Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Endang Sulismini A44102001
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK ENDANG SULISMINI. Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur Dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh ENDANG SRI RATNA dan R. YAYI MUNARA KUSUMAH. Larva Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting pada pertanaman kubis yang dapat menimbulkan kerusakan yang cukup besar sehingga menyebabkan gagal panen. Salah satu metode pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan C. pavonana di lapang adalah dengan menggunakan pengendalian secara hayati yaitu dengan memanfaatkan musuh alaminya. E. argenteopilosus merupakan salah satu kelompok parasitoid yang berperan sebagai endoparasitoid pada serangga hama C. pavonana. Akan tetapi pada kenyatannya di lapang populasinya rendah. Rendahnya populasi diduga akibat penggunaan insektisida oleh petani secara berlebih. Selain itu penggunaan insektisida dapat menyebabkan penurunan kebugaran parasitoid akibat iunromental stress. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Tumbuhan dan Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret 2006 sampai dengan Juli 2006. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati fekunditi dan fluktuasi asimetri sayap sebagai parameter kebugaran E. argenteopilosus dari tiga tempat pengambilan contoh daerah Lembang dan Cibodas. Penangkapan sampel parasitoid E. argenteopilosus dilakukan di tiga lokasi yaitu Cibodas datar, Cibodas lereng dan Lembang. Penangkapan dilakukan secara acak dengan menggunakan jaring serangga. Waktu penangkapan parasitoid dipisahkan ke dalam empat periode masing-masing setiap mulai dari pukul 08.0012.00 WIB. Parameter kebugaran yang diamati selama penelitian antara lain populasi, luas sayap, fluktuasi asimetri (FA) dan produksi telur dalam ovari E. argenteopilosus. Imago parasitoid E. argenteopilosus yang terdapat di lahan pertanaman kubis Cibodas lereng dan Lembang cenderung aktif terbang sekitar pukul 10.0011.00, dengan rerata jumlah 33,5 ± 0,72 ekor/jam nyata lebih tinggi dari jumlah parasitoid yang tertangkap pada dua jam sebelumnya berturut-turut jam 08.0009.00 dan 09.00-10.00 serta jam 11.00-12.00 adalah 10,7 ± 0,21, 18,3 ± 0,38, dan 19,9 ± 0,71. Rerata jumlah parasitoid E. argenteopilosus di Cibodas daerah lereng tertangkap lebih tinggi pada setiap jam penangkapan yaitu 57,3% dibandingkan dengan parasitoid yang tertangkap di Lembang daerah lereng dan Cibodas daerah datar yaitu berturut turut hanya 35,8% dan 6,9%. Cibodas datar menunjukkan produksi telur paling tinggi yaitu 141 ± 40,1 dengan ratio 4,7:1 (betina:jantan), sedangkan Cibodas lereng dan lembang menunjukkan produksi telur yang lebih sedikit yaitu 121,6 ± 67,2 dan 133,1 ± 79,8 dengan rasio betina dan jantan hampir sebanding yaitu 1:0,5 dan 1:0,8. Produksi telur di ketiga lokasi menunjukkan tidak berbeda nyata.
Populasi parasitoid jantan di Cibodas daerah datar memiliki luas sayap depan nyata lebih kecil yaitu sekitar 1,8 mm2 (FA= 0,20) dibandingkan dengan luas sayap parasitoid yang tertangkap di Cibodas lereng (FA= 0,10) maupun Lembang (FA= 0,17) yaitu sekitar 1,9 mm2. Sebaliknya luas sayap populasi parasitoid betina yang diperoleh dari ketiga lokasi penangkapan masing-masing tidak berbeda nyata yaitu sekitar 2,0-2,1 mm2 dengan nilai FA terkecil dimiliki oleh sayap Cibodas datar. Fluktuasi asimetri sayap Cibodas datar dan Cibodas lereng korelasi negatif terhadap produksi telur (r = -0,08; r = -0,11), sedangkan FA sayap di lembang berkorelasi positif terhadap produksi telurnya (r = 0,27).
Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Endang Sulismini A44102001
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Skripsi
: Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Nama Mahasiswa : Endang Sulismini NRP
: A44102001
Program Studi
: Hama dan Penyakit Tumbuhan
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Endang Sri Ratna, PhD NIP. 131124820
Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si NIP. 131879332
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130422698
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 14 Oktober 1983, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Muslimin dan Sunarti. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 08 Mataram pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiayah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat. Selanjutnya penulis melanjutkan lagi di Madrasah Aliyah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat dan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2002, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan. Selama menjalani pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) periode 2004-2005, dan menjadi asisten dosen dari mata kuliah Proteksi Tanaman pada periode 2005-2006.
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul fluktuasi asimetri sayap parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera:Ichneumonidae) di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Skripsi ini sebagai salah satu kelengkapan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dra. Endang Sri Ratna, PhD sebagai dosen pembimbing pertama dan Dr.Ir. R. Yayi Munara Kusumah M.Si sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc sebagai dosen penguji tamu yang telah banyak memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada mama dan ayahanda tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan semangat untuk keberhasilan penulis. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf laboran (Pak Yusuf dan Pak Agus), Mba Nana, Sahabat-sahabatku : Reyna, Mia, Dede, Ipunk, Lusie, Leni, Warti, Aa, Dona, Hari, Widya, Tata, Ninit, Dewi dan temen-teman HPT’39, dan tema n-teman WISMA Blobo serta pihak-pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan di dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia ilmu pengetahuan dan pertanian. Penulis juga berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan ridha-Nya.
Bogor, September 2006
Endang Sulismini
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR .............................................................................
vi
DAFTAR TABEL ..................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
viii
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
Latar Belakang ...........................................................................
1
Tujuan ........................................................................................
3
Manfaat Penelitian .....................................................................
3
Hipotesis .....................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
4
Eriborus argenteopilosus ...........................................................
4
Ukuran Sayap dan Fluktuasi Asimetri ......................................
6
Produksi telur .............................................................................
7
Kepadatan Populasi ....................................................................
9
BAHAN DAN METODE ......................................................................
10
Tempat dan Waktu .....................................................................
10
Metode Penelitian .......................................................................
10
Penetapan lahan dan pengambilan contoh serangga ....... Luas sayap dan fluktuasi asimetri sayap depan parasitoid E. argenteopilosus ........................................
10 11
Produksi telur .................................................................
12
Analisis Data ..............................................................................
12
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
13
Populasi Parasitoid Larva E. argenteopilosus ............................
13
Ukuran Sayap Parasitoid Larva E. argenteopilosus ...................
16
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
20
Kesimpulan ................................................................................
20
Saran ...........................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
21
LAMPIRAN ...........................................................................................
25
DAFTAR TABEL No
Halaman Teks
1. Seks ratio dan jumlah telur Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ...............................................................
16
2. Ukuran luas sayap depan dan fluktuasi asimetri (FA) sayap E. argenteopilosus di tiga lokasi penangkapan ................................
17
DAFTAR GAMBAR No
Halaman Teks
1.
Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc : crossveins antara costa dan subcosta, r: crossvein yang berdekatan dengan cabag radius, r-m: crossveins antara radius dan media, m-cu : crossveins antara media dan cubitus.................
2.
6
Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum; ovd, saluran telur; ovl, ovariol; ovy, ovarium; sl, ligamen penggantung; spth, spermateka; spthg, kelenjar spermateka; vag, vagina (Borror et al.(1996) ..........................................................
3.
Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid larva Eriborus argentopilosus .............................................................
4.
6.
12
Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di daerah Lembang dan Cibodas ....................................................
5.
8
13
Persentase Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan .....................................................................
14
Korelasi jumlah telur dengan fluktuasi asimetri (FA) sayap .......
18
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman Teks
1.
Sidik ragam luas sayap depan parasitoid Eriborus argenteopilosus jantan ............................................................................................
2.
Sidik ragam luas sayap depan parasitoid Eriborus argenteopilosus betina ............................................................................................
3.
27
Rata-rata suhu udara (ºC) pada setiap jam di lapangan selama penelitian .....................................................................................
7.
26
Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap Eriborus argenteopilosus betina pada tiap perlakuan ........................................................................
6.
26
Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap Eriborus argenteopilosus jantan pada tiap perlakuan ........................................................................
5.
26
Sidik ragam jumlah telur Eriborus argenteopilosus pada tiap perlakuan ......................................................................................
4.
