Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
EPISTIMOLOGI FIQH : BAGAIMANA FIQH DIPRODUK Oleh: Syaifuddin1
ABSTRAK Fiqh sebagai kristalisasi reflektif dari penalaran mujtahid atas teks hukum (syari’at) selalu sarat dengan muatan ruang dan waktu yang melingkupinya. Fiqh bukan lahir dari ruang yang hampa, melainkan terlahir di tengah dinamika pergulatan kehidupan masyarakat sebagai jawaban solusi atas problematika aktual yang muncul. Dan fiqh itu harus ada untuk menjawab problema yang terjadi, sebagai pedoman kehidupan praktis di tengah masyarakat. Agar mencapai produk fiqh yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, seorang faqih setidaknya memahami aspek kebahasaan dan subtansi syari’at. Di samping itu, yang perlu dimiliki seorang faqih adalah pemahaman Syari’at dan juga pemahaman realitas yang memadai agar diperoleh produk fiqh yang up to date dan relevan dengan situasi kekinian. Di sinilah, pentingnya kita memahami epistemologi fiqh. Key Word: fiqh, istinbath, epistemologi Pendahuluan Fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-muktasab) menujukkan kepada sebuah pemahaman, bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqh tidak hanya hasil dari penalaran intelektual berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu, tapi juga kerja ilmiah ijtihadiyah. Agar segala ketentuan hukum yang terkadung dalam syari’at bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala ketentuan yang dikehendaki oleh Allah yang terdapat dalam syari’atnya.2 Apa yang difahami oleh manusia dari syari’at itu, bukan lagi dikatakan syari’at, melainkan dinamakan fiqh. Secara etimologi fiqh berarti Staf Pengajar Sekolah Tinggi Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember dan Dosen Tetap STAIN Jember. 2 Amir Syarifuddin, dalam Filsafat Hukum Islam, Muhammad Ismail syah (Jakarta: Bumi Aksara 1992), 16 1
37
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
“pemahaman yang mendalam “. Sedang fiqh dalam arti terminologi menurut para ulama’ adalah Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali atau diambil dari dalil-dalil tafsili”.3 Menggali hukum (fqh) dari dalil tafsili ini disebut dengan “Istimbat“. Istimbath adalah upaya seorang ahli fiqh dalam menggali hukum (fiqh) dari sumber-sumbernya. Dari segi etimologi istimbat berasal dari kata kerja, “nabatha, yanbuthu“ yang berarti “air yang mula-mula keluar dari sumur yang “. Kata kerja tersebut kemudian dijadikan bentuk transitif, sehingga menjadi “ anbatha dan istimbath “ yang berarti mengeluarkan air dari sumur (sumber tempat bersembunyinya air)”. Jadi kata istinbath pada asalnya berarti ”usaha mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiaannya,” Istilah tersebut identik dengan istilah ijtihad dalam Ushul fiqh.4 Upaya yang demikian ini tidak membuahkan hasil yang memadai, melainkan dengan menempuh cara-cara pendekatan yang tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai, terutama – menyangkut sumber hukum. Ali Hasbullah melihat ada dua pendekatan yang dikembangkan oleh ulama’ ushul fiqh dalam melakukan istinbath, a) pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan, b) pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syara’.5 Setiap objek kajian dalam keilmuan harus didekati dengan kajian keilmuan yang tepat sesuai dengan karakter objek keilmuan yang akan dikaji tersebut, karena setiap objek kajian itu mempunyai muatan karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, jika yang akan menjadi objek kajian di sini adalah istinbath hukum, maka pendekatan yang akan diterapkan haruslah pendekatan melalui kaidahkaidah kebahasaan dan maqashid al-Syari’ah. Pendekatan melalui kaidahkaidah kebahasaan ialah karena kajian akan menyangkut nash (teks) syari’ah, sedangkan pendekatan melalui maqashid al-Syari’ah adalah, karena kajian akan menyangkut kehendak syari’, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui kajian maqashid al-Syari’ah.6 Teks Syari’ah yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dituangkan