161
Estimasi padat tebar udang pama ... (Herlinah)
ESTIMASI PADAT TEBAR UDANG PAMA (Penaeus semisulcatus) BERDASARKAN TINGKAT KONSUMSI OKSIGEN Herlinah dan Rachmansyah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros, Sulawesi Selatan 90511 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk melakukan estimasi padat tebar optimum udang pama (Penaeus semisulcatus) berdasarkan tingkat konsumsi oksigen. Penelitian dilakukan di tambak Instalasi Penelitian Marana, Maros. Hewan uji yang digunakan diperoleh adalah tokolan udang pama dengan kisaran bobot rata-rata benih 1,446–6,601 g/ekor, selama 4 minggu pengukuran tingkat konsumsi oksigen. Wadah percobaan yang digunakan adalah bentik jar (chamber), yakni alat yang terbuat dari kaca volume 1 L sebanyak 4 unit. Keseluruhan bentik jar diinkubasikan selama 1 jam dalam wadah yang menggunakan air tambak bersalinitas 35 ppt sebagai media percobaan. Oksigen terlarut diukur dengan alat pengukur O2 (TPSTM Model WP–82 DO meters). Data laju respirasi selama proses inkubasi diperoleh dari data loger yang merekam dinamika kandungan oksigen terlarut diukur setiap lima menit. Data hasil pengukuran konsumsi oksigen udang pama dianalisis regresi dan korelasi untuk menentukan pola hubungan antara bobot udang pama dengan konsumsi oksigen menggunakan program Curve Expert. Ver.1.2. Estimasi model kepadatan stok (daya dukung) udang dilakukan dengan perhitungan manual sederhana melalui kapasitas ketersediaan kelarutan oksigen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat konsumsi oksigen dengan ukuran bobot badan udang pama. Tingkat konsumsi oksigen udang pama semakin besar pada ukuran benih yang kecil dan berkurang sejalan dengan pertambahan bobot badan. Tingkat konsumsi oksigen udang pama dengan bobot berkisar 1,83–11 g adalah 0,26–1,82 mg/g udang/jam. Sedangkan estimasi pada tebar udang pama ukuran terkecil adalah 2.174 ekor/m3 atau 4 kg/m3 dan untuk ukuran terbesar adalah 1.045 ekor/m3 atau 11,5 kg/m3.
KATA KUNCI:
tingkat konsumsi oksigen, udang pama, P. semisulcatus
PENDAHULUAN Udang pama (Penaeus semisulcatus) memiliki nama umum green tiger prawn/grooved tiger prawn/ northern tiger prawn dengan nama lokal udang pama atau udang biru dan nama sinonim yakni penaeid prawns. Udang ini merupakan salah satu jenis udang lokal yang bernilai ekonomis. Udang pama memiliki badan berwarna coklat pucat, karapaks, dan abdomen dengan garis-garis pucat melintang. Antena berwarna putih dan coklat dengan kaki jalan dan pleopods kemerah-merahan. Uropods kekuning-kuningan (Anonimous, 2002). Sedangkan menurut Kailola et.al. (1993) bahwa P. semisulcatus berwarna hijau tua hingga hijau coklat tua, dengan garis-garis pada bagian abdomen, kaki-kaki, antenna, dan rostrum. Udang pama bersifat eurihaline sehingga dianggap berpeluang dibudidayakan di tambak. Meskipun demikian, karena udang pama cenderung tumbuh lebih baik pada salinitas yang lebih tinggi dan rentang suhu yang lebar maka pengembangannya dapat diarahkan untuk tambak yang bersalinitas tinggi terutama pada musim-musim tertentu (Sulaiman & Herlinah, 2006). Di lingkungan budidaya, parameter lingkungan tidak dapat dikontrol sehingga proses metabolisme dalam hal ini tingkat konsumsi oksigen akan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan dan selanjutnya kelarutan oksigen pada media pemeliharaan akan menjadi faktor pembatas (Via et.al., 1998). Laju metabolisme dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Karena metabolisme membutuhkan energi, sedangkan penyaringan energi dari makanan membutuhkan oksigen maka laju metabolisme dapat diduga dari tingkat konsumsi oksigen. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu, oksigen, dan aktivitas, pengaruhnya paling besar terhadap metabolisme. Oksigen terlarut ( dissolved oxygen ) merupakan salah satu peubah mutu air yang mampu mempengaruhi peubah lain dan juga dapat dipengaruhi oleh peubah lain seperti suhu, salinitas,
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
162
