Majalah Farmasi Indonesia, 20(2), 55 – 61, 2009
Evaluasi biologis radiofarmaka 99mTc-Etambutol untuk deteksi dini infeksi tuberkulosis pada hewan percobaan Biological evaluation of 99mTc-ethambutol for detection of tuberculosis infection in animal model
early
Rizky Juwita*), Sugiharti, Yana Sumpena, Maula Eka dan Sriyani Nanny Kartini Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri – BATAN – BANDUNG
Abstrak Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang telah membunuh jutaan manusia secara global. Metode konvensional yang ada hanya dapat mendeteksi infeksi TB pada tahap lanjut dan tidak dapat digunakan untuk kasus infeksi TB di bagian tubuh yang sangat dalam. Berdasarkan hal tersebut, PTNBR-BATAN-Bandung melakukan penelitian dan pengembangan 99mTcetambutol sebagai radiofarmaka pendeteksi infeksi TB. Hasil penelitian evaluasi biologis 9mTc-etambutol yang telah dilakukan pada hewan uji tikus dan mencit adalah sebagai berikut ; uji biodistribusi pada mencit memperlihatkan akumulasi tertinggi 99mTc-etambutol di otot paha yang diinfeksi oleh bakteri TB dicapai pada 4 jam setelah penyuntikan secara i.v. Rasio akumulasi 99mTc-etambutol di organ target (T) dibandingkan dengan organ non target (NT) sebesar 2,90 (T/NT). Uji blood clearence memperlihatkan 44,96 % aktivitas 99mTc-etambutol masih tersisa di dalam darah pada waktu tidak kurang dari 5 menit pasca injeksi. Uji renal clearence memperlihatkan sebesar 79,52% 99mTc-etambutol telah diekresikan melalui urin pada 24 jam pasca injeksi. Pencitraan dengan kamera gamma pada interval waktu 1, 2, 3 dan 4 jam memperlihatkan adanya lokalisasi 99mTc-etambutol pada tikus yang diinfeksi bakteri TB di bagian otot paha. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa 99mTc-etambutol merupakan radiofarmaka yang menjanjikan sebagai radiofarmaka yang sensitif dan spesifik untuk deteksi infeksi TB secara cepat dan akurat. Kata kunci : radiofarmaka,
99m
Tc-etambutol, pencitraan, Mycobacterium tuberculosis.
Abstract Tuberculosis (TB) is the single most infectious disease, killing millions of people globally. Conventional modalities for TB detection many times the disease is diagnosed at delayed stage and can not use for deep seated infection. Therefore, research and development of 99mTc-ethambutol to detect and locate TB at an early stage in any anatomical site have been conducted in PTNBRBATAN Bandung. The result of biological evaluation of 99mTc-ethambutol which studied in rat and mice are as follow, biodistribution study showed accumulation of 99mTc-ethambutol in thigh with infected TB at 4 hours post injection via vein with ratio 2.90 target/non target. Blood clearence studies exhibited 44.96 % of 99m Tc-ethambutol remain in the blood within 5 minutes of 99mTc-ethambutol administration. Renal clearance study exhibited of 79.52 % 99mTc-ethambutol excreted from the urine after 24 hours. The images were acquired with a Gamma-camera at different time intervals 1.2 3 and 4 hours showed localization of the 99mTc-ethambutol in infected TB animal model. This study showed that 99m Tc-ethambutol is a promises radiopharmaceutical to detect TB infection rapidly and has accuracy with high sensitivity and specificity. Key words : radiopharmaceutical, tuberculosis.
