KETIDAKTAHANAN PANGAN (Akses) RUMAH TANGGA ANGGOTA PERKUMPULAN SADA AHMO YANG TERSEBAR DI KABUPATEN DAIRI, HUMBANG HASUNDUTAN, NIAS, DAN PAKPAK BHARAT1 Erika Pardede2) dan Samse Pandiangan3) 2)
Program Studi Ilmu & Teknologi Pangan, Universitas HKBP Nommensen 3)
Program Studi Agroekoteknologi, Universitas HKBP Nommensen
ABSTRACT Recent study, using Household Food Insecurity Access Scale (HFIAS) method, on food insecurity (access) of the member of Sada Ahmo Organisation indicated that about 41% households were categorized as moderately food insecure. Households in the survey were distributed across fours geographic regions namely Districts of Dairi, Humbang Hasundutan, Nias, and Pakpak Bharat. More than half of severely-foodinsecure households lived in Nias district. The average HFIA score was 6,97 (min.=0;max.=27). Only 18,40% of the households of Sada Ahmo was in a state of food secure.
PENDAHULUAN Latar belakang Konsep ketahanan pangan nasional masih banyak yang hanya menekankan tingkat pemenuhan kebutuhan, yakni ketika suatu negara dapat memproduksi bahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jumlah penduduknya (Pinstrup-Andersen, 2009). Di Indonesia pun, ketahanan pangan sering dianalisa dalam konteks sebatas kecukupan produksi pangan, bahkan lebih sempit lagi sekedar membahas jumlah produksi padi. Sangat jarang kita mempertimbangkan ketahanan pangan dengan mengaitkan apakah semua penduduknya mendapatkan akses untuk mendapatkan makanan yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan energi maupun kebutuhan gizi secara lengkap. Pada World Food Summit di Roma (FAO, 1996), disepakati bahwa status keamanan pangan dicapai adalah ketika tersedia cukup bahan pangan, baik tingkat global, nasional, masyarakat maupun tingkat rumah tangga, sepanjang waktu, dan terdapat akses fisik maupun ekonomis untuk mendapatkan
1
Dimuat dalam Bulletin Ketahanan Pangan Volum , No, 1. ISSN 1979 – 7699: 2013
kebutuhan pangan sesuai yang diinginkan untuk mendapatkan kehidupan yang sehat dan aktif. Ketahanan pangan suatu rumah tangga dicirikan dengan kondisi dimana suatu rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan pangannya sepanjang tahun, terpenuhi dari segi jumlah serta aman ditinjau dari segi kesehatan, untuk mendukung hidup sehat serta aktif. Lebih jauh lagi setiap anggota keluarga harus mendapatkan pangan dan gizi yang cukup sesuai kebutuhan setiap individu. Ketidakmampuan suatu rumah tangga untuk memenuhi pangan keluarga merupakan indikator ketidaktahanan pangan di tingkat masyarakat. Indikator inilah yang sesungguhnya lebih nyata menggambarkan kondisi ketahanan pangan suatu negara, dibandingkan dengan angka-angka yang menunjukkan produksi nasional, pencapaian swasembada pangan nasional, atau angka-angka pertumbuhan pendapatan secara nasional. Food and Nutrition Technical Assistance, USAID, menyusun dokumen panduan evaluasi kerawanan pangan rumahtangga, Household Food Insecurity Access Scale (HFIAS) for Measurement of Food Access, yang merupakan adaptasi dari pendekatan yang digunakan untuk memperkirakan prevalensi kerawanan pangan di Amerika Serikat (AS) per tahun. Metode ini didasarkan pada gagasan bahwa pengalaman kerawanan pangan (akses) menyebabkan reaksi dan tanggapan yang dapat diprediksi yang dapat direkam dan diukur melalui survei dan dirangkum dalam skala. Penelitian kualitatif dengan rumah tangga berpendapatan rendah di Amerika Serikat dengan metode ini memberikan gambaran kerawanan pangan (akses) rumahtangga (Coates et al., 2007). Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada) merupakan suatu organisasi nonpemerintah yang berpusat di Sumatera Utara yang bergerak dalam pengembangan masyarakat, khususnya pemberdayaan dan penguatan perempuan. Sada Ahmo beranggotakan 9000-an rumah tangga. Setelah eksis dalam program penguatan ekonomi melalui program Credit Union Perempuan, organisasi ini juga telah mulai merintis pemberdayaan keluarga melalui program-program di bidang pertanian.
