Ernita Dewi, M.Hum
BAB I PENDAHULUAN A. Pemimpin dan Kepemimpinan Manusia adalah makhluk sosial yang secara alamiah cenderung untuk hidup bermasyarakat dan tidak bisa hidup terisolasi. Manusia membutuhkan kerja sama dengan orang lain demi terwujudnya cita-cita dan tujuan hidupnya. Hal itu mendorong mereka untuk membentuk kesatuan yang lebih besar yang dikenal dengan sebutan negara atau kerajaan. Di situlah mereka berkumpul, menyatukan tekad dan menyelesaikan semua permasalahan menuju ke arah pencapaian masyarakat adil, makmur sejahtera lahir batin. Terbentuknya negara yang kokoh bukanlah akhir dari perjalanan obsesi manusia untuk hidup teratur dan mencari ketenangan. Masyarakat yang tergabung dari berbagai latar belakang sosial budaya dan pemikiran secara jujur jelas membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengakomodasi aspirasi dalam menyatukan visi mereka secara representatif, baik, dan benar. Pemimpin haruslah orang yang benar-benar mampu dan terpercaya untuk menjalankan tugas kepemimpinannya. Seorang pemimpin harus mengetahui kewajiban-kewajiban yang krusial dan urgen untuk dilaksanakan secara arif dan bijaksana dengan bantuan para pejabat kenegaraan secara konsisten. Dalam teori politik disebutkan bahwa secara umum syarat menjadi pemimpin itu haruslah memiliki; ideologi yang jelas, harus dapat diterima (accept able) oleh rakyatnya, memiliki kemampuan (capable) dalam ~1
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi melaksanakan tugas-tugas yang diembankan kepadanya, dapat dipercaya (accountable) dan teruji integritas (integrity), serta jelas pemihakannya kepada kepentingan rakyat. Dapat dianalisis bahwa pemihakannya kepada kepentingan rakyat banyak, berkaitan erat dengan manajemen keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang dipimpinnya (Kartini Kartono, 1998: 31) Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang berarti bimbing atau tuntun. Untuk itu di dalamnya ada dua pihak yang berperan antara lain yang dipimpin (umat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambahkan awalan “pe” menjadi “pemimpin”, artinya orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Apabila ditambahkan akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Antara pemimpin dan pimpinan memiliki arti yang berbeda, yaitu pimpinan (kepala) cenderung lebih sentralistis, sedangkan pemimpin cenderung lebih demokratis. Setelah ditambahkan dengan awalan “ke” menjadi kepemimpinan, yang berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok (Syafiie, 2000 : 72). Menurut C.N. Cooley, pemimpin merupakan titik pusat dari suatu kecenderungan, dan pada kesempatan lain, semua gerakan sosial kalau diamati secara cermat akan ditemukan 2
~
Ernita Dewi, M.Hum kecenderungan yang memiliki titik pusat. Menurut Ordway Tead, Kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya (Syafiie, 2000: 72). Menurut G.U. Cleeton dan C.W. Mason. Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang-orang untuk mencapai hasil melalui himbauan emosional dan bukan melalui penggunaan kekuasaan. Pigors menerjemahkan makna kepemimpinan sebagai suatu proses saling mendorong daya manusia dalam mengejar tujuan bersama (Syafiie, 2000: 73) Ralph M. Stogdill menghimpun sebelas definisi kepemimpinan, yaitu sebagai berikut : 1. Kepemimpinan sebagai pusat proses 2. Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berakibat 3. Kepemimpinan sebagai seni menciptakan kesepakatan 4. Kepemimpinan sebagai kemampuan mempengaruhi 5. Kepemimpinan sebagai tindakan perilaku 6. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk bujukan 7. Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuasaan 8. Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan 9. Kepemimpinan sebagai hasil interaksi 10. Kepemimpinan sebagai pemisahan peranan 11. Kepemimpinan sebagai awal struktur (Syafiie, 2000: 73). Kepemimpinan juga diartikan sebagai kemampuan seseorang (suatu pihak) untuk mempengaruhi orang lain melalui dirinya sendiri dengan cara tertentu sehingga perilaku ~3
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi orang lain itu berubah. Orang yang terbukti memiliki kepemimpinan disebut pemimpin, jadi pemimpin itu tidak given, melainkan achieved ( Ndhara, 2003: 216). Berpijak pada pengertian yang dikemukakan oleh sejumlah pakar di atas tentang makna pemimpin, maka secara ringkas dapat dikatakan bahwa pemimpin adalah sosok yang mampu memberi pengaruh baik, dan mengajak orang-orang yang dipimpinnya kepada hal-hal yang benar, dengan pendekatan yang arif dan bukan dengan jalan memaksa atau menzalimi pihak yang dipimpinnya. Kepemimpinan merupakan bakat dan seni tersendiri bagi seseorang, pendapat ini tidak ada yang menyangkalnya. Memiliki bakat kepemimpinan berarti menguasai seni atau teknik melakukan tindakan-tindakan seperti teknik memberikan perintah, memberi teguran, memberikan anjuran, memberikan pengertian, memperoleh saran, memperkuat identitas kelompok yang dipimpin, memudahkan pendatang baru untuk menyesuaikan diri, menanamkan rasa disiplin di kalangan bawahan, serta membasmi desas-desus lainnya (Anoraga, 1990: 2). Selama ini banyak sekali kekeliruan pemahaman tentang arti kepemimpinan. Pada umumnya orang melihat pemimpin sebagai sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya banyak orang yang berusaha untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya. Mulai dari membeli kedudukan dengan uang, menjilat atasannya, menyikut pesaing atau temannya, bahkan dengan cara-cara kotor lainnya, demi mengejar posisi pemimpin. Akibatnya lahirlah pemimpin yang tidak dicintai, 4
~
Ernita Dewi, M.Hum tidak disegani, tidak ditaati, dan bahkan dibenci. Pemimpin seperti ini akan mempergunakan kekuasaannya untuk mengarahkan, memperalat, ataupun menguasai orang lain, supaya orang lain mengikutinya. Umumnya jenis pemimpin ini suka menekan orang-orang yang dipimpinnya yang pada akhirnya akan memunculkan sikap yang disharmonisasi. Gaya kepemimpinan yang seperti ini pada hakikatnya telah melanggar garis demarkasi Allah, yang dapat menumbuh suburkan sikap anarkisme dan keganasan hewaniah sebagaimana disebutkan oleh Thomas Hobbes “homo homini lupus” manusia akan menjadi pemangsa manusia lain (Agustian, 2001 : 96). Ribuan orang mengharapkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin. Mereka tidak pernah merasa bahwa sebenarnya dirinya adalah seorang pemimpin, padahal setiap manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin walaupun pengikutnya hanya satu orang saja. Bahkan manusia seorang diripun harus memimpin dirinya sendiri untuk mengarahkan hidupnya. Ketidaksadaran inilah yang mengakibatkan orang tidak mau mengembangkan ilmu kepemimpinannya, ditambah dengan jargon-jargon seperti : “saya ini rakyat kecil”, padahal dia seorang tukang becak hebat yang memimpin keluarganya di rumah dan bisa membuat anak-anaknya menjadi pemimpin besar (Agustian, 2001:97). Tidak ada istilah orang kecil, semua sama di mata Tuhan, manusia adalah seorang khalifah di muka bumi ini, seperti yang ditegaskan oleh Allah SWT : ”Dan tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Aku hendak jadikan khalifah di muka bumi...” (Q.S. Al-Baqarah : 30). ~5
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi B. Pemimpin adalah Pengaruh Ketika orang lain memberikan sebuah nasihat atau sebuah cerita, kita akan mengingatnya dan itu adalah sebuah pengaruh. Ketika seorang mengatakan tentang sesuatu dan sesuatu itu akan diingat, itupun adalah sebuah pengaruh. Atau semua hal kecil yang mempengaruhi kita, dan berhasil mengubah hidup kita, begitu pula sebaliknya, kitapun memberikan pengaruh kepada orang lain melalui sikap, perkataan, dan perbuatan, berarti kita telah melakukan aktivitas kepemimpinan. J. R .Miller mengatakan : ada pertemuan yang hanya sesaat namun meninggalkan kesan seumur hidup. Tidak ada seorangpun yang mampu memahami hal misterius yang kita sebut pengaruh, namun setiap orang di antara kita terus menerus memberikan pengaruh apakah untuk menyembuhkan, untuk meninggalkan bekas keindahan, atau untuk melukai, menyakiti, meracuni, dan untuk mencemari kehidupan orang lain. Terlepas dari kedudukan resmi sebagai pemimpin maka perlu disadari bahwa setiap kata yang terucap, setiap tindakan yang dibuat akan menimbulkan pengaruh pada orang lain yang ada di sekitarnya. Sekiranya harus disadari bahwa suatu perbuatan dan tingkah laku dapat menciptakan diri kita menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin bagaimanapun tipikal dan gaya kepemimpinannya, semua sangat tergantung dengan prinsip yang dianut. Sebaliknya lingkungan akan membuat seseorang menjadi seorang pengikut disadari atau tanpa disadari. Orang yang tidak memiliki prinsip akan sangat mudah sekali terpengaruh. Setiap hari kita berjalan di tengah-tengah padang rumput yang dipenuhi ranjau-ranjau 6
~
Ernita Dewi, M.Hum yang berbahaya yaitu ranjau-ranjau yang mempengaruhi pikiran (Agustian, 2001: 97). Seseorang dapat mempengaruhi orang lain melalui variasi kombinasi dua strategi atau cara, yaitu: pertama, strategi pelakonan, strategi ini bermaksud membuat orang lain melakoni skenario yang telah ditetapkan oleh seseorang. Pihak yang tertarik atau tergerak untuk mendekati sumber pengaruh disebut penurut, pengikut, peniru, penganut atau penaat/pematuh, sesuai dengan kadar responsnya terhadap skenario dari pemimpin yang bersangkutan. Kedua, strategi peragaan, strategi ini memberikan kebebasan kepada orang lain untuk memperagakan respon pilihan bebasnya sendiri terhadap pengaruh seseorang. Dalam hubungan ini seseorang berusaha melancarkan daya seperti insentif, pemenuhan kepentingan orang lain, sampai pada pengorbanan dirinya. Titik kesepakatan dalam proses tawar-menawar itu tercapai pada titik kebersamaan atau keberbagian antara keduanya. Jika hal itu terjadi orang lain tidak hanya sekedar penurut atau pengikut, melainkan menjadi kader (alter ego). Pada titik itu terjadi pertemuan antara budaya elit dan budaya floor. Dalam hal ini dapat terlihat, kepemimpinan yang menggunakan strategi peragaan membutuhkan biaya yang mahal, sukar, dan memerlukan waktu lama (Ndhara, 2003:216). Biasanya orang yang memiliki prinsip yang teguh akan menjadi seorang pemimpin yang besar melalui pengaruhnya yang kuat. Apabila seseorang tidak memiliki prinsip, mereka dipastikan akan menjadi seorang pengikut. Tidak peduli prinsip itu benar atau salah, tetap akan ada pengikutnya, sebagai contoh Stalin dan Lenin beserta jutaan orang pe~7
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi ngikutnya yang menjadi komunis. Prinsip yang benarlah yang akan menyelamatkan diri seseorang dari kenistaan dan kehancuran, dan prinsip yang benarlah yang akan membuat seseorang menjadi pemimpin sejati. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “hendaklah kamu berpegang kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaktian, dan kebaktian itu membawa ke surga (kebahagiaan), dan hendaklah seseorang itu bersifat benar dan memilih kebenaran hingga dia tertulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat benar; dan hendaklah kamu jauhi kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan itu memimpin kepada kedurhakaan, dan kedurhakaan membawa ke neraka (kehancuran); dan janganlah seseorang tetap berdusta dan memilih kedustaan hingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta” (H. R. Bukhari Muslim). C. Mencari Figur Pemimpin Ideal Dalam konteks kekinian di mana materialisme telah merebut hati seluruh umat manusia untuk cenderung pada gaya hidup hedonisme, maka kedudukan sebagai pemimpin tidak lagi ditempatkan sebagai wadah untuk memberi pengaruh baik bagi perubahan masyarakat yang dipimpinnya, bahkan kepemimpinan menjadi alat pencapaian kekuasaan untuk dinikmati oleh pribadi maupun kelompoknya. Masyarakat sekarang merindukan sosok pemimpin yang adil dan mampu memberikan kesejahteraan bagi orang yang dipimpinnya. Keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang ideal sebenarnya sudah dipikirkan sejak berabad-abad yang lalu, 8
~
Ernita Dewi, M.Hum sebab sejak istilah negara diperkenalkan di Yunani, keberadaan penguasa yang bersifat tirani sudah dikecam oleh para filsuf ketika itu. Pada hakikatnya manusia merindukan pemimpin yang benar-benar mampu berbuat adil pada masyarakat dan manusia sangat membenci pemimpin yang zalim serta jahat. Namun pada praktiknya kebanyakan pemimpin lebih sering memunculkan sikap arogansi daripada sikap melindungi. Berpijak pada argumentasi dan obsesi tentang pemimpin ideal, maka keadilan menjadi isyu yang tak kalah subtansialnya dalam diskursus kenegaraan. Isyu ini menjadi sangat penting dan merupakan inti persoalan dalam setiap lini kehidupan. Tiada kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran yang merata tanpa keadilan. Problematika keadilan tidaklah sederhana, bagi Plato dan Aristoteles, sebuah negara diperuntukkan demi kepentingan warga negaranya supaya mereka dapat hidup dengan baik, dan ini sama artinya keinginan untuk mencapai keadilan. Bahkan Plato menganggap negara identik dengan keadilan (Schmid, 1988: 25). Hampir dapat dipastikan, setiap pemimpin mendambakan agar mampu berbuat seadil-adilnya bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Namun mengingat implementasinya sangat sukar, pada gilirannya yang terjadi justru ketimpangan dan kesenjangan. Keadilan seakan-akan menjadi hal utopis. Menjawab persoalan ini, para ahli kenegaraan berusaha memformulasikan suatu pedoman yang valid dan autentik tentang konsepsi kepemimpinan ideal berikut aturan dan perangkat yang harus dijalankan. ~9
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Niccolo Machiavelli, seorang ahli filsafat kenegaraan dari Florence Italia, dalam bukunya yang ditulis awal abad XVI dengan judul Il Principle (Sang Pangeran) dan dipersembahkan kepada Lorenzo di Medici yang berkuasa ketika itu, menuliskan pedoman kebijaksanaan tentang seni memerintah dan apa yang harus dikerjakan oleh penguasa. Bahkan buku tersebut menjadi pedoman yang harus dibaca oleh raja (Sjadzali, 1993: 43). Ilmuwan politik Islam Ibnu Abi Rabi' dalam bukunya Suluk al Malik fi Tadbir al Mamalik (Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-Kerajaan) yang diperuntukkan kepada Mu'tashim, khalifah Abbasiyah kedelapan yang berkuasa sekitar abad IX Masehi, juga memberikan penekanan (stressing) betapa pentingnya seorang pemimpin menegakkan hukum secara adil. Secara etimologi kata adil berarti merata, senasib sepenanggungan, tiada miring ke kanan atau ke kiri, benar, patuh, tiada berat sebelah (Harahap, 1951). Oleh karena itu kesenjangan, kezaliman, dan sikap kesewenang-wenangan akibat ketidakadilan sedapat mungkin harus dieliminasi demi tegaknya keadilan. Dan itu merupakan salah satu tujuan berdirinya negara. Pemberlakuan hukum agama, menyerukan amar ma'ruf dan nahi mungkar seperti pelaksanaan shalat, membayar zakat dan memangkas akar-akar kejahatan merupakan kewajiban penguasa negara (Maududi, 1990: 75). Pemikiran di atas tentu sejalan dengan firman Allah yang artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan…" (QS An Hahl : 90). Diskursus tentang keadilan menjadi tema pokok dalam suatu negara, sehingga menarik perhatian semua pemikir 10 ~
Ernita Dewi, M.Hum politik. Secara etimologi kata adil berasal dari bahasa Arab yaitu 'adl yang berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, oleh karena itu al‘ adl bisa juga mengandung arti dapat menentukan hukum dengan benar dengan adil. Kata itu juga berarti mempertahankan hak yang benar ( Harun Nasution, 1994 : 61). Dalam bahasa Inggris keadilan sering disebut justice yang berasal dari bahasa Latin justitia. Akar kata justitia adalah jus yang berarti hukum atau hak ( Fowler, 1964: 92). Makna justice salah satunya dikenal dengan istilah law kemudian berkembang menjadi lawfulness (keabsahan menurut hukum) dan sampai sekarang dalam bahasa Inggris istilah justice identik dengan law dan lawfulness. Bagi pemikir Islam keadilan salah satu prinsip dari agama yang wajib ditegakkan dengan bertitik tolak pada kitab suci al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW. "Allah bersifat adil dan tidak pernah menganiaya hak-hak manusia. "Menurut rasionalitas hukum, Allah telah melimpahkan segala nikmatnya atas semua makhluk dan tidak pernah menindas satu makhluk pun. Manusia memiliki keimanan kepada keadilan Allah dan memiliki pandangan hidup yang baik dalam semua urusan dunia. Sebagaimana ia memandang Allah bersifat adil, maka ia mempunyai alasan yang meyakinkan serta jawaban yang memuaskan terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan. Keimanan pada keadilan Allah akan membantu meletakkan fondasi keadilan, baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Manusia akan mempersiapkan diri mereka untuk menerima keadilan dalam kehidupan sosial dan kehidupan ~11
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi pribadinya. Hal tersebut juga berlaku dalam memberikan ganjaran kebaikan dan hukuman yang didasarkan atas keadilan. Allah telah mempertimbangkan kemampuan serta daya tahan tiap-tiap makhluk dalam menjalankan perintahperintahnya. Karena itu Allah menetapkan hukuman yang sebanding atas tiap-tiap perbuatan, sehingga tidak terdapat keterpihakan atau ketidakadilan yang dilakukan terhadap salah satu dari makhluk-makhluk-Nya. Para Nabi Allah juga berusaha membentuk anggota masyarakat yang mampu menjunjung tinggi keadilan dan memperlakukan setiap manusia tanpa pertimbangan perbedaan status sosial, politik serta keyakinan apapun. Tugas utama mereka adalah menanamkan dalam hati manusia keimanan yang teguh kepada Allah dan hari pembalasan serta menciptakan norma-norma moral dan pemikiran Ilahiyah sehingga terwujud individu dan masyarakat yang memiliki jiwa keadilan dalam diri mereka masing-masing (Muchsin Qara'ati, 1991 : 5-6). Beranjak dari berbagai pemikiran di atas, keadilan sejati mutlak hanya terdapat dalam Syariat Islam yang bersandarkan wahyu Allah SWT. Seseorang yang hidup menurut hukum Tuhan haruslah berbuat adil tidak hanya kepada dirinya sendiri tetapi juga kepada lingkungan sekitarnya. Allah berfirman yang artinya "Allah yang menurunkan Kitab dengan membawa kebenaran dan neraca (keadilan)" (QS 42 : 17). Wahyu merupakan neraca untuk menimbang semua persoalan, dan semua tingkah laku baik dan buruk. Di satu pihak, akal dengan berbagai variasinya memberikan definisi dan bentuk bertentangan terhadap keadilan, tapi akhirnya akal gagal mencapai keadilan itu sendiri, di pihak lain wahyu 12 ~
Ernita Dewi, M.Hum dengan standar keadilannya tidak hanya mutlak mencapai keadilan bahkan menjadi sumber abadi bagi keadilan. Keadilan memiliki pengertian tersendiri, identik dengan suatu keyakinan suci, suatu kewajiban yang dibebankan kepada manusia untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh atas dasar integritas yang tinggi. Tidak boleh ada unsur subyektif dalam definisi keadilan. Apa yang dianjurkan Islam adalah sikap berpikir yang reflektif dan pendekatan yang objektif terhadap masalah yang dihadapinya. Karena itu keadilan adalah kualitas berlaku adil secara moral dan tindakan untuk memberikan kepada setiap manusia akan haknya. Keadilan merupakan ikatan yang menyatukan masyarakat dan mentransformasikan mereka ke dalam satu persaudaraan. sebagaimana Sabda Nabi saw, "Setiap orang menjadi penjaga bagi yang lain dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bersama. "Akan tetapi hukum Tuhan menjadi tali penolong yang kuat yang tidak dapat diputuskan, kitapun harus memegangnya "berpegang teguhlah kamu semua kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai" (QS 3 : 103). Kalau hukum merupakan tali dari Tuhan, maka keadilan adalah kasih sayang dan rahmat dari Allah SWT kepada makhluk (komunitas) yang mewajibkan kita untuk memenuhi semua tuntutan yang diakui dalam kehidupan sosial. Dengan demikian keadilan merupakan kewajiban yang ditentukan oleh Allah SWT. Kita harus berdiri kokoh demi keadilan, meskipun hal itu mungkin mengganggu kepentingan kita atau kepentingan orang banyak bahkan orang yang menyayangi kita. Demikian pentingnya keadilan sehingga ditegaskan Allah secara berulang-ulang dalam al-Quran sebagaimana ter~13
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi cantum dalam Surat An Nisa' ayat 58 dan 135, Surat Al Maidah ayat 8, Surat Al An 'Am ayat 90, dan Surat Asy Syura ayat 15 ( Muslehuddin, 1991: 79-82). Doktrin Islam sebagaimana ditegaskan Marcel A. Boisard dalam bukunya Humanisme Dalam Islam, bahwa "keadilan merupakan pusat gerak dari nilai-nilai moral yang pokok". Maka keadilan adalah salah satu prinsip yang sangat penting dalam Al-Quran. Statement ini didasarkan pada tiga hal yaitu; Pertama karena Allah sendiri memiliki sifat Yang Maha Adil. Keadilan yang penuh dengan kasih sayang kepada makhluk-Nya (rahman dan rahim), misalnya dengan memberikan ganjaran untuk setiap perbuatan yang baik dari sepuluh sampai tujuh puluh kali lipat. Sebaliknya kalau manusia melakukan suatu kejahatan, maka hukumannya hanya satu kali saja. Kedua, dalam Islam, keadilan adalah kebenaran. Kebenaran merupakan salah satu asma Allah. Dia sumber kebenaran yang dalam al-Quran disebut al-Haq. Keadilan dan kebenaran diibaratkan seperti dua saudara kembar yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga, keadilan berasal dari bahasa Arab bentuk kata 'adil yang dari segi etimologinya berarti sama. Ia menunjukkan suatu keseimbangan atau dalam posisi pertengahan. Dalam al-Quran masyarakat Islam digambarkan sebagai suatu ummah atau masyarakat tengah (wasatan). Marcel. A. Boisard mencatat bahwa anjurananjuran moral adalah di tengah-tengah dua ekstrim, kebajikan adalah keadilan, kebajikan yang fundamental. Ia adalah keadilan yang tepat, yang jauh dari rasa benci atau dengki, yang menghormati segala proporsi. Prinsip keadilan menjadi motivasi keagamaan yang sangat esensi dalam Islam. Apabila 14 ~
Ernita Dewi, M.Hum prinsip keadilan dikaitkan dengan monokrasi Islam, maka harus selalu dilihat dari segi fungsi kekuasaan negara. Fungsi itu mencakup tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, tiga hal penting tersebut adalah : 1. Kewajiban untuk menerapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur, dan bijaksana. Seluruh rakyat tanpa terkecuali harus dapat merasakan nikmat keadilan yang muncul dari kekuasaan negara. Seperti, implementasi kekuasaan negara dalam bidang politik dan pemerintahan. Rakyat seharusnya memperoleh hak-haknya secara adil tanpa adanya diskriminasi. 2. Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya. Hukum harus ditegakkan sebagaimana mestinya. Hukum berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang statusnya. Kewajiban point pertama dan kedua sebagaimana tersebut di atas menunjukkan unsur persamaan, yang juga merupakan suatu rangkaian atau rantai dalam prinsip-prinsip monokrasi Islam. 3. Kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat adil dan makmur di bawah ridha Allah SWT. Hal ini berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan sosial. Hukum Islam sudah menetapkan beberapa lembaga sosial untuk mencapai tujuan itu. Ada yang berbentuk kewajiban dan anjuran. Misalnya, zakat yang diwajibkan bagi hartawan atau golongan yang mampu. Zakat merupakan perwujudan rasa solidaritas sosial dalam masyarakat Islam. Apabila kadar zakat atau jumlahnya telah ditentukan, maka lembaga sosial lainnya ~15
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi tidak memerlukan ketentuan jumlah minimalnya, sedang masalah warisan (faraidh), Nabi membatasi maksimal sepertiga dari harta peninggalannya boleh diberikan dalam bentuk wasiat. Ketentuan ini sangat logis, untuk menjamin kepentingan ahli waris. Prinsip keadilan dalam monokrasi Islam mengandung suatu konsep yang bernilai tinggi, tidak identik dengan keadilan yang diciptakan manusia. Konsep keadilan dalam monokrasi Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang wajar baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat ( Azhary, 1992:88-90). Manusia sebagai khalifah di permukaan bumi, sebagai pengemban pesan-pesan wahyu yang diwahyukan Allah melalui Rasul-Nya, baik berita gembira bagi yang melaksanakan kebaikan maupun ancaman atau hukuman bagi manusia yang mengingkari hukum-hukum agama adalah makhluk yang paling mulia. Peringkat kemuliaan itu di sisi Allah diukur dengan nilai takwa seseorang manusia (QS, alHujarat ayat 13). Salah satu pesan wahyu yang harus dijalankan manusia agar dekat kepada ketakwaan Allah adalah menegakkan keadilan dan menjauhi kezaliman dalam mengarungi siklus kehidupannya (QS, al-Maidah ayat 8). Namun manusia yang diimbangi potensi akal dan nafsu yang melekat pada dirinya, mereka cenderung lupa diri dan lebih suka memilih bertindak semena-mena, sehingga fungsi akal sering terpinggirkan. Apalagi saat seseorang sedang berada pada puncak kekuasaan, lupa diri adalah hal yang umum terjadi. Menghalalkan segala cara demi kenyamanan lahiriah tanpa memperhitungkan kenyamanan batiniah, merupakan 16 ~
Ernita Dewi, M.Hum hal yang sering dilakukan, terlebih di era modernisasi. Untuk mengembalikan manusia ke jalan yang diridhai Allah, sehingga identitas dan jati diri manusia tetap eksis sebagai makhluk yang paling mulia dan khalifah di bumi, peran agama sangatlah diperlukan. Dengan agama diharapkan manusia mampu memilih dan memilah antara hak dan kewajiban baik dalam hidup bermasyarakat maupun bernegara dalam arti yang lebih luas. Keinginan untuk menciptakan masyarakat bermoral dan berkualitas islami, telah menggugah pikiran para pemikir Islam untuk menuangkan gagasannya dengan menulis berbagai pedoman untuk petunjuk bagi pemimpin yang berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Berpijak pada kenyataan di atas maka keinginan untuk berkumpul dalam wadah dan kesatuan yang lebih besar seperti membentuk negara menjadi sesuatu yang alamiah dan dibutuhkan oleh setiap individu. Problem yang kemudian muncul adalah realisasi dalam menjalankan roda kehidupan bersama, khususnya pada faktor berbuat baik dan berlaku adil dengan sesama manusia menjadi hal yang paling sulit. Maka ketika berbicara tentang kehidupan sosial khususnya dalam kehidupan bernegara, perbincangan keadilan senantiasa menjadi tema yang sangat menarik. Kerinduan pada sosok pemimpin yang adil merupakan faktor paling fundamental dan esensial dalam suatu negara. Sejak zaman Yunani kuno, manusia senantiasa mendambakan keadilan dan keseimbangan lahir dan batin antara hak dan kewajiban. Kenyataan ini diperkuat dengan munculnya berbagai rumusan pemikiran para filsuf tentang tatanan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan fitrah manusia. ~17
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Dalam Islam, hampir lima belas abad yang lalu konsep adil tersebut disosialisasikan di tengah-tengah kehidupan manusia, intinya bermuara kepada Ketaqwaan terhadap Allah SWT. Berlaku adil pada setiap orang dengan tidak memandang strata sosial adalah kewajiban yang harus dijalankan, baik oleh pemimpin, aparatur negara, maupun masyarakat yang dipimpin. Konsep hidup Islam pada hakikatnya, mewajibkan manusia untuk mengabdi seluruh kehidupannya demi Allah (QS, al-Ankabut ayat 56). Islam sebagai agama universal, tentu tidak hanya meletakkan nilai-nilai pengabdian bersifat ‘ubudiyah seperti shalat (hablum minallah), akan tetapi juga meletakkan prinsip-prinsip dasar mu’amalah (hablum minannas), baik di bidang politik, sosial budaya dan ekonomi sebagai manifestasi agama rahmatan lil ‘alamin. Di bidang politik, khususnya dalam kehidupan bernegara, Islam sangat menekankan pentingnya keadilan. Adil dalam arti bersikap objektif menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan tidak dipengaruhi sikap nepotisme dan primordial. Abdul Kadir Audah, seorang ahli hukum dan pengacara Mesir, mengatakan bahwa Islam melandasi terbentuknya negara atas dasar keadilan mutlak, yang tidak terikat oleh sesuatu syarat, keadilan tidak mengenal pilih kasih, dan tidak terpengaruh oleh posisi dan kekuasaan.