Majalah Farmasi Indonesia, 20(2), 2009
99m
Tc-ethambutol,
imaging,
Mycobacterium
55
Rizky Juwita Sugiharti
Pendahuluan Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan menyebabkan kematian bagi para penderitanya (Das et al., 2002; Verma et al., 2005; Singh et al., 2003). Pada saat ini metode konvensional yang digunakan untuk mendeteksi infeksi TB adalah dengan cara Rontgen, tes Mantoux dan analisis mikrobiologi, akan tetapi teknik-teknik ini memiliki keterbatasan pada faktor sulitnya pengambilan cuplikan (sample) bagi kasus penderita TB dengan lesi di bagian tubuh yang sangat dalam seperti infeksi TB di tulang, sistem gastrointestinal dan sistem syaraf (Verma et al., 2005; Singh et al., 2003). Salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknik kedokteran nuklir. Teknik kedokteran nuklir merupakan suatu teknik runut yang menggunakan radiofarmaka dengan metode pencitraan (Das et al., 2002). Hasil pengamatan dengan menggunakan teknik kedokteran nuklir akan memberikan informasi dari perubahan patofisiologi dan patobiokimia yang mendasari munculnya infeksi sebelum munculnya perubahan pada inti dalam kepadatan jaringan tubuh, komposisi dan nekrosis, atau formasi abses (Imam dan Lin, 2006). Beberapa radiofarmaka yang telah digunakan untuk mendeteksi dan melokalisasi berbagai macam infeksi termasuk infeksi TB paru adalah galium-67, 99mTc-tetrofosmin dan 99mTc-MIBI. Namun, semua radiofarmaka di atas memiliki keterbatasan dan tidak dapat membedakan lesi tuberkulosis dari lesi non-tuberkulosis (Verma et al., 2005, Degerminci et al., 1998, Onsel et al., 1996). Oleh karena itu, untuk diagnosis pasien yang diduga menderita penyakit infeksi TB dibutuhkan radiofarmaka yang sensitif dan juga spesifik terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis (Singh et al., 2003). Penelitian dan pengembangan formulasi 9mTc-etambutol di PTNBR telah dimulai sejak tahun 2004. Pemilihan etambutol sebagai ligan karena etambutol merupakan salah satu obat anti TB yang berkhasiat spesifik membunuh Mycobacteria tuberculosis dengan cara berinteraksi spesifik dengan asam mikolat dari dinding sel bakteri TB. Etambutol merupakan suatu turunan etilendiamin yaitu N,N’-diisopropil
56
etilendiamin yang memiliki banyak gugus donor elektron, sehingga memungkinkan untuk berikatan dengan radioisotop Tc-99m (Kartini dkk., 2005). 99mTc-etambutol sebagai sediaan radiofarmaka baru, harus mengalami serangkaian pengujian dan pengkajian intensif untuk menentukan efektivitas dan keamanannya sebelum radiofarmaka tersebut menjadi sediaan radiofarmaka yang siap pakai. Evaluasi biologis pada hewan uji tersebut meliputi pemeriksaan uji biodistribusi, uji blood clearence, uji renal clearence dan pencitraan menggunakan kamera gamma. Metodologi Bahan dan peralatan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kit kering radiofarmaka etambutol yang terdiri dari dua buah vial buatan PTNBR Bandung. Bahan lainnya adalah aseton, asetonitril (Merck), larutan salin, aqua bidest pro injeksi (IPHA), media Lowenstein Jensen (Difco) dan media Nutrien Agar (Oxoid). Kertas ITLC-SG dan Whatman–1 untuk kromatografi. Ketamin HCl (Ketalar/Pfizer) dan xylazine (Seton 2 %/Calier) untuk anastesi. Peralatan yang digunakan adalah pencacah saluran tunggal (Bioscan) digunakan sebagai pencacah radioaktivitas, dose calibrator, kamera gamma (Infinia SPECT-CT) di Kedokteran Nuklir RSHS. Peralatan lain yang digunakan adalah gelas piala, syringe, vial dan metabolic cage. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) dan tikus putih (Rattus novergicus). Penyiapan radiofarmaka
99m
Tc-etambutol
Semua tahap pengerjaan dilakukan secara aseptis. Akuabides steril diambil sebanyak 1 mL lalu dimasukkan ke dalam vial pertama (A) yang berisi 0.7 mg SnCl2•H2O dan 35 mg Na-pirofosfat, dikocok perlahan-lahan sampai larut baik dan homogen. Larutan tersebut diambil sebanyak 0,5 mL, dimasukkan ke dalam vial kedua (B) yang berisi 3.5 mg Etambutol dan 5 mg manitol, dikocok sampai tercampur sempurna kemudian diletakkan dalam wadah Pb yang sesuai. Larutan radioisotop Na99mTcO4 diambil sebanyak 1 mL, kemudian dimasukkan ke dalam vial yang telah ada di wadah Pb, kocok sempurna dan biarkan pada temperatur kamar selama 5-10 menit sambil sekali-kali dikocok, sehingga dihasilkan produk sediaan radiofarmaka 99mTc-etambutol.