26
27
Rata-rata kelembaban udara (%) pada setiap jam di lapangan selama penelitian ..........................................................................
28
PENDAHULUAN Latar Belakang Kubis-kubisan digolongkan ke dalam famili Brassicaceae atau lebih dikenal dengan nama Cruciferae. Tanaman kubis merupakan sayuran yang mempunyai peran penting untuk kesehatan manusia karena banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kubis di Indonesia pada awalnya hanya ditanam di daerah dataran tinggi yang bersuhu dingin, namun dalam perkembangan saat ini kubis sudah mulai banyak ditanam di daerah bersuhu sedang, bahkan di dataran rendah bersuhu panas (Pracaya 2001). Perkembangan produksi dan luas panen kubis di beberapa wilayah di Indonesia mulai tahun 2000-2004 belum menunjukkan adanya peningkatan yang memuaskan bahkan cenderung terus menurun (BPS 2005). Penurunan produksi kubis ini diakibatkan oleh serangan organisme pengganggu tanaman, diantaranya adalah hama. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh gangguan hama sangat besar nilainya, sehingga dapat menyebabkan gagal panen di lapang. Menurut Permadi dan Sastrosiswojo (1993), salah satu hama kubis yang banyak menimbulkan kerugian adalah ulat krop kubis Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae). Ulat ini menyerang sejak awal pembentukan krop hingga panen. Kehilangan hasil akibat serangan ulat C. pavonana dapat mencapai 65,8% (Uhan 1993). Bahkan pada musim kemarau, kehilangan hasil akibat serangan ulat C. pavonana bersama hama kubis lain yaitu ulat Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae) dapat mencapai 100% (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Hingga kini populasi hama di lapang tetap tinggi dan masih memerlukan upaya pengendalian. Metode pengendalian hama secara kimiawi dengan menggunakan insektisida masih digunakan oleh para petani (Rauf et al. 1993). Suatu kenyataan bahwa sasaran penggunaan insektisida tidak hanya spesifik mematikan hama, tetapi juga dapat menimbulkan dampak samping berupa peracunan terhadap organisme lain di dalam ekosistem, diantaranya adalah musuh alami (Van den Bosch 1973). Untuk mengatasi masalah tersebut, kiat pengurangan atau penghentian penggunaan insektisida sangat dianjurkan dan
2 digantikan dengan pengendalian lain yaitu pemanfaatan parasitoid yang hidup secara alami di habitat aslinya. Penggunaan parasitoid pada praktek pengendalian hama merupakan komponen
dasar
dari
pengendalian
hayati,
serta
merupakan
alternatif
pengendalian hama yang tetap melestarikan lingkungan. Peran dan potensi parasitoid di lapangan dapat ditingkatkan dengan teknik konservasi agar dapat menekan populasi hama di lapangan. Kiat pengendalian C. pavonana dengan memanfaatkan parasitoid belum banyak dilakukan di Indonesia atau masih dalam taraf penelitian. Tabuhan Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) dilaporkan hidup di dalam inang ulat C. pavonana, dan perannya dapat diandalkan untuk membunuh dan mengurangi populasi hama ini. Endoparasitoid larva E. argenteopilosus potensial digunakan untuk pengendalian hayati. Pada kenyataan di lapang populasi parasitoid tersebut rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan maraknya penggunaan insektisida oleh petani pada pertanaman kubis dalam mengendalikan hama. Departemen kesehatan RI tahun 1997 dalam Oginawati (2006) melaporkan bahwa penyemprotan insektisida oleh petani telah mencapai 73,29% di lapangan. Musnanya populasi hama dapat menyebabkan terputusnya kehidupan parasitoid yang hidup di dalam tubuh inang hama. Speight et al. (1999) melaporkan bahwa dinamika populasi musuh alami dan serangga inangnya dipengaruhi oleh kepadatan, mortalitas, distribusi umur, pola pemencaran, serta potensi biotik dan abiotik. Dengan demikian, keberadaan populasi parasitoid di lapangan akan mengikuti keberadaan larva inangnya. Selain itu dampak langsung penggunaan insektisida dapat menurunkan kebugaran parasitoid. Kebugaran parasitoid sebagai informasi dasar penting diteliti untuk mendukung berjalannya program konservasi musuh alami dalam pengendalian hayati. Kemampuan terbang dan kapasitas reproduksi berpengaruh terhadap kebugaran parasitoid. Kebugaran parasitoid dapat dikaitkan dengan variasi morfologi sayap, produksi telur, tingkat parasitisasi dan lama hidup (Godfray 1994). Hoffmann and Shirriffs (2002) melaporkan bahwa perubahan bentuk sayap meskipun kecil dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Contohnya parasitoid
3 telur Trichogramma yang dipelihara dalam laboratorium dengan di alam bisa memiliki bentuk sayap yang berbeda (Kolliker-Ott et al. 2004). Pengaruh pengukuran sayap terhadap kebugaran parasitoid di lapang dapat diketahui dengan menggunakan suatu proses pengukuran yaitu fluktuasi asimetri (FA) sayap. Analisis fluktuasi asimetri sayap memiliki potensi yang baik untuk memantau lingkungan yang tercemar (Mpho et al. 2000). Kebugaran parasitoid E. argenteopilosus asal lapang hingga kini belum pernah diteliti.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meneliti fekunditi dan fluktuasi asimetri sayap sebagai parameter kebugaran E. argenteopilosus dari tiga tempat pengambilan contoh daerah Lembang dan Cibodas.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan sebagai dasar pengetahuan untuk mendukung kegiatan konservasi parasitoid dalam program pengendalian hayati hama kubis C. pavonana bila diperlukan.
Hipotesis •
Sayap yang lebih luas memiliki fluktuasi asimetri sayap yang kecil.
•
Kapasitas telur di dalam alat reproduksi parasitoid betina tinggi menunjukkan fekunditi dan kebugaran yang tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA Eriborus argenteophilosus Parasitoid larva Eriborus argenteopilosus (Cameron) tergolong dalam ordo Hymenoptera,
subordo
Apocrita,
superfamili
Ichneumonidea,
famili
Ichneumonidae, genus Eriborus (CPC 2002). Parasitoid ini merupakan salah satu kelompok musuh alami serangga hama yang paling banyak diintroduksikan untuk pengendalian serangga hama. Salah satu inangnya yang menjadi hama penting pada
tanaman
kubis-kubisan
adalah
Crocidolomia
pavonana
(Zell.)
