PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT
INDAH BUDI LESTARI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
INDAH BUDI LESTARI C54052416
RINGKASAN INDAH BUDI LESTARI. Pendugaan Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Dibimbing oleh Vincentius P. Siregar dan Sam Wouthuyzen. Teluk Jakarta memiliki peranan penting dari segi ekonomi maupun ekologi, dan dilalui oleh 13 sungai yang secara langsung maupun tidak langsung memasukkan berbagai zat organik dan anorganik kedalamnya. Total Suspended Solid (TSS) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikelpartikel yang tersuspensi dalam air berupa komponen biotik (fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi,dll), ataupun komponen abiotik (detritus dan partikelpartikel anorganik). Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan dan bergantung pada warna dan kekeruhan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan serta memetakan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2009 di perairan Teluk Jakarta. Metode yang digunakan adalah pengembangan model dari parameter fisik perairan yaitu TSS dan transparansi perairan menggunakan data satelit Landsat TM. Algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS adalah persamaan regresi model polynomial orde 3 yaitu y = -26390x3 + 35823x2 16250x + 2468.4 untuk musim kemarau dan y = 24197x3 - 22050x2 + 6813x 664.98 untuk musim hujan. Pendugaan transparansi perairan Teluk Jakarta menggunakan persamaan regresi model power untuk musim kemarau yaitu y = 85.63x2.905 dan model polynomial orde 2 untuk musim hujan yaitu y = 378.2x2 137.7x + 9.688. Algoritma tersebut dihasilkan dari hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (x) dengan data in situ TSS dan transparansi perairan (y). Konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau sangat tinggi yaitu > 100 mg/l dan 50-100 mg/l pada musim hujan. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan rata-rata berkisar antara 0-4 m dan 5-10 m, dengan sebaran transparansi paling rendah pada musim kemarau. Banyaknya sungai-sungai yang bermuara di perairan Teluk Jakarta membawa masukan partikel-partikel terutama TSS yang dapat dijadikan salah satu indikator pencemaran perairan. Hasil pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi dapat dikatakan bahwa perairan Teluk Jakarta merupakan perairan yang tercemar karena memiliki kisaran konsentrasi TSS dan transparansi melebihi nilai ambang batas perairan yang sesuai untuk bidang perikanan.
© Hak cipta milik Indah Budi Lestari, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT
INDAH BUDI LESTARI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
SKRIPSI : PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT
Nama
: Indah Budi Lestari
NRP
: C54052416
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA
Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc
NIP. 19561103 198503 1 003
NIP. 320003368
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo,M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Lulus : 27 Agustus 2009
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada ALLAH SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi. Skripsi ini di susun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Juli 2009 di Perairan Teluk Jakarta. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc selaku dosen pembimbing. 2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen ITK, FPIK, IPB. 3. Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc selaku pembimbing akademik. 4. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang diberikan dalam berbagai hal. 5. Teman-teman ITK 42 yang selalu memberikan informasi akademik dan memotivasi penulis demi kelancaran penulisan skripsi. 6. Teman-teman Pondok Delima yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. 7. Pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penulisan skripsi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiii
1. PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1 Latar belakang ............................................................................... 1.2 Tujuan ...........................................................................................
1 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Kondisi umum Teluk Jakarta ........................................................ 2.2 Total Suspended Solid (TSS) ........................................................ 2.3 Kecerahan perairan ....................................................................... 2.4 Satelit Landsat ............................................................................... 2.5 Teknologi penginderaan jauh untuk mendeteksi karakteristik spektral TSS ............................................................. 2.6 Teknologi penginderaan jauh untuk mendeteksi karakteristik spektral transparansi perairan ..................................
3 3 4 5 7
13
3. BAHAN DAN METODE ..................................................................... 3.1 Waktu dan tempat penelitian .........................................................
15 15
9
3.2
Alat dan bahan ..............................................................................
16
3.3
Proses pengolahan data .................................................................
18
3.3.1 Koreksi citra ..............................................................................
19
3.3.2 Pengembangan model ...............................................................
20
3.3.3 Asumsi dan hipotesis ................................................................
22
3.3.4 Pendugaan model ......................................................................
22
3.3.5 Validasi data ..............................................................................
24
3.4 Pemetaan TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta ...............
26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 4.1 Pengembangan model pendugaan TSS ......................................... 4.2 Pengembangan model pendugaan transparansi perairan ............... 4.3 Pengujian dan validasi data ........................................................... 4.3.1 Uji-t ..........................................................................................
27 27 30 34 34
4.3.2 Uji-F .........................................................................................
36
4.4 Pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan ................... 4.4.1 Musim kemarau ........................................................................
37 38
4.4.2 Musim hujan ............................................................................
49
4.5 Rata-rata konsentrasi TSS .............................................................. 4.5.1 Rata-rata konsentrasi TSS pada musim kemarau .....................
55 56
4.5.2 Rata-rata konsentrasi TSS pada musim hujan ..........................
58
4.5.3 Analisis TSS Teluk Jakarta .......................................................
60
4.6 Rata-rata transparansi perairan ..................................................... 4.6.1 Rata-rata transparansi perairan pada musim kemarau .............
65 65
4.6.2 Rata-rata transparansi perairan pada musim hujan ..................
68
4.6.3 Analisis transparansi perairan Teluk Jakarta ............................
70
4. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 5.1 Kesimpulan ................................................................................... 5.2 Saran .............................................................................................
75 75 75
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
76
LAMPIRAN ...............................................................................................
80
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
96
DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik satelit Landsat ..................................................................
8
2. Beberapa algoritma untuk mendeteksi TSS ..........................................
13
3. Beberapa algoritma untuk mendeteksi transparansi perairan ................
15
4. Spesifikasi perolehan data konsentrasi TSS dan transparansi perairan .............................................................................
17
5. Bentuk persamaan regresi untuk model hubungan ...............................
21
6. Analisis sidik ragam regresi untuk uji-F ...............................................
26
7. Algoritma pendugaan TSS pada musim kemarau (Mei - Oktober) .......
29
8. Algoritma pendugaan TSS pada musim hujan (November – April) .....
30
9. Algoritma pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau (Mei - Oktober) ......................................................................................
32
10. Algoritma pendugaan transparansi perairan pada musim hujan (November - April) ................................................................................
33
11. Hasil Uji-t masing-masing variabel ......................................................
35
12. Hasil Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan ......
37
13. Klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan kadar TSS ........................
63
14. Pendugaan transparansi rata-rata pada tahun 2004-2009 .......................
82
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perairan kasus I dimana c1>c2>c3 .......................................................
10
2. Perairan kasus II dimana c1>c2>c3>c4 ................................................
10
3. Hubungan antara radiasi matahari pantulan dengan panjang gelombang pada konsentrasi TSS yang berbeda-beda di permukaan air ................
12
4. Kemampuan penetrasi sinar tampak hingga kedalaman 10 m pada perairan jernih ..............................................................................
14
5. Kurva spektral pada beberapa objek ....................................................
15
6. Lokasi penelitian di perairan Teluk Jakarta .........................................
16
7. Diagram alir proses pengolahan data ....................................................
18
8. Hubungan antara kromatisiti kanal biru dengan TSS in situ perairan pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) ....................................
28
9. Hubungan antara kromatisiti kanal biru dengan transparansi in situ perairan pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) .......................
34
10. Selang wilayah penerimaan atau penolakan hipotesis .........................
36
11. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2004 .........................................................
42
12. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2005 .........................................................
44
13. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2006 .........................................................
46
14. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2007..........................................................
47
15. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2008..........................................................
48
16. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2009..........................................................
49
17. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2004 ..............................................................
50
18. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2005 ..............................................................
51
19. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2006 ..............................................................
52
20. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2007 ..............................................................
53
21. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2008 ..............................................................
54
22. Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2009 ..............................................................
55
23. Sebaran rata-rata konsentrasi TSS musim kemarau 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009 ............
57
24. Sebaran rata-rata konsentrasi TSS musim hujan 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009 ............
59
25. Hubungan antara TSS in situ dengan TSS dugaan pada musim kemarau dan hujan ...............................................................................
61
26. Pendugaan konsentrasi TSS secara kuantitatif pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) .........................................................
62
27. Sebaran rata-rata transparansi perairan musim kemarau 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009 ............
67
28. Sebaran rata-rata transparansi perairan musim hujan 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009 ............
69
29. Hubungan antara transparansi in situ dengan transparansi dugaan pada musim kemarau dan hujan ..............................................
70
30. Hubungan antara transparansi in situ dengan transparansi dugaan pada musim kemarau dan hujan ............................................................
62
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisis penentuan konsentrasi TSS dengan metode Gravimetrik ......
80
2. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS pengembangan model pada musim kemarau ....................................................................................
81
3. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS pengembangan model pada musim hujan .........................................................................................
82
4. Uji-t antara transparansi in situ dengan transparansi pengembangan model pada musim kemarau ................................................................
83
5. Uji-t antara transparansi in situ dengan transparansi pengembangan model pada musim hujan .....................................................................
84
6. Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil dugaan pada musim kemarau ....................................................................................
85
7. Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil dugaan pada musim hujan .........................................................................................
86
8. Data TSS in situ dan dugaan pada musim kemarau .............................
87
9. Data TSS in situ dan dugaan pada musim hujan ..................................
91
10. Data transparansi in situ dan dugaan pada musim kemarau ................
92
11. Data transparansi in situ dan dugaan pada musim hujan .....................
95
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Teluk Jakarta bermuara 13 sungai besar dan kecil, tiga sungai besar antara lain Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum, sedangkan 10 sungai kecil antara lain Sungai Kamal, Cengkareng, Angke, Karang, Ancol, Sunter, Cakung, Blencong, Grogol, dan Pasanggrahan. Sungai-sungai tersebut melalui berbagai kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (wilayah Jabodetabek), yang memiliki penduduk lebih dari 20 juta jiwa (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia et al., 2009). Jadi tidak dapat disangkal bahwa sungaisungai tersebut membawa berbagai bahan organik maupun anorganik yang membuat kualitas perairan Teluk Jakarta mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Berbagai pencemaran telah terjadi di Teluk Jakarta seperti proses eutrofikasi yang disebabkan pengkayan nutrien kedalam Teluk ini, sehingga menimbulkan kerusakan habitat terumbu karang akibat sedimentasi dan penurunan transparansi, pencemaran tersebut antara lain tumpahan minyak, logam berat, sampah, dan lainnya (Damar, 2004). Di sisi lain, Teluk Jakarta memiliki potensi ekonomi yang penting di berbagai sektor seperti pariwisata, perikanan (budidaya laut dan perikanan tangkap), perhubungan, cagar alam, pendidikan dan pelatihan (misal Pulau Pari), dan sebagainya. Perairan ini merupakan lahan kehidupan ribuan manusia, mulai dari nelayan, pelaku bisnis, hingga masyarakat umum lainnya (Damar, 2004). Teluk Jakarta merupakan sebuah ekosistem perairan yang mendapat tekanan ekologis dan ekonomis yang tinggi dari manusia. Perairan ini secara ekologis
menjadi penting karena menopang kehidupan biota laut di Laut Jawa serta mendapat ancaman serius pencemaran melalui limbah hasil kegiatan seluruh manusia di Kota Jakarta dan sekitarnya melalui 13 sungai yang masuk kedalamnya (Damar, 2004). Salah satu usaha pengelolaan Teluk Jakarta adalah melakukan pemantauan kualitas perairan secara efektif dan efisien serta terus-menerus. Belakangan ini teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memantau kualitas perairan.
1.2 Tujuan Dalam penelitian ini teknologi penginderaan jauh dengan memakai data multitemporal citra satelit Landsat digunakan untuk memonitoring beberapa parameter kualitas perairan, seperti Total Suspended Solid (TSS) dan transparansi perairan. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan. 2. Memetakan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan. 3. Menggunakan peta-peta yang dihasilkan untuk melihat kecenderungan perubahan Total Suspended Solid (TSS) dan transparansi perairan Teluk Jakarta.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta terletak pada koordinat 5° 48’ 29.88” LS - 6° 10’ 30” LS dan 106° 33’ 00” BT - 107° 03’ 00” BT. Garis pantai Teluk Jakarta ± 80 km dengan kedalaman rata-rata 15 m, dasar perairan yang landai dan semakin ke utara semakin dalam. Di bagian barat terdapat Tanjung Pasir dan di sebelah timur terdapat Tanjung Karawang. Teluk Jakarta memiliki peranan penting baik dari segi ekonomi maupun ekologis. Secara ekologis Teluk ini menjadi penting karena menopang kehidupan biota laut di Laut Jawa serta mendapat ancaman serius berupa pencemaran limbah hasil kegiatan manusia di Jakarta dan sekitarnya yang masuk melalui 13 sungai. Secara ekonomis, perairan ini merupakan lahan kehidupan ribuan manusia mulai dari nelayan, pelaku bisnis, hingga masyarakat umum lainnya, serta kegiatan pariwisata bahari di Pantai Teluk Jakarta hingga di gugusan Kepulauan Seribu (Damar, 2004). Di lihat dari iklimnya, Teluk Jakarta dipengaruhi oleh Musim Barat (hujan) terjadi pada bulan November - April dan Musim Timur (kemarau) dari bulan Desember - Februari. Dua musim transisi/peralihan yaitu musim peralihan I (Maret - Mei) dan musim peralihan II (September - November). Pada musim hujan angin berhembus kencang dan arus kuat bergerak dari barat daya sampai barat laut disertai hujan yang cukup deras (curah hujan 100-400 mm). Kecepatan angin mencapai 0,7-20 knot/jam. Arus yang kuat dengan kecepatan mencapai 4-5 knot/jam dan tinggi gelombang dapat mencapai 2 meter mengakibatkan kejernihan air laut berkurang. Pada musim kemarau angin bertiup dari arah timur sampai tenggara dengan kecepatan 0,7-15 knot/jam dan curah hujan 50-100 mm.
Pada musim peralihan kondisi laut berubah-ubah namun relatif tenang (Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta, 1995). Distribusi suhu di perairan Teluk Jakarta selalu berubah di setiap musimnya dengan kisaran suhu antara 28o C - 32o C. Pada musim hujan suhu rata-rata permukaan air laut di Teluk Jakarta sebesar 28.31o C dan memasuki musim peralihan I suhu rata-rata naik mencapai 29.31o C. Pada musim kemarau suhu rata-rata turun menjadi 28.29o C dan naik kembali di musim peralihan II menjadi 29.29o C (Arief, 1980). Salinitas perairan Teluk Jakarta secara umum berkisar antara 28-32o/oo (Ilahude, 1980). Perairan Teluk Jakarta mengalami variasi tahunan nilai salinitas, dimana terdapat 2 nilai maksimal dan 2 nilai minimal. Bulan November merupakan nilai salinitas maksimal utama dan bulan Mei adalah nilai salinitas maksimal sekunder. Sedangkan bulan Januari dan Juli merupakan nilai salinitas minimal utama dan sekunder. Perubahan nilai salinitas bergantung dari kondisi lingkungan, seperti pasang surut dan curah hujan (Ilahude, 1980).
2.2 Total Suspended Solid (TSS) TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab TSS di perairan yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Konsentrasi TSS apabila terlalu tinggi akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Penyebaran TSS di perairan pantai dan estuari dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik antara lain angin, curah hujan, gelombang, arus, dan pasang surut (Effendi, 2000).
Sastrawijaya (2000) menyatakan bahwa konsentrasi TSS dalam perairan umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, limbah manusia, limbah hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri. Bahan-bahan yang tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air (Effendi, 2000). TSS di Teluk Jakarta mengalami fluktuasi tahunan yang hampir sama. Konsentrasi TSS maksimum dicapai pada bulan Januari (musim hujan) dan bulan Agustus (musim kemarau), sedangkan konsentrasi TSS minimum ditemukan pada bulan Mei (musim peralihan hujan - kemarau) dan bulan November (musim peralihan kemarau - hujan). Konsentrasi TSS tertinggi yang pernah dicapai pada bulan-bulan maksimum tahunan (Januari dan Agustus) adalah 109.7 mg/l dan 42.0 mg/l, sedangkan pada bulan-bulan minimum tahunan (Mei - November) adalah 24.8 mg/l dan 19.0 mg/l (Setiapermana dan Nontji, 1980).