bahan organik dan kecerahan (Ahmad, 1991). Meskipun telah diketahui bahwa udang pama memiliki kisaran salinitas dan suhu yang luas, namun implikasi metabolisme dari kondisi ini belum diketahui padahal informasi fisiologi seperti tingkat konsumsi oksigen atau Oxygen Consumption Rate (OCR) sangat dibutuhkan (Djawad & Jompa, 2002). Estimasi padat tebar berdasarkan tingkat konsumsi oksigen penting dilakukan untuk mencegah padat tebar yang melebihi kapasitas dan daya dukung ketersediaan dari media budidaya. Untuk itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat konsumsi oksigen yuwana udang pama dan estimasi kepadatan stok maksimal (daya dukung) untuk budidaya. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di tambak Instalasi Penelitian Maranak, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan selama 1 (satu) bulan dengan sampling sebanyak tiga kali (tiap dua minggu). Hewan uji yang digunakan diperoleh dari tambak budidaya udang pama dengan bobot benih berkisar 0,63–10,36 g/ekor. Benih yang digunakan merupakan hasil pentokolan benih yang berasal dari hatcheri BRPBAP di Kabupaten Barru. Hewan uji diambil secara acak dari tambak pembesaran udang pama. Wadah percobaan yang digunakan adalah bentik jar (chamber) yakni alat yang terbuat dari kaca volume 1 L sebanyak 4 unit (1 unit sebagai kontrol/tanpa udang). Jumlah udang yang diukur adalah 2–4 ekor yang masing-masing terlebih dahulu dilakukan pengukuran panjang dan bobot. Sebelum pengukuran dimulai, keseluruhan bentik jar diinkubasikan selama 1 jam (aerasi) dalam wadah yang menggunakan air tambak bersalinitas 35 ppt sebagai media percobaan. Oksigen terlarut diukur dengan alat pengukur okksigen (TPSTM Model WP–82 DO meters). Data laju respirasi selama proses inkubasi diperoleh dari data loger yang merekam dinamika kandungan oksigen terlarut diukur setiap lima menit. Pada prinsipnya pengukuran ini menggunakan media air untuk mengetahui oksigen yang dikonsumsi/digunakan oleh udang uji dengan mengurangkan oksigen terlarut awal dan akhir setelah diinkubasi selama 1 jam. Data tersebut menunjukkan total konsumsi oksigen oleh udang pama. Data hasil pengukuran konsumsi oksigen tersebut dianalisis regresi dan korelasi untuk menentukan pola hubungan antara bobot udang pama dengan konsumsi oksigen menggunakan program Curve Expert. Ver.1.2. Selain merekam data kelarutan oksigen, data loger juga merekam secara otomatis nilai suhu dari media yang diukur. Tingkat konsumsi oksigen merupakan variabel yang dapat digunakan untuk menentukan laju metabolisme, ini berkaitan erat dengan pertumbuhan. Tingkat konsumsi oksigen dihitung berdasarkan formula (Liao & Huang, 1975) sebagai berikut:
OC =
V x (DO to - DO tn ) W x T
di mana: OC = Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g/jam) V = Volume air dalam wadah (L) DO to = Konsentrasi oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/L) DOt tn = Konsentrasi oksigen terlarut pada waktu t (mg/L) W = Bobot hewan uji (g) T = Periode pengamatan (jam) Estimasi model kepadatan stok (daya dukung) melalui kapasitas ketersediaan kelarutan oksigen (DO) dilakukan melalui 2 tahap yakni Tahap (1) ketersediaan oksigen terlarut yakni perbedaan antara ketersediaan O2 terlarut dalam sistem (O in) dan konsentrasi O2 terlarut minimal yang dikehendaki dari sistem (O out) yaitu 4 mg/L sebagai level kritis oksigen (Boyd, 1990; Lee et al., 2001 diacu dalam Rachmansyah, 2003). Jika dimisalkan volume air pemeliharaan diketahui Qo m3, maka Total O2 terlarut adalah:
163
Estimasi padat tebar udang pama ... (Herlinah)
⎧ g O2 ⎫ 3 ⎨Q o m x (Oin - Oout ) ⎬ + A = X kg O2 m3 ⎭ ⎩ di mana: A adalah produksi oksigen dari aerator (pada penelitian/perhitungan ini penggunaan aerator diabaikan). Tahap (2), jika tingkat konsumsi oksigen udang (Ro) diketahui, maka daya dukung maksimal yang diijinkan (kg udang) dapat dihitung yaitu:
X kg O2 per kg udang (Rachmansyah, 2003) R o kg O2 HASIL DAN BAHASAN Tingkat Konsumsi Oksigen
Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g/jam)
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa bobot badan udang pama (Penaeus semisulcatus) berpengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen. Konsumsi oksigen udang pama akan semakin berkurang sejalan dengan pertambahan bobot badan. Hal ini berarti, udang pama berbobot lebih kecil memiliki kemampuan mengkonsumsi oksigen lebih banyak dibandingkan dengan udang pama yang berbobot lebih besar pada waktu yang sama, seperti hasil yang terlihat pada Gambar 1.
