4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013
Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah Noviandy, M. Hum Dosen STAI Teungku Dirundeng Meulaboh Jl. Sisingamangaraja. No. 99. Gampong Gampa. Johan Pahlawan. Meulaboh Email:
[email protected] Abstrak Tulisan ini mengkaji masalah etika dalam proses perumusan Rancangan Qanun Jinayah di Aceh, yang dalam ranah politikpragmatis acap kali diabaikan oleh para pemangku kuasa (eksekutif) dan legislator. Dalam proses perumusan Qanun Jinayah, etika merupakan salah satu bagian penting yang harus diperhatikan dengan seksama karena erat kaitannya dengan hakhak dasar warga negara yang sudah terpatenkan dalam HAM. Sebuah hukum ditegakan demi terciptanya keadilan, dan keadilan tidak bisa dari lepas dari konteks HAM, karena penegakan HAM itu sendiri merupakan prasyarat terciptanya keadilan. Atas dasar ini, maka penelaahan akan pentingnya aplikasi nilai-nilai etis dalam proses politisasi Qanun Jinayah menjadi penting sekaligus bisa menjadi kritik konstruktif untuk perbaikan Qanun Jinayah Aceh Kata Kunci: Syariat Islam, Qanun Jinayah, Etika, dan HAM.
I. PENDAHULUAN Syari’at Islam merupakan pilihan masyarakat Aceh untuk menata kehidupan yang lebih baik pasca konflik. Syari'at Islam yang diformulasikan menjadi Qanun Jinayah kini sudah menjadi identitas politik-religius dan identitas sosial-kultural masyarakat Aceh, suatu ciri khas daerah yang membedakannya dari provinsi-provinsi lain di belahan nusantara. Sebagai idiologi, Syari'at Islam mampu meredam dendam bangsa Aceh dan menyatukannya ke dalam satu visi, yaitu, mengembalikan kejayaan bangsa Aceh sebagai negeri Serambi Mekah dengan Islam yang kaffah. Bagi penduduk Aceh, visi tersebut bukan lagi utopia atau absurd, karena telah ditunjang oleh undang-undang otonomi daerah, sekalipun dalam prakteknya bukan perkara mudah. Memformulasikan Qanun Jinayah adalah bagian dari usaha mewujudkan Syari'at Islam secara kaffah. Dalam konteks ini, Qanun Jinayah merupakan sistem sosial kemasyarakatan yang sengaja dibentuk untuk mengatur kehidupan praktis masyarakat Aceh dengan berlandasan kepada Syari'at Islam. Pada titik tertentu, Qanun Jinayah juga bisa dikatakan sebagai bentuk positivisasi Syari'at Islam. Suatu proses kodifikasi Syari'at Islam menjadi hukum positif. Dalam proses kodifikasi tersebut para legislator sering kali menemukan benturan, terutama dengan political interest kaum elitis dan kaum mayoritas yang pragmatis-konservatif. Fenomena ini dapat kita saksikan dalam proses tarik ulur perumusan Qanun Jinayat di Aceh yang menimbulkan banyak kontroversi. Walaupun Islam menjadi agama mayoritas dan sudah menjadi identitas politik-religius dan identitas sosialkultural masyarakat Aceh, namun pengejawantahan
Syari'at Islam dalam bentuk Qanun Jinayah tidak melulu berjalan indah. Dalam prakteknya, identitas mayoritas tersebut seringkali dijadikan sebagai justifikasi etis perumusan Qanun Jinayah untuk menekan, dan bahkan menafikan identitas-identitas lain di luar mainstream. Terlebih ketika para pemuka agama -yang gagap dan kurang sensitif atas berbagai dinamika kehidupan sosialbertindak sebagai garda politis-religius yang mengkerdilkan Syari'at Islam menjadi eksklusivisme madhab. Pada titik ini, semangat humanisme yang merupakan tujuan dari Qanun Jinayah sudah terkamuflasekan oleh vandalisme yang memicu konflik hingga pada level wong cilik (grassroot). Kemunculan dua kubu bersebrangan, radikalis (mereka yang memahami Syari'at Islam secara literaliskonservatif) dan liberalis (mereka yang memahami Syari'at Islam secara kontekstualis-liberal) yang mengendalikan eksekutif dan legislatif, merupakan salah satu indikator hilangnya nilai-nilai etis dalam proses perumusan rancangan Qanun Jinayah. Keduanya terjebak dalam politik transaksional, dan tidak jarang dengan mengatasnamakan Tuhan dan Syari'at Islam, saling cakar berebut benar. Mirisnya, masyarakat digiring untuk memposisikan diri pada dua pilihan kubu tersebut. Dan bahkan, seperti diungkapkan Hefner Smith, konflik sengit kedua kelompok tersebut lebih menonjol dan menjadi wacana dominan dalam proses perumusan Qanun Jinayat, mengalahkan tema utama, yaitu problematika kehidupan umat.[1] Kehadiran kaum moderat -digawangi masyarakat dayah yang melingkupi komunitas pesantren, akademisi, sebagian birokrat, dan para penggiat LSM- yang menengahi kedua kubu di atas mampu menyedot animo masyarakat karena menawarkan konsep Islam yang lebih transformatif, anti-kekerasan dan terorisme, serta corak pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara pandang tekstualis dan kontektualis.[2] Namun, dalam perjalanannya kaum ini sering diidentikan dengan kaum liberalis karena dalam realitas praktis mereka sering terjebak pada pergulatan pemikiran kontemporer yang sangat teoritis, kurang mengedepankan prinsip-prinsip etika universal (common good) yang sebenarnya dapat menjadi kendali sistem sosial masyarakat Aceh.
[1] Hefner Smith, Islam dan Tantangan Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Ahmad Hambal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 210. [2] Ahmad Najib Burhani, Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks. Jurnal Ma’arif, Vol. 3, No.1, Februari 2008.
4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013
Tidak bisa dinafikan bahwa dalam proses kodifikasi Qanun Jinayah, ketiga kelompok di atas saling tarik ulur kepentingan, terlebih jika terjadi konflik horisontal antar masyarakat dan adanya gonjang ganjing politik di tingkat nasional. Idealnya, dan demi terciptanya keadilan, masyarakat Aceh harus berperan aktif untuk menghindari dan mempersempit ruang-ruang konflik politik dengan mengedepankan prinsip-prinsip etik, dan mengedepankan problema utama yang sedang dihadapinya, yaitu bagaimana proses perumusan Rancangan Qanun Jinayah yang dilakukan oleh legislatif bersama eksekutif dapat mensejahterakan rakyat sesuai dengan visi suci Syari'at Islam, serta mengakomodir kepentingan seluruh golongan. Alasan inilah yang menjadi titik tolak kenapa kita perlu menelaah kembali peran etika politik dalam proses perumusan Rancangan Qanun Jinayah di Aceh.
