ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
ANISSA KUSUARDINI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
ANISSA KUSUARDINI C54061306
RINGKASAN
ANISSA KUSUARDINI. Estimasi Konsentrasi Padatan Tersuspensi (TSS) dan Klorofil-a dari Citra Modis Hubungannya dengan Marak Alga Di Perairan Teluk Jakarta. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan SAM WOUTHUYZEN. Total padatan tersuspensi yang merupakan masukan dari darat dapat dilihat pengaruhnya secara langsung di perairan pesisir. Aktivitas manusia seperti pariwisata, transportasi laut, industri dan rumah tangga memberi sumbangan yang nyata terhadap total padatan tersuspensi (TSS) di laut lepas. Teluk Jakarta merupakan suatu perairan tempat bermuaranya sungai besar dan kecil yang melalui kota besar. Jadi banyak muatan organik maupun anorganik yang masuk ke sungai tersebut dan terakumulasi di teluk Jakarta. Tingginya jumlah bahan organik yang terdiri dari organisme mikro (fitoplankton dan zooplankton) dan detritus pada perairan akan meningkatkan konsentrasi padatan tersuspensi. Fitoplankton merupakan mikroalga yang dapat menghasilkan klorofil-a dan dalam kondisi tertentu dapat menjadi blooming yang membahayakan. Untuk menduga fenomena marak alga dengan penginderaan jauh dilakukan dengan pendekatan pengukuran klorofil-a. Sedangkan estimasi total padatan tersuspensi memanfaatkan citra MODIS dengan menggunakan algoritma empiris untuk ekstraksi informasi padatan tersuspensi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari algoritma yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta. Selain itu dianalisis pula hubungan kandungan konsentrasi TSS dan klorofil-a yang diekstrak dari citra MODIS dengan kejadian marak alga di perairan tersebut. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai November 2010 di Perairan Teluk Jakarta. Metode yang digunakan adalah pengembangan algoritma empiris TSS dan penerapan algoritma empiris yang telah ada untuk memetakan konsentrasi klorofil-a menggunakan citra MODIS. Model Algoritma yang digunakan untuk memetakan konsentrasi TSS adalah persamaan regresi linear, yaitu: y = 44.06x + 80.26. Model tersebut diperoleh dari nilai radiansi kromatisiti kanal merah citra MODIS. Untuk memetakan konsentrasi klorofil-a digunakan algoritma Wouthuyzen, 2006 (y = 250.09x3 – 106.92x2 + 11.781x + 0.0776). Konsentrasi TSS berkisar antara 80mg/l hingga >100mg/l pada bulan Februari sampai April, sedangkan klorofil-a berkisar antara 0,1-7,5 mg/m3 pada bulan Maret dan April. Pada bulan Maret dan April tidak terjadi marak alga di perairan Teluk Jakarta berdasarkan citra sebaran konsentrasi klorofil-a. Namun, marak alga terjadi pada bulan September 2010, dimana komponen material TSS pada saat kejadian marak alga didominasi oleh komponen organik dibandingkan anorganiknya. Hubungan antara konsentrasi TSS dan klorofil-a di perairan Teluk Jakarta memiliki korelasi positif, dimana semakin tinggi nilai klorofil diikuti oleh konsentrasi TSS-nya. Citra sebaran TSS dan klorofil-a menunjukkan daerah muara sungai memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan di perairan sekitarnya. Hal ini karena tingginya run-off dari darat melalui sungai yang membawa banyak nutrien, sehingga terjadinya eutrofikasi dan blooming alga di Teluk Jakarta.
© Hak cipta milik Anissa Kusuardini, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
ANISSA KUSUARDINI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SKRIPSI
Judul
: ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
Nama
: Anissa Kusuardini
NRP
: C54061306
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA NIP. 19561103 198503 1 003
Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc, APU NIP. 19560512 198103 1 008
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga penelitian ini dapat selesai. Skripsi yang berjudul Estimasi Konsentrasi Padatan Tersuspensi (TSS) dan Klorofil-a dari Citra Modis Hubungannya dengan Marak Alga Di Perairan Teluk Jakarta diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan. Dalam penyusunannya, Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas dukungannya baik secara moril maupun materil. 2. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M. Sc , APU selaku dosen pembimbing. 3. Prof. Dr. Ir. Dietrich G. Bengen, DEA selaku dosen penguji. 4. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen ITK, FPIK, IPB. 5. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2OLIPI) yang telah memberikan kesempatan mengikuti pengambilan data lapangan. 6. Dori Irianto yang telah memberikan dukungan dan motivasi, serta Sri Hutri Madela, Enda dan Cory yang telah membantu membagi informasi dalam penulisan skripsi 7. Seluruh Teman-teman, khususnya ITK ‘43 selalu berbagi suka dan duka serta saran-saran dan informasi yang dapat membangun penulisan skripsi ini
8. Teman-teman asisten praktikum mata kuliah Oseanografi Umum yang telah memberikan dukungan dan telah berbagi kesenangan. 9. Pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penulisan skripsi. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna baik untuk penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2011
Anissa Kusuardini
ii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR............................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
vii
1.
PENDAHULUAN ......................................................................... 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Tujuan......................................................................................
1 1 3
2.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2.1 Kondisi Umum Teluk Jakarta ................................................... 2.2 Total Padatan Tersuspensi ........................................................ 2.3 Klorofil-a ................................................................................. 2.4 Marak Alga .............................................................................. 2.5 MODIS .................................................................................... 2.6 Pengukuran Total Padatan Tersuspensi dengan Citra Satelit ..... 2.7 Pengukuran Klorofil-a dengan Citra Satelit ..............................
4 4 5 6 7 8 9 12
3.
BAHAN DAN METODE .............................................................. 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................... 3.2 Alat dan Bahan......................................................................... 3.3 Proses Pengolahan Citra ........................................................... 3.3.1 Ekstraksi Citra .................................................................. 3.3.2 Pengembangan Model ....................................................... 3.3.3 Pengujian Model ............................................................... 3.4 Proses Pengolahan Data insitu ..................................................
15 15 15 17 18 19 21 23
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 4.1 Pengembangan Model Estimasi TSS ........................................ 4.2 Analisis TSS Perairan Teluk Jakarta ......................................... 4.3 Pengujian dan Validasi Data ..................................................... 4.3.1 Uji-t .................................................................................. 4.3.2 Uji Residual Analisis ........................................................ 4.4 Pemetaan Konsentrasi TSS ....................................................... 4.5 Hubungan antara TSS dan konsentrasi Klorofil-a .....................
24 24 28 29 29 30 31 36
5.
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 5.1 Kesimpulan .............................................................................. 5.2 Saran ........................................................................................
43 43 43
iii
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
44
LAMPIRAN .........................................................................................
47
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................
52
iv
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Spesifikasi Satelit Terra dan Aqua MODIS .....................................
9
2.
Perolehan data Konsentrasi TSS Perairan dan Klorofil-a .................
16
3.
Nilai koefisien untuk mengubah DN ke radiansi (W m-2 µm-1 sr-1) di panjang gelombang sinar tampak dari tampak dari satelit Terra dan Aqua MODIS ...........................................................................
18
4.
Bentuk Persamaan Regresi ..............................................................
20
5.
Model algoritma percobaan menggunakan rasio antar kanal dari Berbagai persamaan regresi.............................................................
6.
25
Model algoritma percobaan menggunakan transformasi kromatisiti dari berbagai persamaan regresi ......................................................
26
7.
Hasil uji-t ........................................................................................
29
8.
Hasil uji residual analisis.................................................................
30
9.
Hasil uji-F .......................................................................................
37
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Koefisien absorpsi normal untuk klorofil, yellow substance dan padatan tersuspensi berdasarkan panjang gelombang.......................
2.
11
Grafik nilai absorpsi klorofil-a dan klorofil-b pada panjang gelombang tampak ..........................................................................
13
3.
Lokasi penelitian .............................................................................
15
4.
Diagram alir proses pengolahan data citra .......................................
17
5.
Plot hubungan antara kromatisiti radiansi kanal merah dengan TSS
27
6.
Hubungan antara TSS in situ dengan TSS dugaan ...........................
28
7.
Selang wilayah penerimaan atau penolakan hipotesis ......................
29
8.
Plot residual analisis .......................................................................
30
9.
Histogram citra MODIS hasil penerapan model algoritma ...............
32
10. Sebaran konsentrasi TSS pada 4 Februari, 22 Maret, 24 Maret, dan 7 April 2010 ....................................................................................
33
11. Sebaran konsentrasi TSS pada 9, 12, 19, dan 21 April 2010 ...........
34
12. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada 22 Maret 2010 .........................
37
13. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada 7 April 2010 ...........................
38
14. Sebaran konsentrasi klorofil-a (a) dan konsentrasi TSS (b) saat Terjadinya perkembangan marak alga pada 12, 14 dan 18 September 2010 ..............................................................................
41
15. Hubungan antara TSS dan Klorofil-a pada 14 September 2010 .......
42
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Uji-t antara TSS in situ dengan TSS Pengembangan Model.............
48
2.
Uji-F antara TSS dan Klorofil-a Perairan Hasil Dugaan ..................
49
3.
Data Lapangan TSS pada Saat Survei..............................................
50
4.
Foto-foto Kegiatan Pengambilan Data .............................................
51
vii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Total padatan tersuspensi (total suspended solid) yang selanjutnya dinamakan TSS merupakan material yang masuk ke perairan sungai menuju ke wilayah pesisir dan laut lepas. Material tersebut umumnya berasal dari berbagai akivitas manusia di darat, seperti pertanian, pariwisata, industri dan rumah tangga (pemukiman) serta aktifitas lainnya di laut, seperti pengerukan dasar laut (dredging) untuk pembuatan atau pendalaman alur pelayaran dan yang disebabkan oleh alam, seperti angin kencang, atau arus dan gelombang yang kuat. Teluk Jakarta merupakan suatu perairan tempat bermuaranya 13 sungai baik sungai berukuran besar maupun kecil yang melalui kota-kota besar seperti Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Ketigabelas sungai tersebut membawa banyak sekali material baik organik maupun anorganik yang kemudian akan terakumulasi di Teluk Jakarta (Rojali, 2009), sehingga mengakibatkan kualitas perairan Teluk Jakarta mengalami degradasi dan eutrofikasi. Gabungan material organik dan anorganik yang disebut TSS dapat digunakan sebagai indikator perubahan kualitas perairan di wilayah pesisir. Banyaknya TSS di suatu perairan baik yang organik (fitoplankton, zooplankton dan biodegradasinya) maupun yang anorganik (sedimen, tanah atau lempung merah) akan membuat tingkat kekeruhan perairan semakin tinggi. Oleh karenanya TSS merupakan salah satu parameter biofisik perairan penting yang dapat mencerminkan dinamika perairan wilayah pesisir. Dari kedua komponen utama TSS tersebut, komponen mana (organik atau anorganik) yang lebih mendominasi di suatu perairan dan apa penyebabnya belum banyak diketahui.
