erjaan membebaskan tawanan sudah selesai. Ia meletakkan lentera itu ke atas lantai, lalu mundur selangkah. “Apakah kalian menunggu bantuanku untuk menemukan lentera sial itu?” tanyanya dengan berang. “Inilah lenteranya! Telah saya temukan di sini!” seru seorang abdi gembira. “Tetapi minyaknya sudah tumpah!” “Lekas ambil minyak lagi untuk menggantikan yang tumpah itu. Biar untuk sementara kita nyalakan sumbunya tanpa minyak.” Alfonso mengambil korek api dan menyalakan lampu. Kemudian ia membuka pintu ruang tawanan, yang sudah ditutup kembali dengan rapi oleh notaris itu, lalu menyinarkan cahaya lampunya ke dalam. Ia membuka pintu sedemikian, sehingga para abdi tidak dapat melihat ke dalam kamar. “Tawanan itu sedang tidur atau pura-pura tidur!” kata Alfonso lalu menutup kembali pintu itu. “Baik kita jangan ganggu dia!” Sambil mengucapkan kata-kata itu berpalinglah ia dan naik tangga. Dalam pada itu Notaris diam-diam pergi membawa tawanan itu. Mereka meninggalkan puri tanpa diketahui orang. Akhirnya ketika mereka mengira keadaan sudah cukup aman, advokat itu berhenti, lalu berkata menyindir, “Bagus benar kau laksanakan tugasmu itu. Tentu kamu sekarang minta dibayar juga.” “Maaf, Senor!” jawab tawanan itu. “Sepandai-pandai tupai meloncat, sekali gagal juga.” “Ya, tetapi jangan pada kesempatan sepenting ini! Nampaknya seolah-olah pemimpinmu sengaja mengirim orang-orang yang berjiwa pengecut.” Perampok itu mendekatinya, lalu berkata menantang. “Anda bermaksud menghina saya?” “Habis bagaimana aku harus menamakannya? Bila bergerombol menghadapi seorang lawan, dan masih juga gagal, apakah mereka itu bukan orang yang berjiwa pengecut?” “Memang berkata itu lebih mudah daripada berbuat. Anda sendiri sanggupkah mengerjakannya? Anda sepanjang hari hidup bersama dengan orang itu. Cukup waktu dan kesempatan untuk menyingkirkannya, bukan? Namun hal itu tidak terjadi. Sebaliknya Anda harus minta bantuan orang lain untuk melakukannya. Bukankah Anda juga seorang pengecut? Camkanlah itu! Anda bukan pemimpin saya. Maka tak perlu saya menerima segala perlakukan Anda yang kurang sopan itu. Anda tidak lebih baik sedikit pun dari saya. Setali tiga uang. Awas! Bila saya mengadukan Anda, Anda akan celaka! Jangan suka melontarkan tuduhan yang bukan-bukan! Ingat, bahwa di antara kawan-kawan saya tidak ada yang berjiwa pengecut!” “Baik! Tetapi mengapa kalian tidak dapat membunuh orang itu?” “Yah. Siapa dapat menduga lebih dahulu, bahwa raksasa itu begitu kuat dan pandai berkelahi!” “Bukankah kalian berkelompok menghadapinya?” “Benar, tetapi kami hanya dibolehkan menyerang dengan pisau. Itulah perintah Anda. Sebenarnya tembakan dengan peluru adalah cara yang lebih aman, tetapi Anda tidak menyetujui. Jadi nyatalah, Anda sendiri yang harus memikul tanggung jawab kegagalan usaha itu.”
“Jadi,” kata Notaris sambil tertawa, “mungkin juga maksudmu untuk memaksa aku membayar upahmu, seakan-akan kamu telah melakukan kewajiban dengan semestinya.” “Memang saya bermaksud minta upahku. Anda sendiri yang bersalah. Anda wajib membayar upah saya!” “Aku tidak mau membayar, sebelum dokter itu mati.” “Bunuh saja sendiri—sanggup atau tidak!” “Itu kan pekerjaan kalian!” seru Notaris dengan berang. “Kini sudah bukan tugas kami lagi! Kami telah melakukan apa yang ditugaskan kepada kami. Tugas itu tidak berhasil dengan baik, tetapi itu bukan salah kami. Saya menuntut diberi bayaran. Bila Anda merasa sayang membayar upah itu, maka Anda akan menyesal. Kemudian Anda harus membayar uang berlipat ganda banyaknya. Pemimpin kami akan menuntut ganti rugi untuk kawan kami yang telah tewas.” “Persetan kau, laknat!” “Baik! Saya akan patuhi perintah Anda! Saya akan pergi!” kata perampok itu sambil tertawa mengejek. Langsung ia menghilang dalam kegelapan malam. Perkembangan demikian sama sekali tidak diduga oleh Notaris. Ia memanggil dengan suara yang sekeras masih dimungkinkan oleh keadaan tanpa membahayakan dirinya, tetapi tidak mendapat jawaban. Ia mulai merasa takut. Mungkinkah ia diadukan oleh perampok itu? Kalau itu terjadi, maka rencana yang muluk-muluk, yang dengan tekun dibina sejak dahulu, akan kacau-balau dibuatnya. Ia kembali lagi ke puri dengan hati cemas lalu tidur, namun tidak mendapat istirahat yang diinginkannya. Semalaman ia tidak memejamkan mata. Keesokan paginya ia mendengar suara hirukpikuk di dalam puri. Dari suara-suara yang didengarnya ia mendapat kesimpulan, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Ia terbangun. Ia mendengar pintu kamarnya diketuk orang. Suara seorang abdi kedengaran di luar pintu. “Anda masih beristirahat, Senor Cortejo?” “Masih,” jawabnya hati-hati. “Bangunlah, Senor! Don Manuel ingin berbicara dengan Anda. Ada sesuatu telah terjadi. Perampok itu telah lepas tadi malam.” “Tak mungkin!” seru advokat itu pura-pura terkejut. “Aku segera datang!” Tidak lama kemudian ia meninggalkan kamarnya pergi ke Pangeran. Di kamar Pangeran sudah hadir Putri Roseta, Senora Clarissa, dan Alfonso. “Sudahkah Anda dengar berita yang mengejutkan itu?” tanya Don Manuel. “Sudah,” jawab Cortejo, “akan tetapi saya rasa berita itu salah.” “Tidak salah. Perampok itu benar-benar telah lepas.” “Mana mungkin! Bukankah tawanan itu dijaga ketat oleh dua orang abdi?” “Namun ia sudah menghilang tanpa bekas.” “Hm!” geram Notaris sambil memasang muka, seolah-olah ia terkejut sekali. “Sudahkah Anda mendengar dari Alfonso, bahwa semalam ia telah menyaksikan tawanan itu masih ada?” “Ya. Putraku telah mengunjungi ruang tahanan itu dan ia melihat sendiri tawanan itu sedang tidur di lantai.”
“Kalau begitu, mereka itu dilepas oleh para abdi penjaganya sendiri. Tidak ada keterangan lain lagi yang masuk akal.” “Itu tidak mungkin. Kedua abdi itu begitu terkejut sehingga saya tidak dapat mencurigai sedikit pun.” “Saya pun percaya, bahwa para abdi tidak bersalah,” kata Roseta dengan nada meyakinkan. “Mereka orang-orang yang setia, itu dapat saya jamin.” “Tetapi bagaimana perampok itu dapat melepaskan diri, kalau tidak dengan pertolongan mereka?” tanya ahli hukum itu. “Itu yang akan kita selidiki. Ayahku telah memanggil Anda untuk membantu penyelidikan itu.” “Bagus! Saya harap, penyelidikan akan membawa hasil yang nyata. Saya langsung akan pergi ke tempat kejadiannya.” Sudah dapat diduga, bahwa penyelidikan itu tak akan membawa hasil. Sternau pun terbangun dari tidurnya oleh hiruk-pikuk dalam puri itu. Segera ia pergi untuk melihat apa yang terjadi. Di lorong ia bertemu dengan penjaga puri yang kelihatan sedang bingung sekali. “Anda sudah mengetahui?” tanya Alimpo cepat. “Pembunuh itu telah melarikan diri.” “Tak mungkin,” seru dokter itu terkejut. “Namun kenyataannya demikian,” jawab Alimpo. “Ia menghilang, tanpa meninggalkan bekas. Itu pun dikatakan oleh Elviraku.” “Tetapi saya tidak mengerti. Bagaimana tawanan itu dapat meninggalkan ruang tahanan?” “Tak seorang pun mengetahui, bahkan Elviraku pun tidak. Saya menugaskan dua orang abdi menjaga di muka pintu. Pangeran Alfonso pun turut menyaksikan tawanan itu sedang tidur di ruang tahanan. Tadi pagi, ketika para abdi masuk ke dalam ruang untuk mengantar air minum, tawanan itu sudah hilang!” “Sangat mengherankan! Itu harus diselidiki! Bila orang itu melarikan diri, usaha pembunuhan pada diri saya kemarin tidak mungkin menjadi terang!” “Sayang sekali, Tuan! Kini datang orang-orang yang berwajib mengadakan penyelidikan, dan pelaku utamanya, pembunuh itu, justru telah menghilang. Sangat menyedihkan dan memalukan. Demikian dikatakan juga oleh Elviraku. Tetapi saya sudah cukup membuang waktu mengobrol di sini. Saya mempunyai tugas. Saya harus mengantar Condesa Roseta dengan kereta kuda ke Kota Pons.” Alimpo segera pergi, karena ia sekarang harus melakukan tugas mulia, yaitu melindungi putri majikannya dalam perjalanan, supaya tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Hal itu membuatnya merasa bangga, membuat otot-otot tubuhnya yang kecil itu berkembang besar serta mempunyai keberanian seekor singa. Meskipun ia tidak dipersenjatai dengan pedang zaman kuno yang pernah dipuji sifatnya kepada istrinya itu, rasanya ia seorang pahlawan besar yang setiap saat dapat membela putri majikannya itu.