Tujuan Penelitian Dalam rangka program peningkatan ketahanan pangan keluarga penulis bersama-sama dengan perkumpulan Sada Ahmo melakukan penilaian atas kondisi keamanan pangan di rumah tangga anggota perkumpulan di empat kabupaten wilayah
kerjanya. Kabupaten sasaran adalah Dairi, Humbang Hasundutan (Humbahas), Nias dan Pakpak Bharat. Diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini juga dapat diketahui kondisi awal ketidaktahanan pangan rumah tangga anggota yang akan digunakan sebagai basis data untuk pengembangan dan penilaian keberhasilan program kerja yang berkaitan dengan peningkatan ketahanan pangan.
METODOLOGI Survey ini dilaksanakan dengan menggunakan Household Food Insecurity Access Scale (HFIAS) yang disusun oleh Food and Nutrition Technical Assistance by USAID (Coates et al., 2007). Pengambilan sampel desa dan rumahtangga responden dilakukan secara acak proporsional dengan merujuk ke Stukel and Deitchler (2012). Metode HFIAS mendasari survey dengan menggunakan penilaian sembilan situasi yang mencirikan ketidaktahanan pangan sebagai berikut: P-1: Rumah tangga yang mengalami mengkhawatirkan atau merasa tidak pasti akan tidak memiliki makanan yang cukup P-2: Rumah tangga dimana salah satu anggotanya pernah tidak dapat memakan makanan yang diinginkannya karena ketiadaan sumberdaya P-3: Rumah tangga dimana salah satu anggotanya pernah harus memakan makanan yang terbatas jenisnya karena ketiadaan sumberdaya P-4: Rumah tangga dimana salah satu anggotanya pernah harus memakan makanan yang sangat tidak ingin dimakannya karena ketiadaan sumberdaya P-5: Rumah tangga dimana salah satu anggotanya pernah harus memakan makanan dalam jumlah yang lebih sedikit dari yang dibutuhkan karena ketiadaan sumberdaya P-6: Rumah tangga dimana salah satu anggotanya pernah dalam sehari harus makan dengan frekwensi lebih kecil karena ketiadaan sumberdaya P-7: Rumah tangga dimana pernah sampai tidak ada makanan jenis apapun tersedia karena ketiadaan sumberdaya P-8: Rumah tangga dimana salah satu anggotanya harus tidur di malam hari dalam keadaan lapar karena ketiadaan sumberdaya P-9: Rumah tangga dimana salah satu anggotanya harus melalui siang hingga malam (seharian) tanpa memakan apapun karena ketiadaan sumberdaya. Responden diminta untuk mengingat kembali situasi pangan rumah tangga dalam empat minggu terakhir dihitung dari saat survey dilakukan, dan menjawab pertanyaan apakah pernah mengalami situasi yang mencirikan ketidaktahanan pangan
(P-1 s/d P-9) secara berurutan. Untuk setiap jawaban “ya” atas pertanyaan tersebut, akan dilanjutkan dengan pertanyaan tingkat kekerapan (frekwensi) kejadian. Tiga opsi jawaban adalah: jarang (1-2 kali kejadian), kadang-kadang (3 – 10 kali kejadian), dan sering (lebih dari 10 kali kejadian) Dengan menggunakan petunjuk dalam Coates et al. (2007), disusun indikator ketidaktahanan pangan (akses) yakni: 1. Ketidaktahanan pangan rumah tangga yang berhubungan dengan kondisi yang mencirikan ketidaktahanan pangan 2. Ketidaktahanan pangan rumah tangga berdasarkan domain/group 3. Skor ketidaktahanan pangan rumah tangga 4. Prevalensi ketidaktahanan pangan rumah tangga.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi ketidaktahanan pangan rumah tangga yang dianalisa melalui survey ini terbatas pada aspek akses terhadap pangan. Ketiadaan akses terhadap pangan khususnya disebabkan karena ketiadaan sumber daya, baik sumber daya pangan yang dihasilkan oleh rumah tangga itu sendiri atau sumber daya keuangan yang dapat digunakan untuk mendapatkan pangan. Kondisi ketidaktahanan pangan rumah tangga anggota Perkumpulan Sada Ahmo yang tersebar di kabupaten Dairi, Humbang Hasundutan (Humbahas), Nias dan Pakpak Bharat digambarkan dengan indikator-indikator yang telah ditentukan dalam HFIAS.