2.3 Kecerahan Perairan Kecerahan perairan bergantung pada zat-zat tersuspensi didalamnya baik organik maupun anorganik. Kecerahan atau transparansi perairan ditentukan secara visual dengan menggunakan cakram yang disebut secchi disk berdiameter 30 cm yang pertama kali dikembangkan oleh Profesor Secchi sekitar abad 19. Pada penggunaan secchi disk, kekeruhan perairan dikuantitatifkan dalam suatu nilai yang dikenal dengan kedalaman secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2000). Nilai kecerahan yang dinyatakan dengan satuan meter ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan
tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2000). Kekeruhan menggambarkan suatu sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik, dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2000). Satuan kekeruhan adalah unit turbiditas setara dengan 1 mg/l SiO2. Satuan kekeruhan dengan metode Nephelometric adalah Nephelometric Turbidity Unit (NTU). Kekeruhan yang tinggi atau kecerahan yang rendah dapat menghambat penetrasi cahaya kedalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Tingkat kecerahan perairan dapat menunjukkan sampai sejauh mana penetrasi cahaya matahari menembus kolom perairan. Semakin tinggi kekeruhan perairan, maka akan semakin rendah penetrasi cahaya yang menembus kolom air, sehingga tingkat kecerahan semakin rendah (Mujito et. al., 1997). Kecerahan perairan Teluk Jakarta berkisar antara 1.5-23 m dengan kecerahan terendah berada di daerah pantai dan yang tertinggi di daerah lepas pantai. Perbedaan kecerahan tersebut terutama karena di daerah pantai dipengaruhi oleh masukan bahan organik dan anorganik yang berasal dari sungai sehingga mengaburkan kecerahan perairan (Ilahude, 1980). Berdasarkan hasil pengamatan pada November 1991, diketahui tingkat kekeruhan dari muara ke arah lepas pantai perairan Teluk Jakarta cenderung menurun dan memiliki kisaran antara 4-6 NTU (Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan, 1992). Pada musim kemarau
tahun 1993, nilai kekeruhan rata-rata perairan Teluk Jakarta berkisar antara 1.21.5 NTU (Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan, 1994).
2.4 Satelit Landsat Sistem penginderaan jauh satelit secara umum terdiri dari objek permukaan bumi yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan pada wahana satelit yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan yang berulang dan liputan yang luas. Banyak satelit yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi yang disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit Landsat MSS (Multi Spectral Scanner), TM (Thematic Mapper), dan ETM (Enhanched Thematic Mapper). Satelit Landsat-7 ETM yang diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 ini, sama seperti satelit-satelit pendahulunya juga berada pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit dan orbit polar sun-synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan pada waktu tetap yaitu pukul 10.00 waktu setempat (lokal) serta mempunyai sudut inklinasi 30°. Satelit yang memiliki cakupan sebesar 185 km ini akan melewati lintasan (daerah) yang sama setiap 16 hari (LAPAN, 2000). Karakteristik dari sensor satelit Landsat-7 ETM yang dilengkapi oleh 8 kanal spektral disajikan pada Tabel 1. Sistem data yang diperoleh dari sensor Thematic Mapper (TM) diarahkan pada teknik pengenalan pola spektral sehingga dapat dihasilkan suatu citra terklasifikasi atau peta tematik.
Tabel 1. Karakteristik Satelit Landsat Kanal Spektral Kanal 1 : 0,45 – 0,52 µm Kanal 2 : 0,52 – 0,60 µm Kanal 3 : 0,63 – 0,69 µm Kanal 4 : 0,76 – 0, 90 µm Kanal 5 : 1,55 – 1,75 µm Kanal 6 : 10,40 - 12,40 µm Kanal 7 : 2,08 – 2,35 µm Kanal 8 : 0,5 – 0,9 µm
Resolusi Spasial 30 m x 30 m 30 m x 30 m 30 m x 30 m 30 m x 30 m 30 m x 30 m 60 m x 60 m 30 m x 30 m 15 m x 15 m
Keterangan Cahaya Tampak (biru) Cahaya Tampak (hijau) Cahaya Tampak (merah) Infra Merah Dekat Infra Merah Menengah Infra Merah Termal Infra Merah Menengah Pankromatik
Sumber : LAPAN (2000).
Menurut Maeden dan Kapetsky (1991), penerapan untuk setiap kanal pada sensor TM yaitu: Kanal 1 : penetrasi ke badan air, pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, pembeda tanah dan vegetasi. Kanal 2 : kesuburan vegetasi, pendugaan konsentrasi sedimen, dan bathimetri. Kanal 3 : daerah penyerapan klorofil dan membedakan jenis tanaman. Kanal 4 : membedakan badan air dan daratan, daerah pantulan vegetasi yang kuat. Kanal 5 : pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan batuan. Kanal 6 : pemetaan termal dan informasi geologi termal. Kanal 7 : pemetaan hidrotermal dan membedakan tipe batuan (geologi/minyak). Energi pada cahaya biru (0,4-0,5 µm) mampu menembus kedalaman maksimal ± 25 meter, cahaya hijau (0,5-0,6 µm) ± 15 meter, cahaya merah (0,60,7 µm) ± 5 meter, infra merah dekat (0,7-0,8 µm) ± 0,5 meter, dan infra merah seluruhnya diserap oleh perairan (Green et al., 2000).
2.5 Teknologi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Karakteristik Spektral TSS Teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan untuk mempelajari kualitas perairan, salah satunya adalah TSS dan kecerahan. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu, dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barret dan Curtis, 1982). Keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh TSS adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih (Hasyim, 1997). Keberadaan TSS pada permukan air dapat digolongkan sesuai dengan warnanya ke dalam kelas-kelas tertentu. Menurut Robinson (1985), berdasarkan sifat optiknya perairan dibagi menjadi 2, perairan kasus I yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh fitoplankton dan perairan kasus II yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh bahan-bahan tersuspensi selain fitoplankton seperti bahan anorganik atau substansi kuning (yellow substance). Perairan pada kasus I (Gambar 1), persentase reflektansi spektral pada panjang gelombang 400-500 nm akan semakin rendah apabila konsentrasi klorofil semakin tinggi (arah panah menunjukkan peningkatan konsentrasi klorofil). Hal tersebut menunjukkan bahwa klorofil mempunyai daya absorbsi yang tinggi terhadap panjang gelombang kanal biru. Pada panjang gelombang kanal merah (600-700
nm), semakin tinggi konsentrasi klorofil maka semakin tinggi pula persentase pantulannya.
Keterangan: R = persentase reflektansi spektral (%) λ = panjang gelombang (nm) --- = spektrum air jernih ↓ = peningkatan konsentrasi klorofil c1, c2, c3 = konsentrasi TSS pada lapisan ke-1, 2, dan 3 Gambar 1. Perairan Kasus I dimana c1>c2>c3 (Robinson, 1985)
Keterangan: R = persentase reflektansi spektral (%) λ = panjang gelombang (nm) --- = kurva reflektansi spektral TSS yang didominasi klorofil ↓ = arah perubahan bentuk kurva akibat perubahan konsentrasi TSS c1, c2, c3, c4 = konsentrasi TSS pada lapisan ke-1, 2, 3, dan 4 Gambar 2. Perairan Kasus II dimana c1
Pada perairan kasus II (Gambar 2) yang didominasi selain klorofil menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu pada panjang gelombang 400 nm hingga 500 nm nilai reflektansi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi TSS (Robinson, 1985). Keberadaan TSS dapat menyerap dan memantulkan spektrum radiasi cahaya tampak yang menembus ke bawah permukaan air, tetapi pengaruhnya lebih banyak bersifat sebagai pancaran balik (backscattering) sehingga memperlihatkan wujud air yang keruh. Pancaran balik (backscattering) yang disebabkan oleh TSS akan menghasilkan perbedaan reflektansi yang besar pada seluruh kisaran panjang gelombang sinar tampak dan lebih kecil pada panjang gelombang yang lebih pendek karena terjadi penyerapan oleh klorofil (Robinson, 1985). Reflektansi spektral merupakan persentase perbandingan jumlah energi REM yang meninggalkan objek dan diterima oleh sensor dengan jumlah energi yang mengenai objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pengukuran pada perairan yang mengandung konsentrasi TSS sebesar 100 mg/l pada kedalaman > 30 cm menunjukkan bahwa nilai reflektansi hanya bergantung pada sifat perairan itu sendiri dan bukan merupakan fungsi dari bentuk dasar perairan (Kusumowidagdo, 1987). Menurut Robinson (1985) reflektansi spektral atau perbandingan reflektansi dapat dipakai untuk menduga parameter kualitas perairan. Konsentrasi TSS yang semakin tinggi akan memiliki nilai pantulan (reflektansi) yang juga semakin tinggi (Gambar 3). Pada panjang gelombang 600700 nm konsentrasi TSS yang tinggi memiliki pantulan radiasi matahari yang tertinggi dan pantulan radiasi matahari semakin rendah dengan berkurangnya konsentrasi TSS di permukaan air.
Gambar 3. Hubungan antara Radiasi Matahari Pantulan dengan Panjang Gelombang pada Konsentrasi TSS yang berbeda-beda di Permukaan Air (Purbawasesa, 1995) Tassan dan d’Alcala (1993) menggunakan algoritma citra Landsat dari kanal (band) tunggal yang memiliki korelasi paling tinggi terhadap data in situ TSS. Hasil penelitian Gitelson, et al. (1993) menunjukkan bahwa kanal yang lebih peka untuk mendeteksi TSS adalah kanal hijau dengan panjang gelombang 0.560 µm 0.590 µm. Robinson (1985) juga menyatakan bahwa sebaiknya digunakan kanal tunggal untuk mendeteksi TSS dibandingkan dengan rasio antar kanal, karena berdasarkan bentuk kurva pada kasus II terlihat konsentrasi TSS tidak banyak berubah antar lapisan. Algoritma dengan rasio antar kanal menunjukkan korelasi yang kurang memuaskan dbandingkan dengan kanal tunggal (Robinson, 1985). Beberapa algoritma yang digunakan untuk mendeteksi TSS dengan satelit Landsat di berbagai perairan terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa Algoritma untuk Mendeteksi TSS No. 1 2
Algoritma TSS = 100.6678 + 5.5058*b3 + 0.4563*b32 + 0.9775*b2*b3 TSS = 3.3238*exp (34.099* reflektansi kanal merah)
Referensi Hasyim et. al. (1997) Budhiman (2004)
Lokasi Situbondo Delta Mahakam
Keterangan: bi = digital number kanal ke-i Menurut Kardono dan Suprajaka (1993), pada perairan jernih penetrasi energi dari kanal 2 (band hijau) dengan panjang gelombang 0.50 µm - 0.60 µm dapat masuk ke badan air hingga kedalaman 10 m, dan energi pada panjang gelombang 0.60 µm – 0.70 µm (kanal merah) dapat menembus hingga kedalaman 3 m. Energi pada panjang gelombang 0.70 µm - 0.80 µm hanya dapat menembus badan air sedalam 1 m, dan hanya pada kedalaman 10 cm untuk panjang gelombang 0.80 µm - 0.11 µm. Pada penelitian yang berbeda, kanal 2 pada citra Landsat dengan panjang gelombang 0.50 µm – 0.60 µm merupakan kanal terbaik untuk pengukuran perairan dangkal dengan kedalaman antara 5-15 m. Pada kanal dengan panjang gelombang < 0.5 µm akan diperoleh data pada perairan yang lebih dalam lagi karena kemampuan penetrasi energi maksimum terjadi pada panjang gelombang di bawah 0.5 µm. Menurut Butler et al. (1988), energi pada panjang gelombang kanal biru (0.45 µm - 0.52 µm) dan kanal hijau (0.52 µm - 0.60 µm) memiliki kemampuan penetrasi yang maksimal ke badan air jika dibandingkan dengan energi pada panjang gelombang yang lain, dan akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya kekeruhan suatu perairan (Gambar 4).
Gambar 4. Kemampuan Penetrasi Sinar Tampak hingga Kedalaman 10 m pada Perairan Jernih (Butler et al., 1988)
2.6 Teknologi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Karakteristik Spektral Transparansi Perairan Masing-masing energi panjang gelombang pada citra Landsat memiliki sensitifitas terhadap obyek yang berbeda, untuk membedakan tingkat kekeruhan perairan yang berhubungan dengan perbedaan tingkat sedimentasi dapat dilakukan dengan menggunakan kanal 2 citra satelit landsat. Energi pada kanal 2 (0.52 µm 0.60 µm), tubuh air memantulkan tenaga elektromagnetik yang tinggi sehingga mengakibatkan nilai piksel pada data digital citra landsat menjadi tinggi. Kurva spektral beberapa obyek pada beberapa panjang gelombang diperlihatkan pada Gambar 5. Air keruh yang banyak mengandung partikel-partikel endapan lempung (silty water) memantulkan energi yang besar pada rentang panjang gelombang 0.52 µm - 0.60 µm (kanal hijau) dibandingkan air yang jernih, sehingga nilai pixel pada air keruh akan lebih tinggi dibanding air jernih. Hal ini diakibatkan oleh pantulan partikel-partikel lempung yang terkandung di dalam air tersebut (Maeden dan Kapetsky, 1991).
Gambar 5. Kurva Spektral pada Beberapa Objek (Maeden dan Kapetsky, 1991)
Beberapa algoritma yang digunakan untuk mendeteksi transparansi perairan dengan satelit Landsat di berbagai perairan terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Beberapa Algoritma untuk Mendeteksi Transparansi Perairan No. Algoritma 1 Kecerahan (m) = 17,51427 - 0,10925*b1
Referensi Lemigas (1997)
2
ln (kecerahan) = 1.135 (L1/L2) - 3.193
Chipman et. al. (2004)
3
Kecerahan (m) = 17.51427 - 0.10925*b1
LAPAN (2004)
Keterangan: b1 = digital number kanal 1 L1 = Spektral radiansi band 1 L2 = Spektral radiansi band 2
Lokasi danau di Wisconsin (USA) Situbondo
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2009 dengan lokasi di perairan Teluk Jakarta yang terletak pada koordinat 5° 53’ 23.3” LS - 6° 07’ 46.9” LS dan 106° 37’ 10.9” BT - 107° 01’ 40.8” BT. Lokasi yang menjadi kajian penelitian terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Lokasi Penelitian di Perairan Teluk Jakarta
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan selama penelitian antara lain perangkat komputer, perangkat lunak Idrisi Andes (Clark Labs, Clark University 950 Main Street, Worcester MA 01610-1477 USA), perangkat lunak untuk layout peta, serta Microsoft Office.
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain 22 citra satelit Landsat dengan path 122, row 64, dan tipe sensor ETM+. Akuisisi dan perolehan citra satelit Landsat terlihat pada Tabel 4. Citra Landsat hasil download diperoleh pada situs Landsat USGS, dari 22 citra satelit yang dikelompokkan atas dua musim, yaitu musim kemarau terdapat 15 citra dan musim hujan terdapat 7 citra.
Tabel 4. Spesifikasi Perolehan Data Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Tanggal Akuisisi Citra Satelit Landsat 21 Juni 2004 23 Juli 2004 24 Agustus 2004 9 September 2004 25 September 2004 11 Oktober 2004 12 November 2004 15 Januari 2005 16 Februari 2005 11 Agustus 2005 27 Agustus 2005 28 September 2005 26 Mei 2006 1 Oktober 2006 17 Oktober 2006 2 November 2006 17 Agustus 2007 7 Desember 2007 8 Januari 2008 18 Juli 2008 31 Maret 2009 2 Mei 2009
Perolehan Citra P2O LIPI Hasil Download* -
Data in situ (P2O LIPI)
-
*) Di peroleh dari website: http://edcsns17.cr.usgs.gov/EarthExplorer/
Bahan lainnya berupa data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta sebanyak 15 data sesuai dengan waktu yang hampir bersaman dengan waktu lewat satelit Landsat. Konsentrasi TSS ditentukan dari sampel air
laut yang di analisis di laboratorium P2O LIPI (Lampiran 1), sedangkan transparansi perairan di ukur langsung di lapangan dengan menggunakan secchi disk.
3.3 Proses Pengolahan Data Citra Satelit Pengolahan data dari citra satelit hingga menghasilkan output kajian secara umum terlihat pada Gambar 7. Kanal-kanal pada satelit Landsat TM yang digunakan hanya kanal 1 (biru), kanal 2 (hijau), dan kanal 3 (merah) untuk memperoleh nilai reflektansi. Transformasi yang digunakan untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan adalah kromatisiti kanal biru.
Citra Satelit Landsat
Koreksi Citra
Metode Cos(t) Model
Reflektansi Kanal 1, 2, dan 3
Pengembangan Model
Hipotesis dan asumsi
Pengujian Model
Memenuhi Syarat
Tidak
Ya Model Hubungan
Pemetaan TSS dan Transparansi Perairan
Gambar 7. Diagram Alir Proses Pengolahan Data
3.3.1 Koreksi Citra Perairan Teluk Jakarta merupakan daerah penelitian yang dikaji, oleh karena itu data citra satelit Landsat-7 ETM di potong (crpping) terlebih dahulu untuk mempersempit daerah kajian yang akan di olah. Koordinat citra perairan Teluk Jakarta adalah 5° 53’ 23.3” LS - 6° 07’ 46.9” LS dan 106° 37’ 10.9” BT - 107° 01’ 40.8” BT. Citra yang telah di potong kemudian dilakukan koreksi atmosferik. Citra satelit Landsat-7 ETM yang diperoleh melalui situs USGS sudah terkoreksi secara geometrik, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi geometrik. Koreksi atmosferik dilakukan untuk mengurangi kesalahan akibat efek atmosferik yang disebabkan perbedaan sudut elevasi matahari dan jarak mataharibumi saat penerimaan data yang berbeda waktu. Koreksi atmosferik juga dilakukan untuk menghilangkan path radiance (noise angkasa). Koreksi atmosferik dapat dilakukan salah satunya dengan metode histogram adjustment. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: DNijk (setelah dikoreksi) = DNijk (sebelum dikoreksi) - DN biask ...………………..… (pers. 1) Keterangan: DN = digital number i = piksel baris ke-i j = piksel kolom ke-j k = citra kanal ke-k
Nilai digital terkoreksi (pers. 1) kemudian dirubah menjadi nilai radiansi menggunakan gain dan offset yang diperoleh pada header (keterangan data citra), selanjutnya nilai radiansi tersebut dirubah menjadi nilai reflektansi menggunakan nilai solar irradiance, sudut elevasi matahari, dan jarak matahari-bumi.
Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak Idrisi Andes, didalamnya sudah tersedia modul program koreksi atmosferik (ATMOSC). Metode koreksi atmosferik yang digunakan adalah Cos(t) model yang terdapat pada modul ATMOSC di dalam perangkat lunak Idrisi Andes. Koreksi atmosferik dengan metode Cos(t) model dikembangkan oleh Chavez yang meliputi elemen Dark Object Subtraction model (untuk haze removal) ditambah prosedur untuk estimasi efek absorpsi oleh gas-gas atmosferik dan Rayleigh scattering. Di dalam perangkat lunak Idrisi Andes, metode Cos(t) model juga dilakukan koreksi radiometrik dengan mengoreksi sun elevation pencitraan satelit untuk mengurangi pengaruh gas-gas atmosferik. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah Lmaks dan Lmin yaitu nilai radiansi pada Digital Number (DN) minimum dan Digital Number (DN) maksimum dengan output berupa nilai reflektansi masingmasing kanal citra Landsat yang berada pada kisaran 0 sampai 1. Informasi mengenai sun elevation serta nilai Lmaks dan Lmin dapat dilihat pula pada header yang terdapat pada citra Landsat.
3.3.2 Pengembangan Model Pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dilakukan untuk 2 musim, yaitu musim hujan (November - April) dan musim kemarau (Mei - Oktober). Pengembangan model untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan dilakukan dengan kombinasi dari nilai-nilai reflektansi pada kanal 1, kanal 2, dan kanal 3. Reflektansi spektral atau perbandingan reflektansi yang digunakan untuk menduga parameter TSS dan transparansi perairan dapat berupa reflektansi pada kanal tunggal, rasio antar kanal, maupun transformasi kromatisiti antar kanal dari citra Landsat.
Model yang digunakan berupa persamaan regresi yang diharapkan memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi, dimana y merupakan nilai parameter yang di uji (data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan) dan x merupakan kombinasi reflektansi pada kanal yang digunakan (transformasi reflektansi kanal biru). Contoh-contoh bentuk persamaan regresi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Bentuk Persamaan Regresi untuk model Hubungan No. 1 2 3 4 5 6
Model Hubungan Regresi linear Eksponensial Polynomial (orde 2) Polynomial (orde 3) Logaritmik Power
Bentuk Model y = a + bx y = a*exp(bx) y = a + b*x2 + b1*x y = a + b*x3 + b1*x2 + b2*x y = a*ln(x) + b y = a*xb
Berdasarkan penelitian Wouthuyzen et al. (2008), transformasi reflektansi pada kanal 1 (biru), kanal 2 (hijau), dan kanal 3 (merah) adalah sebagai berikut: =
kanal 1 kanal 2
2. Rasio kanal biru / merah =
kanal 1 kanal 3
3. Rasio kanal hijau / merah =
kanal 2 kanal 3
1. Rasio kanal biru / hijau
4. Kromatisiti biru
=
5. Kromatisiti hijau =
6. Kromatisiti hijau =
(kanal 1
kanal 1 kanal 2
kanal 3)
(kanal 1
kanal 2 kanal 2
kanal 3)
(kanal 1
kanal 3 kanal 2
kanal 3)
3.3.3 Asumsi dan Hipotesis Model Setelah terpilih persamaan regresi dari pengembangan model kemudian dibuat suatu hipotesis dan asumsi untuk mempermudah dalam penerapan dan pengujian model tersebut. Sebuah hipotesis atau asumsi yang dibuat saat pengembangan model akan di uji apakah dapat diterima atau ditolak (sesuai hipotesis), yang artinya apakah model tersebut dapat digunakan untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta atau tidak. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa kondisi oseanografis perairan Teluk Jakarta pada saat pengambilan data lapangan maupun data penginderaan jauh dengan citra satelit Landsat tidak banyak berubah, karena masih dalam pengaruh musim yang sama (musim kemarau atau musim hujan). Hipotesis secara umum adalah nilai pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dari data Landsat melalui hasil pengembangan model akan sama dengan hasil pengukuran TSS dan transparansi perairan secara in situ.
3.3.4 Pendugaan Model Pendugaan model dilakukan dengan dua parameter kualitas perairan, yaitu TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta yang dilihat berdasarkan nilai pantulan (reflektansi) cahaya tampak dari badan air sesuai pada kanal-kanal citra satelit Landsat. Kondisi perairan Teluk Jakarta sangat dinamis sehingga pengembangan model dibagi dalam 2 musim yaitu musim kemarau (Mei Oktober) dan musim hujan (November - April) dari tahun 2004-2009.
Model hubungan yang dikembangkan adalah model empiris menggunakan persamaan regresi antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ dengan nilai reflektansi kanal tunggal, rasio antar kanal, maupun transformasi kromatisiti kanal biru, hijau, atau merah. Pendugaan konsentrasi TSS pada musim kemarau dan hujan menggunakan transformasi kromatisiti kanal biru dengan persamaan regresi model polynomial orde 3. Pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau juga digunakan transformasi kromatisiti kanal biru dengan persamaan regresi model power untuk musim kemarau dan pada musim hujan digunakan persamaan regresi model polynomial orde 2. Dari beberapa model pendugaan yang dihasilkan, kemudian dipilih model hubungan terbaik yang memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi dan simpangan akar nilai tengah (RMS error) terkecil untuk analisis lanjutan. Koefisien determinasi (R2) merupakan kriteria kecocokan model yang berkisar antara 0 hingga 1, dalam keadaan ideal koefisien determinasi mendekati angka 1. Nilai R2 sebagai pengukur keeratan hubungan antara peubah y sebagai peubah respons (variabel tak bebas) dan peubah x (variabel bebas). Semakin dekat nilai R2 dengan nilai 1, maka semakin dekat pula titik pengamatan ke garis regresinya dan model tersebut semakin baik (Aunuddin, 1989). Nilai R2 dan RMS error akan berbanding terbalik, yaitu apabila nilai R2 tinggi maka harus dihasilkan RMS error yang kecil. Nilai RMS error mendekati angka nol (0) menunjukkan model dugaan semakin baik.
RMS error = dimana n merupakan jumlah data.
............................. (pers. 2)
3.3.5 Validasi Data Setelah diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) dan RMS error yang paling baik, untuk meyakinkan apakah model yang digunakan benar-benar teruji, maka dilakukan validasi data. Validasi data bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara nilai pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari pengembangan model yang terbentuk dengan data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan. Dalam kajian ini digunakan uji beda nilai tengah dua arah (uji-t). Hipotesis yang digunakan dalam uji-t adalah (Walpole, 1995): H0:
1
H1:
1
=
2
2
dimana: H0 adalah apabila nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ sama dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan H1 adalah apabila nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi in situ perairan tidak sama dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan 1 adalah
2
nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ
adalah nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan
Dari hipotesis tersebut diharapkan bahwa antara nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan tidak berbeda nyata (
1
=
2)
atau terima H0 sehingga
model hubungan yang terbentuk tervalidasi dengan baik untuk menduga
konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan musim hujan. Selain menggunakan uji-t, juga digunakan uji-F dengan parameter dan hipotesis yang berbeda. Parameter yang diujikan dalam uji-F adalah antara konsentrasi TSS hasil pendugaan dengan transparansi perairan hasil pendugaan dari model hubungan yang terbentuk. Uji-F dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya hubungan saling mempengaruhi antara konsentrasi TSS dengan tranparansi perairan. Hipotesis yang digunakan dalam uji-F adalah (Walpole, 1995): H0:
=0
H1:
0
dimana: H0 adalah apabila ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan H1 adalah apabila tidak ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan adalah nilai pendugaan TSS dan transparansi perairan
Dari hipotesis tersebut diharapkan bahwa ada hubungan yang nyata (terima H0) antara hasil pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari pengembangan model, dimana konsentrasi TSS merupakan variabel bebas (komponen x) dan transparansi perairan merupakan variabel tak bebas (komponen y), sehingga diperoleh hubungan dimana konsentrasi TSS akan mempengaruhi kondisi transparansi perairan. Uji-t dilakukan dengan uji dua arah, yang akan dilihat adalah nilai t-hitung dengan t-critical two tail (t-tabel). Nilai dari t-tabel akan menjadi batas penolakan
dari H0. Sedangkan untuk uji-F melalui analisis regresi akan menghasilkan nilainilai seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis Sidik Ragam Regresi untuk Uji-F Sumber keragaman Nilai Tengah Kolom Galat Total
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
k-1
JKK
KTK
k.(n-1) nk - 1
JKG JKT
KTG
Keterangan : k p JKT (Jumlah Kuadrat Total) JKR (Jumlah Kuadrat Regresi) JKS (Jumlah Kuadrat Sisa) KTR (Kuadrat Tengah Sisa)
Fhitung
Ftabel
KTK KTS
(α, DB1, DB2)
= jumlah data = jumlah variabel = Σy2 = b Σxy = JKT - JKR = Σy2 - b Σxy JKR = p -1
3.4 Pemetaan Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta Konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan dikorelasikan untuk diketahui keeratan hubungan antara keduanya, apakah konsentrasi TSS memberikan pengaruh yang signifikan terhadap transparansi perairan Teluk Jakarta atau tidak. Korelasi tersebut terlihat dari pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dari hasil pengembangan model. Dari pemetaan tersebut dapat dilihat secara visual (kualitatif) perubahan kondisi lingkungan Teluk Jakarta melalui parameter konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari 2 musim yang berbeda pada tahun 2004-2009.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengembangan Model Pendugaan TSS Pendugaan konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta melalui pengembangan model menggunakan enam persamaan regresi, yaitu model linear, logaritmik, eksponensial, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power. Persamaan regresi yang tebentuk pada musim kemarau dan hujan diperoleh dari hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru dengan konsentrasi TSS perairan in situ. Penggunaan transformasi kromatisiti kanal biru berdasarkan pada pola sebaran antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru terhadap data in situ TSS perairan menunjukkan korelasi yang paling tinggi (Gambar 8). Persamaan regresi yang memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi adalah model polynomial orde 3. Pada musim kemarau terdapat 130 data in situ TSS perairan yang dihubungkan dengan nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (Gambar 8a), sedangkan pada musim hujan hanya terdapat 32 data in situ TSS perairan (Gambar 8b) yang juga dihubungkan dengan reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru. Hal tersebut karena pengambilan data di lapangan lebih banyak dilakukan pada bulan-bulan musim kemarau sesuai kondisi cuaca yang memungkinkan dalam pengambilan data in situ, sedangkan data satelit juga lebih banyak diambil pada musim kemarau karena tidak banyak dipengaruhi oleh tutupan awan.
(a)
(b)
Gambar 8. Hubungan antara Kromatisiti Kanal Biru dengan TSS in situ Perairan pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b)
Sebelum terpilih transformasi kromatisiti kanal biru, beberapa model telah di uji menggunakan nilai reflektansi kanal tunggal, rasio antar kanal, dan transformasi kromatisiti lainnya, ternyata dihasilkan keeratan hubungan yang paling tinggi antara nilai reflektansi dari transformasi kromatisiti kanal biru dengan data in situ TSS perairan. Energi dari panjang gelombang kanal biru (0.45 µm - 0.52 µm) memiliki kemampuan penetrasi yang maksimal jika dibandingkan dengan energi pada panjang gelombang yang lain dan akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya kekeruhan suatu perairan. Energi dari panjang gelombang kanal hijau (0.52 µm - 0.60 µm) pada tubuh air memantulkan tenaga elektromagnetik yang tinggi, sehingga mengakibatkan nilai piksel pada data digital citra Landsat menjadi tinggi. Energi pada panjang gelombang 0.60 µm 0.70 µm (kanal merah) dapat menembus hingga kedalaman 3 m di perairan jernih. Teluk Jakarta termasuk dalam perairan kasus II yaitu perairan yang didominasi oleh selain fitoplankton (TSS, yellow substance, dll), pada panjang gelombang
400 nm hingga 500 nm nilai reflektansi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi TSS (Robinson, 1985). Penggunaan model yang sesuai untuk pendugaan konsentrasi TSS pada musim kemarau adalah persamaan regresi model polynomial orde 3, hal ini terlihat jelas pada Tabel 7 dimana persamaan regresi polynomial orde 3 yaitu y = -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4 memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai RMS error terkecil masing-masing adalah 0.8870 dan 10.0456. Nilai RMS error yang diperoleh pada semua persamaan regresi pendugaan TSS musim kemarau tidak terlalu baik jika dibandingkan dengan RMS error pada pendugaan transparansi perairan. Hal tersebut diakibatkan karena sangat beragamnya nilai konsentrasi TSS yang diperoleh dari pengukuran in situ yang dilakukan selama musim kemarau.
Tabel 7. Algoritma Pendugaan TSS pada Musim Kemarau (Mei - Oktober) No. 1 2 3 4 5 6
Model Hubungan Linear : y = -741.02x + 305.45 Logaritmik : y = -275.39ln(x) - 243.74 Eksponensial : y = 202099e-24.964x Polynomial orde 2 : y = 7014.8x2 - 5862.1x + 1231.8 Polynomial orde 3 : y = -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4 Power : y = 0.0025x-8.9783
Keterangan: y = data in situ konsentrasi TSS x = reflektansi kromatisiti kanal biru
R2
Pengujian RMS error
0.7248
15.6763
0.7690
14.3616
0.6029
12.1330
0.8824
10.2470
0.8870
10.0456
0.5991
16.1465
Penggunaan model yang sesuai untuk pendugaan konsentrasi TSS pada musim hujan menggunakan persamaan regresi regresi model polynomial orde 3 dengan persamaan y = 24197x3 - 22050x2 + 6813x - 664.98 (Tabel 8). Persamaan regresi model polynomial orde 3 memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai RMS error terkecil masing-masing adalah 0.8446 dan 2.5397. Nilai RMS error yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan nilai RMS error pada pendugaan konsentrasi TSS perairan di musim kemarau. Untuk analisis lanjutan, model pendugaan konsentrasi TSS pada musim kemarau maupun hujan akan di validasi oleh pengujian statistik
Tabel 8. Algoritma Pendugaan TSS pada Musim Hujan (November - April) No.
Model Hubungan
Linear : y = 186.1x - 7.9925 Logaritmik : 2 y = 58.614ln(x) + 118.61 Eksponensial : 3 y = 16.42e3.5496x Polynomial orde 2 : 4 y = 1068.7x2 - 499.86x + 101.01 Polynomial orde 3 : 5 y = 24197x3 - 22050x2 + 6813x - 664.98 Power : 6 y = 184.47x1.1216 Keterangan: y = data in situ konsentrasi TSS x = reflektansi kromatisiti kanal biru 1
Pengujian R RMS error 2
0.8027
2.8609
0.7857
2.9815
0.8025
2.7544
0.8308
16.3507
0.8446
2.5397
0.7907
2.8554
4.2 Pengembangan Model Pendugaan Transparansi Perairan Transparansi perairan pada musim kemarau dan hujan menggunakan citra satelit Landsat pada tahun 2004-2009 beserta data in situ pada tahun 2004-2006 untuk musim kemarau, sedangkan untuk musim hujan data in situ transparansi perairan hanya ada tahun 2004-2005.
Model yang dicobakan pada masing-masing musim terdiri dari enam persamaan regresi, yaitu model linear, logaritmik, eksponensial, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power. Persamaan regresi yang tebentuk pada musim kemarau dan hujan diperoleh dari transformasi kromatisiti kanal biru. Penggunaan transformasi kromatisiti kanal biru didasarkan pada pola sebaran antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru terhadap transparansi in situ perairan menunjukkan hubungan yang paling tinggi. Sebelumnya telah di uji pula menggunakan hubungan antara transparansi in situ perairan dengan nilai reflektansi kanal tunggal, rasio antar kanal, dan kromatisiti kanal merah dan hijau. Energi pada panjang gelombang kanal biru (0.45 µm - 0.52 µm) memiliki kemampuan penetrasi yang maksimal jika dibandingkan dengan energi panjang gelombang pada kanal lain dan akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya kekeruhan suatu perairan. Pada band 2 atau kanal hijau (0.52 µm 0.60 µm) tubuh air memantulkan tenaga elektromagnetik yang tinggi, sehingga mengakibatkan nilai piksel pada data digital citra Landsat menjadi tinggi. Sedangkan pada kanal merah dengan panjang gelombang 0.60 µm – 0.70 µm energinya dapat menembus perairan jernih sedalam 3 m. Pada Tabel 9 terlihat bahwa persamaan regresi model power memiliki koefisien determinasi (R2) yang tertinggi yaitu 0.8807 dengan nilai RMS error terkecil yaitu 0.7095. Kemudian model eksponensial memiliki nilai R2 yang cukup tinggi dibawah model power yaitu 0.8760 dengan nilai RMS error sebesar 0.7637, dan seterusnya untuk model-model yang lain. Dengan demikian, maka model power yaitu y = 85.63x2.905 merupakan model yang terbaik untuk menduga nilai transparansi perairan di Teluk Jakarta pada periode musim kemarau.