18 ~
Ernita Dewi, M.Hum
BAB II KEPEMIMPINAN RASULULLAH DAN KHULAFURRASYIDIN A. Kepemimpinan Ideal Muhammad SAW “Sungguh pada Rasulullah kamu dapatkan suri teladan yang indah bagi orang yang mengharap (rahmat Allah) dan (keselamatan) hari terakhir, serta banyak mengingat Allah” (QS, Al-Ahzab ayat 21) Di sekitar kita, terdapat banyak sekali contoh-contoh pemimpin dengan tipe gaya dan prinsip masing-masing. Ada pemimpin yang sangat menonjol prestasi kerja dan integritasnya, tetapi tidak dicintai oleh bawahannya karena kurang mampu membina hubungan baik dengan orang lain. Penampilannya yang kaku, kurang ramah, dan tidak peka, membuat orang di sekitarnya tidak bersimpati terhadap pemimpin tersebut. Ada juga pemimpin yang sangat baik hati, pandai bergaul tetapi lamban dan kurang disiplin, akibatnya para bawahan tidak memiliki semangat juang dalam meningkatkan kinerjanya. Juga ada pemimpin yang sering menonjolkan dirinya dengan menganggap bahwa semua pekerjaan dilakukan karena dirinya, dan kurang menghargai prestasi orang lain. ~19
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Bersikap arogan, zalim, dan hanya berbaik hati untuk kerabat dekatnya saja. Banyak pemimpin yang tidak bisa berlaku adil dan bertanggung jawab pada amanah yang dipegangnya. Terkadang kekuasaan, kebesaran, bisa membutakan mata hati dari kebenaran. Hitler contohnya, sebuah dogma dapat menyeret manusia pada jurang kehancuran yang tidak pernah disadari selama ratusan tahun, bahkan sampai mati sekalipun. Tipe kepemimpinan ala Hitler adalah sebuah contoh pengaruh dari suatu keyakinan dengan harga mati, tanpa memberikan kesempatan untuk melihat pada kebenaran yang lain, sehingga seorang pemimpin menjadi zalim, seakan dirinya sanggup menjerumuskan manusia dalam kesesatan. (Agustian, 2001: 99). Kondisi Hitler dan tipe kepemimpinannya sangat jauh berbeda dengan corak kepemimpinan Muhammad SAW, bahkan bila dibandingkan dengan semua pemimpin besar dunia baik pada zaman dulu maupun sekarang. Keberhasilan seseorang dalam memimpin tidak saja ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat kepemimpinannya, tetapi yang paling penting adalah seberapa besar pengaruh baik yang dapat diberikan kepada orang lain. Begitu banyak pemimpin-pemimpin populer kaliber dunia yang dilahirkan di muka bumi ini, tetapi pengaruhnya hanya beberapa waktu saja. Kemudian pengaruh itu hilang begitu saja ditelan zaman, sebut saja Winston Churchill, Ronald Reagen, Jenderal Mc. Arthurn, Kaisar Hirohito, dan lain-lain. Semua hanya tinggal kenangan saja, pengaruhnya boleh dikatakan hampir hilang, atau bisa dikatakan hanya sedikit yang tersisa. Tetapi pemimpinpemimpin besar yang diturunkan oleh Allah SWT, seperti 20 ~
Ernita Dewi, M.Hum Daud A.S, Ibrahim A.S, Isa A.S., dan Nabi Muhammad SAW, pengaruhnya terasa begitu kuat, sampai detik sekarang, tidak lekang ditelan zaman. Bahkan semakin menguat pengaruhnya, meskipun mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Merekalah yang disebut pemimpin abadi. Umumnya cara kepemimpinan mereka sangat sesuai dengan hati nurani, dan bisa diterima akal sehat atau logika. Itulah yang menyebabkan keabadian pengaruh dari para Nabi dan Rasul. Menurut ahli sejarah Muhammad Husain Haekal, “peri kehidupan Muhammad SAW sifatnya manusia semata dan bersifat peri kemanusiaan luhur, dan untuk memperkuat kenabiannya itu, tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib” (Haekal, 2000: 53). Mengingat begitu banyaknya pemimpin yang tidak sempurna, dalam arti tidak mampu mengwujudkan sifat-sifat yang dicintai oleh rakyatnya, maka figur ideal kepemimpinan Muhammad SAW sangat tepat untuk menjadi contoh teladan bagi pemimpin sesudahnya untuk menjalankan kepemimpinan berdasarkan suara hati dan bukan berdasarkan ambisi. Michael Hart, pada tahun 1978 membuat sebuah analisa dan tulisan, untuk menyusun daftar dan urutan rangking nama orang-orang paling berpengaruh di dunia. Hart mencari dan mengukur seratus orang yang telah memegang peranan dalam mengubah arah sejarah dunia. Hart berpendapat, dari seratus orang itu saya susun urutannya menurut bobot pentingnya, atau dalam kalimat lain diukur dari jumlah keseluruhan peran yang dilakukannya bagi umat manusia. Kelompok seratus orang istimewa ini saya susun ~21
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi dalam daftar saya, katanya. Mereka adalah sekelompok kecil orang yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa besar yang tanpa peranan mereka tak akan pernah ada. Dari hasil analisanya, Hart menjatuhkan pilihan urutan pertama pada Nabi Muhammad SAW, berdasarkan keyakinannya bahwa Nabi Muhammadlah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi ( Hart, 1985 : 13). Nabi Muhammad SAW lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, suatu tempat yang pada waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia. Jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad SAW, wafat pada tahun 632 M, ketika beliau sudah dapat memastikan dirinya selaku pemimpin efektif seantero Jazirah Arab bagian Selatan. Kisah hidup beliau yang sangat menyedihkan, dengan kehilangan orang tua di masa kanak-kanak telah membentuk Muhammad SAW menjadi pribadi yang kuat, pantang menyerah dan sangat jujur. Muhammad SAW adalah orang pertama dalam sejarah yang berkat dorongan kuat keimanannya kepada Tuhan, memimpin pasukan Arab yang kecil sehingga sanggup melakukan serentetan penaklukan yang mencengangkan dalam sejarah manusia. Di sebelah Timur laut Arab berdiri kekaisaran Persia Baru Sassanids yang luas. Di Barat laut Arab berdiri Byzantine atau kekaisaran Romawi Timur, dengan Konstantinopel sebagai pusatnya. Di tilik dari sudut jumlah dan ukuran jelas orang Arab (muslim) tidak bakal mampu menghadapinya. Namun di medan pertempuran pasukan Arab (muslim) yang membara semangatnya dengan sapuan kilat 22 ~
Ernita Dewi, M.Hum dapat menaklukkan Mesopotamia, Syria, dan Palestina. Pada 642 M, Mesir direbut dari genggaman kekaisaran Byzantine dan sementara bala tentara Persia ditaklukkan dalam pertempuran yang amat menentukan di Qadisiya pada tahun 637 M serta di Nehavend pada tahun 642 M. Di bawah pimpinan para sahabat nabi penggantinya yaitu, Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab, pada 711 M, pasukan Arab (muslim) telah menyapu habis Afrika Utara hingga ke tepi Samudera Atlantik. Dari situ mereka membelok ke Utara dan menyeberangi Selat Gibraltar dan melabrak kerajaan Visigotic di Spanyol. Hanya dalam secuil abad, pertempuran orang-orang muslim yang dijiwai oleh ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW, telah mendirikan sebuah Emperium membentang dari perbatasan India hingga Pasir Putih di tepi Pantai Samudra Atlantik. Sebuah Emperium terbesar yang pernah dikenal sejarah manusia, dan di manapun penaklukan yang dilakukan oleh muslimin selalu disusul dengan berbondong-bondong pemeluk Agama Islam, ditambah lagi Nabi Muhammad SAW adalah pencatat kitab suci al-Quran, kumpulan wahyu Allah SWT, yang terhimpun dalam bentuk yang tak tergoyahkan, tak lama setelah beliau wafat. Al-Quran dengan demikian berkaitan erat dengan pandangan-pandangan Muhammad SAW serta ajaran-ajarannya ( Agustian, 2001 : 101). Lebih jauh lagi menurut Michael Hart, Muhammad SAW bukan semata pemimpin agama tetapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan Muhammad SAW menjadi motivator terhadap gerakan penaklukan yang dilakukan bangsa Arab (muslimin), pengaruh kepemimpinan politik ~23
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Muhammad SAW berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu. Michael Hart melihat adanya kombinasi yang tak terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang melekat pada pengaruh diri Nabi Muhammad SAW, sehingga Hart menganggap Muhammad SAW dalam arti pribadi, adalah pemimpin yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Kepemimpinan Muhammad SAW sangat berpengaruh dalam peradaban manusia, beliau juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat dicintai oleh umatnya, sang Nabi penutup yang lebih memilih Inner Beauty dalam kesehariannya, dan bukan hanya menampilkan sikap-sikap kamuplase untuk sekedar menarik perhatian dan simpati orang lain. Salah satu sifat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dituliskan dalam buku sejarah hidup Nabi Muhammad SAW adalah: yang menambah dakwah itu berkembang sebenarnya karena teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW sangat baik sekali, dengan memberikan hak kepada setiap orang, pandangannya kepada orang yang lemah, terhadap yatim piatu, orang yang sengsara, dan miskin adalah pandangan seorang bapak yang penuh kasih, lemah lembut dan mesra ( Haekal, 2000 : 90). Pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sangat jauh dari kesan glamor dan kemewahan, beliau hidup dalam situasi penuh kesederhanaan bahkan terkadang memprihatinkan. Seringkali beliau tidak makan, tapi itu tidak membuat beliau menjadi lemah dalam kepemimpinannya. Nabi Muhammad SAW tidak pernah menangis karena tidak hidup dalam kemewahan, beliau justru menangis ketika mengingat nasib umatnya di masa mendatang. Konsentrasinya pada ke24 ~
Ernita Dewi, M.Hum selamatan umat terkadang membuat beliau melupakan kesenangan pribadinya. Sikapnya yang adil dalam memimpin membuat siapapun merasa terlindungi, perlakuan yang sama beliau berikan untuk semua orang, baik muslim maupun non muslim, sehingga tidak mengherankan apabila beliau di utus ke dunia ini sebagai Rahmatan Lil ‘alamin. Sikap rahman dan rahim-Nyalah yang menjadi landasan dasar bagi awal perjuangannya. Sikap ini terbukti efektif untuk membangun suatu pengaruh dan sebagai tangga pertama kepemimpinannya. Nabi Muhammad SAW telah melalui tangga ini untuk menjadi seorang pemimpin yang dicintai. Beliau juga seorang yang sangat jujur, sehingga dijuluki “al-amin” atau orang yang sangat dipercaya. Contoh lain dari keluhuran budinya dapat dilihat dari penampilannya sehari-hari, bila ada seorang yang mengajaknya berbicara, ia akan mendengar dengan hati-hati sekali, tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak hanya mendengarkan kepada yang mengajaknya berbicara, bahkan ia memutarkan seluruh tubuhnya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak mendengarkan. Bila berbicara selalu bersungguh-sungguh, tetapi meskipun begitu ia tidak lupa ikut membuat humor dan bersenda gurau, dan yang dikatakannya selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Semua itu terbawa karena kodratnya yang selalu lapang dada dan selalu menghargai orang lain. Nabi Muhammad pemimpin yang bijaksana, adil, murah hati dan mudah bergaul ( Haekal, 2000 : 67). Contoh dari sikapnya yang selalu adil dan bijaksana dapat diketahui dari sebuah kisah berikut ini: hampir terjadi ~25
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi perang saudara di Quraisy, ketika dua kelompok berselisih tentang siapa yang mendapat kehormatan untuk meletakkan batu Hajar Aswad di tempatnya. Tatkala mereka melihat Nabi Muhammad SAW adalah orang pertama yang memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini, Al-Amin; Kami dapat menerima keputusannya”. Nabi Muhammad SAW diminta untuk membuat sebuah keputusan. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: kemarikan sehelai kain, setelah kain dibawakan, dihamparkannya dan diambilnya batu itu, lalu diletakkannya batu itu dengan tangannya sendiri, kemudian katanya: hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini. Mereka (yang berselisih) bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu yang akan diletakkan itu. Lalu Muhammad SAW mengeluarkan batu itu dan meletakkan di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan ( Haekal, 2000 : 69). Inilah contoh sifat seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, sebuah titik tolak sebelum dia meniti tangga kepemimpinan berikutnya. Pada tahap ini, pengikutnya akan merasa senang untuk berada didekatnya dan merasa akan mengikuti karena mereka merasakan perhatian, kasih sayang dan kejujuran Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW mampu menunjukkan kepedulian sosial, dengan ketulusan hatinya. Dia mampu memupuk hubungan yang baik dengan para sahabat dan lingkungan sosialnya. Seorang pemimpin yang memiliki integritas tinggi adalah orang-orang yang dengan penuh keberanian, berusaha tanpa kenal putus asa untuk dapat mencapai apa yang dicitacitakan. Cita-cita yang dimiliki itu mampu mendorong dirinya 26 ~
Ernita Dewi, M.Hum untuk tetap konsisten dengan langkah-langkahnya. Ketika seseorang mencapai tingkat ini, maka orang lain akan melihat bagaimana aspek mulkiyah’ yaitu komitmen orang tersebut, sehingga orang akan menilai dan memutuskan untuk mengikuti atau tidak mengikuti. Integritas akan membuat seorang pemimpin dipercaya, dan kepercayaan ini akan menciptakan pengikut. Untuk kemudian terbentuk sebuah kelompok yang memiliki satu tujuan. Integritas adalah kejujuran, integritas berarti tidak pernah berbohong dan integritas adalah kesesuaian antara kata-kata dan perbuatan, yang menghasilkan kepercayaan. Ketika pertama kali menerima wahyu, Nabi Muhammad merasa sangat bingung, siapa yang akan diajak, maka sudah sewajarnya Khadijah sebagai istri dan orang terdekatnya, percaya dan mengikuti Nabi Muhammad SAW. Lalu Khadijah menyatakan beriman atas kenabian itu. Inilah hadiah dari kepercayaan orang lain yang diperoleh karena sikap jujur Nabi Muhammad SAW, yang dijuluki Al Amin itu (Haekal, 2000: 84) Selanjutnya Nabi Muhammad SAW menghadapi tantangan yang sangat berat, ketika pertama kali harus meluruskan akhlak kaum Quraisy, yang terkenal sangat keras dan kukuh berpegang pada berhala sembahan peninggalan nenek moyang mereka. Dalam kondisi berat seperti ini Muhammad SAW dapat menunjukkan sikap keberanian dan pengorbanannya demi menegakkan kebenaran dan menciptakan suatu perubahan. Dia sungguh-sungguh berjuang dan berani menanggung resiko. Keberanian ini pula yang mem-bentuk kepercayaan dari para pengikutnya kelak. ~27
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Ketika semua kerabatnya dekat Nabi Muhammad SAW diajak untuk menyembah Allah SWT, maka Abu Thalib menyetop pembicaraannya dan mengajak orang-orang pergi meninggalkan Muhammad SAW sendiri,, dan dengan tiba-tiba seorang anak kecil bangkit, “Rasulullah saya akan membantumu, saya akan lawan siapa saja yang kau tentang”. Anak kecil itu adalah Ali bin Abi Thalib R.A (Haekal, 2000 : 92). Sikap Nabi Muhammad SAW yang konsisten dan tidak mengenal putus asa merupakan persyaratan penting untuk menjadi pemimpin yang dapat dipercaya. Nabi Muhammad SAW dengan terang-terangan mencela berhala kaum Quraisy. Pemuka-pemuka bangsawan Quraisy dengan diketuai Abu Sofyan bin Harb pergi menemui Abu Thalib (paman yang selalu melindungi Muhammad SAW).” Hai Abu Thalib”, kata mereka”, kemenakanmu sudah memaki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dia harus kamu hentikan, kalau tidak kami sendiri yang akan menghadapinya, kemudian dimintanya Muhammad SAW datang oleh Abu Thalib, dan diceritakan maksud seruan Quraisy. Lalu katanya (Abu Thalib): jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani dengan hal-hal yang tak dapat kupikul. Dengan jiwa penuh kekuatan dan kemauan teguh Muhammad SAW menoleh kepada pamannya seraya berkata : “paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan aku tinggalkan, biar nanti Allah yang membuktikan kemenangan itu: di tanganku atau aku binasa karenanya” (Haekal, 2000 : 97). 28 ~
Ernita Dewi, M.Hum Pernyataan Muhammad SAW ini menunjukkan citra dirinya sebagai pemimpin sejati, pemimpin yang memiliki prinsip, dan prinsip inilah yang akan menciptakan kepercayaan dan pengaruh yang luar biasa dari pengikutnya. Pada suatu ketika Utba berbicara kepada Nabi Muhammad SAW, orang Quraisy ini menawarkan harta, pangkat, bahkan kedudukan sebagai raja kepada Nabi Muhammad SAW. Namun Nabi Muhammad SAW menjawab dengan membacakan surat As Sajadah, Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu indah: “Alif Lam Miim, Turunnya al-Quran yang tidak ada keraguan padanya, dan Tuhan semesta alam. Tetapi mengapa mereka mengatakan: Dia Muhammad mengada-ngadakannya. Sebenarnya Al-Quran adalah kebenaran dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu mudahmudahan kamu mendapat petunjuk” (QS. As-Sajadah ayat 1.2.3). Utba sekarang melihat laki-laki yang berdiri di hadapannya bukanlah lak-laki yang didorong oleh ambisi harta, kedudukan atau kerajaan, melainkan seseorang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang kepada kebaikan (Haekal, 2000 : 105). Muhammad SAW mempertahankan sesuatu dengan cara yang baik dan kata-kata yang penuh mukjizat. Inilah contoh pemimpin yang bisa dipercaya, memegang teguh prinsip, tidak tergoda oleh rayuan harta atau kedudukan, yang akan menghancurkan dan menarik kepercayaan yang telah diperolehnya dan para pengikutnya. Bahkan Nabi Muhammad SAW mampu menolak tawaran ~29
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi tersebut dengan cara yang mempesona. Begitulah contoh seorang pemimpin yang memiliki integritas (Agustian, 2001 : 106). Sikap kepemimpinan Muhammad SAW sangat berbeda dengan pemimpin di zaman sekarang ini, yang integritas mereka sangat rapuh oleh godaan harta dan kekuasaan. Pemimpin sekarang secara tersembunyi atau terang-terangan menerima dengan tangan terbuka bila ada tawaran uang atau harta benda lainnya oleh seseorang, walaupun itu menyalahi sumpah jabatan dan amanah yang telah dipercayakan oleh masyarakat kepadanya. Seorang pemimpin ideal harus dapat menjadi pembimbing bagi yang dipimpinnya. Keberhasilan seorang pemimpin tidak saja dilihat dari kekuasaannya, tetapi juga karena kemampuannya memberikan motivasi dan kekuatan kepada orang lain. Seorang pemimpin dikatakan gagal apabila tidak berhasil memiliki penerus, dan pada tahap inilah puncak loyalitas dari pengikutnya akan terbentuk. Rasulullah sering memberikan nasehat, petunjuk, serta contoh kepada para sahabatnya untuk membimbing mereka guna mencapai kebahagiaan. Beliau telah menyampai-kan nasehat-nasehat yang berharga kepada tokoh-tokoh sahabat yang terkemuka dan terdekat dengan beliau, seperti halnya Ali bin Abi Thalib R.A dan Abu Hurairah R.A Ali bin Abi Thalib R.A adalah kader pertama yang dibimbingnya sejak kecil. Akhirnya Ali bin Abi Thalib R.A berhasil menjadi pemimpin besar dalam sejarah perkembangan Islam yang sangat disegani dan dihormati serta memiliki pengaruh yang sangat kuat, sedangkan Abu Hurairah R.A amat menonjol sebagai ahli 30 ~
Ernita Dewi, M.Hum hadis Rasullulah dan telah merawi hadis tidak kurang dari 5364 buah hadis (Firdaus, 2000 : 26). Hampir semua nasehat, contoh-contoh perilaku Nabi Muhammad SAW diabadikan dalam Haditsnya. Hingga saat ini pemikiran itu tetap abadi dan terdelegasi, sampai kita semua tetap bisa memperoleh bimbingannya. Meski sudah berusia 1400 tahun lamanya. Inilah contoh bimbingan dan metode pendelegasian yang sempurna dari Nabi Muhammad SAW sehingga pengaruhnya masih tetap kuat hingga kini. Oleh karena itu dengan sangat cepat Rasul Allah ini menjadi perhatian dunia dan mampu mengubah moralitas dunia yang telah kehilangan jati dirinya pada saat itu, dengan akhlakul karimah sebagai pancaran sifat Ilahiyah. Seorang pemimpin tidak akan berhasil memimpin orang lain apabila ia belum berhasil memimpin dirinya sendiri. Pemimpin harus sudah pernah menjelajahi dirinya sendiri dan mengenali secara mendalam siapa dirinya, sebelum dia memimpin keluar. Pekerjaan yang paling berat adalah memimpin diri sendiri dalam melawan hawa nafsu, dan musuh yang paling berat sebenarnya adalah diri sendiri. Seorang pemimpin harus mengenali siapa lawan dan siapa kawan di dalam dirinya. Tanpa pengetahuan tentang hal ini maka dia akan menjadi budak dari pemikiran yang di ciptakan sendiri. Kisah pertarungan antara perang melawan diri sendiri dan perang melawan musuh dialami oleh Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya pada saat terjadinya perang Badar. Peristiwa itu terjadi pada hari kedelapan bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriah. Nabi Muhammad SAW, ketika para sahabat ~31
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi meninggalkan Madinah. Mereka berangkat untuk berperang melawan kaum musyrik Quraisy yang selalu mnginjak-nginjak eksistensi orang muslim. Jumlah kaum muslimin hanya 350 orang dan mereka mengenderai unta yang hanya 70 ekor secara bergantian. Termasuk Rasulullah SAW bersama dengan Ali bin Abi Thalib R.A Marthad bin Marthad al-Gharawi, bergantian naik seekor unta (Haekal, 2000 : 245). Hal ini sangat menggugah pemikiran kita, bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin besar masih rela bergantian naik unta bersama sahabatnya, suatu sikap yang mungkin tidak kita ketemukan lagi pada pemimpin zaman sekarang. Setelah mereka mendekati mata air, Nabi Muhammad SAW berhenti, lalu Hudab bin Mundhir seorang pasukan muslim yang paling banyak mengenal tempat tersebut bertanya pada Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan kita tidak akan maju atau mundur selangkahpun dari tempat ini. Ataukah ini pendapat tuan sendiri, atau suatu taktik belaka?. Sekedar pendapat dan taktik perang, jawab Muhammad SAW, Rasulullah kata Hudab lagi, Kalau begitu tidak tepat kita berhenti di sini. Mari kita pindah sampai ke dekat mata air yang paling dekat dengan musuh, lalu sumur-sumur yang kering di belakang kita timbun. Selanjutnya kita buat kolam dan kita isi air sepenuhnya, barulah kita hadapi mereka berperang, kita akan mendapat air minum, mereka tidak (Haekal, 2000 : 250). Melihat saran yang begitu tepat itu, Muhammad dan rombongannya secara cepat pula bersiap-siap mengikuti pendapat temannya itu. Begitulah sebuah teladan dari sikap 32 ~
Ernita Dewi, M.Hum demokratis Nabi Muhammad SAW, dimana dia mampu mendahulukan dan mendukung pendapat dari salah satu anak buahnya di muka para pengikutnya, meskipun dia adalah seorang Rasul yang sangat disegani. Nabi mengutus kurir untuk mengumpulkan informasi dari sebuah tempat di Badar. Mereka tidak berhasil mengetahui jumlah bala tentara pihak Quraisy. Di tanya lagi kurir tersebut oleh Muhammad: Berapa ekor ternak yang dipotong tiap hari? Kadang-kadang sehari sembilan kadang sehari sepuluh ekor, jawab mereka. Dengan demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka terdiri dari 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua kurir itu diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta memperkuat diri. Lalu katanya kepada sahabat–sahabatnya: Lihat, sekarang Mekkah (musuh) sudah menghadapkan semua bunga-bunga bangsanya kepada kita (Haekal, 2000 : 248). Kalimat itu memberikan dorongan semangat kepada para sahabat mengingat jumlah lawan jauh lebih besar dan dengan perlengkapan yang lebih baik. Mereka harus siap menghadapi peperangan sengit dan dahsyat yang takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat akan adanya kemenangan. Inilah kemenangan yang pertama, sebelum peperangan sesungguhnya dimulai yaitu peperangan melawan diri sendiri, ketika menghadapi dan mengalahkan rasa takut melihat lawan yang jumlahnya tiga kali lebih kuat. Pada Jumát pagi 17 Ramadhan kedua pasukan berhadap-hadapan. Nabi Muhammad SAW sendiri yang tampil berada di garis terdepan mengatur barisan untuk menyerang musuh. Dilihatnya pasukan Quraisy yang begitu besar jumlahnya, sedangkan anak buahnya sedikit sekali, jiwa Nabi ~33
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Muhammad SAW begitu kuat, yang telah diberikan oleh Allah SWT, begitu tinggi melampaui segala kekuatan, yang telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Kekuatan mereka sudah melampaui semangat mereka sendiri. Setiap orang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang. Muhammad SAW mengambil segenggam pasir, dihadapkan ke orang Quraisy. Celakalah wajah-wajah mereka! katanya sambil menaburkan pasir itu ke arah mereka. Lalu memberi komando serbu. Serentak pihak muslimin menyerbu ke depan. Jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Malaikat maut sibuk memunguti nyawa dari leher orang-orang Quraisy (Haekal, 2000: 257). Ternyata kemenangan berada di pihak orang Islam. Inilah Perang Badar yang kemudian memberi contoh kepada umat Islam tentang kepemimpinan Muhammad SAW sebagai pemimpin yang telah membuktikan dirinya bahwa kata-katanya sungguh sesuai dengan pelaksanaannya di lapangan. Nabi Muhammad SAW tidak hanya seorang pemimpin yang dicintai, dipercaya, pembimbing tetapi juga pemimpin yang berani. Di akhir perang Badar yang dahsyat Itu Muhammad SAW berpesan, sebuah pesan yang sangat terkenal. Kita baru saja menghadapi peperangan yang berat, dan peperangan yang sangat berat sesungguhnya adalah perang melawan hawa nafsu. Dan perang inilah yang kita hadapi sekarang, yaitu perang melawan diri sendiri ( Agustian, 2001 : 111). Sifat ajaran Nabi Muhammad SAW adalah intelektual dan spiritual. Prinsipnya adalah mengarahkan orang kepada kebenaran, kebaikan, kemajuan, dan keberhasilan. Metode 34 ~
Ernita Dewi, M.Hum ilmiah seperti itu adalah yang terbaik yang pernah ada di muka bumi. Khususnya di bidang kepemimpinan dan akhlak, yang mampu memberikan kemerdekaan berpikir dan tidak menentang kehendak hati nurani yang bebas, tidak ada unsur pemaksaan yang menekan perasaan. Semua yang dipraktikkan dalam tindakan Muhammad SAW terasa begitu sesuai dengan suara hati, dan cocok dengan martabat kehormatan manusia. Sangat menjunjung tinggi hati dan pikiran manusia, sekaligus membersihkan belenggu yang senantiasa membuat orang menjadi buta. Dialah sebenarnya guru dari kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Muhammad SAW adalah pemimpin abadi yang pengaruhnya tetap akan dikenang sepanjang masa. Beliau telah meletakkan dasar yang kokoh bagi pembangunan peradaban baru manusia di bumi yang sesuai dengan fitrah manusia. Ungkapan cermin dari kesucian hati Rasulullah SAW terungkap dalam kisah yang diambil oleh Ali bin Abi Thalib r.a ketika ia bertanya kepada Rasulullah, dan Rasul menjawab: Ma’rifat adalah modalku Akal pikiran adalah sumber agamaku Rindu kendaraanku Berzikir kepada Allah Kawan dekatku Keteguhan perbendaharaanku Duka adalah kawanku Ilmu adalah senjataku Ketabahan adalah pakaianku Kerelaan sasaranku Faqr adalah kebanggaanku ~35