A. Formulasi Qanun Jinayah Dalam Hukum Positif Syariat Islam merupakan risalah propetis akhir yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan membawa dua visi suci, Tauhid dan Humanisme. Tauhid di sini bukan hanya berarti syahadah tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rosulNya, tetapi juga syahadah bahwa semua makhluk terikat dalam satu kesatuan organisasional yang bersifat simbiosis mutualisme demi terwujudnya totalitas penghambaan kepada Allah SAW. Adapun humanisme berarti memanusiakan manusia. Adanya Syari'at Islam tiada lain untuk mewujudkan kedua visi suci dimaksud. Karena dua visi ini pula kenapa Islam menjadi agama Rahmatan lil’alamin. Tauhid dan humanisme pada dasarnya adalah landasan teologis-filosofis para Fuqaha dalam merumuskan Maqashid al-Syariah yang terdiri dari: Hifd al-Din (memelihara agama), Hifd al-Nafs (memelihara jiwa), Hifd ‘Aql (memelihara akal), Hifd al-Nasl (memelihara keturunan), Hifd al-Mal (memelihara harta) dan Hifd alBiah (memelihara ekologi). Setiap orang yang menyalahi atau melanggar Maqashid al-Syariah dianggap sebagai tindakan kriminal (jarimah) yang harus diberi sanksi (‘uqubat) sesuai dengan porsinya, baik berupa hudūd, qishash ataupun ta’zir.3 Ini karena Maqashid al-Syariah berperan sebagai penjamin hak-hak dasar umat yang menjadi titik tolak penegakan keadilan. Di samping itu, dalam konteks Syari’at Islam, Maqashid al-Syariah juga berperan sebagai prinsip etis yang mutlak dipatuhi oleh para legislator dalam menjabarkan Hukum Pidana Islam. Pun dalam konteks Aceh, Maqashid al-Syariah yang berperan sebagai penjamin hak-hak dasar umat dan prinsip dasar etis, idealnya menjadi pijakan dasar para legislatifeksekutif dalam proses perumusan Rancangan Qanun Jinayah. Hal ini dikarenakan, sebagai hukum positif Islam, Qanun Jinayah merupakan tatanan hukum komunal untuk mengatur hak dan kewajiban tiap individu di ranah sosial. Ada pertanyaan yang terus menghantui kita di dalam proses pengaplikasian Syari’at Islam, yaitu, kenapa dalam proses formulasi Qanun Jinayah di Aceh acap kali [3] ‘uqubah di sini harus dimaknai sebagai balasan yang ditetapkan demi kemaslahatan masyarakat dan demi tegaknya Syari’at. Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Garafika, 2005), hal. x
menimbulkan resistensi dan konflik, baik di level grass root, akademisi, ataupun legislator-eksekutif? Jawabannya sangat dilematis dan kompleks. Kendati demikian menurut hemat penulis, fenomena ini setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu: Pertama, kurang responsifnya masyarakat dan otoritas agama terhadap dinamika zaman yang menuntut reinterpretasi teks-teks teologis. Kedua, para pemangku kuasa terjebak pada politik transaksional, alias menafikan politik etis. Fakta menunjukan bahwa hingga saat ini sebagain besar masyarakat dan otoritas agama di Aceh kurang apresif terhadap isu-isu kontemporer, khususnya masalah HAM, multikulturalisme, Gender, LGBT, dan pluralisme agama. Padahal isu ini acap kali menjebak masyarakat dan ototitas agama di Aceh untuk memposisikan diri pada dua pilihan yang sama sekali tidak produktif, yaitu fundamentalisme atau liberalisme. Dengan fundamentalisme masyarakat terkungkung oleh eklusivisme madhabiyah dan sikap antipati terhadap dinamika realitas dan pemikiran-pemikiran baru di luar mainsteam. Dan dengan liberalisme umat sering kali keblabasan keluar dari Syari’at. Di lain pihak dinamika perpolitikan Aceh berjalan kurang sehat. Permasalahan umat yang esensial -terlebih perumusan Qanun Jinayah- selalu dikooptasi oleh kepentingan politik pragmatik yang bersifat transaksional dan temporal. Kita tidak menafikan akan urgensi politik dalam pemerintahan, karena basis dan tujuan politik adalah kepentingan publik. Yang kita kritisi adalah penafian nilai-nilai etis dalam kancah politik praktis yang mengebiri proses perumusan Qanun Jinayah, dan mempertaruhkannya untuk kepentingan golongan tertentu. Penafian etika politik di komunitas politikus Aceh setidaknya tampak jelas dalam dua hal berikut: 1. Privatisasi Rancangan Qanun Jinayah Masyarakat Aceh merupakan komunitas yang budayanya dibangun di atas pondasi Syari’at Islam. Artepak yang menunjukan keintiman Syari’at Islam dengan masyarakat Aceh termaktub dalam pepatah leluhur bangsa Aceh, “Hukum ngon adat lage zat ngon sifeut” (Hubungan syari‘at dengan adat ibarat hubungan suatu zat dengan sifatnya, melekat tidak dapat dipisahkan). Atas dasar inilah kenapa masyarakat Aceh menyambut baik tawaran pemerintah untuk menerapkan Syari’at Islam sebagai solusi terbaik pasca konflik. Syari’at Islam bisa dikatakan sebagai bentuk perlakuan istimewa pemerintah nasional kepada pemerintah daerah Aceh. Istimewa, karena memang pemerintah daerah Aceh diberi keleluasaan oleh Undang-Undang No. 44 tahun 1999 untuk mengatur wilayahnya --tentunya dengan monitoring pemerintah pusat- secara otonom dalam tiga bidang Agama, Pendidikan dan Peradatan sesuai dengan Syari’at Islam. Bahkan pemerintah Aceh-pun mereson Undang-Undang tersebut dengan menjabarkan Syari’at Islam ke dalam wujud Hukum Pidana Islam (Hukum Jinayat) yang di atur oleh Qanun. Keistimewaan Aceh semakin jelas ketika tahun 2001 pemerintah pusat kembali mengesahkan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam otonomi ini, Aceh diberikan kuasa untuk membentuk Peradilan Syari‘at Islam yang dijalankan oleh Mahkamah Syar‘iyah. Undang-undang ini kemudian direspon positif oleh pemerintah daerah Aceh dengan membentuk Makamah Syari’ah yang kewenangannya di atur dalam Qanun Provinsi NAD No. 10 tahun 2002.