ETNOPUITIKA: DARI BUNGA RAMPAI TEKS DAN PENTAS SAMPAI KE AKAR BUDAYA
The joy, the understanding, the language are all of a piece. Dell Hymes Akeh kang ngaku-aku Pangrasane sampun udani Tur durung wruh ing rasa Rasa kang satuhu Rasaning rasa punika Upayanen darapon sampurna ugi Ing kauripanira Pakubuwana IV
1. PENGANTAR Sebagai pengantar makalah ini, dikemukakan sejumlah kasus sebagai contoh tata kerja etnopuitika. Dalam setiap kasus, peneliti melakukan pengamatan terhadap teks dan pentas1 yang bertalian erat dengan puitika Jawa, beserta reaksi emotif (yaitu sikap atau perasaan, baik positif maupun negatif) yang muncul dalam diri pengamat atau peneliti; kemudian diberikan penjelasan singkat mengenai penyebab munculnya reaksi emotif peneliti terhadap teks atau pentas tersebut. Kasus 1. Dalam sebuah perkawinan adat Jawa di Sidoardjo, sewaktu dilaksanakan upacara midodareni dan dilakukan perkenalan antara anggota keluarga pengantin pria dan pengantin wanita, keluarga pengantin pria diwakili oleh seorang anak muda yang berpidato singkat dalam bahasa Jawa krama yang sangat buruk. Para tamu yang menguasai bahasa Jawa dengan baik merasa sangat terganggu oleh teks bahasa Jawa yang buruk tersebut. Mengapa reaksi emotif itu terjadi? Karena rasa bahasa dalam bahasa Jawa merupakan bagian dari totalitas raos Jawi (kedalaman rasa budaya Jawa), yang tercermin melalui undha-usuk atau tingkat tutur yang njlimet (rumit), dan setiap tingkat tutur menimbulkan reaksi emotif khusus pada pendengar atau lawan bicara. Kasus 2. Dalam sebuah upacara panggih (pertemuan ritual antara pengantin pria dan wanita) di Malang, sambutan tuan rumah disampaikan oleh seorang wakil keluarga dari Solo. Sambutan itu disampaikan dalam bahasa Jawa klasik yang elegan. Para tamu yang memahami bahasa Jawa dengan baik sungguh terpukau oleh sambutan tersebut. Reaksi emotif apakah yang terjadi di sini? Ini adalah kebalikan dari apa yang terjadi di 1
Istilah "teks" dalam makalah ini digunakan untuk merujuk ujaran atau tuturan, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Untuk selanjutnya, istilah teks ditulis tanpa tanda kutip. Sedangkan stilah "pentas" dalam etnopuitika merupakan terjemahan dari verbal art performance, dalam pengertiannya yang cair dan luas. Verbal art merujuk pada poetic language menurut pandangan Jakobosn (lihat uraian pada bagian kedua dari makalah ini), sedangkan performance (dalam verbal art performance) dikontraskan dengan ordinary speech performance. Singkatnya, istilah "pentas" bukan hanya merujuk pada pentas dalam seni pertunjukan, melainkan juga merujuk pada "cara berbicara atau berbahasa yang khas, yang berbeda dengan cara berbicara sehari-hari." Penjelasan lebih lengkap tentang teks dan pentas diberikan pada bagian kedua dari makalah ini.
2 Sidoardjo. Yang muncul adalah kekaguman terhadap teks dan pentas. Hal ini dimungkinkan oleh kekayaan struktur internal bahasa Jawa, yang tidak hanya terwujud pada tingkat tutur yang rumit, tetapi juga terwujud pada perbedaan antara bahasa Jawa sehari-hari dan bahasa Jawa klasik, atau yang disebut oleh Poedjosoedarmo et al. (1986) sebagai bahasa Jawa "ragam panggung."2 Artinya, ketika mendengarkan sambutan yang menggunakan bahasa Jawa ragam panggung, para tamu tersebut, secara mental, direnggut dari dunia sehari-hari dan dibuai dalam dunia pentas, suatu pengalaman yang jarang terjadi bagi penutur bahasa Jawa di daerah Malang. Kasus 3. Pada tahun 1995, saya bersama sejumlah teman yang mencintai kethoprak tradisional, pernah melihat Kethoprak Siswo Budoyo, asuhan Pak Siswondo, yang kini telah almarhum. Para pemain, baik yang senior maupun yunior, rata-rata menguasai bahasa Jawa ragam panggung dengan amat bagus. Namun kami merasa terganggu oleh salah satu pemain utama yang vokalnya cemplang atau tidak mantap, dan cara berbicaranya seperti pemain yang baru belajar. Reaksi emotif apakah yang terjadi di sini? Kami tidak terganggu oleh teks yang buruk, tetapi oleh pentas yang buruk. Artinya, teks yang indah namun dipentaskan dengan buruk mungkin sekali akan kehilangan keindahannya. Kasus 4. Kami yang tinggal di Malang, tetapi lahir dan dibesarkan di "daerah wayang kulit dan kethoprak" (misalnya, di Yogya, Solo, Semarang, Madiun, Kediri), sangat senang jika TVRI Surabaya menyiarkan kethoprak atau "kethoprak-based drama" produksi TVRI Yogyakarta. Semua dialog dalam kethoprak ini masih menggunakan bahasa Jawa ragam panggung dengan bagus sekali. Dan adegan jatuh cinta, misalnya, masih diungkapkan dengan tembang-tembang dengan irama yang menghanyutkan. Gejala apakah yang muncul di sini? Apresiasi terhadap keindahan teks dan pentas kethoprak merupakan sikap emotif-kolektif, yang tumbuh dari serta dipupuk oleh lingkungan budaya yang mendukung tumbuh dan berkembangnya pementasan kethoprak tersebut. Kasus 5. Sewaktu melakukan penelitian narasi pengantin Jawa tahun 1996, saya sempat menghadiri sebuah upacara siraman di Solo. Untuk upacara ini, telah disiapkan secara khusus tembang Dhandhanggula sepanjang enam pada (bait). Waktu dilaksanakan upacara siraman, tembang Dhandhanggula tersebut dilantunkan oleh seorang waranggana dalam irama pelog pathet nem, tanpa diiringi oleh gamelan. Saya, yang pertama kalinya mengikuti upacara seperti itu, merasa sangat trenyuh (terharu) terutama disebabkan oleh ngelangut-nya irama tembang Dhandhanggula tersebut. Reaksi emotif apakah yang muncul di sini? Rasa haru itu muncul bukan karena indahnya teks tembang tersebut, tetapi terutama karena ngelangut-nya irama Dhandhanggula, atau --dalam istilah etnopuitika--karena indahnya pentas. Dari kelima kasus di atas, apakah yang dapat kita ketahui tentang puitika Jawa? Ada lima hal penting yang dapat kita catat. Pertama, rasa bahasa Jawa berkaitan erat dengan nilai budaya Jawa yang secara dominan menentukan penggunaan bahasa Jawa, baik sebagai alat komunikasi sehari-hari, sebagai bagian dari ritual atau upacara tradisional, maupun sebagai ragam panggung yang dipentaskan. Kedua, kekayaan rasa bahasa dan rasa budaya dalam masyarakat Jawa berkorelasi tinggi dengan kekayaan 2
Ciri utama dari bahasa Jawa ragam panggung adalah banyaknya penggunaan tembung kawi, atau archic words.