dalam bahasa Arab. Maka untuk dapat memetik (mengistinbathkan) hukum-hukum yang dikandungnya, mujtahid yang akan menggali hukumhukumnya harus memahami secara komprehensip. Oleh karena it ia harus mengetahui seluk beluk bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an dan alMuhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Beirut: Daru al-Fikr, 1958), 6 Ibrahim Husen, dalam Ijtihad dalam Sorotan, Haidar Baqir (Bandung: Mizan, 1988), 25 5 Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri’ Al-Ismaiy (Mesir: Daru al-Ma’arif, 1971), 3 6 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad as-Syaukani (Jakarta: Logos, 1999),38 3 4
38
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Hadis. Satu hal yang tidak masuk akal kalau ada seorang yang tidak memahami bahasa Arab akan dapat mengistinbathkan hukum secara memuaskan dari al-Qur’an dan al-Hadis yang berbahasa Arab. Oleh karena itu Al-Ghazali menyebut kaidah kebahasaan sebagai pilar ushul fiqh, yang dengannya para mujtahid dapat menggali dan mengistinbathkan dari sumber-sumbernya.7 Pendekatan melalui kajian kebahasaan, telah menyita sebagian besar dari kitab-kitab ushul fiqh klasik. Hal demikian memang wajar, karena untuk mengistinbathkan suatu hukum (fiqh) dari sumbernya yang berbahasa Arab, tentu diperlukan kajian kebahasaan yang mendalam. Dalam hal ini ulama’ ushul fiqh besar sekali perhatiannya terhadap uslub bahasa nash, gaya bahasanya dan susunan katanya, kemudian untuk dijadikan kaidah-kaidah pokok bahasa sebagai dasar dalam rangka istinbath hukum. Syara’ memang tidak mengatur kaidah-kaidah bahasa, tapi para ulama’lah (ushul fiqh) yang meneliti dan menetapkan adanya lafadh yang terang maknanya dan yang tidak terang maknya dalam nash alQur’an dan al-Hadis, adanya dalalah lafadh. Lafadh am, khash, mutlak, muqayyad, amar, nahi dan sebagainya Dengan adanya penetapan kaidah-kaidah mengenai bahasa ini, akan tampak dengan jelas kemahiran ulama ushul dalam istinbath hukum yang terkandung dari berbagai keterangan nash dengan melalui ilmu bahasa yang sangat tinggi, sehingga hilanglah kesulitan-kesulitan yang muncul karena bahasa nash tersebut dalam rangka menjelaskan tentang tafsir dan takwil atas nash.8 Kalau pendekatan kebahasaan terhadap sumber-sumber hukum Islam dititik beratkan pada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui maqashidu al-syari’ah kajian lebih dititik beratkan pada melihat nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah. Pendekatan dalam bentuk ini penting dilakukan, terutama sekali karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an terbatas jumlahnya, sementara permasalahan masyarakat senantiasa muncul. Dalam menghadapi berbagai permasalahan melalui pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum melalui istimbath akan dapat dilakukan. Kajian tentang maqashid al-Syari’ah, bertolak dari asumsi bahwa segenap syari’at yang diturunkan Allah senantiasa mengandung kemaslahatan bagi hamba-Nya untuk masa sekarang (di dunia) dan
7 8
Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi al-ushul I (Beirut: Daru al-Fikr al-Ilmiyah, tt),315 HA. Djazulu, Ushul Fiqh :Metodologi Hukum Islam (Jakarta: Rajawali, 2000),232
39
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
sekaligus masa yang akan datang (di akhirat).9 Maqashid al-Syari’ah yang secara subtansial mengandung kemaslahatan, menurut Syatibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang Syari’ (yaitu pembuat hukum, Allah), kedua maqashi Al-Mukallaf tujuan mukallaf).10 Dilihat dari sudut tujuan pembuat hukum, maqashid al-Syari’ah mengandung empat aspek, yaitu : 1. Tujuan awal syari’ membuat syari’at adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat 2. Penetapan syari’at sebagai suatu yang harus difahami 3. Penetapan syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilaksanakan 4. Penetapan syari’at guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum11 Adapun tujuan syari’at ditinjau dari sudut tujuan mukallaf ialah agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syari’at yang ditentukan oleh syari’ di atas, sehingga tercapai tujuan mulia syari’at, yakni tujuan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Mengingat ijtihad itu merupakan upaya untuk mengetahui dan mendapatkan hukum syara’ secara optimal, dan upaya itu untuk memahami maqashid al-syari’ah12. Oleh karena itu Al-Syatibi menempatkan pengetahuan atas maqashid al-syari’ah merupakan syarat pertama bagi seorang yang akan melakukan ijtihad, setelah itu baru diikuti oleh syarat kedua, yaitu kemampuan menarik kandungan hukum secara deduktif atas dasar pengetahuan bahasa Arab, alQur’an, al-sunnah, dan ilmu-ilmu bantu yang lain.13 Sehubungan dengan maqashid al-syari’ah ini al-Syaukani mengatakan, “Orang yang berhenti pada lahir nash atau hanya melakukan pendekatan melalui pendekatan lafdhiyah (tekstual) serta terikat nash yang juz’i dan mengabaikan maksud- maksud terdalam dari pensyari’atan hukum, ia akan terjerumus pada kesalahan-kesalahan dalam ijtihad.14 Fiqh sebagai produk istimbath yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang dijadikan sumber pengambilannya melalui penafsiran resmi dari syari’ sendiri, mengkaji kaidah-kaidah bahasa dalam pemberian makna suatu lafadh, dan meneliti terhadap latarbelakang, hikmah dan rahasia penetapan suatu hukum.
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah II, (Beirut: Dar al-fikr al-Ilmiyah, 1991), 79 Ibid, 2 11Ibid, 2 12 Ibid, 89 13 Ibid, 76-79 14 Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiqi al-Haq min Ilmi al-Ushul (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), 256 9
10
40
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Fiqh sebagai Produk Interaksi antara Konteks dengan Teks Penting sekali ditegaskan disini adalah, bahwa munculnya kesadaran umat, terutama dalam dunia fiqh, tidak terjadi dalam sekali waktu, tetapi berproses panjang mengikuti alur perjalanan waktu dan luasnya wilayah di mana umat Islam itu berada. Hal ini menandakan bahwa fiqh punya karakter merespon gerak perubahan waktu dan tempat. Dalam perkembangan terakhir ini, meskipun samar-samar, kita menyaksikan munculnya kegairahan baru dikalangan para Ulama’ dalam merespon perkembangan baru. Mereka menawarkan fiqh perkembangan dan juga menampakkan konsennya yang besar terhadap kepedulian sosial. Karenanya dalam banyak hal, mereka mengajukan pendekatan “transformatif“ dalam memahami fiqh dan mencari relevansinya dengan masalah-masalah kekinian. Fuqaha’ dipandang gagal jika tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat, dalam perkembangan yang sedemikian rupa, sehingga muncul kesenjangan antara fiqh secara teoritis dengan kenyataan masyarakat secara praktis. Pendekatan ini mengajak pada suatu pemahaman yang lebih dinamis dan tidak kaku, yaitu dengan menggabungkan pemahaman tarikh tasyri’ dengan sosiologi hukum.15 M.Atho’ Mudzhar dalam pidato pengukuhan Guru Besar Hukm Islam mengatakan, “Penetapan pendekatan sosiologi dalam studi Hukum Islam berguna untuk memahami secara lebih mendalam gejala-gejala sosial di seputar hukum Islam, sehingga dapat membantu memperdalam pemahaman hukum Islam doktrinal, baik pada tatanan hukum azaz maupun normatif, dan juga pada gilirannya memahami dinamika Hukum Islam.16 Dengan memahami tarikh tasyri’ dan dengan bantuan pendekatan sosiologi, kita akan tahu pengembangan wawasan fiqih yang memungkinkan mereka mereka menangkap makna kontekstual dari rumus-rumus tekstual yang sudah baku dalam ilmu fiqh, yang kemudian kita kembangkan sesuai dengan tuntutan yang relevan demi kesempurnaan fiqh itu sendiri. Dari sosiologi hukum kita sudah mengetahui bahwa sasaran dalam ilmu fiqh adalah manusia serta dinamika dan perkembangan merupakan masyarakatnya, yang kesemuanya itu merupakan gambaran nyata dari perbuatan mukallaf yang tidak bisa lepas dari dari hukum (wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh) menurut perspektif fiqh. Hal ini menunjkkan bahwa fiqh tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan konteks-konteks kehidupan nyata dan dinamis. Gambaran demikian ini dapat kita baca bilamana kita menelusuri cara-cara interpretasi yang menghubungkan satu Mun’im Assiri, Sejarah Fiqh Islam sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 155 M. Atho’ Mudzhar,dalam, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Paramadina, Jakarta, 1995), 57 15 16