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Menahan diri adalah pekerjaanku Keyakinan makananku Kejujuran perantaraanku Ketaatan adalah ukuranku Berjihad perangaiku Dan hiburanku adalah sembahyangku (Haekal, 2000 : 241). Kata-kata Nabi Muhammad SAW ini berisikan kunci dari semua landasan tentang kepemimpinan, sehingga dia berhasil mencapai puncak tangga tertinggi kepemimpinannya. Nabi Muhammad SAW berhasil memimpin dunia dengan suara hatinya, dan diikuti oleh suara hati pengikutnya. Muhammad SAW bukan hanya seorang pemimpin manusia, namun dia adalah pemimpin segenap hati manusia, ia adalah pemimpin abadi yang paling ideal. B. Kepemimpinan Khulafaurrasyidin 1. Khalifah Abubakar Ash Shiddiq R.A Abu Bakar lahir pada 751 dan menjadi khalifah pada usia 61 tahun. Beliau terpilih berdasarkan suara terbanyak dalam sidang di Saqifah Banu Saidah. Jabatan Khalifah dijabat hanya 2 tahun (632-634) kemudian beliau wafat karena sakit ( Syafiie, 1996 : 432) Sebagaimana konvensi negara-negara demokrasi dewasa ini, kepala-kepala pemerintahan memulai jabatannya dengan sebuah pidato pelantikan. Hal ini dikarenakan negaranegara demokrasi tersebut menghendaki rakyat sebagai kedaulatan tertinggi, sehingga dengan pidato pelantikan diharapkan merupakan janji penguasa kepada rakyatnya. 36 ~
Ernita Dewi, M.Hum Hal itu juga dilakukan oleh Abu Bakar R.A, beliau memulai detik kepemimpinannya dengan pidato pertama sebagai khalifah setelah Bai’at, berikut isi pidato pelantikan Abu Bakar R.A : Kemudian saudara-saudara, saya sudah dijadikan sebagai pemimpin atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku baik bantulah. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya nanti saya berikan, Insya Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah orang yang lemah sesudah haknya itu saya ambil, insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah shalatmu, Allah SWT akan merahmati kamu sekalian ( Syafiie, 1996: 432-433). Pidato pelantikan Abu Bakar R.A menyiratkan sifat demokratis, tegas, dan bijaksana untuk menjalankan kepemimpinan yang telah diamanatkan kepadanya. Apabila kita runtut maka ada beberapa hal yang patut dicatat dari isi pidatonya, antara lain : a. Ucapan kesediaan beliau untuk tidak diikuti apabila melanggar perintah Allah dan Rasul, menunjukkan kerelaan untuk disanggah umat (pendemokrasian) ~37
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi b. Ucapan “ orang yang paling kuat ” dimaksudkan untuk orang yang memiliki kekayaan adalah orang yang lemah di mata Abu Bakar (artinya dalam hal membayar pajak untuk kelangsungan negara), menunjukkan ketegasan. c. Ucapan yang sarat dengan makna filosofis, kebenaran sebagai suatu kepercayaan dan dusta sebagai suatu pengkhianatan, menunjukkan sikap kebijaksanaan (Syafiie, 1996 : 433). Sebagai Kepala Pemerintahan beliau berpesan kepada para panglima-panglimanya sebagai berikut: Janganlah kamu mengabaikan pasukanmu lalu mereka menjadi rusak, dan jangan kamu mata-matai lalu mereka jahat, dan jangan kamu membuka rahasia orang lain, dan cukuplah diperhatikan yang kelihatan dari mereka. Berkaitan dengan prinsip-prinsip pengadilan yang dipegang oleh hakim-hakim muslim, khalifah mengatakan: sekiranya saya melihat seorang laki-laki melakukan perbuatan yang harus diberi hukuman had, saya akan menghukumnya sebelum ada seorang saksi lain yang menyaksikannya. Had adalah hukuman karena menyamun (merampok), mencuri (mencopet), berzina, meminum-minuman keras, dan lain-lain (Syafiie, 1996: 434). Penggunaan pajak pada masa kekhalifahan Abu Bakar dikumpulkan dalam kas negara (Baitul Mal), dan diberikan bagi yang berhak menerima dengan cara yang benar, misalnya pajak diberikan pada fakir miskin, dan anak yatim. Baitul Mal adalah amanat Allah SWT, dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu, mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu ke 38 ~
Ernita Dewi, M.Hum dalamnya atau pengeluaran sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan dengan syariat. Keteladanan Khalifah Abu Bakar R.A terhadap Baitul Mal menjelang wafatnya dapat dilihat ketika beliau menyuruh menghitung apa yang telah diterimanya dari Baitul Mal, lalu dikembalikannya dengan hartanya, ia berkata kepada putrinya Aisyah R.A : Apabila saya mati maka kembalikanlah kepada mereka piring-piring mereka, hamba sahaya, unta, gilingan gandum, selimut yang memeliharaku dari dingin dan alas tidur yang memeliharaku dari kotoran tanah, serta isi alas tidur itu terdiri dari daun kurma ( Syafiie, 1996 : 434). Pola kepemimpinan Abu Bakar R.A berpedoman kepada model kepemimpinan Muhammad SAW. Abu Bakar R.A menjadikan kepemimpinan sebagai amanah berat yang harus dijalankannya. Abu Bakar menunjukkan sikap seorang pemimpin yang demokratis, siap dikritisi dan ditegur bila beliau salah dalam memimpin. Kesederhanaan hidup juga ditampilkan dalam kepemimpinan Abu Bakar R.A, hal itu bisa diketahui dari keseharian hidupnya sebagai khalifah tidak memiliki istana dan kemewahan, sebagaimana yang diperlihatkan oleh pemimpin-pemimpin zaman sekarang ini. Abu Bakar R.A juga dikenal sangat jujur dan istiqamah dalam memegang setiap amanah, dan ini menjadi bekal bagi kesuksesan kepemimpinannya. 2. Khalifah Umar Ibnu Al Khattab R.A Umar bin Khattab R.A lahir pada tahun 586 Masehi. Kemudian menjadi pimpinan pemerintahan Islam (setingkat ~39
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi presiden) yang berpusat di kota Madinah Al-Munawarah selama 10 tahun, yaitu dari tahun 634 M sampai dengan tahun 644 Masehi. Beliau terpilih menggantikan Abu Bakar berdasarkan suksesi dari pendahulunya ( Syafiie, 1996 : 435). Umar R.A menjadi muslim karena menyaksikan kebenaran Islam itu sendiri berlandaskan logikanya, oleh karena itulah beliau dikenal dengan gelar “Al Faruq” yang berarti Sang Pembeda antara yang benar dan yang bathil. Tepatnya beliau memulai perenungan Islam setelah mendengar adik kandungnya membaca surat Thaha tentang ilmu pengetahuan. Meskipun beliau pernah menyaksikan kebrutalan budaya Arab Jahiliyah dengan menguburkan hidup-hidup bayi-bayi perempuan, Umar R.A sendiri tidak pernah melakukan hal tersebut, oleh sebab itu putrinya Hafsah selamat terlindungi sampai berusia dewasa, yang kemudian menjadi istri Rasulullah SAW ( Syafiie, 1996 : 435). Sebagaimana hal Abu Bakar, Khalifah Umar r.a. pun mempunyai pidato-pidato kenegaraan yang sangat terkenal antara lain : Pidato di depan Majelis Permusyawaratan waktu beliau menyampaikan tentang politik kekhalifahan yaitu : Aku tidak mengumpulkan kamu sekalian melainkan agar kamu dapat bersama-sama memikul amanat yang dipikulkan kepada aku dalam urusan kamu, sebab aku hanyalah orang seperti salah seorang di antara kamu dan sekarang kamu dapat memutuskan kebenaran, baik akan ditentang oleh siapa yang menentangku atau disetujui oleh siapa yang menyetujuiku, dan aku sekali-kali tidak mempunyai keinginan agar kamu mengikuti hawa nafsuku dalam hal ini (Syafiie, 1996 : 435). 40 ~
Ernita Dewi, M.Hum Tentang tunjangan bagi kepala pemerintahan yang diperoleh dari kas negara Baitul Mal beliau mengatakan : Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas, dan sepotong pakaian musim dingin, dan uang yang cukup untuk hidup sehari-hari seorang di antara orang Quraisy yang biasa, dan setelah itu aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin lainnya. Selanjutnya Khalifah Umar R.A mengatakan : Harta ini tidaklah sah kecuali dengan tiga hal , yaitu diambil dengan kebenaran, diberikan dengan kebenaran, dan dicegah dari kebatilan. Sesungguhnya kedudukanku berkenaan dengan hartaku ini bagai seorang wali anak yatim. Kalau aku tidak mengambil sesuatu dari padanya, tapi bila aku miskin, aku akan makan daripadanya secukupnya”. Kepada orang yang wajib membayar pajak Umar R.A mengatakan: Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada suatu hak bagi siapapun untuk ditaati dalam suatu perbuatan maksiat. Kamu sekalian memiliki beberapa hak atas diriku yang akan kujalani dan kupegang teguh. Aku berjanji tidak akan memungut pajak atas hasil karunia yang kamu peroleh dari Allah kecuali dengan jalan yang sebenarnya, dan kamu sekalian berhak mencegah aku mengeluarkan sesuatu yang telah berada di tanganku kecuali dengan haknya ( Syafiie, 1996 : 436). Ketika Umar Ibnu Khatab R.A melantik para pejabat di bawah kepemimpinannya beliau berpesan, aku tidak mengangkat kamu sebagai petugas atas umat Muhammad SAW, agar kamu dapat menguasai perasaan dan kepribadian ~41
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi mereka tetapi aku mengangkatmu sebagai pejabat atas mereka untuk mendirikan salat bersama mereka, mengadili dengan kebenaran di antara mereka dan membagi dengan adil untuk mereka. Lebih lanjut Umar R.A mengingatkan, bertaqwalah kamu kepada Allah dalam rahasia dirimu dan ucapan-ucapanmu, dan hendaklah kamu malu kepadanya, sebab Allah melihatmu dan melihat perbuatanmu. Jadilah kamu di antara orang-orang yang bekerja untuk akhirat mereka dan tunjukkanlah segala tindakanmu demi mencari ridha Allah. Jadilah kamu seorang ayah yang penuh kasih saya terhadap semua orang yang berada di bawah kepemimpinanmu. Jangan membuka rahasia mereka dan cukuplah dirimu dengan apa yang mereka beberkan sendiri kepada manusia. Perbaikilah dirimu, niscaya rakyatmu akan memperbaiki dirinya untukmu.” Untuk menentukan syarat-syarat bagi orang yang akan menjabat sebagai gubernur / wali negeri dan petugas-petugas yang diutus waktu itu, Khalifah Umar R.A melaksanakan dengan cara sebagai berikut : Khalifah Umar Ibnu Khatab R.A berkata : Tunjukkanlah kepada saya seorang laki-laki yang akan saya angkat. Mereka (sahabat-sahabatnya) balik bertanya : Apa syarat-syarat yang harus dipunyai orang itu? Jawabannya : Apabila dia berada dalam suatu kaum sedang dia bukan pemimpinnya maka seolah-olah dia memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan (penuh prakarsa dan loyalitas), dan apabila dia menjadi pemimpin mereka maka dia seolah-olah salah seorang dari mereka (terjun langsung ke lapangan) ( Syafiie, 1996 : 437). 42 ~
Ernita Dewi, M.Hum Pada kesempatan yang lain Khalifah Umar R.A menyampaikan : Aku tak ingin mengejutkan kalian, aku hanya ingin agar kalian berpartisipasi di dalam amanatku, berkenaan dengan urusan kalian yang aku pikul...., bagi kalian yang tidak sependapat silakan membantuku dan bagi kalian yang sependapat silahkan bersepakat denganku. Di sisi kalian ada sebuah Kitab yang berbicara benar. Sekiranya aku ingin berbicara sesuatu hal yang aku inginkan, sungguh aku tak menginginkan kecuali kebenaran. Mengkaji statemen Umar R.A dalam setiap pidatopidatonya, Muhammad Abdul Qadir Fars memilahkan pidato tersebut pada empat unsur penting yaitu : keadilan, persamaan, ketaatan, dan permusyawaratan. Khalifah Umar R.A melakukan pengawasan terhadap aparatur negara dalam bentuk sebagai berikut : Pada suatu hari beliau berkata kepada orang-orang di sekelilingnya: “bagaimana pendapatmu, apabila saya mengangkat menjadi pemimpinmu orang yang terbaik menurut pendapat saya, lalu saya menyuruhnya berlaku adil, apakah dengan demikian saya telah menunaikan kewajiban saya? mereka menjawab: sudah! Umar R.A berkata: Belum, sehingga saya melihat kerjanya, apakah dia mengerjakan apa yang saya perintahkan atau tidak? Umar R.A merupakan figur pemimpin yang selalu bermusyawarah ketika hendak memutuskan sesuatu, sebagaimana dikisahkan oleh Yusuf bin Majisyun, ketika Umar R.A kewalahan menghadapi soal yang sulit, maka dia memanggil para pemuda untuk bermusyawarah, karena beliau menganggap bahwa para pemuda itu akan berpikiran keras ~43
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi dan tajam serta bergelora sesuai umurnya. Jadi Umar R.A merupakan pemimpin yang memiliki seni mengambil keputusan berdasarkan musyawarah dengan orang-orang yang tepat, berpengalaman bahkan juga orang yang berlawanan dengan perasaan dan pemikiran beliau ( Syafiie, 1996 : 438). Al-Ghazali yang dikenal sebagai Hujjatul Islam, memberikan nasehat kepada pemimpin untuk tidak berpangku tangan terhadap kezaliman. Seorang pemimpin dituntut untuk mendidik para staf dan pegawainya, sebab pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatan zalim yang dilakukan bawahannya, sebagaimana pemimpin mempertanggung-jawabkan perbuatannya sendiri. Umar bin Khattab r.a. mengirim sepucuk surat kepada Abu Musa al-Asy’ari. Umar menuliskan sebaik-baik pemimpin adalah orang yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, sedangkan seburuk-buruk pemimpin adalah orang yang membuat rakyatnya menderita. Untuk itu janganlah hidup mewah dan boros. Sesungguhnya bawahanmu akan mengikuti langkahmu, perumpamaan engkau seperti seekor kambing yang melihat padang rumput hijau. Kambing tersebut akan makan sekenyang-kenyangnya sehingga bertambah gemuk dan kegemukannya itu akan menyebabkan kehancuran. Disebutkan pula dalam Taurat, bahwa seorang pemimpin yang melihat kezaliman bawahannya tanpa memberikan respons apapun, maka kezaliman tersebut akan disandarkan kepadanya dan pemimpin tersebut akan disiksa ( al-Ghazali : 1967:163). Secara garis besar, dapat dikemukakan di sini bahwa seorang kepala negara yang memiliki keinginan dan obsesi 44 ~
Ernita Dewi, M.Hum untuk menegakkan keadilan terlebih dahulu harus dimulai dari dirinya sendiri, dengan selalu bersikap adil dan memelihara diri dari hal-hal yang batil, seperti menahan emosi dan marah agar tidak mengalahkan rasionalitas dan agamanya. Sikap ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian mengatur dan mengarahkan para staf untuk bersikap adil. Pemimpin juga berkewajiban mengawasi dan memberikan kesejahteraan berupa fasilitas hidup, seperti tempat tinggal kepada para bawahannya (al-Ghazali, 1967 : 164). Umar R.A merupakan sosok pemimpin yang selalu berusaha memahami persoalan-persoalan masyarakat secara dekat, untuk itu Umar R.A sering berjalan sendiri di malam hari menelusuri wilayah kepemimpinannya. Sebagaimana yang diceritakan oleh Zaid ibnu Aslam , Bahwa ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab R.A menjabat khalifah, pada suatu malam Umar R.A keluar dari kediamannya guna mengadakan observasi langsung ke rumah-rumah penduduk yang jauh dari tempat tinggalnya. Di kejauhan Umar R.A melihat cahaya api, lalu Umar mendekati cahaya api, lalu Umar mendekati cahaya tersebut dan melihat seorang wanita dengan tiga anaknya yang sedang menangis sambil berkata: Tuhanku, beri keadilan kepadaku dari Umar R.A dan beri hakku darinya. Ia dapat tidur dengan perutnya yang kenyang sedangkan aku dan ketiga anakku menderita kelaparan. Mendengar keluhan wanita itu, Umar R.A mendekati dan memberi salam kepadanya, lalu Umar R.A berkata Bolehkah aku menghampirimu ?. Wanita itu menjawab, jika engkau bermaksud baik aku mengijinkan engkau masuk. Lalu wanita itu ~45
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi berkata, Aku datang menghadap Umar R.A khalifah negeri, namun karena hari sudah malam, aku terpaksa berteduh disini karena aku dan anakku tidak sanggup lagi menahan lapar. Lalu Umar R.A bertanya, apa yang sedang engkau masak? wanita itu berkata, isinya hanya air, sengaja aku masak supaya anak-anakku mengira jika aku sedang memasak nasi, sehingga mereka tertidur dan tidak menangis lagi. Mendengar pernyataan wanita tersebut, Umar R.A beserta Zaid bin Aslam bergegas pergi kembali ke Madinah dan singgah di sebuah toko untuk membeli tepung dan daging. Kemudian belanjaan tersebut dibawa Umar R.A menuju tempat wanita tersebut. Zaid bin Aslam yang mendampingi perjalanan Umar, begitu melihat beratnya beban yang dipikul oleh Umar R.A Zaid meminta supaya sebagian beban dapat dipikul olehnya. Permintaan tersebut dijawab Umar R.A jika aku merasa keberatan dengan karung ini maka aku akan lebih berat lagi memikul dosa, yang akan ditimpakan kepadaku disebabkan doa seorang wanita yang sakit hati, karena kelalaianku dalam memperhatikan hidupnya. Kata-kata itu diucapkan Umar R.A sambil menangis. Sesampainya di tempat wanita tersebut, Umar R.A menyerahkan tepung dan daging yang dibawanya, sehingga wanita tersebut sangat berterima kasih atas kebaikan Umar R.A, Umar R.A kemudian mengambil sebagian tepung itu, selanjutnya dimasukkan ke dalam periuk lalu Umar R.A menyalakan api. Sewaktu nyala api mengecil dan padam Umar R.A meniupnya keras-keras hingga abunya beterbangan mengotori raut muka dan pakaian seorang Khalifah. Setelah masakan itu matang Umar R.A memasukkannya ke dalam piring besar lalu menghidangkan kepada 46 ~
Ernita Dewi, M.Hum wanita itu dan anak-anaknya. Setelah itu Umar R.a berkata kepada wanita tersebut, janganlah engkau mendoakan hal-hal yang buruk kepada Umar karena Umar tidak mengetahui keadaanmu dan ketiga anakmu (al-Ghazali : 1967: 143). Kebesaran jiwa dan pengorbanan Umar R.A kepada rakyatnya sungguh luar biasa, ketika seorang penduduknya kelaparan, maka Umar R.A sangat menyesali kenapa hal itu terjadi, dan dengan segera Umar R.A berusaha menggantikan kesalahan dengan perbuatan yang sangat mulia dan menyentuh hati nurani orang-orang yang mendengar kisah ini. 3. Khalifah Utsman bin Affan R.A Utsman bin Affan R.A lahir pada tahun 573 M, beliau menjadi khalifah pada usia 71 tahun, jabatan tersebut didudukinya selama 12 tahun, tepatnya mulai tahun 644 - 656 M. Komitmen kekhalifahan Usman dapat diketahui dari pidato pelantikan ketika beliau di bai’at : Amma ba’du, sesungguhnya tugas ini telah dipikulkan kepadaku dan aku telah menerimanya, dan sesungguhnya aku adalah seorang muttabi’ (pengikut Sunnah Rasul SAW) dan bukan seorang mubtadi’ (seorang yang berbuat bid’ah). Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntutku mengenai selain Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, yaitu mengikuti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumku dalam hal-hal yang kamu sekalian telah bersepakat, dan telah kamu jadikan sebagai kebiasaan, membuat kebiasaan baru yang layak bagi ahli kebajikan, dalam hal-hal yang belum kamu jadikan sebagai kebiasaan, dan mencegah diriku dari bertindak atas kamu, kecuali dalam hal-hal yang kamu sendiri telah menyebabkannya ( Syafiie, 1996 : 439) ~47
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi ...”Lemparkanlah dunia di mana Allah melemparkannya, dan carilah akhirat karena Allah telah membuat perumpamaan bagi dunia...( lalu Khalifah membaca firman Allah SWT yang artinya) “ Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia) kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuhtumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan. Dalam pidatonya yang lain Usman menyebutkan : sesungguhnya Allah memberimu dunia untuk menuntut akhirat dan dia tidak memberikannya kepadamu agar kamu condong kepadanya. Sesungguhnya dunia itu rusak sedang akhirat itu kekal. Maka utamakanlah apa yang kekal itu atas apa yang rusak. Sesungguhnya dunia itu terputus dan kembali itu hanyalah kepada Allah sendiri. Sikap istiqamah Usman dapat juga dilihat dari jawaban yang disampaikan ketika muncul kecaman dari pihak lawan, jika kalian mendapatkan (dalil) dalam Kitabullah untuk meletakkan kedua kakiku dibelenggu, maka letakkanlah keduanya ( Syafiie, 1996 : 440). Khalifah yang pada masa pemerintahannya Al Quran dibukukan ini memang lebih memperhatikan pembinaan mental, misalnya ketika beliau melihat Baitul Mal penuh, maka beliau menambah pemberian (jatah) dan mengambilkan 48 ~
Ernita Dewi, M.Hum untuk mesjid, yang disajikan dalam bentuk makanan yang tetap, bagi orang-orang i’tikaf, beribadah dan ibnu sabil. Pada masa kepemimpinan Usman R.A pula kota Madinah menjadi sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan Islam semakin dipercantik, bangunan dan gedung-gedung di tambah, dimulai dengan mesjid Rasulullah SAW yang diluaskan dan dibangun dengan batu yang diukir serta tiangnya dibuat dari batu yang dihiasi permata (Syafiie, 1996 : 441). Usman R.A dalam kepemimpinannya memang dikenal tidak sekeras Abubakar atau Umar, bahkan kritik yang kerap ditujukan kepada Usman karena sikapnya yang selalu cenderung memberikan jabatan kepada saudara-saudaranya. Padahal secara sosio kultural masyarakat Arab dikenal sangat keras dan susah diatur, sehingga Abu Bakar yang bijaksana terpaksa mengubah sikap setelah menjadi Khalifah menjadi tegas terhadap pihak-pihak yang membangkang. Profil Usman bin Affan r.a. sebagaimana dicatat dalam sejarah memang memiliki watak lembut dan pemalu, hal ini diakui sendiri oleh Rasulullah SAW : umatku yang paling sayang adalah Abu Bakar, yang paling kokoh dalam agama Allah adalah Umar, dan yang paling pemalu adalah Utsman ( Syafiie, 1996 : 442). Bahkan Rasul SAW memerlukan berpakaian rapi dan duduk pada tempatnya bila berhadapan dengan Utsman, tidak seperti menghadapi Abu Bakar dan Umar hingga ditegur oleh Aisyah R.A dan Rasulullah menjawab : Utsman itu seorang pemalu, seandainya aku mengizinkan masuk kepadanya, padahal aku sedang berbaring, niscaya ia akan malu untuk masuk dan ia akan kembali dimana aku tidak dapat memenuhi keperluan yang karenanya ia datang. Hai Aisyah, tidakkah aku ~49
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi malu kepada orang, yang mana malaikat malu kepadanya (Syafiie, 1996 : 442). Karakter Usman R.A yang lembut dan pemalu secara tidak langsung berpengaruh pada pola kepemimpinan-nya, sehingga dalam menanggulangi tuntutan masyarakat, dan mengartikulasikan kepentingan, beliau lebih mengutamakan responsiveness daripada effectiveness. Sehingga di masa Khalifah Utsman partai-partai politik tumbuh dan berkembang. Keadaan ini diakibatkan oleh kekuasaan Islam yang semakin luas sampai ke seantero Jazirah Arab, Iraq, Syiria, Mesir, Afrika lainnya, Armenia, Persia dan Kepulauan Mediterania, yang pada masing-masing tempat tersebut memiliki beraneka ragam ras. Kaliber umat Islam tidak lagi seperti generasi pertama (Muhajirin dan Anshar) yang ditandai dengan iman yang kuat, sehingga pada generasigenerasi berikutnya ini perasaan perbedaan ras muncul. Mereka mencari sistem politik ideal, dengan menggunakan opini mereka sendiri yang kemudian berkembang menjadi partai-partai politik (Syafiie, 1996 : 442). Walaupun demikian sikap-sikap mulia Khalifah Utsman bin Affan R.A dapat ditemukan di setiap aspek perilakunya. Sebagai contoh sikap menghormati Usman terhadap pembantunya, Utsman tidak tega membangunkan salah seorang pelayannya di tengah malam untuk menyediakan air wudhu ketika Utsman hendak melaksanakan shalat malam. Meskipun kondisi fisik Utsman yang sudah uzur dan lemah, namun Utsman mengambil sendiri air wudhunya. Utsman beranggapan bahwa seorang pelayanpun berhak menikmati tidur dan istirahatnya, tanpa terganggu. Bahkan 50 ~
Ernita Dewi, M.Hum Utsman tidak ingin berlindung di belakang seseorang dalam menghadapi tebasan pedang orang-orang yang ingin membunuhnya. Utsman tidak ingin nyawanya ditukar dengan tetesan darah orang yang ingin melindungi dirinya (Khalid, 1985 : 311). 4. Khalifah Ali bin Abu Thalib R.A Ali bin Abi Thalib R.A lahir pada tahun 601 M, dalam usia 9 tahun beliau sudah masuk Islam. Ali R.A dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 23 Juni 656 M, dan jabatan tersebut hanya beliau pangku selama 4 tahun 9 bulan (656661). Pidato pelantikan beliau berisikan kewajiban menegakkan keadilan sebagai syarat utama yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin. Ali R.A berkata : Berlaku adillah terhadap manusia dan bersabarlah menghadapi kebutuhan mereka, sebab mereka itu adalah perbendaharaan rakyat ... janganlah kamu hambat seseorang dari memenuhi kebutuhan dan janganlah kamu tolak mereka mengenai permintaannya dan sekali-kali jangan engkau jual pakaian musim dingin, pakaian musim panas dan hewan milik rakyat, begitu pula hambanya, untuk menagih pajak (kharaj) dan jangan sekali-kali kamu memukul seseorang hanya karena satu dirham yang tidak dapat dilunasi (Syafiie, 1996 : 443) Kepada petugas Dinas Pendapatan beliau mengatakan sebagai berikut: Datangilah mereka dengan baik dan tenang, hingga engkau berada di tengah-tengah mereka dan menyalami mereka. Jangan engkau abaikan memberi salam, kemudian engkau katakan “Hai hamba Allah, saya di utus oleh wali Allah dan khalifah-Nya kepadamu untuk mengambil hak ~51
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Allah dalam hartamu yang kamu tunaikan kepada wali-Nya.” Jika seseorang mengatakan “tidak” maka janganlah engkau mengulangi pertanyaan kepadanya. Jika seseorang memberi pemberian kepadamu maka hadapilah dia tanpa menakutnakutinya, mengancamnya, memberatkannya atau menekannya. Terimalah apa yang diberikan kepadamu berupa emas dan perak. Jika dia mempunyai kambing atau unta maka janganlah memasuki kandangnya kecuali dengan izinnya, karena kebanyakan hewan itu adalah miliknya. Bila engkau mendatangi kandang, maka janganlah engkau memasuki dengan keras dan kasar. Janganlah engkau sekali-kali menakut-nakuti hewan dan janganlah sekali-kali menyakiti pemiliknya. Bagilah harta itu ke dalam dua bagian, kemudian suruhlah pemiliknya untuk memilih. Jika ia telah memilih, maka janganlah sekali-kali mengambil apa yang telah dipilihnya. Engkau terus berbuat demikian sehingga tinggal padanya sesuatu sebagai penunaian hak Allah pada hartanya. Maka ambillah hak Allah itu (zakat) kemudian jika dia meminta pembebasanmu, maka berikanlah (Syafiie, 1996 : 443-444) Dalam pidato Ali R.A pada kesempatan yang lain beliau berpesan: Wajib atas seorang imam untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan kepada Allah dan memenuhi amanat. Apabila dia berbuat yang demikian, wajiblah rakyat mendengarkan ucapannya dan taat kepada perintahnya, dan memenuhi apabila mereka dipanggil. Dalam pidato yang lain Ali R.a berpesan: “Adalah wajib atas kamu sekalian taat kepadaku, baik dalam urusan yang kamu sukai ataupun yang kamu benci, selama aku memerintah kamu dalam hal ketaatan kepada Allah. Tetapi 52 ~