3 struktur internal bahasa Jawa, yang secara paradigmatik tercermin pada sistem leksikal atau kosakatanya. Ketiga, ada atau tidaknya sikap apresiatif pada masyarakat terhadap suatu pentas sangat bergantung pada ada atau tidaknya cultural conditioning, yang merupakan prasyarat bagi tumbuhnya sikap apresiatif tersebut. Keempat, keindahan bahasa Jawa ragam panggung tidak hanya ditentukan oleh keindahan teks (bahasa yang tinggi nilai sasteranya) tetapi juga oleh keindahan pentas (misalnya, kekuatan vokalisasi dan kelancaran dialog serta narasi). Kelima, pentas yang indah (misalnya dalam bentuk irama tembang yang mengharukan) bisa hadir lebih dominan daripada teks. Artinya, kekurangan atau kelemahan pada teks mungkin saja tertutup atau "terhapus" oleh pentas yang bagus. Lima kesimpulan tersebut adalah contoh dari hasil pengamatan dengan kerangka acuan etnopuitika, yang secara khusus diarahkan untuk mengamati puitika Jawa. Peneliti lain yang memahami dan menghayati, misalnya, puitika Sunda, atau putika Bali, atau puitika Minang, dapat memanfaatkan etnopuitika untuk mempelajari puitika tersebut dan menghasilkan temuan-temuan baru tentang struktur teks dan pentas serta kaitannya dengan struktur bahasa dan budaya, yang merupakan pendukung verbal art performance di lingkungan masing-masing. Berikut ini akan saya bicarakan, secara ringkas, etnopuitika sebagai kerangka-acuan teoritis, beserta implikasinya terhadap penelitian teks dan pentas. Karena saya berangkat dengan latar belakang linguistik, maka pembahasan etnopuitika ini bersifat sangat struktural. 2. ETNOPUITIKA, TEKS, DAN PENTAS Bagian kedua dari makalah ini akan membicarakan dua hal pokok, yaitu etnopuitika, dan hubungan antara teks dan pentas. Pokok bahasan pertama meliputi pengertian etnopuitika, contoh kegunaan praktisnya, serta kelebihan dan kekurangannya sebagai ancangan teoritis. Pokoh bahasan kedua membicarakan pengertian teks dan pentas dalam tinjauan etnopuitika, serta interaksi dinamis antara keduanya.
2.1. Etnopuitika sebagai Kerangka-acuan Teoritis3 Istilah "etnopuitika," yang terdiri dari pefiks atau penjelas etno- dan kata dasar puitika, mengacu pada dua hal. Etno-, yang secara etimologis berkaitan erat dengan kata etnik atau etnis, mengacu pada sebuah masyarakat sebagai suatu kelompok budaya. Sedangkan puitika, dalam pengertian struktural sebagaimana dikemukakan oleh Jakobson (1960), mengacu pada "bahasa puitis" atau poetic language. Perlu dicatat bahwa bahasa puitis ala Jakobson tidak hanya merujuk pada teks puisi pada khususnya atau teks sastra pada umumnya, melainkan juga merujuk pada setiap teks yang bentuknya ditonjolkan demi mendapatkan perhatian khusus dari pendengar atau pembacanya. Contoh terkenal yang dikutip oleh Jakboson adalah slogan politik tahun 1950-an: I like Ike, yang transkripsi fonetisnya adalah [ay layk ayk]. Ini adalah slogan untuk memenangkan Dwight "Ike" Eisenhower sebagai presiden Amerika Serikat. Perhatikan perulangan bunyi [ay] pada [ay layk ayk] tersebut. Berdasarkan analisis struktural ini, dapat dinyatakan: bagaimana mungkin (subyek) I [ay] tidak menyukai (obyek) Ike [ayk], sedangkan [ay] dan [ayk] keduanya terangkum dalam (verba) like [layk]? 3
Dalam sebuah makalah terdahulu, "Berekanalan dengan Etnopuitika" (2001), telah saya bicarakan etnopuitika dengan agak panjang-lebar. Dalam makalah ini, saya terpaksa menjadi "plagiat," dengan menyarikan dan mengutip sebagian dari apa yang telah saya kemukakan dalam makalah tersebut.
4 Bila kita cermati bahasa iklan, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, maka akan banyak kita dapatkan bahasa puitis ala Jakobson tersebut. Misalnya, Advil, advanced medicine for pain. My doctor suggests Mylanta. Jamu manjur cap Air Mancur. Aku dan kau suka Dancow. Kemungkinan besar bahasa puitis semacam ini tidak atau kurang menarik bagi peminat sastra pada umumnya, atau peminat puisi pada khususnya. Namun, bagi etnopuitika, teori puitika Jakobson tersebut sangat berguna, misalnya, untuk meneliti gumerah bocah atau childlore dalam masyarakat Jawa. (Bandingkan hal ini dengan apa yang telah dilakukan oleh Opie & Opie (1959), yang meneliti childlore dalam masyarakat Inggris, atau Knapp & Knapp (1976), yang meneliti childlore dalam masyarakat Amerika.) Sebagai contoh, ada baiknya kita lihat gumerah bocah dalam bahasa Jawa berikut ini. (1) Dhok tri legendri nagasari ri / (2) Ri wul iwul-iwul jenang katul tul / (3) Tul len olen-len jajan manten ten / (4) Tenana lehku lunga mbesuk apa pa / (5) Pa dheng mbako enak mbako sedheng dheng / (6) Dheng kok engkak engkok manak kodhok dhok / (7) Dhok tri legendri nagasari ri ... (terus berulang/berputar tak ada putusnya). Dari segi isinya, gumerah bocah tersebut tentu saja tidak bermakna apa-apa. Walaupun di sini terdapat sejumlah kata isi atau content words (misalnya, nagasari, jenang katul, jajan manten, dsb.), kata-kata tersebut tidak dirangkai untuk membentuk wacana yang padu. Kata-kata itu muncul bersama sejumlah bunyi-bunyi yang sugestif (misalnya, iwul-iwul, olen-olen, engkak-engkok), tanpa makna yang jelas. Meskipun demikian, etnopuitika dapat memberikan penjelasan yang berguna. Pertama, dari segi teks-nya, setiap larik dalam gumerah bocah tersebut terdiri dari 10 - 12 suku-kata. Setiap larik berakhir dengan kata isi, yang suku-kata terakhirnya diputus untuk kemudian diulangi pada awal baris berikutnya. Larik keenam berakhir dengan kata kodhok, yang setelah diputus suku-kata terakhirnya, yaitu dhok, kembali berputar ke larik pertama, yang bermula dengan Dhok tri ... Akibatnya, larik-larik dalam gumerah bocah tersebut berputar terus--seolah-olah tanpa awal dan akhir. Dengan kata lain, teks gumerah bocah itu memiliki "struktur melingkar." Kedua, sebagai pentas atau verbal art performance, setiap larik dari gumerah bocah tersebut memiliki irama atau lagu yang sama. Artinya, untuk mendapatkan gumerah bocah tersebut secara utuh (yakni, sebagai teks dan pentas), perekaman secara tertulis saja tidak cukup; perekaman secara audio harus disertakan. Bila yang ada hanya rekaman tertulis, maka rekaman itu harus disertai notasi musik, sebagaimana yang dilakukan oleh Sweeney (1974) terhadap penuturan cerita Melayu (Malay story-telling). Selanjutnya, berkaitan dengan "struktur melingkar" dari gumerah bocah tersebut, ada pertanyaan yang lebih mendalam: apakah modus "berpikir melingkar" ini khas Jawa? Selain Dhok tri legendri di atas, gumerah bocah lainnya seperti Minak Jinggo ayo nggo atau Nangka sabrang ayo brang, misalnya, juga memiliki struktur melingkar. Demikian pula tembang Jawa Plek-emplek ketepu. Sebagai bandingan, dalam kumpulan childlore yang dikumpulkan oleh Opie & Opie (1959) di Inggris atau oleh Knapp & Knapp (1976)
5 di Amerika, yang telah disebutkan di atas, tidak ada satu pun childlore yang memiliki struktur melingkar. Dalam proyeksi kultural yang lebih besar, Becker (1995) menyatakan bahwa alur cerita dalam wayang kulit Jawa juga menggunakan struktur melingkar. Pada akhir cerita, kita dapatkan kehidupan sang raja, para punggawa, dan rakyatnya (yaitu bala tengen atau pihak kanan yang mewakili kebenaran) kembali ayem tentrem seperti semula, terbebas dari semua gonjang-ganjing dan gara-gara. Di sini, tesis yang dikemukakan oleh Kaplan (1966) hampir empat dasawarsa yang lalu nampaknya tetap relevan: cara berpikir Anglo-Saxon adalah linear, cara berpikir Roman adalah digresif, cara berpikir Semitik adalah paralel, dan cara berpikir Oriental adalah sirkuler atau melingkar. Dalam kaitannya dengan budaya Jawa, bukankah tanggap ing sasmita merupakan salah satu bentuk dari modus berpikir sirkuler tersebut? Dan dalam puitika Jawa, prinsip tanggap ing sasmita ini muncul secara jelas sebagai sasmita tembang dan sasmita gendhing, dan secara samar, antara lain, pada parikan dan wangsalan--terutama wangsalan edipeni dan wangsalan sinawung ing tembang.4 Dari rangkaian contoh ini, kita temukan pelajaran yang berharga. Berawal dengan mengamati pentas sederhana, seperti