41
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
hukum dengan latarbelakang kontekstual lingkungannya yaitu dengan memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang disebut “Asbab al-nuzul dan Asbabu al -wurud (sosio historisnya). Demikian juga kalau kita menelusuri cara-cara pemecahan masalah yang ditempuh para fuqaha’ dengan adanya tingkatan-tingkatan pemecahan melalui pertimbangan dlaruriyat, hajiyah dan tahsiniyah. Ini berarti kondisi-kondisi kontekstual mulai dari yang terburuk sampai yang terbaik turut dipertimbangkan dalam suatu tuntutan hukum syara’, sehingga konteks fiqh dengan kehidupan riil selalu komunikatif, sehingga fiqh akan selalu baru dan kontekstual Fiqh sebagai sesuatu yang digali, menunjukkan pada sebuah pemahaman, bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intlektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqh tidak hanya dari hasil penalaran intlektual berdasarklan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah ijtihadiyah Dari kajian –kajian sosiologi hukum (tarikh tasyri’), para pakar sosiologi hukum, Sudjono SH, menyimpulkan bahwa pengaruh timbal balik antara perubahan sosial dan hukum secara mendasar ditemukan dalam sifat dan watak hukum dan peranannya dalam kehidupan sosial dan tuntutan-tuntutan dalam masyarakat yang didorong oleh berbagai faktor yang bergerak dalam kehidupan masyarakat.17 Jika boleh disimplifikasikan, sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur penting yang mesti diajukan untuk keperluan mediasi teks dan realitas (konteks) di atas. Pertama, penguasaan makna dan arah tujuan sebuah teks diproduksi. Pemahaman seperti ini penting agar reproduksi makna yang dilahirkan dari sebuah teks tidak bergeser dari kerangka dasar maksud syari’ (pembuat syari’ah) yang muaranya tak lain untuk kemaslahatan hamba. Kedua, pengamatan realitas sosial dimana komunitas hukum (mukallaf) hidup baik secara individu maupun masyarakat. Penghayatan kondisi sosial mukallaf sangat perlu agar penerapan sebuah produk hukum tidak mereduksi kepentingan dan kemaslahatan mereka sendiri. Ketiga, penempatan makna teks terhadap realitas. Dengan unsur ketiga ini, seorang mujtahid tidak semata bertugas memproduksi hukumhukum oprasional sesuai mekanisme istidlal yang diperlukan , tetapi lebih dari itu bagaimana sebuah produk ijtihad dapat diterapkan secara konteks sosiologis yang tepat guna.18
Sudjono D, Sosiologi Hukum : Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1983), 76 18 Abu Yazid, dalam Aula, (No.10 tahun XXV Oktober, 2004), 59 17
42
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Pemahaman konteks sosial sebagai dasar pertimbangan produk fiqh telah dilakukan oleh Umar bin Khattab dengan mendialogkan dengan teksteks sumber hukum Islam yang melahirkan pilihan-pilihan fiqh kontekstual pada zamannya. Kebijakan Umar bin Khattab yang tidak menerapkan hukuman had kasus pencurian dimusim paceklik. Begitu juga Umar merubah kebijaksanaan Rasulullah dalam menghadapi persoalan persoalan tanah di daerah yang baru ditaklukkan. Di zaman Nabi, tanah-tanah yang disita sebagai akibat dari penaklukan dibagikan kepada prajurid muslim yang menaklukkan. Oleh karena itu Umar tidak membagi-bagikan tanah-tanah yang ditaklukkan kepada tentara muslim, tetapi membiarkan tanah itu dikuasai oleh penduduk aslinya (kasus Irak dan Mesir). Umar berpendapat bahwa bila serdadu muslim dibiarkan tinggal di tanah taklukannya, mereka akan berhenti jadi prajurit. Tapi alasan yang lebih kuat adalah kepercayaan Umar tak tergoyahkan pada prinsip keadilan, sosial ekonomi. Sebab jika tanah-tanah itu tetap dibagikan pada si penakluk, bagaimana