2.00 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0.50
y = -0.0902x + 1.1341 R2 = 0.3615
2.30
4.10
5.90
7.70
9.50
11.30
Bobot basah udang pama (g)
Gambar 1. Hubungan antara tingkat konsumsi oksigen dengan bobot badan udang pama (Penaeus semisulcatus) Penurunan tingkat konsumsi oksigen berdasarkan peningkatan bobot badan dapat dipahami karena pada saat udang berukuran kecil/muda kebutuhan oksigen untuk respirasi banyak digunakan untuk berbagai kepentingan, selain untuk metabolisme sendiri juga untuk kepentingan pertumbuhan sel, moulting, dan lain-lain sedangkan untuk udang dewasa/ukuran lebih besar tidak sebanyak seperti pada ikan muda karena lebih untuk pertahanan diri (maintenance). Menurut Hepher & Pruginin (1981) bahwa tingkat kelarutan oksigen dipengaruhi oleh laju produksi oksigen melalui fotosintesis, laju transfer oksigen dari udara ke dalam air dan tingkat konsumsi oksigen karena respirasi, serta dipengaruhi oleh suhu dan salinitas (Boyd, 1990). Kebutuhan udang akan oksigen berbeda-beda, bergantung kepada spesies, ukuran stadia, aktivitas, jenis kelamin, saat reproduksi, tingkat konsumsi pakan, suhu, dan konsentrasi oksigen terlarut. Hal ini sejalan dengan pendapat Batara (2004) bahwa tingkat konsumsi oksigen udang antara lain bergantung pada ukuran/stadia udang (internal) dan status makan (eksternal).
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
164
Hasil analisis statistik menunjukan nilai Multiple R = 0,624 yang menunjukkan hubungan/korelasi yang kuat antara bobot badan udang dan konsumsi oksigen. Nilai R Square yang diperoleh yaitu 0,4 yang berarti 40% konsumsi oksigen dapat diprediksi oleh bobot badan dan sisanya diprediksi dari faktor lainnya. Kisaran tingkat konsumsi oksigen yang diperoleh selama penelitian adalah 0,26–1.82 mg/g/jam dari udang pama dengan bobot badan 1,83–10,96 g dengan korelasi berbanding terbalik. Kisaran kelarutan oksigen pada media yang digunakan pada awal penelitian/pengukuran adalah 3,14–7,90 mg/L (variasi waktu pengukuran yang luas yakni pagi hingga sore hari) dan setelah 1 jam pengukuran berkisar 0,13–4,11 mg/L pada media udang sedangkan kontrol 3,75–5,62 mg/L. Berdasarkan konsentrasi kelarutan oksigen dan konsekuensinya (Tabel 1), kondisi awal media masih memungkinkan dan sangat mendukung, namun setelah 1 jam kemudian kelarutan oksigen sudah mencapai daya letal yang tinggi dan bisa menyebabkan kematian. Pada bel jar dengan kelarutan oksigen pada akhir pengukuran sebesar 0,03–0,48 mg/L menyebabkan kematian pada udang uji. Tabel 1. Konsentrasi kelarutan oksigen dan konsekuensinya 1,0 mg/L
Daya letal tinggi (75%–90%) Kematian (~25%) pada ikan-ikan tertentu Peningkatan lethality (50%) pada yuwana krustase: lobster dan udang
1,5 mg/L
Kematian pada beberapa spesies ikan: ikan pipa, 50%; winter flounder , 35%; summer flounder , 5%; Menhaden Atlantik, 20% Ambang letal pada beberapayuwana krustase: lobster Amerika, udang pasir, udang rumput
2,0 mg/L
Pertumbuhan menurun (~50%) pada yuwana summer flounder and juvenile
grass shrimp Oksigen terlarut terendah aman bagi sintasan beberapa yuwana ikan dan 2,5 mg/L
Ambang letal (15%) untuk larva planktonik krustase yang masih sensitif Penurunan pertumbuhan (25%) pada yuwana udang rumput dan summer flounder; 50% pada lobster Amerika Tambahan spesies ikan yang hidup di dasar menunjukkan menghindari oksigen terlarut rendah
3,0 mg/L