[4] Pada bulan Maret 2003 Mahkamah Syar‘iyah Aceh diresmikan oleh Menteri Kehakiman, dan ketuanya dilantik oleh Mahkamah Agung. Adapun pada tingkat Nasional, diperkuat oleh Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 15 disebutkan bahwa peradilan Syari‘at Islam di Aceh adalah Peradilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Adapun mengenai pembahasan Rancangan Qanun Jinayah di DPR Aceh dimulai sejak dikeluarkannya Surat Keputusan oleh DPR Aceh tentang pembetukan Tim Pansus XII pada bulan september 2008 yang dimotori oleh Barom Moh. Rasyid, dan kemudian dikukuhkan oleh Surat Keputusan (SK) tentang Penetapan Tenaga Ahli Pansus XII DPR Aceh,[5] dan dimonitoring oleh Pemerintah Aceh yang diwakili timnya[6] Dari pembahasan Pansus XII dihasilkan Rancangan Qanun Jinayah yang pada tanggal 14 September 2009 disahkan oleh DPR Aceh. Sayangnya, Rancangan Qanun Jinayah tersebut hanya berkisar masalah hukuman lima tindak pidana yang sangat privatif, yaitu: Khalwat (Mesum), Maisir (Perjudian), Khamar (Minuman Keras) serta Aqidah dan Ibadah. Tentu saja Rancangan Qanun Jinayah di atas menuai banyak kritik, selain karena penuh dengan [4] Kewenangan Makamah Syari’ah dalam bidang jinayah berkenaan dengan (1) Hudūd, meliputi Zina, menuduh zina (qadaf), mencuri, merampok, minuman keras dan napza, murtad, dan pemberontakan atau Bughah (2) Qishas/Diyat, meliputi pembunuhan dan penganiayaan (3) Ta‘zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melanggar syari’at selain Hudūd dan Qishas seperti; maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan, khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa ramadhan (4) Zakat. Semuanya kewenangan ini termaktub dalam Qanun Provinsi NAD No 11 tahun 2002, Qanun Provinsi NAD No 12 tahun 2002, Qanun Provinsi NAD No 13 dan 14 tahun 2003, dan Qanun Provinsi NAD No 7 tahun 2004. [5] Berdasarkan SK Sekretaris DPR Aceh Nomor: 161/5.258/2008 tertanggal 27 Oktober 2008, Tenaga Ahli Pansus XII yang terdiri dari: H. Effendi Gayo, S.H, M.H. (Pengadilan Tinggi), Drs. Jufroi Ghalib, S.H., M.H (Mahkamah Syar‘iyah), Drs. H. Armia Ibrahim, S.H. (Mahkamah Syar‘iyah), Budiono (Polda), Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad, S.H. (IAIN Ar-Raniry), Prof. Dr. Al Yasa‘ Abubakar, M.A. (IAIN ArRaniry), Mawardi Ismail, S.H., M.Hum, Darwis, S.H (Advokat) dan Muhammad Rum, Lc., M.A (Tim Ahli DPR Aceh). [6] Tim yang ditunjuk mewakili pemerintah Aceh berdasarkan Surat Gubernur Nomor: 188/41970 tertanggal 6 november 2008 dalah sebagai berikut: Asisten Pemerintahan Sekda Prov NAD, kepala biro pemerintahan setda prov NAD (Koordinator), kepala Biro Keistimewaan dan Kesra prov. NAD (Ketua TIM), kepala Biro Hukum dan Humas Sekda Provinsi NAD (Wakil Ketua TIM), kepala BPM Prov. NAD (Anggota), Drs. Ziauddin (kepala Dinas Syari’at Islam), Prof. Dr. Muslim Ibrahim (Ketua MPU), Drs. Mukhtar Yusuf, S.H. (Hakim Tinggi MAkamah Syar‘iyah), Drs. H. Rizwan Ibrahim (hakim Tinggi), Prof. Dr. Al Yasa‘ Abu Bakar (Dosen IAIN), Khairani Arifin, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum), Ria Fitri, S.H., M.H. (Dosen Fak. HUkum Unsyiah), Syamsiar, S.H. (narasumber), Prof. Dr. Tgk. Daniel Djuned (Dosen IAIN), dan M. Din, S.H., M.H.
aroma eklusivisme madhabiyah, isi Rancangan Qanun Jiyanah malah menjadi beban baru masyarakat yang sudah lama terhimpit oleh beban ekonomi dan ketidakadilan hukum. Sebagaimana diungkapkan direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Evi Narti Zain, qanun-qanun yang dihasilkan sangat tidak logis dan hanya mengurus masalah privasi, tidak melangkah ke dimensi sosial-ekonomi yang sudah carut marut. Evi menegaskan, seharusnya Rancangan Qanun Jinayah menyangkut permasalahan kesejahteraan rakyat, pembukaan lapangan kerja, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, pemberantasan korupsi, atau permasalahan sosial-ekonomi yang real lainnya. Karena persoalan hukum yang privasi akan mudah ditegakan jika stabilitas sosial-ekonomi telah terpenuhi. Suatu yang niscaya jika ada sebagian masyarakat Aceh yang galau dengan pengebirian Qanun Jinayah ke ranah privasi,[7] terlebih mereka yang dari awal tidak setuju dengan penerapan Syari’at Islam di Aceh.8 Karena pengebirian Qanun Jinayah ke ranah privasi, seperti pada lima tindak pidana di atas, bisa jadi merupakan keberhasilan intrik politik pemerintah nasional dalam membius masyarakat rakyat Aceh yang ektase dengan romantisisme penegakan Syari’at Islam di era kejayaan Sultan Iskandar Muda. Atau, bisa jadi pula fenomena ini sebagai fakta nyata kecacatan para politisi lokal yang menggunakan Qanun Jinayah sebagai legitimasi religius atas kekuasaannya, dan proyek akal-akalan demi memenuhi self interest. Karena faktanya, sekian jumlah APBD hanya dihabiskan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang tidak korelatif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apalagi Aceh yang berdasarkan Syari’at Islam kini telah dinobatkan sebagai provinsi terkorup ke-2 setelah DKI Jakarta. Lebih mengerikan lagi, Rancangan Qanun Jinayah yang penuh dengan aroma eklusivisme madhabiyah seringkali menjadi tameng untuk menggilas entitas keagamaan di luar pemahamannya. Sehingga tidak jarang kita menyaksikan konflik sosial di level grass root. Sebut saja kafir-mengkafirkan karena perbedaan cara ibadah, atau menghukumi dan memarginalkan kaum minoritas yang distigmakan negatif. Anehnya, tidak sedikit dari otoritas agama yang menganggap fenomena ini sebagai perkara yang lumrah, bahkan dianggap sebagai bagian dari jihad li i’lai kalimatillah. Sepenuhnya kita meyakini akan pentingnya [7] Meskipun galau umumnya masyarakat Aceh takut untuk mengungkapkannya. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu: Pertama, takut memperbincangkan hal-hal yang bersentuhan dengan agama dengan alasan wilayah teologis yang tidak sepantasnya diperdebatkan. Kedua, tidak mau berkonflik dengan banyak pihak dan memilih mengikuti apa yang menjadi keputusan politik. [8] Sebagian masyarakat Aceh menolak penerapan Syari’at Islam di Aceh. Penolakan ini didasarkan pada asumsi bahwa Syari’at Islam adalah manuver politik pemerintah pusat agar Aceh tidak lepas dari NKRI. Bagi mereka, yang dibutuhkan masyarakat Aceh bukan Syari’at Islam, tapi kesejahteraan dan keadilan. Sehat Ihsan Sadiqin, Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?, Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10, (Banjarmasin, 1-4 November 2010).