gumerah bocah dalam masyarakat Jawa, peneliti dapat terus menelusuri dan menggali masalahnya lebih dalam dan lebih dalam lagi, sehingga temuannya mengenai puitika (misalnya, putika Jawa) bukan hanya terbatas pada struktur kulitnya yang sepa (hambar), tetapi juga memperoleh isinya yang nyamleng (lezat). Sebagai disiplin ilmu yang baru, etnopuitika merupakan perpaduan antara linguistik, sastra lisan, folklore, dan antropologi (Sherzer & Woodbury 1987). Akibatnya, sebagai acuan teoritis, pendekatan dengan etnopuitika bisa sangat beragam warna dan penekanannya, tergantung pada latar belakang keilmuan si peneliti. Dua hal yang menonjol dalam etnopuitika adalah perhatiannya terhadap pentas sastra (verbal art performance) dan pengetahuan lokal (local knowledge). Di depan telah dikemukakan, pendekatan etnopuitika dalam makalah ini sangat diwarnai oleh tinjauan linguistik, yang sifatnya sangat struktural. Sehubungan dengan teks dan pentas sebagai sub-pokok bahasan makalah ini, tepatlah jika dikemukakan, sebagai model, dua macam pendekatan etnopuitika, yaitu pendekatan ala Hymes dan ala Tedlock. Kedua model ini akan dikemukakan secara singkat, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dell Hymes percaya pada the universality of lines. Menurut Hymes (1981, 1992, 1996), teks pentas sastra, yang bila ditranskripsikan secara ceroboh akan muncul menjadi 4
Berikut ini adalah contoh-contoh untuk setiap kategori tersebut. (a) Sasmita tembang. Larik terakhir dalam pada 14 dari pupuh Pangkur dalam Serat Wedhatama, karya Mangkunagara IV, adalah: Mulane wong anom sami ... (Karena itu wahai orang-orang muda ...) Suku kata -nom dalam kata anom pada larik tersebut menandakan bahwa pupuh berikutnya adalah Sinom. (b) Sasmita gendhing. Misalnya, Gumeriting kekayon wana kapiyarsa kadya swaraning yuda kenaka (Berkerat-keritnya kayu-kayu di hutan terdengar bagai kuku yang saling beradu.) Frase yuda kenaka (kuku yang saling beradu) dalam kalimat tersebut mengisyaratkan makna "kukur-kukur" (menggaruk dengan kuku), yang selanjutnya menunjuk pada tembang Pangkur. Bila kalimat tersebut diucapkan oleh ki dhalang dalam sebuah pentas, berarti dia minta kepada para niyaga untuk memberikan irama gamelan sebagai pembukaan bagi tembang Pangkur. (c) Parikan. Salah satu contohnya adalah: Rempeyek diremet-remet / Yen ngenyek aja banget-banget (Rempeyek diremas-remas / Kalau meledek jangan keterlaluan.) (d) Wangsalan edipeni. Contohnya, Kolik priya priyagung Anjani putra / Tuhu eman wong anom wedi kangelan (Burung kolik jantan, lelaki-andalan putra Dewi Anjani / Sungguh sayang jika orang muda takut pada kesulitan). (e) Wangsalan sinawung ing tembang. Contoh yang terkenal adalah Serat Rerepen, juga karya Mangkunagara IV, yang diawali dengan pupuh Pangkur, dengan pada pertamanya Jirak pindha munggwing wana ... (Bagaikan kepundung yang tumbuh di hutan ...)
6 teks prosa, pada hakekatnya adalah teks puisi. Misalnya, ketika ia melakukan transkripsi terhadap rekaman cerita-pentas dalam bahasa-bahasa Indian-Amerika, ia menyimpulkan bahwa cerita-pentas itu sebenarnya adalah puisi atau poetic narratives. Hal ini nampak dengan jelas pada hasil transkripsi cerita-pentas (serta terjemahannya dalam bahasa Inggris), misalnya, "Chant to the Fire Fly" dalam bahasa Chippewa, "Cradle Song" dalam bahasa Haida, dan "Song of Chief's Daughter" dalam bahasa Kwakiutl. Bila metode transkripsi Hymes tersebut kita terapkan pada teks kentrung (yang juga disebut jemblung atau thempling) di Jawa, misalnya, maka akan kita dapatkan narasi dalam bentuk puisi. Dengan demikian akan nampak bahwa, dalam narasi kentrung, bukan hanya alur dan tokoh ceritanya yang penting, tetapi struktur teksnya juga penting. Pertanyaanya kemudian, haruskah penafsiran tekstual terhadap cerita-pentas ala Hymes itu diikuti oleh para peneliti di bidang etnopuitika secara mutlak? Jawabannya, tentu saja tidak. Sebagai ilustrasi, dalam buku-buku serat pedhalangan Jawa, janturan (narasi puitis-deskriptif) tidak ditranskripsikan sebagai teks puisi menurut model Hymes. Salahkah para penulis serat pedhalangan tersebut? Tentu saja tidak. Dalam puitika Jawa, tembang memang ditulis dalam bentuk puisi, dengan aturannya yang sangat ketat dan jelas. Sebaliknya, gancaran semisal janturan tidak perlu dituliskan dalam bentuk puisi. Nilai sastra dari janturan tidak bukan ditentukan oleh pelarikan atau pembaitan teksnya, melainkan terutama oleh pilihan kosakatanya. Dalam genre ini, banyak sekali terdapat tembung kawi, yaitu kosakata yang, dalam sastra Jawa, terutama digunakan dalam tembang dan seni-pentas (seperti wayang kulit, wayang orang, dan kethoprak). Artinya, keindahan puitis dari pentas sastra atau verbal art performance menurut puitika Jawa ditentukan terutama oleh ragam bahasanya, yang telah disebut di depan sebagai ragam panggung. Maka, the universality of the lines dalam model Hymes, yang berupaya menemukan "puisi" dalam setiap pentas sastra melalui analisis tesktual, ternyata tidak lagi universal kebenarannya ketika dihadapkan pada puitika Jawa. Kesimpulannya, metode etnopuitika yang dikemukakan oleh Hymes memang menunjukkan keunggulannya, tetapi sekaligus juga keterbatasannya. Sebagaimana Dell Hymes, Dennis Tedlock juga tertarik pada pelarikan dan pembaitan dalam mentranskripsi dan menerjemahkan cerita-pentas dari berbagai kelompok budaya yang masih memiliki tradisi lisan yang kental, seperti masyarakat Zuni di Amerika Serikat dan masyarakat Maya di Meksiko. Namun, bagi Tedlock "seni pengucapan teks" atau the art of sounding the narrative texts lebih penting daripada pembaitannya. Oleh karena itu, ketika ia menerjemahkan teks cerita-pentas dari masyarakat Zuni dan Maya ke dalam bahasa Inggris, ia berusaha untuk memperdengarkan cerita-pentas tersebut kepada pembacanya. Untuk maksud ini, Tedlock menciptakan konvensi-konvensi ortografis baru dan menambahkannya ke dalam sistem tulisan yang ada (dalam bahasa Inggris). Misalnya, huruf besar untuk suara keras, garis panjang di belakang vokal untuk bunyi vokal yang sangat panjang, tanda-titik pemisah larik untuk "berhenti dua detik," akhir larik untuk "berhenti setengah detik," dan beberapa tanda-baca baru lainnya. Bila kita kaitkan dengan fonologi dan fonetik, dapat diibaratkan bahwa tulisan yang telah ada merupakan broad transcription, sedangkan penulisan teks pentas model Tedlock adalah narrow transcription. Semua konvensi baru dalam ortografi Tedlock dapat dianggap sebagai diacritics dalam narrow transcription. Penulisan teks model Tedlock ini bertujuan membimbing pembaca, yang ingin "mendengarkan" keindahan cerita tersebut secara sempurna, untuk membacanya dengan keras lewat
7 bimbingan tanda-baca baru tersebut. Berikut adalah sebuah contoh, diambil dari cerita "The Girl and the Protector," yang diterjemahkan oleh Tedlock (1983: 103) dari bahasa Zuni. Then he told them his name: I AM THE PROTECTOR, he told them. His wife asked him, WHAT IS THE PROTECTOR? she said. Well, I am the Protector and my other name is MA ASEWI, he said. And her father spoke: Daughter, because of him there is a_____ll the EARTH. YOU MUSTN T ASK ANY QUESTIONS. It is good ... Susah-payah Tedlock untuk memperdengarkan cerita-pentas itu kepada pembacanya patut dihargai. Apa yang dilakukan Tedlock juga mengingatkan kita bahwa bahasa tulis pada hakekatnya hanya mewadahi sebagian saja dari totalitas bahasa lisan. Sebagaimana metode Hymes dinafikan oleh sejumlah data dalam serat pedhalangan, teknik penulisan Tedlock ini pun menghadapi tantangan yang sama, atau bahkan lebih besar dan lebih berat. Dalam wayang Jawa dan tentunya juga wayang Sunda, Bali, dan Melayu setiap tokoh memiliki warna suara dan nada serta cara bicara yang khas. Orang Jawa yang menyukai wayang dan mendengarkan rekaman audio dari pentas-wayang oleh almarhum Ki Nartosabdho,5 misalnya, akan langsung tahu dalam beberapa menit tokoh mana sedang berbicara dengan tokoh mana meskipun pada bagian percakapan itu tak ada "sapaan" atau