BAB V
SEORANG LETNAN PERANCIS Hari itu di Kota Pons terdapat pekan raya. Karena itu jalan-jalan yang menghubungkan kota itu dengan daerah-daerah sekitarnya menjadi ramai sepanjang hari. Bangsa Spanyol terkenal sebagai bangsa yang bersungguh-sungguh, namun bila tiba waktunya untuk melihat hidup dari sudut gembira, akan diraihnya kesempatan itu dengan dua belah tangannya. Dua orang sedang kelihatan menempuh jalan dari arah utara menuju ke kota. Mereka menghindari jalan raya dan hanya melalui jalan-jalan kecil, supaya tidak usah berjumpa dengan orang-orang. Mereka memanggul bedil Pirenea berlaras panjang serta membawa beberapa pistol dan pisau belati tersisip pada ikat pinggangnya. Dengan demikian mereka tidak menimbulkan kesan, bahwa mereka orang-orang yang cinta damai. Salah seorang di antara mereka menyandang seutas tali. Di ujungnya tergantung segulung kain hitam. Dalam keadaan terbuka kain itu akan dapat kita ketahui sebagai topeng, yang juga dipakai para perampok yang telah menyerang Dokter Sternau di Rodriganda itu. Adakah hubungan antara orang-orang ini dengan pembunuh-pembunuh Dokter Sternau itu? Memang ada. Yang seorang ialah yang sempat melarikan diri setelah serangannya ternyata gagal, yang seorang lagi ialah perampok yang dibebaskan Notaris. Setelah diputuskan percakapan dengan notaris itu, maka ia cepat-cepat meninggalkan Rodriganda, menuju Kota Pons. Di tengah jalan ia berjumpa dengan kawan yang sedang bersembunyi, sedang menanti perkembangan lebih lanjut dari peristiwa itu. “Nah, bagaimana sekarang!” kata salah seorang setelah lama mereka berjalan tanpa bercakap. “Bagaimana pendapatmu, Bartolo?” “Aku akan kembali lagi ke Capitano.” “Bodoh kau, kalau mau kembali lagi!” kata yang lain. “Kita akan kena marah dan tidak akan lepas dari hukuman kita, karena kegagalan usaha kita. Sekurangkurangnya kita akan sepuluh kali tidak mendapat bagian harta rampasan.” “Bagus kalau sampai di situ saja akibatnya. Mungkin hukumannya lebih kejam lagi!” kata Bartolo. “Kau benar Juanito, namun kita harus taat juga. Kita sudah mengucapkan sumpah setia.” “Kuanggap tak perlu memegang janji pada seorang pemimpin perampok. Aku ikuti teladan kaum saudagar. Kini aku akan membuka usaha sendiri. Kau ikut aku atau tidak?” “Aku? Hm!” “Coba bayangkan, Bartolo! Capitano mendapat sebagian besar dari apa yang kita kumpulkan. Semua rahasia, siasat, dan rencana dipegangnya sendiri. Kita yang mengerjakan segalanya, kita yang dimasukkan ke dalam penjara atau digantung. Ia sendiri tinggal di rumah dengan aman. Ia hanya memimpin saja. Kau sudah mengetahui, berapa banyak uang yang sudah diterima sebagai upah untuk membunuh dokter itu. Dan berapakah yang akan direlakan untuk diserahkan kepada kita?” “Ya, hanya sedikit sekali yang dapat kita harapkan. Itu sudah pasti.” “Bukankah lebih baik berusaha sendiri tanpa menjadi kaki tangan orang lain? Umpamanya kita dapat menawan seorang bangsawan kaya-raya. Kita dapat minta uang tebusan besar, yang dapat kita nikmati bersama.” “Kau benar juga, Juanito! Kalau begitu, kita harus meninggalkan tempat ini. Bila diketahui oleh Capitano, tamatlah riwayat kita ini.”
“Kita akan menyeberang Sungai Ebro. Tetapi kita harus mengumpulkan uang lebih dahulu untuk ongkos perjalanan. Pada saat ini di Pons diadakan pekan raya. Orang-orang akan membawa uang lebih yang tidak mereka perlukan sendiri. Itu dapat dipakai untuk keperluan kita. Ayo, kita pergi sekarang!” “Baiklah! Jadi engkau mempunyai bedil!” “Bedil-bedil dan pistol-pistol yang harus kita tinggalkan, karena hanya boleh menyerang dengan pisau saja ketika itu. Kebetulan aku mempunyai dua bilah pisau. Boleh kuberi sebilah.” “Tetapi dengan bedil dan pistol itu kita akan menarik perhatian.” “Bodoh! Apa yang belum kita perlukan, kita sembunyikan dahulu.” Mereka tidur semalam dalam hutan. Keesokan paginya mereka menanam senjata mereka yang belum diperlukan. Kemudian mereka berangkat menuju Kota Pons. Mereka tidak bermaksud masuk kota itu, karena pekerjaan itu terlalu berbahaya bagi mereka. Mereka bermaksud bersembunyi di luar kota di suatu tempat persembunyian. Dari tempat itu mereka menghadang orang-orang yang lalu dan membawa uang banyak. Dengan demikian mereka berharap dapat mengumpulkan cukup uang sebagai bekal belanja. Mereka sedang berbaring di balik semak belukar dan melihat orang-orang lalu lintas, tanpa mereka bergerak dari tempat persembunyiannya, karena di antara orang yang lalu tidak menimbulkan kesan membawa uang banyak. Tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan putaran roda kereta. Bartolo menjenguk keluar dari semak-semak, namun ia menarik diri kembali dengan terkejut. “Ada apa? Siapakah dia?” tanya Juanito. “Astagfirullah! Betapa terkejutnya aku!” jawab yang lain. “Itulah Condesa dari Rodriganda, yang ditemani oleh dokter itu, ketika kita menyerangnya.” “Benarkah? Bagus, itu mangsa kita.” Sekarang giliran Juanito untuk mengintip dari balik semak-semak. “Ya, kau benar” katanya. “Tetapi begitu cepat jalannya. Kita tidak sempat menembak.” “Menembak?” tanya Bartolo. “Kau kan tidak bermaksud membunuhnya!” “Bukan orangnya. Aku hanya ingin menembak kudanya, supaya kereta itu terpaksa berhenti dan mereka dengan sendirinya akan jatuh ke tangan kita.” “Itu pendapat yang lebih baik. Aku tidak tega membunuh seorang putri yang sangat cantik. Kedua orang pengawalnya dapat kita selesaikan dengan mudah. Saisnya tidak nampak sebagai seorang pahlawan, apalagi yang lainnya. Aku mendengar dia kemarin disebut penjaga puri. Dia seorang penakut benar, melihat nyamuk pun ia akan lari tunggang langgang. Condesa tentu akan membawa banyak uang. Bagaimana sekarang, kita akan menunggu sampai ia kembali lagi?” “Baik!” angguk Juanito. “Kita tidak dapat mengharapkan mangsa lebih baik lagi. Kita tembak saja kudanya. Kau kuda di sebelah kanan dan aku kuda di sebelah kiri. Selanjutnya akan kita lihat bagaimana perkembangannya.” Ketika rencana ini diperbincangkan, kereta Putri Rodriganda berjalan menuju Kota Pons. Roseta mengetahui, bahwa kawannya akan tiba dengan naik kereta pos dan karena masih belum waktunya kereta pos itu datang, maka Roseta minta supaya saisnya mengantarkan dahulu ke sebuah hotel, tempat Putri biasa menginap, bila
ia sedang di Pons. Setengah jam kemudian tibalah kereta pos ditarik oleh enam ekor kuda. Alimpo dan sais sedang menanti di perhentian kereta pos untuk menjemput tamu dan mengantarkannya ke majikannya. Satu per satu penumpangnya turun dari kereta pos dan sebagai penumpang terakhir turunlah seorang wanita berbaju tebal dan mukanya bertudung. Penjaga puri telah mengamati semua penumpang dengan sia-sia. Akhirnya ia menghampiri wanita itu, membungkuk dalam-dalam dan berkata, “Selamat siang—selamat datang! Anda tentu Senorita Lady Dryden!” Wanita itu tertawa riang, terdengar seperti kicau seekor burung yang sedap didengar. Kemudian dijawabnya sambutan aneh yang baru didengarnya itu. “Benarlah, Kawan, saya ini Amy Dryden. Dan siapakah Anda?” “Dona Lady Senorita yang mulia, saya ini Senor Juan Alimpo, penjaga Puri Rodriganda. Demikian juga pendapat Elviraku.” Kembalilah terdengar tawa riang yang pendek itu. “Dan siapakah Elvira itu?” “Elvira itu istri saya, Lady Amy Senorita Dryden.” “O, begitu! Dan katakanlah, Anda hanya sendiri saja datang menjemputku?” “Tidak, Lady Dryden Dona! Condesa turut juga. Beliau di hotel menanti Anda.” “Antarkan saya ke sana, Senor Alimpo!” Penjaga puri memberi tanda kepada sais untuk mengurus barang bawaan tamu. Ia sendiri berjalan dengan bangga di muka wanita Inggris itu sebagai penunjuk jalan. Alimpo yang berbudi itu menyadari, bahwa “Dona Lady Amy Senorita Dryden” telah mendapat pelayanan yang sangat terhormat dari padanya. Roseta sedang berdiri di depan jendela, ketika ia melihat kawannya datang. Cepat-cepat ia menghampiri kawannya itu. Mereka bertemu di depan pintu kamar. Wanita asing itu membuka tudung mukanya dan kini Alimpo melihat wajah seorang gadis cantik berambut pirang yang ramah dan memesonakan, sehingga Alimpo lupa segala-galanya, lupa bahwa kurang pantas baginya turut menyaksikan dua gadis itu berpeluk cium. Baru setelah ia melihat pandangan mata majikannya yang seolaholah menegur, ia sadar pada kesalahannya, lalu cepat-cepat memutar badannya dan kembali ke ruang bawah. Di situ ia bertemu dengan sais, yang sedang terengahengah membawa barang-barang bagasi yang berat itu. “Masya Allah! Alangkah cantiknya!” seru Alimpo penuh kekaguman. “Dan rambutnya itu, aduhai benar! Bagaikan emas! Bahkan lebih murni daripada emas... Hai! Mengapa engkau melongo saja, memandang aku terus-menerus! Masih banyak pekerjaanmu menanti! Bawalah kopor-kopor dan kotak-kotak itu ke kereta dan janganlah ingin tahu urusan-urusan orang lain yang tidak dapat kaupahami!” Penjaga puri itu tersentak dari lamunan, ketika dilihatnya sais itu sedang memandangnya dengan tercengang dan sedang melahap segala rahasia lubuk hatinya, yang dengan tiada sadar telah diungkapkannya. Ia membelalakkan mata kepada sais, lalu memutar badannya dan pergi ke sekitar kamar majikannya untuk menanti perintah-perintah selanjutnya. Selesai bersalam-salaman, kedua gadis itu saling menceritakan pengalamanpengalamannya masing-masing. Kini mereka berdiri di muka jendela dan bercakapcakap dengan gembira, sambil menyaksikan keramaian berhubung dengan pekan raya itu. Gadis Inggris itu sambil menunjuk dengan jari berkata, “Lihatlah, Roseta, siapakah orang itu?”