Ernita Dewi, M.Hum apabila aku memerintah kepada kalian untuk bermaksiat kepada Allah, maka tidak ada kewajiban taat atas seseorang di dalam maksiat. Ketaatan hanya wajib dalam perbuatan kebaikan (Syafiie, 1996: 444). Dalam hal pengangkatan dewan penasehat dalam suatu pemerintahan, Ali R.A pernah memberikan nasehat kepada salah seorang gubernurnya yang berkuasa di Mesir, Malik Asytar. Dalam suratnya Ali R.A, mengingatkan Malik Asytar untuk tidak meminta nasehat kepada orang kikir, karena sifat kikir yang dimilikinya akan mengotorkan kemurahan hati pemimpin dan menimbulkan rasa takut pemimpin akan kemiskinan. Jangan pula mengangkat seorang penasehat yang pengecut, karena sifat pengecut akan menipumu dalam pengambilan keputusan. Seorang penasehat tidak boleh serakah, karena sifat keserakahan yang dimilikinya, lambat laun akan mempengaruhinya untuk cenderung bersikap serakah, yang pada akhirnya membuat seorang pemimpin menjadi tiran. Menurut Ali R.A, sifat kikir, pengecut, dan serakah menghalangi tumbuhnya rasa percaya seseorang kepada Allah SWT (Azzam, 1979: 171). Penasehat yang paling buruk adalah penasehat penguasa yang zalim yang sama-sama bertanggungjawab atas kezalimannya. Selanjutnya Ali R.A menginginkan seorang pemimpin mengangkat penasehat dari kelompok orang yang berkepribadian luhur dan memiliki kecerdasan serta visionir. membiarkan seorang pemimpin harus bergaul dengan orangorang yang adil dan taqwa, serta bersikap tegas terhadap orang-orang yang merayu dan memuji kepemimpinannya secara berlebihan. Sebab pujian dan rayuan yang tidak sehat ~53
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi akan merangsang tumbuhnya rasa bangga dalam diri pemimpin, sehingga menimbulkan sikap angkuh dan sombong (Azzam, 1973: 172). Khalifah Ali R.A biasa juga disebut imam, karena orangorang Syiah menganggap bahwa ayah Hasan dan Husain ini merupakan pemimpin (imam) yang tepat, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, bahkan juga Umar R.A pernah mendelegasikan wewenang atau sebagai pejabat khalifah sementara kepada Ali R.A di waktu Umar keluar kota, seperti yang dilakukan Nabi SAW. Selain itu juga di belakang nama Ali R.A juga sering dibubuhkan singkatan Karamullahu Wajah (KW), karena muka yang mulia ini tak pernah menyembah berhala dari kecil (Syafiie, 1996 : 444). Kepemimpinannya sebagai khalifah menempati posisi yang rumit, bukan saja pemberontakan belum reda seluruhnya, tetapi juga Mu’awiyah yang dari setapak ke setapak memperoleh kekuasaan, semakin kuat di Utara dan Timur laut Madinah, dan tidak berkenan menjadi subordinat atau pemerintah daerah dari pemerintahan Islam Madinah, tetapi seakan-akan menjadikan daerahnya sebagai suatu state yang merdeka dan berdiri sendiri. Ali bin Abi Thalib R.A sangat menekankan pentingnya seorang pemimpin memperdulikan nasib orang miskin. Ali R.A berkata : ingat, takutlah kepada Allah ketika menghadapi orang fakir miskin yang tidak memiliki pelindung, tipis harapan, dan tanpa daya upaya. Demi Allah, lindungilah hakhak orang-orang yang miskin, karena di tangan pemimpinlah letak tanggung jawab untuk memberi perlindungan. Berikan kepada fakir miskin dari harta Baitul Mal (kas negara) guna 54 ~
Ernita Dewi, M.Hum meningkatkan taraf hidupnya, baik mereka itu hidup dekat dengan jangkauan penglihatanmu atau berada jauh darimu. Jangan sampai kesibukanmu (pemimpin) melupakan mereka, jangan jadikan kepentingan mereka sebagai sesuatu yang kurang penting dibandingkan kepentingan dirimu. Pilihlah pejabat pemerintahan orang-orang yang berhati lembut, taqwa dan dapat memberikan informasi akurat tentang keadaan rakyatmu. Penuhilah kebutuhan hidup orang-orang miskin, agar engkau tidak perlu melakukan pembelaan diri di hadapan Allah SWT pada hari akhirat kelak (Azam,1979:185). Pola kepemimpinan Ali R.A berlandaskan pada sikap adil dan sangat peduli kepada sesama. Ali R.A memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi terutama pada hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan rakyatnya. Dengan berpedoman kepada al-Quran dan teladan Rasulullah SAW, kepemimpinan Ali R.A merupakan citra pemimpin ideal yang patut dicontoh oleh pemimpin di zaman sekarang ini. @
~55
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
56 ~
Ernita Dewi, M.Hum
BAB III KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS PEMIKIRAN YUNANI
A. Perspektif Plato Tentang Pemimpin Ideal Berbicara perkembangan ilmu politik, pemerintahan, dan kepemimpinan, sebagian sarjana yang mencoba mengkaji teori dan praktek politik serta ketatanegaraan tersebut, biasanya tidak lupa melihat situasi yang terjadi di zaman Yunani purba, sekitar abad 500-300 SM, yang sangat boleh jadi merupakan cikal bakal kelahiran ilmu politik dan pemerintahan (Haricahyono, 1991: 1). Sepanjang perjalanan sejarah filsafat, Plato tercatat sebagai salah satu murid Socrates yang paling cemerlang. Plato lahir di Athena, dari keluarga politisi yang berdarah bangsawan pada tanggal 29 Mei 429 SM, saat berkecamuknya perang Peloponnesian (Stumpf, 1975: 49-50). Socrates adalah sosok yang dikagumi Plato, untuk kemudian menjadi gurunya yang sangat disegani. Pada awalnya Plato bercita-cita menjadi seorang politikus, hal ini dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya sebagai keluarga politisi yang banyak memberi input bagi pemimpin di negaranya, realitas tersebut membuat Plato merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan politik di negerinya. Plato sangat menentang sistem demokrasi yang diberlakukan di Athena, bahkan Plato melihat ketidaksanggupan demokrasi yang dijalankan di Athena untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab. ~57
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Keruntuhan demokrasi Athena berawal dengan dieksekusinya Socrates, seorang pemikir besar yang pemikirannya diikuti Plato. Kenyataan tersebut membuat Plato pesimis sehingga memadamkan ambisinya menjadi seorang politikus, yang pada gilirannya memotivasi Plato memformulasikan suatu konsep kepemimpinan negara yang diwarnai oleh otoritas dan ilmu pengetahuan. Plato berkesimpulan bahwa negara itu ibarat sebuah kapal, dimana seorang nahkoda memiliki kewenangan untuk melayari kapal dengan ketrampilan dan ilmu pelayaran yang dimilikinya. Demikian pula dengan negara, seorang pemimpin harus memiliki ilmu pemerintahan yang memadai, untuk membawa rakyatnya kepada kehidupan yang lebih baik, adil dan makmur. Setelah kematian Socrates, Plato terpanggil untuk meneruskan pemikiran-pemikiran Socrates, yang tidak pernah ditulisnya menjadi sebuah karya tulis yang sistematis dan menarik, sekaligus mewujudkan impiannya untuk menuangkan idea tentang konsep negara dan hukum dalam bukunya; Republic, Politeia (tentang negara), Politikus (tentang abdi negara), dan Nomor (tentang undang-undang) (Haricahyono, 1994: 44). Pada usia 40 tahun, Plato mencoba merealisasikan cita-citanya tentang negara ideal dan penguasa yang adil melalui kepemimpinan penguasa Dionysios I, ketika berada di istana di kota Sirakus, Sisilia. Akan tetapi keinginan Plato tersebut ditentang keras oleh raja Dionysios I, dan hampir saja Plato dijual sebagai budak di pasar kota Aegina akibat argumentasinya yang kontroversial dengan kebijakan Istana. Saat transaksi terjadi, seorang teman Plato melihat 58 ~
Ernita Dewi, M.Hum dan membatalkan transaksi tersebut. Setelah itu Plato kembali ke Athena dan mendirikan sekolah ”akademia” dari uang tebusan yang ditolak temannya. Akademi tersebut menjadi sekolah pertama dan favorit tempat dimana Plato mengajar. Meskipun Plato demikian sibuk di akademinya, Plato masih menyempatkan diri kembali sebanyak dua kali ke Sisilia untuk mencoba mempengaruhi para penguasa di sana, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya Plato menghabiskan sisa umurnya mengabdi di Akademia hingga meninggal pada tahun 348 SM (Suseno, 1997: 15). Dalam kepustakaan filsafat, Plato sering kali disebut sebagai pencetus ajaran alam cita (idea), sedangkan aliran filsafat yang dikembangkannya sering disebut dengan idealisme. Ajaran tersebut diilhami dari pergaulannya dengan kaum sofis. Sebagaimana kaum Sophis, Plato juga beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan panca indera adalah relatif. Tiada kebajikan tanpa pengetahuan, dan pengetahuan tidak hanya terbatas pada pengamatan saja, sebab pengetahuan itu muncul dari alam bukan benda. Ajaran pemikiran di atas telah menjadikan Plato ahli pikir pertama yang menerima paham adanya alam yang bukan benda. Pembahasan filsafat Plato mencapai klimaksnya kita Plato berbicara tentang negara, latar belakang dari uraiannya ini dilatar belakangi oleh pengalaman pahitnya ketika mengamati politik yang dijalankan di Athena. Seluruh aktivitas Plato hanya tertumpu pada perbaikan keadaan negara dari yang dirasakan buruk. Baik pendirian akademia di Athena maupun intervensinya dalam dinamika perpolitikan di ~59
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Sisilia, bertujuan untuk memasukkan ide negaranya (Bertens, 1979: 114). Menurut Plato, negara itu muncul disebabkan oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat semata. Lebih lanjut ditegaskan, bahwa kebutuhan dan keinginan manusia saling berbeda dan saling bertentangan antara satu dengan lainnya, maka mau tidak mau mereka harus bekerjasama agar kebutuhan yang saling berbeda-beda itu bisa diwujudkan. Dalam kerjasama tersebut, masing-masing orang akan mempunyai tugas dan fungsinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Kalau yang demikian berjalan baik diperkirakan semua kepentingan dan kebutuhan tiap-tiap orang akan bisa terpenuhi secara lebih memuaskan. Adanya kebersamaan dan kesatuan inilah nantinya yang akan membentuk masyarakat atau negara. Masyarakat atau negara muncul karena keinginan dan kesepakatan manusia untuk mempersatukan diri untuk mencapai tujuan bersama (Haricahyono, 1991: 45). Tujuan hidup manusia yang paling utama adalah eudaimonia, “well-being” atau hidup yang lebih baik. Hidup yang baik hanya dapat dicapai dalam kehidupan polis (negara kota). Plato tetap memihak pada cita-cita Yunani paling klasik, bahwa hidup manusia sebagai masyarakat adalah hidup dalam polis. Ia menolak pendapat modern yang menyeleweng dari tradisi Yunani, suatu argumentasi yang timbul dari kaum Sofis yang beranggapan bahwa negara terbentuk karena nomos (adat kebiasaan) dan bukan karena physis (kodrat). Plato bersama muridnya Aristoteles tetap berpegang teguh pada keyakinan dan argumentasinya, bahwa manusia secara
60 ~
Ernita Dewi, M.Hum alamiah adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan kehidupan bersama dalam suatu Negara (Bertens, 1975: 115). Kebaikan tertinggi didapatkan oleh manusia dalam negara ideal seperti yang dicontohkan Plato dalam bukunya Politeia. Konsepsi Plato tentang negara ideal merupakan implikasi filosofis dari doktrinnya tentang idea. Tujuan hidup Plato dapat dilihat dari obsesinya tentang bentuk negara yang teratur yang di dalamnya terdapat masyarakat yang berpendidikan. Pandangan negara ideal ini dicetuskan oleh Plato setelah melihat sistem pemerintahan Athena yang tidak stabil, yakni bergantinya sistem aristokrasi, oligarkhi, dan demokrasi yang cenderung mengabaikan kebahagiaan bagi masyarakat. Plato lebih senang mendasarkan pemikiran negaranya berdasarkan sistem pemerintahan pada idea yang tertinggi yaitu idea kebaikan. Kemauan untuk melaksanakan idea kebaikan tersebut tergantung pada akal budi. Tujuan pemerintahan yang benar ialah mendidik warga negara mempunyai budi yang hanya bersumber dari pengetahuan, dengan demikian, ilmu harus berkuasa dalam suatu negara. Itulah sebabnya Plato mengatakan bahwa “kesengsaraan dunia tidak akan berakhir sebelum filosof menjadi raja atau raja menjadi filosof”. Rakyat kata Plato tidak dapat mengharapkan negara menjadi baik apabila orang-orang yang berkuasa tidak berpendidikan dan berperilaku yang baik (Azhar, 1997: 24). Kepemimpinan yang dikomandoi oleh orang yang bodoh akan mengantarkan masyarakat pada kesengsaraan dan ketidak-adilan. Maka yang berhak menjadi pemimpin hanya-lah orang-orang yang berilmu, adil, dan bijaksana seperti filosof, supaya rakyat mendapat pelindung yang ~61
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi mampu membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu keadilan menjadi sumber utama demi pencapaian hidup yang sempurna menjadi tema paling spesifik dalam pembahasan kenegaraan Plato, sebagaimana uraian yang terdapat dalam bukunya “Republik”. Kisah yang dituliskan Plato dalam bukunya tersebut adalah dialog yang panjang antara Socrates dan Thrasymachus tentang keadilan. Negara bagi Plato di-ciptakan untuk kebaikan rakyatnya, maka keadilan sebagai kebaikan tertinggi harus diterapkan. Pelaksanaan keadilan adalah perintah yang harus dilaksanakan oleh penguasa untuk mengantarkan rakyatnya kepada kebahagiaan. Penting-nya keadilan ditegaskan secara radikal oleh Plato, dengan mengatakan bahwa adanya negara mencerminkan awal lahirnya keadilan tanpa keadilan suatu negara tidak akan pernah merasakan kesenangan yang hakiki. Keadilan hanya mampu dipraktikkan oleh orang yang bijaksana, mampu melakukan semua pekerjaan dengan baik, dan sanggup menyelesaikan semua permasalahan yang di bebankan kepadanya, sebaliknya ketidakadilan akan terlihat dari sifat orang yang ceroboh, tidak mampu melaksanakan tugas dengan memuaskan (Plato, 1935: 26,31) Plato menjelaskan bahwa keadilan hanya mampu diterapkan dalam suatu negara ideal dengan membagi struktur masyarakat menjadi tiga kelompok, yaitu: pertama, kelompok filosof yang mendapat amanah untuk memerintah, karena filosof mempunyai pemahaman “yang baik” sehingga akan lebih arif dan bijaksana dalam memimpin negara. Kedua, golongan kesatria atau prajurit, bertugas menjaga keamanan negara dan mengawasi warga negara agar selalu tunduk pada 62 ~
Ernita Dewi, M.Hum pemimpinnya. Para prajurit harus tinggal di asrama-asrama dan selalu siap siaga menjalankan perintah negara. Ketiga, golongan rakyat biasa yaitu para petani dan pekerja, yang menopang hidup pada ekonomi rakyat (Azhar, 1997: 25). Andaikata tiap-tiap golongan ini bisa menjalankan fungsi dan wewenangnya secara teratur dan seimbang menurut tempatnya, maka keadilan dengan sendirinya akan tercipta (Hujbers, 1995: 23). Menurut Plato negara melambangkan keadaan di alam semesta yang memiliki keteraturan dan keseimbangan (Zainuddin, 1992: 187). Kemudian Plato mengkonotasikan antara negara dengan manusia yang mempunyai tiga kemampuan yaitu : kehendak, akal pikiran, dan perasaan. Ketiga hal tersebut disamakan dengan struktur sosial di atas (golongan raja-filosof, prajurit, dan rakyat biasa) (Kusnardi, 1994: 16). Pentingnya negara ideal merupakan salah satu warisan filsafat Plato yang mendambakan tegaknya hukum dan keadilan dalam suatu negara. Keadilan menurut Plato adalah keharmonisan dan keselarasan dengan sejumlah kelompok sosial, keadilan juga berarti memberikan kepada setiap orang akan haknya dan membiarkan setiap warga negara melakukan tugasnya secara proporsional sesuai dengan sifat alamiahnya. Para pembuat aturan negara harus melihat situasi orang yang diberikan tugas negara sesuai dengan kehidupannya. Pemikiran yang melandasi konsep keadilan itu berpijak pada asumsi bahwa seorang individu bukanlah sepotong jiwa yang terisolasi dan bebas melakukan apa saja yang ia sukai, tetapi merupakan seorang anggota yang terikat dalam tatanan universal yang harus menundukkan ~63
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi keinginan dan kesukaan pribadinya pada kesatuan organik secara kolektif (Muslehuddin, 1991: 34-35). Bertitik tolak pada keharmonisan dan keadilan yang dimiliki manusia, Plato mencoba membagi jiwa kepada tiga fungsi yaitu ; keinginan (epithynia), energik (thymos), dan rasional (logos). Bila keinginan dan energik berada di bawah komando rasio, maka akan timbul manusia yang harmonis dan adil. Berdasarkan analogi pembagian jiwa ini, Plato menganggap negara sebagai manusia besar, sebagai organisme yang terdiri dari tiga bagian atau golongan, yang identik dengan pembagian jiwa manusia. Dalam konteks negara, epithynia diistilahkan oleh Plato sebagai petani, thymos sebagai prajurit, dan logos sebagai pemegang pucuk pimpinan kekuasaan. Sebenarnya Plato tidak membicarakan tentang golongan produktif, karena Plato sudah sangat puas bila masing-masing golongan yang dibentuknya mampu mempraktikkan keutamaan pengendalian diri, dan menanggung kesejahteraan para prajurit serta pemimpin. Konsepsi ini benar-benar merefleksikan Plato sebagai seorang aristokrat dan bukan rakyat biasa. Fokus perhatian Plato tertumpu pada golongan kedua sebab dari golongan inilah pemimpin harus direkrut. Golongan ini harus hidup dengan cara komunistis, tanpa uang atau milik pribadi lainnya, tanpa isteri dan anakanak. Prajurit harus mengerahkan segala perhatiannya kepada pertahanan negara, maka adanya hak milik pribadi dan keluarga sendiri bisa menyebabkan konsentrasi prajurit untuk mempertahankan negara akan terganggu. Siang malam seorang prajurit harus tinggal di asrama dan mendapat pendidikan yang ketat. Dalam pikiran prajurit harus 64 ~
Ernita Dewi, M.Hum ditanamkan pentingnya keberanian sebagai cita-cita tertinggi (Weij, 1988: 17). Kandidat seorang pemimpin harus dididik dan dibesarkan dalam panti asuhan negara, untuk dapat terpilih mencapai jabatan yang terbaik dalam negara. Setiap anak diuji bakat dan kemampuannya dalam sistem yang telah ditetapkan, yang kurang berani dan kurang energik serta tidak memiliki wawasan yang luas, dia akan di tempatkan dalam golongan produktif (menjadi petani atau pedagang). Bila lebih gesit dan berani ditempatkan dalam golongan prajurit, sedangkan yang cerdas akan mendapatkan pendidikan khusus filosofis di bidang ajaran idea, selama lima tahun, dari usia tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun. Sesudah lima belas tahun mereka harus melakukan latihan lapangan dengan mengemban tugas pemerintahan dan baru pada usia 50 tahun diizinkan tampil sebagai pemimpin. Plato pernah menulis kalimat termasyhur untuk hal ini “kesengsaraan negaranegara bahkan umat manusia tidak akan berakhir… hingga para filsuf menjadi penguasa di dunia ini atau penguasa yang sekarang menjabat sebagai raja atau pemerintah mempelajari filsafat dengan sungguh-sungguh sehingga kekuasaan politik dan filsafat terdapat di tangannya”. Di tangan kepemimpinan seperti itulah keadilan dan kebijaksanaan akan terealisasikan (Weij, 1988: !8). Pemimpin yang berjiwa filsuf akan mampu menegakkan keadilan dan kebenaran dengan kemampuan rasionya, dan akan mampu memimpin dengan kebijaksanaan karena sudah dapat mengontrol emosi tidak sehatnya. Mengenai bentuk negara, Plato mencoba mengemukakan bentuk-bentuk negara yang mungkin timbul sesuai ~65
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi dengan sifat-sifat tertentu dari jiwa manusia. Bentuk negara yang paling sesuai dan menempati tingkat terbaik pertama adalah negara dengan sistem aristokrasi (kekuasaan berada di tangan beberapa orang penting saja), di sinilah para cendekiawan ditempatkan sesuai dengan keahliannya. Namun kemerosotan mungkin saja terjadi karena suatu bentuk negara tidak ada yang kekal dalam pandangan Plato, selalu berubah sesuai dengan perkembangan keinginan manusia. Keruntuhan sistem aristokrasi melahirkan sistem timokrasi, suatu bentuk pemerintahan yang ingin mencapai kemansyhuran dan kehormatan semata, tanpa pernah memperdulikan masalah keadilan. Timokrasi pada akhirnya akan memunculkan oligarkhi yang menyerahkan kekuasaan kepada golongan hartawan. Semua kekayaan negara menjadi milik hartawan yang kemudian memunculkan perlawanan dari orang-orang miskin terhadap hartawan maka lahirlah demokrasi, sebagai jawaban terbaik untuk mendamaikan kelompok yang bertikai. Demokrasi ternyata tidak mampu menjadi sistem terbaik karena demokrasipun terperangkap dalam kesalahan memaknai kemerdekaan yang berakhir pada kekacauan atau anarkhi. Sistem pemerintahan anarkhi membutuhkan seorang pemimpin yang keras, diktator, dan mampu mengatasi krisis kemasyarakatan. Maka datanglah masa tirani, yaitu bentuk pemerintahan yang paling jauh dari cita-cita keadilan, sebab seorang tiran selalu mengorbankan rakyat untuk kepentingan pribadinya. Dari dialektik bentuk negara ini, Plato ingin menegaskan bahwa aristokrasi merupakan bentuk pemerinta-
66 ~
Ernita Dewi, M.Hum han terbaik yang mampu menerapkan keadilan secara menyeluruh ( Schmid, 1988: 16-17) Plato memandang aristokrasi merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan yang ideal, hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang dirinya sebagai seorang bangsawan sekaligus seorang aristokrat sejati, ditambah lagi dengan kebenciannya terhadap praktek demokrasi yang dijalankan di Athena, yang hanya menguntungkan kelompok penguasa tanpa memperdulikan kepentingan orang banyak sehingga demokrasi menjadi sistem politik yang “berbahaya” dan tidak praktis bagi Plato. Padahal aristokrasi juga memiliki banyak kelemahan, apalagi akan sangat sulit mencari seorang pemimpin seperti filosof yang memiliki kelebihan, keutamaan, visi yang jauh ke depan, dan ilmu pengetahuan yang sempurna. Faktor inilah yang memunculkan image bahwa bentuk negara dalam persepsi Plato adalah sesuatu yang utopis dan sangat tidak mungkin untuk diwujudkan (Azhar, 1997: 26) Satu hal yang paling ironis dari pemikiran politik Plato adalah penghapusan segala bentuk hak-milik atas nama pribadi. Baik itu harta kekayaan maupun keluarga. Apalagi untuk penjaga dan pembantu, keduanya tidak boleh berambisi untuk memiliki uang, dan harus menerima hidup bersama dalam suatu komunitas dan anggaran belanja tahunan yang telah ditentukan sesuai dengan kebutuhan. Tidak ada harta dan tidak ada keluarga, supaya tidak mengganggu tugas negara yang diembannya. Bagi pemikir-pemikir politik sesudah Plato, konsep ini menimbulkan kontradiksi yang berkepanjangan. Plato seakan tidak menyadari, bahwa dalam ~67
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi struktur negara yang ditawarkannya mengandung pelecehan dan penindasan terhadap hak-hak asasi manusia secara alamiah. Tidak mungkin seseorang dapat hidup tanpa memikirkan kebahagiaan pribadinya sendiri. Namun Plato tetap berpegang teguh bahwa susunan negara yang diusulkannya dalam Politeia, merupakan bentuk negara paling ideal, seperti yang dikatakannya, ”suatu contoh yang terdapat di langit, supaya setiap orang dapat melihat dan membentuknya dalam hatinya sendiri”. Pemikiran Plato ini sangat sulit diwujudkan mungkin Plato sendiri juga sadar, bahwa masih ada banyak persoalan yang harus diperhitungkan, namun ia mencoba memberikan suatu alternatif yang terbaik bagi negara dengan tidak mengabaikan faktor-faktor lainnya (Bertens, 1979: 119) Penegasan yang sangat konkrit diberikan oleh Plato bahwa pemimpin suatu masyarakat atau pemerintahan haruslah orang-orang yang berilmu dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Kriteria pemimpin ideal bagi Plato harus datang dari kalangan filsuf, mereka telah dididik dan dinyatakan secara intelektual mampu menjadi pemimpin. Sebab jika pemimpin adalah orang yang bodoh lalu, dengan cara apa pemimpin tersebut akan mengajak rakyatnya menuju pada kehidupan yang lebih baik. 2. Kepemimpinan ideal Menurut Aristoteles Menelusuri perkembangan ilmu politik, pemerintahan dan kepemimpinan, seseorang biasanya menoleh kepada pemikiran Plato dan Aristoteles. Plato sering disebut sebagai 68 ~
Ernita Dewi, M.Hum bapak filsafat politik, sementara Aristoteles di tempatkan sebagai bapak ilmu politik, paling tidak begitulah diskursus yang berkembang di negara-negara Barat (Haricahyono, 1991: 1). Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stageira, tepatnya di Semenanjung Chalcidese wilayah Mecedenia se-belah Utara Yunani. Walaupun orang tuanya bertempat tinggal di Mecedonia, namun keluarga Aristoteles berasal dari Yunani. Aristoteles dilahirkan dari keluarga menengah, dan bukan seperti halnya Plato yang lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Nichomackus, sahabat dan dokter keluarga Amyntas II, Raja Mecedonia (Rapar, 1993: 1). Pada usia 18 tahun Aristoteles masuk ke Akademia Plato, ia belajar dan tinggal di Akademia tersebut sampai Plato meninggal dunia pada tahun 347 SM (Siswanto, 1998: 7). Di Akademia Plato, Aristoteles mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu Politik, Filsafat, Matematika, dan Etika. Aristoteles tergolong murid yang senang membaca dan memiliki kegemaran mengumpulkan buku-buku, sehingga dalam waktu relatif singkat rumahnya telah menjadi perpustakaan, dan tidak mengherankan apabila Plato, sang guru yang lebih tua menyebut Aristoteles sebagai “rumah si tukang baca”. Aristoteles adalah salah seorang murid di antara sekian banyak murid Plato, namun Aristoteles lebih cepat dikenal karena ia tidak sekedar bernaung di bawah keagungan dan kemasyhuran sang guru, Aristoteles lebih mengembangkan cara berpikirnya jauh melampaui apa yang didapatkan dari Plato (Rapar, 1993: 3). Tepat pada 342 SM, Aristoteles diundang oleh raja Philippos dari Macedonia untuk mendidik putra mahkota, ~69