Majalah Farmasi Indonesia, 20(2), 2009
Evaluasi biologis radio farmaka.........
Kemurnian radiokimia
99m
Tc-etambutol
Uji renal clearance
Kemurnian radiokimia sediaan radiofarmaka 99mTc-etambutol ditentukan dengan metode kromatografi menggunakan kertas Whatman 31ET/asetonitril 50 % untuk memisahkan pengotor radiokimia 99mTc-tereduksi, sedangkan ITLCSG/aseton untuk memisahkan pengotor 99mTcperteknetat bebas. Penyiapan hewan uji
Bakteri Mycobacterium tuberculosis dikembangbiakkan pada media Lowenstein Jensen yang diinkubasi selama 21 hari. Kemudian suspensi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang mengandung sejumlah 0.9x108 dan 0.9x109 sel diinjeksikan secara subkutan masing-masing ke otot paha kiri mencit (Mus muculus) sel ke otot paha kiri tikus (Rattus novergicus). Mencit dan tikus kemudian dibiarkan kurang lebih 21 hari untuk mendapatkan lesi infeksi TB dibagian otot paha kiri. Uji biodistribusi sediaan radiofarmaka Etambutol
99m
Tc-
Sebanyak 0,1 mL radiofarmaka 99mTcetambutol dengan aktivitas 100 µCi disuntikkan ke tubuh mencit melalui vena ekor setelah berat masing-masing mencit diketahui. Kemudian mencit dibedah pada interval waktu 1, 4 dan 24 jam dan organ-organ berupa otot paha kiri yang diinfeksi bakteri TB, otot paha kanan (otot normal), tulang, darah, usus halus, lambung, hati, limpa, ginjal, jantung dan paru-paru diambil. Setiap organ dicacah dengan alat pencacah saluran tunggal dan dihitung persentase cacahan pada tiap gram organ (% ID/g). Rumus perhitungan penimbunan per gram organ (%ID/g) adalah sebagai berikut : % ID / g =
cacahan per gram organ
x100%
cacahan dosis yang diberikan
Uji kinetik darah
Penentuan uji kinetik darah radiofarmaka dilakukan dengan menyuntikkan 0,2 mL sediaan dengan aktivitas 900 µCi ke tubuh tikus melalui vena ekor, kemudian darahnya diambil pada 0, 30 menit dan 1, 2, 3, 4, 5, 24 jam setelah penyuntikan. Darah tersebut masing-masing ditimbang lalu dicacah dan hasilnya dinyatakan sebagai persentase radioaktivitas dari seluruh darah ditubuh (dengan mengambil 7 % dari berat badan tikus sebagai berat darah keseluruhan tubuh). Kemudian persentase radioaktivitas dalam darah terhadap waktu digambarkan dalam bentuk grafik. 99mTc-etambutol
Majalah Farmasi Indonesia, 20(2), 2009
Besarnya perubahan radioaktivitas senyawa kompleks dalam urin per satuan waktu merupakan laju renal clearance. Penentuan uji pencucian dari ginjal radiofarmaka 99mTc-etambutol dilakukan dengan menyuntikkan 0,2 mL sediaan dengan aktivitas 750 µCi ke tubuh tikus melalui vena ekor, kemudian tikus tersebut dimasukkan kedalam metabolic cage. Setelah selang waktu tertentu, urin ditampung dengan tabung reaksi yang sudah ditimbang dan aktivitas setiap tabung dicacah, kemudian dihitung persentase aktivitasnya. Pencitraan menggunakan kamera gamma
Sebanyak 0,5 mL sediaan 99mTc-etambutol dengan aktivitas 2 mCi disuntikkan ke tubuh tikus putih melalui vena ekor. Selang waktu tertentu dilakukan pencitraan dengan kamera gamma setelah terlebih dahulu tikus tersebut dibius menggunakan campuran ketamine HCl (dosis 0.16 mL / 200 g berat badan) dan xylazine 2 % (dosis 0,06 mL /200 g berat badan).