Tabel 9. Algoritma Pendugaan Transparansi Perairan pada Musim Kemarau (Mei - Oktober) No. 1 2 3 4 5 6
Model Hubungan Linear: y = 35.21x - 8.014 Logaritmik: y = 12.22ln(x) + 17.26 Eksponensial: y = 0.218e8.266x Polynomial orde 2: y = 59.41x2 - 7.105x - 0.616 Polynomial orde 3: y = -1297x3 + 1479x2 - 518.4x + 59.87 Power: y = 85.63x2.905
Pengujian R RMS error 2
0.8514
0.7158
0.8353
0.7535
0.8760
0.7637
0.8580
0.6996
0.8668
0.6804
0.8807
0.7095
Keterangan: y = data in situ transparansi perairan x = reflektansi kromatisiti kanal biru
Model dugaan transparansi perairan untuk musim hujan terlihat pada Tabel 10. Persamaan regresi model polynomial orde 2 memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0.8591 dengan nilai RMS error sebesar 1.1356. Model regresi polynomial orde 3 memiliki nilai R2 tertinggi yaitu sebesar 0.8593 dengan nilai RMS error sebesar 1.1362, dan seterusnya untuk model-model yang lain. Persamaan regresi polynomial orde 2 dan polynomial orde 3 sama-sama memiliki kelebihan, dimana polynomial orde 2 memiliki nilai RMS error tertinggi dan polynomial orde 3 memiliki nilai R2 tertinggi. Perbedaan keduanya tidak terlalu signifikan, tetapi dilihat melalui plot hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru terhadap transparansi in situ perairan (Gambar 9) terlihat bahwa grafik hubungan dari model polynomial orde 2 lebih baik daripada regresi polynomial orde 3. Dengan demikian, maka model polynomial orde 2 dengan persamaan y = 378.2x2 - 137.7x + 9.688 merupakan model yang terbaik untuk menduga nilai transparansi perairan di Teluk Jakarta untuk musim
hujan. Seperti halnya dengan algoritma pendugaan konsentrasi TSS, model pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau maupun hujan akan di validasi oleh pengujian statistik yang dijelaskan pada sub bab berikutnya.
Tabel 10. Algoritma Pendugaan Transparansi Perairan pada Musim Hujan (November – April) No. 1 2 3 4 5 6
Model Hubungan Linear: y = 110.6x - 30.80 Logaritmik: y = 35.97ln(x) + 45.68 Eksponensial: y = 0.001e25.18x Polynomial orde 2: y = 378.2x2 - 137.7x + 9.688 Polynomial orde 3: y = 2220x3 – 1814.x2 + 581.2x - 68.56 Power: y = 47829x8.299
Pengujian R RMS error 2
0.8525
1.1619
0.8454
1.1895
0.7605
1.4927
0.8591
1.1356
0.8593
1.1362
0.7742
1.4004
Keterangan: y = data in situ transparansi perairan x = reflektansi kromatisiti kanal biru
Model pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau dan hujan diperoleh melalui plot hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru dengan transparansi perairan in situ (Gambar 9). Pada musim kemarau terdapat 96 data transparansi perairan in situ yang dihubungkan dengan nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (Gambar 9a), sedangkan pada musim hujan hanya terdapat 37 data transparansi perairan in situ yang dihubungkan dengan nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (Gambar 9b). Hal tersebut karena pengambilan data di lapangan dan data satelit lebih banyak dilakukan pada bulan-bulan musim kemarau sesuai kondisi cuaca yang
memungkinkan dalam pengambilan data in situ, dan data satelit pada musim kemarau tidak banyak dipengaruhi oleh tutupan awan.
(a)
(b)
Gambar 9. Hubungan antara Kromatisiti Kanal Biru dengan Transparansi in situ Perairan pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b)
4.3 Pengujian dan Validasi Data Ada 2 pengujian yang dilakukan, yaitu uji-t dan uji-F. Masing-masing pengujian berbeda untuk masing-masing parameter yang diujikan. Uji-t dilakukan pada variabel yang tidak memiliki keterkaitan saling mempengaruhi melainkan hubungan antara nilai tengah suatu variabel berbeda nyata atau tidak dengan nilai tengah dari variabel lainnya, sedangkan uji-F digunakan pada variabel bebas dan variabel tak bebas dimana variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas.
4.3.1 Uji-t Setelah diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) dan RMS error yang paling baik, untuk meyakinkan apakah model yang digunakan benar-benar teruji maka dilakukan validasi data untuk mengetahui perbedaan antara nilai tengah ( ) pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari nilai reflektansi
transformasi kromatisiti kanal biru menggunakan model hubungan yang terbentuk dengan data in situ TSS dan transparansi perairan, menggunakan uji beda nilai tengah dua arah (uji-t). Penggunaan uji-t dua arah karena belum diketahui dan diprediksi apakah nilai tengah ( ) variabel yang satu lebih besar atau lebih kecil dari nilai tengah ( ) variabel yang lainnya. Uji-t atau uji beda nilai tengah digunakan pada variabel yang saling bebas atau tidak memiliki hubungan saling mempengaruhi. Tabel 11 memperlihatkan hasil uji-t yang dilihat dari nilai t-hitung dan t-tabel dari masing-masing variabel uji (Lampiran 2-5). Hasil yang diharapkan adalah antara nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan tidak berbeda nyata (
1
=
2)
atau terima H0 sehingga
model hubungan yang terbentuk tervalidasi dengan baik dan dapat digunakan.
Tabel 11. Hasil Uji-t Masing-masing Variabel Musim Kemarau (Mei – Oktober) Hujan (November – April)
Pengujian TSS in situ dengan TSS hasil pendugaan Transparansi in situ dengan transparansi hasil pendugaan TSS in situ dengan TSS hasil pendugaan Transparansi in situ dengan transparansi hasil pendugaan
t-hitung
t-tabel
Keterangan
0.0426
1.9692
Terima H0
0.1674
1.9725
Terima H0
-0.0228
1.990
Terima H0
-0.0058
1.9935
Terima H0
Hasil dari masing-masing uji-t yang dilakukan menunjukkan t-hitung berada pada selang antara nilai ± t-tabel [(-) t-tabel
t-hitung
(+) t-tabel], sehingga
dapat dikatakan terima H0 (Gambar 10), yaitu tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai tengah konsentrasi TSS in situ dengan nilai tengah konsentrasi TSS hasil pendugaan. Sama halnya dengan nilai tengah transparansi perairan in situ
juga tidak berbeda nyata dengan nilai tengah transparansi perairan hasil pendugaan.
t-hitung Terima H0
Tolak H0 (-) t-tabel
Tolak H0 (+) t-tabel
Gambar 10. Selang Wilayah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis
Dapat disimpulkan bahwa algoritma hasil pengembangan model untuk pendugaan konsentrasi TSS maupun transparansi perairan dapat digunakan untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta untuk musim kemarau dan hujan.
4.3.2 Uji-F Selain menggunakan uji-t, juga dilakukan uji-F dengan parameter dan hipotesis yang berbeda. Parameter yang diujikan adalah antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan dari model hubungan yang terbentuk untuk musim kemarau dan hujan (Lampiran 6 dan 7). Dari hipotesis pada uji-F tersebut diharapkan ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS hasil pendugaan dengan transparansi perairan hasil pendugaan. Penerimaan H0 apabila F hitung > F tabel, hasil uji-F terlihat pada Tabel 12. Suatu model dikatakan berkorelasi tinggi dan tidak ada bias yang dihasilkan, apabila nilai F-hitung empat hingga lima kali lebih besar dari nilai F-tabel pada taraf nyata α = 0.05 (Drapper dan Smith, 1981; Lathrop dan Lillesand, 1986, in Tarigan, 2008).
Tabel 12. Hasil Uji-F antara TSS dan Transparansi Perairan Hasil Pendugaan Hubungan antara TSS dan Transparansi Perairan Musim kemarau Musim Hujan
F hitung 392.6867 1791.9418
F tabel 3.8708 4.004
Pada musim kemarau dan musim hujan terbukti bahwa F hitung lebih besar empat hingga lima kali dari F hitung, sehingga terima H0. Jadi ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan, dimana konsentrasi TSS mempengaruhi kondisi transparansi perairan Teluk Jakarta.
4.4 Pemetaan Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan Setelah pengembangan dan pengujian model, model tersebut diaplikasikan dalam pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dalam 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan selama tahun 2004 hingga 2009. Secara visual distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan terbagi menjadi 9 kelas. Pembagian menjadi 9 kelas tersebut untuk melihat sebaran distribusi (variasi) konsentrasi TSS didasarkan pada perolehan hasil pendugaan konsentrasi TSS yang berkisar antara 10 mg/l sampai > 150 mg/l. Kelas-kelas untuk distribusi konsentrasi TSS adalah: 1. Kelas 1: 0-10 mg/l berwarna biru 2. Kelas 2: 10-20 mg/l berwarna ungu 3. Kelas 3: 20-30 mg/l berwarna biru muda 4. Kelas 4: 30-40 mg/l berwarna hijau tua 5. Kelas 5: 40-50 mg/l berwarna hijau muda 6. Kelas 6: 50-75 mg/l berwarna kuning 7. Kelas 7: 75-100 mg/l berwarna orange 8. Kelas 8: 100-150 mg/l berwarna merah tua
9. Kelas 9: > 150 mg/l berwarna merah Transparansi perairan juga terbagi menjadi 9 kelas untuk melihat sebaran distribusi transparansi perairan Teluk Jakarta berdasarkan kedalaman yang berkisar antara 1 m hingga 10 m, yaitu: 1. Kelas 1: 0-1 m berwarna merah 2. Kelas 2: 1-2 m berwarna orange 3. Kelas 3: 2-3 m berwarna kuning 4. Kelas 4: 3-4 m berwarna hijau muda 5. Kelas 5: 4-5 m berwarna hijau tua 6. Kelas 6: 5-6 berwarna biru muda 7. Kelas 7: 6-8 m berwarna ungu 8. Kelas 8: 8-10 m berwarna biru 9. Kelas 9: > 10 m berwarna biru tua
4.4.1 Musim Kemarau Konsentrasi TSS menggunakan model polynomial orde 3 dengan persamaan y = -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4 dan transparansi perairan menggunakan persamaan regresi model power yaitu y = 85.63x2.905. Gambar 11 merupakan sebaran distribusi konsentrasi TSS (Gambar 11a) dan transparansi perairan (Gambar 11b) pada musim kemarau selama tahun 2004. Berdasarkan hasil pengembangan model pada tanggal 21 Juni 2004 konsentrasi TSS dilihat secara visual menunjukkan konsentrasi yang tinggi yaitu berkisar antara 75-100 mg/l (berwarna orange) bahkan mencapai lebih dari 150 mg/l (berwarna merah). Kondisi tersebut hampir merata di bagian timur, barat, dan tengah perairan Teluk Jakarta. Masukan dari darat terutama dari 3 sungai
besar yang bermuara di perairan Teluk Jakarta yaitu sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum memberikan kontribusi yang sangat besar mengakibatkan tingginya konsentrasi TSS di Teluk Jakarta, terutama dekat dengan muara sungai Citarum dan Cisadane konsentrasi TSS mencapai > 150 mg/l (berwarna merah). Konsentrasi TSS di muara Teluk Jakarta sangat tinggi, paling rendah hanya berkisar antara 20-30 mg/l (berwarna biru muda). Semakin ke arah laut konsentrasi TSS terus menurun dan stabil dengan kisaran 0-10 mg/l (berwarna biru). Transparansi perairan Teluk Jakarta di sekitar muara Teluk Jakarta berkisar antara 1-2 meter (berwarna orange) dan 2-3 meter (berwarna kuning). Semakin ke utara transparansi perairan semakin meningkat, mulai dari 3-4 m (berwarna hijau muda) hingga 6-8 m (berwarna ungu). Hal tersebut terjadi akibat masukan dari darat terutama dari 3 sungai besar yang bermuara di Teluk Jakarta, yaitu sungai Cisadane, sungai Ciliwung, dan sungai Citarum yang membawa padatan tersuspensi sehingga di muara Teluk Jakarta transparansi perairan rendah. Konsentrasi TSS pada tanggal 23 Juli 2004 sangat tinggi yaitu > 150 mg/l (berwarna merah) di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane, sedangkan di dekat muara sungai Ciliwung memiliki kisaran yang hampir sama tetapi konsentrasi TSS lebih banyak berkisar antara 100-150 mg/l (berwarna merah tua). Masukan dari sungai Ciliwung memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya konsentrasi TSS di Teluk Jakarta, terutama muara sungai Citarum dan Cisadane. Semakin ke arah laut konsentrasi TSS terus menurun ke arah laut hingga kisaran 30-40 mg/l (berwarna hijau tua). Transparansi perairan Teluk Jakarta di sekitar muara Teluk Jakarta berkisar antara 1-2 meter (berwarna orange) di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane dan 2-3 meter (berwarna
kuning) di dekat muara sungai Ciliwung. Sedangkan semakin ke arah laut transparansi perairan semakin meningkat hingga 3-4 m (berwarna hijau muda). Pada tanggal 24 Agustus 2004 konsentrasi TSS berkisar antara 100-150 mg/l (berwarna merah tua) di dekat muara sungai Ciliwung, bahkan mencapai lebih dari 150 mg/l (berwarna merah). Sedangkan di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane konsentrasi TSS sangat tinggi mencapai > 150 mg/l (berwarna merah). Konsentrasi TSS di laut adalah yang terendah dengan kisaran 0-10 mg/l (berwarna biru). Transparansi perairan Teluk Jakarta pada tanggal yang sama sangat rendah. Di sekitar muara Teluk Jakarta transparansi perairan berkisar antara 1-2 meter (berwarna orange) dan 2-3 meter (berwarna kuning). Sedangkan semakin ke utara transparansi perairan semakin meningkat, mulai dari 3-4 m (berwarna hijau muda) hingga 6-8 m (berwarna ungu). Hal tersebut akibat dari 3 sungai besar yang bermuara di Teluk Jakarta, yaitu sungai Cisadane, sungai Ciliwung, dan sungai Citarum yang membawa masukan dari darat sehingga di muara Teluk Jakarta memiliki transparansi perairan yang rendah. Pada tanggal 9 September 2004 konsentrasi TSS tidak sebesar pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Konsentrasi TSS berkisar antara 50-75 mg/l (berwarna kuning) dan 30-40 mg/l di dekat muara sungai Ciliwung dan Cisadane, sedangkan di dekat muara sungai Citarum konsentrasi TSS cukup tinggi mencapai lebih dari 150 mg/l (berwarna merah). Semakin ke arah laut konsentrasi TSS menurun hingga kisaran 0-10 mg/l (berwarna biru). Transparansi perairan Teluk Jakarta paling rendah berada di sekitar muara sungai Citarum yaitu berkisar antara 2-3 m (berwarna kuning). Di dekat muara sungai Ciliwung dan Cisadane berkisar antara 3-4 m (berwarna hijau muda) dan 4-5 m (berwarna hijau tua). Semakin ke arah
laut transparansi perairan semakin meningkat hingga 6-8 m (berwarna ungu). Masukan dari darat yang tinggi terutama berasal dari muara sungai Citarum, sehingga transparansi perairan menjadi sangat rendah. Pada tanggal 25 September 2004 konsentrasi TSS di dekat muara sungai Ciliwung sangat rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi TSS pada tanggal 9 September 2004 yaitu berkisar antara 0-10 mg/l (berwarna biru), sedangkan di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane konsentrasi TSS sangat tinggi mencapai > 150 mg/l (berwarna merah). Konsentrasi TSS di laut relatif seragam dengan kisaran 0-10 mg/l (berwarna biru). Transparansi perairan di dekat muara sungai Ciliwung sangat tinggi berkebalikan dengan konsentrasi TSS, yaitu berkisar antara 5-6 m (berwarna biru) dan 6-8 m (berwarna ungu), sedangkan di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane transparansi perairan cukup rendah berkisar antara 2-3 m (berwarna kuning). Transparansi perairan di laut relatif seragam dengan kisaran sangat tinggi yaitu lebih dari 10 m (berwarna biru tua). Konsentrasi TSS pada tanggal 11 Oktober 2004 sangat tinggi yaitu berkisar antara 100 mg/l hingga >150 mg/l (berwarna merah). Transparansi perairan cukup rendah berkebalikan dengan konsentrasi TSS, yaitu berkisar antara 2-3 m (berwarna kuning) (Gambar 16b). Sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan di atas muara Teluk Jakarta tidak dapat di analisis secara jelas akibat kondisi citra satelit pada tanggal 11 Oktober 2004 banyak dipengaruhi oleh tutupan awan maupun haze yang tidak dapat hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik.