(Lepidoptera: Pyralidae). E. argenteopilosus bersifat soliter dan dilaporkan dapat hidup di dalam inang C. pavonana, Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae), S. exigua (Lepidoptera: Noctuidae) dan Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) (Kalshoven 1981). Telur parasitoid E. argenteopilosus berukuran mikroskopis yaitu, mulai 0,18 x 0,004 mm sampai 0,52 x 0,11 mm (Othman 1982). Telur ini berwarna putih dan berbentuk seperti kacang buncis, diletakkan secara tunggal di dalam tubuh larva inang. Masa inkubasi telur parasitoid ini hampir sama dengan spesies famili Ichneumonidae pada umumnya yaitu relatif pendek, berkisar 1-3 hari dengan rata-rata persentase penetasan telur parasioid 96,1%. Larva berwarna keputih-putihan dan dapat dibedakan antara kepala dan ruas abdomen terakhir. Stadium larva membutuhkan waktu 10 sampai 13 hari atau rata-rata 9,3 hari (Hadi 1985). Imago parasitoid mempunyai toraks yang berwarna hitam dan abdomen berwarna coklat kemerahan. Ukuran tubuh imago jantan umumnya lebih kecil dari imago betina (Sahari 1999). Panjang tubuh imago betina 7-8 mm dengan rentang sayap 11-13 mm. Panjang tubuh jantan 5,5-8,5 mm dan rentang sayap 9-12 mm (Othman 1982). Beberapa penelitian menunjukkan adanya keragaman tingkat parasitisasi yang berdeda di laboratorium pada perlakuan pemaparan dengan jumlah inang tertentu. Tingkat parasitisasi ini ditunjukkan dengan kemampuan seekor parasitoid meletakkan telur pada inangnya. Parasitisasi pada larva C. pavonana instar II dapat mencapai 79%, dan pada S. litura mencapai 86% (Sahari 1999). Tingkat parasitisasi pada inang lain yaitu larva H. armigera dapat mencapai 80%
5 (Utami 2001). Keberhasilan parasitoid dalam melakukan oviposisi tergantung pada kemampuan parasitoid untuk menemukan habitat, menemukan inang, penerimaan inang dan kesesuaian inang. Penemuan habitat inang oleh parasitoid biasanya didasarkan pada jenis tanaman, dan kondisi lingkungan habitat inang (Quicke 1997; Gordh et al. 1999). Di dalam aktivitas penemuan habitat inang, biasanya parasitoid menggunakan indera penerima rangsang kimia, visual, suara dan panas. Satu contoh adalah senyawa kimia kairomon dihasilkan oleh tanaman yang dapat memikat serangga parasitoid untuk menentukan tanaman tempat serangga inang hidup. Habitat inang digunakan oleh serangga parasitoid untuk mengetahui keberadaan inangnya (Godfray 1994; Quicke 1997). Proses penemuan habitat inang dengan menggunakan indera penglihatan dan penciuman oleh parasitoid E. argenteopilosus dinyatakan bahwa parasitoid tertarik pada lekuk-lekuk dan tepi daun kubis serta bagian daun yang berlubang bekas gigitan ulat, serta bau bahan kimia yang berasal dari faeses yang dikeluarkan larva. Dalam pengendalian hayati, pemilihan jenis inang untuk peletakkan telur sangat penting diperhatikan, karena akan mempengaruhi kualitas parasitoid yang berkembang di dalam tubuhnya. Faktor-faktor yang menentukan kualitas inang adalah jenis inang, umur inang, ukuran inang dan kandungan nutrisi inang (Godfray 1994). Setelah parasitoid menemukan inang, belum tentu parasitoid akan menerima inang dan parasitisme belum tentu terjadi tanpa suatu rangsangan tertentu. Rangsangan berupa bau, lokasi, ukuran, bentuk atau gerakan inang dapat mempengaruhi perilaku parasitoid terhadap penerimaan inang (Hadi 1985). Dalam hal ini parasitoid akan berusaha untuk menemukan inang yang spesifik (Utami 2001). Kemamp uan terbang parasitoid dalam menemukan habitat dan inang dipengaruhi oleh kebugaran. Menurut Godfray (1994), kebugaran parasitoid berhubungan dengan kemampuan reproduksi yaitu dan eksistensi serangga, yaitu keperidian yang tinggi atau potensi produksi telur, efisiensi mencari inang, kemampuan berkompetisi, dapat mengkoloni dengan cepat, spesifik terhadap inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron dengan inangnya.
6 Ukuran Sayap dan Fluktuasi Asimetri Sayap pada serangga dewasa merupakan alat gerak atau embelan yang potensial terutama dalam aktivitas pemencaran suatu populasi spesies (Meyer 2005). Pada serangga parasitoid, sayap digunakan untuk terbang terutama berkaitan dalam potensi penemuan habitat inang dan penemuan inang. Umumnya serangga memiliki dua pasang sayap yaitu sayap depan yang berpangkal di bagian dorsal mesotoraks dan sayap belakang berpangkal di bagian dorsal metatoraks. Fungsi sayap pada setiap individu atau kelompok spesies dapat bervariasi, sebagai contohnya adalah fungsi adaptasi terhadap lingkungan sekitar atau melindungi diri yaitu pada serangga ordo Coleoptera dan Dermaptera, mengumpulkan
panas
(Lepidoptera),
mengatur
keseimbangan
(Diptera),
menghasilkan suara (Orthoptera), atau sebagai isyarat pendengaran untuk mengenal spesies dan jenis sex serangga lain (Lepidoptera). Pembuluh darah (veins) ini merupakan perpanjangan dari system sirkulasi tubuh. Sistem ini diisi dengan hemolymph dan diisi oleh sebuah pembuluh trakea dan sebuah saraf. Dalam membran sayap, pembuluh darah menyediakan kekuatan selama terbang. Bentuk sayap, tekstur dan venansi merupakan suatu kekhususan, oleh karena itu dapat digunakan untuk identifikasi. Pembuluh darah merupakan nama yang sesuai untuk menemukan sebuah sistem dari John Comstock dan George Needham. Sistem Comstock-Needhanm : Costa (C), Subcosta (Sc), Radius (R), Media (M), Cubitus (Cu), Anal veins (A1,A2,A3).
Gambar 1
Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc: crossveins antara costa dan subcosta, r: crossvein ya ng berdekatan dengan cabag radius, r-m: crossveins antara radius dan media, mcu: crossveins antara media dan cubitus
Tofilski (2004) melaporkan bahwa ada sebuah pembuluh darah pada sayap serangga. Pola tersebut biasanya spesifik dari tiap spesies dan digunakan sebagai
7 identifikasi taksonomi. Sebagai contoh titik koordinat dari beberapa karakteristik pola sayap yang digunakan untuk membandingkan pola pembuluh darah. Karakteristik-karakterintik tersebut sering merupakan persimpangan atau akhir dari pembuluh darah. Gambaran suatu sayap serangga digunakan untuk menentukan batas luar dari sayap dan pembuluh darah. Kerangka dari pembuluh darah didapat dengan menggunakan suatu algoritma. Sumber dari program tersebut tersedia dalam GNU General Public License. Berdasarkan penelitiannya program tersebut secara otomatis diperoleh ukuran sayap serangga berdasarkan angka. Hal tersebut meliputi gambar dari sayap serangga yang tersusun oleh titiktitik koordinat pada persimpangan pembuluh darah dan diagram sayap yang dapat digunakan sebagai uraian hasil. Titik koordinat pada persimpangan pembuluh darah dihasilkan oleh program dari gambar sayap yang telah berhasil digunakan untuk membedakan Dolichovespula sylvestris dan D. saxonica. Kolliker-Ott et al. (2003) melaporkan bahwa Telenomus brassicae dan Telenomus pretiosum dengan ukuran sayap lebih besar dan bentuk sayap relatif berbeda dengan populasi perbanyakan massal memiliki kemampuan menemukan inang lebih baik. Variasi pada bentuk sayap kemungkinan berhubungan dengan kemampuan terbang sehingga perubahan kecil pada bentuk dan ukuran sayap akan mempengaruhi kemampuan parasitoid. Anggara (2005) melaporkan bahwa kemampuan mencari inang Telenomus remus di lapangan terbukti cukup baik dan potensial dikembangkan sebagai agens pengendali hayati. Meskipun beragam ukuran sayapnya, setiap individu T. remus memiliki kemampuan terbang, mencari, menemukan dan mengoviposisi inangnya di lapangan. Parasitoid populasi tangkapan memiliki ukuran sayap lebih seragam daripada parasitoid populasi perbanyakan massal dan mengumpul pada ukuran kecil hingga sedang. Produksi Telur Lama waktu parasitoid larva Eriborus argenteopilosus tidak mendapatkan inang ternyata mempengaruhi kemampuan reproduksi parasitoid. Pemuasaan parasitoid yang lama terhadap inang menyebabkan jumlah telur yang diletakkan relatif rendah, begitu juga dengan sisa telur dalam ovari E. argenteopilosus
8 dimana makin lama parasitoid tersebut tidak menemukan inangnya makin sedikit telur yang diproduksi (Heriano 2000). Parasitoid yang sejak kemunculannya dari inang sudah dilengkapi dengan sejumlah sel telur. Pada spesies yang bersifat proovigenik jumlah sel telur tidak akan bertambah selama hidupnya sedangkan parasitoid yang bersifat sinovigenik jumlah sel telur dapat bertambah dan pematangan telur terjadi selama hidupnya (Godfray 1994; Heimpel dan Rosenheim 1998). Potensi produksi telur parasitoid merupakan jumlah sel telur (oosit) yang diproduksi oleh imago betina (Bounchier 1993). Parasitod yang bersifat sinovigenik biasanya merupakan parasitoid idiobion, yaitu parasitoid yang memiliki inang yang tidak berkembang bila terparasit; dan parasitoid yang bersifat proovigenik biasanya merupakan sebagian dari parasitoid koinobion, yaitu parasitoid yang memiliki inang yang masih dapat berkembang walaupun terparasit (Quicke 1997; Johnson 2000).