“Seorang perwira! Pasukan berkuda!” “Kau kenal dia?” “Tidak. Ia bukan orang Spanyol. Dilihat dari pakaian seragamnya, ia seorang Perancis.” Ternyata itu Mariano, dalam perjalanan menuju Rodriganda, melalui Kota Pons. Siapa menyaksikan dia, berpakaian seragam pasukan berkuda yang manis, dengan gagah duduk di atas kuda jantan yang tangkas, sekali-kali tidak akan mengira, bahwa anak muda itu adalah anak angkat seorang pemimpin perampok. Adelardo, seorang perampok yang menyamar sebagai abdi, mengikutinya dengan jarak tertentu. Mariano menuju ke hotel untuk beristirahat sejenak. Tetapi sebuah gerobak yang agak tinggi, berisi buah-buahan sebagai barang jualan, menghalangi jalannya. Bukannya mengitari gerobak itu, Mariano langsung saja melompat dengan kuda jantannya. Kuda itu melakukannya dengan begitu mudah, seolah-olah rintangan itu tiada berarti sedikit pun baginya. “Hebat juga!” seru Roseta dan bertepuk tangan. “Penunggang kuda yang tangkas!” kata Amy, sambil mengagumi anak muda itu. Penunggang kuda itu memperhatikan rumah yang hendak dikunjunginya. Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada jendela dengan kedua gadis itu di belakangnya. Kedua gadis itu menyaksikan air muka pada wajah pemuda itu berubah menjadi gembira. Pemuda itu menarik kekang kudanya, seolah-olah hendak menghentikan kuda dan berdiam diri sejenak di situ, namun perbuatan itu diurungkan. Sekali lagi ia melempar pandangannya ke atas lalu melompat turun dari kudanya. “Tidak tampakkah olehmu, bahwa ia memandang kepadamu?” tanya Amy, yang menjadi merah padam mukanya. “Pandangan itu bukan untukku, melainkan untukmu sendiri. Aku yakin!” “Itu tidak mungkin!” kata gadis Inggris itu sambil tertawa kemalu-maluan. “Kau begitu cantik, setiap orang pasti akan menaruh perhatian kepadamu.” “Tahukah kamu, bahwa kamu jauh lebih cantik daripadaku, Amy? Kamu tidak percaya? Baik, akan kubuktikan.” “Bagaimana caranya, Roseta? Kau membuatku ingin tahu.” “Seorang wasit akan menentukannya.” “Itu hebat!” tawa gadis Inggris itu. “Siapa yang menjadi wasitnya? Tentu maksudmu bukan Alimpo, yang memanggilku Senorita Amy Dona Dryden.” “Bukan dia, Manis. Meskipun Alimpo seorang abdi yang baik hati dan setia, namun janganlah kita memberi beban dengan tugas sebagai seorang wasit. Ia betul-betul tidak akan sanggup, karena ia tidak mempunyai pendapat sama sekali tanpa ‘Elviranya’. Tapi di Puri Rodriganda terdapat seorang yang tepat sekali untuk tugas sebagai wasit itu: ialah dokter kami.” “Seorang dokter? Apa pengetahuan seorang dokter dalam bidang kecantikan? Bukankah nanti pendapatnya akan didasarkan pada obat-obatan dan ramuan-ramuan?” Amy tertawa dengan nakal, sehingga Roseta terpaksa turut tertawa juga, tetapi cepat-cepat ia menjawab, “Tidak semua dokter hanya memikirkan tentang obat-obatan saja. Dokter Sternau itu...” “Sternau?” selang kawannya. “Itu nama orang Jerman. Dahulu kaukatakan, doktermu bernama Cielli.”
“Benar. Tetapi Dokter Cielli sudah berhenti. Bayangkan dahulu, Amy sahabatku, ayahku akan dapat melihat lagi!” Gadis Inggris itu cepat melihat ke muka kawannya. Pada mata kawannya itu terlihat sinar kegembiraan yang sangat. “Mungkinkah itu?” tanyanya. “Alangkah bahagianya! Ceritakanlah! Cepat, ceritakan!” “Baik, akan kuceritakan, tetapi jangan di sini. Nanti saja. Dalam perjalanan kita ke puri. Janganlah kita membiarkan Ayah menunggu lama kedatanganmu.” Roseta memerintahkan Alimpo menyiapkan kereta kuda. Beberapa menit kemudian mereka meninggalkan kamar dan naik ke atas kereta. Di halaman di muka hotel tertambat dua ekor kuda kepunyaan dua orang pemuda yang baru datang itu. Mariano sudah ada di dalam menghadapi anggur segelas yang telah dipesannya. Namun ia tidak menyentuh anggur itu, karena di hadapannya selalu terbayang kedua mata biru yang dilihatnya tadi. Mata itu telah memandangnya dengan penuh kekaguman. Kini didengarnya derap kaki kuda. Ia melihat ke luar jendela. Tampak olehnya sais sedang memasang kuda pada keretanya. Cepat-cepat ia menghadapi jendela. Ia memandang ke arah pintu kereta. Di situ tergambar sebuah mahkota dengan warna keemasan di atas latar putih dan di bahwa mahkota itu tertera huruf-huruf: R dan S. Ditekankannya tangannya kepada pelipisnya. Ia merasa nadinya berdenyut keras. Baru saja dilihatnya penjelmaan dari mimpi-mimpinya. Jadi mimpi itu ternyata bukan mimpi, melainkan kenyataan. Jiwanya bergelora dan berbuih, tetapi ia menahan diri dan memanggil pemilik hotel. “Kereta itu milik siapa?” tanya Mariano. “Kepunyaan Pangeran Manuel de Rodriganda,” jawabnya. “Rodriganda,” demikian diulangnya dengan berbisik. “Dan apakah makna huruf S itu?” “Pangeran itu bernama Manuel de Rodriganda y Sevilla. Wanita yang baru naik ke atas kereta itu adalah anaknya, Condesa Roseta.” “O, begitu. Dan siapa wanita lainnya?” “Ia orang asing. Menurut keterangan penjaga puri, Senor Juan Alimpo, wanita itu adalah seorang kawan Condesa, seorang Inggris. Ia berkunjung ke Rodriganda.” Pemilik hotel pergi. Mariano berdiam diri. Agak bingunglah ia, ke mana harus dicurahkan perhatiannya lebih dahulu, ke muka gadis Inggris yang masih belum mengenakan tudung itu atau ke lambang kebangsawanan yang huruf-hurufnya memberi pengharapan penuh kepadanya. Kini kedua gadis itu sudah duduk di dalam kereta. Pemilik hotel berlari ke luar untuk mengucapkan salam berpisah, ketika perhatian Amy tertarik kepada jendela yang terbuka itu. Di belakangnya berdiri Mariano. Amy menjadi merah mukanya. Tak lama kemudian kereta itu berangkat. Mariano melempar sekeping uang perak ke atas meja, lalu bergegas-gegas ke luar. Kudanya dinaiki dan dipacunya. “Kita sudah harus pergi lagi?” tanya abdinya terheran-heran. Adelardo tidak mendapat jawaban melainkan harus cepat-cepat menaiki kudanya juga untuk mengikuti tuannya. Baru setelah Mariano menempuh jarak yang agak jauh, ia memperlambat lari kudanya. Gelora darahnya sudah mereda dan ia dapat berpikir tenang kembali. Mungkinkah pertemuan ini hanya berdasar kebetulan saja, tidak mengandung arti sama sekali baginya? Mungkinkah lebih banyak keluarga yang memakai lambang kedua huruf R dan S itu? Mengapa ia melarikan kudanya cepatcepat seperti dikejar-kejar setan untuk mengikuti kereta itu? Bukankah Rodriganda tujuannya juga, sehingga ia pasti dapat berjumpa dengan kedua wanita itu kembali, bila Andaikata ia kehilangan jejak kereta kuda itu?