nama yang disebutkan. Suara-suara yang sangat khas dan mudah dikenali, misalnya, adalah suara para tokoh wayang seperti Werkudara, Kresna, Baladewa, Narada, Cakil, dan keempat punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Ada pula suara-suara yang mirip namun tetap berbeda, misalnya, suara Arjuna dan Abimanyu, suara Kresna dan Karna, atau suara Dursasana dan Pragota. Hebatnya, seorang dalang sekualitas Nartosabdho faham betul akan watak setiap tokoh wayang, dan ketika tokoh itu "berbicara," bukan hanya suaranya yang khas, tetapi juga aspek kepribadian masing-masing ikut muncul dengan jelas. Berhadapan dengan rekaman antawacana (percakapan) seperti di atas, apakah yang dapat dilakukan oleh Tedlock? Seandainya sistem transkripsi ala Tedlock itu dilipatkan sepuluh atau bahkan duapuluh kali kerumitannya, sistem itu tetap tak mampu mewadahi aneka-ragam "suara para tokoh" dalam pedalangan Jawa. Bila kita kembali kepada serat pedhalangan dan orang Jawa yang suka wayang, pertanyaan yang relevan adalah: Apakah yang terjadi dalam pikiran atau batin orang Jawa ketika ia membaca serat pedhalangan? Sewaktu membaca teks percakapan atau antawacana, misalnya, ia langsung dapat "mendengarkan" suara masing-masing tokoh di atas, dan tentu saja juga suara tokoh-tokoh penting lainnya.6 Secara budaya, proses batin itu menjadi ingatan 5
Sebagai contoh kekhasan suara setiap tokoh wayang, saya langsung memilih rekaman pentas oleh almarhum Ki Nartosabdho, karena sampai saat ini, dalam hal menampilkan kekhasan suara setiap tokoh wayang, belum ada dalang lain yang mampu menandingi kehebatan beliau dalam ber-antawacana. 6
Untuk menikmati pentas wayang, orang Jawa lebih suka mendengarkan rekaman audio daripada membaca cerita wayang, termasuk serat pedhalangan. Alasannya jelas, yaitu di samping kekhasan suara setiap tokoh, di sana banyak hal lain yang tak tertampung oleh bahasa tulis. Ada alunan suara gamelan, ada dhodhok cempala dan gemerincing serta "ledakan" kepyek, ada nyanyian para waranggana yang mengiringi dan juga "mengerem" laju pentas-pertinjukan, dan lain-lain. Artinya, keindahan pentas-wayang yang bersifat auditory hanya secara parsial saja dapat dipindahkan ke dalam teks tulis yang bersifat visual.
8 kolektif manusia Jawa, yang mengerti dan menikmati indahnya pentas-wayang. Artinya, pentas-wayang itu dimungkinkan oleh adanya ingatan kolektif tersebut. Ingatan kolektif ini sejenis langue dalam linguistik modern yang dipelopori oleh de Saussure, sedangkan antawacana yang memukau tersebut adalah sebagian dari parole-nya. Dari contoh percakapan wayang Jawa ini dapat ditarik kesimpulan: the art of sounding narrative or literary texts, dalam penelitian etnopuitika, ternyata tidak sesederhana asumsi atau tesis Tedlock. Kesimpulannya, dengan menggunakan acuan etnopuitika, peneliti dapat mencermati struktur teks dan juga seni pengucapan teks tersebut. Pada tataran kalimat, teks dapat dianalisis dengan metode puitika Jakobson; dan pada tataran wacana, teks dapat dianalisis dengan metode etnopuitika Hymes. Sedangkan seni pengucapan teks dapat dianalsis menggunakan metode etnopuitika Tedlock, selama hal itu tidak menyangkut "warna suara" masing-masing tokoh dalam seni-pentas. Setelah memahami kelebihan dan kekurangan etnopuitika sebagai ancangan teoritis, marilah kita lihat secara lebih cermat hubungan antara teks dan pentas dalam verbal art performance.
2.2. Teks, Pentas, dan Budaya Lokal Pengertian teks dan pentas dalam etnopuitika telah dikemukakan secara ringkas pada catatan kaki 1 dan 2. Pengertian tersebut perlu diperjelas di awal bagian ini. Dalam pandangan Halliday dan Hasan (1976), teks dapat dijelaskan sebagai berikut: The word TEXT is used in linguistics to refer to any passage, spoken or written, of whatever length, that does form a unified whole (hlm. 1) A text may be spoken or written, prose or verse, dialogue or monologue. It may be anything from a momentary cry for help to an all-day discussion on a committee (hlm. 1) A text is best regarded as a SEMANTIC unit: a unit not of form but of meaning (hlm. 2) Menurut definisi dan penjelasan Halliday dan Hasan di atas, setiap ujaran, baik lisan maupun tertulis, seberapa pun pendek atau panjangnya, asalkan membentuk satu kesatuan makna, dapat disebut sebagai teks. Bila definisi dan penjelasan ini kita kaitkan dengan teks dalam etnopuitika, maka hampir tak ada kesulitan bagi kita untuk merujuk pada teks. Kata "hampir" di sini perlu ditegaskan, karena teks pada gumerah bocah di atas, misalnya, tidak membentuk satu kesatuan makna; dalam teks ini bentuk lingual lebih dominan daripada makna. Meskipun demikian, teks tersebut memiliki kesatuan struktur, yaitu struktur melingkar. Dengan kata lain, dalam puitika atau etnopuitika teks dapat hadir tanpa memiliki kesatuan makna yang jelas.7 Mengapa? Karena dalam puitika, bunyi bahasa memiliki peranan penting, misalnya bahasa puitis sering ditandai oleh persamaan bunyi atau persajakan--yang dalam pengertiannya yang luas meliputi 7
Kaburnya makna dalam teks gumerah bocah tersebut dapat dibandingkan dengan puisi nonsense dalam bahasa Inggris "Jabberwocky," yang sangat terkenal dalam masyarakat penutur asli bahasa Inggris. Bait pertama serta terjemahan bahasa Indonesia dari puisi tersebut adalah sebagai berikut: 'Twas brillig and the slithy toves Briga saatnya dan walutaba salinda Did gyre and gimble in the wabe Menggiras dan menggulas dalam wabas All mimsy were the borogoves Sungguh menca puara baragoba And the mome raths outgrabe Dan reta-reta yang mumba menggerabas
9 aliterasi dan asonansi, serta berkaitan erat dengan ritme (terutama dalam stress-timed language seperti bahasa Inggris). Sementara itu dalam etnopuitika, yang memberikan perhatian khusus terhadap pentas, bunyi bahasa bisa saja hadir sebagai bagian dari teks tanpa makna yang jelas. Ia dapat berupa onomatope atau tiruan suara alam, misalnya byur, grobyag, dan meong, atau bunyi-bunyi sugestif lainnya, misalnya mak plorok, mak jegagig, dan plek emplek ketepu--yang terakhir ini sekaligus menjadi judul tembang tersebut. Sekarang marilah kita simak arti pentas atau performance menurut tinjauan etnopuitika--dengan terlebih dulu melihat kontroversi yang melatar-belakangi munculnya istilah verbal art performance tersebut. Dalam pandangan linguistik ala Chomsky (1965), kata performance dikontraskan dengan competence. Dalam pandangan ini, linguistic competence berarti the specific mental ability that enables human to produce and understand novel utterances; sedangkan linguistic performance berarti the actual use of linguistic competence in verbal communication. Oleh karena itu, linguistik, menurut Chomsky, hanya berurusan dengan competence, dan memandang performance sebagai adendum saja. Pandangan Chomskyan ini ditolak oleh para ahli sociolinguistik, terutama oleh Dell Hymes (1974), yang menyatakan bahwa linguistik bukan sekedar berurusan dengan linguistic/grammatical competence, tetapi dengan communicative competence. Maksunya, ilmu bahasa terutama mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi yang hidup dan dinamis, dan bukan sekedar mempelajari untaian kalimat-kalimat gramatikal. Jika bahasa dipandang terutama sebagai alat komunikasi, maka speaking yang merupakan linguistic performance memiliki peranan sentral. Sejak tahun 1962, Hymes telah mengemukakan pentingnya disiplin baru dalam ilmu bahasa, yaitu Etnografi Wicara (the Ethnography of Speaking). Bertolak dari pandangan Hymes tersebut, muncullah perbedaan antara (ordinary) performance dan poetic performance. Yang pertama merujuk pada cara berbahasa atau berbicara sehari-hari, yang dikategorikan sebagai the unmarked (usual) way of speaking; sedangkan yang kedua merujuk pada pentas/seni pentas/pentas sastra, yang dikategorikan sebagai the marked (unusual) way of speaking atau verbal art performance. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa etnopuitika berurusan terutama dengan verbal art performance atau the marked (unusual) way of speaking. Bila pengertian pentas sebagai verbal art performance ini dikaitkan dengan puitika Jawa, maka akan kita temukan obyek penelitian yang sangat beragam, mulai dari "obyek yang berat," seperti pedhalangan, kethoprak, tembang, dan narasi pengantin Jawa sampai pada "obyek yang ringan," seperti tembang dolanan dan gumerah bocah. Bertolak dari pengertian teks dan pentas sebagaimana dikemukakan di atas, ada tiga hal yang relevan dan saling berkaitan: teks yang lahir lewat pentas, pentas yang bergantung pada teks, dan pengaruh timbal-balik antara teks dan pentas. Di depan telah disebutkan bahwa etnopuitika juga memfokuskan perhatian pada pengetahuan lokal. Maka dalam pembahasan berikut ini akan disinggung pula bagaimana teks dan pentas dalam puitika Jawa ditentukan makna atau signifikansinya oleh nilai-nilai yang berlaku dalam budaya lokal. Hubungan antara teks dan pentas tidaklah sederhana. Namun, secara umum dapat kita bedakan antara teks yang lahir lewat pentas dan pentas yang bergantung pada teks. Jenis pertama meliputi, antara lain, antawacana dalam pedhalangan, percakapan dalam