Gambar 2
Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum; ovd, saluran telur; ovl, ovariol; ovy, ovarium; sl, ligamen penggantung; spth, spermateka; spthg, kelenjar spermateka; vag, vagina (Borror et al. 1996)
Kebugaran parasitoid berhubungan dengan kemampuan reproduksi dan eksistensi serangga, yaitu keperidian yang tinggi, efisiensi mencari inang, kemampuan berkompetisi, dapat mengkoloni dengan cepat, spesifik terhadap inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron dengan. Serangga yang berukuran besar cenderung hidup lebih lama, dan memiliki potensi produksi telur
9 yang besar, tetapi keberhasilan reproduksi lebih dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dan inangnya (Godfray 1994).
Ke padatan Populasi Islamiah (2003) melaporkan bahwa parasitisasi larva di pertanaman kubis Cibodas memiliki kecendrungan lebih tinggi pada pola monokultur dibandingkan tumpang sari. Hal ini mununjukkan bahwa perbedaan kondisi fisik lingkungan asli dan lingkungan perlakuan dari parasitoid larva E. argenteopilosus diduga menyebabkan rendahnya tingkat parasitisasi. Sehingga setiap individu parasitoid memiliki kemampuan beradaptasi yang berbeda-beda (Umayah 2003). Abduchalek (2000) melaporkan bahwa keberadaan larva Crocidolomia binotalis dan Helicoverpa armigera di areal pertanaman selama musim hujan menunjukkan
adanya
hubungan
positif
dengan
kerapatan
populasi
E. argenteopilosus. Jumlah populasi larva inang yang semakin sedikit, mengakibatkan menurunnya persentasi keberhasilan hidup E. argenteopilosus. Persentase keberhasilan hidup parasitoid larva E. argenteopilosus betina di lapangan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan parasitoid jantan (Heriyano 2000).
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di dua lahan pertanaman kubis petani di Desa Rarahan, Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan satu lahan pertanaman kubis di Desa Cibedug, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Penimbangan bobot tubuh dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi, dan pengukuran serta pengambilan foto sayap dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, mulai dari bulan Maret sampai Juli 2006.
Metode Penelitian
Penetapan Lahan dan Pengambilan Contoh Serangga Lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan letak topografis habitat imago parasitoid E. argenteopilosus di pertanaman kubis petani Cibodas dan Lembang (sebelumnya didahului dengan survei lapangan). Penangkapan imago parasitoid di desa Rarahan ditetapkan di dua tempat yaitu lahan pertanaman kubis berlereng curam dan lahan pertanaman kubis dengan permukaan datar, sedangkan penangkapan parasitoid di Lembang dilaksanakan di lahan pertanaman kubis berlereng. Luas area tempat penangkapan parasitoid secara umum berukuran ± 3000 m², dan di area tersebut tanaman kubis mulai berumur 8 MST sampai 10 MST. Di setiap area pengambilan parasitoid dilakukan pengukuran garis lintang dan ketinggian tempat dengan menggunakan alat Global Position System (GPS). Selain itu suhu serta kelembaban lingkungan diukur dengan menggunakan termohygrometer. Parasitoid E. argenteopilosus yang sedang terbang di atas permukaan kanopi tanaman ditangkap secara acak dengan menggunakan jaring serangga. Waktu penangkapan parasitoid dipisahkan kedalam empat periode masing-masing setiap satu jam mulai dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Parasitoid yang tertangkap dikelompokkan dalam satu tabung untuk setiap waktu penangkapan. Parasitoid
11 tersebut diberi pakan madu encer 70% selama berada dalam kurungan di lapangan, kemudian dibawa ke laboratorium untuk diteliti. Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap sari lapang segera di data untuk di hitung persentase tangkapan . Perhitungan persentase jumlah tangkapan E. argenteopilosus dilakukan dengan rumus sebagai berikut :
PJT =
n x 100% N
Keterangan: PJT = persentase jumlah tangkapan n
= jumlah tangkapan setiap jam
N = total tangkapan
Luas
Sayap
dan
Fluktuasi
Asime tri
Sayap
Depan
Parasitoid
E. argenteopilosus Parasitoid hasil tangkapan di lapang dibunuh dengan cara dimasukkan ke dalam freezer. Bagian sayap depan parasitoid jantan maupun betina dicabut dan diisolasi untuk diukur, sedangkan sisa bagian tubuh parasitoid betina direndam di dalam larutan fisiologi Ringer dingin untuk diamati jumlah telur yang dikandung di dalam abdomen. Proses pembuatan preparat morfologi sayap dimulai dengan mencabut sayap parasitoid kiri dan kanan parasitoid, kemudian dilekapkan pada permukaan atas gelas objek yang telah ditempeli dobel selotip. Pencabutan sayap dilakukan dengan hati-hati agar sayap tidak rusak, yaitu menggunakan sepasang pinset halus di bawah mikroskop binokuler. Sayap yang sudah ditempelkan ditutup dengan gelas preparat, kemudian disimpan dan dikoleksi di dalam kotak koleksi dan siap untuk diambil fotonya. Foto preparat sayap diambil dengan menggunakan kamera mikroskop Olympus DP 11D. Selanjutnya luas sayap diukur dengan menentukan 13 titik tertentu pada venasi sayap hasil pemotretan melalui program analisis morfometri tpsutil2 dan tps digg (Gambar 1) ( Rohlf 1998 ). Acuan program diperoleh dengan
12 cara
mengutip
program
dari
jaringan
http:/life.bio.sunysb.edu/morph/morph.hmtl
internet
(Benet
&
dengan
alamat
Hoffmann
1998).
Pengukuran setiap titik landmark secara otomatis dirubah dalam program tersebut ke dalam koordinat x dan y (pada tahap digitasi) dalam bentuk lembaran data bmp di dalam microsoft excel software program sehingga dapat diketahui masingmasing jarak antar titik tersebut. Data luas sayap dan fluktuasi asimetri sayap disimpan di dalam file microsoft excel software program.
Gambar 3 Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid E. argentopilosus Produksi Telur Bagian abdomen yang telah diambil sayapnya seperti diuraikan di atas dibedah di dalam media Ringer dengan menggunakan pinset tajam dan halus (jarum mikro) yang sudah dibersihkan dengan ethanol 70% di bawah mikroskop binokuler. Bagian ovari diisolasi dan dipindahkan di atas gelas objek yang telah ditetesi larutan Ringer. Jumlah seluruh telur yang berada di saluran kaliks dan telur di dalam setiap ovariol (T-1) dihitung dan dicatat. Analisis Data Rancangan percobaan di dalam penelitian ini digunakan rancangan acak kelompok dengan tiga perlakuan pengambilan contoh yaitu Cibodas datar, Cibodar berlereng, dan Lembang dengan jumlah ulangan yang tidak sama. Analisis keragaman data digunakan program Statistical Analysis System (SAS) for windows V6.12 dan nilai beda nyata rerata antar perlakuan dianalisa dengan uji selang ganda Duncan pada taraf a = 5 %. Sedangkan hubungan antara luas sayap, dan produksi telur dilihat dengan korelasi menggunakan Spearman Rank Correlation pada statistik versi 6.0.
13
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Parasitoid Larva Eriborus argenteopilosus Imago parasitoid Eriborus argenteopilosus yang terdapat di lahan pertanaman kubis Cibodas dan Lembang cenderung aktif terbang sekitar pukul 10.00-11.00. Rerata jumlah parasitoid yang tertangkap pada pukul 10.00-11.00 adalah 33,5 ± 12,8 ekor/jam nyata lebih tinggi dari jumlah parasitoid yang tertangkap pada dua jam sebelumnya berturut-turut jam 08.00-09.00 dan 09.0010.00 serta jam 11.00-12.00 adalah 10,7 ± 3,7, 18,3 ± 6,8, dan 19,9 ± 12,6 (Gambar 4). Jumlah parasitoid yang diperoleh pada masing-masing tiga waktu penangkapan pertama, kedua dan terakhir tidak berbeda nyata. Aktivitas terbang imago parasitoid E. argenteopilosus pada waktu tersebut diduga berkaitan erat dengan perilaku mencari makan dan mencari inang untuk meletakkan telurnya
rerata jumlah parasitoid (ekor/jam)
(Borror and De Long, 1954). 40 35 30 25 20 15 10 5 0 08.00-09.00
09.00-10.00 10.00-11.00 waktu penangkapan (jam)
11.00-12.00
Gambar 4 Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di daerah Lembang dan Cibodas Meningkatnya jumlah tangkapan pada setiap jam dan kemudian mengalami penurunan setelah meningkat pada jam 10.00-11.00 diduga karena adanya aktifitas E. argenteopilosus dimana pada pagi hari mereka lebih memilih berada dalam semak-semak atau tanaman liar untuk melindungi dari embun pagi. Tingginya jumlah tangkapan pada jam 10.00-11.00 diduga karena kondisi lingkungan yang mulai stabil, sehingga memudahkan parasitoid untuk terbang mencari inang, makan dan kawin.