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Alexander yang berusia 13 tahun. Kesempatan dan kehormatan ini tidak disia-siakan oleh Aristoteles, ia memenuhi undangan tersebut dan segera menuju Mecedonia. Alexander diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya pada usia 19 tahun. Bersamaan dengan itu pula, tugas Aristoteles sebagai guru Alexander pun berakhir di istana Pella tersebut. Akhirnya Aristoteles kembali ke kota asalnya, Stageira untuk kemudian menulis sebuah karangan yang diperuntukkan kepada Alexander perihal Monarchi dan tentang Pendirian Perantauan. Pemikiran Aristoteles yang sudah demikian berkembang, menyebabkan ia tidak lagi kembali ke Akademia, namun ia mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Lykeion. Setelah kematian Alexander Agung pada 323 SM, terjadilah gerakan anti Mecedonia yang bertujuan melepaskan Athena dari kerajaan Mecedonia. Dalam ketakutan yang amat sangat karena dianggap sebagai aktor intelektual di balik pergerakan tersebut, Aristoteles segera melarikan diri dari Athena. Peristiwa ini mendorong Aristoteles menyerahkan pimpinan Lykeion ke tangan muridnya, Theophrastos, dan Aristoteles melarikan diri ke Khalkis, tempat asal ibunya. Menurut rumor Yunani kuno, Aristoteles melarikan diri dengan alasan “ia tidak akan membiarkan Athena berdosa terhadap filsafat untuk kedua kali” (sebagaimana tragedi menimpa Socrates). Pada tahun berikutnya, tepatnya pada 322 SM, ia jatuh sakit dan meninggal dunia di tempat pelariannya dalam usia 62 tahun (Bertens, 1979: 126-127). Dalam kesempatan lain, Aristoteles juga disebut sebagai bapak empirisme dalam bidang politik, sebab 70 ~
Ernita Dewi, M.Hum klasifikasi negara yang diformulasikannya disandarkan atas pengumpulan fakta yang ada tentang negara. Dalam pandangan Aristoteles, ilmu politik dikatakan sebagai ilmu pengetahuan praktis yang dibedakan dari ilmu teoritis dan produktif. Ketika penyusunan buku Politika berlangsung, Aristoteles mengadakan penyelidikan terlebih dahulu terhadap 158 konstitusi-konstitusi yang berlaku dalam polispolis (negara kota) di Yunani, dengan memakai metode induktif (empiris). Politika adalah sebuah karya Aristoteles yang memperbincangkan ilmu politik secara terperinci dan lebih sistematis bila dibandingkan dengan buku Republik karya Plato (Azhar,1997: 26-27) Mendiskusikan tentang adanya negara, Aristoteles sependapat dengan Socrates dan Plato untuk menolak pendirian kaum sofis, bahwa negara didasarkan pada adat kebiasaan, bukan suatu kondrat alamiah yang telah dimiliki manusia sebagai makhluk sosial sebagaimana pemahaman politik Aristoteles yang mengungkapkan, bahwa manusia secara natural adalah Zoon Politikon, makhluk yang hidup dalam polis, demikian pula dengan negara, terbentuk secara alamiah (Bertens,1979: 163). Manusia tidak dapat hidup sendiri, terasing tanpa interaksi dengan orang lain. Manusia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan dan mempersiapkan semua kebutuhan hidupnya sendiri, semua permasalahan yang dihadapi sudah tentu membutuhkan intervensi orang lain, agar masalah yang dihadapi tersebut dapat terselesaikan. Itulah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh manusia manapun. Ikrar dari keinginan untuk bersatu dalam wadah yang lebih besar, diwujudkan dengan ~71
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi membentuk negara. Aristoteles secara tegas menjelaskan, bahwa eksistensi suatu negara diperuntukkan demi pemenuhan hasrat moral dan intelektual manusia. Negara ditegakkan untuk menciptakan kehidupan yang baik bukan demi kehidupan semata. Negara yang merupakan kesatuan terbesar dari kumpulan keluarga dan sekelompok masyarakat (desa) diharapkan mampu mencukupi kebutuhan hidup dengan sempurna dan juga memberikan kebahagiaan dan kemuliaan dalam hidup (Stumpf, 1975: 109) Sebagai organisasi terbesar, negara mempunyai misi dan tujuan mulia, yaitu kebaikan yang tertinggi (the highest) bagi manusia dan bukan sekedar kebaikan semata. Hal ini mendorong negara untuk senantiasa memberi jaminan kebaikan, ketentraman, serta dapat membentengi warganya dari ancaman dan serangan, baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar sebagai akibat ketidakadilan. Sehingga terwujud kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya, karena hanya di dalam kesejahteraan bersama itu (kesejahteraan umum), kesejahteraan individual dapat diperoleh, yang pada gilirannya tercipta kenikmatan hidup bagi seluruh rakyatnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan demikian jelas, bahwa tujuan utama negara ialah menjamin terciptanya kebahagiaan lahir batin dan manusia merupakan objek kesejahteraan dari tujuan negara tersebut. Dalam kehidupan bernegara, penguasa tidak boleh memperhatikan individu atau sekelompok masyarakat tertentu, akan tetapi penguasa negara harus menunjukkan perhatiannya kepada seluruh warga negara baik terhadap elit politik pemerintah, golongan
72 ~
Ernita Dewi, M.Hum menengah maupun terhadap masyarakat di tingkat akar rumput. Menurut Aristoteles negara ideal ialah negara yang sanggup memanusiakan manusia mencapai tingkat kebaikan tertinggi yang diikuti oleh moralitas terpuji yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Aristoteles menambahkan, bahwa negara tidak semata-mata dijadikan tempat menetap dan mempertemukan manusia dengan sesama untuk menjalin persahabatan, akan tetapi negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi rakyatnya, menegakkan supremasi hukum yang diimbangi dengan nilai-nilai keadilan, dan memberikan tempat yang sama di mata hukum terhadap warga negara serta terjamin hak dan kewajibannya. Namun Aristoteles masih meragukan, bahwa semua negara mampu memberikan hal terbaik untuk rakyatnya. Kegagalan, ketidaksanggupan seorang penguasa sering dijadikan alasan utama tidak terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commune atau common welfare). Aristoteles berasumsi bahwa kegagalan dan ketidaksanggupan seorang pemimpin membawa rakyatnya ke arah kebaikan disebabkan oleh penyimpangan dan ketidakcocokan sistem negara yang diterapkan. Oleh karena itu Aristoteles menawarkan tiga bentuk pemerintahan yang baik dan buruk dalam suatu komparasi yaitu; Monarkhi (kekuasaan yang berada di tangan satu orang), Aristokrasi (kekuasaan yang di pegang oleh sekelompok orang atau kaum bangsawan), dan politeia (kekuasaan yang berada dalam genggaman banyak orang). Sedangkan bentuk negara tidak baik ialah: Tirani sebagai penyimpangan Monarkhi, dimana kekuasaan tertinggi ~73
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi yang berada di tangan satu orang digunakan untuk kepentingan penguasa secara absolut. Oligarkhi bentuk penyimpangan dari Aristokrasi, yaitu menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memperkaya diri, meningkatkan popularitas dan melanggengkan kekuasaan dengan rakyat sebagai objek pemerasan. Demokrasi adalah bentuk penyimpangan dari politeia yaitu, bentuk kekuasaan yang berada di tangan banyak orang terutama rakyat miskin, ditakutkan kekuasaan akan dipergunakan untuk kepentingan rakyat miskin tersebut karena kemiskinannya. Berpijak pada bentuk negara dalam komparasi sebagaimana tersebut di atas, maka bentuk negara ideal menurut Aristoteles adalah negara berbentuk Monarkhi, yaitu kekuasaan berada di tangan satu orang filsuf-raja, sebab kepemimpinan merekalah yang mampu mengantarkan negara kepada kesempurnaan. Ideal dalam persepsi Aristoteles bersifat realistis bukan hanya berada di alam ide atau gagasan seperti yang dikemukakan oleh Plato. Bentuk lain dari menifestasi negara ideal adalah tersingkapnya keadilan dan kebenaran di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Keadilan yang diinginkan Aristotels adalah keadilan yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, dalam arti memberikan hak yang sama atas pembagian harta benda yang ada di dunia secara merata dan pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Keadilan juga dipahami Aristoteles sebagai bentuk ketaatan terhadap undang-undang, sebab segala sesuatu yang ditetapkan undang-undang adalah adil dan sesuai dengan hukum, sedangkan ketidakadilan di-
74 ~
Ernita Dewi, M.Hum tandai dengan pelanggaran terhadap undang-undang itu sendiri. Aristoteles membedakan dua bentuk keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan yang pertama, ditentukan oleh pembuat undang-undang, yang distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggotaanggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional, sedangkan keadilan yang kedua menjamin, mengawasi, dan memelihara distribusi dan melawan serangan-serangan illegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabliskan kembali status Quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi miliknya yang hilang. Dalam persoalan harta, secara pribadi Aristoteles sangat mengakui adanya kepemilikan harta pribadi masingmasing individu tanpa adanya perampasan, penghapusan hak milik oleh negara. Sebab demi kebahagiaan rakyat, maka negara harus memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk menikmati kesenangan hidup salah satunya melalui kepemilikan harta pribadi. Pelarangan terhadap kepemilikan harta pribadi sama artinya mengangkangi janji negara untuk memberikan kebebasan kepada rakyatnya. Aristoteles mengecam sikap Sokrates dan Plato yang merumuskan undangundang penghapusan milik pribadi. Dalam pandangan Aristoteles, tindakan Plato dan Sokrates tersebut merupakan suatu kekeliruan besar karena telah mengesampingkan hak rakyat demi tujuan negara semata. (Stumpf, 1975: 109) Sebagai organisasi terbesar, negara mempunyai misi dan tujuan mulia, yaitu kebaikan yang tertinggi (the highest) ~75
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi bagi manusia dan bukan sekedar kebaikan semata. Hal ini mendorong negara untuk senantiasa memberi jaminan kebaikan, ketentraman, serta dapat membentengi warganya dari ancaman dan serangan, baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar sebagai akibat ketidakadilan, sehingga terwujud kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya, karena hanya di dalam kesejahteraan bersama itu (kesejahteraan umum), ke-sejahteraan individual dapat diperoleh, yang pada gilirannya tercipta kenikmatan hidup bagi seluruh rakyatnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan demikian jelas, bahwa tujuan utama negara ialah menjamin terciptanya kebahagiaan lahir dan batin dan manusia merupakan objek kesejahteraan dari tujuan negara tersebut. Dalam kehidupan bernegara, penguasa tidak boleh memperhatikan individu atau sekelompok masyarakat tertentu, akan tetapi penguasa negara harus menunjukkan perhatiannya kepada seluruh warga negara baik terhadap elit politik pemerintah, golongan menengah maupun terhadap masyarakat di tingkat akar rumput.
76 ~
Ernita Dewi, M.Hum
BAB IV CATATAN PENTING FILSUF ISLAM UNTUK CALON PEMIMPIN
A. Versi al-Farabi Berbeda dengan kebiasaan filsuf muslim lainnya, alFarabi tidak mempublikasikan secara transparan tentang riwayat hidupnya, dan tidak seorangpun di antara pengikutnya yang menulis tentang silsilah kehidupannya seperti yang dilakukan oleh al Juzjani untuk gurunya Ibnu Sina. Biografi yang agak panjang tentang dirinya hanya didapatkan dalam Wafayat al-A’yan-nya Ibn Khilikan, akan tetapi terdapat banyak kelemahan dan diragukan keasliannya (Syarif, 1996: 56). Publik secara umum mengenal al-Farabi dengan nama lengkap Abu Nashar bin Mohammad bin Mohammad bin Tarkhan bin Unzalagh. Sebutan al Farabi dinisbahkan kepadanya sesuai dengan nama kota tempat tinggal semasa ia masih kecil. Dalam teks-teks Latin abad pertenggakan ia dikenal dengan nama Alfarabius atau Avennasar (Arsyad, 1995: 98). Al-Farabi dilahirkan di kota kecil bernama Wasij, wilayah Farab, termasuk wilayah Turkistan, pada tahun 257 H atau 870 M, dari ayah berkebangsaan Persia dan ibu berkebangsaan Turki. Al-Farabi meninggal dunia pada tahun ~77
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi 339 H bertepatan dengan tahun 950 M (Sjadzali, 1990: 49). Kepribadian dan kecerdasan al-Farabi mulai terlihat semenjak ia kecil. Dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Al Farabi menguasai bahasa Arab, Iran, Turkistan dan Kurdistan dengan sangat fasih (Mustafa, 1997: 126). Ibn Khilikan mencatat bahwa al-Farabi mampu berbicara dalam tujuh puluh bahasa (Sharif, 1995: 450). Mulamula ia belajar di Farab dan Bukhara, kemudian tinggal di Baghdad selama 42 tahun (Ahmad, 1984: 230) Dia tidak saja menguasai dengan baik ilmu agama dan linguistik, tetapi juga mendalami ilmu hukum, hadits dan tafsir. Al-Farabi juga belajar Matematika, Filsafat bahkan Ilmu Kedokteran (Sharif, 1995: 450). Selama ia tinggal di Baghdad yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan, al-Farabi tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia belajar pada Abu Bisyir Matta bin Yunus seorang ilmuan Kristen Nastura terkenal dan banyak menterjemahkan karya tulis Plato serta pemikir-pemikir Yunani lainnya. Belum puas dengan apa yang didapatkan dari gurunya tersebut, al-Farabi kembali belajar dengan ilmuan Kristen lainnya di Harran, Yuhana bin Heilan, pada zaman Khalifah Abbasiyah Muqtadir (Syadzali,1990: 49). Dalam waktu yang relatif singkat, al-Farabi meninggalkan Harran dan kembali ke kota Baghdad untuk memperdalam ilmu falsafah. Di sini Farabi menghabiskan waktu lebih kurang tiga puluh tahun untuk menulis dan membuat ulasan terhadap bukubuku filsafat Yunani. Karena kepandaian dalam menginterpretasikan pemikiran Plato dan Aristoteles, ia dijuluki Magister Secundus (Guru Kedua) yang menghidupkan kembali 78 ~
Ernita Dewi, M.Hum ajaran Aristoteles yang rasional sekaligus menjadi tokoh utama dalam bidang logika (Rakhmat, 1996: 15) Semasa hidupnya al-Farabi menghabiskan waktunya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sehingga ia tidak memiliki kesempatan mengenal dengan dekat para penguasa Abbasiyah ketika itu. Al-Farabi seorang penulis yang sangat produktif, dalam daftar yang disusun Kifti dan Ibn Abi Saibah, karangannya mencakup 17 komentar, 15 risalah dan 600 ratus buku dalam berbagai disiplin ilmu (Ahmad, 1994: 231). Dalam bidang filsafat, etika dan kemasyarakatan terdapat delapan belas buku yang telah ditulisnya, tiga di antaranya tentang teori politik, yaitu : 1. Ara-Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (Pandangan-pandangan Para Penghuni Negara yang Utama) 2. Tahshil al-Sa’adah ( Jalan mencapai kebahagiaan) ; dan 3. Al-siyasah al Madaniah (Politik Kenegaraan) (Sjazdali, 1990; 49) Al-Farabi hidup pada zaman kekuasaan Abbasiyah diguncang oleh berbagai gejolak, kerusuhan dan pertentangan. Farabi lahir pada masa pemerintahan Khalifah Mu’tamid dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Muti’, suatu periode yang paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Ketika itu timbul berbagai macam rongrongan bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan berbagai motif: agama, suku dan kebendaan. Banyak anak-anak raja terdahulu dan penguasa lama berusaha mengambil alih kembali wilayah, dan harta kekayaan yang mereka klaim sebagai harta nenek moyang mereka, khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba melakukan teror terhadap ~79
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi khalifah yang sah dengan bantuan kelompok Syi’ah keturunan Ali bin Abi Thalib, yang beranggapan bahwa pucuk pimpinan pemerintahan Islam hanya berhak di pegang oleh keturunan Abbas, paman Nabi SAW. Situasi politik menjadi lebih kalut lagi dengan menghilangnya Imam Muhammad Mahdi (Imam XII dari Syi’ah Imamiyah), pada usia lima tahun. Mungkin karena situasi politik yang demikian, dan juga karena perkenalannya dengan karya tulis filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles, membuat Farabi lebih senang berkhalwat, menyendiri dan merenung, merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk negara yang ideal. Kenyataan bahwa Farabi dalam hidupnya tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, memberikan keuntungan dan kerugian bagi dirinya. Keuntungan karena ia tidak dekat dengan penguasa maka ia memiliki kebebasan dalam berpikir tanpa harus berusaha menyesuaikan gagasannya dengan pola politik yang ada. Kerugiannya dengan tidak menduduki suatu jabatan penting dalam pemerintahan, Farabi tidak punya peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan, dan juga untuk menguji kebenaran teorinya dengan kenyataan politik yang terjadi di tengah kehidupan bernegara pada zamannya (Sjadzali, 1990: 50). Pemikiran politik Farabi dapat dikatakan tidak berdasarkan fakta melainkan objektif sesuai dengan idealismenya. Filsafat kenabian yang dikemukakan erat hubungannya dengan teori politiknya. Dalam pemikiran Farabi, politik menduduki tempat yang terpenting karena semua bagian filsafatnya mempunyai tujuan politik, namun politik bukanlah 80 ~
Ernita Dewi, M.Hum tujuan, tetapi sebagai sarana untuk mendapatkan tujuan akhir manusia, yaitu kebahagiaan (Daudy, 1985: 49) Oleh karena itu pendirian politik Farabi didasarkan atas konsepsi usaha bersama dari manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dalam masyarakat. Untuk itu masingmasing pribadi harus menyadari kekurangannya dengan saling bekerjasama untuk mencapai kesempurnaan (Ahmad, 1968, 38). Sejalan dengan Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi Rabi’, Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan alamiah untuk bermasyarakat karena keterbatasannya untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain (Azhar, 1977: 77). Adanya kerjasama akan menghasilkan tujuan untuk tercapainya kebahagiaan material dan spirituil dunia dan akhirat, itulah harapan yang dimiliki oleh setiap manusia. Hasrat untuk bergaul menjadi pendorong utama adanya masyarakat yang menjadi bibit awal lahirnya negara. Negara yang didasarkan atas persetujuan bersama dari anggota masyarakat yang berbeda latar belakang intelektual, berjanji untuk saling memberi demi tercapainya masyarakat adil dan makmur penuh dengan kebahagiaan. Pendapat Farabi ini dikenal dengan Theory of the Compact for Mutual Renunciation of Rights, yang berarti semua warga negara secara ikhlas dan sukarela bersedia untuk tidak mendahulukan hak-hak pribadi dan menjunjung tinggi cita-cita bersama (Ahmad,1968:51) Kebahagiaan hidup yang diidamkan dalam suatu negara tidak akan pernah tercapai apabila masing-masing individu tidak mau menyamakan persepsi dan visi bersama, ~81
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi bahkan cenderung untuk memaksakan kehendak, untuk memperoleh apa yang diinginkan oleh segelintir orang dengan mengorbankan masyarakat banyak. Perasaan senasib dan sepenanggungan harus ditanamkan dalam diri masing-masing individu, sehingga ia mampu hidup dengan selalu melihat ke arah penderitaan orang lain. Keinginan seperti ini muncul dalam pemahaman hakekat negara bagi Farabi, yang mengatakan bahwa negara ibarat satu tubuh yang hidup. Sebagaimana tubuh manusia (The body politics as the body physical) yang menyusun suatu kesatuan dan segenap bagiannya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Jika tubuh mempunyai jantung (heart) sebagai organ tertinggi dalam tubuh manusia yang mengatur jalannya darah ke seluruh selsel, begitu juga dengan negara yang membutuhkan seorang kepala negara yang dinamakan “Rais Awwal” (Supreme Head), yang memiliki wewenang untuk mengatur kekuasaannya dan membagikan kepada seluruh masyarakat sampai ke daerah terpencil sekalipun. Di sinilah pentingnya memilih seorang penguasa yang mampu melaksanakan kewajibannya secara adil dan bijaksana. Kebersamaan tersebut akhirnya membuahkan perasaan yang sama antara penguasa dan rakyat, bila pemimpin merasakan kenikmatan maka rakyatnyapun harus merasakan hal yang sama, sebaliknya bila pemimpin menderita maka seyogyanyalah rakyat ikut merasakan. Inilah interpretasi dari satu tubuh, andaikan kepala yang sakit anggota tubuh lainnya pun dengan sendirinya merasakan hal yang sama. Deskripsi yang diberikan oleh Farabi tentang kehidupan bersama ini sangat identik dengan konsep hidup dalam ajaran Islam yang 82 ~
Ernita Dewi, M.Hum dikenal dengan istilah “persaudaraan Islam” (Islamic Brotherhood), yang pertama sekali dicetuskan pada saat Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah. Kaum Ashar (penduduk asli Madinah) menyambut kaum Muhajirin (penduduk Makkah) dengan suka cita dan penuh keakraban, memberi bantuan dalam bentuk apapun dari harta benda sampai dengan tenaga tanpa mengharapkan pamrih. Sifat ini dinamakan iestar yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya inspirasi Farabi untuk mengemukakan ide bernegara atas dasar” berjanji meniadakan hak masing-masing” (Ahmad. 1969: 56) Meniadakan hak masing-masing bukanlah berarti seorang individu tidak memiliki wewenang penuh terhadap harta benda yang menjadi miliknya, tetapi sikap sosial dari seseorang yang perlu dipertajam, sehingga kehidupan bersama dapat diterjemahkan sebagai bentuk kehidupan yang saling memberi, menerima, tolong menolong dan tenggang rasa antara sesama. Sikap hidup seperti ini jauh dari rasa egois dan individualis, seperti kehidupan di zaman modern sekarang ini. Keinginan untuk menciptakan kebersamaan yang hakiki, memang tidak mudah, dan Farabi sangat menyadari hal itu, apalagi ia merupakan pemikir pertama yang berpendapat bahwa manusia tidak sama antara satu dengan yang lain. Kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, lingkungan dan makanan yang dikonsumsi. Menurut Farabi faktor-faktor tersebut memegang peranan penting dalam pembentukan watak, pola pikir, perilaku, wawasan, dan adat istiadat setiap individu, sehingga pribadi seseorang akan jauh ~83
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi berbeda dengan yang lainnya. Dalam memahami perbedaan tersebut Farabi lebih realistis dibandingkan Plato yang cenderung memahami kebersamaan sebagai keharusan mutlak yang dimiliki oleh manusia, Farabi memberikan wewenang penuh pada masyarakat untuk mengwujudkan persamaan, kesatuan, dan keseragaman di antara umat manusia berdasarkan karakter dan kemauan masyarakat itu sendiri (Sjazdali,1990: 51) Mengawali perbincangan tentang masyarakat, Farabi mencoba memahami masyarakat dengan tiga klasifikasi, yaitu: masyarakat yang sempurna dan masyarakat yang tidak sempurna. Masyarakat sempurna terbagi lagi menjadi tiga, masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang dan masyarakat sempurna kecil. Masyarakat sempurna besar adalah masyarakat yang mempunyai komitmen bersama untuk bersatu, saling membantu, dan bekerja sama. Masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri dari satu bangsa dan menetap di suatu wilayah tertentu, sedangkan masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat yang tinggal dalam satu kota, dikenal juga dengan istilah negara kota. Bagi Farabi bentuk masyarakat yang sempurna hanya terdapat dalam negara kota. Adapun masyarakat yang tidak sempurna adalah potret penghidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong dan keluarga. Keluarga merupakan tipe masyarakat yang paling tidak sempurna dibandingkan dengan yang lain. Keluarga adalah bagian dari masyarakat, masyarakat adalah bagian dari negara kota, kehadiran keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk melayani kepentingan negara kota. Akan tetapi Farabi tidak bisa 84 ~
Ernita Dewi, M.Hum menyebut unit sosial dari masyarakat ini sebagai bentuk masyarakat sempurna, karena tidak dapat berswasembada dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya, baik kebutuhan ekonomi, sosial budaya dan spiritual (Sjazdali,1990: 52) Mengikuti alur pemikiran Farabi tentang bentuk masyarakat sempurna, maka masyarakat sempurna kecil atau negara kota (negara) sebagai kesatuan politik yang terbaik menjadi fokus observasi Farabi yang kemudian berkembang lagi menjadi bentuk-bentuk negara. Negara yang paling baik disebutnya sebagai negara utama, sedangkan kebalikannya adalah negara yang bodoh, negara yang rusak, negara yang merosot. Negara utama atau bahagia ibarat tubuh manusia yang sempurna dan sehat, semua aktivitas berjalan dengan baik dan terkoordinasi dengan rapi. Semua warga negara mampu menempatkan dirinya dengan baik pada setiap proporsinya tanpa melenceng jauh dari ketentuan yang telah disepakati. Di peringkat pertama terdapat seorang pimpinan dan sejumlah warga yang kredibilitasnya mengimbangi sang pimpinan dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas, untuk mendukung kebijakan atasan, Di bawah mereka terdapat sekelompok warga yang bertugas mengerjakan dan membantu tugas seorang kepala beserta stafnya. Kemudian di bawah mereka terdapat kelompok lain yang bertugas membantu rekan-rekan yang di atasnya, dan seterusnya sampai pada kelas terakhir dan terendah yang terdiri dari warga-warga, yang bertugas melayani kelas-kelas yang lain sampai pada tingkatan orangorang yang tidak dilayani oleh siapapun (Sjazdali,1990:54). ~85
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Sebuah negara yang hanya mampu menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi rakyatnya, sehingga rakyat tidak pernah mengetahui apa itu kebahagiaan, Farabi menyebut negara tersebut sebagai negara bodoh, rusak dan sesat. Bentuk negara ini adalah kebalikan dari negara utama. Negara yang bodoh itu ada bermacam-macam. Ada negara yang sangat primitif yang hanya mencukupi kebutuhan rakyatnya secara terbatas, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, perkawinan dan bekerja sama untuk mewujudkan keperluan tersebut. Dari negara yang primitif meningkat ke yang lebih maju, yaitu negara yang mendorong rakyatnya untuk meningkatkan kehidupan materi dan penumpukan kekayaan. Dalam negara yang bodoh, penguasa memberikan anjuran pada rakyatnya terbatas hanya untuk menikmati kehidupan dengan makanan, minuman, seks dan hiburan. Ada yang cuma menginginkan ketenaran semata, melakukan ekspansi dan penaklukan negara-negara lain, untuk kesombongan, dan ada negara dalam kualifikasi negara bodoh yang masing-masing dari rakyatnya menikmati kebebasan melakukan apa yang diinginkan yang pada akhirnya menimbulkan anarkhi (Sjadzali, 1990: 57). Bentuk negara bodoh menyiratkan kehidupan yang semata-mata mengunggulkan kepentingan duniawi dengan pemenuhan hasrat biologis yang sangat mencolok. Kehidupan dalam negara bodoh tidak pernah mempertimbangkan halhal yang immaterial, karena rakyat hanya diperkenalkan pada kebahagiaan yang semu. Padahal kebahagiaan yang didambakan oleh setiap manusia adalah kebahagiaan abadi, 86 ~