1
2
Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam secara efektif dan efisien, yaitu melalui penggunaan teknologi penginderaan jauh yang belakangan ini sudah banyak digunakan melalui pemanfaatan data citra satelit. Kajian tentang TSS di beberapa perairan Indonesia pernah dilakukan, namun masih sedikit, terutama untuk perairan Teluk Jakarta dan terlebih lagi untuk mengetahui komponen mana yang lebih mendominasi TSS. Data penginderaan jauh mampu menghasilkan informasi yang berguna untuk memetakan, memonitor dan mengevaluasi wilayah pesisir dan laut yang luas secara berulang dan pada waktu yang bersamaan (real time) terutama pada daerah yang sulit dicapai dengan cara tradisional dalam pengumpulan data lapangannya (Ambarwulan et al., 2003). Saat ini banyak jenis satelit yang beroperasi yang berguna untuk memetakan sebaran TSS dan klorofil-a. Masing-masing satelit memiliki resolusi spasial dan temporal yang berbeda-beda, Indah (2009) dan Sidabutar (2009) telah menggunakan data multi-temporal citra Landsat-7 ETM yang beresolusi spasial 30x30m, dan resolusi temporal 16 hari untuk memetakan konsentrasi TSS dan klorofil-a Teluk Jakarta. Selain itu, terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan pendugaan kualitas perairan menggunakan citra MODIS. Misal, Tarigan (2008) memantau kualitas perairan (klorofil-a) di Teluk Jakarta. Wong et al. (2008) membuat model kualitas perairan di perairan Hongkong. Penelitian ini mengembangkan model empiris untuk mengestimasi TSS dan konsentrasi klorofil-a dengan memakai data citra satelit Terra dan Aqua MODIS yang walaupun secara resolusi spasialnya kasar (500x500 m) dibandingkan citra Landsat (30x30 m), namun secara temporal citra tersebut tersedia dalam basis harian, sehingga sangat baik untuk keperluan pemantauan.
3
1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mencari algoritma empiris yang dapat digunakan untuk menduga konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta dengan menggunakan data satelit Terra- dan AquaMODIS. 2. Mengetahui komponen mana (organik atau anorganik) yang lebih mendominasi perairan Teluk Jakarta dengan melihat hubungan antara konsentrasi TSS dan klorofil-a, khususnya pada saat kejadian marak alga di perairan tersebut.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur 106°20’00” BT hingga 107°03’00” BT dan garis lintang 5°10’00”LS hingga 6°10’00” LS yang membentang dari Tanjung Pasir di bagian Barat hingga Tanjung Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai ± 89 Km. Panjang garis yang menghubungkan kedua Tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut (Arifin, 2004). Secara administratif, perairan laut Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi (Propinsi Jawa Barat) di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang (Propinsi Banten) di sebelah barat (Anggraeni, 2002) Perairan Teluk Jakarta yang dikategorikan sebagai perairan pantai (Coastal Water) mempunyai peranan yang sangat besar di berbagai sektor, antara lain sektor perhubungan, perdagangan, perikanan, pariwisata dan lainnya. Kegiatan berbagai sektor yang sedemikian banyak dan tidak terkendali tentunya akan menurunkan tingkat kualitas perairannya (BPLHD DKI Jakarta, 2006). Teluk Jakarta juga merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melewati kota Jakarta dan kota-kota lain di wilayah Jabodetabek yang tentunya akan membawa berbagai limbah baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya, sehingga perairan ini menerima beban pencemaran yang cukup berat. Di lain pihak, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bagi nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan dan usaha budidaya
4
5
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Provinsi DKI Jakarta (BPLHD DKI Jakarta, 2006). Teluk Jakarta dipengaruhi oleh musim Barat (hujan) dari bulan DesemberFebruari dan musim Timur dari bulan Juni-Agustus, serta dua musim peralihan, yaitu musim peralihan satu dari penghujan ke musim kemarau (Maret-Mei) dan peralihan dua dari musim kemarau ke musim hujan (September-November). Pada musim Barat angin berhembus kencang dan arus kuat bergerak dari barat daya hingga barat laut disertai hujan yang cukup deras. Arus yang kuat dengan kecepatan mencapai 4-5 knot (mil/jam) dan tinggi gelombang dapat mencapai 2 meter mengakibatkan kejernihan air laut berkurang. Pada musim Timur angin bertiup dari arah timur sampai tenggara dengan kecepatan 0,7-15 knot/jam. Pada musim peralihan kondisi laut berubah-ubah namun relatif tenang (Sub Balai Konservasi SDA DKI Jakarta, 1995).
2.2. Total Padatan Tersuspensi (TSS) TSS terdiri atas material anorganik dan organik, material anorganik berasal dari proses pelapukan batuan yang ditranspor melalui sungai dan udara dan yang berasal dari dalam laut itu sendiri. Burton dan Liss (1976) dalam Sanusi (2006) mengatakan bahwa produk pelapukan dari darat yang ditranspor ke laut melalui sungai mencapai jumlah 1,8 x 1016 gram/tahun, sedangkan melalui udara sebesar 1 – 5 x 1014 gram/tahun. Batas diameter padatan tersuspensi adalah ≥ 0,45 µm, terlarut jika diameternya < 0,2 µm dan koloid jika diameternya diantara 0,2 µm 0,45 µm (Sanusi, 2006). Adapun material organik berasal dari partikel planktonik (fito- dan zooplankton, bakteri, dan detritus). Disamping itu, ada pula material sisa kejadian vulkanik, hasil reaksi kimia (mangan; besi oksida; alumunium;
6
silika) (Clark, 2002 in Sutherland, 2006). Tinggi rendahnya konsentrasi TSS akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari pada kolom air, sehingga selanjutnya berdampak terhadap proses fotosintesis sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan (Tarigan dan Edward, 2003).
2.3. Klorofil-a Klorofil adalah kelompok pigmen fotosintesis yang menyerap cahaya biru, dan merah, serta merefleksikan cahaya hijau. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan (Clark, 2002 in Sutherland, 2006). Di perairan laut, konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan pantai dan pesisir, serta menjadi rendah di perairan lepas pantai karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan melalui sungai, namun pasokan nutrien tersebut semakin berkurang seiring menjauhi pantai. Walaupun demikian, pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dapat pula dijumpai klorofil-a dalam konsentrasi tinggi yang disebabkan adanya fenomena up-welling, dimana massa air dari lapisan dalam yang mengandung nutrien tinggi naik ke lapisan permukaan (Septiawan, 2006). Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang kemudian berperan sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di laut. Namun fitoplankton tertentu dapat pula menurunkan kualitas perairan laut apabila jumlahnya sangat berlebih (blooming), dimana selanjutnya dapat menyebabkan berbagai akibat
7
negatif bagi ekosistem perairan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai makhluk air lainnya (Wiadnyana, 1996).
2.4. Marak Alga Marak alga (algae blooms) adalah suatu fenomena meledaknya populasi fitoplankton di suatu perairan yang dapat menyebabkan penurunan drastis kadar oksigen (< 2 mg/l), sehingga menyebabkan kematian massal biota air. Jika ledakan populasi fitoplankton yang diikuti dengan keberadaan jenis fitoplankton beracun akan menimbulkan ledakan populasi alga berbahaya (Harmful Algae Blooms). HABs merupakan fenomena alami yang saat ini terus meningkat di berbagai perairan dunia. Terjadinya HABs di suatu wilayah biasanya membahayakan lingkungan dan menurunkan perekonomian akibat toksin yang dihasilkan (Sidharta, 2005). Toksin yang dihasilkan HABs dapat mengkontaminasi manusia melalui perantara kerang dan ikan (Aunurohim et al., 2008). Toksin yang dihasilkan oleh organisme penyebab HABs dikenal dengan nama phycotoxin. Phycotoxin sendiri diproduksi oleh alga sebagai mekanisme pertahanan biologi terhadap predator (Sidharta, 2005). Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya eutrofikasi, upwelling yang mengangkat massa air kaya unsurunsur hara, adanya hujan lebat dan masuknya air ke laut dalam jumlah yang besar (Wiadnyana, 1996). Banyaknya nutrien dapat memicu HABs, termasuk kotoran dan buangan hewan, deposisi atmosfer, dan masukan air tanah dari aktifitas pertanian dan pupuk. Sumber lain yaitu adanya industri akuakultur (tambak) yang banyak terdapat di pesisir laut (Anderson et al., 2002).
8
2.5. MODIS MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer adalah sensor yang dipasang pada satelit Terra dan Aqua yang dirancang oleh Earth Observing System (EOS), NASA untuk menyediakan observasi global mengenai daratan, lautan dan atmosfer dalam waktu jangka panjang (Ahmad et al., 2002). Satelit Terra mengorbit bumi dari utara ke selatan melewati ekuator di pagi hari, sedangkan Aqua bergerak dari selatan ke utara melewati ekuator pada siang hari. Terra MODIS dan Aqua MODIS mengambil gambar seluruh permukaan bumi setiap 1 hingga 2 hari, dimana data yang direkamnya terdiri atas 36 band dengan spektral panjang gelombang berkisar dari 0.4 µm hingga 14.4 µm, yang terdiri dari 3 resolusi spasial, yaitu 250m (2 band), 500m (5 band) dan 1000m (29 band) (Tarigan, 2008). Data tersebut dapat meningkatkan pemahaman mengenai dinamika global dan proses-proses yang terjadi di daratan, lautan, dan pada atmosfer. MODIS berperan penting dalam mengembangkan sistem model interaktif bumi yang mampu memprediksi perubahan global dengan akurasi yang cukup tinggi, serta membantu untuk mengambil kebijaksanaan dalam membuat keputusan untuk memproteksi lingkungan. Spesifikasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 (NOAA).