14 Apabila ditinjau dari hasil tangkapan parasitoid di setiap areal contoh maka rerata 57,3% parasitoid E. argenteopilosus di Cibodas daerah lereng tertangkap lebih tinggi pada setiap jam penangkapan dibandingkan dengan parasitoid yang tertangkap di Lembang daerah lereng dan Cibodas daerah datar yaitu berturut turut hanya 35,8% dan 6,9%. Perbedaan persentase hasil tangkapan di tiga lahan pertanaman pada setiap jam diduga dipengaruhi oleh keberadan populasi larva serangga inang Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae). Van Driesche & Thomas (1996) melaporkan bahwa keberadaan populasi parasitoid di lapangan akan mengikuti keberadaan larva serangga inangnya. Islamiah (2003) melaporkan bahwa rata-rata persentase instar larva C. pavonana yang ditemui di lokasi pertanaman kubis monokultur Cibodas lebih banyak dibandingkan pertanaman kubis tumpangsari Cibodas dan tumpangsari pertanian organik Cisarua. Selain itu dilaporkan juga bahwa tingkat parasitisme E. argenteopilosus pada larva C. pavonana di lokasi pertanaman kubis monokultur Cibodas lebih tinggi dibandingkan pertanaman kubis tumpangsari Cibodas dan tumpangsari pertanian organik Cisarua.
% penangkapan
25 20 15 10 5 0 08.00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00
11.00-12.00
waktu penangkapan (jam) Cibodas datar
Gambar 5
Cibodas lereng
Lembang
Persentase Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan
Pada saat pengukuran suhu dan kelembaban diketahui bahwa rata-rata suhu dan kelembaban di Cibodas datar, Cibodas berlereng, dan Lembang berturut-turut adalah 33,9oC, 55,1%; 33oC, 63% dan 25oC, 76%. Dari hasil pengukuran tersebut
15 terlihat bahwa suhu dan kelembaban di Cibodas datar dan Cibodas berlereng memiliki suhu dan kelembaban yang sama, tetapi persentase jumlah serangga yang tertangkap berbeda-beda yaitu berturut-turut 6,9% dan 57,3%. Perbedaan jumlah tersebut diduga karena adanya perbedaan kondisi lingkungan dari masingmasing lokasi. Zultika (1996) melaporkan bahwa potensi abiotik meliputi habitat dari tanaman inang yang merupakan faktor fisik berupa lingkungan seperti temperatur, kelembaban, pencahayaan, curah hujan dan lainnya yang juga berpengaruh terhadap kemampuan parasitoid untuk berinteraksi dengan inangnya. Faktor iklim, teknik budidaya dan keragaman tumbuhan disuatu tempat juga dapat mempengaruhi tingkah laku, jumlah populasi, karakteristik hama dan musuh alaminya. Daerah yang berbeda dari segi karakteristik baik teknik budidaya, tanaman inang dan junis inang yang berbeda dapat mengakibatkan tekanan seleksi yang berbeda pada tingkat keberadaan hama serta serangannya. Lahan pertanaman kubis di Cibodas datar tidak lebih luas dibandingkan Cibodas berlereng dan Lembang, selain itu lokasi Cibodas datar dekat dengan rumah penduduk dengan ketinggian 1200 mdpl dan jarang ditemukan tanaman liar sebagai inang alternatif atau gulma bunga yang merupakan sumber pakan nektar bagi imago parasitoid. Pada lahan pertanaman kubis di Cibodas lereng dan Lembang memiliki suhu dan kelembaban yang berbeda tetapi dua lokasi ini memiliki kesamaan dalam hal kondisi lingkungan, seperti kondisi lahan yang berlereng dengan ketinggian berturut-turut 1330 mdpl dan 1342 mdpl, lokasi pertanaman jauh dari rumah penduduk, banyak ditemukan tanaman liar atau gulma berbunga, dan banyak lahan yang tidak terurus atau diberakan. Populasi parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di lapang menunjukkan ratio jantan dan betina yang bervariasi (Tabel 1). Populasi parasitoid yang terdapat di Cibodas dan Lembang daerah lereng memiliki ratio betina lebih kecil dibandingkan dengan jantan, sedangkan di Cibodas daerah datar memiliki ratio betina lebih besar dibandingkan dengan jantan. Apabila ditinjau dari jumlah populasi parasitoid yang diperoleh maka jumlah total parasitoid dari lokasi Cibodas dan Lembang daerah lereng relatif lebih tinggi dibandingkan jumlah parasitoid dari lokasi Cibodas daerah datar. Dari hasil tersebut di atas dapat
16 dikaitkan bahwa jumlah parasitoid betina meningkat ketika populasi dilapang rendah, sebaliknya jumlah jantan akan meningkat ketika populasi di lapang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamilton (1967) dalam Gauthier et al. (1997) bahwa parasitoid betina akan meletakkan lebih banyak telur yang tidak fertil atau telur jantan pada saat kepadatan parasitoid pada sekelompok inang yang tetap mulai bertambah. Tabel 1 Seks ratio dan jumlah telur Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan Tempat Lembang Cibodas Lereng Cibodas datar
jumlah parasitoid (ekor/hari) 29 46 5
seks ratio betina : jantan 1 : 0,8 1 : 0,5 4,7 : 1
jumlah telur ± SD (butir/betina) 1) 133,1 ± 79,8 a (n=26) 121,6 ± 67,2 a (n=75) 141,1 ± 40,1 a (n=12)
1) Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji duncan pada taraf nyata (a=0,05)
Populasi E. argenteopilosus betina di Cibodas lereng lebih banyak yaitu rata-rata 47 ekor setiap kali penangkapan, tetapi produksi telurnya paling sedikit (121,6 ± 67,2) dibandingkan di dua lahan lainnya yaitu Cibodas datar dan Lembang dengan rata-rata tangkapan dan jumlah telur berturut-turut yaitu 6 ekor per hari, 141,1 ± 40,1 butir telur dan 30 ekor per hari, 133,1 ± 79,8 butir telur. Beragamnya jumlah telur E. argenteopilosus tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada setiap lokasi. Hal ini diduga produksi telur di dalam ovari tidak dapat dijadikan ukuran kebugaran tubuh E. argenteopilosus, karena kemampuan memproduksi telur dimiliki oleh setiap individu E. argenteopilosus betina. Kebugaran tersebut akan terukur jika diketahui kemampuan besarnya imago betina memarasit inang. Hal ini tidak dilakukan selama penelitian karena di lakukan pada skala lapang yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan menghasilkan telur pada saat kemunculan pertamanya sebagai imago dan tidak memproduksi lagi selama hidupnya disebut proovigenik (Quicke 1997; Johnson 2000).
Ukuran Sayap Parasitoid Larva E. Argenteopilosus Luas dan fluktuasi asimetri sayap depan parasitoid E. argenteopilosus dari tiga lokasi penangkapan, Cibodas daerah lereng, Cibodas daerah datar dan
17 Lembang daerah lereng ditunjukkan pada Tabel 2. Populasi parasitoid jantan yang tertangkap di Cibodas daerah datar memiliki luas sayap depan nyata lebih kecil yaitu sekitar 1,8 mm2 dibandingkan dengan luas sayap parasitoid yang tertangkap di kedua lokasi Cibodas maupun Lembang daerah lereng yaitu sekitar 1,9 mm2, sedangkan luas sayap dari kedua lokasi tersebut masing-masing tidak berbeda nyata. Sebaliknya luas sayap populasi parasitoid betina yang diperoleh dari ketiga lokasi penangkapan masing-masing tidak berbeda nyata yaitu sekitar 2,0-2,1 mm2. Apabila ditinjau dari fluktuasi asimetri (FA) sayap E. argenteopilosus jantan menunjukkan bahwa FA sayap parasitoid yang tertangkap di Cibodas daerah datar memiliki kisaran lebih lebar yaitu 0,2 mm dibandingkan dengan kedua sayap yang terdapat di Cibodas dan Lembang daerah lereng berturut-turut yaitu 0,1 dan 0,17 mm. Sebaliknya FA sayap parasitoid betina dari populasi Cibodas daerah datar memiliki kisaran yang nyata paling sempit yaitu 0,06 mm, diikuti FA populasi daerah Lembang 0,1 mm dan nyata paling lebar dari populasi Cibodas daerah lereng yaitu 0,13 mm. Bonn et al. (1996) melaporkan bahwa fluktuasi asimetri merupakan sebuah ukuran yang diperoleh dari selisih bagian kanan dan kiri ukuran tubuh bilateral yang simetri dan digunakan untuk memonitoring lingkungan sebagai akibat adanya tekanan (stress). Stress lingkungan dapat meningkatkan FA pada kondisi populasi yang stabil (Moller and Swaddle 1997 dalam Rourke 2004).