4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013
Syari’at Islam ditegakan di Aceh, begitu pula dengan urgensi Rancangan Qanun Jinayah. Namun, Qanun Jinayah harus terarah kepada jaminan hak-hak dasar umat yang lebih luas, utamanya untuk kesejahteraan ekonomi dan penegakan HAM, karena keduanya menjadi hak umat dan prasyarat terciptanya keadilan. Bukan hanya bergelut di wilayah hukuman lima tindak yang privatif. Tidak elok jika Qanun Jinayah terus diarahkan untuk mengurus masalah rok, cara duduk wanita di jok, atau menghukum wanita binal dan pria nakal dengan cambuk. Akan menjadi indah jika Rancangan Qanun Jinayah diorientasikan untuk pemerataan dan kestabilan ekonomi, pertahanan dan keamanan sosial, peningkatan pendidikan serta pemberantasan tindak korupsi. 2.
Rajam: Tapal Batas Logika Politik Elitis
Ada apa di balik rajam sehingga eksekutif dan legislatif adu garang untuk menang? Bagi penulis, munculnya pertanyaan ini sangat wajar karena dalam proses legislasi Rancangan Qanun Jinayah di Aceh, masalah rajam menjadi isu yang sangat vital dan menyita perhatian bukan hanya warga lokal, tetapi juga nasional dan internasional. Kontroversi hukuman rajam pertama kali mencuat setelah ada penolakan dari fraksi Demokrat yang disampaikan dalam sidang ke IV DPR Aceh tahun 2009. Sidang yang membahas draft akhir Rancangan Qonun Jinayah.[9] Penolakan hukuman rajam oleh fraksi Demokrat di ranah legislatif diikuti oleh para pemangku kuasa di ranah eksekutif. Dalam hal ini, Gubernur selaku kepala pemerintahan daerah Aceh tidak sependapat dengan dimasukannya poin rajam ke dalam Qanun Jinayah. Karena sejak awal pembahasan hukuman rajam bagi pelaku zina yang berstatus muḩṣan tidak diusulkan dan tidak dimasukkan dalam materi Rancangan Qanun Jinayah. Mengenai hal ini Edrian mengungkapkan: …bahwa pada awal penyusunannya, dalam draf awal yang disampaikan ke DPR Aceh, tidak ada persoalan rajam, yang ada hanya cambuk. Hal ini dilakukan dalam rangka pembinaan, bukan berarti pemerintah Aceh ingin menyimpangi dari al-Quran dan Hadis. Tetapi ini dilakukan secara step by step, jangan langsung begitu. Lalu kalaulah persoalan zina dan persoalan ini sudah merajalela, maka baru di tingkatkan menjadi rajam.[10]
Penolakan
tersebut
berimplikasi
kepada
[9] Menurut M. Arqom Pamulutan, dari Daftar Infentaris Masalah (DIM) pendapat akhir fraksi di DPR Aceh, fraksi-fraksi yang menyetujui hukuman rajam adalah: Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PAN, Fraksi PKS, Fraksi PBB, Fraksi PBR, Fraksi Partai Umat Islam, dan Fraksi Perjuangan Umat. Hanya Fraksi Partai Demokrat menolak hukuman rajam, fraksi ini mengusulkan agar uqubat zina diubah menjadi 10 kali cambuk dan denda 100 gram emas murni atau penjara maksimal 10 bulan. Usulan lainnya adalah agar setiap uqubat bagi semua jarimah dikurangi hingga menjadi 10% dari uqubat yang dirumuskan dalam Rancangan Qanun Jinayah. M. Arqom Pamulutan, Menakar Uqubat Rajam, hal. 125-126. Lihat pula Pemandangan Umum Anggota DPR Aceh terhadap Rancangan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah tanggal 10 Desember 2009, dan Pendapat Akhir Fraksi DPR Aceh terhadap Rancangan Qanun Hukum jinayah dan Hukum Acara Jinayah tanggal 14 september 2009. [10] Wawancara, Edrian, S.H., M.Hum. (Kepala Bagian PerundangUndangan Pada Bagian Hukum Secretariat Daerah Aceh), 7 juli 2010
penolakan Gubernur untuk menandatangani Qanun Jinayah yang sudah disahkan oleh DPR Aceh. Dalam suratnya yang dilayangkan kepada DRP Aceh, Gubernur hanya menyatakan “Belum Dapat Memberikan Persetujuan”.[11] Bahkan surat ini ditembuskan kepada ketua Makamah Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM. Dan pastinya surat ini memicu berbagai reasi. Suasana bertambah pelik ketika Gubernur Aceh melaporkan sikap para anggota DPR Aceh kepada Menteri Dalam Negeri c/q Direktur Otonomi Daerah dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang karena memasukan persoalan rajam dalam draf Rancangan Qanun Jinayah secara sepihak.[12] Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, menegaskan bahwa penolakan eksekutif terhadap penerapan hukum rajam di Aceh adalah pilihan final. Menurutnya, penolakan eksekutif bukan berarti menolak hukum Tuhan, akan tetapi yang kita lakukan adalah mengurangi hududnya, bukan menghilangkan subtansi hukumnya, dan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Aceh yang belum stabil. Pemerintah Aceh menginginkan penerapan hukuman pada Qanun Hukum Acara Jinayat lebih terarah kepada denda atau secara adat, bukan fisik.[13] Berbeda dengan Gubernur dan wakilnya, anggota Pansus XII dari DPR Aceh punya alasan lain kenapa masalah rajam dimasukan dalam draf Rancangan Qanun Jinayah. Bagi anggota Pansus XII dari DPR Aceh, rajam merupakan konsekuensi yuridis dari masuknya delik zina dalam Rancangan Qanun Jinayat yang diusulkan oleh pemerintah Aceh. Alasan lain yang dikemukakan oleh anggota Pansus XII adalah: 1. Karena pemerintah Aceh telah mengusulkan delik zina dan sanksi sebagai materi rancangan qanun, maka sanksi yang diberikan tidak cukup hanya dengan cambuk 100 kali. Karena ketentuan seperti itu dalam hukum Islam berlaku bagi yang belum menikah, maka bagi yang sudah menikah ada hukuman lain, yaitu rajam. 2. Jika hukuman rajam tidak dimasukkan, berarti kita menyembunyikan hukum Allah.[14] 3. Pada masa lalu sultan Iskandar Muda juga pernah melaksanakan eksekusi rajam terhadap anaknya, Meurah Pupok, karena berzina.[15] 4. Aceh sudah diberikan peluang untuk menerapkan Syari’at Islam, dan ini momentum penting untuk memasukan hukuman rajam ke dalam materi Rancangan Qanun Jinayah. Momentum yang bagi anggota DPR Aceh tidak akan terulang di masa yang akan datang. Selain itu, penetepan hukum ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawab anggota DPR Aceh kepada agama dan tugasnya di DPR Aceh[16]