nasib generasi mendatang dari daerah yang dikuasai itu?. Untuk tindakannya yang (kelihatan) menyimpang itu, Umar telah berijtihad yang mendialogkan data-data yang baru yang ada di lapangan (sosio-ekonomi), yang kemudian dicarikan pertimbangan-pertimbangan teks-teks ayat al-Qur’an yang lain yang dijadikan objek dialog pemikirannya, yaitu ayat 7 dan 10 surat alHasr. Lahirlah kesimplan Fiqh yang berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Kasus Umar ini untuk menunjukkan bahwa betapa suatu hukum (fiqh) dapat berubah secara formal menghadapi perubahan sosial. Tapi jiwa dan ideal yang mendasari hukum formal itu tetap bertahan tidak berubah.19 Mendialogkan antara konteks dengan teks atau teks dengan konteks merupakan sebuah proses yang harus dilakukan oleh seorang faqih dalam produk fiqh. Hal merupakan satu keniscayaan. Upaya menjawab kasuskasus yang muncul di tengah masyarakat dengan memposisikan al-Qur’an dan al-Sunnah, tidak harus selalu menempati premis mayor, bahkan bisa berada di luar premis-premis dalam logika formal. Meminjam istilah Noeng Muhajir, al-Qur’an dan al-Sunnah tidak dijadikan sebagai postulat atau premis mayor, melainkan dipakai untuk bahan konsultasi, untuk pelita, untuk penjernih pada saat kita bingung, pada saat kita banyak berbeda teori, pada saat kita berbeda pemaknaan.20
Amir Muallim, Ijtihad Suatu Kontroversi (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997), 135. Noeng Muhajir, Wahyu, dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme metodologik: Metodologi Kualitatif dalam Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, ed. Taufiq Abdullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), 62. 19 20
43
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Dengan demikian hasil ketentuan hukum (fiqh) dengan model pendekatan yang demikian bersifat relatif, dan diyakini bersifat luwes, fleksibel sekaligus dipandang mampu mengikuti denyut jantung dan perkembangan masyarakat dengan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip yang ada.21 Fiqh harus dipandang sebagai varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu, oleh karena itu kita harus memahami faktor-faktor sosio kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran hukum itu. Dengan demikian jika dintempat lain ata pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan. Dengan mendialogkan antara konteks dengan teks atau teks dengan konteks dalam produk (istimbath hukum) fiqh, akan melahirkan komitmen pengembangan fiqh, bukan pengorbanan, komitmen masa depan, bukan nostalgia, komitmen kesadaran intlektual, bukan kejumudan histori. Hal ini akan melahirkan kreatifitas dalam produk pemikiran fiqhiyah dalam rangka menjawab tantangan-tantangan baru yang selalu berubah, sehingga produk fiqh akan selalu konteks dengan perubahanperubahan yang terjadi dan sekaligus menerapkan nilai-nilai dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim yang tengah mengalami perubahan ini. Dari pembahasan di atas, bahwa fiqh itu diproduk dan diproses melalui istimbath dan hasil dialog antara konteks dengan teks. Tuntutan SDM dalam Produk Fiqh Kontekstual Bagi seorang yang menekuni Islam, pasti mengerti, bahwa kita ini mempunyai kekayaan pendapat yang bermacam-macam dalam berbagai masalah fiqh. Persoalan –persoalan fiqh yang disepakati hukumnya itu masih relatif sedikit bila dibandingkan dengan persoalan yang hukumnya masih diperselisihkan di kalangan para fuqaha’. Bahkan banyak persoalan yang diduga telah disepakati oleh para ulama’, ternyata masih 22 menjadi perdebatan pendapat dikalangan mereka. Kenyataan di atas selalu menjadi persoalan dalam proses sosialisasi fiqh, bukan saja menyangkut eksistensi hkum tersebut, tetapi juga sering menjadi ajang perdebatan dikalangan ulama’ adalah dalam hal relevansinya maupun aktualisasi hukum (fiqh )
21 22
Akh. Minhaji, Masa depan studi Hukum Islam,problem Metodologi, Makalah, 9 Yusuf al-Qardlawi, Ijtihad Kontemporer (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 25.