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan formula radiofarmaka yang telah dilaporkan sebelumnya (Kartini dkk, 2005), kemurnian radiokimia kompleks 99mTcetambutol hasil penandaan pada pH 6,5-7 adalah sebesar 88-94 % dan dapat digunakan untuk melakukan pengujian evaluasi biologis berikutnya. Hewan uji yang telah diinfeksi secara subkutan dengan bakteri TB di daerah otot paha diobservasi selama + 21 hari (sesuai waktu inku-basi bakteri TB), kemudian akan terlihat adanya inflamasi berupa benjolan padat dan fungsiolesa di daerah injeksi. Berat hewan percobaan diamati dan diperoleh penurunan berat badan + 4 g. Hasil uji biodistribusi dari radiof-armaka 99mTc-etambutol memperlihatkan akumulasi radiofarmaka 99mTc-etambutol di organ target yaitu otot paha kiri yang diinfeksi bakteri TB sebesar 1,13 %, 0,62 % dan 0,46 % (% ID/g) pada 1,4 dan 24 jam pasca injeksi. Sedangkan akumulasi pada otot normal yaitu paha kanan yang tidak diinfeksi bakteri TB adalah sebesar 0,48 %, 0,21 % dan 0,19 % (% ID/g) pada 1, 4 dan 24 jam pasca injeksi. Data ini memperlihatkan adanya akumulasi yang lebih besar di
57
Rizky Juwita Sugiharti
Gambar 1. Biodistribusi radiofarmaka 99mTc-Etambutol pada mencit (Mus muculus).
Gambar 2. Hasil pencucian darah (blood clearance) dari 99mTc-Etambutol pada tikus putih.
otot yang diinfeksi TB dibandingkan dengan otot normal (Gambar 1). Untuk mengetahui waktu pencitraan yang optimum maka dihitung rasio akumulasi radiofarmaka 99mTc-etambutol pada organ target. Rasio ini dihitung berdasarkan rasio cacahan radioaktivitas dari organ target yaitu otot yang diinfeksi oleh bakteri TB dibandingkan dengan otot normal. Hasil memperlihatkan bahwa aktivitas yang tertinggi pada organ target dicapai pada jam ke 4 setelah penyuntikan dengan persentase penimbunan target/non target sebesar 2,90 kali (Tabel I). Dari hasil uji biodistribusi ini dapat disimpulkan juga bahwa, akumulasi tertinggi terdapat pada organ ginjal berturut-turut 10,75%, 10,23 % dan 7,73 % (% ID/g) pada 1, 4 dan 24 jam pasca injeksi menunjukkan bahwa
58
rute utama eksresi radiofarmaka 99mTcetambutol adalah melalui ginjal. Adanya radioaktivitas di organ usus mengindikasikan bahwa radiofarmaka 99mTc-etambutol dieksresikan juga melalui empedu dan usus yang dikeluarkan dalam bentuk feses. Akumulasi yang tinggi terlihat pula di organ hati sebesar 4,64 % pada satu jam pasca injeksi yang kemudian naik menjadi 6,79 % pada empat jam pasca injeksi dan turun menjadi 1,53 % pada 24 jam pasca injeksi. Tabel I. Rasio radioaktivitas antara organ target/non target Waktu
T/NT n = 3
1 jam 4 jam 24 jam
2,52 + 1,27 2,90 + 0,62 2,15 + 0,30
Majalah Farmasi Indonesia, 20(2), 2009
Evaluasi biologis radio farmaka.........
Gambar 3. Kurva bi-eksponensial (model kompartemen ganda) dari 99mTc-Etambutol pada tikus putih.