[11] Surat Nomor: 188.342/58391 tertanggal 25 September 2009 perihal “Belum Dapat Memberikan Persetujuan”. [12] Surat Nomor: 188/62308 tertanggal 14 oktober 2009 perihal “Penyampaian Rancangan Qanun Aceh”. Surat ini ditembuskan kepada ketua DPRA, ketua Komisi A dan Ketua Komisi C DPR Aceh. [13] The Global Jurnal, Pro Kontra Pengesahan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Rabu, 11 November 2009. http.tgj.com [14] Wawancara, Muhammad Rum (Tim Ahli DPR Aceh dan Anggota Tim Pansus XII), Aceh Besar, 14 September 2011. [15] Wawancara, Bustanul Arifin (Sekretaris Pansus XII DPR Aceh), Aceh Besar, 22 Agustus 2011. [16] Wawancara, Muhammad Rum (Tim Ahli DPR Aceh dan Anggota Tim Pansus XII), Aceh Besar, 14 September 2011 dan Bahrom Rasyid, wawancara via telphon, 18 September 2011
4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013
Secara hukum Rancangan Qanun Jinayah memang sudah sah dan wajib diundang-undangkan dalam peraturan Daerah, walaupun mengundang banyak polemik. Hal ini didasarkan kepada UndangUndang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 38 (2), dan juga dalam Qanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun pasal 37 (2), yang menyatakan bahwa dalam hal Rancangan Qanun Jinayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling lama 30 hari sejak Rancangan Qanun Jinayah disetujui bersama, maka rancangan Qanun tersebut sah menjadi Qanun dan wajib diundangkan. Lain halnya dengan Gubernur Lemhanas, Muladi. Dalam seminar uji publik Qanun Jinayah di Jakarta ia mengungkapkan bahwa Rancangan Qanun Jinayah yang disahkan DPRA periode 2004-2009 telah menyimpang dari ketentuan hukum di Indonesia. Menurutnya, hukum Indonesia tidak mengenal hukuman badan, oleh karena itu ketentuan hukum di Aceh harus menyesuaikan dengan hukum yang berlaku secara nasional. Walaupun pada titik tertentu Perda Syari’ah boleh menyimpang, namun tidak untuk hukuman badan. Menurut Muladi, Menteri Dalam Negeri harus bertindak tegas terkait dengan pengesahan Rancangan Qanun Jinayah di Nangroe Aceh Darusalam. Yang tragis dari pro-kontra penerapan hukuman rajam ini adalah munculnya tuduhan-tuduhan baru yang dilayangkan kepada mereka yang menolak pengesahan Rancangan Qanun Jinayah. Koordinator aksi Forum Komunikasi Untuk Syariah (Fokus), Muadz Munawar, misalnya, dalam orasinya di depan gedung DPR Aceh, menuduh pihak-pihak yang tidak mendukung terhadap pengesahan qanun tersebut sebagai agen-agen asing alias antek-antek liberal yang berusaha untuk menggagalkan pengesahan qanun yang ujung-ujungnya tidak setuju dengan penerapan Syari’at Islam di Aceh.[17] Tuduhan Muazd diamini oleh anggota Tim Ahli Pansus XII dari DPR Aceh, Muhammad Rum. Alasannya, pasca pengesahan Qanun Jinayah Aceh oleh DPR Aceh, perwakilan Keduataan Besar Amerika Serikat sempat mendatangi Sekretariat Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS di Banda Aceh. Secara gamlang mereka menyatakan ketidaksukaannya dengan sikap PKS, dan menuduhnya sebagai kelompok fundamentalis yang berada di balik pengesahan Qanun Jinayah.[18] Tuduhan serupa datang dari politisi PKS, Bustanul Arifin, menurutnya eksekutif menolak menandatangani karena tim eksistensi Gubernur dibiayai oleh pihak asing, dan bahkan beberapa
[17] The Global Jurnal, Agen Asing Tolak Qanun Jinayah, diakses pada tanggal 14 September 2009 dari http://theglobejournal.com/hukum/agen-asing-tolak-qanunjinayah/index.php, [18] Wawancara, Muhammad Rum (Tim Ahli Perumusan Qanun Jinayah Pansus XII DPR Aceh), Aceh Besar 14 September 2011.
anggota timnya orang Amerika.[19] Dalam hemat penulis, tidak adanya titik temu antara eksekutif dan legislatif dalam permasalahan hukuman rajam merupakan tapal batas dan bentuk pemiskinan etika politik di Aceh. Dalam kancah perpolitikan lokal, kedua lembaga tersebut terjebak ke dalam logika menang-kalah (binary opposition logic), Logika yang menuntut adu belati untuk meraih simpati. Logika yang menyulut api dendam dan konflik sosial. Efeknya, masyarakat Aceh digiring untuk memasuki medan pertarungan yang sama sekali absurd. Idealnya, dalam proses legislasi atau penentuan kebijakan publik para politisi harus bersandar pada logika komunikatif partisifatif etis. Logika yang mengedepankan proses komunikasi dan partisipasi publik dengan tetap mengacu kepada nilai-nilai etis. Semua yang menyangkut dengan kepentingan publik yang dituangkan dalam Rancangan Qanun Jinayah semestinya dikomunikasikan, disosialisasikan, dan kemudian dirumuskan dengan melibatkan partisipasi masyarakat serta diuji kelayakan dan prioritasnya agar tidak keluar dari nilai-nilai etik masyarakat Aceh. Tampaknya, logika inilah yang sulit ditemukan di benak para pemangku kuasa.