21 Juni
21 Juni
23 Juli
23 Juli
24 Agustus
24 Agustus
9 September
9 September
25 September
25 September
11 Oktober
11 Oktober
(a)
(b)
Gambar 11. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Kemarau pada Tahun 2004
Sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan selama tahun 2005 terdapat 3 tanggal yang terlihat pada Gambar 12. Gambar 12a merupakan konsentrasi TSS dan Gambar 12b merupakan distribusi transparansi perairan. Konsentrasi TSS pada tanggal 11 Agustus 2005 tidak setinggi pada tanggal 24 Agustus 2004. Konsentrasi TSS berkisar antara 50-75 mg/l (berwarna kuning) di dekat muara sungai Ciliwung, bahkan berkisar antara 30-40 mg/l (berwarna hijau tua). Sedangkan di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane konsentrasi TSS mencapai 100-150 mg/l (berwarna merah) dan 50-75 mg/l (berwarna kuning), hingga 20-30 mg/l (berwarna biru muda). Semakin ke arah laut konsentrasi TSS relatif stabil dengan kisaran 0-10 mg/l (berwarna biru). Transparansi perairan Teluk Jakarta berkisar antara 2-3 meter (berwarna kuning), 3-4 m (berwarna hijau muda), hingga 5-6 m (berwarna biru). Hal tersebut akibat dari 3 sungai besar yang bermuara di Teluk Jakarta, yaitu sungai Cisadane, sungai Ciliwung, dan sungai Citarum yang membawa masukan dari darat yang banyak sehingga di muara Teluk Jakarta memiliki transparansi perairan yang rendah. Konsentrasi TSS pada tanggal 27 Agustus 2005 sedikit lebih tinggi dibandingkan pada tanggal 11 Agustus 2005. Konsentrasi TSS berkisar antara 5075 mg/l (berwarna kuning) di dekat muara sungai Ciliwung, bahkan mencapai > 150 mg/l (berwarna merah) di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane. Semakin ke arah laut konsentrasi TSS menurun mulai dari 30-40 mg/l (berwarna hijau tua) hingga 0-10 mg/l (berwarna biru). Transparansi perairan pada tanggal yang sama yaitu 11 Agustus 2005 berkisar antara 2-3 meter (berwarna kuning), 34 m (berwarna hijau muda), hingga 5-6 m (berwarna biru), hal tersebut akibat masukan dari darat terutama dari 3 sungai besar yang bermuara di Teluk Jakarta.
11 Agustus
11 Agustus
27 Agustus
27 Agustus
28 September
28 September
(a)
(b)
Gambar 12. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Kemarau pada Tahun 2005
Pada tanggal 28 September 2005 konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta sulit di analisis secara visual karena kondisi citra banyak dipengaruhi oleh tutupan awan maupun haze yang tidak dapat hilang meskipun sudah dilakukan koreksi dan atmosferik. Di dekat muara sungai Ciliwung konsentrasi TSS berkisar antara 100 mg/l hingga > 150 mg/l (berwarna merah), sedangkan transparansi perairan berkisar antara 2-3 m (berwarna kuning). Tingginya konsentrasi TSS mengakibatkan rendahnya transparansi perairan.
Sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan musim kemarau tahun 2006 terlihat pada Gambar 13 yang diwakili oleh 3 tanggal. Pada tanggal 26 Mei 2006 konsentrasi TSS di dekat muara sungai Ciliwung sangat rendah yaitu berkisar antara 10-20 mg/l (berwarna ungu) hingga 20-30 mg/l (berwarna biru muda). Di bagian timur dekat muara sungai Citarum berkisar antara 75-100 mg/l (berwarna orange) dan 50-75 mg/l (berwarna kuning). Transparansi perairan 26 Mei 2006 di dekat muara sungai Citarum dan Ciliwung berkisar antara 2-3 m (berwarna kuning) dan 4-5 m (berwarna hijau tua) sebanding dengan konsentrasi TSS yang tidak terlalu tinggi. Konsentrasi TSS pada tanggal 1 Oktober 2006 di dekat muara sungai Ciliwung berkisar antara 40-50 mg/l (berwarna hijau muda) dan 50-75 mg/l (berwarna kuning). Di bagian timur dan barat dekat muara sungai Citarum dan Cisadane berkisar antara 100 mg/l hingga > 150 mg/l (berwarna merah). Transparansi perairan di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane memiliki kisaran yang sama yaitu antara 2-3 m (berwarna kuning) dan 1-2 m (berwarna orange) sebanding dengan konsentrasi TSS yang tinggi. Pada tanggal 17 Oktober 2006, di bagian atas perairan Teluk Jakarta kondisi citra banyak dipengaruhi oleh awan maupun haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik. Konsentrasi TSS di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane sangat tinggi yaitu > 150 mg/l (berwarna merah). Kemudian menurun hingga 75-100 mg/l (berwarna orange) dan 50-75 mg/l (berwarna kuning). Masukan dari darat terutama dari ketiga sungai besar tersebut sangat tinggi pada bulan Oktober, karena pada bulan tersebut merupakan musim peralihan dari kemarau ke musim hujan, sehingga banyak masukan dari
darat yang sampai ke perairan Teluk Jakarta. Kondisi transparansi perairan berkebalikan dengan konsentrasi TSS yang tinggi, yaitu sangat rendah dengan kisaran antara 2-3 m (berwarna kuning) hingga 1-2 m (berwarna orange).
26 Mei
26 Mei
1 Oktober
1 Oktober
17 Oktober
17 Oktober
(a)
(b)
Gambar 13. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Kemarau pada Tahun 2006
Sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan musim kemarau tahun 2007 hanya diwakili pada tanggal 17 Agustus 2007 (Gambar 14). Konsentrasi TSS (Gambar 14a) di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane sangat tinggi yaitu > 150 mg/l (berwarna merah). Kemudian menurun
hingga 75-100 mg/l (berwarna orange) dan 50-75 mg/l (berwarna kuning). Kondisi transparansi perairan sangat rendah (Gambar 14b) berkebalikan dengan konsentrasi TSS yang sangat tinggi, yaitu berkisar antara 1-2 m (berwarna orange) dan 2-3 m (berwarna kuning). Konsentrasi TSS memberikan pengaruh yang nyata terhadap kondisi transparansi perairan Teluk Jakarta.
17 Agustus
17 Agustus
(a)
(b)
Gambar 14. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Kemarau pada Tahun 2007
Konsentrasi TSS dan transparansi perairan pada tanggal 18 Juli 2008 (Gambar 15a) hampir sama seperti pada tanggal 23 Juli 2004, dimana konsentrasi TSS sangat tinggi yaitu > 150 mg/l (berwarna merah) di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane, sedangkan di dekat muara sungai Ciliwung konsentrasi TSS lebih banyak berkisar antara 100-150 mg/l (berwarna merah tua). Masukan dari darat melalui sungai Ciliwung memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya konsentrasi TSS di Teluk Jakarta, terutama dari muara sungai Citarum dan Cisadane. Semakin ke arah laut konsentrasi TSS terus menurun mulai kisaran 50-75 mg/l (berwarna kuning), 40-50 mg/l (berwarna hijau muda), hingga 0-10 mg/l (berwarna biru) di laut. Transparansi perairan di sekitar muara Teluk Jakarta
(Gambar 15b) berkisar antara 1-2 meter (berwarna orange) di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane dan 2-3 meter (berwarna kuning) di dekat muara sungai Ciliwung. Sedangkan semakin ke arah laut transparansi perairan semakin meningkat hingga 5-6 m (berwarna biru muda). Hal tersebut merupakan pengaruh nyata dari tingginya konsentrasi TSS sehingga di muara Teluk Jakarta memiliki transparansi perairan yang rendah.
18 Juli
18 Juli
(a)
(b)
Gambar 15. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Kemarau pada Tahun 2008
Konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta pada tanggal 2 Mei 2009 (Gambar 16a) menunjukkan konsentrasi yang sangat tinggi yaitu > 150 mg/l (berwarna merah) di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane meluas sampai mendekati Pulau Lancang. Masukan dari darat terutama dari ketiga sungai besar tersebut memberikan kontribusi yang tinggi terhadap tingginya konsentrasi TSS. Pada Gambar 16b, terlihat bahwa transparansi perairan di sekitar muara Teluk Jakarta berkisar antara 1-2 meter (berwarna orange) dan 2-3 meter (berwarna kuning). Semakin ke arah laut transparansi perairan semakin meningkat hingga 34 m (berwarna hijau muda). Hal tersebut merupakan pengaruh nyata dari
tingginya konsentrasi TSS sehingga kondisi transparansi perairan di muara Teluk Jakarta sangat rendah.
2 Mei
2 Mei
(a)
(b)
Gambar 16. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Kemarau pada Tahun 2009
4.4.2 Musim Hujan Konsentrasi TSS untuk musim hujan menggunakan model polynomial orde 3 dengan persamaan y = 24197x3 - 22050x2 + 6813x - 664.98 dan transparansi perairan menggunakan persamaan regresi model polynomial orde 2 yaitu y = 378.2x2 - 137.7x + 9.688. Citra Landsat pada musim hujan banyak dipengaruhi oleh tutupan awan, sehingga ada beberapa citra yang sulit dilihat dan di analisis konsentrasi TSS dan transparansi perairan yang sesuai. Konsentrasi TSS pada tanggal 12 November 2004 di muara Teluk Jakarta dekat muara sungai Ciliwung berkisar antara 100-150 mg/l (berwarna merah tua). Di dekat muara sungai Citarum berkisar antara 75-100 mg/l (berwarna orange) dan di sebelah barat dekat muara sungai Cisadane konsentrasi TSS > 150 mg/l (berwarna merah). Pada Gambar 17a terlihat semakin ke utara konsentrasi TSS mengalami penurunan. Transparansi perairan Teluk Jakarta (Gambar 17b)
menunjukkan kisaran antara 1-2 meter (berwarna orange) di dekat muara suangai Cisadane, serta 2-3 meter (berwarna kuning) di bagian tengah dekat muara sungai Ciliwung dan muara sungai Citarum. Semakin ke arah laut transparansi perairan meningkat mulai 3-4 m (berwarna hijau muda), 4-5 m (berwarna hijau tua), hingga 6-8 m (berwarna ungu).
12 November
12 November
(a)
(b)
Gambar 17. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Hujan pada Tahun 2004
Sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan musim hujan tahun 2005 diwakili pada tanggal 15 Januari dan 16 Februari (Gambar 18). Kondisi citra pada tahun 2005 (Gambar 18) di bagian timur dan tengah perairan Teluk Jakarta sulit di analisis sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan karena adanya awan maupun haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik. Konsentrasi TSS pada tanggal 15 Januari di dekat muara sungai Ciliwung, Citarum, dan Cisadane tidak terlalu tinggi yaitu berkisar antara 40-50 mg/l (berwarna hijau muda). Transparansi perairan di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane memiliki kisaran yang sama yaitu antara 0-1 m (berwarna merah) dan 1-
2 m (berwarna orange). Perairan tersebut sangat keruh dibandingkan pada tahun sebelumnya yang memiliki konsentrasi TSS lebih tinggi.
15 Januari
15 Januari
16 Februari
16 Februari
(a)
(b)
Gambar 18. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Hujan Tahun 2005
Sebaran distribusi konsentrasi TSS pada tanggal 16 Februari 2005 di sekitar perairan Teluk Jakarta hampir seragam dengan kisaran mulai dari 100-150 mg/l (berwarna merah tua) hingga > 150 mg/l (berwarna merah) di dekat muara sungai Citarum, Cisadane, dan Ciliwung. Konsentrasi TSS di Teluk Jakarta yang sangat tinggi akibat masukan dari darat melalui sungai-sungai besar yang membawa masukan partikel maupun sedimen. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi transparansi perairan yang sangat rendah. Transparansi perairan Teluk Jakarta sangat rendah dengan kisran antara 0-1 m (berwarna merah) dan 1-2 m (berwarna orange), kemudian semakin ke laut peningkatannya sangat sedikit.
Pada tahun 2006 musim hujan (Gambar 19), di bagian barat dan tengah atas perairan Teluk Jakarta sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan sulit di analisis karena kondisi citra banyak dipengaruhi oleh awan maupun haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik. Tetapi kondisi citra satelit di bagian tengah dekat muara sungai Ciliwung dan di bagian timur perairan Teluk Jakarta tidak terdapat tutupan awan maupun haze. Konsentrasi TSS (Gambar 19a) di dekat muara sungai Ciliwung cukup tinggi yaitu berkisar antara 50-75 mg/l (berwarna kuning) sedangkan di dekat muara sungai Citarum berkisar antara 40-50 mg/l (berwarna hijau muda) dan 50-75 mg/l (berwarna kuning). Perairan Teluk Jakarta lebih banyak mendapat masukan dari darat melalui muara-muara sungai di bagian tengah terutama sungai Ciliwung. Transparansi perairan (Gambar 19b) di dekat muara sungai Citarum dan Ciliwung berkisar antara 2-3 m (berwarna kuning) dan 3-4 m (berwarna hijau muda) sebanding dengan konsentrasi TSS yang tidak terlalu tinggi.
2 November
2 November
(a)
(b)
Gambar 19. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Hujan Tahun 2006
Pada tahun 2007 musim hujan (Gambar 20) di bagian timur dan tengah perairan Teluk Jakarta sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan juga sulit di analisis karena kondisi citra banyak dipengaruhi oleh awan maupun haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik. Sedangkan kondisi citra satelit di bagian barat perairan Teluk Jakarta hanya sedikit terdapat tutupan awan maupun haze. Konsentrasi TSS (Gambar 20a) di dekat muara sungai Ciliwung cukup tinggi yaitu berkisar antara 50-75 mg/l (berwarna kuning). Di bagian timur dekat muara sungai Citarum berkisar antara 40-50 mg/l (berwarna hijau muda) dan 50-75 mg/l (berwarna kuning). Transparansi perairan (Gambar 20b) di dekat muara sungai Citarum dan Ciliwung berkisar 2-3 m (berwarna kuning) dan 3-4 m (berwarna hijau muda) sebanding dengan konsentrasi TSS yang tidak terlalu tinggi.
7 Desember
7 Desember
(a)
(b)
Gambar 20. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Hujan Tahun 2007
Pada tahun 2008 di musim hujan (Gambar 21) hampir serupa dengan kondisi citra pada tahun 2007, di bagian timur dan barat perairan Teluk jakarta sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta sulit di analisis
karena banyak dipengaruhi oleh tutupan awan maupun haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik. Kondisi citra di bagian tengah perairan Teluk Jakarta hanya sedikit terdapat tutupan awan maupun haze. Konsentrasi TSS pad tanggal 8 Januari 2008 (Gambar 21a) di dekat muara sungai Ciliwung dan Citarum tidak terlalu tinggi yaitu berkisar antara 40-50 mg/l (berwarna hijau muda) dan 50-75 mg/l (berwarna kuning). Transparansi perairan (Gambar 21b) di dekat muara sungai Citarum dan Ciliwung berkisar antara 0-1 m (berwarna merah), 2-3 m (berwarna kuning), dan 3-4 m (berwarna hijau muda) berbanding terbalik dengan konsentrasi TSS yang cukup tinggi.
8 Januari
8 Januari
(a)
(b)
Gambar 21. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Hujan Tahun 2008
Perairan Teluk Jakarta musim hujan tahun 2009 diwakili pada tanggal 31 Maret 2009 (Gambar 22) sulit di analisis di bagian timur dan barat atas karena kondisi citra satelit Landsat banyak dipengaruhi oleh awan maupun haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik, sehingga sebaran distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan yang terlihat baik hanya di muara-muara perairan Teluk Jakarta.
Konsentrasi TSS pada tanggal 31 Maret 2009 (Gambar 22a) di dekat muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum hampir merata yaitu berkisar antara 5075 mg/l (berwarna kuning) dan 40-50 mg/l (berwarna hijau muda). Transparansi perairan (Gambar 22b) di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane berkisar antara 0-1 m (berwarna merah), 1-2 m (berwarna orange), dan 4-5 m (berwarna hijau tua), berbanding terbalik dengan konsentrasi TSS yang cukup tinggi.