9
Tabel 1. Spesifikasi Satelit Terra dan Aqua-MODIS Orbit 705 km, 10:30 descending node (Terra) dan 13:30 ascending node (Aqua), sun-synchronous, dekat kutub, sirkuler Kecepatan pengamatan
20.3 rpm melewati lintasan
Dimensi sapuan
2330 km (melewati lintasan), 10 km (melintas dekat nadir)
Teleskop
17.78 cm diameter
Ukuran dan berat
1.0 x 1.6 x 1.0 m ; 228.7 kg
Daya
162.5 W (rata-rata per orbit)
Kecepatan data
10.6 Mbps (puncak siang hari); 6.1 Mbps (rata-rata di orbital)
Kuantifikasi
12 bit
Resolusi spasial
250 m (kanal 1-2), 500 m (kanal 3-7), 1000 m (kanal 8-36)
Umur
6 tahun
Sumber : NOAA (2009)
2.6. Pengukuran Total Padatan Tersuspensi Dengan Citra Satelit Penginderaan jauh telah memegang peranan penting untuk inventarisasi, monitoring dan pengelolaan wilayah pesisir melalui kemampuannya memberikan gambaran sinopsis dari wilayah tersebut (Ambarwulan et al., 2003). Citra satelit merupakan salah satu hasil dari teknologi penginderaan jauh yang dapat menggambarkan secara detail kenampakan di bumi. Salah satu aplikasinya adalah dapat mempelajari kualitas air di suatu perairan terbuka. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu yang dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barret dan Curtis, 1982). Kualitas suatu perairan yang dapat dipelajari menggunakan citra satelit diantaranya adalah konsentrasi padatan tersuspensi. Seluruh tubuh perairan secara alami mengandung bahan
10
tersuspensi yang terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik. Menurut Clark (2002) in Sutherland (2006) padatan tersuspensi organik sendiri terdiri dari partikel planktonik (zooplankton dan fitoplankton), algae, bakteri dan detritus (dekomposisi dari zooplankton, fitoplankton, dan tumbuhan makro). Padatan tersuspensi dapat dipantau dengan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan model statistik. Sifat optik laut dapat dilihat berdasarkan pembentuk warna perairan. Berdasarkan materi pembentuk warna perairan, maka perairan dibagi menjadi dua, yakni (Robinson, 1985): kasus I merupakan daerah perairan lepas pantai (oseanik) yang jernih dengan komponen utama yang mempengaruhi sifat optik atau biooptik air laut adalah pigmen-pigmen fitoplankton (khususnya klorofil-a); dan kasus II merupakan perairan turbid di daerah pesisir, dimana sifat optik air laut kemungkinan besar didominasi oleh material sedimen (suspended material), material organik (yellow substances) dan material lainnya. Pada perairan kasus II, material tersebut membuat banyaknya perbedaan daya serap dan pantul dari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan terhadap perairan dan waktu yang berbeda. Penentuan koefisien absorpsi dan fungsi hamburan (scattering) pada perairan kasus II sangat sulit (Fischer dan Doerffer, 1987). Salah satu penyebabnya adalah berbedanya koefisien nilai absorpsi material-material yang terdapat pada perairan kasus II (Gambar 1) serta kurang rincinya resolusi spasial untuk daerah pesisir dan muara sungai (Meaden dan Kapetsky, 1991).
11
Gambar 1. Koefisien absorpsi normal untuk klorofil ( ), yellow substance (…) dan padatan tersuspensi (---) berdasarkan panjang gelombang (Fischer dan Doerffer, 1987).
Warna air laut dan partikel tersuspensi di suatu perairan dapat dideteksi oleh berbagai spektrum gelombang elektromagnetik. Salah satunya adalah spektrum gelombang cahaya tampak yang berkisar pada panjang gelombang 390-740 nm (Bukata et al.,1995 in Sutherland, 2006), namun hal tersebut bergantung pada intensitas cahaya. Intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan bertambahnya lapisan air. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang mengakibatkan kolom perairan yang jernih akan terlihat berwarna biru. Metode pengukuran total padatan tersuspensi dengan citra satelit bersifat lokal. Artinya bahwa algoritma suatu perairan belum tentu dapat digunakan di perairan lain. Setidaknya terdapat beberapa algoritma yang digunakan dengan citra satelit yang berbeda yaitu algoritma empiris yang didasarkan hubungan antara nilai digital citra dan nilai radian atau nilai reflektansi (Sulma et al., 2005). Model algoritma empiris pendugaan parameter kualitas air dibuat dengan terlebih
12
dahulu mengetahui kanal yang sensitif dan kanal yang tidak sensitif terhadap parameter yang akan diamati. Pemilihan kanal yang sesuai untuk mengembangkan model atau algoritma dilakukan dengan cara meregresikan data digital dari rasio kanal yang potensial menduga kualitas air tersebut. Pada data MODIS, kanal yang sesuai untuk digunakan untuk memantau parameter kualitas air antara lain kanal 1 dan 2 (untuk resolusi spasial 250 m), dua kanal (kanal 3 dan 4) (459-565 nm) pada resolusi spasial 500 m, dan 9 kanal (kanal 8-19) (visibelinframerah dekat) pada resolusi spasial 1000 m (O’Reilly et al., 1998 in Prasasti et al., 2005).
2.7. Pengukuran Klorofil-a Dengan Citra Satelit Penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi klorofil dan pola sebarannya dalam suatu perairan. Sebagaimana dengan pengukuran sedimen tersuspensi, penginderaan klorofil dalam air didasarkan pada pengembangan hubungan antara reflektansi kanal atau rasio kanal dengan klorofil. Satelit penginderaan jauh telah berhasil mendeteksi marak alga pada perairan skala besar dengan menggunakan citra satelit MODIS dengan resolusi spasial 1 km. Untuk perairan pesisir digunakan citra satelit MODIS dengan resolusi medium (250 dan 500 km) (Kahru et al., 2005). Data reflektansi terkoreksi dari MODIS kanal 1 (620-670 nm), 2 (841-876 nm), 3 (459-479 nm) dan 4 (545-565 nm) digunakan untuk membuat sebaran marak alga (Kahru et al., 2005). Hubungan linier antara klorofil-a dan energi hamburan alga muncul terutama pada panjang gelombang 700-705 nm dan klorofil-a memiliki nilai absorpsi pada panjang gelombang 390-680 nm (Ritchie dan Cooper, 2000).
13
Gambar 2. Grafik nilai absorbsi klorofil-a dan klorofil-b pada panjang gelombang tampak (Ritchie dan Cooper, 2000).
Warna laut didefinisikan sebagai radians atau energi gelombang elektromagnetik yang keluar dari permukaan air laut pada panjang gelombang tampak (400- 700 nm). Energi tersebut dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam air seperti total pigmen (perjumlahan antara konsentrasi klorofil-a dan faeofitin-a), bahan organik dan anorganik yang tersuspensi (seston) dan lain-lain (Barale, 1986; Holigan et al., 1989; Wouthuyzen, 1991 in Tarigan, 2008). Komponen utama yang mempengaruhi sifat optik-biooptik air laut di daerah lepas pantai adalah pigmen–pigmen fitoplankton (khususnya klorofil-a). Klorofil-a merupakan parameter kualitas air yang sifat optisnya paling kuat dan memiliki peranan yang penting dalam penentuan tingkat kesuburan suatu perairan. Menurut Curran (1985) in Prasasti et al (2005), pigmen seperti klorofil-a memiliki sifat absorbansi yang tinggi pada kanal biru dan merah dengan puncaknya masing-masing pada kisaran 430 nm dan 665 nm. Pantulan maksimum terjadi pada kanal hijau, karena klorofil-a tidak menyerap radiasi gelombang elektromagnetik pada saluran ini. Puncak absorbsi klorofil terhadap cahaya (Gambar 2) terjadi pada kisaran panjang gelombang 425-450 nm dan 665-
14
680 nm (Yentsch, 1980; Grahme, 1987 in Prasasti et al., 2005 ). Pemilihan kanal yang sesuai untuk mengembangkan model algoritma klorofil-a dilakukan dengan cara meregresikan data digital dari rasio kanal. Salah satu model algoritma untuk menduga konsentrasi klorofil-a perairan Teluk Jakarta (Wouthuyzen dkk, 2006 in Tarigan, 2008) adalah : y = 250.09x3 - 106.92x2 + 11.781x + 0.0776 dimana: y adalah sebaran klorofil-a x adalah kromatisiti merah = (ND band merah)/(ND band merah + ND band hijau + ND band biru)
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Oktober 2010 yang terdiri dari tiga tahap yaitu pengambilan data insitu, pengolahan data dan penyusunan laporan. Pengambilan data in situ dilakukan pada 20 – 26 Maret 2010 (Lampiran 3) dengan lokasi di Perairan Teluk Jakarta yang terletak pada koordinat 5° 43’ 3.6” LS – 6° 13’ 59.99” LS dan 106° 24’ 0” BT – 107° 21’ 49.3” BT (Gambar 3).
Gambar 3. Lokasi Penelitian
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam proses pengolahan data dan penyusunan laporan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak pengolahan data geografis, HEGTool, Idrisi Andes dan MS Office. Bahan penelitian berupa data citra MODIS level 1B yang telah terkalibrasi nilai radiansnya diperoleh dari
15
16
NASA. Citra MODIS yang digunakan memiliki resolusi spasial 500 meter dan memiliki resolusi temporal dengan basis harian (2 hari). Pada penelitian ini hanya digunakan 3 kanal pada panjang gelombang tampak, yaitu kanal merah (MODIS band 1: 0,620-0,670 µm), biru (MODIS band 3: 0,459-0,479 µm) dan hijau (MODIS band 4: 0,545-0,645 µm). Akuisisi dan perolehan citra MODIS terlihat pada Tabel 2. Perekaman citra dilakukan pada tanggal yang sama dengan pengambilan data in situ.