1. Ketidaktahanan pangan rumahtangga berdasarkan ciri/kondisi Sebanyak 72,2% rumah tangga anggota Sada Ahmo pernah mengalami kecemasan atau ketidakpastian bahwa rumah tangganya akan memiliki makanan yang dapat mendukung kehidupan yang sehat dan aktif (P-1). Jumlah yang sedikit lebih rendah (69,8%) juga menyatakan bahwa rumah tangganya pernah tidak dapat menyediakan makanan yang diinginkan (P-2), diikuti dengan 67,9% yang menyatakan bahwa rumah tangganya pernah mengkonsumsi makanan yang sangat terbatas jenisnya (P-3). Lebih dari separuh anggota (55,6%) pernah mengkonsumsi makanan yang sesungguhnya tidak mereka inginkan dalam kondisi yang normal (P-4). Kondisi tersebut terjadi di empat kabupaten yang disurvey (Grafik 1), dimana persentase
rumah tangga yang mengalami situasi tersebut paling rendah terdapat di Dairi, diikuti oleh Humbahas, Pakpak Bharat, dan yang tertinggi ada pada rumah tangga di Nias.
80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0
20.0 10.0 0.0
P-1
P-2
P-3
Humbahas
P-4 Nias
P-5
P-6
Pakpak Barat
P-7
P-8
P-9
Total
Grafik 1: Persentase rumah tangga anggota Sada Ahmo yang mengalami ciri ketidaktahanan pangan Ciri ketidaktahanan pangan yang digambarkan pada P-1 menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut sesungguhnya masih memiliki makanan yang cukup baik dari segi jumlah maupun jenisnya, akan tetapi kondisi sumberdaya yang mereka miliki membuat rumah tangga tersebut merasa khawatir bahwa mereka di waktu-waktu di depan mungkin tidak dapat memenuhi makanan seperti yang mereka inginkan untuk mendukung kehidupan yang aktif dan sehat. Hanya 29 persen rumah tangga yang tidak mengalami kecemasan sama sekali. Situasi di P-2 hingga P-4 menunjukkan bahwa rumah tangga masih memiliki sumberdaya tetapi sudah dengan keterbatasan tertentu sehingga meskipun rumah tangga tersebut dapat makan mereka memiliki makanan yang terbatas jenisnya serta tidak lagi bervariasi. Lebih dari separuh (56,1%) terpaksa memilih jenis makanan yang dalam keadaan normal/cukup mereka tidak konsumsi. Ketika rumah tangga mengalami kondisi-kondisi yang berhubungan dengan keterbatasan jumlah makanan, normalnya mereka akan bereaksi secara fisik. Sebagian akan mengurangi jumlah porsi makanan, sebagian lagi mungkin memilih untuk melewatkan satu atau dua waktu makan. Kondisi yang semakin kritis dicerminkan
dengan adanya anggota rumah tangga yang harus berangkat tidur tanpa makan malam, bahkan mungkin tidak makan dari pagi hingga tidur di malam hari. Dalam survey ini, terdapat sebanyak 58,5% rumah tangga yang sampai harus mengurangi jumlah porsi makanan dibanding dengan porsi normal (P-5), dan 30,7% dari populasi rumahtangga pernah sampai harus mengurangi frekwensi makan (P-6). Grafik menunjukkan bahwa tindakan mengurangi frekwensi makan paling tinggi (20,8%) terjadi pada anggota di kabupaten Nias. Meskipun terdapat 5,2% rumah tangga pernah mengalami tidak memiliki makanan tersedia dalam rumah tangganya (P-7), tetapi hanya 3,3% rumah tangga yang pernah mengalami dimana ada anggota rumah tangganya pernah harus pergi tidur malam tanpa makan malam (P-8), dan hampir tidak ada rumahtangga (0,5%) yang anggota keluarganya pernah mengalami tidak makan dari pagi hingga malam hari (P-9). Ketika kondisi ini dikonfirmasi kembali, ternyata ketika tidak tersedia makanan apapun di dalam rumah tangga mereka meminjam beras atau makanan lain kepada tetangga atau pedagang, sehingga mereka tidak sampai harus tidak makan. Hasil analisa selanjutnya menunjukkan tingkat kekerapan terjadinya situasi yang mencirikan ketidaktahanan pangan tersebut seperti dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1: Persentase rumah tangga yang mengalami ciri ketidaktahanan pangan berdasarkan kekerapan/frekwensi kejadian di empat kabupaten Kekerapan P-1 DAIRI Jarang Kadang-kadang Sering HUMBAHAS Jarang Kadang-kadang Sering NIAS Jarang Kadang-kadang Sering PAKPAK BHARAT Jarang Kadang-kadang Sering TOTAL