Maka Mariano memperlambat lari kudanya. Kereta itu dilihatnya menikung di sebuah kelokan dan menghilang. Akan tetapi sesaat kemudian ia terkejut: ia mendengar bunyi tembakan. Sekali lagi terdengar sebuah tembakan. Di balik kelokan terlihat asap mengepul di dua tempat. Apakah kereta itu sedang ditembak orang? Mariano memacu kudanya. Dalam waktu kurang dari semenit ia mencapai kelokan dan melihat apa yang terjadi. Kereta yang ditumpangi Putri berhenti di tengah-tengah jalan dan dua ekor kuda yang menariknya tergolek di atas tanah, kepalanya berlumuran darah. di belakang kereta itu sedang berjongkok sais yang gemetar di sekujur tubuhnya. Anehnya, Alimpo, penjaga puri yang suka disebut pahlawan itu, kini menghilang tanpa jejak. Di atas tangga kereta berdiri seseorang yang berkedok dan membidikkan pistolnya ke arah kedua wanita itu. Di sampingnya, di atas tanah, berdiri kawannya yang membidikkan bedilnya. Mukanya telah dilumuri dengan arang. Ketika mereka mendengar derap kaki kuda di belakangnya, mereka memutar badannya. “Bangsat!” geram Bartolo setelah dikenali Mariano. “Persetan dengan dia!” seru Juanito. “Tembak saja! Habis perkara!” Maka dibidikkannya bedilnya ke arah Mariano dan ditariknya picunya. Tetapi pemuda itu waspada dan sudah siap mengelak. Peluru mendesing di sisinya, namun tiada mengenainya. Seketika kemudian sudah dicabutnya pedangnya dari sarungnya. “Terimalah ini, bedebah!” Dengan perkataan ini ditetakkan pedangnya ke atas kepala lawannya sehingga orang itu rebah ke atas tanah. “Nah, mereka sudah dibereskan,” kata pemuda itu sambil membungkuk dalam-dalam di hadapan kedua wanita itu. “Apakah Anda terluka, Senorita-Senorita?” Dengan pistol masih di dalam tangan, ia berdiri di hadapan mereka. Amy berdiam diri saja, hanya mukanya menjadi merah. Roseta segera dapat menguasai diri dan menjawab, “Tidak. Untunglah kami tidak mendapat cedera, berkat pertolongan Anda. Anda datang tepat pada waktunya untuk menghindarkan bencana. Maka kami menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya, Senor! Saya adalah Condesa de Rodriganda dan wanita ini Amy Dryden, sahabat saya.” Mariano memberi hormat dan berkata, “Saya adalah Letnan Alfred de Lautreville. Bolehkah saya mendapat kehormatan untuk melayani kepentingan Anda?” “Sayang kami merasa terpaksa memenuhi permintaan Anda, karena abdi-abdi kami telah menghilang tanpa jejak.” “Saya lihat ada seorang duduk di belakang kereta. Ayo, ke marilah kamu!” Sais itu bangkit dari sikap jongkoknya, lalu menghampiri pemuda itu dengan berjalan tertimpang-timpang dan merasa malu. “Mengapa engkau bersembunyi? Bukankah seharusnya engkau melindungi kedua wanita itu?” tanya letnan itu. “Saya hanya duduk di belakang kereta, Senor teniente (letnan),” bunyi jawabnya. “Tetapi mengapa? Orang bertubuh sekuat kamu, tidak berani melawan perampokperampok seperti itu?” “Kalau disuruh berkelahi, sebenarnya saya berani melawannya, tetapi mereka
hendak menembak saya. Lagipula Senor Alimpo lebih-lebih lagi, Senor Teniente. Ia sedang bersembunyi di balik semak-semak itu.” Sais itu langsung menunjuk ke tempat persembunyian yang dimaksudkannya. Dengan perlahan-lahan Alimpo bangkit di balik semak-semak itu. Ia telah menelungkup dengan muka menyentuh tanah, supaya tidak sampai menyaksikan bencana itu. Setelah dilihatnya, bahwa sudah lewat, ia melompat, dan berlari-lari dengan kedua belah tangannya terkepal menjadi tinju. “Condesa!” serunya dengan gagah, “mereka hendak menyerang kita. Di mana mereka sekarang, jahanam itu? Akan saya hancurkan mereka!” Mariano hendak menjawab, namun ketika dilihatnya Alimpo, perkataan itu tidak keluar dari mulutnya. Kurasa, sudah pernah melihat orang ini. Orang yang bertubuh kecil, muka yang nampak ketakutan, janggut yang aneh itu! Roseta yang menggantikan menjawab. “Kemauan baikmu itu sudah terlambat. Maka jangan cepat-cepat mau melarikan diri.” “Melarikan diri? Apakah saya melarikan diri?” tanya Alimpo dengan kemalu-maluan. “Benarlah. Lalu kamu bersembunyi.” “Bersembunyi? Ya, tentu, itu terpaksa saya lakukan. Saya tidak boleh ditembak mati, maka saya bersembunyi. Maksud saya kemudian akan menolong Anda.” “Caramu agak aneh untuk menyelamatkan orang!” kata Roseta dengan tersenyum. “Tetapi biar bagaimana juga, pertolonganmu sudah tidak diperlukan lagi. Lihat tubuh kedua orang yang tergolek di situ. Siapakah mereka?” Adelardo telah turun dari kudanya, lalu mulai membuka alat penyamaran kedua orang itu. Perampok yang kepalanya kena tetak pedang itu mukanya berlumuran darah dan tidak dapat dikenal lagi. Tetapi setelah muka perampok yang lain dibersihkan dari arangnya, maka penjaga puri berseru, “Astagfirullah! Itu pelarian kita! Anda dapat mengenalnya juga, Dona Roseta?” “Benar juga!” kata Tuan Putri. “Kalau begitu, ia sudah menerima ganjarannya!” Untunglah bahwa peristiwa itu telah memenuhi segala pikiran kedua wanita itu, sehingga perbuatan kedua pemuda itu luput dari perhatian mereka. Letnan bersama abdinya itu berjongkok dekat mayat itu dan Adelardo berbisik, “Astagfirullah! Itu Bartolo.” “Sst! Diam! Jangan sampai kedengaran!” kata Mariano, memperingatkan abdinya. Kemudian ia bangkit berdiri dan bertanya kepada Tuan Putri, “Anda kenal dia, Dona Roseta?” “Ya, saya mengenalnya. Ia termasuk kelompok pembunuh yang berikhtiar hendak membunuh salah seorang penghuni puri. Ia telah kami tangkap.” Pemuda itu memberi isyarat dengan pandangannya kepada Adelardo supaya berhatihati, lalu berkata pura-pura acuh tak acuh, “Peristiwa ini segera harus kita laporkan ke Kota Pons karena tempat ini termasuk daerah kota itu.” “Dan bagaimana dengan kami? Lalu kereta saya bersama kuda yang malang itu hendak diapakan?” “Anda janganlah terganggu oleh pikiran-pikiran lain yang menyusahkan. Mohon izinkan saya mengantar Anda ke Rodriganda.”
“Dengan segala suka hati, Senor Teniente! Tetapi kami sudah tidak mempunyai kuda lagi!” “Itu soal mudah. Saya dapat memasang kuda saya sendiri dan kuda abdi saya di muka kereta Anda. Kita dapat meninggalkan tempat ini, sedang abdi saya tinggal di sini bersama orang-orang Anda untuk melaporkan kejadian itu dan menjaga mayat sampai tiba waktunya orang-orang mengangkatnya dari situ. Kemudian mereka dapat menyusul kita naik kereta sewaan.” “Usul itu baik, Senor Teniente,” kata Roseta. “Cepat, lepaskan kuda-kuda yang sudah mati dari kekangnya dan singkirkanlah. Tempat ini menimbulkan rasa muak dalam hatiku.” Tak lama kemudian kereta itu sudah disiapkan dengan dua kuda baru. Letnan melompat ke atas tempat duduk sais. Penjaga puri menghampiri pintu kereta lalu berkata, “Condesa yang mulia, sudikah Anda mengabulkan permintaan saya! Sampaikan kepada Elviraku, bahwa saya tidak tertembak mati dan bahwa kami telah memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang!” “Baik, akan kusampaikan,” janji Tuan Putri. Hampir-hampir kekang kuda terlepas dari tangan Letnan. Elvira, Alimpo! Itulah justru nama-nama yang melekat dalam ingatan. Mungkinkah sekarang secara kebetulan ia sedang mengikuti jejak mereka yang dicarinya? “Akan segera saya laporkan,” kata penjaga puri. “Perkara perampokan seperti ini harus dilaporkan kepada yang berwajib. Demikian juga pendapat Elviraku.” Kini sudah jelas sekali bagi Mariano. Jadi benar juga perkiraannya itu, Alimpo ini orang yang dahulu kerap kali menggendong dan menidurkannya. Tetapi ia tidak dapat lama-lama memikirkan hal itu, karena Tuan Putri memberi tanda untuk berangkat. Penjaga puri memperhatikan kereta berangkat sampai akhirnya menghilang dari pandangannya. Kemudian ia menegur serdadu pasukan berkuda itu. “Anda seorang abdi dari perwira tadi, bukan? Siapa nama perwira itu?” “Namanya Letnan Alfred de Lautreville.” “Jadi ia seorang Perancis?” “Benarlah. Pasukan kami bertugas di Paris.” “Tetapi Anda mahir benar berbahasa daerah Catalonia, seolah-olah Anda orang kelahiran sini. Apa maksud Anda pergi ke Spanyol?” “Hm. Itu tidak boleh saya katakan,” jawab Adelardo bangga. “Kami diutus ke mari membawa tugas kenegaraan.” “O, jadi atasan Anda seorang duta!” seru Alimpo. “Masya Allah! Masih begitu muda sudah menjadi seorang duta! Dan berpangkat letnan lagi!” Kini ia berbicara dengan sais, “Sudah kau perhatikan baik-baik senor Teniente tadi! Adakah sesuatu yang patut kau kemukakan?” “Tidak ada!” “Masa! Harus ada sesuatu! Berapa lama kamu bekerja pada Pangeran?” “Lebih dari tiga puluh tahun.” “Kalau begitu kamu sudah mengenal Pangeran pada masa mudanya. Coba bandingkan
Pangeran ketika itu dengan Senor Teniente de Lautreville. Adakah sesuatu yang patut dikemukakan?” “Tidak ada!” jawab sais itu sambil menggeleng kepala. “Benar-benar dungu kamu!” “Mungkin begitu,” jawab sais itu acuh tak acuh. Dalam pada itu kereta berjalan terus ke Rodriganda. Roseta sibuk memikirkan, siapakah gerangan orang yang menyewa pembunuh-pembunuh itu. Amy sebaliknya asyik dengan memandang pemuda yang sedang duduk di muka kereta, di tempat sais. Akhirnya kereta tiba di Puri Rodriganda. Di muka pintu halaman berdiri seorang bertubuh tinggi kurus yang sedang mengawasi mereka dengan terheran-heran. “Siapakah orang itu?” tanya Amy. “Senor Gasparino Cortejo, ahli hukum kami,” jawab Roseta. Mariano pun kenal nama itu. Bukankah itu nama orang yang telah memberi perintah untuk menukarkan dirinya? Dan di atas pintu gerbang puri ia melihat terpahat di atas batu, suatu gambar lambang sebuah mahkota dan di bawahnya tertulis hurufhuruf R dan S. Puri yang indah dan agung itu memberi kesan yang tidak terlukiskan kepadanya. Seolah-olah ia tiba di suatu tempat, yang merupakan sumber dari segala mimpi tentang masa kecilnya, lalu melompatlah ia dari tempat sais dengan perasaan, bahwa hidupnya mulai sekarang ini masuk tahap yang baru. Notaris menatap pemuda itu dengan rasa heran. “Apakah ini?” sungutnya. “Siapakah orang itu? Nyata benar persamaannya! Inilah Pangeran Manuel tiga puluh tahun yang lampau! Suatu kebetulan saja atau bukan?” Sepintas lalu tampak olehnya, bahwa dirinya sedang diamati juga oleh pemuda itu. Pandangan pemuda itu mengandung rasa ingin tahu bercampur kewaspadaan seperti menghadapi suatu bahaya. Kedua wanita itu telah turun dari kereta lalu menaiki tangga luar yang besar itu. Notaris menyambut mereka dengan tersenyum sopan dan memberi hormat dengan membungkuk. “Saya merasa mendapat kehormatan besar sebagai orang pertama dapat menyambut kedatangan Anda. Kini izinkan saya diperkenalkan kepada pengantar Anda.” Kemudian, ketika nama Gasparino Cortejo disebut oleh Roseta, maka tampaklah pandangan Letnan kepada Notaris mengandung rasa curiga. Ketika Notaris mendengar nama Alfred ke Lautreville hatinya menjadi lega. Perwira itu berbangsa Prancis— jadi persamaannya dengan Pangeran hanyalah suatu kebetulan. Kini kedatangan kereta di puri sudah mulai ketahui orang. Alfonso, Dokter Sternau, dan Nona Clarissa bergegas-gegas datang untuk menyambut para tamu. Mereka melihat kuda-kuda lain yang dipasang pada kereta itu dan Alfonso menanyakan apa sebabnya. “Senor de Lautreville begitu baik meminjamkan kudanya, karena kuda kami telah tertembak mati,” demikianlah penjelasan Roseta. “Tertembak mati?” tanya ahli hukum itu terheran-heran. “Oleh siapakah?” “Oleh perampok, tawanan kita, yang semalam melarikan diri.” Kini diceritakan oleh Roseta segala kejadiannya. Cerita itu menawan hati para pendengarnya. Perwira yang masih muda itu menerima pujian dan ucapan terima kasih mereka. Cortejo pun mengulurkan tangannya kepadanya. Kemudian ia berkata, “Perampok biadab seperti itu tak boleh tidak harus ditindak dengan tegas. Kini sedang hadir di rumah Pangeran suatu panitia di bawah pimpinan seorang perwira pengadilan dari Barcelona, yang dapat mengadakan penyelidikan dengan saksama.