Tabel 2. Perolehan Data Konsentrasi TSS Perairan dan Klorofil-a Perolehan Citra Data in situ P2O LIPI Hasil Unduh* √ 1 4 Februari 2010 √ √ 2 22 Maret 2010 √ √ 3 24 Maret 2010 √ 4 7 April 2010 √ 5 9 April 2010 √ 6 12 April 2010 √ 7 19 April 2010 √ 8 21 April 2010 √ 9 12 September 2010 √ 10 14 September 2010 √ 11 18 September 2010 *) Diperoleh dari website: http://rafidfire.sci.gsfc.nasa.gov/realtime/ No.
Tanggal Akuisisi Citra MODIS
Keterangan Aqua Terra Terra Terra Aqua Terra Aqua Aqua Terra Terra Terra
Pengambilan data in situ dilakukan sekitar ± 2 - 3 jam dari waktu lintasan citra diatas Teluk Jakarta , yaitu sekitar pukul 07.30-12.00. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data in situ yaitu kapal, kertas saring whatman GF/C, cool box, es batu, botol sampel plastik, vacuum pump, timbangan, oven dan sampel air laut perairan Teluk Jakarta (Lampiran 4).
17
3.3 Proses Pengolahan Data Citra Pengolahan citra satelit MODIS hingga menghasilkan output yang akan dikaji secara umum dapat dilihat pada Gambar 4. Kanal-kanal yang akan digunakan untuk memperoleh nilai radiansi pada padatan tersuspensi kaitannnya dengan marak alga adalah kanal 1 (merah), kanal 4 (hijau) dan kanal 3 (biru).
Citra MODIS kanal 1, 3, 4 Data insitu padatan tersuspensi
Ekstraksi citra
Pengembangan model
Padatan tersuspensi
Klorofil-a
Uji model
Seleksi model
Citra sebaran Klorofil-a
Klasifikasi Penerapan model algoritma padatan tersuspensi Citra sebaran Padatan tersuspensi
Peta sebaran klorofil-a di Teluk Jakarta
Klasifikasi
Peta sebaran padatan tersuspensi di Teluk Jakarta Gambar 4. Diagram alir proses pengolahan data citra
18
3.3.1 Ekstraksi Citra Pengolahan citra diawali dengan dilakukannya koreksi geometrik, radiometrik dan atmosferik untuk mengurangi noise pada data. Citra MODIS yang sudah terkoreksi kemudian di ekstraksi nilai digitalnya menjadi nilai radiansi. Ekstraksi citra dibagi menjadi dua yaitu ektraksi untuk estimasi konsentrasi padatan tersuspensi (TSS) yang akan digunakan untuk pengembangan model dan ekstraksi klorofil-a. Proses ekstraksi nilai digital menjadi nilai radiansi menggunakan persamaan berikut:
Radiansi = DN*Scale + Offset……………………………………………. (pers.1) Nilai koefisien skala dan offset untuk mengubah digital number (DN) ke dalam radiansi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai koefisien untuk mengubah DN ke radiansi (W m-2 µm-1 sr-1) di panjang gelombang sinar tampak dari satelit Terra dan Aqua MODIS Kanal -1 (merah) Kanal - 4 (hijau) Kanal - 3 (biru) Satelit Scale offset Scale offset Scale offset Terra 0.0262678 0 0.0189215 0 0.0216817 0 Aqua 0.0286548 0 0.0188667 0 0.0219852 0 Sumber: NASA Goddart Space Flight Center
Nilai ekstrak radiansi citra MODIS untuk TSS digunakan bersama dengan data in situ TSS untuk membuat model algoritma yang sesuai untuk estimasi TSS. Model percobaan kemudian di uji dengan uji-uji statistik dan diseleksi untuk mencari model algoritma yang paling baik digunakan. Sebaran klorofil-a dipetakan dengan menggunakan algoritma yang sudah ada yaitu algoritma Wouthuyzen dkk (2006):
19
y = 250.09x3 - 106.92x2 + 11.781x + 0.0776……………………………… (pers.2) dimana: y adalah sebaran klorofil-a x adalah kromatisiti merah = (ND band merah)/(ND band merah + ND band hijau + ND band biru)
3.3.2 Pengembangan Model Pengembangan model empiris pendugaan total padatan tersuspensi dilakukan dengan cara mengkorelasikan nilai ekstrak radiansi citra MODIS pada koordinat yang sama dengan menggunakan berbagai bentuk persamaan regresi (Tabel 4). Pengembangan model algoritma untuk estimasi konsentrasi padatan tersuspensi perairan dilakukan dengan komposit nilai radiansi pada kanal 1, kanal 3, dan kanal 4 yang dapat menggambarkan distribusi blooming alga (Kahru et al. 2005). Perbandingan radiansi yang digunakan untuk menduga parameter padatan tersuspensi dapat berupa radiansi pada kanal tunggal, rasio antar kanal, ataupun transformasi kromatisiti antar kanal dari citra MODIS. Berdasarkan Wouthuyzen et al. (2008) in Lestari (2009), transformasi radiansi pada kanal 1 (merah), kanal 4 (hijau) dan kanal 3 (biru) pada citra MODIS adalah sebagai berikut: 1. Rasio kanal merah / biru =
kanal 1 kanal 3
2. Rasio kanal merah / hijau =
kanal 1 kanal 4
3. Rasio kanal biru / hijau =
kanal 3 kanal 4
4. Kromatisiti merah =
kanal 1 ( kanal 1 + kanal 3 + kanal 4)
20
5. Kromatisiti biru =
kanal 3 ( kanal 1 + kanal 3 + kanal 4)
6. Kromatisiti hijau =
kanal 4 ( kanal 1 + kanal 3 + kanal 4)
Persamaan yang akan dicoba untuk membuat model algoritma yaitu bentuk persamaan regresi pada Tabel 4. Variabel x adalah nilai radiansi citra setiap kanal, sedangkan y adalah nilai konsentrasi padatan tersuspensi pada koordinat dan tanggal yang sama.
Tabel 4. Bentuk Persamaan Regresi No. Model Persamaan 1 Linear 2 Eksponensial 3 Polinomial (orde 2) 4 Polinomial (orde 3) 5 Logaritmik 6 Power
Bentuk Model y = ax + b y = a * exp(bx) y = ax2 + bx + c y = ax3 + bx2 + cx + d y = a*ln(x) + b y = a * xb
Model algoritma yang akan dikembangkan menggunakan persamaan regresi antara konsentrasi TSS in situ dengan nilai radiansi kanal tunggal, rasio antar kanal, dan transformasi kromatisiti kanal merah, hijau atau biru. Algoritma yang telah dihasilkan selanjutnya diaplikasikan pada citra untuk digunakan dalam estimasi padatan tersuspensi dan divalidasi dengan nilai in situ. Dari beberapa model algoritma pendugaan nilai TSS yang dihasilkan kemudian dipilih yang terbaik dengan koefisien determinasi (R2) tertinggi dan RMS error (Root mean square error) terkecil, untuk melihat keeratan hubungan antara nilai data in situ dan hasil dugaan. Bila R2 mendekati +1 hubungan antara kedua peubah tersebut kuat, maka terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya. Sebaliknya jika R2 mendekati nol, hubungan linear keduanya sangat lemah (Walpole, 1995).
21
Sedangkan nilai RMS error yang mendekati nilai nol (0) akan menunjukkan model algoritma semakin baik.
RMS error =
(nilai insitu − nilai dugaan) 2 n−2 …………………………… (pers.3)
Keterangan: Nilai insitu adalah konsentrasi TSS hasil pengukuran Nilai dugaan adalah konsentrasi TSS hasil pengembangan model n adalah jumlah data
3.3.3 Pengujian Model Pengujian model bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara nilai dugaan konsentrasi TSS dari pengembangan model dengan data in situ konsentrasi TSS. Pengujian model ini dilakukan setelah mendapatkan nilai R2 dan RMS error yang paling baik. Untuk pengujian model digunakan uji beda nilai tengah dua arah (uji-t), uji residual analisis dan uji dua variabel (uji-F). Uji-t adalah uji hipotesis yang menolak hipotesis nol jika statistik sampel secara signifikan lebih tinggi atau lebih rendah daripada nilai parameter yang diasumsikan. Hipotesis tersebut diharapkan nilai tengah konsentrasi TSS in situ dengan nilai tengah konsentrasi TSS dugaan tidak berbeda nyata (µ 1 = µ 2) atau terima H0 sehingga model yang digunakan tervalidasi dengan baik untuk menduga konsentrasi TSS. Hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatifnya (H1) adalah (Harinaldi, 2005): H0 : µ 1 = µ 2 H1 : µ 1 ≠ µ 2
22
Keterangan: H0 adalah bila nilai tengah konsentrasi TSS in situ sama dengan nilai tengah konsentrasi TSS dugaan. H1 adalah bila nilai tengah konsentrasi TSS in situ tidak sama dengan nilai tengah konsentrasi TSS dugaan. µ 1 adalah nilai tengah konsentrasi TSS in situ. µ 2 adalah nilai tengah konsentrasi TSS dugaan. Uji residual analisis merupakan uji perbedaan antara parameter dugaan yang berasal dari hasil pemodelan dengan parameter insitu sebagai validasinya. Residual memberikan tampilan porsi validasi data yang tidak dapat dijelaskan oleh model (Mathworks, 2010). Uji residual analisis ini bertujuan untuk mengetahui selisih antara nilai TSS hasil dugaan dengan nilai data TSS insitu. Dari hasil uji tersebut dapat diketahui besar ketepatan antara TSS dugaan dengan TSS insitu yang dibatasi antara kedua parameter tersebut. Hasil yang akan diperoleh dari uji ini adalah:
Ketepatan hubungan (%) ± kesalahan duga (bias) Uji-F digunakan untuk pengujian dua sampel atau lebih yang berbeda. Dalam uji-F parameter dan hipotesisnya berbeda dibandingkan dengan uji-t. Parameter yang diujikan dalam uji-F adalah antara konsentrasi TSS hasil pendugaan dengan klorofil dari model hubungan yang terbentuk. Uji-F dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya hubungan saling mempengaruhi antara konsentrasi TSS dengan klorofil. Hipotesis yang digunakan dalam uji-F adalah (Walpole, 1995): H0 : β = 0 H1 : β ≠ 0
23
dimana: H0 adalah bila ada hubungan yang nyata antara TSS dan klorofil-a. H1 adalah bila tidak ada hubungan yang nyata antara TSS dan klorofil-a. β adalah nilai pendugaan TSS dan klorofil-a.