Tabel 2
Ukuran luas sayap depan dan fluktuasi asimetri (FA) sayap E. argenteopilosus di tiga lokasi penangkapan Sayap jantan ± SD 1) Luas sayap depan (mm2) FA (mm)
n
Sayap betina ± SD Luas sayap depan (mm2) FA (mm)
154
1,91 ± 0,07 a
0,10 ± 0,07 b
75
2,07 ± 0,09 a
0,13 ± 0,10 a
2 32
1,78 ± 0,06 b 1,87 ± 0,07 a
0,20 ± 0,02 a 0,17 ± 0,07 b
12 26
2,03 ± 0,09 a 2,06 ± 0,09 a
0,06 ± 0,11 b 0,10 ± 0,09 ab
Daerah n Cibodas lereng Cibodas datar Lembang
1) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing karakter morfologi tidak berbeda nyata dengan uji duncan pada taraf nyata (a=0,05)
Dari hasil di atas menunjukkan bahwa parasitoid E. argenteopilosus jantan di Cibodas daerah lereng yang memiliki luas sayap lebih besar nyata lebih bugar
18 dibandingkan dengan parasitoid dari Cibodas datar dan Lembang, sebaliknya parasitoid betina di Cibodas datar yang relatif memiliki luas sayap lebih kecil menunjukkan kebugaran paling tinggi dibandingkan parasitoid dari daerah lainnya. Populasi parasitoid E. argenteopilosus betina tidak selalu menghasilkan produksi telur yang banyak pada saat populasinya tinggi. Produksi telur di Cibodas 1 lebih tinggi dibandingkan Cibodas 2 dan Lembang meskipun populasi
jumlah telur (butir/betina)
di lapang paling rendah 400 350 300 250 200 150 100 50 0
y = 312,35x + 105,9 R 2 = 0,073 Lembang
0
0,1
0,2
0,3
0,4
250
jumlah telur (butir/betina)
y = -198,76x + 143,22 200
R2 = 0,0057
150
Cibodas datar
100 50 0 0
0,1
0,2
0,3
0,4
jumlah telur (butir/betina)
300 y = -74,656x + 128,39 R2 = 0,0115
250 200
Cibodas lereng
150 100 50 0 0
0,1
0,2
0,3
0,4
fluktuasi asimetri (mm)
Gambar 6 Korelasi jumlah telur dengan fluktuasi asimetri (FA) sayap Produksi telur E. argenteopilosus dapat memberikan pengaruh terhadap kebugaran. Menurut Godfray (1994), kebugaran parasitoid berhubungan dengan kemampuan reproduksi dan eksistensi serangga, yaitu keperidian yang tinggi, efisiensi mencari inang, kemampuan berkompetisi, dapat mengkoloni dengan
19 cepat, spesifik terhadap inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron dengan inangnya, serta potensi produksi telur. Dari hasil korelasi pada grafik 3 menunjukkan bahwa adanya variasi pengaruh antara jumlah telur dengan FA di tiga lokasi penangkapan. Jumlah telur yang diproduksi E. argenteopilosus betina daerah Lembang menggambarkan korelasi positif (r = 0,27) terhadap FA, artinya jika FA sayap kecil maka produksi telurnya sedikit dan jika FA sayap besar maka produksi telurnya banyak. Sementara produksi E. argenteopilosus betina daerah Cibodas datar dan lereng menggambarkan korelasi negatif (r = -0,08; r = -0,11) terhadap FA, artinya jika FA sayap kecil maka produksi telurnya banyak dan jika FA sayap besar maka produksi telurnya sedikit. Meskipun produksi telur tidak dapat dijadikan faktor kebugaran hasil pengamatan pada gambar 3 dapat dijadikan sebagai informasi tambahan bahwa produksi telur tidak dipengaruhi oleh FA sayap meskipun selang kepercayaannya kecil yaitu 8-27%.
20
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ukuran sayap depan jantan E. argenteopilosus di Cibodas lereng memiliki FA paling kecil dengan luas sayap yang besar dibandingkan FA di Cibodas datar dan Lembang. Sedangkan luas sayap depan betina E. argenteopilosus di Cibodas datar memiliki FA dan luas sayap paling kecil dibandingkan FA dan luas sayap di Cibodas lereng dan Lembang. E. argenteopilosus betina di tiga lokasi memiliki kemampuan menghasilkan telur (fekunditi) yang sama.
Saran Perlu dilakukan penelitian sejenis untuk melihat pengaruh fluktuasi asimetri dengan luas sayap E. argenteopilosus yang dipelihara di laboratorium. Melakukan pengukuran kondisi lingkungan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kebugaran parasitoid sebagai aspek pendukung agens pengendalian hayati di lapang.
DAFTAR PUSTAKA Abduchalek B. 2000. Kepadatan populasi Parasitoid Larva Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada Dua Jenis Inang di Pertanaman Brokoli dan Tomat Petani di Daerah Cibodas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anggara AW. 2005. Pemencaran dan Kemampuan Parasitoid Telenomus remus (Nixon) (Hymenoptera: Scelionidae) Pada Dua Tipe Agroekosistem [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bennet DM, Hofmann AA. 1998. Effect of size and fluactuating asymmetry on field fitness of parasitoid Trichogramma carverae (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Entomological 67, 591-580. Bouchier RS, Smith SM, Song SJ. 1994. Host acceptance and parasitoid size as predictors of parasitoid quality for mass-reared Trichogramma minutum. Bio Con 3: 115-39. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Data produksi kubis di Indonesia. http://www.google.com/www.bps.com[6 Agustus 2006]. Bonn A, Gasse M, Rolff J, Martens A. 1996. Increased fluctuating asymmetry in the damselfly Coenagrion puella is correlated with ectoparasitic water mites: implications for fluctuating asymmetry theory. Oecologia 108, 598596. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Partosoedjono S, penterjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ pr. 1083h. Crop Protection Compendium [CPC]. 2002. CPC Global Module. Wallingford. Gauthier N, Monge JP, Huignard J. 1997. Sex-allocation behaviour of solitary ectoparasitoid: effects of host-patch characteristics and female density. Entomol Exp Appl 82: 167-74 Godfray HCJ. 1994. Parasitoid: Behaviour and Evolutionary Ecology. New Jersey: Princeton Univercity Press. Gordh G, Legner EF, Caltagirone LE. 1999. Biology of Parasitic Hymenoptera. In: Bellows TS, Fisher TW (Eds). 1999. Handbook of biological control. California: Academic Press. Pp. 355-381. Hadi
S. 1985. Biologi dan Perilaku Inareolata sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) Parasitoid Larva pada Hama Kubis Crocidolomia binotalis
22 (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Bogor: Program Pascasarjana,
Heimpel GE, Rosenheim JA. 1998. Egg limitation in parasitoids: a review of evidence and a case study. Bio Con 11: 160-8. Heriyano N. 2000. Perubahan strategi reproduksi Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) sebagai tanggap terhadap ketiadaan inang Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae). [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hoffmann AA, Shirriffs J. 2002. Geographic variation for wing shape in Drosophila serrata. Evolution 56, 1073-1068. Islamiah M. 2003. Populasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) di Pertanaman Kubis di Daerah Cibodas dan Cisarua. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Johnson MW. 2000. Biological control of pest. Online page: www2.ctahr.hawaii.edu/ento/Faculty%20and%20post_docs/Marshall/text/Fa ll_2000_BC.pdf. Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve. Kolliker-Ott UM, Bigler F, Hoffman AA. 2004. Field dispersal and host location of Trichogramma brassicae is influenced by wing size but not wing shape. Biocontrol 31, 10-1. Meyer JR. 2005. External Anatomy Wings. In General Entomology ENT 425. Australia. (http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425/tutorial/wings.html) Mpho M, Holloway GJ, Callaghan A. 2000. Fluctuating wing asymmetry and larva density stress in Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). Bulletin of Entomological Reseach 90,283-279. Oginawati K. 2006. Analisis risiko penggunaan insektisida Organofosfat terhadap kesehatan petani penyemprot. http://tl.lib.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbtl-gdl-s3-2006-katharinao-878 Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) and its parasites fro Cipanas area, West Java (a report of training course research). Bogor: SEAMEO Regional Centre for Tropical Biology. Permadi AH, Sastrosiswojo S. 1993. Kubis. Edisi Pertama. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura. Lembang. Pracaya. 2001. Kol alias kubis [edisi dua]. Jakarta. Penebar Swadaya.