Studi kinetik radiofarmaka 99mTcetambutol pada tikus memperlihatkan model kompartemen ganda (fase distribusi diikuti dengan fase eliminasi). Radioaktivitas 99mTcetambutol dalam darah tersisa sebesar 44,96 % dalam waktu kurang dari 5 menit setelah penyuntikkan dan persentase aktivitas menurun lebih dari setengahnya mulai pada menit ke 30 (19,33 %). Pada 2 jam setelah penyuntikan radioaktivitas hanya tersisa sebesar 10,76 % kemudian radioaktivitas menurun pada tiap jam berikutnya masing-masing sebesar 6,30 %, 5,37 % dan 3,34 %. Pada 24 jam pasca injeksi radioaktivitas yang tersisa hanya sebesar 1,47 % (Gambar 2). Penurunan radioaktivitas dalam darah ini disebabkan karena sebagian kompleks 99mTc-etambutol sudah terekskresikan dan sebagian lainnya terdistribusi ke organ seperti hati, paru, ginjal, lambung dan jaringan lain termasuk juga ke organ target. Untuk mengetahui parameter-paramete farmakokinetik radiofarmaka 99mTc-etambutol dibuat kurva log % radioaktivitas per gram darah terhadap waktu. Kemudian diperoleh persamaan model kompartemen ganda sebagai berikut Cp = 29,22178e-0,69843(t) + 3,195633e0,032574 (t). Volume distribusi (Vd) radiofarmaka 99mTc-etambutol dihitung sebesar 3.08 liter, t1/2 adalah 1.14 jam (Gambar 3). Perhitungan menggunakan data analisis solver dalam perangkat lunak excel. Hasil uji renal clearence radiofarmaka 99mTc-etambutol yang diekskresikan lewat ginjal melalui urin pada selang waktu penampungan 1 jam diperoleh sebesar 37,15 %, kemudian
Majalah Farmasi Indonesia, 20(2), 2009
turun menjadi 16,45 % pada setengah jam berikutnya. Radioaktivitas yang diekresikan pada 2, 3, 4, 5, 20 dan 24 jam berturut-turut adalah 6,75 %, 4,53 %, 5,59 %, 4,13 %, 2,04 % dan 2,88 % (Gambar 4), hal ini menunjukkan bahwa sampai pada 24 jam setelah penyuntikan sekitar 79,52 % dari total radioaktivitas telah diekskresikan lewat urin. Hasil pencitraan radiofarmaka 99mTcetambutol dengan kamera gamma memperlihatkan akumulasi di daerah otot paha yang diinfeksi bakteri TB sudah dapat dilihat pada saat 1 jam pasca injeksi, organ target ditunjukkan dengan tanda panah pada Gambar 4, akan tetapi pencitraan yang terlihat pada 1 jam pasca injeksi belum terlalu jelas 99mTc-etambutol dikarenakan radiofarmaka masih terlihat terdistribusi ke organ yang lainnya. Hasil pencitraan di 2 jam dan 3 jam pasca injeksi memperlihatkan pencitraan yang lebih jelas dan lesi infeksi TB yang terlihat lebih besar dibandingkan dengan pencitraan pada 1 jam pasca injeksi. Pencitraan yang paling baik diperoleh pada 4 jam setelah penyuntikan, dapat dilihat intensitas yang tinggi di daerah paha yang diinfeksi TB dan berkurangnya akumulasi di organ lain, hal ini dikarenakan sebagian radiofarmaka 99mTc-etambutol telah dieksresikan dan radiofarmaka 99mTc-etambutol yang tersisa terakumulasi di organ target. Sehingga waktu optimum untuk pencitraan infeksi TB menggunakan radiofarmaka 99mTc-etambutol adalah 4 jam pasca injeksi (Gambar 5).
59
Rizky Juwita Sugiharti
Gambar 4. Hasil uji pencucian dari ginjal dari 99mTc-Etambutol pada tikus putih.
Gambar 5. Hasil scintigrafi pada tikus yang telah diinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis secara subkutan pada bagian paha setelah, 1 jam, 2 jam, 3 jam dan 4 jam pasca injeksi radiofarmaka 99mTc-Etambutol, tanda panah menunjukkan otot paha yang diinfeksi oleh bakteri TB.