B. Legislasi Etis Menuju Politik Etis Menurut Frans Magniz-Suseno legislasi hukum yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat setidaknya harus memenuhi tiga prinsip umum, prinsip legalitas, prinsip legitimasi demokratis dan prinsip legitimasi moral. Dengan prinsip legalitas para legislator dihadapkan dengan pertanyaan apakah proses legislasi hukum telah sesuai dengan hukum yang berlaku. Melalui prinsip legitimasi demokratis para legislator dituntut untuk membuktikan apakah proses legislasi hukum dilakukan secara transparan, dialogis-kritis serta diputuskan secara demokratis. Dan dengan prinsip legalitas moral para legislator dibrondong oleh pertanyaan apakah legislasi hukum tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral.[20] Dalam sistem pemerintahan, ketiga prinsip di atas merupakan basis etis yang bertindak sebagai legitimasi etis rakyat yang membatasi hak para penguasa, sekaligus menjadi kepanjangan tangan rakyat untuk menolak setiap legislasi hukum yang bertentangan dengan hak-hak dasar rakyat. Tidak hanya itu, ketiga prinsip ini juga menjadi acuan rakyat untuk memonitor apakah proses legislasi hukum dilakukan secara dialogis, dialektis, kritis dan demokratis. Dalam konteks Aceh, ketiga prinsip yang telah disebutkan di atas bisa dijadikan acuan dalam menilai proses legislasi Rancangan Qanun Jinayah yang dilakukan oleh para legislator. Pertama, Apakah isi Rancangan Qanun Jinayah tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, baik ditingkat lokal dan nasional (Prinsip
[19] Wawancara, Butanul Arifin (Sekretaris Pansus XII DPR Aceh), Aceh Besar, 22 Agustus 2011 [20] Frans Magniz-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 67-69
4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013
Legalitas). Tegasnya, apakah isi Rancangan Qanun Jinayah yang diterapkan di Aceh tidak akan menimbulkan polemik hukum ketika hukum yang berlaku di tingkat lokal dibenturkan dengan hukum yang berlaku di tingkat nasional. Hal ini sangat rentan, karena jika terjadi polemik hokum, maka Qanun Jinayah hanya mampu menghukum masyarakat kelas bawah yang terbelit ekonomi, dan akan menjadi mainan kaum elitis yang bengal. Mereka yang berduit akan mudah bebas dari hukuman hanya dengan membayar advokat untuk mengajukan kasasi di tingkat nasional. Kedua, Apakah Rancangan Qanun Jinayah disahkan secara dialogis-demokratis (Legitimasi Demokrastis). Seluruh elemen masyarakat harus berperan aktif dan memastikan apakah Rancangan Qanun Jinayah merupakan hasil konvensi yang dialogis, kritis dan demokratis, atau didominasi oleh kepentingan otoritas agama tertentu yang memaksakan eklusivisme keberagamaannya dengan cara menunggangi para legislator. Ketiga, Apakah Rancangan Qanun Jinayah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (Legitimasi Moral). Sebagai warga negara kita punya tanggung jawab moral untuk memastikan apakah Rancangan Qanun Jinayah sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang tujuannya untuk menegakan HAM, atau hanya menjadi sampan yang membawa visi dan misi sempit kelompok tertentu. Dengan ketiga prinsip di atas kita bukan diarahkan untuk menjadi Shu’udhonolog alias berpikiran ngawur, tetapi agar kita lebih kritis dalam menyikapi fenomena yang ada. Karena ketiga prinsip di atas tujuannya hanya satu, yaitu untuk mengarahkan agar kualitas Qanun yang dihasilkan benar-benar untuk kesejakteraan dan keadilan rakyat, bukan untuk menambah beban rakyat. Apakah proses legislasi Qanun Jinayah searah dengan ketiga prinsip di atas? Harapannya seperti itu, namun realitas berkata lain. Perseteruan tanpa ujung antara legislatif dan eksekutif -yang ditunggangi oleh kepentingan golongan dan otoritas agama tertentu, terkhusus masalah Rajam- dalam proses legislasi Qanun Jinayah menjadi indikator penafian ketiga prinsip di atas. JMSPS[21] (Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah) menilai bahwa Rancangan Qanun Jinayah terlalu menitikberatkan pada semangat untuk menghukum secara kejam, bukan untuk menciptakan kesejahteraan dan menegakan keadilan. Dengan tegas JMSPS mengungkapkan bahwa Rancangan Qanun Jinayah saat ini bukan jawaban solutif bagi kebutuhan masyarakat Aceh. Bahkan sebaliknya, berpotensi menciptakan konflik horizontal yang mengganggu proses perdamaian yang sedang berlangsung. Dengan dalih ini pula JMSPS secara terang-terangan menyatakan penolakannya atas pengesahan qanun jinayah, terlebih hukuman rajam. Mereka menuntut untuk merumuskan ulang Qanun Jinayah sesuai dengan nilai-nilai universal Islam dan Hak Asasi Manusia, memastikan harmonisasi dengan berbagai
21 Anggota JMSPS terdiri dari Koalisi NGO HAM, Kontras Aceh, RPuK, LBH APIK Aceh, KPI, Flower Aceh, Tikar Pandan, ACSTF, AJMI, KKP, SelA, GWG, SP Aceh, Radio Suara Perempuan, Violet Grey, Sikma, Pusham Unsyiah, dan Yayasan Sri Ratu Safiatuddin.
peraturan perundang-undangan, serta melibatkan partisipasi berbagai elemen masyarakat. Tuntutan JMSPS sangat wajar karena tidak sedikit dari elemen masyarakat yang mempertanyakan kembali efektifitas dan kualitas Rancangan Qanun Jinayah. Pasalnya, proses pembahasan Rancangan Qanun Jinayah – yang dilakukan oleh Pansus XII DPR Aceh, Tim Ahli Pansus XII dan Tim Ahli Pemerintah Aceh- hanya memakan waktu sembilan bulan. Itupun belum dikurangi dengan dua bulan masa reses anggota DPR Aceh pada bulan juni dan juli. Dengan waktu yang singkat ini tampak sekali jika Rancangan Qanun Jinayah masih abal-abal. Jauh dari harapan masyarakat yang menginginkan Rancangan Qanun Jinayah dapat mengcover semua isu jinayah yang akan diterapkan di Aceh. Memang sangat dilematis, terlebih dengan singkatnya waktu sosialisasi Rancangan Draft Qanun Jinayah kepada masyarakat. Kebuntuan komunikasi antara legislatif dan eksekutif dalam proses legislasi Rancangan Qanun Jinayah adalah wujud dari apa yang diidentifikasi oleh Haryatmoko sebagai upaya “Pemisikinan Poltik” di ruang publik.[22] Modus operandi pemiskinan politik ini berjalan melalui tiga modus, yaitu: Pertama, Penafian dialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan perdebatan tentang skala prioritas. Dengan waktu yang relatif singkat, sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa Rancangan Qanun Jinayah telah digodog melalui dialektika idiologis, yang nilai-nilainya telah ditempa dalam diskusi-diskusi kritis. Apalagi jika kita berbicara skala prioritas, materi Rancangan Qanun Jinayah jauh dari substansi yang diinginkan rakyat Aceh yang gandrung akan kesejahteraan dan keadilan. Efek signifikan dari penafian dialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan perdebatan tentang skala prioritas dalam proses perumusan Rancangan Qanun Jinayah memunculkan modus yang Kedua, yaitu pereduksian ruang publik menjadi pasar. Dalam konteks ini, proses legislasi Rancangan Qanun Jinayah yang merupakan ruang dialektika publik sudah berubah fungsi menjadi pasar modal, tempat transaksi para politikus yang berjubel kepentingan. Atas dasar ini tidak salah jika banyak yang menganggap bahwa Rancangan Qanun Jinayah merupakan produk transaksional para politikus yang dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu. Yang lebih parah, dengan pereduksian ruang publik menjadi pasar, maka lahirlah modus yang Ketiga, yaitu pemiskinan etika politik. Dalam proses pembahasan Rancangan Qanun Jinayah common good semestinya menjadi dasar etika politik. Etika politik harus menjadi panglima yang mengendalikan para politikus. Karena dengan menjadikan etika sebagai panglima setiap politikus akan terdorong untuk terus mencari makna dan nilai-nilai untuk kemudian dirumuskan dalam Rancangan Qanun Jinayah, bukan menjadikan moral sebagai basis modal politis, yang pada akhirnya mengaburkan makna dan nilai-nilai. Terlepas dari berbagai polemik, bagaimanapun juga masyarakat Aceh harus menyadari bahwa upaya pemiskinan politik hanya bisa dicegah dengan partisipasi dan peran aktif masyarakat untuk menguji kelayakan dan 22 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003), hal. 22