Petugas-petugas itu masih perlu mengajukan beberapa pertanyaan kepada Condesa. Setelah itu mereka akan mengadakan penyelidikan tentang perampokan yang dilakukan kemarin. Kemudian mereka akan dapat langsung pergi ke Pons.” Kini orang-orang pergi ke Pangeran. Di situ mereka menjumpai perwira pengadilan. Pangeran Manuel mengucapkan selamat datang kepada kawan putrinya dan menyatakan rasa terima kasihnya kepada Letnan yang dengan gagah berani telah menyelamatkan jiwa kedua wanita itu. Namun Mariano menolak pujian itu. “Sebenarnya saya bukan seorang pahlawan. Yang telah saya selamatkan hanyalah uang, bukan jiwa wanita itu.” “Saya tidak sependapat,” kata Roseta. “Sesungguhnya Anda telah menyelamatkan jiwa kami. Maka anggaplah rumah kami sebagai rumah Anda sendiri! Kami tidak akan membiarkan Anda cepat-cepat meninggalkan Rodriganda!” Mariano membuat isyarat seolah-olah hendak menangkis lalu menjawab, “Saya telah melakukan kewajiban saya, ketika saya mengantar Anda ke Rodriganda. Namun saya tidak boleh menyalahgunakan kebaikan hati Anda.” “Itu bukan penyalahgunaan,” kata Pangeran cepat-cepat menengahi. “Anda akan membuat kami merasa lebih berterima kasih, bila Anda sudi menerima undangan kami. Saya benar-benar mengharap, supaya Anda beristirahat di rumah kami setelah menempuh perjalanan yang melelahkan itu. Roseta akan menyuruh menyediakan kamarkamar untuk Anda.” Perkataan tadi bukanlah diucapkan hanya karena terdorong oleh kesopanan sematamata. Pangeran itu buta dan tidak dapat melihat perwira itu. Tetapi ia mendengar suaranya dan aneh, suara itu mengandung sesuatu yang menarik baginya. Notaris pun turut menyaksikan dan diam-diam membandingkan wajah kedua orang itu. Memang harus diakui, bahwa persamaannya agak mencolok juga. Lalu ia bermaksud hendak berhati-hati. Setelah rombongan berpisah, maka letnan itu diantar oleh seorang abdi ke kamarkamarnya. Ia mendapat tiga buah kamar, sebuah kamar di muka, sebuah kamar duduk, dan sebuah kamar tidur. Ia meletakkan pedangnya di kamar duduk, lalu pergi ke kamar tidur untuk mencuci muka. Di dalam kamar itu terdapat juga istri penjaga puri, yang sedang memeriksa apakah semua sudah beres. Ketika ia mendengar bunyi langkah kaki, ia menoleh ke arah pintu. Ia mengetahui, bahwa tamunya seorang perwira Perancis, maka hendak memberi hormat dengan membungkuk. Namun ketika tampak olehnya wajah tamu itu, ia lupa membungkuk. Dengan mata terbelalak ia berseru, “Astagfirullah! Pangeran Manuel!” Perkataan itu membuat Mariano mundur selangkah. Wanita yang berdiri di hadapannya benar-benar dikenalnya. Semasa kecil ia kerap kali duduk di atas pangkuannya dan memandang mukanya yang bundar dan berkilat itu. Akhirnya ia bertanya, “Elvira! Bukankah Anda penjaga puri bernama Elvira?” “Benar,” jawabnya sambil menarik napas. “Tuan kenal saya?” “Ya. Saya dengar dari suami Anda. Tetapi mengapa Anda menamakan saya Pangeran Manuel?” “Hampir tidak dapat dipercaya, Senor Teniente! Anda sama benar dengan Pangeran Manuel, ketika beliau berusia dua puluh tahun.” “Benarkah? Yah, alam kadang-kadang menciptakan hal yang ganjil.” “Seperti pinang dibelah dua! Aduh, Alimpoku harus melihatnya!”
“Ia sudah melihat saya.” “Benar juga. Tadi sudah Tuan katakan, bahwa ia pernah bercerita tentang saya.” “Sudahkah Anda menerima salamnya dengan perantaraan Condesa?” “Benarkah? Ia memberi salam kepada saya?” “Benar.” Pada wajah wanita itu nampak rasa bahagia dan ia berkata dengan mata berseriseri, “Memang itulah sifat Alimpo. Ia menyampaikan salam! Alangkah manisnya! Apa lagi yang dikatakannya?” “Bahwa ia tidak tertembak mati.” “Masya Allah. Ya, saya dengar juga dari seorang abdi, bahwa ia turut diserang. Untung benar Condesa mendapat perlindungan dari padanya.” “Tentu,” kata Mariano sambil tersenyum. “Ia minta disampaikan juga kepada Anda, bahwa ia telah memberi perlawanan dengan gagah perkasa dan memperoleh kemenangan gilang-gemilang.” “Saya yakin! Ya, saya yakin! Demikian ia selalu, Alimpoku. Bahkan kadang-kadang ia terlalu berani, sehingga saya harus menahannya. Mari saya antar Anda ke serambi tempat lukisan-lukisan. Nanti Anda dapat melihat sendiri, betapa besar persamaan Anda dengan Pangeran Manuel. Tetapi baiklah Anda beristirahat dahulu. Anda telah berkelahi dengan perampok-perampok itu. Tentu Anda sudah terlalu lelah.” Elvira hendak meninggalkan kamar, tetapi Mariano menahannya. “Tunggu sebentar, Senora. Dapatkah Anda meluangkan sedikit waktu untuk menjawab beberapa pertanyaan?” “Untuk Anda saya selalu menyediakan waktu,” jawab wanita itu. “Anda dan Senor Sternau tidak dapat saya tolak permintaannya.” “Maksud Anda dokter itu? Coba ceritakan, siapakah dia.” “Senor Sternau itu seorang yang—yah, hampir sama gagah perkasanya dengan Alimpoku. Ia telah datang dari Kota Paris. Ia dapat menyembuhkan Pangeran dari penyakit kebutaannya. Dokter-dokter paling terkenal di sini tidak sanggup melakukannya. Kemarin ia diserang sekelompok perampok.” “Itu sudah saya dengar. Apakah sebab-sebabnya, mengapa ia harus dibunuh? Barangkali ia mempunyai musuh.” “Mempunyai musuh? Tidak mungkin! Ia tidak pernah berbuat jahat pada seseorang. Semua orang menyukainya.” Penyerangan pada dokter itu merupakan teka-teki bagi Mariano. Sudah tentu Capitano merupakan dalangnya. Namun harus juga ada seseorang yang menghendaki kematiannya dan berani membayar mahal kepada Capitano. Puri Rodriganda baginya seperti diselubungi oleh suatu rahasia yang perlu diungkapkan olehnya. “Tampaknya saya akan tinggal di sini beberapa waktu lamanya,” demikian dilanjutkan Mariano. “Maka saya perlu mengetahui sedikit tentang para penghuni yang bertempat tinggal di puri ini. bolehkah saya bertanya mengenai hal itu?” “Silakan Anda bertanya. Saya akan menjawab dengan segala senang hati.”
“Bagus! Pertama-tama siapakah Senor Gasparino Cortejo itu?” “Bila saya harus berterus-terang, Senor Teniente, maka harus saya katakan, bahwa tidak ada orang yang menyukai orang ini. Sudah lama ia membantu Pangeran. Pekerjaannya sebagai ahli hukum yang mengurus kepentingan Pangeran. Ia adalah tangan kanan Pangeran dalam urusan perbendaharaan. Sifatnya tinggi hati dan sembunyi-sembunyi. Kata Alimpoku: ia seorang kepercayaan Pangeran, yang menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan dirinya sendiri.” “Lalu siapakah Dona Clarissa itu?” tanya Mariano. “Ia bekerja sebagai seorang wanita pendamping Condesa, tetapi ia banyak bergaul dengan Gasparino. Ia berlagak sebagai orang yang berhati suci, namun orang-orang tidak menyukainya.” “Dan pangeran muda itu?” “Dia baru beberapa bulan di sini. Sebelumnya ia tinggal di Meksiko.” “Berapa lama?” “Sejak kecil ia diambil dari sini.” “Aneh juga! Seorang Pangeran mengirimkan putranya ketika masih kecil sekali, menempuh lautan, ke suatu negeri yang keadaan keamanannya masih sangat meragukan dan jiwa seseorang tidak berharga.” “Ada alasan mengapa Pangeran sampai berbuat demikian. Adik Pangeran, yang bernama Don Fernando, sebagai putra bungsu tidak dapat mewarisi mahkota pangeran. Maka ia pergi ke Meksiko dan membawa bagian dari warisannya. Ia menetap di negeri itu dan menjadi kaya-raya. Don Fernando telah berjuang di pihak kaum nasionalis. Ia tetap hidup membujang dan ingin membuat putra kedua dari kakaknya menjadi ahli warisnya. Ketika itu Don Manuel mempunyai dua orang putra. Namun sebagai syarat diajukannya, supaya anak itu dikirim kepadanya untuk dididiknya. Don Manuel setuju, karena warisan itu luar biasa besarnya.” “Jadi anak itu dibawa ke Meksiko? Bilamana?” “Itu masih segar dalam ingatan saya, karena kebetulan hari itu suami saya merayakan hari ulang tahunnya. Anak itu dibawa pada tanggal satu Oktober tahun 1830.” Mariano mendengar dengan tercengang. Darahnya mengalir dengan deras dalam tubuhnya. Namun ia tetap menguasai diri dan bertanya, “Siapa yang menjemput anak itu?” “Pedro Arbellez, seorang penyewa tanah dan Fernando, yang telah datang ke mari.” “Apakah terdapat orang lain yang turut hadir dekat anak itu?” “Hanya seorang wanita, seorang inang pengasuhnya, bernama Maria Hermoyes.” “Di mana Pedro Arbellez naik kapal?” “Di Barcelona. Pangeran dan Tuan Putri mengantar anak itu ke sana dan saya pun turut hadir. Kapal itu tertunda berangkat karena badai. Itulah sebab maka orang Meksiko itu masih dua hari bermalam di hotel El Hombre Grande.” Keterangan ini sesuai benar dengan cerita pengemis yang meninggal itu. Mariano berusaha sekuat tenaga untuk menekan perasaannya yang meluap-luap. Ia bertanya seolah-olah acuh tak acuh. “Apakah Senor Cortejo ketika itu sudah bekerja pada Pangeran?”