3.4 Proses Pengolahan Data in situ Data total padatan tersuspensi in situ dihitung dengan metode gravimetri. Prinsip dari metode ini adalah melewatkan sampel melalui media saring berpori, semua zat padat yang tersuspensi akan tertahan pada permukaan media saring. Padatan tersuspensi dapat dihitung dengan menimbang bobot kering. Kertas saring yang akan digunakan sebelumnya dikeringkan di oven dengan suhu 80oC selama 30 menit, kemudian ditimbang berat kering filter. Pengambilan sampel air dilakukan di perairan Teluk Jakarta sesuai dengan stasiun yang telah ditentukan sebelumnya. Air sampel dimasukkan kedalam botol polietilen dan disimpan didalam coolbox berisi es batu. Proses penyaringan menggunakan kertas saring GF/C dan vacuum pump. Bagian yang tersaring dikeringkan dengan suhu 80°C selama ± 18 jam untuk mendapatkan berat keringnya. Nilai padatan tersuspensi dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut :
TSS (mg/l) =
(Wt − Wo) volume air yang disaring (l )
Keterangan: Wt = Berat kering sampel dan filter (mg) Wo = Berat kering filter (mg)
Data lapang dibutuhkan untuk pengujian akurasi data total padatan tersuspensi hasil olahan citra.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengembangan Model Estimasi TSS Hasil pengembangan model estimasi TSS di Teluk Jakarta menggunakan beberapa persamaan regresi, yaitu eksponensial, linear, logaritmik, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power untuk nilai radiansi rasio antar kanal merah dan biru (K1/K3), rasio kanal merah dan hijau (K1/K4), serta rasio kanal biru dan hijau (K3/K4) disajikan dalam Tabel 5, sedangkan transformasi radiansi kromatisiti kanal biru (K3/K1+K3+K4), radiansi kromatisiti kanal hijau (K4/ K1+K3+K4) dan radiansi kromatisiti kanal merah (K1/ K1+K3+K4) disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 5 terlihat bahwa persamaan logaritmik rasio antara kanal merah terhadap hijau (K1/K4) , yaitu :
TSS (mg/l) = 6.332ln(K1/K4) + 92.55 .................................................... (Pers. 4)
adalah merupakan model pendugaan TSS yang terbaik dari kelompok transformasi rasio dengan nilai R2 tertinggi (0.547) dan RMS error yang rendah (0.021). Dari Tabel 6 terlihat pula bahwa persamaan regresi linier radiansi kromatisiti kanal merah (K1/ K3+K4+K1) dengan persamaan, yakni:
TSS (mg/l) = 44.06 (K1/( K1+K3+K4)) + 80.26
…………..……….. (Pers. 5)
merupakan model pendugaan TSS yang terbaik dari kelompok transformasi kromatisiti dengan nilai R2 termasuk yang tertinggi (0.594) dan RMS error yang rendah (0.019), selain itu model tersebut memiliki nilai bias cukup rendah yang dapat dibuktikan dengan uji residual analisis (Gambar 8). 24
25
Tabel 5. Model algoritma pendugaan TSS menggunakan transformasi rasio antar kanal dari berbagai persamaan regresi (Model yang dicetak tebal adalah yang terbaik dari seluruh model) Rasio RMS Persamaan Model Hubungan R² error Kanal
K1/K3
Eksponensial
y = 84.60e0.143x
0.503
0.3546
Linear
y = 13.51x + 84.17
0.505
0.0143
Logaritmik
y = 9.541ln(x) + 97.44
0.519
0.0018
Polynomial orde 2
y = -6.351x + 23.09x + 80.83
0.512
0.0317
Polynomial orde 3
y = 74.56x3 - 182.4x2 + 153.3x + 50.95
0.545
0.0189
y = 97.42x
0.101
0.52
0.0911
Eksponensial
y = 87.64e
0.049x
0.525
0.5723
Linear
y = 4.679x + 87.49
0.526
0.0169
Logaritmik
y = 6.332ln(x) + 92.55
0.547
0.0206
2
Power
K1/K4
K3/K4
2
Polynomial orde 2 Polynomial orde 3
y = -1.675x + 9.767x + 84.28 y = -0.875x3 + 2.309x2 + 4.316x + 86.47
0.545 0.547
0.0182 0.0289
Power
y = 92.48x0.067
0.548
0.2097
0.179
0.6568
0.178 0.181 0.187 0.213
0.0360 0.0158 0.0317 0.2045
0.181
0.3826
0.029x
Eksponensial
y = 88.78e
Linear Logaritmik Polynomial orde 2 Polynomial orde 3
y = 2.765x + 88.72 y = 5.673ln(x) + 90.60 y = -0.831x2 + 6.441x + 85.05 y = -2.857x3 + 18.53x2 - 34.37x + 111.8
Power y = 90.58x0.060 Keterangan : y = konsentrasi TSS dugaan x = transformasi rasio antar kanal
26
Tabel 6. Model algoritma pendugaan TSS menggunakan transformasi kromatisiti dari berbagai persamaan regresi (Model yang dicetak tebal adalah yang terbaik dari seluruh model) Rasio Persamaan Model Hubungan R² Kanal Eksponensial y = 107.5e-0.31x 0.108 Linear y = -29.14x + 106.7 0.108 Logaritmik y = -12.9ln(x) + 83.17 K3 0.113 (K1+K3+K4) Polynomial orde 2 y = 324.1x2 - 313.7x + 168.5 0.129 3 2 Polynomial orde 3 y = -8091x + 10905x - 4897x + 826.3 0.155 Power y = 83.70x-0.13 0.112 Eksponensial Linear Logaritmik K4 (K1+K3+K4) Polynomial orde 2 Polynomial orde 3 Power
-0.42x
y = 104.4e y = -40.05x + 103.9 y = -9.51ln(x) + 80.48 y = 43.62x2 - 61.90x + 106.5 y = 2193x3 - 1557x2 + 3119x + 78.7 y = 81.33x-0.10
Eksponensial y = 81.14e0.468x Linear y = 44.06x + 80.26 Logaritmik y = 12.86ln(x) + 109.3 K1 (K1+K3+K4) Polynomial orde 2 y = 14.30x2 + 35.29x + 81.53 Polynomial orde 3 y = 2917x3 - 2692x2 + 844.4x + 4.028 Power y = 110.5x0.137 Keterangan : y = konsentrasi TSS dugaan x = kromatisiti radiansi kanal
0.391 0.391 0.387 0.392 0.402 0.387 0.594 0.594 0.587 0.595 0.630 0.589
Dari kedua Tabel (Tabel 5 dan 6) dan Persamaan tersebut (Pers. 4 dan 5), maka Persamaan 5 yang terdapat pada Tabel 6 dipilih sebagai model atau algoritma akhir pendugaan TSS untuk perairan Teluk Jakarta menggunakan sensor MODIS dengan x merupakan transformasi kromatisiti kanal merah. Nilai R2 yang tidak terlalu tinggi dikarenakan tidak banyaknya nilai konsentrasi TSS insitu yang digunakan. Hal tersebut akibat banyaknya daerah pengambilan data yang tertutp awan sehingga nilai radiansi yang dihasilkan tidak relevan. Uji analisis lanjutan estimasi konsentrasi TSS akan divalidasi dengan ujiuji statistik.
RMS error 0.3556 0.0371 0.2500 0.1406 0.7400 2.8766 0.3546 0.0143 0.0018 0.0317 0.0189 0.0911 0.2761 0.0193 0.0908 0.1781 0.2956 0.3893
27
Plot hubungan antara nilai transformasi kromatisiti radiansi kanal merah dengan TSS ditunjukkan pada Gambar 5. Penggunaan transformasi kromatisiti radiansi kanal merah karena nilai transformasi kromatisiti radiansi kanal merah
terhadap data TSS in situ menunjukkan korelasi yang paling tinggi berdasarkan pada Tabel 6 dengan model algoritma yang bercetak tebal. Pada Gambar 5 terdapat hanya 15 data insitu yang digunakan untuk membuat model yang digunakan. Sedikitnya data yang digunakan karena cukup banyak stasiun pengambilan data insitu lainnya tertutup awan, sehingga data tidak terpakai (harus dibuang).
102 100 y = 44.06x + 80.26 R² = 0.594 n = 15
TSS (mg/l)
98 96 94 92 90 88 86 0
0.1
0.2 0.3 K1/(K1+K3+K4)
0.4
0.5
Gambar 5. Plot hubungan antara kromatisiti radiansi kanal merah dengan TSS.
Dari Gambar 5 diatas dapat diketahui bahwa semakin tinggi nilai radiansi kromatisiti kanal merah, maka semakin tinggi pula nilai TSS-nya. Hal tersebut ditandai dengan nilai positif slope dari model persamaan regresi linear yang dihasilkan. Energi pada panjang gelombang 0.60 µm - 0.70 µm (kanal merah) dapat menembus hingga kedalaman 3 m di perairan jernih. Teluk Jakarta termasuk dalam perairan kasus II, yaitu perairan yang didominasi oleh TSS baik
28
material organik (yellow substance), maupun material anorganik (sedimen), dimana meningkatnya nilai reflektansi atau radians akan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi TSS (Robinson, 1985).
4.2. Analisis TSS Perairan Teluk jakarta Hubungan antara konsentrasi TSS in situ perairan dengan konsentrasi TSS hasil pendugaan terlihat pada Gambar 6. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa data konsentrasi TSS dugaan relatif lebih rendah dibandingkan konsentrasi TSS insitu, kecuali pada data ke 11, 12 dan 14 yang lebih tinggi dibandingakan TSS insitu. Secara umum, data konsentrasi TSS in situ dengan konsentrasi TSS
TSS (mg/l)
dugaan memiliki kecenderungan yang hampir sama. 102 100 98 96 94 92 90 88 86 84 82
Konsentrasi TSS insitu (mg/l) Konsentrasi TSS dugaan (mg/l) 1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 Data ke-
Gambar 6. Hubungan antara TSS in situ dengan TSS Dugaan
Perbedaan konsentrasi TSS in situ dengan TSS hasil pendugaan disebabkan oleh kondisi citra yang banyak mendapat pengaruh dari tutupan awan maupun kabut tipis (haze) yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik.