10 kethoprak, narasi pengantin Jawa, dan narasi pada kentrung. Jenis kedua meliputi, antara lain, macapatan, suluk serta janturan dalam pedhalangan, dan dialog berupa tembang dalam kethoprak. Teks yang lahir lewat pentas sangat bervariasi struktur wacananya dan juga kualitas sastranya. Misalnya, ketika Brandon (1993) menerjemahkan teks (hasil transkripsi) lakon "Karna Tandhing" (dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Inggris) yang dipentaskan secara singkat (dalam dua jam) oleh Ki Pandam Guritno, ia mengatakan bahwa terjemahan tersebut hanyalah "sebuah versi" dari teks lakon "Karna Tandhing." Karena, lakon yang sama oleh dalang yang sama dalam pementasan yang berbeda akan melahirkan teks yang berbeda. Apalagi jika dalangnya berbeda. Sesungguhnya di sinilah dalang dituntut untuk menjadi seniman yang kreatif secara terus-menerus. Akibatnya, jika ada dalang yang mencoba menghafalkan teks pedhalangan secara verbatim (kata demi kata) untuk kemudian dipentaskan, maka dia akan ketahuan sebagai "dalang buku," sebuah sebutan ejekan yang menandakan miskinnya kreativitas. Kreativitas dalam dialog juga dituntut pada pemain kethoprak, sedangkan kreativitas dalam narasi dituntut pada panatacara upacara pengantin Jawa. Pada dalang kentrung, tuntutan kreativitasnya agak berbeda karena ragam bahasa Jawa yang digunakannya bukan bahasa Jawa ragam panggung, yang banyak menggunakan tembung kawi. Perbedaan ragam bahasa yang dipentaskan sekaligus menandakan perbedaan antara apa yang disebut sebagai "kesenian adiluhung," yang menjadi bagian dari dunia priyayi, dan "kesenian rakyat," yang menjadi bagian dari dunia wong cilik. Tentu saja, perlu dicatat, bahwa dikotomi semacam ini lebih diperlukan sebagai kategorisasi atau abstraksi ilmiah, dan tidak langsung merujuk pada realitas sosial secara jelas dan tegas. Mengenai kualitas atau nilai sastra dari teks yang lahir lewat pentas, variasinya sangat ditentukan oleh kompetensi sastra atau poetic competence dari si pementas. Sebagai contoh, dari transkripsi rekaman audio yang saya peroleh sewaktu melakukan penelitian terhadap narasi pengantin Jawa, saya dapatkan berbagai teks dengan kualitas sastra yang sangat berbeda-beda. Ada teks yang nilai sastranya sangat bagus, ada yang sedang-sedang saja, ada yang dipaksa untuk disastra-sastrakan tetapi hasilnya malah blepotan, dan ada juga yang nilainya pas-pasan atau cenderung minus. Tentunya, variasi kualitas sastra semacam ini, dari yang sangat bagus sampai yang sangat buruk, juga berlaku pada teks yang muncul pada pentas wayang kulit atau kethoprak. Dalam kaitannya dengan bisnis rekaman, dapat dipastikan bahwa yang lebih laris adalah dalang atau kethoprak yang unggul poetic performance-nya. Dan para dalang atau kelompokkelompok kethoprak yang kondhang, yang sering direkam pementasannya, dapat dipastikan bahwa mereka adalah excellent poetic performers. Tentu saja harus diingat bahwa teks dan pentas sastra hanyalah sebagian saja dari pentas pedhalangan atau kethoprak secara keseluruhan. Namun, karena bahasa Jawa ragam panggung memiliki peranan utama dalam kedua jenis seni pertunjukan tersebut, kualitas sastra dari teks maupun keindahan pementasannya tidak dapat disepelekan. Apalagi bagi panatacara upacara pengantin Jawa, yang merupakan pementas tunggal atau sole performer, penguasaan bahasa Jawa ragam panggung menjadi syarat mutlak bagi keberhasilannya dalam bernarasi. Selanjutnya, marilah kita bicarakan pentas yang bergantung pada teks, yang, sebagaimana disebutkan di atas, antara lain meliputi macapatan, suluk, janturan, dan dialog kethoprak dalam bentuk tembang. Pertanyaan yang relevan di sini adalah: mengapa pentas tersebut harus bergantung pada teks? Atau, jika dibalik logikanya,
11 apakah keistimewaan teks itu sehingga ia mendikte atau menentukan bentuk pentas? Pada macapatan, teks yang dipilih lazimnya adalah serat-serat klasik, yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai warisan budaya adiluhung. Jadi, macapatan, secara kultural, tidak dapat diartikan sebagai "asal melagukan tembang macapat." Tembang macapat-nya harus tembang pilihan, bukan asal tembang. Sedangkan suluk dan janturan, keduanya merupakan "teks baku" dalam pedhalangan. Suluk banyak mengambil petikan dari naskah Jawa kuno (Padmosoekotjo 1978); sedangkan janturan, selain banyak menggunakan tembung kawi, juga penuh ungkapan-ungkapan yang tak mudah diubah bentuknya. Namun demikian, tetap ada bedanya antara suluk dan janturan. Dalam suluk, improvisasi teks (hampir) tidak mungkin, tetapi dalam janturan improvisasi teks masih mungkin, selama dalang menguasai bahasa Jawa ragam panggung dengan baik. Akhirnya, dialog kethoprak yang berupa tembang memang harus dihafalkan lebih dahulu, karena tidak mungkin bagi pemain untuk menciptakan tembang secara spontan sewaktu pentas, sebab penciptaan tembang terikat oleh gatra, guru lagu, dan guru wilangan. Singkatnya, beberapa jenis pentas sastra tergantung pada teks karena tiga alasan: teks tersebut memiliki nilai kultural yang tinggi, teks tersebut dipandang sebagai bentuk yang baku, dan teks tersebut tak dapat diciptakan secara langsung di atas pentas. Berkaitan dengan teks yang memiliki nilai budaya lokal yang tinggi, ada sebuah teks yang mengalami apresiasi kultural yang luar biasa. Teks itu adalah bagian dari pupuh Pangkur (pupuh pertama) dalam Serat Wedhatama, tepatnya pada ke-13. Teks itu patut disebut sebagai "teks sakral," yang lengkapnya adalah sebagai berikut: Tan samar pamoring Suksma Sinukmaya winahya ing asepi Sinimpen telenging kalbu Pambukane warana Tarlen saking layap-liyeping ngaluyut Pindha pesating supena Sumusuping rasa jati (Tiada diragukan menyatunya Sang Sukma Menembus yang semu, diwahyukan dalam keheningan Tersimpan rapat di kedalaman kalbu Tempat terbukanya tabir Tiada beda dengan suasana antara lelap dan jaga Bagaikan kilasan mimpi Begitulah selinap-sadar dari rasa sejati)8 Bagaimanakah bentuk "apresiasi kultural yang luarbiasa" terhadap teks sakaral tersebut? Pertama, teks tersebut "dinaikkan derajatnya" dari teks tembang macapat menjadi teks janturan (Sukatno 1993: 90). Berikut adalah sebagian dari teks janturan tersebut, dengan
8
Dalam menerjemahkan pada ke-13 dari pupuh Pangkur tersebut ke dalam bahasa Indonesia, saya menggunakan terjemahan Robson (1990), The Wedhatama: An English Translation, sebagai rujukan. Bagi pembaca yang memahami bahasa Jawa dan Inggris dengan baik, ada baiknya saya kutipkan terjemahan Robson tersebut, dengan harapan dapat membantu menyempurnakan terjemahan bahasa Indonesia saya. He sees unclouded the union of the soul / Piercing the illusion, it is revealed to him in stillness, / Locked in the depths of the heart / Is the lifting of the veil; / It is no different from the twilight twixt sleep and waking; / With the swiftness of a dream / The full meaning dawns upon him.