“Sudah!” “Apakah ia sudah beristri dan beranak?” “Tidak. Ia tidak berkeluarga.” “Hm, tahukah Anda, apakah di antara sanak saudaranya ada yang mempunyai anak?” “Ia mempunyai saudara di Meksiko dan mempunyai seorang anak perempuan.” “Apakah Don Fernando masih hidup di Meksiko?” “Tidak. Tahun lalu ia meninggal.” “Dan Alfonso menerima warisan dari padanya?” “Benar, Senor. Ia telah menjadi kaya-raya.” “Tadi Anda mengatakan, bahwa Don Manuel mempunyai dua orang anak.” “Benar, tetapi yang sulung meninggal, ketika Alfonso pergi ke Meksiko. Ia tinggal di Madrid untuk mendapat didikan sebagai perwira, tetapi ia meninggal oleh penyakit. Karena itu Alfonso menjadi putra tunggal, yang akan mewarisi mahkota.” “Apakah Don Alfonso disukai orang?” “Tidak. Dahulu ia seorang anak yang baik. Saya kerap kali menimang-nimangnya. Tetapi sejak di Meksiko wataknya sudah berubah sama sekali. Ia lebih suka bergaul dengan Cortejo dan Clarissa daripada dengan ayah dan saudaranya sendiri.” “Hm! Lalu siapakah Dona Amy Dryden itu?” “Ia orang Inggris. Condesa sangat sayang kepadanya. Ayahnya seorang yang kayaraya. Lain daripada itu tidak ada yang saya ketahui.” “Kalau begitu, saya tidak mempunyai pertanyaan lagi. Terima kasih, Senora.” “Bolehkah saya juga mengajukan sebuah pertanyaan, Senor Teniente? Apakah Anda masih ada pertalian keluarga dengan keluarga Rodriganda?” “Sayang tidak. Nama saya pun Lautreville.” “Atau barangkali keluarga Lautreville itu masih kerabat dari keluarga Cordobilla. Tuan Putri, ibunda Condesa, adalah dari keluarga Cordobilla.” “Tidak juga. Kami tidak ada pertalian keluarga dengan mereka.” “Kalau begitu persamaan Anda sangat membingungkan!” kata istri penjaga puri. “Sekarang masih ingin saya dengar apakah Alimpoku akan kembali segera.” “Sudah pasti hari ini juga!” “Terima kasih, Senor Teniente! Kini saya akan pergi. Bila Anda perlu pelayanan, Anda dapat membunyikan lonceng.” Elvira pergi. Mariano berjalan hilir-mudik saja. Apa yang didengarnya sudah cukup untuk membuat darahnya mendidih. Bila persangkaannya benar, maka ia adalah ahli waris yang asli dari Rodriganda, putra Pangeran Manuel, saudara Putri Roseta. Dan Alfonso adalah putra palsu, yang asal-usulnya hanya diketahui oleh Notaris. Mungkin Capitano juga mengetahuinya. Tetapi apakah gerangan maksud mengirim ke Rodriganda. Itu yang membingungkan Mariano. Bila ia benar putra
Pangeran, bukankah sangat berbahaya untuk membiarkannya bergerak dekat Pangeran, karena mudah sekali rahasia mereka akan terungkap. Sedang Mariano asyik memikirkan persoalan ini, dua orang lain sedang duduk-duduk memperbincangkan perkara yang sama. Mereka adalah Cortejo dan Clarissa. “Persamaan letnan itu benar-benar mencolok,” kata Clarissa. “Memang terlalu! Bukan main terkejut ketika aku melihatnya.” “Aku juga! Barangsiapa melihatnya bersama Alfonso di sebelah Pangeran, maka tanpa sangsi sedikit pun akan memandang orang Perancis itu sebagai putranya.” “Memang suatu hal yang membingungkan. Persamaan itu terlalu mencolok untuk dianggap sebagai permainan alam belaka.” “Atau barangkali Capitano...” “Yang bukan-bukan! Seorang perampok tidak akan berlalu seceroboh itu! Hanya ada satu keterangan. Anak yang kita tinggalkan di sarang perampok itu tertukar lagi. Dikira Capitano, anak itu masih di tangannya, padahal ia sudah ada di tempat lain.” “Jadi anak yang sudah dua kali tertukar itu adalah letnan ini? Lalu bagaimana anak itu sampai ke Kota Paris bersama keluarga Lautreville?” “Wallahualam! Di dunia ini sudah banyak terjadi hal-hal yang sebenarnya tak mungkin.” “Kita harus bertindak cerdik dan memancing keterangan dari letnan ini. Seorang anak muda yang masih hijau akan mudah kita kelabui. Ambil hatinya, maka segera akan kau dengar segala yang kau inginkan. Tahukah Capitano, siapakah anak yang ditukar itu?” “Tidak.” “Kalau begitu, besar kemungkinan, letnan itu seorang Rodriganda juga. Mungkin saja timbul alasan-alasan bagi perampok, untuk mengirim orang ini ke Rodriganda dengan menyamar sebagai seorang letnan.” “Itu tidak mungkin! Letnan itu tidak dibesarkan di kalangan perampok. Itu dapat kau lihat dengan nyata. Lahiriah maupun batiniah ia tidak sesuai dengan seorang perampok. Dari perkenalanku yang hanya sepintas lalu dengannya dapat kuketahui, bahwa ia memperoleh pendidikan tinggi juga. Sudah pasti ia bukan seorang perampok.” “Makin nyata juga bagiku, bahwa ia bukanlah perampok. Andaikata ia anak yang kita tinggalkan pada Capitano, tentu ia tak akan membunuh kawan-kawannya sendiri hari ini!” “Hal itu membuat hatiku lega. Namun kelemahan hati kita di masa lalu itu sangat disayangkan. Sebaiknya anak itu ketika itu dibunuh saja. Orang yang sudah mati tidak dapat membuka rahasia lagi.” “Kau sendiri menunjukkan kelemahan yang lebih besar dengan bersedia menandatangani surat untuk Capitano, Gasparino. Hampir tidak dapat dipercaya, seorang ahli hukum berbuat sebodoh itu.” “Aku telah ada di dalam cengkeraman kekuasaannya, Clarissa.” “Itu tidak dapat kupahami. Seorang perampok tidak layak pergi ke polisi untuk mengadukan lawannya.” “Bukan itu yang kutakuti. Tetapi ia dapat pergi ke Pangeran dengan membawa putra
yang asli. Lagipula surat keterangan itu tidak akan mendatangkan kerugian bagiku. Aku tahu, tujuan Capitano dengan surat itu hanya untuk memerasku.” “Tidak mungkin ia mengembalikan anak itu kepada Pangeran. Bukankah sudah kaukatakan bahwa perampok itu tidak mengetahui asal-usul anak itu?” “Memang aku tidak mengatakan hal itu kepadanya. Namun seorang perampok itu cerdik. Mungkin ia sudah mengadakan penyelidikan sendiri. Ingat bahwa ia menolak anjuranku untuk membunuh anak itu. Hal itu menambah kecurigaanku. Sangat mungkin ia sudah menduga keadaan sebenarnya. Namun kini perkara itu sudah mudah bagiku: bila perampok itu menjadi berbahaya bagiku, akan kutembak dia. Habis perkara!”
BAB VI
PERANGKAP-PERANGKAP BARU Kehadiran dua orang tamu itu mengubah suasana sepi di Rodriganda menjadi ramai. Pangeran Manuel selalu bergembira, bila kedua orang muda itu datang mengunjungi dalam kamarnya untuk menghibur hatinya. Hatinya merasa tertarik kepada letnan itu, entah apa sebab. Demikian juga disukainya pembawaan gadis Inggris yang selalu tenang itu. Pergaulan dengan mereka membawa pengaruh yang baik bagi orang sakit itu. Karena tiga orang dokter itu telah meninggalkan Rodriganda, maka Pangeran hanya mendapat pertolongan dari Dokter Sternau dan berkat pertolongannya yang berhasil dengan baik, setelah beberapa hari dapat dirasakan oleh Pangeran, bahwa batu dalam tubuhnya telah hilang. Baru setelah kekuatan tubuhnya pulih kembali, dapat dimulai dengan mengobati matanya. Berita itu mendatangkan kegembiraan di hati para penghuni puri, kecuali tentu si ahli hukum, Nona Clarissa, dan Alfonso. Pada waktu-waktu tertentu tampak empat orang bercengkrama di dalam taman. Rombongan empat orang itu selalu berakhir menjadi dua pasang: Dokter Sternau tiap kali bergabung dengan Roseta, sedangkan sang letnan dengan Amy. Pangeran yang duduk berangin-angin di beranda, akhirnya mengetahui juga kebiasaan itu dan kadang-kadang tergoda untuk mengucapkan kata-kata kelakar berhubung dengan hal itu. Mariano merasa cintanya berkobar-kobar dalam hati dan Amy melihat pasangannya sebagai penjelmaan dari segala cita-citanya. Dengan demikian beberapa waktu berlalu, tanpa terjadi sesuatu yang mengganggu ketenteraman hidup dalam puri itu. Ada yang membaca, ada yang berjalan-jalan atau mengendarai kuda, ada yang bermain musik dan dalam segala hal Mariano memperlihatkan kemahiran dan ketangkasannya. Hanya di bidang musik ia tidak turut mengambil bagian: ia tidak dapat bermain piano. Pada suatu kali, ketika siang hendak berganti malam, Dokter Sternau sedang berada di kamar Pangeran, Roseta sedang mengendarai kuda bersama saudaranya dan Letnan sedang asyik di serambi mengamati lukisan yang mirip dengan dirinya. Kemudian ia masuk ruang perpustakaan di sebelahnya. Ketika itu hari sudah mulai gelap, sehingga tidak tampak olehnya, bahwa Amy hadir juga di ruang itu. Gadis itu sedang menikmati ketenangan hari senja dan sedang melamun. Ketika dilihatnya de Lautreville masuk ke dalam, ia tetap duduk, karena dikiranya letnan itu hanya bermaksud melintasi ruang itu saja. Akan tetapi letnan itu tidak berbuat demikian. Ia berdiri di muka jendela dan memandang pemandangan ketika matahari sedang terbenam.