31 Maret
31 Maret
(a)
(b)
Gambar 22. Sebaran Konsentrasi TSS (a) dan Transparansi Perairan (b) Musim Hujan Tahun 2009
4.5 Rata-rata Konsentrasi TSS Distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan dirata-ratakan berdasarkan tahun untuk musim kemarau dan hujan. Secara visual sebaran distribusi rata-rata konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari tahun 2004 hingga 2009 terbagi menjadi 4 kelas. Sebaran distribusi konsentrasi TSS terbagi menjadi 4 kelas berdasarkan klasifikasi pencemaran perairan menurut Lee et al. (1978) in Adiputro (1994), yaitu: 1. Kelas 1: 0-20 mg/l berwarna biru muda (belum tercemar)
2. Kelas 2: 20-50 mg/l berwarna hijau tua (tercemar ringan) 3. Kelas 3: 50-100 mg/l berwarna kuning (tercemar sedang) 4. Kelas 4: > 100 mg/l berwarna merah (tercemar berat)
4.5.1 Rata-rata Konsentrasi TSS pada Musim Kemarau Sebaran distribusi rata-rata konsentrasi TSS pada musim kemarau 2004-2009 terlihat pada Gambar 23. Sebaran konsentrasi TSS pada tahun 2004 (Gambar 23a) menunjukkan konsentrasi yang sangat tinggi di dekat muara sungai Citarum yaitu > 100 mg/l (berwarna merah). Masukan dari daratan melalui sungai-sungai di bagian timur perairan Teluk Jakarta memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya konsentrasi TSS di Teluk Jakarta, terutama muara sungai Citarum. Semakin ke arah laut di bagian timur perairan Teluk Jakarta, konsentrasi TSS terus menurun hingga kisaran 0-20 mg/l (berwarna biru muda). Pada tahun 2005 rata-rata distribusi konsentrasi TSS (Gambar 23b) lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2004. Konsentrasi TSS > 100 mg/l (berwarna merah) dan 50-100 mg/l (berwarna kuning) di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane, dan 20-50 mg/l (berwarna hijau tua) di dekat muara sungai Ciliwung. Semakin ke laut relatif stabil dengan kisaran 0-20 mg/l (berwarna biru muda). Rata-rata konsentrasi TSS pada tahun 2006 berkisar > 100 mg/l (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane (Gambar 23c). Di bagian timur perairan Teluk Jakarta yaitu di dekat muara sungai Citarum terlihat konsentrasi TSS > 100 mg/l (berwarna merah) lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2004 dan 2005, kemudian berkurang menjadi 50-100 mg/l (berwarna kuning) hingga 0-20 mg/l (berwarna biru muda) ke arah laut.
Rata-rata konsentrasi TSS pada tahun 2007 berada pada kisaran > 100 mg/l (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane (Gambar 23d) dengan luasan yang semakin meningkat ke arah laut dibandingkan pada tiga tahun sebelumnya. Kemudian berkurang menjadi 50-100 mg/l (berwarna kuning), 20-50 mg/l (berwarna hijau tua) hingga 0-20 mg/l (berwarna biru muda).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 23. Sebaran Rata-rata Konsentrasi TSS Musim Kemarau 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009
Pada tahun 2008 rata-rata sebaran distribusi konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta tidak berbeda jauh dengan keadaan pada tahun 2007. Konsentrasi TSS berada pada kisaran > 100 mg/l (berwarna merah) merata di dekat muara sungai
Citarum, Ciliwung, dan Cisadane (Gambar 23e) dengan luasan yang sedikit meningkat ke arah laut dibandingkan pada tahun 2007. Pada tahun 2009 sebaran distribusi rata-rata konsentrasi TSS adalah yang tertinggi dibandingkan pada tahun 2004-2008 dengan kisaran > 100 mg/l (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane (Gambar 23f) dengan cakupan mendekati Pulau Lancang. Kisaran konsentrasi 50100 mg/l (berwarna kuning) telah mencapai Pulau Lancang dan mendekati Pulau Pari. Di dekat Pulau Tidung konsentrasi TSS cukup tinggi berkisar antara 20-50 mg/l (berwarna hijau tua). Tingginya konsentrasi TSS berkorelasi terbalik dengan kondisi transparansi perairan yang rendah pada musim yang sama.
4.5.2 Rata-rata Konsentrasi TSS pada Musim Hujan Kondisi citra pada musim hujan tahun 2004-2009 terdapat beberapa citra yang tidak dapat di analisis dengan pasti akibat kondisi citra yang mendapat pengaruh atmosferik seperti awan atau haze yang mempengaruhi nilai reflektansi. Pada tahun 2004 sebaran distribusi rata-rata konsentrasi TSS sangat tinggi dengan kisaran > 100 mg/l (berwarna merah) merata hanya di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane, kemudian menurun pada kisaran konsentrasi 50-100 mg/l (berwarna kuning) (Gambar 24a). Di sekitar Pulau Pari hanya berkisar 20-50 mg/l dan di sekitar Pulau Pramuka konsentrasi TSS tidak terlalu tinggi, hanya berkisar antara 0-20 mg/l (berwarna biru muda). Pada tahun 2005 rata-rata konsentrasi TSS berkisar > 100 mg/l (berwarna merah) merata di sekitar muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane (Gambar 24b), dengan cakupan yang lebih luas daripada tahun sebelumnya. Di sekitar
Pulau Pari hingga Pulau Pramuka konsentrasi TSS cukup tinggi dengan kisaran 50-100 mg/l (berwarna kuning).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 24. Sebaran Rata-rata Konsentrasi TSS Musim Hujan 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009
Rata-rata sebaran distribusi konsentrasi TSS pada tahun 2006 berkisar antara 50-100 mg/l (berwarna kuning) di dekat muara sungai Ciliwung (Gambar 24c). Di bagian timur dekat muara sungai Citarum dan di bagian barat dekat sungai Cisadane konsentrasi TSS menurun dibandingkan pada tahun 2004 dan 2005 yaitu berkisar antara 20-50 mg/l (berwarna hijau tua).
Rata-rata konsentrasi TSS pada tahun 2007 berada pada kisaran 20-50 mg/l (berwarna hijau tua) hingga 50-100 mg/l (berwarna hijau tua) di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane (Gambar 24d) hampir sama dengan tahun 2006. Di bagian timur, barat, dan tengah perairan Teluk Jakarta memiliki kondisi yang hampir sama dengan tahun sebelumnya, kondisi citra mendapat pengaruh tutupan awan atau haze sehingga tidak dapat di analisis dengan pasti. Pada tahun 2008 sebaran distribusi rata-rata konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta tidak berbeda jauh dengan keadaan pada tahun 2007. Konsentrasi TSS berada pada kisaran 20-50 mg/l (berwarna hijau tua) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane (Gambar 24e), lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau di tahun yang sama, dan meningkat ke arah laut dengan kisaran 50-100 mg/l (berwarna kuning). Pada tahun 2009 rata-rata konsentrasi TSS berkisar antara 20-50 mg/l (berwarna hijau tua) dan 50-100 mg/l (berwarna kuning) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane (Gambar 24f). Pada kisaran konsentrasi 50-100 mg/l (berwarna kuning) telah mendekati Pulau Lancang. Konsentrasi TSS pada tahun 2009 di musim hujan lebih rendah dibandingkan di musim kemarau pada tahun yang sama.
4.5.3 Analisis TSS Perairan Teluk Jakarta Hubungan antara konsentrasi TSS perairan hasil pendugaan dengan konsentrasi TSS perairan in situ terlihat pada Gambar 25. Data TSS perairan in situ maupun pendugaan terdapat untuk musim kemarau dan musim hujan terdapat pada Lampiran 8 dan 9. Konsentrasi TSS perairan hasil pendugaan dengan konsentrasi TSS in situ pada musim kemarau dan hujan menunjukkan
kecenderungan yang hampir sama. Jumlah data pada musim hujan lebih sedikit dibandingkan data pada musim kemarau.
Gambar 25. Hubungan antara TSS in situ dengan TSS Dugaan pada Musim Kemarau dan Hujan
Perbedaan konsentrasi TSS in situ dengan konsentrasi TSS hasil pendugaan disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan sampel air laut untuk analisis konsentrasi TSS dengan waktu satelit mengindera perairan Teluk Jakarta. Pada musim kemarau dilakukan pengambilan sampel air laut mulai pagi hari hingga siang hari (sekitar pukul 09.00 hingga 14.00 WIB) dan pada musim hujan dilakukan sekitar pukul 09.00 hingga 15.30 WIB, sedangkan satelit Landsat mengindera wilayah perairan Teluk Jakarta sekitar pukul 15.00 WIB. Kondisi perairan Teluk Jakarta yang sangat dinamis menyebabkan arus dan pasang surut berubah sangat cepat. Konsentrasi TSS perairan pada musim hujan lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau, hal tersebut berkaitan dengan kondisi citra yang banyak mendapat pengaruh dari tutupan awan maupun haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik. Konsentrasi TSS lebih tinggi di perairan
pantai dan menurun di lepas pantai, secara umum sebaran distribusi rata-rata konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau semakin tinggi setiap tahunnya, begitu pula pada musim hujan. Pendugaan konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta selama tahun 2004-2009 secara kuantitatif terlihat pada Gambar 26. Konsentrasi TSS pada musim kemarau (Gambar 26a) yang tertinggi pada tahun 2009 yaitu 106.28 mg/l dan yang terendah pada tahun 2005 yaitu 28.82 mg/l. Pada musim hujan (Gambar 26b) konsentrasi TSS tertinggi adalah pada tahun 2005 yaitu 96.82 mg/l, hal tersebut akibat pencemaran yang sangat tinggi pada awal tahun 2005 sekitar bulan Januari dan Februari.
(a)
(b)
Gambar 26. Pendugaan Konsentrasi TSS secara Kuantitatif pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b)
Kantor MNKLH (1988) menetapkan nilai ambang batas (NAB) untuk TSS sebesar ≤ 80 ppm (mg/l) untuk budidaya perikanan, taman laut, dan konservasi, ≤ 23 ppm (mg/l) untuk pariwisata dan rekreasi seperti renang dan selam, dan 20 ppm (mg/l) untuk kehidupan koral. Berdasarkan nilai ambang batas tersebut, perairan Teluk Jakarta tidak cocok untuk rekreasi dan sangat rentan untuk
kehidupan terumbu karang. Terumbu karang merupakan bagian ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Rusaknya terumbu karang mengakibatkan sumber rantai makanan juga hilang. Akibatnya, nelayan semakin sulit menangkap ikan, udang, atau biota laut lainnya. Pencemaran berat yang melanda Teluk Jakarta membuat terumbu karang di perairan ini hanya tersisa 2% (Harian Media Indonesia, 2009). Lee et al. (1978) in Adiputro (1994) mengklasifikasikan tingkat pencemaran perairan berdasarkan kandungan konsentrasi TSS (Tabel 13). Berdasarkan kriteria tersebut, dilihat dari pendugaan konsentrasi TSS selama tahun 2004-2005 (Gambar 26), maka perairan Teluk Jakarta tergolong perairan yang tercemar berat pada musim kemarau dan pada musim hujan tergolong tercemar sedang.
Tabel 13. Klasifikasi Derajat Pencemaran Berdasarkan Kadar TSS No. Total Padatan Tersuspensi (mg/l) Kriteria Perairan 1 Belum Tercemar 20 2 20-49 Tercemar Ringan 3 50-100 Tercemar Sedang 4 > 100 Tercemar Berat
Sumber TSS salah satunya adalah masukan dari darat dan sungai. Perairan Teluk Jakarta bagian Timur dipengaruhi oleh sungai Citarum dan sungai-sungai kecil lainnya yang membawa materi-materi dari darat saat hujan dan angin bertiup dari arah timur. Sedangkan perairan Teluk Jakarta bagian Barat dan Tengah dipengaruhi oleh sungai-sungai yang mengalir melalui kota Jakarta. Seperti yang telah diketahui bahwa kota Jakarta banyak berdiri pabrik-pabrik industri yang kapan saja dapat membuang limbah industri ke sungai, hal tersebut menjadi salah satu faktor tingginya konsentrasi TSS di bagian Barat dan Tengah perairan Teluk Jakarta. Terkait dengan jumlah penduduk yang selalu meningkat setiap tahunnya
maka semakin banyak pula limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Berdasarkan BPS DKI Jakarta (2006) tercatat jumlah penduduk di kota Jakarta pada tahun 2004 sebanyak 2.266.490 jiwa, pada 1 Januari 2005 sebanyak 8.540.306 jiwa, dan 1 Januari 2006 sebanyak 7.512.323 jiwa. Berdasarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (2009), pada bulan Juni 2007 tercatat jumlah penduduk di Jakarta sebanyak 7.552.444 jiwa, pada tahun 2008 mencapai 8.059.170 jiwa, dan tercatat pada bulan Maret 2009 sebanyak 8.513.385 jiwa. Bertambahnya jumlah penduduk setiap tahunnya maka semakin banyak pula dilakukan pembangunan di sekitar kota Jakarta, terutama untuk wilayah pemukiman dan perindustrian. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan masyarakat sekitar ikut menyumbang limbah rumah tangga masuk ke sungai dan sampai di perairan Teluk Jakarta. Konsentrasi TSS yang tinggi secara tidak langsung dapat membatasi produktivitas perairan akibat partikel-partikel yang melayang di perairan menghalangi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan air, sehingga proses fotosinteis menjadi terganggu. Secara langsung, tingginya konsentrasi TSS dapat mengganggu respirasi biota laut dan menyebabkan infeksi pada biota laut (Setiapermana dan Nontji, 1980). Berdasarkan hasil pengamatan pada bulan Desember 2006, terlihat adanya indikasi kenaikan suhu di perairan Teluk Jakarta akibat peningkatan panas global dan dipengaruhi juga oleh limbah industri, limbah pabrik, maupun PLTU di sekitar muara sungai Muara Karang yang membuang hasil limbah yang secara langsung dialirkan ke perairan laut (BPLHD, 2007).
Akibat pencemaran dan reklamasi, frekuensi melaut berkurang drastis, bangkrutnya usaha budidaya kerang yang dikembangkan masyarakat hingga berkurangnya jenis ikan di perairan Teluk Jakarta membuat kelangsungan hidup nelayan di Teluk Jakarta semakin jauh dari sehat dan sejahtera. Bahkan pada tahun 2005, salah seorang nelayan tradisional asal Marunda meninggal dunia setelah terkontaminasi oleh pencemaran air dari teluk ini (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia et al., 2009). Menurut data resmi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta, perairan Teluk Jakarta sudah tidak layak lagi untuk wisata bahari dan kehidupan biota laut karena di Teluk Jakarta kandungan nitrat, amoniak, dan fosfat sudah melebihi ambang batas. Bahkan pencemaran sudah mencapai Kepulauan Seribu (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia et al., 2009).
4.6 Rata-rata Transparansi Perairan Sebaran distribusi transparansi perairan juga terbagi menjadi 4 kelas berdasarkan nilai ambang batas suatu (NAB) suatu perairan yang ditetapkan oleh Kantor MNKLH (1988), yaitu: 1. Kelas 1: 0-3 m berwarna merah 2. Kelas 2: 3-5 m berwarna kuning 3. Kelas 3: 5-10 m berwarna hijau muda 4. Kelas 4: > 10 m berwarna biru
4.6.1 Rata-rata Transparansi Perairan pada Musim Kemarau Rata-rata transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2004 (Gambar 27a) di dekat muara sungai Citarum sangat rendah yaitu berkisar antara 0-3 m
(berwarna merah), kemudian semakin ke utara meningkat menjadi 3-5 m (berwarna kuning). Hal tersebut merupakan pengaruh nyata dari tingginya konsentrasi TSS sehingga di muara Teluk Jakarta memiliki transparansi perairan yang rendah. Di bagian barat dan tengah perairan Teluk Jakarta sebaran distribusi transparansi perairan yang terlihat tidak termasuk kedalam kisaran kelas yang ada, hal tersebut disebabkan karena kondisi citra satelit Landsat yang tidak baik akibat pengaruh atmosferik pada salah satu data di tahun 2004, yaitu pada tanggal 11 Oktober 2004. Rata-rata transparansi perairan pada tahun 2005 (Gambar 27b) lebih rendah dari tahun sebelumnya yaitu berkisar antara 0-3 m (berwarna merah) di dekat muara sungai Citarum dan Cisadane, dan berkisar antara 3-5 m (berwarna kuning) di dekat muara sungai Ciliwung. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2006 (Gambar 27c) juga semakin rendah dari dua tahun sebelumnya yaitu berkisar antara 0-3 m (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2007 (Gambar 27d) juga semakin rendah dari tiga tahun sebelumnya yaitu berkisar antara 0-3 m (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane dengan cakupan yang semakin meluas ke arah laut. Kemudian berkurang menjadi 3-5 m (berwarna kuning), 5-10 m (berwarna hijau muda) hingga > 10 m (berwarna biru). Rata-rata transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2008 (Gambar 27e) berkisar antara 0-3 m (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane dengan cakupan yang semakin meluas ke arah laut mencapai Pulau Lancang.