23 Quicke DLJ. 1997. Parasitic wasps. Chapman & Hall.London. Rauf A, Hindayana D, Widodo, Anwar R. 1993. Studi baseline identifikasi dan pengembangan teknologi pengendalian hama terpadu pada sayuran dataran tinggi (survei eksplorasi), penelitian pendukung pengendalian hama terpadu pada sayuran dataran tinggi [Laporan Proyek]. Kerjasama Balai Penelitian Hortikultura Lembang dengan Fakultas Pertanian, IPB. Rohlf FJ. 1999. Shape statistics: Procructes superimpositions and tangent spaces. State university of new york at stony brook. Journal of Classification 16: 197-223. Rourke JW. 2004. An evaluation of fluctuating asymmetry as a tool in identifying imperiled Bird Populations. [Thesis]. Departemen of Biology, Faculty of San Diego State University. Sahari B. 1999. Studi Enkapsulasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Implikasinya pada Inang Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae), dan Spodoptera litura (Fabr.) (Lepidoptera: Noctuidae) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama tanaman kubis dan cara pengendalian. Lembang: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura. Speight MR, Mark DH, Allan DW. 1999. Ecology of insect: Concepts and Applications. Oxford: Blackwell Science Ltd. Tofilski A. 2004. Draw Wing, a program for numerical description of insect wings. Journal of Insect Science, 4:7, Available online: insectscience.org/4.17 Uhan ST. 1993. Kehilangan panen karena ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell.) dan cara pengendaliannya. Jurnal Hort 3(2): 26-22. Umayah S. 2003. Pengaruh Perlakuan Insektisida Terhadap Parasitisasi Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada Larva Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) di Pertanaman Kubis. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Utami S. 2001. Tanaman Brokoli (Brassica oleraceae var.italica), Pakan Larva Helicoverpa armigera (Hubn.) (Lepidoptera: Noctuidae) Meningkatkan Keberhasilan Hidup Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
24 Van Driesche RG, Thomas SB. 1996. Biologycal Control. New York: Chapman & Hall. Van den Bosch R. Plenum Press.
1973.
An Introduction to Biological Control.
London:
Van Driesche RG, Thomas SB. 1996. Biologycal Control. New York: Chapman & Hall. Zultika R. 1996. Eksplorasi dan kepadatan populasi telur Spodoptera exigua Hbn.(Lepidoptera: Noctuidae) di daerah geografi berbeda [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
26 Tabel Lampiran 1 Sidik ragam luas sayap depan jantan pada tiap perlakuan Sumber
db
JK
KT
Perlakuan 5
0,096
0,019
Galat
182
0,778
0,004
Total
187
0,875
F 4,51
P 0,0007
Ket: R2=0,110 CV=3,444; Selang kritis ? 2=0,077; 3=0,081
Tabel Lampiran 2 Sidik ragam luas sayap depan betina pada tiap perlakuan Sumber
db
JK
KT
Perlakuan 5
0,029
0,006
Galat
107
0,870
0,008
Total
112
0,899
F 0,72
P 0.611
Ket: R2=0,033; CV=4,366; Selang kritis ? 2=0,054; 3=0,056
Tabel Lampiran 3 Sidik ragam jumlah telur pada tiap perlakuan Sumber
db
JK
KT
Perlakuan 5
24928,850
4985,770
Galat
107
491706,513
4595,388
Total
112
516635,513
F 1,08
P 0.03730
Ket: R2=0,040; CV=4,368; Selang kritis ? 2=40,33; 3=42,45
Tabel Lampiran 4 Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap jantan pada tiap perlakuan Sumber
db
JK
KT
Perlakuan 5
0,155
0,0310
Galat
182
0,888
0,0049
Total
187
1,043
F 6,36
Ket: R2=0,149; CV=81,016; Selang kritis ? 2=0,083; 3=0,087
P 0,0001
27 Tabel Lampiran 5 Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap betina pada tiap perlakuan Sumber
db
JK
KT
Perlakuan 5
0,137
0,027
Galat
107
0,937
0,009
Total
112
1,073
F 3,14
P 0,0111
Ket: R2=0,128; CV=78,73; Selang kritis ? 2=0,094; 3=0,119 Tabel lampiran 6 Rata-rata harian suhu udara di lapangan selama penelitian Rata-rata suhu udara oC/jam pengambilan Tempat
08,00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00
11.00-12.00
Cibodas lereng
34
32.5
31
24
Cibodas lereng
26.5
32
38
37
Cibodas lereng
23.5
33
37
31
Cibodas lereng
34.5
38.5
44
39
Cibodas lereng
38
34.5
27
27
Cibodas datar
36
32
32.5
30
Cibodas datar
26.5
34
33.5
36
Cibodas datar
37
37
35.5
35
Lembang
27
26.5
24
25
Lembang
27
29
24
25
28 Tabel lampiran 7 Rata-rata harian kelembaban udara di lapangan selama penelitian Rata-rata suhu udara oC/jam pengambilan Tempat
08,00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00 11.00-12.00
Cibodas lereng
26
32.5
40.5
64.5
Cibodas lereng
75
64.5
55
55.5
Cibodas lereng
71
65.5
49.5
58
Cibodas lereng
56
51
52.5
53
Cibodas lereng
51.5
59
76
80
Cibodas datar
55
58.5
58
63.5
Cibodas datar
65.5
57.5
56.5
53
Cibodas datar
47
48.5
52.5
56.5
Lembang
65
66.5
71
65
Lembang
65
70
81
81
26
27
28 Lampiran 4 Mortalitas Crocidolomia pavonana terhadap dua strain yang berbeda pada uji lanjutan
Strain
Bt Protein
Jumlah larva Konsentrasi Ulangan yang (ppm) diujikan
24 JSP
48 JSP
72 JSP
Cry 1B
kontrol 5 8.5 15 25 45
50 50 50 50 50 50
10 10 10 10 10 10
0 0 0 0 2 24
0 6 10 10 46 90
2 26 22 26 80 98
Cry 1C
kontrol 5 8.5 15 25 45
50 50 50 50 50 50
10 10 10 10 10 10
2 0 0 6 10 20
2 14 6 52 54 70
6 34 24 92 86 92
Cry 1B
kontrol 5 8.5 15 25 45
50 50 50 50 50 50
10 10 10 10 10 10
0 0 2 14 66 64
0 0 14 60 84 90
0 2 16 68 90 98
Cry 1C
kontrol 5 9 17 32 60
50 50 50 50 50 50
10 10 10 10 10 10
0 2 2 14 38 52
0 4 6 42 92 92
0 6 10 48 94 96
Kejajar (25 Mei 2006)
Batu (6 Juli 2006)
Mortalitas (%)
29 Lampiran 5 Larva yang diberi perlakuan Cry B. thuringiensis (a) P. xylostella (b) C. pavonana
(a)
(b)
30 Lampiran 6 Analisis probit P. xylostella strain Lembang Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) 1b72 Not estimating natural response parameter -1.915 2.121
1b72 SLOPE
standard error 0.365 0.322
t ratio -5.243 6.595
Variance-Covariance matrix 1b72 SLOPE 1b72 .1333719 -.1132350 SLOPE -.1132350 .1034718 Chi-squared goodness of fit test preparation 1b72
subjects 50. 50. 50. 50. 50.
chi-square 5.1696
responses 22. 26. 33. 47. 47.