Dengan demikian beberapa menit berlalu dalam keheningan sejati. Kemudian ia memutar badannya, mungkin dengan maksud akan pergi, namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah gitar Spanyol yang tergantung pada dinding. Diambilnya gitar itu, lalu dimainkannya beberapa kelompok nada. Amy bangkit berdiri terpesona oleh desir nada-nada yang indah itu. Gitar merupakan alat musik yang dicintai bangsa Spanyol. Hampir setiap keluarga mempunyai sebuah alat demikian dan tiada jarang juga kita berjumpa dengan orang-orang yang pandai sekali memainkannya. Namun permainan seperti yang diperdengarkan oleh letnan itu benar-benar luar biasa. Maka Amy langsung bertepuk tangan setelah permainan itu selesai, lalu ia berseru, “Bukan main indah permainan Anda itu! Benar-benar mengagumkan! Tadi kata Anda, Anda tidak pandai bermain musik.” “Maaf Nona, saya tidak mengetahui, bahwa Nona duduk di sini. Beberapa waktu yang lalu saya hanya mengatakan, bahwa saya tidak pandai bermain piano.” “Tetapi mengapa Anda tidak mengatakan lebih dahulu, bahwa Anda sangat mahir memainkan gitar?” “Karena saya mempunyai pendapat pribadi tentang musik. Musik terutama sekali merupakan seni tentang perasaan, pengungkapan isi hati seseorang dan tidak ada orang yang ingin memamerkan perasaannya kepada umum. Saya pun tidak suka memainkan perasaan saya dengan suatu alat musik untuk memperdengarkan kepada setiap orang.” “Jadi Anda menciptakan lagu-lagu Anda sendiri?” “Saya belum pernah mempelajari suatu nada. Saya memainkan sesuatu yang ditimbulkan oleh khayal saya dan lagu-lagu itu hanya diuntukkan bagi diri saya sendiri, bukanlah bagi orang lain.” “Kalau begitu, Anda serakah. Anda menyanyi juga?” “Ya, hanya menurut keadaan jiwa pada saat itu.” “Dan tidak seorang pun boleh mendengar nyanyi Anda? Saya pun tidak?” “Baiklah, Nona, saya akan bernyanyi untuk Anda. Tetapi lagu apa? Saya belum pernah mempelajari lagu-lagu. Saya biasa mengikat syair sendiri.” “Kalau begitu, coba dapatkah Anda menyanyikan sebuah lagu cinta?” “Baiklah. Tetapi harus ada obyeknya, seorang gadis kepada siapa perasaan saya tertuju!” “Tentu!” jawab Amy gembira. “Ya, memang ada seorang yang ingin saya anggap menjadi pokok perhatian selama saya menyanyi lagu itu.” Dalam mengucapkan perkataan itu ia membimbing gadis itu ke kursi bekas tempat duduknya dan menyilakannya duduk di atasnya. Kemudian ia pergi ke belakang kamar dan duduk di atas sebuah divan. Suasana begitu gelap di situ, sehingga Amy tidak dapat melihat pemuda itu. Hening sejenak. Kemudian gadis itu mendengar bunyi dawainya. Lemah-lembut mulamula, kemudian berangsur menjadi keras, kelompok-kelompok nada terpisah, mencari persesuaian dan akhirnya menemui bentuk sebagai suatu lagu. Kini Lady Amy mendengar suaranya.
“Aku percaya akan cintamu,
dengan sepenuh hatiku. Tapi bila nasib merenggutmu dari sisiku, aku masih dapat menatap langit. Di situ akan kutemukan cahayamu, cemerlang dan murni, penuh harapan suci; maka doaku selalu agar kau suatu kali jadi milikku.”
Suatu selingan pendek mengantarkan kepada bait berikutnya dalam nada minor yang liris dan mengharukan.
“Aku mengharap cintamu, menjadi pelita dalam hidupku. Bilakah terbuka pintu surga itu, tempat kutujukan langkahku? Maka tenggelamlah segala duka masa lalu ke dalam kesamaran abadi dan rahmat Tuhan membawa damai dengan persekutuan yang suci.”
Suatu selingan mengembalikan nada kepada terts besar. Kelompok-kelompok nada bertambah penuh dan kuat, lagu terdiri dari motif-motif yang tetap, dan suara penyanyi pun terdengar lebih kuat.
“Cintamu tempat hidupku bertaut, seluruh hati dan jiwaku! Biar, biarkan daku menujumu, tetaplah jadi milikku. Jangan biarkan hatiku merana, berpeluk lutut tanpa usaha. Kau cahaya hidupku, tanpa kau segalanya akan kelam.”
Lagu itu sudah berhenti, namun masih lama setelah itu belum terdengar suarasuara di ruang yang gelap itu. Akhirnya Mariano perlahan-lahan melangkah ke depan untuk menggantungkan gitar kembali ke tempatnya. “Nah, bagaimana pendapat Nona?” tanya Mariano.
“Lagu itu baru, bukan?” tanya Amy. “Anda sendiri yang mencipta perkataan maupun lagunya.” “Benarlah.” “Anda seorang penyair besar! Bolehkah saya mengetahui satu hal lagi? Kepada siapa sebenarnya Anda persembahkan lagu Anda itu?” “Kepada—Anda!” Baru saja kata-kata ini terucapkan, maka gadis itu merasa dirinya dipeluk oleh pemuda itu. Pemuda itu meletakkan tangannya ke atas rambut gadis itu lalu berkata, “Tuhan memberkati Nona! Saya mencintai Nona, tetapi masih belum waktunya sekarang mengucapkan itu. Kemudian akan saya kunjungi Anda di Meksiko atau di tempat mana pun di dunia ini untuk mengecap bahagia yang hanya dapat saya peroleh dari Anda.” Bibir gadis itu terbakar oleh cium hangat dan ia tiada menolak. Kemudian pemuda itu meninggalkan ruang perpustakaan. Bunyi langkah kakinya makin lama makin menghilang dari pendengaran gadis itu. Gadis itu membiarkan air matanya mengalir dengan bebas karena rasa suka dan bahagia yang dialaminya. Kemudian ia mendengar deru kereta kuda yang sedang datang. Roseta telah kembali dengan Alfonso. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan pengantar pos dan menerima berbagai surat dan surat kabar dari padanya. Surat-surat itu dibagi kepada mereka yang harus menerimanya. Notaris menerima juga sepucuk surat. Surat itu mendapat stempel pos dari Barcelona. Bunyinya,
“Senor! Baru saja saya masuk pelabuhan dengan kapal Pendola saya. Pelayaran telah menghasilkan banyak uang. Saya harap kedatangan Anda dengan segera, karena saya sedang menanti cuaca baik untuk melanjutkan pelayaran. Henrico Landola.”
Surat itu sangat menggembirakan hati Cortejo. Segera ia pergi mendapatkan wanita-sekutunya lalu berseru, setelah mengunci pintu di belakangnya. “Clarissa, ada kabar baik!” Wanita itu bangkit dari tempat duduk dan berkata, “Kabar baik? Aku lebih suka mendengar itu. Sudah berapa lama kita hanya mendengar berita-berita yang buruk saja. Coba ceritakan!” “Landola telah tiba dengan selamat di Barcelona dan mengabarkan bahwa segala usaha telah berhasil dengan baik.” “Jadi engkau akan pergi ke Barcelona?” “Tidak, akan kuundang nakhoda itu ke Rodriganda. Keadaan kita di sini terlalu gawat, sehingga kita tidak boleh meninggalkan sehari pun. Lagipula, kudengar berita bahwa Capitano pemimpin perampok itu, kini sedang berangkat ke sini. Ia ingin bertemu denganku tengah malam.” “Bagus!” seru Clarissa. “Aku mendapat akal! Kita akan dapat mengetahui, letnan itu mempunyai hubungan dengan Capitano atau tidak. Bila terdapat hubungan, maka
Capitano akan menggunakan kesempatan itu untuk bertemu dengannya. Kita harus mengawasi. Akan pergikah ia ke taman atau tidak.” “Itu pendapat bagus! Pertama-tama akan kuawasi abdi letnan itu. Layaknya Capitano tidak akan langsung menghubungi letnan itu, karena perbuatan itu akan mencolok sekali.” Cortejo pergi, untunglah masih belum terlambat untuk menyaksikan sesuatu. Ketika ia menuruni tangga, dilihatnya abdi Letnan sedang bergegas menuju ke kamar tuannya. “O, begitulah, ini sudah cukup,” kata ahli hukum itu dalam hati. “Rajin benar ia. Tentu ada sebab-sebabnya! Aku harus waspada.” Ia berjalan melalui suatu serambi dan menuruni tangga. Di kiri kanan tangga itu tumbuh semak-semak, tempat orang dapat bersembunyi dengan mudah. Cortejo menyelinap ke dalam semak-semak itu dan berbaring di atas tanah, supaya jangan dilihat orang. Dari tempat itu ia dapat mengawasi setiap orang yang meninggalkan puri di sisi yang menghadap pada taman. Cortejo menanti selama kira-kira setengah jam, lalu ia mendengar bunyi langkah orang. Letnan de Lautreville keluar dari pintu, menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu cepat-cepat menuruni tangga, menuju ke taman. “Jadi benar juga!” kata ahli hukum itu dalam hati. “Aku harus mengetahui, di mana mereka bertemu!” Ia meninggalkan tempat persembunyiannya, menghindar dari tempat-tempat yang diterangi lampu dan mengikuti jejak letnan itu. Letnan itu tidak berusaha sedikit pun supaya tidak didengar. Ia harus tetap memainkan peranan sebagai perwira. Jika seandainya ia kebetulan bertemu dengan seseorang, maka orang itu tidak boleh mempunyai persangkaan buruk padanya. Karena itu, maka mudahlah bagi si ahli hukum mengikuti jejaknya. Setelah berjalan beberapa lama, letnan itu membelok, menempuh jalan simpang menuju ke sebuah pondok sepi. “Bagus,” kata Notaris perlahan-lahan. “Di pondok itu mereka akan bertemu. Aku mengenal tempat ini lebih baik daripada mereka. Akan kuamati gerak-gerik mereka.” Ia tidak mengikuti perwira itu lagi, tetapi menyelinap melalui suatu padang rumput dan tempat yang ditumbuhi semak-semak. Dari tempat ini ia dapat melihat pondok itu dengan nyata. Pondok itu kecil, dindingnya tipis. Bila orang bercakap-cakap di dalam dengan suara yang tidak terlalu lemah, maka akan mudah mendengar dari luar. Ahli hukum itu menyelinap ke balik pondok dan memasang telinga. Benar jugalah! Ia mendengar percakapan. Mula-mula ia mendengar suara Capitano agak keras juga. “Jadi engkau tinggal di puri?” “Benar,” jawab suara Letnan yang dikenal dengan baik. “Bagaimana sampai dapat berlaku begitu cepat dan memuaskan?” “Untunglah bagiku—atau bagi Anda barangkali malang, Capitano—saya dapat menyelamatkan Condesa bersama kawannya ketika diserang oleh dua orang perampok.” “Kurang ajar! Siapakah kedua orang itu? Masih adakah perampok-perampok lain di sini selain kita? Akan kubereskan mereka semua.” “Sayang hal itu sudah tidak perlu lagi. Ada dua sebabnya. Pertama karena saya sendiri telah membereskan mereka dan kedua karena mereka itu bukan perampok lain, melainkan orang-orang kita juga.” “Astagfirullah! Siapakah mereka itu?”