Rata-rata transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2009 (Gambar 27f) berkebalikan dengan konsentrasi TSS, yaitu sangat rendah dengan kisaran 0-3 m (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane dengan cakupan yang meluas hingga ke Pulau Lancang dan mendekati Pulau Pari. Di sekitar Pulau Pari transparansi perairan mencapai 3-5 m (berwarna kuning). Masukan dari darat melalui sungai-sungai yang bermuara di perairan Teluk Jakarta, terutama 3 sungai besar yaitu sungai Cisadane, sungai Ciliwung, dan sungai Citarum mengakibatkan setiap tahun transparansi perairan semakin rendah.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 27. Sebaran Rata-rata Transparansi Perairan Musim Kemarau 20042009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009
4.6.2 Rata-rata Transparansi Perairan pada Musim Hujan Rata-rata transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2004 sangat rendah yaitu berkisar 0-3 m (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane, kemudian meningkat pada kisaran 3-5 m (berwarna kuning) (Gambar 28a). Di sekitar Pulau Pari transparansi perairan masih cukup tinggi yaitu mencapai > 10 m (berwarna biru). Transparansi perairan pada tahun 2004 di musim hujan lebih rendah dibandingkan di musim kemarau. Rata-rata transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2005 sangat rendah (Gambar 28b) dengan kisaran 0-3 m (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane juga dengan cakupan yang lebih luas daripada tahun sebelumnya. Kondisi transparansi perairan yang rendah berkorelasi nyata terhadap tingginya konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta pada tahun 2005 di musim hujan. Transparansi perairan di bagian tengah Teluk Jakarta dekat muara sungai Ciliwung pada tahun 2006 (Gambar 38c) mengalami peningkatan dari dua tahun sebelumnya yaitu berkisar antara 5-10 m (berwarna hijau muda) dan 3-5 m (berwarna kuning). Di dekat muara sungai Citarum dan di dekat sungai Cisadane transparansi perairan menurun hingga kisaran 0-3 m (berwarna merah). Transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2007 (Gambar 38d) juga hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu berkisar antara 0-3 m (berwarna merah) di dekat muara sungai Citarum, 3-5 m (berwarna kuning) dan 510 m (berwarna hijau muda) di dekat muara sungai Ciliwung, sedangkan di bagian barat dekat muara sungai Cisadane berkisar antara 3-5 m (berwarna kuning).
Kondisi transparansi perairan tersebut berkorelasi terbalik dengan konsentrasi TSS pada tahun dan musim yang sama.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 28. Sebaran Rata-rata Transparansi Perairan Musim Hujan 2004-2009: (a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009
Rata-rata transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2008 (Gambar 38e) berkisar antara 0-3 m (berwarna merah) merata di dekat muara sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane. Kemudian meningkat ke arah laut berkisar antara 3-5 m (berwarna kuning) dan 5-10 m (berwarna hijau muda). Transparansi perairan Teluk Jakarta pada tahun 2009 (Gambar 38f) sangat rendah dengan kisaran 0-3 meter (berwarna merah) merata di dekat muara sungai
Citarum dan Cisadane, serta 3-5 m (berwarna kuning) dan 5-10 m (berwarna hijau muda) di dekat muara sungai Ciliwung. Kondisi perairan di bagian timur dan barat ke arah laut tidak dapat di analisis dengan pasti akibat kondisi citra yang mendapat pengaruh atmosferik seperti awan dan haze.
4.6.3 Analisis Transparansi Perairan Teluk Jakarta Hubungan antara transparansi perairan hasil pendugaan dengan data transparansi perairan in situ terlihat pada Gambar 29. Data transparansi perairan in situ maupun pendugaan untuk musim kemarau dan musim hujan terdapat pada Lampiran 10 dan 11.
Gambar 29. Hubungan antara Transparansi in situ dengan Transparansi Dugaan pada Musim Kemarau dan Hujan
Transparansi perairan hasil pendugaan dan transparansi perairan in situ pada musim kemarau dan hujan menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Jumlah data pada musim hujan lebih sedikit dibandingkan data pada musim kemarau. Perbedaan nilai transparansi in situ dengan dugaan disebabkan oleh perbedaan waktu pengukuran transparansi secara in situ dengan penginderaan oleh satelit. Pengukuran transparansi perairan secara in situ pada musim kemarau
dilakukan mulai pagi hari hingga siang hari (sekitar pukul 09.00 hingga 14.00 WIB) dan pada musim hujan pengukuran transparansi perairan dilakukan sekitar pukul 09.00 hingga 15.30 WIB, sedangkan satelit Landsat mengindera wilayah perairan Teluk Jakarta sekitar pukul 15.00 WIB. Kondisi perairan Teluk Jakarta yang sangat dinamis menyebabkan arus dan pasang surut berubah sangat cepat. Ketelitian saat melakukan pengukuran dengan secchi disk dan kondisi cuaca ikut berpengaruh terhadap perbedaan data in situ dengan dugaan. Secara keseluruhan, rata-rata transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau semakin rendah setiap tahunnya, begitu pula pada musim hujan. Di dekat pantai transparansi perairan sangat rendah dan meningkat ke lepas pantai. Transparansi perairan pada musim hujan lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau, terutama tahun 2005 transparansi perairan Teluk Jakarta adalah yang terendah berbanding terbalik dengan konsentrasi TSS yang sangat tinggi, hal tersebut akibat terjadinya pencemaran yang tinggi pada awal tahun 2005. Pendugaan transparansi perairan Teluk Jakarta selama tahun 2004-2009 secara kuantitatif terlihat pada Gambar 30. Transparansi perairan pada musim kemarau (Gambar 30a) yang terendah adalah pada tahun 2009 yaitu 4.08 m dan yang tertinggi adalah pada tahun 2004 yaitu 10.23 m. Pada musim hujan (Gambar 30b) transparansi perairan terendah adalah pada tahun 2005 yaitu 7.2 m, hal tersebut akibat pencemaran yang sangat tinggi pada awal tahun 2005.
(a)
(b)
Gambar 30. Pendugaan Transparansi Perairan secara Kuantitatif pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b)
Korelasi antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan terlihat pada gambar 31. Pada musim kemarau (Gambar 31a) konsentrasi TSS yang tinggi berkorelasi dengan rendahnya transparansi perairan, sedangkan pada musim hujan (Gambar 31b) konsentrasi TSS tidak memperlihatkan kecenderungan terhadap rendahnya transparansi perairan.
(a)
(b)
Gambar 31. Korelasi antara Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b)
Kisaran transparansi perairan berdasarkan nilai ambang batas yang ditetapkan oleh Kantor MNKLH (1988), dimana kecerahan suatu perairan apabila 3-5 m untuk kepentingan perikanan, 5-10 m untuk kehidupan koral, dan > 10 m untuk pariwisata. Hasil pendugaan transparansi perairan yang diperoleh menunjukkan bahwa perairan Teluk Jakarta tidak layak untuk pariwisata dan sangat rentan untuk kehidupan terumbu karang. Perairan yang sangat keruh dapat disebabkan oleh masukan dari sungai-sungai besar yang bermuara langsung di Teluk Jakarta, terutama tiga sungai besar seperti sungai Ciliwung, Cisadane, dan Citarum yang membawa materi-materi dari daratan. Menurut BPLHD (2007) kondisi muara Teluk Jakarta pada bulan Juli 2007 saat surut tingkat kecerahannya berkisar antara 0.1-1.0 m sedangkan pada saat pasang berkisar antara 0.3-1.3 m. Pada bulan November 2007 saat pasang kecerahannya berkisar antara 0.2-1.4 m dan saat surut berkisar antara 0.15-0.80 m. Tingkat kecerahan pada bulan November cenderung menurun dibandingkan pada bulan Juli. Curah hujan rata-rata pada musim hujan adalah 100-400 mm dan pada musim kemarau 50-100 mm (Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta, 1995). Pada musim hujan angin bertiup sangat kencang sehingga terjadi turbulensi dan curah hujan yang tinggi akan membawa materi-materi dari darat serta sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta mengakibatkan transparansi perairan berkurang. Ada dampak positif dan juga negatif dari masukan materi-materi dari darat dan sungai ke suatu perairan. Dampak positifnya adalah perairan menjadi subur karena masukan senyawa-senyawa fosfat, nitrat, silika, dll dari daratan. Sedangkan dampak negatifnya adalah perairan mengandung banyak partikel
tersuspensi yang mengakibatkan perairan menjadi keruh sehingga penetrasi cahaya terhambat dan terganggunya proses fotosintesis. Tinggi rendahnya tingkat kecerahan di perairan Teluk Jakarta lebih disebabkan akibat konsentrasi padatan tersuspensi yang tinggi, karena perairan Teluk Jakarta termasuk dalam perairan kasus II yang lebih di dominasi oleh konsentrasi TSS. Meskipun tidak bersifat toksik, namun akan berpengaruh pada besarnya radiasi matahari sampai ke dasar perairan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS adalah persamaan regresi model polynomial orde 3 untuk musim kemarau dan hujan, sedangkan transparansi perairan menggunakan persamaan regresi model power untuk musim kemarau dan polynomial orde 2 untuk musim hujan. Model tersebut terbentuk dari hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (x) dengan data in situ konsentrasi TSS maupun transparansi perairan (y). Konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau sangat tinggi, secara kuantitatif yaitu > 100 mg/l dan 50-100 mg/l pada musim hujan. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan rata-rata berkisar antara 0-4 m dan 5-10 m, dengan sebaran transparansi paling rendah pada musim kemarau. Banyaknya sungai-sungai yang bermuara di perairan Teluk Jakarta membawa masukan partikel-partikel terutama TSS yang dapat dijadikan salah satu indikator pencemaran perairan. Pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi yang diperoleh dapat dikatakan bahwa perairan Teluk Jakarta merupakan perairan yang tercemar karena memiliki kisaran konsentrasi TSS dan transparansi perairan melebihi nilai ambang batas untuk kehidupan terumbu karang maupun untuk bidang perikanan.
5.2 Saran Pada penelitian berikutnya dikorelasikan dengan data meteorologi seperti curah hujan dan angin untuk melihat pengaruhnya terhadap konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Adiputro, S. B. 1994. Metode Pengambilan dan Analisis Data Biota Perairan. Makalah: Kursus Amdal PPSMI. Universitas Indonesia. Jakarta. Arief, A. G. 1980. Keadaan Suhu Permukaan Air Laut dan Udara di Perairan Teluk Jakarta in A. Nontji dan A. Djamali (Ed). Teluk Jakarta Pengkajian Fisika, Kimia, Biologi, dan Ekologi Tahun 1975-1979. LON-LIPI. Jakarta. 1114 h. Aunuddin. 1989. Analisis Data. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Barret, R. B dan L. F. Curtis. 1982. Introduction to environmental remote sensing. Chapman and Hall. London. 352 h. Boyd, E. C. 1979. Water quality in warmwater fish ponds. Auburn University. Alabama. 261-263 h. BPLHD. 2007. Pemantauan Perairan Laut dan Muara Teluk Jakarta pada Bulan November 2007. BPLHD. Jakarta. BPS DKI Jakarta. 2006 Jakarta dalam Angka 2005/2006. http://regionalinvestment.com/sipid/id/demografiakusiajkel.php?ia=31&is=39 [29 Juni 2009]. Budiman, S. 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta, Indonesia. Disertasi. ITC. Netherlands. Butler, M .J. A., M. C. Mouchot, V. Barole, dan C. Le Blanc. 1988. The Apllications of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries: an Introductory Manual. FAO. Fisheries Technical Paper. No. 295. Roma. 165 h. Chipman, J. W., J. E. Leale, T. M. Lillesand, M. J. Nordheim, dan J. E. Schmaltz. 2004. Mapping Lake Water Clarity with Landsat Image in Wisconsin, USA. Damar, A. 2004. Teluk Jakarta, Tercemar sekaligus Subur. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/14/bahari/968758.htm [20 Oktober 2008]. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. 2009. Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta. http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/statistik/pendudukdki-jakarta/42-statistik/4-jumlah-penduduk-provinsi-dki-jakarta [24 Juli 2009].
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Gitelson, A. G., G. Garbuzov, F. Szilagyi, K. H. Mittenzwey, A. Karnielli, dan A. Kaiser. 1993. Quantitative Remote Sensing Methods for Real Time Monitoring of Inland Waters Quality. International Journal on Remote Sensing. Vol. 14. No. 7. 1269-1295 h. Green, E. P., J. E. Alasdair, dan J. M. Peter. 2000. Mapping Bathymetry. h: 219233 in Edwards, A. J. (Ed). Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. UNESCO Publishing. Paris. Hasyim, B. 1997. Optimasi Penggunaan Data Inderaja dan Sistem Informasi Geografi untuk Pengawasan Kualitas Lingkungan Pantai akibat Limbah Industri. Dewan riset Nasional. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jakarta. Illahude, A. G. 1980. Kondisi hidrologi perairan Teluk Jakarta 1975-1976. h. 9-14 in D. P. Praseno dan W. Kastoro (Ed). Evaluasi Hasil Pemonitoran Kondisi Perairan Teluk Jakarta 1975-1979. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta. Kantor MNKLH. 1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-02 MNKLH I 1998 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta. 1992. Laporan Pemantauan Teluk Jakarta Tahun 1991/1992. Jakarta. Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta. 1994. Laporan Pemantauan Teluk Jakarta Tahun 1993/1994. Jakarta. Kardono, P. dan Suprajaka. 1993. Teknologi Inderaja untuk Kelautan dalam Geomatika. Bakosurtanal. No. 1. Jakarta. 9-22 h. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Institut Hijau Indonesia (IHI). 2009. 80% Tercemar, Kelangsungan Hidup Nelayan Teluk Jakarta Terancam. http://kiara.or.id.4244.masterweb.net/index2.php?option=com_content&do_pdf =1&id=436 [25 Agustus 2009]. Kusumawidagdo, M. 1987. Processing of MSS Landsat Image to Enhance Water Feature in Proceeding of the Joint Workshop of Remote Sensing of the Sea Participation in The Snellius Expedition 1984. LAPAN. Jakarta. 55-61 h. Landsat USGS. http://edcsns17.cr.usgs.gov/EarthExplorer/.