44
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
itu sendiri, terutama dikaitkan dalam keadaan tempat maupun zaman. Di sini sebenarnya terjadi sklus dan interaksi antara faqih, fiqh dan situasi sosial. Baahwa untuk menjaga dan memeliharanya, fiqh memerlukan penjaga yang disebut “faqih “ atau “fuqaha’ “. Maka untuk menjaga status mereka sendiri, para fuqaha’ harus senantiasa meningkatkan SDM nya melalui melalui peningkatan mutu kewilmuan demi menjaga aktualisasi fiqh menjadi tetap aktual. Hal ini sesuai dengan sifat ilmu dan fiqh itu sendiri yang selalu berubah dan berkembang dipengarui oleh perubahan dan perkembangan situasi dan kondisi. Pendekatan fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tidak ada henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya, karena pada akhirnya banyak menyangkut soal cabang dari agama. Tapi ntuk menghasilkan fiqh yang berkualitas serang faqih dituntut untuk meningkatkan SDM nya, dalam arti meningkatkan instrumen ijtihad yang dijadikan olah pikir dan istimbath hukum agar menghasilkan fiqh yang berkualitas itu diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf alQardlawi.23 Adalah : 1. Pemahaman Syar’i Pemahaman syar’i yang didasarkan kepada pemahaman yang mendalam tentang nash-nash hukum syara’ serta maksud-maksudnya. Bagi mereka yang meneliti hukum-hukum dan nash-nash, serta menyelami rahasia-rahasia syari’at, maka baginya dalil-dalil itu sudah cukup jelas. Syari’at datang untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan itu secara beruntun dikenal sebagai: a. Sebagai kemaslahatan dlaruriyat (primer) b. Kemaslahatan hajiyah (skunder) c. Kemaslahatan tahsiniyat (tersier).24 Maslahah dlaruriyah adalah kemaslahatan yang bila diabaikan akan berakibat kefatalan bagi kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Bentuk kongkrit dari kemaslahatan ini adalah pemeliharaan total terhadap lima pokok hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal pikiran dan harta benda. Sedangkan kemaslahatan hajiyat ialah kemaslahatan yang dibutuhkan untuk kelapangan dan menghilangkan kepicikan. Bentuk kemaslahatan itu apabila diabaikan akan berujung pada kesukaran (masyaqqat), walaupun tidak sampai batas batas kerusakan. Sedangkan kemaslahatan tahsiniyat, yaitu mengambil perangai hukum-hukum kebiasaan yang dianggap layak serta menjauhi tingkah laku yang dianggap keji oleh akan sehat. Sifatnya hanya sebagai penghias atau pelengkap saja.