Kesimpulan Radiofarmaka baru 99mTc-etambutol terbukti stabil dan memiliki kemurnian radiokimia yang tinggi. Hasil uji biodistribusi menunjukkan radiofarmaka 99mTc-etambutol terakumulasi di otot paha yang diinfeksi bakteri TB, dan akumulasi tertinggi diperoleh pada 4 jam setelah penyuntikan dengan rasio target/nontarget sebesar 2.90 kali. Hasil 99mTc-etambutol pencitraan radiofarmaka dengan kamera gamma terlihat jelas pada 4 jam setelah penyuntikan. Radiofarmaka
60
99mTc-
etambutol mencapai kadar maksimum dalam darah kurang dari 5 menit setelah penyuntikan (44.96 %). Ekskresi utama radiofarmaka 99mTc-etambutol adalah melalui ginjal dan mencapai 79.52 % pada waktu 24 jam setelah penyuntikan. Dari hasil evaluasi biologis tersebut diharapkan radiofarmaka 99mTcetambutol dapat merupakan radiofarmaka alternatif untuk deteksi secara dini infeksi TB dan dapat membedakan lesi tuberkulosis dari lesi non-tuberkulosis.
Majalah Farmasi Indonesia, 20(2), 2009
Evaluasi biologis radio farmaka.........
Ucapan Terima Kasih Terima kasih yang tulus kami ucapkan kepada Sdr. Iswahyudi, Sdr, Ahmad Sidik, Sdr Kustiwa, Sdri. Yetti Suryati dari Bidang Senyawa Bertanda dan Radiometri-PTNBR-
BATAN Bandung dan Sdri. Rini dari Instalasi Kedokteran Nuklir RSHS–Bandung yang telah membantu kami dengan sepenuh hati untuk menyelesaikan penelitian ini.
Daftar Pustaka Das, S.S., Anne V., Wareham, D.W., and Britton,K. E., 2002, Infection Imaging with Radiopharmaceutical in 21st Century, Braz. Arch. Biol. Tech. September, 45, 25-37. Das, S. S., and Britton, K.E., 2003, Bacterial Infection Imaging, World. J. Nucl. Med., July, 2, 3, 173179. Degerminci, B., Kilinc, O., Cirak, K.A., Capa, G., Akpinar, O., and Halilcolar, H., dkk, 1998, Technetium-99m-Tetrofosmin Scintigraphy in Pulmonary Tuberculosis, J. Nucl. Med., December, 39, 12, 2116-2120. Gnanasegaran, G., Croasdale J., and Buscombe, JR., 2004, Nuclear Medicine in Imaging Infection and Inflammation: Part–I. Radiopharmaceutical, World J. Nucl. Med., April, 3, 2,155165. Gnanasegaran, G., Croasdale J., and Buscombe, JR., 2005, Nuclear Medicine in Imaging Infection and Inflammation: Part–3. Clinical Application, World J. Nucl. Med., April, 4, 2, 127137. Iman S.K., dan Lin, P., 2006, Radiotracers for imaging of infection and inflammation - A Review, World J. Nucl. Med., January, 5, 1, 40-55. Kartini, N.O., Kustiwa, dan Isabela E., 2005, Pengembangan senyawa bertanda 99mTc-etambutol untuk deteksi tuberkulosis ; 1. Penandaan etambutol dengan radionuklida teknesium-99m, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Sains dan Teknik Nuklir, Puslitbang Teknik Nuklir Batan, Bandung, April 19-20. Onsel, C., Sonmezoglu, K., Camsari, G., Atay, S., Cetin, S., and Erdil, Y.T., dkk, 1996, Technetium-99m-MIBI Scintigraphy in Pulmonary Tuberculosis, J. Nucl. Med., February, 37, 2, 233-238. Singh, AK., Verma J., Bhatnagar., Sen S., and Bose M., 2003, Tc-99m Isoniazid: A Spesific Agent for Deteksi of Tuberculosis, World J. Nucl. Med., October, 2, 4, 292-395. Verma, J., Singh, A. K., Bhatnagar, Sen S., and Bose M., 2005, Radiolabeling of ethambutol with technetium-99m and its evaluation for detection of Tuberculosis, World J. Nucl. Med., January, 4, 1, 35-46. * Korespondensi : Rizky Juwita Sugiharti Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri BATAN BANDUNG E-mail :
[email protected]
Majalah Farmasi Indonesia, 20(2), 2009
61