P-2
Ciri Ketidaktahanan Pangan P-3 P-4 P-5 P-6 P-7
P-8
P-9
4,7 6,1 1,4
5,7 4,7 1,4
2,4 4,7 1,4
4,2 2,4 0,9
7,1 0,9 0,9
0 0,5 0
0,9 0 0
0 0,5 0
0 0 0
0,9 11.8 3,8
2,8 9,8 3,8
1,4 8,0 8,5
1,9 10,4 1,4
2,8 6,6 6,1
0,9 3,3 0,5
0,5 1,9 0
0,5 0 0
0 0 0
2,4 16,0 3,8
2,8 15,6 3,8
4,7 14,6 3,3
6,1 11,8 2,4
4,2 12,7 1,9
4,2 12,7 3,8
0,5 0,9 0
2,4 0 0
0,5 0 0
3,8 11,3 6,1 72,2
4,7 9,0 6,1 69,8
4,2 8,5 6,1 67,9
4,2 6,1 4,2 56,1
5,7 7,1 2,4 58,5
1,4 2,8 0,5 30,7
0,5 0 0 5,2
0 0 0 3,3
0 0 0 0,5
Frekwensi terjadinya masing-masing ciri ketidaktahanan pangan bervariasi dari kabupaten ke kabupaten, meskipun secara umum lebih banyak rumah tangga anggota mengalaminya lebih dari 3 – 10 kali (kadang-kadang). Rumah tangga di Pakpak Bharat yang sering (lebih dari 10 kali) mengalami situasi yang mencirikan ketidaktahanan pangan lebih banyak dibanding dengan rumah tangga di Nias, Humbahas dan Dairi. Sementara jumlah rumah tangga yang mengalami 3 – 10 kali (kadang-kadang) situasi ketidaktahanan pangan lebih banyak di Nias dibanding di tiga kabupaten lainnya. Secara keseluruhan rumah tangga di Dairi lebih sedikit dan lebih jarang mengalami situasi ketahanan pangan dibanding rumah tangga anggota di tiga kabupaten lainnya.
2. Ketidaktahanan pangan rumahtangga berdasarkan domain/group Dalam metoda HFIAS, ciri-ciri tersebut digolongkan menjadi tiga kelompok besar seperti digambarkan sebagai berikut.
80.0
72.2 64.6
70.0 60.0 50.0 40.0
Persentase
30.0
19.8
20.0 10.0 0.0 I
II
III
Grafik 2: Pengelompokan rumah tangga anggota Sada Ahmo berdasarkan domain Ketidaktahanan pangan versi HFIAS Kelompok pertama adalah rumah tangga yang hanya mengalami kekhawatiran dan ketidakpastian, yakni sebanyak 72,2%. Kelompok kedua adalah kelompok yang mengalami kekurangan kualitas makanan ditinjau dari segi jenis atau variasi makanan, serta dihubungkan dengan aspek pilihan/kesukaan terhadap makanan. Survey ini menunjukkan bahwa 64,6% rumah tangga mengalami keterbatasan memilih jenis dan
variasi makanan sesuai keinginan untuk mendapatkan hidup sehat dan aktif karena kekurangan sumberdaya baik natura maupun keuangan. Sebanyak 19,8% dari rumah tangga anggota Sada Ahmo, yakni kelompok ketiga, bahkan harus melakukan respon fisik atas kondisi kekurangan sumberdaya tersebut dengan terpaksa mengurangi porsi makan atau melewatkan waktu makan atau bahkan terpaksa tidak makan sama sekali.
3. Skor ketidaktahanan pangan rumahtangga Metode HFIAS menetapkan skor ketidaktahanan pangan setiap rumahtangga yang nilainya berkisar antar 0 hingga 27. Nilai ini diambil dari perhitungan terjadinya masing-masing dari sembilan situasi yang mencirikan ketidaktahanan pangan dikalikan dengan tingkat kekerapan yakni “jarang”, “kadang-kadang” dan “sering” yang masing-masing diberi skore berturut-turut 1,2, dan 3. Skor paling tinggi yang dimiliki oleh rumahtangga anggota Sada Ahmo adalah 17, sedang yang terendah adalah 0, dengan skor rata-rata populasi 6,97. Dengan menggunakan skor ini ketidaktahanan masing-masing rumah tangga dapat dibandingkan secara relatif terhadap rumahtangga lainnya, tetapi skor ini tidak digunakan untuk menggambarkan kategori atau status ketidaktahanan. Semakin tinggi skor suatu rumahtangga berarti relatif semakin lebih tidak tahan kondisi pangan rumah tangganya dibandingkan dengan yang lebih rendah.