12 teks sakral (dicetak tebal) disisipkan di dalamnya. {Tanda [...] menunjukkan adanya teks janturan yang tidak dikutip.) [...] Pramila winastan Kahywangan Alang-alang Kumitir karana dumunung munggwing telenging cipta, manthenging pangèsthi, wekasaning suwung, tan ana rasa pribadi, anané hamung ayem kang sarta tentrem. [...] Ana padhang dudu padhanging rahina, and peteng dudu petenging wengi, kang ana amung alam tumlawung, ngalangut tanpa tepi, yèku tapaking Hywang Suksma, sinuk maya winahya ing asepi. sinimpen telenging kalbu, pambukaning warana, tarlen amung layap liyeping aluyup, pindha pesating supena, sumusuping rahsa jati, jatining manggih bagya mulya, tan ana sangsaya sinangsaya. [...] ([...] Maka disebut Kahyangan Alang-alang Kumitir karena terletak di pusat keheningan cipta, di inti pemusatan hasrat, di batas-akhir kekosongan, (di sana) tiada rasa pribadi, yang hanya hening-damai serta tenteram. [...] Ada cahaya bukan cahaya siang, ada gelap bukan gelapnya malam, yang ada hanya alam kebas-lepas, larut-hanyut tiada batas, itulah jejak Hyang Suksma, menembus yang semu diwahyukan dalam keheningan, tersimpan rapat di kedalaman kalbu, tempat terbukanya tabir, tiada beda dengan suasana antara lelap dan jaga, bagaikan kilasan mimpi, begitulah selinap-sadar dari rasa sejati, kesejatian menemu mulia-bahagia, tiada derita tiada saling aniaya. [...])
Penyisipan "teks sakral" tersebut ke dalam janturan telah mengakibatkan perubahan bunyi (yaitu, ngaluyut manjadi aluyup, dan rasa menjadi rahsa) serta perubahan kata (yaitu saking menjadi amung). Perubahan ini menyebabkan larik kelima (Tarlen saking layap liyeping ngaluyut) berubah menjadi (Tarlen amung layap liyeping aluyup). Adalah wajar bila teks yang sering dipentaskan mengalami perubahan bunyi (aspek fonologis) atau perubahan bentuk (aspek morfoleksikal), karena pentas, yang berarti pelisanan teks, sering kali mencari enaknya pengucapan, yang efeknya berupa enaknya pendengaran. Di samping perubahan bunyi dan bentuk teks tersebut, yang lebih penting adalah pertanyaan berikut: faktor apakah yang telah mengangkat derajat teks sakral tersebut dari teks tembang menjadi teks janturan? Analisis struktural memberikan jawaban: faktor bentuk dan makna. Dari segi bentuknya, teks tersebut terdengar sangat indah karena banyaknya penggunaan kosakata kawi, yang diperkaya dengan aliterasi (perulangan bunyi konsonan yang sama). Perpaduan antara kosakata kawi dan aliterasi tersebut menciptakan tabir (warana) yang secara samar menutupi isi atau pesan yang ingin disampaikan. Dan bentuk puitis seperti ini sangat memikat dan memukau orang Jawa, yang mencintai lambang serta perlambangan dalam sastra tradisional. Dari segi maknanya, teks tersebut terkesan sakral dan berwibawa, karena pesan atau isi yang disampaikan berada pada ambang tertangkap-tak-tertangkap. Secara tepat, rumitnya ambang pemahaman itu diungkapkan dalam frasa layap-liyeping ngaluyut (suana sayup antara lelap dan jaga). Dengan bentuk dan makna semacam itu, teks tersebut sangat cocok untuk dipadukan dengan teks janturan di atas. Secara puitis janturan tersebut mendeskripsikan Kahyangan Alang-alang Kumitir, tempat Sang Hyang Wenang, yang merupakan sesembahan bagi para manusia dan para dewa di dunia wayang. Kelebihan nilai sastra pada teks sakral tersebut juga meningkatkan derajatnyanya menjadi teks suluk (periksa Soedarko1991: 58-59). Bila teks suluk pada umumnya adalah petikan dari naskah sastra Jawa kuno, maka diangkatnya teks sakral tersebut
13 menjadi teks suluk berarti "dituakan umurnya" dan "disejajarkan wibawanya" dengan teks Jawa kuno. Selesaikah penjelasan kita tentang teks sakral tersebut? Jawabannya: secara struktural "sudah," tetapi secara kultural "belum." Di balik keindahan bentuk serta kedalaman makna tersebut, tersembunyi juga inti filsafat lokal dalam teks sakral tersebut. Filsafat Jawa, yang disebut juga ngelmu rasa, intinya terbuhul-simpulkan dalam ungkapan manunggaling kawula Gusti (menyatunya hamba dengan Tuhan), semacam faham wahdatul wujud dalam tasawuf Islam. Pada teks sakral tersebut inti falsafi itu dinyatakan dengan ungkapan pamoring Suksma (menyatunya Sang Suksma, atau menyatunya ruh yang insani dan Ruh yang Ilahi). Ungkapan dalam Serat Wedhatama tersebut sejajar isinya dengan ungkapan pamoring/pamore kawula Gusti (berkumpulnya hamba dan Tuhan), yang tercantum dalam Serat Wulangreh, karya Pakubuwana IV (yaitu pada larik 1 pada 11 dan larik 3 pada 15 dalam pupuh Sinom, atau pupuh 12). Sementara itu filsafat rasa atau ngelmu rasa dinyatakan dengan frasa rasa jati (rasa yang sejati), yang merupakan simpul-penutup dari teks sakral tersebut. Dalam pupuh terakhir (pupuh Gambuh) dari Wedhatama, dinyatakan adanya empat tingkatan sembah, yang menyatakan hubungan kawula (hamba) dengan Gusti (Tuhan). Dari yang tingkat terendah ke tingkat tertinggi, urutannya adalah sebagai berikut: sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa. Dari urutan ini jelaslah bahwa sembah rasa menduduki tempat tertinggi, yang sejajar dengan pernyataan bahwa inti filsafat Jawa adalah rasa. Kata rasa, yang secara literal berarti "rasa," kadang-kadang juga disepadankan dan dinyatakan sebagai rahsa, yang berarti "rahasia." Menurut