Letal lebih tinggi (~75%) di antaranya yang sensitif adalah larva kepiting dan plankton Penurunan pertumbuhan (50%) in other, less sensitive planktonic crab larvae Penurunan pertumbuhan hingga 30% pada yuwana American lobsters Ikan yang hidup di dasar mulai menunjukkan menghindari oksigen terlarut
4,0 mg/L
Dapat menurunkan sintasan (30%) larva planktonik sangat sensitif
5,0 mg/L atau Sedikit efek kurang baik lebih besar Sumber: Zimmer (1996)
Nilai pH yang diperoleh selama penelitian adalah 7,8–8,0. Nilai pH yang diperoleh ini adalah nilai yang ideal dan sangat disenangi oleh organisme. Kisaran suhu selama penelitian adalah 30,6°C– 35°C sedangkan salinitas yakni 30–45 ppt. Kisaran suhu yang hampir sama juga diperoleh oleh Mangampa & Sulaeman (2009) selama masa pemeliharan udang pama pada waktu dan lokasi tambak yang sama yakni 29,1°C–34,9°C sedangkan salinitas yakni 25–46 ppt. Kisaran suhu dan salinitas ini dijelaskan pula dalam Keys (2003) bahwa larva zoea lebih menyukai perairan dengan salinitas yang lebih tinggi (sekitar 33 ppt) dan pada suhu 28°C–34°C. Protozoea dari P. semisulcatus tumbuh 5 kali lebih cepat pada suhu 32°C dibandingkan pada suhu 20°C, dan
165
Estimasi padat tebar udang pama ... (Herlinah)
pada salinitas rendah 29‰ tingkat pertumbuhan sedikit menurun (Jackson & Burford, 2003 dalam Rothlisberg, 1998). Fase protozoeae toleran terhadap suhu 21°C–30°C dan salinitas 28–35 ppt (Jackson et al ., 2001). Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan langsung antara suhu dan laju metabolisme dalam hal ini tingkat konsumsi oksigen, sebagaimana yang dijelaskan Fujaya (2004) bahwa peningkatan suhu 10°C menyebabkan peningkatan metabolisme 3–5 kali, serta menurut Brown (1987) bahwa peningkatan suhu 1°C meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Untuk itu masih diperlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam akan hal ini. Sintasan pada spesies euryhalin ini juga dipengaruhi oleh temperatur, di mana suhu tertinggi yang didapatkan sintasan yang baik adalah 25°C (Rothlisberg, 1998). Adaptasi protozoeanya terhadap temperatur dan salinitas juga memiliki kisaran yang cukup lebar (21°C–30°C, 28–35 ppt) (Jackson et al., 2001). Sedangkan Soyel & Kumlu (2003) menyatakan bahwa tingkat salinitas kritis yang terendah dan tertinggi untuk P. semisulcatus adalah 23 dan 55 ppt, dengan laju aklimatisasi 4–5 ppt/jam. Villarreal et al. (2003) telah melakukan penelitian dengan ekspos peningkatan salinitas (25, 35, 45, dan 55 ppt). Konsumsi oksigen ditemukan secara signifikan tergantung pada salinitas dan ekuivalen dengan 0,0027; 0,0037; 0,0043; dan 0,0053 mg/g/detik berturut-turut untuk kenaikan salinitas. Peningkatan tingkat konsumsi oksigen pada salinitas tinggi menunjukkan respons organisme terhadap osmoregulatori dan keseimbangan ionik. Peningkatan kebutuhan energi untuk memenuhi fungsi metabolisme dasar sebagai hasil dari peningkatan salinitas yang mengakibatkan berkurangnya energi untuk pertumbuhan. Sebagai konsekuensi, budidaya udang pada salinitas di atas 35 ppt mungkin akan mengakibatkan penurunan produksi. Estimasi Padat Tebar Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa untuk udang pama ukuran terkecil pada penelitian ini yakni 1,83 g, estimasi padat tebar ideal adalah 2.174 ekor/m3, dan untuk ukuran terbesar pada Tabel 2. Hasil-hasil penelitian dengan berbagai padat penebaran Nama penulis
Padat tebar
Jenis udang
Enang Haris (2010) (Oral presentation )
Produksi: ekstensif 1.000 kg/ha ekstensif pakan 2.000–4.000 (hambatan, oksigen) intensif aerasi tinggi 4.000–8.000 super intensif 20.000–100.000
Udang
Mangampa et al .
