 92,80a 96,64a 97,69a
91,35p 95,43p 98,18p 98,64a
8 12 18 24
92,65 96,28c 97,87bc 98,43b
93,53 97,37r 98,53q 98,90q
93,09 97,07c 98,49c 98,86b
94,77 98,10s 98,55p 98,89q
92,89 94,56 91,74 96,68c 97,51rs 94,92b 98,40c 98,47pq 97,18ab 98,76b 98,87q 98,76b
93,62 96,24q 98,32pq 98,89q
K = Kontrol a,b,c,d,e; p,q,r,s,t Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Degradasi BK
Semakin meningkat kadar urea kinetik degradasi bahan kering tepung gaplek–urea yang dikukus dengan berbagai aras urea mengalami penurunan pada A; B; C dan D, pada inkubasi 2–12 jam menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Hal ini disebabkan pada saat pengukusan terjadi proses gelatinisasi yaitu terbentuknya butiran gel yang merupakan ikatan antara granula pati gaplek dengan urea yang bersifat proteksi sehingga daya larut biomassa di dalam cairan rumen mengalami penurunan. ENSMINGER dan OLENTINE (1978) menyatakan bahwa laju
degradasi protein didalam rumen dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama daya larut protein dan laju aliran pakan melalui rumen. Protein pakan terdegradasi di dalam rumen proposional dengan daya larutnya didalam cairan rumen, jika protein sulit larut, maka kurang dapat terdegradasi. Nilai fraksi a (fraksi mudah larut), b (fraksi tidak terdegradasitetapi potensial terdegradasi), c (laju degradasi fraksi b), dan DT (degradasi teori) gaplek–urea yang dikukus dengan berbagai aras urea dapat ditunjukkan pada Tabel 3.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
K
A
B
C
D 0
5
10
15
20
25
Waktu inkubasi (jam)
Grafik 2. Kinetik degradasi bahan kering tepung gaplek yang dikukus dengan berbagai aras urea dan tepung gaplek tidak dikukus tanpa urea
821
Degradasi BO
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
K B D 0
5
10
15
A C
20
25
Waktu inkubasi (jam)
Grafik 3. Kinetik degradasi bahan organik tepung gaplek yang dikukus dengan berbagai aras urea dan tepung gaplek tanpa dikukus tanpa urea
Tabel 3. Fraksi a, b, c dan DT bahan kering (BK), bahan organik (BO) gaplek–urea yang dikukus dengan berbagai aras urea Fraksi
K BO
BK a b c DT a+b
c
38,53 57,50a 0,52 91,95c 96,03b
Perlakuan B
A BO
BK s
38,92 38,99p 0,33p 92,75s 97,91r
b
32,63 64,02b 0,53 91,06c 96,65c
BK r
31,12 65,73q 0,60t 91,80s 96,86q
C
BO b
31,04 65,62c 0,49 90,59c 96,66c
BK r
30,99 66,40r 0,49s 91,18r 97,39r
D BO
a
28,42 67,35d 0,47 89,23b 95,77b
BO
BK q
25,47 71,33s 0,47r 89,95q 96,80q
a
27,95 67,46d 0,46 88,16a 94,91a
24,62p 71,90s 0,41q 88,63p 96,52p
K = Kontrol a,b,c,d,e; p,q,r,s,t Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Perlakuan urea terhadap fraksi mudah larut BK dan BO menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01), dengan pengukusan tepung gaplek urea fraksi mudah larut BK untuk K; A; B; C dan D akan mengalami penurunan (Tabel 3). Hal ini dimungkinkan pada pengukusan tepung gaplek–urea tersebut terjadi proses gelatinisasi dan reaksi maillard sehingga dapat menurunkan kecernaan bahan pakan di dalam rumen, sehingga akan memperlambat perubahan NH3 dari urea di dalam rumen. SUTARDI (1988) melaporkan bahwa perlakuan fisik dengan menggunakan pemanasan pada protein pakan memberi efek browning reaction/maillard. Tahap utama reaksi maillard meliputi reaksi kondensasi
822
antara gugus amino dari asam amino atau protein dengan gugus karbonil dari gula reduksi. Bila pemanasan berjalan terus maka terjadi proses polimerisasi. Nilai fraksi tidak larut tetapi potensial terdegradasi (b) bahan kering dan bahan organik menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada (P<0,01). Meningkatnya aras urea fraksi b untuk K; A; B; C dan D mengalami peningkatan (Tabel 3). Pada perlakuan C dan D mempunyai fraksi tidak larut dalam air namun potensial terdegradasi lebih tinggi dibanding K; A dan B. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan untuk terdegradasi oleh mikrobia rumen akan lebih tinggi diantara perlakuan. Pembentukan NH3 terjadi secara lambat dan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