Ranggawarsita, sebagaimana termaktub dalam Wirid Hidayat Jati, di kedalaman rahsa (dalam arti "rasa" maupun "rahasia") inilah terjadi penyatuan hamba dengan Tuhan. Sejatiné Ingsun anata maligé ana sajroning Bétal Muharram, iku omah enggoning lalaranganing Ingsun, jumeneng ana dhadhaning Adam, kang ana sajroning dhadha iku ati, kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iya iku angen-angen, sajroning angen-angen iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangéran amung Ingsun Dat kang anglimputi kahanan jati. (Sesungguhnya Aku merajai istana di dalam Betal Muharram, yaitu rumah larangan-Ku, yang terletak di dada Adam, di dalam dada ada hati, di antara hati ada jantung, di dalam jantung ada budi, di dalam budi ada jinem, yaitu anganangan, di dalam angan-angan ada rahsa, di dalam rahsa ada Aku, tiada Tuhan kecuali Aku, Dzat yang meliputi keadaan hakiki.) Istilah rasa, dalam kaitannya dengan falsafah hidup Jawa, tidak cukup bila diterjemahkan dengan "rasa" dalam bahasa Indonesia. Maka ada baiknya kita tengok apa yang dikatakan oleh para peneliti Barat mengenai rasa dalam budaya Jawa. Geertz (1960), penulis buku The Religion of Java yang terkenal itu, menerjemahkan rasa sebagai feeling and meaning, atau lengkapnya outer perceptual feeling and inner deep meaning. Stange (1989) menerjemahkan rasa dalam pengertiannya yang paling sederhana sebagai feeling, dan dalam arti falsafi sebagai intuition, the sixth sense, an organ or tools that registers awareness of feelings--indeed of all inner life. Sementara itu, Robson (1990), menerjemahkan kata rasa dalam teks Wedhatama sebagai life essence. Sedangkan Becker (1995) menerjemahkan rasa sebagai feeling yang artinya meliputi the way of the
14 heart. Berbagai pandangan serupa tapi tak sama dari para sarjana tersebut menegaskan bahwa inti dari falsafah hidup Jawa adalah rasa (dalam arti "intuisi, gerak hati, dan kedalaman makna"), yang sekaligus juga rahsa ("rahasia," karena peliknya pengertian rasa tersebut). Dalam kaitannya dengan bahasa Jawa, pemilihan tingkat tutur ngoko, madya, atau krama dalam pergaulan sosial ditentukan dan diukur oleh rasa: Pantaskah saya menggunakan ngoko terhadap A? Menyinggung perasaankah jika saya menggunakan madya terhadap B? Berlebihankah jika saya menggunakan krama terhadap C? Demikian pula teks klasik atau ragam panggung, seperti yang digunakan dalam tembang, pedhalangan, dan kethoprak, keindahannya juga diukur dengan rasa, yang terkadang dinyatakan secara lengkap sebagai raos Jawi (rasa Jawa). Maka, secara linguistik, puitika Jawa tidak terlepas dari bahasa Jawa sehari-hari. Ibarat piramida, puitika Jawa adalah puncaknya, sedangkan bahasa sehari-hari adalah bagian bawah yang menopangnya. Sebagai ilustrasi, dengan memasyarakatnya penggunaan bahasa Jawa ragam panggung dalam upacara pengantin Jawa, teks sambutan dalam tingkat krama dapat bergerak dari ragam sehari-hari sampai ragam panggung. Gradasinya, menurut Yatmana (1988: 21-24) adalah sebagai berikut: samadya ("sederhana," atau ragam seharihari yang halus), sawetawis rinengga ("berhias secukupnya," atau ragam sehari-hari plus penggunaan sejumlah kosakata kawi), dan rinengga ("berhias penuh," atau ragam panggung yang banyak menggunakan kosakata kawi). Prinsip tanggap ing sasmita, yang telah disinggung di depan, juga mengisyaratkan bahwa "ketajaman rasa" memiliki nilai kultural yang amat tinggi. Dalam budaya Jawa, hal ini diungkapkan dengan peribahasa Janma limpat seprapat tamat. Maksudnya, manusia yang "cerdas" dengan seperempat isyarat saja sudah dapat memahami segalanya dengan tuntas. Singkatnya, melalui etnopuitika, bermula dengan mengamati teks dan pentas kita dapat terus menelusuri ragam-rampainya sampai menemukan inti dan akar budaya, yang menjiwai dan menentukan subur-tidaknya kehidupan teks dan pentas tersebut. Dengan demikian-meminjam istilah Chomsky (1965)--kita bukan hanya memperoleh ketuntasan pemerian (descriptive adequacy), tetapi juga ketuntasan penjelasan (explanatory adequacy) dari obyek penelitian yang kita kaji. 3. PENUTUP: SEJUMLAH RENUNGAN Sebagai ancangan teoritis, etnopuitika telah dikemukakan kelebihan dan kekurangannya. Maka peneliti yang menggunakan ancangan etnopuitika harus tahu bagaimana menggunakan kekuatan etnopuitika secara optimal, dan kemudian menutup kekurangannya secara kreatif, sehingga dari obyek yang dikaji dapat diperoleh temuan yang signifikan dan kontributif. Karena etnopuitika merupakan perpaduan dari linguistik, sastra lisan, folklore, dan antropologi, seyogyanya penelitian terhadap suatu pentas yang menggunakan acangan etnopuitika tidak melupakan disiplin-disiplin induknya. Karena seorang peneliti tidak mungkin menguasai keempat disiplin ilmu tersebut secara sempurna, alangkah baiknya jika penelitian dengan ancangan etnopuitika dilakukan sebagai kerjasama antar-disiplin. Dari pengalaman saya melakukan penelitian narasi pengantin Jawa, misalnya, saya merasa kedhodhoran jika berhadapan dengan teks serta pentas yang langsung berkaitan dengan gamelan dan gendhing. Artinya, di sini saya memerlukan bantuan ahli etnomusikologi. Singkatnya, pendekatan multi-disipliner diperlukan tanpa mengurangi intensitas tata kerja masing-masing disiplin ilmu.