1.000–2.000 ekor/m2 (PL-12) bobot 0,003 g/ekor
P. semisulcatus
Supono & Wardiyanto (2008) 76–115 ekor/m2
Litopenaeus vannamei
Arnold et al . (2006)
5720 - 11,430 m?3 , bobot rata-rata benih 1,0 g
P. esculentus
Thakur & Lin (2003)
25 dan 50 yuwana/m2
P. monodon
Kungvankij & Chua (1986)
5.000–10.000/ha (ekstensif), 20.000–50.000/ha (semi P. monodon intensif), 50.000–300.000/ha (intensif) 10.000–50.000/ha (ekstensif), 80.000–100.000/ha P. merguiensis (semi intensif), 100.000–500.000/ha (intensif) 30.000–100.000/ha (ektensif), 100.000–300.000/ha P. japonicas (semi intensif), 300.000–2.500.000/ha (intensif)
Kholifah et al . (2008)
udang windu 20–50 ekor/m2)
P. monodon
Martin et al. (1998)
1–30 shrimp m–2
P. stylirostris
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
166
penelitian ini yakni 11 g adalah 1.045 ekor/m3. Padat tebar yang diperoleh dari hasil perhitungan tersebut perlu dilakukan pembuktian melalui aplikasi di tambak meskipun nilai yang diperoleh tidak begitu berbeda jauh dengan yang diterapkan selama ini pada udang-udang penaeid lainnya, seperti yang terlihat pada Table 2. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bobot badan udang pama ( Penaeus semisulcatus) berpengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen. Tingkat konsumsi oksigen udang pama dengan bobot berkisar 1,83–11 g adalah 0,26–1,82 mg/g udang/jam. Sedangkan estimasi padat tebar ideal udang pama ukuran terkecil adalah 2.174 ekor/m3 atau 4 kg/m3 dan untuk ukuran terbesar adalah 1.045 ekor/m 3atau 11,5 kg/m 3. DAFTAR ACUAN Ahmad, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang Intensif. Direktorat Jenderal Perikanan–International Development Research Center. Jaringan Informasi Perikanan Indonesia. Jakarta. Anonymous. 2002. The Mediterranean Science Commission. Penaeus semisulcatus. www.ciesm.org. Arnold, Sellars, M.J., Crocos, P.J., & Coman, G.J., 2006. An evaluation of stocking density on the intensive production of juvenile brown tiger shrimp (Penaeus esculentus). SIRO Marine Research, PO Box 120, Cleveland, Queensland, 4163, Australia Batara, T. 2004. Tingkat konsumsi oksigen udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan model pengelolaan oksigen pada tambak intensif. Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor, 27 hlm. Boyd, C.E. 1990. Water quality management in pond aquaculture. Birmingham. Publishing Co. Alabama, p. 3–163. Djawad, M.I. & Jompa. H. 2002. Changes in the oxigen consumption rate of larval and juvenile milkfish (Chanos chanos Forsskal) in fasting condition”. Proccedings of International Commemorative Symposium. Fisheries Science, 68(I): 1014–1015. Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. Hepher, B. & Pruginin, Y. 1981. Comercial fish farming. John Wiley & Sons. New York. Jackson, C.J. & Burford, M.A. 2003. The Effects of Temperature and Salinity on Growth and Survival of Larval Shrimp Penaeus semisulcatus (Decapoda: Penaeoidea). Jackson, C.J. et al. 2001. Role of Larval Distribution and Abundance in Overall Life-History Dynamic: a Study of the Prawn Penaeus semisulcatus in Albatross Bay, Gulf of Carpentaria, Australia. Marine Ecology Progress Series, 213: 241–252. Kailola, P.J., Williams, M.J., Stewart, P.C., Reichelt, R.E., McNee, A., & Grieve, C. 1993. Australian Fisheries Resources. Bureau of Rural Sciences, Department of Primary Industries and Energy, and the Fisheries Research and Development Cooperation, Canberra, Australia, 422 pp. Keys. 1993. Aspect of the biology and ecology of the brown tiger prawn, Penaeus esculentus, relevant to aquaculture. Aquaculture, 217: 324–334. Kholifah, U., Trisyani, N., & Yuniar, I. 2008. Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan pada Polikultur Udang Windu (Penaeus Monodon Fab) dan Ikan Bandeng (Chanos Chanos) pada Hapa di Tambak Brebes–Jawa Tengah. Neptunus, 14(2): 152–158. Kungvankij, P. & Chua, T.E. 1986. Shrimp culture: pond design, operation and managemen. NACA Training Manual Series No. 2. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Fisheries and Aquaculture Department www.fao.org/docrep/field/003/ac210e/AC210E08.htm. Liao, I.C. & Huang, H.J., 1975. Studies on the respiration of economic prawns in Taiwan. I. Oxygen consumption and lethal dissolved oxygen of egg up to young prawn of Penaeus monodon Fab. J. Fisheries Soc. Taiwan , 4(1): 33–50. Mangampa, M. & Sulaeman. 2009. Riset Pembesaran Udang Pama ( Penaeus semisulcatus ) di Tambak dengan Kepadatan yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Kelautan V. Universitas Hang Tuah Surabaya.
167
Estimasi padat tebar udang pama ... (Herlinah)
Mangampa, M., Sulaeman, Parenrengi, A., & Samuel, L. Optimalisasi padat tebar benih udang pama (Penaeus semisulcatus) pada pentokolan dengan sistem hapa di tambak. Martin, J.L.M., Veran, Y., Guelorget, O., & Pham, D. 1998. Shrimp rearing: stocking density, growth, impact on sediment, waste output and their relationships studied through the nitrogen budget in rearing ponds. Aquaculture, 164(1–4): 135–149. Rachmansyah. 2003. Analisis daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rothlisberg, P.C. 1998. Aspects of penaeid biology and ecology of relevance to aquaculture: a review 1. Aquaculture, 164: 49–65. Soyel, I.H. & Kumlu, M. 2003. The Effect of Salinity on Postlarval Growth and Survival of Penaeus semisulcatus (Decapoda: Penaeidae). Sulaiman & Herlinah. 2006. Udang Pama, Penaeus semisulcatus : Bisakah dibudidayakan di Indonesia?. Media Akuakultur , 1(3) Supono & Wardiyanto. 2008. Evaluasi budidaya udang putih ( Litopenaeus vannamei ) dengan meningkatkan kepadatan tebar di tambak intensif. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat , Universitas Negeri Lampung. Thakur, D.P. & Lin, C.K. 2003. Water quality and nutrient budget in closed shrimp ( Penaeus monodon) culture systems. Aquacultural Engineering, 27(3): 159–176. Via, J.D., Villani, P.E., Gasteiger, & Niederstatter, H. 1998. Oxygen consumption in sea bass fingerling Dicentrarchus labrax exposed to acute salinity and temperature change: metabolic basis for maximum stocking density estimations. Villarreal, H., Hernandez-Llamas, A., & Hewitt, R. 2003. Effect of salinity on growth, survival and oxygen consumption of juvenile brown shrimp, Farfantepenaeus californiensis (Holmes). Blackwell Synergy–Blackwell Publishing. Aquaculture Research, 34(2): 187–193. Zimmer, K. 1996. How Low Dissolved Oxygen Conditions Affect Marine Life In Long Island Sound. United States Environmental Protection Agency; Connecticut Department of Environmental Protection; New York State Department of Environmental Conservation.