4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013
skala prioritas setiap kebijakan yang diputuskan oleh para pemangku kuasa. II. KESIMPULAN Syari’at Islam bagi masyarakat Aceh adalah pilihan final, dan Rancangan Qanun Jinayah adalah kebutuhan urgen untuk menjalankan roda pemerintahan. Maka dari itu, Idealnya, dalam proses legislasi atau penentuan kebijakan publik para politisi harus bersandar pada logika komunikatif partisifatif etis. Logika yang mengedepankan proses komunikasi dan partisipasi publik dengan tetap mengacu kepada nilai-nilai etis. Karena Rancangan Qanun Jinayah terkait dengan hajat hidup masyarakat, maka dalam proses perumusannya wajib dikomunikasikan, disosialisasikan, dan kemudian dirumuskan dengan melibatkan partisipasi masyarakat serta diuji kelayakan dan prioritasnya agar tidak keluar dari nilai-nilai etik dan harapan masyarakat Aceh. Pengaplikasian logika komunikatif partisifatif etis ditujukan agar proses legislasi Rancangan Qanun Jiyah tidak berdampak pada upaya “Pemisikinan Poltik” di ruang publik. Proses pemiskinan yang modus operandinya berjalan melalui tiga tahapan, yaitu: Pertama, Penafian dialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan perdebatan tentang skala prioritas. Kedua, Pereduksian ruang publik menjadi pasar. Ketiga, Pemiskinan etika politik. Di atas semua itu, hanya rakyat Aceh-lah yang mampu memperjuangkan dan menjadikan Aceh sebagai baldatun toyyibah. III. REFERENCE [1] Abubakar, Al-Yasa, Syari'at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas syari'at Islam, 2008). [2] Ahmad Wardi Muslihc, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Garafika, 2005. [3] Alfian, Teuku Sofyan Ibrahim, Demokrasi dalam Perspektif Budaya Aceh dalam Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Ed. Muhammad Najib (Yogyakarta: LKPSM, 1996). [4] Amal, Taufik Adnan & Samsu Rizal Panggabean, Syariat Islam di Aceh dalam Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal (Jakarta: Aksara Nusantara Sembrani, 2003). [5] An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Al-Qur`an, Syari’ah, dan HAM: Kini dan di Masa Depan. Jurnal Islamika, No. 2, Oktober-Desember 1993. [6] _______________, Islam dan Negera Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan dengan Syariah (Bandung: Mizan, 2007) [7] Arfiansyah, The Politicization of Shari’ah: Behind the Implementation of Shari’ah in Aceh-Indonesia (Tesis Institute of Islamic Studies, McGill University, 2009) [8] Arkound Muhammed, Nalar Islam dan Nalar Modern. Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994). [9] Aspinal, Edward, Partisipasi Publik dalam Qanun Syariat Islam (Laporan Penelitian Aceh Institute & Australy National University (ANU), 2008), [10] Awwas, Irfan S, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia ‘Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkianatan Kaum NasionalisSekuler’ (Yogyakarta: Uswah, 2009, cet. II) Binder, Leonar, Islamic Libralisme (Chicago: Chicago University Press, 1998). Burhani, Ahmad Najib, Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks. Jurnal Ma’arif, Vol. 3, No.1, Feb 2008. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2008). Devayan, Ampuh, Murizal Hamzah, Polemik Penerapan Syariat Islam di Aceh (Banda Aceh: Yayasan Insan Cita Madani & Patnership) El Fadhl, Khaled Abou, The Ugly Modern and The Modern Ugly: Reclaiming the Beautiful in Islam dalam Progresif Muslims: On Justice. Ed. Omit Safi
El Ibrahimy, M. Nur, Tengku Muhammad Daud Bereueh: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1986). Facruddin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006). Fatwa, A. M., Demokrasi Teistik: Upaya Merangkai Integrasi Politik dan Agama di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001). Garaudy, Roger, Hak-hak Asasi dalam Islam: Ketegangan Visi dan Tradisi. Jurnal Islamika, No. 2 Oktober-Desember 1993. Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyakat Jawa (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1983) Gunsteren, Herman R. van, A Theory Of Citizenship: Organizing Plurality in Contemporary Democracies (United States of America: Wesbiew Press, 1998) Habibie Bacharuddin Jusuf, Detik-Detik Menentukan Jalan Panjang Menuju Demokrasi (Jakarta: THC Mandiri, 2006). Hadi, Amirul, Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jamaah: Dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta: Lantabora Press, 2005). Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003). Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, cet II. 1999). Husda, Husaini, Sejarah Pemberlakuan Syari'at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Ed. M. Zain Banda (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh Darussalam, 2007) Ichwan, Moch. Nur, The Politics of Shari'atization; Central Governmental and Regional Discourses of Shari'a Implementation in Aceh dalam Islamic Law in Modern Indonesia: Ideas and Institution. Ed. Michael Feener and Mark Cammack (Harvard: Harvard University Press, 2007). Iqbal, Muhammad, Prinsip Pergerakan dalam Struktur Islam dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global. Ed. Charles Kurzman. Diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001). Kaelan, MS, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, Tahun 2005). Kawilarang, Harry, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008). Kelsay, John & Summer B Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia. Diterjemahkan oleh Ahmad Suedy dan Elga Sarapung (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2007). Kuntowijoyo, Islam Tanpa Mesjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung; Mizan, 2001). Kurzman, Charles, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001). Kylicka, Will, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian-kajian Khusus atas Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Agus Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Madjid, Nurcholish, Kebebasan Nurani (Freedom Of Conscience) dan Kemanusiaan Universal Sebagai Pangkal Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Keadilan dalam Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Ed. Elza Peldi Taher (Jakarta: Paramadina, 1994). MD, Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (Yogyakarta: Gama Media, 1999). _______________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999). Moleong, Lexy. J., Metodelogi Penelitian Kualitatif: Perumusan Masalah Analisis (Bandung: PT. Rosda Mulia, 1990) Malian, Sobirin dan Suparman, Marzuki (Peny), Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: UII Press, 2002). Mosa, Ebrahim, Islam Progresif: Refleksi Dilematis tentang HAM, Modernitas dan Hak-hak Perempuan dalam Hukum Islam. Diterjemahkan oleh Yasrul Huda (Jakarta: ICIP, 2005). Mughni, Syafiq A. (Peny), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multiculturalisme (Malang: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PuSAPoM), 2007). Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problema, solusi dan implementasi menuju pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu & IAIN Ar-Raniry, 2003).