Ernita Dewi, M.Hum kemakmuran dan keadilan yang menyeluruh dalam suatu negara yang menghargai rakyatnya dengan baik, bukan negara yang mendahulukan ambisi dengan menjadikan rakyat sebagai tumbal yang tidak berdosa. Menciptakan negara utama (ideal) bukanlah tugas yang mudah. Suatu negara yang menghimpun beragam corak individu tidak gampang menerima perintah dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Banyak yang justru menyimpang dan melakukan tindakan sendiri, walaupun bertentangan dengan kesepakatan bersama. Untuk menciptakan masyarakat yang ideal dibutuhkan intervensi dan tangan bijaksana seorang pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya dengan penuh perhatian. Tentu saja tidak setiap individu mampu melakukannya. Dibutuhkan seseorang yang benar-benar sanggup menjalankan tugas ini, bukan hanya dia sebagai tokoh kharismatik dan didukung oleh banyak rakyat, sehingga dia dapat dipilih menjadi pemimpin tanpa mempertimbangkan kualitas diri yang dimilikinya. Bagi Farabi sebagaimana dikutip oleh Ahmad (1968: 141), memberikan kriteria yang sangat berat untuk seorang pemimpin, yaitu: seorang kepala negara utama adalah anggota masyarakat atau manusia yang paling sempurna, dari kelas yang tertinggi serta dibantu oleh orang-orang yang selevel dengannya. Memiliki dua belas kualitas luhur dari sisi moralitas, dan yang sebagian telah melekat dalam dirinya yang di bawa sewaktu lahir sebagai watak yang alami dan fitri, namun sebagian yang lain harus ditumbuhkan melalui pendidikan, pengajaran serta pelatihan yang terus menerus, terarah dan disiplin. Oleh karenanya pembinaan dan pembentukan pribadi calon ~87
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi pemimpin dilakukan di bawah pengawasan yang ketat. Menurut Farabi pemimpin ideal adalah Nabi, sebab Nabi adalah manusia pilihan yang telah teruji integritasnya, serta mendapatkan kebenaran langsung dari Allah SWT melalui Jibril. Namun untuk zaman sekarang dan seterusnya, ketika Nabi sudah tidak ada lagi, maka pemimpin ideal dan terbaik hanyalah para filsuf atau imam (penguasa tertinggi yang dikenal dengan sebutan imam yang adil). Adapun dua belas kualitas luhur yang ditetapkan Farabi untuk calon pemimpin adalah; (1) lengkap anggota badannya; (2) baik daya pemahamannya; (3) tinggi intelektualitasnya, (4) pandai mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya; (5) pencinta pendidikan dan gemar mengajar; (6) tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita; (7) pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan; (8) berjiwa besar dan berbudi luhur; (9) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangankesenangan duniawi yang lain; (10) pencinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim; (11) tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan bahkan sebaliknya sulit untuk melakukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor; dan (12) kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasmenya, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil (Ahmad, 1968: 141) Dua belas sikap terpuji yang disyaratkan Farabi untuk calon pemimpin memang agak sulit didapatkan dari seseorang. Sikap tersebut menjadi semakin utopis lagi mengingat banyaknya individu yang setelah menduduki pucuk 88 ~
Ernita Dewi, M.Hum pimpinan semakin terobsesi untuk mempertahankan kepemimpinan dengan berbagai cara. Sikap adil sebagai salah satu syarat utama pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sering dilupakan karena kerakusan dan itu menjadi awal kehancuran suatu negara. Sulitnya mencari tipe pemimpin yang ditawarkan Farabi, bukan berarti seorang pemimpin boleh sembarangan saja, seleksi harus tetap dilaksanakan, setidaknya orang yang berilmu dan beriman, sehingga kebijakan-kebijakan yang bernafaskan kezaliman dapat lebih dieliminasi. Kebahagiaan sejati hanya didapatkan dengan tindakan-tindakan yang mulia, kebajikan yang utama dan kepemimpinan yang benar-benar ditegakkan atas niat yang tulus. 2. Versi Ibnu Sina Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina adalah nama panjang seorang filsuf ternama dalam dunia Islam dan mendapat gelar kehormatan sebagai Syaikh ar-Ra’is. Akan tetapi dia lebih dikenal dengan panggilan nama akhirnya saja yaitu Ibnu sina. Dilahirkan di desa Efsyanah (kawasan Bukhara) pada tahun 370 H./1980 M, dari keluarga yang bermazhab Syi’ah (Daudy, 1986: 66). Ayahnya bernama Abdullah berasal dari Balkah, pernah menjadi Gubernur di wilayah Bukhara yang diangkat oleh penguasa Samaniyah, Nuh II bin Mansur. Ibunya bernama Astarah, berasal dari desa Afshanah, Persi, yang sekarang lebih dikenal dengan Afghanistan (Ahmad, 1974: 28). Ibn Sina dibesarkan di daerah kelahirannya, Bukhara, dan di sanalah Ibn Sina mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti : filsafat, kedokteran, politik dan ~89
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi ilmu-ilmu agama lainnya, sampai dia mampu menghafal alQuran dengan sangat sempurna (Daudy, 1986: 66). Ibnu Sina meninggalkan Bukhara pada usia 22 tahun, setelah ayahnya meninggal dunia dan ia pergi ke Jurjan. Di Jurjan ia mulai mengajar dan mengarang. Tetapi karena kondisi yang tidak kondusif di Jurjan, Ibnu Sina sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain sampai akhirnya ia tiba di Hamadah, dan menghabiskan sisa hidupnya di sana (Mustofa, 1997: 189) Ibnu Sina adalah sosok manusia karier yang hidup penuh dengan perjuangan, di tengah dunia muslim mengalami perubahan pesat dan kegelisahan jiwanya tidak dapat memberikan kemerdekaan, serta kedamaian yang diperlukan oleh kesibukannya sebagai seorang intelektual besar. Dalam kondisi pikirannya yang kacau, Ibnu Sina masih sanggup menyelesaikan sejumlah karya monumental di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kesibukannya menulis dan keasyikannya menekuni bidang politik membuat kondisi kesehatannya menurun, akibatnya Ibnu Sina menderita sakit perut yang luar biasa, dan akhirnya Ibnu Sina meninggal dunia pada tahun 428H./1037 M, dalam usia 57 tahun (Jamil, 1984: 141-142). Diskursus tentang pemikiran pemerintahan dan kepemimpinan dalam Islam kurang lengkap terasa, tanpa menghadirkan pemikiran brilian dari Ibnu Sina yang juga dijuluki dokter, politikus, dan negarawan. Satu-satunya tokoh yang mampu menyatukan profesi yang bertolak belakang antara satu dengan lainnya. Akan tetapi nama Ibnu Sina sering dilupakan dalam pembahasan ilmu politik, bukan saja oleh kalangan pemikir politik dunia Islam, bahkan dunia Barat 90 ~
Ernita Dewi, M.Hum sekalipun sangat jarang mengambil Ibnu Sina sebagai salah satu tokoh penggagas ilmu pemerintahan. Padahal Ibnu Sina juga memiliki konsep pemerintahan yang tidak kalah unggulnya dengan teori-teori kenegaraan lainnya. Keingin-tahuannya tentang dunia politik sudah diawali semenjak dia remaja, ayahnya yang merupakan salah seorang tokoh terkemuka dari aliran Isma’iliyah kelompok yang menjadi bagian integral dari partai Syi’ah, selalu melibatkan Ibnu Sina dalam perbincangan mengenai berbagai persoalan aktual yang terjadi, juga ketika pelebaran sayap kekuasaan aliran ismailiyah sampai ke Bukhara, di bawah pimpinan pemerintahan Fatimiyah yang berpusat di Mesir (Ahmad, 1974:41) Pengalaman yang diberikan oleh orang tuanya secara tidak langsung tersebut telah mengantarkan Ibnu Sina menjadi administrator di Samaniyah, menteri pertama di Hamadan, dan untuk kedua kalinya dipercayakan menjadi perdana menteri di tempat yang sama, dan terakhir sebagai penasehat agung di Isfahan (Ahmad, 1974: 83). Keterlibatannya langsung dalam kancah politik menjadikan Ibnu Sina melihat secara jelas semua peristiwa yang terjadi di masyarakat. Seringnya ia mengadakan lawatan ke daerah-daerah tempat dimana ia dipercaya untuk menjabat tugas pemerintahan, membuka wawasan Ibn Sina tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya dan apa keinginan yang paling utama yang didambakan rakyat. Dalam perjalanan karier politiknya Ibnu Sina juga mengalami kegetiran yang luar biasa, akibat dari memperjuangkan cita-cita politik yang dianutnya, ia pernah menjadi buronan yang di kejar-kejar sampai beberapa kali ~91
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi masuk penjara. Ibnu Sina dikenal sangat konsisten dengan pendiriannya dan sangat gigih dalam memperjuangkan nasib rakyat. Dia selalu memihak pada kepentingan rakyat dengan segala konsekwensinya, daripada menundukkan wajah terhadap kezaliman. Untuk rakyat, Ibnu Sina pernah meletakkan jabatannya sebagai menteri pertama (Ahmad, 1974: 230). Oleh karena itu ide tentang negara dalam konsepsi Ibn Sina lebih mengarah pada kehidupan realistis, jauh lebih transparan bila dibandingkan dengan pemikiran Farabi yang hanya mencita-citakan sebuah negara ideal tanpa pernah terlibat langsung dalam pemerintahan di masa kehidupannya. Keterlibatannya di bidang politik, tidak membuat Ibnu Sina melupakan tugasnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Dia juga seorang dokter istana yang sangat dihormati karena kepintarannya. Dia juga banyak mengarang buku-buku tentang filsafat umum, metafisika, psikologi, logika, sastra, theologi, tafsir dan buku tentang tasawuf. Kebiasaan hidupnya yang selalu bergaul dengan orang-orang istana membuat ia lebih berani dan siap menduduki jabatan politis. Ibnu Sina berpendapat bahwa politik tidak bisa dilepaskan dari agama karena hampir semua pembahasan dari ilmu-ilmu Islam berkaitan dengan politik, seperti masalah terjadinya dan berakhirnya dunia, fiqh, dan ibadah. Adapun yang paling mendominasi bidang politik antara ilmu-ilmu tersebut antara lain; 1) ilmu akhlak 2) ilmu mengatur rumah tangga 3) ilmu tata negara, dan 4) ilmu nubuwwah (kenabian) (Ahmad, 1974: 186). Meskipun diakui buku-buku politik Ibnu Sina sangat sedikit jumlahnya, akan tetapi uraian yang diberikannya sangat padat, sehingga dapat tersusun menjadi 92 ~
Ernita Dewi, M.Hum suatu teori dalam ilmu politik. Buku-buku politik Ibnu Sina yang telah diterbitkan antara lain : 1. As Syifaa’, bab (maqalah) ke 10 dari ilmu metafisika. Bab ke 10 ini dibaginya kepada 5 pasal : 1. Tentang awal dan akhir dunia (mabda’ wal ma’ad); 2. Menetapkan nubuwah dan cara-cara dakwah yang dijalankan Nabi; 3. Ibadah dan faedahnya untuk dunia dan akhirat; 4. Pembentukan negara dan rumah tangga dengan segala aturannya secara umum; dan 5. Khalifah dan imam serta wajib taat kepadanya, juga penegasan tentang politik, mua’malat (ekonomi dan sosial), dan akhlak. 2 Risaalah as-Siyaasah (Book on Politics), berisikan tentang ilmu politik. Risalah ini diperoleh dalam kumpulan tiga belas buah risalah yang masih ditulis tangan di perpustakaan Leiden Nederland. Buku tersebut telah dijual kepada Muhammad bin Ahmad pada tahun 408 Hijrah, ditulis Ibnu Sina 20 tahun sebelum kematiannya. Dipublikasikan pertama sekali oleh Majalah al- Masyriq yang pimpin oleh Abu Luis Makluf dari Yesuit pada tahun 1906. Dalam buku as-Siyasah sebagaimana dikutip Dr. Muhammad Yusuf Musa isinya menguraikan tentang keluarga dan susunan rumah tangga, serta pendidikan. Ibnu Sina telah berusaha menghimpun ketiga unsur tersebut menjadi bagian integral negara yang tidak bisa dipisahkan. Membicarakan negara berarti mempersoalkan politik, berarti juga membicarakan keluarga dan rumah tangga, juga membicarakan pendidikan. Secara ringkas pendapat Ibnu Sina adalah sebagai berikut: ~93
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi a. Negara adalah suatu badan politik b. Rumah tangga adalah sumber utama dari negara dan sumber inspirasi, dan c. Pendidikan adalah jalan yang paling esensial untuk negara (Ahmad,1974:187) 3. Fi aqsam al ‘ulum al ‘aqliyah ( On the division of the Rational Sciences) Klasifikasi Ilmu-ilmu Akal Buku ini memunculkan ide-ide Ibnu Sina tentang ilmu-ilmu rasional yang dimulai dengan ilmu filsafat dan cabangcabangnya, kemudian bagian ilmu yang teoritis ilmiyah dan ilmu yang praktis. Dalam bukunya tersebut Ibnu Sina memasukkan ilmu alam, matematika, metafisika, dan logika. Ilmu metafisika tercakup di dalamnya wahyu Tuhan dan kenabian. Walaupun karangannya ini tidak secara spesifik menjelaskan politik, tetapi di dalamnya terdapat uraian politik, ekonomi bahkan moral secara jelas juga hubungan antara ketiga ilmu tersebut dalam suatu negara, sebagaimana halnya hubungan antara negara, rumah tangga dan individu (Ahmad, 1974: 190) 4. Fi Itsbat an Nubuwat (On the Ptoof of Prophecies) menetapkan adanya kenabian. Karangannya ini memperjelas kedekatan hubungan pemikiran politik Ibnu Sina dengan ajaran Islam. Bagi Ibnu Sina Nabi Muhammad SAW adalah sosok pemimpin yang paling ideal dan sistem pemerintahan yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW adalah model politik yang patuh dicontoh (Ahmad, 1974: 192) 5. Al Arzaaq (On Economics) tentang pembahagian rezeki. Dalam buku ini Ibnu Sina menyusun secara rapi 94 ~
Ernita Dewi, M.Hum perbincangan tentang ekonomi mulai dari ekonomi rumah tangga sampai ekonomi rakyat dan negara. Dijelaskan juga tentang prinsip-prinsip ekonomi dan praktiknya yang berkaitan erat dengan neraca anggaran yang harus dilakukan mencakup pengeluaran dan pemasukan. Ibnu Sina berkeyakinan bahwa ekonomi memegang peranan penting dalam membentuk suatu negara (Ahmad,1974:194) 6. Tadaabier ul manaazil ‘an as siyaasah al Ilaahiyah (penyusunan kekeluargaan dan politik Ketuhanan). Buku tersebut menggambarkan karakter dari politik yang berdasarkan ketuhanan yang diinginkan oleh Ibnu Sina yaitu sifat kekeluargaan. 7. Tadbier ul junud wal mamaaliek wal ‘asaakir wa arzaaqihim wa kharaj al mamaaliek (Book on the army and finance) tentang pertahanan dan angkatan bersenjata, gaji dan keuangan negara (Ahmad, 1974: 195) Judul panjang dari buku tersebut menggambarkan dengan jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan keuangan dalam negara. Keuangan negara digunakan sebesar-besarnya untuk keperluan pertahanan sampai ke gaji angkatan bersenjata adalah uang yang berasal dari rakyat dan sudah seharusnya politik pertahanan adalah politik kerakyatan. Keseluruhan karangan Ibnu Sina tentang politik telah disusun oleh Zainal Abidin Ahmad dalam sebuah buku yang diberi judul Negara Adil dan Makmur menurut Ibnu Sina. Ibnu Sina menjadi orang pertama yang mencetuskan ide tentang negara adil dan makmur. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa inspirasinya muncul dengan bantuan pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan juga gurunya Farabi. Ibnu Sina telah ~95
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi berusaha menyusun pemikiran tersebut secara sistematis, dengan memasukkan ajaran Islam sebagai landasan prinsipnya, dan garis tegas untuk idenya. Ditambah lagi dengan pengalaman pribadi dan lawatan yang dilakukan ke berbagai daerah ketika dia menjabat sebagai Perdana Menteri. Kenyataan tersebut telah membuat Ibn Sina mampu secara konsisten untuk menyusun ide kenegaraannya. Teori adil dan makmur dalam pemahaman Ibnu Sina dimulai dari faktor ekonomi. Belajar dari sejarah Islam, Ibnu Sina mempunyai keyakinan bahwa soal ekonomi menjadi sumber revolusi sosial yang sangat signifikan. Dia menyadari bahwa pembentukan masyarakat Islam pertama dimulai oleh Nabi Muhammad SAW, dengan menyusun perekonomian umat Islam. Kaum anshar yang memiliki banyak harta kekayaan menyumbangkan hak miliknya kepada kaum muhajirin yang tidak memiliki apapun, sehingga terbentuk keharmonisan antara yang kaya dengan miskin (Ahmad, 1974: 11). Sebagaimana pandangan Plato dan Aristoteles tentang manusia sebagai makhluk sosial yang cenderung hidup bersama, sampai munculnya keinginan untuk membentuk negara, berpengaruh pada alam pikir Ibnu Sina, ia sependapat bahwa manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan yang lain. Namun Ibnu Sina mendukung adanya milik pribadi setiap manusia. Dia menolak paham milik bersama Plato, yang tidak mengakui milik pribadi. Walaupun pada bukunya Nomoi Plato akhirnya menerima akan keharusan adanya hak milik perseorangan. Ibnu Sina berpegang teguh pada prinsipnya tentang hak milik pribadi yang bersumber pada ajaran Islam. 96 ~
Ernita Dewi, M.Hum Ibnu Sina juga sangat menekankan bahwa negara harus bertanggung jawab pada terwujudnya kesejahteraan rakyat, dan atas penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat di bawah kekuasaannya. Seorang pemimpin tidak boleh menyianyiakan rakyatnya dalam penderitaan, yang membuat mereka menjadi budak dalam negaranya sendiri. Pembicaraan kenegaraan Ibnu Sina lebih banyak melibatkan rakyat sebagai subjek, dan Ibnu Sina sangat sedikit membicarakan tentang kepala negara sebagaimana yang dilakukan Farabi. Ibn Sina melihat kepala negara bukanlah sumber kekuasaan dari negara, tetapi lebih merupakan akibat dari kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Maka perbincangan tentang rakyat lebih ditempatkan sebagai yang utama, baik rakyat secara pribadi maupun dalam keluarga. Corak pemikiran Ibnu Sina ini lebih berorientasi dari bawah ke atas (buttom up) bukan dari atas ke bawah (top down). Ibnu Sina tidak mengesampingkan kehadiran rakyat sebagai pribadi yang sangat memegang peranan penting dalam pembentukan negara. Dari pribadi (individu), muncul keluarga yang kemudian berkembang dalam organisasi yang lebih besar. Setiap pribadi manusia harus diberikan pendidikan yang cukup, sehingga ia mampu menjadi warga negara yang baik. Pendidikan pribadinya direalisasikan untuk keluarga yang berakibat positif bagi eksistensi negara. Secara tegas, Ibnu Sina mengatakan adanya kepala keluarga akan memunculkan kepala pemerintahan yang memiliki sifat kebapakan, bagian dari rakyat yang mampu memimpin keluarga besar yang bernama negara. Dari sini Ibnu Sina sudah mulai menanamkan prinsip kerakyatan. Dengan prinsip ini Ibnu Sina ~97
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi mulai menyusun politik kerakyatan, dan ekonomi kerakyatan (Ahmad, 1974: 21) Berbeda dengan gurunya al-Farabi yang menulis secara khusus teorinya tentang negara Al Madinah Al Fadhilah (Negara Utama). Ibnu Sina tidak memberikan judul khusus tentang negara, hanya saja dalam bukunya As Syifa’ bab ke 10 ia menyebutkan 3 nama tentang ide negara yang dicitacitakannya: a. Al Madinah Al Fadhilah (negara Colectivis) yang bercorak kemasyarakatan. Meskipun judul yang digunakannya sama dengan al-Farabi, tetapi penerjemahannya lebih diorientasikan kepada sifat yang tepat dan idenya yang hakiki, b. Al Madinah al ‘Adilah (negara adil) yaitu negara yang berpegang teguh pada hukum dan menjunjung tinggi keadilan. Keadilan yang diinginkan Ibnu Sina meliputi seluruh aspek ekonomi dengan pembagian yang adil dan merata, c. Al Madinah al Hasanah al Siyrah (negara moral) yaitu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Tidak hanya warga secara pribadi yang harus bersikap dan bertindak dengan akhlak yang utama, tetapi negara dan masyarakat haruslah tunduk kepada hukum moral yang tidak tertulis (Ahmad, 1974: 160). Interpretasi yang dikemukakan Ibnu Sina tentang pentingnya hidup bernegara jauh lebih mendalam dari filsuf Yunani ataupun al-Farabi. Ibnu Sina tidak memberikan tempat pada masyarakat yang tidak bernegara, seperti halnya yang diberikan oleh al-Farabi dengan nama masyarakat yang belum 98 ~
Ernita Dewi, M.Hum sempurna. Nama yang demikian tidak ada dalam konsepsi Ibnu Sina. Syarat utama bagi suatu negara ialah adanya hukum dan keadilan, ada pemimpin yang membuat dan melaksanakan hukum tersebut, dan melindungi keadilan. Sebagaimana dikatakan Ibnu Sina manakala kebenaran sudah nyata, maka pastilah hidupnya manusia berkumpul bersama manusia lain, dan berkumpul ini tidaklah sempurna tanpa adanya masyarakat yang dengan segala sebab-sebab yang harus dilakukannya. Masyarakat tersebut memerlukan adanya hukum dan keadilan. Adanya hukum dan keadilan memerlukan adanya pembuat hukum dan pelaksana keadilan. Pembuat hukum dan pelaksana keadilan harus sanggup berbicara dengan rakyat dalam bahasa yang mudah dimengerti, dan mampu menjadikan rakyat taat atas hukum tersebut. Pembuat hukum dan pelaksanaan keadilan haruslah dari rakyat. Tidaklah boleh manusia mengikuti pemikirannya masing-masing, sehingga terjadinya perselisihan dan beranggapan bahwa pendapatnya yang benar dan adil, semua yang bertentangan dengan dia adalah salah dan zalim. Maka adanya pembuat hukum dan pelaksana keadilan sangat diperlukan untuk memelihara kehidupan manusia, melebihi perlunya bulu mata dengan alis matanya, begitu juga adanya tulang-tulang pada lutut kakinya, dan segala kepentingan lain yang sangat dibutuhkan. Bahkan manfaat yang paling banyak untuk kepentingan hidup dan terciptanya manusia yang baik di dunia ialah dengan membuat hukum dan keadilan sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu Sina. Tidaklah mungkin inayah Tuhan Yang Maha Esa menghendaki adanya berbagai manfaat bagi manusia dengan tidak ~99
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi menghendaki adanya hukum, dan keadilan yang menjadi sendi kebutuhan itu. Tidak mungkin Tuhan sebagai First Principle dan malaikat yang mengetahui segala kebutuhan manusia tidak mengetahui perlunya hukum dan keadilan, sebagaimana tidak mungkin bahwa Dia yang mengetahui segala peraturan yang diadakan dan yang dibutuhkan untuk mengatur segala jalan kebaikan, tetapi tidak diadakannya. Bagaimana dapat diterima akal bahwa segala sesuatu yang ter-gantung pada hukum dan keadilan itu sudah terjadi, sedang hukum dan keadilan itu sendiri tidak diperoleh (Ahmad, 1974: 215). Penjelasan yang diberikan Ibnu Sina mempunyai arti bahwa tidak mungkin berdirinya suatu negara tanpa adanya hukum yang ditaati oleh rakyatnya, dan hukum tersebut dilaksanakan dengan keadilan. Jika manusia membutuhkan negara sebagai suatu persekutuan hidup yang sah dan resmi maka syarat yang terpenting untuk negara adalah hukum dan keadilan. Secara ringkas dapat dikualifikasikan bahwa negara yang diinginkan oleh Ibnu Sina adalah; 1) negara memerlukan adanya hukum, 2) hukum haruslah berisikan keadilan, 3) hukum dan keadilan memerlukan adanya pembuat hukum dan pelaksana keadilan yaitu pemerintah, 4) pembuat hukum dan pelaksana keadilan haruslah manusia yang mampu berkomunikasi langsung dengan rakyat, 5) hukum dan keadilan adalah untuk mengatur kebutuhan hidup rakyatnya. Supremasi hukum dan keadilan menjadi target utama yang harus dijalankan dalam suatu negara. Tanpa hukum dan keadilan suatu negara tidak akan terbentuk. Ibn Sina menuntut lebih baik tidak ada kesempurnaan tubuh asalkan 100~
Ernita Dewi, M.Hum dalam suatu negara ada hukum dan keadilan. Mungkin ini berlebihan, namun Ibnu Sina ingin memperlihatkan betapa pentingnya keadilan dan hukum demi tegaknya negara dan terwujudnya sistem kemasyarakatan yang baik. Keadilan bagi Ibnu Sina mencakup seluruh lini kehidupan, dimulai dari keadilan di bidang pemerataan ekonomi sampai kepada penetapan hukuman bagi orang yang melakukan pelanggaran harus sesuai dengan perbuatan jahat yang dilakukan. Negara dalam perspektif Ibnu Sina harus berlandaskan pada musyawarah untuk mencapai mufakat, tidak ada tempat bagi diktator dan otoritas individu. Negara juga berdasarkan pada azas gotong royong, saling tolong-menolong, berjiwa kolektif yang disebut oleh Ibnu Sina Madilah al Fadhillah (Negara Kolletif). Semua permasalahan yang menyangkut rakyat dan negara harus diatur oleh undang-undang, dan undang-undang tersebut harus dijalankan dan dipatuhi. Undang-undang yang dibuat harus bersandarkan kepada al Quran dan hadits nabi, sebab Allah SWT, telah mengutus nabi –nabi untuk memimpin manusia dan membimbing manusia ke jalan yang suci dan benar. Oleh karena itu manusia harus senantiasa mentaati peraturan yang sejalan dengan ajaran agama Islam (Ahmad, 1974: 217). Memang pemikiran Ibnu Sina terpengaruh dengan ajaran agama yang dianutnya, yaitu agama Islam. Menurut Ibnu Sina tugas menjadi pemimpin merupakan tugas yang sangat berat, oleh karena itu Ibnu Sina menetapkan beberapa syarat seorang pemimpin antara lain : (1) mempunyai kecerdasan akal yang mendalam (2) memiliki akhlak mulia (3) memiliki keberanian (4) memiliki visi dan ~101
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi misi yang jelas (5) dan mengerti hukum syari’ah secara baik yang termanifestasi dari pemikirannya, serta disetujui secara umum . Berbeda dengan al-Farabi, Ibnu Sina tidak memasukkan syarat filosof yang bersifat nabi sebagai syarat lain dari seorang pemimpin. Hanya yang paling penting seorang pemimpin bagi Ibnu Sina harus cerdas, berakhlak mulia, dan mengetahui secara mendalam tentang syariah Islam sebagai landasan utama pelaksanaan suatu pemerintahan. Secara jelas memang hampir tidak ada pembahasan yang terperinci mengenai bentuk atau tipe seorang pemimpin menurut Ibnu Sina. Akan tetapi apabila dikaji dari pernyataan Ibnu Sina berikut ini, ”manakala kebenaran ini sudah nyata, maka pastilah hidup manusia berkumpul bersama manusia lainnya, dan berkumpul ini tidaklah sempurna tanpa adanya masyarakat, hidup dengan segala sebab-sebab yang harus dilakukannya. Masyarakat memerlukan hukum sunnah dan keadilan. Adanya hukum dan keadilan memerlukan adanya pembuat hukum dan pelaksanaan keadilan. Pembuat hukum dan pelaksana keadilan harus mampu berbicara dengan rakyat (dalam bahasa yang dimengerti), dan sanggup menjadikan mereka mentaati segala peraturan hukum itu. Pembuat hukum dan pelaksana keadilan itu haruslah manusia (dari rakyat)”. Statemen Ibnu Sina itu menyiratkan bahwa kepemimpinan yang dinginkan oleh Ibnu Sina harus bersandarkan pada hukum Islam.