dalam waktu yang lama. Perlakuan C dan D mempunyai prospek cukup bagus untuk digunakan sebagai pasokan N untuk pertumbuhan dan perkembangan mikrobia. MERCHEN et al. (1979) menyatakan bahwa kombinasi antara protein yang terdegradasi secara perlahan-lahan dengan urea akan mampu menyediakan nitrogen yang cukup untuk mikroorganisme rumen. Laju degradasi fraksi b (fraksi c) bahan kering menunjukkan tidak berbeda, namun ada kecenderungan menurunkan laju degradasi (Tabel 3). Nilai (a+b) merupakan potensi bahan pakan terdegradasi dalam rumen, namun tidak semua potensi ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh mikrobia rumen karena terbatasnya nilai tinggal bahan pakan di dalam rumen, untuk itu perlu dilihat degradasi efektif (DT) yang dapat dilakukan oleh mikrobia rumen dengan mengasumsikan laju aliran partikel (kp) meninggalkan rumen yaitu 5% (ORSKOV and MCDONALD, 1979). Degradasi teori (DT) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada (P<0,01), semakin meningkat aras urea fraksi DT semakin menurun pada perlakuan A; B; C dan D (Tabel 3). Penurunan DT mungkin dikarenakan fraksi yang mudah larut (a), fraksi (a+b) yang merupakan nilai degradasi maksimum mengalami penurunan, yang disebabkan karena pada pengukusan tepung gaplek dengan berbagai aras urea terjadi proses gelatinisasi dan reaksi maillard yang dapat menurunkan kecernaan bahan pakan di dalam rumen, sehingga kecepatan perubahan NH3 menjadi urea semakin lambat. KESIMPULAN Hasil olahan gaplek–urea mempunyai kualitas lebih baik dengan kandungan protein kasar, KcBK, KcBO in vitro dan in sacco yang tinggi. Penggunaan urea dalam pengukusan tepung gaplek dapat memproteksi nilai fraksi yang mudah larut (a) dan degradasi teori (Dt) serta meningkatkan fraksi tidak terdegradasi namun potensial terdegradasi (b) pada bahan kering dan bahan organik. Konsentrasi protein kasar pada tingkat urea 9% (23,27%) dapat digunakan sebagai sumber energi sekaligus dapat berfungsi sebagai sumber protein kasar yang aman untuk ternak ruminansia.
DAFTAR PUSTAKA ARORA, S.P. 1995. Pencernaan Mikrobia Pada Ruminansia. Cetakan ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. ENSMINGER, M.E. dan C.G. OLENTINE. 1978. Feed Nutrition Complete. 1st Ed. The Ensminger Publication, Co. California. NOSOH, Y and T, SEKIGUCHI. 1991. Protein Stability and Stabilization Through Protein Engineering. Ellishorwood, Tokyo. ORSKOV, E.R. and MCDONALD. 1979. The estimation of protein degradability in the rumen incubation measurement weighted according to rate of passage. J. Agric. Sci. Camb. 92: 499−503. ORSKOV, E.R., F.D. BED HOVELL and F. MOULD. 1980. The use of nylon bag technique for the evaluation of food stuffs. Top. Anim. Prod. 5:: 195−213. PARAKASI, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Tenak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta. RAHARJO, I., M.R. NINIEK, D. SULISTYARINI, T. UJI, dan N.W. SOETJIPTO. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. 4. Prosea-Indonesia. Bogor. SOEHARSONO. 2001. Pendayagunaan Limbah Industri Tempe sebagai Bahan Pakan Lokal Melalui Proses Fermentasi dan Gelatinisasi. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. STEEL, R.G.D dan J.H. TORRIE. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. SUTARDI, T. 1988. Kimia bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S LEBDOSUKOJO. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. VAN SOEST, P.J. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant. 2nd Edition. Comstock Publ. Associated. A Division of Cornell University Press, Itaca London. WIDYOBROTO, B.P. 1998. Fisiologi pencernaan dan manipulasi pakan untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu. Fakultas Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
823