4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013 Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia Dalam Tatanan Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global Barat (Bandung: Mizan, 1995). Pamulutan, M. Arqom, Menakar ‘Uqubat Rajam/Hukuman Mati di Aceh: Subtansi, Operasionalisasi dan Dampaknya Terhadap HAM (Tesis: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, 2010) Vallely, Paul, ed., Cita Masyarakat Abad 21 (Yogyakarta: Kanisius, 2007) Sadikin, Sehat Ihsan, Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?, Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10, Banjarmasin, 1-4 November 2010 Sanapiah, Faisal, Format-format Penelitian Sosial: Format-format dan Aplikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1989). Smith, Hefner, Islam dan Tantangan Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Ahmad Hambal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Suseno, Frans Magniz, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003). Syamsuddin, Nazaruddin, Masyarakat Aceh dan Demokrasi dalam Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Ed. Muhammad Najib (Yogyakarta: LKPSM, 1996). Tim Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Kajian Akademik: Pola Penyelesaian Pelanggaran Syariat Islam (Banda Aceh: Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam, 2008)
Wawancara, Bahrom Rasyid(Ketua Pansus XII DPR Aceh),Banda Aceh, 30 September 2011 Wawancara, Basri M.Nur (Ketua Umum KAMMI Periode 2009-2010), Banda Aceh, September 2011 Wawancara, Bustanul Arifin (Sekretaris Pansus XII), Banda Aceh, 22 Agustus 2011 Wawancara, Evi Narti Zein (Direktur Koalisi NGO HAM), Banda Aceh, 8 september 2011 Wawancara, Faisal (Direktur Violet Greey), Banda Aceh, 27 February 2014 Wawancara, Fuad Mardhatillah (Pegiat HAM dan Dosen IAIN ArRaniry),Banda Aceh, 24 Agustus 2011 Wawancara, Hasanuddin Yusuf Adan (Ketua Umum DDII Aceh), Banda Aceh,23 Agustus 2001 Wawancara, Muhammad Rum, (Tim Ahli DPR Aceh dan Anggota Tim Pansus XII), Banda Aceh,14 september 2011 Wawancara, Muslim Ibrahim (Ketua Majelis Perwakilan Ulama Aceh & Anggota Tim Pemerintahan Aceh dalam Pembahasan Rancangan Qanun Jinayah di DPR Aceh), BandaAceh,14 September 2011 Wawancara, Rusydi Ali Muhammad, (Kepala Dinas Syariat Islam Aceh dan Tim Perumus Qanun Jinayah Aceh), Banda Aceh, 12 September 2011
Perundang-undangan
Situs/web The Global Journal, Muladi Jangan Asbun Tentang Rajam, Jumat, 30 Oktober 2009. http://theglobejournal.com/hukum/muladi-jangan-asbuntentang-rajam/index.php, The Global Jurnal, Agen Asing Tolak Qanun Jinayah, 14 Sptember 2009. http://theglobejournal.com/hukum/agen-asing-tolak-qanunjinayah/index.php, The Global Journal, Pro Kontra Pengesahan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, 11 November 2009. http://www.tgj.co.id/detilberita.php?id=3640, Hasanuddin Yusuf Adan, Mengantisipasi Pendangkalan Aqidan dan Aliran Sesat, 30 April 2011. http://ddii.acehprov.go.id/index.php?option=comcontent&view=article&id=135:mengantisipasi-pendangkalan-dan-aliransesat&catid=48:artikel-aqidah&Itemid=59, Tempo.com, SMS Warga Serang Pasantren di Aceh. Diakses 25 Juni 2012. http://www.tempo.co/read/news/2010/11/27/179294975/TerprovokasiSMS-Warga-Serang-Pesantren-di-Aceh Media Indonesia .com, 14 Aliran Sesat Dilarang Berkembang di Aceh. Diakses pada tanggal 4 April 2011. http://www.mediaindonesia.com/rea-d/2011/04/04/216955/126/101/-14Aliran-Sesat-Dilarang-Berkembang-di-Aceh The Aceh Traffic, Angka Kemiskinan di Aceh Meningkat 0,14% (730.890 orang). 3 January 2012. http://www.acehtraffic.com/2012/01/angka-kemiskinan-aceh-meningkat014.html, diakses pada 27 Juni 2012 Waspada Online, Aceh Peringkat Top 5 Daerah Terkorup. 9 Desember 2011, http://Waspada.Co.Id/Index.Php?Option=Com_Content&View=Article&Id=226457:Aceh-Pernigkat-Top-5-Daerah-Terkorup. Diakses pada 27 Juni 2012 The Atjeh Post, Korupsi Aceh Meningkat, Potensi Kerugian Negara Rp. 17 Triliun, 11 january 2011. http://Atjehpost.Com/Read/2012/01/11/551/5/5/ Diakses pada 27 juni 2012 Yusril Izza Mahendra, Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural dalam Konteks Negara, 5 April 2012. http://news.detik.com/read/2012/04/05 , diakses pada 8 Juli 2012 Harian Aceh.com, Pengadilan Jalanan,12 maret 2011, http://harianaceh.com/2011/03/24/pengadilan-jalanan, di akses pada 26 Juni 2012.
Daftar Inventaris Masalah (DIM) Qanun Jinayah, Jaringan Masyarakat Sipil Aceh Peduli Syariah (JMSPS), Sumber: Arabiyani (Koordinator JMSPS) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang “Peningkatan Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh”. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2001 tentang “Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh”. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2001 tentang Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2003 tentang “Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Konvensi Hak Anak PBB (Children on The Right) dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang “Perlindungan Anak” Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang “Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam”. Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999 tentang “Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh”. Undang-undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006 tentang “Pemerintahan Aceh” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang “Kewarganegaraan Republik Indonesia” Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 tentang “Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang “Hak Asasi Manusia” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang “Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau merendahkan Martabat Manusia (Convention Againt Torture and Other Cruel, in Human or Degrading Treatment or Punishment)” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang “Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on Ilimination of all Form of Discrimination Against Women)” Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintah Daerah” Undang-undang Republik Indonesia.Nomor25 Tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah”.
Wawancara. Wawancara, Al-Yasa’ Abu Bakar, (Direktur Pascasarjana dan Tim Perumus Qanun Jinayah Aceh), Banda Aceh,12 September 2011