15 Berkaitan dengan puitika Jawa, terjadi banyak keluhan bahwa apresiasi terhadap sastra Jawa, terutama sastra Jawa klasik atau ragam panggung semakin menipis. Hal ini dapat dimaklumi karena posisi bahasa Jawa pada umumnya, dan sastra Jawa pada khususnya, secara terus-menerus terpinggirkan oleh dominasi bahasa Indonesia yang semakin menguasai semua lini kehidupan sosial di Jawa. (Hal yang sama juga terjadi dengan bahasa dan sastra daerah lainnya.) Dari pengamatan sepintas, nampaklah bahwa yang terjadi adalah adagium Darwin, survival of the fittest. Teks dan pentas yang memiliki "akar tunggang" akan bertahan hidup, sedangkan yang hanya memiliki "akar serabut" akan cepat tergusur oleh arus globalisasi. Wayang kulit adalah jenis kesenian yang memiliki akar tunggang. Ia terus hidup dan bahkan mampu menampung apa saja yang sedang ngepop atau ngetrend di sekitarnya (seperti dangdut, lawak, shalawatan, dan kasidahan), tanpa kehilangan jatidirinya. Para waranggana pun--bisa sampai lima atau tujuh orang--sekarang duduk menghadap penonton. (Dulunya pentas wayang kulit cukup dengan dua waranggana, yang duduk di antara para niyaga dan menghadap ke arah kelir.) Maka beruntunglah puitika Jawa, baik sebagai teks maupun pentas, dapat numpang hidup pada wayang kulit yang terus survives. Munculnya narasi pengantin Jawa sejak tahun 1970-an dan terus memasyarakat hingga saat ini adalah bukti betapa dalam dan kuatnya "akar tunggang" yang menopang kehidupan wayang kulit. Narasi pengantin itu pada hakekatnya adalah narasi janturan yang dicomot dari panggung wayang kulit, dan kemudian ditanam serta dihidupkan di tengah kancah masyarakat Jawa. Dulu, keluarga berada yang mantu lazimnya mbeleh kebo dan nanggap wayang sehari-semalam; kini keluarga berada cukup memanggil dhalang manten (panatacara) dan dadi wayang (menjadi wayang). Bukankah naskah Parta Krama (Perkawinan Parta atau Arjuna), sebagaimana dicatat oleh Pemberton (199..), ditulis oleh pujangga Sindusastra dalam rangka merayakan perkawinan Pakubuwana ... dengan seorang puteri Madura? Maka sepasang mempelai Jawa, yang perkawinannya dinarasikan oleh "Ki Panatacara," adalah Arjuna dan Subadra (Sembadra) yang melanjutkan budaya Prta Krama tersebut. Sekali lagi, beruntunglah puitika Jawa karena hidupnya terus didukung oleh "tradisi besar" dalam masyarakatnya. Sebaliknya, jenis pentas atau kesenian yang hidup dalam "tradisi kecil" adalah ibarat pepohonan yang berakar serabut. Kentrung, misalnya, yang hidupnya di daerah pinggiran budaya Jawa, memang menarik untuk diteliti. Almarhum Profesor Suripan Sadi Hutomo menjadi terkenal karena meneliti kentrung. Pertanyaannya kemudian: dapatkah kentrung hidup subur kembali berkat gencarnya kegiatan penelitian? Jawabnya, mungkin sekali tidak. Setiap orang dan setiap kelompok masyarakat memiliki nostalgia masing-masing. Saya termasuk di antara orang Jawa yang bernostalgia terhadap kentrung (di daerah saya, Kediri, kentrung disebut thempling atau jemblung). Masa kecil saya, antara lain, dibuai oleh kentrung. Tetapi kini, di daerah saya, kentrung itu telah hilang, seperti ditelan bumi. Menangiskah saya? Jawabannya, ya. Dalam jiwa ini ada rasa rindu yang menggapai-gapai untuk menemukannya kembali. Tetapi kesenian dengan akar rumput itu telah lenyap entah ke mana. Dapatkah para peneliti, para peminat sastra daerah, bersama pemerintah daerah menghidupkan kembali kesenian yang telah hilang itu? Mungkin saja tidak. Arus modernisasi dan globalisasi telah menggerus kesenian dengan akar rumput itu dari tanggul di tepi sungai, dan membawanya ke laut antah-berantah. Apakah ini sikap fatalistik, pasrah terhadap nasib? Tidak juga. Memang tidak ada salahnya kita bernostalgia, namun kita juga harus realistis. Bila si akar serabut
16 tak dapat diselamatkan, maka tak ada salahnya kita berkonsetrasi membantu menyuburkan kehidupan si akar tunggang. Di ujung makalah ini saya teringat pada Profesor Joe Errington, ahli antropologi di Universitas Yale, yang giat meneliti perubahan bahasa Jawa di Solo. Dalam bukunya Language and Social Change in Java (1985), Pak Joe menunjukkan sikap peneliti yang patut untuk dicontoh. Pada paragraf terakhir dari Preface buku tersebut, Pak Joe menuliskan kalimat-kalimat berikut: To the many others to whom I am oblidged, but cannot name here, and to those who do not wish to be named here, my thanks. Menawi wonten kelepatan salebeting karangan punika, kula nyuwun pangapunten. Mengapa kalimat terakhir itu tidak diterjemahkan menjadi Should there any mistakes in this book, I apologize (to the reader)? Seandainya Preface tersebut diakhiri dengan apologi menggunakan kalimat Inggris, maka pembaca (yang penutur asli bahasa Inggris) akan terheran-heran: apa maksud si penulis ini? Ternyata "minta maaf" pun bisa salah bila tidak mengikuti konvensi suatu budaya. Oleh sebab itu, apologi tersebut ditulis dalam bahasa Jawa. Maka perkanankanlah saya mengakhiri makalah ini dengan mengutip wangsalan, Jenang sela wader kalen sesondheran, Apuranta yen wonten lepat kawula.
DAFTAR PUSTAKA Becker, Alton L. 1995. Text-building, Epistemology, and Aesthetics in Javanese Shadow Theater. Dalam Becker, Alton L. Beyond Translation: Essays toward a Modern Philology, hlm. 23-70. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Brandon, James R. (ed.). 1993. On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow Plays. Honolulu: University of Hawaii Press. Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Errington, J. Joseph. 1985. Language and Social Change in Java. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies, Monographs in International Studies, Southeast Asian Series Number 65. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press. Halliday, M. A. K. & Hasan, Ruqiya. 1976. Cohesion in English. London and New York: Longman. Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Cerita kentrung Sarahwulan di Tuban (Kentrung story of Sarahwulan in Tuban). Jakarta: Pusat Pembinaat dan Pengembangan Bahasa. Hymes, Dell. 1962. The Ethnography of Speaking. Dalam Gladwin, T. & Stutervan, W. (eds.). Anthropology and human behavior. Washington, D. C.: Anthropoligical Society of Washington. Hymes, Dell. 1974. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Hymes, Dell. 1981. "In vain I tried to tell you": Essays in Native American Ethnopoetics. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
17 Hymes, Dell. 1992. Ethnopoetics. In Bright, W (ed.). International Encyclopedia of Linguistics. New York, Oxford: Oxford University Press. Hymes, Dell. 1996. Ethnography, Linguistics, and Narrative Inequality. Bristol, PA: Taylor & Francis Inc. Jakobson, Roman. 1960 [1987]. Linguistics and Poetics. Dalam Pomorska, K. & Rudy, S. Roman Jakobson, Language in Literature, pp. 62-94. Cambridge, Mass., London, England: The Belknap Press of Harvard University Press. Kadarisman, A. Effendi. 1999. Wedding Narratives as Verbal Art Performance: Explorations in Javanese Poetics. Disertasi Ph.D. (tidak dipublikasikan). University of Hawaii at Manoa, Honolulu, Hawaii, USA. Kadarisman, A. Effendi. 2002. Berkenalan dengan Etnopuitika. Makalah disajikan pada Smiloka Nasional Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), di Bogor, September 2001. Kamajaya, Karkono (Transliterator). 1992. Karangan Pilihan K. G. P. A. A. Mangkunagara IV. Yogyakarta: Yayasan Centhini. Knapp, Herbert & Knapp, Mary. 1976. One potato, two potato ... : The Folklore of American Children. New York/London: W. W. Norton & Company. Opie, Iona & Opie, Peter. 1959. The Lore and Language of School Children. London: Oxford at the Clarendon Press. Padmosoekotjo, S. 1960. Ngèngrèngan Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Hien Hoo Sing. Padmosoekotjo, S. 1978. Suluk Pedhalangan. Surabaya: PT. Citra Jaya Murti. Pemberton, John. 1994. On the subject of "Java." Ithaca, London: Cornell University Press. Poedjosoedarmo, S., G. Soepomo, Leginem, & A. Suharno. 1986. Ragam Panggung dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Robson, Stuart. 1990. The Wédhatama: An English translation. Leiden: KITLV Press. Sherzer, Joel, & Anthony C. Woodbury (eds.). 1987. Native American Discourse: Poetics and rhetoric. Cambridge, New York: Cambridge University Press. Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Wirid Hidayat Jati. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Soedarko. 1991. Serat Pedhalangan Lampahan Déwa Ruci. Surakarta: C. V. Cendrawasih. Stange, Paul. 1989. Deconstruction as Disempowerment: New Orientalisms of Java. Dalam Bulletin of Concerned Asian Scholars, 3: 23, hlm. 51-72. Sukatno, Anom. 1993. Janturan lan pocapan ringgit purwo. Surakarta: C.V. Cendrawasih. Sweeney, Amin. 1974. Professional Malay stroy telling: Some questions of style and presentation. Ann Arbor: Center for South and South Asian Studies, University of Michigan. Tedlock, Dennis. 1983. The spoken word and the work of interpretation. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Tedlock, Dennis. 1992. Ethnopoetics. In Bauman, Richard (ed.). Folklore, cultural performances, and popular entertainments, pp. 81-85. New York/Oxford: Oxford University Press.
18 Yatmana, Rama Sudi. 1994. Tuntunan kagem para panatacara tuwin pamedhar sabda (A manual for MC's and public speakers). Semarang: Penerbit Aneka Ilmu.