102~
Ernita Dewi, M.Hum
~103
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
BAB V KONSEPSI KEPEMIMPINAN MENURUT MUJADDIN ISLAM
A. Ibnu Taimiyah Nama lengkapnya Taqi al-Din Abul-Abbas Ibnu Abdul Halim Ibnu Abdus-Salam Ibnu Taimiyah. Ia lahir pada 22 Januari 1262 M/ 661 H di Harran, dekat Damaskus Syria (Azhar, 1997: 92). Lima tahun setelah jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tatar, yang berarti berakhirnya dinasti Abbasyiah. Pada usia 6 tahun ia mengikuti ayahnya pindah ke Damaskus untuk menghindari kekejaman bangsa Tatar. Ayahnya, Abu al-Mahasin Abdu al-Halima bin Abdullah adalah seorang ahli fiqh Hanbaly juga ahli tafsir dan hadits yang sekaligus menjadi guru pertama bagi Ibnu Taimiyah, sebelum dia belajar pada guru lain seperti Ali Zain al-Din alMuqaddasi, Najm al-Din bin Asakir, Zainab binti Maki dan beberapa guru lainnya. Di usia 20 tahun ketika ayahnya meninggal dunia, Taimiyah mulai menunjukkan perhatian besar untuk mempelajari fiqh Hanbali, di samping mendalami ilmuilmu al-Qur’an, hadits, dan teologi (Sjazali, 1990: 79). Ibnu Taimiyah segera menduduki jabatan-jabatan yang pernah dipercayakan kepada ayahnya untuk menjadi guru, hakim, dan menjadi khatib di mesjid-mesjid. Disitulah awal kariernya yang kontroversial dimulai sampai ia menjadi seorang pemikir 104~
Ernita Dewi, M.Hum yang sangat bebas dengan didukung oleh ketajaman intuisi, setia pada kebenaran, piawai dalam berpidato, penuh keberanian dan sangat tekun. Ibnu Taimiyah mempunyai semua persyaratan yang dapat mengantarkannya menjadi pribadi yang luar biasa. Namun sangat disesalkan cara berpikirnya yang bebas, justru menimbulkan permusuhan dengan pengikut-pengikut mazhab Syafi’i sehingga jabatan itu dilepas dari tangannya (Jindan, 1995: 21). Akan tetapi namanya terlanjur terkenal di dunia Islam dan Taimiyah ditugaskan untuk berkhutbah jihad melawan suku Mongol yang menyerbu Suriah, serta menaklukkan Damaskus. Khutbahnya menggembleng rakyat dan menggugah Sultan Mesir, al-Nasir untuk mengangkat senjata melawan orang-orang Mongol. Pada perang dahsyat di Marjas-Shafar 1902 M, Ibnu Taimiyah berjuang dengan gagah berani menjatuhkan pasukan Mongol sehingga pasukan itu terusir dan menderita kerugian besar. Sejak saat itu hingga akhir hidupnya, Taimiyah memulai hidupnya dengan keras dan sengsara. Pandangan bebasnya seolah-olah menjadi kutukan bagi hidupnya. Taimiyah menyarankan oposisi di berbagai daerah yang menimbulkan amarah para pemuka pemerintahan. Pada tahun 1307 M, Taimiyah bersama saudaranya dipenjara selama 4 tahun karena dituduh mempertalikan sifat manusia dengan sifat Tuhan. Setelah dibebaskan Taimiyah dijadikan guru besar di sekolah yang di dirikan oleh Sultan Mesir. Tujuh tahun setelah pengabdiannya, Taimiyah diizinkan pulang ke Damaskus untuk diangkat menjadi guru besar, tetapi sengketa besar dengan Sultan membawa Taimiyah kembali ke penjara ~105
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi beberapa bulan (Ahmad, 1984: 102). Ibnu Taimiyah adalah penganut keunggulan hati nurani individual yang memiliki corak berpikir bebas, yang memunculkan kontroversi muslim ortodoks dan konvensional. Kutukannya yang mematikan terhadap praktek-praktek pemujaaan orang suci dan penganutnya menimbulkan dendam di hati Sultan, dan terpaksa mengurung Taimiyah di benteng Damaskus pada 1326 M. Di tempat tersebut Taimiyah tekun menulis al-Quran dan surat selebaran lainnya tentang persoalan yang kontroversial. Taimiyah wafat di penjara pada 1327 M, kabar kematiannya membuat suram kota Damaskus (Ahmad, 1984: 103). Ibnu Taimiyah dikenal sebagai pemikir yang memiliki intuisi yang tajam, setia kepada kebenaran, piawai dalam berpidato, dan lebih dari itu Taimiyah memiliki keberanian dan ketekunan. Ia memiliki semua persyaratan yang mengantarkannya kepada pribadi yang luar biasa (Jindan, 1995: 21). Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Kekuasaan pemerintah tidak lagi berada di tangan khalifah yang bertahta di Baghdad, melainkan pada penguasa-penguasa wilayah atau daerah yang bergelar sultan, raja atau amir. Tetapi wilayah kekuasaan akhirnya dipersempit atau bahkan direbut oleh penguasa-penguasa dari timur atau oleh Krusades dari barat. Jatuhnya Baghdad ke tangan Tatar, yang berarti berakhirnya dinasti Abbasyiah merupakan puncak proses disintegrasi tersebut. Seiring runtuhnya dinasti Abbasyiah menjadikan tiap penguasa wilayah bebas menggunakan gelar khalifah. Dari 106~
Ernita Dewi, M.Hum sekian banyak sultan yang ada pada waktu itu hanya dinasti baru Mamalik di Mesir yang mendapatkan legitimasi keagamaan bagi kekuasaannya dengan mengangkat pangeran Abu al-Kasim Ahmad bin Amir al-Mukminin, paman khalifah Musta’sim yang dibunuh bangsa Tatar di Baghdad. Dengan gelar al-Munstashir bi-Allah, sedangkan Ibnu Taimiyah sendiri yang berada di Damaskus berada di bawah kekuasaan Mamalik. Masyarakat di mana Ibnu Taimiyah hidup khususnya di seluruh wilayah kekuasaan Mamalik sangat heterogen dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Akibatnya sering terjadi perang dan mobilitas penduduk dari berbagai bangsa. Kerawanan-kerawanan dan kerusuhan sangat mudah terjadi dalam kehidupan bernegara, sehingga stabilitas politik dan keserasian sosial sangat sukar diciptakan. Yang lebih parah lagi, masalah yang muncul tidak hanya pada perbedaan agama, tetapi banyaknya mazhab termasuk mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara bukan karena memusuhi penguasa semata, sebagai tokoh dari mazhab Hanbali tidak jarang Taimiyah dipenjara karena ketajaman kritiknya terhadap kebiasaan memuja para Nabi dan para wali (Sjazali, 1990: 81). Dampak dari kemerosotan politik dan agama yang dialami Taimiyah selama perjalanan hidupnya, membuat jiwa Ibnu Taimiyah dipenuhi rasa keyakinan dan keimanan akan keagungan dan ketinggian Islam. Ibnu Taimiyah mulai menyusun sasaran perjuangan yang cukup bervariasi, dari perjuangan membalas serangan yang dilancarkan musuh-musuh Islam dengan kekuatan-kekuatan senjata, sampai perjuangan ~107
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi untuk mengembalikan kaum muslimin pada ‘aqidah Salafiyah, ‘aqidah firqah Najiyah (golongan yang selamat) yaitu ‘aqidah tauhid dalam hakikat yang tinggi. Setiap denyut nadi kehidupannya senantiasa diwarnai jihad yang berkesinambungan baik dengan senjata maupun pena hingga mengantarnya ke penjara Damaskus. Di tempat yang sama Taimiyah menghembuskan nafas terakhirnya bertepatan pada Minggu malam (malam Senin) 20 Dzulqaidah 728 H. menjelang detik-detik terakhir kehidupannya Ibnu Taimiyah selalu mengulang-ulang ayat Allah “Sesungguhnya kaum muttaqin itu berada di Syurga dan sungai yang mengalir, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa”. Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik yang paling penting tertuang dalam bukunya yang berjudul AlSiyasah al-Syar’iyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah (Politik berdasarkan Syari’ah bagi perbaikan penggembala dan gembala). Dari judulnya saja sudah tersirat maksud Ibnu Taimiyah untuk memperbaiki situasi masyarakat dan mengikis habis segala kebobrokan baik moral maupun sosial sebagai akibat dari malapetaka yang menimpa umat Islam karena perang dengan Krusades yang tidak kunjung reda serta serbuan bangsa Tatar. Ibnu Taimiyah beranggapan, kehancuran suatu umat disebabkan oleh buruknya para pemimpin dan kurang tepatnya aparatur negara yang dipilih baik di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah (Sjazali, 1990: 82). “ Jika pemimpin rusak maka, rusaklah rakyat yang dipimpinnya. Demikianlah fenomena menyedihkan yang selalu menghantui pikiran Ibnu Taimiyah. fenomena ini menjadi sebab utama kerusakan kaum muslimin, terampasnya negara 108~
Ernita Dewi, M.Hum dan kehormatan, serta mendorong musuh-musuh Islam menyerang kaum muslimin. Lebih lanjut dikatakan Ibnu Taimiyah gejala ini merupakan virus utama dari segala jenis penyakit yang diderita kaum muslimin pada waktu itu (Taimiyah, 1995: viii). Kondisi di atas mendorong Ibnu Taimiyah untuk memformulasikan suatu rumusan pemerintahan Islam berdasarkan keyakinan bahwa umat Islam hanya dapat mungkin diatur oleh pemerintahan yang baik. Orientasi pemikiran politik Taimiyah yang bersendikan agama didasarkan atas firman Allah dalam al-Quran surat an Nisa’ ayat 58 dan 59 yang artinya: ”Sesungguhnya Allah Menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu ketika menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya dan pemimpin-pemimpin di antara kamu, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikan hal tersebut kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar percaya kepada Allah dan hari kiamat, sikap demikian itu lebih utama bagimu dan akan lebih baik kesudahannya”. Menurut Taimiyah makna ayat 58 surat An-Nisa’ di atas diperuntukkan bagi para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi sudah seharusnya seorang pemimpin menyampaikan amanah kepada pihak yang berhak menerimanya, dan bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa sesama masyarakat, sedangkan ayat ~109
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi 59, ditujukan kepada rakyat. Rakyat diperintahkan supaya taat kepada Allah dan Rasul, juga kepada pemimpin dengan melaksanakan segala perintahnya selama tidak bertentangan dengan agama. Apabila terjadi perbedaan pendapat di antara sesama manusia, maka solusinya adalah kembali kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah). Ibnu Taimiyah sangat menekankan kewajiban para pemimpin negara untuk menyampaikan amanah kepada pihak yang berhak dan berlaku adil, dalam memutuskan sengketa supaya terjadi perpaduan kebijaksanaan politik yang adil dan pemerintahan yang baik (Sjazali, 1990: 83). Perkataan amanah yang harus disampaikan oleh seorang pemimpin mempunyai dua manifestasi: pertama, dalam penunjukan pejabat-pejabat negara; kedua, dalam pengelolaan kekayaan negara dan pengurusan serta perlindungan atas harta benda yang merupakan hak milik rakyat. Pengangkatan aparatur pemerintahan harus dilakukan oleh seorang pemimpin dengan cara yang objektif tanpa terpengaruh oleh nepotisme, dan petugas tersebut memiliki kecakapan dan kemampuan untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Keharusan menyelenggarakan seleksi menurut Taimiyah tidak hanya terbatas pada jabatan pejabat tinggi tetapi kepada jabatanjabatan kemasyarakatan, seperti iman mesjid, muadzin, guru, kepala pasar, dan kepala desa. Apabila seorang pemimpin mengangkat wakil-wakil atau pembantunya dari orang yang kurang mampu untuk menduduki suatu jabatan, sedangkan masih terdapat orang yang lebih cakap untuk jabatan itu, menurut Taimiyah pemimpin tersebut telah melakukan pengkhianatan terhadap 110~
Ernita Dewi, M.Hum Allah SWT, rasul, dan umat Islam. Interpretasi ini didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW, yaitu : 1. Sabda nabi kepada Abu Dzat, bahwa kepemimpinan itu suatu amanah, yang pada hari kiamat nanti menjadi sumber kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang melaksanakannya dengan benar dan mempercayakannya kepada yang berhak. 2. Sabda nabi, jika amanah sudah hilang, maka tunggulah kehancuran, dan amanah itu akan hilang kalau kepemimpinan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (yang tidak memiliki kecakapan dan kemampuan untuk menduduki jabatan tersebut). Masalah yang paling menyibukkan Ibnu Taimiyah mengenai kekuasaan adalah bagaimana kemaslahatan masyarakat dapat lebih dulu direalisasikan dari masalah lain. Untuk itu dibutuhkan bantuan dari orang yang mampu untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut. Tentu saja dengan berpegang teguh pada unsur kepribadiannya. Faktor yang paling penting terciptanya kemaslahatan harus lebih kuat daripada faktor yang bisa menimbulkan kerusakan (Huwaidi, 1982: 183). Statement di atas dimaksudkan Ibnu Taimiyah bahwa seorang pemimpin haruslah orang kuat dan bukan orang yang lemah supaya mampu melindungi rakyatnya. Titik tolak Ibnu Taimiyah dalam hal ini didasarkan pada do’a Umar bin Khattab yang mengadu kepada Allah tentang kekuatan orang zalim dan kelemahan orang yang dapat dipercaya. Maka yang harus dilakukan dalam setiap kekuasaan adalah mengambil yang bermanfaat. Apabila ada dua orang pemimpin, yang satu ~111
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi lebih dapat dipercaya dan yang satu lagi lebih banyak memiliki kekuatan, maka harus diprioritaskan yang lebih bermanfaat dan yang sedikit mudharatnya, seperti komandan perang harus diserahkan kepada orang yang lebih kuat dan pemberani walaupun ia memiliki sifat yang kurang baik, dari pada orang yang lemah meskipun ia sangat amanah. Pernyataan Ibnu Taimiyah ini diperkuat dengan riwayat Imam Ahmad yang pernah ditanya tentang dua orang yang harus dipilih menjadi komandan perang, yang satu kuat namun ia zalim dan satunya lagi shaleh tapi lemah. Menjawab pertanyaan tersebut Imam Ahmad menetapkan pemimpin perang diserahkan kepada orang yang kuat meskipun zalim, karena kekuatan yang dimilikinya akan sangat bermanfaat untuk kejayaan umat muslim, sedangkan kezalimannya akan terpulang untuk dirinya sendiri. Nabi SAW juga pernah mengangkat Khalid bin Walid sebagai komandan perang setelah ia menyatakan keislamannya, padahal sebelumnya Khalid pernah melakukan perbuatan yang sangat tidak direstui Nabi SAW, sementara itu ada seorang bernama Abu Dzar dengan sikapnya yang sangat lurus apabila dibandingkan Khalid namun tidak diserahkan tampuk kepemimpinan, disebabkan Abu Dzar orang yang lemah (Taimiyah, 1995: 14-15). Ibnu Taimiyah sangat mengakui sulitnya mencari seorang pemimpin yang memiliki kekuatan dan juga amanah sekaligus. Kebanyakan dari manusia hanya memiliki satu sifat di antara dua sifat yang menjadi syarat kepemimpinan. Hal ini mengharuskan seorang rakyat untuk lebih mengutamakan penempatan seseorang sesuai dengan proporsinya. Bila 112~
Ernita Dewi, M.Hum pemimpinnya seorang yang sangat amanah dan memiliki kemampuan yang luar biasa, ia dapat dijadikan pemimpin tetapi ia harus memilih wakilnya yang memiliki kekuatan untuk dapat melindungi dirinya dan rakyat yang dipimpinnya, sehingga akan terwujud suatu konfigurasi yang sesuai dan penuh keseimbangan demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Ibnu Taimiyah tidak memfokuskan pemikirannya pada perbincangan bentuk pemerintahan Islam tetapi ia lebih banyak menampilkan bahasan mengenai urgensi kekuasaan dalam menerapkan syariat dan kewajiban umat untuk mematuhinya. Paradigma Ibnu Taimiyah tentang Syariat Islam menjadi sumber kekuasaan final dan sandaran mutlak bagi segala bentuk kekuasaan, dan kekuatan yang bertujuan untuk mengalihkan gerakan Islam dari pengaruh theokrasi, yaitu suatu bentuk pemerintahan yang berada dalam cengkeraman Tuhan, sedangkan Ibnu Taimiyah lebih mengarahkan pemikirannya ke sistem pemerintahan yang nomokrasi yaitu sistem pemerintahan yang didasarkan pada hukum atau undang-undang resmi (al- Quran dan Hadits). Metodologi yang diterapkan Ibnu Taimiyah untuk mengalihkan perhatian dari lambang khalifah kepada urgensi atau kewajiban umat Islam untuk memiliki kekuasaan politik adalah dengan menerapkan sistem syariat melalui berbagai upaya kerja sama antara umara dan ulama. Suatu negara Islam tidak wajib mempunyai seorang khalifah sebagai penguasa tunggal yang menjadi ciri umum masyarakat yang islami. Suatu bentuk pemerintahan yang menetapkan syariat sebagai penguasa tertinggi adalah gambaran dari pemerintahan Islam yang memenuhi syarat. ~113
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Disamping itu syarat pokok yang mendasari kekuasaan negara Islam adalah dengan mendasari perilaku masyarakatnya pada ajaran-ajaran Islam sebagai basis dan norma utama tegaknya negara Islam. Taimiyah tidak melupakan status individu yang merupakan bagian dari konsepsinya tentang negara. Ia menyebut istilah negara, dengan wilayah (susuan atau rancangan kepercayaan), mencerminkan penekanannya pada fungsi kepercayaan negara. Taimiyah memandang pegawai (abdi) negara sebagai wakil-wakil Allah yang ditunjuk untuk memerintah rakyat sekaligus orang-orang kepercayaan (wukala’) rakyat itu sendiri, yang berkewajiban melindungi berbagai kepentingan mereka. Hadis yang digunakan untuk melandasi pendapatnya adalah: ”Ketahuilah bahwa tanggung jawab pemerintahan itu hanyalah suatu kepercayaan ; pada hari pembalasan tanggung jawab itu justru akan memukul balik pemegangnya, kecuali bila ia melaksanakan tugas dengan adil dan memenuhi segenap kewajiban yang berkaitan dengan pemerintahan itu”. Sabda Nabi ini disampaikan kepada sahabat yang ditugaskan untuk memimpin pemerintahan di salah satu provinsi Islam. Hadis lain yang dikutip Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa: “Tidak ada pemerintahan kepercayaan Allah yang berhak masuk surga jika pemerintahannya dilaksanakan dengan mengibuli masyarakat”. Dari kedua hadis tersebut yang paling masyhur tentang sisi penting tanggung jawab sosial dan individu yang paling sering dikutip Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Shar’iyyah adalah :” semua orang di kalangan kamu sekalian adalah pemimpin dan
114~
Ernita Dewi, M.Hum kamu semua akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Hadis-hadis tersebut menyiratkan klaim individu terhadap negara, bukan hukum alam, bukan hukum positif, namun hukum syariat yang mengharuskan para abdi negara untuk melihat diri sendiri sebagai orang kepercayaan dan perantara yang dipercayai Allah untuk memimpin masyarakat (rakyat) ke jalan yang lurus. Kepemimpinannya nanti akan dimintai penjelasan secara terperinci di Mahkamah Allah pada hari pembalasan nanti. Bila seorang abdi negara melakukan tugasnya dengan baik, maka ia akan memperoleh balasan kenikmatan yang setimpal, demikian juga andaikan seorang abdi negara melakukan perbuatan yang menyimpang bahkan menyakiti hati rakyat, Allah SWT akan membalas perbuatannya dengan hukuman secara setimpal. Melihat kenyataan ini sudah seharusnya pemimpin yang Islam merasa gemetaran dan berhati-hati dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. Pelaksanaan pemerintahan Islam harus bertanggung jawab penuh kepada Allah dan masyarakat serta kepada segenap anggotanya secara individual. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan nilai-nilai moral keadilan, persamaan, dan kebebasan. Khusus masalah keadilan Taimiyah melihatnya sebagai syarat pokok bagi semua bentuk pemerintahan yang sah, baik pemerintahan Islam maupun yang non Islam. Alasan yang dikemukakan adalah : keadilan merupakan ciri alamiah segala sesuatu. Jika keadilan menjadi basis pemerintahan, maka kesuksesan akan sangat mudah untuk diraih, siapapun yang mengendalikan pe~115
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi merintahan. Sebaliknya suatu pemerintahan yang zalim akan mudah terjerumus dalam kehidupan tanpa arti meskipun terbungkus dengan bermacam kewajiban pemerintahan. Nilai keadilan dianggap begitu penting dalam pemikiran politik Ibnu Taimiyah sehingga tempatnya berada di atas keimanan bila dikaitkan dengan masalah pemerintahan. Menurut pendapatnya,” Allah mendukung negara yang adil meski bercorak atheistik, namun Dia tidak akan memberikan dukungan pada negara yang tidak adil kendati di jalankan atas dasar keimanan (Jindan,1995: 100). Ucapan Ibnu Taimiyah ini memang terkesan sangat ekstrem, dan sepertinya telah melanggar ketentuan umum dengan menempatkan keadilan di atas keimanan, tetapi karena Ibnu Taimiyah sangat terobsesi dengan suatu negara yang benar-benar menegakkan keadilan sebagai landasan utama kekokohan dan kemakmuran sebuah negara, pernyataan tersebut terluncur secara sempurna dari pikirannya. Taimiyah sangat mendambakan negara yang benar-benar baik dan sesuai dengan tuttutan agama Islam, tidak seperti model kekuasaan yang dipraktikkan di masa kehidupannya. Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai pedoman pemerintahan, tidak boleh mengesampingkan unsur keadilan dalam pelaksanaan sistem pemerintahannya. Prinsip keadilan merupakan bagian dari hukum Allah itu sendiri seperti ditegaskan dalam berbagai ayat al-Quran dan hadits yang dijadikan sandaran Ibnu Taimiyah. Salah satu hadits tersebut berasal dari Musnad Ibnu Hanbal menyebutkan: makhluk yang paling dicintai Allah adalah pemimpin yang adil
116~
Ernita Dewi, M.Hum sedang makhluk yang paling dibenci adalah pemimpin yang zalim (Taimiyah, 1995: 22). Lebih dari itu ketika menafsirkan ayat al-Quran (alBaqarah : 24), Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kandungan Firman Allah itu penegasan yang menyatakan keadilan merupakan syarat paling penting bagi seorang pemimpin yang sah. Dengan demikian pemimpin yang zalim tidak patut ditaati karena kezaliman yang dilakukan telah memupus fungsi kepemimpinannya. Konsekuensi penekanan pada keadilan pemerintahan yang sah memberi arti bahwa individu dan pemerintahan Islam mempunyai hak dan kewajiban untuk menuntut keadilan dari pemegang kekuasaan politik (Jindan, 1995: 100). Ibnu Taimiyah juga menekankan persamaan (equality) sebagai nilai moral lain yang tercantum dalam syari’at dan mempunyai pengaruh nyata pada kedudukan individu dalam masyarakat Islam. Taimiyah mengaitkan persamaan dan keadilan seraya mengajukan alasan bahwa semua manusia mempunyai asal usul yang sama. Oleh karena itu, sungguh tidak adil jika beberapa di antara manusia memandang diri lebih tinggi dari orang lain. Keadilan menuntut agar semua orang diperlakukan atas dasar persamaan. Taimiyah juga menyadari bahwa persamaan dan esensi tidak akan menghapus munculnya ketidaksamaan dalam fungsi, baik akal maupun wahyu, maka Taimiyah mengakui keberagaman atau differensiasi fungsi, sebagaimana dicontohkan tubuh manusia dengan organ–organ yang beraneka ragam. Argumentasinya ini berpijak pada ayat al-Quran yang menjelaskan adanya perbedaan di antara manusia sebagai bagian dari rencana Allah : ~117
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi “Kami akan mengujimu dengan berbagai anugerah yang telah Kami berikan kepadamu” (Q.S. 6: 165). Lebih lanjut Ibnu Taimiyah menafsirkan syariat dengan cara yang sanggup untuk menjamin kebebasan yang luas terhadap individu khususnya dalam bidang ekonomi. Untuk mempertahankan kekayaan perorangan dari cengkeraman kekuasaan masyarakat, bahwa semua kebaikan di dunia telah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan hanya Allah saja yang membagikan kekayaan di kalangan individu yang beraneka ragam. Negara tidak berhak mengambil alih kekayaan pribadi karena perilaku itu akan merusak rancangan segala sesuatu yang berasal dari Allah. Ibnu Taimiyah juga mengharapkan adanya keseimbangan agar orang-orang kaya agar dapat hidup berdampingan secara damai dengan orang miskin. Dengan kata lain, prinsip kompetisi harus diganti dengan azas koperasi atau kerja sama dan saling tolong menolong (Jindan, 1995: 101). Banyaknya persoalan yang harus diselesaikan dalam kehidupan manusia menjadi awal yang tidak bisa dinafikan untuk terbentuknya negara dan pemerintahan yang berfungsi untuk mengelola urusan umat. Di samping itu berdirinya suatu negara juga dilandasi oleh adanya perintah agama yang paling agung karena agama tidak mungkin tegak tanpa ada pemerintahan. Umat manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan pihak lain dalam suatu masyarakat, dan masyarakat membutuhkan seorang pemimpin untuk mengatur dan mengelola semua kepentingan masyarakat yang tidak mungkin diselesaikan sendiri. Pemimpin yang dipilih mestilah orang yang benar-benar mampu 118~
Ernita Dewi, M.Hum menegakkan keadilan, mengajak kepada kebaikan, dan melarang apa-apa yang telah dilarang oleh Allah SWT (Sjazali, 1990: 89) Pemimpin dengan kewenangan dan kekuasaan pemerintahan yang telah dipercayakan kepadanya sebagai amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat juga Allah SWT, sebagai pencipta dirinya dan mempercayai dia menjadi pemimpin, tidak boleh mengkhianati amanah dengan melakukan hal-hal yang menyakiti hati rakyatnya. Seorang pemimpin harus berjalan atas ketentuan hukum Islam sebagaimana yang tertuang dalam al-Quran dan hadits. Tidak ada alasan bagi pemimpin yang islami untuk mempertahankan kekuasaan dengan melakukan tindakan yang melanggar perintah agama. Bila perbuatan tersebut dilakukan maka rakyat berkewajiban untuk mencabut kembali kepercayaan yang telah diberikan kepadanya, dan diserahkan kepada orang lain yang memang mampu untuk menjalankan amanah berat tersebut Secara singkat dapat dirumuskan, Ibnu Taimiyah menetapkan dua syarat utama bagi seorang pemimpin, yaitu : a. Syarat In’qad (syarat sah pengangkatan seorang pemimpin), dalam kategori enam syarat antara lain : muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, dan mampu melaksanakan amanah. b. Syarat afdhaliyah (syarat keutamaan), syarat ini bisa ditetapkan jika di dukung oleh nash yang sahih atau termasuk kategori hukum yang ditetapkan dengan nash yang sahih pula (An-Nabani, 1998: 66-70).