29
4.3. Pengujian dan Validasi Data TSS Terdapat dua pengujian data yang akan dilakukan, yaitu uji-t dan uji residual analisis. Uji-t dan uji residual analisis dilakukan pada variabel yang tidak memiliki keterikatan saling mempengaruhi.
4.3.1. Uji-t Uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai tengah (µ) antara konsentrasi TSS dugaan dari nilai radiansi transformasi kromatisiti kanal merah dengan konsentrasi TSS insitu (Lampiran 1). Hasil yang diharapkan adalah antara nilai tengah TSS in situ dengan nilai tengah TSS dugaan tidak berbeda nyata (µ 1 = µ 2) atau terima H0 sehingga model hubungan yang terbentuk tervalidasi dengan baik dan dapat digunakan. Hasil uji-t antara kedua variabel ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji-t Variabel TSS insitu dengan TSS hasil pendugaan
t-hitung
t-tabel
Keterangan
0.0035
2.0484
Terima H0
Hasil dari uji-t dari variabel TSS insitu dan TSS dugaan menunjukkan t-hitung berada pada selang ± t-tabel (Gambar 7), sehingga dapat dikatakan terima H0. Terima H0 memiliki arti tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai tengah konsentrasi TSS insitu dan TSS dugaan . Jadi model algoritma dari transformasi kromatisiti kanal merah dapat digunakan untuk mengestimasi konsentrasi TSS.
Gambar 7. Selang wilayah penerimaan atau penolakan hipotesis.
30
4.3.2. Uji Residual Analisis Uji residual analisis dilakukan dengan variabel yang berbeda dari uji-F tetapi sama dengan uji-t, yaitu antara konsentrasi TSS insitu dengan TSS dugaan. Hasil yang diharapkan dari uji residual analisis adalah besarnya persentase ketepatan hubungan antara konsentrasi TSS insitu dengan TSS dugaan dengan suatu nilai selisih yang ditentukan (dalam kajian ini nilai yang ditentukan adalah ± 3 mg/l). Pada plot residual analisis, semakin banyak nilai residu yang mendekati nilai nol (0) maka semakin tinggi nilai ketepatannya (Gambar 8) dan semakin menjauhi nilai nol (0) semakin rendah nilai ketepatan duga antara konsentrasi TSS insitu dengan TSS dugaan. Hasil uji residual analisis menunjukkan bahwa nilai
Residu (mg/l)
ketepatan duganya yaitu 80% ± 3 mg/l, hasil tersebut diperoleh dari Gambar 8.
6 5 4 3 2 1 0 -1 0 -2 -3 -4 -5 -6
5
10
15
20
Data ke-
Gambar 8. Plot residual analisis Hasil residual analisis menunjukkan bahwa untuk selang kisaran ± 3 mg/l hanya ada 3titik yang berada diluar kisaran tersebut dari 15 titik, atau 80% titik berada pada kisaran ketepatan duga ± 3 mg/l. Batas residu ± 3 mg/l menyatakan selang selisih antara hasil konsentrasi TSS dugaan dan konsentrasi TSS in situ.
31
Dari nilai selisih tersebut, nilai hasil konsentrasi TSS dugaan tidak berbeda jauh dengan TSS in situ. Ketepatan 80% dihitung dari banyaknya data yang masuk dalam selang residu ± 3 mg/l per jumlah data. Jadi dapat dikatakan bahwa model pendugaan empiris konsentrasi TSS memiliki tingkat ketepatan sebesar 80% pada kisaran bias ± 3 mg/l.
4.4. Pemetaan Konsentrasi TSS Distribusi konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta terbagi menjadi 8 kelas. Pembagian menjadi sembilan kelas tersebut untuk melihat sebaran variasi konsentrasi TSS yang didasarkan pada histogram perolehan hasil pendugaan konsentrasi TSS yang berkisar antara 80 mg/l sampai > 100 mg/l (Gambar 9). Kelas-kelas untuk distribusi konsentrasi TSS adalah: 1. Kelas 2: 80-85 mg/l berwarna biru tua 2. Kelas 3: 85-88 mg/l berwarna biru 3. Kelas 4: 88-91 mg/l berwarna biru muda 4. Kelas 5: 91-93 mg/l berwarna hijau 5. Kelas 6: 93-95 mg/l berwarna kuning 6. Kelas 7: 95-97 mg/l berwarna orange 7. Kelas 8: 97-100 mg/l berwarna merah 8. Kelas 9: > 100 mg/l berwarna merah tua
32
Gambar 9. Histogram citra MODIS hasil penerapan model algoritma
Model empiris pendugaan TSS (Persamaan 5) menggunakan citra pada tanggal 22 Maret 2010, kemudian diaplikasikan ke citra lainnya pada bulan
Februari, Maret dan April 2010. Gambar 10 memperlihatkan peta sebaran distribusi konsentrasi TSS di Teluk Jakarta pada bulan-bulan tersebut.
33
Gambar 10. Sebaran konsentrasi TSS pada 4 Februari, 22 Maret, 24 Maret, dan 7 April 2010 menggunakan model empiris persamaan 5. (A=Aqua MODIS dan T=Terra MODIS) Pada Gambar 10 dapat dilihat konsentrasi TSS pada 4 Februari 2010, 22 Maret 2010, dan 7 April 2010 termasuk tinggi dengan kisaran 85 hingga > 100 mg/l. Di depan muara sungai Citarum, Ciliwung dan Cisadane konsentrasi TSS berkisar 97-100 mg/l yang ditandai dengan warna merah, yang kemudian mempengaruhi sebaran TSS disekitarnya. Pada 22 Maret 2010 nilai konsentrasi TSS tertinggi terdapat di muara Gembong yaitu >100 mg/l (berwarna merah tua). Semakin ke arah laut konsentrasi TSS semakin berkurang, tapi masih dalam kisaran 80-91 mg/l. Sedangkan pada 4 Februari 2010 di sebelah barat laut Teluk Jakarta terdapat awan yang tidak dapat hilang dengan koreksi atmosferik. Pada 7 April 2010 konsentrasi TSS didominasi oleh warna kuning (93-95 mg/l), namun memiliki kecenderungan yang sama dengan citra sebelumnya yaitu konsentrasi TSS akan meningkat semakin mendekati pesisir pantai atau muara-muara sungai.
34
Pada tanggal 24 Maret 2010 lebih tinggi dibandingkan 22 Maret 2010, 4 Februari 2010 dan 7 April 2010 hal ini dikarenakan banyaknya tutupan awan dan haze di Teluk Jakarta yang tidak bisa hilang saat koreksi atmosferik terutama dibagian barat dan barat laut. Konsentrasi TSS berkisar 91 mg/l (warna kuning) hingga >100 mg/l (warna merah tua). Muara sungai yang mempengaruhi konsentrasi TSS di Teluk Jakarta hanya muara sungai Ciliwung dengan kisaran nilai 97-100 mg/l (warna merah).
Gambar 11. Sebaran konsentrasi TSS pada 9, 12, 19 dan 21 April 2010 menggunakan model empiris persamaan 5. (A=Aqua MODIS dan T=Terra MODIS)
Pada bulan April 2010 konsentrasi TSS cukup merata dengan kisaran 85100 mg/l dimana nilai yang tinggi hanya di muara sungai Citarum dengan kisaran 97-100 mg/l (warna merah). Sebaran TSS pada bulan tersebut didominasi oleh warna hijau dan kuning dengan nilai konsentrasi TSS 91-95 mg/l. Konsentrasi TSS pada 9, 12, dan 19 April 2010 hanya berkisar antara 85-97 mg/l, dimana
35
konsentrasi TSS di dekat muara sungai lebih tinggi dibandingkan perairan di sekitarnya (warna oranye) namun tidak lebih tinggi dibandingkan tanggal 21 April 2010 konsentrasi TSS lebih tinggi dibandingkan peta sebaran TSS lainnya pada bulan yang sama, hal tersebut dapat terlihat dengan didominasinya warna oranye (95-97 mg/l) dan terdapat konsentrasi yang melebihi 100 mg/l di muara sungai bagian timur dekat muara sungai Citarum. Jadi tampak jelas dari peta sebaran TSS pada Gambar 10 dan 11 bahwa masukan dari Sungai Ciliwung Citarum dan Cisadane memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya konsentrasi TSS di Teluk Jakarta dengan pola sebaran tinggi di sepanjang garis pantai (90-100 mg/l) dan rendah ke arah laut. Selain itu, di daerah sekitar Tanjung Priok cenderung memiliki kadar TSS yang tinggi karena diduga banyaknya buangan kapal-kapal yang berlabuh yang membuat perairan lebih keruh. Lee et al. (1978) in Adiputro (1994) mengamati pencemaran berdasarkan sebaran TSS dengan cara membagi tingkat pencemaran menjadi 4 kelas, yakni Kelas 1: 0-20 mg/l (belum tercemar), Kelas 2: 20-50 mg/l (tercemar ringan), Kelas 3: 50-100 mg/l (tercemar sedang), dan Kelas 4: > 100 mg/l (tercemar berat). Berdasarkan hasil distribusi sebaran TSS pada Gambar 10, perairan Teluk Jakarta termasuk dalam kelas 3 (tercemar sedang) dan kelas 4 (tercemar berat). Dari Gambar 10 dan 11 dapat dianalisis perbedaan hasil dari citra Terra dan Aqua MODIS. Terra MODIS bergerak dari utara ke selatan melewati ekuator di pagi hari sedangkan Aqua MODIS bergerak dari selatan ke utara melewati ekuator di siang hari (NOAA, 2010). Dari perbedaan waktu pengambilan gambar permukaan bumi tersebut tampaknya bahwa perairan Teluk Jakarta pada citra
36
Aqua MODIS lebih dinamis dibandingkan citra Terra MODIS, karena semakin siang, suhu akan meningkat dan peningkatan suhu akan menyebabkan tekanan menjadi tinggi, sehingga menyebabkan pergerakan angin menjadi lebih dinamis dibandingkan pagi hari, dimana setelit Terra lewat.