4. Prevalensi ketidaktahanan pangan rumah tangga Status ketidaktahanan pangan masing-masing rumah tangga ditentukan dengan menggunakan kategori HFIA. Status ketidaktahanan pangan rumahtangga dinyatakan dengan salah satu dari empat kategori yakni tahan pangan (food secure; nilai 1), ketidaktahanan tingkat ringan (mildly insecure; nilai 2),
ketidaktahanan tingkat
sedang (moderately food insecure; nilai 3), dan ketidaktahanan tingkat parah (severely food insecure; nilai 4). Berdasarkan kategori tersebut, terlihat prevalensi dari rumah tangga anggota Sada Ahmo yang tahan pangan hanyalah 18,40%. Sementara itu prevalensi yang mengalami ketidaktahan tingkat ringan dan tingkat sedang berturutturut 9,43% dan 41,98%. Selebihnya, sebanyak 30,19% mengalami ketidaktahanan pangan yang parah atau dapat diistilahkan sebagai rawan pangan.
18.00 16.00 14.00 12.00 Dairi
10.00 8.00
Humbahas
6.00
Nias
4.00
Pakpak Barat
2.00 0.00 Tahan Pangan
Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan pangan tingkat pangan tingkat pangan tingkat ringan sedang berat
Grafik 3: Prevalensi ketidaktahanan pangan rumah tangga anggota Sada Ahmo di Kabupaten Dairi, Humbahas, Nias dan Pakpak Bharat Dari total rumah tangga anggota yang termasuk kategori tidak tahan pangan tingkat sedang disumbang paling banyak oleh rumah tangga di Pakpak Barat dan Humbahas, sedangkan paling sedikit disumbang oleh anggota dari kabupaten Nias. Dari kelompok rumah tangga yang tahan pangan terbanyak berdomisili di kabupaten Humbahas (8,2%), dan hanya 0,94% rumah tangga anggota di Nias yang tahan pangan. Jumlah rumah tangga anggota di Nias yang tergolong tidak tahan pangan tingkat sedang juga sangat kecil, sedangkan yang tergolong tidak tahan pangan tingkat berat jauh lebih banyak (16,51%) dibanding anggota di tiga kabupaten lainnya.
KESIMPULAN Dari survey yang dilakukan terhadap anggota rumah tangga Sada Ahmo yang tersebar di empat kabupaten, ditemukan bahwa secara rata-rata rumah tangga dikategorikan berada diantara tidak tahan pangan tingkat ringan dan tingkat sedang, dimana hampir separuh (41%) diantaranya berada pada kategori tidak tahan pangan tingkat sedang. Setiap rumahtangga yang disurvey telah memiliki skor ketahanan pangan (akses) rumahtangga, yang berada diantara 0-17. Skor ini bersama-sama dengan kategori ketidaktahanan pangan, serta prevalensi ketidaktahanan pangan rumah tangga selanjutnya dapat digunakan melihat perkembangan ketidaktahanan pangan masingmasing rumah tangga dari waktu ke waktu.
Survey dengan metode HFIAS ini dinilai sangat baik digunakan untuk mendapatkan basis data ketidaktahanan pangan, serta sewaktu-waktu dapat dilakukan dengan mudah untuk mendapatkan perkembangan status ketahanan pangan baik masing-masing rumahtangga, kelompok ataupun populasi di daerah kewilayahan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA Coates, J., Swindale, A., and Bilinsky, P. 2007. Household Food Insecurity Access Scale (HFIAS) for Measurement of Food Access: Indicator Guide. Version 3. Food and Nutrition Technical Assistance. USAID. FAO. 1996. World Food Summit, 13-17 November 1996. Rome, Italy: Food and Agriculture Organisation of the United Nations. Pinstrup-Andersen, P. 2009. Food Security: definition and measurement. Food Security 1: 5-7 Stukel, D. and Deitchler, M. 2012. Addendum to FANTA Sampling Guide by Robert Magnani (1997): Determining the Number of Households That Need to be Contacted.