“Juanito dan Bartolo.” “Mana mungkin! Mereka takkan berani menghina Condesa demikian rupa.” Hening sejenak, tiba-tiba kepala perampok itu berkata, “Jadi engkau telah membunuh kawan-kawanmu sendiri! Tahukah kamu, hukuman apa yang dapat dikenakan pada pelaku perbuatan demikian?” “Hukuman mati,” jawab Mariano tenang. “Tetapi hukuman itu tidak usah saya takuti. Apakah perbuatan mereka menyerang Condesa itu dilakukan atas perintah Anda?” “Tidak.” “Nah, kalau begitu saya hanya telah menghukum mereka.” “Apakah kau berhak berbuat demikian? Hanya aku sebagai pemimpin boleh menjatuhkan hukuman demikian.” “Yang seorang telah menyamar dengan memakai kedok dan yang seorang lagi melumuri mukanya dengan arang.” Hening sejenak lagi. Akhirnya letnan itu berdeham memperlihatkan ketidaksabarannya dan berkata dengan suara yakin, “Pendek kata mereka sekali-kali bukan kawan saya. Saya bukanlah anggota gerombolan Anda. Anda telah memelihara dan membesarkan saya. Sebagian besar dari hidup saya, saya lewatkan di kalangan Anda, tetapi Anda lupa menyuruh saya mengucapkan sumpah setia. Maka saya tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatan saya pada Anda.” “Oleh karena itu sebaiknya sekarang juga engkau mengucapkan sumpah setia itu.” “Saya tidak ingin melakukannya.” “Beranikah kau...,” Capitano hampir-hampir tidak dapat percaya, menjumpai pertentangan sekeras itu. “Bagus! Itulah terima kasihmu pada segala kebaikan yang telah kau terima dari padaku?” “Jangan sebut-sebut perihal kebaikan Anda itu!” seru letnan itu dengan nada benci. “Apakah seorang anak harus berterima kasih, bila ia diculik dari tangan orangtuanya dan dipelihara di kalangan perampok?” Notaris yang secara sembunyi-sembunyi turut mendengarkan percakapan itu terkejut. “Jadi benar, dialah orangnya! Dan ia mengetahui juga, bahwa ia telah diculik!” Capitano pun terkejut. Bertanya dengan marah, “Diculik dari tangan orangtuanya? Kau bicara tentang siapa?” Mariano menyadari, bahwa sebenarnya kurang bijaksana baginya membiarkan dirinya dikuasai oleh perasaannya. Seharusnya ia lebih berhati-hati dan tidak memperlihatkan, bahwa ia sudah banyak mengetahui tentang riwayat hidupnya itu. Namun kini hal itu sudah terlambat. Ia menjawab, “Tentang diri saya sendiri, bukan tentang orang lain!” “Hm, jadi kau kira engkau telah diculik?” tanya Capitano hati-hati.
“Benar! Diculik dan ditukarkan!” “Mungkin saja. Tetapi apa hubungan dengan aku? Aku telah menemukanmu di luar dan sampai sekarang aku tidak mengetahui, siapa yang telah meletakkanmu di situ.” “Jangan berbohong, Capitano! Anda sendiri yang telah menculikku!” seru pemuda itu dengan marah. “Aku? Coba buktikan! Aku berani bersumpah bahwa aku tidak mengambilmu dari tangan orangtuamu!” “Ya, Anda dapat saja bersumpah mengenai hal itu, karena orang lainlah yang telah menculikku; tetapi itu dilakukan berdasarkan perintah Anda. Masih ingatkah Anda seseorang yang bernama Tito Sertano? Ia berasal dari Mataro.” “Bedebah! Dari siapa kau dengar nama itu?” “Selanjutnya masih ingatkah Anda nama hotel El Hombre Grande di Barcelona? Di situlah terjadi penukaran anak pada tanggal dua Oktober 1830.” “Dari siapa kau dengar cerita bohong demikian?” “Itu rahasia saya!” “Kau harus mengatakan kepadaku! Aku telah mengirimmu ke Rodriganda untuk mematamatai Gasparino Cortejo dan kawan-kawan, bukan untuk menentang aku dengan berbagai tuduhan palsu. Ayo katakan, dari siapa kau dengar isapan jempol itu?” “Saya tidak akan menceritakannya!” “Kau harus membuka mulut. Aku dapat memaksamu!” “Benarkah?” “Kau kira engkau dapat meremehkan aku? Akan kubuktikan, bahwa engkau takkan sanggup. Aku perintahkan kamu untuk segera kembali ke gua tempatmu!” Pemuda itu tertawa kecil dan menjawab, “Sayang tidak dapat saya laksanakan perintah itu.” “O, jadi kau berani menentangku terang-terangan?” Darah Capitano mendidih. “Berani!” kata Mariano sambil tertawa. “Saya tetap tinggal di sini. Apa yang akan dikatakan Pangeran Rodriganda bila mengetahui, bahwa de Lautreville malam hari telah melarikan diri seperti seorang penjahat? Lagipula saya sudah betah tinggal di Rodriganda dan,”—lalu ditambahkannya keterangan berikut ini—“saya sudah benar-benar merasa sebagai salah seorang anggota keluarga Rodriganda.” “Jadi engkau minta dipaksa? Turuti perintahku atau akan kubunuh kamu!” “Dengarkan lebih dahulu pendapatku ini, Capitano! Saya sekali-kali tidak membenci Anda,” kata Mariano dengan tenang. “Meskipun Anda telah merampokku dan keluargaku yang asli, namun izin serta bantuan Anda membuatku memperoleh segala yang diperlukan untuk menduduki tempatku yang asli. Karena itu saya tidak ingin membalas dendam. Namun camkanlah ini: kini kita sudah impas! Apa yang sekarang hendak saya lakukan, masih belum saya ketahui, tetapi satu hal sudah pasti, yaitu bahwa saya tidak kembali lagi kepada kalian. Anda tidak dapat memaksa saya. Saya lebih kuat dan lebih tangkas daripada Anda. Muslihat pun tidak akan menolong Anda.” “Benarkah demikian?” ejek kepala perampok itu. “Tidak dapatkah aku memberitahu Pangeran Rodriganda bahwa engkau adalah seorang perampok?” “Saya kira itu kurang bijaksana. Tentu saja akan ditanyakan di mana kawan-kawan
saya bersarang. Rahasia itu akan terpaksa saya buka.” “Bangsat!” seru kepala perampok itu. “Tenang, Capitano, tenang! Selama Anda tidak mengusik saya, saya pun akan menutup mulut. Anda kenal saya dan mengetahui, bahwa janji saya dapat dipercaya. Tetapi saya tidak bersumpah setia kepada Anda dan bila memaksa saya dengan tipu daya atau dengan kekerasan, maka Anda akan menjadi musuh saya. Saya dapat mempertahankan diri saya. Sekian perkataan saya.” “Inikah keputusanmu yang terakhir?” “Betul, yang terakhir! Hai Capitano, jangan main-main! Mata saya masih dapat melihat dengan terang. Meskipun gelap, saya dapat melihat dengan jelas, bahwa Anda mencabut pisau. Tetapi Anda tidak melihat, bahwa selama percakapan ini saya memegang pistol di tangan saya yang sudah siap untuk ditembakkan. Sebelum Anda dapat mencapai saya dengan pisau Anda, Anda akan menjadi mayat. Anak kecil itu sudah menjadi dewasa dan ia akan berlaku sebagai orang dewasa pula. Selamat tinggal, Capitano!” Mata-mata yang berdiri di luar pondok mendengar juga pemuda itu pergi. “Mariano!” kepala perampok itu memanggil. Tidak ada jawaban. “Mariano!” sekali lagi terdengar Capitano memanggil. Sekali ini bukan dengan nada perintah, melainkan dengan nada yang mengandung kecemasan. Tidak dijawab juga. Bunyi langkah kakinya makin menghilang. “Astagfirullah! Ia pergi!” kata Capitano perlahan-lahan. “Ia ingin bebas, tetapi jangan harap akan berhasil. Barangsiapa sudah dalam kekuasaanku tidak mungkin lepas lagi. Betapa dungu aku mengirimnya ke Rodriganda! Pasti ada orang yang membukakan matanya. Aku harus mengetahui siapa!” Ia perlahan-lahan meninggalkan pondok dan menghilang ke balik semak-semak di dalam taman. Kini ahli hukum itu dapat meninggalkan tempat persembunyiannya tanpa takut didengar orang. Diam-diam ia kembali ke puri dan mencari kawan wanitanya lagi, yang dengan berdebar-debar sedang menantikannya. Alfonso turut hadir juga. Keduanya sangat terkejut ketika mendengar bahwa letnan itu benarbenar anak yang diculik itu. “Ya Allah, apa yang harus kita lakukan?” tanya Clarissa. “Jadi pemuda itu sudah mengetahui siapakah dia sebenarnya?” “Dari ucapannya dapat kutarik kesimpulan, bahwa ia mengetahui.” “Kalau begitu, ibarat kita sedang duduk di atas gunung berapi yang hendak meletus,” kata Alfonso dengan nada tegang. “Bangsat itu harus disingkirkan selekas mungkin.” “Apa yang kau maksud dengan disingkirkan, Nak?” tanya Notaris. “Dibunuh! Hanya mayat dapat menutup mulut. Perkara ini dapat menimbulkan ekor yang sangat merugikan bagi kita, maka tiadalah baik berhati lemah menghadapi seseorang yang begitu berbahaya. Lagipula bukankah ia seorang perampok? Masyarakat harus berterima