LAPAN. 2000. Landsat 7 a Mission Overview. Proceedings in LAPAN-DLR Workshop on Remote Sensing for Coastal and Marine Application. Jakarta 1 Maret 2000. LAPAN. Jakarta. LAPAN. 2004. Implementasi dan Pembinaan Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Budidaya Laut. Studi Kasus: Kesesuaian Perairan Budidaya Ikan Kerapu dengan Menggunakan Karamba Jaring Apung di Kabupaten Situbondo. LAPAN. Jakarta. LEMIGAS. 1997. Evaluasi Penginderaan Jauh untuk Studi Dasar Lingkungan Wilayah Kerja Unocal Indonesia Company Kalimantan Timur. Laporan Akhir. Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Lillesand, T. M. dan F. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra in R. Dulbahri (Ed). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 725 h. Meaden, G. J. dan J. M. Kapetsky. 1991. Geographical Information System and Remote Sensing in Inland Fisheries and Aquaculture. FAO. Fisheries Technical Mapper Papper. No. 318. Roma. 262 h. Mujito, M., Husen, H. Riyanto, A. G. Tjiptono, Suliantara, R. K. Risdianto, dan Sudiarto. 1997. Evaluasi Penginderaan Jauh untuk Studi Dasar Lingkungan Wilayah Kerja UNOCAL Indonesia company Kalimantan Timur. Bidang Litbangtek Eksplorasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. LEMIGAS. Jakarta. Purbawasesa, B. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Universitas Indonesia. Jakarta. Robinson, I. S. 1985. Satellite Oceanography: an Introduction for Oceanographers and Remote Sensing Scientist. Ellis Harvard Limied, Chiester, England. 455 h. Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta. Setiapermana, D dan A. Nontji. 1980. Klorofil dan Seston in A. Soegiarto, S. Birowo, dan Surkarno (Ed). Atlas Oseanografi Perairan Indonesia dan Sekitarnya. LON-LIPI. Jakarta. 297 h. Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta. 1995. Laporan Identifikasi Permasalahan Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Proyek Pengembangan TNL Pulau Seribu. Jakarta. Harian Media Indonesia. 2009. Rumah Ikan di Teluk Jakarta Tersisa 2%. http://www.stp.dkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=36 0:rumah-ikan-di-teluk-jakarta-tersisa-2&catid=71:berita-umum&Itemid=108 [25 Agustus 2009]. Tarigan, M. S. 2008. Uji Coba Digitalisasi Pemetaan Sebaran Konsentrasi Klorofil-a, Transparansi, dan Seston di Estuari Cisadane. h. 39-56 in Ekosistem
Estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oceanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. LIPI Press. Jakarta. Tassan, S. dan M. R. d’Alcala. 1993. Water Quality Monitoring by Thematic Mapper in Coastal Environment a Performance Analysis of Local Biooptical algorithms and atmospheric correction procedures. Remote Sensing Environment. Vol. 45. 177-191 h. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke-3 in Bambang Sumantri (Ed). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wouthuyzen, S., S. Tarigan, H. I. Supriyadi, A. Sediadi, Sugarin, V. P. Siregar, dan J. Ishizaka. 2008. Pengukuran Salinitas Permukaan Teluk Jakarta melalui Penginderaan Warna Laut menggunakan Data Multitemporal Citra Satelit Landsat-7 ETM+. http://crs.itb.ac.id/media/mapin/pdf/sam_wouthuyzen.pdf [11 Maret 2009].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Penentuan Konsentrasi TSS dengan Metode Gravimetrik (Boyd, 1979) 1. Siapkan kertas saring (miliopore dengan porositas 0.45 μm) dan vacuum pump. 2. Lakukan penyaringan 2x terhadap akuades selama 2-3 menit untuk mengisap kelebihan air. 3. Keringkan kertas saring dalam oven selama 1 jam pada suhu 103o C – 105o C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai B mg. 4. Ambil 50 ml contoh air menggunakan gelas ukur, aduk kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah ditimbang pada prosedur 3. 5. Kertas saring dan residunya kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103o C – 105o C selama minimal 1 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai A mg. 6. Konsentrasi muatan padatan tersuspensi diperoleh melalui: [Muatan Padatan Tersuspensi] (mg/l) = ((A-B) x 1000)/volume air laut (ml) dimana:
A = berat kertas saring dan residu (mg) B = berat kertas saring (mg)
Lampiran 2. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS Pengembangan Model pada Musim Kemarau
dimana:
1
= nilai TSS in situ
2
= nilai TSS dugaan
y
= -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4
x
= reflektansi kromatisiti kanal biru
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1
Variable 2
Mean
31.8358
31.6829651
Variance
885.9997 786.7110614
Observations
130.0000
Pooled Variance
836.3554
Hypothesized Mean Difference Df
0.0000 258.0000
t Stat
0.0426
P(T<=t) one-tail
0.4830
t Critical one-tail
1.6508
P(T<=t) two-tail
0.9661
t Critical two-tail
1.9692
130
Lampiran 3. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS Pengembangan Model pada Musim Hujan
dimana:
1
= nilai TSS in situ
2
= nilai TSS dugaan
y
= 24197x3 - 22050x2 + 6813x - 664.98
x
= reflektansi kromatisiti kanal biru
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1
Variable 2
Mean
49.9000
49.93476645
Variance
40.1525
34.02604609
Observations
32.0000
32
Pooled Variance
37.0893
Hypothesized Mean Difference
0.0000
Df
62.0000
t Stat
-0.0228
P(T<=t) one-tail
0.4909
t Critical one-tail
1.6698
P(T<=t) two-tail
0.9819
t Critical two-tail
1.9990
Lampiran 4. Uji-t antara Transparansi in situ dengan Transparansi Pengembangan Model pada Musim Kemarau
dimana:
1
= nilai tengah transparansi in situ
2
= nilai transparansi dugaan
y
= 85.63x2.905
x
= reflektansi kromatisiti kanal biru
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1
Variable 2
Mean
4.536145833
4.493016902
Variance
3.411259726
2.960871679
96
96
Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference Df
3.186065702 0 190
t Stat
0.167402504
P(T<=t) one-tail
0.433615697
t Critical one-tail
1.65291295
P(T<=t) two-tail
0.867231393
t Critical two-tail
1.972528138
Lampiran 5. Uji-t antara Transparansi in situ dengan Transparansi Pengembangan Model pada Musim Hujan
dimana:
1
= nilai tengah transparansi in situ
2
= nilai tengah transparansi dugaan
y
= 378.2x2 - 137.7x + 9.688
x
= reflektansi kromatisiti kanal biru
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1
Variable 2
Mean
4.414594595
4.418482623
Variance
8.899631081
7.64450502
37
37
Observations Pooled Variance
8.27206805
Hypothesized Mean Difference
0
Df
72
t Stat
-0.005814444
P(T<=t) one-tail
0.497688426
t Critical one-tail
1.666293697
P(T<=t) two-tail
0.995376851
t Critical two-tail
1.993463539
Lampiran 6. Uji-F antara TSS dan Transparansi Perairan Hasil Dugaan pada Musim Kemarau
dimana: TSS merupakan variabel bebas (x) Transparansi merupakan variabel tak bebas (y)
ANOVA
df
SS
MS
F
F tabel
1
1164.358
1164.358
392.6867
3.870774
Residual
319
945.869
2.965106
Total
320
2110.227
Regression
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.742812
R Square
0.551769
Adjusted R Square Standard Error Observations
0.550364 1.721948 321
Lampiran 7. Uji-F antara TSS dan Transparansi Perairan Hasil Dugaan pada Musim Hujan
dimana: TSS merupakan variabel bebas (x) Transparansi merupakan variabel tak bebas (y)
ANOVA
df
SS
MS
F
F tabel
Regression
1
510.7492
510.7492
1791.9418
4.004
Residual
59
16.81651
0.285026
Total
60
527.5657
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.983933
R Square
0.968124
Adjusted R Square
0.967584
Standard Error
0.533878
Observations
61
Lampiran 8. Data TSS in situ dan Dugaan pada Musim Kemarau
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Tanggal 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 24-Aug-04 24-Aug-04
Waktu TSS (mg/l) TSS Dugaan (mg/l) 12:16 2.00 7.70 12:03 2.40 5.76 13:09 2.80 8.99 13:22 2.80 7.21 12:56 3.40 5.68 11.14 4.60 5.58 14:46 4.80 22.69 10:21 5.80 8.63 9:55 6.20 15.09 8:51 7.00 12.41 14:37 7.20 17.91 11.50 7.40 5.50 12.25 8.80 8.45 12.14 9.40 7.78 14:29 9.60 23.06 8:41 9.80 21.25 11:05 10.80 8.54 11:02 13.00 6.14 09.28 13.40 21.68 9:42 15.00 26.23 9:29 16.20 34.70 13.00 26.20 28.91 08.52 35.00 22.58 14.00 41.60 33.96 14.24 49.00 56.47 10:54 49.6 47.47 11:05 51 46.24 12:44 51.6 42.65 11:57 52 46.89 10:15 52.2 67.29 11:17 54.4 59.47 10:42 54.6 59.79 10:00 58 74.18 10:27 62 65.71 11:44 64.6 65.20 11:46 10.40 30.56 12:41 12.40 28.98
Lampiran 8. (Lanjutan)
No. 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74
Tanggal Waktu TSS (mg/l) TSS Dugaan (mg/l) 24-Aug-04 12.80 26.30 24-Aug-04 14:22 12.80 16.06 24-Aug-04 13.40 34.45 24-Aug-04 13:19 14.40 30.16 24-Aug-04 13:58 16.00 7.57 9-Sep-04 10:56 12 11.63 9-Sep-04 10:43 12.8 13.16 9-Sep-04 9:34 13 17.90 9-Sep-04 10:00 14 17.34 9-Sep-04 12:02 14.4 11.42 9-Sep-04 11:09 15 14.45 9-Sep-04 9:47 15.4 14.28 9-Sep-04 12:00 16.2 12.56 9-Sep-04 12:42 16.4 13.29 9-Sep-04 11:22 16.6 19.81 9-Sep-04 14:55 17 33.75 9-Sep-04 11:15 17.2 12.66 9-Sep-04 10:29 17.4 14.18 9-Sep-04 11:48 17.4 14.77 9-Sep-04 9:24 18.2 26.12 9-Sep-04 9:45 18.4 14.53 9-Sep-04 14:19 18.4 24.85 9-Sep-04 11:35 18.8 12.09 9-Sep-04 12:13 18.8 10.15 9-Sep-04 10:18 19.4 10.77 9-Sep-04 10:40 19.4 15.09 9-Sep-04 11:47 19.6 12.17 9-Sep-04 13:07 20.2 12.34 9-Sep-04 11:05 21.2 11.71 9-Sep-04 12:15 21.4 14.57 9-Sep-04 9:09 21.6 18.22 9-Sep-04 11:33 21.8 13.55 9-Sep-04 8:49 21.8 19.12 9-Sep-04 9:08 21.8 23.57 9-Sep-04 13:04 22.8 26.40 9-Sep-04 9:32 23 19.42 9-Sep-04 15:05 23.6 22.03
Lampiran 8. (Lanjutan)
No. 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112
Tanggal 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 25-Sep-04 25-Sep-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04
Waktu TSS (mg/l) TSS Dugaan (mg/l) 12:41 23.8 27.21 10:13 24.8 13.16 8:56 25.4 20.14 13:24 25.6 35.23 14:45 26.2 32.21 12:30 26.6 20.63 13:46 26.6 31.89 8:52 26.8 21.68 12:27 27 10.47 8:40 28.8 35.86 14:05 30 29.40 12:55 30.2 35.40 13:36 39.4 33.08 56.00 52.41 11:30 93.60 86.27 9:23 14.40 26.97 9:35 17.60 27.98 13:58 28.00 38.83 9:47 29.20 15.59 9:08 35.00 21.21 13:32 35.40 29.21 13:46 37.00 21.34 12:40 37.20 37.15 9:21 44.40 35.15 13:21 47.60 38.37 9:50 48.60 35.06 12:54 48.60 26.96 14:16 48.80 55.38 11:05 49.20 26.29 13:10 49.20 26.94 8:49 49.60 33.84 13:55 51.80 47.08 13:25 53.40 37.78 8:56 54.60 38.21 14:24 59.40 73.58 11:58 60.20 57.42 12:55 61.40 47.29 14:07 61.80 50.78
Lampiran 8. (Lanjutan)
No. 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130
Tanggal Waktu TSS (mg/l) TSS Dugaan (mg/l) 11-Oct-04 8:40 69.00 48.93 11-Oct-04 13:35 72.20 51.14 26-May-06 13.35 20.4 19.70 1-Oct-06 13.30 0.78 15.66 1-Oct-06 10.13 0.97 14.61 1-Oct-06 9.59 1.16 13.53 1-Oct-06 11.29 1.36 16.87 1-Oct-06 13.14 1.55 10.00 1-Oct-06 10.44 1.55 7.21 1-Oct-06 12.28 1.55 9.75 1-Oct-06 10.59 2.33 5.81 17-Oct-06 9:01 113.60 100.94 17-Oct-06 9:31 119.20 120.07 17-Oct-06 11:03 126.40 108.71 17-Oct-06 11:49 130.40 144.48 17-Oct-06 13:02 132.40 126.67 17-Oct-06 12:02 132.80 136.90 17-Oct-06 11:34 136.40 134.56 RMS error 0.8879
Lampiran 9. Data TSS in situ dan Dugaan pada Musim Hujan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Tanggal Waktu TSS (mg/l) TSS Dugaan (mg/l) 12-Nov-04 9.19 47.00 50.41 12-Nov-04 9.31 51.60 49.84 12-Nov-04 12.13 54.40 55.17 12-Nov-04 10.58 55.40 54.22 12-Nov-04 9.05 55.60 56.67 12-Nov-04 9.57 57.00 52.65 12-Nov-04 11.50 58.40 59.89 12-Nov-04 11.22 59.80 63.42 12-Nov-04 10.08 60.60 58.18 12-Nov-04 11.35 69.60 67.47 15-Jan-05 8:55 40.60 42.63 15-Jan-05 9:20 43.60 44.88 15-Jan-05 11:43 44.20 46.38 15-Jan-05 12:43 44.60 47.89 15-Jan-05 12:27 45.80 45.62 15-Jan-05 11:29 46.00 47.25 15-Jan-05 11:56 46.40 44.45 15-Jan-05 9:47 46.60 49.07 15-Jan-05 10:30 47.00 47.55 15-Jan-05 13:28 48.40 48.69 15-Jan-05 9:32 50.00 46.68 15-Jan-05 9:06 51.00 48.39 16-Feb-05 11:13 42.20 42.23 16-Feb-05 8:52 43.60 48.69 16-Feb-05 9:42 43.71 47.96 16-Feb-05 14:01 45.60 43.94 16-Feb-05 14:42 47.00 48.34 16-Feb-05 15:11 48.29 46.48 16-Feb-05 12:15 49.40 48.11 16-Feb-05 12:28 50.40 48.25 16-Feb-05 13:46 50.80 48.24 16-Feb-05 11:46 52.20 48.28 RMS error 0.4637
Lampiran 10. Data Transparansi in situ dan Dugaan pada Musim Kemarau
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Tanggal 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 21-Jun-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 23-Jul-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04 24-Aug-04
Waktu 9:01 09.13 9:29 9:42 9:55 10:35 10:48 11.14 12:03 12:16 12.14 12:56 8:42 10:27 10:42 10:54 11:05 11:17 11:30 11:44 12:10 13:30 9:01 9:34 9:43 10:48 11:16 11:46 -
Transparansi (m) 3.40 4.45 3.63 4.17 5.52 8.53 8.00 9.43 7.00 7.82 5.32 7.57 2.26 3.90 3.63 4.30 3.88 4.35 3.66 3.26 4.21 2.30 3.38 1.85 2.85 2.64 3.70 2.70 2.64 4.67 2.67 2.81 2.45 4.42 4.78 2.22 2.00
Transparansi Dugaan (m) 4.13 4.64 4.18 4.59 5.45 9.42 8.78 8.04 7.85 6.78 6.75 7.94 2.72 3.26 3.39 3.72 3.76 3.40 3.59 3.27 3.38 2.46 3.36 2.24 3.04 2.40 3.60 2.31 2.55 4.19 3.38 2.85 2.21 3.63 4.37 2.50 2.01
Lampiran 10. (Lanjutan)
No. 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73
Tanggal 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 9-Sep-04 25-Sep-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04
Waktu 9:47 10:00 10:13 10:18 10:29 10:43 10:56 11:09 11:35 12:02 11:48 12:00 11:05 12:27 11:15 12:54 13:07 10:40 13:32 14:55 9:32 11:47 10:00 11:40 9:21 10:04 10:35 10:13 10:50 10:43 11:09 11:22 12:40 13:10 13:25 13:35
Transparansi (m) 5.86 6.56 6.48 7.50 5.15 5.93 6.18 5.63 5.81 6.25 6.45 7.56 6.00 7.79 6.60 7.24 6.32 6.70 4.62 3.03 5.00 6.20 6.00 1.90 3.38 4.00 5.80 6.48 5.00 5.93 5.63 5.21 4.30 3.26 3.30 3.90
Transparansi Dugaan (m) 5.54 5.22 5.68 6.04 5.55 5.68 5.90 5.52 5.83 5.93 5.48 5.76 5.88 6.09 5.74 6.07 5.79 5.45 5.50 4.22 5.05 5.81 5.34 2.66 4.16 5.16 6.76 6.87 4.73 5.37 5.86 4.98 4.08 4.55 4.06 3.62
Lampiran 10. (Lanjutan)
No. 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96
Tanggal 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Oct-04 11-Aug-05 11-Aug-05 11-Aug-05 11-Aug-05 27-Aug-05 28-Sep-05 28-Sep-05 28-Sep-05 28-Sep-05 28-Sep-05 28-Sep-05 1-Oct-06 17-Oct-06 17-Oct-06 17-Oct-06 17-Oct-06 17-Oct-06
Waktu Transparansi (m) 13:45 3.85 13:46 4.22 13:58 3.56 14:07 3.33 14:16 3.20 14:24 2.56 4.40 7.14 6.28 4.23 6.99 11:47 2.69 12:03 1.83 13:08 1.83 13:24 2.05 13:40 1.99 14:45 2.58 13.14 4.76 9:01 2.73 11:29 2.49 11:49 2.16 12:02 2.79 13:02 2.49 RMS error
Transparansi Dugaan (m) 4.09 4.90 4.02 3.63 3.50 3.09 5.10 5.79 5.61 4.57 8.31 2.29 2.15 2.06 2.12 2.03 2.57 6.18 2.65 1.93 2.15 2.22 2.33 0.0732
Lampiran 11. Data Transparansi in situ dan Dugaan pada Musim Hujan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Tanggal 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 12-Nov-04 15-Jan-05 15-Jan-05 15-Jan-05 15-Jan-05 15-Jan-05 15-Jan-05 15-Jan-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05 16-Feb-05
Waktu Transparansi (m) 11.35 10.80 10.08 6.90 12.59 4.10 11.22 12.00 10.45 5.00 13.43 3.90 12.37 7.90 9.57 5.50 10.34 5.70 10.58 6.85 9.45 5.00 11.50 11.00 13.16 3.80 9.05 10.36 9.31 6.00 9.19 6.44 8:45 0.86 13:28 1.92 12:30 2.75 9:06 2.57 12:43 2.89 12:55 4.20 9:47 5.79 14:15 0.73 13:33 1.67 15:11 0.89 12:15 1.87 14:42 2.06 14:28 1.31 12:28 2.46 15:24 1.54 13:46 2.51 9:42 2.51 11:46 3.18 8:52 3.67 9:27 3.56 9:02 3.15 RMS error
Transparansi Dugaan (m) 11.92 8.82 6.13 10.71 6.19 4.87 7.93 6.09 6.19 6.99 5.30 9.49 2.95 8.18 4.11 4.55 1.76 3.17 3.64 2.93 2.53 2.94 3.48 1.37 2.78 1.53 2.71 2.89 0.97 2.82 1.31 2.81 2.59 2.84 3.17 2.84 1.97 0.1920
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1987 dan merupakan anak ketiga dari keluarga Bapak Maksori dan Ibu Satiti. Tahun 2002 – 2005 Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 19 Jakarta. Pada Tahun 2005 Penulis di terima sebagai mahasiswi Institut Pertanan Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan resmi diterima sebagai mahasiswi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan pada tahun 2006. Selama belajar di IPB penulis pernah menjadi asisten Oseanografi Kimia (2008-2009) dan Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut (2009). Penulis juga aktif sebagai pengurus Himpunan mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai bendahara LITJAK (2007-2009). Selain itu Penulis pernah mengikuti beberapa seminar di bidang perikanan dan kelautan yaitu Gelar Ilmiah Perikanan tahun 2006, MLTR (Marine Love Technology and Research) tahun 2006, dan seminar series MST (Marine Science and Technology) tahun 2008. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, penulis melaksanakan penelitian dengan judul ”Pendugaan Konsentrasi Total Ssuspended Solid (TSS) dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat”.