~119
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi B. Murthadha Muthahhari Murthadha Muthahhari lahir pada 2 Februari 1919 dari keluarga saleh, di Khurasan. Ayahnya, Muhammad Husein Muthahhari, seorang Hujjatul Islam terkenal dan sangat dihormati. Muthahhari dibesarkan dalam didikan ayahnya yang sangat bijak, hingga mencapai usia 12 tahun. Pada Ramadhan 1356 H, ia hijrah ke Qum dan belajar di bawah bimbingan gurunya, Ayatullah Khomeini dan Boroujerdi. Minat besar Muthahhari dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan sudah tampak semenjak ia menduduki bangku kuliah. Di antara karya-karya filsuf kenamaan yang telah telaahnya adalah karya; Aristoteles, Will Durant, Sartre, Freud, Bertran Russel, Einstein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan sejumlah pemikir Barat lainnya. Salah satu guru utamanya di bidang filsafat adalah: Allamah Thabathaba’i, seorang ulama besar yang telah menghasilkan berbagai karya filsafat dan penyusun tafsir alQur’an terkenal, al-Mizan. Dalam usia 36 tahun, Muthahhari sudah mengajar ilmu logika, filsafat dan fiqh di Fakultas Teologia Universitas Taheran. Selama mengajar, Muthahhari juga pernah dipercayakan sebagai ketua jurusan filsafat pada fakultas yang sama. Kecemerlangan pemikiran dan keluasan ilmunya, dapat diamati pada sejumlah mata kuliah yang diasuhnya, antara lain; fiqh, al-Ushul, Ilmu Kalam, al-Irfan (tasawuf), logika dan filsafat. Pada tanggal 2 Mei 1979, tepatnya dalam usia 60 tahun, Muthahhari meninggal dunia di Iran, setelah diberondong oleh sejumlah pemuda dari kelompok Furqan
120~
Ernita Dewi, M.Hum akibat perjuangannya yang menentang penyelewengan (Muthahhari, 1993: 4). Memahami pemikiran politik Muthahhari, tidak dapat dilepaskan dari pemikiran wilayah faqih (pemerintahan faqih) yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut : Allah adalah pencipta, hakim mutlak yang mengatur alam semesta dan segala isinya. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi. Untuk keselamatan manusia di bumi, Allah memilih di antara manusia orang-orang yang memilih unsur-unsur kepribadian yang luhur, merekalah yang berhak memimpin umat. Pemerintahan nabi, para imam, sudah berlalu, sekarang umat berada dalam kepemimpinan fuqaha. Sebagai pemimpin umat, fuqaha harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu : pertama fuqaha (mujtahid mutlak yang mampu menetapkan kesimpulan tentang hukum-hukum syara’ dari sumber-sumbernya); kedua ‘Adalah (tetap teguh menjalankan syari’at Islam dan memiliki pribadi yang bersih, saleh dan taqwa); tiga Kifaah (memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil mengurus kehidupan umat. Inilah tiga hal esensial yang mutlak harus ada pada ulama (Muthahhari, 1992: 13). Pemahaman Muthahhari tentang pemimpin yang menegakkan keadilan berkaitan erat dengan aliran Syiah yang dipegangnya dan beranggapan bahwa keadilan adalah bagian daripada tauhid yang menyangkut empat persoalan yakni ; keadilan, akal, kebebasan dan kebijakan. Kelompok Syiah juga disebut sebagai kaum ‘adaliyah (mengakui keadilan Allah). Pemikiran Syiah ini hampir sama dengan Mu’tazilah namun Syiah berbeda dalam membahas persoalan kebebasan, di mana Syiah tidak menafsirkan adanya pelimpahan kebebasan ~121
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi secara mutlak kepada manusia sebagaimana yang dipahami oleh Mu’tazilah karena paham Syiah menghindari pemberian kebebasan mutlak kepada manusia, yang akan menafikan kebebasan yang Maha Benar dan dianggap sebagai bentuk penuhanan manusia dan penyekutuan tugas-tugas Tuhan. Syiah mendukung prinsip keadilan dengan konsepnya yang komprehensif, tanpa harus mengorbankan tauhid fi’li atau tauhid zati. Keadilan telah memperoleh posisinya yang benar di samping tauhid. Keadilan dan Tauhid adalah dua sifat yang ‘alawi, sedangkan jabr dan tasbih adalah dua hal yang bersifat umawi. Syiah telah menegaskan prinsip keadilan, kehormatan akal, dan kebebasan memilih pada manusia serta penetapan hukum yang bijak di dunia ini tanpa harus menodai tauhid zati atau tauhid fi’li. Mazhab Syiah juga menetapkan kebebasan manusia tanpa harus menjadikannya mitra di dalam kerajaan Tuhan dan tanpa menjadikan kehendak Tuhan terpaksa dan terkalahkan oleh kehendak manusia. Syiah mengakui qadha dan taqdir Tuhan tanpa harus mengubah manusia menjadi sekedar alat yang dijalankan menuju qadha dan taqdir Tuhan tersebut. Dalam mazhab Teologi Syiah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tauhid telah dipecahkan dalam bentuk yang benar-benar memanifestasikan Tauhid. Manifestasi dari keadilan Ilahi sangat berpengaruh dalam pembentukan dan penetapan syariat terhadap ilmu-ilmu keislaman sejak abad pertama hijriah. Prinsip keadilan mendapat prioritas khusus dari dalam pembahasan kaum Syiah sehingga Syiah disebut kelompok “adaliyah”. Keadilan juga menjadi prinsip teologis yang membedakan Syiah dengan kelompok-kelompok lain. 122~
Ernita Dewi, M.Hum Muthahhari sebagai bagian dari pengikut Syiah menempatkan keadilan sebagai salah satu rukun iman dalam mazhabnya. Persoalan-persoalan keadilan juga menjadi bagian dari lapangan sosial yang sudah diperbincangkan sejak awal Islam dan tingkat aplikasi keadilan di kalangan masyarakat umum. Pemikiran-pemikiran yang menyangkut keadilan menjadi sangat krusial bagi seorang muslim termasuk seorang imam atau pemimpin itu harus berlaku adil. Demikian juga dengan qadhi (hakim), saksi di pengadilan, saksi thalaq atau ruju’, imam Shalat Jumát, masing-masing disyaratkan satu orang yang adil seiring dengan sabda Rasulullah SAW, “Seutama-utama jihad adalah menyatakan yang benar kepada penguasa tirani”. Statement nabi tersebut harus menjadi ucapan seseorang dan perlu diketahui bahwa kalimat pendek tersebut telah mendorong keberanian dan memberi andil yang besar terhadap pembentukan barisan kaum muslim. Sejarah keadilan dari segi aplikasinya dan pengguncangannya terhadap masyarakat Islam, merupakan persoalan yang sangat luas, serta akan terus diperdebatkan seiring perputaran zaman. Muthahhari memunculkan pertanyaan tentang sejarah keadilan secara ilmiah atau amaliah, mengapa teologi Islam di urutan pertama sebelum persoalan lain, dan mengapa kata-kata keadilan begitu melekat pada telinga politik Islam, hal ini tentu memiliki sumber rahasia yang sangat khas. Menjawab pertanyaan tersebut, Muthahhari memulai argumentasinya dengan uraian, bahwa benang hijau yang menghubungkan munculnya keadilan dalam masyarakat Islam, secara ilmiah atau amaliah, sumber pertama yang harus ~123
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi dikaji adalah pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an alKarim. Kitab agung ini benar-benar menjadi kitab yang menaburi benih-benih pemikiran keadilan pada sanubari dan jiwa manusia, kemudian menyirami dan menumbuhkannya dalam bentuk pemikiran dan filosofis, praktis dan sosial. AlQur’an secara tegas memunculkan keadilan dan kezaliman dari fenomena yang berbeda-beda, antara lain: keadilan perekayasaan, keadilan tasyri’iy, keadilan moral, dan keadilan sosial. Al-Qur’an menjelaskan bahwa bentuk keadilan tersebut didasarkan pada landasan keseimbangan dan pemerataan pada pemilikan hak dan kemampuan. Titik tolak yang diambil Muthahhari untuk menjelaskan tentang keadilan, sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat 3 (18) “ Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan juga orang-orang yang berilmu menyatakan yang demikian…; atau bahwa keadilan merupakan tolak ukur bagi Allah SWT dalam penciptaan: dan Allah telah meninggikan langit, dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (Q.S, 55: 7). Rasulullah SAW menjelaskan ayat tersebut dengan sabdanya :”dengan keadilan tegaklah langit dan bumi”. Keadilan tasyri’iy, Muthahhari mencoba membahasnya dengan penjelasan bahwa al-Qur’an memberikan perhatian yang sangat istimewa untuk masalah ini, yaitu terpeliharanya prinsip keadilan di dalam hukum yang relatif dan dalam perundang-undangan hukum (tasyri’iy qanuny). Al-Quran sebagai mu’jizat bagi umat muslim menjelaskan bahwa tujuan diutusnya para Nabi adalah untuk menegakkan sistem kemanusiaan dan memimpin kehidupan manusia atas dasar 124~
Ernita Dewi, M.Hum keadilan. Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata yang telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab neraca (keadilan) supaya mereka tegak dengan keadilan. Firman Allah tersebut adalah perintah yang secara tegas diperuntukkan pada manusia untuk menegakkan supremasi hukum dan memelihara prinsip keadilan dalam penetapan hukum, sehingga manusia mendapat bimbingan ke arah kehidupan yang berperikeadilan dan berperikemanusiaan. Rasul sebagai pemimpin yang dipercaya mampu mengantarkan umatnya ke arah penghidupan yang lebih baik, telah diutus oleh Allah juga dengan misi untuk menegakkan keadilan, karena dengan tegaknya keadilan maka langit dan bumipun akan tegak berdiri dengan kokoh. Pembentukan sistem sosial atas dasar keadilan, pertama sekali didasarkan pada hukum tasy’riiy dan qanuny yang adil, baru kemudian direalisasikan. Dalam perspektif al-Quran al-karim kepemimpinan (imamah atau qiyadah) sebagai perjanjian Ilahi (ahdan ilahiyah) yang darinya akan lahir perjuangan menentang kezaliman dan menciptakan kebahagiaan dengan bantuan keadilan. Nabi-nabi yang bertugas sebagai pembawa amanah tentang kebenaran dari Allah SWT kepada manusia, sekaligus menjadi pemimpin bagi umatnya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Para nabi diberikan kelebihan yang luar biasa dengan diawasi langsung oleh Allah SWT melalui malaikat, sehingga memungkinkan bagi nabi untuk menjalankan tugasnya dengan baik . Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya nabi Ibrahim sebagai imamah. AlQuran menjelaskan “ Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji oleh ~125
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). Lalu Ibrahim menunaikannya, Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu pemimpin untuk seluruh manusia. ”Ibrahim berkata: “Dan (saya) memohon juga termasuk dari keturunan ku. “Allah berfirman : Perjanjian ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim (Q.S, 2 : 124). Ketika Allah SWT menetapkan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin, Nabi Ibrahim mengharapkan keturunan-keturunannnya juga menjadi pemimpin. Kepemimpinan merupakan perjanjian Tuhan yang tidak boleh dipegang oleh orang-orang yang zalim dan tidak bertanggung jawab. Al-Quran al- Karim di beberapa ayat menyebutkan bahwa manusia yang mempunyai moral berarti menjadi pemilik keadilan, dan ketika berbicara tentang perselisihan, penetapan hukum dan orang yang patut di pegang pendapatnya, al-Quran menunjuk orang yang mempunyai keadilan. Keadilan dalam pemikiran Islam berada dalam lingkaran Qur’ani yang dimulai dari Tauhid hingga Maad (hari akhirat), dari Nubuwwah (kenabian) hingga imamah dan kepemimpinan : dari cita –cita individual hingga tujuan sosial. Dengan demikian keadilan menjadi pendamping bagi tauhid untuk mencapai kesempurnaan bagi seseorang dan tanda kesejahteraan masyarakat, ketika keadilan dihubungkan dengan tauhid dan maad, keadilan mempunyai makna terhadap pandangan manusia tentang wujud dan alam. Ini berarti, pada dasarnya keadilan itu menjadi pandangan dunia (world view). Keadilan dalam kaitannya dengan nubuwwah dan perundangundangan menjadi tolak ukur dan standar untuk mengetahui hukum, di samping memberi keleluasaan bagi akal untuk 126~
Ernita Dewi, M.Hum berijtihad setelah mendapatkan ketentuan yang ada dalam alQuran dan sunnah. Keadilan dalam perbincangan kepemimpinan dipandang sebagai kelayakan dan cita-cita manusia, dan untuk masalah sosial dinamakan tanggung jawab. Muthahhari berpendapat bahwa apabila kita melihat seseorang tidak mempunyai sikap jelek terhadap orang lain, tidak melanggar hak-hak di antara mereka, tidak membedakan sebagian orang dari sebagian yang lain, ia bekerja pada suatu daerah dan bertanggung jawab terhadap negara, memperlakukan masyarakat secara sama dan tidak mengenal pilih kasih, apabila terjadi perbedaan pendapat yang dibelanya adalah orang teraniaya dan ditentangnya orang yang menganiaya, maka dapatlah dipandang orang tersebut memiliki kesempurnaan. Sikap hidup seperti itu menunjukkan sikap baik sehingga orang tersebut dapat disebut orang adil.
~127
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
BAB VI MEWUJUDKAN PEMIMPIN IDEAL DALAM APLIKASI
Perjuangan mewujudkan pemerintahan yang adil dengan seorang pemimpin yang ideal harus terus dikumandangkan seiring dengan perkembangan manusia dalam bernegara. Tidak seorangpun menyetujui bila negara yang dibangun atas keyakinan bersama untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat – dalam istilah Plato disebut Common Bonum dan Common Welfare- kemudian berubah menjadi pemerintahan tirani yang penuh kezaliman. Masing-masing individu dalam kehidupan bermasyarakat berhak menuntut diperlakukan secara adil dan berkewajiban melawan segala bentuk penindasan. Sikap ini dipandang rasional dan manusiawi mengingat pentingnya pemimpin menegakkan keadilan dan memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya. Pemimpin Islam adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kehidupan rakyat jelata. Mata, telinga, dan pikiran harus mampu menjangkau ke setiap sudut wilayah kekuasaannya, agar setiap air mata rakyat yang mengalir dapat diketahui oleh pemimpinnya. Sebagai negarawan 128~
Ernita Dewi, M.Hum muslim, tanggung jawab yang luar biasa telah ditunjukkan dalam kepemimpinan Rasulullah SAW, yang rela mengorbankan harta dan jiwanya bagi keselamatan umatnya. Sikap ini kemudian mewarnai kepemimpinan para sahabat sepeninggal beliau, setidaknya seperti terlihat dari kritik tajam seorang wanita miskin yang ditujukan kepada Umar R.A, yang membuat Umar ketakutan dan sedih akibat kelalaiannya menjalankan amanat sebagai pemimpin. Umar ibnu Khattab R.A memohon wanita miskin tersebut memaafkan dirinya. Suatu sikap yang sangat utopis dilakukan oleh pemimpin dewasa ini, yang selalu berkata bahwa dia sudah banyak berbuat untuk kesejahteraan rakyatnya, padahal kita tahu bahwa kebiasaan pemimpin sekarang sangat kurang peduli pada rakyatnya. Sikap kepemimpinan Umar juga diikuti oleh Abu Bakar R.A, Usman R.A, dan Ali R.A sebagai pemimpin ideal yang telah teruji dan mendapat jaminan surga. Ilustrasi dari kepedulian seorang pemimpin kepada rakyatnya ditunjukkan oleh Rasulullah yang sering tidak makan sampai berhari-hari, dan hanya tidur di pelepah kurma demi membantu umatnya. Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin senantiasa setia berada di barisan depan dalam setiap pertempuran, bahkan beliau ikut serta mengangkat pangki ketika membangun mesjid. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Umar bin Khathab R.A yang suatu ketika pernah ditemukan tidur di lapangan terbuka saat seseorang mencari khalifah yang disangkanya berada di dalam istana yang megah. Kesederhanaan hidup Nabi SAW dan para sahabatnya membuktikan bahwa kekuasaan bagi seorang muslim bukanlah segala-galanya, dan bukan sarana untuk ~129
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi mendapatkan fasilitas hidup yang berlebihan. Memang sudah sepantasnya seorang pemimpin harus di layani dengan baik dan bersahaja oleh rakyatnya, namun tidak dengan cara berlebihan, karena hal tersebut akan memicu ke arah gaya kehidupan yang hanya mau dilayani dan tidak mau melayani. Kondisi bangsa Indonesia yang saat ini telah semakin terpuruk akibat krisis ekonomi, krisis kepercayaan, tingginya hutang dengan negara-negara maju, munculnya berbagai penyakit, terjadinya bencana alam, maraknya korupsi, terasa belum terlambat bagi pemimpin, aparatur negara dan rakyat untuk bersama-sama membangun negeri ini menuju kehidupan adil dan makmur. Optimisme harus dibangun bersamaan dengan dibangunnya kesadaran, bahwa ketidakadilan dan kezaliman merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Langkah ke depan untuk membangun puingpuing reruntuhan menuju kesejahteraan adalah kewajiban setiap komponen bangsa. Semua pihak harus menyadari dan menyesali semua tindakan kezaliman, dan sebagai bangsa yang beragama memohon ampun serta petunjuk kepada Allah SWT adalah sikap terpuji yang patut dibanggakan. Untuk mengembalikan citra kepemimpinan pada hakekat yang sebenarnya, maka seorang pemimpin harus mampu mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan rakyat banyak. Jangan berjuang untuk memperkaya diri sendiri, tapi berjuanglah untuk mensejahterakan rakyat. Pola hidup sederhana sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, perlu diaplikasikan kembali oleh para pemimpin di zaman sekarang ini, karena 130~
Ernita Dewi, M.Hum pola hidup sederhana akan mengantarkan pribadi seorang pemimpin menjadi tawadhu’ dan tidak memiliki ambisi dalam bidang materi. Kepuasan telah diperolehnya secara bathiniah dan bukan secara fisik. Kebahagiaan fisik merupakan refleksi dari kebahagiaan semu yang tidak tetap, dan selalu tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki, akan tetapi kebahagiaan bathiniah, merupakan kebahagiaan hakiki yang didapatkan sejalan dengan suara hati. Ari Ginanjar Agustian (2003:3), mengutip contohcontoh pemimpin perusahaan yang menempati urutan orang terkaya di dunia, sebagai figur orang-orang yang hidup dalam kesederhanaan. Soichiro, pendiri Honda Motor adalah pemimpin dari 43 perusahaan yang berada di 28 negara. Kehidupan Soichiro jauh dari predikatnya sebagai pemimpin perusahaan besar, ia tidak memiliki harta pribadi dan tinggal di rumah yang sederhana. Satu-satunya hobi yang amat disukainya adalah melukis di atas kain sutera. Bahkan ia tidak memberikan warisan kepada anak-anaknya, kecuali mengajarkan kepada mereka agar sanggup berusaha sendiri dan hidup mandiri. Perusahaan lainnya di Jepang, Kyoto Ceramics, yang bergerak di bidang semi-konduktor mampu mencapai omzet 400 juta US Dollar dalam setahun. Keuntungan bersihnya setelah di potong pajak adalah 12%. Akan tetapi cara hidup pemimpinnya, amatlah sederhana yaitu “memandang rendah kemewahan” (Agustian, 2003 : 3). Pastinya kita bertanya, kekuatan apa yang ada di balik kepribadian mereka, sehingga mereka mampu menciptakan imperium bisnis raksasa kelas dunia, padahal mereka bukan~131
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi lah pengejar harta. Hal ini terbukti dari cara hidup mereka yang sangat sederhana, juga dari filosofis bisnisnya, yang bukan berorientasi pada pemuasan dan memperoleh uang yang banyak (Agustian, 2003 : 4). Sikap hidup seperti ini telah beberapa abad yang lalu dijalani oleh rasulullah dan para sahabatnya. Sebagaimana yang dicontohnya oleh Umar R.A yang mendapat julukan alFaruq dari Rasulullah SAW. Umar yang 13 tahun lebih muda dari rasul Allah itu, lahir dari seorang bangsawan Quraisy yang kaya raya. Meski demikian, khalifah kedua yang pada zamannya telah membentangkan kejayaan Islam dari Mesir, Syam, Iraq, dan kerajaan Persia, selalu hidup penuh kesederhanaan. Bahkan Umar R.A sering ditemui tidur di alam terbuka dengan pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan, sebagaimana kebiasaan penguasa Romawi yang hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Pemimpin-pemimpin besar seperti Rasulullah SAW dan para sahabat, juga pemimpin-pemimpin sekarang yang dapat menjalankan amanahnya secara baik, di dalam diri mereka terdapat kekuatan luhur dari nilai-nilai spiritual yang terpancar dari sikap dan perbuatannya. Nilai-nilai spiritualisme itu mampu menghasilkan lima hal yaitu: integritas atau kejujuran, energi atau semangat, inspirasi atau ide dan inisiatif, wisdom atau kebijaksanaan, dan keberanian dalam mengambil keputusan (Agustian, 2003: 5) Spritualisme terbukti mampu membawa seseorang menuju tangga kesuksesan dan berperan besar dalam menciptakan seseorang menjadi powerful leader. Sikap inipun dapat mengantarkan seorang pemimpin menjadi pemimpin 132~
Ernita Dewi, M.Hum ideal dan dicintai, karena tidak seorangpun di dunia ini yang tidak menyukai pemimpin yang jujur, adil dan bertanggung jawab. Apabila seorang pemimpin menginginkan dirinya menjadi sukses maka dia perlu menunjukkan sifat-sifat yang baik, seperti: jujur, berpikiran maju, kompeten, dapat memberi inspirasi, cerdas, adil, berpandangan luas, suka mendukung, terus terang, bisa diandalkan, suka bekerja sama, tegas, berdaya imajinasi, berambisi, berani, penuh perhatian, matang/ dewasa dalam berpikir dan bertindak, loyal, mampu menguasai diri, dan mandiri (Agustian,2003: 5-6) Karakter jujur menduduki posisi teratas yang menjadikan seorang pemimpin berhasil dalam kepemimpinannya. Jujur merupakan modal awal untuk membangun kepercayaan rakyat untuk pemimpin. Apabila kejujuran tidak ada lagi, maka kepercayaan rakyat hilang, dan seorang pemimpin akan salah arah dalam kepemimpinannya. Disamping itu sikap adil sangat diperlukan untuk menciptakan keharmonisan dan kesetaraan hidup masyarakat yang dipimpinnya.
~133
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
BAB VII PENUTUP
Saat ini bangsa Indonesia hidup dalam kondisi yang multi krisis, terutama krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin. Banyaknya kasus yang terungkap tentang kisah nyata pemimpin dari tingkat tinggi maupun rendah, melakukan korupsi dan bertindak tidak jujur terhadap amanah rakyat, telah membuat luka hati dan rasa tidak percaya rakyat kepada pemimpinnya. Kondisi ini sangat menakutkan, karena apabila pemimpin tidak lagi menjadi panutan maka rakyat akan bertindak brutal dan kehilangan kendali dalam bertindak. Seharusnya pemimpin menjadi contoh bagi rakyat untuk melakukan perbuatan mulia, yang bertujuan menciptakan kenyamanan dan kesejahteraan bagi rakyat. Negara Indonesia sekarang ini kehilangan kepercayaan rakyat untuk para pemimpin, padahal kepercayaan merupakan modal utama pelaksanaan pembangunan ke arah yang lebih baik. Kondisi seperti ini tidak seharusnya berlanjut, kita masih memiliki kesempatan memperbaiki diri menjadi lebih baik dari sebelumnya. Mari kita kembali belajar dari pemimpin-pemimpin besar dunia Islam, yang dapat menjadi pemimpin yang dicintai, berpengaruh, bahkan eksistensinya abadi sampai dengan sekarang ini. Mereka adalah pemimpin yang memimpin berdasarkan al-Quran dan sunnah, serta 134~
Ernita Dewi, M.Hum selalu mendengar suara hati terdalam, yang senantiasa membisikkan kebaikan dan kemuliaan. Menjalani hidup penuh kesederhanaan, jujur, adil, berkata benar dan bertanggung jawab terhadap komitmen yang telah dibuatnya. Pemimpin-pemimpin Indonesia saat ini baik di tingkat presiden, gubernur, bupati, camat, dan pemimpin lainnya, dapat belajar dari kesuksesan kepemimpinan nabi dan para sahabat. Walaupun itu terasa sulit, tetapi bila diniatkan untuk bekal di hari akhirat, maka hal itu akan terasa ringan. Begitu juga dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para pemikir Islam tentang pemimpin ideal, selayaknya dibaca dan dijalankan agar seorang pemimpin mendapatkan tempat di hati rakyat dan mendapatkan surga di sisi Allah SWT. Hendaknya seorang pemimpin mengikis habis obsesi dirinya menjadi pemimpin untuk memperkaya diri dan kronikroninya, dengan mengkhianati amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Sungguh perbuatan tersebut akan di balas oleh Allah SWT, dengan siksaan yang amat pedih. Sejatinya pemimpin sekarang, memulai hidup sederhana dan menjauhkan kemewahan agar ambisi terhadap harta benda dapat tereliminasi. Apabila pemimpin kita terus merujuk dirinya pada gaya hidup materialistis, dengan menjadikan harta sebagai tujuan terakhir, maka dapat dipastikan kepemimpinannya tidak berhasil, akibat dibutakan oleh kepentingan pribadi yang pada ujungnya dapat menghancurkan kehidupan rakyat banyak Kepada Allah SWT kita memohon petunjuk dan hidayah, agar godaan dunia yang melenakan kita kepada harta benda dan kekuasaan, dapat kita lawan dengan bantuan Allah ~135
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi SWT. Untuk semua rakyat Indonesia kita harapkan dapat memilih pemimpin-pemimpin yang hatinya berlandaskan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Janganlah memilih pemimpin karena uangnya, tapi pilihlah pemimpin yang memang dia memiliki sifat dan kriteria seorang pemimpin.
136~
Ernita Dewi, M.Hum
~137
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya, 1989, PT. Al Ma'arif, Bandung Al-Farabi, Abu Nashr, 1959, Kitab Ara’ahl al-Madinah alFadhilah, dalam Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, Bulan Bintang, Jakarta Al-Ghazali, 1967, Al-Tibbr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, terj, Ahmadi Thaha, Nasihat Bagi Penguasa, Mizan, Bandung Agustian, Ari Ginanjar, 2001, E S Q Emotional Spritual Quotient, Penerbit arga, Jakarta ------------, 2003, E S Q Power, Penerbit Arga, Jakarta Al-Maududi, Abul A'la, 1940, Manhaj Ingilabi Islam, alih bahasa: M. Thalib, "Proses Terbentuknya Negara Islam", LSI, Yogyakarta ---------, 1987, Syari’at dan Hak-Hak Azasi Manusia, dalam Harun Nasution dan Bachtiar Effendi (penyunting), Hak Azasi Manusia dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta Ahmad, Mumtaz, ed, 1986, State Politics and Islam, America Trust Publications, Washington Ahmad, Zainal Abidin, 1973, Piagam Nabi Muhammad SAW, Bulan Bintang, Jakarta 138~
Ernita Dewi, M.Hum ---------, 1974, Negara Adil dan Makmur Menurut Ibnu Sina, Bulan Bintang, Jakarta ---------, 1974, Ibnu Siena (Avicenna) Sarjana dan filosof Besar Dunia, Bulan Bintang, Jakarta Anoraga, Pandji, 1990, Psikologi Kepemimpinan, Rineka Cipta, Jakarta. Aristotle,1962, The Politics, Penguin Books Inc, Ambasador Road, Baltimore, Maryland, U.S.A Azhar, Muhammad, 1997, Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat, Raja Grafindo Persada, Jakarta Azhari, Muhammad Tahir, 1992, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implimentasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta Azzam, Salim, 1974, Concept of Islamic State, terj, Malikul Awwal, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, Mizan, Bandung Bertens, K., 1979, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta Daudy, Ahmad, 1986, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta Djaelani, Abdul Kadir, 1994, Sekitar Pemikiran Politik Islam, Media Da'wah, Jakarta ----------, 1995, Negara Ideal menurut Konsepsi Islam, Bina Ilmu, Surabaya ~139
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Effendi, Djohan. ed., 1986, Iqbal, Pemikiran Sosial dan SajakSajaknya, PT Pantja Simpati, Jakarta Esposito, John. L, 1984, Islam and Politics, Syracuse University Press, New York Faris, Muhammad Abdul Qadir, 1987, An-Nidamu al-Siyasi fi al-Islam, terj, Noer Ali, Hakikat Sistem Politik Islam, PLP2M, Yogyakarta Firdaus. A.N 2000, Detik-Detik Terakhir kehidupan Rasulullah, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta Fowler. H.W., Fowler, F.G., 1964, The Concise Oxford Dictionary of Current English, Oxford University London Haikal, Hussain Muhammad, 1995, Hayat Muhammad, terj, Ali Audah, Intermasa, Jakarta Haricahyono, Cheppy, 1991, Ilmu Politik dan Perspektifnya, Tiara Wacana Yogyakarta Hart, Michael, 1985, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, P.T. Midas Surya Grafindo, Jakarta Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta Jamil, Ahmad, 1984, Hundred Great Muslim, Ferozsons, Ltd, Lahore, Pakistan Jindan, Ibrahim Khalid, 1979, The Islamic Theory of Government according to Ibn Taimiyah, Georgetown University, Washington D.C.
140~
Ernita Dewi, M.Hum Kartono, Kartini,1998, Pemimpin dan Kepemimpinan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Khadduri, Majid, 1984, The Islamics Conceptions of Justice, Terj, Mochtar Zoerni, Teologi Keadilan, Risalah Gusti, Surabaya Khalid, Muhammad Khalid, 1985, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Peri Hidup Khalifah Rasulullah, C.V Diponegoro, Bandung Kusnardi, M., Saragih, Bintan R, 1994, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta --------, 1990, Nidhamul Hukmi fil Islam, terj, M. Thalib, Politik dan Negara dalam Islam, Al Ikhlas, Surabaya Mustofa, H. A, 1997, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung Muslehuddin, Muhammad, 1991, Philosophy of Islamic Law, alih bahasa : Yudian Wahyuni Asmin, "Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis",Cet.I, Tiara Wacana, Yogyakarta Muthahhari,Murthadha, 1981, Al-'Adl al-Ilahy, alih bahasa: Agus Effendi, "Keadilan Ilahi", 1992, Mizan, Bandung ----------,1985, Society and History, The council for Ten Day Daws Celebration, Taheran ---------,1990, Man and Universe, terj, Satrio Pandito, Imamah dan Khalifah, Pustaka Firdaus Jakarta ---------, 1992, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, Mizan, Bandung ~141
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi Nasution, Harun, 1994, Islam Pemikiran, Mizan, Bandung
Rasional: Gagasan
dan
Ndara, Talizidulu, 2003, Kybernologi (Ilmu Pemerinatahan baru), Rineka Cipta, Jakarta Plato, 1958, The Republics, Translated and Introduction by A.D. Lindsay, London J. M. Dent & Sons Ltd Qara'ati, Muchsin, 1991, Lesson From Qur'an, alih bahasa : Yudi Kurniawan, "Al Quran Menjawab Dilema Keadilan", Cet. I, CV. Firdaus, Jakarta Rapar, J.H., 1988, Filsafat Politik Aristoteles, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta Salim, Abd.Muin,1994, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam alQuran, Raja Grafindo Persada, Jakarta Schmid, Von, J. J, 1988, Grote Denkers Over Staat En Recht (Van Plato to Kant), alih bahasa, Wiratno. R, "Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum", Cet. VI, Pembangunan, Jakarta Sharif, M. M. ed., 1995, History of Muslim Philosophy, Low price Publications, Delhi Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Sjadzali, Munawir, 1991, Islam and Governmental System: teachings, history and reflections, INIS, Jakarta Stumpf, Samuel Enoch, 1975, A History of Philosophy Socrates to Sartre, MC, Graw Hill Book Company, Vanderbilt University, New York 142~
Ernita Dewi, M.Hum Suseno, Franz Magnis, 1997, 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani sampai abad ke 16, Kanisius, Yogyakarta ----------, 1998, Jika Rakyat Berkuasa, Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal, ed., Tim Maula, Pustaka Hidayah, Bandung Syafi’ie, Inu Kencana, 1995, Ilmu Pemerintahan dan al-Quran, Bumi Aksara, Jakarta ---------, 2000, Al Quran dan Ilmu Administrasi, Rineka Cipta, Jakarta ---------, 1996, Al Quran dan ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta Taimiyah, Ibnu, 1951, As Siyasah Asy Syar’iyah fii Islahir Raa’i war Ra’iyyah, Terj, Munawar Rufi, Siyasah Syar’iyah Etika Politik Islam, Risalah Gusti, Surabaya ----------, 1951, As Siyasah Asy Syar’iyah fii Islahir Raa’i war Ra’iyyah, Terj, Muh Munawwir az Zahidi, Kebijaksaanaan Politik Nabi SAW, Dunia Ilmu, Surabaya Weij, P. A. Van Der, 1998, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, Gramedia, Jakarta
~~
~143
144