4.5. Hubungan antara TSS dan Konsentrasi Klorofil-a TSS terdiri dari komponen organik (khususnya fitoplankton) dan anorganik (sedimen), maka perlu kajian untuk melihat ada tidaknya hubungan antara TSS dan klorofil-a, terutama pada saat terjadinya marak alga (meledaknya populasi fitoplankton), dimana diasumsikan bahwa pada saat itu, komponen organik dari TSS lebih mendominasi dari pada komponen anorganik. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah memetakan konsentrasi klorofila. Peta sebaran konsentrasi klorofil-a dibuat dengan menggunakan algoritma Persamaan 2 yang dikembangkan oleh Wouthuyzen dkk (2006). Setelah peta sebaran klorofil-a tersedia maka dapat dilakukan uji F, dengan variabel yang berbeda dari uji-t. Pada uji-F variabel yang diujikan, yaitu konsentrasi TSS dan klorofil-a (Lampiran 2). Hasil yang diharapkan adalah dapat diketahui ada tidaknya hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS dengan klorofil-a perairan. Jika F hitung > F tabel, maka terima Ho . Suatu model dikatakan berkorelasi tinggi dan tidak ada biasnya apabila nilai F-hitung empat hingga lima kali lebih besar dari nilai F-tabel pada taraf nyata α = 0.05 (Drapper dan Smith, 1981; Lathrop dan Lillesand, 1986, in Tarigan, 2008). Hasil uji-F antara konsentrasi TSS dan klorofil-a untuk citra tanggal 22 Maret 2010 ditunjukkan pada Tabel 9.
37
Tabel 8. Hasil Uji-F Variabel TSS insitu dengan Klorofil-a
F-hitung 13.6311
F-tabel 0.0027
Keterangan Terima H0
Dari hasil Tabel 9 terbukti bahwa F-hitung lebih besar empat kali dari Ftabel, sehingga terima H0 . Terima H0 memiliki arti terdapat hubungan yang nyata antara nilai tengah konsentrasi TSS dan klorofil-a perairan, dimana konsentrasi klorofil-a mempengaruhi konsentrasi TSS perairan. Pemetaan konsentrasi klorofil-a dilakukan karena terdapatnya hubungan yang nyata antara TSS dan klorofil-a. Gambar 12 menampilkan peta sebaran konsentrasi klorofil-a tanggal 22 Maret 2010 dan Gambar 13 menampilkan peta sebaran konsentrasi klorofol-a tanggal 7 April 2010.
Gambar 12. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada 22 Maret 2010
Pada tanggal 22 Maret 2010 konsentrasi klorofil-a sangat bervariasi dari dekat daratan hingga ke laut lepas. Konsentrasi klorofil-a di muara sungai berkisar antara 2.5-5 mg/m3. Pada muara sungai Citarum dan muara Gembong nilai konsentrasi klorofil-a cukup tinggi yaitu berkisar 5-10 mg/m3 (berwarna
38
merah). Tingginya konsentrasi klorofil-a di daerah tersebut menandakan cukup banyaknya populasi fitoplankton yang terdapat pada perairan tersebut. Masukan nutrien (zat hara berupa nitrat dan fosfat) yang diangkut sungai ke perairan Teluk Jakarta memberikan kontribusi yang besar terhadap tingginya konsentrasi klorofila di Teluk Jakarta. Semakin ke arah laut nilai konsentrasi klorofil-a berkurang dengan kisaran 0,1-0,5 mg/m3.
Gambar 13. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada 7 April 2010
Konsentrasi klorofil-a pada 7 April 2010 lebih bervariasi dibandingkan pada 22 Maret 2010. Pada distribusi sebaran terlihat konsentrasi klorofil-a di muara sungai tidak banyak perubahan, yaitu berkisar 2.5-5 mg/m3 dan di muara sungai Citarum berkisar 5-10 mg/m3 (berwarna merah). Semakin kearah laut konsentrasi klorofil-a semakin berkurang, namun masih pada kisaran 0,75-2,5 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil-a bulan April lebih tinggi daripada bulan Maret, karena input nutrien yang memicu pertumbuhan fitoplankton yang memicu tingginya konsentrasi klorofil-a diduga lebih tinggi dari pada bulan Maret 2010. Berdasarkan peta sebaran konsentrasi klorofil-a (Gambar 12 dan 13), dapat diketahui bahwa marak alga tidak terjadi di perairan Teluk Jakarta pada kedua
39
bulan (Maret dan April) tersebut, karena tidak terdapatnya konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi (>10 mg/m3) dan menutupi sedikitnya >1/4 luas Teluk Jakarta (Sediadi et al, 2010). Oleh karena itu, dicari citra lain yang memperlihatkan adanya fenomena marak alga, dan diperoleh satu set citra MODIS yang terdiri atas 3 citra yang memperlihatkan perkembangan kejadian marak alga, yaitu saat sebelum kejadiaan marak alge (tanggal 12 September 2010), saat kejadian marak alge (tanggal 14 September 2011) dan saat setelah selesainya kejadian marak alge (18 September 2010), seperti terlihat pada Gambar 14. Pada tanggal 12 September 2010 konsentrasi klorofil-a sangat bervariasi dari dekat daratan hingga ke laut lepas. Konsentrasi klorofil-a di dekat muara sungai berkisar antara 2.5-7 mg/m3. Pada muara sungai Citarum dan muara gembong nilai konsentrasi klorofil-a cukup tinggi yaitu berkisar 5-7.5 mg/m3 (berwarna merah). Pada muara sungai Ciliwung dan Tanjung Priok nilai konsentrasi klorofil-a lebih tinggi yaitu berkisar 5-10 mg/m3. Konsentrasi TSS pada 12 September 2010 cukup tinggi di semua perairan Teluk Jakarta terlihat dengan dominasi warna oranye (95-97 mg/l). Walaupun sebaran konsentrasi klorofil-a cukup tinggi, namun belum mengindikasikan fenomena kejadian marak alga. Konsentrasi klorofil-a pada 14 September 2010 terlihat berpusat di Teluk Jakarta dengan konsentrasi melebihi 10 mg/m3 dengan luas area yang cukup luas. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kejadian marak alga. Jika dilihat dari sebaran TSS tidak jauh berbeda dengan sebaran klorofil-a, konsentrasi TSS juga berpusat di Teluk Jakarta dengan kisaran 97 hingga melebihi 100 mg/l. Terjadinya kejadian marak alga dapat menyebabkan beberapa kerugian, salah satunya adalah terjadinya kematian masal ikan-ikan akibat racun yang
40
ditimbulkan alga tersebut (fitoplankton). Marak alga umumnya disebabkan oleh adanya eutrofikasi dari daratan maupun upwelling dan arus yang mengarah pada perairan Teluk Jakarta (Wiadnyana, 1996). Pada 18 September 2010 konsentrasi klorofil-a mulai merendah nilainya, hal ini juga terlihat pada sebaran konsentrasi TSS. Konsentrasi TSS masih tinggi di perairan tersebut dengan kisaran 95-100 mg/l (warna merah). Pada 18 September 2010 konsentrasi klorofil-a mulai bervariasi kembali dan berkurang di pusat Teluk Jakarta. Konsentrasi klorofil-a menyebar ke arah laut lepas dengan kisaran 1.5-5 mg/m3. Menyebarnya konsentrasi klorofil-a diakibatkan oleh arah arus yang keluar menuju utara laut lepas dari arah Teluk Jakarta, hal ini juga terlihat pada sebaran konsentrasi TSS. Konsentrasi TSS masih tinggi di perairan tersebut dengan kisaran 95-100 mg/l (warna merah), namun secara keseluruhan konsentrasi TSS bervariasi. Muara sungai sangat berpengaruh bagi tingginya konsentrasi TSS di wilayah perairan Teluk Jakarta. Dari tanggal 12, 14 dan 18 September 2010, terlihat arah penyebaran marak alga yang terjadi di Teluk Jakarta. Asal marak alga yang terjadi pada tanggal 14 September dapat terlihat pada sebaran tanggal 12 September. Arus membawa massa air ke arah Teluk Jakarta yang menyebabkan menumpuknya alga disertai terjadinya eutrofikasi di perairan tersebut, sehingga pada 14 September terjadi marak alga yang kemudian menyebabkan kematian massal ikan pada 16 September 2010. Menurut Sediadi et al. (2010) kriteria kejadian marak alga yang dapat menimbulkan kematian organism perairan yaitu jika konsentrasi klorofil-a-a ≥ 10 mg/m3 dan menutupi >1/4 luas Teluk Jakarta.
41
(a)
(b)
Gambar 14. Sebaran konsentrasi klorofil-a (a) dan konsentrasi TSS (b) saat terjadinya perkembangan marak alga pada tanggal 12 (sebelum kejadian), 14 (pada saat kejadian) tanggal dan 18 September 2010 (setelah kejadian).
Untuk melihat komponen mana yang lebih dominan dari material TSS pada saat marak alge, maka digunakan data tanggal 14 septembar 2010 (Gambar 14). Plot hubungan antara konsentrasi TSS perairan dengan konsentrasi klorofil-a disajikan pada Gambar 15.
42
Gambar 15. Hubungan antara TSS dan klorofil-a pada 14 September 2010
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi TSS maka semakin tinggi pula nilai konsentrasi klorofil-a. Konsentrasi TSS tertinggi (>104 mg/l) setara dengan konsentrasi klorofil-a 18 mg/m3. Plot hubungan antara konsentrasi TSS dan klorofil-a dapat ditunjukkan oleh persamaan regresi linear Y = -0.0159 + 0.026X dengan koefisien korelasi 0.60619. Koefisien korelasi tersebut, walaupun tidak terlalu tinggi namun menunjukkan keeratan antara kedua variabel, sehingga pada saat terjadinya marak alga tanggal 14 September 2010 material TSS didominasi oleh bahan organik (klorofil-a) dibandingkan dengan bahan anorganiknya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Model algoritma empiris pendugaan konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta berhasil dikembangkan menggunakan transformasi radiansi dari kromatisiti kanal merah dengan bentuk persamaan regresi model linear, sedangkan klorofil-a perairan menggunakan model algoritma Wouthuyzen dkk (2006). Tingkat ketepatan pendugaan TSS adalah 80% untuk kisaran kesalahan duga ± 3 mg/l. Hubungan konsentrasi TSS dan klorofil di Teluk Jakarta memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai klorofil diikuti oleh tingginya konsentrasi TSS. Marak alga tidak terjadi di Teluk Jakarta pada bulan Februari, Maret dan April 2010, akan tetapi, marak alga terjadi pada bulan September 2010 dengan konsentrasi klorofil-a ≥ 10 mg/m3 dan dengan area yang cukup luas. Konsentrasi TSS pada saat terjadi marak alga yaitu >100 mg/l dan menutupi area yang luas Teluk Jakarta. Hasil kajian ini menunjukkan pula bahwa komponen material TSS pada saat kejadian marak alga didominasi oleh komponen organik dibandingkan komponen anorganik.