expected 19.312 28.043 37.078 43.253 47.440
degrees of freedom
deviation 2.688 -2.043 -4.078 3.747 -.440
3
probability .386241 .560859 .741563 .865050 .948792
heterogeneity 1.7232
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75. Index of significance for potency estimation: g(.90)=.21944 g(.95)=.40129
g(.99)=1.3518
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than
1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. We will use only the probabilities for which g is less than 0.5 Effective Doses LD50
1b72
dose 7.991
limits lower upper
0.90 4.481 11.117
0.95 2.845 12.419
0.99
--------------------------------------------------------------------------------------------------Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) 1c72 Not estimating natural response Maximum log-likelihood
1c72 SLOPE
-149.60126
parameter -1.5408397 1.6274176
standard error .31703222 .26998757
Variance-Covariance matrix
1c72 SLOPE
1c72 SLOPE .1005094 -.8231772E-01 -.8231772E-01 .7289329E-01
Chi-squared goodness of fit test
t ratio -4.8601990 6.0277500
31 preparation 1c72
subjects 50. 50. 50. 50. 50.
chi-square 4.8132
responses 19. 20. 38. 38. 43.
expected 17.824 24.947 32.629 38.661 43.868
degrees of freedom
deviation 1.176 -4.947 5.371 -.661 -.868 3
probability .356488 .498942 .652573 .773213 .877354
heterogeneity 1.6044
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75. Index of significance for potency estimation: g(.90)=.24456 g(.95)=.44723
g(.99)=1.5065
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
We will use only the probabilities for which g is less than 0.5 Effective Doses 0.99 LD50
1c72
dose
limits
8.84709
lower upper
0.90
0.95
4.66761 12.77463
2.72337 14.56131
32 Lampiran 7 Analisis probit P. xylostella strain Batu Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) 1b72 Not estimating natural response parameter -2.7279980 2.8417912
1b72 SLOPE
Maximum log-likelihood
1b72 SLOPE
standard error .42241737 .37460298
t ratio -6.4580630 7.5861414
-130.96155
Variance-Covariance matrix 1b72 SLOPE .1784364 -.1529800 -.1529800 .1403274
Chi-squared goodness of fit test preparation 1b72
subjects 50. 50. 50. 50. 50. chi-square 6.4486
responses expected 15. 16.082 24. 26.479 42. 38.140 47. 45.308 47. 48.926 degrees of freedom 3
deviation probability -1.082 .321646 -2.479 .529571 3.860 .762806 1.692 .906166 -1.926 .978515 heterogeneity 2.1495
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75. Index of significance for potency estimation: g(.90)=.20686 g(.95)=.37829
g(.99)=1.2743
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
We will use only the probabilities for which g is less than 0.5 Effective Doses LD50
1b72
dose 9.11921
limits lower upper
0.90 5.76651 12.33333
0.95 4.18379 13.80037
-------------------------------------------------------------------Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) 1c72 Not estimating natural response 1c72 SLOPE
parameter -.10317439 1.4789809
Maximum log-likelihood
standard error .47363411 .46045198 -71.564517
t ratio -.21783564 3.2120198
33 parameter -.10317439 1.4789809
1c72 SLOPE
standard error .47363411 .46045198
Variance-Covariance matrix 1c72 1c72 .2243293 SLOPE -.2088450
SLOPE -.2088450 .2120160
Chi-squared goodness of fit test preparation subjects responses 1c72 50. 40. 50. 48. 50. 48. 50. 49. 50. 49. chi-square 3.1155
t ratio -.21783564 3.2120198
expected 42.255 45.521 47.761 48.911 49.578
degrees of freedom
deviation -2.255 2.479 .239 .089 -.578 3
probability .845091 .910425 .955213 .978225 .991558
heterogeneity 1.0385
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75. Index of significance for potency estimation: g(.90)=.55749 g(.95)=1.0195
g(.99)=3.4341
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
Effective Doses LD50
1c72
dose 1.17425
limits
0.90
0.95
34 Lampiran 8 Analisis probit C. pavonana strain Kejajar Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) 1b72 Not estimating natural response parameter -3.1787021 2.7158288
1b72 SLOPE
Maximum log-likelihood parameter 1b72 -3.1787021 SLOPE 2.7158288
standard error .39814947 .32943728
t ratio -7.9836903 8.2438418
-132.18097 standard error .39814947 .32943728
t ratio -7.9836903 8.2438418
Variance-Covariance matrix 1b72 1b72 .1585230 SLOPE -.1273624
SLOPE -.1273624 .1085289
Chi-squared goodness of fit test preparation subjects responses 1b72 50. 13. 50. 11. 50. 13. 50. 40. 50. 49. chi-square 27.614
expected 5.910 13.562 25.800 36.852 45.350
degrees of freedom
deviation 7.090 -2.562 -12.800 3.148 3.650 3
probability .118195 .271248 .516005 .737034 .906993
heterogeneity 9.2048
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75. Index of significance for potency estimation: g(.90)=.75013 g(.95)=1.3718
g(.99)=4.6208
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
Effective Doses LD50
1b72
dose 14.80592
limits
0.90
0.95
----------------------------------------------------------------------------
Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) 1c72 Not estimating natural response
1c72 SLOPE
parameter -2.5355368 2.5664928
Maximum log-likelihood
standard error .37703421 .32836751 -133.20704
t ratio -6.7249516 7.8159158
35 parameter -2.5355368 2.5664928
1c72 SLOPE
standard error .37703421 .32836751
Variance-Covariance matrix 1c72 1c72 .1421548 SLOPE -.1195081
SLOPE -.1195081 .1078252
Chi-squared goodness of fit test preparation subjects responses 1c72 50. 17. 50. 12. 50. 46. 50. 43. 50. 46. chi-square 25.090
t ratio -6.7249516 7.8159158
expected 13.770 23.694 35.214 43.122 47.938
degrees of freedom
deviation 3.230 -11.694 10.786 -.122 -1.938 3
probability .275405 .473889 .704289 .862442 .958760
heterogeneity 8.3632
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75. Index of significance for potency estimation: g(.90)=.75822 g(.95)=1.3866
g(.99)=4.6706
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
Effective Doses LD50
1c72
dose 9.72609
limits
0.90
0.95
36 Lampiran 9 Analisis probit C. pavonana strain Batu Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) 1b72 Not estimating natural response parameter -5.1955955 4.6506807
1b72 SLOPE
Maximum log-likelihood
standard error .55161392 .47891475 -80.622575
parameter -5.1955955 4.6506807
1b72 SLOPE
standard error .55161392 .47891475
Variance-Covariance matrix 1b72 1b72 .3042779 SLOPE -.2587504
2.9674
t ratio -9.4188985 9.7108737
SLOPE -.2587504 .2293593
Chi-squared goodness of fit test preparation subjects responses 1b72 50. 1. 50. 8. 50. 34. 50. 45. 50. 49. chi-square
t ratio -9.4188985 9.7108737
expected 1.295 9.564 30.398 45.209 49.683
degrees of freedom
3
deviation -.295 -1.564 3.602 -.209 -.683
probability .025893 .191287 .607969 .904186 .993666
heterogeneity
.99
Index of significance for potency estimation: g(.90)=.02869 g(.95)=.04074 g(.99)=.07036 Effective Doses LD50
1b72
dose 13.09691
limits lower upper
0.90 11.93673 14.34842
0.95 11.71627 14.60885
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) 1c72 Not estimating natural response
1c72 SLOPE
parameter -4.5479414 3.7351913
standard error .46039058 .36941910
Maximum log-likelihood -85.933938 parameter standard error 1c72 -4.5479414 .46039058 SLOPE 3.7351913 .36941910 Variance-Covariance matrix 1c72 SLOPE 1c72 .2119595 -.1653745 SLOPE -.1653745 .1364705
t ratio -9.8784416 10.110986 t ratio -9.8784416 10.110986
37
Chi-squared goodness of fit test preparation 1c72
subjects 50. 50. 50. 50. 50.
chi-square 8.0217
responses 3. 5. 24. 47. 48.
expected 1.318 8.132 25.958 42.930 49.093
degrees of freedom
deviation 1.682 -3.132 -1.958 4.070 -1.093 3
probability .026363 .162641 .519150 .858607 .981861
heterogeneity 2.6739
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75. Index of significance for potency estimation: g(.90)=.14486 g(.95)=.26490 g(.99)=.89231 "With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4." - D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
We will use only the probabilities for which g is less than 0.5 Effective Doses LD50
1c72
dose 16.50413
limits lower upper
0.90 12.55348 21.79639
0.95 11.08991 24.79901