23 24
Ibid., 26 Al-Syatibi, op-cit, 3
45
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Jadi seandainya hal ini tidak terpenuhi, tidak akan berakibat munculnya kesulitan.25 2. Pemahaman realitas Pemahaman realitas ini berdasarkan pengkajian yang akurat dan tepat tentang kenyataan masalah atau kasus yang sedang dialami dengan berbagai aspek permasalahaannya. Pengkajian yang ditopang dengan datadata yang akurat dan fakta-fakta yang nyata, dibarengi sikap kehati-hatian serta ketelitian terhadap kemungkinan terjadinya pemalsuan angka-angka fiktif yang didasarkan kepada data-data yang minim, statemen yang tidak mencukupi syarat, angket dan pertanyaan-pertanyaan motivasi sosial tertentu, dan bukan demi kepentingan kebenaran secara menyeluruh.26 Kedua permasalahan tersebut harus dipadukan dan saling menyempurnakan, sehingga mampu mencapai pertimbangan ilmiah secara benar dan dapat diprtanggungjawabkan serta jauh dari sikap ekstrem dan ceroboh. Kedudukan aspek Syar’i di sini sangat jelas, jika ditinjau dari aspek prinsip. Aspek ini telah diulas dalam buku ushul fiqh. Sedangkan untuk memahami aspek sosial, bisa dipelajari dalam metodologi penelitian sosial atau metodologi penelitian lain yang memang dibutuhkan sehubungan dengan objek/kasus yang sedang dikaji. Hal ini dimaksudkan untk memperoleh data yang akurat. Sebab dalam memahami kasus fiqh harus didukung oleh pemahaman faktor-faktor sosio kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya kasus tersebut dalam produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran hukum tersebut. Dengan demikian jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran fiqh itu dengan sendirinya harus berubah, sehingga dinamika fiqh Islam dapat terus terjaga dan dikembangkan sesuai dengan konteks yang menuntutnya. Hendaknya seorang faqih memfokuskan bahasannya pada pertimbangan antara maslahah dan mafsadah. Hendaklah ia melihat kepada maslahah dan mafsadah saat ia mengeluarkan fatwa mengenai masalah yang di hadapi oleh manusia. Jangan sampai ia hanya mengambil nash. Namun ia sebenarnya teralinasi dari kehidupan riil yang ada. Dan hendaknya faqih mampu membumikan dalil pada realitas yang ada. Jika dalil itu sesuai dengan realitas yang ada, maka fatwa yang dikeluarkan barulah dianggap sah. Sebab jika tidak, maka akan terjadi pemisahan dan ajaran antara fatwa, realitas dan dalil. 25 26
Majalah Aula, no. X th.XIX, 1997, 61 Yusuf al-qardlawi, Al-Aulawiyah Al-harakah al-Islamiyah (Shahwah Islamiyah, tt ), 26
46
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Penutup Istinbath adalah upaya seorang ahli fiqh dalam menggali hukum (fiqh) dari sumber-sumbernya. Istinbath yang pada asalnya berarti ”usaha mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiaannya,” itu identik dengan istilah ijtihad dalam Ushul fiqh. Ali Hasbullah melihat ada dua pendekatan yang dikembangkan oleh ulama’ ushul fiqh dalam melakukan istinbath, yaitu pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syara’. Sementara itu, pendekatan fiqh agar lebih syamil dan bertanggungjawab harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tidak ada henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya, karena pada akhirnya banyak menyangkut soal cabang dari agama. Namun, untuk menghasilkan fiqh yang berkualitas serang faqih dituntut untuk meningkatkan sumber daya manusianya (SDM). Di sini, untuk meningkatkan instrumen ijtihad yang dijadikan olah pikir dan istinbath hukum agar menghasilkan fiqh yang berkualitas, maka seorang faqih harus melalui dua pemahaman sekaligus: pemahaman Syar’i dan pemahaman realitas.
47
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufiq, Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme metodologik: Metodologi Kualitatif dalam Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Assiri, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Baqir, Haidar, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988. Djazuli, HA, Ushul Fiqh :Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 2000. Hasballah, Ali, Ushul al-Tasyri’ Al-Ismaiy, Mesir: Daru al-Ma’arif, 1971. Ghazali, Al, Al-Mustashfa min Ilmi al-ushul I, Beirut: Daru al-Fikr al-Ilmiyah. Muallim, Amir, Ijtihad Suatu Kontroversi, Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997. Mudzhar, M. Atho’, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995. Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad as-Syaukani, Jakarta: Logos, 1999. Syah, Muhammad Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara 1992. Syatibi, Al, Al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah II, Beirut: Dar al-fikr al-Ilmiyah, 1991. Syaukani, Al-. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiqi al-Haq min Ilmi al-Ushul, Beirut: Dar Al-Fikr. Sudjono D, Sosiologi Hukum : Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, Jakarta: Rajawali, 1983. Qardlawi, Yusuf al-, Ijtihad Kontemporer, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. ------------------------, Al-Aulawiyah Al-harakah al-Islamiyah. Shahwah Islamiyah. Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Beirut: Daru al-Fikr, 1958.
48
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Makalah dan Majalah Minhaji, Akh. Masa depan studi Hukum Islam, problem Metodologi, Makalah, Aula, (No.10 tahun XXV Oktober, 2004).59
49
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
50