5.2 Saran Penelitian selanjutnya disarankan mengambil data lapang secara berkala dan mewakili setiap kondisi perairan sehingga memiliki keakuratan data yang lebih baik, serta penggunaan citra sebaiknya sesuai pengambilan data lapang. Selain itu, diperlukan analisis lebih lanjut untuk membedakan material TSS organik dan anorganik.
43
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S. P., V. V. Salomonson, W. L. Barnes, X. Xiong, G. G. Leptoukh dan G. N. Serafino. 2002. MODIS Radiances and Reflectances for Earth System Science Studies and Environmental Applications. NASA Goddard Space Flight Center. Greenbelt, Maryland. Ambarwulan, W., S. Hartini dan A. Rahadiati. 2003. Citra satelit multi sensor dan multi temporal untuk studi dinamika pesisir dan laut di Delta Mahakam. http://pssdal.bakosurtanal.go.id/pssdal/web/laporan/2003/lap2003_0000222.p df. [ 2 Nopember 2010] Anderson, D. M., P. M. Gilbert, J. M. Burkholder. 2002. Harmful Algal Blooms and Eutrophication: Nutrient Sources, Composition, and Consequences. Estuaries. 25(4b): 704-726 h. Anggraeni, I. 2002. Kualitas Air Perairan Teluk Jakarta Selama Periode 19962002. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arifin, Zainal. 2004. Local Millenium Ecosystem Assessment: Condition and Trend of the Greater Jakarta Bay Ecosystem. Research Centre for Ocenography, LIPI. http://www.milleniumassessment.org/documents_sga/indonesia%20MA2004 _final.pdf. [28 Juli 2010]. Aunurohim, D. Saptarini dan D. Yanthi. 2008. Fitoplankton Penyebab Harmful Algae Blooms (HABs) di Perairan Sidoarjo. Biologi FMIPA. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. Barret, E. C dan L. F. Curtis. 1982. Introduction to Environmental Remote Sensing. Chapman and Hall. New York. BPLDH DKI Jakarta. 2006. Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. Fischer, J. dan R. Doerffer. 2001. Remote Sensing of Water Substances in Rivers, Estuarine and Coastal Waters. http://www.icsuscope.org/downloadpubs/scope42/chapter02.html. [2 Nopember 2010] Harinaldi. 2005. Prinsip-prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains. Erlangga. Jakarta.
44
45
Kahru, M., B. G. Mitchell, dan A. Diaz. 2005. Using MODIS Medium-Resolution Bands to Monitor Harmful Algal Blooms. In Remote Sensing of the Coastal Oceanic Environment. Proceedings of SPIE. Bellingham. 5885: 1-6 h. Lestari, I. B. 2009. Pendugaan Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Mathworks. Residual Analysis. http://www.mathworks.com/help/toolbox/ident/ug/bq1sjml.html. [29 Oktober 2010] Meaden, G. J. dan J. M. Kapetsky. 1991. Geographical Information System and Remote Sensing in Inland Fisheries and Aquaculture. FAO. Fisheries Technical Mapper Papper. No. 318. Roma. NOAA. MODIS Spesification. http://modis.gsfc.nasa.gov/about/spesification.php. [17 Februari 2010]. Prasasti, I., B. Trisakti, dan U. Mardiana. 2005. Sensivitas beberapa Algoritma dan Kanal-kanal Data MODIS untuk Deteksi Sebaran Klorofil. In Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Posiding Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa, 14-15 September 2005. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Hal: 113-122. Robinson, I. S. 1985. Satellite Oceanography: an Introduction for Oceanographers and Remote Sensing Scientist. Ellis Harvard Limied. Chiester, England. Ritchie, J. C dan C. M. Cooper. 2000. Remote Sensing Techniques for Determining Water Quality: Applications for TMDLs. http://www.geo.tufreiberg.de/studenten/Baikal_2004/remote_water_quality.pdf. [7 November 2010] Rojali. 2009. Bom Waktu Pencemaran Teluk Jakarta dan Pulau Seribu. http://www.pulauseribu.net/modules/news/article.php?storyid=1335 [28 Juli 2010]. Sanusi, H. 2006. Kimia Laut : Proses Fisika Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. National Library Indonesia. Jakarta. Sediadi, A., S. Tarigan, T. Sidabutar, dan S. Wouthuyzen. 2010. Marak Alge (Algal Blooms) dan Kematian Masal Ikan di Teluk Jakarta serta Pengembangan Sistim Peringatan Dini. P2O-LIPI. Round Table Meeting Biotrop. Bogor.
46
Septiawan, A. W. 2006. Pemetaan Persebaran Klorofil Wilayah Perairan Selat Bali menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh. Teknik Geodesi FTSPITS. Surabaya. http://digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate3100007029034/2892. [7 November 2010]. Sidharta, b. R. 2005. The Current Status of Research on Harmful Algal Bloom (HAB) in Indonesia. Journal of coastal development. 8(2): 73 – 85 h. Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta. 1995. Laporan Identifikasi Permasalahan Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Proyek Pengembangan TNL Pulau Seribu. Jakarta. Sulma, S., B. Hasyim, A. Susanto, dan A. Budiono. 2005. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penentuan Kesesuaian Lokasi Bududaya Laut di Kepulauan Seribu. Jakarta. In Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Posiding Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa, 14-15 September 2005. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Hal: 48-59. Susilo, S. B. dan J. L. Gaol, 2008. Dasar-dasar Penginderaan jauh Kelautan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutherland, C.W. 2006. Spectral Analysis of Total Suspended Solids Mixtures For Solids Composition Determination. Disertasi. The Department of Civil and Environmental Engineering. Agricultural and Mechanical Faculty. Louisiana State University. http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-06012006105940/unrestricted/Sutherland_dis.pdf. [11 Maret 2010] Tarigan, M. S dan Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) di Perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Makara Sains. 7 (3): 109-119 h. Tarigan, M. S. 2008. Pemantauan Kualitas Perairan (Konsentrasi Klorofil-A) di Teluk Jakarta Dengan Menggunakan Data Multi-Temporal Citra Satelit Terra MODIS. Jurnal Lingkungan Tropis. Edisi Khusus: 9-17 Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke-3 in Bambang Sumantri (Ed). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wiadnyana, N. N. 1996. Mikroalga Berbahaya di Indonesia. Oseanology dan Limnology di Indonesia. 29: 15-28 h. Wong, M. S., J. E. Nichol, K. H. Lee dan N. Emerson. 2008. Modelling Water Quality Using Terra/MODIS 500m Satellite Images. The International Archieves of the Photogrammetry Remote Sensing and Spatial Information Science. XXXVII (B8): 679-684 h.
LAMPIRAN
48
Lampiran 1. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS Pengembangan Model dimana: µ 1 = nilai tengah TSS in situ µ 2 = nilai tengah TSS dugaan y = 44.06x + 80.26 x = radiansi komatisiti kanal merah t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1 Variable 2 Mean
93.92
93.91537
Variance
16.46171
9.786642
Observations
15
15
Pooled Variance
13.12418
Hypothesized Mean Difference
0
df
28
t Stat
0.003501
P(T<=t) one-tail
0.498616
t Critical one-tail
1.701131
P(T<=t) two-tail
0.997231
t Critical two-tail
2.048407
49
Lampiran 2. Uji-F antara TSS dan Klorofil-a Perairan Hasil Dugaan
dimana: klorofil merupakan variabel bebas (x) TSS merupakan variabel tak bebas (y)
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square
0.715437 0.51185
Adjusted R Square Standard Error
0.4743 2.941756
Observations
15
ANOVA df
SS
MS
F
Regression
1
117.9629
117.9629 13.63114
Residual
13
112.5011
8.653928
Total
14
230.464
Significance F 0.002710891
50
Lampiran 3. Data hasil pengukuran TSS pada 22-26 Maret 2010
Stasiun
Tanggal
Jam (WIB)
TSS insitu (mg/l)
1 2 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 26 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 24 Maret 2010 22 Maret 2010 22 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010 20 Maret 2010
11.42 11.2 10.13 9.47 9.27 9.02 10.13 9.51 10.4 10.58 12.07 12.33 12.5 9.23 8.46 10.39 8.36 8.09 11.07 8.42 9 10.96 10.23 10.38 9.53 10.15 9.41 9.25 8.15 11.32 7.39 10.48 11.14 11.37 11.55 12.2 12.44
80 142 64 79.6 62.4 94.8 92.8 82 79.2 73.2 81.6 98 80.8 66.4 66 95.2 96.8 97.6 95.6 99.2 92.4 99.2 96.8 99.6 99.6 66.8 100.8 106.8 92.8 99.6 85.6 84 92 88.8 89.6 88 89.2
Catatan: Stasiun 3 tidak digunakan
51
Lampiran 4. Foto-foto Kegiatan Pengambilan Data
Persiapan Pengambilan Data
Alat dan bahan yang digunakan di lapangan
Alat yang digunakan untuk pengeringan dan pengawetan sampel
52
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 1988 dan merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak D. Kursin dan Ibu Suherni. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan menengahnya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 62 Jakarta Timur. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006, dan tercatat resmi sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai staf Departemen Kewirausahaan (2007-2008) dan staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (2008-2009). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten pada mata kuliah Oseanografi Umum periode 2008-2011. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Estimasi Konsentrasi Padatan Tersuspensi (TSS) dan Klorofil-a dari Citra MODIS Hubungannya dengan Marak Alga di Perairan Teluk Jakarta”.